BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Berat Badan Bayi Lahir Berat badan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Berat Badan Bayi Lahir
Berat badan bayi lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang
dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir ( Kosim dkk, 2009).
Menurut Prawirohardjo (2002) klasifikasi berat badan bayi baru
lahir dapat dibedakan atas
1.
Bayi dengan berat badan normal, yaitu > 2500.
2.
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu antara 1500 gram
– 2500 gram.
3.
Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR), dimana berat
lahirnya adalah < 1500 gram.
4.
Bayi dengan berat badan lahir ekstrem rendah (BBLER), dimana berat
lahirnya adalah < 1000 gram.
B. Faktor – faktor yang mempengaruhi berat badan bayi lahir
Berat badan bayi merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor
melalui suatu proses yang berlangsung selama berada dalam kandungan.
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir adalah sebagai
berikut :
5
6
1.
Faktor lingkungan Internal
Faktor lingkungan internal ini meliputi umur ibu, jarak
kehamilan/kelahiran, paritas, kadar hemoglobin, status gizi ibu,
pemeriksaan kehamilan, dan penyakit pada saat kehamilan.
Faktor yang secara langsung atau internal mempengaruhi berat
bayi lahir dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Umur ibu
Semakin muda dan semakin tua umur seorang ibu yang
sedang hamil, akan berpengaruh terhadap kebutuhan gizi yang
diperlukan. Umur muda perlu tambahan gizi yang banyak karena
selain digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya
sendiri juga harus berbagi dengan janin yang sedang dikandung.
Sedangkan untuk umur yang tua perlu energi yang besar juga
karena fungsi organ yang makin melemah dan diharuskan untuk
bekerja maksimal maka memerlukan tambahan energi yang cukup
guna
mendukung
kehamilan
yang
sedang
berlangsung
(Proverawati, 2009).
Penyebab kematian maternal dari faktor reproduksi
diantaranya adalah maternal age/usia ibu. Kurun reproduksi sehat
dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan
melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata sampai 5 kali
lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20
7
sampai 29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah
usia 30 sampai 35 tahun (Prawirohardjo, 2008).
Mengingat bahwa faktor umur memegang peranan penting
terhadap derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu hamil serta bayi,
maka sebaiknya merencanakan kehamilan pada usia antara 20 –
30 tahun (Setianingrum, 2005).
b. Jarak kehamilan/kelahiran
Menurut Depkes RI (1999) menyatakan kehamilan yang
perlu diwaspadai adalah jarak persalinan terakhir dengan awal
kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun, bila jarak terlalu dekat ,
maka rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Keadaan
ini perlu diwaspadai kemungkinan pertumbuhan janin kurang
baik, persalinan lama atau perdarahan.
c. Paritas
Paritas ibu merupakan frekuensi ibu pernah melahirkan
anak hidup atau mati, tetapi bukan aborsi (Salmah, et al, 2006).
Menurut Solihah (2008) perempuan yang terlalu banyak anak,
tentu otomatis masuk dalam kategori terlalu sering hamil. Selain
mukosa-mukosa dalam rahimnya sudah tidak bagus, kondisi
kandungannya
belum
“ditinggali” janin.
terlalu
baik
dan
sempurna
untuk
8
Klasifikasi paritas Menurut Manuaba, et al (2010) paritas
dibagi menjadi 3,yaitu:
1) Primipara adalah wanita yang telah melahirkan bayi aterm
sebanyak satu kali.
2) Multipara (pleuripara) adalah wanita yang telah pernah
melahirkan anak hidup beberapa kali, dimana persalinan
tersebut tidak lebih dari lima kali.
3) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan janin
aterm lebih dari lima kali.
Menurut Rochjati yang dikutip oleh Manuaba, et al (2010),
paritas merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil
konsepsi karena ibu yang pernah hamil atau melahirkan anak 4
kali atau lebih, kemungkinan akan banyak ditemui keadaan antara
lain kesehatan terganggu, anemia, kurang gizi, kekendoran pada
dinding perut dan dinding rahim, dan tampak ibu dengan perut
menggantung.
Menurut Hartanto (2004), kehamilan lebih dari 4 anak
dengan jarak kurang dari 2 tahun dapat mengakibatkan antara lain
berat badan lahir rendah, nutrisi kurang, waktu/lama menyusui
berkurang, kompetesi dalam sumber-sumber keluarga, lebih
sering terkena penyakit, tumbuh kembang lebih lambat, dan
pendidikan/intelegensia dan pendidikan akademis lebih rendah.
9
d. Kadar Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu protein yang kompleks, yang
tersusun dari protein globin dan senyawa bukan protein yang
dinamai hem ( Sadikin, 2001). Menurut Soebroto (2009)
hemoglobin merupakan protein pernafasan (respiratory protein)
yang mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan
tempat terikatnya molekul – molekul oksigen.
Fungsi hemoglobin adalah mengikat dan membawa oksigen
dari paru untuk diedarkan dan dibagikan keseluruh sel di berbagai
jaringan. Ikatan hemoglobin dan oksigen disebut oksihemoglobin
(HbO2),
fungsi
kedua
adalah
membawa
karbondioksida
membentuk karbonmonoksi hemoglobin (HbCO) yang berperan
dalam keseimbangan ph darah. Dalam menjalankan fungsinya
membawa oksigen ke seluruh tubuh, hemoglobin didalam sel
darah merah mengikat oksigen melalui suatu ikatan kimia khusus.
Hemoglobin yang tidak atau belum mengikat oksigen dinamakan
deoksihemoglobin (Hb) sedangkan hemoglobin yang mengikat
oksigen
dinamakan
oksihemoglobin
(HbO2).
Reaksi
penggabungan hemoglobin dan oksigen terjadi di alveolus paruparu, tempat berlangsungnya pertukaran udara antara tubuh
dengan lingkungan. Sebaliknya reaksi penguraian terjadi di dalam
berbagi jaringan. Hemoglobin dalam sel darah merah mengikat
oksigen di paru-paru dan melepaskanya di jaringan, untuk
10
diserahkan dan digunakan oleh sel. Fungsi lain dari hemoglobin
dalam sel darah merah adalah mengikat dan mempermudah
transportasi CO2 yang terbentuk diseluruh jaringan yang mampu
melakukan metabolisme secara aerob (dengan menggunakan
oksigen), untuk dibawa ke jaringan pembuangan ekskreta yang
berbentuk gas yaitu paru – paru. Didalam paru- paru terjadilah
pertukaran gas dengan lingkungan, O2 diambil dari lingkungan
dan CO2 dikeluarkan ke lingkungan (Sadikin, 2001).
Banyaknya O2 yang dapat diikat dan dibawa oleh darah,
berkat adanya Hb yang terkurung dalam sel darah merah, pasokan
O2 ke berbagai tempat diseluruh tubuh, bahkan yang paling
terpencil dan terisolasi sekalipun akan terjamin. Akibatnya,
berbagai sel dalam tubuh dapat bekerja melakukan fungsinya
dengan energi cukup. Hasilnya, individu tersebut dapat berfungsi
dan berkembang dengan sempurna termasuk janin yang ada
dalam kandungan (Sadikin, 2001).
Hemoglobin (Hb) adalah parameter yang digunakan secara
luas untuk menetapkan prevalensi anemia. Hb merupakan
senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin
dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat
digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.
Penilaian status gizi dengan kadar Hb merupakan penilaian status
gizi secara biokimia. Fungsinya untuk mengetahui satu gangguan
11
yang paling sering terjadi selama kehamilan yaitu anemia gizi
(Supariasa dkk, 2002).
Di
Indonesia
anemia
umumnya
disebabkan
oleh
kekurangan zat besi, sehingga lebih dikenal dengan istilah anemia
gizi besi. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan
yang paling sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil umumnya
mengalami deplesi besi sehingga hanya memberi sedikit besi
kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme besi yang
normal. Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar
hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 g/dl selama trimester
III ( Adriani dkk, 2012).
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau
hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel
otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin di dalam
kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang
dilahirkan, hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu
dan kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi. Pada ibu
hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko
morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan
melahirkan bayi BBLR dan prematur juga lebih besar ( Adriani
dkk, 2012).
Menurut Proverawati & Asfuah (2009) penyebab turunnya
hemoglobin antara lain makanan yang kurang bergizi, gangguan
12
pencernaan dan malabsorpsi, kurangnya zat besi dalam makanan,
kebutuhan zat besi yang meningkat, kehilangan darah banyak, dan
penyakit – penyakit kronis seperti TBC, cacing usus, malaria dan
lain lain. Sedangkan faktor predisposisi terbesar terjadinya
konsentrasi kadar hemoglobin yang turun dibawah normal adalah
status gizi yang buruk dengan defisiensi multivitamin.
e. Status gizi ibu
Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil
dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung.
Selain itu gizi ibu hamil menentukan berat badan bayi yang
dilahirkan, maka pemantauan gizi ibu hamil sangatlah penting
dilakukan. Penilaian status gizi wanita hamil meliputi evaluasi
terhadap faktor resiko, diet, pengukuran antropometri dan
biokimiawi. Penilaian tentang asupan pangan dapat diperoleh
melalui recall 24 jam ( Arisman, 2007 ). Pengukuran
antropometri merupakan salah satu cara untuk menilai status gizi
ibu hamil. Ukuran antropometri ibu hamil yang paling sering
digunakan adalah kenaikan berat badan ibu hamil dan ukuran
lingkar lengan atas (LLA) selama kehamilan.
Pengukuran fisik ibu hamil secara spesifik dapat dilakukan
dengan antropometri yaitu :
13
1) LILA
Antropometri yang dapat menggambarkan keadaan
status gizi ibu hamil dan untuk mengetahui resiko Kekurangan
Energi Kalori (KEK) atau gizi kurang. Ibu yang memiliki
ukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) di bawah 23,5 cm
berisiko melahirkan bayi BBLR. Pengukuran LILA lebih
praktis untuk mengetahui status gizi ibu hamil karena alat
ukurnya sederhana dan mudah di bawa ke mana saja, dan dapat
dipakai untuk ibu dengan kenaikan berat badan yang ekstrim.
(Setianingrum, 2005).
Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) mencerminkan
tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak
berpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan
berat badan. Untuk mengetahui status gizi ibu hamil digunakan
pengukuran secara langsung dengan menggunakan penilaian
antropometri yaitu lingkar lengan atas. Pengukuran lingkar
lengan atas adalah suatu cara untuk mengetahui risiko KEK
wanita usia subur (Supariasa, 2002).
Pengukuran LILA dengan menggunakan pita LILA
dengan ketelitian 0,1 cm dan ambang batas LILA WUS dengan
resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila kurang dari
23,5 cm, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK, dan
diperkirakan akan melahirkan bayi dengan BBLR. BBLR
mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan
14
dan
gangguan
perkembangan
anak.
Depkes
RI
(2000)
menetapkan nilai ambang batas LILA WUS dan ibu hamil dengan
resiko KEK di Indonesia adalah 23,5.
Tujuan pengukuran LILA adalah :
a) Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun
calon ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai risiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR)
b) Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar
lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan
KEK.
c) Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak
d) Meningkatkan peran petugas lintas sektoral ke dalam
upaya perbaikan gizi WUS yang menderita KEK
e) Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran
ibu hamil yang menderita KEK.
2) Indeks Masa Tubuh sebelum kehamilan
Indek masa tubuh merupakan salah satu metode
pengukuran
antropometri
yang
digunakan
berdasarkan
rekomendasi FAO/WHO/UNO tahun 1985 : batasan BB
normal orang dewasa ditentukan berdasarkan Body Mass Index
(BMT/IMT). Indeks masa tubuh merupakan alat yang
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa (usia 18
15
tahun ke atas), khususnya yang berkaitan dengan kekurangan
dan kelebihan BB. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak,
remaja, ibu hamil dan olahragawan. Juga tidak dapat
diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) seperti edema,
asites dan hepatomegali. Di Indonesia, IMT dimodifikasi
berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa
negara berkembang.
Status
gizi
ibu
hamil
sangat
mempengaruhi
pertumbuhan janin dalam kandungan, apabila status gizi ibu
buruk, baik sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan akan
menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR). Disamping itu
akan mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan otak janin,
anemia pada bayi baru lahir, bayi baru lahir mudah terinfeksi,
abortus dan sebagainya. Kondisi anak yang terlahir dari ibu
yang kekurangan gizi dan hidup dalam lingkungan yang
miskin akan menghasilkan generasi kekurangan gizi dan
mudah terkena penyakit infeksi. Keadaan ini biasanya ditandai
dengan berat dan tinggi badan yang kurang optimal (Supariasa,
2001).
3) Pertambahan berat badan selama kehamilan
Peningkatan
berat
badan
sangat
menentukan
kelangsungan hasil akhir kehamilan. Bila ibu hamil kurus atau
gemuk sebelum hamil akan menimbulkan resiko pada janin
16
terutama apabila peningkatan atau penurunan sangat menonjol.
Bila sangat kurus maka akan melahirkan bayi berat badan
rendah (BBLR), namun berat badan bayi dari ibu hamil dengan
berat badan normal atau kurus, lebih dipengaruhi oleh
peningkatan atau penurunan berat badan selama hamil
( Salmah dkk, 2006).
Adanya kehamilan maka akan terjadi penambahan
berat badan yaitu sekitar 12,5 kg. Berdasarkan Huliana
peningkatan tersebut adalah sebanyak 15 % dari sebelumnya.
Proporsi pertambahan berat badan tersebut dapat terbagi
menjadi janin 25-27 %, plasenta 5%, cairan amnion 6%,
ekspansi volume darah 10%, peningkatan lemak tubuh 2527%, peningkatan cairan ekstra seluler 13%, dan pertumbuhan
uterus dan payudara 11%
Ibu hamil harus memiliki berat badan yang normal
karena
akan
berpengaruh
terhadap
anak
yang
akan
dilahirkannya. Ibu yang sedang hamil dengan kekurangan zat
gizi yang penting bagi tubuh akan menyebabkan keguguran,
anak lahir prematur, berat badan bayi rendah, gangguan rahim
pada waktu persalinan, dan pendarahan setelah persalinan.
17
Tabel 1. Peningkatan berat badan selama kehamilan
IMT (kg/m2 )
Total kenaikan berat
Selama trimester 2
badan yang disarankan
&3
Kurus
12,7 – 18,1 kg
0,5 kg/minggu
( IMT < 18,5 )
Normal
11,3 – 15,9 kg
0,4 kg/minggu
( IMT 18,5-22,9 )
Overweight
6,8 – 11,3 kg
0,3 kg/minggu
( IMT 23-29,9 )
Obesitas
0,2 kg/minggu
( IMT > 30 )
Bayi kembar
15,9 – 20,4 kg
0,7 kg/minggu
Sumber : Proverawati, 2009
f. Pemeriksaan kehamilan
Pelayanan antenatal
adalah pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya.Walaupun
pelayanan antenatal selengkapnya mencakup banyak hal yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik ( umum dan kebidanan),
pemeriksaan laboratorium atas indikasi, serta intervensi dasar
khusus (sesuai resiko yang ada), namun dalam penerapan
operasionalnya dikenal standar minimal “5T” untuk pelayanan
antenatal, yang meliputi timbang berat badan ukur tinggi badan,
(Ukur) Tekanan darah, (Pemberian imunisasi) Tetanus toksoid
(TT) lengkap, (Ukur) Tinggi fundus uteri, dan (Pemberian) Tablet
zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
Dengan demikian maka, secara operasional, pelayanan
antenatal yang tidak memenuhi standar minimal “5T” tersebut
belum dianggap pelayanan antenatal. Selain itu, pelayanan
18
antenatal ini hanya dapat diberikan oleh tenaga profesional dan
tidak dapat dilakukan oleh dukun bayi.
Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal
adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu
: minimal 1 kali pada triwulan pertama, minimal 1 kali pada
triwulan kedua serta minimal 2 kali pada triwulan ketiga.
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut ditentukan
untuk menjamin mutu pelayanan, khususnya dalam memberi
kesempatan yang cukup dalam menangani kasus resiko tinggi
ditemukan (Depkes RI, 1995).
Rachmawati (2004) menyatakan terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi pertimbangan ibu hamil dalam memilih tempat
periksa kehamilan antara lain adalah biaya, jarak, dan faktor
kepercayaan. Jarak antara tempat tinggal dengan pelayanan
kesehatan menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam
intensitas pemeriksaan ibu hamil.
g. Penyakit pada saat kehamilan
Penyakit pada saat kehamilan yang dapat mempengaruhi
berat bayi lahir diantaranya adalah Diabetes Melitus Gestasional
(DMG), cacar air, dan penyakit infeksi TORCH. Penyakit DMG
adalah intoleransi glukosa yang dimulai atau baru ditemukan pada
waktu hamil. Tidak dapat dikesampingkan kemungkinan adanya
intoleransi glukosa yang tidak diketahui yang muncul seiring
19
kehamilan, komplikasi yang mungkin sering terjadi pada
kehamilan dengan diabetes adalah bervariasi, Pada ibu akan
meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia, secsio sesaria, dan
terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di kemudian hari, sedangkan
pada
janin
meningkatkan
risiko
terjadinya
makrosomi
(Prawirohardjo, 2008).
2.
Faktor lingkungan eksternal
Faktor lingkungan eksternal meliputi kondisi lingkungan,
pekerjaan ibu hamil, tingkat pendidikan, pengetahuan gizi, dan sosial
ekonomi.
Faktor – faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kondisi lingkungan
Faktor ketinggian tempat tinggal menurut Jitowiyono, dkk
(2010) menyebutkan salah satu faktor penyebab berat bayi lahir
tidak normal adalah tempat tinggal yaitu tinggi.
b. Pekerjaan ibu hamil
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan atau
aktivitas bagi ibu hamil adalah apakah aktivitasnya beresiko bagi
kehamilan. Pekerjaan pada ibu hamil dengan beban atau aktivitas
yang terlalu berat dan beresiko akan mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan janin dalam rahim karena adanya hubungan
aksis fetoplasenta dan sirkulasi retroplasenta yang merupakan
satu kesatuan. Bila terjadi gangguan atau kegagalan salah satu
20
akan menimbulkan resiko pada ibu ( gizi kurang atau KEK dan
anemia) atau pada janin (BBLR). Contoh aktivitas yang beresiko
bagi ibu hamil adalah aktivitas yang meningkatkan stress,
mengangkat sesuatu yang berat, berdiri lama sepanjang hari.
Nasehat yang perlu disampaikan adalah bahwa ibu hamil tetap
boleh melakukan aktivitas atau pekerjaan tetapi cermati apakah
pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan beresiko atau tidak untuk
kehamilan (Kusmiyati, et al, 2009).
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam
memberi respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang
yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih
rasional terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh
mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari
gagasan tersebut. Suami yang berpendidikan tentu akan lebih
banyak memberikan respon emosi, karena ada tanggapan bahwa
hal yang baru akan memberikan perubahan terhadap apa yang
mereka lakukan di masa lalu.
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju kearah suatu cita-cita
tertentu. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk
juga perilaku seseorang akan pola hidup, terutama dalam
memotivasi sikap berperan serta dalam perkembangan kesehatan.
21
Semakin tinggi tingkat kesehatan seseorang makin menerima
informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki
( Notoatmodjo, 2003)
d. Pengetahuan gizi
Pengetahuan adalah suatu proses yang terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengukuran
pengetahuan
dapat
dilakukan
dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman
pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas ( Notoatmodjo,
2003 ).
Pengetahuan yang dimiliki seorang ibu akan mempengaruhi
dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh pada
perilakunya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik, kemungkinan
akan memberikan gizi yang cukup bagi bayinya. Hal ini terlebih
lagi kalau seorang ibu tersebut memasuki masa ngidam, dimana
perut rasanya tidak mau diisi, mual dan rasa yang tidak karuan.
Walaupun dalam kondisi yang demikian jika seseorang memiliki
pengetahuan yang baik maka ia akan berupaya untuk memenuhi
kebutuhan gizinya dan juga bayinya (Proverawati, 2009).
22
e. Sosial ekonomi
Menurut Kristyanasari (2010) menyatakan bahwa keadaan
ekonomi keluarga akan mempengaruhi pemilihan ragam dan
kualitas bahan makanan, ekonomi seseorang mempengaruhi dalam
pemilihan makanan yang akan dikonsumsi sehari – harinya.
Seseorang dengan ekonomi yang tinggi kemudian hamil maka
kemungkinan besar sekali gizi yang dibutuhkan tercukupi
ditambah lagi adanya pemeriksaan membuat gizi ibu semakin
terpantau.
C. Hubungan Paritas dengan Berat Bayi Lahir
Umumnya kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan
kematian perinatal meningkat seiring dengan meningkatnya paritas ibu,
terutama bila paritas lebih dari 3. Paritas yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan terganggunya uterus terutama dalam hal fungsi pembuluh
darah. Kehamilan yang berulang-ulang akan menyebabkan kerusakan pada
dinding pembuluh darah uterus. Hal ini akan mempengaruhi makanan ke
janin pada kehamilan selanjutnya, selain itu dapat menyebabkan atoni
uteri (perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot
rahim). Hal ini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan yang
selanjutnya akan melahirkan bayi dengan BBLR (Winkjosastro, 2008).
Selain itu dapat dijelaskan bahwa setiap kehamilan akan
menyebabkan kelainan-kelainan pada uterus, dalam hal ini kehamilan
23
yang berulang-ulang menyebabkan rahim ibu tidak lagi sehat untuk
kehamilan berikutnya. Hal ini dapat dimengerti karena pada waktu
melahirkan tidak dapat dihindari adanya kerusakan pada daerah dinding
uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi di janin dimana jumlah nutrisi
akan berkurang dibandingkan pada kehamilan berikutnya. Keadaan ini
dapat menyebabkan kematian pada bayi. (Winkjosastro, 2008).
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada ibu golongan paritas
tinggi akan mempengaruhi perkembangan janin yang dikandungnya. Hal
ini disebabkan adanya gangguan plasenta dan sirkulasi darah ke janin,
sehingga pertumbuhan terhambat. Jika keadaan ini berlangsung lama akan
mempengaruhi berat badan lahir bayi dan kemungkinan besar terjadinya
BBLR (Wibowo, 1992)
Menurut Winkjosastro (2008), paritas yang paling aman adalah
paritas 2 – 3. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian
maternal lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh kematangan dan penurunan
fungsi organ – organ persalinan.
Hasil penelitian Budiman dkk, (2010) terdapat hubungan yang
signifikan antara paritas dengan berat badan bayi lahir. Demikian pula
pada hasil penelitian Rahmawati dan Nur Jaya (2010) terdapat hubungan
antara paritas dengan berat badan bayi lahir. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ibu dengan paritas ≥ 4 mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu dengan paritas < 4.
24
D. Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Berat Bayi Lahir
Kadar Hemoglobin (Hb) ibu sangat mempengaruhi berat bayi yang
akan dilahirkan. Ibu hamil yang anemia karena Hbnya rendah bukan hanya
membahayakan jiwa ibu tetapi juga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan serta membahayakan jiwa janin. Hal ini disebabkan karena
kurangnya suplai gizi dan oksigen pada placenta yang akan berpengaruh
pada fungsi placenta terhadap janin. Turunya kadar hemoglobin pada ibu
hamil akan menambah risiko mendapatkan Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR), risiko perdarahan sebelum dan pada saat persalinan, bahkan
dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya, jika ibu hamil tersebut
menderita anemia berat (Dinkes Prov, 2009).
Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena
terjadinya penurunan Hb yang diakibatkan karena selama hamil volume
darah 50 % meningkat dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat sedikit
yang menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit.
Penurunan ini akan lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat
besi. Kenaikan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
perfusi dari plasenta dan untuk penyediaan cadangan saat kehilangan darah
waktu melahirkan. Selama kehamilan rahim, plasenta dan janin
memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
(Smitht et al., 2010 ).
Anemia pada ibu hamil akan menambah resiko mendapatkan Berat
Bayi Lahir Rendah (BBLR), resiko perdarahan sebelum dan pada saat
25
persalinan, dan bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya, jika
ibu hamil tersebut menderita anemia berat (Depkes, 2002).
Pengaruh Anemia pada Kehamilan dan Janin :
1. Pengaruh anemia pada kehamilan
a. Bahaya selama kehamilan
Bahaya anemia selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya
abortus, persalinan prematuritas, hambatan tumbuh kembang janin
dalam rahim, ketuban pecah dini (KPD), mudah terjadi infeksi dan
sepsispuer peralis, lemah dan anoreksia, serta perdarahan dan pre
eklamsi dan eklamsi.
b. Bahaya saat persalinan
Bahaya anemia pada saat persalinan dapat menyebabkan gangguan
his- kekuatan mengejang, kala pertama dapat berlangsung lama
dan terjadi partus terlantar, kala kedua berlangsung lama sehingga
dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi
kebidanan, kala uri dapat diikuti retensio plasenta, kala empat
dapat terjadi perdarahan postpartum sekunder dan atoni uteri.
2. Pengaruh anemia terhadap janin
Sekalipun
tampaknya
janin
mampu
menyerap
berbagai
kebutuhan dari ibunya, tetapi dengan adanya anemia maka akan
mengurangi kemampuan metabolisme tubuh sehingga mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Akibat adanya
anemia pada ibu, maka dapat terjadi gangguan pada janin dalam
26
bentuk abortus, terjadi kematian intrauterine, persalinan prematuritas
tinggi, berat badan lahir rendah (BBLR), kelahiran dengan anemia,
dapat terjadi cacat bawaan, bayi mudah terserang infeksi sampai
kematian perinatal, intelegensia rendah (cacat otak), kematian
neonatal, asfiksia intrapartum (Manuaba, 2010).
Hasil penelitian Jumirah dkk, (1999) yang dikutip oleh Adriani,
dkk (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara kadar Hb ibu hamil
dengan berat bayi lahir, dimana semakin tinggi kadar Hb ibu semakin
tinggi berat badan bayi yang dilahirkan. Adapun penelitian Edwi Saraswati
dkk, (1998) yang dikutip oleh Adriani dkk, (2012) menemukan bahwa
anemia pada batas 11 g/dl bukan merupakan resiko untuk melahirkan
BBLR. Hal ini mungkin karena belum berpengaruh terhadap fungsi
hormon maupun fungsi fisiologis ibu. Selanjutnya pada analisis bivariat
anemia batas 9 g/dl atau anemia berat ditemukan secara statistik tidak
nyata melahirkan BBLR. Namun untuk melahirkan bayi mati mempunyai
resiko 3,081 kali. Hasil analisa multivariat dengan memperhatikan
masalah riwayat kehamilan sebelumnya menunjukkan bahwa ibu hamil
penderita anemia berat mempunyai resiko untuk melahirkan BBLR 4,2
kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak menderita anemia
berat (Adriani dkk, 2012).
27
E. Hubungan Status Gizi Ibu Hamil dengan Berat Bayi Lahir
Status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan janin
dalam kandungan, apabila status gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan
atau pada saat kehamilan akan menyebabkan berat badan lahir rendah
(BBLR). Mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan otak janin, anemia
pada bayi baru lahir, bayi baru lahir mudah terinfeksi, abortus dan
sebagainya. Kondisi anak yang terlahir dari ibu yang kekurangan gizi dan
hidup dalam lingkungan yang miskin akan menghasilkan generasi
kekurangan gizi dan mudah terkena penyakit infeksi. Keadaan ini biasanya
ditandai dengan berat dan tinggi badan yang kurang optimal (Supariasa,
2001).
Hubungan antara LILA dengan BBLR tersebut dapat dijelaskan
karena kebutuhan energi untuk kehamilan yang normal perlu tambahan
kira-kira 80.000 kalori selama masa kurang lebih 280 hari. Energi dalam
protein ditaksir sebanyak 5180 kkal, dan lemak 36.337 Kkal. Agar energi
ini bisa ditabung masih dibutuhkan tambahan energi sebanyak 26.244
Kkal, yang digunakan untuk mengubah energi yang terikat dalam makanan
menjadi energi yang bisa dimetabolisir. Jumlah total energi yang harus
tersedia selama kehamilan adalah 74.537 Kkal, dibulatkan menjadi 80.000
Kkal. Hal ini berarti perlu tambahan ekstra sebanyak kurang lebih 300
kalori setiap hari selama hamil. Kebutuhan energi pada trimester I
meningkat secara minimal. Kemudian sepanjang trimester II dan III
kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan. Energi
28
tambahan selama trimester II diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu
seperti penambahan volume darah, pertumbuhan uterus, dan payudara,
serta penumpukan lemak. Selama trimester III energi tambahan digunakan
untuk pertumbuhan janin dan plasenta (Lubis, 2003) .
Ibu yang mengalami risiko KEK selama hamil akan menimbulkan
masalah, baik pada ibu maupun janin. KEK pada ibu hamil dapat
menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: anemia,
pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena
penyakit infeksi. Pengaruh KEK terhadap proses persalinan dapat
mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya
(prematur), pendarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan operasi
cenderung meningkat. KEK ibu hamil dapat mempengaruhi proses
pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir
mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra
partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat badan lahir rendah
(BBLR). Bila BBLR bayi mempunyai resiko kematian, gizi kurang,
gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk
mencegah resiko KEK pada ibu hamil sebelum kehamilan wanita usia
subur sudah harus mempunyai gizi yang baik, misalnya dengan LILA
tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu sebelum hamil kurang dari
angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak beresiko
melahirkan BBLR (Lubis, 2003) .
29
Menurut Saimin (2005), bila LILA < 23,5 cm berarti ibu tersebut
mengalami KEK atau status gizi kurang, demikian pula pada ibu dengan
anemia. Ibu dengan LILA < 23,5 cm adalah ibu yang beresiko positif
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan ibu dengan LILA >
23,5 cm adalah ibu yang beresiko negative melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah.
30
F. Kerangka Teori
Faktor internal :
- Usia ibu hamil
- Jarak kehamilan
- Paritas
- Kadar Hb
- Status gizi ibu hamil
- Pemeriksaan kehamilan
- Penyakit saat kehamilan
Berat Bayi Lahir
Faktor eksternal :
- Kondisi lingkungan
- Pekerjaan ibu hamil
- Pendidikan ibu hamil
- Pengetahuan gizi
- Sosial ekonomi
Faktor-faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir
Sumber : Modifikasi Arisman (2004), Proverawati (2009), Manuaba (1998)
G. Kerangka Konsep
Paritas
Kadar hemoglobin
Berat Bayi Lahir
Status gizi ibu hamil
H. Hipotesis
1. Ada hubungan antara paritas dengan berat bayi lahir
2. Ada hubungan antara kadar hemoglobin dengan berat bayi lahir
3. Ada hubungan antara status gizi ibu hamil dengan berat bayi lahir
4. Ada hubungan antara paritas, kadar hemoglobin dan status gizi ibu
hamil dengan berat bayi lahir.
Download