Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia Oleh Doni J Widiantono dan Ishma Soepriadi Kota-kota kita di Indonesia saat ini berkembang cukup pesat, selama kurun waktu 10 tahun terakhir muncul kurang lebih 31 kota baru dari hasil pemekaran beberapa kabupaten. Sementara itu, kota-kota lainnya yang sudah terlebih dahulu terbentuk juga mengalami perkembangan penduduk yang cukup tinggi akibat urbanisasi. Penduduk perkotaan dewasa ini sudah mencapai lebih dari 50% penduduk Indonesia. Tahun 2008 ini merupakan tahun yang bersejarah karena jumlah penduduk kota melampaui jumlah penduduk perdesaan. Kenyataan tersebut tentu akan membebani kota-kota kita ke depan. Dengan makin banyaknya penduduk yang tinggal di perkotaan, maka tuntutan akan kawasankawasan hunian baru juga akan meningkat. Kawasan-kawasan hunian tersebut dalam kenyataannya membutuhkan prasarana dan sarana dasar permukiman seperti fasilitas pendidikan, air bersih, sanitasi, persampahan, listrik dan telekomunikasi dan sebagainya. Pada tataran sosial-ekonomi, tambahan jumlah penduduk juga menuntut tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai. Terbatasnya lapangan pekerjaan di sektorsektor formal seperti perdagangan dan jasa tentu harus diimbangi dengan penyediaan ruang-ruang bagi aktivitas ekonomi sektor informal. Perkembangan kota yang tidak terkelola dengan baik akan cenderung tidak terkendali dan mengakibatkan berbagai persoalan turunan seperti kemacetan lalulintas, tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh perkotaan, dan kualitas kesejahteraan masyarakat yang rendah. Sehingga muncul apa yang disebut sebagai urban paradox, dimana kota yang diharapkan menciptakan kesejahteraan sebagai engine-of growth justru melahirkan kantongkantong kemiskinan baru. Untuk itu, dalam upaya menyusun strategi penanganan kawasan perkotaan yang lebih baik, dibutuhkan adanya data dan informasi perkotaan yang akurat dan mutakhir, yang menggambarkan mengenai kondisi kota-kota yang ada di Indonesia. Hal ini penting ketika kita ingin membandingkan kondisi kota-kota yang ada di Indonesia untuk dapat menetapkan bench mark bagi kota-kota yang dapat menjadi contoh. Tulisan ini mencoba memberikan gambaran awal mengenai kondisi kota-kota otonom yang ada di Indonesia dan menghitung Indeks Pembangunan Kota (City Development Index/CDI) untuk dapat membandingkan satu kota terhadap kota yang lain. Diharapkan nantinya dapat dikembangkan suatu dokumen yang dapat memberikan gambaran mutakhir tentang kondisi kota-kota di Indonesia, semacam State of World Cities Report yang dikeluarkan oleh UN-Habitat secara berkala. Profi l Dasar Kota-Kota di Indonesia Indonesia saat ini memiliki 94 kota otonom yang tersebar di seluruh provinsi yang ada. Dari 94 kota tersebut, 64 kota (70%) diantaranya berlokasi di Pulau Jawa dan Sumatera yang terletak di wilayah barat Indonesia. Namun, di Pulau Jawa sendiri terdapat 32 kota otonom dengan jumlah penduduk perkotaan mencapai 26,83 juta jiwa. Luas wilayah rata-rata kota di Indonesia adalah 292,45 km2 atau 29.245 ha. Kota Palangka Raya merupakan kota dengan wilayah terluas dengan luas wilayah kota mencapai 2.400 km 2 atau 240.000 ha. Sedangkan Mojokerto merupakan kota dengan luas wilayah terkecil, yaitu 16,46 km 2 atau 1.646 ha. Jumlah penduduk seluruh kota di Indonesia pada tahun 2005 adalah 44,762 juta jiwa yang merupakan 20% dari 218 juta jiwa penduduk Indonesia. Rata-rata jumlah penduduk perkotaan adalah 514 ribu jiwa dengan nilai tengah 212 ribu jiwa. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia per tahun (2000-2005) adalah 1,82%. Dari sisi kepadatan penduduk, rata-rata kepadatan penduduk kota yang ada adalah 33 jiwa/ha. Bandung, Cimahi, dan Yogyakarta merupakan kota kota terpadat dengan kepadatan penduduk bruto 135 jiwa/ ha. Sedangkan kota-kota lainnya, seperti Palangka Raya dan Tidore merupakan kota dengan kepadatan rendah dengan kepadatan penduduk bruto kurang dari 1 jiwa/ha. Kota Metropolitan. Kota metropolitan adalah kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa. Saat ini terdapat 10 kota yang masuk kategori metropolitan di Indonesia. Tujuh kota metropolitan terletak di Pulau Jawa, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Bekasi, Tangerang, Semarang, dan Depok. Sedangkan dua lainnya terletak di Pulau Sumatera yaitu Medan dan Palembang. Dan satu kota di Pulau Sulawesi yaitu kota Makassar. Di antara kota-kota metropolitan tersebut tujuh kota merupakan ibukota provinsi sedangkan 3 lainnya merupakan bagian dari Kawasan Metropolitan Jabodetabek, yaitu Kota Tangerang, Kota Bekasi, dan Kota Depok. Rata-rata luas wilayah kota metropolitan adalah 29.659 Ha. DKI Jakarta - yang terdiri dari 5 kota administrative Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara - merupakan kota metropolitan terluas, yaitu sekitar 66.000 ha. Sedangkan Kota Bandung merupakan kota metropolitan dengan luas wilayah terkecil, Kota Metropolitan yang terkesan berjejal-jejal yaitu 15.745 ha. Jumlah penduduk kota-kota metropolitan pada tahun 2005 secara keseluruhan mencapai 24,5 juta jiwa. Jumlah penduduk kota metropolitan ini merupakan 55% dari total penduduk kota-kota di Indonesia. Rata-rata jumlah penduduk kota metropolitan adalah 1,72 juta jiwa. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk kota metropolitan per tahun (2000-2005) adalah 1,66 %. Kota dengan laju pertumbuhan tertinggi adalah Kota Bekasi, yaitu 3,99 %. Sedangkan Palembang adalah kota dengan laju pertumbuhan terendah, yaitu -1,41 %. Rata-rata kepadatan penduduk kota metropolitan adalah 81 jiwa/ha. Bandung merupakan kota metropolitan terpadat dengan kepadatan bruto 137 jiwa/ha dan Palembang adalah kota dengan kepadatan terendah dengan kepadatan bruto hanya 34 jiwa/ha. Kota Besar. Kota-kota yang memiliki populasi penduduk pada rentang 500 ribu hingga 1 juta jiwa masuk dalam kategori kota besar. Saat ini terdapat 13 kota besar di Indonesia. Lima kota di antaranya terletak di Pulau Jawa yaitu Bogor, Malang, Tasikmalaya, Cimahi, dan Surakarta. Empat lainnya berada di pulau Sumatera yaitu Padang, Bandar Lampung, Pekan Baru, dan Batam. Tiga kota berada di Pulau Kalimantan yaitu Banjarmasin, Samarinda, dan Pontianak. Satu kota sisanya berada di Pulau Bali yaitu Denpasar. Kota-kota besar yang terletak di luar Pulau Jawa seluruhnya merupakan ibukota provinsi, kecuali Kota Batam. Luas wilayah rata-rata kota besar adalah 35.396 Ha. Kota Batam merupakan kota dengan wilayah terluas, yaitu 157. 053 ha dan Cimahi merupakan kota dengan luas wilayah terkecil, yaitu 4.104 ha. Total penduduk dari kota-kota besar pada tahun 2005 adalah 8,48 juta jiwa atau sekitar 19% dari total penduduk perkotaan di Indonesia. Rata-rata jumlah penduduk kota besar adalah 652 ribu jiwa dengan nilai tengah 589 ribu jiwa. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun (2000-2005) adalah 2,86 %. Kota dengan laju pertumbuhan tertinggi adalah Denpasar dengan pertumbuhan 7,57%. Sedangkan Surakarta adalah kota dengan laju pertumbuhan terendah, yaitu -1,65 %. Rata-rata kepadatan penduduk kota-kota besar adalah 52 jiwa/ha. Cimahi merupakan kota besar terpadat dengan kepadatan bruto 133 jiwa/ha dan Batam adalah kota dengan kepadatan bruto terendah, yaitu 4 jiwa/ha. Kota Sedang. Kota Sedang merupakan kota yang memiliki populasi penduduk pada rentang 100 ribu hingga 500 ribu jiwa. Dari 94 kota otonom yang ada di Indonesia, 56 diantaranya (61%) merupakan kota sedang. Pulau Jawa memiliki 14 kota sedang, Pulau Sumatera memiliki 19 kota, dan 23 kota lainnya tersebar di pulau-pulau lainnya. Terdapat 15 kota sedang yang merupakan ibukota provinsi, 14 kota terletak di luar Pulau Jawa dan satu diantaranya terletak di Pulau Jawa, yaitu Kota Yogyakarta. Luas wilayah rata-rata kota sedang di Indonesia adalah 27.474 Ha. Kota Palangka Raya merupakan kota sedang dengan wilayah terluas, yaitu 240.000 ha dan Mojokerto adalah kota sedang dengan luas wilayah terkecil, yaitu 1.646 ha. Total populasi kota sedang pada tahun 2005 adalah 11,23 juta jiwa atau sekitar 25% dari total penduduk kota-kota otonom Indonesia. Ratarata jumlah penduduk kota besar adalah 200 ribu jiwa dengan nilai median adalah 178 ribu jiwa. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun kota besar (2000-2005) adalah 1,64 %. Kota Tarakan merupakan kota sedang dengan laju pertumbuhan per tahun tertinggi, yaitu 6,06 % dan kota Banda Aceh memiliki laju pertumbuhan per tahun terendah, yaitu -1,76 %. Rata-rata kepadatan penduduk kota sedang adalah 24 jiwa/Ha. Yogyakarta merupakan kota sedang dengan kepadatan bruto tertinggi, yaitu 133 jiwa/ha dan Palangka Raya adalah kota sedang dengan kepadatan bruto terendah, yaitu 0,71 jiwa/ha. Kota Kecil. Delapan kota lainnya merupakan kota yang dikategorikan sebagai kota kecil karena memiliki populasi penduduk pada rentang 50 ribu hingga 100 ribu jiwa atau kurang dari 50.000 tapi berstatus Kota otonom. Enam kota diantaranya terletak di Pulau Sumatera yaitu kota Sibolga, Pariaman, Solok, Sawah Lunto, Padang Panjang, dan Sabang. Sedangkan dua kota lainnya terletak di Kepulauan Maluku yaitu kota Tidore dan di Pulau Sulawesi yaitu kota Tomohon. Luas wilayah rata-rata kota kecil di Indonesia adalah 31.128 Ha. Kota Tidore Kepulauan merupakan kota dengan wilayah terluas, yaitu 179.000 Ha, sedangkan Padang Panjang adalah kota dengan wilayah terkecil, yaitu 2.300 ha. Total penduduk kota kecil di Indonesia pada tahun 2005 adalah 500.361 jiwa atau hanya sekitar 1% dari total penduduk kotakota otonom Indonesia. Rata-rata jumlah penduduk kota kecil adalah 62.545 jiwa dengan nilai median 62.000 jiwa. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun kota kecil (2000- 2005) adalah 2,3 %. Kota Sabang merupakan kota kecil dengan laju tertumbuhan tertinggi, yaitu 3,87 % dan kota Sawah Lunto memiliki laju pertumbuhan terendah, yaitu 0,86 %. Rata-rata kepadatan penduduk Kota Kecil adalah 10 jiwa/ha. Sibolga merupakan kota kecil dengan kepadatan tertinggi, yaitu 27 jiwa/ha dan Tidore Kepulauan adalah kota kecil dengan kepadatan terendah, yaitu 430.000 per m2 atau 0,43 jiwa/ha. Indeks Pembangunan Kota (CDI City Development Index) Pengertian. CDI adalah suatu metoda penilaian kondisi pembangunan kota yang digunakan untuk mengevaluasi kebijakan tingkat keberhasilan pembangunan suatu kota. Indeks ini tersusun dari sejumlah variabel sektor yang dianggap mewakili kualitas pelaksanaan pembangunan suatu kota, yaitu penyediaan infrastruktur, kualitas penyediaan fasilitas pendidikan, persampahan, dan produk ekonomi suatu kota secara keseluruhan. CDI merupakan suatu alat yang dirumuskan oleh salah satu badan di bawah naungan PBB, yaitu UN-Habitat yang digunakan untuk membuat perbandingan kinerja kota-kota di dunia. CDI mengukur tingkat kinerja suatu kota dalam bentuk indeks berdasarkan skala pembangunan di suatu kota. Skala pembangunan kota ini menitikberatkan pada skala kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan penduduk kota dapat ditinjau berdasarkan aspek ekonomi, sosial, dan aksesibilitas untuk memperoleh pelayanan infrastruktur yang berkembang di wilayah kota tersebut. CDI merupakan suatu perhitungan yang mengukur hasil pembangunan kota, baik secara sosial-ekonomi penduduk maupun secara fisik melalui penyediaan infrastruktur. CDI ini juga dapat mengukur skala pembangunan manusia dan modal fisik yang ada di suatu kota. Metoda Perhitungan CDI. Teknik yang digunakan untuk menghitung CDI hampir sama dengan teknik perhitungan Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) yang dibuat oleh UNDP. Namun, terdapat sedikit perbedaan pada perumusan CDI karena CDI turut memperhitungkan aksesibilitas terhadap infrastruktur. Dengan demikian, terdapat lima subindeks dalam perhitungan CDI, yaitu Infrastruktur, Persampahan, Kesehatan, Pendidikan, dan Produk Kota (City Product) dimana seluruh sub-indeks memiliki rentang nilai dari 0 hingga 100. CDI Kota di Indonesia. Metoda yang digunakan dalam perhitungan Indeks Pembangunan Kota di Indonesia menggunakan dasar perhitungan seperti yang telah dirumuskan oleh UN-Habitat dengan sedikit penyesuaian, terkait dengan ketersediaan data. Perhitungan CDI untuk kota-kota Indonesia menggunakan sub-indeks yang sama namun terdapat beberapa perubahan dan penyederhanaan dalam penggunaan variabel-variabel di setiap sub-indeksnya. Adanya perubahan sejumlah variabel pada sub-indeks CDI yang digunakan untuk menghitung kinerja kota-kota Indonesia disebabkan oleh terbatasnya data statistik kondisi kota sesuai dengan variabel yang ditentukan pada formula yang asli. Oleh karena itu, dilakukan sejumlah penyesuaian dan penyederhanaan terhadap formula CDI tersebut tanpa mengubah nilai dasar yang harus dimiliki oleh setiap subindeks, yaitu pada rentang 0 hingga 100. Formulasi hasil penyesuaian untuk perhitungan CDI di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Formula Perhitungan City Development Index Produk Kota yang dimaksud pada formula di atas merupakan pendapatan kota secara total berupa PDRB. Total pendapatan kota ini dapat merupakan penjumlahan dari pendapatan per kapita maupun pendapatan rumah tangga rata-rata di kota tersebut. Perhitungan CDI untuk kotakota di Indonesia menggunakan data-data yang bersumber dari Badan Pusat Statisitk, baik data yang tercatat pada statistik dalam angka maupun data hasil rekapitulasi Potensi Desa dengan tahun dasar minimal adalah tahun 2005. Variabel data yang digunakan untuk setiap sub-indeks adalah sebagaimana tercantum pada Tabel 3. Kota Metropolitan. Perhitungan CDI untuk Kota Metropolitan DKI Jakarta diparsialkan ke dalam batas administrasi 5 kota otonom yang menjadi wilayah bagian DKI Jakarta, yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara. Rata-rata nilai CDI kota metropolitan adalah 86,33. Kota Jakarta Utara memiliki nilai CDI tertinggi diantara kota-kota metropolitan lainnya, yaitu 92,71. Berdasarkan nilai-nilai sub-indeksnya, Kota Jakarta Utara memiliki nilai tertinggi pada sub-indeks Persampahan, yaitu 100 dan nilai terendah pada subindeks Produk Kota, yaitu 76,18. Sedangkan Kota Depok memiliki nilai CDI terendah diantara kota-kota metropolitan Indonesia, yaitu 72,88. Berdasarkan nilai-nilai sub-indeksnya, Kota Depok memiliki nilai tertinggi pada sub-indeks Pendidikan, yaitu 95,8 dan nilai terendah pada sub-indeks Infrastruktur, yaitu 64,61. Surabaya merupakan kota dengan CDI tertinggi di luar Jakarta, diikuti oleh kota Makassar, Bandung dan kota Palembang. Sedangkan kota-kota Medan, Tangerang, Bekasi dan Depok merupakan kota metropolitan dengan nilai CDI yang terendah. Gambar 1. Hasil Perhitungan CDI Kota Metropolitan Kota Besar. Kota Denpasar memiliki nilai CDI tertinggi diantara kota-kota besar lainnya, yaitu 88,25. Berdasarkan nilai-nilai sub-indeksnya, Kota Denpasar memiliki nilai tertinggi pada subindeks Persampahan, yaitu 100 dan nilai terendah pada sub-indeks Produk Kota, yaitu 60,34. Sedangkan Kota Tasikmalaya memiliki nilai CDI terendah diantara kota-kota besar Indonesia, yaitu 70,15. Berdasarkan nilai-nilai sub-indeksnya, Kota Tasikmalaya memiliki nilai tertinggi pada sub-indeks Pendidikan, yaitu 96,9 dan nilai terendah pada sub-indeks Persampahan, yaitu 52,79. Kota Sedang. Kota Balikpapan memiliki nilai CDI tertinggi diantara kota-kota sedang lainnya, yaitu 89,47. Berdasarkan nilai-nilai sub-indeksnya, Kota Balikpapan memiliki nilai tertinggi pada sub-indeks Pendidikan, yaitu 97 dan nilai terendah pada subindeks Produk Kota, yaitu 67,43. Sedangkan Kota Tomohon memiliki nilai CDI terendah diantara kotakota sedang Indonesia, yaitu 61,63. Berdasarkan nilai-nilai sub-indeksnya, Kota Tomohon memiliki nilai tertinggi pada subindeks Kesehatan, yaitu 90 dan nilai terendah pada subindeks Persampahan, yaitu 13,4. subindeksnya, Kota Sibolga memiliki nilai tertinggi pada sub-indeks Pendidikan, yaitu 97,7 dan nilai terendah pada subindeks Produk Kota, yaitu 47,42. Sedangkan Kota Tidore Kepulauan memiliki nilai CDI terendah diantara kota-kota kecil Indonesia, yaitu 54,76. Berdasarkan nilai-nilai subindeksnya, Kota Tidore Kepulauan memiliki nilai tertinggi pada sub-indeks Pendidikan, yaitu 90 dan nilai terendah pada sub-indeks Persampahan, yaitu 7,73. Gambar 4. Hasil Perhitungan CDI Kota Kecil Penutup Indeks Pengembangan Kota (CDI) dapat menjadi alat ukur dalam menakar kinerja kota-kota di Indonesia. Dalam tulisan ini diperlihatkan hasil perbandingan CDI untuk kota-kota otonom yang ada. Agar supaya perbandingan yang ada lebih memberi arti, kota-kota yang ada dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu Kota Metropolitan (jumlah penduduk sama atau lebih dari satu juta jiwa), Kota Besar (jumlah penduduk antara 500 ribu hingga satu juta jiwa), Kota Sedang (jumlah penduduk antara 100 ribu hingga 500 ribu jiwa), dan Kota Kecil (jumlah penduduk antara 50 ribu hingga 100 ribu jiwa). CDI yang dihitung dibandingkan terhadap kota-kota yang berada dalam satu kategori. Perhitungan CDI Kota-Kota Indonesia ini mengadopsi metode perhitungan indeks pembangunan kota yang dikembangkan oleh Asian Development Bank (ADB) dengan metode perhitungan City Development Index (CDI). Namun, dalam perhitungan CDI untuk kota-kota Indonesia mengalami sejumlah penyesuaian karena keterbatasan kualitas data yang tersedia sehingga terdapat sejumlah perubahan dalam perhitungan CDI untuk kota-kota di Indonesia. Perhitungan CDI untuk kota-kota Indonesia diasumsikan sebagai gambaran kinerja pembangunan kota-kota Indonesia dalam memberikan pelayanan terhadap penduduknya. Nilai CDI berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dianggap merepresentasikan tingkat pembangunan kota yang ada. Angka indeks yang lebih tinggi mengindikasikan kualitas yang lebih baik. Dengan demikian CDI dapat digunakan untuk membandingkan kota-kota lainnya dalam kategori yang sama dengan variabel yang objektif. Dari hasil penilaian CDI tersebut terlihat bahwa kota-kota metropolitan secara relatif memiliki indeks yang lebih tinggi dari kota-kota lainnya. Kota Jakarta (92,71) dan Surabaya (90,51) terlihat masih memiliki nilai CDI yang tertinggi di antara seluruh kota di Indonesia. Sedangkan kota-kota besar nilai CDI-nya berkisar antara 88,25 (kota Denpasar) dan 70,13 (kota Tasikmalaya). Sementara hasil perhitungan CDI kotakota sedang memperlihatkan rentang antara 89,47 (kota Balikpapan) dan 61,63 (kota Tomohon), dan Kota-kota kecil berkisar antara 83,4 (kota Sibolga) dan 54,76 (Tidore). Tentu hasil ini tidak sepenuhnya dapat memberikan gambaran tentang kemajuan dan kualitas pembangunan suatu kota. Tapi setidaknya dapat memberikan gambaran secara relatif kondisi kota-kota kita. Dengan demikian kita dapat menakar sejauh mana keberhasilan pelaksanaan pembangunan kota-kota kita selama ini. Sektor ekonomi informal dalam naungan jembatan. Referensi: 1. Badan Pusat Statistik. 2. UN-Habitat. 3. Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. topik utama. Menakar Kinerja Kota-kota di Indonesia