Pembangunan jalan layang non tol di beberapa lokasi strategis

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mengurangi kemacetan, sejak 22 November 2010 silam
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membangun dua ruas jalan layang
non tol yakni ruas Antasari-Blok M, dan ruas Kampung Melayu-Tanah Abang.
Target pengerjaan dilaksanakan selama 630 hari atau 1 tahun 7,5 bulan
dengan masa perawatan selama 180 hari. Total nilai proyek pembangunan tersebut
adalah sebesar Rp 737 miliar yang dibagi tiga proyek. Sedangkan jalan layang non
tol Antarasi-Blok M akan menelan dana Rp 1,28 triliun. Kedua proyek jalan
layang non tol ini diperkirakan akan selesai menjelang akhir 2012.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas PU DKI Jakarta,
pembangunan jalan layang non tol Kampung Melayu-Tanah Abang diproyeksikan
akan mampu mengurai kemacetan lalu lintas hingga 30 persen di kawasan
Casablanca, Kuningan, dan Karet. Walaupun demikian, pembangunan jalan
layang non tol ini menimbulkan banyak protes di kalangan masyarakat.
Warga memperotes bahwa pembangunan jalan layang tersebut telah
menyalahi Perda No 6 tahun 1999, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) DKI Jakarta, dan tidak sesuai dengan analisis mengenai dampak
lingkungan (Amdal).
Warga menyayangkan ditebangnya ratusan pohon demi membangun
infrastruktur tersebut. Sebanyak 544 pohon akan ditebang di sepanjang Jl Antasari
hingga Jl Patimura. Pohon-pohon yang berusia di atas 20 tahun, sudah ditebang
semuanya Dan sedikitnya 10 pohon jenis Angsana berdiameter 40 sampai 60 cm
harus ditebang karena mengganggu pemasangan tiang pancang jalan layang
tersebut.
Padahal salah satu kelebihan Jl Antasari adalah suasana sejuk di sepanjang
jalan itu, yang sangat menyenangkan. Sekalipun matahari sedang terik, pepohonan
yang rimbun sepanjang jalan membuat siapapun yang melewati ruas itu seperti
berada di sebuah avenue. Sebab di kiri kanan ruas jalan itu tumbuh pepohonan
2
rindang. Akibat pembangunan itu, Jl Antasari sudah berubah total. Selain
bertambah macet, juga menjadi salah satu titik gersang di ibukota. Rumah-rumah
kediaman yang tadinya terlihat asri di sepanjang jalan itu, kini sudah kehilangan
estetikanya.
Lalu mengenai pembangunan jalan layang di Jl Dr Satrio, Casablanca,
siapapun mengetahui bahwa kawasan ini sudah menjadi salah satu pusat bisnis
ibukota. Berapa besar transaksi bisnis yang terjadi di kawasan ini, tidak pernah
dihitung. Namun dengan penutupan akses ke daerah itu, sudah pasti kegiatan
bisnis akan terganggu. Dan terkait dengan dana yang dikeluarkan untuk
pembangunan jalan layang ini, salah satu media online melaporkan bahwa biaya
tersebut belum diaudit apakah wajar ataukah terjadi penggelembungan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kelompok kami merasa tertarik
untuk membahas:
1. Apakah kebijakan pembangunan jalan layang non tol Antasari Blok M dan
Kp Melayu- Tanah Abang sesuai dengan etika lingkungan?
2. Apakah pembangunan jalan layang merupakan solusi dalam mengatasi
kemacetan di Jakarta?
1.2.
Landasan Teori
1.2.1. Etika
Secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya:
ta etha) yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam arti ini, etika
berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik,
baik pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini,
dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Kebiasaan hidup
yang baik ini lalu dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma yang
disebarluaskan, dikenal, dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam
masyarakat. Kaidah, norma atau aturan ini pada dasarnya menyangkut baik
buruk prilaku manusia. Singkatnya kaidah ini menentukan apa yang baik
harus dilakukan dan apa yang buruk harus dihindari. Oleh karena itu etika
3
sering dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana
manusia hidup baik sebagai manusia. Atau, etika dipahami sebagai ajaran
yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku
manusia, yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus
dihindari.
Kaidah,
norma,
atau
aturan
ini
sesungguhnya
ingin
mengungkapkan, menjaga dan melestarikan nilai tertentu, yaitu apa yang
dianggap baik dan penting oleh masyarakat tersebut ingin dikejar dalam
hidup ini. Dengan demikian etika juga berisikan nilai-nilai dan prinsipprinsip moral yang harus dijadikan pegangan dalam menuntun perilaku.
Sekaligus berarti etika member criteria bagi penilaian moral tentang apa
yang harus dilakukan dan tentang apakah suatu tindakan dan keputusan
dinilai baik atau buruk secara moral. Kriteria ini yang dianggap sebagai
nilai dan prinsip moral. Dari pengertian tersebut, etika secara lebih luas
dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
sebagai orang yang baik. Etika member petunjuk, orientasi, arah
bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia.
Pengertian etika berbeda dengan etiket. Etika di sini berarti moral dan
etiket berarti sopan santun. (K.Betens, 1993:8)
1.2.2. Etika Lingkungan Hidup
Hampir semua filsuf moral yang berpandangan antroposentris
melihat etika lingkungan hidup sebagai sebuah disiplin filsafat yang
berbicara mengenai hubungan moral antara manusia dengan lingkungan
atau alam semesta, dan bagaimana perilaku manusia yang seharusnya
terhadap lingkungan hidup.
Etika lingkungan hidup disini dipahami sebagai disiplin ilmu yang
berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku
manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai prinsip moral yang
menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut.
Berbeda dengan pendekatan antroposentris, perkembangan baru dalam
etika lingkungan hidup menuntut perluasan cara pandang dan perilaku
moral manusia dengan memasukkan lingkungan hidup atau alam semesta
4
sebagai bagian dari komunitas moral. Etika lingkungan hidup lalu
memasukkan pula semua makhluk nonmanusia ke dalam perhatian moral
manusia. Dengan kata lain, etika lingkungan hidup tidak hanya dipahami
dalam pengertian yang sama dengan pengertian moralitas. Etika
lingkungan hidup lebih dipahami sebagai sebuah kritik atas etika yang
selama ini dianut manusia, yang dibatasi pada komunitas sosial manusia.
Etika lingkungan hidup menuntut agar etika dan moralitas tersebut
diberlakukan juga bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis. Selain
itu, etika lingkungan hidup juga dipahami sebagai refleksi kritis tentang
apa yang harus dilakukan manusia dalam menghadapi pilihan-pilihan
moral yang terkait dengan isu lingkungan hidup. Juga, apa yang harus
diputuskan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dan politiknya yang
berdampak pada lingkungan hidup. Ini berrarti, etika lingkungan hidup
tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam. Etika
lingkungan hidup juga berbicara mengenai relasi di antara semua
kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang
mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup
lain
ata
dengan
alam
secara
leseluruhan.
Termasuk di dalamnya, berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang
mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap alam.
Terdapat 3 paham teori lingkungan hidup (Keraf:2010), yaitu:
a. Antroposentrisme
Adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam
kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung.
Nilai teritnggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya
manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala
sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat
nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan
5
manusia. Oleh karena itu, alam pun dinilai hanya sebagai
obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan
manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Bagi teori antroposentisme, etika hanya berlaku bagi manusia.
Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan
tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup
dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan
tidak pada tempatnya.
Selai bersifat antroposentris, etika ini sangat instrumentalistik,
dalam pengertian pola hubungan manusia dan alam dilihat
hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi
kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap
peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi
menjamin
kebutuhan
hidup
manusia,
bukan
karena
pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri
sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu
sendiri tidak berguna bagi kepentingan manusia, alam akan
diabaikan begitu saja. Teori semacam ini juga bersifat egoistis,
karena hanya mengutamakan kepentingan manusia.
Karena berciri instrumentalistik dan egoistis, teori ini dainggap
sebagai sebuah etika lingkungan hidup yang dangkal dan
sempit (shallow environmental ethics).
b. Biosentrisme
Biosentrisme
menolak
paham
antroposentrisme.
Bagi
biosentrisme, tidak benar bahwa hanya manusia yang
mempunyai nilai. Alam juga mempunyai nilai bagi dirinya
sendiri lepas dari kepentingan manusia.
Ciri utama etika ini adalah biocentric, karena teori ini
menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai
nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini menganggap
serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta.
6
Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga
pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral.
Alam perlu diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia
bernilai bagi manusia atau tidak. Karena yang menjadi pusat
perhatian dan yang dibela oleh teori ini adalah kehidupan,
secara moral, berperilaku prinsip bahwa setiap kehidupan di
muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama sehingga
harus dilindungi dan diselamatkan. Teori ini mendasarkan
moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau
pada makhluk hidup lainnya. Karena bernilai bagi dirinya
sendiri, kehidupan harus dilindungi. Untuk itu, diperlukan etika
yang berfungsi menuntun manusia untuk bertindak secara baik
demi menjaga dan melindungi kehidupan tersebut.
c. Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan
hidup
biosentrisme.
ekosentrisme
sering
Sebagai
disamakan
kelanjutan
begitu
biosentrisme,
saja
dengan
biosentrisme. Kedua teori ini mendobrak cara pandang
antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya
pada komunitas manusia.
Pada biosentrisme. Etika diperluas untuk mencakup komunitas
biotis. Sementara pada ekosentrisme, etika diperluas untuk
mencakup komunitas ekologis seluruhnya.
1.2.3.
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhannya. (N.H.T. Siahaan,2004:147).
7
1.2.4.
Kota, Alam, dan Keberadaban
Kota adalah ruang geografis dan bentuk-bentuk fisis (Latin: urbs)
sekaligus civitas- kewargaan.
Warga kota atau civis menurunkan pengertian civilitas, yang
diterjemahkan sebagai keberadaban. Dengan pemahaman ini, city, cite, citta,
atau kota adalah situs dari civilitas. Apa yang sangat khas dari pengertian
kota dalam artinya yang paling asali adalah ‘keberadaban”.
Dan bahwa seluruh infrastruktur kota adalah demi menciptakan
keberadaban, termasuk di dalamnya adalah mendefinisikan kembali ‘alam’
dan yang ‘alami dalam konteks keberadaban itu. Dengan pemahaman ini,
alam dan budaya atau lingkungan alami dan lingkungan termanufaktur yang
terdapat di kota, tidak mungkin dimengerti dan ditangani secara sendirisendiri. Alam di kota bukan sempalan dari kota maupun dari keberadaban
dan ketidakberadabannya. (Karlina Supelli, 2009:16-17)
8
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.
Etika Lingkungan dalam Pembangunan Jalan Layang Non Tol
Kota menjadi gambaran kontras antara kebudayaan dan alam. Di satu sisi,
kota seolah-olah menjadi cermin bagi keharusan (imperatif) kebudayaan atas alam
yang liar dan tidak terkontrol. Di lain sisi, kota dan peradaban urban dipandang
sebagai penghancuran atas segala sesuatu yang alami yang pada dirinya dinilai
tidak lebih daripada peradaban. Faktanya, kota-kota tumbuh menjadi kawasan
ambigu keberadaban sekaligus ketidakberadaban (Karlina Supelli, 2009:3)
Pembangunan jalan layang di jalan Antasari dan jalan Dr.Satrio, memang
sudah tidak mungkin dihentikan. Tapi ini tidak berarti masyarakat berhenti
melakukan pemantauan terutama dalam menyoroti kebijakan publik. Karena
Jakarta sebagai ibukota RI juga perlu memiliki estetika. Tapi jika pembangunan
infra-struktur hanya didasarkan pada ‘kerakusan untuk memiliki proyek’, maka
Jakarta akan menjadi kota tanpa estetika akibat hadirnya proyek akal-akalan
tersebut.
Pemda DKI Jakarta seharusnya dapat belajar dari visi Walikota Surabaya.
Dimana ia menentang pembangunan infra-struktur di dalam kota, sekalipun ia
harus menghadapi risiko pemakzulan dari DPRD Kodya Surabaya. Sebab, yang
ingin dipertahankan Walikota Surabaya adalah menjaga estetika ibukota provinsi
Jawa Timur tersebut.
Penebangan pohon-pohon dalam rangka pembangunan jalan layang
tersebut jelas melanggar etika lingkungan dimana telah dijelaskan di atas sebagai
norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan
dengan alam serta nilai prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam
berhubungan dengan alam tersebut.
Pohon-pohon sepanjang jalan Antasari dan Dr Satrio, tak hanya berfungsi
untuk mempercantik kota namun juga sebagai paru-paru kota yang mampu untuk
mengurangi polusi udara. Selain itu dapat mencegah terjadinya banjir di dua
daerah tersebut.
9
Menanggapi protes masyarakat berkaitan dengan penebangan pohon
tersebut, Kepala Seksi Pertamanan Kecamatan Kebayoran Baru Anwar Saleh
menjelaskan bahwa 544 pohon yang akan ditebang ataupun dipindahkan dari
Jalan Antasari sampai Jalan Patimura sudah mendapat izin dari Dinas Pertamanan
dan Pemakaman DKI Jakarta.
Ia juga menambahkan bahwa penebangan pohon itu akan ditindaklanjuti
dengan kompensasi berupa penanaman pohon kembali, berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta nomor 09
tahun 2002 tentang keharusan untuk menanam pohon dan tanaman hias, serta
prosedur persyaratan untuk mengganti pohon yang ditebang. Setiap satu pohon
yang ditebang maka harus diganti dengan 10 pohon lainnya. Pohon pengganti ini
baru akan ditanam setelah pengerjaan jalan layang non tol ini selesai dan jika
masih memungkinkan, pohon tersebut akan ditanam di lokasi yang sama atau jika
tidak akan ditanam di lahan sekitar lokasi yang terlihat gersang.
Walau demikian masyarakat harus terus memantau amdal dua jalan layang
yang sedang dibangun tersebut, agar apa yang dilakukan tidak menambah
permasalahan baru.
Pembangunan
kota
Jakarta
hendaknya
mengacu
pada
prinsip
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yakni harus memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang dalam memenuhi kebutuhannya.
2.2.
Pembangunan Jalan ≠ Mengatasi Kemacetan
Menurut penelitian dari Victoria Transport Policy Institute Penambahan
ruas jalan tidak akan menyelesaikan kemacetan. Seperti digambarkan pada grafik
di bawah ini
10
Traffic grows when roads are uncongested, but the growth rate declines as
congestion develops, reaching a self-limiting equilibrium (indicated by the curve
becoming horizontal). If capacity increases, traffic grows until it reaches a new
equilibrium. This additional peak-period vehicle travel is called “generated
traffic.” The portion that consists of absolute increases in vehicle travel (as
opposed to shifts in time and route) is called “induced travel.”
Studi kasus di Korea Selatan pun menunjukkan bahwa penyebab utama
jalanan tidak macet adalah karena kendaraan pribadi tidak selalu digunakan.
Warga Korea Selatan lebih memilih menggunakan transportasi masal, karena
lebih nyaman, tepat waktu, aman, tarif ekonomis, dan menjangkau seluruh
pelosok kota.
Di Indonesia, transportasi masal yang demikian sepertinya hanya mimpi,
saat ini warga Jakarta lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dari
pada menggunakan kendaraan umum. Transportasi masal di Jakarta bahkan bisa
dibilang sangat tidak manusiawi. Kereta Api Listrik misalnya, gangguangangguan pada transportasi ini kerap terjadi. Mogok, gangguan sinyal, pendingin
di dalam gerbong tidak berfungsi serta kapasitas menampung penumpang yang
minim. Contoh lain adalah bus transjakarta, walaupun fasilitas dalam bus sudah
cukup memadai namun masyarakat tetap dikecewakan karena armada bus yang
masih jarang sehingga masyarakat harus mengantri lama jika ingin menggunakan
bus transjakarta. Belum lagi jalur bus yang tidak steril dari kendaraan pribadi
membuat kelancaran bus transjakarta terhambat.
Pergerakan orang tidak dapat dihindarkan karena perencanaan tataruang
yang buruk. Dan solusinya pun bukan dengan penambahan infrastruktur jalan.
Karena penambahan infrastruktur jalan, tetap menuntut masyarakat menyediakan
kendaraan pribadinya sendiri. Yang diperlukan masyarakat adalah angkutan
umum masal yang aman, nyaman, cepat dan menjangkau pemukiman serta tempat
kegiatan.
11
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan dan Saran
Pembangunan jalan layang non tol di beberapa lokasi strategis Jakarta,
akan bisa menjadi solusi mengatasi kemacetan lalu lintas jika diikuti dengan
pembangunan sarana transportasi massal, sehingga penggunaan kendaraan pribadi
dapat dibatasi.
Menurut peneliti Lembaga Studi Sosial, Lingkungan dan Perkotaan
(LS2LP) Paulus Londo, kemacetan lalu lintas, tidak bisa diatasi hanya dengan
membangun jaringan jalan baru, baik jalan di atas permukaan maupun jalan
bersusun tingkat. Karena berapapun ruas jalan yang dibangun, jika tidak diikuti
dengan pengaturan lainnya seperti pembatasan kendaraan pribadi dengan
memaksimalkan sarana transportasi massal, kemacetan akhirnya akan kembali
menghantui.
Selain itu, ruang kota juga harus ditata dengan baik dengan menyebarkan
pusat-pusat aktivitas masyarakat. Dan yang paling penting adalah perubahan
sistem dan perilaku masyarakat dalam berkendaraan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Keraf, A.Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas : Jakarta. 2010
Betens, K. Etika. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. 1993
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Erlangga:
Jakarta. 2004
Karlina Supelli, Kota dan Alam. Rangkaian Studium Generale Kerjasama GoetheInstitut Jakarta dan STF Driyarkara: Jakarta. 20 Agustus 2009
http://matanews.com/2011/02/21/jalan-layang-non-tol-atasi-macet-jakarta/
http://www.inilah.com/read/detail/1411042/pembangunan-infrastruktur-di-dkiperlu-dicurigai
http://berita.liputan6.com/ibukota/201012/309331/Jalan.Layang.Non.Tol.Sedot.Bi
aya.Rp.737.Miliar
http://jalanlayangjakarta.blogspot.com/2011/01/544-pohon-ditebang-demiproyek-jalan.html
Download