pendidikan karakter dalam perspektif ki hajar dewantara skripsi

advertisement
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF
KI HAJAR DEWANTARA
SKRIPSI
Diajukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.)
OLEH
NUR ANISAH
NIM 111 11 141
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2015
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02 Phone (0298) 323706 Salatiga 50721
Wibsite : www.iainsalatiga.ac.id Email : [email protected]
Maslikhah, S.Ag., M.Si
Dosen IAIN Salatiga
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 eksemplar
Hal
: Naskah skripsi
: Saudari Nur Anisah
Kepada
Yth. Rektor IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka
bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara :
Nama
: Nur Anisah
Nim
: 111 11 141
Fakultas
: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam (PAI)
Judul
: Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Ki Hajar
Dewantara
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut diatas supaya segera
dimunaqosahkan.
Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Salatiga, September 2015
Hj. Maslikhah, S.Ag., M.Si
NIP. 19700529 2000003 2 001
MOTTO
“Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani” (Tamansiswa. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama
Pendidikan. 1977 : 31)
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Kedua orang tuaku Kusnan dan Surinah tercinta yang selalu memberi kasih
sayang, perhatian, dan selalu mendoakanku, doaku semoga senantiasa
diberikan kesehatan dan umur yang panjang dan barokah.
2. Kakakku Sri Wahyuni dan adiku tersayang Salvia Dara yang selalu
memberikan semangat dan motivasi untuk mengerjakan skripsiku.
3. Kakek nenekku Ariyadi dan Ngatilah yang selalu mendoakanku, semoga
senantiasa berada dilindungan Allah Swt.
KATA PENGANTAR
Asslamu’alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas
segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan
kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
tercurah kepada Rasulullah Saw, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1.
Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2.
Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam
(PAI).
3.
Ibu Hj. Maslikhah, S.Ag., M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan
waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas ini.
4.
Ibu Eva Palupi, M.Si selaku pembimbing akademik yang senantiasa
membimbing dan memotivasi dari awal masuk perkuliahan hingga akhir
perkuliahan.
5.
Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
6.
Bapak dan ibu di rumah yang telah mendoakan dan membantu dalam bentuk
materi untuk membiayai penulis dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga
dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
7.
Teman-teman seperjuang angkatan 2011 di IAIN Salatiga khususnya jurusan
PAI dan anggota Ya Bissmilah 2011.
Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang
setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT.
Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga, September 2015
Penulis
NUR ANISAH
NIM: 111 11 141
ABSTRAK
Anisah. Nur. 2015 Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara.
Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan
Agama Islam (PAI). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen
Pembimbing: Maslikhah, S.Ag., M.Si
Kata kunci: pendidikan karakter, konsep pendidikan, Ki Hajar Dewantara
Moral remaja masa kini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan, dimana
aum remaja mengalami degradasi moral yang terus-menerus dan tampak semakin
tidak terkendali. Penurunan kualitas moral generasi penerus bangsa ini terjadi
dalam segala aspek, mulai dari tutur kata, cara berpakaian hingga perilaku. Faktor
modernisasi dan globalisasi sangat berpengaruh pada degradasi moral remaja saat
ini, globalisasi menuntut kesiapan mental dari masyarakat, ketika masyarakat
lemah bahaya akan menerjang. Berdasarkan latar belakang di atas, pentingnya
pendidikan moral guna membentuk karakter remaja agar terciptanya generasi
penerus bangsa yang tidak hanya memilki kecerdasan ilmu, tetapi juga cerdas
akhlak dan perilakunya. KHD sebagai tokoh fenomenal di dunia pendidikan
mengatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah tuntunan, sehingga dalam
pembelajaran peserta didik harus memiliki tokoh yang dijadikan contoh. Dalam
penelitian ini diungkapkan konsep pendidikan menurut KHD dalam pendidikan
karakter bagi peserta didik. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
konsep pendidikan karakter dalam perspektif KHD serta implikasinya dalam
dunia pendidikan saat ini.
Penelitian ini termasuk penelitian literer yang berfokus pada referensi buku
dan sumber-sumber yang relevan. Pencarian data dicari dengan jenis penelitian
library research dan pendekatan kualitatif literatur yaitu suatu penelitian
kepustakaan murni, menggunakan metode dokumentasi yang mencari data
mengenai hal-hal atau variable-variabel yang berupa catatan seperi buku-buku,
majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, catatan rapat, jurnal dan
sebagainya.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan adalah KHD seorang pejuang yang
dihormati rakyat dan disegani musuh, karena memiliki pengetahuan yang luas dan
keunikan berfikir dimana KHD memberikan harapan bagi kaum bawah untuk
dapat mengenyam pendidikan serta semangat kebangsaan yang beraliran
kebudayaan pada konsep pendidikanya. Konsep yang diusung KHD adalah sistem
among, dimana pendidik memiliki peran sangat penting yaitu sebagai teladan dan
pembimbing bagi anak didiknya, sehingga orang tua dan guru wajib untuk
berperilaku baik dihadapan anak didiknya. Sebagaimana disampaikan diatas, perlu
kiranya penulis memberikan sumbangsih berupa saran-saran antara lain, konsep
pemikiran KI Hajar Dewantara memiliki konsep tujuan yang relevan diterapkan
dalam pendidikan karakter hingga saat ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO...............................................................................
ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING......................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.................................................. v
MOTTO...................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN...................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
ABSTRAK.................................................................................................
x
DAFTAR ISI.............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
B. Fokus Masalah................................................................................
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
D. Kegunaan Penelitian.......................................................................
E. Metode Penelitian...........................................................................
F. Penegasan Istilah ...........................................................................
G. Sistematika Penulisan ............ .......................................................
1
1
11
11
11
12
13
14
BAB II BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA......................................
A. Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara..............................................
1. Lahir ................................................ .......................................
2. Masa Muda...............................................................................
3. Masa Dewasa............................................................................
4. Karir Ki Hajar Dewantara........................................................
B. Peran Ki Hajar Dewantara..............................................................
1. Peran Politik Ki Hajar Dewantara............................................
2. Peran Sosial Ki Hajar Dewantara.............................................
C. Karya-karya Ki Hajar Dewantara...................................................
16
16
16
16
20
20
21
21
26
29
BAB III PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA DAN TOKOH
PENDIDIKAN TENTANG PENDIDIKAN
KARAKTER..............................................................................................
A. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Karakte.........
1. Pengertian Pendidikan Karakter...............................................
2. Konsep Pendidikan Karakter ...................................................
a. Tujuan Pendidikan..............................................................
b. Dasar Pendidikan................................................................
c. Pokok Ajaran......................................................................
d. Metode Pendidikan.............................................................
e. Materi Pendidikan...............................................................
48
48
48
51
53
54
56
59
60
B. Pemikiran Tokoh Pendidikan tentang Pendidikan Karakter .........
1. Pengertian Pendidikan Karakter...............................................
2. Konsep Pendidikan Karakter ...................................................
a. Tujuan Pendidikan Karakter.........................................
b. Dasar Pendidikan Karakter ..........................................
c. Prinsip Pendidikan Karakter ........................................
d. Metode Pendidikan Karakter........................................
e. Materi Pendidikan Karakter ........................................
65
65
70
70
73
73
75
78
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
DENGAN TOKOH PENDIDIKAN TENTANG PENDIDIKAN
KARAKTER..............................................................................................
A. Analisis Data .................................................................................
B. Implikasi ........................................................................................
84
BAB V PENUTUP.....................................................................................
A. Kesimpulan ....................................................................................
B. Saran...............................................................................................
107
107
111
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN.........................................................................
113
116
84
90
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya sejak 17 Agustus
1945, akan tetapi hingga saat ini kondisi bangsa Indonesia masih
mengkhawatirkan. Kurang lebih sudah hampir 70 tahun bangsa Indonesia
menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara bebas dari penjajah tetapi
Indonesia memiliki kondisi yang unik dilihat dari perkembangannya sampai
saat ini. Bangsa Indonesia memiliki banyak sekali konteks sosial dan budaya
yang terus berkembang sampai saat ini, dilihat dari kekayaan yang dimiliki
bangsa Indonesia dapat dikategorikan sangat melimpah disertai dengan letak
kepulauan yang berada di garis khatulistiwa, tanah subur, air melimpah, udara
segar, kekayaan sumber energi dan mineral melimpah di dalam tanah dan laut
semuanya memberikan keunikan terhadap bangsa ini.
Keunikan lainnya dapat kita lihat dari kondisi yang ada, dirasakan, dan
telah menjadi ciri khas bangsa ini. Seharusnya dengan kondisi sosial budaya
dan kekayaan alam yang melimpah, rakyat Indonesia dapat merasakan
kehidupan yang makmur dan sejahtera dari waktu ke waktu. Kenyataan yang
dialami oleh bangsa ini menunjukkan kondisi yang berbeda dengan logika
kekayaan sosial, budaya dan alam. Kondisi yang dialami menunjukan bahwa
kekayaan alam tereksploitasi besar-besaran, pembangunan industri terjadi
terus-menerus, dan pergantian pemerintahan terus berlangsung dari waktu ke
waktu secara damai, tetapi kebanyakan rakyat Indonesia belum mendapatkan
dan mengalami kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Bukan musuh bersenjata yang menjadi lawan bangsa ini, akan tetapi
pribadi bangsa dalam menghadapi arus globalisasi yang menerjang bangsa
ini. Kekuatan globalisasi menurut para ahli bertumpu pada empat kekuatan
global, yaitu: kemajuan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS),
terutama dalam bidang informasi dan inovasi-inovasi baru di dalam teknologi
yang mempermudah kehidupan manusia, perdagangan bebas yang ditunjang
oleh kemajuan IPTEKS, kerjasama regional dan internasional yang telah
menyatukan kehidupan bersama dari bangsa-bangsa tanpa mengenal batas
negara, meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta
kewajiban manusia di dalam kehidupan bersama, dan sejalan dengan itu
semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam demokrasi.
Era globalisasi sekarang, bangsa Indonesia dihadapkan pada fakta yang
tidak dapat diingkari yaitu revolusi teknologi, transportasi, informasi, dan
komunikasi. Kata kunci globalisasi adalah kompetisi, dalam kompetisi yang
keluar sebagai pemenang adalah yang terbaik dari sisi pengetahuan,
teknologi, jaringan, kualitas produk, pelayanan, dan integritas (Azizy, 2004:
26). Indonesia dalam konteks pengetahuan dan teknologi masih berada jauh
di bawah negara-negara maju, Indonesia menjadi bangsa konsumen yang
senang menikmati produk globalisasi. Globalisasi di Indonesia telah
mengubah berbagai aspek kehidupan dalam berbagai bidang, perubahan
tersebut mendatangkan berbagai dampak baik positif maupun negatif dalam
bidang pendidikan.
Salah satu contoh, peran pemuda dalam masa kini sangat berbeda jauh
dengan peranan pemuda pada era sebelumnya. Pemuda masa kini hidup
dalam dunia yang serba pragmatis sebagai dampak dari globalisasi yang
memasuki budaya Indonesia melalui perkembangan teknologi dan informasi
yang sangat memikat. Globalisasi tidak selalu mendatangkan dampak negatif
seperti tersebut di atas, akan tetapi globalisasi di Indonesia lebih banyak
mendatangkan dampak negatif seperti pola hidup masyarakat yang menjadi
lebih konsumtif, hedonis, dan matrealistik. Akibatnya pemuda masa kini
belajar hanya untuk meraih hasil yang baik dengan mengandalkan segala cara
tidak terkecuali mencontek yang sudah menjadi budaya bagi siswa yang
hanya mementingkan nilai dari pada ilmu, hal tersebut menunjukan akhlak
generasi muda Indonesia yang bobrok. Faktanya Indonesia menrupakan salah
satu negara yang mana penduduknya mayoritas beragama Islam, dan dalam
Islam terkandung semua tata cara hidup termasuk pedoman berperilaku dan
bersikap.
Dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits, karena akhlak
merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur’an dan alHadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan
buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai dasar akhlak menjelaskan
tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat
manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai
teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam
Q.S. 33/Al-Ahzab : 21
‫سنَةٌ ِل َمن َكانَ يَ ْر ُجوا هللاَ َو ْاليَ ْو َم اَْأ َ ِِ َر‬
ُ ‫لَّقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِي َر‬
ِ ‫سو ِل‬
َ ‫هللا أُس َْوة ٌ َح‬
}12{ ‫يرا‬
ً ِ‫َوذَ َك َر هللاَ َكث‬
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Perilaku dan sikap bangsa Indonesia di kalangan generasi muda,
khususnya anak didik perlu terus diperkuat sehingga dapat melahirkan
generasi muda yang handal dan memiliki karakter yang kuat, salah satunya
dengan menumbuhkan minat baca untuk menambah pengetahuan. Hal itu
penting agar bangsa Indonesia dapat berkembang dan sejajar dengan bangsabangsa asing dalam pergaulan internasional, namun tidak larut dalam arus
globalisasi. Bangsa Indonesia membutuhkan lima karakter untuk dapat
menampilkan jati dirinya dan bersaing dengan bangsa lain.
Karakter bangsa yang bermoral (religius). Bangsa ini harus sarat
dengan nilai-nilai moral dan etika keagamaan sebagai sebuah pandangan dan
praktik, karakter bangsa yang beradab. Beradab dalam arti luas, menjadi suatu
bangsa yang memiliki karakter berbudaya dan berperikemanusiaan. Karakter
bangsa yang bersatu, dimana didalamnya termasuk menegakkan toleransi,
tidak mungin Indonesia dapat bersatu tanpa adanya toleransi, keharmonisan,
dan persaudaraan. Karakter bangsa yang berdaya, dalam arti yang luas
berdaya berati menjadi bangsa yang berpengetahuan, terampil, berdaya saing
secara mental, pemikiran maupun teknis. Daya saing bukan hanya sekedar
dalam arti materi dan mekanik, melainkan dalam makna secara mental, hati
dan pikiran. Karakter bangsa yang berpartisipasi. Partisipasi amat diperlukan
untuk menghapus sikap masa bodoh, mau enaknya saja, dan tidak pernah
peduli dengan nasib bangsa Indonesia. Karakter partisipasi ditandai dengan
penuh peduli, rasa dan sikap bertanggung jawab yang tinggi serta komitmen
yang tumbuh menjadi karakter dan watak bangsa Indonesia (Ismadi. 2014:
29).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dalam pidatonya
menyinggung minat baca masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah,
yakni 0,001 persen dari data United Nations Educational, Scientific, and
Cultural Organization (UNESCO). Melalui persoalan minat baca tersebut,
Anies Baswedan juga menyayangkan Indonesia tidak belajar dari buku
berjudul “Sekolah Taman Siswa” karangan Ki Hajar Dewantara. Bapak
Menteri kecewa karena buku Ki Hajar Dewantara tersebut telah dujadikan
referensi di Finlandia akan tetapi di Indonesia buku tersebut tidak dibaca,
dalam buku tersebut salah satunya Ki Hajar Dewantara telah menuliskan
tentang kondisi belajar yang menyenangkan. Bung Anies mengatakan bahwa
pemerintah Finlandia telah mengikuti pandangan Ki Hajar Dewantara dengan
mengubah sistem belajar dan situasi di sekolah menjadi lebih nyaman dan
menggembirakan, berbeda dengan sekolah dan instansi pendidikan di
Indonesia yang peserta didiknya lebih banyak merasa stres saat belajar
(Belarminus. 2014: 2).
Kementrian Pendidikan Nasional (KEMENDIKNAS) sebagai lembaga
yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
memandang pendtingnya pendidikan karakter dalam diri anak didik agar
dapat menjadi bekal kelak di masa depan dalam menggapai cita-cita anak
bangsa. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang berbunyi :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003, menerangkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk “mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak yang bermartabat”, dimana dalam proses pendidikan harus
ditanamkan nilai-nilai moral. Penanaman nilai moral tidak hanya menjadi
tanggung jawab sekolah tetapi juga keluarga dan lingkungan masyarakat,
karena dalam proses pembelajaran tidak hanya berlangsung di sekolah. Ki
Hajar Dewantara membedakan lingkungan pendidikan menjadi tiga, yang
dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga jika ditinjau dari
ilmu sosiologi, keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari
beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni kesatuan dari
bentuk-bentuk kesatuan masyarakat. Keluarga tempat anak diasuh dan
dibesarkan, berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangannya
baik secara fisik maupun mental.
Lingkungan sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan
karena pengaruhnya sangat besar pada jiwa anak. Maka disamping keluarga
sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat
pendidikan untuk pembentukan pribadi anak. Sekolah merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak terutama
untuk kecerdasannya. Lingkungan masyarakat adalah lingkungan tempat
tinggal anak, juga meliputi teman-teman anak di luar sekolah. Kondisi orangorang di lingkungan desa atau kota tempat tinggal anak juga turut
mempengaruhi perkembangan jiwanya (Yuwono, 2015: 3).
Konsep Ki Hajar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan yang
menunjukan bahwa proses pembelajaran tidak harus berlangsung di sekolah,
akan tetapi dapat dilakukan dimana pun dan oleh siapa pun. Dalam
pembelajaran ditekankan pentingnya penanaman nilai moral dan karakter
agar dapat membentuk kemampuan dan watak peradaban bangsa yang
bermartabat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara
dengan sistem among, menegaskan bahwa dalam pembelajaran tidak melulu
harus mengedepankan hasil akan tetapi prosesnya. Sistem among menuntut
pamong (pendidik) untuk menjadi seorang teladan bagi peserta didiknya,
karena anak didik lebih cenderung mencontoh apa yang dilihatnya dari pada
apa yang didengarnya.
Cara mengajar dengan menggunakan metode among berarti mengajar
dengan terbuka, penuh kasih sayang, bebas dan melindungi siswa dengan
kenyamanan pikiran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Teknik
mengajar dalam sistem among lebih cenderung menggunakan permainan, Ki
Hajar Dewantara menganjurkan para pamong untuk mengajak siswanya
belajar sambil bermain agar suasana belajar tidak terlalu serius dan pikiran
anak dapat terbuka sehingga materi ajar dapat tersampaian dengan sukses.
Ki Hajar Dewantara menyatakan sistem pendidikan di Indonesia
mencontoh sistem pendidikan barat, yang dasar-dasarnya adalah perintah,
hukuman dan ketertiban. Sebagai penopang pendidikan, dasar-dasar tersebut
akan memunculkan kehidupan yang penuh perkosaan atas kehidupan batin
anak-anak. Dampaknya terhadap anak-anak adalah rusaknya budi pekerti
yang disebabkan selalu hidup dalam paksaan dan hukuman (Belamirnus,
2014: 1). Dampak lainnya adalah turunnya semangat berkreasi dan berinovasi
dalam kompetisi yang ketat, kemudian dikalahkan oleh semangat
konsumerisme,
hedonisme,
dan
permisifisme
yang
instan
dan
menenggelamkan. Untuk itu dibutuhkannya generasi penerus yang beriman,
bertaqwa, berilmu pengetahuan luas, bertanggung jawab dan mempunyai
keinginan untuk memperbaiki dan menyumbangkan sesuatu yang bisa dia
berikan untuk negara yang dicintainya.
Pemaparan di atas menunjukan pentingnya pendidikan karakter bagi
anak baik di keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat secara
intensif dengan keteladanan, kearifan, dan kebersamaan. Pentingnya
pendidikan karakter untuk diserukan dengan dahsyat agar lahir kesadaran
bersama untuk membangun karakter generasi muda bangsa yang kokoh.
Sehingga, generasi penerus bangsa ini tidak terombang-ambing oleh
modernisasi yang menjanjikan kenikmatan sesaat serta mengorbankan
kenikmatan masa depan yang panjang dan abadi. Pioner dalam kesadaran
pendidikan karakter adalah lembaga pendidikan, dikarenakan lembaga
pendidikan lebih dahulu mengetahui dekadansi moral dan bahaya
modernisme yang ada di depan mata generasi masa depan bangsa. Terlebih,
untuk masyarakat yang tidak siap menghadapi keduanya, khususnya dalam
aspek moral, mental, dan kepribadian, selain aspek pengetahuan dan
teknologi.
Kesadaran pendidikan karakter dari sekolah diharapkan menyebar
kepada keluarga, masyarakat, media massa, dan seluruh lapisan bangsa ini.
Sehingga, terjadi kesinambungan kekuatan dalam membangun bangsa ini
demi lahirnya kader-kader masa depan yang berkarakter, serta berkepribadian
kuat dan cermat. Salah satu tokoh yang memiliki semangat pendidikan
karakter adalah Ki Hajar Dewantara, terlahir dengan nama Raden Mas
Suwardi Suryaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara
merupakan keturunan dari bangsawan Yogyakarta. Perjuangan Ki Hajar
Dewantara sarat akan nilai-nilai karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini,
mulai dari pergantian namanya dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat
menjadi Ki Hajar Dewantara, semata-mata agar beliau lebih mudah diterima
di lingkungan masyarakat biasa. Asas Tamansiswa yang dia bawa, serta
konsep dan pemikiran pendidikan yang ia ajarkan di bumi pertiwi. Ki Hajar
Dewantara melihat pendidikan mampu mengubah watak dan sikap bangsa
untuk menjadi bangsa yang mempunyai derajat yang tinggi dan sejajar
dengan bangsa lain. Artinya
Ki Hajar Dewantara sudah memandang
pentingnya pendidikan karakter saat belum ada yang mempublikasikan nilai
karakter sebagaimana sekarang ini, beliau sudah melangkah disepan kita
membawa konsep pendidikan karakter.
Berdasarkan ulasan di atas, pentingnya pendidikan karakter yang
ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara bagi anak agar dapat menjadi generasi
penerus bangsa yang memiliki prinsip, tidak mudah goyah jika dihadapkan
dengan berbagai permasalahan yang melanda negeri Indonesia tercinta.
Sanggup memegang teguh nilai-nilai luhur dan taat pada agama, sehingga
akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan sejahtera.
Pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan karakter sejalan
dengan sistem pendidikan yang sedang digadang-gadang oleh pemerintah,
yang tidak mengedepankan nilai akademik saja. Maka penulis tertarik untuk
mengangkatnya sebagai bahan penulisan skripsi yang berjudul “Pendidikan
Karakter dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara”
B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana konsep pendidikan karakter?
2. Bagaimana konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara?
3. Bagaimana implikasi konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar
Dewantara?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Konsep pendidikan karakter menurut para ahli;
2. Konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara;
3. Konsep pendidikan karakter dalam perspektif Ki Hajar Dewantara.
D. Kegunaan Penelitian
1. Teoretis
Penelitian ini secara teoretis bermanfaat untuk memperkaya wacana
keilmuan khususnya kajian pendidikan karakter bagi perpustakaan Institut
Agama Islam Negeri Salatiga.
2. Praktis
a. Guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang
pembelajaran yang sarat akan nilai-nilai karakter secara umum.
b. Lembaga
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana untuk lebih
meningkatkan pembinaan terhadap guru, kepala sekolah maupun
pengawas agar pendidikan karakter pada anak dapat terwujud sesuai
dengan apa yang diharapkan.
c. Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan untuk menambah pengalaman
penelitian dalam penelitian terkait dengan pendidikan karakter.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kajian pustaka
atau sering disebut penelitian pustaka, yaitu menghimpun data dengan cara
menggunakan bahan-bahan tertulis, seperti : buku, artikel, surat kabar,
majalah dan dokumen lainya, yang sekiranya memiliki hubungan dengan
tema penelitian.
Data-data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data pokok yang digunakan sebagai bahan utama
dalam kajian penelitian ini, berupa data-data yang berhubungan langsung
dengan materi yang diteliti yaitu pendidikan karakter dalam perspektif Ki
Hajar Dewantara.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data informasi yang diperoleh dari sumbersumber lain selain data primer, yang secara tidak langsung bersinggungan
dengan tema penelitian yang peneliti lakukan. Diantaranya buku-buku
literatur, internet, majalah atau jurnal ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan
dokumen resmi lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini.
F. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dalam penelitian ini sangat diperlukan agar tidak
terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud penulis, maka penulis akan
menjelaskan istilah-istilah lain adalah didalam judul ini. Istilah yang perlu
penulis jelaskan sebagai berikut :
1. Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan dengan sadar untuk
mendatangkan perubahan sikap dan perilaku seseorang melalui pengajaran
dan latihan (Ensiklopedi Nasional Indonesia: 365). Proses perubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dan usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia: 263).
2. Karakter memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan dan perilaku atau bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak (Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional).
3. Pendidikan karakter dalam penelitian ini merupakan suatu usaha yang
direncanakan secara bersama yang bertujuan menciptakan generasi
penerus yang memiliki dasar-dasar pribadi yang baik, baik dalam
pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Pendidikan karakter adalah upaya
sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengarahkan peserta
didik pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang
didasarkan pada suatu nilai-nilai keluhuran. Ajaran yang berupa hal positif
yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada peserta didik yang diajarnya
(Samani, 2012: 243).
G. Sistematika Penulisan
1. Bagian Awal
Bagian awal ini, meliputi: sampul, lembar berlogo, judul (sama
dengan
sampul),
persetujuan
pembimbing,
pengesahan
kelulusan,
pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak,
daftar isi, dan daftar lampiran.
2. Bagian Inti
BAB I
:PENDAHULUAN memuat latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode
penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulis skripsi.
BAB II
:BIOGRAFI memuat riwayat hidup Ki Hajar Dewantara,
pemikiran Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan, karyakarya Ki Hajar Dewantara, pandangan para pakar terhadap Ki
Hajar Dewantara.
BAB III
:DESKRIPSI PEMIKIRAN memuat pemikiran Ki Hajar
Dewantara dan pendidikan karakter menurut para ahli
BAB IV
:PEMBAHASAN memuat uraian konsep pendidikan karakter
menurut para ahli, konsep pendidikan karakter menurut Ki
Hajar Dewantara, konsep pendidikan karakter menurut para
ahli dalam perspektif Ki Hajar Dewantara.
BAB V
:PENUTUP memuat kesimpulan dan saran
Bagian akhir dari skripsi ini, memuat: Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran,
dan Daftar Riwayat Hidup Penulis.
BAB II
BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA
A. Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara
1. Lahir
Ki Hajar Dewantara lahir pada Kamis Legi, tanggal 2 Mei 1889,
ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Haryo Suryaningrat, putera Kanjeng
Gusti Hadipati Haryo Suryosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III
(Soeratman, 1981: 8). Ki Hajar Dewantara merupakan putra ke-lima dari
sembilan bersaudara, Ki Hajar Dewantara terlahir dengan nama asli
Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ensiklopedi Nasional Indonesia.
1989: 330).
Ki Hajar Dewantara berasal dari keluarga keturunan Keraton
Yogyakarta, sehingga Ki Hajar Dewantara dididik dengan latar belakang
keluarga yang masih religius dan juga budaya jawa yang kental karena
masih merupakan keluarga keraton Yogyakarta sekaligus masih berada
dalam garis keturunan Sunan Kalijaga sehingga membuatnya menjadi
keturunan bangsawan dan juga ulama (Desmon, 2007: 219).
2.
Masa Muda
Masa muda Ki Hajar Dewantara diisi dengan kegiatan untuk
menambah pengetahuan dan wawasannya, karena Ki Hajar Dewantara
termasuk anak yang sangat haus akan pengetahuan. Ki Hajar Dewantara
menerima pendidikan yang beraneka macam baik dari keluarga maupun
di sekolah, pendidikan keluarga yang diajarkan melalui pendidikan
kesenian, adat sopan santun, dan pendidikan agama yang dijadikan
fondasi kokoh pribadi Ki Hajar Dewantara.
Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah Gantung”
antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah. Keduanya
adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 beberapa
hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan di negeri Belanda.
Pernikahannya
diresmikan
secara
adat
dan sederhana
di
Puri
Suryaningratan Yogyakarta (Soeratman, 1989: 9).
Pengetahuan Ki Hajar Dewantara berasal dari kerajinan menutut
ilmu di sekolah dan juga pengalaman yang beraneka ragam dari
lingkungan sekitar. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, beliau
belajar di School Tot Opvoeding
Van Indische Artsen (STOVIA),
tetapi tidak menamatkannya karena sakit. BeIiau kemudian bekerja
sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain De Express,
Utusan Hindia,dan Kaum Muda. Sebagai penulis yang handal, tulisannya
mampu membangkitkan semangat antikolonialisme rakyat Indonesia.
Selain mendapat pendidikan formal di lingkungan Istana Paku
Alam tersebut. Ki Hajar Dewantara juga mendapat pendidikan formal di
luar antara lain:
a. ELS (Europeesche Legere School).
Sekolah dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS
menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. ELS atau
Sekolah Rendah Eropa tersebut diperuntukkan bagi keturunan Eropa,
keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka (Desmon,
2007: 211).
b. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
Kweek School merupakan salah satu jenjang pendidikan resmi
untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda dengan pengantar
bahasa Belanda.
c. STOVIA (School Tot Opvoeding
Van Indische Artsen)
STOVIA yaitu sekolah kedokteran yang berada di Jakarta.
Pendidikan di STOVIA ini tak dapat diselesaikannya, karena Ki
Hajar Dewantara sakit (Poerbakawatja. 1970: 217).
3.
Masa Dewasa
Ki Hajar Dewantara sering bergaul dengan masyarakat dari
kalangan menengah ke bawah, sehingga pada usia 40 tahun Ki Hajar
Dewantara merubah namanya dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat
menjadi Ki Hajar Dewantara. Dibuangnya gelar kebangsawanan di depan
namanya mengantarkan Ki Hajar Dewantara lebih dekat dengan
lingkungan disekitarnya yang mayoritas adalah orang biasa. Ki Hajar
Dewantara dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan
sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yang berarti dari pahlawan yang berwatak guru spiritual
ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan
peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara (Djumhur, 1974: 169).
Nama Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru
yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau sang
hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan
dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Sebagai pendidik yang merupakan perantara Yang Maha Kuasa maka
guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandhita yaitu yang mampu
menyampaikan kehendak-Nya dan membawa keselamatan (Soebono,
2012: 7).
Ki Hajar Dewantara merupakan sosok yang sangat kreatif, inovatif,
dinamis, jujur, sederhana, konsisten, konsekuen, berani dan bertanggung
jawab, sehingga disegani oleh banyak orang baik itu kawan maupun
lawan. Pengetahuan beliau sangatlah luas dan senantiasa bertambah terus
guna membela bangsa dan negaranya, perjuangannya dilandasi dengan
rasa ikhlas semata-mata hanya untuk mencerdaskan bangsanya agar
kelak menjadi bangsa yang merdeka dan bebas dari penjajah. Beliau
memilih berjuang secara total dalam bidang pendidikan guna melahirkan
generasi penerus bangsa yang memiliki integritas tinggi dan juga cinta
tanah air.
Tanggal lahir Ki Hajar Dewantara 2 Mei kemudian dijadikan Hari
Pendidikan Nasional di Indonesia. Ki Hajar Dewantara wafat pada 26
April 1959 pada umur 69 tahun dan dimakamkan di Wijayabrata,
Yogyakarta (Desmon. 2007: 219).
4.
Karir Ki Hajar Dewantara
a. Wartawan
Oetoesan
Poesara
Sedyotomo,
Hindia,
Midden
Kaoem
Java,
Moeda,
De
Express,
Tjahaja Timoer
dan
(Dewantara, 1981: 48);
b. Pendiri National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan
Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922 (Dewantara. 1977: 66);
c. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama;
d. Boedi Oetomo 1908 (Soeratman. 1989 :19);
e. Syarekat Islam cabang Bandung 1912;
f. Pendiri
Indische
Partij
(partai
politik
pertama
yang
beraliran nasionalisme Indonesia) 25 Desember 1912.
B. Peran Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara adalah pelopor pendidikan bagi kaum pribumi
Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewanatara mendirikan
perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi
untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun
orang-orang Belanda. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah
“Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli Ask ik eens Nederlander was,
dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913.
Artikel itu ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk
mengumpulkan sumbangan dari Indonesia, yang saat itu masih belum
merdeka untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis (Soeratman.
1989: 43).
Pada tanggal 28 November 1959 Ki Hajar Dewantara ditetapkan
sebagai “Pahlawan Nasional”, karena pengabdian dan perjuangan beliau bagi
bangsa dan negara Indonesia dalm meraih kemerdekaan, dan pada tanggal 16
Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara
tanggal 2 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan keputusan
Presiden RI Nomor : 316 tahun 1959 (Tamansiswa, 1977: XIII). Ki Hajar
Dewantara meninggal pada tanggal 26 April 1959 di rumahnya Mujamuju
Yogyakarta dan pada tanggal 29April 1959 jenazahnya dipindahkan ke
pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa kemudian diserahkan
kepada Majelis Luhur Taman Siswa, dari situ jenazah diberangkatkan ke
makam Wijaya Brata Yogyakarta. Dalam upacara pemakaman Ki Hajar
Dewantara dipimpin oleh Panglima Kodam Diponegoro Kolonel Soeharto.
(Tamansiswa. 1977: 13).
1.
Peran Politik Ki Hajar Dewantara
a. Ki Hajar Dewantara sebagai Pejuang Bangsa
Kurang berhasilnya Ki Hajar Dewantara dalam menempuh
pendidikan tidak menjadi hambatan untuk berkarya dan berjuang.
Perhatian Ki Hajar Dewantara dalam bidang jurnalistik inilah yang
menyebabkan beliau berkenalan dengan Douwes Dekker dan menjadi
rekanan dalam mengelola harian De Expres. Melalui De Expres inilah
Soewardi Soeryaningrat mengasah ketajaman penanya, mengalirkan
pemikirannya yang progesif dan mencerminkan kekentalan semangat
kebangsaannya. Tulisan demi tulisan terus mengalir dari pena
Soewardi Soeryaningrat dan puncaknya adalah Sirkuler yang
mengemparkan pemerintah Belanda yaitu Als Ik Eens Nederlander
Was!( Andaikan aku seorang Belanda!), tulisan ini pula yang
mengantar Soewardi Soeryaningrat ke pintu penjara pemerintah
Kolonial Belanda, untuk kemudian bersama-sama dengan Cipto
Mangun Kusumo dan Douwes Dekker di asingkan ke negeri Belanda
(Soeratman. 1989 : 41). Tulisan tersebut sebagai reaksi terhadap
rencana pemerintah Belanda untuk mengadakan perayaan 100 tahun
kemerdekaan Belanda dari penindasan Perancis yang akan dirayakan
pada tanggal 15 November 1913, dengan memungut biaya secara
paksa kepada rakyat Indonesia.
Setelah
tulisan
tersebut
menyebar,
pemerintah
Belanda
mengamuk, kemudian Belanda memanggil panitia De Expres untuk
diperiksa. Dalam suasana seperti itu, Cipto Mangun Kusumo menulis
dalam harian De Expres 26 Juli 1913. Untuk menyerang Belanda,
yang berjudul Kracht of Vress (Kekuatan atau ketakutan). Selanjutnya
Ki Hajar Dewantara kembali menulis dalam harian De Expres tanggal
28 Juli 1913 yang berjudul Een Voor Allen, Maar Ook Allen Voor Een
(Satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu) (Soeratman, 1981:
45).
Tanggal 30 Juli 1913 Soewardi Soeryaningrat dan Cipto
Mangunkusumo ditangkap, seakan-akan keduanya orang yang paling
berbahaya di wilayah Hindia Belanda. Setelah diadakan pemeriksaan
singkat keduanya secara resmi dikenakan tahanan sementara dalam sel
yang tepisah dengan seorang pengawal di depan pintu. Douwes
Dekker yang baru datang dari Belanda, menulis pembelaannya
terhadap kedua temannya melalui harian De Expres, 5 Agustus 1913
yang berjudul Onze Heiden: Tjipto Mangoenkoesoemo En R.M.
Soewardi
Soeryaningrat”
(Dia
pahlawan
kita:
Tjipto
Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soeryaningrat).
Atas putusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus
1913 Nomor: 2, ketiga orang tersebut dijatuhi hukuman pengasingan.
Ki Hajar Dewantara ke Bangka, Cipto Mangunkusuma ke Banda, dan
Douwes Dekker ke Timur Kupang. Namun ketiganya menolak dan
mengajukan tawaran untuk merubah tempat tujuan pengasingan ke
Belanda meski dengan biaya perjalanan sendiri. Dalam perjalanan
menuju pengasingan Ki Hajar Dewantara menulis pesan untuk saudara
dan
kawan
seperjuangan
Vrijheidsherdenking
end
yang
ditinggalkan
Vrijheidsberoowing
dengan
judul:
(Peringatan
kemerdekaan perampasan kemerdekaan). Tulisan tersebut dikirim
melalui kapal Bullow tanggal 14 September 1913 dari teluk Benggala
Moch (Tauhid, 1963: 22). Sewaktu di Belanda Ki Hajar Dewantara,
Dr. Cipto Mangunkusuma, dan Douwes Dekker langsung aktif dalam
kegiatan politik. Di Denhaag Ki Hajar Dewantara mendirikan
Indonesische Persbureau (IPB), yang merupakan badan pemusatan
penerangan
dan
propaganda
pergerakan
nasional
Indonesia
(Soeratman. 1989 :45).
Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hajar Dewantara tetap aktif
dalam berjuang. Oleh partainya Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai
sekretaris kemudian sebagai pengurus besar NIP (National Indische
Partij) di Semarang. Ki Hajar Dewantara juga menjadi redaktur “De
Beweging”, majalah partainya yang berbahasa Belanda, dan
“Persatuan Hindia” dalam bahasa Indonesia. Kemudian juga
memegang pimpinan harian De Expres yang diterbitkan kembali.
Karena ketajaman pembicaraan dan tulisannya yang mengecam
kekuasaan Belanda selama di Semarang, Ki Hajar Dewantara dua kali
masuk penjara (Tauhid, 1963 : 27).
Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari
pengasingan di negeri Belanda. Ki Hajar Dewantara mendirikan
Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di
Yogyakarta (Djumhur, 1974: 169). Bidang pendidikan adalah jalan
yang Ki Hajar Dewantara pilih untuk berjuang melawan penjajah
kolonial Belanda. Pihak kolonial Belanda juga mengadakan usaha
bagaimana cara melemahkan perjuangan gerakan politik yang
dipelopori oleh Taman Siswa. Tindakan Kolonial tersebut adalah
Onderwijs
Ordonantie
1932
(Ordinansi
Sekolah
Liar)
yang
dicanangkan oleh Gubernur Jendral tanggal 17 September 1932, pada
tanggal 15-16 Oktober 1932 MLPTS mengadakan Sidang Istimewa di
Tosari
Jawa
Timur
untuk
merundingkan
Ordinansi
tersebut
(Soeratman. 1989 : 118).
Menjelang kemerdekaan RI, yakni pada pendudukan Jepang
(1942-1945) Ki Hajar Dewantara duduk sebagai anggota “Empat
Serangkai” yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar
Dewantara dan Kyai Mansur. Pada bulan Maret 1943, Empat
Serangakai tersebut mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA)
yang bertujuan untuk memusatkan tenaga untuk menyiapkan
kemerdekaan RI. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945
kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan
Moh. Hatta. Pada hari minggu pon tanggal 17 Agustus 1945,
pemerintah RI terbentuk dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan
Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Disamping itu juga mengangkat
Menteri-Menterinya. Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Tamansiswa S, 1989: 111). Pada tahun
1946 Ki
Hajar Dewantara
menjabat
sebagai
Ketua
Panitia
Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran RI, ketua pembantu
pembentukan
undang-undang
pokok
pengajaran
dan
menjadi
Mahaguru di Akademi Kepolisian. Tahun 1947, Ki Hajar Dewantara
menjadi Dosen Akademi Pertanian. Tanggal 23 Maret 1947, Ki Hajar
Dewantara diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI
dan menjadi anggota Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di
Sekolah Rakyat (Tamansiswa, 1989: 119).
Pada tahun 1948, Ki Hajar Dewantara dipilih sebagai ketua
peringatan 40 tahun Peringatan Kebangkitan Nasional, pada
kesempatan itu beliau bersama partai-partai mencetuskan pernyataan
untuk menghadapi Belanda. Pada peringatan 20 tahun ikrar pemuda
(28 Oktober 1948), Ki Hajar Dewantara ditunjuk sebagai ketua
pelaksana peringatan Ikrar Pemuda. Setelah pengakuan kedaulatan di
negeri Belanda Desember 1949 Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai
anggota DPR RIS yang selanjutnya berubah menjadi DPR RI. Pada
tahun 1950, Ki Hajar Dewantara mengundurkan diri dari keanggotaan
DPR RI dan kembali ke Yogyakarta untuk mengabdikan diri
sepenuhnya kepada Taman Siswa sampai akhir hayatnya (Soeratman.
1989: 149).
b. Ki Hajar Dewantara sebagai Pemimpin Rakyat
Ki Hajar Dewantara sebagai pemimpin rakyat tidak diragukan
lagi, dalam memimpin rakyatnya Ki Hajar Dewantara menggunakan
teori kepemimpinan yang dikenal dengan “Trilogi Kepemimpinan”
yang telah berkembang dalam masyarakat. Trilogi kepemimpinan
tersebut adalah Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa,
Tutwuri Handayani maksudnyadi depan seorang pemimpin harus
dapat menjadi teladan dan contoh bagi anak buahnya, ditengah (dalam
masyarakatnya) seorang pemimpin harus mampu membangkitkan
semangat dan tekad anak buah. Dan dibelakang harus mampu
memberikan dorongan dan semangat anak buah.
Ki Hajar Dewantara adalah seorang demokrat yang sejati, tidak
senang pada kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin yang
mengandalkan pada kekuasannya tanpa dilandasi oleh rasa cinta kasih.
Dalam hal ini, kita merasakan betapa demokratis dan manusiawinya
Ki Hajar Dewantara memperlakukan orang lain. Ki Hajar Dewantara
selalu bersikap menghargai dan menghormati orang lain sesuai dengan
harkat dan martabatnya. Dengan sikap yang arif beliau menerima
segala kekurangan dan kelebihan orang lain, untuk saling mengisi,
memberi dan menerima demi sebuah keharmonisan dari lembaga yang
dipimpinnya.
Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dapat
berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh Ki Hajar Dewantara
diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu alam keluarga, alam
perguruan dan alam pergerakan pemuda. Konsep Ki Hajar Dewantara
dalam mendidik peserta didik yakni menggunaan teori among metode
yang dianggap paling sesuai. Sistem among yaitu metode pengajaran
dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah, dan asuh (peduli
dan kasih sayang). Pendidikan sistem among bersendikan pada dua hal
yaitu, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai
kemajuan dengan secepat-cepatnya, dan kemerdekaan sebagai syarat
untuk menghidupkan dan menggerakan kekuatan lahir dan batin anak
hingga dapat hidup mandiri (Soeratman. 1989: 7).
Sistem among sering dikaitkan dengan asas Ki Hajar Dewantara
yang berbunyi : Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani. Asas ini telah banyak dikenal masyarakat dari
pada sistem among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat
yang belum memahaminya. Sistem among berasal dari bahasa jawa
yaitu momong yang artinya mengasuh anak. Para pendidik baik guru
maupun dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan
mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Dalam sikap
momong, among, dan ngemong terkandung nilai yang sangat
mendasar yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti
membiarkan ank berkembang bebas tanpa arah. Metode among
memiliki pengertian menjaga, membina dan mendidik dengan kasih
sayang.
Pendidikan merupakan sarana untuk memperbaharui diri, tanpa
pendidikan manusia akan terperangkap hidup pada masa lalu. Jika
hingga saat ini pendidikan hanya dimengerti sebagai pengajaran
sebagaimana telah terjadi selama ini, maka manusia juga tidak akan
pernah berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa lalu
yang tidak beruntung.
Ki Hajar Dewantara membedakan antara sistem “Pengajaran”
dan “Pendidikan”. Menurut Ki Hajarr Dewantara pengajaran bersifat
memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan
kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari
aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan,
martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah
manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada
orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya
sendiri. Artinya sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap
individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri. Pendidikan dan
pengajaran dalam arti yang luas adalah bagaimana memerdekakan
manusia
sebagai
anggota
dari
sebuah
persatuan
(rakyat).
Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang bersifat
dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama. Oleh karena
itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan di mana ia hidup (Tamansiswa. 1977: 16).
2. Peran Sosial Ki Hajar Dewantara
a. Ki Hajar Dewantara sebagai Pendidik
Dr. Montessori adalah pembongkar dunia pendidikan lama,
Montessori menganggap bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa
sangat menyuburkan intelektual, tetapi sebaliknya mematikan
perasaan dan membalikan jiwa manusia dari yang memiliki rasa
menjadi
mesin belaka. Dasar pendidikan Montessori
adalah
kemerdekaan belajar, dan kedisiplinan tidak datang dari hukuman dan
hadiah, tetapi dari dalam diri anak-anak itu sendiri karena pekerjaanya
(Barnadib,
1983:
140).
Rabindranath
Tagore
yang
sempat
menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara (Suparlan. 1984
:101), kemudian disebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
Sebagai tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara tidak seperti Dr.
Montessori atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap
sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar
berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader yang
berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan
kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan kebangsaan dan
berlanggam kebudayaan (Zannoism, 2015: 3).
Kepeloporan
Ki
Hajar
Dewantara
dalam
mencerdaskan
kehidupan bangsa yang tetap berpijak pada budaya bangsanya diakui
oleh
bangsa
Indonesia.
Perannya
dalam
mendobrak
tatanan
pendidikan kolonial yang mendasarkan pada budaya asing untuk
diganti dengan sistem pendidikan nasional menempatkan Ki Hajar
Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional yang kemudian dikenal
sebagai Bapak Pendidikan Nasional (Navis. 1996 : 76).
Sistem pendidikan kolonial yang ada dan berdasarkan pada
budaya barat, jelas-jelas tidak sesuai dengan kodrat alam bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara memberikan alternatif
lain yaitu kembali ke jalan Nasional Pendidikan untuk rakyat
Indonesia harus berdasarkan pada budaya bangsanya sendiri. Sistem
pendidikan kolonial yang menggunakan cara paksaan dan ancaman
hukuman harus diganti dengan jalan kemerdekaan yang seluasluasnya kepada anak didik dengan tetap memperhatikan tertib
damainya hidup bersama (Tamansiswa II. 1994 : 73).
Reorientasi perjuangan Ki Hajar Dewantara dari dunia politik ke
dunia pendidikan mulai disadari sejak berada dalam pengasingan di
negeri Belanda. Ki Hajar Dewantara mulai tertarik pada masalah
pendidikan, terutama terhadap aliran yang dikembangkan oleh Maria
Montessori dan Robindranat Tagore. Kedua tokoh tersebut merupakan
pembongkar dunia pendidikan lama dan pembangunan dunia baru.
Selain itu juga tertarik pada ahli pendidikan yang bernama Freidrich
Frobel. Frobel adalah seorang pendidik dari Jerman. Ia mendirikan
perguruan untuk anak-anak yang bernama Kindergarten (Taman
Kanak-kanak). Oleh Frobel diajarkan menyanyi, bermain, dan
melaksanakan pekerjaan anak-anak. Bagi Frobel anak yang sehat
badan dan jiwanya selalu bergerak. Maka ia menyediakan alat-alat
dengan maksud untuk menarik anak-anak kecil bermain dan
berfantasi. Berfantasi mengandung arti mendidik angan anak atau
mempelajari anak-anak berfikir (Tamansiswa, 1977: 131).
Ki Hajar Dewantara juga menaruh perhatian pada metode
Montessori yang merupakan sarjana wanita dari Italia, yang
mendirikan taman kanak-kanak dengan nama “Case De Bambini”.
Dalam teori pendidikannya Montessori mementingkan hidup jasmani
anak-anak dan mengarahkannya pada kecerdasan budi. Dasar utama
dari pendidikan menurut Montessori adalah adanya kebebasan dan
spontanitas untuk mendapatkan kemerdekaan hidup yang seluasluasnya (Barnadib, 1983: 142). Berdasarkan hal tersebut berarti bahwa
anak-anak sebenarnya dapat mendidik dirinya sendiri menurut
lingkungan masing-masing. Kewajiban pendidik hanya mengarahkan
saja, lain pula dengan pendapat Tagore, seorang ahli ilmu jiwa dari
India. Pendidikan menurut Tagore adalah semata-mata hanya
merupakan alat dan syarat untuk memperkokoh hidup kemanusiaan
dalam arti yang sedalam-dalamnya, yaitu menyangkut keagamaan.
Manusia harus bebas dan merdeka. Bebas dari ikatan apapun kecuali
terikat pada alam serta zaman, dan merdeka untuk mewujudkan suatu
ciptaan (Tamansiswa. 1977:133).
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan
bangsa untuk mengejar keselamatan dan kesejahteraan rakyat tidak
hanya dicapai melalui jalan politik, tetapi juga melalui pendidikan.
Oleh karenanya timbullah gagasan untuk mendirikan sekolah sendiri
yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya. Untuk merealisasikan
tujuannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa.
Cita-cita perguruan tersebut adalah Saka, saka adalah singkatan dari
“Paguyuban Selasa Kliwonan” di Yogyakarta, dibawah pimpinan Ki
Ageng Sutatmo Suryokusumo. Paguyuban ini merupakan cikal bakal
perguruan taman siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di
YogyakartaTamansiswa. 1977: 15). Yakni: mengayu-ayu sarira
(membahagiakan diri), mengayu-ayu bangsa (membahagiakan bangsa)
dan mengayu-ayu manungsa (membahagiakan manusia). Untuk
mewujudkan gagasannya tentang pendidikan yang dicita-citakan
tersebut. Ki Hajar Dewantara menggunakan metode Among yaitu Tut
wuri Handayani. Among berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka
cita, dengan memberi kebebasan anak asuh bergerak menurut
kemauannya, berkembang menurut kemampuannya.
Tu
twuri
Handayani berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi
kebebasan dan keleluasaan bergerak yang dipimpinnya. Tetapi adalah
handayani,
mempengaruhi
dengan
daya
kekuatannya
dengan
pengaruh dan wibawanya (Sukiman. 2004: 2).
Metode Among merupakan metode pendidikan yang berjiwa
kekeluargaan dan dilandasi dua dasar, yaitu kodrat alam dan
kemerdekaan (Anshori, 2008: 76 ). Metode among menempatkan
anak didik sebagai subyek dan sebagai obyek sekaligus dalam proses
pendidikan. Metode among mengandung pengertian bahwa seorang
pamong/guru dalam mendidik harus memiliki rasa cinta kasih
terhadap anak didiknya dengan memperhatikan bakat, minat, dan
kemampuan anak didik dan menumbuhkan daya inisiatif serta
kreatifitas anak didiknya. Pamong tidak dibenarkan bersifat otoriter
terhadap anak didiknya dan bersikap Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing
Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani (Sukiman. 2004: 3).
b. Ki Hajar Dewantara sebagai Budayawan
Teori pendidikan taman siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar
Dewantara sangat memperhatikan dimensi-dimensi kebudayaan serta
nilai-nilai
yang
terkandung
dan
digali
dari
masyarakat
dilingkungannya. Sebagaimana disampaikan oleh Darsiti Soeratman
(1989) bahwa “Trikon” nya Ki Hajar Dewantara adalah:
“Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan
nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri
(kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia
(konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam
lingkungan kemanusian sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian
jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus
terbuka, disertai sikap selektif adaptif dengan pancasila sebagai
tolak ukurnya” (Tamansiswa. 1977 : 206).
Selektif adaptif berarti dalam mengambil nilai-nilai tersebut
harus memilih yang baik dalam rangka usaha memperkaya
kebudayaan sendiri, kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi
bangsa dengan menggunakan pancasila sebagai tolak ukurnya. Semua
nilai budaya asing perlu diamati secara selektif, manakala ada unsur
kebudayaan yang bisa memperindah, memperhalus, dan meningkatkan
kualitas kehidupan hendaknya diambil, tetapi jika unsur budaya asing
tersebut berpengaruh sebaliknya, sebaiknya ditolak. Cara seseorang
berpikir dilatar belakangi oleh adanya kenyataan mereka hidup dalam
suatu lingkungan budaya setempat (Budiningsih. 2004: 18). Nilai
kebudayaan yang sudah kita terima kemudian perlu disesuaikan
dengan kondisi dan psikologi rakyat kita, agar masuknya unsur
kebudayaan asing tersebut
dapat
menjadi
penyambung bagi
kebudayaan nasional.
Demikian luas dan intensnya Ki Hajar Dewantara dalam
memperjuangkan dan mengembangkan kebudayaan bangsanya,
sehingga karena jasanya itu, M Sarjito Rektor Universitas Gajah Mada
menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa (DR-Hc) dalam ilmu
kebudayaan kepada Ki Hajar Dewantara pada saat Dies Natalis yang
ketujuh tanggal 19 Desember 1956 (Tamansiswa, 1989: 76),
pengukuhan tersebut disaksikan langsung oleh Presiden Soekarno.
C. Karya-karya Ki Hajar Dewantara
1.
Taman Siswa
Karya
pertama Ki Hajar Dewantara yang diwariskan sampai
sekarang adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi
pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari
ini.Taman siswa sebuah lembaga pendidikan nasional yang dididirikan
oleh Ki Hajar Dewantara atau Soewardi Soeryaningrat di Yogyakarta
pada tanggal 3 Juni 1922. Taman Siswa bukan suatu badan perkumpulan
yang terdiri dari anggota-anggota, dan bukan milik pribadi. Taman Siswa
adalah satu badan perguruan yang sudah diatur dengan kepentingan dan
keperluan rakyat, yang diserahkan kepada rakyat umum. Guru-gurunya
adalah orang-orang anak bangsa kita sendiri, yang dengan rela dan
keikhlasan hatinya bersedia dan menyerahkan diri untuk keperluan rakyat
dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Dengan prinsip yang
sedemikian rupa, maka Taman Siswa sudah dapat berkembang dan
tersebar diseluruh Indonesia.
Lembaga yang berdiri dengan nama National Onderwijs Istituut
Taman Siswa ini dikenal sebagai perguruan nasional yang bertujuan
mengganti sistem pendidikan dan pengajaran terdahulu yang dipakai
pada masa penjajahan Belanda dengan sistem pendidikan yang sesuai
dengan kebudayaan Indonesia. Ketika dibuang ke Belanda pada tahun
1913 oleh pemerintah jajahan, Soewardi Soeryaningrat mulai mengenal
dan mempelajari pendidikan modern Dr. Maria Montessori dan Jan
Lichthart, tokoh pendidikan modern Belanda. Sekembalinya ke
Indonesia, sebelum mendirikan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara
menjadi guru di sekolah swasta milik kakaknya, R.M. Soejopranoto dan
kemudian mendirikan taman kanak-kanak “Taman Indrya” serta sebuah
khursus guru (Surjomihardjo. 1986: 147).
Lembaga pendidikan Taman Siswa kemudian berkembang menjadi
dua bagian, yakni Taman Muda (sekolah dasar 6 tahun) dan Taman
Dewasa atau Mulo Kweekschool yang merangkap taman guru. Meskipun
pendidikan tingkat Taman Dewasa mendapat tentangan dari pemerintah
jajahan, banyak lulusannya yang berhasil meneruskan pendidikan ke
AMS (Algemene Middlebare School). Pada saat Jepang masuk ke
Indonesia, tahun 1942, Taman Siswa telah mempunyai cabang 199
tempat yang tersebar di seluruh Pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, Ternate, dan Maluku. Pada saat itu jumlah pengajarnya
mencapai 650 orang (Soeratman. 1989: 145).
Cita-cita pendidikan Taman Siswa, yang dikenal
sebagai
Pancadharma, adalah memberikan kebebasan kepada anak didik dalam
perkembangannya
tanpa
perintah
atau
paksaan
pendidik;
mengembangkan jasmani dan rohani ke peradaban dan kebudayaan;
mengusahakan
pengaruh
yang
baik
bagi
kodrat
alam
anak;
mengembangkan rasa kebangsaan dan hidup berbangsa; menumbuhkan
dan memupukdasar-dasar perikemanusiaan yang merupakan sifat
kebangsaan (Surjomihardjo. 1986: 10).
Semboyan pendidikan Taman Siswa adalah Tut Wuri Handayani,
ungkapan bahsa Jawa yang berarti mengikuti dari belakang dan memberi
kekuatan. Untuk menanamkan rasa kekeluargaan antara guru dan murid ,
perguruan Taman Siswa mengubah sebutan guru yang pada jaman
penjajahan adalah meneer dan juffrouw menjadi bapak dan ibu.
Perrguruan ini memiliki Majelis Luhur, yang pada awal berdirinya
dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara, yang juga disebut Bapak Taman
Siswa. Pada tahun 1990 Taman Siswa bekerja sama dengan yayasan
milik ABRI mendirikan sekolah calon pemimpin bangsa di Magelang
yang disebut Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna Nusantara
(Ensiklopedi Nasional Indonesia. 2004: 52).
Dengan mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama, maka
pada masa itu berarti Suwardi Suryaningrat mengesampingkan
pendekatan politik. Ki Hajar Dewantara dapat mewujudkan keinginan
bangsanya, karena usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa
kebangsaan
sesuai
dan
merupakan
bagian
penting
pergerakan
kemerdekaan Indonesia dan dianggap merupakan dasar perjuangan
meninggikan derajat rakyat. Banyak perkumpulan dan partai-partai
memasukan hal itu dalam programnya.
Sejarah Taman Siswa adalah sejarah kebangsaan Indonesia.
Kelahirannya pada tanggal 3 Juli 1922 dinilai oleh seorang penulis asing
tentang Indonesia sebagai titik balik dalam pergerakan Indonesia. Karena
kaum
revolusioner yang mencoba
semboyan-semboyan
asing
dan
menggerakan rakyat
ajaran-ajaran
Marxis
dengan
terpaksa
memberikan tempat untuk gerakan baru, yang benar-benar berasas
kebangsaan dan bersikap non kooperatif dengan pemerintah jajahan,
seperti tercermin dalam pernyataan Asas Taman Siswa.
Pernyataan Asas Taman Siswa tahun 1922 itu berisi 7 pasal yang
dapat diringkas sebagai berikut :
a. Pasal 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang
untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan
pengajaran, maka hal itu merupaan usaha mendidik murid-murid
supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka di dalam
batas-batas tujuan mencapai tertib-damainya hidup bersama. Di dalam
pasal 1 juga terdapat dasar kodrat alam, yang diterangkan perlunya,
agar kemajuan sejati dapat diperoleh dengan perkembangan kodrat,
yang terkenal sebagai evolusi. Dasar ini mewujudkan sistem among,
yang salah satu seginya adalah mewajibkan guru-guru untuk berperan
sebagai “pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi”
dengan memberi kesempatan kepada anak-anak didik untuk
mewujudkan diri sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan Tut
Wuri
Handayani.
Di
samping
itu
guru
diharapkan
dapat
membangkitkan pikiran murid, bila berada di tengah-tengah mereka
dan memberi contoh bila di depan murid.
b. Pasal 3 menyinggung kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi dan
politik. Kecenderungan bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan
hidup dan penghidupan kebarat-baratan akan menimbulkan berbagai
kekacauan. Sistem pengajaran yang timbul dianggap terlampau
mementingkan kecerdasan pikiran, yang melanggar dasar-dasar
kodrati yang terdapat dalam kebudayaan sendiri sehingga tidak
menjamin keserasian dan dapat memberi kepuasan. Inilah yang
disebut dasar kebudayaan.
c. Pasal 4 mengandung dasar kerakyatan. Pernyataan “Tidak ada
engajaran bagaimanapun tingginya, dapat berguna, apabila hanya
diberikan kepada sebagian kecil orang dalam pergaulan hidup. Daerah
pengajaran harus diperluas”, menjadi dasar pelaksanaan dan wajib
belajar bagi segenap mereka yang sudah waktunya mendapat
pengajaran.
d. Pasal 5 merupakan asas yang sangat penting bagi semua orang yang
ingin mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya. Pokok
dari asas ini adalah percaya kepada kekuatan diri sendiri untuk
tumbuh dan berkembang.
e. Pasal 6 berisi persyaratan dalam mengejar kemerdekaan diri dengan
jalan keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha.
f. Pasal 7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir batin bagi guru untuk
mendekati anak didiknya (Surjomihardjo. 1986: 37).
Pernyataan asas berisi tujuh pasal itu disebut oleh Dr. Gunning
sebagai “manifest yang penting”. Salah seorang pemimpin Taman Siswa,
Sarmidi Mangunsarkoro menyebutkan pernyataan asas itu sebagai
“lanjutan cita-cita Ki Hajar Dewantara dan kawan-kawannya yang
tergabung dalam Gerombolan Selasa Kliwon, sebagai anak rohani
gerakan politik kiri dan gerakan kebatinan yang menganjurkan
kebebasan”. Selama delapan tahun sejak berdirinya Taman Siswa,
Suwardi Suryaningrat dan pembantu-pembantunya bekerja secara diamdiam. Dalam arti tidak melayani kritik-kritik dari masyarakat kita sendiri
maupun dari pihak Belanda, yang bernada meremehkan usaha pendidikan
itu. Namun secara teratur gagasan dan usaha pendidikan yang hidup itu
dijelaskan melalui majalah pendidikan umum yang diterbitkan, yaitu
Wasita.
Banyak sekolah yang telah berdiri terlebih dulu kemudian
menyerahkan sekolahnya kepada Taman Siswa, seperti sekolah Budi
Utomo di Jatibaru Jakarta, dan Sekolah Rakyat di Bandung. Menjelang
kongresnya yang pertama, maka penerbitan resmi pemerintah Hindia
Belanda mencatat pada tahun 1930, bahwa di Jawa terdapat pusat-pusat
kegiatan pemeliharaan kesejahteraan penduduk yang diusahakan oleh
bangsa sendiri. Disebutnya ada tiga pusat kegiatan, yaitu yang
diusahakan oleh Muhammadiyah, Indonesische Studieclub Surabaya dan
Taman Siswa.
Mengenai Taman Siswa penerbitan pemerintah Hindia Belanda itu
menguraikan antara lain sebagai berikut:
Pertama, semula didirikan pada tahun 1922 di Yogyakarta,
sekarang ini perguruan Taman Siswa meliputi 40 cabang, tiga
diantaranya di Sumatra Timur dan empat di Kareridenan Kalimantan
Selatan dan Timur dengan jumlah murid 5.140 orang. Ibu Pawiyatan di
Yogyakarta terdiri dari sebuah MULO dengan 238, sekolah rendah
dengan 362 murid dan Schakelschool dengan 97 murid. Sejak tahun
1925, pada waktu sekolah rendah untuk pertama kali meluluskan
muridnya, rata-rata 70 persen dari mereka telah lulus ujian pegawai
negeri rendah dan ujian masuk MULO atau sekolah teknik. Banyak
diantaranya yang melanjutkan pelajaran ke MULO-Kweekschool, yang
didirikan pada tahun 1924.
Kedua, lulusan MULO pada tahun 1928, dari lima diantara
sembilan, dan pada tahun 1929, enam diantara 14 telah lulus ujian masuk
AMS atau rata-rata berarti 45 persen, sedangkan 24 lulusan Taman Guru
(MULO ditambah satu tahun teori dan satu tahun pendidikan praktek)
sekarang semuanya bekerja sebagai guru pada Taman Siswa atau
lembaga pendidikan partikelir lainnya. Pada tahun 1929 yang
mendaftarkan diri sebagai murid MULO begitu besar sehingga banyak
yang ditolak. Para ahli telah memberikan penilaian yang baik terhadap
Taman Siswa di Yogyakarta (Tamansiswa. 1977 : 506).
2. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang dibukukan
Tulisan-tulisan yang diwariskan Ki Hajar Dewantara kemudian
dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Yogyakarta diantaranya ;
a. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan pada tahun
1977: tentang Pendidikan Buku ini khusus membicarakan gagasan dan
pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan di antaranya
tentang hal ihwal Pendidikan Nasional. Tri Pusat Pendidikan,
Pendidikan Kanak-Kanak, Pendidikan Sistem Pondok, Adab dan
Etika, Pendidikan dan Kesusilaan.
b. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Kedua Kebudayaan pada tahun
1994: tentang Kebudayaan Dalam buku ini memuat tulisan-tulisan
mengenai kebudayaan dan kesenian di antaranya: Asosiasi Antara
Barat
dan
Timur,
Pembangunan
Kebudayaan
Nasional,
Perkembangan Kebudayaan di Jaman Merdeka, Kebudayaan
nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Kesenian Daerah dalam
Persatuan Indonesia, Islam dan Kebudayaan, Ajaran Pancasila dan
lain-lain.
c. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Ketiga: tentang Politik dan
Kemasyarakatan. Dalam buku ini memuat tulisan-tulisan mengenai
politik antara tahun 1913-1922 yang menggegerkan dunia imperialis
Belanda, dan tulisan-tulisan mengenai wanita, pemuda dan
perjuangannya.
d. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Keempat: tentang Riwayat dan
Perjuangan Hidup Penulis: Ki Hajar Dewantara Dalam buku ini
melukiskan kisah kehidupan dan perjuangan hidup perintis dan
pahlawan kemerdekaan Ki Hajar Dewantara.
Karya Ki Hajar Dewantara masih banyak yang diterbitkan setelah
beliau wafat. Ada beberapa tulisan beliau yang begitu terkenal,
diantaranya tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling fenomenal adalah
berupa sistem pendidikan yang dicetuskan oleh beliau, yang berbunyi:
Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani. Sistem Among menuntut kesabaran dalam penerapannya bagi
pengajar, nampak dalam teori ini Ki Hajar Dewantara berusaha
memberikan gambaran ideal tentang peran manusia dalam segala waktu.
Dalam konsep among ini manusia ideal adalah orang yang dapat
menempatkan diri (menyesuaikan diri) sedang berada pada peran yang
bagaimanakah dia. Apakah di depan, di tengah atau di belakang. Dan
dalam setiap kondisi di depan, di tengah maupun di belakang itu orang
ideal ini harus dapat memberikan peran yang berarti bagi orang lain di
sekitarnya. Ki Hajar Dewantara memang telah membuktikan sebagai
figur yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi insan pendidikan di
Indonesia, bahkan di dunia.
Baru-baru ini salah satu buku karya Ki Hajar Dewantara dijadikan
referensi oleh Finlandia, yang membuat Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Anies Baswedan miris di Indonesia buku itu tidak terbaca
sehingga diambil dan dipraktekan oleh negara lain. Salah satu topik yang
diangkat dalam buku tersebut adalah tentang kondisi belajar yang
menyenangkan. Pemerintah Finlandia telah mengikuti pandangan Ki
Hajar Dewantara dengan mengubah sistem belajar dan situasi di sekolah
menjadi lebih nyaman dan menggembirakan, berbeda dengan sekolah
dan instansi pendidikan di Indonesia yang murid-muridnya lebih banyak
merasa stress saat belajar. “Di sana disebutkan taman, bukan yang lain.
Kita harus dorong agar murid-murid kita bisa merasa seperti di taman,
dan mereka harus bisa merasa ketagihan belajar”, kata Anies Baswedan
(Belamirnus. 2014: 1).
Ungkapan tut wuri handayani dijadikan logo pendidikan di
Indonesia, sehingga masyarakat umum tidak asing dengan istilah tersebut
yang artinya dari secara lengkap adalah: tut wuri handayani (dari
belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing
madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus
menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan,
seorang pendidik atau guru harus dapat memberi teladan atau contoh
tindakan baik). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia
pendidikan kita, terutama di sekolah-sekolah Taman Siswa.
Sisi lain jiwa kepahlawanan Ki Hajar juga sulit ditandingi oleh
tokoh pendidikan lainnya, banyak teori yang dihasilkan oleh Ki Hajar
Dewantara ini diciptakan beliau pada jaman penjajahan atau jaman
perjuangan. Pertanyaanya adalah apakah konteks perjuangan yang
dikemukakan beliau pada jaman dahulu tetap relevan dengan jaman
sekarang. Sebab perjuangan pada jaman dulu diartikan sebagai perang
melawan penjajah. Sedang dalam konteks sekarang perjuangan lebih
merupakan berjuang untuk mencapai prestasi.Untuk ukuran jaman yang
semakin maju ini banyak nilai-nilai tradisional yang memerlukan
pembaharuan pada penerapannya. Banyak aspek dalam nilai tradisional
yang kurang terbuka terhadap inovasi (pembaharuan) yang sedang
berkembang. Hal ini apabila dibiarkan jelas sangat mempengaruhi daya
kreativitas masyarakat kita.
3. Karya dan peninggalan Ki Hajar Dewantara lainnya
a. Tahun 1912 mendirikan Surat Kabar Harian De Ekspres (Bandung),
Harian Sedya Tama (Yogyakarta) Midden Java (Yogyakarta),
KaumMuda (Bandung), Utusan Hindia (Surabaya), Cahya Timur
(Malang) ( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330),
b. Mendirikan monumen Nasional “Taman Siswa” pada tanggal 3 Juli
1922( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989 : 331),
c. Tahun 1913 mendirikan Komite Bumi Putra bersama Cipto
Mangunkusumo, untuk memprotes rencana perayaan 100 tahun.
d. Mendirikan IP (Indice Partij) tanggal 16 September 1912 bersama
Dauwes Dekker dan Cjipto Mangunkusumo ( Ensiklopedi Nasional
Indonesia Jilid 4, 1989 : 330),
e. Tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan pemerintah sebagai perintis
Kemerdekaan Nasional Indonesia,
f. Tanggal 19 Desember 1956 mendapat gelar kehormatan Honoris
Causa dalam ilmu kebudayaan dari Universitas Negeri Gajah Mada,
g. Tanggal 17 Agustus dianugerahi oleh Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang RI bintang maha putera tinggat I.
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Hakikat Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah salah satu hal yang paling dibutuhkan oleh manusia,
oleh karena itu tidak heran jika banyak orang yang berbondong-bondong
mengenyam pendidikan mulai dari yang formal sampai yang informal.
Pendidikan berasal dari kata “didik” , lalu kata ini mendapat awalan me
sehingga menjadi “mendidik”, yang memiliki arti memelihara dan memberi
latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran,
tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1991: 232).
Istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam kontes pendidikan
pada akhir abad ke-18 yang dicetuskan oleh FW. Foerster. Terminologi ini
mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan, yang
juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Karakter merupan rintisan
ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian
yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan
menghancurkan. Karakter akan membentuk motivasi, yang dibentuk dengan
metode dan proses bermartabat, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah,
melainkan mengungkapkan secara implinsit hal-hal yang tersembunyi.
Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan
berdasarkan nilai-nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan
perilaku dari kehidupan moral.
Karakter berasal dari kata character yang berarti watak, karakter atau
sifat (Echols, 1996: 107), dalam kamus besar bahasa Indonesia ‘karater’
diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budu pekerti. Karakter juga
dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu
dilakukan atau kebiasaan. Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa, dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan
dan
siap
mempertanggungjawabkan
setiap
akhibat
dari
keputusannya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah
upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengarahkan
peserta didik pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh
yang didasarkan pada suatu nilai-nilai keluhuran (Zuchdi. 2011: 27).
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk
memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah yang
terkandung dalam UU di atas bermaksud agar pendidikan tidak hanya
membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau
berarakter. Sehingga akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang
dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas vdan berkarakter kuat
juga pernah ditegaskan oleh Martin Luther King, “Kecerdasan yang
berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya” (Asmani,
2012:29).
Pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti plus, yaitu
yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Pendidikan
arakter sebaiknya dimulai dari dalam keluarga karena anak mulai berinteraksi
dengan orang lain pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga.penerapan
pendidikan karakter sebaiknya sejak usia kanak-kana atau yang biasa disebut
para ahli psikologi sebagai golden age karena usia ini terbukti sangat
menentuan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.
Berdasarkan makna moral, budi pekerti, etika dan akhlak menjadi
bagian tak terpisahkan dengan karakter, tetapi masing – masing memiliki
sumber dan maknanya sendiri. Adanya persamaan dan perbedaan dalam
konsep antara moral, budi pekerti, etika, akhlak dan karakter.
1. Moral
Moral berasal dari bahasa latin yakni ‘mores’, kata jamak dari ‘mos’ yang
berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan
susila. Ajaran moral adalah ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup
dan berbuat agar menjadi manusia yang baik. Moral merupakan sistem
nilai atau konsensus sosial tentang motivasi, perilaku dan perbuatan
tertentu dinilai baik atau buruk (Budiningsih, 2004: 24). Moral sesuai
dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia yang baik
dan yang wajar. Istilah moral senantiasa mengacu kepada baik buruknya
perbuatan manusia sebagai manusia. Intinya, objek dari moral adalah
perbuatan manusia dengan ukuran baik buruk, bertujuan membentuk
karakter manusia.
2. Budi Pekerti
Secara etimologis budi pekerti dapat dimaknai sebagai penampilan diri
yang berbudi. Budi berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat
kesadaran, pekerti berarti kelakuan. Secara operasional, budi pekerti dapat
dimaknai sebagai prilaku yang tercermin dalam kata, perbuatan, pikiran,
sikap dan perasaan, keinginan dan hasil karya. Dalam hal ini budi pekerti
diartikan sebagai sikap atau prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga
maupun masyarakat bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan
dianut dalam bentuk jadi diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas dan
kesinambungan masa depan dalam suatu system nilai moral, dan yang
menjadi pedoman prilaku manusia untuk bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Ki
Hajar
Dewantara
menerapkan untuk menyokong
perkembangan hidup anak-anak, menuju ke arah peradaban dalam
sifatnya yang umum, seperti mengajarkan anak bagaimana duduk yang
baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih
badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak dan orang lain, suka
menolong dan lain sebagainya. (Nata, 2005: 67).
3. Etika
Secara etimologis kata ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata
‘ethos’ yang berarti adat atau kebiasaan baik yang tetap. Etika adalah adat,
kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu atau
ilmu
tentang
kajian
formal
tentang
moralitas.
Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar
perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang
menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral
diperintahkan dan dilarang (Fakhry, 1995: 15). Intinya, etika juga
merupakan objek prilaku manusia dengan ukuran baik dan buruk persepsi
manusia dengan tujuan membentuk karakter manusia.
4. Akhlak
Secara etimologis akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar
(bentuk infinitive) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan. Sesuai dengan
bentuk tsulatsi mazid wazan af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai) at-thabi’ah (kelakuan, tabiat atau watak dasar), al-‘adat
(kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik) dan al-dien
(agama). Secara terminologis akhlak ialah suatu keinginan yang ada di
dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi
akal/pikiran. Selanjutnya Hamzah Ya’qub (2008) mengurai kata akhlak
dari segi persesuaiannya. Misalnya dengan kata khalqun yang berarti
kejadian yang erat hubungannya dengan khaliq (pencipta) dan makhluq
(yang diciptakan). Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media
yang memungkinkan ada hubungan baik antara kholiq dan makhluq.
Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam QS Al-Qolam:
Berangkat dari definisi akhlak diatas, maka akhlak terbagi menjadi dua
bagian. Pertama adalah akhlak yang baik yang dinamakan akhlaq al-
mahmudah (akhlak terpuji) atau biasa dikenal dengan akhlaq al-karimah
(akhlak yang mulia). Kedua disebut akhlak mamdudah (Pangarsa, 1980:
33).
Memperhatikan definisi diatas maka dapat disimpulkan persamaan dan
perbedaan antara moral, budi pekerti, etika dan akhlak, sebagai berikut ;
NILAI
Moral
SUMBER
UKURAN
Persepsi Manusia
Baik dan Buruk
Persepsi Manusia
Perilaku Baik
TUJUAN
Budi
Pekerti
Etika
Persepsi Manusia
Baik dan buruk
Membentuk
Menurut Adat dan
menurut adat dan
karakter
Kebiasaan
kebiasaan
Al-Qur’an dan as-
Baik dan buruk
Sunnah/ Wahyu
menurut Allah
Akhlak
Persamaan dan perbedaan antara akhlak, moral dan karakater sebagai
berikut;
a. Sumber Acuan;
1) Moral bersumber dari norma atau adat istiadat
2) Akhlak bersumber dari wahyu
3) Karakter bersumber dari penyadaran dan kepribadian
b. Sifat Pemikiran;
1) Moral bersifat empiris
2) Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
3) Karakter merupakan perpaduan antara akal, kesadaran dan
kepribadian
c. Proses Munculnya Perbuatan;
1) Moral muncul karena pertimbangan suasana
2) Akhlak muncul secara spontan tanpa pertimbangan
3) Karakter merupakan proses dan bisa mengalami perubahan.
B. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Karakter
1. Pengertian pendidikan karakter
Pendidikan dalam konteks sekarang kurang relevan untuk mengatasi
krisis moral yang sedang melanda di negara Indonesia. Krisis tersebut
antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka
kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian
remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi,
dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga
saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Sistem pendidikan Indonesia
masih jauh dari kata berhasil untuk menghasilkan generasi penerus bangsa
yang cerdas ilmu dan perilaku, dibuktikan dengan banyak munculnya
kasus-kasus korupsi dalam pemerintahan, kejahatan seksual yang
merajalela, narkoba yang terus memakan korban dsb. Berdasarkan realita
tersebut perlu adanya perombakan sistem pendidikan agar dapat
menghasilkan generasi yang cerdas akal dan budi pekertinya.
Pendidikan karakter menjadi wacana yang telah lama dibicarakan
oleh berbagai pihak dalam kaitannya dengan generasi Indonesia seperti,
apa yang hendak dihasilkan untuk menggantikan generasi sebelumnya.
Wacana pendidikan karakter telah ada pula sebelum kemerdekaan atau
sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Diantaranya adalah tokoh
pendidikan nasional yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui bidang pendidikan, yang merupakan bapak pendidikan
Nasional yaitu Ki Hajar Deawantara. Sepak terjang Ki Hajar Dewantara di
dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi, peranan Ki Hajar Dewantara
sangat besar dalam sejaran pendidikan tanah air.
Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah:
“Menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu,
agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”
(Tamansiswa, 1977 : 20).
Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pengertian pendidikan adalah:
”Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran
(intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman siswa tidak boleh
dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang
kita didik selaras dengan dunianya”( Tamansiswa, 1977: 14).
Definisi pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara,
menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan moral
sebagai suatu proses yang dinamis dan berkesinambungan. Disini tersirat
pula wawasan kemajuan, karena sebagai proses pendidikan harus mampu
menyesuaikan diri dengan tuntunan kemajuan zaman. Keseimbangan
unsur cipta, rasa dan karsa yang tidak dapat dipisah-pisahkan ini
memperlihatkan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memandang pendidikan
hanya sebagai proses penulasan atau transfer ilmu pengetahuan transfer of
knowladge. Hal ini sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh Ki Hajar
Dewantara bahwa pendidikan pada masa itu (kolonial Belanda) penuh
dengan semangat keduniawian (materialism), penalaran (intellektualism)
serta individualism (Tamansiswa, 1977: 139).
Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan ranak kognitif,
afektif dan psikomotorik. Muara ranah kognitif adalah tumbuh dan
berkembangnya kecerdasan dan kemampuan intelektual akademik, ranah
afektif bermuara pada terbentuknya karakter kepribadian, dan ranah
psikomotorik akan bermuara pada keterampilan dan perilaku. Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa terdapat
tiga aspek dalam pembelajaran yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Pengetahuan adalah bentuk dari prinsip dan fakta, keterampilan adalah
pemerolehan kemampuan melalui pelatihan atau pengalaman. Sikap
didefinisikan sebagai suatu pendapat, perasaan atau mental seseorang yang
ditunjukkan oleh tindakan. Pendidikan sebagai upaya untuk memajukan
budi pekerti baik itu kekuatan batin dan karakter agar anak didik dapat
menemukan kesempurnaan hidup. Ki Hajar Dewantara memandang
pentingnya pendidikan karakter sebagai bekal untuk meraih cita-cita,
karena karakter manusia menjadi modal utama dalam menjalani
kehidupan.
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan adalah sebagai daya
dan upaya yang dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti,
kekuatan batin, karakter, pikiran dan tubuh anak agar dapat mencapai
kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak peserta
didik dapat selaras dengan dunianya (Tamansiswa. 1967:15).
Pendidikan
yang
dimaksud
oleh
Ki
Hajar
Dewantara
memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekedar
proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi
sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasinilai (transformation
of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembentukan
karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.
Sedangkan karakter dalam istilah sederhananya adalah pendidikan
budi pekerti, kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya
watak. Ki Hajar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan
karakter, mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat
membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan
kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum
kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu
dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan
lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24).
Karakter adalah pola untuk membentuk peserta didik yang beradab,
membangun watak manusia yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, merdeka
lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan memiliki ketrampilan, sehat
jasmani dan rohani, sehingga bisa mewujudkan manusia yang mandiri
serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa, negara dan
masyarakat pada umumnya.
2. Konsep pendidikan karakter
Mengangkat pemikiran seorang tokoh besar seperti Ki Hajar
Dewantara tanpa terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan
kondisi sosioal dan politik masa hidupnya yang mengiringi pertumbuhan
pemikirannya, tentunya akan memberikan dampak yang kurang baik,
karena pada dasarnya Ki Hajar Dewantara merupakan produk sejarah masa
lampau. Oleh karena itu situasi dan kondisi yang berkembang ikut
menentukan perkembangan dan corak pemikiran Ki Hajar Dewantara. Ki
Hajar Dewantara terlahir dari keluarga kerajaan Paku Alam merupakan
keturunan bangsawan, lahir di Yogyakarta pada hari kamis legi tanggal 2
Puasa 1818 atau 2 Mei 1889 dengan nama R.M. Suwardi Suryaningrat.
Ayah Ki Hajar Dewantara bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat ,
putra dari Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat yang
bergelar Sri Paku Alam III ( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4. 1989:
330).
Ki Hajar Dewantara merupakan keturunan dari Paku Alam III, dan
mendapat pendidikan agama dari ayahnya dengan berpegang pada ajaran
yang berbunyi “syariat tanpa hakikat adalah kosong, hakikat tanpa syariat
adalah batal” (Soeratman, 1985: 16). Beliau juga mendapat pelajaran
falsafah Hindu yang tersirat dari cerita wayang dan juga satra jawa
gending. Ki Hajar Dewantara di dalam keluarganya banyak bersentuhan
dengan iklim keluarga yang penuh dengan nuansa kerajaan yang feodal.
Walaupun ayahnya seorang keturunan dari paku alam III, Ki Hajar
Dewantara seorang yang sangat dekat dengan rakyat, karena pada masa
kecilnya Ki Hajar Dewantara
senang bergaul dengan anak-anak
kebanyakan di kampung-kampung sekitar puri tempat tinggalnya. Ki Hajar
Dewantara menolak adat feodal yang berkembang di lingkungan kerajaan.
Hal ini dirasakan olehnya bahwa adat yang demikian menganggu
kebebasan pergaulannya (Tamansiswa, 1979: 15).
Pada masa itu pendidikan sangatlah langka, hanya orang-orang dari
kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah saja yang dapat
mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh pemerintahan
Belanda. Ki Hajar Dewantara sewaktu kecil mendapat pendidikan formal
pertama kali pada tahun 1896, akan tetapi Ki Hajar Dewantara merasa
kecewa karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama
sebab mereka hanya rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan
memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya, dalam
melakukan perjuangannya baik dalam dunia politik sampai dengan
pendidikan. Ki Hajar Dewantara juga menentang kolonialisme dan
foedalisme
yang
menurutnya
sangat
bertentangan
dengan
rasa
kemanusiaan kemerdekaan dan tidak memajukan hidup dan penghidupan
manusia secara adil dan merata (Soeratman, 1985: 19).
Kecintaan Ki Hajar Dewantara terhadap ilmu pengetahuan dan
agama membuatnya menjadi sosok yang memiliki pengetahuan dan
wawasan yang sangat luas, sehingga membuat beliau dihormati oleh rakyat
dan disegani oleh musuh. Ki Hajar Dewantara melihat ketimpangan
pendidikan yang dialamai oleh rakyat kecil, sehingga mendorong Ki Hajar
Dewantara untuk berusaha memperjuangkan rakyat kecil agar dapat
mengenyam pendidikan, karena bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan
merupakan hak setiap manusia dan juga bekal bagi masa depan.
a. Tujuan pendidikan karakter
Tujuan pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara adalah membangun
anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya
serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna
dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia
pada
umumnya
(Suparlan.
1984:
109).
Ki
Hajar
Dewantara
mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan yaitu
suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam
masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan
maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kearah
keluhuran budaya manusia.
Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap yang
dikenal dengan teori Trikon, yaitu ;
1) Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus
merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut
penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain,
2) Konvergensi yaitu berarti kita harus menghindari hidup menyendiri,
terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan
komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar
saling menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masing-masing,
3) Konsentris yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunikasi dengan
bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri.
Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat
istiadat dan kepribadian sendiri, meskipun bertitik pusat satu, namun
dalam lingkaran yang konsentris masih tetap memiliki lingkaran sendiri
yang khas yang membedakan negara Indonesia dengan negara yang
lainnya (Tamansiswa. 1977: 206).
b. Dasar pendidikan
Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara bukan semata-mata sistem
pendidikan perjuangan, melainkan juga merupakan suatu pernyataan
falsafah dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Sistem pendidikan tersebut
kaya akan konsep-konsep kependidikan yang asli. Ki Hajar Dewantara
mengembangkan sistem pendidikan melalui Perguruan Taman Siswa yang
mengartikan pendidikan sebagai upaya suatu bangsa untuk memelihara
dan mengembangkan benih turunan bangsa itu. Untuk itu, Ki Hajar
Dewantara mengembangkan metode among sebagai sistem pendidikan
yang didasarkan asas kemerdekaan dan kodrat alam.
Ki Hajar Dewantara mengartikan merdeka sebagai kesanggupan dan
kemampuan untuk berdiri sendiri guna mewujudkan hidup diri sendiri,
hidup tertib dan damai dengan kekuasaan atas diri sendiri. Merdeka tidak
hanya berarti bebas tetapi harus diartikan sebagai kesanggupan dan
kemampuan yaitu kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah diri pribadi
(Tamansiswa, 1977: 20).
Sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara dikembangkan berdasarkan
lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa, yang meliputi:
1) Asas kemerdekaan,yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai
hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat,
2) Asas kodrat alam,yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu
sebagai makluk, adalah satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat
lepas dari kodrat alam dan akan berbahagia apabila dapat menyatukan
diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan itu. Oleh karena
itu, setiap individu harus berkembang dengan sewajarnya (Suparlan.
1984 :105),
3) Asas kebudayaan,yang berarti bahwa pendidikan harus membawa
kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan
kecerdasan zaman, kemajuan dunia dan kepentingan hidup lahir dan
batin rakyat pada setiap zaman dan keadaan,
4) Asas kebangsaan,yang berarti tidak boleh bertentangan dengan
kemanusiaan, malah harus menjadi bentuk kemanusiaan yang nyata.
Oleh karena itu asas kebangsaan ini tidak mengandung arti permusuhan
dengan bangsa lain melainkanmengandung rasa satu dengan bangsa
sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju
kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa,
5) Asas kemanusiaan,yang menyatakan bahwa darma setiap manusia itu
adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin
dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap
makluk ciptaan Tuhan seluruhnya (Surjomihardjo.1986: 88).
c. Pokok ajaran
Pokok ajaran Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan
yang cocok untuk anak-anak Indonesia adalah Pendidikan Nasional. Untuk
menyelengarakan pendidikan nasional beliau mendirikan Lembaga
Pendidikan Nasional Taman Siswa yang kemudian dikenal sebagai
Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa bertujuan untuk
membuat rakyat pandai, sebab Ki Hajar Dewantara berkeyakinan bahwa
perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu Ki
Hajar Dewantara mengemukakan konsepnya mengenai Pendidikan
Nasional yang direalisasi mulai tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan
Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta dengan tugas-tugasnya.
Pertama, untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan
berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu
mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang
merdeka. Kedua, membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang
pada waktu itu sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, sedangkan sekolah
yang disediakan oleh pemerintah Belanda sangat terbatas. Ki Hajar
Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang merupakan sistem
pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah menentang falsafah
penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada budaya
Barat.
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara kedewasaan bisa diartikan
sebagai kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak
yang selaras dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara
mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk
mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intelektual) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih
baik. Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya
kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. Jadi dapat
diartikan bahwa pendidikan terutama berlangsung sejak anak lahir hingga
anak berusia sekitar 24 tahun.
1) Ing ngarsa sung tulada
Berarti guru sebagai pemimpin (pendidik) berdiri di depan dan harus
Semboyan Ki Hajar Dewantara yang tidak kalah penting adalah konsep
dasar pendidikan karakter yang sekaligus diterima sebagai prinsip
kepemimpinan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai sistem among, yang
antara lain berbunyi:
mampu memberi teladan kepada anak didiknya. Guru harus bisa
menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan. Dalam
pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah,
guru harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya
itubaik dan benar.
Q.S Al-Ahzab: 21 ;
‫سنَةٌ ِل َمن َكانَ يَ ْر ُجوا هللاَ َو ْاليَ ْو َم اَْأ َ ِِ َر‬
ُ ‫لَّقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِي َر‬
َ ‫سو ِل هللاِ أُس َْوة ٌ َح‬
}12{ ‫يرا‬
ً ِ‫َوذَ َك َر هللاَ َكث‬
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
Swt dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Berdasarkan surat di atas dapat disimpulkan bahwa nabi
Muhammad Saw merupakan suri teladan bagi seluruh umat manusia,
baik sebagai pemimpin keluarga, pemimpin umat maupun pendidik.
2) Ing madya mangun karsa
Berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di tengah
harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa dan berkreasi
pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru menggunakan
metode diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah guru dapat
memberi masukan-masukan dan arahan,
3) Tut wuri handayani
Yang berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) beradadi belakang,
mengikuti dan mengarahkan anak didik agar berani berjalan di depan
dan
sanggup
bertanggung
jawab.
Ketika
guru
berada
di
tengahmembangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat
terjadi anak didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan
kemampuannya yang terbaik (Soeratman. 1989 : 98).
Ki Hajar menyetujui teori Konvergensi, dimana perkembangan
manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang
baru lahir diibaratkan keertas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi
belum jelas”. Selanjutnya Ki Hajar juga berpendapat bahwa perkembangan
anak didik mulai dari lahir hingga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai
berikut: (1) Jaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang amat penting
bagi perkembangan badan dan pandca indra. (2) Jaman Wicipta (8-16 th)
merupakan masa perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran
anak, dan (3) Jaman wirama (16-24 th) masa untuk menyesuaikan diri
dengan masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan citacita hidupnya (Tamansiswa. 1977:76)
d. Metode pendidikan
Metode pendidikan yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah
sistem among, dalam sistem among pendidik atau guru hanya bertugas
untuk menuntun anak didiknya. Mendidik anak berdasarkan pada asih,
asah dan asuh, yang bersendikan pada kemerdekaan anak didiknya
sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir
dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Maksud dari manusia
merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan
selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai
dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Selain merdeka yaitu kodrat
alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan
dengan secepat-cepatnya.
Metode Among sering dikaitkan dengan semboyan yang berbunyi:
Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani.
Semboyan ini telah banyak dikenal oleh masyarakat dari pada metode
among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum
memahaminya. Metode among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau
momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau pendidik disebut
pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang
waktu dengan kasih sayang.S ikap Momong, Among, dan Ngemong,
didalamnya terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidikan
tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan anak berkembang
bebas tanpa arah. Metode among mempunyai pengertian menjaga,
membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.
e. Materi pendidikan
Pendidikan karakter membutuhkan proses atau tahapan yang
sistematis dan sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan peserta
didik. Pembangunan karakter tidak cukup hanya dimulai dan diakhiri
dengan penetapan misi, akan tetapi perlu dilanjutkan dengan proses yang
dilakukan secara terus-menerus sepanjang hidup. Karakter dikembangkan
melalui tahap pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Karakter tidak
terbatas hanya pada pengetahuan saja, seseorang yang memiliki
pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai
dengan yang diketahuinya, jika tidak terlatih untuk melakukan kebaikan
tersebut. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik
yaitu, moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau
perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action (perbuatan
moral) (Asmani. 2011:86). Moral knowing terkait dengan kesadaran moral,
pengetahuan mengenai nilai-nilai moral, moral feeling merupakan aspek
yang harus ditanamkan terkait dengan dorongan atau sumber energi dalam
diri manusia untuk bertindak sesuai nilai-nilai prinsip-prinsip moral, dan
moral action bagaimana pengetahuan nilai-nilai moral tersebut diwujudkan
dalam aksi nyata.
Pendidikan karakter yang baik tidak hanya melibatkan aspek moral
knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Dengan kata lain,
semakin lengkap komponen moral manusia akan semakin membentuk
karakter yang baik dan unggul. Ki Hajar Dewantara menerjemahkan
langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa. Tahap-tahap
pendidikan karakter memang harus dilakukan secara sistematis dan tidak
boleh meloncat karena berpengaruh terhadapap hasilnya.
Ki Hajar Dewantara menyatakan dalam pelaksanaan pendidikan
karakter haruslah sesuai dengan tingkatan umur para peserta didik. Hal ini
dikarenakan seorang pendidik harus memahami tentang kondisi psikis dari
peserta didik dengan tujuan bahwa ketika materi pendidikan karakter
disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh. Sehingga Ki
Hajar Dewantara membagi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan
karakter, adapun materi pendidikan karakter tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Taman Indria dan Taman Anak (5-8 tahun)
Pada tingkatan ini materi atau isi pendidikan karakter (budi
pekerti) berupa pengajaran pembiasaan yang bersifat global dan
spontan.
Artinya
materi
yang
disampaikan
bukan
teori
yangberhubungan dengan kebaikan dan keburukan melainkan
bagaiamana peserta didik dapat mengetahui kebaikan dan keburukan
melalui tingkah laku dari peserta didik itu sendiri. Materi pengajaran
karakter bagi anak yang masih di sekolah ini berupa, latihan
mengarah pada kebaikan yang memenuhi syarat bebas yaitu sesuai
kodrat hidup anak. Materi ini dapat dilaksanakan melaui peran
pendidik dalam membimbing, membina dan mengoreksi tingkahlaku dari masing-masing peserta didiknya. Sebagai contoh dalam
pengajaran karakter tersebut, yaitu berupa anjuran atau perintah
antara lain: ayo, duduk yang baik; jangan ramai-ramai; dengarkan
suaraku; bersihkan tempatku; jangan mengganggu temanmu, dan
sebagainya, yang terpenting dalam penyampaiannya harus diberikan
secara tiba-tiba pada saat-saat yang diperlukan.
2) Taman Muda (umur 9-12 tahun)
Konsep Ki Hajar Dewantara pada anak-anak usia 9-12 tahun
sudah masuk pada periode hakikat, yakni anak-anak sudah dapat
mengetahui tentang hal baik dan buruk. Sehingga pengajaran
karakter (budi pekerti) dapat di ajarkan melalui pemberian
pengertian tentang segala tingkah-laku kebaikan dalam hidupnya
sehari-hari. Didalam penyampainnya masih menggunakan metode
occasional yaitu melalui pembiasaan dan divariasikan dengan
metode hakikat dalam artian setiap anjuran atau perintah perlu di
jelaskan mengenai maksud dan tujuan pendidikan karakter, yang
pokok tujuannnya adalah mencapai rasa damai dalam hidup batinya,
baik yang yang mengenai hidup dirinya sendiri maupun hidup
masyarakatnya. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran ini
berdasarkan konsep Ki Hajar Dewantara bahwa anak-anak dalam
periode hakikat masih juga perlu melakukan pembiasaan seperti
dalam periode syariat (Ki Hajar Dewantara dalam Ar-Rozi.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Konsep Budi Pekerti).
3) Taman Dewasa (umur 14-16 tahun)
Periode ini merupakan awal dimulainya materi yang lebih
berat karena pada periode inilah anak-anak disamping meneruskan
pencarian pengertian, mulai melatih diri terhadap segala laku yang
sukar dan berat dengan niat yang disengaja. Pada periode ini juga,
anak telah masuk pada periode “tarekat” yang dapat di wujudkan
melalui
kegiatan sosial, seperti
pengumpulan
uang,
pakaian,
pemberantasan buta
makanan,
bacaan-bacaan
huruf,
dan
sebagainya untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin atau
orang-orang korban bencana alam dan sebagainya. Dan ketika
pendidikan ini dilaksanakan di lingkungan perguruan muda (sekolah
menengah atas) maka dapat dilaksanakan melalui pendidikan
kesenian dan olahraga. Dan inti dari pengajaran pendidikan pada
periode ini adalah semua laku (tidakan) yang disengaja yang
memerlukan kekuatan kehendak (usaha) dan kekuatan tenaga
(aplikasi).
4) Taman Madya dan Taman Guru (umur 17-20)
Taman madya yaitu tempat pendidikan bagi anak-anak yang
sudah benarbenar dewasa, pada periode inilah anak-anak telah
memasuki periode ma’rifat yang artinya mereka telah dalam tingatan
pemahaman.
Yaitu
biasa
melakukan
kebaikan,
menginsyafi
(menyadari) apa yang menjadi maksud dan tujuan.68 Pengajaran
tentang karakter yang harus diberikan pada periode ini adalah berupa
ilmu atau pengetahuan yang agak mendalam dan halus. Yaitu materi
yang berkaitan dengan ethik dan hukum kesusilaan. Jadi bukan
hanya berkenaan dengan kesusilaan saja melainkan juga tentang
dasar-dasar kebangsaan, kemanusiaan, keagamaan, kebudayaan, adat
istiadat dan sebagainya. Melihat dari materi pendidikan karakter di
atas dapat kita dipahami bahwa Ki Hajar Dewantara menghendaki
bahwa dalam penyampaian pendidikan karakter haruslah disesuaikan
dengan umur si peserta didik. Tahapan tersebut disesuaikan dengan
tingkatan psikologis metode yang dikembangkan oleh Ki Hajar
Dewantara (Tamansiswa. 1977: 76).
C. Pemikiran Para Ahli tentang Pendidikan Karakter
1. Pengertian pendidikan karakter menurut para tokoh
Para ahli menyatakan beberapa pengertian yang mengupas tentang
makna
pendidikan diantaranya John Dewey mengartikan pendidikan
sebagai salah satu proses pembaharuan makna pengalaman. Sedangkan H.
Horne mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses yang terjadi secara
terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk
yang telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar
kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual,
emosional, dan kemanusiaan dari manusia. Dapat disimpulkan bahwa
pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus
menerus baik itu formal maupun informal berdasarkan pengalaman
individu untuk meningkatkan kemampuannya baik secara kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
Definisi pendidikan menurut para ahli :
a. John Dewey mendefinisikan pendidikan sebagai tempat
diberikannya pekerjaan pada anak yang membentuk watak
manusia, dan semboyannya adalah saling tolong menolong
(Barnadib, 1983: 153);
b. Megawangi (2004: 95) mengartikan pendidikan karakter sebagai
sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang
positif kepada lingkungannya;
c. Gaffar (2010: 1) mendefinisikan pendidian karakter sebagai
proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuh
kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi
satu dalam perilaku kehidupan orang itu;
d. Dr. Maria Montessori menjadikan kemerdekaan belajar sebagai
dasar pendidikan, dan kedisiplinan tidak datang dari hukuman
dan hadiah, tetapi dari dalam diri anak-anak itu sendiri karena
pekerjaanya. Montessori membuat sekolah Case dei Bambini
yang artinya rumah anak kecil, montessori menghendaki
kemerdekaan anak karena kemerdekaan dianggapnya hak tiaptiap makhluk, kemerdekaan berarti sanggup membuat sesuatu
sendirian tanpa pertolongan orang lain (Barnadib, 1983: 140).
e. Amin (1980: 62) mengemukakan bahwa kehendak (niat)
merupakan awal terjadinya akhlaq (karakter) pada diri seseorang
jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap
dan perilaku;
f. Lickona secara sederhana mendefinisikan pendidikan karakter
sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi
karakter
siswa.
Lickona
menyatakan
bahwa
pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang
disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat
memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika
yang inti;
g. Damayanti (2014:11) pendidikan karakter adalah gerakan
nasional menciptakan sekolah yang membina etika, bertanggung
jawab dan merawat orang-orang muda dengan pemodelan dan
mengajarkan karakter baik melalui penekanan pada universal,
nilai-nilai yang diyanini masyarakat. Pendidikan karakter juga
merupakan pendidikan budi pekerti plus yang melibatkan aspek
pengetahuan, perasaan dan tindakan;
h. Kertajaya (2010) mendefinisikan karakter adalah ciri khas yang
dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut
adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu
tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana
seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu;
i. Gross dalam tulisannya menyatakan pendidikan nilai sebagai
pendidikan sosial bertujuan untuk mempersiapkan seseorang
menjadi warga negara yang baik dan berkemampuan sosial yang
tinggi. Pendidikan nilai memiliki peran penting dalam
pembentukan bangsa yang memiliki kebudayaan tinggi, baik
berharkat martabat mulia maupun berperilaku mulia. Pendidikan
nilai cenderung disamakan dengan pendidikan budi pekerti,
pendidikan akhlak, pendidikan religius, pendidikan moral atau
pendidikan karakter. Pelaksanaan pendidikan karakter adalah
sebagai upaya untuk mempromosikan dan menginternalisasi
nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif kepada masyarakat agar
menjadi warga bangsa yang percaya diri,tahan uji dan bermoral
tinggi, demokratis dan bertanggung jawab serta dapat bertahan;
j. Gulo, 1982:29) menyatakan karakter adalah kepribadian ditinjau
dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang,
dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap;
2. Konsep pendidikan karakter menurut para tokoh
a. Tujuan pendidikan karakter
Tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara demokratisserta bertanggung jawab (Suwarno.
2006: 32).
Tujuan pendidikan nasional di atas terdapat unsur
pendidikan karakter di dalamnya, seperti religius, berakhlak mulia,
kreatif serta bertanggung jawab, jadi pendidikan karakter memiliki
kontribusi yang penting dalam mencerdaskan generasi muda seperti
tercantum dalam tujuan pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri
siswa dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai
kebebasan individu. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah
mendasarkan diri pada tanggapan aktif konseptual individu atas impuls
natural (rangsangan alami) dari lingkungan sosial yang diterimanya,
yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih
lewat proses pembentukan diri secara terus-menerus (Asmani, 2011:
43).
Pendidikan karakter juga bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian penbentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi
kelulusan. Melalui pendidikan karakter, diharapkan peserta didik
mampu
secara
pengetahuannya,
mandiri
mengkaji
meningkatkan
dan
dan
menggunakan
menginternalisasi
serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga
terwujud perilaku, tradisi dan kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol
yang dipraktikan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar.
Hakikatnya tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan
landasan filosofi
pendidikan yang membebaskan dan mampu
menyiapkan generasi masa depan untuk bertahan hidup dan berhasil
menghadapi
tantangan-tantangan zamannya.
Fungsi
dan tujuan
Pendidikan Nasional menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab 2
pasal 3 berbunyi :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuam untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa seharusnya
memberikan pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus
berdampak pada watak manusia/ bangsa Indonesia. “Mengembangkan
kemampuan” dapat dipahami bahwa pendidikan nasional menganut
aliran konstruktivisme, yang mempercayai bahwa peserta didik adalah
manusia yang potensial daan dapat dikembangkan secara optimal
melalui proses pendidikan. Artinya peserta didik memiliki potensi yang
luar biasa dan perlu di fasilitasi melalui proses pendidikan untuk
mengembangkan
potensinya.
Namun
kemampuan
yang
harus
dikembangkan masih belum tersirat secara jelas, apakah kemampuan
watak yang perlu dikembangkan dalam pendidikan atau kemampuan
akademik, kemampuan sosial, kemampuan religi masih belum secara
jelas dapat dipahami dari pernyataan UU Sisdiknas di atas (Dharma,
2011: 7).
Kemampuan pendidikan karakter yang harus dikembangkan
melalui lembaga sekolah adalah berbagai kemampuan yang akan
menjadikan manusia sebagai makhluk yang berke-Tuhan-an (tunduk
patuh pada konsep ketuhana\n) dan mengemban amanah sebagai
pemimpin di dunia. Kemampuan yang perlu dikembangkan pada
peserta didik adalah kemampuan mengabdi kepada Tuhan yang
menciptakannya,
kemampuan
untuk
menjadi
dirinya
sendiri,
kemampuan untuk hidup secara harmoni dengan manusia dan makhluk
lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana
kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
b. Dasar pendidikan karakter
Dasar pendidikan nasional Indonesia adalah Undang-Undang
Dasar 1945 dan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) tercantum bahwa Pendidikan
Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa
(Suwarno.
2006:
31).
Sedangkan
pendidikan
Islam
menyimpulkan bahwa menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti
dan akhlak adalah jiwa dari pendidikan, dan mencapai akhlak yang
sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan (Abrasyi. 1993 : 2)
c. Prinsip pendidikan karater
Pendidikan karakter melibatkan berbagai macam komposisi nilai
(agama, moral, umum dan kewarganegaraan pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori
pengetahuan, perasaan, dan tindakan (Thomas Lickona). Tanpa ketiga
aspek di atas maka pendidikan karater tidak akan efektif, dan
pelaksanaannya
pun
harus
dilakukan
secara
sistematis
dan
berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter seorang anak akan menjadi
cerdas emosinya, kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan kecerdasan
emosi seseorang akan dapat menghadapi segala macam tantangan,
termasuk tantangan untuk berhasil di bidang akademis.
Lickona menyebutkan bahwa karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku
moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat
dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan
tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan
perbuatan kebaikan ( Asmani. 2011: 89).
Prinsip-prinsip pendidikan Karakter ;
1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter,
2) Mengidentifikasi
karakter
secara
komprehensif
supaya
mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku,
3) Menggunakan pendekatan tajam, proaktif, dan efektif untuk
membangun karakter,
4) Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian,
5) Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan
perilaku yang baik,
6) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta
didik,
7) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
dalam usaha membangun karakter,
8) Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai
guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam
kehidupan peserta didik (Asmani. 2011: 56).
d. Metode pendidikan karakter
Metode pendidikan karakter di sekolah lebih cenderung dengan
penanaman nilai, agar dapat dikatakan berhasil pendidikan karakter
harus dapat menentukan metode yang akan digunakan sehingga tujuan
pendidikan karakter semakin terarah dan efektif. Pendidikan karakter
agar dapat terlak sana secara utuh perlu dipertimbangkan berbagai
macam metode yang membantu mencapai tujuan pendidikan karakter,
diantaranya yaitu ;
1) Pengajaran
Untuk dapat melakukan yang baik, yang adil, yang bernilai,
pertama-tama perlu diketahui dengan pasti apa itu kebaikan, keadilan
dan nilai. Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoritis
tentang konsep nilai-nilai tertentu, kadang kala terjadi bahwa ada
orang yang secara konsep tidak mengetahui apa itu berperilaku baik,
namun mampu mempraktikan kebaikan dalam hidup mereka tanpa
disadarinya. Untuk itulah salah satu unsur penting dalam pendidikan
karakter adalah mengajarkan nilai-nilai keluhuran secara teoritis dan
juga memberikan contoh-contohnya dalam kehidupan nyata,
sehingga anak didik memiliki gagasan konsep tentang nilai yang
dapat diembangkan pribadinya.
Cara lain untuk mempertajam pemahaman tentang nilai-nilai
adalah dengan cara mengundang pembicara tamu dalam sebuah
seminar, diskusi, publikasi dll untuk secara khusus membahas nilainilai utama dalam kerangka pendidikan karakter.
2) Keteladanan
Anak lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat, untuk
itulah pendidikan karakter sesungguhnya lebih merupakan tuntunan
terutama bagi kalangan pendidikan sendiri. Keteladanan merupakan
salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan
karakter, pendidik atau guru yang dalam bahasa jawa berarti digugu
lan ditiru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu
sendiri. Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak hijau”, dan
guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak hitam” , karena guru
merupakan keteladanan yang dijadikan bagi anak didiknya (Kusuma,
2011: 212).
Sekian banyak metode membangun dan menanamkan karakter,
keteladanan
adalah
yang
paling
kuat,
karena
keteladanan
memberikan gambaran secara nyata bagaimana seseorang harus
bertindak. Keteladanan berarti kesediaan setiap orang untuk menjadi
contoh yang sesungguhnya dari sebuah perilaku (Saleh. 2012 : 12).
Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan Ibnu Sina
menyatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode
pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan
akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan
dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak
(Nata. 2000 :75 ).
3) Menentukan Prioritas
Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas
karakter yang ingin diterapkan di lingkungan sekolah. Pendidikan
menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting bagi
pelaksanaan dan realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena
itu, lembaga pendidikaan harus menentukan tuntutan standar atas
karakter yang akan ditawarkan kepada peserta didik sebagai bagian
dari kinerja kelembagaan (Asmani, 2011: 68)
4) Repeat Power
Repeat power adalah salah satu cara untuk mencapai sukses
dengan menanamkan sebuah pesan positif pada diri sendiri secara
terus-menerus tentang apa yang ingin diraih. Yaitu dengan
mengucapkan seara berulang-ulang sifat atau nilai positif yang inin
dibangun, metode ini dapat pula disebut dengan metode dzikir
karakter (Saleh. 2012: 15).
5) Refleksi
Karakter yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui
berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi
dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Sebab
sebagaimana dikatakan Socrates, “hidup yang tidak direfleksikan
merupakan hidup yang tidak layak dihayati”. Tanpa ada usaha untuk
melihat kembali sejauh mana proses pendidikan karakter ini
direfleksikan dan dievaluasi, tidak akan pernah mendapat kemajuan,
refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusia. Dengan
kemampuan sadar ini manusia mampu menguasai diri, seperti dalam
tulisan Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan adalah mampu
mengantarkan manusia untuk menguasai dirinya sendiri (Asmani,
2011: 70).
e. Materi pendidikan karakter menurut para tokoh
Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis menyatakan, karakter bangsa
Indonesia yaitu meremehan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri
sendiri, tidak berdisiplin, mengabaikan tanggung jawab, lemah
kreativitas, etos kerja buruk dan tak punya malu. Sedangkan Winarno
Surakhmad dan Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan, karakter asli
bangsa Indonesia adalah nrimo, penindas, koruptif, dan tak logis
(Surakhmad. 2012: 4).
Kementrian Pendidikan Nasional telah merumusan 18 nilai
karakter yang akan ditanamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya
membangun karakter bangsa. Berikut uraiannya :
No
1.
Nilai Karakter
Religius
Uraian
Sikap yang perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain. Religius adalah proses mengikat
kembali atau bisa dikatakan dengan tradisi,
sistem
yang
(kepercayaan)
mengatur
dan
tata
keimanan
peribadatan
kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah
yang
berhubungan
dengan
pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
2.
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada
upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat
3.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agam, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dari dirinya
4.
Disiplin
Tindakan yang menunjukan perilaku tertib
dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan
5.
Kerja keras
Perilaku yang menunjukan upaya sungguhsungguh
hambatan
dalam
belajar
mengatasi
dan
berbagai
tugas,
serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
6.
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki
7.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung
pada
orang
lain
dalam
menyelesaikan tugas-tugas
8.
Demokratis
Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
orang lain
9.
Rasa ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat dan didengar
10 .
Semangat
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan
Kebangsaan
yang menempatkan kepentingan bangsa dan
negara
di
atas
kepentingan
diri
dan
kelompoknya
11 .
Cinta tanah air
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukan
kesetiaan,
kepedulian
dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
dan politik bangsa
12 .
Menghargai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
prestasi
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi
masyarakat
dan mengakui,
serta
menghormati keberhasilan orang lain
13 .
Bersahabat/
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
komunikatif
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain
14 .
Cinta damai
Sikap,
perkataan,
dan
tindakan
yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadiran dirinya, diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara
15 .
Gemar membaca
Kebiasaan
membaca
menyediakan
berbagai
waktu
bacaan
memberikan kebajikan bagi dirinya
untuk
yang
16 .
Peduli lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam
di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi
17 .
Peduli sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan
18 .
Tanggung jawab
Sikap
dan
perilaku
seseorang
untu
melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap
dirinya maupun orang lain dan lingkungan
sekitarnya. (Listyarti. 2012 :5-6)
C . Pendidikan Karakter dalam UU SISDIKNAS no. 20 Tahun 2003
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan
bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi. Pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan, pendidikan informal sesungguhnya
memiliki peran yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan. Selama
ini pendidikan informal (terutama dalam lingkungan keluarga) belum
memberikan kontribusi
yang berarti dalam
mendukung pencapaian
kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik.
Pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam,
bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya.
Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik
merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya ruang
berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri.
Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, semestinya pendidikan dapat
dirumuskan secara jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak yang terkait
dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan
secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan. Definisi
pendidikan dalam perspektif kebijakan, telah memiliki rumusan formal dan
operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS, yakni:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Berdasarkan definisi di atas, penulis menemukan 3 (tiga) pokok pikiran
utama yang terkandung di dalamnya, yaitu:
1. Usaha sadar dan terencana,
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa
pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara
matang (proses kerja intelektual), oleh karena itu, di setiap jenjang
pendidikan
manapun,
kegiatan
pendidikan
harus
disadari
dan
direncanakan, baik dalam tataran
nasional,
kabupaten kota, institusional/sekolah maupun
regional/provinsi dan
operasional (proses
pembelajaran oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas),
pada dasarnya setiap kegiatan pembelajaran pun harus direncanakan
terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41
Tahun 2007. Menurut Permediknas ini bahwa perencanaan proses
pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar
kompetensi
(SK),
kompetensi
dasar
(KD),
indikator
pencapaian
kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber
belajar (Rahma. 2010: 7)
2. Suasana belajar kondusif
Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik aktif mengembangkan potensi dirinya. Pada pokok pikiran yang
kedua ini saya melihat adanya pengerucutan istilah pendidikan menjadi
pembelajaran, jika
dilihat secara
sepintas mungkin
seolah-olah
pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata
(persekolahan). Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini,
pokok pikiran kedua ini, dapat ditangkap pesan bahwa pendidikan yang
dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak pengembangan dan
humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap potensi didik. Selain
itu, dapat dilihat ada dua kegiatan utama dalam pendidikan yaitu,
mewujudkan suasana belajar, dan mewujudkan proses pembelajaran.
3. Pendidikan karakter
Memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian
diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuannya yaitu
menbentuk peserta didik berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial,
artinya pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan
pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi
pendidikan yang mencari keseimbangan
tersebut.
Dalam
konsep
Ki
Hajar
diantara ketiga dimensi
Dewantara
dikenal
dengan
keseimbangan cipta, rasa dan karsa.
Pendidikan karakter mulai gencar dibicarakan lagi sejak pergantian
kurikulum 2013, dengan melihat pokok pikiran yang ketiga dari definisi
pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit
dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru. Selanjutnya tujuantujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan di
bawahnya dan dioperasionalkan melalui tujuan pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Tercapainya tujuan –
tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang strategis bagi
pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa
dalam definisi pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003,
tampaknya tidak hanya sekedar menggambarkan apa pendidikan itu,
tetapi memiliki makna dan implikasi yang luas tentang siapa sesunguhnya
pendidik itu, siapa peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya
mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.
BAB IV
RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN KARAKTER KI HAJAR
DEWANTARA DENGAN TOKOH PENDIDIKAN
A. Analisi Data
1. Pengertian pendidikan karakter
Definisi pendidikan karakter cukup beragam sesuai dengan versi dan
sudut pandang keilmuan tertentu, pendidikan merupakan proses untuk
mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih manju (Listyarti,
2012: 2). Sedangkan karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya
watak. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah
tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak yaitu menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar anak-anak sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Ki Hajar Dewantara telah jauh
berpikir dalam masalah pendidikan karakter, mengasah kecerdasan budi
sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh,
hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter
(jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan
senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis,
murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24).
Pendidikan karakter merupakan perpaduan antara kecerdasan ilmu
dan kecerdasan berperilaku (akhlak), dimana di dalamnya terdapat unsur
yang penting yaitu nilai moral yang mengatur hubungan antara individu
dengan Sang Pencipta, individu dengan sesama manusia dan lingkungan.
Akhlak Akhlak berasal dari Bahasa Arab yakni bentuk jamak dari kata
khulk yang berarti budi pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat (Nata,
2001: 3).
Pendidikan karakter dalam perspektif Ki Hajar Dewantara adalah
daya dan upaya yang dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya
budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran dan tubuh anak agar dapat
mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anakanak peserta didik dapat selaras dengan dunianya. Keseimbangan cipta,
rasa dan karsa juga menjadi salah satu indikasi tujuan pendidikan, yang
merupakan penerapan dari pembelajaran aktif.
Berdasarkan pengertian pendidikan karakter yang diberikan oleh Ki
Hajar Dewantara dan beberapa tokoh seperti John Dewey, Montessori,
Megawangi, Lickona, Ghaffar, Kertajaya, Amin, Damayanti maka peneliti
dapar melihat ada beberapa konsep kesamaan diantara tokoh-tokoh
tersebut. Konsep tersebut adalah pendidikan berangkat dari sebuah proses,
hal tersebut dapat peneliti pahami dari pengertian yang diajukan oleh para
tokoh melalui kalimat pola untuk membentuk, proses pembaharuan,dan
proses yang terjadi secara terus menerus. Selain itu pendidikan merupakan
suatu upaya pembentukan watak tidak hanya menghasilkan teori tapi juga
dapat dipraktikan dalam kehidupan nyata, dan tidak hanya berorientasi
pada nilai bagus, serta bertujuan untuk menghasilkan anak didik yang
dapat berperilaku mencerminkan nilai karakter yang terpuji.
2. Konsep Pemikiran tentang Pendidikan Karakter
Berdasarkan uraian pembahasan konsep pendidikan karakter Ki
Hajar Dewantara dan para ahli pada bab III diatas dapat ditarik benang
merah bahwa ;
a. Tujuan pendidikan
Pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah
membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin,
luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota
masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan
bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya dan sifatnya itu
kontinuitas, konvergensi dan konsentris (Suparlan. 1984 : 109).
Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuam
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan pemaparan tersebut
dapat ditarik benang merah bahwa tujuan pendidikan nasional
merupakan pengembangan dari konsep Ki Hajar yang mengusung
keluhuran budi sebagai hasil dari pendidikan.
b. Dasar pendidikan karakter
Agama Islam meninggikan derajat orang yang menuntut ilmu,
seperti dalam firman Allah Swt. Q. S. Al-Mujadillah: 11 ;
ِ َّ ََْ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا إِذَا قِي َل لَ ُك ْم ت‬
َ ْْ َ‫س ُحوا ي‬
َ ‫س ُحوا فِي ْال َم َجا ِل ِس فَا ْف‬
ِ ‫س‬
ُ ‫ش ُزوا فَان‬
ُ ‫هللاُ لَ ُك ْم َوإِذَا قِي َل ان‬
‫ش ُزوا يَ ْرفَ ِع هللاُ الَّذِينَ َءا َمنُوا ِمن ُك ْم َوالَّذِينَ أُوتُوا‬
ٍ ‫ْال ِع ْل َم دَ َر َجا‬
}22{ ُُ ‫ير‬
ُ ‫ت َوهللاُ ِب َما تَعْ َمل ُونَ َِ ِب‬
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Ayat di atas menjelaskan keutamaan menuntut ilmu bagi orang
muslim, karena ilmu merupakan salah satu amal yang akan dibawa
manusia hingga mati. Maka sebagai orang yang beriman hendaklah
berlomba-lomba dalam menuntut ilmu agar dapat bermanfaat di dunia
dan akhirat.
Pada masa penjajahan Ki Hajar Dewantara menganggap bahwa
pendidikan kolonial tidak dapat memberikan peri kehidupan bersama,
sehingga membuat rakyat Indonesia selalu bergantung pada penjajah.
Pendidikan nasional yang dimaksudkan Ki Hajar Dewantara adalah
suatu sistem pendidikan baru yang berdasarkan kebudayaan sendiri dan
mengutamakan kepentingan masyarakat (Djumur, 1974: 174).
Dasar pendidikan yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara
adalah pancadharma, yaitu kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan,
kebangsaan dan kemanusiaan. Trikon Ki Hajar Dewantara dapat
dijadikan
sebagai
dasar
pengembangan
pendidikan.
Dalam
pengembangan pendidikan harus berkelanjutan dari budaya sendiri dan
terus-menerus menuju ke asah kemajuan (kontuinitas) menuju kearah
kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai
sifat kepribadian dan ciri khas budaya sendiri dalam lingkungan
kemanusian sedunia (konsentrisitas).
Penjabaran dari konsep tersebut antara lain yaitu terdapat dalam
pancasila yang dijadikan dasar negara, selain itu juga tertulis dalam
pembukaan UUD 1945,
yang mana
menerangkan pentingnya
mencerdaskan generasi bangsa dan menghasilkan generasi yang cerdas
secara ilmu dan perilaku.
c. Prinsip pendidikan karakter
Ki Hajar Dewantara berkeyakinan bahwa perjuangan pergerakan
tidak akan berhasil tanpa kepandaian, karena pengetahuan merupakan
kunci untuk meraih keberhasilan. Prinsip Ki Hajar Dewantara dalam
mencerdaskan rakyat adalah pertama, keseimbangan antara cipta, rasa
dan karsa, kedua mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa
merdeka, serta menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu
mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain
yang merdeka.
Ketiga,
melibatkan
tripusat
pendidikan
untuk
menghasilkan generasi yang cerdas secara ilmu dan akhlaknya. Ki
Hajar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang merupakan
sistem
pendidikan
perjuangan.
Falsafah
pendidikannya
adalah
menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang
berakar pada budaya Barat.
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum
sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti
(kekuatan batin), pikiran (intelektual) dan jasmani anak, menuju ke arah
masa depan yang lebih baik. Kedewasaan akan tercapai pada akhir
windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan
alam anak dan masyarakat. pendidikan tidak hanya dilakukan di
sekolah, tapi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, dalam
kegiatan formal maupun non formal, karena pengalaman merupakan
guru terbaik dalam hidup.
Pendidikan karakter memiliki prinsip mengidentifikasi karakter
secara komprehensif agar mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku,
yang merupakan implikasi dari cipta, rasa dan karsa Ki Hajar
Dewantara. Menciptakan lingkungan pendidikan yang memiliki
kepedulian yang melibatkan tripusan pendidikan, kareba lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan lingkungan hidup anak
(Asmani, 2011: 56).
d. Metode pendidikan karakter
Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis
yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan
psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi
dalam keluarga, satuan pendidikan (sekolah), dan masyarakat.
berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural pendidikan karakter
dapat dikelompokan sebagai berikut ; pertama, olah hati, olah pikir,
olah rasa/karsa, dan olah raga. Sesuai dengan penyataan Ki Hajar
Dewantara bahwa pendidikan itu merupakan keseimbangan cipta, rasa,
dan karsa. Kedua, beriman dan bertaqwa, jujur, amanah, adil,
bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang
menyerah, dan rela berkorban. Ki Hajar Dewantara mengungkapan
dalam tulisannya bahwa pendidikan itu akan menuntun manusia menuju
kemajuan tetapi tidak melupakan Yang Maha Pencipta. Ketiga, ramah,
toleran, saling menghargai, peduli, suka menolong, gotong royong,
mengutamakan kepentingan umum, kerja keras, dan beretos kerja. Pusat
pendidikan bukan hanya ada di sekolah dan di dalam keluarga tetapi
juga di dalam masyarakat, dimana anak akan belajar tentang lingkungan
sekitarnya dan beradaptasi. Ki Hajar Dewantara dalam Trisentra
pendidikannya yaitu, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat
(Listyarti, 2012: 8).
Metode pendidikan karakter yang diusung oleh Ki Hajar
Dewantara adalah metode among, dimana pendidik hanya berperan
sebagai pembimbing yang mengarahkananak didiknya dan menjadi
fasilitator belajar bagi muridnya. Sedangkan peserta didik dijadikan
pusat pembelajaran karena siswa diminta untuk mencari sendiri apa
yang akan dipelajari, dan guru hanya membantu memberi arahan.
Dalam pendidikan sekarang lebih dikenal dengan pembelajaran aktif,
dimana pembelajara dilakukan oleh siswa, materi berasal dari siswa
dengan bimbingan guru, dan untuk siswa.
Pendidik juga berperan dalam memberi dorongan atau motivasi
pada anak agar lebih rajin dalam melaksanakan tugas, dan yang paling
penting harus dapat dijadikan teladan bagi anak didiknya. Ahli
menyatakan bahwa pendidik atau guru yang dalam bahasa jawa berarti
digugu lan ditiru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter
itu sendiri. Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak hijau”, dan
guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak hitam”, karena guru
merupakan keteladanan yang dijadikan bagi anak didiknya.
e. Materi pendidikan karater
Pendidik harus memahami tentang kondisi psikis dari peserta
didik dengan tujuan bahwa ketika materi pendidikan karakter
disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh. Ki Hajar
Dewantara menyatakan dalam pelaksanaan pendidikan karakter
haruslah sesuai dengan tingkatan umur para peserta didik, agar tujuan
pendidikan dapat tercapai yaitu terbentuknya generasi muda yang
cerdas intelektual dan budi pekertinya. Ki Hajar Dewantara membagi
empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter, yaitu taman
indria/ anak, taman muda, taman dewasa, taman madya dan taman guru.
Dalam konteks kekinian direalisasikan dalam pendidikan sekarang yaitu
Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi.
Masing-masing jenjang memiliki konsep yang hampir sama, yang
membedakan hanya unsur pendalaman materi, semisal di Taman
Kanak-kanak peserta didik telah dikenalkan pada perilaku mendekatkan
diri pada Yang Maha Kuasa (religius), dengan berdoa sebelum dan
sesudah pelajaran. Di perguruan tinggi juga terdapat nilai religius tetapi
konteksnya lebih mendalam seperti tasawuf, maksudnya sama yaitu
mendekatkan
diri
pada
Allah
Swt
tetapi
lebih
mendalam
pemahamannya.
Berdasarkan uraian di atas secara garis dapat ditarik kesimpulan bahwa
adanya keterikatan yang erat antara konsep pendidikan karakter Ki Hajar
Dewantara dan para tokoh pendidikan. Sebelum pendidikan karakter
booming pada tahun 2013 dalam kurikulum 2013, Ki Hajar Dewantara
telah melangkah dengan konsep pendidikan karakter yang mengusung
antara keseimbangan kecerdasan ilmu dan akhlak peserta didik sehingga
dapat menghasilkan generasi yang cerdas dan memiliki budi pekerti yang
baik serta karakter yang religius, berani, tegas dan berpendirian teguh
3. Relevansi Pendidikan Karakter KHD dalam Pembentukan Karakter
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan yaitu ;
“Menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu,
agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”
(Tamansiswa, 1977 : 20).
”Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran
(intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman siswa tidak boleh
dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang
kita didik selaras dengan dunianya”( Tamansiswa, 1977: 14).
Berdasarkan uraian diatas pendidikan karakter menurut Ki Hajar
Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka
lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi
anggota masyarakat
yang berguna
dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya dan sifatnya
itu kontinuitas, konvergensi dan konsentris (Suparlan. 1984 : 109).
Sedangkan
tujuan
pendidikan
nasional
adalah
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuam
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa
tujuan pendidikan nasional merupakan pengembangan dari konsep Ki
Hajar yang mengusung keluhuran budi sebagai hasil dari pendidikan.
Dalam konsep Ki Hajar Dewantara yang menjadi pokok utama dalam
pembentukan karakter adalah budi pekerti dan akhlak, dimana peserta
didik menerapkan dari apa yang telah diterima dari lingkungan keluarga,
sekolah dan juga masyarakat. Bukan hanya secara teori melainkan pada
penerapannya dan juga prosesnya.
Pembentukan karakter pada anak harus dimulai dari lingkungan
keluarga yang mana merupakan lingkungan pertama, karena dalam
keluarga anak mendapat pendidikan. Sebagian besar dari kehidupan anak
adalah dalam lingkungan keluarga, sehingga pendidikan paling banyak
diterima oleh anak adalah dalam keluarga. Selanjutnya dalam lingkungan
sekolah seorang pendidik atau guru yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut
dengan pamong berperan cukup penting dalam pembentukan karakter
anak, karena kedudukan pendidik adalah sebagai teladan bagi anak
didiknya, sehingga guru yang memiliki karakter baik tentu anak didiknya
akan berperilaku baik, karena anak mencontoh dari apa yang mereka lihat.
Semboyan Ki Hajar Dewantara ing ngarso sung tulodho, ing madya
mangun karso, tut wuri handayani, mengungkapkan pentingnya peran
pendidik dalam proses pembentukan karakter, karena anak didik berada
dalam usia yang labil sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal yang ada
disekitarnya. Jadi sebagai seorang pendidik yang pasti harus dapat
memberikan dan dijadikan teladan dan panutan bagi anak didiknya. Selain
itu juga harus dapat memotivasi anak didiknya, memberikan dorongan
baik secara moral ataupun material. Dan yang tidak kalah penting pendidik
juga harus dapat bergaul dengan baik bersama anak didiknya, jangan
sampai terdapat sekat antara pendidik dan anak didiknya sehingga tidak
terjalin komunikasi yang baik.
Konsep tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara juga memiliki
kontribusi yang tinggi dalam pembentukan karakter anak, karena melalui
pusat-pusat pendidikan inilah anak dapat memperoleh pembelajaran baik
secara sengaja maupun tidak sengaja yang berupa pengalaman. Dan
konsep tripusat pendidikan ini masih relevan diterapkan pada masa kini,
terbukti dari lingkungan keluarga memiliki peran sebagai peletak dasar
pendidikan akhlak dan pandangan agama, seddangkan sekolah merupakan
pendamping yang berjalan beriringan dengan pendidikan keluarga
sedangkan masyarakat merupakan pelengkap bagi pendidikan keluarga
dan sekolah.
B. Implikasi Pendidikan Karakter KHD terhadap Pendidikan Nasional
1. Pendidikan karakter dalam pembentukan moral anak bangsa
Pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak mengingat
degradasi moral yang dialami generasi penerus bangsa ini. Pendidikan
karakter diharapkan mampu membangitkan kesadaran bangsa Indonesia
untuk membangun fondasi kebangsaan yang kokoh. Dalam dunia
pembelajaran untuk menghadapi berbagai tantanfan yang muncl seiring
perkembangan zaman, UNESCO memberikan resep berupa empat pilar
belajar yaitu, belajar untuk mengetahui learning to know, belajar untuk
bekerja learning to do, belajar untuk hidup berdampingan learning to live
together, dan belajar untuk menjadi manusia seutuhnya learning to be
(Suyono, 2011: 29).
Hasil penelitian banyak yang membuktikan bahwa karakter dapat
mempengaruhi kesuksesan seseorang. Di antaranya, hasil penelitian di
Harvard University, USA, yang menyatakan bahwa ternyata kesuksesan
seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan
teknis (hard skill), tetapi oleh kemampuan mengolah diri dan orang lain
(soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya
ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.
Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih
banyak didukung oleh kemampuan soft skill daripada hardskill. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat
penting untuk ditingkatkan (Asmani. 2011: 48 ).
Ki Hajar Dewantara mengungkapkan dalam tulisannya perlunya
menguasai diri atau mengelola diri (zelfbeheersching) yang disebutkan
sebagai tujuan pendidikan. Karakter akan timbul dari bersatunya gerak
fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan yang lalu menimbulkan
tenaga. Dengan adanya karakter tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia
merdeka, yang dapat menguasai diri sendiri, inilah manusia beradab dan
itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya (Tamansiswa.
1977: 25).
Berdasarkan penyataan di atas dapat ditarik benang merah bahwa
penguasaan diri adalah sesuatu yang penting dalam suatu proses
pendidikan. Secara garis besar pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam
pendidikan adalah ;
a. Pendidikan merupakan suatu proses
Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya
berorientasi pada nilai akan tetapi pada proses pembelajaran tersebut.
Anak didik tidak hanya paham teori tetapi dapat mempraktikan apa
yang telah dipelajarinya dalam kehidupan nyata yaitu dalam bersikap
dan berperilau kesehariannya. Sehingga mengajarkan kepada anak
dalam belajar tidak hanya untuk mendapat nilai yang bagus tetapi juga
harus paham dan dapat menerapkan apa yang telah dipelajari serta
mengamalkannya.
b. Tripusat pendidikan
Mencerdaskan generasi penerus bangsa bukan hanya merupakan
tugas dari lembaga pendidikan atau sekolah, melainkan tugas bersama
antara lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan
masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan
yang pertama, karena dalam keluarga inilah
anak pertama
mendapatkan pendidikan. Lingkungan keluarga yang utama, karena
sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga,
sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah
dalam keluarga. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa tugas
utama dari keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak
dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.
Lingkungan sekolah adalah pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi. Pendidikan sekolah berperan penting sebagai
pendamping dari pendidikan dalam keluarga. Lingkungan keluarga dan
sekolah tidak dapat terlepas dari tatanan
kehidupan sosial dalam
masyarakat dimana keluarga dan sekolah itu berada, hal tersebut
menunjukan pentingnya pendidikan masyarakat sebagai pelengkap
pendidikan anak dalam keluarga dan sekolah.
c. Sistem among sebagai metode pembelajaran
Kata among berasal dari bahasa jawa yang berarti menjaga anak
kecil dengan penuh kecintaan, maksudnya memimpin atau memajukan
anak-anak dengan menjaga jangan sampai mendesak pikiran, perasaan
dan kemauan anak didik. Meskipun anak diberi kebebasan, tetapi tidak
berarti menurut sekehendak hatinya. Sistem among mendidik anak
dengan jiwa kekeluargaan.
Tanggung jawab pendidikan bukan hanya milik lingkungan
sekolah tetapi lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat juga
berperan penting di dalamnya. Pertama, keluarga merupakan lembaga
pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialamai
oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, orang tua
bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik
anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik. Kedua, tidak semua
tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga,
terutama
dalam
hal
ilmu
pengetahuan
dan
berbagai
macam
keterampilan. Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaankebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik,
memperoleh
kecakapan-kecakapan
seperti
membaca,
menulis,
berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan
kecerdasan dan pengetahuan pelajaran etika, keagamaan, estetika,
membenarkan benar atau salah, dan sebagainya. Ketiga, masyarakat
merupakan lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami
dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa
waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari
pendidikan sekolah.
d. Trikon sebagai dasar pengembangan pendidikan
Proses pembelajaran dalam pendidikan senantiasa mengalami
perkembangan, dimana
perkembangan tersebut
mengarah pada
penyempurnaan pendidikan untuk menghasilkan generasi yang bermutu
tinggi. Ki Hajar Dewantara menyatakan perkembangan pendidikan
dalam trikon yang berbunyi;
“Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan
nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri
(kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi)
dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan
kemanusian sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian jelas bagi kita
bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, disertai
sikap selektif adaptif dengan pancasila sebagai tolak ukurnya”
(Tamansiswa. 1977 : 206).
Dalam perkembangannya pendidikan itu berkelanjutan dari yang
terdahulu sampai sekarang berlanjut, menyempurnakan yang budaya
terdahulu, dan menuju ke arah persatuan budaya dunia serta tidak ada
unsur individual dalam pendidikan dan harus berjalan beriringan. Selain
itu yang tidak penting adalah tidak boleh melupakan budaya sendiri
dalam artian menjaga keaslian budaya sendiri dalam proses pendidikan.
2. Penanaman pendidikan karakter di sekolah
Pengembangan pendidikan karakter adalah keterkaitan antara
komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku. Hal
ini dapat dilakukan secara bertahap dan saling berhubungan antara
pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk
melaksanakannya,
baik
terhadap
Tuhan
YME,
dirinya,
sesama,
lingkungan, bangsa dan negara (Asmani, 2011: 86).
Pendidikan karakter tidak hanya melibatkan aspek moral knowing,
tetapi juga moral feeling dan moral action. Ki Hajar Dewantara
menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa serta
membaginya menjadi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan
karakter, adapun materi pendidikan karakter tersebut yaitu ;
a. Taman indria dan taman anak usia 5-8 tahun
Tahap penanaman adab. Adab atau tata krama bisa dilihat dari
cara seseorang dalam bertutur sapa, berinteraksi, bersikap, dan
bersosialisasi. Pada tahap ini paling penting untuk menanamkan
pendidikan keimanan, kejujuran, serta menghormati orang lain baik
yang lebih tua ataupun muda. Diajarkan pula pada anak didik tentang
pentingnya proses, baik dalam belajar maupun mendapatkan sesuatu,
sehingga tidak mendidik anak untuk menjadi anak yang manja
(Asmani, 2011: 90).
Pendidikan
agama
pada
tahap
ini
sangat
menentukan
pertumbuhannya di masa depan. Pendidikan agama bisa menjadi
fondasi yang akan menyaring segala hal yang baru serta menjadi
pijakan dalam menentukan pilihan dan membangun peradaban.
b. Taman muda usia 9-12 tahun
Tahap penanaman kepedulian, kepedulian berarti empati kepada
orang lain yang diwujudkan dalam bentuk memberikan pertolongan
sesuai dengan kemampuan. Anak diajarkan untuk menolong temannya
yang terkena musibah, misalnya menjenguk teman yang sakit.
Kepedulian ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa persaudaraan
dan kekeluargaan, serta menjauhkan diri dari sikap sombong, egois, dan
individual. Kepeduliaan akan menumbuhkan rasa kemanusiaan,
kesetiakawanan, dan kebersamaan. Epeduliaan yang ditanamkan sejak
kecil akan menjadi fondasi kokoh dalam melahirkan kemampuan
kolaborasi dan kooperasi.
Solokhin
Abu
Azzuddin
menyatakan,
empati
merupakan
kemampuan dalam memahami, melayani, dan mengembangkan orang
lain, serta mengatasi keragaman dankesadaran politis. Empati bukan
sekedar simpati, tetapi menuntut aksi, bukan hanya belas kasihan dan
juga butuh bukti (Asmani, 2011: 92).
c. Taman dewasa usia 14-16 tahun
Tahap penanaman kemandirian, sikap mandiri merupakan pola
pikir dan sikap yang lahir dari semangat yang tinggi dalam memandang
diri sendiri. Beberapa nilai dalam kemandirian antara lain tidak
menggantung pada orang lain, percaya kepada kemampuan sendiri,
tidak merepotkan dan merugikan orang lain, berusaha mencukupi
kebutuhan sendiri dengan semangat bekerja dan mengembangkan diri.
Nilai kemandirian di dalamnya terdapat nilai kehormatan dan
harga diri yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apapun, sebab apabila
harga diri dan kehormatan seseorang tidak ada maka tamat sudah.
Menumbuhkan kemandirian dalam diri anak didik bisa
dilakukan
dengan melatih anak bekerja dan menghargai waktu. Membangun
kemandirian berarti menanaman visi dalam diri anak, dalam
kemandirian terdapat
nilai-nilai
agung
yang menjadi
pangkal
kesuksesan seseorang seperti kegigihan dalam berproses, semangat
tinggi, kreatif, inovatif, dan produktif, serta keberanian dalam
menghadapi tantangan, optimis dan mampu memecahkan masalah
(Asmani, 2011: 93).
d. Taman madya dan taman guru usia 17-20 tahun
Tahap penanaman pentinganya bermasyarakat, bermasyarakat
adalah simbol kesediaan seseorang untuk bersosialisasi dan bersinergi
dengan orang lain. Bermasyarakat berarti meluangkan sebagian waktu
untuk
kepentingan
orang
lain,
bermasyarakat
identik
dengan
bercengkerama, bergaul dan gotong royong. Dalam konteks pendidikan
karakter, pola hidup bermasyarakat membutuhkan banyak tips sukses,
salah satunya anak harus diajari bergaul dan berteman dengan anakanak yang mempunyai karakter baik, seperti disiplin, menghargai
waktu, kreatif, moralis, dan mencintai pengetahuan. Anak dilatih untuk
selektif dalam mencari teman agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan
bebas, berteman memang tidak perlu memilih-milih, tapi jangan asal
berteman. Jadikan semua orang sebagai teman, tetapi jangan asal
menjadikan semua sebagai sahabat karib. Ketika moralitas dan
mentalitas ana masih labil, maka faktor seleksi menjadi penting.
Namun, seleksi itu tidak boleh membuat garis antara seorang anak
dengan teman-teman yang tidak menjadi pilihannya keterampilan sosial
merupakan aset sukses kepemimpinan dan mempengaruhi orang lain
(Asmani, 2011: 94).
3. Nilai karakter yang harus ditanamkan pada anak
Pendidikan informal
adalah jalur pendidikan keluarga
dan
lingkungan, pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran yang
sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan. Selama ini pendidikan
informal (terutama dalam lingkungan keluarga) belum memberikan
kontribusi yang berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan
pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan aktivitas kerja orang tua
yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak
di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan
pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
melalui
pendidikan
karakter
terpadu,
yaitu
memadukan
dan
mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga
dengan pendidikan formal di sekolah. Taman siswa adalah sekolah yang
didirikan Ki Hajar Dewantara yang memiliki dasar pendidikan yang
dikenal sebagai Pancadharma, yaitu memberikan kebebasan kepada anak
didik dalam perkembangannya tanpa perintah atau paksaan pendidik;
mengembangkan jasmani dan rohani ke peradaban dan kebudayaan;
mengusahakan
pengaruh
yang
baik
bagi
kodrat
alam
anak;
mengembangkan rasa kebangsaan dan hidup berbangsa; menumbuhkan
dan
memupukdasar-dasar
perikemanusiaan
yang
merupakan
sifat
kebangsaan (Surjomihardjo. 1986: 10).
Beberapa komponen penting yang harus ditekankan dalam
pendidikan karakter adalah membentuk karakter yang baik yaitu moral
knowing, moral feeling, dan moral action. Penanaman nilai-nilai pun harus
dilakukan sejak dini, jika sejak dini anak tidak diajarkan nilai-nilai
karakter maka ketika anak menginjak usia dewasa akan mengembangkan
sikap cenderung ke arah negatif. Pendidikan karakter sangat efektif
diterapkan di sekolah, hal ini mengingat ikatan legalitas formal di lembaga
pendidikan formal sangat kuat, yang berbeda dengan pendidikan informal
dan non formal. Walaupun demikian, pendidikan karakter di keluarga dan
masyarakat juga sangat penting.
Agama memberikan perhatian bersar terhadap peran orang tua dalam
pendidikan karater anak, jika orang tua lengah maka anak bisa rusak
moralnya. Lingkungan juga berpengaruh besar terhadap pendidikan
karakter anak, dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Az-Zarnuji
disebutkan bahwa karakter seseorang akan menjalar kepada temannya.
Jika karakter itu positif maka teman pergaulannya mendapat dampak
positif, namun jika negatif akan dibawa menuju lubang kehancuran moral
yang sulit diobati. Oleh karena itu, sinergi dan kolaborasi antara keluarga,
sekolah dan lingkungan merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditunda-
tunda (Asmani, 2011: 152). Nilai-nilai karakter yang harus ditanamkan
kepada anak agar terbentuk karakter yang baik dan cara menginternalisasi
nilai-nilai tersebut, yaitu ;
a. Religius
Nilai karakter pertama yang harus diajarkan adalah nilai yang
menjadi pedoman hidup manusia, yaitu agama. Agama merupakan
pedoman kehidupan yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan
manusia. Anak didik dengan berbagai macam latar belakang hidup
keluarga membawa dampak pada kebiasaan yang berbeda satu sama
lain. Membiasakan diri untuk berterima kasih dan bersyukur akan
membawa pengaruh pada suasana hidup yang menyenangkan, ceria,
dan penuh warna yang sehat dan seimbang. Untuk melatih hal ini
sehingga dapat menjadi suatu kebiasaan yang dapat dilakukan sedini
mungkin pada masa pendidikan yaitu dengan membiasakan berdoa.
Doa sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas hidup, atas temanteman dan atas apapun yang terjadi dalam hidup. Memperkenalkan
berdoa sebelum dan sesudah selesai pelajaran, sebelum dan sesudah
makan, serta sebelum dan sesudah bangun tidur.
Melalui kegiatan berdoa, sebelum melaksanakan suatu kegiatan,
anak-anak dibiasakan dan diperkenalkan akan adanya kekuatan dan
kekuasaan yang melebih manusia dan ini semua ada pada Tuhan Yang
Mahakuasa yaitu Allah SWT. Pentingnya penanaman pada anak didik,
keyakinan dan kepercayaan bahwa Tuhan adalah maha baik dan maha
segalanya, karena segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup ada
dalam alam semesta dan itu berasal dari Tuhan. Tersedianya segala
kebutuhan dasar menusia dalam kehidupan, tanah yang subur dan
indah, kekayaan alam yang melimpah ruah, dan berguna bagi
kehidupan ini harus selalu dijaga dengan baik, dan senua berasal dari
Tuhan Yang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahapangasih dan Tuhan Yang
Maha pemurah.
Selain itu, anak-anak mulai diperkenalkan dengan hari-hari besar
agama, dan diajak untuk menjalankannya dengan sungguh-sungguh
sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Melalui kegiatan
mendongeng dan bercerita dapat diperkenalkan nilai-nilai agama yang
ada di negara Indonesia tercinta ini. Anak-anak diajak untuk mengenal
bermacam-macam agama dan ditumbuhkan sikap saling menghormati
satu sama lain antarpemeluk agama yang berbeda. Kegiatan sosial
kemanusiaan menjadi tempat untuk mewujudkan religiusitas anak
secara bersama deri berbagai macam agama dan keperceyaan yang ada.
Kepekaan dan keterlabatan untuk membantu orang yang menderita
merupakan panggilan bersama umat beragama. Jika seorang anak telah
memiliki dasar agama yang baik, maka nilai-nilai yang lain akan mudah
diterima dan diterapkan.
b. Tanggung jawab, mandiri, disiplin, dan jujur
Nilai-nilai ini penting agar nantinya anak didik bisa mandiri,
disiplin dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri terhadap apa yang
dilakukan. Nilai dan prinsip kejujuran dapat ditanamkan pada diri siswa
sejak kecil dalam lingkup keluarga, dalam konteks ini peranan orang
tua dan guru sangat penting dalam mencermati perilaku anak didiknya.
Dalam pelaksanaanya anak perlu diberi pemahaman dan penjelasan
tentang arti dan manfaat kejujuran dalam kehidupan bersama. Selain
itu, anak juga diajak berpikir dan bersikap atas pernyataan: bagaimana
jika kondisi ketidakjujuran ada di tengah masyarakat. Melalui kegiatankagiatan yang kasat mata, sederhana, serta ada di sekitar sekolah dan
keseharian siswa, anak diajak untuk mengambil sikap yang benar dalam
masalah kejujuran. Nilai dan sikap kejujuran sangat terkait dengan nilai
keadilan, kebenaran, dan tanggung jawab pada diri manusia.
Salah satu kegiatan yang menuntut kemandirian dan tanggung
jawab siswa adalah kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan sarana
dan wadah yang tepat untuk melatih kemandirian siswa. Melalui
kegiatan ini siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk mengeksplorasi
kemampuan yang dimiliki dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Kegiatan ekstrakurikuler sangat membantu proses pengembangan ini,
anak yang berbakat diberi kesempatan untuk mengembangkannya, baik
dari sisi akademis maupun nonakademis.
Kegiatan non akademis yang cukup menarik dan dikenali secara
universal adalah kegiatan pramuka, kegiatan pramuka yang terencana
akan membuat anak senang dan terlatih untuk dapat menyelesaikan
persoalan, baik secara pribadi maupun bersama. Kemandirian bukan
berarti tidak butuh orang lain, namun justru dalam kebersamaan dengan
orang lain.
Setiap kegiatan yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi,
paling tidak dalam masalah pembagian waktu berkaitan dengan multi
peran yang disandang setiap orang. Apabila siswa terlalu bersemangat
untuk mengikuti banyak kegiatan maka ada konsekuensi yang dipikul,
yaitu waktu untuk belajar, mempersiapkan ulangan, menjalankan peran
dan tugas di rumah, dan lain sebagainya. Tanggung jawab tentu
berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban yang diemban seseorang.
Guru dapat mengajak siswa untuk mengevaluasi dan mengkritisi
kegiatan yang telah dipilihnya.
c. Toleransi
Toleransi bisa berarti sikap terbuka dan saling menghargai dan
menghormati terhadap perbedaan, hendaknya ditanamkan sejak dini
pada anak. Arti kata toleransi adalah sikap terbuka dan menghargai
perbedaan, anak dapat diperkenalkan konsep toleransi sejak dini. Peran
penting orang tua dalam menanamkan toleransi kepada anaknya adalah
menstimulasi anak agar agar siap menerima keberadaan orang lain dan
memperkenalkan anak pada lingkungan sekitar.
Lingkungan keluarga dan sekolah memegang peranan penting
dalam dalam mengembangkan sikap tolerans, terutama anak pada masa
sekarang yang dihadapkan dengan era globalisasi. Tips salam
mengenalkan nilai toleransi kepada anak yaitu; tunjukan sikap
menghargai orang lain dan orang tua atau guru memberikan contoh
yang nyata (Mila. 2011: 2).
d. Etika dan sopan santun
Penanaman etika dapat dilakukan dengan mengajarkan sesuatu
yang baik mulai dari masa kecil melalui latihan-latihan, misalnya cara
berpakaian, cara berbicara, menghormati orang lain, cara makan dan
minum dll. Disamping itu pemberian pemahaman pada anak tentang hal
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, pemahaman tentang perbuatan
baik dan perbuatan buruk, pemahaman tentang sopan santun, dan
norma-norma yang berlaku. Selain memberikan pemahaman dapat juga
dilakukan dengan memberi dan mengajak anak agar terbiasa
berperilaku baik.
e. Sosialis
Proses sosialisasi merupakan proses pembelajaran dimana anak
anak belajar mengenal dan memahami nilai dan norma yang berlaku di
lingkungan sekitar, baik itu lingkungan keluarga, sekolah atau
masyarakat. Sosialisasi secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi tingkah laku, sikap dan sifat anak, dan nilai sosialis
menjadi penting dan harus ditanamkan pada anak agar dapat
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dalam lingkungan keluarga
contohnya dengan adanya waktu kumpul bersama agar terjalin
komunikasi yang intens sehar minimal 30 menit.
f. Gotong-royong dan tolong menolong
Gotong royong merupakan budaya nenek moyang bangsa
Indonesia, semangat gotong royong telah digunakan pada zaman dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Pilar
penting dalam keberhasilah rakyat mendeklarasikan kemerdekaan
adalah karena adanya semangat gotong royong yang ditanamkan.
Penanaman nilai gotong royong menjadi menjadi senjata untuk
membawa sebuah perubahan. Gotong royong yaitu sikap yang selalu
kerja sama, bahu membahu satu sama lain dengan semangat persatuan
agar segala permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan. Ketika ada
seseorang yang membutuhkan pertolongan, maka seseorang yang
lainnya dengan segera melakukan tin dakan untuk menolongnya. Sikap
gotong royong yang harus ditanamkan pada anak agar menciptakan
kerukunan dan toleransi di tengah banyaknya perbedaan adalah
memahami dan melaksanakan nilai-nilai yang terkandung didalamnya
sehingga menciptakan kehidupan yang harmonis.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Raden Mas Soewardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara adalah
bangsawan keraton Yogyakarta sekaligus masih berada dalam garis
keturunan Sunan Kalijaga sehingga membuat Ki Hajar Dewantara
menjadi keturunan bangsawan dan juga ulama. Kegemaran Ki Hajar
Dewantara
bergaul
dengan
masyarakat
menengah
ke
bawah
mendorongnya untuk membuang gelar bangsawannya dan merubah
namanya menjadi Ki Hajar Dewantara agar dapat lebih merakyat dalam
bergaul dengan lingkungan sekitarnya yang kebanyakan adalah rakyat
biasa.
2. Ki Hajar Dewantara merupakan sosok pejuang sejati yang memiliki
karakter yang teguh, dimana beliau rela mengorbankan segala baik
ilmu, fikiran, tenaga dan materi yang dimilikinya demi membela tanah
air tercinta Indonesia, dan demi mencerdaskan kehidupan rakyat
Indonesia agar tidak senantiasa terjajah. Ki Hajar Dewantara berjuang
sebagai pejuang bangsa, pendidik, budayawan maupun pemimpin
rakyat, semata-mata dilakukan hanya untuk mencapai kesejahteraan
bagi bumi pertiwi.
3.
Ki Hajar Dewantara yang mengartikan pendidikan karakter sebagai
pola untuk membentuk peserta didik yang beradab, membangun watak
manusia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin,
luhur akal budinya, cerdas dan memiliki ketrampilan, sehat jasmani
dan rohani, sehingga bisa mewujudkan manusia yang mandiri serta
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa, negara dan
masyarakat pada umumnya. Secara khusus pendidikan karakter
merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam hati, cipta, rasa
dan karsa. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai
perpaduan antara
pendidikan
nilai, pendidikan budi
pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik atau
buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu
dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati
4. Konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara yaitu ;
Pertama, sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara dikembangkan
berdasarkan lima asas pokok yang disebut pancadharma Taman Siswa,
yang meliputi: kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan,
dan kemanusiaan. Kedua, pokok ajaran yang menjadi tujuan Ki Hajar
Dewantara adalah mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan
berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu
mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain
yang merdeka dan membantu perluasan pendidikan dan pengajaran.
Ketiga, Pendidikan karakter tidak hanya melibatkan aspek moral
knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Ki Hajar
Dewantara menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa
dan karsa serta membaginya menjadi empat tingkatan dalam pengajaran
pendidikan karakter, adapun materi pendidikan karakter tersebut yaitu;
taman Indria dan taman Anak (5-8 tahun), taman Muda (umur 9-12
tahun), taman Dewasa (umur 14-16 tahun), taman Madya dan taman
Guru (umur 17-20). Keempat, Dalam proses tumbuh kembangnya
seorang anak, Ki Hajar Dewantara memandang adanya tiga pusat
pendidikan yang memiliki peranan besar, yang disebut dengan trisentra
pendidikan, yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
dan lingkungan masyarakat. Dan ketiga aspek tersebut memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam proses pembentukan karakter pada
anak.
Ki Hajar Dewantara mengatakan perlunya penguasaan diri dalam
diri anak untuk mengalahkan nafsu agar dapat terbentuk karakter anak
yang beradab, orang yang memiliki kecerdasan budi pekerti akan
senantiasa memikirkan dan mempertimbangkan terlebih dahulu sikap
dan perilaku yang dilakukannya. Kecerdasan budi pekerti tersebut
meliputi sikap, perilaku dan nilai-nilai yang dilakukan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun
kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Dalam konteks sekarang
telah dikembangkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional telah
dirumuskan dalam 18 nilai karakter yang akan ditanamkan dalam diri
peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa, yaitu religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab.
5. Implikasi pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pembentukan moral
generasi muda ; Pertama, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
pendidikan adalah suatu proses bukan hanya sebuah hasil, yang
diterapkan dalam pembelajaran aktif dimana siswa memahami teori dan
juga mempraktekan apa yang sudah dipahaminya dalam kehidupan
nyata. Kedua, sistem among Ki Hajar Dewantara dijadikan sistem
pembelajaran di sekolah, karena pentingnya peran pendidik dalam suatu
proses pembelajaran. Ketiga, Tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara
merupakan lingkungan pendidikan yang efektif dimana lingkungan
keluarga dijadikan sebagai peletak dasar pendidikan anak, sekolah
sebagai pendamping dalam keluarga, dan masyarakat adalah pelengkap
pendidikan. Keempat, Trikon Ki Hajar Dewantara dijadikan sebagai
dasar pendidikan.
B. Saran
Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis memberikan saran
konstruktif bagi dunia pendidikan yakni ;
1. Bagi Pendidik
Berdasarkan konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara
dalam proses pembelajaran dimana peserta didik dijadikan pusat
pembelajaran sedangkan guru hanya membimbing agar anak didiknya
tetap berada dalam jalur yang benar, serta pendidik harus dapat
memberikan contoh nyata dari apa yang diajarkannya dalam
pembelajaran dan pendidik harus dapat memotivasi anak didiknya agar
dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Penulis berharap para
pendidik dan calon pendidik untuk dapat menjaga sikap dan
perilakunya karena guru itu adalah digugu lan ditiru, yang artinya
dijadikan teladan bagi anak didiknya.
2. Bagi Sekolah atau Instansi Pendidikan
Dalam sekolah hendaknya tidak digunakan konsep perintah dan
hukuman, karena konsep tersebut hanya akan melahirkan anak didik
yang sendiko dhawuh, paksaan yang dialami anak akan membuat ank
menjadi stres dan menjadi malas untuk belajar. Tanamkan dalam diri
anak proses pembelajaran adalah suatu proses yang menyenangkan
dengan metode pembelajaran yang kreatif, serta media pembelajaran
yang inovatif
akan
membuat
anak lebih antusias
mengikuti
pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut penulis berharap guru, sekolah
dan pemerintah untuk dapat mengerjakan PR menciptakan sistem
pendidikan yang mengedepankan proses bukan hanya hasil akhirnya.
3. Bagi Pemerintah
Penerapan kurikulum 2013 pada tahun lalu sudah menjadi
langkah yang bagus sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan
pendidikan bangsa Indonesia agar menghasilkan generasi yang
memiliki karakter, akan tetapi dalam penerapannya yang dinilai oleh
berbagai pihak belum siap untuk diterapkan di Indonesia menjadi
catatan tersendiri bagi pemerintah untuk mengevaluasi kurikulum 2013
yang pada konsepnya sudah sangat bagus tersebut. Berdasarkan hal
tersebut penerus berharap pemerintah segera menyempurnakan
kurikulum 2013 tersebut sehingga dapat membasmi degradasi moral
yang menjadi musuh bangsa ini.
DARTAR PUSTAKA
Abrasyi, Athiyah. 1993. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Anshori, Nasruddin. 2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan. Yogyakarta:
Lkis Pelangi Aksara.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter
di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press.
Ar-Rozi, May Mualifah. 2013. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Konsep
Pendidikan Budi Pekerti. STAIN Salatiga.
Budiningsih, Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: Asdi Mahasatya.
Damayanti, Deni. 2014. Panduan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah.
Yogyakarta: Pinang Merah.
Darajat, Zakiah. 1968. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila.
Semarang: Aneka Ilmu.
Dewantara, BS. 1979. Nyi Hajar Dewantara. Jakarta: Gunung Agung.
Desmon, Achmad. 2007. Ensiklopedia Peradaban Dunia. Jakarta: Restu Agung.
Doni Kusuma. 2012, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. http//:pendidikankarakter/strategi/mendidik/anak/dizaman/global.
Diunduh pada tanggal 8 September 2015.
Dwiyanto, Djoko. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila. Yogyakarta:
Ampera Utama.
Echols, John. 2010. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan XXIX. Jakarta: Gramedia.
Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4. 2004. Jakarta : Delta Pamungkas
Ismadi, Hurip Danu . 2014. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Kebudayaan.
Jakarta: Gading Inti Prima.
Isjoni. 2006. Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan. Jakarta: Yayasan Obor.
Jumali. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press
UMS.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta:
Balai Pustaka.
Kesuma, Dharma. 2011. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di
Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Listiyani, Retno. 2012. Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan
Kreatif. Jakarta: Erlangga.
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1977. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama Pendidikan. Cetakan ke-2. Jogjakarta: Yayasan Persatuan Taman
Siswa.
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
II Kebudayaan. Cetakan ke-2. Jogjakarta: Yayasan Persatuan Taman
Siswa.
Mila.
2012,
Menanamkan
Sikap
Toleransi
pada
Anak.
http://ahmadrasidi.blogspot.com. Diunduh pada 12 September 2015.
Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Anak Sejak dari
Rumah. Yogyakarta: Pustaka Insani Madani.
Nata, Abuddin. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Navis, AA. 1996. Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei. Jakarta: Gramedia.
Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung:
Rosdakarya.
Rahma, Ulfi. 2010. Pendidikan Karakter dalam UU NO. 20 TAHUN 2003.
Diunduh pada tanggal 29 September 2015.
Robertus Belamirnus. 2014. (KOMPAS.com, Buku Ki Hajar Dewantara jadi
Referensi di Finlandia). Diunduh pada tanggal 8 Agustus 2015.
Saleh, Muwafik. 2002. Membangun Karakter dengan Hati Nurani. Jakarta:
Erlangga.
Soeratman, Darsiti. 1989. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Nasional.
Subono. 2010, Ki Hajar Dewantara Pemikiran dan Pengabdiannya untuk
Pendidikan Bangsa. http//yayasansoebono.org/. Diunduh pada tgl 25
Agustus 2015.
Sukiman. 2004, Ki Hajar Dewantara. www.tamansiswa.org. Di unduh pada
tanggal 14 Agustus 2015.
Surjomiharjo, Abdurrachman. 1986. Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa
dalam Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Sinar Harapan.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Suyadi. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung:
Rosdakarya.
Suyono. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.
Tim Dosen FIP. 1980. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Wahab, Rochmat. 2009. Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai
Target. Semarang: Aneka Ilmu.
Wijaya, Cece. 1992. Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan Dan Pengajaran.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zanoism.
2014,
Konsep
Pendidikan
Menyenangkan.
kompasiana.com. Diunduh pada 28 Mei 2015.
http//:edukasi
Zuchdi, Darmiyanti. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan
Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
LAMPIRAN :
Ki Hajar Dewantara
RIWAYAT HIDUP
1. Nama
: Nur Anisah
2. Tempat dan Tanggal lahir
: Salatiga, 14 Januari 1993
3. Jenis kelamin
: Perempuan
4. Warga Negara
: Indonesia
5. Agama
: Islam
6. Alamat
: Jln. Abu Bakar Assidiq RT 01/09 Dsn.
Klego, Desa Candirejo, Kec. Tuntang, Kab.
Semarang
7. Riwayat Pendidikan
:
a. SD N Candirejo 01
Tahun 1999-2005
b. SMP N 02 Salatiga
Tahun 2005-2008
c. MAN 01 Kota
Tahun 2008-2011
Magelang
8. Pengalaman organisasi
:
a. Koordinator GIAT TPA Al-Ikhlas
Tahun 2011-Sekarang
Tegalrejo Salatiga
b. Bendahara umum Ya Bissmilah IAIN
Tahun 2011
Salatiga
c. Humas Ma’had Putri IAIN Salatiga
Tahun 2012
d. Humas IPPNU Kec. Tuntang
Tahun 2015
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benamya.
Salatiga, Agustus 2015
Penulis
Nur Anisah
Nim: 111 11 141
Download