Kehamilan dan Miastenia gravis Abstrak Tujuan kajian: Miastenia

advertisement
Kehamilan dan Miastenia gravis
Abstrak
Tujuan kajian: Miastenia gravis (MG) adalah gangguan autoimun yang ditandai dengan
fluktuasi mata, tungkai, atau kelemahan otot orofaringeal akibat serangan termediasi antibodi di
neuromuscular junction. Insiden MG pada perempuan memuncak pada dekade ketiga selama
masa subur. Sejumlah faktor dapat memperburuk MG, termasuk kehamilan. Ketika pengobatan
dibutuhkan, harus dipilih dengan hati-hati dan dengan pertimbangan efek yang mungkin terjadi
pada ibu dengan MG, kehamilan, dan janin.
Temuan terbaru: Keputusan yang kompleks dalam pengobatan pada wanita yang disertai MG
atau dengan indikasi adanya MG pada masa kehamilan. Meskipun data sangat bisa diobservasi,
sejumlah pola karakteristik dan masalah yang berkaitan dengan risiko kepada pasien, integritas
kehamilan, dan risiko terhadap janin telah dikenali. Pengetahuan yang baik terhadap
pertimbangan khusus ketika menghadapi kehamilan yang disertai MG sangat penting untuk
menghindari potensi bahaya di kedua pasien dan janin. Penggunaan agen imunosupresif
menimbulkan risiko bagi janin. Memburuknya MG dengan insufisiensi pernapasan menimbulkan
risiko bagi ibu dan janin.
Ringkasan: Artikel ini mengkaji informasi yang tersedia mengenai harapan dan pengelolaan
untuk pasien dengan MG pada usia subur. Penentuan perawatan harus diatur berdasarkan tingkat
keparahan MG, distribusi kelemahan, penyakit penyerta, dan keadaan janin. Partisipasi pasien
dalam mengambul keputusan sangan penting untuk kesuksesan pengelolaan penyakit.
Introduksi
Miastenia Gravis merupakan gangguan kronis yang ditandai dengan kelemahan fluktuatif dan
kelemahan otot-otot volenter yang cepat. Prevalensi MG yang diperirakan ada di Amerika
Serikat adalah 20/100.000 populasi. Acquired MG (MG didapat) adalah gangguan autoimun
pada antibodi di neuromuscular junction yang menyebabkan ketidakseimbangan transmisi
neuromuskuler dan kelemahan otot skelet (otot periokulaer, otot tungkai, dan otot orofaringeal).
Gejala dapat muncul pada semua usia, namun tingkat kejadian tertinggi terjadi pada wanita pada
usia dekade ketiga. MG lebih sering ditemui pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
1
dengan rasio 3:2. Pemicu MG yang diketahui termasuk infeksi, perubahan pada funsi hormon
tiroid, anestesi umum, pengobatan tertentu, stres emosional atau fisik, haid, kehamilan dan
keadaan postpartum.
Merawat pasien perempuan pada masa subur meliputi antisipasi kehamilan, sama seperti
perawatan pada masa kehamilan dan periode postpartum. Dalam persiapan kehamilan, wanita
dengan MG membutuhkan edukasi dan konseling untuk menangani masalah terapi, termasuk
pilihan dan resiko jika diberikan perawatan atau tidak dirawat, efek MG pada kehamilan, dan
resiko pada janin dan bayi. Wanita dengan MG mendapatkan keuntungan dati pendekatan
interdispliner personal untuk perawatan selama masa kehamilan dan periode postpartum,
termasuk neuromuskular, obstetri resiko tinggi dan spesialis pediatri neonatus. Mengenali resiko
baik untuk ibu dan bayi membutuhkan pengawasan dan perhatian yang seksama selama masa
kehamilan dan proses kelahiran. Bahkan setelah proses kelahiran bayi yang sehat, MG dapat
mempengaruhi keadaan ibu. Seorang wanita dengan MG harus diinformasikan secara penuh dan
waspada bahwa kehamilan yang diinginkan adalah sebuah komitmen fisik yang dapat
dipengaruhi MG namun juga membutuhkan kemampuan lebih untuk mengatasi kebutuhan dalam
proses asuh dan proses penyakitnya. Artikel ini mendiskusikan pendekatan awal pada pasien
wanita pada masa subur dengan MG, termasuk diagnosis dan penatalaksanaan dari berbagai
pertanyaan yang muncul dari pasien dan petugas medis yang merawat.
Diagnosis Miastenia Gravis Selama Kehamilan
MG biasanya baru dapat muncul atau memperburuk pada sekitar sepertiga pasien dalam masa
kehamilan. Gejala kelemahan fluktiatif merupakan ciri khas dari kondisi ini dan ketika
dilengkapi dengan gejala kelemahan tipikal MG (seperti, kelemahan ptosis, diplopoa, disartria,
disfagia, dan/atau kelemahan tungkai), maka harus dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih
jauh (jika pasien belum didiagnosis secara pasti), termasuk pemeriksaan elektrodiagnostik dan
acetylcholine receptor (Achr)-binding antibody. Jika antibodi Achr tidak dapat dideteksi, harus
dilakukan pengukuran anti-muscle specific kinase (MuSK). Peningkatan serum anti-AChrbinding antibody atau antibodi anti-MuSk pada pasien dengan tanda dan gejala klinis MG
mengkonfirmasikan diagnosis. Pada pasien seronegatif pemeriksaan elektrofisiologi abnormal
pada transmisi neuromuskular dapat menegakkan diagnosis. Pemeriksaan-pemeriksaan
elektrofisiologi yang menunjukan sebuah kecacatan pada transmisi neuromuskular merupakan
2
kajian stimulasi syaraf repetititif dan EMG serat tungal yang lebih sensitif, keduanya aman
dilakukan pada pasien hamil. Pasien dapat dilakukan pemeriksaan foto CT dada tanpa kontras
untuk menilai kelenjar timus, namun, penundaan sampai setelah kelahiran lebih disukai, terutama
pada pasien dengan antibodi negatif. Resiko radiasi dihindari dengan MRI dada, namun
pemeriksaan ini tidak menvisualisasikan mediastinum anterior seperti pada pemeriksaan foto CT,
dimana pemeriksaannya lebih diminati.
Thymoma sangat jarang ditemukan pada rentang usia ini, terutama jika pada tes antibodi AchR
negatif. Keputusan untuk melakukan foto thymus biasanya dapat ditunda sampai setelah
kelahiran dengan menghindari terjadinya resiko potensial terhadap janin, kecuali terdapat alasan
klinis yang kuat dalam kecuriagaan thymoma.
Perubahan pada Myastenia Gravis Selama Kehamilan
Kehamilan mungkin dapat mengubah perjalanan MG, bahkan terkadang dengan cara yang sangat
tidak bisa terprediksi. Tingkat keparahan kelemahan pada awal kehamilan tidak dapat
memprediksikan baik remisi atau eksaserbasi, dan pada eksaserbasi penyakit yang nyata, krisis
miastenik atau bahkan remisi penyakit dapat muncul pada masa kehamilan. Pasien dapat
mengalami hipoventilasi sekunder akibat kelemahan oto pernapasan. Janin yang tumbuh juga
dapat membatasi diafragma dan mengganggu fungsi pernapasan; pada akhir masa kehamilan,
peningkatan tekanan abdomen dan peningkatan diafragma mengurangi kapasitas paru untuk
mengambang secara penuh. Pada beberapat titikselama kehamilan, sekitar 20% pasen mengalami
krisis respiratori terkait ventilasi mekanik. Pengawasan tertutup kesulitan bernapas sangat
penting selama masa kehamilan untuk keselamatan ibu dan janin. Komplikasi yang jarang pada
MG pada massa kehamilan, termasuk supresi sumsum tulang, pernah dilaporkan. Telah diakui
bahwa supresi sumsum tulang
dapat diakibatkan oleh rekasi autoimun terhadap unit
pembentukan koloni megakariosit. Pasien dengan terapi imunosupresan juga dapat menderita
infeksi sekunder akibat penurunan imunitas. Selama kehamilan, otot polos uteri tidak terganggu
seperti otot skelet, uteri tidak terpengaruh oleh antibodi AchR. Pasien dapat mengalami
kelemahan yang semakin memburuk, terutama pada fase kedua kehamilan, ketika otot skelet
terlibat; beberapa pasien dapat kelelahan dan membutuhkan asisten selama proses kelahiran.
3
Hubungan antara MG dan preeklamsi telah diusulkan. Jika pengobatan diperlukan,
magnesium sulfat harus digunakan dengan hati-hati karena efeknya yang merusak langsung.
Eksaserbasi kelemahan mungkin membutuhkan dukungan respirasi.
Janin Selama Kehamilan dan Kelahiran
Kondisi yang langka yang dapat mempengaruhi janin juga dapat terjadi pada wanita hamil
dengan MG. Jalur transplasenta autoantibodi maternal dapat menyebabkan kelamahan otot janin
di dalam uterus, mengurangi gerak janin, menghasilkan polihidramion, dan mempengarhui
proses kelahiran. Kesulitan janin juga telah diketahui bahkan pada ibu yang memiliki gejala
ringan atau asimtommatik, yang menghasilkan antibodi melawah AChR janin. Pada kasus yang
langka, bayi dari ibu dengan MG dapa menderita multipleks artrogiposis kongenital, sebuah
gangguan yang ditandai oleh kontraktur sendi multipel, dan anomali lainnya. Kondisi ini
biasanya sering terjadi pada gejala sekunder untuk mengurangi pergerakan janin dalam uterus
dimana hal ini bisa dipantau dengan ultrasound (USG). Memiliki seorang anak yang memiliki
komplikasi neonatal MG dapat menjadi prediksi pengaruh MG terhadap keturunan
berikutnya.Tidak ada bukti yang telah dipublikasikan bahwa bayi yang lahir dari ibu dengan MG
memilki resiko yang lebih tinggi dalam mengembangankan penyakit autoimun MG.
Sekitar 10% sampai 20% bayi yang lahir dari ibu dengan MG mengembangkan MG neonatal
transien. Pada kasus ibu dengan porisitf AchR, MG neonatal transien dapat muncul pada ibu
dengan antibodi anti-MuSK positif dan jarang terjadi pada ibu dengan seronegatif. Antibodi
maternal diduga berpindah melewati plasenta ke janin. Walaupun kebanyakan janin memiliki
antiobodi maternal yang dapat dideteksi, hanya sebagaian kecil janin yang mengembangakan
gejala. Gejala umum termasuk hipotonia general/menyeluruh seperti gangguan pernapasan,
makan dan menelan. Gejala MG neonatal transien biasanya muncul beberapa jam setelah
kelahiran dan biasanya kembali ke keadaan semula dalam 1 bulan (Jangka waktu 1 – 7 minggu).
Pengobatan Mgneonatal transien berupa terapi suportif,
termasuk bantun ventilator dan
pemberian asupan nasogaastrik ketika dibutuhkan. Pyridogstigmine (0,5 mg/kg sampai 1,0
mg/kg) dalam dosis yang dibagi diberikan 30 enit sebelum makan agar dapat membantu
meningkatkan isapan dan mengurangi resiko aspirasi.
4
Sangat langka, pasien dengan MG neonatal transien menderita komplikasi permanen, termasuk
bular persisten, dan kelemahan fasial dan gangguan pendengaran. Inaktifasi subunit AChR
selama masa perkembangan otot janin telah diketahui bahwa penyababnya berasal dari fenotipe.
Rasio antibodi AChR janin/dewasa telah dilaporkan dapat bergua untuk mempeerkirakan tingkat
keparahan dari manifestasi MG. Laporan kasus menyarankan bahwa plasma exchange dan
pemberian prednison selama kehamilan dapat mengurangi keparahan fenotip, namun diperlukan
studi lebih lanjut.
Keputusan Pengobatan sebelum Kehamilan
Secara umum, keparahan dan distrbusi kelemahan harus diberikan terapi pengarahan pada wanita
dengan MG yang merencakan kehamilan. Pasien yang baru saja terdiagnosa MG okular atau
ringan memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita MG menyeluruh yang leih parah, terutama 2
tahun setelah mengalami gejala pertama. Dan juga, pasien MG saat ini yang menggunakan
pengobatan imunosupresif menimbulkan tantangan lain. Inisiasi agen imunosupresif selain
prednisone sebelum dan pada masa kehamilan sangat dihindari. Tabel 6-1 merupakan daftar
medikasi yang digunakan dalam perawatan MG yang terkait kategori kehamilan US Food and
Drug Administration (FDA) dan dilaporkan resiko teratogenik.
Resiko paling tinggi MG general adalah 2 sampai 3 tahun setelah onset pertama. Selama tahuntahun ini, pasien sangat disarankan untuk menunda kehamilan, oleh karenanya dapat mengurangi
kemungkinan kondisi yang lebih buruk yang dapat dipicu oleh kehamilan serta menjelaskan
tingkat keparahan dan respon terhadap pengobatan. Pada beberapa wanita dengan penyakit
parah, kehamilan dapat membahayakan dan oleh karenanya dipertimbangkan sebagai
kontraindikasi. Menelantarkan keinginan hamil dan melanjutkan pengobatan imunosupresif
mungkin dapat bertentangan dengan keinginan pasien dan membutuhkan kepercayaan antara
hubungan pasien dengan dokter. Tanpa persetujuan pasien, rekomendasi ini mungkin akan
ditinggalkan pasien. Pertimbangan kehamilan harus ditangani secara simpatik, dan pasien harus
diyakinkan apapunkeputusannya, pasien akan tetap mendapatkan perawatan. Dengan
pengawasan tertutup, wanita sehat lainnya dengan MG terkontrol baik dapat memilki kehamilan
yang tidak beresiko.
5
Intervensi
Pyridogstigmine
Prednisone
Plasma exchange
Immunoglobulin
Efek samping
Twitching otot, diare, batuk
dengan peningkatan produksi
mukus, bradikardi
Penambahan berat badan,
hiperglikemia,hipertensi,
gangguan gastrointestinal dan
ulserasi, perubahan mood,
osteoporosis dan miopati
Hipotensi, takikardi,
ketidakseimbangan elektrolit,
sepsis, reaksi alergi, nausea,
muntah, trombosis vena dan
hematoma
Sakit kepala, meningitis,
dermatitis, edema pulmo,
reaksi anafilaktik, gangguan
ginjal akut, trombosis vena,
stroke dan hepatitis
Kategori
kehamilan
FDA
C
Tertogenisitas
Tidak ada data
C
Studi pada hewan
menunjukan kejadian pada
pembelahan palatal
n/a
Belum ada data. Plasma
exchange telah berhasil
digunakan selama masa
kehamilan.
C
Belum ada laporan pada
studi dengan hewan. IVIg
telah sukses digunakan
selama masa kehamilan
manusia.
Bukti pada manusia
menunjukan kelahiran
premaur dan berat badan
rendah pada usia
gestasional
Keguguran kehamilan pada
trimester pertama dan
malforamsi kongenital
pada wajah dan tingkai
bawah, jantung, esofagus
dan ginjal telah dilaporkan.
Cyclosporine
Keracunan renal, hipertensi,
kejang, miopati, peningkatan
resiko infeksi
C
Mycophenolate mofetil
Peningkatan resiko infeksi,
kemungkinan resiko terkana
limfoma dan keganasan
lainnya seperti kanker kulit
D
Azathioprine
Hepatotoksisitas, supresi
sumsum tulang, nausea,
muntah, diare, kemungkinan
resiko terkena limfoma dan
leukimia
D
Kecacatan kongenital
sporadik seperti cerebral
palsy, kacacatan
kardiovaskular,
hipospadia, cerebral
hemoragik, polidaktil dan
hipotiroidisme. Telah
dilaporkan kerusakan
kromosom di uterus.
6
Rituximab
Demam, astenia, sakit kepala,
nyeri abdomen, hipotensi,
trombositopeni, ensefalopati
multifocal progresif
C
Limfositopenia sel B yang
secara umum bertahan
hingga 6 bulan dapat
diperoeh pada infant yang
terpapar rituximab di
dalam uterus.
Pengobatan diatur dan bergantung pada kondisi linis. Pada manifestasi penyakit minimal,
pyrodogstigmin dapat dipertimbangakan untuk diberikan untuk perawatan simtomatik sebelum
masa kehamilan yang diinginkan. Mengarah pada ketidakpastian rangkaian penyakit MG, pasien
miastenia yang asimtomatik tidak disarankan menerima terapi. Pasien dengan kelemahan sedang
dapat mendapatkan manfaat dari steroid, sebuah mediakasi dengan tingkat tertogenik yang
rendah. Reaksi awal pada steroid atau kondisi komorbid lainnya membantu dalam kepurusan
memilih terapi ini. Namun, jika pasien dalam terapi lain (seperti agen steroid dengan
imunosupresan rendah), pasien dapat memiliki reaksi yang tidak utuh terhadap steroid.
Bergantung pada distribusi kelemahan dan keparahan, penggunaa steroid dapat menjadi
pengobatan alternatif. Efek samping harus diawasi dengan ketat. Jika tymemectomy
dipertimbangkan, hal ini harus dilakukan sebelum kehamilan atau setelah periode postpartum
yang stabil karena efek terapi yang tertunda dan resiko pembedahan.
Alternatif lainnya yang jarang diinginkan adalah melanjutkan terapi imunosupressan
ketika dalam proses mencoba kehamilan,masa kehamilan dan kelahiran. Resiko mempercepat
eksaserbasi atau krisis miastenia dengan menghentikan terapi imunosupresan harus
dipertimbangkan agar tidak melukai janin. Dalam skenario ini, ibu akan memiliki kekuatan dan
kesehatan seperti biasa, namun resiko teratogenik pada janin terus meningkat. Jika keuntunganya
cukup sebanding dengan resikonya, sangat penting bagi orang tua untuk diinformasikan dengan
baik dan pasien didaftarkan dalam regisrasi kehamilan dengan resiko obat begitu dipastikan
hamil (seperti pada www.mycopbenolatepregnancyregistry.com).
Pilihan pengeobatan selama kehamilan
Selama kehamilan, MG meningkat sekitar 30% sampai 40% pasien, tidak berubah pada
30% sampai 40% pasien dan memperburuk pada 20% sampai 30%. Persentasi terbesar
eksaserbasi didapatkan pada trisemester pertama, dalam minggu ke 4 kehamilan. Pasien dengan
7
penyakit ringan mungkin tidak membutuhkan pengobatan namun tetap membutuhkan tinjauan
berkala untuk menilai kelemahan. Ketika kelemahannya ringan, tidak dibutuhkan pengobatan.
Ketika diperlukan, medikasi yang memiliki efek teratogenik yang rendah lebih diutamakan.
Pengobatan alternatif potensial untuk menghilangkan gejala, termasuk pyridostigmin, dapat
digunakan secara aman pada dosis yang telah direkomendasikan selama masa kehamilan.
Medikasi antikolinesterasi merupakan katergori C kehamilan. Karena perubahan pada absorpsi
intestinal dan fungsi ginjal selama kehamilan, dosisnya mungkin memerlukan sedikit
penyesuaian. Pengguanaan berlebih kolinesterase inhibitor dapat menginduksi kontraksi uteri,
kelahiran prematur dan peningkatan sekresi oral, yang daat menyulitkan pasien dengan
kelemahan otot orofaringeal.
Kortikosteroid, plasma exchange, dan IV imunoglobulin (IVIg) telah digunakan secara
aman selama kehamilan dan agen-agen tersebut sering digunakan untuk pengobatan ekaserbasi
kelemahan. Pengobatan ni secara umum sangat tertoleransi dengan baik, walaupun mereka tidak
berbahaya. Prednison, prednisolon, dan IVIg merupakan pengobatan kategori C kehamilan.
Semua telah digunakan secara berkala selama kehamilan dalam berbagai penyakit autoimun
lainnya. Namun, peningkatan kecil pada pembelahan palatal telah dilaporkan pada penggunaan
prednisone. Sebagai tambahan, prednisone dosis tinggi telah dikaitkan dengan ruptur membran
prematur. Dengan plasma exchange atau IVIg, secara teori dapat menyebabkan aborsi selama
periode 24 jam setelah didapatkan koagulopati. Dengan resiko ini, penggunaan obat-obat
tersebut hanya digunakan untuk penanganan gejala Mgyang lebih parah atau krisis miastenia.
Ketika menggunakan IVIg, hiperviskositas dan kelebihan cairan harus diawasi secara cermat.
Hipotensi merupakan efek samping serius terkait penggunaan plasma exchange. Untuk
mencegah terjadinya hipotensi, pasien harus ditempatkan pada posisi left lateral decubitus dan
status cairan harus diawasi selama masa pengobatan. Selama trimester ketiga, pengewasan fetal
sangat dianjurkan selama plasmaferesis. Keuntungan dari plasma exchange atau IVIg adalah
jangka pendek, dan pengobatan berulang mungkin dibutuhkan.
Medikasi lain yang digunakan secara rutin pada MG menimbulkan resiko yang lebih
besar pada ibu hamil, dan penggunaannya biasanya diminimalisir selama kehamilan. Walaupun
cyclosporine adalah pengobatan kategori C kehamilan, penggunaannya selama masa kehamilan
tidak disarankan karena peningkatan faktor resiko aborsi spontan, kelahiran prematur, dan
8
kelahiran berat badan rendah. Azathioprine dan mycophenolate mofetil merupakan pengobatan
kategori D kehamilan, dan methotrexate merupakan kategori X. Penggunaan medikasi ini tidak
direkomendasikan dalam kehamilan karena menimbulkan resiko yang signifikan pada janin.
Kasus 6-2 mendemonstrasikan keputusan dalam pengobatan pasien dengan MG selama massa
kehamilan.
Kelahiran dan persalinan.
MG secara khusus tidak mempengaruhi pada awal kelahiran, seperti pada saat kontraksi otot
polos pada tahap awal kelahiran. Pada tahap kedua kelahiran, kelelahan mungkin terjadi saat
kontraksi otot skelet. Dokter obstetri harus bersiap untuk mendampingi selama proses persalinan
dengan vacuum atau forceps ketika dibutuhkan. Kolinesterase inhibitor dapat meminimalkan
kelelahan selama proses persalinan. Belum ada korelasi yang terbukti antara carapersalian dan
tingkat eksaserbasi dalam puerperium.
Selama persalinan, reginonal anestesi dapat digunakan secara aman dan mengurangi
resiko medikasi terinduksi blokade neuromuskular dari anestesi nondeporarisasi atau agen
kuretase (Tabel 6-2). Sangat disarankan pada pada pasien dengan persalinan caesar. Pada pasien
yang menerima anestesi spinal atau epidural yang tinggi dapar mengalami penurunan fungsi
pernapasan, terutama jika sebelumnya telah menderita kelemahan pernapasan atau mengalami
gejala signifikan pada otot orofaringeal. Agen nondepolariasi memperburuk transmisi
neuromuskular dan oleh karenanya sangat dihindari dalam MG. Obat immidiate-acting, dititrasi
dengan hati-hati, dan disarankan jka dibutuhkan general anestesi.
Pengobatan eklamsia dengan magesium sulfat pada wanita dengan MG harus dilakukan
dengan hati-hati. Magnesium menghalangi pintu masuk kalsium pada syaraf terminal dan
menghambat pelepasan asetilkolin, dan mengganggu transmisi neuromuskuler. Jika keuntungan
penggunaan magnesium sulfat sebanding dengan resikonya, dokter dan pasien harus besiap
untuk perburukan MG dan bersiap untuk menyediakan bantuan ventilator. Fenitoin merupakan
pengobatan alternatif yang diterima dalam perawatan eklamsia.
Infeksi, gangguan elektrolit, dan beberapa obat telah diketahui dapat memicu MG laten
atau memicu krisis miastenia. Sebagai tambahan, beberapa vaksi diketahui dapat menyebabkan
masalah tersebut. Sebagai aturan dasar, vaksin denganvirus hidup harus dihindari pada pasien
9
dengan MG, terutama pada terapi imunosupresan. Tabel 6-2 menyimpulkan medikasi yang
menyebabkan ekaserbasi MG.
Periode Postpartum
Gejala dapat menjadi lebih buruk pada masa puerperium, terutama setelah 6-8 minggu setelah
persalinan. Tinjauan berkala untuk kemungkinan memburuknya keadaan sangat disarankan.
Pilihan pengobatan selama masa laktasi menimbulkan tantangan lain. Kebanyakn medikasi untuk
pengobatan MG dapat disekresikan kedalam ASI dan oleh karena itu dapat menimbulkan resiko
pada bayi. The American Academy of Pediatrics mempertimbangkan pyridogstigmine,
prednisone dan prednisolone dapat digunakan selama masa laktasi. Pyrodogstigmine tidak
dieksresikan kedalam ASI. Kesimpulan dari data yang tebatas telah memperhitungkan bahwa
infan dapat menelan kurang dari 0,1% dosis maternal, jadi efek yang tidak diinginkan pada infant
tidak terjadi. Manufaktur prednison merekomendasikan bahwa peringatan digunakan pada
penggunaan untuk merawat pasien wanita.
Cyclosporine di eksresikan pada ASI. Karena efek potensial dalam pengasuhan infan
seperti imunoupresi, neutropeni, retardasi pertumbuhan dan potensial karsinogenesis,
cyclosporine dianggap sebagai kontraindikasi oleh the American Academy of Pediatrics.
Azathiorie dan methotrexate tidak amat digunakan selama masa laktasi. Tingkat keamaanan
mycophenolate mofetil rituximab atau IVIg (manusia) selama laktasi tidak diketahui. Belum ada
data yang mempublikasikan ekskresi asam mycophenolic (metabolit aktif mycophenolate
mofetil) pada ASI. Rituximab di sekresikan pada susu laktasi monyet, dan IgG di ekresikan pada
ASI. Tabel 6-3 meringkas keamanan penggunaan medikasi MG selama laktasi.
Tabel 6-2. Medikasi yang Menyebabkan Eksaserbasi Myastenia Gravis
> D-peniciliamine dan α-interferon tidak boleh digunakan pada pasien dengan
miastenia gravis (dapat memicu miastenia gravis).
> Obat-obat berikut ini dapat menimbulkan kondisi kelemahan yang lebih buruk.
Penggunaan dan pengawasan pasien untuk gejala eksaserbasi miastenia harus dengan
hati-hati dan waspada.
Succinylcholine, d-tubocurarine, vecuronium dan agen penghambat neuromuscular
lainnya termasuk toksin botulinum
Quinine, quinidine dan procainamide
Beta-blocker termasuk propanolol, atenolol dan tetes mata timolol maleat
Calcium channel blockers
10
Agen kontras iodinate
Magnesium termasuk susu magnesia, antasid yang mengandung hidrokside dan
magnesium sulfat
Antibiotik tertentu termasuk
Aminoglikosid (seperti tobramycin, gentamycin, dan kanamycin, neomycin,
streptomycin)
Macrolides (seperti erytromycin, azitromicin, telitromisin)
Fluoroquinolon (seperti ciprofloxacin, moxifloxacin, norfloxacin, ofloxacin,
pefloxacin)
Colistin
> Banyak obat lain yang dilaporkan menyebabkan eksaserbasi kelemahan pada
beberapa pasien miastenia gravis. Semua pasien dengan miastenia gravis harus
diobservasi dalam peningkatan kelemahan kapanpun pengobatan baru dimulai.
> Pasien dengan miastenia gravis atau penyakit dahulu tymoma harus dipertimbangkan
alternatif atas penerimaan vaksin demam kuning, vaksin shigela dan vaksin "virus
hidup" lainnya.
Bahkan setelah kehamilan yang sukses, perawatan bayi memunculkan tantangan yang
mungkin berdampak pada ibu dengan MG. Pasien dapat mengalami gejala yang semakin
memburuk karena kelelahan karena kurang tidur, asupan berkala, penginkatan penggunaan
tenaga fisik terkait perawatan bayi. Gejala selama periode ini dapat berlangsung sementara dan
diatasi dengan pengobatan konservatif, termasuk pengadaan sistem dukungan.
Semua wanita dalam masa subur (termasuk perempuan tahap puber dan wanita
perimenopose) yang memulai atau memulai kembali penggunaan obat imunosupresif harus
mendapatkan konseling kontraseptif dan penggunaan kontrasepsi efektif. Pasien harus mulai
dengan menggunakan metode kontrasepsi yang dipilih 4 minggu sebelum memulai terap MG dab
melanjutkan kontrasepsi selama terapi. Ketika terapi imunosupresi tidak tilanjutkan, kontrasepsi
efektif harus dilanjutkan selama 6 bulan sebelum diinginkan adanya kehamilan. Mycophenolate
mofetil mengurangi hormon pada darah pada kontrasepsi pil oral dan secara teoritis dapat
mengurangi efektifitasnya. Dua benuk kontrasepsi harus digunakan secara bersamaan untuk
medikasi khusus kecuali penundaan kehamilan merupakanmetode yang dipilih. Kasus 6-3
mendemonstrasikan konseling dan pengobatan pada perempuan pada masa subur sebelum
kehamilan dan pengawasan berkala setelah kehamilan.
Konklusi
11
MG dapat muncul pertama kali pada masa kehamilan atau pada masa postpartum. Eksasrbasi
mungkin dapat muncul padda pasien dengan MG yang sudah ada. Kehamilan dapat
mempengaruhi perjalanan MG dalam cara yang tidak bisa diprediksi, namun gejala yang
semakin memburuk sering ditemukan pada trimester pertama atau pada 3 – 4 minggu pertama
postpartum. Efek satu kehamilan pada MG tidak dapat memprediksi pda kehamilan berikutnya.
Status klinis tidak dapat digunakan untuk memprediksi perjalanan penyakit MG. Peninjauan
berkala yang cermat pada wanita dengan MG pada masa subur sangat penting. Evaluasi berkala
selama dan sebelum kehamlan memungkinkan modifikasi terapi berdasarkan perubahan tingkat
keparahan. Tabel 6-4 meringkas aspek penting yang membutuhkan perhatian dan pengawasan
untuk memastikan penanganan yag adekuat pada pasien dengan MG selama masa subur.
Tabel 6-3. Keamanan medikasi yang digunakan dalam Miastenia gravis
selama Laktasi
> Aman: Dapat digunakan pada masa laktasi
pyridostigmine
Predisone
Prednisolone
> Kontraindikasi yang menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada janin
Azathioprine
Cyclosporine
Methotrexate
> Waspada: tidak ada data yang signifikan
Mycophenolate mofetil
Rituximab
Imunoglobulin (manusia)
Medikasi imunosupresan memiliki efek teratogenik dan penggunaannya dihentikan 4 – 6 bulan
sebelum dipahami. Kortikosteroid, plasma exchange, dan IVIg memiliki potensial resiko yang
lebih rendah, dan telah digunakan secara aman pada kehamilan dan oleh karena itu lebih
diutamakan dalam penanganan ekaserbasi selama kehamilan. Pendekatan individual dan
interdispliner untuk perawatan dibutuhkan selama masa kehamilan dan periode postpartum pada
pasien dengan MG dan bayinya.
Tabel 6-4. Masalah pada wanita pada masa subur yang mengidap
Miastenia gravis
> Pre-Kehamilan
12
Konseling mengenai efek kehamilan pada miastenia gravis (MG)
Konseling mengenai efek MG pada kehamilan
Pilihan terapi untuk mengoptimalkan respon yang mungkin diperlukan
sebagai antisipasi dalam kehamilan
Konseling variasi obat terhadap kesehatan janin
Konseling resiko arhtogyposis on the fetus
Pengawasan jangka panjang efek terapi seperti prednison, imunosupresan dan
thymectomy.
> Kehamilan
Membutuhkan pengawasan cermat termasuk obstetri klinis resiko tinggi
Pilihanterapi selama masa kehamilan perlu disesuaikan
Menimbang resiko dari terapi imunosupresan
Mengawasi pada perburukan pada onset MG selama trimester pertama atau
postpartum
Pasien mungkin memiliki peningkatan pada trimester kedua dan ketiga
Perubahan fisiologi seperi penurunan diagfragma mungkin mengganggu
proses pernapasan, penambahan berat badan dan peningkatan volume darah
> Kesehatan janin
Pengawasan neonatal dibutuhkan karena resiko arthrogyposis atau MG
neonatal sementara.
Pengawasan efek janin terhadap pernapasan yang tidak adekuat pada ibu
Mempertimbangakan efek terapi pada janin seperti imunosupresan,
prednison, IVIg, plasma exchange
Mempertimbangkan pengobatan suportif untuk MG neonatal sementara jika
terdapat diindikasi.
> Potspartum
Ibu dan Bayi beresiko mengalami kelemahan
Masalah Asi termasuk medikasi, keberadaan antibodi pada AS;
keterlambatan asupan dapat menyebabkan kelemahan pada pasien.
Ketika memulai imunosupresan, pasien harus menerima konseling
kontrasepsi dan penggunaan kontrasepsi yang efektif.
13
Kasus 1.
Lima minggu postpartum, seorang wanita 29 tahun menderita kelemahan anggota gerak
proksimal. Kelemahan berlangsung selama 4 minggu dan tidak terkait dengan perubahan sensasi.
Kehamilan dan persalinan caesar, dan postpartum tidak terdapat komplikasi. Dua tahun
kemudian, pasien menderita kelemahan ptosis kanan dan horisontal, diplopia binokular yang
berlangsung 1 sampai 2 minggu. Evaluasi neuro-opthalmik didapatkan prosis dan abnormalitas
motilitas ekstraokular. Miastenia gravis (MG) tidak muncul sebagai pertimbangan diagnosis
pada saat itu, dan pasien didiagnosis dengan sindrom Horner. MRI kepala dan magnetic
resonanse angiogram pembuluh darah intra dan ekstrakranial didapatkan hasil negatif.
Setahun kemudian, pasien hamil dan memiliki kehamilan yang tak memiliki banyak
kejadian. Pada siatu paagi pasien direncakan untuk persalinan caesar. Pasien memiliki hipertensi
dan kemungkinan preeklamsi telah ditangani dengan magnesium sulfat. Pasien melahirkan
seorang bayi perempuan ranpa kelemahan, kesulitan pencernaan atau gangguan pernapasan. Dua
minggu postpartum, pasien menderita disarthria nasal dan disfagian diikuti dnegan ptosis kanan.
Selama beberapa minggu berikutnya, kondisi pasien semakin buruk karena kelemahan
menyeluruh.
Pemeriksaan menunjukan ptosis bilateral yang parah dan abduksi mata bilateral yang
terbatas dengan diplopia. Penutupan mata, pengembungan pipi, lidah dan protrusi dan palatal
menunjukan adanya kelemahan. Fleksi leher, proksimasi lengan dan fleksi pinggul lemah
bilateral. Kajian elektrodiagnostik menunjukan penurunan abnormal pada stimulasi syaraf
repetitif 3 Hz konsisten dengan MG. Antibodi terikat AChR meningkat. Distribusi kelemahan
dengan kelemahan pada otot orofaringeal yang menonjol perlu diberikan penanganan.
Prednisone dipertimbangkan namun tidak dipilih seiring dengan kondisi pasien yang semakin
buruk pada 2 minggu pertama terapi sebelum efek yang menguntungkan muncul, dan kelemahan
otot orofaringeal yang semakin parah mungkin membutuhkan intubasi. Pasien menerima 5 sesi
plasma exchange tanpa komplikasi dan dengan peningkatan signifikan pada kondisi pasien.
Komen. Pasien menunjukan kasus MG yang muncul akibat kehamilannya. Kecurigaan tinggi
dengan berfokus pada proses anamnesis, menekankan perhatian pada perjalanan penyakit dahulu
pasien dan korelasi dengan pemeriksaan fisik pasien seharusnya dapat menegakkan diagnosis.
14
Penanganan yang layak termasuk kewaspadaan medikasi mungkin memainkan peranan dalam
preburukan gejala MG.
Kasus 6-2
Seorang perempuan 17 tahun dengan diagnosis miastenia gravis okulobulbar berdasarkan
gejala klinis, peningkatan antibodi reseptor asetilkolin, stimulasi berulang yang abnormal, dan
EMG serat tunggal. Gejala awal pasien tersebut adalah ptosis dan disfagia yang dikuti dengan
disfagia. Terapi mycofenolate mofetil telah diberikan dan konseling pra kehamilan telah
dilakukan. Pasien merespon dengan baik dengan dengan menyisakan tanda MG yang minimal
dan stabil. Terapi mycophenolate mofetil dilanjutkan.
Pada usia 26 tahun, pasien dirujuk setelah diketahu bahwa pasien dalam minggu kelia
kehamilan. Pasien melaporkan kekurangan energi namun menyangakal adanya kelemahan.
Pemeriksaan fisik menunjukan ptosis ringan-sedang yang muncul saat menatap keatas,
kelemahan minimal pada penutupan kedua mata, dan kelemahan ringan-sedang pengembungan
pipi. Otot ekstraokular utuh. Pasien tidak menderita disfagia dan kelemahan anggota gerak.
Setelah diskusi panjang, pasien setuju untuk menghentan engobatan mycophenolate
mofetil. Konseling yang melibatkan perjalanan penyakit MG pada masa kehamilan dilakukan.
Pasien diberikan pyridogstigmine 30 mg 3 kali sehari untuk gejalanya. Pasien terdaftar dalam
penddaftaran kehamilan mycophenolate mofetil dan mengikuti klinik obstetrik resiko tinggi.
Pasien melahirkan anak laki-laki yang sehat tanpa komplikasi,yang tidak memiliki
kesulitan dalam periode postnatal. Pada ketiadaan terapi, ibu tidak memiliki gejala MG sampai
satu tahun setelah kelahiran, dimana pasien mulai mendertia ptosis dan diplopia. Satu
pertimbangan untuk memulai kembali terapi mycophnolate mofetil pada saat itu. Tanpa tahu
adanya resiko malformasi janin sekunder pada pemberian mycophenolate mofetil, kortikosteroid
juga diberikan sebagai obat pendamping. Pasien juga melanjutkan pengobatan pyridogstigmine
60 mg 3 kali sehari. Dengan respon klinik yang baik, dosis prednison diturunkan secara perlahan
sampai 5mg/d.
Komen. Kasus ini melambangakan penentuan penanganan yang muncul pada pasien
dengan MG yang diketahui pada terapi imunosupresif yang menjadi hamil. Pengetahuan yang
15
luas efek samping medikasi dan efek teratogenik potensial dibutuhkan untuk penanganan pasien
dengan MG pada masa subur. Konseling kehamilan sangat penting untuk merawat baik ibu dan
janin. Edukasi dan konseling mungkin membutuhkan penguatan dan kunjungan berulang.
Kasus 6-3
Seorang wanita 23 tahun dengan gejala diplopia, ptosis dan kelemahan menyeluruh selama
beberapa bulan. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan dengan hasil abnormal EMG serat
tunggal. Pasien menjalani thymemectomy dengan peningkatan sebagian dan memiliki keuntungan
dengan azathioprne. Konseling kehamilan dilakukan.
Pasien memutuskan untuk hamil dan memutuskan untuk membahas penghantian azathioprine.
Pasien melaporakn beberapa kelemasan dan ksulitan dalam mengangakat tangannya sampai di
atas kepala. Hasil pemeriksaan pada pasien normal. Setelah konseling, pasien setuju untuk
menghentikan azathioprine dan melanjutkan pil pengontrol kehamilan selama beberapa bulan
untuk menghilangkan efek azathioprine. Pasien mengerti kemungkinan MG yang semakin
memburuk dan mengenali resikonya selama kehamilan. Pasien juga diinformasikan terkait
kemungkinan pemberian prednisonm pyridogstigmine atau plasma exchange selama masa
kehamilan, bergantung pada gejala yang muncul. Pasien hamil dan selama masa kehamilannya
tidak didapatkan adanya komplikasi yang menyebabkan kelemahan minimal dari ektrimitas atas.
Pasien juga mengikuti pelayanan obstetri kehamilan resiko tinggi. Janin pasien tetap aktif dan
lahir tanpa penyulit.
Pasien melakukan perawatan postpartum dengan bik sehinggua tidak perlu dilakukan medkasi.
Banyinya sedikit memiliki kaku kepala dan sedikit teerkulai. Bayinya tidak memiliki isapan yang
bagus. Genggaman yang baik dan tangisan yang kuat dan tidak menunjukkan adanya gejala
gangguan pernapasan. Bayi dapat menopang berat badan dengan kedua kakinya jika dibantu. Ayi
pasien sedikit memiliki manifestaasi MG neonatal yagng tidak membutuhkan perawaran dan
dapat sembuh dalam beberapa minggu.
Pada 9 bulan postpartum, pasien mengalami kekambuhan gejala, dan azathipreine dimulai
kembali. Pasien diberitahukan selama 3 bulan dengan komplikasi lebih lanjut.
16
Komen. Kasus ini menyorot pada managemen pasien sebelum, sesudah dan setelah kahamilan.
Pasienseharusnya menghindari kehamilan selama 6 bulan perama setelah penghentian
imunosupresan. Tinjauan berkala pada populasi khusus harus diwaspadai oleh petunjuk tim
obstetri resiko tinggi. Pasien seharusnya waspada terhadap intervensi pengobatan dengan efek
tertogenik yang rendah pada janin. Selama periode postpartum, ibu dan bayi diperbolhkan
menentukan terapi tambahan jika diperlukan, Terapiimunosupresif membutuhkan inisisai dan
konseling adekuat terkait pemberian ASI dan penyediaan kontrasepsi.
17
Download