dampak pengendalian air dalam rangka mengurangi kecepatan

advertisement
Kolokium Hasil Litbang Sumber Daya Air 2014
DAMPAK PENGENDALIAN AIR DALAM RANGKA MENGURANGI KECEPATAN SUBSIDEN DAN BESARAN
EMISI KARBON PADA LAHAN GAMBUT DANGKAL (KAWASAN PENYANGGA BUDIDAYA TERBATAS)
L. Budi Triadi, Maruddin F. Marpaung, Indra Setya Putra, Haryo Istianto, Muhammad Gifariyono
Balai Rawa Puslitbang SDA
Jl. Gatot Subroto No. 6, Banjarmasin
Email : [email protected], [email protected] / HP : 081 22 077066
ABSTRAK
Sebagian besar lahan gambut di Indonesia telah mengalami degradasi/kerusakan akibat dari penggundulan hutan,
drainasi dan pembakaran hutan yang menyebabkan pengeringan gambut dan pelepasan karbon ke udara. Akibat drainasi
berlebih selalu menimbulkan masalah penurunan lahan/subsiden lahan gambut dan emisi karbon karena lahan yang
semula basah menjadi kering. Masalah ini hanya dapat ditanggulangi melalui perbaikan pengelolaan air dan prasarana tata
air yang sayangnya saat ini masih belum cukup tersedia.Tulisan ini menyajikan penelitian pengendalian air di lahan gambut
dangkal dengan intervensi hidraulik untuk memitigasi lahan gambut yang telah mengalami degradasi di sei Ahas Kalimantan
Tengah akibat pembukaan lahan gambut satu juta hektar. Penelitian dilakukan dengan membangun prasarana hidraulik,
yaitu canal blocking yang terbuat dari material beton yang dilengkapi dengan alur perahu dan tanah gambut yang dipadatkan
tanpa alur perahu. Kedua tipe ini dibangun pada saluran yang berbeda tergantung pada fungsi pelayanan saluran
tersebut.Selanjutnya dilakukan monitoring paras air sebelum dan sesudah ada canal blocking dan komputasi subsiden dan
emisi karbon dengan metode GIS dan rumus empiris untuk memberikan gambaran dampak perubahan paras air terhadap
subsiden dan emisi karbon. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa perubahan ketinggian paras air tanah lahan gambut
menentukan besarnya subsiden dan emisi karbon. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa dengan
membangun canal blocking, laju subsidensi dan besaran emisi karbon lebih kecil dibandingkan tanpa bentuk
intervensi apapun (kondisi aktual).Akhirnya manfaat yang dapat dipetik adalah subsiden dan emisi karbon dari
lahan gambut yang terdegradasi dapat dikendalikan dengan melakukan pengaturan paras air tanah.
Kata kunci : Pengendalian Air, Degradasi, Drainasi, Subsiden, Emisi Karbon
ABSTRACT
Most of peatlands in Indonesia has been degraded as a result of deforestation, drainage and burning forests and peat
causes the release of carbon into the air. The excessive drainage cause subsidence of peat lands and carbon emissions
due to the land that was originally wet become dry . These problems can only be addressed through water management and
hydraulic infrastructure which unfortunately is still not available yet.This paper presents a research to control water in the
shallow peat lands with hydraulic intervention to mitigate degraded peat in Sei Ahas, Central Kalimantan due to the opening
one million hectares of peat land. The research is conducted by constructing hydraulic infrastructure , namely the canal
blocking made of concrete that comes with the boat way and compacted peat soil without boat way. Both types are built on
different channels depending on the canal service function itself. Furthermore, monitoring of water table is conducted before
and after canal blocking construction and computation of subsidence and carbon emissions to provide an overview impact of
changes in water table against subsidence and carbon emissions with GIS method and emperical equations. The results
obtained show that the groundwater level change in peatland determining subsidence and carbon emissions. The main
conclusion of this research is that by building a canal blocking, subsidence rate and magnitude of carbon emissions are
smaller than without any form of intervention (actual conditions) . Finally, the benefits that can be drawn is subsidence and
carbon emissions from degraded peat lands can be controlled by ground water table .
Keywords : Water management, Degradation, Drainage, Subsidence, Carbon Emissions
1. PENDAHULUAN
Degradasi atau kerusakan yang terjadi pada lahan gambut tersebut merupakan masalah nasional yang perlu
segera ditanggulangi. Drainasi lahan gambut di Indonesia sering dilakukan secara tidak proporsional dan banyak
dilakukan pada tempat yang salah. Hal ini menimbulkan masalah lingkungan yang besar dan akan terus berlanjut
bahkan akan berkembang lebih buruk bila tidak segera dilakukan perbaikan secara serius, efisien dan cepat.
Drainasi lahan gambut dan penggundulan hutan di Indonesia merupakan sumber emisi karbon yang cukup
besar dan merupakan kendala besar untuk tercapainya pengendalian gas emisi rumah kaca sebagaimana
Pusat Litbang Sumber Daya Air
1
Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2014
dicanangkan oleh komunitas internasional. Tidak hanya mencakup masalah emisi karbon dan kebakaran, tetapi
degradasi lahan gambut juga menimbulkan masalah banjir akibat penurunan lahan gambut (land subsidence).
Oleh sebab itu perlu diambil suatu tindakan untuk melindungi lahan gambut melalui pengelolaan air yang
bertujuan untuk mempertahankan elevasi paras air.
Wilayah penelitian difokuskan pada kawasan penyangga budidaya terbatas (Adapted Management Zone),
dimana kedalaman gambut kurang lebih 3 (tiga) meter atau sampai dengan batas tepi gambut dalam. Wilayah
tersebut dipilih karena 3 (tiga) alasan yaitu : Merupakan wilayah lahan gambut yang paling mungkin untuk
dikembangkan secara terbatas dan yang paling banyak terdrainasi ; Untuk jangka panjang penataan air di
kawasan ini sangat menentukan kondisi kawasan gambut dalam yang berbatasan. Konservasi simpanan karbon
pada lahan gambut dalam hanya dapat berhasil jika dilakukan penataan air disekitar gambut dangkal ;
Berbatasan dengan kawasan gambut dalam, dimana pada kawasan ini telah dilakukan penelitian oleh KFCP
(Kalimantan Forests and Climate Partnership).
Wilayah penelitian yang dimaksud adalah lahan gambut di Sei Ahas, Blok A eks PLG (Proyek Lahan Gambut)
sejuta hektar, sebelah timur sungai Kapuas pada kabupaten Kapuas, propinsi Kalimantan Tengah, lihat Gambar
1. Pada lokasi ini tanah mineral, gambut dangkal dan gambut dalam dapat ditemukan dalam jarak relatif pendek,
dimana gambut telah terbakar, terdegradasi cukup berat, tidak produktif dan masing-masing mempunyai
saluran-saluran yang dapat mematus air dari lahan gambut dalam ke sungai Kapuas.
Sei Ahas
Kalimantan
Tengah
Gambar 1. Wilayah Penelitian Sei Ahas Kalimantan Tengah
(Sumber : KFCP Mei 2009)
Sebagian besar lahan terdegradasi akibat dari drainasi besar-besaran yang dilakukan pada era PLG sejuta
hektar. Drainasi menyebabkan kekeringan lapisan tanah atas dan daerah perakaran yang menyebabkan
kebakaran. Pengeringan gambut ini menyebabkan gambut kontak dengan udara (oksigen) sehingga terjadi
oksidasi dan menyebabkan pelepasan karbon ke udara di samping terjadinya subsiden serta kebakaran gambut.
Kebakaran selain menimbulkan masalah emisi karbon (CO2, gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama
perubahan iklim) juga menyebabkan masalah asap yang merugikan kesehatan umum dan dunia ekonomi di
kawasan Asia Tenggara. Sebagai gambaran umum, pada Gambar 2 disajikan kondisi lahan yang terdegradasi dan
terbakar.
2
Pusat Litbang Sumber Daya Air
Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air
Catatan : Lahan Terbakar (warna orange) dan Sisa-Sisa Degradasi Hutan (warna hijau)
Gambar 2. Pola Vegetasi Dominan di sekitar Sei Ahas (Sumber : KFCP,Mei 2009)
Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh teknologi pengendalian air yang dapat mengeliminir atau
memitigasi degradasi / kerusakan lahan gambut yang mengakibatkan terjadinya subsiden dan emisi karbon
akibat kesalahan pengelolaan, khususnya akibat pengeringan berlebih yang disebabkan oleh tindakan manusia
untuk berbagai kepentingan (antara lain : pertanian, pengembangan perkebunan, dan penebangan kayu yang
mengakibatkan emisi karbon, banjir dan masalah lingkungan lain).
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah eksperimen dengan model fisik skala 1 : 1 di Sei Ahas.
Model fisik yang dimaksud meliputi prasarana hidraulik, yaitu bangunan canal blocking dan peralatan pencatat
paras air yang dibangun pada saluran. Komputasi besarnya emisi karbon dilakukan dengan metode GIS dan
kecepatan serta waktu subsiden dilakukan dengan menggunakan rumus dasar empiris untuk mendapatkan
korelasi antara emisi karbon dan subsiden dengan tinggi paras air tanah rata-rata baik untuk lahan hutan alami
dan lahan perkebunan Akasia (Hooijer et al., 2012).
Sebagaimana telah disinggung di atas, penelitian serupa pernah dilakukan oleh KFCP (Kalimantan Forrest
and Climate Partnership) dalam proyek rencana strategis rehabilitasi lahan gambut pada tahun 2009 di Blok A,
arah barat laut dari lahan gambut ex PLG sejuta hektar, Kalimantan tengah. Penelitian oleh KFCP dilakukan
pada lahan gambut dalam (> 3 meter) dengan titik sentralnya adalah kubah gambut yang terbentang antara
sungai Kapuas dan Mantangai, sementara penelitian ini mengambil wilayah di lahan gambut dangkal (< 3 meter)
dan wilayah transisi dengan gambut dalam. KFCP berakhir hanya sampai pada tahap perencanaan dan belum
mencapai pembangunan prasarana hidraulik.
2. KAJIAN PUSTAKA
Ekosistem gambut merupakan tatanan unsur gambut yang mempunyai karakteristik yang unik dan rapuh serta
merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh dalam kesatuan hidrologis gambut yang saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktifitasnya. Total luas gambut dunia dalah 400 juta ha, sementara
itu luas gambut di Indonesia sebesar ± 14 juta hektar, jumlah ini meliputi 50 % dari total luas gambut tropika di
dunia, atau 5 % dari total luas gambut dunia. Posisi gambut Indonesia merupakan yang terluas di dunia untuk
gambut tropika, atau merupakan posisi ke empat setelah Canada, Uni Soviet dan Amerika dari luas total gambut
dunia (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2012).
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan
(reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat
menyimpan air sebanyak 0,8 - 0,9 m3/m3gambut (Wetlands International – Indonesia Programme, 2004). Dengan
Pusat Litbang Sumber Daya Air
3
Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2014
demikian lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan musim kemarau. Lahan gambut
mempunyai sifat yang dinamis, jika mengalami gangguan seperti misalnya drainasi, menyebabkan penyusutan
air sehingga terjadi proses pemadatan dan kerusakan gambut sebagai akibat dari oksidasi. Proses ini membawa
perubahan pada topografi daerah lahan gambut, yang kemudian mempengaruhi hidrologi dan penurunan
permukaan lahan (subsidence) serta menimbulkan potensi banjir. Di samping itu bila mengalami kekeringan,
maka lahan gambut akan terdegradasi dan melepaskan karbon. Konversi lahan gambut tropis menjadi lahan
pertanian juga menyebabkan pelepasan karbon, yang semula dam kondisi stabil menjadi rentan dan
mengakibatkan penurunan tanah dan emisi CO2 ke atmosfer.
Pemerintah Indonesia pada tahun 1995, mengawali Proyek Pengembangan Lahan Gambut Kalimantan
Tengah - yang lebih dikenal sebagai Proyek PLG atau Proyek Sejuta Hektar- dengan mengkonversi hingga satu
juta hektar lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi. Proyek ini mencakup pembangunan besar-besaran
ribuan kilometer saluran air dan telah mengakibatkan kerusakan lahan dan hutan di kawasan tersebut karena
kekeringan dan kebakaran (Euroconsult Mott MacDonald and Deltares | Delft Hydraulics, Oktober 2008).
Kebakaran merupakan penyebab yang paling parah dari degradasi pada kawasan Eks-PLG. Berkurangnya
kandungan air lahan gambut dan hilangnya perlindungan hutan telah menciptakan kondisi yang memungkinkan
untuk terjadinya kebakaran besar dan tidak hanya mengakibatkan masalah kabut asap di sepanjang kawasan
tersebut (terkait dengan masalah kesehatan dan kerugian secara ekonomi) tetapi juga berkontribusi pada
perubahan iklim global. Hampir seluruh Kawasan Eks-PLG yang sekarang dalam kondisi terbuka telah terbakar
antara tahun 1997 hingga 2006. Kubah-kubah gambut mengalami kehilangan air dan penurunan lahan
(subsidence) yang disebabkan oleh dampak drainasi dari saluran-saluran. Sistem saluran yang ada di kawasan
Eks-PLG telah menciptakan permasalahan banjir di sejumlah kawasan selama musim hujan dan kekeringan
selama musim kemarau. Semakin menurunnya permukaan gambut akibat kebakaran dan drainase yang
berlebihan dapat mengakibatkan semakin luasnya masalah banjir (Euroconsult Mott MacDonald and Deltares |
Delft Hydraulics, 2008).
Akhir-akhir ini kerusakan hutan rawa gambut telah menyebabkan rawa gambut Indonesia menjadi sumber
emisi GRK terbesar dengan kontribusi sebesar 45% dari total emisi Indonesia, dan kontribusinya menjadi lebih
besar lagi, menjadi 65 - 70% pada saat musim kemarau panjang yang menyebabkan terjadinya kebakaran
gambut (Government of Indonesia, World Bank, May 2011). Studi emisi CO2 akibat kebakaran lahan gambut di
Indonesia pada tahun 1997 (Page et al, NATURE, 2002) memberikan angka 810 sampai 2.470 juta ton karbon
hilang (yaitu 3000 sampai dengan 9000 Mton emisi CO2) untuk satu kejadian, atau 15% sampai dengan 40% dari
emisi bahan bakar fosil di tahun itu. Oleh karena itu pemerintah Indonesia pada pertemuan COP 15 di
Copenhagen (Desember 2009) mengumumkan rencana untuk mengurangi emisi karbon hingga 26% pada tahun
2020.
Emisi karbon dan faktor negatif lainnya pada lahan gambut hanya dapat dikurangi jika kebijakkan pengembangan
didasarkan pada tiga prinsip sebagai berikut (Delft Hydraulics, 2006) : Konservasi hutan dan mengurangi drainasi
pada hutan rawa yang tersisa ; Restorasi sistem hidrologi lahan gambut yang terdegradasi dan hutan rawa gambut
atau tutupan vegetasi lain yang berkelanjutan ; dan Peningkatan pengelolaan air pada tanaman lahan gambut, dan
membuat rencana induk pengelolaan air di lahan gambut. Pengelolaan lahan gambut yang tepat menuntut
tindakan penghentian terjadinya drainase di seluruh lahan gambut dalam (> 3 meter), yaitu melalui
pembangunan tabat pada saluran dan parit serta meminimalisir drainase di lahan gambut dangkal yang
bersebelahan dengan kedalaman antara 1 -3 meter. Pada gambut sedang/dangkal, drainase harus dibatasi,
tetapi apabila ada, maka perlu dibangun sarana pengendali air (pintu air) untuk memastikan bahwa
berkurangnya air sepanjang musim kemarau dapat diminimalisir, sedangkan pada musim hujan kelebihan air
dapat dialirkan keluar (Euroconsult Mott MacDonald and Deltares | Delft Hydraulics, 2008).
.
3. METODOLOGI
Untuk mencapai tujuan, yaitu mendapatkan teknologi pengendalian air yang dapat mengeliminir atau
memitigasi degradasi lahan gambut yang mengakibatkan terjadinya subsiden dan emisi karbon, maka penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :
Membangun Prasarana Hidraulik (Canal Blocking)
Prasarana hidraulik ini digunakan untuk menaikkan paras air di saluran dengan harapan agar dengan adanya
kenaikan paras air di saluran akan mengakibatkan kenaikan paras air di lahan gambut. Dengan demikian lahan
gambut basah akan semakin tinggi segingga subsidensi dan emisi karbon dapat dikurangi. Prasarana hidraulik ini
berbentuk Canal Blocking untuk membendung saluran yang dibuat dari 2 (dua) jenis material, yaitu beton dan
4
Pusat Litbang Sumber Daya Air
Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air
tanah gambut yang dipadatkan. Material beton dilengkapi dengan alur perahu dan diperuntukkan bagi saluran
yang sering dilewati perahu, sedangkan material tanah gambut yang dipadatkan diperuntukkan bagi saluran yang
tidak digunakan sebagai lalu lintas perahu.
Membangun Alat Pencatat Paras Air
Paras air diamati di saluran untuk kondisi sebelum Canal Blocking dibangun (kondisi eksisting) dan kondisi
sesudah Canal Blocking dibangun. Pada kondisi ada Canal Blocking, pengamatan paras air juga dilakukan di
hulu dan hilir bendung untuk mengetahui perbedaan tinggi tekan hidraulik yang terjadi.
Subsiden dan Emisi Karbon
Besaran subsiden lahan gambut dan emisi karbon ditentukan oleh tingginya paras air di lahan gambut.
Semakin tinggi paras air di lahan gambut maka akan semakin kecil subsiden dan emisi karbon, demikian pula
sebaliknya dimana semakin rendah paras air di lahan gambut maka akan semakin besar subsidence dan emisi
karbon. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh beberapa
peneliti sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah.
Gambar 3. Grafik hubungan antara kedalaman air tanah di lahan gambut dan emisi CO2 yang disebabkan oleh
dekomposisi gambut (Melling et al., 2005; Ali dkk, 2006)
Berikut disajikan metode perhitungan emisi karbon, dimana pertama-tama diperlukan data ketebalan gambut
dan luas lahan gambut di wilayah penelitian yang diperoleh dari pengukuran (Balai Rawa Puslitbang SDA, 2012)
dan topografi lahan gambut yang diperoleh dari data LIDAR (KFCP, 2011). Ketebalan gambut diukur dengan
melakukan pemboran dengan bor tangan. Selanjutnya volume gambut diperoleh dari ketebalan gambut dikalikan
dengan luas lahan dan untuk memperoleh volume gambut teroksidasi, volume gambut dikali dengan nilai persen
oksidasi, yaitu diambil 90% (Hooijer et al., 2012) untuk memisahkan dari nilai kompaksi. Adapun volume gambut
kering diperoleh dengan mengalikan volume gambut yang teroksidasi ini dengan nilai Bulk Density. Selanjutnya
perhitungan jumlah simpanan karbon yang ada dari total berat kering gambut dapat diketahui dengan mengalikan
volume kering dengan faktor 55% kandungan karbon (Hooijer et al. , 2012). Lebih jauh simpanan karbon dapat
diubah menjadi emisi CO2 ekivalen dengan mengalikan angka simpanan karbon dengan faktor 3,66.
Sementara itu metode perhitungan kecepatan dan waktu penurunan gambut (Hooijer et al., 2012) yang
digunakan diuraikan sebagai berikut :
Kecepatan/laju penurunan gambut (subsidence rate) :
Kecepatan Subsiden (cm/tahun) – 1,5 – 4,98* WD
(1)
Dimana :
WD = Kedalaman paras air tanah rerata, sebesar 44 cm (musim kemarau) dan 29 cm (musim hujan)
Pusat Litbang Sumber Daya Air
5
Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2014
Kedalaman paras air tanah rerata diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan
menggunakan peralatan ukur Dipwell yang dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan di tahun 2012 dan
2013. Pada kondisi ada canal blocking, diambil nilai WD yang tereduksi sebesar 50%, yaitu 22 cm pada musim
kemarau dan 14.5 cm pada musim hujan.
Waktu penurunan gambut yang dibutuhkan dapat diketahui dari ketebalan gambut rerata pada ketinggian
paras air tanah tertentu dibagi dengan nilai kecepatan subsiden :
Waktu/durasi subsiden (tahun) = Ketebalan Gambut / Kecepatan Subsiden
(2)
4. HIPOTESIS
Berdasarkan teori, kecepatan dan waktu subsiden serta jumlah emisi karbon bergantung pada ketinggian paras
air tanah. Semakin tinggi elevasi paras air tanah maka akan semakin berkurang kecepatan subsiden, semakin
lama waktu subsiden dan semakin rendah pula besarnya emisi karbon. Oleh karena itu, upaya menaikkan paras
air saluran dan air tanah dengan intervensi hidraulik, diharapkan dapat mengurangi subsiden serta emisi karbon
di lahan gambut. Dalam penelitian ini, intervensi hidraulik dilakukan dengan membangun prasarana hidraulik,
yaitu canal blocking di saluran. Dengan terbangunnya bangunan ini maka diharapkan paras air akan naik cukup
besar sehingga tujuan untuk mengurangi subsiden dan emisi karbon tercapai. Hal ini yang akan dibuktikan dalam
penelitian ini.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Prinsip dasar pengelolaan Kawasan Penyangga Budidaya Terbatas mempersyaratkan adanya pengelolaan
air untuk mengurangi pengeringan gambut/drainasi yang tidak berlebihan (Delft Hydraulics, 2006). Pada gambut
sedang/dangkal tersebut, drainasi harus dibatasi, tetapi apabila ada, maka perlu dibangun sarana/struktur
pengendali air (pintu air) untuk memastikan bahwa berkurangnya air sepanjang musim kemarau dapat
diminimalisir, sedangkan pada musim hujan kelebihan air dapat dialirkan keluar.
Di seluruh kawasan, pendekatan berbasis masyarakat diperlukan untuk merencanakan, mengoperasikan dan
merawat struktur pengendali air. Dan mengingat bahwa saluran dimanfaatkan untuk transportasi, sementara
pembangunan tabat juga diperlukan pada saluran tersebut maka keterlibatan masyarakat dalam memperbaiki
pengelolaan lahan gambut adalah kunci sukses untuk merehabilitasi lahan tersebut dan untuk mensukseskan
konsep REDD (Reduced Emissions from Deforestation and Degradation).
Pada lokasi penelitian, dibangun struktur pengendali air (canal blocking) dengan konsep dasar jaringan
pengelolaan air sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. Pada saat ini canal blocking yang sudah terbangun
adalah di lokasi CP 3 dan BM 2, sedangkan di Lokasi CP 6 baru akan dibangun pada tahun 2014 ini. Selanjutnya
pembangunan jaringan pengelolaan air perlu ditindak lanjuti dengan langkah-langkah monitoring untuk
memantau kinerja dan kondisi dari prasarana hidraulik yang telah dibangun tersebut.
S. Kapuas
Saluran
CP 6
Canal Blocking
CP 3
BM 2
Gambar 4. Lokasi Canal Blocking di Wilayah Penelitian
6
Pusat Litbang Sumber Daya Air
Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air
Desain dan konstruksi dari bangunan canal blocking tersebut dibuat Oleh Balai Wilayah Sungai (BWS)
Kalimantan II, Banjarmasin dengan pengarahan dan supervisi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya Air, Bandung. Bangunan tersebut terdiri dari dua macam desain, yaitu yang pertama dari material beton
dan desain kedua adalah dari tanah gambut yang dipadatkan (compacted peat dam), keduanya memiliki pondasi
dari cerucuk kayu Galam. Kedua desain tesebut sudah mengalami beberapa modifikasi sebelum diperoleh
desain final sebagai mana dapat di lihat pada Gambar 5 dan 6 sebagai berikut :
Gambar 5. Desain Final Canal Blocking Sei Ahas dengan Material Tanah Dipadatkan (KFCP, 2011)
Gambar 6. Desain Final Canal Blocking Sei Ahas dengan Material Beton (BWS Kalimantan II, 2013)
Pada Gambar 7 dan 8 tersaji di bawah adalah gambar konstrusi dari kedua jenis bangunan canal blocking
yang telah selesai dibangun. Pada bangunan canal blocking yang terbuat dari material tanah gambut dipadatkan
merupakan jenis canal blocking yang tertutup penuh tanpa adanya alur perahu. Jenis ini biaya konstruksinya jauh
lebih murah daripada yang terbuat dari beton karena hanya terdiri dari tanah gambut yang dipadatkan dan
materialnya bisa diambil dari lokasi setempat.
Pusat Litbang Sumber Daya Air
7
Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2014
Sementara itu pada canal blocking yang terbuat dari material beton, nampak alur perahu yang terletak di
tengah bangunan, alur ini sengaja disediakan agar perahu-perahu kecil nelayan dapat melewati bangunan
sehingga tidak mengganggu aktifitas mereka sehari-hari. Mercu alur perahu dibuat cukup tinggi, sama dengan
mercu canal blocking agar air tidak dapat lewat dan dilengkapi dengan rel sehingga perahu dapat ditarik dengan
mudah dan ringan saat melewatinya.
Gambar 7. Canal Blocking Sei Ahas dengan Material Tanah Dipadatkan (BM 2)
Gambar 8. Canal Blocking Sei Ahas dengan Material Beton (CP 3)
Selanjutnya dari hasil pengamatan paras air yang diamati di hulu dan di hilir canal blocking, terlihat bahwa
terjadi perbedaan paras air yang cukup besar akibat dari pembangunan canal blocking.Untuk lebih jelasnya, hasil
pengamatan disajikan pada Gambar 9 untuk lokasi Canal Blocking CP 3 dan pada Gambar 10 untuk lokasi Canal
Blocking BM 2 sebagai berikut :
FLUKTUASI MUKA AIR SEI. AHAS
CANAL BLOCKING CP 3
19 MARET 2014
ELEVASI MUKA AIR (m )
3.20
3.00
2.80
2.60
MA Hulu CANAL BLOCKING
2.40
MA Hilir CANAL BLOCKING
2.20
MA Muara Saluran Utama
2.00
10:00:00
11:00:00
12:00:00
13:00:00
14:00:00
15:00:00
WAKTU (WIB)
Gambar 9. Grafik Pengamatan Paras Air Lokasi Canal Blocking CP 3
8
Pusat Litbang Sumber Daya Air
Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air
FLUKTUASI MUKA AIR SEI. AHAS
CANAL BLOCKING BM 2
19 MARET 2014
ELEVASI MUKA AIR (m )
4.50
4.00
3.50
MA Hulu CANAL BLOCKING
3.00
MA Hilir CANAL BLOCKING
2.50
MA Muara Saluran Utama
2.00
10:00:00
11:00:00
12:00:00
13:00:00
14:00:00
15:00:00
WAKTU (WIB)
Gambar 10. Grafik Pengamatan Paras Air Lokasi Canal Blocking BM 2
Pengamatan paras air di atas dilakukan pada saat di muara saluran sedang dalam kondisi surut. Dari kedua
grafik di atas terlihat pada CP 3 perbedaan paras air hulu dan hilir sekitar 40 – 50 cm, sedangkan pada lokasi BM
2 perbedaan berkisar antara 60 – 70 cm. Perbedaan ini terjadi karena di saat pengamatan, Canal Blocking CP 3
tidak ditutup pintunya sehingga air dapat bebas melewati canal blocking mengalir ke hilir. Sementara itu di Canal
Blocking BM 2, air sama sekali tidak dapat mengalir ke hilir karena bangunan ini tidak memiliki pintu. Kondisi di
hilir canal blocking hanya dipengaruhi oleh paras air di muara saluran (garis berwarna biru di grafik) dan
mengingat bahwa kedua lokasi berjarak kurang lebih sama dari muara saluran maka dampak dari paras air
muara ini mempunyai pengaruh yang kurang lebih sama terhadap kedua lokasi canal blocking di CP 3 maupun
BM 2. Namun karena ketinggian dasar saluran di lokasi CP 3 lebih tinggi dari pada BM 2, maka paras air hilir
canal blocking kedua lokasi juga berbeda. Paras air hilir canal blocking di lokasi CP 3 berkisar antara 2,55 – 2,70
meter, sementara itu di lokai BM 2 berkisar antara 3,30 – 3,40 meter.
Selanjutnya pada Gambar 11 dan 12 di bawah, disajikan kurva pengamatan paras air di lokasi Canal Blocking
CP 3 dan BM 2 saat sebelum (24 Juli 2013) dan sesudah (19 Maret 2014) canal blocking dibangun. Pada kedua
gambar di bawah terlihat bahwa setelah dibangun canal blocking (garis merah) terjadi kenaikan paras air yang
cukup besar dibandingkan dengan kondisi sebelum pembangunan canal blocking (garis hijau). Pada lokasi CP 3
paras air naik sekitar 0,15 – 0,55 meter, sedangkan di lokasi BM 2 terjadi kenaikan paras air setinggi 1,10 – 1,30
meter. Dari kedua grafik di bawah juga terlihat pada CP 3 perbedaan paras air antara tahun 2013 dan 2014 lebih
kecil dibandingkan dengan perbedaan paras air di lokasi BM 2. Perbedaan ini terjadi karena alasan yang sama
seperti telah diuraikan di atas yaitu di saat pengamatan Canal Blocking CP 3 pintunya terbuka sehingga sebagian
air dapat mengalir ke hilir.
FLUKTUASI MUKA AIR SEI. AHAS
CANAL BLOCKING CP 3
24 JULI 2013 DAN 19 MARET 2014
ELEVASI MUKA AIR (m )
3.30
3.10
2.90
MA Hulu CANAL BLOCKING 19
Maret 2014
2.70
2.50
MA Sebelum CANAL BLOCKING
24 Juli 2013
2.30
2.10
MA Muara Saluran Utama 24 Juli
2013
1.90
1.70
1.50
10:00:00
11:00:00
12:00:00
13:00:00
14:00:00
15:00:00
WAKTU (WIB)
Gambar 11. Grafik Pengamatan Paras Air Lokasi Canal Blocking CP 3 Tahun 2013 – 2014
Pusat Litbang Sumber Daya Air
9
Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2014
FLUKTUASI MUKA AIR SEI. AHAS
CANAL BLOCKING BM 2
24 JULI 2013 DAN 19 MARET 2014
ELEVASI MUKA AIR (m )
4.50
4.00
MA Hulu CANAL BLOCKING 19
Maret 2014
3.50
3.00
MA Sebelum CANAL BLOCKING
24 Juli 2013
2.50
MA Muara Saluran Utama 24
Juli 2013
2.00
1.50
10:00:00
11:00:00
12:00:00
13:00:00
14:00:00
15:00:00
WAKTU (WIB)
Gambar 12. Grafik Pengamatan Paras Air Lokasi Canal Blocking BM 2 Tahun 2013 – 2014
Dengan kenaikan paras air di saluran maka akan terjadi pula kenaikan paras air tanah di lahan gambut,
dengan demikian subsiden dan besaran emisi karbon juga dapat dikurangi seiring dengan kenaikan paras air
tanah.
Penelitian yang dilakukan oleh KFCP, 2009 juga memberikan hasil yang sama, dimana peranan canal
blocking sangat penting untuk mengendalikan paras air tanah. Menurut KFCP, diperlukan banyak canal blocking
untuk mengendalikan muka air tanah di bentangan wilayah kubah gambut Blok A antara sungai Kapuas dan
Mantangai. Untuk beda tinggi ytekan paras sebesar 0,4 meter diperlukan canal blocking sebanyak kurang lebih
200 buah yang tersebar di seluruh wilayah kajian.
Untuk memberikan gambaran perihal dampak pengendalian air dalam rangka mengurangi subsiden dan emisi
karbon pada lahan gambut sei Ahas, yaitu berupa intervensi hidraulik tipe canal blocking, berikut ini disajikan
komputasi besaran emisi karbon pada kondisi paras air tanah musim kemarau dan musim hujan yang satu dan
lain berbeda 15 cm. Komputasi ini menggunakan paras air tanah rerata berdasarkan pengukuran lapangan oleh
Balai Rawa Puslitbang SDA pada tahun 2012 dan 2013 yang dibagi dalam 2 (dua) musim yaitu musim kemarau
(44 cm) dan musim hujan (29 cm). Melalui komputasi ini nampak korelasi antara tinggi paras air tanah rerata
dengan besaran emisi karbon. Komputasi dilakukan pada wilayah Sei Ahas dengan luas sekitar 19 hektar, pada
kedalaman gambut bervariasi antara 0 m sampai 6 m dan kedalaman rata-rata 1,88 m.
Tabel 1. Korelasi Kedalaman Muka Air Tanah dan Emisi Karbon di Kawasan Sei Ahas
Keterangan
Paras Air Tanah
Musim Kemarau (44 cm)
Paras Air Tanah
Musim Hujan (29 cm)
Volume
Gambut
Kering
(m3)
90% Volume
Gambut
Kering
(m3)
Kandungan Karbon
Emisi Karbon
(Mton)
55 %
55 %
17.732.000
15.958.800
973.008
3,561
11.687.000
10.518.300
641.301
2,347
Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa selisih volume gambut yang potensial teroksidasi di wilayah penelitian
antara musim kemarau dan musim hujan sebesar : (17.732.000 – 11.687.000) m3 = 6.045 m3 . Sedangkan selisih
emisi karbon antara musim kemarau dan musim hujan dengan kandungan karbon sebesar 55 % adalah : (3,561
– 2,347) Mton = 1,214 Mton. Dengan kata lain bila paras air tanah dapat dinaikkan setinggi 15 cm (selisih paras
air tanah musim kemarau dan musim hujan), maka akan mengurang emisi karbon sebesar kurang lebih 1,214
Mton.
Selain itu, dapat dibuktikan bahwa kecepatan dan durasi (waktu) subsiden ditentukan juga oleh ketinggian
paras air tanah dan jenis intervensi hidraulik yang diterapkan di lahan gambut. Pada Tabel 2, disajikan dampak
10
Pusat Litbang Sumber Daya Air
Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air
dari paras air tanah yang berbeda dan pengaruh intervensi canal blocking terhadap kecepatan dan waktu
subsidence.
Tabel 2. Kecepatan dan Waktu Subsiden (tahun) Sei Ahas
KONDISI AKTUAL
PARAS AIR
CANAL BLOCKING
KECEPATAN
SUBSIDEN
(cm/Tahun)
WAKTU
SUBSIDEN
(Tahun)
KECEPATAN
SUBSIDEN
(cm/tahun)
WAKTU
SUBSIDEN
(Tahun)
Paras Air Tanah Musim
Kemarau
3.71
11
2.61
16
Paras Air Tanah Musim
Hujan
2.95
9
2.23
13
Dengan metode perhitungan kecepatan penurunan gambut sebagaimana telah diuraikan pada Bab
Metodologi (Hooijer et al., 2012), maka pada Tabel 2 di atas diperoleh kecepatan penurunan gambut yang
berbeda antara musim kemarau dan musim hujan. Hal ini bergantung pada ketinggian paras air tanah rerata dari
masing-masing musim. Demikian pulan berlaku hal yang sama baik pada kondisi aktual maupun pada kondisi
setelah canal blocking dibangun, namun setelah ada canal blocking diperoleh kecepatan penurunan gambut
yang lebih rendah dari pada kondisi aktual. Hal ini disebabkan adanya kenaikan paras air tanah rerata dari
kondisi aktual sebesar 22 cm pada musim kemarau dan 14.5 cm pada musim hujan.
Selanjutnya waktu subsiden berkurang dengan adanya kenaikan paras air tanah rerata di musim hujan baik
pada kondisi aktual maupun setelah ada canal blocking. Dan seiring dengan menurunnya kecepatan subsiden
dengan adanya canal blocking dibandingkan dengan kondisi aktual, maka secara langsung waktu subsiden juga
meningkat lebih panjang untuk besarnya subsiden yang sama. Dengan fenomena di atas maka ketinggian paras
air tanah merupakan faktor penting yang menentukan terjadinya proses subsiden, dan bila ketinggian paras air
tanah dapat dinaikkan lebih tinggi lagi maka laju subsiden akan semakin berkurang dan waktu subsiden akan
semakin lebih panjang.
6. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan khusus, dapat dinyatakan bahwa ketinggian paras air tanah menentukan besarnya emisi
karbon dan subsiden. Semakin tinggi paras air tanah, akan semakin kecil pula besaran emisi karbon dan
subsiden, demikian pula terjadi sebaliknya, semakin rendah paras air tanah maka akan semakin besar pula emisi
karbon dan subsiden. Upaya menaikkan paras air tanah pada lahan gambut dengan upaya intervensi hidraulik,
yaitu canal blocking terbukti mampu menaikkan paras air sehingga emisi karbon dan subsiden lahan gambut
dapat dikurangi. Selain itu dapat dibuktikan pula bahwa dengan membangun canal blocking, laju subsidensi dan
besaran emisi karbon, lebih kecil dibandingkan tanpa bentuk intervensi apapun (kondisi aktual).
Sementara itu, sebagai kesimpulan umum , dapat disimpulkan bahwa meskipun penelitian ini dan penelitian
yang dilakukan oleh Hooijer, et al, 2012 berbeda lokus dan waktu penelitian , kedua penelitian memiliki topik dan
pendekatan yang sama .
7. SARAN
Penelitian ini belum sampai pada pengamatan paras air tanah setelah konstruksi canal blocking, untuk itu
diperlukan pengamatan paras air tanah lanjutan, khususnya setelah canal blocking menunjukan kinerjanya
dengan baik.
Daftar Pustaka
Ali, M., Taylor, D., and Inubushi, K., 2006. Effects of environmental vari- ations on CO2 flux from a tropical
peatland in eastern Sumatra, Wetlands, 26, 612–618.
Pusat Litbang Sumber Daya Air
11
Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2014
Balai Rawa – Puslitbang SDA, 2012, Laporan Akhir Penelitian Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Daerah
Rawa, Banjarmasin
Delft Hydraulics, 2006, PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia, Report
R&D projects Q3943 / Q3684 / Q4142, 1st edition.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Juli 2012, Kebijakkan Pengelolaan Kawasan
Konservasi Gambut, Workshop Koordinasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Gambut, Jakarta.
Euroconsult Mott MacDonald and Deltares | Delft Hydraulics, Oktober 2008, Rencana Induk Rehabilitasi dan
Revitalisasi Kawasan Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, Ringkasan Laporan
Utama.
Government of Indonesia, World Bank, May 2011, Water Management for Climate Change Mitigation and
Adaptive Development in the Lowlands – WACLIMAD, Technical Assistance - Consultancy Services, Wasap
Grant Number: Tf 056597, Working Paper – 5, Lowland Regulation: Resources Base Perspective.
Hooijer, A., Page, S., Jauhiainen, J., Lee, A..A., Lu, X.X., Idris, A., Anshari, G., 2012. Subsidence and Carbon
Loss in Drained Tropical Peatlands, Biogeosciences, 9, 1053 – 1071, 2012, doi : 10.5.5194/bg-9-1053-2012.
Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP), May 2009, Strategic Peatland Rehabilitation Plan for Block
A (North-West) in the Ex-Mega Rice Project Area, Central Kalimantan, Project No: IFCI-C0011.
Melling, L., Hatano, R., and Goh, K. J., 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak,
Malaysia, Tellus B, 57, 1–11.
Page, S. E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H. D. V., Jaya, A., and Limin, S., 2002, The amount of carbon
released from peat and forest fires in Indonesia during 1997, Nature, 420, 61–65, 2002.
Wetlands International – Indonesia Programme, 2004, Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan
Karbon di Kalimantan 2000-2002.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada seluruh petugas lapangan Balai Rawa –
Puslitbang SDA Banjarmasin yang telah memberikan kontribusinya dalam pengumpulan data primer dan
sekaligus mengolah data menjadi data siap pakai serta dalam pembuatan dan penyusunan tabel dan gambar
sehingga makalah ini selesai dibuat. Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan pula kepada Dedi Junarsah
selaku Kepala Balai Rawa yang telah memberikan dukungan penuh sehingga makalah ini dapat selesaikan.
12
Pusat Litbang Sumber Daya Air
Download