Tentir UAS Pengantar Ilmu Hukum (PIH)

advertisement
Tentir UAS Pengantar
Ilmu Hukum (PIH)
Oleh:
FHUI 2013
16 Oktober 2015
1. Pengertian Dasar Sistem Hukum
1.
Apa itu Sistem?
c.
Hukum sebagai Kaidah
Sistem adalah sebuah unit yang
beroperasi
dengan batas-batas tertentu. (Friedman, 2013: 6)
d.
Hukum sebagai Tata Hukum
e.
Hukum sebagai Petugas
f.
Hukum sebagai Keputusan Penguasa
g.
Hukum sebagai Proses Pemerintahan
h.
Hukum sebagai Sikap Tindak yang Ajeg
i.
Hukum sebagai Jalinan Nilai-Nilai

Sistem merupakan tatanan atau kesatuan
yang utuh yang terdiri dari
bagian-bagian atau
unsurunsur yang
saling berkaitan erat satu
sama lain.
(Mertokusumo, 2004: 18)

2.
Apa itu hukum?


Menurut Van Apeldoorn, tidak mungkinlah
dibuat definisi mengenai “hukum” (Utrecht,
1983: 1)
Walaupun sulit mendefinisikan apa itu hukum,
namun sekira-kiranya terdapat anggapan
umum akan apa itu hukum, antara lain:
a.
Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan
b.
Hukum sebagai Disiplin
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 2-4)
3.
Maka Sistem Hukum adalah suatu kumpulan
unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama
lain yang merupakan satu kesatuan yang
terorganisasi dan kerja sama ke arah tujuan
kesatuan (Mertokusumo, Op. Cit)
4.
Unsur-Unsur Sistem Hukum terdiri dari:
a.
Subjek Hukum
b.
Hak & Kewajiban
c.
Peristiwa Hukum
d.
Hubungan Hukum
e.
Objek Hukum
f.
Masyarakat
Soekanto)
Hukum
b.
Legal Substance (The laws themselves)
c.
Legal Culture (Values and attitudes with
respect to law and legal institutions)
(Friedman, 2013: 1-12)
Mengenai teori Sistem Hukum Lawrence M.
Friedman, lihat juga
(oleh
Soerjono
•
Julia Shamir, The Legal Culture and
Migration: Structure, Antecedents, and
Consequences
(Doctoral
Dissertation,
Stanford Law School, 2012)
•
Lawrence M. Friedman, “The Law and
Society Movement”, Stanford Law Review,
Vol. 38, No. 3 (Feb., 1986), pp. 763-780
•
Lawrence M. Friedman, “The Legal System:
A Social Science Perspective” New York:
Russell Sage Foundation. 1975
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 40-41)
5.
Unsur-Unsur Sistem Hukum yang disebutkan ini
ada ragam pengertiannya, bandingkan dengan
buku Sistem Hukum oleh Lawrence M.
Friedman.
Menurutnya Sistem Hukum itu terdiri atas 3
komponen, yaitu:
a.
Legal Structure (Nature of the Legal
Institutions)
Subjek Hukum
1.
Apakah Subjek Hukum itu?
a.
Subjek Hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum.
b.
Subjek Hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa
bertindak menjadi pendukng hak (Rechtsbevoegdheid)
c.
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.
(Soeroso, 2009: 227-228)
2.
Sifat subjek hukum terbagi ke dalam 3, yaitu:
a.
Mandiri, karena mempunyai kemampuan penuh untuk bersikap tindak
b.
Terlindung, karena (dianggap) tidak mampu bersikap tindak
c.
Perantara, yang walaupun berkemampuan
kepentingan pihak yang diantarai.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 40-41)
penuh,
sikap
tindaknya
dibatasi
sebatas
2.
Terdapat 3 pengertian/hakekat pribadi sebagai subjek hukum, yaitu:
a.
Natuurlijke Person : manusia sebagai pribadi kodrati
b.
Rechts Person : badan hukum, yang terbagi ke dalam dua

Publiek Rechts Person : badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik yang
menyangkut kepentingan publik. Badan hukum ini merupakan badan-badan hukum
negara yang mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk
oleh yang berkuasa berdasarkan undang-undang, yang dijalankan oleh lembaga
eksekutif/pemerintah dan/atau pengurus yang diberi tugas untuk itu. (Soeroso, 2009:
239)

Privat Rechts Person : badan hukum privat, badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum perdata yang menyangkut kepentingan pribadi di dalam badan hukum itu.
Badan hukum ini merupakan badan hukum swasta yang didirikan oleh pribadi orangorang untuk tujuan tertentu (keuntungan, sosial pendidikan, dll.) sesuai dengan dan
sah oleh hukum yang berlaku. (Ibid., 240)

Tokoh, diasosiasikan dengan “status” (tidak melihat manusianya), hal ini bermanfaat
dalam pengertian-pengertian dalam ragam bidang hukum. Seperti status suami-istri,
dsb.; pewaris-ahliwaris, dsb.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 40-41)
Peranan dalam Hukum (Hak &
Kewajiban)
1.
Kewajiban merupakan role atau peranan imperatif, karenanya tidak boleh tidak
dilaksanakan. Sedangkan hak adalah role atau peranan yang fakultatif sifatnya,
karenanya boleh tidak dilaksanakan.
2.
Kewajiban dan hak itu selalu dalam hubungan berhadapan dan berdampingan
3.
Peranan hukum (Hak & Kewajiban) terbagi ke dalam 2, yaitu:
a.
Hak & Kewajiban relatif (perseorangan), hak & kewajiban yang dimiliki oleh
subjek hukum, dan berlaku hanya terhadap subjek-subjek tertentu.
b.
Hak & Kewajiban absolut, hak & kewajiban yang dimiliki subjek hukum yang
berlaku terhadap setiap/semua subjek hukum.
Peristiwa/Perbuatan Hukum
1.
Apa itu peristiwa hukum?

Suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh
hukum

Peristiwa di dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Tidak semua peristiwa
mempunyai akibat hukum, jadi tidak semua peristiwa adalah peristiwa
hukum.

Perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang membawa akibat hukum.

Menurut Van Apeldoorn:
Peristiwa hukum adalah persitiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.

Menurut Bellefroid:
Peristiwa hukum adalah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat merupakan/menimbulkan
hukum. Suatu peristiwa dapat merupakan persitiwa
hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan
hukum dijadikan peristiwa hukum.
(Soeroso, 2009: 251)
2.
Sederhananya, peristiwa/perbuatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.
3.
Terdapat 3 kelompok peristiwa hukum, yaitu:
a.
Keadaan yang mungkin bersegi:

Alamiah, misalnya siang hari atau malam hari

Kejiwaan, normal atau abnormal

Sosial, misalnya keadaan darurat/perang
b.
Kejadian, misalnya bencana alam, kecelakaan, dsb.
c.
Sikap tindak dalam hukum yang dibedakan menjadi:

Sikap tindak menurut hukum yang mungkin sepihak (bersegi satu) atau jamak (bersegi dua)

Sikap tindak yang melanggar hukum, yang berupa:

Excess de pouvoir / abuse of power, melampaui batas kekuasaan di bidang hukum tata
negara

Detournement de pouvoir, menyalahgunakan kekuasaan di bidang hukum administrasi
negara

Onrechtmatigedaad, perbuatan melawan hukum dalam lingkup hukum perdata

Strafbaar feit, peristiwa pidana yang akibatnya (sanksinya) diatur dalam hukum pidana.

Sikap tindak lain yang diatur oleh hukum, seperti Zaakwaarneming.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 42)
Hubungan Hukum
1.
Apa itu hubungan hukum?
Hubungan hukum ialah hubungan antara dua atau lebih subjek hukum.
Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

Jadi, setiap hubungan hukum mempunyai dua segi, segi bevoegheid
(kekuasaan/kewenangan atau hak) dengan lawannya plicht (kewajiban).

Mengenai hubungan hukum ini, Logemaan berpendapat, bahwa dalam
tiap hubungan hukum terdapat pihak yang berwenang/berhak meminta
prestasi yang disebut dengan “prestatie subject” dan pihak yang wajib
melakukan prestasi yang disebut “plicht subject”
(Soeroso, 2009: 269)
2.
Perhubungan hubungan hukum itu terbedakan dalam:
a.
Hubungan nebeneinander (sederajat) dan hubungan nacheinander (beda derajat)
b.
Hubungan timbal-balik (tweezijdige rechtsbetrekingen) dan hubungan timpangbukan-sepihak (bersegi satu; eenzijdige rechtsbetrekingen). Disebut timbal-balik
hubungan itu karena para pihaknya sama-sama mempunyai hak dan kewajiban.
Dalam hubungan timpang-bukan-sepihak, maka pihak yang satu hanya mempunyai
hak saja dan pihak yang lain hanya kewajiban saja.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 43)
3.
Syarat-Syarat Hubungan Hukum:
a.
Adanya dasar hukum, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan
hukum itu
b.
Timbulnya peristiwa hukum.
(Soeroso, 2009: 271)
Objek Hukum
1.
Apa itu objek hukum?
Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum
(manusia dan/atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok
permasalahan dan kepentingan bagi para subjek hukum, dan oleh karenanya
dapat dikuasai oleh subjek hukum.
(Soeroso, 1993: 246)
2.
Klasifikasi/Pembagian objek hukum:
a.
Bersifat material dan berwujud sebagai barang/benda
b.
Bersifat imateriil. Seperti hak cipta, gelar (dalam hukum adat), dsb.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 44)
Masyarakat Hukum
1.
Apa itu masyarakat hukum?
 Masyarakat hukum adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah
tertentu dimana di dalam kelompok tersebut berlaku suatu rangkaian
peraturan yang menjadi tingkah laku bagi setiap anggota kelompok
dalam
pergaulan hidup mereka.
(Soeroso, 2009: 298)
 Dengan mengartikan masyarakat sebagai sistem hubungan yang teratur,
dapatlah dirumuskan pengertian masyarakat hukum adat sebagai sistem
hubungan teratur dengan hukum sendiri. Adapun “dengan hukum sendiri” itu
maksudnya hukum yang tercipta di dalam-oleh-untuk sistem hubungan itu
sendiri. Hubungan itu dalam hal ini dapat diartikan relation (abstrak)
maupun communication (konkrit). “Relation” itu dapat ada tanpa
“communication” dan tetap ada walaupun para pihak dalam hubungan itu
diam saja.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993)
2. Apakah terhadap kaedah hukum dapat
dilakukan penyimpangan?
1.
Apa itu kaedah?

Pedoman, patokan, atau ukuran untuk bertingkah laku atau bersikap
(Mertokusumo, 2010: 5)

Kaedah pada hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan objektif mengenai penilaian atau sikap yang
seyogyanya dilaukan atau tidak dilakukan, dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan.
(Mertokusumo, 2004: 11)

Kaedah-kaedah sebagai pedoman perikelakukan manusia, oleh karena manusia mempunyai hasrat untuk hidup
pantas dan teratur.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 8)
2.
Apa itu kaedah hukum?
Kaedah hukum lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya
berperilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.
Dalam arti sempit, yang dimaksudkan dengan kaedah hukum adalah nilai yang terdapat dalam peraturan konkrit.
Kaedah hukum dalam arti sempit ini pada umumnya berubah mengikuti perkembangan peraturan konkrit. Meskipun
demikian ada kaedah atau nilai yang berubah sementara peraturan konkritnya tidak berubah.
(Mertokusumo, 2004: 11)
3.
Apakah yang dimaksud dengan penyimpangan? Dapatkah kaedah hukum
disimpangi?
Penyimpangan terhadap kaedah-kaedah hukum dapat berupa pengecualian
atau penyelewengan. Kaedah-kaedah hukum sebagai patokan atau pedoman
memberikan batas-batas pada perikelakukan atau sikap tindak dalam batasbatas tersebut masih mungkin ada ruang gerak. Artinya, dalam hal ini
penyimpangan berarti mengubah batas-batas patokan atau pedoman kaedah
hukum tersebut yang sudah ada. Maka dapat disimpulkan bahwa kaedah
hukum itu dapat disimpangi, karena dalam perumusan kaedah hukum masih
terdapat ruang gerak dimana dapat diberikan suatu pengecualian atau
penyelewengan.
Penyimpangan sebagai perikelakuan atau sikap tindak di luar batas-batas
patokan atau pedoman tersebut perlu dibedakan antara pengecualian
(uitzonderingsgevallen) dengan penyelewengan (delict).
a.
b.
Pengecualian adalah penyimpangan dari patokan atau pedoman dengan dasar yang sah. Pengecualian
terbagi menjadi 2, yaitu:

Dasar pembenar, yang dihapus adalah sifat (perbuatan) melawan hukumnya

Dasar pemaaf, yang dihapus adalah bentuk kesalahannya (manusia)
Penyelewengan (delict) adalah penyimpangan dari patokan atau pedoman yang tidak mempunyai dasar
yang sah. Delict ini adalah pemaknaan dalam arti luas, tidak hanya dalam peristiwa pidana saja (delict
dalam arti sempit), tetapi juga dalam peristiwa perdata (onrechtmatigedaad), dan juga dalam HTN dan
HAN (ultravires, abuse de droit, detournement de pouvoir). Terhadap semua delict ini perlu diberikan
suatu sanctum (sanksi) dalam arti luas dan negatif (tidak diatur secara definitif). Sanctum dalam arti yang
luas ini terdapat 3 macam, yaitu:

Sebagai pemulihan keadaan

Sebagai pemenuhan keadaan

Sebagai hukuman dalam arti luas, yaitu tindakan yang tidak digolongkan ke dalam salah satu macam
sanctum tersebut di atas, seperti:

Ganti rugi yang disertai dengan pemulihan keadaan dan/atau pemenuhan keadaan

Pemecatan, pencabutan izin usaha, dsb., dalam wilayah HAN

Hukuman Pidana (riil dan/atau idiil)
3. Yurisprudensi dan Penemuan Hukum
1.
Aliran-Aliran Penemuan Hukum
2.
Cara Hakim Menerapkan Hukum dalam berbagai Aliran Hukum

Apa itu Yurisprudensi?
Istilah Yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (Latin) yang berarti pengetahuan hukum. Kata
yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia diartikan sebagai Peradilan-Tetap atau Hukum Peradilan.
Kata Jurisprudence dalam bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum, sedangkan untuk pengertian
yurisprudensi dipergunakan istilah “Case Law” atau “Judge Made Law”.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 47)
Di dalam praktik terdapat hukum yurisprudensi yang timbul dari putusan-putusan pengadilan, terutama
putusan-putusan dari pengadilan negara tertinggi (MA). Di sini putusan pengadilan tidak langsung
menimbulkan hukum, melainkan merupakan faktor saja dalam pembentukan (penemuan) hukum, karena
biasanya putusan-putusan pengadilan tertinggi diikuti oleh pengadilan-pengadilan yang lebih rendah.
(Soeroso, 2009: 158)
Jurisprudensi itu tidak hanya murni dipandang sebagai keputusan-keputusan hakim terdahulu, tetapi juga
pendapat seorang ahli hukum terkenal.
1.
Aliran-Aliran Yurisprudensi/Penemuan Hukum
a.
Aliran Legisme
Aliran ini timbul pada abad ke-19 di Eropa, sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman
hukum kebiasaan. Aliran ini kemudian berusaha menyeragamkan hukum dengan jalan kodifikasi dengan
menuangkan semua hukum secara lengkap dan sistematis kitab undang-undang. Kodifikasi terjadi di Perancis
pada akhir abad ke-18, kemudian di Belanda pada tahun 1838. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan
lahirnya aliran Legisme.
(Mertokusumo, 2004: 94)
Aliran ini berpendapat bahwa:

Bahwa satu-satunya sumber hukum adalah UU

Bahwa di luar UU tidak ada hukum.
(Soeroso, 2009: 87)
Hakim dalam memecahkan sebuah perkara melalui subsumptie, yaitu dengan syarat:

UU harus bersifat umum

Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara abstrak

Sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada kekosongan-kekosongan
(Mertokusumo, Op. cit)
Maka menurut pandangan ini, hakim hanya merupakan corong daripada UU (bouche de la loi), kebiasaankebiasaan dan putusan-putusan hakim yang sebelumnya tidak dapat dijadikan sumber hukum karena tidak
termuat dalam UU.
b.
Aliran Freie Rechtslehre / Rechts Bewegung/ Rechts Schule
Aliran ini bertolak belakang dari aliran Legisme. Aliran Freie Rechtslehre merupakan aliran bebas yang hukumnya tidak
dibuat oleh badan Legislatif, dan menyatakan bahwa hukum terdapat di luar UU.
(Soeroso, 2009: 88)
Pengikut-pengikut aliran ini menentang pendapat bahwa kodifikasi itu lengkap dan bahwa hakim dalam proses penemuan
hukum tidak mempunyai sumbangan kreatif.
Freierechtsbewegung mencoba mengarahkan perhatiannya kepada sifat-sifat yang khusus pada peristiwa konkrit dan
kepentingan yang berkaitan. Maka hakim dapat mengutamakan rasa hukumnya dan ketika hal tersebut tidak sesuai dengan UU,
hakim dapat memutus menyimpang dari UU. Di sini peran hakim bergeser dari hanya sekedar menerapkan UU ke arah
penemuan/pembentukan hukum.
(Franken, 1985: 119 vide Mertokusumo, 2004: 102)
Oleh karena itu, menurut aliran ini, jurisprudensi itu adalah yang utama, sedangkan penggunaan undang-undang itu adalah
sekunder. Karena itu:

Hakim benar-benar menciptakan hukum (judge made law), karena putusannya didasarkan pada keyakinannya.

Keputusan hakim lebih dinamis dan terkini karena senantiasa mengikuti perkembangan dalam masyarakat.

Hukum hanya terbentuk melalui Peradilan.
Adapun tujuan daripada Freierechtslehre adalah:

Memberi kebebasan kepada hakim untuk tidak terikat pada UU, tetapi senantiasa menghayati perkembagan sosial
sehari-hari

Membuktikan bahwa UU itu terdapat kekurangan-kekurangan yang harus dilengkapi

Mengharapkan agar hakim dalam memutuskan perkara didasarkan pada Rechtsidee (cita keadilan)
(Soeroso, 2009: 88-89)
c.
Aliran Rechtsvinding
Aliran Rechtsvinding atau penemuan hukum merupakan aliran di antara kedua
aliran ekstrem yaitu Legisme dengan Freierechtsbewegung. Menurut aliran ini,
memang benar bahwa hakim terikat pada UU, akan tetapi tidaklah seketat
sebagaimana dimaksudkan oleh aliran Legisme, oleh karena hakim juga mempunyai
kebebasan. Akan tetapi, kebebasan hakim bukanlah seperti anggapan aliran
Freierechtsbewegung, sehingga di dalam melakukan tugasnya hakim mempunyai apa
yang disebut sebagai kebebasan yang terikat. Oleh sebab itu, maka tugas hakim
disebutkan sebagai melakukan Rechtsvinding, yang artinya adalah menyelaraskan UU
pada tuntutan zaman.
Hal ini dapat dilakukan melalui:

Penafsiran UU

Komposisi, yang terdiri dari:

Analogi

Rechtsverfijning (Pelembutan Hukum)
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 51)
4. Perbedaan dan Persamaan UU dengan
Keputusan Hakim
1.
Perbedaan:

UU itu sifat dan normanya umum-abstrak, sedangkan Keputusan Hakim itu sifat dan normanya
individual-konkrit dan juga final. *Kecuali putusan Hakim MK, sifat dan normanya umum-abstrak
dan final

UU itu berlakunya terus menerus (dauerhaftig), sedangkan Keputusan Hakim itu berlaku sekali
(einmahlig)

UU itu dibentuk oleh DPR dengan Presiden, dan disetujui bersama-sama, dan akhirnya disahkan
oleh Presiden, maka UU itu dibentuk oleh Lembaga Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Sedangkan
Keputusan Hakim itu dibentuk oleh Hakim dalam lingkup Lembaga Kekuasaan Yudikatif.

Adressat pengajuan keberatannya berbeda, yang mana jika seseorang tidak setuju dengan isi
muatan suatu UU dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), sedangkan jika
seseorang tidak setuju dengan Keputusan Hakim maka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
dan jika belum puas lagi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA)
2.
Persamaannya

Sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat, jika UU mengikat
masyarakat secara umum, maka Keputusan Hakim hanya mengikat para
pihak yang berperkara (individuil; *termasuk juga pihak ketiga).

Keduanya merupakan kaedah hukum

Secara formiil, validitasnya terletak pada lembaga kekuasaan negara yang
membentuknya. UU adalah valid ketika dibentuk oleh DPR dengan
Presiden dan disetujui bersama lalu disahkan oleh Presiden (Legislatif dan
Eksekutif), sedangkan Keputusan Hakim adalah valid ketika diputus oleh
Hakim yang berwenang dalam kompetensi absolut dan relatif dalam
peradilan dan pengadilan mana ia memutus (Yudikatif).
6. Sumber Hukum, UU, dan Hukum
Materiil dan Formiil
1.
Sumber Hukum:

Materiil : merupakan tempat darimana materi hukum itu diambil

Formiil : merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan
bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.
(Mertokusumo, 2010: 108)
2.
Undang-Undang:

Materiil: keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut UU dan mengikat setiap orang secara umum

Formiil : keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut UU. Jadi, UU dalam arti formiil tidak
lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “UU” karena cara pembentukannya.
(Ibid.)
3.
Hukum:

Materiil : hukum yang mengatur isi perhubungan antara kedua belah pihak atau yang menerangkan perbuatan mana yang
dapat dihukum dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan

Formiil : hukum yang menunjuk cara menjalankan hukum materiil
(Soeroso, 2009: 203)
8. Metode-Metode
Penafsiran/Interpretasi Hukum Hukum
1.
Interpretasi Gramatikal
Untuk mengetahui makna ketentuan UU, maka ketentuan UU itu ditafsirkan
atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari atau
bahasa hukum. Pada dasarnya penafsiran UU itu selalu akan merupakan penafsiran
atau penjelasan dari segi bahasa dan disebut juga metode objektif.
2.
Interpretasi Sistematis
Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan
peraturan hukum atau UU lain dengan keseluruhan sistem hukum. Menafsirkan UU
tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem
hukum. Dalam penafsiran sistematis hukum dilihat oleh hakim sebagai kesatuan,
sebagai sistem peraturan.
(Mertokusumo, 2004: 57-59)
3.
Interpretasi Historis
Penafsiran makna undang-undang dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Interpretasi
historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan penafsiran menurut sejarah
terjadinya undang-undang. Di sini yang diteliti adalah lembaga hukum sepanjang sejarah
dan sumber-sumber hukum yang digunakan oleh pembentuk UU. Yang dicari dari
interpretasi ini adalah maksud suatu peraturan seperti yang dikehendaki oleh pembentuk
UU, kehendak pembentuk UU-lah yang menentukan. Penafsiran ini disebut juga
penafsiran subjektif, karena dipengaruhi oleh pandangan subjektif dari para pembentuk
UU.
4.
Interpretasi Teleleologis atau Sosiologis
Di sini hakim menafsirkan UU sesuai dengan tujuan pembentuk UU. Lebih diperhatikan
tujuan dari UU daripada bunyi kata-kata saja. Interpretasi teleleologis terjadi apabila
makna UU itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan per-UU-an
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Metode ini baru digunakan
apabila kata-kata dalam UU dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
(Mertokusumo, 2004: 58-61)
4.
Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan. Dengan
memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan UU. Pada
interpretasi komparatif maka penafsiran itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada
penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara.
5.
Interpretasi Antisipatif (Futuristis)
Penafsiran Antisipatif adalah upaya mencari pemecahan dalam peraturan-peraturan yang
belum mempunyai kekuatan berlakunya. (*Lihat Arrest HR 23 Mei 1921,
Electriciteitsarrest)
6.
Interpretasi Restriktif
Untuk menjelaskan suatu ketentuan UU, ruang lingkup ketentuan UU itu dibatasi. Ini
adalah suatu metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan
bertitik tolak pada artinya menurut bahasa
7.
Interpretasi Ekstensif
Penafsiran yang melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.
(Mertokusumo, 2004: 61-64)
9. Metode-Metode Penemuan Hukum
1.
Argumentum per Analogiam (Analogi)
Pada analogi, suatu peraturan khusus dalam UU dijadikan umum—yang tidak tertulis dalam UU itu.
Peraturan umum yang tidak tertulis dalam UU itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang
tidak diatur dalam UU tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam UU.
Analogi digunakan apabila menghadapi peristiwa-peristiwa yang analog atau mirip. Tidak hanya
sekedar mirip, juga apabila kepentingan masyarakat umum menuntut penilaian yang sama. Oleh
hakim, penalaran anaologi digunakan kalau hakim harus menjatuhkan putusan dalam suatu konflik
yang tidak tersedia peraturan-peraturannya
2.
Argumentum a Contrario
Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh UU, tetapi kebalikan dari peristiwa
tersebut diatur oleh UU. Maka argumentum a contrario adalah cara menenmukan hukum dengan
pertimbangan bahwa apabila UU menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu itu dan
untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. Metode a contrario digunakan ketika terdapat
ketidaksamaan peristiwa hukum namun memiliki unsur kemiripan di dalam, pada a contrario
diletakkan titik berat pada ketidaksamaannya itu.
(Mertokusumo, 2004: 67-70)
3.
Penyempitan Hukum (Rechtsverfijning)
Penyempitan
hukum
bukan
merupakan
argumentasi
untuk
membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Rumusan ini
terdiri dari rumusan pengecualian terhadap peraturan per-UU-an karena
kalau tidak maka dirumuskan terlalu luas. Peraturan yang bersifat umum
diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan
penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
4.
Metode Eksposisi
Metode Eksposisi atau konstruksi hukum adalah metode untuk
menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian, bukan untuk
menjelaskan barang.
(Mertokusumo, 2004: 73)
10. Azas Preseden (Stare Decisis) dan
Keberlakuannya di Indonesia
1.
Apa yang dimaksud dengan azas Preseden?
Sebagaimana dianut oleh negara-negara Anglo Saxon (Common Law System), petugas peradilan
(hakim) terikat atau tidak boleh menyimpang dari keputusan-keputusan yang terlebih dahulu dari
hakim yang lebih tinggi atau yang sederajat tingkatnya. Azas ini didasarkan pada 4 faktor, yaitu:
a.
That the application of the same rule to successive similar cases results in equality of
treatment for all who come before the court
b.
That consistent following of precedents contributes predictability in future disputes
c.
That the use of established criteria to settle new cases saves time and energy
d.
That adherence to earlier decisions shows due respect to the wisdom and experience of prior
generations of judges.
(Soekanto & Purbacaraka, 1993: 55-56)
2.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, kita mengakomodir dua azas yuriprudensi, yang satunya lagi adalah azas bebas.
Azas bebas beranggapan bahwa seorang petugas peradilan (hakim) tidak terikat pada keputusankeputusan hakim yang lebih tinggi maupun yang sederajat tingkatnya. Azas ini dianut oleh Belanda
dan Perancis. (Soekanto & Purbacaraka, 1993: 57)
Di Indonesia yang menganut aliran Rechtsvinding, beranggapan bahwa hakim itu bebas dan
terikat dalam memutus suatu perkara. Hakim adalah bebas dalam arti dapat dengan leluasa
mencari/menemukan hukum yang tepat berlaku atas suatu perkara, tetapi hakim juga terikat
dalam arti bahwa dalam hakim berupaya menemukan hukum, ia terikat pada norma-norma hukum
yang ditetapkan dalam peraturan per-UU-an. Sehingga dalam memutus hakim bisa menggali hukum
dari berbagai sumber hukum namun tidak boleh melanggar dan harus mendasarkan putusannya
pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Maka dalam konteks ini, seorang hakim bisa menggunakan suatu Yurisprudensi sebagai sumber
hukum dalam putusannya karena hakim bebas menggali sumber hukum dari mana saja, tetapi
seorang hakim di Indonesia tidak terikat oleh ketentuan dan diwajibkan untuk mengikuti
Yurisprudensi oleh hakim-hakim sebelumnya dalam memutus suatu perkara yang sama (Stare
Decisis).
Download