URGENSI KEARIFAN LOKAL INDONESIA SEBAGAI

advertisement
URGENSI KEARIFAN LOKAL INDONESIA SEBAGAI MODEL
PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
(Glokalisasi : Menggali Potensi Lokal untuk Indonesia Mandiri 2025)
Oleh : Ade Putri Royani - Universitas Negeri Semarang
Visi Indonesia 2025 adalah menjadi Negara yang mandiri, maju, adil dan
makmur. Mandiri berarti mengoptimalkan segenap potensi lokal sesuai dengan
kearifan lokal. Kemandirian dan daya saing yang kuat masyarakat Indonesia dapat
mewujudkan ketahanan Nasional di bidang pengelolaan sumber daya alam untuk
kemakmuran bangsa.
Indonesia Mandiri dapat terwujud dengan baik sesuai cita-cita bersama
melalui pemanfaatan sumber daya alam dengan berlandaskan pembangunan
berwawasan lingkungan. Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah
memiliki peluang besar dalam mencapai visi Indonesia Mandiri 2025. Hal tersebut
dapat terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sejauh ini masih sangat
bergantung pada pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia.
Upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi sumber daya alam menuju
Indonesia Mandiri 2025 dapat diwujudkan melalui pembangunan berwawasan
lingkungan (PBL). Menurut Addinul Jakin, pembangunan berwawasan
lingkungan merupakan konsep pembangunan yang ingin menyelaraskan antara
aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumber daya alam (natural resources). Secara
sederhana, PBL mengutamakan hubungan antara aspek ekologi, sosial, dan
ekonomi. Sementara itu, dalam undang-undang No. 23 tahun 1997 menyebutkan
bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber
daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.
Seiring dengan upaya menuju Indonesia Mandiri 2025, saat ini mulai
berkembang istilah glokalisasi. Glokalisasi secara sederhana diartikan sebagai
suatu usaha untuk mencegah globalisasi dan membentengi diri dari percampuran
kebudayaan lokal dan kebudayaan asing. Sedangkan menurut Roland Robertson,
seorang sosiolog yang mempopulerkan istilah glokalisasi diartikan sebagai
munculnya tendensi universal dan terpusat secara bersamaan.
Glokalisasi sering kali dikaitkan dengan paham kapitalis yang saat ini
semakin berkembang pesat. Hal ini dapat terbukti dari istilah glokalisasi yang
selalu di gambarkan melalui fenomena perusahaan besar yang mampu masuk dan
menyesuaikan diri dengan budaya di masing-masing negara seperti, McDonald’s,
Starbucks, KFC, dan perusahaan lainnya. Secara sederhana, glokalisasi selama ini
masih sangat identik dengan aspek ekonomi dan keuntungan. Meskipun demikian,
glokalisasi sebenarnya dapat pula digambarkan melalui kearifan lokal masyarakat
Indonesia berupa cara hidup yang dapat dijadikan model pembangunan
berwawasan lingkungan menuju Indonesia Mandiri 2025.
Indonesia termasuk ke dalam negara kepulauan terbesar di dunia.
Wilayahnya yang cukup luas dengan kekayaan alam membuat Indonesia memiliki
adat istiadat, suku bangsa, dan kepercayaan yang beragam. Kebudayaan yang
beraneka ragam tersebut memberikan pengaruh terhadap kehidupan
masyarakatnya. Keanekaragaman corak kebudayaan yang dimiliki terwujud dalam
bentuk kearifan lokal yang heterogen dan dijadikan pedoman hidup bagi
masyarakat penganutnya.
Kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai nilai-nilai yang
dianggap baik dan berlangsung secara turun temurun serta dilaksanakan oleh
masyarakat yang menganutnya. Sementara itu, dalam disiplin ilmu antropologi
dikenal istilah local genius. Menurut Haryati Soebadio, local genius diartikan
sebagai identitas budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri
untuk dapat bertahan sampai sekarang. Beberapa kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat Indonesia berkontribusi besar dalam hal pelestarian ekologi. Dengan
demikian, kearifan lokal diharapkan mampu menjadi model dan bagian penting
dalam pengembangan pembangunan berwawasan lingkungan.
Salah satu contoh kearifan lokal yang dapat dijadikan model pembangunan
berwawasan lingkungan adalah kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat
Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Kuta merupakan salah satu kampung adat yang
keberadaannya masih bertahan hingga saat ini. Kampung Kuta tetap melestarikan
dan memegang teguh tradisi (karuhun) leluhur berusia ratusan tahun yang
membingkai kehidupan masyarakatnya.
Kearifan lokal khas masyarakat Kampung Kuta adalah kepercayaan yang
berkaitan dengan hutan keramat atau hutan lindung. Hutan keramat (leuweung
gede) dianggap oleh masyarakat sebagai tempat yang suci atau sakral sehingga
masyarakat Kampung Kuta memberlakukan berbagai aturan adat untuk
melindungi hutan keramat tersebut. Kepatuhan dalam menjaga hutan keramat
terwujud dalam aturan, diantaranya masyarakat hanya boleh memasuki hutan pada
hari Senin dan Jumat. Mereka yang masuk tidak boleh mengenakan perhiasan,
alas kaki, pakaian berwarna hitam-hitam, dan pakaian seragam pegawai negeri
beserta lambang jabatannya. Tidak diperbolehkan untuk berkata kasar, meludah,
membuang sampah, buang air besar atau buang air kecil serta aktivitas lain yang
dapat mengotori hutan.
Adapun mata pencarian sebagian besar masyarakat Kampung Kuta
adalah sebagai pembuat gula aren. Gula aren di dapatkan dari 1000 pohon aren
yang tumbuh di wilayah Kampung Kuta. Pohon-pohon tersebut hingga kini tetap
produktif dan dijaga kelestariannya dengan tidak menebang pohon serta
memanfaatkan secara arif hasil alam. Hasil produksi gula aren masyarakat
Kampung Kuta menjadi salah satu program pembangunan yang dilaksanakan.
Meskipun demikian, masyarakat Kampung Kuta sangat menyadari pentingnya
alam guna keberlangsungan generasi yang akan datang. Kesadaran tersebut
menciptakan penghormatan besar masyarakat Kampung Kuta terhadap
keberadaan alam dengan tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan guna
keuntungan ekonomi.
Kearifan lokal yang dianut masyarakat Kampung Kuta, memberikan
pelajaran besar terhadap konsep glokalisasi dan pembangunan berwawasan
lingkungan. Berdasarkan pemikiran kaum postmodern, memandang glokalisasi
memiliki dua sisi pengaruh timbal-balik antara budaya global dan budaya lokal,
yaitu satu sisi kuatnya identitas budaya lokal (tradisi), sehingga budaya global
tidak sampai menghilangkan budaya lokal, namun di sisi lain budaya global
menyerap unsur budaya lokal. Glokalisasi mendorong terjadinya proliferasi
identitas yaitu kekuatan tradisi yang berhadapan dengan kekuatan global yang
mengakibatkan setiap subjek seolah terpaksa dan dipaksa untuk mengambil posisi.
Bagi mereka yang tidak berani mengambil posisi dan tidak sadar dengan proses
akan dengan sendirinya disedot dalam pusaran proses globalisasi. Hal ini sangat
terlihat dari pembangunan yang saat ini banyak dilaksanakan oleh masyarakat
Indonesia. Pembangunan yang dilakukan memiliki pola konvensional yang
mengutamakan kemajuan ekonomi dan keuntungan semata (kapitalis). Subyek
pembangunan adalah manusia dan orientasi pembangunan tertuju hanya pada
keuntungan ekonomi yang berjangka waktu pendek. Sementara itu, dalam aspek
sosial dan ekologi yang memiliki jangka waktu panjang cenderung diabaikan.
Secara keuntungan, pola pembangunan konvensional mampu meningkatkan
pendapatan nasional secara signifikan dalam waktu singkat. Namun dalam
prakteknya banyak yang mengabaikan aspek pelestarian ekologi. Imbasnya dapat
terlihat pada kerusakan dan bencana alam yang banyak melanda Negeri Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan selama ini masyarakat Indonesia masih belum
sadar dan disedot dalam pusaran proses globalisasi.
Sejalan dengan laju pembangunan secara konvensional yang diterapkan,
permasalahan lingkungan semakin banyak terjadi. Hal ini dapat terlihat dari
permasalahan yang baru-baru ini melanda Negeri Indonesia. Kebakaran hutan
yang terjadi di daerah Jambi, Riau, Pontianak, dan sekitarnya menyebabkan
bencana kabut asap melanda dalam beberapa bulan terakhir. Terungkap fakta
penyebab terjadinya bencana kabut asap salah satunya berasal dari perilaku
manusia yang kurang peduli dengan kelestarian alam. Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah No.15 tahun 2010 dipercaya menjadi salah satu bukti
penyebab terjadinya bencana kabut asap. Di Kalimantan Tengah, untuk membakar
hutan seluas maksimal satu hektar, hanya dengan meminta izin kepada ketua RT
(Rukun Tetangga). Sementara itu, untuk membuka lahan dapat dilakukan dengan
cara membakar hutan seluas satu sampai dua hektar, hanya dengan meminta izin
kepada lurah atau kepala desa. Mengacu pada peraturan tersebut dapat
disimpulkan bahwa melalui regulasi yang sangat sederhana masyarakat dapat
dengan mudah mengeksploitasi hutan dan lingkungan demi keuntungan pribadi.
Konsep lain yang dapat dijadikan model pembangunan berwawasan
lingkungan adalah kearifan lokal masyarakat Jawa terhadap alam yang terangkai
dalam kalimat Hamemayu Hayuning Bawono (konservasi alam), yaitu pusat etika
Jawa adalah usaha aktif untuk memelihara keselarasan atau harmoni dalam
masyarakat dan alam raya agar keselamatan setiap individu dapat terjamin.
Pembangunan berwawasan lingkungan sangat penting diterapkan mengingat
pembangunan ini berorientasi pada kebutuhan pokok hidup manusia, pemerataan
sosial, peningkatan kualitas hidup, serta pembangunan yang`berkesinambungan.
Istilah pembangunan mengandung makna perkembangan dan perbaikan kualitas
hidup masyarakat melalui keadilan. Sementara itu, berkelanjutan mengacu pada
pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan generasi-generasi yang
akan datang. Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi pembangunan yang
mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan
cara menyerasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk
menopangnya.
Pada dasarnya sumber daya alam yang ada pada suatu negara menjadi nadi
kehidupan masyarakatnya. Keberadaan alam haruslah dilestarikan untuk
diteruskan generasi berikutnya. Oleh karena itu, dalam suatu pembangunan
sangatlah penting untuk merumuskan aspek pelestarian lingkungan.
Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia dapat dijadikan model
pembangunan berwawasan lingkungan. Hal tersebut dikarenakan banyak dari
kearifan lokal yang memberikan dampak positif terhadap pola pikir dan cara
hidup masyarakat terhadap lingkungan. Meskipun tidak dapat dipungkiri kearifan
lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia saat ini tidak lagi murni dan cenderung
dilihat sebagai hasil perpaduan dengan pengaruh asing. Namun dalam hal ini
Friedman berpendapat dalam menghadapi pembangunan, globalisasi dan
fenomena glokalisasi kita perlu berfikir global tetapi bertindak lokal, think
globally but act locally.
Download