PERAN MARKETING DALAM POLITIK DI INDONESIA Irwanto Program Studi Penyiaran Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda, Rawamangun, Jakarta-Timur [email protected] Abstract Political have a power in society. It purposed to influence the direction and community life itself. In democracy system it is necessarily electional mechanism and campaign process have to run in order to reach power. In this case the people , political parties , individual candidates can be reviewed with a marketing perspective. Political parties and candidates as well as running mate described as a manufacturer , ideas and regarded as goods or services and the people who choose identic to consumers, just like common market, but this one is rather the political market. This paper did not intend to equate granted betweenmarketing business with political marketin. But it trying to analyze and review the positive possibilities that exist in marketing to be applied to politics . So that the electoral process that involves elements of folk , political parties , individual candidates can be more mutualism . Keywords : marketing, politics Abstraksi Tidak dapat dipungkiri politik sangat berperan dalam bermasyarakat. Masyarakatpun tidak dapat menghindar dari politik. Kekuasaan politik akan mempengaruhi arah, tujuan dan kehidupan masyarakat itu sendiri. Agar bisa berkuasa dalam sebuah negara dan masyarakat di alam demokrasi tentu melalui mekanisme pemilu yang didalamnya terdapat proses kampanye. Pada konteks ini, baik rakyat, partai politik, calon individu bisa ditinjau dengan perspektif marketing. Partai politik dan calon presiden serta calon wakil presiden diibaratkan sebagai produsen, ide dan gagasanya dianggap sebagai barang atau jasa lalu rakyat yang memilih diibaratkan konsumen, persis seperti halnya pasar, lebih tepatnya pasar politik. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyamakan begitu saja antara marketing bisnis dengan marketing politik. Tapi mencoba untuk menganalisa dan meninjau kemungkinan-kemungkinan hal positif yang ada dalam marketing untuk bisa diterapkan ke dalam politik. Sehingga proses pemilu yang melibatkan elemen rakyat, partai politik, calon individu bisa menjadi lebih sehat dan elemen-elemen tersebut mengarah pada simbiosis mutualisme. Kata kunci: marketing, politik I. PENDAHULUAN Dimulai pada tahun 1998 gerakan reformasi telah mengubah sistem serta tatanan politik di Indonesia. Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun berakhir dengan gerakan mahasiswa. Kekuasaan yang dipegang oleh Jenderal Soeharo pun digantikan dengan sebuah orde yang disebut reformasi. Partai politik yang ketika orde baru berjumlah tiga, kini sudah bertambah banyak. Menurut pandangan Hidayat (2000), karakteristik rezim orde baru sebagai suatu pengorganisasian aparatus negara telah banyak dideskripsikan melalui pelbagai konseptualisasi. Terdapat dua hal umum tentang rezim orde baru, yakni (a). Dominasi negara dalam tatanan serta proses politik atau kedudukan negara yang relatif otonom dari kekuatan politik di masyarakat. Dominasi negara orde baru oleh Karl Jackson dijelaskan dengan konsep beureaucratic polity sebagai suatu bentuk tatanan yang dijelaskan oleh penguasa negara dalam partisipasi secara berkelanjutan. (b). Kekuasaan yang relatif terpusat di tangan presiden. Kekuasaan yang tersentralisasi itu, persaingan politik tidak terjadi dalam skala nasional dan kekuasaan tidak diperoleh dengan pemupukan dukungan massa, melainkan kompetisi antarpribadi dalam lingkungan elit tertinggi, khususnya yang memiliki kedekatan personal dengan presiden. Ketika pada pemilu orde baru, Golkar selalu menang. Rezim orde baru melakukan depolitisasi, deparpolisasi, monoloyalitas birokrasi, kebajikan massa mengambang (floating mass), fusi partai politik, penerapan asas tunggal sampai pada intervensi partai politik lain untuk memenangkan Golkar. Kondisi ini membuat partai politik lain seperti halnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak dapat berkompetisi secara sehat. Sehingga kedua partaiitu pun tidak berkembang dengan baik. Melalui kebijakan masa mengambang, PDI dan PPP tidak dapat memiliki kepengurusan pada tingkat desa atau kelurahan yang merupakan basis 105 dukungan partai politik. Selain itu, akibat dari kebijakan asas tunggal, partai politik tidak dapat berinovasi membuat da menawarkan program serta platform guna mendapat dukungan masyarakat. Orde baru memperoleh dukungan masyarakat dengan melakukan legitimacy by procedure dan legitimacy by result didasarkan atas pembangunan ekonomi. Pemilu pada orde baru dilakukan dengan tertib tanpa konflik kekerasa, dan teratur, namun tidak demokratis (Hidayat, 2005). Ketentramaan ini berubah saat orde baru runtuh dan digantikan dengan erareformasi. Salah satu produk dari reformasi ialah munculnya beragam partai dengan aneka asas membuat persaingan mendapatkan suara pasca orde baru semakin marak. Tiga partai besar yang selama tiga puluh tahun memonopoli kini sudah memiliki banyak saingan. Selain jumlah yang bertambah banyak, partai politik pasca orde baru juga memiliki heterogenitas yang tinggi dalam asas dan platform. Hal ini tidak hanya menjadi identitas dan semangat perjuangan partai, tapi juga menjadi modal bagi partai politik untuk mendapat dukungan masyarakat. Tabel : 01. Jumlah Partai Politik di Indonesia Periode Orba dan Pasca Orba Sumber: konstruksi penulis Selain jumlah partai politik yang turut serta dalampemilu bertambah banyak, era reformasi juga turut menumbuhkan beragam ideologi partai. Siapapun diperkenankan untuk membuat partai dan diberikan kebebaan dalam menentukan asas dan platform partainya. Keadaan ini membuat tawaran ideologi terhadap khalayak, dalam hal ini pemilih semakin bervariasi. Tidak hanya itu saja, era reformasi juga membuka partisipasi rakyat untuk memilih presiden secara langsung. Pada pemilu 2004 yang lalu, untuk pertama kalinya Indonesia memilih presiden secara langsung. 106 Rakyat tidak lagi menggunakan perantara DPR untuk memilih siapa pemimpinnya secara langsung. Sistem pemilihan presiden langsung memiliki sejumlah aspek positif dalam mendorong perubahan politik dan transisi demokrasi di Indonesia. Salah satu aspek positifnya sistem ini memberikan kesempatan kepada voters memberikan penilaian pada kandidat-kandidat presiden. Proses ini mendorong sekaigus menuntut kematangan politik pemilih dalam partisipasi politik mereka (legowo, et al, 2004). Kompetisi antar partai politik untuk mengenalkan ideologi, calon kandidat serta meraih suara makin dinamis. Komunikator politik mulai mencari berbagai macam cara untuk mencapai tujuannya. Mereka dituntut untuk lebih inovatif serta kreatif dalam menyampaikan gagasan dan gagasanya kepada khalayak. Proses ini membutuhkan konsep dan strategi yang tidak mudah. Ilmu politik, uang serta kemampuan berpolitik saja tidak bisa dijadikan andalan. Kondisi politik bisa diibaratkan laiknya pasar. Ada penjual, ada barang serta ada pembeli. Partai dan komunikator politik bisa diibaratkan sebagai penjual. Ideologi, program dan kandidat bisa dianalogikan sebagai barang. Sementara khalayak disamakan dengan penjual. Istilah pasar ini jika dikaitkan dengan perubahan sistem serta tatanan politik orde baru ke era reformasi, maka telah terjadi pula perubahan nuansa “pasar” pada politik di Indonesia. Perubahan pasar dalam pemilu pasca orde baru menimbulkan praktik kampanye politik. Ini dapat ditinjau dari perubahan sistem kepartaian, penambahan jumlah partai yang berkompetisi serta munculnya beraneka asas ideologi. Fenomena ini bisa dikaji dalam political marketing atau marketing politik. Pemilihan langsung presiden yang menjadikan posisi pemilih lebih strategis juga merupakan pemicu pertumbuhan marketing politik di Indonesia. Seperti sekarang ini, marketing politik menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Bukan hanya partai-partai baru dan relatif kecil pendukungnya yang memerlukan marketing politik guna menaikan citra dan popularitasnya agar dapat meraih suara yang memadai, tetapi juga partai-partai besar yang telah eksis dan mapan pun tidak bisa meremehkan kehadiran instrumen yang satu ini. Bila partai-partai besar yeng telah eksis dan mapan tidak ingin suaranya tergerus atau melorot posisinya pada pemilu mendatang. Potensi khalayak pemilih yang begitu besar di Indonesia sudah seharusnya mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh partai politik. Konsep marketing politik sudah selaiknya dimaksimalkan. Tulisan ini akan, menguraikan secara umum betapa politik membutuhkan peran marketing. II.. PEMBAHASAN 2.1. Marketing dan Marketing Mix dalam Politik Secara umum marketing politik dibutuhkan untuk meraih sebanyak-banyaknya dukungan suara (saat pemilu) dari rakyat. Persaingan antar partai atau komunikator politik tidak bisa dihindari lagi. Pengetahuan akan disiplin ilmu politik saja tidak mencukupi untuk bisa bersaing dalam kancah perebutan kekuasaan (pemilu), terlebih dalam alam demokrasi. Dibutuhkan kemampuan supaya bisa menang dalam persaingan dan mendapat simpati, empati serta suara terbanyak. Momentum reformasi telah mengubah tatanan politik serta sistem politik di Indonesia. Partai politik baru sudah mulai banyak berunculan. Aneka ideologi yang ditawarkan pada khalayak semakin variatif sehingga program partai yang ditawarkan juga beragam. Sebenarnya marketing politik di Indonesia telah ilakukan ketika zaman orde baru. Namun ketika itu tiga partai yang berkompetisi untuk pemilu tidak bisa mengembangkan ideologinya. Serta pada zaman itu pemerintah sangat membatasi gerak partai politik dengan hadirnya regulasi-regulasi yang mengkondisikan hanya Golkar yang mampu menang. Alam demokrasi sangat mendukung situasi berkembangnya marketing politik. Siapapun berhak menyampaikan dan menyalurkan aspirasi serta idenya kepada siapapun selagi dalam batasan norma yang berlaku. Idealnya iklim sperti ini meberikan nuansa positif bagi perkembangan marketing politik. Dalam iklim politik yang penuh dengan persaingan terbuka, kontestan membutuhkan suatu metode yang mampu memfasilitasi mereka dalam memasarkan inisiatif politik, isu politik, gagasan politik, ideologi politik, karakteristik pemimpin partai dan program kerja partai kepada masyarakat. Perlu suatu strategi untuk memenangkan persaingan politik agar kontestas dapat memenangkan pemilu. Aspek ekonomi tidak bisa dipisahkan dalam politik. Faktor ini menjadi salah satu modal selain dari ideologi, program serta kandidat. Dari sinilah marketing politik mulai berperan. Secara spesifik pendekatan ekonomi politik pada pemilu berguna untuk melihat bagaimana partai politik (kandidat) dengan sumber daya terbatas dapat memperoleh dukungan suara dalam pemilu serta memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Ada relasi jelas antara ekonomi dari partai politik dengan masyarakat dan partai politik dengan pengiklan dan konsultan politik. Terdapat tiga konsep dasar yang sering di gunakan dalam menganalisa ekonomi pemilu, yaitu market structure, market conduct, dan market performance (Albarran,1996). Market structure ditentukan oleh dua hal, yaitu: jumlah partai politik (kandidat) yang ada serta analisa partai politik (kandidat) terhadap kompetitornya. Pengguna istilah market structure digunakan untuk menggambarkan bagaimana persaingan terjadi dalam pasar atau lingkungan tertentu. Dalam hal ini, terdapat beberapa hal yang masuk dalam kategori pasar politik, yaitu barrier to entry, number of seller/buyer (market player), product differensiation. Market conduct mengacu pada kebijakan dadn perilaku partai poltik atau kandidat serta masyarakat (voters) dalam pasar politik. Adapun market performance melibatkan analisa kemampuan partai politik dan kandidat dalam mencapai tujuan berdasarkan kriteria kinerja. Menurut Baines, terdapat lima komponen yang dapat digunakan dalam marketing performance, yaitu share vote (perolehan suara), seats won (kedudukan), voters satisfaction, voters confidence dan voters interaction. Dalam pasar politik setidaknya ada tiga pihak yang melakukan transaksi, yaitu masyarakat (voters), partai politik dan kandidat. Ketiganya melakukan transaksi dalam arena politik yang dibatasi pelbagai aturan. Dalam hal ini kedudukan pemilih setara dengan konsumen politik yang menghendaki adanya demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan ekonomi secara langsung atau tidak (Rachbini, 2002). Terkait dengan konsep political marketing terdapat dua pandangan utama. Pertama, kajian marketing politik memfokuskan diri pada pemahaman aktifitas marketing dalam politik, penggunan sarana dan strategi marketing kegiatan politik. Kedua, marketing politik sebagai disiplin akademis secara lebih menyeluruh berusaha memahami kehidupan politik. Meski sekilas nampak sama namun perlu dibatasi lebih lanjut mengenai perbedaan marketing dunia bisnis dengan marketing dalam politik. Kendati marketing mix (product, promotion, price dan place) tetap berlaku dalam dunia politik, akan tetapi ada nuansa-nuansa politik yang harus disimak karena ada perbedaan tujuan politik dengan tujuan bisnis. Scamell dalam Firmanzah (2008) menyebutkan bahwa kontribusi marketing dalam dunia politik terletak pada strategi untuk dapat memahami dan menganalisa apa yang diinginkan dan dibutuhkan para pemilih. Aktifitas politik harus sesuai dengan aspirasi masyarakat luas. Saatnya kita meyakini bahwa sudah berakhir mekanisme politik yang mencanangkan isi serta pesan politik dari atas ke bawah dari elit politik. Mayarakat saat ini semakin sadar akan hak dan 107 kewajiban politik mereka. Selain itu, seiring dengan semakin mengakarnya budaya konsumerisme, masyarakatpun menjadi semakin pragmatis menyikapi hal-hal yang berlangsung dikancah politik. Mereka memperhatikan apa yang dilakukan partai politik atau kontestan untuk menyelesaikan permasalahan yang melanda mereka. Secara pragmatis, bagi mereka dunia politik bukan semata-mata permasalahan ideologi. Politik harus membumi serta mencari jalan keluar bagi permasalahan bangsa dan negara. Janji politik saja dirasa semakin tidak memadai. Masyarakat menuntut realisasi janji yang diberikan ketika kampanye. Dalam hal ini metode marketing mampu memberikan kontribusi positif untuk memahami pemilih. Ilmu marketing politik relatif baru jadi masih membutuhkan kontribusi dari semua pihak. Politikus, akademisi, maupun marketing. Media massa juga diharapkan berkontribusi juga sehingga meningkatkan pemahaman serta mengoptimalka modal yang ada dalam melakukan komunikasi politik. Laczniak serta Lock dan Harris dalam Firmanzah (2008), marketing politik masih meninggalkan segudang pertanyaan yang menyangkut etika dan moral. Penggunaan pendekatan marketing politik dalam kancah politik justru akan menjadi dunia politik tidak ubahnya seperti dunia bisnis kapitalis serta implikasinya yang sarat dengan manipulasi informasi. Sebuah tantangan besar bagi disiplin ilmu marketing politik untuk keluar dari pertanyaan-pertanyaan yang masih membelengu akibat dari penggabungan dua disiplin ilmu, yakni marketing dan politik. Tidak hanya bagi dunia akademisi dan konsultan, melainkan juga praktisi politik. tentunya tujuan akhir dari marketing politik adlah membuatnya menjadi disiplin ilmu yang memberikan kontribusi dalam penataan kehidupan sosial masyarakat yang selalu berubah. Meskipun segudang pertanyaan masih menghantui dalam hal yang menyangkut etika dan moralitas marketing politik, hal ini tidak mengurangi minat politikus untuk mengembangkan ilmu ini. O’Cass dalam Firmanzah (3008), falsafah marketing politik memberikan arahan tentang cara menerapkan ilmu marketing dalam dunia politik. Pada dasarnya ilmu marketing melihat bahwa kebutuhan konsumen adalah hal terpenting, sehingga perlu diidentifikasi dan dicari cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Konsep marketing komersial berdasarkan pada premis bahwa semua perencanaan dan operasi perusahaan berorientasi pada pemuasan kebutuhan konsumen. Ketika falsafah marketing diaplikasikan dunia politik oleh partai politik atau seorang kandiat, maka para kandidat ini harus mampu menangkap kere 108 sahaan dan permasalahan mendasar yang berkecamuk ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Dengan demikian program-program yang mereka tawarkan akan mampu menjawab akar permasalahan yang ada. Tidak hanya itu saja, dengan mengetahui permasalahan serta kebutuhan khalayak, maka akan mampu menumbuhkan keyakinan pemilih untuk memberikan suara pada partai politik atau calon presiden bersangkutan. 2.2. Peran Marketing dalam Politik Tidak ubahnya dengan aktifitas sosial lain, dunia politik telah menjadi terbuka dan transparan. Dunia politik juga dituntut adanya persaingan. Bahkan bisa dikatakan dunia politik sangat kental dan pasti diwarnai dengan persaingan. Persaingan terjadi dalam rangka memperebutkan hati konstituen dan membuat mereka memilih kandidat (partai politik atau kontestan individu) masing-masing selama periode pemilu. Persaingan tidak hanya terjadi antara kontestan dalam memperebutkan konsumen mereka, melainkan juga dalam lobi-lobi politik diparlemen. Persaingan ini menuntut masing-masing konsumen untuk memikirkan cara dan metode yang efektif untuk mampu berkomunikasi dan dan meyakinkan konstituen bahwa kandidat atau partai politik merekalah yang paling laik dipilih. Pada konteks ini marketing lebih dilihat secara filosofis dan pusat perhatian marketing ialah adanya upaya membuat konsumen membeli produsk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Tugas dan peran ilmu marketing adalah melancarkan fungsi transaksi ekonomi dalam mengefisienkan distribusi barang dan jasa produsen kepada konsumen. Penggunaan ilmu marketing di luar konteks perusahaan bisnis dan masuk ke sistem yang lebih luas seperti interaksi sistem sosial dikhawatirkan akan menghancurkan struktur sosial dan menurunkan reputasi ilmu marketing itu sendiri. Sesungguhnya marketing politik sudah lama berjalan di Indonesia, seperti halnya di jaman orde baru banyak spanduk-spanduk berisi tentang ajakan bergabung untuk mengikuti tabligh akbar atau musyawarah daerah yang dibuat besar-besaran dan dipasang di tempat strategis. Lebih jauh, marketing hari ini tidak lagi hanya berbicara tentang jual menjual barang, melainkan terkait dengan masalah pengembangan produk, membangun citra, inovasi, pemahaman terhadap konsumen dan sampai pada proses-proses yang sifatnya relasional. Dalam aktifitas marketing tidak jarang sebuah organisasi mengemas informasi berbeda dengan kenyataan. Bahkan sampai memanipulasi informasi yang disampaikan. Pada kaitan ini, konsumen hanya diberi informasi yang menyangkut satu sisi saja, yaitu informasi yang sifatnya menguntungkan perusahaan atau organisasi saja. Reliff dalam Firmanzah (2008) Konsumen lebih dilihat sebagai korban manipulasi informasi. Meski kehadiran politik dalam sistem sosial ditujukan untuk memperbaiki kondisi dan kualitas masyarakat suatu komunitas (negara) melalui kontrak sosial. Politik berkaitan erat dengan upaya melakukan strukturasi dan mengatur eksistensi sosial. Selain itu, politik berkaitan erat pada pemrosesan sebuah ide. Inilah yang dikhawatirkan bahwa marketing akan meracuni dunia politik dengan cara eksplitasi dan manipulasi. Penggunaan metode marketing yang berlebihan dalam dunia politik hanya akan melahirkan komersialisasi politik dan mereduksi arti politik itu sendiri. Meluasnya penggunaan TV, media cetak dan radio serta internet sebagai media pengiklan dan publikasi dikhawatirkan akan semakin menjauhkan masyarakat atas ideologi sebuah partai dengan massanya. Masyarakat akan lebih cenderung memperhatikan aspek artistik dari sebuah iklan politik ketimbang pesan politik itu sendiri. Fenomena iklan partai Gerindra pada kampanye 2009 bisa dijadikan contoh untuk kasus ini. Selain itu, keberatan ini bisa dikaitkan pula dengan gejala yang telah disebutkan, yaitu masuknya para pengusaha ke dunia politik. Mereka adalah orang yang piawai dalam dunia marketing. Sekurangnya mereka didukung jagoan marketing. Melalui kemampuan marketing yang hebat, setidaknya mereka telah diuntungkan dalam kampanye dibandingkan dengan para pesaing mereka yang boleh jadi belum menguasai marketing politik. Perlu dipahami bahwa isu politik berkaitan erat dengan ideologi dan nilai-nilai. Isu politik tidak selamanya bisa disamakan dengan produk barang. Isu politik lebih pada sistem nilai simbol yang menghubungkan individu dan struktur sosial. Antara marketing dan politik adalah dua sistem yang berbeda. Masing-masing struktur memiliki atruran sendirisendiri. Penerapan marketing politik tidak membabi buta dan sudah seharusnya memperhatikan kondisi masyarakat serta kearifan lokal. Kekeliruan dalam penerapan marketing politik justru malah menjauhkan masyarakat terhadap dunia politik. Sampai saat ini beberapa iklan politik yang bernada mencibir dan mengejek dapat ditemui dalam kampanye di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa iklan politik masih belum mampu menarik perhatian masyarakat secara positif. Bahkan kondisi yang terjadi sebaliknya Beberapa kelompok masyarakat merasa marah dan geram kepada elit politik yang hanya memikirkan kepentingan mereka untuk memenangkan pemilu tanpa memikirkan oersoalan yang terjadi pada rakyat. Sehingga tidak mengherankan terdapat beberapa iklan yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai tandingan iklan politik yang dibuat para elit. Ini juga menunjukkan bahwa penyusunan iklan politik perlu memperhatikan kondisi dan situasi yang dihadapai masyarakat. Lock dan Haris dalam Firmanzah (2008), menyatakan adanya perbedaan yang mendasar antara politik dengan produk jasa komersil, diantaranya: a. dalam pemilu, semua pemilih akan memberikan suara dalam sehari secara bersamaan. Fenomena seperti ini tidak dapat ditemui dalam pembelian produk dan jasa komersil. b. Walaupun dimungkinkan adanya kekecewaan dalam jangka panjang setelah memberikan suaranya, kenyataanya tidak ada harga nominal yang dibayar ketika memilih sebuah partai atau calon presiden. c. Meskipun tidak ada harga yang harus dibayar, selain pindah dukungan ke partai lain, pemilih harus menerima hasil pilihan kolektif walaupun itu berbeda dengan pilihannya. Perihal ini berbeda dengan prilaku konsumen pada produk komersil. d. Partai politik dan calon yang diusung adalah produk tidak nyata (intangible), masing-masing pemilih tidak akan dapat menganalisa secara utuh. Sebagai konsukuensinya, kebanyakanpemilih akan mengartikan partai politik dan kandidat dari pesan-pesan yang diterima dan pengalaman masa lalu. Jika pemilih merasa membuat kesalahan dalam memilih partai atau seseorang kandidat, maka dengan rela dia harus menunggu pemilu berikutnya. Tabel : 02 Perbedaan Politik dengan Iklan Jasa dan Komersil 109 Kesepakatan inilah yang menjadi aturan resmi dan tertulis maupun yang sebatas kesepakatan saja. Aturan politik ini berbeda antara satu negara dengan negara lain. Walau secara garis besar ada kecenderungan gelombang demokrasi di seluruh belahan dunia yang mengedepankan keterbukaan dan dialogis, namun aturan seperti parlemen, budget pemilih, jumlah partai pasti punya perbedaan antar negara. Sumber: Lock dan Haris dalam Firmanzah (2008) 2. 4. Persaingan Politik 2.3. Pasar dan Konsumen Politik Dengan semakin kuatnya cengkraman gaya kapitalisme dalam kehidupan masyarakat, hampir semua bidang bernuansa kapitalis juga. Cara-cara yang digunakan dalam berpolitikpun tidak bisa lepas dari cara-cara kapitalis. Pada era reformasi ini menuntut para pelaku politik untuk piawai dalam memukau dan memikat hati rakyat pemilih. Politik tidak ada bedanya dengan pasar. Karena itu marketing diperlukan untuk mendapatkan pangsa pasar sebesar-besarnya. Sebenarnya hal ini juga berlaku pada masa lalu, namun cara-cara otoriter yang diterapkan pada masa itu membuat kenyataan ini tersamar. Dunia politik juga terdiri dari produsen dan konsumen. Sebagai produsenya adalah partai-partai atau kontestan individu yang menjadi pihak yang penghasil produk politik. Seperti halnya dalam dunia bisnis, produk itu akan ditawarkan kepada masyarakat. Dipihak lain, masyarakat dalam hali ini menjadi konsumen politik yang menentukan dan memilih partai politik serta produk partai politik. Masyarakat memiliki serangkaian pilihan dan rasionalitas dalam menentukan pilihannya masingmasing. Interaksi antara produsen dan konsumen politik inilah yang menciptakan pasar politk. Masingmasing pihak yang terlibat berupaya memaksimalkan kepentingannya sendiri-sendiri. Partai politik akan berusaha mencari sebanyak mungkin pemilih yang pada giliranya akan menaikkan posisi tawar atau posisi runding (bargaining posistion-) mereka sekaligus untuk memenangkan pemilu. Sementara masyrakat akan memilih dan mencari partai politik dan kontestan yang menawarkan produk politik yang paling bisa memuaskan kebutuhan mereka. Kebutuhan konsumen yang dimaksud disini adalah pemecahan dan solusi yang segera atas permasalahan yang sedang dihadapi. Setiap pasar, apapun jenisnya, akan memiliki perangkat dan aturan main yang mengatur interaksi aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Pasar membutuhkan kesepakatan orang-orang yang terlibat. 110 Konsekuensi logis dari gelombang demokrasi adalah semakin berkurangya praktik kekuasaan totaliter dan sistem politik tertutup. Keadaan ini membuat masing-masing partai politik dan kontestan individu memiliki peluang yang sama untuk memenangkan persaingan dalam perebutan suara rakyat dalam pemilu. Persaingan yang terjadi antara partai-partai politik dan kontestan individu menjadi ciri khas yang mewarnai dunia politik di dunia ini. Masing-masing pihak memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilu. Semakin berkurangnya praktek-praktek kolusif dan rekayasa yang dilakukan penguasa terhadap partai atau calon individu tertentu membuat para kontestan harus berhadapan langsung dengan masyarakat sebagai pemilih. Situasi seperti ini telah membuat masyarakat menjadi satu-satunya acuan bagi para kontestan dalam menyusun program kerja mereka. Marketing baru terlihat signifikan bila di sana terdapat persaingan. Dalam hal memenangkan persaingan diperlukan instrumen, dan marketing menyediakan berbagai instrumen yang diperlukan untuk memenangkan persaingan tersebut. Bagi para politik serta politisi, persaingan menjadi menu utama. Berangkat dari inilah, maka marketing politik bagi partai politik dan politisi menjadi alat yang cukup penting. Agar marketing politik dapat efektif, maka partai politik atau politisi harus mampu merumuskan satu fokus atas sasaran yang akan dituju. Partai politik harus mampu mengenali konstituennya, simpatisan dan terus menerus mengamati apa yang dilakukan oleh para pesaingnya. Dengan demikian, maka partai politik akan mampu merumuskan ‘citra target’ yang diinginkan dan mempunyai fokus dalam membidik targetnya. Partai politik harus mampu membuat komunikasi politik sesuai dengan karakter masyarakat yang sedang menjadi target. Apabila target yang akan dicapai adalah para petani, maka tema yang dibicarakan lebih banyak berkisar soal pertanian, seperti halnya pupuk. Ini dilakukan untuk meyakinkan mereka atas produk politik yang harus mereka pilih. Partai politik tidak cukup berkampanye jika mendekati pemilu saja, melainkan kampanye harus terus dilakukan secara simultan dan berkesinambungan. Sebelumnya, masyarakat kekurangan informasi politik, tapi saat ini masyarakat telah kebanjiran informasi politik. Dalam situasi semacam ini, partai politik harus pandai mengemas informasi politik. Sehingga informasi politik itu dapat diterima dengan baik oleh publik yang menjadi sasaran pembentukan citra. Citra dalam politik memegang peranan yang sangat penting. Apabila citra seseorang sudah terlanjur rusak, maka sangat sulit untuk memperbaikinya. Sebab itu, dalam pencitraan, semua harus dihitung dengan akurasi dan presisi tinggi. Namun yang perlu diperhatikan, citra partai tidak ada gunanya apabila tidak dibarengi dengan kondisi riil dalam partai politik itu sendiri. Pada persaingan politik untuk memperebutkan hati masyarakat luas terdapat pergeseran pola dalam kehidupan politik . Jika awalnya mereka memperebutkan hati penguasa, pada sistem demokrasi sekarang ini mereka harus memperebutkan hati masyarakat. Supaya hasil marketing politik lebih maksimal, maka partai politik sebaiknya tidak hanya berkutat pada pemanfaatan akses massa dan riset politik belaka, tetapi perlu ditambah dengan pola atau strategi lain yang lebih kreatif dan inovatif. Sebab sejatinya aktifitas marketing politik tidak hanya terpaku pada dua hal itu saja tapi masih banyak yang lain. Pada masa otoriter atau sistem politik tertutup, partai politik atau calon individu adalah kepanjangan tangan dari penguasa atau rezim yang berkuasa. Pada batasan itu kontestan berlomba mendekati para penguasa karena penguasa memiliki semua akses politik. Sementara itu, pada era reformasi di Indonesia ini, cara-cara tersebut sudah tidak relevan lagi. Partai politik atau kontestan individu semakin dituntut untuk menjadi kreatif dalam melihat dan menganalisa permasalahan bangsa dan negara. Partai politik atau kontestan individu semakin dituntut untuk menjadi kreatif dalam melihat dan menganalisa permasalahan bangsa dan negara. Masyarakat menjadi sangat kritis dan pada saat bersamaan ikatan ideologis partai yang tidak terlalu kuat seperti dulu. Konsekuensinya, partai politik yang paling baik dalam menyusun program kerjanya, maka akan memiliki peluang paling besar untuk memenangkan pemilu. Persaingan untuk memperebutkan hati dan perhatian masyarakat tidak dapat dilakukan sendiri oleh partai dan kontestan. Pada hal ini media dan tentunya media dan pers sangat dibutuhkan. Melalui media, cakupan penyebaran informasi, program kerja dan produk politik lainnya akan menjadi lebih efektif dan lebih luas. Kondisi ini membuat partai politik dan calon individu harus bekerjasama dengan media dan pers. Ada hubungan timbal balik antara partai politik dengan media dan pers. Partai politik membutuhkan merekam dan mendistribusikan produk politiknya. Sementara media dan pers membutuhkan berita dan informasi sebagai produk mereka yang bisa diperoleh dari partai politik tadi. Dengan demikian partai politik dan calon individu membutuhkan media dan pers dalam memperebutkan hati rakyat. III. PENUTUP Dalam era demokrasi liberal dan pasar global, praksis politik tidak mau ketinggalan dengan produk lainnya, kampanye kandidat dan pemasaran program politik melalaui media massa menjadi wacana menarik. Terdapat banyak manfaat yang bakal didapat dari penggunaan marketing politik tersebut. Pertama, membantu partai politik untuk mengenal masyarakat, termasuk kebutuhan dan persoalan masyarakat lebih baik. Kedua, dapat mengembangkan program kerja atau isu politik yang sesuai dengan aspirasi masyarakat/konstituen. Ketiga, mampu berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat/konstituen melalui berbagai media sebagei salurannya. Dibalik manfaat-manfaat itu, sebagian orang masih menaruh curiga terhadap marketing politik. Masyarakat luas masih banyak yang mempunyai persepsi negatif terhadap istilah marketing politik. Hal ini bisa terjadi karena marketing politik diidentifikasikan sebagai penjualan sebuah produk industri dan bahkan sebagian orang menganggap marketing politik sebagai bentuk dari komersialisasi politik. Terlebih ketika ideologi dan program politik serta kandidat yang diiklankan. Pendapat orang yang kurang setuju akan mengasumsikan bahwa ideologi, program partai serta kandidat telah dikomersilkan. Pada sistem pemerintahan yang demokrasi, marketing politik bisa dijadikan sebagai salah satu sarana untuk merebut hati serta suara pemilih. Terlebih pada era konvergensi media dan global seperti saat ini, marketing politik menjadi hal yang tidak dapat lagi ditinggalkan. Apalagi struktur masyarakat berubah secara dinamis. Kondisi masyarakat lebih mandiri, transparan, mobilitas tinggi sehingga mempunyai peluang besar untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi dengan biaya yang relatif terjangkau. Namun efektifitas marketing politik dalam kampanye dan pemilu tetap masih perlu pembuktian dan penelitian lebih lanjut. 111 DAFTAR PUSTAKA Albarran, Alan B. 1996. Media Economics. Understanding Market, Industries and Concept. Iowa. Iowa State University Press. Baimess, Paul R. 1999. Voter Segmentation and Candidates Positioning. London. Sage. Firmanzah. 2008. Marketing Politik antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hidayat, Syahrul. 2005. Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum Di Indonesia. Jakarta. Universitas Terbuka. Hidayat, Dedy N et al. 2002. Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Volume IV/ No.3, September-Desember 2005, Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI. Legowo, T et al. 2004. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisa dan Kritik. Jakarta. Ristek dan CSIS. Rachbini, Didik J. 2006. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik, Jakarta, Ghalia Indinesia. 112