BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak asasi manusia berat. Delapan belas (18) perkara yang telah dihadapkan ke pengadilan hak asasi manusia, yang terdiri atas Dua belas (12) perkara pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur, empat (4) Perkara peristiwa Tanjung Priok dan dua (2) Perkara pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura ,Papua tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan rasa keadalan khususnya bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut. Pengadilan hak asasi manusia terbentuk tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi saat itu, baik politik nasional maupun internasional.1Dinamika politik yang terjadi pada saat itu menghendaki agar pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pengadilan hak asasi manusia. Pembentukan undang-undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa-bangsa, serta sebagai tanggung jawab moral dan hukum dalam melaksanakan Deklarasi 1 Farijmei A.Gofar, Asinergisitas Pemeriksaan pendahuluan Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, ,Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006.hlm 105. 1 Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.2 Pelanggaran hak asasi manusia diselesaikan melalui mekanisme dalam pandangan para pakar dapat pengadilan, dan komisi kebenaran, untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dengan pengadilan dimaksudkan untuk menjunjung rule of law dan keadilan.3 Undang-Undang No 26 tahun 2000 mempunyai menyelesaiakan pelanggaran hak asasi manusia di mandat untuk Indonesia, dengan kewenangannya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia barat di Indonesia, tetapi pada tatanan das sein tidak ada satupun pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang dijatuhkan sanksi oleh Pengadilan HAM , yang secara hukum berarti tidak pernah terjadi Pelanggaran HAM, sedangkan pada tatanan das sollen diatur apa saja yang merupakan Pelanggaran HAM Berat yang dituangkan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000, yang meliputi kajahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Dengan unsur-unsur kejahatannya yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000. Perbedaan pandangan dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat selalu terjadi antara Komnas HAM, Jaksa Penuntut Umum, serta Hakim dalam menyikapi pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Indonesia, yang dapat 2 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia.. 3 Priyambudi Sulistiyanto, Keadilan Transisional di Indoneisa Pasca Soeharto: Kasus Pembantaian Tanjung Priok,, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006.hlm 20 2 dilihat dari proses bergulirnya kasus pelanggaran HAM dari proses penyelidikan di Komnas HAM sampai dengan putusan pengadilan HAM di Pengadilan. Tahapan penyelidikan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah kewenangan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang No 39 tahun 1999 yang hasilnya selalu merekomendasisan adanya pelanggaran HAM. Komnas HAM dalam menjalankan perannya melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang dibuktikan dengan rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM dalam kasus-kasus hak asasi manusia khususnya Kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura yang selalu menyatakan adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus-kasus tersebut. Kejaksaan selalu menuntut adanya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tuntutannya dan selama ini dikarenakan tidak ada pilihan bagi kejaksaan dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat selain dengan tuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan, dikarenakan hanya hal tersebut yang dapat dipergunakan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000, selain ketentuan mengenai Genosida yang tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Proses penuntutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat para terdakwa selalu dituntut melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM Berat mulai kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura, yang berarti dari pihak penuntut umum, melihat adanya pelanggaran hak asasi manusia berat, tetapi dalam kasus Adam Damiri Jaksa Penuntut Umum menuntut bebas Adam Damiri, yang dapat 3 diartikan bahwa dalam tuntutan Jaksa tidak melihat adanya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan oleh Adam Damiri dalam kasus Timor-Timur, yang sekalipun dituntut bebas oleh Jaksa, tetapi Hakim pada pengadilan tingkat pertama menjatuhkan hukum 3 tahun atas tuntutan bebas jaksa, yang kemudian dalam proses banding di Pengadilan Tinggi dibatalkan dan Adam Damiri dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Pengadilan Hak Asasi Manusia sendiri dalam berbagai tingkatan kemudian membebaskan semua terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM ad hoc dengan kesemuanya dinyatakan tidak bersalah dan dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Pada sisi lain penyelesaian persoalan melalui komisi kebenaran dan persahabatan yang laporan akhirnya dinamakan Per Memoar A Spem yang berarti melalui kenangan menuju harapan dipandang mengabaikan prinsip-prinsip dalam penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal yang juga mendorong penulis untuk menulis disertasi ini adalah adanya pengakuan pelanggaran hak asasi manusia berat dalam laporan akhir komisi kebenaran dan persahabatan , tetapi tanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut diambi alih oleh negara. Bagaimana meletakan tanggung jawab pidana pada negara, sebagai contoh dalam hal terjadinya pembunuhan yang dalam Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor-Leste yang diberi judul Per Memoar ad Spem yang berarti melalui kenangan menuju harapan, diakui adanya pembunuhan yang dilakukan dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana yang terdapat dalam keempat dokumen yang ditelaah oleh Komisi Kebenaran dan persahabatan yang 4 meliputi Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor-Timur ( KPP HAM ) yang ditunjuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ); dokumen-dokumen persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta,termasuk BAP-BAP Kejaksaan Agung RI;Laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR/Commissao De Acolhimento, Verdade e Reconciliacao) dan; dokumen persidangan dan penyidikan yang dijalankan oleh panel khusus untuk kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili (SPSC/Special Panel for Srious Crimes-Panel Khusus untuk Kejahatan Berat) serta Unit Kejahatan Berat ( SCU/Serious Crimes Unit) di Dili, menemukan bahwa Pelanggaran HAM berat terjadi di Timor-Timur. Dalam Laporannya ketika membicarakan Partisipasi Pelaku Individual Komisi mengatakan : “Tidak ada lembaga yang dapat berfungsi tanpa anggota atau tanpa kepemimpinan. Tindakan-Tindakan kelembagaan yang berujung pada kekerasan tahun 1999 merupakan puncak dari aksi-aksi individu yang turut serta dalam kekerasan. Sesungguhnya, setiap pelanggaran HAM tahun 1999 disebabkan oleh tindakan masing-masing individu. Akan tetapi penentuan tanggung jawab individual atau bahkan tanggung jawab komando, bukan tugas yang diamanatkan kepada komisi. Terlebih lagi pelaku-pelaku individu dalam bentuk kekerasan terorganisasi dan termotivasi politik yang terjadi di Timor-Timur tahun 1999 bertindak dalam konteks kelembagaan. Seperti tersebut diatas, kekerasan tahun 1999 bukan merupakan sesuatu yang acak, terisolasi atau spontan.Sifat yang terorganisasi dan terkoordinasi menunjukan bagaimana masing-masing tindakan individu tertentu perlu dilihat dalam konteks kelembagaan lebih luas ketika peristiwa-peristiwa tahun 1999.”4 berkembang. Konteks ini menjadi dasar untuk menilai tanggung jawab kelembagaan. 4 Per Memoar Ad Spem, Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste,Hal 299 5 Dengan melihat apa yang diungkapkan oleh komisi Kebenaran dan persahabatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya komisi mengetahui bahwa dalam hal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, ada tanggung jawab individu yang melekat pada pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut, akan tetapi komisi tidak memasuki kajian tanggung jawab individu, karena komisi berpendapat bahwa persoalan tanggung jawab individu bukanlah kewenangan dari komisi kebenaran dan persahabatan untuk membahasnya, sehingga komisi hanya menyatakan adanya tanggung jawab negara dalam kasus Timor-Timur 1999 tersebut. Sehingga seandainya persoalan Timor-Timur sudah selesai bagi kedua negara yaitu Republik Indonesia dengan Timor Leste, maka tidak ada tanggung jawab individu, berarti kedua belah pihak telah memulai suatu babak dalam hubungan kedua negara kedepan dengan menerapkan impunitas dengan tidak meminta pertanggungjawaban terhadap individu pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut.Karena prinsip utama dalam penyelesaian pelanggaran Berat Hak Asasi manusia adalah penggantian kerugian yang dialami korban dan hukuman melalui pengadilan terhadap pelakunya, dan kedua belah pihak telah sepakat untuk menerima laporan komisi kebenaran dan persahabatan sebagai suatu proses akhir dalam penyelesaian konflik timor-timur tanpa membawa pelaku individu ke depan pengadilan yang berarti telah menerapkan impunitas sebagai landasan penyelesaian persoalan Timor-Timur. 6 Dalam kajian hukum, Pembunuhan adalah Delik Materil, Delik materil adalah delik yang dalam perumusannya terdapat akibat yang dilarang, karena ditemukan akibat yang dilarang, maka dicari perbuatan yang menjadi sebab dari timbulnya akibat, dalam hal ini andaikan ditemukan perbuatan yang menjadi sebab dari timbulnya akibat, misalkan menembak,menusuk dan lain sebagainya, baru kemudian dicari dan ditemukan orang yang melakukan perbuatan tersebut. Ketika ditemukan orang tersebut seharusnya proses hukum berlanjut sejak penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Per Memoar ad Spem menghasilkan bahwa semua perbuatan individu tersebut diambil alih tanggung jawabnya oleh negara. Bagaimana meletakan tanggung jawab tersebut pada negara, dalam kaitannya dengan sangsi pidana yang harus diiberikan pada individu yang melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter tersebut. Dalam hukum internasional, timbulnya tanggung jawab negara apabila terdapat internationally wrongful act , sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 Rancangan tentang Tanggung Jawab Negara atas Tindakan-Tindakan Salah Secara Internasional (Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful ACT), yang dibuat oleh Internasional Law Commission, yang berbunyi “Every Internationally Wrongful Act of State Entails the international responsibility of that state.”5 5 Pasal 1Draft Articles on Responsibility of States for International Wrongful ACT 7 Dalam hal adanya internasionally wrongful act maka negara bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Akan tetapi menjadi tidak lazim dalam hukum internasional apabila tanggung jawab yang seharusnya melekat pada individu diambil alih oleh negara, dengan meniadakan tanggung jawab pidana pada individu. Dalam hal negara meniadakan tanggung jawab pidana pada individu, maka negara telah melakukan impunity, yaitu ketidak mampuan negara untuk menghukum pelaku pelanggaran hukum khususnya hukum humaniter dan hukum hak asasi manusi. Pada sisi lain apabila negara memutuskan untuk bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hukum humaniter yang terjadi , maka bagaimana menghukum negara secara pidana. Bukankah personifikasi negara terletak pada individu-individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum humaniter tersebut. Katakanlah sebagai wujud tanggung jawab negara, negara melakukan berbagai hal seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran hukum humaniter, bagaimana dengan sangsi pidana yang umumnya terdapat dalam hukum pidana, baik hukum pidana nasional maupun hukum pidana internasional seperti hukuman penjara. Sudah pasti negara tidak dapat dipenjara, keculai individu-individu yang merupakan personifikasi negara yang bisa bertanggung jawab di depan hukum baik hukum pidana nasional, maupun hukum pidana internasional. 8 Peniadaan tanggung jawab individu merupakan suatu kemunduran dibidang hukum, terlepas dari kesepakatan para pihak untuk tidak meletakan tanggung jawab pidana pada individu dan membebankan tanggung jawab pada negara. Pembebanan tanggung jawab pelanggaran hak asasi manusia pada negara, sekalipun diakui merupakan penyelesaian politik, tetapi jangan lupakan bahwa apa yang merupakan produk negara merupakan faktor pembuat hukum dan merupakan suatu contoh bagaimanan negara bersikap dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi. Suka atau tidak suka dengan per memoar ad spem negara telah meletakan landasan impunity dalam proses bernegara. Dan hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang lazim dalam hukum internasional. Per memoar ad spem tentunnya menimbulkan ketidakpuasan pada korban,tetapi pada para pelaku yang seharusnya bertanggung jawab tentunya akan merasa sangat setuju dengan proses penyelesaian yang direkomendasikan dalam per memoar ad spem, karena tidak memasukan tanggung jawab pidana pada individu sebagai rekomendasi yang harus dilakukan negara. Per Memoar ad Spem telah diterima oleh kedua negara, yaitu Timor Leste dan Indonesia. Dengan demikian persoalan Timor leste secara kenegaraan sudah selesai dan kedua negara akan memulai langkah baru dengan melupakan masa lalu yang bisa dibaca sebagai lupakan masa lalu yang juga bisa diartikan bahwa tidak ada apa apa dengan dengan masa lalu, bagaimana dengan tanggung jawab 9 hukumnya baik hukum pidananya, ataupun hukum pidana internasional yang berkaitan dengan pelanggaran hukum perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, Akhirnya permasalahan Timpr-Leste sudah selesai tetapi bukan tidak mungkin akan merupakan suatu persoalan yang akan kembali datang di kemudian hari karena secara hukum masih meninggalkan persolan khususnya terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan hak asasi manusia, karena tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia tidak mengenal daluarsa. “Komisi Kebenaran dan Persahabatan berdasarkan hasil Telaah Ulang Dokumen dan hasil analisis atas fakta-fakta yang telah diulas dalam temuan berdasarkan Kerangka Acuan 14 a (i) dan (ii), Komisi berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesimpulan Komisi ini juga didasarkan analisis bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi telah dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil. Jenis tindak kekerasan tersebut antara lain: (1) Pembunuhan; (2) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (3) Penahanan ilegal (4) Kekerasan seksual lainnya; (5) Penghilangan paksa; dan (6) Perbuatan tak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan pembakaran harta benda. Untuk dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi, Komisi pertamatama melihat apakah kekerasan tersebut “diarahkan terhadap” warga sipil. Kekerasan ini dapat berupa segala bentuk kekerasan fisik, pemaksaan, ancaman, intimidasi, atau penghilangan kemerdekaan fisik. Warga sipil yang diserang harus dalam jumlah yang cukup untuk menunjukkan bahwa penyerangan tersebut tidak hanya ditujukan terhadap perorangan sipil dalam jumlah yang sedikit, terbatas, atau terpilih secara acak, namun sekelompok orang yang signifikan. Pemikiran dasarnya di sini adalah untuk menentukan apakah ada bukti kredibel mengenai penganiayaan atau penggunaan kekuatan, pemaksaan, atau kekerasan terhadap sejumlah substansial warga sipil. Jika kekerasan (1) diarahkan hanya terhadap 10 sedikit warga sipil terpisah, atau (2) diarahkan terutama terhadap lawan militer yang sah namun terdapat beberapa warga sipil yang terbunuh dalam suatu insiden yang acak dan terpisah, maka ini tidak digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun di Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik dan fokusnya pada jajak pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban, terutama penargetan warga sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan keyakinan atau tujuan politik tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa serangan terhadap penduduk sipil telah terjadi. Komisi berkesimpulan bahwa bukti mengenai hal ini sangat banyak dan definitif. Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil, penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat “meluas atau sistematis.” Istilah “meluas” mencakup dimensi kuantitatif, cakupan, dan sifat serangan. Istilah “sistematis” terutama berkaitan dengan aspek kualitatif serangan dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan tersebut bukan terdiri dari tindak kekerasan yang acak, terpisah dan individual, namun mencakup banyak tindakan dengan jumlah atau skala korban yang signifikan, atau terdapat pengorganisasian, perencanaan, koordinasi, atau kegiatan terpola. Di sini sekali lagi Komisi berkesimpulan bahwa bukti secara kuat menunjukkan serangan terhadap penduduk sipil di Timor Timur terjadi secara meluas maupun sistematis. Bukti ini mengindikasikan bahwa jumlah korban dan insiden, juga skalanya, cukup besar. Bukti juga menunjukkan bahwa serangan sering menjadikan sasaran orang-orang yang dipandang memiliki afiliasi politik tertentu dan serangan ini terjadi berulang kali dalam rentang waktu, pada banyak tempat, serta mengikuti pola perbuatan yang terorganisasi. Dengan hasil dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste yang tidak meletakan tanggung jawab pidana pada individu maka Pemerintah Indonesia telah melakukan impunity dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur, dan mengabaikan hak untuk mendapatkan remedy dari korban pelanggaran hak asasi manusia, dan beberapa ketentuan dalam hukum internasional berikut ini dapat menjelaskan bahwa seharusnya Pemerintah 11 Indonesia tidak melepaskan tanggung jawab pidana individu dari pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur. Hak untuk mendapatkan remedi atas pelanggaran hak asasi manusia merupakan cerminan dari hak asasi manusia yang bersifat universal. Sebagaimana disebutkan oleh Martha Meier: “Impunitas adalah ketidakmampuan de jure dan de facto, untuk membawa para pelaku kejahatan dan kekerasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses persidangan pidana,perdata, administrasi atau disipliner karena mereka tidak tunduk pada penyidikan yang bisa mengarahkan mereka pada alasan mengapa mereka dituduh,ditangkap, diadili dan, jika ditemukan bersalah, dihukum dengan hukuman yang tepat, dan untuk melakukan reparasi bagi para korban. “ 6 Impunity dalam hukum internasional tidak dikenal, impunity adalah suatu keadaan dimana pelaku tidak terjangkau oleh hukum, dan negara tidak menghukum pelaku, sehingga pelaku tidak diminta pertanggungjawabannya atas pelanggaran HAM yang dilakukannya. Sebagai konsekuensi dari adanya hak tersebut, sebagai suatu hak yang bersifat universal, tentunya setiap pelanggaran hak asasi manusia, harus dilakukan proses remedy yang tidak saja meliputi proses peradilan atas pelanggaran HAM tersebut, tetapi juga dapat meliputi, rehabilitasi, restitusi dan kompensasi. Latar belakang yang demikian penulis tertarik untuk menulis Implementasi Instrumen Hak Asasi Manusia dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia , karena 6 Martha Meier,The Scope of Impunity in Indonesia,Utrecht: HOM,2006 (terj.Indonesia oleh Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di Indonesia, Jaringan Impunitas dan PBHI,2007), Dalam Jurnal ASASI, Edisi mei-Juni Tahun 2008, Elsam,2008 12 dengan latar belakang yang penulis sampaikan diatas dalam pandangan penulis sistem perdilan pidana Indonesia tidak mampu menjangkau pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia yang terlihat dari tidak adanya satupun terdakwa dari kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dijatuhi sanksi pidana. Bebasnya seluruh terdakwa kasus pelanggaran HAM berat khususnya yang terjadi di Timor-Timur, mendorong segenap komponen masyarakat Indonesia khususnya Pemerintah untuk mencari suatu solusi yang dapat menyelesaikan persoalan hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran ham berat. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi menjadi pilihan sebagai suatu solusi yang mungkin dicapai sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran ham berat yang terjadi di Indonesia, yang dalam pembentukannya yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari standarisasi HAM yang bersifat universal. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor leste yang diprakarsai oleh pemerintah kedua negara yaitu Indonesia dan Timor leste, dilakukan sebaga upaya untuk menyelesaikan persoalan Timor-Timur secara mendasar dan menyeluruh untuk mendapatkan penyelesaiaan menyeluruh dan untuk mendapatkan kebenaran yang fundamental mengenai apa yang terjadi di Timor-Timur Pasca jejak pendapat tahun 1999. Penulis berpandangan hak asasi manusia yang universal dapat terjawab dengan melihat kepada bagaimana Indonesia menyelesaikan persoalan Hak Asasi 13 Manusia yang dialaminya khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat, lebih khusus lagi bagaimana standarisasi hak asasi manusia yang universal diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat, khususnya dalam kasus TimorTimur sebagai ukuran universal dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Penelitian ini melihat bahwa Pengadilan HAM, Komisi Kebenarran dan Rekonsiliasi yang dalam tulisan ini digunakan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste merupakan bagian dari suatu sistem untuk menjawab persoalan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari sistem peradilan pidana, yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran Hak Asassi Manusia di Indonesia dalam hal ini pelanggaran hak asasi manusia berat. Sebagaimana penulis sadari, tulisan yang membicarakan mengenai Hak Asasi Manusia sangatlah banyak, dalam penelitian ini peneliti hendak melihat suatu rangkaian pemikiran mengenai hak asasi manusia, sejak hak asasi manusia dipandang perlu untuk diatur dalam undang-undang dasar sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan kenyataan yang harus dihadapi ketika berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia, serta mekanisme alternatif yang perlu dilakukan ketika dirasakan mekanisme pengadilan hak asasi manusia dirasakan tidak memberikan jawaban atas persoalan hak asasi manusia, yang diwujudkan dalam komisi kebenaran dan rekonsiliasi, memperhatikan standarisasi hak asasi manusia yang bersifat universal. B. Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini yang menjadi pokok permasalahan adalah : 14 dengan 1. Bagaimana pengaturan tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia? 2. Bagaimana Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan : 1. Pengaturan tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. 2. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini diharapkan: 1. Secara Teoritis mengembangkan disiplin hukum Hak Asasi Manusia yang diperkaya oleh hasil penelitian para peneliti dan pendapat para ahli terdahulu. 2. Secara praktis memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. E. Kerangka Pemikiran Sebagai negara yang berdasarkan hukum, dimana salah satu pola yang harus ada didalam negara berdasarkan hukum adalah adanya penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, selain dari adanya mekanisme kelembagaan negara yang demokratis, adanya suatu tertib hukum dan adanya 15 kekuasaan kehakiman yang bebas.7 Indonesia juga mengatur hak asasi manusia dalam Konstitusinya dan perundang-undangan yang menunjukkan bahwa Indonesia memperhatikan persoalan hak asasi manusia dan bertanggung jawab atas penghormatan terhadap hak asasi manusia. Konsep hak asasi manusia yang dipergunakan oleh Indonesia dalam mengatur hak asasi manusia baik dalam Konstitusinya ataupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain, idealnya sebagai konsep yang diikuti oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur secara teknis mengenai hak asasi manusia, atau terjadi perubahan konsep dalam pengaturan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang mengatur HAM. Hak asasi manusia adalah suatu konsep yang sifatnya universal, idealnya Konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia juga menggunakan konsep yang bersifat universal, tetapi peraturan perundang-undangan seringkali menjadi sumber perdebatan mengenai hak asasi manusia, yang mengurangi makna universal dari hak asasi manusia dikarenakan perbedaan pandangan mengenai hak asasi manusia, sehingga mengurangi makna universal dari hak asasi manusia yang seharusnya dapat diterima oleh semua orang, karena HAM yang sifatnya universal tidak akan menimbulkan perdebatan. Dalam peraturan perundang-undangan nasional terdapat peraturan perundang-undangan yang bermuatan hak asasi manusia ketika akan dikeluarkan atau sudah dikeluarkan menimbulkan perdebatan yang sangat kuat membicarakan mengenai peraturan perundangan tersebut, sebagai contoh konsep hak asasi 7 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia, 1983, hlm 9. 16 manusia yang terdapat dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 Pengadilan HAM, Undang-Undang tentang No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berdasarkan keputusan mahkamah konstitusi pada tanggal 7 Desember 2006 membatalkan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menunjukkan konsep yang berbeda dalam melihat persoalan hak asasi manusia di Indonesia. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara Republik Indonesia dan Timor Leste dapat dijadikan kajian penelitian dalam mencari jawaban konsep hak asasi manusia dan implementasinya dalam sistem hukum nasional Indonesia. Perbedaan dalam memandang hak asasi manusia, tentunya dilandasi atas perspektif berbeda terhadap hak asasi manusia , yang dapat diartikan terdapat perbedaan konsep mengenai hak asasi manusia Hak asasi manusia filosofinya adalah menjamin penghormatan terhadap setiap orang, martabat dan kemerdekaan manusia dari semua bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam menjalankan hidupnya di masyarakat.8 Pemikiran mengenai hak asasi manusia yang sifatnya universal diawali dengan situasi dunia pada perang dunia kedua yang menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi masyarakat dunia sehingga mendorong perlunya tatanan universal yang mengatur masyarakat dunia agar lebih dapat menghormati hak asasi manusia Jacques Robert, “Contitutional and International Protection of Human Rights Competing or Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2, 31 March 1994, NP Engel Publisher hlm 2 8 17 “Gagasan mengenai Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia muncul ketika perang dunia II berlangsung, dan semakin kuat saat Piagam PBB dirancang dan PBB dibentuk.Para pendiri PBB tidak bisa tidak, harus memasukkan upaya pemajuan hak-hak asasi manusia ke dalam tujuantujuan PBB, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Deklarasi yang menuangkan kebiasaan-kebiasaan hukum internasional.”9 Kutipan di atas menunjukan diperlukannya suatu tatanan yang bersifat universal yang mengatur hak asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan isu yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan, karena membicarakan hak asasi manusia, berarti membicarakan suatu pemahaman konsep yang universal. Konsep dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu – Zain diartikan sebagai ide yang direncanakan dalam pikiran.10 Dalam Websters Dictionary, Concept diartikan sebagai: an idea terj: suatu gagasan, especially a generalized idea of a class of objects terj: secara khusus adalah suatu pemikiran umum mengenai sekelompok obyek ; a thought terj: pemikiran.11 Dengan demikian konsep diartikan sebagai suatu pemikiran, yang dalam hal ini tentunya pemikiran terhadap hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan konsep hak asasi manusia yang universal dapat diartikan sebagai pemikiran hak asasi manusia yang bisa diterima di semua tempat dan di semua waktu. Dengan kata lain, pemahaman tentang konsep yang universal dari hak asasi manusia, maka seharusnya tidak akan ada lagi pandangan yang berbeda mengenai hak asasi manusia karena konsep hak asasi manusia yang universal berarti suatu pemahaman yang sama dalam memandang hak asasi manusia.12 9 Vratislav Pechota, Kovenan Hak Sipil dan Politik dalam Materi Training Hukum dan HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusham Universitas Islam Indonesia, bekerjasama dengan University of Oslo Norway, Yogyakarta, 22-24 September 2005 10 Badudu-Zein, Kamus Umum bahasa Indonesia,, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 2001, hlm 712. 11 Websters New Twentieth Century Unabridged Dictionary Second Edition, Prentice Hall Press, New York,1972, hlm 376 12 “Hak -Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Sosiokultural dan Religi di Indonesia”, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Komisi Nasional Hak asasi manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 54 18 Sebagai sesuatu yang universal hak asasi manusia dipandang sebagai standar internasional yang melintasi batas budaya dan merupakan sistem hukum internasional yang berlaku dalam masyarakat negara.13 Melintasi batas budaya dalam hal ini dimaksudkan bahwa seharusnya tidak ada lagi perbedaan dalam pengaturan dan pelaksanaan hak asasi manusia dikarenakan perbedaan budaya tidak mempengaruhi berlakunya hak asasi manusia, karena universalitas dari hak asasi manusia. Dalam kenyataannya persoalan budaya yang selalu menghambat berlakunya hak asasi manusia yang dipandang universal, bahkan konsep hak asasi manusia yang sudah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional dapat diperlakukan berbeda dalam suatu negara dengan pertimbangan sosial dan budaya dari negara tersebut, yang sebenarnya tidak sesuai dengan hak asasi manusia yang bersifat universal. Universal dalam kamus umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta diartikan sebagai umum yang meliputi (berlaku di, terdapat di) seluruh dunia (termasuk, dilakukan oleh) semua orang; berakibat pada semua orang14. Dengan menggunakan pedoman yang terdapat dalam kamus WJS Poerwadarminta, maka dengan demikian hak asasi manusia Universal diartikan sebagai hak asasi manusia yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate Dictionary, 15 “Universal: 1. including or covering all or a whole collectively or distributively without limit or exceptions; 2. a present or occuring everywhere b: existent or operative everywhere or under all condition.” 13 Sonia Haris Short, International Human Rights Law: Imperialist,Inept and Ineffective?Cultural Relativisme and the UN Convention on the Rights of the Child in Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social Sciences, Humanities, And Law, Volume 25 Number 1, February 2003, Hlm.131. 14 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm 1130 15 Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster Inc., Publishers, Springfield, Massachusetts, USA, hlm 1291. 19 “Universality: 1. the quality or state of being Universal; 2. Universal Comprehensiveness in range.” “Universalism: 1. often cap a: a theological doctrine that all men will eventually be saved b: the principles and practises of a liberal christian denomination founded in the 18th century orig. .to uphold belief in universal salvation and know united with unitarianisme 2. something that is universal in scope” Berpedoman kepada Websters Ninth New Collegiate Dictionary, maka universal diartikan sebagai berlaku umum, Universality atau Universalitas diartikan sebagai sesuatu yang berlaku umum, dan universalisme diartikan sebagai suatu paham yang bersifat universal, dalam kaitan dengan penelitian ini maka hak asasi manusia adalah berlaku Universal yang artinya berlaku umum, di setiap tempat dan di setiap waktu, dan hak asasi manusia sebagai suatu obyek yang berlaku umum, yang kemudian mengakibatkan paham atau pandangan bahwa hak asasi manusia berlaku secara universal. Dalam praktik negara-negara seringkali menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum bahwa penerapan universalitas dari hak asasi manusia ke dalam hukum nasional atau pelaksanaan hak asasi manusia oleh negara tidak sesuai dengan prinsip universalitas, dan cenderung disesuaikan dengan bagaimana pandangan negara mengenai hak asasi manusia itu sendiri. “Sebagai bangsa yang merupakan bagian (sub-sistem) masyarakat global, tanpa mengabaikan unsur-unsur partikularistik yang dominan, berbagai kecenderungan global harus dilihat sebagai kecenderungan nasional. Hal ini khususnya apabila berkaitan dengan hak asasi manusia yang bersifat 20 absolute (absolute rights) yang tidak dapat dikesampingkan, sekalipun suatu negara dalam keadaan darurat.”16 Konsep hak asasi manusia secara universal, tentunya tidak dapat terlepas dari hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah:17 a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law. c. The General Principles of Law Recognized by civilized nation. d. Judicial decisions and the teaching of the most highly publicist of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law . Sebagai suatu tatanan nilai yang telah diterima masyarakat internasional sebagaimana pengertian hukum internasional, hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara antara : 1. Negara dengan Negara 2. Negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.18 Dengan demikian Negara telah menerima konsep universalitas itu sebagai suatu konsep yang berlaku secara universal. Bahkan dalam hal ini adanya pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan kecenderungan global lebih luas yang mencakup pula pelbagai resolusi badan-badan PBB, model perjanjian (model treaties), code of conduct, guidelines, basic principles, safeguard, standar minimum rules, dan berbagai deklarasi yang disusun oleh badan-badan Muladi, “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, Jurnal Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, hlm 38 17 Pasal 38 ayat 1 Statuta International Court of Justice 18 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, Cetakan ketujuh 1990, hlm.3. 16 21 internasional serta hasil-hasil pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh profesi internasional:19 “Globalisasi semakin memperkuat pemikiran-pemikiran untuk mempersoalkan nilai-nilai dasar HAM, yang bersifat universal, indivisible and interdependent and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar masyarakat internasional memperlakukan hak asasi secara global in a fair and equal manner, on the same footing, and with the same emphasis. Di dalam Vienna Declaration and Programme of Action (Juni 1993) butir E.83 yang mengatur mengenai implementation and monitoring methods ditegaskan bahwa pemerintah-pemerintah hendaknya menggabungkan (incorporate) standar-standar yang terdapat pada instrumen hak asasi manusia internasional ke dalam hukum nasional (domestic Legislation) dan memperkuat pelbagai struktur, lembaga nasional dan organ-organ dalam masyarakat yang memainkan peran di dalam mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.20 Muladi mengatakan sekalipun hak universal, namun sebagaimana negara-negara asasi manusia memiliki sifat berkembang yang lain dalam implementasinya dikenal pula asas relativisme kultural, yang secara universal juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh penggunaan asas relativisme kultural tersebut tidak bertentangan dengan manusia yang universal. Pentingnya prinsip dan hakekat hak asasi untuk tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak asasi manusia, nampak pada contoh sebagai berikut: 19 Muladi mengutip Held, David, Democracy and the Global Order, Polity Press, 1995 Dalam Tulisan “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, dalam Jurnal Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, hlm 38 20 Komisi Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya, Makalah Muladi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm 81. 22 The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa “No country, however, should use its power to dictate its concept of democracy and human rights or impose conditionalities on others.” Namun demikian tidak ada negara yang dapat menggunakan kekuasaannya untuk mendiktekan konsep-konsep demokrasi dan hak asasi manusianya atau menerapkan persyaratan-persyaratan pada negara-negara lain. Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang dirumuskan oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain menegaskan : “the people of ASEAN accept that human rights exist in a dynamic and evolving context and that each country has inherent historical experiences, and changing economic, social, political and cultural and value system which should be taken into account.”21 Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang menyatakan bahwa: “While Human Rights are Universal in nature, they must be considered in the context of a dynamic and evolving process of international norms setting, bearing in mind the significance of national and regional peculiarities and various historical, cultural and religious background.”22 Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi dunia tentang Hak asasi manusia yang merumuskan bahwa: “All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated while the significant of national and regional Particularities and various historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and 21 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,The Habibie Center, Jakarta 2002, hlm.56. 22 Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of the World Conference on Human Rights yang dikenal dengan Bangkok Declaration 1993. 23 cultural systems, to promote and protect all human fundamental freedoms.”23 rights and Sebagai suatu negara yang berdasarkan atas hukum yang memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk melakukan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dengan melakukan upaya-upaya yang dapat mengakibatkan diakuinya Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai konsekuensi yang didapatkan dari suatu negara yang berdasarkan atas hukum, negara mempunyai kewajiban yang berkaitan dengan serangkaian pelaksaanaan kewajiban negara dalam permasalahan hak asasi manusia, Indonesia tentunya mempunyai konsep mengenai hak asasi manusia yang diimplementasikan dalam sistem hukum nasionalnya. “Reformasi di bidang Legislasi dalam kajian Mas Achmad Santosa, tetap memunculkan Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tentang hak asasi manusia dan demokrasi. Dan dikatakan tidak adanya konsep dalam reformasi hukum, dan seharusnya terdapat konsep dan desain besar reformasi hukum, sehingga akan diketahui tentang visi, misi, dan tujuan reformasi hukum, prinsip-prinsip yang dijadikan landasan, skala prioritas, kebijakan-kebijakan yang harus dihindari, norma-norma hukum yang minimal harus terdapat dalam suatu produk peraturan perundang-undangan yang akan diperbaharui.”24 “Konsepsi tentang hak asasi manusia di Negara Republik Indonesia yang berdasar faham Persatuan Indonesia dan berkonstitusi UUD 1945 bukan hanya ada tetapi juga berkembang dan diakui eksistensinya. Negara mengakui hak -hak asasi orang seorang dan disamping itu juga mengakui hak -hak kelompok seperti keluarga, masyarakat, paguyuban masyarakat, dan Negara. Karena itu di Negara Republik Indonesia HAM tidak berdiri sendiri melainkan berdampingan dengan kewajiban, yaitui kewajiban orang-seorang terhadap orang lain, terhadap keluarganya, terhadap masyarakatnya, dan terhadap negaranya. Demikian juga sebaliknya”25. 23 Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993) Mas Achmad Santosa, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan, MelibS, Jakarta, 2004, hlm 12-13 25 BP 7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, 1996,Penerbit BP 7. hlm 155. 24 24 Penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasarkan hukum pada teori rechtstaat adalah adanya pengakuan hak-hak asasi adanya pemisahan kekuasaan, dan pemerintahan yang berdasarkan pada undang-undang dan peradilan administrasi. Sedangkan pada teori rule of law, adanya konstitusi yang bersumber pada hak -hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang, dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segalanya.26 Seiring dengan pekembangan pemikiran mengenai negara di bawah tatanan hukum yang adil yang berkembang di Eropa pada abad 19 hingga permulaan abad ke 20, yang pada saat itu tercatat perkembangan pemikiran mengenai konsep negara, dari konsep negara hukum klasik (negara hukum dalam arti sempit) menuju konsep negara hukum formal.27 Konsep Negara Hukum dapat dibedakan menurut konsep negara hukum yang berkembang di negara-negara Eropa kontinental yang dikenal dengan Rechtsstaat, dan konsep negara hukum yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon yang dikenal dengan Rule of Law. Negara hukum menurut konsep konsep rechtsstaat dibangun berdasarkan sistem hukum civil law, dimana konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, yang dipelopori oleh Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, sehingga sifatnya revolusioner. Unsur negara hukum menurut konsep rechtsstaat ialah adanya : 26 Ibid, Hlm 10. Lihat: Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hlm: 57-58, dan Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH-UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm: 156-161 27 25 1. 2. 3. 4. Hak-hak manusia Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu Pemerintah berdasarkan Peraturan-Peraturan. Peradilan administrasi dalam perselisihan.28 Konsep rule of law berkembang secara evolusioner,29 dibangun berdasarkan sistem hukum common law.30 Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari A.V.Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the Study of the Law of the Constitution yang berisikan: 31 “That rule of law then which forms a fundamental principle of the constitution,has three meaning, or may be regarded from three different points of view. It means, in the first place, the absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of arbitrary power, and excludes the existence of arbitrariness, of prerogative, or even of wide discretionary authority on the part of the government. Enghlishmen are ruled by the law, and by the law alone; a man may with us be punished for nothing else. It means, again, equality before the law, or the equal subjection of all classes to the ordinary law of the land administered by the ordinary law court;the rule of law in this sense excludes the idea of any exemption of officials or others from the duty of obedience to the law which governs other citizens or from the jurisdiction of the ordinary tribunals; there can be with us nothing really corresponding to the administrative law (droit administrative) or the administrative tribunals (tribunaux administratifs) of France. The Notion which lies at the bottom of the administrative law known to foreign countries is, that affairs or disputes in which the government or its servants are concerned are beyond the sphere of the civil courts and must be dealt with by special and more or less official bodies. This idea is utterly unknown to the law of England, and indeed is fundamentally inconsistent with our traditions and customs. 28 Miriam Budiardjo, Ibid, Hlm 57 Lihat Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsip Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu Surabaya, 1987, hlm: 72. 30 Djoko Sutono, Hukum Tata Negara (Materi kuliah yang dihimpun oleh Harun Al Rasyid), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm : 78 31 Dicey.A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Ninth Edition, Macmillan and Co Limited ST Martins Street, London 1952, inroduction, pp XVIICXIII, 179,183,184,Ch IV,Ch IV, Ch V. 29 26 The rule of law lastly may be used as formula for expressing the fact that with us the law of the constitution, the rules which in foreign countries naturally form part of a constitutional code, are not the source but the consequence of the rights of individuals, as defined and enforced by the courts;that,in short, the principle of private law have with us been by the action of the courts and parliament so extended as to determine the positions of the crown and of its servant; thus the constitutions is the result of the ordinary law of the land.” “Bahwa negara hukum yang membentuk prinsip fundamental dari konstitusi, memiliki tiga arti, atau dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Artinya, pertama, supremasi absolut atau dominasi aturan hukum sebagai penyeimbang atas kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mengesampingkan adanya kesewenang-wenangan, dari hak prerogatif, atau bahkan adanya kesewenang-wenangan dari hak prerogatif, atau bahkan diskresi dari pemerintah. Orang Inggris diatur berdasarkan hukum, dan hanya hukum; seseorang tidak mungkin dihukum karena sesuatu yang lain. Artinya, persamaan di hadapan hukum, atau persamaan bagi seluruh kelas dalam hukum di negeri tersebut yang dilaksanakan oleh pengadilan biasa; negara hukum dalam hal ini mengecualikan gagasan yang mengecualikan pejabat atau lainnya dari kewajiban untuk mematuhi hukum yang mengatur warga negara lainnya atau dari yurisdiksi daripada pengadilan biasa; mungkin tidak ada kaitannya dengan hukum administratif atau pengadilan administratif di Prancis. Inti dari hukum administratif yang dikenal oleh negara-negara asing adalah bahwa hubungan atau perselisihan dimana pemerintah atau pejabatnya terlibat berada di luar wilayah pengadilan sipil dan harus ditangani oleh badan-badan yang khusus atau kurang lebih resmi. Gagasan ini tidak dikenal dalam hukum Inggris, dan bahkan secara fundamental tidak konsisten dengan tradisi dan kebiasaan kita. Terkahir, negara hukum dapat digunakan sebagai formula untuk menyampaikan fakta bahwa tanpa hukum konstitusi, aturan-aturan di negara-negara asing secara alamiah membentuk bagian dari konstitusi, bukan merupakan sumber tetapi konsekuensi dari hak-hak individu, sebagaimana didefinisikan dan dilaksanakan oleh pengadilan; singkatnya, prinsip hukum privat telah dilaksanakan oleh pengadilan dan parlemen diperluas sampai menentukan posisi puncak dari pejabatnya; sehingga konstitusi adalah hasil daripada hukum biasa di negeri tersebut.” Maksudnya, pertama, supremasi absolut atau dominasi aturan hukum sebagai penyeimbang atas kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mengesampingkan adanya kesewenang-wenangan, dari hak prerogatif, atau 27 bahkan diskresi wewenang dari pemerintah. Itu berarti sekali lagi, kesetaraan di depan hukum, atau kesamaan dari semua kelas tunduk kepada hukum umum dikelola pengadilan umum. Terakhir, dapat digunakan sebagai formula untuk mengungkapkan fakta bahwa dengan kata hukum konstitusi, aturan-aturan yang dialami Negara-negara asing merupakan bagian dari kode institusionil, merupakan bukanlah sumber tetapi konsekuensi dari hak-hak inividu, sebagaimana ditegakkan oleh pengadilan. Menurut Mas Bakar perwujudan supremasi hukum (supremacy of law) di negara-negara Anglo Saxon sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di negaranegara kontinental yang menganut konsep rechtstaat.32 Supremasi hukum menurut rechtsstaat adalah menempatkan negara sebagai subyek hukum, sehingga konsekuensinya hukumnya dapat dituntut di pengadilan. Negara-negara Anglo Saxon dalam konsep rule of law, tidak menempatkan sebagai subyek hukum, negara menurut konsep ini dipandang tidak dapat berbuat salah, sehingga konsekuensinya tidak dapat mempertanggungjawabkan sesuatu di pengadilan. Unsur equality before the law, mengandung arti bahwa semua warga negara tunduk selaku pribadi maupun kualifikasinya sebagai pejabat negara tunduk pada hukum yang sama dan diadili di pengadilan biasa yang sama. Dengan demikian setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum. Penguasa maupun warga negara; apabila melakukan tort (perbuatan melanggar 32 Aminudin, makalah Negara Hukum Rule of Law dan Negara Hukum Rechtstaat, Pada Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 19 Maret 1999. 28 hukum: Surechtmatige daad; delict), maka akan diadili menurut aturan common law dan di pengadilan biasa.33 Unsur constitution based on human rights mengandung arti bahwa adanya suatu Undang-Undang dasar yang unsur Groundrechten-nya yang lebih primer.34 Konstitusi bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi itu diletakkan dalam konstitusi, maka itu hanya penegasan bahwa hak-hak asasi itu harus dilindungi.35 Negara hukum seperti negara kesatuan Republik Indonesia dimana pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosialnya sehingga negara hukum yang demikian lazim disebut sebagai negara kesejahteraan (Welfare State).36 Teori hak asasi manusia sebagai Middle Range Theory dalam Penelitian ini dikarenakan hak asasi manusia “Human Rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings” yang artinya bahwa hak asasi manusia secara umum diartikan sebagai hak yang melekat pada diri manusia yang tanpa adanya hak-hak tersebut manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.37 Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 : 33 Djoko Sutono, Op.Cit, hlm: 81-82. Satya Arinanto, “Demokrasi berdasarkan Konstitusi: Mungkin Terjelma dalam Realita.” Artikel dalam majalah Hukum dan Pembangunan, No 3 Tahun XXIII, FH UI, Jakarta, 1993. 35 Muh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Loc.Cit. 36 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia Pusstaka Utama,Jakarta,1998,hlm 59. 37 United Nation, Human Rights Question and Answer, New York, United Nations Department of Public Informations, 1993. 34 29 ”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”38 Dalam Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia: ”Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati,universal, dan abadi sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa.”39 Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: ”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,pemerintah,dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”40 Secara tersurat pengakuan terhadap konsepsi hak asasi manusia yang universal dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam bagian menimbang butir b dikatakan: “Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa, menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia semakin menegaskan bahwa dalam 38 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Pembukaan alinea kedua 40 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 41 Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 39 30 hak asasi manusia terdapat hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional khususnya dalam kaitannya dengan pengakuaan dan penghormatan terhadap universalitas hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana dalam bagian konsiderans butir C dengan jelas menunjukkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap Deklarasi Universal Hak-hak Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Asasi Manusia adanya butir C, yang berbunyi sebagai berikut : “bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak -hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak -hak asasi 42 manusia.” Apa yang dikemukakan di atas mengenai bagaimana sistem hukum Indonesia mengakui Universal Declaration of Human Rights menunjukkan pengakuan negara Republik Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia yang Universal, terlebih lagi dengan pengaturan hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar 1945 yang juga menunjukkan pengakuan hak asasi manusia yang universal. Teori hukum pembangunan dipergunakan dikarenakan sebagai akibat dari Indonesia berdasarkan hukum, maka hukum berperan sebagai sarana pembangunan hak asasi manusia dalam bentuk membuat peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, tetapi juga melakukan 42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1988 tentang Hak -Hak Asasi Manusia Bagian Konsiderans, Butir C 31 perbaikan terhadap kondisi hak asasi negara, dengan melakukan penegakan hukum yang salah satunya dengan proses peradilan yang bermuara pada pembentukan hukum dalam proses peradilan yang tidak saja melibatkan tatanan sollen, tetapi juga sein. Dalam pelaksanaan hal yang demikian tentunya harus dipahami konsep hak asasi manusia yang dipergunakan dalam sistem hukum Indonesia serta bagaimana implementasi konsep sistem hukum tersebut dalam sistem hukum Indonesia. “Berbeda dengan dunia barat yang menganut hak asasi manusia sebagai hak asasi individual, Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara, yaitu seorang warga negara juga memiliki kewajiban-kewajiban asasi untuk menghormati hak -hak asasi warga negara lain, hak asasi manusia di Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat individual yang sebebas-bebasnya. Sri Edi Swasono menjelaskan, berbeda dengan dunia barat yang negara dibentuk berdasarkan kesepakatan individual, Indonesia pada masa terbentuknya tidaklah demikian. Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia telah ada terlebih dahulu, barulah orang-orang bersepakat mewujudkan cita-cita itu. Manusia Indonesia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual. Oleh Karena itu, ujar Sri Edi, yang ada adalah konsensus sosial, bukan kontrak sosial dalam teori John Locke. Di Indonesia kepentingan masyarakat yang utama. Hak asasi manusia adalah hak asasi warga negara bukan hak yang terlepas-lepas.”43 Apakah pendapat yang disampaikan di atas adalah betul konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam sistem hukum nasional Indonesia, dalam penelitian ini mencoba untuk mencari jawaban, konsep apakah yang dipergunakan dalam sistem hukum nasional Indonesia. Pada sisi lain penerapan konsep hak asasi manusia dalam sistem hukum suatu negara merupakan tanggung jawab negara 43 Pendapat Sri Edi Swasono, Kompas, Senin, 14 Agustus 2006, hlm 3 32 yang bersangkutan yang melekat sebagai konsekuensi sebagai sebuah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.44 Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa, telah membatasi kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan bahasa yang indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang berlaku pada bangsa tersebut.45 Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul akibat dari adanya pelanggaran terhadap hukum internasional, walaupun hukum nasional mengganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap bertanggungjawab.46 Dalam hal tanggungjawab terhadap norma hukum hak asasi manusia internasional negara pelaku tidak dapat lagi berlindung di balik kedaulatannya untuk menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana dikatakan Hector Gross Espiell, “The question of Human Rights is no longer the preserve of the domestic jurisdiction of states, but is now recognized as being governed by internal law and by international law, against which special internal law cannot be invoked.”47 44 Padmowahyono, Loc.Cit.hlm 9. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia., makalah Muladi, “Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif Indonesia” 46 F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, hlm 77. 47 Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy Symonides (editor), Human Rights: Concept and Standards, Paris: UNESCO, 2000, hlm. 349 45 33 Berbicara mengenai pembangunan hukum erat kaitannya dengan GarisGaris Besar Haluan Negara tahun 1973 bidang hukum, yang isinya bahwa hukum tidak menghambat proses modernisasi. Sementara Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1983 bidang hukum yang isinya antara lain bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pembahasan masalah pembangunan hukum juga terdapat dalam UndangUndang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 20002004 dimana dalam Bab II Prioritas Pembangunan Nasional pada point B.2 untuk Mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang baik, serta pada Bab III secara khusus mengatur Pembangunan Hukum dimana didalamnya program Pembangunan hukum meliputi, program pembentukan peraturan perundang-undangan, program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, program penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia, program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum. Pada sisi lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan pentingnya Pembangunan Nasional di semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. “Mengutip tulisan Mochtar Kusumaatmaja dalam Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Pembangunan diartikan meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka – karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya yang menjadi persoalan kini adalah: adakah peranan hukum dalam proses pembangunan itu dan bila ada apakah peranannya. 34 Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita gunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan Hukum dalam dalam Pembanguna adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara teratur. Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya.”48 Mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmaja diatas penulis mengawali penelitian ini dengan mengatakan bahwa pembangunan hak asasi manusia di Indonesia seharusnya dilakukan dengan perubahan melalui proses perundangundangan atau/dan keputusan pengadilan. Sistem Peradilan Pidana di indonesia mengalami perluasan arti dan tujuannya. Dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima,49 Norval Morris menyatakan: "The Criminal Justice System is best seen as a crime containment system, one of the methods that society uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing to accept. But, to a degree, the criminal justice system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reducecriminality among those who have been convicted of crimes and trying by deterrent processe of detection, 48 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis,Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni, Bandung 2004, hlm 19. 49 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 84-85. 35 conviction, and punishment to reduce the commission of crime by those who are so minded and so acculturated.50 Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke muka pengadilan dan menerima pidana, yang termasuk bagian tugas sistem ini adalah : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. c. Berusaha agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak rnengulangi lagi perbuatannya.51 Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) tersebut : Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem. Makna susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu keteraturan dan penataan yang hierarkhis dan sistimatis pada suatu sistem. Samodra Wibawa, mengemukakan tentang sistem ini bahwa:”sistem merupakan hubungan antara beberapa unsur dimana unsur yang satu tergantung 50 UNAFEI, Criminal Justice System, The Request for an Integrated Approach, UNAFEI, 1982) hlm. 5 51 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II cet. I Pustaka Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hokum UI, Jakarta, 1994, hlm. 140. Lihat juga Mrdjono R, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 84-85. 36 kepada unsur yang lain. Bila salah satu unsur hilang, maka sistem tidak dapat berfungsi.52 Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan, dan secara keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan. Pidana, yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan atau penderitaan yang diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun phisikis dari orang yang terkena pidana itu.53 Memperhatikan dasar pemahaman di atas, mengenai SPP tidaklah hanya berbicara tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana, melainkan lebih dari itu yang dibicarakan adalah persoalan mekanisme ataupun manajemen dari bekekerjanya pengadilan tersebut, guna melahirkan suatu keputusan yang adil.54 Sehingga dapat pula dikemukakan bahwa SPP, merupakan mekanisme dan atau manajemen proses peradilan (Justice Processes) di dalam melahirkan suatu keputusan serta di dalam menjatuhkan pidana. Remington dan Ohlin55 bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem peradilan terhadap mekanisme administrasi peradilan, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Guna mencapai tujuan hukum dan sistem hukum yang diharapkan tentunya kita tidak dapat melepaskan diri dari pembukaan Undang-Undang Dasar 52 Samodra Wibawa, Kebijaan Publik ( Proses dan Analisis), Intermedia, Jakarta, Cet I, 1994, hlm. 50-51. 53 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 1993, hlm.437 54 Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996. 55 Idem, hlm.14. 37 1945. H. R. Otje Salman mengatakan bahwa pembukaan alinea pertama secara substansial mengandung pokok pikiran tentang apa yang kita pahami sebagai keadilan dimana secara prinsip keadilan adalah upaya untuk menemukan keadilan yang mutlak, serta merupakan manifestasi upaya manusia yang merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum positif.56 Pada alinea kedua sebagaimana Pembukaaan, terdapat makna adil dan makmur dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dengan demikian adil dan makmur merupakan tujuan hukum yang harus dicapai oleh sistem hukum Indonesia. Alinea ketiga menjelaskan pemikiran religius bangsa Indonesia, yang menekankan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat mengedepankan aspek-aspek Ketuhanan, dengan memperhatikan hal ini tentunya segala aspek yang terdapat sistem hukum Indonesia tidak boleh terlepas dari aspek Ketuhanan. Apa yang terdapat dalam alinea ketiga yang memuat semangat ketuhanan idealnya tercermin dalam sistem hukum dan sub sistem-sub sistem yang terdapat di dalamnya. Alinea ketiga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keiinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.Menggambarkan suatu kesepakatan satu tujuan, dan Negara Hukum Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Hukumnya bersumber kepada Pancasila 2. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi dan bukan berdasarkan atas sistem absolutisme; 56 Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung 2004, hlm 156. 38 3. Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang merdeka dalam arti bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah 4. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya tanpa kecuali 5. Hukumnya berfungsi mengayomi dalam arti menegakkan kehidupan yang demokratis 6. Kehidupan yang berkeadilan sosial; dan kehidupan yang berperikemanusiaan.”57 Pada alinea keempat, menjelaskan mengenai Pancasila yang secara konsep merupakan suatu kebulatan yang utuh dari bangsa Indonesia, dimana masing masing sila saling berkaitan dengan diawali oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam sistem hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi dasar bagi sistem hukum yang akan dipilih. Sistem hukum dapat diartikan sebagai serangkaian peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas hukumnya misalnya sistem hukum perdata disusun secara tertib berdasarkan asas-asas hukum perdata, demikian juga sistem hukum pidana disusun secara tertib berdasarkan azaz hukum pidana, dapat juga sistem hukum diartikan sebagai sistem apa yang diberlakukan disuatu negara misalnya sistem hukum Anglo Saxon dan sistem hukum kontinental. Menunjuk pada buku tulisan H. R. Otje Salman S dimana menjelaskan mengenai makna sistem:58 57 Padmo Wahyono et.al, Kerangka Landasan Pembangunan Hukum,Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1989.hlm.81. 39 1. Sistem digunakan untuk menunjuk suatu kesimpulan atau himpunan bendabenda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau saling ketergantungan yang teratur; suatu himpunan bagian-bagian yang tergabung secara alamiah maupun oleh budi daya Manusia sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat terpadu; 2. Sistem yang digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ tubuh secara keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap berfungsinya fungsi tubuh tertentu yang rumit tapi vital; 3. Sistem yang menunjuk himpunan gagasan atau ide yang tersusun terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum dan sebagainya yang membentuk satu kesatuan yang logik dan dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat tertentu, agama, atau bentuk pemerintahan tertentu. 4. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau suatu teori (yang dilawankan dengan praktek); 5. Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata cara 6. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu atau mode tatacara. Dapat pula berarti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan atau pemrosesan, dan juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian dan sebagainya Adapun West Churchman, sebagaimana dikutip oleh H.R. Otje Salman S, berpendapat bahwa:59 1. Pendekatan sistem bermula terjadi jika mula-mula ada yang memandang dunia ini dari kacamata orang lain; 2. Hal itu berlangsung untuk menemukan kenyataan bahwa setiap pandangan dunia itu amat terbatas. 3. Tidak ada seorang pun yang ahli dalam pendekatan sistem. Menurut Elias M Awad, sebagaimana dikutip oleh H. R. Otje Salman S, ciri-ciri sistem adalah sebagai berikut:60 1. Sistem itu bersifat terbuka, atau pada umumnya bersifat terbuka. Suatu sistem dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya. Dan sebaliknya dikatakan tertutup jika mengisolasikan diri dari pengaruh apapun; 2. Sistem terdiri dari dua sistem atau lebih subsistem dan setiap subsistem terdiri lagi dari subsistem lebih kecil dan begitu seterusnya; 3. Subsistem itu saling bergantung satu sama lain dan saling memerlukan; 58 Otje Salman dan Anton F Susanto ,op.cit, hlm 83. Ibid 60 Ibid 59 40 4. Sistem mempunyai kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self regulation); 5. Sistem memiliki tujuan dan sasaran Menurut William A Shrode serta Dan Voich, sebagaimana dikutip oleh H. R. Otje Salman S, ciri-ciri pokok sistem adalah:61 1. Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya mengarah pada tujuan tersebut; 2. Sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh 3. Sistem memiliki sifat terbuka; 4. Sistem melakukan kegiatan transformasi; 5. Sistem saling berkaitan; 6. Sistem mempunyai mekanisme kontrol. Apa yang disampaikan di atas penulisi menggunakan salah satu pemahaman diatas untuk menulis penelitian ini yaitu menunjuk suatu gagasan (ide) yang tersusun, terorganisasikan, suatu himpunan gagasan mengenai hukum artinya bagaimana pengaturan hukum itu apakah dalam sistem hukum nasional atau dalam sistem hukum internasional itu adalah sistem hukum. Dapat juga diartikan sistem hukum sebagai suatu kesatuan utuh dari tatanan tatanan dimana antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan. CFG. Sunaryati Hartono mengatakan bahwa sistem hukum terdiri atas 7 (tujuh) unsur yaitu 62: a. asas-asas hukum (filsafah hukum) b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari : 1. Undang-undang 2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang 3. yurisprudensi tetap 4. hukum kebiasaan 5. konvensi-konvensi internasional 6. asas-asas hukum internasional c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggungjawab dan sadar hukum 61 Idem, hlm 84-86 Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Nasional VII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan diselenggarakan Oleh: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen KeHakiman dan Hak Asasi Manusia Denpasar 14-18 Juli 2003. 62 41 d. pranata-pranata hukum e. lembaga-lembaga hukum termasuk : 1. struktur organisasinya 2. kewenangannya 3. proses dan prosedur 4. mekanisme kerja f. sarana dan prasarana hukum, seperti; 1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran 2. senjata dan lain-lain perawatan (terutama untuk polisi ) 3. kendaraan 4. gaji 5. kesejahteraan pegawai/karyawan 6. anggaran pembangunan, dan lain-lain g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan kejahatan. Sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Atau apabila salah satu unsurnya berubah maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain juga harus berubah. Menyitir teori H.L.A. Hart tentang apa yang disebut dengan primary rules dan secondary rules, dikatakan bahwa primary rules menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Sedangkan secondary rules adalah kemampuan untuk melakukan negosiasi dalam hal pembuatan suatu perundang-undangan yang pada akhirnya menurut kajian penulis membentuk sistem hukum sendiri.63 63 Otje Salman, op.cit, hlm 90 42 Persoalan dalam hukum nasional adalah bahwa saat ini sebagai bangsa Indonesia sedang menghadapi krisis multi dimensi yang meliputi krisis hukum, krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis di semua bidang, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat mengatasi semua persoalan itu dengan melihat kembali kepada nilai-nilai yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang harus selalu dituangkan dalam sistem hukum Indonesia. “Dengan melihat apa yang dijelaskan oleh Lawrence Friedman sistem hukum meliputi pertama, Struktur Hukum (legal Structure) yaitu bagian bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, seperti Pengadilan,Kejaksaan. Kedua Substansi Hukum (Legal Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, seperti putusan Hakim, undang-undang, Ketiga, Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap publik, atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat.”64 Melihat kutipan di atas maka sistem hukum sangat dipengaruhi oleh struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dalam kaitannya dengan sistem hukum nasional kita apakah dalam pembangunan sistem hukum kita sudah memiliki struktur, substansi dan budaya hukum yang tangguh, sekali lagi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan satu pedoman untuk menghadapi berbagai permasalahan hukum di Indonesia, terlebih lagi dengan berpedoman pada semangat yang terdapat pada alinea ketiga. Saat ini ini Indonesia mengalami keterpurukan di berbagai bidang, ekonomi, politik, sosial, hukum dan bidang-bidang lainnya, termasuk tuntutan terhadap perbaikan di bidang hak asasi manusia, dengan kondisi yang demikian 64 Ibid, hlm 154 43 ada 4 (empat) masalah mendasar yang mendesak dan harus segera diselesaikan yaitu: 65 a. Reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal (hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem hukum nasional. Namun demikian didalam mereaktualisasi hukum-hukum lokal kedalam hukum nasional diperlukan juga suatu penghalusan hukum sehingga proses reaktualisasi tersebut berjalan dan sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat modern. b. Penataan Kelembagaan, dimana reformasi birokrasi yang selama 30 tahun lebih merupakan kanjeng dalam struktur pemerintahan, kini sudah saatnya berubah menjadi abdi dalem yang siap melayani masyarakat setiap diperlukan, sehingga masyarakat merasa nyaman dan aman dalam kehidupan sehari-hari. c. Pemberdayaan Masyarakat, baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat kedalam kinerja pemerintahan, maupun upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Kedua hal tersebut dapat digolongkan sebagai budaya hukum (legal culture) d. Pemberdayaan birokrasi, Pemberdayaan di lingkungan birokrasi ini sangat penting terutama dalam menjalankan TAP MPR RI NO XI/MPR RI/1999 dan TAP MPR RI NOMOR VIII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN serta bagaimana melaksanakan secara konsisten UU RI No 28 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Mengutip pendapat dari Satjipto Rahardjo dalam bukunya ilmu hukum dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum meliputi unsur-unsur seperti; struktur, kategori dan konsep.66 Perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai,sekali lagi suatu sistem hukum tidak dapat melepaskan diri dari sistem hukum yang berlaku disekitarnya, tetapi yang paling penting adalah bagaimana sistem hukum itu dapat mengikuti hukum yang hidup dalam masyarakatnya, karena hukum yang paling baik adalah hukum yang tumbuh dalam jiwa bangsa. Dalam Pembanguna hukum suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor external yang mungkin saja bertentangan dengan jiwa bangsa tersebut. 65 Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada kursus Sespim, September 2005, hlm.5. 66 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 2000, hlm 235. 44 Buruknya citra hukum seperti pelanggaran hak asasi manusia, sering disebut bahwa apa yang terjadi adalah kultur. Penulis tertarik untuk menyinggung persoalan kultur hukum dalam penelitian ini, dikarenakan kultur hukum merupakan salah satu unsur dari sistem hukum. Kultur hukum adalah tuntutan atau permintaan, dimana tuntutan tersebut datangnya dari rakyat atau pemakai atau para pemakai jasa hukum, seperti pengadilan. Dalam hal suatu sengketa penyelesaian bisa diambil dengan jalan adu fisik atau dengan dengan diwasiti oleh orang lain, atau meminta jasa pengadilan, tuntutan terakhir menghendaki penyelesaian oleh institusi hukum. Di belakang tuntutan tersebut terdapat faktor-faktor, seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum.67 Pada akhirnya hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarakat Indonesia, senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis seiring dengan perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, sosial maupun politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan dengan keadaan yang berubah, sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran manusia Indonesia.68 Tamsil tentang alam pikiran manusia Indonesia tentang perubahan hukum akan adanya pepatah Minangkabau sekaliaia gadang, sekali tepian beranjak (sekali air besar sekali tepian sungai berkisar). Ini berarti bahwa hukum (adat) berubah mengikuti keadaan masyarakat.69 Dalam paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran Pragmatic legal Realism yang dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound memiliki keyakinan 67 Ibid, hlm 153. Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung 2002, hlm 79 69 Loc.cit. 68 45 bahwa hukum adalah a tool of social engineering atau alat pembaruan masyarakat atau menurut Mochtar Kusumaatmaja sarana perubahan masyarakat, dalam konteks perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang lebih luas yang berorientasi pada: 70 1. Perubahan hukum melalui peraturan perundangan yang lebih bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal Manusia sebagai warga dunia, sehingga kedepan akan terjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter bangsa yang positif). 2. Perubahan Hukum harus membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan terhormat dimata pergaulan antarbangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana mencapai tujuan bangsa yang efektif. Perubahan Hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan baik yang berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh berbagai lembaga yang memiliki komitmen tentang pembaruan dan pembinaan hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan atau kevakuman hukum dalam berbagai segi kehidupan.71 Dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmaja harus dilakukan dengan jalan: 72 70 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Rajagrafindo Indonesia 2005, hlm 126. 71 Loc.cit. 72 Ilhami Bisri,Loc.cit, hlm 126. 46 a. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidangbidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat; b. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing; c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum; d. Memupuk kesadaran hukum masyarakat serta membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/negara ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Dalam kaitan dengan penelitian ini kerangka pemikiran yang disampaikan di atas diharapkan dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian Konsep Hak Asasi Manusia dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia. F. Metode Penelitian Metode penelitian hukum yang original adalah metode penelitian hukum normatif dimana metode pendekatannya adalah yuridis normatif.73 Dalam penelitian ini metode pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji secara logis yuridis teori-teori hukum hak asasi manusia yang dapat digunakan sebagai acuan mendapatkan jawaban mengenai bagaimanakah konsep hak asasi manusia yang dipergunakan dalam Konstitusi Indonesia dan bagaimanakah konsep yang dituangkan dalam Konstitusi Indonesia tersebut diimplementasikan dalam sistem hukum nasional serta apakah dalam penerapan konsep hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional Indonesia tersebut telah sejalan dengan konsep Internasional mengenai hak asasi manusia. Untuk mendapatkan kesimpulan dari implementasi instrumen hak asasi manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem 73 H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Monograf Pengantar Metode: Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Bandung, Januari 2005, hlm.7. 47 peradilan pidana di Indonesia, maka penelitian ini selain mengkaji peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum memperbandingkan dengan pengaturan hak nasional Indonesia, juga asasi manusia dalam hukum internasional termasuk di dalamnya bagaimana kebiasaan yang berlaku dalam hukum internasional dalam persoalan hak asasi manusia serta, bagaimana pnyelesaian persoalan hak asasi manusia dalam Keputusan Pengadilan Internasional seperti International Criminal Tribunal for Yugoslavia dan International Criminal Tribunal for Rwanda, dan bagaimanakah Prinsip-prinsip Hukum Umum Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam hukum internasional, baik dalam penyelesaian persoalan melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dan prinsip-prinsip hukum umum hak asasi manusia yang merupakan asas dalam hak asasi manusia yang seharus diatur dalam hukum nacional dihubungkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia. Spesifikasi Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan teori-teori hukum hak asasi manusia yang dapat diterapkan meneliti implementasi instrumen hak asasi manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia. Penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari bahan pustaka.74 Di dalam penelitian hukum, data sekunder meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: 74 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 12. 48 a. Norma (dasar) atau kaidah dasar,yaitu pembukaan Undang Undang dasar 1945. Dalam hal ini data didapatkan dalam bentuk konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945. b. Peraturan Dasar : i. Batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945. data didapatkan dari pengaturan dan konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam PasalPasal Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Bab XA sampai dengan Pasal 28 J mengenai Hak Asasi Manusia ii. Ketetapan-ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti yang terdapat dalam Tap MPR No XVII tahun 1998, dan Tap MPR yang lain yang berkaitan dengan hak asasi manusia. c. Peraturan perundang-undangan, data didapatkan dengan menemukan berbagai pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang seperti Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi manusia, Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004, dan peraturan perundang- undangan lain yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan jawaban dalam penelitian implementasi instrumen hak asasi manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia yang didapatkan dalam peraturan perundang- undangan lain seperti, Undang-Undang No 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau 49 Penghukuman lain yang Kejam Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang No 27 tahun 2004 tentang Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Keputusan Presiden No 129 tentang Rencana Aksi nasional Hak Asasi Manusia tahun 19982003, Keputusan Presiden No 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah nasional Tahun 2004-2009, dan data dalam perundangundangan lain yang dapat mendukung penelitian ini. d. Yurisprudensi, berupa data yang berkaitan dengan keputusan pengadilan nasional dan internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia, seperti Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia,International Criminal Tribunal for Rwanda, dan keputusan pengadilan lain yang dapat dipergunakan sebagai data dalam penelitian ini yang dapat dipergunakan sebagai bahan hukum dalam penelitian Implementasi Instrumen Hak Asasi Manusia Berat dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. e. Universal Declaration of Human Rights serta perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia seperti , International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No 12 tahun 2005, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan 50 Undang-Undang No 11 tahun 2005, Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, Aiming at the Abolition of the Death Penalty, dan Perjanjian Internasional lain yang dapat dipergunakan sebagai data dalam penelitian ini. f. Bahan Hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang merupakan terjmahan yang secara yurididis formal bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht ) 2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang,hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. 3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.75 Data yang termasuk bahan hukum tersier didapatkan antara lain dalam United Nations Human Rights Question and Answer, New York, United Nations Department of Public Information, 1993. Black’s Law Dictionary, dan indeks kumulatif kemajuan hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Data sekunder dalam penelitian ini akan diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam implementasi instrument hak asasi 75 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Penerbit Universitas Indonesia, 1986, hlm 52. 51 manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, peraturan perundang-undangan nasional Indonesia dengan perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak asasi manusia, serta dari rancangan undang-undang dalam sistem hukum nasional yang mengandung konsep hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional Indonesia, dan hasil penelitian dari para ahli hukum hak asasi manusia, serta berbagai upaya yang dilakukan oleh Indonesia untuk memperbaiki hak asasi manusia dengan berpedoman pada perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan, yaitu memperoleh data sekunder yang dapat berupa bahan primer dan bahan sekunder. Seluruh data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode yuridis kualitatif. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory, Teori Hak Asasi Manusia sebagai Middle Range Theory dan Teori Hukum Pembangunan dan Sistem Peradilan Pidana sebagai Applied Theory, dengan memperhatikan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional.. Ruang lingkup penelitian ini meliputi implementasi instrument hak asasi manusia dalam pelanggaran hak asasi manusia berat dihubungkan dengan sistem peradilan pidana Indonesia. 52 Berkaitan dengan metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yang menggunakan data sekunder, maka lokasi penelitian direncanakan dilakukan di lokasi-lokasi dimana data sekunder tersebut bisa didapatkan seperti di perpustakaan-perpustakaan dan lembaga-lembaga yang berkompeten di bidang HAM, baik lembaga pemerintah ataupun lembaga non pemerintah yang direncanakan yaitu : 1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. 2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta 3. Perpustakaan ELSAM 4. Perpustakaan Komisi Nasional Hak asasi manusia Indonesia,Jakarta 5. Perpustakaan Erasmus Huis Jakarta 6. Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti Jakarta 7. Perpustakaan National University of Singapore 8. Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor Leste. 9. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta 10.Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di Jakarta 11.Mahkamah Konstitusi 53 BAB II NEGARA HUKUM,HAK ASASI MANUSIA TEORI HUKUM PEMBANGUNAN ,SISTEM HUKUM PIDANA DAN SISTEM PERADILAN PIDANA A. Negara Hukum dan Hak Asasi manusia Sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia Indonesia mengatur hak asasi manusia didalam Konstitusinya yaitu undangundang dasar 1945, sebagaimana halnya juga konstitusi negara-negara didunia.76 Dalam hal pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi Negara Republik Indonesia disini terlihat suatu bentuk tanggung jawab hak asasi manusia oleh Negara yang diatur dalam hukum dasarnya yang tertuang dalam hukum dasarnya tetapi juga bagaimana implementasi dari ketentuan tersebut dalam pemenuhan hak asasi dari warga negaranya.77 Konsep hak asasi manusia yang dituangkan dalam sistem hukum Indonesia tidak dapat dipisahkan dari situasi yang melingkupinnya pada saat itu yang tidak dapat dilepaskan dari suasana untuk melepaskan diri dari kolonialisme yang dimaksudkan untuk mendapatkan kemerdekaan sehingga Hak asasi manusia yang mendasari hak asasi manusia lainnya yang terdapat dalam konstitusi Indonesia adalah apa yang terdapat dalam alinea pertama 76 dari Pembukaan Kuntjoro Purbopranoto,Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila,Pradnya Paramita,Jakarta,1979,h.64 77 Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol .20, No I Januari 2005 54 Undang-Undang Dasar 1945 yang berunyi : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.78 Dalam Pasal 1 ayat(3) Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pernyataan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud bukanlah sekedar sebagai negara hukum dalam arti formil, apalagi hanya sebatas sebagai negara penjaga malam yang hanya menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran atau menindak para pelanggar hukum.79 Pengertian negara hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum dalam arti luas. Negara hukum dalam arti luas mengandung makna bahwa: Pertama, negara dengan produk hukumnya bukan saja melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; kedua dalam suatu negara hukum, konstitusi yang merupakan hukum dasar (yang merupakan pedoman dalam penyelenggaraan negara baik aparatur negara maupun warga negara, dalam menjalankan peran, hak dan kewajiban ataupun tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam bernegara) bisa berbentuk tertulis (UUD 1945) tetapi juga hukum dasar lain yang tidak tertulis yang timbul dan terpelihara yang berupa nilai-nilai dan norma-norma dalam praktek penyelenggaraan negara yang disebut konvensi; dan ketiga, bahwa sumber 78 yang hidup Ibid Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003, hlm 46. 79 55 hukum di Indonesia menyangkut seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku.80 Dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 : ”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”81 Dalam Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia: ”Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati,universal, dan abadi sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa.”82 Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: ”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,pemerintah,dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”83 Secara tersurat pengakuan terhadap konsep hak asasi manusia yang universal dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam bagian menimbang butir b dikatakan: “Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa, menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”84 80 Ibid. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 82 Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Pembukaan alinea kedua 83 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 84 Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 81 56 Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR/1998 pada butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap universalitas HAM yang didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights: “Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.”85 Pada Piagam Hak asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari TAP MPR NO XVII/MPR/1998 pada Pembukaan alinea keempat dikatakan : “Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights). Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan dalam deklarasi tersebut.”86 Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia, pada bagian menimbang pada butir d dikatakan: “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument internasional lain yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”87 Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Bagian I Umum alinea 4 dikatakan: “Untuk melaksanakan amanat ketetapan MPR RI No XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39 85 Idem, Bagian B Landasan, Butir 2 Piagam Hak asasi manusia Indonesia. 87 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia. 86 57 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan Undang-Undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia”88 Dalam perjalanan Negara Republik Indonesia sesungguhnya sejarah Hak Asasi Manusia sudah terpikirkan oleh pendiri negara dengan kondisi yang terjadi pada waktu itu sebagaimana yang tergambar dalam perdebatan dalam sidangsidang BPUPKI yang merupakan sejarah penting dalam perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia : Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidangsidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya. Karena itu, menarik apabila kita menyimak sedikit perdebatan tersebut. Mengapa Soekarno dan Supomo menolak pencantuman pasal-pasal hak warga negara dalam Konstitusi Indonesia. Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara --yang dalam istilah Soekarno disebut dengan 88 Penjelasan atas Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 58 “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee”-- yang tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara itu --yang berasal dari revolusi Prancis, merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia. Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak asasi yang dirumuskan dalam UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan negara-negara lain mendasarkan versinya pada asas liberalisme.89 Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga negara di dalamnya. Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak mencantumkan hak-hak warga negara: “... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan rights of the citizens yang sebagaidianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”. “... Buat apa membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau grondwet tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi “droits de I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kepada paham kekeluargaan, faham tolongmenolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiaptiap pikiran, tiap-tiap faham individualism dan liberalisme dari padanya”.90 89 Solly Lubis,Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997,hlm.6. Dikutip dari Pidato Soekarno Tgl 15-7-1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh R.M.A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2004,hlm.352. Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008. 90 59 Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia.91 Menurut paham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat. Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham inilah yang mendasari argumen Supomo. Sebaliknya, mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi kuatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Berikut argumen Hatta: “Tetapi satu hal yang dikuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya 91 Pidato Supomo tgl 31 mei 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh R.M.A.B.Kusuma. Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.238 Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.238 60 untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas UndangUndang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui”. “Sebab itu ada baiknya dalam satu pasal, misalnya pasal yang mengenai warga negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warganegara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan,sebab negara didasarkan kepada kedaulatan rakyat”.92 Demikian juga dengan Yamin yang menolak dengan keras argumen- argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam UndangUndang Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya, menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).93 Disadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi di Jerman 92 Dikutip dari Pidato Hatta Tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI berdasarkan naskah yang dihimpun oleh R.M.A.B. Kusuma,Ibid,hlm.345-355 Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008 93 Dikutip dari pidato Mohamad Yamin tgl 15 Juli 1945 di BPUPKI berdasarkan naskah yang dihimpun oleh R.M A.B. Kusuma, ibid,hlm 380. Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.238 61 menjelang Perang Dunia II, apabila dalam Negara yang mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara. Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi.Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undangundang,tetapi juga dalam arti konseptual.94 Konsep yang digunakan adalah “HakWarga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena dilahirkan sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negaraditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian ofhuman rights” –sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia. Perdebatan dalam penyusunan hak asasi manusia dalam periode awal kemerdekaan, apa yang terdapat dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 memperlihatkan suatu keadaan yang berkaitan dengan bagaimana menyikapi hak asasi manusia pada waktu itu yang terlihat dalam pembukaan sebagai berikut : ”penentangan adanya segala bentuk penjajahan atas semua bangsa, memajukan kesejahteraan umum, keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, T.Mulya Lubis,In Search of Human Rights Legal Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966 -1990,Published by PT Gramedia Pustaka Utama In Cooperation with SP3ES Foundation Jakarta,1993, hlm .5.Sebagaimana Sebagaimana dikutip dalam Rona K.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta,2008,hlm.239 94 62 perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, sangat dipengaruhi oleh situasi politik Indonesia yang baru saja lepas dari pengalaman pahit dijajah oleh kolonialisme Belanda. Bahasa Ato Masuda, “di dalam UUD Tahun 1945 ini tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mulukmuluk tetapi tidak berisi seperti dalam Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS 1950, akan tetapi di dalamnya cuma terdapat ketentuanketentuan mengenai hubungan di antara orang-orang Indonesia dan negaranya yang sedang berjuang untuk kemerdekaan nasionalnya.95 Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dalam periode awal kemerdekaan merupakan suatu periode dimana UUD 1945 merupakan suatu produk yang dibuat secara tergesa-gesa sehingga mengandung kekosongan termasuk di dalamnya berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia.96 Seperti diketahui, pemikiran anti HAM dalam perdebatan dan perumusan UUD 1945 di BPUPKI memang lebih dominan. Akan tetapi berkat kegigihan Mohamad Hatta danYamin,beberapa pasal tentang HAM seperti jaminan atas kebebasan beragama dan kebebasan berserikat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan lain sebagainya, bisa masuk di dalam konstitusi tersebut, Kalau ditelusuri lebih mendalam substansi nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari seluruh gerak perjuangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan Deklarasi Universal HAM ( Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948, primus interpares hak-hak asasi manusia adalah dignity of man, kemuliaan manusia.97 Padanan kata Inggris “dignity” didalam bahasa Indonesia adalah derajat atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu yang melekat 95 Ato Masuda, Negara Republik Indonesia, Tahun 1945 dan Perbandingannya dengan UUD Jepang,Universitas Jakarta, 1962,hlm.61.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005. 96 Bagir manan,Perkembangan UUD 1945,FH.UII Press Yogyakarta,2004, hlm.17, .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005. 97 Adnan Buyung Nasution,Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Nasional VII/ Denpasar Bali 14-18 Juli 2003 63 dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau kita perhatikan seluruh konvensi dan atau kovenan internasional berikut protokolnya tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam hak asasi manusia terkait dan dirumuskan dalam kerangka (melindungi, menghormati atau meninggikan) martabat manusia. Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak abad ke 12, bahkan lebih subur lagi mulai abad ke 15 dan 16 dalam sejarah Eropa. Tumbuh suburnya pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan raja-raja yang menindas dan sewenang-wenang. Kesepakatan internasional tentang HAM yang termuat dalam DUHAM dicapai karena adanya keprihatinan bersama mengenai terinjak-injaknya martabat manusia dalam dua kali perang dunia, terutama dalam Perang Dunia II. Sebaliknya, terhina-dinakannya martabat manusia Indonesia terkait dengan kejamnya penguasa kolonial yang dimulai abad ke-15, justru pada saat di Eropa, negara asal para penjajah dunia ketiga, sedang tumbuh pemikiran mengenai hak-hak alamiah manusia untuk memuliakan manusia. Perdebatan mengenai orientasi pendidikan dan budaya dalam rangka memajukan martabat manusia Indonesia. Soetatmo lebih berorientasi budaya dan nasionalisme Jawa, sedangkan Tjipto lebih mengajukan tawaran pemikiran untuk lebih berorientasi nilai-nilai budaya moderen sehingga gagasan nasionalisme yang ditawarkannya bukanlah yang berorientasi Jawa tetapi nasionalisme yang moderen. Apa yang disengketakan adalah soal cara dan orientasi budaya, tetapi keduanya berpikir sama dalam kerangka mengangkat martabat manusia. Orientasi 64 pemikiran tersebut bukan hanya sampai pada perlunya pengembangan nasionalisme Indonesia yang moderen, tetapi bagi Tjipto sampai pada perlunya pengembangan demokrasi. Tjipto memandang, demokrasi lebih sesuai dengan cita-cita meningkatkan martabat manusia Indonesia. Pergulatan dalam merumusan cita-cita perjuangan bangsa ini berkembang terus hingga mencapai puncaknya yang ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928, yaitu peristiwa monumental disana diikrarkan sosok bayangan keindonesian: Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Indonesia. Deklarasi Sumpah Pemuda dapat ditafsirkan sebagai bingkai untuk mewujudkan upaya meninggikan martabat manusia Indonesia dalam suatu ikatan kebangsaan. Didalamnya implisit hasrat mewujudkan suatu Negara Indonesia. Dan di dalam Negara Indonesia itu, menurut Hatta, yang berlaku adalah “Daulat rakyat”. Bentuk negaranya itu sendiri,sebagaimana Sebelumnya sudah dicanangkan oleh Tan Malaka, adalah republic sebagai alternatif dari sistem pemerintahan penjajah, bukan kerajaan. Sejak itu dengan meminjam judul buku Tan Malaka, sejarah perjuangan bangsa adalah tidak lain merupakan perjuangan menuju republik. Dicapainya Proklamasi Kemerdekaan tanggall 17 Agustus 1945 dapat dipandang sebagai puncak dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa tersebut. Para pendiri bangsa itu sendiri, menandai peristiwa monumental itu sebagai “pintu gerbang” bagi proses pemerdekaan bangsa Indonesia. Mengacu kepada pikiran Bung Karno,proses pemerdekaan ini mencakup kedalam maupun keluar. Pemerdekaan kedalam mengandung arti sebagai proses pemerdekaan rakyat Indonesia dalam rangka memanusiakan setiap individu manusia Indonesia agar 65 menjadi manusia yang sederajat dengan manusia-manusia dari bangsa lain. Proses memerdekakan manusia Indonesia dimaksudkan agar setiap orang Indonesia, apapun suku bangsa, agama, keturunan, ras, warna kulit ataupun latar belakang sosial dan budayanya, semuanya harus dipandang, diakui dan dihormati sama kedudukan dan martabatnya. Dengan lain perkataan proses pemerdekaan manusia Indonesia adalah upaya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari segala bentuk penindasan penghinaan dan pelecehan dari siapapun atau oleh siapapun, tidak terkecuali diri pemerintah negaranya sendiri sehingga mereka menjadi tuan di negaranya sendiri yang dihormati oleh semua orang. Pemerdekaan keluar berarti proses peningkatan harga diri bangsa Indonesia dalam pergaulan Internasional melalui berbagai upaya diplomatik, sehingga diterima sebagai bangsa bermartabat dan masuk dalam jajaran bangsabangsa beradab didunia. Upaya-upaya untuk mewujudkan kesederajatan sebagai sebuah bangsa ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia diterima dan memperoleh pengakuan dari bangsa lain atas dasar kesederajatan tersebut. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Pemerdekaan rakyat di dalam negeri merupakan prasyarat bagi peningkatan derajat bangsa secara keseluruhan di forum internasional. Dari sudut pandang inilah pentingnya. Dari sudut pandang inilah pentingnya legislasi HAM dalam konstitusi berikut undang-undang organik serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena merupakan dasar bagi upaya peningkatan dan pengakuan bangsa lain atas tinggi-rendahnya bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab. 66 Kekuasaan bangsa sendiri yang otoriter dan dari berbagai keterbelakangan yang merendahkan martabat manusia Indonesia. Semuanya itu ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonsia. Tujuan mengangkat harkat dan martabat setiap manusia Indonesia inilah yang dimaksudkan sebagai perspektif perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dengan sendirinya harus dipahami sebagai komitmen Nasional. Dalam perkembangannya selanjutnya terdapat tahapan pengaturan hak asasi manusia dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Konstitusi RIS jauh lebih lengkap, dan dimasukkan dalam suatu bagian tersendiri, oleh UUDS 1950, yaitu dalam Bagian V yang meliputi 27 pasal (lihat pasal 7 sampai pasal 34). Yamin sendiri mencatat dalam kitabnya “Proklamasi dan Konstitusi RIS”, sebagaimana dikutip oleh Koentjoro, menyatakan bahwa “Konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah satu-satunya dari segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi manusia itu ke dalam Konstitusi” 98 Dalam masa pemberlakuan UUDS, krisis yang terjadi sepanjang tahun 1950-1959, melakukan pembentukan pengganti UUDS. Setelah melalui Dekrit Presiden 1959, Soekarno yang saat itu kecewa dengan hasil sidang Dewan Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945 dan menyatakan adanya Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), dengan jalan yang sesungguhnya “inkonstitutional”. Pemberlakukan kembali UUD 1945 yang diharapkan memberikan proses demokratisasi dan penopang jaminan hak-hak asasi manusia, 98 Koentjoro Poerbopranoto,Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia,Groningen.J.B Wolters,Jakarta,1953,hlm.92. 67 sangat berat dilakukan, karena banyak sekali praktek penyalahgunaan kekuasaan yang justru diawali dari sang pemimpin itu sendiri. Uraian di atas, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian sebagai catatan perkembangan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia. Pertama, bahwa senyatanya pengaturan hak asasi manusia dalam UUD yang dibuat tahun 1945 memang dibuat sangat cepat untuk memanfaatkan momentum kemerdekaan, sehingga hanya hak-hak tertentu yang menurut pembentuk/perumus UUD 1945 penting dimasukkan, atau dalam arti lain belum semua hak tercantum dalam pasal-pasalnya. Ini adalah suatu kewajaran alias kelaziman, bahwa tiada negara yang baru lahir bisa menghasilkan kesempurnaan hukum-hukum yang mengatur, jadi pastilah terjadi kekurangan di sana-sini. Ini pulalah yang nampak terjadi dalam pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia dalam UUD yang dibuat tahun 1945. Kedua, bahwa pengaturan hak-hak asasi manusia, bila dibandingkan dan dipersandingkan dengan yang dimiliki Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 yang jauh lebih lengkap, adalah sangat wajar. Kedua konstitusi terakhir ini diyakini lebih dipengaruhi oleh diskursus hak-hak asasi manusia yang mendunia pasca ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights 1948 oleh United Nations (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM 1948, Perserikatan BangsaBangsa/PBB). Hal ini pula sangat dimungkinkan oleh suasana politik internasional saat itu, yang mana isu tuntutan jaminan hak asasi manusia memang sangat mengemuka di negara manapun sebagai upaya mengakhiri perang dunia ke-2. Oleh sebab itu, pandangan hak asasi manusia yang lebih liberal cukup kelihatan dalam dua konstitusi tertulis di Indonesia tersebut (1949-1950). Ketiga, 68 bahwa konstitusi yang kurang atau belum lengkap mewadahi pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia, sangat berpotensi membuka ruang tafsir penguasa untuk melindungi kepentingan-kepentingannya dibandingkan perlindungan hak-hak rakyatnya. Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen IIV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, bahwa konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dalam pasalpasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang nampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948. Dalam Amandemen UUD 1945 terlihat keinginan untuk menuangkan hak-hak yang diakui secara universal ke dalam Konstitusi dengan melihat kepada perkembanga pengaturan hak asasi manusia. Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soalsoal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali. 69 Tahun 1998 merupakan titik awal dari Reformasi di Indonesia, reformasi hukum termasuk di dalamnya keinginan dari bangsa Indonesia untuk memperbaiki berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak asasi manusia dengan kata lain bangsa Indonesia ingin membangun hak asasi manusia dalam sistem hukum Indonesia. Keinginan untuk mewujudkan perbaikan di bidang hak asasi manusia diwujudkan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia tentang Hak Asasi Manusia dan Piagam Hak Asasi Manusia. Ketetapan MPR ini kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden republik Indonesia No 129 Tahun 1998 mengenai Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, yang kemudian Pasal mengenai hak asasi manusia termuat dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan diaturnya hak asasi manusia secara khusus dalam Bab X A Pasal 28 A sampai dengan 28 J. Hal ini menunjukan keinginan dari bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang berkewajiban untuk menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuantujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia. Sebagai bangsa yang menghormati hak-hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pandangan hidup, falsafah bangsa dan landasan konstitusional bagi negara kesatuan Republik Indonesia tentunya bangsa Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan hak asasi manusia dalam semua sendi kehidupan bangsa Indonesia. 70 Notonagoro dalam bukunya Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila mengatakan: ” Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pernyataan Kemerdekaan yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila sebagai Dasar Negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat dirubah oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil pemilihan Umum, yang berdasarkan pasal 3 dan pasal 37 Undang-Undang Dasar berwenang menetapkan dan merubah undang-undang Dasar, karena merubah isi Pembukaan berarti Pembubaran Negara.”99 Penulis menggunakan apa yang dikatakan oleh Notonagoro dalam penelitian ini, dikarenakan bahwa bagaimanapun berkembangnya zaman yang berpengaruh pada aturan-aturan hukum maka tidak dapat meninggalkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dikarenakan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 itu merupakan yang dinamakan pokok kaidah fundamental daripada negara Republik Indonesia dan mempunyai kedudukan tetap terlekat kepada kelangsungan negara Republik Indonesia atas Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. “Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menurut sejarah terjadinya, ditentukan oleh pembentuk negara dan menurut isinya memuat asas kerohanian negara (Pancasila), asas politik negara (Republik yang berkedaulatan rakyat), tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial), lagi pula menetapkan adanya suatu undang-undang dasar negara Indonesia, jadi Pembukaan dalam segala sesuatunya memang memenuhi syarat-syarat mutlak bagi suatu pokok kaidah Negara yang fundamentil.”100 99 Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pantjuran Tudjuh, Jakarta 1967, hlm17. 100 Idem, hlm 20 71 Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Republik Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”101 Demikian gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal UndangUndang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu.Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga- 101 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 72 lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya 73 ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis proreformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik(KIHSP). Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2). Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (19571959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politikhukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia. 74 Periode reformasi merupakan periode yang sangat mendukung bagi perkembangan hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode. Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi,sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak,perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumeninstrumen internasional hak asasi manusia,seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Righs, International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights,International Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Undang-undang ini telah mengadopsi norma- 75 norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut. Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan undang-undang. Hal yang menarik dalam undang-undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya undang-undang tersebut (Bab IX). Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah “ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua 76 ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan “stuffenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm theory), normakonstitusi lebih tinggi daripada undangundang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua. Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia yang diratifikasi itu meliputi: (i) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan; (ii) Konvensi Internasional tentang Hak Anak; (iii) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; (iv) Konvensi Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah Raga; (v) Konvensi Internasional tentang (Anti?) Menentang Penyiksaan; (vi) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; (vii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; dan (viii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dibanding dengan jumlah instrumen internasional pokok hak asasi manusia, maka sebetulnya tingkat ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan, Filipina,misalnya, telah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi internasional hak asasi manusia. Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut.Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan 77 dengan terencana. Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya dimulai pada 1998-2003, telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrument-instrumenhak asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun kedua (2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut ini: (i) Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005); (iv) Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi. Sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu dengan mengutip beberapa pendapat sarjana, maka negara hukum menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu unsur yang harus terdapat di dalamnya. Hak asasi manusia di Indonesia terus berkembang sejak Undang-Undang dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 hingga Undang-Undang 1945 Amandemen, yang tentunya berkembang sesua dengan kondisi yang terjadi ketika Undang-Undang Dasar itu berlaku, tetapi pengaturan hak asasi manusia tetap mengikuti 8 prinsip utama yaitu universalitas, pemartabatan terhadap manusia (human dignity), non-diskriminasi, persamaan 78 (equality), indivisibility, inalienability, saling ketergantungan (interdependency), dan tanggung jawab (responsibility).102 Pemerintah termasuk masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hakhak asasi manusia. Ini menunjukkan bahwa hak-hak asasi manusia itu ada dan harus dihormati oleh seluruh umat manusia di dunia manapun, tidak tergantung pada wilayah atau bangsa tertentu. Hak asasi manusia berlaku menyeluruh sebagai kodrat lahiriah setiap manusia. Universalitas hak-hak asasi manusia, pada kenyataannya, masih juga tidak sepenuhnya diterima oleh negara-negara tertentu yang menolak kehadiran prinsip universalitas. Perdebatan ini sesungguhnya muncul di saat memperbincangkan apakah Universal Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, selanjutnya disingkat DUHAM 1948) itu memiliki prinsip universal ataukah tidak. Sebagaimana mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad yang menyatakan bahwa, DUHAM 1948 itu sangat menganut paham kebebasan yang bersala dari konsep barat, dimana penandatangan deklarasi tersebut hanya seperempat negara-negara yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekarang, artinya hanya sekitar 50-an negara yang kebetulan mayoritas dari negara-negara yang disebut ‘barat’. Mahathir mencontohkan soal betapa hak-hak politik dan kebebasan begitu dominan mewarnai hak-hak asasi manusia, padahal di negara-negara miskin maupun berkembang (negara dunia ketiga), hak-hak 102 Flower, N . The Human Rights Education Handbook: Effective Practises for Learning Action And Change, Minneapolis,MN. University of Minnesota,2000, dan Ravindran.D.J. Human Rights Praxis : A Resources Book for Study,Action and Reflection,Bangkok,Thailand, The Asia Forum for Human Rights and Development,1988. .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005. 79 ekonomi sosial budaya (Hak Ekosob) menjadi hak yang sangat penting. Bagi negara dunia ketiga, mengisi perut orang yang lapar (hak atas pangan) dan hak pendidikan lebih penting dibandingkan soal hak pilih dalam PEMILU.103 Begitu juga, mempertentangkan universalitas dengan relativisme budaya (universality vs. cultural relativism). Perbincangan ini sebenarnya tidak perlu terjadi bilamana memahami hak-hak asasi manusia yang universal maupun tidak, didasarkan pada kontekstualisasi tertentu, yang bisa dipengaruhi oleh kekuasaan politik, kekuatan ekonomi, maupun realitas sosial budaya yang melahirkan keragaman pendapat soal tersebut. Artinya, hak asasi manusia tidak menjadi universal bilamana dilihat dari perspektif tertentu, dari sudut pandang yang berbeda. Prinsip yang kedua, pemartabatan terhadap manusia (human dignity). Prinsip ini menegaskan perlunya setiap orang untuk menghormati hak orang lain, hidup damai dalam keberagaman yang bisa menghargai satu dengan yang lainnya, serta membangun toleransi sesama manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pluralisme sosial, termasuk di dalamnya keragaman budaya dan hukum-hukum lokal, menjadi identitas peradaban tertentu yang sangat berharga dalam mengemban amanat saling menjaga dan mendorong upaya kebersamaan untuk hidup berdampingan, khususnya manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Allah. Penghormatan terhadap manusia, bukanlah sekedar pekerjaan individual manusia, tetapi juga dalam kolektiva-kolektiva lebih luas seperti dalam kehidupan masyarakat maupun bernegara. Sehingga kewajiban untuk menghormati manusia 103 Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia baru, Menggugat Dominasi Global Barat, bandung,Mizan,1993,hlm.21. .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005. 80 sebagai manusia tersebut merupakan tanggungjawab hak-hak asasi manusia. Oleh sebabnya, dengan adanya prinsip ini maka tidak mungkin praktik yang memperkenankan siapapun untuk melakukan eksploitasi, memperbudak, menyiksa, ataupun bahkan membunuh hak-hak hidup manusia. Dalam prinsip ini setiap orang harus menghargai manusia tanpa membeda-bedakan umur, budaya, keyakinan, etnisitas, ras, gender, orientasi seksual, bahasa, komunitas disable/berbeda kemampuan, atau kelas sosial, sepatutnya dihormati dan dihargai. Prinsip yang ketiga, non-diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi sebenarnya bagian integral dengan prinsip persamaan, dimana menjelaskan bahwa tiada perlakuan yang membedakan dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak seseorang. Pembedaan, baik berdasarkan kelas/bangsa tertentu, agama, suku, adat, keyakinan, jenis kelamin, warna kulit dan sebagainya, adalah praktek yang justru menghambat realisasi hak-hak asasi manusia. Jelas dan tegas, bahwa hak-hak asasi manusia melarang adanya diskriminasi yang merendahkan martabat atau harga diri komunitas tertentu, dan bila dilanggar akan melahirkan pertentangan dan ketidakadilan di dalam kehidupan manusia. Prinsip yang keempat, equality atau persamaan. Prinsip ini bersentuhan atau sangat dekat dengan prinsip non-diskriminasi. Konsep persamaan menegaskan pemahaman tentang penghormatan untuk martabat yang melekat pada setiap manusia. Hal ini terjelaskan dalam pasal 1 DUHAM 1948, sebagai prinsip hak-hak asasi manusia: “Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat serta hak-hak yang sama.” Konsekuensi pemenuhan persamaan hak-hak juga menyangkut kebutuhan dasar seseorang tidak boleh dikecualikan. Persamaan, 81 merupakan hak yang dimiliki setiap orang dengan kewajiban yang sama pula antara yang satu dengan yang lain untuk menghormatinya. Salah satu hal penting dalam negara hukum, adalah persamaan di muka hukum, merupakan hak untuk memperoleh keadilan dalam bentuk perlakuan dalam proses peradilan. Prinsip yang kelima, indivisibility. Suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait dengan pandangan yang menyesatkan tentang membeda-bedakan atau pengutamaan hak-hak tertentu dibandingkan hak-hak lain. Hak sipil dan politik, sangat tidak mungkin dipisahkan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, karena keduanya satu kesatuan, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya. Prinsip yang keenam, inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal tertentu, agar hak-hak tersebut bisa dikecualikan. Misalnya, hak pilih dalam pemilu, tidak bisa dihilangkan hanya dengan dibeli oleh orang yang mampu dan kemudian menggantikan posisi hak pilih. Atau juga hak atas kehidupan yang layak, tidak bisa dipertukarkan dengan perbudakan, meskipun dibayar atau diupahi. Manusia sebagai makhluk yang memiliki hak-hak asasi tidak bisa dilepaskan dari hak-hak tersebut. Prinsip yang ketujuh, interdependency (saling ketergantungan). Prinsip ini juga sangat dekat dengan prinsip indivisibility, dimana setiap hak-hak yang dimiliki setiap orang itu tergantung dengan hak-hak asasi manusia lainnya dalam ruang atau lingkungan manapun, di sekolah, di pasar, di rumah sakit, di hutan, desa maupun perkotaan. Misalnya, kemiskinan, dimana dalam situasi tidak 82 terpenuhinya hak atas pendidikan, juga sangat bergantung pada penyediaan hakhak atas pangan atau bebas dari rasa kelaparan, atau juga hak atas kesehatan yang layak, dan hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Artinya, hak yang satu dengan yang lainnya sangat tergantung dengan pemenuhan atau perlindungan hak lainnya. Prinsip yang kedelapan, tanggung jawab (responsibility). Prinsip pertanggungjawaban hak-hak asasi manusia ini menegaskan bahwa perlunya mengambil langkah atau tindakan tertentu untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia, serta menegaskan kewajiban-kewajiban paling minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk memajukannya. Pertanggungjawaban ini menekankan peran negara, sebagai bagian dari organ politik kekuasaan yang harus memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Termasuk mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang diambil sebagai kebijakan tertentu dan memiliki pengaruh terhadap kelangsungan hak-hak rakyat. Peran negara menjadi vital, bukan soal mengambil tindakan tertentu (by commission), tetapi negara juga bisa dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia, sementara negara sama sekali tidak mengambil tindakan apapun (by omission). Unsur pertanggungjawaban (terutama negara), adalah bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip hak-hak asasi manusia agar bisa terwujudkan. Selain negara, aktor nonnegara juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memajukan hak-hak asasi manusia, baik secara individual maupun kolektiva sosial dalam organisasi kemasyarakatan. Secara individu, setiap orang dituntut untuk berani melawan 83 ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia di depan matanya, mengajarkan dan mendorong pemahaman dan penghormatan hak-hak asasi manusia bagi sesama. Kedelapan prinsip-prinsip tersebut, merupakan hal yang mendasar untuk mengkaji hak-hak asasi manusia, baik terhadap tekstualitas maupun kontekstualitasnya, dalam pengertian untuk mempelajari sejarahnya, instrumen hukum, dan praktek implementasinya di lapangan. Hampir sependapat dengan Masuda, adalah Solly Lubis yang menyatakan bahwa, hak-hak asasi yang dirumuskan dalam UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan negara-negara lain mendasarkan versinya pada asas liberalisme.104 Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia. Kedua pasal tersebut juga memiliki konsepsi tersendiri sebagai elemen kewajiban negara. Konsepsi dalam pasal 28I ayat (4), sebagai konsep realisasi 104 Solly Lubis,Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997,hlm.6. 84 progresif (progressive realization), yang secara substansi menegaskan bahwa negara harus memajukan kondisi hak-hak asasi manusia secara berkelanjutan, maju (tiada kesengajaan/kelalaian untuk mundur), dan jelas ukuran atau tahapannya. Sedangkan pasal 28I ayat (5), disebut sebagai konsepsi pendayagunaan kewenangan dan instrumentasi hukum. Artinya, negara dalam menjalankan kewajibannya bisa menggunakan segala kewenangannya terutama untuk membangun instrumentasi hukum sebagai sarana yang melindungi hak-hak masyarakat, baik dalam pembentukan sarana-sarana kelembagaan yang melindungi hak-hak asasi manusia maupun proses legislasi. Bila diperbandingkan, khususnya dalam diskursus hukum tanggung jawab negara atas hak asasi manusia, terutama bila kita menyimak perdebatanperdebatan dalam sidang umum PBB untuk melihat laporan hasil kemajuan rutin masalah hak asasi manusia di setiap negara, dikenal pula konsepsi tanggung jawab negara dalam mandat hukum internasional. Konsepsi tersebut disandarkan pada instrumentasi hukum hak asasi manusia internasional, yakni pasal 2 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (selanjutnya Konsepsi ‘achieving progressively the full realization’ dan ’by all appropriate means including particularly the adoption of legislative measures’, merupakan konsepsi yang hampir sama dengan konstruksi hukum yang diatur dalam pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD 1945. Dalam UU HAM, juga sama dengan kontruksi hukum yang ada dalam UUD 1945, yakni mendayagunakan kewenangan dan sarana-sarana hukum, baik pembentukan lembaga dan hukum baru, review perundang-undangan atau kebijakan, atau juga ratifikasi aturan hukum internasional.105 105 Herlambang Perdana Wiratraman,Loc cit. 85 Secara konsepsional, tanggung jawab negara yang dimiliki dalam UUD 1945 pasca amandemen dengan hukum HAM internasional masih kurang lengkap, sehingga faktor ini pulalah yang menyebabkan banyak permasalahan HAM. Oleh sebab itu, kegagalan negara dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia sesungguhnya telah dimulai dalam kerangka hukum normatifnya dalam konstitusi yang lemah dan tidak lengkap. Salah satu pemahaman (dari banyak varian konsep) terhadap penyejahteraan warga negaranya dalam konsep tanggung jawab negara adalah upaya perlindungan hukum bagi warganya sendiri. Artinya, hukum sebagai sarana dan sistem perlindungan bagi rakyat yang efektif, terutama dari berbagai upaya pemaksaan kehendak atau bentuk kekerasan yang dilakukan oleh organ/struktur yang berkuasa. Pendekatan sistem dalam bidang hukum, sebagaimana dikatakan oleh Victor M. Tschchikvadse dan Samuel L. Zivs, “ It is the system approach that makes it possible to visualize more clearly the whole of law as a complex series or relationship between branches of law and legal institutions. The system approach helps to reveal the special quality of law, considered as a whole in comparison with one of its branches or with a simple aggregate of branches. The system approach also makes it possible to reveal more clearly such important features of law as a unity and differentiation, the interaction and interrelation of the separate parts of elements.”106 Ini berarti, pendekatan sistem dalam bidang hukum memperhatikan pula bagaimana organ/struktur negara yang memiliki lembaga-lembaga (pembentuk, 106 Tschchikvadse, Victor M., The Syistem of Socialist Law, International Encyclopedia of Comparative Law, Tubingen,Mouton,The haque,Paris,J.C.Mohr (Paul Siebeck),1971, vol II,Bab 2. H. 115.Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005. 86 penegak) hukum bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dalam ruang kehidupan warga negaranya. Penelusuran terhadap pengakuan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi akan menjadi tema penting dilihat sebagai bagian dari kajian sistem ketatanegaraan yang ada. Karena pengalaman bangsa Indonesia yang berulang kali mengalami pergantian dan perubahan UUD, dan pergantian UUD dalam suatu negara, berarti peralihan dari tertib ketatanegaraan yang lama ke tertib ketatanegaraan yang baru, yang tentunya (atau seharusnya) menuju ke arah yang lebih sempurna dibandingkan sebelumnya. Dan ini pulalah yang menjelaskan situasi pendekatan hukumnya pemerintah dalam hak asasi manusia. Membicarakan pendekatan hukum, sebagai sarana perlindungan hukum bagi rakyat, adalah pendapat Hadjon, yang menyatakan “tindak pemerintahan” sebagai titik sentral, dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat: perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif, yang sifatnya mencegah sengketa. Adanya perlindungan hukum yang preventif tentunya akan mendorong pemerintah untuk bersikap lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.107 Untuk perlindungan hukum yang represif adalah berdasarkan penyelesaian suatu sengketa, dimana terdapat keragaman dalam berbagai sistem hukum di dunia ini. Misalnya, negara-negara dengan “civil law 107 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Cetakan Pertama, PT.Bina Ilmu,Surabaya, 1987, hlm 2. 87 system” mengakui adanya dua set pengadilan, yaitu pengadilan umum (biasa) dan pengadilan administrasi; sedangkan negara-negara dengan “common law system”, hanya mengenal satu set pengadilan, yaitu “ordinary court”. Dalam konteks hak-hak asasi manusia, khususnya yang diberlakukan dalam sistem hukum di Indonesia, kita mengenal adanya lembaga-lembaga yang menjadi sarana perlindungan hak-hak masyarakat. Lembaga-lembaga yang memiliki kewajiban dalam memberikan sarana perlindungan hukum bisa dilakukan oleh lembaga peradilan (judicial system) dan lembaga non-peradilan (non-judicial system). Lembaga peradilan yang menangani persoalan hak-hak asasi manusia, khususnya terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Pengadilan HAM. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum, dan khusus hanya menangani persoalan pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan). Sedangkan persoalan hak-hak asasi manusia lainnya, di luar pelanggaran HAM berat, dikategorikan sebagai tindak kriminal maka akan diselesaikan melalui proses peradilan umum. Dalam perspektif perlindungan publik atas kebijakan atau keputusan administratif pemerintah, maka perlindungan hak asasi manusia bisa diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketiga lembaga peradilan tersebut merupakan sarana perlindungan hak-hak asasi manusia yang dikenal dalam konteks sistem ketatanegaraan di Indonesia. lembaga non-peradilan yang dibentuk pemerintah untuk melakukan upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, antara lain Komisi Nasional 88 Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), dan Komisi Ombudsman Nasional. Kelembagaan non-peradilan yang juga terkait langsung dengan upaya perlindungan hak asasi manusia secara koordinatif membangun komunikasinya dengan lembaga atau departemen pemerintah lainnya, termasuk institusi kepolisian dan TNI.108 Meskipun demikian, pandangan terhadap sarana-sarana perlindungan hak asasi manusia tidak bisa dikerdilkan hanya pada lembaga peradilan dan lembaga non-peradilan yang disebutkan di atas, tetapi haruslah lintas departemen, dan menjadi tanggung jawab seluruh jajaran pemerintahan mulai dari Presiden hingga unit pemerintahan terkecil di bawah tanpa terkecuali. Bahkan bilamana diperlukan sarana-sarana tersebut membuka terhadap kerjasama internasional untuk mendukung upaya perlindungan hak-hak asasi manusia, sehingga permasalahan pelanggaran HAM akan dapat tercegah dan diselesaikan secara komprehensif, koordinatif dan strategis. Sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya sektoralisme penyelesaian masalah-masalah penegakan hak asasi manusia. Sejarah dari negara-negara yang memiliki konstitusi merupakan sejarah gerakan perjuangan rakyat melawan tirani dan absolutisme, suatu perjuangan dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan melawan kekuasaan yang sewenang-wenang dan mutlak. Oleh sebab itu, konstitusi, sekali lagi, bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan mengontrol pelaksanaan dari kekuasaan itu, sehingga hak dan kebebasan rakyat itu dapat mengimbangi kekuasaan dan pelaksanaan 108 Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005. 89 pemerintahannya. Dalam diskursus konstitusi pula, soal kebebasan dan kekuasaan adalah fungsi yang saling melengkapi secara timbal balik. Diskursus tersebut melihat sebesar apa hubungan fungsional antara keduanya, tarik ulur antara besarkecilnya kewenangan dan luas sempitnya kebebasan adalah suatu dinamika yang tak habis-habisnya dalam dunia politik. Termasuk keinginan untuk memasukkan pasal-pasal dalam soal hak asasi manusia dan tanggung jawab negara dalam pemenuhannya. Ayat hukum yang positif dan formal sifatnya, konstitusi itu tidak cuma menyuguhkan apa yang tersurat, melainkan juga menyiratkan ajaran atau doktrin penting tentang pembebasan dan kebebasan manusia hak-hak warga. Maka ajaran itu juga menjadi ‘isme’, disebut konstitutionalisme yang mengajarkan keyakinan bahwa kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan tidak sebaliknya bahwa kewenangan itulah yang menjamin terwujudnya kebebasan. Ide konstitutionalisme memiliki dua esensi doktrinal: Pertama, doktrin kebebasan sebagai hak manusia yang tak hanya asasi akan tetapi juga kodrati, yang tidak bisa diambil alih kapanpun oleh kekuasaan manapun dalam kehidupan bernegara (inalienability). Kedua, doktrin rule of law atau doktrin supremacy state of law, yang mengajarkan otoritas hukum itu secara universal mestilah mengatasi otoritas politik, dan tidak sebaliknya.109 Pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tersebut menjadi landasan bagi negara untuk melakukan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan 109 Soetandyo Wignyosoebroto, Konstitusi,Konstitusionalisme dan Hak Asasi Manusia, dalam Toleransi dalam Keragaman : Visi untuk Abad ke 21, Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia,Pusham Ubaya dan The Asia Foundation,Surabaya,Januari 2003,hlm 16-18 90 atas kebebasan warganya, dalam arti bahwa kebebasan yang menjadi hak konstitutional warga negara harus dijamin oleh negara melalui otoritas hukum yang dimilikinya. Oleh sebabnya, antara kebebasan dan otoritas yang dimiliki negara haruslah seimbang dalam arti tidak saling mengecilkan atau bahkan menegasikan. Dan yang menjadi unik dalam UUD 1945 pasca amandemen, otoritas hukum (oleh negara) tersebut haruslah pula difungsikan untuk menjamin tidak sekedar hak asasi manusia, melainkan juga menjamin berfungsinya pelaksanaan kewajiban asasi.Pengaturan secara khusus kewajiban asasi inilah merupakan salah satu corak konstitutionalisme di Indonesia yang ada pada UUD 1945 pasca amandemen. Pandangan yang cukup mendasar pula tentang konsepsi hak pernah pula diutarakan oleh Soepomo, yang mencoba merasakan adanya sifat khas pada orang Indonesia. Sehingga pada waktu menjadi arsitek UUD 1945, pikirannya itu dituangkan dalam arsitektur UUD. Salah satunya, dalam pidato Soepomo di Yogyakarta tahun 1927, Soepomo sudah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengertian antara ‘aku’ di Indonesia dan di Barat. Dikatakannya, bahwa ‘akoe di tanah kita melingkoengi golongannja, sedang ‘akoe’ di tanah Barat hanja melingkoengi diri sendiri’. Pandangan ini begitu saja ditebas oleh penganut paham HAM yang universal, seolah-olah itu adalah pandangan Soepomo pribadi yang notabene keliru.110 110 Attamimi ( 1990 : 50-64), dalam Satjipto Rahardjo, Manusia Indonesia dalam Hukum Indonesia, diambil dari Kumpulan Tulisan,Sisi-Sisi Lain dari dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2003,hlm. 39. .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005. 91 Sekedar dirujuk dari hanya soal kebebasan dan kewajiban asasinya. Perumusan konsep hak asasi manusia dalam setiap konstitusi dari masing-masing negara mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup, pengalaman, dan kepentingan masyarakat dari masing-masing negara di dunia. Yang itu berarti pelaksanaan atau perwujudan hak asasi manusia di tiap-tiap negara juga sangat dipengaruhi oleh sejarah perkembangan masyarakat dari masing-masing negara tersebut.111 Artinya ada dua aras dalam melihat corak konstitutionalisme, yakni aras tekstual yang mendeskripsikan konstitutionalisme dari sumber hukum dasarnya, dan aras tafsir konteks dan implementasi tekstualitasnya yang lebih melihat coraknya dari pengalaman sosial politik yang mewarnai pelaksanaannya. Tentu, mengkaji UUD 1945 pasca amandemen dari sisi corak konstitusionalisme yang demikian baik dalam aras tekstualnya, belum tentu sejalan dengan aras tafsir dan implementasi tekstualnya. Inilah ruang kajian yang demikian luas bagi studi-studi ketatanegaraan yang bisa dikembangkan lebih jauh, yang perkembangannya sejalan dan berdampingan dengan dinamika sosial politiknya. Bagaimanapun, pengaturan selengkap mungkin dan pokok-pokok hak-hak asasi manusia diperlukan sebagai dasar perlindungan rakyat secara menyeluruh, karena pergulatan pemikiran yang baik dan dipenuhi optimisme (sebagaimana tergambar oleh fikiran salah satu pendiri bangsa, Drs. Soekarno, dalam merespon UUD Tahun 1945) tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen politik yang baik dari generasi rezim yang satu ke rezim berikutnya. 111 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI), Jakarta, 1988,hlm.175. 92 Sebagaimana dikatakan oleh Daniel S Lev, bahwa perlulah diingat tanpa harus mengatakan apa yang biasanya memang tak pernah dikatakan, bahwa konstitusionalisme bukanlah suatu solusi yang jelas bagi banyak masalah serius yang mendesak yang dihadapi oleh umat manusia. Konstitusionalisme tidak bisa menghapuskan masalah kemiskinan ekonomi, atau diskriminasi sosial, atau penyalahgunaan kekuasaan politik, begitu juga tidak bisa mengatasi ketidakcakapan, kerakusan, dan kedunguan para pemimpin politik.112 Konstitutionalisme yang berwujud pada upaya penyejahteraan hak-hak warga negara, belum cukup bila dipahami secara tekstual. Tetapi harus dilihat pula bagaimana aras tafsir konteks dan implementasi tekstual yang melandasi pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusinya. Pasang surut pengaturan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia merupakan dinamika politik ketatanegaraan, khususnya dalam memahami perlunya paham atau ajaran konstitutionalisme yang dikaitkan dengan upaya pemajuan hak-hak asasi manusia. Pelajaran berharga telah diberikan oleh sejarah konstitusi Indonesia yang berganti dan berubah, sejak 1945 dengan disusunnya UUD, yang diganti dua kali, dengan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, kemudian kembali pada UUD 1945 setelah Dewan Konstituante gagal dan secara inkonstitusional ‘di-amputasi’ kekuasaanya oleh Soekarno pada tahun 1959, dan perubahan UUD 1945 melalui 4 kali amandemen sejak 1999-2002, terjadi atas kendali rezim politik penguasa. Kenyataan di lapangan menunjukkan, implementasi atas upaya penghormatan, 112 Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,LP3ES, Jakarta,1990. danPerubahan ,hlm.517. .Sebagaimana dikutip dalam R Herlambang Perdana Wiratraman, Konsesi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Yuridika Vol. 20.No 1 Januari 2005. 93 perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia pun kerapkali terhambat oleh proses politik mempertahankan kekuasaannya, sebagaimana mencolok terjadi saat Orde Baru berkuasa. Oleh sebab itu, mendorong pengaturan secara normatif dalam konstitusi adalah penting, yang tidak kalah pentingnya dengan soal pelaksanaannya yang melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan tidak berlebihan kiranya, mendorong perubahan konstitusi yang berbasis pada upaya pemajuan hak-hak asasi manusia akan menjadi mendesak sebagai dasar konstitutional. Meskipun dalam UUD 1945 pasca amandemen telah mengatur lebih baik hak asasi manusia, tetapi salah satu yang penting untuk diatur ulang adalah memperkuat landasan tanggung jawab hak asasi manusia yang harus dilakukan oleh pemerintah (state responsibility), yakni soal kewajiban bertindak dan kewajiban untuk memaksimalkan sumberdayanya untuk pemenuhan hak asasi manusia. Kewajiban untuk bertindak dan memaksimalkan sumberdaya tersebut secara hukum, akan memiliki makna lebih luas dari sekedar sarana hukum berbentuk peradilan, ataupun juga sarana perlindungan hukum yang represif. Kewajiban tersebut akan melekat pada seluruh penyelenggaran negara tanpa terkecuali, sehingga karenanya negara dapat dimintakan tanggung jawab. Sebagaimana yang disebutkan oleh Bagir Manan: ”Demokrasi yang berintikan kebebasan dan persamaan sering dikaitkan dengan berbagai unsur dan mekanisme. Demikian pula paham negara berdasarkan atas hukum. Salah satu ciri unsur itu adalah jaminan perlindungan dan penghormatan HAM. Jaminan,perlindungan, dan penghormatan HAM tidak mungkin tumbuh dan hidup secara wajar apabila tidak ada demokrasi dan tidak terlaksananya prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum. Dari pendekatan ini dapat ditarik suatu dasar bahwa demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan 94 atas hukum merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu hubungan antara HAM, demokrasi, dan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum harus dilihat dalam hubungn keseimbangan yang ” simbiosis mutualistik”.113 Mendasarkan pada apa yang disampaikan oleh Bagir Manan, pentingnya hak asasi manusia dalam suatu negara hukum menjadi sesuatu yang sangat penting dan menjadi bagian yang tidak tepisahkan dari negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum mengakomodir ketentuan tersebut dalam berbagai ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangannya. Dimulai dengan Pembukaan undang-Undang Dasar. Dalam alinea ke-1, yang menyatakan : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. ”Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif yang meyakini bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya penjajahan harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan kemerdekaannya yang merupakan hak asasi kolektifnya. Selain itu, alinea ini mengandung pernyataan subyektf, yaitu sebagai wujd dai aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan.Hal ini berarti bahwa setiap hak atau sifat yan bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia.”114 Apa yang disampaikan oleh Bagir Manan di atas tentunya sifat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan merupakan sesuatu yang secara universal dapat diterima sebagai suatu hak asasi 113 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi,dan Supremasi Hukum, Bandung 2001, hlm 58 114 Ibid,Hal 117 95 manusia yang bersifat universal. Alinea ke-4 dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan,Kebangsaan, Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembukaan alinea keempat menunjuka penghormatan terhadap HAM yang tersurat dalam sila-sila dari Pancasilan yang ada dasarnya menunjukan bahwa nilai-nilai partikular yang dianut oleh bangsa indonesia sejalan dengan nilai yang dianggap oleh masyarakat internasional merupakan nilai-nilai universal. Otje Salman mengatakan: ”Memahami Pancasila berarti menunjuk kepada konteks historis yang lebih luas, namun tidak saja mengantarkannya kebelakang tentang sejarah ide, tetapi lebih jauh mengarah kepada apa yang harus dilakukan pada masa mendatang. Sehingga Pancasila di samping memiliki makna historis, sekaligus memiliki makna barunya.” Amandemen ke-2 dari Undang-Undang Dasar 1945 yang secara khusus mengatur mengenai Hak Asasi manusia, dalam Pasal 28 semakin menegaskan sebagai negara hukum Indonesia secara konstitusional merasa perlu untuk mengatur hak asasi manusia dalam undang-undang dasarnya. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama bahwa negara hukum juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk melindungi hak asasi manusia, dan negara hukum tentu 96 saja tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia. Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum memberikan perlindungan kepada hak asasi manusia yang diatur baik dalam Undang-Undang Dasar 1945 ataupun dalam peraturan perundang-undangan lain di bawahnya Pengaturan secara terinci mengenai hak asasi manusia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, menunjukan pengakuan dan jaminan bahwa hak asasi manusia diakui dan dilindungi. Selain pengaturan dalam undang- Undang dasar 1945 Indonesia juga memiliki Piagam Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam TAP MPR No XVII Tahun 1998 serta Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pandangan penulis dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999, sekalipun dalam Bab III mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan dasar Manusia, tetapi pada Bab II, yang berisikan Azaz-Azaz Dasar, menurut pandangan Penulis juga berisikan apa saja Hak Asasi Manusia, yang semakin menunjukan pentingnya Hak Asasi Manusia dalam negara hukum. HAM sebagai bagian dari hukum internasional pada saat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkait dengan masalah politik, sosial dan budaya. Pandangan ini diperkuat dengan hasil telaahan historis, yang kemudian memperkokoh keyakinan bahwa masalah HAM, bukan semata-mata pemikiran barat, tetapi merupakan persoalan yang nilai-nilainya terkait dengan dan mendasari pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan lain 97 perkataan, substansi dan nilai-nilai HAM memiliki akar yang dalam, didalam dialektika perjuangan bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang.115 B. Hak Pemulihan Yang Efektif atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia Hak untuk mendapatkan remedi atas pelanggaran hak asasi manusia merupakan cerminan dari hak asasi manusia yang bersifat universal. Sebagaimana disebutkan oleh Martha Meier: “Impunitas adalah ketidakmampuan de jure dan de facto, untuk membawa para pelaku kejahatan dan kekerasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses persidangan pidana,perdata, administrasi atau disipliner karena mereka tidak tunduk pada penyidikan yang bias mengarahkan mereka pada alas an mengapa mereka dituduh,ditangkap, diadili dan, jika ditemukan bersalah, dihukum dengan hukuman yang tepat, dan untuk melakukan reparasi bagi para korban. “ 116 Impunity dalam hukum internasional tidak dikenal, impunity adalah suatu keadaan dimana pelaku tidak terjangkau oleh hukum, dan negara tidak menghukum pelaku, sehingga pelaku tidak diminta pertanggungjawabannya atas pelanggaran HAM yang dilakukannya. Sebagai konsekuensi dari adanya hak tersebut, sebagai suatu hak yang bersifat universal, tentunya setiap pelanggaran hak asasi manusia, harus dilakukan proses remedy yang tidak saja meliputi proses peradilan atas pelanggaran HAM tersebut, tetapi juga dapat meliputi, rehabilitasi, restitusi dan kompensasi. 115 Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Nasional VII/ Denpasar Bali 14-18 Juli 2003 116 Martha Meier,The Scope of Impunity in Indonesia,Utrecht: HOM,2006 (terj.Indonesia oleh Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di Indonesia, Jaringan Impunitas dan PBHI,2007), Dalam Jurnal ASASI, Edisi mei-Juni Tahun 2008, Elsam,2008 98 Hal ini sesuai dengan ketentuan dan prinsip hukum hak asasi manusia internasional yang secara prinsip dan praktik diakui pula oleh Indonesia, seperti Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), prinsip dan ketentuanketentuan yang terdapat dalam Basic Principles and Guidelines on The Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res. 2005/35, U.N. Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.11, The Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, U.N. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1, serta konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Bahwa sebagai Konstitusi Negara yang beradab, UUD 1945 sejalan dan konsekuen dengan prinsip-prinsip yang telah diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab di seluruh dunia sebagaimana dinyatakan Pasal 55 dan 56 UN Charter; Article 55 With a view to the creation of conditions of stability and well-being which are necessary for peaceful and friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, the United Nations shall promote: a. higher standards of living, full employment, and conditions of economic and social progress and development; b. solutions of international economic, social, health, and related problems; c. international cultural and educational co-operation; and d. universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion.117 Article 56 All Members pledge themselves to take joint and separate action in cooperation with the Organization for the achievement of the purposes set forth in Article 55;118 117 118 Article 55 United Nations Charter Artice 56 United nation Charter 99 Artinya: Pasal 55 Dengan maksud terciptanya stabilitas dan keamanan yang diperlukan untuk hubungan yang damai antar negara berdasarkan pronsop-prinsip persamaan hak dan hak menentukan nasib sendiri, PBB harus mendukung: a. Standar kehidupan yang lebih tinggi, pekerjaan, serta kondisi ekonomi dan kemajuan sosial serta pembangunan; b. Solusi atas masalah ekonomi internasional, sosial dan kesehatan; c. Kerjasama budaya dan pendidikan; dan d. Penghargaan universal dan pengamatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa atau agama. Pasal 56 Seluruh Anggota berikrar untuk berpartisipasi dan mengambil tindakan bekerjasama dengan Organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang merupakan kejahatan internasional, maka prinsip-prinsip dan pedoman yang tercantum dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (C.H.R. Res. 2005/35) harus tercakup dalam ketentuan mengenai pemulihan menurut UUKKR, yakni yang terdapat pada Pasal 27 UU tersebut. Ketentuan internasional tersebut memberikan jaminan atas hak-hak korban, termasuk juga jaminan atas tiadanya diskriminasi, jaminan atas persamaan di depan hukum, dan jaminan atas penghormatan martabat manusia sebagaimana juga dijamin oleh UUD 1945. Pasal 10 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law menyatakan bahwa: Victims should be treated with humanity and respect for their dignity and human rights, and appropriate measures should be taken to ensure their 100 safety, physical and psychological well being and privacy, as well as those of their families. The State should ensure that its domestic laws, to the extent possible, provide that a victim who has suffered violence or trauma should benefit from special consideration and care to avoid his or her re traumatization in the course of legal and administrative procedures designed to provide justice and reparation;119 Artinya: Pasal 10 menyebutkan: Para korban harus diperlakukan dengan manusiawi dan menghormati harga diri dan hak asasi manusia, dan langkah-langkah yang tepat harus diambil untuk menjamin keselamatan dan kesehatan fisik dan psikis dan privasi, seperti halnya keluarga mereka sendiri. Negara harus menjamin bahwa hukum domestiknya, sepanjang memungkinkan, mengatur bahwa korban yang mengalami kekerasan atau trauma harus diberikan pertimbangan khusus dan mencegah trauma dalam hal prosedur hukum dan administrasiya yang dibuat untuk memberikan keadilan dan reparasi. Aturan mengenai pemulihan ini harus mencakup prinsip kelayakan, efektivitas dan proses yang cepat, serta menjamin bahwa korban mendapatkan akses menuju keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11, Pasal 15, dan Pasal 17 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law. Pasal 11: Remedies for gross violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law include the victim’s right to the following as provided for under international law: (a) Equal and effective access to justice; (b) Adequate, effective and prompt reparation for harm suffered; and (c) Access to relevant information concerning violations and reparation Mechanism.120 Artinya: Pasal 11 menyebutkan: 119 Article 10, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations 120 Article 11 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations 101 Remedi atas pelanggaran berat atas hukum hak asasi manusia internasional dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional meliputi hak korban atas hal-hal berikut ini, sebagaimana diatur dalam hukum internasional: (a) Akses yang sama dan efektif pada keadilan; (b) Reparasi yang cukup, efektif dan segera atas penderitaan yang dialami; dan (c) Akses pada informasi yang relevan terkait pelanggaran dan mekanisme reparasi. Pasal 15: Adequate, effective and prompt reparation is intended to promote justice by redressing gross violations of international human rights law or serious violations of international humanitarian law. Reparation should be proportional to the gravity of the violations and the harm suffered. In accordance with its domestic laws and international legal obligations, a State shall provide reparation to victims for acts or omissions which can be attributed to the State and constitute gross violations of international human rights law or serious violations of international humanitarian law. In cases where a person, a legal person, or other entity is found liable for reparation to a victim, such party should provide reparation to the victim or compensate the State if the State has already provided reparation to the victim;121 Artinya: Pasal 15 menyebutkan: Reparasi yang cukup, efektif dan segera ditujukan untuk mendorong keadilan dengan memulihkan pelanggaran berat atas hukum hak asasi manusia internasional atau pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional. Reparasi harus dibuat proporsional antara pelanggaran dan penderitaan yang dialami. Sesuai dengan hukum nasionalnya dan kewajiban hukum internasional, sebuah Negara harus memberikan reparasi kepada korban atas tindakan atau penghilangan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan Negara dan mengandung pelanggaran berat atas hukum hak asasi manusia internasional atau pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional. Dalam kasus dimana seseorang, subyek hukum, atau entitas lainnya bertanggung jawab atas reparasi kepada seorang korban, pihak tersebut harus memberikan reparasi kepada korban atau memberi kompensasi kepada Negara jika Negara telah memberikan reparasi kepada korban tersebut. Pasal 17: 121 Article 15, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations 102 States shall, with respect to claims by victims, enforce domestic judgements for reparation against individuals or entities liable for the harm suffered and endeavour to enforce valid foreign legal judgements for reparation in accordance with domestic law and international legal obligations. To that end, States should provide under their domestic laws effective mechanisms for the enforcement of reparation judgements.122 Artinya: Pasal 17 menyebutkan: Terkait dengan klaim oleh para korban, Negara-negara harus melaksanakan putusan-putusan domestik untuk reparasi terhadap individu atau entitas yang bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami and berupaya untuk melaksanakan putusan hukum asing yang sah untuk reparasi sesuai dengan hukum domestik dan kewajiban hukum internasional. Untuk tujuan tersebut, Negara harus mengatur dalam hukum domestiknya mengenai mekanisme yang efektif untuk pelaksanaan putusan reparasi. Penerapan dan interpretasi atas Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman ini harus konsisten dengan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional serta tanpa diskriminasi atau alasan apapun, tanpa pengecualian. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, bahwa dalam hal pemberian pemulihan ini tidak diperbolehkan adanya diskriminasi yakni: “The application and interpretation of these Principles and Guidelines must be consistent with international human rights law and international humanitarian law and be without any discrimination of any kind or ground, without exception;123 122 Article 17 Basic Principles and for Victims of Gross Violations Violations 123 Article 25 Basic Principles and for Victims of Gross Violations Violations Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation of International Human Rights Law and Serious Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation of International Human Rights Law and Serious 103 Selanjutnya Pasal 26 menegaskan Bahwa hak korban dan kewajiban Negara dalam hal pemulihan tidak boleh dibatasi ataupun dikurangi dan harus mencakup prinsip-prinsip di dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law yang berbunyi: “Nothing in these Principles and Guidelines shall be construed as restricting or derogating from any rights or obligations arising under domestic and international law. In particular, it is understood that the present Principles and Guidelines are without prejudice to the right to a remedy and reparation for victims of all violations of international human rights law and international humanitarian law. It is further understood that these Principles and Guidelines are without prejudice to special rules of international la”;124 Pasal 26 menyebutkan: Tidak ada ketentuan dalam Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman ini yang dapat diartikan untuk membatasi atau mengurangi hak atau kewajiban yang timbul berdasarkan hukum domestik dan internasional. Secara khusus, telah dipahami bahwa Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman yang berlaku saat ini bersifat adil terhadap hak atas pemulihan dan reparasi untuk korban dari seluruh pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional. Selanjutnya juga dipahami bahwa Prinsip-prinsip dan Pedoman-pedoman ini bersifat adil terhadap aturan-aturan khusus dalam hukum internasional. Prinsip mengenai hak korban atas pemulihan dan kewajiban Negara memberi pemulihan diakui oleh konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yakni Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) melalui UU No. 5 Tahun 1998, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial 124 Article 26 Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations 104 (Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) melalui UU No. 29 Tahun 1999 , dan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of Child) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 . Hak korban atas pemulihan telah diakui pula dalam hukum nasional yang tercantum dalam Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 14 huruf a dan huruf b Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, dan Pasal 9 Konvensi Hak Anak; Bahwa Pasal 14 Konvensi Menentang Penyiksaan menyebutkan: 1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan kompensasi; 2. Dalam pasal ini tidak ada apapun yang boleh mengurangi hak korban atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam hukum nasional;125 Bahwa Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial menyebutkan : Negara-negara pihak akan menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang berada di bawah yurisdiksinya melalui pengadilan nasional yang berwenang serta lembaga-lembaga Negara lainnya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial yang melanggar hakhak asasi manusia dan kebebasan mendasarnya yang bertentangan dengan Konvensi ini, serta hak atas ganti rugi yang memadai atau memuaskan dari pengadilan tersebut atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi itu126. Penjelasan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Rasial dinyatakan, negara pihak juga harus menjamin perlindungan dan perbaikan yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah yuridiksinya terhadap setiap tindakan diskriminasi rasial serta 125 126 Pasal 14 Konvensi Menentang Penyiksaan Pasal 6 Konvensi Anti Diskriminasi Rasial 105 hak atas ganti rugi yang memadai dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan diskriminasi. ”Pasal 39 Konvensi Hak Anak menyebutkan : Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan penyembuhan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk penelantaran apa pun, … 127. Melalui ratifikasi konvensi internasional di atas, secara otomatis negara Indonesia telah mengakui hak atas pemulihan dan kewajiban negara memberikan pemulihan. Dengan demikian, hak atas pemulihan (right to reparation), yang terdiri dari kompensasi, restitusi dan rehabilitasi adalah hak yang melekat pada korban. Dalam hal ini, Negara berkewajiban untuk memberikan pemulihan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat tanpa ada kaitannya apakah pelakunya diberikan amnesti atau tidak. Bahkan tidak bergantung pula pada apakah pelakunya dapat ditemukan atau tidak, hal ini sejalan dengan Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, C.H.R. Res. 2005/35, dikatakan bahwa “Seseorang dipandang sebagai korban tanpa bergantung pada apakah pelakunya teridentifikasi, ditahan, dituntut, ataupun dinyatakan bersalah …”: (Pasal 9). Berikut bunyi teks asli pasal tersebut: A person shall be considered a victim regardless of whether the perpetrator of the violation is identified, apprehended, prosecuted, or convicted and regardless of the familial relationship between the perpetrator and the victim.128 Artinya: Seseorang akan dianggap sebagai korban tanpa memandang apakah pelaku pelanggaran tersebut teridentifikasi, ditangkap, dituntut, atau dihukum dan tanpa memandang hubungan kekeluargaan antara pelaku dengan korban. “ Bahwa selanjutnya Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law ini juga menyatakan bahwa Negara berkewajiban untuk: “Menyediakan akses pada 127 Pasal 39 Konvensi Hak Anak Article 9, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations 128 106 keadilan (access to justice) yang layak dan efektif kepada mereka yang mengklaim sebagai korban dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau hukum humaniter, tanpa memandang siapa yang menjadi penanggung jawab utama atas kejahatan tersebut” (Pasal 3). Sebagaimana tertulis secara lengkap sebagai berikut: “The obligation to respect, ensure respect for and implement international human rights law and international humanitarian law as provided for under the respective bodies of law, includes, inter alia, the duty to: (a) Take appropriate legislative and administrative and other appropriate measures to prevent violations; (b) Investigate violations effectively, promptly, thoroughly and impartially and, where appropriate, take action against those allegedly responsible in accordance with domestic and international law; (c) Provide those who claim to be victims of a human rights or humanitarian law violation with equal and effective access to justice, as described below, irrespective of who may ultimately be the bearer of responsibility for the violation; and (d) Provide effective remedies to victims, including reparation, as described below;129 Artinya: Kewajiban untuk menghormati, menjamin penghormatan dan implementasi atas hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional sebagaimana diatur dalam perangkat hukum tersebut meliputi, antara lain, tugas untuk: (a) Mengambil langkah legislatif dan administratif yang sesuai untuk mencegah pelanggaran; (b) Melakukan investigasi atas pelanggaran secara efektif, segera, cermat dan adil serta, dimana memungkinkan, mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab sesuai dengan hukum domestik dan internasional; (c) Memberikan akses yang efektif kepada keadilan kepada mereka yang mengklaim sebagai korban pelanggaran hukum hak asasi manusia atau hukum humaniter, sebagaimana dijelaskan di bawah ini, tanpa melihat siapa yang pada akhirnya memikul tanggung jawab atas pelanggaran tersebut; dan (d) Memberikan pemulihan yang efektif kepada korban, termasuk reparasi, sebagaimana dijelaskan di bawah ini. 129 Article 3, Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations 107 Kewajiban negara atas pemulihan ini telah diakui sebagai prinsip hukum internasional dan bahkan konsepsi hukum umum berdasarkan pada kasus utama Mahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice), yakni kasus Chorzow Factory tahun 1927 dan 1928 (Factory at Chorzow, Jurisdiksi, Putusan No. 8, 1927, P.C.I.J., Seri A, No. 9, dan Factory at Chorzów, Merit, Putusan No. 13, 1928, P.C.I.J., Seri A, No. 17). Mengingat hak pemulihan adalah kewajiban negara, maka pemenuhan hak atas pemulihan ini dilakukan oleh negara dan pemenuhan hak ini tidak terikat pada kondisi lain, misalnya ada tidaknya penghukuman maupun pengampunan (amnesti) kepada pelaku; Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah mengadopsi the Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, UN Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1. Salah satu tujuan penting Kumpulan Prinsip ini adalah untuk menjadi pedoman bagi komisi kebenaran. Ditegaskan dalam Prinsip 31, bahwa : “[a]ny human rights violation gives rise to a right to reparation on the part of the victim or his or her beneficiaries, implying a duty on the part of the State to make reparation...”130 Artinya: “pelanggaran hak asasi manusia apapun memberikan hak untuk reparasi di sisi korban atau ahli warisnya, yang menyiratkan kewajiban pada sisi Negara untuk membuat reparasi…” 130 Prinsip 31, the Updated Set of Principles for the Protectionand Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity tersebut mengenai the Right and Duties Arising Out of the Obligation to Make Reparation, 108 “…dalam melaksanakan hak ini, mereka harus diberikan perlindungan terhadap intimidasi dan kekerasan.” Amnesti tidak dapat disetujui untuk pelaku pelanggaran sebelum para korban memperoleh keadilan dengan cara pemulihan yang efektif. Amnesti tidak boleh memiliki efek hukum terhadap persidangan apapun yang diajukan korban terkait hak atas reparasi,tidak boleh mengambil keuntungan dari hukum amnesty khusus atau tindakan sejenis yang mungkin memiliki efek membebaskan mereka dari persidangan pidana atau sanksi. Beberapa Negara telah memberikan amnesty terkait tindakan penyiksaan. Amnesti secara umum tidak sesuai dengan kewajiban Negara untuk menginvestigasi tindakan-tindakan tersebut.” Selanjutnya, Prinsip 32 dalam dokumen tersebut di atas tentang Reparation Procedures menegaskan bahwa : “…in exercising this right, they shall be afforded protection against intimidation and reprisals.”131 Dokumen sebelumnya yang juga memuat Kumpulan Prinsip Perlindungan Hak Asasi Manusia, The Administration of Justice and the Human Rights of Detainees: The Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil and Political), E/CN.4/Sub.2/1997/20, (Joinet Principles) , dalam lampirannya pada Paragraf 32 dari ditegaskan bahwa: “Amnesty cannot be accorded to perpetrators of violations before the victims have obtained justice by means of an effective remedy. It must have no legal effect on anyproceedings brought by victims relating to the right to reparation”. 131 Prinsip 32, the Updated Set of Principles for the Protectionand Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity tersebut mengenai the Right and Duties Arising Out of the Obligation to Make Reparation, 109 Di tahun 1992, Sidang Umum PBB secara tegas menolak amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat (sebagaimana dimaksud UU Nomor 27 Tahun 2004) dengan mengadopsi Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance, yang menyatakan bahwa bagi mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan ini "shall not benefit from any special amnesty law or similar measures that might have the effect of exempting them from any criminal proceedings or sanction." Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam General Comment 20 Pasal 7 (Kovenan Hak Sipil dan Politik) menyatakan bahwa "that some States have granted amnesty in respect of acts of torture. Amnesties are generally incompatible with the duty of the States to investigate such acts” (General Comment 20 concerning Article 7, replaces General Comment 7 concerning Prohibition of Torture and Cruel Treatment or Punishment); Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24 menyatakan sebagai berikut: While recognizing that amnesty is an accepted legal concept and a gesture of peace and reconciliation at the end of a civil war or an internal armed conflict, 4 the United Nations has consistently maintained the position that amnesty cannot be granted in respect of international crimes, such as genocide, crimes against humanity or other serious violations of international humanitarian law. At the time of the signature of the Lomé Peace Agreement, the Special Representative of the Secretary-General for Sierra Leone was instructed to append to his signature on behalf of the United Nations a disclaimer to the effect that the amnesty provision contained in article IX of the Agreement (" absolute and free pardon") shall not apply to international crimes of genocide, crimes against humanity, war crimes and other serious violations of international humanitarian law. This reservation is recalled by the Security Council in a preambular paragraph of resolution 1315 (2000). 110 In the negotiations on the Statute of the Special Court, the Government of Sierra Leone concurred with the position of the United Nations and agreed to the inclusion of an amnesty clause which would read as follows: "An amnesty granted to any person falling within the jurisdiction of the Special Court in respect of the crimes referred to in articles 2 to 4 of the present Statute shall not be a bar to prosecution." With the denial of legal effect to the amnesty granted at Lomé, to the extent of its illegality under international law, the obstacle to the determination of a beginning date of the temporal jurisdiction of the Court within the pre-Lomé period has been removed;132 Artinya: Sementara diakui bahwa amnesti adalah konsep hukum yang diterima dan pertanda perdamaian dan rekonsiliasi pada akhir perang sipil atau konflik bersenjata internal, PBB secara konsisten telah berpendapat bahwa amnesti tidak dapat diberikan untuk kejahatan internasional, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran serius lainnya dalam hukum humaniter internasional. Pada saat penandatanganan Perjanjian Perdamaian Lome, Perwakilan Khusus dari Sekretaris Jenderal untuk Sierra Leone diperintahkan untuk memberikan tanda tangannya atas nama PBB yang mengatur bahwa ketentuan amnesti dalam pasal IX Perjanjian tersebut (“absolut dan bebas dari maaf”) tidak akan diberlakukan untuk kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum humaniter internasional. Persyaratan ini diulang oleh Dewan Keamanan dalam paragraph pembukaan dari resolusi 1315 (2000). Dalam negosiasi-negosiasi Statuta dari Pengadilan Khusus, Pemerintah Sierra Leone menyetujui pendapat PBB dan menyetujui untuk memasukkan pasal amnesti sebagai berikut: “sebuah amnesti yang diberikan kepada siapapun dalam yurisdiksi Pengadilan Khusus terkait kejahatan yang disebut dalam Pasal 2 sampai 4 Statuta ini tidak akan menghalangi penuntutan.” Dengan penyangkalan atas efek hukum dari amnesti yang diberikan di Lome, sepanjang tidak sah berdasarkan hukum internasional, hambatan untuk menentukan tanggal permulaan dari yurisdiksi sementara dari Pengadilan dalam periode sebelum Lome telah ditiadakan. Selanjutnya Laporan Sekjen PBB tentang The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004, menyebutkan bahwa amnesti yang diberikan secara hati-hati dapat membantu pengembalian dan integrasi kembali dari kedua kelompok dan harus 132 Laporan Sekjen PBB mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone S/200/915), 4 Oktober 2000 dalam paragraph 22-24 111 didorong, walaupun seperti disebut di atas, hal ini tidak diijinkan dalam hal genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran berat hak asasi manusia (Paragraf 32). Laporan Sekjen PBB tersebut juga menyatakan hal-hal sebagai berikut : United Nations-endorsed peace agreements can never promise amnesties for genocide, war crimes, crimes against humanity or gross violations of human rights (Paragraph 10);133 Artinya: Perjanjian-perjanjian perdamaian PBB tidak akan pernah bisa menjanjikan amnesti untuk genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran berat hak asasi manusia (Paragraf 10); Carefully crafted amnesties can help in the return and reintegration of both groups and should be encouraged, although, as noted above, these can never be permitted to excuse genocide, war crimes, crimes against humanity or gross violations of human rights (Paragraph 32);134 Artinya: Amnesti yang dibuat dengan hati-hati pada akhirnya dapat mengembalikan dan mengintegrasikan kembali kedua kelompok dan harus didukung, walaupun dikatakan di atas, hal ini tidak dapat diijinkan untuk mengecualikan genosida, kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan atau pelanggaran berat hak asasi manusia (Paragraf 32). Reject any endorsement of amnesty for genocide, war crimes, or crimes against humanity, including those relating to ethnic, gender and sexually based international crimes, ensure that no such amnesty previously granted is a bar to prosecution before any United Nations-created or assisted court (Paragraf 64 point [c]). Artinya: Menolak dukungan pemberian amnesti untuk genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk terkait etnik, gender dan kejahatan berorientasi jenis kelamin, menjamin bahwa tidak ada amnesti yang sebelumnya diberikan menjadi penghalang untuk menuntuk di pengadilan PBB (Paragraf 64 butir [c]). 133 Paragraph 10, The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004, 134 Paragraph 32,The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-Conflict Societies, (S/2004/616), 23 Agustus 2004, 112 Argentina, Sierra Leone dan negara-negara lainnya menyarankan, bahwa ada alasan-asalan kehati-hatian dan prinsip bagi Negara untuk menolak permintaan amnesti yang melanggar kewajiban internasionalnya, walaupun jika kondisi tidak mengijinkan Negara tersebut untuk segera melakukan tuntutan. Bahkan dalam Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist States In Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity (E/CN.4/2004/88), 27 Februari 2004 pada Paragraf 32 menyatakan sebagai berikut: As developments in Argentina, Sierra Leone and other countries suggest, there are prudential as well as principled reasons for States to resist demands for amnesties that violate their international obligations, even if conditions do not permit them to undertake prosecutions immediately.135 Sebagai pembangunan di Argentina, Sierra Leone dan negara-negara lainnya menyarankan, bahwa ada alasan-asalan kehati-hatian dan prinsip bagi Negara untuk menolak permintaan amnesti yang melanggar kewajiban internasionalnya, walaupun jika kondisi tidak mengijinkan Negara tersebut untuk segera melakukan tuntutan. Pada Paragraf 28 sampai Paragraf 32, Laporan ini juga memuat daftar sumber-sumber hukum termasuk putusan-putusan pengadilan yang menguatkan posisi larangan terhadap amnesti untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat hukum di berbagai belahan 135 Paragraph 32, Independent Study on Best Practices, Including Recommendations, to Assist States In Strengthening Their Domestic Capacity to Combat All Aspects Of Impunity (E/CN.4/2004/88), 27 Februari 2004 113 dunia telah mempraktikkan prinsip menentang amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Daftar sumber-sumber hukum di atas lalu dikuatkan kembali dan dilengkapi dalam Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102), 18 Februari 2005, Paragraf 50-51. Selain itu the Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102/Add.1) secara tegas memberikan pedoman bagi Negara-negara termasuk badan-badan peradilan dalam menentukan sikapnya mengenai impunity. Prinsip 24 mengenai Restrictions and Other Measures Relating to Amnesty menyatakan sebagai berikut: Even when intended to establish conditions conducive to a peace agreement or to foster national reconciliation, amnesty and other measures of clemency shall be kept within the following bounds : (a) The perpetrators of serious crimes under international law may not benefit from such measures until such time as the State has met the obligations to which principle 19 refers or the perpetrators have been prosecuted before a court with jurisdiction – whether international, internationalized or national - outside the State in question; (b) Amnesties and other measures of clemency shall be without effect with respect to the victims’ right to reparation, to which principles 31 through 34 refer, and shall not prejudice the right to know; (c) Insofar as it may be interpreted as an admission of guilt, amnesty cannot be imposed on individuals prosecuted or sentenced for acts connected with the peaceful exercise of their right to freedom of opinion and expression. When they have merely exercised this legitimate right, as guaranteed by articles 18 to 20 of the Universal Declaration of Human Rights and 18, 19, 21 and 22 of the International Covenant on Civil and Political Rights, the law shall consider any judicial or other decision concerning them to be null and void; their detention shall be ended unconditionally and without delay; (d) Any individual convicted of offences other than those to which paragraph (c) of this principle refers who comes within the scope of an amnesty is entitled to refuse it and request a retrial, if he or she has been tried without benefit of the right to a fair hearing guaranteed by articles 10 and 11 of the Universal Declaration of Human Rights and articles 9, 14 and 15 of the International Covenant on Civil and Political Rights, or if he or she was convicted on the basis of a statement established to have 114 been made as a result of inhuman or degrading interrogation, especially under torture136. Artinya; (a) (b) (c) (d) Prinsip 24: Walaupun bertujuan untuk membangun kondisi yang kondusif terhadap perjanjian perdamaian atau untuk melindungi rekonsiliasi nasional, amnesti dan tindakan pengampunan lainnya harus dijaga dalam batasanbatasan sebagai berikut: Pelaku kejahatan serius dalam hukum internasional tidak boleh mendapatkan keuntukan dari tindakan tersebut sampai ketika Negara telah memenuhi kewajibannya sesuai prinsip 19 atau pelaku telah dituntut di pengadilan dengan yurisdiksi – apakah internasional, yang diinternasionalisasi atau nasional – di luar Negara tersebut; Amnesti dan tindakan pengampunan lainnya tidak boleh mempengaruhi hak korban atas reparasi, sesuai prinsip 31 sampai 34, dan tidak boleh menyimpang dari hak untuk mengetahui; Sepanjang diinterpretasikan sebagai pengakuan atas kesalahan, amnesti tidak boleh diberikan pada individu yang dituntut atau dihukum karena tindakan terkait dengan pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat dan ekspresi. Ketika mereka melaksanakan hak yang sah ini, sebagaimana dijamin oleh Pasal 18 sampai 20 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan pasal 18, 19, 21 dan 22 International Covenant on Civil and Political Rights, hukum harus mempertimbangkan keputusan lainnya yang mengganggap batal demi hukum; penahanan mereka harus diakhiri tanpa syarat dan penundaan; Individu yang dihukum atas pelanggaran selain yang disebutkan dalam paragraph (c) prinsip ini yang termasuk dalam kategori amnesti berhak untuk menolak dan memohon persidangan kembali, jika telah disidang tanpa hak atas persidangan yang adil berdasarkan pasal 10 dan 11 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 9, 14 dan 15 International Covenant on Civil and Political Rights, atau jika dihukum berdasarkan pernyataan yang dibuat karena interogasi yang tidak manusiawi atau merendahkan, khususnya di bawah siksaan. Selanjutnya, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB, (Resolution : 2004/72, Impunity, E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004, (Bukti P-28) dalam Point 3 juga menegaskan sebagai berikut : …amnesties should not be granted to those who commit violations of human rights and international humanitarian law that constitute crimes, urges 136 Prinsip 24,Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity (E/CN.4/2005/102/Add.1) 115 States to take action in accordance with their obligations under international law and welcomes the lifting, waiving, or nullification of amnesties and other immunities; 137 Artinya: “...amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran atas hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional yang mengatur kejahatan, mewajibkan Negara untuk mengambil tindakan sesuai dengan kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan mendukung pengangkatan, pengesampingan atau pembatalan amnesti dan kekebalan lainnya.” Selain dari badan PBB, larangan amnesti terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini juga ditegaskan dalam yurisprudensi dari berbagai pengadilan di dunia. Dalam kasus di Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia (ICTY), putusan majelis Banding kasus Penuntut v. Furundzija, 10 Desember 1998, menilai bahwa domestik amnesti yang meliputi kejahatan-kejahatan, seperti penyiksaan, yang memiliki status jus cogens tidak akan mendapat pengakuan internasional secara legal. (Paragraph 155) Berdasarkan hal tersebutlah maka kejahatan penyiksaan yang telah mendapatkan amnesti tetap diadili oleh pengadilan internasional. Yurisprudensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-American secara konsisten menegaskan sikapnya yang melarang amnesti bagi pelanggaran hak asasi manusia berat, antara lain dalam kasus Barios Altos (Barios Altos case, IACHR, Vol. 75, Series C), 14 Maret 2001 2000 pada Point 4 putusan, pengadilan menyatakan bahwa amnesti “bertentangan dengan Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika, akibatnya tidak mempunyai efek hukum” (to find that amnesty laws no. 137 Point 3, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB, (Resolution : 2004/72, Impunity, E/CN.4/RES/2004/72), 21 April 2004, (Bukti P-28) . 116 26479 and no. 26492 are incompatible with the american convention on human rights and, consequently, lack legal effect). Dalam salah satu pertimbangannya Majelis Hakim kasus Barrios Altos tersebut menyatakan sebagai berikut: “This Court considers that all amnesty provisions, provisions on prescription and the establishment of measures designed to eliminate responsibility are inadmissible, because they are intended to prevent the investigation and punishment of those responsible for serious human rights violations such as torture, extrajudicial, summary or arbitrary execution and forced disappearance, all of them prohibited because they violate non-derogable rights recognized by international human rights law. (Paragraf 41) Pengadilan menganggap bahwa seluruh ketentuan amnesti, ketentuan pemulihan dan pengambilan tindakan yang dibuat untuk membatasi tanggungjawab adalah tidak diakui, karena hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah investigasi dan hukuman bagi mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius seperti penyiksaan, di luar pengadilan, eksekusi singkat atau sementara dan penghilangan yang dipaksakan, seluruhnya dilarang karena melanggar hak yang tidak bisa dibatasi yang diakui oleh hukum hak asasi internasional. (Paragraf 41). Putusan Pengadilan yang menyatakan amnesti bagi pelaku pelanggar hak asasi manusia yang berat dilarang dan berakibat tidak memiliki efek hukum kembali dipertegas oleh berbagai putusan pengadilan, antara lain : Trujillo Oroza v. Bolivia, (IACHR), Reparations, Judgement, 27 February 2002, Vol. 92, Serie C, paragraf 160; El Caracazo case v. Venezuela, (IACHR), Reparations, Judgment, 29 August 2002, Vol. 95, Serie C, paragraf 119; Myrna Mack Chang v. Guatemala case, (IACHR), Judgement, 25 November 2003, Vol. 101, Serie C, paragraf 276. Selain sumber hukum di atas, Prinsip Princeton tentang Yurisdiksi Universal pada Prinsip 7 (1) menyatakan bahwa: Amnesties are generally inconsistent with the obligation of states to provide accountability for serious crimes under international law as specified in Principle in 2(1).” Artinya, 117 “Amnesti secara umum tidak konsisten dengan kewajiban Negara untuk menyediakan tanggung jawab atas kejahatan-kejahatan serius berdasarkan hukum internasional sesuai Prinsip 2 (1).” Tidak hanya itu, Indonesia juga terikat dengan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi yang memuat larangan amnesti bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998. Konvensi Menentang Penyiksaan memberikan kewajiban kepada Negara peserta untuk menghukum pelaku penyiksaan, dimana tindak pidana penyiksaan ini termasuk ke dalam bagian pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud UU No. 27 Tahun 2004 jo UU No. 26 Tahun 2000. Genosida, penghilangan paksa dan tindak penyiksaan telah diakui sebagai jus cogens atau peremptory norms. Oleh karena itu, bagi pelaku pelanggaran berat tersebut berlaku universal jurisdiction. Contohnya pada putusan kasus Augusto Pinochet di Spanyol dan Inggris yang menegaskan keberlakuan universal jurisdiction bagi tindak penyiksaan. Dengan melekatnya norma jus cogens ini maka pelakunya dinyatakan sebagai hostis humanis generis atau musuh segala umat manusia, serta menjadi kewajiban negara untuk melakukan penuntutan (obligatio erga omnes). Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tahun 2004 telah gagal untuk memenuhi tugas Indonesia sebagai Negara dan gagal untuk menghormati hak dari korban, keluarga dan juga masyarakat Indonesia berdasarkan Hukum HAM Internasional. Hal ini ada 3 (tiga) cara: 118 1. Telah gagal menginvestigasi dan mengemukakan Kasus manapun yang sehubungan kebenaran tentang dengan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian sebelum tahun 2000. 2. Karena gagal untuk memberikan reparasi kepada korban dan Keluarganya. 3. Telah gagal untuk menuntut dan secara layak menghukum para pelakunya. Karena Indonesia merupakan anggota PBB dan juga Indonesia bagian dari piagam PBB karena merupakan suatu treaty atau perjanjian yang mengikat negara-negara. Berdasarkan Pasal 55 dan 56 dari piagam PBB semua negara bertanggung jawab terhadap HAM, berdasarkan perjanjian hukum internasional, suatu perjanjian itu harus diterjemahkan sebagai tindakan yang harus dilakukan oleh negara, sebagai tindakan kelanjutan yang harus dilakukan oleh negara, dimana mensyaratkan adanya reparasi bagi setiap pelanggaran hak internasional, negara memiliki kewajiban untuk melakukan investigasi yang tuntas dan efektif, memberikan pemulihan yang efektif kepada korban, menuntut dan menghukum pelaku, serta korban dan juga keluarganya memiliki hak untuk kebenaran atau mengetahui tentang kebenaran, serta memiliki hak untuk keadilan di dalam bentuk penuntutan dan juga penghukuman terhadap pelaku. Selain itu investigasi diharuskan untuk tuntas, efektif, dan bisa teridentifikasi. Ruang lingkup dari pemulihan yang efektif itu harus termasuk di dalamnya tidak saja hanya akses keadilan, tetapi harus meliputi 5 (lima) elemen: 1. Restitusi, yaitu merupakan restitusi dari hak milik atau juga nama baik dari si Korban; 2. Kompensasi, dalam bentuk uang bagi kerugian-kerugian; 119 3. Rehabilitasi, termasuk jasa medis atau juga jasa psikologis; 4. Tidakan-tindakan untuk memuaskan, termasuk didalamnya adalah Pengakuan oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggung jawab negara dan juga permintaan maaf secara umum yang dilakukan oleh pejabat dalam jabatan yang cukup tinggi; 5. Jaminan, bahwa ini tidak akan terulang lagi atau non repetisi. Pelanggaran umum yang ada di dalam Undang-Undang ini adalah masalah penuntutan dan juga penghukuman. Hukum internasional secara umum sebenarnya mendukung amnesti, tetapi ada pembatasan bagi pemberian amnesti berdasarkan hukum internasional, dan pembatasan tersebut berlaku secara khusus bagi genosida dan kejahatan terhadap kemunusiaan, dimana sebenarnya ini merupakan subjek dari Undang-Undang Komisi Kebenaran. Beberapa sumber yang berbeda-beda memberikan larangan yang berbeda-beda atau pembatasan yang beda-beda pula terhadap amnesti. Oleh karena itu, hak atas pemulihan merupakan hak yang melekat pada korban yang tidak tergantung pada amnesti terlepas dari apakah pelakunya ditemukan atau tidak dan Negara berkewajiban untuk memenuhi hak korban tersebut. C. Hak Asasi Manusia dan Hukum Pembangunan Berbicara mengenai Pembangunan Hukum tidak dapat melepaskan diri dari Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1973 bidang hukum, yang isinya bahwa hukum tidak boleh menghambat proses modernisasi, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1983 Bidang Hukum yang isinya antara lain bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 120 Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tidaklah semata-mata merupakan gejala normatif, tetapi juga merupakan gekala sosial, karena itu hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat ( living law ) .138Dalam suatu masyarakat yang berkembang, hukum berfungsi sebagai sarana pembangunan ( Law as a tool of Social Engineering), pengertiannya adalah sebagai berikut : (1) keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang perlu;(2) hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum bisa berfungsi sebagai alat ( pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur ke arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan. 139Dalam hal ini teori hukum pembangunan dapat ditafsirkan untuk mengarahkan fungasi hukum pada pengintegrasian hukum internasional dengan hukum nasional. Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Untuk mencapai ketertiban diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dan masyarakat. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat manusia tidak mungkin mengembangkan kemampuannya secara optimal di dalam masyarakat.Disamping ketertiban dan kepastian hukum,adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan jaman.140 Mochtar Kusumaatmadja,”Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan nasional”, dalam Otje Salman dan Eddy Damian ( editor), konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara,Hukum dan Pembangunan Bekerjasam dengan PT Penerbit Alumni,bandung,2002,hlm 1-17. 139 Idem,hlm 88 140 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, dalam Otje Salman S dan Eddy Damian ( editor),Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja,SH.LLM., Pusat studi Wawasan Nusantara dan Penerbit PT.Alumni,Bandung,2002,hlm.3-4. 138 121 Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena hasil-hasil pembangunan itu harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan.Dalam masyarakat yang sedang membangun, fungsi hukum tidaklah cukup hanya untuk memelihara dan mempertahankan pembangunan, tetapi hukum juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat.Selama perubahan yang dikehendaki dalam masyarakat hendak dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu pula masih ada tempat bagi hukum.141 Masalah Pembangunan Hukum pada saat ini kita tidak dapat melepaskan diri dari Undang-Undang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 dimana dalam Nasional pada point B.2 Bab II Prioritas Pembangunan untuk Mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang baik, serta pada Bab III secara khusus Pembangunan Hukum dimana didalamnya mengatur program Pembangunan hukum meliputi, program pembentukan peraturan perundang-undangan, program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, program penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia, program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum. 141 Idem.,hlm 13-14. 122 Hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas-asan dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.142 Dasar pengertian hukum tersebut, hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakat, sehingga dapat dipahami apabila hukum itu merupakan salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat.143 Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ( Law as a tool of Social Engineering) bertujuan tercapainya ketertiban, kepastian hukum, dan rasa keadilan masyarakat.144 Pada sisi lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan pentingnya Pembangunan Nasional di semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. “Mengutip tulisan Mochtar Kusumaatmaja dalam Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Pembangunan diartikan meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka – karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya,yang menjadi persoalan kini adalah: adakah peranan hukum dalam proses pembangunan itu dan bila ada apakah peranannya. Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita gunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Mochtar Kusumaatmadja,”Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional”,dalam Otje Salman S dan Eddy Damian (editor),Ibid,hlm.30. 143 Mochtar Kusumaatmadja,” Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional”, dalam Otje saman S dan Eddy damian (editor),Ibid, hlm.73. 144 E saefullah Wiradipradja,Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional Dan nasional, Penerbit Liberty,Yogyakarta, 1989,hlm.17. 142 123 Peranan Hukum dalam dalam Pembanguna adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara teratur. Ada anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya.”145 Mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmaja diatas penulis mengawali paper ini dengan mengatakan bahwa pembangunan Hak Asasi Manusia di Indonesia seharusnya dilakukan dengan Perubahan melalui proses PerundangUndangan atau/dan keputusan pengadilan. Pada tahun 1998 merupakan titik awal dari Reformasi di Indonesia, reformasi hukum termasuk didalamnya keinginan dari bangsa Indonesia untuk memperbaiki berbagai persoalan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dengan kata lain Bangsa Indonesia ingin membangun Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Indonesia . Keinginan untuk mewujudkan perbaikan dibidang Hak Asasi Manusia diwujudkan dengan dikeluarkanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia tentang Hak Asasi Manusia dan Piagam Hak Asasi Manusia, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Presiden republik Indonesia No 129 Tahun 1998 mengenai Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, yang kemudian Pasal mengenai Hak Asasi Manusia termuat Undang-Undang Dasar 1945 , menunjukan dalam Amandemen keinginan dari Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang berkewajiban untuk 145 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis,Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni, Bandung 2004, hlm 19. 124 menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuantujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia. Sebagai bangsa yang menghormati Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana dijamin oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pandangan hidup, falsafah bangsa dan landasan konstitusional bagi negara Kesatuan Republik Indonesia tentunya bangsa Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan Hak Asasi Manusia dalam semua sendi Kehidupan Bangsa Indonesia. Mengutip tulisan Notonagoro: “Dalam bukunya Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila dimana, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pernyataan Kemerdekaan yang terperinci yang mengandung cita-cita luhur dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan yang memuat Pancasila sebagai Dasar Negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat dirubah oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil pemilihan Umum, yang berdasarkan pasal 3 dan pasal 37 Undang-Undang Dasar berwenang menetapkan dan merubah undang-undang Dasar, karena merubah isi Pembukaan berarti Pembubaran Negara.”146 Penulis menggunakan apa yang dikatakan oleh Notonagoro dalam disertasi ini, dikarenakan bahwa bagaimanapun berkembangnya zaman yang berpengaruh pada aturan-aturan hukum maka tidak dapat meninggalkan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, dikarenakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan yang dinamakan pokok kaidah fundamentil daripada Negara Republik Indonesia dan mempunyai kedudukan tetap terlekat kepada kelangsungan Negara Republik Indonesia atas Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. 146 Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pantjuran Tudjuh, Jakarta 1967,hlm17. 125 “Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menurut sejarah terjadinya, ditentukan oleh Pembentuk Negara dan menurut isinya memuat asas kerohanian Negara (Pancasila), asas politik Negara (Republik yang berkedaulatan rakyat), tujuan Negara (melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah Darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social ), lagi pula menetapkan adanya suatu undang-undang dasar Negara Indonesia, jadi Pembukaan dalam segala sesuatunya memang memenuhi syarat-syarat mutlak bagi suatu pokok kaidah Negara yang fundamentil.”147 D. Kajian Teori terhadap Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dikenal di Indonesia ini.148 sebenamya merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari "Criminal Justice System", yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science dikarenakan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang dibuktikan dengan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dimana pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah pendekatan hukum dan ketertiban (law and order approach) sedangkan penegakan hukum dalam konteks pendekatannya dikenal dengan istilah law enforcement),149 yang mengedepankan aspek hukum dalam melakukan 147 Idem,hlm 20. Istilah Peradilan berasal dari kata dasar Adil, memperoleh imbuhan dan awalan (prefiks) “pe” dan akhiran (sufiks) “an”. Lihat Anton Anton Muliono dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 6-7. Peradilan terjemahan dari rechtpraak atau judiciary digunakan untuk menunjuk pada fungsi proses atau tata cara memberikan keadilan, sedangkan pengadilan terjemahan dari rechtank atau court menunjuk pada badan, wadah, lembaga, institusi karena itu pengertian pengadilan mencakup pengertian peradilan. Lihat SF. Marbun, Pengadilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, yogyakarta, 1987, hlm. 38 – 39. 148 149 Pendekatan hukum dan ketertiban dalam praktik telah mengalami kegagalan terutama dalam menekan angka kriminalitas terutama di Amerika serikat sehingga memunculkan 126 penanggulangan kejahatan dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Artinya, efektivitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian sangat menentukan berhasil atau tidaknya penanggulangan kejahatan, karena dalam praktiknya, pihak kepolisian banyak dihadapkan pada berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun prosedur-legal. Kemudian Sistem Peradilan Pidana ini dikembangkan oleh praktisi penegak hukum (law enforcement officers) di Arnerika Serikat.150 Salah satu dari tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat. Salah satu unsur untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat adalah adanya penegakan hukum atau peradilan yang bebas, mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri (pengadilan). Struktur lembaga-lembaga Sistem Peradilan Pidana yang terbentuk sebagai suatu tata urutan mulai penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, menunjukkan bahwa Sistem Peradilan Pidana terangkai dalam unsur-unsur (sub) yang mempunyai peran masing-masing secara utuh yang menunjukkan adanya mata rantai yang terpadu untuk memperoleh tujuan akhir. Oleh karena itu kegiatan salah satu unsur tersebut hanya merupakan tahap atau bagian dari kegiatan yang utuh untuk mencapai tujuan bersama. gagasan pendekatan system didalam mekanisme administrasi peradilan pidana. Pendekatan ini dalam teori kriminologi dan prevensi kejahatan dikenal sebagai criminal justice system model, dikutip dari Jerome H. Scholnik, Justice Withaut trial democratic order and rule of law, chapter I, 1996, hlm 10, dan Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996, hlm.7. 150 Indrianto Seno Adji, Arah System Peradilan Pidana, cet. I (Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan, Jakarta, 2001, hlm.4 127 Menurut Neil C. Chalin, pada mulanya di Amerika. Serikat komponen dari SPP hanyalah terdiri dari Polisi, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan yang timbul di dalam tata kehidupan masyarakat pada tingkat local government jelasnya dikatakan: "Basically the American Criminal Justice System is composed of Police, Courts and Corrections in local, state and Federal levels. These criminal justice componen function separately and together with majority of activities accuring at the local level of government (city and country).151 Dalam perkembangan kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal 1970, criminal justice sebagai disiplin studi tersendiri telah menggeser posisi law enforcement atau police studies, yang di Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa menjadi model yang dominan dengan menitik beratkan pada the administration of justice dan memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakan hukum. Dalam perkembangannya, Sistem Peradilan Pidana di indonesia mengalami perluasan arti dan tujuannya. Dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agarberada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima,152 Norval Morris menyatakan: 151 Neil C. Chalin, et.all, Introduction to Criminal Justice (Pretince-Hall), New Jersey, 1975 Page 1 (Introduction), lihat juga Indrianto seno adji, op.cit hlm. 4-5. 152 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 84-85. 128 "The Criminal Justice System is best seen as a crime containment system, one of the methods that society uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing to accept. But, to a degree, the criminal justice system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reducecriminality among those who have been convicted of crimes and trying by deterrent processe of detection, conviction, and punishment to reduce the commission of crime by those who are so minded and so acculturated.153 Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke muka pengadilan dan menerima pidana. Juga yang termasuk bagian tugas sistem ini adalah: (1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan (2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. (3) Berusaha agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak rnengulangi lagi perbuatannya.154 Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) tersebut : Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem. Makna susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu keteraturan dan penataan yang hierarkhis dan sistimatis pada suatu sistem. 153 UNAFEI, Criminal Justice System, The Request for an Integrated Approach, UNAFEI, 1982) hlm. 5 154 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II cet. I Pustaka Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hokum UI, Jakarta, 1994, hlm. 140. Lihat juga Mrdjono R, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 84-85. 129 Samodra Wibawa, mengemukakan tentang sistem ini bahwa:”sistem merupakan hubungan antara beberapa unsur dimana unsur yang satu tergantung kepada unsur yang lain. Bila salah satu unsur hilang, maka sistem tidak dapat berfungsi.155 Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan, dan secara keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan. Pidana, yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan atau penderitaan yang diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun phisikis dari orang yang terkena pidana itu.156 Memperhatikan dasar pemahaman di atas, mengenai SPP tidaklah hanya berbicara tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana, melainkan lebih dari itu yang dibicarakan adalah persoalan mekanisme ataupun manajemen dari bekerjanya pengadilan tersebut, guna melahirkan suatu keputusan yang adil.157 Sehingga dapat pula dikemukakan bahwa SPP, merupakan mekanisme dan atau manajemen proses peradilan (Justice Processes) di dalam melahirkan suatu keputusan serta di dalam menjatuhkan pidana. Remington dan Ohlin158 bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem peradilan terhadap mekanisme administrasi peradilan, dan 155 Samodra Wibawa, Kebijaan Publik ( Proses dan Analisis), Intermedia, Jakarta, Cet I, 1994, hlm. 50-51. 156 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 1993, hlm.437 157 Romli Atmasasmita System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 38. 158 Romli Atmasasmita, Idem, hlm. 14 130 peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. Untuk pertama kalinya di Indonesia pemahaman Criminal Justice System diperkenalkan Mardjono Reksodipoetro159 yang memberikan batasan pengertian tentang sistem peradilan pidana sebagai berikut : “Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.“ Dikatakan suatu sistem karena di dalam SPP tersebut tidak terlepas dari sub-sub sistem (komponen) yang mendukung jalannya SPP seperti berikut160 “Suatu Pengendalian Kejahatan yang terdiri dari lembaga- lembaga; Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana“. Romli Atmasasmita161 berpendapat bahwa pendekatan sistem dalam peradilan pidana adalah : a. Titik berat pada kordinasi dari sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana. c. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penye1esaian perkara. d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the administration of justice”. 159 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Peranan Penegak Hukum melawan Kejahatan dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994, hlm.84-85. 160 Idem, hlm 141. 161 Romli, Opcit, hlm. 9-10 131 Selain menunjukkan mekanisme kerja dalam rangka/menanggulangi kejahatan melalui dasar pendekatan sistem seperti diuraikan di atas (yang disebut istilah Criminal Justice System), dikemukakan juga bahwa SPP mempunyai tujuan tujuan yang dirumuskan sebagai berikut : a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.162 Muladi163 juga mengemukakan tentang SPP, sebagai berikut: Sistem Peradilan Pidana adalah merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, namun jika sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidak-adilan. Indriyanto164 memberikan pemahaman lain. SPP adalah berlainan dengan Administrasi Peradilan Pidana (Criminal Justice Administration). Administrasi Peradilan Pidana adalah jalannya procedural dari suatu acara persidangan pidana, yaitu sejak adanya dakwaan sampai dengan diucapkannya suatu putusan bagi terdakwa. Dengan demikian Administrasi Peradilan Pidana adalah merupakan bagian dari cara kerja sub sistem peradilan saja. 162 Idem, hlm. 14-15 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP. UNDIP, 1995, hlm. 1-2. 164 Indrianto Seno Aji, Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara dan konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Aji, Jakarta, Edisi Pertama, 2001, hlm. 9 163 132 Bertitik tolak dari pemahaman di atas maka dalam konteks yang lebih luas, perundang-undangan bukum pidana (baik formal maupun material) adalah merupakan sub sistem dari SPP, karena mekanisme dan manajemen kerja SPP tidak terlepas dari bagaimana sistem itu diatur dan dirumuskan dalam suatu perundang-undangan. Dalam konteks yang sempit, bila yang dijadikan pemahaman itu, adalah proses peradilan pidana, maka sub system dari SPP ini adalah lembaga-lembaga yang terkait dengan proses peradilan pidana (criminal Justice Processes), seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dan pemasyarakatan. Menurut Romli Atmasasmita165 atas uraian tersebut terlihat aspek penegakan hukumnya kurang menyentuh, oleh karena itu apabila SPP diartikan sebagai alat penegakan hukum atau law Enforcement, maka di dalamnya harus mengandung aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan untuk mencapai adanya suatu kepastian hukum. Di Indonesia implementasi pengaturan SPP ini, di samping didasarkan kepada peraturan peraturan yang merupakan produk nasional166 juga didasarkan kepada peraturan-peraturan internasional yang telah diratifikasi.167 KUHAP menjadi landasan dalam praktek peradilan pidana, walaupun dikatakan telah mengandung nilai-nilai Sistem Peradilan “Pidana yang baik, 165 Op.cit, hlm. 15 Antara lain Undang-undang No. 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. 167 Peraturan internasional yang telah diratifikasi antara lain; dalam bidang kerjasama internasional, dalam bidang peradilan dan penegakan hukum, dalam bidang pembinan para pelaku, dan dalam bidang juvenile deliquence. 166 133 namun belum menunjukkan secara tegas dan jelas bagaimana mekanisme dalam atau manajemen yang dipergunakan dalam SPP tersebut. Dalam praktek peradilan, proses pelimpahan perkara dari pihak penyidik ke kejaksaan yang kemudian dilanjutkan untuk diproses di pengadilan, hanya merupakan tahap-tahap administrasi yang bersifat runitas (sehari-hari), atau lebih dikatakan sebagai tahaptahap pembagian kerja (job discription), yang apabila telah selasai dilaksanakan, maka masing-masing lembaga merasa tugasnya telah selasai, padahal yang diinginkan bukanlah yang demikian, melainkan bagaimana adanya suatu keterikatan dan tanggung jawab moral diantara lembaga-lembaga tersebut. 134 BAB III KONSEP HAK ASASI MANUSIA UNIVERSAL DAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA PARTIKULAR A. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional “Mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional terdapat berbagai bentuk pelaksanaan sesuai dengan hukum positip di berbagai Negara. Berdasarkan teori transformasi dari kaum positivistdualist, hukum internasional baru menjadi bagian dari hukum nasional apabila telah diundang-undangkan dengan undang-undang nasional, sedangkan berdasarkan teori inkorporasi, hukum internasional langsung menjadi bagian dari hukum nasional tanpa harus melalui undang-undang. Di Inggris ( termasuk Negara-Negara persemakmuran) dan Amerika meski ada sedikit perbedaan, hukum kebiasaan internasional dipandang sebagai bagian dari hukum nasional ( internasional law is the law of the land).Doktrin ini dikenal dengan nama doktrin inkorporasi ( incorporation doctrine) sedangkan hukum internasional yang bersumber dari perjanjian internasional memerlukan transformasi dengan undang-undang ( persetujuan parlemen) untuk menjadi bagian dari hukum nasional. Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur apakah menganut paham transformasi atau inkorporasi. Mochtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa hal ini tidak berarti bahwa Indonesia tidak mengakui supremasi hukum internasional atas hukum nasional, apalagi menarik kesimpulan bahwa Indonesia menganut pendirian bahwa hukum nasional mengatasi hukum internasional. Menurut beliau menarik kesimpulan demikian berarti menentang menentang masyarakat internasional yang didasarkan atas hukum, dan sebagai Negara yang masih muda kiranya pendirian yang demikian bukanlah pendirian yang bijaksana. Namun demikian, meskipun pada prinsipnya Indonesia mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa Indonesia dengan begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional tanpa mengkaji kaidah-kaidah hukum internasional yang tidak jelas atau mungkin sudah berubah sebagai refleksi dari masyarakat internasional yang sedang berubah dengan cepat. Dalam masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional tersebut menurut Mochtar Kusumaatmaja apabila menghendaki adanya masyarakat internasional yang aman dan sejahtera maka mau tidak mau kita harus mengakui adanya hukum internasional 135 yang mengatur masyarakat internasional. Konsekuensinya pada analisis terakhir hukum nasional harus tunduk pada hukum internasional.”168 “Saefullah Wiradipradja berpendapat bahwa dalam masalah hubungan antara perjanjian internasional/hukum internasional dengan hukum nasional, dalam praktek, Indonesia menganut paham baik inkorporasi maupun transformasi, tidak menganut salah satu diantaranya secara mutlak. Inkorporasi berlaku bagi perjanjian perjanjian internasional yang hanya mengikat Negara atau badan Negara, sedangkan transformasi berlaku bagi perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat langsung warganegara secara individual dan badan hukum/badan usaha. Sedang apakah ketentuan internasional atau nasional lebih diutamakan, berdasarkan pada praktek selama ini, kelihatannya Indonesia cenderung menganut supremasi hukum internasional, artinya Indonesia selalu menyesuaikan peraturan perundang-undangannya ( dalam hal transformasi) terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum internasional, khususnya perjanjian internasional.169 Meskipun Mochtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa Indonesia tidak menganut teori transformasi, tapi langsung terikat terikat dalam kewajiban melaksanakan dan mentaati ketentuan-ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi undang-undang pelaksanaan,”170namun beliau pun mengakui bahwa dalam beberapa hal pengundangan dalam undang-undang nasional adalah mutlak diperlukan yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang-undang nasional yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai 171 perorangan. Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian internasional dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yaitu : Pasal 5 (1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya, 168 E Saefullah Wiradipradja, Konsekuensi Yuridis Keanggotaan Indonesia dalam WTO-GATS dan Pengaruhnya terhadap Industri dan Perdagangan Jasa, Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol.I No.1 Tahun 2002.,hlm 5 169 Ibid. 170 Idem,hlm.6. 171 Ibid. 136 Pasal 11 (1) Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyetakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perewakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Pasal 20 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membuat undang- undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (3) Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut ttidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. 137 Dengan melihat apa yang disampaikan di atas maka keberadaannya Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional memberikan dasar-dasar yang kuat dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional, dan menempatkan dalam posisi bagaimana hubungan antara Indonesia dengan hukum internasional dalam hal Indonesia meratifikasi atau tidak meratifikasi suatu perjanjian internasional, seperti bagaimana hubungan antara Indonesia dengan International Covenant and Civil and Political Rights dikarenakan Indonesia sebagai pihak yang telah meratifikasi International Covenant and Civil and Political Rights. Demikian juga bagaimana melihat hubungan antara Indonesia dengan Statuta Roma dikarenakan Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, dalam hal ini pentingnya pemahaman hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional. Dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dikenal Teori Monisme, yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek dari satu sistem hukum.172 Dalam hal ini berarti bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum dimana hukum yang satu mendasari hukum yang lain, dalam hal penelitian mengenai Konsep Hak Asasi Manusia dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia dimana substansi hak asasi manusia yang menjadi kerangka ilmunya, peneliti menggunakan Teori Monisme dengan Primat Hukum Internasional dan Monisme dengan Primat 172 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional ,Bina Cipta, 1990hlm 42-43, 138 Hukum Nasional yang berarti dalam kajian hak asasi manusia apabila menggunakan teori monisme dengan primat hukum nasional maka hukum nasional yang mendasari hukum internasional dalam hak asasi manusia, dan apabila menggunakan monisme dengan primat hukum internasional maka hukum internasional yang mendasari pengaturan hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam hak asasi manusia. “Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum intenasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang bebeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini yang utama ialah hukum nasional. Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional.Paham yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional.Pandangan ini disebut paham monisme dengan primat hukum internasional. Menurut teori monisme kedua-duanya mungkin. Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum intenasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari hukum internasional untuk urusan luar negeri. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional ini pada hakekatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah : (1) bahwa tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini;(2) dasar hukum internasional yang mengatur hubungan intenasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian intenasional, jadi wewenang konstitusional.”173 Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara , maka hukum 173 Ibid 139 internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut diatas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Diantara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai berikut : (1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum intenasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara; (2) kedua perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subyek hukum dari hukum internasional adalah negara ; (3) sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan perkataan lain dalam kenyataan ketentuan hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.174 Apabila konstitusi mengatur konsep hak asasi manusia dalam konstitusinya dengan demikian konsep hak asasi manusia tersebut harus diikuti oleh peraturan yang ada dibawahnya. Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam hubungan antara hak asasi manusia dengan hukum internasional dan hukum nasional berpendapat sebagai berikut:175 “Kalau kita cermati, pertimbangan butir b dari dua kovenan yang baru saja diratifikasi, di sana ditemukan suatu pernyataan bahwa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan piagam PBB serta deklarasi universal HAM. Perlu digarisbawahi pertimbangan butir b ini, karena menegaskan bahwa dengan diratifikasikannya kovenan internasional yang 174 Idem.hlm.43 175 Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php? 140 penting itu, maka, Indonesia masuk dalam bagian dari sistem hukum internasional HAM. Selanjutnya, Pasal 2 dari kedua UU itu menyatakan, UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Oleh karena itu, dengan disahkannya kedua konvensi internasional menjadi UU, maka dengan ini di Indonesia berlaku selain UU no. 39/1999 tentang HAM, juga KIHESB (Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan KIHSP (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik), yang sama-sama merupakan UU yang bersifat induk atau lintas sektoral. Jadi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merupakan Internasional Bill of Rights yang bersifat induk atau lintas sektoral. Selain itu, kovenan itu juga dipayungi oleh pasal-pasal HAM yang termuat di dalam UUD 1945. Lalu bagaimana hubungan di antara kovenan itu dengan konstitusi? Dalam teori hukum internasional, kita mengenal beberapa teori; pertama, teori tentang dualisme. Teori tentang dualisme menegaskan bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum nasional berlaku dalam satu negara dan mengatur hubungan antar warga negara dan warga negara dengan pemerintah. Kedua, teori monisme. Teori ini berasal dari pemikiran Hans Kelsen yang menegaskan supremasi hukum internasional atas hukum nasional. Hukum internasional itu dilihat sebagai the best of available moderator of human affairs dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negara-negara, dan karenanya, dia menjadi lebih utama dari hukum nasional.”176 Dengan kata lain, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila bertentangan dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan dengan sistem hukum internasional. Walaupun teori ini sebenarnya dibangun dari suatu konstruksi spekulasi intelektual, tetapi teori itu exist di dalam literatur-literatur hukum internasional. ”Ketiga, teori koordinasi, yang menyatakan bahwa dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu tidak berada dalam situasi konflik, karena dua sistem itu bekerja dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya sendiri, tetapi memang dapat terjadi conflict of obligation (konflik kewajiban). Argumen dalam perspektif teori ini, bahwa ketidakmampuan negara untuk bertindak sesuai dengan kewajiban internasionalnya, karena dengan kita 176 Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php? 141 meratifikasi melalui UU dua kovenan internasional itu negara mempunyai kewajiban internasional tidak mengakibatkan tidak sahnya hukum internal/hukum nasional”177. Jadi, kalau suatu negara gagal memenuhi kewajiban internasionalnya, menurut teori ini tidak berarti hukum internalnya itu gugur. Suatu doktrin dan pendirian yang bersifat universal, bahwa negara tidak bisa membela diri, ketika negara dituduh melanggar kewajiban internalnya. Negara tidak bisa membela diri karena hukum internalnya itu menghalangi kemampuannya untuk menjalankan kewajiban internasionalnya. Pembelaan seperti itu menurut pandangan yang berlaku universal tidak dibenarkan. Dalam hubungannya dengan hubungan hak asasi manusia dalam hukum nasional dan hukum internasional dalam hukum nasional Indonesia terdapat beberapa ketentuan yang dapat menunjukan keterkaitan hubungan antara hukum internasional dan hukum penghormatan terhadap nasional, khususnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia universal yang terdapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Secara tersurat pengakuan terhadap konsepsi hak asasi manusia yang universal dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak asasi manusia, dalam bagian menimbang butir b dikatakan: “Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa, menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”178 177 178 Ibid Keputusan Presiden Republik Indonesia Tentang Komisi Nasional Hak asasi manusia 142 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia semakin menegaskan bahwa dalam hak asasi manusia terdapat hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional khususnya dalam kaitannya dengan pengakuaan dan penghormatan terhadap universalitas hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana dalam bagian konsiderans butir C dengan jelas menunjukkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap Deklarasi Universal Hak-hak Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Asasi Manusia adanya butir C, yang berbunyi sebagai berikut : “bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak -hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak -hak asasi manusia.”179 Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR pada butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap universalitas HAM yang didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights: “Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.”180 179 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1988 tentang Hak -Hak asasi manusia Bagian Konsiderans, Butir C 180 Ibid, Bagian B Landasan, Butir 2 143 Pada Piagam Hak asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari TAP MPR NO XVII pada Pembukaan alinea keempat dikatakan : “Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan Deklarasi Universal Hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights). Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan dalam deklarasi tersebut.”181 Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia, pada bagian menimbang pada butir d dikatakan: “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak asasi manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument internasional lain yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”182 Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan hak asasi manusia pada Bagian I Umum alinea 4 dikatakan : “Untuk melaksanakan amanat ketetapan MPR RI No XVII/MPR/ 1998 tentang Hak asasi manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia. Pembentukan Undang-Undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan undang-undang tentang Hak asasi manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak asasi manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia”183 Apa yang dikemukakan di atas mengenai bagaimana sistem hukum Indonesia mengakui Universal Declaration of Human Rights menunjukkan 181 Piagam Hak asasi manusia Indonesia. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia. 183 Penjelasan atas Undang-Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 182 144 pengakuan negara Republik Indonesia terhadap Hak asasi manusia yang Universal, terlebih lagi dengan pengaturan Hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar 1945 yang juga menunjukkan pengakuan Hak asasi manusia yang universal. Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa, telah membatasi kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan bahasa yang indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang berlaku pada bangsa tersebut.184 Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul akibat dari adanya pelanggaran terhadap hukum internasional, walaupun hukum nasional mengganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap bertanggungjawab.185 Dalam hal tanggungjawab terhadap norma hukum hak asasi manusia Internasional negara pelaku tidak dapat lagi berlindung di balik kedaulatannya untuk menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana dikatakan Hector Gros Espiel, “The question of Human Rights is no longer the preserve of the domestic jurisdiction of states, but is now recognized as being 184 Komisi Nasional Hak asasi manusia, Hak asasi manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 54 185 F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, hlm 77. 145 governed by internal law and by international law, against which special internal law cannot be invoked.”186 B. Konsep Universal Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia adalah adalah isu yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan, karena membicarakan hak asasi manusia, berarti membicarakan suatu pemahaman Konsep yang universal yang berarti suatu konsep yang bisa diterima di semua tempat dan di semua waktu, atau dengan kata lain meskinya dengan pemahaman konsep Universal dari hak asasi manusia, maka tidak akan ada lagi pandangan yang berbeda mengenai hak asasi manusia karena konsepsi hak asasi manusia yang universal berarti suatu pemahaman yang sama dalam memandang hak asasi manusia.187 Hak asasi manusia dipandang sebagai suatu suatu standar Internasional yang melintasi batas budaya dan merupakan sistem hukum internasioanl yang berlaku dalam masyarakat negara.188 Melintasi batas budaya dalam hal ini dimaksudkan bahwa seharusnya tidak ada lagi perbedaan dalam pengaturan dan pelaksanaan hak asasi manusia dikarenakan perbedaan budaya tidak mempengaruhi berlakunya hak asasi manusia, karena Universalitas dari hak asasi manusia. Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy Symonides (editor), Human Rights: Concept and Standards,Paris: UNESCO, 2000, hlm. 349 187 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Loc.Cit. 188 Sonia Haris Short, International Human Rights Law : Imperialist,Inept and Ineffective?cultural Relativisme and the UN Convention on the Rights of the child in Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social Sciences, Humanities, And Law, Volume 25 Number 1, February 2003, Hlm.131. 186 146 Dalam kenyataannya persoalan budaya yang selalu menghambat berlakunya Hak asasi manusia yang dipandang Universal, bahkan konsep hak asasi manusia yang sudah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional dapat diperlakukan berbeda dalam suatu negara dengan pertimbangan sosial dan budaya dari negara tersebut, yang sebenarnya tidak sesuai dengan hak asasi manusia yang bersifat Universal. Hak asasi manusia filosofinya adalah menjamin penghormatan terhadap setiap orang martabat dan kemerdekaan manusia dari semua bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan harkat martabat manusia dalam menjalankan hidupnya di masyarakat.189 Konsep hak asasi manusia yang dipandang sebagai suatu konsepsi yang universal, Universal dalam kamus umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta diartikan sebagai umum (yang meliputi (berlaku di,terdapat di ) seluruh dunia (termasuk, dilakukan oleh) semua orang; berakibat pada semua orang190. Dengan menggunakan pedoman yang terdapat dalam kamus WJS Poerwadarminta, maka dengan demikian hak asasi manusia Universal diartikan sebagai hak asasi manusia yang berlaku di seluruh dunia. Dalam Websters Ninth New Collegiate Dictionary, 191 “Universal: 1. including or covering all or a whole collectively or distributively without limit or exceptions; 2. a present or occuring everywhere b: existent or operative everywhere or under all condition.” Jacques Robert, “Contitutional and International Protection of Human Rights Competing or Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2, 31 March 1994,NP Engel Publisher hlm 2 190 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka,Jakarta,1993,Hlm 1130 191 Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster inc., Publishers, Springfield, Massachusetts, USA, hlm 1291. 189 147 “Universality: 1. the quality or state of being Universal; 2. Universal Comprehensiveness in range.” “Universalism: 1. often cap as a: a theological doctriBne that all men will eventually be saved b: the principles and practises of a liberal Christian denomination founded in the 18th century orig. .to uphold belief in universal salvation and know united with unitarianism 2. something that is universal in scope.” Berpedoman kepada Websters Ninth New Collegiate Dictionary, maka universal diartikan sebagai berlaku umum, Universality atau Universalitas diartikan sebagai sesuatu yang berlaku umum, dan universalisme diartikan sebagai suatu paham yang bersifat universal, dalam kaitan dengan penelitian ini maka hak asasi manusia adalah berlaku Universal yang artinya berlaku umum, di setiat tempat dan di setiap waktu, dan hak asasi manusia sebagai suatu obyek yang berlaku umum, yang kemudian mengakibatkan paham atau pandangan bahwa hak asasi manusia berlaku secara universal. Dalam praktik negara-negara seringkali penerapannya menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum bahwa penerapan universalitas dari hak asasi manusia ke dalam hukum nasional atau pelaksanaan hak asasi manusia oleh negara tidak sesuai dengan prinsip universalitas, dan cenderung disesuaikan dengan bagaimana pandangan negara mengenai hak asasi manusia itu sendiri. “Sebagai bangsa yang merupakan bagian (sub-sistem) masyarakat global, tanpa mengabaikan unsur-unsur partikularistik yang dominan, berbagai kecenderungan global harus dilihat sebagai kecenderungan nasional. Hal ini khususnya apabila berkaitan dengan hak asasi manusia yang bersifat absolute (absolute rights) yang tidak dapat dikesampingkan, sekalipun suatu negara dalam keadaan darurat.”192 Muladi, “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, Jurnal Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, Hlm 38 192 148 Konsepsi hak asasi manusia secara universal, tentunya tidak dapat terlepas dari hukum internasional dimana sumber hukum internasional adalah: a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law. c. The General Principles of Law Recognized by civilized nations; d. Judicial decisions and the teaching of the most highly publicist of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law.193 Hukum Internasional memiliki instrumen-instrumen utama hak asasi manusia yang meliputi : 1. Universal Declaration of Human Rights 2. International Covenant on Civil and Political Rights 3. International Covenant on Economic,Social and Cultural Rights 4. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights 5. Second Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty. Sebagai suatu tatanan nilai yang telah diterima masyarakat internasional sebagaimana pengertian hukum internasional, dimana hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azaz-azaz yang mengatur hubungan-hubungan yang melampaui batas-batas negara antara negara dengan negara atau antara negara dengan subyek hukum internasional atau antara subyek hukum 193 Pasal 38 Statuta International Court of Justice 149 internasional yang satu dengan yang lain.194 Maka negara telah menerima konsep universalitas itu sebagai suatu konsep yang berlaku secara universal. Bahkan dalam hal ini adanya pandangan yang lebih moderat dan menafsirkan kecenderungan global lebih luas yang mencakup pula pelbagai resolusi badanbadan PBB, model perjanjian (model treaties), code of conduct, guidelines, basic principles, safeguard, standar minimum rules, dan berbagai deklarasi yang disusun oleh badan-badan internasional serta hasil-hasil pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh profesi internasional195: “Globalisasi semakin memperkuat pemikiran-pemikiran untuk mempersoalkan nilai-nilai dasar HAM, yang bersifat universal, indivisible and interdependent and interelated. Bahkan sering ditegaskan agar masyarakat internasional memperlakukan hak asasi secara global in a fair and equal manner, on the same footing, and with the same emphasis. Di dalam Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993) butir E.83 yang mengatur mengenai implementation and monitoring methods ditegaskan bahwa pemerintah-pemerintah hendaknya menggabungkan (incorporate) standar-standar yang terdapat pada instrument hak asasi manusia internasional ke dalam hukum nasional (domestic Legislation) dan memperkuat pelbagai struktur, lembaga nasional dan organ-organ dalam masyarakat yang memainkan peran di dalam mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.”196 194 Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, Cetakan ketujuh 1990, hlm.3. 195 Muladi mengutip Held, David, Democracy and the Global Order, Polity Press, 1995 Dalam Tulisan “Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi”, dalam Jurnal Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000, Hlm 38 196 Komisi Hak asasi manusia, Hak asasi manusia Dalam Perspektif Budaya, Makalah Muladi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, Hlm 81. 150 “Muladi mengatakan sekalipun hak universal, namun sebagaimana negara-negara asasi manusia memiliki sifat berkembang yang lain dalam implementasinya dikenal pula asas relativisme kultural, yang secara universal juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh penggunaan asas relativisme kultural tersebut tidak bertentangan dengan manusia yang universal. Pentingnya prinsip dan hakekat hak asasi untuk tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan hak asasi manusia, nampak pada contoh sebagai berikut: The Jakarta message (1992) butir 18 antara lain menegaskan bahwa “No country however, should use ist power to dictate its concept of democracy and human rights or impose conditionalities on others.” Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang hak asasi manusia yang dirumuskan oleh ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain menegaskan : “the people of ASEAN Accept that human rights exist in a dynamic and volving context and that each country has inherent historical experiences, and changing economic, social,political and cultural and value system which should be taken into account”. Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang menyatakan bahwa: “While Human Rights are Universal in nature, they must be considered in the context of a dynamic and envolving process of international norms setting, bearing in mind the significance of national and regional peculiarities and various historical, cultural and religious background.”197 197 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, akarta 2002, Hlm.56. 151 Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh konferensi dunia tentang Hak asasi manusia yang merumuskan bahwa: “All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated while the significant of national and regional Particularities and various historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms.”198 Sekalipun para sarjana hukum sering berpendapat bahwa berbicara mengenai universalitas dan partikularitas dari hak asasi manusia pada saat ini sudah tidak relevan lagi, pada kenyataannya persoalan tersebut selalu saja terjadi ketika berbicara mengenai pengaturan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan nasional dan pelaksanaan atau penegakan hukum mengenai hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan konsep universalitas dari hak asasi manusia, dalam penerapannya di suatu negara hak asasi manusia yang sifatnya universalitas tersebut kemudian dipengaruhi oleh aspek sosial budaya dari negara yang bersangkutan. Universalitas tersebut kemudian dilihat dalam konsep hak asasi manusia dari negara yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh konsep-konsep lain seperti konseps hak asasi manusia dalam Persepektif Islam, konseps hak asasi manusia dalam Perspektif Indonesia, hak asasi manusia dalam Persepektif Barat, konsep hak asasi manusia dalam Perspektif Negara Maju, konsep hak asasi manusia dalam Perspektif Negara Berkembang, yang kesemuanya itu pada 198 Viena Declaration and Programme of Action (Juni 1993) 152 akhirnya membawa pembahasan pada universilitas dan partikularitas dari hak asasi manusia. Perdebatan mengenai universalitas dan relativitas selalu mengemuka apabila berbicara mengenai hak asasi manusia.199 Satu hal yang juga harus dicatat bahwa adalah salah satu hal yang dapat dipergunakan untuk menentukan persoalan budaya dalam pemberlakuan hak asasi manusia, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia tidak sesuai untuk non barat dan ajaran-ajaran agama.200 Zehra F Kabaskal Arat, mengatakan bahwa dengan penerimaan masyarakat internasional terhadap Universal Declaration of Human Rights masyarakat internasional telah memiliki budaya internasional tersendiri.201 Kritikan terhadap universalitas dari Universal Declaration of Human Rights, disebabkan karena : 1. Latar Belakang Budaya yang Berbeda 2. Dipandang mencoba untuk merubah Budaya lokal dan mengganti budaya lokal tersebut. 3. Universal Declaration of Human Rights dipandang menciptakan suatu budaya baru yang disebut dengan Budaya Internasional Baru.202 Michael Goodhart, “Origins and Universality in the Human Rights Debates : Cultural Essentialism and the Chalenge of Globalizations”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative and international Journal of The Social Sciences Humanity, and Law,Volume 25 Number 4 November 2003,The Jhon Hopkins University Press, Hlm 938. 200 Ibid, Hlm 939. 201 Zehra F Kabaskal Arat, “Forging A Global Culture of Human Rights:Origin and Prospects of International Bill of Rights”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative and International Journal of the Social Sciences, Humanities, and Law, Volume 28, Number 2, May 2006, The Jhon Hopkin University, Hlm 417. 202 Zehra F Kabaskal Arat, Ibidem, Hlm 418. 202 Zehra F Kabaskal Arat, Ibidem, Hlm 418. 199 153 Perbedaan yang ada dalam menyikapi Universal Declaration of Human Rights, apakah negara tetap akan menghormati Universal Declaration of Human Rights.203 Pada sisi lain apabila pengaturan hak asasi manusia dalam suatu negara sudah disesuaiakan dengan latar belakang dan budaya suatu negara apakah menjamin bahwa hak asasi manusia tersebut akan dilaksanakan dengan baik.204 Dalam menyikapi perbedaan pandangan mengenai universalitas dan partikularistik dari HAM dikenal adanya suatu konsep yang disebut dengan “The Concept of the Margin Appreciation”, dimana yang dimaksudkan dengan Concept of Margin Appreciation adalah suatu konsep dalam menyikapi perbedaan pelaksanaan universalitas dari hak asasi manusia dengan aspek sosial dan budaya maka diperlukan suatu toleransi dalam menyikapi perbedaan pandangan yang ada tannpa memberikam justifikasi bahwa suatu paham dalam hak asasi manusia lebih baik dari paham yang lain.205 Dalam kaitannya dengan pembahasan hak asasi manusia yang Universal serta perlunya diperhatikan aspek-aspek sosial budaya setempat yang dikenal dengan Partikularistik dari hak asasi manusia, peneliti mengacu kepada Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of The World Conference on Human Rights yang kemudian dikenal dengan Bangkok Declaration 1993 Scott Walker & Steven C,Poe, “Does Cultural Diversity Affect Countries Respect for Human Rights?”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative and International Journal of The Social Sciences, Humanities, and Law,Volume 24 Number 1 February 2002, Hlm,238 204 Ibid, Hlm.245. 205 Paul Mahoney, “Marvellous Richness of Diversity or Indivious Cultural Relativism”, dalam Human Rights Law Journal ,Vol.19,No 1,30 April 1998,N.P.Engel Publisher Hlm 1. 203 154 merupakan pengakuan regional dari hak asasi manusia terhadap Universalitas dari hak asasi manusia sebagaimana tanpa mengabaikan aspek partikularistik dari hak asasi manusia. Reaffirming their commitment to principles contained in the Charter of the United Nation and the Universal Declaration on Human Rights206 Stressing the Universality,Objectivity and non selectivity of all human rights and the need to avoid the application of double standards in the implementation of human rights and its politicization.207 Dalam Deklarasi 8 “While Human Rights are Universal in nature,they must be considered in the context of a dynamic and volving process of international norms setting, bearing in mind the significance of national and regional peculiarities and various historical,cultural and religious background.”208 Serta dalam Deklarasi 24 “Welcome the important role played by national institution in the genuine and constructive promotion of Human Rights, and believe that the conceptualization and eventual establihsment of such institution are best left for the state to decide.”209 Hak Asasi Manusia sebagai suatu nilai yang universal tertuang dalam Universal Declaration of Human rigths, yang ditegaskan kembali dalam Deklarasi Wina “Dalam sejarah perkembangannya yang awal di negeri-negeri Barat, proses berkembangnya ide hak-hak manusia yang asasi -- berikut segala praksispraksis implementatifnya -- terjadi berseiring benar dengan berkembangnya ide untuk 206 Final Declaration of the Regional Meeting For Asia of The World Conference on Human Rights yang kemudian dikenal dengan Bangkok Declaration 1993 207 Ibid 208 Ibid 209 Ibid 155 Membangun suatu negara bangsa yang demokratik dan berinfrastruktur masyarakat warga (civil society). Ide ini mencita-citakan terwujudnya suatu komunitas politik manusia sebangsa atas dasar prinsip kebebasan dan kesamaan derajat serta kedudukan di hadapan hukum dan kekuasaan. Ini berarti bahwa setiap manusia sebangsa dalam kehidupan komunitas bangsa yang disebut Negara bangsa itu akan tak lagi boleh dipilah ke dalam golongan mereka yang harus disebut para Gusti dengan segala hak-hak istimewanya dan golongan mereka yangharus dinisbatkan sebagai para Kawula Alit dengan segala kewajibannya untuk patuh dan berdisiplin. Tak lagi mengenal dua kelas yang terpilah secara diskriminatif, masyarakat yang terbentuk itu -- demikian menurut model idealnya -- adalah suatu masyarakat baru yang berhakikat sebagai masyarakat warga yang pada asasnya berkebebasan, eksis dan bersitegak di atas dasar paham egalitarianisme. Tak lagi ada kelas ningrat yang atas, tak ada lagi kelas kawula biasa yang bawah, yang ada kini ini (idealnya yang universal !) adalah kelas tengah.Semua saja tanpa kecualinya memiliki hak dan kebebasan yang sama. Hak dan kebebasan hanya boleh dibatasi -- atas dasar kesepakatan, yang dicapai tanpa rasa keterpaksaan -oleh para warga itu sendir (atau oleh wakil atau kuasanya). Kesepakatan seperti itu, yang dalam istilah teknisnya kesepakatan kontraktual, kemudian daripada itu harus dipositifkan dalam wujud kontrakkontrak perjanjian (manakala dalam kehidupan privat) atau akan berbentuk undang-undang (manakala dalam kehidupan publik). Itulah suatu perkembangan dalam kehidupan hukum,dari kehidupan dengan hukum yang tercipta oleh sumber 156 kekuasaan eksternal ke kehidupan baru dengan hukum yang tercipta oleh sumber kekuasaan yang internal dari para manusia itu sendiri diidealkan seperti itu, maka pada asasnya dan menurut doktrinnya hak-hak para warga yang asasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu – juga pembatasannya dalan wujud kewajiban-kewajiban -- mestilah berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan ikhlas. Tidaklah sekali-kali dibenarkan manakala hubungan atas dasar kesepakatan itu terjadi karena suatu pemaksaan atau keterpaksaan, atau pula karena dikecoh atau disesatkan lewat penipuan. Hak dan kewajiban yang menjadi dasar dari seluruh tertib hukum di dalam kehidupan bernegara bangsa dan di dalam kehidupan masyarakat warga itu tidaklah sekali-kali boleh bermula dari kehendak sepihak yang dipaksakan : dipaksakan oleh dia yang tengah berkekuatan dan berkekuasaan kepada dia yang tengah berada dalam posisi lemah dan kurang berkeberdayaan Tatkala hak-hak asasi manusia dideklarasikan di New York atas wibawa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, deklarasi itu tak ayal lagi adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari dan bertumpu pada ide, doktrin dan/atau konsep mengenai kebebasan dan kesetaraan manusia sebagaimana yang telah lama dimengerti di dunia Barat itu sebagaimana dipaparkan di muka. Lebih lanjut lagi deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwa hak-hak dan seluruh ide dan doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal Kalau semula pada awalnya yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang masih pada lingkup nasional, mengatasi partikularisme yang lokal dan/atau etnik dan atau yang sektarian, kini yang dimaksudkan dengan universalitas itu deklarasi itu secara resmi disebut The Universal Declaration of 157 Human Rights, dengan mengikutkan kata ‘universal’ guna mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu pernyataan yang berkeniscayaan mesti berlaku umum di negeri manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan terhadap sesiapapun dari bangsa manapun.Namun demikian, yang masih tetap akan menjadi persoalan besar sampai pun saat ini ialah, apakah ide dan konsep – dan karena itu segala kebijakan dan upaya penegakan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan yang telah berskala global itu – harus bersifat demikian universalistik, dalam artiannya yang mutlak? Ataukah, sekalipun deklarasi itu telah diterima oleh banyak wakil negara bangsa di dunia ini, masihkah ada juga tempat untuk tafsirtafsir yang lebih bersifat partikularistik? Artinya, adakah hak-hak asasi manusia itu harus ditegakkan kapan saja, di mana saja dalam pengertiannya yang sama sebagaimana modelnya yang klasik dari Barat itu? Ataukah hak-hak asasi manusia itu hanya bisa dipandang sebagai sesuatu yang universal dalam hal prinsip- prinsipnya saja? Yang oleh sebab itu implementasinya -- demi pemajuan dan penegakan hak-hak dengan memperimbangkan dan/atau memperhitungkan kondisi dan situasi setempat yang partikular .”210 C. Konsep Partikular Hak Asasi Manusia “Menghadapi persoalan universalismepartikularisme ini, banyak negara di kawasan-kawasan regional mencoba mendefinisikan ulang hak-hak asasi manusia dengan mencoba menampung keragaman konsep-konsep lokal itu dalam konteksnya yang lebih umum dan universal. Di kawasan ASEAN, misalnya, pada 210 Sutandyo wignjosubroto,Kursus Hak Asasi Manusia untuk advokat,Elsam 2005,Hlm 18 158 tahun 1984 pernah dideklarasikan suatu pernyataan mengenai "Kewajiban- Kewajiban Dasar bagi Masyarakat dan Pemerintah di Negara-Negara ASEAN". Salah satu pernyataan umum yang dihasilkan oleh pertemuan Kairo menegaskan konsep hak-hak asasi manusia yang universal menurut versi Islam. menyebutkan bahwa negara-negara yang wakil-wakilnya bersidang di Kairo ini bersepakat untuk pada asasnya akan selalu menjunjung tinggi pelaksanaan penegakan hak-hak asasi manusia, namun dengan catatan sejauh hak-hak manusia yang asasi itu tidak bertentangan dengan syariah Islam.Tentu saja statemenstatemen atau deklarasi-deklarasi yang selalu dinyatakan dalam rumusan-rumusan umum itu dalam praktiknya yang konkrit nantinya masih menuntut penjabaran lebih lanjut. Kesepakatan-kesepakatan, tidak hanya pada forum internasional akan tetapi juga pada forum nasional itu sendiri, masih diperlukan. Banyak wacana masih perlu dikembangkan orang untuk mempertanyakan dan menemukan jawab mengenai luas-sempitnya hak-hak warga negara dalam eksistensinya sebagai mahluk yang berkodrat dan bermartabat sebagai manusia. Manakah yang harus didahulukan untuk diikuti sebagai pegangan; konsep humanistik yang universal ataukah konsep lokal-nasional yang partikular? Kongres Dunia tentang hak-hak asasi manusia yang diselenggarakan di Wina pada bulan Juni 1993 mencoba menjawab dengan jelas pertanyaan ini. Dalam Kongres itu dicapai kesepakatan untuk mengatasi persoalan universalisme-partikularisme itu dengan menyatakan bahwa "sekalipun diakui adanya keragaman sosial dan budaya setempat, akan tetapi semua saja harus tetap mengupayakan berlakunya universalitas hak-hak asasi manusia berikut upaya-upaya penegakannya". 159 Kesepakatan dalam Kongres Wina itu memang boleh dikatakan merupakan refleks mayoritas wakil-wakil Negara peserta untuk bertekad mengakui hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang kodrati, yang karena itu benar-benar bersifat universal, dan yang karena itu pula bukanlah sekali-kali merupakan hak-hak yang diperoleh karena kebajikan yang partikular dari para penguasa. Manakala keragaman sosial-budaya setempat toh masih harus diakui keberadaan dan kekuatan berlakunya, maka pengakuan itu hanyalah “demi fakta” saja sifatnya, yang tidaklah akan mengganggu esensi normatifnya. Pada prinsipnya, tak ayal lagi hak-hak asasi manusia itu tetap universal jugalah sifatnya, sedangkan keragaman dalam hal pemahamannya itu -- yang sering terkesan masih sering bertahan pada saat ini -- hanyalah akibat pengalaman cultural berbagai bangsa yang berbeda-beda dari masa lalu. Perbedaan tradisi yang partikular dari suku ke suku dan dari bangsa ke bangsa tidaklah harus menghalangi pengakuan bahwa pada prinsipnya hak-hak asasi manusia itu bersifat kodrati dan universal.Lebih lanjut, bertolak dari kesepakatan Wina ini, orang dapatlah menyimpulkan bahwa hanya dalam keadaan-keadaan dan kenyataankenyataan tertentu sajalah usaha merealisasi prinsip-prinsip yang universal itu boleh ditangguhkan atau direservasi. Apabila berdasarkan pertimbangan-pertimbangan khusus yang bersifatsementara dan tak terelakkan suatu usaha penegakan hak-hak asasi manusia atas dasar klaim universalitasnya itu akan menimbulkan akibat yang lebih berkualifikasi mudarat daripada manfaat,maka tidaklah bijak untuk memaksakan terteruskannya usaha itu. Di negeri-negeri berkembang, misalnya, 160 kalaupun anak-anak berdasarkan prinsip-prinsip universalisme harus diakui juga sebagai pengemban hak-hak (katakan saja untuk memperoleh pendidikan seperti yang dituliskan di Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia), namun dalam praktik dan menuruti moral kultural di negeri-negeri berkembang yang miskin anak-anak itu mestilah berbakti pada orang-tuanya dengan cara ikut membantu orang tua bekerja, yang kalau perlu dengan meninggalkan bangku sekolahnya.”211 Sekalipun seringkali dikemukakan dengan penuh semangat bahwa agamaagama besar di dunia ini tak ada satu pun yang mengingkari hak-hak manusia untuk hidup, bekerja dan menguasai milik demi keselamatannya di dunia dan akhirat,namun toh tak dapat diingkari hal berikut ini. Ialah bahwa banyak tradisi lama – juga yang mengklaim kebenarannya dari ajaran agama -- yang masih mendakwakan bahwa hak dan kewenangan itu ada di tangan para penguasa, dan tidak di tangan rakyat. Para penguasa -- dan bukan individu-individu yang hidup sebagai bagian dari massa rakyat -- inilah yang eksis dalam statusnya sebagai representasi kepentingan kolektif suatu kolektiva, entah yang berformat suku entah yang berformat bangsa. Tradisi lama ini umumnya juga mengenal pembeda-bedaan peran dan hak diantara golongan penduduk, dengan akibat bahwa sesiapapun yang terbilang kaum minoritas akan termarjinalisasi dan terdiskriminasi secara tak sepatutnya. Maka, manakala oleh sesuatu sebab dan berdasarkan suatu argumen orang membenar-benarkan berlakunya prinsip relativisme kultur seperti itu, ini akan 211 Idem,Hal 19 161 berarti bahwa orang yang berargumen seperti itu – sadar atau tidak – sebenarnya akan tidak berkeberatan untuk menangguhkan berlakunya suatu kaidah tertentu dalam suatu deklarasi internasional tentang universalitas hak-hak asasi manusia. Manakala pendapat seperti ini memperoleh dukungan yang luas, maka tak ayal lagi, itu akan berarti terjadinya toleransi untuk memperpanjang praktik diskriminasi dan mungkin juga kriminalisasi di berbagai belahan bumi ini. Mengupayakan perubahan dengan langkah-langkah yang bergaya memaksakan, namun demikian, adalah pula bukan langkah yang bijaksana, dan salah-salah malah dapat diprasangkakan sebagai langkah pelanggaran hak-hak manusia yang asasi untuk hidup dalam suasana kebudayaannya sendiri. Bukankah Pasal 27 Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia menjamin bahwa “setiap orang berhak untuk secara bebas mengambil bagian dalam kehidupan kultural komunitasnya sendiri”? Bukankah pula sementara itu pasal 15 ayat 1(a) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kultural juga menjanjikan bahwa “setiap negara peserta Kovenan mengakui hak setiap orang untuk mengambil bagian dalam kehidupan kultural”? Berkeyakinan akan sifat universalitas hak-hak asasi manusia di satu pihak, akan tetapi di lain pihak juga mengakui realitas betapa masih kuatnya partikularitas dan relativitas kultur yang bertahan di berbagai negeri,kesepakatan yang dicapai dalam Kongres Wina pada tahun 1993 dapatlah dinilai sebagai kompromi yang realistis tanpa meninggalkan prinsip. Universalitas hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang masih dalam tataran alam ideal, yang realisasinya masih akan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh guna mengefektifkan 162 perubahan tradisi dan keyakinan. Semua usaha ini harus dikerjakan melalui suatu proses berjangka panjang, yang tidak akan lain daripada usaha pendidikan guna “memberantas buta hak di kalangan rakyat”. Kongres di Wina Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan tahun 19952004 sebagai “Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia”. Pencanangan “Dasawarsa untuk Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia, 1995-2004” ini boleh dikatakan sebagai suatu pernyataan yang tak meragukan lagi akan adanya kesepakatan bulat negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai pentingnya pendidikan untuk memajukan pemahaman khalayak ramai di kalangan bangsa-bangsa dunia mengenai hak-hak asasi. Pendidikan akan berpotensi menyadarkan jutaan manusia di bumi ini akan pentingnya menyamakan visi mengenai masa depan kehidupan manusia di bumi yang kian menyatu ini. Kalaupun orang masih merasa perlu demi kesejahteraannya untuk mengukuhi tradisi lokalnya dan ideologi kebangsaannya, dalam kehidupan masa depan di bumi yang kian menyatu ini orang pun mestilah harus mulai sanggup menerima apa yang disebut the third culture of human kind sebagai idom baru. Inilah prasyarat yang diperlukan demi dimungkinkannya kehidupan bersama yang damai tanpa sekatan-sekatan yang melambangkan adanya diskriminasi di antara sesama manusia di tengah kehidupan yang tidak hanya bersifat multikultural melainkan juga telah kian plural”.212 D. Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 212 Idem,Hlm 20. 163 1. Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional Pelanggaran berat hak asasi manusia dalam hukum internasional berkaitan dengan beberapa ketentuan yang berkembang pasca perang dunia kedua, yang bisa dilihat dalam antara lain Nurenberg Trial yang meliputi genocide, War Crime, Crime against humanity, diatur dalam International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia dan International Crriminal Tribunal for Rwanda yang meliputi war crime, crime againt humanity dan genocide. Seiring dengan berdirinya International Criminal Court sebagai pengadilan internasional yang sifatnya permanen, yang mempunyai yurisdiksi atas 4 macam kejahatan yang meliputi genocide,war Crime, Crime against humanity dan agresi menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang termaksud diatas adalah kejahatankejahatan yang dikatagorikan dalam pelanggaran hak asasi manusia berat.213 Setelah perang dunia ke II yang dahsyat itu Hukum Internasional Hak Asasi Manusia (HIHAM) mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan serta dengan sendirinya menjadi rujukan berbagai aktor seperti, negara, organisasi internasional, nasional, dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hubungan antar bangsa di dunia meliputi tidak saja kepentingan ekonomi, politik dan militer, tapi juga kepentingan sosial dan budaya. Hubungan antar bangsa di berbagai bidang kegiatan itu tak terelakkan wajib menghormati dan mematuhi HAM. Dalam 213 Abdul hakim garuda Nusantara, Penerapan Hukum Internasional Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia 164 konteks ini Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara umum menyebutkan, bahwa “PBB akan memajukan penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua bangsa tanpa pembedaan suku bangsa, kelamin, bahasa atau agama.” (Pasal 55 c Piagam PBB). Selain itu pada bulan Desember tahun 1948 Majelis Umum PBB menerima dan mengesahkan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM PBB). DUHAM PBB memuat norma-norma HAM di bidang-bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Norma-norma HAM itu dinyatakan dalam suatu deklarasi dan berlaku sebagai standar atau baku pelaksanaan HAM bagi semua bangsa dan semua negara. Piagam dan DUHAM PBB tersebut di atas merupakan salah satu sumber awal bagi lahirnya HIHAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida tahun l948, Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Hak-hak Anak, dan lain sebagainya. Konvensi-konvensi internasional tersebut perlu dikemukakan untuk menggambarkan tahapan perkembangan Undang-undang HAM Internasional (International Bill of Rights). J.G. Starke menyebutkan secara kronologis tiga tahapan penyusunan International Bill of Rights sebagai berikut: pertama, sebuah Deklarasi yang 165 menetapkan bermacam-macam hak manusia yang seharusnya dihormati; kedua, serangkaian ketentuan Konvensi yang mengikat negara negara untuk menghormati hak-hak yang telah ditetapkan tersebut; dan ketiga, langkah-langkah dan perangkat kerja untuk pelaksanaannya. Sebagian dari Konvensi konvensi internasional itu sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia dan karena itu sudah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Konvensi konvensi internasional yang telah diratifikasi itu, antara lain Konvensi internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Hak Anak, dan berbagai Konvensi International Labour Organization (ILO) yang tidak disebutkan disini. Substansi konvensi konvensi internasional HAM tersebut, tidak akan ditemukan suatu difinisi tunggal yang menjelaskan secara memadai pengertian pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat pada umumnya difahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Salah satu bentuk pelanggaran HAM berat adalah genosida. Menurut Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida Tahun l949 genosida berarti tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras atau agama; atas salah satu dari lima tindakan berikut ini yaitu: a. Membunuh anggota kelompok; 166 b. Menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; c. Secara sengaja dan terencana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian ; d. Memaksakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut ; e. Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain. 214 Menurut Geoffrey Robertson QC pengertian genosida tersebut di atas cukup luas di mana termasuk didalamnya perbuatan pembersihan etnis dan pembersihan massal agama. Akan tetapi difinisi itu tidak menyentuh pembantaian terhadap suatu kelas ekonomi tertentu (kaum Kulaks) dan jutaan orang yang dianggap pengkhianat yang dilakukan oleh Stalin. Definisi genosida tersebut di atas juga tidak menjangkau pembunuhan ribuan orang yang mempunyai keyakinan politik tertentu yang dilakukan oleh para penguasa militer. Misalnya, atas dasar itu pemerintah Kerajaan Inggris menolak untuk memenuhi tuntutan Jaksa Spanyol yang menuduh Jenderal Pinochet telah melakukan genosida karena membantai kelompok sayap kiri di Chili. Sebagaimana telah disebutkan di atas tidak ada satu difinisi tunggal yang memadai untuk menjelaskan perbuatan yang dapat dikatagorikan pelanggaran HAM berat. Berbagai bentuk pelanggaran HAM berat tidak cukup diterangkan 214 Konvensi pencegahan dan penghukuman Genosida tahun 1949 167 dalam satu difinisi hukum. Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menyebutkan kejahatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM berat sebagai berikut: 1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan; atau turut serta di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas. 2. Kejahatan Perang (War Crimes). Termasuk kejahatan perang ialah: pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam, membunuh mereka, atau memperlakukan orang di laut secara demikian; merampas milik Negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan secara berkelebihan atau semau-maunya, atau membinasakannya tanpa adanya keperluan militer. 3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ialah: pembunuhan (murder) membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik, 168 ras atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana tersebut. 215 Menurut Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional tersebut para pemimpin, organisator, instigator (agitator) dan pembantu yang berpartisipasi untuk merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi untuk melakukan kejahatan tersebut di atas tetap bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang melaksanakan rencana tersebut. Pengadilan Internasional untuk penuntutan orang-orang yang yang diduga bertanggungjawab atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional di wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun l991 (International Tribunal For The Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law Committed In The Territory Of The Former Yugoslavia Since l991 (ICTY) dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.827 Tahun 1993 menyebutkan berbagai bentuk pelanggaran serius atau berat HAM, yang berada di bawah kompetensi pengadilan tersebut, yaitu: 1. Kejahatan Genosida; 2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Statuta Pengadilan Pidana Internasional Untuk Rwanda (ICTR) menyebutkan pula kompetensinya atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dua bentuk kejahatan ini dinilai sebagai suatu pelanggaran serius atau berat HAM oleh masyarakat 215 Pasal 6 pengadilan Militer Internasional Nuremberg 169 internasional karena dampak buruknya yang luar biasa dahsyat bagi jiwa, raga dan peradaban manusia. Upaya masyarakat internasional untuk memperbaiki sistem perlindungan HAM dengan cara mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM berat mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli l998 Konferensi Deplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma Tentang Pengadilan Kejahatan Internasional. Mukadimah Statuta Roma memuat pandangan dasar sebagai berikut: “Menyadari bahwa semua orang dipersatukan oleh ikatan bersama, kebudayaan mereka bertaut kembali dalam suatu warisan bersama, dan keprihatinan bahwa mosaik yang rapuh ini dapat hancur setiap saat, Menyadari bahwa dalam abad ini berjuta-juta anak, perempuan, dan lakilaki telah menjadi korban dari kekejaman tak terbayangkan yang sangat mengguncang nurani kemanusiaan, Mengakui bahwa kejahatan yang sangat keji tersebut mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia, Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah ditingkat nasional dan dengan memajukan kerjasama internasional, bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan demikian memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan tersebut,Mengingat bahwa merupakan tugas setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi kejahatannya terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan internasional,”216 Pengadilan Kejahatan Internasional yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan pelanggaran HAM berat yaitu: 1. Kejahatan genosida; 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan; 216 Mukadimah Statuta Roma 170 3. Kejahatan Perang; 4. Kejahatan agresi. 217 Statuta Roma, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg menganut asas pertanggungjawaban individu. Yang berarti tanpa memandang kedudukan atau jabatan seseorang bertanggungjawab atas keterlibatannya dalam perbuatan pelanggaran HAM berat. Perihal pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950 sebagai berikut: 1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum. 2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam dengan pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu dari tanggungjawab menurut hukum internasional. 3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat Pemerintah yang bertanggungjawab, tidak membebaskannya dari tanggungjawab menurut hukum internasional. 4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskannya 217 Statuta Roma 171 dari tanggungjawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral (moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya.218 Dalam upaya untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pelanggaran HAM berat itu Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan Statuta ICTY menerapkan asas retroaktif. Yang berarti Statuta itu diperlakukan terhadap kejahatan yang dilakukan sebelum adanya Statuta tersebut. Berbeda dari Piagam Nuremberg dan Statuta ICYTY, Statuta Roma menganut asas tidak berlaku surut (non-retroactive). Ide, nilai dan norma yang terkandung dalam HAM, khususnya yang berkenaan dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat tak terhindarkan membawa pengaruh yang cukup dalam pada perkembangan hukum HAM di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa rezim otoriter Orde Baru tidak ada presedennya dalam sejarah Indonesia merdeka. Pembantaian massal yang terjadi pada tahun l965, pelanggaranpelanggaran HAM di Timor-Timur, Tanjung Priok, Papua, Aceh dan di tempattempat lain merupakan pelanggaran berat HAM yang sampai hari ini belum tuntas diselesaikan. Negara dan masyarakat Indonesia tidak punya pengalaman yang memadai untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Selain itu perangkat hukum pidana dan HAM tidak memadai untuk menangani kasus-kasus tersebut secara benar dan adil. Oleh karena itu wajar bila para perancang pembaharuan hukum di Indonesia melihat dan belajar pada negeri lain dan 218 Perihal pertanggungjawaban individu itu telah dirumuskan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) pada tanggal 29 Juli 1950 172 masyarakat internasional, khususnya berkaitan dengan pencegahan dan penghukuman para pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini tak dapat di bantah bahwa idea perlunya pengadilan HAM yang khusus memeriksa dan memutus pelanggaran HAM berat merupakan salah satu tujuan pendirian Pengadilan Pidana Internasional. Di Indonesia Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 menyatakan, bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Tak pula dapat dibantah konsep pelanggaran HAM berat yang terkandung dalam UU tersebut mengadopsi sebagian konsep pelanggaran HAM berat yang tertuang dalam Statuta Roma. Menurut UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh UU Pengadilan HAM tersebut genosida diartikan sebagai “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau 173 e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Pengertian genosida yang termuat dalam pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 hampir sama dengan pengertian genosida yang terkandung dalam pasal 6 Statuta Roma. UU Pengadilan HAM mendifinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; 174 i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid. Pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang tertuang dalam pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 itu jelas sama dengan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1 Statuta Roma. Baik pasal 9 UU Pengadilan HAM maupun pasal 7 ayat 1 Statuta Roma tidak menjelaskan pengertian serangan yang meluas atau sistematik sebagaimana yang dirumnuskan oleh kedua pasal tersebut. Pengertian serangan yang meluas atau sistematik dirumuskan oleh pengadilan yang mengadili dan memutus kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Berikut ini akan disampaikan pengertian serangan meluas atau sistematik menurut putusan Hakim pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia dalam kasus pelanggaran Ham berat sebagai berikut: 1. Putusan No.01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH. JKT.PST. atas nama Terdakwa Abilo Jose Osorio Soares. Majelis hakim berpendapat sebagai berikut: a. yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut tidak harus selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak perlu harus mengikutsertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminology serangan (attack); 175 b. bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu; c. yang dimaksud “meluas“ karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulang-ulang, dalam skala yang besar (massive, frequent, large scale), yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang besar; d. yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, definisi sistematik dapat berarti kegiatan yang berpola sama dan konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti struktur atau desain yang saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulangulang.” Selanjutnya menurut Majelis Hakim, pengertian sistematik memiliki 4 (empat) elemen sebagai berikut: 1. “adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu ideologi, dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas; 176 2. melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus menerusnya tindakan tidak manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya; 3. adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas publik atau perorangan; 4. adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis.” 2. Putusan No.08 / PID.HAM / AD.HOC / 2002 / PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut: - “yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu merupakan serangan militer seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini adalah termasuk dalam terminology serangan (attack); - Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap “penduduk sipil“ bukan berarti serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu; 177 - Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia, Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “serangan meluas” adalah serangan yang bersifat massal,tindakan dalam skala besar, dilakukan secara bersama-sama dengan niat yang sungguh-sungguh dan ditujukan terhadap korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General Norwegia) menyatakan “serangan meluas” itu harus diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims);“ 3. Putusan No.02 / PID.HAM / AD. HOC / 2002 / PN. JKT. PST atas nama Terdakwa Drs. G.M. Timbul Silaen. Majelis Hakim dengan merujuk pada pendapat Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General) menyatakan sebagai berikut: -“bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (Widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims). Selanjutnya menurut Majelis Hakim “ ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah merujuk kepada jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran tempat (geografis), dan dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun dilakukan secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective actionM Charief Bassioni, Crime Against Humanity in the International Law ).” Menurut Majelis Hakim “Pengertian serangan yang sistematik berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi 178 tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara; Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa “Pengertian serangan yang sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means carried out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge Advocate General Norway);”Berbeda dari Statuta Roma yang menganut asas nonretroactive, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menerapkan asas retroactive. Yang berarti pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU tersebut, dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham Ad Hoc. Pengadilan Ham Ad Hoc tersebut dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. (Pasal 43 (1) (2)). Asas retroactive sebagaimana kita ketahui dianut oleh Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan ICTY. Ini sekali lagi menunjukkan pengaruh konsep dan praktek hukum interrnsional berkaitan dengan pencegahan dan penghukuman pelanggaran HAM berat pada hukum yang sama di Indonesia. Konvensi Internsasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional Pencegahan dan Penghukuman Genosida, Kejahatan HAM berat yang dilarang oleh Statuta Roma, Konvensi Anti Internasional Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Penghapusan Segala 179 Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan merupakan jus cogens. Sebagaimana dikemukakan oleh Starke kaidah-kaidah jus cogens meliputi: “kaidah-kaidah fundamental mengenai pemeliharaan perdamaian … kaidah-kaidah fundamental dari suatu kodrat kemanusiaan (larangan genocide, perbudakan dan diskriminasi rasial, perlindungan hak-hak dasar manusia pada masa damai maupun perang), kaidah yang melarang setiap pelanggaran terhadap kemerdekaan dan persamaan kedaulatan negaranegara, kaidah-kaidah yang menjamin semua anggota masyarakat internasional untuk menikmati sumber-sumber daya alam bersama ( laut lepas, ruang angkasa dan lain-lain )“. Pasal 53 Konvensi Wina tentang Perjanjan Internasional berkenaan dengan jus cogen menyatakan: “Suatu traktat batal apabila, pada waktu penutupannya, bertentangan dengan norma hukum internasional umum yang tidak dapat diubah. Untuk tujuantujuan Konvensi ini, suatu norma hukum internasional yang tidak dapat diubah adalah suatu norma yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak boleh diabaikan dan yang hanya dapat diubah dengan suatu norma hukum internasional umum yang timbul kemudian yang mempunyai karakter yang sama.” 219 Tak dapat dipungkiri, bahwa idea, nilai dan norma yang terkandung dalam konvensi internasional HAM seperti, Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida, Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, Statuta Roma yang merupakan jus cogen, praktek pengadilan HAM ad hoc internasional, pendapat para ahli hukum internasional telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap reformasi hukum HAM dan praktek hukum HAM di Indonesia, khususnya berkaitan dengan penyelesaian melalui pengadilan HAM kasus-kasus pelanggaran HAM berat. 219 Pasal 53 , Konvensi WIna 1969 tentang Perjanjian Internasional. 180 Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, belum ada satu definisi yang dapat diterima secara umum. Kata “berat” digunakan untuk menenerangkan kata pelanggaran untuk menggambarkan betapa parahnya pelanggaran yang dilakukan. Selain itu kata berat juga juga berhubungan dengan jenis-jenis hak asasi manusia yang dilanggar.220 Pelanggaran berat hak asasi manusia terjadi apabila hak hak asasi manusia yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non derogable rights.221 Cecilia Meidina Quiroga menjelaskan istilah Pelanggaran sebagai suatu pelanggaran yang mengarah berat Ham kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebikakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas Pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk secara keseluruhan atau satu atau lebih sektor-sektor dari penduduk suatu negara secara terus menerus dilanggar atau diancam.222 Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas,baik di dalam resolusi,deklarasi maupun dalam perjanjian HAM. Secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara 220 Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Indonesia, Timor Leste, dan lainnya. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, hlm 70 221 Van boven, Theo, Mereka yang menjadi korban, Hak Korban atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi, catatan kaki no 1 hlm.xxiii, Jakarta, Elsam, 2002 222 Op cit,Andrey Sujatmoko,Hlm 71, mengutip Cecilia Medina Quiroga, The battle of Human Rights; Gross, Systematic Violation and the inter American system, Dordrech/Boston/London : Martinus Nijhoff Publishers, 1988,p16. The term gross, systematic violation refers to violation,instrumental to the achievement of Governmental policies, perpetrated in such a quantity and in such a manner as to create a situation in which the rights to life,to personal integrity or to personal liberty of the population as whole or of one or more sectors of the populations of a country are continuously infringed or treatened 181 sitematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius,sebagaimana yang dinyatakan oleh H Victor Conde: GrossViolation(s) of Human Rights : a term used but not well defined in human rights resolution,declarations,and treaties but generally meaning systematic violation of certain human rights normas of a more serious nature.such as apartheid,racial discrimination, murder, slavery, genocide, religious persecution on a massive scale,committed as a matter of official practice.Gross Violations result in irreparable harms to victims.223 Dalam Lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui Pelanggaran HAM adanya yang berkategori berat dan sistematis, seperti dinyatakan Dinah Shelton.224 International Human Rights Law,especially as developed within the United Nation,recognizes a category of situation of gross and systematic violation of human rights, Though never exactly defined, it constitutes the jurisdictional threshold for consideration of human rights complaints,submitted pursuant to Ecosoc Resolution 1503. Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat hak asasi manusia akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi the prohibition of slavery, the right to life, torture and cruel,inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and ethnic cleansing. Medina Quiroga memberikan pengertian mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang berkategori berat dan sistematik, dimana jenis hak yang dilanggar adalah hak untuk hidup,hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan pribadi.225 223 H Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln: University of Nebraska Press, 1999, hlm 52. 224 Shelton Dinnah, Remedies in International Human Rights Laws, New York: Oxford University Press,1999 hlm 320. 225 Op cit, Andrey Sujatmoko, Hlm 73, mengutip Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights; Gross, Systematic Violation and the inter American System, 182 Konsep pelanggaran hak asasi manusia termasuk dalam konsep yang selalu menimbulkan perdebatan apabila berbicara mengenai hak asasi manusia. “Klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kondisi hak asasi manusia di tanah air membaik yang dibuktikan dengan tidak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan diratifikasinya International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights, yang mendapat tanggapan dari kalangan pegiat hak asasi manusia menunjukan tidak adanya pemahaman konsep HAM, maupun kesamaan konsep pelanggaran hak asasi manusia serta konsep perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.”226 Satu hal penting adalah bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi apabila dua syarat terpenuhi yaitu syarat negara dan kekuasaan. Dan pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dilakukan oleh negara. Mengapa peneliti katakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh negara,227 dikarenakan negara sebagai suatu otoritas yang berkuasa disuatu wilayah mempunyai kewenangan untuk memasukkan hak yang melekat dalam diri manusia yang tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia ke dalam peraturan perundang-undangannya.228 Termasuk dalam hak asasi manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, hak untuk tidak mendapatkan perlakuan yang merendahkan harkat martabat manusia, dan hak untuk mendapatkan peradilan yang fair, hak untuk bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat, serta hak untuk bebas berkumpul Dordrech/Boston/London : Martinus Nijhoff Publishers, 1988, hlm. 16. The term gross, systematic violation refers to violation,instrumental to the achievement of Governmental policies, perpetrated in such a quantity and in such a manner as to create a situation in which the rights to life, to personal integrity or to personal liberty of the population as whole or of one or more sectors of the populations of a country are continuously infringed or treatened 226 Kompas, Sabtu, 19 Agustus 2006, Hlm 3. 227 Conde, H Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology. Lincoln, University of Nebraska Press, 1999, Hlm 58 228 United Nation, Human Right Question and Answer, New York: United Nation Departement of Public Information, 1993. 183 berserikat dan mengeluarkan pendapat didalam aturan hukum nasional sehingga dengan kata lain negara telah melaksanakan tanggungjawab melaksanakan hak asasi manusia dengan mengatur dalam aturan hukum dalam ketentuan nasional yang harus dipatuhi oleh individu warga negaranya. Sehingga apabila individu warga negaranya melakukan pelanggaran aturan hukum yang di dalamnya termuat hak asasi manusia maka negara yang akan melakukan tindakan hukum. Persoalan baru timbul ketika aparatur negara sebagai personifikasi negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum ketika sedang melaksanakan tugasnya dan tidak ada upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum tersebut pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi manusia, karena hukum memerlukan otoritas yang kuat untuk bisa ditegakan dan apabila individu melakukan pelanggaran hukum maka negara sebagai otoritas yang kuat yang akan melakukan penegakan hukum tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau otoritas negara yang melakukan pelanggaran hukum tersebut tidak ada upaya penegakan hukum pada saat itulah timbul konsep pelanggaran hak asasi manusia, yang pada dasarnya merupakan harapan warga negara agar aparatur negara yang merupakan personifikasi negara dihukum, karena tidak tersentuh hukum, pada saat itulah yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia timbul. Pelanggaran dapat dibedakan atas dua hal pelanggaran hak asasi manusia, yaitu pelanggaran hak asasi manusia dengan berbuat atau violence by act dan pelanggaran HAM dengan tidak berbuat atau violence by ommission. Pelanggaran hak asasi manusia dengan berbuat adalah suatu tindakan yang bertentangan 184 dengan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugasnya tetapi tidak diambil tindakan oleh negara. Pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak berbuat adalah apabila perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara yang lain dan negara tidak mengambil tindakan terhadap perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut, sehingga diartikan negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan tidak berbuat. Harus dipahami bahwa dengan penjelasan tersebut maka pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan dilakukan oleh negara. Sehingga dengan demikian kita bisa membedakan antara pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran hukum, dimana pelanggaran hukum dilakukan oleh individu terhadap individu, dan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara terhadap individu, atau ketika negara tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara. Sekalipun hukum hak asasi manusia Internasional adalah Hukum Internasional yang meletakan tanggung jawab pidana pada individu, tetapi negara mempunyai kewajiban untuk menghukum pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia, sebagai sebuah kewajiban internasional. “Hukum Internasional telah memberikan landasan yang kokoh untuk mengefektifkan penghukuman bagi pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) yang dikategorikan ke dalam pertanggungjawaban pidana dan perdata. Kewajiban negara untuk menghukum pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia telah dikembangkan di dalam berbagai instrument hukum hak asasi manusia baik internasional maupun regional. Bahkan hukum kebiasaan internasional secara tegas melarang segala bentuk pembebasan hukuman terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan secara sistematis. Berdasarkan konsep tanggung jawab negara, suatu negara bertanggung jawab apabila melanggar kewajiban hukum internasional.Komisi Hukum 185 Internasional (International Law Commission) kemudian menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban negara yang digolongkan sebagai International Wrongful Act, di dalamnya mencakup pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, yang juga dikatagorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes).229 Penjelasan dari Rudi M Rizki peneliti menarik suatu pandangan bahwa negara yang personalitasnya terwujud dalam individu-individu bertanggung jawab atas pelaksanaan hak asasi manusia dalam hal ini pelaksanaan kewajiban internasional dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, sehingga peneliti mengatakan pelanggaran hak asasi manusia hanya bisa dibayangkan apabila unsur negara terlibat sekalipun tanggung jawab pidana melekat pada individu. Pada sisi lain selain dari apa yang telah dikemukakan di atas perlu diketahui pula bahwa dalam hukum hak asasi manusia dikenal adanya hak negara untuk membatasi hak asasi manusia apabila negara dalam keadaan bahaya. Akan tetapi yang harus mendapatkan perhatian ialah sekalipun negara dalam keadaan bagaimanapun ada hak yang tidak bisa dibatasi dalam segala keadaan yang pada prinsipnya meliputi adalah hak untuk hidup, kebebasan dari tindakan penyiksaan, bebas dari tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, kebebasan dari perbudakan dan penghambaan, kebebasan dari undang-undang berlaku surut, serta kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama.230 Artinya itulah hak asasi manusia yang utama yang tidak boleh hilang dalam diri manusia dan hak inilah yang selalu dipertahankan dari diri manusia. Rudi M Rizki dalam Jurnal Hukum Humaniter, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan Pidana International Ad Hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Pelanggaran Berat HAM”. Vol.1.No.2 April 2006, Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Hlm.277. 230 Pasal 4, International Covenant on Civil and Political Rights,1966 229 186 Pada sisi lain dalam kajian penulis terdapat pemahaman yang salah tertuang dalam UU No 39 tahun 1999 dimana pada pasal 1 ayat 6 dikatakan bahwa: “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, atau membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”231 Peneliti menggaris bawahi pengertian pelanggaran hak asasi manusia yang terdapat dalam UU No 39 tahun 1999 ini berbeda dengan konsep pelanggaran hak asasi manusia dalam literatur hak asasi manusia, artinya apabila pelanggaran hukum tersebut dilakukan oleh individu-terhadap individu sudah semestinya negara mengambil tindakan hukum terhadap individu tersebut, masalahnya seperti apa yang sudah peneliti kemukakan di atas bahwa apabila negara diam saja atau aparatur negara sebagai personifikasi negara dan negara tidak mengambil tindakan hukum maka pada saat itu terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Konsep lain yang juga menurut peneliti perlu pengkajian lebih lanjut adalah jurisdiksi dari Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenenai Pengadilan HAM, dimana yurisdiksi dari Pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. 232 Dalam hal ini Undang-Undang No 26 mendorong pemikiran setiap orang kepada setiap 231 232 Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No 39 Ttahun 1999. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 187 peristiwa yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia berat yang terdiri atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, tanpa memulai dengan suatu langkah yang sistematik dengan memungkinkan Pengadilan HAM menjangkau pelanggaran hak asasi manusia dimana unsur negara dan kekuasaan terlibat, yang mungkin saja tidak termasuk katagori pelanggaran hak asasi manusia berat, sehingga idealnya konsep yang tertuang dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 memulai yurisdiksi Pengadilan HAM dari pelanggaran hak asasi manusia yang terdapat unsur negara dan kekuasaan, dimana negara tidak mampu terjangkau oleh hukum (Praktek Impunity oleh Negara), lalu secara sistematik mengatur pelanggaran hak asasi manusia berat, sehingga undang-undang Pengadilan HAM berisi konsep yang sistematis mengenai kewenangan Pengadilan HAM. 2. Konsep Hukum Internasional dalam hal Penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Hukum Internasional tidak secara khusus mengatur penyelesaian perselisihan melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, tetapi dalam masyarakat internasional ditemukan beberapa contoh penyelesaian persoalan pelanggaran hak asasi manusia, yang terselesaikan melalui mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Hal yang paling penting dalam penyelesaian sengketa melalu komisi kebenaran dan rekonsilisi adalah adanya pengakuan terhadap kejahatan yang dilakukan, dan adanya pemberian maaf dari pihak yang menjadi korban sehingga kebenaran dapat terungkap dalam kasus pelanggaran ham berat tersebut. 188 Prinsip bahwa KKR sebagai pelengkap (complement) ini telah berkembang secara internasional, dan ditegaskan kembali dalam Kumpulan Prinsip Perlindungan Hak Asasi Manusia melalui Prinsip 8 The Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity tentang Definition of Commission’s Terms of Reference yang berbunyi sebagai berikut: “To avoid conflicts of jurisdiction, the Commission’s Terms of Reference must be clearly defined and must be consistent with the principle that Commissions of inquiry are not intended to act as substitutes for the civil, administrative or criminal courts. In particular, criminal courts alone have jurisdiction to establish individual criminal responsibility, with a view as appropriate to passing judgement and imposing a sentence;233 Penegasan bahwa KKR adalah pelengkap dan tidak dapat menggantikan proses yudisial juga dinyatakan dalam Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against Impunity and for International Justice (Maret 2002), sebagai berikut: Non-judicial commissions of inquiry (such as "truth and reconciliation" commissions) and judicial procedures, far from excluding each other, are mutually complementary in the fight against impunity and for international justice. The constitution and activity of these commissions cannot, however, replace judicial procedures.234 Bahwa menurut pendapat William A. Schabas, anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi negara Sierra Leone, bahwa : “The TRC doesn’t provide perpetrator with a forum to escape procecution... The TRC counts on voluntary testimony from perpetrators, including the “big fish”, and it has already found considerable willingness 233 Prinsip 8 The Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity tentang Definition of Commission’s Terms of Reference 234 Prinsip 23 point (1) Brussels Principles against Impunity and for International Justice (Maret 2002) 189 from those involved to come forward and talk about what they have done.” 235 Bahwa menurut pendapat ahli hukum internasional Aryeh Neier, mantan Ketua Human Rights Watch bahwa “Truth Commissions can exist side by side with prosecutions, as the case in Argentina until another president, President Menem, pardoned those who had been convicted by the courts in Argentina and also issued pardons to those who were still facing trial”. Pengalaman Beberapa Negara dalam hal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Argentina Inilah komisi kebenaran pertama yang mendapatkan perhatian internasional yang luas. Dibentuk tahun 1983, setelah mundurnya militer dari kekuasaan, Argentina saat itu sedang memulai transisi cepat menuju pemerintahan demokratis.236 Diberi nama Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional Para La Desaparacion de Personas, CONADEP). Komisi ini dibentuk oleh Presiden Raul Alfonsin melalui sebuah dekrit presiden, beranggotakan 10 orang yang dipilih karena sikapnya yang konsisten dalam membela HAM, serta mewakili lapisan masyarakat yang beragam, ditambah tiga orang wakil dari Kongres. Komisi ini dipimpin oleh seorang sastrawan terkemuka dan kharismatis, Ernesto Sabato. Komisi ini berhasil memastikan bahwa penculikan digunakan sebagai metode represi yang kemudian mengarah pada kudeta militer, 24 Maret 1976. 235 (Interview Human Rights Feature dengan Prof. William A. Schabas International Commissioner, TRC Sierra Leone, “TRC Does Not Provide a Forum to Escape Procecution”. http://www.hrdc.net/sahrdc/hrfchr59/Issue5/ impunity.htm) 236 http://www.elsam.or.id.id/more.php?id=38-0-4-O-M 190 Sejak itulah penculikan demi penculikan bermotif politik dilakukan, dan berhasil ditemukan 340 tempat penyekapan rahasia. CONADEP menunjuk ratusan pejabat militer sebagai orang yang bertanggung jawab. Namun pada proses pengadilan militer, hanya 365 orang yang dijatuhi hukuman karena banyak bukti telah dilenyapkan oleh pihak militer. Meskipun demikian, laporan akhir CONADEP yang diberi judul "nunca mas" (Tidak lagi), menjadi bahan referensi tidak saja bagi seluruh rakyat Argentina, melainkan juga bagi berbagai KKR di seluruh penjuru dunia yang menyusulnya. Chili September 1973, Jenderal Augusto Pinochet menggulingkan pemerintahan sipil Cili. Dengan merepresi lawan politiknya secara brutal, Pinochet memerintah Chili selama 17 tahun. Rezim ini memiliki kebijakan antikomunis yang fanatik untuk menjustifikasi represinya, mencakup penangkapan massal, penyiksaan, pembunuhan, dan penghilangan paksa. Meski rezim Pinochet amat brutal, sebagian warga Chili tetap mendukung penguasa, khususnya elemen-elemen kanan. Ketika Pinochet melakukan plebisit pada 1988, harus meninggalkan tahta dengan kekalahan tipis. Penggantinya, Patricio Aylwin resmi menjabat pada Maret 1999 di bawah batasan-batasan demokrasi. Soalnya, Pinochet telah mengubah konstitusi pada 1980 untuk menjamin kekuasaaannya, mempertahankan otonomi dan pengaruh politik militer; termasuk melanggengkan posisinya sebagai panglima tertinggi militer hingga 1998, dan kemudian menjadi senator seumur hidup. 191 Amnesti tersebut mengerangkeng pilihan Aylwin dalam merespon pelanggaran penguasa Pinochet. Menyadari sulitnya membatalkan amnesti, Presiden Chili memerintahkan investigasi untuk menemukan kebenaran pelanggaran masa lalu. Hanya enam pekan setelah pelantikan dirinya, Aylwin membentuk Komisi Nasional dan Rekonsiliasi melalui keputusan presiden. Aylwin menunjuk delapan orang sebagai anggota Komisi. Empat di antaranya pendukung Pinochet, dan lainnya oposan. Formasi ini menghindarkan persepsi mengenai bias kerja Komisi yang diketuai mantan senator Raul Rettig. Komisi mempunyai waktu kerja sembilan bulan. Komisi sangat terbantu oleh peran ornop dan catatan detil ribuan kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke pengadilan pada rezim militer berkuasa. Komisi menyelesaikan tugasnya pada Februari 1991 dengan menghasilkan laporan setebal 1.800 halaman. Usai membaca laporan selama beberapa pekan, Presiden Aylwin mengumumkan ke rakyatnya. Secara emosional Alywim tampil di televisi nasional, dan berbicara atas nama negara, Alywim memohon maaf pada korban dengan menekankan perlunya maaf dan rekonsiliasi, sekaligus meminta militer ''menunjukkan pemahaman pada luka yang ditimbulkan''. Laporan Komisi Nasional dan rekonsiliasi Chili lenyap dari perhatian publik setelah sebulan kemudian, berganti berita penyerangan kelompok kiri bersenjata terhadap elit politik kanan. Usaha rekonsiliasi akhirnya gagal.237 El Salvador 237 Ibid. 192 Bantuan militer dan lain-lain senilai 4,5 miliar dolar dari Amerika Serikat pada dekade 1980-an, pemerintah El Salvador melakukan perang selama 12 tahun melawan gerilyawan kiri Farabundo Marti (1980-1991). Perang ini diwarnai kasus puluhan ribu pembunuhan politik dan penghilangan orang, juga pembantaian massal penduduk sipil tidak bersenjata. Diperkirakan 1,4 persen penduduk El Salvador tewas dalam konflik ini. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pembunuhan enam pastor Yesuit pada 1989. Ini memperkuat tekanan internasional agar perang dihentikan. Sebuah komitmen mengenai pembentukan Komisi Kebenaran untuk El Salvador dicantumkan dalam kesepakatan damai antara pemerintah El Salvador dengan Farabundo Marti National Liberation Front (FMLN) pada bulan April 1991. Para penandatangan membahas spesifikasi kasus yang harus diselidiki Komisi, namun tidak dicapai kesepakatan pada kasus penting. Akhirnya Komisi ini dibentuk dan dikelola langsung oleh PBB. Komisi memperoleh waktu enam bulan untuk menyelesaikan tugas, dengan perpanjangan dua bulan untuk investigasi dan penyelesaian laporan. Anggota Komisi diangkat oleh Sekjen PBB atas persetujuan kedua belah pihak. Komisi diperkuat 20 staf yang bertugas mengumpulkan kesaksian dan investigasi, ditambah 25 staf sementara pada bulan-bulan terakhir guna mempercepat proses data entry dan proses informasi. Karena alasan objektivitas, tidak ada warga El Salvador yang direkrut menjadi staf. Mandat Komisi ini menyelidiki tindak kekerasan serius yang terjadi sejak tahun 1980, yang karena dampaknya kepada masyarakat menuntut agar masyarakat mengetahuinya. 193 Komisi mengumpulkan kesaksian kurang-lebih 20 ribu korban dan saksi. Juga melaporkan lebih 7.000 kasus pembunuhan, penghilangan, penyiksaan, perkosaan, dan pembantaian. Komisi menyelidiki beberapa puluh kasus menonjol atau representatif, dan mendatangkan tim antropolog dari Argentina untuk menggali kembali sisa pembantai massal di kota El Mozote--yang menjadi pusat kontroversi internasional. Meskipun mendapat tekanan militer, Komisi membukukan kesimpulan kuat bahwa penanggungjawab puluhan kasus kontroversial adalah orang penting di tubuh angkatan bersenjata. Disebutkan lebih 40 perwira tinggi militer, hakim, dan oposisi bersenjata sebagai penanggungjawab aksi kekerasan. Disimpulkan bahwa 95 persen pelanggaran HAM dilakukan pihak pemerintah dan militer. Judul ''Dari Kegilaan ke Harapan'', aktivis dan organisasi HAM setempat dan Amerika Serikat menerima baik laporan KKR El Salvador. Namun, Komisi dikritik karena tidak melaporkan secara lengkap beberapa aspek penting kekerasan, misalnya operasi ''komando pembunuh'' dan peran AS mendukung pasukan pemerintah. Militer menjawab laporan itu secara emosional. Menteri Pertahanan, yang juga tertuduh sebagai pelanggar HAM, tampil di televisi pemerintah dengan mengutuk laporan Komisi sebagai ''tidak adil, tidak lengkap, ilegal, tidak etis, bias, dan kurang ajar.'' Militer pun mengeluh karena Komisi tidak memasukkan ke dalam laporannya, sifat dan sumber serangan komunis terhadap El Salvador. Presiden sipil Alfredo Cristiani kepada pers menyatakan, laporan Komisi gagal memenuhi keinginan rakyat El Salvador menuju rekonsiliasi nasional, yaitu 194 untuk ''memaafkan dan melupakan masa lalu yang sangat pedih.'' Lima hari setelah laporan diterbitkan, amnesti umum disahkan oleh legislatif sehingga tidak ada tindakan legal terhadap para pelaku, yang berakibat menekan ketertarikan publik pada hasil kerja Komisi.238 Guatemala Perang saudara di negeri ini melibatkan pemerintah antikomunis dengan Unidad Revolucianaria Nacional Euatemalca (UNRG). Berlangsung lebih 30 tahun, sekitar 200 ribu orang dinyatakan tewas dan hilang. Strategi kontrainsurgensi yang dilakukan negara amat brutal, yakni dengan pem-bumihangus-an ratusan desa dan pembunuhan puluhan ribu penduduk sipil. Perang berlanjut pada tingkat yang lebih rendah hingga dekade 1990-an, hingga negosiasi yang dimotori PBB akhirnya menghentikan peperangan. Salah satu soal krusial dalam negosiasi mengenai bagaimana pelanggaran HAM disikapi dalam masa transisi ke perdamaian. Negosiasi sudah dimulai ketika laporan komisi kebenaran El Salvador diterbitkan pada awal 1993, dan contoh ini menjadi titik awal referensi Guatemala dalam mempertimbangkan pembentukan komisi kebenaran. Kesepakatan membentuk komisi kebenaran dengan nama Komisi untuk Klarifikasi Pelanggaran Hak Asasi dan Tindakan Kekerasan yang Berakibat Penderitaan Rakyat Guatemala, ditandatangani di Oslo, Norwegia, pada Juni 1994 oleh pemerintah dan URNG. Namun, dibutuhkan tiga tahun lagi menuju kesepakatan damai untuk penandatanganan kesepakatan komisi mulai bekerja. 238 Ibid. 195 Kesimpulan penting Komisi Klarifikasi, berdasar pola kekerasan di empat wilayah negeri yang paling parah mengalami kekerasan, ''agen negara Guatemala dalam kerangka operasi kontrainsurgensi selama 1981-1983, melakukan tindak genosida terhadap kelompok bangsa Maya.'' Meskipun tidak menyebut nama, Komisi menyimpulkan bahwa ''mayoritas pelanggaran HAM terjadi dengan sepengetahuan atau atas perintah otoritas tertinggi negara.' Afrika Selatan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan berhasil membongkar pelanggaran berat HAM yang sebelumnya tak dibayangkan akibat kuatnya cengkeraman kekuasaan absolut rezim Apartheid. Dan, gebrakan KKR belum akan berakhir dalam mengungkap kebobrokan rezim. Di bawah kepemimpinan Uskup Desmond Tutu, Komisi bertugas membuat peta selengkap mungkin tentang hakikat dan keluasan pelanggaran akut HAM selama 34 tahun rezim Apartheid berkuasa. KKR Afsel tiga subkomisi. Pertama, Subkomisi Pelanggaran HAM yang bertanggungjawab memberi status korban kepada individu-individu. Penetapan kriteria korban itu tinggal mencomot aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Pelanggaran Berat HAM. Komisi ini menerima kedatangan pihak-pihak terkait untuk membuat pernyataan. Juga bertugas menerima dan memeriksa kesaksian publik, mengenai sejumlah kasus. Kedua, Subkomisi Amnesti yang bertanggungjawab memberi amnesti, pada para pelaku yang terbukti membuat tindakan, kesalahan, dan kejahatan politis. 196 Ketiga, Subkomisi Reparasi dan Rehabilitasi. Komisi ini bertugas membuat rekomendasi ketatapan reparasi dan rehabilitasi para korban. Di samping itu termasuk rekomendasi pencegahan pelanggaran di masa depan. Dalam kurun waktu April 1996 - Juni 1997, KKR memberi kesempatan kepada para korban menceritakan pengalaman kekerasan yang mereka derita. Pada pertengahan 1997, berdasar informasi yang terkumpul, KKR berusaha memahami motif personal dan institusional, yang memunculkan pelanggaran HAM. Akhirnya, pada Oktiber 1998, KKR menerbitkan laporan yang berjudul ''The Report of the Truth and Reconciliations Commision'' yang terdiri atas lima jilid. Menurut mantan sekretaris eksekutif KKR Afrika Selatan Paul Van Zyl, sukses tidaknya KKR banyak ditentukan oleh tujuan pendiriannya. Tergantung apakah hanya untuk mencari kebenaran atas kejahatan di masa lalu? Atau apakah juga mencari penyebab lebih jauh, mengapa kejahatan itu terjadi? Apakah juga disertai tujuan untuk memberikan keadilan kepada para korban, dengan menghukum para pelaku kejahatan? Dan, bagaimana rekonsiliasi bisa diwujudkan 239 Soal yang sangat perlu diperhitungkan secara hati-hati, Van Zyl berpendapat, melihat apakah proses transformasi menuju demokrasi sudah berjalan. Ini sangat penting untuk menilai sejauh mana pihak militer, yang diduga sebagai pelaku utama kejahatan HAM pada masa lalu, memberikan dukungan terhadap pembentukan komisi semacam itu. 239 Ibid. 197 Mantan Presiden Afsel VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan Bersenjata Afsel Magnus Malan, serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya tak urung menjadi sasaran pengusutan KKR. Setelah mengumpulkan bahan yang sangat lengkap, komisi menyerahkan laporan ke Presiden Mandela waktu itu agar menindaklanjuti temuan dengan mengadili petinggi tersebut. Afsel memilih tipe rekonsiliasi yang berujung pada impunitas -- peniadaan sanksi atas kejahatan yang terjadi. Tipe yang menuntut harga atas pemberian maaf dan non-prosekusi setelah tercapai rekonsiliasi. Meski begitu, rakyat Afsel cukup puas dengan memperoleh pengakuan tulus terbuka para tersangka pelanggaran HAM. Para korban, keluarga, dan kerabatnya mendengar langsung cerita pelanggaran HAM dari pelaku sekaligus permintaan maafnya. Atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya diberikan. Sementara korban ditawarkan reparasi, dalam bentuk kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi. Di sini rekonsiliasi bermakna sebagai suatu kesepakatan pihak-pihak yang secara langsung berkaitan dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. KKR di Afsel boleh jadi berhasil baik karena mampu memenuhi kepentingan korban dan keluarga besarnya, serta publik luas. Dan, tak kalah pentingnya adalah prosesnya berlangsung di hadapan komisi yang memiliki kredibilitas tinggi dan legitimasi moral. KKR Afsel menjadi tempat pengungkapan penyesalan para pelaku kejahatan yang menjadi wahana pengobatan (healing) para korban. 198 Harus diakui, model rekonsiliasi Afsel tak lepas dari kritik, karena tidak dapat memenuhi keadilan prosedural dan formal sebagaimana bila jalur legal yang ditempuh. Tapi inilah wujud kepiawaian Mandela membaca situasi politik transisional yang terjadi di negerinya. Mandela sangat sadar akan beratnya upaya menegakkan orde moral dan tertib hukum di tengah sangat kuatnya tuntutan rakyat agar negara mengadili penjahat-penjahat politik penguasa rezin sebelumnya. Kini, Afsel menjadi kiblat utama bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM. Abdurrahman Wahid termasuk salah seorang presiden yang belajar langsung ke Afsel untuk mengetahui tatakerja KKR di sana, khususnya dalam upaya mewujudkan rekonsiliasi pascarezim Apartheid 1994. Sukses besar Mandela menyelamatkan bangsa dan rakyatnya, bukan berarti Afsel benar-benar tanpa masalah ke depan. Salah satu potensi ''masalah'' ke depan adalah bagaimana rakyat Afsel mampu menarik garis demarkasi yang jelas dan ketat dengan masa lalunya? Sekarang Mandela turun tahta, tapi hingga kini di benar sebagaian rakyat Afsel masih menempatkan tokoh yang kenyang di penjara itu sebagai pemimpin negeri. Sementara pada saat yang sama Afsel tak lagi dipimpin tokoh rekonsiliasi itu. Farid Esack, salah seorang tokoh muda yang terlibat perwujudan rekonsiliasi Afsel, optimis bahwa potensi kemunculan problem tersebut dapat diatasi melalui tersusunnya konstitusi di negara itu. Esack dengan berani menilai kontitusi Afsel terbaik di dunia. ''Sungguh, negara kami memiliki konstitusi paling baik di dunia. Saya tak malu mengatakan hal ini,'' katanya. Persoalannya, sambung Esack, 199 konstitusi bukan sekadar baik di atas kertas saja, tetapi persoalan terpenting adalah pengaktualisasiannya. 240 3. Konsep Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi dalam hukum Nasional Dalam sistem hukum nasional kita Komisi kebenaran dan rekonsiliasi pernah diatur dalam suatu undang-undang yaitu undang-undang No 27 tahun 2004 mengenai komisi kebenaran dan rekonsili, yang kemudian dibatalkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 terdapat bebarapa ketentuan yang tidak dapat diterima dalam tatanan hukum internasional yang meliputi ; Konsep pelanggaran hak asasi manusia yang berlaku umum secara Internasional dalam pengimplementasian oleh Pemerintah Indonesia juga memerlukan pengkajian lebih lanjut misalnya sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dimana terdapat kritik terhadap pengaturan Konsep hak asasi manusia yang dipandang berbeda dengan konsep hak asasi manusia yang dikenal dalam Hukum Internasional. Beberapa pasal dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipandang bertentangan dengan konsep hak asasi manusia yang Universal Pasal 1 ayat 9 240 Ibid 200 Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 27 Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Pasal 44 Pelanggaran Hak asasi manusia yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad-hoc”241 Apa yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut menimbulkan pertanyaan yang penelitian apakah konsep yang dituangkan dalam Undang-Undang No 27 tahun 2004 telah sesuai dengan konsep Universal dari hak asasi manusia. Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU KKR, dinilai banyak kelemahan oleh para ahli. Bahkan KKR dinilai gagal memenuhi kewajiban negara untuk menghormati hak -hak korban, keluarga dan masyarakat berdasarkan hukum internasional Undang-Undang KKR dipandang gagal memenuhi kewajiban negara untuk menghormati hak -hak korban, keluarga dan masyarakat berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional. Undang-undang KKR dipandang gagal dalam investigasi mengungkap kebenaran mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum 2000, memberikan reparasi pada korban dan keluarganya, dan gagal pula dalam menuntut dan menghukum pelaku kejahatan. 241 Pasal 1 ayat 9, pasal 27, pasal 44, Undang-Undang No 27 Tahun 2004, tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 201 Investigasi dalam rangka pengungkapan kejahatan hak asasi manusia berat harus memenuhi standar dengan tidak hanya dilakukan terhadap pelakunya, tetapi juga terhadap posisi teratas yang memberi perintah yang tindakannya masih diketahui oleh pemberi perintah. Inisiatif untuk hal tersebut menurutnya seharusnya berasal dari negara dan merupakan kewajiban yang berkesinambungan meskipun terhadap kasus-kasus yang lama. Ketentuan Pasal 24 UU KKR, di mana KKR wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohon dipandang terlalu singkat dalam hal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan," Terkait berlakunya pasal 27 UU KKR di mana kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban diberikan hanya bila permintaan amnesti diberikan, rehabilitasi dan kompensasi bisa tidak diberikan ketika pelaku tidak teridentifikasi, atau tidak berhasil mendapat amnesty, atau tidak dimaafkan oleh korban, maupun ketika pelaku tidak diberi amnesti oleh Presiden dan DPR. Ketidakjelasan kapan restitusi diberikan sebagaimana ketentuan pasal 21 ayat (1) UU KKR dimana kompensasi dan rehabilitasi dapat ditunda selama tiga tahun meski tidak ada biaya yang signifikan untuk itu, merupakan persolaan yang menyebabkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mendapat kritikan dari para ahli hukum. Selain itu juga tidak ada ketentuan yang dibuat sebagai parameter kepuasan dan mengenai jaminan tidak adanya pengulangan kejahatan. Dalam praktek PBB tidak bisa memberi amnesti untuk (pelaku) genosida dan kejahatan terhadap 202 kemanusiaan karena ini termasuk kejahatan berat terhadap HAM. Pada sisi lain berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka tidak ada kadaluarsa untuk genosida. Pemberian amnesti merupakan pelanggaran Pasal 6 ICCPR. Terhadap pemberian amnesti terdapat batasan sebagaimana prinsip dari Komisi HAM PBB. "Pelaku dari kejahatan berat berdasarkan hukum internasional tidak boleh mendapat keuntungan sampai pelaku tersebut dituntut di hadapan pengadilan" Amnesti tidak bisa dilakukan sebelum penuntutan. Menurutnya, dimungkinkan pemberian keringanan hukuman kepada pelaku. "Tapi tidak boleh sebelum penuntutan". "Yang mengaku tetap dihukum, tetapi tidak seberat bila mereka tidak mengakui," "Ketika praktek-praktek tadi sudah menjadi standar internasional, tentunya bisa jadi customary law. Memang sebaiknya kita mengacu pada aturan-aturan itu". 242 Pada sisi lain pembentukan Komisi kebenaran dan Persahabatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pememeritah Timor Leste juga mengabaikan konsep-konsep hak asasi manusia yang terdapat dalam Hukum Internasional sebagaimana yang dikatakan oleh Romli Atmasasmita: “... ada persoalan mendasar di balik penandatanganan Deklarasi bersama dan pembentukkan KKP tersebut. Pertama, secara substansial latar belakang dan filosofi serta materi muatan pembentukan KKP hanya dilandaskan kepentingan hubungan baik secara bilateral antara kedua negara, akan tetapi sama sekali mengabaikan prinsip-prinsip penyelesaian masalah pelanggaran HAM Berat sebagaimana dianut dalam UndangUndang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM , dan juga dalam 242 Hukum Online, 05,07,2006, http://www.hukumonline.com/; Keterangan Ahli: Undang-Undang KKR Banyak Cacat, Temu Eropa Digest Number 863, Zo, 9 Juli, 2006 0:39 203 Statuta International Criminal Court (1998) yaituu pertama, bahwa pelanggaran Hak asasi manusia yang berat adalah merupakan perbuatan individual dan bukan terkait atau tidak serta merta merupakan perbuatan suatu negara. Konsekuensi Yuridis dari prinsip tersebut maka pelanggaran hak asasi manusia tersebut menuntut pertanggungjawaban individual, bukan pertanggungjawaban negara atau state responsibility, kecuali hanya satu pertangggungjawaban yang diwajibkan kepada negara terkait ialah tidak memberikan perlindungan terhadap pelakunya (no safe haven principle) dan justru harus membantu/mendukung upaya untuk menemukan kebenaran melalui jalur pengadilan atau jalur rekonsiliasi. Prinsip Pertanggungjawaban individual dalam peristiwa Pelanggaran HAM Berat (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi ) telah merupakan karakteristik proses penyelesaian kasus-kasus tsb sejak mahkamah Nurenberg,Tokyo, dan Kemudian Rwanda serta di bekas jajahan Yugoslavia. Pembentukkan KKP untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pasca jejak pendapat ( tahun 1999 ) bertujuan untuk menemukan kebenaran tanpa penuntutan melainkan hanya untuk pemberian amnesty atau kompensasi atau reparasi terhadap korban-korban.Hal ini ditegaskan sebagai salah satu prinsip dalam TOR pembentukan KKP (huruf c ):”...the CTF (KKP,Pen) Process will not lead to prosecution and will emphazize instititutional responsibilities”. Prinsip ini menegaskan menegaskan pengambilalihan tanggungjawab institusi, dan sekali lagi menyimpang dari priinsip hukum internasional.243 Prof Romli Atmasasmita mengemukakan suatu pandangan kaitannya dengan Komisi Kebenaran dan Persahabatan sebagai berikut : dalam “Dilema pembentukan KKP (The Commission of Truth and Friendship) antara Indonesia dan Timor Leste dalam penyelesaian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pasca jajak pendapat tahun 1999. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Leste pada tanggal 9 Maret 2005 telah menandatangani suatu Deklarasi Bersama (Joint Declaration) untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat di Timor Leste pada tahun 1999 yang lampau melalui pembentukan suatu Komisi Kebenaran dan Persahabatan-KKP (Truth and Friendship Commission). Deklarasi Bersama ini merupakan tindak lanjut pertemuan kedua Kepala Negara pada tanggal 14 Desember 2004 di Tampaksiring, Bali. Disetujui pula kedua Menlu dari Indonesia dan Timor Leste menyusun TOR dari KKP tsb. 243 Romli Atmasasmita, Mengkritisi Pembentukan komisi kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia dan Timor Leste 204 Langkah politik luar negeri Indonesia dalam kasus ini merupakan langkah strategis yang patut mendapat apresiasi dalam rangka menemukan solusi konflik antara kedua pemerintahan dan masyarakatnya tentang masalah pelanggaran Ham berat masa lalu di wilayah Timor Leste pasca jajak pendapat. Pertanyaan mendasar adalah apakah benar langkah tsb merupakan langkah strategis untuk menyelesaikan masalah atau bahkan justru akan menimbulkan masalah antara kedua pemerintah dan masyarakatnya di kemudian hari; hanya sejarah akan membuktikan jawaban atas pertanyaan tsb. Deklarasi Bersama dan pembentukan KKP merupakan solusi sementara karena keberhasilannya sangat tergantung dari situasi politik, penegakan hukum di kedua negara ybs, dan sejauh mana KKP dapat menampung aspirasi masyarakat Timor Leste khususnya keluarga korban. Pembentukan KKP yang telah disepakati kedua pemerintahan merupakan cara untuk tidak mencegah intervensi masyarakat internasional khususnya PBB memasuki masalah pelanggaran HAM berat di Timor Leste yang menurut pandangan Indonesia dianggap mampu menyelesaikannya secara bilateral. Langkah strategis yang dipandang tepat untuk sementara ini sudah barang tentu dengan satu kondisi yaitu bahwa kedua pemerintahan mampu meredam gejolak politik di dalam negara masing2, dapat menjamin bahwa KKP secara serius mampu menyelesaikan tugasnya seobjektif dan semaksimal mungkin untuk menemukan dan menggali faktafakta yang diharapkan dapat mengungkapkan kebenaran tentang peristiwa pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat. Konsep Rekonsiliasi dalam Penjelasan Umum UU nomor 27 tahun 2004 berbeda dengan prinsip-prinsip pembentukan KKP huruf c. Penjelasan umum undang-undang tersebut antara lain menegaskan: “Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus diidentifikasi. Apabila pelaku mengakui kesalahan,mengakui kebenaran fakta-fakta,menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban 205 yang merupakan ahli warisnya, pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan amnesty kepada presiden”. Bahkan di dalam Pasal 29 ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2004 secara eksplisit menyatakan: “Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesty dan diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc”. Bunyi pasal tsb secara nyata menuntut adanya pengakuan bersalah dari pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan kemungkinan tidak tercapai rekonsiliasi dalam artian tersebut akan diteruskan kepada proses penuntutan dan pemeriksaan pengadilan HAM. Sedangkan prinsip pembentukan KKP tidak berujung kepada proses penuntutan sehingga disinilah letak perbedaan mendasar dari kedua konsep rekonsiliasi tersebut. Secara singkat proses rekonsiliasi versi UU Nomor 27 tahun 2004 tidak menganut sepenuhnya prinsip “non-impunity” sedangkan versi JD tanggal 9 Maret 2005 menganut secara mutlak prinsip tsb dalam penyelesaian kasus pelangggaran hak asasi manusia pasca jajak pendapat di Timor Leste tahun 1999. Implikasi pembentukan KKP terhadap proses peradilan HAM Adhoc kasus Timor Leste “Implikasi pembentukan KKP muncul ketika meneliti mukadimah dari TOR KKP khususnya angka 8 dan 10 dihubungkan dengan prinsip yang diletakkan dalam TOR huruf c dan d. Mukadimah TOR KKP angka 8 berbunyi sebagai berikut: “Based on and benefiting from our shared experience, and motivated by our strong desire to move forward, we are determined to bring to a closure chapter of our recent past through joint efforts. A definitive closure of the issues of the past would further promote further bilateral relations”. 206 Berangkat dari mukadimah (angka 8) di atas sangat gambling bahwa kedua pemerintahan telah sepakat untuk menutup buku kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat pasca jajak pendapat tahun 1999 di wilayah Timor Leste. Yang menarik dari bunyi mukadimah tsb adalah premis-premis yang dibangun untuk menuju kepada rumusan mukadimah tsb sebagaimana dicantumkan dalam mukadimah angka 10 antara lain sebagai berikut: “Indonesia and Timor Leste have opted to seek truth and promote friendship as a new and unique approach rather than the prosecutorial process”. Langkah kedua pemerintah ini sangat strategis dan cerdik dalam menyelesaikan masalah bilateral antara kedua negara ybs. Namun kemudian premise-premis yang dibangun tidak tepat karena kedua belah pihak telah men-salah artikan pengertian istilah “justice” dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia yang berat karena secara langsung telah menyamakan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan kasus kriminal yang bersifat biasa, sedangkan sudah ditegaskan dalam Undangundang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bahwa pelanggaran HAM yang berat adalah bersifat luar biasa (extra-ordinary crimes) bukan kejahatan biasa (ordinary crimes). Pandangan dan persepsi yang dibangun dalam TOR KKP jelas telah mengenyampingkan pendekatan hukum pidana yang menitikberatkan kepada asas kesalahan dan pertanggungjawaban pidana sebagai asas universal. Kekeliruan pemahaman dan persepsi dalam menganalisis peristiwa pelanggaran HAM berat yang nota bene berada dalam lingkup rezim hukum pidana telah membuahkan premis-premis yang bersifat menyederhanakan masalah (pelanggaran HAM berat) yang terbukti dari kalimat: “True justice can be served with truth and acknowledgement of responsibility. The prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is to punish the perpetrators; but it might not necessarily lead to the truth and promote reconciliation” (Mukadimah TOR KKP angka 10). Premis di atas telah keliru mengartikan pengertian istilah “justice” dalam konteks “criminal justice” karena tujuan hukum pidana sejak berabad yang lampau masiih tetap, yaitu menemukan kebenaran materiel, bukan menghukum, karena penghukuman itu hanya sebagai sarana (as a means) yang berfungsi baik represif maupun preventif atau rekonsiliasi untuk menemukan keadilan (to an ends). Kekeliruan premise yang dibangun dalam proses pembentukan KKP berdampak terhadap mandate yang diberikan kepada KKP sekalipun ditegaskan dalam prinsip TOR (huruf e),antara lain , “Does not prejudice against the onging judicial process with regard to reported cases of human rights violations in Timor Leste in 1999..”. Penegasan atas prinsip inipun tidak ada artinya karena telah ditutup rapat oleh bunyi Mukadimah angka 8 khusus berkaitan dengan kalimat, “a definitive closure of the issues of the past” sehingga kesepakatan kedua belah pihak (Indonesia dan Timor Leste) ini telah menutup peluang proses penuntutan dan peradilan atas pelakupelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor Leste tahun 207 1999. Pertanyaan mendasar yang diajukan sebagai konsekuensi logis dari pembentukan KKP dengan prinsip-prinsip-prinsip yang dibangun serta mandate yang harus diembannya, adalah, apakah proses penuntutan dan peradilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM di Timor Leste pasca jajak pendapat masih relevan dan mendesak untuk terus dilanjutkan?244 Pada akhirnya semua pandangan mengenai Komisi Kebenaran Dan Persahabatan dalam kaitannya dengan sistem Hukum Indonesia menjadi kenyataan ketika Komisi kebenaran menyelesaikan laporannya. Pelanggaran HAM berat dan mendapatkan bukti mengenai : serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil di Timor-Timur Tahun 1999, dimana dikatakan sebagian besar bukti yang terungkap dalam proses telaah ulang dokumen dan Pencarian fakta sangat kuat untuk berpendapat bahwa telah terjdi serangan meluas terhadp penduduk sipil di Timor-Timur tahun 1999.245 Pemerintah membentuk komisi kebenaran dan persahabatan yang menyimpulkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor-Timur sebagaimana yang terdapat dalam kesimpulan yang ada dalam laporan akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan . Berdasarkan hasil Telaah Ulang Dokumen dan hasil analisis atas faktafakta yang telah diulas dalam temuan berdasarkan Kerangka Acuan 14 a (i) dan (ii), Komisi berkesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesimpulan Komisi ini juga didasarkan analisis bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi telah dilakukan sebagai 244 Romli Atmasasmita, Mengkritisi Pembentukan komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi http://www.portalhukum.com/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid =24 245 Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Hlm. 207 208 bagian dari serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil. Jenis tindak kekerasan tersebut antara lain: (1) Pembunuhan; (2) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (3) Penahanan ilegal (4) Kekerasan seksual lainnya; (5) Penghilangan paksa; dan (6) Perbuatan tak manusiawi lain, yaitu penghancuran dan pembakaran harta benda. Untuk dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi, Komisi pertama-tama melihat apakah kekerasan tersebut “diarahkan terhadap” warga sipil. Kekerasan ini dapat berupa segala bentuk kekerasan fisik, pemaksaan, ancaman, intimidasi, atau penghilangan kemerdekaan fisik. Warga sipil yang diserang harus dalam jumlah yang cukup untuk menunjukkan bahwa penyerangan tersebut tidak hanya ditujukan terhadap perorangan sipil dalam jumlah yang sedikit, terbatas, atau terpilih secara acak, namun sekelompok orang yang signifikan. Pemikiran dasarnya di sini adalah untuk menentukan apakah ada bukti kredibel mengenai penganiayaan atau penggunaan kekuatan, pemaksaan, atau kekerasan terhadap sejumlah substansial warga sipil. Jika kekerasan (1) diarahkan hanya terhadap sedikit warga sipil terpisah, atau (2) diarahkan terutama terhadap lawan militer yang sah namun terdapat beberapa warga sipil yang terbunuh dalam suatu insiden yang acak dan terpisah, maka ini tidak digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun di Timor Timur tahun 1999 dimensi politik konflik dan fokusnya pada Jajak Pendapat, jenis-jenis kejahatan dan status para korban, terutama penargetan warga sipil yang dipandang memiliki hubungan dengan keyakinan atau tujuan politik tertentu, secara jelas menunjukkan bahwa serangan terhadap penduduk sipil telah 209 terjadi. Komisi berkesimpulan bahwa bukti mengenai hal ini sangat banyak dan definitif.246 Selain temuan Komisi bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil, penting juga untuk menentukan bahwa serangan tersebut bersifat “meluas atau sistematis.” Istilah “meluas” mencakup dimensi kuantitatif, cakupan, dan sifat serangan. Istilah “sistematis” terutama berkaitan dengan aspek kualitatif serangan dengan mengindikasikan misalnya, bahwa serangan tersebut bukan terdiri dari tindak kekerasan yang acak, terpisah dan individual, namun mencakup banyak tindakan dengan jumlah atau skala korban yang signifikan, atau terdapat pengorganisasian, perencanaan, koordinasi, atau kegiatan terpola. Di sini sekali lagi Komisi berkesimpulan bahwa bukti secara kuat menunjukkan serangan terhadap penduduk sipil di Timor Timur terjadi secara meluas maupun sistematis. Bukti ini mengindikasikan bahwa jumlah korban dan insiden, juga skalanya, cukup besar. Bukti juga menunjukkan bahwa serangan sering menjadikan sasaran orang-orang yang dipandang memiliki afiliasi politik tertentu dan serangan ini terjadi berulang kali dalam rentang waktu, pada banyak tempat, serta mengikuti pola perbuatan yang terorganisasi. Komisi menerima sejumlah besar bukti dokumen dan kesaksian langsung bahwa pelanggaran HAM berat telah terjadi. Masing-masing sumber dipertimbangkan dengan saksama untuk menilai keaslian, kedalaman, relevansi dan nilai faktual tiap-tiap bukti. Kemudian, sumber-sumber ini diperbandingkan 246 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan ,hlm 305 210 dan diteliti lebih lanjut guna menentukan keterangan mana yang terkoroborasi secara memadai untuk dapat dianggap benar, dan keterangan mana yang dapat cukup kuat dibantah untuk dianggap salah. Dalam beberapa bidang analisis mengenai pelanggaran HAM tertentu tidak terdapat cukup informasi yang memiliki kualitas pembuktian yang baik bagi Komisi guna memastikan kebenarannya. Selama proses Komisi telah melakukan pembahasan serta melibatkan para korban, pelaku, saksi, pejabat lembaga pemerintahan dan penasihat ahli. Para pendukung kedua aliran politik, baik prootonomi maupun prokemerdekaan, telah mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksian faktual dan pandangan mereka. Sebagaimana dijelaskan pada Bab 5-8,sebagian besar sumber ini secara meyakinkan sepakat bahwa sejumlah besar serangan terhadap penduduk sipil, dengan sifat dan skala yang merupakan pelanggaran HAM berat, telah terjadi di Timor Timur. Langkah Komisi berikutnya adalah mengidentifikasi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dimaksud dan menetapkan bagaimana pelanggaran tersebut dilakukan. Berkenaan dengan ini, Komisi meninjau bukti untuk memastikan pola pada tingkat operasional dimana pelanggaran HAM berat dilakukan. Standar-standar yang sama dalam menetapkan pelanggaran HAM berat diterapkan untuk masingmasing tindakan, terlepas dari identitas atau afiliasi kelembagaan pelaku. Dengan kata lain, Komisi mengidentifikasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat spesifik, dan menentukan apakah terdapat pola-pola perbuatan yang sistematis dan/atau 211 meluas oleh anggota kelompok-kelompok pro-otonomi, lembaga pemerintah atau kelompok-kelompok pro-kemerdekaan. Kelompok pro-otonomi, khususnya milisi, telah diidentifikasi dalam sebagian besar kasus sebagai pelaku langsung tindakan-tindakan yang merupakan pelanggaran HAM berat. Tindakan-tindakan ini dilakukan secara luas. Kelompokkelompok milisi beroperasi di seluruh Timor Timur tahun 1999 dan melakukan pelanggaran HAM di setiap kabupaten dan kecamatan di Timor Timur. Organisasi kelompok milisi menunjukkan banyak ciri ”sistematis”, termasuk perekrutan anggota dan sumber daya materiil yang terorganisasi; struktur bergaya militer (hirarki komando, perintah,seragam) dan operasi (pelaporan rutin dan komunikasi radio, penghadang jalan,kampanye sweeping, serangan terencana); upah; markasmarkas tempat pelatihan dan pertemuan dilakukan, dan senjata disimpan. Pelanggaran-pelanggaran HAM berat dilakukan dalam bentuk penyerangan sistematis oleh kelompok tersebut sebagaimana diindikasikan banyak faktor, yaitu: 1. Berbagai rapat perencanaan dan apel. 2. Instruksi, perintah, dan perencanaan para pemimpin yang diakui, atau para komandan sebelum, selama dan setelah penyerangan, operasi sweeping, serta patroli-patroli. Pengawasan dan distribusi senjata kepada anggota. 3. Serangan-serangan yang telah disusun rapih, menggunakan taktik bergaya militer, bersama perwira TNI dan/atau komandan milisi mengkoordinasi atau mengarahkan serangan-serangan tersebut. 212 4. Pemberian dukungan logistik termasuk transportasi, amunisi, dan makanan oleh otoritas Indonesia. 5. Penargetan kategori korban tertentu menurut jender, persepsi afiliasi politik atau kaitan dengan pendukung suatu kelompok politik.247 Kelompok pro-otonomi yang melakukan serangan terhadap prokemerdekaan tidak bertindak secara spontan atau sendiri. Mereka sering kali bertindak dengan panduan dan dukungan lembaga-lembaga pemerintah. Komisi telah menetapkan bahwa terdapat pelaku bersama pelanggaran HAM berat dari anggota militer dalam sejumlah kasus tertentu, serta kepolisian dan pegawai negeri sipil. Juga terdapat banyak kasus dimana pejabat militer Indonesia merencanakan, mempersiapkan, atau mengarahkan operasi-operasi militer, terkadang melibatkan anggota TNI dalam suatu operasi. Pada beberapa kasus mereka juga memberi dukungan materiil lain dalam bentuk transportasi atau penggunaan fasilitas militer setempat untuk penahanan ilegal atau bentuk-bentuk penganiayaan lainnya terhadap warga sipil. Juga sering terdapat keanggotaan bersama atau yang tumpang tindih pada tingkat operasional, antara milisi, pasukan keamanan, dan pejabat pemerintahan sipil. Selain partisipasi bersama dengan milisi sebagai pelaku langsung, pengatur atau komandan, Komisi juga mengidentifikasi bahwa aparat militer dan pemerintah sipil terlibat dalam pembentukan dan pemberian dukungan kepada kelompok milisi dalam berbagai cara, termasuk: 247 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,Hlm 305 213 1. Pemberian dana, dukungan logistik, fasilitas fisik, dan bahan-bahan lainnya,seperti makanan, kepada milisi secara sistematis. 2. Pemberian senjata kepada kelompok-kelompok milisi secara sistematis.248 Pola-pola perbuatan tersebut diulang oleh milisi dan satuan serta anggota TNI pada banyak kabupaten di Timor Timur. Hal ini melibatkan banyak individu dan institusi yang bekerja sama dalam menggunakan kekerasan bersenjata guna mendukung tujuan politik bersama. Institusi-institusi yang terlibat dalam perbuatan pelanggaran HAM berat tahun 1999, mencakup antara lain milisi prootonomi, pasukan keamanan Indonesia (TNI dan Polri) dan pejabat pemerintah sipil. Ciri-ciri kuantitatif dan kualitatif bukti ini memungkinkan Komisi mencapai kesimpulan secara definitif, akurat dan meyakinkan. Mengenai apakah keterlibatan institusi dimaksud sudah cukup, dari segi sifat dan cakupan, untuk mendukung kesimpulan bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab kelembagaan atas kejahatan-kejahatan dimaksud. Komisi juga mengidentifikasi tindak kekerasan yang dilaporkan telah dilakukan oleh kelompok prokemerdekaan (CNRT, Falintil, kelompok pemuda pro-kemerdekaan) terhadap warga sipil. Sebagian tindakan ini mencakup pembunuhan, penahanan ilegal, perusakan harta benda, dan pelanggaran seksual. Dalam semua serangan, korban adalah warga sipil pro-otonomi, termasuk mantan anggota milisi. Pelanggaran oleh kelompok pro-kemerdekaan tahun 1999 telah dilaporkan setidaknya terjadi di delapan kabupaten Timor Timur. Seranganserangan tersebut juga menunjukkan sejumlah unsur sistematis, yaitu: 248 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 305 214 1. Serangan bersasaran terhadap orang-orang yang ”dikenal” sebagai pendukung pro otonomi. 2. Penggunaan operasi-operasi bergaya militer, seperti penghadangan jalan, patroli teratur dan penyerbuan. 3. Perintah-perintah dan prosedur laporan kepada pejabat militer dan CNRT.249 Oleh karena itu sangat mungkin bahwa kelompok pro-kemerdekaan telah melakukan pelanggaran HAM berat secara meluas dan sistematis khususnya dalam tindak penahanan ilegal. Akan tetapi bukti yang menunjukkan adanya pola-pola perlu disikapi dengan hati-hati, mengingat kegagalan SCU, KPP HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk memberi prioritas bagi penyelidikan pelanggaran dimaksud. Selain itu jumlah pelanggaran yang dilaporkan telah dilakukan kelompok pro-kemerdekaan pada tahun 1999 hanyalah sedikit (kurang dari 50), padahal terdapat ribuan laporan mengenai pelanggaran oleh kelompok pro-otonomi. Labih jauh lagi, banyak laporan mengenai pelanggaran oleh pro-kemerdekaan tidak dikuatkan keterangan langsung saksi mata,korban, pelaku, atau bentuk-bentuk dokumentasi kredibel lain. Sebagian besar informasi tersebut belum diuji dalam sidang Pengadilan, atau dalam forum lain yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan rinci. Banyaknya laporan belum tentu menunjukkan jumlah definitif pelanggaran kelompok pro-kemerdekaan, karena belum ada penyelidikan memadai tentang kejadian-kejadian ini agar dapat membuat kesimpulan. Dampak terbatasnya 249 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 306 215 jumlah dan kualitas laporan adalah bahwa Komisi tidak memiliki dasar kuat guna membuat temuan konklusif mengenai kelompok pro-kemerdekaan mana yang terlibat, dalam cara apa, untuk masing-masing bentuk pelanggaran serta seberapa luas, (sifat meluas) atau bagaimana (sifat sistematis) serangan terjadi. Panel Khusus melaksanakan tiga persidangan dimana anggota kelompok prokemerdekaan (termasuk Falintil) dinyatakan bersalah atas tindakan pembunuhan warga sipil. Selain itu, beberapa laporan mengenai kejahatan oleh pro-kemerdekaan yang ditelaah oleh Komisi secara mendalam berawal sebagai penyelidikan internal dalam CNRT dan/atau Falintil, dan tampaknnya telah diteruskan ke proses peradilan. Dengan demikian, berdasarkan sejumlah kasus dimaksud terdapat dasar untuk menyimpulkan bahwa anggota kelompok pro-kemerdekaan telah melakukan pelanggaran HAM berat pada tahun 1999 dan setidaknya dalam beberapa kasus telah dimintakan pertanggungjawaban. Namun, kemampuan Komisi untuk secara tuntas menentukan hakikat, cakupan, dan penyebab pelanggaran oleh kelompok prokemerdekaan serta afiliasi kelembagaan dan hubungan mereka yang sesungguhnya. Kerangka yang digunakan Komisi untuk mencapai temuan dan kesimpulan mengenai pelanggaran HAM berat. Lebih khusus lagi, bagian tersebut merinci dasar-dasar kesimpulan Komisi bahwa kekerasan di Timor Timur tahun 1999 tidak terdiri atas tindak kekerasan yang acak, terisolasi dan individual, melainkan menunjukkan adanya organisasi, perencanaan dan koordinasi.250 250 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.307 216 Lebih lanjut, juga menjelaskan bagaimana Komisi menyimpulkan bahwa serangan-serangan yang terkoordinasi dan terorganisasi menjadikan orang-orang sebagai sasaran atas dugaan afiliasi politik mereka. Faktor-faktor dimaksud menjadi dasar bagi kesimpulan Komisi bahwa pelanggaran HAM berat telah dilakukan dalam skala meluas dan sistematis, dan faktor-aktor tersebut juga menjadi langkah awal bagi temuan mengenai tanggung jawab kelembagaan. Tanggung jawab kelembagaan bersumber dari partisipasi atau pembiaran oleh lembaga-lembaga Negara dalam suatu tindak kriminal atau perbuatan melawan hukum. Guna mendukung temuan mengenai tanggung jawab kelembagaan, partisipasi atau pembiaran tersebut tidak bisa hanya terdiri dari kejadian-kejadian yang terisolsasi atau yang terjadi sekali-kali,berskala kecil dan hanya melibatkan sedikit anggota lembaga negara. Tanggung jawab kelembagaan bersumber dari dukungan, pembiaran, atau keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam pelanggaran oleh lembaga-lembaga yang terjadi secara sistematis dan berulang, dalam suatu rentang waktu, di sejumlah tempat, serta mengikuti suatu pola perbuatan reguler dan terorganisasi. Dalam keadaan seperti ini, lembaga-lembaga dimaksud harus menerima tanggung jawab atas perilaku anggota mereka karena tingkat hubungan kelembagaan dalam perbuatan pelanggaran begitu besar sehingga tidak dapat dikatakan sebagai tindakan terisolasi oleh sedikit individu atau “oknum.” Dalam menerapkan kerangka konseptual yang dijabarkan pada bab-bab sebelumnya,Komisi berfokus pada dua pertanyaan sentral. Pertanyaan pertama, apakah pada tingkat operasional bukti sudah memadai untuk menjadi dasar bagi temuan mengenai pola-pola kegiatan 217 terkoordinasi dalam suatu rentang waktu dan di banyak tempat? Pertanyaan kedua berfokus pada pelaku kelembagaan yang terkait denganpola-pola kegiatan. Pertanyaannya adalah apakah bukti mengenai pola-pola tersebut juga mengungkapkan lembaga mana yang berpartisipasi dalam memungkinkan kegiatan terjadi? Partisipasi tersebut dapat berupa dua bentuk: (a) lembaga yang anggota atau personilnya terlibat secara langsung dalam perbuatan kejahatan; (b)institusi yang memberi dukungan, pengorganisasian, sumber daya, arahan, pelatihan, atau perencanaan reguler dan substansial bagi pelaku kejahatan.251 Jika hanya ada bukti untuk menunjukkan adanya keterlibatan kelembagaan dalam sedikit kejadian, namun tidak secara konsisten dalam suatu rentang waktu dan di banyak tempat, maka kemungkinan tidak ada bukti cukup untuk menetapkan tanggung jawab kelembagaan. Akan tetapi, jika ditemukan pola terus menerus mengenai keterlibatan kelembagaan dalam sebagian besar atau banyak jenis kejahatan yang terjadi di Timor Timur selama tahun 1999, maka hal tersebut akan menjadi dasar kuat bagi temuan tanggung jawab kelembagaan. Komisi telah merinci temuannya berdasarkan analisis gabungan Telaah Ulang Dokumen dan Pencarian Fakta. Temuan-temuan tersebut membentuk dasar bagi kesimpulan bahwa terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya keterlibatan kelembagaan dalam pelanggaran HAM berat. Temuan-temuan ini juga menunjukkan bahwa keterlibatan kelembagaan terjadi dalam cakupan dan rentang waktu yang cukup untuk mendukung kesimpulan mengenai tanggung 251 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm 308. 218 jawab kelembagaan beberapa lembaga yang memainkan peran dalam kekerasan tahun 1999.252 Dalam menerapkan kedua pertanyaan di atas terhadap bukti proses Pencarian Fakta dan Telaah Ulang Dokumen, Komisi berkesimpulan bahwa berdasarkan bukti tidak diragukan lagi bahwa milisi pro-otonomi merupakan pelaku langsung utama pelanggaran HAM berat di Timor Timur tahun 1999 dan cara bagaimana kejahatankejahatan dimaksud dilakukan secara konsisten, terpola dan sistematis memenuhi syarat bagi tanggung jawab kelembagaan. Pola konsisten perbuatan langsung oleh milisi-milisi pro-otonomi dalam melancarkan kekerasan terhadap pendukung pro kemerdekaan yang menckaup pembunuhan, pemerkosaan sistematis, penyiksaan,penghilangan kemerdekaan fisik berat, serta deportasi dan pemindahan paksa, sudah begitu jelas sehingga tidak ada lagi keraguan mengenai tanggung jawab kelembagaan atas kejahatan-kejahatan ini. Dalam menganalisis sejauh mana lembaga-lembaga Indonesia memenuhi kriteria tanggung jawab kelembagaan, Komisi berkesimpulan bahwa bukti sudah cukup jelas dan cukup banyak untuk mendukung kesimpulan dimaksud. Lebih khusus lagi, Komisi menemukan bahwa anggota TNI, Polri, dan pejabat sipil telah bekerja sama dengan dan mendukung milisi dalam berbagai cara signifikan yang turut berkontribusi terhadap perbuatan kejahatan-kejahatan sebagaimana diuraikan di atas. Bukti juga menunjukkan bahwa anggota TNI kadang-kadang berpartisipasi langsung dalam operasi yang menimbulkan kejahatan tersebut. Partisipasi semacam ini mencakup keterlibatan langsung dalam perbuatan 252 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.308. 219 kejahatan oleh anggota satuan TNI yang beroperasi di dalam milisi dan di bawah arahan operasional perwira yang hadir ketika kejahatan dilakukan.253 Konteks pola kerja sama antara milisi dan TNI melibatkan suatu praktik kolaborasi yang terus berlangsung yang sudah ada jauh sebelum 1999 antara milisi, pasukan pertahanan sipil dan satuan-satuan lokal TNI yang keanggotaannya seringkali tumpang tindih. Pola-pola kerja sama tersebut melibatkan tidak hanya perencanaan dan perbuatan bersama dalam operasi, namun juga pemberian berbagai bentuk dukungan materiil. Karena berkembang dari konteks historis dimaksud, pada tahun 1999 di tingkat operasional lembagalembaga ini semuanya bertindak bersama dalam mencapai tujuan bersama untuk mengalahkan gerakan pro-kemerdekaan. Bukti secara meyakinkan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tersebut sudah sering menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka dan bahwa kekerasan tersebut mengakibatkan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat. Operasi gabungan mereka sering kali dilakukan di bawah arahan pejabat militer atau sipil Indonesia. Dalam kasus lainnya, bahkan dimana perwira atau pejabat Indonesia mungkin tidak merencanakan atau mengarahkan operasinya, namun bukti menunjukkan bahwa mereka mengetahui, membiarkan, atau menyetujui operasi-operasi. Pejabat sipil dalam beberapa kejadian terlibat dalam operasi-operasi, dan umumnya memberi dukungan materiil kepada kelompok 253 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.309 220 milisi yang melakukan perbuatan dengan pengetahuan bahwa dukungan tersebut akan mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran.254 Bahkan ketika aparat kepolisian tidak terlibat dalam operasi, mereka hampir tidak efektif sama sekali dalam mencegah kekerasan dan dalam menjaga keamanan bagi penduduk sipil Analisis Komisi mengenai bukti terkait kedua pertanyaan yang membentuk dasar bagi temuan tanggung jawab kelembagaan mengungkapkan bahwa operasi-operasi milisi mengikuti berbagai pola, termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan milisi prootonomi tanpa keterlibatan TNI, operasi yang dipicu oleh atau atas perintah perwira TNI, dan operasi gabungan yang dilaksanakan TNI, atau lebih khusus lagi anggota Kopassus bersama anggota milisi. Analisis Komisi juga mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus anggota milisi juga berada di dalam TNI, sehingga kadang sulit untuk membedakan kedua organisasi tersebut pada tingkat operasional. Insiden-insiden seperti ini tidak terjadi secara acak atau terisolasi, namun terjadi sepanjang tahun 1999 dan di seluruh Timor Timur, dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda. Operasi yang mengakibatkan pelanggaran HAM berat menunjukkan adanya pola kegiatan konsisten yang melibatkan arahan operasional di bawah suatu struktur komando yang dapat diidentifikasi, koordinasi dan perencanaan serangan atas warga sipil, dan melancarkan serangan tersebut dalam gaya militer mengikuti suatu pola taktis yang biasa. Dengan kata lain, Komisi menemukan bahwa terdapat banyak bukti untuk menjawab pertanyaan pertama: Terdapat pola-pola kegiatan yang sistematis 254 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.309. 221 dan terkoordinasi dalam rentang waktu tertentu dan di banyak lokasi yang melibatkan perbuatan pelanggaran HAM berat dan bahwa kegiatan terkoordinasi dan terpola tersebut juga terjadi dalam derajat dan rentang waktu yang cukup untuk mencapai temuan tanggung jawab kelembagaan. Pertanyaan berikut yang harus dijawab oleh Komisi adalah institusi mana yang harus menerima tanggung jawab dimaksud. Komisi menemui kesulitan lebih besar dalam mencapai kesimpulan definitive mengenai tanggung jawab kelembagaan bagi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan. Di satu sisi, tidak diragukan bahwa pelanggaran HAM telah dilakukan terhadap warga sipil yang menentang kemerdekaan. Kejahatan-kejahatan ini termasuk pembunuhan, perusakan harta benda dan penahanan ilegal. Di sisi lain, terdapat kesulitan yang cukup berarti dalam menganalisis cakupan dan derajat organisasi atau perencanaan kejahatankejahatan dimaksud karena tidak ada investigasi sistematis mengenai peran kelompok-kelompok pro-kemerdekaan dalam kekerasan tahun 1999. Jelas bahwa tindakan tersebut sama sekali tidak acak dan terislosai, dan beberapa pelanggaran dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat. Hanya dalam kasus penahanan illegal terdapat cukup banyak bukti yang memadai untuk mencapai kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan. Komisi telah menganalisis seluruh bukti proses Telaah Ulang Dokumen dan Pencarian Fakta guna menentukan institusi mana yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat melalui partisipasi langsung anggota atau personilnya. Komisi juga telah memeriksa bukti untuk menentukan institusi mana yang terkait dengan perbuatan kejahatan- 222 kejahatan ini karena anggotanya memberi dukungan, organisasi, sumber daya, arahan, pelatihan, atau perencanaan bagi para pelaku kejahatan ini secara reguler dan substansial. Komisi kemudian menimbang bukti yang ada guna menilai apakah berbagai bentuk partisipasi atau dukungan ini telah mencukupi dari segi durasi atau cakupan untuk menjadi dasar bagi kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan. Mengenai tanggung jawab kelembagaan kelompok-kelompok prokemerdekaan, seperti yang telah dicatat, tidak adanya investigasi yang sistematis menimbulkan kesulitan untuk mengenakan tanggung jawab kelembagaan atas penahanan-penahanan ilegal yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut. Terdapat bukti yang cukup mengenai pola luas dari elemenelemen Falintil dan/atau CNRT yang menahan orang yang dipandang sebagai anggota dan/atau mantan anggota milisi, namun tidak mudah untuk mengenakan tanggung jawab tepat kepada institusi-institusi spesifik bagi kejadian-kejadian individual pelanggaran. Analisis Komisi atas bukti yang ada mengungkapkan bahwa penahanan ilegal tersebut dilakukan dalam cara yang sistematis yang mencakup perintah resmi, laporan kepada komandan, dan lain-lain. Atas dasar bukti ini, Komisi berkesimpulan bahwa terdapat setidaknya suatu persetujuan institusional diam-diam bagi pola penahanan ilegal pada Falintil dan/atau CNRT. Terkait tanggung jawab kelembagaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan terhadap orang-orang yang diduga pendukung pro-kemerdekaan, Komisi telah menganalisis banyak jenis bukti yang menghubungkan berbagai institusi dengan kejahatan-kejahatan tersebut. 223 Seperti uraian di atas, Komisi berkesimpulan bahwa milisi-milisi prootonomi merupakan pelaku langsung utama kejahatan dimaksud.Pertanyaan pokok mengenai tanggung jawab kelembagaan yang dihadapi Komisi adalah organisasi lain mana yang dapat dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan tersebut secara memadai sehingga dapat mendukung kesimpulan bahwa mereka juga memikul tanggung jawab kelembagaan. Komisi menemukan bahwa komandan-komandan TNI di Timor Timur mengendalikan pendanaan, pemasokan, pembagian, dan penggunaan senjata kepada kelompok-kelompok milisi dan hal ini dilakukan secara sangat terorganisasi. Mereka juga mengetahui bahwa senjata-senjata ini akan digunakan untuk mendorong kampanye pro-otonomi dan bahwa pelanggaran HAM berat sedang terjadi selama proses kampanye tersebut. Dukungan TNI bagi milisi juga mencakup perencanaan dan pengorganisasian operasi gabungan yang sering melibatkan anggota dan perwira TNI. Fasilitas TNI lokal digunakan sebagai tempat penahanan ilegal, dimana berbagai bentuk penganiayaan berat terhadap warga sipil, termasuk penyiksaan dan kekerasan seksual pun terjadi. Komisi menemukan bahwa pola-pola perbuatan bersama dan dukungan muncul dari keterkaitan struktural antara TNI dan milisi serta kelompok sipil bersenjata lainnya yang berkembang selama ini. Sikap TNI mengandalkan kelompokkelompok sipil bersenjata semacam tersebut merupakan kelemahan struktural yang kemudian menjadi salah satu sumber bagi tanggung jawab kelembagaan mereka atas pelanggaran HAM tahun 1999 di Timor Timur.255 255 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.311. 224 Komisi juga menemukan bahwa terdapat sangat banyak bukti yang menunjukkan kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok milisi juga didukung oleh pemerintah sipil dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk dukungan yang terdokumentasi paling baik adalah cara sistematis dan berkesinambungan pemerintah sipil menyediakan dana bagi milisi, bahkan setelah mereka jelas-jelas mengetahui bahwa kelompok-kelompok milisi tersebut sudah melakukan berbagai pelanggaran HAM berat. Muspida juga ikut memberi kontribusi dukungan kepada kelompok-kelompok milisi. Pemerintah sipil dan Muspida mengetahui bahwa kelompok-kelompok keamanan yang berafiliasi dengan militer dan kepolisian terlibat dalam kegiatan-kegiatan pro-otonomi yang melanggar syarat netralitas TNI dan Polri sesuai Kesepakatan 5 Mei 1999. Komisi berkesimpulan bukti cukup kuat menunjukkan bahwa penyediaan dana dan dukungan materil oleh militer dan pejabat pemerintah merupakan bagian integral dari suatu hubungan kerja sama yang terorganisasi dan berkesinambungan dalam mewujudkan tujuan politik bersama, yang bertujuan untuk membantu kegiatan milisi yang akan mengintimidasi atau mencegah warga sipil mendukung gerakan prokemerdekaan. Hal-hal ini menjadi dasar bagi kesimpulan bahwa TNI dan pemerintah sipil memiliki tanggung jawab kelembagaan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan terhadap orang-orang yang diduga sebagai pendukung pro- kemerdekaan tahun 1999. Dominasi TNI atas pemerintah sipil, sebagaimana tampak dalam analisis konteks yang lebih luas pada Bab 4, memperkuat kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan. 225 Kesimpulan bahwa pelanggaran HAM berat yang ditemukan telah terjadi jelas bukan merupakan akibat kejadian-kejadian spontan. Sebaliknya, seranganserangan tersebut dilakukan secara terorganisasi dan sistematis dengan mejadikan pendukung pro-kemerdekaan sebagai sasaran. Serangan terutama dilakukan oleh milisi, walaupun anggota TNI dapat ditunjukkan sering terlibat dalam dan/atau ikut merencanakan serta mengarahkan serangan-serangan tersebut. Secara keseluruhan, serangan-serangan ini merupakan suatu kampanye kekerasan yang terorganisasi. Orang-orang dari milisi, kepolisian,pemerintah sipil setempat, dan TNI berpartisipasi dalam berbagai tahap kampanye kekerasan dan tekanan politik yang dilancarkan terhadap warga sipil yang diyakini memiliki hubungan dengan gerakan pro-kemerdekaan. Kampanye ini mengikuti pola-pola tertentu yang seringkali mencakup serangkaian kejadian yang saling terkait seperti intimidasi, ancaman dan kekuatan nyata guna melemahkan dukungan penduduk sipil kepada gerakan pro-kemerdekaan. Kampanye tersebut melibatkan serangan terorganisasi atas desa-desa oleh milisi dan TNI. Serangan tersebut mengakibatkan pelanggaran HAM berat yang mencakup pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan, serta penghilangan kemerdekaan, pemindahan paksa dari desa-desa, dan pada akhirnya, dalam banyak kasus, deportasi.256 Kampanye kegiatan terkoordinasi semacam ini memerlukan perencanaan serta dukungan logistik dan pendanaan. Komisi berkesimpulan bahwa bukti menunjukkan anggota TNI dan Polri serta pejabat sipil terkadang terlibat dalam hampir setiap tahap kegiatan yang menimbulkan pelanggaran HAM berat, 256 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.312. 226 termasuk pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, penahanan ilegal, dan penghilangan kemerdekaan fisik berat lainnya, serta pemindahan paksa dan deportasi. Kegiatan yang berkelanjutan dan terkoordinasi semacam ini yang melibatkan berbagai bentuk dukungan, dorongan, dan kerja sama menjadi dasar bagi kesimpulan Komisi bahwa TNI, Polri dan pemerintah sipil bersama memikul tanggung jawab kelembagaan atas kejahatankejahatan dimaksud. Komisi telah mengidentifikasi tanggung jawab kelembagaan milisi prootonomi dan kelompok pro-kemerdekaan. Sejak Timor-Leste mencapai kemerdekaannya, kelompok-kelompok ini tidak lagi ada. Untuk alasan itulah kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan mereka hanya akan memiliki nilai simbolis. Negaralah yang memiliki kewajiban politik dan moral untuk menerima tanggung jawab atas pelanggaran HAM oleh kelompok-kelompok dengan siapa negara pernah memiliki hubungan historis, bahkan ketika kelompokkelompok tersebut tidak lagi ada atau telah mengalami transformasi yang cukup signifikan. Dari sudut pandang yang berorientasi ke depan, Komisi berkesimpulan bahwa pemerintah Timor-Leste harus mengakui tanggung jawab negara bagi penahanan ilegal yang merupakan pelanggaran hak asasi manusi berat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pro-kemerdekaan. Pengakuan tanggung jawab negara atas kelompok-kelompok ini tidak didasarkan pada akuntabilitas hukum, namun muncul dari dasar moral dan politik bagi tanggung jawab kelembagaan Perihal kelompok-kelompok milisi pro-otonomi, mengingat pandangan ke depan Komisi dalam 227 merumuskan kesimpulannya dan rekomendasi-rekomendasi yang didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan tersebut, Komisi menyimpulkan bahwa Indonesia memikul tanggung jawab negara bagi pelanggaran hak asasi manusi berat yang dilakukan oleh milisi-milisi tersebut dengan dukungan dan/atau partisipasi institusi-institusi Indonesia atau para anggotanya.257 257 Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan,hlm.313 228 BAB IV PENGATURAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Tinjauan Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Perundang-Undangan di Indonesia Istilah Pelanggaran HAM Berat pertama kali muncul dalam hukum Indonesia dan dinyatakan sebagai kejahatan dalarn hukum nasional pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penjelasan Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/ extrajudicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Sementara, kejahatan terhadap kemanusiaan tidak didefinisikan secara spesifik namun disebutkan kejahatankejahatan tertentu. UU No. 39 Tahun 1999 mengamanatkan terbentuknya Pengadilan HAM yang memiliki jurisdiksi pengadilan Pelanggaran HAM yang berat paling lambat 4 (empat)tahun sejak UU disahkan258. Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mempunyai jurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM yang 258 Pasal 104 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999. 229 berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan 259. Dalam merumuskan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, UU No. 26 tahun 2000 menyatakan bahwa pengertian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU ini sesuai dengan 'Rome Statute of The International Criminal Court" (Pasal 6 dan Pasal 7). Hal ini berarti bahwa apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah juga merupakan kejahatan-kejahatan yang paling serius sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma 1998.260 Pengadopsian secara diam-diam terhadap ketentuan dalam Statuta Roma 1998 ke dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, berkaitan dengan tidak lengkapnya jenis kejahatan yang diadopsi, kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM, yang dicakup oleh Statuta Roma ada empat: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Akan tetapi, UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengambil dua jenis kejahatan, yaitu: genosida dan kejahatan atas kemanusiaan. 261 Indonesia tidak mengadopsi kejahatan perang dan agresi sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang berat. Ditemui pula adanya kesalahan menerjemahkan ketentuan dalam Statuta Roma. Hal-hal tersebut mempunyai implikasi serius atas penafsiran ketentuan tersebut. Akibatnya, pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan 259 Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2000. 260 Sri Wiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP,Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Juni 2007,hlm.25. 261 Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998. 230 terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 tahun 2000 dalam beberapa bagiannya merupakan ketentuan yang tidak sesuai dengan maksud aslinya. Perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dilengkapi dengan element of crimes untuk menjelaskan maksud dan tafsir resmi atas ketentuan tersebut.262 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan dengan tegas bahwa pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana263. Pendefinisian inilah yang menunjukkan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah berbeda dengan perumusan dalam kejahatan-kejahatan dalam KUHP dan karenanya perlu dilakukan langkahlangkah khusus. Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan "biasa" lainnya, maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Kekhususan itu menyebabkan keperluan untuk adanya langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus pula. Kekhususannya juga terletak pada asas dan prinsipnya yang diatur secara berbeda. Asas-asas yang diatur secara berbeda dengan tindak pidana biasa sebagaimana diberlakukan dalam tindak pidana biasa adalah: pertama, tidak berlakunya ketentuan mengenai kadaluarsa dalam pelanggaran hak asasi manusia 262 Ibid,hlm. 27. 263 Penjelasan umum UU No. 26 Tahun 2000 231 yang berat264.Kedua, dapat digunakannya asas non-retroaktif untuk kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida.265 Ketiga, tindakan percobaan, permufakatan jahat dan pembantuan terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, hukumannya disamakan ancaman pidananya dengan pelaku (langsung).266 Meskipun tidak merupakan kekhususan, UU No. 26 Tahun 2000 juga memberikan penekanan pada ketentuan-ketentuan tertentu misalnya perlindungan terhadap saksi dan korban dan kewajiban untuk adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat.267 Kemudian, untuk melengkapi regulasi mengenai operasional dari ketentuan mengenai perlindungan saksi dan hak-hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban, pemerintah mengeluarkan 2 (dua) peraturan pemerintah.268 Pengaturan tentang pengadilan HAM dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang mempunyai junsdiksi atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan meskipun terdapat berbagai kelemahan tampaknya berupaya memenuhi ketentuan hukum internasional. Dalam UU tersebut diciptakan suatu sistem pengadilan yang akan memastikan adanya proses pengadilan untuk penuntutan pelaku dan pemberian mekanisme reparasi korban. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam penjelasan pasal 104 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran hak 264 Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000 Penjelasan umum UU No 26 Tahun 2000 266 Pasal 41 UU No 26 Tahun 2000 267 Pasal 34 dan 35UU No 26 tahun 2000 268 Peraturan Pemeintah No 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM yang berat. 265 232 asasi manusia yang berat adalah pembunuhan masal (genocide) pembunuhan sesenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Rumusan yang cukup luas dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran berat hak asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi manusia. Undang-undang No 26 tahun 2000 menyatakan bahwa rumusan dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diambil dari rumusan standar internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 7 yang berbunyi ; Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of the Internastional Criminal Court ( Pasal 6 dan pasal 7) Namun demikian, bila melakukan perbandingan langsung dengan teks dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Pebedaan-perbedaan yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan maupun dalam perumusan, antara lain : a) Dalam Statuta Roma penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi yurisdiksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang memberikan pembatasan terhadap munculnya penafsiran yang berbeda.Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2. Sedangkan dalam UU No 26 tahun 2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan yang dimasukkan dalam pasal undang-undang dan ada pula yang 233 dimasukkan dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan kesimpangsiuran berbagai pengertian standar dari elemen-elemen kejahatan b) Penerjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti Attack directed against any civilian population ( Statuta Roma,Pasal 7 ) diterjemahkan menjadi serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil ( UU No 26 tahun 2000 pasal 9 ). Seharusnya terjemahan yang benar adalah ditujukan kepada populasi sipil. Kata langsung dapat ditafsirkan bahwa serangan itu dlakukan oleh pelaku langsung di lapangan saja. Dengan demikian hanya mereka yang di lapangan yang dapat dikenakan pasal ini, dan tidak dapat meliputi pelaku di tingkat komando atau atasan. Sementara itu rumusan penduduk sipil membatasi target potensial korban hanya kejahatan hanya pada penduduk setempat.Padahal korban bisa saja bukan orang-orang yang bukan penduduk setempat, yang pada waktu peristiwa berada di tempat kejahatan terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi pengertian yang luas pada populasi sipil yang mencakup siapa saja (penduduk atau bukan penduduk yang menjadi korban kejahatan. c) Penerjemahan persecution menjadi penganiayaan, yang merupakan tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke bahasa Inggris berarti assault. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan 234 intimidasi ,teror yang sifatnya non fisik menjadi luput dari cakupan penganiayaan. Padahal Persecution mencakup pengertian yang lebih luas merujuk kepada perlakuan yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun ekonomis.269 d) Tidak dimasukkannya ayat 1 (k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9 Undang-Undang No 26 tahun2000 menyangkut bentuk-bentuk tindakan yang tidak manusiawi, yang mempunyai tujuan untuk menimbukan penderitaan berat atau melukai secara serius atas badan atau mental atau kesehatan fisik. Pertanggungjawban individu dirumuskan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4 : Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggungjawb secara individual. Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengan Undang-Undang No 26 tahun 2000, batasan atas pertanggungjawaban individual ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 33 memberikan pembebasan atas tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewjiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum Berbagai kekacauan rumusan itu dapat dengan mudah dipakai untuk kepentingan kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya keadilan. Dalam kasus Timor-Timur, Kejahatan pembumihangusan bangunan, rumah dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80% sebagaimana Article 7 (g) Rome Statute “ Persecution” means the intentional and severe deprivation of fundamental rights contraryInternational law by reasons of the identity of the Group or collectivity. 269 235 yang dilaporkan dalam penyelidikkan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh Penuntut Umum ( Jaksa Agung ) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup dalam rumusan pasal 9 Undang-Undang No 26 tahun 2000. Kejahatan yang luar biasa ini akan dengan sendirinya harus didakwakan bila persecution tidak diterjemahkan dengan penganiayaan atau bila ayat 1 k pasal 7 Statuta Roma dimasukkan dalam Pasal 9 UU No 26 tahun 2000.270 Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 serangan yang meluas atau sistematik ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9. Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni : (1) Sasaran adalah penduduk sipil dan (2) Korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak. Meskipun disadari garis batas antara combatant dan penduduk sipil juga sangat tipis Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai ketentuan Undang- Undang No 26 tahun 2000 maka tanggung jawab komando juga membawa persoalan-persoalan tersendiri.Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab komando sebagai berikut : ”Komandan Militer atau seorang yang secara aktif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif. 270 Asmara Nababan, Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, Belajar dari Pengalaman, Jurnal HAM,KOMNAS HAM,Vol 2 No 2. Nopember 2004, hlm 97. 236 Dalam rumusan ini digunakan kata dapat ( could) bukannya akan (shall) atau harus ( hould), yang memberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000, pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara otomatis berlaku. Pasal ini menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan kepada pelaku langsung di lapangan. Bila Jaksa Penuntut ingin menuntut menuntut penanggungjawab komando maka harus dibuktikan adanya ”keperluan”(urgensi) untuk itu. Selanjutnya,pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggungjawab komando untuk ” seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sumber dari pasal ini terdapat di Statuta Roma pasal 28 ayat 1 (a) yang secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya ”mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan. Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini telah mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa komando militer tersebut idak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut...”Namun dalam rumusan ini dan penjelasan ini tidak ada batasan tentang apa yang”layak” dan ”perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando. Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah 237 layak atau tidak , apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak, apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjaab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak. Padahal selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku langsung, penganjur atau penyerta, seorang atasan seharusnya bertanggungjawab secara pidana secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas dan kealpaan. Standar hukum kebiasaan internasional untuk kelalaian dan kealpaan dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggungjawab secara pidana jika : (1) ia seharusnya mengetahui bahwa pelanggaran hukum telah terjadi atau sedang terjadi, atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya;(2) ia mempunya kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. Pasal 7 ayat 3 Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar hukum kebiasaan internasional ini. Rujukan pada standar internasional yang dilakukan memperlihatkan berbagai distorsi rumusan Tanggungjawab Komando dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum punyar banyak kesempatan dan lubang-lubang untuk tidak menuntut Wiranto sebagai pemegang komando tertinggi dalam garis komando ABRI dalam kasus Timor-Timur, atau Jenderal Benny Moerdani dan 238 Jenderal Try Sutrisno dalam Kasus Tanjung Priok, sekalipun keduanya direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya. Praktik penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat di Indonesia telah dilakukan dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura Papua. Perkara yang diadili adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan sampai saat ini belum ada perkara terkait dengan kejahatan genosida. Hasil Pengadilan HAM jauh dari apa yang diharapkan karena hampir kesemua terdakwa yang diajukan ke pengadilan dibebaskan dari hukuman. Demikian pula dengan para korban tidak ada satupun yang sampai saat ini mendapatkan reparasi (pemulihan) yakni adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Selama berlangsungnya pengadilan, perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban juga jauh dari memadai di mana banyak korban yang takut untuk bersaksi di pengadilan dan para saksi yang mengalami intimidasi selama memberikan kesaksian di pengadilan.271 Berbagai analisis dan penelitian mengenai kegagalan pengadilan HAM ini telah dilakukan dan menunjukkan sejumlah faktor yang membuat pengadilan tersebut tidak mampu menghukum pelaku dan memberikan keadilan kepada korban.272 Pengadilan ini gagal menghadirkan dua keadilan prinsipil dalam pengadilan yakni kegagalan untuk menetapkan pertanggungjawaban komando 271 Progress Report Elsam I-IX David Cohen,Intended to Fail, The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Courts in Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli 2004. 272 239 yang jelas di tingkat kelembagaan dan tidak sekedar kebersalahan individual dan kegagalan dalam menjalankan "fungsi kebenaran" yang merupakan mandat pengadilan HAM. Di samping peran penuntut umum yang memungkinkan kegagalan penuntutan, pengadilan juga dirancang untuk tidak mandiri. Selain itu, kerangka legal pengadilan dengan UU No. 26 Tahun 2000 membutuhkan revisi, khususnya yang berkaitan dengan bukti-bukti dan hukum acaranya. Hasil pengadilan HAM berdasarkan pemantauan menunjukkan adanya 3 kelemahan utama yakni 1) kegagalan dalam membuktikan adanya pelanggaran HAM yang berat; 2) bebasnya para terdakwa; dan 3) kompensasi yang tidak pernah diterima oleh korban.273 Kelemahan regulasi ini mengakibatkan pengadilan HAM yang telah berjalan dianggap tidak berjalan sesuai dengan standar internasional sebagaimana pengadilan internasional mengadili kejahatan- kejahatan internasional, misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan. Norma dan praktik peradilan internasional menunjukkan bahwa penuntutan terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan menghasilkan penghukuman kepada pelaku dan reparasi kepada korban (lihat bagian II). Analisis atas kegagalan untuk melakukan penuntutan yang efektif tersebut telah disadari sejak semula bahwa untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang tergolong serius seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan perlu suatu pengaturan yang khusus. Pengaturan khusus ini bukan saja berkaitan dengan hukum materialnya tetapi juga harus mencakup hukum acara pidananya yang berbeda dengan pengaturan dalam tindak pidana umum sebagaimana diatur 273 Kelompok Kerja Pemantau Pengadilan HAM, Pengadilan yang Melupakan Korban, ELSAM, Kontras dan PBHI, 24 Agustus 2004. 240 dalam KUHP Ditinjau dari sisi hukum materialnya, masih banyak ketentuan yang menimbulkan kerancuan dan ketidaklengkapan sehingga sulit diukur kepastiannya dan cenderung multiinterpretasi. Dari sisi hukum acaranya, meskipun ada pengecualian, tetapi masih mengacu pada hukum acara pidana biasa (KUHAP) yang tidak sesuai dan menyulitkan pembuktian kasus-kasus dalam kategori kejahatan yang bersifat "luar biasa". Kelemahan hukum formal dan material ini berakibat peradilan tidak berjalan secara fair dalam implementasinya. B. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Pendekatan dan proses penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM berat selama ini hanya berkutat pada penuntutan terhadap pelaku. Hal ini tentu bukan sesuatu yang ditentang. Namun hal yang sering luput di samping penuntutan terhadap pelaku adalah mengenai pemenuhan hak korban. Seringkali pemenuhan hak korban ini dimengerti sebagai sesuatu yang akan terjadi setelah proses hukum final. Sementara kita tahu bahwa hanya sedikit kasus pelanggaran HAM berat yang bisa masuk dalam proses peradilan (Kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura). Yang ada itu pun pada akhirnya tidak memuaskan rasa keadilan karena para pelaku bebas. Alhasil, pemenuhan hak korban atas reparasi pun menjadi hal yang tidak dianggap ada. Ini menunjukkan bahwa korban belum menjadi bagian yang penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Padahal perkembangan pendekatan HAM universal telah mengarah pada sikap bahwa hak korban harus dipenuhi terlepas dari proses hukum atas kasus yang 241 menimpanya. Artinya, ketika seseorang atau sekelompok orang menjadi korban, maka sepatutnyalah mereka menerima hak-haknya atas reparasi (pemulihan). Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan peraturan yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.274 Sedangkan Peraturan Pemerintah N0. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pelanggaran HAM berat menyatakan bahwa korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, ganguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun. Pemenuhan hak korban yang berupa reparasi ini diterjemahkan oleh Komisi HAM PBB sebagai upaya pemulihan kondisi korban pelanggaran HAM ke kondisi sebelum pelanggaran tersebut terjadi pada dirinya, baik menyangkut fisik, psikis, harta benda, dan hak status sosial politik korban yang dirusak dan dirampas. Upaya pemerintah untuk melakukan reparasi sudah diatur dalam Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan, ayat 1, bahwa korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Ayat 2 menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan 274 Pengertian dan ruang lingkup korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tahun 1985 242 HAM. Ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.275 Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian yang sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga yang ganti rugi ini dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya. Meskipun pemerintah sudah mengesahkan undang-undang mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM. namun tetap saja proses untuk mendapatkan reparasi sendiri mengalami berbagai hambatan. Pertama, pelaku harus dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida. Kedua, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus kejahatan yang terjadi sebelum tahun 2000 harus ada dukungan dari DPR dan Presiden. Ketiga, jaksa harus membuat permohonan untuk reparasi bagi korban sebagai bagian dari tuntutannya. Apabila pelaku dinyatakan bersalah, maka pelaku harus membayar restitusi. Apabila pelaku tidak membayar restitusi ini, maka korban harus melaporkannya pada Jaksa Agung yang kemudian akan meminta Departemen Keuangan untuk membayar kompensasi. 275 Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 243 Bagi perempuan korban kejahatan seksual, hambatan pertama tidak mungkin dapat diterobos. Pengadilan HAM menggunakan hukum acara yang sama dengan kejahatan biasa (KUHAP). Dalam hal membuktikan perkosaan, maka seorang perempuan harus mempunyai 2 orang saksi, ditambah sebuah surat pemeriksaan dari dokter yang berdasarkan surat dari polisi 24 jam sesudah kejahatan terjadi. Tentunya, tak akan ada satupun kasus perkosaan yang terjadi , di daerah konflik manapun, yang dapat memenuhi persyaratan ini, sehingga tidak mungkin diadili pengadilan HAM. Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia prinsip-prinsip tersebut diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi ketika menghadapi penerapan dari peraturan tersebut maka Sistem Hukum Pidana Indonesia berhadapan dengan hal-hal yang dapat bertentangan dengan standarstandar Hak Asasi Manusia Internasional.Tidak adanya pelaku yang dihukum dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia menunjukan dugaan adanya pelanggaran terhadap prinsip admissibility, dan adanya pengambilalihan tanggung jawab oleh negara menunjukan adanya pelanggaran terhadap prinsip non impunity. Mengadili atau menghukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia telah diterima menjadi salah satu prinsip dalam hukum hak asasi manusia internasional, yang dikenal dengan prinsip “human rights violators must be punished”; negara-negara tidak dapat begitu saja mengabaikan kewajiban tersebut. Apabila kewajiban tersebut diabaikan oleh suatu negara, maka barulah kewajiban tersebut dapat diambil alih oleh masyarakat internasional. Dalam 244 kontek inilah kita bicara mengenai hubungan antara pengadilan nasional dan internasional dalam mengadili kejahatan-kejahatan serius tersebut. Seperti yang terdapat di Indonesia dengan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) dapat dipandang sebagai usaha untuk memenuhi kewajiban internasional yang digambarkan di atas. Dengan menyediakan mekanisme remedi yang efektif di tingkat nasional--apakah dalam bentuk menghadirkan pengadilan hak asasi manusia secara khusus, negara tersebut dapat dipandang menunjukkan keseriusannya dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia di dalam negerinya. Hukum internasional mengenal prinsip “exhaustion of domestic remedies”, yang mengharuskan penggunaan semaksimalnya semua upaya hukum yang tersedia di tingkat nasional terlebih dahulu sebelum menggunakan mekanisme remedi di tingkat internasional dan regional. Jadi mekanisme remedi internasional hanya diperlukan bila mekanisme remedi nasional tidak bekerja secara efektif, sehingga korban merasa belum mendapatkan keadilan; korban dengan demikian boleh menggunakan mekanisme remedi ke tingkat internasional. Karena itu menyediakan mekanisme remedi yang efektif di tingkat nasional menjadi tanggung jawab setiap negara. Pinsip “exhaustion of domestic remedies” tersebut sebetulnya dimaksudkan untuk menjaga agar remedi internasional tidak berfungsi sebagai pengganti remedi di tingkat nasional. Dalam kaitan dengan itu saya ingin mengutip Prof. Louis Henkin, guru besar hukum hak asasi manusia internasional dari Columbia University, yang menyatakan: 245 “The law, politics, and institutions of international human rights, then, do not replace national laws and institutions; they provide additional international protections for rights under national law. The international law of human rights is implemented largerly by national law and institutions; it is satisfied when national laws and institutions are sufficient”276 Menjadi jelas kiranya, bahwa pengadilan nasional merupakan pintu pertama yang harus dilalui dalam usaha menagih pertanggungjawaban bagi pelanggaran berat hak asasi manusia. Pengadilan internasional tidak dapat sertamerta menggantikan peran pengadilan nasional, tanpa melewati pengadilan nasional suatu negara. Jadi peran pengadilan internasional (apakah yang permanen atau ad hoc) hanya bersifat komplementer, artinya melengkapi proses pertanggungjawaban ditingkat nasional. Kalau proses di dalam negeri sudah berjalan dengan memuas, maka peran pengadilan internasional tidak diperlukan lagi. Kecuali proses yang berjalan di dalam pengadilan nasional lebih ditujukan untuk melindungi tersangka (atau dijalankan dengan tidak jujur), maka terbuka bagi pengadilan internasional mengambil perannya. Prinsip ini juga dikuatkan dalam statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional. Dalam konteks norma-norma internasional itulah kita harus melihat atau menimbang kehadiran Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kehadirannya 276 Ifdhal Kashim , Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional, Paper,ELSAM. 246 tidak dengan sendirinya menutup kemungkinan bagi Pengadilan Internasional (apakah permanen atau adhoc) menerapkan jurisdiksinya atas kejahatan atau pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Makanya masyarakat internasional hingga saat ini masih terus mengamati dengan tekun proses pertanggungjawaban yang sedang berlangsung di Pengadilan HAM ad hoc Tim-Tim di Jakarta; apakah berjalan dengan standar internasional atau tidak? Dengan melihat hubungan antara pengadilan (hak asasi manusia) nasional dan internasional, terlihatlah bahwa proses pertanggungjawaban atas kejahatan serius bukan hanya menjadi milik eksklusif suatu negara. Tetapi juga merupakan tanggungjawab masyarakat internasional secera keseluruhan. Itu artinya jurisdiksi pengadilan internasional tetap masih terbuka bagi Indonesia (meskipun Indonesia secara khusus sudah memiliki Pengadilan HAM), sepanjang pengadilan (hak asasi manusia) nasionalnya hanya sekedar dijadikan tameng bagi perlindungan bagi para pelaku. Ukuran-ukuran yang sering dijadikan rujukan untuk menyatakan suatu Negara gagal menjalankan kewajibannya adalah ketidakinginan mengadili dan ketidakmampuan. Tetapi harus pula segera ditambahkan disini, bahwa tidak mudah secara politik untuk membentuk pengadilan hak asasi manusia internasional. Makanya saat ini masyarakat internasional, PBB, lebih memilih membentuk pengadilan campuran yang didalamnya terdapat unsur dalam negeri dan internasional seperti terlihat di Timor Leste, Kosovo, dan Sierra Leonne. Pengadilan Internasional seperti Rwanda dan Bekas Yugoslavia dipandang terlalu mahal dan sebagainya. 247 Dari sudut standard setting sepuluh tahun terakhir menunjukkan kemajuan berarti dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi. Perbaikan tekstual ini tampak dalam amandemen UUD hingga aturan dan ratifikasi konvensi HAM. Telah pula tersedia mekanisme untuk me-review berbagai kebijakan dan perangkat peraturan perundangan. Berbagai persoalan perenial hak asasi seperti paham universalitas, justiciability, dan agenda mematahkan impunitas mulai menemukan jalan keluarnya. Meskipun demikian kapasitas dan kecepatan negara merespons penyelesaian hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi masih sangat rendah. Perumusan standar juga tidak diimbangi dengan penegakannya, terutama dalam pengungkapan kebenaran maupun pemberian keadilan bagi korban. Alihalih memberi keadilan – hak asasi seperti kehilangan daya yang mempunyai kekuatan untuk menentukan kemendasarannya. Makna hak asasi telah dikikis sehingga kehilangan nilai dan tujuannya. Dalam praktek hak asasi menjadi komoditi politik elit kekuasaan di semua tingkatan. Gagasan bahwa hak asasi akan terjamin dalam sistem politik demokratis dan sebaliknya demokrasi harus dilandaskan pada hak asasi . Demokrasi pertamatama dan bahkan melulu dipraktekkan sebagai cara daripada tujuan dan nilai. Aktor-aktor dominan memakai demokrasi bukan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran, melainkan lebih sebagai prosedur. Sejak reformasi, jaminan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti dalam tataran normatif dan institusional. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Norma-norma umum 248 hak asasi manusia dapat ditemukan disamping pada Amandemen UUD 1945, Tap MPR tentang hak asasi manusia adalah UU HAM dan Pengadilan HAM dan ratifikasi instrumen pokok hak asasi internasional. Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah. Terdapat jurang yang lebar antara yang normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain. Disamping itu, selama hampir sepuluh tahun terakhir sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya tidak mampu menjawab berbagai kasus pembunuhan dalam konflik-konflik horizontal dan vertikal serta kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi masa lalu. Budaya impunitas terus menjangkiti sistem hukum kita. Diyakini bahwa berbagai kesenjangan ini terjadi antara lain karena, pertama, upaya penegakan hak asasi manusia lebih menekankan formalisme hukum daripada penataan ulang politik hak asasi manusia. Kedua, karena monopoli akses atas sumber-sumber daya publik oleh modal dan birokrat, yang pada gilirannya menghambat proses politik dan penegakan hukum demi pemenuhan hak-hak asasi manusia. Ketiga, karena tidak tersedianya otonomi asosiasional bagi hadirnya demokrasi substantif; yaitu peluang rakyat (terutama lapisan bawah) mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan identitas sendiri tanpa takut akan dicampuri atau diganggu oleh pemerintah. Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu dilakukan dengan: 1. Penguatan kewenangan Komnas HAM dalam penyidikan pelanggaran hak asasi dan pemberian imunitas bagi penyidik Komnas HAM 249 2. Civil society mengawal setiap upaya perlindungan korban Penerapan konsep universalitas dalam sistem hukum nasional Indonesia tidak dapat dipertahankan dalam implementasi dalam sistem hukum nasional khususnya dalam penyelesaian kasus Timor Timur melalui komisi kebenaran dan persahabatan, terbukti dengan kesepakatan untuk menghentikan penyelesaian hukum atas semua persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM pada masa lalu dan membebankan pertanggungjawaban pada negara, Hak para korban untuk mendapatkan keadilan yang seharusnya mereka dapatkan ketika mereka kehilangan hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi negara, hilang dikarenakan negara sepakat untuk melupakan tanpa mengungkap dengan demikian ada kebenaran yang tidak terungkap. 250 BAB V ANALISIS TERHADAP IMPLEMENTASI PENGATURAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DAN ANALISIS TERHADAP KONSEP PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA A. Analisis Terhadap Implementasi Pengaturan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia UU No. 26 Tahun 2000 lahir dalam situasi di mana tuntutan atas penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu dengan membentuk Pengadilan HAM. Dengan landasan UU No. 26 Tahun 2000, dibentuk 2 (dua) pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur dan Tanjung Priok dan digelar Pengadilan HAM untuk peristiwa pelanggaran HAM di Abepura. Namun, pengadilan HAM yang digelar tidak memberikan hasil yang maksimal karena hampir semua terdakwa yang diajukan ke pengadilan HAM dibebaskan. Para korban pelanggaran HAM yang berat juga tidak mendapatkan reparasi yang dalam UU No. 26 Tahun 2000 dikenal dengan hak-hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan Pengadilan HAM di antaranya adalah kurang memadainya pengaturan dalam UU No. 26 Tahun 2000 termasuk kelemahan hukum acaranya. Kekurangan dalam UU No. 26 Tahun 2000 menyebabkan ketidakjelasan dalam menerapkan peraturan perundangundangan, 251 misalnya tidak lengkapnya "element of crimes" dari kejahatan yang diatur. Penerapan hukum acara, yang meskipun terdapat aturan yang bersifat khusus, namun secara umum masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyulitkan dalam proses pembuktiannya. Apa yang menjadi pelajaran dari pengalaman pengadilan HAM ad hoc adalah kebutuhan untuk merumuskan ketentuan yang mampu memberikan efektivitas dalam penuntutan kejahatan-kejahatan serius tersebut. Efektivitas penuntutan adalah memberikan pengaturan yang khusus dan komprehensif dalam mengatur kejahatan yang mempunyai katarkteristik khusus. Selain itu, kejelasan perumusan delik dan ketentuan yang berbeda mengenai asas-asas hukurnnya juga perlu dilakukan untuk menangani kejahatan yang sangat serius, bersifat "extraordinary', dan berbeda dengan tindak pidana umum. Banyak istilah-istilah yang disebut dalam UU No 26 tahun 2000 tidak tersedia atau tidak memadai penjelasannya. Penjelasan yang tidak memadai berimplikasi pada sulitnya meletakkan situasi yang tepat untuk memenuhi unsurunsur pidana yang dimaksud. Hal ini akan menyulitkan praktik penuntutan terhadap pelaku. Jika tidak ada pengaturan yang berbeda untuk kejahatan-kejahatan serius tersebut, apalagi memperlakukannya sebagai kejahatan biasa dan diterapkan dengan asas-asas hukum yang "biasa" maka kemungkinan kegagalan dalam penuntutan akan terus terjadi. Dengan demikian, apa yang menjadi cita-cita hukum pidana untuk menemukan kebenaran materil, menghukutn pelaku dan memberikan keadilan kepada korban akan sulit terwujud. 252 Bebeberapa kejahatan dengan karakteriktik khusus mempunyai prinsip dan asas yang menyimpang dengan asas-asas umum hukum pidana biasa. Dengan permasalah tersebut di atas, alih-alih akan menghukum pelaku kejahatan yang sangat serius tersebut, adanya kelemahan pengaturan dan perumusan deliknya akan mengakibatkan bebasnya para pelaku dan kegagalan menghadirkan keadilan kepada korban. Terlebih, Hukum Pidana yang bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat, dan negara tidak akan mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Suatu ketentuan dalam hukum pidana, setidaknya selalu mengatur tiga bagian penting. Ketiga bagian tersebut adalah mengatur tentang ketentuan mengenai asas-asas umum yang akan diberlakukan, tindak pidana yang akan diatur dan ancaman hukuman atas tindak pidana tersebut. Asas-asas hukum yang akan dirumuskan mengatur tentang kewenangan dan batasan dari penerapan suatu tindak pidana, termasuk acuan untuk menentukan pidana bagi pelaku dan tanggung jawab pelaku. Tindak pidana yang diatur haruslah dirumuskan secara jelas dan tidak menimbulkan banyak interpretasi (asas lex certa). Sementara ancaman pidana harus juga disesuaikan dengan tingkat kejahatannya (tindak pidana). Ketiga bagian sebagaimana disebutkan di atas, akan mempengaruhi efektifitas dalam penegakannya. Hal ini mengharuskan adanya kesesuaian antara tindak pidana yang diatur, ancaman pidana dan asas-asas hukumnya. Jika antara ketiga bagian tersebut tidak terdapat kesesuaian maka dalam implementasinya akan menimbulkan kesulitan. Setidaknya dalam hal rumusan tindak pidana yang 253 tidak lengkap akan mengakibatkan ketiadaan kepastian hukum, ancaman hukuman yang ringan atau terlalu berat akan menimbulkan ketidakadilan bagi, korban maupun pelaku, dan pengaturan asas-asas hukumnya yang tidak sejalan akan berakibat pada kegagalan dalam melakukan penuntutan terhadap para pelakunya. Untuk memastikan adanya penghukuman terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan diperlukan suatu pengaturan yang memadai dan lengkap, termasuk berkaitan dengan kecukupan penerimaan asas-asas hukum untuk memastikan bahwa penegakan hukum akan berjalan dengan efektif. Penanganan dan penyelesaian kejahatan-kejahatan luar biasa tersebut harus ditempatkan dalam konteks yang lebih lengkap, bukan hanya menghukum pelaku namun juga memberikan peluang kepada korban untuk mendapatkan hak reparasi kepada mereka. Kegagalan untuk memberikan remedy yang efektif bagi korban menyebabkan penyelesaian kejahatan belum dapat dikatakan adil. Namun, dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 yang mengatur tentang kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, belum menunjukkan adanya kesesuaian dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam penjelasan pasal 104 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pembunuhan masal (genocide) pembunuhan sesenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Rumusan yang cukup 254 luas dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran berat hak asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi manusia. Rumusan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ternyata membuat rumusan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang menyatakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : a.kejahatan genosida;b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.Dengan demikian mengeklusifkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia seperti yang dirumuskan dalam UU No 39 tahun 1999, seperti diskriminasi yang dilakukan secara sistematis, penyiksaan di luar genosida atau kejahatan serius lainnya. Undang-undang No 26 tahun 2000 membuat klaim bahwa rumusan dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diambil dari rumusan standar internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 6 dan 7 yang berbunyi: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of the International Criminal Court. Namun demikian, bila melakukan perbandingan langsung dengan teks dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Pebedaan-perbedaan yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan maupun dalam perumusan, antara lain : a) Dalam Statuta Roma penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi yurisdiksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang memberikan pembatasan terhadap 255 munculnya penafsiran yang berbeda.Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2. Sedangkan dalam UU No 26 tahun 2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan yang dimasukkan dalam pasal undang-undang dan ada pula yang dimasukkan dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan kesimpangsiuran berbagai pengertian standar dari elemen-elemen kejahatan b) Penerjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti Attack directed against any civilian population (Statuta Roma, Pasal 7) diterjemahkan menjadi serangan yang ditujkan secara langsung terhadap penduduk sipil ( UU No 26 tahun 2000 Pasal 9). Seharusnya terjemahan yang benar adalah ditujukan kepada populasi sipil. Kata langsung dapat ditafsirkan bahwa serangan itu dilakukan oleh pelaku langsung di lapangan saja. Dengan demikian hanya mereka yang di lapangan yang dapat dikenakan pasal ini, dan tidak dapat meliputi pelaku di tingkat komando atau atasan. Sementara itu rumusan penduduk sipil membatasi target potensial korban hanya kejahatan hanya pada penduduk setempat.Padahal korban bisa saja bukan orang-orang yang bukan penduduk setempat, yang pada waktu peristiwa berada di tempat kejahatan terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi pengertian yang luas pada populasi sipil yang mencakup siapa saja (penduduk atau bukan penduduk yang menjadi korba kejahatan c) Penerjemahan persecution menjadi penganiayaan, yang merupakan tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke 256 bahasa Inggris berarti assault. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan intimidasi ,teror yang sifatnya non fisik menjadi luput dari cakupan penganiayaan. Padahal Persecution mencakup pengertian yang lebih luas merujuk kepada perlakuan yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun ekonomis. d) Tidak dimasukkannya ayat 1 (k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9 Undang-Undang No 26 tahun2000 menyangkut bentuk-bentuk tindakan yang tidak manusiawi, yang mempunyai tujuan untuk menimbukan penderitaan berat atau melukai secara serius atas badan atau mental atau kesehatan fisik. Pertanggungjawaban individu dirumuskan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4 : Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggungjawb secara individual. Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengan Undang-Undang No 26 tahun 2000, batasan atas pertanggungjawaban individual ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 33 memberikan pembebasan atas tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewjiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum 257 Berbagai kekacauan rumusan itu dapat dengan mudah dipakai untuk kepentingan kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya keadailan. Dalam kasus Timor-Timur, Kejahatan pembumuhangusan bangunan, rumah dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80% sebagaimana yang dilaporkan dalam penyelidikkan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh Penuntut Umum ( Jaksa Agung ) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup dalam rumusan pasal 9 Undang-Undang No 26 tahun 2000. Kejahatan yang luar biasa ini akan dengan sendirinya harus didakwakan bila persecution tidak diterjemahkan dengan penganiayaan atau bila ayat 1 k pasal 7 Statuta Roma dimasukkan dalam Pasal 9 UU No 26 tahun 2000. Dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 serangan yang meluas atau sistematik ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9. Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni : (1) Sasaran adalah penduduk sipil dan (2) Korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak. Meskipun disadari garis batas antara combatant dan penduduk sipil juga sangat tipis Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai ketentuan Undang- Undang No 26 tahun 2000 maka tanggung jawab komando juga membawa persoalan-persoalan tersendiri.Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab komando sebagai berikut : ”Komandan Militer atau seorang yang secara aktif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana 258 yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif.” Dalam rumusan ini digunakan kata dapat (could) bukannya akan (shall) atau harus (should), yang memberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diatur dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000, pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara otomatis berlaku. Pasal ini menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan kepada pelaku langsung di lapangan. Bila Jaksa Penuntut ingin menuntut menuntut penanggungjawab komando maka harus dibuktikan adanya ”keperluan”(urgensi) untuk itu. Selanjutnya,pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggungjawab komando untuk ” seharusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sumber dari pasal ini terdapat di Statuta Roma pasal 28 ayat 1 (a) yang secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya ”mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan. ”Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia telah diatur ketentuan mengenai prinsip yang merupakan prinsip baru dalam sejarah perkembangan hukum pidana yang bersifat universal yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan serius yang sangat membahayakan atau mengancam kehidupan masyarakat internasional. Tujuan utama prisip ini ialah agar setiap atasan baik sipil maupun militer wajib bertanggungjawab terhadap setiap kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.Tujuan ini dilandaskan kepada asumsi bahwa kejahatan serius di bawah yurisdiksi ICC adalah kejahatan yang melanggar hak asasi manusia dan terjadi sebagai akibat dari sistem pemerintahan otoriter dan militerisme sehingga pemberantasan dan pencegahan terhadap kejahatan spesifik ini dan pertanggungjawaban pidananya sangat sulit. Untuk mencapai tujuan tersebut prinsip prinsip non-impunity menegaskan bahwa tidak boleh ada imunitas terhadap terhadap setiap orang yang 259 dipandang wajib dan sangat bertanggungjawab atas kejahatan tersebut terlepas dari asal-usul atau status sosial atau status kepangkatannya.Prinsip ini menghedaki agar setiap pelaku kejahatan yang sangat serius dituntut dan diadili.Prinsip ini merupakan karakteristik baru dan spesifik dalam sistem pertanggungjawaban pidana yang telah berlaku secara universal.”277 Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini telah mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut...” Namun dalam rumusan ini dan penjelasan ini tidak ada batasan tentang apa yang ”layak” dan ”perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando. Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak , apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak, apakah perlu atau tidak. Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjaab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak. Padahal selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku langsung, penganjur atau penyerta, seorang atasan seharusnya bertanggungjawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas dan kealpaan. Standar hukum kebiasaan internasional untuk kelalaian dan kealpaan dalam arti yang luas 277 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Pt Hecca Mitra utama, Jakarta,2004,hlm 15 260 menyatakan bahwa seorang atasan bertanggungjawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetahui bahwa pelanggaran hukum telah terjadi atau sedang terjadi, atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. Pasal 7 ayat 3 Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar hukum kebiasaan internasional ini. Rujukan pada standar internasional yang dilakukan memperlihatkan berbagai distorsi rumusan Tanggungjawab Komando dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum punya banyak kesempatan dan lubang-lubang untuk tidak menuntut wiranto sebagai pemegang komando tertinggi dalam garis komando ABRI dalam kasus Timor-Timur, atau Jenderal Benny Moerdani dan Jenderal Try Sutrisno dalam Kasus Tanjung Priok, sekalipun keduanya direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya. Mengenai pengahapusan pidana bagi bawahan yang melakukan tindakan atas perintah jabatan. Yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana karena melakukan tindak pidana dalam melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang bewenang. Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. 261 Ketentuan penghapusan pidana bagi bawahan yang berisikan seorang bawahan yang melakukan tindak pidana genosida,dan tindak pidana kemanusiaan, sesuai dengan perintah atasan tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila peritah itu diyakininya dengan itikad baik telah diberikan dengan sah dan pelaksanaan perintah itu termasuk ruang lingkup wewenangnya sebagai bawahan. Selanjutnya ditegaskan bahwa perintah untuk melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan jelas-jelas melanggar hukum.278 Ketentuan di atas menegaskan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan pelakunya tidak dapat dipidana karena alasan perintah jabatan dan hapusnya pemidanaan karena anggapan adanya perintah yang termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. Ketentuan ini juga menggunakan alasan "itikad baik" di mana pengertian dari "itikad baik" tidak dijelaskan dan tidak ada penjelasan yang memadai. Sementara, dalam praktik Peradilan Internasional yang sudah terjadi, itikad baik yang dimaksud lebih pada itikad baik dalam arti obyektif di mana tidak terdapat unsur kesalahannya.279 Ketentuan ini mengadopsi ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma namun tidak secara utuh. Statuta Roma mengatur tentang penghapusan pidana bagi pelaksanaan perintah dari suatu pemerintahan atau atasan baik militer maupun sipil di mana orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dan tidak mengetahui bahwa perintah itu melanggar hukum. Ketentuan ini dibatasi dengan klausul bahwa perintah melakukan genosida dan 278 Sri Wiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP,Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Juni 2007,hlm.40. 262 kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melawan hukum (orders to commit genocide or crimes against humanity are manifestly unlawfull Meskipun terlihat sama dan relevan namun tidak diimbangi dengan ketentuan mengenai atasan atau pejabat resmi. Seharusnya ketentuan ini juga mengatur tentang tidak relevannnya jabatan resmi untuk menghilangkan tuntutan pidana dan pengurangan hukuman. Demikian juga dengan kekebalan dan peraturan prosedural khusus (immunity or special procedural rules) tidak menghalangi jurisdiksi pengadilan atas orang tersebut.280 Tanpa regulasi yang demikian, sebagaimana pengalaman pengadilan HAM ad hoc Kasus TimorTimur, Hakim dapat dengan mudah menentukan terdakwa yang dinyatakan bersalah tidak segera masuk penjara karena tenaganya masih dibutuhkan oleh kesatuannya. Ne bis in idem merupakan asas hukum pidana yang bisa berlaku dalam berbagai kasus pidana termasuk kasus pelanggaran HAM yang berat. Pengertian ne bis in idem dipahami sebagai tidak adanya pengadilan lainnya atas perkara yang sama baik berdasarkan perkaranya/peristiwa (tempos dan locus delictie-nya) dan kesamaan pelaku, yang telah diadili sebelumnya dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Penekanan prinsip ne bis in idem ini adalah peristiwanya sama, pelakunya sama dan telah diadili dan ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkrachl). Pengertian ne bis in idem antara lain dapat dilihat dan ketentuan dalam undang-undang UU No. 39/1999.281 Pengertian ini sejalan 280 281 Pasal 27 Statuta Roma Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999 263 dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 18 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.. Kejahatan genosida, dan kejahatan kemanusiaan diberbagai pengalaman yang terjadi di negara-negara di dunia, banyak pelakunya adalah aparat negara. Oleh karena itu sangat sulit untuk diadili dimuka pengadilan yang adil dan sungguh-sungguh. Dalam konteks Indonesia, kesulitan mengadilipun bisa dialami dan pernah dialami. Dengan berlakunya beberapa proses pengadilan seperti pengadilan umum dan pengadilan militer bersamaan dengan pengadilan HAM, maka bisa jadi untuk menghindari diadili melalui peradilan HAM, para pelaku kemudian diadili dengan pengadilan umum atau militer. Maka ketika peradilan khusus HAM digelar, asas ne bis in idem digunakan oleh para pelaku untuk menolak diadakan pengadilan terhadapnya.282 Sebagai kejahatan yang dikategorikan bersifat extra ordinary crimes seharusnya kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan , membuka peluang adanya pengecualian terhadap asas ne bis in idem dalam hal pengadilan unable atau unwilling. Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan memberikan kewajiban bagi semua bangsa untuk melakukan penuntutan terhadap para pelakunya. Kejahatan ini juga tidak mengenal batas waktu untuk penuntutannya. Sampai kapanpun para kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa melepaskan diri dan pertanggungjawaban dan mendapatkan tempat yang aman (no save haven). Kenyataan ini menjadikan adanya satu prinsip 282 Progress Report Pemantauan Pengadilan HAM, Preliminary Conclusive Report, Elsam,2005. 264 tentang batas waktu penuntutan atau masa "daluarsa" yang tidak dapat diberlakukan. Dalam hukum nasional, ketentuan tidak berlakunya daluarsa terhadap kejahatan-kejahatan ini telah diakui dan dinyatakan secara tegas dalam UU No. 26 tahun 2000. Pengecualian tersebut sesungguhnya pun telah diatur dalam ketentuan Statuta Roma yang menyatakan bahwa Pengadilan Internasional dapat mengadili ulang pelaku pelanggaran HAM berat jika dalam proses pengadilan yang sudah berjalan merupakan peradilan yang tidak mandiri dan memihak dan ditujukan untuk melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana.283 Jauh sebelumnya, hal ini juga telah diatur dalam UN Convention on the Non Applicability of Statutory Limitation to Ear Crimes and Crimes Against Humanity 1968. Dengan pemberian amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menjadi hapus. ' Dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana ditiadakan. Amnesti dan abolisi memberikan peluang tidak dilakukannya penghukuman terhadap tindak pidana genosida, dan tindak pidana terhadap kemanusiaan karena adanya amnesti dan abolisi. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum internasional yang mewajibkan setiap negara untuk melakukan penuntutan terhadap para pelaku kejahatan-kejahatan tersebut.284 283 Pasal 20 ayat 3 Statuta Roma Berdasarkan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Gross Violation of International Human Rights Law and Serious Violation of Internatioal Humanitarian Law;General Comment 31, Update Set of Principle to Combat Impunity dalam prinsip 1,9,22, dan 24 yang mengatur bahwa ketika terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung 284 265 Selain pemberian amnesti, juga dibuka peluang untuk penyelesaian di luar proses sebagai alasan untuk gugurnya penuntutan. Namun tidak ada penjelasan yang memadai tentang apa yang dimaksud dengan penyelesaian di luar proses sehingga ada kemungkinan bahwa kejahatan kemanusiaan dan genosida diselesaikan di luar proses. Seharusnya perlu adanya pengecualian, yaitu untuk tindak pidana genosida,dan kejahatan terhadap kemanusiaan,tidak berlaku pemberian amnesti dan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Tujuan Pemidanaan salah satunya adalah penciptaan atau pemenuhan rasa keadilan untuk korban, tujuan yang sangat relevan dalam konteks penuntutan dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan genosida, dan kejahatan atas kemanusiaan. Kejahatan genosida, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan yang sangat serius dan biasanya dilakukan oleh aparat negara baik sipil maupun militer memunculkan kebutuhan untuk adanya sistem perlindungan saksi. Sebagaimana dalam pengaturan dalam Statuta Roma, perlindungan terhadap saksi dan korban menjadi perhatian penting. 285 Demikian pula dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberikan klausul khusus tentang perlindungan saksi dan korban.286 Saat ini dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sedikit banyak telah memberikan landasan normatif tentang perlindungan saksi dan korban. UU ini memberikan sejumlah jawab untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak memberikan amnesty kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut di depan pengadilan. 285 Pasal 68 Statuta Roma 286 Pasal 34 UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 266 hak kepada korban dan saksi untuk perlindungan dan adanya lembaga khusus untuk perlindungan saksi dan korban. Para korban kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan juga mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, yang sebelumnya juga diatur dalam pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kompensasi atas kerugian bagi korban sesungguhnya merupakan kewajiban negara yang harus diberikan tanpa ketergantungan dengan pihak pelaku apakah pelaku mau memberikan ganti rugi atau tidak.287 Konteks reparasi harus diletakkan tidak semata-mata pada konsep ganti kerugian berupa uang tapi juga bentuk lainnya misalnya non reccurence dan pemuasan (satisfaction). 288 Dari rumusan Undang-Undang No 26 tahun 2000 setidaknya ditemui dua hal yang menjadi kelemahan dari Bab IX tentang Tindak Pidana Hak Asasi Manusia; pertama, pengaturan atau rumusan yang dimasukkan tidak memadai, baik karena tidak lengkap dan hanya mencomot bagian-bagian tertentu dari norma-norma internasional, maupun karena penterjemahan yang tidak baik sehingga istilah yang digunakan tidak tepat. Kedua, ada banyak istilah-istilah yang digunakan tidak dijelaskan secara baik atau tidak ada penjelasannya. Berdasarkan kesesuaian pengaturan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma pasal 7 yang menyatakan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai: "For the purpose of this Statute, "crimes against humanity" 287 Boven van Theo, , Mereka Yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi Dan Rehabilitasi, Elsam 2002. 288 Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Gross Violation of International Human Rights Law and Serious Violation of Internatioal Humanitarian Law Menyatakan bahwa para korban diberi lima hak reparasi yaitu Resstitusi,kompensasi,rehabilitasi,pemuasan, dan jaminan ketidak terulangan 267 means any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attact directed agaist any civilian population, with knowledge of the attack (a)...: " Dari rumusan dalam Statuta Roma tersebut, terdapat beberapa hal yang dihilangkan dalam penerjemahannya maupun kesalahan dalam menerjemahkan maksudnya. Pertama, yakni "... secara langsung ..." yang terlalu berlebihan dan tidak sesuai dengan terjemahan dari terjemahan Statuta Roma yakni "directed against". Unsur "serangan yang ditujukan secara langsung" seharusnya diganti dengan "serangan terhadap" karena lebih sesuai dengan Statuta Roma 1998.289 Dengan definisi ini maka arti dari kata "serangan" merupakan serangan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, penerjemahan yang keliru terhadap kata "directed against any civilian population, yang seharusnya diartikan "ditujukan kepada populasi sipil", diartikan sebagai "ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil", yang sepadan dengan pengertian dengan "directly against any civilian population". Kata "langsung" ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini, sedangkan pelaku di atasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Ketiga, Perumusan dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 menghilangkan satu kata yang cukup penting yaitu kata "setiap" sebelum kata "penduduk sipil". Seharusnya perumusannya adalah "setiap penduduk sipil" yang merupakan terjemahan dari sumber yang diadopsinya yaitu Statuta Roma yakni 289 Pasal 7 Statuta Roma, attack directed against any civilian population. 268 "any civilian population". Menambahkan kata "setiap" sebagai persamaan dan kata "any" akan memperluas konsekuensi atas cakupan apa yang dimaksud dengan "penduduk sipil". Istilah "setiap penduduk sipil" akan mampu meliputi mereka yang belum menjadi warga negara dan kelompok lainnya sehingga pengertian unsur "penduduk sipil" akan berlaku lebih luas. Keempat, UU No 26 tahun 2000 menggunakan istilah "penduduk" sebagai penerjemahan dari "population". Penggunaan kata "penduduk" dan bukannya "populasi" telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasanbatasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung. Kelima, pengertian "kebijakan penguasa" atau "kebijakan yang berhubungan dengan organisasi" merupakan adopsi dari kata "state or organisational policy to commit such attack" dari Statuta Roma 1998. Penerjemahan "state policy' yang diterjemahkan sebagai "kebijakan penguasa", seharusnya menjadi "kebijakan negara". Pengertian antara "kebijakan penguasa" dengan "kebijakan negara" sangat berbeda. Penerjemahan ini juga menghilangkan kata "to commit such attack". Keenam, terkait dengan istilah penganiayaan, istilah ini sebenarnya tidak sesuai dengan terjemahan dari Statuta Roma, yakni "persecution". Dalam Statuta Roma 1998 mengenai bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan persekusi (persecution) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 huruf (h). Pengertian `persecution" dalam Statuta Roma adalah perampasan secara 269 sengaja dan keras hak fundamental bertentangan dengan hukum internasional karena alasan identitas kelompok atau kolektivitas. Pengertian persecution dapat mencakup pengertian yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun subjek di luar fisik Akibatnya berbagai tindakan teror, intimidasi yang sifatnya non fisik tidak tercakup dalam pengertian penganiayaan.290 Kejahatan berupa penganiayaan dalam UU No 26 tahun 2000 tidak dijelaskan dan dapat diartikan, dalam arti leksikal, sebagai perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian penganiayaan berdasarkan jurisprudensi merupakan perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit, atau luka. Kesalahan pengertian mengenai kejahatan `persecution" harus dikembalikan sebagaimana maksudnya sesuai dengan ketentuan dalam Statuta Roma 1998 agar tidak mengalami kerancuan maksudnya. Bentuk kejahatan berupa "penganiayaan" ini perlu diganti dengan kejahatan "persekusi terhadap kelompok atau kolektivitas tertentu karena alasan politis, rasial, kebangsaaan, etnis, kultural, keagamaan, atau jender yang diakui secara universal sebagai dilarang menurut hukum internasional". Penjelasan dari pengertian "persekusi" tersebut adalah "perampasan hak asasi secara keras dan bertentangan dengan hukum internasional karena alasan identitas kelompok atau kolektivitas". Secara umum, dalam UU No 26 tahun 2000 memiliki beberapa kelemahan. Pertama, hampir sama dengan kejahatan genosida kelemahan utama 290 Asmara Nababan,Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: Belajar Dari Pengalaman, Jurnal HAM, Komnas HAM,Vol 2,tahun 2004,hlm.99. 270 dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ketiadaan penjelasan dari unsur-unsur tindak pidana (element of crimes). Akibatnya, konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No 26 tahun 2000 memiliki beberapa kelemahan yang sangat mendasar yaitu istilah sistematik atau meluas yang diadopsi dari kata widespread or sytematic tidak dijelaskan dalam undang-undang ini. 291 Padahal, kedua hal ini penting untuk menunjukkan sifat khusus pada sifat kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana lebih jauh berimplikasi pada keterlibatan kebijakan dan otoritas yang memegang kekuasaan dalam terjadinya pelanggaran. Kondisi yang sama juga berlaku terhadap elemen "diketahui" (intention). Ketidakjelasan definisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. Penjelasan yang cukup mendetail dan jelas menjadi penting mengingat pemahaman bahwa jenis delik kejahatan dalam undang-undang ini adalah kejahatan khusus yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan pengaturan dalam hukum publik yang ada misalnya kejahatan biasa sebagaimana diatur dalam KUHP Dalam hal ini kebutuhan terbesar adalah memberikan rumusan yang cukup jelas untuk menunjukkan sifat khusus delik, misalnya berkaitan dengan adanya unsur policy. Tanpa ada penjelasan dalam tiap unsurnya, maka akan mengakibatkan sulitnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan karena dakwaan jaksa penuntut umum akan disusun secara sumir. Padahal dalam implementasinya, majelis hakim akan banyak mendasarkan putusannya pada intepretasi atas rumusan pasal ini. 291 Statuta Roma tidak mempunyai penjelasan mengenai meluas dan sistematik . 271 Oleh sebab itu perlu agar ketentuan tentang tindak pidana kejahatan (dan juga tindak pidana lainnya) dilengkapi dengan rumusan unsur-unsur deliknya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penerapan dari ketentuan atas jenis tindak pidana yang bersangkutan.292 Ketidakjelasan dalam memberikan pengertian tentang aspek percobaan, permufakatan jahat dan pembantuan dalam tindak pidana terhadap kemanusiaan akan merancukan pertanggungjawaban pidana pelaku. Kejelasan ini misalnya bisa mengacu pada ketentuan dalam Pasal 25 ayat (3) Statuta Roma tentang dapat dipidana dan dikenai hukuman terhadap seseorang yang melakukan kejahatan. Ketentuan dalam Statuta Roma ini akan memperjelas posisi pelaku langsung maupun pelaku tidak langsung karena membedakan antara direct (pIysical) perpretation, indirect perpetration dan co perpetration. Dalam hal pelaku adalah seorang komandan militer atau atasan polisi atau atasan sipil perlu ditentukan secara tegas bahwa para pelaku tersebut dipidana dalam konteks melakukan tindak pembantuan, permufakatan jahat atau dalam posisinya sebagai komandan sehingga dikenakan ketentuan mengenai tanggung jawab komandan. Secara teoritis, penyertaan dan pembantuan atau sering dipadankan dengan pengertian joint criminal enterprises sangat berbeda maksudnya dengan dengan tanggung jawab komandan. Implikasi dari pembedaan ini adalah dalam pembuktiannya, seorang komandan bisa saja dinyatakan bersalah karena tidak melakukan tindakan yang layak pada anak buahnya yang melakukan tindak pidana kemanusiaan, namun jika komandan didakwa dengan pembantuan 292 Telah ada buku Pedoman unsur-unsur Pelanggaran HAM yang Berat dan Tanggung Jawab Komandan yang diterbitkan oleh Mahkamah agung 272 maka sejak awal komandan memang sudah mengatahui dan ikut serta dalam terjadinya tindak pidana kemanusiaan tersebut. B. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 1. Analisis Kasus Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia No 34 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2007 Atas Nama Eurico Guterres Putusan No 34 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2007 membatalkan putusan mahkamah Agung RI No 06 K/Pid HAM Ad Hoc/2005 Tgl 13 Maret 2006 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc 2004/PT DKI Tanggal 29 Juli 2004 Jo Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 04/Pid.HAM/Ad Hoc/2002/PN.Jkt Pst Tanggal 27 November 2002 yang menetapkan Permohonan Peninjauan Kembali Eurico Guterres tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didaulat oleh Jaksa penuntut umum. Majelis hakim memutuskan antara lain: 1. Menyatakan Pemohon Peninjauan Kembali Eurico Guterres tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum ; 2. Membebaskan Eurico Guterres oleh karena itu dari segala dakwaan ; 3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Resume kasus: 273 a. Terdakwa dihukum 10 tahun penjara atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi tetap bebas sebelum ada keputusan banding, meskipun banding belum diajukan. b. Sejumlah 31 dokumen telah diajukan ke pengadilan sebagai bukti, dibandingkan dengan satu dua dokumen di pengadilan lainnya. c. Tidak seperti kasus lain, pernyataan saksi sebelum pengadilan dinyatakan sebagai bukti d. Temuan-temuannya bertentangan langsung dengan perkara Priyanto e. Perkara ini memperlihatkan hal-hal yang gagal dilakukan hakim di pengadilan lain dan jenis bukti yang bias digunakan oleh mereka yang berkehendak menggunakannya. Dakwaan : Eurico Guterres wakil komandan PPI dan komandan milisi Aitarak dituduh melakukan pembunuhan dan penganiayaan sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena gagal mengendalikan pasukannya yang berada dalam kendali dan komando efektifnya, ketika mereka melancarkan serangan ke rumah Manuel Carrascalo tanggal 17 April 1999.Dakwaan menyatakan bahwa terdakwa, pada upacara resmi dan apel bersama milisi pro integrasi, Pam Swakarsa dan PPI, telah berpidato di depan pengikutnya dan bawahannya dengan menyatakan bahwa mereka harus membunuh pemimpin pro kemerdekaan dan khususnya Manuel Carascalo dan keluarganya. Tetapi tuduhan tanggung jawab komando itu hanya menyangkut kegagalannya mencegah penyerangan. Dakwaan itu tidak menuduhnya telah member perintah atau 274 memancing penyerangan. Dakwaan itu juga menuduh pasukan TNI berpartisipasi dalam penyerangan. Gutteres dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 10 tahun. Penuntutan: Jaksa menghadirkan 11 saksi. 8 dari padanya adalah TNI, pegawai pemerintah, dan anggota milisi. Dua adalah saksi korban.Disamping itu pengadilan memerintahkan 7 buah pernyataan pra pengadilan dibacakan sebagai bukti, meskipun tim pembela terdakwa keberatan. Enam dari pernyataan itu berasal dari korban. Saksi korban memberikan penjelasan terperinci tentang tentang penyerangan itu, dan partisipasi TNI dalam penyerangan itu. Pengadilan tidak seperti panel pengadilan lainnya, juga memberikan ringkasan terinci kesaksian yang terkandung di dalam pernyataan pra pengadilan. Dari isi pernyataan tersebut, terlihat betapa ketidakmampuan membawa saksi ke hadapan pengadilan merupakan kerugian pengadilan yang besar.Kesaksian mereka memberikan gambaran yang eksterm dan tegas tentang penyerangan, identitas banyak pelaku dan juga pidato Eurico Gutteres dan lain-lain. Pada sidang tanggal 8 Agutus 2002,dari 9 saksi yang dipanggil, hanya dua yang muncul.dari dua ini,hanya satu yang merupakan saksi korban: Manuel Carascalo, tidak ada ketika penyerangan itu terjadi, tetapi mendengan pidato Gutteres di radio. Kesaksian itu juga memberikan rincian penting tentang bagaimana pemerintah mendanai Pam Swakarsa dan hubungan tumpang tindihnya dengan PPI dan kelompok milisi lainnya. Tidak seperti kesaksian mengenai penyerangan yang diajukan jaksa di kasus lain yang sering kabur ( Misalnya pengadilan Priyanto dan Suratman), bukti yang diajukan ini memberikan penjelasan rinci tentang tentang jumlah dan tipe kendaraan penyerang, seragam 275 dan penampilan mereka, kronologi penyerangan, dll. Di samping itu 31 dokumen resmi diajukan sebagai bukti, sementara ini, banyak kasus lain, jaksa hanya mengajukan satu atau dua dokumen. Orang bisa jadi heran mengapa kualitas kesaksian dan bukti jauh lebih lengkap, dalam perkara dimana terdakwanya orang Timor-Timur, berbeda dengan perkara yang melibatkan anggota militer dari satu peristiwa yang sama. Lebih jauh, keputusan hakim mengarahkan bahwa bukti tersedia untuk digunakan pada kasus lainnya, meskipun ternyata itu tidak digunakan. Keputusan hakim: berdasarkan tinjauannya atas bukti-bukti, hakim yang mengadili perkara membuat uraian panjang tentang temuan-temuan fakta. Barangkali yang paling penting dicatat adalah bahwa mereka di sini melawan langsung banyak temuan kunci di perkara Priyanto. Mereka memperlihatkan dengan jelas apa yang gagal dilakukan oleh hakim pada pengadilan lainnya dan menunjukan bukti seperti apa yang tersedia. Khususnya mereka menunjukan betapa mudahnya menetapkan fakta mengenai hubungan TNI dengan milisi, dan mengenai tindakan khusus kekerasan yang dilakukan. Keputusan hakim ini juga memperlihatkan bahwa kalau saja jaksa dan hakim punya sedikit inisiatif, kesimpulan tidak perlu terlalu lama dibuat atas hal-hal seperti apakah benar ada "milisi" pro integrasi di Timor Timur, apakah mereka memiliki senjata, atau apakah yang dikatakan Gutterres dalam pidatonya pada apel upacara, apabila jaksa dan hakim hanya punya sedikit inisiatif. Juga termasuk di sini pilihan mereka atas hal-hal yang esensial. Ini memperlihatkan perbedaannya dengan 276 sebagian besar perkara yang membuat temuan minimal, sering tidak terinci atas fakta-fakta esensial: A. Pada tanggal 17 April 1999, sekitar 6000 orang menghadiri apel di lapangan depan kantor Gubernur. Partisipan datang dari berbagai kabupaten di Timor Timur, dan pejabat yang hadir dalam upacara itu, diantaranya adalah Muspida Timor Timur, Gubernur Timor Timur Abilio Osorio Soares, Bupati Dili, Walikota Dili. B. Bupati Dili, Dominggus M.D. Soares, mengusulkan pada gubernur Timor Timur untuk mengadakan upacara peringatan Pam Swakarsa di ibukota propinsi Timor Timur. Atas panduan Gubernur, sebuah komite peringatan Pam Swakarsa dibentuk C. Kelompok-kelompok milisi terkait dengan militer, yang tujuannya adalah mempertahankan integrasi. Militer mendukung (misalnya, senjata) kelompokkelompok yang memiliki hubungan khusus dengannya. Organisasi militer yang mendukung milisi adalah Kopasus D. Kodim atau polisi melatih pasukan Aitarak atau anggota PPI yang menjadi anggota Pam Swakarsa, Hansip, atau Kamra, karena banyak yang tidak punya pekerjaan. Pemerintah lokal membayar anggota Pam Swakarsa sebesar Rp. 150.000 dan 10 kg beras/ bulan. E. Terdakwa memimpin pasukan Aitarak di Dili. Di antara partisipan apel tersebut ada orang yang membawa senjata M 16 - mereka ini adalah anggota TNI yang bergabung dalam kerumunan. F. Selama pidato, tedakwa dan pimpinan PPI, serta kerumunan pengunjung itu 277 berteriak, "Bantai mereka! Bunuh mereka!" dan menembakan senjata ke udara untuk menyambut pidato itu. G. Peristiwa ini diliput dan disiarkan oleh RRI, TV dan media massa. H. Selama apel upacara, personil polisi dan TNI berada di pinggir untuk menjaga keamanan, tetapi mereka tidak memberi tanggapan atas partisipan yang membawa senjata atau yang menembakan senjatanya. I. Keterkaitan erat antara terdakwa dan polisi dan TNI berasal dari fakta bahwa instansi-instansi itu sering meminta informasi pada terdakwa dan membantu untuk mengatasi konflik dan sengketa. J. Berkaitan dengan peristiwa pembantaian dan perusakan harta benda setelah pengumuman jajak pendapat di semua komunitas di Dili, polisi dan tentara semua terlibat dalam tindakan perusakan dan pembantaian. K. Ada sebuah telegram dari Pangdam Udayana (Adam Damiri) mengenai peristiwa di Ainaro, dimana milisi Aitarak, setelah melakukan misi pembersihan mengunjungi markas batalion TNI untuk beristirahat dan kembali ke markas Aitarak di hotel Tropikal Dili. Setelah membuat temuan faktual ini, pengadilan mendiskusikan masalah hukum secara panjang lebar (dan ini satu-satunya panel yang melakukan hal ini) untuk menilai kesaksian para saksi. Ada analisa detil tentang mengapa pengadilan menetapkan kesaksian dari saksi tertentu, terutama mereka yang pernyataannya dibaca di pengadilan, sebagai kesaksian yang dipercaya. Analisis yang panjang lebar, terinci dan cermat untuk menjelaskan alasan mengapa sejumlah kesaksian 278 tertentu lebih dipercaya di bandingkan yang lain, nyaris tidak ada di perkaraperkara yang membebaskan terdakwa. Berlandaskan pada temuan-temuan faktual, dan ditetapkannya kredibilitas kesaksian serta pernyataan tersumpah sebelum pengadilan oleh para saksi korban, maka pengadilan tidak kesulitan untuk mengkaitkan terdakwa dengan perbuatan kejahatan yang didakwakan padanya dengan menggunakan doktrin pertanggungjawaban komando atau atasan sipil Pengadilan mendasarkan temuannya pada suatu analisis yang sangat hati-hati dan bernuansa mengenai sifat organisasi dimana terdakwa menjadi bagiannya, peran dan otoritasnya secara de jure maupun de facto. Temuan itu juga didasarkan pada analisis cermat dan mendalam atas bukti yang mendukung temuan bahwa terdakwa memiliki kendali efektif atas anggota milisi yang melancarkan serangan. Analisis ini dibangun dari suatu pengetahuan yang solid atas ketetapan-ketetapan-kasus hukum di pengadilan ICTY dan ICTR dan juga pengadilan-pengadilan utama pasca Perang Dunia II dan khazanah kepustakaan tentang hukum humaniter internasional. Orang mungkin bertanya faktor apa yang membedakan kasus ini dengan kasus lain yang . Patut dicatat, bahwa hakim di panel ini adalah juga anggota panel dari peradilan perkara lain yang memutus bersalah dua orang terdakwa. Hakim-hakim ini memiliki reputasi sebagai hakim paling progresif dan menguasai masalah hukum humaniter internasional. Dua sifat ini tecermin pada keinginan kuat mereka untuk berurusan secara efektif dengan masalah pembuktian yang tidak dilakukan oleh majelis hakim yang lain (atau menjadi cara untuk minta dimaklumi). Ini juga tercermin pada kualitas yurisprudensial dan keputusan hakim 279 dibandingkan dengan perkara-perkara lain. Di samping itu, jaksa yang bertugas menangani perkara ini telah mengejar tuntutannya dengan energi cukup, yang tercermin dari jumlah bukti dokumen yang diajukan. Tentu orang bisa bertanya mengapa jaksa semacam ini diberi tugas menangani perkara ini sedangkan jaksa yang lemah menuntut di kasus lain, misalnya perkara Adam Damiri. Dari segala kemungkinan, jawabannya terletak pada masalah sistemik yang akan dibahas di bawah ini.293 Didapatkan sejumlah pemahaman penting mengenai proses pengadilan dan investigasi jaksa. Jaksa hanya menerima berkas perkara (BAP) dari para penyidik. Tidak satupun jaksa yang menyidik perkara ini terlibat dengan proses pengadilan. Peraturan kejaksaan menetapkan bahwa mereka tidak dapat memasukkan bukti lain yang tidak ada di berkas perkara. Berkas perkara menentukan proses penuntutan. Tetapi menambahkan bahwa bukti-bukti tambahan bisa muncul kalau hakim menanyakannya. Misalnya memasukkan sebagai barang bukti, surat-surat yang tidak pernah masuk dalam berkas perkara Guterres, tetapi diperoleh dari perkara Adam Damiri. Inisiatif-inisiatif semacam ini begitu pentingnya, sebagai jalan untuk bergerak melampaui batasan-batasan peraturan yang dangkal. Tetapi kebanyakan jaksa tidak mau melakukan tindakan semacam ini. Di samping itu dienarkan bahwa keputusan mengenai saksi mana yang akan dipanggil bukan di bawah kendali jaksa penuntut perkara.294 293 Cohen david, Dimaksudkan Supaya gagal Proses Persidangan Pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli 2004, Hal 28 294 Idem,Hal 28 280 Jaksa yang membawa kasus ke pengadilan membuat dakwaan berdasarkan BAP. Rancangan dakwaan diserahkan pada jaksa senior untuk dibahas dan disetujui. Prinsip dasar mempersiapkan dakwaan adalah bahwa itu harus berdasarkan BAP. Jaksa ini tidak menuduh Gutterres telah menghasut, mengorganisir maupun berpartisipasi langsung dalam penyerangan karena BAP tidak memberi informasi atau bukti mengenai hal ini. Tetapi pernyataan ini agak tidak jujur karena pada pernyataan-pernyataan sebelum pengadilan yang termuat dalam BAP menegaskan bahwa Gutterres memancing kerumunan itu untuk membunuh Manuel Carrascalao dan keluarganya. Karenanya bisa dicurigai bahwa mungkin soal keterlibatan ini ditetapkan dengan berkonsultasi dengan jaksa senior yang akan menyetujui dakwaan. 2. Analisis Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Tinggi Jakarta dalam Putusan Nomor : 01/Pid.HAM/Ad Hoc/2004/PT.DKI atas Nama Adam Damiri Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Tinggi Jakarta dalam Putusan Nomor: 01/Pid.HAM/Ad Hoc/2004/PT.DKI menerima permohonan banding dari penuntut umum dan terdakwa Mayor Jenderal TNI Adam R Damiri, dengan menguatkan Putusan Sela Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 31 Juli 2002 Nomor : 09/Pid.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST, yang dimohonkan banding tersebut. Membatalkan Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 281 5 Agustus 2003 Nomor: 09/Pid.HAM/Ad.Hoc/2002/PH.JKT.PST, yang dimohonkan banding tersebut dan menyatakan : 1. Terdakwa Mayor Jenderal TNI Adam Damiri tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang didakwakan kepadanya 2. Membebaskan terdakwa tersebut dari dakwaan 3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat, martabatnya. Resume Kasus: A. Dihukum tiga tahun penjara dengan alasan Adam Damiri gagal mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan tertentu, meskipun jaksa meminta meminta banding. Dalam Proses banding Adam Damiri dibebaskan B. Proses penuntutan, dalam requisitornya (tuntutan akhir dakwaan dan fakta), menyatakan bahwa dakwaan itu tidak terbukti, dan menjadi kondisi bagi tuntutan bebas. C. Pernyataan mereka yang menerangkan mengapa mereka tidak bisa membuktikan dakwaan itu seluruhnya tidak konsisten dengan temuan pada perkara Muis, lihat ringkasan di atas. D. Jaksa secara umum terlihat tidak kompeten (gagal mengajukan bukti dan menggali pertanyaan secara tepat pada para saksi) E. Atmosfir intimidasi yang kental F. Perkara ini paling jelas memperlihatkan lemahnya kehendak politik yang memungkinkan proses yang efektif dan imparsial 282 Dakwaan: Damiri didakwa atas tindakan pembunuhan dan penganiayaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena Damiri "tahu atau seharusnya tahu bahwa pasukan yang ada di bawah komando dan kendali efektifnya" telah melakukan atau sedang melakukan kejahatan ini, sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas atau sistematik. Peristiwa khusus yang membuat Damiri didakwa adalah peristiwa tanggal 6 April 1999, serangan atas kediaman Pastor Rafael dos Santos di Liquica, serangan tanggal 17 April di rumah Manuel Carrascalao Dili, serangan 5-6 September atas Diosis Dili dan rumah Uskup Belo dan serangan atas kompleks gereja Suai pada tanggal 6 September. Dakwaan itu menuduh bahwa anggota TNI secara langsung berpartisipasi di semua serangan tersebut dan menunjuk nama-nama individu tertentu, termasuk sejumlah perwira. Penuntutan: Tuntutan jaksa ini muncul pada suatu tahap pengadilan dimana jaksa menganjurkan pengadilan menerima tuduhan-tuduhan yang menurutnya sudah terbukti dan meminta hakim membuat keputusan (requisitor). Pihak penuntut menyatakan bahwa fakta-fakta hukum berikut ini telah ditemukan selama pengadilan: A. Kekerasan di kediaman Pastor Rafael dos Santos pada tanggal 6 April 1999 adalah sebuah Proses Persidangan pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta "bentrokan spontan antara kekuatan pro-integrasi dan prokemerdekaan." B. Tidak ada bukti keterlibatan TNI atau pasukan lain yang berada di bawah komando dan kontrol efektif terdakwa. Enam orang saksi lainnya (semuanya TNI, termasuk dua terdakwa di pengadilan lain) bertentangan dengan 283 kesaksian Pastor Rafael. C. Terdakwa mengambil tindakan yang sepatutnya untuk mencegah kekerasan dan melakukan penyelidikan. Kesimpulan yang sama juga benar terhadap peristiwa penyerangan di rumah Manuel Carrascalao (yaitu "suatu bentrokan antara massa pro-kemerdekaan dan pro-integrasi.) Penjelasan atas tiga peristiwa ini secara langsung bertentangan dengan temuan dalam perkara Muis. Dalam perkara Muis, kekerasan tidak dilihat sebagai sebuah "bentrokan" tetapi suatu serangan dengan keterlibatan TNI. Lebih jauh, kesaksian terdakwa terlihat lebih terpercaya dibandingkan kesaksian saksi korban Uskup Belo. Meski dalam perkara Muis hakim menemukan bahwa fakta-fakta itu benar terbukti, melampaui keraguan apapun, tapi jaksa merasa bahwa bukti yang mereka ajukan tidak memperkuat tuduhan dan karenanya mereka tidak dapat mengajukan kasus untuk dinilai. Dalam suatu kesimpulan yang terasa seperti pembelaan, jaksa membuat pernyataan berdasarkan kesaksian terdakwa, bahwa telah terbukti TNI mengambil "tindakan segera, responsif dan profesional" untuk menghentikan dan mencegah kerusuhan. Pada tanggal 23 Januari 2003, Pastor Rafael dos Santos di Dili pada akhirnya memberikan keksaksian melalui tele-konperensi mengenai pembantaian Liquica di gerejanya. Keterangannya dengan lugas bertentangan dengan keterangan saksi TNI dan Polisi sebelumnya. Rafael dos Santos memberi kesaksian melihat personil TNI secara aktif berpartisipasi dalam serangan. Saksi TNI dan polisi yang memberikan kesaksian bahwa mereka telah mencoba mencegah kekerasan, tetapi Pastor Rafael menyatakan melihat TNI menyerang 284 dan mengidentifikasi beberapa nama mereka. Rafael dos Santos juga memberi kesaksian bahwa polisi melempar gas air mata ke dalam gereja. Pihak jaksa penuntut, ketika meminta tuntutan bebas, tidak mencari pembenaran mengapa Rafael dos Santos memilih untuk mengabaikan semua bukti-bukti itu dan memberikan kredit pada kesaksian terdakwa dan personil TNI yang dengan jelas untuk membenarkan diri sendiri. Di dalam "analisis yudisial" nya, pihak penuntut menekankan beberapa pokok yang jelas salah dan tidak akurat: A. Kesaksian saksi ahli bahwa seorang komandan secara moral bertanggungjawab atas perbuatan anak buahnya, tetapi pertanggungjawaban legal terletak pada pelaku itu sendiri B. Pendapat saksi ahli bahwa "terdakwa tidak seharusnya bertanggung jawab secara kriminal berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando karena bentrokan antara masa sipil non militer tidak memiliki hubungan struktural, organisasional dan komando serta kendali efektif dengan terdakwa maupun dengan para komandan yang menjadi anak buah terdakwa." C. Bahwa untuk menetapkan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, patut dibuktikan bahwa serangan itu adalah hasil dari suatu kebijakan negara yang dilaksanakan melalui TNI, hal ini, menurut mereka, tidak terbukti, sehingga elemen tuduhan lain yang ada dalam dakwaan tidak perlu didiskusikan lagi. Dari titik pandang hukum humaniter internasional, pandangan adanya tanggungjawab moral versus legal tidak dibenarkan sejak keputusan hakim dalam pengadilan Nuremberg. Meninjau pokok kedua, kata kuncinya adalah "massa 285 sipil." Konsep ini konsisten dengan penolakan jaksa untuk mengakui kehadiran nyata milisi, yang bahkan belum lagi mempertimbangkan dukungan dari TNI dan badan-badan negara lainnya (sebagaimaan dinyatakan dalam keputusan hakim atas perkara Nur Muis). Akhirnya, mengenai elemen kebijakan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, pihak penuntut membuat argumen seperti membuat pembelaan. Memang ada perbedaan pendapat mengenai masalah kebijakan resmi dalam ketetapan-ketetapan hukum di ICTY dan ICTR. Biasanya orang mengira pihak penuntut akan bertahan pada pendapat bahwa tidak dibutuhkan suatu kebijakan yang resmi tertuang untuk membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pandangan ini akan melawan pandangan tim pembela yang biasanya menuntut adanya kebijakan resmi. Tapi seperti sering terlihat di pengadilan ini, dalam tuntutannya (requisitor) jaksa justru terlihat seperti "pembela tersembunyi".295 Sudah cukup jelas bahwa strategi penuntutan diarahkan untuk mencegah hakim memberi keputusan penghukuman bagi Adam Damiri. Tuntutan itu juga mencuci bersih keterlibatan TNI dan pemerintah Indonesia dari tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur. Pokok-pokok yang didaftar di atas, yang ditekankan oleh pihak penuntut, secara bersamaan merupakan pokok perseteruan penting antara pemerintah Indonesia yang menyangkal bertanggungjawab dan KPP HAM dan laporan-laporan internasional. Dengan kata lain, pihak penuntut dengan menggunakan perkara perwira tinggi militer, mendakwa komandan militer, bertujuan untuk membela peran TNI dan 295 Idem, Hal 18 286 pemerintah Indonesia berhadapan dengan pandangan para ahli internasional dan untuk menghadapi penyelidikan resminya sendiri. Lemahnya kredibilitas argumen pihak jaksa penuntut dalam tuntutannya lahir dari keseluruhan penampilannya yang lemah di pengadilan. Pihak penuntut tidak mengajukan bukti-bukti perkara yang sudah tercantum dalam BAP, malah lebih sering bergantung pada saksi-saksi yang jelas-jelas membela terdakwa. Mereka tidak siap untuk menuntut kasus ini. pengadilan Adam Damiri tanggal 8 Desember 2002, jaksa mengajukan senjata api sebagai bukti. Berkas perkara menyatakan bahwa lebih dari 26 pucuk senjata telah diamankan, tetapi jaksa hanya mengajukan 5 pucuk senjata tua yang ditumpuk bersama-sama di dalam satu kotak. Damiri tidak memberikan landasan argumen mengapa senjata-senjata itu diajukannya sebagai bukti, dan tidak menyatakan apakah senjata itu milik kelompok pro integrasi atau pro kemerdekaan. Senjata itu tidak diberi label atau diidentifikasi dengan layak. BAP menyatakan bahwa senjata-senjata yang ada pada jaksa untuk diajukan sebagai bukti termasuk didalamnya adalah M 16, yang akan memberikan fakta kuat bahwa TNI merupakan sumber yang mungkin bagi persenjataan milisi. Soedjarwo (terdakwa di perkara lain) kemudian disiapkan sebagai saksi. Menjelang sidang mulai. Jaksa kemudian bertanya pada Soedjarwo beberapa pertanyaan, tetapi tak satupun pertanyaan itu berkaitan dengan tujuan membuktikan penuntutan. Jaksa bertanya soal senjata dan saksi menjawab bahwa lima pucuk itu bukan punya TNI tetapi senjata tua Portugis. Jawaban ini membenarkan argumen terdakwa bahwa kekuatan pro integrasi tidak menerima 287 senjata dari TNI. Jaksa tidak bertindak lebih jauh untuk mencari tahu sumbersumber persenjataan dan siapa yang menggunakannya. Implikasinya, sudah tentu bahwa senjata itu merupakan senjata milisi dan tentunya tidak datang dari TNI. Ketika hakim dan tim pembela mengambil kesempatan bertanya, jaksa terlihat tidak sekalipun membuat catatan-catatan. Jaksa itu terlihat tidak punya perhatian, terlihat bosan dan kadang-kadang terlihat terkantuk-kantuk. Menurut pendapat pengamat internasional yang hadir saat itu, tampilannya dalam mengajukan pertanyaan benar-benar tidak kompeten. Hakim, sebaliknya mengejar pertanyaan dengan ketat. Mereka, sudah tentu, menghadapi masalah struktural dari semua pengadilan ini - tidak hanya melimpahnya para saksi TNI, tetapi juga karena terdakwa saling memberikan kesaksian di antara pengadilan yang berbeda. menyelesaikan masalah ini. Keputusan hakim Para hakim itu membuat keputusan bersalah terhadap Adam Damiri. Dalam hal ini penting menganalisa landasan yang mereka pakai, di tengah situasi jaksa yang justru meminta bebas karena tidak mampu membuktikan semua tindak kejahatan yang didakwakan. 3. Analisis Kasus Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia No 45 PK/Pid.HAM.Ad Hoc/2004 Atas Nama Abilio Soares Majelis hakim mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan kembali ABILIO JOSE OSORIO SOARES tersebut; Membatalkan putusan kasasi Mahkamah Agung tanggal 1 April 2004 Nomor : 04 K/PID.HAM.AD HOC/2003 jo. Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc Jakarta 288 tanggal 13 Maret 2003 Nomor : 01/PID.HAM/AD HOC/2002/ PT.DKI, jo. Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan HAM Jakarta Pusat tanggal 14 Agustus 2002 Nomor : 01/PID.HAM/AD. HOC/ 2002/PK.JKT.PST. Dalam putusan peninjauan kembali dari mahkamah Agung tersebut keputusan yang diambil adalah: 1. Menyatakan Terpidana ABILIO JOSE OSORIO SOARES tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Kesatu dan 2. Kedua ; Membebaskan Terpidana oleh karena itu dari segala dakwaan ; 3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya ; 4. Memerintahkan agar Terpidana segera dilepaskan dari Lembaga Pemasyarakatan ; 5. Menetapkan barang bukti sebagaimana tersebut dalam daftar barang bukti diserahkan kepada Penuntut Umum untuk dijadikan bukti dalam perkara lain; 6. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan kepada Negara. Adapun Abilio Suarez berdasarkan Pengadilan HAM Jakarta Pusat tanggal 14 Agustus 2002 No. 01/PID.HAM/AD HOC/2002/PH.JKT.PST, yang amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa ABILIO JOSE OSORIO SOARES terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan 289 Kesatu dan dakwaan Kedua : PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT BERUPA KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN ; 2. Menghukum Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun ; 3. Menetapkan barang bukti sebagaimana tersebut dalam daftar barang bukti diserahkan kepada Penuntut Umum Ad Hoc untuk dijadikan bukti dalam perkara lain ; 4. Menghukum Terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 5.000,(lima ribu rupiah). Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc Jakarta tanggal 13 Maret 2003 No. 01/PID.HAM/AD HOC/20021PT.DKI amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut 1. Menerima permintaan banding dari Penasihat Hukum Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum tersebut ; 2. Menguatkan putusan Pengadilan Hak Azasi Manusia Jakarta Pusat tanggal 14 Agustus 2002 No. 01/PID.HAM/AD.HOC/2002/ PH.JKT.PST, yang dimohonkan banding tersebut ; 3. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 1.0019,(seribu rupiah) ; Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 April 2004 No. 04 K/PID.HAM.AD.HOC/2003 amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut - Menolak permohonan kasasi dari Terdakwa : ABILIO JOSE OSORIO 290 SOARES dan Pemohon kasasi : JAKSA PENUNTUT UMUM tersebut ; - Menghukum Pemohon kasasi/Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp, 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ; Membaca surat permohonan peninjauan kembali bertanggal 7 Juni yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri HAM Ad Hoc Jakarta at pada tanggal 7 Juni 2004 dari Kuasa Terdakwa yang diajukan untuk dan atas nama Terdakwa sebagai Pemohon peninjauan kembali tersebut, berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 6 Mei 2004 sebagai Terpidana, yang memohon agar putusan Mahkamah Agung tersebut dapat ditinjau kembali ; Resume Kasus: Dihukum 3 tahun pidana penjara dan dikuatkan dalam proses hukum selanjutnya pada tingkat Banding dan Kasasi, tetapi mengajuan Peninjauan Kembali oleh mahkamah Agung dikabulkan Dakwaan: Terdakwa ABILIO JOSE OSORIO SOARES bersalah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai diatur dalam dakwaan: Kesatu : Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ; Kedua : Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ; Tuntutan: tuntutan Penuntut Umum pada tanggal 11 Juli 2002 yang adalah sebagai berikut: 291 1. Menyatakan Terdakwa ABILIO JOSE OSORIO SOARES bersalah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai diatur dalam dakwaan: Kesatu : Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ; Kedua : Melanggar Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ; Bahwa terdakwa telah didakwa didakwa: 1) Kesatu : Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b, jis Pasal 7 huruf b, pasal-9 huruf a dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ; 2) Kedua : Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b, jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ; Salah satu unsur dari dakwaan Kesatu adalah : bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM yang berat, yang dilakukan oleh bawahannya, dan yang dimaksudkan sebagai bawahannya Terpidana dalam perkara ini adalah: 1. Drs. Herman Sedyono, Bupati Kovalirna 2. Leonito Martins, Bupati Liquisa ; 3. Eurico Gutteres, Wakil Panglima Pasukan PPI Dalam sistem hukum nasional kita pelanggaran berat HAM diakomodir dalam UU No 26 tahun 2000 mengenai pelanggaran berat yang HAM terdiri atas Genocida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. 292 Kondisi yang demikian menunjukan bahwa ada pembatasan pelanggaran berat HAM yang diatur dalam hukum nasional yang tidak seperti yang diatur dalam hukum internasional. Sehingga tidak mampu menjangkau war crime dan agresi. Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan. Pengadilan ini juga memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban yakni pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Sejak saat itu, upaya penyelidikan atas peristiwa yang diduga terjadi pelanggaran HAM yang berat dilakukan. Hasil dari putusan-putusan pengadilan tersebut ternyata membebaskan hampir semua terdakwa. Dengan hasil ini, banyak kalangan menyatakan bahwa pengadilan ini telah gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada dibawah standar pengadilan internasional.296 Pandangan yang lain menyatakan bahwa pengadilan ini memang sejak awal sengaja diupayakan untuk mengalami kegagalan.297 Beberapa kasus dalam Pengadilan HAM memang secara prosedural belum selesai karena masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat banding maupun kasasi, Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary Conclusive Report”, 4 Juli 2002. 297 David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, ICTJ, July, 2004. 296 293 sehingga penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan lengkap. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hakhak korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan berakibat pada tidak tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa pengadilan ini ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan pengkajian yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan proses peradilan HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidak cukupan regulasi disebut-sebut menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya yang juga diduga sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ini. Pengadilan yang telah berjalan mempunyai kelemahan, hambatan dan hasil berbeda satu sama lain. 294 Kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur berdasarkan mandat dari Keppres No. 96 tahun 2001 adalah kasus-kasus yang terjadi pra dan paska jajak pendapat dengan tempus delictie bulan April – September 1999 dan locus delictie nya meliputi Dili, Liquica dan Suai Kovalima.298 Ada perbedaan mengenai locus delictie kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan hasil kesimpulan penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan peristiwa yang terjadi bukan hanya di 3 (tiga) wilayah tersebut tetapi hampir diseluruh kabupaten di Timort-Timur. Perbedaan dari Hasil KPP dengan proses pengadilan adalah juga berkaitan dengan jumlah pihak yang diduga dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kejahatan yang terjadi, yang meliputi pelaku lapangan dan para pemegang kebijakan dan kekuasaan pada saat itu. Sementara jumlah terdakwa yang diajukan ke pengadilan hanya 18 terdakwa baik dari kalangan militer, polisi maupun sipil. Pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan secara serentak dengan diadilinya semua terdakwa tetapi secara bertahap. Pada tahap pertama pengadilan memeriksa 3 (tiga) berkas perkara, dan selanjutnya 9 berkas lainnya secara bersamaan. Tidak diketahui secara pasti mengenai strategi penuntutan yang demikian, karena secara pola tidak menunjukkan adanya pola yang sama misalnya penuntutan dilakukan dari terdakwa yang mempunyai posisi terendah terlebih dahulu atau terdakwa dari posisi tertinggi terlebih dahulu.299 298 Sebelumnya dengan Keputusan Presiden No. 53 tahun 2001. 299 Komposisi para terdakwa dalam 3 kasus pertama tidak mencerminkan adanya pola yang pasti karena 3 berkas pertama ini yang diajukan adalah Abilio Soares yang merupakan terdakwa dari sipil dengan jabatan tertinggi, sementara ada terdakwa lainnya yang merupakan bawahan terdakwa yaitu Leonito Martens (Bupati Liquica), Herman Sedyono (bupati Kovalima) dan Eurico Guterres (Wakil Panglima PPI). Berkas kedua adalah Timbul Silaen (Kapolda Timor-timur saat itu) yang juga mempunyai bawahan 295 Hasil pengadilan sampai dengan saat ini menujukkan satu tingkat penurunan keputusan yang cukup drastis jika dibandingkan hasil keputusan di tingkat pertama, banding dan kasasi di Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama 6 (enam) terdakwa dinyatakan bersalah, tingkat banding 2 (terdakwa) yang dinyatakan bersalah dan tingkat kasasi 2 (dua) terdakwa bersalah. Proses lain yang dilalui terdakwa adalah peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh terdakwa Abilio J. O. Soares yang akhirnya membebaskan dirinya dan kemudian diikuti dengan bebasnya Eurico Guterres setelah Peninjauan Kembalinya dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Dalam kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur ini semua keputusan menunjukkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, namun pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban inilah yang terjadi perbedaan antar keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim. Secara umum keputusan-keputusan menunjukkan bahwa pelaku kejahatan kemanusiaan adalah milisi atau kelompok sipil, sementara pertanggunjawaban terhadap para pelaku yang diajukan ke pengadilan lebih banyak dikaitkan dengan posisi dan jabatannya saat itu yang seharusnya mempunyai otoritas untuk melakukan upaya menghentikan kejahatan yang terjadi, dan bukan sebagai pihak yang ikut dalam tindakan kejahatan itu sendiri. Akibatnya, antar satu keputusan dengan keputusan yang lain seringkali yang diajukan sebagai terdakwa yaitu Hulman Gultom (Kapolres Dili), Adios Salova (Kapolres Liquica) dan Gatot Subyaktoro (Kapolres Suai Kovalima). Berkas ketiga dengan 5 (lima) terdakwa Herman Sedyono, Liliek Koshadiyanto (Dandim Suai Kovalima), Gatot Subyaktoro, Ahmad Syamsuddin (Ka Staf Kodim Suai) dan Sugito (Danramil Suai), para terdakwa dari milter berdasarkan pada jengjang komando saat itu mempunyai atasan yang juga sebagai terdakwa yaitu Noer Muis (Danrem Dili) dan Adam Damiri (Pangdam Udayana). Dari pola ini tidak jelas apakah strategi penuntutan dari pejabat dengan tingkat paling bawah atau paling atas terlebih dahulu. 296 tidak mempunyai kesamaan tingkat kesalahan, dan sangat tergantung dengan panafsiran dari masing-masing majelis hakim, padahal kasus yang terjadi sangat berkaitan satu sama lainnya.300 Putusan pengadilan juga tidak ada satupun yang memberikan keputusan mengenai kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban. Padahal putusan pengadilan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan adanya korban dalam kejahatan tersebut. Diduga, tidak adanya keputusan kompensasi kepada korban lebih disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi yang diajukan ke pengadilan baik oleh penuntut umum maupun korban. Setelah proses pengadilan HAM ad Hoc berakhir yang membebaskan semua terdakwa di pengadilan, maka pemerintah membentuk komisi kebenaran dan persahabatan yang menyimpulkan adanya Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di timor-timur sebagaimana yang terdapat dalam kesimpulan yang ada dalam laporan akhir komisi kebenaran dan persahabatan Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan. 300 Kasus ini dianggap berkaitan, meskipun dengan pemberkasan secara terpisah, adalah adanya kaitan antara para terdakwa yang diajukan ke pengadilan terutama dari terdakwa polisi dan militer, yang mempunyai jengjang komando dan hubungan atasan bawahan. Sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah peristiwa yang saling berurutan dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya baik pola maupun konteks terjadinya peristiwa. 297 Pengadilan ini juga memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban yakni pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Sejak saat itu, upaya penyelidikan atas peristiwa yang diduga terjadi pelanggaran HAM yang berat dilakukan. Serangkaian penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM menjadikan 3 (tiga) kasus yang telah diselidiki diajukan ke pengadilan HAM. Dua pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor-timur dan Tanjung Priok, dan satu Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura (selanjutnya semua disebut dengan Pengadilan HAM). Hasil dari putusan-putusan pengadilan tersebut ternyata membebaskan hampir semua terdakwa. Dengan hasil ini, banyak kalangan menyatakan bahwa pengadilan ini telah gagal, bahkan selama proses pengadilan berjalan, kritik telah muncul berkaitan dengan kinerja pengadilan yang berada dibawah standar pengadilan internasional.301 Pandangan yang lain menyatakan bahwa pengadilan ini memang sejak awal sengaja diupayakan untuk mengalami kegagalan.302 Beberapa kasus dalam Pengadilan HAM memang secara prosedural belum selesai karena masih ada proses selanjutnya yaitu ada tingkat banding maupun kasasi, sehingga penilaian atas proses peradilan yang terjadi belum bisa dikatakan lengkap. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hakhak korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary Conclusive Report”, 4 Juli 2002. 302 David Cohen, Intended to Fail , The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, ICTJ, July, 2004. 301 298 saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal secara jelas bahwa para korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi berdasarkan pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kegagalan pengadilan untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Kegagalan pengadilan berakibat pada tidak tercapainya keadilan bagi korban dan membuka kembali bahwa pengadilan ini ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan hambatan. Studi dan pengkajian yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahanan proses peradilan HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidakcukupan regulasi disebut-sebut menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya yang juga diduga sebagai faktor yang memperlemah pengadilan HAM adalah kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ini. Analisa umum putusan pengadilan HAM ini mencakup aspek-aspek pokok yang berkaitan dengan terbuktinya perkara, pertanggungjawaban terdakwa, pemidanaan, dan aspek reparasi kepada korban. Persoalan-persoalan pokok tersebut pada prinsipnya saling terkait satu sama lain yang akan menunjukkan hasil pengadilan HAM yang telah berjalan. 299 Semua surat dakwaan yang diajukan di pengadilan HAM adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dengan berbagai bentuk kejahatannya. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Hal ini berarti bahwa untuk membuktikan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, disamping membutikan adanya bentuk kejahatan yang terjadi, misalnya pembunuhan, juga harus membuktikan bahwa perbuatan tersebut merupakan bagian dari serangan terhadap penduduk sipil yang dilakukan secara meluas atau sistematik. Serangan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.303 Ketidakberhasilan membuktikan dakwaan atau perbedaan putusan dalam menentukan ada tidaknya perbuatan yang termasuk kejahatan kemanusian sangat tergantung dari penafsiran atas unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana disebutkan diatas. Dalam ketiga kasus yang terjadi, putusan-putusan menunjukkan adanya perbedaan kesimpulan meskipun kasusnya adalah sama atau setidaknya merupakan bagian dari peritiwa yang terjadi. Dalam kasus Timor-Timur, keseluruhan putusan pengadilan menyatakan bahwa telah tejadi pelanggaran HAM yang berat terhadap semua peristiwa yang didakwakan namun tidak semua terdakwa dapat dimintai pertanggung jawaban atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat tersebut. Kejahatan terhadap 303 Lihat pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 300 kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan lukanya orang terbukti secara sah dan meyakinkan. Putusan pengadilan tingkat pertama, meskipun dapat dibuktikan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, terdapat pola pengungkapan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, terbukti ada kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi tidak mampu menunjukkan adanya gambaran utuh mengenai pola dan keterkaitan antara milisi, aparat sipil, polisi maupun militer.304 Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa kebijakan penyerangan yang mengakibatkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut bukan hanya kebijakan organisasi masyarakat yang pro integrasi secara mandiri tetapi terkait erat dengan kebijakan tertentu untuk memenangkan kelompok pro integrasi dengan tujuan korban yang spesifik. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi meskipun dilakukan olah kelompok pro integrasi, tetapi atas dukungan dan merupakan kelanjutan atas kebijakan pemerintah untuk mendukung atau mempertahankan Timor-timur sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia. Kelemahan terbesar dalam kasus Timor-Timur adalah tidak terbongkarnya kejahatan yang dilakukan secara sistematik dan meluas, termasuk pembuktian atas adanya unsur kebijakan negara. Hampir disemua putusan dalam pengadilan HAM tidak mampu membuktikan bahwa kejahatan yang terjadi adalah bagian dari kebijakan negara. Kasus Timor-Timur yang sampai akhir persidangan mampu 304 Terdapat dua putusan yang menunjukkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah serangan antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya yaitu yang pro kemerdekaan dengan yang pro integrasi. Penyerangan ini melepaskan faktor dukungan aparat birokrasi sipil, institusi militer maupun institusi polri dalam setiap pola penyerangan yang dilakukan sehingga kebijakan penyerangan yang dilakukan adalah kebijakan organisasional dari masyarakat tersebut. 301 menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan pada akhirnya hanya mampu membuktikan bahwa kejahatan tersebut dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan tidak ada sangkut pautnya dengan policy negara pada saat itu. Penyempitan locus delictie yang hanya didasarkan pada saat peristiwa terjadi memberikan sumbangan besar untuk terpenuhinya unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Tanjung Priok. Pemberkasan perkara dengan membagi-bagi terdakwa mengakibatkan adanya ketidaklengkapan melihat kasus secara keseluruhan dan menyempitkan luasan kejahatan yang terjadi karena pada akhirnya majelis hakim hanya terpaku pada berkas perkara yang ditanganinya. Sementara kejahatan yang terjadi ada keterkaitan yang sangat jelas. Tidak pernah dibuktikan atau dijelaskan sebagaii unsur penting dalam kejahatan kemanusiaan tentang unsur “sebagai bagian” kajahatan yang seharusntya majelis hakim melihat bahwa kejahatan yang terjadi merupakan bagian dari rangkaian peristiwa lainnya. Pemaknaan atas pengertian “serangan” juga seringkali dirancukan dengan pengertian “bentrokan” sehingga menghilangkan unsur adanya niat atau kesengajaan untuk melakukan kejahatan. Perbedaan hasil penyimpulan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pada satu sisi dinyatakan adanya serangan yang berarti ada perencanaan dan disisi lain yang terjadi adalah bentrokan sehingga hanya merupakan peristiwa yang sifatnya spontan dan terdapat unsur 302 pembelaan diri. akhirnya mengakibatkan timbulknya korban jiwa dari penduduk sipil.305 Terdakwa yang diajukan ke Pengadilan HAM Timor-Timur dari kalangan sipil, polisi maupun militer. Dari jumlah tersebut,keseluruhannya pada akhirya dinyatakan bebas dan tidak bersalah. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat kegagalan yang cukup serius dari proses penuntutan terhadap para terdakwa. Para terdakwa dalam pengadilan HAM untuk kasus Timor-timur, didakwa dengan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000. Pasal tersebut adalah pasal yang mengatur tentang tanggung jawab Komando dan tanggung jawab atasan. Namun dalam beberapa dakwaan lainnya, para terdakwa juga didakwa dengan pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penyertaan. Kegagalan untuk menghukum terdakwa dalam berbagai kasus putusan banyak disebabkan karena tidak terbuktinya para terdakwa yang didakwa dengan pasal 42 tersebut. Dalam kasus Timor-Timur, pada tingkat pertama, sebagian besar putusan pengadillan HAM ad hoc kasus Timor-timur menyatakan bahwa pelaku lapangan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah anggota milisi yang berada di masing-masing lokasi dimana peristiwa kejahatan kemanusiaan terjadi, 305 Unsur-unsur dari serangan adalah 1) tindakan baik secara sistematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda (multiple commission of acts) yang dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan atau organisasi, tindakan berganda berarti harus bukan tindakan yang tunggal atau terisolasi, 2) “serangan” baik secara meluas atau sistematis tidaklah semata-mata “serangan militer” seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, Tetapi, serangan dapat juga berarti lebih luas misalnya kampanye atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil, Serangan tersebut tidak hanya harus melibatkan angkatan bersenjata, atau kelompok bersenjata dan 3) persyaratan dianggap terpenuhi jika penduduk sipil adalah obyek utama dari serangan tersebut. Lihat Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Mahkamah Agung RI, 2006, Hal. 24. 303 dan beberapa putusan yang menunjukkan partisipasi terdakwa atau keikutsertaan terdakwa dalam pelanggaran HAM yang berat tersebut dan adanya anggota TNI yang terlibat sebagai pelaku dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Kasus Timor-timur, dari 12 putusan pengadilan tingkat pertama, menimbulkan pertanggung jawaban para terdakwa yang berbeda dan memberikan hukuman terhadap 6 terdakwa. Secara umum ada empat pola hubungan atas pertanggungjawaban para terdakwa dikaitkan dengan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, terbuktinya bawahan terdakwa yang melakukan pembiaran atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua bahwa para terdakwa tidak ada hubungan dengan pelaku pelanggaran HAM yang berat baik de facto maupun de jure. Ketiga adalah adanya “kelalaian” yang dilakukan oleh para terdakwa sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Keempat, putusan pengadilan menunjukkan bahwa terdakwa bertanggungjawaban karena sebagai komandan atas pelaku pelanggaran HAM yang berat. Namun pola ini berubah pada pemeriksaan tingkat banding dan kasasi dimana hanya 2 (dua) terdakwa dari kalangan sipil yang tetap dinyatakan bersalah. Dalam putusan Peninjauan Kembali, Abilio JO Soares dan Eurico Guterres bahkan kemudian dibebaskan karena mengajukan bukti baru yang mampu mengubah keputusan Mahkamah Agung semula.306 306 Abilio dalam memori peninjauan kembalinya mengajukan dua novum (bukti baru) yakni bahwa saat hasil jajak pendapat diumumkan mulai terjadi kekacauan dan penembakan, dan saat itu pengendalian keamanan diambil alih oleh Panglima Kodam IX Udayana Adam Damiri. Bukti lain yang diajukan Abilio adalah sejak bulan Mei 1998 posisinya sebagai gubernur mulai digoyang oleh ABRI, karena dianggap menghambat upaya penyelesaian masalah Timtim dengan pendekatan militer. Abilio juga pernah diminta oleh Panglima ABRI agar mengundurkan diri sebagai gubernur, namun permintaan itu ditolak. Posisi saya selaku gubernur digoyang oleh tentara. Tentara mulai 304 Terbuktinya kejahatan terhadap kemanusiaan berpengaruh terhadap para posisi terdakwa juga terlihat pada para terdakwa yang didakwa dengan pasal tentang tanggung jawab komandan dan tanggung jawab atasan. Berdasarkan atas keputusan yang dikaitkan dengan pertangungjawaban para terdakwa, terdapat beberapa masalah yang muncul dalam keputusan tersebut. Pertama, adanya ketidakjelasan pembedaan antara penggunaan pasal 42 UU No. 26 tahun 2000 dengan dengan pasal 55 ayat (1) kesatu tentang penyertaan. Tangung jawab komando dan atasan dan tindakan penyertaan (joint criminal enterprise) adalah berbeda. Penggunaan dan penerapan secara salah akan mengakibatkan kesulitan pembuktian dan pertanggungjawaban terdakwa. Kedua, terdapat ketidaksamaan dalam menafsirkan pengertian tentang delik pembiaran (omission), dalam hal ini tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan untuk mencegah dengan ada atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh komandan atau atasan. Kegagalan bertindak (failure to act) harus diartikan dengan tidak melakukan tindakan sama sekali atau tidak melakukan tindakan yang layak sehingga komandan harus bertanggung jawab. Hal ini untuk dapat menentukan secara tegas tentang aspek-aspek pembelaan diri pasukan, tindakan-tindakan yang proporsional dan tindakan-tindakan yang dikategorikan dalam satu prosedur operasi. Ketiga, tidak diajukannya pelaku lapangan ke pengadilan akan mempengaruhi proses pembuktian kesalahan terdakwa yang didakwa dengan merekayasa perusakan mobil dinas gubernur oleh orang-orang suruhan mereka. Abilio juga didemo sejumlah orang yang dipimpin Eurico Guterres, yang menurut jaksa adalah anak buah Abilio. 305 pasal tentang tanggungjawab komandan atau atasan. Kasus Timor-timur memperlihatkan bahwa terbuktinya pelanggaran HAM yang berat namun dilakukan oleh pelaku yang tidak bisa dibuktikan adanya keterkaitan dengan terdakwa menimbulkan tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Pemidanaan terhadap pihak yang dinyatakan bersalah dalam pengadilan HAM ad hoc kasus Timor-timur tidak sepenuhnya diterapkan karena adanya putusan yang menghukum para para terdakwa dengan hukuman di bawah minimum pemidanaan. Penjatuhan pidana yang dibawah ketentuan ini meyulut kontroversi karena dianggap sebagai sebuah putusan yang mendobrak ketentuan yang sudah jelas dalam undang-undang . Dalam Putusan Pengadilan HAM ad hoc kasus Timor-timur dari 6 orang yang dinyatakan bersalah hanya satu orang saja yang dihukum sesuai batas minimum UU No. 26 tahun 2000 yaitu 10 tahun, selebihnya dihukum antara 3 tahun sampai dengan 5 tahun. Di tingkat banding, 6 orang yang dinyatakan bersalah di tingkat pertama hanya 2 yang tetap dinyatakan bersalah yang duaduanya dari sipil, satu terdakwa tetap dengan hukuman yang sama dan satu lagi mengalami pengurangan hukuman dari 10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini berarti bahwa putusan yang dijatuhkan kesemuanya dibawah hukuman minumum yang ditentukan UU. Bahkan ditingkat kasasi, Mahkamah Agung juga tetap memberikan putusan 3 tahun penjara terhadap Abilio tetapi mengkoreksi putusan terhadap Eurico Guterres yang menghukum dengan 10 tahun penjara. Argumentasi hakim mengenai hukuman yang jauh dibawah ketentuan undang-undang adalah berkaitan dengan berbagai pertimbangan mengenai konsep 306 keadilan dan penghukuman kepada korban. Majelis hakim menyatakan bahwa penjatuhan hukuman kepada terdakwa harus disesuaikan dengan tingkat kesalahan atas peranan terdakwa dalam kejahatan yang terjadi. Hakim secara tegas menyatakan bahwa hakim bukan merupakan corong undang-undang yang harus mematuhi setiap ketentuan dalam undang-undang. Argumen yang lebih yuridis disampaikan oleh majelis hakim dalam kasus Timor-timur untuk terdakwa Soedjarwo yang dihukum 5 tahun penjara. Dalam argumentasinya majelis hakim menyatakan bahwa lama penjatuhan pidana yang dibawah ketentuan minimal dalam UU ini dikaitkan dalam asas atau prinsip dalam hukum pidana Indonesia yaitu mengenai ketentuan atas dua ancaman hukuman yang terhadap sebuah delik yang sama dikenakan hukuman yang paling meringankan terdakwa (pasal 1 ayat 2 KUHP). Argumentasi yang juga berperspektif hukum dikemukakan bahwa dalam praktek peradilan internasional tidak pernah ada ketentuan hukuman minimal dan beberapa putusan pengadilannya juga memutuskan hukuman yang sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa. Mengenai putusan yang dibawah ancaman minimal ini Mahkamah Agung (Mahkamah Agung) terkesan mendua karena dalam terdapat argumentasi yang berbeda dalam mensikapi putusan dibawah UU. Insitusi tertinggi lembaga pengadilan ini tidak mempunyai sikap yang tegas. Putusan MA terhadap Abilio Soares tetap 3 (tiga) tahun penjara, sementara untuk Eurico Guterre yang ditingkat banding yang dihukum 5 tahun penjara dikembalikan ke 10 tahun. 307 Fakta ini menunjukkan bahwa norma yang terkandung dalam UU, meskipun dinyatakan secara tegas, ternyata tidak dapat berlaku secara efektif bahkan seringkali disimpangi oleh lembaga peradilan itu sendiri. Ketentuan ini dapat dikatakan sebagai ketentuan yang tidak berlaku dan telah menjadi preseden bahwa ketentuan ini telah bisa disimpangi. Pada bagian terakhir dari disertasi ini penulis ingin menyampaikan bahwa Sebagai suatu negara hukum yang menghormati hak asasi manusia kondisi yang disebutkan dalam uraian terdahulu seharusnya tidak terjadi, kegagalan dalam memberikan keadilan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia dapat dipandang sebagai kegagalan dalam memberikan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai salah satu unsur yang harus ada di dalam negara hukum, demikian juga dengan teori hak asasi manusia dimana pelanggaran hak asasi manusia berat merupakan suatu kejahatan yang luar biasa yang harus mendapatkan hukuman sebagai pertanggungjawaban atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut. Dalam kaitannya dengan teori hukum pembangunan tentunya hukum harus membangun masyarakat, akan tetapi dengan kegagalan penyelesaiaan pelanggaran hak asasi manusia berat dan kegagalan dalam memberikan keadilan bagi para korban maka hukum belum dapat berperan sebagai sarana pembangunan, dan tujuan dari sitem peradilan pidana yaitu untuk menghukum pelaku kejahatan juga tidak tercapai, sedangkan dalam kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia berat, yang secara yuridis formal apabila Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut, maka Indonesia tidak terikat dengan Statuta Roma, 308 tetapi sebagai negara yang beradab maka Indonesia berkewajiban untuk menjalankan norma-norma yang dipandang baik dalam hubungan internasional dan hukum internasional, sekalipun Indonesia tidak terikat pada Perjanjian Internasional tersebut. 309 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dengan apa yang diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini adalah : 1. Pengaturan tentang pelanggaran berat hak asasi manusia berat Undang-Undang No 26 tahun 2000, tidak cukup dalam memadai untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, termasuk kelemahan hukum acaranya dan ketidakjelasan dalam menerapkan peraturan perundangundangan seperti tidak lengkapnya "element of crimes" dari kejahatan yang diatur. Penerapan hukum acara, yang meskipun terdapat aturan yang bersifat khusus, namun secara umum masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyulitkan dalam proses pembuktiannya, sehingga diperlukan ketentuan yang mampu memberikan efektivitas dalam penuntutan kejahatan-kejahatan serius tersebut. 2. Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat dalam sitem peradilan pidana Indonesia berdasarkann Undang-Undang No 26 tahun 2000 belum dapat menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur. 310 B. Saran 1. Untuk melengkapi ketentuan peraturan perundang-undangan pelanggaran hak asasi manusia berat perlu dilakukan perbaikan atas Undang-Undang No 26 Tahun 2000 yang meliputi baik hukum materil dan hukum formil. 2. Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur memberikan kompensasi, restitusi Pemerintah Indonesia segera dan rehabilitasi sesuai hasil pelaksanaan Memorandum of Understanding antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Timor Leste. 311 Daftar Pustaka A. Buku Agustinus Edy Kristianto, A.Patra M.Zein, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia Pedoman Anda memahami dan Menyelesaikan masalah Hukum , Ausaid,YLBHI,PSHK dan IALDF,Jakarta, 2009. A.Masyur Effendi, Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. A. Prayitno,Et Al, Pendidikan kebangsaan,Demokrasi dan Hak Asasi Manusia,Penerbit Universitas Trisakti,Jakarta, 2001. Abdul Manan, Demi Keadilan, catatan 15 tahun Elsam Memperjuangkan HAM, Penerbit Elsam 2008. Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Indonesia, Studi Sosio-Legal atas konstituante 1956-1959,Grafiti, Jakarta,1995. Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII ,Denpasar,2003 _______, A.Patra M.Zein, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Kelompok Kerja Ake Arif, Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2006. Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta 2005. Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak - Hak Budaya Insist Press, 2003. Ekonomi, Sosial dan Allison Morris dan Warrant Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, Edited by Heather Strang and John Braithwaite, The Australian National University, Asghate Publishing, Ltd, 2000. Baderin Mashood A, International Human Rights and Islamic law, Oxfords University Press,2003 Baehr Peter R., Human Rights Universality in Practise, Macmillan Press Ltd, London, 1999. 312 Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945,FH.UII Press Yogyakarta,2004. -----------, Dimensi-Dimensi Hukum Hak Asasi Manusia,Butir-Butir Pemikiran dalam rangka Purnabakti Prof.Dr.H.Rukmana Amanwinata,S.H.MH.Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,2009. -----------, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, Alumni, Bandung 2001. Bassiouni, M.Cherif, Report of the Independent Expert on the Right to Restitution.Compensation. and Rehabilitation for Victims of Grave Violation of human Rights and Fundamental Freedoms, E/CN.4/1999/65, Geneva: office of the United nation High Commissioner of Human Rights. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni Bandung,2000. Boven Van Theo, Mereka Yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi Dan Rehabilitasi, Elsam 2002. BP 7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, Penerbit BP 7. 1996. Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, London : Oxford dan ELBS,1987. Bronkhorst, Daan, Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran di Berbagai Negara, Jakarta, ELSAM, 2002. Cassese Antonio, Hak Asasi Manusia, di Dunia yang Berubah,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta, 1994. Ceunfin Frans, Hak-Hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat hukum dan Filsafat Politik, Penerbit Ldaler,Maumere,2004. Cohen David, Dimaksudkan Supaya gagal Proses Persidangan Pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli 2004. Cohen David, Fadillah Agus, Widati Wulandari, Pengadilan Setengah Hati : Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Kasus Timor-Timur, Elsam, 2008. Conde, H.Victor, A Handbook of International Lincoln University of Nebraska Press, 1999. 313 Human Rights Terminology, C.F.G. Sunaryati hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke20, Alumni,Bandung,1994. Djoko Sutono, Hukum Tata Negara (materi kuliah yang dihimpun oleh harun Al Rasjid), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Davidson Scott, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Grafiti Pers, 1992. David Cohen, Dimaksudkan Supaya Gagal, Proses Persidangan pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc di Jakarta, International Center for Transitional Justice, Juli 2004. Dewi Fortuna Anwar et al, Violent internal Conflict in Asia Pacifics, Histories,Political Economies and Policies, yayasan Obor Indonesia, LIPI, Lasema-CNRS,KITLV-Jakarta,2005. Dicey.A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Ninth Edition, Macmillan and Co Limited ST Martins Street, London 1952. Djokosoetono, Hukum Tata Negara,Ind,Hill,Co,Jakarta, 2006. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,Hak Asasi Manusia Miskin Dukungan Politik, Catatan Awal Tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, 2008. ---------, Kasus-Kasus Hukum yang Terkait dengan Pengadilan Pidana Internasional Bagi Bekas Negara Yugoslavia, Elsam, 2004. --------, Kasus-Kasus Hukum yang terkait dengan Internasional Bagi untuk Rwanda, Elsam, 2006. Pengadilan Pidana ---------, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri3, 2005. Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif Vis a Vis Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana Reorientasi Serta Prospeknya di Indonesia, Pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Pidana, Hukum Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus, Fakultas Hukum Universitas Trisati, Jakarta,19 Agustus,2009. E Saefullah Wiradipradja,Tanggungjawab Pengangkutan Udara Internasional Liberty,Yogyakarta, 1989 314 Pengangkut Dalam Hukum Dan nasional, Penerbit Freeman Mark, Komisi-Komisi Prosedural,ELSAM,Jakarta,2008. Kebenaran dan Kepatutan Friedman.W., Legal Theory, Second Edition, Stevens & Sons, Limited,1949. F Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta. Geoffrey Robinson, Timor-Timur 1999, Kejahatan Terhadap Umat Manusia, Sebuah laporan yang dibuat berdasarkan permintaan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, University California Los Angeles, diterbitkan oleh Perkumpulan Hak dan Elsam Dili dan Jakarta, 2003 Hayner B Priscilla, Kebenaran Tak Terbahasakan, Refleksi Pengalaman KomisiKomisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan, Elsam 2005. Samuel Gultom, Mengadili Korban, Praktek Pembenaran Terhadap Kekarasan Negara, ELSAM ,2003. ------------, Mencari akar dan Pandangan Bersama,ELSAM, Jakarta, 2002. Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001. Hingorani,R.C. Modern International Law, Oxford and IBH Publishing Co.New Delhi, 1982. Hestor Gross Espiell, “Humanitarian Law and Human Rights”, dalam Januzy Symonides (editor), Human Rights: Concept and Standards, Paris: UNESCO, 2000. Hirst Megan, Kebenaran Yang Belum Berakhir, Kajian Terhadap Laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste Tentang Kejahatan Yang Terjadi Pada Tahun 1999, International Center For Transtitional Justice. Human Rights Watch, Genosida,Kejahatan Perang,dan Kejahatan Terhadap kemanusiaan,Saripati Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda Jilid I, ELSAM,Jakarta,2007. Human Rights Watch, Genosida,Kejahatan Perang,dan Kejahatan Terhadap kemanusiaan,Saripati Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslaviaa Jilid II, ELSAM,Jakarta,2007. Ifdhal Kasim, , Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti, Briefing Paper Series tentang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi,no 1,1 agustus 2000. 315 ----------,Apakah, Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi, Briefing Paper Series tentang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi,no 1,1 agustus 2000. Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,1998. IGM. Nurdjana, Sistem Hukum Piana dan Bahaya Laten Korupsi “ Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2009. Jimly Asshiddiqie,Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Serpihak Pemikiran Hukum,Media, dan HAM,Editor Zainal A.M.Husein,Penerbit Konstitusi Press,Jakarta,2005. Joeniarto,Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1968. Komnas perempuan dan Kelompok kerja Pengungkap Kebenaran, Memperkenalkan Per Memoriam ad Spem Sosialisasi laporan Akhir Komisi kebenaran dan persahabatan (KKP)-Indonesia Timor-Leste. Kaligis, O.C., Peradilan (Politik ) HAM di Indonesia 1, Jakarta, OC Kaligis & Associate, 2002. ----------------, Peradilan Politik HAM di Associate, 2002. Indonesia 2, Jakarta, OC Kaligis & Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kajian Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam RUU KUHPidana,Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2006. Kuntjoro Purbopranoto,Hak-Hak Paramita,Jakarta,1979. Asasi Manusia dan Pancasila,Pradnya Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia Buku I Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Monograf Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Bandung, Januari 2005. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Unsur-Unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawabab Komando, Mahkamah agung Republik Indonesia, 2006. 316 Manfred Nowak, Pengantar ada Rezim HAM Internasional, Pustaka Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg Intitute, 2003. Masyur Effendi, Hak Asasi Manusia,Ghalia Indonesia, Jakarta 1993. Mas Achmad Santosa, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan, MelibS, Jakarta, 2000. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Utama,Jakarta,1992. Ilmu Politik, Gramedia Pustaka ------------, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta Bandung, cetakan ketujuh, 1990. Mochtar Kusumaatmaja & Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Alumni Bandung,2003. -----------------, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan Kumpulan Karya Tulis, Pusat Studi Wawasan Nusantara bekerjasama dengan PT Alumni, Bandung, 2004. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Hukum Tata Negara, FH-UI dan CV.Sinar bakti, Jakarta,1998. Moeljano,Asas-Asas hukum Pidana, Rineka Cipta,2008. Mordiono et al, Cita negara persatuan Indonesia, BP7 Pusat, Jakarta,1996. Muhammad Tahir Azhary, Negara hukum, Suatu Studi Tentang prinsipPrinsipnya, Dilihat dari Segi hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana,jakarta,2004. Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta 2002. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama Bandung, 2005 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984. 317 Nickel.W.James, Hak Asasi Manusia Making Senses of Human Rights Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, 1996 Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung 2004. Otje Salman dan Eddy Damian (Editor), Konsep-Konsep Hukum Dalam pembangunan, Pusat studi Wawasan nusantara,Hukum dan pembangunan , Bekerjasam dengan PT Penerbit Alumni,Bandung,2002. Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Ghalia Indonesia,1983. Paul S baut & Beny K Harman K, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia, Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998. Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII ,Denpasar,2003 Philipus M Jhon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu Surabaya, 1987. Piers Pigou, Menangis Tanpa Air Mata, Demi Keadilan dan Rekonsiliasi di Timor Leste, Perspektif dan Harapan Komunitas, International Trasitional Justice, 2004. Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, diterbitkan oleh Lembaga Kriminologi UI Program Penunjang bantuan Hukum di Indonesia, 1983. Ratner Steven R & Abrams Jason S, Melampaui Warisan Nuremberg, Pertanggungjawaban untuk Kejahatan Terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional,ELSAM. 2008. Robertus Robert, Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia, Sebuah Refleksi Kritis, Elsam, 2008. Romli Atmasasmita, Pengantar Aditama,Bandung,2000. Hukum Pidana Internasional, Refika ------------, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II,Hecca Mitra Utama,2004. ----------, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,Kencana,jakarta,2010. 318 -------------, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996. Eksistensialisme dan ---------,Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996. Rona K.M.Smith et al, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia ( PUSHAM UII ), Yogyakarta, 2008 Robertson,Geofrey, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global,Komnas HAM,Jakarta, 2002. ---------, Timor-Timur 1999 Kejahatan Terhadap Umat Manusia,Perkumpulan HAK dan ELSAM, Universitas California Los Angeles, Juli,2003. SAHRDC-HRDC,Komnas HAM & Prinsip-Prinsip Paris Sebuah Gugatan, ELSAM 2001. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transasi Politik Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2003. Sriwiyanti Eddyono dan Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP, Penerbit ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta,2007 Starke,JG. Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika,Jakarta,1999. ------------, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika,Jakarta,1997. Sinta Dewi dan Achmad Gusman Catur Siswandi (editor), Hukum dan Perkembangan Masyarakat: Suatu Tinjauan kritis atas Perkembangan Hukum di Indonesia, Tim Editor Kumpulan Karya Ilmiah Para Ahli hukum Dalam Rangka Purna Bakti di Unpad dan Usia ke 70 Tahun Prof.Dr.H.E.Saefullah Wiradipradja,SH.LLM.,Bandung 2008. Soedjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bhakti,Bandung, 2002. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada,1994. Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum,UI P-Press, Jakarta,1984. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Penerbit Alumni bandung,1997. 319 Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Hak asasi manusia Studi Perbandingan dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern,Tirtama Indonesia,Jakarta,1987. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1988. Teitel Ruti G, Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, Elsam,Jakarta,2004 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,Cetakan ke 15 tahun 05,1982. Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights : Legal political dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1993. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di forum Pengadilan Asing,Bandung,Alumni, 1999. Zainudin Maliki, Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Jakarta, 2000 B. Jurnal Arat, Zehra F Kabaskal, “Forging A Global Culture of Human Rights: Origin and Prospects of International Bill of Rights”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative and International Journal of the Social Sciences,Humanities, and Law, Volume 28, Number 2, May 2006, The John Hopkins University. Asmara Nababan : “Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat: Belajar dari Pengalaman”, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Vol2 No.2.Nopember 2004. “Constitutional and International Protection of Human Rights Competing or Complementary System”, Human Rights Law Journal, Vol 15, No 1-2 Demokrasi & HAM, Vol 1, Mei-Agustus 2000 E.Saefullah Wiradipradja, Konsekuensi Yuridis Keanggotaan Indonesia dalam WTO-GATS dan Pengaruhnya terhadap Industri dan Perdagangan Jasa, Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol.I No.1 Tahun 2002. \ Human Rights Law Journal, N.P Engel Publisher, Khel am Rhein, Strasbourg, Vol 19.No 1, 30 April 1998 320 Human Rights Quarterly A Comparative and international Journal of The Social Sciences Humanity and Law, Volume 25 Number 4 November 2003, The Jhon Hopkins University Press. Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social Sciences, Humanities, and Law, Volume 25 Number 1, February 2003 Goodhart, Michael, “Origins and Universality in the Human Rights Debates : Cultural Essentialism and the Chalenge of Globalizations”, dalam Human Rights Quarterly A Comparative and international Journal of The Social Sciences Humanity, and Law, Volume 25 Number 4 November 2003, The Jhon Hopkins University Press. Komariah Emong Sapardjaja, Mekanisme Nasional Untuk Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Vol2 No.2.Nopember 2004. Mahoney, Paul, “Marvellous Richness of Diversity or Indivious Cultural Relativism”, dalam Human Rights Law Journal ,Vol.19,No 1,30 April 1998,N.P.Engel Publisher. Ria Maran, “Hak Asasi Manusia dan Politik Internasional”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.1, No 3, Maret-Juni 2001. Rina Rusman, Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Vol2 No.2.Nopember 2004. R Herlambang Perdana Wiratama, “Konstitutionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia,” Human Rights Law Studies Faculty of Law Airlangga University, Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, vol 20, No 1 Januari 2005 Rudi M Rizki, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan Pidana International Ad Hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Pelanggaran Berat HAM”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.1.No.2 April 2006, diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Scott Walker & Steven C, Poe, “Does Cultural Diversity Affect Countries Respect for Human Rights?”, Human Rights Quarterly A Comparative and International Journal of The Social Sciences, Humanities,and Law,Volume 24 Number 1 February 2002. 321 Short, Sonia Haris, “International Human Rights Law: Imperialist, Inept and Ineffective Cultural Relativism and the UN Convention on the Rights of the Child”, dalam Human Rights Quarterly, A Comparative and International Journal of The Social Sciences, Humanities, and Law, Volume 25 Number 1, February 2003. C. Artikel dan laporan Aminuddin, makalah Negara Hukum Rule of Law dan Negara Hukum Rechtstaat, Materi Kuliah Hukum Tata Negara Lanjutan Pada Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 19 Maret 1999. Asmara Nababn,Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: Belajar Dari Pengalaman, Jurnal HAM, Komnas HAM,Vol 2,tahun 2004 Abdul Hakim Garuda Nusantara http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php ................., Penerapan Hukum Internasional Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia. Berita Kontras No 11/XI/2003 --------------, No 02/III-IV/2004 --------------,N0 04/VII-VIII/2004 BP7 Pusat, Cita Negara Persatuan Indonesia, 1996. Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia,Volume I No I Tahun 2003, Elsam 2003. Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume IV No I Tahun 2006, Elsam,Jakarta,2006. Dignitas, Jurnal hak Asasi Manusia, Volume III No 1 Tahun 2005, Elsam Jakarta, 2005. Dadan Ramdhan, Mendiskusikan Konsep dan Praktek HAM di Sekolah Farijmei A.Gofar, Asinergisitas Pemeriksaan pendahuluan Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, ,Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006. Hukum Online, 05,07,2006, http://www.hukumonline.com/; Keterangan Ahli: Undang-Undang KKR Banyak Cacat, temu_eropa Digest Number 863, Zo, 9 juli, 2006 0:39 322 Ifdhal Kashim , Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional . Institut Ecata-INPI Pact,Hak Asasi Manusia dalam Tajuk,1997. Jurnal HAM,Vol 4 Th 2007, Komisi nasional Hak Asasi Manusia, 2007. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Laporan Tahunan, Jakarta 2006 Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia Timor Leste Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999. Laporan Akhir Komisi Kebenaran Dan Persahabatan Indonesia Timor Leste -------------, Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, 1999. -------------, Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, 2000 ---------------,Laporan Tahunan, Jakarta 2006 Kompas Online, Senin 25 Agustus 1997, Pelaksanaan HAM Belum Jadi Faktor Integrasi Kontras, Pergulatan Kemanusiaan dan Keadilan, 2002. Laporan Diskusi Meja Bundar Kelompok Kerja masyarakat Transitional Justice, “Pentingnya Pengesahan Secepatnya ICCPR dan ICESCR untuk meningkatkan Perlindungan dan Penegakan HAM”, Kelompok Kerja Masyarakat Transitional Justice, Infid, Elsam, 2002. Priyambudi Sulistiyanto, Keadilan Transisional di Indoneisa Pasca Soeharto: Kasus Pembantaian Tanjung Priok,, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia , Elsam, Volume IV No I Tahun 2006. Progress Report ELSAM IV, “Pengadilan HAM dibawah Standar: Preliminary Conclusive Report”, 4 Juli 2002. Rangkuman Lokakarya Hak Asasi Manusia VVV, Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Denpasar 2003 Romli Atmasasmita, Mengkritisi pembentukan komisi kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia dan Timor Leste 323 Kompas, Senin, 14 Agustus 2006. -------------, Sabtu, 19 Agustus 2006. Propatria, Indonesia di Tengah Transisi, Propatria, 2000. Satya Arinanto, “ Demokrasi berdasarkan Konstitusi: Mungkin Terjelma dalam Realita.” Artikel dalam majalah Hukum dan Pembangunan, No 3 tahun XXXIII,FH UI, Jakarta, 1993. Sunaryati Hartono, “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca tahun 2003”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan nasional VII Tema Penegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Bekelanjutan diselenggarakan oleh: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Denpasar 14-18 Juli 2003. Sutandyo Wignjosubroto,Kursus Hak Asasi Manusia untuk advokat,Elsam 2005. Vratislav Pechota, Kovenan Hak Sipil dan Politik dalam Materi Training Hukum dan HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusham Universitas Islam Indonesia, bekerjasama dengan University of Oslo Norway, Yogyakarta, 22-24 September 2005 D. Deklarasi dan Pedoman Dasar Basic Principles and Guidelines on the Right to A Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law Universal Declaration of Human Rights, 1948 Vienna Declaration 1993 E. Peraturan Perundangan Undang-Undang Dasar 1945 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Tentang Hak asasi manusia dan Piagam Hak asasi manusia Undang-Undang No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. 324 Undang-Undang no 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi International Convention on the Elimination of All forms of Racial Discrimination. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang-Undang No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 Undang-Undang No 27 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Keputusan Presiden No 129 tentang rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 1998-2003 Keputusan Presiden No 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2004-2009 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Sinar Grafika, 2005. Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia. F. Ensiklopedi Badudu-Zein, Kamus Umum bahasa Indonesia, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 2001. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, abridged sixth edition, West Publishing, St. Paul, MN, USA, 1998 United Nations, Human Right Question and Answer, New York.United Nation Department of Public Information, 1993 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1993. Websters Ninth New Collegiate Dictionary, Miriam Webster inc., Publishers Springfield, Massachusetts,USA. 325 ----------New Twentieth Century Unabridged Dictionary, Second Edition, Prentice Hall Press, New York, 1972. 326 327