erman sumirat-review kerjasama pemerintah swasta

advertisement
REVIEW TERHADAP PERMASALAHAN PERJANJIAN KERJASAMA
KONSORSIUM ADITYA DENGAN PDAM
Oleh
Erman Arif Sumirat, MBA Ak
(Dosen dan Konsultan dari FE UNPAD dan MBA ITB )
RINGKASAN EKSEKUTIF
Aditya-Adhicon dapat melakukan kerjasama BOT pembangunan fasilitas parkir dengan PDAM
dengan konsep HGB di atas HPL yang nantinya dijaminkan, namun demikian perlu dilakukan
due diligence terhadap konsep fasilitas parkir yang nantinya terhubung dengan pembangunan
cable car. PDAM perlu mengetahui apakah perhitungan FS cable car yang kemungkinan besar
akan disubsidi oleh TOD dalam bentuk fasilitas parkir, mall dan bentuk property lain. Jika bisnis
cable car semakin merugi karena keterbatasan subsidi pemerintah, maka mitra akan
melakukan subsidi silang dengan cash flow dari TOD namun risiko bisnis ini bisa saja
menyebabkan gagal bayar atau risiko kredit ketika cash flow dari TOD tidak bisa menutup
kerugian dari bisnis cable car sehingga HGB di atas HPL nantinya akan mempengaruhi kinerja
PDAM sebagai BUMD secara tidak langsung. PDAM dinilai salah satunya dengan indikator
kinerja keuangan selain dari aspek pelayanan, aspek operasional dan aspek sumber daya
manusia. Di dalam indikator keuangan terdapat aspek rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas.
Aspek Rentabilitas dengan menggunakan rasio return on equity atau ROE yaitu laba bersih
dibagi dengan modal jelas akan dipengaruhi bagi hasil yang diperoleh dari pemanfaatan lahan
untuk fasilitas parkir karena pemanfaataan aset lahan ini jelas akan dinilai produktifitas nya
dalam rasio return on asset yang nantinya mempengaruhi return on equity sehingga
pemanfaataan aset ini harus jelas turnover nya (asset turnover) menghasilkan tambahan laba
dari bagi hasil dari fasilitas parkir yang memberi nilai tambah bagi PDAM, apabila terjadi gagal
bayar walau tanah PDAM tidak akan terambil alih ke tangan kreditor namun PDAM akan
kehilangan potensi laba tambahan dari pemanfaatan aset tanah. Dalam kasus ini jelas PDAM
berhak tahu tidak hanya pemanfaataan tanah untuk fasilitas parkir, namun mengetahui
konsep integrasi rencana cable car dan TOD, apa saja yang nantinya akan dibangun dalam
konsep TOD di atas tanah PDAM, seberapa besar cash flow TOD akan menutup atau
mensubsidi bisnis cable car sehingga bisa diketahui secara lebih jelas seberapa besar potensi
cash flow bersih yang nantinya akan diperoleh PDAM dari pemanfaatan aset yang nantinya
akan mempengaruhi kinerja keuangan PDAM yaitu aspek rentabilitas. Jika HGB yang memang
dijaminkan kepada perbankan maka pemkot Bandung dan BUMD di dalam hal ini PDAM perlu
tahu sejauh mana kontrak perjanjian antara swasta yang memegang HGB di atas HPL termasuk
melakukan konfirmasi/kepastian jangan sampai status HPL akan mejadi masalah di kemudian
hari sehingga perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menganalisis kontrak kredit
perbankan antara pihak swasta yaitu konsorsium PT Aditya dengan Pihak Perbankan/Lembaga
Keuangan. PDAM sebagai pemegang HPL seharusnya tidak terpengaruh kinerjanya, karena
yang terikat hak tanggungan di Bank adalah HGB atas nama Aditya sehingga kalua terjadi gagal
bayar Aditya, eksekusi hak tanggungan mengakibatkan peralihan HGB ke pihak lain. Namun
demikian, pembebanan hak tanggungan perlu persetujuan pemegang HPL dalam hal ini PDAM,
sehingga PDAM berhak mengetahui kinerja keuangan Aditya secara periodik untuk
memastikan bahwa semua aset kewajiban modal pendapatan dan biaya berjalan secara
kondusif, maka perlu analisis yang mendalam untuk melakukan Due Dilligence yang
komprehensif untuk melihat kinerja keuangan Aditya termasuk dukungan sumber permodalan
dan fasilitas keuangan lainnya.
Dalam kasus fasilitas parkir ini biaya investasi yang tercatat dalam pra-FS adalah sebesar
485,63 Milyar Rupiah sehingga sinking fund dalam escrow account yang harus disediakan mitra
adalah sebesar 16,1876 Milyar yang perlu disediakan oleh mitra. Melihat posisi kas PT Aditya
sebesar 1.974.000 dari total Aset 46,2 Milyar yang lebih banyak didominasi oleh piutang pada
pemegang saham juga dari posisi kas dan aktiva PT Adhicon Perkasa dapat disimpulkan bahwa
mitra mempunyai kesulitan likuiditas untuk memenuhi persyaratan perwal, solusinya adalah
komitmen sinking fund yang bisa dipenuhi dari mitra Aditya, yaitu Adhicon yang kemampuan
keuangannya lebih baik dari Aditya atau melakukan kemitraan lagi dengan lembaga keuangan
yang lebih kredibel dan lebih siap termasuk memenuhi dana dalam sinking fund.
Dari ketiga scenario menerima 1 persen dari omset, scenario bagi hasil dan scenario sewa maka
dapat disimpulkan scenario bagi hasil yang lebih tinggi manfaatnya dari pada hanya menerima
1 persen dari omset. HGB yang diagunkan jelas menimbulkan risiko yang lebih besar sehingga
perlu ada kompensasi yang lebih fair dan mencerminkan risiko untuk PDAM yang melebihi
harga sewa tanah. HGB yang dijaminkan harus dipastikan tidak mengganggu HPL sehingga aset
tanah tetap merupakan kendali penuh dari PDAM sebagai kekayaan negara yang dipisahkan
dalam BUMD PDAM. Mitra harus mempunyai komitmen menempatkan sinking fund dan
jaminan pemeliharaan, mendapatkan sumber dana yang lebih murah dari 10 persen dan
memberikan bagi hasil yang wajar di atas 1 persen dan cenderung kepada pola bagi hasil jika
meminta HGB untuk dijadikan jaminan kepada kredit Bank
Studi ini sangat terbatas kepada data yang diberikan PDAM beserta laporan keuangan Aditya
dan Adhicon, studi lanjutan perlu dilakukan untuk melakukan review terintegrasi dengan FS
lengkap baik dari perencanaan pembangunan cable car dan juga pembangunan fasilitas parkir
sebagai TOD. Karena di berbagai negara, cable car adalah business yang feasibility nya
tergantung dari cash flow yang akan di generate atau di subsidi dari TOD diantaranya
pembangunan fasilitas parkir. PDAM perlu mengetahui secara detail mengenai perencanaan
pembangunan fasilitas parkir karena bisa saja dalam pelaksanaannya fasilitas parkir ini
dikembangkan lagi misalnya menjadi food court bahkan residensial dan fungsi bisnis lainnya.
Kajian ini perlu mereview semua aspek secara detail dan komprehensif sebelum dilakukan PKS
antara PDAM dengan Mitra.
PEMBAHASAN
Terdapat masalah sebelum finalisasi PKS antara konsorsium Aditya-Adhicon dengan PDAM
terkait beberapa hal sebagai berikut:
a. Aditya-Adhicon menginginkan agar Objek Kerjasama dapat berupa Hak Guna Bangunan
(HGB) diatas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang pada akhirnya bertujuan untuk
diagunkan/dijaminkan.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah beserta benda-benda yang berkaitan diatasnya (“UU 4/1996”) HGB dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Sedangkan berdasarkan PP
40/1996 HGB dapat diberikan diatas Tanah Negara, tanah HPL dan tanah HM. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Surat Pengantar PMDN 1/1977 setelah
didaftarkannya hak-hak atas tanah itu di Kantor Sub-Direktorat Agraria setempat (Kantor
Pertanahan), maka hak atas tanah dari pihak ketiga tersebut tunduk pada UUPA, dengan
kata lain ketentuan dalam UU 4/1996 dan PP 40/1996 berlaku bagi pihak ketiga.
Tujuan utama pemberian HPL adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi
penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Bagian-bagian tanah HPL tersebut
dapat diberikan kepada pihak lain dengan HM, HGB atau HPL.
Pemberian hak atas tanah tersebut, dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional
yang berwenang, atas usul pemegang HPL yang bersangkutan berdasarkan perjanjian
antara pemegang HPL dengan calon pemegang hak atas tanah diatas HPL.
Sesuai dengan Surat Pengantar PMDN 1/1977 perjanjian tersebut paling sedikit harus
memuat persetujuan mengenai:
1.
identitas pihak-pihak yang bersangkutan (apakah badan hukum/perorangan);
2.
letak, batas-batas dan luas tanah yang dimaksud;
3.
jenis penggunaannya;
4.
hak atas tanah yang akan dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga yang
bersangkutan dan keterangan mengenai jangka waktunya serta kemungkinan untuk
memperpanjangnya;
5.
jenis-jenis bangunan yang akan didirikan diatasnya dan ketentuan mengenai
pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada berakhirnya hak tanah yang diberikan;
6.
jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya
Berkaitan dengan pembebanan Hak Tanggungan terhadap HGB diatas tanah HPL, perlu
diingat bahwa apabila terdapat HGB diatas tanah HPL yang dibebani Hak Tanggungan,
maka kondisi tersebut bukan berarti penjaminan atas tanah negara/pemerintah,
karena yang dijaminkan bukan tanah HPL melainkan HGB yang ada diatasnya saja yang
dipunyai oleh pihak ketiga, sehingga tidak terkena keberlakuan ketentuan Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Mengenai konsekuensi sebagai akibat dari pembebanan Hak Tanggungan atas HGB yang
terletak diatas tanah HPL, tentang adanya kemungkinan beralihnya HGB diatas tanah HPL
tersebut kepada pihak ketiga dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan, yaitu apabila
debitur tidak dapat melunasi hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut,
ketentuan Pasal 34 PP 40/1996 menetapkan bahwa pengalihan HGB dan Hak Pakai
diatas tanah HPL memerlukan persetujuan tertulis dari pemegang HPL.
Hal ini ditegaskan dalam Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
No. 630.1-3430 tanggal 17 September 1998 yang menyatakan bahwa : “karena eksekusi
Hak Tanggungan mengakibatkan HGB beralih kepada pihak lain maka pembebanan Hak
Tanggungan diperlukan persetujuan tertulis dari pemegang HPL yang akan berlaku
sebagai persetujuan untuk pengalihan hak tersebut dalam rangka eksekusi Hak
Tanggungan”.
Dari ketentuan tersebut apabila Debitur wanprestasi, maka kondisi tersebut tidak akan
mempengaruhi pihak Pemegang HPL karena siapapun yang menjadi pemegang HGB
diatas tanah HPL tetap harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pemegang
HPL. Hak-hak dan kewajiban dari pemegang hak atas tanah HGB atau HP yang diperoleh
di atas tanah HPL berdasarkan Perjanjian Penggunaan Tanah dengan Pemegang HPL tetap
mengikat kepada pihak ketiga lainnya yang memperoleh HGB dari pemegang HGB yang
pertama, dan seterusnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Sertifikat HGB diatas HPL dapat
dibebani dengan Hak Tanggungan karena yang dijaminkan bukan tanah HPL melainkan
HGB yang ada diatasnya saja, sehingga tidak terkena keberlakuan ketentuan Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Hal ini biasanya berlaku dalam kasus pembagunan rumah susun. Berdasarkan Pasal 7 ayat
1 UU 16/1985, Rumah Susun dapat dibangun diatas HM. HGB, HP atas tanah Negara atau
HPL. Sekalipun bukan hak perorangan atas tanah, namun Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun (“HMSRS”) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU 16/1985 selalu terkait dengan
tanah hak bersama karena pemegang HMSRS harus memenuhi ketentuan sebagai
pemegang hak atas tanah dimana Rumah Susun tersebut didirikan.
Pasal 12 ayat 1 UU 16/1985 menetapkan bahwa rumah susun berikut tanah tempat
bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hal ini juga
dipertegas dengan ketentuan dalam Pasal 13 UU 16/1985 yang menyatakan bahwa
HMSRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani Hak Tanggungan jika tanahnya HM atau HGB.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek jaminan Hak
Tanggungan bukan tanahnya, melainkan HMSRS-nya sehingga Hak Tanggungan yang
dibebankan meliputi selain satuan rumah susun yang bersangkutan, juga bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama sebesar Nilai Perbandingan Proposional
pemilik HMSRS yang dijaminkan.
Dalam kasus ini dengan diberikannya HGB diatas HPL sebagai tanah bersama maka
pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan dapat dilakukan. Apakah memerlukan
persetujuan tertulis pemegang HPL tergantung dari perjanjian antara pemegang HPL
dan pemegang HGB (penyelenggara pembangunan).
Merujuk kepada Peraturan Walikota Bandung no 1227 tahun 2015 tentang pedoman
umum pendayagunaan aset tetap BUMD Pasal 4 point G mengatur aset tetap yang
dikerjasamakan dilarang untuk diagunkan oleh mitra, kecuali diatur lain dalam Peraturan
Walikota ini, dengan kata lain tanah PDAM seluas 11.430 m2 yang berlokasi di jalan Badak
Singa no 10 tidak bisa diagunkan kepada bank/kreditor oleh mitra Aditya Adhicon namun
dengan penjelasan diatas Aditya-Adhicon dapat meminta HGB di atas HPL, dimana HGB
ini bisa dipakai untuk mendapatkan kredit pinjaman perbankan dengan melihat segala
ketentuan dan prosedur seperti yang telah dijelaskan di atas termasuk memperhatikan
aturan tata ruang.
Sebagai contoh, beberapa proyek-proyek properti dengan status HGB di atas HPL banyak
digarap pengembang-pengembang besar, diantaranya Citra Towers dan Ciputra Plaza
oleh PT Ciputra Residence, Springhill Royal Suites milik Springhill Group, dan The Mansion
@Dukuh Golf Kemayoran oleh Agung Sedayu Group. Seluruh proyek ini berada di atas
HPL yang dikelola PPK Kemayoran. Sedangkan Senayan Gateway, Sentral Senayan, FX
Plaza, Harris Hotel, dan Taman Ria Senayan, dikembangkan di HPL PPK Gelora Bung Karno
Senayan. Di daerah Kemayoran, lokasinya yang strategis didukung dengan jaringan dan
infrastruktur jalan yang relatif bersaing dengan jalan-jalan protokol yang ada saat ini.
Sementara status lahan yang masih HPL sejatinya tidak menjadi masalah besar bila
pemerintah dapat memberikan jaminan dan kebijakan insentif untuk dapat
menggerakkan sektor properti lebih cepat lagi di kawasan Kemayoran. Kemayoran tetap
merupakan sebuah kawasan yang sangat menjanjikan. Sejumlah pengembang besar pun
sudah ‘curi start’, dan mulai menghiasai kawasan itu dengan berbagai konsep
propertinya. Bahkan diprediksi, lima hingga 10 tahun mendatang Kemayoran bakal
mengubah konstelasi bisnis dan industri properti Jakarta.Tercatat beberapa pengembang
kelas kakap sudah menguasai lahan-lahan di dalam kawasan ini, khususnya dalam area
Kota Bandar Baru Kemayoran. Pengembang besar tersebut, antara lain Agung Sedayu
Group, Pikko Group, Central Cipta Murdaya Group, Ciputra Group, Springhill Group, dan
lainnya. Para pengembang tersebut telah mempunyai sejumlah rencana besar yang bakal
mengubah wajah Kemayoran sebagai sebuah pusat bisnis baru. Bahkan, Central Cipta
Murdaya yang sudah sukses membangun gedung perkantoran World Trade Center (WTC)
di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan ini bersiap dengan CBD Kemayoran-nya. Pusat
bisnis baru itu akan diwujudkan di atas lahan seluas 44 hektar. Tidak tanggung-tanggung,
perusahaan pemilik Mal Pondok Indah, Puri Indah, dan Jakarta International Expo (PRJ)
ini bakal mepersiapkan dana investasi lebih dari Rp 80 triliun untuk membangun kawasan
yang hampir menyerupai Marina Bay - kawasan properti terpadu di Singapura. Dalam
kompleks itu juga akan dibangun apartemen, hotel bintang lima, fasilitas hiburan, dan
rekreasi.Seiring dengan itu, Agung Sedayu Group juga mengembangkan apartemen
dengan nilai jual panorama lapangan golf Kemayoran yang dinamakan The Mansion @
Dukuh Golf Kemayoran. Selanjutnya adalah Hutama Karya Realtindo yang meneruskan
konsesi pengelolaan Apartemen Rajawali. Pengembang ini mengakuisisi menara kembar
Chrysant, dan akan membangun menara kembar kedua sebanyak 3.000 unit. Demikian
halnya dengan PT Pikko Land Development Tbk. Perusahaan ini pun akan berkontribusi
menjadikan Kemayoran sebagai destinasi investasi favorit baru. Tidak hanya itu,
kompetisi pun semakin marak dengan kehadiran Citra Tower yang digarap oleh Ciputra
Group. Groundbreaking proyek perkantoran yang menelan dana investasi Rp 2 triliun ini
sudah dilakukan pada November 2014 lalu. Proyek di atas lahan 1,8 hektar dengan status
Hak Pengelolaan Lahan (HPL) selama 30 tahun ini diperkirakan memakan waktu 4 tahun.
Akan ada dua menara yang masing-masing dengan ketinggian 25 lantai dan 1 mezzanine,
lengkap dengan fasilitas lifestyle commercial area.
Sementara Springhill Group yang telah masuk sejak 2004 boleh dibilang menjadi
pengembang swasta yang paling banyak membangun unit hunian di kawasan itu. Di atas
lahan seluas 16 hektar tersebut, grup usaha itu telah membangun town house, landed
house, apartemen menengah dan mewah, serta hotel yang lengkap dengan jogging track,
taman bermain, dan fasilitas pendukung lainnya. Bahkan, harga rumah di Springhill yang
pada awalnya dipasarkan dengan harga di bawah Rp 5 miliar, kini harga secondary-nya
telah mencapai Rp 10-12 miliar, bahkan Rp 24 miliar. Sementara harga apartemen
berkisar mulai Rp 1,3-5 miliar.
Tidak hanya itu, Hermina Group yang belum lama ini merampungkan pembangunan 2
menaranya sebagai pusat perkantoran & bisnis dan rumah sakit pun siap menyambut
geliat CBD baru di kawasan itu. Hermina Tower yang dibangun di atas lahan seluas 11.510
m2 akan mulai mengoperasikan RS Hermina Kemayoran pada April 2016, yang
merupakan perpindahan dari RS Hermina Sunter Podomoro. Saat ini, unit perkantoran
Hermina Tower dipasarkan dengan harga Rp 24,2 juta per meter. Harga tersebut
diperkirakan naik menjadi Rp 35-40 juta per meter saat handover tahun depan. Next CBD
adalah alasan utama sebagaimana diungkapkan Ismet. “Pengembang besar semakin
gencar di sini. Rencana LRT (light rail transit) ke bandara juga semakin mematangkan CBD
tersebut. Dan Hermina hadir bukan hanya sebagai office tetapi juga sarana untuk
melayani dan membantu masyarakat Kemayoran,
Tidak ketinggalan Messiah Cathedral (Katedral Mesias) yang disebut sebagai salah satu
ikon di Kemayoran pun bakal turut menggairahkan geliat bisnis di kawasan itu. Tidak
kurang dari 3.500 umat hadir setiap minggu dalam kegiatan kebaktian dalam gereja yang
didirikan oleh Pdt. Stephen Tong dan mulai dibuka pada 2008 lalu itu. Selain gereja,
Reformed Millennium Center Indonesia juga menyediakan fasilitas pelayanan dan
kebudayaan lainnya, seperti perguruan tinggi Teologi, museum, perpustakaan, juga
concert hall yang mampu menampung hingga 1.200 orang. Tidak hanya swasta,
perusahaan plat merah seperti Perumnas pun berkomitmen memajukan kawasan itu.
Belum lama ini, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut berkongsi dengan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk menyediakan kawasan
terpadu rumah susun. Rusun terbesar di Indonesia ini juga masuk dalam program sejuta
rumah. Di atas lahan 22 hektar tersebut nantinya akan dibangun sebanyak 40 menara
yang terdiri dari 10 menara rusunawa, 20 menara rusunami, dan 10 menara apartemen
sederhana milik beserta fasilitas penunjang lainnya. Sementara total hunian yang akan
dibangun adalah sebanyak 18.000 unit. Dalam kerja sama dengan PPKK sebagai
pemegang HPL, Perumnas memiliki HGB di atas HPL dengan masa 25 tahun dan dapat
diperpanjang. Warga pun bisa membeli rusunami dengan satuan rumah susun di atas HGB
yang usianya sesuai masa HGB yang juga bisa diperpanjang.
Dalam kasus ini, maka Aditya-Adhicon dapat melakukan kerjasama BOT pembangunan
fasilitas parkir dengan PDAM dengan konsep HGB di atas HPL yang nantinya dijaminkan,
namun demikian perlu dilakukan due diligence terhadap konsep fasilitas parkir yang
nantinya terhubung dengan pembangunan cable car. PDAM perlu mengetahui apakah
perhitungan FS cable car yang kemungkinan besar akan disubsidi oleh TOD dalam
bentuk fasilitas parkir, mall dan bentuk property lain. Jika bisnis cable car semakin
merugi karena keterbatasan subsidi pemerintah, maka mitra akan melakukan subsidi
silang dengan cash flow dari TOD namun risiko bisnis ini bisa saja menyebabkan gagal
bayar atau risiko kredit ketika cash flow dari TOD tidak bisa menutup kerugian dari
bisnis cable car sehingga HGB di atas HPL nantinya akan mempengaruhi kinerja PDAM
sebagai BUMD secara tidak langsung. PDAM dinilai salah satunya dengan indikator
kinerja keuangan selain dari aspek pelayanan, aspek operasional dan aspek sumber
daya manusia. Di dalam indikator keuangan terdapat aspek rentabilitas, likuiditas dan
solvabilitas. Aspek Rentabilitas dengan menggunakan rasio return on equity atau ROE
yaitu laba bersih dibagi dengan modal jelas akan dipengaruhi bagi hasil yang diperoleh
dari pemanfaatan lahan untuk fasilitas parkir karena pemanfaataan aset lahan ini jelas
akan dinilai produktifitas nya dalam rasio return on asset yang nantinya mempengaruhi
return on equity sehingga pemanfaataan aset ini harus jelas turnover nya (asset
turnover) menghasilkan tambahan laba dari bagi hasil dari fasilitas parkir yang memberi
nilai tambah bagi PDAM, apabila terjadi gagal bayar walau tanah PDAM tidak akan
terambil alih ke tangan kreditor namun PDAM akan kehilangan potensi laba tambahan
dari pemanfaatan aset tanah. Dalam kasus ini jelas PDAM berhak tahu tidak hanya
pemanfaataan tanah untuk fasilitas parkir, namun mengetahui konsep integrasi
rencana cable car dan TOD, apa saja yang nantinya akan dibangun dalam konsep TOD
di atas tanah PDAM, seberapa besar cash flow TOD akan menutup atau mensubsidi
bisnis cable car sehingga bisa diketahui secara lebih jelas seberapa besar potensi cash
flow bersih yang nantinya akan diperoleh PDAM dari pemanfaatan aset yang nantinya
akan mempengaruhi kinerja keuangan PDAM yaitu aspek rentabilitas.
Sebagai tambahan hasil interview dengan kepala perwakilan BPK untuk wilayah Jawa
Barat termasuk Bandung dengan Bapak Arman Syifa menyatakan perusahaan tidak boleh
menjaminikan tanah, Tanah HGB di atas HPL prinsipnya adalah dimiliki perusahaan,
perusahaan hanya pinjam tanah selama 30 tahun, jikalau sertifikat HPL tersebut dijadikan
jaminan Bank dalam posisi debitur kemudian macet maka pasti tanah tersebut akan disita
dan dilelang oleh bank secara parate eksekutorial (wewenang eksekusi tanpa perantara
peradilan), sehingga jika HGB yang memang dijaminkan kepada perbankan maka pemkot
Bandung dan BUMD di dalam hal ini PDAM perlu tahu sejauh mana kontrak perjanjian
antara
swasta
yang
memegang
HGB
di
atas
HPL
termasuk
melakukan
konfirmasi/kepastian jangan sampai status HPL akan mejadi masalah di kemudian hari
sehingga perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menganalisis kontrak kredit
perbankan antara pihak swasta yaitu konsorsium PT Aditya dengan Pihak
Perbankan/Lembaga Keuangan. PDAM sebagai pemegang HPL seharusnya tidak
terpengaruh kinerjanya, karena yang terikat hak tanggungan di Bank adalah HGB atas
nama Aditya sehingga kalua terjadi gagal bayar Aditya, eksekusi hak tanggungan
mengakibatkan peralihan HGB ke pihak lain. Namun demikian, pembebanan hak
tanggungan perlu persetujuan pemegang HPL dalam hal ini PDAM, sehingga PDAM
berhak mengetahui kinerja keuangan Aditya secara periodik untuk memastikan bahwa
semua aset kewajiban modal pendapatan dan biaya berjalan secara kondusif, maka perlu
analisis yang mendalam untuk melakukan Due Dilligence yang komprehensif untuk
melihat kinerja keuangan Aditya termasuk dukungan sumber permodalan dan fasilitas
keuangan lainnya.
b. Pasal 14, 18 dan 24 dari Perwal Bandung 1227/2015 mensyaratkan mitra
menyediakan/memberikan jaminan berupa sinking fund selama perjanjian berlangsung
dalam suatu escrow account sebesar 100 % dari nilai investasi dibagi masa kerja sama
sebagai jaminan pemeliharaan, perbaikan, penggantian asset tetap yang menjadi objek
kerjasama sehingga aset tetap dipastikan dalam keadaan baik/layak fungsi dan apabila
perjanjian berakhir maka sinking fund ini dikembalikan kepada mitra setelah
diperhitungkan dengan biaya pemeliharaan, perbaikan dan/atau penggantian aset tetap
termasuk pembongkaran. Dalam kasus fasilitas parkir ini biaya investasi yang tercatat
dalam pra-FS adalah sebesar 485,63 Milyar Rupiah sehingga sinking fund dalam escrow
account yang harus disediakan mitra adalah sebesar 16,1876 Milyar yang perlu
disediakan oleh mitra. Melihat posisi kas PT Aditya sebesar 1.974.000 dari total Aset
46,2 Milyar yang lebih banyak didominasi oleh piutang pada pemegang saham juga dari
posisi kas dan aktiva PT Adhicon Perkasa dapat disimpulkan bahwa mitra mempunyai
kesulitan likuiditas untuk memenuhi persyaratan perwal khususnya menyediakan dana
16,1876 Milyar rupiah yang kemungkinan dinilai akan menjadi idle apabila disimpan
sebagai sinking fund dalam escrow account antara PDAM dengan mitra. Namun sesuai
dengan pasal yang disyaratkan dalam Perwal 1227/2015 mitra tetap wajib untuk
menyediakan dana sinking fund sebesar 16,1876 milyar untuk menjaga kontijensi atau
pencadangan terhadap biaya pemeliharaan, perawatan dan pemanfaatan aset PDAM.
Dalam konsep KPS atau PPP, sinking funds ini acap kali dipakai untuk memberikan jaminan
bahwa swasta/mitra akan melakukan perbaikan, pemeliharaan dan perawatan terhadap
pemanfaatan aset yang dikerjasamakan. Sinking fund pada esensinya adalah jaminan
pemeliharaan dan perawatan karena adanya aset tetap yang merupakan kekayaan
negara dalam hal ini pemerintah kota Bandung yang dipisahkan ke dalam BUMD, retensi
dan Jaminan Pemeliharaan dalam kaitan pengadaan barang/jasa perlu perlu dilihat dari
Perpres 54/2010 sebagaimana diubah melalui Perpres 70/2012 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
Selama ini yang dibaca dan dipahami hanyalah bahwa retensi dan jaminan pemeliharaan
itu sama saja yaitu tentang menjamin dilaksanakannya kewajiban penyedia dalam masa
pemeliharaan. Hal ini seperti tertuang dalam Pasal 71 bahwa:
1. Penyedia Barang/Jasa memberikan Jaminan Pemeliharaan kepada PPK setelah
pelaksanaan pekerjaan dinyatakan selesai 100% (seratus perseratus), untuk:
1. Pekerjaan Konstruksi;
2. Pengadaan Jasa Lainnya yang membutuhkan masa pemeliharaan.
2. Besaran nilai Jaminan Pemeliharaan sebesar 5% (lima perseratus) dari nilai Kontrak.
3. Jaminan Pemeliharaan dikembalikan setelah 14 (empat belas) hari kerja setelah masa
pemeliharaan selesai.
4. Penyedia Pekerjaan Konstruksi memilih untuk memberikan Jaminan Pemeliharaan atau
memberikan retensi.
5. Jaminan Pemeliharaan atau retensi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), besarnya 5%
(lima perseratus) dari nilai Kontrak Pengadaan Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya. Retensi
adalah Jaminan Pemeliharaan karena retensi dapat menggantikan jaminan pemeliharaan.
Jika dihadapkan antara retensi dan jaminan pemeliharaan dinyatakan Pasal 1 ayat 35,
bahwa Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan, adalah jaminan tertulis yang
bersifat mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional), yang dikeluarkan oleh Bank
Umum/Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Asuransi yang diserahkan oleh Penyedia
Barang/Jasa kepada PPK/Kelompok Kerja ULP untuk menjamin terpenuhinya kewajiban
Penyedia Barang/Jasa. Dengan demikian jaminan pemeliharaan yang dimaksud pada ayat
4 dan 5 adalah surat jaminan pemeliharaan sebagaimana dimaksud melalui pasal 1 ayat
35. Sedangkan Retensi adalah pengejawantahan dari hak retensi sebagaimana diatur
dalam KUHPerdata Pasal 1812 yaitu hak dari penerima kuasa (Penyedia) untuk menahan
sesuatu yang menjadi milik pemberi kuasa (PPK) karena pemberi kuasa (PPK) belum
membayar kepada penerima kuasa (Penyedia) hak yang timbul dari pemberian kuasa
(pekerjaan). Maka dari itu kemudian Perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan
Perpres 70/2012 dalam pasal 89 ayat 5 menjelaskan bahwa PPK menahan sebagian
pembayaran prestasi pekerjaan sebagai uang retensi untuk Jaminan Pemeliharaan
Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Lainnya yang membutuhkan masa pemeliharaan.
Kemudian dijelaskan dengan sangat tegas pada bagian penjelasan 89 ayat 5 bahwa
Retensi pembayaran dilakukan apabila masa pemeliharaan berakhir pada tahun
anggaran yang sama. Hal ini selaras dengan pemahaman UU 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara pasal 11 bahwa kewajiban anggaran mengikat pada satu tahun
anggaran yaitu mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pembayaran
terhadap hak penyedia barang/jasa yang telah menyelesaikan pekerjaan dan telah
diterima paling lambat 31 Desember. Untuk itu karena retensi sifatnya adalah sisa
pembayaran ditahan harus segera cair saat batas pencairan SPM-LS atau paling lambat
31 Desember. Jika kondisinya demikian bagaimana dengan masa pemeliharaan yang
melebihi tahun anggaran? Sementara aturan membolehkan masa pemeliharaan melebihi
tahun anggaran. Untuk mengatasi hal ini maka pembayaran pada penyedia diserahkan
100% termasuk didalamnya kewajiban jaminan pemeliharaan dengan syarat penyedia
mengganti retensi dengan surat jaminan pemeliharaan sebesar nilai retensi yaitu 5% dari
nilai kontrak. Mekanisme ini sudah dituangkan dalam Perka LKPP 14/2012 Bab III Tata
Cara Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi pada bagian Serah Terima Pekerjaan :
5) Dalam hal masa pemeliharaan tidak melewati akhir tahun
anggaran, maka pembayaran dilakukan sebesar 95% (sembilan
puluh lima perseratus) dari nilai Kontrak, sedangkan yang 5%
(lima
perseratus)
merupakan
retensi
selama
masa
pemeliharaan atau pembayaran dilakukan sebesar 100%
(seratus perseratus) dari nilai Kontrak dan Penyedia harus
menyerahkan Jaminan Pemeliharaan sebesar 5% (lima
perseratus) dari nilai Kontrak.
6) Dalam hal masa pemeliharaan melewati akhir tahun
anggaran, maka pembayaran dilakukan sebesar 100% (seratus
perseratus) dari nilai Kontrak dan Penyedia harus menyerahkan
Jaminan Pemeliharaan sebesar 5% (lima perseratus) dari nilai
Kontrak.
Jaminan pemeliharaan adalah kewajiban penyedia jasa terhadap mutu jasa yang diserahkan
selama masa pemeliharaan. Dalam menjalankan kewajiban jaminan pemeliharaan, penyedia
barang/jasa dapat memilih memberikan jaminan pemeliharaan berupa surat jaminan atau
retensi pembayaran. Dalam memilih antara retensi dan surat jaminan diikat ketentuan bahwa
retensi
hanya
dapat
diberikan
untuk
masa
pemeliharaan
yang
berakhir
pada tahun anggaran yang sama. Jika masa pemeliharaan melewati tahun anggaran maka tidak
ada pilihan kecuali menyerahkan surat jaminan.
Jadi perbedaan antara retensi dan surat jaminan pemeliharaan adalah :
1. Jika masa pemeliharaan pada tahun anggaran yang sama maka dapat memilih retensi
atau surat jaminan pemeliharaan.
2. Jika masa pemeliharaan berpotensi atau pasti melewati tahun anggaran maka pilihannya
adalah surat jaminan pemeliharaan.
Di dalam aturan perwal kota Bandung 1227/2015 wajar jika pemerintah meminta sinking
fund dalam suatu escrow account yang harus dilihat sebagai retensi atas jaminan perbaikan
dan pemeliharaan asset sehingga mitra mempunyai tanggung jawab untuk melakukan
perbaikan dan pemeliharaan walaupun dilihat dari laporan keuangan baik Aditya dan Adhicon
mempunyai kekurangan likuiditas untuk menempatkan dana dalam bentuk sinking fund
melalui escrow account. Jaminan pelaksanaan sebesar 5 persen dan sinking fund merupakan
suatu keharusan mutlak yang wajib dilaksanakan dan menjadi komitmen mitra untuk
menjalankan proyek ini
c.
Masa Konsesi berlaku semenjak kontrak ditandatangani hal ini merupakan business as
usual yang sering diterapkan sesuai guidelines misalnya dari IFC dan World Bank
mengenai public private partnership
Sumber: PPP Guide Line
Tahap 7 merupakan negosiasi final dimana berlaku masa kontrak/konsesi selama 30
tahun, bukan hanya kontrak kerjasama namun harus terjadi juga financial closing
sehingga proyek kerjasama ada kepastian akan berjalan karena ada dukungan
keuangan/pembiayaan setelah itu akan dimulai masa konstruksi dan commissioning
setelah itu masa operasional yang diperkenankan adanya renegosiasi antara kedua belah
pihak dan masa turnover atau pengembalian aset setelah masa kontrak kerjasama
berakhir namun bisa saja diperpanjang sesuai kinerja dan kesepakatan kedua belah pihak.
d. Pasal 12 Perwal 1227/2015 menyatakan calon mitra dalam rangka pendayagunaan aset
tetap dengan cara BGS (bangun guna serah) dan BSG (bangun serah guna) adalah badan
hukum yang wajib memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut a. memiliki
kemampuan keuangan/pendanaan yang dibuktikan dengan laporan keuangan yang telah
diaudit dan/atau jaminan tertulis dari penyandang dana. Laporan Keuangan adalah potret
kinerja keuangan suatu entitas yang sebaiknya melihat aspek
1. Likuiditas, kemampuan entitas dalam menyediakan likuiditas atau cash dan setara
cash untuk menutup kewajiban jangka pendek
2. Aktivitas/Produktivitas, kemampuan entitas dalam melakukan fungsi operasional
perusahaan
misalnya
manajemen
piutang,
inventory/aktivitas
operasional/produksi/proyek
3. Solvabilitas, kemampuan entitas dalam manajemen hutang, kemampuan
pembayaran hutang
4. Rentabilitas, kemampuan entitas dalam menciptakan profit/laba
Dalam Laporan Keuangan tahun 2015 PT Aditya Dharmaputra Persada company
ini terlihat didirikan sebagai vehicle untuk melaksanakan proyek cable car di kota
Bandung, mempunyai kas 1,974 juta rupiah dengan piutang pada pemegang
saham sebesar 44,462 milyar yang seharusnya bisa dicairkan misalnya untuk
memenuhi kewajiban sinking fund dan biaya pemeliharaan serta pembuatan
garansi bank dengan aktiva tetap yang tidak terlalu signifikan jumlahnya
dibandingkan piutang dan belum ada aktivitas operasional yang signifikan
sehingga tidak timbul kewajiban, secara profitabilitas masih mengurangi kerugian
karena beban operasional yang sudah berjalan misalnya membayar belanja
pegawai 1,656 milyar dan tenaga ahli 2,637 milyar sehingga mempunyao total loss
sebesar 8,2 milyar di tahun 2015, karena pendapatan dari penjualan tiket cable
car dan gedung parkir belum dimulai. Dengan likuiditas cash yang kecil, aktivitas
operasional
yang
belum
menhasilkan
pendapatan,
belum
adanya
hutang/kewajiban dan perusahaan ini masih mengalami kerugian/loss, yang dapat
dijadikan potensi untuk cash flow adalah pencairan piutang kepada pemegang
saham untuk membayar sinking fund, biaya pemeliharaan dan garansi bank
Untuk Adhicon Perkasa, likuiditas cash jauh lebih baik daripada Aditya dengan kas
lancar sebesar 53,7 Milyar dan total aset 75 Milyar, Adhicon mempunyai likuiditas
yang cukup dari cash dan piutang, Aktiva Lancar 53,7 Milyar ini dapat menutup
Hutang Lancar sebesar 34,575 Milyar, dari analisis piutang dan uang muka dapat
dilihat Adhicon sudah banyak melakukan kegiatan jasa konstruksi kepada pihak
ketiga, mempunyai kwajiban jangka pendek kebanyakan kepada upah mandor,
pesanan, sub kontraktor dan sewa alat dan tidak mempunyai kewajiban jangka
panjang sehingga tidak terlihat relationship dengan perbankan misalnya dalam
kredit investasi karena sifat pekerjaan konstruksi yang kebanyakan jangka pendek.
Pendapatan Usaha sudah terlihat mencapai 100 Milyar dengan Laba Bersih
sebesar 29,484 Milyar
Dari aspek kinerja terlihat Adhicon mempunyai kinerja keuangan yang sehat dan
seharusnya Aditya Adhicon terutama Adhicon sanggup memenuhi komitmen
untuk menempatkan dana sinking fund, jaminan pemeliharaan, asuransi dan
garansi bank untuk kepastian penyelenggaraan proyek sesuai perwal 1227/2015
jika piutang dapat dicairkan ada dua hal yang masih meragukan dari konsorsium
ini yaitu:
1. Adanya sumber likuiditas dari cash untuk segera melakukan komitmen
penempatan dana sinking fund dan biaya pemeliharaan dikarenakan aktiva
lancar konsorsium ini terutama Aditya masih berbentuk piutang
2. Belum terlihat adanya relationship banking di kewajiban jangka panjang dalm
bentuk hutang bank sehingga belum terlihat adanya kepastian dan hubungan
dengan pihak perbankan karena jika ada hutang bank kita bisa melihat entitas
ini dealing dengan bank mana, tenor dan interest berapa, hutangnya buat
dipakai apa dan melihat dukungan bank serta melihat terbayarnya kewajiban
bunga bank.
Keraguan ini mengindikasikan Aditya Adhicon terutama Adhicon mempunyai
pengalaman jasa konstruksi misalnya punya kredibilitas dan cakap dalam
membangun fasilitas parkir namun dengan investasi yang mencapai 485,63
Milyar, konsorsium ini perlu memikirkan partner/mitra yang dapat
mendukung pendanaan. Oleh karena itu wajar jika mitra konsorsium ini akan
mengajukan HGB di atas HPL kemudian HGB dijadikan jaminan untuk
mendapatkan kredit dari bank, keliatannya ini merupakan main source untuk
melakukan pendanaan terhadap proyek ini, dengan hanya membayar
kompensasi 1 persen dari total omset rasanya imbal balik atau kompensasi
bagi PDAM teramat kurang dan seharusnya PDAM mempunyai bargainng
power yang lebih kecuali jika konsorsium ini bermitra lagi dengan investor
yang kredibel dalam menyediakan dana diluar alternatif menjaminkan HGB
untuk mendapatkan kredit perbankan. Kemampuan Operasional tanpa
adanya kemampuan sumber dana internal dan dukungan penyandang dana
yang hanya mengandalkan HGB di atas HPL untuk mendanai proyek ini
menunjukan lemahnya kemampuan pendanaan internal konsorsium namun
hanya memberikan kompensasi 1 persen kepada PDAM dari total omset
mencerminkan adanya risiko bisnis dan risiko sumber dana yang ditimbulkan
dari risiko likuiditas mitra, indikasinya sangat jelas dari keberatan yang
diajukan mitra untuk penempatan dana sinking fund hal ini dapat secara
mudah diverifikasi dengan melihat laporan keuangan mitra yang tidak
mempunyai cash cukup walaupun salah satu mitra yaitu Adhicon sudah
mempunyai pengalaman operasional konstruksi dan mencetak laba namun
belum terlihat adanya relationship banking yang kuat dengan Bank,
relationship banking akan diupayakan terjadi dengan strategi mengagunkan
HGB di atas HPL untuk mendapat dana perbankan, namun jika ini terjadi
bargaining position dan kompensasi yang diperoleh PDAM harusnya lebih dari
1 persen,melebihi nilai sewa harga pasaran asset per tahun sebagai andil dari
PDAM mempunyai lahan yang kemudian akan muncul konsep HGB di atas HPL
yang akan menimbulkan risiko kinerja bisnis dan risiko keuangan, risiko ini
wajib dikompensasi dengan tingginya return untuk PDAM di atas harga pasar
untuk sewa aset tetap pemanfaatan tanah PDAM. Namun jika konsorsium
menemukan partner investor yang sanggup menyediakan dana/sumber
internal tanpa harus menjaminkan HGB, risiko untuk PDAM akan turun karena
mitra mempunyai kemampuan operasional teknis dan pendanaan, risiko yang
turun ini akan mempengaruhi kompensasi sesuai asas risk-return, tingginya
(rendahnya) risiko akan menyebabkan kompensasi menjadi semakin besar
(kecil).
e. Dari Laporan Pra FS yang didapat lahan seluas 11.430 m3 ini bernilai 102.870.000.000
atau 102,87 Milyar, dengan investasi bangunan dan peralatan parkir senilai serta
perizinan sebesar 255 milyar, maka dilakukan hasil kelayakan dengan reassessment dan
cek ulang sebagai berikut:
Asumsi Discount Rate dengan cost of capital 13 persen
DR
13%
CF
PVCF
(255,000,000,000.00)
1 0.884956 (8,300,000,000.00)
(7,345,132,743.36)
(262,345,132,743.36)
2 0.783147 (14,120,000,000.00) (11,058,031,169.24)
(273,403,163,912.60)
3
8,771,797,293.92
(264,631,366,618.68)
4 0.613319 29,019,680,000.00
17,798,313,215.26
(246,833,053,403.42)
5
0.54276 34,016,364,000.00
18,462,719,547.57
(228,370,333,855.85)
6 0.480319 40,039,229,480.00
19,231,583,743.39
(209,138,750,112.46)
7 0.425061 46,873,061,228.40
19,923,893,580.10
(189,214,856,532.36)
8
20,548,140,365.42
(168,666,716,166.94)
0.69305 12,656,800,000.00
0.37616 54,626,084,429.49
9 0.332885 64,260,873,096.29
21,391,470,033.67
(147,275,246,133.26)
10 0.294588 74,236,244,058.86
21,869,132,508.39
(125,406,113,624.87)
11 0.260698 85,549,398,992.57
22,302,527,550.80
(103,103,586,074.07)
12 0.230706 98,378,348,388.27
22,696,464,204.77
(80,407,121,869.30)
13 0.204165 112,924,653,958.09
23,055,205,792.39
(57,351,916,076.91)
14 0.180677 129,416,531,279.90
23,382,532,496.16
(33,969,383,580.74)
15 0.159891 148,112,359,884.29
23,681,796,746.82
(10,287,586,833.92)
16 0.141496 169,304,654,161.04
23,955,972,244.25
13,668,385,410.33
NPV
Payback
IRR
13,668,385,410.33
15 tahun
Negatif
Proyek tidak feasible
Asumsi Discount Rate dengan cost of capital 10 persen
DR
10%
CF
PVCF
(255,000,000,000.00)
1 0.909091 (8,300,000,000.00)
(7,545,454,545.45) (262,545,454,545.46)
2 0.826446 (14,120,000,000.00)
(11,669,421,487.60) (274,214,876,033.06)
3 0.751315 12,656,800,000.00
9,509,241,172.05 (264,705,634,861.01)
4 0.683013 29,019,680,000.00
19,820,831,910.39 (244,884,802,950.62)
5 0.620921 34,016,364,000.00
21,121,485,740.54 (223,763,317,210.08)
6 0.564474 40,039,229,480.00
22,601,101,220.90 (201,162,215,989.18)
7 0.513158 46,873,061,228.40
24,053,291,895.68 (177,108,924,093.50)
8 0.466507 54,626,084,429.49
25,483,471,538.32 (151,625,452,555.18)
9 0.424098 64,260,873,096.29
27,252,883,234.67 (124,372,569,320.51)
10 0.385543 74,236,244,058.86
28,621,285,729.35 (95,751,283,591.16)
11 0.350494 85,549,398,992.57
29,984,542,451.20 (65,766,741,139.97)
12 0.318631 98,378,348,388.27
31,346,373,591.95 (34,420,367,548.02)
13 0.289664 112,924,653,958.09
32,710,249,845.75 (1,710,117,702.27)
14 0.263331 129,416,531,279.90
34,079,417,509.88 32,369,299,807.61
15 0.239392 148,112,359,884.29
35,456,921,369.60 67,826,221,177.22
16 0.217629 169,304,654,161.04
36,845,625,570.32 104,671,846,747.53
NPV
Payback
IRR
DR
104,671,846,747.53
13 tahun
3.23%
5%
CF
PVCF
(255,000,000,000.00)
1 0.952381 (8,300,000,000.00)
(7,904,761,904.76) (262,904,761,904.76)
2 0.907029 (14,120,000,000.00)
(12,807,256,235.83) (275,712,018,140.59)
3 0.863838 12,656,800,000.00
10,933,419,717.09 (264,778,598,423.50)
4 0.822702 29,019,680,000.00
23,874,562,553.67 (240,904,035,869.83)
5 0.783526 34,016,364,000.00
26,652,711,282.12 (214,251,324,587.71)
6 0.746215 40,039,229,480.00
29,877,889,507.44 (184,373,435,080.27)
7 0.710681 46,873,061,228.40
33,311,809,501.07 (151,061,625,579.20)
8 0.676839 54,626,084,429.49
36,973,084,135.38 (114,088,541,443.82)
9 0.644609 64,260,873,096.29
41,423,131,761.81 (72,665,409,682.01)
10 0.613913 74,236,244,058.86
45,574,614,120.82 (27,090,795,561.19)
11 0.584679 85,549,398,992.57
50,018,961,784.75 22,928,166,223.56
12 0.556837 98,378,348,388.27
54,780,745,521.10 77,708,911,744.66
13 0.530321 112,924,653,958.09
59,886,355,008.21 137,595,266,752.86
14 0.505068 129,416,531,279.90
65,364,142,537.32 202,959,409,290.18
15 0.481017 148,112,359,884.29
71,244,577,542.95 274,203,986,833.13
16 0.458112 169,304,654,161.04
77,560,412,797.94 351,764,399,631.07
NPV
Payback
IRR
351,764,399,631.07
10 tahun
8.15%
Sebagai kesimpulan agar proyek Feasible maka tingkat diskonto harus dibawah 10 persen
sehingga pendanaan proyek ini tidak terlalu layak jika memakai bunga kredit investasi
dalam negeri, tetapi harus memakai dana internal atau sumber pendanaan luar negeri
yang mempunyai cost of fund yang lebih rendah sehingga menghasilkan IRR yang lebih
tinggi dan lebih besar daripada cost of capital sebagai tingkat diskonto untuk memperoleh
hasil yang lebih layak
f. Dari review terhadap bagi hasil yang diajukan mitra terdapat 3 opsi yaitu
1. Menerima 1 persen dari omset, PDAM hanya menerima total kumulatif 68,5
milyar selama 30 tahun
2. Mempunyai bagi hasil 17 persen dari penyertaan tanah sebesar 102 milyar
sedangkan mitra mendapatkan 83 persen dari biaya investasi 485 milyar sehingga
PDAM akan menerima keuntungan kumulatif sebesar 567 Milyar
3. Harga Sewa Tanah dengan kenaikan tanah 10 persen yang dihargai sewa sebesar
180.000 per m2 pada tahun 2019 sehingga PDAM menerima 276,12 Milyar
Dari ketiga scenario maka scenario bagi hasil yang lebih tinggi manfaatnya dari pada hanya
menerima 1 persen dari omset. HGB yang diagunkan jelas menimbulkan risiko yang lebih besar
sehingga perlu ada kompensasi yang lebih fair dan mencerminkan risiko untuk PDAM yang
melebihi harga sewa tanah. HGB yang dijaminkan harus dipastikan tidak mengganggu HPL
sehingga aset tanah tetap merupakan kendali penuh dari PDAM sebagai kekayaan negara yang
dipisahkan dalam BUMD PDAM. Mitra harus mempunyai komitmen menempatkan sinking
fund dan jaminan pemeliharaan, mendapatkan sumber dana yang lebih murah dari 10 persen
dan memberikan bagi hasil yang wajar di atas 1 persen dan cenderung kepada pola bagi hasil
jika meminta HGB untuk dijadikan jaminan kepada kredit Bank
Studi ini sangat terbatas kepada data yang diberikan PDAM beserta laporan keuangan Aditya
dan Adhicon, studi lanjutan perlu dilakukan untuk melakukan review terintegrasi dengan FS
lengkap baik dari perencanaan pembangunan cable car dan juga pembangunan fasilitas parkir
sebagai TOD. Karena di berbagai negara, cable car adalah business yang feasibility nya
tergantung dari cash flow yang akan di generate atau di subsidi dari TOD diantaranya
pembangunan fasilitas parkir. PDAM perlu mengetahui secara detail mengenai perencanaan
pembangunan fasilitas parkir karena bisa saja dalam pelaksanaannya fasilitas parkir ini
dikembangkan lagi misalnya menjadi food court bahkan residensial dan fungsi bisnis lainnya.
Kajian ini perlu mereview semua aspek secara detail dan komprehensif sebelum dilakukan PKS
antara PDAM dengan Mitra.
Download