(Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan) (Skripsi)

advertisement
DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN di
INDONESIA
(Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)
(Skripsi)
Oleh
James Reinaldo Rumpia
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRACT
CONSTITUTIONAL DYNAMIC OF INDONESIA PARLIAMENT
(Pre Independence and Post Independence)
By
James Reinaldo Rumpia
Constitutional Dynamics of Indonesia Parliament, didn‘t only affected by changes
of the constitution. In the early days of independence to Soeharto's New Order,
the practice of representative Institution through the Majelis Permusyawaratan
Rakyat (people's consultative assembly) and Dewan Perwakilan Rakyat
(parliament) are not so run according to its function. In this case as an example the
position of the Assembly as the highest institution, actually used by the
government of New Orde to enforce authoritarian. MPR instead of being guardian
of the people's sovereignty as mandated by the constitution, but it becomes a
guardian of the interests of the New Order government. In the practice of the
Parliament, also does not run in accordance with the authority and functions,
Parliament just become only the rubber stamp parliament. After the reform in
accordance with the phenomenon of constitutionalism, Indonesia try to make
changes to the design of representative bodies through an amendment of the UUD
1945 (Indonesia Constitution). It starts with the limitation of power, strengthening
the function of the House of Representatives and the desire to fulfill the interests
of the regions through the Regional Representatives Council. Based whit it, the
purpose of this research is to describe the dynamics of Indonesia Parliament, since
the beginning of independence to post independence. This research using
normative method with historical approach, institutional approach, and purpose of
legislation. This research has shown that the dynamics of Indonesia parliament,
was also influenced by the back ground and pressure in each periods. This is
related with the spirit of parliament performance, which is based on their true
purpose or just to fulfill formalities.
Keywords: Dynamics, Parliament, Periods.
ABSTRAK
DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN
di INDONESIA
(Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)
Oleh
James Reinaldo Rumpia
Dinamika Ketatanegaraan Lembaga Perwakilan di Indonesia, tidak hanya
dipengaruhi oleh perubahan Konstitusi. Pada masa awal kemerdekaan Lembaga
Perwakilan hingga Orde Baru dibawah Soeharto, praktik dari lembaga perwakilan
melalui MPR dan DPR tidak begitu berjalan sesuai fungsinya. Dalam hal ini
sebagai contohnya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi, justru
dimanfaatkan oleh pemerintah Orde baru untuk menegakkan otoritarian. MPR
bukan menjadi penjaga kedaulatan rakyat seperti amanat konstitusi, namun justru
menjadi penjaga kepentingan dari pemerintah Orde Baru. Pada praktik DPR juga
tidak berjalan sesuai dengan kewenangan dan fungsinya, DPR hanya menjadi
rubber stamp parliament saja. Pasca reformasi sesuai dengan fenomena
konstitusionalisme, Indonesia mencoba melakukan perubahan desain lembaga
perwakilan melalui amandemen UUD 1945. Hal ini dimulai dengan pembatasan
kekuasaan, penguatan fungsi dari DPR hingga keinginan terhadap pemenuhan
kepentingan daerah melalui Dewan Perwakilan Daerah. Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini bertujuan menggambarkan dinamika ketatanegaraan Lembaga
Perwakilan yang ada di Indonesia, sejak Indonesia sebelum merdeka hingga
Indonesia merdeka saat ini. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan
pendekatan sejarah, pendekatan institusional, dan politik hukum. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa dinamika yang terjadi terhadap lembaga perwakilan yang
ada di Indonesia, juga dipengaruhi oleh latar belakang dan tekanan yang terjadi
pada tiap masanya. Hal ini berkenaan dengan semangat penyelenggaraan
Lembaga Perwakilan, yang hendak melaksanakannya sesuai pada tujuannya, atau
hanya memenuhi formalitas saja.
Kata Kunci: Dinamika, Lembaga Perwakilan, Masa.
DINAMIKA KETATANEGARAAN LEMBAGA PERWAKILAN
DI INDONESIA
(Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)
Oleh
James Reinaldo Rumpia
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 18 April
1993. Putera pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Petra
Sels Rumpia dan Sri Rahayu. Penulis menyelesaikan pendidikan
dasar di SD Fransiskus II Rawa Laut, Bandar Lampung pada
tahun 2005. Tahun 2005 melanjutkan ke jenjang Pendidikan
Sekolah Menengah Pertama di SMP Xaverius II Bandar Lampung, dan lulus pada
tahun 2008. Masa sekolah di SMP bagi penulis menjadi masa perpisahan terakhir
dengan papa tercinta, karena pada tahun tersebut papa penulis menjadi korban dari
Kecelakaan Pesawat di Tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Atas Xaverius Bandar Lampung, dan lulus pada
tahun 2011. Pasca lulus penulis belum melanjutkan menuju jenjang perkuliahan,
dan lebih memilih untuk mencoba pengalaman di bidang wirausaha bersama
Mama tercinta.
Penulis baru melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Lampung pada tahun 2012 dan diterima melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tertulis. Selama menjalankan masa studi di
Universitas Lampung, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
mahasiswa di internal dan eksternal kampus. Pada organisasi internal kampus,
penulis di awal tahun perkuliahan sempat bergabung dengan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) FH UNILA, namun kemudian tidak melanjutkannya lagi
karena lebih berfokus pada kegiatan lain. Penulis juga aktif di dalam Himpunan
Mahasiswa Hukum Tata Negara (HIMA HTN). Pada tahun 2015 penulis
diamanahkan sebagai Kepala Bidang Kajian. Pada organisasi eksternal kampus,
penulis sejak tahun 2012 bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Cabang Bandar Lampung, Komisariat Hukum Unila. Pada periode kepengurusan
tahun 2015-2016 penulis diamanahkan sebagai Kepala Bidang P3A (Penelitian,
Pengembangan anggota, dan Pembinaan Anggota) di HMI Cabang Bandar
Lampung Komisariat Hukum UNILA.
Penulis selain aktif dalam organisasi kemahasiswaan, juga aktif dalam
Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKP-HAM) Fakultas
Hukum UNILA. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam berbagai
kegiatan akademik, seperti menulis di Jurnal Tanah Air Tahun 2014 dengan judul
Pemilu, Politik Transaksional dan Perampasan Sumber Daya Alam, mengikuti
konferensi Internasional UNS Legal Conference Sustainability tahun 2014, 3rd
IMCoSS tahun 2015, dan pada tahun 2015 mengikuti Law 2.0: New Challenges in
Asia, 12th Asian Law Institute Conference di Taiwan. Pada tahun 2015 penulis
diberikan penghargaan sebagai Mahasiswa Berprestasi terbaik ketiga tingkat
Universitas Lampung.
MOTTO
Dan ( ingatlah) ketika Tuhan-mu Memaklumkan, “ Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
(Q.S. Ibrahim: 7)
Ilmu lebih baik dari pada harta. Ilmu menjagamu, sementara kau menjaga
harta. Harta berkurang jika digunakan, ilmu bertambah jika diamalkan
(Ali bin Abi Thalib)
Karya ini kupersembahkan untuk:
Papaku tercinta yang telah tiada
Mamaku tersayang yang memberikan cinta, dan kasih sayangnya
Keluargaku
Guru-Guru dan Pembimbingku
SANWACANA
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena limpahan rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul ―Dinamika
Ketatanegaraan Lembaga Perwakilan di Indonesia (Pra Kemerdekaan dan Pasca
Kemerdekaan)‖, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari banyak pihak baik berupa
bimbingan, dukungan, motivasi, kritik serta saran yang berarti. Sehingga pada
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1.
Sri Rahayu, Mamaku tercinta atas perhatian dan kasih sayangnya, yang
selalu menjadi semangat bagi penulis dan mendorong penulis ke arah
kemajuan;
2.
Rudy, S.H., LL.M., LL.D, selaku pembimbing utama dan ketua bagian
Hukum Tata Negara, yang dalam hal ini sangat berkontribusi terhadap
kemajuan keilmuan yang penulis peroleh, atas dorongan motivasi,
kedisiplinan, moral, dan juga menjadi inspirasi bagi penulis;
3.
Dr. Yusnani Hasyim Zum, S.H., M.Hum, selaku pembahas utama yang
dalam hal ini memberikan saran, dan kritik yang berarti dalam menulis
karya ilmiah ini;
4.
Dr. Budiyono, S.H., M.H selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan bimbingan, dan motivasi yang berarti bagi penulis dalam
menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini;
5.
Yulia Neta, S.H., M.H selaku pembahas kedua yang telah memberikan
kritik dan saran yang membantu penulis mengembangkan karya ilmiah
ini;
6.
Dosen-Dosen Bagian Hukum Tata Negara, Armen Yasir, S.H.,M.H.,
Yusdianto, S.H., M.H., Muhtadi, S.H.,M.H., Ahmad Saleh, S.H., M.H.,
Iwan Satriawan, S.H.,M.H., Martha Riananda, S.H., M.H., Siti
Khoiriyah, S.H.,M.H., Ade Arif Firmansyah, S.H., M.H. selaku dosen
yang telah memberikan ilmu bermanfaat selama perkuliahan serta
kritikan dan masukan untuk selesainya skripsi ini.;
7.
Dr Hieronymus Soerjatisnanta, S.H., M.H. yang selalu memberikan
masukan keilmuan dan pengalaman, serta mendorong penulis untuk
selalu mengembangkan keilmuan, dan untuk dapat bermanfaat bagi
sesama;
8.
Keluargaku, yakni Papaku terima kasih atas kasih dan sayangmu, Bapak
Amri
Lukman sebagai
bapak
yang telah
membimbingku dan
mengarahkanku kepada kebaikan dan kemanfaatan bagi sesama, adikadikku terkasih Juan Randy Rumpia, dan Jane Rosalina Rumpia terima
kasih atas kebersamaannya;
9.
Bapak Marjiono, Bapak Sujarwo, Bapak Supendi, Bapak Hadi dan Mas
Nur yang telah membantu banyak hal terhadap penulis yang tidak akan
mampu untuk disampaikan seluruhnya;
10.
Keluarga Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM) UNILA, Dr. FX. Sumarja, S.H.,M.H., Fathoni, S.H.,M.H., Farid
Alrianto, Bonifa Refsi, Ricco Andreas, Putu Aditya, Cornellius C.G,
Anggun Ariena Rahman, Desi Rohayati, Edius Pratama, Ade Oktariatas
K.Y., Cinda Marsya, Dedi Putra, Teta Anisah, terimakasih atas ilmu yang
diberikan, kekeluargaan dan bantuannya selama ini;
11.
Saudara seperjuangan di HMI Komisariat Hukum Unila angkatan 2012
Suma Indra, Alghafiqi, Aditya, Bonifa, S.H., Belardo, S.H., Danny,
Dimas, Iqbal, Kujang, Nandha, Risky, Yudha Agung, Ragiel, Yudha
Prawira, Ragiel, Rb Pratama, Ryo Novri, S.H., Dedy Ernadi, Dedy
Sitepu, P.Dharma, Putri Utami, Julia Silviana, Silvia, Ratna Sari, Sari
Tirta, Ika Nursanti, S.H., Lidia dan
lainnya yang telah memberikan
pembelajaran dan pengalaman yang baik;
12.
Keluarga besar HMI Komisariat Hukum Unila, ―Samudera Byzantium‖,
―Anti Stagnasi‖, ―Victoria Bonefide‖, ―Cordova Hugo dan lain-lain
untuk kebersamaan, pengalaman dan kekeluargaan yang sangat luar
biasa;
13.
Saudara seperjuangan di HIMA HTN (Himpunan Mahasiswa Hukum
Tata Negara) FH Unila. 2012: Pipin Lestari, Dewi Nurhalimah, S.H.,
Utia Meylina, S.H., Deka Nanda Prakoso, Dwi Zaen Prastyo, Shabrina
Duliyan Firda, S.H., M. Husen Rifa‘i, Anastasia Resti, Ratna Sari,
Sumaindra Jarwadi. 2013: Ridwan Saleh, Tia Nurhawa, Hendi
Gustarianda, Edius Pratama, Afrintina, Sarinah, Haves Annamir, Royzal
Annurrahman, Suhendri, Rudi Wijaya, untuk kebersamaan dan
kekeluargaannya;
14.
Teman-teman angkatan 2012 FH UNILA, Nazyra, Fifin, Fiona, Iis,
Indah, dan lainnya, untuk kebersamaan dan pembelajarannya;
15.
Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan pemikiran
serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani proses studi;
16.
Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis selama kuliah dan selama proses penyelesaian skripsi
ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunianya kepada
Bapak, Ibu serta rekan-rekan semua.
Bandar Lampung, April 2016
Penulis
James Reinaldo Rumpia
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Abstrak
Halaman Persetujuan
Halaman Pengesahan
Pernyataan
Riwayat Hidup
Moto
Persembahan
Sanwacana
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar dan Ragaan
I. PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
Latar Belakang .................................................................................... 1
Rumusan Masalah ............................................................................... 8
Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 9
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konstitusi, Hukum dan Demokrasi ...................................................... 13
1. Demokrasi ........................................................................................ 14
2. Konstitusi ......................................................................................... 35
3. Demokrasi dan Konstitusionalisme dalam Lintasan Sejarah .......... 56
B. Lembaga Perwakilan ........................................................................... 87
1. Praktik Lembaga Perwakilan Zaman Klasik Barat.......................... 91
2. Praktik Lembaga Perwakilan Kontemporer Barat ........................... 95
3. Lembaga Perwakilan dari Perspektif Islam ..................................... 99
III. METODE PENELITIAN
A
B
C
D
E
F
Jenis Penelitian ..................................................................................... 123
Pendekatan Masalah ............................................................................. 124
Sumber Data ......................................................................................... 125
Metode Pengumpulan Data .................................................................. 127
Metode Pengelolaan Data..................................................................... 127
Analisis Data ........................................................................................ 128
IV PEMBAHASAN
A. Masa Sebelum Kemerdekaan Indonesia .............................................. 129
1. Dewan Rakyat (Volksraad) di Masa Kolonial Belanda................... 133
2. Lembaga Perwakilan di Masa Pendudukan Jepang ......................... 166
B. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1949) ............................................... 187
C. Masa Republik Indonesia Serikat ......................................................... 199
D. Masa UUDS 1950 ................................................................................ 222
E. Masa Demokrasi Terpimpin ................................................................. 249
F. Masa Demokrasi Pancasila................................................................... 266
G. Masa Reformasi.................................................................................... 283
V. PENUTUP
A. Simpulan .............................................................................................. 346
B. Saran ..................................................................................................... 350
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 352
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Formulasi Alternatif Rule of Law ...................................................... 44
Tabel 2. perbedaan demokrasi majoritarian dan
konsensus berdasarkan dimensi eksekutif-partai ............................... 96
Tabel 3. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan
konsensus berdasarkan dimensi federal-kesatuan .............................. 97
Tabel 4. Tujuan, norma pengaturan dan praktik di masa Hindia Belanda ...... 163
Tabel 5. Tujuan, Norma Pengaturan, dan Praktik
di masa Pendudukan Jepang .............................................................. 185.
Tabel 6. Tujuan, norma pengaturan, dan Praktik KNIP .................................. 198.
Tabel 7. Tujuan, norma pengaturan,
dan praktik Lembaga Perwakilan masa RIS ...................................... 220.
Tabel 8. Tabel hasil pemilihan umum 1955 Konstituante ............................... 241
Tabel 9. Hasil Pemilihan Umum 1955 DPR .................................................... 244
Tabel 10. Tujuan, norma pengaturan, dan
praktik lembaga perwakilan di masa UUDS ...................................... 246
Tabel 11. Tujuan, norma pengaturan, dan
praktik lembaga perwakilan di masa Demokrasi Terpimpin ............. 263
Tabel 12. Tujuan, norma pengaturan, dan
praktik lembaga perwakilan di masa Demokrasi Pancasila .............. 281.
Tabel 13. Tujuan, norma pengaturan, dan Praktik Lembaga Perwakilan
di Masa Reformasi ............................................................................. 327
DAFTAR RAGAAN dan GAMBAR
Ragaan 1. Indikator Penelitian ......................................................................... 10
Ragaan 2. Das Sollen vs Das Sein dalam Lembaga Perwakilan ...................... 131
Gambar Time Line Perjalanan Lembaga Perwakilan di Indonesia .................. 329
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Studi terhadap lembaga perwakilan tidak dapat dilepaskan dari studi
hukum tata negara yang berlandaskan pada konstitusi. Konstitusi merupakan
dasar yang menetapkan struktur lembaga negara, pengorganisasian negara,
pembatasan kekuasaan, hingga pada perwujudan tujuan tertinggi negara.1
Perubahan terhadap konstitusi akan turut pula merubah keseluruhan tatanan, dan
penyelenggaraan dari lembaga perwakilan di suatu negara.2 Indonesia sebagai
contohnya sejak awal kemerdekaan menggunakan beberapa konstitusi, mulai dari
UUD 1945, UUD RIS, dan hingga pada UUD 1945 amandemen keempat.
1
Usep Ranuwijaya menyebutkan bahwa konstitusi akan menentukan keorganisasian
negara. Lihat Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982, hlm 184. Lain halnya dengan Soetandyo yang lebih menekankan konstitusi untuk
menentukan batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara. Soetandyo
Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum, Malang: Setara
Press, 2013, hlm 72. Hal yang sama diungkapkan oleh Sri Soemantri bahwa konstitusi berfungsi
melakukan pembatasan kekuasaan lembaga negara dari segi kewenangannya hingga pada waktu
dijalankannya kekuasaan tersebut. Lihat Sri Soematri dalam Padmo Wahjono, Masalah
Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hlm 10. Pada sisi lain
konstitusi juga dipandang sebagai sebuah konsep dasar bagi sistem pengelolaan kehidupan
bernegara atau sistem manajemen nasional. Lihat Solly Lubis, Politik Hukum dan Kebijakan
Publik, Bandung: Mandar Maju, 2014 hlm 35. Konstitusi menurut Jimly adalah untuk mencapai
tujuan tertinggi yakni: 1) keadilan; 2) ketertiban; dan 3) perwujudan nilai-nilai ideal bersama
seperti kemerdekaan atau kebebasan, dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana
dirumuskan oleh para pendiri negara. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, Jakarta: Pt Grafindo Persada, 2013, hlm 119.
2
Solly Lubis juga berpendapat mengenai pergantian UUD dan dampaknya. Secara
teoritis pergantian UUD setidak-tidaknya membawa perubahan struktural dan mekanisme pada
pemerintahan negara, dan kemungkinan yang lebih jauh ialah perubahan dasar filsafat dan tujuan
negara, tetapi dalam praktik ketatanegaraan kita di Indonesia, perubahan tidak menyangkut pada
dasar filsafat dan tujuan negara namun hanya pada struktur, mekanisme dan policy saja. Lihat
Solly Lubis, Fungsi Perundang-undangan Dasar dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan
Indonesia Dewasa ini, Opcit, hlm 113-114
2
Masing-masing dari konstitusi tersebut membawa pada desain Lembaga
Perwakilan tersendiri.
Founding fathers Indonesia sesungguhnya sudah mempunyai konsep
tersendiri mengenai lembaga perwakilan mulai dari Soepomo, Muhammad Hatta,
bahkan Muhammad Yamin mengatakan bahwa lembaga perwakilan di Indonesia
harus mengandung jiwa Permusyawaratan.3 Pada awal kemerdekaan Majelis
Permusyawaratan dan DPR yang dirancang untuk menjalankan fungsi perwakilan,
ternyata dalam hal ini belum dapat dibentuk. Dalam kondisi ini kemudian fungsi
perwakilan tersebut dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
KNIP hingga dibentuknya MPR dan DPR. Namun dalam hal ini fungsi
perwakilan yang dijalankan KNIP ternyata belum mampu mengantarkannya pada
pembentukan MPR dan DPR, di masa awal kemerdekaan. Hal ini dikarenakan
Indonesia melakukan transformasi menjadi negara serikat sistem parlementer,
sehingga dalam hal ini harus menyesuaikan kebutuhan akan lembaga yang
diperlukan.4 Lembaga Perwakilan kemudian diwujudkan dalam bentuk DPR dan
Senat yang memiliki fungsi perwakilan bagi daerah dan golongan-golongan.
Lembaga yang juga turut dibentuk pada saat itu adalah Konstituante. Konstituante
dibentuk dengan keanggotaan yang ada dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan
3
Soepomo misalnya berpendapat bahwa keberadaan dari konsep permusyawaratan,
negara harus terus menerus bersatu jiwa dengan rakyat, caranya yakni melalui badan
Permusyawaratan. Lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, hlm 119. Muhammad Hatta berkenaan dengan konsep
musyawarah mengatakan bahwa demokrasi Indonesia berdasarkan pada kekeluargaan. Lihat Yudi
Latif, Negara Paripurna, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm 417. Lihat juga
pendapat Muhammad Yamin yang mengatakan bahwa kekuasaan Majelis Permusyawaratan tidak
hanya terdiri atas wakil daerah, namun adanya wakil golongan.. lihat dalam Muhammad Yamin,
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Opcit, hlm 232. Lihat juga mengenai kelompok
kepentingan dalam Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2010, hlm 140.
Lihat juga Lihat Arrend Lipjhart, Pattern of Democracy, United State of America: Yale
University, 2012, hlm 158-159.
4
Mahfud MD menyebutkan pasal dalam Konstitusi RIS yang langsung menunjuk
dianutnya sistem parlementer adalah Pasal 118. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ,
Jakarta: LP3ES, 2006, hlm 39.
3
Senat.5 Lembaga Perwakilan dalam bentuk Senat dan DPR RIS ini berakhir,
sejalan dengan tidak diterimannya bentuk Negara Serikat. Daerah-daerah yang
ada di Indonesia menghendaki untuk kembali ke kerangka negara kesatuan, dan
kemudian menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai konstitusi.6
UUDS mengatur bahwa lembaga perwakilan yang ada dalam konstitusi adalah
Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) yang anggotanya terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah utusan-utusan daerah dan golongan-golongan.
Namun ternyata Lembaga Perwakilan yang dibangun ketika itu bukan pada
perimbangan kekuasaan. Sebagai contoh dikeluarkanlah Penpres No 4 Tahun
1960 tentang susunan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru, yakni Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong.7 Anggota DPR tidak lagi didasarkan pada
perimbangan kekuatan partai dan politik beralih menjadi kerjasama secara gotong
royong antara Pemerintah dan DPR.8 Orde Lama berakhir dan berganti kepada
Orde baru merubah pula dinamika yang terjadi terhadap lembaga perwakilan.
Dinamika terhadap lembaga perwakilan pada masa Orde Baru dapat dilihat
dari fungsi legislasi yang dimilikinya. UUD 1945 sebelum amandemen
dinyatakan bahwa kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang ada di tangan
Presiden. Hal ini diperoleh dari penafsiran Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, yang
5
Lihat Pasal 188 Konstitusi RIS
Perubahan yang terjadi terhadap konsep penyelenggaraan negara berdasarkan pada
UUDS mengembalikan Jabatan Wakil Presiden karena UUD itu menggunakan sistem presidensil.
Perubahan yang terjadi selanjutnya adalah menghapuskan keberadaan Senat dan Dewan
Pertimbangan Agung. Alasan ditiadakannya Senat karena daerah bagian-bagian itu sudah tidak ada
lagi, sedangkan DPA tidak ada keterangan dan dokumen yang menyatakan kebutuhan adanya DPA
tersebut ketika itu. Lihat Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
Jakarta: Noordhoff-Kolff, 1954, hlm 61-62.
7
Setuju terhadap garis politik yang ditetapkan oleh Soekarno merupakan syarat mutlak
untuk mampu duduk sebagai anggota DPR-GR. lihat Pasal 2 Penetapan Presiden No 4 Tahun
1960.
8
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah,
Jakarta: Universitas Indonesia, 1996, Hlm 125.
6
4
seakan pemegang kekuasaan legislasi utama adalah presiden dan fungsi DPR
hanya menyetujui rancangan. Saldi Isra dengan menelusuri penafsiran Pasal 5 ayat
(1) dan pendapat para ahli seperti A. Hamid S. Attamimi, Bagir Manan, dan
Wirjono Prodjodikoro menyimpulkan bahwa kondisi proses legislasi Orde Baru
mengalami sebuah anomali.9 Presiden dalam praktiknya menjadi pemegang
tunggal kekuasaan legislasi, dan DPR tidak dapat menggunakan haknya untuk
mengajukan rancangan undang-undang. DPR dengan kata lain tidak dapat
menggunakan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (1)
UUD 1945 sebelum amandemen. Kondisi lemahnya kedudukan DPR ini berubah
pasca reformasi.
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi perhatian awal untuk penguatan dan
penyetaraan kedudukan DPR dan Presiden. Pasal 5 ayat (1) sebelumnya berbunyi
bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian berubah menjadi Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Jimly berpendapat perubahan terhadap pasal 5 ayat (1) UUD 1945 adalah sebuah
pergeseran secara substantif kewenangan legislasi dari Presiden kepada DPR.10
Pasal selanjutnya yang semakin memperkuat fungsi legislasi dan memberikan
kepastian dalam kewenangan legislasi adalah Pasal 22 A UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan
undang-undang diatur dengan undang-undang. Pasal ini menjadi demikian penting
karena memberikan kepastian hukum, dan juga menguatkan dari pengaruh politis.
9
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm 139-143.
10
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm 134.
5
Pengalaman Orde lama hingga Orde Baru ranah legislasi menjadi ruang yang
paling rentan, terhadap penguatan eksekutif dan pelemahan terhadap legislatif.
Perubahan yang terjadi pasca amandemen, juga melahirkan Dewan Perwakilan
Daerah yang sering disebutkan sebagai kamar kedua. Namun kamar kedua ini
tidak seperti konsep kamar yang dianut negara-negara pengguna parlemen
bikameral, dengan sistem presidensial. DPD ditempatkan dalam posisi weak
bicameralism yang seharusnya tipe weak bicameralism merupakan ciri dari
penggunaan sistem parlementer, seperti di Inggris. Dengan demikian Indonesia
memiliki dinamika tersendiri mengakar hingga pada konsep kamarnya.11
Dinamika-dinamika
yang
telah
ditelusuri
pada
tiap
masanya
menggambarkan bahwa studi lembaga perwakilan tidak hanya dipandangan dan
dipengaruhi oleh Konstitusi saja. Namun praktik penyelenggaraan lembaga
perwakilan dapat berbeda antara konsep yang ingin dibangun dengan praktiknya.
Hal ini dikarenakan lembaga yang mewakili demokrasi tersebut memiliki
kompleksitas yang tinggi.12 Sebagai contoh ketika masa sebelum reformasi
kedudukan lembaga perwakilan, benar-benar tidak berdaya terhadap dominasi
11
Indonesia tidak menganut strong bicameralism padahal sistem pemerintahannya adalah
presidensial. Model kamar yang biasanya dianut untuk strong bicameralism seperti di Swiss dan
Belgia. Sedangkan Inggris dengan sistem parlementer dan model demokrasi Westminsternya,
menganut weak bicameralism pada kamar keduanya, yakni House lords. Bahkan cenderung kamar
yang ada seakan unicameral dikarenakan kuatnya pengaruh House of Commons. Lihat Arrend
Lipjhart, Pattern of Democracy, Opcit, hlm 17-18. Ibid, hlm 38. Lihat juga George Tsebelis dan
Jeannette Money, Bicameralism, United State: Cambridge University Press, 2003, hlm 76.
12
Guillermo O Donnel dan Philippe Schmitter berpendapat bahwa banyak institusi yang
kini dianggap amat demokratis, pada awalnya dibentuk maksud yang sama sekali berbeda, dan
baru kemudian meleburkan diri ke dalam batasannya yang dikenal saat ini, seperti, parlemen,
partai, pemerintahan koalisi, kelompok kepentingan, dan sebagainya. Lihat Guillermo O‘Donnel
dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan
Ketidakpastian, Jakarta: Pt Pustaka LP3ES, 1993, hlm 9. Lihat juga Anthony Birch
mengungkapkan bahwa konsep perwakilan seringkali menimbulkan sengketa di tataran
praktiknya, bukan pada tahap teori dan filosofi. Lihat Anthony Birch, The Concept and Theories
of Modern Democracy, New York: Routlledge, 2007, hlm 133.
6
presiden.13 Contoh lain misalnya Volksraad sebagai lembaga perwakilan yang
pernah ada di Indonesia sebelum kemerdekaan, bukan ditujukan untuk mewakili
kepentingan Indonesia. Namun dipergunakan oleh para tokoh perjuangan sebagai
saluran aspirasi mereka.14 Dinamika terhadap lembaga perwakilan di Indonesia di
sisi lain belum ada yang menelusurinya secara komprehensif, mulai tujuan yang
hendak dibangun hingga pada praktik penyelenggaraannya.
Studi terhadap lembaga perwakilan di Indonesia dalam perkembangannya
dilakukan berbagai pendekatan, secara normatif maupun melalui pendekatan
lainnya seperti sejarah. Penulis mengambil contoh studi-studi lembaga perwakilan
yang pernah ada dan cocok untuk menjadi bahan perbandingan dan penguat studi
penulis. Lembaga perwakilan dalam hal ini MPR pernah dilakukan Budiman
Sagala dengan Judul Tugas dan Wewenang MPR RI. 15 Budiman dalam hal ini
hanya mengkaji permasalahan tugas dan wewenang MPR RI dari awal
kemerdekaan hingga tahun 1981. Studi yang dilakukan hanya berkenaan dengan
tugas dan wewenang dari MPR RI saja, dan hanya menggunakan perumusan
kaidah hukum positif yang ada. Padahal studi terhadap hukum tata negara dalam
13
Periode sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 menandai pula semakin menguatnya
kedudukan presiden melalui konsep demokrasi terpimpinnya Lihat Fred Von Mehden, Politik
Negara-negara Berkembang (terjemahan Simamora), Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm 187-189.
Pada masa Orde Baru DPR secara politis dikuasai dan didominasi oleh Golongan Karya, dan
sudah menjadi rahasia umum bahwa Golkar merupakan kaki tangan Soeharto. Lihat jumlah
anggota DPR dari golongan karya di
Lihat http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/10/PEMILU-1977-1997/MzQz diakses 23
September 2015 pukul 08.05 wib.
14
Volksraad disebutkan juga oleh Harry J Benda sebagai eksperimentasi dari
kegembiraan perang dunia I, yang 2 (dua) tahun kemudian menjadi cetak biru hubungan kolonial
liberal. Lihat Harry J Benda, Pattern of Administrative Reforms in Closing Years of Dutch Rule in
Indonesia, dalam Journal of Asian Studies (pre-1986); Aug 1966; 25,4; Art and Humanities, hlm
592. Volksraad disebutkan juga sebagai langkah pertama dari keterlibatan orang-orang bumiputera
dalam pemerintahan kolonial. Lihat dalam Jacomina Marsman, Indonesia - Merdeka A Study Of
The Development Of The Nationalist Movement In The Dutch East Indies From 1900 To 1940,
South California: Faculty of History Southern California Univesity, 1947, hlm 61.
15
Budiman Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981.
7
realitasnya tidak dapat hanya ditinjau dari melihat dan mempelajari bentuk-bentuk
perumusan kaidah hukum yang dapat ditemukan dari perundang-undangan dan
sumber hukum lainnya.16
Studi terhadap MPR dengan pendekatan sejarah pernah dilakukan oleh
Samsul Wahidin dengan judul MPR RI dari Masa ke Masa. 17 Kedua studi tersebut
diketahui dilakukan pada masa Orde Baru. Penulisan sebuah buku pada saat Orde
Baru tidak sebebas saat ini, sedikit banyaknya pemerintah ketika itu dapat
melakukan kontrol terhadap substansi dari pada buku ataupun majalah.18 Tentu
dalam hal ini pembahasan yang tajam mengenai lembaga perwakilan akan
dibatasi, dan kemungkinan pembahasan tentang lembaga perwakilan di Masa
Orde Baru tidak akan komprehensif. Pada Masa Orde Baru juga pernah dilakukan
studi terhadap DPR RI oleh Muchtar Pakpahan dengan judul DPR RI Semasa
Orde Baru.19 Muchtar sudah membahas mengenai Struktural, dan budaya politik
yang terjadi semasa pelaksanaan DPR RI. Namun Muchtar tidak menyentuh
permasalah dominasi presiden Soeharto. Hal ini berarti masih sama dengan 2
(dua) studi lembaga perwakilan yang disebutkan tadi.
Masa Reformasi telah lebih bebas untuk mengkaji permasalahan
kelembagaan negara dibandingkan dengan Masa Orde Baru. berbagai tulisan telah
lebih bebas untuk membahas mengenai lembaga perwakilan. Saldi Isra menjadi
16
Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Opcit, hlm 33. Pendapat mengenai
studi HTN juga diungkapkan oleh Abdul Gani, dia berpendapat bahwa Penguasaan ilmu hukum
tata negara selalu memperhatikan dan lebih dari itu menitikberatkan tidak saja pada aspek-aspek
yuridik, seperti norma hukum, rule of law, legalitas, kewenangan hukum, juga pada aspek-aspek
politikologik, antara lain mengenai, aliran-aliran peristiwa politik aktual, teori-teori politik,
praktek pengadilan lihat Abdoel Gani, Hukum dan Politik Beberapa Masalah, dalam Padmo
Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Opcit, hlm 163.
17
Samsul Wahidin, MPR RI dari Masa ke Masa, Jakarta: Bina Aksara, 1986.
18
Bahkan Koran sekelas Tempo pun pernah mendapat treatment pembredelan dari
pemerintah Orde Baru. lihat http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-tahunpembredelan-majalah-tempo diakses 12 Oktober 2015 pukul 18.20 wib.
19
Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, Jakarta: Sinar Harapan, 1994.
8
salah satu penstudi lembaga perwakilan. Saldi dalam hal ini melakukan studi
terhadap fungsi legislasi, yakni dengan judul Pergeseran Fungsi Legislasi
Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia.20
Saldi Isra hanya membahas mengenai fungsi legislasi saja dan perubahannya dari
awal kemerdekaan. Selanjutnya studi terhadap lembaga perwakilan dengan
pendekatan sejarah juga dilakukan oleh Charles Simabura dengan judul Parlemen
Indonesia Lintasan Sejarah dan Sistemnya. Charles membahas parlemen
Indonesia dengan pendekatan sejarah.
Dinamika lembaga perwakilan di Indonesia dan studi terhadapnya,
menjadi dasar diperlukannya penelitian mengenai dinamika ketatanegaraan
lembaga perwakilan di Indonesia Hal ini dikarenakan dinamika terhadap lembaga
perwakilan di Indonesia tiap periodenya tidak hanya diakibatkan oleh perubahan
konstitusi. Namun dinamika tersebut dapat saja terjadi karena perbedaan antara
tujuan pembentukannya dengan realitasnya. Tujuan berkenaan dengan alasan
mengapa dibentuknya lembaga perwakilan tersebut, dan realitas berkenaan
dengan praktik penyelenggaraan lembaga perwakilan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah Bagaimana dinamika Ketatanegaraan Lembaga
Perwakilan di Indonesia (pra kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan)?
20
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010.
9
C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Lembaga Perwakilan yang ada di
Indonesia pada Masa sebelum kemerdekaan tepatnya pada Masa Hindia Belanda
dan Pendudukan Jepang, dan masa pasca Kemerdekaan hingga sekarang ini.
Lembaga perwakilan dalam kajian penelitian ini akan dibagi secara dua fase besar
yakni: Masa sebelum kemerdekaan Indonesia dan Masa pasca kemerdekaan
Indonesia. Pada Fase besar yang pertama yakni, masa sebelum kemerdekaan
kajian Lembaga perwakilan akan dibatasi pada masa penjajahan kolonial Belanda
(1900-1940an) dan Masa penjajahan Jepang (1942 hingga 1945). Lembaga
perwakilan yang dimaksud pada zaman penjajahan Belanda akan difokuskan
kepada dewan Rakyat (Volksraad) dimana dalam lembaga tersebut ada
keterlibatan pergerakan nasional Indonesia dan lebih lanjut tujuan sesungguhnya
dari pembentukan Volksraad ini apakah benar-benar berperan sebagai lembaga
perwakilan, yang mewakili kepentingan rakyat bumi putera di Hindia Belanda
ketika itu ataukah ada tujuan lain dari pembentukannya. Pada fase Jepang dalam
hal ini turut pula ditelusuri tujuan pembentukan lembaga perwakilan ketika itu
yakni Chuo Sangi In dan keterlibatan orang-orang Indonesia di dalamnya. Pada
Fase besar yang kedua, kajian lembaga perwakilan akan lebih difokuskan kepada
lembaga perwakilan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, yakni sejak UUD 1945 sebelum perubahan hingga pada perubahan
keempat tahun 2002.
10
Ragaan 1. Indikator Penelitian
politik
legislasi
Norma
realitas
Dalam penelitian ini tiap lembaga perwakilan akan dilihat 3 (tiga)
indikator yang ada padanya:
1. Politik legislasi
Hal ini akan berkenaan dengan tujuan pembentukan lembaga perwakilan
tersebut pada hakikatnya adalah untuk apa dilakukan, atau kebutuhan apa yang
mendesak ketika itu sehingga perlu dibentuk lembaga perwakilan tersebut,
apakah lembaga perwakilan tersebut dibentuk untuk benar-benar mewakili
kepentingan rakyat ataupun ada alasan lainnya di balik pembentukannya;
2. Norma
Norma yang dimaksud disini adalah ketentuan yang ada dan berkenaan dengan
lembaga
tersebut.
Norma-norma
yang
ada
menjadi
petunjuk
untuk
memperjelas bagaimana sistem perekrutan dari lembaga perwakilan tersebut
hingga pada kewenangan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan. Pada sisi lain
peralihan dari politik legislasi menuju pada norma yang ada dalam kaitannya
11
dengan lembaga perwakilan, digunakan untuk menunjukkan das sollen yakni
cita dalam pembentukan lembaga tersebut;
3. Realitasnya
Realitas yang dimaksud ini adalah berkenaan dengan bagaimana lembaga
perwakilan
tersebut
dijalankan,
apakah
telah
sesuai
dengan
tujuan
pembentukannya atau sebaliknya pelaksanaan dari lembaga perwakilan yang
ada menyimpang dari tujuan dan ketentuannya.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk: Menggambarkan secara menyeluruh das sein dan das sollen
dinamika Lembaga Perwakilan di Indonesia pada masa pra dan pasca
kemerdekaan.
2. Kegunaan Penelitian
Hasil dari kegiatan penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk:
a. Kegunaan Teoretis
Dapat dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya
pembangunan lembaga perwakilan dan hukum tata negara pada
umumnya, serta dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.
b. Kegunaan Praktis
Diharapkan kajian dari hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk
menambah pengetahuan bagi para pembaca mengenai dinamika Lembaga
12
Perwakilan yang ada di Indonesia, serta dapat bermanfaat untuk
memberikan rumusan dan gagasan pembaruan dalam pembangunan
Lembaga Perwakilan di Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A
Konstitusi, Hukum, dan Demokrasi
Demokrasi merupakan ideologi yang paling rasional dan wajib ada dalam
setiap penyelenggaraan negara dewasa ini. Kebebasan dan kesetaraan menjadi
tawaran yang disediakan oleh demokrasi. Negara yang menentang ataupun
menimpang dari haluan demokrasi akan dianggap gagal dalam menyelenggarakan
pemerintahannya. Dominasi dari ideologi demokrasi, hak individu, dan
kapitalisme dibuka setelah runtuhnya komunisme.21 Ketiadaan suatu saingan
dengan demikian membuat demokrasi terus menerus menguat. Kondisi demikian
bahkan dianggap sebagai akhir zaman oleh Francis Fukuyama, ia berpendapat
bahwa:22 More than that, however, I argued that liberal democracy may constitute
the "end point of mankind's ideological evolution" and the "final form of human
government," and as such constituted the "end of history." Demokrasi liberal
dengan demikian menjadi penutup atau ideologi akhir zaman umat manusia.
Demokrasi liberal menjadi ideologi yang terakhir dan seakan paling sempurna.
Namun sebelum lebih jauh membahas demokrasi sebagai ideologi akhir zaman,
kita perlu menguraikan kembali apa itu demokrasi, teori demokrasi hingga
bagaimana kemudian demokrasi dapat berkembang menjadi sedemikian rupanya
atau disebutkan sebelumnya sebagai ideologi akhir zaman.
21
Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, and Theorie, Cambridge:
Cambridge University Press, 2004, hlm 1
22
Francis Fukuyama, End Of History and The Last Man, United State: Maxwell, 1992,
hlm xi.
14
1. Demokrasi
Demokrasi sebagai sebuah ide penyelenggaraan pemerintahan yang
berbasis pada rakyat. Rakyat bahkan sering disebutkan sebagai pemilik dari
penyelenggaraan pemerintahan apabila mengacu dari sudut pandang demokrasi.
Kata demokrasi sendiri muncul pada abad ke 5 sebelum masehi.23 Demokrasi
apabila
kemudian
dilihat
secara
terminologis
sering
diartikan
sebagai
pemerintahan oleh dari, oleh dan untuk rakyat. Jimly Asshiddiqie menerjemahkan
makna demokrasi dalam 4 (empat) ciri besar: 1) kekuasaan berasal dari rakyat; 2)
rakyat menentukan seluruhnya arah sesungguhnya serta menyelenggarakan
kehidupan
kenegaraan;
3)
keseluruhan
sistem
penyelenggaraan
negara
diperuntukkan untuk rakyat; dan 4) negara yang ideal bahkan diselenggarakan
bersama-sama dengan rakyat.24 Demokrasi dengan ciri-ciri umumnya tersebut
lebih lanjut diderivasikan ke dalam ciri yang lebih khusus apabila mengacu pada
aliran yang melatarbelakangi demokrasi tersebut. Miriam Budiarjo berkenaan
dengan demokrasi memandang bahwa ada dua kelompok aliran demokrasi yang
besar, yakni demokrasi konstitusional dan demokrasi yang berdiri diatas
komunisme.25 Jimly Asshiddiqie juga memiliki pendapat mengenai aliran besar
23
Adam Przeworski menebutkan mengenai kata demokrasi sebagai berikut: The story is
bewildering. The word ―democracy‖ appeared during the fifth century bc in a small municipality
in Southeastern Europe, acquired a bad reputation, and vanished from usage already in Rome.
According to the Oxford English Dictionary, its first appearance in English was in 1531. The 1641
constitution of Rhode Island was the first to refer to a ―Democratical or Popular Government.
Demokrasi berdasarkan pada pernyataan Adam tersebut bahwa kemunculan demokrasi berawal
dari Eropa Selatan, dan dalam kamus bahas Inggris Oxford pertama kali muncul sebagai sebuah
kata adalah pada tahun 1531. Lihat Adam Przeworski, Democracy and The Limits of SelfGovernment, Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hlm 4.
24
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011, hlm 293.
25
Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (cetakan Ke-delapan), Jakarta: CV Prima
Grafika, 2013, hlm 105.
15
demokrasi. Jimly lebih cenderung melihatnya dari subjek yang memandang
demokrasi tersebut, yakni antara pemikiran individualis dan kolektivis.26 Jimly
lebih lanjut berpandangan bahwa kaum individualist
adalah rakyat berdaulat
ketika dia berdiri sebagai individu otonom, sedangkan kaum kolektivis
beranggapan rakyat berdaulat ketika berdiri dalam kolektif dan totaliter.27 Kedua
aliran demokrasi tersebut tentu dalam implementasinya memiliki alasan tersendiri.
Demokrasi dengan haluan individualis mendorong pada terbinanya masyarakat
yang dapat berdiri sendiri dan memiliki daya saing, dan dalam hal ini tidak
bergantung pada peran-peran negara. Demokrasi pada sisi lain juga sebagaimana
diungkapkan oleh Adam Prezeworski adalah sebuah sistem tertentu pemerosesan
dan pengakhiran konflik-konflik antar kelompok.28
Perkembangan pemikiran
demokrasi yang sedemikian rupanya, seringkali disebutkan berasal dari Yunani
Kuno. Namun bagaimana pemikiran Yunani Kuno hingga sekarang ini
berkembang menjadi sebuah teori demokrasi seringkali tidak terungkap.
Pemikiran politik moderen saat ini menganggap bahwa demokrasi Yunani adalah
demokrasi yang sifatnya partisipatoris. Artinya demokrasi yang menyediakan
keterlibatan bagi seluruh rakyat dalam penyelenggaraan negara.
26
Jimly, Pilar-pilar … Opcit, hlm 242.
Ibid.
28
Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi, dalam
Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai
Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm 89.
27
16
a.
Teori Demokrasi
Demokrasi dalam perkembangannya tidak lagi hanya mengandalkan ide
tentang bagaimana rakyat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara.
Demokrasi dalam perkembangannya dengan demikian mengarah pada wujud
partisipasi yang lebih kompleks lagi, dan tidak sesederhana seperti yang ada
dalam pemikiran demokrasi klasik. Demokrasi dengan demikian memunculkan
dua pandangan besar terhadapnya, yakni demokrasi klasik dan demokrasi
kontemporer sebagaimana didapat dalam literatur-literatur ilmu politik.29 Teori
demokrasi klasik menurut Zamroni memiliki tiga makna sekaligus, yakni: 30
a) Demokrasi sebagai sumber otoritas negara, yang berada di tangan rakyat,
atau merupakan kekuasaan rakyat;
b) Demokrasi sebagai tujuan dari pemerintah untuk menyediakan kebutuhan
rakyat;
c) Demokrasi sebagai metode untuk memilih pemimpin politik oleh rakyat.
Makna-makna yang terkandung dalam demokrasi klasik masih sangat sederhana,
tidak heran hal ini terjadi demikian karena makna demokrasi secara umum ketika
itu hanya dipandang sebagai dominasi kekuasaan negara oleh rakyat dan
partisipasinya saja. Demokrasi yang diselenggarakan sebagaimana diungkap
sebelumnya belum mencakup kepentingan setiap warga negara, karena masih ada
diskriminasi terhadap gender dan status sosial serta keturunan. Teori demokrasi
kontemporer di sisi menurut Zamroni disarikan dari pemikiran Jeremy Bentham
29
Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: Ombak,
2013, hlm 59.
30
Ibid.
17
dan James Stuart Mill. Teori Demokrasi kontemporer disebutkan olehnya
memiliki 4 (empat) ciri utama yakni:31
a) Pemerintahan demokratis merupakan institusi penjaga kebebasan warga
masyarakat;
b) Perkembangan sistem ekonomi untuk dapat tumbuh dan berkembang
bergantung kepada pemerintahan yang demokratis;
c) Adanya sistem dan mekanisme pelaksanaan hak-hak rakyat;
d) Mekanisme dan prosedur yang ada ditetapkan melalui undang-undang
Teori demokrasi kontemporer memberikan lahan baru bagi demokrasi untuk
berkembang yakni di bidang ekonomi. Rakyat diberikan ruang lebih luas untuk
dapat menyelenggarakan kehidupannya dan memperoleh kesejahteraan yang
diidamkannya. Demokrasi kontemporer dapatlah dikatakan sebagai salah satu
wujud demokrasi moderen namun bukan berarti awal mula demokrasi dan akhir
demokrasi moderen berasal dari demokrasi kontemporer. Pemaparan dari Zamroni
tersebut hanya merupakan pengantar terhadap teori demokrasi moderen yang
hendak dibahas.
Teori demokrasi saat telah berkembang semakin beragam. Pembahasan
terhadap kata teori dewasa ini seringkali tidak pada sesuai dengan makna
sebenarnya, misalnya pembicaraan orang itu tentang pertanian hanya penuh
dengan teori saja tidak tahu bagaimana cara menanam yang baik dan memanen di
sawah. Hal seperti ini yang kemudian dianggap bahwa teori itu sebuah pemikiran
dan pandangan seseorang akan suatu hal saja. Teori tidak akan terlepas dari
preposisi-preposisi, namun ada struktur yang membangun preposisi tersebut untuk
31
Ibid.
18
dapat dikatakan sebagai teori. Teori dalam pandangan ilmu logika tidak akan
terlepas dari hipotesis. Teori yang ada beranjak dari hipotesis, untuk selanjutnya
dapat menjadikan hipotesis tersebut sebagai sebuah teori maka hipotesis harus
dibuktikan kebenarannya.32 Oleh karena itu butuh proses bahkan penelitian untuk
menguji apakah hipotesis yang ada tersebut dapat dikatakan sebagai teori.
Teori telah disebutkan sebelumnya sebagai hipotesis yang diuji
kebenarnya, lalu bagaimana dengan teori demokrasi. Demokrasi juga mengalami
persimpangan arti dan makna antara teori demokrasi dan pemikiran demokratis.
Jeffri D. Hilmer menyebutkan bahwa ada perbedaan mendasar antara pemikiran
demokratis dan teori demokrasi. Pemikiran demokratis dapat didefinisikan sebagai
kategori umum yang mencakup pemikiran politik yang kurang sistematis.
Literatur, karya sejarah, pamflet politik, dan berbagai pemikiran organisasi
tentang partisipasi rakyat dalam pemerintahan berdasarkan definisi tersebut dapat
dikategorikan sebagai pemikiran demokratis. Teori demokrasi pada sisi lain
adalah upaya yang lebih sistematis untuk mendeskripsikan atau memprediksikan
atau kedua-duanya perilaku fenomena politik.33
Teori demokrasi dalam perkembangannya secara praktik digunakan
sebagai dasar dalam pemahaman hubungan antara warga negara dan pemerintah.
Pemahaman demikian menimbul pula berbagai versi tafsir demokrasi yang ada di
dunia ini. Teori demokrasi dalam hal ini banyak merupakan versi teori yang
tumbuh dan berkembang dari praktik politik di Amerika. Untuk itu pada sub bab
ini akan diberikan pemahaman mengenai teori demokrasi yang ada dan masih
32
Mundiri, Logika, Jakarta: Rajawali Press, 2014, hlm 199.
Lihat tulisan Jeffrey D. Hilmer, Pemikiran Demokratis Moderen dalam John T.
Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi
Panduan Tematis, Opcit, hlm 977.
33
19
eksis saat ini, sehingga akan terang pemahaman terhadap tarik ulur hubungan
pemerintah dan warga negaranya.
a) Demokrasi Partisipatoris
Yunani dalam hal pemikiran tentang demokrasi memberikan sumbangsih
yang besar terhadap model demokrasi pertama yakni demokrasi partisipatoris.
Yunani kuno dalam hal ini di Athena mengadopsi bentuk pemerintahan
demokratis
yang memberikan kesempatan bagi warganya untuk dapat
berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan.34 Ide dasar demokrasi
partisipatoris adalah bagaimana warga negara dapat berpartisipasi secara langsung
dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi Athena ini dalam perkembangan
pemikiran politik moderen dikembangkan oleh C.B Machperson.
Machperson sebagai seorang yang mengembangkan konsep demokrasi ini,
mulanya membahas terlebih dahulu bagaimana participatory democracy dapat
berfungsi sebagai sebuah sarana mewujudkan demokrasi diantara masyarakat.
Machperson pertama-tama menguraikan bahwa selama ini participatory
democracy dapat diwujudkan dengan menggunakan sistem piramida. Sistem
piramida menggunakan model demokrasi yang mengandalkan partisipasi di setiap
levelnya, mulai dari level sistem masyarakat paling rendah hingga pada tataran
nasional/negara. Sistem piramida menurut Machperson lebih lanjut di sisi lain,
memiliki 3 (tiga) kondisi yang mengakibatkan sistem piramida tidak berfungsi
34
John T Ishiyama, Tatyana Kelman dan Anna Pechenina, Model Demokrasi dalam John
T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi
Panduan Tematis (terjemahan Ahmad Fedyani Saifuddin), Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2013, hlm 446
20
dengan baik.35 Pertama, sistem piramida tidak membuktikan pertanggungjawaban
dari pemerintah di setiap level dibawahnya dalam kondisi pasca revolusi.; apabila
tidak demikian hal ini akan menimbulkan situasi kontra-revolusi, dengan ataupun
tidak melibatkan intervensi asing. Kedua, kondisi lain yang timbul sistem
pertanggungjawaban konsul model piramida tidak akan memberikan pokok
kemunculan dari pembagian kelas, dan oposisi. Ketiga, sistem konsul piramida
tidak akan bekerja apabila masyarakatnya apatis.
Model demokrasi participatory dalam hal ini tidak hanya dibahas oleh
Machperson, Benjamin Barber juga turut membahas mengenai teori demokrasi
ini. Benjamin menyebutkan bahwa:36
Strong democracy is a distinctively modern form of participatory
democracy. It rests on the idea of a self-governing community of citizens
who are united less by homogeneous interests than by civic education and
who are made capable of common purpose and mutual action by virtue of
their civic attitudes and participatory institutions rather than their
altruism or their good nature.
Teori demokrasi participatory dalam istilah Benjamin disebutkan sebagai
demokrasi yang kuat. Demokrasi yang menciptakan masyarakat berdasarkan pada
konsep memerintah dan memberdayakan diri sendiri, dan bersatu dalam
homogenitas yang memiliki tujuan sama serta berpartisipasi dalam institusi.
Benjamin lebih lanjut menyebutkan bahwa:37
The participatory process of self-legislation that characterizes strong
democracy attempts to balance adversary politics by nourishing the
mutualistic art of listening. " I wil l listen" means to the strong democrat not
that I wil l scan my adversary's position for weaknesses and potential tradeoffs, nor even (as a minimalist might think) that I wil l tolerantly permit hi m
to say whatever he chooses. It means, rather, " I wil l put myself i n his
place, I wil l try to understand, I wil l strain to hear what makes us alike, I
35
C.B Machperson, The life and Times of Liberal Democracy, Oxford: Oxford
University Press, 1979, hlm 108-111.
36
Benjamin. R. Barber, Strong Democracy Participatory Politics For a New Age,
Berkeley: University of California Press, 2003, hlm 117.
37
Ibid, hlm 175.
21
wil l listen for a common rhetoric evocative of a common purpose or a
common good."
Benjamin dalam hal ini menganggap bahwa demokrasi Participatory harus
dapat mencerminkan suatu pendekatan yang juga berbasis pada self-legislation
dengan bersandar pada konsep mendengarkan. Konsep mendengarkan ini
berkenaan dengan terbuka kesempatan untuk mengkiritis kelemahan dan kebaikan
serta mencoba mengerti kebaikan umum. Benjamin disisi lain juga menyebutkan
adanya kesempatan bicara sebagai fungsi politik dalam participatory democracy.
Ada setidaknya 9 (sembilan) fungsi berbicara dalam pemikiran Benjamin:
1) The articulation of interests; bargaining and exchange;
2) Persuasion;
3) Agenda-setting;
4) Exploring mutuality;
5) Affiliation and affection;
6) Maintaining autonomy;
7) Witness and self-expression;
8) Reformulation and reconceptualization;
9) Community-building as the creation of public interests, comm on
goods, and active citizens.
Konsep demokrasi participatory pada akhirnya bergantung pada keaktifan dari
warga negara. Warga negara haruslah mengerti bagaimana menyuarakan hakhaknya untuk dapat melaksanakanya melalui aktif dalam mendengar serta
berbicara.
22
b) Demokrasi Pluralis
Robert Dahl mengembangkan teori Pluralist berdasarkan pada praktik
demokrasi di Amerika. Dahl dalam mengungkapkan teori demokrasi tidak secara
tegas dan ketat mengenai permasalahan definisi teori demokrasi itu sendiri. Dahl.
Demokrasi menurut penafsiran Dahl merumuskan teori demokrasi sebagai sebuah
proses kontrol tingkat tinggi warga negara terhadap pemimpin. Dahl dalam
bukunya ― Preface of democratic theory‖ membangun teori pluralistnya yakni
Poliarchy berdasarkan pada koreksi terhadap demokrasi tipe James Madison,
yang kemudian juga dibandingkan dengan teori populist democracy. Dahl
memaparkan mengenai pokok-pokok utama dari teori Madison. Teori Madison
dipaparkan oleh Dahl mulai dari pengertian Tirani menurut Madison, hingga pada
campur tangan pemerintah terhadap hak-hak natural warga negara yang harus
dijaga supaya tidak terjadi tirani.
Teori Madison dan para penerusnya menurut Dahl adalah sebagai
berikut:38 Pertama, Teori Madison tidak memberikan pengertian yang secara
eksplisit mengenai Tyranny, yang menjadi permasalahan ketika Madison
mengungkapkan mengenai teori demokrasinya. Definisi Madison menurut Dahl
mengenai Tyranny hanya menjawab kasus yang sifatnya berdasarkan momennya
yang tepat dan logis terhadap argumentasinya. Kedua, tidak ada definisi yang
tegas dan jelas mengenai apa itu natural rights. Right dan natural rights yang
dimiliki oleh warga negara tidak dijawab secara jelas oleh Madison. Absen dari
pengertian hak natural merupakan permasalahan yang ada dalam teori Madison
ini. Absensi hak natural menurut penulis juga akan menimbulkan permasalahan
38
Robert A. Dahl, A Preface of Democratic Theory (Expanded Version: 50 years
Anniversay), Chicago: University of Chicago Press, 2006, hlm 6-7.
23
terhadap penafsiran tirani yang dilakukan oleh pemerintah. Tanpa adanya
pengertian yang tegas dan jelas terhadap hak natural akan memberikan ruang yang
lebih luas kepada tirani, meskipun pada dasarnya pasti selalu ada ruang untuk itu
tetapi setidaknya mengurangi intervensi negara kepada rakyatnya (dalam
perspektif demokrasi). Ketiga, Dahl menyebutkan dalam istilahnya sebagai
―severe derivation‖ dalam hal ambiguitas yang dimunculkan Madisonian. Sejauh
mana pemerintah untuk membatasi hak natural dari warga negara tanpa menjadi
tirnani? Lebih lanjut disebutkan oleh Dahl bahwa kemudian Madison dan
madisonian lainnya sudah menetapkan mengenai kriteria yang memuaskan. Dahl
demi memperkuat teorinya mengenai demokrasi, teori demokrasi Populistic turut
pula menjadi bahan kajiannya. Dahl mengkonsentrasikan permasalahan demokrasi
populistic berdasarkan pada pertanyaan signifikan. Pertama, teori tersebut tidak
mengindikasikan individual ataupun grup harus termasuk dalam sistem politik
yang berkenaan dengan kesetaraan politik, kedaulatan rakyat, dan aturan yang
akan diterapkan. Kedua, Dahl yang mengutip pendapat Gactano Mosca
mengatakan bahwa tiap Society mengembangkan kelas yang berkuasa. Ketiga,
permasalahan empiris yang ketiga adalah menjadi sumber kebingunan intelektual,
karena ambiguitas linguistik. Kedaulatan rakyat, kesetaraan politik, dan aturan
mayoritas akan menghancurkan sistem, dan metode veto akan menyelamatkan
mencegah kehancuran tersebut. Pembahasan terhadap kedua teori ini menurut
Dahl digunakan untuk membangun dan mengkonstruksi teori demokrasi poliarki.
Teori demokrasi Poliarki Dahl setelah membahas kedua teori demokrasi
yakni demokrasi Madison dan Populis, ternyata masih juga menemukan dilema.
Jeffrey D. Hilmer misalnya menyebutkan bahwa poliarki merupakan teori yang
24
mengakui hak individual dan organisasinya untuk independen dan otonom, namun
ia juga tidak menyadari bahwa mereka mungkin memanfaatkan kesempatan itu
demi kepentingan privat mereka, sering mengorbankan kebaikan publik.39
c)
Demokrasi Deliberatif
Demokrasi deliberatif merupakan teori yang berkembang di tahun 1980an
dan diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Demokrasi deliberatif merupakan teori
yang mengarahkan pada konsep demokrasi yang khususnya dapat dikembangkan
di negara-negara yang pluralitasnya tinggi. Keberadaan demokrasi delbiratif
bukan mengarah pada konsep suara terbanyak, karena dalam konsepsinya
demokrasi deliberative mengajak untuk merangkul seluruh kepentingan politik
yang ada baik mayoritas maupun minoritas. Fokus utama dari konsep demokrasi
deliberatif mengajarkan pada peranan masyarakat dalam public sphere (ruang
publik). Berikut adalah pendapat habermas mengenai public sphere yang
dimaksud olehnya:40
Basic constitutional guarantees alone, of course, cannot preserve the
public sphere and civil society from deformations. The communication
structures of the public sphere must rather be kept intact by an energetic
civil society. That the political public sphere must in a certain sense
reproduce and stabilize itself from its own resources is shown by the odd
selfreferential character of the practice of communication in civil society.
Those actors who are the carriers of the public sphere put forward
"texts" that always reveal the same sub text, which refers to the critical
function of the public sphere in general. Whatever the manifest content of
their public utterances, the performative meaning of such public
discourse at the same time actualizes the function of an undistorted
political public sphere as such. Thus, the institutions and legal
guarantees of free and open opinion-formation rest on the unsteady
ground of the political communication of actors who, in making use of
39
Jeefrey D Hilmer, Pemikiran Demokratis Moderen, Opcit,hlm 979.
Jurgen Habermas, Between Fact and Norm Contribution to Discourse Theory of Law
and Democracy (terjemahan William Rehg), Massachussets: Cambridge University Press, 1996,
hlm 369.
40
25
them, at the same time interpret, defend, and radicalize their normative
content.
Ruang publik yang ada diciptakan secara aktif oleh civil society bukan pada
pemberian dan jaminan secara konstitusional. Pendekatan yang digunakan oleh
habermas hampir mirip dengan yang ada dalam participatory democracy, namun
perbedaan mendasarnya ada pada cakupan demokrasi deliberatif yang fokus pada
sektor politik saja. F. Budi Hardiman menerjemahkan demokrasi deliberatif
Jurgen Habermas adalah sebagai berikut:41
1) Demokrasi deliberatif tidak memusatkan diri pada penyusunan daftardaftar tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warga
negara melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu
2) Model demokrasi deliberatif juga meminati persoalan kesahihan
keputusan-keputusan kolektif itu.
3) Kontrol demokratis dilakukan melalui opini publik;
4) Opini publik lebih penting bukan pada opini mayoritas, namun dengan
cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa
sehingga seluruh warga dapat mematuhi opini-opini.
Konsep yang dibangun oleh demokrasi deliberatif bukan pada demokrasi suara
terbanyak, namun mementingkan pada konsep demokrasi yang menghasilkan
kepatuhan bersama. Konsep demokrasi ini menurut penulis mengurangi gesekan
kaum minoritas untuk tidak menerima keputusan demokratis. F. Budi Hardiman
lebih lanjut membahas mengenai konsep ruang publik habermas dalam wujud
komunitas virtual di dunia digital. Ada dua kemungkinan yang disebutkan oleh F.
41
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan Ruang
Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm 128-129.
26
Budi Hardiman mengenai kemunculan komunitas virtual.42 Pertama, kepublikan
sebuah ruang komunikasi ditandai oleh sikap para partisipan dalam meninggalkan
orientasi privat mereka dan mengambil peran warga negara untuk terlibat dalam
persoalan-persoalan publik. Kedua, kepublikan virtual tersebut hanya dapat
memiliki efek publik, akan percuma kepublikan virtual apabila didibarengi
dengan kepentingan real.
b. Demokratisasi
Demokrasi dan pembahasan terhadapnya tidak boleh hanya melihat pada
pengertian dan teori yang berkembang saja. Demokrasi juga perlu dibahas dalam
proses menuju tahapan demokrasi tersebut. Proses menuju demokrasi yang
dimaksud dikenal dengan demokratisasi. Demokratisasi menurut Guillermo
O‘Donnel dan Philipe Schimitter merupakan suatu proses perubahan pola
partisipasi warga negara. Proses dimana aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang
dulu dijalankan dengan prinsip-prinsip lain (misalnya kontrol dengan kekerasan,
tradisi masyarakat, pertimbangan para pakar, praktek administratif) atau diperluas
sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak menikmati hak dan kewajiban
(misalnya golongan bebas pajak, kaum buta huruf, wanita, remaja, golongan etnis
minoritas dan warga negara asing), atau diperluas sehingga meliputi isu-isu dan
lembaga-lembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat
(misalnya, badan-badan pemerintah, jajaran militer, organisasi-organisasi partisan,
42
F. budi Hardiman, Dari Kolonialisasi Birokrasi Ke Birokrasi Pasar, dalam AE
Prioyono dan Usman Hamid, Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta: Pt Gramedia, 2014, hlm 671.
27
asosiasi kepentingan, perusahaan, lembaga pendidikan dan sebagainya).43
Perhatian yang diberikan oleh O‘Donnel dan Phillipe adalah bagaimana akses
terhadap sarana dan prasarana yang ada dalam suatu negara oleh rakyat. Indikator
yang diberikan oleh mereka berdua adalah perubahan terhadap penyelenggaraan
negara yang berbasis pada partisipasi. Terbukanya ruang-ruang partisipasi yang
sebelumnya tertutup oleh tirani atau kekuasaan otoriter. Kekuasaan otoriter yang
terdesak oleh proses demokratisasi sesungguhnya disebabkan oleh faktor internal
dari otoritarian tersebut. Adam Przeworski, yang lebih cenderung melihat secara
umum peralihan rezim otoritarian dilihat dari keretakannya. Adam Przeworski
membedah keretakan terhadap rezim Otoritarian menjadi 4 (empat) faktor:44
a) Rezim otoritarian telah menyadari kebutuhan fungsional yang dulu
membawa pada pendiriannya. Dengan demikian ia tidak lagi dibutuhkan
dan ia jatuh.
b) Rezim untuk satu alasan dan alasan lain, dengan salah satu kemungkinan
alasan adalah kehilangan legitimasi
c) konflik antara blok yang memerintah, terutama dalam militer, untuk satu
dan lain alasan, dengan satu kemungkinan alasan tidak dapat
merekonsiliasi diri secara internal, dan sejumlah faksi memusatkan
dukungan kelompok-kelompok luar.
d) tekanan asing untuk mengenakan wajah-wajah demokratis yang membawa
pada kompromi-kompromi, mungkin melalui mekanisme.
43
Guillermo O‘Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi
Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Opcit, hlm 9.
44
Lihat Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi,
dalam Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan
Berbagai Perspektif, Opcit, hlm 80.
28
Adanya sebuah pergumulan yang dilakukan untuk menggeser otoriter dalam
lapangan kenegaraan, dengan menggunakan counter-majoritarian. Namun proses
untuk menuju pada perubahan tatanan otoritarian yang sebelumnya tidak
memberikan ruang partisipasi ataupun belum membuka ruang-ruang partisipasi
bagi warga negara, tidaklah mudah dan sederhana serta hanya bergantung dari
faktor keretakan internal dari otoritarian itu sendiri. Hal ini dikarenakan rezim
otoritarian juga memiliki tameng untuk tetap menumbuhkan dan menjaga
rezimnya. Richard Lowenthal membagi 4(empat) macam keabsahan yang
dijadikan tameng oleh rezim-rezim otoritarian untuk dapat bertahan:45
a) Rezim yang disahkan melalui tradisi
Negara yang kental akan tradisi seperti Arab Saudi, dan Ethiopia tetap
mempertahan pemerintahan otoriternya dibawah tradisi pemerintahan
autokrasi, walaupun kemudian mereka juga harus menyesuaikan dengan
perkembangan zaman moderen.
b) Rezim tradisional-pembangunan
Rezim ini merupakan hasil perpaduan antara dua faktor keabsahan, yakni
tradisional dan pembangunan. Negara tipe ini dapat dilihat pada negara
Jepang. Jepang pada awal abad ke-19 melakukan sebuah restorasi besar
yakni restorasi Meiji. Restorasi ini mengakibatkan berdirinya rezim
45
Richard Lowenthal dalam Mirriam Budiarjo, Masalah Kenegaraan (cetakan ketiga),
Jakarta: Pt Gramedia, 1980, hlm118. Pada sisi lain ada juga pendapat tentang analogi kontradiktif
demokrasi. Robert Tucker menyatakan bahwa Rezim otoritarian disisi lain juga menyampaikan
sebuah analogi kontradiktif berhubungan dengan demokrasi. Politisi diktator mengklaim dirinya
telah menyediakan otoritariansim sebagai kebebasan tertinggi yang dapat dicapai, dan tiada
kemerdekaan sejati di dalam demokrasi. Rezim-rezim dalam hal ini yang berlandas pada
otoritarian belum sepenuhnya hilang diatas muka bumi. Rezim-rezim tersebut meskipun mulai
berkurang namun ada beberapa yang masih tetap bertahan. Adanya sebuah perlindungan dan
keabsahan yang digunakan untuk tetap menjaga rezim otoriter tetap bertahan. Lihat Robert
Tucker, Philosophy and Myth in Karl Marx, London: Cambridge University Press, 1965, hlm 36.
29
otoriter yang berlandaskan pada tradisi, yang kemudian berubah menjadi
berlandaskan pada pembangunan.
c) Rezim yang berlindung pada demokrasi
Demokrasi acapkali merupakan bentuk pemerintahan yang dipergunakan
kelompok Oligarki pemilik tanah untuk mempertahankan kekuasaanya.
d) Golongan militer
Golongan militer seringkali menggantikan kekuasaan kelompok oligarki
yang berkedok pada parlementer, sebagai contoh kasus di Amerika Latin
Proses demokratisasi dalam hal ini memiliki hambatan yang tidak hanya berasal
dari tameng-tameng yang dimiliki oleh rezim-rezim otoritarian saja. Karakteristik
dari demokrasi itu yang sangat kompleks juga menjadi kendala tersendiri. Adam
Prezeworski menyebutkan bahwa demokrasi merupakan sistem yang memiliki
karakteristik tersendiri:46
a) Kehadiran
dan
pengorganisasian
kepentingan-kepentingan
yang
bersaingan yang dikenal sebagai ciri politik permanen.
b) Konflik diproses dan diakhiri mengikuti aturan-aturan yang ditentukan a
priori, eksplisit dan secara potensial dikenal oleh semua partisipasi, hanya
dapat diubah dengan aturan.
c) Kekuatan fisik yang terorganisir sebagai pilihan apabila ada kelompok
yang menginginkan jalan tersebut.
d) Demokrasi merupakan rangkaian hubungan stabil antara tindakan-tindakan
kelompok tertentu dan efek-efek dari tindakan-tindakan ini.
46
Adam Prezeworksi, Sejumlah Masalah dalam Transisi Menuju Demokrasi, dalam
Guilermo O Donnel, Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai
Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm 89-91.
30
e) Demokrasi untuk derajat tertentu tidak dapat ditentukan melalui posisiposisi yang ditempati para partisipan dalam semua hubungan sosial.
f) Hasil konflik demokratis tidaklah sekedar dapat ditentukan dalam batasbatas. Mereka sangat tak menentu.
Karakter tersebut yang membuat proses demokratisasi menjadi proses yang
panjang dan kompleks. Eric M Jepsen menyebutkan untuk menuju pada
demokratisasi paling tidak harus melihat pada 6 (enam) faktor berikut:47
a) Moderenisasi
Setelah negara menjadi mampu, berkat pembangunan ekonomi dan
rasionalisasi interaksi negara masyarakat karena adanya moderenisasi,
maka demokrasi
akan mungkin efektif. Tekanan dari moderenisasi
dianggap akan menciptakan kebangkitan dari demokrasi itu sendiri
b) Prakondisi Ekonomi
Kondisi ekonomi suatu negara mempengaruhi dari pada proses
demokratisasi. Kondisi ekonomi yang dimaksud antara lain 1) kekayaan
negara; 2) praktik kapitalisme dan ekonomi pasar bebas; 3) distribusi dan
akses merata akan tanah dan sumber daya. Pada kondisi pertama
berkenaan dengan bagaimana suatu kekayaan yang dimiliki negara
mempengaruhi dari dorongan terhadap proses demokratisasi ataupun
dalam sisi lain dapat pula mendorong lahirnya anti demokratisasi. Pada
kondisi kedua terbukanya praktik kapitalisme dan pasar bebas mendorong
terhadap penguatan pemodal, dan kondisi ini menciptakan suatu
independensi yang mendukung ke arah demokratisasi. Kondisi ketiga
47
Eric M Jepsen, Proses Demokratisasi dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning,
Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi Panduan Tematis , Opcit, hlm 457464.
31
yakni berkenaan dengan bagaimana proses distribusi dan akses terhadap
sumber daya. Semakin tidak tersentralisasinya suatu sumber daya akan
semakin membuka peluang demokratisasi
c) Prakondisi sosial
Kondisi sosial masyarakat di suatu negara mempengaruhi dari pada proses
demokratisasi. Hal ini semisal dapat dilihat dari adanya sistem feodalisme,
kelas-kelas sosial, bahkan sampai pada homogenitas kultural dan politik.
d) Waktu, sekuensi, dan politik
Kondisi yang dimaksudkan ini adalah perkembangan dan persaingan
politik yang ikut mempengaruhi sebelum meluasnya hak pilih dan
partisipasi. Kondisi ini juga berkaitan dengan rencana masa depan.
Demokrasi ke depan dianggap dapat menciptakan kesetaraan dan jaringan
kepercayaan
e) Agensi dan advokasi
Kategori ini berhubungan dengan adanya tindakan dan suatu upaya untuk
mendorong lahirnya demokrasi, yang dilakukan oleh elemen-elemen
(individu dan kelompok).
f) Aktor eksternal
Dorongan dunia atau aktor diluar negara yang bersangkutan menjadi faktor
yang ikut mendorong proses demokratisasi. Tekanan pro demokrasi dari
luar negara akan mendorong keberhasilan dan kecepatan dari proses
demokratisasi.
Faktor-faktor yang disebutkan di atas yakni pada huruf a hingga e dapat dikatakan
merupakan faktor internal yang mempengaruhi di dalam suatu negara. Faktor
32
internal dapat dikatakan juga sebagai faktor utama yang mendorong proses
demokratisasi. Namun pada faktor f yakni aktor eksternal tidak dapat diacuhkan
dan dianggap kecil peranannya. Aktor eksternal memegang peranan penting
terhadap meluasnya demokrasi dan dikenalnya demokrasi secara internasional.
Konsep yang ditawarkan oleh aktor eksternal adalah pengalaman. Pengalaman
terhadap keberhasilan dari praktik demokrasi di negaranya. Laurence Whitehead
berangkat dari gerakan-gerakan yang dilakukan aktor internasional untuk dapat
mempengaruhi proses demokratisasi, merumuskan bahwa ada 3 (tiga) bentuk
pengaruh yang dilakukan aktor internasional:48
a) Pernyataan deklaratoris yang dikemukakan untuk menegaskan dan
mengasumsikan sebuah model demokrasi tertentu yang menekankan pada
kompetisi elektoral di antara partai-partai politik yang terbentuk secara
bebas dan misalnya komunisme dianggap sebagai lawan atas demokrasi.
b) Adanya pembedaan jelas yang dilakukan terhadap liberalisasi dari
otoritarian dan demokratisasi penuh.
c) Adanya aspek pusat batas luar dari semua hubungan internasional yang
diamati.
Negara-negara
yang
mengklaim
dirinya
demokratis
mempromosikan pula bahwa mereka adalah masyarakat kapitalis liberal
yang relatif stabil, kaya, dan dominan.
Proses demokratisasi yang telah disebutkan pada pokoknya adalah untuk
membangun kondisi demokratis di suatu negara. Dalam hal ini kondisi menuju
pada pembangunan demokrasi tersebut dapat memunculkan pola-pola hubungan
48
Lawrence Whithead, Aspek Internasional Demokratisasi, dalam Guilermo O Donnel,
Philippe Schimitter, dkk, Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai Perspektif, Opcit, hlm
10-12.
33
tertentu.
Guillermo
O‘Donnel
beranggapan
bahwa
transisi
demokrasi
memunculkan dua pola hubungan: 49
a) Kelompok garis keras (duros);
Kelompok ini mengutamakan sebuah gerakan untuk menggulingkan rezim
otoriter yang mereka maksud, dengan melalui jalan keras yakni melalui
sejumlah kudeta dan konspirasi. Faksi garis keras ini sebenarnya menurut
O‘Donnel juga terdiri dari mereka yang menolak mentah-mentah benihbenih kanker dan kekacuan dalam demokrasi, dan meyakini bahwa misi
yang mereka emban adalah menghapus jejak-jejak patologis semacam itu
dalam kehidupan politik.
b) Kelompok garis lunak (blandos).
Kelompok garis lunak mungkin memiliki kecenderungan untuk terlihat
sama dengan garis keras. Perbedaan yang kemudian menjadikan kelompok
ini terlihat berbeda adalah meningkatnya kesadaran bahwa rezim yang telah
mereka dukung pendiriannya dan yang didalamnya mereka menempati
posisi-posisi penting, yang dalam waktu dekat harus menggunakan sejumlah
derajat atau bentuk legitimasi melalui pemilu. Bagaimana pun cara
mencapai dan pola hubungan yang terbentuk, pada akhirnya demokrasi
membutuhkan juga sebuah instrumen perlindungan. Konsepsi negara
moderen saat ini kemudian menjamin demokrasi tersebut dalam wujud
hukum.
Hubungan antara hukum dan demokrasi tidak lagi dapat dilepaskan. Demokrasi
membutuhkan hukum agar kebebasan dan partisipasi yang terjalin, sesuai dengan
49
Guillermo O‘Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi
Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Opcit, hlm 21-22.
34
jalurnya dan tidak kemudian seenaknya mengekspresikan kebebasannya.
Hubungan antara demokrasi dan hukum selanjutnya juga diungkapkan oleh Susan
Alberts, Chris Warshaw, and Barry R. Weingast. Mereka memasukkan hubungan
tersebut sebagai sebuah efek dari ketentuan counter-majoritarian antara lain:50
1. Democracy enchancing
Demokrasi yang menggunakan ketentuan konstitusi sebagai upaya
perlindungan dari hak sipil serta politik. Konstitusi disini menjadi core
dalam penegakan demokrasi. Demokrasi hanya dapat dilindungi
seutuhnya apabila dilindungi dalam konstitusi.
2. Democracy-eroding
Pada efek demokrasi ini yang dituju adalah perolehan kekuasaan.
Ketentuan
counter-majoritarian
menginginkan
peroleh
kekuasaan
daripada pemilihan bebas. Asumsinya dengan ada kesempatan untuk
memperoleh kekuasaan dapat dengan mudah untuk mengubah sistem
yang menurut pandangan kaum tersebut sebagai authoritarian.
Proses demokratisasi dalam hal ini dapat dikatakan tidak hanya bergantung pada
bagaimana menguatkan demokrasi atau konsolidasi demokrasi melalui instrumeninstrumen politik saja yang ditunjukkan melalui peningkatan partisipasi bagi
masyarakat. Proses demokratisasi membutuhkan hukum sebagai wujud kepastian
dan perlindungan terhadap demokrasi. Demokrasi dalam rangka mencari sebuah
kepastian tidak hanya bergantung pada hukum biasa saja. Demokrasi mencari
konstitusi
50
sebagai
pelindung
terkuatnya
di
dalam
praktiknya,
karena
Susan Alberts, Chris Warshaw, and Barry R. Weingast, Democratization and
Countermajoritarian Institutions Power and Constitutional Design in Self-Enforcing Democracy
dalam Tom Ginsburg, Comparative Constitutional Design, New York: Cambridge Univesity
Press, 2012, hlm 72
35
kedudukannya
sebagai norma tertinggi dan fungsinya dalam melakukan
pembatasan kekuasaan yang sangat diperlukan oleh demokrasi untuk dapat
berkembang di suatu negara.
2. Konstitusi
Konstitusi bagi demokrasi telah disebutkan memiliki hubungan sebagai
pelindung terhadap penyelenggaraan demokrasi. Konstitusi yang dimaksud tidak
membatasi diri ataupun memfokuskan pada konstitusi tertentu, baik dalam hal ini
tertulis ataupun tidak tertulis. Miriam Budiarjo menyebutkan bahwa istilah
konstitusi (constitution) tidak hanya terbatas pada naskah tertulis saja, namun
mencakup pada keseluruhan peraturan-peraturan baik tertulis, maupun tidak
tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan diselenggarakan
dalam suatu masyarakat.51 Pengertian tentang konstitusi yang tidak berpihak dan
terbatas pada konsepsi konstitusi tertulis juga diungkap oleh K.C Wheare.
Konstitusi
menurut
K.C
Wheare
menggambarkan
keseluruhan
sistem
ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan
mengatur atau mengarahkan pemerintahan.52 Peraturan-peraturan yang dimaksud
K.C Wheare juga didalamnya termasuk peraturan non legal atau ekstra legal, yang
berupa kebiasaan, saling pengertian, adat atau konvensi yang tidak kalah
efektifnya dengan apa yang baku disebut hukum.53 Jadi konstitusi itu dalam hal
ini tidak hanya terbatas dalam pengertian peraturan tertulis saja, namun juga pada
peraturan-peraturan tidak tertulis. Lain halnya dengan Van Apeldorn
51
yang
Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm 169.
K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Moderen, terjemahan Imam Baehaqie, Bandung:
Nusa Media, 2015, hlm 1.
53
Ibid.
52
36
menyebutkan konstitusi dalam pengertian Undang-undang Dasar. Van Apeldorn
menyebutkan bahwa UUD adalah wujud perjanjian masyarakat, yaitu perjanjian
yang dibuat oleh manusia satu sama lain, dalam mana mereka membentuk
kekuasaan pemerintahan atau mendirikan suatu negara.54 Konstitusi sebagai dasar
membangun negara juga disebutkan oleh Soetandyo. Soetandyo menyebutkan
bahwa konstitusi adalah tatanan yang menjadi bangunan dasar suatu organisasi,
yang berfungsi sebagai rujukan normatif sebagai dasar pembenar baik secara
moral maupun legal kepada pejabat pengemban kekuasaan negara.55 Konstitusi
secara pengertian moderen misalnya disebutkan oleh Usep Ranuwijaya mencakup
3 (tiga) ciri:56
a. kumpulan kaidah yang lebih tinggi dari kaidah biasa yang fungsinya
membatasi kekuasaan;
b. konstitusi memuat tentang batasan kehidupan bersama; dan
c. konstitusi lahir dari momen sejarah.
Konstitusi dalam pengertian tersebut diatas merupakan pengertian konstitusi yang
mendasar, bahwa muatan darinya wajib terdiri dari batasan, dan berkedudukan
sebagai kaidah tertinggi. Pembatasan kekuasaan oleh konstitusi, secara lebih
komprehensif
dibahas
oleh
Chris
Thornhill.
Chris
Thornhill misalnya
menyebutkan bahwa konstitusi merupakan tatanan hukum yang berdampak pada
bekerjanya kekuatan politik yang mencakup:57
54
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradya Paramitha, 1986, hlm 324.
Soetandyo, Pergeseran Paradigma… Opcit, hlm 71.
56
Usep Ranuwijaya, Hukum Tata Negara.. Opcit, hlm 184.
57
Chris Thornhill, A Sociology of Constitution: Constitution and State Legitimacy in
Historical and Sociological Perspective, New York: Cambridge University Press, 2011, hlm 11.
55
37
a. Kandungan dari pembentukan asumsi aturan publik yang bersumber pada
prinsip dan konvensi, diekspresikan sebagai hukum, yang tidak dapat
begitu saja digantikan;
b. Konstitusi didesain untuk membatasi penggunaan kekuasaan baik secara
dilihat dari fungsi publik dan privatnya;
c. Alokasi terhadap kekuasaan dalam negara itu sendiri, dan terdiri dari
beberapa bentuk perwakilan politik yang berkenaan dengan memegang
kekuatan politik dari masyarakat;
d. Konstitusi mengekspresikan legal distinction antara bentuk dari negara
dan orang-orang yang meminjam kekuasaan dari negara.
Konstitusi apabila melihat dari pengertian-pengertian tersebut, maka konstitusi
berfungsi supaya kekuasaan tidak bertumpuk dan penyelenggaraan negara
berjalan tidak berada di dalam kesewenang-sewenangan. Robert Dahl berpendapat
bahwa, akumulasi seluruh kekuasaan, legislatif, eksekutif, dan yudisial dalam satu
tangan mengakibatkan hilangnya external check.58 Eliminasi terhadap external of
checks memproduksi tirani.59 Hal-hal semacam inilah yang kemudian inilah yang
kemudian menjadikan diperlukannya pembatasan kekuasaan melalui pembagian
dan pemisahan kekuasaan.60 Kekuasaan pemerintah harus dibagi untuk mencegah
pemusatan apapun yang bisa mengarah pada tirani.61 Konsep pembagian
kekuasaan berkembang sebagai pembagian beban kerja. Setiap penyelenggara
58
Robert Dahl, Preface Of Democratic Theory, Opcit, hlm 6.
Ibid.
60
Sekarang negara-negara cenderung takut untuk diperintah atau ditekan oleh
pemerintah. Ketakutan ini menjelma bahkan tindakan pemerintah mengekang daripada kebebasan
warga negara. Eric A Posner dan Adrian Vermeule menyebut kondisi ini dalam sebuah istilah
Tyranophobia. Lihat Eric A Posner dan Adrian Vermeule, Tyrannophobia, dalam Tom Ginsburg,
Comparative Constitutional Design, Opcit, hlm 343-345.
61
Norman Dorsen, dkk, Comparatives Constitusionalism Case and Materials, United
State: West Book, 2003, p 212.
59
38
negara memiliki tugasnya masing-masing. Ketika ada tugas yang harus
diselesaikan secara bersama, esensinya tetap berasal dari tugas mereka masingmasing. Secara visual kekuasaan dapat dibagi menjadi dua:62
a. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam
hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat
pemerintahan. Carl J Friederich memakai istilah pembagian kekuasaan
secara teritorial. Pembagian kekuasaan ini dengan jelas dapat kita saksikan
kalau kita bandingkan antara negara kesatuan, negara federal, serta
konfederasi.
b. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara
horizontal. Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi
pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih
dikenal sebagai trias politika atau pembagian kekuasaan (division of
powers).
Dua konsep kekuasaan yang ada tersebut diantaranya, keduanya akan saling
mempengaruhi dan berkaitan. Konsep negara federal misalnya mempunyai
kedaulatan sendiri di setiap negara bagiannya. Setiap negara bagian bahkan
memiliki konstitusi di setiap negara bagiannya, dan mengatur urusan rumah
tangganya terpisah dari pada pemerintah federal. Pembagian kekuasaan yang ada
dalam konsepsi negara federal seperti ini dikenal sebagai pembagian secara
geografis (geographical division). Pembagian geografis membagi kekuasaan
berdasarkan pada lokasi geografis atau lokasi yang melintasi wilayah
geografis/wilayah negara bagian dalam pengartian tradisional, juga pada
62
Miriam Budiarjo, Opcit, hlm267
39
kombinasi pembagian vertikal dan horizontal.63 M.J.C.Ville pada sisi lain
menyebutkan ada 3 (tiga) element dari doktrin separation of powers:64
a. Element pertama, pembagian agensi pemerintah ke dalam 3 (tiga)
kategori: legislature, the executive, dan judiciary.
b. Elemen kedua, pembagian berdasarkan pada 3 (tiga) fungsi spesifik
pemerintah
c. Elemen ketiga, pemisahan kekuasaan diluar dari teori pemisahan
kekuasaan, atau disebut sebagai separation of persons.
Elemen pertama yang dimaksud M.J.C Ville ditujukan kepada pemisahan
kekuasaan yang secara klasik membaginya dalam 3 wujud, seperti dalam
pemisahan kekuasaan Montesquieu. Pemisahan kekuasaan dalam tipe ini, disadari
juga oleh M.JC Ville sudah tidak koheren lagi dengan perkembangan
ketatanegaraan. Pada elemen kedua, dia memisahkan kekuasaan atas dasar
fungsinya. Suatu lembaga atau organ memiliki tugas khusus masing-masing,
dalam perannya di penyelenggaraan negara. Urusan dari lembaga tersebut tidak
dicampuri oleh lembaga lain, kecuali mengenai check and balance dan
pengawasan. Lembaga tersebut misalkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi
Informasi, Ombudsman, dan berbagai komisi independen lainnya yang
mempunyai tugas spesifik dan khusus. Pada elemen ketiga M.JC Ville
menekankan pada pemisahan personnya. Person memiliki tugas tertentu yang
tidak dicampuri atau bahkan person tersebut hanya menjalankan tugas yang
diberikan negara dan tidak bergerak diluar daripada itu. Person ini biasanya
63
Aoife O‘Donoghue, Constitutionalism in Global Constitutionalisation, United
Kingdom: Cambridge University Press, 2014, hlm 35.
64
M.J.C.Ville, Constitutionalism and The Separation of Powers, Indianapolis: Liberty
Fund, 2010, hlm 15-18.
40
dilembagakan dalam bentuk pejabat publik ataupun pejabat. Teori pemisahan
kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu tidak lagi dapat dipergunakan,
mengingat perkembangan ketatanegaraan dunia sudah tidak lagi terjebak dalam
segitiga pemisahan kekuasaan milik Montesquieu. Implementasi dari pemisahan
kekuasaan bukan berarti dalam praktiknya sudah cukup memuaskan
dan
menimbulkan kedudukan yang seimbang serta menjauhkan dari dominasi diantara
penyelenggara negara. Daniel H Levine misalnya mengungkapkan mengenai
munculnya obstacles dalam separation of powers:65
Separation of powers seeks to prevent any one governmental institution
from becoming too powerful and therefore able to rule tyrannically—a
problem that could arise independently of the pre-existence of factions.
Separated powers provide factions with two obstacles. First, since
governmental institutions have their own hierarchies, any faction
desiring control over the government cannot simply capture the single
top spot, but must spend resources attempting to influence several
different organizations. Second, well-designed separated institutions
have incentives to control each other. For instance, a legislature that
defers to the executive too often will find its proper powers effectively
usurped, making participation in the legislature less attractive. Once
institutions are well-established, this effect will work against the effects
of factional loyalty, even if a single faction does control more than one
governmental institution.
Pendapat dari Daniel H Levine ini dapat dikatakan separation of power dalam
praktiknya yang menyimpang, dapat menimbulkan adu kekuatan. Lembaga yang
dipisahkan kekuasaanya dapat memperkuat dirinya dengan membentuk lembaga
baru yang memperkuat kedudukan dan fungsinya. Kondisi ini memunculkan
fenomena yang dikenal saat ini sebagai executive heavy ataupun legislative heavy,
namun di sisi lain fungsi pemisahan dan pembagian kekuasaan pada akhirnya
harus bertujuan pada penyelenggaraan negara yang aktif, responsif dan seimbang.
65
Lihat Tulis Daniel H Levine, Rule of Law, Power Distribution, and The Problems of
Faction in Conflict Interventions, dalam Mortimier Seller dan Tadeusz Tomaszeweski (eds), The
Rule of Law in Comparative Prespective, London: Springer, 2010, hlm 155.
41
Fungsi konstitusi dalam hal pembatasan tersebut memerlukan negara hukum
untuk dapat berjalan secara efektif.
Negara Hukum
pada awalnya hanya secara formal dipandang untuk
menjauhkan penyelenggaraan negara dari rule by the man yang kecenderungannya
menuju pada pemerintahan tirani. Konsep negara hukum secara moderen mulai
berkembang pasca revolusi Perancis. Ada juga sebuah tarik ulur antara konsep
kedaulatan yang mulanya memusatkan diri pada tokoh raja sebagai pusat
kedaulatan, bergeser pada rakyat sebagai pihak yang juga berdaulat di dalam
negara. Berikut adalah pernyataan yang diungkap oleh Sieyès seorang ahli politik
yang terlibat dalam Revolusi Perancis:66
Yet, revolutionaries also brought significant innovations affecting both the
sovereign and the individual. ―Who is the sovereign?‖ asked Sieyès at the
dawn of the Revolution: sovereignty belonged to ―20 million French
people‖ who, being equal and immune from the stigma of ―privileges‖,
were the nation. The nation was sovereign and the individuals were
citizens: together with their natural civil rights, they enjoyed political
rights and played an active role in the political body.
Seieyes meyakinkan bahwa individu sebagai warga negara memiliki kedudukan
yang sama dengan negara, dan terbebas dari hak-hak istimewa.67 Keduanya saling
berproses dan berhubungan melalui badan-badan politik. revolusi Perancis lebih
jauh dan mendalam tidak hanya dapat dimaknai sebagai sebuah proses munculnya
kedaulatan rakyat saja. Revolusi Perancis menguraikan pula benang harmonisasi
diantara kedaulatan, hukum dan hak-hak
66
Lihat tulisan Pietro Costa, The Rule of Law Historical Introduction, dalam Piero Costa
dan Danilo Zolo, The Rule of Law History, Theory, and Criticism, Dordrecht: Springer, 2007, hlm
79.
67
Pendeta Seiyes meskipun dia berkedudukan dan berstatus sebagai bangsawan dan
ningrat, namun dalam hal pembelaan terhadap rakyat yang disebutnya golongan ketiga menjadi
pilihan utamanya. Golongan ketiga bagi Seiyes adalah bangsa yang sebenarnya karena itulah rapat
golongan harus menjadi rapat kebangsaan, yang sanggup menyatakan kehendak umum rakyat
Perancis. Lihat JJ Von Schmid, Pemkiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad ke 19, Jakarta:
Pt Pembangunan, hlm 28.
42
In the whirling ―historical acceleration‖ caused by the Revolution, the
spontaneous harmony that seemed to characterize the relationship between
sovereignty, law, and rights – and the belief that law could act as an
intermediary between citizens and power by implementing the natural rights
of the individual – were overturned and replaced by dramatic alternative
beliefs: on the one hand, the perception of power’s dangerousness, of the
potential discrepancy between the formal lawfulness and substantial
despotism of legislative provisions (and the ensuing attempt to make the
Declaration of Rights an unassailable safeguard); on the other hand, the
theorization of a ―state of necessity‖ capable of sweeping away formal
lawfulness and individual rights in the name of the fight against darkness, of
freedom against despotism, of virtues against corruption.
Hubungan diantara hukum, kedaulatan dan rakyat diwujudkan dalam kerangka
harmonis bahwa hukum berperan sebagai perantara diantara warga negara dan
kekuatan yang berkuasa. Hal ini dilakukan dengan mengimplementasikan hak
alamiah individu. Hak ini yang kemudian dibakukan dalam wujud deklarasi hak
sebagai hal
yang tidak tergoyahkah, dalam hal ini negara bertindak tanpa
mengurangi hak alamiah warga negara tersebut. Konsep dari negara hukum ini
pada awal mulanya pasca Revolusi Perancis hanya secara formal digunakan
sebagai instrumen pemecah kekuasaan dan perlindungan dari absolutisme Raja
ketika itu.
Konsep negara hukum tersebut kemudian pada abad ke-XIX beralih
menjadi konsep negara kesejahteraan dengan berbagai perangkat hukumnya.
Jimly berpendapat bahwa Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan
mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang
fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan
infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur,
43
serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan
impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.68
Konsep negara hukum dalam perkembangannya tidak hanya secara
universal mempunyai konsepsi yang sama. Konsep negara hukum yang dikenal
saat dibagi menjadi dua rumpun besar. Konsep Negara Hukum di Eropa
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu
―rechtsstaat’. Negara hukum tidak hanya tumbuh dan berkembang pada Eropa
Kontinental saja. Tradisi Anglo Amerika pun mengembangkan konsep Negara
hukum atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan ―The Rule of Law‖.
69
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
‗rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu :70
a. Perlindungan hak asasi manusia.
b. Pembagian kekuasaan.
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
d. Peradilan tata usaha Negara.
Rule of Law pada sisi lain menurut Brian Z Tamanaha berdasarkan
konteks sejarah dan politik. Konsep ini diwujudkan menjadi dua: 1) Formal
version; dan 2) substantive version.71
68
Jimly Asshidiqie, Kajian/Artikel ‖Gagasan Negara Hukum Indonesia‖ , hlm. 1-2
diakses dari jimly.com
69
Ibid
70
Ibid
71
Brian Z Tamanaha, On the Rule of Law, Opcit, hlm 91
44
Tabel 1. Formulasi Alternatif Rule of Law.
ALTERNATIVE RULE OF LAW FORMULATION
Thinner----------------------------to-----------------------thicker
Formal
versions
1. rule by the law
substantive
4. individual rights
versions
2.
formal 3.democracy+legality
legality
- law as instrument
- consent determiners
of government action general, content of law
prospective,
clear, certain
- property,contract,
privacy, autonomy
5.
right
of 6 social welfare
Dignity and for
justice
a) Substantive
equality,
welfare
preservation
of
community
Sumber: buku On the Rule of Law.72
Perbedaan dasar dapat diringkas sebagai berikut: teori formal fokus pada sumber
yang tepat dan bentuk legalitas, sementara teori substantif juga mencakup
persyaratan tentang isi hukum (biasanya yang harus membawakan dengan
keadilan atau prinsip moral).73 Apabila Tamanaha melihat pada versi substansi
dan bentuk formal dari teori negara hukum, ada lain pandangan mengenai negara
hukum melalui pendekatan elementer. Adrian Bedner membagi elemen-elemen
negara hukum dalam 3 (tiga) kategori:74
72
Ibid.
Ibid, hlm 92
74
Adrian Bedner ― Suatu pendekatan elementer terhadap negara hukum dalam
sulistyowati Indrianto, Kajian Sosio-legal, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012, hlm 55-69.
73
45
a.
Kategori pertama: elemen prosedural
a) Pemerintahan dengan hukum (rule by the law)
b) Tindakan negara hukum harus tunduk pada hukum
c) Legalitas formal (hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses
dan bisa diprediksi pokok perkaranya, serta diterapkan pada semua orang).
d) Demokrasi (persetujuan menentukan atau mempengaruhi muatan dan
tindakan hukum).75
b.
Kategori Kedua: Elemen-elemen Substantif
a) Subordinasi
semua
hukum
dari
interpretasinya
terhadap
prinsip
fundamental dari keadilan
b) Perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan
c) Pemajuan hak asasi sosial
d) Perlindungan hak kelompok
c.
Kategori Ketiga: Mekanisme Kontrol (lembaga-lembaga pengawal negara
Hukum)
a) Lembaga peradilan yang independen (terkadang diperluas menjadi trias
Politica)
b) Lembaga-lembaga lain yang memiliki tanggungjawab dalam menjaga dan
melindungi elemen-elemen negara hukum.
75
Persetujuan dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah keberlakuan hukum dan
penerimaannya dalam masyarakat. Sudikno Mertokusumo dalam hal keberlakukan hukum dalam
masyarakat (dalam hal ini secara sosiologis) membagi keberlakuan tersebut dalam 2 (dua) bentuk:
1
Menurut teori kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis
apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh
warga masyarakat.
2
Menurut teori pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku
sosiologis apabila diterima dan diakui oleh masyarakat
Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002,
hlm 88.
46
Konsep-konsep negara hukum yang telah disebutkan oleh para ahli, membangun
juga prespektif global bahwa urgensi penyelenggaraan negara, dengan kuasa di
tangan perseorangan, kelompok, ataupun demokrasi wajib menyandang status
negara hukum. Negara juga dengan demikian berfungsi juga secara adminsitratif
untuk membagi tugas dan kewenangan penyelenggara negara. Negara hukum di
sisi lain juga tidak menemukan format yang sama dalam hal praktiknya di setiap
negara, dalam suatu kasus misalnya China, sangat menolak konsepsi rule of law
ala Barat. China hanya menginginkan domain rule of law hanya menyangkut
pada ekonomi saja, sedangkan Amerika menginginkan cakupannya menjangkau
seluruh domain kenegaraan.76 Ada peran kultur yang membangun konsep negara
hukum tersebut. Apabila memaksakan suatu konsep yang sama akan terasa
mustahil menemukan sebuah definisi yang memuaskan bagi semua dan karenanya
memilih definisi yang lain sepertinya tidak akan banyak menjernihkan perdebatan
tentang negara hukum.77
Telah dipaparkan mengenai konsep dan unsur dari negara hukum versi
yang berkembang di kebudayaan Barat. Sekarang marilah kita lihat Indonesia
dalam kerangka negara hukum tersebut. UUDNRI 1945 sesungguhnya telah
memberikan amanat terhadap adanya negara Hukum. Jaminan terhadap konsepsi
ini termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUDNRI 1945. Bercermin dari penyusunan
UUD 1945 disusun, wawasan Negara Hukum (Rechtsstaat) yang demikian itulah
yang pada pokoknya mewarnai corak pemikiran kenegaraan yang diadopsikan ke
76
Sulityowati Irianto, Menuju Pembangunan Hukum Pro keadilan Rakyat dalam
Antonius Cahyadi dan Donny Danardono, Sosiologi Hukum dalam Perubahan, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia, 2009, hlm 4.
77
Adrian Bedner, Opcit, hlm 52.
47
dalam rumusan UUD 1945.78 Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum
(rechtstaat) bukan berdasarkan pada kekuasaan (machtstaat) harus menjadikan
hukum sebagai landasan dalam setiap aktivitas di dalam negara.
Muhammad Yamin juga mendukung adanya konsepsi negara hukum di
Indonesia.
Mohammad
Yamin
berpendapat,
kekuasaan
yang
dilakukan
Pemerintah Indonesia itu hanya berdasarkan dan berasal dari pada undang-undang
dan sekali-sekali tidak berdasarkan pada kekuasaan senjata, kekuasaan sewenangwenang atau kepercayaan, bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan
segala pertikaian dalam negara.79 Kondisi dan realitas yang ada secara konsep
memang Indonesia adalah Negara hukum, terlepas dalam hal praktik masih ada
pelanggaran di dalam konsep tersebut. Padmo Wahyono menguraikan unsur-unsur
negara hukum Indonesia yang ditelusuri dari UUDNRI:80
a. Hukum di dalam konsep negara berdasarkan atas hukum bersumber pada
pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
b. Negara berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka,
yang dapat kita artikan bahwa setiap kekuasaan yang ada harus
berdasarkan atas hukum dan kekuasaan yang berdasarkan atas hukum
adalah kewibawaan, yang ungkapan itu kita kenal saat ini ialah pemerintah
yang aparaturnya bersih dan berwibawa.
c. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional (hukum dasar) tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas). Berbeda dengan negara
78
Jimly Asshidiqie, Kajian/Artikel ―Paradigma Penyelenggaraan Negara Berwawasan
Hukum‖, hlm. 1, diakses dari jimly.com
79
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Jambatan,
, 1952, hlm 75.
80
Padmo Wahjono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, dalam Abu Daud Busroh,
Capita Selecta Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm 145-147.
48
hukum di dalam sistem liberal dimana diutamakan prinsip wetmatig,
rechsmatig, dan doelmatig maka pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusional (constitusional govermment) lebih baik karena dianggap
dapat mencegah detournement du pouvoir atau freises Eermessen atau
kekuatan tidak terbatas
d. Konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan rule of law yang
mengemukakan equality before the law. Konsep negara hukum Indonesia
menekankan dua sisi hukum yaitu hukum dan pemerintahan serta hak dan
kewajiban.
e. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka artinya terlepas dari
pengaruh kekuasan pemerintah.
Negara hukum memberikan prosedur penyelenggaraan negara berdasarkan atas
hukum. Adanya prosedur tersebut tentunya membuat kekuasaan pemerintah lebih
terbatas, dan juga terbagi atas organ-organ. Namun sebelum dapat melihat apakah
prosedur pembatasan kekuasaan tersebut berjalan atau tidak hal ini akan sangat
berpengaruh dari adanya konstitusionalisme.
Konstitusionalisme dalam
pemahamannya harus benar-benar jelas dan tegas dapat menggambarkan apa
sebenarnya konstitusionalisme itu, dalam hal ini akan dilihat berbagai pandangan
mengenai
konstitusionalisme
dari
beberapa
ahli.
Pengertian
terhadap
konstitusionalisme dapat bermacam-macam, dalam pengertiannya yang paling
mendasar dan umum adalah sebagai sebuah prinsip pembatasan kekuasaan.
Pendapat ini sebagai contoh disampaikan oleh Andras Sajo. Konstitusionalisme
menurut Andras Sajo adalah pembatasan negara dalam rangka pelestarian
49
kedamaian publik.81 Andras Sajo juga mengungkapkan bahwa definisinya masih
tidak memadai, namun sedikit memuaskan.82 Definisi tentang konstitusionalisme
semacam ini juga sering dibantah pihak konservatif, karena konstitusionalisme
tidak bisa dibentuk dengan kondisi lengkap atau dengan kata lain abstrak.83
Wujud abstrak dari konstitusionalisme ini menentukan hubungannya
dengan negara hukum. Konstitusionalisme menurut Daniel S Lev adalah abstraksi
sedikit lebih tinggi dari rule of law atau rechstaat, maka berarti sedikit lebih (atau
kurang) dari negara yang terbatas, di mana kekuasaan politik resmi dikelilingi
oleh diketahui yang penerimaannya berubah menjadi otoritas yang sah yang
ditentukan secara hukum.84 Ide tentang konstitusionalisme yang lebih tinggi juga
diungkapkan
oleh
Aoife
O‘Donoghue.
Aoife
mengungkapkan
bahwa
konstitusionalisme adalah tatanan hukum yang ideal, sebagai dokumenter dari
sumber hukum, sebagai penjelasan historis atau justifikasi untuk bentuk
pemerintahan, atau sebagai tertib hukum normatif diliputi dengan gagasan tertentu
tentang
apa
yang
pemerintahan
seharusnya,
layak
dan
membutuhkan
pertimbangan sebelum ada konsolidasi yang diusulkan dari tempatnya dalam
tatanan hukum global.85 Ada juga pandangan lain tentang konstitusionalisme yang
sedikit berbeda dari semangat ketiga ahli tersebut, pandangan berikut berangkat
81
Andras Sajo, Limiting Government: Introduction to Constitutionalism, Budapest:
Central European University, 1999, hlm 9.
82
Ibid.
83
Ibid.
84
Daniel S Lev , Social Movement, Constitutionalism and Human Rights: Comments
from The Malaysian and Indonesian Experience, in Constitutionlism and Democracy: Transition
in The Contemporary World, dalam Norman Dorsen, dkk, Comparatives Constitusionalism Case
and Materials, Opcit, hlm 13.
85
Aoife O‘Donoghue, Constitutionalism in Global Constitutionalisation, Opcit, hlm 1.
50
dari konstitusionalisme di Russia. Andrey N. Medushevsky menerjemahkan
konstitutionalisme dalam 3 (tiga) arti dan istilah:86
a.
Undang-Undang Dasar negara dan sistem dari hukum legislatif
sekunder;
b.
sistem politik, masyarakat dan lembaga hukum yang menjamin
pelaksanaan norma-norma konstitusi; dan
c.
gerakan sosial yang bertujuan untuk membangun masyarakat sipil dan
negara hukum, dan mengabadikan mereka dalam hukum dasar dan
institusi sosial
Louis Henkin terhadap konstitusionalisme menjelaskan lebih komprehensif lagi
tentang peranan nyata dari konstitusionalisme dan pengaruhnya dalam
penyelenggaraan negara. Louis Henkin menjelaskannya dalam 7 (tujuh) principal
demands (tuntutan prinsipil) dari konstitusionalisme:87
a. Konstitusionalisme secara kontemporer berdasarkan pada kedaulatan
rakyat. Keinginan dari rakyat merupakan sumber dari legitimasi kekuasaan
pemerintah. Rakyat sendiri dapat membentuk konstitusi dan sistem dari
pemerintah;
b. Sebuah konstitusi yang konstitusionalistik adalah preskriptif; ini adalah
hukum tertinggi;
c. Kedaulatan rakyat memunculkan ide bahwa pemerintahan berdasarkan
atas hukum dan dijalankan atas prinsip demokratis. Konstitusionalisme
dalam hal ini memerlukan demokrasi politis, dan badan perwakilan.
86
Andrey N. Medushevsky, Russian Constitutionalism Historical and Contemporary
development, United State: Routledge, 2006, hlm 48.
87
Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic
Defects, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, United
State: Duke University Press, 1994, hlm 41-42.
51
d. Luar dari pada kedaulatan rakyat dan pemerintahan demokratis adalah
komitmen yang mengikuti pembatasan pemerintah; pemisahan kekuasaan
atau check and balance; kontrol sipil terhadap militer; diatur oleh hukum
dan kontrol yudisial; dan peradilan yang independen;
e. Konstitusionalisme memerlukan pemerintah yang memperhatikan hak
inidividu sebagaimana diatur dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia.
f. Pemerintahan konstitusional termasuk di dalamnya institusi untuk
memantau dan menghargai cetak biru dari konstitusi, yang digunakan
sebagai pembatasan kekuasaan dari pemerintah dan untuk hak individu;
g. Saat ini konstitusionalisme juga juga berimplikasi terhadap penentuan diri
sendiri, hak dari rakyat untuk memilih, mengganti atau menghilangkan
afiliasi politik mereka.
Pemaparan komprehensif dari Louis Henkin makin memperjelas bagaimana
bekerjanya konstitusionalisme dalam praktik negara. Namun apabila kemudian
dalam penyelenggaraannya hanya mengandalkan dari pada ketentuan konstitusi
bukan pada konstitusionalisme, kondisi yang terjadi adalah penyelenggaraan
negara hanya berdasarkan pada aturan saja.
Konstitusionalisme yang cenderung abstrak dan seringkali tidak dapat
diterjemahkan dalam praktik penyelenggaraan negara dengan tegas menyebabkan
konstitusionalisme tidak terurai secara komprehensif antara kandungan dan
tujuannya. Konstitusionalisme hanya kemudian dipandang secara formal saja,
yakni apabila sudah mampu membatasi kekuasaan sudahlah terpenuhilah maksud
dari konstitusionalisme tersebut. K.C Wheare berpendapat bahwa dalam kondisi
demikian dicontohkan olehnya bahwa pemerintahan dapat saja hanya dijalankan
52
berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi, konstitusi hanya dijadikan pedoman
untuk membangun institusi-institusi pemerintahan dan membiarkannya bertindak
atas kemauannya.88 Konstitusi dalam hal ini hanya seperti GPS penunjuk arah
saja, yang memandu kendaraan sampai pada lokasinya, namun dalam hal ini tidak
dapat menjelaskan mengapa kita perlu sampai pada lokasi tersebut, ataupun apa
yang akan kita lakukan di lokasi tersebut. Konstitusionalisme dalam arti demikian
hanya dipandang dari adanya rule of law sebagai fiturnya. Hal ini dikarenakan
seringkali masih ada kekaburan dalam meletakkan dimana seharusnya posisi rule
of law dalam hubungannya dengan konstitusionalisme. Rule of law tidak boleh
berdiri sendiri untuk mewujudkan konstitusionalisme. Hal ini dikarenakan rule of
law bukan hanya ide ataupun fitur tunggal dari konstitusionalisme. Michel
Rosenfeld mengungkapkan bahwa konstitutionalisme moderen memiliki 3 (tiga)
fitur, yakni:
a. pembatasan kekuasaan;
b. rule of law; dan
c. fundamental rights.89
Hak fundamental dalam hal ini yang dimaksud adalah human rights yang
disebutkan sebagai jantung dari konstitusionalisme moderen, demokrasi dan rule
88
K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Moderen, Opcit, hlm 208.
Michel Rosenfeld, Modern Constitutionalism as Interplay Between Identity and
Diversity, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy Michel
Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, United State: Duke University
Press, 1994, hlm 3. Lihat tulisan Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic
Influences and Genetic Defects, yang menjadi inspirasi dari Michel Rosenfeld dalam, Ibid, hlm 3940.
89
53
of law ditujukan pada tujuan penegakan human rights tersebut.90 Hal yang sama
juga diungkapkan oleh Walter F Murphy bahwa:91
―Constitutionalism, too, enshrines respect for human worth and dignity as
its central principle. To protect that value, citizens must have a right to
political participation, and their government must be hedged in by
substantive limits on what it can do, even when perfectly mirroring the
popular will‖.
Konsititusionalisme pada akhirnya ditujukan pada semangat untuk menghormati
nilai kemanusiaan dan hak mendasar dari manusia itu sendiri. konstitusionalisme
menggunakan rule of law hanya sebagai alat untuk mencapai kebutuhan akan
pemenuhan hak-hak mendasar tersebut. Namun dalam memandang hubungan
konstitusionalisme dengan rule of law ataupun dalam hal ini pemahaman secara
mendasar tentang konstitusionalisme akan dapat berbeda di setiap negara. Sebagai
contoh yang terjadi pada rechtstaat di Jerman saat era Nazi konsepsi negara
hukum yang dijalankan hanya memperhatikan pada isu formalnya saja bukan pada
substansinya. Rechtstaat ketika itu meniadakan segala nilai-nilai kepercayaan dan
etik yang hidup di masyarakat Jerman, dan hanya menjadikan penyebaran dari
hukum negara yang utama.92 Namun hal demikian tidak hanya menjangkit pada
Jerman yang ketika itu memang terbukti otoritarian dalam penyelenggaraan
negaranya. Amerika Serikat sendiri sebagai pihak yang dapat mengklaim peranan
besarnya
terhadap
penyebaran
ide
konstitusionalisme,
konten
hak-hak,
pembangunan institusi yang esensial, dan membuktikan sebagai penyelenggara
konstitusionalisme yang berhasil, namun dalam hal ini masih saja terdapat
90
Wang Zhuo Jun, Democracy, rule of law and human rights protection under gradually
developed constitutionalism —by the clue of administrative law, dalam Journal Front Law China
2007, 2(3): 335–352, Higher Education Press and Springer-Verlag, 2007, hlm 342.
91
Walter F Murphy, Constitution Constitutionalism and Democracy, dalam Douglas
Greenberg, dkk, Constitutionalism and Democracy Transition in Contemporary World, New
York: Oxford University Press, 1993, hlm 3.
92
Michel Rosenfeld, Constitutionalism and The Rule Of Law, dalam Norman Dorsen
dkk, Comparative Constitutionalism, Opcit, hlm 18.
54
kecacatan di dalam jurisprudentially, kultur, dan politiknya yang mengarah pada
tidak terpenuhinya hak dasar.93 Contoh negara lain misalnya China memiliki latar
kebangkitan dari konstitusionalisme yang sedikit berbeda, dibandingkan contoh
yang diberikan oleh
Amerika. Wang Zhuo Jun menyebutkan bahwa
perkembangan konstitusionalisme melalui amandemen di China dilakukan dalam
4 (empat) periode waktu:94
a. Pada tahun 1988, status hukum sektor swasta dari ekonomi dan kebijakan
negara pada perusahaan swasta didefinisikan;
b. pada tahun 1993, tujuannya untuk membangun ekonomi pasar sosialis,
"mematuhi reformasi dan kebijakan terbuka ", dan "membangun negara
sosialis yang sangat beradab dan sangat demokratis" diubah menjadi
"membangun makmur dan kuat, demokratis, dan negara sosialis beradab ",
oleh karena itu meningkatkan posisi demokrasi;
c. pada tahun 1999 strategi dasar untuk rule of law dirumuskan; dan
d. pada tahun 2004, konten bahwa "hal negara dan melindungi hak asasi
manusia" telah ditambahkan.
Perkembangan amandemen tersebut juga menggambarkan bahwa China mulai
membangun konstitusionalisme berawal dari ekonomi bukan pada politiknya, dan
dari demokrasi ke rule of law lalu menuju pada perlindungan hak asasi manusia.95
Pembangunan konstitusionalisme China yang dimulai dari ekonomi sebenarnya
bagi kondisi negaranya merupakan langkah yang tepat. Michael C Davis
93
Louis Henkin, A New Birth Of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic
Defects, dalam Michel Rosenfeld, Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy, Opcit,,
hlm 51.
94
Wang Zhuo Jun, Democracy, Rule Of Law And Human Rights Protection Under
Gradually Developed Constitutionalism —By The Clue Of Administrative Law, dalam Journal
Front Law China, Opcit, hlm 336.
95
Ibid.
55
menyebutkan bahwa konstitusionalisme di Asia Timur adalah krusial untuk
membangun stabilitas dan economic prosperity pasar terbuka yang kompleks.96
Pada sisi lain ketika itu Asia Timur sedang mengalami krisis ekonomi, dengan
dibukanya dukungan terhadap investor memperkuat juga pembangunan negara.97
Penegakan konstitusionalisme tidaklah mudah apabila melihat dari
pemaparan yang telah disebutkan. Konstitusionalisme sering dipandang hanya
dalam wujud formalnya saja yakni rule of law, namun tujuan di balik adanya rule
of law tersebut seperti pemenuhan hak dasar masih menjadi pertanyaan. Tentang
pemenuhan tujuan tersebut tentunya tidak dapat sama dalam sudut pandang
tentang dari mana memulai untuk memenuhi hak dasar tersebut, namun demikian
kita dapat juga mengambil kesimpulan dan ide dari pemaparan dilakukan
sebelumnya mengenai konstitusionalisme. Pemaparan akan konstitusionalisme
yang telah dilakukan dapat memberikan gambaran akan fitur-fitur dari
konstitusionalisme yakni: Demokrasi dan pembatasan kekuasaan, rule of law, dan
pemenuhan hak dasar. Ketiga fitur yang telah didapat ini selanjutnya untuk
semakin mematangkan konsep konstitusionalisme yang ada perlu dilakukan
pembahasan secara komprehensif. Hal ini dikarenakan konstitusionalisme itu
suatu yang tidak dapat dipungkiri lahir dari konflik. Daniel S Lev menyebutkan
bahwa tanpa pemahaman tentang konflik yang berlangsung di negara dan
masyarakat, dan antara dua, dari cara di mana daya yang dihasilkan dan otoritas
sebenarnya dilakukan, nilai-nilai dan ideologi yang menginformasikan struktur
politik dan perilaku, kita tidak dapat memahami gerakan konstitusionalis saat
96
Michael C Davis, East Asia After The Crisis: Human Rights, Constitutionalism, and
State Reform, dalam Human Rights Quarterly; Feb 2004; 26, 1; ProQuest, hlm 151
97
Ibid.
56
mereka berevolusi.98 Pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh Michael
C Davis bahwa menemukan institusi dan menerapkannya seperti institusi
konstitusional yang ada di Amerika dalam berbagai praktiknya akan berbeda bagi
misalnya Jepang, Filipina, dan Amerikan sendiri, pada akhirnya institusi
konstitusional sangat bergantung pada tantangan terhadap politik lokal.99 Oleh
karena itu perlu dilakukan penelusuran tentang konstitusionalisme dilihat dari
tinjauan
sejarah
untuk
memperjelas
bagaimana
proses
lahirnya
konstitusionalisme, dan konflik yang membangun konstitusionalisme tersebut.
3. Demokrasi dan Konstitusionalisme dalam Lintasan Sejarah
Demokrasi sebagai cita partisipasi rakyat sesungguhnya tidak dapat begitu
saja tegak, dalam praktik ketatanegaraan. Demokrasi dalam hal
ini sangat
berhubungan erat terhadap perubahan pemikiran ketatanegaraan dan juga
konstitusi. Demokrasi entah sebagai penyebab perubahan tersebut ataupun tujuan
dari perubahan namun keberadaannya perlu dikaji secara lebih lanjut untuk
kemudian menguraikan hubungan diantara demokrasi dan konstitusi. Demokrasi
dan hubungannya dengan konstitusi perlu diurai secara periodik. Periode Yunani
kuno menjadi titik awal dan periode Revolusi Perancis ketika pemisahan
kekuasaan menjadi akhirnya. Periode Yunani perlu juga dikaji karena periode ini
awal mulanya dikenalkannya demokrasi langsung atau dalam konteks saat ini
dikenal sebagai demokrasi partisipatoris. Periode Yunani dipilih juga menjadi
titik awal karena ketika itu telah dikenal beberapa lembaga perwakilan seperti
Aeropagus, Boule, dan Dewan Eklesia, sehingga hal ini dapat dijadikan refleksi
98
Daniel S Lev , Daniel S Lev , Social Movement, Constitutionalism and Human Rights:
Comments from The Malaysian and Indonesian Experience, in Constitutionlism and Democracy:
Transition in The Contemporary World, dalam Norman Dorsen, dkk, Comparatives
Constitusionalism Case and Materials, Opcit, hlm 14.
99
Michael C Davis, East Asia After The Crisis: Human Rights, Constitutionalism, and
State Reform, dalam Human Rights Quarterly; Opcit, hlm 151.
57
terhadap penyelenggaraan demokrasi perwakilan. Pada periode Revolusi Perancis
sebagai kajian untuk membuka tentang praktik moderen dari demokrasi. Revolusi
Perancis tidak hanya melegitimasi terhadap keberadaan partisipasi rakyat.
Partisipasi ini apabila dirunutkan nantinya akan dapat dilihat dari pengaruh
deklarasi hak asasi manusia.
Deklarasi hak asasi manusia Perancis inilah yang kemudian mendorong
lahirnya konstitusionalisme.100 Konstitusionalisme pada sisi lain juga dianggap
sebagai proyek politik untuk membatasi kekuasaan dan melegitimasi kedaulatan
rakyat.101 Namun untuk sampai pada tahap pembahasan demokrasi, hak asasi
manusia, dan konstitusionalisme perlu dilihat dan ditelusuri secara runut dari awal
mula demokrasi berkembang di Yunani Kuno. Penelusuran terhadap hubungan
demokrasi dan Konstitusi ini, dibagi menjadi 2 (dua) yakni, pertama melihat
tujuan dari lahirnya demokrasi; dan kedua melihat pada hubungan demokrasi dan
hukum yang ada ketika itu.
a.
Yunani Kuno
Yunani kuno dikenal sebagai cikal bakal dari penyelenggaraan negara di
dunia moderen saat ini. Yunani memperkenalkan berbagai sistem pemerintahan,
mulai dari berdasarkan pada monarki, hingga pada sistem pemerintahan
100
Pendapat ini diungkapkan oleh Richard Belammy dalam tulisannya Political Form of
Constitution: the separation of power, rights, and representative democracy dalam Jurnal Political
Studies, 1996, XLIV, 436-456.
101
Lihat Thomas Muller, Global constitutionalism in historical perspective: Towards
refined tools for international constitutional histories dalam Jurnal Global Constitutionalism
(2014), 3 : 1 , 71 – 101 © Cambridge University Press, 2014 doi:10.1017/S204538171300005, hlm
82. Hubungan antara demokrasi dan konstitusionalisme bahkan diungkapkan oleh Martin Loughlin
sebagai yang penuh kontroversi. Demokrasi saat ini sangat erat dan dipengaruhi oleh liberalisme.
Liberalisme di satu sisi mempromosikan penghormatan terhadap hak-hak individu bersamaan pula
dengan demokrasi yang menjadi sumber kedua dari legitimasi konstitusional. Lihat tulisan Martin
Loughlin dengan judul Constitutional Theory: A 25th Anniversary Essay dalam Oxford Journal of
Legal Studies, Vol. 25, No. 2 (2005), pp. 183–202 doi:10.1093/ojls/gqi010, hlm 192.
58
demokratis yang dikenal sebagai sistem terfavorit saat ini. Demokrasi yang
diperkenalkan oleh Yunani tidak hanya berbicara tentang bagaimana rakyat bisa
turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi yang ada pada saat
itu bahkan mendorong perubahan fundamental terhadap hukum yang ada di
Yunani. Demokrasi misalnya pada zaman Clisthenes mendorong ide akan
kesamaan di muka hukum (insonomia). Hubungan demokrasi dan hukum yang
demikian lebih jauh harus ditelusuri supaya dapat terurai benang merah hubungan
antara hukum dan demokrasi, yang dapat dikatakan merupakan hubungan yang
paling awal dalam peradaban manusia.
a) Demokrasi di Yunani
Demokrasi dalam praktik penyelenggaraannya tidak boleh dilepaskan dari
alasan dari kemunculan demokrasi tersebut. Alasan terhadap kemunculan
demokrasi tersebut akan berhubungan dengan tujuan dari keberadaan demokrasi.
Hal ini kemudian akan sangat berpengaruh terhadap operasionalisasi dari
demokrasi. Demokrasi Yunani disisi lain juga tidak boleh melupakan Pericles
sebagai seorang tokoh Politik. Luciano Canfora menyampaikan bahwa
Thucydides pernah menulis dalam epitaph102 sebagai sebuah penghargaan
terhadap Pericles. Luciano Canfora menyebutkan bahwa:103
Thucydides sees
Pericles as a veritable princeps endowed with sort of ― ―primacy‖ or ―
princedom‖: accepted and acknowledge personal power which in the end distort
balance of power, though without violating them.
102
Epitaph merupakan sebuah prasasti peninggalan kebudayaan Yunani Kuno. Lebih
terangnya merupakan prasasti peringatan pada makam atau monumen mayat tentang orang
terkubur di situs tersebut. Lihat http://dictionary.reference.com/browse/epitaph
103
Luciano, Democracy in Europe a History of an Ideology terjemahan Simon Jones,
United State: Black Well Publishing, 2006, hlm 8.
59
Konsep demokrasi yang dibentuk oleh Pericles ketika itu sesungguhnya
dipandang oleh Thucydides sebagai sebuah prinsip penyelundupan kekuatan
personal. Kekuatan personal yang dimaksud adalah Pericles dapat menguasai
Yunani ketika itu, dengan membungkus kekuasaan monarki di dalam konsepsi
penegakan kebebasan. Rakyat Yunani diberikan kesempatan namun di dalam
kesempatan
tersebut
kuasa
monarkilah
yang
kemudian
menentukan
penyelenggaraan pemerintahan.
Yunani sendiri menurut Frans Magnis memperkenalkan tradisi demokrasi
dalam dua hal.104 Pertama, mereka mengembangkan suatu sistem kelembagaan
canggih yang secara eksplisit didasarkan pada gagasan kekuasaan di tangan
rakyat; kedua, prinsip demokrasi mereka sadari dan mereka refleksikan secara
eksplisit-filosofis, dengan mempertimbangkan pro dan kontranya, serta dengan
memperbandingkan bentuk demokrasi dengan bentuk pemerintahan lain yang
memusatkan kekuasaan pada satu orang atau elite.
Tradisi demokrasi dapat menjadi sangat berkembang di Yunani
dikarenakan semangat egaliter. Semangat tersebut merupakan nilai-nilai yang
didukung oleh 3 (tiga) faktor:105
1) Pertama koneksi warga kelas rendah dengan militer memungkinkan
mereka untuk mendapatkan status sosial ekonomi yang lebih baik, dan
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan komunal;
104
Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka,
1995,hlm 34-35.
105
Lihat tulisan John T Ishiyama, Tatyana Kelman, dan Anna Perchinina, dengan judul
Model Demokrasi dalam buku Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 sebuah Refrensi
Panduan Tematis editor John T Ishiyama dan Marijke Breuning, Opcit, hlm 445.
60
2) Kedua perkembangan polis menjadi kekuatan dunia yang baru ikut juga
mengubah tren pemikiran dan pertanyaan tentang perubahan institusi, tata
pemerintahan hingga distribusi kekuasaan;
3) Ketiga kekayaan negara kota Yunani yang ekstra memungkinkan
kesempatan pengembangan domestik.
Demokrasi yang digunakan oleh Yunani ketika itu dapat dikatakan juga
penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada ledakan partisipasi, setiap
warga (kecuali wanita dan budak) berpartisipasi dalam menentukan jalannya
pemerintahan (konsep partisipasi langsung). Peran serta dengan model demikian
dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika itu dapat mungkin dikarenakan:106 a)
karena pengertian negara identik dengan pengertian kota, dan yang dimaksud
dengan kota pada waktu itu ialah hanya tempat sekitar itu saja, maka wilayah
daerahnya sangat terbatas sekali; dan b) karena penduduknya pun sebagai warga
kota masih sedikit. Namun dibalik keterlibatan setiap pihak yang ada di dalam
demokrasinya Yunani juga menyimpan kritik di dalamnya.
Demokrasi Yunani memiliki kritik paling berat terhadapnya mengenai
konsep demokrasi semunya, berhubungan hanya ada 10% warga Athena yang
mempunyai hak pilih, budak, wanita, orang asing, mereka tidak mempunyai hak
pilih.107 Demokrasi dalam kerangka Yunani yang diutamakan pada akhirnya
adalah keterlibatan dari rakyat dalam penyelenggaraan negara. Apabila ditelusuri
demokrasi
106
ketika
itu
dapat
tumbuh
dan
berkembang
pilihan
dalam
Sjahran Basah, Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Negara dengan Beberapa
Pemikirnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hlm 93.
107
LP3ES, Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES: Jakarta, 1986, hlm xii.
61
penyelenggaraan pemerintahan menurut Paul Woodruff dibagi ke dalam dua
macam alasan besar:108
1) Secara internal,
mereka menemukan bahwa reformasi demokratis membuat kota lebih
harmonis dalam jangka panjang, lebih sejahtera, lebih menghidupkan
budaya. Politisi Yunani di sisi lain, ketika itu menemukan bahwa dengan
membuat reformasi demokrasi mereka bisa mendapatkan dukungan rakyat
dan menang di atas lainnya
2) Secara eksternal,
Para pemimpin menemukan bahwa setiap langkah menuju demokrasi
membuat kota mereka lebih mampu membela diri. Pada nya tinggi,
demokrasi adalah bentuk paling kuat dari pemerintah di Yunani. Pada abad
kelima sebelum Masehi, demokrasi memiliki ekonomi terkuat dan paling
kreatif budaya, tetapi keberhasilan yang membuat mereka aman adalah
militer: Demokrasi bisa memobilisasi warganya untuk perang melintasi
batasan kelas sosial.
Demokrasi Athena tidak hanya berkembang dikarenakan alasan praktis
dan politis saja.. Jill mengungkapkan bahwa Aristoteles melalui pendekatan virtue
(Kebajikan). Kebajikan tersebut adalah sebagai berikut:
―Aristotle's approach to virtue lie in its very circularity. Democracy is itself
a circular mode of governance. Citizens, who are also rulers, make the laws
to which they are subject. In other words, they follow their own law. In this
way, democracy is a mode of governance that has its source and authority
in itself. It is the selfgoverning regime. It is the same with the practice of
virtue: when I act well, I do so because my own habits so dispose me to act.
Intellectual and moral virtue both involve modes of activity-prohairetic
activity-whose origin and authority lie in themselves. The self-sovereignty
108
Paul Woodruff, First Democracy The Challenge of An Ancient Idea, United State:
Oxford University Press, 2005, hlm 26.
62
associated with these practices is the same as the self-sovereignty
characteristic of democracy.‖109
Pemerintah dalam konsep yang digambarkan oleh Aristoteles sesungguhnya
menciptakan sebuah mekanisme, pemerintahan yang alamiah. Pemerintahan
tersebut berjalan diatas sebuah rencana yang dibangun oleh rakyatnya sendiri.
Demokrasi ini yang kemudian mengantarkan Yunani pada pemerintahan yang
bersumber pada kehendak dan kepercayaan rakyat. Kepercayaan terhadap
demokrasi membangun pula kepercayaan rakyat terhadap negara. Sirkulasi diri
dalam konsep demokrasi yang diungkap diatas juga merupakan suatu upaya
menerjemahkan
virtue
(kebajikan)
dalam
masyarakat
Athena
dan
memperkenalkannya kepada khalayak ramai. Hal ini yang kemudian juga
mencerminkan demokrasi secara pengertiannya dari rakyat dan untuk rakyat atau
sering juga dikenal sebagai self-governing.
Demokrasi Yunani dan pembahasan yang telah disebutkan sebelumnya
identik dengan konsep demokrasi yang dibahas melalui kacamata liberal.
Demokrasi dalam perkembangannya sangat kental dengan ideologi yang menjadi
kacamata dalam menginterpretasikan arti dan implementasinya. Pembahasan
terhadap demokrasi Yunani misalnya ada pula yang membahasnya melalui
kacamata marxisme. Bryan S Roper membahas sejarah demokrasi melalui
interpretasi marxisme. Demokrasi dipandang sebagai sebuah wujud pertentangan
kelas sosial yang ada di Yunani.
At crucial points in the history of classical Greek democracy they were
able to exert a decisive influence over the course of events. The radically
democratic reforms of Ephialtes and Pericles, for example, are simply
inconceivable unless we assume that the majority of citizens were able
successfully to support and defend these reforms against the resistance of
109
Jill Frank, A Democracy of Distinction Aristotle and The Work of Politics, Chicago:
Chicago University Press, 2005, hlm 52 .
63
the wealthy landowners. Clearly by participating in the class struggle on
the political plane, labouring citizens could win important victories. Thus
the political influence of the wealthy was substantially limited by the
reforms during the second half of the fifth century that introduced payment
for jury service, membership of the Boule, attendance at the Assembly and
the performance of other public duties, because this payment enabled even
the poorest citizens to participate.110
Brian S. Roper berpandangan bahwa demokrasi yang terjadi di Era Yunani,
merupakan bentuk kemenangan mayoritas penduduk terhadap para pemilik tanah
yang kaya. Partisipasi dalam politik membuat kelas buruh mencapai kemenangan
penting. Menurut pandangan Brian juga kemenangan tersebut dapat dilihat dalam
reformasi pada abad ke-5 dalam hal pembayaran juri,
keanggotaan Boule,
majelis, dan performa dalam pelayanan publik lainnya yang dapat dicapai bahkan
oleh rakyat paling miskin sekalipun. Pandangan terhadap pertentangan kelas bagi
para pengguna kacamata Marxist selalu akan mengaitkannya dengan hal kekayaan
dan kepemilikan alat produksi. Demokrasi pada wujud dan kacamata apapun pasti
merupakan sebuah wujud hubungan rakyat dan negaranya, namun yang menjadi
pembeda adalah takaran partisipasi rakyat dan haknya dalam penyelenggaraan
negara.
b) Konstitusionalisme di Yunani
Negara yang dijalankan dalam kerangka demokrasi perlu sebuah
instrumen hukum yang kuat. Demokrasi lepas dari pada kontrol akan seperti kuda
liar yang siap menendang siapapun yang mendekatinya. Perlu tali kekang yang
kuat melalui instrumen hukum supaya kemudian demokrasi dapat berjalan sebagai
sebuah konsep bernegara yang mengintegrasikan kehendak rakyat juga kehendak
negara. Demokrasi pada awal praktiknya di Yunani, sangat diragukan keberadaan
110
Brian S. Roper, The History of Democracy A Marxist Interpretation, London: Pluto
Press, 2013, hlm 3.
64
meskipun konsep ini sedikit lebih baik dibandingkan absolute tyranny yang
berdasarkan kehendak satu orang ataupun kelompok bukannya kehendak rakyat.
Plato dan Aristoteles sebagai filsuf di zaman Yunani, berpendapat bahwa rule by
the man merupakan wujud penyelenggaraan negara yang terbaik.111. hukum
berkenaan dengan demokrasi pada zaman tersebut mengalami perdebatan antara
pemikiran Plato dan Aristoteles dengan para kaum demokrat Athena. Bryan Z
Tamanaha mengungkapkan lebih lanjut mengenai pertentangan diantara
pemikiran yang berkenaan rule of law dalam penyelenggaraan negara. Berikut
penelusuran Tamanaha mengenai kedudukan hukum dalam negara menurut:112
The rule under law that they advocated was a second-best solution, necessitated
by human weakness. Plato bid the law rule in The Laws as a more realistic
alternative to the benevolent (philosophically educated and virtuous) Guardians
he proposed to rule in The Republic.
Pada paragraf lainnya, Buku Tamanaha diungkap pula pandang kaum demokrat
sebagai berikut:113
For Athenian democrats it was essential–a prerequisite of its supremacy –
that the citizens themselves participated directly in giving rise to the law. As
we shall see, the tension between these two concerns, law as a restraint on
democracy and law as the product of self-government, has not lessened
throughout history
Pendapat dari Aristoteles dan gurunya Plato, dapat dikatakan menggunakan
hukum sebagai sebuah rem darurat. Hukum diletakkan sebagai solusi kedua untuk
menghilangkan dan mengurangi kesalahan dari kelemahan manusia. Hukum
dalam pandangan mereka berdua secara wajar demikian, karena mereka berdua
merupakan pendukung konsep penyelenggaraan negara yang berada di tangan
111
Pemikiran Kedua filsuf besar tersebut tidak terlepas dari pemikiran Filsuf Socrates
yang pemikiran tentang bentuk negara diturunkan kepada muridnya Plato. Lihat Ramlan Surbakti,
Memahami Ilmu Politik, Opcit, hlm 31-32.
112
Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law, Opcit, hlm 10.
113
Ibid.
65
pemimpin yang kuat. Mereka berdua cenderung menghindari pujian terhadap
demokrasi karena demokrasi bagi mereka pilihan sisa, apabila konsep negara
aristokrasi berubah menjadi timokrasi dan kemudian berubah menjadi oligarki.
Pada pihak kaum demokrat kedudukan rule of law yang baik menurut mereka
disisi lain bukan terletak pada pembatasan kebebasan rakyat. Kedudukan rule of
the law yang terpenting terletak pada bagaimana mengusahakan hukum tersebut
dibentuk oleh rakyat. Impian kaum demokrat Athena ketika itu sudah terwujud
pada masa Pericles. Solly Lubis menjelaskan bahwa pemikiran Pericles dan
tindakannya merupakan perwujudan demokrasi sejati ketika zaman Athena.
Wujud demokrasi yang sejati tersebut terlihat dalam tujuan dan maksud
demokrasi yakni: memberikan kedudukan yang sama serta kemerdekaan.114
Wujud demokrasi lebih lanjut ditegaskan oleh Pericles bahwa demokrasi
merupakan suatu hal yang membebaskan namun tetap berada dalam koridor
hukum, supaya kemudian tidak kemudian menjadi gerombolan anarkis yang
berbuat sesuka hati menimbulkan kerusakan. Semangat perwujudan demokrasi
langsung dan hukum sebagai instrumen penyampai kebutuhan dan juga
perlindungan warga Athena dapat dilihat melalui dewan Ekklesia. Dewan tersebut
menjadi wadah pertemuan, aspirasi, dan juga partisipasi warga Athena berkenaan
dengan permasalahan apa yang dihadapi warga Athena, dan bagaimana
menyelesaikannya. Masalah tersebut tidak hanya berkenaan dengan masalah
sosial, politik, namun juga berkenaan dengan masalah hukum. Namun secara lebih
khususnya Athena memiliki badan yang berwenang dalam hal legislasi
114
Solly Lubis, Ilmu Negara (edisi revisi), Bandung: Mandar Maju, 2014, hlm 68.
66
Majelis dan Dewan 500 adalah pemilik kewenangan legislasi yang ada di
masa Athena Kuno ini.115 Fungsi legislasi tersebut dikenal sebagai Probouleusis,
dimana fungsi ini dibagi menjadi 2 (dua) yakni probouleumata terbuka dan
tertutup.116
Dalam probouleuma terbuka (tunggal), Dewan menginstruksikan
Majelis berdebat masalah tertentu dan, jika dianggap perlu oleh Majelis, untuk
mengeluarkan dekrit. Sebuah probouleuma spesifik adalah, dalam Intinya,
tagihan, subyek dari amandemen, jika perlu, dan harus diratifikasi oleh Majelis.117
Athena ketika itu sudah memiliki badan yang bahkan memisahkan fungsi
legislasinya berdasarkan pada kekhususan muatan dari produk hukum tersebut.
Namun secara garis besar
hukum yang diciptakan di Athena memiliki ciri
tersendiri.
Hukum yang ada di Athena, Sparta, Locri Epizephyrii (selatan Italia),
maupun polis lainnya, ketika itu memiliki 5 ( lima) ciri yang berangkat dari
pertanyaan terhadap hukum yang ada hingga pada muatan dari hukum Athena itu
sendiri:118
1) Secara khusus kita pertama harus membedakan hukum dari kaidah atau
pernyataan umum mengenai perilaku moral atau sosial. Hukum tertulis
biasanya dicatat oleh perwakilan resmi dari polis. Fungsi utama mereka
adalah untuk memberikan pedoman untuk keputusan oleh pengadilan atau
badan publik lainnya, meskipun mereka dapat diterapkan untuk kegiatan
115
Mellisa Schwartzberg, Democracy and Legal Change, New York: Cambridge, 2007,
hlm 34.
116
Ibid.
Ibid.
118
Michael Gagarin, Early Greek Law, Berkeley: University California Press, 1989, hlm
117
53-57.
67
yang tidak biasanya datang, tapi mungkin datang, sebelum pengadilan,
seperti hukum tentang perkawinan atau surat wasiat.
2) Kedua, hukum dapat dicirikan oleh tingkat umum penengah antara kaidah
(atau prinsip) dan keputusan. Meskipun garis pemisah antara ketiga
kategori tidak dapat diperbaiki dan beberapa aturan mungkin jatuh ke
daerah menengah, kita mungkin dalam keadaan umum yang kaidah
3) Ketiga, kita harus membedakan antara hukum yang tepat dan politeia,
biasanya diterjemahkan "konstitusi." Perbedaan ini, dibuat oleh Aristoteles
tidak mutlak, karena politeia yang dapat dinyatakan dalam sebagian atau
keseluruhan oleh resmi "diakui" (dan ditulis) undang-undang, seperti
dalam Konstitusi Amerika Serikat. Tetapi istilah pada dasarnya menunjuk
struktur kelembagaan untuk pemerintahan kota, yang mungkin sebagian
besar didasarkan pada tradisi yang tidak tertulis dan bukan undang-undang
tertulis, atau mungkin tersirat oleh hukum mengenai berbagai pejabat
publik atau badan, atau dapat dinyatakan dalam tulisan-tulisan resmi
pemikir seperti Plato.
4) Keempat, Hukum Draconian hadir sebagai hukum tertulis yang ada di
Athena. Hukum yang berkenaan dengan tindak kriminal
5) Kelima, pembuat hukum dan penunjukan terhadapnya sering dilakukan
dalam waktu kekacauan sipil. Pada kasus di Hesiod dan dalam laporan
Herodotus tentang karir Deioces 'bagaimana gejolak sipil pada awal
Yunani dilihat sebagai hasil dari pemecahan proses hukum, dan itu adalah
masuk akal bahwa dalam upaya untuk memulihkan stabilitas selama
periode sebuah kekacauan kota mungkin menunjuk pemberi hukum, baik
68
untuk merekam beberapa praktek-praktek tradisional masyarakat dan
keputusan mendirikan kekuasaan kehakiman atau menulis undang-undang
baru tentang hal-hal yang substantif atau prosedural. Pembuat hukum
(nomothetes) didakwa dengan menulis satu set hukum untuk kota
memiliki posisi khusus di kota itu bukan bagian dari struktur normal
pemerintah.
Hukum yang ada di Yunani secara signifikan mulai berkembang lebih serius lagi
ketika memasuki abad ke-5 dan ke-4 SM. Kehidupan hukum Yunani dari 5 dan
ke-4 SM ditentukan oleh tiga faktor dominan:119
1) Pertama, adanya keragaman negara-kota (polis), yang masing-masing
dimiliki dan dikelola menetapkan sendiri hukum.
2) Kedua adalah fakta bahwa dalam banyak, jika tidak sebagian besar, dari
polis (satu pengecualian tertentu adalah Sparta) hukum yang ditetapkan
dalam undang-undang tertulis, beberapa dari mereka yang rumit dan kode
lebih atau kurang lengkap menguraikan metode prosedural dan substantif
aturan untuk administrasi peradilan.
3) Faktor yang menentukan ketiga hukum Yunani adalah tidak adanya badan
yurisprudensi sebanding dengan orang-orang Romawi. Bahkan orator
Attic, untuk semua keakraban praktis mereka dengan hukum kota,
terutama tertarik dalam menyajikan argumen cocok untuk membujuk juri
massa sebelum yang mereka harus berdebat, tidak dalam menganalisis
sistem hukum dengan tujuan memperoleh wawasan yang lebih dalam
119
wib.
http://www.britannica.com/topic/Greek-law diakses 20 Januari 2016 pukul 17.11
69
implikasinya. Juga, dalam hal ini, melakukan filsuf merawat hukum
seperti itu, tujuan mereka menjadi penemuan standar abstrak keadilan.
Hukum dalam praktiknya kemudian mencirikan bahwa hukum ketika itu tidak
dapat dilepaskan dari masalah etika dan moral yang berangkat dari kebiasaan.
Kebiasaan dari leluhur menjadi pengantar dari pada landasan dan cita hukum yang
ada di Athena. Kebiasaan itu pula yang menjadi sangat berpengaruh terhadap
penegakannya. Hukum pada masa klasik ini menurut B. Arief Sidharta terbentuk
secara spontan, secara alami, di dalam sikap dan perilaku konkret dalam
kehidupan sehari-hari, jadi ditampilkan dalam hukum tidak tertulis, yakni berupa
pengulangan perilaku, tiap kali yang terjadi situasi kemasyarakatan yang sama
dan dihayati dari tuntutan keadilan.120 Aristoteles berkenaan dengan hukum dan
hubungannya dengan rakyat adalah bahwa rakyat membutuhkan hukum yang baik
dan keberadaan dari hukum itu juga harus menjadi sebuah kebiasaan.121
Pemerintah ketika itu menurut Aristoteles ditekannya menjadi penyedia yang baik
akan hukum, sedangkan rakyat menjadi penerima yang baik. Hubungan keduanya
saling berkesinambungan menciptakan suatu kehidupan penyelenggaraan
pemerintahan yang berdasarkan pada kebutuhan dan pengertian. Hukum yang
menjadi kebiasaan lebih lanjut cenderung diarahkan pada hukum yang pasti.
Kepastian ini terlihat dari hukum tersebut tidak mudah diubah, berdasarkan suatu
kepentingan tertentu yang sesaat. Namun hukum yang ada hanya dapat berubah
dengan cara tertentu saja dan jarang.122 Kekhawatiran yang muncul demikian
tidak dapat dipungkiri dikarenakan kondisi hukum di Athena ketika itu. hukum
120
B Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu Hukum yang
Responsif terhadap Perubahan Masyarkat, Yogyakarta: Rajawali Press, 2013, hlm 15.
121
Jill Frank, a Democracy of Distinction… Opcit, hlm 115.
122
Ibid.
70
sempat diabaikan karena keputusan aturan yang bebas dalam demokrasi.123
Kebebasan yang muncul karena demokrasi berpengaruh terhadap produk hukum
yang ada. Fleksibilitas hukum pada abad kelima memiliki konsekuensi dari
ketidakpastian, karena undang-undang diubah begitu sering bahwa itu sulit untuk
mengantisipasi konsekuensi dari tindakan.124 Kondisi demikian tidak hanya
dikarenakan oleh meluapnya demokrasi sebagai ide penyelenggaraan negara.
Namun hal in juga disebabkan oleh ketiadaan standar hukum yang dimiliki oleh
Athena.125 Brian Z Tamanaha berpendapat bahwa produksi hukum ataupun
pelayanan hukum tidak dilakukan oleh kelas profesional hukum, hukum yang
dibuat merupakan produk dari aktivis ataupun warga biasa.126 Dalam hal ini
produk-produk hukum yang dihasilkan kemudian tidak memiliki standar yang
jelas dan memiliki implikasi yang berbeda. Hal tersebut inilah yang kemudian
mendorong dibutuhkannya ide hukum yang sulit diubah dan pasti keberadaannya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah yang dimaksud hukum yang
jarang diubah adalah konstitusi? Yunani kuno sebenarnya sudah memiliki
konstitusi, meskipun konstitusi yang dibayangkan tidak seperti konstitusi moderen
saat ini. Whitelocke berpendapat bahwa: ―the natural frame of state and this idea
seems old as the politeia of Greek, which we usually translated by our word
constitution‖.127 Yunani menurut Whitelocke tidak hanya sebagai prototipe dari
negara, namun menyediakan ide tentang konstitusi. Ide tentang konstitusi dapat
dikatakan juga baru sebatas pada materinya saja, belum berkenaan dengan
123
Lihat tulisan John David Lewis, Constitution And Fundamental Law: The Lesson Of
Classical Athens, dalam Jurnal Social Philosophy and Policy, Januari 2011, Cambridge University
Press, hlm 27.
124
Mellisa Schwartzberg, Democracy and Legal Change, Opcit, hlm 36.
125
Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law…. Opcit, hlm 7
126
Ibid.
127
Charles Howard Mcllwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, New York:
Cornell University Press, 1947, hlm 25.
71
bagaimana ide tersebut diwujudkan dalam bentuk hukum positif. Konstitusi yang
dimaksud dengan demikian bukan seperti konstitusi tertulis seperti zaman
Moderen sekarang ini. Konstitusi Yunani Kuno masih bersifat materiil saja.128
Politeia dikatakan sebagai konstitusi materiil karena Politeia tersebut sudah
dianggap lebih tinggi daripada nomoi karena kekuatannya untuk membentuk.129
Konstitusi materiil apabila dikaitkan dengan pemikiran konstitusi yang moderen,
dapat dimasukkan sebagai konstitusi tidak tertulis. K.C Wheare berpendapat
bahwa konstitusi tidaklah sepenuhnya berkenaan dengan muatan legal saja,
namun konstitusi juga berkenaan dengan unsur non legal seperti adat atau tradisi,
yang turut pula mengatur tentang ketatanegaraan. Jadi dengan demikian dapat
dikatakan Politeia merupakan konstitusi juga karena dia mengandung ide untuk
ikut juga mengatur ketatanegaraan Yunani Kuno. Politeia dalam hal
ikut
mengatur ketatanegaraan dapat dilihat dari fungsinya. Jill Frank berpendapat
bahwa: Konstitusi dalam pandangan Aristoteles berfungsi sebagai standar dari
evaluasi hukum yang ada dalam berbagai rezim.130 Konstitusi dengan demikian
menjadi sumber tertinggi yang menetapkan standar-standar yang boleh dan tidak
boleh dimiliki oleh suatu hukum yang ada di Yunani. Pandangan ini berangkat
dari pemikiran konsep etik, dimana keadilan memandu dari pengembangan dan
penggunaan hukum.131 Konstitusi dalam praktiknya lebih lanjut menurut
128
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada, 2013, hlm 72.
129
Ibid.
130
Lihat Jill Frank, Aristotle on Constitutionalism and the Rule of Law, Jurnal
Theoretical inquiries in law, edisi 8, Januari 2007.
131
John David Lewis, Constitution And Fundamental Law: The Lesson Of Classical
Athens, Opcit, hlm 26.
72
Aristoteles kemudian sangat dipengaruhi oleh Theramenes.132 Berikut pendapat
Aristoteles yang ditulis oleh Jill Frank:133
Aristotle recounts that Theramenes supported Athens as both oligarchy and
democracy. Consistent with his treatment of good citizenship-which he
associates with obedience to the laws of a regime-Aristotle praises
Theramenes for his loyalty to each regime. Theramenes also, however, had
a hand in changing Athens twice from democracy to oligarchy and in
moderating the first oligarchy (the Four Hundred), although he was
executed for his attempts to moderate the second (the Thirty) . Commending
him not only for abiding by the law, Aristotle maintains that he "worked for
the good of any established government so long as it did not transgress the
laws, and in this way showed that he was able to participate in governing
under any kind of political setup, which is what a good citizen should do.
Theramenes selalu berbuat demi kebaikan untuk setiap pemerintahan asalkan
tidak melanggar hukum. Theramenes dengan demikian mencontohkan bahwa
setiap tindakan yang dilakukan apapun itu hingga pada tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, harus menjunjung hukum sebagai hal yang utama.
Namun meskipun Aristoteles mengatakan bahwa Theramenes merupakan sebuah
contoh terhadap praktik penyelenggaraan negara yang menjunjung hukum, namun
sebelum hadirnya Theramenes ada Solon dan Clisthenes yang sangat berperan
dalam soal reformasi kelembagaan yang turut pula berpengaruh pada hukum yang
diselenggarakan di Athena. Peranan kedua tokoh ini berangkat dari jasanya
membuat hukum untuk menyelesaikan masalah yang ada di Athena ketika itu.
Solon misalnya berangkat dari krisis pertanahan yang cenderung mengarahkan
pada perbudakan tanah. Solon sebagai anggota archonte
dikenal sebagai
legislator Athena, ia membuat undang-undang baru: dengan menghapuskan status
132
Theramenes adalah Politisi Athena dan Jenderal, aktif dalam tahun-tahun terakhir
Perang Peloponnesia (431-404 SM) dan kontroversial dalam hidupnya sendiri dan karena.
Ayahnya, Hagnon, kontemporer dari Pericles, disajikan berulang-ulang sebagai salah satu dari 10
jenderal
tahunan
Athena,
informasi
ini
dapat
dilihat
di
http://www.
Britannica.com/biography/Theramenes diakses 20 Januari 2016 pukul 09.16 wib.
133
Jill Frank, A Democracy in Distinction… Opcit, hlm 116.
73
budak.134 Peranan penting yang dilakukan oleh Clisthenes dalam kaitannya
dengan perkembangan demokrasi dan hukum di Athena adalah Clisthenes
melepaskan kaitan antara suku-suku tradisional dan wilayah yang dikuasainya.135
Model yang dianut oleh Clisthenes ini dapat dilihat dalam Dewan perwakilan
Boule yang beranggotakan 500 orang. Namun sumbangan terbesar dari Clisthenes
adalah kesederajatan di muka nomos (hukum).136 Kedua tokoh tersebut inilah
yang menjadi peletak dasar hukum yang demokratis, dan menjamin terhadap
kesetaraan. Namun dengan demikian pandangan tentang negara dan hukum yang
ada di Yunani tidaklah sama dengan pandangan yang ada dalam negara dan
hukum di era moderen ini. Aristoteles sendiri dan filsuf-filsuf yang ada di Yunani
sangat mendambakan peranan dari para tokoh-tokoh pemimpin maupun politik.
Hukum yang berjalan sangat bergantung pada siapa pemimpinnya, sehingga
dengan demikian dapat saja hukum berubah-ubah bergantung pada kehendak
pemimpinnya. Pemikiran akan ketergantungan dan pemimpin ideal yang mampu
menegakkan hukum menurut Jimly dengan melihat pemikiran Aristoteles
disebabkan oleh 3 (tiga) faktor:137
1) Pertama, di zamannya belum ada mekanisme untuk menyatakan suatu
tindak revolusioner sebagai suatu tindakan inkonstitusional
2) Kedua, revolusi besar-besaran yang terjadi tidak hanya mengubah hukum
publik namun mengubah secara besar-besaran, bahkan mengubah secara
keseluruhan kehidupan masyarakat di Yunani. Dalam keadaan demikian
134
Lihat tulisan A Setyo Wibowo, Kepublikan dan Keprivatan di Dalam Polis Yunani
Kuno, dalam buku Ruang Publik Melacak ― Partisipasi Demokrasi‖ dari Polis hingga Cyberspace,
editor: F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm 37
135
Ibid, hlm 40.
136
Ibid, hlm 41.
137
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 78-79.
74
Aristoteles berpandangan bahwa keseluruhan polity dan konstitusi
mengalami kehancuran atau bubar;
3) Ketiga, revolusi demikian selalu ditandai dengan kekerasan, kematian dan
kehancuran
Demokrasi Yunani Kuno dan hubungannya dengan hukum dapat disimpulkan
demikian:
1) Demokrasi sebagai sebuah bentuk penyelenggaraan negara membutuhkan
peran penguasa yang kuat dalam wujud aristokrat, oligarki, ataupun
monarki. Demokrasi yang ada saat itu merupakan wujud peralihan dari
pemerintahan otoriter, sehingga apabila kemudian tiada sosok yang kuat.
Kekuasaan di tangan rakyat tersebut akan menjadi sebuah anarki.
2) Demokrasi disisi lain memerlukan juga hukum sebagai sebuah pembatas
dan koridor, sehingga demokrasi tidak
Demokrasi sebagaimana telah
disebut juga merupakan alternatif dari kesalahan penguasa baik yang
disengaja maupun tidak. Penguasa secara praktisnya dapat dikatakan
membuka ruang aspirasi melalui Dewan Ekklesia, dan selanjutnya
dijalankan oleh Dewan Boule;
3) Pada akhirnya ketiga merupakan suatu bentuk mixed government yang
saling menyeimbangkan satu sama lain. Kaum Aristokrat dibela oleh
filsuf-filsuf Athena seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Di sisi lain
demokrasi merupakan sistem yang dijaga oleh kaum demokrat.
4) Hukum yang hadir pada masa Yunani kuno merupakan penjawantahan
terhadap kebiasaan dan selalu diawali oleh kekacauan sipil. Hukum yang
ada di Yunani Kuno dalam pandangan Aristoteles haruslah kemudian
75
selalu diulang-ulang terus menerus sebagai kebiasaan. Namun akan lebih
baik apa bahwa kebiasaan tersebut tetap dan pasti, bukan sangat mudah
diubah.
5) Hukum Yunani dengan demikian sangat bergantung dari revolusi.
Revolusi dan kepemimpinan sangat menentukan dari pada penegakan
hukum dan konstitusi.
6) Yunani dalam hal ini memang memiliki konstitusi tidak tertulis yakni
politeia. Namun dalam hal ini nilai-nilai kebiasaan yang berada dalam
konstitusi belum dapat dikatakan dapat ditegakkan atau dapat dikatakan
konstitusionalisme sudah ada di Yunani ketika itu.
b.
Romawi Kuno
Romawi merupakan salah satu kebudayaan yang turut menyumbangkan
pemikiran tentang negara moderen di Eropa khususnya. Ada legenda juga yang
mengatakan bahwa Roma didirikan oleh kakak beradik Romulus dan Remus anak
dari Dewa perang Mars.138 Namun cerita tersebut tidaklah terdapat bukti yang
cukup kuat. Atas dasar bukti-bukti arkeologi lebih mungkin bahwa Roma
didirikan oleh kaum Etrusca di abad ketujuh SM.139 Roma dibangun dibangun
pada tujuh bukit di samping Sungai Tiber, pada perbatasan Etruria dan awal Roma
diperintah oleh raja.140 Pada masa awal dari pada Romawi kuno ini Raja menjadi
penguasa tunggal dari Romawi. George Mousorakis berpendapat bahwa: The king
(rex) wielded much of the same power over his subjects as that of a Roman head
138
139
Simon James, Eyewitness Ancient Rome, United State: DK Publishing, 2008 hlm 6.
Olga Tellegen Couperus, A Short History of Roman Law, London: Routledge, 2003,
hlm 5.
140
Simon James, Eyewitness Ancient Rome, Opcit, hlm 6.
76
of family over his household, including the right to inflict capital punishment. He
was also responsible for foreign relations and for war, public order, justice and
the maintenance of Roman state religion.141 Raja dalam kekuasaannya sangat luas
seakan dia bertindak seperti kepala keluarga. Segala urusan negara menjadi urusan
raja. Raja memiliki kekuasaan hingga pada urusan agama. Namun kekuasaan raja
yang sangat absolut berubah ketika Romawi memasuki Era Republik pada tahun
509 SM. Romawi pasca berubah bentuk menjadi Republik, mengubah pula
struktur politiknya, sebelumnya penyelenggara negara terdiri dari raja, senat dan
majelis berubah menjadi senat, magistrature, dan majelis.142 Pada sisi lain setelah
Romawi berubah menjadi Republik pengaruh kebudayaan Helenisme dan
pengaruh filsafat kaum Stoa menjadi ikut mempengaruhi pula pemikiran terhadap
pembangunan hukum dan konstitusionalisme di Romawi Kuno. Kedua hal
tersebut yang kemudian perlu dikaji tersendiri untuk dapat membahas hubungan
antara demokrasi, hukum dan konstitusionalisme di Romawi Kuno.
a.
Dari Monarki Menuju Republik
Penyelenggaraan pemerintahan di Romawi Kuno di awal bentuknya yakni
monarki, dalam hal ini meskipun raja menjadi penguasa tunggal bukan berarti dia
tidak memiliki struktur politik yang ikut membantunya. Penyelenggaraan negara
oleh raja tidak dapat dilepaskan dari elemen masyarakat atau golongan-golongan
yang ada disana. Golongan yang ada yakni golongan patrician dan plebian. Kaum
Patrician merupakan golongan bangsawan Romawi yang dalam hal ini turut pula
membantu Raja dalam memerintah. Mereka berperan sebagai penasihat dari Raja
141
George Mousourakis, Roman Law and The Origins of Civil Law Tradition,
Switzerland: Springer, 2015, hlm 5.
142
Olga Tellegen, A Short History of Roman Law, Opcit, hlm 10.
77
ketika itu, dalam hal ini senat.143 Senat disebutkan sebagai organ penasihat tertua
di Roma (dewan dari tetua).144 Anggota dari dewan ini disebutkan sebagai Patres
(ayah).145 Keistimewaan dari golongan bangsawan ini dapat dilihat dari
perbedaannya dari golongan rakyat biasa yakni Plebian. Olga Tellegen Courperus
dalam bukunya A Short History of Roman Law, menyebutkan perbedaan diantara
keduanya adalah sebagai berikut:146
1) Perbedaan antara patrician dan plebeian jelas terlihat dari posisi ekonomi
dan sosial mereka masing-masing. Mereka dimiliki cukup banyak tanah
dan terus ternak dan budak. Mereka berhak untuk melayani sebagai hakim
dan imam dan karena sistem voting memiliki pengaruh yang menentukan
pada undang-undang.
2) Plebeian di sisi lain terutama pengrajin dan petani kecil; di masa perang
mereka tidak punya budak untuk menjaga bisnis mereka berjalan dan ini
meningkat kesempatan mereka pemiskinan. Selanjutnya, seperti yang
sudah disebutkan, mereka tidak diperbolehkan untuk memegang jabatan
publik dan, sebagai akibat dari sistem voting yang disebutkan di atas,
mereka memiliki sedikit pengaruh pada undang-undang.
Kelebihan yang dimiliki oleh kaum Patrician dapat dikatakan kelebihan secara
politis. Mereka memiliki kesempatan untuk memberikan saran kepada
pemerintah, hingga keterlibatan mereka langsung dan berperan sebagai hakim dan
imam. Hal ini tentu berbeda ketika melihat posisi dari kaum plebian yang hanya
mengikuti sistem yang ada. Mereka sekedar hanya menjalani rutinitas kehidupan
143
144
Ibid.
R.M Ogilvie, Early Rome and Etruscans, Great Britain: Harvester Press, 1976, hlm
55.
145
146
Ibid.
Olga Tellegen Couperus, A Short History of Roman Law, Opcit, hlm 7.
78
bernegara, tanpa punya kesempatan untuk mengubah nasib mereka. Kesempatan
yang dimiliki kaum patrician melalui pengaruhnya sebagai penasihat bahkan dapat
menimbulkan gejolak dalam pemerintah Monarki Romawi abad ke 5 sebelum
masehi. Tahun 509 SM menjadi tahun dimana raja Tarquinus Superbus
digulingkan oleh kaum bangsawan Romawi, yakni partrician.147
b.
Pembangunan Hukum Romawi
Pengaruh kebudayaan Yunani ini dimulai sejak ekspansi dan dominasi
wilayah dimana Yunani tinggal, Italia, Sicilia, dan Asia pada abad ke 3 dan 2
sebelum masehi.
148
Secara tidak sadar maupun sadar mereka (bangsa Romawi)
mulai mengikuti kebudayaan Yunani. Pengaruh kebudayaan ini dapat dilihat
mulai dari pola pendidikannya yang mulai berubah di Romawi. Pendidikan
bangsa Romawi dapat dikatakan awal mulanya merupakan pendidikan dengan
sistem kekeluargaan. Sistem kekeluargaan yang dimaksud adalah seorang anak
Romawi belajar dari kedua orang tua mereka.149 Namun seiring dengan masuknya
budaya Yunani maka pendidikan di Romawi juga ikut berubah. Pendidikan di
Romawi tidak lagi hanya mengandalkan pendidikan dari kedua orangtua saja,
namun pendidikan yang ada Romawi juga dituntut untuk diselenggarakan dalam
bentuk formal yakni di luar lingkungan keluarga. William E Dunstan dalam
bukunya Ancient Rome menyebutkan bahwa pendidikan formal di Romawi dibagi
ke dalam 3 (tiga) tahap:150
147
Ibid. Lihat juga Simon James, Eyewitness Ancient Rome, Opcit, hlm 6.
William E Dunstan, Ancient Rome, Maryland: Rowman and Littlefield Publisher,
2011, hlm 113.
149
Ibid. hlm 114.
150
Ibid.
148
79
1) Tahap pertama pendidikan diperkenalkan kedua anak laki-laki dan
perempuan, dimulai sekitar usia tujuh tahun, untuk membaca dasar,
menulis, dan hitung. Pendidikan sangat bergantung pada pelatihan hafalan.
Banyak ayah yang tidak menjaga guru privat di rumah terdaftar anak-anak
mereka di sekolah-sekolah yang didirikan oleh dimerdekakan Yunani.
Orang tua berusaha untuk menjaga anak-anak mereka dari pertemuan
buruk dengan mengadopsi kebiasaan Yunani mengirim mereka ke sekolah
dengan budak keluarga dipercaya. Anak laki-laki pergi ke sekolah dan
kembali dengan paedagogus-budak Yunaninya dituduh mengawasi
hidupnya dan perilaku-dan seorang gadis dengan pengasuh nya.
Pendidikan formal untuk anak perempuan biasanya berakhir pada usia dua
belas, meskipun ayah sesekali disediakan tutor khusus untuk anak
perempuan brilian.
2) tahap kedua pendidikan dimulai Anak laki-laki dua belas tahun dari
keluarga kaya yakni, penelitian bahasa dan puisi, di bawah guru di rumah
atau guru di sekolah.
3) Tahap ketiga dari pendidikan berlangsung di sekolah retorika, pertama kali
muncul di Roma pada abad kedua SM, yang memberikan pelatihan
berbicara di depan umum. Kemampuan untuk berbicara bahasa Yunani
dan berdebat dalam gaya Yunani persuasif menandakan seorang intelijen
dan kepentingan. Dengan demikian, pelatihan dalam retorika Yunani
datang untuk dianggap sebagai sangat diperlukan untuk politisi calon
Romawi.
80
Pada tahapan lebih lanjut anak-anak yang telah menyelesaikan ketiga tahap
tersebut dapat pula melanjutkan pendidikan ke pusat-pusat kebudayaan Yunani,
seperti Athena, Rhodes, dan Naples.151 Mereka disana dapat mempelajari filsafat,
sastra, dan retorika lebih lanjut. Aliran filsafat yang mereka pelajari inilah yang
kemudian akan sangat mempengaruhi pemikiran bangsa Romawi, khususnya
dalam hal pemikiran hukum di abad ke 3 SM tersebut. Namun dalam hal ini
hukum yang ada terlihat lebih politis ketimbang hukum yang dibangun di Yunani.
Hukum yang diciptakan pada zaman Romawi Kuno mulai abad III
sebelum Masehi, berakar dari kehendak penguasa politik. Hukum tidak lagi hanya
sekedar berangkat dari kebiasaan ataupun berangkat dari jiwa rakyat. Penguasa
politik membentuk hukum dengan sengaja, yakni membuat putusan yang memuat
perintah-perintah yang harus dipatuhi oleh semua orang dan perintah-perintah
tersebut dirumuskan secara tertulis dalam suatu dokumen resmi dan diberlakukan
di seluruh wilayah penguasa tersebut.152 Hukum dalam hal ini ditetapkan sebagai
sebuah perintah yang sifatnya memaksa. Rakyat dituntut untuk tunduk dalam
dokumen yang berisikan perintah. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang ada
dalam dokumen resmi tersebut tentu akan berakibat pada sebuah ancaman sanksi.
Apabila melihat pada periode Yunani akan sangat berbeda dengan pemikiran yang
ada pada Romawi. Yunani Kuno belum membayangkan hukum sebagai suatu
yang terpisah dari negara dimana negara harus tunduk dan menyesuaikan diri
dengan aturan yang ditentukan olehnya.153 Perbedaan lainnya yang dapat dilihat
antara pemikiran hukum Yunani dengan Romawi kuno ada pada perwujudan dari
kebiasaan. Kaidah-kaidah yakni karakter hukum yang mengatur hubungan antara
151
Ibid.
B Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia… Opcit, hlm 15.
153
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 80.
152
81
Romawi, rakyat ataupun bangsa lain berlawanan dengan hakikat keagamaan
dalam kaidah-kaidah kebiasaan yang ditaati oleh negara-negara kota (City States)
Yunani.154 Namun meskipun demikian berbeda tak dapat dipungkiri bahwa
kebudayaan Yunani juga menjadi pengaruh terbentuk pemikiran hukum dan
kenegaraan yang ada di Romawi.
Aliran filsafat Stoa yang kemudian
mentransplantasikan pemikiran dari Yunani ke Romawi. Aliran filsafat stoa
menjadi yang paling berpengaruh terhadap pemikiran hukum bangsa Romawi.
Filsuf kaum Stoa tersebut antara lain Seneca, Marcus Aurelius, dan Cicero.
Namun diantara ketiganya yang paling berpengaruh terhadap konstitusionalisme
adalah Cicero.
Cicero berpendapat bahwa negara merupakan perkumpulan orang banyak
yang dipersatukan melalui suatu aturan hukum berdasarkan kepentingan
bersama.155 Dengan ini maka negara sebagai masyarakat moral berubah menjadi
negara sebagai masyarakat hukum.156 Hukum lebih lanjut menurut Cicero
memiliki status yang supreme dan bergantung pada hukum alam.157 Hukum alam
ditempatkan oleh Cicero sebagai rule of reason.158 Hukum menurut Rule of
Reason yang dimaksud oleh Cicero harus baik, menuju pada kebahagiaan dan
memberikan keselamatan bagi warga negaranya.159 Hukum dalam pandangan
Cicero dapat dikatakan berorientasi pada kebutuhan dan pemenuhan keinginan
dari warga negara.
154
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh), terjemahan Bambang
Iriana, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm 9.
155
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum dalam
Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hlm 33.
156
Ibid.
157
Brian Z Tamanaha, On The Rule of Law… Opcit, hlm 11.
158
`
ibid.
159
Ibid.
82
c.
Demokrasi Pasca Revolusi Perancis
Perancis menjadi titik tolak hadirnya konsep negara moderen yang
berbasis pada konstitusi tertulis. Keberadaan Revolusi Perancis 1789 menjadi
momen yang digunakan untuk merubah tatanan dari negara Perancis yang
sebelumnya sangat mutlak berada di tangan raja, beralih menuju kekuasaan
rakyat. Raja pada waktu sebelum adanya Revolusi 1789 menjadi sumber
kekuasaan tertinggi yang ada di dalam suatu negara. Segala sesuatu yang
diperbuat, dan diperintah raja wajib dipatuhi dan diikuti oleh warga negaranya.
Kondisi demikian kemudian menyimpang kepada kesewenang-wenangan raja
terhadap rakyatnya. Era pemerintahan Louis XVI di Perancis pada abad ke-18
menjadi contoh yang terkenal Louis XIV bersama dengan istrinya Marie D
Antoniette menggunakan kekayaan dan sumber daya negara untuk bersenangsenang dan foya-foya, ketika kondisi rakyat Perancis sedang mengalami
kemiskinan. Louis ketika itu dengan L’etat cest moi (aku adalah negara). Sumber
kekuasaan di negara Perancis dianggap berasal dari dirinya. Absolutisme inilah
yang memicu hadirnya Revolusi Perancis, yang turut juga nantinya sebagaimana
diungkap sebelumnya akan merubah pemikiran dan tatanan kenegaraan di
Perancis.
Pandangan terhadap kekuasaan absolutisme raja ini tidak terlepas juga dari
pengaruh pemikiran kenegaraan dari Jean Bodin tentang kedaulatan khususnya.
Kedaulatan menurutnya adalah kekuasaan tertinggi para warga negara dan
rakyatnya, tanpa suatu pembatasan dari Undang-undang.160 Hal ini yang kemudian
dijadikan dasar bahwa raja pun tidak terikat oleh undang-undang (hukum positif).
160
JJ. Von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pt
Pembangunan, 1965, hlm 144.
83
Model absolutisme Raja Louis XVI akan berujung pada tewasnya Louis XVI di
tiang gantungan. Kematian dari Louis sendiri tidak hanya kemudian dapat secara
mudah dan sederhananya muncul. Ada serangkaian peristiwa yang merubah
tatanan kekuasaan tertinggi di tangan raja beralih menjadi kekuasaan di tangan
rakyat. Permasalahan krusial ketika itu adalah Perancis menuju pada ambang
kehancuran yakni krisis financial. William Doyle dalam bukunya mengenai
Revolusi Perancis, mengungkapkan secara runut kebangkrutan menjadi alasan
pemicu hadirnya revolusi Perancis.
In May 1788, a Maupeoulike attempt was made to remodel them and
reduce their powers. To win public support a wide range of legal and
institutional reforms were simultaneously announced, but they were
ignored in the public uproar that now swept the country. Even a promise
to convoke the Estates General once the reforms had taken effect was
greeted with contempt. And when, at the beginning of August, the
crown’s usual sources of short-term credit refused to lend more, the fate
of Brienne’s ministry was sealed. On 16 August, payments from the
treasury were suspended. It was the bankruptcy which successive
ministries had spent 30 years trying to avoid. Brienne resigned,
recommending the recall of Necker. The first thing the Genevan miracleworker did on his triumphant return to office was to proclaim that the
Estates-General would meet in 1789. The convocation of a national
representative assembly meant the end of absolute monarchy. It had
finally succumbed to institutional and cultural paralysis. Its plans for
reform fell with it. Nobody knew what the Estates-General would do, or
even how it would be made up or chosen. There was a complete vacuum
of power. The French Revolution was the process by which this vacuum
was filled.161
Negara yang dijalankan oleh monarki absolutnya Louis XVI dianggap tidak
mampu, sehingga munculnya Revolusi Perancis.162 Monarki Absolut dalam hal ini
161
William Doyle, French Revolution a Very Short Introduction, New York: Oxford
University Press, 2001, hlm 36.
162
Revolusi Perancis sendiri berangkat dari pemikiran pada kaum burg (kelas Menengah),
ketika itu. Mereka berfikir bahwa apabila ingin mendapatkan kemapanan secara ekonomi haruslah
bekerja keras. Hal berbanding terbalik dengan kenyataan ketika itu, para pemimpin menggunakan
kekuasaan begitu mudahnya mendapatkan kemapanan bahkan cenderung menindas rakyatnya.
Pemikiran-pemikiran kaum Burg ini sangat dipengaruhi oleh Pemikiran J.J.Rousseau. lihat Fx.
Adji Samekto, Hukum dalam Lintasan Sejarah, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2013, hlm
36. Lihat juga mengenai bahwa kaum Burg-lah yang mendorong terjadinya Revolusi karena
84
juga memiliki sisi terlemah yang ada pada dirinya, sisi tersebut adalah
penyelenggaraan negara berada dalam satu tangan sehingga tiada pemisahan serta
proses check and balance tidak ada. Proses ini apabila dipandang lebih luas tidak
hanya berkenaan dengan pembatasan kekuasaan seorang penyelenggaraan.
Namun lebih penting adalah saling melakukan koreksi terhadap kinerja
kelembagaan, yang sangat sulit diwujudkan dalam bentuk monarki absolut.
Penyelenggaraan negara demikian juga berujung pada konsep negara yang harus
berlandaskan pada despotisme (ketakutan). Rakyat menjalankan kehidupannya
diajak untuk takut pada negara, atau dengan kata lain seperti kumpulan hewan
yang dikurung dalam pagar listrik, apabila kemudian mencoba menerobos pagar
yang terjadi adalah listrik menyengat mereka.
Kondisi
demikian
kemudian
menggambarkan
bahwa
keberadaan
pemerintahan absolut secara tegas tidak mencerminkan demokrasi secara
substansial yakni menyangkut pada pemenuhan hak-hak warga negara. Demokrasi
dalam hal ini memerlukan instrumen hukum yang benar-benar dapat menjamin
keberadaan demokrasi substansial tersebut. Instrumen hukum yang ada tidak
dengan demikian tidak hanya menjamin terselenggaranya negara hukum.
Instrumen hukum yang dimaksud disisi lain juga harus diarahkan pada
keseimbangan antara keinginan rakyat dan penguasa. Pasalnya apabila demokrasi
dibiarkan begitu saja tanpa adanya kerangka dan jalur maka demokrasi akan
berubah menjadi sebuah anarki dan kekacauan. Konsep negara moderen saat ini
membungkus demokrasi dalam wujud negara hukum.
terganggunya kepentingan mereka berdagang. Lihat Soekarno, Pancasila Dasar Filsafat Negara,
Jakarta: Yayasan Empu Tantular, 1960, hlm 121.
85
Negara Hukum
pada awalnya hanya secara formal dipandang untuk
menjauhkan penyelenggaraan negara dari rule by the man yang kecenderungannya
menuju pada pemerintahan tirani. Konsep negara hukum secara moderen mulai
berkembang pasca revolusi Perancis. Ada juga sebuah tarik ulur antara konsep
kedaulatan yang mulanya memusatkan diri pada tokoh raja sebagai pusat
kedaulatan, bergeser pada rakyat sebagai pihak yang juga berdaulat di dalam
negara. Berikut adalah pernyataan yang diungkap oleh Sieyès seorang ahli politik
yang terlibat dalam Revolusi Perancis:163
Yet, revolutionaries also brought significant innovations affecting both the
sovereign and the individual. ―Who is the sovereign?‖ asked Sieyès at the
dawn of the Revolution: sovereignty belonged to ―20 million French
people‖ who, being equal and immune from the stigma of ―privileges‖,
were the nation. The nation was sovereign and the individuals were
citizens: together with their natural civil rights, they enjoyed political
rights and played an active role in the political body.
Seieyes meyakinkan bahwa individu sebagai warga negara memiliki kedudukan
yang sama dengan negara, dan terbebas dari hak-hak istimewa.164 Keduanya
saling berproses dan berhubungan melalui badan-badan politik. revolusi Perancis
lebih jauh dan mendalam tidak hanya dapat dimaknai sebagai sebuah proses
munculnya kedaulatan rakyat saja. Revolusi Perancis menguraikan pula benang
harmonisasi diantara kedaulatan, hukum dan hak-hak
In the whirling ―historical acceleration‖ caused by the Revolution, the
spontaneous harmony that seemed to characterize the relationship between
sovereignty, law, and rights – and the belief that law could act as an
intermediary between citizens and power by implementing the natural rights
of the individual – were overturned and replaced by dramatic alternative
163
Lihat tulisan Pietro Costa, The Rule of Law Historical Introduction, dalam Piero
Costa dan Danilo Zolo, The Rule of Law History, Theory, and Criticism, Dordrecht: Springer,
2007, hlm 79.
164
Pendeta Seiyes meskipun dia berkedudukan dan berstatus sebagai bangsawan dan
ningrat, namun dalam hal pembelaan terhadap rakyat yang disebutnya golongan ketiga menjadi
pilihan utamanya. Golongan ketiga bagi Seiyes adalah bangsa yang sebenarnya karena itulah rapat
golongan harus menjadi rapat kebangsaan, yang sanggup menyatakan kehendak umum rakyat
Perancis. Lihat JJ Von Schmid, Pemkiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad ke 19, Jakarta:
Pt Pembangunan, hlm 28.
86
beliefs: on the one hand, the perception of power’s dangerousness, of the
potential discrepancy between the formal lawfulness and substantial
despotism of legislative provisions (and the ensuing attempt to make the
Declaration of Rights an unassailable safeguard); on the other hand, the
theorization of a ―state of necessity‖ capable of sweeping away formal
lawfulness and individual rights in the name of the fight against darkness, of
freedom against despotism, of virtues against corruption.
Hubungan diantara hukum, kedaulatan dan rakyat diwujudkan dalam kerangka
harmonis bahwa hukum berperan sebagai perantara diantara warga negara dan
kekuatan yang berkuasa. Hal ini dilakukan dengan mengimplementasikan hak
alamiah individu. Hak ini yang kemudian dibakukan dalam wujud deklarasi hak
sebagai hal
yang tidak tergoyahkah, dalam hal ini negara bertindak tanpa
mengurangi hak alamiah warga negara tersebut. Konsep dari negara hukum ini
pada awal mulanya pasca Revolusi Perancis hanya secara formal digunakan
sebagai instrumen pemecah kekuasaan dan perlindungan dari absolutisme Raja
ketika itu.
87
B. Lembaga Perwakilan
Lembaga perwakilan dewasa ini menjadi perlambang tegaknya demokrasi.
Lembaga perwakilan berdiri sebagai partner sekaligus lawan dari pemerintah.
Hubungan diantara keduanya dalam penyelenggaraan negara akan membuktikan
berjalannya demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari desain yang diciptakan oleh
Konstitusi hingga pada peraturan hukum lainnya yang mengatur tentang Lembaga
Perwakilan. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa demokrasi tidak dapat
dilepaskan dari hubungan antara tradisi dan institusi.165 Institusi dan Tradisi
saling mempengaruhi satu sama lainnya, tradisi sebagai cara bagaimana
masyarakat melaksanakannya demokrasi, sedangkan institusi sebagai perwujudan
penataan dari demokrasi itu sendiri.166 Desain dari suatu kelembagaan dengan
demikian sangat menentukan mulai dari kewenangan, hingga pada hubungannya
dengan lembaga lain. Namun disini dapat saja desain yang sudah dirancang
sedemikian rupa untuk mendukung praktik demokrasi, dapat begitu saja hancur
ataupun disalahgunakan dalam tataran yang berbeda dengan tujuan yang
dimilikinya. Pada dasarnya hal ini sama dengan yang terjadi pada pembahasan
konstitusionalisme, yakni dimana unsur-unsur formal saja yang dinampakkan ke
permukaan yakni pembatasan kekuasaan, dan negara hukum. Lembaga
perwakilan dengan demikian wajib dibahasa terlebih dahulu pada tataran
konsepnya, sebelum menuju pada desain lembaga perwakilan moderen dengan
kewenangan legislasinya.
165
166
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Opcit, hlm 296.
Ibid.
88
Lembaga perwakilan dalam istilahnya sering disebutkan sebagai Assembly
yakni berkumpul.167 Pengertian berkumpul tersebut dapat dipahami sebagai suatu
kondisi untuk membahas masalah yang dimiliki rakyat. Lembaga tersebut dapat
dikatakan juga sebagai wadah dimana rakyat mengumpulkan masalahnya, untuk
kemudian dicarikan solusi terbaiknya. Istilah lain yang digunakan terhadap
lembaga perwakilan adalah parlemen atau dewan perwakilan rakyat yang berasal
dari kata parler (berbicara).168 Pada prinsipnya akan menentukan apa yang harus
dilaksanakan, suara mana disalurkan melalui utusan-utusan yang mereka dudukan
di forum perwakilan itu (demos+cratein= rakyat+pemerintah).169 Para utusan
menjadi penyambung keinginan dari rakyat, yang belum dapat dijangkau oleh
pemerintah. Peran lembaga perwakilan juga dalam hal ini tidak hanya kemudian
menyampaikan apa yang dibutuhkan rakyat saja. Lembaga perwakilan juga dalam
konsepsi moderen sering dikaitkan dengan penyebutannya sebagai lembaga
legislatif. Peran lembaga perwakilan di sini yang ditonjolkan adalah sebagai
perumus undang-undang. Rumusan dari undang-undang tersebut yang kemudian
dikatakan dapat mengubah jalannya penyelenggaraan negara. Namun hal ini justru
menyempitkan esensi perwakilan itu sendiri. Padahal lembaga perwakilan
memiliki fungsi lain seperti pengawasan, representasi adapun beberapa sarjana
menambahkan fungsi deliberative dan penyelesaian konflik.170 Bayangkan apabila
fungsi legislasi dikuatkan namun tanpa adanya fungsi lain yang kuat. Produk
167
Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm 315.
Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 65.
169
Ibid.
170
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 301. Mirriam
Budiarjo mengungkap hanya 2 (dua) fungsi utama dari badan legislatif, yakni membuat kebijakan,
dan mengontrol badan eksekutif. Lihat Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm
322-323. Ramlan Surbakti mengungkapkan adanya fungsi lain seperti menyetujui atau
mengusulkan seorang atau lebih pejabat negara seperti yang dikehendaki oleh Konstitusi ataupun
undang-undang. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Opcit, hlm 225.
168
89
hukum yang dibuat seakan hanya sebagai secarik kertas semata, tanpa memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan penyelenggaraan negara. 171 Lembaga
perwakilan pada akhirnya harus mampu memahami bagaimana untuk memenuhi
kehendak rakyat, secara aktif yakni melalui pengawasan tadi dan bukan hanya
membiarkan penyelenggaraan negara berjalan diatas satu pandangan saja.
Pemahaman terhadap kehendak rakyat yang dijamin perwujudannya dalam
negara, tidak dapat dilepaskan dari pandangan JJ Rousseau. Pandangan Rousseau
terhadap kehendak rakyat adalah sebagai berikut:172
1
Kekuasaan tertinggi ada pada rakyat , sebab dalam kontrak sosial
nampaklah kehendak umum (volonte generale) sebagai akar situasi sipil
ini. Dengan demikian rakyat dapat langsung mengambil keputusan dalam
pembentukan peraturan tanpa perantara wakil-wakil;
2
Kekuasaan rakyat yang berdaulat adalah bersifat mutlak, suci, dan kebal;
3
Rousseau
menolak konsep pembagian kekuasaan seperti yang
dicontohkan oleh John Locke dan Montesquieu;
4
Bentuk pemerintahan dapat berbeda-beda: monarki, aristokrasi, demokrasi.
Semangat yang dibangun dalam penyelenggaraan negara haruslah
respublica (kepentingan umum, republik), jika tidak diikuti maka
pemerintah harus digeser.
Konsep yang dibangun oleh Rousseau nampak bahwa dia mencita-citakan konsep
partisipasi rakyat langsung. Rakyat untuk dapat mewujudkan kepentingannya
171
Fungsi legislasi dalam perkembangannya di Abad ke-21, bahkan tidak lebih penting
dari fungsi pengawasan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi, Opcit, hlm 5.
172
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum dalam
Lintasan Sejarah, Opcit, hlm 90-91.
90
harus mampu berdiri sendiri, sebagai seorang individu. Kepentingan individu
inilah yang kemudian bersatu menjadi kepentingan kolektif yang dikenal sebagai
kehendak umum. Kehendak umum ini selanjutnya dapat diaplikasikan dalam
tataran praktikal karena pada dasarnya untuk mengadakan suatu konsep demokrasi
langsung tidaklah mungkin. Konsep demokrasi langsung ini hanya dimungkinkan
pada konsep demokrasi kuno Athena. Theo Huijbers mengungkapkan bahwa pada
akhirnya pandangan Rousseau dapat diwujudkan apabila dilakukan melalui wakil
rakyat yang turut serta mengambil keputusan dalam penyelenggaraan negara.173
Konsep perwakilan pada dasarnya kemudian menimbulkan pertanyaan mendasar,
apakah mungkin seluruh kepentingan yang ada dapat diwakili karena dalam suatu
forum terbuka tidaklah mungkin kemudian dapat langsung muncul suatu konsep
yang sama, dan selanjutnya mengantarkan pada suatu konsep mayoritas suara.
Konsep penjawantahan kekuasaan tertinggi pada rakyat tidak akan pernah
lepas dari problema mayoritas dan kepentingan kelompok pada akhirnya, namun
tidak dapat dipungkiri pula bahwa konsep tersebut sangatlah memungkinkan
untuk memanifestasikan keinginan rakyat meskipun diwarnai kepentingan
mayoritas dan kelompok. Namun hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena
kehendak rakyat dewasa ini untuk dapat sampai pada wujud lembaga perwakilan,
harus dipatri dan dibentuk dari partai politik. Partai politik itu sendiri dapat
dikatakan tidak akan pernah terlepas dari kepentingannya sendiri, sehingga dapat
saja kepentingan rakyat tertutup oleh
173
kepentingan partai politik. Namun dalam
Ibid, hlm 92. Teori kontrak sosial sebagai sebuah instrumen untuk mewujudkan
kehendak umum, belum mampu menjabarkan secara detail bagaimana kontrak yang dibuat oleh
rakyat dan pemerintah tanpa melalui sebuah partisipasi langsung yang menjadi kekurangan
terbesar daripada konsep yang dibangun oleh Rousseau. Soetandyo misalnya untuk mampu
mewujudkan kesepakatan antara rakyat dan pemerintah mengungkap bahwa: kontrak sosial adalah
suatu proses perjanjian dan kesepakatan yang melahirkan apa yang disebut konstitusi. Lihat
Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum,
Opcit, hlm 71.
91
hal ini tidak akan dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana kehendak rakyat
tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur politik, pembahasan akan lebih difokuskan
pada desain kelembagaan dari lembaga perwakilan itu sendiri. Desain lembaga
perwakilan ini tidak akan dapat dilepaskan dari pola yang dimiliki oleh
demokrasi.
Demokrasi
dalam
praktiknya
akan
berpengaruh
terhadap
penyelenggaraa dari lembaga perwakilan. Namun demokrasi itu sendiri berangkat
dari proses pengolahan yang dilakukan oleh kebudayaan dan paham tertentu. Bisa
saja kebudayaan dan paham yang ada di suatu bangsa/negara menganggap
pemikiran demokrasinya adalah yang terbaik, sedangkan di bangsa/negara lagi
bisa saja itu berbeda. Hal ini yang akan membedakan desain maupun bagaimana
lembaga perwakilan tersebut menjalankan fungsi-fungsinya.
1. Praktik Lembaga Perwakilan Zaman Klasik Barat
Zaman Klasik Yunani akan menjadi awal pembahasan praktik demokrasi.
Yunani dikenal sebagai awal mula peradaban moderen, pemikiran tentang politik
dan pemerintahan masih sering dirujuk dalam teori-teori kenegaraan kontemporer.
Pembahasan terhadapnya akan mengungkap praktik demokrasi yang berlangsung
dengan berbagai instrumen maupun lembaga pelaksananya. Demokrasi Yunani
dikenal
sebagai
demokrasi
partisipatoris
dimana
seluruh
warga
dapat
berpartisipasi dalam meyampaikan hak-haknya. Benih operasional demokrasi
yang ada di Yunani mulai muncul sekitar tahun 594 sebelum masehi, atas dasar
pemikiran Solon seorang negarawan Yunani.174
Pemikiran demokratis Solon
dapat dilihat melalui sebuah sidang umum antara lain Aeropagus, Boule, dan
174
J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli, Jakarta:
Rajawali Press, 2001, hlm 25
92
Ekklesia.175 Dewan Aeropogus dikenal sebagai sidang yang paling disegani dan
dihormati. Dewan ini mulai berkurang kekuasaannya sejak pemerintahan Pericles.
Sidang Ekklesia menjadi lembaga politik tertinggi di Yunani, dan wajib dihadiri
oleh seluruh anggota yang terdiri dari warga negara Athena yang berusia dua
puluh tahun keatas.176 Kebebasan warga negara untuk mengungkap apa yang
menjadi kebutuhannya merupakan nafas utama yang ada dalam Ekklesia.177
Ada formasi demokrasi yang diciptakan oleh Negara Kota Yunani melalui
dewan-dewan yang saling berhubungan, dengan komposisi dan fungsinya masingmasing. Namun dalam kenyataannya penyelenggaraan Negara Kota Yunani tidak
hanya berdiri diatas pilar demokrasi saja. Demokrasi dalam benak Aristoteles
berdiri berdampingan dengan aristokrasi dan monarki. Kekuasaan dalam wujud
ketiganya menghasilkan Bentuk pemerintahan Yunani berupa pemerintahan
campuran (mixed government).178 Bentuk pemerintahan campuran ini bagi filsuffilsuf Yunani sebagai upaya evaluasi dari kualitas institusi pemerintahan yang
ada.179
Pemerintahan
campuran
yang
ada
ternyata
tidaklah
seimbang
kekuatannya. Demokrasi dalam praktik kenegaraan Yunani ketika itu tetap ada
dalam ranah mayoritas, mengingat juga rakyat jelas lebih banyak dibandingkan
175
Ibid, hlm 26.
Ibid hlm 27.
177
Demokrasi dalam wujud sidang Ekklesia juga dapat dikataka sebagai wujud demokrasi
langsung. Pemerintahan rakyat dapat dilaksanakan di dalam arti kata yang sebenarnya, artinya
seluruh rakyat dapat diikutsertakan dalam memecahkan persoalan-persoalan negara yang penting
yaitu dengan jalan mengumpulkan rakyat negara didalam suatu tempat. Disebutkan oleh Joeniarto
menggunakan sistem demokrasi Yunani ini tidaklah sulit karena 2 (dua) hal besar:: 1) jumlah
rakyat disana ketika itu itu tidak banyak dan tidak semua orang dalam Polis itu digolongkan
sebagai rakyat negara; 2) persoalan di dalam negara tidak begitu sulit dan kompleks. Lihat
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm 22-23.
178
Efriza, Studi Parlemen: Sejarah, Konsep, dan Lanskop Politik Indonesia, Malang:
Setara Press, 2014, hlm 4.
179
George Tsebelis dan Jeannette Money, Bicameralism, Opcit, hlm 17.
176
93
kaum aristokrat dan bangsawan. Demokrasi dapat dikatakan juga bentuk peralihan
dari kekecewaan terhadap bentuk negara.180 Demokrasi secara praktis hingga saat
ini dipahami sebagai suara terbanyak. Kehendak mayoritas merupakan kebenaran,
dan kehendak minoritas belum tentu benar, atau bahkan dianggap salah ketika
berhadapan dengan suara mayoritas. Demokrasi bagi Yunani (abad ke 5 sebelum
masehi) selain itu, juga merupakan pencapaian besar sebagai pemerintahan yang
langsung dijalankan oleh rakyatnya. Konsep pemerintahan yang dekat dan
menyatu dengan rakyat ini tidak terlepas dari konsep kenegaraan yang dibangun
Yunani ketika itu. Aristoteles sebagai patron pemikir konsep negara polis
berpendapat bahwa negara terjadi
karena penggabungan keluarga-keluarga
menjadi satu kelompok yang besar. Kelompok yang besar tersebut bergabung lagi
menjadi Desa hingga seterusnya menjadi Kota atau Polis.181 Pemikiran yang
demikian menjadi rakyatlah yang membangun negara, berdasarkan hal tersebut
kemudian maka rakyat juga bertanggungjawab dan berpengaruh besar terhadap
penyelenggaraan negara.
180
Plato sebagai filsuf yang sohor dan pemikirannnya masih dipakai hingga sekarang
sebagai bahan kajian filsafat idealisme, mengungkap ada 5 bentuk besar negara, aristokrasi,
timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tirani. Kelima bentuk negara ini saling menyempurnakan dan
menggantikan satu sama lain. Aristokrasi merupakan bentuk negara paling ideal yang dipikirkan
oleh Plato. Konsep kenegaraan Plato pada akhirnya membentuk mengenai dua kutub pandangan
demokrasi. Demokrasi bagi negara dengan undang-undang adalah bentuk negara yang terburuk,
sedangkan bagi negara yang tidak memiliki undang-undangan adalah bentuk negara yang terbaik.
Lihat J.H Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli, Opcit, hlm 66-67.
Plato menerjemahkan negara terbaik adalah negara dengan bentuk aristokrasi. Lain halnya dengan
negara dalam pandangan Aristoteles. Aristoteles memandang bahwa negara yang paling baik
adalah Republik konstitusional. Alasan yang digunakan Aristoteles ketika itu bahwa pemerintahan
dengan bentuk Republik Konstitusional, maka berkurang pula benih-benih perkosaan diri atau
revolusi. Lihat Juniarso Ridwan, dan Achmad Sodik, Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum
dari Zaman Kuno sampai Abad ke-20, Bandung: Nuansa: Bandung, 2010, hlm 43. Lihat juga
Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, Pt Citra Aditya Bakti: Bandung, 2013, hlm 257. Satjipto Raharjo
menyebutkan bahwa Plato guru dari Aristoteles juga berpendapat mengenai Republik,
dikatakannya bahwa Republik adalah suatu negara yang dipimpin oleh orang-orang yang cerdik
cendekiawan. Pengertian yang dibangun mengenai republik masih sangat kental terasa bahwa
disana dimaksudkan pada konsep negara aristokrasi.
181
Max Boli Sabon, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Pt Gramedia
Pustaka Utama, hlm 40-41.
94
Polis selain tempat berkehidupan dan beraktivitas yang paling besar bagi
masyarakat Yunani Kuno, Polis juga berkembang sebagai komunitas politik
melingkupi seluruh warga Yunani. Setiap warga negara laki-laki lebih dari tiga
puluh tahun, kelas atau kekayaan apapun, itu memenuhi syarat untuk melayani
(untuk membayar) dari juri yang memutuskan kasus hukum; mereka juga
menjabat
sebagai
hakim,
pada
mengatur
Council
(dengan
bergantian
pemimpinnya), dan majelis legislatif, dengan posisi diisi oleh banyak warga.182
Setiap laki-laki yang mewakili keluarganya memberikan sebuah pandangan dan
pemahaman mengenai hukum yang akan dibentuk di lingkungan mereka. Warga
negara menjadi pengatur dari kehidupan mereka sendiri. Majelis dalam praktiknya
disisi lain ternyata belum cukup untuk memuaskan hasrat partisipasi dan
keterlibatan rakyat. Keinginan untuk merealisasikan kepentingan dan suara rakyat
tersebut pada akhirnya terjebak dalam elit tertentu yang dalam hal ini dapat dilihat
dari konsil (counsel) dan rhetores atau public speaker atau politisi.183 Demokrasi
Yunani dalam penelitian Danniela Louise Cammack bukan pada musyawarahnya
karena term yang digunakan adalah symbouleuo yang berarti adalah menyarankan
bukan bermusyawarah.184. Namun bukan berarti bahwa symbouleuo tidak dapat
digunakan untuk mendeskripisikan situasi dimana 2 (dua) orang atau lebih untuk
membahas suatu hal dan memberikan penjelasan akan situasi tertentu.185 Konsepsi
yang dibangun ketika itu dapat dikatakan pula hanya menekankan pada adanya
partisipasi langsung. Demokrasi yang dimaksud belum mengkhawatirkan tentang
182
Brian Z Tamanaha, On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press,
2004, hlm 7.
183
Lihat disertasi Danniela Louise Cammack, rethinking of Athenian Democracy, pada
bagian pemerintahan jurusan ilmu politik, Cambridge: Harvard University, 2013, hlm 99.
184
Ibid, hlm 104.
185
Ibid.
95
apakah seluruh kepentingan rakyat dapat diakomodir melalui lembaga demokrasi,
dan proses tersebut apakah sudah menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap
orang. Pada masa ini yang terpenting adalah adanya ruang demokrasi bagi rakyat.
2. Praktik Lembaga Perwakilan Kontemporer Barat
Demokrasi yang diterapkan akan mempengaruhi praktik penyelenggaraan
negara tersebut. Demokrasi dalam hal ini menyusun lembaga negara yang ada
dalam pola tertentu. Hal ini turut dipengaruhi oleh pola demokrasi itu sendiri.
Arend Lipjhart berkenaan dengan demokrasi mengatakan ada suatu pola tertentu
yang dimiliki oleh demokrasi. Arend membaginya secara umum dalam
Westminster dan Consensus democracy. Pola yang jelas serta regulasi tentang
institusi demokrasi seperti institusi pemerintah, legislatif, pengadilan hingga pada
interest group hanya dapat terlihat jelas apabila memeriksanya dari aturan dan
praktik yang ada.186 Arend mengarahkan pada pemikiran bahwa untuk
mengungkap berjalannya praktik institusi demokrasi tidak boleh melepaskan
desain dari praktik yang dijalankannya. Pemikiran dari Arend Lipjhart membagi
tipe demokrasi dalam 2 (dua) bentuk paling umum yakni model Westminster/
Majoritarian dan model Consensus. Westminster diambil dari contoh yang
dimiliki oleh Inggris, sedangkan Consensus diambil dari contoh Swistzerland, dan
Belgia. Berikut adalah perbedaan 2 (dua) model demokrasi tersebut. Lima
perbedaan pertama adalah dalam dimensi eksekutif-partai187
186
Arend Lipjhart, Patern of Democracy Government Form and Performance in Thirty
Six Country, United State: Yale University Press, 2012, hlm 1.
187
Ibid, hlm 3.
96
Tabel 2. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan konsensus berdasarkan
dimensi eksekutif-partai.
NO
Majoritarian
Consensus
1
Konsentrasi kekuasaan eksekutif dalam pembagian kekuasaan eksekutif
kabinet mayoritas partai tunggal
dalam koalisi multipartai yang
luas.
2
Hubungan Eksekutif-legislatif di mana Hubungan Eksekutif-legislatif di
eksekutif adalah dominan
mana eksekutif dan legislatif
adalah seimbang
3
Dua partai
4
sistem
pemilu
proporsional
5
sistem kelompok kepentingan Pluralis
dengan bebas-untuk-semua kompetisi
antara kelompok-kelompok
sistem multipartai
mayoritas
dan
proporsional representasi.
sistem kelompok kepentingan
"korporatis" dan terkoordinasi
yang bertujuan untuk kompromi
dan konsentrasi
Sumber: Arend Lipjhart, Pattern of Democracy.188
Kelima perbedaan tersebut diatas hanya memfokuskan pada dimensi eksekutifpartai. Dalam hal ini ada perbedaan lain dilihat dari dimensi yang berbeda.
Perbedaan lain dilihat dari dimensi federal-kesatuan
bawah ini.
188
189
Ibid.
Ibid, hlm 3-4.
189
Berikut dapat dilihat di
97
Tabel 3. Tabel perbedaan demokrasi majoritarian dan konsensus berdasarkan
dimensi federal-kesatuan.
NO
Majoritarian
Consensus
1
Pemerintah Kesatuan dan sentralisasi
2
Konsentrasi kekuasaan legislatif di pembagian kekuasaan legislatif
kamar tunggal
antara dua sama kuat namun
berbeda rumah (house).
3
konstitusi Fleksibel yang dapat diubah konstitusi kaku yang dapat
dengan mayoritas sederhana
diubah dengan mayoritas luar
biasa
4
Sistem di mana legislatif memiliki kata sistem di mana hukum tunduk
final pada konstitusionalitas undang- pada konstitusionalitas judicial
undang mereka sendiri
review oleh pengadilan tertinggi
atau konstitusi.190
5
Bank sentral yang bergantung pada Bank Sentral yang independen
eksekutif
Pemerintahan desentralisasi dan
federal
Sumber: Arend Lipjhart, Pattern of Democracy.191
Pemikiran yang dibangun oleh Arend Lipjhart dapat dipahami bahwa dilakukan
dengan pendekatan institusional. Dalam hal ini Arend memfokuskan pada desain
kelembagaan dalam bentuk yang berbeda akan mempengaruhi penyelenggaraan
190
Kekuatan parlemen Inggris tentu akan lebih kuat, dengan tiadanya kekuasaan judicial
pada pengadilan. Bahkan ada perdebatan mengenai judicial review sebagai sebuah alat
delegitimasi terhadap demokrasi. Alexander Bickel berpendapat bahwa judicial review merupakan
proses undemocratic. Lihat Alexander Bickel dalam International Journal of Constitutional law,
volume 10 number 4 Oktober 2012, Oxford University Press. Page 1028 Pendapat Bickel ini
sesungguhnya sudah banyak dibahas. Lihat juga Terri Perretti dalam Kenneth D.Ward et all, The
Judiciary and American Democracy: Alexander Bickel The Countermajoritarian Dificullty and
Constitusional Theory,hlm 132, yang mengemukakan bahwa: Overall, the research refutes
Bickel’s characterization of the Court as a countermajoritarian institution. While the Court does
indeed often rule against majority opinion (about one-third of the time, according to Marshall), it
more often sides with majority opinion.
191
Ibid.
98
dari lembaga tersebut. Pada sisi lain dapat dipahami juga bahwa Arend
memisahkan masalah politik yang terjadi dengan desainnya. Hasil dan proses
penyelenggaraan lembaga yang ada itu bergantung pada desainya bukan pada
politik yang mempengaruhi praktik penyelenggaraan. Berkenaan dengan tabeltabel diatas yang kemudian akan ditegaskan kepada desain lembaga perwakilan
yang akan terbentuk. Sebagai contoh misalnya pada bidang konsentrasi kekuasaan
legislasi yang disusun atas satu kamar ataupun dua kamar dimaksudkan pada
tujuan yang berbeda. Susunan dua kamar mencerminkan adanya komposisi
kekuatan di dalam suatu negara, yang tidak hanya dapat diakomodir oleh satu
kamar saja. Hal ini sebagai contoh misalnya di negara Inggris yang memiliki dua
kamar, merupakan cerminan dari dua kekuataan yang berbeda. Upper House yang
diwakili oleh House of Lord merupakan kamar yang berfungsi untuk mewakili
kepentingan kaum bangsawan, yang dalam hal ini dipisahkan dari kepentingan
rakyat biasa. Pada Lower House merupakan kamar yang mewakili kepentingan
dan kehendak rakyat yang memilih mereka secara langsung. Hal ini kemudian
berimplikasi terhadap suatu produk hukum maupun kebijakan yang dikeluarkan
oleh Lembaga Perwakilan.
99
3. Lembaga Perwakilan dari Perspektif Islam
Pemikiran Islam seringkali tidak dipakai dalam hal mencari pandangan
tentang penyelenggaraan negara. Hal ini dikarenakan pandangan terhadap Islam
yang seakan lebih tertinggal dari kebudayaan barat. Kondisi ini diperparah dengan
berbagai peristiwa yang muncul berkenaan dengan Islam adalah agama teroris dan
melahirkan berbagai pemikiran radikal yang merusak tatanan dunia. Realitas
tersebut semakin mempertebal tabir sejarah bahwa pemikiran Islam tidaklah perlu
digunakan. Padahal Islam-lah yang menjadi inisiator dari apa yang dimiliki oleh
pemikir barat saat ini. Pada saat pemikir barat belum memulai untuk berfikir
secara internasional dan kosmopolit, Islam sudah memulainya.192 Islam pada masa
klasik tidak ragu untuk mentranslasikan karya-karya ilmu pengetahuan dari
bangsa lain, selama karya tersebut berguna dan tidak bertentangan dengan ajaran
Tuhan.193 Namun pada akhirnya lagi-lagi diyakini bahwa kebangkitan peradaban
dunia adalah berasal dari barat melalui masa pencerahan (renaissance). Kondisi
lain yang membuat tertinggalnya pemikiran Islam dalam pemikiran kenegaraan
adalah aliran di dalam Islam itu sendiri.
Islam seringkali distigmakan sebagai agama yang terpisah dari hal-hal
kenegaraan. Menurut aliran pemikiran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang
rasul biasa yang mengajak pada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi nilai
budi pekerti, dan Nabi tidak pernah mengajarkan mendirikan atau mengepalai
suatu negara.194 Pandangan ini yang kemudian membelenggu perkembangan dari
pemikiran kenegaraan dari perspektif Islam. Islam pada akhirnya diarahkan
192
Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban , Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2001, hlm 135.
193
Ibid, hlm 134.
194
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2011, hlm
100
sebagai agama yang hanya memiliki kepentingan akhirat saja, kepentingan
duniawi menjadi hal yang tabu untuk dipikirkan. Hal ini kemudian membuat
pemikiran Islam menjadi terhambat dan berkembang sebagai agama ritual saja
bukan sebagai agama umat manusia, yang mengandung nilai-nilai sosial,
ekonomi, dan politik. Dalam pemikiran aliran yang lain, Islam adalah agama yang
serba lengkap, dan memiliki sistem politik sebagaimana telah dilaksanakan oleh
Nabi Besar Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin.195
Pada era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW merupakan era dengan
tingkat kewibawaan dan solidaritas yang sangat tinggi. Rakyat tidak
mempertanyakan peranan yang sangat besar dari seorang Nabi Muhammad,
karena mereka yakin terhadap status Muhammad sebagai pembawa agama Allah.
Nabi Muhammad dalam menjalankan tugasnya sebagai messenger tidak hanya
terpatri dalam satu tugas yakni menyampaikan wahyu Allah. Imam Ahmad bin
Idris Al-Qurafi menjelaskan pemisahan fungsional sikap dan kebijakan Rasulullah
dengan mengatakan bahwa: Rasulullah merupakan pemimpin yang agung, hakim
yang bijak, dan mufti yang berpengetahuan mendalam.196 Rasulullah memegang
kekuasaan tertinggi dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Semua tindakan dari
Rasulullah merupakan cerminan dari ketiga fungsi kekuasaan. Rasulullah sebagai
Eksekutif ketika beliau memimpin semisal dalam peperangan. Rasulullah sebagai
legislatif ketika dia menyampaikan firman dari Allah, dan yudikatif ketika sedang
berperan sebagai hakim yang memutus persoalan umat. Peranan Nabi Muhammad
disisi lain juga tidak hanya sebagai pemimpin dari umat Islam saja.
195
Ibid.
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen, Hukum,
Demokrasi, Pemilu dan Golput, terjemahan Masturi Irham dan Malik Supar, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2016, hlm 35.
196
101
Kepemimpinan dari Nabi Muhammad bahkan dikatakan dapat menyatukan
masyarakat yang berbeda melalui piagam Madinah yakni, antara Islam, Yahudi
dan berbagai kaum lainnya. Nabi Muhammad dalam hal ini dikatakan memiliki
inovasi secara politik melalui toleransi terhadap agama.197 Nabi Muhammad
sampai akhir hayatnya menjadi pemimpin tunggal secara keagamaan maupun
secara pemerintahan. Kepemimpinan dari Nabi Muhammad selanjutnya
digantikan oleh Al-Khulafa Al-Rasyidin. Pergantian kepemimpinan ini secara
historis juga merupakan pertanda pembagian dari aliran pemikiran politik Islam.
Svetla Ben-Itzhak menyebutkan bahwa terpecahnya aliran Islam ke dalam 3 (tiga)
bagian yakni Sunni, Syiah, dan Khawarij turut membagi pula aliran politik
mereka.198 Dalam hal ini akan dibahas 2 (dua) aliran saja yakni, pemikiran politik
Sunni, dan Syiah yang dalam hal ini menjadi representasi terbesar dalam
pemikiran Islam.
a.
Pemikiran Politik Sunni
Pasca wafatnya Nabi Muhammad umat Islam mencari bagaimana
pemilihan pemimpin yang tepat bagi mereka. Nabi Muhammad tidak pernah
melakukan penunjukan terhadap siapa pemimpin selanjutnya, ataupun melalui
lembaga mana pemimpin tersebut ditunjuk. Hal ini kemudian menjadi
kebingungan sekaligus awal perpecahan besar dari umat Islam. Musyawarah
197
George Walter Prothero, Sejarah Islam Klasik Perkembangan dari Zaman Turki
Hingga Afrika, terjemahan Sutrisno, Yogyakarta: Indopublika.
198
Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, dalam John T. Ishiyama dan Marijke
Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21 Sebuah Refrensi Panduan Tematis, Opcit,
hlm 920.
102
dalam hal ini merupakan jalan terbaik bagi kaum Muslimin. Hal ini mengacu
pada surah Al Syura ayat 38 yang menyatakan bahwa:199
―Dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka‖.
Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa segala sesuatu urusan dunia
diputuskan dengan proses musyawarah, termasuk juga soal kepemimpinan.200
Semua Khulafa Al-Rasyidin kemudian dipilih dengan model dewan (ahlu al-aqdi
wa al-hal). Hal ini merupakan wujud pemikiran politik Sunni yang menekankan
peran dari ahlu al-aqdi wa al-hal.201 Dewan ini beranggotakan dari para sahabat
Nabi yang berkompeten dan dianggap senior. Penyebutan akan dewan ini memang
tidak pernah dilakukan oleh kaum Muslimin ketika zaman itu. Namun dalam hal
ini merujuk pada pendapat seorang Imam zaman Bani Abbasiyah yakni Imam
Mawardi. Dalam hal ini kemudian menurut Imam Al-Mawardi berkembang 4
(empat) aliran ulama berkenaan dengan jumlah anggota ahlu al-aqdi wa al-hal
yang diperlukan untuk mengangkat seorang imam:202
199
Al-Quran Surah Al Syura ayat 38.
Pemilihan dari Al-Khulafa Al-Rasyidin yang dimulai dari Abu Bakar hingga pada Ali
bin Abi Thalib, tidak hanya menjadi pergantian kepemimpinan biasa. Pemilihan ini juga
merupakan suatu sejarah baru yang tidak hanya bagi Bangsa Arab, namun sejarah umat manusia
mengenai pemilihan yang tidak ditempuh melalui jalur keturunan atau darah. Pemilihan pemimpin
setelah Nabi tidak berdasarkan kepada keturunan, namun berdasarkan pada musyawarah. Belum
pernah ada suatu preseden dalam sejarah umat manusia, kepemimpinan suatu negara berdasarkan
pemilihan yang dilakukan sepeninggalan Nabi Muhammad SAW. Lihat Jimly Asshiddiqie,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Opcit, hlm 88.
201
Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, Opcit, hlm 920.
202
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam AS-Sultaniyyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan
Negara dalam Syariat Islam,terjemahan Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2006, hlm 5.
200
103
a) Anggota penuh
Sekelompok ulama berpendapat bahwa pemilihan imam (khalifah) tidak
sah kecuali dihadiri oleh seluruh anggota ahlu al-aqdi wa al-hal, agar
imam yang terpilih nanti benar-benar diterima seluruh lapisan dan mereka
semua tunduk kepada semua lapisan;
b) ahlu al-aqdi wa al-hal minimal beranggotakan 5 (lima) orang
ahlu al-aqdi wa al-hal dalam hal memilih seorang imam memerlukan
minimal 5 (lima) orang supaya pemimpin yang terpilih benar-benar sah.
Salah seorang dari mereka kemudian diangkat menjadi imam dengan restu
4 (empat) orang anggota lainnya;
c) ahlu al-aqdi wa al-hal dianggap sah ketika terdiri atas 3 (tiga) orang
para ulama di Kuffah berpendapat, bahwa salah satu dari ketiganya
ditunjuk sebagai imam dengan persetujuan 2 (dua) orang anggota lainnya.
Jadi salah seorang diantara mereka menjadi imam 2 (dua) orang lainnya
menjadi saksi;
d) ahlu al-aqdi wa al-hal hanya dengan 1 (satu) anggota
Anggota yang diperlukan untuk memilih seorang imam hanya 1 (satu)
orang saja. Hal ini terjadi ketika pemilihan khalifah Ali bin Abi Thalib
oleh Abbas bin Abdul Muthalib.
Jumlah yang dimaksud dari anggota dewan ini adalah jumlah orang yang
melakukan pembaitan pertama, dan dalam hal ini menentukan keabsahan dari
pemimpin yang baru. Model pemilihan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada
awal pergantian kepemimpinan sepeninggalan Nabi Muhammad dengan demikian
dapat dikatakan tidak terbatas pada konsepsi formal belaka. Semua didasarkan
104
pada musyawarah yang fokus pada tujuan. Ali Muhammad Ash Shallabi
menyebutkan ada (tiga) karakter utama yang dapat diambil dalam hal
Permusyawaratan yang ada pada zaman Khulafa Al Rasyidin:203
a) Musyawarah diselenggarakan atas dasar tujuan bukan bentuknya.
Jumlah yang hadir dalam musyawarah dalam hal ini tidak menjadi
persoalan. Jika peserta musyawarah telah diperhitungkan memiliki
kompetensi, maka musyawarah segera dapat dimulai;
b) Musyawarah diselenggarakan dengan nuansa kebebasan, keamanan, dan
keberanian.
Proses musyawarah tidak didasarkan pada keberpihakan kaum atau calon
manapun. Tidak ada suatu pihak yang menipu siapapun atau takut akan
siapapun, dan tiada yang menggantungkan kepada orang lain.
c) Musyawarah tidak membutuhkan aturan-aturan yang berbelit-belit dan
rumit.
Aturan yang berbelit-belit dan rumit akan menjadi beban, dan semakin
menghambat dari pada proses musyawarah.
Karakter yang dimiliki dalam hal musyawarah ketika itu dapat dikatakan pula
sebagai musyawarah yang berbasis pada kebutuhan. Apa yang dibutuhkan oleh
kaum Muslimin dibahas dalam musyawarah. Dalam hal pemimpin tidak ada
kriteria yang sangat rumit seperti jumlah pendukung dalam wujud Bani yang
diperlukan untuk mencalonkan diri sebagai seorang khalifah, ataupun pemilihan
langsung yang dapat dilakukan oleh seluruh warga Madinah. Semua hal tersebut
203
91.
Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen… Opcit, hlm 90-
105
tidak
diperlukan,
yang
diperlukan
adalah
pemimpinnya
bukan
pada
mekanismenya, dan semua mekanisme yang ada diserahkan pada sahabat Nabi.
Masa Khulafa Al-Rasyidin menjadi masa dimana praktik dari ahlu al-aqdi
wa al-hal secara nyatanya dapat berlangsung. Kewibawaan dari para sahabat
membentuk suatu ikatan sosial politis yang sangat kuat, sehingga mekanisme
pemilihan yang ditetapkan oleh masing-masing Khalifah dapat diterima. Tiap
Khalifah dipilih oleh mekanisme dewan dan musyawarah yang berbeda. Namun
suatu hal yang pasti tidak pernah ada pemilihan dengan keanggotaan penuh dari
Dewan sebagaimana dimaksud oleh Imam Mawardi. Kondisi ini terjadi karena
diperlukan gerakan cepat untuk segera memilih siapa pemimpin sepeninggal dari
Nabi Muhammad
Abu Bakar menjadi Khalifah pertama yang terpilih. Pada saat pasca Nabi
Muhammad wafat, kaum ansar berkumpul untuk mengadakan musyawarah untuk
memilih pemimpin selanjutnya dari kaum Muslimin. Kabar ini kemudian didengar
oleh Kaum Muhajirin yang selanjutnya mendatangi kaum Ansar untuk membahas
masalah pemimpin setelah Nabi Muhammad. Musyawarah yang dilakukan oleh
kedua kaum tersebut sangat sengit, dan masing-masing memiliki pandangan
tentang siapa yang pantas untuk memimpin kaum Muslimin. Namun perdebatan
yang keruh itu segera dijernihkan oleh Abu Bakar..204 Abu Bakar mengingatkan
kepada pihak-pihak yang bermusyawarah tentang Sabda Rasul yang menyebutkan
bahwa:205 ―Dahulukan orang Quraisy, dan jangan kalian mendahuluinya‖ Abu
Bakar kemudian menunjuk Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah sebagai
pilihan yang paling memungkinkan. Namun dalam hal ini Umar segera
204
Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiq The First Khalifa, Bandung: Sygma
Creative Corp, 2013, hlm 139.
205
Imam Al Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyyah.. Opcit, hlm 4.
106
menyarankan bahwa Abu Bakarlah yang memiliki kualitas sebagai pemimpin
yang dapat melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad. Umar menyebutkan
bahwa Abu Bakar seringkali ditunjuk oleh Rasulullah sebagai Imam ketika beliau
sedang sakit.206 Adapun hal lain yang membuat Abu Bakar memiliki kualitas
sehingga dia benar-benar dapat melanjutkan kepemimpinan Rasulullah. Abu
Bakar memiliki cinta, kepercayaan, hingga pada disebutkan tentang jasanya Abu
Bakar kepada Rasulullah sendiri.207 Atas saran dari Umar bin Khattab ini
kemudian kelompok yang hadir dari berbagai bani sepakat untuk memilih Abu
Bakar. Kelompok tersebut terdiri dari 5 (lima) orang selain Abu Bakar, yakni:
Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarah, Basyir bin Saad, Asid bin Khudair,
dan Salim seorang budak dari Abu Khuzaifah.208 Pemilihan dari Abu Bakar dalam
hal ini menggunakan tipe majelis dengan perwakilan 5 (lima) orang. Hal ini ketika
itu tetap dianggap sah meskipun tidak dihadiri oleh seluruh sahabat senior seperti
Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abudurahman bin Auf, Zubbair bin
Awwam, Saad bin Abi Waqqash dan Thalalah bin Ubaidillah.209
Periode setelah Abu Bakar adalah kepemimpinan dari Umar bin Khattab.
Umar yang sebelumnya menolak saran dari Abu Bakar untuk menjadi pengganti
dari Nabi Muhammad, kali ini dia tidak bisa menghindar lagi. Umar bin Khattab
dipilih melalui proses penunjukan yang dilakukan oleh Abu Bakar. Penunjukkan
yang dilakukan tidak semata-mata secara absolut yang otoriter dari Abu Bakar.
Abu Bakar tetap menegakkan jalan musyawarah demi melakukan memilih
pemimpin yang pantas bagi Kaum Muslimin. Abu Bakar menunjuk 3 (tiga)
206
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 23.
Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiqie.. Opcit, hlm 141-142.
208
Ibid.
209
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 23.
207
107
sahabat untuk berkonsultasi dengannya , yakni Abd Al Rahman bin Auf dan
Utsman bin Affan dari kaum Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok
Ansar.210 Musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar pada sisi lain juga
merupakan jalan untuk memberikan rasionalisasi terhadap kualitas diri pemimpin
selanjutnya, yakni Umar. Akhirnya disepakati oleh para perwakilan tersebut
adalah benar bahwa Umar memang sangat pantas sebagai pemimpin. Kualitas diri
Umar sebagai sahabat Nabi yang tegas dalam menegakkan Islam menjadi poin
yang sangat dipertimbangkan. Umar dalam kepemimpinannya mencetak berbagai
prestasi yang sangat berharga bagi Kaum Muslimin hingga saat ini. Prestasi
tersebut misalnya adalah pengumpulan dari bagia Al-Quran dalam 1 (satu) jilid
dan pencetus dari kalender Islam. Akhir kepemimpinan Umar ditandai dengan
peristiwa penusukan terhadap dirinya. Umar ketika sedang shalat ditusuk dengan
sebilah pisau oleh orang Persia bernama Abu Luluah. Namun sebelum dia wafat
Umar memiliki pandangan tentang bagaimana pemilihan dari pemimpin
selanjutnya.
Umar tidak melakukan penunjukan langsung seperti yang dilakukan oleh
Abu Bakar. Umar berpendapat bahwa pemilihan dari pemimpin yang baru harus
diserahkan kepada para sahabat Nabi. Umar dalam hal ini kemudian membentuk
sebuah komite. Komite yang terdiri dari 6 (enam) orang yang disebut oleh Tamin
Ansari sebagai komite Konsultatif (Syura) untuk memilih seorang khalifah yang
baru.211 Komite ini terdiri atas Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Saad bi
Waqqash, Abd Al Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin
210
Ibid, hlm 24.
Tamin Ansary, Dari Puncak Dunia Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam, terjemahan:
Yuliani Liputo, Jakarta: Zaman, 2015, hlm 104.
211
108
Ubaidillah.212 Komite ini bertugas memilih salah satu diantara mereka sebagai
pemimpin selanjutnya dengan cara musyawarah. Musyawarah yang dilakukan
oleh komite ini pada akhirnya menghasilkan 2 (dua) nama, yakni Ali bin Abi
Thalib dan Utsman bin Affan. Komite (syura) dalam hal ini diwakili oleh ketua
komite memberikan pertanyaan bahwa: ― Jika anda menjadi khalifah, apakah anda
akan dipandu oleh Al-Quran, sunnah, dan contoh yang ditetapkan oleh Abu Bakar
dan Umar‖?.Jawaban yang dikeluarkan oleh Ali dan Utsman berbeda. Ali
menegaskan akan mengikuti Al-Quran, dan Sunnah namun tidak pada contoh
yang ditetapkan khalifah terdahulunya.213 Jawaban dari Utsman berbeda dengan
Ali, Utsman cenderung mengiyakan semua pertanyaan yang diberikan
kepadanya.214 Jawaban tersebut mengantarkan Utsman sebagai Khalifah ke-tiga.
Periode kepemimpinan Utsman ini yang merupakan awal perpecahan dari Kaum
Muslimin.
Kekacauan yang timbul di zaman Khalifah Utsman diawali dari
pengangkatan Muawiyah bin Abu Sufyan yang memerintah dari seluruh hulu
Sungai Efrat di Mediterania sampai ke pantai Mesir.215 Pemerintahan dari
Muawiyah meresahkan dan membuat rakyat Mesir menjadi tidak puas, dan
mengirimkan perwakilannya untuk menemui Khalifah Utsman. 216 Ketidakpuasan
ini berakhir pada kekacauan dan kericuhan di Madinah. Hal ini kemudian
berujung pada kematian Khalifah Utsman. Kondisi kekacauan ini membuat
kekuasaan di Madinah menjadi kosong. Masyarakat ketika itu mulai mencari
solusi tentang siapakah pemimpin yang pantas.
212
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 25.
Ibid, hlm 26-27.
214
Ibid.
215
Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 113.
216
Ibid.
213
109
Ali bin Abi Thalib kemudian keluar sebagai pemimpin yang baru
menggantikan Utsman bin Affan. Ali pada awalnya menolak untuk menjadi
pemimpin, namun atas dorongan berbagai pihak dan kondisi yang mencekam di
Madinah maka Ali bersedia untuk menjadi Khalifah. Pada proses pengangkatan
Ali menjadi Khalifa ada yang menyebutkan bahwa Ali diangkat atas suara
mayoritas dan dipilih secara langsung oleh masyarakat dan anggota Dewan
perwakilan.217 Ali dalam pendapat lain juga dipilih dengan menggunakan tipe 3
(tiga) orang anggota dewan, yakni Saad bin Abu Waqqash, Zubair, dan
Thalhah.218 Ada pula yang menyebutkan bahwa Ali dilipih dan diusulkan oleh
para pemberontak yang membunuh Utsman. Karen Amstrong menyebutkan
bahwa para pemberontak yang mengumumkan Ali sebagai seorang Khalifah
baru.219 Proses pemilihan Ali ternyata pada sisi lain tidak hanya merupakan
kesepakatan dari banyak pihak di Madinah. Imam Mawardi menyebutkan bahwa
pembaitan Ali dilakukan juga oleh Abbas bin Abdul Muthalib, dan dikatakan
bahwa pembaitan ini sah meskipun hanya dilakukan oleh 1 (satu) orang saja.220
Abbas ketika itu menanggap bahwa pembaitan yang dilakukan olehnya akan
menghapus keraguan atas kepemimpinan Ali.221 Namun berbagai pandangan
tersebut pada intinya adalah melegitimasi seorang Khalifah di masa transisi yang
kacau. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan dari para khalifah tidak
terlepas dari kondisi yang terjadi ketika itu. Kebutuhan menjadi hal yang lebih
penting dibandingkan mekanisme yang berbelit-belit.
217
Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen… Opcit, hlm 116.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 27.
219
Karen Amstrong,Sejarah Islam Telaah Ringkas Komprehensif Perkembangan Islam
Sepanjang Zaman, terjemahan Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, hlm 83.
220
Imam Al Mawardi, Al Hakam As Sulthanian.. Opcit, hlm 5.
221
Ibid, hlm 6.
218
110
Proses pemilihan dari para khalifah tidak menggunakan sistim one man
one vote seperti dalam praktik demokrasi liberal. Pemilihan yang dilakukan di
Madinah lebih mempercayakan sistim pemilihan dengan perwakilan oleh lembaga
syura atau yang disebut juga dengan ahlu al-aqdi wa al-hal. Tiap khalifah
memiliki tipe yang berbeda dalam menerapkan jumlah perwakilan yang
diperlukan yang secara sah untuk memilih seorang khalifah. Abu Bakar dipilih
dengan tipe 5 (lima) orang yang sepakat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin.
Umar berbeda lagi, dia dipilih dengan kombinasi antara penunjukan oleh Khalifah
terdahulu yang kemudian diperkuat oleh musyawarah para sahabat. Utsman
memiliki tipe yang berbeda dari tipe Abu Bakar maupun Umar. Utsman dipilih
dengan lembaga syura yang dibentuk oleh Umar, dimana 6 (enam) anggota
melakukan musyawarah untuk memilih 1 (satu) diantara mereka yang pantas
menjadi pemimpin, dan kemudian sepakat untuk memilih Utsman. Ali bin Abi
Thalib dipilih dengan menggunakan kesepakatan 3 (tiga) dewan, dipilih dan
diangkat oleh para pemberontak, dan ada juga yang menyebutkan bahwa Ali
diangkat oleh Abbas bin Abdul Muthalib. Ada berbagai pendapat tentang hal
tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kondisi yang sangat kacau pasca kematian dari
Utsman dan berbagai tuntutan terhadap pemilihan Khalifah yang baru, sehingga
kemudian timbul berbagai simpang siur terhadap pemilihan Ali.
Masa pemilihan Ali dapat dikatakan merupakan masa terakhir dalam
kepemimpinan Islam yang dilakukan oleh Sahabat Nabi.. Masa Islam selanjutnya
dilakukan dalam tatanan dinasti yang mengembalikan pola kepemimpinan
menggunakan model keturunan. Hal ini dimulai dari kisah Muawiyah. Muawiyah
menjadi pihak yang paling menentang Ali dalam kedudukannnya sebagai seorang
111
Khalifah. Ada 2 (dua) isu yang diangkat oleh Muawiyah dalam hal menolak
kepemimpinan dari Ali:
222
pertama, tanggungjawab terhadap pembunuhan
Utsman. Kedua, berkenaan dengan hak pilih terhadap pemimpin tidak hanya milik
Madinah saja, namun milik wilayah lain juga. Muawiyah pada kesimpulannya
adalah menuntut ketidakadilan yang alami oleh Utsman. Utsman yang masih
keluarga dari Muawiyah hanya menjalankan tugasnya untuk menjaga wilayah
tetap aman dan damai. Pada sisi lain secara politis Muawiyah sesungguhnya juga
ingin membuka ruang partisipasi bagi dirinya yang selaku Gubernur Suriah.
Konflik dengan Muawiyah kemudian tidak hanya berakhir pada perdebatan secara
lisan saja. Konflik dengan menggunakan senjata juga turut mewarnai perdebatan
dan penolakan dari Muawiyah ini. Ali entah karena kebijaksanaannya ataupun
sifatnya yang ingin menghindari perang saudara, maka Ali bernegosiasi dengan
Muawiyah. Ali membiarkan Muawiyah untuk dapat memerintah di Suriah, dan
sisanya adalah milik Ali.223 Hasil perundingan ini tidak berujung pada kedamaian
yang dimaksudkan. Hal ini justru semakin memperkeruh suasana yang ada di
dalam pemerintahan Ali ketika itu. Para pendukung Ali berubah menjadi kaum
ekstremis yang menentang dan menarik diri dari umat. Kaum ini kemudian
dikenal dengan Khawarij (yang memisahkan). Ali dalam melihat kondisi ini
melakukan tindakan tegas kaum khawarij, namun hal justru semakin meluaskan
pemberontakan terhadap Ali bin Abi Thalib. Pada akhirnya di tahun 661 Ali
dibunuh oleh seorang Khawarij.224 Peristiwa Ali ini kemudian mengakhiri
kekhalifahan dari Khulafa Al Rasyidin, dan menjadi awal dimulainya kembali
pemilihan pemimpin berdasarkan keturunan.
222
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 28.
Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 123.
224
Karen Armstrong, Sejarah Islam… Opcit, hlm 86.
223
112
Dinasti Ummayah (661-737 M) lahir ditengah-tengah transisi dan
kebingungan umat Islam, terhadap kekacauan dan ketidakstabilan pemerintahan.
Muawiyah pada tahun 40 Hijriyah atau 661 masehi mendirikan dinasti Umayyah.
Dinasti Ummayah merubah secara garis besar model penyelenggaraan dan
hubungan antara umat dan pemimpin menjadi hubungan antara raja dan rakyat.
Perubahan tatanan dilakukan oleh Muawiyah dalam berbagai hal. Paling tidak ada
3
(tiga)
hal
yang
diubah
oleh
Muawiyah
dalam
menyelenggarakan
pemerintahannya yang baru. Pertama, tidak ada lagi tatap muka langsung yang
dilakukan antara seorang pemimpin tertinggi dengan rakyatnya. 225 Intensi
pertemuan rakyat dengan pemimpin menjadi suatu yang sakral dan eksklusif.
Dalam hal ini dibentuk suatu jabatan Hajib sebagai sebuah tugas untuk mengatur
pertemuan dengan pemimpin tertinggi di kerajaan.226 Jabatan ini yang
menentukan sesorang layak atau tidak untuk bertemu dengan pemimpiinnya. Hal
ini pada sisi lain merupakan wujud dominasi yang dilakukan untuk
mengintervensi pergerakan dunia bawah tanah. Pembatasan untuk membahas
bersama pemimpin menjadi dalih untuk mengurangi percikan-percikan konflik
yang terjadi di awal penyelenggaraan dinasti Umayyah. Kedua, perubahan yang
krusial terhadap penyelenggaraan pemerintahan juga terjadi pada penyelenggaraan
pemerintahan. Umayyah membentuk 5 (lima) dewan kepaniteraan yakni dalam
hal urusan: korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan bersenjata, urusan
kepolisian, dan urusan peradilan.227 Perubahan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan ini merupakan suatu kontribusi yang sangat berarti, dan hal ini
merupakan kelanjutan dari apa yang dirintis kaum pendahulu mereka. Ummayah
225
Munawir Sjadzali¸ Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 37.
Ibid.
227
Ibid.
226
113
dalam hal ingin mewujudkan suatu pemerintahan sentral yang benar-benar
terstruktur dan stabil. Segala bentuk pemberontakan misalnya dapat diatasi
dengan kontrol melalui kepolisian.
Ketiga, perubahan terhadap pemikiran lembaga syura. Lembaga syura atau
ahlu al-aqdi wa al-hal sebagai cetak biru lembaga perwakilan rakyat turut juga
mengalami perubahan secara fundamental. Lembaga ini pada masa Khulafa Al
Rasyidin menjadi sebuah forum musyawarah yang mempunyai legitimasi
terhadap pembaitan seorang khalifah. Para sahabat yang dianggap berkompeten
dimasukkan dalam golongan ini untuk benar-benar menilai kualitas diri seorang
pemimpin. Pemimpin yang dihasilkan harus benar-benar mampu menjawab
kebutuhan yang ada di saat itu. Namun pada era dinasti Umayyah lembaga ini
menjadi lembaga yang berada dalam kontrol dari pemimpin. Dalam kesempatan
pertamanya beroperasi di era Umayyah lembaga syura dipaksa untuk memilih
Yazid sebagai pengganti dari Muawiyah, dan apabila tidak menerimanya
konsekuensinya adalah kematian.228 Fungsi lembaga syura ini mau tidak mau,
hanya melegitimasi atau mengiyakan terhadap memang benar adanya kualitas
pemimpin yang dibutuhkan, dan sifatnya hanya sebagai saran semata. Hal ini
hanya sebagai upaya menjaga tradisi, namun dengan perubahan di sana sini maka
sesuailah kehendak dari pemimpin. Pada sisi lain kondisi ini juga merupakan
dampak pemikiran yang ada pada dinasti Umayyah. Dinasti Umayyah
menganggap bahwa jabatan seorang khalifah itu ada suatu lembaga politik
semata.229 Khalifah tidak dipandang lagi sebagai perwujudan Allah langsung di
muka bumi. Namun benar-benar merupakan kepentingan politik semata, sehingga
228
229
Tamin Ansary, Dari Puncak Bagdad… Opcit, hlm 127.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm 39.
114
keputusan seorang pemimpin adalah keputusan pribadinya, gerakan yang sedikit
berbeda dari Khulafa Al-Rasyidin menjadi sangat dimaklumi karena ada
pemisahan konsepsi antara peran pemimpin dan dirinya sebagai wakil Tuhan.
Pada pemerintahan dinasti Umayyah dengan demikian tidak ada lembaga
perwakilan yang memiliki wewenang untuk dapat memilih pemimpin seperti yang
terjadi pada zaman Khulafa Al Rasyidin. Kondisi Lembaga Perwakilan dalam
keterbatasan dan hanya seakan menjadi penasihat, dilanjutkan kepada negaranegara Islam yang bersistem pemerintahan kerajaan. Hal ini dapat dilihat dalam
praktik kenegaraan yang terjadi di Arab Saudi dimana pemerintahan berdasarkan
raja yang sifatnya turun menurun. Raja dalam kondisi demikian memegang
kekuasaan mutlak, dimana tanpa keterlibatan Lembaga Perwakilan yang dipilih
oleh rakyat dan yang ada hanya semacam majelis Syura.230 Penyelenggaraan
negara yang demikian menurut Ali Asgar Nursati memiliki kelemahan dan
kelebihan tersendiri. Kelebihannya yakni: keterpusatan proses pengambilan
keputusan, kepraktisan penyelenggaraan urusan pemerintahan, dan tingginya
tingkat kesolidan.231 Kekurangannya yang muncul kemudian adalah kehendak
pribadi menjadi orientasi utama.232
230
Ibid, hlm 222.
Ali Asgar Nursati, Sistem Politik Islam, terjemahan: Musa Mouzawir, Jakarta: Nur
Alhuda, 2015, hlm 113.
232
Ibid.
231
115
b.
Aliran Syiah233
Syiah merupakan aliran yang lahir dari konflik yang terjadi pasca
wafatnya Nabi Muhammad. Ketiadaan pesan Nabi tentang siapa pemimpin
selanjutnya menjadi perdebatan dengan berbagai dalil. Kebiasaan mengambil
pemimpin dari menarik garis darah menjadi alasan bagi para pengikut Ali bahwa
Ali dapat mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad Para pengikut Ali di sisi lain
juga percaya bahwa bagaimanapun juga kualitas diri Ali seharusnya mampu
mengalahkan ketiga khalifah sebelumnya. Ali seringkali menjadi pahlawan dalam
berbagai perang dengan kekuatan dan kecerdikannya. Namun apa daya para
sahabat lebih mempercayai mekanisme pemilihan yang berdasarkan pada
musyawarah, dan dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk ahlu al-aqdi wa al-hal.
Kekecewaan kaum pendukung Ali inilah yang kemudian melahirkan kaum Syiah.
Syiah kemudian berkembang semakin pesat sejak kematian Ali dan
kondisi keluarga Ali yang teraniaya oleh dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Kaum
Syiah selanjutnya mengembangkan pemikiran yang lebih radikal lagi tentang Ali.
Ali tidak hanya kemudian sekedar seseorang pemimpin biasa. Namun seorang
pemimpin yang mewarisi sifat dan kualitas diri Nabi Muhammad. Mereka
kemudian menyebut Ali sebagai Imam. Makna Imam yang dimaksud ini tidak
hanya sekedar imam dalam hal pemimpin dalam shalat saja.
Imam yang dimaksud adalah bahwa Ali mewarisi semacam substansi
mistis yang nyata dan diberikan kepada Allah, semacam energi dan cahaya yang
mereka sebut sebagai barakah Muhammad.234 Konsep barakah yang dimaksud ini
233
Aliran Syiah yang dimaksud merupakan aliran yang berkembang di negara Iran, yakni
aliran Immamiyah Itsna Asyariyah. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara… Opcit, hlm
213.
234
Tamin Ansari, Dari Puncak Bagdad.. Opcit, hlm 133.
116
adalah ketika Nabi Muhammad meninggal maka cahaya tersebut diwarisi kepada
Ali.235 Ali kemudian dianggap menjadi penerus dalam hal membimbing kaumnya
kepada jalan keselamatan dunia akhirat. Aliran dari Syiah ini kemudian terpecah
dalam berbagai aliran dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai
pemilihan imam. Namun yang terbesar adalah Aliran Itsna Asyariyah/ aliran dua
belas imam. Aliran ini berkembang di negara Iran, Irak dan sekitar teluk. Pokokpokok pendirian aliran ini antara lain:236
a) Abu Bakar dan Umar merampas jabatan dari Khalifah dari pemiliknya;
b) Kedudukan Ali satu tingkat lebih tinggi dari pada manusia biasa, dan dia
merupakan perantara antara manusia dan Tuhan;
c) Imam itu ma’sum, terjaga dari segala kesalahan, baik besar maupun kecil;
d) Ijma atau kesepakatan ulama Islam baru dapat dianggap sebagai hukum
Islam jika direstui oleh Imam;
e) Imam mereka yang ke-12 menghilang dan akan muncul di zaman akhir
untuk menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman.
Pemikiran tentang imam ke 12 ini berkembang sejak konflik yang terjadi antara
Syah dan Abbasyiah.237 Imam ke 10 Syiah Ali Al Hadi ditempatkan dalam rumah
perlindungan rahasia untuk menjamin keselamatannya dari ancaman konflik yang
terjadi dengan Abbasiyah.238 Kondisi dalam persembunyian ini kemudian
berlanjut kepada Imam ke-11. Pada tahun 874 Masehi ketika Imam ke-11
235
Ibid.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.. Opcit, hlm 214.
237
Abbasiyah sempat dikatakan menipu kaum Syiah ketika pendirian dinasti Abbasiyah.
Abu al Abbas sempat menjadi boneka dari Abu Muslim untuk mengalahkan dinasti Umayyah.
Kekuasaan kemudian diperoleh oleh dinasti Abbasiyah, namun tidak dengan Syiah. Syiah
dikhianati bahkan keturunan dari Ali sempat diburu dan dikejar untuk dibunuh. Hal ini yang
mengawali konflik antara Abbasiyah dan Syiah. lihat Tamin Ansari, Dari Puncak Bagdad.. Opcit,
hlm 152-158.
238
Karen Armstrong, Sejarah Islam… Opcit, hlm 122.
236
117
meninggal, konon kabarnya dia meninggalkan seorang putra.239 Putra dari Imam,
ke-11 yang secara tradisi Syiah kemudian dianggap sebagai Imam ke-12 yang
akan hadir di akhir zaman. Tentu dalam kondisi Imam yang bersembunyi
demikian tidak berarti Kaum Syiah berhenti begitu saja. Kondisi yang tanpa
hubungan demikian kemudian memunculkan perkembangan pemikiran tentang
politik dan pemerintahan di Kaum Syiah. Syiah selama menunggu kedatangan
dari Imam ke 12 yakni Muhammad Al Mahdi menerima pemerintah yang ada
melalui doktrin taqiyah, yakni keyakinan politik dan religius yang digunakan
untuk menjustifikasi penerimaan pemerintahan yang ada.240 Pemerintah menjadi
pimpinan yang paling tinggi dan wajib dipatuhi sebagaimana mereka mematuhi
Imam.
Praktik dengan model ini dipraktikkan di Iran dan dikenal sebagai wilayah
al Faqih (kekuasaan ilmuan agama), yang dikembangkan dan dirumuskan secara
aplikatif oleh Ayyatullah Khomeini. Model pemerintahan yang dikembangkan ini
seakan melazimkan pemerintahan otoriter, dimana seluruh tindakan pemerintah
yang menjadi imam selalu benar tanpa dibiarkan Tuhan untuk terjerumus dalam
kesalahan. Namun konsep dari wilayah al-faqih ini membuka peluang dan juga
pembatasan terhadap kekuasaan.
Muhammad Anis menyebutkan dalam konsep Wali al Faqih bahwa
kemutlakan ini tidak seperti pemerintahan yang otoriter. Konsep mutlak yang ada
dalam Wilayah al-Faqih di sini semata-mata terkait dengan penegakan hukum
syariat, yang didasarkan pada proyeksi antisipatif sang faqih.241 Kekuasaan sang
239
Ibid.
Svetla Ben-Itzhak, Pemikiran Politik Islam, Opcit, hlm 922.
241
Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih, Bandung: Mizan
2013, hlm 152.
240
118
faqih tetap berada dalam batas-batas prinsip akidah dan hukum syariat.242 Rakyat
diberikan perlindungan melalui ketegasan hukum syariat. Namun bukan berarti
kemudian wilayah al Faqih sama dengan kebebasan yang diberikan dalam
konsepsi demokrasi Liberal. Forough Jahanbakhsh menyebutkan bahwa ada (2)
perbedaan mendasar antara demokrasi liberal dan wilayah al Faqih yang
dimaksud oleh Khomeini:243
a) pertama, dengan tidak adanya Imam apapun kepemimpinan politik tanpa
persetujuan dari masyarakat adalah tidak sah. Tapi dalam periode
kegaiban, kantor imamah (kepemimpinan) harus pergi ke faqih paling
terpelajar dan saleh, yang menyadari dan berpengetahuan, tidak hanya
hukum Islam, tetapi juga dari hal-hal dan kondisi sekitarnya, dan siapa
yang melindungi hak-hak rakyat, bahkan orang-orang dari minoritas nonMuslim.
b) Kedua, dalam pemerintahan Islam kedaulatan nyata milik Allah Yang
Maha Kuasa dan agama yang benar, yaitu, Islam dan hukum yang
komprehensif. pemerintahan Islam, dalam tiga divisi kekuasaan-legislatif,
eksekutif dan yudisial-adalah bawahan hukum Islam. Itulah sebabnya
ditunjuk sebagai teokrasi sebagai lawan demokrasi.
Legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dengan demikian dimaksudkan
oleh Khomeini adalah bukan pada berapa banyak jumlah suara yang dimilikinya,
sebagaimana dalam demokrasi barat yang mementingkan hal tersebut. Namun
dalam hal ini kualitas diri berupa pengetahuan agama dan pengetahuan sosial,
yang dimiliki oleh pemimpin tersebut yang menjadi dasar dia memiliki legitimasi
242
Ibid.
Farough Jahabakhsh, Islam, Democracy and Religious Modernism in Iran (1953-2000)
From Barzagan to Soroush, Leiden: Koninklijk Brill, 2001, hlm 136.
243
119
sebagai pemimpin tertinggi. Umat tidak boleh takut pemimpin yang terpilih
adalah pemimpin yang dzalim, jika ia berlaku sebagai diktator maka dia akan
terusir dari wilayahnya (kepemimpinannya).244 Khomeini dengan demikian
mengajak umat untuk tidak takut dan selalu percaya terhadap pemimpinnya. Pada
sisi lain dapat diketahui juga bahwa ternyata konsepsi yang dibangun oleh
wilayah al Faqih tidak hanya berkenaan dengan kekuasaan eksekutif saja. Namun
dalam hal ini kedaulatan Tuhan sebagai sumber tertinggi turut juga dibagi dalam
kekuasaan lain yakni legislatif dan yudikatif.245 Hal ini dengan demikian
menggambarkan bahwa wilayah al Faqih juga menyediakan desain tersendiri
berkenaan dengan lembaga perwakilan dengan tidak melepaskan kedudukan dari
faqih. Lembaga perwakilan yang ada di Iran dapat disimpulkan digolongankan
dalam 3 (tiga) jenis lembaga:
a) Guardian Council (dewan garda);
b) Islamic Consultative Assembly (majelis syura);
c) The Assembly of Expert (dewan pakar)
Dewan garda dan majelis syura memiliki kedudukan sebagai lembaga perwakilan
yang dalam hal ini memiliki fungsi legislasi. Namun keduanya ditempatkan pada
posisi yang berbeda. Pada kewenangan legislasi, ada hubungan diantara keduanya
yang akan sangat mempengaruhi terhadap produk hukum yang dihasilkan. Majelis
Syura merupakan lembaga yang berposisi sebagai pembuat undang-undang yang
sesuai dengan Syariat Islam dan tradisi yang ada di negara Iran. 246 Pada proses
pembuatan undang-undang ini dapat dikatakan majelis Syura hanya memiliki
kewenangan legislasi tingkat pertama saja. Kewenangan legislasi selanjutnya
244
Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih..Opcit, hlm 153.
Lihat Pasal 57 konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989
246
Lihat Pasal 58 Konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989
245
120
pegang oleh Dewan Garda. Produk undang-undang yang dibuat oleh Majelis
Syura tidak dapat begitu saja diundangkan dan ditetapkan.
Produk yang ada harus melewati verifikasi dari Dewan Garda terhadap
muatan dari undang-undang, apakah kemudian sudah sesuai atau belum dengan
Hukum Islam yang ditetapkan di Iran.247 Hal ini merupakan sebuah wujud double
check terhadap produk undang-undang, bahwa undang-undang perlu diproses
dalam dua lembaga yang berbeda sehingga benar-benar dapat optimal produk
hukum yang ada. Pada dasarnya konsep double check yang dilakukan oleh kedua
lembaga ini seakan sama dengan yang ada di negara-negara liberal. Namun dalam
hal ini ada konsep teokrasi dan demokrasi yang sangat kental di dalamnya.
Produk hukum yang ada dikonsepsikan hanya merupakan bentuk
interpretasi dari Hukum Islam. Anggota parlemen dalam negara Islam moderen
sesungguhnya bukan membuat hukum yang benar-benar baru, karena pada
dasarnya legislator (pembuat undang-undang) hanyalah Allah.248 Namun produk
hukum yang dihasilkan merupakan penggalian dari sumber-sumber Hukum Islam.
Al-Quran dan sunnah merupakan sumber hukum yang dimaksud demi
mewujudkan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan syariat dalam bidang
muamalah atau sering dikenal dengan sebutan tradisi atau kebiasaan, sesuai
dengan perkembangan situasi dan kondisi.249 Produk undang-undang yang dibuat
dengan demikian tidak dapat bergantung pada Majelis Syura saja, yang
anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dan tentunya berasal dari berbagai
247
Lihat Pasal 72 dan pasal 94 Konstitusi Iran Pasca Amandemen 1989. Waktu verifikasi
produk undang-undang yang dilakukan oleh Dewan Garda dibatasi dalam jangka waktu 10
(sepuluh) hari dan dapat ditambah lagi 10 (sepuluh) hari apabila mendapatkan persetujuan dari
Dewan Syura. Lihat Pasal 94 dan 95 Konstitusi Iran 1989.
248
Ali Muhammad Ash Shallabi, Parlemen di Negara Islam Moderen,Opcit, hlm 45.
249
Ibid.
121
kalangan (Syiah, dan kalangan-kalangan minoritas seperti Yahudi, Zoroastrian,
Kristern dll) yang bisa saja bukan orang yang benar-benar mengerti Hukum Islam
secara mendalam.250 Bisa saja kemudian produk undang-undang yang dihasilkan
tidak sesuai dengan Hukum Islam dan konstitusi. Produk undang-undang juga
dalam hal ini harus diperiksa kembali dan disesuaikan oleh Dewan Garda yang
merupakan dewan yang beranggotakan pakar-pakar hukum Islam, yang dipilih
oleh wali al- Faqih.251 Para pakar ini yang dianggap memiliki kompetensi untuk
menetapkan secara final and binding terhadap produk undang-undang yang
dihasilkan.
Dewan Garda di sisi lain juga merupakan memiliki kewenangan untuk
menginterpretasikan konstitusi. Namun kedudukan dewan garda sebagai penjaga
penyelenggaraan negara dalam hal ini tidak hanya dimaksud hanya pada
penjagaan terhadap undang-undang saja, maupun interpretasi konstitusi. Dewan
Garda juga merupakan dewan penjaga yang bertugas dalam menyeleksi siapa
calon presiden dan anggota dewan Syura.252 Rakyat tidak kemudian memilih
calon yang dengan begitu saja, namun dari pihak penyelenggara negara juga
memiliki pandangan dan pengaruh terhadap siapa orang-orang yang pantas
mencalonkan diri.
Desain perwakilan rakyat Iran dalam hal ini tidak hanya bergantung pada
Dewan Garda dan Dewan Syura saja, namun juga dalam hal ini rakyat diwakilkan
oleh Dewan Pakar. Dewan Pakar merupakan perwakilan yang beranggotakan 86
250
Dewan Syura terdiri dari 270 anggota yang di dalamnya terdapat perwakilan
kelompok minoritas seperti Kristen, Yahudi, dan lainnya. Dalam hal ini perwakilan dari golongan
minoritas dipilih oleh kelompok mereka sendiri. Lihat pasal 64 konstitusi Iran pasca Amandemen
1989.
251
Pasal 91 Konstitusi Iran pasca Amandemen 1989.
252
Muhammad Anis, Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih..Opcit, hlm 190.
122
mutjahid adil yang para kandidatnya diseleksi terlebih dahulu oleh para ulama
terkemuka, dan barulah kemudian dipilih dalam pemilu secara berkala.253 Dalam
hal ini dewan pakar yang bertugas untuk menetapkan ataupun menggugurkan
kepemimpinan dari Wali al-Faqih.254 Dewan pakar dengan demikian dapat
dikatakan merupakan representasi dari konsep Wilayah al-Faqih, yang memegang
kekuasaan tertinggi di Iran. Wilayah al-Faqih yang dalam hal ini merupakan
representasi dari kedaulatan Tuhan dan kehadiran imam ke-12 Muhammad AlMahdi. Pada sisi dapat disimpulkan bahwa desain lembaga perwakilan yang ada
di Iran tidak hanya merupakan perwujudan terhadap demokrasi, seperti dalam
demokrasi liberal. Desain lembaga perwakilan yang dibangun menempatkan
lembaga perwakilan tidak hanya terbatas bagi cita-cita demokrasi. Corak teokrasinya pun dalam hal ini sangat kental. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing
keanggotaan dan kewenangan dari lembaga perwakilan tersebut, baik Dewan
Syura, Dewan Garda, maupun dewan pakar. Semua lembaga perwakilan tersebut
diatur dalam koridor Wilayah al-Faqih.
253
254
Ibid, hlm 18.
Lihat pasal 108 Konstitusi Iran.
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum akan mempengaruhi kajian hukum tersebut hendak
diarahkan. Jenis penelitian yang akan dilakukan terhadap Lembaga perwakilan di
Indonesia adalah penelitian yang bersandar pada studi pustaka. Soerjono Soekanto
menyebutkan penelitian semacam ini dengan studi pustaka disebutnya sebagai
penelitian normatif. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji dan
meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.255 Fokusnya lebih akan melihat pada sejarah hukum yang berkenaan
dengan lembaga perwakilan di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
menelusuri perkembangan-perkembangan hukum yang ada. Penyelidikan sejarah
bagi Van Apeldorn memiliki dua fungsi: 1) Penyelidikan sejarah memiliki sifat
membebaskan: ia membebaskan kita dari prasangka-prasangka, ia menyebabkan
bahwa kita tidak begitu saja menerima yang ada sebagai demikian, tetapi
menghadapinya dengan kritis dan 2) Penyelidikan sejarah membuat kita mengenal
faktor-faktor sosial.256 Jenis penelitian semacam ini diharapkan akan mampu
membedah dinamika ketatanegaraan dari Lembaga perwakilan di Indonesia.
255
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan ke-14 2012, hlm. 13-14
256
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Noordhoff-kolff N.V, 1959, hlm 339.
124
B. Pendekatan Masalah
Studi lembaga perwakilan di Indonesia ini dilakukan dengan studi
literatur. Studi literatur tersebut dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yakni
melalui pendekatan sejarah, pendekatan institusional, dan pendekatan politik
hukum. Pendekatan sejarah memberikan manfaat untuk memberikan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai sistem, lembaga dan pengaturan hukum
tertentu.257 Pendekatan institusional menyangkut antara lain sifat dari undangundang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis
dari lembaga-lembaga negara.258 Dalam hal mempelajari parlemen dengan
pendekatan ini maka yang akan dibahas adalah kekuasaan serta wewenang yang
dimilikinya seperti tertuang dalam naskah-naskah resmi (Undang-Undang Dasar,
undang-undang atau peraturan tata tertib).259 Selanjutnya pendekatan politik
hukum digunakan untuk menjawab tujuan dan isi dibalik hukum mengenai
lembaga perwakilan tersebut dibuat.260 Dengan demikian penelitian ini tidak
hanya berupa deskripsi terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Namun
penelitian ini akan mampu menjawab dinamika lembaga perwakilan dari 3 (tiga)
257
Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Opcit, hlm 396.
Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik… Opcit, hlm 72.
259
Ibid.
260
Berkenaan dengan Politik Hukum Mahfud memandang kehadiran sebuah hukum
bergantung pada konfigurasi politik yang terjadi. Mahfud MD juga membahas mengenai pengaruh
konfigurasi politik terhadap parlemen yang kuat sebagai salah satu indikator sistem politik, untuk
membedakan antara sistem politik demokratis dan otoriter. Lihat Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2012, hlm 7. Lihat juga teori hukum politik R. Wietholter
dalam B Arief Sidharta, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, teori Hukum dan
Filsafat Hukum, Jakarta: Refika Aditama, 2013, hlm 34. Politik Hukum juga disebutkan oleh
Kelsen sebagai kebijaksanaan yang menentukan kaidah hukum. Lihat Theo Huijbers, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah, Opcit, hlm 159. Satjipto Raharjo juga membahas mengenai studi
politik hukum. Satjipto merumuskannya dalam 4 (empat) pertanyaan. 1) tujuan dibentuknya
hukum; 2) cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; 3) kapankan waktu perubahan
hukum tersebut; dan 4) dapatkan dirumuskan pola yang mapan. Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu
Hukum, Opcit, hlm 399.
258
125
poin utama, yakni 1) tujuan pembentukan lembaga perwakilan (politik hukum); 2)
struktur lembaga perwakilan; dan 3) kewenangannya. Selanjutnya ketiga poin ini
akan dielaborasi dengan kondisi empirik penyelenggaraan lembaga perwakilan di
Indonesia, sehingga benar-benar mampu menjelaskan praktik dan dinamika
lembaga perwakilan dari sisi das sein dan sollennya.
C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari studi pustaka yang
menelaah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan
hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1
Regering Reglemen 1854
2
Osamu Seirei No 36 Tahun 1943 tentang pembentukan Chuo Sangi In
3
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen
4
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat
5
Undang-Undang Dasar Sementara
6
Maklumat Wakil Presiden Nomor X Oktober 1945
7
Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar
Lembaga-Lembaga Tinggi Negara;
8
Ketetapan MPR RI Nomor: III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar
Lembaga-Lembaga Tinggi Negara;
126
9
Ketetapan MPR RI Nomor: V/MPR/1998 tentang Pemberian Wewenang
Khusus Kepada Presiden/ Mandataris MPR RI dalam rangka Penyuksesan
dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
10
Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum
11
Undang-Undang nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan
DPD
12
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan
DPD
Selain itu digunakan pula bahan hukum sekunder yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa rancangan undang-undang,
dokumen-dokumen hukum serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi
lainnya, serta bahan hukum tersier adalah bahan hukum lain yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti hasil penelitian, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lain yang sifatnya karya
ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
127
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi
kepustakaan mengidentifikasi sumber data, mengidentifikasi bahan hukum, dan
menginventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah dalam
penelitian. Setiap data maupun bahan yang telah dikumpulkan akan dikaji dan
dianalisis secara mendalam.
E. Metode Pengelolaan Data
Dalam pengelolaan data dari hasil studi kepustakaan terdapat beberapa
tahap yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Seleksi data. Pemeriksaan data untuk mengetahui kesesuaian dan
kelengkapan data dengan keperluan penelitian.
2. Klasifikasi data. Menempatkan data berdasarkan penggolongan bidang
atau pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisisnya.
3. Sistematika data. Penyusunan data menurut sistematika yang telah
ditentukan agar pembahasan dapat lebih mudah dipahami.
Sejarah hukum merupakan suatu penelitian terhadap kronologi peristiwa-peristiwa
hukum pada masa lampau, yang menyebabkan terjadinya gejala hukum tertentu,
akibatnya, dan seterusnya pada masa kini.261Dengan demikian, yang paling
penting adalah dilakukannya aktivitas ilmiah untuk menyusun pentahapan
perkembangan hukum atau perkembangan peraturan perundang-undangan.262
261
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2012, hlm. 264
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cetakanke- 12, 2011, hlm 99
262
128
F. Analisis Data
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dengan pendekatan sejarah,
institusional, dan politik hukum, kemudian dianalisis menggunakan argumen
deduktif.. Argumen deduktif adalah argumen yang premis-premisnya di dalam
dirinya sudah memuat kesimpulan.263 Artinya kesimpulanya sudah tersirat (sudah
ada secara implisit) di dalam premis atau premis-premisnya.264 Dalam
hubungannya dengan penelitian ini, data yang menjadi pendukung pada awalnya
merupakan kumpulan data-data yang sifatnya masih umum kemudian dianalisis
untuk menjadi kesimpulan yang sifatnya khusus, sehingga kemudian data-data
tersebut dapat digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian.
263
B. Arief Sidharta, Pengantar Logika Sebuah Langkah Penalaran Medan Telaah,
Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm 9.
264
Ibid.
346
V. PENUTUP
A. Simpulan
Dinamika Lembaga Perawakilan di Indoensia terjadi tidak hanya karena
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar saja, namun juga terjadi karena
adanya perubahan pemaknaan tujuan pembentukan Lembaga Perwakilan. Pada
masa sebelum kemerdekaan tujuan dari pembentukan Lembaga Perwakilan
sesungguhnya buka pada kepentingan rakyat Indonesia. Lembaga tersebut
dibentuk untuk mewakili kepentingan para penjajah, sedangkan ruang yang
disediakan seringkali hanya untuk meredam gerakan yang terjadi ketika itu.
Pada awal kemerdekaan tepatnya dalam pemerintahan Presiden Soekarno,
kedudukan Lembaga Perwakilan berada di dalam persimpangan antara
representasi dengan kebutuhan revolusi. Pada 1 (satu) sisi adanya kebutuhan
untuk mewakili kepentingan dan kehendak rakyat yang secara menyeluruh. Pada
sisi lain penyelenggaraan negara membutuhkan gerakan yang cepat dan tidak
terhambat oleh mekanisme-mekanisme formal. Masa pemerintahan Soekarno
pada puncaknya melalui Demokrasi Terpimpin bahkan tidak lagi memperdulikan
kedudukan Lembaga Perwakilan. Penafsiran bahwa musyawarah yang tidak dapat
diselesaikan oleh Lembaga Perwakilan, harus berakhir di tangan pemimpin besar
Revolusi Soekarno. Hal ini kemudian berdampak pada kurangnya fungsi Lembaga
Perwakilan hingga pada pembubaran Lembaga Perwakilan.
347
Pada masa pemerintahan Soeharto Lembaga Perwakilan memang
dikembalikan sesuai dengan fungsinya yang ada di dalam UUD 1945. Namun
dalam hal ini fungsi tersebut ternyata dimanfaatkan bukan sesuai tujuannya yakni
untuk mewakili kepentingan rakyat. Pada kasus MPR yang berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi dimanfaatkan untuk melindungi kedudukan dari Presiden
Soeharto.
Hal ini dilakukan dengan berbagai cara mulai dari pengangkatan
Presiden Soeharto secara terus menerus, hingga pada sakralisasi amandemen
UUD 1945. Dapat dipahami bahwa penyelenggaraan Lembaga Perwakilan yang
demikian
memang
sesuai
Konstitusi,
namun
secara
konstitusionalisme
bertentangan karena tidak dapat membatasi kekuasaan Presiden. Pada sisi lain
desain UUD 1945 sebelum amandemen memang tidak mengatur mengenai
mekanisme check and balance diantara lembaga negara, dan juga susunan anggota
dari Lembaga Perwakilan dapat dengan mudah diisi sesuai dengan kehendak
Presiden ketika itu.
Pasca Reformasi agenda restrukturisasi Lembaga Perwakilan menjadi
agenda wajib untuk penyelenggaraan negara yang berbasis pada Demokrasi.
Namun dalam hal ini restrukturisasi dilakukan dalam porsi yang berbeda. MPR
sebagai lembaga tertinggi statusnya dicabut, dan kewenangannya tidak lagi
mengangkat Presiden dan menetapkan GBHN. Hal ini kemudian menjadi MPR
seakan hanya menjalankan kewenangannya secara periodik, dan mengikuti
momentum saja karena hanya berkenaan dengan pelantikan, pemberhentian, dan
amandemen UUD saja. Pada sisi DPR dilakukan penegasan terhadap pemegang
kekuasaan legislasi, dan juga berkenaan dengan check and balance terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Namun restrukturisasi bukan hanya pada kedua
348
lembaga itu saja. Dewan Perwakilan Daerah menjadi lembaga yang lahir pasca
reformasi, untuk mendampingi DPR dalam kamar bikameral. Restrukturisasi
terhadap Lembaga Perwakilan ternyata masih belum optimal sesuai dengan
tujuannya. MPR yang dilemahkan melalui amandemen, mencoba bangkit kembali
dengan tugas dan kewenangannya yang diperluas melalui UU No 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD. MPR kemudian mulai diperbincangkan
kembali sebagai lembaga dengan kewenangan tertinggi. DPR dalam hal ini
memiliki dinamika tersendiri, salah satunya dikarenakan fungsi legislasi yang
masih kurang optimal. Pada sisi lain DPR juga mengalami kendala kasus korupsi
yang menimpa oknum anggotanya, dan pada akhirnya berujung pada krisis
kepercayaan rakyat. Lain hanya dengan DPD, DPD selalu mengalami kendala
bahwa kedudukannya tidak mampu mendukung desainnya yang dimaksudkan
untuk bikameral. Dinamika yang terjadi terhadap Lembaga Perwakilan pada
setiap masanya memiliki cerita tersendiri, dimana antara tujuan, praktik, dan
pengaturan.
Temuan yang muncul adalah seringkali adanya ketidaksesuaian antara
tujuan, norma, dan praktik lembaga perwakilan yang ada di Indonesia.
Ketidaksesuaian tersebut pada tiap masanya disebabkan oleh hal-hal yang
berbeda. Pada masa sebelum kemerdekaan, ketidaksesuaian terjadi dikarenakan
lembaga perwakilan yang dimaksud oleh pihak penjajah memang bukanlah
lembaga perwakilan dalam arti sesungguhnya. Lembaga Perwakilan yang ada
hanya menyediakan wadah partisipasi saja, dan bahkan lembaga-lembaga tersebut
hanya dijadikan penasihat dari pihak penjajah saja. Pada masa pemerintahan
Soekarno mulai dari awal
kemerdekaan hingga masa Demokrasi Terpimpin,
349
praktik Lembaga Perwakilan seringkali tidak sesuai dengan tujuan dan
pengaturannya dikarenakan adanya keinginan revolusi yang kuat. Revolusi
dijadikan alasan kuat untuk menyelenggarakan negara yang baru itu dengan
segala sesuatu yang cepat dan tepat. Dominasi dari Soekarno merupakan langkah
nyata percepatan membangun negara. Pada sisi lain keterlibatan Lembaga
Perwakilan dianggap akan menghambat jalannya penyelenggaraan negara,
sehingga lebih baik untuk memilih jalan yang cepat. Pada masa pemerintahan
Soeharto ketidaksesuaian yang terjadi ditutupi dengan menjunjung tinggi UUD
1945, atau dapat dikatakan hanya menjunjung tinggi konstitusi saja bukan
konstitusionalisme yakni dalam pembatasan kekuasaan dan pemenuhan hak-hak
dasar. Kondisi yang demikian kemudian mematikan peranan dari Lembaga
Perwakilan. Pada masa pasca Reformasi hal demikian memang tidak terjadi.
Namun ketidaksesuaian yang terjadi adalah dikarenakan kondisi Lembaga
Perwakilan itu sendiri. Lembaga Perwakilan mengalami dilema dengan
kedudukan dan kewenangannya. Kewenangan yang dimiliki masih seringkali
pasang surut, dan tidak optimal. Pada sisi lain kewenangan yang dimiliki dapat
pula melemahkan kedudukan dan kewenangan Lembaga Perwakilan lainnya. Pada
akhirnya pengalaman dari masa ke masa tentang Lembaga Perwakilan, tidak
hanya dijadikan cerita saja namun dijadikan tolok ukur koreksi dan pembangunan
Lembaga Perwakilan ke depan.
350
B. SARAN
Penyelenggaraan
Lembaga
Perwakilan
Indonesia
saat
ini
harus
disesuaikan kembali dengan tujuan pembentukannya. Pada saat amandemen UUD
1945 tujuannya adalah restrukturisasi Lembaga Perwakilan yang disertai dengan
penguatan check and balance. Ketiga Lembaga Perwakilan yang ada dalam
praktknya memiliki penyelenggaraan yang berbeda-beda. MPR yang dilemahkan
pasca amandemen, saat ini mencoba kembali memperluas tugas dan
kewenangannya melalui pengkajian UUD 1945, dan memasyarakatkan 4 (empat)
pilar Kebangsaan yang kontroversial itu. Pada sisi DPR, produk legislasi seakan
mengalami pasang surut. Pada setiap tahun seringkali dapat selesai sesuai
Program legislasi namun juga seringkali tidak sesuai dengan targetnya.
Permasalahan UU juga berkenaan dengan substansinya yang masih seringkali
bertentangan dengan konstitusi dan dibatalkan. Kendala yang terjadi juga pada
DPR periode 2014-2015 misalnya sangat minim dalam menghasilkan udnangundang yang mencapai target sesuai prolegnas. Prosedur dan permasalahan waktu
pembahasan harus dipertegas. Pada sisi lain politik legislasi diantara DPR dan
pemerintah harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap undang-undang
apa yang benar-benar dibutuhkan, sehingga waktu tidak terbuang untuk
pembahasan undang-undang yang sesungguhnya kurang penting. Pada DPD saat
ini kedudukannya selalu dicap kurang optimal karena kewenangannya yang
dianggap belum mampu memenuhi aspirasi daerah. Dapat saja kewenangan DPD
diperkuat sesuai dengan ruang lingkupnya yakni masalah-masalah daerah, apabila
kemudian adanya komitmen dari para pembentuk undang-undang. Mengapa
kemudian dalam kasus MPR dapat diperluas kewenangannya sedangkan dalam
351
DPD tidak hal tidak dapat diperluasnya peran DPD melalui kewenangan,
setidaknya DPD harus mencari cara mendapatkan perhatian publik. Perhatian
publik yang dimaksud dengan melakukan kegiatan dan peningkatan aspirasi
daerah. DPD setidaknya dapat merebut simpati dari publik, sehingga dorongan
terhadap perubahan DPD dapat dilakukan. Namun apabila DPD sendiri tidak aktif
dan memberdayakan dirinya, akan sangat disayangkan APBN yang telah dialokasi
untuk DPD.
352
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel
Al-Mawardi, Imam. 2006. Al-Ahkam AS-Sultaniyyah Hukum-Hukum
Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam. terjemahan Fadli Bahri.
Jakarta: Darul Falah.
Anis, Muhammad. 2013. Islam dan Demokrasi Perspektif Wilayah al Faqih.
Bandung: Mizan.
Ansary, Tamin. 2015 Dari Puncak Dunia Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam.
terjemahan: Yuliani Liputo, Jakarta: Zaman.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2016. Parlemen di Negara Islam Moderen,
Hukum, Demokrasi, Pemilu dan Golput, terjemahan Masturi Irham dan
Malik Supar, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016,
Asshiddiqie, Jimly dan Bagir Manan. 2006. Amandemen UUD 1945 dan
Pemilihan Presiden Secara Langsung Sebuah Dokumen Historis. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Asshiddiqie, Jimly dkk. 2015. Soepomo Pergulatan Tafsir Negara Integralistik
Biografi Intelektual, Pemikiran Hukum Adat dan Konstitutionalisme.
Yogyakarta: Thafha Media.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Grafindo
Persada, 2013.
---------------------. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam
Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia, 1996.
--------------------. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Sinar Grafika.
--------------------. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Pt Raja
Grafindo Persada.
--------------------.2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
353
---------------- Kajian/Artikel ―Paradigma Penyelenggaraan Negara Berwawasan
Hukum‖.
----------------. Kajian/Artikel ‖Gagasan Negara Hukum Indonesia‖ .
Barber, Benjamin R. Strong Democracy Participatory Politics For a New Age.
Berkeley: University of California Press, 2003.
Basah, Sjahran. 1997. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Negara dengan
Beberapa Pemikirnya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Birch, Anthony. 2007.The Concept and Theories of Modern Democracy.New
York: Routlledge.
Budiarjo, Mirriam. 1980. Masalah Kenegaraan (cetakan ketiga), Jakarta: Pt
Gramedia.
---------------------. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: CV Prima Grafika.
Cahyadi, Anthonius dan Donny Danardono. 2009. Sosiologi Hukum dalam
Perubahan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm 4.
Costa, Piero dan Danilo Zolo. 2007. The Rule of Law History, Theory, and
Criticism. Dordrecht: Springer.
Couperus, Olga Tellegen. 2003. A Short History of Roman Law, London:
Routledge.
Dahl, Robert A, 2006. A Preface of Democratic Theory (Expanded Version: 50
years Anniversay). Chicago: University of Chicago Press.
Desertasi Jacomina Marsman. 1947. Indonesia - Merdeka A Study Of The
Development Of The Nationalist Movement In The Dutch East Indies
From 1900 To 1940, South California: Faculty of History Southern
California Univesity.
Disertasi Danniela Louise Cammack, rethinking of Athenian Democracy, pada
bagian pemerintahan jurusan ilmu politik, Cambridge: Harvard University,
2013
Donnel, Guilermo O dkk, 1993. Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai
Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993.
--------------------------. 1993. Transisi Menuju Demokrasi Tinjauan Berbagai
Perspektif, Jakarta: LP3ES.
Donnel, Guillermo O dan Philippe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju
Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, Jakarta: Pt
Pustaka LP3ES.
354
Dorsen, Norman. 2003. dkk, Comparatives Constitusionalism Case and
Materials, United State: West Book, 2003
Doyle, William. 2001. French Revolution a Very Short Introduction. New York:
Oxford University Press.
Dunstan, William E. 2011. Ancient Rome, Maryland: Rowman and Littlefield
Publisher.
E, APriyono dan Usman Hamid. 2014. Merancang Arah Baru Demokrasi
Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Pt Gramedia. 2014.
Efriza. 2014. Studi Parlemen: Sejarah, Konsep, dan Lanskop
Indonesia. Malang: Setara Press.
Politik
F, Wertheim W, 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi Studi Perubahan
Sosial, terjemahan Misbah Zulfa Elisabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999
Frank, Jill. 2005. A Democracy of Distinction Aristotle and The Work of Politics,
Chicago: Chicago University Press.
Fukuyama, Francis. 1992. End Of History and The Last Man. United State:
Maxwell.
Gagarin, Michael. 1989. Early Greek Law, Berkeley: University California Press,
1989.
Ginsburg, Tom. 2012. Comparative Constitutional Design.New York: Cambridge
Univesity Press.
Habermas, Jurgen. 1996. Between Fact and Norm Contribution to Discourse
Theory of Law and Democracy (terjemahan William Rehg).
Massachussets: Cambridge University Press.
Hardiman, F. Budi, 2009. Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan
Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius.
Huda, Ni‘Matul. 2004. Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap
Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press.
Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Filsafat Hukum
dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.
Human Rights Quarterly; Feb 2004; 26, 1; ProQuest.
Indrianto, Sulistyowati. 2012. Kajian Sosio-legal. Denpasar: Pustaka Larasan.
355
International Journal of Constitutional law, volume 10 number 4 Oktober 2012,
Oxford University Press.
Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.
J.G Starke, J G. 1995. Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh),
terjemahan Bambang Iriana, Jakarta: Sinar Grafika.
Jahabakhsh, Farough. 2001. Islam, Democracy and Religious Modernism in Iran
(1953-2000) From Barzagan to Soroush, Leiden: Koninklijk Brill.
James, Simon. 2008. Eyewitness Ancient Rome, United State: DK Publishing.
Jedawi, Murtir. 2011. Negara Hukum, Good Governance, dan Korupsi di Daerah.
Yogyakarta: Total Media.
Joeniarto. 1990. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kompas Gramedia, Muhammad Hatta Politik, Kebangsaan dan Ekonomi (19261977), Jakarta: Pt Gramedia, 2015.
konstitusi Negara Iran pasca amandemen 1989
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan C.V Sinar Bakti.
Laporan Penelitian ―Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi‖ Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan
Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005
Latif, Yudi. 2013. Negara Paripurna.Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.
Leirissa, R Z. 1985. Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta:
Akademika Pressindo.
Lipjhart, Arrend. 2012. Pattern of Democracy. United State of America: Yale
University.
LP3ES. 1986. Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES: Jakarta.
Lubis, Solly. 2014. Ilmu Negara (edisi revisi), Bandung: Mandar Maju.
Lubis, Solly. 2014. Politik Hukum dan Kebijakan Publik. Bandung: Mandar Maju.
Luciano, Democracy in Europe a History of an Ideology terjemahan Simon Jones,
United State: Black Well Publishing, 2006.
356
Machperson, C B. 1979. The life and Times of Liberal Democracy. Oxford:
Oxford University Press.
Maggalatung, Salman. 2012. Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dan Politik Hukum
Indonesia. Jakarta: Fokus Grahamedia.
Mahendra. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema
Insani Press, 1996
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010. Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Buku
III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid I. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi. 2010. Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku
III Jilid 2. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2010.
Majalah Majelis edisi NO.02/TH.IX/Februari 2015 hlm 4.
Majid, Nurholis. 2001. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina.
Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945
Malaka, Tan. 2012. Parlemen atau Sovyet, cetakan ke-4 2012, Jakarta: LPPM Tan
Malaka.
Manan, Bagir dan Susi Dwi Haryanti. 2014. Memahami Konstitusi Makna dan
Aktualisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Marsman, Jacomina. 1947. Indonesia - Merdeka A Study Of The Development Of
The Nationalist Movement In The Dutch East Indies From 1900 To
1940.South California: Faculty of History Southern California Univesity.
Maschab, Mashuri. 2013. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta:
PolGov UGM.
Mcllwain, Charles Howard. 1947. Constitutionalism: Ancient and Modern. New
York: Cornell University Press.
MD, Mahfud. 2012. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Mertokusumo, Sudikno. 2002. Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
Misbah Em Majid, Abu Bakar Ash Siddiq The First Khalifa, Bandung: Sygma
Creative Corp, 2013.
357
Mousourakis, George. 2015. Roman Law and The Origins of Civil Law Tradition,
Switzerland: Springer.
Multatuli. 2014. Max Havelaar, alih bahasa: Andi Tenri. Yogyakarta: Narasi.
Nursati, Ali Asgar. 2015. Sistem Politik Islam. terjemahan: Musa Mouzawir,
Jakarta: Nur Alhuda.
O‘Donoghue, Aoife. 2014. Constitutionalism in Global Constitutionalisation,
United Kingdom: Cambridge University Press.
Ogilvie, R M. 1976. Early Rome and Etruscans. Great Britain: Harvester Press.
Osamu Seirei No 36 Tahun 1943
Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 25, No. 2 (2005), pp. 183–202
doi:10.1093/ojls/gqi010.
Pakpahan, Muchtar. 1994. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta: Sinar Harapan.
Penetapan Presiden No 2 Tahun 1959.
Penetapan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Bandung: Dua-R, tanpa tahun, hlm
103.
Poesponegoro, Marwati Djonoed dan Nugroho Nutosusanto. 1984. Sejarah
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1984.
Przeworski, Adam. 2010. Democracy and The Limits of Self-Government,
Cambridge: Cambridge University Press..
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 1993. Perundang-undangan dan
Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Raharjo, Satjipto. 2013. Ilmu Hukum. Pt Citra Aditya Bakti: Bandung.
Rahman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa Ke Masa, Yogyakarta:
Tanah Air Beta.
Ranawijaya, Usep. 1982. Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rapar, J H. 2001. Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Machiavelli.
Jakarta: Rajawali Press.
Ricklefs, M C. 2011. Sejarah Indonesia Moderen. terjemahan Dharmono
Hardjowijono, cetakan ke-10, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik. 2010. Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan
Hukum dari Zaman Kuno sampai Abad ke-20. Bandung: Nuansa:
Bandung.
358
Roper, Bryan S. 2013. The History of Democracy A Marxist Interpretation.
London: Pluto Press.
Rosenfeld, Michel. 1994. Constitutionalism Identity Difference and Legitimacy.
United State: Duke University Press.
Sabon, Max Boli. Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Pt Gramedia
Pustaka Utama
Sagala, Budiman. 1981. Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Samekto, Fx Adji. 2013. Hukum dalam Lintasan Sejarah. Bandar Lampung:
Indepth Publishing, 2013.
Schmid, JJ. Von. 1965. Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum,
Jakarta: Pt Pembangunan.
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2000) Tahun Sidang 1999, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008
Seller, Mortimier dan Tadeusz Tomaszeweski (eds). 2010. The Rule of Law in
Comparative Prespective. London: Springer.
Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. 2015. Muhammad Yamin Penggagas yang
Dihujat dan Dipuja. Jakarta: Pt Gramedia.
Sidharta, B Arief. 2013. Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu
Hukum yang Responsif terhadap Perubahan Masyarkat. Yogyakarta:
Rajawali Press.
Sidharta, B Arief. 2013. Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
teori Hukum dan Filsafat Hukum. Jakarta: Refika AditamaSidharta, B
Arief. 2008. Pengantar Logika Sebuah Langkah Penalaran Medan Telaah,
Bandung: Refika Aditama,.
Sjadzali, Munawir. 2011. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 2012. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekarno. 1960. Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta: Yayasan Empu
Tantular,.
Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indies dari Zaman Kompeni sampai Zaman
Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.
359
Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Jakarta:
Noordhoff-Kolff, 1954, hlm 168.
Soepomo. 1954. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Jakarta:
Noordhoff-Kolff.
Sri Soemantri, Tentang Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993
Sunggono, Bambang. 2011. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Suny, Ismail. 1981. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Bina Aksara.
Supomo dan Djokosutono. 1954. Sejarah Politik Hukum Adat 1848-1928. Jakarta:
Djambatan.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Suseno, Frans Magnis. 1995. Mencari Sosok Demokrasi, Jakarta: Pt Gramedia
Pustaka.
Tamanaha, Brian Z. 2004. On The Rule of Law: History, Politics, and Theorie.
Cambridge: Cambridge University Press.
Thornhill, Chris. 2011. A Sociology of Constitution: Constitution and State
Legitimacy in Historical and Sociological Perspective, New York:
Cambridge University Press.
Tim Litbang Kompas, 1999. Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan
Program, Jakarta: Pt Gramedia.
Tsebelis, George dan Jeannette Money. 2003. Bicameralism, United State:
Cambridge University Press.
Tucker, Robert. 1965. Philosophy and Myth in Karl Marx. London: Cambridge
University Press, 1965.
Van Apeldorn.1959. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Noordhoff-kolff N.V
Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern,terjemahan Arif Maftuhin,
Yogyakarta: Insan Madani, 2011.
Ville, MJC. 2010. Constitutionalism and The Separation of Powers. Indianapolis:
Liberty Fund.
Wahidin, Samsul. 1986. MPR RI dari Masa ke Masa.Jakarta: Bina Aksara.
Wahjono, Padmo. 1982. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
360
Wahjono, Padmo. 1985. Masalah
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini,
Wahjono, Padmo. 1994. Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, dalam Abu
Daud Busroh.Capita Selecta Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka Cipta.
Wheare, K C. 2015. Konstitusi-Konstitusi Moderen, terjemahan Imam Baehaqie,
Bandung: Nusa Media.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Desentralisasi dalam Pemerintahan Kolonial
Belanda Kebijakan dalam Upaya sepanjang Babak Akhir Kekuasaan
Kolonial Indonesia (1900-1940). Malang: Bayu Media Publishing.
Wignjosoebroto, Sotandyo. 2013. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian
Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press.
Woodruff, Paul. 2005. First Democracy The Challenge of An Ancient Idea.
United State: Oxford University Press.
Yamin, Muhammad. 1952. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta: Jambatan.
Yamin, Muhammad. 1956. Konstituante
Demokrasi. Jakarta: Djambatan.
Indonesia
Dalam
Gelanggang
Yamin, Muhammad. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta: Yayasan Prapanca.
Zamroni. 2013. Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultur.Yogyakarta:
Ombak.
Internet
http://dictionary.reference.com/browse/epitaph
http://lawcenter.dpd.go.id/halaman/653-tap_mpr
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/18/05140031/Jimly.Sudah.Dibatalkan.
MK.Frasa.Empat.Pilar.Kebangsaan.Jangan.Digunakan.Lagi
http://nasional.sindonews.com/read/971366/149/mpr-tetap-gunakan-frase-empatpilar-1425357694
http://news.liputan6.com/read/607766/4-pilar-kebangsaan-buah-pikiran-taufiqkiemas
http://news.liputan6.com/read/770721/pancasila-masuk-pilar-kebangsaan-dinilaikesalahan-fatal
361
http://politik.news.viva.co.id/news/read/493963-mk--frasa-empat-pilarkebangsaan-bertentangan-dengan-uud-1945.
http://politik.rmol.co/read/2015/12/27/229579/Produk-Legislasi-Minim-BukanHanya-Tanggung-Jawab-Dewanhttp://www.antaranews.com/berita/539285/ade-komarudin-fokus-tingkatkanproduktivitas-legislasi-dpr
http://www.antaranews.com/berita/539285/ade-komarudin-fokus-tingkatkanproduktivitas-legislasi-dpr
http://www.britannica.com/topic/Greek-law
http://www.dpr.go.id/tentang/tahun-sidang
http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2015/10/PEMILU-1977-1997/MzQz
http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/9/PEMILU-1971/MzQz
http://www.kpu.go.id/index.php/pages/index/MzQz
http://www.pshk.or.id/id/blog-id/kualitas-kinerja-legislasi-2015-dariketidakpatuhan-terhadap-syarat-prosedur-hingga-absennya-politiklegislasi/
http://www.republika.co.id/berita/dpr-ri/berita-dpr-ri/16/01/13/o0w3n5219optimalkan-legislasi-ketua-dpr-usulkan-pengurangan-waktu-reses
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/04/03/n3gdr4-mk-batalkanempat-pilar-berbangsabernegara
http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-tahun-pembredelanmajalah-tempo
Jurnal
Journal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 10/2011, Volume 167,
Issue 4, hlm 35.
Journal Front Law China 2007, 2(3): 335–352, Higher Education Press and
Springer-Verlag, 2007.
Journal of Asian Studies (pre-1986); Aug 1966; 25,4; Art and Humanities
Jurnal Global Constitutionalism (2014), 3 : 1 , 71 – 101 © Cambridge University
Press, 2014 doi:10.1017/S204538171300005,
362
Jurnal Political Studies, 1996, XLIV.
Jurnal Social Philosophy and Policy, Januari 2011, Cambridge University Press,
hlm 27.
Jurnal Theoretical inquiries in law, edisi 8, Januari 2007.
Peraturan Perundang-Undangan dan Produk Hukum
Konstitusi RIS
Tap MPR No VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja
Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara
Tap MPR No VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja
Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara
TAP MPR No XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dpr-Gr Mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia
TAP MPR NOMOR I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tata Tertib DPR RI No 10/DPR-RI/III/82-83
UU No 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Komite Nasional Pusat
UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD. DPD
UUD 1945 Pasca Amandemen
UUD 1945 sebelum amandemen
UUDS 1950
Download