Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak

advertisement
Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia
(the Policy of Women Protection from Violance in Human Rights Perspective)
Oleh
Husni1
Abstract
Violance to women is a kind of human rights violation which is increased rapidly, even
by using legal immunity. By that reason, to enforce women rights needs human rights
instruments that eliminate all forms discrimination against women.Eventhough in all
international or national documents do not discriminate the rights between man and
woman, in reality, there are discriminations against women. The Convention on the
Elimination of all discrimination against women that created by United Nations on 1979
protects women rights.
Keywords: Policy, Women Protection, Human Rights
A. PENDAHULUAN
Hak asasi Manusia yang menggantikan istilah Natural Rights menjadi bahasan
penting setelah perang dunia ke II, hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan
dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak asasi manusia yang dipahami
sebagai natural rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat
universal, yang dalam perkembangannya telah mengalami perubahan-perubahan
mendasar sejalan dengan perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.
Di Indonesia, pengaturan dan perkembangan HAM juga mengalami perubahan
sesuai dengan perubahan sosial politik, sebenarnya dalam UUDS 1950 yang pernah
berlaku dari tahun 1949-1950 telah memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih
banyak dan lengkap dibandingkan dengan UUD 1945, namun pada tanggal 5 Juli
1959, Konstituante yang terbentuk berdasarkan hasil pemilihan umum tahun 1955
dibubarkan berdasarkan Keppres Nomor 150 Tahun 1959, sehingga secara otomatis
1
Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
72
Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan (Husni)
hal ini mengakibatkan kita kembali lagi pada UUD 1945. Namun setelah UUD 1945
mengalami perubahan/ amandemen I s/d IV maka ketentuan tentang HAM diatur
secara lebih lengkap dalam satu Bab baru setelah Bab X yaitu Bab XA yang terdiri
dari sepuluh pasal yaitu pasal 28A s/d 28J.
Konsep HAM mempunyai dua dimensi, pertama adalah bahwa hak-hak yang
tak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia manusia. Hak-hak ini
adalah hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan, dan hak-hak ini
bertujuan untuk menjamin mertabat setiap manusia. arti yang kedua dari HAM adalah
hak-hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum dari
masyarakat nasional maupun internasional.
Konsep HAM tidak hanya dipahami sebagai hak-hak mendasar manusia, tetapi
ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, patuh pada
hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima bangsa Indonesia juga wajib
membela terhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk
menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang telah diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum HAM internasional yang
diterima oleh Indonesia.
Dalam hubungannya dengan kewajiban internasional dari setiap negara dalam
penegakan HAM tidak semata-mata didasarkan pada kewajiban atau suatu peraturan
perundang-undangan tetapi juga didasarkan pada moralitas untuk menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia. kewajiban menghormati dan memajukan HAM
merupakan kewajiban yang mendasar bagi setiap pelaku dalam hubungan
internasional, baik dalam skala nasional maupun internasional. Oleh karena itu
penegakan HAM merupakan kewajiban yang tidak dapat diingkari oleh negara, karena
penghormatan dan penegakan HAM merupakan kewajiban untuk melindungi
kepentingan umat manusia (obligations erga omnes).2 Selanjutnya, menurut Barda
Nawawi Arief, perlindungan HAM bukan sekedar asas/ pedoman yang harus dihormati
dan dijunjung tinggi, tetapi menjadi tugas yang harus dilaksanakan dan menjadi tujuan
yang harus dicapai.3
2
3
Kartini Sekatadji, Implikasi Pembentukan ICC ke Dalam Pengadilan HAM di Indonesia,
Orasi Ilmiah, Dies Natalis FH Undip Semarang, 9 Januari 2003, halaman 5-6
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan hukum
Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998, halaman 19
73
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
Dalam rangka penghormatan dan perlindungan HAM, di Indonesia telah
dibentuk Komnas HAM, yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993.
Dengan terbentuknya Komnas HAM, maka membuat permasalahan perempuan dan
isu-isu lainnya yang dulu termaljinalisasikan, kini mendapat perhatian penuh dari
Komnas HAM, dan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan
tantangan bagi Komnas HAM.
Diskursus/ perbincangan Hak Asasi Manusia adalah terfokus pada kepentingan
dalam negara, hubungan antara negara dengan warga negara, hubungan nantara
sesama manusia dan hubungan satu negara dengan negara lainnya. Jika sudah
demikian, maka salah satu aspek yang bisa dijadikan pijakan adalah kepentingan dan
perspektif ideologis- filosofis agama, politik, ekonomi dan aspek strategis lainnya yang
berkaitan dengan kepentingan suatu bangsa.
Ketika pembicaraan sudah menyentuh pada esensi Hak asasi Manusia dengan
sesama manusia dan poros interaksi antara negara dengan warga negara, maka
nama perempuan juga harus dimasukkan di dalamnya, yang memang wajib
dipedulikan, dihormati eksistensinya dalam takaran privat maupun publik, karena
perempuan menjadi bagian dari pelaku sejarah peradaban manusia yang tak bisa
dinafikan oleh siapa pun.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang
menyangkut kebijakan perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan,
antara lain :
1. Apakah ada instrumen internasional/nasional yang melindungi hak-hak
perempuan ?
2. Bagaimanakah upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan ?
C. PEMBAHASAN
1. Instrumen internasional/nasional yang melindungi hak-hak perempuan.
Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia (HAM) tidak membedakan hak-hak asasi
dari sudut jenis kelamin (perempuan atau laki-laki). Kedua-duanya adalah manusia
yang mempunyai hak asasi yang sama. Penegasan hal ini terlihat di dalam dokumen-
74
Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan (Husni)
dokumen Hak Asasi Manusia (HAM). Misalnya di dalam Universal Declaration of
Human Rights (UDHR), antara lain :4
-
“All human being are born free and equal in dignity and rights” (Pasal 1).
-
“ Everyone is entitled to all the rights and freedom set forth in this
Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex,
language, religion, political or other opinion, national or social origin, property,
birth or other status” (Pasal 2).
Adapun Hak Asasi Manusia (HAM) yang terdapat di dalam Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) kelompok,
yaitu :
a. Civil and Political Rights, meliputi :
4
(1)
hak hidup, kemerdekaan dan keamanan (the right to life, liberty and
security of person), (Pasal 3)
(2)
bebas dari perbudakan dan kerja paksa (freedom from slavery and
servitude), (Pasal 4);
(3)
bebas dari penganiayaan dan tindakan / perlakuan atau penghukuman
yang kejam, tidak berperikemanusiaan atau bersifat merendahkan /
menghina (freedom from torture and cruel, inhuman or degrading
treatment or punishment), (Pasal 5);
(4)
hak atas pengakuan sebagai menusia pribadi di hadapan hukum (the
rights to recognition as a person before the law), (Pasal 6);
(5)
semua orang sama di hadapan hukum (equal before the law) dan
berhak mendapat perlindingan hukum yang sama (equal protection of
the law), (Pasal 7);
(6)
hak atas pengadilan yang efektif terhadap perbuatan-perbuatan yang
melanggar hak-hak asasi / fundamental yang diberikan kepadanya
oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang (the right to an
effective judicial remedy for violations of human rights), (Pasal 8);
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001 halaman 61
75
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
(7)
bebas dari penahanan atau pembuangan / pengasingan yang
sewenang-wenang (freedom from arbitrary arrest, detention or exile),
(Pasal 9);
(8)
berhak mendapat pemeriksaan yang adil dan terbuka (untuk umum)
oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak (a fair and public
hearing by an independent and impartial tribunal), (Pasal 10);
(9)
hak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya
(to be presumed innocent until proved guilty according to law),
(Pasal 11 ayat (1);
(10) hak untuk tidak dipersalahkan atas perbuatan yang tidak merupakan
tindak pidana menurut hukum yang berlaku pada saat perbuatan
dilakukan (debarment from conviction for an act which was not a penal
offence at the time it was committed), (Pasal 11 ayat (2);
(11) bebas dari gangguan / campur tangan yang sewenang-wenang dalam
urusan pribadi, keluarganya, rumah tangganya atau urusan suratmenyurat (freedom from arbitrary interference with privacy, family,
home or correspondence), (Pasal 12);
(12) bebas bergerak / berpindah dan menetap, termasuk hak
meninggalkan dan memasuki kembali suatu negeri (freedom of
movement and residence, including the right to leave any country and
to return to one’s country), (Pasal 13);
(13) hak untuk mendapat tempat pelarian (asylum), (Pasal 14);
(14) hak atas kewarganegaraan, (Pasal 15);
(15) hak untuk menikah dan membentuk keluarga, (Pasal 16);
(16) hak untuk memilih sendiri atau bersama orang lain, (Pasal 17);
(17) kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, (Pasal 18);
(18) kebebasan mengeluarkan pendapat, (Pasal 19);
(19) kebebasan melakukan pertemuan dan membentuk perkumpulan,
(Pasal 20);
(20) hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan di negerinya sendiri,
(Pasal 21 ayat (1);
76
Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan (Husni)
(21) hak atas kesempatan yang sama dalam jabatan pemerintahan
negerinya, (Pasal 21 ayat (2);
b. Economic, Social and Culture Rights, meliputi :
(1)
hak atas jaminan sosial, (Pasal 22);
(2)
hak atas pekerjaan dan bebas memilih pekerjaan, (Pasal 23 ayat 1);
(3)
hak mendapat upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, (Pasal
23 ayat 2)
(4)
hak atas pengupahan yang adil dan baik untuk menjamin kehidupan
yang layak, (Pasal 23 ayat 3);
(5)
hak mendirikan serikat pekerja, (Pasal 23 ayat 4);
(6)
hak untuk istirahat dan liburan, (Pasal 24);
(7)
hak atas standar hidup yang sesuai dengan kesehatan dan
kesejahteraan, (Pasal 25 ayat 1);
(8)
hak atas jaminan kesejahteraan dalam keadaan pengangguran, sakit,
cacat, janda, usia lanjut atau karena keadaan diluar kekuasaannya,
(Pasal 25 ayat 2);
(9)
hak memperoleh bantuan dan peralatan khusus bagi ibu dan anak,
(Pasal 26 ayat 1);
(10) hak untuk mendapat pendidikan, (Pasal 26 ayat 2);
(11) hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakat, (Pasal 27
ayat 1);
(12) hak mendapat perlindungan kepentingan moral dan material dari hasil
produksinya di bidang pengetahuan, sastra dan seni, (Pasal 27 ayat
2);
Di dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
1966 ditegaskan antara lain, bahwa :
“Negara peserta perjanjian ini akan menghormati dan menjamin hak-hak yang
diakui dalam perjanjian (convenant) ini tanpa diskriminasi apapun (antara lain
ras, warna kulit, jenis kelamin, agama dan sebagainya)” (Pasal 2 ayat (1)).
77
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
Hak-hak yang disebut dalam Convenant ini antara lain :
78
-
hak semua bangsa untuk menentukan nasib sendiri, Pasal 1;
-
persamaan hak pria dan wanita dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya menurut perjanjian ini, (Pasal 3);
-
hak untuk hidup, dan tiap orang tidak boleh dirampas kehidupannya secara
sewenang-wenang, (Pasal 6 ayat 1);
-
hak pengampunan atau peringanan terhadap pidana mati, (Pasal 6 ayat 4);
-
tidak seorang pun boleh disiksa atau mendapat perlakuan / hukuman kejam,
tidak manusiawi atau bersifat menghina / meremehkan, (Pasal 7);
-
bebas dari perbudakan dan kerja paksa, (Pasal 8);
-
hak kebebasan dan keamanan pribadi, tidak seorangpun dapat ditahan /
dicabut kebebasannya secara sewenang-wenang atau tanpa prosedur
menurut hukum yang berlaku, (Pasal 9 ayat 1);
-
hak ganti rugi atas penahanan yang tidak sah, (Pasal 9 ayat 5);
-
hak diperlakukan secara manusiawi dan menghormati martabat manusia
bagi orang yang dirampas kemerdekaannya, (Pasal 10);
-
hak bergerak bebas dalam wilayah negara dan bebas memilih tempat
tinggal, bebas meninggalkan negara manapun dan hak untuk memasuki
negaranya sendiri, (Pasal 12);
-
semua orang berkedudukan sama di muka pengadilan dan berhak
memperoleh pemeriksaan yang adil dan tidak memihak, (Pasal 14 ayat 1);
-
hak atas praduga tidak bersalah, (Pasal 14 ayat 2);
-
tidak seorang pun dapat dianggap bersalah atas perbuatan yang tidak
merupakan tindak pidana menurut hukum yang berlaku pada saat perbuatan
dilakukan, (Pasal 15 ayat 1);
-
berhak diakui sebagai manusia / subjek hukum dihadapan hukum di mana
saja, (Pasal 16);
-
dalam urusan pribadi, keluarga, rumah tangga berhak untuk tidak diganggu
secara melawan hukum, (pasal 17)
Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan (Husni)
-
hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, (pasal 18 ayat 1)
-
berhak mempunyai pendapat tanpa campur tangan, (pasal 19)
-
hak berkumpul/ melakukan pertemuan, (pasal 21)
-
hak berserikat, (pasal 22)
-
hak menikah dan membentuk keluarga, (pasal 23)
-
hak yang sama dihadapan hukum dan hak atas perlindungan hukum yang
sama, (pasal 26)
-
hak menikmati kebudayaan, agama dan bahasanya sendiri, (pasal 27)
Perundang-undangan di Indonesia pun pada prinsipnya tidak membedakan
Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan dan laki-laki, hal ini ditegaskan dalam UUD
1945, yaitu :
a. Setiap warga negara (berarti perempuan dan laki-laki) bersamaan
kedudukan di depan hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (pasal 27 ayat 1).
Ketentuan pasal 27 ayat (1) tersebut identik dengan pasal 1,2,6, 7, 21 ayat 2
dari Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR).
b. Tiap warga negara berhak atas pekkerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. (pasal 27 ayat 2)
c. Seiap warga negara berhak atas kemerdekaan berkumpul dan berserikat.
(pasal 28 )
d. Setiap warga negara berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut
aganma dan kepercayaannya. (pasal 29)
e. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan
negara. (pasal 30)
f.
Setiap warga negara berhak untuk mendapat pengajaran/pendidikan (pasal
31 ayat 1)
g. Setiap warga negara berhak memperoleh kemakmuran / kesejahteraan
sosial yang sebesar-besarnya (pasal 33)
79
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
h. Disamping pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 145 yang tersebut di atas,
pembukaan UUD 1945 juga sarat dengan pernyataan dan pengakuan yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang sangat luhur dan sangat asasi.5
Walaupun dalam dokumen-dokumen internasional maupun nasional tidak
terdapat perbedaan prinsip antara Hak Asasi Manusia perempuan dan laki-laki. Hakhak yang tercantum dalam berbagai dokumen internasional tersebut berlaku
sepenuhnya bagi perempuan, namun dalam realita kehidupan masih dijumpai adanya
diskriminasi jenis kelamin di berbagai masyarakat/negara. Oleh karena itu, saranasarana tambahan untuk Hak asasi perempuan tampaknya diperlukan karena fakta
“kemanusiaan” mereka saja tidak cukup untuk menjamin perlindungan perempuan
atas hak-hak mereka. Sebagai mana dijelaskan dalam pembukaan konvensi tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, perempuan masih
tidak memiliki hak yang sama daengan laki-laki dan diskriminasi terhadap perempuan
terus berlangsung dalam berbagai masyarakat. 6
Konnvensi tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (convention
on the elimination of all forms discrimination against women) yang diterima PBB tahun
1979 merupakan salah satu dokumen internasional yang melindungi hak-hak
perempuan dari segala bentuk diskriminasi.
2. Upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan
Perempuan merupakan kelompok khusus dan karena kekhususannya justru
membutuhkan perlakuan dan perlindungan khusus. Adapun permasalahan yang
mendukung pembicaraan mengenai kelompok khusus ini adalah adanya perlakuan
yang tidak manusiawi yang diterima oleh kelompok khusus, yang rentan terhadap
terlanggarnya hak asasi manusia mereka.
Kekerasan terhadap perempuan, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak
asasi manusia yang terus bertahan dan berkembang dengan sewenang-wenang
bhakan dengan menggunakan kekebalan hukum. Oleh karena itu, untuk penegakan
hak asasi perempuan, dibutuhkan suatu instrumen hak asasi manusia tersendiri
dalam menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
5
6
80
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai kebijakan Hukum Pidana, Bandung :Citra Aditya
Bakti,2002,halaman 58-60.
C. De Rover, To serve and To Protect, Acuan universal penegakan HAM (ICRC Geneve
1998), Jakarta: Raja Grafindo, 2000, halaman 340
Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan (Husni)
Dalam konteks HAM, diskriminasi merupakan pengingkaran tidak saja
terhadap hak atas persamaan di depan hukum, namun juga merupakan pengingkaran
terhadap prinsip HAM itu sendiri. Terdapat kesepakata global yang menyatakan
bahwa kekerasan terhadap perempuan perlu dipahami sebagai suatu pelanggaran
terhadap hak dasar perempuan, yaitu hak perempuan untuk menjalani kehidupannya
secara bermartabat. Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu bentuk opresi
terhadap perempuan yang paling kuat bertahan dan sangat susah untuk memutus
siklusnya.
Berikut ini penulis akan menyajikan kebijakan hukum pidana dalam
menanggulangi tindak pidana kekerasan terhadap perempuan.
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Meskipun dalam KUHP tidak dikenal istilah khusus yang berkaitan dengan
kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan dalam rumah tangga, namun dari
rumusan beberapa pasal dalam KUHP maka terhadap kekerasan yang terjadi
terhadap perempuan atau kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dapat
dijaring dengan pasal-pasal, antara lain : pertama, tentang kejahatan terhadap
kesusilaan (terutama untuk kekerasan seksual) seperti yang diatur dalam pasal
285, 284, 286, 287, 288, 296, 297 dan 347 KUHP. Kedua , tentang kejahatan
terhadap tubuh dan nyawa yang antara lain diatur dalam pasal 338-340 tentang
pembunuhan, pasal 356 tentang penganiayaan terhadap istri.
Ketentuan pasal 356 KUHP yang pada intinya memberi ancaman pidana
kepada seorang bapak atau suami yang melakukan penganiayaan terhadap anak
atau istri dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk menuntut seorang bapak
atau suami yang melakukan kekerasan terhadap anak atau istri sebelum keluarnya
UU Nomor 23 Tahun 2004.
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Selain KUHP, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan
sighat taklik talak sesungguhnya juga dapat memberikan perlindungan hukum
kepada para istri yang mengalami kekerasan atau penganiayaan, misalnya
dengan meminta kepada pengadilan agar tidak serumah lagi karena keadaan yang
membahayakan jiwanya. Namun permohonan tersebut harus dilakukan
81
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
bersamaan dengan gugatan perceraiaan.7 Beberapa pasal dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 terindikasi menyimpan bom waktu kekerasan terhadap
perempuan berkaitan dengan masalah poligami, perwalian, perceraian, pembagian
hak dan kewajiban dan hak-hak social istri.
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women /
CEDAW)
Konvensi ini merupakan instrumen HAM internasional yang melindungi hakhak perempuan, termasuk perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan.
Konvensi tersebut juga menetapkan prinsip-prinsip pokok serta ketentuanketentuan yang menhapus kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang
merugikan kedudukan perempuan dalam hukum.
Prinsip-prinsip tersebut adalah : pertama, prinsip persamaan. Prinsip ini
ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan kesenjangan atau keadaan yang
merugikan perempuan. Kedua, prinsip non-driskriminasi. Ketiga, prinsip kewajiban
Negara.
Namun dalam penerapannya konvensi ini tidak berjalan dengan baik
karena masih banyak ditemukan masalah dan kendala terutama yang berkaitan
dengan pandangan patriarkhis yang masih kuat di dalam masyarakat Indonesia.8
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Keluarnya undang-undang ini bermaksud memberikan legitimasi dan dasar
perlindungan bagi perempuan agar terbebas dari segala bentuk kekerasan.
Meskipun tidak ada pasal khusus yang mengatur tentang kekerasan terhadap
perempuan maupun kekerasan dalam rumah tangga, namun undang-undang
tersebut bisa digunakan unuk memberikan perlindungan yang berbasis HAM bagi
perempuan dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah
tangga yang sering dialami oleh perempuan.
Hal tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa “setiap orang yang termasuk
7
8
82
Nursyahbani Katjasungkana, op.cit, hlm. 40-41.
Rahayu, op.cit, hlm. 121.
Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan (Husni)
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya” .
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
kriminalisasi9terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu
kebijakan hukum pidana dalam usaha untuk menanggulangi/mengapus terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu perkembangan baru di
bidang HAM di Indonesia, karena masuknya sistem hukum publik ke ranah
domestik atau rumah tangga. Pada awalnya dipahami bahwa hukum pidana
hanya mengatur urusan publik, yaitu perbuatan yang disana mengandung
tanggung jawab negara untuk mengaturnya, dimana urusan rumah tangga adalah
urusan privat dimana negara tidak boleh mengaturnya. Namun Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 memberikan perspektif baru bahwa ternyata kehidupan
privat yaitu rumah tangga juga dapat diintervensi oleh negara. Undang-undang ini
memberikan perkembangan baru bagi KUHP (hukum pidana) yang berlaku di
Indonesia. 10
UU PKDRT merupakan suatu kebijakan dalam hukum pidana yang memuat
berbagai pembaharuan dan terobosan baru berkaitan dengan perlindungan HAM
serta memperluas konsep kekerasan dalam rumah tangga yang tidak hanya
meliputi bentuk kekerasan yang bersifat fisik, psikis dan seksual, tetapi
memasukkan juga perbuatan penelantaran rumah tangga sebagai suatu perbuatan
kekerasan yang dapat dipidana.
Berdasarkan uraian dimuka, pemerintah dapat melakuan beberapa upaya
yang berkaitan dengan isu diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan,
antara lain :
1. mencabut dan memperbaiki peraturan perundangan yang diskriminatif
terhadap perempuan dan mengingkari akses mereka terhadap keadilan,
2. menghapus bias dan kesalahan perlakuan aparat hukum terhadap
perempuan korban kekerasan,
9
10
Kriminalisasi merupakan proses penetapan suatu perbuatan yang sebelumnya tidak dapat
dipidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, 1986, hlm. 32.
Rahayu, op.cit, halaman 161
83
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 2, Agustus 2013
ISSN 2302-6219
3. menjamin bahwa siatem hukum memberikan perlakuan yang layak bagi
perempuan korban kekerasan,
4. menyediakan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan,
5. menjamin bahwa para pelaku dibawa ke pengadilan,dan
6. menghapuskan bias hukum terhadap perempuan.
D. PENUTUP
a. Kesimpulan
Walaupun dalam dokumen-dokumen internasional maupun nasional tidak
terdapat perbedaan prinsip Hak Asasi Manusia antara perempuan dan laki-laki,
namun dalam realita kehidupan masih dijumpai adanya diskriminasi terhadap
perempuan. Konnvensi tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan
(convention on the elimination of all forms discrimination against women) yang
diterima PBB tahun 1979 merupakan salah satu dokumen internasional yang
melindungi hak-hak perempuan dari segala bentuk diskriminasi.
Terdapat berbagai tentangan kedepan bagi pemerintah untuk menciptakan
kebijakan dan program perlindungan perempuan dari kekerasan, dalam rangka
mensukseskan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, tentu saja
pemerintah/ Komnas HAM tidak akan mampu melakukannya tanpa adanya
keterlibatan segenap elemen masyarakat, civitas akademika, rohaniawan, serta
NGO-NGO yang peduli terhadap HAM.
b. Saran
84
-
Pemerintah perlu merativikasi segala bentuk dokumen internasional yang
melindungi hak-hak perempuan dari tindak kekerasan dan perlu menciptakan
kebijakan / peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan dari
tindak kekerasan.
-
Dalam hal melakukan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan,
maka pemerintah perlu melibatkan seluruh unsur masyarakat, karena
pelibatan seluruh lapisan masyarakat adalah sebuah keniscayaan.
Kebijakan Perlindungan Perempuan dari Tindak Kekerasan (Husni)
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2002
C. De Rover, To serve and To Protect, Acuan universal penegakan HAM (ICRC
Geneve 1998), Jakarta: Raja Grafindo, 2000
Sekatadji, Kartini, Implikasi Pembentukan ICC ke Dalam Pengadilan HAM di
Indonesia, Orasi Ilmiah, Dies Natalis FH Undip Semarang, 9 Januari 2003
Muladi, Haka Asasi Manusia, Bandung,Reflika Aditama, 2005
85
Download