PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF KI HAJAR DEWANTARA SKRIPSI Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.) OLEH NUR ANISAH NIM 111 11 141 FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015 KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Phone (0298) 323706 Salatiga 50721 Wibsite : www.iainsalatiga.ac.id Email : [email protected] Maslikhah, S.Ag., M.Si Dosen IAIN Salatiga NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 eksemplar Hal : Naskah skripsi : Saudari Nur Anisah Kepada Yth. Rektor IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamualaikum. Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara : Nama : Nur Anisah Nim : 111 11 141 Fakultas : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI) Judul : Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut diatas supaya segera dimunaqosahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamualaikum. Wr. Wb. Salatiga, September 2015 Hj. Maslikhah, S.Ag., M.Si NIP. 19700529 2000003 2 001 MOTTO “Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (Tamansiswa. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan. 1977 : 31) PERSEMBAHAN Kupersembahkan skripsi ini untuk: 1. Kedua orang tuaku Kusnan dan Surinah tercinta yang selalu memberi kasih sayang, perhatian, dan selalu mendoakanku, doaku semoga senantiasa diberikan kesehatan dan umur yang panjang dan barokah. 2. Kakakku Sri Wahyuni dan adiku tersayang Salvia Dara yang selalu memberikan semangat dan motivasi untuk mengerjakan skripsiku. 3. Kakek nenekku Ariyadi dan Ngatilah yang selalu mendoakanku, semoga senantiasa berada dilindungan Allah Swt. KATA PENGANTAR Asslamu’alaikum Wr. Wb Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah Saw, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). 3. Ibu Hj. Maslikhah, S.Ag., M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas ini. 4. Ibu Eva Palupi, M.Si selaku pembimbing akademik yang senantiasa membimbing dan memotivasi dari awal masuk perkuliahan hingga akhir perkuliahan. 5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak dan ibu di rumah yang telah mendoakan dan membantu dalam bentuk materi untuk membiayai penulis dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. 7. Teman-teman seperjuang angkatan 2011 di IAIN Salatiga khususnya jurusan PAI dan anggota Ya Bissmilah 2011. Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT. Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Salatiga, September 2015 Penulis NUR ANISAH NIM: 111 11 141 ABSTRAK Anisah. Nur. 2015 Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing: Maslikhah, S.Ag., M.Si Kata kunci: pendidikan karakter, konsep pendidikan, Ki Hajar Dewantara Moral remaja masa kini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan, dimana aum remaja mengalami degradasi moral yang terus-menerus dan tampak semakin tidak terkendali. Penurunan kualitas moral generasi penerus bangsa ini terjadi dalam segala aspek, mulai dari tutur kata, cara berpakaian hingga perilaku. Faktor modernisasi dan globalisasi sangat berpengaruh pada degradasi moral remaja saat ini, globalisasi menuntut kesiapan mental dari masyarakat, ketika masyarakat lemah bahaya akan menerjang. Berdasarkan latar belakang di atas, pentingnya pendidikan moral guna membentuk karakter remaja agar terciptanya generasi penerus bangsa yang tidak hanya memilki kecerdasan ilmu, tetapi juga cerdas akhlak dan perilakunya. KHD sebagai tokoh fenomenal di dunia pendidikan mengatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah tuntunan, sehingga dalam pembelajaran peserta didik harus memiliki tokoh yang dijadikan contoh. Dalam penelitian ini diungkapkan konsep pendidikan menurut KHD dalam pendidikan karakter bagi peserta didik. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pendidikan karakter dalam perspektif KHD serta implikasinya dalam dunia pendidikan saat ini. Penelitian ini termasuk penelitian literer yang berfokus pada referensi buku dan sumber-sumber yang relevan. Pencarian data dicari dengan jenis penelitian library research dan pendekatan kualitatif literatur yaitu suatu penelitian kepustakaan murni, menggunakan metode dokumentasi yang mencari data mengenai hal-hal atau variable-variabel yang berupa catatan seperi buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, catatan rapat, jurnal dan sebagainya. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan adalah KHD seorang pejuang yang dihormati rakyat dan disegani musuh, karena memiliki pengetahuan yang luas dan keunikan berfikir dimana KHD memberikan harapan bagi kaum bawah untuk dapat mengenyam pendidikan serta semangat kebangsaan yang beraliran kebudayaan pada konsep pendidikanya. Konsep yang diusung KHD adalah sistem among, dimana pendidik memiliki peran sangat penting yaitu sebagai teladan dan pembimbing bagi anak didiknya, sehingga orang tua dan guru wajib untuk berperilaku baik dihadapan anak didiknya. Sebagaimana disampaikan diatas, perlu kiranya penulis memberikan sumbangsih berupa saran-saran antara lain, konsep pemikiran KI Hajar Dewantara memiliki konsep tujuan yang relevan diterapkan dalam pendidikan karakter hingga saat ini. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................. i LEMBAR BERLOGO............................................................................... ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING......................................................... iii PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.................................................. v MOTTO...................................................................................................... vi PERSEMBAHAN...................................................................................... vii KATA PENGANTAR ............................................................................... viii ABSTRAK................................................................................................. x DAFTAR ISI.............................................................................................. xii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... A. Latar Belakang Masalah................................................................. B. Fokus Masalah................................................................................ C. Tujuan Penelitian ........................................................................... D. Kegunaan Penelitian....................................................................... E. Metode Penelitian........................................................................... F. Penegasan Istilah ........................................................................... G. Sistematika Penulisan ............ ....................................................... 1 1 11 11 11 12 13 14 BAB II BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA...................................... A. Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara.............................................. 1. Lahir ................................................ ....................................... 2. Masa Muda............................................................................... 3. Masa Dewasa............................................................................ 4. Karir Ki Hajar Dewantara........................................................ B. Peran Ki Hajar Dewantara.............................................................. 1. Peran Politik Ki Hajar Dewantara............................................ 2. Peran Sosial Ki Hajar Dewantara............................................. C. Karya-karya Ki Hajar Dewantara................................................... 16 16 16 16 20 20 21 21 26 29 BAB III PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA DAN TOKOH PENDIDIKAN TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER.............................................................................................. A. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Karakte......... 1. Pengertian Pendidikan Karakter............................................... 2. Konsep Pendidikan Karakter ................................................... a. Tujuan Pendidikan.............................................................. b. Dasar Pendidikan................................................................ c. Pokok Ajaran...................................................................... d. Metode Pendidikan............................................................. e. Materi Pendidikan............................................................... 48 48 48 51 53 54 56 59 60 B. Pemikiran Tokoh Pendidikan tentang Pendidikan Karakter ......... 1. Pengertian Pendidikan Karakter............................................... 2. Konsep Pendidikan Karakter ................................................... a. Tujuan Pendidikan Karakter......................................... b. Dasar Pendidikan Karakter .......................................... c. Prinsip Pendidikan Karakter ........................................ d. Metode Pendidikan Karakter........................................ e. Materi Pendidikan Karakter ........................................ 65 65 70 70 73 73 75 78 BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA DENGAN TOKOH PENDIDIKAN TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER.............................................................................................. A. Analisis Data ................................................................................. B. Implikasi ........................................................................................ 84 BAB V PENUTUP..................................................................................... A. Kesimpulan .................................................................................... B. Saran............................................................................................... 107 107 111 DAFTAR PUSTAKA................................................................................ LAMPIRAN-LAMPIRAN......................................................................... 113 116 84 90 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945, akan tetapi hingga saat ini kondisi bangsa Indonesia masih mengkhawatirkan. Kurang lebih sudah hampir 70 tahun bangsa Indonesia menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara bebas dari penjajah tetapi Indonesia memiliki kondisi yang unik dilihat dari perkembangannya sampai saat ini. Bangsa Indonesia memiliki banyak sekali konteks sosial dan budaya yang terus berkembang sampai saat ini, dilihat dari kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat dikategorikan sangat melimpah disertai dengan letak kepulauan yang berada di garis khatulistiwa, tanah subur, air melimpah, udara segar, kekayaan sumber energi dan mineral melimpah di dalam tanah dan laut semuanya memberikan keunikan terhadap bangsa ini. Keunikan lainnya dapat kita lihat dari kondisi yang ada, dirasakan, dan telah menjadi ciri khas bangsa ini. Seharusnya dengan kondisi sosial budaya dan kekayaan alam yang melimpah, rakyat Indonesia dapat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dari waktu ke waktu. Kenyataan yang dialami oleh bangsa ini menunjukkan kondisi yang berbeda dengan logika kekayaan sosial, budaya dan alam. Kondisi yang dialami menunjukan bahwa kekayaan alam tereksploitasi besar-besaran, pembangunan industri terjadi terus-menerus, dan pergantian pemerintahan terus berlangsung dari waktu ke waktu secara damai, tetapi kebanyakan rakyat Indonesia belum mendapatkan dan mengalami kehidupan yang makmur dan sejahtera. Bukan musuh bersenjata yang menjadi lawan bangsa ini, akan tetapi pribadi bangsa dalam menghadapi arus globalisasi yang menerjang bangsa ini. Kekuatan globalisasi menurut para ahli bertumpu pada empat kekuatan global, yaitu: kemajuan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS), terutama dalam bidang informasi dan inovasi-inovasi baru di dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia, perdagangan bebas yang ditunjang oleh kemajuan IPTEKS, kerjasama regional dan internasional yang telah menyatukan kehidupan bersama dari bangsa-bangsa tanpa mengenal batas negara, meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia di dalam kehidupan bersama, dan sejalan dengan itu semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam demokrasi. Era globalisasi sekarang, bangsa Indonesia dihadapkan pada fakta yang tidak dapat diingkari yaitu revolusi teknologi, transportasi, informasi, dan komunikasi. Kata kunci globalisasi adalah kompetisi, dalam kompetisi yang keluar sebagai pemenang adalah yang terbaik dari sisi pengetahuan, teknologi, jaringan, kualitas produk, pelayanan, dan integritas (Azizy, 2004: 26). Indonesia dalam konteks pengetahuan dan teknologi masih berada jauh di bawah negara-negara maju, Indonesia menjadi bangsa konsumen yang senang menikmati produk globalisasi. Globalisasi di Indonesia telah mengubah berbagai aspek kehidupan dalam berbagai bidang, perubahan tersebut mendatangkan berbagai dampak baik positif maupun negatif dalam bidang pendidikan. Salah satu contoh, peran pemuda dalam masa kini sangat berbeda jauh dengan peranan pemuda pada era sebelumnya. Pemuda masa kini hidup dalam dunia yang serba pragmatis sebagai dampak dari globalisasi yang memasuki budaya Indonesia melalui perkembangan teknologi dan informasi yang sangat memikat. Globalisasi tidak selalu mendatangkan dampak negatif seperti tersebut di atas, akan tetapi globalisasi di Indonesia lebih banyak mendatangkan dampak negatif seperti pola hidup masyarakat yang menjadi lebih konsumtif, hedonis, dan matrealistik. Akibatnya pemuda masa kini belajar hanya untuk meraih hasil yang baik dengan mengandalkan segala cara tidak terkecuali mencontek yang sudah menjadi budaya bagi siswa yang hanya mementingkan nilai dari pada ilmu, hal tersebut menunjukan akhlak generasi muda Indonesia yang bobrok. Faktanya Indonesia menrupakan salah satu negara yang mana penduduknya mayoritas beragama Islam, dan dalam Islam terkandung semua tata cara hidup termasuk pedoman berperilaku dan bersikap. Dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits, karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur’an dan alHadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 سنَةٌ ِل َمن َكانَ يَ ْر ُجوا هللاَ َو ْاليَ ْو َم اَْأ َ ِِ َر ُ لَّقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِي َر ِ سو ِل َ هللا أُس َْوة ٌ َح }12{ يرا ً َِوذَ َك َر هللاَ َكث Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Perilaku dan sikap bangsa Indonesia di kalangan generasi muda, khususnya anak didik perlu terus diperkuat sehingga dapat melahirkan generasi muda yang handal dan memiliki karakter yang kuat, salah satunya dengan menumbuhkan minat baca untuk menambah pengetahuan. Hal itu penting agar bangsa Indonesia dapat berkembang dan sejajar dengan bangsabangsa asing dalam pergaulan internasional, namun tidak larut dalam arus globalisasi. Bangsa Indonesia membutuhkan lima karakter untuk dapat menampilkan jati dirinya dan bersaing dengan bangsa lain. Karakter bangsa yang bermoral (religius). Bangsa ini harus sarat dengan nilai-nilai moral dan etika keagamaan sebagai sebuah pandangan dan praktik, karakter bangsa yang beradab. Beradab dalam arti luas, menjadi suatu bangsa yang memiliki karakter berbudaya dan berperikemanusiaan. Karakter bangsa yang bersatu, dimana didalamnya termasuk menegakkan toleransi, tidak mungin Indonesia dapat bersatu tanpa adanya toleransi, keharmonisan, dan persaudaraan. Karakter bangsa yang berdaya, dalam arti yang luas berdaya berati menjadi bangsa yang berpengetahuan, terampil, berdaya saing secara mental, pemikiran maupun teknis. Daya saing bukan hanya sekedar dalam arti materi dan mekanik, melainkan dalam makna secara mental, hati dan pikiran. Karakter bangsa yang berpartisipasi. Partisipasi amat diperlukan untuk menghapus sikap masa bodoh, mau enaknya saja, dan tidak pernah peduli dengan nasib bangsa Indonesia. Karakter partisipasi ditandai dengan penuh peduli, rasa dan sikap bertanggung jawab yang tinggi serta komitmen yang tumbuh menjadi karakter dan watak bangsa Indonesia (Ismadi. 2014: 29). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dalam pidatonya menyinggung minat baca masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah, yakni 0,001 persen dari data United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Melalui persoalan minat baca tersebut, Anies Baswedan juga menyayangkan Indonesia tidak belajar dari buku berjudul “Sekolah Taman Siswa” karangan Ki Hajar Dewantara. Bapak Menteri kecewa karena buku Ki Hajar Dewantara tersebut telah dujadikan referensi di Finlandia akan tetapi di Indonesia buku tersebut tidak dibaca, dalam buku tersebut salah satunya Ki Hajar Dewantara telah menuliskan tentang kondisi belajar yang menyenangkan. Bung Anies mengatakan bahwa pemerintah Finlandia telah mengikuti pandangan Ki Hajar Dewantara dengan mengubah sistem belajar dan situasi di sekolah menjadi lebih nyaman dan menggembirakan, berbeda dengan sekolah dan instansi pendidikan di Indonesia yang peserta didiknya lebih banyak merasa stres saat belajar (Belarminus. 2014: 2). Kementrian Pendidikan Nasional (KEMENDIKNAS) sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memandang pendtingnya pendidikan karakter dalam diri anak didik agar dapat menjadi bekal kelak di masa depan dalam menggapai cita-cita anak bangsa. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003, menerangkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak yang bermartabat”, dimana dalam proses pendidikan harus ditanamkan nilai-nilai moral. Penanaman nilai moral tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah tetapi juga keluarga dan lingkungan masyarakat, karena dalam proses pembelajaran tidak hanya berlangsung di sekolah. Ki Hajar Dewantara membedakan lingkungan pendidikan menjadi tiga, yang dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga jika ditinjau dari ilmu sosiologi, keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni kesatuan dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat. Keluarga tempat anak diasuh dan dibesarkan, berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangannya baik secara fisik maupun mental. Lingkungan sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya sangat besar pada jiwa anak. Maka disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak. Sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak terutama untuk kecerdasannya. Lingkungan masyarakat adalah lingkungan tempat tinggal anak, juga meliputi teman-teman anak di luar sekolah. Kondisi orangorang di lingkungan desa atau kota tempat tinggal anak juga turut mempengaruhi perkembangan jiwanya (Yuwono, 2015: 3). Konsep Ki Hajar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan yang menunjukan bahwa proses pembelajaran tidak harus berlangsung di sekolah, akan tetapi dapat dilakukan dimana pun dan oleh siapa pun. Dalam pembelajaran ditekankan pentingnya penanaman nilai moral dan karakter agar dapat membentuk kemampuan dan watak peradaban bangsa yang bermartabat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara dengan sistem among, menegaskan bahwa dalam pembelajaran tidak melulu harus mengedepankan hasil akan tetapi prosesnya. Sistem among menuntut pamong (pendidik) untuk menjadi seorang teladan bagi peserta didiknya, karena anak didik lebih cenderung mencontoh apa yang dilihatnya dari pada apa yang didengarnya. Cara mengajar dengan menggunakan metode among berarti mengajar dengan terbuka, penuh kasih sayang, bebas dan melindungi siswa dengan kenyamanan pikiran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Teknik mengajar dalam sistem among lebih cenderung menggunakan permainan, Ki Hajar Dewantara menganjurkan para pamong untuk mengajak siswanya belajar sambil bermain agar suasana belajar tidak terlalu serius dan pikiran anak dapat terbuka sehingga materi ajar dapat tersampaian dengan sukses. Ki Hajar Dewantara menyatakan sistem pendidikan di Indonesia mencontoh sistem pendidikan barat, yang dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan ketertiban. Sebagai penopang pendidikan, dasar-dasar tersebut akan memunculkan kehidupan yang penuh perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Dampaknya terhadap anak-anak adalah rusaknya budi pekerti yang disebabkan selalu hidup dalam paksaan dan hukuman (Belamirnus, 2014: 1). Dampak lainnya adalah turunnya semangat berkreasi dan berinovasi dalam kompetisi yang ketat, kemudian dikalahkan oleh semangat konsumerisme, hedonisme, dan permisifisme yang instan dan menenggelamkan. Untuk itu dibutuhkannya generasi penerus yang beriman, bertaqwa, berilmu pengetahuan luas, bertanggung jawab dan mempunyai keinginan untuk memperbaiki dan menyumbangkan sesuatu yang bisa dia berikan untuk negara yang dicintainya. Pemaparan di atas menunjukan pentingnya pendidikan karakter bagi anak baik di keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat secara intensif dengan keteladanan, kearifan, dan kebersamaan. Pentingnya pendidikan karakter untuk diserukan dengan dahsyat agar lahir kesadaran bersama untuk membangun karakter generasi muda bangsa yang kokoh. Sehingga, generasi penerus bangsa ini tidak terombang-ambing oleh modernisasi yang menjanjikan kenikmatan sesaat serta mengorbankan kenikmatan masa depan yang panjang dan abadi. Pioner dalam kesadaran pendidikan karakter adalah lembaga pendidikan, dikarenakan lembaga pendidikan lebih dahulu mengetahui dekadansi moral dan bahaya modernisme yang ada di depan mata generasi masa depan bangsa. Terlebih, untuk masyarakat yang tidak siap menghadapi keduanya, khususnya dalam aspek moral, mental, dan kepribadian, selain aspek pengetahuan dan teknologi. Kesadaran pendidikan karakter dari sekolah diharapkan menyebar kepada keluarga, masyarakat, media massa, dan seluruh lapisan bangsa ini. Sehingga, terjadi kesinambungan kekuatan dalam membangun bangsa ini demi lahirnya kader-kader masa depan yang berkarakter, serta berkepribadian kuat dan cermat. Salah satu tokoh yang memiliki semangat pendidikan karakter adalah Ki Hajar Dewantara, terlahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, Ki Hajar Dewantara merupakan keturunan dari bangsawan Yogyakarta. Perjuangan Ki Hajar Dewantara sarat akan nilai-nilai karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini, mulai dari pergantian namanya dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara, semata-mata agar beliau lebih mudah diterima di lingkungan masyarakat biasa. Asas Tamansiswa yang dia bawa, serta konsep dan pemikiran pendidikan yang ia ajarkan di bumi pertiwi. Ki Hajar Dewantara melihat pendidikan mampu mengubah watak dan sikap bangsa untuk menjadi bangsa yang mempunyai derajat yang tinggi dan sejajar dengan bangsa lain. Artinya Ki Hajar Dewantara sudah memandang pentingnya pendidikan karakter saat belum ada yang mempublikasikan nilai karakter sebagaimana sekarang ini, beliau sudah melangkah disepan kita membawa konsep pendidikan karakter. Berdasarkan ulasan di atas, pentingnya pendidikan karakter yang ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara bagi anak agar dapat menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki prinsip, tidak mudah goyah jika dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang melanda negeri Indonesia tercinta. Sanggup memegang teguh nilai-nilai luhur dan taat pada agama, sehingga akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan karakter sejalan dengan sistem pendidikan yang sedang digadang-gadang oleh pemerintah, yang tidak mengedepankan nilai akademik saja. Maka penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai bahan penulisan skripsi yang berjudul “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara” B. Fokus Penelitian 1. Bagaimana konsep pendidikan karakter? 2. Bagaimana konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara? 3. Bagaimana implikasi konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Konsep pendidikan karakter menurut para ahli; 2. Konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara; 3. Konsep pendidikan karakter dalam perspektif Ki Hajar Dewantara. D. Kegunaan Penelitian 1. Teoretis Penelitian ini secara teoretis bermanfaat untuk memperkaya wacana keilmuan khususnya kajian pendidikan karakter bagi perpustakaan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. 2. Praktis a. Guru Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang pembelajaran yang sarat akan nilai-nilai karakter secara umum. b. Lembaga Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana untuk lebih meningkatkan pembinaan terhadap guru, kepala sekolah maupun pengawas agar pendidikan karakter pada anak dapat terwujud sesuai dengan apa yang diharapkan. c. Peneliti Hasil penelitian ini dapat dijadikan untuk menambah pengalaman penelitian dalam penelitian terkait dengan pendidikan karakter. E. Metode Penelitian Metode penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kajian pustaka atau sering disebut penelitian pustaka, yaitu menghimpun data dengan cara menggunakan bahan-bahan tertulis, seperti : buku, artikel, surat kabar, majalah dan dokumen lainya, yang sekiranya memiliki hubungan dengan tema penelitian. Data-data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Data primer adalah data pokok yang digunakan sebagai bahan utama dalam kajian penelitian ini, berupa data-data yang berhubungan langsung dengan materi yang diteliti yaitu pendidikan karakter dalam perspektif Ki Hajar Dewantara. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data informasi yang diperoleh dari sumbersumber lain selain data primer, yang secara tidak langsung bersinggungan dengan tema penelitian yang peneliti lakukan. Diantaranya buku-buku literatur, internet, majalah atau jurnal ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. F. Penegasan Istilah Penegasan istilah dalam penelitian ini sangat diperlukan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah lain adalah didalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan sebagai berikut : 1. Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan dengan sadar untuk mendatangkan perubahan sikap dan perilaku seseorang melalui pengajaran dan latihan (Ensiklopedi Nasional Indonesia: 365). Proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 263). 2. Karakter memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan dan perilaku atau bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional). 3. Pendidikan karakter dalam penelitian ini merupakan suatu usaha yang direncanakan secara bersama yang bertujuan menciptakan generasi penerus yang memiliki dasar-dasar pribadi yang baik, baik dalam pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengarahkan peserta didik pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai-nilai keluhuran. Ajaran yang berupa hal positif yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada peserta didik yang diajarnya (Samani, 2012: 243). G. Sistematika Penulisan 1. Bagian Awal Bagian awal ini, meliputi: sampul, lembar berlogo, judul (sama dengan sampul), persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, dan daftar lampiran. 2. Bagian Inti BAB I :PENDAHULUAN memuat latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulis skripsi. BAB II :BIOGRAFI memuat riwayat hidup Ki Hajar Dewantara, pemikiran Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan, karyakarya Ki Hajar Dewantara, pandangan para pakar terhadap Ki Hajar Dewantara. BAB III :DESKRIPSI PEMIKIRAN memuat pemikiran Ki Hajar Dewantara dan pendidikan karakter menurut para ahli BAB IV :PEMBAHASAN memuat uraian konsep pendidikan karakter menurut para ahli, konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara, konsep pendidikan karakter menurut para ahli dalam perspektif Ki Hajar Dewantara. BAB V :PENUTUP memuat kesimpulan dan saran Bagian akhir dari skripsi ini, memuat: Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran, dan Daftar Riwayat Hidup Penulis. BAB II BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA A. Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara 1. Lahir Ki Hajar Dewantara lahir pada Kamis Legi, tanggal 2 Mei 1889, ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Haryo Suryaningrat, putera Kanjeng Gusti Hadipati Haryo Suryosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III (Soeratman, 1981: 8). Ki Hajar Dewantara merupakan putra ke-lima dari sembilan bersaudara, Ki Hajar Dewantara terlahir dengan nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ensiklopedi Nasional Indonesia. 1989: 330). Ki Hajar Dewantara berasal dari keluarga keturunan Keraton Yogyakarta, sehingga Ki Hajar Dewantara dididik dengan latar belakang keluarga yang masih religius dan juga budaya jawa yang kental karena masih merupakan keluarga keraton Yogyakarta sekaligus masih berada dalam garis keturunan Sunan Kalijaga sehingga membuatnya menjadi keturunan bangsawan dan juga ulama (Desmon, 2007: 219). 2. Masa Muda Masa muda Ki Hajar Dewantara diisi dengan kegiatan untuk menambah pengetahuan dan wawasannya, karena Ki Hajar Dewantara termasuk anak yang sangat haus akan pengetahuan. Ki Hajar Dewantara menerima pendidikan yang beraneka macam baik dari keluarga maupun di sekolah, pendidikan keluarga yang diajarkan melalui pendidikan kesenian, adat sopan santun, dan pendidikan agama yang dijadikan fondasi kokoh pribadi Ki Hajar Dewantara. Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah Gantung” antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah. Keduanya adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan di negeri Belanda. Pernikahannya diresmikan secara adat dan sederhana di Puri Suryaningratan Yogyakarta (Soeratman, 1989: 9). Pengetahuan Ki Hajar Dewantara berasal dari kerajinan menutut ilmu di sekolah dan juga pengalaman yang beraneka ragam dari lingkungan sekitar. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, beliau belajar di School Tot Opvoeding Van Indische Artsen (STOVIA), tetapi tidak menamatkannya karena sakit. BeIiau kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain De Express, Utusan Hindia,dan Kaum Muda. Sebagai penulis yang handal, tulisannya mampu membangkitkan semangat antikolonialisme rakyat Indonesia. Selain mendapat pendidikan formal di lingkungan Istana Paku Alam tersebut. Ki Hajar Dewantara juga mendapat pendidikan formal di luar antara lain: a. ELS (Europeesche Legere School). Sekolah dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. ELS atau Sekolah Rendah Eropa tersebut diperuntukkan bagi keturunan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka (Desmon, 2007: 211). b. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta. Kweek School merupakan salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda dengan pengantar bahasa Belanda. c. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen) STOVIA yaitu sekolah kedokteran yang berada di Jakarta. Pendidikan di STOVIA ini tak dapat diselesaikannya, karena Ki Hajar Dewantara sakit (Poerbakawatja. 1970: 217). 3. Masa Dewasa Ki Hajar Dewantara sering bergaul dengan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah, sehingga pada usia 40 tahun Ki Hajar Dewantara merubah namanya dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara. Dibuangnya gelar kebangsawanan di depan namanya mengantarkan Ki Hajar Dewantara lebih dekat dengan lingkungan disekitarnya yang mayoritas adalah orang biasa. Ki Hajar Dewantara dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yang berarti dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara (Djumhur, 1974: 169). Nama Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau sang hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Sebagai pendidik yang merupakan perantara Yang Maha Kuasa maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandhita yaitu yang mampu menyampaikan kehendak-Nya dan membawa keselamatan (Soebono, 2012: 7). Ki Hajar Dewantara merupakan sosok yang sangat kreatif, inovatif, dinamis, jujur, sederhana, konsisten, konsekuen, berani dan bertanggung jawab, sehingga disegani oleh banyak orang baik itu kawan maupun lawan. Pengetahuan beliau sangatlah luas dan senantiasa bertambah terus guna membela bangsa dan negaranya, perjuangannya dilandasi dengan rasa ikhlas semata-mata hanya untuk mencerdaskan bangsanya agar kelak menjadi bangsa yang merdeka dan bebas dari penjajah. Beliau memilih berjuang secara total dalam bidang pendidikan guna melahirkan generasi penerus bangsa yang memiliki integritas tinggi dan juga cinta tanah air. Tanggal lahir Ki Hajar Dewantara 2 Mei kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959 pada umur 69 tahun dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta (Desmon. 2007: 219). 4. Karir Ki Hajar Dewantara a. Wartawan Oetoesan Poesara Sedyotomo, Hindia, Midden Kaoem Java, Moeda, De Express, Tjahaja Timoer dan (Dewantara, 1981: 48); b. Pendiri National Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922 (Dewantara. 1977: 66); c. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama; d. Boedi Oetomo 1908 (Soeratman. 1989 :19); e. Syarekat Islam cabang Bandung 1912; f. Pendiri Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) 25 Desember 1912. B. Peran Ki Hajar Dewantara Ki Hajar Dewantara adalah pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewanatara mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli Ask ik eens Nederlander was, dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913. Artikel itu ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Indonesia, yang saat itu masih belum merdeka untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis (Soeratman. 1989: 43). Pada tanggal 28 November 1959 Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional”, karena pengabdian dan perjuangan beliau bagi bangsa dan negara Indonesia dalm meraih kemerdekaan, dan pada tanggal 16 Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara tanggal 2 Mei sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor : 316 tahun 1959 (Tamansiswa, 1977: XIII). Ki Hajar Dewantara meninggal pada tanggal 26 April 1959 di rumahnya Mujamuju Yogyakarta dan pada tanggal 29April 1959 jenazahnya dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa kemudian diserahkan kepada Majelis Luhur Taman Siswa, dari situ jenazah diberangkatkan ke makam Wijaya Brata Yogyakarta. Dalam upacara pemakaman Ki Hajar Dewantara dipimpin oleh Panglima Kodam Diponegoro Kolonel Soeharto. (Tamansiswa. 1977: 13). 1. Peran Politik Ki Hajar Dewantara a. Ki Hajar Dewantara sebagai Pejuang Bangsa Kurang berhasilnya Ki Hajar Dewantara dalam menempuh pendidikan tidak menjadi hambatan untuk berkarya dan berjuang. Perhatian Ki Hajar Dewantara dalam bidang jurnalistik inilah yang menyebabkan beliau berkenalan dengan Douwes Dekker dan menjadi rekanan dalam mengelola harian De Expres. Melalui De Expres inilah Soewardi Soeryaningrat mengasah ketajaman penanya, mengalirkan pemikirannya yang progesif dan mencerminkan kekentalan semangat kebangsaannya. Tulisan demi tulisan terus mengalir dari pena Soewardi Soeryaningrat dan puncaknya adalah Sirkuler yang mengemparkan pemerintah Belanda yaitu Als Ik Eens Nederlander Was!( Andaikan aku seorang Belanda!), tulisan ini pula yang mengantar Soewardi Soeryaningrat ke pintu penjara pemerintah Kolonial Belanda, untuk kemudian bersama-sama dengan Cipto Mangun Kusumo dan Douwes Dekker di asingkan ke negeri Belanda (Soeratman. 1989 : 41). Tulisan tersebut sebagai reaksi terhadap rencana pemerintah Belanda untuk mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penindasan Perancis yang akan dirayakan pada tanggal 15 November 1913, dengan memungut biaya secara paksa kepada rakyat Indonesia. Setelah tulisan tersebut menyebar, pemerintah Belanda mengamuk, kemudian Belanda memanggil panitia De Expres untuk diperiksa. Dalam suasana seperti itu, Cipto Mangun Kusumo menulis dalam harian De Expres 26 Juli 1913. Untuk menyerang Belanda, yang berjudul Kracht of Vress (Kekuatan atau ketakutan). Selanjutnya Ki Hajar Dewantara kembali menulis dalam harian De Expres tanggal 28 Juli 1913 yang berjudul Een Voor Allen, Maar Ook Allen Voor Een (Satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu) (Soeratman, 1981: 45). Tanggal 30 Juli 1913 Soewardi Soeryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap, seakan-akan keduanya orang yang paling berbahaya di wilayah Hindia Belanda. Setelah diadakan pemeriksaan singkat keduanya secara resmi dikenakan tahanan sementara dalam sel yang tepisah dengan seorang pengawal di depan pintu. Douwes Dekker yang baru datang dari Belanda, menulis pembelaannya terhadap kedua temannya melalui harian De Expres, 5 Agustus 1913 yang berjudul Onze Heiden: Tjipto Mangoenkoesoemo En R.M. Soewardi Soeryaningrat” (Dia pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soeryaningrat). Atas putusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913 Nomor: 2, ketiga orang tersebut dijatuhi hukuman pengasingan. Ki Hajar Dewantara ke Bangka, Cipto Mangunkusuma ke Banda, dan Douwes Dekker ke Timur Kupang. Namun ketiganya menolak dan mengajukan tawaran untuk merubah tempat tujuan pengasingan ke Belanda meski dengan biaya perjalanan sendiri. Dalam perjalanan menuju pengasingan Ki Hajar Dewantara menulis pesan untuk saudara dan kawan seperjuangan Vrijheidsherdenking end yang ditinggalkan Vrijheidsberoowing dengan judul: (Peringatan kemerdekaan perampasan kemerdekaan). Tulisan tersebut dikirim melalui kapal Bullow tanggal 14 September 1913 dari teluk Benggala Moch (Tauhid, 1963: 22). Sewaktu di Belanda Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusuma, dan Douwes Dekker langsung aktif dalam kegiatan politik. Di Denhaag Ki Hajar Dewantara mendirikan Indonesische Persbureau (IPB), yang merupakan badan pemusatan penerangan dan propaganda pergerakan nasional Indonesia (Soeratman. 1989 :45). Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hajar Dewantara tetap aktif dalam berjuang. Oleh partainya Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai sekretaris kemudian sebagai pengurus besar NIP (National Indische Partij) di Semarang. Ki Hajar Dewantara juga menjadi redaktur “De Beweging”, majalah partainya yang berbahasa Belanda, dan “Persatuan Hindia” dalam bahasa Indonesia. Kemudian juga memegang pimpinan harian De Expres yang diterbitkan kembali. Karena ketajaman pembicaraan dan tulisannya yang mengecam kekuasaan Belanda selama di Semarang, Ki Hajar Dewantara dua kali masuk penjara (Tauhid, 1963 : 27). Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari pengasingan di negeri Belanda. Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta (Djumhur, 1974: 169). Bidang pendidikan adalah jalan yang Ki Hajar Dewantara pilih untuk berjuang melawan penjajah kolonial Belanda. Pihak kolonial Belanda juga mengadakan usaha bagaimana cara melemahkan perjuangan gerakan politik yang dipelopori oleh Taman Siswa. Tindakan Kolonial tersebut adalah Onderwijs Ordonantie 1932 (Ordinansi Sekolah Liar) yang dicanangkan oleh Gubernur Jendral tanggal 17 September 1932, pada tanggal 15-16 Oktober 1932 MLPTS mengadakan Sidang Istimewa di Tosari Jawa Timur untuk merundingkan Ordinansi tersebut (Soeratman. 1989 : 118). Menjelang kemerdekaan RI, yakni pada pendudukan Jepang (1942-1945) Ki Hajar Dewantara duduk sebagai anggota “Empat Serangkai” yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Mansur. Pada bulan Maret 1943, Empat Serangakai tersebut mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang bertujuan untuk memusatkan tenaga untuk menyiapkan kemerdekaan RI. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Pada hari minggu pon tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah RI terbentuk dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Disamping itu juga mengangkat Menteri-Menterinya. Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Tamansiswa S, 1989: 111). Pada tahun 1946 Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Ketua Panitia Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran RI, ketua pembantu pembentukan undang-undang pokok pengajaran dan menjadi Mahaguru di Akademi Kepolisian. Tahun 1947, Ki Hajar Dewantara menjadi Dosen Akademi Pertanian. Tanggal 23 Maret 1947, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI dan menjadi anggota Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat (Tamansiswa, 1989: 119). Pada tahun 1948, Ki Hajar Dewantara dipilih sebagai ketua peringatan 40 tahun Peringatan Kebangkitan Nasional, pada kesempatan itu beliau bersama partai-partai mencetuskan pernyataan untuk menghadapi Belanda. Pada peringatan 20 tahun ikrar pemuda (28 Oktober 1948), Ki Hajar Dewantara ditunjuk sebagai ketua pelaksana peringatan Ikrar Pemuda. Setelah pengakuan kedaulatan di negeri Belanda Desember 1949 Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai anggota DPR RIS yang selanjutnya berubah menjadi DPR RI. Pada tahun 1950, Ki Hajar Dewantara mengundurkan diri dari keanggotaan DPR RI dan kembali ke Yogyakarta untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Taman Siswa sampai akhir hayatnya (Soeratman. 1989: 149). b. Ki Hajar Dewantara sebagai Pemimpin Rakyat Ki Hajar Dewantara sebagai pemimpin rakyat tidak diragukan lagi, dalam memimpin rakyatnya Ki Hajar Dewantara menggunakan teori kepemimpinan yang dikenal dengan “Trilogi Kepemimpinan” yang telah berkembang dalam masyarakat. Trilogi kepemimpinan tersebut adalah Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani maksudnyadi depan seorang pemimpin harus dapat menjadi teladan dan contoh bagi anak buahnya, ditengah (dalam masyarakatnya) seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat dan tekad anak buah. Dan dibelakang harus mampu memberikan dorongan dan semangat anak buah. Ki Hajar Dewantara adalah seorang demokrat yang sejati, tidak senang pada kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin yang mengandalkan pada kekuasannya tanpa dilandasi oleh rasa cinta kasih. Dalam hal ini, kita merasakan betapa demokratis dan manusiawinya Ki Hajar Dewantara memperlakukan orang lain. Ki Hajar Dewantara selalu bersikap menghargai dan menghormati orang lain sesuai dengan harkat dan martabatnya. Dengan sikap yang arif beliau menerima segala kekurangan dan kelebihan orang lain, untuk saling mengisi, memberi dan menerima demi sebuah keharmonisan dari lembaga yang dipimpinnya. Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh Ki Hajar Dewantara diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda. Konsep Ki Hajar Dewantara dalam mendidik peserta didik yakni menggunaan teori among metode yang dianggap paling sesuai. Sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah, dan asuh (peduli dan kasih sayang). Pendidikan sistem among bersendikan pada dua hal yaitu, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya, dan kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri (Soeratman. 1989: 7). Sistem among sering dikaitkan dengan asas Ki Hajar Dewantara yang berbunyi : Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Asas ini telah banyak dikenal masyarakat dari pada sistem among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya. Sistem among berasal dari bahasa jawa yaitu momong yang artinya mengasuh anak. Para pendidik baik guru maupun dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Dalam sikap momong, among, dan ngemong terkandung nilai yang sangat mendasar yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan ank berkembang bebas tanpa arah. Metode among memiliki pengertian menjaga, membina dan mendidik dengan kasih sayang. Pendidikan merupakan sarana untuk memperbaharui diri, tanpa pendidikan manusia akan terperangkap hidup pada masa lalu. Jika hingga saat ini pendidikan hanya dimengerti sebagai pengajaran sebagaimana telah terjadi selama ini, maka manusia juga tidak akan pernah berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa lalu yang tidak beruntung. Ki Hajar Dewantara membedakan antara sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan”. Menurut Ki Hajarr Dewantara pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri. Pendidikan dan pengajaran dalam arti yang luas adalah bagaimana memerdekakan manusia sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat). Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup (Tamansiswa. 1977: 16). 2. Peran Sosial Ki Hajar Dewantara a. Ki Hajar Dewantara sebagai Pendidik Dr. Montessori adalah pembongkar dunia pendidikan lama, Montessori menganggap bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa sangat menyuburkan intelektual, tetapi sebaliknya mematikan perasaan dan membalikan jiwa manusia dari yang memiliki rasa menjadi mesin belaka. Dasar pendidikan Montessori adalah kemerdekaan belajar, dan kedisiplinan tidak datang dari hukuman dan hadiah, tetapi dari dalam diri anak-anak itu sendiri karena pekerjaanya (Barnadib, 1983: 140). Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara (Suparlan. 1984 :101), kemudian disebut sebagai “siksaan yang tertahankan”. Sebagai tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara tidak seperti Dr. Montessori atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan (Zannoism, 2015: 3). Kepeloporan Ki Hajar Dewantara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang tetap berpijak pada budaya bangsanya diakui oleh bangsa Indonesia. Perannya dalam mendobrak tatanan pendidikan kolonial yang mendasarkan pada budaya asing untuk diganti dengan sistem pendidikan nasional menempatkan Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional (Navis. 1996 : 76). Sistem pendidikan kolonial yang ada dan berdasarkan pada budaya barat, jelas-jelas tidak sesuai dengan kodrat alam bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara memberikan alternatif lain yaitu kembali ke jalan Nasional Pendidikan untuk rakyat Indonesia harus berdasarkan pada budaya bangsanya sendiri. Sistem pendidikan kolonial yang menggunakan cara paksaan dan ancaman hukuman harus diganti dengan jalan kemerdekaan yang seluasluasnya kepada anak didik dengan tetap memperhatikan tertib damainya hidup bersama (Tamansiswa II. 1994 : 73). Reorientasi perjuangan Ki Hajar Dewantara dari dunia politik ke dunia pendidikan mulai disadari sejak berada dalam pengasingan di negeri Belanda. Ki Hajar Dewantara mulai tertarik pada masalah pendidikan, terutama terhadap aliran yang dikembangkan oleh Maria Montessori dan Robindranat Tagore. Kedua tokoh tersebut merupakan pembongkar dunia pendidikan lama dan pembangunan dunia baru. Selain itu juga tertarik pada ahli pendidikan yang bernama Freidrich Frobel. Frobel adalah seorang pendidik dari Jerman. Ia mendirikan perguruan untuk anak-anak yang bernama Kindergarten (Taman Kanak-kanak). Oleh Frobel diajarkan menyanyi, bermain, dan melaksanakan pekerjaan anak-anak. Bagi Frobel anak yang sehat badan dan jiwanya selalu bergerak. Maka ia menyediakan alat-alat dengan maksud untuk menarik anak-anak kecil bermain dan berfantasi. Berfantasi mengandung arti mendidik angan anak atau mempelajari anak-anak berfikir (Tamansiswa, 1977: 131). Ki Hajar Dewantara juga menaruh perhatian pada metode Montessori yang merupakan sarjana wanita dari Italia, yang mendirikan taman kanak-kanak dengan nama “Case De Bambini”. Dalam teori pendidikannya Montessori mementingkan hidup jasmani anak-anak dan mengarahkannya pada kecerdasan budi. Dasar utama dari pendidikan menurut Montessori adalah adanya kebebasan dan spontanitas untuk mendapatkan kemerdekaan hidup yang seluasluasnya (Barnadib, 1983: 142). Berdasarkan hal tersebut berarti bahwa anak-anak sebenarnya dapat mendidik dirinya sendiri menurut lingkungan masing-masing. Kewajiban pendidik hanya mengarahkan saja, lain pula dengan pendapat Tagore, seorang ahli ilmu jiwa dari India. Pendidikan menurut Tagore adalah semata-mata hanya merupakan alat dan syarat untuk memperkokoh hidup kemanusiaan dalam arti yang sedalam-dalamnya, yaitu menyangkut keagamaan. Manusia harus bebas dan merdeka. Bebas dari ikatan apapun kecuali terikat pada alam serta zaman, dan merdeka untuk mewujudkan suatu ciptaan (Tamansiswa. 1977:133). Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kesejahteraan rakyat tidak hanya dicapai melalui jalan politik, tetapi juga melalui pendidikan. Oleh karenanya timbullah gagasan untuk mendirikan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya. Untuk merealisasikan tujuannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa. Cita-cita perguruan tersebut adalah Saka, saka adalah singkatan dari “Paguyuban Selasa Kliwonan” di Yogyakarta, dibawah pimpinan Ki Ageng Sutatmo Suryokusumo. Paguyuban ini merupakan cikal bakal perguruan taman siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di YogyakartaTamansiswa. 1977: 15). Yakni: mengayu-ayu sarira (membahagiakan diri), mengayu-ayu bangsa (membahagiakan bangsa) dan mengayu-ayu manungsa (membahagiakan manusia). Untuk mewujudkan gagasannya tentang pendidikan yang dicita-citakan tersebut. Ki Hajar Dewantara menggunakan metode Among yaitu Tut wuri Handayani. Among berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cita, dengan memberi kebebasan anak asuh bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut kemampuannya. Tu twuri Handayani berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kebebasan dan keleluasaan bergerak yang dipimpinnya. Tetapi adalah handayani, mempengaruhi dengan daya kekuatannya dengan pengaruh dan wibawanya (Sukiman. 2004: 2). Metode Among merupakan metode pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan dilandasi dua dasar, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan (Anshori, 2008: 76 ). Metode among menempatkan anak didik sebagai subyek dan sebagai obyek sekaligus dalam proses pendidikan. Metode among mengandung pengertian bahwa seorang pamong/guru dalam mendidik harus memiliki rasa cinta kasih terhadap anak didiknya dengan memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan anak didik dan menumbuhkan daya inisiatif serta kreatifitas anak didiknya. Pamong tidak dibenarkan bersifat otoriter terhadap anak didiknya dan bersikap Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani (Sukiman. 2004: 3). b. Ki Hajar Dewantara sebagai Budayawan Teori pendidikan taman siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara sangat memperhatikan dimensi-dimensi kebudayaan serta nilai-nilai yang terkandung dan digali dari masyarakat dilingkungannya. Sebagaimana disampaikan oleh Darsiti Soeratman (1989) bahwa “Trikon” nya Ki Hajar Dewantara adalah: “Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusian sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, disertai sikap selektif adaptif dengan pancasila sebagai tolak ukurnya” (Tamansiswa. 1977 : 206). Selektif adaptif berarti dalam mengambil nilai-nilai tersebut harus memilih yang baik dalam rangka usaha memperkaya kebudayaan sendiri, kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa dengan menggunakan pancasila sebagai tolak ukurnya. Semua nilai budaya asing perlu diamati secara selektif, manakala ada unsur kebudayaan yang bisa memperindah, memperhalus, dan meningkatkan kualitas kehidupan hendaknya diambil, tetapi jika unsur budaya asing tersebut berpengaruh sebaliknya, sebaiknya ditolak. Cara seseorang berpikir dilatar belakangi oleh adanya kenyataan mereka hidup dalam suatu lingkungan budaya setempat (Budiningsih. 2004: 18). Nilai kebudayaan yang sudah kita terima kemudian perlu disesuaikan dengan kondisi dan psikologi rakyat kita, agar masuknya unsur kebudayaan asing tersebut dapat menjadi penyambung bagi kebudayaan nasional. Demikian luas dan intensnya Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan dan mengembangkan kebudayaan bangsanya, sehingga karena jasanya itu, M Sarjito Rektor Universitas Gajah Mada menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa (DR-Hc) dalam ilmu kebudayaan kepada Ki Hajar Dewantara pada saat Dies Natalis yang ketujuh tanggal 19 Desember 1956 (Tamansiswa, 1989: 76), pengukuhan tersebut disaksikan langsung oleh Presiden Soekarno. C. Karya-karya Ki Hajar Dewantara 1. Taman Siswa Karya pertama Ki Hajar Dewantara yang diwariskan sampai sekarang adalah Taman Siswa yang menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini.Taman siswa sebuah lembaga pendidikan nasional yang dididirikan oleh Ki Hajar Dewantara atau Soewardi Soeryaningrat di Yogyakarta pada tanggal 3 Juni 1922. Taman Siswa bukan suatu badan perkumpulan yang terdiri dari anggota-anggota, dan bukan milik pribadi. Taman Siswa adalah satu badan perguruan yang sudah diatur dengan kepentingan dan keperluan rakyat, yang diserahkan kepada rakyat umum. Guru-gurunya adalah orang-orang anak bangsa kita sendiri, yang dengan rela dan keikhlasan hatinya bersedia dan menyerahkan diri untuk keperluan rakyat dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Dengan prinsip yang sedemikian rupa, maka Taman Siswa sudah dapat berkembang dan tersebar diseluruh Indonesia. Lembaga yang berdiri dengan nama National Onderwijs Istituut Taman Siswa ini dikenal sebagai perguruan nasional yang bertujuan mengganti sistem pendidikan dan pengajaran terdahulu yang dipakai pada masa penjajahan Belanda dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Ketika dibuang ke Belanda pada tahun 1913 oleh pemerintah jajahan, Soewardi Soeryaningrat mulai mengenal dan mempelajari pendidikan modern Dr. Maria Montessori dan Jan Lichthart, tokoh pendidikan modern Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, sebelum mendirikan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara menjadi guru di sekolah swasta milik kakaknya, R.M. Soejopranoto dan kemudian mendirikan taman kanak-kanak “Taman Indrya” serta sebuah khursus guru (Surjomihardjo. 1986: 147). Lembaga pendidikan Taman Siswa kemudian berkembang menjadi dua bagian, yakni Taman Muda (sekolah dasar 6 tahun) dan Taman Dewasa atau Mulo Kweekschool yang merangkap taman guru. Meskipun pendidikan tingkat Taman Dewasa mendapat tentangan dari pemerintah jajahan, banyak lulusannya yang berhasil meneruskan pendidikan ke AMS (Algemene Middlebare School). Pada saat Jepang masuk ke Indonesia, tahun 1942, Taman Siswa telah mempunyai cabang 199 tempat yang tersebar di seluruh Pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ternate, dan Maluku. Pada saat itu jumlah pengajarnya mencapai 650 orang (Soeratman. 1989: 145). Cita-cita pendidikan Taman Siswa, yang dikenal sebagai Pancadharma, adalah memberikan kebebasan kepada anak didik dalam perkembangannya tanpa perintah atau paksaan pendidik; mengembangkan jasmani dan rohani ke peradaban dan kebudayaan; mengusahakan pengaruh yang baik bagi kodrat alam anak; mengembangkan rasa kebangsaan dan hidup berbangsa; menumbuhkan dan memupukdasar-dasar perikemanusiaan yang merupakan sifat kebangsaan (Surjomihardjo. 1986: 10). Semboyan pendidikan Taman Siswa adalah Tut Wuri Handayani, ungkapan bahsa Jawa yang berarti mengikuti dari belakang dan memberi kekuatan. Untuk menanamkan rasa kekeluargaan antara guru dan murid , perguruan Taman Siswa mengubah sebutan guru yang pada jaman penjajahan adalah meneer dan juffrouw menjadi bapak dan ibu. Perrguruan ini memiliki Majelis Luhur, yang pada awal berdirinya dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara, yang juga disebut Bapak Taman Siswa. Pada tahun 1990 Taman Siswa bekerja sama dengan yayasan milik ABRI mendirikan sekolah calon pemimpin bangsa di Magelang yang disebut Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna Nusantara (Ensiklopedi Nasional Indonesia. 2004: 52). Dengan mendirikan sekolah Taman Siswa yang pertama, maka pada masa itu berarti Suwardi Suryaningrat mengesampingkan pendekatan politik. Ki Hajar Dewantara dapat mewujudkan keinginan bangsanya, karena usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan sesuai dan merupakan bagian penting pergerakan kemerdekaan Indonesia dan dianggap merupakan dasar perjuangan meninggikan derajat rakyat. Banyak perkumpulan dan partai-partai memasukan hal itu dalam programnya. Sejarah Taman Siswa adalah sejarah kebangsaan Indonesia. Kelahirannya pada tanggal 3 Juli 1922 dinilai oleh seorang penulis asing tentang Indonesia sebagai titik balik dalam pergerakan Indonesia. Karena kaum revolusioner yang mencoba semboyan-semboyan asing dan menggerakan rakyat ajaran-ajaran Marxis dengan terpaksa memberikan tempat untuk gerakan baru, yang benar-benar berasas kebangsaan dan bersikap non kooperatif dengan pemerintah jajahan, seperti tercermin dalam pernyataan Asas Taman Siswa. Pernyataan Asas Taman Siswa tahun 1922 itu berisi 7 pasal yang dapat diringkas sebagai berikut : a. Pasal 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran, maka hal itu merupaan usaha mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan mencapai tertib-damainya hidup bersama. Di dalam pasal 1 juga terdapat dasar kodrat alam, yang diterangkan perlunya, agar kemajuan sejati dapat diperoleh dengan perkembangan kodrat, yang terkenal sebagai evolusi. Dasar ini mewujudkan sistem among, yang salah satu seginya adalah mewajibkan guru-guru untuk berperan sebagai “pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi” dengan memberi kesempatan kepada anak-anak didik untuk mewujudkan diri sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan Tut Wuri Handayani. Di samping itu guru diharapkan dapat membangkitkan pikiran murid, bila berada di tengah-tengah mereka dan memberi contoh bila di depan murid. b. Pasal 3 menyinggung kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi dan politik. Kecenderungan bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan kebarat-baratan akan menimbulkan berbagai kekacauan. Sistem pengajaran yang timbul dianggap terlampau mementingkan kecerdasan pikiran, yang melanggar dasar-dasar kodrati yang terdapat dalam kebudayaan sendiri sehingga tidak menjamin keserasian dan dapat memberi kepuasan. Inilah yang disebut dasar kebudayaan. c. Pasal 4 mengandung dasar kerakyatan. Pernyataan “Tidak ada engajaran bagaimanapun tingginya, dapat berguna, apabila hanya diberikan kepada sebagian kecil orang dalam pergaulan hidup. Daerah pengajaran harus diperluas”, menjadi dasar pelaksanaan dan wajib belajar bagi segenap mereka yang sudah waktunya mendapat pengajaran. d. Pasal 5 merupakan asas yang sangat penting bagi semua orang yang ingin mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya. Pokok dari asas ini adalah percaya kepada kekuatan diri sendiri untuk tumbuh dan berkembang. e. Pasal 6 berisi persyaratan dalam mengejar kemerdekaan diri dengan jalan keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha. f. Pasal 7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir batin bagi guru untuk mendekati anak didiknya (Surjomihardjo. 1986: 37). Pernyataan asas berisi tujuh pasal itu disebut oleh Dr. Gunning sebagai “manifest yang penting”. Salah seorang pemimpin Taman Siswa, Sarmidi Mangunsarkoro menyebutkan pernyataan asas itu sebagai “lanjutan cita-cita Ki Hajar Dewantara dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Gerombolan Selasa Kliwon, sebagai anak rohani gerakan politik kiri dan gerakan kebatinan yang menganjurkan kebebasan”. Selama delapan tahun sejak berdirinya Taman Siswa, Suwardi Suryaningrat dan pembantu-pembantunya bekerja secara diamdiam. Dalam arti tidak melayani kritik-kritik dari masyarakat kita sendiri maupun dari pihak Belanda, yang bernada meremehkan usaha pendidikan itu. Namun secara teratur gagasan dan usaha pendidikan yang hidup itu dijelaskan melalui majalah pendidikan umum yang diterbitkan, yaitu Wasita. Banyak sekolah yang telah berdiri terlebih dulu kemudian menyerahkan sekolahnya kepada Taman Siswa, seperti sekolah Budi Utomo di Jatibaru Jakarta, dan Sekolah Rakyat di Bandung. Menjelang kongresnya yang pertama, maka penerbitan resmi pemerintah Hindia Belanda mencatat pada tahun 1930, bahwa di Jawa terdapat pusat-pusat kegiatan pemeliharaan kesejahteraan penduduk yang diusahakan oleh bangsa sendiri. Disebutnya ada tiga pusat kegiatan, yaitu yang diusahakan oleh Muhammadiyah, Indonesische Studieclub Surabaya dan Taman Siswa. Mengenai Taman Siswa penerbitan pemerintah Hindia Belanda itu menguraikan antara lain sebagai berikut: Pertama, semula didirikan pada tahun 1922 di Yogyakarta, sekarang ini perguruan Taman Siswa meliputi 40 cabang, tiga diantaranya di Sumatra Timur dan empat di Kareridenan Kalimantan Selatan dan Timur dengan jumlah murid 5.140 orang. Ibu Pawiyatan di Yogyakarta terdiri dari sebuah MULO dengan 238, sekolah rendah dengan 362 murid dan Schakelschool dengan 97 murid. Sejak tahun 1925, pada waktu sekolah rendah untuk pertama kali meluluskan muridnya, rata-rata 70 persen dari mereka telah lulus ujian pegawai negeri rendah dan ujian masuk MULO atau sekolah teknik. Banyak diantaranya yang melanjutkan pelajaran ke MULO-Kweekschool, yang didirikan pada tahun 1924. Kedua, lulusan MULO pada tahun 1928, dari lima diantara sembilan, dan pada tahun 1929, enam diantara 14 telah lulus ujian masuk AMS atau rata-rata berarti 45 persen, sedangkan 24 lulusan Taman Guru (MULO ditambah satu tahun teori dan satu tahun pendidikan praktek) sekarang semuanya bekerja sebagai guru pada Taman Siswa atau lembaga pendidikan partikelir lainnya. Pada tahun 1929 yang mendaftarkan diri sebagai murid MULO begitu besar sehingga banyak yang ditolak. Para ahli telah memberikan penilaian yang baik terhadap Taman Siswa di Yogyakarta (Tamansiswa. 1977 : 506). 2. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang dibukukan Tulisan-tulisan yang diwariskan Ki Hajar Dewantara kemudian dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Yogyakarta diantaranya ; a. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan pada tahun 1977: tentang Pendidikan Buku ini khusus membicarakan gagasan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan di antaranya tentang hal ihwal Pendidikan Nasional. Tri Pusat Pendidikan, Pendidikan Kanak-Kanak, Pendidikan Sistem Pondok, Adab dan Etika, Pendidikan dan Kesusilaan. b. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Kedua Kebudayaan pada tahun 1994: tentang Kebudayaan Dalam buku ini memuat tulisan-tulisan mengenai kebudayaan dan kesenian di antaranya: Asosiasi Antara Barat dan Timur, Pembangunan Kebudayaan Nasional, Perkembangan Kebudayaan di Jaman Merdeka, Kebudayaan nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Kesenian Daerah dalam Persatuan Indonesia, Islam dan Kebudayaan, Ajaran Pancasila dan lain-lain. c. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Ketiga: tentang Politik dan Kemasyarakatan. Dalam buku ini memuat tulisan-tulisan mengenai politik antara tahun 1913-1922 yang menggegerkan dunia imperialis Belanda, dan tulisan-tulisan mengenai wanita, pemuda dan perjuangannya. d. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Keempat: tentang Riwayat dan Perjuangan Hidup Penulis: Ki Hajar Dewantara Dalam buku ini melukiskan kisah kehidupan dan perjuangan hidup perintis dan pahlawan kemerdekaan Ki Hajar Dewantara. Karya Ki Hajar Dewantara masih banyak yang diterbitkan setelah beliau wafat. Ada beberapa tulisan beliau yang begitu terkenal, diantaranya tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling fenomenal adalah berupa sistem pendidikan yang dicetuskan oleh beliau, yang berbunyi: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Sistem Among menuntut kesabaran dalam penerapannya bagi pengajar, nampak dalam teori ini Ki Hajar Dewantara berusaha memberikan gambaran ideal tentang peran manusia dalam segala waktu. Dalam konsep among ini manusia ideal adalah orang yang dapat menempatkan diri (menyesuaikan diri) sedang berada pada peran yang bagaimanakah dia. Apakah di depan, di tengah atau di belakang. Dan dalam setiap kondisi di depan, di tengah maupun di belakang itu orang ideal ini harus dapat memberikan peran yang berarti bagi orang lain di sekitarnya. Ki Hajar Dewantara memang telah membuktikan sebagai figur yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi insan pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia. Baru-baru ini salah satu buku karya Ki Hajar Dewantara dijadikan referensi oleh Finlandia, yang membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan miris di Indonesia buku itu tidak terbaca sehingga diambil dan dipraktekan oleh negara lain. Salah satu topik yang diangkat dalam buku tersebut adalah tentang kondisi belajar yang menyenangkan. Pemerintah Finlandia telah mengikuti pandangan Ki Hajar Dewantara dengan mengubah sistem belajar dan situasi di sekolah menjadi lebih nyaman dan menggembirakan, berbeda dengan sekolah dan instansi pendidikan di Indonesia yang murid-muridnya lebih banyak merasa stress saat belajar. “Di sana disebutkan taman, bukan yang lain. Kita harus dorong agar murid-murid kita bisa merasa seperti di taman, dan mereka harus bisa merasa ketagihan belajar”, kata Anies Baswedan (Belamirnus. 2014: 1). Ungkapan tut wuri handayani dijadikan logo pendidikan di Indonesia, sehingga masyarakat umum tidak asing dengan istilah tersebut yang artinya dari secara lengkap adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik atau guru harus dapat memberi teladan atau contoh tindakan baik). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita, terutama di sekolah-sekolah Taman Siswa. Sisi lain jiwa kepahlawanan Ki Hajar juga sulit ditandingi oleh tokoh pendidikan lainnya, banyak teori yang dihasilkan oleh Ki Hajar Dewantara ini diciptakan beliau pada jaman penjajahan atau jaman perjuangan. Pertanyaanya adalah apakah konteks perjuangan yang dikemukakan beliau pada jaman dahulu tetap relevan dengan jaman sekarang. Sebab perjuangan pada jaman dulu diartikan sebagai perang melawan penjajah. Sedang dalam konteks sekarang perjuangan lebih merupakan berjuang untuk mencapai prestasi.Untuk ukuran jaman yang semakin maju ini banyak nilai-nilai tradisional yang memerlukan pembaharuan pada penerapannya. Banyak aspek dalam nilai tradisional yang kurang terbuka terhadap inovasi (pembaharuan) yang sedang berkembang. Hal ini apabila dibiarkan jelas sangat mempengaruhi daya kreativitas masyarakat kita. 3. Karya dan peninggalan Ki Hajar Dewantara lainnya a. Tahun 1912 mendirikan Surat Kabar Harian De Ekspres (Bandung), Harian Sedya Tama (Yogyakarta) Midden Java (Yogyakarta), KaumMuda (Bandung), Utusan Hindia (Surabaya), Cahya Timur (Malang) ( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989: 330), b. Mendirikan monumen Nasional “Taman Siswa” pada tanggal 3 Juli 1922( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989 : 331), c. Tahun 1913 mendirikan Komite Bumi Putra bersama Cipto Mangunkusumo, untuk memprotes rencana perayaan 100 tahun. d. Mendirikan IP (Indice Partij) tanggal 16 September 1912 bersama Dauwes Dekker dan Cjipto Mangunkusumo ( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, 1989 : 330), e. Tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan pemerintah sebagai perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia, f. Tanggal 19 Desember 1956 mendapat gelar kehormatan Honoris Causa dalam ilmu kebudayaan dari Universitas Negeri Gajah Mada, g. Tanggal 17 Agustus dianugerahi oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI bintang maha putera tinggat I. BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN A. Hakikat Pendidikan Karakter Pendidikan adalah salah satu hal yang paling dibutuhkan oleh manusia, oleh karena itu tidak heran jika banyak orang yang berbondong-bondong mengenyam pendidikan mulai dari yang formal sampai yang informal. Pendidikan berasal dari kata “didik” , lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, yang memiliki arti memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991: 232). Istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam kontes pendidikan pada akhir abad ke-18 yang dicetuskan oleh FW. Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan, yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Karakter merupan rintisan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter akan membentuk motivasi, yang dibentuk dengan metode dan proses bermartabat, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan mengungkapkan secara implinsit hal-hal yang tersembunyi. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Karakter berasal dari kata character yang berarti watak, karakter atau sifat (Echols, 1996: 107), dalam kamus besar bahasa Indonesia ‘karater’ diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budu pekerti. Karakter juga dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akhibat dari keputusannya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengarahkan peserta didik pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai-nilai keluhuran (Zuchdi. 2011: 27). Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah yang terkandung dalam UU di atas bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berarakter. Sehingga akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas vdan berkarakter kuat juga pernah ditegaskan oleh Martin Luther King, “Kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya” (Asmani, 2012:29). Pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Pendidikan arakter sebaiknya dimulai dari dalam keluarga karena anak mulai berinteraksi dengan orang lain pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga.penerapan pendidikan karakter sebaiknya sejak usia kanak-kana atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai golden age karena usia ini terbukti sangat menentuan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Berdasarkan makna moral, budi pekerti, etika dan akhlak menjadi bagian tak terpisahkan dengan karakter, tetapi masing – masing memiliki sumber dan maknanya sendiri. Adanya persamaan dan perbedaan dalam konsep antara moral, budi pekerti, etika, akhlak dan karakter. 1. Moral Moral berasal dari bahasa latin yakni ‘mores’, kata jamak dari ‘mos’ yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Ajaran moral adalah ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup dan berbuat agar menjadi manusia yang baik. Moral merupakan sistem nilai atau konsensus sosial tentang motivasi, perilaku dan perbuatan tertentu dinilai baik atau buruk (Budiningsih, 2004: 24). Moral sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia yang baik dan yang wajar. Istilah moral senantiasa mengacu kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Intinya, objek dari moral adalah perbuatan manusia dengan ukuran baik buruk, bertujuan membentuk karakter manusia. 2. Budi Pekerti Secara etimologis budi pekerti dapat dimaknai sebagai penampilan diri yang berbudi. Budi berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran, pekerti berarti kelakuan. Secara operasional, budi pekerti dapat dimaknai sebagai prilaku yang tercermin dalam kata, perbuatan, pikiran, sikap dan perasaan, keinginan dan hasil karya. Dalam hal ini budi pekerti diartikan sebagai sikap atau prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga maupun masyarakat bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jadi diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas dan kesinambungan masa depan dalam suatu system nilai moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ki Hajar Dewantara menerapkan untuk menyokong perkembangan hidup anak-anak, menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum, seperti mengajarkan anak bagaimana duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak dan orang lain, suka menolong dan lain sebagainya. (Nata, 2005: 67). 3. Etika Secara etimologis kata ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata ‘ethos’ yang berarti adat atau kebiasaan baik yang tetap. Etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu atau ilmu tentang kajian formal tentang moralitas. Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang (Fakhry, 1995: 15). Intinya, etika juga merupakan objek prilaku manusia dengan ukuran baik dan buruk persepsi manusia dengan tujuan membentuk karakter manusia. 4. Akhlak Secara etimologis akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitive) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan. Sesuai dengan bentuk tsulatsi mazid wazan af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai) at-thabi’ah (kelakuan, tabiat atau watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik) dan al-dien (agama). Secara terminologis akhlak ialah suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Selanjutnya Hamzah Ya’qub (2008) mengurai kata akhlak dari segi persesuaiannya. Misalnya dengan kata khalqun yang berarti kejadian yang erat hubungannya dengan khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan). Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan ada hubungan baik antara kholiq dan makhluq. Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam QS Al-Qolam: Berangkat dari definisi akhlak diatas, maka akhlak terbagi menjadi dua bagian. Pertama adalah akhlak yang baik yang dinamakan akhlaq al- mahmudah (akhlak terpuji) atau biasa dikenal dengan akhlaq al-karimah (akhlak yang mulia). Kedua disebut akhlak mamdudah (Pangarsa, 1980: 33). Memperhatikan definisi diatas maka dapat disimpulkan persamaan dan perbedaan antara moral, budi pekerti, etika dan akhlak, sebagai berikut ; NILAI Moral SUMBER UKURAN Persepsi Manusia Baik dan Buruk Persepsi Manusia Perilaku Baik TUJUAN Budi Pekerti Etika Persepsi Manusia Baik dan buruk Membentuk Menurut Adat dan menurut adat dan karakter Kebiasaan kebiasaan Al-Qur’an dan as- Baik dan buruk Sunnah/ Wahyu menurut Allah Akhlak Persamaan dan perbedaan antara akhlak, moral dan karakater sebagai berikut; a. Sumber Acuan; 1) Moral bersumber dari norma atau adat istiadat 2) Akhlak bersumber dari wahyu 3) Karakter bersumber dari penyadaran dan kepribadian b. Sifat Pemikiran; 1) Moral bersifat empiris 2) Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal 3) Karakter merupakan perpaduan antara akal, kesadaran dan kepribadian c. Proses Munculnya Perbuatan; 1) Moral muncul karena pertimbangan suasana 2) Akhlak muncul secara spontan tanpa pertimbangan 3) Karakter merupakan proses dan bisa mengalami perubahan. B. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Karakter 1. Pengertian pendidikan karakter Pendidikan dalam konteks sekarang kurang relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara Indonesia. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Sistem pendidikan Indonesia masih jauh dari kata berhasil untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang cerdas ilmu dan perilaku, dibuktikan dengan banyak munculnya kasus-kasus korupsi dalam pemerintahan, kejahatan seksual yang merajalela, narkoba yang terus memakan korban dsb. Berdasarkan realita tersebut perlu adanya perombakan sistem pendidikan agar dapat menghasilkan generasi yang cerdas akal dan budi pekertinya. Pendidikan karakter menjadi wacana yang telah lama dibicarakan oleh berbagai pihak dalam kaitannya dengan generasi Indonesia seperti, apa yang hendak dihasilkan untuk menggantikan generasi sebelumnya. Wacana pendidikan karakter telah ada pula sebelum kemerdekaan atau sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Diantaranya adalah tokoh pendidikan nasional yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui bidang pendidikan, yang merupakan bapak pendidikan Nasional yaitu Ki Hajar Deawantara. Sepak terjang Ki Hajar Dewantara di dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi, peranan Ki Hajar Dewantara sangat besar dalam sejaran pendidikan tanah air. Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah: “Menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” (Tamansiswa, 1977 : 20). Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pengertian pendidikan adalah: ”Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya”( Tamansiswa, 1977: 14). Definisi pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara, menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan moral sebagai suatu proses yang dinamis dan berkesinambungan. Disini tersirat pula wawasan kemajuan, karena sebagai proses pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntunan kemajuan zaman. Keseimbangan unsur cipta, rasa dan karsa yang tidak dapat dipisah-pisahkan ini memperlihatkan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memandang pendidikan hanya sebagai proses penulasan atau transfer ilmu pengetahuan transfer of knowladge. Hal ini sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan pada masa itu (kolonial Belanda) penuh dengan semangat keduniawian (materialism), penalaran (intellektualism) serta individualism (Tamansiswa, 1977: 139). Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan ranak kognitif, afektif dan psikomotorik. Muara ranah kognitif adalah tumbuh dan berkembangnya kecerdasan dan kemampuan intelektual akademik, ranah afektif bermuara pada terbentuknya karakter kepribadian, dan ranah psikomotorik akan bermuara pada keterampilan dan perilaku. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa terdapat tiga aspek dalam pembelajaran yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pengetahuan adalah bentuk dari prinsip dan fakta, keterampilan adalah pemerolehan kemampuan melalui pelatihan atau pengalaman. Sikap didefinisikan sebagai suatu pendapat, perasaan atau mental seseorang yang ditunjukkan oleh tindakan. Pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti baik itu kekuatan batin dan karakter agar anak didik dapat menemukan kesempurnaan hidup. Ki Hajar Dewantara memandang pentingnya pendidikan karakter sebagai bekal untuk meraih cita-cita, karena karakter manusia menjadi modal utama dalam menjalani kehidupan. Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan adalah sebagai daya dan upaya yang dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak peserta didik dapat selaras dengan dunianya (Tamansiswa. 1967:15). Pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasinilai (transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembentukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia. Sedangkan karakter dalam istilah sederhananya adalah pendidikan budi pekerti, kata karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Ki Hajar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter, mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24). Karakter adalah pola untuk membentuk peserta didik yang beradab, membangun watak manusia yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan memiliki ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, sehingga bisa mewujudkan manusia yang mandiri serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa, negara dan masyarakat pada umumnya. 2. Konsep pendidikan karakter Mengangkat pemikiran seorang tokoh besar seperti Ki Hajar Dewantara tanpa terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan kondisi sosioal dan politik masa hidupnya yang mengiringi pertumbuhan pemikirannya, tentunya akan memberikan dampak yang kurang baik, karena pada dasarnya Ki Hajar Dewantara merupakan produk sejarah masa lampau. Oleh karena itu situasi dan kondisi yang berkembang ikut menentukan perkembangan dan corak pemikiran Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara terlahir dari keluarga kerajaan Paku Alam merupakan keturunan bangsawan, lahir di Yogyakarta pada hari kamis legi tanggal 2 Puasa 1818 atau 2 Mei 1889 dengan nama R.M. Suwardi Suryaningrat. Ayah Ki Hajar Dewantara bernama Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat , putra dari Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III ( Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4. 1989: 330). Ki Hajar Dewantara merupakan keturunan dari Paku Alam III, dan mendapat pendidikan agama dari ayahnya dengan berpegang pada ajaran yang berbunyi “syariat tanpa hakikat adalah kosong, hakikat tanpa syariat adalah batal” (Soeratman, 1985: 16). Beliau juga mendapat pelajaran falsafah Hindu yang tersirat dari cerita wayang dan juga satra jawa gending. Ki Hajar Dewantara di dalam keluarganya banyak bersentuhan dengan iklim keluarga yang penuh dengan nuansa kerajaan yang feodal. Walaupun ayahnya seorang keturunan dari paku alam III, Ki Hajar Dewantara seorang yang sangat dekat dengan rakyat, karena pada masa kecilnya Ki Hajar Dewantara senang bergaul dengan anak-anak kebanyakan di kampung-kampung sekitar puri tempat tinggalnya. Ki Hajar Dewantara menolak adat feodal yang berkembang di lingkungan kerajaan. Hal ini dirasakan olehnya bahwa adat yang demikian menganggu kebebasan pergaulannya (Tamansiswa, 1979: 15). Pada masa itu pendidikan sangatlah langka, hanya orang-orang dari kalangan Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah saja yang dapat mengenyam jenjang pendidikan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda. Ki Hajar Dewantara sewaktu kecil mendapat pendidikan formal pertama kali pada tahun 1896, akan tetapi Ki Hajar Dewantara merasa kecewa karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama sebab mereka hanya rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan memberikan kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik dalam dunia politik sampai dengan pendidikan. Ki Hajar Dewantara juga menentang kolonialisme dan foedalisme yang menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan kemerdekaan dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan merata (Soeratman, 1985: 19). Kecintaan Ki Hajar Dewantara terhadap ilmu pengetahuan dan agama membuatnya menjadi sosok yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang sangat luas, sehingga membuat beliau dihormati oleh rakyat dan disegani oleh musuh. Ki Hajar Dewantara melihat ketimpangan pendidikan yang dialamai oleh rakyat kecil, sehingga mendorong Ki Hajar Dewantara untuk berusaha memperjuangkan rakyat kecil agar dapat mengenyam pendidikan, karena bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan hak setiap manusia dan juga bekal bagi masa depan. a. Tujuan pendidikan karakter Tujuan pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya (Suparlan. 1984: 109). Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan yaitu suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran budaya manusia. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu ; 1) Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain, 2) Konvergensi yaitu berarti kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masing-masing, 3) Konsentris yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri, meskipun bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan negara Indonesia dengan negara yang lainnya (Tamansiswa. 1977: 206). b. Dasar pendidikan Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara bukan semata-mata sistem pendidikan perjuangan, melainkan juga merupakan suatu pernyataan falsafah dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Sistem pendidikan tersebut kaya akan konsep-konsep kependidikan yang asli. Ki Hajar Dewantara mengembangkan sistem pendidikan melalui Perguruan Taman Siswa yang mengartikan pendidikan sebagai upaya suatu bangsa untuk memelihara dan mengembangkan benih turunan bangsa itu. Untuk itu, Ki Hajar Dewantara mengembangkan metode among sebagai sistem pendidikan yang didasarkan asas kemerdekaan dan kodrat alam. Ki Hajar Dewantara mengartikan merdeka sebagai kesanggupan dan kemampuan untuk berdiri sendiri guna mewujudkan hidup diri sendiri, hidup tertib dan damai dengan kekuasaan atas diri sendiri. Merdeka tidak hanya berarti bebas tetapi harus diartikan sebagai kesanggupan dan kemampuan yaitu kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah diri pribadi (Tamansiswa, 1977: 20). Sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa, yang meliputi: 1) Asas kemerdekaan,yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, 2) Asas kodrat alam,yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makluk, adalah satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat lepas dari kodrat alam dan akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang dengan sewajarnya (Suparlan. 1984 :105), 3) Asas kebudayaan,yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan dunia dan kepentingan hidup lahir dan batin rakyat pada setiap zaman dan keadaan, 4) Asas kebangsaan,yang berarti tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malah harus menjadi bentuk kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu asas kebangsaan ini tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain melainkanmengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa, 5) Asas kemanusiaan,yang menyatakan bahwa darma setiap manusia itu adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makluk ciptaan Tuhan seluruhnya (Surjomihardjo.1986: 88). c. Pokok ajaran Pokok ajaran Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan yang cocok untuk anak-anak Indonesia adalah Pendidikan Nasional. Untuk menyelengarakan pendidikan nasional beliau mendirikan Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa yang kemudian dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa bertujuan untuk membuat rakyat pandai, sebab Ki Hajar Dewantara berkeyakinan bahwa perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu Ki Hajar Dewantara mengemukakan konsepnya mengenai Pendidikan Nasional yang direalisasi mulai tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta dengan tugas-tugasnya. Pertama, untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka. Kedua, membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang pada waktu itu sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, sedangkan sekolah yang disediakan oleh pemerintah Belanda sangat terbatas. Ki Hajar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang merupakan sistem pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada budaya Barat. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. Jadi dapat diartikan bahwa pendidikan terutama berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia sekitar 24 tahun. 1) Ing ngarsa sung tulada Berarti guru sebagai pemimpin (pendidik) berdiri di depan dan harus Semboyan Ki Hajar Dewantara yang tidak kalah penting adalah konsep dasar pendidikan karakter yang sekaligus diterima sebagai prinsip kepemimpinan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi: mampu memberi teladan kepada anak didiknya. Guru harus bisa menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan. Dalam pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah, guru harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya itubaik dan benar. Q.S Al-Ahzab: 21 ; سنَةٌ ِل َمن َكانَ يَ ْر ُجوا هللاَ َو ْاليَ ْو َم اَْأ َ ِِ َر ُ لَّقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِي َر َ سو ِل هللاِ أُس َْوة ٌ َح }12{ يرا ً َِوذَ َك َر هللاَ َكث 21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Swt dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Berdasarkan surat di atas dapat disimpulkan bahwa nabi Muhammad Saw merupakan suri teladan bagi seluruh umat manusia, baik sebagai pemimpin keluarga, pemimpin umat maupun pendidik. 2) Ing madya mangun karsa Berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa dan berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan bila guru menggunakan metode diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah guru dapat memberi masukan-masukan dan arahan, 3) Tut wuri handayani Yang berarti bahwa seorang pemimpin (pendidik) beradadi belakang, mengikuti dan mengarahkan anak didik agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Ketika guru berada di tengahmembangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat terjadi anak didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan kemampuannya yang terbaik (Soeratman. 1989 : 98). Ki Hajar menyetujui teori Konvergensi, dimana perkembangan manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yang baru lahir diibaratkan keertas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi belum jelas”. Selanjutnya Ki Hajar juga berpendapat bahwa perkembangan anak didik mulai dari lahir hingga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai berikut: (1) Jaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang amat penting bagi perkembangan badan dan pandca indra. (2) Jaman Wicipta (8-16 th) merupakan masa perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran anak, dan (3) Jaman wirama (16-24 th) masa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan citacita hidupnya (Tamansiswa. 1977:76) d. Metode pendidikan Metode pendidikan yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah sistem among, dalam sistem among pendidik atau guru hanya bertugas untuk menuntun anak didiknya. Mendidik anak berdasarkan pada asih, asah dan asuh, yang bersendikan pada kemerdekaan anak didiknya sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Maksud dari manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Selain merdeka yaitu kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya. Metode Among sering dikaitkan dengan semboyan yang berbunyi: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani. Semboyan ini telah banyak dikenal oleh masyarakat dari pada metode among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya. Metode among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau pendidik disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang.S ikap Momong, Among, dan Ngemong, didalamnya terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan anak berkembang bebas tanpa arah. Metode among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. e. Materi pendidikan Pendidikan karakter membutuhkan proses atau tahapan yang sistematis dan sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Pembangunan karakter tidak cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan misi, akan tetapi perlu dilanjutkan dengan proses yang dilakukan secara terus-menerus sepanjang hidup. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Karakter tidak terbatas hanya pada pengetahuan saja, seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan yang diketahuinya, jika tidak terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik yaitu, moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action (perbuatan moral) (Asmani. 2011:86). Moral knowing terkait dengan kesadaran moral, pengetahuan mengenai nilai-nilai moral, moral feeling merupakan aspek yang harus ditanamkan terkait dengan dorongan atau sumber energi dalam diri manusia untuk bertindak sesuai nilai-nilai prinsip-prinsip moral, dan moral action bagaimana pengetahuan nilai-nilai moral tersebut diwujudkan dalam aksi nyata. Pendidikan karakter yang baik tidak hanya melibatkan aspek moral knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Dengan kata lain, semakin lengkap komponen moral manusia akan semakin membentuk karakter yang baik dan unggul. Ki Hajar Dewantara menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa. Tahap-tahap pendidikan karakter memang harus dilakukan secara sistematis dan tidak boleh meloncat karena berpengaruh terhadapap hasilnya. Ki Hajar Dewantara menyatakan dalam pelaksanaan pendidikan karakter haruslah sesuai dengan tingkatan umur para peserta didik. Hal ini dikarenakan seorang pendidik harus memahami tentang kondisi psikis dari peserta didik dengan tujuan bahwa ketika materi pendidikan karakter disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh. Sehingga Ki Hajar Dewantara membagi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter, adapun materi pendidikan karakter tersebut adalah sebagai berikut: 1) Taman Indria dan Taman Anak (5-8 tahun) Pada tingkatan ini materi atau isi pendidikan karakter (budi pekerti) berupa pengajaran pembiasaan yang bersifat global dan spontan. Artinya materi yang disampaikan bukan teori yangberhubungan dengan kebaikan dan keburukan melainkan bagaiamana peserta didik dapat mengetahui kebaikan dan keburukan melalui tingkah laku dari peserta didik itu sendiri. Materi pengajaran karakter bagi anak yang masih di sekolah ini berupa, latihan mengarah pada kebaikan yang memenuhi syarat bebas yaitu sesuai kodrat hidup anak. Materi ini dapat dilaksanakan melaui peran pendidik dalam membimbing, membina dan mengoreksi tingkahlaku dari masing-masing peserta didiknya. Sebagai contoh dalam pengajaran karakter tersebut, yaitu berupa anjuran atau perintah antara lain: ayo, duduk yang baik; jangan ramai-ramai; dengarkan suaraku; bersihkan tempatku; jangan mengganggu temanmu, dan sebagainya, yang terpenting dalam penyampaiannya harus diberikan secara tiba-tiba pada saat-saat yang diperlukan. 2) Taman Muda (umur 9-12 tahun) Konsep Ki Hajar Dewantara pada anak-anak usia 9-12 tahun sudah masuk pada periode hakikat, yakni anak-anak sudah dapat mengetahui tentang hal baik dan buruk. Sehingga pengajaran karakter (budi pekerti) dapat di ajarkan melalui pemberian pengertian tentang segala tingkah-laku kebaikan dalam hidupnya sehari-hari. Didalam penyampainnya masih menggunakan metode occasional yaitu melalui pembiasaan dan divariasikan dengan metode hakikat dalam artian setiap anjuran atau perintah perlu di jelaskan mengenai maksud dan tujuan pendidikan karakter, yang pokok tujuannnya adalah mencapai rasa damai dalam hidup batinya, baik yang yang mengenai hidup dirinya sendiri maupun hidup masyarakatnya. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran ini berdasarkan konsep Ki Hajar Dewantara bahwa anak-anak dalam periode hakikat masih juga perlu melakukan pembiasaan seperti dalam periode syariat (Ki Hajar Dewantara dalam Ar-Rozi. Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Konsep Budi Pekerti). 3) Taman Dewasa (umur 14-16 tahun) Periode ini merupakan awal dimulainya materi yang lebih berat karena pada periode inilah anak-anak disamping meneruskan pencarian pengertian, mulai melatih diri terhadap segala laku yang sukar dan berat dengan niat yang disengaja. Pada periode ini juga, anak telah masuk pada periode “tarekat” yang dapat di wujudkan melalui kegiatan sosial, seperti pengumpulan uang, pakaian, pemberantasan buta makanan, bacaan-bacaan huruf, dan sebagainya untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin atau orang-orang korban bencana alam dan sebagainya. Dan ketika pendidikan ini dilaksanakan di lingkungan perguruan muda (sekolah menengah atas) maka dapat dilaksanakan melalui pendidikan kesenian dan olahraga. Dan inti dari pengajaran pendidikan pada periode ini adalah semua laku (tidakan) yang disengaja yang memerlukan kekuatan kehendak (usaha) dan kekuatan tenaga (aplikasi). 4) Taman Madya dan Taman Guru (umur 17-20) Taman madya yaitu tempat pendidikan bagi anak-anak yang sudah benarbenar dewasa, pada periode inilah anak-anak telah memasuki periode ma’rifat yang artinya mereka telah dalam tingatan pemahaman. Yaitu biasa melakukan kebaikan, menginsyafi (menyadari) apa yang menjadi maksud dan tujuan.68 Pengajaran tentang karakter yang harus diberikan pada periode ini adalah berupa ilmu atau pengetahuan yang agak mendalam dan halus. Yaitu materi yang berkaitan dengan ethik dan hukum kesusilaan. Jadi bukan hanya berkenaan dengan kesusilaan saja melainkan juga tentang dasar-dasar kebangsaan, kemanusiaan, keagamaan, kebudayaan, adat istiadat dan sebagainya. Melihat dari materi pendidikan karakter di atas dapat kita dipahami bahwa Ki Hajar Dewantara menghendaki bahwa dalam penyampaian pendidikan karakter haruslah disesuaikan dengan umur si peserta didik. Tahapan tersebut disesuaikan dengan tingkatan psikologis metode yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara (Tamansiswa. 1977: 76). C. Pemikiran Para Ahli tentang Pendidikan Karakter 1. Pengertian pendidikan karakter menurut para tokoh Para ahli menyatakan beberapa pengertian yang mengupas tentang makna pendidikan diantaranya John Dewey mengartikan pendidikan sebagai salah satu proses pembaharuan makna pengalaman. Sedangkan H. Horne mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses yang terjadi secara terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional, dan kemanusiaan dari manusia. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus baik itu formal maupun informal berdasarkan pengalaman individu untuk meningkatkan kemampuannya baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Definisi pendidikan menurut para ahli : a. John Dewey mendefinisikan pendidikan sebagai tempat diberikannya pekerjaan pada anak yang membentuk watak manusia, dan semboyannya adalah saling tolong menolong (Barnadib, 1983: 153); b. Megawangi (2004: 95) mengartikan pendidikan karakter sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya; c. Gaffar (2010: 1) mendefinisikan pendidian karakter sebagai proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuh kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu; d. Dr. Maria Montessori menjadikan kemerdekaan belajar sebagai dasar pendidikan, dan kedisiplinan tidak datang dari hukuman dan hadiah, tetapi dari dalam diri anak-anak itu sendiri karena pekerjaanya. Montessori membuat sekolah Case dei Bambini yang artinya rumah anak kecil, montessori menghendaki kemerdekaan anak karena kemerdekaan dianggapnya hak tiaptiap makhluk, kemerdekaan berarti sanggup membuat sesuatu sendirian tanpa pertolongan orang lain (Barnadib, 1983: 140). e. Amin (1980: 62) mengemukakan bahwa kehendak (niat) merupakan awal terjadinya akhlaq (karakter) pada diri seseorang jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku; f. Lickona secara sederhana mendefinisikan pendidikan karakter sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti; g. Damayanti (2014:11) pendidikan karakter adalah gerakan nasional menciptakan sekolah yang membina etika, bertanggung jawab dan merawat orang-orang muda dengan pemodelan dan mengajarkan karakter baik melalui penekanan pada universal, nilai-nilai yang diyanini masyarakat. Pendidikan karakter juga merupakan pendidikan budi pekerti plus yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan dan tindakan; h. Kertajaya (2010) mendefinisikan karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu; i. Gross dalam tulisannya menyatakan pendidikan nilai sebagai pendidikan sosial bertujuan untuk mempersiapkan seseorang menjadi warga negara yang baik dan berkemampuan sosial yang tinggi. Pendidikan nilai memiliki peran penting dalam pembentukan bangsa yang memiliki kebudayaan tinggi, baik berharkat martabat mulia maupun berperilaku mulia. Pendidikan nilai cenderung disamakan dengan pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak, pendidikan religius, pendidikan moral atau pendidikan karakter. Pelaksanaan pendidikan karakter adalah sebagai upaya untuk mempromosikan dan menginternalisasi nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif kepada masyarakat agar menjadi warga bangsa yang percaya diri,tahan uji dan bermoral tinggi, demokratis dan bertanggung jawab serta dapat bertahan; j. Gulo, 1982:29) menyatakan karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap; 2. Konsep pendidikan karakter menurut para tokoh a. Tujuan pendidikan karakter Tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratisserta bertanggung jawab (Suwarno. 2006: 32). Tujuan pendidikan nasional di atas terdapat unsur pendidikan karakter di dalamnya, seperti religius, berakhlak mulia, kreatif serta bertanggung jawab, jadi pendidikan karakter memiliki kontribusi yang penting dalam mencerdaskan generasi muda seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah mendasarkan diri pada tanggapan aktif konseptual individu atas impuls natural (rangsangan alami) dari lingkungan sosial yang diterimanya, yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri secara terus-menerus (Asmani, 2011: 43). Pendidikan karakter juga bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian penbentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi kelulusan. Melalui pendidikan karakter, diharapkan peserta didik mampu secara pengetahuannya, mandiri mengkaji meningkatkan dan dan menggunakan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud perilaku, tradisi dan kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar. Hakikatnya tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bertahan hidup dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya. Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3 berbunyi : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuam untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa seharusnya memberikan pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus berdampak pada watak manusia/ bangsa Indonesia. “Mengembangkan kemampuan” dapat dipahami bahwa pendidikan nasional menganut aliran konstruktivisme, yang mempercayai bahwa peserta didik adalah manusia yang potensial daan dapat dikembangkan secara optimal melalui proses pendidikan. Artinya peserta didik memiliki potensi yang luar biasa dan perlu di fasilitasi melalui proses pendidikan untuk mengembangkan potensinya. Namun kemampuan yang harus dikembangkan masih belum tersirat secara jelas, apakah kemampuan watak yang perlu dikembangkan dalam pendidikan atau kemampuan akademik, kemampuan sosial, kemampuan religi masih belum secara jelas dapat dipahami dari pernyataan UU Sisdiknas di atas (Dharma, 2011: 7). Kemampuan pendidikan karakter yang harus dikembangkan melalui lembaga sekolah adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang berke-Tuhan-an (tunduk patuh pada konsep ketuhana\n) dan mengemban amanah sebagai pemimpin di dunia. Kemampuan yang perlu dikembangkan pada peserta didik adalah kemampuan mengabdi kepada Tuhan yang menciptakannya, kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk hidup secara harmoni dengan manusia dan makhluk lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana kemakmuran dan kesejahteraan bersama. b. Dasar pendidikan karakter Dasar pendidikan nasional Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) tercantum bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Suwarno. 2006: 31). Sedangkan pendidikan Islam menyimpulkan bahwa menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dari pendidikan, dan mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan (Abrasyi. 1993 : 2) c. Prinsip pendidikan karater Pendidikan karakter melibatkan berbagai macam komposisi nilai (agama, moral, umum dan kewarganegaraan pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan, perasaan, dan tindakan (Thomas Lickona). Tanpa ketiga aspek di atas maka pendidikan karater tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan kecerdasan emosi seseorang akan dapat menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil di bidang akademis. Lickona menyebutkan bahwa karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan ( Asmani. 2011: 89). Prinsip-prinsip pendidikan Karakter ; 1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter, 2) Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku, 3) Menggunakan pendekatan tajam, proaktif, dan efektif untuk membangun karakter, 4) Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian, 5) Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang baik, 6) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik, 7) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter, 8) Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik (Asmani. 2011: 56). d. Metode pendidikan karakter Metode pendidikan karakter di sekolah lebih cenderung dengan penanaman nilai, agar dapat dikatakan berhasil pendidikan karakter harus dapat menentukan metode yang akan digunakan sehingga tujuan pendidikan karakter semakin terarah dan efektif. Pendidikan karakter agar dapat terlak sana secara utuh perlu dipertimbangkan berbagai macam metode yang membantu mencapai tujuan pendidikan karakter, diantaranya yaitu ; 1) Pengajaran Untuk dapat melakukan yang baik, yang adil, yang bernilai, pertama-tama perlu diketahui dengan pasti apa itu kebaikan, keadilan dan nilai. Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoritis tentang konsep nilai-nilai tertentu, kadang kala terjadi bahwa ada orang yang secara konsep tidak mengetahui apa itu berperilaku baik, namun mampu mempraktikan kebaikan dalam hidup mereka tanpa disadarinya. Untuk itulah salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai keluhuran secara teoritis dan juga memberikan contoh-contohnya dalam kehidupan nyata, sehingga anak didik memiliki gagasan konsep tentang nilai yang dapat diembangkan pribadinya. Cara lain untuk mempertajam pemahaman tentang nilai-nilai adalah dengan cara mengundang pembicara tamu dalam sebuah seminar, diskusi, publikasi dll untuk secara khusus membahas nilainilai utama dalam kerangka pendidikan karakter. 2) Keteladanan Anak lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat, untuk itulah pendidikan karakter sesungguhnya lebih merupakan tuntunan terutama bagi kalangan pendidikan sendiri. Keteladanan merupakan salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan karakter, pendidik atau guru yang dalam bahasa jawa berarti digugu lan ditiru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak hijau”, dan guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak hitam” , karena guru merupakan keteladanan yang dijadikan bagi anak didiknya (Kusuma, 2011: 212). Sekian banyak metode membangun dan menanamkan karakter, keteladanan adalah yang paling kuat, karena keteladanan memberikan gambaran secara nyata bagaimana seseorang harus bertindak. Keteladanan berarti kesediaan setiap orang untuk menjadi contoh yang sesungguhnya dari sebuah perilaku (Saleh. 2012 : 12). Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan Ibnu Sina menyatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak (Nata. 2000 :75 ). 3) Menentukan Prioritas Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas karakter yang ingin diterapkan di lingkungan sekolah. Pendidikan menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikaan harus menentukan tuntutan standar atas karakter yang akan ditawarkan kepada peserta didik sebagai bagian dari kinerja kelembagaan (Asmani, 2011: 68) 4) Repeat Power Repeat power adalah salah satu cara untuk mencapai sukses dengan menanamkan sebuah pesan positif pada diri sendiri secara terus-menerus tentang apa yang ingin diraih. Yaitu dengan mengucapkan seara berulang-ulang sifat atau nilai positif yang inin dibangun, metode ini dapat pula disebut dengan metode dzikir karakter (Saleh. 2012: 15). 5) Refleksi Karakter yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Sebab sebagaimana dikatakan Socrates, “hidup yang tidak direfleksikan merupakan hidup yang tidak layak dihayati”. Tanpa ada usaha untuk melihat kembali sejauh mana proses pendidikan karakter ini direfleksikan dan dievaluasi, tidak akan pernah mendapat kemajuan, refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusia. Dengan kemampuan sadar ini manusia mampu menguasai diri, seperti dalam tulisan Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan adalah mampu mengantarkan manusia untuk menguasai dirinya sendiri (Asmani, 2011: 70). e. Materi pendidikan karakter menurut para tokoh Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis menyatakan, karakter bangsa Indonesia yaitu meremehan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak berdisiplin, mengabaikan tanggung jawab, lemah kreativitas, etos kerja buruk dan tak punya malu. Sedangkan Winarno Surakhmad dan Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan, karakter asli bangsa Indonesia adalah nrimo, penindas, koruptif, dan tak logis (Surakhmad. 2012: 4). Kementrian Pendidikan Nasional telah merumusan 18 nilai karakter yang akan ditanamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa. Berikut uraiannya : No 1. Nilai Karakter Religius Uraian Sikap yang perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Religius adalah proses mengikat kembali atau bisa dikatakan dengan tradisi, sistem yang (kepercayaan) mengatur dan tata keimanan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agam, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya 4. Disiplin Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan 5. Kerja keras Perilaku yang menunjukan upaya sungguhsungguh hambatan dalam belajar mengatasi dan berbagai tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas 8. Demokratis Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain 9. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar 10 . Semangat Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan Kebangsaan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya 11 . Cinta tanah air Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa 12 . Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya prestasi untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain 13 . Bersahabat/ Tindakan yang memperlihatkan rasa senang komunikatif berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain 14 . Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya, diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara 15 . Gemar membaca Kebiasaan membaca menyediakan berbagai waktu bacaan memberikan kebajikan bagi dirinya untuk yang 16 . Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi 17 . Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan 18 . Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untu melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap dirinya maupun orang lain dan lingkungan sekitarnya. (Listyarti. 2012 :5-6) C . Pendidikan Karakter dalam UU SISDIKNAS no. 20 Tahun 2003 Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan, pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan. Selama ini pendidikan informal (terutama dalam lingkungan keluarga) belum memberikan kontribusi yang berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya ruang berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri. Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, semestinya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan. Definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, telah memiliki rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yakni: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Berdasarkan definisi di atas, penulis menemukan 3 (tiga) pokok pikiran utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: 1. Usaha sadar dan terencana, Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual), oleh karena itu, di setiap jenjang pendidikan manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan, baik dalam tataran nasional, kabupaten kota, institusional/sekolah maupun regional/provinsi dan operasional (proses pembelajaran oleh guru). Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas), pada dasarnya setiap kegiatan pembelajaran pun harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007. Menurut Permediknas ini bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar (Rahma. 2010: 7) 2. Suasana belajar kondusif Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya. Pada pokok pikiran yang kedua ini saya melihat adanya pengerucutan istilah pendidikan menjadi pembelajaran, jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan). Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pokok pikiran kedua ini, dapat ditangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak pengembangan dan humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap potensi didik. Selain itu, dapat dilihat ada dua kegiatan utama dalam pendidikan yaitu, mewujudkan suasana belajar, dan mewujudkan proses pembelajaran. 3. Pendidikan karakter Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuannya yaitu menbentuk peserta didik berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial, artinya pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yang mencari keseimbangan tersebut. Dalam konsep Ki Hajar diantara ketiga dimensi Dewantara dikenal dengan keseimbangan cipta, rasa dan karsa. Pendidikan karakter mulai gencar dibicarakan lagi sejak pergantian kurikulum 2013, dengan melihat pokok pikiran yang ketiga dari definisi pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru. Selanjutnya tujuantujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan di bawahnya dan dioperasionalkan melalui tujuan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Tercapainya tujuan – tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa dalam definisi pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya tidak hanya sekedar menggambarkan apa pendidikan itu, tetapi memiliki makna dan implikasi yang luas tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan. BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN KARAKTER KI HAJAR DEWANTARA DENGAN TOKOH PENDIDIKAN A. Analisi Data 1. Pengertian pendidikan karakter Definisi pendidikan karakter cukup beragam sesuai dengan versi dan sudut pandang keilmuan tertentu, pendidikan merupakan proses untuk mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih manju (Listyarti, 2012: 2). Sedangkan karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar anak-anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Ki Hajar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter, mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24). Pendidikan karakter merupakan perpaduan antara kecerdasan ilmu dan kecerdasan berperilaku (akhlak), dimana di dalamnya terdapat unsur yang penting yaitu nilai moral yang mengatur hubungan antara individu dengan Sang Pencipta, individu dengan sesama manusia dan lingkungan. Akhlak Akhlak berasal dari Bahasa Arab yakni bentuk jamak dari kata khulk yang berarti budi pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat (Nata, 2001: 3). Pendidikan karakter dalam perspektif Ki Hajar Dewantara adalah daya dan upaya yang dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anakanak peserta didik dapat selaras dengan dunianya. Keseimbangan cipta, rasa dan karsa juga menjadi salah satu indikasi tujuan pendidikan, yang merupakan penerapan dari pembelajaran aktif. Berdasarkan pengertian pendidikan karakter yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara dan beberapa tokoh seperti John Dewey, Montessori, Megawangi, Lickona, Ghaffar, Kertajaya, Amin, Damayanti maka peneliti dapar melihat ada beberapa konsep kesamaan diantara tokoh-tokoh tersebut. Konsep tersebut adalah pendidikan berangkat dari sebuah proses, hal tersebut dapat peneliti pahami dari pengertian yang diajukan oleh para tokoh melalui kalimat pola untuk membentuk, proses pembaharuan,dan proses yang terjadi secara terus menerus. Selain itu pendidikan merupakan suatu upaya pembentukan watak tidak hanya menghasilkan teori tapi juga dapat dipraktikan dalam kehidupan nyata, dan tidak hanya berorientasi pada nilai bagus, serta bertujuan untuk menghasilkan anak didik yang dapat berperilaku mencerminkan nilai karakter yang terpuji. 2. Konsep Pemikiran tentang Pendidikan Karakter Berdasarkan uraian pembahasan konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara dan para ahli pada bab III diatas dapat ditarik benang merah bahwa ; a. Tujuan pendidikan Pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya dan sifatnya itu kontinuitas, konvergensi dan konsentris (Suparlan. 1984 : 109). Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuam untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa tujuan pendidikan nasional merupakan pengembangan dari konsep Ki Hajar yang mengusung keluhuran budi sebagai hasil dari pendidikan. b. Dasar pendidikan karakter Agama Islam meninggikan derajat orang yang menuntut ilmu, seperti dalam firman Allah Swt. Q. S. Al-Mujadillah: 11 ; ِ َّ ََْيَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا إِذَا قِي َل لَ ُك ْم ت َ ْْ َس ُحوا ي َ س ُحوا فِي ْال َم َجا ِل ِس فَا ْف ِ س ُ ش ُزوا فَان ُ هللاُ لَ ُك ْم َوإِذَا قِي َل ان ش ُزوا يَ ْرفَ ِع هللاُ الَّذِينَ َءا َمنُوا ِمن ُك ْم َوالَّذِينَ أُوتُوا ٍ ْال ِع ْل َم دَ َر َجا }22{ ُُ ير ُ ت َوهللاُ ِب َما تَعْ َمل ُونَ َِ ِب Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Ayat di atas menjelaskan keutamaan menuntut ilmu bagi orang muslim, karena ilmu merupakan salah satu amal yang akan dibawa manusia hingga mati. Maka sebagai orang yang beriman hendaklah berlomba-lomba dalam menuntut ilmu agar dapat bermanfaat di dunia dan akhirat. Pada masa penjajahan Ki Hajar Dewantara menganggap bahwa pendidikan kolonial tidak dapat memberikan peri kehidupan bersama, sehingga membuat rakyat Indonesia selalu bergantung pada penjajah. Pendidikan nasional yang dimaksudkan Ki Hajar Dewantara adalah suatu sistem pendidikan baru yang berdasarkan kebudayaan sendiri dan mengutamakan kepentingan masyarakat (Djumur, 1974: 174). Dasar pendidikan yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah pancadharma, yaitu kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Trikon Ki Hajar Dewantara dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan pendidikan. Dalam pengembangan pendidikan harus berkelanjutan dari budaya sendiri dan terus-menerus menuju ke asah kemajuan (kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dan ciri khas budaya sendiri dalam lingkungan kemanusian sedunia (konsentrisitas). Penjabaran dari konsep tersebut antara lain yaitu terdapat dalam pancasila yang dijadikan dasar negara, selain itu juga tertulis dalam pembukaan UUD 1945, yang mana menerangkan pentingnya mencerdaskan generasi bangsa dan menghasilkan generasi yang cerdas secara ilmu dan perilaku. c. Prinsip pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara berkeyakinan bahwa perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian, karena pengetahuan merupakan kunci untuk meraih keberhasilan. Prinsip Ki Hajar Dewantara dalam mencerdaskan rakyat adalah pertama, keseimbangan antara cipta, rasa dan karsa, kedua mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka. Ketiga, melibatkan tripusat pendidikan untuk menghasilkan generasi yang cerdas secara ilmu dan akhlaknya. Ki Hajar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang merupakan sistem pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada budaya Barat. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. pendidikan tidak hanya dilakukan di sekolah, tapi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, dalam kegiatan formal maupun non formal, karena pengalaman merupakan guru terbaik dalam hidup. Pendidikan karakter memiliki prinsip mengidentifikasi karakter secara komprehensif agar mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku, yang merupakan implikasi dari cipta, rasa dan karsa Ki Hajar Dewantara. Menciptakan lingkungan pendidikan yang memiliki kepedulian yang melibatkan tripusan pendidikan, kareba lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan lingkungan hidup anak (Asmani, 2011: 56). d. Metode pendidikan karakter Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan (sekolah), dan masyarakat. berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural pendidikan karakter dapat dikelompokan sebagai berikut ; pertama, olah hati, olah pikir, olah rasa/karsa, dan olah raga. Sesuai dengan penyataan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan itu merupakan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa. Kedua, beriman dan bertaqwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, dan rela berkorban. Ki Hajar Dewantara mengungkapan dalam tulisannya bahwa pendidikan itu akan menuntun manusia menuju kemajuan tetapi tidak melupakan Yang Maha Pencipta. Ketiga, ramah, toleran, saling menghargai, peduli, suka menolong, gotong royong, mengutamakan kepentingan umum, kerja keras, dan beretos kerja. Pusat pendidikan bukan hanya ada di sekolah dan di dalam keluarga tetapi juga di dalam masyarakat, dimana anak akan belajar tentang lingkungan sekitarnya dan beradaptasi. Ki Hajar Dewantara dalam Trisentra pendidikannya yaitu, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (Listyarti, 2012: 8). Metode pendidikan karakter yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara adalah metode among, dimana pendidik hanya berperan sebagai pembimbing yang mengarahkananak didiknya dan menjadi fasilitator belajar bagi muridnya. Sedangkan peserta didik dijadikan pusat pembelajaran karena siswa diminta untuk mencari sendiri apa yang akan dipelajari, dan guru hanya membantu memberi arahan. Dalam pendidikan sekarang lebih dikenal dengan pembelajaran aktif, dimana pembelajara dilakukan oleh siswa, materi berasal dari siswa dengan bimbingan guru, dan untuk siswa. Pendidik juga berperan dalam memberi dorongan atau motivasi pada anak agar lebih rajin dalam melaksanakan tugas, dan yang paling penting harus dapat dijadikan teladan bagi anak didiknya. Ahli menyatakan bahwa pendidik atau guru yang dalam bahasa jawa berarti digugu lan ditiru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak hijau”, dan guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak hitam”, karena guru merupakan keteladanan yang dijadikan bagi anak didiknya. e. Materi pendidikan karater Pendidik harus memahami tentang kondisi psikis dari peserta didik dengan tujuan bahwa ketika materi pendidikan karakter disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh. Ki Hajar Dewantara menyatakan dalam pelaksanaan pendidikan karakter haruslah sesuai dengan tingkatan umur para peserta didik, agar tujuan pendidikan dapat tercapai yaitu terbentuknya generasi muda yang cerdas intelektual dan budi pekertinya. Ki Hajar Dewantara membagi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter, yaitu taman indria/ anak, taman muda, taman dewasa, taman madya dan taman guru. Dalam konteks kekinian direalisasikan dalam pendidikan sekarang yaitu Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi. Masing-masing jenjang memiliki konsep yang hampir sama, yang membedakan hanya unsur pendalaman materi, semisal di Taman Kanak-kanak peserta didik telah dikenalkan pada perilaku mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa (religius), dengan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran. Di perguruan tinggi juga terdapat nilai religius tetapi konteksnya lebih mendalam seperti tasawuf, maksudnya sama yaitu mendekatkan diri pada Allah Swt tetapi lebih mendalam pemahamannya. Berdasarkan uraian di atas secara garis dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya keterikatan yang erat antara konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara dan para tokoh pendidikan. Sebelum pendidikan karakter booming pada tahun 2013 dalam kurikulum 2013, Ki Hajar Dewantara telah melangkah dengan konsep pendidikan karakter yang mengusung antara keseimbangan kecerdasan ilmu dan akhlak peserta didik sehingga dapat menghasilkan generasi yang cerdas dan memiliki budi pekerti yang baik serta karakter yang religius, berani, tegas dan berpendirian teguh 3. Relevansi Pendidikan Karakter KHD dalam Pembentukan Karakter Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan yaitu ; “Menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” (Tamansiswa, 1977 : 20). ”Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya”( Tamansiswa, 1977: 14). Berdasarkan uraian diatas pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya dan sifatnya itu kontinuitas, konvergensi dan konsentris (Suparlan. 1984 : 109). Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuam untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa tujuan pendidikan nasional merupakan pengembangan dari konsep Ki Hajar yang mengusung keluhuran budi sebagai hasil dari pendidikan. Dalam konsep Ki Hajar Dewantara yang menjadi pokok utama dalam pembentukan karakter adalah budi pekerti dan akhlak, dimana peserta didik menerapkan dari apa yang telah diterima dari lingkungan keluarga, sekolah dan juga masyarakat. Bukan hanya secara teori melainkan pada penerapannya dan juga prosesnya. Pembentukan karakter pada anak harus dimulai dari lingkungan keluarga yang mana merupakan lingkungan pertama, karena dalam keluarga anak mendapat pendidikan. Sebagian besar dari kehidupan anak adalah dalam lingkungan keluarga, sehingga pendidikan paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga. Selanjutnya dalam lingkungan sekolah seorang pendidik atau guru yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut dengan pamong berperan cukup penting dalam pembentukan karakter anak, karena kedudukan pendidik adalah sebagai teladan bagi anak didiknya, sehingga guru yang memiliki karakter baik tentu anak didiknya akan berperilaku baik, karena anak mencontoh dari apa yang mereka lihat. Semboyan Ki Hajar Dewantara ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani, mengungkapkan pentingnya peran pendidik dalam proses pembentukan karakter, karena anak didik berada dalam usia yang labil sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal yang ada disekitarnya. Jadi sebagai seorang pendidik yang pasti harus dapat memberikan dan dijadikan teladan dan panutan bagi anak didiknya. Selain itu juga harus dapat memotivasi anak didiknya, memberikan dorongan baik secara moral ataupun material. Dan yang tidak kalah penting pendidik juga harus dapat bergaul dengan baik bersama anak didiknya, jangan sampai terdapat sekat antara pendidik dan anak didiknya sehingga tidak terjalin komunikasi yang baik. Konsep tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara juga memiliki kontribusi yang tinggi dalam pembentukan karakter anak, karena melalui pusat-pusat pendidikan inilah anak dapat memperoleh pembelajaran baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang berupa pengalaman. Dan konsep tripusat pendidikan ini masih relevan diterapkan pada masa kini, terbukti dari lingkungan keluarga memiliki peran sebagai peletak dasar pendidikan akhlak dan pandangan agama, seddangkan sekolah merupakan pendamping yang berjalan beriringan dengan pendidikan keluarga sedangkan masyarakat merupakan pelengkap bagi pendidikan keluarga dan sekolah. B. Implikasi Pendidikan Karakter KHD terhadap Pendidikan Nasional 1. Pendidikan karakter dalam pembentukan moral anak bangsa Pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak mengingat degradasi moral yang dialami generasi penerus bangsa ini. Pendidikan karakter diharapkan mampu membangitkan kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun fondasi kebangsaan yang kokoh. Dalam dunia pembelajaran untuk menghadapi berbagai tantanfan yang muncl seiring perkembangan zaman, UNESCO memberikan resep berupa empat pilar belajar yaitu, belajar untuk mengetahui learning to know, belajar untuk bekerja learning to do, belajar untuk hidup berdampingan learning to live together, dan belajar untuk menjadi manusia seutuhnya learning to be (Suyono, 2011: 29). Hasil penelitian banyak yang membuktikan bahwa karakter dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Di antaranya, hasil penelitian di Harvard University, USA, yang menyatakan bahwa ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi oleh kemampuan mengolah diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung oleh kemampuan soft skill daripada hardskill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan (Asmani. 2011: 48 ). Ki Hajar Dewantara mengungkapkan dalam tulisannya perlunya menguasai diri atau mengelola diri (zelfbeheersching) yang disebutkan sebagai tujuan pendidikan. Karakter akan timbul dari bersatunya gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan yang lalu menimbulkan tenaga. Dengan adanya karakter tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka, yang dapat menguasai diri sendiri, inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya (Tamansiswa. 1977: 25). Berdasarkan penyataan di atas dapat ditarik benang merah bahwa penguasaan diri adalah sesuatu yang penting dalam suatu proses pendidikan. Secara garis besar pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan adalah ; a. Pendidikan merupakan suatu proses Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya berorientasi pada nilai akan tetapi pada proses pembelajaran tersebut. Anak didik tidak hanya paham teori tetapi dapat mempraktikan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupan nyata yaitu dalam bersikap dan berperilau kesehariannya. Sehingga mengajarkan kepada anak dalam belajar tidak hanya untuk mendapat nilai yang bagus tetapi juga harus paham dan dapat menerapkan apa yang telah dipelajari serta mengamalkannya. b. Tripusat pendidikan Mencerdaskan generasi penerus bangsa bukan hanya merupakan tugas dari lembaga pendidikan atau sekolah, melainkan tugas bersama antara lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama mendapatkan pendidikan. Lingkungan keluarga yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Lingkungan sekolah adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan sekolah berperan penting sebagai pendamping dari pendidikan dalam keluarga. Lingkungan keluarga dan sekolah tidak dapat terlepas dari tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat dimana keluarga dan sekolah itu berada, hal tersebut menunjukan pentingnya pendidikan masyarakat sebagai pelengkap pendidikan anak dalam keluarga dan sekolah. c. Sistem among sebagai metode pembelajaran Kata among berasal dari bahasa jawa yang berarti menjaga anak kecil dengan penuh kecintaan, maksudnya memimpin atau memajukan anak-anak dengan menjaga jangan sampai mendesak pikiran, perasaan dan kemauan anak didik. Meskipun anak diberi kebebasan, tetapi tidak berarti menurut sekehendak hatinya. Sistem among mendidik anak dengan jiwa kekeluargaan. Tanggung jawab pendidikan bukan hanya milik lingkungan sekolah tetapi lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat juga berperan penting di dalamnya. Pertama, keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik. Kedua, tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaankebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik, memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah, dan sebagainya. Ketiga, masyarakat merupakan lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. d. Trikon sebagai dasar pengembangan pendidikan Proses pembelajaran dalam pendidikan senantiasa mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut mengarah pada penyempurnaan pendidikan untuk menghasilkan generasi yang bermutu tinggi. Ki Hajar Dewantara menyatakan perkembangan pendidikan dalam trikon yang berbunyi; “Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusian sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, disertai sikap selektif adaptif dengan pancasila sebagai tolak ukurnya” (Tamansiswa. 1977 : 206). Dalam perkembangannya pendidikan itu berkelanjutan dari yang terdahulu sampai sekarang berlanjut, menyempurnakan yang budaya terdahulu, dan menuju ke arah persatuan budaya dunia serta tidak ada unsur individual dalam pendidikan dan harus berjalan beriringan. Selain itu yang tidak penting adalah tidak boleh melupakan budaya sendiri dalam artian menjaga keaslian budaya sendiri dalam proses pendidikan. 2. Penanaman pendidikan karakter di sekolah Pengembangan pendidikan karakter adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara (Asmani, 2011: 86). Pendidikan karakter tidak hanya melibatkan aspek moral knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Ki Hajar Dewantara menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa serta membaginya menjadi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter, adapun materi pendidikan karakter tersebut yaitu ; a. Taman indria dan taman anak usia 5-8 tahun Tahap penanaman adab. Adab atau tata krama bisa dilihat dari cara seseorang dalam bertutur sapa, berinteraksi, bersikap, dan bersosialisasi. Pada tahap ini paling penting untuk menanamkan pendidikan keimanan, kejujuran, serta menghormati orang lain baik yang lebih tua ataupun muda. Diajarkan pula pada anak didik tentang pentingnya proses, baik dalam belajar maupun mendapatkan sesuatu, sehingga tidak mendidik anak untuk menjadi anak yang manja (Asmani, 2011: 90). Pendidikan agama pada tahap ini sangat menentukan pertumbuhannya di masa depan. Pendidikan agama bisa menjadi fondasi yang akan menyaring segala hal yang baru serta menjadi pijakan dalam menentukan pilihan dan membangun peradaban. b. Taman muda usia 9-12 tahun Tahap penanaman kepedulian, kepedulian berarti empati kepada orang lain yang diwujudkan dalam bentuk memberikan pertolongan sesuai dengan kemampuan. Anak diajarkan untuk menolong temannya yang terkena musibah, misalnya menjenguk teman yang sakit. Kepedulian ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan, serta menjauhkan diri dari sikap sombong, egois, dan individual. Kepeduliaan akan menumbuhkan rasa kemanusiaan, kesetiakawanan, dan kebersamaan. Epeduliaan yang ditanamkan sejak kecil akan menjadi fondasi kokoh dalam melahirkan kemampuan kolaborasi dan kooperasi. Solokhin Abu Azzuddin menyatakan, empati merupakan kemampuan dalam memahami, melayani, dan mengembangkan orang lain, serta mengatasi keragaman dankesadaran politis. Empati bukan sekedar simpati, tetapi menuntut aksi, bukan hanya belas kasihan dan juga butuh bukti (Asmani, 2011: 92). c. Taman dewasa usia 14-16 tahun Tahap penanaman kemandirian, sikap mandiri merupakan pola pikir dan sikap yang lahir dari semangat yang tinggi dalam memandang diri sendiri. Beberapa nilai dalam kemandirian antara lain tidak menggantung pada orang lain, percaya kepada kemampuan sendiri, tidak merepotkan dan merugikan orang lain, berusaha mencukupi kebutuhan sendiri dengan semangat bekerja dan mengembangkan diri. Nilai kemandirian di dalamnya terdapat nilai kehormatan dan harga diri yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apapun, sebab apabila harga diri dan kehormatan seseorang tidak ada maka tamat sudah. Menumbuhkan kemandirian dalam diri anak didik bisa dilakukan dengan melatih anak bekerja dan menghargai waktu. Membangun kemandirian berarti menanaman visi dalam diri anak, dalam kemandirian terdapat nilai-nilai agung yang menjadi pangkal kesuksesan seseorang seperti kegigihan dalam berproses, semangat tinggi, kreatif, inovatif, dan produktif, serta keberanian dalam menghadapi tantangan, optimis dan mampu memecahkan masalah (Asmani, 2011: 93). d. Taman madya dan taman guru usia 17-20 tahun Tahap penanaman pentinganya bermasyarakat, bermasyarakat adalah simbol kesediaan seseorang untuk bersosialisasi dan bersinergi dengan orang lain. Bermasyarakat berarti meluangkan sebagian waktu untuk kepentingan orang lain, bermasyarakat identik dengan bercengkerama, bergaul dan gotong royong. Dalam konteks pendidikan karakter, pola hidup bermasyarakat membutuhkan banyak tips sukses, salah satunya anak harus diajari bergaul dan berteman dengan anakanak yang mempunyai karakter baik, seperti disiplin, menghargai waktu, kreatif, moralis, dan mencintai pengetahuan. Anak dilatih untuk selektif dalam mencari teman agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas, berteman memang tidak perlu memilih-milih, tapi jangan asal berteman. Jadikan semua orang sebagai teman, tetapi jangan asal menjadikan semua sebagai sahabat karib. Ketika moralitas dan mentalitas ana masih labil, maka faktor seleksi menjadi penting. Namun, seleksi itu tidak boleh membuat garis antara seorang anak dengan teman-teman yang tidak menjadi pilihannya keterampilan sosial merupakan aset sukses kepemimpinan dan mempengaruhi orang lain (Asmani, 2011: 94). 3. Nilai karakter yang harus ditanamkan pada anak Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan, pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan. Selama ini pendidikan informal (terutama dalam lingkungan keluarga) belum memberikan kontribusi yang berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Taman siswa adalah sekolah yang didirikan Ki Hajar Dewantara yang memiliki dasar pendidikan yang dikenal sebagai Pancadharma, yaitu memberikan kebebasan kepada anak didik dalam perkembangannya tanpa perintah atau paksaan pendidik; mengembangkan jasmani dan rohani ke peradaban dan kebudayaan; mengusahakan pengaruh yang baik bagi kodrat alam anak; mengembangkan rasa kebangsaan dan hidup berbangsa; menumbuhkan dan memupukdasar-dasar perikemanusiaan yang merupakan sifat kebangsaan (Surjomihardjo. 1986: 10). Beberapa komponen penting yang harus ditekankan dalam pendidikan karakter adalah membentuk karakter yang baik yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action. Penanaman nilai-nilai pun harus dilakukan sejak dini, jika sejak dini anak tidak diajarkan nilai-nilai karakter maka ketika anak menginjak usia dewasa akan mengembangkan sikap cenderung ke arah negatif. Pendidikan karakter sangat efektif diterapkan di sekolah, hal ini mengingat ikatan legalitas formal di lembaga pendidikan formal sangat kuat, yang berbeda dengan pendidikan informal dan non formal. Walaupun demikian, pendidikan karakter di keluarga dan masyarakat juga sangat penting. Agama memberikan perhatian bersar terhadap peran orang tua dalam pendidikan karater anak, jika orang tua lengah maka anak bisa rusak moralnya. Lingkungan juga berpengaruh besar terhadap pendidikan karakter anak, dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Az-Zarnuji disebutkan bahwa karakter seseorang akan menjalar kepada temannya. Jika karakter itu positif maka teman pergaulannya mendapat dampak positif, namun jika negatif akan dibawa menuju lubang kehancuran moral yang sulit diobati. Oleh karena itu, sinergi dan kolaborasi antara keluarga, sekolah dan lingkungan merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditunda- tunda (Asmani, 2011: 152). Nilai-nilai karakter yang harus ditanamkan kepada anak agar terbentuk karakter yang baik dan cara menginternalisasi nilai-nilai tersebut, yaitu ; a. Religius Nilai karakter pertama yang harus diajarkan adalah nilai yang menjadi pedoman hidup manusia, yaitu agama. Agama merupakan pedoman kehidupan yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Anak didik dengan berbagai macam latar belakang hidup keluarga membawa dampak pada kebiasaan yang berbeda satu sama lain. Membiasakan diri untuk berterima kasih dan bersyukur akan membawa pengaruh pada suasana hidup yang menyenangkan, ceria, dan penuh warna yang sehat dan seimbang. Untuk melatih hal ini sehingga dapat menjadi suatu kebiasaan yang dapat dilakukan sedini mungkin pada masa pendidikan yaitu dengan membiasakan berdoa. Doa sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas hidup, atas temanteman dan atas apapun yang terjadi dalam hidup. Memperkenalkan berdoa sebelum dan sesudah selesai pelajaran, sebelum dan sesudah makan, serta sebelum dan sesudah bangun tidur. Melalui kegiatan berdoa, sebelum melaksanakan suatu kegiatan, anak-anak dibiasakan dan diperkenalkan akan adanya kekuatan dan kekuasaan yang melebih manusia dan ini semua ada pada Tuhan Yang Mahakuasa yaitu Allah SWT. Pentingnya penanaman pada anak didik, keyakinan dan kepercayaan bahwa Tuhan adalah maha baik dan maha segalanya, karena segala sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup ada dalam alam semesta dan itu berasal dari Tuhan. Tersedianya segala kebutuhan dasar menusia dalam kehidupan, tanah yang subur dan indah, kekayaan alam yang melimpah ruah, dan berguna bagi kehidupan ini harus selalu dijaga dengan baik, dan senua berasal dari Tuhan Yang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahapangasih dan Tuhan Yang Maha pemurah. Selain itu, anak-anak mulai diperkenalkan dengan hari-hari besar agama, dan diajak untuk menjalankannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Melalui kegiatan mendongeng dan bercerita dapat diperkenalkan nilai-nilai agama yang ada di negara Indonesia tercinta ini. Anak-anak diajak untuk mengenal bermacam-macam agama dan ditumbuhkan sikap saling menghormati satu sama lain antarpemeluk agama yang berbeda. Kegiatan sosial kemanusiaan menjadi tempat untuk mewujudkan religiusitas anak secara bersama deri berbagai macam agama dan keperceyaan yang ada. Kepekaan dan keterlabatan untuk membantu orang yang menderita merupakan panggilan bersama umat beragama. Jika seorang anak telah memiliki dasar agama yang baik, maka nilai-nilai yang lain akan mudah diterima dan diterapkan. b. Tanggung jawab, mandiri, disiplin, dan jujur Nilai-nilai ini penting agar nantinya anak didik bisa mandiri, disiplin dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri terhadap apa yang dilakukan. Nilai dan prinsip kejujuran dapat ditanamkan pada diri siswa sejak kecil dalam lingkup keluarga, dalam konteks ini peranan orang tua dan guru sangat penting dalam mencermati perilaku anak didiknya. Dalam pelaksanaanya anak perlu diberi pemahaman dan penjelasan tentang arti dan manfaat kejujuran dalam kehidupan bersama. Selain itu, anak juga diajak berpikir dan bersikap atas pernyataan: bagaimana jika kondisi ketidakjujuran ada di tengah masyarakat. Melalui kegiatankagiatan yang kasat mata, sederhana, serta ada di sekitar sekolah dan keseharian siswa, anak diajak untuk mengambil sikap yang benar dalam masalah kejujuran. Nilai dan sikap kejujuran sangat terkait dengan nilai keadilan, kebenaran, dan tanggung jawab pada diri manusia. Salah satu kegiatan yang menuntut kemandirian dan tanggung jawab siswa adalah kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan sarana dan wadah yang tepat untuk melatih kemandirian siswa. Melalui kegiatan ini siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki dan mengembangkannya seoptimal mungkin. Kegiatan ekstrakurikuler sangat membantu proses pengembangan ini, anak yang berbakat diberi kesempatan untuk mengembangkannya, baik dari sisi akademis maupun nonakademis. Kegiatan non akademis yang cukup menarik dan dikenali secara universal adalah kegiatan pramuka, kegiatan pramuka yang terencana akan membuat anak senang dan terlatih untuk dapat menyelesaikan persoalan, baik secara pribadi maupun bersama. Kemandirian bukan berarti tidak butuh orang lain, namun justru dalam kebersamaan dengan orang lain. Setiap kegiatan yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi, paling tidak dalam masalah pembagian waktu berkaitan dengan multi peran yang disandang setiap orang. Apabila siswa terlalu bersemangat untuk mengikuti banyak kegiatan maka ada konsekuensi yang dipikul, yaitu waktu untuk belajar, mempersiapkan ulangan, menjalankan peran dan tugas di rumah, dan lain sebagainya. Tanggung jawab tentu berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban yang diemban seseorang. Guru dapat mengajak siswa untuk mengevaluasi dan mengkritisi kegiatan yang telah dipilihnya. c. Toleransi Toleransi bisa berarti sikap terbuka dan saling menghargai dan menghormati terhadap perbedaan, hendaknya ditanamkan sejak dini pada anak. Arti kata toleransi adalah sikap terbuka dan menghargai perbedaan, anak dapat diperkenalkan konsep toleransi sejak dini. Peran penting orang tua dalam menanamkan toleransi kepada anaknya adalah menstimulasi anak agar agar siap menerima keberadaan orang lain dan memperkenalkan anak pada lingkungan sekitar. Lingkungan keluarga dan sekolah memegang peranan penting dalam dalam mengembangkan sikap tolerans, terutama anak pada masa sekarang yang dihadapkan dengan era globalisasi. Tips salam mengenalkan nilai toleransi kepada anak yaitu; tunjukan sikap menghargai orang lain dan orang tua atau guru memberikan contoh yang nyata (Mila. 2011: 2). d. Etika dan sopan santun Penanaman etika dapat dilakukan dengan mengajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, menghormati orang lain, cara makan dan minum dll. Disamping itu pemberian pemahaman pada anak tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, pemahaman tentang perbuatan baik dan perbuatan buruk, pemahaman tentang sopan santun, dan norma-norma yang berlaku. Selain memberikan pemahaman dapat juga dilakukan dengan memberi dan mengajak anak agar terbiasa berperilaku baik. e. Sosialis Proses sosialisasi merupakan proses pembelajaran dimana anak anak belajar mengenal dan memahami nilai dan norma yang berlaku di lingkungan sekitar, baik itu lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat. Sosialisasi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tingkah laku, sikap dan sifat anak, dan nilai sosialis menjadi penting dan harus ditanamkan pada anak agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dalam lingkungan keluarga contohnya dengan adanya waktu kumpul bersama agar terjalin komunikasi yang intens sehar minimal 30 menit. f. Gotong-royong dan tolong menolong Gotong royong merupakan budaya nenek moyang bangsa Indonesia, semangat gotong royong telah digunakan pada zaman dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Pilar penting dalam keberhasilah rakyat mendeklarasikan kemerdekaan adalah karena adanya semangat gotong royong yang ditanamkan. Penanaman nilai gotong royong menjadi menjadi senjata untuk membawa sebuah perubahan. Gotong royong yaitu sikap yang selalu kerja sama, bahu membahu satu sama lain dengan semangat persatuan agar segala permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan. Ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, maka seseorang yang lainnya dengan segera melakukan tin dakan untuk menolongnya. Sikap gotong royong yang harus ditanamkan pada anak agar menciptakan kerukunan dan toleransi di tengah banyaknya perbedaan adalah memahami dan melaksanakan nilai-nilai yang terkandung didalamnya sehingga menciptakan kehidupan yang harmonis. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Raden Mas Soewardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara adalah bangsawan keraton Yogyakarta sekaligus masih berada dalam garis keturunan Sunan Kalijaga sehingga membuat Ki Hajar Dewantara menjadi keturunan bangsawan dan juga ulama. Kegemaran Ki Hajar Dewantara bergaul dengan masyarakat menengah ke bawah mendorongnya untuk membuang gelar bangsawannya dan merubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara agar dapat lebih merakyat dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya yang kebanyakan adalah rakyat biasa. 2. Ki Hajar Dewantara merupakan sosok pejuang sejati yang memiliki karakter yang teguh, dimana beliau rela mengorbankan segala baik ilmu, fikiran, tenaga dan materi yang dimilikinya demi membela tanah air tercinta Indonesia, dan demi mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia agar tidak senantiasa terjajah. Ki Hajar Dewantara berjuang sebagai pejuang bangsa, pendidik, budayawan maupun pemimpin rakyat, semata-mata dilakukan hanya untuk mencapai kesejahteraan bagi bumi pertiwi. 3. Ki Hajar Dewantara yang mengartikan pendidikan karakter sebagai pola untuk membentuk peserta didik yang beradab, membangun watak manusia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan memiliki ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, sehingga bisa mewujudkan manusia yang mandiri serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa, negara dan masyarakat pada umumnya. Secara khusus pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam hati, cipta, rasa dan karsa. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai perpaduan antara pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik atau buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati 4. Konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara yaitu ; Pertama, sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara dikembangkan berdasarkan lima asas pokok yang disebut pancadharma Taman Siswa, yang meliputi: kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Kedua, pokok ajaran yang menjadi tujuan Ki Hajar Dewantara adalah mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka dan membantu perluasan pendidikan dan pengajaran. Ketiga, Pendidikan karakter tidak hanya melibatkan aspek moral knowing, tetapi juga moral feeling dan moral action. Ki Hajar Dewantara menerjemahkan langkah tersebut dengan konsep cipta, rasa dan karsa serta membaginya menjadi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter, adapun materi pendidikan karakter tersebut yaitu; taman Indria dan taman Anak (5-8 tahun), taman Muda (umur 9-12 tahun), taman Dewasa (umur 14-16 tahun), taman Madya dan taman Guru (umur 17-20). Keempat, Dalam proses tumbuh kembangnya seorang anak, Ki Hajar Dewantara memandang adanya tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar, yang disebut dengan trisentra pendidikan, yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Dan ketiga aspek tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pembentukan karakter pada anak. Ki Hajar Dewantara mengatakan perlunya penguasaan diri dalam diri anak untuk mengalahkan nafsu agar dapat terbentuk karakter anak yang beradab, orang yang memiliki kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan mempertimbangkan terlebih dahulu sikap dan perilaku yang dilakukannya. Kecerdasan budi pekerti tersebut meliputi sikap, perilaku dan nilai-nilai yang dilakukan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Dalam konteks sekarang telah dikembangkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional telah dirumuskan dalam 18 nilai karakter yang akan ditanamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. 5. Implikasi pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pembentukan moral generasi muda ; Pertama, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses bukan hanya sebuah hasil, yang diterapkan dalam pembelajaran aktif dimana siswa memahami teori dan juga mempraktekan apa yang sudah dipahaminya dalam kehidupan nyata. Kedua, sistem among Ki Hajar Dewantara dijadikan sistem pembelajaran di sekolah, karena pentingnya peran pendidik dalam suatu proses pembelajaran. Ketiga, Tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara merupakan lingkungan pendidikan yang efektif dimana lingkungan keluarga dijadikan sebagai peletak dasar pendidikan anak, sekolah sebagai pendamping dalam keluarga, dan masyarakat adalah pelengkap pendidikan. Keempat, Trikon Ki Hajar Dewantara dijadikan sebagai dasar pendidikan. B. Saran Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis memberikan saran konstruktif bagi dunia pendidikan yakni ; 1. Bagi Pendidik Berdasarkan konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara dalam proses pembelajaran dimana peserta didik dijadikan pusat pembelajaran sedangkan guru hanya membimbing agar anak didiknya tetap berada dalam jalur yang benar, serta pendidik harus dapat memberikan contoh nyata dari apa yang diajarkannya dalam pembelajaran dan pendidik harus dapat memotivasi anak didiknya agar dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Penulis berharap para pendidik dan calon pendidik untuk dapat menjaga sikap dan perilakunya karena guru itu adalah digugu lan ditiru, yang artinya dijadikan teladan bagi anak didiknya. 2. Bagi Sekolah atau Instansi Pendidikan Dalam sekolah hendaknya tidak digunakan konsep perintah dan hukuman, karena konsep tersebut hanya akan melahirkan anak didik yang sendiko dhawuh, paksaan yang dialami anak akan membuat ank menjadi stres dan menjadi malas untuk belajar. Tanamkan dalam diri anak proses pembelajaran adalah suatu proses yang menyenangkan dengan metode pembelajaran yang kreatif, serta media pembelajaran yang inovatif akan membuat anak lebih antusias mengikuti pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut penulis berharap guru, sekolah dan pemerintah untuk dapat mengerjakan PR menciptakan sistem pendidikan yang mengedepankan proses bukan hanya hasil akhirnya. 3. Bagi Pemerintah Penerapan kurikulum 2013 pada tahun lalu sudah menjadi langkah yang bagus sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan pendidikan bangsa Indonesia agar menghasilkan generasi yang memiliki karakter, akan tetapi dalam penerapannya yang dinilai oleh berbagai pihak belum siap untuk diterapkan di Indonesia menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah untuk mengevaluasi kurikulum 2013 yang pada konsepnya sudah sangat bagus tersebut. Berdasarkan hal tersebut penerus berharap pemerintah segera menyempurnakan kurikulum 2013 tersebut sehingga dapat membasmi degradasi moral yang menjadi musuh bangsa ini. DARTAR PUSTAKA Abrasyi, Athiyah. 1993. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Anshori, Nasruddin. 2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara. Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press. Ar-Rozi, May Mualifah. 2013. Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Konsep Pendidikan Budi Pekerti. STAIN Salatiga. Budiningsih, Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: Asdi Mahasatya. Damayanti, Deni. 2014. Panduan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Pinang Merah. Darajat, Zakiah. 1968. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang: Aneka Ilmu. Dewantara, BS. 1979. Nyi Hajar Dewantara. Jakarta: Gunung Agung. Desmon, Achmad. 2007. Ensiklopedia Peradaban Dunia. Jakarta: Restu Agung. Doni Kusuma. 2012, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. http//:pendidikankarakter/strategi/mendidik/anak/dizaman/global. Diunduh pada tanggal 8 September 2015. Dwiyanto, Djoko. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila. Yogyakarta: Ampera Utama. Echols, John. 2010. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan XXIX. Jakarta: Gramedia. Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 4. 2004. Jakarta : Delta Pamungkas Ismadi, Hurip Danu . 2014. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Kebudayaan. Jakarta: Gading Inti Prima. Isjoni. 2006. Pendidikan sebagai Investasi Masa Depan. Jakarta: Yayasan Obor. Jumali. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press UMS. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. Kesuma, Dharma. 2011. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya. Listiyani, Retno. 2012. Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif. Jakarta: Erlangga. Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1977. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan. Cetakan ke-2. Jogjakarta: Yayasan Persatuan Taman Siswa. Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994. Karya Ki Hajar Dewantara Bagian II Kebudayaan. Cetakan ke-2. Jogjakarta: Yayasan Persatuan Taman Siswa. Mila. 2012, Menanamkan Sikap Toleransi pada Anak. http://ahmadrasidi.blogspot.com. Diunduh pada 12 September 2015. Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Anak Sejak dari Rumah. Yogyakarta: Pustaka Insani Madani. Nata, Abuddin. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Navis, AA. 1996. Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei. Jakarta: Gramedia. Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Rosdakarya. Rahma, Ulfi. 2010. Pendidikan Karakter dalam UU NO. 20 TAHUN 2003. Diunduh pada tanggal 29 September 2015. Robertus Belamirnus. 2014. (KOMPAS.com, Buku Ki Hajar Dewantara jadi Referensi di Finlandia). Diunduh pada tanggal 8 Agustus 2015. Saleh, Muwafik. 2002. Membangun Karakter dengan Hati Nurani. Jakarta: Erlangga. Soeratman, Darsiti. 1989. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Subono. 2010, Ki Hajar Dewantara Pemikiran dan Pengabdiannya untuk Pendidikan Bangsa. http//yayasansoebono.org/. Diunduh pada tgl 25 Agustus 2015. Sukiman. 2004, Ki Hajar Dewantara. www.tamansiswa.org. Di unduh pada tanggal 14 Agustus 2015. Surjomiharjo, Abdurrachman. 1986. Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Sinar Harapan. Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz. Suyadi. 2013. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: Rosdakarya. Suyono. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. Tim Dosen FIP. 1980. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Wahab, Rochmat. 2009. Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai Target. Semarang: Aneka Ilmu. Wijaya, Cece. 1992. Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan Dan Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Zanoism. 2014, Konsep Pendidikan Menyenangkan. kompasiana.com. Diunduh pada 28 Mei 2015. http//:edukasi Zuchdi, Darmiyanti. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press. LAMPIRAN : Ki Hajar Dewantara RIWAYAT HIDUP 1. Nama : Nur Anisah 2. Tempat dan Tanggal lahir : Salatiga, 14 Januari 1993 3. Jenis kelamin : Perempuan 4. Warga Negara : Indonesia 5. Agama : Islam 6. Alamat : Jln. Abu Bakar Assidiq RT 01/09 Dsn. Klego, Desa Candirejo, Kec. Tuntang, Kab. Semarang 7. Riwayat Pendidikan : a. SD N Candirejo 01 Tahun 1999-2005 b. SMP N 02 Salatiga Tahun 2005-2008 c. MAN 01 Kota Tahun 2008-2011 Magelang 8. Pengalaman organisasi : a. Koordinator GIAT TPA Al-Ikhlas Tahun 2011-Sekarang Tegalrejo Salatiga b. Bendahara umum Ya Bissmilah IAIN Tahun 2011 Salatiga c. Humas Ma’had Putri IAIN Salatiga Tahun 2012 d. Humas IPPNU Kec. Tuntang Tahun 2015 Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benamya. Salatiga, Agustus 2015 Penulis Nur Anisah Nim: 111 11 141