BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Proses Penuaan Penuaan dapat digambarkan sebagai proses penurunan fungsi fisiologis tubuh secara bertahap yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tumbuh dan kembang serta meningkatnya kelemahan (Bludau,2010). Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya proses penuaan. Faktor-faktor ini terbagi menjadi faktor internal meliputi radikal bebas, genetik, hormon yang berkurang dan faktor eksternal meliputi pola hidup tidak sehat, diet tidak sehat, stres, dan polusi lingkungan. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat, sehingga usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Bermodalkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghindari berbagai faktor penyebab proses penuaan dilengkapi dengan pengobatan, masyarakat memiliki kesempatan untuk hidup lebih sehat dan berusia lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup sehat meliputi berolahraga teratur, makanan sehat dan cukup, atasi stres, melakukan pemeriksaan kesehatan berkala yang diperlukan dan disesuaikan dengan kondisi, menggunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun. Namun, terdapat pula hambatan atau kesulitan melakukan upaya menghambat proses penuaan, antara lain karena lingkungan tidak sehat, pengetahuan rendah dan budaya yang tidak benar. Yang juga termasuk hambatan adalah adanya pola hidup yang tidak sehat seperti diet yang tinggi karbohidrat dan lemak jenuh (Pangkahila, 2007). Dengan berkembangnya AAM tercipta suatu konsep baru dalam dunia kedokteran. AAM adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan demikian, penuaan bukan lagi suatu keadaan normal yang memang harus terjadi, namun dianggap sama sebagai penyakit yang dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula, sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). 2.2. Radikal Bebas 2.2.1. Definisi Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan (unpaired electron) pada bagian terluar orbitnya, sehingga menjadi komponen yang tidak stabil dan menjadi sangat reaktif. Elektron yang tidak berpasangan ini, akan berusaha menarik elektron dari molekul lainnya untuk mendapatkan kembali konfigurasi pasangan elektron, oleh karena itu radikal bebas sangat reaktif. Sebuah radikal bebas yang berhasil mengambil elektron dari suatu molekul lain yang stabil, akan menyebabkan molekul tersebut kehilangan satu elektron dan akibatnya akan berubah menjadi radikal bebas baru. Proses rantai ini dapat menyebabkan perubahan struktur pada molekul lainnya (Pham-Huy et al., 2008). Dalam kepustakaan kedokteran, pengertian radikal bebas sering dibaurkan dengan oksidan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang mirip. Aktivitas keduanya sering menghasilkan akibat yang sama, akan tetapi sebenarnya melalui proses yang berbeda. Keduanya harus dibedakan. Oksidan mempunyai pengertian senyawa penerima elektron (electron acceptor). Jadi radikal bebas adalah oksidan, tetapi tidak semua oksidan merupakan radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). 2.2.2. Sumber Radikal Bebas Pembentukan radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh dan luar tubuh. Adapun sumber radikal bebas antara lain (Pham-Huy et al., 2008): 1. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat dari berbagai proses enzimatik di dalam tubuh, berupa hasil sampingan dari proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada proses respirasi sel, pada proses pencernaan dan pada proses metabolisme. Diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel. 2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat dari bermacam-macam proses non-enzimatik di dalam tubuh, merupakan reaksi oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi. Contohnya adalah proses inflamasi dan iskemia. 3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh, yang didapat dari polutan, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari, makanan berlemak, kopi, alkohol, obat, bahan racun, pestisida, minyak goreng jelantah (deep frying) dan masih banyak lagi yang lainnya. Peningkatan radikal bebas pun dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan. 2.2.3. Sifat Radikal Bebas Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu : 1. Reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron. 2. Dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Namun perlu diingat, bahwa radikal bebas adalah oksidan, tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibanding dengan oksidan yang bukan radikal. Hal ini disebabkan oleh kedua sifat radikal bebas di atas, yaitu reaktivitas yang tinggi dan kecenderungan membentuk radikal bebas baru, yang pada gilirannya nanti apabila menjumpai molekul lain akan membentuk radikal baru lagi, sehingga terjadilah reaksi rantai (chain reaction) (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Perusakan sel oleh radikal bebas reaktif didahului oleh kerusakan membran sel, melalui terjadinya rangkaian proses sebagai berikut (Halliwell dan Gutteridge, 2007): 1. Terjadi ikatan kovalen antara radikal bebas dengan komponen-komponen membran (enzim-enzim membran, komponen karbohidrat membran plasma), sehingga terjadi perubahan struktur dari fungsi reseptor. 2. Oksidasi gugus tiol pada komponen membran oleh radikal bebas yang menyebabkan proses transpor lintas membran terganggu. 3. Reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung asam lemak tidak jenuh majemuk (PUFA = poly unsaturated fatty acid). Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas, berefek langsung terhadap kerusakan pada membran sel, antara lain dengan mengubah fluiditas, struktur dan fungsi membran, dalam keadaan yang lebih ekstrim akhirnya akan menyebabkan kematian sel. Efek biologik peroksidasi lipid membran bergantung antara lain pada populasi sel yang bersangkutan dan profil asam lemak pada membran fosfolipid. Contoh membran mitokondria dan mikrosom sensitif terhadap peroksidasi lipid karena kandungan PUFA pada fosfolipid membran cukup tinggi. Umumnya semua membran peka terhadap reaksi peroksidasi lipid dalam derajat yang berbeda-beda. Kerusakan struktur subseluler secara langsung mempengaruhi pengaturan metabolisme. Sebagai contoh adalah disrupsi membran lisosom menyebabkan pelepasan enzim-enzim hidrolitik lisosom yang selanjutnya mampu mengakibatkan perusakan intraseluler, dan memperkuat kemampuan radikal bebas dalam menginduksi kerusakan sel (Halliwell dan Gutteridge, 2007). 2.3. Antioksidan 2.3.1. Definisi Antioksidan Kalau radikal bebas adalah penerima elektron (electron acceptor), maka antioksidan adalah pemberi elektron (electron donor). Antioksidan dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat menghambat/memperlambat proses oksidasi. Oksidasi adalah jenis reaksi kimia yang melibatkan pengikatan oksigen, pelepasan hidrogen atau pelepasan elektron. Proses oksidasi adalah peristiwa alami yang terjadi di alam dan dapat terjadi dimana-mana, tak terkecuali di dalam tubuh kita (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, tetapi dalam arti biologis pengertian antioksidan lebih luas lagi, yaitu semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan proteinprotein pengikat logam (Pangkahila, 2007). 2.3.2. Jenis Antioksidan Berdasarkan dua mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, maka antioksidan dapat dibagi menjadi dua golongan (Murray et al., 2000), yaitu: 1. Antioksidan pencegah (preventive antioxidants) Pada dasarnya tujuan antioksidan ini mencegah terjadinya radikal hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Diperlukan tiga komponen untuk terbentuknya radikal hidroksil, yaitu logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan ion superoksid. Agar reaksi Fenton tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe2+ atau Cu2+ bebas. Untuk itu berperan beberapa protein penting, yaitu transferin atau feritin (untuk Fe) dan seruloplasmin atau albumin (untuk Cu). Penimbunan ion superoksid (O2-) dapat dicegah oleh enzim SOD (superoksid dismutase) dengan mengkatalisis reaksi dismutase ion superoksid: 2O2- + 2H+ H2O2 + O2 Penimbunan H2O2 dapat dicegah melalui aktivitas dua enzim, yaitu katalase (mengkatalisis reaksi dismutasi H2O2) dan peroksidase. 2. Antioksidan pemutus rantai (chain-breaking antioxidants) Dalam kelompok ini terdapat vitamin E (tokoferol), vitamin C (asam askorbat), beta karoten, glutation dan sistein. Vitamin E dan beta karoten bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sedangkan vitamin C, glutation dan sistein bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol. 2.4. Stres Oksidasi Stres oksidasi (oxidative stress) secara terminologi menunjukkan adanya produksi radikal bebas yang berlebihan melebihi kapasitas perlindungan antioksidan. Radikal bebas adalah substansi yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Radikal bebas yang berasal dari oksigen diklasifikasikan sebagai Reactive Oxigen Species (ROS), termasuk disini radikal superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH+) dan radikal hidrogen peroksida (H2O2). Enzim yang berperan dalam peningkatan produksi ion superoksid termasuk rantai transport elektron mitokondria, NAD(P)H Oxidase, dan Xanthin Oxidase, serta e NOS (Rush et al., 2005). Di dalam tubuh, ROS secara konstan diproduksi dan dieliminasi, selama sel masih memiliki pertahanan endogen melawan zat oksidan tersebut. Diduga bahwa kadar yang rendah ROS berperanan dalam fisiologi signaling antar sel secara normal, atau penting untuk memelihara homeostasis. Sedangkan produksi ROS yang berlebihan atau terjadinya kerusakan perlindungan terhadap ROS menimbulkan stres oksidasi, sehingga mengakibatkan terjadinya beberapa kelainan patologis (Rush et al., 2005). Stres oksidasi menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap lemak, protein, dan DNA. ROS dapat memicu proses peroksidasi terhadap lipid. Peroksida lipid tidak saja bertanggung jawab atas perusakan makanan, tetapi yang lebih penting adalah perusakan jaringan tubuh in vivo, sehingga dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan proses penuaan. Peroksidasi terhadap lipid dalam membran sel akan sangat mengganggu fungsi membran, menimbulkan kerusakan yang ireversibel terhadap fluiditas dan elastisitas membran, yang dapat menyebabkan ruptur membran sel (Szocs, 2004). Untuk mengetahui terjadinya peroksida lipid salah satunya adalah dengan mengukur kadar MDA (Suryohudoyo, 2000). 2.5. Malondialdehid (MDA) MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid, dan biasanya digunakan sebagai biomarker biologis untuk menilai stres oksidatif (Suryohudoyo, 2000). Pada proses peroksidasi lipid, selain MDA terbentuk juga radikal bebas yang lain, tetapi radikal bebas tersebut mempunyai waktu paruh yang pendek sehingga sulit diperiksa dalam laboratorium (Cherubini et al., 2005). Pengukuran kadar MDA serum dapat dilakukan dengan Test thiobarbituric acidreactive subtance (TBARS) yang berdasar pemeriksaan reaksi spektrofotometrik (Konig dan Berg, 2002). 2.6. Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) 2.6.1. Taksonomi Klasifikasi tanaman rosela adalah (Mardiah et al., 2009): Regnum : Plantae Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Dilleniidae Ordo : Malvales Familia : Malvaceae Genus : Hibiscus L. Spesies : Hibiscus sabdariffa L. 2.6.2. Nama Lain Tanaman rosela dapat tumbuh baik di daerah yang beriklim tropis dan yang beriklim subtropis. Tanaman ini mempunyai habitat asli yang sangat luas, terbentang dari India hingga Malaysia, namun saat ini tanaman rosela telah tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Karena itu rosela mempunyai nama umum yang berbeda-beda di berbagai daerah (Mardiah et al., 2009). Tumbuhan Hibiscus sabdariffa Linn ini dalam bahasa Indonesia disebut rosela. Hibiscus sabdariffa Linn di daerah Sunda dikenal dengan nama gamel walanda, di daerah Ternate dengan nama kasturi rortha, di daerah Jawa Tengah dengan nama mrambos hijau, di daerah Padang dengan nama asam jarot, di daerah Sumatra Selatan dengan nama kesew jawe, dan di daerah Muara Enim dikenal dengan nama asam rejang (Maryani dan Kristiana, 2008; Mardiah et al., 2009). Di Malaysia, rosela dikenal sebagai asam susur, asam paya, atau asam kumbang. Di Cina dikenal lou shen kui, lou shen hua. Di Thailand dikenal sebagai kachieb priew. Di Belanda dikenal Zuring, dan di Sinegal dikenal sebagai bisap. Di Inggris dikenal dengan roselle, rozelle, sorrel, sour-sour, queensland jelly plant, jelly okra, lemon bush dan florida cranberry. Di Afrika Utara dikenal karkade atau carcade. Nama carcade inilah yang dipakai sebagai nama dagang rosela, baik dalam dunia pengobatan maupun sebagai bahan makanan di benua Eropa (Mardiah et al., 2009). 2.6.3. Karakteristik dan Morfologi Tanaman rosela merupakan herba tahunan yang bergetah. Tinggi tanaman ini dapat mencapai ketinggian 0.5–3 meter, serta mengeluarkan bunga hampir sepanjang tahun. Batangnya berbentuk bulat, tegak, berkayu dan berwarna merah. Daunnya berupa daun tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan daunnya menjari, berujung tumpul, tepi bergerigi dan dengan pangkal berlekuk. Panjang daunnya 6-15 cm dan dengan lebar daun 5-8 cm. Tangkai daun bulat berwarna hijau dengan panjang 4-7 cm (Mardiah et al., 2009). Bunga tanaman rosela yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal, artinya pada setiap tangkai tanaman rosella hanya terdapat satu bunga. Bunga dari tanaman rosela ini mempunyai 8-11 helai kelopak bunga yang berbulu dengan panjang sekitar 1 cm, dengan pangkal yang saling berlekatan, dan berwarna merah. Kelopak bunga ini sering dianggap sebagai bunga oleh masyarakat, bagian inilah yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman (Maryani dan Kristiana, 2008). Mahkota bunga berbentuk corong terdiri dari 5 helaian, panjangnya sekitar 3-5 cm. Tangkai sari yang merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal, panjang sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm. Putik berbentuk tabung berwarna kuning atau merah (Mardiah et al., 2009). Buah berbentuk kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu-abu (Mardiah et al., 2009; Devi, 2009). 2.6.4. Kandungan Senyawa Kimia Bahan aktif dari kelopak bunga rosela adalah grossypeptin, antosianin, gluside hibiscin dan flavonoid. Menurut DEPKES RI. kelopak bunga rosela mengandung vitamin C, vitamin D, vitamin B1, B2, niacin, riboflavin, betakaroten, zat besi, asam amino, polisakarida, omega 3, kalsium. Rasa asam dari kelopak bunga rosela disebabkan kandungan vitamin C, asam sitrat dan asam glikolik (Maryani dan Kristiana, 2008). Hasil studi kimia pada kelopak bunga kering H.sabdariffa L. ditemukan alumunium, chromium, copper, besi (Arellano et al., 2004), polifenol (Liu et al., 2002; Lin et al., 2003), anthocyanidins (Lazze et al., 2003; Ojokoh et al., 2006), asam polisakarida heterogen dan komponen fenol termasuk gossypetine-3-glycoside, flavonoid (Amin dan Hamza, 2005). 2.6.5. Manfaat Rosela Rosela dilaporkan memiliki efek antiseptik, aphrodisiak, astringent, diuretik, emolien, sedatif, dan tonik (Okasha et al., 2008). Karakteristik fisiokimia kelopak bunga rosela memiliki kadar vitamin C yang tinggi dengan kandungan gula yang rendah, juga mengandung asam suksinat dan asam oksalat yang merupakan dua asam organik yang dominan. Rosela memiliki kandungan asam askorbat yang lebih tinggi daripada jeruk dan mangga. Kelopak bunga rosela mengandung vitamin A dan 18 jenis asam amino yang diperlukan tubuh. Salah satunya adalah arginin yang berperan dalam proses peremajaan sel tubuh. Di samping itu, rosela juga mengandung protein, kalsium, dan unsur-unsur lain yang berguna bagi tubuh. Asam amino yang terdapat dalam tanaman ini antara lain arginine, cystine, histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, threonine, trytophan, tyrosine, valine, aspartic acid, glutamic acid, alanine, glycine, proline dan serine (Okasha et al., 2008). Kandungan theaflavins dan cathecins membantu mengontrol kadar kolesterol dalam darah, dengan cara membatasi penyerapan kolesterol dan meningkatkan pembuangan kolesterol LDL dari hati. Sedangkan vitamin C dapat berfungsi untuk menetralisir lemak dalam tubuh, sehingga cukup bermanfaat untuk body slimming, body firming. Selain itu, kandungan vitamin C yang tinggi secara farmakologis berfungsi dalam membantu penyerapan semua vitamin dan mineral. Vitamin dan mineral membantu metabolisme tubuh. Vitamin A dan vitamin C mempunyai fungsi menjaga dan meningkatkan kesehatan tubuh serta mencegah penuaan dini dan munculnya katarak. Vitamin C sebagai salah satu antioksidan eksternal. Kandungan kalsium yang tinggi sangat membantu pertumbuhan serta kekuatan tulang dan gigi. Vitamin A, vitamin C dan kalsium berguna untuk kesehatan mata, kulit dan tulang sedangkan serat untuk memperbaiki sistem pencernaan (Arellano et al., 2004). Flavonoid dalam kelopak bermanfaat untuk mencegah kanker, terutama yang dikarenakan radikal bebas, seperti kanker lambung dan leukimia. Selain itu flavonoid juga mempunyai efek protektif terhadap penyakit-penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi (Kusmardiyana et al., 2007). Senyawa flavonoid dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, karena mampu membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Polifenol atau fenol bekerja sebagai antibakteri dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak membran plasma (Arellano et al., 2004). 2.6.6. Toksisitas Toksisitas ekstrak kelopak bunga rosela sangat rendah, LD 50 dari ekstrak kelopak bunga rosela tersebut ditemukan di atas 5000 mg/kg, penelitian dilakukan pada tikus (Ali et al., 2005). 2.7. Minyak Goreng Jelantah Berdasarkan ada atau tidak ikatan ganda dalam struktur molekulnya, minyak goreng terbagi menjadi (Ketaren, 2005): a. Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids). Merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya. Bersifat stabil dan tidak mudah bereaksi atau berubah menjadi asam lemak jenis lain. Asam lemak jenuh yang terkandung dalam minyak goreng pada umumnya terdiri dari asam miristat, asam palmitat, asam laurat dan asam kaprat. b. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty acids/MUFA) maupun majemuk (poly-unsaturated fatty acids/PUFA). Merupakan asam lemak yang memiliki ikatan atom karbon rangkap pada rantai hidrokarbonnya. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap itu (poly-unsaturated), semakin mudah bereaksi atau berubah menjadi asam lemak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam minyak goreng adalah asam oleat dan asam linoleat dan asam linolenat. Minyak yang baik adalah minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya, salah satunya adalah minyak nabati. Minyak goreng jenis ini mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh, kecuali minyak goreng kelapa sawit (Sartika, 2009). Minyak goreng kelapa sawit dibuat melalui dua fase yang berbeda, yaitu fase padat disebut stearin dengan asam lemaknya stearat dan fase cair disebut olein dengan asam lemaknya oleat. Dengan penyaringan (pemisahan fase padat dari fase cair) sebanyak 2 kali, kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak kelapa sawit menjadi lebih tinggi sehingga minyak menjadi lebih mudah rusak oleh proses penggorengan deep frying (Sartika, 2009; Lestari, 2010). Yang dimaksud dengan minyak goreng jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari berbagi jenis minyak goreng, minyak jelantah ini merupakan minyak bekas yang sudah dipakai untuk menggoreng berbagai jenis makanan dan sudah mengalami perubahan pada komposisi kimianya (Rukmini, 2007; Lestari, 2010). Sedangkan deep frying adalah cara menggoreng yang menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak, dengan pemanasan berulang dan pada suhu yang tinggi (Sartika, 2009). Pemanasan yang lama atau berulang-ulang akan mempercepat terjadinya destruksi minyak akibat meningkatnya kadar peroksida. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemanasan akan terjadi proses destruksi berupa degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses ini dapat meningkatkan kadar peroksida dan pembentukan radikal bebas yang bersifat toksik, sehingga membahayakan tubuh (Mulyati dan Meilina, 2007; Oktaviani, 2009). Temperatur pada proses penggorengan adalah sekitar 150-2000C. Pada temperatur tersebut, setiap bahan pangan rata-rata memerlukan waktu 8 menit untuk matang. Minyak goreng akan diganti atau ditambahkan dengan minyak baru bila sudah digunakan untuk menggoreng tiga kali atau lebih. Proses penggorengan di atas dapat menyebabkan minyak goreng kelapa sawit menjadi rusak karena proses oksidasi (Andik, 2001). Selama proses penggorengan, minyak mengalami reaksi degradasi yang disebabkan oleh panas, udara, dan air, sehingga mengakibatkan terjadinya oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi. Reaksi oksidasi juga dapat terjadi selama masa penyimpanan (Lee et al., 2002). Reaksi oksidasi terjadi akibat serangan oksigen terhadap asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak kelapa sawit. Reaksi antara oksigen dengan lemak akan membentuk senyawa peroksida yang selanjutnya akan membentuk asam lemak bebas, aldehida dan keton yang menimbulkan bau yang tidak enak pada minyak (ketengikan) (Herawati dan Akhlus, 2006). Oksidasi dapat terjadi melalui dua jenis mekanisme, yaitu auto-oksidasi dan fotooksidasi. Reaksi auto-oksidasi melibatkan pembentukan radikal bebas yang sangat tidak stabil, yang merupakan inisiator terjadinya reaksi rantai. Pada reaksi fotooksidasi, terjadi interaksi antara ikatan rangkap minyak dan radikal oksigen bebas yang sangat reaktif. Kedua jenis reaksi oksidasi ini menghasilkan produk reaksi primer, yaitu hidroperoksida, yang sangat tidak stabil. Senyawa ini bukan penyebab terjadinya perubahan rasa dan bau yang berkaitan dengan oxidative rancidity. Namun karena sifatnya yang tidak stabil, hidroperoksida akan segera terdekomposisi dan menghasilkan produk reaksi sekunder, misalnya senyawa aldehid, yang merupakan penyebab adanya oxidative rancidity (Azeredo et al., 2004). Oksidasi juga dapat menyebabkan warna minyak menjadi gelap, tetapi mekanisme terjadinya komponen yang menyebabkan warna gelap ini masih belum sepenuhnya diketahui. Diperkirakan bahwa senyawa berwarna pada bahan yang digoreng terlarut dalam minyak dan menyebabkan terbentuknya warna gelap (Yustinah, 2009). Pemberian minyak jelantah pada tikus menyebabkan kenaikan kadar MDA, dimana kadar MDA dapat mencapai konsentrasi 0,285 mg/ml. Sedangkan pada keadaan normal konsentrasi MDA tikus adalah 0,1 mg/ml. Ini menunjukkan bahwa antioksidan yang ada di dalam hewan coba tidak mencukupi untuk menangkal radikal bebas yang disebabkan pemberian minyak jelantah (Ulilalbab, 2010). 2.8. Dampak Minyak Jelantah terhadap Kesehatan Ketika lemak masuk ke dalam makanan dapat terjadi modifikasi terhadap komposisi makanan. Perubahan yang dihasilkan bergantung pada beragam faktor, seperti komposisi lemak yang digoreng dan yang dikandung dalam makanan tersebut, tekstur, ukuran, bentuk makanan dan kondisi penggorengan seperti lama durasi dan temperatur. Faktor-faktor terkait mempengaruhi perubahan yang terjadi pada nilai nutrisi makanan. Perubahan ini dapat meliputi hilangnya nutrisi terutama vitamin dan mineral (Ghidurus et al.,2010). Pada umumnya makanan hasil penggorengan mengandung 4% - 14% lemak dari total beratnya. Kualitas minyak goreng yang digunakan juga mempengaruhi penyerapan minyak ke dalam makanan. Penggunaan minyak jelantah akan meningkat polaritas minyak dan menurunkan tegangan permukaannya antara bahan pangan dan minyak sehingga penyerapan lemak akan semakin meningkat (Ghidurus et al.,2010). Selain menyerap minyak, makanan yang digoreng menggunakan minyak jelantah juga menyerap produk degradasi seperti radikal bebas, keton, aldehid, polimer yang menyebabkan perubahan pada organ misalnya bertambahnya berat organ ginjal dan hati serta timbulnya berbagai penyakit seperti kanker, disfungsi endotelial, hipertensi dan obesitas (Rukmini, 2007; Castillo’n et al.,2011). Sebuah penelitian tentang pengaruh suhu dan lama proses deep frying terhadap pembentukan asam lemak trans menunjukkan bahwa setelah proses deep frying yang ke-2 akan terbentuk asam lemak trans baru terbentuk dan kadarnya akan semakin meningkat sejalan dengan penggunaan minyak. Akibat dari kenaikan asam lemak trans adalah peningkatan kadar low density lipoprotein (LDL), trigliserol dan lipoprotein, penurunan high density lipoprotein (HDL), dan mempengaruhi metabolisme asam lemak bebas yang akan menyebabkan dislipidemia dan arterosklerosis (Sartika,2009). Beberapa studi pada tikus menunjukkan bahwa pemberian diet tinggi lemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan berat badan, akumulasi massa lemak terutama trigliserida pada organ hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan sintesis asam lemak. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas, sindrom metabolik dan hepatik steatosis dan lipotoksisitas (Dorfman et al.,2009). Lipotoksisitas adalah toksisitas sel akibat akumulasi abnormal lemak. Asam lemak bebas bersifat hidrofobik sehingga dapat menembus membran sel atau melalui transporter yaitu fatty acid transport protein (FATP) atau fatty acid transporter CD36. Asam lemak tersaturasi dapat menginduksi apoptosis (programmed cell death) (Malhi, 2008). Salah satu dampak berbahaya dari penggunaan minyak jelantah adalah meningkatnya radikal bebas, substansi yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Radikal bebas yang berlebihan akan menimbulkan stress oksidasi yang memicu proses peroksidasi terhadap lipid, sehingga dapat menimbulkan penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan mempercepat terjadinya proses penuaan (Koch et al., 2007; Jusup dan Raharjo, 2010). 2.9. Hewan Coba Tikus (Rattus novergicus L.) 2.9.1. Penggunaan Tikus Penggunaan hewan coba tikus galur Wistar dikarenakan tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan baik, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur tikus antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino berkepala kecil dengan ekor lebih panjang daripada badannya dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala yang besar dan dengan ekor yang lebih pendek. Tikus galur Wistar lebih besar daripada famili tikus umumnya, dimana tikus galur Wistar ini dapat mencapai ukuran 40 cm, yang diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat berkisar antara 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan tikus ini dapat hidup selama 4 tahun (Kusumawati, 2004). Adapun data biologis tikus dapat dilihat dari tabel 2.1. di bawah ini (Kusumawati, 2004): Tabel 2.1. Data Biologis Tikus Karakteristik Berat badan Jantan Betina Berat lahir Lama hidup Temperatur tubuh Kebutuhan air Kebutuhan makanan Frekuensi denyut jantung Frekuensi respirasi Tidal volume Pubertas Saat dikawinkan Jantan Betina Lama siklus birahi Lama kebuntingan Jumlah anak perkelahiran Umur sapih Ukuran : 300-400 gram : 250-300 gram : 5-6 gram : 2,5-3 tahun : 35,9-37,5°C : 8-11 ml/100 g BB : 5 g/kg BB : 330-480/ menit : 66-114/ menit : 0,6-1,25 ml : 50-60 hari : 65-110 hari : 65-110 hari : 4-5 hari : 21-23 hari : 6-12 : 21 hari 2.9.2. Pemberian Makanan Dan Minuman Bahan dasar makanan tikus dapat bervariasi, misalnya protein 20-25%, lemak 5%, karbohidrat 45-50%, serat kasar 5%, abu 4-5%, vitamin A 4000 IU/kg, vitamin D 1000 IU/kg, alfa tokoferol 30 mg/kg, asam linoleat 3 g/kg, tiamin 4 mg/kg, riboflavin 3 mg/kg, pantotenat 8 mg/kg, vitamin B12 50 μg/kg, biotin 10 μg/kg, piridoksin 40μg/kg dan kolin 1000 mg/kg. Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia digunakan makanan ayam petelur dengan kandungan protein 17%, yang mudah didapatkan di toko makanan ayam dan pemberian minum tikus ad libitum (Ngatidjan, 2006). 2.9.3. Pemantauan Keselamatan Tikus Diperlukan pemantauan keselamatan tikus di laboratorium antara lain (Ngatidjan, 2006): 1. Kandang tikus harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan terhadap gigitan tikus dan hewan tampak jelas dari luar. Alas kandang harus mudah menyerap air, pada umumnya yang dipakai serbuk gergaji atau sekam padi. 2. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram, luas alas kandang tiap ekor tikus adalah 600 cm2 dan tinggi 20 cm. 3. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologis tikus. Diatur suhu, kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari. 4. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang.