SUMBER DANA JANGKA MENENGAH DAN JANGKA PANJANG 1. Pengertian Dana Jangka Menengah Dana yang digunakan oleh perusahaan dapat berasal dari sumber dana jangka pendek, dana jangka menengah dan dana jangka panjang, jika dilihat dari jangka waktu penggunaannya. Sumber dana jangka menengah pada umumnya adalah sumber dana atau pendanaan yang mempunyai jangka waktu lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh tahun. Kebutuhan sumber dana jangka menengah ini dirasakan perusahaan karena adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan sumber dana jangka pendek di satu pihak dan juga sulit dipenuhi dengan sumber dana jangka panjang di lain pihak. 2. Jenis-Jenis Sumber Dana Jangka Menengah Jenis sumber dana jangka menengah pada umumnya ada tiga macam yaitu term loan, equipment loan dan leasing. Berikut ini penjelasan masing-masing yaitu: 1. Term loan Term loan adalah kredit usaha dengan umur lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh tahun. Term loan pada umumnya dibayar kembali dengan angsuran tetap selama periode tertentu, misalnya setiap bulan, kuartal atau setiap tahun. Term loan ini biasanya disediakan oleh bank komersial atau bank dagang, perusahaan asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan pemerintah, dan suplier perlengkapan. Di pandang dari biaya, term loan ini memiliki biaya yang lebih rendah dari pada modal saham atau obligasi, karena tidak adanya biaya yang berkaitan dengan penerbitan saham atau obligasi. Jika dibandingkan dengan hutang jangka pendek, term loan lebih baik karena tidak segera jatuh tempo dan peminjam memberikan jaminan pembayaran secara periodik yang mencakup bunga dan pokok pinjaman. Bagi kreditur, jaminan atas pembayaran secara periodik ini dapat diperjual belikan kepada pihak lain biasanya lembaga pengumpul piutang. Untuk mengetahui cara menetapkan besarnya angsuran pada term loan digunakan rumus sebagai berikut: n PO = Xt (1 r) t 1 dimana: PO n Xt r t = Besarnya pokok pinjaman = Jangka waktu pinjaman = Besarnya uang tiap angsuran = Besarnya bunga pinjaman per tahun Contoh .1. Suatu perusahaan meminjam uang untuk usaha sebesar Rp. 113.730.000.selama 5 tahun dengan bunga 10% per tahun. Pembayaran angsuran dilakukan setiap akhir tahun. Untuk menentukan besarnya angsuran per tahun adalah: n PO = Xt (1 r) t 1 t 5 113.730.000 = Xt (1 0,10) t 1 t 113.730.000 = Xt (PV 10%,5) (lihat label nilai sekarang anuitas Rp 1,-) 113.730.000 = Xt (3,7908) (dibulatkan menjadi 3,791) Xt = (113.730.000 / 3,791) Xt = Rp. 30.000.000,Jadi angsuran setiap tahunnya adalah sebesar Rp. 30.000.000,- Pembayaran angsurannya dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1. Skedul Pembayaran Kredit Usaha (dalam rupiah) Angsuran Angsuran pokok Tahun Bunga 10% Sisa pinjaman - (3) pinjaman + bunga pinjaman ke-n (2) (4) (1) (3) = (l)-(2) 0 113.730.000 1) 1 30.000.000 11.373.000 18.627.000 95.103.000 2 30.000.000 9.51 0.3002) 20.498.700 74.613.300 3 30.000.000 7.461.330 22.538.670 52.074.630 4 30.000.000 5.207.463 24.792.537 27.282.093 10.302,303) 5 30.000.000 2.728.209,3 27.271.790,7 Jumlah 150.000.000 36.280.302,3 113.719.697,73) Nb: 1) 2) 3) Bunga tahun ke-1 = 10% x Rp. 113.730.000,- = Rp. 11.373.000,Bunga tahun ke-2 = 10% x Rp. 95.103.000,- = Rp. 9.510.300,-, dst. Sisa pinjaman sebesar Rp. 10.302,30 seharusnya bernilai 0 (nol) dan jumlah angsuran pokok pinjaman seharusnya sama dengan jumlah pinjaman awal yaitu Rp. 113.730.000. Adanya selisih sebesar Rp 10.302,3 terjadi sebagai akibat pembulatan. 2. Equipment Loan Equipment loan adalah pendanaan atau pembiayaan yang dipergunakan untuk pengadaan perlengkapan baru. Perlengkapan yang biasa dibiayai dengan equipment loan adalah perlengkapan yang mudah diperjualbelikan. Peminjam biasanya menanggung beban lebih tinggi dari harga perlengkapan tersebut dan selisihnya antara harga perlengkapan dengan beban total merupakan margin of safety bagi kreditur. Equipment loan ini biasanya diberikan oleh bank komersial, penjual perlengkapan, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan lainnya. Ada dua instrumen yang dapat dipergunakan untuk membiayai equipment ini, yaitu melalui kontrak penjualan kondisional (conditional sales contract) dan hipotik barang bergerak (chattel mortgage). Apabila perusahaan menggunakan kontrak penjualan kondisional untuk membiayai pembelian perlengkapan, maka penjual akan menahan sebagian perlengkapan sampai pembeli melunasi keseluruhan pembayaran sesuai kontrak. Jadi pada saat barang dikirim biasanya penjual menerima down payment (DP) dan pembeli bersedia untuk melunasi secara periodik. Pada saat pelunasan berakhir maka penjual akan menyerahkan perlengkapan yang ditahan atau mungkin surat-surat perlengkapan tersebut. Sedangkan jika digunakan hipotik barang bergerak, cara ini lebih umum dipergunakan oleh bank komersial. Hipotik ini sama halnya dengan pemberian gadai, di mana pemberi pinjaman memiliki atau menguasai hak atas suatu perlengkapan dan peminjam akan melunasinya untuk jangka waktu tertentu. Jika di kemudian hari peminjam gagal untuk membayar kembali pinjamannya, maka pihak pemberi pinjaman akan menjual perlengkapan yang ditahan tersebut. 3. Leasing Leasing atau sewa guna usaha adalah persetujuan atas dasar kontrak di mana pemilik dari aktiva atau pihak yang menyewakan aktiva (lessor) menginginkan pihak lain atau penyewa (lessee) untuk menggunakan jasa dari aktiva tersebut selama periode tertentu. Manfaat dari leasing antara lain, bahwa lessee dapat memanfaatkan aktiva tersebut tanpa harus memiliki aktiva tersebut. Hak milik atas aktiva tersebut tetap pada lessor, namun kadang-kadang lessee juga diberi kesempatan untuk membeli aktiva tersebut. Sebagai kompensasi manfaat yang dinikmati, maka lessee mempunyai kewajiban membayar secara periodik sebagai sewa aktiva yang digunakan. Sedangkan manfaat lainnya adalah bahwa lessee tidak perlu menanggung biaya perawatan, pajak, dan asuransi. Ada tiga bentuk leasing, yaitu: sale and leaseback, operating lease, dan financial lease. a. Sale and leaseback Pada sale and leaseback, perusahaan yang memiliki aktiva menjual aktiva tersebut kepada perusahaan lain dan sekaligus dibuat perjanjian untuk menyewa kembali aktiva tersebut untuk periode tertentu. Aktiva yang biasa disewagunakan antara lain: tanah, bangunan, dan peralatan pabrik. Sedangkan perusahaan yang biasanya sebagai pembeli adalah bank, perusahaan asuransi, perusahaan leasing, pegadaian, atau investor individu. Manfaat dari sale and leaseback ini adalah bahwa penyewa atau lessee menerima pembayaran segera sebagai tambahan dana yang dapat diinvestasikan ke-investasi lain, dan bersamaan dengan itu lessee masih dapat menggunakan aktiva yang dijualnya selama jangka waktu perjanjian leasing. Lessee mempunyai kewajiban membayar secara periodik sebesar harga jual ditambah dengan tingkat keuntungan yang disyaratkan lessor. b. Operating Lease Operating lease atau service lease memberikan service atau pelayanan baik mengenai bidang finansial maupun mengenai pemeliharaannya. Jadi pihak lessor menyediakan pendanaan sekaligus biaya perawatan yang keseluruhannya tercakup dalam pembayaran leasing. Aktiva yang sering digunakan adalah komputer, mobil, dan truk. Dalam leasing jenis ini biasanya terdapat klausul yang memberikan hak kepada lessee untuk membatalkan perjanjian leasing dan mengembalikan peralatan itu kepada lessor sebelum habis waktu berlakunya. Hal ini merupakan syarat yang penting bagi lessee, karena ini berarti bahwa lessee dapat mengembalikan perlengkapan (equipment) tersebut apabila ada perkembangan teknologi baru yang menyebabkan perlengkapan itu menjadi usang (absolete). c. Financial Lease Financial lease atau capital lease berbeda dengan operating lease, yaitu lessor tidak menanggung biaya perawatan, perjanjian kontrak leasing tidak dapat dibatalkan (not cancelable), dan leasing diangsur secara penuh. Dengan demikian lessor menerima pembayaran sebesar harga perolehan aktiva plus tingkat keuntungan yang disyaratkan. Pada umumnya lessee juga harus membayar pajak dan asuransi aktiva obyek leasing tersebut. Perbedaan utama antara financial leases dengan operating leases adalah bahwa perusahaan memperoleh aktiva baru bukan yang selama ini telah dipergunakan. Lessor pada umumnya adalah dari pihak perusahaan asuransi atau bank komersial. Seperti halnya dalam penentuan jumlah pembayaran tahunan dalam term loan, besarnya pembayaran sewa setiap tahunnya juga dapat ditentukan dengan menggunakan tabel anuitas dan tabel PV (present value). Contoh 2. PT. “A” sebagai lessor, mengadakan perjanjian kontrak leasing dengan PT. “B”. Dalam kontrak tersebut PT. “A” sepakat membeli sebuah mesin seharga Rp. 100.000.000,dan menyewakan kembali kepada PT. “B” untuk waktu 5 tahun. Nilai sisa (salvage value) mesin pada akhir tahun kontrak adalah sebesar Rp. 10.000.000,-. Jika PT. “A” (lessor) menginginkan pendapatan sebesar 10% dari leasing tersebut, berapa lessee (PT. B) harus mengangsur pembayaran aktiva tersebut kepada lessor? Dari soal di atas, misalnya sewa tahunan = X, maka: Harga beli = PV dari sewa 4 - PV dari nilai sisa Harga beli = (I.F) X + PV dari nilai sisa I.F adalah interest factor dari investasi yang bersangkutan. Istilah interest factor sama dengan istilah discount rate. Nilai interest factor ini terdapat dalam tabel PV dari anuitas. Dari contoh PT “A” di atas maka I.F untuk bunga 10% sampai tahun ke-5 adalah 3,7908 (dibulatkan menjadi 3,791). Sedangkan untuk PV dari nilai sisa digunakan tabel PV untuk bunga 10% pada tahun ke-5 = 0,621, sehingga pembayaran tahunan (X), yaitu: Harga beli = (I.F) X + PV dari nilai sisa 100.000.000 = 3,79 IX + (0,621) ( 10.000.000) 3,791 X = Rp. 100.000.000 - Rp 6.210.000 X = Rp. 93.790.000 / 3,791 X = Rp. 24.740.174,09 (dibulatkan menjadi Rp. 24.740.174,-) Jadi angsuran per tahun yang dilakukan lessee kepada lessor sebesar Rp. 24.740.174,3. SOAL DAN PENYELESAIANNYA Soal 1. PT “A” merupakan perusahaan suplier komponen alat-alat rumah tangga pada beberapa perusahaan perdagangan. Di samping mensuplai barang pada perusahaan langganan, PT “A” juga mempunyai jalur produk konsumen sendiri yang ditangani oleh Divisi Pemasaran. Pada saat ini perusahaan sedang mempertimbangkan proposal dari Departemen Gudang untuk mengatur keluar-masuknya barang dengan komputer. Peralatan komputer untuk proyek tersebut akan disuplai oleh “CONTINENTAL COMPUTERS” dan dibeli dengan pinjaman. Harga perangkat lunak atau software dari sistem tersebut adalah Rp. 25.000.000,-, dan perangkat kerasnya (hardware) seharga Rp. 100.000.000,-. Alternatif lain untuk memperoleh aktiva tersebut adalah melakukan kontrak leasing dengan biaya sewa per tahun sebesar Rp. 25.000.000,- selama 5 (lima) tahun. Perusahaan sewa guna menentukan tingkat keuntungan 10% per tahun dan pembayaran sewa di awal tahun. Biaya bunga pinjaman sebesar 12%. Pembayaran angsuran pinjaman dilakukan pada akhir tahun. Dari data tersebut, coba buatlah aliran kas dari kedua alternatif tersebut di atas (membeli peralatan komputer tersebut atau leasing saja) jika pajak 50%. Penyelesaiannya: Membuat perhitungan antara keputusan membeli dan leasing. a. Menilai keputusan jika membeli aktiva dengan dana pinjaman dari bank: Skedul Pembayaran Hutang: 5 Angsuran per tahun (Is/d 5): 125.000.000 = Xt (1 0,12) t 1 t X = Rp. 125.000.000 / 3,6048 = Rp. 34.675.990 (jika dibulatkan = Rp 34.676.000) Tabel 2. Skedul Pembayaran Angsuran Tahun 0 1 2 3 4 5 Jumlah Ket: 1) 2) 3) Angsuran Pinjaman + bunga (1) Rp. 34.675.990 Rp. 34.675.990 Rp. 34.675.990 Rp. 34.675.990 Rp. 34.675.990 Rp. 173.379.950 Pembayaran bunga (2) Rp. 15.000.0001) Rp. 12.638.8812) Rp. 9.994.428 Rp. 7.032.640 Rp. 3.715.439 Rp. 48.381.388 Angsuran Pokok Pinjaman (3) = (l)-(2) Rp. 19.675.990 Rp. 22.037.109 Rp. 24.681.562 Rp. 27.643.350 Rp. 30.960.551 Rp. 1 24.998.562 3) Sisa Pokok Pinjaman (4) Rp. 125.000.000 Rp. 105.324.010 Rp. 83.286.901 Rp. 58.605.339 Rp. 30.961.989 Rp. 1.4383) Bunga tahun ke-1 = 12% x Rp. 125.000.000,- = Rp. 15.000.000,Bunga tahun ke-2 = 12% x Rp. 105.324.010,- = Rp. 12.638.881-, dst. Sisa pinjaman sebesar Rp. 1.438 seharusnya bernilai 0 (nol) dan jumlah angsuran pokok pinjaman seharusnya sama dengan jumlah pinjaman awal yaitu Rp. 125.000.000. Adanya selisih sebesar Rp. 1.438 terjadi sebagai akibat pembulatan. Untuk mengetahui aliran kas keluar jika membeli adalah sebagai berikut: Tabel 3. Skedul Aliran Kas Keluar Alternatif Membeli (dalam ribuan rupiah) Aliran Kas Thn Angsuran Bunga DepresiTax saving PVIF PV Aliran Keluar (4) = 0,5 x (2+3) Pinjaman asi (r = 6%)*) Kas Setelah Pajak (1) (2) (3) (6) (7) = (5)x(6) (5) = (l)-(4) 1 34.676 15.000 25.000 20.000 14.676 0,943 13.839 2 34.676 12.639 25.000 18.820 15.856 0,890 14.112 3 34.676 9.994 25.000 17.497 17.179 0,840 14.430 4 34.676 7.033 25.000 16.017 18.659 0,792 14.778 5 34.676 3.715 25.000 14.358 20.318 0,747 15.178 Jumlah kas keluar apabila membeli dengan uang pinjaman Rp. 72.337 *) Tingkat bunga yang digunakan untuk menghitung present value perlu disesuaikan dengan pajak, sehingga tingkat bunga (r) = 12% (1 - 0,5) = 6% b. Menilai keputusan jika perusahaan melakukan Leasing: Skedul Pembayaran Sewa per tahun adalah: 125.000.000 = X X X X X + + + + 0 1 2 3 (1 0,10) (1 0,10) (1 0,10) (1 0,10) (1 0,10) 4 125.000.000 = 4,170 X X = Rp. 29.976.019,- atau pembayaran sewa = Rp. 29.976.000 (dibulatkan) Tabel 4. Skedul Pembayaran Sewa (dalam rupiah) Akhir Tahun 0 1-4 5 Pembayaran Sewa per Tahun Penghematan Aliran Kas Keluar Pajak Setelah Pajak (1) (2) = 50% x (l) (3) = (l) - (2) 29.976.000 29.976.000 29.976.000 14.988.000 14.988.000 14.988.000 (14.988.000) Jumlah kas keluar apabila leasing Present Value Kas Keluar (4) = (3) x IF6% 29.976.000 51.933.420 (11.196.036) 70.713.384 Kesimpulan: Jika biaya pinjaman sebesar 12% per tahun, maka investasi tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara leasing karena present value dari aliran kas keluar (biaya) yang harus dikeluarkan lebih kecil dengan leasing yaitu = Rp. 70.713.384,- dibanding apabila membeli aktiva tersebut dengan dana pinjaman yang jumlahnya sebesar Rp. 72.337.000,-. SUMBER DANA JANGKA PANJANG 1. Pengertian Sumber Dana Jangka Panjang Sumber dana jangka panjang merupakan sumber dana yang memiliki jangka waktu panjang yaitu lebih dari 10 tahun. Jika meminjam dana di bank dengan jangka waktu 15 tahun maka kredit tersebut dapat dikategorikan sebagai kredit jangka panjang. Sumber dana jangka panjang ini ada yang memiliki jangka waktu tertentu atau jangka waktu jatuh tempo seperti hutang obligasi dan hutang jangka panjang di bank. Di samping itu ada sumber dana jangka panjang yang tidak memiliki jangka waktu seperti modal sendiri berupa saham biasa. Pada pembahasan ini dijelaskan sumber dana jangka panjang yang meliputi obligasi, saham preferen dan saham biasa. 2. OBLIGASI Obligasi adalah surat pengakuan hutang perusahaan kepada pihak lain yang memiliki nilai nominal tertentu dan jangka waktu tertentu (waktu jatuh tempo) serta perusahaan yang mengeluarkannya diwajibkan membayar bunga tertentu yang tertera pada surat tersebut. Obligasi merupakan instrumen hutang jangka panjang dengan jatuh tempo (maturity) akhir lebih dari atau sama dengan 10 tahun. Jika surat berharga memiliki maturitas lebih pendek dari 10 tahun, maka surat berharga tersebut dinamakan wesel (notes). Obligasi merupakan jenis pendanaan berjangka panjang dengan beban tetap (fixed income securities). Surat berharga ini memberikan pendapatan dengan jumlah tetap kepada pemiliknya berupa bunga obligasi. Sebagai contoh, obligasi Jasa Marga yang memiliki bunga 10% dengan nominal Rp. 1.000.000,-, berarti pemegang obligasi akan mendapatkan bunga 10% per tahun sebesar - 10% x Rp. 1.000.000 = Rp. 100.000,-. Bunga ini akan tetap dibayar oleh Jasa Marga terlepas apakah perusahaan memperoleh laba atau tidak pada tahun tersebut. Obligasi dapat diterbitkan menurut dasar jaminan atau tanpa jaminan. Obligasi tanpa meliputi debentur. Debentur bernilai rendah dan obligasi penghasilan, sedangkan obligasi hipotik merupakan instrumen hutang jangka panjang dengan jaminan. Untuk memahami secara menyeluruh tentang obligasi, perlu kita kenali kembali istilah-istilah dasar dan hal-hal yang berkaitan dengan obligasi. 1. a. Istilah-istilah dalam Obligasi Nilai Nominal Nilai nominal (par value) untuk obligasi mengacu kepada jumlah yang dibayarkan pada pemberi pinjaman pada saat obligasi mencapai maturitas (jatuh tempo). Nilai nominal ini disebut juga sebagai pokok pinjaman atau nilai pari. Kebanyakan obligasi memiliki bunga yang dihitung berdasarkan nilai nominal obligasi, kecuali obligasi dengan suku bunga nol (zero coupon bond) b. Tingkat Bunga Tingkat bunga (coupon rate) obligasi yang dinyatakan disebut suku bunga kupon. Misalnya suku bunga kupon 13 %, berarti penerbit obligasi akan membayar pemegang obligasi sebesar Rp. 130.000,- setiap tahunnya sebagai bunga untuk setiap obligasi dengan nilai nominal Rp. 1.000.000,-. c. Jatuh Tempo Obligasi memiliki jatuh tempo (maturity) yang dinyatakan dalam obligasi tersebut. Jatuh tempo merupakan waktu pada saat perusahaan penerbit obligasi diwajibkan membayar pemegang obligasi sebesar nilai nominal obligasi tersebut. 2. Pengawas Keuangan Pengawas keuangan (trustee) adalah seseorang atau lembaga yang ditunjuk oleh penerbit obligasi sebagai wakil resmi pemegang obligasi. Pada umumnya yang menjadi trustee adalah bank. Tanggung jawab trustee adalah mengesahkan legalitas obligasi yang diterbitkan pada saat penerbitan, mengawasi kondisi keuangan dan perilaku peminjam, memastikan seluruh kewajiban perjanjian yang dijalankan, serta melakukan tindakan yang diperlukan jika peminjam tidak memenuhi kewajibannya. Perjanjian perikatan antara penerbit obligasi dan pemegang obligasi dibuat dalam perjanjian resmi (indentur) atau disebut juga “deed of trust”. Dengan demikian indentur adalah perjanjian resmi antara perusahaan penerbit obligasi dengan pemegang obligasi. Perjanjian ini berisikan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan obligasi yang diterbitkan, misalnya ciri-ciri obligasi yang diterbitkan, batasan-batasan yang harus dipenuhi perusahaan. Persyaratan pada perjanjian resmi ditetapkan bersama-sama oleh peminjam dan trustee. 3. Peringkat Obligasi Kelayakan instrumen keuangan yang diperdagangkan pada publik seringkali dinilai berdasarkan peringkat kredit yang diberikan oleh agensi pemberi peringkat investasi. Dalam pemberian peringkat, agensi mengurutkan peringkat surat berharga berdasarkan kemungkinan kegagalan. Surat berharga dengan peringkat tertinggi, dinilai tidak memiliki risiko kegagalan. 2.1. Jenis-jenis Obligasi Ada beberapa jenis hutang jangka panjang (obligasi) yang kita kenal, yaitu: 1. Debenture Debenture adalah hutang jangka panjang (obligasi) tanpa jaminan. Karena debenture tidak dijamin dengan kekayaan perusahaan, pemegang debenture menjadi kreditur umum perusahaan pada saat perusahaan dilikuidasi. Oleh karena itu, investor akan melihat kemampuan menghasilkan laba perusahaan sebagai penjamin. Walaupun obligasi ini tidak memiliki jaminan, pemegang debenture mendapat perlindungan dalam bentuk persyaratan atau batasan-batasan dalam perjanjian, terutama jaminan negatif, artinya perusahaan penerbit obligasi dilarang menjaminkan aktiva perusahaan yang belum dijaminkan kepada kreditur lain. Karena pemegang debenture harus melihat kemampuan peminjam untuk melakukan pembayaran pokok pinjaman dan bunga pinjaman, maka pada umumnya hanya perusahaan besar dan dengan reputasi yang baik saja yang menerbitkan obligasi jenis ini. 2. Debenture Bernilai Rendah (Subordinated debenture) Debenture bernilai rendah merupakan hutang tanpa jaminan dengan tuntutan terhadap aktiva di bawah debenture. Jika terjadi likuidasi, pemegang debenture bernilai rendah ini menerima pembayaran hanya jika seluruh kreditur dengan nilai lebih tinggi dibayar. Debenture bernilai rendah ini memiliki hak untuk menuntut pembayaran pada saat likuidasi lebih dulu daripada pemegang saham preferen dan saham biasa. Misalnya perusahaan dilikuidasi dengan nilai sebesar Rp. 48 milyar. Perusahaan memiliki debenture beredar Rp. 36 milyar, subordinated debenture sebesar Rp. 32 milyar dan kewajiban kepada kreditur umum sebesar 32 milyar. Maka urutan pembayaran kewajiban perusahaan adalah: a. Untuk pemegang debenture sebesar (36 / 48) x 48 M = Rp. 36 milyar. b. Kreditur umum memperoleh sisanya = Rp. 48 milyar – Rp.36 milyar = Rp. 12 milyar. Dalam contoh tersebut, nampak bahwa pemegang subordinated debenture tidak mendapat bagian pembayaran dari perusahaan karena kekayaan perusahaan sudah habis untuk membayar debenture dan kreditur umum. Oleh karena itu, untuk menarik para investor maka subordinated debenture memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi daripada tingkat bunga lainnya dan dapat ditukar menjadi saham biasa. 3. Obligasi Penghasilan (Income Bond) Suatu perusahaan wajib membayar bunga atas obligasi penghasilan hanya pada saat perusahaan mendapatkan keuntungan. Pembayaran bunga ini bersifat kumulatif, yaitu bila perusahaan tidak membayar bunga di tahun tertentu maka dapat diakumulasikan untuk periode berikutnya, dengan syarat laba perusahaan mencukupi. Obligasi penghasilan ini memiliki peringkat pembayaran yang lebih tinggi dari saham preferen, saham biasa dan hutang bernilai rendah jika perusahaan dilikuidasi. 4. Obligasi Sampah (Junk Bond) Obligasi sampah disebut juga obligasi yang memberikan hasil tinggi, karena memiliki risiko yang tinggi dan tanpa menggunakan jaminan. Obligasi ini diterbitkan sehubungan dengan perusahaan membutuhkan leverage yang tinggi (leverage buyout) di mana perusahaan menghadapi kesulitan dan risiko kegagalan, sehingga hanya sedikit investor yang mau menanamkan modalnya pada obligasi sampah ini. 5. Obligasi Hipotik (Mortgage Bond) Obligasi hipotik adalah obligasi yang diterbitkan dengan jaminan hipotik kekayaan perusahaan penerbit obligasi. Hipotik merupakan dokumen resmi yang memberikan pemegang obligasi hak gadai atas aktiva yang dijaminkan. Apabila perusahaan tidak mampu melunasi hutangnya pada jatuh tempo, maka jaminan tersebut dapat dijual untuk melunasi hutangnya. Namun jika dalam penjualannya dibawah nilai obligasi, maka untuk sisanya (kekurangan pembayaran) pemegang obligasi diperlakukan menjadi kreditur umum. Perusahaan dimungkinkan memiliki lebih dari satu obligasi yang dijamin dengan menggunakan aktiva yang sama. Sehingga bila terjadi penyitaan, maka pemegang obligasi pertama harus menerima pembayaran penuh sebelum dilakukan pembayaran terhadap pemegang hipotik kedua. 6. Obligasi Berseri Obligasi berseri adalah obligasi yang diterbitkan pada waktu yang sama dengan tanggal jatuh tempo serta bunga yang berbeda. Semua obligasi memiliki tanggal jatuh tempo yang sama walupun ada obligasi khusus yang ditarik kembali sebelum tanggal tersebut. Akan tetapi, obligasi berseri memiliki jatuh tempo berbeda yaitu secara periodik hingga maturitas akhir. Misalkan obligasi berseri senilai Rp. 16.000.000,- di mana setiap tahunnya terdapat obligasi senilai Rp. 1.600.000,- yang mengalami maturitas dalam waktu 10 tahun. Dengan obligasi berseri ini, investor dapat memilih maturitas yang sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan jenis obligasi ini lebih menarik dibandingkan obligasi dengan jatuh tempo yang sama. 7. Sertifikat Perwalian Peralatan (Equipment Trust Certificate, ETC) Sertifikat perwalian peralatan merupakan investasi jangka menengah hingga panjang. Model pendanaan ini digunakan misalnya oleh Perusahaan Umum kereta api untuk mendanai perolehan mesin lokomotif. Dalam model pendanaan ini, perusahaan kereta api menandatangani perjanjian dengan perusahaan manufaktur untuk pembuatan peralatan khusus. Pada saat peralatan diterima, sertifikat perwalian peralatan dijual kepada investor. Hasil penjualan ini ditambah uang muka dari perusahaan kereta api digunakan untuk membayar perusahaan manufaktur. Hak atas peralatan dipegang oleh trustee yang kemudian menyewakan peralatan tersebut kepada perusahaan kereta api. Usia sewa berbeda-beda tergantung jenis peralatan, tetapi biasanya 15 tahun (berjangka panjang). 2.2. Penarikan Kembali Obligasi Penarikan kembali obligasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Obligasi dapat ditarik kembali dengan melakukan seluruh pembayaran pada akhir jatuh tempo, menukarkan obligasi dengan saham, membeli obligasi jika terdapat hak beli atau dengan pembayaran periodik. Dana pelunasan obligasi biasanya telah dicadangkan oleh perusahaan. Dana untuk penarikan atau pelunasan obligasi merupakan dana yang ditetapkan untuk melunasi sejumlah sekuritas sebelum jatuh temponya. Kebanyakan perusahaan memiliki dana pelunasan yang mengharuskan perusahaan untuk melakukan pembayaran dana pelunasan periodik kepada trustee untuk menarik sejumlah nilai nominal obligasi di setiap periode. Penarikan kembali obligasi yang menggunakan dana pelunasan dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, perusahaan dapat melakukan pembayaran kas kepada trustee yang kemudian membeli obligasi pelunasan pada harga tebus (call price) dana pelunasan. Harga tebus (call price) adalah harga tebusan yang ditetapkan harus dibayar oleh perusahaan penerbit obligasi, biasanya dengan nilai di atas nilai nominal. Kedua adalah dengan membeli obligasi pada pasar terbuka dan menyerahkan sejumlah obligasi tersebut kepada trustee. Perusahaan sebaiknya membeli obligasi pada pasar terbuka sepanjang harga pasar lebih rendah dari harga tebus dana pelunasannya. Jika harga pasar melebihi harga tebus maka dilakukan dengan pembayaran kas kepada trustee untuk membeli obligasi pada harga tebus. Jika tingkat bunga meningkat dan atau kualitas kredit menurun, maka harga obligasi akan turun. Pada umumnya dana pelunasan, mulai diakhiri setelah lima atau sepuluh tahun Disisi lain, dana pelunasan akan menguntungkan pemegang obligasi. Dengan memberikan obligasi yang biayanya lebih rendah dari harga tebus, perusahaan menyimpan kas yang dapat mengurangi kemungkinan kegagalan. Karena adanya penarikan teratur dari hutang, dana pelunasan dikenal dengan amortisasi hutang. Ada pendapat yang menyatakan jenis hutang ini memiliki risiko kegagalan yang lebih rendah dari pada hutang tanpa dana pelunasan. Di samping itu, kegiatan pembelian kembali yang konstan menambah likuiditas pasar yang menguntungkan pemegang obligasi. Kedua faktor tersebut di atas bekerja secara berlawanan. Opsi pelunasan obligasi menimbulkan kerugian bagi pemegang obligasi, sedangkan amortisasi hutang dan hal-hal lain yang mengurangi risiko dan atau meningkatkan likuiditas memberikan keuntungan bagi pemegang obligasi. 3. SAHAM PREFEREN Saham adalah tanda bukti kepemilikan atau penyertaan pemegangnya atas perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut (emiten). Saham juga merupakan bukti pengambilan bagian atau peserta dalam suatu perusahaan yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas). Perusahaan yang berbentuk PT dapat menjual sahamnya kepada masyarakat luas (masyarakat umum) apabila perusahaan tersebut sudah go public. Perusahaan yang telah go public tersebut dapat menjual sahamnya di Bursa Efek dengan cara mendaftarkan saham-sahamnya di Bursa Efek tersebut. Pada prinsipnya ada dua jenis saham, yaitu saham preferen dan saham biasa. Saham preferen merupakan pendanaan yang memiliki sifat kombinasi antara hutang dan saham biasa. Jika terjadi likuidasi, tuntutan pemegang saham preferen atas aktiva berada pada urutan setelah kreditur namun sebelum pemegang saham biasa. Dari sisi perusahaan yang mengeluarkan saham preferen manfaat utama yang diperoleh adalah bahwa pembayaran dividen atas saham preferen relatif lebih fleksibel dibandingkan dengan bunga hutang. Karena walaupun saham preferen memiliki dividen, namun pembayaran dividen cenderung bersifat sebagai kebijakan perusahaan. Sehingga ketidakmampuan pembayaran dividen kepada pemegang saham preferen tidak berakibat terlalu buruk dibandingkan dengan ketidakmampuan membayar bunga hutang kepada kreditur yang dapat diancam kebangkrutan. Return maksimum pemegang saham preferen biasanya dibatasi dengan sejumlah dividen tertentu, dan pemegang saham ini tidak memiliki hak atas nilai sisa laba perusahaan. Misalnya, jika seseorang pemegang saham preferen memiliki 100 lembar saham preferen bernilai nominal Rp. 4.000,-, dengan dividen 10,5% maka return maksimum yang dapat diharapkan adalah 100 Ibr x (Rp. 4.000 x 10,5%) – Rp. 42.000,-. Pada saham preferen, biaya modal setelah pajak lebih tinggi dibandingkan dengan biaya modal dari hutang, karena dividen saham preferen dibayar setelah pajak atau tidak dapat digunakan sebagai pengurang pajak. Ini berarti bahwa biaya modal saham preferen yang dihitung setelah pajak besarnya dapat mencapai dua kali lipat dari biaya modal hutang. Hal ini merupakan kelemahan utama saham preferen sebagai sarana pendanaan. Kelemahan lain dari sudut pandang investor adalah saham preferen tidak memiliki hak untuk memaksakan pembayaran dividen, oleh karena pembayaran dividen saham preferen bukan merupakan pengurang pajak, maka perusahaan biasanya menggantikan saham preferen dengan subordinate debenture. Pada saham preferen terdapat dividen kumulatif. Dividen kumulatif yaitu dividen yang belum dibayarkan dan akan dibayarkan kemudian. Hampir semua saham preferen memiliki dividen kumulatif. Sebelum perusahaan membayar dividen saham biasa, perusahaan harus membayar tunggakan dividen atas saham preferen. Misalnya pada Tahun 2002 Dewan Direksi perusahaan memutuskan tidak membayar dividen kumulatif saham preferen 8% selama tiga tahun berturut-turut. Jika saham preferen memiliki nilai nominal Rp. 8.000,- per lembar, berarti perusahaan memiliki tunggakan dividen sebesar Rp. 1.920,- (yaitu = 3 tahun x 8% x Rp. 8.000,-). Sebelum perusahaan membayar dividen saham biasa, maka perusahaan harus membayar dividen sebesar Rp. 1.920,- untuk setiap lembar saham yang dimiliki pemegang saham preferen. Jika perusahaan tidak mempunyai keinginan untuk membayar dividen saham preferen maka tidak perlu dilakukan pembayaran tunggakan dividen kumulatif tersebut. Pembayaran dividen saham preferen biasanya tidak dilakukan apabila laba tidak mencukupi, namun juga dapat terjadi karena perusahaan memutuskan untuk menahan laba yang diperoleh. 3.1. Jenis-jenis Saham Preferen Pada dasarnya, ada dua jenis saham preferen, yaitu saham preferen kumulatif dan saham preferen partisipasi. Pada saharn preferen kumulatif selalu diperhitungkan kewajiban pembayaran dividennya sebelum membayar dividen kepada pemegang saham biasa. Sedangkan saham preferen partisipasi merupakan saham preferen dimana pemiliknya juga berhak menerima dividen tambahan jika pemilik saham biasa juga menerima dividen tambahan. Dengan saham preferen partisipasi berarti pemegang saham preferen jenis ini diberikan kesempatan untuk berpartisipasi (menikmati) nilai sisa laba perusahaan berdasarkan jumlah yang disepakati. Contoh, saham preferen partisipasi 6%, dengan nilai nominal Rp. 8.000,-. Pemegang saham ini memiliki hak yang sama dengan pemegang saham biasa untuk setiap pembayaran dividen sebesar Rp 480,- (6% x Rp 8.000). Jika dividen saham biasa Rp. 560,-, maka pemegang saham preferen partisipasi akan menerima tambahan dividen Rp. 80,- untuk setiap lembar saham yang dimiliki. Ciri utama saham ini adalah pemegang saham preferen memiliki prioritas di atas pemegang saham biasa terhadap laba dan peluang tambahan return jika saham biasa melebihi jumlah yang ditetapkan. Saham referen pada umumnya tidak bersifat partisipatif dengan maksimum return dibatasi sampai tingkat dividen tertentu. 3.2. Hak Pemberian Suara Pemegang saham preferen memiliki hak prioritas di atas pemegang saham biasa terhadap aktiva dan laba, maka pemegang saham preferen tidak diberikan hak suara. Dalam keadaan perusahaan tidak dapat membayar dividen saham preferen misalnya sebanyak 4 kali, maka pemegang saham preferen tersebut diberi hak suara dalam rapat umum pemegang saham. Hal ini merupakan contoh situasi khusus dimana pemegang saham preferen diberi hak suara dalam manajemen perusahaan. Di samping itu, pada saat perusahaan sudah dalam keadaan kesulitan keuangan yang parah, biasanya pemegang saham preferen diberi hak suara walaupun hak suara tersebut masih harus dipertimbangkan dalam mempengaruhi kebijakan perusahaan. 3.3. Penarikan Kembali Saham Preferen Dalam kenyataannya saham preferen sama dengan saham biasa di mana kedua jenis saham tersebut tidak memiliki jatuh tempo, namum bukan berarti saham preferen akan beredar selamanya. Terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan penarikan kembali saham preferen yaitu antara lain: Ketetapan penarikan, dana pelunasan dan konversi (pertukaran). 1. Ketetapan Penarikan Hampir semua saham preferen memiliki harga tebus yang nilainya di atas harga penerbitan awal dan mungkin menurun sepanjang waktu. Ketetapan penarikan saham preferen memberikan fleksibilitas bagi perusahaan. Perusahaan dapat melakukan penarikan kembali saham preferen, tetapi cara penarikan ini sebenarnya kurang efisien dan memerlukan biaya. Cara penarikan saham preferen tersebut dapat dilakukan dengan cara membeli di pasar terbuka, melakukan penawaran tender saham preferen pada harga di atas harga pasar, atau menawarkan penggantian saham dengan surat berharga lain. 2. Dana Pelunasan (Penarikan) Banyak saham preferen memiliki dana pelunasan (sinking funds) yang menjamin penarikan kembali saham secara teratur. Seperti halnya pada obligasi, dana pelunasan saham preferen menguntungkan bagi para investor karena proses penarikan kembali memberikan tekanan ke atas terhadap harga pasar saham yang tersisa. 3. Pertukaran (Konversi) Saham preferen ada yang dapat dipertukarkan (dikonversikan) menjadi saham biasa (disebut saham preferen konvertibel atau convertible preferred stock). Karena pada dasarnya seluruh surat berharga konvertibel dapat ditarik atau dibeli kembali, maka perusahaan dapat mendorong timbulnya konversi dengan membeli kembali saham preferen jika harga pasar saham preferen di atas harga tebus. Saham preferen konvertibel sering kali digunakan dalam mengakuisisi perusahaan lain, hal ini dilakukan karena transaksi pertukaran tersebut tidak dikenakan pajak bagi perusahaan yang diakuisisi atau bagi pemegang sahamnya pada saat akuisisi. Transaksi terkena pajak hanya pada saat saham preferen dijual. 3.4. Penggunaan Saham Preferen dalam Pendanaan Saham preferen yang tidak dapat dipertukarkan (non convertible) tidak banyak digunakan sebagai sarana pendanaan. Salah satu kelemahannya adalah dividen saham preferen tidak dapat mengurangi laba kena pajak perusahaan penerbitnya. Salah satu manfaat dari pendanaan saham preferen adalah bahwa saham preferen merupakan rencana pendanaan yang fleksibel. Dividennya bukanlah kewajiban hukum bagi perusahaan yang menerbitkan. Apabila laba perusahaan menurun dan keadaan keuangan perusahaan kurang baik maka dividen saham preferen dapat tidak dibayarkan kepada pemegang saham. Sedangkan apabila kita menggunakan hutang dalam pendanaan, maka bunga hutang harus tetap dibayar meskipun perusahaan tidak memperoleh laba. Keuntungan lain dari saham preferen yang tidak dapat dipertukarkan adalah tidak adanya jatuh tempo. Jadi, saham preferen merupakan “pinjaman” abadi. Dari sisi kreditur, saham preferen menambah modal sendiri sehingga memperkuat keuangan perusahaan. Tambahan tersebut menjadi dasar untuk meningkatkan kemampuan perusahaan untuk melakukan pinjaman di masa depan. Meskipun biaya setelah pajak secara eksplisit dari saham preferen lebih besar dari biaya obligasi, namun biaya implisit saham preferen dari sisi rasio antara harga dan laba (price earning ratio atau PER) saham biasa, mungkin lebih rendah dari pada pendanaan hutang (obligasi). Price Earning Ratio atau PER merupakan harga pasar per lembar saham biasa perusahaan dibagi dengan laba per lembar saham yang dihitung untuk waktu satu tahun terakhir. 4. SAHAM BIASA Pemegang saham biasa perusahaan merupakan pemilik akhir perusahaan. Secara kelompok mereka memiliki perusahaan dan menanggung risiko terakhir kepemilikan. Kewajiban mereka dibatasi sesuai jumlah investasi. Jika terjadi likuidasi, pemegang saham biasa memiliki hak atas sisa tuntutan terhadap aktiva perusahaan setelah tuntutan kreditur dan pemegang saham preferen dipenuhi seluruhnya. Saham biasa tidak memiliki jatuh tempo, namun pemegang saham dapat melikuidasi investasinya dengan menjual saham yang dimiliki pada pasar sekunder. 1. Istilah-istilah pada Saham Biasa a. Saham Diotorisasi, Saham Diterbitkan dan Saham Beredar Anggaran dasar perusahaan berisikan jumlah lembar saham biasa yang diotorisasi, yaitu jumlah maksimum yang dapat diterbitkan perusahaan tanpa mengubah anggaran dasar. Walaupun pengubahan anggaran dasar bukan merupakan prosedur rumit, namun dibutuhkan persetujuan pemegang saham yang ada, yang membutuhkan waktu cukup lama. Hal ini merupakan alasan mengapa perusahaan memiliki sejumlah saham yang diotorisasi namun tidak diterbitkan. Pada saat saham biasa yang diotorisasi dijual, saham tersebut menjadi saham diterbitkan. Saham beredar mengacu kepada jumlah saham yang diterbitkan dan dimiliki masyarakat. Perusahaan dapat membeli kembali sebagian saham perusahaan yang diterbitkan dan menyimpannya sebagai saham treasuri (treasury stock). b. Nilai Nominal Saham biasa dapat diotorisasi dengan atau tanpa nilai nominal. Nilai nominal (sering disebut pula nilai pari) saham merupakan angka yang dicatat pada anggaran dasar perusahaan dan tidak memiliki nilai ekonomis yang berarti. Perusahaan tidak dapat menerbitkan saham dengan nilai dibawah nilai nominalnya, karena setiap diskonto (potongan) atas nilai nominal dianggap sebagai kewajiban hutang pemilik perusahaan terhadap kreditur perusahaan. Jika terjadi likuidasi, pemegang saham secara hukum berhutang kepada kreditur untuk setiap potongan dari nilai nominal. Akibatnya, nilai nominal sebagian besar saham ditetapkan pada angka yang relatif rendah dibandingkan nilai pasarnya. Misalnya suatu perusahaan memulai usahanya (dengan menjual 10.000 lembar saham biasa dengan harga Rp. 3.600,- per lembar. Nilai nominal saham adalah Rp. 400,-. Struktur modal sendiri pemegang saham sebagai berikut: Saham biasa (nilai nominal Rp. 400): 10.000 lembar saham diterbitkan dan beredar Rp. 4.000.000 Tambahan modal disetor Rp. 32.000.000 Total modal saham (modal sendiri) Rp. 36.000.000 Saham biasa yang disahkan tanpa nilai nominal dicatat dalam buku pada harga pasar awal atau pada nilai yang dinyatakan pada saham tersebut. Perbedaan antara harga saham pada saat penerbitan dan nilai nominal dinyatakan sebagai tambahan modal disetor (additional paid-in capital). c. Nilai Buku dan Nilai Likuidasi Nilai buku per lembar saham biasa merupakan modal sendiri para pemegang saham yaitu total aktiva (total modal) dikurangi hutang dan saham preferen. Sedangkan pada neraca, nilai buku per lembar saham merupakan jumlah modal sendiri dari saham biasa dibagi dengan jumlah saham yang beredar. Dari contoh perusahaan di atas, misalnya perusahaan pada contoh di atas sudah berjalan satu tahun dan menghasilkan laba setelah pajak sebesar Rp. 6.400.000,- dan tidak membayar dividen. Maka modal sendiri perusahaan tersebut saat ini adalah sebesar Rp. 36.000.000 + Rp. 6.400.000 – Rp. 42.400.000,-. Dengan demikian, nilai buku per lembar sahamnya sebesar Rp. 42.400.000 / 10.000 lembar = Rp. 4.240,-. Ada pendapat yang menyatakan adanya hubungan antara nilai buku per lembar saham dengan nilai likuidasi saham perusahaan, namun hal ini jarang sekali terjadi. Seringkali aktiva dijual dibawah nilai bukunya, terutama jika terjadi biaya likuidasi. Dalam beberapa hal seperti aktiva tanah biasanya mempunyai nilai buku yang hampir sama dengan nilai pasar, sehingga untuk perusahaan yang bersangkutan, nilai likuidasi tanah tersebut lebih tinggi dari nilai bukunya. Jadi, nilai buku tidak memiliki hubungan dengan nilai likuidasi dan sering tidak sama dengan nilai pasar. d. Nilai pasar Nilai pasar per lembar saham merupakan harga yang berlaku sekarang di mana saham diperdagangkan. Bagi saham yang diperdagangkan secara aktif, penetapan harga pasar telah tersedia. Sedangkan bagi saham yang tidak aktif diperdagangkan, harga pasar sulit diperoleh. Untuk itu perlu dilakukan penafsiran informasi harga pasar dengan hati-hati. Nilai pasar saham biasanya berbeda dari nilai bukunya dan nilai lilkuidarsi. Nilai pasar per lembar saham biasa merupakan fungsi dividen perusahaan saat ini dan yang diharapkan di masa datang serta risiko saham bagi investor. Pada umumnya, saham perusahaan baru akan diperdagangkan pada pasar saham tidak resmi (over the counter market), dimana satu atau lebih penjual saham mempertahankan sejumlah persediaan saham biasa dan membeli serta menjual saham tersebut pada harga yang ditetapkan oleh penjual. Setelah perusahaan berkembang terutama kondisi keuangannya telah baik maka jumlah saham dan volume transaksi perusahaan sudah memenuhi syarat untuk mendaftarkan diri (listing) di Bursa Efek. 2. Hak Pemegang Saham Biasa Pemegang saham biasa memiliki hak atas laba perusahaan hanya jika dilakukan pembayaran dividen kas. Pemegang saham juga dapat menikmati peningkatan harga pasar, namun mereka sepenuhnya bergantung pada dewan direksi dalam hal pengumuman dividen. Dari sini terlihat bahwa, posisi pemegang saham biasa memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan posisi kreditur. Dalam hal ini pemegang saham tidak memiliki kekuatan hukum atas pembagian laba perusahaan. Hak pemegang saham berupa hak memberikan suara, hak untuk membeli saham baru, hak mendapatkan dividen, dan hak mendapatkan aktiva jika perusahaan dilikuidasi. a. Hak memberikan suara Pemegang saham biasa adalah pemilik perusahaan, sehingga berhak untuk memilih dewan direksi. Dewan direksi kemudian memilih manajemen yang akan menjalankan operasi perusahaan. Para pemegang saham biasa berhak satu suara untuk setiap lembar saham yang mereka miliki, ada juga perusahaan yang memberikan satu hak suara bagi pihak atau orang yang memiliki saham dalam jumlah tertentu (hak suara kumulatif). Para pemegang saham biasanya tidak semuanya dapat hadir dalam pertemuan tahunan perusahaan dengan berbagai alasan, misal karena jarak, kesibukan, dan biaya, oleh karena itu pemegang saham memberikan suaranya melalui surat kuasa (proxy), yaitu surat yang ditanda tangani pemegang saham yang memberikan hak suara yang dimilikinya terhadap orang lain. Prosedur pemberian suaranya adalah ada dua sistem, yaitu: sistem hak suara mayoritas (majority rule voting system) dan sistem hak suara kumulatif (cumulatif voting system). Dengan sistem hak suara mayoritas, pemegang saham memiliki satu suara untuk setiap lembar saham yang dimiliki, dan mereka harus memilih setiap posisi direksi yang tersedia. Kemenangan harus mayoritas dari total suara yang diberikan untuk posisi tersebut, namun sistem ini menghalangi kepentingan minoritas untuk memenangkan direksi pilihannya, sehingga apabila manajemen dapat memperoleh surat kuasa (proxy) lebih dari 50% dari total suara, maka manajemen dapat memilih seluruh direksi. Dengan sistem hak suara kumulatif, pemegang saham dapat mengakumulasikan (menjumlahkan) suara dan memberikan suara tersebut untuk memilih dewan direksi di bawah jumlah total dewan direksi yang dipilih. Jumlah suara total untuk setiap pemegang saham sama dengan jumlah lembar saham yang dimiliki dikalikan jumlah direksi yang dipilih. Misalnya seseorang pemegang saham memiliki 1.000 lembar saham dan terdapat 12 direksi yang akan dipilih, maka pemegang saham dapat memberikan: 1000 x 12 = 12.000 suara. Seluruh suara yang dimiliki dapat diberikan kepada satu direksi yang dipilih atau dibagi atas beberapa direksi yang ingin dipilih pemegang saham. Sistem pemberian suara kumulatif memberikan peluang yang lebih besar pada kelompok minoritas untuk memilih sejumlah direksi. Jumlah minimum saham yang dibutuhkan untuk memilih sejumlah tertentu direksi ditentukan dengan rumus berikut: Jumlah total saham hak suara x jumlah tertentu direksi yang dipilih 1 jumlah total direksi yang dipilih 1 Misalnya, ada 3 juta saham hak suara, sedangkan jumlah total direksi yang dipilih 15, dan kelompok minoritas ingin memilih 2 direksi, maka sedikitnya dibutuhkan : 3.000.000 x 2 1 = 375.001 suara 15 1 Dalam contoh tersebut, maka prosentase saham yang dapat untuk memilih dewan direksi adalah: = 375.001 / 3.000.000 - 12,5% dari saham, cukup untuk memilih 2 dari 15 dewan direksi. b. Hak untuk membeli saham baru Misalnya anggaran perusahaan mengharuskan menerbitkan saham yang baru, maka hak prioritas dimiliki oleh pemegang saham lama untuk memiliki saham baru tersebut. Dengan kata lain, jika perusahaan menerbitkan saham biasa yang baru, maka pemegang saham biasa harus diberikan hak untuk memesan saham baru tersebut. c. Hak memperoleh pembayaran dividen Dividen merupakan bagian laba perusahaan yang dibagikan kepada para pemegang saham. Laba yang dibagi adalah laba bersih setelah pajak. Apabila perusahaan tidak memperoleh laba, maka pemilik saham biasa tidak memperoleh dividen. Dividen yang diberikan kepada pemegang saham didasarkan atas dasar per lembar saham yang dimiliki dan besarnya dividen payout ratio (rasio antara dividen yang dibayarkan dengan laba bersih setelah pajak). Besarnya dividen per lembar saham ditentukan oleh dewan direksi dengan pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). d. Hak atas aktiva setelah pembayaran yang lebih senior dalam likuidasi Apabila perusahaan dilikuidasi, maka kewajiban perusahaan yang pertama adalah melunasi hutang kepada kreditur. Apabila kewajiban kepada kreditur telah terpenuhi, maka para pemegang saham memperoleh hak atas aktiva perusahaan. Mereka yang memiliki saham lebih dahulu (lebih senior) akan memperoleh hak didahulukan dalam pembagian aktiva tersebut. Sebenarnya hak ini tidak mutlak, tergantung pada kesepakatan dalam rapat pemegang saham. 3. Saham Biasa Dua Jenis (Dual Class Common Stock) Untuk mempertahankan kontrol bagi manajemen, pendiri atau beberapa kelompok lainnya dalam perusahaan, mungkin perusahaan memiliki lebih dari satu jenis saham biasa. Pada umumnya penyelenggara perusahaan dan manajemen memiliki saham jenis B, sedangkan saham jenis A dijual kepada masyarakat umum (bagi perusahaan yang telah go public). Saham jenis A biasanya tidak memiliki hak suara tetapi memiliki hak prioritas lebih dahulu atas tuntutan terhadap dividen, sedangkan saham jenis B kebalikan dari saham jenis A. (Untuk jenis-jenis saham akan dibahas pada bab pasar modal). 5. SOAL DAN PENYELESAIANNYA Soal 1. Perusahaan “A” dapat menjual saham preferen dengan dividen 12%. Jika menjual obligasi di pasar saat ini, biaya bunganya adalah 14%. Bila tarif pajak perusahaaan 40%. a. Berapa biaya setelah pajak dari masing-masing metode pendanaan ini b. Misalnya perusahaan “T” memiliki sejumlah saham preferen perusahaan “A”. Perusahaan “T” dikenakan tarif pajak 40%. Berapa keuntungan setelah pajak yang diterima jika 70% dari penghasilan dividen bebas pajak? Bagaimana jika investasi dilakukan dengan obligasi? Penyelesaiannya: a. Biaya setelah pajak : Untuk saham preferen = 12% Untuk obligasi - 14% (1-0,40) = 8,4% b. Dengan tarif pajak perusahaan sebesar 40% dan 70% dari penghasilan dividen bebas pajak, maka : Keuntungan setelah pajak = 12% [1-{(1-70%) 40%)}] = 12% [1-{(0,30 )0,40 )}] = 10,56% Jika dengan obligasi, keuntungan setelah pajak = 14% (1 - 0,4) = 8,40% Soal 2. PT. “M” memiliki 1.750.000 lembar saham biasa otorisasi bernilai nominal sebesar Rp. 1.440,- per lembar. Selama beberapa tahun perusahaan telah menerbitkan 1.532.000 lembar saham tambahan, namun saat ini 63.000 lembar disimpan sebagai saham treasury. Tambahan modal disetor perusahaan saat ini adalah Rp. 42, 512 milyar. a. Berapa lembar saham yang beredar saat ini? b. Jika perusahaan dapat menjual saham senilai Rp 1.520 per lembar, berapa jumlah maksimum yang dapat diperoleh perusahaan dari saham otorisasi dan treasury ? c. Berapa nilai perkiraan saham biasa dan tambahan modal disetor perusahaan setelah pendanaan. Penyelesaiannya: a. Jumlah saham yang beredar = saham yang diterbitkan - saham treasury = 1.532.000 - 63.000 = 1.469.000 lembar saham b. Jumlah saham yang tersedia = saham yang diotorisasi - saham yang beredar = 1.750.000 -1.469.000 = 281.000 lembar saham maksimum yang diperoleh perusahaan = 281.000 x Rp. 1.520 = Rp. 427.120.000,c. Nilai perkiraan = saham biasa + pemasukan modal = {(Rp. 1.440x 1.750.000 Ibr) + (Rp. 1.520 x 281.000 Ibr)} + Rp. 42,512 milyar = Rp. 2,52 milyar + Rp. 427,120 juta + Rp. 42,512 milyar = Rp. 45,45912 milyar