DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan) (Skripsi) Oleh James Reinaldo Rumpia FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 ABSTRACT CONSTITUTIONAL DYNAMIC OF INDONESIA PARLIAMENT (Pre Independence and Post Independence) By James Reinaldo Rumpia Constitutional Dynamics of Indonesia Parliament, didn‘t only affected by changes of the constitution. In the early days of independence to Soeharto's New Order, the practice of representative Institution through the Majelis Permusyawaratan Rakyat (people's consultative assembly) and Dewan Perwakilan Rakyat (parliament) are not so run according to its function. In this case as an example the position of the Assembly as the highest institution, actually used by the government of New Orde to enforce authoritarian. MPR instead of being guardian of the people's sovereignty as mandated by the constitution, but it becomes a guardian of the interests of the New Order government. In the practice of the Parliament, also does not run in accordance with the authority and functions, Parliament just become only the rubber stamp parliament. After the reform in accordance with the phenomenon of constitutionalism, Indonesia try to make changes to the design of representative bodies through an amendment of the UUD 1945 (Indonesia Constitution). It starts with the limitation of power, strengthening the function of the House of Representatives and the desire to fulfill the interests of the regions through the Regional Representatives Council. Based whit it, the purpose of this research is to describe the dynamics of Indonesia Parliament, since the beginning of independence to post independence. This research using normative method with historical approach, institutional approach, and purpose of legislation. This research has shown that the dynamics of Indonesia parliament, was also influenced by the back ground and pressure in each periods. This is related with the spirit of parliament performance, which is based on their true purpose or just to fulfill formalities. Keywords: Dynamics, Parliament, Periods. ABSTRAK DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di INDONESIA (Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan) Oleh James Reinaldo Rumpia Dinamika Ketatanegaraan Lembaga Perwakilan di Indonesia, tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan Konstitusi. Pada masa awal kemerdekaan Lembaga Perwakilan hingga Orde Baru dibawah Soeharto, praktik dari lembaga perwakilan melalui MPR dan DPR tidak begitu berjalan sesuai fungsinya. Dalam hal ini sebagai contohnya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi, justru dimanfaatkan oleh pemerintah Orde baru untuk menegakkan otoritarian. MPR bukan menjadi penjaga kedaulatan rakyat seperti amanat konstitusi, namun justru menjadi penjaga kepentingan dari pemerintah Orde Baru. Pada praktik DPR juga tidak berjalan sesuai dengan kewenangan dan fungsinya, DPR hanya menjadi rubber stamp parliament saja. Pasca reformasi sesuai dengan fenomena konstitusionalisme, Indonesia mencoba melakukan perubahan desain lembaga perwakilan melalui amandemen UUD 1945. Hal ini dimulai dengan pembatasan kekuasaan, penguatan fungsi dari DPR hingga keinginan terhadap pemenuhan kepentingan daerah melalui Dewan Perwakilan Daerah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan menggambarkan dinamika ketatanegaraan Lembaga Perwakilan yang ada di Indonesia, sejak Indonesia sebelum merdeka hingga Indonesia merdeka saat ini. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan sejarah, pendekatan institusional, dan politik hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika yang terjadi terhadap lembaga perwakilan yang ada di Indonesia, juga dipengaruhi oleh latar belakang dan tekanan yang terjadi pada tiap masanya. Hal ini berkenaan dengan semangat penyelenggaraan Lembaga Perwakilan, yang hendak melaksanakannya sesuai pada tujuannya, atau hanya memenuhi formalitas saja. Kata Kunci: Dinamika, Lembaga Perwakilan, Masa. DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN DI INDONESIA (Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan) Oleh James Reinaldo Rumpia Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 18 April 1993. Putera pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Petra Sels Rumpia dan Sri Rahayu. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Fransiskus II Rawa Laut, Bandar Lampung pada tahun 2005. Tahun 2005 melanjutkan ke jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Xaverius II Bandar Lampung, dan lulus pada tahun 2008. Masa sekolah di SMP bagi penulis menjadi masa perpisahan terakhir dengan papa tercinta, karena pada tahun tersebut papa penulis menjadi korban dari Kecelakaan Pesawat di Tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Xaverius Bandar Lampung, dan lulus pada tahun 2011. Pasca lulus penulis belum melanjutkan menuju jenjang perkuliahan, dan lebih memilih untuk mencoba pengalaman di bidang wirausaha bersama Mama tercinta. Penulis baru melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2012 dan diterima melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tertulis. Selama menjalankan masa studi di Universitas Lampung, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa di internal dan eksternal kampus. Pada organisasi internal kampus, penulis di awal tahun perkuliahan sempat bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH UNILA, namun kemudian tidak melanjutkannya lagi karena lebih berfokus pada kegiatan lain. Penulis juga aktif di dalam Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara (HIMA HTN). Pada tahun 2015 penulis diamanahkan sebagai Kepala Bidang Kajian. Pada organisasi eksternal kampus, penulis sejak tahun 2012 bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandar Lampung, Komisariat Hukum Unila. Pada periode kepengurusan tahun 2015-2016 penulis diamanahkan sebagai Kepala Bidang P3A (Penelitian, Pengembangan anggota, dan Pembinaan Anggota) di HMI Cabang Bandar Lampung Komisariat Hukum UNILA. Penulis selain aktif dalam organisasi kemahasiswaan, juga aktif dalam Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKP-HAM) Fakultas Hukum UNILA. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan akademik, seperti menulis di Jurnal Tanah Air Tahun 2014 dengan judul Pemilu, Politik Transaksional dan Perampasan Sumber Daya Alam, mengikuti konferensi Internasional UNS Legal Conference Sustainability tahun 2014, 3rd IMCoSS tahun 2015, dan pada tahun 2015 mengikuti Law 2.0: New Challenges in Asia, 12th Asian Law Institute Conference di Taiwan. Pada tahun 2015 penulis diberikan penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi terbaik ketiga tingkat Universitas Lampung. MOTTO Dan ( ingatlah) ketika Tuhan-mu Memaklumkan, “ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S. Ibrahim: 7) Ilmu lebih baik dari pada harta. Ilmu menjagamu, sementara kau menjaga harta. Harta berkurang jika digunakan, ilmu bertambah jika diamalkan (Ali bin Abi Thalib) Karya ini kupersembahkan untuk: Papaku tercinta yang telah tiada Mamaku tersayang yang memberikan cinta, dan kasih sayangnya Keluargaku Guru-Guru dan Pembimbingku SANWACANA Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul ―Dinamika Ketatanegaraan Lembaga Perwakilan di Indonesia (Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)‖, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari banyak pihak baik berupa bimbingan, dukungan, motivasi, kritik serta saran yang berarti. Sehingga pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Sri Rahayu, Mamaku tercinta atas perhatian dan kasih sayangnya, yang selalu menjadi semangat bagi penulis dan mendorong penulis ke arah kemajuan; 2. Rudy, S.H., LL.M., LL.D, selaku pembimbing utama dan ketua bagian Hukum Tata Negara, yang dalam hal ini sangat berkontribusi terhadap kemajuan keilmuan yang penulis peroleh, atas dorongan motivasi, kedisiplinan, moral, dan juga menjadi inspirasi bagi penulis; 3. Dr. Yusnani Hasyim Zum, S.H., M.Hum, selaku pembahas utama yang dalam hal ini memberikan saran, dan kritik yang berarti dalam menulis karya ilmiah ini; 4. Dr. Budiyono, S.H., M.H selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, dan motivasi yang berarti bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini; 5. Yulia Neta, S.H., M.H selaku pembahas kedua yang telah memberikan kritik dan saran yang membantu penulis mengembangkan karya ilmiah ini; 6. Dosen-Dosen Bagian Hukum Tata Negara, Armen Yasir, S.H.,M.H., Yusdianto, S.H., M.H., Muhtadi, S.H.,M.H., Ahmad Saleh, S.H., M.H., Iwan Satriawan, S.H.,M.H., Martha Riananda, S.H., M.H., Siti Khoiriyah, S.H.,M.H., Ade Arif Firmansyah, S.H., M.H. selaku dosen yang telah memberikan ilmu bermanfaat selama perkuliahan serta kritikan dan masukan untuk selesainya skripsi ini.; 7. Dr Hieronymus Soerjatisnanta, S.H., M.H. yang selalu memberikan masukan keilmuan dan pengalaman, serta mendorong penulis untuk selalu mengembangkan keilmuan, dan untuk dapat bermanfaat bagi sesama; 8. Keluargaku, yakni Papaku terima kasih atas kasih dan sayangmu, Bapak Amri Lukman sebagai bapak yang telah membimbingku dan mengarahkanku kepada kebaikan dan kemanfaatan bagi sesama, adikadikku terkasih Juan Randy Rumpia, dan Jane Rosalina Rumpia terima kasih atas kebersamaannya; 9. Bapak Marjiono, Bapak Sujarwo, Bapak Supendi, Bapak Hadi dan Mas Nur yang telah membantu banyak hal terhadap penulis yang tidak akan mampu untuk disampaikan seluruhnya; 10. Keluarga Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM) UNILA, Dr. FX. Sumarja, S.H.,M.H., Fathoni, S.H.,M.H., Farid Alrianto, Bonifa Refsi, Ricco Andreas, Putu Aditya, Cornellius C.G, Anggun Ariena Rahman, Desi Rohayati, Edius Pratama, Ade Oktariatas K.Y., Cinda Marsya, Dedi Putra, Teta Anisah, terimakasih atas ilmu yang diberikan, kekeluargaan dan bantuannya selama ini; 11. Saudara seperjuangan di HMI Komisariat Hukum Unila angkatan 2012 Suma Indra, Alghafiqi, Aditya, Bonifa, S.H., Belardo, S.H., Danny, Dimas, Iqbal, Kujang, Nandha, Risky, Yudha Agung, Ragiel, Yudha Prawira, Ragiel, Rb Pratama, Ryo Novri, S.H., Dedy Ernadi, Dedy Sitepu, P.Dharma, Putri Utami, Julia Silviana, Silvia, Ratna Sari, Sari Tirta, Ika Nursanti, S.H., Lidia dan lainnya yang telah memberikan pembelajaran dan pengalaman yang baik; 12. Keluarga besar HMI Komisariat Hukum Unila, ―Samudera Byzantium‖, ―Anti Stagnasi‖, ―Victoria Bonefide‖, ―Cordova Hugo dan lain-lain untuk kebersamaan, pengalaman dan kekeluargaan yang sangat luar biasa; 13. Saudara seperjuangan di HIMA HTN (Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara) FH Unila. 2012: Pipin Lestari, Dewi Nurhalimah, S.H., Utia Meylina, S.H., Deka Nanda Prakoso, Dwi Zaen Prastyo, Shabrina Duliyan Firda, S.H., M. Husen Rifa‘i, Anastasia Resti, Ratna Sari, Sumaindra Jarwadi. 2013: Ridwan Saleh, Tia Nurhawa, Hendi Gustarianda, Edius Pratama, Afrintina, Sarinah, Haves Annamir, Royzal Annurrahman, Suhendri, Rudi Wijaya, untuk kebersamaan dan kekeluargaannya; 14. Teman-teman angkatan 2012 FH UNILA, Nazyra, Fifin, Fiona, Iis, Indah, dan lainnya, untuk kebersamaan dan pembelajarannya; 15. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan pemikiran serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani proses studi; 16. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis selama kuliah dan selama proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunianya kepada Bapak, Ibu serta rekan-rekan semua. Bandar Lampung, April 2016 Penulis James Reinaldo Rumpia DAFTAR ISI Halaman Judul Abstrak Halaman Persetujuan Halaman Pengesahan Pernyataan Riwayat Hidup Moto Persembahan Sanwacana Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar dan Ragaan I. PENDAHULUAN A. B. C. D. Latar Belakang .................................................................................... 1 Rumusan Masalah ............................................................................... 8 Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 9 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstitusi, Hukum dan Demokrasi ...................................................... 13 1. Demokrasi ........................................................................................ 14 2. Konstitusi ......................................................................................... 35 3. Demokrasi dan Konstitusionalisme dalam Lintasan Sejarah .......... 56 B. Lembaga Perwakilan ........................................................................... 87 1. Praktik Lembaga Perwakilan Zaman Klasik Barat.......................... 91 2. Praktik Lembaga Perwakilan Kontemporer Barat ........................... 95 3. Lembaga Perwakilan dari Perspektif Islam ..................................... 99 III. METODE PENELITIAN A B C D E F Jenis Penelitian ..................................................................................... 123 Pendekatan Masalah ............................................................................. 124 Sumber Data ......................................................................................... 125 Metode Pengumpulan Data .................................................................. 127 Metode Pengelolaan Data..................................................................... 127 Analisis Data ........................................................................................ 128 IV PEMBAHASAN A. Masa Sebelum Kemerdekaan Indonesia .............................................. 129 1. Dewan Rakyat (Volksraad) di Masa Kolonial Belanda................... 133 2. Lembaga Perwakilan di Masa Pendudukan Jepang ......................... 166 B. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1949) ............................................... 187 C. Masa Republik Indonesia Serikat ......................................................... 199 D. Masa UUDS 1950 ................................................................................ 222 E. Masa Demokrasi Terpimpin ................................................................. 249 F. Masa Demokrasi Pancasila................................................................... 266 G. Masa Reformasi.................................................................................... 283 V. PENUTUP A. Simpulan .............................................................................................. 346 B. Saran ..................................................................................................... 350 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 352 DAFTAR TABEL Tabel 1. Formulasi Alternatif Rule of Law ...................................................... 44 Tabel 2. perbedaan demokrasi majoritarian dan konsensus berdasarkan dimensi eksekutif-partai ............................... 96 Tabel 3. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan konsensus berdasarkan dimensi federal-kesatuan .............................. 97 Tabel 4. Tujuan, norma pengaturan dan praktik di masa Hindia Belanda ...... 163 Tabel 5. Tujuan, Norma Pengaturan, dan Praktik di masa Pendudukan Jepang .............................................................. 185. Tabel 6. Tujuan, norma pengaturan, dan Praktik KNIP .................................. 198. Tabel 7. Tujuan, norma pengaturan, dan praktik Lembaga Perwakilan masa RIS ...................................... 220. Tabel 8. Tabel hasil pemilihan umum 1955 Konstituante ............................... 241 Tabel 9. Hasil Pemilihan Umum 1955 DPR .................................................... 244 Tabel 10. Tujuan, norma pengaturan, dan praktik lembaga perwakilan di masa UUDS ...................................... 246 Tabel 11. Tujuan, norma pengaturan, dan praktik lembaga perwakilan di masa Demokrasi Terpimpin ............. 263 Tabel 12. Tujuan, norma pengaturan, dan praktik lembaga perwakilan di masa Demokrasi Pancasila .............. 281. Tabel 13. Tujuan, norma pengaturan, dan Praktik Lembaga Perwakilan di Masa Reformasi ............................................................................. 327 DAFTAR RAGAAN dan GAMBAR Ragaan 1. Indikator Penelitian ......................................................................... 10 Ragaan 2. Das Sollen vs Das Sein dalam Lembaga Perwakilan ...................... 131 Gambar Time Line Perjalanan Lembaga Perwakilan di Indonesia .................. 329 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Studi terhadap lembaga perwakilan tidak dapat dilepaskan dari studi hukum tata negara yang berlandaskan pada konstitusi. Konstitusi merupakan dasar yang menetapkan struktur lembaga negara, pengorganisasian negara, pembatasan kekuasaan, hingga pada perwujudan tujuan tertinggi negara.1 Perubahan terhadap konstitusi akan turut pula merubah keseluruhan tatanan, dan penyelenggaraan dari lembaga perwakilan di suatu negara.2 Indonesia sebagai contohnya sejak awal kemerdekaan menggunakan beberapa konstitusi, mulai dari UUD 1945, UUD RIS, dan hingga pada UUD 1945 amandemen keempat. 1 Usep Ranuwijaya menyebutkan bahwa konstitusi akan menentukan keorganisasian negara. Lihat Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm 184. Lain halnya dengan Soetandyo yang lebih menekankan konstitusi untuk menentukan batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara. Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum, Malang: Setara Press, 2013, hlm 72. Hal yang sama diungkapkan oleh Sri Soemantri bahwa konstitusi berfungsi melakukan pembatasan kekuasaan lembaga negara dari segi kewenangannya hingga pada waktu dijalankannya kekuasaan tersebut. Lihat Sri Soematri dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm 10. Pada sisi lain konstitusi juga dipandang sebagai sebuah konsep dasar bagi sistem pengelolaan kehidupan bernegara atau sistem manajemen nasional. Lihat Solly Lubis, Politik Hukum dan Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Maju, 2014 hlm 35. Konstitusi menurut Jimly adalah untuk mencapai tujuan tertinggi yakni: 1) keadilan; 2) ketertiban; dan 3) perwujudan nilai-nilai ideal bersama seperti kemerdekaan atau kebebasan, dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Grafindo Persada, 2013, hlm 119. 2 Solly Lubis juga berpendapat mengenai pergantian UUD dan dampaknya. Secara teoritis pergantian UUD setidak-tidaknya membawa perubahan struktural dan mekanisme pada pemerintahan negara, dan kemungkinan yang lebih jauh ialah perubahan dasar filsafat dan tujuan negara, tetapi dalam praktik ketatanegaraan kita di Indonesia, perubahan tidak menyangkut pada dasar filsafat dan tujuan negara namun hanya pada struktur, mekanisme dan policy saja. Lihat Solly Lubis, Fungsi Perundang-undangan Dasar dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Opcit, hlm 113-114 2 Masing-masing dari konstitusi tersebut membawa pada desain Lembaga Perwakilan tersendiri. Founding fathers Indonesia sesungguhnya sudah mempunyai konsep tersendiri mengenai lembaga perwakilan mulai dari Soepomo, Muhammad Hatta, bahkan Muhammad Yamin mengatakan bahwa lembaga perwakilan di Indonesia harus mengandung jiwa Permusyawaratan.3 Pada awal kemerdekaan Majelis Permusyawaratan dan DPR yang dirancang untuk menjalankan fungsi perwakilan, ternyata dalam hal ini belum dapat dibentuk. Dalam kondisi ini kemudian fungsi perwakilan tersebut dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP hingga dibentuknya MPR dan DPR. Namun dalam hal ini fungsi perwakilan yang dijalankan KNIP ternyata belum mampu mengantarkannya pada pembentukan MPR dan DPR, di masa awal kemerdekaan. Hal ini dikarenakan Indonesia melakukan transformasi menjadi negara serikat sistem parlementer, sehingga dalam hal ini harus menyesuaikan kebutuhan akan lembaga yang diperlukan.4 Lembaga Perwakilan kemudian diwujudkan dalam bentuk DPR dan Senat yang memiliki fungsi perwakilan bagi daerah dan golongan-golongan. Lembaga yang juga turut dibentuk pada saat itu adalah Konstituante. Konstituante dibentuk dengan keanggotaan yang ada dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan 3 Soepomo misalnya berpendapat bahwa keberadaan dari konsep permusyawaratan, negara harus terus menerus bersatu jiwa dengan rakyat, caranya yakni melalui badan Permusyawaratan. Lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, hlm 119. Muhammad Hatta berkenaan dengan konsep musyawarah mengatakan bahwa demokrasi Indonesia berdasarkan pada kekeluargaan. Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm 417. Lihat juga pendapat Muhammad Yamin yang mengatakan bahwa kekuasaan Majelis Permusyawaratan tidak hanya terdiri atas wakil daerah, namun adanya wakil golongan.. lihat dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Opcit, hlm 232. Lihat juga mengenai kelompok kepentingan dalam Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2010, hlm 140. Lihat juga Lihat Arrend Lipjhart, Pattern of Democracy, United State of America: Yale University, 2012, hlm 158-159. 4 Mahfud MD menyebutkan pasal dalam Konstitusi RIS yang langsung menunjuk dianutnya sistem parlementer adalah Pasal 118. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia , Jakarta: LP3ES, 2006, hlm 39. 3 Senat.5 Lembaga Perwakilan dalam bentuk Senat dan DPR RIS ini berakhir, sejalan dengan tidak diterimannya bentuk Negara Serikat. Daerah-daerah yang ada di Indonesia menghendaki untuk kembali ke kerangka negara kesatuan, dan kemudian menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai konstitusi.6 UUDS mengatur bahwa lembaga perwakilan yang ada dalam konstitusi adalah Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) yang anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat ditambah utusan-utusan daerah dan golongan-golongan. Namun ternyata Lembaga Perwakilan yang dibangun ketika itu bukan pada perimbangan kekuasaan. Sebagai contoh dikeluarkanlah Penpres No 4 Tahun 1960 tentang susunan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.7 Anggota DPR tidak lagi didasarkan pada perimbangan kekuatan partai dan politik beralih menjadi kerjasama secara gotong royong antara Pemerintah dan DPR.8 Orde Lama berakhir dan berganti kepada Orde baru merubah pula dinamika yang terjadi terhadap lembaga perwakilan. Dinamika terhadap lembaga perwakilan pada masa Orde Baru dapat dilihat dari fungsi legislasi yang dimilikinya. UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan bahwa kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang ada di tangan Presiden. Hal ini diperoleh dari penafsiran Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, yang 5 Lihat Pasal 188 Konstitusi RIS Perubahan yang terjadi terhadap konsep penyelenggaraan negara berdasarkan pada UUDS mengembalikan Jabatan Wakil Presiden karena UUD itu menggunakan sistem presidensil. Perubahan yang terjadi selanjutnya adalah menghapuskan keberadaan Senat dan Dewan Pertimbangan Agung. Alasan ditiadakannya Senat karena daerah bagian-bagian itu sudah tidak ada lagi, sedangkan DPA tidak ada keterangan dan dokumen yang menyatakan kebutuhan adanya DPA tersebut ketika itu. Lihat Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Jakarta: Noordhoff-Kolff, 1954, hlm 61-62. 7 Setuju terhadap garis politik yang ditetapkan oleh Soekarno merupakan syarat mutlak untuk mampu duduk sebagai anggota DPR-GR. lihat Pasal 2 Penetapan Presiden No 4 Tahun 1960. 8 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1996, Hlm 125. 6 4 seakan pemegang kekuasaan legislasi utama adalah presiden dan fungsi DPR hanya menyetujui rancangan. Saldi Isra dengan menelusuri penafsiran Pasal 5 ayat (1) dan pendapat para ahli seperti A. Hamid S. Attamimi, Bagir Manan, dan Wirjono Prodjodikoro menyimpulkan bahwa kondisi proses legislasi Orde Baru mengalami sebuah anomali.9 Presiden dalam praktiknya menjadi pemegang tunggal kekuasaan legislasi, dan DPR tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan rancangan undang-undang. DPR dengan kata lain tidak dapat menggunakan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen. Kondisi lemahnya kedudukan DPR ini berubah pasca reformasi. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi perhatian awal untuk penguatan dan penyetaraan kedudukan DPR dan Presiden. Pasal 5 ayat (1) sebelumnya berbunyi bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian berubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Jimly berpendapat perubahan terhadap pasal 5 ayat (1) UUD 1945 adalah sebuah pergeseran secara substantif kewenangan legislasi dari Presiden kepada DPR.10 Pasal selanjutnya yang semakin memperkuat fungsi legislasi dan memberikan kepastian dalam kewenangan legislasi adalah Pasal 22 A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Pasal ini menjadi demikian penting karena memberikan kepastian hukum, dan juga menguatkan dari pengaruh politis. 9 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm 139-143. 10 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm 134. 5 Pengalaman Orde lama hingga Orde Baru ranah legislasi menjadi ruang yang paling rentan, terhadap penguatan eksekutif dan pelemahan terhadap legislatif. Perubahan yang terjadi pasca amandemen, juga melahirkan Dewan Perwakilan Daerah yang sering disebutkan sebagai kamar kedua. Namun kamar kedua ini tidak seperti konsep kamar yang dianut negara-negara pengguna parlemen bikameral, dengan sistem presidensial. DPD ditempatkan dalam posisi weak bicameralism yang seharusnya tipe weak bicameralism merupakan ciri dari penggunaan sistem parlementer, seperti di Inggris. Dengan demikian Indonesia memiliki dinamika tersendiri mengakar hingga pada konsep kamarnya.11 Dinamika-dinamika yang telah ditelusuri pada tiap masanya menggambarkan bahwa studi lembaga perwakilan tidak hanya dipandangan dan dipengaruhi oleh Konstitusi saja. Namun praktik penyelenggaraan lembaga perwakilan dapat berbeda antara konsep yang ingin dibangun dengan praktiknya. Hal ini dikarenakan lembaga yang mewakili demokrasi tersebut memiliki kompleksitas yang tinggi.12 Sebagai contoh ketika masa sebelum reformasi kedudukan lembaga perwakilan, benar-benar tidak berdaya terhadap dominasi 11 Indonesia tidak menganut strong bicameralism padahal sistem pemerintahannya adalah presidensial. Model kamar yang biasanya dianut untuk strong bicameralism seperti di Swiss dan Belgia. Sedangkan Inggris dengan sistem parlementer dan model demokrasi Westminsternya, menganut weak bicameralism pada kamar keduanya, yakni House lords. Bahkan cenderung kamar yang ada seakan unicameral dikarenakan kuatnya pengaruh House of Commons. Lihat Arrend Lipjhart, Pattern of Democracy, Opcit, hlm 17-18. Ibid, hlm 38. Lihat juga George Tsebelis dan Jeannette Money, Bicameralism, United State: Cambridge University Press, 2003, hlm 76. 12 Guillermo O Donnel dan Philippe Schmitter berpendapat bahwa banyak institusi yang kini dianggap amat demokratis, pada awalnya dibentuk maksud yang sama sekali berbeda, dan baru kemudian meleburkan diri ke dalam batasannya yang dikenal saat ini, seperti, parlemen, partai, pemerintahan koalisi, kelompok kepentingan, dan sebagainya. Lihat Guillermo O‘Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: Pt Pustaka LP3ES, 1993, hlm 9. Lihat juga Anthony Birch mengungkapkan bahwa konsep perwakilan seringkali menimbulkan sengketa di tataran praktiknya, bukan pada tahap teori dan filosofi. Lihat Anthony Birch, The Concept and Theories of Modern Democracy, New York: Routlledge, 2007, hlm 133. 6 presiden.13 Contoh lain misalnya Volksraad sebagai lembaga perwakilan yang pernah ada di Indonesia sebelum kemerdekaan, bukan ditujukan untuk mewakili kepentingan Indonesia. Namun dipergunakan oleh para tokoh perjuangan sebagai saluran aspirasi mereka.14 Dinamika terhadap lembaga perwakilan di Indonesia di sisi lain belum ada yang menelusurinya secara komprehensif, mulai tujuan yang hendak dibangun hingga pada praktik penyelenggaraannya. Studi terhadap lembaga perwakilan di Indonesia dalam perkembangannya dilakukan berbagai pendekatan, secara normatif maupun melalui pendekatan lainnya seperti sejarah. Penulis mengambil contoh studi-studi lembaga perwakilan yang pernah ada dan cocok untuk menjadi bahan perbandingan dan penguat studi penulis. Lembaga perwakilan dalam hal ini MPR pernah dilakukan Budiman Sagala dengan Judul Tugas dan Wewenang MPR RI. 15 Budiman dalam hal ini hanya mengkaji permasalahan tugas dan wewenang MPR RI dari awal kemerdekaan hingga tahun 1981. Studi yang dilakukan hanya berkenaan dengan tugas dan wewenang dari MPR RI saja, dan hanya menggunakan perumusan kaidah hukum positif yang ada. Padahal studi terhadap hukum tata negara dalam 13 Periode sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 menandai pula semakin menguatnya kedudukan presiden melalui konsep demokrasi terpimpinnya Lihat Fred Von Mehden, Politik Negara-negara Berkembang (terjemahan Simamora), Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm 187-189. Pada masa Orde Baru DPR secara politis dikuasai dan didominasi oleh Golongan Karya, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Golkar merupakan kaki tangan Soeharto. Lihat jumlah anggota DPR dari golongan karya di Lihat http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/10/PEMILU-1977-1997/MzQz diakses 23 September 2015 pukul 08.05 wib. 14 Volksraad disebutkan juga oleh Harry J Benda sebagai eksperimentasi dari kegembiraan perang dunia I, yang 2 (dua) tahun kemudian menjadi cetak biru hubungan kolonial liberal. Lihat Harry J Benda, Pattern of Administrative Reforms in Closing Years of Dutch Rule in Indonesia, dalam Journal of Asian Studies (pre-1986); Aug 1966; 25,4; Art and Humanities, hlm 592. Volksraad disebutkan juga sebagai langkah pertama dari keterlibatan orang-orang bumiputera dalam pemerintahan kolonial. Lihat dalam Jacomina Marsman, Indonesia - Merdeka A Study Of The Development Of The Nationalist Movement In The Dutch East Indies From 1900 To 1940, South California: Faculty of History Southern California Univesity, 1947, hlm 61. 15 Budiman Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981. 7 realitasnya tidak dapat hanya ditinjau dari melihat dan mempelajari bentuk-bentuk perumusan kaidah hukum yang dapat ditemukan dari perundang-undangan dan sumber hukum lainnya.16 Studi terhadap MPR dengan pendekatan sejarah pernah dilakukan oleh Samsul Wahidin dengan judul MPR RI dari Masa ke Masa. 17 Kedua studi tersebut diketahui dilakukan pada masa Orde Baru. Penulisan sebuah buku pada saat Orde Baru tidak sebebas saat ini, sedikit banyaknya pemerintah ketika itu dapat melakukan kontrol terhadap substansi dari pada buku ataupun majalah.18 Tentu dalam hal ini pembahasan yang tajam mengenai lembaga perwakilan akan dibatasi, dan kemungkinan pembahasan tentang lembaga perwakilan di Masa Orde Baru tidak akan komprehensif. Pada Masa Orde Baru juga pernah dilakukan studi terhadap DPR RI oleh Muchtar Pakpahan dengan judul DPR RI Semasa Orde Baru.19 Muchtar sudah membahas mengenai Struktural, dan budaya politik yang terjadi semasa pelaksanaan DPR RI. Namun Muchtar tidak menyentuh permasalah dominasi presiden Soeharto. Hal ini berarti masih sama dengan 2 (dua) studi lembaga perwakilan yang disebutkan tadi. Masa Reformasi telah lebih bebas untuk mengkaji permasalahan kelembagaan negara dibandingkan dengan Masa Orde Baru. berbagai tulisan telah lebih bebas untuk membahas mengenai lembaga perwakilan. Saldi Isra menjadi 16 Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Opcit, hlm 33. Pendapat mengenai studi HTN juga diungkapkan oleh Abdul Gani, dia berpendapat bahwa Penguasaan ilmu hukum tata negara selalu memperhatikan dan lebih dari itu menitikberatkan tidak saja pada aspek-aspek yuridik, seperti norma hukum, rule of law, legalitas, kewenangan hukum, juga pada aspek-aspek politikologik, antara lain mengenai, aliran-aliran peristiwa politik aktual, teori-teori politik, praktek pengadilan lihat Abdoel Gani, Hukum dan Politik Beberapa Masalah, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Opcit, hlm 163. 17 Samsul Wahidin, MPR RI dari Masa ke Masa, Jakarta: Bina Aksara, 1986. 18 Bahkan Koran sekelas Tempo pun pernah mendapat treatment pembredelan dari pemerintah Orde Baru. lihat http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-tahunpembredelan-majalah-tempo diakses 12 Oktober 2015 pukul 18.20 wib. 19 Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, Jakarta: Sinar Harapan, 1994. 8 salah satu penstudi lembaga perwakilan. Saldi dalam hal ini melakukan studi terhadap fungsi legislasi, yakni dengan judul Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia.20 Saldi Isra hanya membahas mengenai fungsi legislasi saja dan perubahannya dari awal kemerdekaan. Selanjutnya studi terhadap lembaga perwakilan dengan pendekatan sejarah juga dilakukan oleh Charles Simabura dengan judul Parlemen Indonesia Lintasan Sejarah dan Sistemnya. Charles membahas parlemen Indonesia dengan pendekatan sejarah. Dinamika lembaga perwakilan di Indonesia dan studi terhadapnya, menjadi dasar diperlukannya penelitian mengenai dinamika ketatanegaraan lembaga perwakilan di Indonesia Hal ini dikarenakan dinamika terhadap lembaga perwakilan di Indonesia tiap periodenya tidak hanya diakibatkan oleh perubahan konstitusi. Namun dinamika tersebut dapat saja terjadi karena perbedaan antara tujuan pembentukannya dengan realitasnya. Tujuan berkenaan dengan alasan mengapa dibentuknya lembaga perwakilan tersebut, dan realitas berkenaan dengan praktik penyelenggaraan lembaga perwakilan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana dinamika Ketatanegaraan Lembaga Perwakilan di Indonesia (pra kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)? 20 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010. 9 C. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Lembaga Perwakilan yang ada di Indonesia pada Masa sebelum kemerdekaan tepatnya pada Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang, dan masa pasca Kemerdekaan hingga sekarang ini. Lembaga perwakilan dalam kajian penelitian ini akan dibagi secara dua fase besar yakni: Masa sebelum kemerdekaan Indonesia dan Masa pasca kemerdekaan Indonesia. Pada Fase besar yang pertama yakni, masa sebelum kemerdekaan kajian Lembaga perwakilan akan dibatasi pada masa penjajahan kolonial Belanda (1900-1940an) dan Masa penjajahan Jepang (1942 hingga 1945). Lembaga perwakilan yang dimaksud pada zaman penjajahan Belanda akan difokuskan kepada dewan Rakyat (Volksraad) dimana dalam lembaga tersebut ada keterlibatan pergerakan nasional Indonesia dan lebih lanjut tujuan sesungguhnya dari pembentukan Volksraad ini apakah benar-benar berperan sebagai lembaga perwakilan, yang mewakili kepentingan rakyat bumi putera di Hindia Belanda ketika itu ataukah ada tujuan lain dari pembentukannya. Pada fase Jepang dalam hal ini turut pula ditelusuri tujuan pembentukan lembaga perwakilan ketika itu yakni Chuo Sangi In dan keterlibatan orang-orang Indonesia di dalamnya. Pada Fase besar yang kedua, kajian lembaga perwakilan akan lebih difokuskan kepada lembaga perwakilan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yakni sejak UUD 1945 sebelum perubahan hingga pada perubahan keempat tahun 2002. 10 Ragaan 1. Indikator Penelitian politik legislasi Norma realitas Dalam penelitian ini tiap lembaga perwakilan akan dilihat 3 (tiga) indikator yang ada padanya: 1. Politik legislasi Hal ini akan berkenaan dengan tujuan pembentukan lembaga perwakilan tersebut pada hakikatnya adalah untuk apa dilakukan, atau kebutuhan apa yang mendesak ketika itu sehingga perlu dibentuk lembaga perwakilan tersebut, apakah lembaga perwakilan tersebut dibentuk untuk benar-benar mewakili kepentingan rakyat ataupun ada alasan lainnya di balik pembentukannya; 2. Norma Norma yang dimaksud disini adalah ketentuan yang ada dan berkenaan dengan lembaga tersebut. Norma-norma yang ada menjadi petunjuk untuk memperjelas bagaimana sistem perekrutan dari lembaga perwakilan tersebut hingga pada kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan. Pada sisi lain peralihan dari politik legislasi menuju pada norma yang ada dalam kaitannya 11 dengan lembaga perwakilan, digunakan untuk menunjukkan das sollen yakni cita dalam pembentukan lembaga tersebut; 3. Realitasnya Realitas yang dimaksud ini adalah berkenaan dengan bagaimana lembaga perwakilan tersebut dijalankan, apakah telah sesuai dengan tujuan pembentukannya atau sebaliknya pelaksanaan dari lembaga perwakilan yang ada menyimpang dari tujuan dan ketentuannya. D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: Menggambarkan secara menyeluruh das sein dan das sollen dinamika Lembaga Perwakilan di Indonesia pada masa pra dan pasca kemerdekaan. 2. Kegunaan Penelitian Hasil dari kegiatan penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk: a. Kegunaan Teoretis Dapat dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya pembangunan lembaga perwakilan dan hukum tata negara pada umumnya, serta dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya. b. Kegunaan Praktis Diharapkan kajian dari hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca mengenai dinamika Lembaga 12 Perwakilan yang ada di Indonesia, serta dapat bermanfaat untuk memberikan rumusan dan gagasan pembaruan dalam pembangunan Lembaga Perwakilan di Indonesia. II. TINJAUAN PUSTAKA A Konstitusi, Hukum, dan Demokrasi Demokrasi merupakan ideologi yang paling rasional dan wajib ada dalam setiap penyelenggaraan negara dewasa ini. Kebebasan dan kesetaraan menjadi tawaran yang disediakan oleh demokrasi. Negara yang menentang ataupun menimpang dari haluan demokrasi akan dianggap gagal dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Dominasi dari ideologi demokrasi, hak individu, dan kapitalisme dibuka setelah runtuhnya komunisme.21 Ketiadaan suatu saingan dengan demikian membuat demokrasi terus menerus menguat. Kondisi demikian bahkan dianggap sebagai akhir zaman oleh Francis Fukuyama, ia berpendapat bahwa:22 More than that, however, I argued that liberal democracy may constitute the "end point of mankind's ideological evolution" and the "final form of human government," and as such constituted the "end of history." Demokrasi liberal dengan demikian menjadi penutup atau ideologi akhir zaman umat manusia. Demokrasi liberal menjadi ideologi yang terakhir dan seakan paling sempurna. Namun sebelum lebih jauh membahas demokrasi sebagai ideologi akhir zaman, kita perlu menguraikan kembali apa itu demokrasi, teori demokrasi hingga bagaimana kemudian demokrasi dapat berkembang menjadi sedemikian rupanya atau disebutkan sebelumnya sebagai ideologi akhir zaman. 21 Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, and Theorie, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hlm 1 22 Francis Fukuyama, End Of History and The Last Man, United State: Maxwell, 1992, hlm xi. 14 1. Demokrasi Demokrasi sebagai sebuah ide penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada rakyat. Rakyat bahkan sering disebutkan sebagai pemilik dari penyelenggaraan pemerintahan apabila mengacu dari sudut pandang demokrasi. Kata demokrasi sendiri muncul pada abad ke 5 sebelum masehi.23 Demokrasi apabila kemudian dilihat secara terminologis sering diartikan sebagai pemerintahan oleh dari, oleh dan untuk rakyat. Jimly Asshiddiqie menerjemahkan makna demokrasi dalam 4 (empat) ciri besar: 1) kekuasaan berasal dari rakyat; 2) rakyat menentukan seluruhnya arah sesungguhnya serta menyelenggarakan kehidupan kenegaraan; 3) keseluruhan sistem penyelenggaraan negara diperuntukkan untuk rakyat; dan 4) negara yang ideal bahkan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat.24 Demokrasi dengan ciri-ciri umumnya tersebut lebih lanjut diderivasikan ke dalam ciri yang lebih khusus apabila mengacu pada aliran yang melatarbelakangi demokrasi tersebut. Miriam Budiarjo berkenaan dengan demokrasi memandang bahwa ada dua kelompok aliran demokrasi yang besar, yakni demokrasi konstitusional dan demokrasi yang berdiri diatas komunisme.25 Jimly Asshiddiqie juga memiliki pendapat mengenai aliran besar 23 Adam Przeworski menebutkan mengenai kata demokrasi sebagai berikut: The story is bewildering. The word ―democracy‖ appeared during the fifth century bc in a small municipality in Southeastern Europe, acquired a bad reputation, and vanished from usage already in Rome. According to the Oxford English Dictionary, its first appearance in English was in 1531. The 1641 constitution of Rhode Island was the first to refer to a ―Democratical or Popular Government. Demokrasi berdasarkan pada pernyataan Adam tersebut bahwa kemunculan demokrasi berawal dari Eropa Selatan, dan dalam kamus bahas Inggris Oxford pertama kali muncul sebagai sebuah kata adalah pada tahun 1531. Lihat Adam Przeworski, Democracy and The Limits of SelfGovernment, Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hlm 4. 24 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 293. 25 Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (cetakan Ke-delapan), Jakarta: CV Prima Grafika, 2013, hlm 105. 15 demokrasi. Jimly lebih cenderung melihatnya dari subjek yang memandang demokrasi tersebut, yakni antara pemikiran individualis dan kolektivis.26 Jimly lebih lanjut berpandangan bahwa kaum individualist adalah rakyat berdaulat ketika dia berdiri sebagai individu otonom, sedangkan kaum kolektivis beranggapan rakyat berdaulat ketika berdiri dalam kolektif dan totaliter.27 Kedua aliran demokrasi tersebut tentu dalam implementasinya memiliki alasan tersendiri. Demokrasi dengan haluan individualis mendorong pada terbinanya masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan memiliki daya saing, dan dalam hal ini tidak bergantung pada peran-peran negara. Demokrasi pada sisi lain juga sebagaimana diungkapkan oleh Adam Prezeworski adalah sebuah sistem tertentu pemerosesan dan pengakhiran konflik-konflik antar kelompok.28 Perkembangan pemikiran demokrasi yang sedemikian rupanya, seringkali disebutkan berasal dari Yunani Kuno. Namun bagaimana pemikiran Yunani Kuno hingga sekarang ini berkembang menjadi sebuah teori demokrasi seringkali tidak terungkap. Pemikiran politik moderen saat ini menganggap bahwa demokrasi Yunani adalah demokrasi yang sifatnya partisipatoris. Artinya demokrasi yang menyediakan keterlibatan bagi seluruh rakyat dalam penyelenggaraan negara. 26 Jimly, Pilar-pilar … Opcit, hlm 242. Ibid. 28 Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi, dalam Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm 89. 27 16 a. Teori Demokrasi Demokrasi dalam perkembangannya tidak lagi hanya mengandalkan ide tentang bagaimana rakyat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi dalam perkembangannya dengan demikian mengarah pada wujud partisipasi yang lebih kompleks lagi, dan tidak sesederhana seperti yang ada dalam pemikiran demokrasi klasik. Demokrasi dengan demikian memunculkan dua pandangan besar terhadapnya, yakni demokrasi klasik dan demokrasi kontemporer sebagaimana didapat dalam literatur-literatur ilmu politik.29 Teori demokrasi klasik menurut Zamroni memiliki tiga makna sekaligus, yakni: 30 a) Demokrasi sebagai sumber otoritas negara, yang berada di tangan rakyat, atau merupakan kekuasaan rakyat; b) Demokrasi sebagai tujuan dari pemerintah untuk menyediakan kebutuhan rakyat; c) Demokrasi sebagai metode untuk memilih pemimpin politik oleh rakyat. Makna-makna yang terkandung dalam demokrasi klasik masih sangat sederhana, tidak heran hal ini terjadi demikian karena makna demokrasi secara umum ketika itu hanya dipandang sebagai dominasi kekuasaan negara oleh rakyat dan partisipasinya saja. Demokrasi yang diselenggarakan sebagaimana diungkap sebelumnya belum mencakup kepentingan setiap warga negara, karena masih ada diskriminasi terhadap gender dan status sosial serta keturunan. Teori demokrasi kontemporer di sisi menurut Zamroni disarikan dari pemikiran Jeremy Bentham 29 Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: Ombak, 2013, hlm 59. 30 Ibid. 17 dan James Stuart Mill. Teori Demokrasi kontemporer disebutkan olehnya memiliki 4 (empat) ciri utama yakni:31 a) Pemerintahan demokratis merupakan institusi penjaga kebebasan warga masyarakat; b) Perkembangan sistem ekonomi untuk dapat tumbuh dan berkembang bergantung kepada pemerintahan yang demokratis; c) Adanya sistem dan mekanisme pelaksanaan hak-hak rakyat; d) Mekanisme dan prosedur yang ada ditetapkan melalui undang-undang Teori demokrasi kontemporer memberikan lahan baru bagi demokrasi untuk berkembang yakni di bidang ekonomi. Rakyat diberikan ruang lebih luas untuk dapat menyelenggarakan kehidupannya dan memperoleh kesejahteraan yang diidamkannya. Demokrasi kontemporer dapatlah dikatakan sebagai salah satu wujud demokrasi moderen namun bukan berarti awal mula demokrasi dan akhir demokrasi moderen berasal dari demokrasi kontemporer. Pemaparan dari Zamroni tersebut hanya merupakan pengantar terhadap teori demokrasi moderen yang hendak dibahas. Teori demokrasi saat telah berkembang semakin beragam. Pembahasan terhadap kata teori dewasa ini seringkali tidak pada sesuai dengan makna sebenarnya, misalnya pembicaraan orang itu tentang pertanian hanya penuh dengan teori saja tidak tahu bagaimana cara menanam yang baik dan memanen di sawah. Hal seperti ini yang kemudian dianggap bahwa teori itu sebuah pemikiran dan pandangan seseorang akan suatu hal saja. Teori tidak akan terlepas dari preposisi-preposisi, namun ada struktur yang membangun preposisi tersebut untuk 31 Ibid. 18 dapat dikatakan sebagai teori. Teori dalam pandangan ilmu logika tidak akan terlepas dari hipotesis. Teori yang ada beranjak dari hipotesis, untuk selanjutnya dapat menjadikan hipotesis tersebut sebagai sebuah teori maka hipotesis harus dibuktikan kebenarannya.32 Oleh karena itu butuh proses bahkan penelitian untuk menguji apakah hipotesis yang ada tersebut dapat dikatakan sebagai teori. Teori telah disebutkan sebelumnya sebagai hipotesis yang diuji kebenarnya, lalu bagaimana dengan teori demokrasi. Demokrasi juga mengalami persimpangan arti dan makna antara teori demokrasi dan pemikiran demokratis. Jeffri D. Hilmer menyebutkan bahwa ada perbedaan mendasar antara pemikiran demokratis dan teori demokrasi. Pemikiran demokratis dapat didefinisikan sebagai kategori umum yang mencakup pemikiran politik yang kurang sistematis. Literatur, karya sejarah, pamflet politik, dan berbagai pemikiran organisasi tentang partisipasi rakyat dalam pemerintahan berdasarkan definisi tersebut dapat dikategorikan sebagai pemikiran demokratis. Teori demokrasi pada sisi lain adalah upaya yang lebih sistematis untuk mendeskripsikan atau memprediksikan atau kedua-duanya perilaku fenomena politik.33 Teori demokrasi dalam perkembangannya secara praktik digunakan sebagai dasar dalam pemahaman hubungan antara warga negara dan pemerintah. Pemahaman demikian menimbul pula berbagai versi tafsir demokrasi yang ada di dunia ini. Teori demokrasi dalam hal ini banyak merupakan versi teori yang tumbuh dan berkembang dari praktik politik di Amerika. Untuk itu pada sub bab ini akan diberikan pemahaman mengenai teori demokrasi yang ada dan masih 32 Mundiri, Logika, Jakarta: Rajawali Press, 2014, hlm 199. Lihat tulisan Jeffrey D. Hilmer, Pemikiran Demokratis Moderen dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi Panduan Tematis, Opcit, hlm 977. 33 19 eksis saat ini, sehingga akan terang pemahaman terhadap tarik ulur hubungan pemerintah dan warga negaranya. a) Demokrasi Partisipatoris Yunani dalam hal pemikiran tentang demokrasi memberikan sumbangsih yang besar terhadap model demokrasi pertama yakni demokrasi partisipatoris. Yunani kuno dalam hal ini di Athena mengadopsi bentuk pemerintahan demokratis yang memberikan kesempatan bagi warganya untuk dapat berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan.34 Ide dasar demokrasi partisipatoris adalah bagaimana warga negara dapat berpartisipasi secara langsung dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi Athena ini dalam perkembangan pemikiran politik moderen dikembangkan oleh C.B Machperson. Machperson sebagai seorang yang mengembangkan konsep demokrasi ini, mulanya membahas terlebih dahulu bagaimana participatory democracy dapat berfungsi sebagai sebuah sarana mewujudkan demokrasi diantara masyarakat. Machperson pertama-tama menguraikan bahwa selama ini participatory democracy dapat diwujudkan dengan menggunakan sistem piramida. Sistem piramida menggunakan model demokrasi yang mengandalkan partisipasi di setiap levelnya, mulai dari level sistem masyarakat paling rendah hingga pada tataran nasional/negara. Sistem piramida menurut Machperson lebih lanjut di sisi lain, memiliki 3 (tiga) kondisi yang mengakibatkan sistem piramida tidak berfungsi 34 John T Ishiyama, Tatyana Kelman dan Anna Pechenina, Model Demokrasi dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi Panduan Tematis (terjemahan Ahmad Fedyani Saifuddin), Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013, hlm 446 20 dengan baik.35 Pertama, sistem piramida tidak membuktikan pertanggungjawaban dari pemerintah di setiap level dibawahnya dalam kondisi pasca revolusi.; apabila tidak demikian hal ini akan menimbulkan situasi kontra-revolusi, dengan ataupun tidak melibatkan intervensi asing. Kedua, kondisi lain yang timbul sistem pertanggungjawaban konsul model piramida tidak akan memberikan pokok kemunculan dari pembagian kelas, dan oposisi. Ketiga, sistem konsul piramida tidak akan bekerja apabila masyarakatnya apatis. Model demokrasi participatory dalam hal ini tidak hanya dibahas oleh Machperson, Benjamin Barber juga turut membahas mengenai teori demokrasi ini. Benjamin menyebutkan bahwa:36 Strong democracy is a distinctively modern form of participatory democracy. It rests on the idea of a self-governing community of citizens who are united less by homogeneous interests than by civic education and who are made capable of common purpose and mutual action by virtue of their civic attitudes and participatory institutions rather than their altruism or their good nature. Teori demokrasi participatory dalam istilah Benjamin disebutkan sebagai demokrasi yang kuat. Demokrasi yang menciptakan masyarakat berdasarkan pada konsep memerintah dan memberdayakan diri sendiri, dan bersatu dalam homogenitas yang memiliki tujuan sama serta berpartisipasi dalam institusi. Benjamin lebih lanjut menyebutkan bahwa:37 The participatory process of self-legislation that characterizes strong democracy attempts to balance adversary politics by nourishing the mutualistic art of listening. " I wil l listen" means to the strong democrat not that I wil l scan my adversary's position for weaknesses and potential tradeoffs, nor even (as a minimalist might think) that I wil l tolerantly permit hi m to say whatever he chooses. It means, rather, " I wil l put myself i n his place, I wil l try to understand, I wil l strain to hear what makes us alike, I 35 C.B Machperson, The life and Times of Liberal Democracy, Oxford: Oxford University Press, 1979, hlm 108-111. 36 Benjamin. R. Barber, Strong Democracy Participatory Politics For a New Age, Berkeley: University of California Press, 2003, hlm 117. 37 Ibid, hlm 175. 21 wil l listen for a common rhetoric evocative of a common purpose or a common good." Benjamin dalam hal ini menganggap bahwa demokrasi Participatory harus dapat mencerminkan suatu pendekatan yang juga berbasis pada self-legislation dengan bersandar pada konsep mendengarkan. Konsep mendengarkan ini berkenaan dengan terbuka kesempatan untuk mengkiritis kelemahan dan kebaikan serta mencoba mengerti kebaikan umum. Benjamin disisi lain juga menyebutkan adanya kesempatan bicara sebagai fungsi politik dalam participatory democracy. Ada setidaknya 9 (sembilan) fungsi berbicara dalam pemikiran Benjamin: 1) The articulation of interests; bargaining and exchange; 2) Persuasion; 3) Agenda-setting; 4) Exploring mutuality; 5) Affiliation and affection; 6) Maintaining autonomy; 7) Witness and self-expression; 8) Reformulation and reconceptualization; 9) Community-building as the creation of public interests, comm on goods, and active citizens. Konsep demokrasi participatory pada akhirnya bergantung pada keaktifan dari warga negara. Warga negara haruslah mengerti bagaimana menyuarakan hakhaknya untuk dapat melaksanakanya melalui aktif dalam mendengar serta berbicara. 22 b) Demokrasi Pluralis Robert Dahl mengembangkan teori Pluralist berdasarkan pada praktik demokrasi di Amerika. Dahl dalam mengungkapkan teori demokrasi tidak secara tegas dan ketat mengenai permasalahan definisi teori demokrasi itu sendiri. Dahl. Demokrasi menurut penafsiran Dahl merumuskan teori demokrasi sebagai sebuah proses kontrol tingkat tinggi warga negara terhadap pemimpin. Dahl dalam bukunya ― Preface of democratic theory‖ membangun teori pluralistnya yakni Poliarchy berdasarkan pada koreksi terhadap demokrasi tipe James Madison, yang kemudian juga dibandingkan dengan teori populist democracy. Dahl memaparkan mengenai pokok-pokok utama dari teori Madison. Teori Madison dipaparkan oleh Dahl mulai dari pengertian Tirani menurut Madison, hingga pada campur tangan pemerintah terhadap hak-hak natural warga negara yang harus dijaga supaya tidak terjadi tirani. Teori Madison dan para penerusnya menurut Dahl adalah sebagai berikut:38 Pertama, Teori Madison tidak memberikan pengertian yang secara eksplisit mengenai Tyranny, yang menjadi permasalahan ketika Madison mengungkapkan mengenai teori demokrasinya. Definisi Madison menurut Dahl mengenai Tyranny hanya menjawab kasus yang sifatnya berdasarkan momennya yang tepat dan logis terhadap argumentasinya. Kedua, tidak ada definisi yang tegas dan jelas mengenai apa itu natural rights. Right dan natural rights yang dimiliki oleh warga negara tidak dijawab secara jelas oleh Madison. Absen dari pengertian hak natural merupakan permasalahan yang ada dalam teori Madison ini. Absensi hak natural menurut penulis juga akan menimbulkan permasalahan 38 Robert A. Dahl, A Preface of Democratic Theory (Expanded Version: 50 years Anniversay), Chicago: University of Chicago Press, 2006, hlm 6-7. 23 terhadap penafsiran tirani yang dilakukan oleh pemerintah. Tanpa adanya pengertian yang tegas dan jelas terhadap hak natural akan memberikan ruang yang lebih luas kepada tirani, meskipun pada dasarnya pasti selalu ada ruang untuk itu tetapi setidaknya mengurangi intervensi negara kepada rakyatnya (dalam perspektif demokrasi). Ketiga, Dahl menyebutkan dalam istilahnya sebagai ―severe derivation‖ dalam hal ambiguitas yang dimunculkan Madisonian. Sejauh mana pemerintah untuk membatasi hak natural dari warga negara tanpa menjadi tirnani? Lebih lanjut disebutkan oleh Dahl bahwa kemudian Madison dan madisonian lainnya sudah menetapkan mengenai kriteria yang memuaskan. Dahl demi memperkuat teorinya mengenai demokrasi, teori demokrasi Populistic turut pula menjadi bahan kajiannya. Dahl mengkonsentrasikan permasalahan demokrasi populistic berdasarkan pada pertanyaan signifikan. Pertama, teori tersebut tidak mengindikasikan individual ataupun grup harus termasuk dalam sistem politik yang berkenaan dengan kesetaraan politik, kedaulatan rakyat, dan aturan yang akan diterapkan. Kedua, Dahl yang mengutip pendapat Gactano Mosca mengatakan bahwa tiap Society mengembangkan kelas yang berkuasa. Ketiga, permasalahan empiris yang ketiga adalah menjadi sumber kebingunan intelektual, karena ambiguitas linguistik. Kedaulatan rakyat, kesetaraan politik, dan aturan mayoritas akan menghancurkan sistem, dan metode veto akan menyelamatkan mencegah kehancuran tersebut. Pembahasan terhadap kedua teori ini menurut Dahl digunakan untuk membangun dan mengkonstruksi teori demokrasi poliarki. Teori demokrasi Poliarki Dahl setelah membahas kedua teori demokrasi yakni demokrasi Madison dan Populis, ternyata masih juga menemukan dilema. Jeffrey D. Hilmer misalnya menyebutkan bahwa poliarki merupakan teori yang 24 mengakui hak individual dan organisasinya untuk independen dan otonom, namun ia juga tidak menyadari bahwa mereka mungkin memanfaatkan kesempatan itu demi kepentingan privat mereka, sering mengorbankan kebaikan publik.39 c) Demokrasi Deliberatif Demokrasi deliberatif merupakan teori yang berkembang di tahun 1980an dan diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Demokrasi deliberatif merupakan teori yang mengarahkan pada konsep demokrasi yang khususnya dapat dikembangkan di negara-negara yang pluralitasnya tinggi. Keberadaan demokrasi delbiratif bukan mengarah pada konsep suara terbanyak, karena dalam konsepsinya demokrasi deliberative mengajak untuk merangkul seluruh kepentingan politik yang ada baik mayoritas maupun minoritas. Fokus utama dari konsep demokrasi deliberatif mengajarkan pada peranan masyarakat dalam public sphere (ruang publik). Berikut adalah pendapat habermas mengenai public sphere yang dimaksud olehnya:40 Basic constitutional guarantees alone, of course, cannot preserve the public sphere and civil society from deformations. The communication structures of the public sphere must rather be kept intact by an energetic civil society. That the political public sphere must in a certain sense reproduce and stabilize itself from its own resources is shown by the odd selfreferential character of the practice of communication in civil society. Those actors who are the carriers of the public sphere put forward "texts" that always reveal the same sub text, which refers to the critical function of the public sphere in general. Whatever the manifest content of their public utterances, the performative meaning of such public discourse at the same time actualizes the function of an undistorted political public sphere as such. Thus, the institutions and legal guarantees of free and open opinion-formation rest on the unsteady ground of the political communication of actors who, in making use of 39 Jeefrey D Hilmer, Pemikiran Demokratis Moderen, Opcit,hlm 979. Jurgen Habermas, Between Fact and Norm Contribution to Discourse Theory of Law and Democracy (terjemahan William Rehg), Massachussets: Cambridge University Press, 1996, hlm 369. 40 25 them, at the same time interpret, defend, and radicalize their normative content. Ruang publik yang ada diciptakan secara aktif oleh civil society bukan pada pemberian dan jaminan secara konstitusional. Pendekatan yang digunakan oleh habermas hampir mirip dengan yang ada dalam participatory democracy, namun perbedaan mendasarnya ada pada cakupan demokrasi deliberatif yang fokus pada sektor politik saja. F. Budi Hardiman menerjemahkan demokrasi deliberatif Jurgen Habermas adalah sebagai berikut:41 1) Demokrasi deliberatif tidak memusatkan diri pada penyusunan daftardaftar tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warga negara melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu 2) Model demokrasi deliberatif juga meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. 3) Kontrol demokratis dilakukan melalui opini publik; 4) Opini publik lebih penting bukan pada opini mayoritas, namun dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warga dapat mematuhi opini-opini. Konsep yang dibangun oleh demokrasi deliberatif bukan pada demokrasi suara terbanyak, namun mementingkan pada konsep demokrasi yang menghasilkan kepatuhan bersama. Konsep demokrasi ini menurut penulis mengurangi gesekan kaum minoritas untuk tidak menerima keputusan demokratis. F. Budi Hardiman lebih lanjut membahas mengenai konsep ruang publik habermas dalam wujud komunitas virtual di dunia digital. Ada dua kemungkinan yang disebutkan oleh F. 41 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm 128-129. 26 Budi Hardiman mengenai kemunculan komunitas virtual.42 Pertama, kepublikan sebuah ruang komunikasi ditandai oleh sikap para partisipan dalam meninggalkan orientasi privat mereka dan mengambil peran warga negara untuk terlibat dalam persoalan-persoalan publik. Kedua, kepublikan virtual tersebut hanya dapat memiliki efek publik, akan percuma kepublikan virtual apabila didibarengi dengan kepentingan real. b. Demokratisasi Demokrasi dan pembahasan terhadapnya tidak boleh hanya melihat pada pengertian dan teori yang berkembang saja. Demokrasi juga perlu dibahas dalam proses menuju tahapan demokrasi tersebut. Proses menuju demokrasi yang dimaksud dikenal dengan demokratisasi. Demokratisasi menurut Guillermo O‘Donnel dan Philipe Schimitter merupakan suatu proses perubahan pola partisipasi warga negara. Proses dimana aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang dulu dijalankan dengan prinsip-prinsip lain (misalnya kontrol dengan kekerasan, tradisi masyarakat, pertimbangan para pakar, praktek administratif) atau diperluas sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak menikmati hak dan kewajiban (misalnya golongan bebas pajak, kaum buta huruf, wanita, remaja, golongan etnis minoritas dan warga negara asing), atau diperluas sehingga meliputi isu-isu dan lembaga-lembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat (misalnya, badan-badan pemerintah, jajaran militer, organisasi-organisasi partisan, 42 F. budi Hardiman, Dari Kolonialisasi Birokrasi Ke Birokrasi Pasar, dalam AE Prioyono dan Usman Hamid, Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Pt Gramedia, 2014, hlm 671. 27 asosiasi kepentingan, perusahaan, lembaga pendidikan dan sebagainya).43 Perhatian yang diberikan oleh O‘Donnel dan Phillipe adalah bagaimana akses terhadap sarana dan prasarana yang ada dalam suatu negara oleh rakyat. Indikator yang diberikan oleh mereka berdua adalah perubahan terhadap penyelenggaraan negara yang berbasis pada partisipasi. Terbukanya ruang-ruang partisipasi yang sebelumnya tertutup oleh tirani atau kekuasaan otoriter. Kekuasaan otoriter yang terdesak oleh proses demokratisasi sesungguhnya disebabkan oleh faktor internal dari otoritarian tersebut. Adam Przeworski, yang lebih cenderung melihat secara umum peralihan rezim otoritarian dilihat dari keretakannya. Adam Przeworski membedah keretakan terhadap rezim Otoritarian menjadi 4 (empat) faktor:44 a) Rezim otoritarian telah menyadari kebutuhan fungsional yang dulu membawa pada pendiriannya. Dengan demikian ia tidak lagi dibutuhkan dan ia jatuh. b) Rezim untuk satu alasan dan alasan lain, dengan salah satu kemungkinan alasan adalah kehilangan legitimasi c) konflik antara blok yang memerintah, terutama dalam militer, untuk satu dan lain alasan, dengan satu kemungkinan alasan tidak dapat merekonsiliasi diri secara internal, dan sejumlah faksi memusatkan dukungan kelompok-kelompok luar. d) tekanan asing untuk mengenakan wajah-wajah demokratis yang membawa pada kompromi-kompromi, mungkin melalui mekanisme. 43 Guillermo O‘Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Opcit, hlm 9. 44 Lihat Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi, dalam Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Opcit, hlm 80. 28 Adanya sebuah pergumulan yang dilakukan untuk menggeser otoriter dalam lapangan kenegaraan, dengan menggunakan counter-majoritarian. Namun proses untuk menuju pada perubahan tatanan otoritarian yang sebelumnya tidak memberikan ruang partisipasi ataupun belum membuka ruang-ruang partisipasi bagi warga negara, tidaklah mudah dan sederhana serta hanya bergantung dari faktor keretakan internal dari otoritarian itu sendiri. Hal ini dikarenakan rezim otoritarian juga memiliki tameng untuk tetap menumbuhkan dan menjaga rezimnya. Richard Lowenthal membagi 4(empat) macam keabsahan yang dijadikan tameng oleh rezim-rezim otoritarian untuk dapat bertahan:45 a) Rezim yang disahkan melalui tradisi Negara yang kental akan tradisi seperti Arab Saudi, dan Ethiopia tetap mempertahan pemerintahan otoriternya dibawah tradisi pemerintahan autokrasi, walaupun kemudian mereka juga harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman moderen. b) Rezim tradisional-pembangunan Rezim ini merupakan hasil perpaduan antara dua faktor keabsahan, yakni tradisional dan pembangunan. Negara tipe ini dapat dilihat pada negara Jepang. Jepang pada awal abad ke-19 melakukan sebuah restorasi besar yakni restorasi Meiji. Restorasi ini mengakibatkan berdirinya rezim 45 Richard Lowenthal dalam Mirriam Budiarjo, Masalah Kenegaraan (cetakan ketiga), Jakarta: Pt Gramedia, 1980, hlm118. Pada sisi lain ada juga pendapat tentang analogi kontradiktif demokrasi. Robert Tucker menyatakan bahwa Rezim otoritarian disisi lain juga menyampaikan sebuah analogi kontradiktif berhubungan dengan demokrasi. Politisi diktator mengklaim dirinya telah menyediakan otoritariansim sebagai kebebasan tertinggi yang dapat dicapai, dan tiada kemerdekaan sejati di dalam demokrasi. Rezim-rezim dalam hal ini yang berlandas pada otoritarian belum sepenuhnya hilang diatas muka bumi. Rezim-rezim tersebut meskipun mulai berkurang namun ada beberapa yang masih tetap bertahan. Adanya sebuah perlindungan dan keabsahan yang digunakan untuk tetap menjaga rezim otoriter tetap bertahan. Lihat Robert Tucker, Philosophy and Myth in Karl Marx, London: Cambridge University Press, 1965, hlm 36. 29 otoriter yang berlandaskan pada tradisi, yang kemudian berubah menjadi berlandaskan pada pembangunan. c) Rezim yang berlindung pada demokrasi Demokrasi acapkali merupakan bentuk pemerintahan yang dipergunakan kelompok Oligarki pemilik tanah untuk mempertahankan kekuasaanya. d) Golongan militer Golongan militer seringkali menggantikan kekuasaan kelompok oligarki yang berkedok pada parlementer, sebagai contoh kasus di Amerika Latin Proses demokratisasi dalam hal ini memiliki hambatan yang tidak hanya berasal dari tameng-tameng yang dimiliki oleh rezim-rezim otoritarian saja. Karakteristik dari demokrasi itu yang sangat kompleks juga menjadi kendala tersendiri. Adam Prezeworski menyebutkan bahwa demokrasi merupakan sistem yang memiliki karakteristik tersendiri:46 a) Kehadiran dan pengorganisasian kepentingan-kepentingan yang bersaingan yang dikenal sebagai ciri politik permanen. b) Konflik diproses dan diakhiri mengikuti aturan-aturan yang ditentukan a priori, eksplisit dan secara potensial dikenal oleh semua partisipasi, hanya dapat diubah dengan aturan. c) Kekuatan fisik yang terorganisir sebagai pilihan apabila ada kelompok yang menginginkan jalan tersebut. d) Demokrasi merupakan rangkaian hubungan stabil antara tindakan-tindakan kelompok tertentu dan efek-efek dari tindakan-tindakan ini. 46 Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi, dalam Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm 89-91. 30 e) Demokrasi untuk derajat tertentu tidak dapat ditentukan melalui posisiposisi yang ditempati para partisipan dalam semua hubungan sosial. f) Hasil konflik demokratis tidaklah sekedar dapat ditentukan dalam batasbatas. Mereka sangat tak menentu. Karakter tersebut yang membuat proses demokratisasi menjadi proses yang panjang dan kompleks. Eric M Jepsen menyebutkan untuk menuju pada demokratisasi paling tidak harus melihat pada 6 (enam) faktor berikut:47 a) Moderenisasi Setelah negara menjadi mampu, berkat pembangunan ekonomi dan rasionalisasi interaksi negara masyarakat karena adanya moderenisasi, maka demokrasi akan mungkin efektif. Tekanan dari moderenisasi dianggap akan menciptakan kebangkitan dari demokrasi itu sendiri b) Prakondisi Ekonomi Kondisi ekonomi suatu negara mempengaruhi dari pada proses demokratisasi. Kondisi ekonomi yang dimaksud antara lain 1) kekayaan negara; 2) praktik kapitalisme dan ekonomi pasar bebas; 3) distribusi dan akses merata akan tanah dan sumber daya. Pada kondisi pertama berkenaan dengan bagaimana suatu kekayaan yang dimiliki negara mempengaruhi dari dorongan terhadap proses demokratisasi ataupun dalam sisi lain dapat pula mendorong lahirnya anti demokratisasi. Pada kondisi kedua terbukanya praktik kapitalisme dan pasar bebas mendorong terhadap penguatan pemodal, dan kondisi ini menciptakan suatu independensi yang mendukung ke arah demokratisasi. Kondisi ketiga 47 Eric M Jepsen, Proses Demokratisasi dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi Panduan Tematis , Opcit, hlm 457464. 31 yakni berkenaan dengan bagaimana proses distribusi dan akses terhadap sumber daya. Semakin tidak tersentralisasinya suatu sumber daya akan semakin membuka peluang demokratisasi c) Prakondisi sosial Kondisi sosial masyarakat di suatu negara mempengaruhi dari pada proses demokratisasi. Hal ini semisal dapat dilihat dari adanya sistem feodalisme, kelas-kelas sosial, bahkan sampai pada homogenitas kultural dan politik. d) Waktu, sekuensi, dan politik Kondisi yang dimaksudkan ini adalah perkembangan dan persaingan politik yang ikut mempengaruhi sebelum meluasnya hak pilih dan partisipasi. Kondisi ini juga berkaitan dengan rencana masa depan. Demokrasi ke depan dianggap dapat menciptakan kesetaraan dan jaringan kepercayaan e) Agensi dan advokasi Kategori ini berhubungan dengan adanya tindakan dan suatu upaya untuk mendorong lahirnya demokrasi, yang dilakukan oleh elemen-elemen (individu dan kelompok). f) Aktor eksternal Dorongan dunia atau aktor diluar negara yang bersangkutan menjadi faktor yang ikut mendorong proses demokratisasi. Tekanan pro demokrasi dari luar negara akan mendorong keberhasilan dan kecepatan dari proses demokratisasi. Faktor-faktor yang disebutkan di atas yakni pada huruf a hingga e dapat dikatakan merupakan faktor internal yang mempengaruhi di dalam suatu negara. Faktor 32 internal dapat dikatakan juga sebagai faktor utama yang mendorong proses demokratisasi. Namun pada faktor f yakni aktor eksternal tidak dapat diacuhkan dan dianggap kecil peranannya. Aktor eksternal memegang peranan penting terhadap meluasnya demokrasi dan dikenalnya demokrasi secara internasional. Konsep yang ditawarkan oleh aktor eksternal adalah pengalaman. Pengalaman terhadap keberhasilan dari praktik demokrasi di negaranya. Laurence Whitehead berangkat dari gerakan-gerakan yang dilakukan aktor internasional untuk dapat mempengaruhi proses demokratisasi, merumuskan bahwa ada 3 (tiga) bentuk pengaruh yang dilakukan aktor internasional:48 a) Pernyataan deklaratoris yang dikemukakan untuk menegaskan dan mengasumsikan sebuah model demokrasi tertentu yang menekankan pada kompetisi elektoral di antara partai-partai politik yang terbentuk secara bebas dan misalnya komunisme dianggap sebagai lawan atas demokrasi. b) Adanya pembedaan jelas yang dilakukan terhadap liberalisasi dari otoritarian dan demokratisasi penuh. c) Adanya aspek pusat batas luar dari semua hubungan internasional yang diamati. Negara-negara yang mengklaim dirinya demokratis mempromosikan pula bahwa mereka adalah masyarakat kapitalis liberal yang relatif stabil, kaya, dan dominan. Proses demokratisasi yang telah disebutkan pada pokoknya adalah untuk membangun kondisi demokratis di suatu negara. Dalam hal ini kondisi menuju pada pembangunan demokrasi tersebut dapat memunculkan pola-pola hubungan 48 Lawrence Whithead, Aspek Internasional Demokratisasi, dalam Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Opcit, hlm 10-12. 33 tertentu. Guillermo O‘Donnel beranggapan bahwa transisi demokrasi memunculkan dua pola hubungan: 49 a) Kelompok garis keras (duros); Kelompok ini mengutamakan sebuah gerakan untuk menggulingkan rezim otoriter yang mereka maksud, dengan melalui jalan keras yakni melalui sejumlah kudeta dan konspirasi. Faksi garis keras ini sebenarnya menurut O‘Donnel juga terdiri dari mereka yang menolak mentah-mentah benihbenih kanker dan kekacuan dalam demokrasi, dan meyakini bahwa misi yang mereka emban adalah menghapus jejak-jejak patologis semacam itu dalam kehidupan politik. b) Kelompok garis lunak (blandos). Kelompok garis lunak mungkin memiliki kecenderungan untuk terlihat sama dengan garis keras. Perbedaan yang kemudian menjadikan kelompok ini terlihat berbeda adalah meningkatnya kesadaran bahwa rezim yang telah mereka dukung pendiriannya dan yang didalamnya mereka menempati posisi-posisi penting, yang dalam waktu dekat harus menggunakan sejumlah derajat atau bentuk legitimasi melalui pemilu. Bagaimana pun cara mencapai dan pola hubungan yang terbentuk, pada akhirnya demokrasi membutuhkan juga sebuah instrumen perlindungan. Konsepsi negara moderen saat ini kemudian menjamin demokrasi tersebut dalam wujud hukum. Hubungan antara hukum dan demokrasi tidak lagi dapat dilepaskan. Demokrasi membutuhkan hukum agar kebebasan dan partisipasi yang terjalin, sesuai dengan 49 Guillermo O‘Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Opcit, hlm 21-22. 34 jalurnya dan tidak kemudian seenaknya mengekspresikan kebebasannya. Hubungan antara demokrasi dan hukum selanjutnya juga diungkapkan oleh Susan Alberts, Chris Warshaw, and Barry R. Weingast. Mereka memasukkan hubungan tersebut sebagai sebuah efek dari ketentuan counter-majoritarian antara lain:50 1. Democracy enchancing Demokrasi yang menggunakan ketentuan konstitusi sebagai upaya perlindungan dari hak sipil serta politik. Konstitusi disini menjadi core dalam penegakan demokrasi. Demokrasi hanya dapat dilindungi seutuhnya apabila dilindungi dalam konstitusi. 2. Democracy-eroding Pada efek demokrasi ini yang dituju adalah perolehan kekuasaan. Ketentuan counter-majoritarian menginginkan peroleh kekuasaan daripada pemilihan bebas. Asumsinya dengan ada kesempatan untuk memperoleh kekuasaan dapat dengan mudah untuk mengubah sistem yang menurut pandangan kaum tersebut sebagai authoritarian. Proses demokratisasi dalam hal ini dapat dikatakan tidak hanya bergantung pada bagaimana menguatkan demokrasi atau konsolidasi demokrasi melalui instrumeninstrumen politik saja yang ditunjukkan melalui peningkatan partisipasi bagi masyarakat. Proses demokratisasi membutuhkan hukum sebagai wujud kepastian dan perlindungan terhadap demokrasi. Demokrasi dalam rangka mencari sebuah kepastian tidak hanya bergantung pada hukum biasa saja. Demokrasi mencari konstitusi 50 sebagai pelindung terkuatnya di dalam praktiknya, karena Susan Alberts, Chris Warshaw, and Barry R. Weingast, Democratization and Countermajoritarian Institutions Power and Constitutional Design in Self-Enforcing Democracy dalam Tom Ginsburg, Comparative Constitutional Design, New York: Cambridge Univesity Press, 2012, hlm 72 35 kedudukannya sebagai norma tertinggi dan fungsinya dalam melakukan pembatasan kekuasaan yang sangat diperlukan oleh demokrasi untuk dapat berkembang di suatu negara. 2. Konstitusi Konstitusi bagi demokrasi telah disebutkan memiliki hubungan sebagai pelindung terhadap penyelenggaraan demokrasi. Konstitusi yang dimaksud tidak membatasi diri ataupun memfokuskan pada konstitusi tertentu, baik dalam hal ini tertulis ataupun tidak tertulis. Miriam Budiarjo menyebutkan bahwa istilah konstitusi (constitution) tidak hanya terbatas pada naskah tertulis saja, namun mencakup pada keseluruhan peraturan-peraturan baik tertulis, maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.51 Pengertian tentang konstitusi yang tidak berpihak dan terbatas pada konsepsi konstitusi tertulis juga diungkap oleh K.C Wheare. Konstitusi menurut K.C Wheare menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan.52 Peraturan-peraturan yang dimaksud K.C Wheare juga didalamnya termasuk peraturan non legal atau ekstra legal, yang berupa kebiasaan, saling pengertian, adat atau konvensi yang tidak kalah efektifnya dengan apa yang baku disebut hukum.53 Jadi konstitusi itu dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam pengertian peraturan tertulis saja, namun juga pada peraturan-peraturan tidak tertulis. Lain halnya dengan Van Apeldorn 51 yang Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm 169. K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Moderen, terjemahan Imam Baehaqie, Bandung: Nusa Media, 2015, hlm 1. 53 Ibid. 52 36 menyebutkan konstitusi dalam pengertian Undang-undang Dasar. Van Apeldorn menyebutkan bahwa UUD adalah wujud perjanjian masyarakat, yaitu perjanjian yang dibuat oleh manusia satu sama lain, dalam mana mereka membentuk kekuasaan pemerintahan atau mendirikan suatu negara.54 Konstitusi sebagai dasar membangun negara juga disebutkan oleh Soetandyo. Soetandyo menyebutkan bahwa konstitusi adalah tatanan yang menjadi bangunan dasar suatu organisasi, yang berfungsi sebagai rujukan normatif sebagai dasar pembenar baik secara moral maupun legal kepada pejabat pengemban kekuasaan negara.55 Konstitusi secara pengertian moderen misalnya disebutkan oleh Usep Ranuwijaya mencakup 3 (tiga) ciri:56 a. kumpulan kaidah yang lebih tinggi dari kaidah biasa yang fungsinya membatasi kekuasaan; b. konstitusi memuat tentang batasan kehidupan bersama; dan c. konstitusi lahir dari momen sejarah. Konstitusi dalam pengertian tersebut diatas merupakan pengertian konstitusi yang mendasar, bahwa muatan darinya wajib terdiri dari batasan, dan berkedudukan sebagai kaidah tertinggi. Pembatasan kekuasaan oleh konstitusi, secara lebih komprehensif dibahas oleh Chris Thornhill. Chris Thornhill misalnya menyebutkan bahwa konstitusi merupakan tatanan hukum yang berdampak pada bekerjanya kekuatan politik yang mencakup:57 54 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradya Paramitha, 1986, hlm 324. Soetandyo, Pergeseran Paradigma… Opcit, hlm 71. 56 Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara.. Opcit, hlm 184. 57 Chris Thornhill, A Sociology of Constitution: Constitution and State Legitimacy in Historical and Sociological Perspective, New York: Cambridge University Press, 2011, hlm 11. 55 37 a. Kandungan dari pembentukan asumsi aturan publik yang bersumber pada prinsip dan konvensi, diekspresikan sebagai hukum, yang tidak dapat begitu saja digantikan; b. Konstitusi didesain untuk membatasi penggunaan kekuasaan baik secara dilihat dari fungsi publik dan privatnya; c. Alokasi terhadap kekuasaan dalam negara itu sendiri, dan terdiri dari beberapa bentuk perwakilan politik yang berkenaan dengan memegang kekuatan politik dari masyarakat; d. Konstitusi mengekspresikan legal distinction antara bentuk dari negara dan orang-orang yang meminjam kekuasaan dari negara. Konstitusi apabila melihat dari pengertian-pengertian tersebut, maka konstitusi berfungsi supaya kekuasaan tidak bertumpuk dan penyelenggaraan negara berjalan tidak berada di dalam kesewenang-sewenangan. Robert Dahl berpendapat bahwa, akumulasi seluruh kekuasaan, legislatif, eksekutif, dan yudisial dalam satu tangan mengakibatkan hilangnya external check.58 Eliminasi terhadap external of checks memproduksi tirani.59 Hal-hal semacam inilah yang kemudian inilah yang kemudian menjadikan diperlukannya pembatasan kekuasaan melalui pembagian dan pemisahan kekuasaan.60 Kekuasaan pemerintah harus dibagi untuk mencegah pemusatan apapun yang bisa mengarah pada tirani.61 Konsep pembagian kekuasaan berkembang sebagai pembagian beban kerja. Setiap penyelenggara 58 Robert Dahl, Preface Of Democratic Theory, Opcit, hlm 6. Ibid. 60 Sekarang negara-negara cenderung takut untuk diperintah atau ditekan oleh pemerintah. Ketakutan ini menjelma bahkan tindakan pemerintah mengekang daripada kebebasan warga negara. Eric A Posner dan Adrian Vermeule menyebut kondisi ini dalam sebuah istilah Tyranophobia. Lihat Eric A Posner dan Adrian Vermeule, Tyrannophobia, dalam Tom Ginsburg, Comparative Constitutional Design, Opcit, hlm 343-345. 61 Norman Dorsen, dkk, Comparatives Constitusionalism Case and Materials, United State: West Book, 2003, p 212. 59 38 negara memiliki tugasnya masing-masing. Ketika ada tugas yang harus diselesaikan secara bersama, esensinya tetap berasal dari tugas mereka masingmasing. Secara visual kekuasaan dapat dibagi menjadi dua:62 a. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Carl J Friederich memakai istilah pembagian kekuasaan secara teritorial. Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat kita saksikan kalau kita bandingkan antara negara kesatuan, negara federal, serta konfederasi. b. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara horizontal. Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai trias politika atau pembagian kekuasaan (division of powers). Dua konsep kekuasaan yang ada tersebut diantaranya, keduanya akan saling mempengaruhi dan berkaitan. Konsep negara federal misalnya mempunyai kedaulatan sendiri di setiap negara bagiannya. Setiap negara bagian bahkan memiliki konstitusi di setiap negara bagiannya, dan mengatur urusan rumah tangganya terpisah dari pada pemerintah federal. Pembagian kekuasaan yang ada dalam konsepsi negara federal seperti ini dikenal sebagai pembagian secara geografis (geographical division). Pembagian geografis membagi kekuasaan berdasarkan pada lokasi geografis atau lokasi yang melintasi wilayah geografis/wilayah negara bagian dalam pengartian tradisional, juga pada 62 Miriam Budiarjo, Opcit, hlm267 39 kombinasi pembagian vertikal dan horizontal.63 M.J.C.Ville pada sisi lain menyebutkan ada 3 (tiga) element dari doktrin separation of powers:64 a. Element pertama, pembagian agensi pemerintah ke dalam 3 (tiga) kategori: legislature, the executive, dan judiciary. b. Elemen kedua, pembagian berdasarkan pada 3 (tiga) fungsi spesifik pemerintah c. Elemen ketiga, pemisahan kekuasaan diluar dari teori pemisahan kekuasaan, atau disebut sebagai separation of persons. Elemen pertama yang dimaksud M.J.C Ville ditujukan kepada pemisahan kekuasaan yang secara klasik membaginya dalam 3 wujud, seperti dalam pemisahan kekuasaan Montesquieu. Pemisahan kekuasaan dalam tipe ini, disadari juga oleh M.JC Ville sudah tidak koheren lagi dengan perkembangan ketatanegaraan. Pada elemen kedua, dia memisahkan kekuasaan atas dasar fungsinya. Suatu lembaga atau organ memiliki tugas khusus masing-masing, dalam perannya di penyelenggaraan negara. Urusan dari lembaga tersebut tidak dicampuri oleh lembaga lain, kecuali mengenai check and balance dan pengawasan. Lembaga tersebut misalkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Informasi, Ombudsman, dan berbagai komisi independen lainnya yang mempunyai tugas spesifik dan khusus. Pada elemen ketiga M.JC Ville menekankan pada pemisahan personnya. Person memiliki tugas tertentu yang tidak dicampuri atau bahkan person tersebut hanya menjalankan tugas yang diberikan negara dan tidak bergerak diluar daripada itu. Person ini biasanya 63 Aoife O‘Donoghue, Constitutionalism in Global Constitutionalisation, United Kingdom: Cambridge University Press, 2014, hlm 35. 64 M.J.C.Ville, Constitutionalism and The Separation of Powers, Indianapolis: Liberty Fund, 2010, hlm 15-18. 40 dilembagakan dalam bentuk pejabat publik ataupun pejabat. Teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu tidak lagi dapat dipergunakan, mengingat perkembangan ketatanegaraan dunia sudah tidak lagi terjebak dalam segitiga pemisahan kekuasaan milik Montesquieu. Implementasi dari pemisahan kekuasaan bukan berarti dalam praktiknya sudah cukup memuaskan dan menimbulkan kedudukan yang seimbang serta menjauhkan dari dominasi diantara penyelenggara negara. Daniel H Levine misalnya mengungkapkan mengenai munculnya obstacles dalam separation of powers:65 Separation of powers seeks to prevent any one governmental institution from becoming too powerful and therefore able to rule tyrannically—a problem that could arise independently of the pre-existence of factions. Separated powers provide factions with two obstacles. First, since governmental institutions have their own hierarchies, any faction desiring control over the government cannot simply capture the single top spot, but must spend resources attempting to influence several different organizations. Second, well-designed separated institutions have incentives to control each other. For instance, a legislature that defers to the executive too often will find its proper powers effectively usurped, making participation in the legislature less attractive. Once institutions are well-established, this effect will work against the effects of factional loyalty, even if a single faction does control more than one governmental institution. Pendapat dari Daniel H Levine ini dapat dikatakan separation of power dalam praktiknya yang menyimpang, dapat menimbulkan adu kekuatan. Lembaga yang dipisahkan kekuasaanya dapat memperkuat dirinya dengan membentuk lembaga baru yang memperkuat kedudukan dan fungsinya. Kondisi ini memunculkan fenomena yang dikenal saat ini sebagai executive heavy ataupun legislative heavy, namun di sisi lain fungsi pemisahan dan pembagian kekuasaan pada akhirnya harus bertujuan pada penyelenggaraan negara yang aktif, responsif dan seimbang. 65 Lihat Tulis Daniel H Levine, Rule of Law, Power Distribution, and The Problems of Faction in Conflict Interventions, dalam Mortimier Seller dan Tadeusz Tomaszeweski (eds), The Rule of Law in Comparative Prespective, London: Springer, 2010, hlm 155. 41 Fungsi konstitusi dalam hal pembatasan tersebut memerlukan negara hukum untuk dapat berjalan secara efektif. Negara Hukum pada awalnya hanya secara formal dipandang untuk menjauhkan penyelenggaraan negara dari rule by the man yang kecenderungannya menuju pada pemerintahan tirani. Konsep negara hukum secara moderen mulai berkembang pasca revolusi Perancis. Ada juga sebuah tarik ulur antara konsep kedaulatan yang mulanya memusatkan diri pada tokoh raja sebagai pusat kedaulatan, bergeser pada rakyat sebagai pihak yang juga berdaulat di dalam negara. Berikut adalah pernyataan yang diungkap oleh Sieyès seorang ahli politik yang terlibat dalam Revolusi Perancis:66 Yet, revolutionaries also brought significant innovations affecting both the sovereign and the individual. ―Who is the sovereign?‖ asked Sieyès at the dawn of the Revolution: sovereignty belonged to ―20 million French people‖ who, being equal and immune from the stigma of ―privileges‖, were the nation. The nation was sovereign and the individuals were citizens: together with their natural civil rights, they enjoyed political rights and played an active role in the political body. Seieyes meyakinkan bahwa individu sebagai warga negara memiliki kedudukan yang sama dengan negara, dan terbebas dari hak-hak istimewa.67 Keduanya saling berproses dan berhubungan melalui badan-badan politik. revolusi Perancis lebih jauh dan mendalam tidak hanya dapat dimaknai sebagai sebuah proses munculnya kedaulatan rakyat saja. Revolusi Perancis menguraikan pula benang harmonisasi diantara kedaulatan, hukum dan hak-hak 66 Lihat tulisan Pietro Costa, The Rule of Law Historical Introduction, dalam Piero Costa dan Danilo Zolo, The Rule of Law History, Theory, and Criticism, Dordrecht: Springer, 2007, hlm 79. 67 Pendeta Seiyes meskipun dia berkedudukan dan berstatus sebagai bangsawan dan ningrat, namun dalam hal pembelaan terhadap rakyat yang disebutnya golongan ketiga menjadi pilihan utamanya. Golongan ketiga bagi Seiyes adalah bangsa yang sebenarnya karena itulah rapat golongan harus menjadi rapat kebangsaan, yang sanggup menyatakan kehendak umum rakyat Perancis. Lihat JJ Von Schmid, Pemkiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad ke 19, Jakarta: Pt Pembangunan, hlm 28. 42 In the whirling ―historical acceleration‖ caused by the Revolution, the spontaneous harmony that seemed to characterize the relationship between sovereignty, law, and rights – and the belief that law could act as an intermediary between citizens and power by implementing the natural rights of the individual – were overturned and replaced by dramatic alternative beliefs: on the one hand, the perception of power’s dangerousness, of the potential discrepancy between the formal lawfulness and substantial despotism of legislative provisions (and the ensuing attempt to make the Declaration of Rights an unassailable safeguard); on the other hand, the theorization of a ―state of necessity‖ capable of sweeping away formal lawfulness and individual rights in the name of the fight against darkness, of freedom against despotism, of virtues against corruption. Hubungan diantara hukum, kedaulatan dan rakyat diwujudkan dalam kerangka harmonis bahwa hukum berperan sebagai perantara diantara warga negara dan kekuatan yang berkuasa. Hal ini dilakukan dengan mengimplementasikan hak alamiah individu. Hak ini yang kemudian dibakukan dalam wujud deklarasi hak sebagai hal yang tidak tergoyahkah, dalam hal ini negara bertindak tanpa mengurangi hak alamiah warga negara tersebut. Konsep dari negara hukum ini pada awal mulanya pasca Revolusi Perancis hanya secara formal digunakan sebagai instrumen pemecah kekuasaan dan perlindungan dari absolutisme Raja ketika itu. Konsep negara hukum tersebut kemudian pada abad ke-XIX beralih menjadi konsep negara kesejahteraan dengan berbagai perangkat hukumnya. Jimly berpendapat bahwa Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, 43 serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.68 Konsep negara hukum dalam perkembangannya tidak hanya secara universal mempunyai konsepsi yang sama. Konsep negara hukum yang dikenal saat dibagi menjadi dua rumpun besar. Konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu ―rechtsstaat’. Negara hukum tidak hanya tumbuh dan berkembang pada Eropa Kontinental saja. Tradisi Anglo Amerika pun mengembangkan konsep Negara hukum atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan ―The Rule of Law‖. 69 Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‗rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu :70 a. Perlindungan hak asasi manusia. b. Pembagian kekuasaan. c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. d. Peradilan tata usaha Negara. Rule of Law pada sisi lain menurut Brian Z Tamanaha berdasarkan konteks sejarah dan politik. Konsep ini diwujudkan menjadi dua: 1) Formal version; dan 2) substantive version.71 68 Jimly Asshidiqie, Kajian/Artikel ‖Gagasan Negara Hukum Indonesia‖ , hlm. 1-2 diakses dari jimly.com 69 Ibid 70 Ibid 71 Brian Z Tamanaha, On the Rule of Law, Opcit, hlm 91 44 Tabel 1. Formulasi Alternatif Rule of Law. ALTERNATIVE RULE OF LAW FORMULATION Thinner----------------------------to-----------------------thicker Formal versions 1. rule by the law substantive 4. individual rights versions 2. formal 3.democracy+legality legality - law as instrument - consent determiners of government action general, content of law prospective, clear, certain - property,contract, privacy, autonomy 5. right of 6 social welfare Dignity and for justice a) Substantive equality, welfare preservation of community Sumber: buku On the Rule of Law.72 Perbedaan dasar dapat diringkas sebagai berikut: teori formal fokus pada sumber yang tepat dan bentuk legalitas, sementara teori substantif juga mencakup persyaratan tentang isi hukum (biasanya yang harus membawakan dengan keadilan atau prinsip moral).73 Apabila Tamanaha melihat pada versi substansi dan bentuk formal dari teori negara hukum, ada lain pandangan mengenai negara hukum melalui pendekatan elementer. Adrian Bedner membagi elemen-elemen negara hukum dalam 3 (tiga) kategori:74 72 Ibid. Ibid, hlm 92 74 Adrian Bedner ― Suatu pendekatan elementer terhadap negara hukum dalam sulistyowati Indrianto, Kajian Sosio-legal, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012, hlm 55-69. 73 45 a. Kategori pertama: elemen prosedural a) Pemerintahan dengan hukum (rule by the law) b) Tindakan negara hukum harus tunduk pada hukum c) Legalitas formal (hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses dan bisa diprediksi pokok perkaranya, serta diterapkan pada semua orang). d) Demokrasi (persetujuan menentukan atau mempengaruhi muatan dan tindakan hukum).75 b. Kategori Kedua: Elemen-elemen Substantif a) Subordinasi semua hukum dari interpretasinya terhadap prinsip fundamental dari keadilan b) Perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan c) Pemajuan hak asasi sosial d) Perlindungan hak kelompok c. Kategori Ketiga: Mekanisme Kontrol (lembaga-lembaga pengawal negara Hukum) a) Lembaga peradilan yang independen (terkadang diperluas menjadi trias Politica) b) Lembaga-lembaga lain yang memiliki tanggungjawab dalam menjaga dan melindungi elemen-elemen negara hukum. 75 Persetujuan dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah keberlakuan hukum dan penerimaannya dalam masyarakat. Sudikno Mertokusumo dalam hal keberlakukan hukum dalam masyarakat (dalam hal ini secara sosiologis) membagi keberlakuan tersebut dalam 2 (dua) bentuk: 1 Menurut teori kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat. 2 Menurut teori pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh masyarakat Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002, hlm 88. 46 Konsep-konsep negara hukum yang telah disebutkan oleh para ahli, membangun juga prespektif global bahwa urgensi penyelenggaraan negara, dengan kuasa di tangan perseorangan, kelompok, ataupun demokrasi wajib menyandang status negara hukum. Negara juga dengan demikian berfungsi juga secara adminsitratif untuk membagi tugas dan kewenangan penyelenggara negara. Negara hukum di sisi lain juga tidak menemukan format yang sama dalam hal praktiknya di setiap negara, dalam suatu kasus misalnya China, sangat menolak konsepsi rule of law ala Barat. China hanya menginginkan domain rule of law hanya menyangkut pada ekonomi saja, sedangkan Amerika menginginkan cakupannya menjangkau seluruh domain kenegaraan.76 Ada peran kultur yang membangun konsep negara hukum tersebut. Apabila memaksakan suatu konsep yang sama akan terasa mustahil menemukan sebuah definisi yang memuaskan bagi semua dan karenanya memilih definisi yang lain sepertinya tidak akan banyak menjernihkan perdebatan tentang negara hukum.77 Telah dipaparkan mengenai konsep dan unsur dari negara hukum versi yang berkembang di kebudayaan Barat. Sekarang marilah kita lihat Indonesia dalam kerangka negara hukum tersebut. UUDNRI 1945 sesungguhnya telah memberikan amanat terhadap adanya negara Hukum. Jaminan terhadap konsepsi ini termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUDNRI 1945. Bercermin dari penyusunan UUD 1945 disusun, wawasan Negara Hukum (Rechtsstaat) yang demikian itulah yang pada pokoknya mewarnai corak pemikiran kenegaraan yang diadopsikan ke 76 Sulityowati Irianto, Menuju Pembangunan Hukum Pro keadilan Rakyat dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono, Sosiologi Hukum dalam Perubahan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm 4. 77 Adrian Bedner, Opcit, hlm 52. 47 dalam rumusan UUD 1945.78 Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan pada kekuasaan (machtstaat) harus menjadikan hukum sebagai landasan dalam setiap aktivitas di dalam negara. Muhammad Yamin juga mendukung adanya konsepsi negara hukum di Indonesia. Mohammad Yamin berpendapat, kekuasaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia itu hanya berdasarkan dan berasal dari pada undang-undang dan sekali-sekali tidak berdasarkan pada kekuasaan senjata, kekuasaan sewenangwenang atau kepercayaan, bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala pertikaian dalam negara.79 Kondisi dan realitas yang ada secara konsep memang Indonesia adalah Negara hukum, terlepas dalam hal praktik masih ada pelanggaran di dalam konsep tersebut. Padmo Wahyono menguraikan unsur-unsur negara hukum Indonesia yang ditelusuri dari UUDNRI:80 a. Hukum di dalam konsep negara berdasarkan atas hukum bersumber pada pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum Indonesia. b. Negara berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka, yang dapat kita artikan bahwa setiap kekuasaan yang ada harus berdasarkan atas hukum dan kekuasaan yang berdasarkan atas hukum adalah kewibawaan, yang ungkapan itu kita kenal saat ini ialah pemerintah yang aparaturnya bersih dan berwibawa. c. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas). Berbeda dengan negara 78 Jimly Asshidiqie, Kajian/Artikel ―Paradigma Penyelenggaraan Negara Berwawasan Hukum‖, hlm. 1, diakses dari jimly.com 79 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Jambatan, , 1952, hlm 75. 80 Padmo Wahjono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, dalam Abu Daud Busroh, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm 145-147. 48 hukum di dalam sistem liberal dimana diutamakan prinsip wetmatig, rechsmatig, dan doelmatig maka pemerintahan berdasar atas sistem konstitusional (constitusional govermment) lebih baik karena dianggap dapat mencegah detournement du pouvoir atau freises Eermessen atau kekuatan tidak terbatas d. Konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan rule of law yang mengemukakan equality before the law. Konsep negara hukum Indonesia menekankan dua sisi hukum yaitu hukum dan pemerintahan serta hak dan kewajiban. e. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasan pemerintah. Negara hukum memberikan prosedur penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum. Adanya prosedur tersebut tentunya membuat kekuasaan pemerintah lebih terbatas, dan juga terbagi atas organ-organ. Namun sebelum dapat melihat apakah prosedur pembatasan kekuasaan tersebut berjalan atau tidak hal ini akan sangat berpengaruh dari adanya konstitusionalisme. Konstitusionalisme dalam pemahamannya harus benar-benar jelas dan tegas dapat menggambarkan apa sebenarnya konstitusionalisme itu, dalam hal ini akan dilihat berbagai pandangan mengenai konstitusionalisme dari beberapa ahli. Pengertian terhadap konstitusionalisme dapat bermacam-macam, dalam pengertiannya yang paling mendasar dan umum adalah sebagai sebuah prinsip pembatasan kekuasaan. Pendapat ini sebagai contoh disampaikan oleh Andras Sajo. Konstitusionalisme menurut Andras Sajo adalah pembatasan negara dalam rangka pelestarian 49 kedamaian publik.81 Andras Sajo juga mengungkapkan bahwa definisinya masih tidak memadai, namun sedikit memuaskan.82 Definisi tentang konstitusionalisme semacam ini juga sering dibantah pihak konservatif, karena konstitusionalisme tidak bisa dibentuk dengan kondisi lengkap atau dengan kata lain abstrak.83 Wujud abstrak dari konstitusionalisme ini menentukan hubungannya dengan negara hukum. Konstitusionalisme menurut Daniel S Lev adalah abstraksi sedikit lebih tinggi dari rule of law atau rechstaat, maka berarti sedikit lebih (atau kurang) dari negara yang terbatas, di mana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh diketahui yang penerimaannya berubah menjadi otoritas yang sah yang ditentukan secara hukum.84 Ide tentang konstitusionalisme yang lebih tinggi juga diungkapkan oleh Aoife O‘Donoghue. Aoife mengungkapkan bahwa konstitusionalisme adalah tatanan hukum yang ideal, sebagai dokumenter dari sumber hukum, sebagai penjelasan historis atau justifikasi untuk bentuk pemerintahan, atau sebagai tertib hukum normatif diliputi dengan gagasan tertentu tentang apa yang pemerintahan seharusnya, layak dan membutuhkan pertimbangan sebelum ada konsolidasi yang diusulkan dari tempatnya dalam tatanan hukum global.85 Ada juga pandangan lain tentang konstitusionalisme yang sedikit berbeda dari semangat ketiga ahli tersebut, pandangan berikut berangkat 81 Andras Sajo, Limiting Government: Introduction to Constitutionalism, Budapest: Central European University, 1999, hlm 9. 82 Ibid. 83 Ibid. 84 Daniel S Lev , Social Movement, Constitutionalism and Human Rights: Comments from The Malaysian and Indonesian Experience, in Constitutionlism and Democracy: Transition in The Contemporary World, dalam Norman Dorsen, dkk, Comparatives Constitusionalism Case and Materials, Opcit, hlm 13. 85 Aoife O‘Donoghue, Constitutionalism in Global Constitutionalisation, Opcit, hlm 1. 50 dari konstitusionalisme di Russia. Andrey N. Medushevsky menerjemahkan konstitutionalisme dalam 3 (tiga) arti dan istilah:86 a. Undang-Undang Dasar negara dan sistem dari hukum legislatif sekunder; b. sistem politik, masyarakat dan lembaga hukum yang menjamin pelaksanaan norma-norma konstitusi; dan c. gerakan sosial yang bertujuan untuk membangun masyarakat sipil dan negara hukum, dan mengabadikan mereka dalam hukum dasar dan institusi sosial Louis Henkin terhadap konstitusionalisme menjelaskan lebih komprehensif lagi tentang peranan nyata dari konstitusionalisme dan pengaruhnya dalam penyelenggaraan negara. Louis Henkin menjelaskannya dalam 7 (tujuh) principal demands (tuntutan prinsipil) dari konstitusionalisme:87 a. Konstitusionalisme secara kontemporer berdasarkan pada kedaulatan rakyat. Keinginan dari rakyat merupakan sumber dari legitimasi kekuasaan pemerintah. Rakyat sendiri dapat membentuk konstitusi dan sistem dari pemerintah; b. Sebuah konstitusi yang konstitusionalistik adalah preskriptif; ini adalah hukum tertinggi; c. Kedaulatan rakyat memunculkan ide bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dan dijalankan atas prinsip demokratis. Konstitusionalisme dalam hal ini memerlukan demokrasi politis, dan badan perwakilan. 86 Andrey N. Medushevsky, Russian Constitutionalism Historical and Contemporary development, United State: Routledge, 2006, hlm 48. 87 Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic Defects, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, United State: Duke University Press, 1994, hlm 41-42. 51 d. Luar dari pada kedaulatan rakyat dan pemerintahan demokratis adalah komitmen yang mengikuti pembatasan pemerintah; pemisahan kekuasaan atau check and balance; kontrol sipil terhadap militer; diatur oleh hukum dan kontrol yudisial; dan peradilan yang independen; e. Konstitusionalisme memerlukan pemerintah yang memperhatikan hak inidividu sebagaimana diatur dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia. f. Pemerintahan konstitusional termasuk di dalamnya institusi untuk memantau dan menghargai cetak biru dari konstitusi, yang digunakan sebagai pembatasan kekuasaan dari pemerintah dan untuk hak individu; g. Saat ini konstitusionalisme juga juga berimplikasi terhadap penentuan diri sendiri, hak dari rakyat untuk memilih, mengganti atau menghilangkan afiliasi politik mereka. Pemaparan komprehensif dari Louis Henkin makin memperjelas bagaimana bekerjanya konstitusionalisme dalam praktik negara. Namun apabila kemudian dalam penyelenggaraannya hanya mengandalkan dari pada ketentuan konstitusi bukan pada konstitusionalisme, kondisi yang terjadi adalah penyelenggaraan negara hanya berdasarkan pada aturan saja. Konstitusionalisme yang cenderung abstrak dan seringkali tidak dapat diterjemahkan dalam praktik penyelenggaraan negara dengan tegas menyebabkan konstitusionalisme tidak terurai secara komprehensif antara kandungan dan tujuannya. Konstitusionalisme hanya kemudian dipandang secara formal saja, yakni apabila sudah mampu membatasi kekuasaan sudahlah terpenuhilah maksud dari konstitusionalisme tersebut. K.C Wheare berpendapat bahwa dalam kondisi demikian dicontohkan olehnya bahwa pemerintahan dapat saja hanya dijalankan 52 berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi, konstitusi hanya dijadikan pedoman untuk membangun institusi-institusi pemerintahan dan membiarkannya bertindak atas kemauannya.88 Konstitusi dalam hal ini hanya seperti GPS penunjuk arah saja, yang memandu kendaraan sampai pada lokasinya, namun dalam hal ini tidak dapat menjelaskan mengapa kita perlu sampai pada lokasi tersebut, ataupun apa yang akan kita lakukan di lokasi tersebut. Konstitusionalisme dalam arti demikian hanya dipandang dari adanya rule of law sebagai fiturnya. Hal ini dikarenakan seringkali masih ada kekaburan dalam meletakkan dimana seharusnya posisi rule of law dalam hubungannya dengan konstitusionalisme. Rule of law tidak boleh berdiri sendiri untuk mewujudkan konstitusionalisme. Hal ini dikarenakan rule of law bukan hanya ide ataupun fitur tunggal dari konstitusionalisme. Michel Rosenfeld mengungkapkan bahwa konstitutionalisme moderen memiliki 3 (tiga) fitur, yakni: a. pembatasan kekuasaan; b. rule of law; dan c. fundamental rights.89 Hak fundamental dalam hal ini yang dimaksud adalah human rights yang disebutkan sebagai jantung dari konstitusionalisme moderen, demokrasi dan rule 88 K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Moderen, Opcit, hlm 208. Michel Rosenfeld, Modern Constitutionalism as Interplay Between Identity and Diversity, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, United State: Duke University Press, 1994, hlm 3. Lihat tulisan Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic Defects, yang menjadi inspirasi dari Michel Rosenfeld dalam, Ibid, hlm 3940. 89 53 of law ditujukan pada tujuan penegakan human rights tersebut.90 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Walter F Murphy bahwa:91 ―Constitutionalism, too, enshrines respect for human worth and dignity as its central principle. To protect that value, citizens must have a right to political participation, and their government must be hedged in by substantive limits on what it can do, even when perfectly mirroring the popular will‖. Konsititusionalisme pada akhirnya ditujukan pada semangat untuk menghormati nilai kemanusiaan dan hak mendasar dari manusia itu sendiri. konstitusionalisme menggunakan rule of law hanya sebagai alat untuk mencapai kebutuhan akan pemenuhan hak-hak mendasar tersebut. Namun dalam memandang hubungan konstitusionalisme dengan rule of law ataupun dalam hal ini pemahaman secara mendasar tentang konstitusionalisme akan dapat berbeda di setiap negara. Sebagai contoh yang terjadi pada rechtstaat di Jerman saat era Nazi konsepsi negara hukum yang dijalankan hanya memperhatikan pada isu formalnya saja bukan pada substansinya. Rechtstaat ketika itu meniadakan segala nilai-nilai kepercayaan dan etik yang hidup di masyarakat Jerman, dan hanya menjadikan penyebaran dari hukum negara yang utama.92 Namun hal demikian tidak hanya menjangkit pada Jerman yang ketika itu memang terbukti otoritarian dalam penyelenggaraan negaranya. Amerika Serikat sendiri sebagai pihak yang dapat mengklaim peranan besarnya terhadap penyebaran ide konstitusionalisme, konten hak-hak, pembangunan institusi yang esensial, dan membuktikan sebagai penyelenggara konstitusionalisme yang berhasil, namun dalam hal ini masih saja terdapat 90 Wang Zhuo Jun, Democracy, rule of law and human rights protection under gradually developed constitutionalism —by the clue of administrative law, dalam Journal Front Law China 2007, 2(3): 335–352, Higher Education Press and Springer-Verlag, 2007, hlm 342. 91 Walter F Murphy, Constitution Constitutionalism and Democracy, dalam Douglas Greenberg, dkk, Constitutionalism and Democracy Transition in Contemporary World, New York: Oxford University Press, 1993, hlm 3. 92 Michel Rosenfeld, Constitutionalism and The Rule Of Law, dalam Norman Dorsen dkk, Comparative Constitutionalism, Opcit, hlm 18. 54 kecacatan di dalam jurisprudentially, kultur, dan politiknya yang mengarah pada tidak terpenuhinya hak dasar.93 Contoh negara lain misalnya China memiliki latar kebangkitan dari konstitusionalisme yang sedikit berbeda, dibandingkan contoh yang diberikan oleh Amerika. Wang Zhuo Jun menyebutkan bahwa perkembangan konstitusionalisme melalui amandemen di China dilakukan dalam 4 (empat) periode waktu:94 a. Pada tahun 1988, status hukum sektor swasta dari ekonomi dan kebijakan negara pada perusahaan swasta didefinisikan; b. pada tahun 1993, tujuannya untuk membangun ekonomi pasar sosialis, "mematuhi reformasi dan kebijakan terbuka ", dan "membangun negara sosialis yang sangat beradab dan sangat demokratis" diubah menjadi "membangun makmur dan kuat, demokratis, dan negara sosialis beradab ", oleh karena itu meningkatkan posisi demokrasi; c. pada tahun 1999 strategi dasar untuk rule of law dirumuskan; dan d. pada tahun 2004, konten bahwa "hal negara dan melindungi hak asasi manusia" telah ditambahkan. Perkembangan amandemen tersebut juga menggambarkan bahwa China mulai membangun konstitusionalisme berawal dari ekonomi bukan pada politiknya, dan dari demokrasi ke rule of law lalu menuju pada perlindungan hak asasi manusia.95 Pembangunan konstitusionalisme China yang dimulai dari ekonomi sebenarnya bagi kondisi negaranya merupakan langkah yang tepat. Michael C Davis 93 Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic Defects, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, Opcit,, hlm 51. 94 Wang Zhuo Jun, Democracy, Rule Of Law And Human Rights Protection Under Gradually Developed Constitutionalism —By The Clue Of Administrative Law, dalam Journal Front Law China, Opcit, hlm 336. 95 Ibid. 55 menyebutkan bahwa konstitusionalisme di Asia Timur adalah krusial untuk membangun stabilitas dan economic prosperity pasar terbuka yang kompleks.96 Pada sisi lain ketika itu Asia Timur sedang mengalami krisis ekonomi, dengan dibukanya dukungan terhadap investor memperkuat juga pembangunan negara.97 Penegakan konstitusionalisme tidaklah mudah apabila melihat dari pemaparan yang telah disebutkan. Konstitusionalisme sering dipandang hanya dalam wujud formalnya saja yakni rule of law, namun tujuan di balik adanya rule of law tersebut seperti pemenuhan hak dasar masih menjadi pertanyaan. Tentang pemenuhan tujuan tersebut tentunya tidak dapat sama dalam sudut pandang tentang dari mana memulai untuk memenuhi hak dasar tersebut, namun demikian kita dapat juga mengambil kesimpulan dan ide dari pemaparan dilakukan sebelumnya mengenai konstitusionalisme. Pemaparan akan konstitusionalisme yang telah dilakukan dapat memberikan gambaran akan fitur-fitur dari konstitusionalisme yakni: Demokrasi dan pembatasan kekuasaan, rule of law, dan pemenuhan hak dasar. Ketiga fitur yang telah didapat ini selanjutnya untuk semakin mematangkan konsep konstitusionalisme yang ada perlu dilakukan pembahasan secara komprehensif. Hal ini dikarenakan konstitusionalisme itu suatu yang tidak dapat dipungkiri lahir dari konflik. Daniel S Lev menyebutkan bahwa tanpa pemahaman tentang konflik yang berlangsung di negara dan masyarakat, dan antara dua, dari cara di mana daya yang dihasilkan dan otoritas sebenarnya dilakukan, nilai-nilai dan ideologi yang menginformasikan struktur politik dan perilaku, kita tidak dapat memahami gerakan konstitusionalis saat 96 Michael C Davis, East Asia After The Crisis: Human Rights, Constitutionalism, and State Reform, dalam Human Rights Quarterly; Feb 2004; 26, 1; ProQuest, hlm 151 97 Ibid. 56 mereka berevolusi.98 Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh Michael C Davis bahwa menemukan institusi dan menerapkannya seperti institusi konstitusional yang ada di Amerika dalam berbagai praktiknya akan berbeda bagi misalnya Jepang, Filipina, dan Amerikan sendiri, pada akhirnya institusi konstitusional sangat bergantung pada tantangan terhadap politik lokal.99 Oleh karena itu perlu dilakukan penelusuran tentang konstitusionalisme dilihat dari tinjauan sejarah untuk memperjelas bagaimana proses lahirnya konstitusionalisme, dan konflik yang membangun konstitusionalisme tersebut. 3. Demokrasi dan Konstitusionalisme dalam Lintasan Sejarah Demokrasi sebagai cita partisipasi rakyat sesungguhnya tidak dapat begitu saja tegak, dalam praktik ketatanegaraan. Demokrasi dalam hal ini sangat berhubungan erat terhadap perubahan pemikiran ketatanegaraan dan juga konstitusi. Demokrasi entah sebagai penyebab perubahan tersebut ataupun tujuan dari perubahan namun keberadaannya perlu dikaji secara lebih lanjut untuk kemudian menguraikan hubungan diantara demokrasi dan konstitusi. Demokrasi dan hubungannya dengan konstitusi perlu diurai secara periodik. Periode Yunani kuno menjadi titik awal dan periode Revolusi Perancis ketika pemisahan kekuasaan menjadi akhirnya. Periode Yunani perlu juga dikaji karena periode ini awal mulanya dikenalkannya demokrasi langsung atau dalam konteks saat ini dikenal sebagai demokrasi partisipatoris. Periode Yunani dipilih juga menjadi titik awal karena ketika itu telah dikenal beberapa lembaga perwakilan seperti Aeropagus, Boule, dan Dewan Eklesia, sehingga hal ini dapat dijadikan refleksi 98 Daniel S Lev , Daniel S Lev , Social Movement, Constitutionalism and Human Rights: Comments from The Malaysian and Indonesian Experience, in Constitutionlism and Democracy: Transition in The Contemporary World, dalam Norman Dorsen, dkk, Comparatives Constitusionalism Case and Materials, Opcit, hlm 14. 99 Michael C Davis, East Asia After The Crisis: Human Rights, Constitutionalism, and State Reform, dalam Human Rights Quarterly; Opcit, hlm 151. 57 terhadap penyelenggaraan demokrasi perwakilan. Pada periode Revolusi Perancis sebagai kajian untuk membuka tentang praktik moderen dari demokrasi. Revolusi Perancis tidak hanya melegitimasi terhadap keberadaan partisipasi rakyat. Partisipasi ini apabila dirunutkan nantinya akan dapat dilihat dari pengaruh deklarasi hak asasi manusia. Deklarasi hak asasi manusia Perancis inilah yang kemudian mendorong lahirnya konstitusionalisme.100 Konstitusionalisme pada sisi lain juga dianggap sebagai proyek politik untuk membatasi kekuasaan dan melegitimasi kedaulatan rakyat.101 Namun untuk sampai pada tahap pembahasan demokrasi, hak asasi manusia, dan konstitusionalisme perlu dilihat dan ditelusuri secara runut dari awal mula demokrasi berkembang di Yunani Kuno. Penelusuran terhadap hubungan demokrasi dan Konstitusi ini, dibagi menjadi 2 (dua) yakni, pertama melihat tujuan dari lahirnya demokrasi; dan kedua melihat pada hubungan demokrasi dan hukum yang ada ketika itu. a. Yunani Kuno Yunani kuno dikenal sebagai cikal bakal dari penyelenggaraan negara di dunia moderen saat ini. Yunani memperkenalkan berbagai sistem pemerintahan, mulai dari berdasarkan pada monarki, hingga pada sistem pemerintahan 100 Pendapat ini diungkapkan oleh Richard Belammy dalam tulisannya Political Form of Constitution: the separation of power, rights, and representative democracy dalam Jurnal Political Studies, 1996, XLIV, 436-456. 101 Lihat Thomas Muller, Global constitutionalism in historical perspective: Towards refined tools for international constitutional histories dalam Jurnal Global Constitutionalism (2014), 3 : 1 , 71 – 101 © Cambridge University Press, 2014 doi:10.1017/S204538171300005, hlm 82. Hubungan antara demokrasi dan konstitusionalisme bahkan diungkapkan oleh Martin Loughlin sebagai yang penuh kontroversi. Demokrasi saat ini sangat erat dan dipengaruhi oleh liberalisme. Liberalisme di satu sisi mempromosikan penghormatan terhadap hak-hak individu bersamaan pula dengan demokrasi yang menjadi sumber kedua dari legitimasi konstitusional. Lihat tulisan Martin Loughlin dengan judul Constitutional Theory: A 25th Anniversary Essay dalam Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 25, No. 2 (2005), pp. 183–202 doi:10.1093/ojls/gqi010, hlm 192. 58 demokratis yang dikenal sebagai sistem terfavorit saat ini. Demokrasi yang diperkenalkan oleh Yunani tidak hanya berbicara tentang bagaimana rakyat bisa turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi yang ada pada saat itu bahkan mendorong perubahan fundamental terhadap hukum yang ada di Yunani. Demokrasi misalnya pada zaman Clisthenes mendorong ide akan kesamaan di muka hukum (insonomia). Hubungan demokrasi dan hukum yang demikian lebih jauh harus ditelusuri supaya dapat terurai benang merah hubungan antara hukum dan demokrasi, yang dapat dikatakan merupakan hubungan yang paling awal dalam peradaban manusia. a) Demokrasi di Yunani Demokrasi dalam praktik penyelenggaraannya tidak boleh dilepaskan dari alasan dari kemunculan demokrasi tersebut. Alasan terhadap kemunculan demokrasi tersebut akan berhubungan dengan tujuan dari keberadaan demokrasi. Hal ini kemudian akan sangat berpengaruh terhadap operasionalisasi dari demokrasi. Demokrasi Yunani disisi lain juga tidak boleh melupakan Pericles sebagai seorang tokoh Politik. Luciano Canfora menyampaikan bahwa Thucydides pernah menulis dalam epitaph102 sebagai sebuah penghargaan terhadap Pericles. Luciano Canfora menyebutkan bahwa:103 Thucydides sees Pericles as a veritable princeps endowed with sort of ― ―primacy‖ or ― princedom‖: accepted and acknowledge personal power which in the end distort balance of power, though without violating them. 102 Epitaph merupakan sebuah prasasti peninggalan kebudayaan Yunani Kuno. Lebih terangnya merupakan prasasti peringatan pada makam atau monumen mayat tentang orang terkubur di situs tersebut. Lihat http://dictionary.reference.com/browse/epitaph 103 Luciano, Democracy in Europe a History of an Ideology terjemahan Simon Jones, United State: Black Well Publishing, 2006, hlm 8. 59 Konsep demokrasi yang dibentuk oleh Pericles ketika itu sesungguhnya dipandang oleh Thucydides sebagai sebuah prinsip penyelundupan kekuatan personal. Kekuatan personal yang dimaksud adalah Pericles dapat menguasai Yunani ketika itu, dengan membungkus kekuasaan monarki di dalam konsepsi penegakan kebebasan. Rakyat Yunani diberikan kesempatan namun di dalam kesempatan tersebut kuasa monarkilah yang kemudian menentukan penyelenggaraan pemerintahan. Yunani sendiri menurut Frans Magnis memperkenalkan tradisi demokrasi dalam dua hal.104 Pertama, mereka mengembangkan suatu sistem kelembagaan canggih yang secara eksplisit didasarkan pada gagasan kekuasaan di tangan rakyat; kedua, prinsip demokrasi mereka sadari dan mereka refleksikan secara eksplisit-filosofis, dengan mempertimbangkan pro dan kontranya, serta dengan memperbandingkan bentuk demokrasi dengan bentuk pemerintahan lain yang memusatkan kekuasaan pada satu orang atau elite. Tradisi demokrasi dapat menjadi sangat berkembang di Yunani dikarenakan semangat egaliter. Semangat tersebut merupakan nilai-nilai yang didukung oleh 3 (tiga) faktor:105 1) Pertama koneksi warga kelas rendah dengan militer memungkinkan mereka untuk mendapatkan status sosial ekonomi yang lebih baik, dan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan komunal; 104 Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka, 1995,hlm 34-35. 105 Lihat tulisan John T Ishiyama, Tatyana Kelman, dan Anna Perchinina, dengan judul Model Demokrasi dalam buku Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 sebuah Refrensi Panduan Tematis editor John T Ishiyama dan Marijke Breuning, Opcit, hlm 445. 60 2) Kedua perkembangan polis menjadi kekuatan dunia yang baru ikut juga mengubah tren pemikiran dan pertanyaan tentang perubahan institusi, tata pemerintahan hingga distribusi kekuasaan; 3) Ketiga kekayaan negara kota Yunani yang ekstra memungkinkan kesempatan pengembangan domestik. Demokrasi yang digunakan oleh Yunani ketika itu dapat dikatakan juga penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada ledakan partisipasi, setiap warga (kecuali wanita dan budak) berpartisipasi dalam menentukan jalannya pemerintahan (konsep partisipasi langsung). Peran serta dengan model demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika itu dapat mungkin dikarenakan:106 a) karena pengertian negara identik dengan pengertian kota, dan yang dimaksud dengan kota pada waktu itu ialah hanya tempat sekitar itu saja, maka wilayah daerahnya sangat terbatas sekali; dan b) karena penduduknya pun sebagai warga kota masih sedikit. Namun dibalik keterlibatan setiap pihak yang ada di dalam demokrasinya Yunani juga menyimpan kritik di dalamnya. Demokrasi Yunani memiliki kritik paling berat terhadapnya mengenai konsep demokrasi semunya, berhubungan hanya ada 10% warga Athena yang mempunyai hak pilih, budak, wanita, orang asing, mereka tidak mempunyai hak pilih.107 Demokrasi dalam kerangka Yunani yang diutamakan pada akhirnya adalah keterlibatan dari rakyat dalam penyelenggaraan negara. Apabila ditelusuri demokrasi 106 ketika itu dapat tumbuh dan berkembang pilihan dalam Sjahran Basah, Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Negara dengan Beberapa Pemikirnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hlm 93. 107 LP3ES, Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES: Jakarta, 1986, hlm xii. 61 penyelenggaraan pemerintahan menurut Paul Woodruff dibagi ke dalam dua macam alasan besar:108 1) Secara internal, mereka menemukan bahwa reformasi demokratis membuat kota lebih harmonis dalam jangka panjang, lebih sejahtera, lebih menghidupkan budaya. Politisi Yunani di sisi lain, ketika itu menemukan bahwa dengan membuat reformasi demokrasi mereka bisa mendapatkan dukungan rakyat dan menang di atas lainnya 2) Secara eksternal, Para pemimpin menemukan bahwa setiap langkah menuju demokrasi membuat kota mereka lebih mampu membela diri. Pada nya tinggi, demokrasi adalah bentuk paling kuat dari pemerintah di Yunani. Pada abad kelima sebelum Masehi, demokrasi memiliki ekonomi terkuat dan paling kreatif budaya, tetapi keberhasilan yang membuat mereka aman adalah militer: Demokrasi bisa memobilisasi warganya untuk perang melintasi batasan kelas sosial. Demokrasi Athena tidak hanya berkembang dikarenakan alasan praktis dan politis saja.. Jill mengungkapkan bahwa Aristoteles melalui pendekatan virtue (Kebajikan). Kebajikan tersebut adalah sebagai berikut: ―Aristotle's approach to virtue lie in its very circularity. Democracy is itself a circular mode of governance. Citizens, who are also rulers, make the laws to which they are subject. In other words, they follow their own law. In this way, democracy is a mode of governance that has its source and authority in itself. It is the selfgoverning regime. It is the same with the practice of virtue: when I act well, I do so because my own habits so dispose me to act. Intellectual and moral virtue both involve modes of activity-prohairetic activity-whose origin and authority lie in themselves. The self-sovereignty 108 Paul Woodruff, First Democracy The Challenge of An Ancient Idea, United State: Oxford University Press, 2005, hlm 26. 62 associated with these practices is the same as the self-sovereignty characteristic of democracy.‖109 Pemerintah dalam konsep yang digambarkan oleh Aristoteles sesungguhnya menciptakan sebuah mekanisme, pemerintahan yang alamiah. Pemerintahan tersebut berjalan diatas sebuah rencana yang dibangun oleh rakyatnya sendiri. Demokrasi ini yang kemudian mengantarkan Yunani pada pemerintahan yang bersumber pada kehendak dan kepercayaan rakyat. Kepercayaan terhadap demokrasi membangun pula kepercayaan rakyat terhadap negara. Sirkulasi diri dalam konsep demokrasi yang diungkap diatas juga merupakan suatu upaya menerjemahkan virtue (kebajikan) dalam masyarakat Athena dan memperkenalkannya kepada khalayak ramai. Hal ini yang kemudian juga mencerminkan demokrasi secara pengertiannya dari rakyat dan untuk rakyat atau sering juga dikenal sebagai self-governing. Demokrasi Yunani dan pembahasan yang telah disebutkan sebelumnya identik dengan konsep demokrasi yang dibahas melalui kacamata liberal. Demokrasi dalam perkembangannya sangat kental dengan ideologi yang menjadi kacamata dalam menginterpretasikan arti dan implementasinya. Pembahasan terhadap demokrasi Yunani misalnya ada pula yang membahasnya melalui kacamata marxisme. Bryan S Roper membahas sejarah demokrasi melalui interpretasi marxisme. Demokrasi dipandang sebagai sebuah wujud pertentangan kelas sosial yang ada di Yunani. At crucial points in the history of classical Greek democracy they were able to exert a decisive influence over the course of events. The radically democratic reforms of Ephialtes and Pericles, for example, are simply inconceivable unless we assume that the majority of citizens were able successfully to support and defend these reforms against the resistance of 109 Jill Frank, A Democracy of Distinction Aristotle and The Work of Politics, Chicago: Chicago University Press, 2005, hlm 52 . 63 the wealthy landowners. Clearly by participating in the class struggle on the political plane, labouring citizens could win important victories. Thus the political influence of the wealthy was substantially limited by the reforms during the second half of the fifth century that introduced payment for jury service, membership of the Boule, attendance at the Assembly and the performance of other public duties, because this payment enabled even the poorest citizens to participate.110 Brian S. Roper berpandangan bahwa demokrasi yang terjadi di Era Yunani, merupakan bentuk kemenangan mayoritas penduduk terhadap para pemilik tanah yang kaya. Partisipasi dalam politik membuat kelas buruh mencapai kemenangan penting. Menurut pandangan Brian juga kemenangan tersebut dapat dilihat dalam reformasi pada abad ke-5 dalam hal pembayaran juri, keanggotaan Boule, majelis, dan performa dalam pelayanan publik lainnya yang dapat dicapai bahkan oleh rakyat paling miskin sekalipun. Pandangan terhadap pertentangan kelas bagi para pengguna kacamata Marxist selalu akan mengaitkannya dengan hal kekayaan dan kepemilikan alat produksi. Demokrasi pada wujud dan kacamata apapun pasti merupakan sebuah wujud hubungan rakyat dan negaranya, namun yang menjadi pembeda adalah takaran partisipasi rakyat dan haknya dalam penyelenggaraan negara. b) Konstitusionalisme di Yunani Negara yang dijalankan dalam kerangka demokrasi perlu sebuah instrumen hukum yang kuat. Demokrasi lepas dari pada kontrol akan seperti kuda liar yang siap menendang siapapun yang mendekatinya. Perlu tali kekang yang kuat melalui instrumen hukum supaya kemudian demokrasi dapat berjalan sebagai sebuah konsep bernegara yang mengintegrasikan kehendak rakyat juga kehendak negara. Demokrasi pada awal praktiknya di Yunani, sangat diragukan keberadaan 110 Brian S. Roper, The History of Democracy A Marxist Interpretation, London: Pluto Press, 2013, hlm 3. 64 meskipun konsep ini sedikit lebih baik dibandingkan absolute tyranny yang berdasarkan kehendak satu orang ataupun kelompok bukannya kehendak rakyat. Plato dan Aristoteles sebagai filsuf di zaman Yunani, berpendapat bahwa rule by the man merupakan wujud penyelenggaraan negara yang terbaik.111. hukum berkenaan dengan demokrasi pada zaman tersebut mengalami perdebatan antara pemikiran Plato dan Aristoteles dengan para kaum demokrat Athena. Bryan Z Tamanaha mengungkapkan lebih lanjut mengenai pertentangan diantara pemikiran yang berkenaan rule of law dalam penyelenggaraan negara. Berikut penelusuran Tamanaha mengenai kedudukan hukum dalam negara menurut:112 The rule under law that they advocated was a second-best solution, necessitated by human weakness. Plato bid the law rule in The Laws as a more realistic alternative to the benevolent (philosophically educated and virtuous) Guardians he proposed to rule in The Republic. Pada paragraf lainnya, Buku Tamanaha diungkap pula pandang kaum demokrat sebagai berikut:113 For Athenian democrats it was essential–a prerequisite of its supremacy – that the citizens themselves participated directly in giving rise to the law. As we shall see, the tension between these two concerns, law as a restraint on democracy and law as the product of self-government, has not lessened throughout history Pendapat dari Aristoteles dan gurunya Plato, dapat dikatakan menggunakan hukum sebagai sebuah rem darurat. Hukum diletakkan sebagai solusi kedua untuk menghilangkan dan mengurangi kesalahan dari kelemahan manusia. Hukum dalam pandangan mereka berdua secara wajar demikian, karena mereka berdua merupakan pendukung konsep penyelenggaraan negara yang berada di tangan 111 Pemikiran Kedua filsuf besar tersebut tidak terlepas dari pemikiran Filsuf Socrates yang pemikiran tentang bentuk negara diturunkan kepada muridnya Plato. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Opcit, hlm 31-32. 112 Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law, Opcit, hlm 10. 113 Ibid. 65 pemimpin yang kuat. Mereka berdua cenderung menghindari pujian terhadap demokrasi karena demokrasi bagi mereka pilihan sisa, apabila konsep negara aristokrasi berubah menjadi timokrasi dan kemudian berubah menjadi oligarki. Pada pihak kaum demokrat kedudukan rule of law yang baik menurut mereka disisi lain bukan terletak pada pembatasan kebebasan rakyat. Kedudukan rule of the law yang terpenting terletak pada bagaimana mengusahakan hukum tersebut dibentuk oleh rakyat. Impian kaum demokrat Athena ketika itu sudah terwujud pada masa Pericles. Solly Lubis menjelaskan bahwa pemikiran Pericles dan tindakannya merupakan perwujudan demokrasi sejati ketika zaman Athena. Wujud demokrasi yang sejati tersebut terlihat dalam tujuan dan maksud demokrasi yakni: memberikan kedudukan yang sama serta kemerdekaan.114 Wujud demokrasi lebih lanjut ditegaskan oleh Pericles bahwa demokrasi merupakan suatu hal yang membebaskan namun tetap berada dalam koridor hukum, supaya kemudian tidak kemudian menjadi gerombolan anarkis yang berbuat sesuka hati menimbulkan kerusakan. Semangat perwujudan demokrasi langsung dan hukum sebagai instrumen penyampai kebutuhan dan juga perlindungan warga Athena dapat dilihat melalui dewan Ekklesia. Dewan tersebut menjadi wadah pertemuan, aspirasi, dan juga partisipasi warga Athena berkenaan dengan permasalahan apa yang dihadapi warga Athena, dan bagaimana menyelesaikannya. Masalah tersebut tidak hanya berkenaan dengan masalah sosial, politik, namun juga berkenaan dengan masalah hukum. Namun secara lebih khususnya Athena memiliki badan yang berwenang dalam hal legislasi 114 Solly Lubis, Ilmu Negara (edisi revisi), Bandung: Mandar Maju, 2014, hlm 68. 66 Majelis dan Dewan 500 adalah pemilik kewenangan legislasi yang ada di masa Athena Kuno ini.115 Fungsi legislasi tersebut dikenal sebagai Probouleusis, dimana fungsi ini dibagi menjadi 2 (dua) yakni probouleumata terbuka dan tertutup.116 Dalam probouleuma terbuka (tunggal), Dewan menginstruksikan Majelis berdebat masalah tertentu dan, jika dianggap perlu oleh Majelis, untuk mengeluarkan dekrit. Sebuah probouleuma spesifik adalah, dalam Intinya, tagihan, subyek dari amandemen, jika perlu, dan harus diratifikasi oleh Majelis.117 Athena ketika itu sudah memiliki badan yang bahkan memisahkan fungsi legislasinya berdasarkan pada kekhususan muatan dari produk hukum tersebut. Namun secara garis besar hukum yang diciptakan di Athena memiliki ciri tersendiri. Hukum yang ada di Athena, Sparta, Locri Epizephyrii (selatan Italia), maupun polis lainnya, ketika itu memiliki 5 ( lima) ciri yang berangkat dari pertanyaan terhadap hukum yang ada hingga pada muatan dari hukum Athena itu sendiri:118 1) Secara khusus kita pertama harus membedakan hukum dari kaidah atau pernyataan umum mengenai perilaku moral atau sosial. Hukum tertulis biasanya dicatat oleh perwakilan resmi dari polis. Fungsi utama mereka adalah untuk memberikan pedoman untuk keputusan oleh pengadilan atau badan publik lainnya, meskipun mereka dapat diterapkan untuk kegiatan 115 Mellisa Schwartzberg, Democracy and Legal Change, New York: Cambridge, 2007, hlm 34. 116 Ibid. Ibid. 118 Michael Gagarin, Early Greek Law, Berkeley: University California Press, 1989, hlm 117 53-57. 67 yang tidak biasanya datang, tapi mungkin datang, sebelum pengadilan, seperti hukum tentang perkawinan atau surat wasiat. 2) Kedua, hukum dapat dicirikan oleh tingkat umum penengah antara kaidah (atau prinsip) dan keputusan. Meskipun garis pemisah antara ketiga kategori tidak dapat diperbaiki dan beberapa aturan mungkin jatuh ke daerah menengah, kita mungkin dalam keadaan umum yang kaidah 3) Ketiga, kita harus membedakan antara hukum yang tepat dan politeia, biasanya diterjemahkan "konstitusi." Perbedaan ini, dibuat oleh Aristoteles tidak mutlak, karena politeia yang dapat dinyatakan dalam sebagian atau keseluruhan oleh resmi "diakui" (dan ditulis) undang-undang, seperti dalam Konstitusi Amerika Serikat. Tetapi istilah pada dasarnya menunjuk struktur kelembagaan untuk pemerintahan kota, yang mungkin sebagian besar didasarkan pada tradisi yang tidak tertulis dan bukan undang-undang tertulis, atau mungkin tersirat oleh hukum mengenai berbagai pejabat publik atau badan, atau dapat dinyatakan dalam tulisan-tulisan resmi pemikir seperti Plato. 4) Keempat, Hukum Draconian hadir sebagai hukum tertulis yang ada di Athena. Hukum yang berkenaan dengan tindak kriminal 5) Kelima, pembuat hukum dan penunjukan terhadapnya sering dilakukan dalam waktu kekacauan sipil. Pada kasus di Hesiod dan dalam laporan Herodotus tentang karir Deioces 'bagaimana gejolak sipil pada awal Yunani dilihat sebagai hasil dari pemecahan proses hukum, dan itu adalah masuk akal bahwa dalam upaya untuk memulihkan stabilitas selama periode sebuah kekacauan kota mungkin menunjuk pemberi hukum, baik 68 untuk merekam beberapa praktek-praktek tradisional masyarakat dan keputusan mendirikan kekuasaan kehakiman atau menulis undang-undang baru tentang hal-hal yang substantif atau prosedural. Pembuat hukum (nomothetes) didakwa dengan menulis satu set hukum untuk kota memiliki posisi khusus di kota itu bukan bagian dari struktur normal pemerintah. Hukum yang ada di Yunani secara signifikan mulai berkembang lebih serius lagi ketika memasuki abad ke-5 dan ke-4 SM. Kehidupan hukum Yunani dari 5 dan ke-4 SM ditentukan oleh tiga faktor dominan:119 1) Pertama, adanya keragaman negara-kota (polis), yang masing-masing dimiliki dan dikelola menetapkan sendiri hukum. 2) Kedua adalah fakta bahwa dalam banyak, jika tidak sebagian besar, dari polis (satu pengecualian tertentu adalah Sparta) hukum yang ditetapkan dalam undang-undang tertulis, beberapa dari mereka yang rumit dan kode lebih atau kurang lengkap menguraikan metode prosedural dan substantif aturan untuk administrasi peradilan. 3) Faktor yang menentukan ketiga hukum Yunani adalah tidak adanya badan yurisprudensi sebanding dengan orang-orang Romawi. Bahkan orator Attic, untuk semua keakraban praktis mereka dengan hukum kota, terutama tertarik dalam menyajikan argumen cocok untuk membujuk juri massa sebelum yang mereka harus berdebat, tidak dalam menganalisis sistem hukum dengan tujuan memperoleh wawasan yang lebih dalam 119 wib. http://www.britannica.com/topic/Greek-law diakses 20 Januari 2016 pukul 17.11 69 implikasinya. Juga, dalam hal ini, melakukan filsuf merawat hukum seperti itu, tujuan mereka menjadi penemuan standar abstrak keadilan. Hukum dalam praktiknya kemudian mencirikan bahwa hukum ketika itu tidak dapat dilepaskan dari masalah etika dan moral yang berangkat dari kebiasaan. Kebiasaan dari leluhur menjadi pengantar dari pada landasan dan cita hukum yang ada di Athena. Kebiasaan itu pula yang menjadi sangat berpengaruh terhadap penegakannya. Hukum pada masa klasik ini menurut B. Arief Sidharta terbentuk secara spontan, secara alami, di dalam sikap dan perilaku konkret dalam kehidupan sehari-hari, jadi ditampilkan dalam hukum tidak tertulis, yakni berupa pengulangan perilaku, tiap kali yang terjadi situasi kemasyarakatan yang sama dan dihayati dari tuntutan keadilan.120 Aristoteles berkenaan dengan hukum dan hubungannya dengan rakyat adalah bahwa rakyat membutuhkan hukum yang baik dan keberadaan dari hukum itu juga harus menjadi sebuah kebiasaan.121 Pemerintah ketika itu menurut Aristoteles ditekannya menjadi penyedia yang baik akan hukum, sedangkan rakyat menjadi penerima yang baik. Hubungan keduanya saling berkesinambungan menciptakan suatu kehidupan penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan pada kebutuhan dan pengertian. Hukum yang menjadi kebiasaan lebih lanjut cenderung diarahkan pada hukum yang pasti. Kepastian ini terlihat dari hukum tersebut tidak mudah diubah, berdasarkan suatu kepentingan tertentu yang sesaat. Namun hukum yang ada hanya dapat berubah dengan cara tertentu saja dan jarang.122 Kekhawatiran yang muncul demikian tidak dapat dipungkiri dikarenakan kondisi hukum di Athena ketika itu. hukum 120 B Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu Hukum yang Responsif terhadap Perubahan Masyarkat, Yogyakarta: Rajawali Press, 2013, hlm 15. 121 Jill Frank, a Democracy of Distinction… Opcit, hlm 115. 122 Ibid. 70 sempat diabaikan karena keputusan aturan yang bebas dalam demokrasi.123 Kebebasan yang muncul karena demokrasi berpengaruh terhadap produk hukum yang ada. Fleksibilitas hukum pada abad kelima memiliki konsekuensi dari ketidakpastian, karena undang-undang diubah begitu sering bahwa itu sulit untuk mengantisipasi konsekuensi dari tindakan.124 Kondisi demikian tidak hanya dikarenakan oleh meluapnya demokrasi sebagai ide penyelenggaraan negara. Namun hal in juga disebabkan oleh ketiadaan standar hukum yang dimiliki oleh Athena.125 Brian Z Tamanaha berpendapat bahwa produksi hukum ataupun pelayanan hukum tidak dilakukan oleh kelas profesional hukum, hukum yang dibuat merupakan produk dari aktivis ataupun warga biasa.126 Dalam hal ini produk-produk hukum yang dihasilkan kemudian tidak memiliki standar yang jelas dan memiliki implikasi yang berbeda. Hal tersebut inilah yang kemudian mendorong dibutuhkannya ide hukum yang sulit diubah dan pasti keberadaannya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah yang dimaksud hukum yang jarang diubah adalah konstitusi? Yunani kuno sebenarnya sudah memiliki konstitusi, meskipun konstitusi yang dibayangkan tidak seperti konstitusi moderen saat ini. Whitelocke berpendapat bahwa: ―the natural frame of state and this idea seems old as the politeia of Greek, which we usually translated by our word constitution‖.127 Yunani menurut Whitelocke tidak hanya sebagai prototipe dari negara, namun menyediakan ide tentang konstitusi. Ide tentang konstitusi dapat dikatakan juga baru sebatas pada materinya saja, belum berkenaan dengan 123 Lihat tulisan John David Lewis, Constitution And Fundamental Law: The Lesson Of Classical Athens, dalam Jurnal Social Philosophy and Policy, Januari 2011, Cambridge University Press, hlm 27. 124 Mellisa Schwartzberg, Democracy and Legal Change, Opcit, hlm 36. 125 Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law…. Opcit, hlm 7 126 Ibid. 127 Charles Howard Mcllwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, New York: Cornell University Press, 1947, hlm 25. 71 bagaimana ide tersebut diwujudkan dalam bentuk hukum positif. Konstitusi yang dimaksud dengan demikian bukan seperti konstitusi tertulis seperti zaman Moderen sekarang ini. Konstitusi Yunani Kuno masih bersifat materiil saja.128 Politeia dikatakan sebagai konstitusi materiil karena Politeia tersebut sudah dianggap lebih tinggi daripada nomoi karena kekuatannya untuk membentuk.129 Konstitusi materiil apabila dikaitkan dengan pemikiran konstitusi yang moderen, dapat dimasukkan sebagai konstitusi tidak tertulis. K.C Wheare berpendapat bahwa konstitusi tidaklah sepenuhnya berkenaan dengan muatan legal saja, namun konstitusi juga berkenaan dengan unsur non legal seperti adat atau tradisi, yang turut pula mengatur tentang ketatanegaraan. Jadi dengan demikian dapat dikatakan Politeia merupakan konstitusi juga karena dia mengandung ide untuk ikut juga mengatur ketatanegaraan Yunani Kuno. Politeia dalam hal ikut mengatur ketatanegaraan dapat dilihat dari fungsinya. Jill Frank berpendapat bahwa: Konstitusi dalam pandangan Aristoteles berfungsi sebagai standar dari evaluasi hukum yang ada dalam berbagai rezim.130 Konstitusi dengan demikian menjadi sumber tertinggi yang menetapkan standar-standar yang boleh dan tidak boleh dimiliki oleh suatu hukum yang ada di Yunani. Pandangan ini berangkat dari pemikiran konsep etik, dimana keadilan memandu dari pengembangan dan penggunaan hukum.131 Konstitusi dalam praktiknya lebih lanjut menurut 128 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2013, hlm 72. 129 Ibid. 130 Lihat Jill Frank, Aristotle on Constitutionalism and the Rule of Law, Jurnal Theoretical inquiries in law, edisi 8, Januari 2007. 131 John David Lewis, Constitution And Fundamental Law: The Lesson Of Classical Athens, Opcit, hlm 26. 72 Aristoteles kemudian sangat dipengaruhi oleh Theramenes.132 Berikut pendapat Aristoteles yang ditulis oleh Jill Frank:133 Aristotle recounts that Theramenes supported Athens as both oligarchy and democracy. Consistent with his treatment of good citizenship-which he associates with obedience to the laws of a regime-Aristotle praises Theramenes for his loyalty to each regime. Theramenes also, however, had a hand in changing Athens twice from democracy to oligarchy and in moderating the first oligarchy (the Four Hundred), although he was executed for his attempts to moderate the second (the Thirty) . Commending him not only for abiding by the law, Aristotle maintains that he "worked for the good of any established government so long as it did not transgress the laws, and in this way showed that he was able to participate in governing under any kind of political setup, which is what a good citizen should do. Theramenes selalu berbuat demi kebaikan untuk setiap pemerintahan asalkan tidak melanggar hukum. Theramenes dengan demikian mencontohkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan apapun itu hingga pada tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, harus menjunjung hukum sebagai hal yang utama. Namun meskipun Aristoteles mengatakan bahwa Theramenes merupakan sebuah contoh terhadap praktik penyelenggaraan negara yang menjunjung hukum, namun sebelum hadirnya Theramenes ada Solon dan Clisthenes yang sangat berperan dalam soal reformasi kelembagaan yang turut pula berpengaruh pada hukum yang diselenggarakan di Athena. Peranan kedua tokoh ini berangkat dari jasanya membuat hukum untuk menyelesaikan masalah yang ada di Athena ketika itu. Solon misalnya berangkat dari krisis pertanahan yang cenderung mengarahkan pada perbudakan tanah. Solon sebagai anggota archonte dikenal sebagai legislator Athena, ia membuat undang-undang baru: dengan menghapuskan status 132 Theramenes adalah Politisi Athena dan Jenderal, aktif dalam tahun-tahun terakhir Perang Peloponnesia (431-404 SM) dan kontroversial dalam hidupnya sendiri dan karena. Ayahnya, Hagnon, kontemporer dari Pericles, disajikan berulang-ulang sebagai salah satu dari 10 jenderal tahunan Athena, informasi ini dapat dilihat di http://www. Britannica.com/biography/Theramenes diakses 20 Januari 2016 pukul 09.16 wib. 133 Jill Frank, A Democracy in Distinction… Opcit, hlm 116. 73 budak.134 Peranan penting yang dilakukan oleh Clisthenes dalam kaitannya dengan perkembangan demokrasi dan hukum di Athena adalah Clisthenes melepaskan kaitan antara suku-suku tradisional dan wilayah yang dikuasainya.135 Model yang dianut oleh Clisthenes ini dapat dilihat dalam Dewan perwakilan Boule yang beranggotakan 500 orang. Namun sumbangan terbesar dari Clisthenes adalah kesederajatan di muka nomos (hukum).136 Kedua tokoh tersebut inilah yang menjadi peletak dasar hukum yang demokratis, dan menjamin terhadap kesetaraan. Namun dengan demikian pandangan tentang negara dan hukum yang ada di Yunani tidaklah sama dengan pandangan yang ada dalam negara dan hukum di era moderen ini. Aristoteles sendiri dan filsuf-filsuf yang ada di Yunani sangat mendambakan peranan dari para tokoh-tokoh pemimpin maupun politik. Hukum yang berjalan sangat bergantung pada siapa pemimpinnya, sehingga dengan demikian dapat saja hukum berubah-ubah bergantung pada kehendak pemimpinnya. Pemikiran akan ketergantungan dan pemimpin ideal yang mampu menegakkan hukum menurut Jimly dengan melihat pemikiran Aristoteles disebabkan oleh 3 (tiga) faktor:137 1) Pertama, di zamannya belum ada mekanisme untuk menyatakan suatu tindak revolusioner sebagai suatu tindakan inkonstitusional 2) Kedua, revolusi besar-besaran yang terjadi tidak hanya mengubah hukum publik namun mengubah secara besar-besaran, bahkan mengubah secara keseluruhan kehidupan masyarakat di Yunani. Dalam keadaan demikian 134 Lihat tulisan A Setyo Wibowo, Kepublikan dan Keprivatan di Dalam Polis Yunani Kuno, dalam buku Ruang Publik Melacak ― Partisipasi Demokrasi‖ dari Polis hingga Cyberspace, editor: F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm 37 135 Ibid, hlm 40. 136 Ibid, hlm 41. 137 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 78-79. 74 Aristoteles berpandangan bahwa keseluruhan polity dan konstitusi mengalami kehancuran atau bubar; 3) Ketiga, revolusi demikian selalu ditandai dengan kekerasan, kematian dan kehancuran Demokrasi Yunani Kuno dan hubungannya dengan hukum dapat disimpulkan demikian: 1) Demokrasi sebagai sebuah bentuk penyelenggaraan negara membutuhkan peran penguasa yang kuat dalam wujud aristokrat, oligarki, ataupun monarki. Demokrasi yang ada saat itu merupakan wujud peralihan dari pemerintahan otoriter, sehingga apabila kemudian tiada sosok yang kuat. Kekuasaan di tangan rakyat tersebut akan menjadi sebuah anarki. 2) Demokrasi disisi lain memerlukan juga hukum sebagai sebuah pembatas dan koridor, sehingga demokrasi tidak Demokrasi sebagaimana telah disebut juga merupakan alternatif dari kesalahan penguasa baik yang disengaja maupun tidak. Penguasa secara praktisnya dapat dikatakan membuka ruang aspirasi melalui Dewan Ekklesia, dan selanjutnya dijalankan oleh Dewan Boule; 3) Pada akhirnya ketiga merupakan suatu bentuk mixed government yang saling menyeimbangkan satu sama lain. Kaum Aristokrat dibela oleh filsuf-filsuf Athena seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Di sisi lain demokrasi merupakan sistem yang dijaga oleh kaum demokrat. 4) Hukum yang hadir pada masa Yunani kuno merupakan penjawantahan terhadap kebiasaan dan selalu diawali oleh kekacauan sipil. Hukum yang ada di Yunani Kuno dalam pandangan Aristoteles haruslah kemudian 75 selalu diulang-ulang terus menerus sebagai kebiasaan. Namun akan lebih baik apa bahwa kebiasaan tersebut tetap dan pasti, bukan sangat mudah diubah. 5) Hukum Yunani dengan demikian sangat bergantung dari revolusi. Revolusi dan kepemimpinan sangat menentukan dari pada penegakan hukum dan konstitusi. 6) Yunani dalam hal ini memang memiliki konstitusi tidak tertulis yakni politeia. Namun dalam hal ini nilai-nilai kebiasaan yang berada dalam konstitusi belum dapat dikatakan dapat ditegakkan atau dapat dikatakan konstitusionalisme sudah ada di Yunani ketika itu. b. Romawi Kuno Romawi merupakan salah satu kebudayaan yang turut menyumbangkan pemikiran tentang negara moderen di Eropa khususnya. Ada legenda juga yang mengatakan bahwa Roma didirikan oleh kakak beradik Romulus dan Remus anak dari Dewa perang Mars.138 Namun cerita tersebut tidaklah terdapat bukti yang cukup kuat. Atas dasar bukti-bukti arkeologi lebih mungkin bahwa Roma didirikan oleh kaum Etrusca di abad ketujuh SM.139 Roma dibangun dibangun pada tujuh bukit di samping Sungai Tiber, pada perbatasan Etruria dan awal Roma diperintah oleh raja.140 Pada masa awal dari pada Romawi kuno ini Raja menjadi penguasa tunggal dari Romawi. George Mousorakis berpendapat bahwa: The king (rex) wielded much of the same power over his subjects as that of a Roman head 138 139 Simon James, Eyewitness Ancient Rome, United State: DK Publishing, 2008 hlm 6. Olga Tellegen Couperus, A Short History of Roman Law, London: Routledge, 2003, hlm 5. 140 Simon James, Eyewitness Ancient Rome, Opcit, hlm 6. 76 of family over his household, including the right to inflict capital punishment. He was also responsible for foreign relations and for war, public order, justice and the maintenance of Roman state religion.141 Raja dalam kekuasaannya sangat luas seakan dia bertindak seperti kepala keluarga. Segala urusan negara menjadi urusan raja. Raja memiliki kekuasaan hingga pada urusan agama. Namun kekuasaan raja yang sangat absolut berubah ketika Romawi memasuki Era Republik pada tahun 509 SM. Romawi pasca berubah bentuk menjadi Republik, mengubah pula struktur politiknya, sebelumnya penyelenggara negara terdiri dari raja, senat dan majelis berubah menjadi senat, magistrature, dan majelis.142 Pada sisi lain setelah Romawi berubah menjadi Republik pengaruh kebudayaan Helenisme dan pengaruh filsafat kaum Stoa menjadi ikut mempengaruhi pula pemikiran terhadap pembangunan hukum dan konstitusionalisme di Romawi Kuno. Kedua hal tersebut yang kemudian perlu dikaji tersendiri untuk dapat membahas hubungan antara demokrasi, hukum dan konstitusionalisme di Romawi Kuno. a. Dari Monarki Menuju Republik Penyelenggaraan pemerintahan di Romawi Kuno di awal bentuknya yakni monarki, dalam hal ini meskipun raja menjadi penguasa tunggal bukan berarti dia tidak memiliki struktur politik yang ikut membantunya. Penyelenggaraan negara oleh raja tidak dapat dilepaskan dari elemen masyarakat atau golongan-golongan yang ada disana. Golongan yang ada yakni golongan patrician dan plebian. Kaum Patrician merupakan golongan bangsawan Romawi yang dalam hal ini turut pula membantu Raja dalam memerintah. Mereka berperan sebagai penasihat dari Raja 141 George Mousourakis, Roman Law and The Origins of Civil Law Tradition, Switzerland: Springer, 2015, hlm 5. 142 Olga Tellegen, A Short History of Roman Law, Opcit, hlm 10. 77 ketika itu, dalam hal ini senat.143 Senat disebutkan sebagai organ penasihat tertua di Roma (dewan dari tetua).144 Anggota dari dewan ini disebutkan sebagai Patres (ayah).145 Keistimewaan dari golongan bangsawan ini dapat dilihat dari perbedaannya dari golongan rakyat biasa yakni Plebian. Olga Tellegen Courperus dalam bukunya A Short History of Roman Law, menyebutkan perbedaan diantara keduanya adalah sebagai berikut:146 1) Perbedaan antara patrician dan plebeian jelas terlihat dari posisi ekonomi dan sosial mereka masing-masing. Mereka dimiliki cukup banyak tanah dan terus ternak dan budak. Mereka berhak untuk melayani sebagai hakim dan imam dan karena sistem voting memiliki pengaruh yang menentukan pada undang-undang. 2) Plebeian di sisi lain terutama pengrajin dan petani kecil; di masa perang mereka tidak punya budak untuk menjaga bisnis mereka berjalan dan ini meningkat kesempatan mereka pemiskinan. Selanjutnya, seperti yang sudah disebutkan, mereka tidak diperbolehkan untuk memegang jabatan publik dan, sebagai akibat dari sistem voting yang disebutkan di atas, mereka memiliki sedikit pengaruh pada undang-undang. Kelebihan yang dimiliki oleh kaum Patrician dapat dikatakan kelebihan secara politis. Mereka memiliki kesempatan untuk memberikan saran kepada pemerintah, hingga keterlibatan mereka langsung dan berperan sebagai hakim dan imam. Hal ini tentu berbeda ketika melihat posisi dari kaum plebian yang hanya mengikuti sistem yang ada. Mereka sekedar hanya menjalani rutinitas kehidupan 143 144 Ibid. R.M Ogilvie, Early Rome and Etruscans, Great Britain: Harvester Press, 1976, hlm 55. 145 146 Ibid. Olga Tellegen Couperus, A Short History of Roman Law, Opcit, hlm 7. 78 bernegara, tanpa punya kesempatan untuk mengubah nasib mereka. Kesempatan yang dimiliki kaum patrician melalui pengaruhnya sebagai penasihat bahkan dapat menimbulkan gejolak dalam pemerintah Monarki Romawi abad ke 5 sebelum masehi. Tahun 509 SM menjadi tahun dimana raja Tarquinus Superbus digulingkan oleh kaum bangsawan Romawi, yakni partrician.147 b. Pembangunan Hukum Romawi Pengaruh kebudayaan Yunani ini dimulai sejak ekspansi dan dominasi wilayah dimana Yunani tinggal, Italia, Sicilia, dan Asia pada abad ke 3 dan 2 sebelum masehi. 148 Secara tidak sadar maupun sadar mereka (bangsa Romawi) mulai mengikuti kebudayaan Yunani. Pengaruh kebudayaan ini dapat dilihat mulai dari pola pendidikannya yang mulai berubah di Romawi. Pendidikan bangsa Romawi dapat dikatakan awal mulanya merupakan pendidikan dengan sistem kekeluargaan. Sistem kekeluargaan yang dimaksud adalah seorang anak Romawi belajar dari kedua orang tua mereka.149 Namun seiring dengan masuknya budaya Yunani maka pendidikan di Romawi juga ikut berubah. Pendidikan di Romawi tidak lagi hanya mengandalkan pendidikan dari kedua orangtua saja, namun pendidikan yang ada Romawi juga dituntut untuk diselenggarakan dalam bentuk formal yakni di luar lingkungan keluarga. William E Dunstan dalam bukunya Ancient Rome menyebutkan bahwa pendidikan formal di Romawi dibagi ke dalam 3 (tiga) tahap:150 147 Ibid. Lihat juga Simon James, Eyewitness Ancient Rome, Opcit, hlm 6. William E Dunstan, Ancient Rome, Maryland: Rowman and Littlefield Publisher, 2011, hlm 113. 149 Ibid. hlm 114. 150 Ibid. 148 79 1) Tahap pertama pendidikan diperkenalkan kedua anak laki-laki dan perempuan, dimulai sekitar usia tujuh tahun, untuk membaca dasar, menulis, dan hitung. Pendidikan sangat bergantung pada pelatihan hafalan. Banyak ayah yang tidak menjaga guru privat di rumah terdaftar anak-anak mereka di sekolah-sekolah yang didirikan oleh dimerdekakan Yunani. Orang tua berusaha untuk menjaga anak-anak mereka dari pertemuan buruk dengan mengadopsi kebiasaan Yunani mengirim mereka ke sekolah dengan budak keluarga dipercaya. Anak laki-laki pergi ke sekolah dan kembali dengan paedagogus-budak Yunaninya dituduh mengawasi hidupnya dan perilaku-dan seorang gadis dengan pengasuh nya. Pendidikan formal untuk anak perempuan biasanya berakhir pada usia dua belas, meskipun ayah sesekali disediakan tutor khusus untuk anak perempuan brilian. 2) tahap kedua pendidikan dimulai Anak laki-laki dua belas tahun dari keluarga kaya yakni, penelitian bahasa dan puisi, di bawah guru di rumah atau guru di sekolah. 3) Tahap ketiga dari pendidikan berlangsung di sekolah retorika, pertama kali muncul di Roma pada abad kedua SM, yang memberikan pelatihan berbicara di depan umum. Kemampuan untuk berbicara bahasa Yunani dan berdebat dalam gaya Yunani persuasif menandakan seorang intelijen dan kepentingan. Dengan demikian, pelatihan dalam retorika Yunani datang untuk dianggap sebagai sangat diperlukan untuk politisi calon Romawi. 80 Pada tahapan lebih lanjut anak-anak yang telah menyelesaikan ketiga tahap tersebut dapat pula melanjutkan pendidikan ke pusat-pusat kebudayaan Yunani, seperti Athena, Rhodes, dan Naples.151 Mereka disana dapat mempelajari filsafat, sastra, dan retorika lebih lanjut. Aliran filsafat yang mereka pelajari inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pemikiran bangsa Romawi, khususnya dalam hal pemikiran hukum di abad ke 3 SM tersebut. Namun dalam hal ini hukum yang ada terlihat lebih politis ketimbang hukum yang dibangun di Yunani. Hukum yang diciptakan pada zaman Romawi Kuno mulai abad III sebelum Masehi, berakar dari kehendak penguasa politik. Hukum tidak lagi hanya sekedar berangkat dari kebiasaan ataupun berangkat dari jiwa rakyat. Penguasa politik membentuk hukum dengan sengaja, yakni membuat putusan yang memuat perintah-perintah yang harus dipatuhi oleh semua orang dan perintah-perintah tersebut dirumuskan secara tertulis dalam suatu dokumen resmi dan diberlakukan di seluruh wilayah penguasa tersebut.152 Hukum dalam hal ini ditetapkan sebagai sebuah perintah yang sifatnya memaksa. Rakyat dituntut untuk tunduk dalam dokumen yang berisikan perintah. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang ada dalam dokumen resmi tersebut tentu akan berakibat pada sebuah ancaman sanksi. Apabila melihat pada periode Yunani akan sangat berbeda dengan pemikiran yang ada pada Romawi. Yunani Kuno belum membayangkan hukum sebagai suatu yang terpisah dari negara dimana negara harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan aturan yang ditentukan olehnya.153 Perbedaan lainnya yang dapat dilihat antara pemikiran hukum Yunani dengan Romawi kuno ada pada perwujudan dari kebiasaan. Kaidah-kaidah yakni karakter hukum yang mengatur hubungan antara 151 Ibid. B Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia… Opcit, hlm 15. 153 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 80. 152 81 Romawi, rakyat ataupun bangsa lain berlawanan dengan hakikat keagamaan dalam kaidah-kaidah kebiasaan yang ditaati oleh negara-negara kota (City States) Yunani.154 Namun meskipun demikian berbeda tak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan Yunani juga menjadi pengaruh terbentuk pemikiran hukum dan kenegaraan yang ada di Romawi. Aliran filsafat Stoa yang kemudian mentransplantasikan pemikiran dari Yunani ke Romawi. Aliran filsafat stoa menjadi yang paling berpengaruh terhadap pemikiran hukum bangsa Romawi. Filsuf kaum Stoa tersebut antara lain Seneca, Marcus Aurelius, dan Cicero. Namun diantara ketiganya yang paling berpengaruh terhadap konstitusionalisme adalah Cicero. Cicero berpendapat bahwa negara merupakan perkumpulan orang banyak yang dipersatukan melalui suatu aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama.155 Dengan ini maka negara sebagai masyarakat moral berubah menjadi negara sebagai masyarakat hukum.156 Hukum lebih lanjut menurut Cicero memiliki status yang supreme dan bergantung pada hukum alam.157 Hukum alam ditempatkan oleh Cicero sebagai rule of reason.158 Hukum menurut Rule of Reason yang dimaksud oleh Cicero harus baik, menuju pada kebahagiaan dan memberikan keselamatan bagi warga negaranya.159 Hukum dalam pandangan Cicero dapat dikatakan berorientasi pada kebutuhan dan pemenuhan keinginan dari warga negara. 154 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh), terjemahan Bambang Iriana, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm 9. 155 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hlm 33. 156 Ibid. 157 Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law… Opcit, hlm 11. 158 ` ibid. 159 Ibid. 82 c. Demokrasi Pasca Revolusi Perancis Perancis menjadi titik tolak hadirnya konsep negara moderen yang berbasis pada konstitusi tertulis. Keberadaan Revolusi Perancis 1789 menjadi momen yang digunakan untuk merubah tatanan dari negara Perancis yang sebelumnya sangat mutlak berada di tangan raja, beralih menuju kekuasaan rakyat. Raja pada waktu sebelum adanya Revolusi 1789 menjadi sumber kekuasaan tertinggi yang ada di dalam suatu negara. Segala sesuatu yang diperbuat, dan diperintah raja wajib dipatuhi dan diikuti oleh warga negaranya. Kondisi demikian kemudian menyimpang kepada kesewenang-wenangan raja terhadap rakyatnya. Era pemerintahan Louis XVI di Perancis pada abad ke-18 menjadi contoh yang terkenal Louis XIV bersama dengan istrinya Marie D Antoniette menggunakan kekayaan dan sumber daya negara untuk bersenangsenang dan foya-foya, ketika kondisi rakyat Perancis sedang mengalami kemiskinan. Louis ketika itu dengan L’etat cest moi (aku adalah negara). Sumber kekuasaan di negara Perancis dianggap berasal dari dirinya. Absolutisme inilah yang memicu hadirnya Revolusi Perancis, yang turut juga nantinya sebagaimana diungkap sebelumnya akan merubah pemikiran dan tatanan kenegaraan di Perancis. Pandangan terhadap kekuasaan absolutisme raja ini tidak terlepas juga dari pengaruh pemikiran kenegaraan dari Jean Bodin tentang kedaulatan khususnya. Kedaulatan menurutnya adalah kekuasaan tertinggi para warga negara dan rakyatnya, tanpa suatu pembatasan dari Undang-undang.160 Hal ini yang kemudian dijadikan dasar bahwa raja pun tidak terikat oleh undang-undang (hukum positif). 160 JJ. Von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pt Pembangunan, 1965, hlm 144. 83 Model absolutisme Raja Louis XVI akan berujung pada tewasnya Louis XVI di tiang gantungan. Kematian dari Louis sendiri tidak hanya kemudian dapat secara mudah dan sederhananya muncul. Ada serangkaian peristiwa yang merubah tatanan kekuasaan tertinggi di tangan raja beralih menjadi kekuasaan di tangan rakyat. Permasalahan krusial ketika itu adalah Perancis menuju pada ambang kehancuran yakni krisis financial. William Doyle dalam bukunya mengenai Revolusi Perancis, mengungkapkan secara runut kebangkrutan menjadi alasan pemicu hadirnya revolusi Perancis. In May 1788, a Maupeoulike attempt was made to remodel them and reduce their powers. To win public support a wide range of legal and institutional reforms were simultaneously announced, but they were ignored in the public uproar that now swept the country. Even a promise to convoke the Estates General once the reforms had taken effect was greeted with contempt. And when, at the beginning of August, the crown’s usual sources of short-term credit refused to lend more, the fate of Brienne’s ministry was sealed. On 16 August, payments from the treasury were suspended. It was the bankruptcy which successive ministries had spent 30 years trying to avoid. Brienne resigned, recommending the recall of Necker. The first thing the Genevan miracleworker did on his triumphant return to office was to proclaim that the Estates-General would meet in 1789. The convocation of a national representative assembly meant the end of absolute monarchy. It had finally succumbed to institutional and cultural paralysis. Its plans for reform fell with it. Nobody knew what the Estates-General would do, or even how it would be made up or chosen. There was a complete vacuum of power. The French Revolution was the process by which this vacuum was filled.161 Negara yang dijalankan oleh monarki absolutnya Louis XVI dianggap tidak mampu, sehingga munculnya Revolusi Perancis.162 Monarki Absolut dalam hal ini 161 William Doyle, French Revolution a Very Short Introduction, New York: Oxford University Press, 2001, hlm 36. 162 Revolusi Perancis sendiri berangkat dari pemikiran pada kaum burg (kelas Menengah), ketika itu. Mereka berfikir bahwa apabila ingin mendapatkan kemapanan secara ekonomi haruslah bekerja keras. Hal berbanding terbalik dengan kenyataan ketika itu, para pemimpin menggunakan kekuasaan begitu mudahnya mendapatkan kemapanan bahkan cenderung menindas rakyatnya. Pemikiran-pemikiran kaum Burg ini sangat dipengaruhi oleh Pemikiran J.J.Rousseau. lihat Fx. Adji Samekto, Hukum dalam Lintasan Sejarah, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2013, hlm 36. Lihat juga mengenai bahwa kaum Burg-lah yang mendorong terjadinya Revolusi karena 84 juga memiliki sisi terlemah yang ada pada dirinya, sisi tersebut adalah penyelenggaraan negara berada dalam satu tangan sehingga tiada pemisahan serta proses check and balance tidak ada. Proses ini apabila dipandang lebih luas tidak hanya berkenaan dengan pembatasan kekuasaan seorang penyelenggaraan. Namun lebih penting adalah saling melakukan koreksi terhadap kinerja kelembagaan, yang sangat sulit diwujudkan dalam bentuk monarki absolut. Penyelenggaraan negara demikian juga berujung pada konsep negara yang harus berlandaskan pada despotisme (ketakutan). Rakyat menjalankan kehidupannya diajak untuk takut pada negara, atau dengan kata lain seperti kumpulan hewan yang dikurung dalam pagar listrik, apabila kemudian mencoba menerobos pagar yang terjadi adalah listrik menyengat mereka. Kondisi demikian kemudian menggambarkan bahwa keberadaan pemerintahan absolut secara tegas tidak mencerminkan demokrasi secara substansial yakni menyangkut pada pemenuhan hak-hak warga negara. Demokrasi dalam hal ini memerlukan instrumen hukum yang benar-benar dapat menjamin keberadaan demokrasi substansial tersebut. Instrumen hukum yang ada tidak dengan demikian tidak hanya menjamin terselenggaranya negara hukum. Instrumen hukum yang dimaksud disisi lain juga harus diarahkan pada keseimbangan antara keinginan rakyat dan penguasa. Pasalnya apabila demokrasi dibiarkan begitu saja tanpa adanya kerangka dan jalur maka demokrasi akan berubah menjadi sebuah anarki dan kekacauan. Konsep negara moderen saat ini membungkus demokrasi dalam wujud negara hukum. terganggunya kepentingan mereka berdagang. Lihat Soekarno, Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta: Yayasan Empu Tantular, 1960, hlm 121. 85 Negara Hukum pada awalnya hanya secara formal dipandang untuk menjauhkan penyelenggaraan negara dari rule by the man yang kecenderungannya menuju pada pemerintahan tirani. Konsep negara hukum secara moderen mulai berkembang pasca revolusi Perancis. Ada juga sebuah tarik ulur antara konsep kedaulatan yang mulanya memusatkan diri pada tokoh raja sebagai pusat kedaulatan, bergeser pada rakyat sebagai pihak yang juga berdaulat di dalam negara. Berikut adalah pernyataan yang diungkap oleh Sieyès seorang ahli politik yang terlibat dalam Revolusi Perancis:163 Yet, revolutionaries also brought significant innovations affecting both the sovereign and the individual. ―Who is the sovereign?‖ asked Sieyès at the dawn of the Revolution: sovereignty belonged to ―20 million French people‖ who, being equal and immune from the stigma of ―privileges‖, were the nation. The nation was sovereign and the individuals were citizens: together with their natural civil rights, they enjoyed political rights and played an active role in the political body. Seieyes meyakinkan bahwa individu sebagai warga negara memiliki kedudukan yang sama dengan negara, dan terbebas dari hak-hak istimewa.164 Keduanya saling berproses dan berhubungan melalui badan-badan politik. revolusi Perancis lebih jauh dan mendalam tidak hanya dapat dimaknai sebagai sebuah proses munculnya kedaulatan rakyat saja. Revolusi Perancis menguraikan pula benang harmonisasi diantara kedaulatan, hukum dan hak-hak In the whirling ―historical acceleration‖ caused by the Revolution, the spontaneous harmony that seemed to characterize the relationship between sovereignty, law, and rights – and the belief that law could act as an intermediary between citizens and power by implementing the natural rights of the individual – were overturned and replaced by dramatic alternative 163 Lihat tulisan Pietro Costa, The Rule of Law Historical Introduction, dalam Piero Costa dan Danilo Zolo, The Rule of Law History, Theory, and Criticism, Dordrecht: Springer, 2007, hlm 79. 164 Pendeta Seiyes meskipun dia berkedudukan dan berstatus sebagai bangsawan dan ningrat, namun dalam hal pembelaan terhadap rakyat yang disebutnya golongan ketiga menjadi pilihan utamanya. Golongan ketiga bagi Seiyes adalah bangsa yang sebenarnya karena itulah rapat golongan harus menjadi rapat kebangsaan, yang sanggup menyatakan kehendak umum rakyat Perancis. Lihat JJ Von Schmid, Pemkiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad ke 19, Jakarta: Pt Pembangunan, hlm 28. 86 beliefs: on the one hand, the perception of power’s dangerousness, of the potential discrepancy between the formal lawfulness and substantial despotism of legislative provisions (and the ensuing attempt to make the Declaration of Rights an unassailable safeguard); on the other hand, the theorization of a ―state of necessity‖ capable of sweeping away formal lawfulness and individual rights in the name of the fight against darkness, of freedom against despotism, of virtues against corruption. Hubungan diantara hukum, kedaulatan dan rakyat diwujudkan dalam kerangka harmonis bahwa hukum berperan sebagai perantara diantara warga negara dan kekuatan yang berkuasa. Hal ini dilakukan dengan mengimplementasikan hak alamiah individu. Hak ini yang kemudian dibakukan dalam wujud deklarasi hak sebagai hal yang tidak tergoyahkah, dalam hal ini negara bertindak tanpa mengurangi hak alamiah warga negara tersebut. Konsep dari negara hukum ini pada awal mulanya pasca Revolusi Perancis hanya secara formal digunakan sebagai instrumen pemecah kekuasaan dan perlindungan dari absolutisme Raja ketika itu. 87 B. Lembaga Perwakilan Lembaga perwakilan dewasa ini menjadi perlambang tegaknya demokrasi. Lembaga perwakilan berdiri sebagai partner sekaligus lawan dari pemerintah. Hubungan diantara keduanya dalam penyelenggaraan negara akan membuktikan berjalannya demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari desain yang diciptakan oleh Konstitusi hingga pada peraturan hukum lainnya yang mengatur tentang Lembaga Perwakilan. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa demokrasi tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara tradisi dan institusi.165 Institusi dan Tradisi saling mempengaruhi satu sama lainnya, tradisi sebagai cara bagaimana masyarakat melaksanakannya demokrasi, sedangkan institusi sebagai perwujudan penataan dari demokrasi itu sendiri.166 Desain dari suatu kelembagaan dengan demikian sangat menentukan mulai dari kewenangan, hingga pada hubungannya dengan lembaga lain. Namun disini dapat saja desain yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk mendukung praktik demokrasi, dapat begitu saja hancur ataupun disalahgunakan dalam tataran yang berbeda dengan tujuan yang dimilikinya. Pada dasarnya hal ini sama dengan yang terjadi pada pembahasan konstitusionalisme, yakni dimana unsur-unsur formal saja yang dinampakkan ke permukaan yakni pembatasan kekuasaan, dan negara hukum. Lembaga perwakilan dengan demikian wajib dibahasa terlebih dahulu pada tataran konsepnya, sebelum menuju pada desain lembaga perwakilan moderen dengan kewenangan legislasinya. 165 166 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Opcit, hlm 296. Ibid. 88 Lembaga perwakilan dalam istilahnya sering disebutkan sebagai Assembly yakni berkumpul.167 Pengertian berkumpul tersebut dapat dipahami sebagai suatu kondisi untuk membahas masalah yang dimiliki rakyat. Lembaga tersebut dapat dikatakan juga sebagai wadah dimana rakyat mengumpulkan masalahnya, untuk kemudian dicarikan solusi terbaiknya. Istilah lain yang digunakan terhadap lembaga perwakilan adalah parlemen atau dewan perwakilan rakyat yang berasal dari kata parler (berbicara).168 Pada prinsipnya akan menentukan apa yang harus dilaksanakan, suara mana disalurkan melalui utusan-utusan yang mereka dudukan di forum perwakilan itu (demos+cratein= rakyat+pemerintah).169 Para utusan menjadi penyambung keinginan dari rakyat, yang belum dapat dijangkau oleh pemerintah. Peran lembaga perwakilan juga dalam hal ini tidak hanya kemudian menyampaikan apa yang dibutuhkan rakyat saja. Lembaga perwakilan juga dalam konsepsi moderen sering dikaitkan dengan penyebutannya sebagai lembaga legislatif. Peran lembaga perwakilan di sini yang ditonjolkan adalah sebagai perumus undang-undang. Rumusan dari undang-undang tersebut yang kemudian dikatakan dapat mengubah jalannya penyelenggaraan negara. Namun hal ini justru menyempitkan esensi perwakilan itu sendiri. Padahal lembaga perwakilan memiliki fungsi lain seperti pengawasan, representasi adapun beberapa sarjana menambahkan fungsi deliberative dan penyelesaian konflik.170 Bayangkan apabila fungsi legislasi dikuatkan namun tanpa adanya fungsi lain yang kuat. Produk 167 Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm 315. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 65. 169 Ibid. 170 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 301. Mirriam Budiarjo mengungkap hanya 2 (dua) fungsi utama dari badan legislatif, yakni membuat kebijakan, dan mengontrol badan eksekutif. Lihat Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm 322-323. Ramlan Surbakti mengungkapkan adanya fungsi lain seperti menyetujui atau mengusulkan seorang atau lebih pejabat negara seperti yang dikehendaki oleh Konstitusi ataupun undang-undang. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Opcit, hlm 225. 168 89 hukum yang dibuat seakan hanya sebagai secarik kertas semata, tanpa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan penyelenggaraan negara. 171 Lembaga perwakilan pada akhirnya harus mampu memahami bagaimana untuk memenuhi kehendak rakyat, secara aktif yakni melalui pengawasan tadi dan bukan hanya membiarkan penyelenggaraan negara berjalan diatas satu pandangan saja. Pemahaman terhadap kehendak rakyat yang dijamin perwujudannya dalam negara, tidak dapat dilepaskan dari pandangan JJ Rousseau. Pandangan Rousseau terhadap kehendak rakyat adalah sebagai berikut:172 1 Kekuasaan tertinggi ada pada rakyat , sebab dalam kontrak sosial nampaklah kehendak umum (volonte generale) sebagai akar situasi sipil ini. Dengan demikian rakyat dapat langsung mengambil keputusan dalam pembentukan peraturan tanpa perantara wakil-wakil; 2 Kekuasaan rakyat yang berdaulat adalah bersifat mutlak, suci, dan kebal; 3 Rousseau menolak konsep pembagian kekuasaan seperti yang dicontohkan oleh John Locke dan Montesquieu; 4 Bentuk pemerintahan dapat berbeda-beda: monarki, aristokrasi, demokrasi. Semangat yang dibangun dalam penyelenggaraan negara haruslah respublica (kepentingan umum, republik), jika tidak diikuti maka pemerintah harus digeser. Konsep yang dibangun oleh Rousseau nampak bahwa dia mencita-citakan konsep partisipasi rakyat langsung. Rakyat untuk dapat mewujudkan kepentingannya 171 Fungsi legislasi dalam perkembangannya di Abad ke-21, bahkan tidak lebih penting dari fungsi pengawasan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Opcit, hlm 5. 172 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Opcit, hlm 90-91. 90 harus mampu berdiri sendiri, sebagai seorang individu. Kepentingan individu inilah yang kemudian bersatu menjadi kepentingan kolektif yang dikenal sebagai kehendak umum. Kehendak umum ini selanjutnya dapat diaplikasikan dalam tataran praktikal karena pada dasarnya untuk mengadakan suatu konsep demokrasi langsung tidaklah mungkin. Konsep demokrasi langsung ini hanya dimungkinkan pada konsep demokrasi kuno Athena. Theo Huijbers mengungkapkan bahwa pada akhirnya pandangan Rousseau dapat diwujudkan apabila dilakukan melalui wakil rakyat yang turut serta mengambil keputusan dalam penyelenggaraan negara.173 Konsep perwakilan pada dasarnya kemudian menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah mungkin seluruh kepentingan yang ada dapat diwakili karena dalam suatu forum terbuka tidaklah mungkin kemudian dapat langsung muncul suatu konsep yang sama, dan selanjutnya mengantarkan pada suatu konsep mayoritas suara. Konsep penjawantahan kekuasaan tertinggi pada rakyat tidak akan pernah lepas dari problema mayoritas dan kepentingan kelompok pada akhirnya, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa konsep tersebut sangatlah memungkinkan untuk memanifestasikan keinginan rakyat meskipun diwarnai kepentingan mayoritas dan kelompok. Namun hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena kehendak rakyat dewasa ini untuk dapat sampai pada wujud lembaga perwakilan, harus dipatri dan dibentuk dari partai politik. Partai politik itu sendiri dapat dikatakan tidak akan pernah terlepas dari kepentingannya sendiri, sehingga dapat saja kepentingan rakyat tertutup oleh 173 kepentingan partai politik. Namun dalam Ibid, hlm 92. Teori kontrak sosial sebagai sebuah instrumen untuk mewujudkan kehendak umum, belum mampu menjabarkan secara detail bagaimana kontrak yang dibuat oleh rakyat dan pemerintah tanpa melalui sebuah partisipasi langsung yang menjadi kekurangan terbesar daripada konsep yang dibangun oleh Rousseau. Soetandyo misalnya untuk mampu mewujudkan kesepakatan antara rakyat dan pemerintah mengungkap bahwa: kontrak sosial adalah suatu proses perjanjian dan kesepakatan yang melahirkan apa yang disebut konstitusi. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum, Opcit, hlm 71. 91 hal ini tidak akan dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana kehendak rakyat tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur politik, pembahasan akan lebih difokuskan pada desain kelembagaan dari lembaga perwakilan itu sendiri. Desain lembaga perwakilan ini tidak akan dapat dilepaskan dari pola yang dimiliki oleh demokrasi. Demokrasi dalam praktiknya akan berpengaruh terhadap penyelenggaraa dari lembaga perwakilan. Namun demokrasi itu sendiri berangkat dari proses pengolahan yang dilakukan oleh kebudayaan dan paham tertentu. Bisa saja kebudayaan dan paham yang ada di suatu bangsa/negara menganggap pemikiran demokrasinya adalah yang terbaik, sedangkan di bangsa/negara lagi bisa saja itu berbeda. Hal ini yang akan membedakan desain maupun bagaimana lembaga perwakilan tersebut menjalankan fungsi-fungsinya. 1. Praktik Lembaga Perwakilan Zaman Klasik Barat Zaman Klasik Yunani akan menjadi awal pembahasan praktik demokrasi. Yunani dikenal sebagai awal mula peradaban moderen, pemikiran tentang politik dan pemerintahan masih sering dirujuk dalam teori-teori kenegaraan kontemporer. Pembahasan terhadapnya akan mengungkap praktik demokrasi yang berlangsung dengan berbagai instrumen maupun lembaga pelaksananya. Demokrasi Yunani dikenal sebagai demokrasi partisipatoris dimana seluruh warga dapat berpartisipasi dalam meyampaikan hak-haknya. Benih operasional demokrasi yang ada di Yunani mulai muncul sekitar tahun 594 sebelum masehi, atas dasar pemikiran Solon seorang negarawan Yunani.174 Pemikiran demokratis Solon dapat dilihat melalui sebuah sidang umum antara lain Aeropagus, Boule, dan 174 J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli, Jakarta: Rajawali Press, 2001, hlm 25 92 Ekklesia.175 Dewan Aeropogus dikenal sebagai sidang yang paling disegani dan dihormati. Dewan ini mulai berkurang kekuasaannya sejak pemerintahan Pericles. Sidang Ekklesia menjadi lembaga politik tertinggi di Yunani, dan wajib dihadiri oleh seluruh anggota yang terdiri dari warga negara Athena yang berusia dua puluh tahun keatas.176 Kebebasan warga negara untuk mengungkap apa yang menjadi kebutuhannya merupakan nafas utama yang ada dalam Ekklesia.177 Ada formasi demokrasi yang diciptakan oleh Negara Kota Yunani melalui dewan-dewan yang saling berhubungan, dengan komposisi dan fungsinya masingmasing. Namun dalam kenyataannya penyelenggaraan Negara Kota Yunani tidak hanya berdiri diatas pilar demokrasi saja. Demokrasi dalam benak Aristoteles berdiri berdampingan dengan aristokrasi dan monarki. Kekuasaan dalam wujud ketiganya menghasilkan Bentuk pemerintahan Yunani berupa pemerintahan campuran (mixed government).178 Bentuk pemerintahan campuran ini bagi filsuffilsuf Yunani sebagai upaya evaluasi dari kualitas institusi pemerintahan yang ada.179 Pemerintahan campuran yang ada ternyata tidaklah seimbang kekuatannya. Demokrasi dalam praktik kenegaraan Yunani ketika itu tetap ada dalam ranah mayoritas, mengingat juga rakyat jelas lebih banyak dibandingkan 175 Ibid, hlm 26. Ibid hlm 27. 177 Demokrasi dalam wujud sidang Ekklesia juga dapat dikataka sebagai wujud demokrasi langsung. Pemerintahan rakyat dapat dilaksanakan di dalam arti kata yang sebenarnya, artinya seluruh rakyat dapat diikutsertakan dalam memecahkan persoalan-persoalan negara yang penting yaitu dengan jalan mengumpulkan rakyat negara didalam suatu tempat. Disebutkan oleh Joeniarto menggunakan sistem demokrasi Yunani ini tidaklah sulit karena 2 (dua) hal besar:: 1) jumlah rakyat disana ketika itu itu tidak banyak dan tidak semua orang dalam Polis itu digolongkan sebagai rakyat negara; 2) persoalan di dalam negara tidak begitu sulit dan kompleks. Lihat Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm 22-23. 178 Efriza, Studi Parlemen: Sejarah, Konsep, dan Lanskop Politik Indonesia, Malang: Setara Press, 2014, hlm 4. 179 George Tsebelis dan Jeannette Money, Bicameralism, Opcit, hlm 17. 176 93 kaum aristokrat dan bangsawan. Demokrasi dapat dikatakan juga bentuk peralihan dari kekecewaan terhadap bentuk negara.180 Demokrasi secara praktis hingga saat ini dipahami sebagai suara terbanyak. Kehendak mayoritas merupakan kebenaran, dan kehendak minoritas belum tentu benar, atau bahkan dianggap salah ketika berhadapan dengan suara mayoritas. Demokrasi bagi Yunani (abad ke 5 sebelum masehi) selain itu, juga merupakan pencapaian besar sebagai pemerintahan yang langsung dijalankan oleh rakyatnya. Konsep pemerintahan yang dekat dan menyatu dengan rakyat ini tidak terlepas dari konsep kenegaraan yang dibangun Yunani ketika itu. Aristoteles sebagai patron pemikir konsep negara polis berpendapat bahwa negara terjadi karena penggabungan keluarga-keluarga menjadi satu kelompok yang besar. Kelompok yang besar tersebut bergabung lagi menjadi Desa hingga seterusnya menjadi Kota atau Polis.181 Pemikiran yang demikian menjadi rakyatlah yang membangun negara, berdasarkan hal tersebut kemudian maka rakyat juga bertanggungjawab dan berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan negara. 180 Plato sebagai filsuf yang sohor dan pemikirannnya masih dipakai hingga sekarang sebagai bahan kajian filsafat idealisme, mengungkap ada 5 bentuk besar negara, aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani. Kelima bentuk negara ini saling menyempurnakan dan menggantikan satu sama lain. Aristokrasi merupakan bentuk negara paling ideal yang dipikirkan oleh Plato. Konsep kenegaraan Plato pada akhirnya membentuk mengenai dua kutub pandangan demokrasi. Demokrasi bagi negara dengan undang-undang adalah bentuk negara yang terburuk, sedangkan bagi negara yang tidak memiliki undang-undangan adalah bentuk negara yang terbaik. Lihat J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli, Opcit, hlm 66-67. Plato menerjemahkan negara terbaik adalah negara dengan bentuk aristokrasi. Lain halnya dengan negara dalam pandangan Aristoteles. Aristoteles memandang bahwa negara yang paling baik adalah Republik konstitusional. Alasan yang digunakan Aristoteles ketika itu bahwa pemerintahan dengan bentuk Republik Konstitusional, maka berkurang pula benih-benih perkosaan diri atau revolusi. Lihat Juniarso Ridwan, dan Achmad Sodik, Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum dari Zaman Kuno sampai Abad ke-20, Bandung: Nuansa: Bandung, 2010, hlm 43. Lihat juga Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, Pt Citra Aditya Bakti: Bandung, 2013, hlm 257. Satjipto Raharjo menyebutkan bahwa Plato guru dari Aristoteles juga berpendapat mengenai Republik, dikatakannya bahwa Republik adalah suatu negara yang dipimpin oleh orang-orang yang cerdik cendekiawan. Pengertian yang dibangun mengenai republik masih sangat kental terasa bahwa disana dimaksudkan pada konsep negara aristokrasi. 181 Max Boli Sabon, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, hlm 40-41. 94 Polis selain tempat berkehidupan dan beraktivitas yang paling besar bagi masyarakat Yunani Kuno, Polis juga berkembang sebagai komunitas politik melingkupi seluruh warga Yunani. Setiap warga negara laki-laki lebih dari tiga puluh tahun, kelas atau kekayaan apapun, itu memenuhi syarat untuk melayani (untuk membayar) dari juri yang memutuskan kasus hukum; mereka juga menjabat sebagai hakim, pada mengatur Council (dengan bergantian pemimpinnya), dan majelis legislatif, dengan posisi diisi oleh banyak warga.182 Setiap laki-laki yang mewakili keluarganya memberikan sebuah pandangan dan pemahaman mengenai hukum yang akan dibentuk di lingkungan mereka. Warga negara menjadi pengatur dari kehidupan mereka sendiri. Majelis dalam praktiknya disisi lain ternyata belum cukup untuk memuaskan hasrat partisipasi dan keterlibatan rakyat. Keinginan untuk merealisasikan kepentingan dan suara rakyat tersebut pada akhirnya terjebak dalam elit tertentu yang dalam hal ini dapat dilihat dari konsil (counsel) dan rhetores atau public speaker atau politisi.183 Demokrasi Yunani dalam penelitian Danniela Louise Cammack bukan pada musyawarahnya karena term yang digunakan adalah symbouleuo yang berarti adalah menyarankan bukan bermusyawarah.184. Namun bukan berarti bahwa symbouleuo tidak dapat digunakan untuk mendeskripisikan situasi dimana 2 (dua) orang atau lebih untuk membahas suatu hal dan memberikan penjelasan akan situasi tertentu.185 Konsepsi yang dibangun ketika itu dapat dikatakan pula hanya menekankan pada adanya partisipasi langsung. Demokrasi yang dimaksud belum mengkhawatirkan tentang 182 Brian Z Tamanaha, On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hlm 7. 183 Lihat disertasi Danniela Louise Cammack, rethinking of Athenian Democracy, pada bagian pemerintahan jurusan ilmu politik, Cambridge: Harvard University, 2013, hlm 99. 184 Ibid, hlm 104. 185 Ibid. 95 apakah seluruh kepentingan rakyat dapat diakomodir melalui lembaga demokrasi, dan proses tersebut apakah sudah menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap orang. Pada masa ini yang terpenting adalah adanya ruang demokrasi bagi rakyat. 2. Praktik Lembaga Perwakilan Kontemporer Barat Demokrasi yang diterapkan akan mempengaruhi praktik penyelenggaraan negara tersebut. Demokrasi dalam hal ini menyusun lembaga negara yang ada dalam pola tertentu. Hal ini turut dipengaruhi oleh pola demokrasi itu sendiri. Arend Lipjhart berkenaan dengan demokrasi mengatakan ada suatu pola tertentu yang dimiliki oleh demokrasi. Arend membaginya secara umum dalam Westminster dan Consensus democracy. Pola yang jelas serta regulasi tentang institusi demokrasi seperti institusi pemerintah, legislatif, pengadilan hingga pada interest group hanya dapat terlihat jelas apabila memeriksanya dari aturan dan praktik yang ada.186 Arend mengarahkan pada pemikiran bahwa untuk mengungkap berjalannya praktik institusi demokrasi tidak boleh melepaskan desain dari praktik yang dijalankannya. Pemikiran dari Arend Lipjhart membagi tipe demokrasi dalam 2 (dua) bentuk paling umum yakni model Westminster/ Majoritarian dan model Consensus. Westminster diambil dari contoh yang dimiliki oleh Inggris, sedangkan Consensus diambil dari contoh Swistzerland, dan Belgia. Berikut adalah perbedaan 2 (dua) model demokrasi tersebut. Lima perbedaan pertama adalah dalam dimensi eksekutif-partai187 186 Arend Lipjhart, Patern of Democracy Government Form and Performance in Thirty Six Country, United State: Yale University Press, 2012, hlm 1. 187 Ibid, hlm 3. 96 Tabel 2. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan konsensus berdasarkan dimensi eksekutif-partai. NO Majoritarian Consensus 1 Konsentrasi kekuasaan eksekutif dalam pembagian kekuasaan eksekutif kabinet mayoritas partai tunggal dalam koalisi multipartai yang luas. 2 Hubungan Eksekutif-legislatif di mana Hubungan Eksekutif-legislatif di eksekutif adalah dominan mana eksekutif dan legislatif adalah seimbang 3 Dua partai 4 sistem pemilu proporsional 5 sistem kelompok kepentingan Pluralis dengan bebas-untuk-semua kompetisi antara kelompok-kelompok sistem multipartai mayoritas dan proporsional representasi. sistem kelompok kepentingan "korporatis" dan terkoordinasi yang bertujuan untuk kompromi dan konsentrasi Sumber: Arend Lipjhart, Pattern of Democracy.188 Kelima perbedaan tersebut diatas hanya memfokuskan pada dimensi eksekutifpartai. Dalam hal ini ada perbedaan lain dilihat dari dimensi yang berbeda. Perbedaan lain dilihat dari dimensi federal-kesatuan bawah ini. 188 189 Ibid. Ibid, hlm 3-4. 189 Berikut dapat dilihat di 97 Tabel 3. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan konsensus berdasarkan dimensi federal-kesatuan. NO Majoritarian Consensus 1 Pemerintah Kesatuan dan sentralisasi 2 Konsentrasi kekuasaan legislatif di pembagian kekuasaan legislatif kamar tunggal antara dua sama kuat namun berbeda rumah (house). 3 konstitusi Fleksibel yang dapat diubah konstitusi kaku yang dapat dengan mayoritas sederhana diubah dengan mayoritas luar biasa 4 Sistem di mana legislatif memiliki kata sistem di mana hukum tunduk final pada konstitusionalitas undang- pada konstitusionalitas judicial undang mereka sendiri review oleh pengadilan tertinggi atau konstitusi.190 5 Bank sentral yang bergantung pada Bank Sentral yang independen eksekutif Pemerintahan desentralisasi dan federal Sumber: Arend Lipjhart, Pattern of Democracy.191 Pemikiran yang dibangun oleh Arend Lipjhart dapat dipahami bahwa dilakukan dengan pendekatan institusional. Dalam hal ini Arend memfokuskan pada desain kelembagaan dalam bentuk yang berbeda akan mempengaruhi penyelenggaraan 190 Kekuatan parlemen Inggris tentu akan lebih kuat, dengan tiadanya kekuasaan judicial pada pengadilan. Bahkan ada perdebatan mengenai judicial review sebagai sebuah alat delegitimasi terhadap demokrasi. Alexander Bickel berpendapat bahwa judicial review merupakan proses undemocratic. Lihat Alexander Bickel dalam International Journal of Constitutional law, volume 10 number 4 Oktober 2012, Oxford University Press. Page 1028 Pendapat Bickel ini sesungguhnya sudah banyak dibahas. Lihat juga Terri Perretti dalam Kenneth D.Ward et all, The Judiciary and American Democracy: Alexander Bickel The Countermajoritarian Dificullty and Constitusional Theory,hlm 132, yang mengemukakan bahwa: Overall, the research refutes Bickel’s characterization of the Court as a countermajoritarian institution. While the Court does indeed often rule against majority opinion (about one-third of the time, according to Marshall), it more often sides with majority opinion. 191 Ibid. 98 dari lembaga tersebut. Pada sisi lain dapat dipahami juga bahwa Arend memisahkan masalah politik yang terjadi dengan desainnya. Hasil dan proses penyelenggaraan lembaga yang ada itu bergantung pada desainya bukan pada politik yang mempengaruhi praktik penyelenggaraan. Berkenaan dengan tabeltabel diatas yang kemudian akan ditegaskan kepada desain lembaga perwakilan yang akan terbentuk. Sebagai contoh misalnya pada bidang konsentrasi kekuasaan legislasi yang disusun atas satu kamar ataupun dua kamar dimaksudkan pada tujuan yang berbeda. Susunan dua kamar mencerminkan adanya komposisi kekuatan di dalam suatu negara, yang tidak hanya dapat diakomodir oleh satu kamar saja. Hal ini sebagai contoh misalnya di negara Inggris yang memiliki dua kamar, merupakan cerminan dari dua kekuataan yang berbeda. Upper House yang diwakili oleh House of Lord merupakan kamar yang berfungsi untuk mewakili kepentingan kaum bangsawan, yang dalam hal ini dipisahkan dari kepentingan rakyat biasa. Pada Lower House merupakan kamar yang mewakili kepentingan dan kehendak rakyat yang memilih mereka secara langsung. Hal ini kemudian berimplikasi terhadap suatu produk hukum maupun kebijakan yang dikeluarkan oleh Lembaga Perwakilan. 99 3. Lembaga Perwakilan dari Perspektif Islam Pemikiran Islam seringkali tidak dipakai dalam hal mencari pandangan tentang penyelenggaraan negara. Hal ini dikarenakan pandangan terhadap Islam yang seakan lebih tertinggal dari kebudayaan barat. Kondisi ini diperparah dengan berbagai peristiwa yang muncul berkenaan dengan Islam adalah agama teroris dan melahirkan berbagai pemikiran radikal yang merusak tatanan dunia. Realitas tersebut semakin mempertebal tabir sejarah bahwa pemikiran Islam tidaklah perlu digunakan. Padahal Islam-lah yang menjadi inisiator dari apa yang dimiliki oleh pemikir barat saat ini. Pada saat pemikir barat belum memulai untuk berfikir secara internasional dan kosmopolit, Islam sudah memulainya.192 Islam pada masa klasik tidak ragu untuk mentranslasikan karya-karya ilmu pengetahuan dari bangsa lain, selama karya tersebut berguna dan tidak bertentangan dengan ajaran Tuhan.193 Namun pada akhirnya lagi-lagi diyakini bahwa kebangkitan peradaban dunia adalah berasal dari barat melalui masa pencerahan (renaissance). Kondisi lain yang membuat tertinggalnya pemikiran Islam dalam pemikiran kenegaraan adalah aliran di dalam Islam itu sendiri. Islam seringkali distigmakan sebagai agama yang terpisah dari hal-hal kenegaraan. Menurut aliran pemikiran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa yang mengajak pada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi nilai budi pekerti, dan Nabi tidak pernah mengajarkan mendirikan atau mengepalai suatu negara.194 Pandangan ini yang kemudian membelenggu perkembangan dari pemikiran kenegaraan dari perspektif Islam. Islam pada akhirnya diarahkan 192 Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban , Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2001, hlm 135. 193 Ibid, hlm 134. 194 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2011, hlm 100 sebagai agama yang hanya memiliki kepentingan akhirat saja, kepentingan duniawi menjadi hal yang tabu untuk dipikirkan. Hal ini kemudian membuat pemikiran Islam menjadi terhambat dan berkembang sebagai agama ritual saja bukan sebagai agama umat manusia, yang mengandung nilai-nilai sosial, ekonomi, dan politik. Dalam pemikiran aliran yang lain, Islam adalah agama yang serba lengkap, dan memiliki sistem politik sebagaimana telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin.195 Pada era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW merupakan era dengan tingkat kewibawaan dan solidaritas yang sangat tinggi. Rakyat tidak mempertanyakan peranan yang sangat besar dari seorang Nabi Muhammad, karena mereka yakin terhadap status Muhammad sebagai pembawa agama Allah. Nabi Muhammad dalam menjalankan tugasnya sebagai messenger tidak hanya terpatri dalam satu tugas yakni menyampaikan wahyu Allah. Imam Ahmad bin Idris Al-Qurafi menjelaskan pemisahan fungsional sikap dan kebijakan Rasulullah dengan mengatakan bahwa: Rasulullah merupakan pemimpin yang agung, hakim yang bijak, dan mufti yang berpengetahuan mendalam.196 Rasulullah memegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Semua tindakan dari Rasulullah merupakan cerminan dari ketiga fungsi kekuasaan. Rasulullah sebagai Eksekutif ketika beliau memimpin semisal dalam peperangan. Rasulullah sebagai legislatif ketika dia menyampaikan firman dari Allah, dan yudikatif ketika sedang berperan sebagai hakim yang memutus persoalan umat. Peranan Nabi Muhammad disisi lain juga tidak hanya sebagai pemimpin dari umat Islam saja. 195 Ibid. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen, Hukum, Demokrasi, Pemilu dan Golput, terjemahan Masturi Irham dan Malik Supar, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2016, hlm 35. 196 101 Kepemimpinan dari Nabi Muhammad bahkan dikatakan dapat menyatukan masyarakat yang berbeda melalui piagam Madinah yakni, antara Islam, Yahudi dan berbagai kaum lainnya. Nabi Muhammad dalam hal ini dikatakan memiliki inovasi secara politik melalui toleransi terhadap agama.197 Nabi Muhammad sampai akhir hayatnya menjadi pemimpin tunggal secara keagamaan maupun secara pemerintahan. Kepemimpinan dari Nabi Muhammad selanjutnya digantikan oleh Al-Khulafa Al-Rasyidin. Pergantian kepemimpinan ini secara historis juga merupakan pertanda pembagian dari aliran pemikiran politik Islam. Svetla Ben-Itzhak menyebutkan bahwa terpecahnya aliran Islam ke dalam 3 (tiga) bagian yakni Sunni, Syiah, dan Khawarij turut membagi pula aliran politik mereka.198 Dalam hal ini akan dibahas 2 (dua) aliran saja yakni, pemikiran politik Sunni, dan Syiah yang dalam hal ini menjadi representasi terbesar dalam pemikiran Islam. a. Pemikiran Politik Sunni Pasca wafatnya Nabi Muhammad umat Islam mencari bagaimana pemilihan pemimpin yang tepat bagi mereka. Nabi Muhammad tidak pernah melakukan penunjukan terhadap siapa pemimpin selanjutnya, ataupun melalui lembaga mana pemimpin tersebut ditunjuk. Hal ini kemudian menjadi kebingungan sekaligus awal perpecahan besar dari umat Islam. Musyawarah 197 George Walter Prothero, Sejarah Islam Klasik Perkembangan dari Zaman Turki Hingga Afrika, terjemahan Sutrisno, Yogyakarta: Indopublika. 198 Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi Panduan Tematis, Opcit, hlm 920. 102 dalam hal ini merupakan jalan terbaik bagi kaum Muslimin. Hal ini mengacu pada surah Al Syura ayat 38 yang menyatakan bahwa:199 ―Dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka‖. Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa segala sesuatu urusan dunia diputuskan dengan proses musyawarah, termasuk juga soal kepemimpinan.200 Semua Khulafa Al-Rasyidin kemudian dipilih dengan model dewan (ahlu al-aqdi wa al-hal). Hal ini merupakan wujud pemikiran politik Sunni yang menekankan peran dari ahlu al-aqdi wa al-hal.201 Dewan ini beranggotakan dari para sahabat Nabi yang berkompeten dan dianggap senior. Penyebutan akan dewan ini memang tidak pernah dilakukan oleh kaum Muslimin ketika zaman itu. Namun dalam hal ini merujuk pada pendapat seorang Imam zaman Bani Abbasiyah yakni Imam Mawardi. Dalam hal ini kemudian menurut Imam Al-Mawardi berkembang 4 (empat) aliran ulama berkenaan dengan jumlah anggota ahlu al-aqdi wa al-hal yang diperlukan untuk mengangkat seorang imam:202 199 Al-Quran Surah Al Syura ayat 38. Pemilihan dari Al-Khulafa Al-Rasyidin yang dimulai dari Abu Bakar hingga pada Ali bin Abi Thalib, tidak hanya menjadi pergantian kepemimpinan biasa. Pemilihan ini juga merupakan suatu sejarah baru yang tidak hanya bagi Bangsa Arab, namun sejarah umat manusia mengenai pemilihan yang tidak ditempuh melalui jalur keturunan atau darah. Pemilihan pemimpin setelah Nabi tidak berdasarkan kepada keturunan, namun berdasarkan pada musyawarah. Belum pernah ada suatu preseden dalam sejarah umat manusia, kepemimpinan suatu negara berdasarkan pemilihan yang dilakukan sepeninggalan Nabi Muhammad SAW. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 88. 201 Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, Opcit, hlm 920. 202 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam AS-Sultaniyyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam,terjemahan Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2006, hlm 5. 200 103 a) Anggota penuh Sekelompok ulama berpendapat bahwa pemilihan imam (khalifah) tidak sah kecuali dihadiri oleh seluruh anggota ahlu al-aqdi wa al-hal, agar imam yang terpilih nanti benar-benar diterima seluruh lapisan dan mereka semua tunduk kepada semua lapisan; b) ahlu al-aqdi wa al-hal minimal beranggotakan 5 (lima) orang ahlu al-aqdi wa al-hal dalam hal memilih seorang imam memerlukan minimal 5 (lima) orang supaya pemimpin yang terpilih benar-benar sah. Salah seorang dari mereka kemudian diangkat menjadi imam dengan restu 4 (empat) orang anggota lainnya; c) ahlu al-aqdi wa al-hal dianggap sah ketika terdiri atas 3 (tiga) orang para ulama di Kuffah berpendapat, bahwa salah satu dari ketiganya ditunjuk sebagai imam dengan persetujuan 2 (dua) orang anggota lainnya. Jadi salah seorang diantara mereka menjadi imam 2 (dua) orang lainnya menjadi saksi; d) ahlu al-aqdi wa al-hal hanya dengan 1 (satu) anggota Anggota yang diperlukan untuk memilih seorang imam hanya 1 (satu) orang saja. Hal ini terjadi ketika pemilihan khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Abbas bin Abdul Muthalib. Jumlah yang dimaksud dari anggota dewan ini adalah jumlah orang yang melakukan pembaitan pertama, dan dalam hal ini menentukan keabsahan dari pemimpin yang baru. Model pemilihan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada awal pergantian kepemimpinan sepeninggalan Nabi Muhammad dengan demikian dapat dikatakan tidak terbatas pada konsepsi formal belaka. Semua didasarkan 104 pada musyawarah yang fokus pada tujuan. Ali Muhammad Ash Shallabi menyebutkan ada (tiga) karakter utama yang dapat diambil dalam hal Permusyawaratan yang ada pada zaman Khulafa Al Rasyidin:203 a) Musyawarah diselenggarakan atas dasar tujuan bukan bentuknya. Jumlah yang hadir dalam musyawarah dalam hal ini tidak menjadi persoalan. Jika peserta musyawarah telah diperhitungkan memiliki kompetensi, maka musyawarah segera dapat dimulai; b) Musyawarah diselenggarakan dengan nuansa kebebasan, keamanan, dan keberanian. Proses musyawarah tidak didasarkan pada keberpihakan kaum atau calon manapun. Tidak ada suatu pihak yang menipu siapapun atau takut akan siapapun, dan tiada yang menggantungkan kepada orang lain. c) Musyawarah tidak membutuhkan aturan-aturan yang berbelit-belit dan rumit. Aturan yang berbelit-belit dan rumit akan menjadi beban, dan semakin menghambat dari pada proses musyawarah. Karakter yang dimiliki dalam hal musyawarah ketika itu dapat dikatakan pula sebagai musyawarah yang berbasis pada kebutuhan. Apa yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin dibahas dalam musyawarah. Dalam hal pemimpin tidak ada kriteria yang sangat rumit seperti jumlah pendukung dalam wujud Bani yang diperlukan untuk mencalonkan diri sebagai seorang khalifah, ataupun pemilihan langsung yang dapat dilakukan oleh seluruh warga Madinah. Semua hal tersebut 203 91. Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen… Opcit, hlm 90- 105 tidak diperlukan, yang diperlukan adalah pemimpinnya bukan pada mekanismenya, dan semua mekanisme yang ada diserahkan pada sahabat Nabi. Masa Khulafa Al-Rasyidin menjadi masa dimana praktik dari ahlu al-aqdi wa al-hal secara nyatanya dapat berlangsung. Kewibawaan dari para sahabat membentuk suatu ikatan sosial politis yang sangat kuat, sehingga mekanisme pemilihan yang ditetapkan oleh masing-masing Khalifah dapat diterima. Tiap Khalifah dipilih oleh mekanisme dewan dan musyawarah yang berbeda. Namun suatu hal yang pasti tidak pernah ada pemilihan dengan keanggotaan penuh dari Dewan sebagaimana dimaksud oleh Imam Mawardi. Kondisi ini terjadi karena diperlukan gerakan cepat untuk segera memilih siapa pemimpin sepeninggal dari Nabi Muhammad Abu Bakar menjadi Khalifah pertama yang terpilih. Pada saat pasca Nabi Muhammad wafat, kaum ansar berkumpul untuk mengadakan musyawarah untuk memilih pemimpin selanjutnya dari kaum Muslimin. Kabar ini kemudian didengar oleh Kaum Muhajirin yang selanjutnya mendatangi kaum Ansar untuk membahas masalah pemimpin setelah Nabi Muhammad. Musyawarah yang dilakukan oleh kedua kaum tersebut sangat sengit, dan masing-masing memiliki pandangan tentang siapa yang pantas untuk memimpin kaum Muslimin. Namun perdebatan yang keruh itu segera dijernihkan oleh Abu Bakar..204 Abu Bakar mengingatkan kepada pihak-pihak yang bermusyawarah tentang Sabda Rasul yang menyebutkan bahwa:205 ―Dahulukan orang Quraisy, dan jangan kalian mendahuluinya‖ Abu Bakar kemudian menunjuk Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah sebagai pilihan yang paling memungkinkan. Namun dalam hal ini Umar segera 204 Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiq The First Khalifa, Bandung: Sygma Creative Corp, 2013, hlm 139. 205 Imam Al Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyyah.. Opcit, hlm 4. 106 menyarankan bahwa Abu Bakarlah yang memiliki kualitas sebagai pemimpin yang dapat melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad. Umar menyebutkan bahwa Abu Bakar seringkali ditunjuk oleh Rasulullah sebagai Imam ketika beliau sedang sakit.206 Adapun hal lain yang membuat Abu Bakar memiliki kualitas sehingga dia benar-benar dapat melanjutkan kepemimpinan Rasulullah. Abu Bakar memiliki cinta, kepercayaan, hingga pada disebutkan tentang jasanya Abu Bakar kepada Rasulullah sendiri.207 Atas saran dari Umar bin Khattab ini kemudian kelompok yang hadir dari berbagai bani sepakat untuk memilih Abu Bakar. Kelompok tersebut terdiri dari 5 (lima) orang selain Abu Bakar, yakni: Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarah, Basyir bin Saad, Asid bin Khudair, dan Salim seorang budak dari Abu Khuzaifah.208 Pemilihan dari Abu Bakar dalam hal ini menggunakan tipe majelis dengan perwakilan 5 (lima) orang. Hal ini ketika itu tetap dianggap sah meskipun tidak dihadiri oleh seluruh sahabat senior seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abudurahman bin Auf, Zubbair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash dan Thalalah bin Ubaidillah.209 Periode setelah Abu Bakar adalah kepemimpinan dari Umar bin Khattab. Umar yang sebelumnya menolak saran dari Abu Bakar untuk menjadi pengganti dari Nabi Muhammad, kali ini dia tidak bisa menghindar lagi. Umar bin Khattab dipilih melalui proses penunjukan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Penunjukkan yang dilakukan tidak semata-mata secara absolut yang otoriter dari Abu Bakar. Abu Bakar tetap menegakkan jalan musyawarah demi melakukan memilih pemimpin yang pantas bagi Kaum Muslimin. Abu Bakar menunjuk 3 (tiga) 206 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 23. Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiqie.. Opcit, hlm 141-142. 208 Ibid. 209 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 23. 207 107 sahabat untuk berkonsultasi dengannya , yakni Abd Al Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan dari kaum Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok Ansar.210 Musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar pada sisi lain juga merupakan jalan untuk memberikan rasionalisasi terhadap kualitas diri pemimpin selanjutnya, yakni Umar. Akhirnya disepakati oleh para perwakilan tersebut adalah benar bahwa Umar memang sangat pantas sebagai pemimpin. Kualitas diri Umar sebagai sahabat Nabi yang tegas dalam menegakkan Islam menjadi poin yang sangat dipertimbangkan. Umar dalam kepemimpinannya mencetak berbagai prestasi yang sangat berharga bagi Kaum Muslimin hingga saat ini. Prestasi tersebut misalnya adalah pengumpulan dari bagia Al-Quran dalam 1 (satu) jilid dan pencetus dari kalender Islam. Akhir kepemimpinan Umar ditandai dengan peristiwa penusukan terhadap dirinya. Umar ketika sedang shalat ditusuk dengan sebilah pisau oleh orang Persia bernama Abu Luluah. Namun sebelum dia wafat Umar memiliki pandangan tentang bagaimana pemilihan dari pemimpin selanjutnya. Umar tidak melakukan penunjukan langsung seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar. Umar berpendapat bahwa pemilihan dari pemimpin yang baru harus diserahkan kepada para sahabat Nabi. Umar dalam hal ini kemudian membentuk sebuah komite. Komite yang terdiri dari 6 (enam) orang yang disebut oleh Tamin Ansari sebagai komite Konsultatif (Syura) untuk memilih seorang khalifah yang baru.211 Komite ini terdiri atas Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Saad bi Waqqash, Abd Al Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin 210 Ibid, hlm 24. Tamin Ansary, Dari Puncak Dunia Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam, terjemahan: Yuliani Liputo, Jakarta: Zaman, 2015, hlm 104. 211 108 Ubaidillah.212 Komite ini bertugas memilih salah satu diantara mereka sebagai pemimpin selanjutnya dengan cara musyawarah. Musyawarah yang dilakukan oleh komite ini pada akhirnya menghasilkan 2 (dua) nama, yakni Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Komite (syura) dalam hal ini diwakili oleh ketua komite memberikan pertanyaan bahwa: ― Jika anda menjadi khalifah, apakah anda akan dipandu oleh Al-Quran, sunnah, dan contoh yang ditetapkan oleh Abu Bakar dan Umar‖?.Jawaban yang dikeluarkan oleh Ali dan Utsman berbeda. Ali menegaskan akan mengikuti Al-Quran, dan Sunnah namun tidak pada contoh yang ditetapkan khalifah terdahulunya.213 Jawaban dari Utsman berbeda dengan Ali, Utsman cenderung mengiyakan semua pertanyaan yang diberikan kepadanya.214 Jawaban tersebut mengantarkan Utsman sebagai Khalifah ke-tiga. Periode kepemimpinan Utsman ini yang merupakan awal perpecahan dari Kaum Muslimin. Kekacauan yang timbul di zaman Khalifah Utsman diawali dari pengangkatan Muawiyah bin Abu Sufyan yang memerintah dari seluruh hulu Sungai Efrat di Mediterania sampai ke pantai Mesir.215 Pemerintahan dari Muawiyah meresahkan dan membuat rakyat Mesir menjadi tidak puas, dan mengirimkan perwakilannya untuk menemui Khalifah Utsman. 216 Ketidakpuasan ini berakhir pada kekacauan dan kericuhan di Madinah. Hal ini kemudian berujung pada kematian Khalifah Utsman. Kondisi kekacauan ini membuat kekuasaan di Madinah menjadi kosong. Masyarakat ketika itu mulai mencari solusi tentang siapakah pemimpin yang pantas. 212 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 25. Ibid, hlm 26-27. 214 Ibid. 215 Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 113. 216 Ibid. 213 109 Ali bin Abi Thalib kemudian keluar sebagai pemimpin yang baru menggantikan Utsman bin Affan. Ali pada awalnya menolak untuk menjadi pemimpin, namun atas dorongan berbagai pihak dan kondisi yang mencekam di Madinah maka Ali bersedia untuk menjadi Khalifah. Pada proses pengangkatan Ali menjadi Khalifa ada yang menyebutkan bahwa Ali diangkat atas suara mayoritas dan dipilih secara langsung oleh masyarakat dan anggota Dewan perwakilan.217 Ali dalam pendapat lain juga dipilih dengan menggunakan tipe 3 (tiga) orang anggota dewan, yakni Saad bin Abu Waqqash, Zubair, dan Thalhah.218 Ada pula yang menyebutkan bahwa Ali dilipih dan diusulkan oleh para pemberontak yang membunuh Utsman. Karen Amstrong menyebutkan bahwa para pemberontak yang mengumumkan Ali sebagai seorang Khalifah baru.219 Proses pemilihan Ali ternyata pada sisi lain tidak hanya merupakan kesepakatan dari banyak pihak di Madinah. Imam Mawardi menyebutkan bahwa pembaitan Ali dilakukan juga oleh Abbas bin Abdul Muthalib, dan dikatakan bahwa pembaitan ini sah meskipun hanya dilakukan oleh 1 (satu) orang saja.220 Abbas ketika itu menanggap bahwa pembaitan yang dilakukan olehnya akan menghapus keraguan atas kepemimpinan Ali.221 Namun berbagai pandangan tersebut pada intinya adalah melegitimasi seorang Khalifah di masa transisi yang kacau. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan dari para khalifah tidak terlepas dari kondisi yang terjadi ketika itu. Kebutuhan menjadi hal yang lebih penting dibandingkan mekanisme yang berbelit-belit. 217 Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen… Opcit, hlm 116. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 27. 219 Karen Amstrong,Sejarah Islam Telaah Ringkas Komprehensif Perkembangan Islam Sepanjang Zaman, terjemahan Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, hlm 83. 220 Imam Al Mawardi, Al Hakam As Sulthanian.. Opcit, hlm 5. 221 Ibid, hlm 6. 218 110 Proses pemilihan dari para khalifah tidak menggunakan sistim one man one vote seperti dalam praktik demokrasi liberal. Pemilihan yang dilakukan di Madinah lebih mempercayakan sistim pemilihan dengan perwakilan oleh lembaga syura atau yang disebut juga dengan ahlu al-aqdi wa al-hal. Tiap khalifah memiliki tipe yang berbeda dalam menerapkan jumlah perwakilan yang diperlukan yang secara sah untuk memilih seorang khalifah. Abu Bakar dipilih dengan tipe 5 (lima) orang yang sepakat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Umar berbeda lagi, dia dipilih dengan kombinasi antara penunjukan oleh Khalifah terdahulu yang kemudian diperkuat oleh musyawarah para sahabat. Utsman memiliki tipe yang berbeda dari tipe Abu Bakar maupun Umar. Utsman dipilih dengan lembaga syura yang dibentuk oleh Umar, dimana 6 (enam) anggota melakukan musyawarah untuk memilih 1 (satu) diantara mereka yang pantas menjadi pemimpin, dan kemudian sepakat untuk memilih Utsman. Ali bin Abi Thalib dipilih dengan menggunakan kesepakatan 3 (tiga) dewan, dipilih dan diangkat oleh para pemberontak, dan ada juga yang menyebutkan bahwa Ali diangkat oleh Abbas bin Abdul Muthalib. Ada berbagai pendapat tentang hal tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kondisi yang sangat kacau pasca kematian dari Utsman dan berbagai tuntutan terhadap pemilihan Khalifah yang baru, sehingga kemudian timbul berbagai simpang siur terhadap pemilihan Ali. Masa pemilihan Ali dapat dikatakan merupakan masa terakhir dalam kepemimpinan Islam yang dilakukan oleh Sahabat Nabi.. Masa Islam selanjutnya dilakukan dalam tatanan dinasti yang mengembalikan pola kepemimpinan menggunakan model keturunan. Hal ini dimulai dari kisah Muawiyah. Muawiyah menjadi pihak yang paling menentang Ali dalam kedudukannnya sebagai seorang 111 Khalifah. Ada 2 (dua) isu yang diangkat oleh Muawiyah dalam hal menolak kepemimpinan dari Ali: 222 pertama, tanggungjawab terhadap pembunuhan Utsman. Kedua, berkenaan dengan hak pilih terhadap pemimpin tidak hanya milik Madinah saja, namun milik wilayah lain juga. Muawiyah pada kesimpulannya adalah menuntut ketidakadilan yang alami oleh Utsman. Utsman yang masih keluarga dari Muawiyah hanya menjalankan tugasnya untuk menjaga wilayah tetap aman dan damai. Pada sisi lain secara politis Muawiyah sesungguhnya juga ingin membuka ruang partisipasi bagi dirinya yang selaku Gubernur Suriah. Konflik dengan Muawiyah kemudian tidak hanya berakhir pada perdebatan secara lisan saja. Konflik dengan menggunakan senjata juga turut mewarnai perdebatan dan penolakan dari Muawiyah ini. Ali entah karena kebijaksanaannya ataupun sifatnya yang ingin menghindari perang saudara, maka Ali bernegosiasi dengan Muawiyah. Ali membiarkan Muawiyah untuk dapat memerintah di Suriah, dan sisanya adalah milik Ali.223 Hasil perundingan ini tidak berujung pada kedamaian yang dimaksudkan. Hal ini justru semakin memperkeruh suasana yang ada di dalam pemerintahan Ali ketika itu. Para pendukung Ali berubah menjadi kaum ekstremis yang menentang dan menarik diri dari umat. Kaum ini kemudian dikenal dengan Khawarij (yang memisahkan). Ali dalam melihat kondisi ini melakukan tindakan tegas kaum khawarij, namun hal justru semakin meluaskan pemberontakan terhadap Ali bin Abi Thalib. Pada akhirnya di tahun 661 Ali dibunuh oleh seorang Khawarij.224 Peristiwa Ali ini kemudian mengakhiri kekhalifahan dari Khulafa Al Rasyidin, dan menjadi awal dimulainya kembali pemilihan pemimpin berdasarkan keturunan. 222 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 28. Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 123. 224 Karen Armstrong, Sejarah Islam… Opcit, hlm 86. 223 112 Dinasti Ummayah (661-737 M) lahir ditengah-tengah transisi dan kebingungan umat Islam, terhadap kekacauan dan ketidakstabilan pemerintahan. Muawiyah pada tahun 40 Hijriyah atau 661 masehi mendirikan dinasti Umayyah. Dinasti Ummayah merubah secara garis besar model penyelenggaraan dan hubungan antara umat dan pemimpin menjadi hubungan antara raja dan rakyat. Perubahan tatanan dilakukan oleh Muawiyah dalam berbagai hal. Paling tidak ada 3 (tiga) hal yang diubah oleh Muawiyah dalam menyelenggarakan pemerintahannya yang baru. Pertama, tidak ada lagi tatap muka langsung yang dilakukan antara seorang pemimpin tertinggi dengan rakyatnya. 225 Intensi pertemuan rakyat dengan pemimpin menjadi suatu yang sakral dan eksklusif. Dalam hal ini dibentuk suatu jabatan Hajib sebagai sebuah tugas untuk mengatur pertemuan dengan pemimpin tertinggi di kerajaan.226 Jabatan ini yang menentukan sesorang layak atau tidak untuk bertemu dengan pemimpiinnya. Hal ini pada sisi lain merupakan wujud dominasi yang dilakukan untuk mengintervensi pergerakan dunia bawah tanah. Pembatasan untuk membahas bersama pemimpin menjadi dalih untuk mengurangi percikan-percikan konflik yang terjadi di awal penyelenggaraan dinasti Umayyah. Kedua, perubahan yang krusial terhadap penyelenggaraan pemerintahan juga terjadi pada penyelenggaraan pemerintahan. Umayyah membentuk 5 (lima) dewan kepaniteraan yakni dalam hal urusan: korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan bersenjata, urusan kepolisian, dan urusan peradilan.227 Perubahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan ini merupakan suatu kontribusi yang sangat berarti, dan hal ini merupakan kelanjutan dari apa yang dirintis kaum pendahulu mereka. Ummayah 225 Munawir Sjadzali¸ Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 37. Ibid. 227 Ibid. 226 113 dalam hal ingin mewujudkan suatu pemerintahan sentral yang benar-benar terstruktur dan stabil. Segala bentuk pemberontakan misalnya dapat diatasi dengan kontrol melalui kepolisian. Ketiga, perubahan terhadap pemikiran lembaga syura. Lembaga syura atau ahlu al-aqdi wa al-hal sebagai cetak biru lembaga perwakilan rakyat turut juga mengalami perubahan secara fundamental. Lembaga ini pada masa Khulafa Al Rasyidin menjadi sebuah forum musyawarah yang mempunyai legitimasi terhadap pembaitan seorang khalifah. Para sahabat yang dianggap berkompeten dimasukkan dalam golongan ini untuk benar-benar menilai kualitas diri seorang pemimpin. Pemimpin yang dihasilkan harus benar-benar mampu menjawab kebutuhan yang ada di saat itu. Namun pada era dinasti Umayyah lembaga ini menjadi lembaga yang berada dalam kontrol dari pemimpin. Dalam kesempatan pertamanya beroperasi di era Umayyah lembaga syura dipaksa untuk memilih Yazid sebagai pengganti dari Muawiyah, dan apabila tidak menerimanya konsekuensinya adalah kematian.228 Fungsi lembaga syura ini mau tidak mau, hanya melegitimasi atau mengiyakan terhadap memang benar adanya kualitas pemimpin yang dibutuhkan, dan sifatnya hanya sebagai saran semata. Hal ini hanya sebagai upaya menjaga tradisi, namun dengan perubahan di sana sini maka sesuailah kehendak dari pemimpin. Pada sisi lain kondisi ini juga merupakan dampak pemikiran yang ada pada dinasti Umayyah. Dinasti Umayyah menganggap bahwa jabatan seorang khalifah itu ada suatu lembaga politik semata.229 Khalifah tidak dipandang lagi sebagai perwujudan Allah langsung di muka bumi. Namun benar-benar merupakan kepentingan politik semata, sehingga 228 229 Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad… Opcit, hlm 127. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 39. 114 keputusan seorang pemimpin adalah keputusan pribadinya, gerakan yang sedikit berbeda dari Khulafa Al-Rasyidin menjadi sangat dimaklumi karena ada pemisahan konsepsi antara peran pemimpin dan dirinya sebagai wakil Tuhan. Pada pemerintahan dinasti Umayyah dengan demikian tidak ada lembaga perwakilan yang memiliki wewenang untuk dapat memilih pemimpin seperti yang terjadi pada zaman Khulafa Al Rasyidin. Kondisi Lembaga Perwakilan dalam keterbatasan dan hanya seakan menjadi penasihat, dilanjutkan kepada negaranegara Islam yang bersistem pemerintahan kerajaan. Hal ini dapat dilihat dalam praktik kenegaraan yang terjadi di Arab Saudi dimana pemerintahan berdasarkan raja yang sifatnya turun menurun. Raja dalam kondisi demikian memegang kekuasaan mutlak, dimana tanpa keterlibatan Lembaga Perwakilan yang dipilih oleh rakyat dan yang ada hanya semacam majelis Syura.230 Penyelenggaraan negara yang demikian menurut Ali Asgar Nursati memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Kelebihannya yakni: keterpusatan proses pengambilan keputusan, kepraktisan penyelenggaraan urusan pemerintahan, dan tingginya tingkat kesolidan.231 Kekurangannya yang muncul kemudian adalah kehendak pribadi menjadi orientasi utama.232 230 Ibid, hlm 222. Ali Asgar Nursati, Sistem Politik Islam, terjemahan: Musa Mouzawir, Jakarta: Nur Alhuda, 2015, hlm 113. 232 Ibid. 231 115 b. Aliran Syiah233 Syiah merupakan aliran yang lahir dari konflik yang terjadi pasca wafatnya Nabi Muhammad. Ketiadaan pesan Nabi tentang siapa pemimpin selanjutnya menjadi perdebatan dengan berbagai dalil. Kebiasaan mengambil pemimpin dari menarik garis darah menjadi alasan bagi para pengikut Ali bahwa Ali dapat mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad Para pengikut Ali di sisi lain juga percaya bahwa bagaimanapun juga kualitas diri Ali seharusnya mampu mengalahkan ketiga khalifah sebelumnya. Ali seringkali menjadi pahlawan dalam berbagai perang dengan kekuatan dan kecerdikannya. Namun apa daya para sahabat lebih mempercayai mekanisme pemilihan yang berdasarkan pada musyawarah, dan dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk ahlu al-aqdi wa al-hal. Kekecewaan kaum pendukung Ali inilah yang kemudian melahirkan kaum Syiah. Syiah kemudian berkembang semakin pesat sejak kematian Ali dan kondisi keluarga Ali yang teraniaya oleh dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Kaum Syiah selanjutnya mengembangkan pemikiran yang lebih radikal lagi tentang Ali. Ali tidak hanya kemudian sekedar seseorang pemimpin biasa. Namun seorang pemimpin yang mewarisi sifat dan kualitas diri Nabi Muhammad. Mereka kemudian menyebut Ali sebagai Imam. Makna Imam yang dimaksud ini tidak hanya sekedar imam dalam hal pemimpin dalam shalat saja. Imam yang dimaksud adalah bahwa Ali mewarisi semacam substansi mistis yang nyata dan diberikan kepada Allah, semacam energi dan cahaya yang mereka sebut sebagai barakah Muhammad.234 Konsep barakah yang dimaksud ini 233 Aliran Syiah yang dimaksud merupakan aliran yang berkembang di negara Iran, yakni aliran Immamiyah Itsna Asyariyah. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 213. 234 Tamin Ansari, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 133. 116 adalah ketika Nabi Muhammad meninggal maka cahaya tersebut diwarisi kepada Ali.235 Ali kemudian dianggap menjadi penerus dalam hal membimbing kaumnya kepada jalan keselamatan dunia akhirat. Aliran dari Syiah ini kemudian terpecah dalam berbagai aliran dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai pemilihan imam. Namun yang terbesar adalah Aliran Itsna Asyariyah/ aliran dua belas imam. Aliran ini berkembang di negara Iran, Irak dan sekitar teluk. Pokokpokok pendirian aliran ini antara lain:236 a) Abu Bakar dan Umar merampas jabatan dari Khalifah dari pemiliknya; b) Kedudukan Ali satu tingkat lebih tinggi dari pada manusia biasa, dan dia merupakan perantara antara manusia dan Tuhan; c) Imam itu ma’sum, terjaga dari segala kesalahan, baik besar maupun kecil; d) Ijma atau kesepakatan ulama Islam baru dapat dianggap sebagai hukum Islam jika direstui oleh Imam; e) Imam mereka yang ke-12 menghilang dan akan muncul di zaman akhir untuk menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman. Pemikiran tentang imam ke 12 ini berkembang sejak konflik yang terjadi antara Syah dan Abbasyiah.237 Imam ke 10 Syiah Ali Al Hadi ditempatkan dalam rumah perlindungan rahasia untuk menjamin keselamatannya dari ancaman konflik yang terjadi dengan Abbasiyah.238 Kondisi dalam persembunyian ini kemudian berlanjut kepada Imam ke-11. Pada tahun 874 Masehi ketika Imam ke-11 235 Ibid. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 214. 237 Abbasiyah sempat dikatakan menipu kaum Syiah ketika pendirian dinasti Abbasiyah. Abu al Abbas sempat menjadi boneka dari Abu Muslim untuk mengalahkan dinasti Umayyah. Kekuasaan kemudian diperoleh oleh dinasti Abbasiyah, namun tidak dengan Syiah. Syiah dikhianati bahkan keturunan dari Ali sempat diburu dan dikejar untuk dibunuh. Hal ini yang mengawali konflik antara Abbasiyah dan Syiah. lihat Tamin Ansari, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 152-158. 238 Karen Armstrong, Sejarah Islam… Opcit, hlm 122. 236 117 meninggal, konon kabarnya dia meninggalkan seorang putra.239 Putra dari Imam, ke-11 yang secara tradisi Syiah kemudian dianggap sebagai Imam ke-12 yang akan hadir di akhir zaman. Tentu dalam kondisi Imam yang bersembunyi demikian tidak berarti Kaum Syiah berhenti begitu saja. Kondisi yang tanpa hubungan demikian kemudian memunculkan perkembangan pemikiran tentang politik dan pemerintahan di Kaum Syiah. Syiah selama menunggu kedatangan dari Imam ke 12 yakni Muhammad Al Mahdi menerima pemerintah yang ada melalui doktrin taqiyah, yakni keyakinan politik dan religius yang digunakan untuk menjustifikasi penerimaan pemerintahan yang ada.240 Pemerintah menjadi pimpinan yang paling tinggi dan wajib dipatuhi sebagaimana mereka mematuhi Imam. Praktik dengan model ini dipraktikkan di Iran dan dikenal sebagai wilayah al Faqih (kekuasaan ilmuan agama), yang dikembangkan dan dirumuskan secara aplikatif oleh Ayyatullah Khomeini. Model pemerintahan yang dikembangkan ini seakan melazimkan pemerintahan otoriter, dimana seluruh tindakan pemerintah yang menjadi imam selalu benar tanpa dibiarkan Tuhan untuk terjerumus dalam kesalahan. Namun konsep dari wilayah al-faqih ini membuka peluang dan juga pembatasan terhadap kekuasaan. Muhammad Anis menyebutkan dalam konsep Wali al Faqih bahwa kemutlakan ini tidak seperti pemerintahan yang otoriter. Konsep mutlak yang ada dalam Wilayah al-Faqih di sini semata-mata terkait dengan penegakan hukum syariat, yang didasarkan pada proyeksi antisipatif sang faqih.241 Kekuasaan sang 239 Ibid. Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, Opcit, hlm 922. 241 Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih, Bandung: Mizan 2013, hlm 152. 240 118 faqih tetap berada dalam batas-batas prinsip akidah dan hukum syariat.242 Rakyat diberikan perlindungan melalui ketegasan hukum syariat. Namun bukan berarti kemudian wilayah al Faqih sama dengan kebebasan yang diberikan dalam konsepsi demokrasi Liberal. Forough Jahanbakhsh menyebutkan bahwa ada (2) perbedaan mendasar antara demokrasi liberal dan wilayah al Faqih yang dimaksud oleh Khomeini:243 a) pertama, dengan tidak adanya Imam apapun kepemimpinan politik tanpa persetujuan dari masyarakat adalah tidak sah. Tapi dalam periode kegaiban, kantor imamah (kepemimpinan) harus pergi ke faqih paling terpelajar dan saleh, yang menyadari dan berpengetahuan, tidak hanya hukum Islam, tetapi juga dari hal-hal dan kondisi sekitarnya, dan siapa yang melindungi hak-hak rakyat, bahkan orang-orang dari minoritas nonMuslim. b) Kedua, dalam pemerintahan Islam kedaulatan nyata milik Allah Yang Maha Kuasa dan agama yang benar, yaitu, Islam dan hukum yang komprehensif. pemerintahan Islam, dalam tiga divisi kekuasaan-legislatif, eksekutif dan yudisial-adalah bawahan hukum Islam. Itulah sebabnya ditunjuk sebagai teokrasi sebagai lawan demokrasi. Legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dengan demikian dimaksudkan oleh Khomeini adalah bukan pada berapa banyak jumlah suara yang dimilikinya, sebagaimana dalam demokrasi barat yang mementingkan hal tersebut. Namun dalam hal ini kualitas diri berupa pengetahuan agama dan pengetahuan sosial, yang dimiliki oleh pemimpin tersebut yang menjadi dasar dia memiliki legitimasi 242 Ibid. Farough Jahabakhsh, Islam, Democracy and Religious Modernism in Iran (1953-2000) From Barzagan to Soroush, Leiden: Koninklijk Brill, 2001, hlm 136. 243 119 sebagai pemimpin tertinggi. Umat tidak boleh takut pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang dzalim, jika ia berlaku sebagai diktator maka dia akan terusir dari wilayahnya (kepemimpinannya).244 Khomeini dengan demikian mengajak umat untuk tidak takut dan selalu percaya terhadap pemimpinnya. Pada sisi lain dapat diketahui juga bahwa ternyata konsepsi yang dibangun oleh wilayah al Faqih tidak hanya berkenaan dengan kekuasaan eksekutif saja. Namun dalam hal ini kedaulatan Tuhan sebagai sumber tertinggi turut juga dibagi dalam kekuasaan lain yakni legislatif dan yudikatif.245 Hal ini dengan demikian menggambarkan bahwa wilayah al Faqih juga menyediakan desain tersendiri berkenaan dengan lembaga perwakilan dengan tidak melepaskan kedudukan dari faqih. Lembaga perwakilan yang ada di Iran dapat disimpulkan digolongankan dalam 3 (tiga) jenis lembaga: a) Guardian Council (dewan garda); b) Islamic Consultative Assembly (majelis syura); c) The Assembly of Expert (dewan pakar) Dewan garda dan majelis syura memiliki kedudukan sebagai lembaga perwakilan yang dalam hal ini memiliki fungsi legislasi. Namun keduanya ditempatkan pada posisi yang berbeda. Pada kewenangan legislasi, ada hubungan diantara keduanya yang akan sangat mempengaruhi terhadap produk hukum yang dihasilkan. Majelis Syura merupakan lembaga yang berposisi sebagai pembuat undang-undang yang sesuai dengan Syariat Islam dan tradisi yang ada di negara Iran. 246 Pada proses pembuatan undang-undang ini dapat dikatakan majelis Syura hanya memiliki kewenangan legislasi tingkat pertama saja. Kewenangan legislasi selanjutnya 244 Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih..Opcit, hlm 153. Lihat Pasal 57 konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989 246 Lihat Pasal 58 Konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989 245 120 pegang oleh Dewan Garda. Produk undang-undang yang dibuat oleh Majelis Syura tidak dapat begitu saja diundangkan dan ditetapkan. Produk yang ada harus melewati verifikasi dari Dewan Garda terhadap muatan dari undang-undang, apakah kemudian sudah sesuai atau belum dengan Hukum Islam yang ditetapkan di Iran.247 Hal ini merupakan sebuah wujud double check terhadap produk undang-undang, bahwa undang-undang perlu diproses dalam dua lembaga yang berbeda sehingga benar-benar dapat optimal produk hukum yang ada. Pada dasarnya konsep double check yang dilakukan oleh kedua lembaga ini seakan sama dengan yang ada di negara-negara liberal. Namun dalam hal ini ada konsep teokrasi dan demokrasi yang sangat kental di dalamnya. Produk hukum yang ada dikonsepsikan hanya merupakan bentuk interpretasi dari Hukum Islam. Anggota parlemen dalam negara Islam moderen sesungguhnya bukan membuat hukum yang benar-benar baru, karena pada dasarnya legislator (pembuat undang-undang) hanyalah Allah.248 Namun produk hukum yang dihasilkan merupakan penggalian dari sumber-sumber Hukum Islam. Al-Quran dan sunnah merupakan sumber hukum yang dimaksud demi mewujudkan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan syariat dalam bidang muamalah atau sering dikenal dengan sebutan tradisi atau kebiasaan, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi.249 Produk undang-undang yang dibuat dengan demikian tidak dapat bergantung pada Majelis Syura saja, yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dan tentunya berasal dari berbagai 247 Lihat Pasal 72 dan pasal 94 Konstitusi Iran Pasca Amandemen 1989. Waktu verifikasi produk undang-undang yang dilakukan oleh Dewan Garda dibatasi dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari dan dapat ditambah lagi 10 (sepuluh) hari apabila mendapatkan persetujuan dari Dewan Syura. Lihat Pasal 94 dan 95 Konstitusi Iran 1989. 248 Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen,Opcit, hlm 45. 249 Ibid. 121 kalangan (Syiah, dan kalangan-kalangan minoritas seperti Yahudi, Zoroastrian, Kristern dll) yang bisa saja bukan orang yang benar-benar mengerti Hukum Islam secara mendalam.250 Bisa saja kemudian produk undang-undang yang dihasilkan tidak sesuai dengan Hukum Islam dan konstitusi. Produk undang-undang juga dalam hal ini harus diperiksa kembali dan disesuaikan oleh Dewan Garda yang merupakan dewan yang beranggotakan pakar-pakar hukum Islam, yang dipilih oleh wali al- Faqih.251 Para pakar ini yang dianggap memiliki kompetensi untuk menetapkan secara final and binding terhadap produk undang-undang yang dihasilkan. Dewan Garda di sisi lain juga merupakan memiliki kewenangan untuk menginterpretasikan konstitusi. Namun kedudukan dewan garda sebagai penjaga penyelenggaraan negara dalam hal ini tidak hanya dimaksud hanya pada penjagaan terhadap undang-undang saja, maupun interpretasi konstitusi. Dewan Garda juga merupakan dewan penjaga yang bertugas dalam menyeleksi siapa calon presiden dan anggota dewan Syura.252 Rakyat tidak kemudian memilih calon yang dengan begitu saja, namun dari pihak penyelenggara negara juga memiliki pandangan dan pengaruh terhadap siapa orang-orang yang pantas mencalonkan diri. Desain perwakilan rakyat Iran dalam hal ini tidak hanya bergantung pada Dewan Garda dan Dewan Syura saja, namun juga dalam hal ini rakyat diwakilkan oleh Dewan Pakar. Dewan Pakar merupakan perwakilan yang beranggotakan 86 250 Dewan Syura terdiri dari 270 anggota yang di dalamnya terdapat perwakilan kelompok minoritas seperti Kristen, Yahudi, dan lainnya. Dalam hal ini perwakilan dari golongan minoritas dipilih oleh kelompok mereka sendiri. Lihat pasal 64 konstitusi Iran pasca Amandemen 1989. 251 Pasal 91 Konstitusi Iran pasca Amandemen 1989. 252 Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih..Opcit, hlm 190. 122 mutjahid adil yang para kandidatnya diseleksi terlebih dahulu oleh para ulama terkemuka, dan barulah kemudian dipilih dalam pemilu secara berkala.253 Dalam hal ini dewan pakar yang bertugas untuk menetapkan ataupun menggugurkan kepemimpinan dari Wali al-Faqih.254 Dewan pakar dengan demikian dapat dikatakan merupakan representasi dari konsep Wilayah al-Faqih, yang memegang kekuasaan tertinggi di Iran. Wilayah al-Faqih yang dalam hal ini merupakan representasi dari kedaulatan Tuhan dan kehadiran imam ke-12 Muhammad AlMahdi. Pada sisi dapat disimpulkan bahwa desain lembaga perwakilan yang ada di Iran tidak hanya merupakan perwujudan terhadap demokrasi, seperti dalam demokrasi liberal. Desain lembaga perwakilan yang dibangun menempatkan lembaga perwakilan tidak hanya terbatas bagi cita-cita demokrasi. Corak teokrasinya pun dalam hal ini sangat kental. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing keanggotaan dan kewenangan dari lembaga perwakilan tersebut, baik Dewan Syura, Dewan Garda, maupun dewan pakar. Semua lembaga perwakilan tersebut diatur dalam koridor Wilayah al-Faqih. 253 254 Ibid, hlm 18. Lihat pasal 108 Konstitusi Iran. III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum akan mempengaruhi kajian hukum tersebut hendak diarahkan. Jenis penelitian yang akan dilakukan terhadap Lembaga perwakilan di Indonesia adalah penelitian yang bersandar pada studi pustaka. Soerjono Soekanto menyebutkan penelitian semacam ini dengan studi pustaka disebutnya sebagai penelitian normatif. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji dan meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.255 Fokusnya lebih akan melihat pada sejarah hukum yang berkenaan dengan lembaga perwakilan di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menelusuri perkembangan-perkembangan hukum yang ada. Penyelidikan sejarah bagi Van Apeldorn memiliki dua fungsi: 1) Penyelidikan sejarah memiliki sifat membebaskan: ia membebaskan kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan bahwa kita tidak begitu saja menerima yang ada sebagai demikian, tetapi menghadapinya dengan kritis dan 2) Penyelidikan sejarah membuat kita mengenal faktor-faktor sosial.256 Jenis penelitian semacam ini diharapkan akan mampu membedah dinamika ketatanegaraan dari Lembaga perwakilan di Indonesia. 255 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan ke-14 2012, hlm. 13-14 256 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Noordhoff-kolff N.V, 1959, hlm 339. 124 B. Pendekatan Masalah Studi lembaga perwakilan di Indonesia ini dilakukan dengan studi literatur. Studi literatur tersebut dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yakni melalui pendekatan sejarah, pendekatan institusional, dan pendekatan politik hukum. Pendekatan sejarah memberikan manfaat untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sistem, lembaga dan pengaturan hukum tertentu.257 Pendekatan institusional menyangkut antara lain sifat dari undangundang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga negara.258 Dalam hal mempelajari parlemen dengan pendekatan ini maka yang akan dibahas adalah kekuasaan serta wewenang yang dimilikinya seperti tertuang dalam naskah-naskah resmi (Undang-Undang Dasar, undang-undang atau peraturan tata tertib).259 Selanjutnya pendekatan politik hukum digunakan untuk menjawab tujuan dan isi dibalik hukum mengenai lembaga perwakilan tersebut dibuat.260 Dengan demikian penelitian ini tidak hanya berupa deskripsi terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Namun penelitian ini akan mampu menjawab dinamika lembaga perwakilan dari 3 (tiga) 257 Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Opcit, hlm 396. Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik… Opcit, hlm 72. 259 Ibid. 260 Berkenaan dengan Politik Hukum Mahfud memandang kehadiran sebuah hukum bergantung pada konfigurasi politik yang terjadi. Mahfud MD juga membahas mengenai pengaruh konfigurasi politik terhadap parlemen yang kuat sebagai salah satu indikator sistem politik, untuk membedakan antara sistem politik demokratis dan otoriter. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2012, hlm 7. Lihat juga teori hukum politik R. Wietholter dalam B Arief Sidharta, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, teori Hukum dan Filsafat Hukum, Jakarta: Refika Aditama, 2013, hlm 34. Politik Hukum juga disebutkan oleh Kelsen sebagai kebijaksanaan yang menentukan kaidah hukum. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Opcit, hlm 159. Satjipto Raharjo juga membahas mengenai studi politik hukum. Satjipto merumuskannya dalam 4 (empat) pertanyaan. 1) tujuan dibentuknya hukum; 2) cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; 3) kapankan waktu perubahan hukum tersebut; dan 4) dapatkan dirumuskan pola yang mapan. Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Opcit, hlm 399. 258 125 poin utama, yakni 1) tujuan pembentukan lembaga perwakilan (politik hukum); 2) struktur lembaga perwakilan; dan 3) kewenangannya. Selanjutnya ketiga poin ini akan dielaborasi dengan kondisi empirik penyelenggaraan lembaga perwakilan di Indonesia, sehingga benar-benar mampu menjelaskan praktik dan dinamika lembaga perwakilan dari sisi das sein dan sollennya. C. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari studi pustaka yang menelaah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1 Regering Reglemen 1854 2 Osamu Seirei No 36 Tahun 1943 tentang pembentukan Chuo Sangi In 3 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen 4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 5 Undang-Undang Dasar Sementara 6 Maklumat Wakil Presiden Nomor X Oktober 1945 7 Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara; 8 Ketetapan MPR RI Nomor: III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara; 126 9 Ketetapan MPR RI Nomor: V/MPR/1998 tentang Pemberian Wewenang Khusus Kepada Presiden/ Mandataris MPR RI dalam rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. 10 Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum 11 Undang-Undang nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD 12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD Selain itu digunakan pula bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa rancangan undang-undang, dokumen-dokumen hukum serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya, serta bahan hukum tersier adalah bahan hukum lain yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti hasil penelitian, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lain yang sifatnya karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. 127 D. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan mengidentifikasi sumber data, mengidentifikasi bahan hukum, dan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah dalam penelitian. Setiap data maupun bahan yang telah dikumpulkan akan dikaji dan dianalisis secara mendalam. E. Metode Pengelolaan Data Dalam pengelolaan data dari hasil studi kepustakaan terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan, yaitu: 1. Seleksi data. Pemeriksaan data untuk mengetahui kesesuaian dan kelengkapan data dengan keperluan penelitian. 2. Klasifikasi data. Menempatkan data berdasarkan penggolongan bidang atau pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisisnya. 3. Sistematika data. Penyusunan data menurut sistematika yang telah ditentukan agar pembahasan dapat lebih mudah dipahami. Sejarah hukum merupakan suatu penelitian terhadap kronologi peristiwa-peristiwa hukum pada masa lampau, yang menyebabkan terjadinya gejala hukum tertentu, akibatnya, dan seterusnya pada masa kini.261Dengan demikian, yang paling penting adalah dilakukannya aktivitas ilmiah untuk menyusun pentahapan perkembangan hukum atau perkembangan peraturan perundang-undangan.262 261 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2012, hlm. 264 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakanke- 12, 2011, hlm 99 262 128 F. Analisis Data Data yang diperoleh melalui studi pustaka dengan pendekatan sejarah, institusional, dan politik hukum, kemudian dianalisis menggunakan argumen deduktif.. Argumen deduktif adalah argumen yang premis-premisnya di dalam dirinya sudah memuat kesimpulan.263 Artinya kesimpulanya sudah tersirat (sudah ada secara implisit) di dalam premis atau premis-premisnya.264 Dalam hubungannya dengan penelitian ini, data yang menjadi pendukung pada awalnya merupakan kumpulan data-data yang sifatnya masih umum kemudian dianalisis untuk menjadi kesimpulan yang sifatnya khusus, sehingga kemudian data-data tersebut dapat digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. 263 B. Arief Sidharta, Pengantar Logika Sebuah Langkah Penalaran Medan Telaah, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm 9. 264 Ibid. 346 V. PENUTUP A. Simpulan Dinamika Lembaga Perawakilan di Indoensia terjadi tidak hanya karena perubahan terhadap Undang-Undang Dasar saja, namun juga terjadi karena adanya perubahan pemaknaan tujuan pembentukan Lembaga Perwakilan. Pada masa sebelum kemerdekaan tujuan dari pembentukan Lembaga Perwakilan sesungguhnya buka pada kepentingan rakyat Indonesia. Lembaga tersebut dibentuk untuk mewakili kepentingan para penjajah, sedangkan ruang yang disediakan seringkali hanya untuk meredam gerakan yang terjadi ketika itu. Pada awal kemerdekaan tepatnya dalam pemerintahan Presiden Soekarno, kedudukan Lembaga Perwakilan berada di dalam persimpangan antara representasi dengan kebutuhan revolusi. Pada 1 (satu) sisi adanya kebutuhan untuk mewakili kepentingan dan kehendak rakyat yang secara menyeluruh. Pada sisi lain penyelenggaraan negara membutuhkan gerakan yang cepat dan tidak terhambat oleh mekanisme-mekanisme formal. Masa pemerintahan Soekarno pada puncaknya melalui Demokrasi Terpimpin bahkan tidak lagi memperdulikan kedudukan Lembaga Perwakilan. Penafsiran bahwa musyawarah yang tidak dapat diselesaikan oleh Lembaga Perwakilan, harus berakhir di tangan pemimpin besar Revolusi Soekarno. Hal ini kemudian berdampak pada kurangnya fungsi Lembaga Perwakilan hingga pada pembubaran Lembaga Perwakilan. 347 Pada masa pemerintahan Soeharto Lembaga Perwakilan memang dikembalikan sesuai dengan fungsinya yang ada di dalam UUD 1945. Namun dalam hal ini fungsi tersebut ternyata dimanfaatkan bukan sesuai tujuannya yakni untuk mewakili kepentingan rakyat. Pada kasus MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi dimanfaatkan untuk melindungi kedudukan dari Presiden Soeharto. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara mulai dari pengangkatan Presiden Soeharto secara terus menerus, hingga pada sakralisasi amandemen UUD 1945. Dapat dipahami bahwa penyelenggaraan Lembaga Perwakilan yang demikian memang sesuai Konstitusi, namun secara konstitusionalisme bertentangan karena tidak dapat membatasi kekuasaan Presiden. Pada sisi lain desain UUD 1945 sebelum amandemen memang tidak mengatur mengenai mekanisme check and balance diantara lembaga negara, dan juga susunan anggota dari Lembaga Perwakilan dapat dengan mudah diisi sesuai dengan kehendak Presiden ketika itu. Pasca Reformasi agenda restrukturisasi Lembaga Perwakilan menjadi agenda wajib untuk penyelenggaraan negara yang berbasis pada Demokrasi. Namun dalam hal ini restrukturisasi dilakukan dalam porsi yang berbeda. MPR sebagai lembaga tertinggi statusnya dicabut, dan kewenangannya tidak lagi mengangkat Presiden dan menetapkan GBHN. Hal ini kemudian menjadi MPR seakan hanya menjalankan kewenangannya secara periodik, dan mengikuti momentum saja karena hanya berkenaan dengan pelantikan, pemberhentian, dan amandemen UUD saja. Pada sisi DPR dilakukan penegasan terhadap pemegang kekuasaan legislasi, dan juga berkenaan dengan check and balance terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Namun restrukturisasi bukan hanya pada kedua 348 lembaga itu saja. Dewan Perwakilan Daerah menjadi lembaga yang lahir pasca reformasi, untuk mendampingi DPR dalam kamar bikameral. Restrukturisasi terhadap Lembaga Perwakilan ternyata masih belum optimal sesuai dengan tujuannya. MPR yang dilemahkan melalui amandemen, mencoba bangkit kembali dengan tugas dan kewenangannya yang diperluas melalui UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD. MPR kemudian mulai diperbincangkan kembali sebagai lembaga dengan kewenangan tertinggi. DPR dalam hal ini memiliki dinamika tersendiri, salah satunya dikarenakan fungsi legislasi yang masih kurang optimal. Pada sisi lain DPR juga mengalami kendala kasus korupsi yang menimpa oknum anggotanya, dan pada akhirnya berujung pada krisis kepercayaan rakyat. Lain hanya dengan DPD, DPD selalu mengalami kendala bahwa kedudukannya tidak mampu mendukung desainnya yang dimaksudkan untuk bikameral. Dinamika yang terjadi terhadap Lembaga Perwakilan pada setiap masanya memiliki cerita tersendiri, dimana antara tujuan, praktik, dan pengaturan. Temuan yang muncul adalah seringkali adanya ketidaksesuaian antara tujuan, norma, dan praktik lembaga perwakilan yang ada di Indonesia. Ketidaksesuaian tersebut pada tiap masanya disebabkan oleh hal-hal yang berbeda. Pada masa sebelum kemerdekaan, ketidaksesuaian terjadi dikarenakan lembaga perwakilan yang dimaksud oleh pihak penjajah memang bukanlah lembaga perwakilan dalam arti sesungguhnya. Lembaga Perwakilan yang ada hanya menyediakan wadah partisipasi saja, dan bahkan lembaga-lembaga tersebut hanya dijadikan penasihat dari pihak penjajah saja. Pada masa pemerintahan Soekarno mulai dari awal kemerdekaan hingga masa Demokrasi Terpimpin, 349 praktik Lembaga Perwakilan seringkali tidak sesuai dengan tujuan dan pengaturannya dikarenakan adanya keinginan revolusi yang kuat. Revolusi dijadikan alasan kuat untuk menyelenggarakan negara yang baru itu dengan segala sesuatu yang cepat dan tepat. Dominasi dari Soekarno merupakan langkah nyata percepatan membangun negara. Pada sisi lain keterlibatan Lembaga Perwakilan dianggap akan menghambat jalannya penyelenggaraan negara, sehingga lebih baik untuk memilih jalan yang cepat. Pada masa pemerintahan Soeharto ketidaksesuaian yang terjadi ditutupi dengan menjunjung tinggi UUD 1945, atau dapat dikatakan hanya menjunjung tinggi konstitusi saja bukan konstitusionalisme yakni dalam pembatasan kekuasaan dan pemenuhan hak-hak dasar. Kondisi yang demikian kemudian mematikan peranan dari Lembaga Perwakilan. Pada masa pasca Reformasi hal demikian memang tidak terjadi. Namun ketidaksesuaian yang terjadi adalah dikarenakan kondisi Lembaga Perwakilan itu sendiri. Lembaga Perwakilan mengalami dilema dengan kedudukan dan kewenangannya. Kewenangan yang dimiliki masih seringkali pasang surut, dan tidak optimal. Pada sisi lain kewenangan yang dimiliki dapat pula melemahkan kedudukan dan kewenangan Lembaga Perwakilan lainnya. Pada akhirnya pengalaman dari masa ke masa tentang Lembaga Perwakilan, tidak hanya dijadikan cerita saja namun dijadikan tolok ukur koreksi dan pembangunan Lembaga Perwakilan ke depan. 350 B. SARAN Penyelenggaraan Lembaga Perwakilan Indonesia saat ini harus disesuaikan kembali dengan tujuan pembentukannya. Pada saat amandemen UUD 1945 tujuannya adalah restrukturisasi Lembaga Perwakilan yang disertai dengan penguatan check and balance. Ketiga Lembaga Perwakilan yang ada dalam praktknya memiliki penyelenggaraan yang berbeda-beda. MPR yang dilemahkan pasca amandemen, saat ini mencoba kembali memperluas tugas dan kewenangannya melalui pengkajian UUD 1945, dan memasyarakatkan 4 (empat) pilar Kebangsaan yang kontroversial itu. Pada sisi DPR, produk legislasi seakan mengalami pasang surut. Pada setiap tahun seringkali dapat selesai sesuai Program legislasi namun juga seringkali tidak sesuai dengan targetnya. Permasalahan UU juga berkenaan dengan substansinya yang masih seringkali bertentangan dengan konstitusi dan dibatalkan. Kendala yang terjadi juga pada DPR periode 2014-2015 misalnya sangat minim dalam menghasilkan udnangundang yang mencapai target sesuai prolegnas. Prosedur dan permasalahan waktu pembahasan harus dipertegas. Pada sisi lain politik legislasi diantara DPR dan pemerintah harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap undang-undang apa yang benar-benar dibutuhkan, sehingga waktu tidak terbuang untuk pembahasan undang-undang yang sesungguhnya kurang penting. Pada DPD saat ini kedudukannya selalu dicap kurang optimal karena kewenangannya yang dianggap belum mampu memenuhi aspirasi daerah. Dapat saja kewenangan DPD diperkuat sesuai dengan ruang lingkupnya yakni masalah-masalah daerah, apabila kemudian adanya komitmen dari para pembentuk undang-undang. Mengapa kemudian dalam kasus MPR dapat diperluas kewenangannya sedangkan dalam 351 DPD tidak hal tidak dapat diperluasnya peran DPD melalui kewenangan, setidaknya DPD harus mencari cara mendapatkan perhatian publik. Perhatian publik yang dimaksud dengan melakukan kegiatan dan peningkatan aspirasi daerah. DPD setidaknya dapat merebut simpati dari publik, sehingga dorongan terhadap perubahan DPD dapat dilakukan. Namun apabila DPD sendiri tidak aktif dan memberdayakan dirinya, akan sangat disayangkan APBN yang telah dialokasi untuk DPD. 352 DAFTAR PUSTAKA Buku dan Artikel Al-Mawardi, Imam. 2006. Al-Ahkam AS-Sultaniyyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam. terjemahan Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah. Anis, Muhammad. 2013. Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih. Bandung: Mizan. Ansary, Tamin. 2015 Dari Puncak Dunia Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam. terjemahan: Yuliani Liputo, Jakarta: Zaman. Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2016. Parlemen di Negara Islam Moderen, Hukum, Demokrasi, Pemilu dan Golput, terjemahan Masturi Irham dan Malik Supar, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016, Asshiddiqie, Jimly dan Bagir Manan. 2006. Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung Sebuah Dokumen Historis. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Asshiddiqie, Jimly dkk. 2015. Soepomo Pergulatan Tafsir Negara Integralistik Biografi Intelektual, Pemikiran Hukum Adat dan Konstitutionalisme. Yogyakarta: Thafha Media. Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Grafindo Persada, 2013. ---------------------. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1996. --------------------. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika. --------------------. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada. --------------------.2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 353 ---------------- Kajian/Artikel ―Paradigma Penyelenggaraan Negara Berwawasan Hukum‖. ----------------. Kajian/Artikel ‖Gagasan Negara Hukum Indonesia‖ . Barber, Benjamin R. Strong Democracy Participatory Politics For a New Age. Berkeley: University of California Press, 2003. Basah, Sjahran. 1997. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Negara dengan Beberapa Pemikirnya. Bandung: Citra Aditya Bakti. Birch, Anthony. 2007.The Concept and Theories of Modern Democracy.New York: Routlledge. Budiarjo, Mirriam. 1980. Masalah Kenegaraan (cetakan ketiga), Jakarta: Pt Gramedia. ---------------------. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: CV Prima Grafika. Cahyadi, Anthonius dan Donny Danardono. 2009. Sosiologi Hukum dalam Perubahan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm 4. Costa, Piero dan Danilo Zolo. 2007. The Rule of Law History, Theory, and Criticism. Dordrecht: Springer. Couperus, Olga Tellegen. 2003. A Short History of Roman Law, London: Routledge. Dahl, Robert A, 2006. A Preface of Democratic Theory (Expanded Version: 50 years Anniversay). Chicago: University of Chicago Press. Desertasi Jacomina Marsman. 1947. Indonesia - Merdeka A Study Of The Development Of The Nationalist Movement In The Dutch East Indies From 1900 To 1940, South California: Faculty of History Southern California Univesity. Disertasi Danniela Louise Cammack, rethinking of Athenian Democracy, pada bagian pemerintahan jurusan ilmu politik, Cambridge: Harvard University, 2013 Donnel, Guilermo O dkk, 1993. Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993. --------------------------. 1993. Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta: LP3ES. Donnel, Guillermo O dan Philippe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: Pt Pustaka LP3ES. 354 Dorsen, Norman. 2003. dkk, Comparatives Constitusionalism Case and Materials, United State: West Book, 2003 Doyle, William. 2001. French Revolution a Very Short Introduction. New York: Oxford University Press. Dunstan, William E. 2011. Ancient Rome, Maryland: Rowman and Littlefield Publisher. E, APriyono dan Usman Hamid. 2014. Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Pt Gramedia. 2014. Efriza. 2014. Studi Parlemen: Sejarah, Konsep, dan Lanskop Indonesia. Malang: Setara Press. Politik F, Wertheim W, 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, terjemahan Misbah Zulfa Elisabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999 Frank, Jill. 2005. A Democracy of Distinction Aristotle and The Work of Politics, Chicago: Chicago University Press. Fukuyama, Francis. 1992. End Of History and The Last Man. United State: Maxwell. Gagarin, Michael. 1989. Early Greek Law, Berkeley: University California Press, 1989. Ginsburg, Tom. 2012. Comparative Constitutional Design.New York: Cambridge Univesity Press. Habermas, Jurgen. 1996. Between Fact and Norm Contribution to Discourse Theory of Law and Democracy (terjemahan William Rehg). Massachussets: Cambridge University Press. Hardiman, F. Budi, 2009. Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Huda, Ni‘Matul. 2004. Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press. Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius. Human Rights Quarterly; Feb 2004; 26, 1; ProQuest. Indrianto, Sulistyowati. 2012. Kajian Sosio-legal. Denpasar: Pustaka Larasan. 355 International Journal of Constitutional law, volume 10 number 4 Oktober 2012, Oxford University Press. Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press. J.G Starke, J G. 1995. Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh), terjemahan Bambang Iriana, Jakarta: Sinar Grafika. Jahabakhsh, Farough. 2001. Islam, Democracy and Religious Modernism in Iran (1953-2000) From Barzagan to Soroush, Leiden: Koninklijk Brill. James, Simon. 2008. Eyewitness Ancient Rome, United State: DK Publishing. Jedawi, Murtir. 2011. Negara Hukum, Good Governance, dan Korupsi di Daerah. Yogyakarta: Total Media. Joeniarto. 1990. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Jakarta: Rineka Cipta. Kompas Gramedia, Muhammad Hatta Politik, Kebangsaan dan Ekonomi (19261977), Jakarta: Pt Gramedia, 2015. konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989 Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan C.V Sinar Bakti. Laporan Penelitian ―Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi‖ Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005 Latif, Yudi. 2013. Negara Paripurna.Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama. Leirissa, R Z. 1985. Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta: Akademika Pressindo. Lipjhart, Arrend. 2012. Pattern of Democracy. United State of America: Yale University. LP3ES. 1986. Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES: Jakarta. Lubis, Solly. 2014. Ilmu Negara (edisi revisi), Bandung: Mandar Maju. Lubis, Solly. 2014. Politik Hukum dan Kebijakan Publik. Bandung: Mandar Maju. Luciano, Democracy in Europe a History of an Ideology terjemahan Simon Jones, United State: Black Well Publishing, 2006. 356 Machperson, C B. 1979. The life and Times of Liberal Democracy. Oxford: Oxford University Press. Maggalatung, Salman. 2012. Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Fokus Grahamedia. Mahendra. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi. 2010. Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku III Jilid 2. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010. Majalah Majelis edisi NO.02/TH.IX/Februari 2015 hlm 4. Majid, Nurholis. 2001. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945 Malaka, Tan. 2012. Parlemen atau Sovyet, cetakan ke-4 2012, Jakarta: LPPM Tan Malaka. Manan, Bagir dan Susi Dwi Haryanti. 2014. Memahami Konstitusi Makna dan Aktualisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Marsman, Jacomina. 1947. Indonesia - Merdeka A Study Of The Development Of The Nationalist Movement In The Dutch East Indies From 1900 To 1940.South California: Faculty of History Southern California Univesity. Maschab, Mashuri. 2013. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta: PolGov UGM. Mcllwain, Charles Howard. 1947. Constitutionalism: Ancient and Modern. New York: Cornell University Press. MD, Mahfud. 2012. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Mertokusumo, Sudikno. 2002. Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty. Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiq The First Khalifa, Bandung: Sygma Creative Corp, 2013. 357 Mousourakis, George. 2015. Roman Law and The Origins of Civil Law Tradition, Switzerland: Springer. Multatuli. 2014. Max Havelaar, alih bahasa: Andi Tenri. Yogyakarta: Narasi. Nursati, Ali Asgar. 2015. Sistem Politik Islam. terjemahan: Musa Mouzawir, Jakarta: Nur Alhuda. O‘Donoghue, Aoife. 2014. Constitutionalism in Global Constitutionalisation, United Kingdom: Cambridge University Press. Ogilvie, R M. 1976. Early Rome and Etruscans. Great Britain: Harvester Press. Osamu Seirei No 36 Tahun 1943 Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 25, No. 2 (2005), pp. 183–202 doi:10.1093/ojls/gqi010. Pakpahan, Muchtar. 1994. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta: Sinar Harapan. Penetapan Presiden No 2 Tahun 1959. Penetapan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Bandung: Dua-R, tanpa tahun, hlm 103. Poesponegoro, Marwati Djonoed dan Nugroho Nutosusanto. 1984. Sejarah Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1984. Przeworski, Adam. 2010. Democracy and The Limits of Self-Government, Cambridge: Cambridge University Press.. Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 1993. Perundang-undangan dan Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Raharjo, Satjipto. 2013. Ilmu Hukum. Pt Citra Aditya Bakti: Bandung. Rahman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa Ke Masa, Yogyakarta: Tanah Air Beta. Ranawijaya, Usep. 1982. Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia. Rapar, J H. 2001. Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli. Jakarta: Rajawali Press. Ricklefs, M C. 2011. Sejarah Indonesia Moderen. terjemahan Dharmono Hardjowijono, cetakan ke-10, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik. 2010. Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum dari Zaman Kuno sampai Abad ke-20. Bandung: Nuansa: Bandung. 358 Roper, Bryan S. 2013. The History of Democracy A Marxist Interpretation. London: Pluto Press. Rosenfeld, Michel. 1994. Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy. United State: Duke University Press. Sabon, Max Boli. Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama Sagala, Budiman. 1981. Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Samekto, Fx Adji. 2013. Hukum dalam Lintasan Sejarah. Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2013. Schmid, JJ. Von. 1965. Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pt Pembangunan. Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2000) Tahun Sidang 1999, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008 Seller, Mortimier dan Tadeusz Tomaszeweski (eds). 2010. The Rule of Law in Comparative Prespective. London: Springer. Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. 2015. Muhammad Yamin Penggagas yang Dihujat dan Dipuja. Jakarta: Pt Gramedia. Sidharta, B Arief. 2013. Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu Hukum yang Responsif terhadap Perubahan Masyarkat. Yogyakarta: Rajawali Press. Sidharta, B Arief. 2013. Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, teori Hukum dan Filsafat Hukum. Jakarta: Refika AditamaSidharta, B Arief. 2008. Pengantar Logika Sebuah Langkah Penalaran Medan Telaah, Bandung: Refika Aditama,. Sjadzali, Munawir. 2011. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 2012. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono. 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soekarno. 1960. Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta: Yayasan Empu Tantular,. Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indies dari Zaman Kompeni sampai Zaman Revolusi. Depok: Komunitas Bambu. 359 Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Jakarta: Noordhoff-Kolff, 1954, hlm 168. Soepomo. 1954. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Jakarta: Noordhoff-Kolff. Sri Soemantri, Tentang Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993 Sunggono, Bambang. 2011. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suny, Ismail. 1981. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Bina Aksara. Supomo dan Djokosutono. 1954. Sejarah Politik Hukum Adat 1848-1928. Jakarta: Djambatan. Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Suseno, Frans Magnis. 1995. Mencari Sosok Demokrasi, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka. Tamanaha, Brian Z. 2004. On The Rule of Law: History, Politics, and Theorie. Cambridge: Cambridge University Press. Thornhill, Chris. 2011. A Sociology of Constitution: Constitution and State Legitimacy in Historical and Sociological Perspective, New York: Cambridge University Press. Tim Litbang Kompas, 1999. Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan Program, Jakarta: Pt Gramedia. Tsebelis, George dan Jeannette Money. 2003. Bicameralism, United State: Cambridge University Press. Tucker, Robert. 1965. Philosophy and Myth in Karl Marx. London: Cambridge University Press, 1965. Van Apeldorn.1959. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Noordhoff-kolff N.V Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern,terjemahan Arif Maftuhin, Yogyakarta: Insan Madani, 2011. Ville, MJC. 2010. Constitutionalism and The Separation of Powers. Indianapolis: Liberty Fund. Wahidin, Samsul. 1986. MPR RI dari Masa ke Masa.Jakarta: Bina Aksara. Wahjono, Padmo. 1982. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. 360 Wahjono, Padmo. 1985. Masalah Jakarta: Ghalia Indonesia. Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Wahjono, Padmo. 1994. Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, dalam Abu Daud Busroh.Capita Selecta Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka Cipta. Wheare, K C. 2015. Konstitusi-Konstitusi Moderen, terjemahan Imam Baehaqie, Bandung: Nusa Media. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Desentralisasi dalam Pemerintahan Kolonial Belanda Kebijakan dalam Upaya sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial Indonesia (1900-1940). Malang: Bayu Media Publishing. Wignjosoebroto, Sotandyo. 2013. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press. Woodruff, Paul. 2005. First Democracy The Challenge of An Ancient Idea. United State: Oxford University Press. Yamin, Muhammad. 1952. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Jambatan. Yamin, Muhammad. 1956. Konstituante Demokrasi. Jakarta: Djambatan. Indonesia Dalam Gelanggang Yamin, Muhammad. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Yayasan Prapanca. Zamroni. 2013. Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultur.Yogyakarta: Ombak. Internet http://dictionary.reference.com/browse/epitaph http://lawcenter.dpd.go.id/halaman/653-tap_mpr http://nasional.kompas.com/read/2015/05/18/05140031/Jimly.Sudah.Dibatalkan. MK.Frasa.Empat.Pilar.Kebangsaan.Jangan.Digunakan.Lagi http://nasional.sindonews.com/read/971366/149/mpr-tetap-gunakan-frase-empatpilar-1425357694 http://news.liputan6.com/read/607766/4-pilar-kebangsaan-buah-pikiran-taufiqkiemas http://news.liputan6.com/read/770721/pancasila-masuk-pilar-kebangsaan-dinilaikesalahan-fatal 361 http://politik.news.viva.co.id/news/read/493963-mk--frasa-empat-pilarkebangsaan-bertentangan-dengan-uud-1945. http://politik.rmol.co/read/2015/12/27/229579/Produk-Legislasi-Minim-BukanHanya-Tanggung-Jawab-Dewanhttp://www.antaranews.com/berita/539285/ade-komarudin-fokus-tingkatkanproduktivitas-legislasi-dpr http://www.antaranews.com/berita/539285/ade-komarudin-fokus-tingkatkanproduktivitas-legislasi-dpr http://www.britannica.com/topic/Greek-law http://www.dpr.go.id/tentang/tahun-sidang http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/10/PEMILU-1977-1997/MzQz http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/9/PEMILU-1971/MzQz http://www.kpu.go.id/index.php/pages/index/MzQz http://www.pshk.or.id/id/blog-id/kualitas-kinerja-legislasi-2015-dariketidakpatuhan-terhadap-syarat-prosedur-hingga-absennya-politiklegislasi/ http://www.republika.co.id/berita/dpr-ri/berita-dpr-ri/16/01/13/o0w3n5219optimalkan-legislasi-ketua-dpr-usulkan-pengurangan-waktu-reses http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/04/03/n3gdr4-mk-batalkanempat-pilar-berbangsabernegara http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-tahun-pembredelanmajalah-tempo Jurnal Journal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 10/2011, Volume 167, Issue 4, hlm 35. Journal Front Law China 2007, 2(3): 335–352, Higher Education Press and Springer-Verlag, 2007. Journal of Asian Studies (pre-1986); Aug 1966; 25,4; Art and Humanities Jurnal Global Constitutionalism (2014), 3 : 1 , 71 – 101 © Cambridge University Press, 2014 doi:10.1017/S204538171300005, 362 Jurnal Political Studies, 1996, XLIV. Jurnal Social Philosophy and Policy, Januari 2011, Cambridge University Press, hlm 27. Jurnal Theoretical inquiries in law, edisi 8, Januari 2007. Peraturan Perundang-Undangan dan Produk Hukum Konstitusi RIS Tap MPR No VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Tap MPR No VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara TAP MPR No XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dpr-Gr Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia TAP MPR NOMOR I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tata Tertib DPR RI No 10/DPR-RI/III/82-83 UU No 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Komite Nasional Pusat UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. DPD UUD 1945 Pasca Amandemen UUD 1945 sebelum amandemen UUDS 1950