BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuntutan terhadap

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia telah
mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan untuk menjawab
berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak
asasi manusia berat.
Delapan belas (18) perkara yang telah dihadapkan ke pengadilan hak
asasi manusia, yang terdiri atas Dua belas (12) perkara pelanggaran hak asasi
manusia berat di Timor-Timur, empat (4) Perkara peristiwa Tanjung Priok dan
dua (2) Perkara pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura ,Papua tidak
menghasilkan keputusan yang memuaskan rasa keadalan khususnya bagi para
korban pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut.
Pengadilan hak asasi manusia terbentuk tidak terlepas dari dinamika
politik yang terjadi saat itu, baik politik nasional maupun internasional.1Dinamika
politik yang terjadi pada saat itu menghendaki agar pelanggaran hak asasi manusia
berat yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pengadilan hak asasi manusia.
Pembentukan undang-undang tersebut merupakan perwujudan tanggung
jawab bangsa Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa-bangsa, serta
sebagai tanggung jawab moral dan hukum dalam melaksanakan Deklarasi
1
Farijmei A.Gofar, Asinergisitas Pemeriksaan pendahuluan Perkara Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat, ,Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun
2006.hlm 105.
1
Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,
serta yang terdapat dalam instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi
manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.2
Pelanggaran hak
asasi manusia
diselesaikan melalui mekanisme
dalam pandangan para pakar dapat
pengadilan, dan komisi kebenaran,
untuk
menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dengan pengadilan dimaksudkan
untuk menjunjung rule of law dan keadilan.3
Undang-Undang No 26 tahun 2000 mempunyai
menyelesaiakan
pelanggaran
hak
asasi
manusia
di
mandat untuk
Indonesia,
dengan
kewenangannya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia barat di
Indonesia, tetapi pada tatanan das sein tidak ada satupun pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat yang dijatuhkan sanksi oleh Pengadilan HAM , yang secara hukum
berarti tidak pernah terjadi Pelanggaran HAM, sedangkan pada tatanan das sollen
diatur apa saja yang merupakan Pelanggaran HAM Berat yang dituangkan dalam
Undang-Undang No 26 tahun 2000, yang meliputi kajahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida. Dengan unsur-unsur kejahatannya yang diatur dalam
Undang-Undang No 26 tahun 2000.
Perbedaan pandangan dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia
berat selalu terjadi antara Komnas HAM, Jaksa Penuntut Umum, serta Hakim
dalam menyikapi pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Indonesia, yang dapat
2
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Hak Asasi
Manusia..
3
Priyambudi Sulistiyanto, Keadilan Transisional di Indoneisa Pasca Soeharto: Kasus Pembantaian
Tanjung Priok,, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006.hlm 20
2
dilihat dari proses bergulirnya kasus pelanggaran HAM dari proses penyelidikan
di Komnas HAM sampai dengan putusan pengadilan HAM di Pengadilan.
Tahapan penyelidikan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah
kewenangan Komnas HAM
berdasarkan Undang-Undang No 39 tahun 1999
yang hasilnya selalu merekomendasisan adanya pelanggaran HAM. Komnas
HAM dalam menjalankan perannya melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus
pelanggaran HAM yang dibuktikan dengan rekomendasi-rekomendasi Komnas
HAM dalam kasus-kasus hak asasi manusia khususnya Kasus Timor-Timur,
Tanjung Priok, dan Abepura yang selalu menyatakan adanya pelanggaran HAM
berat dalam kasus-kasus tersebut.
Kejaksaan selalu menuntut adanya pelanggaran hak asasi manusia berat
dalam tuntutannya dan selama ini dikarenakan tidak ada pilihan bagi kejaksaan
dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat selain dengan
tuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dikarenakan hanya hal tersebut
yang dapat dipergunakan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000, selain
ketentuan mengenai Genosida yang tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Proses penuntutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat para terdakwa
selalu dituntut melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat berupa kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM Berat mulai kasus
Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura, yang berarti dari pihak penuntut
umum, melihat adanya pelanggaran hak asasi manusia berat, tetapi dalam kasus
Adam Damiri Jaksa Penuntut Umum menuntut bebas Adam Damiri, yang dapat
3
diartikan bahwa dalam tuntutan Jaksa tidak melihat adanya pelanggaran hak asasi
manusia berat yang dilakukan oleh Adam Damiri dalam kasus Timor-Timur,
yang sekalipun dituntut bebas oleh Jaksa, tetapi Hakim pada pengadilan tingkat
pertama menjatuhkan hukum 3 tahun atas tuntutan bebas jaksa, yang kemudian
dalam proses banding di Pengadilan Tinggi dibatalkan dan Adam Damiri
dinyatakan bebas dari segala tuduhan.
Pengadilan Hak Asasi Manusia sendiri dalam berbagai tingkatan kemudian
membebaskan semua terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM ad hoc dengan
kesemuanya dinyatakan tidak bersalah dan dinyatakan bebas dari segala tuduhan.
Pada sisi lain penyelesaian persoalan melalui komisi kebenaran dan
persahabatan yang laporan akhirnya dinamakan Per Memoar A Spem yang berarti
melalui kenangan menuju harapan dipandang mengabaikan prinsip-prinsip dalam
penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia.
Hal yang juga mendorong penulis untuk menulis disertasi ini adalah
adanya pengakuan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam laporan akhir
komisi kebenaran dan persahabatan , tetapi tanggung jawab terhadap pelanggaran
hak asasi manusia berat tersebut diambi alih oleh negara. Bagaimana meletakan
tanggung jawab pidana pada negara, sebagai contoh dalam
hal terjadinya
pembunuhan yang dalam Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan
Indonesia Timor-Leste yang diberi judul Per Memoar ad Spem yang berarti
melalui kenangan menuju harapan, diakui adanya pembunuhan yang dilakukan
dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana yang terdapat dalam
keempat dokumen yang ditelaah oleh Komisi Kebenaran dan persahabatan yang
4
meliputi Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor-Timur ( KPP
HAM ) yang ditunjuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM
); dokumen-dokumen persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta,termasuk
BAP-BAP Kejaksaan Agung RI;Laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan
Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR/Commissao De Acolhimento, Verdade e
Reconciliacao) dan; dokumen persidangan dan penyidikan yang dijalankan oleh
panel khusus untuk kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili (SPSC/Special
Panel for Srious Crimes-Panel Khusus untuk Kejahatan Berat) serta Unit
Kejahatan Berat ( SCU/Serious Crimes Unit) di Dili, menemukan bahwa
Pelanggaran HAM berat terjadi di Timor-Timur.
Dalam Laporannya ketika membicarakan Partisipasi Pelaku Individual
Komisi mengatakan :
“Tidak ada lembaga yang dapat berfungsi tanpa anggota atau tanpa
kepemimpinan. Tindakan-Tindakan kelembagaan yang berujung pada
kekerasan tahun 1999 merupakan puncak dari aksi-aksi individu yang turut
serta dalam kekerasan. Sesungguhnya, setiap pelanggaran HAM tahun
1999 disebabkan oleh tindakan masing-masing individu. Akan tetapi
penentuan tanggung jawab individual atau bahkan tanggung jawab
komando, bukan tugas yang diamanatkan kepada komisi. Terlebih lagi
pelaku-pelaku
individu dalam bentuk kekerasan terorganisasi dan
termotivasi politik yang terjadi di Timor-Timur tahun 1999 bertindak
dalam konteks kelembagaan. Seperti tersebut diatas, kekerasan tahun 1999
bukan merupakan sesuatu yang acak, terisolasi atau spontan.Sifat yang
terorganisasi dan terkoordinasi menunjukan bagaimana masing-masing
tindakan individu tertentu perlu dilihat dalam konteks kelembagaan lebih
luas ketika peristiwa-peristiwa tahun 1999.”4 berkembang. Konteks ini
menjadi dasar untuk menilai tanggung jawab kelembagaan.
4
Per Memoar Ad Spem, Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia-Timor
Leste,Hal 299
5
Dengan melihat apa yang diungkapkan oleh komisi Kebenaran dan
persahabatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya komisi
mengetahui bahwa dalam hal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, ada
tanggung jawab individu yang melekat pada pelaku kejahatan kemanusiaan
tersebut, akan tetapi komisi tidak memasuki kajian tanggung jawab individu,
karena komisi berpendapat bahwa persoalan tanggung jawab individu bukanlah
kewenangan dari
komisi kebenaran dan persahabatan untuk membahasnya,
sehingga komisi hanya menyatakan adanya tanggung jawab negara dalam kasus
Timor-Timur 1999 tersebut.
Sehingga seandainya persoalan Timor-Timur sudah selesai bagi kedua
negara yaitu Republik Indonesia dengan Timor Leste, maka tidak ada tanggung
jawab individu, berarti kedua belah pihak telah memulai suatu babak dalam
hubungan kedua negara kedepan dengan menerapkan impunitas dengan tidak
meminta pertanggungjawaban terhadap individu pelaku
kejahatan terhadap
kemanusiaan tersebut.Karena prinsip utama dalam penyelesaian pelanggaran
Berat Hak Asasi manusia adalah penggantian kerugian yang dialami korban dan
hukuman melalui pengadilan terhadap pelakunya, dan kedua belah pihak telah
sepakat untuk menerima laporan komisi kebenaran dan persahabatan sebagai
suatu proses akhir dalam penyelesaian konflik timor-timur tanpa membawa pelaku
individu ke depan pengadilan yang berarti telah menerapkan impunitas sebagai
landasan penyelesaian persoalan Timor-Timur.
6
Dalam kajian hukum, Pembunuhan adalah Delik Materil, Delik materil
adalah delik yang dalam perumusannya terdapat akibat yang dilarang, karena
ditemukan akibat yang dilarang, maka dicari perbuatan yang menjadi sebab dari
timbulnya akibat, dalam hal ini andaikan ditemukan perbuatan yang menjadi
sebab dari timbulnya akibat, misalkan menembak,menusuk dan lain sebagainya,
baru kemudian dicari dan ditemukan orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Ketika ditemukan orang tersebut seharusnya proses hukum berlanjut sejak
penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Per Memoar ad Spem menghasilkan
bahwa semua perbuatan individu tersebut diambil alih tanggung jawabnya oleh
negara. Bagaimana meletakan tanggung jawab tersebut pada
negara, dalam
kaitannya dengan sangsi pidana yang harus diiberikan pada individu yang
melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter tersebut.
Dalam hukum internasional, timbulnya tanggung jawab negara apabila
terdapat internationally wrongful act , sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1
Rancangan tentang Tanggung Jawab Negara atas Tindakan-Tindakan
Salah
Secara Internasional (Draft Articles on Responsibility of States for International
Wrongful ACT), yang dibuat oleh Internasional Law Commission, yang berbunyi
“Every Internationally Wrongful Act of State Entails the international
responsibility of that state.”5
5
Pasal 1Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful ACT
7
Dalam hal adanya internasionally wrongful act maka negara bertanggung jawab
atas kesalahan tersebut.
Akan tetapi menjadi tidak lazim dalam hukum internasional apabila
tanggung jawab yang seharusnya melekat pada individu diambil alih oleh negara,
dengan meniadakan tanggung jawab pidana pada individu.
Dalam hal negara meniadakan tanggung jawab pidana pada individu, maka
negara telah melakukan impunity, yaitu ketidak mampuan negara untuk
menghukum pelaku pelanggaran hukum khususnya hukum humaniter dan hukum
hak asasi manusi.
Pada sisi lain apabila negara memutuskan untuk bertanggung jawab secara
pidana terhadap pelanggaran hukum humaniter yang terjadi , maka bagaimana
menghukum negara secara pidana. Bukankah personifikasi negara terletak pada
individu-individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum humaniter
tersebut.
Katakanlah sebagai wujud tanggung jawab negara, negara melakukan
berbagai hal seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi terhadap korban
pelanggaran hukum humaniter, bagaimana dengan sangsi pidana yang umumnya
terdapat dalam hukum pidana, baik hukum pidana nasional
maupun hukum
pidana internasional seperti hukuman penjara. Sudah pasti negara tidak dapat
dipenjara, keculai individu-individu yang merupakan personifikasi negara yang
bisa bertanggung jawab di depan hukum baik hukum pidana nasional, maupun
hukum pidana internasional.
8
Peniadaan tanggung jawab individu merupakan suatu kemunduran
dibidang hukum, terlepas dari kesepakatan para pihak untuk tidak meletakan
tanggung jawab pidana pada individu dan membebankan tanggung jawab pada
negara.
Pembebanan tanggung jawab pelanggaran hak asasi manusia pada negara,
sekalipun diakui merupakan penyelesaian politik, tetapi jangan lupakan bahwa
apa yang merupakan produk negara merupakan faktor pembuat hukum dan
merupakan suatu contoh bagaimanan negara bersikap dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi.
Suka atau tidak suka dengan per memoar ad spem negara telah meletakan
landasan impunity dalam proses bernegara. Dan hal tersebut bukan merupakan
sesuatu yang lazim dalam hukum internasional.
Per memoar ad spem tentunnya menimbulkan ketidakpuasan pada
korban,tetapi pada para pelaku yang seharusnya bertanggung jawab tentunya akan
merasa sangat setuju dengan proses penyelesaian yang direkomendasikan dalam
per memoar ad spem, karena tidak memasukan tanggung jawab pidana pada
individu sebagai rekomendasi yang harus dilakukan negara.
Per Memoar ad Spem telah diterima oleh kedua negara, yaitu Timor Leste
dan Indonesia. Dengan demikian persoalan Timor leste secara kenegaraan sudah
selesai dan kedua negara akan memulai langkah baru dengan melupakan masa lalu
yang bisa dibaca sebagai lupakan masa lalu yang juga bisa diartikan bahwa tidak
ada apa apa dengan
dengan masa lalu, bagaimana dengan tanggung jawab
9
hukumnya baik hukum pidananya, ataupun hukum pidana internasional yang
berkaitan dengan pelanggaran hukum perang, kejahatan terhadap kemanusiaan,
Akhirnya permasalahan Timpr-Leste sudah selesai tetapi bukan tidak
mungkin akan merupakan suatu persoalan
yang akan kembali
datang di
kemudian hari karena secara hukum masih meninggalkan persolan khususnya
terhadap tindak pidana
yang berkaitan dengan hak asasi manusia, karena
tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia tidak mengenal
daluarsa.
“Komisi Kebenaran dan Persahabatan berdasarkan hasil Telaah Ulang
Dokumen dan hasil analisis atas fakta-fakta yang telah diulas dalam
temuan berdasarkan Kerangka Acuan 14 a (i) dan (ii), Komisi
berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa
kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesimpulan Komisi ini juga didasarkan
analisis bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi telah
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis
terhadap penduduk sipil. Jenis tindak kekerasan tersebut antara lain: (1)
Pembunuhan; (2) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (3)
Penahanan ilegal (4) Kekerasan seksual lainnya; (5) Penghilangan paksa;
dan (6) Perbuatan tak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan pembakaran
harta benda. Untuk dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM berat
dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi, Komisi pertamatama melihat apakah kekerasan tersebut “diarahkan terhadap” warga sipil.
Kekerasan ini dapat berupa segala bentuk kekerasan fisik, pemaksaan,
ancaman, intimidasi, atau penghilangan kemerdekaan fisik. Warga sipil
yang diserang harus dalam jumlah yang cukup untuk menunjukkan bahwa
penyerangan tersebut tidak hanya ditujukan terhadap perorangan sipil
dalam jumlah yang sedikit, terbatas, atau terpilih secara acak, namun
sekelompok orang yang signifikan. Pemikiran dasarnya di sini adalah
untuk menentukan apakah ada bukti kredibel mengenai penganiayaan atau
penggunaan kekuatan, pemaksaan, atau kekerasan terhadap sejumlah
substansial warga sipil. Jika kekerasan (1) diarahkan hanya terhadap
10
sedikit warga sipil terpisah, atau (2) diarahkan terutama terhadap lawan
militer yang sah namun terdapat beberapa warga sipil yang terbunuh dalam
suatu insiden yang acak dan terpisah, maka ini tidak digolongkan sebagai
pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun
di Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik dan fokusnya pada
jajak pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban, terutama
penargetan warga sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan
keyakinan atau tujuan politik tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa
serangan terhadap penduduk sipil telah terjadi. Komisi berkesimpulan
bahwa bukti mengenai hal ini sangat banyak dan definitif.
Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil,
penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat “meluas
atau sistematis.” Istilah “meluas” mencakup dimensi kuantitatif, cakupan,
dan sifat serangan. Istilah “sistematis” terutama berkaitan dengan aspek
kualitatif serangan dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan
tersebut bukan terdiri dari tindak kekerasan yang acak, terpisah dan
individual, namun mencakup banyak tindakan dengan jumlah atau skala
korban yang signifikan, atau terdapat pengorganisasian, perencanaan,
koordinasi, atau kegiatan terpola. Di sini sekali lagi Komisi berkesimpulan
bahwa bukti secara kuat menunjukkan serangan terhadap penduduk sipil di
Timor Timur terjadi secara meluas maupun sistematis. Bukti ini
mengindikasikan bahwa jumlah korban dan insiden, juga skalanya, cukup
besar.
Bukti juga menunjukkan bahwa serangan sering menjadikan sasaran
orang-orang yang dipandang memiliki afiliasi politik tertentu dan serangan
ini terjadi berulang kali dalam rentang waktu, pada banyak tempat, serta
mengikuti pola perbuatan yang terorganisasi.
Dengan hasil dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan
Timor Leste yang tidak meletakan tanggung jawab pidana pada individu maka
Pemerintah Indonesia telah melakukan impunity dalam penyelesaian pelanggaran
hak asasi manusia di Timor-Timur, dan mengabaikan hak untuk mendapatkan
remedy dari korban pelanggaran hak asasi manusia, dan beberapa ketentuan dalam
hukum internasional berikut ini dapat menjelaskan bahwa seharusnya Pemerintah
11
Indonesia tidak melepaskan tanggung jawab pidana individu dari pelaku
pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur.
Hak untuk mendapatkan remedi atas pelanggaran hak asasi manusia
merupakan cerminan dari hak asasi manusia yang bersifat universal. Sebagaimana
disebutkan oleh Martha Meier:
“Impunitas adalah ketidakmampuan de jure dan de facto, untuk
membawa
para
pelaku
kejahatan
dan
kekerasan
untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses persidangan
pidana,perdata, administrasi atau disipliner karena mereka tidak tunduk
pada penyidikan yang bisa mengarahkan mereka pada alasan mengapa
mereka dituduh,ditangkap, diadili dan, jika ditemukan bersalah, dihukum
dengan hukuman yang tepat, dan untuk melakukan reparasi bagi para
korban. “ 6
Impunity dalam hukum internasional tidak dikenal, impunity adalah suatu
keadaan dimana pelaku tidak terjangkau oleh hukum, dan negara tidak
menghukum pelaku, sehingga pelaku tidak diminta pertanggungjawabannya atas
pelanggaran HAM yang dilakukannya. Sebagai konsekuensi dari adanya hak
tersebut, sebagai suatu hak yang bersifat universal, tentunya setiap pelanggaran
hak asasi manusia, harus dilakukan proses remedy yang tidak saja meliputi proses
peradilan atas pelanggaran HAM tersebut, tetapi juga dapat meliputi, rehabilitasi,
restitusi dan kompensasi.
Latar belakang yang demikian penulis tertarik untuk menulis
Implementasi Instrumen Hak Asasi Manusia dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia , karena
6
Martha Meier,The Scope of Impunity in Indonesia,Utrecht: HOM,2006 (terj.Indonesia
oleh Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di Indonesia, Jaringan Impunitas dan
PBHI,2007), Dalam Jurnal ASASI, Edisi mei-Juni Tahun 2008, Elsam,2008
12
dengan latar belakang yang penulis sampaikan diatas dalam pandangan penulis
sistem perdilan pidana Indonesia tidak mampu menjangkau pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Indonesia yang terlihat dari tidak adanya satupun terdakwa
dari kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dijatuhi
sanksi pidana.
Bebasnya seluruh terdakwa kasus pelanggaran HAM berat khususnya
yang terjadi di Timor-Timur, mendorong segenap komponen masyarakat
Indonesia khususnya
Pemerintah untuk mencari suatu solusi yang dapat
menyelesaikan persoalan hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan
pelanggaran ham berat.
Komisi kebenaran dan rekonsiliasi menjadi pilihan sebagai suatu solusi
yang mungkin dicapai sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan persoalan
pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran ham berat yang terjadi di
Indonesia, yang dalam pembentukannya yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari
standarisasi HAM yang bersifat universal.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor
leste yang diprakarsai oleh pemerintah kedua negara yaitu Indonesia dan Timor
leste, dilakukan sebaga upaya untuk menyelesaikan persoalan Timor-Timur secara
mendasar dan menyeluruh untuk mendapatkan penyelesaiaan menyeluruh dan
untuk mendapatkan kebenaran yang fundamental mengenai apa yang terjadi di
Timor-Timur Pasca jejak pendapat tahun 1999.
Penulis berpandangan hak asasi manusia yang universal dapat terjawab
dengan melihat kepada bagaimana Indonesia menyelesaikan persoalan Hak Asasi
13
Manusia yang dialaminya khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran HAM
berat, lebih khusus lagi bagaimana standarisasi hak asasi manusia yang universal
diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat, khususnya dalam kasus TimorTimur sebagai ukuran universal dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Penelitian ini melihat bahwa Pengadilan HAM, Komisi Kebenarran dan
Rekonsiliasi yang dalam tulisan ini digunakan Komisi Kebenaran dan
Persahabatan Indonesia dan Timor Leste merupakan bagian dari suatu sistem
untuk menjawab persoalan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tidak dapat
dipisahkan dari sistem peradilan pidana, yang diharapkan dapat menyelesaikan
persoalan
pelanggaran Hak Asassi Manusia di Indonesia dalam hal ini
pelanggaran hak asasi manusia berat.
Sebagaimana penulis sadari, tulisan yang membicarakan mengenai Hak
Asasi Manusia sangatlah banyak, dalam penelitian ini peneliti hendak melihat
suatu rangkaian pemikiran mengenai hak asasi manusia, sejak hak asasi manusia
dipandang perlu untuk diatur dalam undang-undang dasar sebagai bentuk
perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan kenyataan yang harus dihadapi
ketika berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia, serta mekanisme
alternatif yang perlu dilakukan ketika dirasakan mekanisme pengadilan hak asasi
manusia dirasakan tidak memberikan jawaban atas persoalan hak asasi manusia,
yang
diwujudkan dalam komisi kebenaran dan rekonsiliasi,
memperhatikan standarisasi hak asasi manusia yang bersifat universal.
B. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini yang menjadi pokok permasalahan adalah :
14
dengan
1. Bagaimana pengaturan tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?
2. Bagaimana Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan :
1. Pengaturan tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.
2. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini diharapkan:
1. Secara Teoritis mengembangkan disiplin hukum Hak Asasi Manusia yang
diperkaya oleh hasil penelitian para peneliti dan pendapat para ahli terdahulu.
2. Secara praktis memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep Asasi
Manusia dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran
Sebagai negara yang berdasarkan hukum, dimana salah satu pola yang
harus ada didalam negara berdasarkan hukum adalah adanya penghormatan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, selain dari adanya mekanisme
kelembagaan negara yang demokratis, adanya suatu tertib hukum dan adanya
15
kekuasaan kehakiman yang bebas.7 Indonesia juga mengatur hak asasi manusia
dalam Konstitusinya dan perundang-undangan yang menunjukkan bahwa
Indonesia memperhatikan persoalan hak asasi manusia dan bertanggung jawab
atas penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Konsep hak asasi manusia yang dipergunakan oleh
Indonesia dalam
mengatur hak asasi manusia baik dalam Konstitusinya ataupun dalam peraturan
perundang-undangan yang lain, idealnya sebagai konsep yang diikuti oleh
peraturan perundang-undangan yang mengatur secara teknis mengenai hak asasi
manusia, atau terjadi perubahan konsep dalam pengaturan yang terdapat pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur HAM.
Hak asasi manusia adalah suatu konsep yang sifatnya universal, idealnya
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia juga menggunakan
konsep yang bersifat universal, tetapi peraturan perundang-undangan seringkali
menjadi sumber
perdebatan mengenai hak asasi manusia, yang mengurangi
makna universal dari hak asasi manusia dikarenakan perbedaan pandangan
mengenai hak asasi manusia, sehingga mengurangi makna universal dari hak
asasi manusia yang seharusnya dapat diterima oleh semua orang, karena HAM
yang sifatnya universal tidak akan menimbulkan perdebatan.
Dalam peraturan perundang-undangan nasional terdapat peraturan
perundang-undangan yang bermuatan hak asasi manusia ketika akan dikeluarkan
atau sudah dikeluarkan menimbulkan perdebatan yang sangat kuat membicarakan
mengenai peraturan perundangan tersebut, sebagai contoh konsep hak asasi
7
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia, 1983, hlm
9.
16
manusia yang terdapat dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000
Pengadilan HAM, Undang-Undang
tentang
No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berdasarkan keputusan mahkamah
konstitusi pada tanggal 7 Desember 2006 membatalkan Undang-Undang tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menunjukkan konsep yang berbeda
dalam melihat persoalan hak asasi manusia di Indonesia.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Republik
Indonesia dan Timor Leste dapat dijadikan kajian penelitian dalam mencari
jawaban konsep hak asasi manusia dan implementasinya dalam sistem hukum
nasional Indonesia.
Perbedaan dalam memandang hak asasi manusia, tentunya dilandasi atas
perspektif berbeda terhadap hak asasi manusia , yang dapat diartikan terdapat
perbedaan konsep mengenai hak asasi manusia
Hak asasi manusia filosofinya adalah menjamin penghormatan terhadap
setiap orang, martabat dan kemerdekaan manusia dari semua bentuk
tindakan
yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam
menjalankan hidupnya di masyarakat.8
Pemikiran mengenai hak asasi manusia yang sifatnya universal diawali
dengan situasi dunia pada perang dunia kedua yang menimbulkan penderitaan
yang sangat besar bagi masyarakat dunia sehingga mendorong perlunya tatanan
universal yang mengatur masyarakat dunia agar lebih dapat menghormati hak
asasi manusia
Jacques Robert, “Contitutional and International Protection of Human Rights
Competing or Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2, 31
March 1994, NP Engel Publisher hlm 2
8
17
“Gagasan mengenai Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia muncul
ketika perang dunia II berlangsung, dan semakin kuat saat Piagam PBB
dirancang dan PBB dibentuk.Para pendiri PBB tidak bisa tidak, harus
memasukkan upaya pemajuan hak-hak asasi manusia ke dalam tujuantujuan PBB, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Deklarasi yang
menuangkan kebiasaan-kebiasaan hukum internasional.”9
Kutipan di atas menunjukan diperlukannya suatu tatanan yang bersifat
universal yang mengatur hak asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan isu
yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan, karena membicarakan hak asasi
manusia, berarti membicarakan suatu pemahaman konsep yang universal.
Konsep dalam
Kamus
Umum Bahasa Indonesia
Badudu – Zain
diartikan sebagai ide yang direncanakan dalam pikiran.10
Dalam Websters Dictionary, Concept diartikan sebagai: an idea terj: suatu
gagasan, especially a generalized idea of a class of objects terj: secara khusus
adalah suatu pemikiran umum mengenai sekelompok obyek ; a thought terj:
pemikiran.11
Dengan demikian konsep diartikan sebagai suatu pemikiran, yang dalam hal
ini tentunya pemikiran terhadap hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan
konsep hak asasi manusia yang universal dapat diartikan sebagai pemikiran
hak asasi manusia yang bisa diterima di semua tempat dan di semua waktu.
Dengan kata lain, pemahaman tentang konsep yang universal dari hak asasi
manusia, maka seharusnya tidak akan ada lagi pandangan yang berbeda
mengenai hak asasi manusia karena konsep hak asasi manusia yang universal
berarti suatu pemahaman yang sama dalam memandang hak asasi manusia.12
9
Vratislav Pechota, Kovenan Hak Sipil dan Politik dalam Materi Training Hukum dan
HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi
Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusham Universitas Islam
Indonesia, bekerjasama dengan University of Oslo Norway, Yogyakarta, 22-24
September 2005
10
Badudu-Zein, Kamus Umum bahasa Indonesia,, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 2001,
hlm 712.
11
Websters New Twentieth Century Unabridged Dictionary Second Edition, Prentice
Hall Press, New York,1972, hlm 376
12
“Hak -Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Sosiokultural dan Religi di Indonesia”,
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Komisi Nasional Hak asasi
manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 54
18
Sebagai sesuatu yang universal hak asasi manusia dipandang sebagai
standar internasional yang melintasi batas budaya dan merupakan sistem hukum
internasional yang berlaku dalam masyarakat negara.13
Melintasi batas budaya dalam hal ini dimaksudkan bahwa seharusnya tidak
ada lagi perbedaan dalam pengaturan dan pelaksanaan hak
asasi manusia
dikarenakan perbedaan budaya tidak mempengaruhi berlakunya hak
asasi
manusia, karena universalitas dari hak asasi manusia.
Dalam kenyataannya persoalan budaya yang selalu menghambat
berlakunya hak asasi manusia yang dipandang universal, bahkan konsep hak
asasi manusia yang sudah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional dapat
diperlakukan berbeda dalam suatu negara dengan pertimbangan sosial dan budaya
dari negara tersebut, yang sebenarnya tidak sesuai dengan hak asasi manusia
yang bersifat universal.
Universal dalam kamus umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta
diartikan sebagai umum yang meliputi (berlaku di, terdapat di) seluruh dunia
(termasuk, dilakukan oleh) semua orang; berakibat pada semua orang14. Dengan
menggunakan pedoman yang terdapat dalam kamus WJS Poerwadarminta, maka
dengan demikian hak asasi manusia Universal diartikan sebagai hak asasi
manusia yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate
Dictionary, 15
“Universal: 1. including or covering all or a whole collectively or
distributively without limit or exceptions; 2. a present or occuring
everywhere b: existent or operative everywhere or under all condition.”
13
Sonia Haris Short, International Human Rights Law: Imperialist,Inept and
Ineffective?Cultural Relativisme and the UN Convention on the Rights of the Child in
Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social
Sciences, Humanities, And Law, Volume 25 Number 1, February 2003, Hlm.131.
14
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993,
hlm 1130
15
Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster Inc., Publishers,
Springfield, Massachusetts, USA, hlm 1291.
19
“Universality: 1. the quality or state of being Universal; 2. Universal
Comprehensiveness in range.”
“Universalism: 1. often cap a: a theological doctrine that all men will
eventually be saved b: the principles and practises of a liberal christian
denomination founded in the 18th century orig. .to uphold belief in
universal salvation and know united with unitarianisme 2. something that
is universal in scope”
Berpedoman kepada Websters Ninth New Collegiate Dictionary, maka
universal diartikan sebagai berlaku umum, Universality atau Universalitas
diartikan sebagai sesuatu yang berlaku umum, dan universalisme diartikan sebagai
suatu paham yang bersifat universal, dalam kaitan dengan penelitian ini maka hak
asasi manusia adalah berlaku Universal yang artinya berlaku umum, di setiap
tempat dan di setiap waktu, dan hak asasi manusia sebagai suatu obyek yang
berlaku umum, yang kemudian mengakibatkan paham atau pandangan bahwa hak
asasi manusia berlaku secara universal.
Dalam praktik negara-negara seringkali menimbulkan perdebatan di
kalangan para ahli hukum bahwa penerapan universalitas dari hak asasi manusia
ke dalam hukum nasional atau pelaksanaan hak asasi manusia oleh negara tidak
sesuai dengan prinsip universalitas, dan cenderung disesuaikan dengan
bagaimana pandangan negara mengenai hak asasi manusia itu sendiri.
“Sebagai bangsa yang merupakan bagian (sub-sistem) masyarakat global,
tanpa mengabaikan unsur-unsur partikularistik yang dominan, berbagai
kecenderungan global harus dilihat sebagai kecenderungan nasional. Hal
ini khususnya apabila berkaitan dengan hak asasi manusia yang bersifat
20
absolute (absolute rights) yang tidak dapat dikesampingkan, sekalipun
suatu negara dalam keadaan darurat.”16
Konsep hak asasi manusia secara universal, tentunya tidak dapat terlepas
dari hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah:17
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law.
c. The General Principles of Law Recognized by civilized nation.
d. Judicial decisions and the teaching of the most highly publicist of the
various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law
.
Sebagai suatu tatanan nilai yang telah diterima masyarakat internasional
sebagaimana
pengertian hukum internasional, hukum internasional ialah
keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas Negara antara :
1. Negara dengan Negara
2. Negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum
bukan negara satu sama lain.18
Dengan demikian Negara telah menerima konsep universalitas itu sebagai
suatu konsep yang berlaku
secara universal. Bahkan dalam hal ini adanya
pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan kecenderungan global lebih luas
yang mencakup pula pelbagai resolusi badan-badan PBB, model perjanjian (model
treaties), code of conduct, guidelines, basic principles, safeguard, standar
minimum rules, dan berbagai deklarasi
yang disusun oleh badan-badan
Muladi, “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, Jurnal
Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, hlm 38
17
Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice
18
Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, Cetakan
ketujuh 1990, hlm.3.
16
21
internasional serta hasil-hasil pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh profesi
internasional:19
“Globalisasi semakin
memperkuat pemikiran-pemikiran untuk
mempersoalkan nilai-nilai dasar HAM, yang bersifat universal, indivisible
and interdependent and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar
masyarakat internasional memperlakukan hak asasi secara global in a fair
and equal manner, on the same footing, and with the same emphasis.
Di dalam Vienna Declaration and Programme of Action (Juni 1993) butir
E.83 yang mengatur mengenai implementation and monitoring methods
ditegaskan
bahwa
pemerintah-pemerintah
hendaknya
menggabungkan
(incorporate) standar-standar yang terdapat pada instrumen hak asasi manusia
internasional ke dalam hukum nasional (domestic Legislation) dan memperkuat
pelbagai struktur, lembaga nasional dan organ-organ dalam masyarakat yang
memainkan peran di dalam mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.20
Muladi mengatakan sekalipun
hak
universal, namun sebagaimana negara-negara
asasi manusia
memiliki sifat
berkembang yang lain dalam
implementasinya dikenal pula asas relativisme kultural, yang secara universal
juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh penggunaan asas relativisme
kultural tersebut tidak bertentangan dengan
manusia
yang universal. Pentingnya
prinsip dan hakekat
hak asasi
untuk tetap mempertimbangkan aspek
kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak asasi
manusia, nampak pada contoh sebagai berikut:
19
Muladi mengutip Held, David, Democracy and the Global Order, Polity Press, 1995
Dalam Tulisan “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”,
dalam Jurnal Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, hlm 38
20
Komisi Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya, Makalah
Muladi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm 81.
22
The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa “No
country, however, should use its power to dictate its concept of
democracy and human rights or impose conditionalities on others.”
Namun demikian tidak ada negara yang dapat menggunakan kekuasaannya
untuk mendiktekan konsep-konsep demokrasi dan hak asasi manusianya atau
menerapkan persyaratan-persyaratan pada negara-negara lain.
Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang
dirumuskan oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain
menegaskan :
“the people of ASEAN accept that human rights exist in a dynamic and
evolving context and that each country has inherent historical experiences,
and changing economic, social, political and cultural and value system
which should be taken into account.”21
Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang
menyatakan bahwa:
“While Human Rights are Universal in nature, they must be considered
in the context of a dynamic and evolving process of international norms
setting, bearing in mind the significance of national and regional
peculiarities and various historical, cultural and religious background.”22
Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi
dunia tentang Hak asasi manusia yang merumuskan bahwa:
“All human rights are universal, indivisible and interdependent and
interrelated while the significant of national and regional Particularities
and various historical, cultural and religious background must be borne in
mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and
21
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,The
Habibie Center, Jakarta 2002, hlm.56.
22
Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of the World Conference on
Human Rights yang dikenal dengan Bangkok Declaration 1993.
23
cultural systems, to promote and protect all human
fundamental freedoms.”23
rights and
Sebagai suatu negara yang berdasarkan atas hukum yang memberikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia Pemerintah Indonesia
mempunyai kewajiban untuk melakukan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, dengan melakukan upaya-upaya yang dapat mengakibatkan diakuinya
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai
konsekuensi yang didapatkan dari suatu negara yang berdasarkan atas hukum,
negara mempunyai kewajiban yang berkaitan dengan serangkaian pelaksaanaan
kewajiban negara dalam permasalahan hak asasi manusia, Indonesia tentunya
mempunyai konsep mengenai hak asasi manusia yang diimplementasikan dalam
sistem hukum nasionalnya.
“Reformasi di bidang Legislasi dalam kajian Mas Achmad Santosa, tetap
memunculkan Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan
nilai-nilai tentang hak asasi manusia dan demokrasi. Dan dikatakan tidak
adanya konsep dalam reformasi hukum, dan seharusnya terdapat konsep
dan desain besar reformasi hukum, sehingga akan diketahui tentang visi,
misi, dan tujuan reformasi hukum, prinsip-prinsip yang dijadikan
landasan, skala prioritas, kebijakan-kebijakan yang harus dihindari,
norma-norma hukum yang minimal harus terdapat dalam suatu produk
peraturan perundang-undangan yang akan diperbaharui.”24
“Konsepsi tentang hak asasi manusia di Negara Republik Indonesia yang
berdasar faham Persatuan Indonesia dan berkonstitusi UUD 1945 bukan
hanya ada tetapi juga berkembang dan diakui eksistensinya. Negara
mengakui hak -hak asasi orang seorang dan disamping itu juga mengakui
hak -hak kelompok seperti keluarga, masyarakat, paguyuban masyarakat,
dan Negara. Karena itu di Negara Republik Indonesia HAM tidak berdiri
sendiri melainkan berdampingan dengan kewajiban, yaitui kewajiban
orang-seorang terhadap orang lain, terhadap keluarganya, terhadap
masyarakatnya, dan terhadap negaranya. Demikian juga sebaliknya”25.
23
Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993)
Mas Achmad Santosa, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan,
MelibS, Jakarta, 2004, hlm 12-13
25
BP 7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, 1996,Penerbit BP 7. hlm 155.
24
24
Penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasarkan hukum pada
teori rechtstaat adalah adanya pengakuan hak-hak
asasi adanya pemisahan
kekuasaan, dan pemerintahan yang berdasarkan pada undang-undang dan
peradilan administrasi. Sedangkan pada teori rule of law, adanya konstitusi yang
bersumber pada hak -hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi
semua orang, dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segalanya.26
Seiring dengan pekembangan
pemikiran mengenai
negara di bawah
tatanan hukum yang adil yang berkembang di Eropa pada abad 19 hingga
permulaan abad ke 20, yang pada saat itu tercatat perkembangan pemikiran
mengenai konsep negara, dari konsep negara hukum klasik (negara hukum dalam
arti sempit) menuju konsep negara hukum formal.27
Konsep Negara Hukum dapat dibedakan menurut konsep negara hukum
yang berkembang di negara-negara Eropa kontinental yang dikenal dengan
Rechtsstaat, dan konsep negara hukum yang berkembang di negara-negara Anglo
Saxon yang dikenal dengan Rule of Law.
Negara hukum
menurut konsep konsep rechtsstaat
dibangun
berdasarkan sistem hukum civil law, dimana konsep rechtstaat lahir dari suatu
perjuangan menentang absolutisme, yang dipelopori oleh Immanuel Kant dan
Friedrich Julius Stahl, sehingga sifatnya revolusioner.
Unsur negara hukum menurut konsep rechtsstaat ialah adanya :
26
Ibid, Hlm 10.
Lihat: Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1992, Hlm: 57-58, dan Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH-UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta,
1988, hlm: 156-161
27
25
1.
2.
3.
4.
Hak-hak manusia
Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
Pemerintah berdasarkan Peraturan-Peraturan.
Peradilan administrasi dalam perselisihan.28
Konsep rule of law berkembang secara evolusioner,29 dibangun
berdasarkan sistem hukum common law.30 Istilah the rule of law mulai populer
dengan terbitnya sebuah buku dari A.V.Dicey tahun 1885
dengan judul
Introduction to the Study of the Law of the Constitution yang berisikan: 31
“That rule of law then which forms a fundamental principle of the
constitution,has three meaning, or may be regarded from three different
points of view. It means, in the first place, the absolute supremacy or
predominance of regular law as opposed to the influence of arbitrary
power, and excludes the existence of arbitrariness, of prerogative, or even
of wide discretionary authority on the part of the government.
Enghlishmen are ruled by the law, and by the law alone; a man may with
us be punished for nothing else. It means, again, equality before the law,
or the equal subjection of all classes to the ordinary law of the land
administered by the ordinary law court;the rule of law in this sense
excludes the idea of any exemption of officials or others from the duty of
obedience to the law which governs other citizens or from the jurisdiction
of the ordinary tribunals; there can be with us nothing really
corresponding to the administrative law (droit administrative) or the
administrative tribunals (tribunaux administratifs) of France.
The Notion which lies at the bottom of the administrative law known to
foreign countries is, that affairs or disputes in which the government or its
servants are concerned are beyond the sphere of the civil courts and must
be dealt with by special and more or less official bodies. This idea is
utterly unknown to the law of England, and indeed is fundamentally
inconsistent with our traditions and customs.
28
Miriam Budiardjo, Ibid, Hlm 57
Lihat Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia Suatu Studi
Tentang Prinsip-Prinsip Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu Surabaya, 1987,
hlm: 72.
30
Djoko Sutono, Hukum Tata Negara (Materi kuliah yang dihimpun oleh Harun Al
Rasyid), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm : 78
31
Dicey.A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Ninth Edition,
Macmillan and Co Limited ST Martins Street, London 1952, inroduction, pp XVIICXIII, 179,183,184,Ch IV,Ch IV, Ch V.
29
26
The rule of law lastly may be used as formula for expressing the fact that
with us the law of the constitution, the rules which in foreign countries
naturally form part of a constitutional code, are not the source but the
consequence of the rights of individuals, as defined and enforced by the
courts;that,in short, the principle of private law have with us been by the
action of the courts and parliament so extended as to determine the
positions of the crown and of its servant; thus the constitutions is the
result of the ordinary law of the land.”
“Bahwa negara hukum yang membentuk prinsip fundamental dari
konstitusi, memiliki tiga arti, atau dapat dilihat dari tiga sudut pandang.
Artinya, pertama, supremasi absolut atau dominasi aturan hukum sebagai
penyeimbang
atas
kekuasaan
yang
sewenang-wenang,
dan
mengesampingkan adanya kesewenang-wenangan, dari hak prerogatif,
atau bahkan adanya kesewenang-wenangan dari hak prerogatif, atau
bahkan diskresi dari pemerintah. Orang Inggris diatur berdasarkan hukum,
dan hanya hukum; seseorang tidak mungkin dihukum karena sesuatu yang
lain. Artinya, persamaan di hadapan hukum, atau persamaan bagi seluruh
kelas dalam hukum di negeri tersebut yang dilaksanakan oleh pengadilan
biasa; negara hukum dalam hal ini mengecualikan gagasan yang
mengecualikan pejabat atau lainnya dari kewajiban untuk mematuhi
hukum yang mengatur warga negara lainnya atau dari yurisdiksi daripada
pengadilan biasa; mungkin tidak ada kaitannya dengan hukum
administratif atau pengadilan administratif di Prancis.
Inti dari hukum administratif yang dikenal oleh negara-negara asing adalah
bahwa hubungan atau perselisihan dimana pemerintah atau pejabatnya
terlibat berada di luar wilayah pengadilan sipil dan harus ditangani oleh
badan-badan yang khusus atau kurang lebih resmi. Gagasan ini tidak
dikenal dalam hukum Inggris, dan bahkan secara fundamental tidak
konsisten dengan tradisi dan kebiasaan kita.
Terkahir, negara hukum dapat digunakan sebagai formula untuk
menyampaikan fakta bahwa tanpa hukum konstitusi, aturan-aturan di
negara-negara asing secara alamiah membentuk bagian dari konstitusi,
bukan merupakan sumber tetapi konsekuensi dari hak-hak individu,
sebagaimana didefinisikan dan dilaksanakan oleh pengadilan; singkatnya,
prinsip hukum privat telah dilaksanakan oleh pengadilan dan parlemen
diperluas sampai menentukan posisi puncak dari pejabatnya; sehingga
konstitusi adalah hasil daripada hukum biasa di negeri tersebut.”
Maksudnya, pertama, supremasi absolut atau dominasi aturan hukum
sebagai
penyeimbang
atas
kekuasaan
yang
sewenang-wenang,
dan
mengesampingkan adanya kesewenang-wenangan, dari hak prerogatif, atau
27
bahkan diskresi wewenang dari pemerintah. Itu berarti sekali lagi, kesetaraan di
depan hukum, atau kesamaan dari semua kelas tunduk kepada hukum umum
dikelola pengadilan umum.
Terakhir, dapat digunakan sebagai formula untuk mengungkapkan fakta
bahwa dengan kata hukum konstitusi, aturan-aturan yang dialami Negara-negara
asing
merupakan bagian dari kode institusionil,
merupakan
bukanlah sumber
tetapi
konsekuensi dari hak-hak inividu, sebagaimana ditegakkan oleh
pengadilan.
Menurut Mas Bakar perwujudan supremasi hukum (supremacy of law) di
negara-negara Anglo Saxon sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di negaranegara kontinental yang menganut konsep rechtstaat.32 Supremasi hukum
menurut rechtsstaat adalah menempatkan negara sebagai subyek hukum, sehingga
konsekuensinya hukumnya dapat dituntut di pengadilan. Negara-negara Anglo
Saxon dalam konsep rule of law, tidak menempatkan sebagai subyek hukum,
negara menurut konsep ini
dipandang tidak dapat berbuat salah, sehingga
konsekuensinya tidak dapat mempertanggungjawabkan sesuatu di pengadilan.
Unsur equality before the law, mengandung arti bahwa semua warga
negara tunduk selaku pribadi maupun kualifikasinya sebagai pejabat negara
tunduk pada hukum yang sama dan diadili di pengadilan biasa yang sama.
Dengan demikian setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum.
Penguasa maupun warga negara; apabila melakukan tort (perbuatan melanggar
32
Aminudin, makalah Negara Hukum Rule of Law dan Negara Hukum Rechtstaat, Pada
Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 19 Maret 1999.
28
hukum: Surechtmatige daad; delict), maka akan diadili menurut aturan common
law dan di pengadilan biasa.33
Unsur
constitution based on human rights mengandung arti bahwa
adanya suatu Undang-Undang dasar yang unsur Groundrechten-nya yang lebih
primer.34 Konstitusi bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika
hak-hak asasi itu diletakkan dalam konstitusi, maka itu hanya penegasan bahwa
hak-hak asasi itu harus dilindungi.35
Negara hukum seperti
negara kesatuan Republik Indonesia dimana
pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus
aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosialnya sehingga negara hukum yang
demikian lazim disebut sebagai negara kesejahteraan (Welfare State).36
Teori hak asasi manusia sebagai Middle Range Theory dalam Penelitian
ini dikarenakan hak asasi manusia “Human Rights could be generally defined as
those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as
human beings” yang artinya bahwa hak asasi manusia secara umum diartikan
sebagai hak yang melekat pada diri manusia yang tanpa adanya hak-hak tersebut
manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.37
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 :
33
Djoko Sutono, Op.Cit, hlm: 81-82.
Satya Arinanto, “Demokrasi berdasarkan Konstitusi: Mungkin Terjelma dalam
Realita.” Artikel dalam majalah Hukum dan Pembangunan, No 3 Tahun XXIII, FH UI,
Jakarta, 1993.
35
Muh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Loc.Cit.
36
Miriam
Budiardjo,
Dasar-Dasar
Ilmu
Politik,Gramedia
Pusstaka
Utama,Jakarta,1998,hlm 59.
37
United Nation, Human Rights Question and Answer, New York, United Nations
Department of Public Informations, 1993.
34
29
”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”38
Dalam Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia:
”Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati,universal, dan abadi sebagai Anugerah Tuhan
Yang Maha Esa.”39
Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia:
”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum,pemerintah,dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”40
Secara tersurat pengakuan terhadap
konsepsi hak asasi manusia yang
universal dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
dalam bagian menimbang butir b dikatakan:
“Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa,
menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi
Universal Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”41
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Republik
Indonesia
Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia semakin menegaskan bahwa dalam
38
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Pembukaan alinea kedua
40
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2000
41
Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
39
30
hak asasi manusia terdapat
hubungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional khususnya dalam kaitannya dengan pengakuaan dan penghormatan
terhadap universalitas
hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dimana dalam bagian konsiderans butir C dengan jelas menunjukkan pengakuan
bangsa Indonesia terhadap
Deklarasi Universal Hak-hak
Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
Asasi Manusia
adanya butir C, yang berbunyi sebagai
berikut :
“bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut
menghormati hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi
Universal Hak -hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak -hak
asasi
42
manusia.”
Apa yang dikemukakan di atas mengenai bagaimana sistem hukum
Indonesia mengakui Universal Declaration of Human Rights menunjukkan
pengakuan negara Republik Indonesia terhadap Hak
Asasi Manusia yang
Universal, terlebih lagi dengan pengaturan hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar 1945 yang juga menunjukkan pengakuan hak asasi manusia yang
universal.
Teori hukum pembangunan dipergunakan dikarenakan
sebagai akibat
dari Indonesia berdasarkan hukum, maka hukum berperan sebagai sarana
pembangunan hak asasi manusia dalam bentuk membuat peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, tetapi juga melakukan
42
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1988
tentang Hak -Hak Asasi Manusia Bagian Konsiderans, Butir C
31
perbaikan terhadap kondisi hak asasi negara, dengan melakukan penegakan
hukum yang salah satunya dengan proses peradilan yang bermuara pada
pembentukan hukum dalam proses peradilan yang tidak saja melibatkan tatanan
sollen, tetapi juga sein.
Dalam pelaksanaan hal yang demikian tentunya harus dipahami konsep
hak asasi manusia yang dipergunakan dalam sistem hukum Indonesia serta
bagaimana implementasi konsep sistem hukum tersebut dalam sistem hukum
Indonesia.
“Berbeda dengan dunia barat yang menganut hak asasi manusia sebagai
hak asasi individual, Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara,
yaitu seorang warga negara juga memiliki kewajiban-kewajiban asasi
untuk menghormati hak -hak asasi warga negara lain, hak asasi manusia
di Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat
individual yang sebebas-bebasnya. Sri Edi Swasono menjelaskan, berbeda
dengan dunia barat yang negara dibentuk berdasarkan kesepakatan
individual, Indonesia pada masa terbentuknya tidaklah demikian. Dalam
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia telah ada
terlebih dahulu, barulah orang-orang bersepakat mewujudkan cita-cita itu.
Manusia Indonesia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual.
Oleh Karena itu, ujar Sri Edi, yang ada adalah konsensus sosial, bukan
kontrak sosial dalam teori John Locke. Di Indonesia kepentingan
masyarakat yang utama. Hak asasi manusia adalah hak asasi warga
negara bukan hak yang terlepas-lepas.”43
Apakah pendapat yang disampaikan di atas adalah betul konsep hak asasi
manusia yang terdapat dalam sistem hukum nasional Indonesia, dalam penelitian
ini mencoba untuk mencari jawaban, konsep apakah yang dipergunakan dalam
sistem hukum nasional Indonesia. Pada sisi lain penerapan konsep hak asasi
manusia dalam sistem hukum suatu negara merupakan tanggung jawab negara
43
Pendapat Sri Edi Swasono, Kompas, Senin, 14 Agustus 2006, hlm 3
32
yang bersangkutan yang melekat sebagai konsekuensi sebagai sebuah negara
hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.44
Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa, telah membatasi
kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan bahasa yang
indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang
berlaku pada bangsa tersebut.45
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul akibat dari
adanya pelanggaran terhadap hukum internasional, walaupun hukum nasional
mengganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun
apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap
bertanggungjawab.46
Dalam hal tanggungjawab terhadap norma hukum hak asasi manusia
internasional negara pelaku tidak dapat lagi berlindung di balik kedaulatannya
untuk menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana
dikatakan Hector Gross Espiell, “The question of Human Rights is no longer the
preserve of the domestic jurisdiction of states, but is now recognized as being
governed by
internal law and by international law, against which special
internal law cannot be invoked.”47
44
Padmowahyono, Loc.Cit.hlm 9.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya
Indonesia., makalah Muladi, “Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif
Indonesia”
46
F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, hlm 77.
47
Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy
Symonides (editor), Human Rights: Concept and Standards, Paris: UNESCO, 2000, hlm.
349
45
33
Berbicara mengenai pembangunan hukum erat kaitannya dengan GarisGaris Besar Haluan Negara tahun 1973 bidang hukum, yang isinya bahwa hukum
tidak menghambat
proses modernisasi. Sementara Garis-Garis Besar Haluan
Negara tahun 1983 bidang hukum yang isinya antara lain bahwa hukum dapat
berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Pembahasan masalah pembangunan hukum juga terdapat dalam UndangUndang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 20002004 dimana dalam Bab II Prioritas Pembangunan Nasional pada point B.2
untuk Mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang baik, serta pada
Bab III secara khusus
mengatur Pembangunan Hukum dimana didalamnya
program Pembangunan hukum meliputi, program pembentukan peraturan
perundang-undangan, program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga
penegak hukum lainnya, program penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia, program
peningkatan
kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.
Pada sisi lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan pentingnya
Pembangunan Nasional di semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah
Negara Republik Indonesia.
“Mengutip tulisan Mochtar Kusumaatmaja dalam Pembinaan Hukum
dalam Rangka Pembangunan Nasional. Pembangunan diartikan meliputi
segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan
ekonomi belaka – karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya
kurang tepat, karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu
masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-segi kehidupan
masyarakat lainnya yang menjadi persoalan kini adalah: adakah peranan
hukum dalam proses pembangunan itu dan bila ada apakah peranannya.
34
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh
perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan
apapun ukuran yang kita gunakan bagi masyarakat dalam pembangunan.
Peranan Hukum dalam dalam Pembanguna adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara teratur.
Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa
perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan
atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya.”48
Mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmaja diatas penulis mengawali
penelitian ini dengan mengatakan bahwa pembangunan hak asasi manusia di
Indonesia seharusnya dilakukan dengan perubahan melalui proses perundangundangan atau/dan keputusan pengadilan.
Sistem Peradilan Pidana di indonesia
mengalami perluasan arti dan
tujuannya. Dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System) adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem
yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat
untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
yang dapat diterima,49 Norval Morris menyatakan:
"The Criminal Justice System is best seen as a crime containment system,
one of the methods that society uses to keep crime at whatever level each
particular culture is willing to accept. But, to a degree, the criminal
justice system is also involved in the secondary prevention of crime, that
is to say, in trying to reducecriminality among those who have been
convicted of crimes and trying by deterrent processe of detection,
48
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan
Karya Tulis,Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni, Bandung
2004, hlm 19.
49
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Peran Penegak
Hukum Melawan Kejahatan, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
1994, hlm. 84-85.
35
conviction, and punishment to reduce the commission of crime by those
who are so minded and so acculturated.50
Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan
dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan
ke muka pengadilan dan menerima pidana, yang termasuk bagian tugas sistem ini
adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Berusaha agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak rnengulangi
lagi perbuatannya.51
Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana
(SPP) tersebut : Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan
ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang
merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem.
Makna susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu
keteraturan dan penataan yang hierarkhis dan sistimatis pada suatu sistem.
Samodra Wibawa, mengemukakan tentang sistem ini bahwa:”sistem
merupakan hubungan antara beberapa unsur dimana unsur yang satu tergantung
50
UNAFEI, Criminal Justice System, The Request for an Integrated Approach, UNAFEI,
1982) hlm. 5
51
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II cet. I
Pustaka Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hokum UI, Jakarta, 1994, hlm. 140. Lihat
juga Mrdjono R, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 84-85.
36
kepada unsur yang lain. Bila salah satu unsur hilang, maka sistem tidak dapat
berfungsi.52
Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai
tidak memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan, dan secara
keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses yaitu
proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan. Pidana, yang dalam ilmu
hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan
atau penderitaan yang diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik
maupun phisikis dari orang yang terkena pidana itu.53
Memperhatikan dasar pemahaman di atas, mengenai SPP tidaklah hanya
berbicara tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana,
melainkan lebih dari itu yang dibicarakan adalah persoalan mekanisme ataupun
manajemen dari bekekerjanya pengadilan tersebut, guna melahirkan suatu
keputusan yang adil.54 Sehingga dapat pula dikemukakan bahwa SPP, merupakan
mekanisme dan atau manajemen proses peradilan (Justice Processes) di dalam
melahirkan suatu keputusan serta di dalam menjatuhkan pidana. Remington dan
Ohlin55 bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian
pendekatan sistem peradilan terhadap mekanisme administrasi peradilan, dan
peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Guna mencapai tujuan hukum dan sistem hukum yang diharapkan
tentunya kita tidak dapat melepaskan diri dari pembukaan Undang-Undang Dasar
52
Samodra Wibawa, Kebijaan Publik ( Proses dan Analisis), Intermedia, Jakarta, Cet I,
1994, hlm. 50-51.
53
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni
Bandung, 1993, hlm.437
54
Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996.
55
Idem, hlm.14.
37
1945. H. R. Otje Salman mengatakan bahwa pembukaan alinea pertama secara
substansial mengandung pokok pikiran tentang apa yang kita pahami sebagai
keadilan dimana secara prinsip keadilan adalah upaya untuk menemukan keadilan
yang mutlak, serta merupakan manifestasi upaya manusia yang merindukan
adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum positif.56
Pada alinea kedua
sebagaimana
Pembukaaan, terdapat makna adil dan makmur
dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberi
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dengan demikian adil dan makmur merupakan
tujuan hukum yang harus dicapai oleh sistem hukum Indonesia.
Alinea ketiga menjelaskan pemikiran religius bangsa Indonesia, yang
menekankan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat
mengedepankan aspek-aspek Ketuhanan, dengan memperhatikan hal ini tentunya
segala aspek yang terdapat sistem hukum Indonesia tidak boleh terlepas dari
aspek Ketuhanan.
Apa yang terdapat dalam alinea ketiga yang memuat semangat ketuhanan
idealnya tercermin dalam sistem hukum dan sub sistem-sub sistem yang terdapat
di dalamnya. Alinea ketiga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keiinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat
Indonesia
menyatakan
dengan
ini
kemerdekaannya.Menggambarkan suatu kesepakatan satu tujuan, dan
Negara Hukum Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Hukumnya bersumber kepada Pancasila
2. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi dan bukan berdasarkan atas
sistem absolutisme;
56
Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung 2004, hlm 156.
38
3. Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang merdeka dalam arti
bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
4. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya tanpa
kecuali
5. Hukumnya berfungsi mengayomi dalam arti menegakkan kehidupan
yang demokratis
6. Kehidupan yang berkeadilan sosial; dan kehidupan yang
berperikemanusiaan.”57
Pada alinea keempat, menjelaskan mengenai Pancasila yang
secara
konsep merupakan suatu kebulatan yang utuh dari bangsa Indonesia, dimana
masing masing sila saling berkaitan dengan diawali oleh Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam sistem hukum Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yang
menjadi dasar bagi sistem hukum yang akan dipilih.
Sistem hukum dapat diartikan sebagai serangkaian peraturan hukum yang
disusun secara tertib menurut asas hukumnya misalnya sistem hukum perdata
disusun secara tertib berdasarkan asas-asas hukum perdata, demikian juga sistem
hukum pidana disusun secara tertib berdasarkan azaz hukum pidana, dapat juga
sistem hukum diartikan sebagai sistem apa yang diberlakukan disuatu negara
misalnya sistem hukum Anglo Saxon dan sistem hukum kontinental.
Menunjuk pada buku tulisan H. R. Otje Salman S dimana menjelaskan
mengenai makna sistem:58
57
Padmo Wahyono et.al, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum,Pustaka Sinar
Harapan Jakarta, 1989.hlm.81.
39
1. Sistem digunakan untuk menunjuk suatu kesimpulan atau himpunan bendabenda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau
saling ketergantungan yang teratur; suatu himpunan bagian-bagian yang
tergabung secara alamiah maupun oleh budi daya Manusia sehingga menjadi
satu kesatuan yang utuh dan bulat terpadu;
2. Sistem yang digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ tubuh secara
keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap
berfungsinya fungsi tubuh tertentu yang rumit tapi vital;
3. Sistem yang menunjuk himpunan gagasan atau ide yang tersusun
terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan
sebagainya yang membentuk satu kesatuan yang logik dan dikenal sebagai isi
buah pikiran filsafat tertentu, agama, atau bentuk pemerintahan tertentu.
4. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau suatu teori
(yang dilawankan dengan praktek);
5. Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata cara
6. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode
pengaturan organisasi atau susunan sesuatu atau mode tatacara. Dapat pula
berarti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan atau pemrosesan, dan
juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian dan
sebagainya
Adapun West Churchman, sebagaimana dikutip oleh H.R. Otje Salman S,
berpendapat bahwa:59
1. Pendekatan sistem bermula terjadi jika mula-mula ada yang memandang dunia
ini dari kacamata orang lain;
2. Hal itu berlangsung untuk menemukan kenyataan bahwa setiap pandangan
dunia itu amat terbatas.
3. Tidak ada seorang pun yang ahli dalam pendekatan sistem.
Menurut Elias M Awad, sebagaimana dikutip oleh H. R. Otje Salman S,
ciri-ciri sistem adalah sebagai berikut:60
1. Sistem itu bersifat terbuka, atau pada umumnya bersifat terbuka. Suatu sistem
dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya. Dan sebaliknya
dikatakan tertutup jika mengisolasikan diri dari pengaruh apapun;
2. Sistem terdiri dari dua sistem atau lebih subsistem dan setiap subsistem terdiri
lagi dari subsistem lebih kecil dan begitu seterusnya;
3. Subsistem itu saling bergantung satu sama lain dan saling memerlukan;
58
Otje Salman dan Anton F Susanto ,op.cit, hlm 83.
Ibid
60
Ibid
59
40
4. Sistem mempunyai kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self regulation);
5. Sistem memiliki tujuan dan sasaran
Menurut William A Shrode serta Dan Voich, sebagaimana dikutip oleh H.
R. Otje Salman S, ciri-ciri pokok sistem adalah:61
1. Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya mengarah pada
tujuan tersebut;
2. Sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh
3. Sistem memiliki sifat terbuka;
4. Sistem melakukan kegiatan transformasi;
5. Sistem saling berkaitan;
6. Sistem mempunyai mekanisme kontrol.
Apa yang disampaikan di atas penulisi menggunakan salah satu
pemahaman diatas untuk menulis penelitian ini yaitu menunjuk suatu gagasan
(ide) yang tersusun, terorganisasikan, suatu himpunan gagasan mengenai hukum
artinya bagaimana pengaturan hukum itu apakah dalam sistem hukum nasional
atau dalam sistem hukum internasional itu adalah sistem hukum.
Dapat juga diartikan sistem hukum sebagai suatu kesatuan utuh dari
tatanan tatanan dimana antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. CFG.
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa sistem hukum terdiri atas 7 (tujuh) unsur
yaitu 62:
a. asas-asas hukum (filsafah hukum)
b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-undang
2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
3. yurisprudensi tetap
4. hukum kebiasaan
5. konvensi-konvensi internasional
6. asas-asas hukum internasional
c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggungjawab dan sadar
hukum
61
Idem, hlm 84-86
Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Makalah
Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Nasional VII Tema Penegakan Hukum
Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan diselenggarakan Oleh: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen KeHakiman dan Hak Asasi Manusia Denpasar 14-18 Juli
2003.
62
41
d. pranata-pranata hukum
e. lembaga-lembaga hukum termasuk :
1. struktur organisasinya
2. kewenangannya
3. proses dan prosedur
4. mekanisme kerja
f. sarana dan prasarana hukum, seperti;
1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan
sistem manajemen perkantoran
2. senjata dan lain-lain perawatan (terutama untuk polisi )
3. kendaraan
4. gaji
5. kesejahteraan pegawai/karyawan
6. anggaran pembangunan, dan lain-lain
g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif,
legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk
pers), yang cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar
dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah
melakukan kejahatan.
Sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas
itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu
seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Atau apabila
salah satu unsurnya berubah maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain juga harus
berubah.
Menyitir teori H.L.A. Hart tentang apa yang disebut dengan primary rules
dan secondary rules, dikatakan bahwa primary rules menekankan
kepada
kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Sedangkan secondary
rules adalah kemampuan untuk melakukan negosiasi dalam hal pembuatan suatu
perundang-undangan yang pada akhirnya menurut kajian penulis membentuk
sistem hukum sendiri.63
63
Otje Salman, op.cit, hlm 90
42
Persoalan dalam hukum nasional adalah bahwa saat ini sebagai bangsa
Indonesia sedang menghadapi krisis multi dimensi yang meliputi krisis hukum,
krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis di semua bidang, diharapkan
sistem hukum Indonesia dapat mengatasi semua persoalan itu dengan melihat
kembali kepada
nilai-nilai yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang harus selalu dituangkan dalam sistem hukum Indonesia.
“Dengan melihat apa yang dijelaskan oleh Lawrence Friedman sistem
hukum meliputi pertama, Struktur Hukum (legal Structure) yaitu bagian
bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang
ada dan disiapkan dalam sistem, seperti Pengadilan,Kejaksaan. Kedua
Substansi Hukum (Legal Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan
oleh sistem hukum, seperti putusan Hakim, undang-undang, Ketiga,
Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap publik, atau nilai-nilai,
komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem
hukum, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya
sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana
sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya
milik masyarakat.”64
Melihat kutipan di atas maka sistem hukum sangat dipengaruhi
oleh
struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dalam kaitannya dengan
sistem hukum nasional kita apakah dalam pembangunan sistem hukum kita sudah
memiliki struktur, substansi dan budaya hukum yang tangguh, sekali lagi
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan satu pedoman untuk
menghadapi berbagai permasalahan hukum di Indonesia, terlebih lagi dengan
berpedoman pada semangat yang terdapat pada alinea ketiga.
Saat ini ini Indonesia mengalami keterpurukan di berbagai bidang,
ekonomi, politik, sosial, hukum dan bidang-bidang lainnya, termasuk tuntutan
terhadap perbaikan di bidang hak asasi manusia, dengan kondisi yang demikian
64
Ibid, hlm 154
43
ada 4 (empat) masalah mendasar yang mendesak dan harus segera diselesaikan
yaitu: 65
a. Reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal
(hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem hukum nasional. Namun
demikian didalam mereaktualisasi hukum-hukum lokal kedalam hukum
nasional diperlukan juga suatu penghalusan hukum sehingga proses
reaktualisasi tersebut berjalan dan sesuai dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat modern.
b. Penataan Kelembagaan, dimana reformasi birokrasi yang selama 30 tahun
lebih merupakan kanjeng dalam struktur pemerintahan, kini sudah saatnya
berubah menjadi abdi dalem yang siap melayani masyarakat setiap diperlukan,
sehingga masyarakat merasa nyaman dan aman dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pemberdayaan Masyarakat, baik dalam bentuk meningkatkan akses
masyarakat kedalam kinerja pemerintahan, maupun upaya untuk
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Kedua hal tersebut dapat
digolongkan sebagai budaya hukum (legal culture)
d. Pemberdayaan birokrasi, Pemberdayaan di lingkungan birokrasi ini sangat
penting terutama dalam menjalankan TAP MPR RI NO XI/MPR RI/1999 dan
TAP MPR RI NOMOR VIII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan
pemberantasan dan pencegahan KKN serta bagaimana melaksanakan secara
konsisten UU RI No 28 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN.
Mengutip pendapat dari Satjipto Rahardjo dalam bukunya ilmu hukum
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum meliputi unsur-unsur
seperti; struktur, kategori dan konsep.66 Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut
mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai,sekali lagi suatu
sistem hukum tidak dapat melepaskan diri dari sistem hukum yang berlaku
disekitarnya, tetapi yang paling penting adalah bagaimana sistem hukum itu dapat
mengikuti hukum yang hidup dalam masyarakatnya, karena hukum yang paling
baik adalah hukum yang tumbuh dalam jiwa bangsa. Dalam Pembanguna hukum
suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor external yang mungkin
saja bertentangan dengan jiwa bangsa tersebut.
65
Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional,
Makalah disampaikan pada kursus Sespim, September 2005, hlm.5.
66
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 2000, hlm 235.
44
Buruknya citra hukum seperti pelanggaran hak asasi manusia, sering
disebut bahwa apa yang terjadi adalah kultur. Penulis tertarik untuk menyinggung
persoalan kultur hukum dalam penelitian
ini, dikarenakan kultur hukum
merupakan salah satu unsur dari sistem hukum.
Kultur hukum adalah tuntutan atau permintaan, dimana tuntutan tersebut
datangnya dari rakyat atau pemakai atau para pemakai jasa hukum, seperti
pengadilan. Dalam hal suatu sengketa penyelesaian bisa diambil dengan
jalan adu fisik atau dengan dengan diwasiti oleh orang lain, atau meminta
jasa pengadilan, tuntutan terakhir menghendaki penyelesaian oleh institusi
hukum. Di belakang tuntutan tersebut terdapat faktor-faktor, seperti ide,
sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum.67
Pada akhirnya hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat
Indonesia, senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis
seiring dengan perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan
individual, sosial maupun politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka
terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau
menyesuaikan dengan keadaan yang berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam
pikiran manusia Indonesia.68
Tamsil tentang alam pikiran manusia Indonesia tentang perubahan hukum
akan adanya pepatah Minangkabau sekaliaia gadang, sekali tepian beranjak
(sekali air besar sekali tepian sungai berkisar). Ini berarti bahwa hukum (adat)
berubah mengikuti keadaan masyarakat.69
Dalam paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran Pragmatic
legal Realism yang dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound memiliki keyakinan
67
Ibid, hlm 153.
Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan
Karya Tulis, Alumni Bandung 2002, hlm 79
69
Loc.cit.
68
45
bahwa hukum adalah a tool of social engineering atau alat
pembaruan
masyarakat atau menurut Mochtar Kusumaatmaja sarana perubahan masyarakat,
dalam konteks perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang
lebih luas yang berorientasi pada: 70
1. Perubahan hukum melalui peraturan perundangan yang lebih bercirikan sikap
hidup serta karakter bangsa Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal
Manusia sebagai warga dunia, sehingga kedepan akan terjadi transformasi
hukum yang lebih bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter
bangsa yang positif).
2. Perubahan Hukum harus membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
mandiri, bermartabat dan terhormat dimata pergaulan antarbangsa, karena
hukum bisa dijadikan sebagai sarana mencapai tujuan bangsa yang efektif.
Perubahan Hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik yang
dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan
eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan perundangan yang menjangkau
semua fase kehidupan baik yang berorientasi pada kehidupan perorangan,
kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh
berbagai lembaga yang memiliki komitmen tentang pembaruan dan pembinaan
hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan atau kevakuman hukum dalam
berbagai segi kehidupan.71
Dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum diarahkan sesuai
dengan konsep pembangunan hukum di Indonesia, yang menurut Mochtar
Kusumaatmaja harus dilakukan dengan jalan: 72
70
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di
Indonesia, Rajagrafindo Indonesia 2005, hlm 126.
71
Loc.cit.
72
Ilhami Bisri,Loc.cit, hlm 126.
46
a. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara
lain mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidangbidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat;
b. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing;
c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum;
d. Memupuk kesadaran hukum masyarakat serta membina sikap para penguasa
dan para pejabat pemerintah/negara ke arah komitmen yang kuat dalam
penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia.
Dalam kaitan dengan penelitian ini kerangka pemikiran yang disampaikan di
atas diharapkan dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian Konsep
Hak Asasi Manusia dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Nasional
Indonesia.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum yang original adalah metode penelitian hukum
normatif dimana
metode pendekatannya adalah
yuridis normatif.73 Dalam
penelitian ini metode pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji secara logis
yuridis teori-teori hukum hak asasi manusia yang dapat digunakan sebagai acuan
mendapatkan jawaban mengenai bagaimanakah konsep hak asasi manusia yang
dipergunakan dalam
Konstitusi Indonesia dan bagaimanakah
konsep yang
dituangkan dalam Konstitusi Indonesia tersebut diimplementasikan dalam sistem
hukum nasional serta apakah dalam penerapan konsep hak asasi manusia dalam
sistem hukum nasional Indonesia tersebut telah sejalan dengan konsep
Internasional mengenai hak asasi manusia.
Untuk mendapatkan kesimpulan
dari implementasi instrumen hak asasi
manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem
73
H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Monograf Pengantar Metode: Pengantar Metode
Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Bandung, Januari 2005, hlm.7.
47
peradilan pidana di Indonesia, maka penelitian ini selain mengkaji peraturan
perundang-undangan
dalam
sistem
hukum
memperbandingkan dengan pengaturan hak
nasional
Indonesia,
juga
asasi manusia dalam hukum
internasional termasuk di dalamnya bagaimana kebiasaan yang berlaku dalam
hukum internasional dalam persoalan hak
asasi manusia serta, bagaimana
pnyelesaian persoalan hak asasi manusia dalam
Keputusan Pengadilan
Internasional seperti International Criminal Tribunal for Yugoslavia
dan
International Criminal Tribunal for Rwanda, dan bagaimanakah Prinsip-prinsip
Hukum Umum Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam hukum internasional,
baik dalam penyelesaian persoalan melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dan
prinsip-prinsip hukum umum hak asasi manusia yang merupakan asas dalam hak
asasi manusia yang seharus diatur dalam hukum nacional dihubungkan dengan
sistem peradilan pidana di Indonesia.
Spesifikasi Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan
teori-teori hukum hak
asasi manusia yang dapat diterapkan meneliti
implementasi instrumen hak asasi manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia
berat dihubungkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yaitu data-data yang
diperoleh dari bahan pustaka.74 Di dalam penelitian hukum, data sekunder
meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari:
74
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 12.
48
a. Norma (dasar) atau kaidah dasar,yaitu pembukaan Undang Undang dasar
1945. Dalam hal ini data didapatkan dalam bentuk konsep hak asasi
manusia yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945.
b. Peraturan Dasar :
i. Batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945. data didapatkan dari
pengaturan dan konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam PasalPasal Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Bab XA sampai dengan
Pasal 28 J mengenai Hak Asasi Manusia
ii. Ketetapan-ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti yang
terdapat dalam Tap MPR No XVII tahun 1998, dan Tap MPR yang
lain yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
c. Peraturan perundang-undangan, data
didapatkan dengan
menemukan
berbagai pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang
seperti Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia,Undang-Undang No 26 tahun
2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi manusia, Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional tahun
2000-2004, dan peraturan perundang-
undangan lain yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan jawaban
dalam penelitian implementasi instrumen hak asasi manusia dalam
pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem peradilan
pidana di Indonesia yang
didapatkan dalam peraturan perundang-
undangan lain seperti, Undang-Undang No 5 tahun 1998 tentang
Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
49
Penghukuman lain yang Kejam Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia, Undang-Undang No 27 tahun 2004 tentang Tindak
Pidana Korupsi, Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 tahun
1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Keputusan Presiden
No 129 tentang Rencana Aksi nasional Hak Asasi Manusia tahun 19982003, Keputusan Presiden No 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009, Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah nasional Tahun 2004-2009, dan data dalam perundangundangan lain yang dapat mendukung penelitian ini.
d. Yurisprudensi, berupa data yang berkaitan dengan keputusan pengadilan
nasional dan internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia,
seperti Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur, International Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia,International Criminal Tribunal for
Rwanda, dan keputusan pengadilan lain yang dapat dipergunakan sebagai
data dalam penelitian ini yang dapat dipergunakan sebagai bahan hukum
dalam penelitian Implementasi Instrumen Hak Asasi Manusia Berat
dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
e. Universal Declaration of Human Rights serta perjanjian internasional
mengenai hak asasi manusia seperti , International Covenant on Civil
and Political Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan
Undang-Undang No 12 tahun 2005, International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan
50
Undang-Undang No 11 tahun 2005, Optional Protocol to the International
Covenant on Civil and Political Rights, Second Optional Protocol to the
International Covenant
on Civil and Political Rights, Aiming at the
Abolition of the Death Penalty, dan Perjanjian Internasional lain yang
dapat dipergunakan sebagai data dalam penelitian ini.
f. Bahan Hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku
seperti, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang merupakan terjmahan
yang secara yurididis formal bersifat tidak resmi dari Wetboek van
Strafrecht )
2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti, rancangan undang-undang,hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan hukum dan seterusnya.
3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah
kamus ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.75 Data yang termasuk
bahan hukum tersier didapatkan antara lain dalam United Nations Human
Rights Question and Answer, New York, United Nations Department of Public
Information, 1993. Black’s Law Dictionary, dan indeks kumulatif kemajuan
hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang hak asasi manusia.
Data sekunder dalam penelitian ini akan
diperoleh dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam implementasi instrument hak asasi
75
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Penerbit Universitas Indonesia,
1986, hlm 52.
51
manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem
peradilan pidana di Indonesia, peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
dengan perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang hak asasi manusia yang
berkaitan dengan hak asasi manusia, serta dari rancangan undang-undang dalam
sistem hukum nasional yang mengandung konsep hak
asasi manusia dalam
sistem hukum nasional Indonesia, dan hasil penelitian dari para ahli hukum hak
asasi manusia, serta berbagai upaya yang dilakukan oleh Indonesia untuk
memperbaiki hak asasi manusia dengan berpedoman pada perjanjian internasional
dan hukum kebiasaan internasional.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan,
yaitu memperoleh data sekunder yang dapat berupa bahan primer dan bahan
sekunder.
Seluruh data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan
metode yuridis kualitatif.
Data yang diperoleh kemudian disusun secara
sistematis selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan Teori
Negara Hukum sebagai Grand Theory, Teori Hak Asasi Manusia sebagai Middle
Range Theory dan Teori Hukum Pembangunan dan Sistem Peradilan Pidana
sebagai
Applied Theory, dengan memperhatikan hubungan antara hukum
nasional dan hukum internasional..
Ruang lingkup penelitian ini meliputi implementasi instrument hak asasi
manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem
peradilan pidana Indonesia.
52
Berkaitan dengan metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis normatif yang menggunakan data sekunder, maka lokasi penelitian
direncanakan dilakukan di lokasi-lokasi dimana data sekunder tersebut bisa
didapatkan seperti di perpustakaan-perpustakaan dan lembaga-lembaga yang
berkompeten di bidang HAM, baik lembaga pemerintah ataupun lembaga non
pemerintah yang direncanakan yaitu :
1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.
2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta
3. Perpustakaan ELSAM
4. Perpustakaan Komisi Nasional Hak asasi manusia Indonesia,Jakarta
5. Perpustakaan Erasmus Huis Jakarta
6. Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti Jakarta
7. Perpustakaan National University of Singapore
8. Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor Leste.
9. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta
10.Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di Jakarta
11.Mahkamah Konstitusi
53
BAB II
NEGARA HUKUM,HAK ASASI MANUSIA TEORI HUKUM
PEMBANGUNAN ,SISTEM HUKUM PIDANA DAN SISTEM
PERADILAN PIDANA
A. Negara Hukum dan Hak Asasi manusia
Sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
Indonesia mengatur hak asasi manusia didalam Konstitusinya yaitu undangundang dasar 1945, sebagaimana halnya juga konstitusi negara-negara didunia.76
Dalam hal pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi Negara
Republik Indonesia disini terlihat suatu bentuk tanggung jawab hak asasi manusia
oleh Negara yang diatur dalam hukum dasarnya yang tertuang dalam hukum
dasarnya tetapi juga bagaimana implementasi dari ketentuan tersebut dalam
pemenuhan hak asasi dari warga negaranya.77
Konsep hak asasi manusia yang dituangkan dalam sistem hukum
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari situasi yang melingkupinnya pada saat itu
yang tidak dapat dilepaskan dari suasana untuk melepaskan diri dari kolonialisme
yang dimaksudkan untuk mendapatkan kemerdekaan sehingga Hak asasi manusia
yang mendasari hak asasi manusia lainnya yang terdapat dalam konstitusi
Indonesia adalah
apa yang terdapat dalam alinea pertama
76
dari Pembukaan
Kuntjoro Purbopranoto,Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila,Pradnya
Paramita,Jakarta,1979,h.64
77
Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem
ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol .20, No I Januari 2005
54
Undang-Undang Dasar 1945 yang berunyi : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.78
Dalam Pasal 1 ayat(3) Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pernyataan
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sesuai dengan semangat dan ketegasan
Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, jelas bahwa negara hukum yang
dimaksud bukanlah sekedar sebagai negara hukum dalam arti formil, apalagi
hanya sebatas sebagai negara penjaga malam yang hanya menjaga jangan
sampai terjadi pelanggaran atau menindak para pelanggar hukum.79
Pengertian negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah
negara hukum dalam arti luas. Negara hukum dalam arti luas mengandung makna
bahwa: Pertama, negara dengan produk hukumnya bukan saja melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; kedua
dalam suatu negara hukum, konstitusi yang merupakan hukum dasar (yang
merupakan pedoman dalam penyelenggaraan negara baik aparatur negara maupun
warga negara, dalam menjalankan peran, hak dan kewajiban ataupun tugas dan
tanggung jawab masing-masing dalam bernegara) bisa berbentuk tertulis (UUD
1945) tetapi juga hukum dasar lain yang tidak tertulis yang timbul dan terpelihara
yang berupa nilai-nilai
dan norma-norma
dalam
praktek
penyelenggaraan negara yang disebut konvensi; dan ketiga, bahwa
sumber
78
yang hidup
Ibid
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Lembaga
Administrasi Negara, Jakarta, 2003, hlm 46.
79
55
hukum di Indonesia menyangkut seluruh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.80
Dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 :
”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”81
Dalam Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia:
”Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati,universal, dan abadi sebagai Anugerah Tuhan
Yang Maha Esa.”82
Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia:
”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum,pemerintah,dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”83
Secara tersurat pengakuan terhadap
konsep hak asasi manusia yang
universal dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
dalam bagian menimbang butir b dikatakan:
“Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa,
menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi
Universal Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”84
80
Ibid.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
82
Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Pembukaan alinea kedua
83
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2000
84
Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
81
56
Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR/1998
pada butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap
universalitas HAM yang didasarkan pada Universal Declaration of Human
Rights:
“Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai
instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.”85
Pada Piagam Hak asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari
TAP MPR NO XVII/MPR/1998 pada Pembukaan alinea keempat dikatakan :
“Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan
Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human
Rights). Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan
dalam deklarasi tersebut.”86
Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia,
pada bagian menimbang pada butir d dikatakan:
“bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi
dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument
internasional lain yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”87
Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun
2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Bagian I Umum alinea 4
dikatakan:
“Untuk melaksanakan amanat ketetapan MPR RI No XVII/MPR/ 1998
tentang Hak Asasi Manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39
85
Idem, Bagian B Landasan, Butir 2
Piagam Hak asasi manusia Indonesia.
87
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia.
86
57
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan Undang-Undang
tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi
mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai
instrument hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah
disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia”88
Dalam perjalanan Negara Republik Indonesia sesungguhnya sejarah Hak
Asasi Manusia sudah terpikirkan oleh pendiri negara dengan kondisi yang terjadi
pada waktu itu sebagaimana yang tergambar dalam perdebatan dalam sidangsidang BPUPKI
yang merupakan sejarah penting dalam perkembangan Hak
Asasi Manusia di Indonesia :
Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara
tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad
Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal
mengenai kemerdekan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan
lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidangsidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi
manusia di Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak
asasi manusia periode-periode selanjutnya. Karena itu, menarik apabila kita
menyimak sedikit perdebatan tersebut. Mengapa Soekarno dan Supomo menolak
pencantuman pasal-pasal hak warga negara dalam Konstitusi Indonesia.
Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka
mengenai dasar negara --yang dalam istilah Soekarno disebut dengan
88
Penjelasan atas Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
58
“Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee”-- yang
tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan
Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara itu --yang berasal dari revolusi
Prancis, merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah
menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan
manusia.
Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak asasi yang dirumuskan
dalam UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan negara-negara lain
mendasarkan versinya pada asas liberalisme.89
Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada
asas kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak
warga negara di dalamnya. Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen
Soekarno yang menolak mencantumkan hak-hak warga negara:
“... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
buanglah sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan
dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan rights of the citizens
yang sebagaidianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”.
“... Buat apa membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau
grondwet tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan.
Grondwet yang berisi “droits de I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa
menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati
kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara
kepada paham kekeluargaan, faham tolongmenolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiaptiap pikiran, tiap-tiap faham individualism dan liberalisme dari padanya”.90
89
Solly Lubis,Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997,hlm.6.
Dikutip dari Pidato Soekarno Tgl 15-7-1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh R.M.A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2004,hlm.352. Sebagaimana
dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008.
90
59
Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo
didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee
integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat
Indonesia.91
Menurut paham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya,
yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam
negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan
susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik
dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara
integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham
inilah yang mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya,
mengapa
Hatta
dan
Yamin
bersikeras
menuntut
dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju
dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi kuatir dengan
keinginan untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa
menyebabkan negara yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme.
Berikut argumen Hatta:
“Tetapi satu hal yang dikuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu
pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya
91
Pidato Supomo tgl 31 mei 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh
R.M.A.B.Kusuma. Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi
Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),
Yogyakarta,2008,hlm.238
Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi
Hak
Asasi
Manusia
Universitas
Islam
Indonesia
(PUSHAM
UII),
Yogyakarta,2008,hlm.238
60
untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas UndangUndang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan
negara yang tidak kita setujui”.
“Sebab itu ada baiknya dalam satu pasal, misalnya pasal yang mengenai
warga negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada
misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap
warganegara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut
disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain.
Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi
negara kekuasaan,sebab negara didasarkan kepada kedaulatan rakyat”.92
Demikian juga dengan Yamin yang
menolak dengan keras argumen-
argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam UndangUndang Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam
Undang-Undang Dasar seluas-luasnya, menolak segala alasan-alasan yang
dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan
dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan
kemerdekaan, yang
harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Yamin
mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. Pendapat kedua pendiri bangsa ini
didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulkan
perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van
woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).93 Disadari
bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi di Jerman
92
Dikutip dari Pidato Hatta Tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh R.M.A.B. Kusuma,Ibid,hlm.345-355 Sebagaimana dikutip dalam Rona
K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008
93
Dikutip dari pidato Mohamad Yamin tgl 15 Juli 1945 di BPUPKI berdasarkan naskah
yang dihimpun oleh R.M A.B. Kusuma, ibid,hlm 380. Sebagaimana dikutip dalam Rona
K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.238
61
menjelang Perang Dunia II, apabila dalam Negara yang mau didirikan itu tidak
diberikan jaminan terhadap hak warga negara.
Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu
kompromi.Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen
Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan
terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih
lanjut akan diatur oleh undangundang,tetapi juga dalam arti konseptual.94 Konsep
yang digunakan adalah “HakWarga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak
Asasi Manusia” (human rights).
Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit
tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena dilahirkan sebagai manusia.
Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negaraditempatkan sebagai “regulator
of rights”, bukan sebagai “guardian ofhuman rights” –sebagaimana ditempatkan
oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia.
Perdebatan dalam penyusunan hak asasi manusia dalam periode awal
kemerdekaan, apa yang terdapat dalam pembukaan undang-undang dasar 1945
memperlihatkan suatu keadaan yang berkaitan dengan bagaimana menyikapi hak
asasi manusia pada waktu itu yang terlihat dalam pembukaan sebagai berikut :
”penentangan adanya segala bentuk penjajahan atas semua bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, keinginan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
T.Mulya Lubis,In Search of Human Rights Legal Political Dilemmas of Indonesia’s
New Order 1966 -1990,Published by PT Gramedia Pustaka Utama In Cooperation with
SP3ES Foundation Jakarta,1993, hlm .5.Sebagaimana Sebagaimana dikutip dalam Rona
K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.239
94
62
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, sangat dipengaruhi oleh
situasi politik Indonesia yang baru saja lepas dari pengalaman pahit
dijajah oleh kolonialisme Belanda. Bahasa Ato Masuda, “di dalam
UUD Tahun 1945 ini tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mulukmuluk tetapi tidak berisi seperti dalam Konstitusi RIS tahun 1949 dan
UUDS 1950, akan tetapi di dalamnya cuma terdapat ketentuanketentuan mengenai hubungan di antara orang-orang Indonesia dan
negaranya yang sedang berjuang untuk kemerdekaan nasionalnya.95
Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dalam periode awal
kemerdekaan merupakan suatu periode dimana UUD 1945 merupakan suatu
produk yang dibuat secara tergesa-gesa sehingga mengandung
kekosongan
termasuk di dalamnya berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia.96
Seperti
diketahui, pemikiran anti HAM dalam perdebatan dan
perumusan UUD 1945 di BPUPKI memang lebih dominan. Akan tetapi
berkat kegigihan Mohamad Hatta danYamin,beberapa pasal tentang HAM
seperti jaminan atas kebebasan beragama dan kebebasan berserikat dan
berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan lain
sebagainya, bisa masuk di dalam konstitusi tersebut, Kalau ditelusuri lebih
mendalam substansi nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari seluruh
gerak perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat
perumusan Deklarasi Universal HAM ( Universal Declaration of Human
Rights) tahun 1948, primus interpares hak-hak asasi manusia adalah
dignity of man, kemuliaan manusia.97
Padanan kata Inggris “dignity” didalam bahasa Indonesia adalah derajat
atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu yang melekat
95
Ato Masuda, Negara Republik Indonesia, Tahun 1945 dan Perbandingannya dengan
UUD Jepang,Universitas Jakarta, 1962,hlm.61.Sebagaimana dikutip dalam
R
Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
96
Bagir manan,Perkembangan UUD 1945,FH.UII Press Yogyakarta,2004, hlm.17,
.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung
Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol.
20.No 1 Januari 2005.
97
Adnan Buyung Nasution,Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Nasional VII/ Denpasar Bali 14-18
Juli 2003
63
dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau kita perhatikan seluruh konvensi dan
atau kovenan internasional berikut protokolnya tampak bahwa seluruh hak-hak
yang masuk dalam hak asasi manusia terkait dan dirumuskan dalam kerangka
(melindungi, menghormati atau meninggikan) martabat manusia.
Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak
abad ke 12, bahkan lebih subur lagi mulai abad ke 15 dan 16 dalam sejarah Eropa.
Tumbuh suburnya pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan raja-raja
yang menindas dan sewenang-wenang. Kesepakatan internasional tentang HAM
yang termuat dalam DUHAM dicapai karena adanya keprihatinan bersama
mengenai terinjak-injaknya martabat manusia dalam dua kali perang dunia,
terutama dalam Perang Dunia II. Sebaliknya, terhina-dinakannya martabat
manusia Indonesia terkait dengan kejamnya penguasa kolonial yang dimulai abad
ke-15, justru pada saat di Eropa, negara asal para penjajah dunia ketiga, sedang
tumbuh pemikiran mengenai hak-hak alamiah manusia untuk memuliakan
manusia.
Perdebatan mengenai orientasi pendidikan dan budaya dalam rangka
memajukan martabat manusia Indonesia. Soetatmo lebih berorientasi budaya dan
nasionalisme Jawa, sedangkan Tjipto lebih mengajukan tawaran pemikiran untuk
lebih berorientasi nilai-nilai budaya moderen sehingga gagasan nasionalisme yang
ditawarkannya bukanlah yang berorientasi Jawa tetapi nasionalisme yang
moderen.
Apa yang disengketakan adalah soal cara dan orientasi budaya, tetapi
keduanya berpikir sama dalam kerangka mengangkat martabat manusia. Orientasi
64
pemikiran tersebut bukan hanya sampai pada perlunya pengembangan
nasionalisme Indonesia yang moderen, tetapi bagi Tjipto sampai pada perlunya
pengembangan demokrasi. Tjipto memandang, demokrasi lebih sesuai dengan
cita-cita meningkatkan martabat manusia Indonesia.
Pergulatan dalam merumusan cita-cita perjuangan bangsa ini berkembang
terus hingga mencapai puncaknya yang ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928,
yaitu peristiwa monumental disana diikrarkan sosok bayangan keindonesian: Satu
Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Indonesia. Deklarasi Sumpah Pemuda dapat
ditafsirkan sebagai bingkai untuk mewujudkan upaya meninggikan martabat
manusia Indonesia dalam suatu ikatan kebangsaan. Didalamnya implisit hasrat
mewujudkan suatu Negara Indonesia. Dan di dalam Negara Indonesia itu,
menurut Hatta, yang berlaku adalah “Daulat rakyat”. Bentuk negaranya itu
sendiri,sebagaimana Sebelumnya sudah dicanangkan oleh Tan Malaka, adalah
republic sebagai alternatif dari sistem pemerintahan penjajah, bukan kerajaan.
Sejak itu dengan meminjam judul buku Tan Malaka, sejarah perjuangan bangsa
adalah tidak lain merupakan perjuangan menuju republik.
Dicapainya Proklamasi Kemerdekaan tanggall 17 Agustus 1945 dapat
dipandang sebagai puncak dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa tersebut.
Para pendiri bangsa itu sendiri, menandai peristiwa monumental itu sebagai “pintu
gerbang” bagi proses pemerdekaan bangsa Indonesia. Mengacu kepada pikiran
Bung Karno,proses pemerdekaan ini mencakup kedalam maupun keluar.
Pemerdekaan kedalam mengandung arti sebagai proses pemerdekaan rakyat
Indonesia dalam rangka memanusiakan setiap individu manusia Indonesia agar
65
menjadi manusia yang sederajat dengan manusia-manusia dari bangsa lain. Proses
memerdekakan manusia Indonesia dimaksudkan agar setiap orang
Indonesia,
apapun suku bangsa, agama, keturunan, ras, warna kulit ataupun latar belakang
sosial dan budayanya, semuanya harus dipandang, diakui dan dihormati sama
kedudukan dan martabatnya. Dengan lain perkataan proses pemerdekaan manusia
Indonesia adalah upaya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari segala bentuk
penindasan penghinaan dan pelecehan dari siapapun atau oleh siapapun, tidak
terkecuali diri pemerintah negaranya sendiri sehingga mereka menjadi tuan di
negaranya sendiri yang dihormati oleh semua orang.
Pemerdekaan keluar berarti proses peningkatan harga diri bangsa
Indonesia dalam pergaulan Internasional melalui berbagai upaya diplomatik,
sehingga diterima sebagai bangsa bermartabat dan masuk dalam jajaran bangsabangsa beradab didunia. Upaya-upaya untuk mewujudkan kesederajatan sebagai
sebuah bangsa ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia diterima dan
memperoleh pengakuan dari bangsa lain atas dasar kesederajatan tersebut.
Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Pemerdekaan rakyat di dalam negeri merupakan prasyarat bagi
peningkatan derajat bangsa secara keseluruhan di forum internasional. Dari sudut
pandang inilah pentingnya. Dari sudut pandang inilah pentingnya legislasi HAM
dalam konstitusi berikut undang-undang organik serta implementasinya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara karena merupakan dasar bagi upaya
peningkatan dan pengakuan bangsa lain atas tinggi-rendahnya bangsa Indonesia
sebagai bangsa beradab.
66
Kekuasaan bangsa sendiri yang otoriter dan dari berbagai keterbelakangan
yang merendahkan martabat manusia Indonesia. Semuanya itu ditujukan untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia Indonsia. Tujuan mengangkat harkat
dan martabat setiap manusia Indonesia inilah yang dimaksudkan sebagai
perspektif perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dengan sendirinya
harus dipahami sebagai komitmen Nasional.
Dalam perkembangannya selanjutnya terdapat tahapan pengaturan hak
asasi manusia dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, hak-hak asasi manusia
yang diatur dalam Konstitusi RIS jauh lebih lengkap, dan dimasukkan dalam
suatu bagian tersendiri, oleh UUDS 1950, yaitu dalam Bagian V yang meliputi 27
pasal (lihat pasal 7 sampai pasal 34). Yamin sendiri mencatat dalam kitabnya
“Proklamasi dan Konstitusi RIS”, sebagaimana dikutip oleh Koentjoro,
menyatakan bahwa “Konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari
segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi manusia itu ke dalam
Konstitusi” 98
Dalam masa pemberlakuan UUDS, krisis yang terjadi sepanjang tahun
1950-1959, melakukan pembentukan pengganti UUDS. Setelah melalui Dekrit
Presiden 1959, Soekarno yang saat itu kecewa dengan hasil sidang Dewan
Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945 dan menyatakan adanya
Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), dengan jalan yang sesungguhnya
“inkonstitutional”. Pemberlakukan kembali UUD 1945 yang diharapkan
memberikan proses demokratisasi dan penopang jaminan hak-hak asasi manusia,
98
Koentjoro Poerbopranoto,Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila Dasar Negara
Republik Indonesia,Groningen.J.B Wolters,Jakarta,1953,hlm.92.
67
sangat berat dilakukan, karena banyak sekali praktek penyalahgunaan kekuasaan
yang justru diawali dari sang pemimpin itu sendiri.
Uraian di atas, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian sebagai catatan
perkembangan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia. Pertama, bahwa
senyatanya pengaturan hak asasi manusia dalam UUD yang dibuat tahun 1945
memang dibuat sangat cepat untuk memanfaatkan momentum kemerdekaan,
sehingga hanya hak-hak tertentu yang menurut pembentuk/perumus UUD 1945
penting dimasukkan, atau dalam arti lain belum semua hak tercantum dalam
pasal-pasalnya. Ini adalah suatu kewajaran alias kelaziman, bahwa tiada negara
yang baru lahir bisa menghasilkan kesempurnaan hukum-hukum yang mengatur,
jadi pastilah terjadi kekurangan di sana-sini. Ini pulalah yang nampak terjadi
dalam pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia dalam UUD yang dibuat tahun
1945. Kedua, bahwa pengaturan hak-hak asasi manusia, bila dibandingkan dan
dipersandingkan dengan yang dimiliki Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 yang
jauh lebih lengkap, adalah sangat wajar. Kedua konstitusi terakhir ini diyakini
lebih dipengaruhi oleh diskursus hak-hak asasi manusia yang mendunia pasca
ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights 1948 oleh United Nations
(Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM 1948, Perserikatan BangsaBangsa/PBB). Hal ini pula sangat dimungkinkan oleh suasana politik
internasional saat itu, yang mana isu tuntutan jaminan hak asasi manusia memang
sangat mengemuka di negara manapun sebagai upaya mengakhiri perang dunia
ke-2. Oleh sebab itu, pandangan hak asasi manusia yang lebih liberal cukup
kelihatan dalam dua konstitusi tertulis di Indonesia tersebut (1949-1950). Ketiga,
68
bahwa konstitusi yang kurang atau belum lengkap mewadahi pasal-pasal tentang
hak-hak asasi manusia, sangat berpotensi membuka ruang tafsir penguasa untuk
melindungi kepentingan-kepentingannya dibandingkan perlindungan hak-hak
rakyatnya.
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen IIV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau
dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, bahwa
konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap
penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam pasalpasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945
pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang
nampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak
yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948.
Dalam Amandemen UUD 1945 terlihat keinginan untuk menuangkan
hak-hak yang diakui secara universal ke dalam Konstitusi dengan melihat kepada
perkembanga pengaturan hak asasi manusia.
Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai
konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soalsoal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis
hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD?
Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde
Baru itu muncul kembali.
69
Tahun 1998 merupakan titik awal dari Reformasi di Indonesia, reformasi
hukum termasuk di dalamnya keinginan dari bangsa Indonesia untuk memperbaiki
berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak asasi manusia dengan kata lain
bangsa Indonesia ingin membangun hak asasi manusia dalam sistem hukum
Indonesia. Keinginan untuk mewujudkan perbaikan di bidang hak asasi manusia
diwujudkan
dengan
dikeluarkannya
Ketetapan
MPR
Nomor
XVII/MPR/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia tentang Hak
Asasi Manusia dan Piagam Hak Asasi Manusia. Ketetapan MPR ini kemudian
ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden republik Indonesia No 129 Tahun
1998 mengenai Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, yang kemudian
Pasal mengenai hak asasi manusia termuat dalam Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 dengan diaturnya hak asasi manusia secara khusus dalam Bab X A
Pasal 28 A sampai dengan 28 J. Hal ini menunjukan keinginan dari bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang berkewajiban untuk
menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuantujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal mengenai
Hak Asasi Manusia.
Sebagai bangsa yang menghormati hak-hak asasi manusia sebagaimana
dijamin oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
pandangan hidup, falsafah bangsa dan landasan konstitusional bagi negara
kesatuan Republik Indonesia tentunya bangsa Indonesia berkewajiban untuk
melaksanakan hak asasi manusia dalam semua sendi kehidupan bangsa Indonesia.
70
Notonagoro dalam bukunya Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila
mengatakan:
” Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pernyataan
Kemerdekaan yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila
sebagai Dasar Negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat dirubah
oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil pemilihan Umum, yang
berdasarkan pasal 3 dan pasal 37 Undang-Undang Dasar berwenang
menetapkan dan merubah undang-undang Dasar, karena merubah isi
Pembukaan berarti Pembubaran Negara.”99
Penulis menggunakan apa yang dikatakan oleh Notonagoro dalam
penelitian ini, dikarenakan bahwa bagaimanapun berkembangnya zaman yang
berpengaruh pada aturan-aturan hukum maka tidak dapat meninggalkan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dikarenakan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 itu merupakan yang dinamakan pokok kaidah fundamental
daripada negara Republik Indonesia dan mempunyai kedudukan tetap terlekat
kepada kelangsungan negara Republik Indonesia atas Proklamasi Kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menurut sejarah terjadinya,
ditentukan oleh pembentuk negara dan menurut isinya memuat asas
kerohanian negara (Pancasila), asas politik negara (Republik yang
berkedaulatan rakyat), tujuan negara (melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial), lagi pula menetapkan adanya suatu
undang-undang dasar negara Indonesia, jadi Pembukaan dalam segala
sesuatunya memang memenuhi syarat-syarat mutlak bagi suatu pokok
kaidah Negara yang fundamentil.”100
99
Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pantjuran Tudjuh, Jakarta
1967, hlm17.
100
Idem, hlm 20
71
Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai
berikut:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke
depan pintu gerbang kemerdekaan negara Republik Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”101
Demikian gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal UndangUndang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi
manusia ketika itu.Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi
ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam
Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-
101
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
72
lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia,
termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional
hak asasi manusia.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan
politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni
MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai
presiden, juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar
1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan
perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya
berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi
manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal
28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan
pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori
hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara
terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu
adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang
yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya
73
ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis proreformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase”
terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa
lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh
para pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu untuk menghindari tuntutan
hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua
menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa
adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia,
khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik(KIHSP).
Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus
dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).
Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua
tentang Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis
Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah
mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan
konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari
awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (19571959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini
merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politikhukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan
yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.
74
Periode reformasi merupakan periode yang sangat
mendukung bagi
perkembangan hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode. Presiden B.J.
Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses
amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas.
Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama
dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan
undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin
di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik,
hak-hak ekonomi,sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak
kelompok seperti anak,perempuan dan masyarakat adat (indigenous people).
Undang-Undang tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’,
melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu
juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumeninstrumen internasional hak asasi manusia,seperti Universal Declaration of
Human Rights, International Covenan on Civil and Political Righs, International
Covenan on Economic, Social and Cultural Rights,International Convention on
the Rights of Child, dan seterusnya. Undang-undang ini telah mengadopsi norma-
75
norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia
internasional tersebut.
Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang
kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
Kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri
berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan
undang-undang. Hal yang menarik dalam undang-undang ini adalah adanya aturan
tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103.
Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak
asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi
manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, undang-undang ini juga
mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus
dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya
undang-undang tersebut (Bab IX).
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak
Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah “ketentuan yang baru
menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah
tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua
76
ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan “stuffenbau theorie des
rechts” (hierarchy of norm theory), normakonstitusi lebih tinggi daripada undangundang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat
dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang
terdapat pada amandemen kedua.
Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen
internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional
pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia
yang diratifikasi itu meliputi: (i) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik
Perempuan; (ii) Konvensi Internasional tentang Hak Anak; (iii) Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan; (iv) Konvensi Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah
Raga; (v) Konvensi Internasional tentang (Anti?) Menentang Penyiksaan; (vi)
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
(vii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; dan (viii) Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dibanding dengan jumlah instrumen internasional pokok hak asasi
manusia, maka sebetulnya tingkat ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai
perbandingan, Filipina,misalnya, telah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi
internasional hak asasi manusia.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi
tersebut.Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan
77
dengan terencana. Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya
dimulai pada 1998-2003, telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi
terhadap instrument-instrumenhak asasi manusia internasional. Sedangkan pada
RANHAM lima tahun kedua (2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada
konvensi-konvensi berikut ini: (i) Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang
dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang
Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol
Opsional tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan
Prostitusi Anak (pada 2005); (iv) Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak
tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi
tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta
Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi ini berjalan, maka pada
2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang tingkat
ratifikasinya tinggi.
Sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu dengan mengutip
beberapa pendapat sarjana, maka negara hukum menempatkan hak asasi manusia
sebagai salah satu unsur yang harus terdapat di dalamnya. Hak asasi manusia di
Indonesia terus berkembang sejak Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 hingga
Undang-Undang 1945 Amandemen, yang tentunya berkembang sesua dengan
kondisi yang terjadi ketika Undang-Undang Dasar itu berlaku, tetapi pengaturan
hak asasi manusia
tetap mengikuti 8 prinsip utama yaitu universalitas,
pemartabatan terhadap manusia (human dignity), non-diskriminasi, persamaan
78
(equality), indivisibility, inalienability, saling ketergantungan (interdependency),
dan tanggung jawab (responsibility).102
Pemerintah termasuk masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hakhak asasi manusia. Ini menunjukkan bahwa hak-hak asasi manusia itu ada dan
harus dihormati oleh seluruh umat manusia di dunia manapun, tidak tergantung
pada wilayah atau bangsa tertentu. Hak asasi manusia berlaku menyeluruh sebagai
kodrat lahiriah setiap manusia. Universalitas hak-hak asasi manusia, pada
kenyataannya, masih juga tidak sepenuhnya diterima oleh negara-negara tertentu
yang menolak kehadiran prinsip universalitas. Perdebatan ini sesungguhnya
muncul di saat memperbincangkan apakah Universal
Declaration of Human
Rights 1948 (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, selanjutnya disingkat
DUHAM 1948) itu memiliki prinsip universal ataukah tidak.
Sebagaimana mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad yang
menyatakan bahwa, DUHAM 1948 itu sangat menganut paham kebebasan yang
bersala dari konsep barat, dimana penandatangan deklarasi tersebut hanya
seperempat negara-negara yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) sekarang, artinya hanya sekitar 50-an negara yang kebetulan mayoritas dari
negara-negara yang disebut ‘barat’. Mahathir mencontohkan soal betapa hak-hak
politik dan kebebasan begitu dominan mewarnai hak-hak asasi manusia, padahal
di negara-negara miskin maupun berkembang (negara dunia ketiga), hak-hak
102
Flower, N . The Human Rights Education Handbook: Effective Practises for Learning
Action And Change, Minneapolis,MN. University of Minnesota,2000, dan Ravindran.D.J.
Human Rights Praxis : A Resources Book for Study,Action and
Reflection,Bangkok,Thailand, The Asia Forum for Human Rights and Development,1988.
.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung
Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol.
20.No 1 Januari 2005.
79
ekonomi sosial budaya (Hak Ekosob) menjadi hak yang sangat penting. Bagi
negara dunia ketiga, mengisi perut orang yang lapar (hak atas pangan) dan hak
pendidikan lebih penting dibandingkan soal hak pilih dalam PEMILU.103 Begitu
juga, mempertentangkan universalitas dengan relativisme budaya (universality vs.
cultural relativism). Perbincangan ini sebenarnya tidak perlu terjadi bilamana
memahami hak-hak asasi manusia yang universal maupun tidak, didasarkan pada
kontekstualisasi tertentu, yang bisa dipengaruhi oleh kekuasaan politik, kekuatan
ekonomi, maupun realitas sosial budaya yang melahirkan keragaman pendapat
soal tersebut. Artinya, hak asasi manusia tidak menjadi universal bilamana dilihat
dari perspektif tertentu, dari sudut pandang yang berbeda.
Prinsip yang kedua, pemartabatan terhadap manusia (human dignity).
Prinsip ini menegaskan perlunya setiap orang untuk menghormati hak orang lain,
hidup damai dalam keberagaman yang bisa menghargai satu dengan yang lainnya,
serta membangun toleransi sesama manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pluralisme sosial, termasuk di dalamnya keragaman budaya dan hukum-hukum
lokal, menjadi identitas peradaban tertentu yang sangat berharga dalam
mengemban amanat saling menjaga dan mendorong upaya kebersamaan untuk
hidup berdampingan, khususnya manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Allah.
Penghormatan terhadap manusia, bukanlah sekedar pekerjaan individual manusia,
tetapi juga dalam kolektiva-kolektiva lebih luas seperti dalam kehidupan
masyarakat maupun bernegara. Sehingga kewajiban untuk menghormati manusia
103
Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia baru, Menggugat Dominasi
Global Barat, bandung,Mizan,1993,hlm.21. .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang
Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
80
sebagai manusia tersebut merupakan tanggungjawab hak-hak asasi manusia. Oleh
sebabnya, dengan adanya prinsip ini maka tidak mungkin praktik yang
memperkenankan
siapapun
untuk
melakukan
eksploitasi,
memperbudak,
menyiksa, ataupun bahkan membunuh hak-hak hidup manusia. Dalam prinsip ini
setiap orang harus menghargai manusia tanpa membeda-bedakan umur, budaya,
keyakinan,
etnisitas,
ras,
gender, orientasi
seksual,
bahasa,
komunitas
disable/berbeda kemampuan, atau kelas sosial, sepatutnya dihormati dan dihargai.
Prinsip
yang
ketiga,
non-diskriminasi.
Prinsip
non-diskriminasi
sebenarnya bagian integral dengan prinsip persamaan, dimana menjelaskan bahwa
tiada perlakuan yang membedakan dalam rangka penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak seseorang. Pembedaan, baik berdasarkan kelas/bangsa
tertentu, agama, suku, adat, keyakinan, jenis kelamin, warna kulit dan sebagainya,
adalah praktek yang justru menghambat realisasi hak-hak asasi manusia. Jelas dan
tegas, bahwa hak-hak asasi manusia melarang adanya diskriminasi yang
merendahkan martabat atau harga diri komunitas tertentu, dan bila dilanggar akan
melahirkan pertentangan dan ketidakadilan di dalam kehidupan manusia.
Prinsip yang keempat, equality atau persamaan. Prinsip ini bersentuhan
atau sangat dekat dengan prinsip non-diskriminasi. Konsep persamaan
menegaskan pemahaman tentang penghormatan untuk martabat yang melekat
pada setiap manusia. Hal ini terjelaskan dalam pasal 1 DUHAM 1948, sebagai
prinsip hak-hak asasi manusia: “Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat serta hak-hak yang sama.” Konsekuensi pemenuhan persamaan hak-hak
juga menyangkut kebutuhan dasar seseorang tidak boleh dikecualikan. Persamaan,
81
merupakan hak yang dimiliki setiap orang dengan kewajiban yang sama pula
antara yang satu dengan yang lain untuk menghormatinya. Salah satu hal penting
dalam negara hukum, adalah persamaan di muka hukum, merupakan hak untuk
memperoleh keadilan dalam bentuk perlakuan dalam proses peradilan.
Prinsip yang kelima, indivisibility. Suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait dengan pandangan yang
menyesatkan tentang membeda-bedakan atau pengutamaan hak-hak tertentu
dibandingkan hak-hak lain. Hak sipil dan politik, sangat tidak mungkin dipisahkan
dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, karena keduanya satu kesatuan, tidak
bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya.
Prinsip yang keenam, inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang
tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal
tertentu, agar hak-hak tersebut bisa dikecualikan. Misalnya, hak pilih dalam
pemilu, tidak bisa dihilangkan hanya dengan dibeli oleh orang yang mampu dan
kemudian menggantikan posisi hak pilih. Atau juga hak atas kehidupan yang
layak, tidak bisa dipertukarkan dengan perbudakan, meskipun dibayar atau
diupahi. Manusia sebagai makhluk yang memiliki hak-hak asasi tidak bisa
dilepaskan dari hak-hak tersebut.
Prinsip yang ketujuh, interdependency (saling ketergantungan). Prinsip ini
juga sangat dekat dengan prinsip indivisibility, dimana setiap hak-hak yang
dimiliki setiap orang itu tergantung dengan hak-hak asasi manusia lainnya dalam
ruang atau lingkungan manapun, di sekolah, di pasar, di rumah sakit, di hutan,
desa maupun perkotaan. Misalnya, kemiskinan, dimana dalam situasi tidak
82
terpenuhinya hak atas pendidikan, juga sangat bergantung pada penyediaan hakhak atas pangan atau bebas dari rasa kelaparan, atau juga hak atas kesehatan yang
layak, dan hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Artinya, hak yang satu
dengan yang lainnya sangat tergantung dengan pemenuhan atau perlindungan hak
lainnya.
Prinsip yang kedelapan, tanggung jawab (responsibility). Prinsip
pertanggungjawaban hak-hak asasi manusia ini menegaskan bahwa perlunya
mengambil langkah atau tindakan tertentu untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi hak-hak asasi manusia, serta menegaskan kewajiban-kewajiban paling
minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk memajukannya.
Pertanggungjawaban ini menekankan peran negara, sebagai bagian dari organ
politik kekuasaan yang harus memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya. Termasuk mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan
yang diambil sebagai kebijakan tertentu dan memiliki pengaruh terhadap
kelangsungan hak-hak rakyat. Peran negara menjadi vital, bukan soal mengambil
tindakan
tertentu
(by
commission),
tetapi
negara
juga
bisa
dimintai
pertanggungjawaban ketika terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia, sementara
negara sama sekali tidak mengambil tindakan apapun (by omission). Unsur
pertanggungjawaban (terutama negara), adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
prinsip hak-hak asasi manusia agar bisa terwujudkan. Selain negara, aktor nonnegara juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memajukan hak-hak
asasi manusia, baik secara individual maupun kolektiva sosial dalam organisasi
kemasyarakatan. Secara individu, setiap orang dituntut untuk berani melawan
83
ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia di depan matanya,
mengajarkan dan mendorong pemahaman dan penghormatan hak-hak asasi
manusia bagi sesama.
Kedelapan prinsip-prinsip tersebut, merupakan hal yang mendasar untuk
mengkaji
hak-hak
asasi
manusia,
baik
terhadap
tekstualitas
maupun
kontekstualitasnya, dalam pengertian untuk mempelajari sejarahnya, instrumen
hukum, dan praktek implementasinya di lapangan. Hampir sependapat dengan
Masuda, adalah Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak asasi yang
dirumuskan dalam UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan
negara-negara lain mendasarkan versinya pada asas liberalisme.104
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara
dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal
28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang
harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan
upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.
Kedua pasal tersebut juga memiliki konsepsi tersendiri sebagai elemen
kewajiban negara. Konsepsi dalam pasal 28I ayat (4), sebagai konsep realisasi
104
Solly Lubis,Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997,hlm.6.
84
progresif (progressive realization), yang secara substansi menegaskan bahwa
negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan,
maju (tiada kesengajaan/kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau
tahapannya.
Sedangkan
pasal
28I ayat
(5), disebut
sebagai
konsepsi
pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, negara dalam
menjalankan kewajibannya bisa menggunakan segala kewenangannya terutama
untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak
masyarakat,
baik
dalam
pembentukan
sarana-sarana
kelembagaan
yang
melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi.
Bila diperbandingkan, khususnya dalam diskursus hukum tanggung jawab
negara atas hak asasi manusia, terutama bila kita menyimak perdebatanperdebatan dalam sidang umum PBB untuk melihat laporan hasil kemajuan rutin
masalah hak asasi manusia di setiap negara, dikenal pula konsepsi tanggung jawab
negara dalam mandat hukum internasional. Konsepsi tersebut disandarkan pada
instrumentasi hukum hak asasi manusia internasional, yakni pasal 2 ayat (1)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966
(selanjutnya
Konsepsi ‘achieving progressively the full realization’ dan ’by all
appropriate means including particularly the adoption of legislative
measures’, merupakan konsepsi yang hampir sama dengan konstruksi
hukum yang diatur dalam pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD 1945. Dalam
UU HAM, juga sama dengan kontruksi hukum yang ada dalam UUD
1945, yakni mendayagunakan kewenangan dan sarana-sarana hukum, baik
pembentukan lembaga dan hukum baru, review perundang-undangan atau
kebijakan, atau juga ratifikasi aturan hukum internasional.105
105
Herlambang Perdana Wiratraman,Loc cit.
85
Secara konsepsional, tanggung jawab negara yang dimiliki dalam UUD
1945 pasca amandemen dengan hukum HAM internasional masih kurang lengkap,
sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak permasalahan HAM. Oleh
sebab itu, kegagalan negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia
sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka hukum normatifnya dalam konstitusi
yang lemah dan tidak lengkap.
Salah
satu
pemahaman
(dari
banyak
varian
konsep)
terhadap
penyejahteraan warga negaranya dalam konsep tanggung jawab negara adalah
upaya perlindungan hukum bagi warganya sendiri. Artinya, hukum sebagai sarana
dan sistem perlindungan bagi rakyat yang efektif, terutama dari berbagai upaya
pemaksaan kehendak atau bentuk kekerasan yang dilakukan oleh organ/struktur
yang berkuasa. Pendekatan sistem dalam bidang hukum, sebagaimana dikatakan
oleh Victor M. Tschchikvadse dan Samuel L. Zivs, “
It is the system approach that makes it possible to visualize more clearly
the whole of law as a complex series or relationship between branches of
law and legal institutions. The system approach helps to reveal the special
quality of law, considered as a whole in comparison with one of its
branches or with a simple aggregate of branches. The system approach
also makes it possible to reveal more clearly such important features of
law as a unity and differentiation, the interaction and interrelation of the
separate parts of elements.”106
Ini berarti, pendekatan sistem dalam bidang hukum memperhatikan pula
bagaimana organ/struktur negara yang memiliki lembaga-lembaga (pembentuk,
106
Tschchikvadse, Victor M., The Syistem of Socialist Law, International Encyclopedia
of Comparative Law, Tubingen,Mouton,The haque,Paris,J.C.Mohr (Paul Siebeck),1971,
vol II,Bab 2. H. 115.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman,
Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal
Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
86
penegak) hukum bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dalam ruang
kehidupan warga negaranya.
Penelusuran terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi
akan menjadi tema penting dilihat sebagai bagian dari kajian sistem
ketatanegaraan yang ada. Karena pengalaman bangsa Indonesia yang berulang
kali mengalami pergantian dan perubahan UUD, dan pergantian UUD dalam suatu
negara, berarti peralihan dari tertib ketatanegaraan yang lama ke tertib
ketatanegaraan yang baru, yang tentunya (atau seharusnya) menuju ke arah yang
lebih sempurna dibandingkan sebelumnya. Dan ini pulalah yang menjelaskan
situasi pendekatan hukumnya pemerintah dalam hak asasi manusia.
Membicarakan pendekatan hukum, sebagai sarana perlindungan hukum
bagi rakyat, adalah pendapat Hadjon, yang menyatakan “tindak pemerintahan”
sebagai titik sentral, dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat:
perlindungan hukum yang
preventif dan perlindungan yang represif. Pada
perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitif, yang sifatnya mencegah sengketa.
Adanya perlindungan hukum yang preventif tentunya akan mendorong
pemerintah untuk bersikap lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang
didasarkan pada diskresi.107 Untuk perlindungan hukum yang represif adalah
berdasarkan penyelesaian suatu sengketa, dimana terdapat keragaman dalam
berbagai sistem hukum di dunia ini. Misalnya, negara-negara dengan “civil law
107
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Cetakan Pertama,
PT.Bina Ilmu,Surabaya, 1987, hlm 2.
87
system” mengakui adanya dua set pengadilan, yaitu pengadilan umum (biasa) dan
pengadilan administrasi; sedangkan negara-negara dengan “common law system”,
hanya mengenal satu set pengadilan, yaitu “ordinary court”.
Dalam konteks hak-hak asasi manusia, khususnya yang diberlakukan
dalam sistem hukum di Indonesia, kita mengenal adanya lembaga-lembaga yang
menjadi sarana perlindungan hak-hak masyarakat. Lembaga-lembaga yang
memiliki kewajiban dalam memberikan sarana perlindungan hukum bisa
dilakukan oleh lembaga peradilan (judicial system) dan lembaga non-peradilan
(non-judicial system).
Lembaga peradilan yang menangani persoalan hak-hak asasi manusia,
khususnya terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Pengadilan HAM.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
peradilan umum, dan khusus hanya menangani persoalan pelanggaran HAM berat
(kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan). Sedangkan persoalan
hak-hak asasi manusia lainnya, di luar pelanggaran HAM berat, dikategorikan
sebagai tindak kriminal maka akan diselesaikan melalui proses peradilan umum.
Dalam perspektif perlindungan publik atas kebijakan atau keputusan administratif
pemerintah, maka perlindungan hak asasi manusia bisa diselesaikan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketiga lembaga peradilan tersebut merupakan
sarana perlindungan hak-hak asasi manusia yang dikenal dalam konteks sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
lembaga non-peradilan yang dibentuk pemerintah untuk melakukan upaya
perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, antara lain Komisi Nasional
88
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
Anak), dan Komisi Ombudsman Nasional. Kelembagaan non-peradilan yang juga
terkait langsung dengan upaya perlindungan hak asasi manusia secara koordinatif
membangun komunikasinya dengan lembaga atau departemen pemerintah
lainnya, termasuk institusi kepolisian dan TNI.108
Meskipun demikian, pandangan terhadap sarana-sarana perlindungan hak
asasi manusia tidak bisa dikerdilkan hanya pada lembaga peradilan dan lembaga
non-peradilan yang disebutkan di atas, tetapi haruslah lintas departemen, dan
menjadi tanggung jawab seluruh jajaran pemerintahan mulai dari Presiden hingga
unit pemerintahan terkecil di bawah tanpa terkecuali. Bahkan bilamana diperlukan
sarana-sarana tersebut membuka terhadap kerjasama internasional untuk
mendukung upaya perlindungan hak-hak asasi manusia, sehingga permasalahan
pelanggaran HAM akan dapat tercegah dan diselesaikan secara komprehensif,
koordinatif dan strategis. Sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya sektoralisme
penyelesaian masalah-masalah penegakan hak asasi manusia.
Sejarah dari negara-negara yang memiliki konstitusi merupakan sejarah
gerakan perjuangan rakyat melawan tirani dan absolutisme, suatu perjuangan dari
hak-hak dan kebebasan-kebebasan melawan kekuasaan yang sewenang-wenang
dan mutlak. Oleh sebab itu, konstitusi, sekali lagi, bertujuan untuk membatasi
kekuasaan pemerintah dan mengontrol pelaksanaan dari kekuasaan itu, sehingga
hak dan kebebasan rakyat itu dapat mengimbangi kekuasaan dan pelaksanaan
108
Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
89
pemerintahannya. Dalam diskursus konstitusi pula, soal kebebasan dan kekuasaan
adalah fungsi yang saling melengkapi secara timbal balik. Diskursus tersebut
melihat sebesar apa hubungan fungsional antara keduanya, tarik ulur antara besarkecilnya kewenangan dan luas sempitnya kebebasan adalah suatu dinamika yang
tak habis-habisnya dalam dunia politik. Termasuk keinginan untuk memasukkan
pasal-pasal dalam soal hak asasi manusia dan tanggung jawab negara dalam
pemenuhannya.
Ayat hukum yang positif dan formal sifatnya, konstitusi itu tidak cuma
menyuguhkan apa yang tersurat, melainkan juga menyiratkan ajaran atau doktrin
penting tentang pembebasan dan kebebasan manusia hak-hak warga. Maka ajaran
itu juga menjadi ‘isme’, disebut konstitutionalisme yang mengajarkan keyakinan
bahwa kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan tidak sebaliknya bahwa
kewenangan itulah yang menjamin terwujudnya kebebasan. Ide konstitutionalisme
memiliki dua esensi doktrinal: Pertama, doktrin kebebasan sebagai hak manusia
yang tak hanya asasi akan tetapi juga kodrati, yang tidak bisa diambil alih
kapanpun oleh kekuasaan manapun dalam kehidupan bernegara (inalienability).
Kedua, doktrin rule of law atau doktrin supremacy state of law, yang mengajarkan
otoritas hukum itu secara universal mestilah mengatasi otoritas politik, dan tidak
sebaliknya.109
Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tersebut menjadi landasan
bagi negara untuk melakukan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan
109
Soetandyo Wignyosoebroto, Konstitusi,Konstitusionalisme dan Hak Asasi Manusia,
dalam Toleransi dalam Keragaman : Visi untuk Abad ke 21, Kumpulan Tulisan tentang
Hak Asasi Manusia,Pusham Ubaya dan The Asia Foundation,Surabaya,Januari 2003,hlm
16-18
90
atas kebebasan warganya, dalam arti bahwa kebebasan yang menjadi hak
konstitutional warga negara harus dijamin oleh negara melalui otoritas hukum
yang dimilikinya. Oleh sebabnya, antara kebebasan dan otoritas yang dimiliki
negara haruslah seimbang dalam arti tidak saling mengecilkan atau bahkan
menegasikan. Dan yang menjadi unik dalam UUD 1945 pasca amandemen,
otoritas hukum (oleh negara) tersebut haruslah pula difungsikan untuk menjamin
tidak sekedar hak asasi manusia, melainkan juga menjamin berfungsinya
pelaksanaan kewajiban asasi.Pengaturan secara khusus kewajiban asasi inilah
merupakan salah satu corak konstitutionalisme di Indonesia yang ada pada UUD
1945 pasca amandemen.
Pandangan yang cukup mendasar pula tentang konsepsi hak pernah pula
diutarakan oleh Soepomo, yang mencoba merasakan adanya sifat khas pada orang
Indonesia. Sehingga pada waktu menjadi arsitek UUD 1945, pikirannya itu
dituangkan dalam arsitektur UUD. Salah satunya, dalam pidato Soepomo di
Yogyakarta tahun 1927, Soepomo sudah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pengertian antara ‘aku’ di Indonesia dan di Barat. Dikatakannya, bahwa ‘akoe di
tanah kita melingkoengi golongannja, sedang ‘akoe’ di tanah Barat hanja
melingkoengi diri sendiri’. Pandangan ini begitu saja ditebas oleh penganut
paham HAM yang universal, seolah-olah itu adalah pandangan Soepomo pribadi
yang notabene keliru.110
110
Attamimi ( 1990 : 50-64), dalam Satjipto Rahardjo, Manusia Indonesia dalam Hukum
Indonesia, diambil dari Kumpulan Tulisan,Sisi-Sisi Lain dari dari Hukum di Indonesia,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2003,hlm. 39. .Sebagaimana dikutip dalam R
Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
91
Sekedar dirujuk dari hanya soal kebebasan dan kewajiban asasinya.
Perumusan konsep hak asasi manusia dalam setiap konstitusi dari masing-masing
negara mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup, pengalaman, dan
kepentingan masyarakat dari masing-masing negara di dunia. Yang itu berarti
pelaksanaan atau perwujudan hak asasi manusia di tiap-tiap negara juga sangat
dipengaruhi oleh sejarah perkembangan masyarakat dari masing-masing negara
tersebut.111 Artinya ada dua aras dalam melihat corak konstitutionalisme, yakni
aras tekstual yang mendeskripsikan konstitutionalisme dari sumber hukum
dasarnya, dan aras tafsir konteks dan implementasi tekstualitasnya yang lebih
melihat coraknya dari pengalaman sosial politik yang mewarnai pelaksanaannya.
Tentu, mengkaji UUD 1945 pasca amandemen dari sisi corak
konstitusionalisme yang demikian baik dalam aras tekstualnya, belum tentu
sejalan dengan aras tafsir dan implementasi tekstualnya. Inilah ruang kajian yang
demikian luas bagi studi-studi ketatanegaraan yang bisa dikembangkan lebih jauh,
yang perkembangannya sejalan dan berdampingan dengan dinamika sosial
politiknya.
Bagaimanapun, pengaturan selengkap mungkin dan pokok-pokok hak-hak
asasi manusia diperlukan sebagai dasar perlindungan rakyat secara menyeluruh,
karena pergulatan pemikiran yang baik dan dipenuhi optimisme (sebagaimana
tergambar oleh fikiran salah satu pendiri bangsa, Drs. Soekarno, dalam merespon
UUD Tahun 1945) tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen politik yang
baik dari generasi rezim yang satu ke rezim berikutnya.
111
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI), Jakarta, 1988,hlm.175.
92
Sebagaimana dikatakan oleh Daniel S Lev, bahwa perlulah diingat tanpa
harus mengatakan apa yang biasanya memang tak pernah dikatakan, bahwa
konstitusionalisme bukanlah suatu solusi yang jelas bagi banyak masalah serius
yang mendesak yang dihadapi oleh umat manusia. Konstitusionalisme tidak bisa
menghapuskan masalah kemiskinan ekonomi, atau diskriminasi sosial, atau
penyalahgunaan
kekuasaan
politik,
begitu
juga
tidak
bisa
mengatasi
ketidakcakapan, kerakusan, dan kedunguan para pemimpin politik.112
Konstitutionalisme yang berwujud pada upaya penyejahteraan hak-hak
warga negara, belum cukup bila dipahami secara tekstual. Tetapi harus dilihat
pula bagaimana aras tafsir konteks dan implementasi tekstual yang melandasi
pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusinya. Pasang surut pengaturan
hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia merupakan dinamika politik
ketatanegaraan, khususnya dalam memahami perlunya paham atau ajaran
konstitutionalisme yang dikaitkan dengan upaya pemajuan hak-hak asasi manusia.
Pelajaran berharga telah diberikan oleh sejarah konstitusi Indonesia yang berganti
dan berubah, sejak 1945 dengan disusunnya UUD, yang diganti dua kali, dengan
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, kemudian kembali pada UUD 1945 setelah
Dewan Konstituante gagal dan secara inkonstitusional ‘di-amputasi’ kekuasaanya
oleh Soekarno pada tahun 1959, dan perubahan UUD 1945 melalui 4 kali
amandemen sejak 1999-2002, terjadi atas kendali rezim politik penguasa.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, implementasi atas upaya penghormatan,
112
Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan
Perubahan,LP3ES, Jakarta,1990. danPerubahan ,hlm.517. .Sebagaimana dikutip dalam
R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005.
93
perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia pun kerapkali terhambat oleh
proses politik mempertahankan kekuasaannya, sebagaimana mencolok terjadi saat
Orde Baru berkuasa.
Oleh sebab itu, mendorong pengaturan secara normatif dalam konstitusi
adalah penting, yang tidak kalah pentingnya dengan soal pelaksanaannya yang
melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan tidak berlebihan kiranya,
mendorong perubahan konstitusi yang berbasis pada upaya pemajuan hak-hak
asasi manusia akan menjadi mendesak sebagai dasar konstitutional. Meskipun
dalam UUD 1945 pasca amandemen telah mengatur lebih baik hak asasi manusia,
tetapi salah satu yang penting untuk diatur ulang adalah memperkuat landasan
tanggung jawab hak asasi manusia yang harus dilakukan oleh pemerintah (state
responsibility),
yakni
soal
kewajiban
bertindak
dan
kewajiban
untuk
memaksimalkan sumberdayanya untuk pemenuhan hak asasi manusia.
Kewajiban untuk bertindak dan memaksimalkan sumberdaya tersebut
secara hukum, akan memiliki makna lebih luas dari sekedar sarana hukum
berbentuk peradilan, ataupun juga sarana perlindungan hukum yang represif.
Kewajiban tersebut akan melekat pada seluruh penyelenggaran negara tanpa
terkecuali, sehingga karenanya negara dapat dimintakan tanggung jawab.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Bagir Manan:
”Demokrasi yang berintikan kebebasan dan persamaan sering dikaitkan
dengan berbagai unsur dan mekanisme. Demikian pula paham negara
berdasarkan atas hukum. Salah satu ciri unsur itu adalah jaminan
perlindungan dan penghormatan HAM. Jaminan,perlindungan, dan
penghormatan HAM tidak mungkin tumbuh dan hidup secara wajar
apabila tidak ada demokrasi dan tidak terlaksananya prinsip-prinsip
negara berdasarkan hukum. Dari pendekatan ini dapat ditarik suatu dasar
bahwa demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan
94
atas hukum merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan
perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu hubungan antara
HAM, demokrasi, dan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum
harus dilihat dalam hubungn keseimbangan yang ” simbiosis
mutualistik”.113
Mendasarkan pada apa yang disampaikan oleh Bagir Manan, pentingnya
hak asasi manusia dalam suatu negara hukum menjadi sesuatu yang sangat
penting dan menjadi bagian yang tidak tepisahkan dari negara hukum. Indonesia
sebagai negara hukum mengakomodir ketentuan tersebut dalam berbagai
ketentuan yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangannya. Dimulai
dengan Pembukaan undang-Undang Dasar. Dalam alinea ke-1, yang menyatakan :
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
”Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif yang meyakini bahwa
penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh
karenanya penjajahan harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa
di dunia ini dapat menjalankan kemerdekaannya yang merupakan hak
asasi kolektifnya. Selain itu, alinea ini mengandung pernyataan subyektf,
yaitu sebagai wujd dai aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk
membebaskan diri dari penjajahan.Hal ini berarti bahwa setiap hak atau
sifat yan bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia.”114
Apa yang disampaikan oleh Bagir Manan di atas tentunya sifat yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan
merupakan sesuatu yang secara universal dapat diterima sebagai suatu hak asasi
113
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi,dan Supremasi Hukum, Bandung
2001, hlm 58
114
Ibid,Hal 117
95
manusia yang bersifat universal. Alinea ke-4 dari Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi :
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
Tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan,Kebangsaan, Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembukaan alinea keempat menunjuka penghormatan terhadap HAM yang
tersurat dalam sila-sila dari Pancasilan yang ada dasarnya menunjukan bahwa
nilai-nilai partikular yang dianut oleh bangsa indonesia sejalan dengan nilai yang
dianggap oleh masyarakat internasional merupakan nilai-nilai universal. Otje
Salman mengatakan:
”Memahami Pancasila berarti menunjuk kepada konteks historis yang
lebih luas, namun tidak saja mengantarkannya kebelakang tentang
sejarah ide, tetapi lebih jauh mengarah kepada apa yang harus dilakukan
pada masa mendatang. Sehingga Pancasila di samping memiliki makna
historis, sekaligus memiliki makna barunya.”
Amandemen ke-2 dari Undang-Undang Dasar 1945 yang secara khusus
mengatur mengenai Hak Asasi manusia, dalam Pasal 28 semakin menegaskan
sebagai negara hukum Indonesia secara konstitusional merasa perlu untuk
mengatur hak asasi manusia dalam undang-undang dasarnya. Sebagaimana yang
sudah kita ketahui bersama bahwa negara hukum juga dimaksudkan sebagai
salah satu upaya untuk melindungi hak asasi manusia, dan negara hukum tentu
96
saja tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia. Negara
Indonesia
sebagai
suatu negara hukum memberikan perlindungan kepada hak asasi manusia yang
diatur
baik dalam Undang-Undang Dasar 1945 ataupun dalam peraturan
perundang-undangan lain di bawahnya
Pengaturan secara terinci mengenai hak asasi manusia yang tertuang
dalam Undang-Undang Dasar 1945, menunjukan pengakuan dan jaminan bahwa
hak asasi manusia
diakui dan dilindungi. Selain pengaturan dalam undang-
Undang dasar 1945 Indonesia juga memiliki Piagam Hak Asasi Manusia yang
terdapat dalam TAP MPR No XVII Tahun 1998 serta Undang-Undang No 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam pandangan penulis dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999,
sekalipun dalam Bab III mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan dasar
Manusia, tetapi pada Bab II, yang berisikan Azaz-Azaz Dasar, menurut
pandangan Penulis juga berisikan apa saja Hak Asasi Manusia, yang semakin
menunjukan pentingnya Hak Asasi Manusia dalam negara hukum.
HAM
sebagai
bagian
dari
hukum
internasional
pada
saat
diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkait dengan
masalah politik, sosial dan budaya. Pandangan ini diperkuat dengan hasil telaahan
historis, yang kemudian memperkokoh keyakinan bahwa masalah HAM, bukan
semata-mata pemikiran barat, tetapi merupakan persoalan yang nilai-nilainya
terkait dengan dan mendasari pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan lain
97
perkataan, substansi dan nilai-nilai HAM memiliki akar yang dalam, didalam
dialektika perjuangan bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang.115
B. Hak Pemulihan Yang Efektif atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Hak untuk mendapatkan remedi atas pelanggaran hak asasi manusia
merupakan cerminan dari hak asasi manusia yang bersifat universal. Sebagaimana
disebutkan oleh Martha Meier:
“Impunitas adalah ketidakmampuan de jure dan de facto, untuk
membawa
para
pelaku
kejahatan
dan
kekerasan
untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses persidangan
pidana,perdata, administrasi atau disipliner karena mereka tidak tunduk
pada penyidikan yang bias mengarahkan mereka pada alas an mengapa
mereka dituduh,ditangkap, diadili dan, jika ditemukan bersalah, dihukum
dengan hukuman yang tepat, dan untuk melakukan reparasi bagi para
korban. “ 116
Impunity dalam hukum internasional tidak dikenal, impunity adalah suatu
keadaan dimana pelaku tidak terjangkau oleh hukum, dan negara tidak
menghukum pelaku, sehingga pelaku tidak diminta pertanggungjawabannya atas
pelanggaran HAM yang dilakukannya. Sebagai konsekuensi dari adanya hak
tersebut, sebagai suatu hak yang bersifat universal, tentunya setiap pelanggaran
hak asasi manusia, harus dilakukan proses remedy yang tidak saja meliputi proses
peradilan atas pelanggaran HAM tersebut, tetapi juga dapat meliputi, rehabilitasi,
restitusi dan kompensasi.
115
Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Nasional VII/ Denpasar Bali 14-18
Juli 2003
116
Martha Meier,The Scope of Impunity in Indonesia,Utrecht: HOM,2006 (terj.Indonesia
oleh Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di Indonesia, Jaringan Impunitas dan
PBHI,2007), Dalam Jurnal ASASI, Edisi mei-Juni Tahun 2008, Elsam,2008
98
Hal ini sesuai dengan ketentuan dan prinsip hukum hak asasi manusia
internasional yang secara prinsip dan praktik diakui pula oleh Indonesia, seperti
Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), prinsip dan ketentuanketentuan yang terdapat dalam Basic Principles and Guidelines on The Right to A
Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human
Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R.
Res. 2005/35, U.N. Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.11, The Updated Set of
Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to
Combat Impunity, U.N. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1, serta konvensi-konvensi
internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Bahwa sebagai Konstitusi Negara yang beradab, UUD 1945 sejalan dan
konsekuen dengan prinsip-prinsip yang telah diakui oleh bangsa-bangsa yang
beradab di seluruh dunia sebagaimana dinyatakan Pasal 55 dan 56 UN Charter;
Article 55
With a view to the creation of conditions of stability and well-being
which are necessary for peaceful and friendly relations among nations
based on respect for the principle of equal rights and self-determination
of peoples, the United Nations shall promote:
a. higher standards of living, full employment, and conditions of
economic and social progress and development;
b. solutions of international economic, social, health, and related
problems;
c. international cultural and educational co-operation; and
d. universal respect for, and observance of, human rights and
fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex,
language, or religion.117
Article 56
All Members pledge themselves to take joint and separate action in cooperation with the Organization for the achievement of the purposes set
forth in Article 55;118
117
118
Article 55 United Nations Charter
Artice 56 United nation Charter
99
Artinya:
Pasal 55
Dengan maksud terciptanya stabilitas dan keamanan yang diperlukan untuk
hubungan yang damai antar negara berdasarkan pronsop-prinsip persamaan hak
dan hak menentukan nasib sendiri, PBB harus mendukung:
a. Standar kehidupan yang lebih tinggi, pekerjaan, serta kondisi ekonomi dan
kemajuan sosial serta pembangunan;
b. Solusi atas masalah ekonomi internasional, sosial dan kesehatan;
c. Kerjasama budaya dan pendidikan; dan
d. Penghargaan universal dan pengamatan terhadap hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa atau
agama.
Pasal 56
Seluruh Anggota berikrar untuk berpartisipasi dan mengambil tindakan
bekerjasama dengan Organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55.
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human
rights) yang merupakan kejahatan internasional, maka prinsip-prinsip dan
pedoman yang tercantum dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A
Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human
Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (C.H.R.
Res. 2005/35) harus tercakup dalam ketentuan mengenai pemulihan menurut
UUKKR, yakni yang terdapat pada Pasal 27 UU tersebut. Ketentuan internasional
tersebut memberikan jaminan atas hak-hak korban, termasuk juga jaminan atas
tiadanya diskriminasi, jaminan atas persamaan di depan hukum, dan jaminan atas
penghormatan martabat manusia sebagaimana juga dijamin oleh UUD 1945.
Pasal 10 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law
and Serious Violations of International Humanitarian Law menyatakan bahwa:
Victims should be treated with humanity and respect for their dignity and
human rights, and appropriate measures should be taken to ensure their
100
safety, physical and psychological well being and privacy, as well as
those of their families. The State should ensure that its domestic laws, to
the extent possible, provide that a victim who has suffered violence or
trauma should benefit from special consideration and care to avoid his
or her re traumatization in the course of legal and administrative
procedures designed to provide justice and reparation;119
Artinya:
Pasal 10 menyebutkan:
Para korban harus diperlakukan dengan manusiawi dan menghormati harga diri
dan hak asasi manusia, dan langkah-langkah yang tepat harus diambil untuk
menjamin keselamatan dan kesehatan fisik dan psikis dan privasi, seperti halnya
keluarga mereka sendiri. Negara harus menjamin bahwa hukum domestiknya,
sepanjang memungkinkan, mengatur bahwa korban yang mengalami kekerasan
atau trauma harus diberikan pertimbangan khusus dan mencegah trauma dalam
hal prosedur hukum dan administrasiya yang dibuat untuk memberikan keadilan
dan reparasi.
Aturan mengenai pemulihan ini harus mencakup prinsip kelayakan,
efektivitas dan proses yang cepat, serta menjamin bahwa korban mendapatkan
akses menuju keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11, Pasal 15, dan
Pasal 17 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and
Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law
and Serious Violations of International Humanitarian Law.
Pasal 11:
Remedies for gross violations of international human rights law and
serious violations of international humanitarian law include the victim’s
right to the following as provided for under international law:
(a) Equal and effective access to justice;
(b) Adequate, effective and prompt reparation for harm suffered; and
(c) Access to relevant information concerning violations and reparation
Mechanism.120
Artinya:
Pasal 11 menyebutkan:
119
Article 10, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation
for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations
120
Article 11 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation
for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations
101
Remedi atas pelanggaran berat atas hukum hak asasi manusia internasional
dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional meliputi hak
korban atas hal-hal berikut ini, sebagaimana diatur dalam hukum
internasional:
(a) Akses yang sama dan efektif pada keadilan;
(b) Reparasi yang cukup, efektif dan segera atas penderitaan yang dialami;
dan
(c) Akses pada informasi yang relevan terkait pelanggaran dan mekanisme
reparasi.
Pasal 15:
Adequate, effective and prompt reparation is intended to promote justice
by redressing gross violations of international human rights law or serious
violations of international humanitarian law. Reparation should be
proportional to the gravity of the violations and the harm suffered. In
accordance with its domestic laws and international legal obligations, a
State shall provide reparation to victims for acts or omissions which can
be attributed to the State and constitute gross violations of international
human rights law or serious violations of international humanitarian law.
In cases where a person, a legal person, or other entity is found liable for
reparation to a victim, such party should provide reparation to the victim
or compensate the State if the State has already provided reparation to the
victim;121
Artinya:
Pasal 15 menyebutkan:
Reparasi yang cukup, efektif dan segera ditujukan untuk mendorong
keadilan dengan memulihkan pelanggaran berat atas hukum hak asasi
manusia internasional atau pelanggaran serius atas hukum humaniter
internasional. Reparasi harus dibuat proporsional antara pelanggaran dan
penderitaan yang dialami. Sesuai dengan hukum nasionalnya dan
kewajiban hukum internasional, sebuah Negara harus memberikan reparasi
kepada korban atas tindakan atau penghilangan tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan Negara dan mengandung pelanggaran berat atas
hukum hak asasi manusia internasional atau pelanggaran serius atas
hukum humaniter internasional. Dalam kasus dimana seseorang, subyek
hukum, atau entitas lainnya bertanggung jawab atas reparasi kepada
seorang korban, pihak tersebut harus memberikan reparasi kepada korban
atau memberi kompensasi kepada Negara jika Negara telah memberikan
reparasi kepada korban tersebut.
Pasal 17:
121
Article 15, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation
for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations
102
States shall, with respect to claims by victims, enforce domestic
judgements for reparation against individuals or entities liable for the
harm suffered and endeavour to enforce valid foreign legal judgements for
reparation in accordance with domestic law and international legal
obligations. To that end, States should provide under their domestic laws
effective mechanisms for the enforcement of reparation judgements.122
Artinya:
Pasal 17 menyebutkan:
Terkait dengan klaim oleh para korban, Negara-negara harus
melaksanakan putusan-putusan domestik untuk reparasi terhadap individu
atau entitas yang bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami and
berupaya untuk melaksanakan putusan hukum asing yang sah untuk
reparasi sesuai dengan hukum domestik dan kewajiban hukum
internasional. Untuk tujuan tersebut, Negara harus mengatur dalam hukum
domestiknya mengenai mekanisme yang efektif untuk pelaksanaan
putusan reparasi.
Penerapan dan interpretasi atas Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman ini
harus konsisten dengan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum
humaniter internasional serta tanpa diskriminasi atau alasan apapun, tanpa
pengecualian. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 Basic Principles and
Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross
Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of
International Humanitarian Law, bahwa dalam hal pemberian pemulihan ini tidak
diperbolehkan adanya diskriminasi yakni:
“The application and interpretation of these Principles and Guidelines
must be consistent with international human rights law and international
humanitarian law and be without any discrimination of any kind or
ground, without exception;123
122
Article 17 Basic Principles and
for Victims of Gross Violations
Violations
123
Article 25 Basic Principles and
for Victims of Gross Violations
Violations
Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation
of International Human Rights Law and Serious
Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation
of International Human Rights Law and Serious
103
Selanjutnya Pasal 26 menegaskan Bahwa hak korban dan kewajiban
Negara dalam hal pemulihan tidak boleh dibatasi ataupun dikurangi dan harus
mencakup prinsip-prinsip di dalam Basic Principles and Guidelines on the Right
to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International
Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law
yang berbunyi:
“Nothing in these Principles and Guidelines shall be construed as
restricting or derogating from any rights or obligations arising under
domestic and international law. In particular, it is understood that the
present Principles and Guidelines are without prejudice to the right to a
remedy and reparation for victims of all violations of international human
rights law and international humanitarian law. It is further understood
that these Principles and Guidelines are without prejudice to special rules
of international la”;124
Pasal 26 menyebutkan:
Tidak ada ketentuan dalam Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman ini yang
dapat diartikan untuk membatasi atau mengurangi hak atau kewajiban yang
timbul berdasarkan hukum domestik dan internasional. Secara khusus, telah
dipahami bahwa Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman yang berlaku saat
ini bersifat adil terhadap hak atas pemulihan dan reparasi untuk korban dari
seluruh pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional dan hukum
humaniter internasional. Selanjutnya juga dipahami bahwa Prinsip-prinsip
dan Pedoman-pedoman ini bersifat adil terhadap aturan-aturan khusus
dalam hukum internasional.
Prinsip mengenai hak korban atas pemulihan dan kewajiban Negara
memberi pemulihan diakui oleh konvensi-konvensi Internasional yang telah
diratifikasi oleh Indonesia, yakni Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention
against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment) melalui UU No. 5 Tahun 1998, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial
124
Article 26 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation
for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations
104
(Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) melalui
UU No. 29 Tahun 1999 , dan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of
Child) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 .
Hak korban atas pemulihan telah diakui pula dalam hukum nasional yang
tercantum dalam Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Pasal 14 huruf a dan huruf b Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 6
Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, dan Pasal 9 Konvensi Hak Anak;
Bahwa Pasal 14 Konvensi Menentang Penyiksaan menyebutkan:
1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya
korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan
mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak,
termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban
meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak
mendapatkan kompensasi;
2. Dalam pasal ini tidak ada apapun yang boleh mengurangi hak korban
atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam
hukum nasional;125
Bahwa Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial menyebutkan :
Negara-negara pihak akan menjamin perlindungan dan perbaikan yang
efektif bagi setiap orang berada di bawah yurisdiksinya melalui
pengadilan nasional yang berwenang serta lembaga-lembaga Negara
lainnya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial yang melanggar hakhak asasi manusia dan kebebasan mendasarnya yang bertentangan
dengan Konvensi ini, serta hak atas ganti rugi yang memadai atau
memuaskan dari pengadilan tersebut atas segala bentuk kerugian yang
diderita akibat perlakuan diskriminasi itu126.
Penjelasan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Rasial dinyatakan, negara pihak juga
harus menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang
berada di bawah yuridiksinya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial serta
125
126
Pasal 14 Konvensi Menentang Penyiksaan
Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial
105
hak atas ganti rugi yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian
yang diderita akibat perlakuan diskriminasi.
”Pasal 39 Konvensi Hak Anak menyebutkan : Negara-negara pihak
harus mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan
penyembuhan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial seorang
anak yang menjadi korban bentuk penelantaran apa pun, … 127. Melalui
ratifikasi konvensi internasional di atas, secara otomatis negara
Indonesia telah mengakui hak atas pemulihan dan kewajiban negara
memberikan pemulihan. Dengan demikian, hak atas pemulihan (right to
reparation), yang terdiri dari kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
adalah hak yang melekat pada korban. Dalam hal ini, Negara
berkewajiban untuk memberikan pemulihan kepada korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat tanpa ada kaitannya apakah pelakunya
diberikan amnesti atau tidak. Bahkan tidak bergantung pula pada apakah
pelakunya dapat ditemukan atau tidak, hal ini sejalan dengan Basic
Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res.
2005/35, dikatakan bahwa “Seseorang dipandang sebagai korban tanpa
bergantung pada apakah pelakunya teridentifikasi, ditahan, dituntut,
ataupun dinyatakan bersalah …”: (Pasal 9). Berikut bunyi teks asli
pasal tersebut:
A person shall be considered a victim regardless of whether the
perpetrator of the violation is identified, apprehended, prosecuted, or
convicted and regardless of the familial relationship between the
perpetrator and the victim.128
Artinya:
Seseorang akan dianggap sebagai korban tanpa memandang apakah
pelaku pelanggaran tersebut teridentifikasi, ditangkap, dituntut, atau
dihukum dan tanpa memandang hubungan kekeluargaan antara pelaku
dengan korban. “
Bahwa selanjutnya Basic Principles and Guidelines on the Right to A
Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human
Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law ini juga
menyatakan bahwa Negara berkewajiban untuk: “Menyediakan akses pada
127
Pasal 39 Konvensi Hak Anak
Article 9, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation
for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations
128
106
keadilan (access to justice) yang layak dan efektif kepada mereka yang
mengklaim sebagai korban dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau
hukum humaniter, tanpa memandang siapa yang menjadi penanggung jawab
utama atas kejahatan tersebut” (Pasal 3). Sebagaimana tertulis secara lengkap
sebagai berikut:
“The obligation to respect, ensure respect for and implement international
human rights law and international humanitarian law as provided for under
the respective bodies of law, includes, inter alia, the duty to:
(a) Take appropriate legislative and administrative and other appropriate
measures to prevent violations;
(b) Investigate violations effectively, promptly, thoroughly and impartially
and, where appropriate, take action against those allegedly responsible
in accordance with domestic and international law;
(c) Provide those who claim to be victims of a human rights or
humanitarian law violation with equal and effective access to justice, as
described below, irrespective of who may ultimately be the bearer of
responsibility for the violation; and
(d) Provide effective remedies to victims, including reparation, as described
below;129
Artinya:
Kewajiban untuk menghormati, menjamin penghormatan dan
implementasi atas hukum hak asasi manusia internasional dan hukum
humaniter internasional sebagaimana diatur dalam perangkat hukum
tersebut meliputi, antara lain, tugas untuk:
(a) Mengambil langkah legislatif dan administratif yang sesuai untuk
mencegah pelanggaran;
(b) Melakukan investigasi atas pelanggaran secara efektif, segera, cermat dan
adil serta, dimana memungkinkan, mengambil tindakan terhadap mereka
yang bertanggung jawab sesuai dengan hukum domestik dan
internasional;
(c) Memberikan akses yang efektif kepada keadilan kepada mereka yang
mengklaim sebagai korban pelanggaran hukum hak asasi manusia atau
hukum humaniter, sebagaimana dijelaskan di bawah ini, tanpa melihat
siapa yang pada akhirnya memikul tanggung jawab atas pelanggaran
tersebut; dan
(d) Memberikan pemulihan yang efektif kepada korban, termasuk reparasi,
sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
129
Article 3, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation
for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations
107
Kewajiban negara atas pemulihan ini telah diakui sebagai prinsip hukum
internasional dan bahkan konsepsi hukum umum berdasarkan pada kasus utama
Mahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice), yakni kasus
Chorzow Factory tahun 1927 dan 1928 (Factory at Chorzow, Jurisdiksi, Putusan
No. 8, 1927, P.C.I.J., Seri A, No. 9, dan Factory at Chorzów, Merit, Putusan No.
13, 1928, P.C.I.J., Seri A, No. 17).
Mengingat hak pemulihan adalah kewajiban negara, maka pemenuhan hak
atas pemulihan ini dilakukan oleh negara dan pemenuhan hak ini tidak terikat
pada kondisi lain, misalnya ada tidaknya penghukuman maupun pengampunan
(amnesti) kepada pelaku;
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah mengadopsi the Updated Set of
Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to
Combat Impunity, UN Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1. Salah satu tujuan penting
Kumpulan Prinsip ini adalah untuk menjadi pedoman bagi komisi kebenaran.
Ditegaskan dalam Prinsip 31, bahwa :
“[a]ny human rights violation gives rise to a right to reparation on the part
of the victim or his or her beneficiaries, implying a duty on the part of the
State to make reparation...”130
Artinya:
“pelanggaran hak asasi manusia apapun memberikan hak untuk reparasi
di sisi korban atau ahli warisnya, yang menyiratkan kewajiban pada sisi
Negara untuk membuat reparasi…”
130
Prinsip 31, the Updated Set of Principles for the Protectionand Promotion of Human
Rights through Action to Combat Impunity tersebut mengenai the Right and Duties
Arising Out of the Obligation to Make Reparation,
108
“…dalam melaksanakan hak ini, mereka harus diberikan perlindungan
terhadap intimidasi dan kekerasan.”
Amnesti tidak dapat disetujui untuk pelaku pelanggaran sebelum para
korban memperoleh keadilan dengan cara pemulihan yang efektif. Amnesti tidak
boleh memiliki efek hukum terhadap persidangan apapun yang diajukan korban
terkait hak atas reparasi,tidak boleh mengambil keuntungan dari hukum amnesty
khusus atau tindakan sejenis yang mungkin memiliki efek membebaskan mereka
dari persidangan pidana atau sanksi.
Beberapa Negara telah memberikan amnesty terkait tindakan penyiksaan.
Amnesti
secara umum
tidak sesuai
dengan kewajiban Negara
untuk
menginvestigasi tindakan-tindakan tersebut.”
Selanjutnya, Prinsip 32 dalam dokumen tersebut di atas tentang
Reparation Procedures menegaskan bahwa : “…in exercising this right, they shall
be afforded protection against intimidation and reprisals.”131
Dokumen sebelumnya yang juga memuat Kumpulan Prinsip Perlindungan Hak
Asasi Manusia, The Administration of Justice and the Human Rights of Detainees:
The Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil
and Political), E/CN.4/Sub.2/1997/20, (Joinet Principles) , dalam lampirannya
pada Paragraf 32 dari ditegaskan bahwa:
“Amnesty cannot be accorded to perpetrators of violations before the
victims have obtained justice by means of an effective remedy. It must have
no legal effect on anyproceedings brought by victims relating to the right to
reparation”.
131
Prinsip 32, the Updated Set of Principles for the Protectionand Promotion of Human
Rights through Action to Combat Impunity tersebut mengenai the Right and Duties
Arising Out of the Obligation to Make Reparation,
109
Di tahun 1992, Sidang Umum PBB secara tegas menolak amnesti untuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat (sebagaimana dimaksud UU Nomor 27
Tahun 2004) dengan mengadopsi Declaration on the Protection of All Persons
from Enforced Disappearance, yang menyatakan bahwa bagi mereka yang
bertanggung jawab atas kejahatan ini "shall not benefit from any special amnesty
law or similar measures that might have the effect of exempting them from any
criminal proceedings or sanction."
Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam General Comment 20 Pasal 7
(Kovenan Hak Sipil dan Politik) menyatakan bahwa
"that some States have granted amnesty in respect of acts of torture.
Amnesties are generally incompatible with the duty of the States to
investigate such acts” (General Comment 20 concerning Article 7, replaces
General Comment 7 concerning Prohibition of Torture and Cruel
Treatment or Punishment);
Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Sierra
Leone S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24 menyatakan sebagai
berikut:
While recognizing that amnesty is an accepted legal concept and a gesture
of peace and reconciliation at the end of a civil war or an internal armed
conflict, 4 the United Nations has consistently maintained the position that
amnesty cannot be granted in respect of international crimes, such as
genocide, crimes against humanity or other serious violations of
international humanitarian law.
At the time of the signature of the Lomé Peace Agreement, the Special
Representative of the Secretary-General for Sierra Leone was instructed
to append to his signature on behalf of the United Nations a disclaimer to
the effect that the amnesty provision contained in article IX of the
Agreement (" absolute and free pardon") shall not apply to international
crimes of genocide, crimes against humanity, war crimes and other
serious violations of international humanitarian law. This reservation is
recalled by the Security Council in a preambular paragraph of resolution
1315 (2000).
110
In the negotiations on the Statute of the Special Court, the Government of
Sierra Leone concurred with the position of the United Nations and
agreed to the inclusion of an amnesty clause which would read as follows:
"An amnesty granted to any person falling within the jurisdiction of the
Special Court in respect of the crimes referred to in articles 2 to 4 of the
present Statute shall not be a bar to prosecution." With the denial of legal
effect to the amnesty granted at Lomé, to the extent of its illegality under
international law, the obstacle to the determination of a beginning date of
the temporal jurisdiction of the Court within the pre-Lomé period has been
removed;132
Artinya:
Sementara diakui bahwa amnesti adalah konsep hukum yang diterima dan
pertanda perdamaian dan rekonsiliasi pada akhir perang sipil atau konflik
bersenjata internal, PBB secara konsisten telah berpendapat bahwa amnesti
tidak dapat diberikan untuk kejahatan internasional, seperti genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran serius lainnya dalam
hukum humaniter internasional.
Pada saat penandatanganan Perjanjian Perdamaian Lome, Perwakilan
Khusus dari Sekretaris Jenderal untuk Sierra Leone diperintahkan untuk
memberikan tanda tangannya atas nama PBB yang mengatur bahwa
ketentuan amnesti dalam pasal IX Perjanjian tersebut (“absolut dan bebas
dari maaf”) tidak akan diberlakukan untuk kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan pelanggaran serius lainnya
terhadap hukum humaniter internasional. Persyaratan ini diulang oleh
Dewan Keamanan dalam paragraph pembukaan dari resolusi 1315 (2000).
Dalam negosiasi-negosiasi Statuta dari Pengadilan Khusus, Pemerintah
Sierra Leone menyetujui pendapat PBB dan menyetujui untuk
memasukkan pasal amnesti sebagai berikut: “sebuah amnesti yang
diberikan kepada siapapun dalam yurisdiksi Pengadilan Khusus terkait
kejahatan yang disebut dalam Pasal 2 sampai 4 Statuta ini tidak akan
menghalangi penuntutan.” Dengan penyangkalan atas efek hukum dari
amnesti yang diberikan di Lome, sepanjang tidak sah berdasarkan hukum
internasional, hambatan untuk menentukan tanggal permulaan dari
yurisdiksi sementara dari Pengadilan dalam periode sebelum Lome telah
ditiadakan.
Selanjutnya Laporan Sekjen PBB tentang The Rule of Law and
Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616), 23
Agustus 2004, menyebutkan bahwa amnesti yang diberikan secara hati-hati dapat
membantu pengembalian dan integrasi kembali dari kedua kelompok dan harus
132
Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone
S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24
111
didorong, walaupun seperti disebut di atas, hal ini tidak diijinkan dalam hal
genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran
berat hak asasi manusia (Paragraf 32). Laporan Sekjen PBB tersebut juga
menyatakan hal-hal sebagai berikut :
United Nations-endorsed peace agreements can never promise
amnesties for genocide, war crimes, crimes against humanity or gross
violations of human rights (Paragraph 10);133
Artinya:
Perjanjian-perjanjian perdamaian PBB tidak akan pernah bisa
menjanjikan amnesti untuk genosida, kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan atau pelanggaran berat hak asasi manusia
(Paragraf 10);
Carefully crafted amnesties can help in the return and
reintegration of both groups and should be encouraged, although,
as noted above, these can never be permitted to excuse genocide,
war crimes, crimes against humanity or gross violations of human
rights (Paragraph 32);134
Artinya:
Amnesti yang dibuat dengan hati-hati pada akhirnya dapat
mengembalikan dan mengintegrasikan kembali kedua kelompok dan
harus didukung, walaupun dikatakan di atas, hal ini tidak dapat diijinkan
untuk mengecualikan genosida, kejahatan perang, kejahatan atas
kemanusiaan atau pelanggaran berat hak asasi manusia (Paragraf 32).
Reject any endorsement of amnesty for genocide, war crimes, or
crimes against humanity, including those relating to ethnic, gender
and sexually based international crimes, ensure that no such
amnesty previously granted is a bar to prosecution before any United
Nations-created or assisted court (Paragraf 64 point [c]).
Artinya:
Menolak dukungan pemberian amnesti untuk genosida, kejahatan perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk terkait etnik, gender dan
kejahatan berorientasi jenis kelamin, menjamin bahwa tidak ada amnesti
yang sebelumnya diberikan menjadi penghalang untuk menuntuk di
pengadilan PBB (Paragraf 64 butir [c]).
133
Paragraph 10, The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict
Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004,
134
Paragraph 32,The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict
Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004,
112
Argentina, Sierra Leone dan negara-negara lainnya menyarankan, bahwa
ada alasan-asalan kehati-hatian dan prinsip bagi Negara untuk menolak
permintaan amnesti yang melanggar kewajiban internasionalnya, walaupun jika
kondisi tidak mengijinkan Negara tersebut untuk segera melakukan tuntutan.
Bahkan dalam Independent Study on Best Practices, Including Recommendations,
to Assist States In Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects
Of Impunity (E/CN.4/2004/88), 27 Februari 2004 pada Paragraf 32 menyatakan
sebagai berikut:
As developments in Argentina, Sierra Leone and other countries suggest,
there are prudential as well as principled reasons for States to resist
demands for amnesties that violate their international obligations, even if
conditions do not permit them to undertake prosecutions immediately.135
Sebagai pembangunan di Argentina, Sierra Leone dan negara-negara
lainnya menyarankan, bahwa ada alasan-asalan kehati-hatian dan prinsip bagi
Negara untuk menolak permintaan amnesti yang melanggar kewajiban
internasionalnya, walaupun jika kondisi tidak mengijinkan Negara tersebut untuk
segera melakukan tuntutan.
Pada Paragraf 28 sampai Paragraf 32, Laporan ini juga memuat daftar
sumber-sumber hukum termasuk putusan-putusan pengadilan yang menguatkan
posisi larangan terhadap amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat hukum di berbagai belahan
135
Paragraph 32, Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to
Assist States In Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of
Impunity (E/CN.4/2004/88), 27 Februari 2004
113
dunia telah mempraktikkan prinsip menentang amnesti bagi pelaku pelanggaran
hak asasi manusia yang berat.
Daftar sumber-sumber hukum di atas lalu dikuatkan kembali dan
dilengkapi dalam Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles
to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102), 18 Februari 2005, Paragraf 50-51.
Selain itu the Updated Set of Principles for the Protection and Promotion
of Human Rights through Action to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102/Add.1)
secara tegas memberikan pedoman bagi Negara-negara termasuk badan-badan
peradilan dalam menentukan sikapnya mengenai impunity. Prinsip 24 mengenai
Restrictions and Other Measures Relating to Amnesty menyatakan sebagai
berikut:
Even when intended to establish conditions conducive to a peace agreement
or to foster national reconciliation, amnesty and other measures of clemency
shall be kept within the following bounds :
(a) The perpetrators of serious crimes under international law may not
benefit from such measures until such time as the State has met the
obligations to which principle 19 refers or the perpetrators have been
prosecuted before a court with jurisdiction – whether international,
internationalized or national - outside the State in question;
(b) Amnesties and other measures of clemency shall be without effect with
respect to the victims’ right to reparation, to which principles 31 through
34 refer, and shall not prejudice the right to know;
(c) Insofar as it may be interpreted as an admission of guilt, amnesty cannot
be imposed on individuals prosecuted or sentenced for acts connected
with the peaceful exercise of their right to freedom of opinion and
expression. When they have merely exercised this legitimate right, as
guaranteed by articles 18 to 20 of the Universal Declaration of Human
Rights and 18, 19, 21 and 22 of the International Covenant on Civil and
Political Rights, the law shall consider any judicial or other decision
concerning them to be null and void; their detention shall be ended
unconditionally and without delay;
(d) Any individual convicted of offences other than those to which paragraph
(c) of this principle refers who comes within the scope of an amnesty is
entitled to refuse it and request a retrial, if he or she has been tried
without benefit of the right to a fair hearing guaranteed by articles 10
and 11 of the Universal Declaration of Human Rights and articles 9, 14
and 15 of the International Covenant on Civil and Political Rights, or if
he or she was convicted on the basis of a statement established to have
114
been made as a result of inhuman or degrading interrogation, especially
under torture136.
Artinya;
(a)
(b)
(c)
(d)
Prinsip 24:
Walaupun bertujuan untuk membangun kondisi yang kondusif terhadap
perjanjian perdamaian atau untuk melindungi rekonsiliasi nasional,
amnesti dan tindakan pengampunan lainnya harus dijaga dalam batasanbatasan sebagai berikut:
Pelaku kejahatan serius dalam hukum internasional tidak boleh
mendapatkan keuntukan dari tindakan tersebut sampai ketika Negara telah
memenuhi kewajibannya sesuai prinsip 19 atau pelaku telah dituntut di
pengadilan dengan yurisdiksi – apakah internasional, yang
diinternasionalisasi atau nasional – di luar Negara tersebut;
Amnesti dan tindakan pengampunan lainnya tidak boleh mempengaruhi
hak korban atas reparasi, sesuai prinsip 31 sampai 34, dan tidak boleh
menyimpang dari hak untuk mengetahui;
Sepanjang diinterpretasikan sebagai pengakuan atas kesalahan, amnesti
tidak boleh diberikan pada individu yang dituntut atau dihukum karena
tindakan terkait dengan pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat dan
ekspresi. Ketika mereka melaksanakan hak yang sah ini, sebagaimana
dijamin oleh Pasal 18 sampai 20 dari Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan pasal 18, 19, 21 dan 22 International Covenant on Civil and
Political Rights, hukum harus mempertimbangkan keputusan lainnya yang
mengganggap batal demi hukum; penahanan mereka harus diakhiri tanpa
syarat dan penundaan;
Individu yang dihukum atas pelanggaran selain yang disebutkan dalam
paragraph (c) prinsip ini yang termasuk dalam kategori amnesti berhak
untuk menolak dan memohon persidangan kembali, jika telah disidang
tanpa hak atas persidangan yang adil berdasarkan pasal 10 dan 11 dari
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 9, 14 dan 15
International Covenant on Civil and Political Rights, atau jika dihukum
berdasarkan pernyataan yang dibuat karena interogasi yang tidak
manusiawi atau merendahkan, khususnya di bawah siksaan.
Selanjutnya, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB, (Resolution :
2004/72, Impunity, E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004, (Bukti P-28) dalam
Point 3 juga menegaskan sebagai berikut :
…amnesties should not be granted to those who commit violations of human
rights and international humanitarian law that constitute crimes, urges
136
Prinsip 24,Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human
Rights through Action to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102/Add.1)
115
States to take action in accordance with their obligations under
international law and welcomes the lifting, waiving, or nullification of
amnesties and other immunities; 137
Artinya:
“...amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang melakukan
pelanggaran atas hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional
yang mengatur kejahatan, mewajibkan Negara untuk mengambil tindakan
sesuai dengan kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan
mendukung pengangkatan, pengesampingan atau pembatalan amnesti dan
kekebalan lainnya.”
Selain dari badan PBB, larangan amnesti terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat ini juga ditegaskan dalam yurisprudensi dari berbagai
pengadilan di dunia. Dalam kasus di Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia
(ICTY), putusan majelis Banding kasus Penuntut v. Furundzija, 10 Desember
1998, menilai bahwa domestik amnesti yang meliputi kejahatan-kejahatan, seperti
penyiksaan, yang memiliki status jus cogens tidak akan mendapat pengakuan
internasional secara legal. (Paragraph 155) Berdasarkan hal tersebutlah maka
kejahatan penyiksaan yang telah mendapatkan amnesti tetap diadili oleh
pengadilan internasional.
Yurisprudensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-American secara
konsisten menegaskan sikapnya yang melarang amnesti bagi pelanggaran hak
asasi manusia berat, antara lain dalam kasus Barios Altos (Barios Altos case,
IACHR, Vol. 75, Series C), 14 Maret 2001 2000 pada Point 4 putusan, pengadilan
menyatakan bahwa amnesti “bertentangan dengan Konvensi Hak Asasi Manusia
Amerika, akibatnya tidak mempunyai efek hukum” (to find that amnesty laws no.
137
Point 3, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB, (Resolution : 2004/72, Impunity,
E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004, (Bukti P-28) .
116
26479 and no. 26492 are incompatible with the american convention on human
rights and, consequently, lack legal effect). Dalam salah satu pertimbangannya
Majelis Hakim kasus Barrios Altos tersebut menyatakan sebagai berikut:
“This Court considers that all amnesty provisions, provisions on
prescription and the establishment of measures designed to eliminate
responsibility are inadmissible, because they are intended to prevent the
investigation and punishment of those responsible for serious human
rights violations such as torture, extrajudicial, summary or arbitrary
execution and forced disappearance, all of them prohibited because they
violate non-derogable rights recognized by international human rights
law. (Paragraf 41)
Pengadilan menganggap bahwa seluruh ketentuan amnesti, ketentuan
pemulihan dan pengambilan tindakan yang dibuat untuk membatasi
tanggungjawab adalah tidak diakui, karena hal tersebut dimaksudkan untuk
mencegah investigasi dan hukuman bagi mereka yang bertanggung jawab
atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius seperti penyiksaan, di luar
pengadilan, eksekusi singkat atau sementara dan penghilangan yang
dipaksakan, seluruhnya dilarang karena melanggar hak yang tidak bisa
dibatasi yang diakui oleh hukum hak asasi internasional. (Paragraf 41).
Putusan Pengadilan yang menyatakan amnesti bagi pelaku pelanggar hak
asasi manusia yang berat dilarang dan berakibat tidak memiliki efek hukum
kembali dipertegas oleh berbagai putusan pengadilan, antara lain : Trujillo Oroza
v. Bolivia, (IACHR), Reparations, Judgement, 27 February 2002, Vol. 92, Serie C,
paragraf 160; El Caracazo case v. Venezuela, (IACHR), Reparations, Judgment,
29 August 2002, Vol. 95, Serie C, paragraf 119; Myrna Mack Chang v.
Guatemala case, (IACHR), Judgement, 25 November 2003, Vol. 101, Serie C,
paragraf 276.
Selain sumber hukum di atas, Prinsip Princeton tentang Yurisdiksi
Universal pada Prinsip 7 (1) menyatakan bahwa: Amnesties are generally
inconsistent with the obligation of states to provide accountability for serious
crimes under international law as specified in Principle in 2(1).” Artinya,
117
“Amnesti secara umum tidak konsisten dengan kewajiban Negara untuk
menyediakan tanggung jawab atas kejahatan-kejahatan serius berdasarkan hukum
internasional sesuai Prinsip 2 (1).”
Tidak hanya itu, Indonesia juga terikat dengan Konvensi Internasional yang
telah diratifikasi yang memuat larangan amnesti bagi pelaku pelanggaran hak
asasi manusia yang berat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang
Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998. Konvensi Menentang Penyiksaan
memberikan kewajiban kepada Negara peserta untuk menghukum pelaku
penyiksaan, dimana tindak pidana penyiksaan ini termasuk ke dalam bagian
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud UU No. 27
Tahun 2004 jo UU No. 26 Tahun 2000.
Genosida, penghilangan paksa dan tindak penyiksaan telah diakui sebagai
jus cogens atau peremptory norms. Oleh karena itu, bagi pelaku pelanggaran berat
tersebut berlaku universal jurisdiction. Contohnya pada putusan kasus Augusto
Pinochet di Spanyol dan Inggris yang menegaskan keberlakuan universal
jurisdiction bagi tindak penyiksaan. Dengan melekatnya norma jus cogens ini
maka pelakunya dinyatakan sebagai hostis humanis generis atau musuh segala
umat manusia, serta menjadi kewajiban negara untuk melakukan penuntutan
(obligatio erga omnes).
Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tahun 2004
telah gagal untuk memenuhi tugas Indonesia sebagai Negara dan gagal untuk
menghormati hak dari korban, keluarga dan juga masyarakat Indonesia
berdasarkan Hukum HAM Internasional. Hal ini ada 3 (tiga) cara:
118
1. Telah gagal menginvestigasi dan mengemukakan
Kasus manapun yang sehubungan
kebenaran tentang
dengan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusian sebelum tahun 2000.
2. Karena gagal untuk memberikan reparasi kepada korban dan Keluarganya.
3. Telah gagal untuk menuntut dan secara layak menghukum para pelakunya.
Karena Indonesia merupakan anggota PBB dan juga Indonesia bagian dari
piagam PBB karena merupakan suatu treaty atau perjanjian yang mengikat
negara-negara. Berdasarkan Pasal 55 dan 56 dari piagam PBB semua negara
bertanggung jawab terhadap HAM, berdasarkan perjanjian hukum internasional,
suatu perjanjian itu harus diterjemahkan sebagai tindakan yang harus dilakukan
oleh negara, sebagai tindakan kelanjutan yang harus dilakukan oleh negara,
dimana mensyaratkan adanya reparasi bagi setiap pelanggaran hak internasional,
negara memiliki kewajiban untuk melakukan investigasi yang tuntas dan efektif,
memberikan pemulihan yang efektif kepada korban, menuntut dan menghukum
pelaku, serta korban dan juga keluarganya memiliki hak untuk kebenaran atau
mengetahui tentang kebenaran, serta memiliki hak untuk keadilan di dalam bentuk
penuntutan dan juga penghukuman terhadap pelaku. Selain itu investigasi
diharuskan untuk tuntas, efektif, dan bisa teridentifikasi.
Ruang lingkup dari pemulihan yang efektif itu harus termasuk di dalamnya
tidak saja hanya akses keadilan, tetapi harus meliputi 5 (lima) elemen:
1.
Restitusi, yaitu merupakan restitusi dari hak milik atau juga nama baik
dari si Korban;
2.
Kompensasi, dalam bentuk uang bagi kerugian-kerugian;
119
3.
Rehabilitasi, termasuk jasa medis atau juga jasa psikologis;
4.
Tidakan-tindakan untuk memuaskan, termasuk didalamnya adalah
Pengakuan oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggung jawab
negara dan juga permintaan maaf secara umum yang dilakukan oleh
pejabat dalam jabatan yang cukup tinggi;
5. Jaminan, bahwa ini tidak akan terulang lagi atau non repetisi.
Pelanggaran umum yang ada di dalam Undang-Undang ini adalah masalah
penuntutan dan juga penghukuman.
Hukum internasional secara umum
sebenarnya mendukung amnesti, tetapi ada pembatasan bagi pemberian amnesti
berdasarkan hukum internasional, dan pembatasan tersebut berlaku secara khusus
bagi genosida dan kejahatan terhadap kemunusiaan, dimana sebenarnya ini
merupakan subjek dari Undang-Undang Komisi Kebenaran. Beberapa sumber
yang berbeda-beda memberikan larangan yang berbeda-beda atau pembatasan
yang beda-beda pula terhadap amnesti. Oleh karena itu, hak atas pemulihan
merupakan hak yang melekat pada korban yang tidak tergantung pada amnesti
terlepas dari apakah pelakunya ditemukan atau tidak dan Negara berkewajiban
untuk memenuhi hak korban tersebut.
C. Hak Asasi Manusia dan Hukum Pembangunan
Berbicara mengenai Pembangunan Hukum tidak dapat melepaskan diri
dari Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1973 bidang hukum, yang isinya
bahwa hukum tidak boleh menghambat proses modernisasi, dan Garis-Garis
Besar Haluan Negara tahun 1983 Bidang Hukum yang isinya antara lain bahwa
hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
120
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tidaklah semata-mata
merupakan gejala normatif, tetapi juga merupakan gekala sosial, karena itu hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
( living law ) .138Dalam suatu masyarakat yang berkembang, hukum berfungsi
sebagai sarana
pembangunan ( Law as a tool
of Social Engineering),
pengertiannya adalah sebagai berikut : (1) keteraturan atau ketertiban dalam
usaha pembangunan atau pembaharuan merupakan sesuatu yang diinginkan atau
bahkan dipandang perlu;(2) hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum bisa
berfungsi sebagai alat ( pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur
ke arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan
pembaharuan. 139Dalam hal ini teori hukum pembangunan dapat ditafsirkan untuk
mengarahkan fungasi hukum pada pengintegrasian hukum internasional dengan
hukum nasional.
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum.
Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi
adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Untuk mencapai ketertiban
diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dan masyarakat.
Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat manusia tidak mungkin
mengembangkan kemampuannya secara optimal di dalam masyarakat.Disamping
ketertiban dan kepastian hukum,adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda
isi dan ukurannya menurut masyarakat dan jaman.140
Mochtar Kusumaatmadja,”Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan
nasional”, dalam Otje Salman dan Eddy Damian ( editor), konsep-Konsep Hukum Dalam
Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara,Hukum dan Pembangunan Bekerjasam
dengan PT Penerbit Alumni,bandung,2002,hlm 1-17.
139
Idem,hlm 88
140
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, dalam Otje Salman S dan Eddy Damian ( editor),Konsep-Konsep Hukum
Dalam
Pembangunan:
Kumpulan
Karya
Tulis
Prof.Dr.Mochtar
Kusumaatmadja,SH.LLM., Pusat studi
Wawasan Nusantara dan Penerbit
PT.Alumni,Bandung,2002,hlm.3-4.
138
121
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam
masyarakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif,
artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.
Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang
sedang membangun, karena hasil-hasil pembangunan itu harus dipelihara,
dilindungi, dan diamankan.Dalam masyarakat yang sedang membangun, fungsi
hukum tidaklah cukup hanya untuk memelihara dan mempertahankan
pembangunan, tetapi hukum juga harus dapat membantu proses perubahan
masyarakat.Selama perubahan yang dikehendaki dalam masyarakat hendak
dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu pula masih ada tempat bagi
hukum.141
Masalah Pembangunan Hukum pada saat ini kita tidak dapat melepaskan
diri dari Undang-Undang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional Tahun 2000-2004 dimana dalam
Nasional pada point B.2
Bab II Prioritas Pembangunan
untuk Mewujudkan
Supremasi Hukum dan
Pemerintahan yang baik, serta pada Bab III secara khusus
Pembangunan Hukum dimana didalamnya
mengatur
program Pembangunan hukum
meliputi, program pembentukan peraturan perundang-undangan, program
pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, program
penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran Hak Asasi
Manusia, program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya
hukum.
141
Idem.,hlm 13-14.
122
Hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas-asan dan kaidah-kaidah
yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula
lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya
kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.142
Dasar pengertian hukum tersebut, hukum memiliki hubungan timbal balik
dengan masyarakat, sehingga dapat dipahami apabila hukum itu merupakan salah
satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.143
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ( Law as a tool of Social
Engineering) bertujuan tercapainya ketertiban, kepastian hukum, dan rasa
keadilan masyarakat.144
Pada sisi lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan pentingnya
Pembangunan Nasional
di semua bidang kehidupan secara terpadu dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia.
“Mengutip tulisan Mochtar Kusumaatmaja dalam Pembinaan Hukum
dalam Rangka Pembangunan Nasional. Pembangunan diartikan meliputi
segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan
ekonomi belaka – karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya
kurang tepat, karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu
masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-segi kehidupan
masyarakat lainnya,yang menjadi persoalan kini adalah: adakah peranan
hukum dalam proses pembangunan itu dan bila ada apakah peranannya.
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh
perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan
apapun ukuran yang kita gunakan bagi masyarakat dalam pembangunan.
Mochtar Kusumaatmadja,”Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Nasional”,dalam Otje Salman S dan Eddy Damian (editor),Ibid,hlm.30.
143
Mochtar Kusumaatmadja,” Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional”,
dalam Otje saman S dan Eddy damian (editor),Ibid, hlm.73.
144
E saefullah Wiradipradja,Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional Dan nasional, Penerbit Liberty,Yogyakarta, 1989,hlm.17.
142
123
Peranan Hukum dalam dalam Pembanguna adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara teratur.
Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa
perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan
atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya.”145
Mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmaja diatas penulis mengawali
paper ini dengan mengatakan bahwa pembangunan Hak Asasi Manusia di
Indonesia seharusnya dilakukan dengan Perubahan melalui proses PerundangUndangan atau/dan keputusan pengadilan.
Pada tahun 1998 merupakan titik awal dari Reformasi di Indonesia,
reformasi hukum termasuk didalamnya keinginan dari bangsa Indonesia untuk
memperbaiki berbagai persoalan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
dengan kata lain Bangsa Indonesia ingin membangun Hak Asasi Manusia dalam
Sistem Hukum Indonesia .
Keinginan untuk mewujudkan perbaikan dibidang Hak Asasi Manusia
diwujudkan dengan dikeluarkanya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Nomor XVII/MPR/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia tentang Hak Asasi Manusia dan Piagam Hak Asasi Manusia, yang
kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden republik Indonesia No 129
Tahun 1998 mengenai Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, yang
kemudian Pasal mengenai Hak Asasi Manusia termuat
Undang-Undang Dasar 1945 , menunjukan
dalam Amandemen
keinginan dari Bangsa Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat internasional yang berkewajiban untuk
145
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan
Karya Tulis,Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni, Bandung
2004, hlm 19.
124
menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuantujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal mengenai
Hak Asasi Manusia.
Sebagai bangsa yang menghormati Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana
dijamin oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
pandangan hidup, falsafah bangsa dan landasan konstitusional bagi negara
Kesatuan Republik Indonesia tentunya bangsa Indonesia berkewajiban untuk
melaksanakan Hak Asasi Manusia dalam semua sendi Kehidupan Bangsa
Indonesia. Mengutip tulisan Notonagoro:
“Dalam bukunya Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila dimana,
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pernyataan
Kemerdekaan yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila
sebagai Dasar Negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat dirubah
oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil pemilihan Umum, yang
berdasarkan pasal 3 dan pasal 37 Undang-Undang Dasar berwenang
menetapkan dan merubah undang-undang Dasar, karena merubah isi
Pembukaan berarti Pembubaran Negara.”146
Penulis menggunakan apa yang dikatakan oleh Notonagoro dalam disertasi
ini, dikarenakan bahwa bagaimanapun berkembangnya zaman yang berpengaruh
pada aturan-aturan hukum maka tidak dapat meninggalkan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, dikarenakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu
merupakan yang dinamakan pokok kaidah fundamentil daripada Negara Republik
Indonesia dan mempunyai kedudukan tetap terlekat kepada kelangsungan Negara
Republik Indonesia atas Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
146
Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pantjuran Tudjuh, Jakarta
1967,hlm17.
125
“Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menurut sejarah terjadinya,
ditentukan oleh Pembentuk Negara dan menurut isinya memuat asas
kerohanian Negara (Pancasila), asas politik Negara (Republik yang
berkedaulatan rakyat), tujuan Negara (melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh Tumpah Darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social ), lagi pula menetapkan adanya suatu
undang-undang dasar Negara Indonesia, jadi Pembukaan dalam segala
sesuatunya memang memenuhi syarat-syarat mutlak bagi suatu pokok
kaidah Negara yang fundamentil.”147
D.
Kajian Teori terhadap Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dikenal di Indonesia ini.148
sebenamya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari "Criminal Justice
System", yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan
para ahli dalam Criminal Justice Science dikarenakan ketidakpuasan terhadap
mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang
dibuktikan dengan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun
1960-an. Dimana pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah
pendekatan hukum dan ketertiban (law and order approach) sedangkan
penegakan hukum dalam konteks pendekatannya dikenal dengan istilah law
enforcement),149
yang
mengedepankan
aspek
hukum
dalam
melakukan
147
Idem,hlm 20.
Istilah Peradilan berasal dari kata dasar Adil, memperoleh imbuhan dan awalan
(prefiks) “pe” dan akhiran (sufiks) “an”. Lihat Anton Anton Muliono dkk, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 6-7. Peradilan terjemahan
dari rechtpraak atau judiciary digunakan untuk menunjuk pada fungsi proses atau tata
cara memberikan keadilan, sedangkan pengadilan terjemahan dari rechtank atau court
menunjuk pada badan, wadah, lembaga, institusi karena itu pengertian pengadilan
mencakup pengertian peradilan. Lihat SF. Marbun, Pengadilan Administrasi dan
Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, yogyakarta, 1987, hlm. 38 – 39.
148
149
Pendekatan hukum dan ketertiban dalam praktik telah mengalami kegagalan terutama
dalam menekan angka kriminalitas terutama di Amerika serikat sehingga memunculkan
126
penanggulangan kejahatan dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Artinya,
efektivitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian sangat menentukan berhasil
atau tidaknya penanggulangan kejahatan, karena dalam praktiknya, pihak
kepolisian banyak dihadapkan pada berbagai kendala, baik yang bersifat
operasional maupun prosedur-legal. Kemudian Sistem Peradilan Pidana ini
dikembangkan oleh praktisi penegak hukum (law enforcement officers) di
Arnerika Serikat.150
Salah satu dari tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat.
Salah satu unsur untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat adalah adanya
penegakan hukum atau peradilan yang bebas, mandiri, adil dan konsisten dalam
melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam
menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri (pengadilan).
Struktur lembaga-lembaga Sistem Peradilan Pidana yang terbentuk sebagai
suatu tata urutan mulai penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan, menunjukkan bahwa Sistem Peradilan Pidana terangkai dalam
unsur-unsur (sub) yang mempunyai peran masing-masing secara utuh yang
menunjukkan adanya mata rantai yang terpadu untuk memperoleh tujuan akhir.
Oleh karena itu kegiatan salah satu unsur tersebut hanya merupakan tahap atau
bagian dari kegiatan yang utuh untuk mencapai tujuan bersama.
gagasan pendekatan system didalam mekanisme administrasi peradilan pidana.
Pendekatan ini dalam teori kriminologi dan prevensi kejahatan dikenal sebagai criminal
justice system model, dikutip dari Jerome H. Scholnik, Justice Withaut trial
democratic order and rule of law, chapter I, 1996, hlm 10, dan Romli Atmasamita,
System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionism, cet. II (revisi),
Binacipta, Bandung, 1996, hlm.7.
150
Indrianto Seno Adji, Arah System Peradilan Pidana, cet. I (Kantor Pengacara dan
Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan, Jakarta, 2001, hlm.4
127
Menurut Neil C. Chalin, pada mulanya di Amerika. Serikat komponen dari
SPP hanyalah terdiri dari Polisi, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan yang timbul di dalam tata kehidupan
masyarakat pada tingkat local government jelasnya dikatakan:
"Basically the American Criminal Justice System is composed of Police,
Courts and Corrections in local, state and Federal levels. These criminal
justice componen function separately and together with majority of
activities accuring at the local level of government (city and country).151
Dalam perkembangan kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal 1970,
criminal justice sebagai disiplin studi tersendiri telah menggeser posisi law
enforcement atau police studies, yang di Amerika Serikat dan di beberapa negara
Eropa menjadi model yang dominan dengan menitik beratkan pada the
administration of justice dan memberikan perhatian yang sama terhadap semua
komponen dalam penegakan hukum.
Dalam perkembangannya, Sistem
Peradilan
Pidana di
indonesia
mengalami perluasan arti dan tujuannya. Dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro,
bahwa Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah suatu
operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan,
salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan
agarberada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima,152 Norval Morris
menyatakan:
151
Neil C. Chalin, et.all, Introduction to Criminal Justice (Pretince-Hall), New Jersey,
1975 Page 1 (Introduction), lihat juga Indrianto seno adji, op.cit hlm. 4-5.
152
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Peran Penegak
Hukum Melawan Kejahatan, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
1994, hlm. 84-85.
128
"The Criminal Justice System is best seen as a crime containment system,
one of the methods that society uses to keep crime at whatever level each
particular culture is willing to accept. But, to a degree, the criminal justice
system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say,
in trying to reducecriminality among those who have been convicted of
crimes and trying by deterrent processe of detection, conviction, and
punishment to reduce the commission of crime by those who are so minded
and so acculturated.153
Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan
dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan
ke muka pengadilan dan menerima pidana. Juga yang termasuk bagian tugas
sistem ini adalah:
(1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
(2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
(3) Berusaha agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak
rnengulangi lagi perbuatannya.154
Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana
(SPP) tersebut : Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan
ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang
merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem.
Makna susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu
keteraturan dan penataan yang hierarkhis dan sistimatis pada suatu sistem.
153
UNAFEI, Criminal Justice System, The Request for an Integrated Approach,
UNAFEI, 1982) hlm. 5
154
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II cet. I
Pustaka Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hokum UI, Jakarta, 1994, hlm. 140. Lihat
juga Mrdjono R, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 84-85.
129
Samodra Wibawa, mengemukakan tentang sistem ini bahwa:”sistem
merupakan hubungan antara beberapa unsur dimana unsur yang satu tergantung
kepada unsur yang lain. Bila salah satu unsur hilang, maka sistem tidak dapat
berfungsi.155
Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai
tidak memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan, dan secara
keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses yaitu
proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan. Pidana, yang dalam ilmu
hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan
atau penderitaan yang diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik
maupun phisikis dari orang yang terkena pidana itu.156
Memperhatikan dasar pemahaman di atas, mengenai SPP tidaklah hanya
berbicara tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana,
melainkan lebih dari itu yang dibicarakan adalah persoalan mekanisme ataupun
manajemen dari bekerjanya pengadilan tersebut, guna melahirkan suatu keputusan
yang adil.157 Sehingga dapat pula dikemukakan bahwa SPP, merupakan
mekanisme dan atau manajemen proses peradilan (Justice Processes) di dalam
melahirkan suatu keputusan serta di dalam menjatuhkan pidana. Remington dan
Ohlin158 bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian
pendekatan sistem peradilan terhadap mekanisme administrasi peradilan, dan
155
Samodra Wibawa, Kebijaan Publik ( Proses dan Analisis), Intermedia, Jakarta, Cet I,
1994, hlm. 50-51.
156
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni
Bandung, 1993, hlm.437
157
Romli Atmasasmita System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 38.
158
Romli Atmasasmita, Idem, hlm. 14
130
peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses
interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. Untuk pertama kalinya
di Indonesia pemahaman Criminal Justice System diperkenalkan Mardjono
Reksodipoetro159 yang memberikan batasan pengertian tentang sistem peradilan
pidana sebagai berikut :
“Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat.“
Dikatakan suatu sistem karena di dalam SPP tersebut tidak terlepas dari
sub-sub sistem (komponen) yang mendukung jalannya SPP seperti berikut160
“Suatu Pengendalian Kejahatan yang terdiri dari lembaga- lembaga; Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana“.
Romli Atmasasmita161 berpendapat bahwa pendekatan sistem dalam
peradilan pidana adalah :
a. Titik berat pada kordinasi dari sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana.
c. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penye1esaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the
administration of justice”.
159
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Peranan Penegak
Hukum melawan
Kejahatan dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana, 1994, hlm.84-85.
160
Idem, hlm 141.
161
Romli, Opcit, hlm. 9-10
131
Selain menunjukkan mekanisme kerja dalam rangka/menanggulangi
kejahatan melalui dasar pendekatan sistem seperti diuraikan di atas (yang disebut
istilah Criminal Justice System), dikemukakan juga bahwa SPP mempunyai
tujuan tujuan yang dirumuskan sebagai berikut :
a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.162
Muladi163 juga mengemukakan tentang SPP, sebagai berikut: Sistem
Peradilan Pidana adalah merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan
hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana,
namun jika sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidak-adilan.
Indriyanto164 memberikan pemahaman lain. SPP adalah berlainan
dengan Administrasi Peradilan Pidana (Criminal Justice Administration).
Administrasi Peradilan Pidana adalah jalannya procedural dari suatu acara
persidangan pidana, yaitu sejak adanya dakwaan sampai dengan diucapkannya
suatu putusan bagi terdakwa. Dengan demikian Administrasi Peradilan Pidana
adalah merupakan bagian dari cara kerja sub sistem peradilan saja.
162
Idem, hlm. 14-15
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP. UNDIP, 1995, hlm. 1-2.
164
Indrianto Seno Aji, Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara dan konsultan
Hukum Prof. Oemar Seno Aji, Jakarta, Edisi Pertama, 2001, hlm. 9
163
132
Bertitik tolak dari pemahaman di atas maka dalam konteks yang lebih
luas, perundang-undangan bukum pidana (baik formal maupun material) adalah
merupakan sub sistem dari SPP, karena mekanisme dan manajemen kerja SPP
tidak terlepas dari bagaimana sistem itu diatur dan dirumuskan dalam suatu
perundang-undangan. Dalam konteks yang sempit, bila yang dijadikan
pemahaman itu, adalah proses peradilan pidana, maka sub system dari SPP ini
adalah lembaga-lembaga yang terkait dengan proses peradilan pidana (criminal
Justice
Processes),
seperti
kepolisian,
kejaksaan
dan
pengadilan
dan
pemasyarakatan.
Menurut Romli Atmasasmita165 atas uraian tersebut terlihat aspek
penegakan hukumnya kurang menyentuh, oleh karena itu apabila SPP diartikan
sebagai alat penegakan hukum atau law Enforcement, maka di dalamnya harus
mengandung aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi
peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan untuk
mencapai adanya suatu kepastian hukum. Di Indonesia implementasi pengaturan
SPP ini, di samping didasarkan kepada peraturan peraturan yang merupakan
produk nasional166 juga didasarkan kepada peraturan-peraturan internasional yang
telah diratifikasi.167
KUHAP menjadi landasan dalam praktek peradilan pidana, walaupun
dikatakan telah mengandung nilai-nilai Sistem Peradilan “Pidana yang baik,
165
Op.cit, hlm. 15
Antara lain Undang-undang No. 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Undang-undang Nomor 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
167
Peraturan internasional yang telah diratifikasi antara lain; dalam bidang kerjasama
internasional, dalam bidang peradilan dan penegakan hukum, dalam bidang pembinan
para pelaku, dan dalam bidang juvenile deliquence.
166
133
namun belum menunjukkan secara tegas dan jelas bagaimana mekanisme dalam
atau manajemen yang dipergunakan dalam SPP tersebut. Dalam praktek peradilan,
proses pelimpahan perkara dari pihak penyidik ke kejaksaan yang kemudian
dilanjutkan untuk diproses di pengadilan, hanya merupakan tahap-tahap
administrasi yang bersifat runitas (sehari-hari), atau lebih dikatakan sebagai tahaptahap pembagian kerja (job discription), yang apabila telah selasai dilaksanakan,
maka masing-masing lembaga merasa tugasnya telah selasai, padahal yang
diinginkan bukanlah yang demikian, melainkan bagaimana adanya suatu
keterikatan dan tanggung jawab moral diantara lembaga-lembaga tersebut.
134
BAB III
KONSEP HAK ASASI MANUSIA UNIVERSAL DAN KONSEP HAK
ASASI MANUSIA PARTIKULAR
A. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional
“Mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional
terdapat berbagai bentuk pelaksanaan sesuai dengan hukum positip di
berbagai Negara. Berdasarkan teori transformasi dari kaum positivistdualist, hukum internasional baru menjadi bagian dari hukum nasional
apabila telah diundang-undangkan dengan undang-undang nasional,
sedangkan berdasarkan teori inkorporasi, hukum internasional langsung
menjadi bagian dari hukum nasional tanpa harus melalui undang-undang.
Di Inggris ( termasuk Negara-Negara persemakmuran) dan Amerika
meski ada sedikit perbedaan, hukum kebiasaan internasional dipandang
sebagai bagian dari hukum nasional ( internasional law is the law of the
land).Doktrin ini dikenal dengan nama doktrin inkorporasi ( incorporation
doctrine) sedangkan hukum internasional yang bersumber dari perjanjian
internasional memerlukan transformasi dengan undang-undang (
persetujuan parlemen) untuk menjadi bagian dari hukum nasional.
Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur apakah menganut paham
transformasi atau inkorporasi. Mochtar Kusumaatmaja menyatakan
bahwa hal ini tidak berarti bahwa Indonesia tidak mengakui supremasi
hukum internasional atas hukum nasional, apalagi menarik kesimpulan
bahwa Indonesia menganut pendirian bahwa hukum nasional mengatasi
hukum internasional. Menurut beliau menarik kesimpulan demikian
berarti menentang menentang masyarakat internasional yang didasarkan
atas hukum, dan sebagai Negara yang masih muda kiranya pendirian yang
demikian bukanlah pendirian yang bijaksana. Namun demikian, meskipun
pada prinsipnya Indonesia mengakui supremasi hukum internasional tidak
berarti bahwa Indonesia dengan begitu saja menerima apa yang
dinamakan hukum internasional tanpa mengkaji kaidah-kaidah hukum
internasional yang tidak jelas atau mungkin sudah berubah sebagai
refleksi dari masyarakat internasional yang sedang berubah dengan cepat.
Dalam masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional tersebut menurut Mochtar Kusumaatmaja apabila
menghendaki adanya masyarakat internasional yang aman dan sejahtera
maka mau tidak mau kita harus mengakui adanya hukum internasional
135
yang mengatur masyarakat internasional. Konsekuensinya pada analisis
terakhir hukum nasional harus tunduk pada hukum internasional.”168
“Saefullah Wiradipradja berpendapat bahwa dalam masalah hubungan
antara perjanjian internasional/hukum internasional dengan hukum
nasional, dalam praktek, Indonesia menganut paham baik inkorporasi
maupun transformasi, tidak menganut salah satu diantaranya secara
mutlak. Inkorporasi berlaku bagi perjanjian perjanjian internasional yang
hanya mengikat Negara atau badan Negara, sedangkan transformasi
berlaku bagi perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat langsung
warganegara secara individual dan badan hukum/badan usaha. Sedang
apakah ketentuan internasional atau nasional lebih diutamakan,
berdasarkan pada praktek selama ini, kelihatannya Indonesia cenderung
menganut supremasi hukum internasional, artinya Indonesia selalu
menyesuaikan peraturan perundang-undangannya ( dalam hal
transformasi) terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum
internasional, khususnya perjanjian internasional.169
Meskipun Mochtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa Indonesia tidak
menganut teori transformasi, tapi langsung terikat terikat dalam kewajiban
melaksanakan dan mentaati ketentuan-ketentuan perjanjian dan konvensi
yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi undang-undang
pelaksanaan,”170namun beliau pun mengakui bahwa dalam beberapa hal
pengundangan dalam undang-undang nasional adalah mutlak diperlukan
yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang-undang
nasional
yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai
171
perorangan.
Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian internasional dalam
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yaitu :
Pasal 5
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya,
168
E Saefullah Wiradipradja, Konsekuensi Yuridis Keanggotaan Indonesia dalam WTO-GATS dan
Pengaruhnya terhadap Industri dan Perdagangan Jasa, Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol.I
No.1 Tahun 2002.,hlm 5
169
Ibid.
170
Idem,hlm.6.
171
Ibid.
136
Pasal 11
(1) Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyetakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden
dalam
membuat
perjanjian
internasional
lainnya
yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perewakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
Pasal 20
(1) Dewan
Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membuat undang-
undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
ttidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
137
Dengan melihat
apa yang disampaikan di atas maka keberadaannya
Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional memberikan
dasar-dasar yang kuat
dalam membuat dan
mengesahkan perjanjian
internasional, dan menempatkan dalam posisi bagaimana hubungan antara
Indonesia dengan hukum internasional dalam hal Indonesia meratifikasi atau tidak
meratifikasi suatu perjanjian internasional, seperti bagaimana hubungan antara
Indonesia dengan International Covenant and Civil and Political Rights
dikarenakan Indonesia
sebagai pihak yang telah meratifikasi International
Covenant and Civil and Political Rights. Demikian juga bagaimana melihat
hubungan antara Indonesia dengan Statuta Roma dikarenakan Indonesia tidak
meratifikasi Statuta Roma, dalam hal ini pentingnya pemahaman hubungan antara
hukum nasional dan hukum internasional.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional dikenal Teori Monisme, yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek
dari satu sistem
hukum.172
Dalam hal ini berarti bahwa hukum internasional dan hukum nasional
merupakan satu kesatuan sistem hukum dimana hukum yang satu mendasari
hukum yang lain, dalam hal penelitian mengenai Konsep Hak Asasi Manusia dan
Implementasinya dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia dimana substansi hak
asasi manusia yang menjadi kerangka ilmunya, peneliti menggunakan Teori
Monisme dengan Primat Hukum Internasional dan Monisme dengan Primat
172
Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional ,Bina Cipta, 1990hlm 42-43,
138
Hukum Nasional
yang berarti dalam kajian hak
asasi manusia apabila
menggunakan teori monisme dengan primat hukum nasional maka
hukum
nasional yang mendasari hukum internasional dalam hak asasi manusia, dan
apabila menggunakan monisme dengan primat hukum internasional maka hukum
internasional yang mendasari pengaturan hak asasi manusia dalam sistem hukum
nasional. Dengan demikian terdapat keterkaitan
antara hukum nasional dan
hukum internasional dalam hak asasi manusia.
“Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum
yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum
intenasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan
yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat
pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan
hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum
nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut
pandangan yang bebeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum
manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan
antara hukum nasional dan hukum internasional ini yang utama ialah
hukum nasional.
Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional.Paham
yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional
dengan hukum internasional yang utama ialah
hukum
internasional.Pandangan ini disebut paham monisme dengan primat
hukum internasional. Menurut teori monisme kedua-duanya mungkin.
Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum
intenasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka,
atau tidak lain dari hukum internasional untuk urusan luar negeri.
Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum
internasional dengan primat hukum nasional ini pada hakekatnya
menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum
nasional. Alasan utama anggapan ini ialah : (1) bahwa tidak ada satu
organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara
di dunia ini;(2) dasar hukum internasional yang mengatur hubungan
intenasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan
perjanjian intenasional, jadi wewenang konstitusional.”173
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum
internasional
bersumber pada kemauan negara , maka hukum
173
Ibid
139
internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat
hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan
tersebut diatas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang
berdasarkan
kenyataan. Diantara alasan-alasan yang terpenting
dikemukakan hal sebagai berikut : (1) kedua perangkat hukum tersebut
yakni hukum nasional dan hukum intenasional mempunyai sumber yang
berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan
hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat
negara; (2) kedua perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya.
Subyek hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam
apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan
subyek hukum dari hukum internasional adalah negara ; (3) sebagai tata
hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakan pula
perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan
untuk
melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti mahkamah dan organ
eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan
hukum nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai argumentasi
yang didasarkan atas kenyataan bahwa daya laku atau keabsahan kaidah
hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum
nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan perkataan
lain dalam kenyataan ketentuan hukum nasional tetap berlaku secara
efektif sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.174
Apabila konstitusi mengatur konsep hak asasi manusia dalam konstitusinya
dengan demikian konsep hak asasi manusia tersebut harus diikuti oleh peraturan
yang ada dibawahnya. Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam hubungan antara
hak asasi manusia dengan hukum internasional dan hukum nasional berpendapat
sebagai berikut:175
“Kalau kita cermati, pertimbangan butir b dari dua kovenan yang baru
saja diratifikasi, di sana ditemukan suatu pernyataan bahwa Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat internasional menghormati, menghargai,
dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan piagam PBB serta deklarasi
universal HAM. Perlu digarisbawahi pertimbangan butir b ini, karena
menegaskan bahwa dengan diratifikasikannya kovenan internasional yang
174
Idem.hlm.43
175
Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php?
140
penting itu, maka, Indonesia masuk dalam bagian dari sistem hukum
internasional HAM.
Selanjutnya, Pasal 2 dari kedua UU itu menyatakan, UU ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan. Oleh karena itu, dengan disahkannya kedua
konvensi internasional menjadi UU, maka dengan ini di Indonesia berlaku
selain UU no. 39/1999 tentang HAM, juga KIHESB (Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan KIHSP
(Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik), yang sama-sama
merupakan UU yang bersifat induk atau lintas sektoral.
Jadi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merupakan Internasional
Bill of Rights yang bersifat induk atau lintas sektoral. Selain itu, kovenan
itu juga dipayungi oleh pasal-pasal HAM yang termuat di dalam UUD
1945.
Lalu bagaimana hubungan di antara kovenan itu dengan konstitusi?
Dalam teori hukum internasional, kita mengenal beberapa teori; pertama,
teori tentang dualisme. Teori tentang dualisme menegaskan bahwa
hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum
nasional berlaku dalam satu negara dan mengatur hubungan antar warga
negara dan warga negara dengan pemerintah.
Kedua, teori monisme. Teori ini berasal dari pemikiran Hans Kelsen
yang menegaskan supremasi hukum internasional atas hukum nasional.
Hukum internasional itu dilihat sebagai the best of available moderator of
human affairs dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum
negara-negara, dan karenanya, dia menjadi lebih utama dari hukum
nasional.”176
Dengan kata lain, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila
bertentangan dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan
dengan sistem hukum internasional. Walaupun teori ini sebenarnya
dibangun dari suatu konstruksi spekulasi intelektual, tetapi teori itu exist di
dalam literatur-literatur hukum internasional.
”Ketiga, teori koordinasi, yang menyatakan bahwa dua sistem hukum,
yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu tidak
berada dalam situasi konflik, karena dua sistem itu bekerja dalam
lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di
lapangannya sendiri, tetapi memang dapat terjadi conflict of obligation
(konflik kewajiban).
Argumen dalam perspektif teori ini, bahwa ketidakmampuan negara untuk
bertindak sesuai dengan kewajiban internasionalnya, karena dengan kita
176
Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php?
141
meratifikasi melalui UU dua kovenan internasional itu negara mempunyai
kewajiban internasional tidak mengakibatkan tidak sahnya hukum internal/hukum
nasional”177.
Jadi, kalau suatu negara gagal memenuhi kewajiban internasionalnya,
menurut teori ini tidak berarti hukum internalnya itu gugur. Suatu doktrin dan
pendirian yang bersifat universal, bahwa negara tidak bisa membela diri, ketika
negara dituduh melanggar kewajiban internalnya. Negara tidak bisa membela diri
karena hukum internalnya itu menghalangi kemampuannya untuk menjalankan
kewajiban internasionalnya. Pembelaan seperti itu menurut pandangan yang
berlaku universal tidak dibenarkan.
Dalam hubungannya dengan hubungan hak asasi manusia dalam hukum
nasional dan hukum internasional dalam hukum nasional Indonesia terdapat
beberapa ketentuan yang dapat menunjukan keterkaitan hubungan antara hukum
internasional
dan
hukum
penghormatan terhadap
nasional,
khususnya
yang
berkaitan
dengan
hak asasi manusia universal yang terdapat dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Secara tersurat pengakuan terhadap
konsepsi hak asasi manusia yang
universal dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak asasi manusia,
dalam bagian menimbang butir b dikatakan:
“Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa,
menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal
Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”178
177
178
Ibid
Keputusan Presiden Republik Indonesia Tentang Komisi Nasional Hak asasi manusia
142
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Republik
Indonesia
Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia semakin menegaskan bahwa dalam
hak asasi manusia terdapat
hubungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional khususnya dalam kaitannya dengan pengakuaan dan penghormatan
terhadap universalitas
hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dimana dalam bagian konsiderans butir C dengan jelas menunjukkan pengakuan
bangsa Indonesia terhadap
Deklarasi Universal Hak-hak
Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
Asasi Manusia
adanya butir C, yang berbunyi sebagai
berikut :
“bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut
menghormati hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi
Universal Hak -hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak -hak
asasi
manusia.”179
Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR pada
butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan
bangsa Indonesia terhadap
universalitas HAM yang didasarkan pada Universal Declaration of Human
Rights:
“Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak
asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai
instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.”180
179
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1988
tentang Hak -Hak asasi manusia Bagian Konsiderans, Butir C
180
Ibid, Bagian B Landasan, Butir 2
143
Pada Piagam Hak asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari
TAP MPR NO XVII pada Pembukaan alinea keempat dikatakan :
“Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan
Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human
Rights). Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan
dalam deklarasi tersebut.”181
Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia,
pada bagian menimbang pada butir d dikatakan:
“bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi
dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak asasi manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument
internasional lain yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”182
Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun
2000 mengenai Pengadilan hak asasi manusia pada Bagian I Umum alinea 4
dikatakan :
“Untuk melaksanakan amanat ketetapan MPR RI No XVII/MPR/ 1998
tentang Hak asasi manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39
Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia. Pembentukan Undang-Undang
tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan
undang-undang tentang Hak asasi manusia juga mengandung suatu misi
mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal Hak asasi manusia yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrument
hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan
atau diterima oleh negara Republik Indonesia”183
Apa yang dikemukakan di atas mengenai bagaimana sistem hukum
Indonesia mengakui Universal Declaration of Human Rights menunjukkan
181
Piagam Hak asasi manusia Indonesia.
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia.
183
Penjelasan atas Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
182
144
pengakuan negara Republik Indonesia terhadap Hak
asasi manusia yang
Universal, terlebih lagi dengan pengaturan Hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar 1945 yang juga menunjukkan pengakuan Hak asasi manusia yang
universal.
Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa, telah membatasi
kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan bahasa yang
indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang
berlaku pada bangsa tersebut.184
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul akibat dari
adanya pelanggaran terhadap hukum internasional, walaupun hukum nasional
mengganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun
apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap
bertanggungjawab.185
Dalam hal tanggungjawab terhadap norma hukum hak asasi manusia
Internasional negara pelaku tidak dapat lagi berlindung di balik kedaulatannya
untuk menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana
dikatakan Hector Gros Espiel, “The question of Human Rights is no longer the
preserve of the domestic jurisdiction of states, but is now recognized as being
184
Komisi Nasional Hak asasi manusia, Hak asasi manusia Dalam Perspektif Budaya
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 54
185
F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, hlm 77.
145
governed by
internal law and by international law, against which special
internal law cannot be invoked.”186
B. Konsep Universal Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah adalah isu yang tidak pernah selesai untuk
dibicarakan, karena membicarakan hak asasi manusia, berarti
membicarakan
suatu pemahaman Konsep yang universal yang berarti suatu konsep yang bisa
diterima di semua tempat dan di semua waktu, atau dengan kata lain meskinya
dengan pemahaman konsep Universal dari hak asasi manusia, maka tidak akan
ada lagi pandangan yang berbeda mengenai hak asasi manusia karena konsepsi
hak asasi manusia yang universal berarti suatu pemahaman yang sama dalam
memandang hak asasi manusia.187
Hak asasi manusia dipandang sebagai suatu suatu standar Internasional
yang melintasi batas budaya dan merupakan sistem hukum internasioanl yang
berlaku dalam masyarakat negara.188 Melintasi batas budaya dalam hal ini
dimaksudkan bahwa seharusnya tidak ada lagi perbedaan dalam pengaturan dan
pelaksanaan hak
asasi manusia dikarenakan perbedaan budaya tidak
mempengaruhi berlakunya hak asasi manusia, karena Universalitas dari hak asasi
manusia.
Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy
Symonides (editor), Human Rights: Concept and Standards,Paris: UNESCO, 2000, hlm.
349
187
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Loc.Cit.
188
Sonia Haris Short, International Human Rights Law : Imperialist,Inept and
Ineffective?cultural Relativisme and the UN Convention on the Rights of the child in
Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social
Sciences, Humanities, And Law, Volume 25 Number 1, February 2003, Hlm.131.
186
146
Dalam kenyataannya persoalan budaya yang selalu menghambat
berlakunya Hak asasi manusia yang dipandang Universal, bahkan konsep hak
asasi manusia yang sudah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional dapat
diperlakukan berbeda dalam suatu negara dengan pertimbangan sosial dan budaya
dari negara tersebut, yang sebenarnya tidak sesuai dengan hak asasi manusia
yang bersifat Universal.
Hak asasi manusia filosofinya adalah menjamin penghormatan terhadap
setiap orang martabat dan kemerdekaan manusia dari semua bentuk tindakan
yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam menjalankan hidupnya
di masyarakat.189
Konsep hak asasi manusia yang dipandang sebagai suatu konsepsi yang
universal, Universal dalam kamus umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta
diartikan sebagai umum (yang meliputi (berlaku di,terdapat di ) seluruh dunia
(termasuk, dilakukan oleh) semua orang; berakibat pada semua orang190. Dengan
menggunakan pedoman yang terdapat dalam kamus WJS Poerwadarminta, maka
dengan demikian hak
asasi manusia Universal diartikan sebagai hak
asasi
manusia yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate
Dictionary, 191
“Universal: 1. including or covering all or a whole collectively or
distributively without limit or exceptions; 2. a present or occuring
everywhere b: existent or operative everywhere or under all condition.”
Jacques Robert, “Contitutional and International Protection of Human Rights
Competing or Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2, 31
March 1994,NP Engel Publisher hlm 2
190
WJS
Poerwadarminta,
Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia,Balai
Pustaka,Jakarta,1993,Hlm 1130
191
Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster inc., Publishers,
Springfield, Massachusetts, USA, hlm 1291.
189
147
“Universality: 1. the quality or state of being Universal; 2. Universal
Comprehensiveness in range.”
“Universalism: 1. often cap as a: a theological doctriBne that all men
will eventually be saved b: the principles and practises of a liberal
Christian denomination founded in the 18th century orig. .to uphold belief
in universal salvation and know united with unitarianism 2. something
that is universal in scope.”
Berpedoman kepada Websters Ninth New Collegiate Dictionary, maka
universal diartikan sebagai berlaku umum, Universality atau Universalitas
diartikan sebagai sesuatu yang berlaku umum, dan universalisme diartikan sebagai
suatu paham yang bersifat universal, dalam kaitan dengan penelitian ini maka hak
asasi manusia adalah berlaku Universal yang artinya berlaku umum, di setiat
tempat dan di setiap waktu, dan hak asasi manusia sebagai suatu obyek yang
berlaku umum, yang kemudian mengakibatkan paham atau pandangan bahwa hak
asasi manusia berlaku secara universal.
Dalam praktik negara-negara seringkali penerapannya menimbulkan
perdebatan di kalangan para ahli hukum bahwa penerapan universalitas dari hak
asasi manusia ke dalam hukum nasional atau pelaksanaan hak asasi manusia
oleh negara tidak sesuai dengan prinsip universalitas, dan cenderung disesuaikan
dengan bagaimana pandangan negara mengenai hak asasi manusia itu sendiri.
“Sebagai bangsa yang merupakan bagian (sub-sistem) masyarakat global,
tanpa mengabaikan unsur-unsur partikularistik yang dominan, berbagai
kecenderungan global harus dilihat sebagai kecenderungan nasional. Hal
ini khususnya apabila berkaitan dengan hak asasi manusia yang bersifat
absolute (absolute rights) yang tidak dapat dikesampingkan, sekalipun
suatu negara dalam keadaan darurat.”192
Muladi, “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, Jurnal
Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, Hlm 38
192
148
Konsepsi hak
asasi manusia
secara universal, tentunya tidak dapat
terlepas dari hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah:
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law.
c. The General Principles of Law Recognized by civilized nations;
d. Judicial decisions and the teaching of the most highly publicist of the
various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of
law.193
Hukum Internasional memiliki instrumen-instrumen utama hak asasi
manusia yang meliputi :
1. Universal Declaration of Human Rights
2. International Covenant on Civil and Political Rights
3. International Covenant on Economic,Social and Cultural Rights
4. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political
Rights
5. Second Optional Protocol to The International Covenant on Civil and
Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty.
Sebagai suatu tatanan nilai yang telah diterima masyarakat internasional
sebagaimana pengertian hukum internasional, dimana hukum internasional adalah
keseluruhan kaidah-kaidah dan azaz-azaz yang mengatur hubungan-hubungan
yang melampaui batas-batas negara antara negara dengan negara atau antara
negara dengan subyek hukum internasional atau antara subyek hukum
193
Pasal 38 Statuta International Court of Justice
149
internasional yang satu dengan yang lain.194 Maka negara telah menerima konsep
universalitas itu sebagai suatu konsep yang berlaku secara universal. Bahkan
dalam hal ini adanya pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan
kecenderungan global lebih luas yang mencakup pula pelbagai resolusi badanbadan PBB, model perjanjian (model treaties), code of conduct, guidelines, basic
principles, safeguard, standar minimum rules, dan berbagai deklarasi
yang
disusun oleh badan-badan internasional serta hasil-hasil pertemuan ilmiah yang
diselenggarakan oleh profesi internasional195:
“Globalisasi semakin
memperkuat pemikiran-pemikiran untuk
mempersoalkan nilai-nilai dasar HAM, yang bersifat universal, indivisible
and interdependent and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar
masyarakat internasional memperlakukan hak asasi secara global in a fair
and equal manner, on the same footing, and with the same emphasis.
Di dalam Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993) butir
E.83 yang mengatur mengenai implementation and monitoring methods
ditegaskan
bahwa
pemerintah-pemerintah
hendaknya
menggabungkan
(incorporate) standar-standar yang terdapat pada instrument hak asasi manusia
internasional ke dalam hukum nasional (domestic Legislation) dan memperkuat
pelbagai struktur, lembaga nasional dan organ-organ dalam masyarakat yang
memainkan peran di dalam mempromosikan dan melindungi hak
asasi
manusia.”196
194
Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung,
Cetakan ketujuh 1990, hlm.3.
195
Muladi mengutip Held, David, Democracy and the Global Order, Polity Press, 1995
Dalam Tulisan “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”,
dalam Jurnal Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, Hlm 38
196
Komisi Hak asasi manusia, Hak asasi manusia Dalam Perspektif Budaya, Makalah
Muladi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, Hlm 81.
150
“Muladi mengatakan sekalipun
hak
universal, namun sebagaimana negara-negara
asasi manusia
memiliki sifat
berkembang yang lain dalam
implementasinya dikenal pula asas relativisme kultural, yang secara universal
juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh penggunaan asas relativisme
kultural tersebut tidak bertentangan dengan
manusia
yang universal. Pentingnya
prinsip dan hakekat
hak asasi
untuk tetap mempertimbangkan aspek
kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak asasi
manusia, nampak pada contoh sebagai berikut:
The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa “No
country however, should use ist power to dictate its concept of democracy and
human rights or impose conditionalities on others.”
Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang
dirumuskan oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain
menegaskan :
“the people of ASEAN Accept that human rights exist in a dynamic and
volving context and that each country has inherent historical experiences,
and changing economic, social,political and cultural and value system
which should be taken into account”.
Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang
menyatakan bahwa:
“While Human Rights are Universal in nature, they must be considered
in the context of a dynamic and envolving process of international norms
setting, bearing in mind the significance of national and regional
peculiarities and various historical, cultural and religious background.”197
197
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, akarta 2002, Hlm.56.
151
Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi
dunia tentang Hak asasi manusia yang merumuskan bahwa:
“All human rights are universal, indivisible and interdependent and
interrelated while the significant of national and regional Particularities
and various historical, cultural and religious background must be borne in
mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and
cultural systems, to promote and protect all human rights and
fundamental freedoms.”198
Sekalipun para sarjana hukum sering berpendapat bahwa berbicara
mengenai universalitas dan partikularitas dari hak asasi manusia pada saat ini
sudah tidak relevan lagi, pada kenyataannya persoalan tersebut selalu saja terjadi
ketika berbicara mengenai pengaturan hak
asasi manusia
dalam peraturan
perundang-undangan nasional dan pelaksanaan atau penegakan hukum mengenai
hak asasi manusia.
Dalam kaitannya dengan konsep universalitas dari hak asasi manusia,
dalam penerapannya di suatu negara hak asasi manusia yang sifatnya universalitas
tersebut kemudian dipengaruhi oleh aspek sosial budaya dari negara yang
bersangkutan. Universalitas tersebut kemudian dilihat dalam konsep hak asasi
manusia dari negara yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh konsep-konsep
lain seperti konseps hak asasi manusia dalam Persepektif Islam, konseps hak
asasi manusia dalam Perspektif Indonesia, hak asasi manusia dalam Persepektif
Barat, konsep hak asasi manusia dalam Perspektif Negara Maju, konsep hak
asasi manusia dalam Perspektif Negara Berkembang, yang kesemuanya itu pada
198
Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993)
152
akhirnya membawa pembahasan pada universilitas dan partikularitas dari hak
asasi manusia.
Perdebatan mengenai universalitas dan relativitas selalu mengemuka apabila
berbicara mengenai hak asasi manusia.199 Satu hal yang juga harus dicatat bahwa
adalah salah satu hal yang dapat dipergunakan untuk menentukan persoalan
budaya dalam pemberlakuan hak asasi manusia, tetapi tidak dapat dikatakan
bahwa hak asasi manusia tidak sesuai untuk non barat dan ajaran-ajaran agama.200
Zehra F Kabaskal Arat, mengatakan bahwa dengan penerimaan masyarakat
internasional terhadap Universal Declaration of Human Rights
masyarakat
internasional telah memiliki budaya internasional tersendiri.201
Kritikan terhadap universalitas dari Universal Declaration of Human Rights,
disebabkan karena :
1. Latar Belakang Budaya yang Berbeda
2. Dipandang mencoba untuk merubah Budaya lokal dan mengganti budaya
lokal tersebut.
3. Universal Declaration of Human Rights dipandang menciptakan suatu budaya
baru yang disebut dengan Budaya Internasional Baru.202
Michael Goodhart, “Origins and Universality in the Human Rights Debates : Cultural
Essentialism and the Chalenge of Globalizations”, dalam Human Rights Quarterly A
Comparative and international Journal of The Social Sciences Humanity, and
Law,Volume 25 Number 4 November 2003,The Jhon Hopkins University Press, Hlm
938.
200
Ibid, Hlm 939.
201
Zehra F Kabaskal Arat, “Forging A Global Culture of Human Rights:Origin and
Prospects of International Bill of Rights”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative
and International Journal of the Social Sciences, Humanities, and Law, Volume 28,
Number 2, May 2006, The Jhon Hopkin University, Hlm 417.
202
Zehra F Kabaskal Arat, Ibidem, Hlm 418.
202
Zehra F Kabaskal Arat, Ibidem, Hlm 418.
199
153
Perbedaan yang ada dalam menyikapi Universal Declaration of Human
Rights, apakah negara tetap akan menghormati Universal Declaration of Human
Rights.203
Pada sisi lain apabila pengaturan hak asasi manusia dalam suatu negara
sudah disesuaiakan dengan latar belakang dan budaya suatu negara apakah
menjamin bahwa hak asasi manusia tersebut akan dilaksanakan dengan baik.204
Dalam menyikapi perbedaan pandangan mengenai universalitas dan
partikularistik dari HAM dikenal adanya suatu konsep yang disebut dengan “The
Concept of the Margin Appreciation”, dimana yang dimaksudkan dengan Concept
of Margin Appreciation adalah suatu konsep dalam menyikapi perbedaan
pelaksanaan universalitas dari hak asasi manusia dengan aspek sosial dan budaya
maka diperlukan suatu toleransi dalam menyikapi perbedaan pandangan yang ada
tannpa memberikam justifikasi bahwa suatu paham dalam hak asasi manusia lebih
baik dari paham yang lain.205
Dalam kaitannya dengan pembahasan hak asasi manusia yang Universal
serta perlunya diperhatikan aspek-aspek sosial budaya setempat yang dikenal
dengan Partikularistik dari hak asasi manusia, peneliti mengacu kepada Final
Declaration of the Regional Meeting For Asia of The World Conference on
Human Rights yang kemudian dikenal dengan Bangkok Declaration 1993
Scott Walker & Steven C,Poe, “Does Cultural Diversity Affect Countries Respect for
Human Rights?”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative and International
Journal of The Social Sciences, Humanities, and Law,Volume 24 Number 1 February
2002, Hlm,238
204
Ibid, Hlm.245.
205
Paul Mahoney, “Marvellous Richness of Diversity or Indivious Cultural Relativism”,
dalam Human Rights Law Journal ,Vol.19,No 1,30 April 1998,N.P.Engel Publisher Hlm
1.
203
154
merupakan pengakuan regional dari hak asasi manusia terhadap Universalitas
dari hak asasi manusia sebagaimana tanpa mengabaikan aspek partikularistik
dari hak asasi manusia.
Reaffirming their commitment to principles contained in the Charter of the
United Nation and the Universal Declaration on Human Rights206
Stressing the Universality,Objectivity and non selectivity of all human
rights and the need to avoid the application of double standards in the
implementation of human rights and its politicization.207
Dalam Deklarasi 8
“While Human Rights are Universal in nature,they must be considered in
the context of a dynamic and volving process of international norms
setting, bearing in mind the significance of national and regional
peculiarities and various historical,cultural and religious background.”208
Serta dalam Deklarasi 24
“Welcome the important role played by national institution in the genuine
and constructive promotion of Human Rights, and believe that the
conceptualization and eventual establihsment of such institution are best
left for the state to decide.”209
Hak Asasi Manusia sebagai suatu nilai yang universal
tertuang dalam
Universal Declaration of Human rigths, yang ditegaskan kembali dalam Deklarasi
Wina
“Dalam sejarah perkembangannya yang awal di negeri-negeri Barat,
proses berkembangnya ide hak-hak manusia yang asasi -- berikut segala praksispraksis implementatifnya -- terjadi berseiring benar dengan berkembangnya ide
untuk
206
Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of The World Conference on
Human Rights yang kemudian dikenal dengan Bangkok Declaration 1993
207
Ibid
208
Ibid
209
Ibid
155
Membangun suatu negara bangsa yang demokratik dan berinfrastruktur
masyarakat warga (civil society). Ide ini mencita-citakan terwujudnya suatu
komunitas politik manusia sebangsa atas dasar prinsip kebebasan dan kesamaan
derajat serta kedudukan di hadapan hukum dan kekuasaan. Ini berarti bahwa
setiap manusia sebangsa dalam kehidupan komunitas bangsa yang disebut Negara
bangsa itu akan tak lagi boleh dipilah ke dalam golongan mereka yang harus
disebut para Gusti dengan segala hak-hak istimewanya dan golongan mereka
yangharus dinisbatkan sebagai para Kawula Alit dengan segala kewajibannya
untuk patuh dan berdisiplin.
Tak lagi mengenal dua kelas yang terpilah secara diskriminatif,
masyarakat yang terbentuk itu -- demikian menurut model idealnya -- adalah suatu
masyarakat baru yang berhakikat sebagai masyarakat warga yang pada asasnya
berkebebasan, eksis dan bersitegak di atas dasar paham egalitarianisme. Tak lagi
ada kelas ningrat yang atas, tak ada lagi kelas kawula biasa yang bawah, yang ada
kini ini (idealnya yang universal !) adalah kelas tengah.Semua saja tanpa
kecualinya memiliki hak dan kebebasan yang sama. Hak dan kebebasan hanya
boleh dibatasi -- atas dasar kesepakatan, yang dicapai tanpa rasa keterpaksaan -oleh para warga itu sendir (atau oleh wakil atau kuasanya).
Kesepakatan seperti itu, yang dalam istilah teknisnya
kesepakatan
kontraktual, kemudian daripada itu harus dipositifkan dalam wujud kontrakkontrak perjanjian (manakala dalam kehidupan privat) atau akan berbentuk
undang-undang (manakala dalam kehidupan publik). Itulah suatu perkembangan
dalam kehidupan hukum,dari kehidupan dengan hukum yang tercipta oleh sumber
156
kekuasaan eksternal ke kehidupan baru dengan hukum yang tercipta oleh sumber
kekuasaan yang internal dari para manusia itu sendiri diidealkan seperti itu, maka
pada asasnya dan menurut doktrinnya hak-hak para warga yang asasi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu – juga pembatasannya dalan wujud
kewajiban-kewajiban -- mestilah berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan
ikhlas. Tidaklah sekali-kali dibenarkan manakala hubungan atas dasar
kesepakatan itu terjadi karena suatu pemaksaan atau keterpaksaan, atau pula
karena dikecoh atau disesatkan lewat penipuan. Hak dan kewajiban yang menjadi
dasar dari seluruh tertib hukum di dalam kehidupan bernegara bangsa dan di
dalam kehidupan masyarakat warga itu tidaklah sekali-kali boleh bermula dari
kehendak sepihak yang dipaksakan : dipaksakan oleh dia yang tengah berkekuatan
dan berkekuasaan kepada dia yang tengah berada dalam posisi lemah dan kurang
berkeberdayaan Tatkala hak-hak asasi manusia dideklarasikan di New York atas
wibawa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, deklarasi itu tak ayal lagi
adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari dan bertumpu pada ide, doktrin
dan/atau konsep mengenai kebebasan dan kesetaraan manusia sebagaimana yang
telah lama dimengerti di dunia Barat itu sebagaimana dipaparkan di muka.
Lebih lanjut lagi
deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwa hak-hak
dan seluruh ide dan doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal Kalau
semula pada awalnya yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah
universalitas yang masih pada lingkup nasional, mengatasi partikularisme yang
lokal dan/atau etnik dan atau yang sektarian, kini yang dimaksudkan dengan
universalitas itu deklarasi itu secara resmi disebut The Universal Declaration of
157
Human Rights, dengan mengikutkan kata ‘universal’ guna mengkualifikasi
deklarasi itu sebagai suatu pernyataan yang berkeniscayaan mesti berlaku umum
di negeri manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan terhadap
sesiapapun dari bangsa manapun.Namun demikian, yang masih tetap akan
menjadi persoalan besar sampai pun saat ini ialah, apakah ide dan konsep – dan
karena itu segala kebijakan dan upaya penegakan hak-hak asasi manusia di dalam
kehidupan yang telah berskala global itu – harus bersifat demikian universalistik,
dalam artiannya yang mutlak? Ataukah, sekalipun deklarasi itu telah diterima oleh
banyak wakil negara bangsa di dunia ini, masihkah ada juga tempat untuk tafsirtafsir yang lebih bersifat partikularistik? Artinya, adakah hak-hak asasi manusia
itu harus ditegakkan kapan saja, di mana saja dalam pengertiannya yang sama
sebagaimana modelnya yang klasik dari Barat itu? Ataukah hak-hak asasi manusia
itu hanya bisa dipandang sebagai sesuatu yang
universal dalam hal prinsip-
prinsipnya saja? Yang oleh sebab itu implementasinya -- demi pemajuan dan
penegakan hak-hak dengan memperimbangkan dan/atau memperhitungkan
kondisi dan situasi setempat yang partikular .”210
C. Konsep Partikular Hak Asasi Manusia
“Menghadapi persoalan universalismepartikularisme ini, banyak negara di
kawasan-kawasan regional mencoba mendefinisikan ulang hak-hak asasi manusia
dengan mencoba menampung keragaman konsep-konsep lokal itu dalam
konteksnya yang lebih umum dan universal. Di kawasan ASEAN, misalnya, pada
210
Sutandyo wignjosubroto,Kursus Hak Asasi Manusia untuk advokat,Elsam 2005,Hlm
18
158
tahun 1984 pernah dideklarasikan suatu
pernyataan mengenai "Kewajiban-
Kewajiban Dasar bagi Masyarakat dan Pemerintah di Negara-Negara ASEAN".
Salah satu pernyataan umum yang dihasilkan oleh pertemuan Kairo
menegaskan konsep hak-hak asasi manusia yang universal menurut versi Islam.
menyebutkan bahwa negara-negara yang wakil-wakilnya bersidang di Kairo ini
bersepakat untuk pada asasnya akan selalu menjunjung tinggi
pelaksanaan
penegakan hak-hak asasi manusia, namun dengan catatan sejauh hak-hak manusia
yang asasi itu tidak bertentangan dengan syariah Islam.Tentu saja statemenstatemen atau deklarasi-deklarasi yang selalu dinyatakan dalam rumusan-rumusan
umum itu dalam praktiknya yang konkrit nantinya masih menuntut penjabaran
lebih lanjut. Kesepakatan-kesepakatan, tidak hanya pada forum internasional akan
tetapi juga pada forum nasional itu sendiri, masih diperlukan. Banyak wacana
masih perlu dikembangkan orang untuk mempertanyakan dan menemukan jawab
mengenai luas-sempitnya hak-hak warga negara dalam eksistensinya sebagai
mahluk yang berkodrat dan bermartabat sebagai manusia.
Manakah yang harus didahulukan untuk diikuti sebagai pegangan; konsep
humanistik yang universal ataukah konsep lokal-nasional yang partikular?
Kongres Dunia tentang hak-hak asasi manusia yang diselenggarakan di Wina pada
bulan Juni 1993 mencoba menjawab dengan jelas pertanyaan ini. Dalam Kongres
itu dicapai kesepakatan untuk mengatasi persoalan universalisme-partikularisme
itu dengan menyatakan bahwa "sekalipun diakui adanya keragaman sosial dan
budaya setempat, akan tetapi semua saja harus tetap mengupayakan berlakunya
universalitas hak-hak asasi manusia berikut upaya-upaya penegakannya".
159
Kesepakatan dalam Kongres Wina itu memang boleh dikatakan
merupakan refleks mayoritas wakil-wakil Negara peserta untuk bertekad
mengakui hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang kodrati, yang karena itu
benar-benar bersifat universal, dan yang karena itu pula bukanlah sekali-kali
merupakan hak-hak yang diperoleh karena kebajikan yang partikular dari para
penguasa. Manakala keragaman sosial-budaya setempat toh masih harus diakui
keberadaan dan kekuatan berlakunya, maka pengakuan itu hanyalah “demi fakta”
saja sifatnya, yang
tidaklah akan mengganggu esensi
normatifnya. Pada
prinsipnya, tak ayal lagi hak-hak asasi manusia itu tetap universal jugalah
sifatnya, sedangkan keragaman dalam hal pemahamannya itu -- yang sering
terkesan masih sering bertahan pada saat ini -- hanyalah akibat pengalaman
cultural berbagai bangsa yang berbeda-beda dari masa lalu. Perbedaan tradisi yang
partikular dari suku ke suku dan dari bangsa ke bangsa tidaklah harus
menghalangi pengakuan bahwa pada prinsipnya hak-hak asasi manusia itu bersifat
kodrati dan universal.Lebih lanjut, bertolak dari kesepakatan Wina ini, orang
dapatlah menyimpulkan bahwa hanya dalam keadaan-keadaan dan kenyataankenyataan tertentu sajalah usaha merealisasi prinsip-prinsip yang universal itu
boleh ditangguhkan atau direservasi.
Apabila
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
khusus
yang
bersifatsementara dan tak terelakkan suatu usaha penegakan hak-hak asasi
manusia atas dasar klaim universalitasnya itu akan menimbulkan akibat yang
lebih berkualifikasi mudarat daripada manfaat,maka tidaklah bijak untuk
memaksakan terteruskannya usaha itu. Di negeri-negeri berkembang, misalnya,
160
kalaupun anak-anak berdasarkan prinsip-prinsip universalisme harus diakui juga
sebagai pengemban hak-hak (katakan saja untuk memperoleh pendidikan seperti
yang dituliskan di Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia), namun
dalam praktik dan menuruti moral kultural di negeri-negeri berkembang yang
miskin anak-anak itu mestilah berbakti pada orang-tuanya dengan cara ikut
membantu orang tua bekerja, yang kalau perlu dengan meninggalkan bangku
sekolahnya.”211
Sekalipun seringkali dikemukakan dengan penuh semangat bahwa agamaagama besar di dunia ini tak ada satu pun yang mengingkari hak-hak manusia
untuk hidup, bekerja dan menguasai milik demi keselamatannya di dunia dan
akhirat,namun toh tak dapat diingkari hal berikut ini. Ialah bahwa banyak tradisi
lama – juga yang mengklaim kebenarannya dari ajaran agama -- yang masih
mendakwakan bahwa hak dan kewenangan itu ada di tangan para penguasa, dan
tidak di tangan rakyat. Para penguasa -- dan bukan individu-individu yang hidup
sebagai bagian dari massa rakyat -- inilah yang eksis dalam statusnya sebagai
representasi kepentingan kolektif suatu kolektiva, entah yang berformat suku
entah yang berformat bangsa.
Tradisi lama ini umumnya juga mengenal pembeda-bedaan peran dan hak
diantara golongan penduduk, dengan akibat bahwa sesiapapun yang terbilang
kaum minoritas akan termarjinalisasi dan terdiskriminasi secara tak sepatutnya.
Maka, manakala oleh sesuatu sebab dan berdasarkan suatu argumen orang
membenar-benarkan berlakunya prinsip relativisme kultur seperti itu, ini akan
211
Idem,Hal 19
161
berarti bahwa orang yang berargumen seperti itu – sadar atau tidak – sebenarnya
akan tidak berkeberatan untuk menangguhkan berlakunya suatu kaidah tertentu
dalam suatu deklarasi internasional tentang universalitas hak-hak asasi manusia.
Manakala pendapat seperti ini memperoleh dukungan yang luas, maka tak ayal
lagi, itu akan berarti terjadinya toleransi untuk memperpanjang praktik
diskriminasi dan mungkin juga kriminalisasi di berbagai belahan bumi ini.
Mengupayakan perubahan dengan langkah-langkah yang bergaya memaksakan,
namun demikian, adalah pula bukan langkah yang bijaksana, dan salah-salah
malah dapat diprasangkakan sebagai langkah pelanggaran hak-hak manusia yang
asasi untuk hidup dalam suasana kebudayaannya sendiri.
Bukankah Pasal 27 Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia menjamin
bahwa “setiap orang berhak untuk secara bebas mengambil bagian dalam
kehidupan kultural komunitasnya sendiri”? Bukankah pula sementara itu pasal 15
ayat 1(a) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kultural
juga menjanjikan bahwa “setiap negara peserta Kovenan mengakui hak setiap
orang untuk mengambil bagian dalam kehidupan kultural”?
Berkeyakinan akan sifat universalitas hak-hak asasi manusia di satu pihak,
akan tetapi di lain pihak juga mengakui realitas betapa masih kuatnya
partikularitas dan relativitas kultur yang bertahan di berbagai negeri,kesepakatan
yang dicapai dalam Kongres Wina pada tahun 1993 dapatlah dinilai sebagai
kompromi yang realistis tanpa meninggalkan prinsip. Universalitas hak-hak asasi
manusia adalah sesuatu yang masih dalam tataran alam ideal, yang realisasinya
masih akan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh guna mengefektifkan
162
perubahan tradisi dan keyakinan. Semua usaha ini harus dikerjakan melalui suatu
proses berjangka panjang, yang tidak akan lain daripada usaha pendidikan guna
“memberantas buta hak di kalangan rakyat”.
Kongres di Wina Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan tahun 19952004 sebagai “Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia”.
Pencanangan “Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia, 1995-2004”
ini boleh dikatakan sebagai suatu pernyataan yang tak meragukan lagi akan
adanya kesepakatan bulat negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai pentingnya pendidikan untuk memajukan pemahaman khalayak ramai
di kalangan bangsa-bangsa dunia mengenai hak-hak asasi. Pendidikan akan
berpotensi menyadarkan jutaan manusia di bumi ini akan pentingnya
menyamakan visi mengenai masa depan kehidupan manusia di bumi yang kian
menyatu ini. Kalaupun orang masih merasa perlu demi kesejahteraannya untuk
mengukuhi tradisi lokalnya dan ideologi kebangsaannya, dalam kehidupan masa
depan di bumi yang kian menyatu ini orang pun mestilah harus mulai sanggup
menerima apa yang disebut the third culture of human kind sebagai idom baru.
Inilah prasyarat yang diperlukan demi dimungkinkannya kehidupan bersama yang
damai tanpa sekatan-sekatan yang melambangkan adanya diskriminasi di antara
sesama manusia di tengah kehidupan yang tidak hanya bersifat multikultural
melainkan juga telah kian plural”.212
D. Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi
212
Idem,Hlm 20.
163
1. Konsep
Pelanggaran
Berat
Hak
Asasi
Manusia
dalam
Hukum
Internasional
Pelanggaran berat hak asasi manusia dalam hukum internasional berkaitan
dengan beberapa ketentuan yang berkembang pasca perang dunia kedua, yang
bisa dilihat dalam antara lain Nurenberg Trial yang meliputi genocide, War
Crime, Crime against humanity, diatur dalam International Criminal Tribunal for
the former Yugoslavia dan International Crriminal Tribunal for Rwanda yang
meliputi war crime, crime againt humanity dan genocide.
Seiring dengan berdirinya International Criminal Court sebagai pengadilan
internasional yang sifatnya permanen, yang mempunyai yurisdiksi atas 4 macam
kejahatan yang meliputi genocide,war Crime, Crime against humanity dan agresi
menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang termaksud diatas adalah kejahatankejahatan yang dikatagorikan dalam pelanggaran hak asasi manusia berat.213
Setelah perang dunia ke II yang dahsyat itu Hukum Internasional Hak
Asasi Manusia (HIHAM) mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan
serta dengan sendirinya menjadi rujukan berbagai aktor seperti, negara, organisasi
internasional, nasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hubungan antar bangsa di dunia
meliputi tidak saja kepentingan ekonomi, politik dan militer, tapi juga
kepentingan sosial dan budaya. Hubungan antar bangsa di berbagai bidang
kegiatan itu tak terelakkan wajib menghormati dan mematuhi HAM. Dalam
213
Abdul hakim garuda Nusantara, Penerapan Hukum Internasional Dalam Kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia
164
konteks ini Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara umum
menyebutkan, bahwa “PBB akan memajukan penghormatan dan kepatuhan
terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua bangsa tanpa
pembedaan suku bangsa, kelamin, bahasa atau agama.” (Pasal 55 c Piagam PBB).
Selain itu pada bulan Desember tahun 1948 Majelis Umum PBB menerima dan
mengesahkan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB
memuat norma-norma HAM di bidang-bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Norma-norma HAM itu dinyatakan dalam suatu deklarasi dan berlaku
sebagai standar atau baku pelaksanaan HAM bagi semua bangsa dan semua
negara.
Piagam dan DUHAM PBB tersebut di atas merupakan salah satu sumber
awal bagi lahirnya HIHAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Genosida tahun l948, Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi
Rasial,
Konvensi
Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi
Internasional Tentang Hak-hak Anak, dan lain sebagainya. Konvensi-konvensi
internasional tersebut perlu dikemukakan untuk menggambarkan tahapan
perkembangan Undang-undang HAM Internasional (International Bill of Rights).
J.G. Starke menyebutkan secara kronologis tiga tahapan penyusunan
International Bill of Rights sebagai berikut: pertama, sebuah Deklarasi yang
165
menetapkan bermacam-macam hak manusia yang seharusnya dihormati; kedua,
serangkaian
ketentuan
Konvensi
yang
mengikat
negara
negara
untuk
menghormati hak-hak yang telah ditetapkan tersebut; dan ketiga, langkah-langkah
dan perangkat kerja untuk pelaksanaannya. Sebagian dari Konvensi konvensi
internasional itu sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia dan karena itu sudah
menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Konvensi konvensi internasional
yang telah diratifikasi itu, antara lain Konvensi internasional Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi
dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional
Tentang Hak Anak, dan berbagai Konvensi International Labour Organization
(ILO) yang tidak disebutkan disini.
Substansi konvensi konvensi internasional HAM tersebut, tidak akan
ditemukan suatu difinisi tunggal yang menjelaskan secara memadai pengertian
pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat pada umumnya difahami
sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang
luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Salah satu bentuk
pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Genosida Tahun l949 genosida berarti tindakan dengan kehendak
menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau
agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu:
a. Membunuh anggota kelompok;
166
b. Menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap anggota
kelompok;
c. Secara sengaja dan terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah
kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian ;
d. Memaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah
kelahiran dalam kelompok tersebut ;
e. Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke
kelompok lain. 214
Menurut Geoffrey Robertson QC pengertian genosida tersebut di atas
cukup luas di mana termasuk didalamnya perbuatan pembersihan etnis dan
pembersihan massal agama. Akan tetapi difinisi itu tidak menyentuh pembantaian
terhadap suatu kelas ekonomi tertentu (kaum Kulaks) dan jutaan orang yang
dianggap pengkhianat yang dilakukan oleh Stalin. Definisi genosida tersebut di
atas juga tidak menjangkau pembunuhan ribuan orang yang mempunyai
keyakinan politik tertentu yang dilakukan oleh para penguasa militer. Misalnya,
atas dasar itu pemerintah Kerajaan Inggris menolak untuk memenuhi tuntutan
Jaksa Spanyol yang menuduh Jenderal Pinochet telah melakukan genosida karena
membantai kelompok sayap kiri di Chili.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tidak ada satu difinisi tunggal yang
memadai untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran
HAM berat. Berbagai bentuk pelanggaran HAM berat tidak cukup diterangkan
214
Konvensi pencegahan dan penghukuman Genosida tahun 1949
167
dalam satu difinisi hukum. Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg
menyebutkan kejahatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM berat
sebagai berikut:
1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan
terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau
menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian
internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan; atau turut serta
di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu
daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.
2. Kejahatan Perang (War Crimes). Termasuk kejahatan perang ialah:
pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti
pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan
mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara paksa, atau di wilayah
pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam,
membunuh mereka, atau memperlakukan orang di laut secara demikian;
merampas milik Negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau
desa dengan secara berkelebihan atau semau-maunya, atau membinasakannya
tanpa adanya keperluan militer.
3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Termasuk
kejahatan terhadap kemanusiaan ialah: pembunuhan (murder) membinasakan,
memperbudak,
mengasingkan
dan
lain-lain
kekejaman
di
luar
perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau
sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik,
168
ras atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan
membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan
rencana bersama komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut
bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana
tersebut. 215
Menurut Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional tersebut para
pemimpin, organisator, instigator (agitator) dan pembantu yang berpartisipasi
untuk merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi untuk melakukan
kejahatan tersebut di atas tetap bertanggungjawab atas tindak pidana yang
dilakukan oleh setiap orang yang melaksanakan rencana tersebut.
Pengadilan Internasional untuk penuntutan orang-orang yang yang diduga
bertanggungjawab atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional di
wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun l991 (International Tribunal For The
Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International
Humanitarian Law Committed In The Territory Of The Former Yugoslavia Since
l991 (ICTY) dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.827
Tahun 1993 menyebutkan berbagai bentuk pelanggaran serius atau berat HAM,
yang berada di bawah kompetensi pengadilan tersebut, yaitu: 1. Kejahatan
Genosida; 2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Statuta Pengadilan Pidana
Internasional Untuk Rwanda (ICTR) menyebutkan pula kompetensinya atas
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dua bentuk kejahatan
ini dinilai sebagai suatu pelanggaran serius atau berat HAM oleh masyarakat
215
Pasal 6 pengadilan Militer Internasional Nuremberg
169
internasional karena dampak buruknya yang luar biasa dahsyat bagi jiwa, raga dan
peradaban manusia.
Upaya masyarakat internasional untuk memperbaiki sistem perlindungan
HAM dengan cara mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM
berat mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli l998 Konferensi
Deplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma Tentang Pengadilan Kejahatan
Internasional. Mukadimah Statuta Roma memuat pandangan dasar sebagai
berikut:
“Menyadari bahwa semua orang dipersatukan oleh ikatan bersama,
kebudayaan mereka bertaut kembali dalam suatu warisan bersama, dan
keprihatinan bahwa mosaik yang rapuh ini dapat hancur setiap saat,
Menyadari bahwa dalam abad ini berjuta-juta anak, perempuan, dan lakilaki telah menjadi korban dari kekejaman tak terbayangkan yang sangat
mengguncang nurani kemanusiaan, Mengakui bahwa kejahatan yang
sangat keji tersebut mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan
dunia, Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak
dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin
dengan mengambil langkah-langkah ditingkat nasional dan dengan
memajukan kerjasama internasional, bertekad untuk memutuskan rantai
kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan
demikian memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan
tersebut,Mengingat bahwa merupakan tugas setiap negara untuk
melaksanakan yurisdiksi kejahatannya terhadap orang-orang yang
bertanggungjawab atas kejahatan internasional,”216
Pengadilan Kejahatan Internasional yang dibentuk berdasarkan Statuta
Roma mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan
pelanggaran HAM berat yaitu:
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
216
Mukadimah Statuta Roma
170
3. Kejahatan Perang;
4. Kejahatan agresi. 217
Statuta Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Piagam Pengadilan Militer
Internasional Nuremberg menganut asas pertanggungjawaban individu. Yang
berarti tanpa memandang kedudukan atau jabatan seseorang bertanggungjawab
atas keterlibatannya dalam perbuatan pelanggaran HAM berat. Perihal
pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950 sebagai
berikut:
1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan
internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam dengan pidana atas
perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional
tidaklah
membebaskan
orang
yang
melakukan
perbuatan
itu
dari
tanggungjawab menurut hukum internasional.
3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu
kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau
Pejabat Pemerintah yang bertanggungjawab, tidak membebaskannya dari
tanggungjawab menurut hukum internasional.
4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan
perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskannya
217
Statuta Roma
171
dari tanggungjawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral
(moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya.218
Dalam upaya untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pelanggaran
HAM berat itu Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan Statuta
ICTY menerapkan asas retroaktif. Yang berarti Statuta itu diperlakukan terhadap
kejahatan yang dilakukan sebelum adanya Statuta tersebut. Berbeda dari Piagam
Nuremberg dan Statuta ICYTY, Statuta Roma menganut asas tidak berlaku surut
(non-retroactive).
Ide, nilai dan norma yang terkandung dalam HAM, khususnya yang
berkenaan dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat tak
terhindarkan membawa pengaruh yang cukup dalam pada perkembangan hukum
HAM di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada
masa rezim otoriter Orde Baru tidak ada presedennya dalam sejarah Indonesia
merdeka. Pembantaian massal yang terjadi pada tahun l965, pelanggaranpelanggaran HAM di Timor-Timur, Tanjung Priok, Papua, Aceh dan di tempattempat lain merupakan pelanggaran berat HAM yang sampai hari ini belum tuntas
diselesaikan.
Negara dan masyarakat Indonesia tidak punya pengalaman yang memadai
untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Selain itu
perangkat hukum pidana dan HAM tidak memadai untuk menangani kasus-kasus
tersebut secara benar dan adil. Oleh karena itu wajar bila para perancang
pembaharuan hukum di Indonesia melihat dan belajar pada negeri lain dan
218
Perihal pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950
172
masyarakat
internasional,
khususnya
berkaitan
dengan
pencegahan
dan
penghukuman para pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini tak dapat di
bantah bahwa idea perlunya pengadilan HAM yang khusus memeriksa dan
memutus pelanggaran HAM berat merupakan salah satu tujuan pendirian
Pengadilan Pidana Internasional.
Di Indonesia Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 menyatakan,
bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat. Tak pula dapat dibantah konsep
pelanggaran HAM berat yang terkandung dalam UU tersebut mengadopsi
sebagian konsep pelanggaran HAM berat yang tertuang dalam Statuta Roma.
Menurut UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat meliputi: a. kejahatan
genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh UU Pengadilan HAM tersebut
genosida diartikan sebagai “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok; atau
173
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
Pengertian genosida yang termuat dalam pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000
hampir sama dengan pengertian genosida yang terkandung dalam pasal 6 Statuta
Roma. UU Pengadilan HAM mendifinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai
hal yang dilarang menurut hukum internasional;
174
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
Pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang tertuang dalam pasal 9
UU No. 26 Tahun 2000 itu jelas sama dengan pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 Statuta Roma. Baik pasal 9
UU Pengadilan HAM maupun pasal 7 ayat 1 Statuta Roma tidak menjelaskan
pengertian serangan yang meluas atau sistematik sebagaimana yang dirumnuskan
oleh kedua pasal tersebut. Pengertian serangan yang meluas atau sistematik
dirumuskan oleh pengadilan yang mengadili dan memutus kasus kejahatan
terhadap kemanusiaan. Berikut ini akan disampaikan pengertian serangan meluas
atau sistematik menurut putusan Hakim pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia
dalam kasus pelanggaran Ham berat sebagai berikut:
1. Putusan No.01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH. JKT.PST. atas nama Terdakwa
Abilo Jose Osorio Soares. Majelis hakim berpendapat sebagai berikut:
a. yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut tidak harus
selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International
Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak perlu harus
mengikutsertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan
perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu
pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil.
Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminology
serangan (attack);
175
b. bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti
bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara
keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang
mempunyai keyakinan politik tertentu;
c. yang dimaksud “meluas“ karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan
terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulang-ulang, dalam
skala yang besar (massive, frequent, large scale), yang dilakukan secara
kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang
besar;
d. yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau
prinsip berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan
prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat
HAM, definisi sistematik dapat berarti kegiatan yang berpola sama dan
konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti struktur atau desain yang
saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah gagasan
yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa
juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulangulang.”
Selanjutnya menurut Majelis Hakim, pengertian sistematik memiliki 4 (empat)
elemen sebagai berikut:
1. “adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu ideologi,
dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas;
176
2. melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok
penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus menerusnya tindakan tidak
manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya;
3. adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas
publik atau perorangan;
4. adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam
mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis.”
2. Putusan No.08 / PID.HAM / AD.HOC / 2002 / PN.JKT.PST atas nama
Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:
- “yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu merupakan
serangan militer seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law
sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan
kekuatan militer atau senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi
pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang
dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini adalah
termasuk dalam terminology serangan (attack);
- Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap “penduduk sipil“ bukan
berarti serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara
keseluruhan, akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu
yang mempunyai keyakinan politik tertentu;
177
- Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional untuk
Yugoslavia, Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“serangan meluas” adalah serangan yang bersifat massal,tindakan dalam skala
besar, dilakukan secara bersama-sama dengan niat yang sungguh-sungguh dan
ditujukan terhadap korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy
Dahl (Hakim Advocate General Norwegia) menyatakan “serangan meluas” itu
harus diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (widespread attack is
one that is directed against a multiplicity of victims);“
3. Putusan No.02 / PID.HAM / AD. HOC / 2002 / PN. JKT. PST atas nama
Terdakwa Drs. G.M. Timbul Silaen. Majelis Hakim dengan merujuk pada
pendapat Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General) menyatakan sebagai
berikut:
-“bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan
terhadap korban yang berjumlah besar (Widespread attack is one that is
directed against a multiplicity of victims). Selanjutnya menurut Majelis Hakim
“ ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah merujuk
kepada jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran tempat
(geografis), dan dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun dilakukan
secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective actionM Charief Bassioni, Crime Against Humanity in the International Law ).”
Menurut Majelis Hakim “Pengertian serangan yang sistematik berkaitan
dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi
terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi
178
tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti
dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara;
Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa “Pengertian serangan
yang sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan
yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means
carried out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge
Advocate General Norway);”Berbeda dari Statuta Roma yang menganut asas nonretroactive, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menerapkan asas
retroactive. Yang berarti pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
diundangkannya UU tersebut, dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham
Ad Hoc. Pengadilan Ham Ad Hoc tersebut dibentuk atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(Pasal 43 (1) (2)). Asas retroactive sebagaimana kita ketahui dianut oleh Piagam
Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan ICTY. Ini sekali lagi
menunjukkan pengaruh konsep dan praktek hukum interrnsional berkaitan dengan
pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat pada hukum yang sama di
Indonesia.
Konvensi Internsasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia, Konvensi Internasional Pencegahan dan Penghukuman Genosida,
Kejahatan HAM berat yang dilarang oleh Statuta Roma, Konvensi Anti
Internasional Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Penghapusan Segala
179
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan merupakan jus cogens. Sebagaimana
dikemukakan oleh Starke kaidah-kaidah jus cogens meliputi:
“kaidah-kaidah fundamental mengenai pemeliharaan perdamaian …
kaidah-kaidah fundamental dari suatu kodrat kemanusiaan (larangan
genocide, perbudakan dan diskriminasi rasial, perlindungan hak-hak dasar
manusia pada masa damai maupun perang), kaidah yang melarang setiap
pelanggaran terhadap kemerdekaan dan persamaan kedaulatan negaranegara, kaidah-kaidah yang menjamin semua anggota masyarakat
internasional untuk menikmati sumber-sumber daya alam bersama ( laut
lepas, ruang angkasa dan lain-lain )“.
Pasal 53 Konvensi Wina tentang Perjanjan Internasional berkenaan dengan
jus cogen menyatakan:
“Suatu traktat batal apabila, pada waktu penutupannya, bertentangan dengan
norma hukum internasional umum yang tidak dapat diubah. Untuk tujuantujuan Konvensi ini, suatu norma hukum internasional yang tidak dapat
diubah adalah suatu norma yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat
internasional negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang
tidak boleh diabaikan dan yang hanya dapat diubah dengan suatu norma
hukum internasional umum yang timbul kemudian yang mempunyai
karakter yang sama.” 219
Tak dapat dipungkiri, bahwa idea, nilai dan norma yang terkandung dalam
konvensi internasional HAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Genosida, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, Statuta Roma yang
merupakan jus cogen, praktek pengadilan HAM ad hoc internasional, pendapat
para ahli hukum internasional telah memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap reformasi hukum HAM dan praktek hukum HAM di Indonesia,
khususnya berkaitan dengan penyelesaian melalui pengadilan HAM kasus-kasus
pelanggaran HAM berat.
219
Pasal 53 , Konvensi WIna 1969 tentang Perjanjian Internasional.
180
Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, belum
ada satu definisi yang dapat diterima secara umum. Kata “berat” digunakan untuk
menenerangkan kata pelanggaran untuk menggambarkan betapa
parahnya
pelanggaran yang dilakukan. Selain itu kata berat juga juga berhubungan dengan
jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar.220 Pelanggaran berat hak asasi
manusia terjadi apabila hak hak asasi manusia yang dilanggar adalah hak-hak
berjenis non derogable rights.221
Cecilia
Meidina Quiroga menjelaskan istilah Pelanggaran
sebagai suatu pelanggaran yang mengarah
berat Ham
kepada pelanggaran-pelanggaran,
sebagai alat bagi pencapaian dari kebikakan-kebijakan pemerintah, yang
dilakukan dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak
untuk hidup, hak atas integritas Pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari
penduduk secara keseluruhan atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk
suatu negara secara terus menerus dilanggar atau diancam.222
Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada
saat ini belum dirumuskan secara jelas,baik di dalam resolusi,deklarasi maupun
dalam perjanjian HAM. Secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara
220
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat Hak Asasi
Manusia. Indonesia, Timor Leste, dan lainnya. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005,
hlm 70
221
Van boven, Theo, Mereka yang menjadi korban, Hak Korban atas restitusi,
kompensasi dan rehabilitasi, catatan kaki no 1 hlm.xxiii, Jakarta, Elsam, 2002
222
Op cit,Andrey Sujatmoko,Hlm 71, mengutip Cecilia Medina Quiroga, The battle of
Human Rights; Gross, Systematic Violation and the inter American system,
Dordrech/Boston/London : Martinus Nijhoff Publishers, 1988,p16. The term gross,
systematic violation refers to violation,instrumental to the achievement of Governmental
policies, perpetrated in such a quantity and in such a manner as to create a situation in
which the rights to life,to personal integrity or to personal liberty of the population as
whole or of one or more sectors of the populations of a country are continuously
infringed or treatened
181
sitematis
terhadap
norma-norma
HAM
tertentu
yang
sifatnya
lebih
serius,sebagaimana yang dinyatakan oleh H Victor Conde:
GrossViolation(s) of Human Rights : a term used but not well defined in
human rights resolution,declarations,and treaties but generally meaning
systematic violation of certain human rights normas of a more serious
nature.such as apartheid,racial discrimination, murder, slavery, genocide,
religious persecution on a massive scale,committed as a matter of official
practice.Gross Violations result in irreparable harms to victims.223
Dalam Lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui
Pelanggaran HAM
adanya
yang berkategori berat dan sistematis, seperti dinyatakan
Dinah Shelton.224
International Human Rights Law,especially as developed within the
United Nation,recognizes a category of situation of gross and systematic
violation of human rights, Though never exactly defined, it constitutes the
jurisdictional threshold for consideration of human rights
complaints,submitted pursuant to Ecosoc Resolution 1503.
Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat hak asasi manusia akan
menyangkut masalah-masalah yang meliputi the prohibition of slavery, the right
to life, torture and cruel,inhuman or degrading treatment or punishment,
genocide, disappearances and ethnic cleansing.
Medina Quiroga memberikan pengertian mengenai pelanggaran hak asasi
manusia yang berkategori berat dan sistematik, dimana jenis hak yang dilanggar
adalah hak untuk hidup,hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan
pribadi.225
223
H Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln:
University of Nebraska Press, 1999, hlm 52.
224
Shelton Dinnah, Remedies in International Human Rights Laws, New York: Oxford
University Press,1999 hlm 320.
225
Op cit, Andrey Sujatmoko, Hlm 73, mengutip Cecilia Medina Quiroga, The Battle of
Human Rights; Gross, Systematic Violation and the inter American System,
182
Konsep pelanggaran hak asasi manusia termasuk dalam konsep yang
selalu menimbulkan perdebatan apabila berbicara mengenai hak asasi manusia.
“Klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kondisi hak asasi
manusia di tanah air membaik yang dibuktikan dengan tidak terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia dan diratifikasinya International Covenant
on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic
Social and Cultural Rights, yang mendapat tanggapan dari kalangan pegiat
hak asasi manusia menunjukan tidak adanya pemahaman konsep HAM,
maupun kesamaan konsep pelanggaran hak asasi manusia serta konsep
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.”226
Satu hal penting adalah bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi
apabila dua syarat terpenuhi yaitu syarat negara dan kekuasaan. Dan pelanggaran
hak asasi manusia hanya bisa dilakukan oleh negara. Mengapa peneliti katakan
bahwa pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan bahwa hal tersebut
dilakukan oleh negara,227 dikarenakan negara sebagai suatu otoritas yang berkuasa
disuatu wilayah mempunyai kewenangan untuk memasukkan hak yang melekat
dalam diri manusia yang tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia ke
dalam peraturan perundang-undangannya.228
Termasuk dalam hak asasi manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk
tidak dianiaya, hak untuk tidak mendapatkan perlakuan yang merendahkan harkat
martabat manusia, dan hak untuk mendapatkan peradilan yang fair, hak untuk
bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat, serta hak untuk bebas berkumpul
Dordrech/Boston/London : Martinus Nijhoff Publishers, 1988, hlm. 16. The term gross,
systematic violation refers to violation,instrumental to the achievement of Governmental
policies, perpetrated in such a quantity and in such a manner as to create a situation in
which the rights to life, to personal integrity or to personal liberty of the population as
whole or of one or more sectors of the populations of a country are continuously
infringed or treatened
226
Kompas, Sabtu, 19 Agustus 2006, Hlm 3.
227
Conde, H Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology. Lincoln,
University of Nebraska Press, 1999, Hlm 58
228
United Nation, Human Right Question and Answer, New York: United Nation
Departement of Public Information, 1993.
183
berserikat dan mengeluarkan pendapat didalam aturan hukum nasional sehingga
dengan kata lain negara telah melaksanakan tanggungjawab melaksanakan hak
asasi manusia dengan mengatur dalam aturan hukum dalam ketentuan nasional
yang harus dipatuhi oleh individu warga negaranya. Sehingga apabila individu
warga negaranya melakukan pelanggaran aturan hukum yang di dalamnya termuat
hak asasi manusia maka negara yang akan melakukan tindakan hukum.
Persoalan baru timbul ketika aparatur negara sebagai personifikasi negara
melakukan
tindakan
yang
bertentangan
dengan
hukum
ketika
sedang
melaksanakan tugasnya dan tidak ada upaya penegakan hukum terhadap
pelanggaran hukum tersebut pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi
manusia, karena hukum memerlukan otoritas yang kuat untuk bisa ditegakan dan
apabila individu melakukan pelanggaran hukum maka negara sebagai otoritas
yang kuat yang akan melakukan penegakan hukum tersebut. Pertanyaannya
adalah bagaimana kalau otoritas negara yang melakukan pelanggaran hukum
tersebut tidak ada upaya penegakan hukum pada saat itulah timbul konsep
pelanggaran hak asasi manusia, yang pada dasarnya merupakan harapan warga
negara agar aparatur negara yang merupakan personifikasi negara dihukum,
karena tidak tersentuh hukum, pada saat itulah yang dimaksud dengan
pelanggaran hak asasi manusia timbul.
Pelanggaran dapat dibedakan atas dua hal pelanggaran hak asasi manusia,
yaitu pelanggaran hak asasi manusia dengan berbuat atau violence by act dan
pelanggaran HAM dengan tidak berbuat atau violence by ommission. Pelanggaran
hak asasi manusia dengan berbuat adalah suatu tindakan yang bertentangan
184
dengan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam melaksanakan
tugasnya tetapi tidak diambil tindakan oleh negara. Pelanggaran hak asasi manusia
dengan tidak berbuat adalah apabila perbuatan yang bertentangan dengan hukum
tersebut dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara yang lain dan negara
tidak mengambil tindakan terhadap perbuatan yang bertentangan dengan hukum
tersebut, sehingga diartikan negara telah melakukan pelanggaran hak asasi
manusia dengan tidak berbuat.
Harus dipahami bahwa dengan penjelasan tersebut maka pelanggaran hak
asasi manusia hanya bisa dibayangkan dilakukan oleh negara. Sehingga dengan
demikian kita bisa membedakan antara pelanggaran hak asasi manusia dengan
pelanggaran hukum, dimana pelanggaran hukum dilakukan oleh individu terhadap
individu, dan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara terhadap
individu, atau ketika negara tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh negara. Sekalipun hukum hak asasi manusia Internasional
adalah Hukum Internasional yang meletakan tanggung jawab pidana pada
individu, tetapi negara mempunyai kewajiban untuk menghukum pelaku
pelanggaran berat hak asasi manusia, sebagai sebuah kewajiban internasional.
“Hukum Internasional telah memberikan landasan yang kokoh untuk
mengefektifkan penghukuman bagi pelaku pelanggaran berat hak asasi
manusia (gross violation of human rights) yang dikategorikan ke dalam
pertanggungjawaban pidana dan perdata. Kewajiban negara untuk
menghukum pelaku pelanggaran berat hak
asasi manusia telah
dikembangkan di dalam berbagai instrument hukum hak asasi manusia
baik internasional maupun regional. Bahkan hukum kebiasaan
internasional secara tegas melarang segala bentuk pembebasan hukuman
terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan secara
sistematis.
Berdasarkan konsep tanggung jawab negara, suatu negara bertanggung
jawab apabila melanggar kewajiban hukum internasional.Komisi Hukum
185
Internasional (International Law Commission) kemudian menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap kewajiban negara yang digolongkan sebagai
International Wrongful Act, di dalamnya mencakup pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia, yang juga dikatagorikan sebagai kejahatan
internasional (international crimes).229
Penjelasan dari Rudi M Rizki peneliti menarik suatu pandangan bahwa
negara yang personalitasnya terwujud dalam individu-individu bertanggung jawab
atas pelaksanaan hak asasi manusia dalam hal ini pelaksanaan kewajiban
internasional dalam kaitannya dengan hak
asasi manusia, sehingga peneliti
mengatakan pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan apabila unsur
negara terlibat sekalipun tanggung jawab pidana melekat pada individu.
Pada sisi lain selain dari apa yang telah dikemukakan di atas perlu
diketahui pula bahwa dalam hukum hak asasi manusia dikenal adanya hak negara
untuk membatasi hak asasi manusia apabila negara dalam keadaan bahaya. Akan
tetapi yang harus mendapatkan perhatian ialah sekalipun negara dalam keadaan
bagaimanapun ada hak yang tidak bisa dibatasi dalam segala keadaan yang pada
prinsipnya meliputi adalah hak untuk hidup, kebebasan dari tindakan penyiksaan,
bebas dari tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, kebebasan
dari perbudakan dan penghambaan, kebebasan dari undang-undang berlaku surut,
serta kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama.230
Artinya itulah hak asasi manusia yang utama yang tidak boleh hilang
dalam diri manusia dan hak inilah yang selalu dipertahankan dari diri manusia.
Rudi M Rizki dalam Jurnal Hukum Humaniter, “Beberapa Catatan tentang
Pengadilan Pidana International Ad Hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda serta Penerapan
Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Pelanggaran Berat HAM”. Vol.1.No.2 April
2006, Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs)
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Hlm.277.
230
Pasal 4, International Covenant on Civil and Political Rights,1966
229
186
Pada sisi lain dalam kajian penulis terdapat pemahaman yang salah
tertuang dalam UU No 39 tahun 1999 dimana pada pasal 1 ayat 6 dikatakan
bahwa:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, atau membatasi, dan
atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”231
Peneliti menggaris bawahi pengertian
pelanggaran hak asasi manusia
yang terdapat dalam UU No 39 tahun 1999 ini berbeda dengan konsep
pelanggaran hak asasi manusia dalam literatur hak asasi manusia, artinya apabila
pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh individu-terhadap individu sudah
semestinya negara mengambil tindakan hukum terhadap individu tersebut,
masalahnya seperti apa yang sudah peneliti kemukakan di atas bahwa apabila
negara diam saja atau aparatur negara sebagai personifikasi negara dan negara
tidak mengambil tindakan hukum maka pada saat itu terjadi pelanggaran hak asasi
manusia.
Konsep lain yang juga menurut peneliti perlu pengkajian lebih lanjut
adalah jurisdiksi dari Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenenai Pengadilan
HAM, dimana yurisdiksi dari Pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang No
26 Tahun 2000 meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. 232 Dalam
hal ini Undang-Undang No 26 mendorong pemikiran setiap orang kepada setiap
231
232
Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No 39 Ttahun 1999.
Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
187
peristiwa yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia berat yang terdiri atas
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, tanpa memulai dengan suatu
langkah yang sistematik dengan memungkinkan Pengadilan HAM menjangkau
pelanggaran hak asasi manusia dimana unsur negara dan kekuasaan terlibat, yang
mungkin saja tidak termasuk katagori pelanggaran hak asasi manusia berat,
sehingga idealnya konsep yang tertuang dalam Undang-Undang No 26 Tahun
2000 memulai yurisdiksi Pengadilan HAM dari pelanggaran hak asasi manusia
yang terdapat unsur negara dan kekuasaan, dimana negara tidak mampu
terjangkau oleh hukum (Praktek Impunity oleh Negara), lalu secara sistematik
mengatur pelanggaran hak asasi manusia berat, sehingga undang-undang
Pengadilan HAM berisi konsep yang sistematis mengenai kewenangan Pengadilan
HAM.
2. Konsep Hukum Internasional dalam hal Penyelesaian melalui Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi
Hukum Internasional tidak secara khusus mengatur penyelesaian
perselisihan melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, tetapi dalam masyarakat
internasional ditemukan beberapa contoh penyelesaian persoalan pelanggaran hak
asasi manusia, yang terselesaikan
melalui mekanisme komisi kebenaran dan
rekonsiliasi. Hal yang paling penting dalam penyelesaian sengketa melalu komisi
kebenaran dan rekonsilisi adalah adanya pengakuan terhadap kejahatan yang
dilakukan, dan adanya pemberian maaf dari pihak yang menjadi korban sehingga
kebenaran dapat terungkap dalam kasus pelanggaran ham berat tersebut.
188
Prinsip bahwa KKR sebagai pelengkap (complement) ini telah
berkembang secara internasional, dan ditegaskan kembali dalam Kumpulan
Prinsip Perlindungan Hak Asasi Manusia melalui Prinsip 8 The Updated Set of
Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to
Combat Impunity tentang Definition of Commission’s Terms of Reference yang
berbunyi sebagai berikut:
“To avoid conflicts of jurisdiction, the Commission’s Terms of Reference
must be clearly defined and must be consistent with the principle that
Commissions of inquiry are not intended to act as substitutes for the civil,
administrative or criminal courts. In particular, criminal courts alone
have jurisdiction to establish individual criminal responsibility, with a
view as appropriate to passing judgement and imposing a sentence;233
Penegasan bahwa KKR adalah pelengkap dan tidak dapat menggantikan
proses
yudisial juga dinyatakan dalam Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against
Impunity and for International Justice (Maret 2002), sebagai berikut:
Non-judicial commissions of inquiry (such as "truth and reconciliation"
commissions) and judicial procedures, far from excluding each other, are
mutually complementary in the fight against impunity and for international
justice. The constitution and activity of these commissions cannot,
however, replace judicial procedures.234
Bahwa menurut pendapat William A. Schabas, anggota Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi negara Sierra Leone, bahwa :
“The TRC doesn’t provide perpetrator with a forum to escape
procecution... The TRC counts on voluntary testimony from perpetrators,
including the “big fish”, and it has already found considerable willingness
233
Prinsip 8 The Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human
Rights through Action to Combat Impunity tentang Definition of Commission’s Terms of
Reference
234
Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against Impunity and for International Justice
(Maret 2002)
189
from those involved to come forward and talk about what they have done.”
235
Bahwa menurut pendapat ahli hukum internasional Aryeh Neier, mantan Ketua
Human Rights Watch bahwa “Truth Commissions can exist side by side with
prosecutions, as the case in Argentina until another president, President Menem,
pardoned those who had been convicted by the courts in Argentina and also
issued pardons to those who were still facing trial”.
Pengalaman
Beberapa
Negara
dalam
hal
Komisi
Kebenaran
dan
Rekonsiliasi
Argentina
Inilah komisi kebenaran pertama yang mendapatkan perhatian internasional yang
luas. Dibentuk tahun 1983, setelah mundurnya militer dari kekuasaan, Argentina
saat itu sedang memulai transisi cepat menuju pemerintahan demokratis.236
Diberi nama Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional
Para La Desaparacion de Personas, CONADEP). Komisi ini dibentuk oleh
Presiden Raul Alfonsin melalui sebuah dekrit presiden, beranggotakan 10 orang
yang dipilih karena sikapnya yang konsisten dalam membela HAM, serta
mewakili lapisan masyarakat yang beragam, ditambah tiga orang wakil dari
Kongres. Komisi ini dipimpin oleh seorang sastrawan terkemuka dan kharismatis,
Ernesto Sabato.
Komisi ini berhasil memastikan bahwa penculikan digunakan sebagai
metode represi yang kemudian mengarah pada kudeta militer, 24 Maret 1976.
235
(Interview Human Rights Feature dengan Prof. William A. Schabas International
Commissioner, TRC Sierra Leone, “TRC Does Not Provide a Forum to Escape
Procecution”. http://www.hrdc.net/sahrdc/hrfchr59/Issue5/ impunity.htm)
236
http://www.elsam.or.id.id/more.php?id=38-0-4-O-M
190
Sejak itulah penculikan demi penculikan bermotif politik dilakukan, dan berhasil
ditemukan 340 tempat penyekapan rahasia.
CONADEP menunjuk ratusan pejabat militer sebagai orang yang
bertanggung jawab. Namun pada proses pengadilan militer, hanya 365 orang yang
dijatuhi hukuman karena banyak bukti telah dilenyapkan oleh pihak militer.
Meskipun demikian, laporan akhir CONADEP yang diberi judul "nunca mas"
(Tidak lagi), menjadi bahan referensi tidak saja bagi seluruh rakyat Argentina,
melainkan juga bagi berbagai KKR di seluruh penjuru dunia yang menyusulnya.
Chili
September 1973, Jenderal Augusto Pinochet menggulingkan pemerintahan
sipil Cili. Dengan merepresi lawan politiknya secara brutal, Pinochet memerintah
Chili selama 17 tahun. Rezim ini memiliki kebijakan antikomunis yang fanatik
untuk menjustifikasi represinya, mencakup penangkapan massal, penyiksaan,
pembunuhan, dan penghilangan paksa.
Meski rezim Pinochet amat brutal, sebagian warga Chili tetap mendukung
penguasa, khususnya elemen-elemen kanan. Ketika Pinochet melakukan plebisit
pada 1988, harus meninggalkan tahta dengan kekalahan tipis. Penggantinya,
Patricio Aylwin resmi menjabat pada Maret 1999 di bawah batasan-batasan
demokrasi. Soalnya, Pinochet telah mengubah konstitusi pada 1980 untuk
menjamin kekuasaaannya, mempertahankan otonomi dan pengaruh politik militer;
termasuk melanggengkan posisinya sebagai panglima tertinggi militer hingga
1998, dan kemudian menjadi senator seumur hidup.
191
Amnesti tersebut mengerangkeng pilihan Aylwin dalam merespon
pelanggaran penguasa Pinochet. Menyadari sulitnya membatalkan amnesti,
Presiden Chili memerintahkan investigasi untuk menemukan kebenaran
pelanggaran masa lalu.
Hanya enam pekan setelah pelantikan dirinya, Aylwin membentuk Komisi
Nasional dan Rekonsiliasi melalui keputusan presiden. Aylwin menunjuk delapan
orang sebagai anggota Komisi. Empat di antaranya pendukung Pinochet, dan
lainnya oposan. Formasi ini menghindarkan persepsi mengenai bias kerja Komisi
yang diketuai mantan senator Raul Rettig.
Komisi mempunyai waktu kerja sembilan bulan. Komisi sangat terbantu
oleh peran ornop dan catatan detil ribuan kasus pelanggaran HAM yang dibawa
ke pengadilan pada rezim militer berkuasa.
Komisi menyelesaikan tugasnya pada Februari 1991 dengan menghasilkan
laporan setebal 1.800 halaman. Usai membaca laporan selama beberapa pekan,
Presiden Aylwin mengumumkan ke rakyatnya. Secara emosional Alywim tampil
di televisi nasional, dan berbicara atas nama negara, Alywim memohon maaf pada
korban dengan menekankan perlunya maaf dan rekonsiliasi, sekaligus meminta
militer ''menunjukkan pemahaman pada luka yang ditimbulkan''.
Laporan Komisi Nasional dan rekonsiliasi Chili lenyap dari perhatian
publik setelah sebulan kemudian, berganti berita penyerangan kelompok kiri
bersenjata terhadap elit politik kanan. Usaha rekonsiliasi akhirnya gagal.237
El Salvador
237
Ibid.
192
Bantuan militer dan lain-lain senilai 4,5 miliar dolar dari Amerika Serikat
pada dekade 1980-an, pemerintah El Salvador melakukan perang selama 12 tahun
melawan gerilyawan kiri Farabundo Marti (1980-1991). Perang ini diwarnai kasus
puluhan ribu pembunuhan politik dan penghilangan orang, juga pembantaian
massal penduduk sipil tidak bersenjata. Diperkirakan 1,4 persen penduduk El
Salvador tewas dalam konflik ini.
Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pembunuhan enam pastor
Yesuit pada 1989. Ini memperkuat tekanan internasional agar perang dihentikan.
Sebuah komitmen mengenai pembentukan Komisi Kebenaran untuk El Salvador
dicantumkan dalam kesepakatan damai antara pemerintah El Salvador dengan
Farabundo Marti National Liberation Front (FMLN) pada bulan April 1991. Para
penandatangan membahas spesifikasi kasus yang harus diselidiki Komisi, namun
tidak dicapai kesepakatan pada kasus penting. Akhirnya Komisi ini dibentuk dan
dikelola langsung oleh PBB.
Komisi memperoleh waktu enam bulan untuk menyelesaikan tugas, dengan
perpanjangan dua bulan untuk investigasi dan penyelesaian laporan. Anggota
Komisi diangkat oleh Sekjen PBB atas persetujuan kedua belah pihak. Komisi
diperkuat 20 staf yang bertugas mengumpulkan kesaksian dan investigasi,
ditambah 25 staf sementara pada bulan-bulan terakhir guna mempercepat proses
data entry dan proses informasi. Karena alasan objektivitas, tidak ada warga El
Salvador yang direkrut menjadi staf. Mandat Komisi ini menyelidiki tindak
kekerasan serius yang terjadi sejak tahun 1980, yang karena dampaknya kepada
masyarakat menuntut agar masyarakat mengetahuinya.
193
Komisi mengumpulkan kesaksian kurang-lebih 20 ribu korban dan saksi.
Juga melaporkan lebih 7.000 kasus pembunuhan, penghilangan, penyiksaan,
perkosaan, dan pembantaian. Komisi menyelidiki beberapa puluh kasus menonjol
atau representatif, dan mendatangkan tim antropolog dari Argentina untuk
menggali kembali sisa pembantai massal di kota El Mozote--yang menjadi pusat
kontroversi internasional.
Meskipun mendapat tekanan militer, Komisi membukukan kesimpulan kuat
bahwa penanggungjawab puluhan kasus kontroversial adalah orang penting di
tubuh angkatan bersenjata. Disebutkan lebih 40 perwira tinggi militer, hakim, dan
oposisi bersenjata sebagai penanggungjawab aksi kekerasan. Disimpulkan bahwa
95 persen pelanggaran HAM dilakukan pihak pemerintah dan militer.
Judul ''Dari Kegilaan ke Harapan'', aktivis dan organisasi HAM setempat
dan Amerika Serikat menerima baik laporan KKR El Salvador. Namun, Komisi
dikritik karena tidak melaporkan secara lengkap beberapa aspek penting
kekerasan, misalnya operasi ''komando pembunuh'' dan peran AS mendukung
pasukan pemerintah.
Militer menjawab laporan itu secara emosional. Menteri Pertahanan, yang
juga tertuduh sebagai pelanggar HAM, tampil di televisi pemerintah dengan
mengutuk laporan Komisi sebagai ''tidak adil, tidak lengkap, ilegal, tidak etis,
bias, dan kurang ajar.'' Militer pun mengeluh karena Komisi tidak memasukkan ke
dalam laporannya, sifat dan sumber serangan komunis terhadap El Salvador.
Presiden sipil Alfredo Cristiani kepada pers menyatakan, laporan Komisi
gagal memenuhi keinginan rakyat El Salvador menuju rekonsiliasi nasional, yaitu
194
untuk ''memaafkan dan melupakan masa lalu yang sangat pedih.'' Lima hari
setelah laporan diterbitkan, amnesti umum disahkan oleh legislatif sehingga tidak
ada tindakan legal terhadap para pelaku, yang berakibat menekan ketertarikan
publik pada hasil kerja Komisi.238
Guatemala
Perang saudara di negeri ini melibatkan pemerintah antikomunis dengan
Unidad Revolucianaria Nacional Euatemalca (UNRG). Berlangsung lebih 30
tahun, sekitar 200 ribu orang dinyatakan tewas dan hilang. Strategi kontrainsurgensi yang dilakukan negara amat brutal, yakni dengan pem-bumihangus-an
ratusan desa dan pembunuhan puluhan ribu penduduk sipil. Perang berlanjut pada
tingkat yang lebih rendah hingga dekade 1990-an, hingga negosiasi yang dimotori
PBB akhirnya menghentikan peperangan.
Salah satu soal krusial dalam negosiasi mengenai bagaimana pelanggaran
HAM disikapi dalam masa transisi ke perdamaian. Negosiasi sudah dimulai ketika
laporan komisi kebenaran El Salvador diterbitkan pada awal 1993, dan contoh ini
menjadi titik awal referensi Guatemala dalam mempertimbangkan pembentukan
komisi kebenaran.
Kesepakatan membentuk komisi kebenaran dengan nama Komisi untuk
Klarifikasi Pelanggaran Hak Asasi dan Tindakan Kekerasan yang Berakibat
Penderitaan Rakyat Guatemala, ditandatangani di Oslo, Norwegia, pada Juni 1994
oleh pemerintah dan URNG. Namun, dibutuhkan tiga tahun lagi menuju
kesepakatan damai untuk penandatanganan kesepakatan komisi mulai bekerja.
238
Ibid.
195
Kesimpulan penting Komisi Klarifikasi, berdasar pola kekerasan di empat
wilayah negeri yang paling parah mengalami kekerasan, ''agen negara Guatemala
dalam kerangka operasi kontrainsurgensi selama 1981-1983, melakukan tindak
genosida terhadap kelompok bangsa Maya.'' Meskipun tidak menyebut nama,
Komisi menyimpulkan bahwa ''mayoritas pelanggaran HAM terjadi dengan
sepengetahuan atau atas perintah otoritas tertinggi negara.'
Afrika Selatan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan berhasil membongkar
pelanggaran berat HAM yang sebelumnya tak dibayangkan akibat kuatnya
cengkeraman kekuasaan absolut rezim Apartheid. Dan, gebrakan KKR belum
akan berakhir dalam mengungkap kebobrokan rezim.
Di bawah kepemimpinan Uskup Desmond Tutu, Komisi bertugas membuat
peta selengkap mungkin tentang hakikat dan keluasan pelanggaran akut HAM
selama 34 tahun rezim Apartheid berkuasa.
KKR Afsel tiga subkomisi. Pertama, Subkomisi Pelanggaran HAM yang
bertanggungjawab memberi status korban kepada individu-individu. Penetapan
kriteria korban itu tinggal mencomot aturan yang terdapat dalam Undang-Undang
Pelanggaran Berat HAM. Komisi ini menerima kedatangan pihak-pihak terkait
untuk membuat pernyataan. Juga bertugas menerima dan memeriksa kesaksian
publik, mengenai sejumlah kasus.
Kedua, Subkomisi Amnesti yang bertanggungjawab memberi amnesti, pada
para pelaku yang terbukti membuat tindakan, kesalahan, dan kejahatan politis.
196
Ketiga, Subkomisi Reparasi dan Rehabilitasi. Komisi ini bertugas membuat
rekomendasi ketatapan reparasi dan rehabilitasi para korban. Di samping itu
termasuk rekomendasi pencegahan pelanggaran di masa depan.
Dalam kurun waktu April 1996 - Juni 1997, KKR memberi kesempatan
kepada para korban menceritakan pengalaman kekerasan yang mereka derita.
Pada pertengahan 1997, berdasar informasi yang terkumpul, KKR berusaha
memahami motif personal dan institusional, yang memunculkan pelanggaran
HAM. Akhirnya, pada Oktiber 1998, KKR menerbitkan laporan yang berjudul
''The Report of the Truth and Reconciliations Commision'' yang terdiri atas lima
jilid.
Menurut mantan sekretaris eksekutif KKR Afrika Selatan Paul Van Zyl,
sukses tidaknya KKR banyak ditentukan oleh tujuan pendiriannya. Tergantung
apakah hanya untuk mencari kebenaran atas kejahatan di masa lalu? Atau apakah
juga mencari penyebab lebih jauh, mengapa kejahatan itu terjadi? Apakah juga
disertai tujuan untuk memberikan keadilan kepada para korban, dengan
menghukum para pelaku kejahatan?
Dan, bagaimana rekonsiliasi bisa
diwujudkan 239
Soal yang sangat perlu diperhitungkan secara hati-hati, Van Zyl
berpendapat, melihat apakah proses transformasi menuju demokrasi sudah
berjalan. Ini sangat penting untuk menilai sejauh mana pihak militer, yang diduga
sebagai pelaku utama kejahatan HAM pada masa lalu, memberikan dukungan
terhadap pembentukan komisi semacam itu.
239
Ibid.
197
Mantan Presiden Afsel VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan
Bersenjata Afsel Magnus Malan, serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya tak
urung menjadi sasaran pengusutan KKR. Setelah mengumpulkan bahan yang
sangat lengkap, komisi menyerahkan laporan ke Presiden Mandela waktu itu agar
menindaklanjuti temuan dengan mengadili petinggi tersebut.
Afsel memilih tipe rekonsiliasi yang berujung pada impunitas -- peniadaan
sanksi atas kejahatan yang terjadi. Tipe yang menuntut harga atas pemberian maaf
dan non-prosekusi setelah tercapai rekonsiliasi. Meski begitu, rakyat Afsel cukup
puas dengan memperoleh pengakuan tulus terbuka para tersangka pelanggaran
HAM. Para korban, keluarga, dan kerabatnya mendengar langsung cerita
pelanggaran HAM dari pelaku sekaligus permintaan maafnya.
Atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya diberikan.
Sementara korban ditawarkan reparasi, dalam bentuk kompensasi, restitusi,
maupun rehabilitasi. Di sini rekonsiliasi bermakna sebagai suatu kesepakatan
pihak-pihak yang secara langsung berkaitan dalam peristiwa pelanggaran HAM
masa lalu.
KKR di Afsel boleh jadi berhasil baik karena mampu memenuhi
kepentingan korban dan keluarga besarnya, serta publik luas. Dan, tak kalah
pentingnya adalah prosesnya berlangsung di hadapan komisi yang memiliki
kredibilitas
tinggi
dan
legitimasi
moral.
KKR
Afsel
menjadi
tempat
pengungkapan penyesalan para pelaku kejahatan yang menjadi wahana
pengobatan (healing) para korban.
198
Harus diakui, model rekonsiliasi Afsel tak lepas dari kritik, karena tidak
dapat memenuhi keadilan prosedural dan formal sebagaimana bila jalur legal yang
ditempuh. Tapi inilah wujud kepiawaian Mandela membaca situasi politik
transisional yang terjadi di negerinya. Mandela sangat sadar akan beratnya upaya
menegakkan orde moral dan tertib hukum di tengah sangat kuatnya tuntutan
rakyat agar negara mengadili penjahat-penjahat politik penguasa rezin
sebelumnya.
Kini, Afsel menjadi kiblat utama bagi upaya penyelesaian pelanggaran
HAM. Abdurrahman Wahid termasuk salah seorang presiden yang belajar
langsung ke Afsel untuk mengetahui tatakerja KKR di sana, khususnya dalam
upaya mewujudkan rekonsiliasi pascarezim Apartheid 1994.
Sukses besar Mandela menyelamatkan bangsa dan rakyatnya, bukan berarti
Afsel benar-benar tanpa masalah ke depan. Salah satu potensi ''masalah'' ke depan
adalah bagaimana rakyat Afsel mampu menarik garis demarkasi yang jelas dan
ketat dengan masa lalunya? Sekarang Mandela turun tahta, tapi hingga kini di
benar sebagaian rakyat Afsel masih menempatkan tokoh yang kenyang di penjara
itu sebagai pemimpin negeri. Sementara pada saat yang sama Afsel tak lagi
dipimpin tokoh rekonsiliasi itu.
Farid Esack, salah seorang tokoh muda yang terlibat perwujudan rekonsiliasi
Afsel, optimis bahwa potensi kemunculan problem tersebut dapat diatasi melalui
tersusunnya konstitusi di negara itu. Esack dengan berani menilai kontitusi Afsel
terbaik di dunia. ''Sungguh, negara kami memiliki konstitusi paling baik di dunia.
Saya tak malu mengatakan hal ini,'' katanya. Persoalannya, sambung Esack,
199
konstitusi bukan sekadar baik di atas kertas saja, tetapi persoalan terpenting
adalah pengaktualisasiannya. 240
3. Konsep Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dalam hukum Nasional
Dalam sistem hukum nasional kita Komisi kebenaran dan rekonsiliasi
pernah diatur dalam suatu undang-undang yaitu undang-undang No 27 tahun 2004
mengenai komisi kebenaran dan rekonsili, yang kemudian dibatalkan dengan
keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 terdapat bebarapa ketentuan
yang tidak dapat diterima dalam tatanan hukum internasional yang meliputi ;
Konsep pelanggaran hak asasi manusia yang berlaku umum secara
Internasional
dalam pengimplementasian oleh Pemerintah Indonesia
juga
memerlukan pengkajian lebih lanjut misalnya sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dimana terdapat kritik terhadap pengaturan Konsep hak
asasi
manusia yang dipandang berbeda dengan konsep hak asasi manusia yang dikenal
dalam Hukum Internasional.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 mengenai
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipandang bertentangan dengan konsep
hak asasi manusia yang Universal
Pasal 1 ayat 9
240
Ibid
200
Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 27
Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
Pasal 44
Pelanggaran Hak asasi manusia yang berat telah diungkapkan dan
diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada
pengadilan hak asasi manusia ad-hoc”241
Apa yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut menimbulkan pertanyaan yang
penelitian apakah konsep yang dituangkan dalam Undang-Undang No 27 tahun
2004 telah sesuai dengan konsep Universal dari hak asasi manusia.
Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU KKR, dinilai
banyak kelemahan
oleh para ahli. Bahkan KKR dinilai gagal memenuhi
kewajiban negara untuk menghormati hak -hak korban, keluarga dan masyarakat
berdasarkan hukum internasional Undang-Undang
KKR
dipandang gagal
memenuhi kewajiban negara untuk menghormati hak -hak korban, keluarga dan
masyarakat berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional. Undang-undang
KKR dipandang
gagal dalam investigasi mengungkap kebenaran mengenai
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum 2000,
memberikan reparasi pada korban dan keluarganya, dan gagal pula dalam
menuntut dan menghukum pelaku kejahatan.
241
Pasal 1 ayat 9, pasal 27, pasal 44, Undang-Undang No 27 Tahun 2004, tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
201
Investigasi dalam rangka pengungkapan kejahatan hak asasi manusia berat
harus memenuhi standar dengan tidak hanya dilakukan terhadap pelakunya, tetapi
juga terhadap posisi teratas yang memberi perintah yang tindakannya masih
diketahui oleh pemberi perintah. Inisiatif untuk hal tersebut menurutnya
seharusnya berasal dari negara dan merupakan kewajiban yang berkesinambungan
meskipun terhadap kasus-kasus yang lama.
Ketentuan Pasal 24 UU KKR, di mana KKR wajib memberi keputusan
dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak
tanggal penerimaan permohon dipandang terlalu singkat dalam hal yang berkaitan
dengan kejahatan terhadap kemanusiaan,"
Terkait berlakunya pasal 27 UU KKR di mana kompensasi dan rehabilitasi
terhadap korban diberikan hanya bila permintaan amnesti diberikan, rehabilitasi
dan kompensasi bisa tidak diberikan ketika pelaku tidak teridentifikasi, atau tidak
berhasil mendapat amnesty, atau tidak dimaafkan oleh korban, maupun ketika
pelaku tidak diberi amnesti oleh Presiden dan DPR.
Ketidakjelasan kapan restitusi diberikan sebagaimana ketentuan pasal 21
ayat (1) UU KKR dimana kompensasi dan rehabilitasi dapat ditunda selama tiga
tahun meski tidak ada biaya yang signifikan untuk itu, merupakan persolaan yang
menyebabkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mendapat
kritikan dari para ahli hukum.
Selain itu juga tidak ada ketentuan yang dibuat sebagai parameter kepuasan
dan mengenai jaminan tidak adanya pengulangan kejahatan. Dalam praktek PBB
tidak bisa memberi amnesti untuk (pelaku) genosida dan kejahatan terhadap
202
kemanusiaan karena ini termasuk kejahatan berat terhadap HAM. Pada sisi lain
berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka tidak ada
kadaluarsa untuk genosida.
Pemberian amnesti merupakan pelanggaran Pasal 6 ICCPR. Terhadap
pemberian amnesti terdapat batasan sebagaimana prinsip dari Komisi HAM PBB.
"Pelaku dari kejahatan berat berdasarkan hukum internasional tidak boleh
mendapat keuntungan sampai pelaku tersebut dituntut di hadapan pengadilan"
Amnesti tidak bisa dilakukan sebelum penuntutan. Menurutnya,
dimungkinkan pemberian keringanan hukuman kepada pelaku. "Tapi tidak boleh
sebelum penuntutan".
"Yang mengaku tetap dihukum, tetapi tidak seberat bila mereka tidak mengakui,"
"Ketika praktek-praktek tadi sudah menjadi standar internasional, tentunya bisa
jadi customary law. Memang sebaiknya kita mengacu pada aturan-aturan itu". 242
Pada sisi lain pembentukan Komisi kebenaran dan Persahabatan antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan Pememeritah Timor Leste juga
mengabaikan konsep-konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam Hukum
Internasional sebagaimana yang dikatakan oleh Romli Atmasasmita:
“... ada persoalan mendasar di balik penandatanganan Deklarasi bersama
dan pembentukkan KKP tersebut. Pertama, secara substansial latar
belakang dan filosofi serta materi muatan pembentukan KKP hanya
dilandaskan kepentingan hubungan baik secara bilateral antara kedua
negara, akan tetapi sama sekali mengabaikan prinsip-prinsip penyelesaian
masalah pelanggaran HAM Berat sebagaimana dianut dalam UndangUndang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM , dan juga dalam
242
Hukum Online, 05,07,2006, http://www.hukumonline.com/; Keterangan Ahli:
Undang-Undang KKR Banyak Cacat, Temu Eropa Digest Number 863, Zo, 9 Juli, 2006
0:39
203
Statuta International Criminal Court (1998) yaituu pertama, bahwa
pelanggaran Hak asasi manusia yang berat adalah merupakan perbuatan
individual dan bukan terkait atau tidak serta merta merupakan perbuatan
suatu negara. Konsekuensi Yuridis dari prinsip tersebut maka pelanggaran
hak asasi manusia tersebut menuntut pertanggungjawaban individual,
bukan pertanggungjawaban negara atau state responsibility, kecuali hanya
satu pertangggungjawaban yang diwajibkan kepada negara terkait ialah
tidak memberikan perlindungan terhadap pelakunya (no safe haven
principle) dan justru harus membantu/mendukung upaya untuk
menemukan kebenaran melalui jalur pengadilan atau jalur rekonsiliasi.
Prinsip Pertanggungjawaban individual dalam peristiwa Pelanggaran
HAM Berat (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang
dan agresi ) telah merupakan karakteristik proses penyelesaian kasus-kasus
tsb sejak mahkamah Nurenberg,Tokyo, dan Kemudian Rwanda serta di
bekas jajahan Yugoslavia. Pembentukkan KKP untuk menyelesaikan
peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pasca jejak pendapat (
tahun 1999 ) bertujuan untuk menemukan kebenaran tanpa penuntutan
melainkan hanya untuk pemberian amnesty atau kompensasi atau reparasi
terhadap korban-korban.Hal ini ditegaskan sebagai salah satu prinsip
dalam TOR pembentukan KKP (huruf c ):”...the CTF (KKP,Pen) Process
will not lead to prosecution and will emphazize instititutional
responsibilities”. Prinsip ini menegaskan menegaskan pengambilalihan
tanggungjawab institusi, dan sekali lagi menyimpang dari priinsip hukum
internasional.243
Prof Romli Atmasasmita mengemukakan suatu pandangan
kaitannya dengan Komisi Kebenaran dan Persahabatan sebagai berikut :
dalam
“Dilema pembentukan KKP (The Commission of Truth and Friendship)
antara Indonesia dan Timor Leste dalam penyelesaian peristiwa
pelanggaran hak asasi manusia yang berat pasca jajak pendapat tahun
1999.
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Leste pada tanggal 9 Maret
2005 telah menandatangani suatu Deklarasi Bersama (Joint Declaration)
untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat di Timor Leste
pada tahun 1999 yang lampau melalui pembentukan suatu Komisi
Kebenaran dan Persahabatan-KKP (Truth and Friendship Commission).
Deklarasi Bersama ini merupakan tindak lanjut pertemuan kedua Kepala
Negara pada tanggal 14 Desember 2004 di Tampaksiring, Bali. Disetujui
pula kedua Menlu dari Indonesia dan Timor Leste menyusun TOR dari
KKP tsb.
243
Romli Atmasasmita, Mengkritisi Pembentukan komisi kebenaran dan Persahabatan
(KKP) Indonesia dan Timor Leste
204
Langkah politik luar negeri Indonesia dalam kasus ini merupakan langkah
strategis yang patut mendapat apresiasi dalam rangka menemukan solusi
konflik antara kedua pemerintahan dan masyarakatnya tentang masalah
pelanggaran Ham berat masa lalu di wilayah Timor Leste pasca jajak
pendapat. Pertanyaan mendasar adalah apakah benar langkah tsb
merupakan langkah strategis untuk menyelesaikan masalah atau bahkan
justru akan menimbulkan masalah antara kedua pemerintah dan
masyarakatnya di kemudian hari; hanya sejarah akan membuktikan
jawaban atas pertanyaan tsb.
Deklarasi Bersama dan pembentukan KKP merupakan solusi sementara
karena keberhasilannya sangat tergantung dari situasi politik, penegakan
hukum di kedua negara ybs, dan sejauh mana KKP dapat menampung
aspirasi masyarakat Timor Leste khususnya keluarga korban.
Pembentukan KKP yang telah disepakati kedua pemerintahan merupakan
cara untuk tidak mencegah intervensi masyarakat internasional khususnya
PBB memasuki masalah pelanggaran HAM berat di Timor Leste yang
menurut pandangan Indonesia dianggap mampu menyelesaikannya secara
bilateral. Langkah strategis yang dipandang tepat untuk sementara ini
sudah barang tentu dengan satu kondisi yaitu bahwa kedua pemerintahan
mampu meredam gejolak politik di dalam negara masing2, dapat
menjamin bahwa KKP secara serius mampu menyelesaikan tugasnya seobjektif dan semaksimal mungkin untuk menemukan dan menggali faktafakta yang diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran tentang peristiwa
pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat.
Konsep Rekonsiliasi dalam Penjelasan Umum UU nomor 27 tahun 2004
berbeda dengan prinsip-prinsip pembentukan KKP huruf c. Penjelasan umum
undang-undang tersebut antara lain menegaskan: “Berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,pihak yang harus
bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia harus diidentifikasi. Apabila pelaku mengakui
kesalahan,mengakui
kebenaran
fakta-fakta,menyatakan
penyesalan
atas
perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban
205
yang merupakan ahli warisnya, pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dapat mengajukan amnesty kepada presiden”.
Bahkan di dalam Pasal 29 ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2004 secara
eksplisit menyatakan: “Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan
kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat
amnesty dan diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc”. Bunyi pasal tsb
secara nyata menuntut adanya pengakuan bersalah dari pelaku pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan kemungkinan tidak tercapai rekonsiliasi dalam
artian tersebut akan diteruskan kepada proses penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan HAM. Sedangkan prinsip pembentukan KKP tidak berujung kepada
proses penuntutan sehingga disinilah letak perbedaan mendasar dari kedua konsep
rekonsiliasi tersebut. Secara singkat proses rekonsiliasi versi UU Nomor 27 tahun
2004 tidak menganut sepenuhnya prinsip “non-impunity” sedangkan versi JD
tanggal 9 Maret 2005 menganut secara mutlak prinsip tsb dalam penyelesaian
kasus pelangggaran hak asasi manusia pasca jajak pendapat di Timor Leste tahun
1999.
Implikasi pembentukan KKP terhadap proses peradilan HAM Adhoc kasus
Timor Leste
“Implikasi pembentukan KKP muncul ketika meneliti mukadimah dari TOR
KKP khususnya angka 8 dan 10 dihubungkan dengan prinsip yang
diletakkan dalam TOR huruf c dan d. Mukadimah TOR KKP angka 8
berbunyi sebagai berikut:
“Based on and benefiting from our shared experience, and motivated by our
strong desire to move forward, we are determined to bring to a closure
chapter of our recent past through joint efforts. A definitive closure of the
issues of the past would further promote further bilateral relations”.
206
Berangkat dari mukadimah (angka 8) di atas sangat gambling bahwa kedua
pemerintahan telah sepakat untuk menutup buku kasus pelanggaran hak
asasi manusia yang berat pasca jajak pendapat tahun 1999 di wilayah Timor
Leste. Yang menarik dari bunyi mukadimah tsb adalah premis-premis yang
dibangun untuk menuju kepada rumusan mukadimah tsb sebagaimana
dicantumkan dalam mukadimah angka 10 antara lain sebagai berikut:
“Indonesia and Timor Leste have opted to seek truth and promote friendship
as a new and unique approach rather than the prosecutorial process”.
Langkah kedua pemerintah ini sangat strategis dan cerdik dalam
menyelesaikan masalah bilateral antara kedua negara ybs. Namun kemudian
premise-premis yang dibangun tidak tepat karena kedua belah pihak telah
men-salah artikan pengertian istilah “justice” dalam konteks pelanggaran
hak asasi manusia yang berat karena secara langsung telah menyamakan
penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan kasus
kriminal yang bersifat biasa, sedangkan sudah ditegaskan dalam Undangundang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bahwa pelanggaran
HAM yang berat adalah bersifat luar biasa (extra-ordinary crimes) bukan
kejahatan biasa (ordinary crimes). Pandangan dan persepsi yang dibangun
dalam TOR KKP jelas telah mengenyampingkan pendekatan hukum pidana
yang menitikberatkan kepada asas kesalahan dan pertanggungjawaban
pidana sebagai asas universal.
Kekeliruan pemahaman dan persepsi dalam menganalisis peristiwa
pelanggaran HAM berat yang nota bene berada dalam lingkup rezim hukum
pidana telah membuahkan premis-premis yang bersifat menyederhanakan
masalah (pelanggaran HAM berat) yang terbukti dari kalimat: “True justice
can be served with truth and acknowledgement of responsibility. The
prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is
to punish the perpetrators; but it might not necessarily lead to the truth and
promote reconciliation” (Mukadimah TOR KKP angka 10). Premis di atas
telah keliru mengartikan pengertian istilah “justice” dalam konteks “criminal
justice” karena tujuan hukum pidana sejak berabad yang lampau masiih
tetap, yaitu menemukan kebenaran materiel, bukan menghukum, karena
penghukuman itu hanya sebagai sarana (as a means) yang berfungsi baik
represif maupun preventif atau rekonsiliasi untuk menemukan keadilan (to
an ends).
Kekeliruan premise yang dibangun dalam proses pembentukan KKP
berdampak terhadap mandate yang diberikan kepada KKP sekalipun
ditegaskan dalam prinsip TOR (huruf e),antara lain , “Does not prejudice
against the onging judicial process with regard to reported cases of human
rights violations in Timor Leste in 1999..”. Penegasan atas prinsip inipun
tidak ada artinya karena telah ditutup rapat oleh bunyi Mukadimah angka 8
khusus berkaitan dengan kalimat, “a definitive closure of the issues of the
past” sehingga kesepakatan kedua belah pihak (Indonesia dan Timor Leste)
ini telah menutup peluang proses penuntutan dan peradilan atas pelakupelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor Leste tahun
207
1999. Pertanyaan mendasar yang diajukan sebagai konsekuensi logis dari
pembentukan KKP dengan prinsip-prinsip-prinsip yang dibangun serta
mandate yang harus diembannya, adalah, apakah proses penuntutan dan
peradilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM di Timor Leste pasca
jajak pendapat masih relevan dan mendesak untuk terus dilanjutkan?244
Pada akhirnya semua
pandangan mengenai Komisi Kebenaran Dan
Persahabatan dalam kaitannya dengan sistem Hukum Indonesia menjadi
kenyataan ketika Komisi kebenaran menyelesaikan laporannya. Pelanggaran
HAM berat dan mendapatkan bukti mengenai : serangan meluas atau sistematis
terhadap penduduk sipil di Timor-Timur Tahun 1999, dimana dikatakan sebagian
besar bukti yang terungkap dalam proses telaah ulang dokumen dan Pencarian
fakta sangat kuat untuk berpendapat bahwa telah terjdi serangan meluas terhadp
penduduk sipil di Timor-Timur tahun 1999.245
Pemerintah membentuk komisi kebenaran dan persahabatan yang
menyimpulkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur
sebagaimana yang terdapat dalam kesimpulan yang ada dalam laporan akhir
Komisi Kebenaran dan Persahabatan .
Berdasarkan hasil Telaah Ulang Dokumen dan hasil analisis atas faktafakta yang telah diulas dalam temuan berdasarkan Kerangka Acuan 14 a (i) dan
(ii), Komisi berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa
kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesimpulan Komisi ini juga didasarkan analisis
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi telah dilakukan sebagai
244
Romli Atmasasmita, Mengkritisi Pembentukan komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
http://www.portalhukum.com/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid
=24
245
Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Hlm. 207
208
bagian dari serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil. Jenis
tindak kekerasan tersebut antara lain: (1) Pembunuhan; (2) Deportasi atau
pemindahan paksa penduduk; (3) Penahanan ilegal (4) Kekerasan seksual lainnya;
(5) Penghilangan paksa; dan (6) Perbuatan tak manusiawi lain, yaitu
penghancuran dan pembakaran harta benda. Untuk dapat menyimpulkan bahwa
pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi,
Komisi pertama-tama melihat apakah kekerasan tersebut “diarahkan terhadap”
warga sipil. Kekerasan ini dapat berupa segala bentuk kekerasan fisik, pemaksaan,
ancaman, intimidasi, atau penghilangan kemerdekaan fisik. Warga sipil yang
diserang harus dalam jumlah yang cukup untuk menunjukkan bahwa penyerangan
tersebut tidak hanya ditujukan terhadap perorangan sipil dalam jumlah yang
sedikit, terbatas, atau terpilih secara acak, namun sekelompok orang yang
signifikan. Pemikiran dasarnya di sini adalah untuk menentukan apakah ada bukti
kredibel mengenai penganiayaan atau penggunaan kekuatan, pemaksaan, atau
kekerasan terhadap sejumlah substansial warga sipil. Jika kekerasan (1) diarahkan
hanya terhadap sedikit warga sipil terpisah, atau (2) diarahkan terutama terhadap
lawan militer yang sah namun terdapat beberapa warga sipil yang terbunuh dalam
suatu insiden yang acak dan terpisah, maka ini tidak digolongkan sebagai
pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun di
Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik dan fokusnya pada Jajak
Pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban, terutama penargetan warga
sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan keyakinan atau tujuan politik
tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa serangan terhadap penduduk sipil telah
209
terjadi. Komisi berkesimpulan bahwa bukti mengenai hal ini sangat banyak dan
definitif.246
Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil,
penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat “meluas atau
sistematis.” Istilah “meluas” mencakup dimensi kuantitatif, cakupan, dan sifat
serangan. Istilah “sistematis” terutama berkaitan dengan aspek kualitatif serangan
dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan tersebut bukan terdiri dari
tindak kekerasan yang acak, terpisah dan individual, namun mencakup banyak
tindakan dengan jumlah atau skala korban yang signifikan, atau terdapat
pengorganisasian, perencanaan, koordinasi, atau kegiatan terpola. Di sini sekali
lagi Komisi berkesimpulan bahwa bukti secara kuat menunjukkan serangan
terhadap penduduk sipil di Timor Timur terjadi secara meluas maupun sistematis.
Bukti ini mengindikasikan bahwa jumlah korban dan insiden, juga skalanya,
cukup besar.
Bukti juga menunjukkan bahwa serangan sering menjadikan sasaran
orang-orang yang dipandang memiliki afiliasi politik tertentu dan serangan ini
terjadi berulang kali dalam rentang waktu, pada banyak tempat, serta mengikuti
pola perbuatan yang terorganisasi.
Komisi menerima sejumlah besar bukti dokumen dan kesaksian langsung
bahwa
pelanggaran
HAM
berat
telah
terjadi.
Masing-masing
sumber
dipertimbangkan dengan saksama untuk menilai keaslian, kedalaman, relevansi
dan nilai faktual tiap-tiap bukti. Kemudian, sumber-sumber ini diperbandingkan
246
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan ,hlm 305
210
dan diteliti lebih lanjut guna menentukan keterangan mana yang terkoroborasi
secara memadai untuk dapat dianggap benar, dan keterangan mana yang dapat
cukup kuat dibantah untuk dianggap salah. Dalam beberapa bidang analisis
mengenai pelanggaran HAM tertentu tidak terdapat cukup informasi yang
memiliki kualitas pembuktian yang baik bagi Komisi guna memastikan
kebenarannya. Selama proses Komisi telah melakukan pembahasan serta
melibatkan para korban, pelaku, saksi, pejabat lembaga pemerintahan dan
penasihat ahli. Para pendukung kedua aliran politik, baik prootonomi maupun prokemerdekaan, telah mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksian faktual
dan pandangan mereka. Sebagaimana dijelaskan pada Bab 5-8,sebagian besar
sumber ini secara meyakinkan sepakat bahwa sejumlah besar serangan terhadap
penduduk sipil, dengan sifat dan skala yang merupakan pelanggaran HAM berat,
telah terjadi di Timor Timur.
Langkah Komisi berikutnya adalah mengidentifikasi pihak-pihak yang
melakukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan
dimaksud dan menetapkan bagaimana pelanggaran tersebut dilakukan. Berkenaan
dengan ini, Komisi meninjau bukti untuk memastikan pola pada tingkat
operasional dimana pelanggaran HAM berat dilakukan. Standar-standar yang
sama dalam menetapkan pelanggaran HAM berat diterapkan untuk masingmasing tindakan, terlepas dari identitas atau afiliasi kelembagaan pelaku. Dengan
kata lain, Komisi mengidentifikasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat spesifik,
dan menentukan apakah terdapat pola-pola perbuatan yang sistematis dan/atau
211
meluas oleh anggota kelompok-kelompok pro-otonomi, lembaga pemerintah atau
kelompok-kelompok pro-kemerdekaan.
Kelompok pro-otonomi, khususnya milisi, telah diidentifikasi dalam
sebagian besar kasus sebagai pelaku langsung tindakan-tindakan yang merupakan
pelanggaran HAM berat. Tindakan-tindakan ini dilakukan secara luas. Kelompokkelompok milisi beroperasi di seluruh Timor Timur tahun 1999 dan melakukan
pelanggaran HAM di setiap kabupaten dan kecamatan di Timor Timur. Organisasi
kelompok milisi menunjukkan banyak ciri ”sistematis”, termasuk perekrutan
anggota dan sumber daya materiil yang terorganisasi; struktur bergaya militer
(hirarki komando, perintah,seragam) dan operasi (pelaporan rutin dan komunikasi
radio, penghadang jalan,kampanye sweeping, serangan terencana); upah; markasmarkas tempat pelatihan dan pertemuan dilakukan, dan senjata disimpan.
Pelanggaran-pelanggaran HAM berat dilakukan dalam bentuk penyerangan
sistematis oleh kelompok tersebut sebagaimana diindikasikan banyak faktor,
yaitu:
1. Berbagai rapat perencanaan dan apel.
2. Instruksi, perintah, dan perencanaan para pemimpin yang diakui, atau para
komandan sebelum, selama dan setelah penyerangan, operasi sweeping, serta
patroli-patroli. Pengawasan dan distribusi senjata kepada anggota.
3. Serangan-serangan yang telah disusun rapih, menggunakan taktik bergaya
militer, bersama perwira TNI dan/atau komandan milisi mengkoordinasi atau
mengarahkan serangan-serangan tersebut.
212
4. Pemberian dukungan logistik termasuk transportasi, amunisi, dan makanan oleh
otoritas Indonesia.
5. Penargetan kategori korban tertentu menurut jender, persepsi afiliasi politik
atau kaitan dengan pendukung suatu kelompok politik.247
Kelompok pro-otonomi yang melakukan serangan terhadap prokemerdekaan tidak bertindak secara spontan atau sendiri. Mereka sering kali
bertindak dengan panduan dan dukungan lembaga-lembaga pemerintah. Komisi
telah menetapkan bahwa terdapat pelaku bersama pelanggaran HAM berat dari
anggota militer dalam sejumlah kasus tertentu, serta kepolisian dan pegawai
negeri sipil. Juga terdapat banyak kasus dimana pejabat militer Indonesia
merencanakan, mempersiapkan, atau mengarahkan operasi-operasi militer,
terkadang melibatkan anggota TNI dalam suatu operasi. Pada beberapa kasus
mereka juga memberi dukungan materiil lain dalam bentuk transportasi atau
penggunaan fasilitas militer setempat untuk penahanan ilegal atau bentuk-bentuk
penganiayaan lainnya terhadap warga sipil. Juga sering terdapat keanggotaan
bersama atau yang tumpang tindih pada tingkat operasional, antara milisi, pasukan
keamanan, dan pejabat pemerintahan sipil. Selain partisipasi bersama dengan
milisi sebagai pelaku langsung, pengatur atau komandan, Komisi juga
mengidentifikasi bahwa aparat militer dan pemerintah sipil terlibat dalam
pembentukan dan pemberian dukungan kepada kelompok milisi dalam berbagai
cara, termasuk:
247
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,Hlm 305
213
1. Pemberian dana, dukungan logistik, fasilitas fisik, dan bahan-bahan
lainnya,seperti makanan, kepada milisi secara sistematis.
2. Pemberian senjata kepada kelompok-kelompok milisi secara sistematis.248
Pola-pola perbuatan tersebut diulang oleh milisi dan satuan serta anggota
TNI pada banyak kabupaten di Timor Timur. Hal ini melibatkan banyak individu
dan institusi yang bekerja sama dalam menggunakan kekerasan bersenjata guna
mendukung tujuan politik bersama. Institusi-institusi yang terlibat dalam
perbuatan pelanggaran HAM berat tahun 1999, mencakup antara lain milisi prootonomi, pasukan keamanan Indonesia (TNI dan Polri) dan pejabat pemerintah
sipil. Ciri-ciri kuantitatif dan kualitatif bukti ini memungkinkan Komisi mencapai
kesimpulan secara definitif, akurat dan meyakinkan. Mengenai apakah
keterlibatan institusi dimaksud sudah cukup, dari segi sifat dan cakupan, untuk
mendukung kesimpulan bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab
kelembagaan atas kejahatan-kejahatan dimaksud. Komisi juga mengidentifikasi
tindak kekerasan yang dilaporkan telah dilakukan oleh kelompok prokemerdekaan (CNRT, Falintil, kelompok pemuda pro-kemerdekaan) terhadap
warga sipil. Sebagian tindakan ini mencakup pembunuhan, penahanan ilegal,
perusakan harta benda, dan pelanggaran seksual.
Dalam semua serangan, korban adalah warga sipil pro-otonomi, termasuk mantan
anggota milisi. Pelanggaran oleh kelompok pro-kemerdekaan tahun 1999 telah
dilaporkan setidaknya terjadi di delapan kabupaten Timor Timur. Seranganserangan tersebut juga menunjukkan sejumlah unsur sistematis, yaitu:
248
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 305
214
1.
Serangan bersasaran terhadap orang-orang yang ”dikenal” sebagai pendukung
pro otonomi.
2.
Penggunaan operasi-operasi bergaya militer, seperti penghadangan jalan,
patroli teratur dan penyerbuan.
3.
Perintah-perintah dan prosedur laporan kepada pejabat militer dan CNRT.249
Oleh karena itu sangat mungkin bahwa kelompok pro-kemerdekaan telah
melakukan pelanggaran HAM berat secara meluas dan sistematis khususnya
dalam tindak penahanan ilegal.
Akan tetapi bukti yang menunjukkan adanya pola-pola perlu disikapi
dengan hati-hati, mengingat kegagalan SCU, KPP HAM dan Pengadilan HAM Ad
Hoc untuk memberi prioritas bagi penyelidikan pelanggaran dimaksud. Selain itu
jumlah pelanggaran yang dilaporkan telah dilakukan kelompok pro-kemerdekaan
pada tahun 1999 hanyalah sedikit (kurang dari 50), padahal terdapat ribuan
laporan mengenai pelanggaran oleh kelompok
pro-otonomi. Labih jauh lagi,
banyak laporan mengenai pelanggaran oleh pro-kemerdekaan tidak dikuatkan
keterangan langsung saksi mata,korban, pelaku, atau bentuk-bentuk dokumentasi
kredibel lain. Sebagian besar informasi tersebut belum diuji dalam sidang
Pengadilan, atau dalam forum lain yang memungkinkan dilakukannya
pemeriksaan rinci.
Banyaknya laporan belum tentu menunjukkan jumlah definitif pelanggaran
kelompok pro-kemerdekaan, karena belum ada penyelidikan memadai tentang
kejadian-kejadian ini agar dapat membuat kesimpulan. Dampak terbatasnya
249
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 306
215
jumlah dan kualitas laporan adalah bahwa Komisi tidak memiliki dasar kuat guna
membuat temuan konklusif mengenai kelompok pro-kemerdekaan mana yang
terlibat, dalam cara apa, untuk masing-masing bentuk pelanggaran serta seberapa
luas, (sifat meluas) atau bagaimana (sifat sistematis) serangan terjadi.
Panel Khusus melaksanakan tiga persidangan dimana anggota kelompok
prokemerdekaan
(termasuk
Falintil)
dinyatakan
bersalah
atas
tindakan
pembunuhan warga sipil. Selain itu, beberapa laporan mengenai kejahatan oleh
pro-kemerdekaan yang ditelaah oleh Komisi secara mendalam berawal sebagai
penyelidikan internal dalam CNRT dan/atau Falintil, dan tampaknnya telah
diteruskan ke proses peradilan.
Dengan demikian, berdasarkan sejumlah kasus dimaksud terdapat dasar
untuk
menyimpulkan
bahwa
anggota
kelompok
pro-kemerdekaan
telah
melakukan pelanggaran HAM berat pada tahun 1999 dan setidaknya dalam
beberapa kasus telah dimintakan pertanggungjawaban. Namun, kemampuan
Komisi untuk secara tuntas menentukan hakikat, cakupan, dan penyebab
pelanggaran oleh kelompok prokemerdekaan serta afiliasi kelembagaan dan
hubungan mereka yang sesungguhnya.
Kerangka yang digunakan Komisi untuk mencapai temuan dan kesimpulan
mengenai pelanggaran HAM berat. Lebih khusus lagi, bagian tersebut merinci
dasar-dasar kesimpulan Komisi bahwa kekerasan di Timor Timur tahun 1999
tidak terdiri atas tindak kekerasan yang acak, terisolasi dan individual, melainkan
menunjukkan adanya organisasi, perencanaan dan koordinasi.250
250
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.307
216
Lebih lanjut, juga menjelaskan bagaimana Komisi menyimpulkan bahwa
serangan-serangan yang terkoordinasi dan terorganisasi menjadikan orang-orang
sebagai sasaran atas dugaan afiliasi politik mereka. Faktor-faktor dimaksud
menjadi dasar bagi kesimpulan Komisi bahwa pelanggaran HAM berat telah
dilakukan dalam skala meluas dan sistematis, dan faktor-aktor tersebut juga
menjadi langkah awal bagi temuan mengenai tanggung jawab kelembagaan.
Tanggung jawab kelembagaan bersumber dari partisipasi atau pembiaran
oleh lembaga-lembaga Negara dalam suatu tindak kriminal atau perbuatan
melawan hukum. Guna mendukung
temuan mengenai tanggung jawab
kelembagaan, partisipasi atau pembiaran tersebut tidak bisa hanya terdiri dari
kejadian-kejadian yang terisolsasi atau yang terjadi sekali-kali,berskala kecil dan
hanya melibatkan sedikit anggota lembaga negara. Tanggung jawab kelembagaan
bersumber dari dukungan, pembiaran, atau keterlibatan langsung maupun tidak
langsung dalam pelanggaran oleh lembaga-lembaga yang terjadi secara sistematis
dan berulang, dalam suatu rentang waktu, di sejumlah tempat, serta mengikuti
suatu pola perbuatan reguler dan terorganisasi. Dalam keadaan seperti ini,
lembaga-lembaga dimaksud harus menerima tanggung jawab atas perilaku
anggota mereka karena tingkat hubungan kelembagaan dalam perbuatan
pelanggaran begitu besar sehingga tidak dapat dikatakan sebagai tindakan
terisolasi oleh sedikit individu atau “oknum.” Dalam menerapkan kerangka
konseptual yang dijabarkan pada bab-bab sebelumnya,Komisi berfokus pada dua
pertanyaan sentral. Pertanyaan pertama, apakah pada tingkat operasional bukti
sudah memadai untuk menjadi dasar bagi temuan mengenai pola-pola kegiatan
217
terkoordinasi dalam suatu rentang waktu dan di banyak tempat? Pertanyaan kedua
berfokus pada pelaku kelembagaan yang terkait denganpola-pola kegiatan.
Pertanyaannya
adalah
apakah
bukti
mengenai
pola-pola
tersebut
juga
mengungkapkan lembaga mana yang berpartisipasi dalam memungkinkan
kegiatan terjadi? Partisipasi tersebut dapat berupa dua bentuk: (a) lembaga yang
anggota atau personilnya terlibat secara langsung dalam perbuatan kejahatan;
(b)institusi yang memberi dukungan, pengorganisasian, sumber daya, arahan,
pelatihan, atau perencanaan reguler dan substansial bagi pelaku kejahatan.251
Jika hanya ada bukti untuk menunjukkan adanya keterlibatan kelembagaan
dalam sedikit kejadian, namun tidak secara konsisten dalam suatu rentang waktu
dan di banyak tempat, maka kemungkinan tidak ada bukti cukup untuk
menetapkan tanggung jawab kelembagaan. Akan tetapi, jika ditemukan pola terus
menerus mengenai keterlibatan kelembagaan dalam sebagian besar atau banyak
jenis kejahatan yang terjadi di Timor Timur selama tahun 1999, maka hal tersebut
akan menjadi dasar kuat bagi temuan tanggung jawab kelembagaan.
Komisi telah merinci temuannya berdasarkan analisis gabungan Telaah
Ulang Dokumen dan Pencarian Fakta. Temuan-temuan tersebut membentuk dasar
bagi kesimpulan bahwa terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya
keterlibatan kelembagaan dalam pelanggaran HAM berat. Temuan-temuan ini
juga menunjukkan bahwa keterlibatan kelembagaan terjadi dalam cakupan dan
rentang waktu yang cukup untuk mendukung kesimpulan mengenai tanggung
251
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 308.
218
jawab kelembagaan beberapa lembaga yang memainkan peran dalam kekerasan
tahun 1999.252
Dalam menerapkan kedua pertanyaan di atas terhadap bukti proses
Pencarian Fakta dan Telaah Ulang Dokumen, Komisi berkesimpulan bahwa
berdasarkan bukti tidak diragukan lagi bahwa milisi pro-otonomi merupakan
pelaku langsung utama pelanggaran HAM berat di Timor Timur tahun 1999 dan
cara bagaimana kejahatankejahatan dimaksud dilakukan secara konsisten, terpola
dan sistematis memenuhi syarat bagi tanggung jawab kelembagaan. Pola
konsisten perbuatan langsung oleh milisi-milisi pro-otonomi dalam melancarkan
kekerasan terhadap pendukung pro kemerdekaan yang menckaup pembunuhan,
pemerkosaan sistematis, penyiksaan,penghilangan kemerdekaan fisik berat, serta
deportasi dan pemindahan paksa, sudah begitu jelas sehingga tidak ada lagi
keraguan mengenai tanggung jawab kelembagaan atas kejahatan-kejahatan ini.
Dalam menganalisis sejauh mana lembaga-lembaga Indonesia memenuhi
kriteria tanggung jawab kelembagaan, Komisi berkesimpulan bahwa bukti sudah
cukup jelas dan cukup banyak untuk mendukung kesimpulan dimaksud. Lebih
khusus lagi, Komisi menemukan bahwa anggota TNI, Polri, dan pejabat sipil telah
bekerja sama dengan dan mendukung milisi dalam berbagai cara signifikan yang
turut berkontribusi terhadap perbuatan kejahatan-kejahatan sebagaimana diuraikan
di atas. Bukti juga menunjukkan bahwa anggota TNI kadang-kadang
berpartisipasi langsung dalam operasi yang menimbulkan kejahatan tersebut.
Partisipasi semacam ini mencakup keterlibatan langsung dalam perbuatan
252
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.308.
219
kejahatan oleh anggota satuan TNI yang beroperasi di dalam milisi dan di bawah
arahan operasional perwira yang hadir ketika kejahatan dilakukan.253
Konteks pola kerja sama antara milisi dan TNI melibatkan suatu praktik
kolaborasi yang terus berlangsung yang sudah ada jauh sebelum 1999 antara
milisi,
pasukan
pertahanan
sipil
dan
satuan-satuan
lokal
TNI
yang
keanggotaannya seringkali tumpang tindih. Pola-pola kerja sama tersebut
melibatkan tidak hanya perencanaan dan perbuatan bersama dalam operasi,
namun juga pemberian berbagai bentuk dukungan materiil. Karena berkembang
dari konteks historis dimaksud, pada tahun 1999 di tingkat operasional lembagalembaga ini semuanya bertindak bersama dalam mencapai tujuan bersama untuk
mengalahkan gerakan pro-kemerdekaan.
Bukti secara meyakinkan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok
tersebut sudah sering menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka dan
bahwa kekerasan tersebut mengakibatkan berbagai bentuk pelanggaran HAM
berat. Operasi gabungan mereka sering kali dilakukan di bawah arahan pejabat
militer atau sipil Indonesia. Dalam kasus lainnya, bahkan dimana perwira atau
pejabat Indonesia mungkin tidak merencanakan atau mengarahkan operasinya,
namun bukti menunjukkan bahwa mereka mengetahui, membiarkan, atau
menyetujui operasi-operasi. Pejabat sipil dalam beberapa kejadian terlibat dalam
operasi-operasi, dan umumnya memberi dukungan materiil kepada kelompok
253
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.309
220
milisi yang melakukan perbuatan dengan pengetahuan bahwa dukungan tersebut
akan mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran.254
Bahkan ketika aparat kepolisian tidak terlibat dalam operasi, mereka
hampir tidak efektif sama sekali dalam mencegah kekerasan dan dalam menjaga
keamanan bagi penduduk sipil Analisis Komisi mengenai bukti terkait kedua
pertanyaan yang membentuk dasar bagi temuan tanggung jawab kelembagaan
mengungkapkan bahwa operasi-operasi milisi mengikuti berbagai pola, termasuk
tindakan-tindakan yang dilakukan milisi prootonomi tanpa keterlibatan TNI,
operasi yang dipicu oleh atau atas perintah perwira TNI, dan operasi gabungan
yang dilaksanakan TNI, atau lebih khusus lagi anggota Kopassus bersama anggota
milisi.
Analisis Komisi juga mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus anggota
milisi juga berada di dalam TNI, sehingga kadang sulit untuk membedakan kedua
organisasi tersebut pada tingkat operasional. Insiden-insiden seperti ini tidak
terjadi secara acak atau terisolasi, namun terjadi sepanjang tahun 1999 dan di
seluruh Timor Timur, dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda. Operasi yang
mengakibatkan pelanggaran HAM berat menunjukkan adanya pola kegiatan
konsisten yang melibatkan arahan operasional di bawah suatu struktur komando
yang dapat diidentifikasi, koordinasi dan perencanaan serangan atas warga sipil,
dan melancarkan serangan tersebut dalam gaya militer mengikuti suatu pola taktis
yang biasa. Dengan kata lain, Komisi menemukan bahwa terdapat banyak bukti
untuk menjawab pertanyaan pertama: Terdapat pola-pola kegiatan yang sistematis
254
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.309.
221
dan terkoordinasi dalam rentang waktu tertentu dan di banyak lokasi yang
melibatkan perbuatan pelanggaran HAM berat dan bahwa kegiatan terkoordinasi
dan terpola tersebut juga terjadi dalam derajat dan rentang waktu yang cukup
untuk mencapai temuan tanggung jawab kelembagaan. Pertanyaan berikut yang
harus dijawab oleh Komisi adalah institusi mana yang harus menerima tanggung
jawab dimaksud.
Komisi menemui kesulitan lebih besar dalam mencapai kesimpulan
definitive mengenai tanggung jawab kelembagaan bagi pelanggaran HAM berat
yang dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan. Di satu sisi, tidak diragukan
bahwa pelanggaran HAM telah dilakukan terhadap warga sipil yang menentang
kemerdekaan. Kejahatan-kejahatan ini termasuk pembunuhan, perusakan harta
benda dan penahanan ilegal. Di sisi lain, terdapat kesulitan yang cukup berarti
dalam menganalisis cakupan dan derajat organisasi atau perencanaan kejahatankejahatan dimaksud karena tidak ada investigasi sistematis mengenai peran
kelompok-kelompok pro-kemerdekaan dalam kekerasan tahun 1999. Jelas bahwa
tindakan tersebut sama sekali tidak acak dan terislosai, dan beberapa pelanggaran
dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat. Hanya dalam kasus
penahanan illegal terdapat cukup banyak bukti yang memadai untuk mencapai
kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan. Komisi telah menganalisis
seluruh bukti proses Telaah Ulang Dokumen dan Pencarian Fakta guna
menentukan institusi mana yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat melalui
partisipasi langsung anggota atau personilnya. Komisi juga telah memeriksa bukti
untuk menentukan institusi mana yang terkait dengan perbuatan kejahatan-
222
kejahatan ini karena anggotanya memberi dukungan, organisasi, sumber daya,
arahan, pelatihan, atau perencanaan bagi para pelaku kejahatan ini secara reguler
dan substansial. Komisi kemudian menimbang bukti yang ada guna menilai
apakah berbagai bentuk partisipasi atau dukungan ini telah mencukupi dari segi
durasi atau cakupan untuk menjadi dasar bagi kesimpulan mengenai tanggung
jawab kelembagaan.
Mengenai tanggung jawab kelembagaan kelompok-kelompok prokemerdekaan, seperti yang telah dicatat, tidak adanya investigasi yang sistematis
menimbulkan kesulitan untuk mengenakan tanggung jawab kelembagaan atas
penahanan-penahanan ilegal yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut.
Terdapat bukti yang cukup mengenai pola luas dari elemenelemen Falintil
dan/atau CNRT yang menahan orang yang dipandang sebagai anggota dan/atau
mantan anggota milisi, namun tidak mudah untuk mengenakan tanggung jawab
tepat kepada institusi-institusi spesifik bagi kejadian-kejadian individual
pelanggaran. Analisis Komisi atas bukti yang ada mengungkapkan bahwa
penahanan ilegal tersebut dilakukan dalam cara yang sistematis yang mencakup
perintah resmi, laporan kepada komandan, dan lain-lain. Atas dasar bukti ini,
Komisi berkesimpulan bahwa terdapat setidaknya suatu persetujuan institusional
diam-diam bagi pola penahanan ilegal pada Falintil dan/atau CNRT.
Terkait tanggung jawab kelembagaan pelanggaran HAM berat yang
dilakukan terhadap orang-orang yang diduga pendukung pro-kemerdekaan,
Komisi telah menganalisis banyak jenis bukti yang menghubungkan berbagai
institusi dengan kejahatan-kejahatan tersebut.
223
Seperti uraian di atas, Komisi berkesimpulan bahwa milisi-milisi prootonomi merupakan pelaku langsung utama kejahatan dimaksud.Pertanyaan
pokok mengenai tanggung jawab kelembagaan yang dihadapi Komisi adalah
organisasi lain mana yang dapat dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan tersebut
secara memadai sehingga dapat mendukung kesimpulan bahwa mereka juga
memikul tanggung jawab kelembagaan.
Komisi menemukan bahwa komandan-komandan TNI di Timor Timur
mengendalikan pendanaan, pemasokan, pembagian, dan penggunaan senjata
kepada kelompok-kelompok milisi dan hal ini dilakukan secara sangat
terorganisasi. Mereka juga mengetahui bahwa senjata-senjata ini akan digunakan
untuk mendorong kampanye pro-otonomi dan bahwa pelanggaran HAM berat
sedang terjadi selama proses kampanye tersebut. Dukungan TNI bagi milisi juga
mencakup perencanaan dan pengorganisasian operasi gabungan yang sering
melibatkan anggota dan perwira TNI. Fasilitas TNI lokal digunakan sebagai
tempat penahanan ilegal, dimana berbagai bentuk penganiayaan berat terhadap
warga sipil, termasuk penyiksaan dan kekerasan seksual pun terjadi. Komisi
menemukan bahwa pola-pola perbuatan bersama dan dukungan muncul dari
keterkaitan struktural antara TNI dan milisi serta kelompok sipil bersenjata
lainnya yang berkembang selama ini. Sikap TNI mengandalkan kelompokkelompok sipil bersenjata semacam tersebut merupakan kelemahan struktural
yang kemudian menjadi salah satu sumber bagi tanggung jawab kelembagaan
mereka atas pelanggaran HAM tahun 1999 di Timor Timur.255
255
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.311.
224
Komisi juga menemukan bahwa terdapat sangat banyak bukti yang
menunjukkan kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok milisi juga didukung oleh
pemerintah sipil dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk dukungan yang
terdokumentasi paling baik adalah cara sistematis dan berkesinambungan
pemerintah sipil menyediakan dana bagi milisi, bahkan setelah mereka jelas-jelas
mengetahui bahwa kelompok-kelompok milisi tersebut sudah melakukan berbagai
pelanggaran HAM berat. Muspida juga ikut memberi kontribusi dukungan kepada
kelompok-kelompok milisi. Pemerintah sipil dan Muspida mengetahui bahwa
kelompok-kelompok keamanan yang berafiliasi dengan militer dan kepolisian
terlibat dalam kegiatan-kegiatan pro-otonomi yang melanggar syarat netralitas
TNI dan Polri sesuai Kesepakatan 5 Mei 1999.
Komisi berkesimpulan bukti cukup kuat menunjukkan bahwa penyediaan
dana dan dukungan materil oleh militer dan pejabat pemerintah merupakan bagian
integral dari suatu hubungan kerja sama yang terorganisasi dan berkesinambungan
dalam mewujudkan tujuan politik bersama, yang bertujuan untuk membantu
kegiatan milisi yang akan mengintimidasi atau mencegah warga sipil mendukung
gerakan prokemerdekaan.
Hal-hal ini menjadi dasar bagi kesimpulan bahwa TNI dan pemerintah
sipil memiliki tanggung jawab kelembagaan atas pelanggaran HAM berat yang
dilakukan terhadap orang-orang
yang diduga
sebagai
pendukung pro-
kemerdekaan tahun 1999. Dominasi TNI atas pemerintah sipil, sebagaimana
tampak dalam analisis konteks yang lebih luas pada Bab 4, memperkuat
kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan.
225
Kesimpulan bahwa pelanggaran HAM berat yang ditemukan telah terjadi
jelas bukan merupakan akibat kejadian-kejadian spontan. Sebaliknya, seranganserangan tersebut dilakukan secara terorganisasi dan sistematis dengan mejadikan
pendukung pro-kemerdekaan sebagai sasaran. Serangan terutama dilakukan oleh
milisi, walaupun anggota TNI dapat ditunjukkan sering terlibat dalam dan/atau
ikut merencanakan serta mengarahkan serangan-serangan tersebut. Secara
keseluruhan, serangan-serangan ini merupakan suatu kampanye kekerasan yang
terorganisasi. Orang-orang dari milisi, kepolisian,pemerintah sipil setempat, dan
TNI berpartisipasi dalam berbagai tahap kampanye kekerasan dan tekanan politik
yang dilancarkan terhadap warga sipil yang diyakini memiliki hubungan dengan
gerakan pro-kemerdekaan. Kampanye ini mengikuti pola-pola tertentu yang
seringkali mencakup serangkaian kejadian yang saling terkait seperti intimidasi,
ancaman dan kekuatan nyata guna melemahkan dukungan penduduk sipil kepada
gerakan pro-kemerdekaan. Kampanye tersebut melibatkan serangan terorganisasi
atas desa-desa oleh milisi dan TNI. Serangan tersebut
mengakibatkan
pelanggaran HAM berat yang mencakup pembunuhan, pemerkosaan dan
penyiksaan, serta penghilangan kemerdekaan, pemindahan paksa dari desa-desa,
dan pada akhirnya, dalam banyak kasus, deportasi.256
Kampanye kegiatan terkoordinasi semacam ini memerlukan perencanaan
serta dukungan logistik dan pendanaan. Komisi berkesimpulan bahwa bukti
menunjukkan anggota TNI dan Polri serta pejabat sipil terkadang terlibat dalam
hampir setiap tahap kegiatan yang menimbulkan pelanggaran HAM berat,
256
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.312.
226
termasuk pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, penahanan ilegal, dan
penghilangan kemerdekaan fisik berat lainnya, serta pemindahan paksa dan
deportasi. Kegiatan yang berkelanjutan dan terkoordinasi semacam ini yang
melibatkan berbagai bentuk dukungan, dorongan, dan kerja sama menjadi dasar
bagi kesimpulan Komisi bahwa TNI, Polri dan pemerintah sipil bersama memikul
tanggung jawab kelembagaan atas kejahatankejahatan dimaksud.
Komisi telah mengidentifikasi tanggung jawab kelembagaan milisi prootonomi
dan kelompok pro-kemerdekaan.
Sejak Timor-Leste
mencapai
kemerdekaannya, kelompok-kelompok ini tidak lagi ada. Untuk alasan itulah
kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan mereka hanya akan memiliki
nilai simbolis. Negaralah yang memiliki kewajiban politik dan moral untuk
menerima tanggung jawab atas pelanggaran HAM oleh kelompok-kelompok
dengan siapa negara pernah memiliki hubungan historis, bahkan ketika kelompokkelompok tersebut tidak lagi ada atau telah mengalami transformasi yang cukup
signifikan.
Dari sudut pandang yang berorientasi ke depan, Komisi berkesimpulan
bahwa pemerintah Timor-Leste harus mengakui tanggung jawab negara bagi
penahanan ilegal yang merupakan pelanggaran hak asasi manusi berat yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok pro-kemerdekaan. Pengakuan tanggung
jawab negara atas kelompok-kelompok ini tidak didasarkan pada akuntabilitas
hukum, namun muncul dari dasar moral dan politik bagi tanggung jawab
kelembagaan Perihal kelompok-kelompok milisi pro-otonomi, mengingat
pandangan
ke
depan
Komisi
dalam
227
merumuskan
kesimpulannya
dan
rekomendasi-rekomendasi yang didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan tersebut,
Komisi menyimpulkan bahwa Indonesia memikul tanggung jawab negara bagi
pelanggaran hak asasi manusi berat yang dilakukan oleh milisi-milisi tersebut
dengan dukungan dan/atau partisipasi institusi-institusi Indonesia atau para
anggotanya.257
257
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.313
228
BAB IV
PENGATURAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Tinjauan Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam
Perundang-Undangan di Indonesia
Istilah Pelanggaran HAM Berat
pertama kali muncul dalam
hukum
Indonesia dan dinyatakan sebagai kejahatan dalarn hukum nasional pada UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penjelasan Pasal 104 UU No. 39
Tahun 1999 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang
berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau
diluar putusan pengadilan
(arbitrary/
extrajudicial
killing),
penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan
secara sistematis (systematic discrimination). Sementara, kejahatan terhadap
kemanusiaan tidak didefinisikan secara spesifik namun disebutkan kejahatankejahatan tertentu. UU No. 39 Tahun 1999 mengamanatkan
terbentuknya
Pengadilan HAM yang memiliki jurisdiksi pengadilan Pelanggaran HAM yang
berat paling lambat 4 (empat)tahun sejak UU disahkan258.
Undang-undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM yang
mempunyai jurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM yang
258
Pasal 104 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.
229
berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan 259. Dalam
merumuskan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, UU No. 26
tahun 2000 menyatakan bahwa pengertian kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam UU ini sesuai dengan 'Rome Statute of The
International Criminal Court" (Pasal 6 dan Pasal 7). Hal ini berarti bahwa apa
yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah juga merupakan kejahatan-kejahatan yang
paling serius sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma 1998.260
Pengadopsian secara diam-diam terhadap ketentuan dalam Statuta Roma
1998 ke dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini mempunyai beberapa kelemahan.
Pertama, berkaitan dengan tidak lengkapnya jenis kejahatan yang diadopsi,
kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM, yang dicakup
oleh Statuta Roma ada empat: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan
perang dan agresi. Akan tetapi, UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengambil dua
jenis kejahatan, yaitu: genosida dan kejahatan atas kemanusiaan.
261
Indonesia
tidak mengadopsi kejahatan perang dan agresi sebagai bagian dari pelanggaran
HAM yang berat.
Ditemui pula adanya kesalahan menerjemahkan ketentuan dalam Statuta
Roma. Hal-hal tersebut mempunyai implikasi serius atas penafsiran ketentuan
tersebut. Akibatnya, pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan
259
Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2000.
260
Sri Wiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam
RKUHP,Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Juni 2007,hlm.25.
261
Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998.
230
terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 tahun 2000 dalam beberapa bagiannya
merupakan ketentuan yang tidak sesuai dengan maksud aslinya.
Perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak
dilengkapi dengan element of crimes untuk menjelaskan maksud dan tafsir resmi
atas ketentuan tersebut.262
UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan dengan tegas bahwa pelanggaran
HAM yang berat adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan
berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan
bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana263. Pendefinisian inilah yang menunjukkan bahwa kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah berbeda dengan perumusan
dalam kejahatan-kejahatan dalam KUHP dan karenanya perlu dilakukan langkahlangkah khusus. Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan
berbeda dengan kejahatan "biasa" lainnya, maka Pengadilan HAM merupakan
pengadilan khusus. Kekhususan itu menyebabkan keperluan untuk adanya
langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang
bersifat khusus pula.
Kekhususannya juga terletak pada asas dan prinsipnya yang diatur secara
berbeda. Asas-asas yang diatur secara berbeda dengan tindak pidana biasa
sebagaimana diberlakukan dalam tindak pidana biasa adalah: pertama, tidak
berlakunya ketentuan mengenai kadaluarsa dalam pelanggaran hak asasi manusia
262
Ibid,hlm. 27.
263
Penjelasan umum UU No. 26 Tahun 2000
231
yang berat264.Kedua, dapat digunakannya asas non-retroaktif untuk kejahatan
kemanusiaan
dan
kejahatan
genosida.265
Ketiga,
tindakan
percobaan,
permufakatan jahat dan pembantuan terhadap kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, hukumannya disamakan ancaman pidananya dengan
pelaku (langsung).266
Meskipun tidak merupakan kekhususan, UU No. 26 Tahun 2000 juga
memberikan penekanan pada ketentuan-ketentuan tertentu misalnya perlindungan
terhadap saksi dan korban dan kewajiban untuk adanya kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat.267 Kemudian, untuk
melengkapi regulasi mengenai operasional dari ketentuan mengenai perlindungan
saksi dan hak-hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban,
pemerintah mengeluarkan 2 (dua) peraturan pemerintah.268
Pengaturan tentang pengadilan HAM dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang
mempunyai junsdiksi atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan meskipun terdapat berbagai kelemahan tampaknya berupaya
memenuhi ketentuan hukum internasional. Dalam UU tersebut diciptakan suatu
sistem pengadilan yang akan memastikan adanya proses pengadilan untuk
penuntutan pelaku dan pemberian mekanisme reparasi korban.
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam
penjelasan pasal 104 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran hak
264
Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000
Penjelasan umum UU No 26 Tahun 2000
266
Pasal 41 UU No 26 Tahun 2000
267
Pasal 34 dan 35UU No 26 tahun 2000
268
Peraturan Pemeintah No 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan
Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Korban Pelanggaran HAM yang berat.
265
232
asasi manusia yang berat adalah pembunuhan masal (genocide) pembunuhan
sesenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing,
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang
dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Rumusan yang cukup
luas dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran
berat hak asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi
manusia.
Undang-undang No 26 tahun 2000 menyatakan
bahwa rumusan dari
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diambil
dari rumusan standar
internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 7 yang berbunyi ;
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan
ini sesuai dengan Rome Statute of the Internastional Criminal Court ( Pasal 6 dan
pasal 7)
Namun demikian, bila melakukan perbandingan langsung dengan teks
dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Pebedaan-perbedaan
yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan
maupun dalam perumusan, antara lain :
a) Dalam Statuta Roma penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi
yurisdiksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang
memberikan
pembatasan
terhadap
munculnya
penafsiran
yang
berbeda.Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2. Sedangkan dalam UU
No 26 tahun 2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan
yang dimasukkan dalam pasal undang-undang dan ada pula yang
233
dimasukkan dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan
kesimpangsiuran
berbagai
pengertian
standar
dari
elemen-elemen
kejahatan
b) Penerjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti Attack
directed against any civilian population ( Statuta Roma,Pasal 7 )
diterjemahkan menjadi serangan yang ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil ( UU No 26 tahun 2000 pasal 9 ). Seharusnya terjemahan
yang benar adalah ditujukan kepada populasi sipil. Kata langsung dapat
ditafsirkan bahwa serangan itu dlakukan oleh pelaku
langsung
di
lapangan saja. Dengan demikian hanya mereka yang di lapangan yang
dapat dikenakan pasal ini, dan tidak dapat meliputi pelaku di tingkat
komando atau atasan. Sementara itu rumusan penduduk sipil
membatasi target potensial korban
hanya
kejahatan hanya pada penduduk
setempat.Padahal korban bisa saja bukan orang-orang yang bukan
penduduk setempat, yang pada waktu peristiwa berada di tempat kejahatan
terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi pengertian yang luas
pada populasi sipil yang mencakup siapa saja (penduduk atau bukan
penduduk yang menjadi korban kejahatan.
c) Penerjemahan persecution menjadi penganiayaan, yang merupakan
tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke
bahasa Inggris berarti assault. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam
undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan
234
intimidasi ,teror yang sifatnya non fisik menjadi luput dari cakupan
penganiayaan. Padahal Persecution mencakup pengertian yang lebih luas
merujuk kepada perlakuan yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian
mental, fisik maupun ekonomis.269
d) Tidak dimasukkannya ayat 1 (k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9
Undang-Undang No 26 tahun2000 menyangkut bentuk-bentuk tindakan
yang tidak manusiawi, yang mempunyai tujuan untuk menimbukan
penderitaan berat atau melukai secara serius atas badan atau mental atau
kesehatan fisik.
Pertanggungjawban individu dirumuskan dalam Undang-Undang No 26
tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4 : Setiap orang adalah orang perseorangan,
kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggungjawb secara
individual. Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengan
Undang-Undang No 26 tahun 2000, batasan atas pertanggungjawaban individual
ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 33 memberikan pembebasan atas
tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewjiban
hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut
sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum
Berbagai kekacauan rumusan itu dapat dengan mudah dipakai untuk kepentingan
kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya keadilan.
Dalam kasus Timor-Timur, Kejahatan pembumihangusan bangunan,
rumah dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80% sebagaimana
Article 7 (g) Rome Statute “ Persecution” means the intentional and severe deprivation of
fundamental rights contraryInternational law by reasons of the identity of the Group or
collectivity.
269
235
yang dilaporkan dalam penyelidikkan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh
Penuntut Umum ( Jaksa Agung ) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup
dalam rumusan pasal 9 Undang-Undang No 26 tahun 2000. Kejahatan yang luar
biasa ini akan dengan sendirinya
harus didakwakan bila persecution tidak
diterjemahkan dengan penganiayaan atau bila ayat 1 k pasal 7 Statuta Roma
dimasukkan dalam Pasal 9 UU No 26 tahun 2000.270
Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 serangan yang meluas atau
sistematik ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9.
Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya
pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni :
(1) Sasaran adalah penduduk sipil dan
(2) Korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak. Meskipun disadari garis
batas antara combatant dan penduduk sipil juga sangat tipis
Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai
ketentuan Undang-
Undang No 26 tahun 2000 maka tanggung jawab komando juga membawa
persoalan-persoalan tersendiri.Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab
komando sebagai berikut :
”Komandan Militer atau seorang yang secara aktif bertindak
sebagai
komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang
berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang
berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif.
270
Asmara Nababan, Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, Belajar dari
Pengalaman, Jurnal HAM,KOMNAS HAM,Vol 2 No 2. Nopember 2004, hlm 97.
236
Dalam rumusan ini digunakan kata dapat ( could) bukannya akan (shall)
atau harus ( hould), yang memberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun
2000, pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara
otomatis berlaku. Pasal ini menguatkan
pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan kepada pelaku langsung di
lapangan. Bila Jaksa Penuntut ingin menuntut menuntut penanggungjawab
komando maka harus dibuktikan adanya ”keperluan”(urgensi) untuk itu.
Selanjutnya,pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggungjawab komando
untuk ” seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sumber dari pasal ini
terdapat di Statuta Roma pasal 28 ayat 1 (a) yang secara tegas menyatakan bahwa
komandan militer seharusnya ”mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan
atau hendak melakukan kejahatan.
Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini telah mengabaikan
adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah
terjadinya kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa
komando militer tersebut idak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kekuasaannya untk mencegah dan menghentikan perbuatan
tersebut...”Namun dalam rumusan ini dan penjelasan ini tidak ada batasan tentang
apa yang”layak” dan ”perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando.
Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan
fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah
237
layak atau tidak , apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan
kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando
berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak, apakah perlu atau
tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang
diambil oleh penanggungjaab komando berhasil mencegah dan menghentikan
kejahatan atau tidak. Padahal selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku
langsung, penganjur atau penyerta, seorang atasan seharusnya bertanggungjawab
secara pidana secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas dan kealpaan.
Standar hukum kebiasaan internasional untuk kelalaian dan kealpaan dalam arti
yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggungjawab secara pidana jika
: (1) ia seharusnya mengetahui bahwa pelanggaran hukum telah terjadi atau
sedang terjadi, atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya;(2) ia
mempunya kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil
tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi
saat itu. Pasal 7 ayat 3 Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar
hukum kebiasaan internasional ini.
Rujukan pada standar internasional
yang dilakukan memperlihatkan
berbagai distorsi rumusan Tanggungjawab Komando dalam Undang-Undang No
26 tahun 2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan Jaksa Agung sebagai
penyidik dan penuntut umum punyar banyak kesempatan dan lubang-lubang
untuk tidak menuntut Wiranto sebagai pemegang komando tertinggi dalam garis
komando ABRI dalam kasus Timor-Timur, atau Jenderal Benny Moerdani dan
238
Jenderal Try Sutrisno dalam Kasus Tanjung Priok, sekalipun keduanya
direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.
Praktik penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat di
Indonesia telah dilakukan dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran
HAM yang berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura Papua. Perkara
yang diadili adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan sampai saat ini belum
ada perkara terkait dengan kejahatan genosida.
Hasil Pengadilan HAM jauh dari apa yang diharapkan karena hampir
kesemua terdakwa yang diajukan ke pengadilan dibebaskan dari hukuman.
Demikian pula dengan para korban tidak ada satupun yang sampai saat ini
mendapatkan reparasi (pemulihan) yakni adanya kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Selama
berlangsungnya pengadilan, perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban
juga jauh dari memadai di mana banyak korban yang takut untuk bersaksi di
pengadilan dan para saksi yang mengalami intimidasi selama memberikan
kesaksian di pengadilan.271
Berbagai analisis dan penelitian mengenai kegagalan pengadilan HAM ini
telah dilakukan dan menunjukkan sejumlah faktor yang membuat pengadilan
tersebut tidak mampu menghukum pelaku dan memberikan keadilan kepada
korban.272 Pengadilan ini gagal menghadirkan dua keadilan prinsipil dalam
pengadilan yakni kegagalan untuk menetapkan pertanggungjawaban komando
271
Progress Report Elsam I-IX
David Cohen,Intended to Fail, The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Courts in
Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli 2004.
272
239
yang jelas di tingkat kelembagaan dan tidak sekedar kebersalahan individual dan
kegagalan dalam menjalankan "fungsi kebenaran" yang merupakan mandat
pengadilan HAM. Di samping peran penuntut umum yang memungkinkan
kegagalan penuntutan, pengadilan juga dirancang untuk tidak mandiri. Selain itu,
kerangka legal pengadilan dengan UU No. 26 Tahun 2000 membutuhkan revisi,
khususnya yang berkaitan dengan bukti-bukti dan hukum acaranya.
Hasil pengadilan HAM berdasarkan pemantauan menunjukkan adanya 3
kelemahan utama yakni 1) kegagalan dalam membuktikan adanya pelanggaran
HAM yang berat; 2) bebasnya para terdakwa; dan 3) kompensasi yang tidak
pernah diterima oleh korban.273 Kelemahan regulasi ini mengakibatkan pengadilan
HAM yang telah berjalan dianggap tidak berjalan sesuai dengan standar
internasional
sebagaimana
pengadilan
internasional
mengadili
kejahatan-
kejahatan internasional, misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan. Norma dan
praktik peradilan internasional menunjukkan bahwa penuntutan terhadap
kejahatan terhadap kemanusiaan menghasilkan penghukuman kepada pelaku dan
reparasi kepada korban (lihat bagian II).
Analisis atas kegagalan untuk melakukan penuntutan yang efektif tersebut
telah disadari sejak semula bahwa untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang
tergolong serius seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
perlu suatu pengaturan yang khusus. Pengaturan khusus ini bukan saja berkaitan
dengan hukum materialnya tetapi juga harus mencakup hukum acara pidananya
yang berbeda dengan pengaturan dalam tindak pidana umum sebagaimana diatur
273
Kelompok Kerja Pemantau Pengadilan HAM, Pengadilan yang Melupakan Korban,
ELSAM, Kontras dan PBHI, 24 Agustus 2004.
240
dalam KUHP Ditinjau dari sisi hukum materialnya, masih banyak ketentuan yang
menimbulkan kerancuan dan ketidaklengkapan sehingga sulit diukur kepastiannya
dan cenderung multiinterpretasi. Dari sisi hukum acaranya, meskipun ada
pengecualian, tetapi masih mengacu pada hukum acara pidana biasa (KUHAP)
yang tidak sesuai dan menyulitkan pembuktian kasus-kasus dalam kategori
kejahatan yang bersifat "luar biasa". Kelemahan hukum formal dan material ini
berakibat peradilan tidak berjalan secara fair dalam implementasinya.
B. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia
Pendekatan dan proses penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM
berat selama ini hanya berkutat pada penuntutan terhadap pelaku. Hal ini tentu
bukan sesuatu yang ditentang. Namun hal yang sering luput di samping
penuntutan terhadap pelaku adalah mengenai pemenuhan hak korban. Seringkali
pemenuhan hak korban ini dimengerti sebagai sesuatu yang akan terjadi setelah
proses hukum final. Sementara kita tahu bahwa hanya sedikit kasus pelanggaran
HAM berat yang bisa masuk dalam proses peradilan (Kasus Timor Timur,
Tanjung Priok, Abepura). Yang ada itu pun pada akhirnya tidak memuaskan rasa
keadilan karena para pelaku bebas. Alhasil, pemenuhan hak korban atas reparasi
pun menjadi hal yang tidak dianggap ada. Ini menunjukkan bahwa korban belum
menjadi bagian yang penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia.
Padahal perkembangan pendekatan HAM universal telah mengarah pada sikap
bahwa hak korban harus dipenuhi terlepas dari proses hukum atas kasus yang
241
menimpanya. Artinya, ketika seseorang atau sekelompok orang menjadi korban,
maka sepatutnyalah mereka menerima hak-haknya atas reparasi (pemulihan).
Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum
PBB No. 40/34 tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun
kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan peraturan yang melanggar
hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan.274 Sedangkan Peraturan Pemerintah N0. 2 Tahun
2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM
berat menyatakan bahwa korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM berat yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, ganguan, teror dan kekerasan dari
pihak manapun.
Pemenuhan hak korban yang berupa reparasi ini diterjemahkan oleh
Komisi HAM PBB sebagai upaya pemulihan kondisi korban pelanggaran HAM
ke kondisi sebelum pelanggaran tersebut terjadi pada dirinya, baik menyangkut
fisik, psikis, harta benda, dan hak status sosial politik korban yang dirusak dan
dirampas. Upaya pemerintah untuk melakukan reparasi sudah diatur dalam Pasal
35 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan, ayat 1, bahwa korban pelanggaran HAM
yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi. Ayat 2 menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan
274
Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34
tahun 1985
242
HAM. Ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.275
Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan sebagai ganti
kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan
ganti kerugian yang sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi
diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga yang ganti rugi ini dapat berupa pengembalian harta
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi adalah
pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan,
atau hak-hak lainnya.
Meskipun pemerintah sudah mengesahkan undang-undang mengenai
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM. namun tetap
saja proses untuk mendapatkan reparasi sendiri mengalami berbagai hambatan.
Pertama, pelaku harus dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan atau genosida. Kedua, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc
untuk kasus-kasus kejahatan yang terjadi sebelum tahun 2000 harus ada dukungan
dari DPR dan Presiden. Ketiga, jaksa harus membuat permohonan untuk reparasi
bagi korban sebagai bagian dari tuntutannya. Apabila pelaku dinyatakan bersalah,
maka pelaku harus membayar restitusi. Apabila pelaku tidak membayar restitusi
ini, maka korban harus melaporkannya pada Jaksa Agung yang kemudian akan
meminta Departemen Keuangan untuk membayar kompensasi.
275
Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
243
Bagi perempuan korban kejahatan seksual, hambatan pertama tidak
mungkin dapat diterobos. Pengadilan HAM menggunakan hukum acara yang
sama dengan kejahatan biasa (KUHAP). Dalam hal membuktikan perkosaan,
maka seorang perempuan harus mempunyai 2 orang saksi, ditambah sebuah surat
pemeriksaan dari dokter yang berdasarkan surat dari polisi 24 jam sesudah
kejahatan terjadi. Tentunya, tak akan ada satupun kasus perkosaan yang terjadi , di
daerah konflik manapun, yang dapat memenuhi persyaratan ini, sehingga tidak
mungkin diadili pengadilan HAM.
Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia prinsip-prinsip tersebut diakui
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, tetapi ketika
menghadapi penerapan dari peraturan tersebut maka Sistem Hukum Pidana
Indonesia berhadapan dengan hal-hal yang dapat bertentangan dengan standarstandar Hak Asasi Manusia Internasional.Tidak adanya pelaku yang dihukum
dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia menunjukan dugaan adanya
pelanggaran terhadap prinsip admissibility, dan adanya pengambilalihan tanggung
jawab oleh negara menunjukan adanya pelanggaran terhadap prinsip non
impunity.
Mengadili atau menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia
telah diterima menjadi salah satu prinsip dalam hukum hak asasi manusia
internasional, yang dikenal dengan prinsip “human rights violators must be
punished”; negara-negara tidak dapat begitu saja mengabaikan kewajiban
tersebut. Apabila kewajiban tersebut diabaikan oleh suatu negara, maka barulah
kewajiban tersebut dapat diambil alih oleh masyarakat internasional. Dalam
244
kontek inilah kita bicara mengenai hubungan antara pengadilan nasional dan
internasional dalam mengadili kejahatan-kejahatan serius tersebut.
Seperti yang terdapat di Indonesia dengan UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia) dapat dipandang sebagai usaha untuk memenuhi
kewajiban internasional yang digambarkan di atas. Dengan menyediakan
mekanisme remedi yang efektif di tingkat nasional--apakah dalam bentuk
menghadirkan pengadilan hak asasi manusia secara khusus, negara tersebut dapat
dipandang menunjukkan keseriusannya dalam menangani pelanggaran hak asasi
manusia di dalam negerinya. Hukum internasional mengenal prinsip “exhaustion
of domestic remedies”, yang mengharuskan penggunaan semaksimalnya semua
upaya hukum yang tersedia di tingkat nasional terlebih dahulu sebelum
menggunakan mekanisme remedi di tingkat internasional dan regional. Jadi
mekanisme remedi internasional hanya diperlukan bila mekanisme remedi
nasional tidak bekerja secara efektif, sehingga korban merasa belum mendapatkan
keadilan; korban dengan demikian boleh menggunakan mekanisme remedi ke
tingkat internasional. Karena itu menyediakan mekanisme remedi yang efektif di
tingkat nasional menjadi tanggung jawab setiap negara.
Pinsip
“exhaustion
of
domestic
remedies”
tersebut
sebetulnya
dimaksudkan untuk menjaga agar remedi internasional tidak berfungsi sebagai
pengganti remedi di tingkat nasional. Dalam kaitan dengan itu saya ingin
mengutip Prof. Louis Henkin, guru besar hukum hak asasi manusia internasional
dari Columbia University, yang menyatakan:
245
“The law, politics, and institutions of international human rights, then, do
not replace national laws and institutions; they provide additional
international protections for rights under national law. The international
law of human rights is implemented largerly by national law and
institutions; it is satisfied when national laws and institutions are
sufficient”276
Menjadi jelas kiranya, bahwa pengadilan nasional merupakan pintu
pertama yang harus dilalui dalam usaha menagih pertanggungjawaban bagi
pelanggaran berat hak asasi manusia. Pengadilan internasional tidak dapat sertamerta menggantikan peran pengadilan nasional, tanpa melewati pengadilan
nasional suatu negara. Jadi peran pengadilan internasional (apakah yang permanen
atau ad hoc) hanya bersifat komplementer, artinya melengkapi proses
pertanggungjawaban ditingkat nasional. Kalau proses di dalam negeri sudah
berjalan dengan memuas, maka peran pengadilan internasional tidak diperlukan
lagi. Kecuali proses yang berjalan di dalam pengadilan nasional lebih ditujukan
untuk melindungi tersangka (atau dijalankan dengan tidak jujur), maka terbuka
bagi pengadilan internasional mengambil perannya. Prinsip ini juga dikuatkan
dalam statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional.
Dalam konteks norma-norma internasional itulah kita harus melihat atau
menimbang kehadiran Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kehadirannya
276
Ifdhal Kashim , Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional,
Paper,ELSAM.
246
tidak dengan sendirinya menutup kemungkinan bagi Pengadilan Internasional
(apakah permanen atau adhoc) menerapkan jurisdiksinya atas kejahatan atau
pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia.
Makanya
masyarakat internasional hingga saat ini masih terus mengamati dengan tekun
proses pertanggungjawaban yang sedang berlangsung di Pengadilan HAM ad hoc
Tim-Tim di Jakarta; apakah berjalan dengan standar internasional atau tidak?
Dengan melihat hubungan antara pengadilan (hak asasi manusia) nasional
dan internasional, terlihatlah bahwa proses pertanggungjawaban atas kejahatan
serius bukan hanya menjadi milik eksklusif suatu negara. Tetapi juga merupakan
tanggungjawab masyarakat internasional secera keseluruhan. Itu artinya jurisdiksi
pengadilan internasional tetap masih terbuka bagi Indonesia (meskipun Indonesia
secara khusus sudah memiliki Pengadilan HAM), sepanjang pengadilan (hak asasi
manusia) nasionalnya hanya sekedar dijadikan tameng bagi perlindungan bagi
para pelaku. Ukuran-ukuran yang sering dijadikan rujukan untuk menyatakan
suatu Negara gagal menjalankan kewajibannya adalah ketidakinginan mengadili
dan ketidakmampuan.
Tetapi harus pula segera ditambahkan disini, bahwa tidak mudah secara
politik untuk membentuk pengadilan hak asasi manusia internasional. Makanya
saat ini masyarakat internasional, PBB, lebih memilih membentuk pengadilan
campuran yang didalamnya terdapat unsur dalam negeri dan internasional seperti
terlihat di Timor Leste, Kosovo, dan Sierra Leonne. Pengadilan Internasional
seperti Rwanda dan Bekas Yugoslavia dipandang terlalu mahal dan sebagainya.
247
Dari sudut standard setting sepuluh tahun terakhir menunjukkan kemajuan
berarti dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi. Perbaikan tekstual ini tampak
dalam amandemen UUD hingga aturan dan ratifikasi konvensi HAM. Telah pula
tersedia mekanisme untuk me-review berbagai kebijakan dan perangkat peraturan
perundangan. Berbagai persoalan perenial hak asasi seperti paham universalitas,
justiciability, dan agenda mematahkan impunitas mulai menemukan jalan
keluarnya. Meskipun demikian kapasitas dan kecepatan negara merespons
penyelesaian hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi masih sangat rendah.
Perumusan standar juga tidak diimbangi dengan penegakannya, terutama
dalam pengungkapan kebenaran maupun pemberian keadilan bagi korban. Alihalih memberi keadilan – hak asasi seperti kehilangan daya yang mempunyai
kekuatan untuk menentukan kemendasarannya. Makna hak asasi telah dikikis
sehingga kehilangan nilai dan tujuannya. Dalam praktek hak asasi menjadi
komoditi politik elit kekuasaan di semua tingkatan.
Gagasan bahwa hak asasi akan terjamin dalam sistem politik demokratis
dan sebaliknya demokrasi harus dilandaskan pada hak asasi . Demokrasi pertamatama dan bahkan melulu dipraktekkan sebagai cara daripada tujuan dan nilai.
Aktor-aktor dominan memakai demokrasi bukan untuk mencapai keadilan dan
kemakmuran, melainkan lebih sebagai prosedur.
Sejak reformasi, jaminan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia
khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti dalam tataran
normatif dan institusional. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan
untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Norma-norma umum
248
hak asasi manusia dapat ditemukan disamping pada Amandemen UUD 1945, Tap
MPR tentang hak asasi manusia adalah UU HAM dan Pengadilan HAM dan
ratifikasi instrumen pokok hak asasi internasional.
Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah. Terdapat
jurang yang lebar antara yang normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan
masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan
tetapi juga tempat-tempat lain. Disamping itu, selama hampir sepuluh tahun
terakhir sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya tidak mampu menjawab
berbagai kasus pembunuhan dalam konflik-konflik horizontal dan vertikal serta
kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi masa lalu. Budaya impunitas terus
menjangkiti sistem hukum kita.
Diyakini bahwa berbagai kesenjangan ini terjadi antara lain karena,
pertama, upaya penegakan hak asasi manusia lebih menekankan formalisme
hukum daripada penataan ulang politik hak asasi manusia. Kedua, karena
monopoli akses atas sumber-sumber daya publik oleh modal dan birokrat, yang
pada gilirannya menghambat proses politik dan penegakan hukum demi
pemenuhan hak-hak asasi manusia. Ketiga, karena tidak tersedianya otonomi
asosiasional bagi hadirnya demokrasi substantif; yaitu peluang rakyat (terutama
lapisan bawah) mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan
identitas sendiri tanpa takut akan dicampuri atau diganggu oleh pemerintah.
Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu dilakukan dengan:
1.
Penguatan kewenangan Komnas HAM dalam penyidikan pelanggaran hak
asasi dan pemberian imunitas bagi penyidik Komnas HAM
249
2.
Civil society mengawal setiap upaya perlindungan korban
Penerapan konsep universalitas dalam sistem hukum nasional Indonesia
tidak dapat dipertahankan dalam implementasi dalam sistem hukum nasional
khususnya dalam penyelesaian kasus Timor Timur melalui komisi kebenaran dan
persahabatan, terbukti dengan kesepakatan untuk menghentikan penyelesaian
hukum atas semua persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM pada masa lalu
dan membebankan pertanggungjawaban pada negara,
Hak para korban untuk mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka
dapatkan ketika mereka kehilangan hak asasi manusia
yang seharusnya
dilindungi negara, hilang dikarenakan negara sepakat untuk melupakan tanpa
mengungkap dengan demikian ada kebenaran yang tidak terungkap.
250
BAB V
ANALISIS TERHADAP IMPLEMENTASI PENGATURAN
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DAN
ANALISIS TERHADAP KONSEP PELANGGARAN BERAT HAK ASASI
MANUSIA DI INDONESIA
A. Analisis Terhadap Implementasi Pengaturan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Indonesia
UU No. 26 Tahun 2000 lahir dalam situasi di mana tuntutan atas
penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu dengan
membentuk Pengadilan HAM. Dengan landasan UU No. 26 Tahun 2000,
dibentuk 2 (dua) pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa pelanggaran HAM yang
berat di Timor-Timur dan Tanjung Priok dan digelar Pengadilan HAM untuk
peristiwa pelanggaran HAM di Abepura. Namun, pengadilan HAM yang digelar
tidak memberikan hasil yang maksimal karena hampir semua terdakwa yang
diajukan ke pengadilan HAM dibebaskan. Para korban pelanggaran HAM yang
berat juga tidak mendapatkan reparasi yang dalam UU No. 26 Tahun 2000 dikenal
dengan hak-hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan Pengadilan HAM di
antaranya adalah kurang memadainya pengaturan dalam UU No. 26 Tahun 2000
termasuk kelemahan hukum acaranya. Kekurangan dalam UU No. 26 Tahun 2000
menyebabkan ketidakjelasan dalam menerapkan peraturan perundangundangan,
251
misalnya tidak lengkapnya "element of crimes" dari kejahatan yang diatur.
Penerapan hukum acara, yang meskipun terdapat aturan yang bersifat khusus,
namun secara umum masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang menyulitkan dalam proses pembuktiannya.
Apa yang menjadi pelajaran dari pengalaman pengadilan HAM ad hoc
adalah kebutuhan untuk merumuskan ketentuan yang mampu memberikan
efektivitas dalam penuntutan kejahatan-kejahatan serius tersebut. Efektivitas
penuntutan adalah memberikan pengaturan yang khusus dan komprehensif dalam
mengatur kejahatan yang mempunyai katarkteristik khusus. Selain itu, kejelasan
perumusan delik dan ketentuan yang berbeda mengenai asas-asas hukurnnya juga
perlu dilakukan untuk menangani kejahatan yang sangat serius, bersifat
"extraordinary', dan berbeda dengan tindak pidana umum.
Banyak istilah-istilah yang disebut dalam UU No 26 tahun 2000 tidak
tersedia atau tidak memadai penjelasannya. Penjelasan yang tidak memadai
berimplikasi pada sulitnya meletakkan situasi yang tepat untuk memenuhi unsurunsur pidana yang dimaksud. Hal ini akan menyulitkan praktik penuntutan
terhadap pelaku.
Jika tidak ada pengaturan yang berbeda untuk kejahatan-kejahatan serius
tersebut, apalagi memperlakukannya sebagai kejahatan biasa dan diterapkan
dengan asas-asas hukum yang "biasa" maka kemungkinan kegagalan dalam
penuntutan akan terus terjadi. Dengan demikian, apa yang menjadi cita-cita
hukum pidana untuk menemukan kebenaran materil, menghukutn pelaku dan
memberikan keadilan kepada korban akan sulit terwujud.
252
Bebeberapa kejahatan dengan karakteriktik khusus mempunyai prinsip dan
asas yang menyimpang dengan asas-asas umum hukum pidana biasa. Dengan
permasalah tersebut di atas, alih-alih akan menghukum pelaku kejahatan yang
sangat serius tersebut, adanya kelemahan pengaturan dan perumusan deliknya
akan mengakibatkan bebasnya para pelaku dan kegagalan menghadirkan keadilan
kepada korban. Terlebih, Hukum Pidana yang bertujuan untuk melindungi
individu dan masyarakat, dan negara tidak akan mencapai hasil sebagaimana yang
diharapkan.
Suatu ketentuan dalam hukum pidana, setidaknya selalu mengatur tiga
bagian penting. Ketiga bagian tersebut adalah mengatur tentang ketentuan
mengenai asas-asas umum yang akan diberlakukan, tindak pidana yang akan
diatur dan ancaman hukuman atas tindak pidana tersebut. Asas-asas hukum yang
akan dirumuskan mengatur tentang kewenangan dan batasan dari penerapan suatu
tindak pidana, termasuk acuan untuk menentukan pidana bagi pelaku dan
tanggung jawab pelaku. Tindak pidana yang diatur haruslah dirumuskan secara
jelas dan tidak menimbulkan banyak interpretasi (asas lex certa). Sementara
ancaman pidana harus juga disesuaikan dengan tingkat kejahatannya (tindak
pidana).
Ketiga bagian sebagaimana disebutkan di atas, akan mempengaruhi
efektifitas dalam penegakannya. Hal ini mengharuskan adanya kesesuaian antara
tindak pidana yang diatur, ancaman pidana dan asas-asas hukumnya. Jika antara
ketiga bagian tersebut tidak terdapat kesesuaian maka dalam implementasinya
akan menimbulkan kesulitan. Setidaknya dalam hal rumusan tindak pidana yang
253
tidak lengkap akan mengakibatkan ketiadaan kepastian hukum, ancaman hukuman
yang ringan atau terlalu berat akan menimbulkan ketidakadilan bagi, korban
maupun pelaku, dan pengaturan asas-asas hukumnya yang tidak sejalan akan
berakibat pada kegagalan dalam melakukan penuntutan terhadap para pelakunya.
Untuk memastikan adanya penghukuman terhadap pelanggaran hak asasi
manusia berat dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan diperlukan suatu
pengaturan yang memadai dan lengkap, termasuk berkaitan dengan kecukupan
penerimaan asas-asas hukum untuk memastikan bahwa penegakan hukum akan
berjalan dengan efektif. Penanganan dan penyelesaian kejahatan-kejahatan luar
biasa tersebut harus ditempatkan dalam konteks yang lebih lengkap, bukan hanya
menghukum pelaku namun juga memberikan peluang kepada korban untuk
mendapatkan hak reparasi kepada mereka. Kegagalan untuk memberikan remedy
yang efektif bagi korban menyebabkan penyelesaian kejahatan belum dapat
dikatakan adil.
Namun, dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 yang mengatur tentang
kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, belum menunjukkan
adanya kesesuaian dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam
penjelasan pasal 104 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat adalah pembunuhan masal (genocide) pembunuhan
sesenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing,
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang
dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Rumusan yang cukup
254
luas dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran
berat hak asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi
manusia.
Rumusan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-undang No 26 tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ternyata membuat rumusan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, yang menyatakan pelanggaran hak asasi manusia
yang
berat
meliputi
:
a.kejahatan
genosida;b.
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan.Dengan demikian mengeklusifkan berbagai pelanggaran hak asasi
manusia seperti yang dirumuskan dalam UU No 39 tahun 1999, seperti
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis, penyiksaan di luar genosida atau
kejahatan serius lainnya.
Undang-undang No 26 tahun 2000 membuat klaim bahwa rumusan dari
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diambil
dari rumusan standar
internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 6 dan 7 yang berbunyi:
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini
sesuai dengan Rome Statute of the International Criminal Court.
Namun demikian, bila melakukan perbandingan langsung dengan teks
dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Pebedaan-perbedaan
yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan
maupun dalam perumusan, antara lain :
a) Dalam Statuta Roma penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi
yurisdiksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang
memberikan
pembatasan
terhadap
255
munculnya
penafsiran
yang
berbeda.Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2. Sedangkan dalam UU
No 26 tahun 2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan
yang dimasukkan dalam pasal undang-undang dan ada pula yang
dimasukkan dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan
kesimpangsiuran
berbagai
pengertian
standar
dari
elemen-elemen
kejahatan
b) Penerjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti Attack
directed against any civilian population (Statuta Roma, Pasal 7)
diterjemahkan menjadi serangan yang ditujkan secara langsung terhadap
penduduk sipil ( UU No 26 tahun 2000 Pasal 9). Seharusnya terjemahan
yang benar adalah ditujukan kepada populasi sipil. Kata langsung dapat
ditafsirkan bahwa serangan itu dilakukan oleh pelaku langsung
di
lapangan saja. Dengan demikian hanya mereka yang di lapangan yang
dapat dikenakan pasal ini, dan tidak dapat meliputi pelaku di tingkat
komando atau atasan. Sementara itu rumusan penduduk sipil
membatasi target potensial korban
hanya
kejahatan hanya pada penduduk
setempat.Padahal korban bisa saja bukan orang-orang yang bukan
penduduk setempat, yang pada waktu peristiwa berada di tempat kejahatan
terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi pengertian yang luas
pada populasi sipil yang mencakup siapa saja (penduduk atau bukan
penduduk yang menjadi korba kejahatan
c) Penerjemahan persecution menjadi penganiayaan, yang merupakan
tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke
256
bahasa Inggris berarti assault. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam
undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan
intimidasi ,teror yang sifatnya non fisik menjadi luput dari cakupan
penganiayaan. Padahal Persecution mencakup pengertian yang lebih luas
merujuk kepada perlakuan yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian
mental, fisik maupun ekonomis.
d) Tidak dimasukkannya ayat 1 (k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9
Undang-Undang No 26 tahun2000 menyangkut bentuk-bentuk tindakan
yang tidak manusiawi, yang mempunyai tujuan untuk menimbukan
penderitaan berat atau melukai secara serius atas badan atau mental atau
kesehatan fisik.
Pertanggungjawaban individu dirumuskan dalam Undang-Undang No 26
tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4 : Setiap orang adalah orang perseorangan,
kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggungjawb secara
individual. Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengan
Undang-Undang No 26 tahun 2000, batasan atas pertanggungjawaban individual
ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 33 memberikan pembebasan atas
tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewjiban
hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut
sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum
257
Berbagai kekacauan rumusan itu dapat dengan mudah dipakai untuk
kepentingan kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya
keadailan.
Dalam kasus Timor-Timur, Kejahatan pembumuhangusan bangunan,
rumah dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80% sebagaimana
yang dilaporkan dalam penyelidikkan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh
Penuntut Umum ( Jaksa Agung ) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup
dalam rumusan pasal 9 Undang-Undang No 26 tahun 2000. Kejahatan yang luar
biasa ini akan dengan sendirinya
harus didakwakan bila persecution tidak
diterjemahkan dengan penganiayaan atau bila ayat 1 k pasal 7 Statuta Roma
dimasukkan dalam Pasal 9 UU No 26 tahun 2000.
Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 serangan yang meluas atau
sistematik ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9.
Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya
pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni :
(1) Sasaran adalah penduduk sipil dan
(2) Korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak. Meskipun disadari garis
batas antara combatant dan penduduk sipil juga sangat tipis
Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai
ketentuan Undang-
Undang No 26 tahun 2000 maka tanggung jawab komando juga membawa
persoalan-persoalan tersendiri.Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab
komando sebagai berikut :
”Komandan Militer atau seorang yang secara aktif bertindak sebagai
komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
258
yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh
pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang
efektif.”
Dalam rumusan ini digunakan kata dapat (could) bukannya akan (shall)
atau harus (should), yang memberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun
2000, pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara
otomatis berlaku. Pasal ini menguatkan
pengertian kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan kepada pelaku langsung di
lapangan. Bila Jaksa Penuntut ingin menuntut menuntut penanggungjawab
komando maka harus dibuktikan adanya ”keperluan”(urgensi) untuk itu.
Selanjutnya,pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggungjawab komando
untuk ” seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sumber dari pasal ini
terdapat di Statuta Roma pasal 28 ayat 1 (a) yang secara tegas menyatakan bahwa
komandan militer seharusnya ”mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan
atau hendak melakukan kejahatan.
”Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia telah diatur ketentuan mengenai prinsip
yang merupakan prinsip baru dalam sejarah perkembangan hukum pidana
yang bersifat universal yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan serius yang
sangat membahayakan atau mengancam kehidupan masyarakat
internasional. Tujuan utama prisip ini ialah agar setiap atasan baik sipil
maupun militer wajib bertanggungjawab terhadap setiap kejahatan yang
dilakukan oleh bawahannya.Tujuan ini dilandaskan kepada asumsi bahwa
kejahatan serius di bawah yurisdiksi ICC adalah kejahatan yang melanggar
hak asasi manusia dan terjadi sebagai akibat dari sistem pemerintahan
otoriter dan militerisme sehingga pemberantasan dan pencegahan terhadap
kejahatan spesifik ini dan pertanggungjawaban pidananya sangat sulit.
Untuk mencapai tujuan tersebut prinsip prinsip non-impunity menegaskan
bahwa tidak boleh ada imunitas terhadap terhadap setiap orang yang
259
dipandang wajib dan sangat bertanggungjawab atas kejahatan tersebut
terlepas dari asal-usul atau status sosial atau status kepangkatannya.Prinsip
ini menghedaki agar setiap pelaku kejahatan yang sangat serius dituntut
dan diadili.Prinsip ini merupakan karakteristik baru dan spesifik dalam
sistem pertanggungjawaban pidana yang telah berlaku secara universal.”277
Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini telah mengabaikan
adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah
terjadinya kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa
komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kekuasaannya untk mencegah dan menghentikan perbuatan
tersebut...” Namun dalam rumusan ini
dan penjelasan ini tidak ada batasan
tentang apa yang ”layak” dan ”perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando.
Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan
fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah
layak atau tidak , apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan
kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando
berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak, apakah perlu atau
tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang
diambil oleh penanggungjaab komando berhasil mencegah dan menghentikan
kejahatan atau tidak. Padahal selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku
langsung, penganjur atau penyerta, seorang atasan seharusnya bertanggungjawab
secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas dan kealpaan. Standar hukum
kebiasaan internasional untuk kelalaian dan kealpaan dalam arti yang luas
277
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Pt Hecca Mitra utama,
Jakarta,2004,hlm 15
260
menyatakan bahwa seorang atasan bertanggungjawab secara pidana jika: (1) ia
seharusnya mengetahui bahwa pelanggaran hukum
telah terjadi atau sedang
terjadi, atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai
kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan
korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu.
Pasal 7 ayat 3 Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar hukum
kebiasaan internasional ini.
Rujukan pada standar internasional
yang dilakukan memperlihatkan
berbagai distorsi rumusan Tanggungjawab Komando dalam Undang-Undang No
26 tahun 2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan Jaksa Agung sebagai
penyidik dan penuntut umum punya banyak kesempatan dan lubang-lubang untuk
tidak menuntut wiranto sebagai pemegang komando
tertinggi dalam garis
komando ABRI dalam kasus Timor-Timur, atau Jenderal Benny Moerdani dan
Jenderal Try Sutrisno dalam Kasus Tanjung Priok, sekalipun keduanya
direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.
Mengenai pengahapusan pidana bagi bawahan yang melakukan tindakan
atas perintah jabatan. Yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana karena
melakukan tindak pidana dalam melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh pejabat yang bewenang. Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang
tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan
dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang
dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
261
Ketentuan penghapusan pidana bagi bawahan yang berisikan seorang
bawahan yang melakukan
tindak pidana genosida,dan
tindak pidana
kemanusiaan, sesuai dengan perintah atasan tidak dapat dipertanggungjawabkan
apabila peritah itu diyakininya dengan itikad baik telah diberikan dengan sah dan
pelaksanaan perintah itu termasuk ruang lingkup wewenangnya sebagai bawahan.
Selanjutnya ditegaskan bahwa perintah untuk melakukan genosida dan kejahatan
kemanusiaan jelas-jelas melanggar hukum.278
Ketentuan di atas menegaskan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan
pelakunya tidak dapat dipidana karena alasan perintah jabatan dan hapusnya
pemidanaan karena anggapan adanya perintah yang termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya. Ketentuan ini juga menggunakan alasan "itikad baik" di mana
pengertian dari "itikad baik" tidak dijelaskan dan tidak ada penjelasan yang
memadai. Sementara, dalam praktik Peradilan Internasional yang sudah terjadi,
itikad baik yang dimaksud lebih pada itikad baik dalam arti obyektif di mana tidak
terdapat unsur kesalahannya.279
Ketentuan ini mengadopsi ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma
namun tidak secara utuh. Statuta Roma mengatur tentang penghapusan pidana
bagi pelaksanaan perintah dari suatu pemerintahan atau atasan baik militer
maupun sipil di mana orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk
menuruti perintah dan tidak mengetahui bahwa perintah itu melanggar hukum.
Ketentuan ini dibatasi dengan klausul bahwa perintah melakukan genosida dan
278
Sri Wiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam
RKUHP,Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Juni 2007,hlm.40.
262
kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melawan hukum (orders to commit
genocide or crimes against humanity are manifestly unlawfull
Meskipun terlihat sama dan relevan namun tidak diimbangi dengan
ketentuan mengenai atasan atau pejabat resmi. Seharusnya ketentuan ini juga
mengatur tentang tidak relevannnya jabatan resmi untuk menghilangkan tuntutan
pidana dan pengurangan hukuman. Demikian juga dengan kekebalan dan
peraturan prosedural khusus (immunity or special procedural rules) tidak
menghalangi jurisdiksi pengadilan atas orang tersebut.280 Tanpa regulasi yang
demikian, sebagaimana pengalaman pengadilan HAM ad hoc Kasus TimorTimur, Hakim dapat dengan mudah menentukan terdakwa yang dinyatakan
bersalah tidak segera masuk penjara karena tenaganya masih dibutuhkan oleh
kesatuannya.
Ne bis in idem merupakan asas hukum pidana yang bisa berlaku dalam
berbagai kasus pidana termasuk kasus pelanggaran HAM yang berat. Pengertian
ne bis in idem dipahami sebagai tidak adanya pengadilan lainnya atas perkara
yang sama baik berdasarkan perkaranya/peristiwa (tempos dan locus delictie-nya)
dan kesamaan pelaku, yang telah diadili sebelumnya dan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Penekanan prinsip ne bis in idem ini adalah peristiwanya sama,
pelakunya sama dan telah diadili dan ada putusan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (inkrachl). Pengertian ne bis in idem antara lain dapat dilihat
dan ketentuan dalam undang-undang UU No. 39/1999.281 Pengertian ini sejalan
280
281
Pasal 27 Statuta Roma
Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999
263
dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 18 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia..
Kejahatan genosida, dan kejahatan kemanusiaan diberbagai pengalaman
yang terjadi di negara-negara di dunia, banyak pelakunya adalah aparat negara.
Oleh karena itu sangat sulit untuk diadili dimuka pengadilan yang adil dan
sungguh-sungguh. Dalam konteks Indonesia, kesulitan mengadilipun bisa dialami
dan pernah dialami. Dengan berlakunya beberapa proses pengadilan seperti
pengadilan umum dan pengadilan militer bersamaan dengan pengadilan HAM,
maka bisa jadi untuk menghindari diadili melalui peradilan HAM, para pelaku
kemudian diadili dengan pengadilan umum atau militer. Maka ketika peradilan
khusus HAM digelar, asas ne bis in idem digunakan oleh para pelaku untuk
menolak diadakan pengadilan terhadapnya.282
Sebagai kejahatan yang dikategorikan bersifat extra ordinary crimes
seharusnya kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan , membuka
peluang adanya pengecualian terhadap asas ne bis in idem dalam hal pengadilan
unable atau unwilling.
Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan
memberikan
kewajiban bagi semua bangsa untuk melakukan penuntutan terhadap para
pelakunya. Kejahatan ini juga tidak mengenal batas waktu untuk penuntutannya.
Sampai kapanpun para kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
tidak bisa melepaskan diri dan pertanggungjawaban dan mendapatkan tempat
yang aman (no save haven). Kenyataan ini menjadikan adanya satu prinsip
282
Progress Report Pemantauan Pengadilan HAM, Preliminary Conclusive Report,
Elsam,2005.
264
tentang batas waktu penuntutan atau masa "daluarsa" yang
tidak dapat
diberlakukan. Dalam hukum nasional, ketentuan tidak berlakunya daluarsa
terhadap kejahatan-kejahatan ini telah diakui dan dinyatakan secara tegas dalam
UU No. 26 tahun 2000.
Pengecualian tersebut sesungguhnya pun telah diatur dalam ketentuan
Statuta Roma yang menyatakan bahwa Pengadilan Internasional dapat mengadili
ulang pelaku pelanggaran HAM berat jika dalam proses pengadilan yang sudah
berjalan merupakan peradilan yang tidak mandiri dan memihak dan ditujukan
untuk melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana.283 Jauh sebelumnya, hal ini
juga telah diatur dalam UN Convention on the Non Applicability of Statutory
Limitation to Ear Crimes and Crimes Against Humanity 1968.
Dengan pemberian amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhada
seseorang yang telah melakukan tindak pidana menjadi hapus. ' Dengan
pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan
tindak pidana ditiadakan.
Amnesti
dan
abolisi
memberikan
peluang
tidak
dilakukannya
penghukuman terhadap tindak pidana genosida, dan tindak pidana terhadap
kemanusiaan karena adanya amnesti dan abolisi. Hal ini sangat bertentangan
dengan hukum internasional yang mewajibkan setiap negara untuk melakukan
penuntutan terhadap para pelaku kejahatan-kejahatan tersebut.284
283
Pasal 20 ayat 3 Statuta Roma
Berdasarkan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation
for Gross Violation of International Human Rights Law and Serious Violation of
Internatioal Humanitarian Law;General Comment 31, Update Set of Principle to Combat
Impunity dalam prinsip 1,9,22, dan 24 yang mengatur bahwa ketika terjadi genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung
284
265
Selain pemberian amnesti, juga dibuka peluang untuk penyelesaian di luar
proses sebagai alasan untuk gugurnya penuntutan. Namun tidak ada penjelasan
yang memadai tentang apa yang dimaksud dengan penyelesaian di luar proses
sehingga ada kemungkinan bahwa kejahatan kemanusiaan dan genosida
diselesaikan di luar proses. Seharusnya perlu adanya pengecualian, yaitu untuk
tindak pidana genosida,dan
kejahatan terhadap kemanusiaan,tidak berlaku
pemberian amnesti dan penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Tujuan Pemidanaan salah satunya adalah penciptaan atau pemenuhan
rasa keadilan untuk korban, tujuan yang sangat relevan dalam konteks penuntutan
dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan genosida, dan kejahatan atas
kemanusiaan.
Kejahatan genosida, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan yang
sangat serius dan biasanya dilakukan oleh aparat negara baik sipil maupun militer
memunculkan kebutuhan untuk adanya sistem perlindungan saksi. Sebagaimana
dalam pengaturan dalam Statuta Roma, perlindungan terhadap saksi dan korban
menjadi perhatian penting.
285
Demikian pula dengan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM yang memberikan klausul khusus tentang perlindungan
saksi dan korban.286
Saat ini dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sedikit banyak telah memberikan landasan
normatif tentang perlindungan saksi dan korban. UU ini memberikan sejumlah
jawab untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak
memberikan amnesty kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut di
depan pengadilan.
285
Pasal 68 Statuta Roma
286
Pasal 34 UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
266
hak kepada korban dan saksi untuk perlindungan dan adanya lembaga khusus
untuk perlindungan saksi dan korban. Para korban kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan juga mendapatkan kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi, yang sebelumnya juga diatur dalam pasal 35 UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
Kompensasi atas kerugian bagi korban sesungguhnya merupakan
kewajiban negara yang harus diberikan tanpa ketergantungan dengan pihak pelaku
apakah pelaku mau memberikan ganti rugi atau tidak.287 Konteks reparasi harus
diletakkan tidak semata-mata pada konsep ganti kerugian berupa uang tapi juga
bentuk lainnya misalnya non reccurence dan pemuasan (satisfaction). 288
Dari rumusan Undang-Undang No 26 tahun 2000 setidaknya ditemui dua
hal yang menjadi kelemahan dari Bab IX tentang Tindak Pidana Hak Asasi
Manusia; pertama, pengaturan atau rumusan yang dimasukkan tidak memadai,
baik karena tidak lengkap dan hanya mencomot bagian-bagian tertentu dari
norma-norma internasional, maupun karena penterjemahan yang tidak baik
sehingga istilah yang digunakan tidak tepat. Kedua, ada banyak istilah-istilah
yang digunakan tidak dijelaskan secara baik atau tidak ada penjelasannya.
Berdasarkan
kesesuaian
pengaturan
tentang
kejahatan
terhadap
kemanusiaan dalam Statuta Roma pasal 7 yang menyatakan kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai: "For the purpose of this Statute, "crimes against humanity"
287
Boven van Theo, , Mereka Yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi,
Kompensasi Dan Rehabilitasi, Elsam 2002.
288
Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Gross
Violation of International Human Rights Law and Serious Violation of Internatioal
Humanitarian Law Menyatakan bahwa para korban diberi lima hak reparasi yaitu
Resstitusi,kompensasi,rehabilitasi,pemuasan, dan jaminan ketidak terulangan
267
means any of the following acts when committed as part of a widespread or
systematic attact directed agaist any civilian population, with knowledge of the
attack (a)...: "
Dari rumusan dalam Statuta Roma tersebut, terdapat beberapa hal yang
dihilangkan dalam penerjemahannya maupun kesalahan dalam menerjemahkan
maksudnya. Pertama, yakni "... secara langsung ..." yang terlalu berlebihan dan
tidak sesuai dengan terjemahan dari terjemahan Statuta Roma yakni "directed
against". Unsur "serangan yang ditujukan secara langsung" seharusnya diganti
dengan "serangan terhadap" karena lebih sesuai dengan Statuta Roma 1998.289
Dengan definisi ini maka arti dari kata "serangan" merupakan serangan yang
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Kedua, penerjemahan yang keliru terhadap kata "directed against any
civilian population, yang seharusnya diartikan "ditujukan kepada populasi sipil",
diartikan sebagai "ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil", yang
sepadan dengan pengertian dengan "directly against any civilian population".
Kata "langsung" ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku
langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini, sedangkan pelaku di
atasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini.
Ketiga,
Perumusan
dalam
Undang-Undang
No
26
tahun
2000
menghilangkan satu kata yang cukup penting yaitu kata "setiap" sebelum kata
"penduduk sipil". Seharusnya perumusannya adalah "setiap penduduk sipil" yang
merupakan terjemahan dari sumber yang diadopsinya yaitu Statuta Roma yakni
289
Pasal 7 Statuta Roma, attack directed against any civilian population.
268
"any civilian population". Menambahkan kata "setiap" sebagai persamaan dan
kata "any" akan memperluas konsekuensi atas cakupan apa yang dimaksud
dengan "penduduk sipil". Istilah "setiap penduduk sipil" akan mampu meliputi
mereka yang belum menjadi warga negara dan kelompok lainnya sehingga
pengertian unsur "penduduk sipil" akan berlaku lebih luas.
Keempat, UU No 26 tahun 2000 menggunakan istilah "penduduk" sebagai
penerjemahan dari "population". Penggunaan kata "penduduk" dan bukannya
"populasi" telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasanbatasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target
potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di
mana kejahatan tersebut berlangsung.
Kelima,
pengertian
"kebijakan
penguasa"
atau
"kebijakan
yang
berhubungan dengan organisasi" merupakan adopsi dari kata "state or
organisational policy to commit such attack" dari Statuta Roma 1998.
Penerjemahan "state policy' yang diterjemahkan sebagai "kebijakan penguasa",
seharusnya menjadi "kebijakan negara". Pengertian antara "kebijakan penguasa"
dengan "kebijakan negara" sangat berbeda. Penerjemahan ini juga menghilangkan
kata "to commit such attack".
Keenam, terkait dengan istilah penganiayaan, istilah ini sebenarnya tidak
sesuai dengan terjemahan dari Statuta Roma, yakni "persecution". Dalam Statuta
Roma 1998 mengenai bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
kejahatan persekusi (persecution) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 huruf
(h). Pengertian `persecution" dalam Statuta Roma adalah perampasan secara
269
sengaja dan keras hak fundamental bertentangan dengan hukum internasional
karena alasan identitas kelompok atau kolektivitas.
Pengertian persecution dapat mencakup pengertian yang lebih luas merujuk
pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun
subjek di luar fisik Akibatnya berbagai tindakan teror, intimidasi yang sifatnya
non fisik tidak tercakup dalam pengertian penganiayaan.290
Kejahatan berupa penganiayaan dalam UU No 26 tahun 2000 tidak
dijelaskan dan dapat diartikan, dalam arti leksikal, sebagai perlakuan yang
sewenang-wenang.
Pengertian
penganiayaan
berdasarkan
jurisprudensi
merupakan perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa tidak enak, rasa
sakit, atau luka.
Kesalahan
pengertian
mengenai
kejahatan
`persecution"
harus
dikembalikan sebagaimana maksudnya sesuai dengan ketentuan dalam Statuta
Roma 1998 agar tidak mengalami kerancuan maksudnya. Bentuk kejahatan
berupa "penganiayaan" ini perlu diganti dengan kejahatan "persekusi terhadap
kelompok atau kolektivitas tertentu karena alasan politis, rasial, kebangsaaan,
etnis, kultural, keagamaan, atau jender yang diakui secara universal sebagai
dilarang menurut hukum internasional". Penjelasan dari pengertian "persekusi"
tersebut adalah "perampasan hak asasi secara keras dan bertentangan dengan
hukum internasional karena alasan identitas kelompok atau kolektivitas".
Secara umum, dalam UU No 26 tahun 2000 memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, hampir sama dengan kejahatan genosida kelemahan utama
290
Asmara Nababan,Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: Belajar Dari
Pengalaman, Jurnal HAM, Komnas HAM,Vol 2,tahun 2004,hlm.99.
270
dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ketiadaan penjelasan dari unsur-unsur
tindak pidana (element of crimes). Akibatnya, konsep kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam UU No 26 tahun 2000 memiliki beberapa kelemahan yang
sangat mendasar yaitu istilah sistematik atau meluas yang diadopsi dari kata
widespread or sytematic tidak dijelaskan dalam undang-undang ini.
291
Padahal,
kedua hal ini penting untuk menunjukkan sifat khusus pada sifat kejahatan
terhadap kemanusiaan, di mana lebih jauh berimplikasi pada keterlibatan
kebijakan dan otoritas yang memegang kekuasaan dalam terjadinya pelanggaran.
Kondisi yang sama juga berlaku terhadap elemen "diketahui" (intention).
Ketidakjelasan definisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di
pengadilan.
Penjelasan yang cukup mendetail dan jelas menjadi penting mengingat
pemahaman bahwa jenis delik kejahatan dalam undang-undang ini adalah
kejahatan khusus yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan
pengaturan dalam hukum publik yang ada misalnya kejahatan biasa sebagaimana
diatur dalam KUHP Dalam hal ini kebutuhan terbesar adalah memberikan
rumusan yang cukup jelas untuk menunjukkan sifat khusus delik, misalnya
berkaitan dengan adanya unsur policy. Tanpa ada penjelasan dalam tiap unsurnya,
maka akan mengakibatkan sulitnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan karena dakwaan jaksa penuntut umum akan
disusun secara sumir. Padahal dalam implementasinya, majelis hakim akan
banyak mendasarkan putusannya pada intepretasi atas rumusan pasal ini.
291
Statuta Roma tidak mempunyai penjelasan mengenai meluas dan sistematik .
271
Oleh sebab itu perlu agar ketentuan tentang tindak pidana kejahatan (dan
juga tindak pidana lainnya) dilengkapi dengan rumusan unsur-unsur deliknya. Hal
ini dimaksudkan untuk memudahkan penerapan dari ketentuan atas jenis tindak
pidana yang bersangkutan.292
Ketidakjelasan dalam memberikan pengertian tentang aspek percobaan,
permufakatan jahat dan pembantuan dalam tindak pidana terhadap kemanusiaan
akan merancukan pertanggungjawaban pidana pelaku. Kejelasan ini misalnya bisa
mengacu pada ketentuan dalam Pasal 25 ayat (3) Statuta Roma tentang dapat
dipidana dan dikenai hukuman terhadap seseorang yang melakukan kejahatan.
Ketentuan dalam Statuta Roma ini akan memperjelas posisi pelaku langsung
maupun pelaku tidak langsung karena membedakan antara direct (pIysical)
perpretation, indirect perpetration dan co perpetration.
Dalam hal pelaku adalah seorang komandan militer atau atasan polisi atau
atasan sipil perlu ditentukan secara tegas bahwa para pelaku tersebut dipidana
dalam konteks melakukan tindak pembantuan, permufakatan jahat atau dalam
posisinya sebagai komandan sehingga dikenakan ketentuan mengenai tanggung
jawab komandan. Secara teoritis, penyertaan dan pembantuan atau sering
dipadankan dengan pengertian joint criminal enterprises sangat berbeda
maksudnya dengan dengan tanggung jawab komandan. Implikasi dari pembedaan
ini adalah dalam pembuktiannya, seorang komandan bisa saja dinyatakan bersalah
karena tidak melakukan tindakan yang layak pada anak buahnya yang melakukan
tindak pidana kemanusiaan, namun jika komandan didakwa dengan pembantuan
292
Telah ada buku Pedoman unsur-unsur Pelanggaran HAM yang Berat dan Tanggung
Jawab Komandan yang diterbitkan oleh Mahkamah agung
272
maka sejak awal komandan memang sudah mengatahui dan ikut serta dalam
terjadinya tindak pidana kemanusiaan tersebut.
B. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
1. Analisis Kasus Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung
Republik Indonesia No 34 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2007 Atas Nama Eurico
Guterres
Putusan No 34 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2007 membatalkan putusan
mahkamah Agung RI No 06 K/Pid HAM Ad Hoc/2005 Tgl 13 Maret 2006 Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc 2004/PT DKI Tanggal 29
Juli 2004 Jo Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No 04/Pid.HAM/Ad Hoc/2002/PN.Jkt Pst
Tanggal 27
November 2002 yang menetapkan Permohonan Peninjauan Kembali Eurico
Guterres tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana seperti yang didaulat oleh Jaksa penuntut umum. Majelis hakim
memutuskan antara lain:
1.
Menyatakan Pemohon Peninjauan Kembali Eurico Guterres tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum ;
2.
Membebaskan Eurico Guterres oleh karena itu dari segala dakwaan ;
3.
Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya.
Resume kasus:
273
a. Terdakwa dihukum 10 tahun penjara atas tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan tetapi tetap bebas sebelum ada keputusan banding, meskipun
banding belum diajukan.
b. Sejumlah 31 dokumen telah diajukan ke pengadilan sebagai bukti,
dibandingkan dengan satu dua dokumen di pengadilan lainnya.
c. Tidak seperti kasus lain, pernyataan saksi sebelum pengadilan dinyatakan
sebagai bukti
d. Temuan-temuannya bertentangan langsung dengan perkara Priyanto
e. Perkara ini memperlihatkan hal-hal yang gagal dilakukan hakim di
pengadilan lain dan jenis bukti yang bias digunakan oleh mereka yang
berkehendak menggunakannya.
Dakwaan : Eurico Guterres wakil komandan PPI dan komandan milisi
Aitarak dituduh melakukan pembunuhan dan penganiayaan sebagai
tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan karena gagal mengendalikan pasukannya yang
berada
dalam kendali dan komando efektifnya, ketika mereka melancarkan
serangan ke rumah Manuel Carrascalo tanggal 17 April 1999.Dakwaan
menyatakan bahwa terdakwa, pada upacara resmi dan apel bersama milisi pro
integrasi, Pam Swakarsa dan PPI, telah berpidato di depan pengikutnya dan
bawahannya dengan menyatakan bahwa mereka harus membunuh pemimpin pro
kemerdekaan dan khususnya Manuel Carascalo dan keluarganya. Tetapi tuduhan
tanggung jawab komando itu hanya menyangkut kegagalannya mencegah
penyerangan. Dakwaan itu tidak menuduhnya telah member perintah atau
274
memancing penyerangan. Dakwaan itu juga menuduh pasukan TNI berpartisipasi
dalam penyerangan. Gutteres dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 10 tahun.
Penuntutan: Jaksa menghadirkan 11 saksi. 8 dari padanya adalah TNI,
pegawai pemerintah, dan anggota milisi. Dua adalah saksi korban.Disamping itu
pengadilan memerintahkan 7 buah pernyataan pra pengadilan dibacakan sebagai
bukti, meskipun tim pembela terdakwa keberatan. Enam dari pernyataan itu
berasal dari korban. Saksi korban memberikan penjelasan
terperinci tentang
tentang penyerangan itu, dan partisipasi TNI dalam penyerangan itu. Pengadilan
tidak
seperti panel pengadilan lainnya, juga memberikan ringkasan terinci
kesaksian yang terkandung di dalam pernyataan pra pengadilan. Dari isi
pernyataan tersebut, terlihat betapa ketidakmampuan membawa saksi ke hadapan
pengadilan merupakan kerugian pengadilan yang besar.Kesaksian mereka
memberikan gambaran yang eksterm dan tegas tentang penyerangan, identitas
banyak pelaku dan juga pidato Eurico Gutteres dan lain-lain.
Pada sidang tanggal 8 Agutus 2002,dari 9 saksi yang dipanggil, hanya dua
yang muncul.dari dua ini,hanya satu yang merupakan saksi korban: Manuel
Carascalo, tidak ada ketika penyerangan itu terjadi, tetapi mendengan pidato
Gutteres di radio. Kesaksian itu juga
memberikan rincian penting tentang
bagaimana pemerintah mendanai Pam Swakarsa dan hubungan tumpang tindihnya
dengan PPI dan kelompok milisi lainnya. Tidak seperti kesaksian mengenai
penyerangan yang diajukan jaksa di kasus lain yang sering kabur ( Misalnya
pengadilan Priyanto dan Suratman), bukti yang diajukan ini memberikan
penjelasan rinci tentang tentang jumlah dan tipe kendaraan penyerang, seragam
275
dan penampilan mereka, kronologi penyerangan, dll. Di samping itu 31 dokumen
resmi diajukan sebagai bukti, sementara ini, banyak kasus lain, jaksa hanya
mengajukan satu atau dua dokumen. Orang bisa jadi heran mengapa kualitas
kesaksian dan bukti jauh lebih lengkap, dalam perkara dimana terdakwanya orang
Timor-Timur, berbeda dengan perkara yang melibatkan anggota militer dari satu
peristiwa yang sama. Lebih jauh, keputusan hakim mengarahkan bahwa bukti
tersedia untuk digunakan pada kasus lainnya, meskipun ternyata itu tidak
digunakan.
Keputusan hakim: berdasarkan tinjauannya atas bukti-bukti, hakim yang
mengadili perkara membuat uraian panjang tentang temuan-temuan fakta.
Barangkali yang paling penting dicatat adalah bahwa mereka di sini melawan
langsung banyak temuan kunci di perkara Priyanto. Mereka memperlihatkan
dengan jelas apa yang gagal dilakukan oleh hakim pada pengadilan lainnya dan
menunjukan bukti seperti apa yang tersedia. Khususnya mereka menunjukan
betapa mudahnya menetapkan fakta mengenai hubungan TNI dengan milisi, dan
mengenai tindakan khusus kekerasan yang dilakukan. Keputusan hakim ini juga
memperlihatkan bahwa kalau saja jaksa dan hakim punya sedikit inisiatif,
kesimpulan tidak perlu terlalu lama dibuat atas hal-hal seperti apakah benar ada
"milisi" pro integrasi di Timor Timur, apakah mereka memiliki senjata, atau
apakah yang dikatakan Gutterres dalam pidatonya pada apel upacara, apabila
jaksa dan hakim hanya punya sedikit inisiatif. Juga termasuk di sini pilihan
mereka atas hal-hal yang esensial. Ini memperlihatkan perbedaannya dengan
276
sebagian besar perkara yang membuat temuan minimal, sering tidak terinci atas
fakta-fakta esensial:
A. Pada tanggal 17 April 1999, sekitar 6000 orang menghadiri apel di lapangan
depan kantor Gubernur. Partisipan datang dari berbagai kabupaten di Timor
Timur, dan pejabat yang hadir dalam upacara itu, diantaranya adalah Muspida
Timor Timur, Gubernur Timor Timur Abilio Osorio Soares, Bupati Dili,
Walikota Dili.
B. Bupati Dili, Dominggus M.D. Soares, mengusulkan pada gubernur Timor
Timur untuk mengadakan upacara peringatan Pam Swakarsa di ibukota
propinsi Timor Timur. Atas panduan Gubernur, sebuah komite peringatan
Pam Swakarsa dibentuk
C. Kelompok-kelompok milisi terkait dengan militer, yang tujuannya adalah
mempertahankan integrasi. Militer mendukung (misalnya, senjata) kelompokkelompok yang memiliki hubungan khusus dengannya. Organisasi militer
yang mendukung milisi adalah Kopasus
D. Kodim atau polisi melatih pasukan Aitarak atau anggota PPI yang menjadi
anggota Pam Swakarsa, Hansip, atau Kamra, karena banyak yang tidak punya
pekerjaan. Pemerintah lokal membayar anggota Pam Swakarsa sebesar Rp.
150.000 dan 10 kg beras/ bulan.
E. Terdakwa memimpin pasukan Aitarak di Dili. Di antara partisipan apel
tersebut ada orang yang membawa senjata M 16 - mereka ini adalah anggota
TNI yang bergabung dalam kerumunan.
F. Selama pidato, tedakwa dan pimpinan PPI, serta kerumunan pengunjung itu
277
berteriak, "Bantai mereka! Bunuh mereka!" dan menembakan senjata ke udara
untuk menyambut pidato itu.
G. Peristiwa ini diliput dan disiarkan oleh RRI, TV dan media massa.
H. Selama apel upacara, personil polisi dan TNI berada di pinggir untuk menjaga
keamanan, tetapi mereka tidak memberi tanggapan atas partisipan yang
membawa senjata atau yang menembakan senjatanya.
I. Keterkaitan erat antara terdakwa dan polisi dan TNI berasal dari fakta bahwa
instansi-instansi itu sering meminta informasi pada terdakwa dan membantu
untuk mengatasi konflik dan sengketa.
J. Berkaitan dengan peristiwa pembantaian dan perusakan harta benda setelah
pengumuman jajak pendapat di semua komunitas di Dili, polisi dan tentara
semua terlibat dalam tindakan perusakan dan pembantaian.
K. Ada sebuah telegram dari Pangdam Udayana (Adam Damiri) mengenai
peristiwa di Ainaro, dimana milisi Aitarak, setelah melakukan misi
pembersihan mengunjungi markas batalion TNI untuk beristirahat dan
kembali ke markas Aitarak di hotel Tropikal Dili.
Setelah membuat temuan faktual ini, pengadilan mendiskusikan masalah
hukum secara panjang lebar (dan ini satu-satunya panel yang melakukan hal ini)
untuk menilai kesaksian para saksi. Ada analisa detil tentang mengapa pengadilan
menetapkan kesaksian dari saksi tertentu, terutama mereka yang pernyataannya
dibaca di pengadilan, sebagai kesaksian yang dipercaya. Analisis yang panjang
lebar, terinci dan cermat untuk menjelaskan alasan mengapa sejumlah kesaksian
278
tertentu lebih dipercaya di bandingkan yang lain, nyaris tidak ada di perkaraperkara yang membebaskan terdakwa.
Berlandaskan pada temuan-temuan faktual, dan ditetapkannya kredibilitas
kesaksian serta pernyataan tersumpah sebelum pengadilan oleh para saksi korban,
maka pengadilan tidak kesulitan untuk mengkaitkan terdakwa dengan perbuatan
kejahatan
yang
didakwakan
padanya
dengan
menggunakan
doktrin
pertanggungjawaban komando atau atasan sipil Pengadilan mendasarkan
temuannya pada suatu analisis yang sangat hati-hati dan bernuansa mengenai sifat
organisasi dimana terdakwa menjadi bagiannya, peran dan otoritasnya secara de
jure maupun de facto. Temuan itu juga didasarkan pada analisis cermat dan
mendalam atas bukti yang mendukung temuan bahwa terdakwa memiliki kendali
efektif atas anggota milisi yang melancarkan serangan. Analisis ini dibangun dari
suatu pengetahuan yang solid atas ketetapan-ketetapan-kasus hukum di
pengadilan ICTY dan ICTR dan juga pengadilan-pengadilan utama pasca Perang
Dunia II dan khazanah kepustakaan tentang hukum humaniter internasional.
Orang mungkin bertanya faktor apa yang membedakan kasus ini dengan
kasus lain yang . Patut dicatat, bahwa hakim di panel ini adalah juga anggota
panel dari peradilan perkara lain yang memutus bersalah dua orang terdakwa.
Hakim-hakim ini memiliki reputasi sebagai hakim paling progresif dan menguasai
masalah hukum humaniter internasional. Dua sifat ini tecermin pada keinginan
kuat mereka untuk berurusan secara efektif dengan masalah pembuktian yang
tidak dilakukan oleh majelis hakim yang lain (atau menjadi cara untuk minta
dimaklumi). Ini juga tercermin pada kualitas yurisprudensial dan keputusan hakim
279
dibandingkan dengan perkara-perkara lain. Di samping itu, jaksa yang bertugas
menangani perkara ini telah mengejar tuntutannya dengan energi cukup, yang
tercermin dari jumlah bukti dokumen yang diajukan. Tentu orang bisa bertanya
mengapa jaksa semacam ini diberi tugas menangani perkara ini sedangkan jaksa
yang lemah menuntut di kasus lain, misalnya perkara Adam Damiri. Dari segala
kemungkinan, jawabannya terletak pada masalah sistemik yang akan dibahas di
bawah ini.293
Didapatkan sejumlah pemahaman penting mengenai proses pengadilan dan
investigasi jaksa. Jaksa hanya menerima berkas perkara (BAP) dari para penyidik.
Tidak satupun jaksa yang menyidik perkara ini terlibat dengan proses pengadilan.
Peraturan kejaksaan menetapkan bahwa mereka tidak dapat memasukkan bukti
lain yang tidak ada di berkas perkara. Berkas perkara menentukan proses
penuntutan. Tetapi menambahkan bahwa bukti-bukti tambahan bisa muncul kalau
hakim menanyakannya. Misalnya memasukkan sebagai barang bukti, surat-surat
yang tidak pernah masuk dalam berkas perkara Guterres, tetapi diperoleh dari
perkara Adam Damiri. Inisiatif-inisiatif semacam ini begitu pentingnya, sebagai
jalan untuk bergerak melampaui batasan-batasan peraturan yang dangkal. Tetapi
kebanyakan jaksa tidak mau melakukan tindakan semacam ini. Di samping itu
dienarkan bahwa keputusan mengenai saksi mana yang akan dipanggil bukan di
bawah kendali jaksa penuntut perkara.294
293
Cohen david, Dimaksudkan Supaya gagal Proses Persidangan Pada Pengadilan Hak
Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli
2004, Hal 28
294
Idem,Hal 28
280
Jaksa yang membawa kasus ke pengadilan membuat dakwaan berdasarkan
BAP. Rancangan dakwaan diserahkan pada jaksa senior untuk dibahas dan
disetujui. Prinsip dasar mempersiapkan dakwaan adalah bahwa itu harus
berdasarkan BAP. Jaksa ini tidak menuduh Gutterres telah menghasut,
mengorganisir maupun berpartisipasi langsung dalam penyerangan karena BAP
tidak memberi informasi atau bukti mengenai hal ini. Tetapi pernyataan ini agak
tidak jujur karena pada pernyataan-pernyataan sebelum pengadilan yang termuat
dalam BAP menegaskan bahwa Gutterres memancing kerumunan itu untuk
membunuh Manuel Carrascalao dan keluarganya. Karenanya bisa dicurigai bahwa
mungkin soal keterlibatan ini ditetapkan dengan berkonsultasi dengan jaksa senior
yang akan menyetujui dakwaan.
2.
Analisis Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc
pada
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
dalam
Putusan
Nomor
:
01/Pid.HAM/Ad Hoc/2004/PT.DKI atas Nama Adam Damiri
Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Tinggi
Jakarta dalam Putusan Nomor: 01/Pid.HAM/Ad Hoc/2004/PT.DKI menerima
permohonan banding dari penuntut umum dan terdakwa Mayor Jenderal TNI
Adam R Damiri, dengan menguatkan Putusan Sela Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 31 Juli 2002
Nomor : 09/Pid.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST, yang dimohonkan banding
tersebut.
Membatalkan Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
tanggal
281
5
Agustus
2003
Nomor:
09/Pid.HAM/Ad.Hoc/2002/PH.JKT.PST, yang dimohonkan banding tersebut dan
menyatakan :
1.
Terdakwa Mayor Jenderal TNI Adam Damiri tersebut tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat yang didakwakan kepadanya
2.
Membebaskan terdakwa tersebut dari dakwaan
3.
Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat,
martabatnya.
Resume Kasus:
A. Dihukum tiga tahun penjara dengan alasan Adam Damiri gagal mencegah
terjadinya kejahatan-kejahatan tertentu, meskipun jaksa meminta meminta
banding. Dalam Proses banding Adam Damiri dibebaskan
B. Proses penuntutan, dalam requisitornya (tuntutan akhir dakwaan dan fakta),
menyatakan bahwa dakwaan itu tidak terbukti, dan menjadi kondisi bagi
tuntutan bebas.
C. Pernyataan mereka yang menerangkan mengapa mereka tidak bisa
membuktikan dakwaan itu seluruhnya tidak konsisten dengan temuan pada
perkara Muis, lihat ringkasan di atas.
D. Jaksa secara umum terlihat tidak kompeten (gagal mengajukan bukti dan
menggali pertanyaan secara tepat pada para saksi)
E. Atmosfir intimidasi yang kental
F. Perkara ini paling jelas memperlihatkan lemahnya kehendak politik yang
memungkinkan proses yang efektif dan imparsial
282
Dakwaan: Damiri didakwa atas tindakan pembunuhan dan penganiayaan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena Damiri "tahu atau seharusnya
tahu bahwa pasukan yang ada di bawah komando dan kendali efektifnya" telah
melakukan atau sedang melakukan kejahatan ini, sebagai bagian dari suatu
serangan yang meluas atau sistematik. Peristiwa khusus yang membuat Damiri
didakwa adalah peristiwa tanggal 6 April 1999, serangan atas kediaman Pastor
Rafael dos Santos di Liquica, serangan tanggal 17 April di rumah Manuel
Carrascalao Dili, serangan 5-6 September atas Diosis Dili dan rumah Uskup Belo
dan serangan atas kompleks gereja Suai pada tanggal 6 September. Dakwaan itu
menuduh bahwa anggota TNI secara langsung berpartisipasi di semua serangan
tersebut dan menunjuk nama-nama individu tertentu, termasuk sejumlah perwira.
Penuntutan: Tuntutan jaksa ini muncul pada suatu tahap pengadilan
dimana jaksa menganjurkan pengadilan menerima tuduhan-tuduhan yang
menurutnya sudah terbukti dan meminta hakim membuat keputusan (requisitor).
Pihak penuntut menyatakan bahwa fakta-fakta hukum berikut ini telah ditemukan
selama pengadilan:
A. Kekerasan di kediaman Pastor Rafael dos Santos pada tanggal 6 April 1999
adalah sebuah Proses Persidangan pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad
Hoc di Jakarta "bentrokan spontan antara kekuatan pro-integrasi dan prokemerdekaan."
B. Tidak ada bukti keterlibatan TNI atau pasukan lain yang berada di bawah
komando dan kontrol efektif terdakwa. Enam orang saksi lainnya (semuanya
TNI, termasuk dua terdakwa di pengadilan lain) bertentangan dengan
283
kesaksian Pastor Rafael.
C. Terdakwa mengambil tindakan yang sepatutnya untuk mencegah kekerasan
dan melakukan penyelidikan. Kesimpulan yang sama juga benar terhadap
peristiwa penyerangan di rumah Manuel Carrascalao (yaitu "suatu bentrokan
antara massa pro-kemerdekaan dan pro-integrasi.)
Penjelasan atas tiga peristiwa ini secara langsung bertentangan dengan
temuan dalam perkara Muis. Dalam perkara Muis, kekerasan tidak dilihat sebagai
sebuah "bentrokan" tetapi suatu serangan dengan keterlibatan TNI. Lebih jauh,
kesaksian terdakwa terlihat lebih terpercaya dibandingkan kesaksian saksi korban
Uskup Belo. Meski dalam perkara Muis hakim menemukan bahwa fakta-fakta itu
benar terbukti, melampaui keraguan apapun, tapi jaksa merasa bahwa bukti yang
mereka ajukan tidak memperkuat tuduhan dan karenanya mereka tidak dapat
mengajukan kasus untuk dinilai. Dalam suatu kesimpulan yang terasa seperti
pembelaan, jaksa membuat pernyataan berdasarkan kesaksian terdakwa, bahwa
telah terbukti TNI mengambil "tindakan segera, responsif dan profesional" untuk
menghentikan dan mencegah kerusuhan.
Pada tanggal 23 Januari 2003, Pastor Rafael dos Santos di Dili pada
akhirnya memberikan keksaksian melalui tele-konperensi mengenai pembantaian
Liquica di gerejanya. Keterangannya dengan lugas bertentangan dengan
keterangan saksi TNI dan Polisi sebelumnya. Rafael dos Santos memberi
kesaksian melihat personil TNI secara aktif berpartisipasi dalam serangan. Saksi
TNI dan polisi yang memberikan kesaksian bahwa mereka telah mencoba
mencegah kekerasan, tetapi Pastor Rafael menyatakan melihat TNI menyerang
284
dan mengidentifikasi beberapa nama mereka. Rafael dos Santos juga memberi
kesaksian bahwa polisi melempar gas air mata ke dalam gereja.
Pihak jaksa penuntut, ketika meminta tuntutan bebas, tidak mencari
pembenaran mengapa Rafael dos Santos memilih untuk mengabaikan semua
bukti-bukti itu dan memberikan kredit pada kesaksian terdakwa dan personil TNI
yang dengan jelas untuk membenarkan diri sendiri.
Di dalam "analisis yudisial" nya, pihak penuntut menekankan beberapa pokok
yang jelas salah dan tidak akurat:
A. Kesaksian
saksi
ahli
bahwa
seorang
komandan
secara
moral
bertanggungjawab atas perbuatan anak buahnya, tetapi pertanggungjawaban
legal terletak pada pelaku itu sendiri
B. Pendapat saksi ahli bahwa "terdakwa tidak seharusnya bertanggung jawab
secara kriminal berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando karena
bentrokan antara masa sipil non militer tidak memiliki hubungan struktural,
organisasional dan komando serta kendali efektif dengan terdakwa maupun
dengan para komandan yang menjadi anak buah terdakwa."
C. Bahwa untuk menetapkan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, patut
dibuktikan bahwa serangan itu adalah hasil dari suatu kebijakan negara yang
dilaksanakan melalui TNI, hal ini, menurut mereka, tidak terbukti, sehingga
elemen tuduhan lain yang ada dalam dakwaan tidak perlu didiskusikan lagi.
Dari titik pandang hukum humaniter internasional, pandangan adanya
tanggungjawab moral versus legal tidak dibenarkan sejak keputusan hakim dalam
pengadilan Nuremberg. Meninjau pokok kedua, kata kuncinya adalah "massa
285
sipil." Konsep ini konsisten dengan penolakan jaksa untuk mengakui kehadiran
nyata milisi, yang bahkan belum lagi mempertimbangkan dukungan dari TNI dan
badan-badan negara lainnya (sebagaimaan dinyatakan dalam keputusan hakim
atas perkara Nur Muis). Akhirnya, mengenai elemen kebijakan dalam kejahatan
terhadap kemanusiaan, pihak penuntut membuat argumen seperti membuat
pembelaan. Memang ada perbedaan pendapat mengenai masalah kebijakan resmi
dalam ketetapan-ketetapan hukum di ICTY dan ICTR. Biasanya orang mengira
pihak penuntut akan bertahan pada pendapat bahwa tidak dibutuhkan suatu
kebijakan yang resmi tertuang untuk membuktikan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pandangan ini akan melawan pandangan tim pembela yang
biasanya menuntut adanya kebijakan resmi. Tapi seperti sering terlihat di
pengadilan ini, dalam tuntutannya (requisitor) jaksa justru terlihat seperti
"pembela tersembunyi".295
Sudah cukup jelas bahwa strategi penuntutan diarahkan untuk mencegah
hakim memberi keputusan penghukuman bagi Adam Damiri. Tuntutan itu juga
mencuci bersih keterlibatan TNI dan pemerintah Indonesia dari tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur. Pokok-pokok yang didaftar di
atas, yang ditekankan oleh pihak penuntut, secara bersamaan merupakan pokok
perseteruan
penting
antara
pemerintah
Indonesia
yang
menyangkal
bertanggungjawab dan KPP HAM dan laporan-laporan internasional. Dengan kata
lain, pihak penuntut dengan menggunakan perkara perwira tinggi militer,
mendakwa komandan militer, bertujuan untuk membela peran TNI dan
295
Idem, Hal 18
286
pemerintah Indonesia berhadapan dengan pandangan para ahli internasional dan
untuk menghadapi penyelidikan resminya sendiri.
Lemahnya kredibilitas argumen pihak jaksa penuntut dalam tuntutannya
lahir dari keseluruhan penampilannya yang lemah di pengadilan. Pihak penuntut
tidak mengajukan bukti-bukti perkara yang sudah tercantum dalam BAP, malah
lebih sering bergantung pada saksi-saksi yang jelas-jelas membela terdakwa.
Mereka tidak siap untuk menuntut kasus ini. pengadilan Adam Damiri tanggal 8
Desember 2002, jaksa mengajukan senjata api sebagai bukti. Berkas perkara
menyatakan bahwa lebih dari 26 pucuk senjata telah diamankan, tetapi jaksa
hanya mengajukan 5 pucuk senjata tua yang ditumpuk bersama-sama di dalam
satu kotak. Damiri tidak memberikan landasan argumen mengapa senjata-senjata
itu diajukannya sebagai bukti, dan tidak menyatakan apakah senjata itu milik
kelompok pro integrasi atau pro kemerdekaan. Senjata itu tidak diberi label atau
diidentifikasi dengan layak. BAP menyatakan bahwa senjata-senjata yang ada
pada jaksa untuk diajukan sebagai bukti termasuk didalamnya adalah M 16, yang
akan memberikan fakta kuat bahwa TNI merupakan sumber yang mungkin bagi
persenjataan milisi.
Soedjarwo (terdakwa di perkara lain) kemudian disiapkan sebagai saksi.
Menjelang sidang mulai. Jaksa kemudian bertanya pada Soedjarwo beberapa
pertanyaan, tetapi tak satupun pertanyaan itu berkaitan dengan tujuan
membuktikan penuntutan. Jaksa bertanya soal senjata dan saksi menjawab bahwa
lima pucuk itu bukan punya TNI tetapi senjata tua Portugis. Jawaban ini
membenarkan argumen terdakwa bahwa kekuatan pro integrasi tidak menerima
287
senjata dari TNI. Jaksa tidak bertindak lebih jauh untuk mencari tahu sumbersumber persenjataan dan siapa yang menggunakannya. Implikasinya, sudah tentu
bahwa senjata itu merupakan senjata milisi dan tentunya tidak datang dari TNI.
Ketika hakim dan tim pembela mengambil kesempatan bertanya, jaksa terlihat
tidak sekalipun membuat catatan-catatan. Jaksa itu terlihat tidak punya perhatian,
terlihat bosan dan kadang-kadang terlihat terkantuk-kantuk. Menurut pendapat
pengamat internasional yang hadir saat itu, tampilannya dalam mengajukan
pertanyaan benar-benar tidak kompeten. Hakim, sebaliknya mengejar pertanyaan
dengan ketat. Mereka, sudah tentu, menghadapi masalah struktural dari semua
pengadilan ini - tidak hanya melimpahnya para saksi TNI, tetapi juga karena
terdakwa saling memberikan kesaksian di antara pengadilan yang berbeda.
menyelesaikan masalah ini.
Keputusan hakim Para hakim itu membuat keputusan bersalah terhadap
Adam Damiri. Dalam hal ini penting menganalisa landasan yang mereka pakai, di
tengah situasi jaksa yang justru meminta bebas karena tidak mampu membuktikan
semua tindak kejahatan yang didakwakan.
3.
Analisis Kasus Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Republik Indonesia No 45 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2004 Atas Nama
Abilio Soares
Majelis hakim mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan kembali
ABILIO JOSE OSORIO SOARES tersebut;
Membatalkan putusan kasasi Mahkamah Agung tanggal 1 April 2004 Nomor : 04
K/PID.HAM.AD HOC/2003 jo. Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc Jakarta
288
tanggal 13 Maret 2003 Nomor : 01/PID.HAM/AD HOC/2002/ PT.DKI, jo.
Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan HAM Jakarta Pusat tanggal
14 Agustus 2002 Nomor : 01/PID.HAM/AD. HOC/ 2002/PK.JKT.PST.
Dalam putusan peninjauan kembali dari mahkamah Agung tersebut
keputusan yang diambil adalah:
1. Menyatakan Terpidana ABILIO JOSE OSORIO SOARES tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan Kesatu dan
2. Kedua ; Membebaskan Terpidana oleh karena itu dari segala dakwaan ;
3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya ;
4. Memerintahkan
agar
Terpidana
segera
dilepaskan
dari
Lembaga
Pemasyarakatan ;
5. Menetapkan barang bukti sebagaimana tersebut dalam daftar barang bukti
diserahkan kepada Penuntut Umum untuk dijadikan bukti dalam perkara
lain;
6. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan kepada
Negara.
Adapun Abilio Suarez berdasarkan Pengadilan HAM Jakarta Pusat tanggal
14 Agustus 2002 No. 01/PID.HAM/AD HOC/2002/PH.JKT.PST, yang amar
lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1.
Menyatakan Terdakwa ABILIO JOSE OSORIO SOARES terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan
289
Kesatu dan dakwaan Kedua : PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
YANG BERAT BERUPA KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN ;
2.
Menghukum Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun ;
3.
Menetapkan barang bukti sebagaimana tersebut dalam daftar barang bukti
diserahkan kepada Penuntut Umum Ad Hoc untuk dijadikan bukti dalam
perkara lain ;
4.
Menghukum Terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 5.000,(lima ribu rupiah).
Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc Jakarta tanggal 13 Maret 2003
No. 01/PID.HAM/AD HOC/20021PT.DKI amar lengkapnya berbunyi sebagai
berikut
1.
Menerima permintaan banding dari Penasihat Hukum Terdakwa dan Jaksa
Penuntut Umum tersebut ;
2.
Menguatkan putusan Pengadilan Hak Azasi Manusia Jakarta Pusat tanggal
14 Agustus 2002 No. 01/PID.HAM/AD.HOC/2002/ PH.JKT.PST, yang
dimohonkan banding tersebut ;
3.
Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat
peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 1.0019,(seribu rupiah) ;
Putusan
Mahkamah
Agung
tanggal
1
April
2004
No.
04
K/PID.HAM.AD.HOC/2003 amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut
-
Menolak permohonan kasasi dari Terdakwa : ABILIO JOSE OSORIO
290
SOARES dan Pemohon kasasi : JAKSA PENUNTUT UMUM tersebut ;
-
Menghukum Pemohon kasasi/Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sebesar Rp, 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Membaca surat permohonan peninjauan kembali bertanggal 7 Juni yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri HAM Ad Hoc Jakarta at pada tanggal
7 Juni 2004 dari Kuasa Terdakwa yang diajukan untuk dan atas nama Terdakwa
sebagai Pemohon peninjauan kembali tersebut, berdasarkan surat kuasa khusus
bertanggal 6 Mei 2004 sebagai Terpidana, yang memohon agar putusan
Mahkamah Agung tersebut dapat ditinjau kembali ;
Resume Kasus: Dihukum 3 tahun pidana penjara dan dikuatkan dalam
proses hukum selanjutnya pada tingkat Banding dan Kasasi, tetapi mengajuan
Peninjauan Kembali oleh mahkamah Agung dikabulkan
Dakwaan: Terdakwa ABILIO JOSE OSORIO SOARES bersalah
melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai diatur dalam
dakwaan:
Kesatu :
Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9
huruf a Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM ;
Kedua :
Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9
huruf h Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM ;
Tuntutan: tuntutan Penuntut Umum pada tanggal 11 Juli 2002 yang adalah
sebagai berikut:
291
1. Menyatakan
Terdakwa
ABILIO
JOSE
OSORIO
SOARES
bersalah
melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai diatur
dalam dakwaan:
Kesatu :
Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9
huruf a Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM ;
Kedua :
Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9
huruf h Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM ;
Bahwa terdakwa telah didakwa didakwa:
1) Kesatu : Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b, jis Pasal 7 huruf b, pasal-9 huruf a
dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ;
2) Kedua : Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b, jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h
dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ;
Salah satu unsur dari dakwaan Kesatu adalah : bertanggung jawab secara pidana
terhadap pelanggaran HAM yang berat, yang dilakukan oleh bawahannya, dan
yang dimaksudkan sebagai bawahannya Terpidana dalam perkara ini adalah:
1. Drs. Herman Sedyono, Bupati Kovalirna
2. Leonito Martins, Bupati Liquisa ;
3. Eurico Gutteres, Wakil Panglima Pasukan PPI
Dalam sistem hukum nasional kita pelanggaran berat HAM diakomodir
dalam UU No 26 tahun 2000 mengenai pelanggaran berat yang HAM terdiri atas
Genocida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.
292
Kondisi yang demikian menunjukan bahwa ada pembatasan pelanggaran
berat HAM yang diatur dalam hukum nasional yang tidak seperti yang diatur
dalam hukum internasional. Sehingga tidak mampu menjangkau war crime dan
agresi.
Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan
data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida.
Hadirnya mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran
HAM berat yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan.
Pengadilan ini juga memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban
yakni pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Sejak saat itu, upaya penyelidikan atas peristiwa yang diduga terjadi
pelanggaran HAM yang berat dilakukan.
Hasil dari putusan-putusan pengadilan tersebut ternyata membebaskan
hampir semua terdakwa. Dengan hasil ini, banyak kalangan menyatakan bahwa
pengadilan ini telah gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah
muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada dibawah standar
pengadilan internasional.296 Pandangan yang lain menyatakan bahwa pengadilan
ini memang sejak awal sengaja diupayakan untuk mengalami kegagalan.297
Beberapa kasus dalam Pengadilan HAM memang secara prosedural belum selesai
karena masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat banding maupun kasasi,
Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar:
Preliminary Conclusive Report”, 4 Juli 2002.
297
David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad Hoc Human Rights
Court in Jakarta, ICTJ, July, 2004.
296
293
sehingga penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan
lengkap.
Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa,
juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hakhak korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai
saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para
korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM.
Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses penghukuman yang efektif
dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan
mengenai proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan berakibat pada
tidak tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa pengadilan
ini ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan pengkajian
yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan proses
peradilan HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan
pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidak cukupan regulasi disebut-sebut
menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya
yang juga diduga sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah
kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat ini. Pengadilan yang telah berjalan mempunyai
kelemahan, hambatan dan hasil berbeda satu sama lain.
294
Kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur berdasarkan mandat
dari Keppres No. 96 tahun 2001 adalah kasus-kasus yang terjadi pra dan paska
jajak pendapat dengan tempus delictie bulan April – September 1999 dan locus
delictie nya meliputi Dili, Liquica dan Suai Kovalima.298 Ada perbedaan
mengenai locus delictie kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan hasil
kesimpulan penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan peristiwa yang terjadi
bukan hanya di 3 (tiga) wilayah tersebut tetapi hampir diseluruh kabupaten di
Timort-Timur. Perbedaan dari Hasil KPP dengan proses pengadilan adalah juga
berkaitan dengan jumlah pihak yang diduga dapat dimintai pertanggungjawaban
dalam kejahatan yang terjadi, yang meliputi pelaku lapangan dan para pemegang
kebijakan dan kekuasaan pada saat itu. Sementara jumlah terdakwa yang diajukan
ke pengadilan hanya 18 terdakwa baik dari kalangan militer, polisi maupun sipil.
Pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan secara serentak dengan diadilinya
semua terdakwa tetapi secara bertahap. Pada tahap pertama pengadilan memeriksa
3 (tiga) berkas perkara, dan selanjutnya 9 berkas lainnya secara bersamaan. Tidak
diketahui secara pasti mengenai strategi penuntutan yang demikian, karena secara
pola tidak menunjukkan adanya pola yang sama misalnya penuntutan dilakukan
dari terdakwa yang mempunyai posisi terendah terlebih dahulu atau terdakwa dari
posisi tertinggi terlebih dahulu.299
298
Sebelumnya dengan Keputusan Presiden No. 53 tahun 2001.
299
Komposisi para terdakwa dalam 3 kasus pertama tidak mencerminkan adanya
pola yang pasti karena 3 berkas pertama ini yang diajukan adalah Abilio Soares yang
merupakan terdakwa dari sipil dengan jabatan tertinggi, sementara ada terdakwa lainnya
yang merupakan bawahan terdakwa yaitu Leonito Martens (Bupati Liquica), Herman
Sedyono (bupati Kovalima) dan Eurico Guterres (Wakil Panglima PPI). Berkas kedua
adalah Timbul Silaen (Kapolda Timor-timur saat itu) yang juga mempunyai bawahan
295
Hasil pengadilan sampai dengan saat ini menujukkan satu tingkat
penurunan keputusan yang cukup drastis jika dibandingkan hasil keputusan di
tingkat pertama, banding dan kasasi di Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama 6
(enam) terdakwa dinyatakan bersalah, tingkat banding 2 (terdakwa) yang
dinyatakan bersalah dan tingkat kasasi 2 (dua) terdakwa bersalah. Proses lain yang
dilalui terdakwa adalah peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh terdakwa
Abilio J. O. Soares yang akhirnya membebaskan dirinya dan kemudian diikuti
dengan bebasnya Eurico Guterres setelah Peninjauan Kembalinya dikabulkan
oleh Mahkamah Agung.
Dalam kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur ini semua
keputusan menunjukkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, namun pelaku
yang dapat dimintakan pertanggungjawaban inilah yang terjadi perbedaan antar
keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim. Secara umum keputusan-keputusan
menunjukkan bahwa pelaku kejahatan kemanusiaan adalah milisi atau kelompok
sipil, sementara pertanggunjawaban terhadap para pelaku yang diajukan ke
pengadilan lebih banyak dikaitkan dengan posisi dan jabatannya saat itu yang
seharusnya mempunyai otoritas untuk melakukan upaya menghentikan kejahatan
yang terjadi, dan bukan sebagai pihak yang ikut dalam tindakan kejahatan itu
sendiri. Akibatnya, antar satu keputusan dengan keputusan yang lain seringkali
yang diajukan sebagai terdakwa yaitu Hulman Gultom (Kapolres Dili), Adios Salova
(Kapolres Liquica) dan Gatot Subyaktoro (Kapolres Suai Kovalima). Berkas ketiga
dengan 5 (lima) terdakwa Herman Sedyono, Liliek Koshadiyanto (Dandim Suai
Kovalima), Gatot Subyaktoro, Ahmad Syamsuddin (Ka Staf Kodim Suai) dan Sugito
(Danramil Suai), para terdakwa dari milter berdasarkan pada jengjang komando saat itu
mempunyai atasan yang juga sebagai terdakwa yaitu Noer Muis (Danrem Dili) dan Adam
Damiri (Pangdam Udayana). Dari pola ini tidak jelas apakah strategi penuntutan dari
pejabat dengan tingkat paling bawah atau paling atas terlebih dahulu.
296
tidak mempunyai kesamaan tingkat kesalahan, dan sangat tergantung dengan
panafsiran dari masing-masing majelis hakim, padahal kasus yang terjadi sangat
berkaitan satu sama lainnya.300
Putusan pengadilan juga tidak ada satupun yang memberikan keputusan
mengenai kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban. Padahal
putusan pengadilan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan adanya
korban dalam kejahatan tersebut. Diduga, tidak adanya keputusan kompensasi
kepada korban lebih disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi, restitusi
maupun rehabilitasi yang diajukan ke pengadilan baik oleh penuntut umum
maupun korban.
Setelah proses pengadilan HAM ad Hoc berakhir yang membebaskan
semua terdakwa di pengadilan, maka pemerintah membentuk komisi kebenaran
dan persahabatan yang menyimpulkan adanya Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat di timor-timur sebagaimana yang terdapat dalam kesimpulan yang ada
dalam laporan akhir komisi kebenaran dan persahabatan
Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan
data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida.
Hadirnya mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran
HAM berat yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan.
300
Kasus ini dianggap berkaitan, meskipun dengan pemberkasan secara terpisah,
adalah adanya kaitan antara para terdakwa yang diajukan ke pengadilan terutama dari
terdakwa polisi dan militer, yang mempunyai jengjang komando dan hubungan atasan
bawahan. Sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah peristiwa yang saling
berurutan dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya baik pola maupun konteks
terjadinya peristiwa.
297
Pengadilan ini juga memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban
yakni pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Sejak saat itu, upaya penyelidikan atas peristiwa yang diduga terjadi
pelanggaran HAM yang berat dilakukan. Serangkaian penyelidikan dilakukan
oleh Komnas HAM menjadikan 3 (tiga) kasus yang telah diselidiki diajukan ke
pengadilan HAM. Dua pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor-timur dan
Tanjung Priok, dan satu Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura
(selanjutnya semua disebut dengan Pengadilan HAM).
Hasil dari putusan-putusan pengadilan tersebut ternyata membebaskan
hampir semua terdakwa. Dengan hasil ini, banyak kalangan menyatakan bahwa
pengadilan ini telah gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah
muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada dibawah standar
pengadilan internasional.301 Pandangan yang lain menyatakan bahwa pengadilan
ini memang sejak awal sengaja diupayakan untuk mengalami kegagalan.302
Beberapa kasus dalam Pengadilan HAM memang secara prosedural belum selesai
karena masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat banding maupun kasasi,
sehingga penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan
lengkap.
Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa,
juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hakhak korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai
Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar:
Preliminary Conclusive Report”, 4 Juli 2002.
302
David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad Hoc Human Rights
Court in Jakarta, ICTJ, July, 2004.
301
298
saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para
korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM.
Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses penghukuman yang efektif
dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan
mengenai proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan berakibat pada
tidak tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa pengadilan
ini ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan pengkajian
yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan proses
peradilan HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan
pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidakcukupan regulasi disebut-sebut
menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya
yang juga diduga sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah
kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat ini.
Analisa umum putusan pengadilan HAM
ini
mencakup aspek-aspek
pokok yang berkaitan dengan terbuktinya perkara, pertanggungjawaban terdakwa,
pemidanaan, dan aspek reparasi kepada korban. Persoalan-persoalan pokok
tersebut pada prinsipnya saling terkait satu sama lain yang akan menunjukkan
hasil pengadilan HAM yang telah berjalan.
299
Semua surat dakwaan yang diajukan di pengadilan HAM adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan dengan berbagai bentuk kejahatannya. Kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah salah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil. Hal ini berarti bahwa untuk
membuktikan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, disamping membutikan
adanya bentuk kejahatan yang terjadi, misalnya pembunuhan, juga harus
membuktikan bahwa perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan terhadap
penduduk sipil yang dilakukan secara meluas atau sistematik. Serangan secara
langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang
dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa
atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.303
Ketidakberhasilan membuktikan dakwaan atau perbedaan putusan dalam
menentukan ada tidaknya perbuatan yang termasuk kejahatan kemanusian sangat
tergantung dari penafsiran atas unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana disebutkan diatas. Dalam ketiga kasus yang terjadi, putusan-putusan
menunjukkan adanya perbedaan kesimpulan meskipun kasusnya adalah sama atau
setidaknya merupakan bagian dari peritiwa yang terjadi.
Dalam kasus Timor-Timur, keseluruhan putusan pengadilan menyatakan
bahwa telah tejadi pelanggaran HAM yang berat terhadap semua peristiwa yang
didakwakan namun tidak semua terdakwa dapat dimintai pertanggung jawaban
atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat tersebut. Kejahatan terhadap
303
Lihat pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
300
kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan lukanya
orang terbukti secara sah dan meyakinkan. Putusan pengadilan tingkat pertama,
meskipun dapat dibuktikan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, terdapat pola
pengungkapan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, terbukti ada
kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi tidak mampu menunjukkan adanya
gambaran utuh mengenai pola dan keterkaitan antara milisi, aparat sipil, polisi
maupun militer.304 Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa kebijakan
penyerangan yang mengakibatkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan
tersebut bukan hanya kebijakan organisasi masyarakat yang pro integrasi secara
mandiri tetapi terkait erat dengan kebijakan tertentu untuk memenangkan
kelompok pro integrasi dengan tujuan korban yang spesifik. Kejahatan terhadap
kemanusiaan yang terjadi meskipun dilakukan olah kelompok pro integrasi, tetapi
atas dukungan dan merupakan kelanjutan atas kebijakan pemerintah untuk
mendukung atau mempertahankan Timor-timur sebagai bagian dari negara
kesatuan Republik Indonesia.
Kelemahan terbesar dalam kasus Timor-Timur adalah tidak terbongkarnya
kejahatan yang dilakukan secara sistematik dan meluas, termasuk pembuktian atas
adanya unsur kebijakan negara. Hampir disemua putusan dalam pengadilan HAM
tidak mampu membuktikan bahwa kejahatan yang terjadi adalah bagian dari
kebijakan negara. Kasus Timor-Timur yang sampai akhir persidangan mampu
304
Terdapat dua putusan yang menunjukkan bahwa kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah serangan antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat
lainnya yaitu yang pro kemerdekaan dengan yang pro integrasi. Penyerangan ini
melepaskan faktor dukungan aparat birokrasi sipil, institusi militer maupun institusi polri
dalam setiap pola penyerangan yang dilakukan sehingga kebijakan penyerangan yang
dilakukan adalah kebijakan organisasional dari masyarakat tersebut.
301
menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan terhadap
kemanusiaan pada akhirnya hanya mampu membuktikan bahwa kejahatan
tersebut dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan tidak ada sangkut pautnya
dengan policy negara pada saat itu.
Penyempitan locus delictie yang hanya didasarkan pada saat peristiwa
terjadi memberikan sumbangan besar untuk terpenuhinya unsur-unsur kejahatan
terhadap kemanusiaan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Tanjung Priok.
Pemberkasan perkara dengan membagi-bagi terdakwa mengakibatkan adanya
ketidaklengkapan melihat kasus secara keseluruhan dan menyempitkan luasan
kejahatan yang terjadi karena pada akhirnya majelis hakim hanya terpaku pada
berkas perkara yang ditanganinya. Sementara kejahatan yang terjadi ada
keterkaitan yang sangat jelas. Tidak pernah dibuktikan atau dijelaskan sebagaii
unsur penting dalam kejahatan kemanusiaan tentang unsur “sebagai bagian”
kajahatan yang seharusntya majelis hakim melihat bahwa kejahatan yang terjadi
merupakan bagian dari rangkaian peristiwa lainnya.
Pemaknaan atas pengertian “serangan” juga seringkali dirancukan dengan
pengertian “bentrokan” sehingga menghilangkan unsur adanya niat atau
kesengajaan untuk melakukan kejahatan. Perbedaan hasil penyimpulan adanya
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pada satu sisi dinyatakan adanya serangan
yang berarti ada perencanaan dan disisi lain yang terjadi adalah bentrokan
sehingga hanya merupakan peristiwa yang sifatnya spontan dan terdapat unsur
302
pembelaan diri. akhirnya mengakibatkan timbulknya korban jiwa dari penduduk
sipil.305
Terdakwa yang diajukan ke Pengadilan HAM Timor-Timur dari kalangan
sipil, polisi maupun militer. Dari jumlah tersebut,keseluruhannya pada akhirya
dinyatakan bebas dan tidak bersalah. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat
kegagalan yang cukup serius dari proses penuntutan terhadap para terdakwa.
Para terdakwa dalam pengadilan HAM
untuk kasus Timor-timur,
didakwa dengan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000. Pasal tersebut adalah pasal yang
mengatur tentang tanggung jawab Komando dan tanggung jawab atasan. Namun
dalam beberapa dakwaan lainnya, para terdakwa juga didakwa dengan pasal 55
ayat (1) KUHP tentang penyertaan.
Kegagalan untuk menghukum terdakwa dalam berbagai kasus putusan
banyak disebabkan karena tidak terbuktinya para terdakwa yang didakwa dengan
pasal 42 tersebut. Dalam kasus Timor-Timur, pada tingkat pertama, sebagian
besar putusan pengadillan HAM ad hoc kasus Timor-timur menyatakan bahwa
pelaku lapangan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah anggota milisi yang
berada di masing-masing lokasi dimana peristiwa kejahatan kemanusiaan terjadi,
305
Unsur-unsur dari serangan adalah 1) tindakan baik secara sistematis atau
meluas, yang dilakukan secara berganda (multiple commission of acts) yang dihasilkan
atau merupakan bagian dari kebijakan atau organisasi, tindakan berganda berarti harus
bukan tindakan yang tunggal atau terisolasi, 2) “serangan” baik secara meluas atau
sistematis tidaklah semata-mata “serangan militer” seperti yang diatur dalam Hukum
Humaniter Internasional, Tetapi, serangan dapat juga berarti lebih luas misalnya
kampanye atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil, Serangan tersebut tidak
hanya harus melibatkan angkatan bersenjata, atau kelompok bersenjata dan 3) persyaratan
dianggap terpenuhi jika penduduk sipil adalah obyek utama dari serangan tersebut. Lihat
Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang Berat dan
Pertanggungjawaban Komando, Mahkamah Agung RI, 2006, Hal. 24.
303
dan beberapa putusan yang menunjukkan partisipasi terdakwa atau keikutsertaan
terdakwa dalam pelanggaran HAM yang berat tersebut dan adanya anggota TNI
yang terlibat sebagai pelaku dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kasus Timor-timur, dari 12 putusan pengadilan tingkat pertama,
menimbulkan pertanggung jawaban para terdakwa yang berbeda dan memberikan
hukuman terhadap 6 terdakwa. Secara umum ada empat pola hubungan atas
pertanggungjawaban para terdakwa dikaitkan dengan terjadinya kejahatan
terhadap kemanusiaan. Pertama, terbuktinya bawahan terdakwa yang melakukan
pembiaran atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua bahwa para
terdakwa tidak ada hubungan dengan pelaku pelanggaran HAM yang berat baik
de facto maupun de jure. Ketiga adalah adanya “kelalaian” yang dilakukan oleh
para terdakwa sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
Keempat, putusan pengadilan menunjukkan bahwa terdakwa bertanggungjawaban
karena sebagai komandan atas pelaku pelanggaran HAM yang berat. Namun pola
ini berubah pada pemeriksaan tingkat banding dan kasasi dimana hanya 2 (dua)
terdakwa dari kalangan sipil yang tetap dinyatakan bersalah. Dalam putusan
Peninjauan Kembali, Abilio JO Soares dan Eurico Guterres bahkan kemudian
dibebaskan karena mengajukan bukti baru yang mampu mengubah keputusan
Mahkamah Agung semula.306
306
Abilio dalam memori peninjauan kembalinya mengajukan dua novum (bukti
baru) yakni bahwa saat hasil jajak pendapat diumumkan mulai terjadi kekacauan dan
penembakan, dan saat itu pengendalian keamanan diambil alih oleh Panglima Kodam IX
Udayana Adam Damiri. Bukti lain yang diajukan Abilio adalah sejak bulan Mei 1998
posisinya sebagai gubernur mulai digoyang oleh ABRI, karena dianggap menghambat
upaya penyelesaian masalah Timtim dengan pendekatan militer. Abilio juga pernah
diminta oleh Panglima ABRI agar mengundurkan diri sebagai gubernur, namun
permintaan itu ditolak. Posisi saya selaku gubernur digoyang oleh tentara. Tentara mulai
304
Terbuktinya kejahatan terhadap kemanusiaan berpengaruh terhadap para
posisi terdakwa juga terlihat pada para terdakwa yang didakwa dengan pasal
tentang tanggung jawab komandan dan tanggung jawab atasan. Berdasarkan atas
keputusan yang dikaitkan dengan pertangungjawaban para terdakwa, terdapat
beberapa masalah yang muncul dalam keputusan tersebut. Pertama, adanya
ketidakjelasan pembedaan antara penggunaan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000
dengan dengan pasal 55 ayat (1) kesatu tentang penyertaan. Tangung jawab
komando dan atasan dan tindakan penyertaan (joint criminal enterprise) adalah
berbeda. Penggunaan dan penerapan secara salah akan mengakibatkan kesulitan
pembuktian dan pertanggungjawaban terdakwa.
Kedua, terdapat ketidaksamaan dalam menafsirkan pengertian tentang
delik pembiaran (omission), dalam hal ini tidak melakukan tindakan yang layak
dan diperlukan untuk mencegah dengan ada atau tidaknya tindakan yang
dilakukan oleh komandan atau atasan. Kegagalan bertindak (failure to act) harus
diartikan dengan tidak melakukan tindakan sama sekali atau tidak melakukan
tindakan yang layak sehingga komandan harus bertanggung jawab. Hal ini untuk
dapat menentukan secara tegas tentang aspek-aspek pembelaan diri pasukan,
tindakan-tindakan yang proporsional dan tindakan-tindakan yang dikategorikan
dalam satu prosedur operasi.
Ketiga, tidak diajukannya pelaku lapangan ke pengadilan akan
mempengaruhi proses pembuktian kesalahan terdakwa yang didakwa dengan
merekayasa perusakan mobil dinas gubernur oleh orang-orang suruhan mereka. Abilio
juga didemo sejumlah orang yang dipimpin Eurico Guterres, yang menurut jaksa adalah
anak buah Abilio.
305
pasal tentang tanggungjawab komandan atau atasan. Kasus Timor-timur
memperlihatkan bahwa terbuktinya pelanggaran HAM yang berat namun
dilakukan oleh pelaku yang tidak bisa dibuktikan adanya keterkaitan dengan
terdakwa menimbulkan tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Pemidanaan terhadap pihak yang dinyatakan bersalah dalam pengadilan
HAM ad hoc kasus Timor-timur tidak sepenuhnya diterapkan karena adanya
putusan yang menghukum para para terdakwa dengan hukuman di bawah
minimum pemidanaan. Penjatuhan pidana yang dibawah ketentuan ini meyulut
kontroversi karena dianggap sebagai sebuah putusan yang mendobrak ketentuan
yang sudah jelas dalam undang-undang .
Dalam Putusan Pengadilan HAM ad hoc kasus Timor-timur dari 6 orang
yang dinyatakan bersalah hanya satu orang saja yang dihukum sesuai batas
minimum UU No. 26 tahun 2000 yaitu 10 tahun, selebihnya dihukum antara 3
tahun sampai dengan 5 tahun. Di tingkat banding, 6 orang yang dinyatakan
bersalah di tingkat pertama hanya 2 yang tetap dinyatakan bersalah yang duaduanya dari sipil, satu terdakwa tetap dengan hukuman yang sama dan satu lagi
mengalami pengurangan hukuman dari 10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini berarti
bahwa putusan yang dijatuhkan kesemuanya dibawah hukuman minumum yang
ditentukan UU. Bahkan ditingkat kasasi, Mahkamah Agung juga tetap
memberikan putusan 3 tahun penjara terhadap Abilio tetapi mengkoreksi putusan
terhadap Eurico Guterres yang menghukum dengan 10 tahun penjara.
Argumentasi hakim mengenai hukuman yang jauh dibawah ketentuan
undang-undang adalah berkaitan dengan berbagai pertimbangan mengenai konsep
306
keadilan dan penghukuman kepada korban. Majelis hakim menyatakan bahwa
penjatuhan hukuman kepada terdakwa harus disesuaikan dengan tingkat kesalahan
atas peranan terdakwa dalam kejahatan yang terjadi. Hakim secara tegas
menyatakan bahwa hakim bukan merupakan corong undang-undang yang harus
mematuhi setiap ketentuan dalam undang-undang.
Argumen yang lebih yuridis disampaikan oleh majelis hakim dalam kasus
Timor-timur untuk terdakwa Soedjarwo yang dihukum 5 tahun penjara. Dalam
argumentasinya majelis hakim menyatakan bahwa lama penjatuhan pidana yang
dibawah ketentuan minimal dalam UU ini dikaitkan dalam asas atau prinsip dalam
hukum pidana Indonesia yaitu mengenai ketentuan atas dua ancaman hukuman
yang terhadap sebuah delik yang sama dikenakan hukuman yang paling
meringankan terdakwa (pasal 1 ayat 2 KUHP). Argumentasi yang juga
berperspektif hukum dikemukakan bahwa dalam praktek peradilan internasional
tidak pernah ada ketentuan hukuman minimal dan beberapa putusan
pengadilannya juga memutuskan hukuman yang sesuai dengan tingkat kesalahan
terdakwa.
Mengenai putusan yang dibawah ancaman minimal ini Mahkamah Agung
(Mahkamah Agung) terkesan mendua karena dalam terdapat argumentasi yang
berbeda dalam mensikapi putusan dibawah UU. Insitusi tertinggi lembaga
pengadilan ini tidak mempunyai sikap yang tegas. Putusan MA terhadap Abilio
Soares tetap 3 (tiga) tahun penjara, sementara untuk Eurico Guterre yang ditingkat
banding yang dihukum 5 tahun penjara dikembalikan ke 10 tahun.
307
Fakta ini menunjukkan bahwa norma yang terkandung dalam UU,
meskipun dinyatakan secara tegas, ternyata tidak dapat berlaku secara efektif
bahkan seringkali disimpangi oleh lembaga peradilan itu sendiri. Ketentuan ini
dapat dikatakan sebagai ketentuan yang tidak berlaku dan telah menjadi preseden
bahwa ketentuan ini telah bisa disimpangi.
Pada bagian terakhir dari disertasi ini penulis ingin menyampaikan bahwa
Sebagai suatu negara hukum yang menghormati hak asasi manusia kondisi yang
disebutkan dalam uraian terdahulu seharusnya tidak terjadi, kegagalan dalam
memberikan keadilan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia dapat
dipandang sebagai kegagalan dalam memberikan penghormatan terhadap hak
asasi manusia sebagai salah satu unsur yang harus ada di dalam negara hukum,
demikian juga dengan teori hak asasi manusia dimana pelanggaran hak asasi
manusia berat merupakan suatu kejahatan yang luar biasa yang harus
mendapatkan hukuman sebagai pertanggungjawaban atas pelanggaran terhadap
hak asasi manusia tersebut. Dalam kaitannya dengan teori hukum pembangunan
tentunya hukum harus membangun masyarakat, akan tetapi dengan kegagalan
penyelesaiaan pelanggaran hak asasi manusia berat dan kegagalan dalam
memberikan keadilan bagi para korban maka hukum belum dapat
berperan
sebagai sarana pembangunan, dan tujuan dari sitem peradilan pidana yaitu untuk
menghukum pelaku kejahatan juga tidak tercapai, sedangkan dalam kaitannya
dengan pelanggaran hak asasi manusia berat, yang secara yuridis formal apabila
Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma yang berkaitan dengan pelanggaran hak
asasi manusia berat tersebut, maka Indonesia tidak terikat dengan Statuta Roma,
308
tetapi sebagai
negara yang beradab maka Indonesia berkewajiban untuk
menjalankan norma-norma yang dipandang baik dalam hubungan internasional
dan hukum internasional, sekalipun Indonesia tidak terikat pada Perjanjian
Internasional tersebut.
309
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dengan apa yang diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka kesimpulan yang
diambil dalam penelitian ini adalah :
1.
Pengaturan tentang pelanggaran berat hak asasi manusia berat
Undang-Undang
No 26 tahun 2000, tidak cukup
dalam
memadai untuk
menangani pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi,
termasuk
kelemahan hukum acaranya dan ketidakjelasan dalam menerapkan peraturan
perundangundangan seperti
tidak lengkapnya "element of crimes" dari
kejahatan yang diatur. Penerapan hukum acara, yang meskipun terdapat
aturan yang bersifat khusus, namun secara umum masih mengacu pada
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyulitkan
dalam proses pembuktiannya, sehingga diperlukan ketentuan yang mampu
memberikan efektivitas dalam penuntutan kejahatan-kejahatan serius
tersebut.
2.
Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat dalam sitem peradilan
pidana Indonesia berdasarkann Undang-Undang No 26 tahun 2000 belum
dapat menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban pelanggaran
hak asasi manusia berat di Timor-Timur.
310
B. Saran
1.
Untuk melengkapi ketentuan peraturan perundang-undangan pelanggaran
hak asasi manusia berat perlu dilakukan perbaikan atas Undang-Undang No
26 Tahun 2000 yang meliputi baik hukum materil dan hukum formil.
2.
Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban pelanggaran
hak asasi manusia di Timor Timur
memberikan kompensasi, restitusi
Pemerintah Indonesia segera
dan rehabilitasi
sesuai hasil
pelaksanaan Memorandum of Understanding antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Timor Leste.
311
Daftar Pustaka
A. Buku
Agustinus Edy Kristianto, A.Patra M.Zein, Panduan Bantuan Hukum Di
Indonesia Pedoman Anda memahami dan Menyelesaikan masalah Hukum ,
Ausaid,YLBHI,PSHK dan IALDF,Jakarta, 2009.
A.Masyur Effendi, Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
A. Prayitno,Et Al,
Pendidikan kebangsaan,Demokrasi dan Hak Asasi
Manusia,Penerbit Universitas Trisakti,Jakarta, 2001.
Abdul Manan, Demi Keadilan, catatan 15 tahun Elsam Memperjuangkan HAM,
Penerbit Elsam 2008.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Indonesia, Studi
Sosio-Legal atas konstituante 1956-1959,Grafiti, Jakarta,1995.
Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII
,Denpasar,2003
_______, A.Patra M.Zein, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia,
Kelompok Kerja Ake Arif, Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2006.
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM:
Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta 2005.
Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak - Hak
Budaya Insist Press, 2003.
Ekonomi, Sosial dan
Allison Morris dan Warrant Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of
Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, Edited
by Heather Strang and John Braithwaite, The Australian National University,
Asghate Publishing, Ltd, 2000.
Baderin Mashood A, International Human Rights and Islamic law, Oxfords
University Press,2003
Baehr Peter R., Human Rights Universality in Practise, Macmillan Press Ltd,
London, 1999.
312
Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945,FH.UII Press Yogyakarta,2004.
-----------, Dimensi-Dimensi Hukum Hak Asasi Manusia,Butir-Butir Pemikiran
dalam rangka Purnabakti Prof.Dr.H.Rukmana Amanwinata,S.H.MH.Pusat
Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,2009.
-----------, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum,
Alumni, Bandung 2001.
Bassiouni, M.Cherif, Report of the Independent Expert on the Right to
Restitution.Compensation. and Rehabilitation for Victims of Grave Violation
of human Rights and Fundamental Freedoms, E/CN.4/1999/65, Geneva: office
of the United nation High Commissioner of Human Rights.
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Penerbit Alumni Bandung,2000.
Boven Van Theo, Mereka Yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi,
Kompensasi Dan Rehabilitasi, Elsam 2002.
BP 7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, Penerbit BP 7. 1996.
Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, London : Oxford dan
ELBS,1987.
Bronkhorst, Daan, Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran
di Berbagai Negara, Jakarta, ELSAM, 2002.
Cassese Antonio, Hak Asasi Manusia, di Dunia yang Berubah,Yayasan Obor
Indonesia,Jakarta, 1994.
Ceunfin Frans, Hak-Hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat hukum dan
Filsafat Politik, Penerbit Ldaler,Maumere,2004.
Cohen David, Dimaksudkan Supaya gagal Proses Persidangan Pada Pengadilan
Hak Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional
Justice, Juli 2004.
Cohen David, Fadillah Agus, Widati Wulandari, Pengadilan Setengah Hati :
Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Kasus Timor-Timur,
Elsam, 2008.
Conde, H.Victor, A Handbook of International
Lincoln University of Nebraska Press, 1999.
313
Human Rights
Terminology,
C.F.G. Sunaryati hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke20, Alumni,Bandung,1994.
Djoko Sutono, Hukum Tata Negara (materi kuliah yang dihimpun oleh harun Al
Rasjid), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Davidson Scott, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Grafiti Pers, 1992.
David Cohen, Dimaksudkan Supaya Gagal, Proses Persidangan pada Pengadilan
Hak Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional
Justice, Juli 2004.
Dewi Fortuna Anwar et al, Violent internal Conflict in Asia Pacifics,
Histories,Political Economies and Policies, yayasan Obor Indonesia, LIPI,
Lasema-CNRS,KITLV-Jakarta,2005.
Dicey.A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Ninth
Edition, Macmillan and Co Limited ST Martins Street, London 1952.
Djokosoetono, Hukum Tata Negara,Ind,Hill,Co,Jakarta, 2006.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,Hak Asasi Manusia Miskin Dukungan
Politik, Catatan Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
ELSAM, 2008.
---------, Kasus-Kasus Hukum yang Terkait dengan Pengadilan Pidana
Internasional Bagi Bekas Negara Yugoslavia, Elsam, 2004.
--------, Kasus-Kasus Hukum yang terkait dengan
Internasional Bagi untuk Rwanda, Elsam, 2006.
Pengadilan
Pidana
---------, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Position
Paper Advokasi RUU KUHP Seri3, 2005.
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif Vis a Vis Peradilan Konvensional Dalam
Hukum Pidana Reorientasi Serta Prospeknya di Indonesia, Pidato
pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Pidana, Hukum Pidana
Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus, Fakultas Hukum Universitas Trisati,
Jakarta,19 Agustus,2009.
E
Saefullah Wiradipradja,Tanggungjawab
Pengangkutan
Udara
Internasional
Liberty,Yogyakarta, 1989
314
Pengangkut Dalam Hukum
Dan
nasional,
Penerbit
Freeman
Mark,
Komisi-Komisi
Prosedural,ELSAM,Jakarta,2008.
Kebenaran
dan
Kepatutan
Friedman.W., Legal Theory, Second Edition, Stevens & Sons, Limited,1949.
F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Geoffrey Robinson, Timor-Timur 1999, Kejahatan Terhadap Umat Manusia,
Sebuah laporan yang dibuat berdasarkan permintaan Kantor Komisaris Tinggi
Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, University California Los
Angeles, diterbitkan oleh Perkumpulan Hak dan Elsam Dili dan Jakarta, 2003
Hayner B Priscilla, Kebenaran Tak Terbahasakan, Refleksi Pengalaman KomisiKomisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Elsam 2005.
Samuel Gultom, Mengadili Korban, Praktek Pembenaran Terhadap Kekarasan
Negara, ELSAM ,2003.
------------, Mencari akar dan Pandangan Bersama,ELSAM, Jakarta, 2002.
Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati,
Jakarta, 2001.
Hingorani,R.C. Modern International Law, Oxford and IBH Publishing Co.New
Delhi, 1982.
Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy
Symonides (editor), Human Rights: Concept and Standards, Paris: UNESCO,
2000.
Hirst Megan, Kebenaran Yang Belum Berakhir, Kajian Terhadap Laporan
Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste Tentang
Kejahatan Yang Terjadi Pada Tahun 1999, International Center For
Transtitional Justice.
Human Rights Watch, Genosida,Kejahatan Perang,dan Kejahatan Terhadap
kemanusiaan,Saripati Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam
Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda Jilid I, ELSAM,Jakarta,2007.
Human Rights Watch, Genosida,Kejahatan Perang,dan Kejahatan Terhadap
kemanusiaan,Saripati Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam
Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslaviaa Jilid II,
ELSAM,Jakarta,2007.
Ifdhal Kasim, , Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti, Briefing Paper Series
tentang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi,no 1,1 agustus 2000.
315
----------,Apakah, Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi, Briefing Paper Series
tentang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi,no 1,1 agustus 2000.
Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan,1998.
IGM. Nurdjana, Sistem Hukum Piana dan Bahaya Laten Korupsi “ Perspektif
Tegaknya
Keadilan
Melawan
Mafia
Hukum,
Pustaka
Pelajar,Yogyakarta,2009.
Jimly Asshiddiqie,Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Serpihak
Pemikiran Hukum,Media, dan HAM,Editor Zainal A.M.Husein,Penerbit
Konstitusi Press,Jakarta,2005.
Joeniarto,Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, 1968.
Komnas perempuan dan Kelompok kerja Pengungkap Kebenaran,
Memperkenalkan Per Memoriam ad Spem Sosialisasi laporan Akhir Komisi
kebenaran dan persahabatan (KKP)-Indonesia Timor-Leste.
Kaligis, O.C., Peradilan (Politik ) HAM di Indonesia 1, Jakarta, OC Kaligis &
Associate, 2002.
----------------, Peradilan Politik HAM di
Associate, 2002.
Indonesia 2,
Jakarta, OC Kaligis &
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kajian Perlindungan Hak Asasi Manusia
dalam RUU KUHPidana,Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2006.
Kuntjoro Purbopranoto,Hak-Hak
Paramita,Jakarta,1979.
Asasi
Manusia
dan
Pancasila,Pradnya
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan
Negara, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003.
Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Monograf Pengantar Metode Penelitian dan
Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Bandung, Januari 2005.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawabab
Komando, Mahkamah agung Republik Indonesia, 2006.
316
Manfred Nowak, Pengantar ada Rezim HAM Internasional, Pustaka Hak Asasi
Manusia Raoul Wallenberg Intitute, 2003.
Masyur Effendi, Hak Asasi Manusia,Ghalia Indonesia, Jakarta 1993.
Mas Achmad Santosa, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan,
MelibS, Jakarta, 2000.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Utama,Jakarta,1992.
Ilmu
Politik,
Gramedia
Pustaka
------------, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung,
cetakan ketujuh, 1990.
Mochtar Kusumaatmaja & Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Penerbit Alumni Bandung,2003.
-----------------, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya
Tulis, Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni,
Bandung, 2004.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Hukum Tata Negara, FH-UI dan CV.Sinar
bakti, Jakarta,1998.
Moeljano,Asas-Asas hukum Pidana, Rineka Cipta,2008.
Mordiono et al, Cita negara persatuan Indonesia, BP7 Pusat, Jakarta,1996.
Muhammad Tahir Azhary, Negara hukum, Suatu Studi Tentang prinsipPrinsipnya, Dilihat dari Segi hukum Islam, Implementasinya Pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana,jakarta,2004.
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,
The Habibie Center, Jakarta 2002.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, 1995.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama Bandung, 2005
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 1984.
317
Nickel.W.James, Hak Asasi Manusia Making Senses of Human Rights Refleksi
Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka
Utama, 1996
Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung 2004.
Otje Salman dan Eddy Damian (Editor), Konsep-Konsep Hukum Dalam
pembangunan, Pusat studi Wawasan nusantara,Hukum dan pembangunan ,
Bekerjasam dengan PT Penerbit Alumni,Bandung,2002.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia,1983.
Paul S baut & Beny K Harman K, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia,
Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998.
Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII
,Denpasar,2003
Philipus M Jhon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu
Surabaya, 1987.
Piers Pigou, Menangis Tanpa Air Mata, Demi Keadilan dan Rekonsiliasi di Timor
Leste, Perspektif dan Harapan Komunitas, International Trasitional Justice,
2004.
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, diterbitkan
oleh Lembaga Kriminologi UI Program Penunjang bantuan Hukum di
Indonesia, 1983.
Ratner Steven R & Abrams Jason S, Melampaui Warisan Nuremberg,
Pertanggungjawaban untuk Kejahatan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Internasional,ELSAM. 2008.
Robertus Robert, Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia, Sebuah
Refleksi Kritis, Elsam, 2008.
Romli Atmasasmita, Pengantar
Aditama,Bandung,2000.
Hukum
Pidana
Internasional,
Refika
------------, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II,Hecca Mitra
Utama,2004.
----------, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,Kencana,jakarta,2010.
318
-------------, Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996.
Eksistensialisme
dan
---------,Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996.
Rona K.M.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia ( PUSHAM UII ), Yogyakarta, 2008
Robertson,Geofrey, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan Untuk
Mewujudkan Keadilan Global,Komnas HAM,Jakarta, 2002.
---------, Timor-Timur 1999 Kejahatan Terhadap Umat Manusia,Perkumpulan
HAK dan ELSAM, Universitas California Los Angeles, Juli,2003.
SAHRDC-HRDC,Komnas HAM & Prinsip-Prinsip Paris Sebuah Gugatan,
ELSAM 2001.
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transasi Politik Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2003.
Sriwiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam
RKUHP, Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP,
Jakarta,2007
Starke,JG. Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika,Jakarta,1999.
------------, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika,Jakarta,1997.
Sinta Dewi dan Achmad Gusman Catur Siswandi (editor), Hukum dan
Perkembangan Masyarakat: Suatu Tinjauan kritis atas Perkembangan Hukum
di Indonesia, Tim Editor Kumpulan Karya Ilmiah Para Ahli hukum Dalam
Rangka Purna Bakti di Unpad dan Usia ke 70 Tahun Prof.Dr.H.E.Saefullah
Wiradipradja,SH.LLM.,Bandung 2008.
Soedjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya
Bhakti,Bandung, 2002.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT RajaGrafindo Persada,1994.
Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum,UI P-Press, Jakarta,1984.
Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997.
319
Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Hak asasi manusia Studi Perbandingan
dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern,Tirtama
Indonesia,Jakarta,1987.
Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya,
Yogyakarta, 1988.
Teitel Ruti G, Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif,
Elsam,Jakarta,2004
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta,Cetakan ke 15 tahun 05,1982.
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights : Legal political dilemmas of
Indonesia’s New Order 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1993.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di forum Pengadilan
Asing,Bandung,Alumni, 1999.
Zainudin Maliki, Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi,
Galang Press, Jakarta, 2000
B. Jurnal
Arat, Zehra F Kabaskal, “Forging A Global Culture of Human Rights: Origin and
Prospects of International Bill of Rights”, dalam Human Rights Quarterly A
Comparative and International Journal of the Social Sciences,Humanities,
and Law, Volume 28, Number 2, May 2006, The John Hopkins University.
Asmara Nababan : “Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat:
Belajar dari Pengalaman”, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia,Vol2 No.2.Nopember 2004.
“Constitutional and International Protection of Human Rights Competing or
Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2
Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000
E.Saefullah Wiradipradja, Konsekuensi Yuridis Keanggotaan Indonesia dalam
WTO-GATS dan Pengaruhnya terhadap Industri dan Perdagangan Jasa,
Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol.I No.1 Tahun 2002.
\
Human Rights Law Journal, N.P Engel Publisher, Khel am Rhein, Strasbourg,
Vol 19.No 1, 30 April 1998
320
Human Rights Quarterly A Comparative and international Journal of The Social
Sciences Humanity and Law, Volume 25 Number 4 November 2003, The Jhon
Hopkins University Press.
Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social
Sciences, Humanities, and Law, Volume 25 Number 1, February 2003
Goodhart, Michael, “Origins and Universality in the Human Rights Debates :
Cultural Essentialism and the Chalenge of Globalizations”, dalam Human
Rights Quarterly A Comparative and international Journal of The Social
Sciences Humanity, and Law, Volume 25 Number 4 November 2003, The
Jhon Hopkins University Press.
Komariah Emong Sapardjaja, Mekanisme Nasional Untuk Penyelesaian
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Jurnal HAM, Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia,Vol2 No.2.Nopember 2004.
Mahoney, Paul, “Marvellous Richness of Diversity or Indivious Cultural
Relativism”, dalam Human Rights Law Journal ,Vol.19,No 1,30 April
1998,N.P.Engel Publisher.
Ria Maran, “Hak Asasi Manusia dan Politik Internasional”, Jurnal Demokrasi
dan HAM
Vol.1, No 3, Maret-Juni 2001.
Rina Rusman, Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Dilihat Dari Sisi
Hukum Humaniter, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Vol2
No.2.Nopember 2004.
R Herlambang Perdana Wiratama, “Konstitutionalisme dan Hak-Hak Asasi
Manusia,” Human Rights Law Studies Faculty of Law Airlangga University,
Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, vol 20, No 1 Januari 2005
Rudi M Rizki, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan Pidana International Ad
Hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab
Negara dalam Pelanggaran Berat HAM”, Jurnal Hukum Humaniter,
Vol.1.No.2 April 2006, diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan
Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.
Scott Walker & Steven C, Poe, “Does Cultural Diversity Affect Countries
Respect for Human Rights?”, Human Rights Quarterly A Comparative and
International Journal of The Social Sciences, Humanities,and Law,Volume 24
Number 1 February 2002.
321
Short, Sonia Haris, “International Human Rights Law: Imperialist, Inept and
Ineffective Cultural Relativism and the UN Convention on the Rights of the
Child”, dalam Human Rights Quarterly, A Comparative and International
Journal of The Social Sciences, Humanities, and Law, Volume 25 Number 1,
February 2003.
C. Artikel dan laporan
Aminuddin, makalah Negara Hukum Rule of Law dan Negara Hukum Rechtstaat,
Materi Kuliah Hukum Tata Negara Lanjutan Pada Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 19 Maret 1999.
Asmara Nababn,Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: Belajar Dari
Pengalaman, Jurnal HAM, Komnas HAM,Vol 2,tahun 2004
Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php
................., Penerapan Hukum Internasional Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat di Indonesia.
Berita Kontras No 11/XI/2003
--------------, No 02/III-IV/2004
--------------,N0 04/VII-VIII/2004
BP7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, 1996.
Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia,Volume I No I Tahun 2003, Elsam 2003.
Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume IV No I Tahun 2006,
Elsam,Jakarta,2006.
Dignitas, Jurnal hak Asasi Manusia, Volume III No 1 Tahun 2005, Elsam Jakarta,
2005.
Dadan Ramdhan, Mendiskusikan Konsep dan Praktek HAM di Sekolah
Farijmei A.Gofar, Asinergisitas Pemeriksaan pendahuluan Perkara Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang Berat, ,Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam,
Volume IV No I Tahun 2006.
Hukum Online, 05,07,2006, http://www.hukumonline.com/; Keterangan Ahli:
Undang-Undang KKR Banyak Cacat, temu_eropa Digest Number 863, Zo, 9
juli, 2006 0:39
322
Ifdhal Kashim , Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional .
Institut Ecata-INPI Pact,Hak Asasi Manusia dalam Tajuk,1997.
Jurnal HAM,Vol 4 Th 2007, Komisi nasional Hak Asasi Manusia, 2007.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Laporan Tahunan, Jakarta 2006
Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia Timor Leste
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif
Budaya
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.
Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia Timor Leste
-------------, Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat,
1999.
-------------, Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, 2000
---------------,Laporan Tahunan, Jakarta 2006
Kompas Online, Senin 25 Agustus 1997, Pelaksanaan HAM Belum Jadi Faktor
Integrasi
Kontras, Pergulatan Kemanusiaan dan Keadilan, 2002.
Laporan Diskusi Meja Bundar Kelompok Kerja masyarakat Transitional Justice,
“Pentingnya Pengesahan Secepatnya ICCPR dan ICESCR untuk
meningkatkan Perlindungan dan Penegakan HAM”, Kelompok Kerja
Masyarakat Transitional Justice, Infid, Elsam, 2002.
Priyambudi Sulistiyanto, Keadilan Transisional di Indoneisa Pasca Soeharto:
Kasus Pembantaian Tanjung Priok,, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia ,
Elsam, Volume IV No I Tahun 2006.
Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary
Conclusive Report”, 4 Juli 2002.
Rangkuman Lokakarya Hak Asasi Manusia VVV, Quo Vadis Pemajuan dan
Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Denpasar 2003
Romli Atmasasmita,
Mengkritisi pembentukan komisi kebenaran dan
Persahabatan (KKP) Indonesia dan Timor Leste
323
Kompas, Senin, 14 Agustus 2006.
-------------, Sabtu, 19 Agustus 2006.
Propatria, Indonesia di Tengah Transisi, Propatria, 2000.
Satya Arinanto, “ Demokrasi berdasarkan Konstitusi: Mungkin Terjelma dalam
Realita.” Artikel dalam majalah Hukum dan Pembangunan, No 3 tahun
XXXIII,FH UI, Jakarta, 1993.
Sunaryati Hartono, “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca tahun
2003”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan nasional VII Tema
Penegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Bekelanjutan diselenggarakan
oleh: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Denpasar 14-18 Juli 2003.
Sutandyo Wignjosubroto,Kursus Hak Asasi Manusia untuk advokat,Elsam 2005.
Vratislav Pechota, Kovenan Hak Sipil dan Politik dalam Materi Training Hukum
dan HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh
Pusham Universitas Islam Indonesia, bekerjasama dengan University of Oslo
Norway, Yogyakarta, 22-24 September 2005
D. Deklarasi dan Pedoman Dasar
Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for
Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations of International Humanitarian Law
Universal Declaration of Human Rights, 1948
Vienna Declaration 1993
E. Peraturan Perundangan
Undang-Undang Dasar 1945
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia Tentang Hak asasi manusia dan Piagam Hak asasi manusia
Undang-Undang No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
324
Undang-Undang no 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi International Convention on
the Elimination of All forms of Racial Discrimination.
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000-2004
Undang-Undang No 27 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 Tahun 1993 tentang Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia
Keputusan Presiden No 129 tentang rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
Tahun 1998-2003
Keputusan Presiden No 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia Tahun 2004-2009
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Sinar Grafika,
2005.
Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia.
F. Ensiklopedi
Badudu-Zein, Kamus Umum bahasa Indonesia, Pustaka Sinar harapan, Jakarta,
2001.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, abridged sixth edition, West
Publishing, St. Paul, MN, USA, 1998
United Nations, Human Right Question and Answer, New York.United Nation
Department of Public Information, 1993
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta,
1993.
Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster inc., Publishers
Springfield, Massachusetts,USA.
325
----------New Twentieth Century Unabridged Dictionary, Second Edition, Prentice
Hall Press, New York, 1972.
326
327
Download