Estimasi Potensi dan Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Selayar dengan Menggunakan Citra Satelit AQUA/MODIS Estimating Total Allowable Catch and Mapping Potential Pelagic Fishing Ground in Selayar Waters Using AQUA/MODIS Satellite Imagery Mukti Zainuddin1) 1) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS The objectives of this study are to estimate the Total Allowable Catch (TAC) and to map potential pelagic fishing grounds in Selayar Waters. Firstly, the Maximum Sustainable Yield (MSY) was estimated using Surplus Production Model and then calculated the TAC for both skipjack and scads. To generate this model, this study used 10 years time series (1995-2004) which consisted of catch and fishing effort data. Second, satellite images of sea surface temperature derived from MODIS were used to map out potential predicted area for each species based on their preferred sea surface temperature ranges for the period of JuneSeptember 2006. Results showed that the exploitation rates for skipjack and scads were 15.39% and 49.7% of the TAC, respectively. The Potential fishing grounds for the species well formed in June, and mostly occurred near Selayar main Island and Takaborate coastal waters. These results were highly consistent with the empirical data. As a result, the pelagic resources should be optimally exploited at the TAC level by utilizing potential predicted area defined by preferred sea surface temperature. These findings suggested that the potential fishing ground map could be easily produced by satellite imagery and should be important information to the fishermen. Keywords: TAC, predicted area, pelagic fishing ground, satellite imagery PENDAHULUAN Sumberdaya perikanan laut Kabupaten Selayar banyak dipengaruhi oleh dinamika bio-fisika lingkungan di Laut Flores dan Teluk Bone. Dari hasil analisis peta dengan memperhitungkan area batasan laut dalam untuk perikanan pelagis, diketahui luas perairan tersebut sekitar 333.000 km2 dan luas perairan kecamatan kepulauan Kabupaten Selayar sekitar 25.200 km2. Dari data tersebut, kemudian diestimasi potensi sumberdaya perikanan kecamatan kepulauan dengan potensi ikan pelagis sekitar 6330 ton/tahun. Dengan demikian penyebaran ikan pelagis dianggap merata dengan kepadatan sekitar 0,25 ton/km2 (Mallawa dkk., 2006). Di antara jenis ikan pelagis yang potensial tertangkap di perairan Selayar adalah ikan cakalang dan ikan layang. Menurut Uktolseja (1998), besarnya potensi lestari untuk ikan cakalang sebesar 28.449 ton/tahun di Laut Flores dan Selat Makassar. Luas kedua perairan tersebut sekitar 605.800 km2, sehingga penyebaran ikan cakalang sekitar 0,03 ton/km2. Estimasi besarnya potensi lestari ikan cakalang di kecamatan kepulauan Selayar sekitar 1266 ton/tahun. Potensi ikan layang diperkirakan sebesar 401,4 ton/tahun. Sedangkan potensi ikan pelagis lainnya diduga sekitar 3903 ton/tahun. Selayar sebagai kabupaten maritim dengan andalan utama sektor perikanan dan kelautan sangat berkepentingan dalam memanfaatkan potensi perikanan pelagis tersebut secara berkelanjutan. Terbatasnya informasi tentang daerah penangkapan ikan pelagis yang produktif menjadi tantangan utama sustainable fisheries activities di wilayah tersebut. Penggunaan satelit remote sensing telah terbukti memainkan peran kunci dalam pengkajian oseanografi perikanan (Polovina et al., 2001; Zainuddin et al., 2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi jumlah tangkapan ikan pelagis yang diperbolehkan dan 1 memetakan formasi daerah penangkapan yang potensial ikan tersebut berdasarkan data distribusi suhu permukaan laut yang diperoleh dari observasi Satelit AQUA/MODIS. Contact Person : Dr.Ir. Mukti Zainuddin, M.Sc Jurusan Perikanan FIKP Unhas Telp. (0411) 5047060, Fax (0411) 586025 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama lima bulan, Juni-September 2006 di wilayah perairan Kabupaten Selayar. Pengambilan data dilakukan dengan observasi langsung ke lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) dan fish finder untuk mengamati beberapa spot fishing grounds ikan pelagis yang potensial. Kegiatan wawancara juga dilakukan dengan nelayan. Untuk mengestimasi potensi sumberdaya ikan pelagis di sekitar perairan Selayar digunakan model produksi global yang dikembangkan Schaefer (1954). Data yang digunakan untuk analisis ini yaitu data time series hasil tangkapan (ton) ikan cakalang dan layang dan upaya penangkapan (trip standar) selama 10 tahun (1995-2004) yang bersumber dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Selayar dan Propinsi Sulawesi Selatan. Model Surplus Produksi untuk menduga potensi hasil tangkapan maximum lestari secara biologis dan JTB yang digunakan dalam penelitian ini (Schaefer dalam Sparre et al., 1989): CPUE = a – bf a2 MSY 4b Fopt a 2b JTB 80% MSY Keterangan: Fopt CPUE MSY JTB f a b = = = = = = = (1) (2) (3) (4) upaya optimum penangkapan MSY (hasil tangkapan per unit upaya) hasil tangkapan maximum lestari (ton) Jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan upaya penangkapan (trip) perpotongan (intercept) kemiringan (slope) Data kondisi oseanografi untuk estimasi suhu permukaan laut (SPL) dari bulan Juni sampai September 2006 (musim timur) diperoleh dari database NASA yaitu data dari satelit AQUA dan sensor MODIS (Moderate-Resolution Imaging Spectrometer) dengan resolusi spasial 4 km dan resolusi temporal bulanan (monthly average). Data SPL MODIS yang digunakan dalam penelitian ini adalah data binary level 3 Standad Mapped Image (SMI) dengan format HDF (Hierarchical Data Format). Potensi sumberdaya ikan pelagis penting 2 seperti ikan cakalang dan layang dipetakan dengan menggunakan kisaran suhu optimumnya (Tabel 1) setiap bulan untuk membuat prediksi sederhana tentang fishing ground-nya yang potensial. Untuk memplot secara spasial interval SPL optimum tersebut, dikembangkan algoritma dengan menggunakan program Interactive Data Language (IDL). Hasilnya kemudian dianalisis dan dipetakan dengan menggunakan SEADAS (SeaWiFS Data Analysis System) dan GMT (Generic Mapping Tool). Tabel 1. Kisaran suhu optimum ikan cakalang dan ikan layang yang digunakan untuk pemetaan formasi daerah penangkapan ikan Ikan pelagis besar Kisaran Suhu optimum (°C) Cakalang 28 - 29 Ikan pelagis kecil 21.15 – 28.6 Layang Sumber :Lehodey et al., 1997; 1998; www.fishbase.org HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi sumberdaya ikan cakalang dan layang di sekitar perairan Selayar cukup besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Maximum Sustainable Yield (MSY) untuk masingmasing spesies adalah 203 ton/tahun dan 734 ton/tahun (Lampiran 1 dan 2). Ini menunjukkan bahwa potensi ikan pelagis yang potensial ini perlu dimanfaatkan secara optimal dengan mengopersikan alat tangkap secara efektif dan efisien. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang di daerah penelitian adalah pancing joran (pole and line), pancing tonda (trolling line), rawai tuna (tuna long line). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan layang antara lain pukat cincin (purse seine), jaring insang (gill net), payang, bagan dan rawai. Sumberdaya ikan yang potensial tersebut dapat dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan mengembangkan sistem informasi geografis formasi daerah penangkapan ikan yang produktif. Informasi spasial fishing ground ini mengarah pada efisiensi operasi penangkapan ikan pelagis terutama ikan cakalang dan layang di sekitar Perairan Selayar. Secara spesifik hasil penelitian pendugaan potensi ikan pelagis menggambarkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan cakalang masih sekitar 15.39% dari jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) (Lampiran 1 dan 2). Tingkat ekploitasi untuk ikan layang masih berkisar 49.7% dari JTB. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat hasil tangkapan (produksi) masih perlu ditingkatkan guna memanfaatkan segenap potensi sumberdaya ikan yang ada di Perairan Selayar. Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di Indonesia, mekanisme pengelolaannya ditentukan oleh nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap telah ditetapkan 80% dari nilai MSY (DKP, 2005). Dengan mengelola upaya penangkapan ikan cakalang dan layang pada tingkat JTB, kesinambungan produksi yang optimal secara biologis bisa dipertahankan. Pada saat yang sama keuntungan yang diperoleh nelayan juga akan meningkat. Untuk mendapatkan hasil tangkapan pada level JTB, informasi tentang formasi daerah penangkapan ikan yang potensial dari waktu ke waktu sangat dibutuhkan oleh para stakeholders, khususnya nelayan. 3 Tabel 2. Hasil pengamatan suhu lapangan dan suhu yang diperoleh dari citra MODIS pada posisi bujur dan lintang daerah penelitian Bujur Lintang Suhu Lapangan Suhu Satelit 120°24'01" 6°07'31" 27.50 27.81 120°23'23" 6°10'01" 28.00 27.92 120°25'05" 6°15'06" 27.50 27.31 120°43'03" 6°09'06" 28.00 28.66 120°36'05" 6°10'09" 27.50 27.33 120°25'34" 6°46'03" 28.50 28.66 120°24'51" 6°12'49" 28.00 27.31 120°23'31" 6°09'31" 28.50 28.24 R 0.7 P 0.05 Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa suhu yang diperoleh dari observasi satelit AQUA/MODIS di daerah penelitian berkorelasi positif dan signifikan dengan suhu yang diamati di lapangan. Hal ini berarti bahwa meskipun jumlah data sampling yang relatif kurang karena kendala teknis di lapangan, kondisi nyata variasi suhu di lapangan dapat dijelaskan oleh data satelit pada tingkat akurasi tertentu (P=0.05). Dengan pertimbangan tersebut, sehingga data citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini dianggap konsisten untuk analisis daerah penangkapan ikan pelagis yang potensial di daerah penelitian. Keuntungan penggunaan data satelit untuk analisis daerah penangkapan ikan karena data tersebut dapat diakses dengan cepat dan sistematis serta dapat mengjangkau daerah yang relatif lebih luas (Synoptic). Dengan demikian variasi dan hubungan spasial antara daerah kajian dan sekitarnya dapat diamati kecenderungan dan perubahannya. 4 Gambar 1. Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu optimum permukaan laut untuk ikan cakalang di sekitar Perairan Kabupaten Selayar. Hasil penelitian menunjukkan formasi daerah penangkapan ikan cakalang pada periode musim timur (Juni-September) sangat bervariasi secara spasial dan temporal (Gambar 1). Ini mungkin menjadi salah satu alasan kenapa tingkat penangkapan aktual ikan cakalang masih jauh di bawah JTB. Ketidaktahuan tentang daerah potensial penangkapan ikan dan juga musim puncak adalah alasan utama kurang optimalnya tingkat pemanfaatan potensi ikan cakalang. Dari analisis peta SPL optimum ikan cakalang terlihat bahwa pada bulan Juni 2006, formasi daerah potensial (FDP) hanya berada di hampir semua Perairan Selayar. Sementara untuk bulan Juli-September (kwartal III) ikan ini lebih banyak berada di sekitar pantai barat Sul-Sel dan Teluk Bone. Secara khusus Gambar 1 memperlihatkan bahwa pada bulan Juli ikan cakalang cenderung menempati daerah Teluk Bone bagian selatan (4°-5.5°LS) dan beberapa mil di luar pantai perairan Pangkep sampai Makassar. Pada bulan Agustus 5 menuju ke utara Teluk Bone dan memanjang sepanjang panatai barat. Memasuki bulan September, prediksi ikan cakalang berbalik arah menuju lagi ke selatan wilayah Teluk Bone dan formasinya di pantai barat terlihat konstan. Tetapi pada bulan ini, suhu potensial untuk ikan cakalang muncul dari arah selatan yang berintrusi sekitar pulau Kalautoa pada posisi sekitar 7.2°-8°LS dan 121.3°-122.5°BT. Kenyataan ini membuktikan bahwa musim produktif ikan ini terjadi pada kwartal kedua khususnya pada bulan Juni (berdasarkan data penelitian ini). Hasil ini konsisten dengan data lapangan (observasi dan wawancara) serta data statistik DKP Selayar (2006), dimana puncak musim cakalang terjadi pada kwartal II (April-Juni) (Gambar 2). Gambar 2. Tingkat hasil tangkapan ikan cakalang (--●--) dan layang (--■--) pada setiap kwartal pada tahun 2006 di Perairan Selayar. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa potensi sumberdaya ikan cakalang yang ada di perairan Selayar merupakan sumberdaya temporer (tidak tetap) dan bukan merupakan sumberdaya endemik daerah tersebut. Ikan ekonomis penting ini hanya melakukan lintasan di daerah Selayar pada waktu dan tempat tertentu, yaitu salah satunya di bulan Juni. Dari pantai barat Sul-Sel, ikan ini bergerak menuju Teluk Bone melalui selat antara Pulau Selayar dan Wilayah Bulukumba dan juga diduga melalui Pulau sekitar Tambolongan, Jampea dan Bonerate. Jalur migrasi ikan cakalang berdasarkan hasil penelitian ini diduga mengikuti pergerakan aliran arus ITF (Indonesian Throughflow) di sekitar Pulau Sulawesi yaitu dari Selat Makassar (pantai barat Sul-Sel) melalui Laut Flores (sekitar perairan Selayar) menuju Teluk Bone atau menuju Samudera Hindia melalui selat Lombok. Ikan cakalang masuk ke daerah penelitian diduga melalui Selat Makassar dan Laut Flores bagian tenggara sekitar Pulau Kalautoa seperti terlihat pada bulan September (Gambar 1). 6 Gambar 3. Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan Suhu optimum Permukaan Laut untuk ikan layang di sekitar Perairan Kabupaten Selayar. Berdasarkan penelitian terlihat bahwa potensi ikan layang yang mencapai sekitar 734.9 ton/tahun umumnya menempati Perairan Selayar pada musim timur kecuali pada bulan Agustus (Gambar 3). Pada bulan ini ikan layang menyebar pada berbagai lokasi yaitu berada pada Teluk Bone bagian selatan, sekitar perairan Makassar dan bagian selatan wilayah perairan Selayar. Hal ini berarti ikan layang bersifat endemik (cenderung lebih sering dijumpai) di daerah penelitian. Secara spesifik terlihat bahwa pada bulan Juni ikan layang berada pada lokasi yang spesifik yaitu pantai barat dan timur Pulau Selayar, sebelah timur Pulau Tambolongan dan Pulau Polassi serta di Kepulauan Takabonerate. Fakta ini menunjukkan bahwa dengan area yang relatif terbatas di Perairan Selayar ikan ini dapat dieksploitasi dengan densitas yang tinggi, sehingga hasil tangkapan dapat diperoleh dalam jumlah yang relatif lebih besar. Hal ini dibuktikan dengan data statistik kwartal II tahun 2006 7 dimana hasil tangkapan layang tertinggi diperoleh pada periode tersebut (Gambar 2). Pada bulan Juli daerah potensial ikan ini menempati sekitar 2/3 daerah kajian, tetapi pada bulan Agustus justru ikan layang tidak berada di wilayah perairan Selayar. Sementara untuk bulan September atau akhir musim Timur ikan layang kembali menyebar luas dengan indikasi wilayah optimum menyebar kemana-mana, sehingga memungkinkan nelayan tidak efisien mencari gerombolan ikan untuk ditangkap. Dengan kondisi pada bulan Juli-September tersebut, nelayan tidak bisa memperoleh ikan layang dalam jumlah yang besar. Hal ini konsisten dengan data statistik dimana hasil tangkapan pada kwartal III yang cenderung mengalami penurunan (Gambar 2). KESIMPULAN DAN SARAN Daerah potensial untuk memprediksi keberadaan potensi ikan pelagis seperti ikan cakalang dan layang dapat dipetakan dengan menggunakan citra satelit infrared MODIS. Pemetaan ini didasarkan pada SPL optimum untuk masing-masing ikan yang telah diteliti sebelumnya. Penelitian ini memperlihatkan bahwa hasil tangkapan yang relatif besar pada bulan Juni konsisten dengan kondisi SPL optimum ikan. Kemampuan dalam memetakan potensi ikan diharapkan dapat membantu nelayan dalam menangkap ikan di laut dengan efektif dan efisien dalam batasan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC). Guna mempertajam akurasi penelitian, penggabungan beberapa parameter oseanografi dalam melakukan prediksi perlu dikembangkan dan diuji dengan model kuantitatif dan dalam waktu yang lebih representatif terhadap keberadaan ikan. 8 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Hasil Tangkapan Lestari Ikan Cakalang di Perairan Laut Kabupaten Selayar. Catch Effort CPUE Intercept Slope MSY JTB Pemanfaatan Tahun (ton) standar standar (ton) (ton) -6 1995 25.8 378.5714 0.068151 0.0698 6x10 203 162.4 15.39 % 1996 20.4 378.5714 0.053887 1997 20.4 321.4286 0.063467 1998 21 321.4286 0.065333 1999 21.8 321.4286 0.067822 2000 23.3 321.4286 0.072489 2001 24.4 328.5714 0.074261 2002 29.4 392.8571 0.074836 2003 27.7 392.8571 0.070509 2004 25 385.71 0.064815 Keterangan: JTB : jumlah tangkapan yang diperbolehkan Lampiran 2. Perhitungan Hasil Tangkapan Lestari Ikan Layang di Perairan Laut Kabupaten Selayar. Catch Effor CPUE Intercept Slope MSY JTB Pemanfaatan Tahun (ton) standar standar (ton) (ton) 1995 247.1 249.4241 0.990682 0.9391 0.0003 734.9 587.9 49.7 % 1996 224.2 259.3717 0.864396 1997 188.3 259.3717 0.725985 1998 186.7 259.3717 0.719816 1999 189.7 217.7847 0.871044 2000 203.8 233.888 0.871357 2001 215.8 239.3625 0.901561 2002 254.8 276.9359 0.920068 2003 250.1 278.8339 0.89695 2004 292.3 276.5687 1.05688 9 DAFTAR PUSTAKA Dinas Perikanan Kabupaten Selayar. 2006. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten Selayar. Benteng. Dinas Perikanan Propinsi Dati I Sulawesi Selatan. 1996-2005. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan. Makassar. .Lehodey, P., Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A. and Picaut, J. 1997. El Niño southern oscillation and tuna in the western Pacific. Nature 389:715-718. Lehodey, P., Andre, J.M., Bertignac, M. et al. 1998. Predicting skipjack tuna forage distributions in the equatorial Pacific using a coupled dynamical bio-geochemical model. Fish. Oceanogr. 7: 317-325. Mallawa, A. Najamuddin, Zainuddin, M., Musbir, Safruddin, dan Fahrul. 2006. Studi Pendugaan Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten Selayar. Kerjasama Litbang Kabupaten Selayar. Selayar. Polovina, J.J., Howel, E., Kobayashi, D.R. and Seki, M.P., 2001. The transition zone chlorophyll front, a dynamic global feature defining migration and forage habitat for marine resources. Progress in Oceanography 49: 469-483. Sparre, P., E. Ursin and S. C. Venema. 1989. Introduction to tropical fish stock assessment. Part I – Manual. FAO Fisheries Technical Paper 306/1. FAO of the UN. Rome. Venema, S. C., 1997. The Assessment of the Potential of the Marine Fishing Resources of Indonesia. Report on the Indonesia/FAO/Danida Workshop FAO-UN, Rome Zainuddin, M, Kiyofuji, H, Saitoh, K and Saitoh, S. 2006. Using multi-sensor satellite remote sensing and catch data to detect ocean hot spots for albacore (Thunnus alalunga) in the northwestern North Pacific. Deep-Sea Research II, 53: 419-431. 10