KEGIATAN BELAJAR 2 Pendidikan Musik dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara 1. SEKILAS KI HADJAR DEWANTARA Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Nasional ini lahir di Yogyakarta tanggal 2 mei 1889. Terlahir dari lingkungan keluarga keraton Yogyakarta, sesungguhnya ia bernama Raden Mas Suwardi Soeryaningrat. Ratusan tulisan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang ditulisnya sejak ia mendirikan perguruan taman siswa, merupakan bukti besarnya perhatian dan keseriusannya terhadap dunia pendidikan. Berkat jasa-jasanya yang besar maka hari kelahirannya senantiasa diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Kemahirannya dalam menulis mengantarkannya pada profesi sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Ia berjuang melalui goresan penanya. Salah satu tulisannya mengkritik dengan pedas pemerintah Belanda yang memungut dana dari negara-negara jajahannya, untuk memperingati bebasnya Belanda dari jajahan Perancis. Tulisan yang dimuat surat kabar Ekspres milik dr. Douwes Deker ini, menyebabkan ia dibuang ke Pulau Bangka oleh pemerintah Belanda. Persabatannya dengan Douwes Deker (dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo diwujudkan dalam sebuah partai politik bernama Indische Partij, yang terbentuk tanggal 25 Desember tahun 1912, dan bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Douwes Deker dan Cipto Mangoenkusumo memprotes keputusan pemerintah Belanda yang memberlakukan hukuman “buang” terhadap Ki Hajar Dewantara. Akibatnya merekapun diasingkan ke Kupang dan pulau Banda. Mereka tidak menerima keputusan tersebut dan meminta agar ketiganya di hukum buang ke negeri Belanda. Pemerintah Belanda mengabulkan permintaan mereka bertiga, sehingga pada bulan Agustus 1913 mereka dikirim ke Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ki Hajar Dewantara untuk belajar mengenai pendidikan dan pengajaran, hingga ia memperoleh Europeesche Akte. Tahun 1918 ia kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatian pada dunia pendidikan. Pendidikan digunakan sebagai bagian dari alat perjuangan untuk meraih kemerdekaan yang dicita-citakannya. Pada tanggal 3 juli 1922 ia mendirikan perguruan Nasional Taman Siswa. Perguruan ini menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik, agar mereka mencintai bangsa dan tanah air, serta berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Bandjar (2004) menjelaskan bahwa gelar kebangsawanan di depan namanya seringkali membatasi kebebasannya dalam bergerak. Keinginannya yang besar untuk senantiasa merasa dekat dengan rakyat baik secara batin maupun lahir/fisik, menyebabkan ia memutuskan untuk mengubah namanya dengan nama Ki Hajar Dewantara, tepat di usianya yang empat puluh tahun. Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Analoginya seperti Kyai Semar dalam pewayangan yang menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, guna mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini. Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Melalui perubahan nama ia ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria, yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria. Guru Spiritual yang berjiwa satria adalah guru yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Perjuangan panjang untuk meraih kemerdekaan melalui jalur pendidikan, terus dijalaninya dengan penuh semangat, hingga akhirnya Indonesia merdeka. Presiden Soekarno mempercayainya sebagai menteri pendidikan Indonesia, dengan demikian ia merupakan menteri pendidikan Indonesia yang pertama. Tahun 1957 ia memperoleh gelar Dr. Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, dan dua tahun kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan pendidikan dan pahlawan pergerakan nasional. 2. PANDANGAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN MUSIK Pada kegiatan belajar satu dijelaskan bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan musik mencakup pemahaman tentang kealamiahan atau sifat dasar dan pemaknaan pendidikan musik. Selain itu dijelaskan pula bahwa filsafat pendidikan musik sebagai upaya kritis untuk meninjau kembali konsep dan keyakinan–keyakinan tentang pendidikan musik, memiliki fungsi untuk memberikan arah dan petunjuk bagi pelaksanaan pendidikan musik. Hal-hal ini akan menjadi dasar dalam pembahasan berikut berkaitan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan musik. a. Sifat Dasar dan Makna Musik Menurut Ki Hajar Dewantara Pembahasan mengenai sifat musik, akan berkaitan dengan pengertian-pengertian seni dalam kehidupan manusia, karena musik merupakan salah satu cabang seni. Menurut Ki Hajar Dewantara seni yaitu segala perbuatan manusia yang timbul dari hidupnya perasaan dan sifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa/perasaan manusia. Perasaan dan sifat indah Perbuatan Manusia Menggerakkan jiwa dan Seni perasaan manusia Diagram di atas menjelaskan seni merupakan perbuatan manusia. Manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan binatang atau mahluk lainnya, karena manusia adalah mahluk yang beradab dan berbudaya. Beradab berarti gerak raga dan gerak jiwanya menunjukkan sifat halus dan luhur. Berbudaya berarti sanggup dan mampu mencipta segala sesuatu yang mengandung corak keluhuran dan keindahan. Seni timbul dari jiwa manusia yang berbudi luhur, karena proses terjadinya seni melibatkan rasa keindahan, pemikiran yang diperhalus oleh rasa kemanusiaan, dan rasa moral/etika. Terolahnya rasa keindahan, pemikiran dan rasa etika/moral saat seseorang berkesenian, menuntunnya untuk menjadi manusia yang berbudi luhur. Semua jenis seni termasuk musik, memiliki sifat dasar ketertiban yang dapat mewujudkan keindahan, atau dengan kata lain ketertiban dan keindahan merupakan sifat dasar seni. Mengapa demikian? Mengenai hubungan antara seni musik, dengan ketertiban dan keindahan dapat kita pahami dari beberapa tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkumpul dalam buku “Karya Ki Hadjar Dewantara”. Ada tulisan yang menjelaskan bahwa gending ialah wirama dalam bentuk suara, atau wirama yang dapat didengar. Wirama merupakan jiwanya gending, sedangkan suara adalah raganya gending. Wirama adalah tanda dari segala yang hidup seperti teraturnya kodrat alam, pergantian siang dan malam, perputaran dunia, jalannya matahari dan bulan, ... semuanya memakai wirama yang jelas ialah teratur, tertib, harmonis, patut dan sebagainya (ketertiban simetri). Wirama : Sifat tertib yang berlaku dalam kehidupan Bersifat indah Memberi rasa senang/bahagia Bila kita amati bagaimana fenomena alam dan kehidupan maka ada proses pergantian yang berurutan, misalnya biji yang ditanam berubah menjadi tunas yang berdaun, tumbuh semakin besar hingga berbunga. Setelah berbunga ia akan berbuah, dari buah ini didapat biji, dan dengan biji inilah dapat dilangsungkan kembali kehidupan suatu tanaman. Ada proses yang berurutan, tetapi wujud setiap tahapan tidak sama, waktu yang dibutuhkan untuk setiap tahapanpun tidak selalu sama. Demikian pula halnya wirama dalam gending, bagian satu dengan bagian lain dalam gending tidak harus selalu sama. Patut dan runtutnya bagian satu dengan lainnya, merupakan aspek utama yang menjadi kekuatan suatu gending terasa indah, dan mampu menimbulkan kebahagiaan. Mengapa wirama bersifat indah dan dapat menimbulkan kebahagiaan atau rasa senang? Marilah kita amati cara seorang pembawa acara atau penyiar radio, berbicara. Apa yang diucapkannya tidak akan menarik bila ia berbicara dengan datar. Perlu aksentuasi tertentu dalam pengucapan kalimat, sehingga hal-hal pokok yang ingin disampaikan dapat dipahami dengan jelas. Mungkin ada bagian yang diucapkan lebih cepat dan semakin keras atau lebih lambat dan lembut, untuk menarik perhatian pendengar. Perilaku pembawa acara atau penyiar radio tersebut merupakan contoh penggunaan wirama dalam kehidupan. Wirama itu ialah segala getaran dan gerak yang teratur serta harmonis, cepat lambatnya laku, dalam dangkalnya ungkapan suara, berat ringannya greget (kegairahan), dan graita (pengertian). Semuanya selalu silih berganti hingga akhirnya menjadikan hidupnya suasana dan menimbulkan rasa yang mengesankan. (Dewantara, 1967:216) Untuk memperjelas pernyataan Ki Hajar Dewantara, kita dapat amati contoh suara kendang dalam gending Jawa. Cepat lambatnya laku terjadi karena desakan pukulan kendang. Dalam dan dangkalnya ungkapan suara disebabkan oleh adanya suara dung dan dang. Kegairahan akan muncul karena terjadinya variasi bunyi dang, dung, pak, tong dan tek dengan hiasan bunyi seperti delang, delung, sut, gembleb dan sebagainya. Tertib serta tertaturnya getar dan gerak selalu mengikuti suara tek. Dari suara-suara kendang saja kita sudah dapat temukan kekuatan wirama pada gending jawa sebagai perwujudan adanya hidup yang mengandung sifat indah dan menimbulkan perasaan senang, puas serta bahagia. Wirama atau irama merupakan salah satu kekayaan dan ciri khas musik Indonesia. Banyak sekali kita jumpai musik tradisi di nusantara ini yang didominasi oleh aspek wirama. Ada musik talempong dari Sumatera Barat, rampak beduk dari Banten, musik gambang kromong dari Betawi, gending gamelan Bali, Angklung dari Jawa Barat dan lain-lain. Permainan lesung, terbang, bedug dan ciblon (permainan air di sungai) merupakan musik yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Uraian-uraian di atas mudah-mudahan dapat membantu anda memahami pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang sifat dasar dari musik maupun seni. Uraian tersebut bermaksud memperjelas pandangan tentang musik sebagai perbuatan manusia yang memiliki sifat tertib dan indah. Setelah mempelajari tentang sifat dasar musik, marilah kita telusuri pandangan Ki Hajar Dewantara tentang makna musik dalam kehidupan manusia. Sebelum membahasnya lebih dalam, perlu kita sadari bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara lahir dalam suasana perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan, dan mempertahankannya. Rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi seringkali mengantarkannya pada pemikiran dikotomis tentang Barat dan Timur. Apa yang diungkapkannya merupakan hasil renungannya terhadap situasi saat itu Secara khusus Ki Hajar Dewantara seringkali membandingkan sifat lagu Timur dengan sifat lagu Barat. Karena pada hakikatnya dalam musik terdapat pengolahan rasa maka ia menjelaskan bedanya rasa barat dan rasa timur. Salah satu tulisannya pada sebuah majalah Keluarga, juli 1937, th ke-1 no. 8 mengandung intisari pemikiran sebagai berikut: Orang barat umumnya lebih mementingkan suara daripada wirama. Orang Timur lebih menghargai wirama daripada suara, oleh karenanya orang barat sering merasa gending gangsaran, kodok ngorek maupun kebo giro, kurang bervariasi dan menjemukan. Aesthetika menurut anggapan barat mengandung syarat berjenis-jenis, lengkap dan tertib. Sementara menurut anggapan kita hanya mengandung dua syarat yakni lengkap dan tertib. Istilah suara dalam kutipan di atas dapat diterjemahkan sebagai nada. Nada-nada dalam musik barat memiliki tempat yang lebih dominan dibandingkan musik Timur. Walaupun dalam musik Timur juga terdapat nada, tetapi kekayaan dan kekuatan wirama menjadi hal yang lebih diutamakan. Secara lugas Ki Hajar Dewantara menjelaskan “dalam hal musik, bolehlah kita tetapkan bahwa suaranya lagu itu sifat lahirnya, sedangkan wiramanya itu sebenarnya rohnya lagu” (Dewantara, 1962:333). Dari penjelasan ini kita dapat pahami bahwa penikmatan musik bagi orang Timur adalah penjelajahan batin, sementara bagi orang Barat penikmatan musik terjadi manakala ada penjelajahan materi/suara. Pandangan Ki Hajar Dewantara tersebut, memberi petunjuk bahwa seni sebagai perbuatan manusia yang mampu menggerakkan jiwa dan perasaan manusia, memiliki makna penting bagi kehidupan. Orang yang melakukan seni maka ia terus-menerus melatih ketertiban jiwa, yang dapat mempengaruhi ketertiban laku perbuatannya. Oleh karenanya seni termasuk musik dapat digunakan sebagai alat untuk membantu seseorang menjadi manusia yang berbudi luhur. Ilmu pengetahuan ada dua macam yakni pengetahuan yang mempunyai daya mempertajam dan mempercerdas pikiran dan pengetahuan yang mempunyai daya memperdalam dan memperhalus budi. Musik memiliki kekuatan untuk mempertajam dan mempecerdas pikiran serta memperhalus budi. Ki Hajar Dewantara memberi contoh adanya kedua hal tersebut dalam Sastra Gending. “Selain melatih kehalusan pendengaran, yang akan membawa halusnya rasa dan budi, latihan gending itu menjadi imbangan latihan bahasa, kedua-duanya tak dapat dipisahkan satu sama lain, untuk menuju kesempurnaan tindak kesarjanaan dan kesujanaan”(1962:303). Tindak kesarjanaan memiliki makna laku perbuatan yang didasari oleh ketajaman dan kecerdasan berpikir, sementara laku kesujanaan bermakna laku perbuatan yang dilandasi oleh kedalaman dan kehalusan budi. Penjelasan tersebut menggaris bawahi pemaknaan musik dalam konsepsi Ki Hajar Dewantara sebagai perwujudan nalar dan budi manusia. 3. Sifat Dasar dan Makna Pendidikan Musik Konsepsi Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan musik senantiasa berhubungan dengan pemikirannya tentang kebudayaan dan pendidikan manusia secara menyeluruh. Seni sebagai bagian dari kebudayaan merupakan perwujudan dari nalar dan budi manusia, oleh karena itu senantiasa sesuai dan cocok dengan budi manusia yang membuatnya. Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya belajar seni bangsa sendiri. Alasan yang dikemukakan berkaitan dengan pentingnya mempelajari seni bangsa sendiri, karena seni suatu bangsa sesuai dengan roh dari bangsa pemilik seni itu. Jika kita kembali pada dasar kulturil kita, jika kita mempelajari kesenian kita sendiri, bukannya itu berarti kita kembali kepada alam yang sudah lenyap, akan tetap kita mencari hubungan dengan alam yang lalu itu untuk meneruskan laku yang laras dengan kodrat kita, yaitu laku yang beraliran maju. Jika kita tidak berhubungan lebih dahulu dengan garis kulturil kita, boleh jadi kita lalu hanya dapat meniru, mengkopi atau memola kultur Barat, ...(1962:329). Memiliki jati diri merupakan modal utama untuk memiliki kepribadian matang yang amat diperlukan dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan. Meniru sesuatu dari luar tanpa memikirkan keselarasan dengan kepribadian diri akan membawa manusia pada mimpi yang berpeluang besar merugikan dirinya sendiri. Fenomena kehidupan kesenian kita saat ini bisa jadi merupakan buah dari lemahnya pendidikan seni kita yang kurang memperhatikan seni budaya bangsa sendiri. Apa yang dipikirkan oleh Ki Hajar Dewantara, ternyata menjadi kenyataan dalam kehidupan kita saat ini. Begitu banyak jenis kesenian, khususnya musik yang digemari masyarakat di seluruh tanah air, sebenarnya merupakan peniruan atau dalam istilah Ki Hajar memola seni musik dari Barat. Contoh konkritnya yakni musik-musik populer yang meraup keuntungan milyaran rupiah. Sementara seni musik tradisi kita seperti gamelan, kecapi suling, talempong dll, hidupnya kembang kempis. Hanya sedikit kalangan yang mengapresiasinya dengan baik. Implikasi dari perilaku peniruan ini juga nampak pada wujud kebudayaan lainnya seperti cara berbusana, gaya hidup, cara berpikir dan bertindak. Kita perlu memikirkan dan menyikapi pemikiran Ki Hajar Dewantara tersebut dalam perbuatan nyata melalui pendidikan seni, agar kita tidak terus-menerus berada dalam situasi kebudayaan yang diombang-ambingkan oleh negara lain. Pendidikan seni termasuk penddikan musik, sesungguhnya memiliki kekuatan untuk membantu manusia Indonesia mewujudkan kehidupan lahir batin yang lebih baik. Seperti dijelaskan Ki Hajar Dewantara, sifat dari seni termasuk musik, sesungguhnya adalah ketertiban dan keindahan. Oleh karenanya sifat dari pendidikan musik tidak lain adalah pendidikan ketertiban dan keindahan atau pendidikan etis/moral dan estetis. Mengapa pendidikan musik memiliki sifat mendidik rasa ketertiban dan keindahan? Mari kita analisis perilaku seorang anak yang belajar bernyayi. Indahnya suara lagu yang ia dengar akan membangkitkan keinginan atau kemauanya untuk meniru. Telinga sebagai indera pendengaran kita merupakan media yang menghubungkan suara dengan rasa yang terdapat dalam jiwa anak. Kemudian anak akan meniru dan mencocok-cocokkan suaranya dengan suara yang ia dengar. Pada akhirnya ia akan mampu mewujudkan kehendak atau keinginannya untuk menyanyi. Proses mendengar, merasakan, mencocok-cocokkan hingga mampu menirukan suara dengan baik merupakan satu alur yang terus berkesinambungan. Alur tersebut merupakan wujud dari terjadinya proses pendidikan musik, dari pendidikan rasa atau estetis, dengan sendirinya menuju pada pendidikan intelektual dan akhirnya sampai pada pendidikan watak, yakni pendidikan moril atau budi pekerti. Contoh lain yang menjelaskan sifat pendidikan musik sebagai pendidikan rasa ketertiban dan keindahan dapat kita amati dalam pelajaran gamelan atau gending. Melalui pelajaran gending seorang akan belajar memainkan perannya dalam kelompok. Ia harus paham betul bunyi apa yang harus dibunyikannya, sesuai contoh yang diajarkan oleh gurunya. Saat itu seorang pemain gamelan harus teliti, berteguh hati untuk merasakan irama yang harus dikuasainya hingga ia memiliki rasa mandiri dalam memainkan instrumen yang menjadi tanggung jawabnya. Selain dituntut menguasai instrumen yang dimainkannya seorang pemain gamelan juga dituntut merasakan bunyi yang dimainkan oleh instrumen lain. Setiap instrumen dalam gamelan memiliki peran tertentu. Ada yang berfungsi sebagai pembawa irama seperti kendang dan keprak, pencipta suara yakni: rebab, gender, gambang, suling dan saron peking. Ada pula yang berperan sebagai pemelihara irama dan pemelihara suara. Pemelihara irama diantaranya kempull, kenong, gong, ketipung, kecer dll. Sementara pemelihara suara yakni bonang panembung, gender panembung (slentem), dan saron demung. Demikian kompleksnya peran instrumen dalam sebuah karya gamelan, menuntut pemain untuk disiplin pada tugasnya masing-masing, saling menghargai bunyi masing-masing untuk menciptakan kesatuan bunyi yang harmonis. Ki Hajar dewantara menjelaskan bahwa melalui pembelajaran gending atau gamelan ada beberapa hal yang dapat diperoleh, diantaranya ialah tumbuhnya rasa kebatinan, rasa estetika dan rasa etika. GENDING RASA KEBATINAN ESTETIKA ETIKA Pelajaran gending tidak saja perlu untuk memperoleh pengetahuan dan kepandaian hal gending, namun perlu juga bagi tumbuhya rasa kebatinan, karena selalu menuntun rasa kewiramaan (perasaan ritmis) seperti; rasa runtut, patut, teliti, tepat , tetap tak gentar, bersungguh-sungguh, setia dan sebagainya. Begitu pula menimbulkan rasa keindahan (perasaan estetis) seperti: sangat baik, berharga, bersih indah, halus, luhur, jernih. Selain itu juga memurnikan rasa kesusilaan (perasaan etis) seperti perasaan halus, suci, dalam, sentosa, teguh, berwibawa, mandiri, hidup bersama dll. (Dewantara, 1967:214) Berdasarkan contoh-contoh pendidikan musik tersebut, kita dapat merenungkan lebih lanjut tentang sifat pendidikan musik. Bila sifat pendidikan musik adalah pendidikan ketertiban dan keindahan ? Apa yang dimaksud dengan pendidikan ethis (ketertiban) dan pendidikan estetis (keindahan)? Ki Hajar Dewantara menegaskan : “Pendidikan ethis memungkinkan anak-anak mengembangkan berbagai jenis perasaan yakni rasa religius, rasa sosial, individual dan lain-lain. Pendidikan estetis bermaksud menghaluskan perasaan terhadap segala benda lahir yang bersifat indah.”(1962:323-324) Mencermati pernyataan Ki Hajar Dewantara, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan musik sebagai pendidikan rasa estetis akan berimplikasi pada pendidikan etis. Bila demikian apa makna pendidikan musik yang sesungguhnya? Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan usaha kebudayaan. Usaha pendidikan pada dasarnya ditujukan pada tiga hal utama yakni halusnya budi, cerdasnya otak dan sehatnya badan (1962:303) Halusnya Budi Usaha Pendidikan Cerdasnya Otak Sehatnya Badan Apa kaitan antara usaha pendidikan dengan kebudayaan? Pendidikan sebagai usaha kebudayaan bermaksud memberi tuntunan dalam hidup tumbuhnya jiwa dan raga manusia agar kelak dalam garis kodrat pribadinya dan pengaruh segala keadaan yang mengelilinginya, mendapat kemajuan dalam hidup lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan. (1962:165-166) Adab Kemanusiaan dalam beberapa penjelasan Ki Hajar Dewantara dapat dimaknai sebagai kesanggupan, kemampuan dan keinsyafan manusia akan keharusannya menuntut kecerdasan, keluhuran dan kehalusan budi pekerti bagi diri dan masyarakat. Bila kita renungkan baik-baik apa yang dijelaskan Ki Hajar Dewantara tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan merupakan satu usaha kebudayaan yang bertujuan untuk membangun dan memajukan kehidupan manusia yang beradab. Pada penjelasan sebelumnya tentang makna musik, dijelaskan bahwa musik merupakan perwujudan nalar dan budi manusia, maka pendidikan musik sebagai bagian dari usaha pendidikan dapat dimaknai sebagai pendidikan untuk mempertajam nalar dan memperhalus budi. Proses mempertajam nalar dan memperhalus budi diperoleh karena kehalusan rasa yang dibina melalui pengolahan rasa estetis. Dengan demikian dalam pendidikan musik terdapat pendidikan rasa estetis, rasa moral/etis dan nalar. Pendidikan musik yang dilandasi oleh musik bangsanya selain musik bangsa lain, diharapkan mampu membentuk manusia yang berbudi luhur. Kehalusan rasa digunakan sebagai pelita untuk mempertajam pemikiran dan menyelaraskan tindakan, baik tindakannya sebagai individu maupun tindakannya sebagai bagian dari masyarakat. Melalui uraian-uraian tersebut dapat kita simppulkan bahwa makna dari pendidikan musik ialah pendidikan untuk membentuk manusia yang berbudi luhur. Pendidikan musik yang mengutamakan seni bangsa sendiri akan memberi peluang bagi penanaman benih atau bekal budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsanya. Ada kesempatan untuk merapatkan jiwa anak dengan kebangsaannya. Melalui pendidikan musik kita dapat mematangkan jiwa anak-anak agar kelak mencapai derajat manusia utama, yang mampu menyusun peri kehidupan yang pantas dalam masyarakat secara bersama-sama. Beberapa pernyataan Ki Hajar Dewantara berikut ini mudah-mudahan dapat menjadi motivasi dan pemberi arah bagi kita semua yang memiliki tugas mengembangkan pendidikan musik, khususnya berkaitan dengan mengembangkan strategi pembelajaran musik. Kesenian itu salah satu perwujudan lahir dari jiwa kita, yang timbul dari kemauan jiwa kita sendiri dan halus kasarnya terbatas oleh rasa keindahan kita ( perasaan estetis)... Kalau rakyat kita sungguh sadar, tak boleh tidak keseniannya juga akan bersifat sadar. Kalau rakyat kita berwatak budak, tentulah juga keseniannya akan bersifat kebudakan, baik dalam arti hanya bisa meniru atau terikat (beku), yakni tidak berani mengadakan perubahan baru, karena terperintah oleh kebiasaan (adat yang mati). Berhubung dengan keterangan tersebut, maka perlulah kita menjaga jangan sampai rakyat kita hanya meniru saja kesenian barat, lalu kehilangan garis hidup dan menjadi permainan dari gelombang keadaan yang berganti-ganti. Kita harus menanam benih kultur kita sendiri, agar mudah dan cepat kita dapat membangun hidup baru yang bersifat kontinu, terusannya hidup kita yang sudah lalu. (1962:327-328) PUSTAKA RUJUKAN Bandjar, D. A. D. Ratna. (2004). Pendidikan Merupakan Usaha Pembudayaan Untuk Meningkatkan Daya Pikir, Rasa, dan Psikomotorik. (Ki Hajar Dewantara) -Belajar Menjadi Peka dan Kritis. Bali Post 1 mei 2004 Dewantara, Ki Hajar.(1962).Pendidikan. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa. Dewantara, Ki Hajar.(1967). Kebudajaan. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa.