(Decapterus spp) Di Antara Perairan Selat Makasar

advertisement
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp)
2.1.1 Morfologi
Ikan layang atau bahasa latinnya Decapterus spp atau bahasa Inggrisnya
scads tergolong ke dalam kelompok ikan-ikan pelagis kecil. Saanin (1984)
mengemukakan sistematika ikan layang (Decapterus spp) sebagai berikut:
Kelas
: Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo : Percoidae
Devisi
: Carangi
Famili : Carangidae
Sub Famili : Caranginae
Genus : Decapterus
Spesies : D. russelli, (Ruppel)
D. macrosoma, (Bleeker)
D. kurroides, (Bleeker)
D.
maruadsi,
(Temminck
Schlegel)
a
b
Gambar 1 D. macrosoma (a) dan D. russelli (b)
Sumber: Sawada (1980)
dan
Di kawasan perairan Indonesia terdapat empat spesies ikan layang yaitu
D. ruselli, D. maruadsi, D. macrosoma (D. lajang) dan D. kurroides
(Burhanuddin et al. 1983). Menurut Atmaja et al. (1987) dan Widodo (1998),
berdasarkan hasil tangkapan dan nilai ekonomis, sumberdaya ikan layang di
perairan utara Laut Jawa didominasi oleh D. ruselli (layang atau round scad) dan
D. macrosoma (layang deles atau layang scad).
Ikan layang secara umum memiliki ciri-ciri yang membedakan kelompok ini
dari ikan-ikan pelagis kecil lainnya. Menurut Asikin (1971), Saanin (1984) dan
Nurhakim et al. (1987), ciri-ciri umum ikan layang adalah:
(1) Bentuk badan bulat memanjang berbentuk cerutu ataupun agak gepeng
(2) Memiliki sisik yang sangat halus
(3) Mempunyai dua buah finlet (sirip tambahan) yang terletak pada belakang
sirip punggung dan sirip dubur
(4) Mempunyai totol hitam pada tepian penutup insang
(5) Panjang tubuh ikan dewasa berkisar antara 20-25 cm, namun dapat juga
mencapai 30 cm.
Menurut Asikin (1971) dan Saanin (1984) ikan layang memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
(1) Sangat menyukai kadar salinitas yang tetap (stenohaline organisme)
(2) Tergolong kedalam jenis pemakan plankton dan memiliki kebiasaan makan
pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam
(3) Hidup membentuk gerombolan besar (schooling), pada jarak sekitar
20-30 mil dari perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan
berkedalaman kurang dari 100 m
(4) Merupakan perenang cepat dan aktif, namun pada daerah yang sempit atau di
sekitar benda-benda terapung rumpon misalnya, aktivitas akan berkurang
saat membentuk gerombolan
(5) Pada siang hari gerombolan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan
pada malam hari kembali ke lapisan atas perairan
(6) Adakalanya sifat bergerombol bergabung dengan jenis lain seperti bawal
(Stromateus spp), kembung (Rastrelliger spp), selar (Caranx spp) dan
tembang (Sardinella spp).
Ikan layang yang memiliki tingkah laku tersebut dapat melakukan
kemampuan migrasi yang aktif dan memiliki daerah distribusi yang sangat luas di
perairan Indonesia, salah satunya di Laut Jawa (Burhanuddin et al. 1983).
2.1.2 Ruaya (migrasi) dan sebaran (distribusi) pada musim timur
di Laut Jawa
Ruaya (migrasi) adalah kegiatan pergerakan ikan dengan alasan tertentu,
dengan jarak yang pendek maupun jauh dari daerah habitat asal menuju suatu
daerah perairan yang cocok oseanografinya dengan kondisi biologis ikan tersebut.
Selama musim peralihan timur hingga musim timur atau pada Juni-Agustus
anakan ikan layang (immature) yang berasal dari habitatnya di Laut Flores dan
Selat Makasar bergerak ke barat menuju ke Laut Jawa. Di sekitar perairan Pulau
Bawean ikan layang telah menjadi dewasa meneruskan kegiatan ruaya (migrasi)
ke barat melalui Selat Gaspar dan Selat Sunda untuk kembali ke habitat asal
(Asikin, 1971; Burhanuddin dan Djamali, 1978).
Burhanuddin et al. (1983) telah membuat peta secara khusus mengenai
ruaya (migrasi) ikan layang sepanjang musim di Laut Jawa dan ruaya (migrasi)
yang terjadi pada musim timur dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2 Migrasi ikan layang di bulan Juli hingga September pada musim
timur. Sumber: Burhanuddin et al. (1983)
Kegiatan ruaya (migrasi) menyebabkan terjadinya sebaran (distribusi) ikan
layang pada kawasan Laut Jawa. Asikin (1971) dan Sadhotomo et al. (1983),
menjelaskan bahwa ikan layang yang berasal dari Laut Flores dan Selat Makassar
menyebar di sekitar perairan Pulau Bawean, Kepulauan Karimun Jawa,
Pekalongan, Tegal dan Cirebon.
Ada empat parameter oseanografi yang mempengaruhi ruaya (migrasi) dan
sebaran (distribusi) ikan layang di Laut Jawa, yaitu: salinitas perairan, suhu
permukaan laut (SPL), kelimpahan makanan dan arus laut. Ikan layang melakukan
ruaya (migrasi) mengikuti kadar garam bersalinitas tinggi (Burhanuddin et al. 1983).
Ikan layang sangat menyukai salinitas antara 32-34 ‰ (Djamali, 1995) dan
menurut Asikin (1971), pada musim timur ikan layang bergerak mengikuti massa
air bersalinitas tinggi antara 32-33,75 ‰ yang mengalir dari Laut Flores dan Selat
Makasar masuk ke Laut Jawa. Menurut Lursinap (1970), salinitas optimum ikan
layang berkisar antara 32-32,5 ‰.
Laevastu dan Hela (1970) menyatakan ikan layang biasanya memijah pada
perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu sebesar 17
O
C. Suhu selang
ditribusi ikan layang berkisar antara 12-25 OC, sedangkan suhu optimum ikan
layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20-30 OC.
Menurut Asikin (1971) migrasi layang dipengaruhi secara langsung oleh
migrasi massal fitoplankton yang kemudian diikuti oleh zooplankton. Biasanya
pada daerah yang kaya fitoplankton dan zooplankton, keberadaan ikan sangat
melimpah (Reddy, 1993).
Menurut Nontji (1993), kelimpahan ikan layang di Laut Jawa selama musim
timur dapat saja dipicu oleh proses upwelling di bagian selatan Selat Makasar
yang membawa kelimpahan plankton yang tinggi, proses upwelling ini disebabkan
adanya pertemuan arus dari Selat Makasar dan Laut Flores bergabung kuat dan
menjadi satu menuju Laut Jawa.
Adanya proses front yaitu pertemuan massa air Laut Jawa yang agak hangat
dengan massa air Samudera Hindia yang agak dingin dapat memperkaya nutrient
perairan sehingga memicu kelimpahan plankton dan ikan layang (BML LAPAN, 1997).
Pola arus berperan secara tidak langsung dalam migrasi ikan layang, karena
sebenarnya arus membawa massa air laut dengan kadar salinitas tertentu yang
cocok dengan ikan layang (Asikin, 1971).
2.2
Deskripsi Umum Alat Tangkap Purse seine
Purse seine atau yang disebut pukat cincin merupakan alat penangkap ikan
dari jenis surrounding net atau jaring lingkar. Menurut Ayodhyoa (1981) pukat
cincin sering disebut dengan jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut waktu
dioperasikan menyerupai kantong atau jaring kolor. Konstruksi pukat cincin
terdiri dari bagian kantong, badan, sayap, selvedge, pelampung, tali ris atas,
pemberat, tali ris bawah, cincin, tali cincin, tali kolor dan tali selambar. Prinsip
penangkapan purse seine adalah dengan melingkari gerombolan ikan dengan
jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan sehingga ikan akan terkurung
dan terkumpul di bagian kantong.
Alat bantu rumpon dan lampu sorot dipergunakan untuk menarik
gerombolan ikan ke arah jaring, ketika operasi penangkapan dilakukan pada
malam hari tanpa ada cahaya bulan. Operasi ini dilakukan mengikuti sifat ikan
layang yang termasuk ke dalam fototaksis positif dan pada malam hari selalu
berada pada lapisan atas perairan. Kondisi arus selama operasi penangkapan diharapkan
berada pada kecepatan kurang dari 2 knot (Trimulyo H 12 Agustus 2006, komunikasi pribadi).
Tujuan
penangkapan
purse
seine
adalah
ikan-ikan
pelagis
yang
bergerombol, berenang di dekat permukaan air dan memiliki densitas schooling
yang tinggi. Ikan-ikan yang menjadi tangkapan dari purse seine ini, antara lain:
layang
(Decapterus
spp),
cakalang
(Katsuwonus
pelamis),
kembung
(Rastrelliger spp), tembang (Sardinella spp) dan selar (Selaroides spp).
2.3
Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis untuk Daerah Penangkapan Ikan
2.3.1 Penginderaan Jauh (Indraja) satelit
National oceanic atmosperic administration (NOAA) merupakan program
penginderaan jauh satelit untuk lingkungan kelautan yang dimulai sejak
tahun 1960-an oleh negara Amerika Serikat yang pada awalnya bernama program
television infrared observation satellite (TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA
masih mengoperasikan lima satelit dengan seri NOAA-12, 14, 15, 16 dan 17.
Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833 km
di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit
serial NOAA memanfaatkan sensor advanced very high resolution radiometer
(AVHRR).
Sementara itu pada tahun 1988, badan antariksa Cina meluncurkan satelit
lingkungan kelautan Fengyun-1 (FY-1 A) dan programnya terus berlanjut higga
peluncuran satelit FY-1 D pada bulan Mei 2002. Satelit Fengyun tersebut
memiliki spesifikasi orbitnya mirip NOAA dan memilki sensor multispectral
visible and infrared scan radiometer (MVISR) dengan 10 kanal (band).
Selain perbedaan dari jenis sensor, FY-1 memiliki 3 kanal yang dapat
dipergunakan untuk kegiatan pendugaan sebaran klorofil-a (fitoplankton) dan
kekeruhan di perairan. Gambar 3 serta Tabel 1 dan 2 berikut ini menunjukkan
beberapa perbedaan dan persamaan kedua satelit beserta sensor yang dibawanya:
b
a
Gambar 3 Satelit NOAA-AVHRR (a) dan Satelit FY-1 MVSIR (b)
Sumber: Kushardono (2003)
Tabel 1 Karakteristik satelit NOAA dan FY-1
Karakteristik
NOAA
FY-1
Jumlah satelit yang masih
beroperasi
Orbit
5 satelit (NOAA-12, 14, 15,
16, 17)
Polar
(sun-synchronous)
833 km
2 satelit (FY-1 C, FY-1 D)
Polar
(sun-synchronous)
863 Km
102 menit
2048 piksel (pixel)
1,1 km (nadir)
10 bits/data
102,3 menit
2048 piksel (pixel)
1,1 km (nadir)
10 bits/data
Ketinggian orbit dari
permukaan bumi
Periode pengulangan
Lebar sapuan data
Resolusi spasial
Resolusi radiometrik
Sumber: Kushardono (2003)
Tabel 2 Perbandingan kanal sensor antara AVHRR dan MVISR
Kanal
Panjang
Gelombang Sensor (µm)
AVHRR
MIVSR
1
0,58-0,68
0,58-0,68
2
3
0,84-0,89
4
0,725-1,10
A. 1,57-1,64
B. 3,55-3,93
10,5-11,5
10,3-11,3
5
11,5-12,5
11,5-12,5
6
7
8
9
10
-
1,58-1,64
0,43-0,48
0,48-0,53
0,53-0,58
0,90-0,985
3,55-3,95
Keutamaan
Kecerahan awan, tutupan es dan salju,
tutupan vegetasi
Kecerahan awan dan tutupan vegetasi
Sumber panas, kecerahan awan malam
hari
Suhu Permukaan Laut harian
(malam/siang), Kecerahan awan
Suhu Permukaan Laut harian
(malam/siang), Kecerahan awan
Kepadatan tanah
Warna laut (klorofil-a)
Warna laut (klorofil-a)
Warna laut (klorofil-a)
Kekeruhan perairan
Sumber: Kushardono (2003)
Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada
umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap
parameter suhu permukaan laut (SPL) dan warna laut (ocean color). Untuk
pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran
panjang gelombang 3-14 µm.
Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan
dasar dalam menduga fenomena laut seperti upwelling, front dan pola arus
permukaan yang merupakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya
dengan unsur hara atau subur. Perairan subur merupakan tempat kecendurangan
dari migrasi suatu sumber daya ikan, yang dapat dikatakan juga sebagai DPI. Data
SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kanal infra
merah jauh, sebagai contoh SPL diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA
ataupun Fengyun FY-1.
Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem angin muson memiliki pola
sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim yang satu dengan
musim yang lainnya. Disamping itu perairan Indonesia juga dipengaruhi oleh
massa air dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Kedua massa air ini
dihubungkan dengan sistem arus lintas Indonesia (ARLINDO) di beberapa tempat
seperti: Selat Makasar, Selat Sunda dan lain-lain. Sirkulasi massa air perairan
Indonesia berbeda antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat, massa
air umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, sebaliknya ketika musim
timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah
upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan
Indonesia bagian barat. Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan
terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan atau tingkat konsentrasi klorofil-a.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat bergantung dengan
konsentrasi nutrient. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran
banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat juga digunakan
sebagai petunjuk produktivitas suatu perairan. Dengan memanfaatkan sensor
dengan kisaran gelombang cahaya tampak atau antara 0,43-0,58 µm untuk warna
laut, dapat dilakukan pendugaan sebaran spasial klorofil-a di permukaan laut,
sebagai contoh, identifikasi konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh dari pengolahan
citra satelit Fengyun FY-1.
2.3.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem informasi geografis (SIG) digolongkan ke dalam sistem informasi
spasial dimana pemanfaatan SIG ini dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki
oleh nelayan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ilmuan perikanan untuk
kegiatan pengelolaan perikanan laut di masa mendatang (Close dan Hall, 2006).
Pengertian sistem informasi geografis (SIG) jika dihubungkan dengan
kegiatan pengelolaan perikanan adalah suatu sistem analisis informasi dan
pengelolaan data yang berasal dari data tangkapan, sintesis data citra,
pengembangan data perikanan yang sudah ada ataupun analisis terhadap data yang
berhubungan dengan kegiatan perikanan laut dalam menghasilkan keluaran
infromasi yang berguna bagi stakeholder perikanan (Holmes, 2006).
Pemanfaatan SIG bagi keperluan pengelolaan sumber daya perikanan
diperuntukan pada tiga bidang, yaitu: (1) kegiatan penangkapan, (2) budi daya
perairan dan (3) kawasan perlindungan habitat sumber daya perairan. Tujuan
pengelolaan dalam kegiatan pembangunan penangkapan ikan adalah bagaimana
memanfaatkan sumber daya ini secara berkelanjutan dengan adanya dinamika
penawaran (supply) dan permintaan (demand) sebagai dasar data masukan
(Dahuri et al. 1996 dan Holmes, 2006).
Hasil tangkapan tinggi bergantung pada kondisi lingkungan perairan yang
baik sehingga rekrutmen stok dan pertumbuhan individu dapat meningkat dengan
meminimalkan kematian alamiah dari individu itu sendiri. Logika masukan data
pengelolaan seperti ini membutuhkan berbagai informasi yang terkait agar
pengelolaan pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat
diwujudkan, salah satunya dengan menyediakan informasi spasial distribusi jenisjenis sumber daya perikanan itu sendiri (Dahuri et al. 1996 dan Holmes, 2006).
Data grafis SIG di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial
yaitu: (1) data raster dan (2) data vektor. Data raster menampilkan, menempatkan
dan menyimpan data spasial dengan struktur matriks atau piksel-piksel yang
membentuk grid. Sedangkan data vektor menampilkan, menempatkan dan
menyimpan data spasial dengan titik-titik, garis-garis atau kurva atau poligon dan
atribut-atributnya. Struktur data vektor yang sering dipergunakan dalam SIG
adalah suatu cara untuk membandingkan informasi titik, garis ataupun poligon ke
dalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan
(Prahasta, 2002).
Model data spasial itu sendiri dalam pengertian SIG adalah pandangan atau
presepsi terhadap dunia nyata (real world) yang telah disederhanakan, dimana
kemampuan SIG yang dapat melakukan: (1) analisis keruangan (spatial analysis)
dan (2) pemantauan (monitoring) dapat dipergunakan mempercepat dan
mempermudah penataan ruang ataupun pemetaan potensi keberadaan sumber
daya pada suatu wilayah di permukaan bumi yang sesuai dengan daya dukung
lingkungannya (Prahasta, 2002).
Gambar 4 di bawah ini menunjukkan dalam proses pengumpulan data suatu
sumber daya sebagai sebuah dunia nyata dikumpulkan sebagai sumber data,
kemudian sumber data yang merupakan sebuah input data ditata dalam bentuk
data dasar (manajemen data) yang selanjutnya di analisis dengan menggunakan
komputer dan akhirnya informasi yang berasal dari olahan data tersebut
digunakan sebagai pengambilan keputusan untuk suatu kegiatan di lapang oleh
stakeholder.
Gambar 4 Proses SIG.
Informasi tersaji dalam bentuk tema (thematic layer) dengan cakupan
(coverage) dan atribut data yang disesuaikan dengan aslinya. Tema-tema tersebut
kemudian dengan menggunakan metode tumpang susun (overlay) disajikan ke
dalam bentuk peta yang mengandung berbagai informasi baik keberadaan sumber
daya maupun kondisi lingkungan pendukungnya pada waktu itu (Prahasta, 2006).
Kegiatan pengelolaan data lapang melalui teknologi SIG dapat dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak berbasiskan teknologi komputer seperti
Arc-info, Arc-view ataupun Map-info (Dahuri et al. 1996 dan Prahasta, 2006).
Download