BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis
asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005
dalam Granada 2011), serta memiliki jaringan pengikat sedikit sehingga lebih
mudah dicerna oleh tubuh. Ikan Lele memiliki kandungan gizi yang sama baik
dengan beberapa jenis ikan laut lainya seperti protein sebagai sumber
pertumbuhan, asam lemak omega 3 dan 6 bermanfaat bagi kesehatan ibu hamil
dan kandungan, vitamin, kesehatan jantung dan otak serta berbagai mineral yang
sangat bermanfaat.
Pemerintah terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat
melalui peningkatkan konsumsi ikan khususnya ikan lele. Ikan lele tergolong
memiliki harga yang paling ekonomis dibanding dengan ikan konsumsi air tawar
lain. Ikan lele memiliki karakteristik tahan akan penyakit, memiliki alat bantu
pernafasan, tidak berduri kecil, dan dapat dibudidayakan dilahan sempit dengan
tingkat kepadatan yang tinggi.
Ikan lele lokal memiliki nama latin Clarias batrachus, merupakan jenis
ikan lele yang dikenal luas di masyarakat. Sebelum lele dumbo diperkenalkan di
Indonesia, para peternak biasa membudidayakan ikan lele jenis ini. Namun saat
ini sangat jarang peternak yang membudidayakan jenis lele lokal karena
dipandang kurang menguntungkan. pertumbuhan lele lokal terbilang sangat
lambat. Dalam waktu kurang lebih tiga bulan bobot ikan lele dumbo dapat
mencapai 0,2 sampai 0,3 kg, sedangkan ikan lele lokal memerlukan waktu sekitar
12 bulan untuk mencapai bobot tersebut (Najiyati 2001 dalam Sumpeno 2005)
Terdapat tiga jenis lele lokal yang ada di Indonesia, yaitu lele hitam, lele
putih atau belang putih dan lele merah. Diantara ketiga jenis lele itu, lele hitam
paling banyak dibudidayakan untuk konsumsi. Sedangkan lele putih (albino) dan
merah lebih banyak dibudidayakan sebagai ikan hias (Mahyuddin 2008).
1
2
Penyediaan benih melalui
usaha
budidaya
yang terus menerus
menggunakan induk lele yang sekerabat menyebabkan kualitas genetik menurun.
Proses rekayasa genetika dan pemuliaan keturunan ikan lele terus dilakukan untuk
mendapatkan ikan lele kualitas unggul dan memenuhi target produksi serta
permintaan pasar yang lebih besar. Dalam perkembangannya dari tahun ke tahun,
lele yang ada di Indonesia semakin menurun kualitasnya, ini diakibatkan sering
terjadinya perkawinan satu keturunan (inbreeding).
Melihat kenyataan tersebut, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Tawar (BBPBAT) telah melakukan upaya pemurnian kembali ikan lele, terutama
lele dumbo. Betina keturunan kedua lele (Clarias gariepinus) dari Afrika
persilangan tersebut adalah perkawinan antara gamet induk betina (ibu) dengan
gamet jantan lele dumbo generasi kedua dinamakan Lele Sangkuriang. (Sunarma
et al. dalam Hilwa 2004).
Perkembangan kegiatan pemuliaan sebaiknya disertai dengan data-data
lainya, maka dari itu harus dilakukan penelitian melalui uji molekuler pada tingkat
DNA (Deoxyribonucleic acid). Para pembudidaya dapat menghindari penurunan
kualitas genetik akibat perkawinan satu keturunan (inbreeding) dengan melihat
tingkat kekerabatan ikan lele di daerah serta mempermudah peningkatan kualitas
dan kuantitas produksi. Haymer (1994) mengemukakan, hubungan kekerabatan
pada organisme dapat dianalisis dengan melihat DNA. Dengan mengetahui dan
membandingkan tingkat polimorfisme DNA maka dapat diketahui tingkat
kekerabatannya. Analisis polimorfisme DNA merupakan materi yang akurat
dalam menganalisis genetik beberapa tipe organisme.
Mutasi, rekombinasi gen, dan seleksi alam merupakan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya keragaman genetik (Hamid 2009). Keragaman genetik
ikan mempunyai nilai yang penting dalam program peningkatan produksinya.
Menurut Fehr (1987) dalam Martono (2009), dengan keragaman genetik yang
tinggi, peningkatan kualitas dan kuantitas bisa lebih mudah dilakukan. Analisis
keragaman genetik bisa digunakan dalam membantu menentukan potensi induk
unggul yang akan disilangkan. Analisis keragaman genetik ini memiliki beberapa
3
metode diantaranya dengan RAPD, mikrosatelit dan berdasarkan DNA
mitokondria.
Polymerase Chain Reaction atau reaksi rantai polymerase merupakan
teknik yang ditemukan oleh Kary B.Mullis pada tahun 1983 untuk mensintesis
DNA secara in vitro. Teknik in vitro bekerja dengan cara mereplikasi atau
memperbanyak segmen DNA spesifik yang berada diantara dua daerah yang
komplemen dengan dua primer yang spesifik (Liu 1998). PCR dapat membantu
pengembangan ilmu biologi, seperti melihat keragaman genetik ikan yang ada
pada suatu ekosistem tertentu dengan cara DNA marking, sehingga dapat
membedakan ikan sedini mungkin walaupun ikan tersebut belum dewasa.
Salah satu teknik PCR yaitu dengan RAPD (Random Amplified
Polymorphism DNA). RAPD merupakan proses perbanyakan genom yang paling
sering digunakan karena sangat mudah dan membutuhkan jumlah DNA genom
yang tidak terlalu banyak. Fragmen genom yang diperbanyak bersifat acak
dengan satu atau banyak primer pada arbitrary sequence (sekuens tidak
tentu). Polimorfisme yang terjadi antara individual atau strain dikenali melalui
perbedaan pada fragmen DNA yang diperbanyak oleh primer yang tersedia.
Penelitian ini diharapkan dapat membantu peningkatan potensi kualitas dan
kuantitas produksi ikan lele di Jawa Barat dengan memberikan informasi
kekerabatan ikan lele melalui pendekatan genetik.
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang dapat
diidentifikasi adalah sejauh mana kekerabatan genetik ikan Lele Sangkuriang,
Dumbo, Lokal dan Albino dengan teknik RAPD PCR (Random Amplified
Polymorphism DNA – Polymerase Chain Reaction).
4
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik dari
berbagai spesies Lele (Clarias spp.) dengan teknik RAPD PCR (Random
Amplified Polymorphism DNA – Polymerase Chain Reaction).
1.4
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi
mengenai tingkat kekerabatan antar ikan lele Lokal, Albino, Sangkuriang, dan
Dumbo di daerah di sekitar Jawa Barat. Pengetahuan hubungan kekerabatan
genetik antara ikan Lele Lokal, Albino, Sangkuriang, dan Dumbo dapat mencegah
terjadinya inbreeding dalam pemuliaan ikan.
1.5
Pendekatan Masalah
Lele merupakan salah satu komoditi budidaya yang digeluti oleh
pembudidaya, dengan keunggulan dan manfaat yang besar pada spesies ikan lele
menjadikan ikan lele salah satu ikan bernilai ekonomis tinggi. Budidaya lele
memiliki tingkat keseragaman genetik yang tinggi karena system monokultur.
Monokultur memiliki dasar plasma nutfah yang sempit karena terbatasnya
populasi yang digunakan untuk budidaya (World Resource Institute 1999).
Dasar timbulnya keanekaragaman genetik adalah adanya polimorfisme
(variasi genetik) di tingkat DNA, khususnya ikan lele hasil perkawinan silang.
DNA merupakan molekul yang selalu sama atau konsisten di setiap jaringan
tubuh dan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Rafsanjani 2011), Urutan
DNA menunjukan variasi yang lebih tinggi dibandingkan asam amino dalam
enzim, oleh karena itu DNA merupakan sumber polimorfisme yang baik dan
sangat potensial (Beeching et al. 1993). Penanda molekul pada tingkat DNA
mempunyai beberapa kelebihan antara lain, genotip dapat diuji secara langsung
dibanding fenotip. Bagian DNA yang berbeda mempunyai kecepatan evolusi yang
berbeda sehingga bagian yang tepat dapat dipilih untuk studi lebih lanjut, serta
berbagai teknik yang berdasarkan pada DNA telah banyak dikembangkan dan
masing-masing berpotensi menjadi penanda molekul yang tepat untuk
5
permasalahan tertentu. Keanekaragaman genetik pada umumnya disebabkan
karena adanya proses mutasi dan rekombinasi sehingga terjadi perubahanperubahan pada urutan DNA (Brown 1999).
Informasi genetik yang paling akurat berasal dari DNA, Isolasi DNA
merupakan langkah awal dari setiap penelitian DNA, sehingga isolasi DNA
beberapa ikan lele yang diujikan sangat diperlukan untuk selanjutnya diketahui
variabilitasnya.
Untuk mengetahui tingkat kekerabatan dari ikan lele hasil perkawinan
silang digunakan pendekatan genetik melalui inti sel. Inti sel dapat membawa
informasi genetik dari induk jantan dan betina sama besar dibanding dari
mitokondria yang membawa genetik lebih dominan dari sang ibu. RAPD
merupakan metode untuk mengidentifikasi polimorfisme DNA dengan cepat dan
efisien. Dengan RAPD dapat dihasilkan polimorfisme yang sangat tinggi dari
DNA yang teramplifikasi (Grosberg et al. 1993 dalam Ferarris et al. 1996).
RAPD merupakan metode yang efektif untuk membedakan organisme menurut
pola larik DNA. Metoda ini digunakan untuk mengetahui polimorfisme DNA
sebagai penanda genetik untuk menentukan hubungan kekerabatan pada
bermacam-macam spesies tanaman dan hewan (Rollinson et al. 1987 dalam
Hawksworth 1993).
Download