DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA Volume 16 Mei—September 2014 ARTIKEL MFN Clause and Dispute Settlement : Getting the Fundamental Concept Right and Avoiding Jurisdicional Minefield When Drafting Investment Treaties John Lumban-Tobing Kedaulatan Negara di Ruang-maya Kritik UU ITE dalam Pemikiran Satjipto Rahardjo AP Edi Atmaja Laut Tiongkok Selatan : Problematika dan Prospek Penyelesaian Masalah Ahmad Almaududy Amri RESENSI BUKU Public International Law : Gideon Boas Muhamad Ferdien ISTILAH HUKUM i Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 16 Mei —September 2014 DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA 2014 Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 16 Mei —September 2014 Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Sejak Oktober 2009 Penanggung Jawab Ferry Adamhar, SH, LL.M Dr. iur. Damos Dumoli Agusman Redaktur Patrick S. Hasjim, S.H., M.Si; Kemal Haripurwanto, S.H., LL.M; Drs. Sukarsono; Sudarsono, S.H., MM; Rofita, S.H.; Zainul Idris Yunus, S.E.; Fajar Yusuf, S.H., LL.M; Haryo Budi Nugroho, S.H., LL.M; Editor Ahmad Saleh Bawazier, S.H., M.H., M.A.; Nenda Inasa Fadhilah, S.H., LL.M.; Santa Marelda Saragih, S.H., MH.; Vina Novianti, S.Hum.; Rike Wijayanti Octaviany, S.H., LL.M.; M. Ferdien, S.H.; Galuh Indriana Rarasanti, S.H.; Disain Grafis Abdul Hayyi, Asep Hermawan Sekretariat Uki Subki, S.Sos, M.Si; Agustian; Sutono, S.Sos; Tasunah; Maisaroh, S.Sos. Anisa Husna, S.Hum. Alamat Redaksi: Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected] Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website http://pustakahpi.kemlu.go.id/ Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 DAFTAR ISI Daftar Isi .............................................................................................................. v Pengantar Redaksi ............................................Error! Bookmark not defined. MFN Clause and Dispute Settlement : Getting the Fundamental Concept Right and Avoiding Jurisdicional Minefield When Drafting Investment Treaties ...........................................................................8 John Lumban-Tobing Kedaulatan Negara di Ruang-maya Kritik UU ITE dalam Pemikiran Satjipto Rahardjo ..........................................................................48 AP Edi Atmaja Laut Tiongkok Selatan : Problematika dan Prospek Penyelesaian Masalah...............................................................................................................92 Ahmad Almaududy Amri RESENSI BUKU ..............................................................................................102 Public International Law : Contemporary Principles and Perspectives - Gideon Boas Muhamad Ferdien ISTILAH HUKUM..........................................................................................108 TENTANG PENULIS.....................................................................................109 v JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 PENGANTAR REDAKSI Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi diseminasi informasi terkait isu-isu hukum dan perjanjian internasional, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional telah menerbitkan Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional yang diberi nama “Jurnal Opinio Juris”. Dalam Volume 16 tahun 2014 ini, redaksi memuat tiga tulisan yaitu: “MFN Clause and Dispute Settlement : Getting the Fundamental Concept Right and Avoiding Jurisdictional Minefield When Drafting Investment Treaties” oleh John Lumban-Tobing, “Kedaulatan Negara di Ruang-maya: Kritik UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam Pemikiran Satjipto Rahardjo” oleh AP Edi Atmaja dan “Laut Tiongkok Selatan : Problematika dan Prospek Penyelesaian Masalah” oleh Ahmad Almaududy Amri. Dalam penyajian tulisan tersebut di atas, tergambar ragamnya cakupan bahasan hukum internasional melalui topik-topik bahasan tersebut. Tulisan-tulisan ini penting untuk diketahui oleh para pembaca mengingat tema yang diangkat merupakan permasalahan yang cukup aktual, seperti tema penyelesaian sengketa investasi asing, Laut Tiongkok Selatan dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain 3 tulisan di atas, terdapat pula sebuah resensi buku, yang merupakan ciri khas Jurnal Opinio Juris. Buku berjudul “Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives” karangan Gideon Boas ini, patut mendapat perhatian karena menawarkan pemahaman komprehensif dan pendekatan terkini dari hukum internasional. Selain menjelaskan mengenai vi JURNAL OPINIO JURIS September 2014 Vol. 16 Mei – teori dan perkembangan hukum internasional, buku mengkaji hukum internasional dalam praktik dengan berbagai telaah kasus dan contoh terbaru. Dalam kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak mengucapkan terima kasih kepada para anggota redaksi terdahulu yang telah mendapat penugasan baru di beberapa Perwakilan RI atas dedikasinya dalam memajukan Opinio Juris. Redaksi juga mengajak para pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang melalui email [email protected]. Untuk memudahkan para pembaca setia Opinio Juris, Redaksi telah memuat Opinio Juris yang pernah terbit terdahulu pada Perpustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu yang dapat di akses melalui http://pustakahpi.kemlu.go.id/ . Pada kesempatan ini, Redaksi Opinio Juris secara terus menerus mengajak para pembaca untuk turut menyumbangkan tulisan, memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang. Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap semoga jurnal ini dapat bermanfaat serta menjadi sarana dalam menyebarluaskan informasi dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Terima kasih dan selamat membaca. Redaksi Opinio Juris vii JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 MFN CLAUSE AND DISPUTE SETTLEMENT: GETTING THE FUNDAMENTAL CONCEPTS RIGHT AND AVOIDING JURISDICTIONAL MINEFIELD WHEN DRAFTING INVESTMENT TREATIES John Lumban-Tobing Abstrak Salah satu isu kontroversial di bidang hukum investasi internasional saat ini adalah hubungan antara klausul MFN dan penyelesaian sengketa dalam perjanjian internasional di bidang investasi. Yurisprudensi maupun pendapat para ahli masih berbeda-beda, bahkan kadang bertentangan. Pertanyaan yang mendasar adalah: dalam proses arbitrase internasional, apakah klausul MFN dapat digunakan sebagai dasar untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa yang dianggap lebih menguntungkan bagi investor dalam perjanjian investasi antara negara tergugat dengan negara ketiga (selain negara asal investor penggugat), sehingga jurisdiksi majelis arbitrase dapat diperluas? Berdasarkan analisa atas putusan-putusan ICJ mengenai klausul MFN serta asasasas hukum internasional terkait jurisdiksi penyelesaian sengketa, maka penulis menyimpulkan bahwa jawabannya adalah “tidak”. Namun demikian, kesimpulan tersebut bersifat umum. Setiap kasus sangat bergantung kepada bunyi spesifik The author recently graduated with an LL.M. in International Law from the University of Cambridge (Hughes Hall), focusing among others in Settlement of International Dispute. Previously the author was an associate lawyer at Ignatius Andy Law Offices in Jakarta, specialising in commercial litigation and international arbitration. 8 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 dari klausul MFN di perjanjian internasional yang menjadi dasar gugatan arbitrase. Khusus untuk Indonesia, masalah ini perlu diperhatikan ketika menegosiasikan dan merancang naskah perjanjian internasional di bidang investasi demi menghindari ketidakpastian hukum ketika muncul sengketa. Kata Kunci: MFN I. Introduction International investment arbitration is notorious for the profound disagreement among tribunals across various unsettled issues. One of the most important of which, from a jurisdictional standpoint, is the relation between the Most-Favored-Nation (“MFN”) clause and dispute settlement. More specifically, the use of MFN clause to create or extend an investment tribunal’s jurisdiction by applying more favorable terms from other investment treaties between the respondent state and third states. It is this issue that will be discussed here.1 A review of several Indonesian investment treaties reveals that the wording of the MFN clauses in those treaties have not been drafted in a way which ensures that Indonesia would avoid such jurisdictional minefield. Given that the government is contemplating a preparation of a model BIT2 following the “termination” of existing BITs,3 it is now very Hence the article will not deal with substantive MFN protections. See Arif Havas Oegroseno, Revamping Bilateral Treaties, the Jakarta Post on 7 July 2014. It is hoped that the resulting treaties may better 1 2 9 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 timely to pay close attention to the debate on this controversy and develop a strategic wording of a standard MFN clause. This would still be useful even in the absence of a model BIT whenever the government negotiate an investment treaty, whether bilateral or multilateral. accommodate Indonesia’s interest and reflect Indonesia’s position nowadays as both a capital-importing and capital-exporting country. 3 See the announcement of the termination at the Netherlands Embassy’s website at http://indonesia.nlembassy.org (16 July 2014). See also, e.g. the Financial Times, Indonesia to terminate more than 60 bilateral investment treaties, at http://www.ft.com (16 July 2014). This development is met with applause by some notable NGOs, while others are raising the specter of more protectionist foreign investment policies. See, e.g. the Polaris Institute, Indonesia Takes a Brave Decision to Terminate its Bilateral Investment Treaty with the Netherlands, at http://www.polarisinstitute.org (16 July 2014). Several international law firms already issued client alerts, with some suggesting that corporate clients may need to restructure their foreign investment in Indonesia. See, e.g. Freshfields Bruckhaus Derringer, Restructure now to protect investments in Indonesia, at http://www.freshfields.com (16 July 2014); Clifford Chance, Alternative Investment Protection Strategies for Indonesia, at https://onlineservices.cliffordchance.com (16 July 2014); Ashurst, Indonesia Terminates Indonesia-Netherlands BIT, at www.ashurst.com (16 July 2014). I wish to point out my agreement with the objection against using the term “termination” as it is not a legally correct characterization of Indonesia’s plan, which seems to be to simply let the existing BITs to expire and negotiate new, more favorable, ones. See Michael Ewing-Chow & Junianto James Losari, Indonesia is Letting its Bilateral Treaties Lapse so as to Renegotiate Better Ones, at http://www.ft.com (16 July 2014). 10 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 As such, the purpose of this article is to highlight the issue of MFN clause and dispute settlement, try to argue what the author believes to be the correct position, and offer some observations for the drafting of this specific aspect in future investment treaties. To avoid any doubt from the outset, it is the author’s conclusion that in principle an MFN clause does not apply to dispute settlement unless it can be clearly ascertained that the state parties to the investment treaty intend to do so. Hence, a claimant investor cannot import more favorable dispute settlement provisions from other investment treaties when instituting arbitration proceedings against the host state. To that end, the article will start with an overview of the relevant investment tribunals’ jurisprudence and legal writings. The crux of the analysis will consist of (i) a discussion of International Court of Justice’s (“ICJ”) precedents on MFN clause; and (ii) the fundamental concepts that should guide us to the correct understanding of MFN clause and jurisdiction. There will be a review of the wording of MFN clauses in several of Indonesia’s existing investment treaties and practical observations for drafting MFN and dispute settlement clauses in future investment treaties, before the article ends with the conclusion.4 While it is desirable to provide a very detailed and rigorous analysis of each case or principles mentioned here, the author regrets that space requirement may not permit such treatment. Therefore many of the 4 11 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 II. Overview of the Debate on MFN Clause and Dispute Settlement a. The Beginning – Pro-MFN Decisions The controversy started with the seminal case of Maffezini v. Spain in 2000. The “basic treaty”5 in the case, the Argentina-Spain BIT, requires investors to submit investment dispute first to the domestic court of the host state. If no judgment is rendered in 18 months and the dispute still exists, the investor may then commence international arbitration proceedings against the host state.6 The Argentinian claimant had not brought any suit before Spanish court before going to the International Centre for Settlement of Investment Disputes (“ICSID”). In order to establish the tribunal’s jurisdiction and bypass the 18-months rule, the claimant invoked the MFN clause in the BIT to apply other Spanish BITs that do not contain such requirement. It should be noted that the MFN clause in Article IV of the Argentina-Spain BIT reads as follows: “In all matters subject to this Agreement, this treatment shall be no less favorable than that extended by analysis in this article would be cursory and interested readers are invited to refer further to the materials cited (if any). 5 “Basic treaty” in this context means the treaty which forms the basis of the claim. For an explanation on the concept of “basic treaty” when dealing with an MFN clause, see Anglo-Iranian Oil Company case (UK v. Iran), 1952 ICJ Rep. 93 at 109 [Anglo-Iranian Oil Company]. 6 Emilio Agustín Maffezini v. Spain, ICSID Case No. ARB/97/7, Decision on Jurisdiction of 25 January 2000 [Maffezini]. 12 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 each Party to the investments made in its territory by investors of a third country.” [emphasis added]. The crux of the tribunal’s reasoning is that “dispute resolution arrangements are inextricably related to the protection of foreign investors,”7 and that “international arbitration and other dispute settlement arrangements … are essential to the protection of the rights envisaged under the pertinent treaties and are also closely linked to the material aspects of the treatment accorded.”8 Therefore the tribunal concluded that the MFN benefit in the Argentina-Spain BIT extends to dispute settlement matters, allowing the claimant to bypass the 18-months waiting period. The tribunal then carved out some limit on its ruling. An investor cannot rely on an MFN clause to get around the following aspects of dispute resolution arrangement: (i) a provision requiring the exhaustion of local remedies; (ii) a fork-in-the-road provision; (iii) a particular choice of arbitration “system” (such as ICSID); and (iv) “precise rules of procedure” in a “highly institutionalized system of arbitration” (such as NAFTA).9 The tribunal tried to justify these exceptions, as they are “public policy considerations that the contracting parties might have envisaged as fundamental conditions for their acceptance of the Maffezini, ibid at par. 54. Maffezini, ibid at par. 55. 9 Maffezini, ibid at par. 63. 7 8 13 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 agreement in question.”10 It is unclear how the tribunal could have arrived at this conclusion, and this particular aspect of the decision has been widely criticized,11 even by those who in principle advocate the application of MFN clause to dispute settlement.12 Nevertheless, some other tribunals quickly followed this judgment albeit with slight differences in facts or in statement of principle.13 For instance, the tribunal in Siemens v. Argentina went further by expanding the application of MFN clause to dispute settlement even though the MFN clause in the basic BIT does not contain the broad “all matters” Maffezini, ibid at par. 62. See, among others, Zachary Douglas, The International Law of Investment Claims (2009) at 358-359 [Douglas]; Dana Freyer & David Herlihy, Most-Favored-Nation Treatment and Dispute Settlement in Investment Arbitration: Just How “Favored” is “Most-Favored”?, 20 ICSID Review 58 (2005) at 67 [Freyer & Herlihy]; Scott Vesel, Clearing a Path Through a Tangled Jurisprudence: Most-Favored-Nation Clauses and Dispute Settlement Provisions in Bilateral Investment Treaties, 32 Yale J. Int’l. L. 125 (2007) at 160-161 [Vesel]. 12 Emmanuel Gaillard, International Arbitration Law: Establishing Jurisdiction Through a Most-Favored-Nation Clause, 233 New York L.J. 3 (2005) at 3 [Gaillard]. 13 Gas Natural SDG, SA v. Argentina, ICSID Case No. ARB/03/10, Decision on Jurisdiction of 17 June 2005; Suez, Sociedad General de Aguas de Barcelona SA, and Inter Aguas Servicios Integrales del Agua SA v. Argentina, ICSID Case No. ARB/03/17, Decision on Jurisdiction of 16 May 2006; National Grid Plc. v. Argentina, UNCITRAL Arbitration, Decision on Jurisdiction of 20 June 2006 [National Grid]. 10 11 14 JURNAL OPINIO JURIS wording.14 Vol. 16 Mei –September 2014 As such, this line of judgments starts from a presumption that an MFN clause also applies to dispute settlement. b. The Backlash – Anti MFN Decisions Just when it seemed that a consistent jurisprudence was about to emerge following Siemens, two tribunals declined to apply MFN clause to jurisdictional matters. In Salini v. Jordan, the dispute concerned final payment to the claimant pursuant to a construction contract with the Jordanian government. While the basic treaty, the Jordan-Italy BIT, provides for ICSID arbitration for treaty violations, the treaty also expressly states that any dispute arising from investment contract is to be settled according to the dispute settlement clause in the contract.15 The claimant attempted to rely on the MFN clause, arguing that there are other Jordanian BITs that allow international arbitration to hear contractual claims. The tribunal rejected the claimant’s arguments. First they distinguished the case from Maffezini, noting that the MFN clause in the Jordan-Italy BIT does not contain the “all matters” language. Also, the claimant has not established any intention of the state parties to apply MFN clause in the BIT to matters concerning dispute settlement. On the See Siemens AG v. Argentina, ICSID Case No. ARB/02/8, Decision on Jurisdiction of 3 August 2004 at par. 82 [Siemens]. 15 Salini Construttori S.p.A. and Italstrade S.p.A. v. Jordan, ICSID Case No. ARB/02/13, Award of 31 January 2006 at par. 66 [Salini]. 14 15 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 contrary, the express intention is to exclude contractual claims – such as the one in dispute – from the jurisdiction of the tribunal.16 Hence the tribunal declined jurisdiction to hear the claim. Another tribunal rendering decision at about the same time, in Plama v. Bulgaria, produced a similar outcome. The basic treaty, the Bulgaria-Cyprus BIT, limited arbitration to a determination of the quantum of damages under the UNCITRAL arbitration rules only.17 Meanwhile, the claimant sought to litigate the entire merit of its claim (including the unlawfulness of Bulgaria’s conduct) in ICSID arbitration; hence the tribunal’s judgment. Yet the Plama tribunal went even bolder by expressly advocating a new presumption: that “an MFN provision in a basic treaty does not incorporate by reference dispute settlement provisions in whole or in part set forth in another treaty, unless the MFN provision in the basic treaty leaves no doubt that the Contracting Parties intended to incorporate them.”18 [emphasis added]. Some other tribunals subsequently followed suit.19 Salini, ibid at par. 118-119. Plama Consortium Limited v. Bulgaria, ICSID Case No. ARB/03/24, Decision on Jurisdiction of 8 February 2005 at par. 26 [Plama]. 18 Plama, ibid at par. 223. 19 Vladimir Berschander and Moïse Berschander v. Russia, SCC Case No 080/2004, Award of 21 April 2006 [Berschander]; Telenor Mobile Communications AS v. Hungary, ICSID Case No. ARB/04/15, Award of 13 September 2006 at par. 100 [Telenor]; Wintershall Aktiengesellschaft v. 16 17 16 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 c. The Latest Round of Cases and Taking Stock of the Debate Based on the illustration above, it is clear that in general the jurisprudence of investment arbitration tribunals is still sharply divided over the issue. The latest round of cases dealing with MFN and dispute settlement in 2011 and 2012 did nothing to end the discord. In Impregilo v. Argentina20 and Hochtief v. Argentina,21 the tribunals ruled that the claimant may import a more favorable term from Argentina’s other BITs in order to avoid the pre-arbitration requirement to litigate its claim before local court for 18 months. These decisions, decided by a majority, attracted two very strong dissents that will be highlighted in the analysis below.22 On the other hand, the tribunals in ICS Inspection v. Argentina23 and Daimler v. Argentina24 refused to extend the application of MFN clause to dispute settlement. It seems that there is still a long way from jurisprudence constante on this issue. Argentina, ICSID Case No. ARB/04/14, Award of 8 December 2008 [Wintershall]. 20 Impregilo SpA v. Argentina, ICSID Case No. ARB/07/17, Award of 21 June 2011 [Impregilo]. 21 Hochtief AG v. Argentina, ICSID Case No. ARB/07/31, Decision on Jurisdiction of 24 October 2011 [Hochtief]. 22 See below, section V. 23 ICS Inspection and Control Services Limited v. Argentina, UNCITRAL Case No. 2010-9, Award on Jurisdiction of 10 February 2012 [ICS Inspection]. 24 Daimler Financial Services AG v. Argentina, ICSID Case No. ARB/05/1, Award on Jurisdiction of 22 August 2012. 17 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 The same can be said of legal commentators, some in principle being pro-MFN25 while others are anti-MFN.26 Nevertheless, a consensus emerges that much depends on the wording of the MFN clause in the basic treaty.27 Ascertaining the effect of an MFN clause, just like any other treaty provisions, is basically an exercise in treaty interpretation.28 First it should be noted that there’s no such thing as the MFN clause; each MFN clause in each investment treaty is unique, the exact wording being different from one investment treaty to the other. This is true even among various BITs signed by one state. It is one of the reasons that many tribunals have come to different conclusions on the relation between MFN clause and dispute settlement. Some investment treaties expressly determine whether the MFN clause there apply to dispute settlement or not.29 If this is the case, then See, among others, Gaillard, supra note 12; Christoph Schreuer et al., The ICSID Convention: A Commentary, 2nd ed. (2009) at 245-248 [Schreuer]. ; Vesel, supra note 11 at 185-186 seem to support this view although less unequivocal, emphasising that the MFN clause cannot subsitutte actual state consent to arbitration. 26 See, among others, Douglas, supra note 11 at 344-362; Stephen Fietta, Most Favored Nation Treatment and Dispute Resolution Under Bilateral Investment Treaties: A Turning Point?, 4 Int. A.L.R. 131 (2005) at 137. 27 Schreuer, supra note 25 at 248; Freyer & Herlihy, supra note 11 at 82; 28 ICS Inspection, supra note 23 at par. 275. 29 To be elaborated below. See section V(a). 25 18 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 tribunals simply have to follow the wording of the basic treaty.30 But of course, controversy has arisen in many proceedings precisely because of the absence of such clear language. It is submitted that the basic position should be the one put forth by the Plama tribunal: that an MFN clause does not apply to dispute settlement unless it can be clearly ascertained that the state parties intend otherwise. Therefore claimants cannot benefit from more favorable provisions in other treaties in order to establish or expand the jurisdiction of a tribunal. In reaching that conclusion, the analysis below will start with an elaboration of three ICJ cases related to MFN clause that have influenced early ICSID tribunals in this regard (section III). Afterwards, there will be an elaboration of the fundamental concepts that should be applied when dealing with the issue of MFN and dispute settlement (section IV). III. ICJ Cases on MFN Clause Some commentators have observed that the sharp division among investment tribunals’ precedents on MFN and dispute settlement could be traced back among others to contradictory interpretations of the three ICJ judgments concerning MFN clause, namely the Anglo-Iranian Oil 30 Gaillard, supra note 12 at 3. 19 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Company, Rights of US Nationals in Morocco and the Ambatielos cases.31 Hence the court’s consideration in these cases merits close consideration. It will be shown below that those three cases cannot be used to support the view that MFN clause extend to dispute settlement as a procedural matter. a. Anglo-Iranian Oil Company In 1951 the Iranian government nationalized the oil industry, giving rise to a dispute with the Anglo-Iranian Oil Company, a United Kingdom (“UK”) incorporated company that had been given an oil concession in 1931. The dispute was later taken up by the UK government which brought a claim against Iran before the ICJ.32 Iran had made an optional declaration in 1932, under which Iran accepted the court’s jurisdiction but only over disputes concerning the interpretation or application of treaties or conventions entered into by Iran after the ratification of the declaration.33 The court held that it has no jurisdiction to adjudicate UK’s claim because the 1857 and 1903 Iran-UK treaties, under which the UK brought the claim, had been concluded before Iran’s optional declaration of 1932. See Douglas, supra note 11 at 344-345; Vesel, supra note 11 at 147-154. Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 102. 33 Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 107. 31 32 20 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 The UK tried to argue inter alia that it could nevertheless bring the claim by virtue of the MFN clause in both treaties. This is because Iran had concluded another treaty with Denmark in 1934 that would enable Denmark to submit a dispute with Iran concerning the interpretation and application of that treaty to the ICJ. Insofar as the UK could not submit its dispute with Iran to the court, then the UK would not in a position of a most favored nation vis-à-vis Denmark.34 However, the court rejected the UK’s MFN argument, holding that an MFN benefit could not extend to jurisdictional matters. This is especially telling when put within the context of the modern debate on MFN clause and jurisdiction because the MFN clause in the UK-Iran treaty was couched in broad terms, requiring MFN treatment “in every respect” and “in all respect.”35 In an oft-quoted passage the Court stated: Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 110. See Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 108. Article IX of the Treaty of 1857: “The High Contracting Parties engage that, in the establishment and recognition of Consuls-General, Consuls, Vice-Consuls, and Consular Agents, each shall be placed in the dominions of the other on the footing of the most-favored nation; and that the treatment of their respective subjects, and their trade, shall also, in every respect, be placed on the footing of the treatment of the subjects and commerce of the mostfavored nation.” Article II of the Commercial Convention of 1903: “It is formally stipulated that British subjects and importations in Persia, as well as Persian subjects and Persian importations in the British Empire, shall continue to enjoy in all respects, the regime of the most-favored nation.” [emphasis added]. 34 35 21 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 “The Court needs only observe that the most-favored-nation clause in the Treaties of 1857 and 1903 between Iran and the United Kingdom has no relation whatever to jurisdictional matters between the two Governments. If Denmark is entitled under Article 36, paragraph 2, of the Statute, to bring before the Court any dispute as to the application of its Treaty with Iran, it is because that Treaty is subsequent to the ratification of the Iranian Declaration. This can not give rise to any question relating to most-favored-nation treatment.”36 It is submitted that the above passage is sufficiently clear as a general proposition on the relation between MFN clause and the jurisdiction of a court or tribunal. The court effectively distinguished between substantive benefit emanating from an MFN clause and jurisdictional matters that fall outside the ambit of that clause.37 The court did state in another part of the judgment that it does not consider it necessary to deliberate on the “meaning and the scope” of the MFN clause.38 This particular passage has been used by the Siemens tribunal to justify its departure from the Anglo-Iranian precedent and applying the MFN clause to circumvent the precondition for the tribunal’s jurisdiction.39 However, read in the context of the court’s entire judgment, it is reasonable to view this as meaning that the court does not consider Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 110 (emphasis added). See also the elaboration in the concurring opinion of Lord McNair: Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 110. 38 Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 109. 39 See Siemens, supra note 14 at par. 95-96. 36 37 22 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 the meaning and scope of the MFN clause as it applies to substantive MFN protection. When it comes to the issue of the court’s jurisdiction, the court was unequivocal in its rejection to applying the MFN clause to extend its jurisdiction beyond the limit prescribed by Iran’s declaration. On the other hand, the tribunal in Plama faithfully followed ICJ’s conclusion that the MFN clause has no relation to jurisdictional matters.40 b. Case Concerning the Rights of US Nationals in Morocco At the heart of the case was the question of whether the United States is entitled to exercise consular jurisdiction in Morocco in cases where an American citizen is the defendant. In 1836 the United States concluded a bilateral treaty with Morocco conferring consular jurisdiction to the United States in all civil and criminal cases between American citizens. The United States here asserted that, by virtue of the MFN clause in the US-Moroccan treaty, all cases in which an American citizen is the defendant also fall within its consular jurisdiction to the extent that subsequent treaties between Morocco and Great Britain and Spain confer such broader jurisdiction on those states.41 France, which was the protector of Morocco at this time, disputed the United States’ assertion and Plama, supra note 17 at par. 214. Case Concerning the Rights of Nationals of the United States of America in Morocco (France v. USA), 1952 I.C.J. Rep 176 at 187-188 [Rights of US Nationals in Morocco]. 40 41 23 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 instituted proceedings against the United States before the ICJ. It should be noted, however, that the court’s jurisdiction in the case, based on France’s and the United States’ declarations under the optional clause, was never in dispute. Hence the MFN clause in the USMoroccan treaty was invoked not in relation to any aspect of the court’s jurisdiction or procedure. It was instead invoked in relation to the United States’ substantive right to exercise consular jurisdiction under the treaty.42 Therefore this case should not have been considered to guide investment treaty tribunals either way on the question of MFN clause and the tribunal’s jurisdiction. The Plama tribunal indeed made such observation.43 On the other hand, others have mistakenly relied on this case to extend their jurisdiction or import different procedural rules from other treaties by way of an MFN clause. For example, the tribunal in Siemens stated, “…it is evident that the ICJ accepted that MFN clauses may extend to provisions related to jurisdictional matters, but this was not really the issue between See Douglas, supra note 11 at 349. In short, the court rejected the United States’ assertion of “permanent incorporation by reference” so that any right to exercise broader consular jurisdiction, which the United States may have enjoyed under the MFN clause, will cease insofar as Morocco treaties’ with third states that confer such broader rights have expired. See Rights of US Nationals in Morocco, ibid at 191. 43 See, among others, Plama, supra note 17 at par. 213. 42 24 JURNAL OPINIO JURIS the parties.”44 Vol. 16 Mei –September 2014 The Siemens tribunal was mistaken in this regard. c. Ambatielos Case Mr. Ambatielos was a Greek ship owner who had concluded a contract with the British Ministry of Shipping. When a dispute subsequently arose, Ambatielos brought a claim before the English Admiralty Court in accordance with the contract. The admiralty court ruled against Ambatielos, and a subsequent appeal also failed. Afterward the Hellenic government took up Ambatielos’ claim and instituted proceedings against the United Kingdom before the ICJ. While the court ruled that it is without jurisdiction to hear the merit Greece’s claim, the court nevertheless found it has jurisdiction to rule that the United Kingdom must submit to arbitration pursuant to a Declaration to the 1926 Treaty of Commerce and Navigation between the two states (“TCN Treaty”).45 It is the arbitration tribunal’s decision that has been the focus of attention with respect to MFN and jurisdiction. One of Greece’s main submissions was that Ambatielos had been denied “free access to the Courts of Justice” guaranteed under Article XV of the TCN Treaty.46 This Supra note 12 at par. 99; see also National Grid v. Argentina, supra note 13 at par. 70, 87. 45 See the facts of the case in Ambatielos (Greece v. United Kingdom), 1952 ICJ Rep. 28 at 46 and 1953 ICJ Rep. 10 at 57 [Ambatielos (ICJ)]. 46 The provision reads: “The subjects of each of the two Contracting Parties 44 25 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 is because (i) the British officials had failed to disclose material evidence in favor of Ambatielos in the admiralty court proceedings; and (ii) the English Court of Appeal had refused to grant Ambatielos the leave to produce additional evidence.47 Relying on the MFN clause in Article X of the TCN Treaty,48 the Hellenic government argues the proper scope of the “free access to the Courts of Justice” by invoking provisions concerning administration of justice from other UK bilateral treaties. Hence the issue, as far as the MFN clause is concerned, is whether such clause in the TCN Treaty extends to matters concerning the administration of justice by UK courts. It should be clarified first that the term “administration of justice” here is akin to the concept of “denial of justice” (“DoJ”) under international law. DoJ in principle is a concept whereby a state incurs in the dominions and possessions of the other shall have free access to the Courts of Justice for the prosecution and defense of their rights…” See Ambatielos (ICJ), ibid at 20. 47 The Ambatielos Claim (Greece v. The United Kingdom), XII UNRIAA 91 at 98-99 [Ambatielos Arbitration]. 48 The provision reads: “The Contracting Parties agree that, in all matters relating to commerce and navigation, any privilege, favor or immunity whatever which either Contracting Party has actually granted or may hereafter grant to the subjects or citizens of any other State shall be extended immediately and unconditionally to the subjects or citizens of the other Contracting Party; it being their intention that the trade and navigation of each country shall be placed, in all respects, by the other on the footing of the most favored nation.” [Emphasis added] 26 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 international responsibility if it administers its laws to aliens in a fundamentally unfair manner.49 As argued by Greece, the treatment received by Ambatielos from UK courts would have amounted to DoJ. While Article XV of the TCN provides for “free access to Courts of Justice”, the provision does not expressly mention the concept of DoJ. According to Greece, Ambatielos is entitled to no less favorable treatment than those stipulated in UK’s other bilateral treaties that provides for protection from DoJ. The arbitration panel, noting that Article X of the TCN Treaty stipulates that MFN is to apply in all matters relating to commerce and navigation – and that such term does not have strictly defined meaning, states: “…It is true that the ‘administration of justice’, when viewed in isolation, is a subject-matter other than ‘commerce and navigation’, but this is not necessarily so when it is viewed in connection with the protection of the rights of traders. Protection of the rights of traders naturally finds a place among the matters dealt with by treaties of commerce and navigation. Therefore it cannot be said that the administration of justice, in so far as it is concerned with the protection of these rights, must necessarily be excluded from the field of application of the most-favored-nation clause, when the latter includes ‘all matters relating to commerce and navigation.”50 On the concept of DoJ in general, see Jan Paulsson, Denial of Justice in International Law (2005), Chapter 4. 50 Ambatielos Arbitration, supra note 47 at 319–20. 49 27 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Thus in the passage above the arbitration panel found that MFN may operate in matters concerning “administration of justice” – also subject to the extent it is connected with the rights of traders and the wording of the MFN clause itself.51 However, it remains that “administration of justice” or DoJ in this context concerns the substance of an investor’s rights under an investment treaty, namely whether the investor is entitled to a protection from a fundamentally or manifestly unfair administration of justice. This is not a case where the claimant, Greece, seeks to establish the arbitral panel’s jurisdiction through the MFN clause where none actually exists. The panel’s own jurisdiction is not in dispute. Therefore, like the Rights of US Nationals in Morocco, this case does not shed any light on the question of MFN clause and a tribunal’s jurisdiction. Some early investment treaty tribunals have correctly pointed this out.52 But again some other tribunals have surprisingly had an entirely contrary reading. The Maffezini tribunal purportedly relied on the Ambatielos decision and wrote that the arbitral panel had concluded, “The protection of the rights of persons engaged in commerce and navigation by means of dispute settlement provisions embraces the overall treatment Although note that the arbitration panel ultimately does not find UK treaties with other states to be more favorable than the TCN Treaty in this regard. See Ambatielos Arbitration, supra note 47 at 322-323. 52 Plama, supra note 17 at par. 215; Salini, supra note 15 at par. 112. 51 28 JURNAL OPINIO JURIS of traders covered by the Vol. 16 Mei –September 2014 clause.”53 This is of course erroneous. The dispute settlement provision in the TCN Treaty was never an issue in the Ambatielos arbitration. IV. Getting the Fundamental Concepts Right Since the Maffezini tribunal became the first one to apply MFN clause on matters concerning the tribunal’s jurisdiction up until the latest ones in Impregilo and Hochtief, the emphasis has been on the nature of dispute settlement mechanism (in particular, access to international arbitration) as being essential to the protection of foreign investment. In general, this view attaches great importance to the object and purpose of the treaty as one of the means of interpretation. However, such emphasis led those tribunals to the wrong direction. If we subscribe to this view, then there is no logical bar to the importation of, for instance, an ICSID clause into an investment treaty that does not provide for international arbitration at all. Surely this is not a desirable outcome even for the proponent of applying MFN clause to jurisdictional matters.54 As advocated most strongly by Professor Douglas, the proper question instead is whether there is an intrinsic distinction between substantive obligations of investment protection, on the one hand, and investment treaty provisions on the jurisdiction of tribunals, on the other; Maffezini, supra note 6 at par. 50. Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion] at par. 35. 53 54 29 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 such distinction making the application of the MFN clause to the latter impermissible.55 It is submitted here that they are indeed intrinsically different. Therefore dispute settlement matters fall outside the ambit of an MFN clause. In order to reach such conclusion, it is essential to get at least two fundamental concepts right. They are (i) the rule of consent; (ii) the distinction between jurisdiction and admissibility. While the first concept should be straightforward, the second one often proves difficult to ascertain or apply in practice. Once these two concepts are clarified, the idea of the intrinsic distinction between MFN clause and dispute resolution provision would be clearer. Such idea will be discussed here in the context of the broader concept of “severability of dispute resolution clause.” a. The Rule of Consent The first fundamental concept is the rule of consent, whereas the jurisdiction of an international court or tribunal is based on the consent of the parties.56 This rule is of general application, universally applied by Douglas, supra note 11 at 345. A classic formulation of this basic rule is Art. 36 of ICJ Statute, which states, “The jurisdiction of the Court comprises all cases which the parties refer to it and all matters provided for in … treaties and conventions in force”. 55 56 30 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 international courts and tribunals including investment arbitrations.57 Like any form of arbitration, investment arbitration is always based on an arbitration agreement or consent as the essential basis of the tribunal’s jurisdiction.58 While in case of inter-state courts or tribunals the mutual consent of the parties is straightforward, that is not always the case in investment arbitration. Most investment arbitrations are based on an investment treaty between states, such as BITs, that provide for reciprocal protection for investors from the other state party or pursuant to an option of submitting to international arbitration in the respondent state’s domestic investment law.59 Here the mutual consent may be best explained as an emanating from the interplay between the respondent state’s offer to arbitrate and the claimant investor’s acceptance of such offer. The offer is made by the state in an investment treaty or in national investment law, which is then perfected by the investor’s acceptance when instituting proceedings.60 In that vein, anyone familiar with the concept of offer and acceptance in contract law would no doubt also recognize that a counter- See Shabtai Rosenne, International Courts and Tribunals, Jurisdiction and Admissibility of Inter-State Applications, Max Planck Encyclopedia of Public International Law at par. 4. 58 Andrea Marco Steingruber, Consent in International Arbitration (2012) at 254 [Steingruber]. 59 Steingruber, ibid. 60 See, among others, Schreuer, supra note 25 at 190 et seq. 57 31 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 offer would, in turn, require the acceptance of the party making the original offer in order to constitute a mutual agreement. This is the point advanced by arbitrator Thomas in his Hochtief dissent. He argued that Hochtief, by invoking the MFN clause to import jurisdictional terms from other treaty, has effectively attempted to alter and eliminate the conditions of Argentina’s consent. In his view, this interplay generates a “counteroffer on different terms” instead of a “perfected consent”.61 Hence, jurisdiction cannot simply be established by referring to dispute resolution clause in other treaty by virtue of an MFN clause – at least insofar as the respondent state has not consented to such application of the MFN clause. Another aspect of the rule of consent is the requirement for clarity and unambiguity. First, consent to arbitration must be made in writing – a universal rule both under international law and domestic arbitration laws.62 The consent made in writing must furthermore be explicit and not merely construed.63 This should caution tribunals from taking exactly the Hochtief, supra note 21 [Thomas, separate and dissenting opinion] at par. 27. See also 62 See e.g. Art. 25(1) of the ICSID Convention, stating “The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment… which the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre.” For a reflection of this rule in Indonesian Arbitration Law, see Article 1(3) and 9(1) of Law No. 30 of 1999, State Gazette No. 138 (1999), Supp. No. 3872 [Indonesian Arbitration Law]. 63 Schreuer, supra note 25 at 191; see also Cable TV v. St. Kitts and Nevis, ICSID Case No. ARB/95/2, Award of 13 January 1997 at paras. 4.02-4.17. 61 32 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 opposite course: finding jurisdiction based on interpretation of ambiguous MFN clauses. In the words of the ICS tribunal, “the MFN clause must also be in itself a manifestation of consent to the arbitration of investment disputes according to the rules that the MFN provision might attract from other comparator treaties.”64 b. Distinction between Jurisdiction and Admissibility Some commentators try to reconcile the opposing camps of proand anti-MFN decisions by drawing a distinction between the MaffeziniSiemens line of cases, which concerns an attempt to bypass a procedural obstacle to arbitration proceedings (an issue of admissibility related to the timing of instituting arbitration proceedings) and the Salini-Plama line of cases, which concerns a more dramatic attempt to create or extend the tribunal’s jurisdiction beyond the consent of the state parties to the basic investment treaty.65 It is submitted here that this is an erroneous understanding of the distinction of jurisdiction and admissibility. This may seem theoretical. But in practice there have been judgments by courts and tribunals which hinged on an incorrect analysis on the characterization of a procedural objection as going to jurisdiction or ICS Inspection, supra note 23 at par. 278. See, among others, Freyer & Herlihy, supra note 11 at 82; Steingruber, supra note 58 at par. 14.57. 64 65 33 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 admissibility, thus attracting heavy criticism.66 As we shall see, some investment tribunals also made the same mistake and this led to applying the MFN clause to extend the tribunal’s jurisdiction beyond state’s consent. Granted, the distinction is often quite difficult to articulate. One oft-quoted formulation is by Judge Fitzmaurice, who wrote as follows: An objection to jurisdiction “is a plea that the tribunal itself is incompetent to give any ruling at all whether as to the merits or as to the admissibility of the claim”; An objection to admissibility “is a plea that the tribunal should rule the claim to be inadmissible on some ground other than its ultimate merits.”67 In short, the notion “jurisdiction” concerns the court’s competence to hear the case: the parties’ consent. Meanwhile, the notion “admissibility” concerns the propriety of the court’s hearing the case. As the ICJ put it, “… even if the Court has jurisdiction and the facts stated by One of the most famous examples of such judgment is the South West Africa Case (Second Phase), 1966 ICJ Rep. 6. In the investment arbitration context, the distinction between jurisdiction and admissibility is decisive in the fierce debate between the majority and the dissent in Abaclat and Others v. Argentina, ICSID Case No. ARB/07/5, Decision on Jurisdiction of 4 August 2011, a much celebrated decision where the majority decision accept jurisdiction to hear a mass-claim brought by 180,000 claimants – eventually down to 60,000. 67 Sir Gerald Fitzmaurice, The Law and Procedure of the International Court of Justice (2006) at 438-439. 66 34 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 the applicant State are assumed to be correct, nonetheless there are reasons why the Court should not proceed to an examination of the merits.”68 Some examples of objection on admissibility are those concerning the claimant’s standing,69 mootness of claim,70 necessary third party71 and exhaustion of local remedies.72 The last type of example is of particular interest here. In Hochtief, the tribunal considered that the requirement of 18month litigation period in local Argentinian court before instituting international arbitration proceedings could be regarded as “a provision going to the admissibility of the claim rather than to the jurisdiction of the Tribunal.”73 In the eyes of the tribunal, utilizing the MFN clause to allow the claimants the benefit of no waiting period in another treaty is merely an issue of procedures. Hence the tribunal operates within the framework of jurisdiction that it already had; this is not about creating or extending jurisdiction or state’s consent. Oil Platforms (Iran v. United States of America), 2003 I.C.J. Rep. 161 at par. 29. 69 E.g. Barcelona Traction, Light and Power (Belgium v. Spain), 1970 I.C.J. Rep. 3. 70 E.g. Northern Cameroon (Cameroon v. Nigeria), 1970 I.C.J. Rep 15. 71 E.g. Monetary Gold Removed from Rome (Albania v. Germany), 1954 I.C.J. Rep. 19. 72 E.g. Interhandel Case (Switzerland v. United States of America), 159 I.C.J. Rep. 6. 73 Hochtief, supra note 21 at par. 96. 68 35 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 It is difficult to see how such a view can be justified. If an investment treaty requires prior recourse to local courts before the investor may institute international arbitration, such recourse becomes a precondition to states’ consent to arbitration.74 As noted by Professor Stern in her Impregilo dissent, that condition qualifies state’s consent in the treaty and it is therefore a matter of jurisdiction.75 Seen this way, the invocation of MFN clause to import even a seemingly procedural rule (such as prior recourse to local remedies) from other treaties is in fact a jurisdictional issue.76 Indeed the logic of the Hochtief majority was severely criticized by arbitrator Thomas’ dissents, which refer to the majority’s reasoning as “putting the cart before the horse.”77 In this vein, whether the claimants attempt to extend the jurisdiction of the tribunal or borrow a more generous procedural rule from another treaty should not make any difference. All those attempts See Daimler, supra note 24 at 78-79; ICS Inspection, supra note 23 at 86. Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion] at par. 82-88. 76 For instance, see one commentator’s comment, “Presumably, if the exhaustion of local remedies is framed as a condition of consent in the BIT, then the matter is properly dealt with as a jurisdictional issue of consent, the claim itself being admissible.” [emphasis added], David A.R. Williams, Jurisdiction and Admissibility, in The Oxford Handbook of International Investment Law (2008) at 928. 77 Hochtief, supra note 21 [Thomas, separate and dissenting opinion] at par. 81. 74 75 36 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 should ultimately be considered as matters of jurisdiction that cannot be overcome by an MFN clause. It seems that those who advocate the application of MFN clause when the claimant merely tries to bypass procedural requirements have lost sight of this subtle but important distinction between jurisdiction and admissibility. c. The Intrinsic Distinction and Severability of Dispute Resolution Clause The rule of consent and a correct conception of jurisdictional matters, elaborated above, lead to the third fundamental concept: that dispute resolution clause is intrinsically distinct from MFN clause. This in fact merely reflects a general principle more commonly expressed in contract law: that a dispute resolution clause is severable from the rest of the agreement.78 It follows that a dispute resolution clause, and in particular the conditions for an investment tribunal’s jurisdiction, cannot fall within the ambit of an MFN clause. There are several reasons underlying this distinction. First, there’s a substantive-procedural distinction in that an MFN clause governs substantive aspect of a treaty while dispute resolution Plama, supra note 17 at par. 212: “This matter can also be viewed as forming part of the nowadays generally accepted principle of the separability (autonomy) of the arbitration clause. Dispute resolution provisions constitute an agreement on their own …”. For an example reflecting this principle under domestic law, see inter alia Article 10 of Indonesian Arbitration Law, supra note 61. 78 37 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 clause governs procedural aspect for the implementation of the treaty.79 This means that the ejusdem generis principle prevents the two to be equated, thus also preventing the MFN clause to be applied to dispute settlement mechanisms.80 In this vein, one can also easily relate this to such distinction made under international law more generally.81 There have been many instances where the ICJ has distinguished between substantive and procedural rules,82 and in particular relevance here: when the distinction led the court to decline jurisdiction when the nature of the substantive rule arguably calls for an opposite result.83 See, for example, Telenor, supra note 19 at par. 92. Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion] at par. 28. Based on the ejusdem generis principle, an MFN clause “can only attract matters belonging to the same category of subject as that to which the clause itself relates.” See Ambatielos Arbitration, supra note 47 at 107. Put differently, MFN clauses confer “only those rights which fall within the limits of the subject-matter of the clause.” See International Law Commission’s Draft Articles on Most-Favored-Nation Clauses, Yearbook of the International Law Commission, 1978, Vol. II, Part Two, Article 9.1. 81 For a comprehensive discussion on this point, see Stefan Talmon, Jus Cogens after Germany v. Italy: Substantive and Procedural Rules Distinguished, 25 Leiden J. Int’l. L. 979 (2012). 82 Most recently – and notably – in the decision where the court upheld Germany’s immunity before Italian courts in cases concerning allegation of jus cogens violations, Jurisdictional Immunities of the State (Germany v. Italy: Greece Intervening), 2012 ICJ Rep. 99. 83 Armed Activities on the Territory of the Congo (New Application: 2002) (Democratic Republic of Congo v. Rwanda) [Decision on Jurisdiction and Admissibility], 2006 ICJ Rep. 6 at par. 34. 79 80 38 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Second, there is a distinction between the rights as such and fundamental conditions for access to the rights, a point made by Professor Stern in her Impregilo dissent.84 Coming back to the rule of consent, she explained that unlike domestic legal order where jurisdictional treatment is inherent in substantive treatment (there is always an automatic recourse to courts to protect one’s right), in international legal order there is no such automatic recourse to adjudication. There is a supplementary condition in order for recourse to arbitration to be granted to investor.85 As MFN clause only applies to rights that investors do enjoy under a given treaty as opposed to rights for which certain conditions are still to be satisfied,86 it again follows that the ejusdem generis principle prevents the application of an MFN clause to jurisdictional matters governing the conditions of state’s consent to arbitrate. V. MFN Clauses in Indonesian Investment Treaties and Some Drafting Observations Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion] at par. 47. 85 Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion] at par. 45. 86 Endre Ustor, Report on Most Favored Nation Clause, Yearbook of the International Law Commission, Vol. II (1969) at 170. This was cited with approval in Telefonica v. Argentina, ICSID Case No. ARB/03/20, Decision of the Tribunal on Objections to Jurisdiction, 25 May 2006 at par. 99. 84 39 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Notwithstanding the correct position advocated in this article, in principle there is no bar for states to agree that MFN protection in an investment treaty is to extend to jurisdictional matters or vice versa.87 Either way, it is obviously very important to ensure that there is legal certainty about the effect (or lack thereof) of the MFN clause in a given treaty. When a dispute arises, the parties’ strategy and behavior will very much be shaped by their understanding of the rules governing dispute settlement: how long they should attempt negotiation, what action can they take afterwards and where, etc. As already noted, eventually much of the outcome in each case depends on the wording of the basic treaty. It goes without saying that a precise drafting of the clause will remove much of the controversy and surprise in the case. However, it seems that the MFN clauses in existing investment treaties concluded by Indonesia have not been conceived with this jurisdictional issue in mind – at least those that the author has reviewed.88 In fact, many of the treaties contain only general or standard Under international law, there is no general or principal restriction on states as to what can be agreed or governed in a treaty (see S.S. Wimbledon, (1923) PCIJ Ser. A No. 1 at 24) so long as the terms of the treaty does not violate jus cogens or peremptory norms, see Article 53 of the Vienna Convention on the Law of Treaties, 1155 UNTS 331 (1969) [VCLT]. 88 All treaties cited in this article are retrieved through the Indonesian Ministry of Foreign Affairs’ database at http://treaty.kemlu.go.id. 87 40 JURNAL OPINIO JURIS MFN clause.89 Vol. 16 Mei –September 2014 Therefore it leaves Indonesia vulnerable when facing an arbitration claim by foreign investors. Going forward, careful attention must be given when drafting and negotiating the MFN clause in an investment treaty. Below are some of the things that can be considered. a. Express Wording Either to Extend or Not to Extend MFN Benefit to Dispute Settlement or Jurisdictional Matters The clearest evidence of state parties’ intention is one that is expressly stated in the treaty. States may expressly provide that dispute settlement would be subjected to the MFN clause. Conversely, states wishing to exclude dispute resolution from the scope of MFN clause could also easily insert such wording in the BIT.90 For example of the former, Article 3(3) of the UK Model BIT provides: See, e.g., Article 3 of the Indonesia-Germany BIT; Article 4 of the Indonesia-Libya BIT; Article III of the Indonesia-Mozambique BIT; Article 3 of the Indonesia-Russia BIT; Article 3 of the Indonesia-Serbia BIT. 90 See for example the Free Trade of the Americas (FTAA) draft of 21 November 2003, where in reaction to the Maffezini decision states in footnote 13: “The Parties note the recent decision of the arbitral tribunal in the Maffezini (Arg.) v. Kingdom of Spain, which found an unusually broad most favored nation clause in an Argentina-Spain agreement to encompass international dispute resolution procedures. … By contrast, the Most-Favored-Nation Article of this Agreement is expressly limited in its scope to matters “with respect to the establishment, acquisition, expansion, management, conduct, operation, and sale or other disposition of investments.” The Parties share the understanding and intent that this clause does not encompass international dispute resolution mechanisms…” [Emphasis added]. 89 41 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 “For avoidance of doubt it is confirmed that the treatment provided for in paragraphs (1) and (2) above shall apply to the provisions of Articles 1 to 11 of this Agreement.”91 Some commentators seem to take the position that the state parties’ intention must be clearly envisaged in the treaty.92 However, this would be too restrictive. There is no reason not to subscribe to the parties’ intention if such intention can be clearly ascertained in some way, even if not expressed in the treaty itself. Article 31 and 32 of the Vienna Convention on the Law of Treaties (“VCLT”) do envisage such possibility by allowing recourse among others to contemporaneous documents or travaux preparatoire.93 As for Indonesia, none of its existing investment treaties reviewed by the author94 contain this kind of wording. For obvious reason, it is The 2005 version with amendments in 2006. Article 3 being the MFN clause while dispute settlement between investors and host state is governed in Article 8. 92 See Douglas, supra note 11 at 362. 93 Cf. Berschander, supra note 19 at 68, where the tribunal relied among others on evidence from the time of the negotiations of the BelgiumRussia BIT, which demonstrated that Russia did not intend for the MFN clause to extend to dispute resolution provisions. This led to the tribunal rejecting claimant’s plea to apply MFN clause to extend the tribunal’s jurisdiction beyond only determining the amount and mode of compensation (as provided in the basic treaty). 94 All of these treaties are cited in the footnotes or referred to in the text. 91 42 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 advisable to insert such clarification in future investment treaties – be it for applying or not applying the MFN clause to dispute settlement. b. Making the MFN Clause as Detailed as Possible, Enumerating its Scope of Application Another possibility is to enumerate the scope of the MFN clause in detail. If an MFN clause expressly provides for limitations, such limitations must be given effect. Some MFN clauses in Indonesian investment treaties follow this model.95 For example, Article 6(2) of the ASEAN Comprehensive Investment Agreement states: “Each Member State shall accord to investments of investors of another Member State treatment no less favorable than that it accords, in like circumstances, to investments in its territory of investors of any other Member State or a non-Member State with respect to the admission, establishment, acquisition, expansion, management, conduct, operation and sale or other disposition of investments..” Another example on a bilateral level is Article 4(2) of the Indonesia-UK BIT, which states: “Neither Contracting Party shall in its territory subject nationals or companies of the other Contracting Party, as regards their management, use, enjoyment or disposal of their investments, to See, e.g., Article 4 of Agreement on Investment under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Among the Governments of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea; Article 3(2) of the Indonesia-Denmark BIT. 95 43 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 treatment less favorable than that which it accords to nationals or companies of any third State.” Regarding this kind of wording, one commentator noted that “the settlement of disputes not being part of this enumeration, it is thus excluded from the scope of the clause.”96 While that is true, it is only one of the possible interpretations of the clause. In fact, the tribunal in Hochtief considered recourse to dispute settlement to be one aspect of investment “management”, leading to the pro-MFN decision.97 Therefore even a detailed enumeration may not be enough without an unequivocal clarification in the text of the treaty about the relation between MFN and dispute settlement. c. The “all matters” language in the MFN Clause There is at least one of Indonesian investment treaties that contain this kind of wording. Article 3(2) of the Indonesia-North Korea BIT states: “More particularly, each Contracting Party shall accord to such investments treatment which in any case shall not be less favorable than that accorded to investments of investors of any third state.” As regards an MFN clause containing a broad “all matters” language such as the one in Maffezini98 – or its variant like the above, it Gaillard, supra note 12 at 3; see also Vesel, supra note 11 at 185. Hochtief, supra note 21 at 17-18. 98 See above, section II(a). 96 97 44 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 may be argued that it is reasonable to extend the MFN benefit to dispute settlement based on the ordinary meaning of the text. While it is true that treaty interpretation requires tribunals to start from the ordinary meaning of the text, interpreting a treaty based on Article 31 of the VCLT99 is a holistic exercise whereby the text must also be interpreted in their context. In Berschander v. Russia, the tribunal refused to apply MFN to dispute settlement even though textually it is reasonable to do so; the MFN clause in the basic treaty being applicable to “all matters covered by the treaty” and “in particular to Articles 4, 5, and 6” [emphasis added].100 Hence, on its face there is no textual limitation to the application of MFN to dispute settlement. However, the tribunal considered that the MFN clause cannot be read literally, and applying it to some other articles – such as Article 1 governing definitions – would be nonsensical.101 Be that as it may, most tribunals facing an MFN clause which contains an “in all matters” wording – or its variant – tend to decide that the clause would also apply to dispute settlement.102 As such, an MFN VCLT, supra note 87. The provision states that a treaty “shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and purpose”. 100 Berschander, supra note 19 at 54. 101 Berschander, supra note 19 at 64-65. 102 This is the circumstance, among others, in Maffezini, supra note 6 and Impregilo, supra note 20 at par. 12, 103-104. The exception other than the Berschander tribunal is Wintershall, supra note 19. 99 45 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 clause containing wordings like “all matters” may still be interpreted either way. Therefore it is advisable for Indonesia to reconsider agreeing to such broad wording of MFN clause in future investment treaties. d. Expressly Limiting the Scope of an Arbitral Tribunal’s Jurisdiction in the Dispute Settlement Clause As noted above,103 the dispute resolution clause in Salini and Plama are two examples that limit a tribunal’s jurisdiction by excluding contractual claims or just deciding on the amount of compensation. However, there are at least two caveats. First, again the very unpredictable nature of investment tribunals’ jurisprudence means that decisions concerning MFN, even with a detailed dispute settlement clause, may still go either way. Second, the limitations put into dispute settlement clause more often is based on consideration pertaining to state policy concerning dispute settlement itself. For instance, it is well known that communist countries in the olden days were highly averse to international courts and tribunals, hence their BITSs contained highly restrictive dispute resolution clause.104 In this sense, the issue of MFN is merely an afterthought when drafting the dispute settlement clause – if considered at all. Therefore it would be less complicated to clarify the relation between MFN and dispute resolution in a separate provision. 103 104 46 See above, section II(b). See Berschander, supra note 19 at 68. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 VI. Conclusion In view of the highly divergent jurisprudence on the issue of MFN and dispute settlement, one should return to the fundamental concepts of consent, jurisdiction and severability of dispute settlement clause. This would lead to a correct basic position that an MFN clause does not apply to dispute settlement. In particular, an MFN clause cannot be used to apply jurisdictional terms from other treaties deemed to be more favorable for the claimant in investment arbitration. Nevertheless, it is ultimately up to state parties in the treaty to govern the relation between MFN and dispute settlement. A review of several investment treaties concluded by Indonesia show that this controversial issue has not been specifically addressed, opening the door for uncertainty should any dispute with an investor ends up in the hands of an investment tribunal. A more precise drafting of the clause would be necessary in future negotiation of investment treaties. 47 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 KEDAULATAN NEGARA DI RUANG MAYA : KRITIK UU ITE DALAM PEMIKIRAN SATIPTO RAHARDJO AP Edi Atmaja105 Abstrak State sovereignty is an important international law norm. Since the invention of the internet, which is a product of information technology developed in the globalization era, the scope of state sovereignty expanded through cyberspace. States try to enforce its sovereignty in this new sphere. In Indonesia, we can observe this phenomenon through the enactment of Law Number 11 Year 2008 on Electronic Information and Electronic Transaction (UU ITE). This paper intends to discuss the reinterpretation of the state sovereignty concept in the context of globalization and the development of information technology, especially the internet. Keywords: State sovereignty, cyberspace, globalization,UU ITE. Dalam nomenklatur hukum internasional, kedaulatan negara menjadi diktum primer yang demikian penting. Tiap-tiap negara di dunia diakui eksistensinya berkat kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Jika dikatakan bahwa suatu negara berdaulat, maka yang dimaksud adalah bahwa negara itu mempunyai suatu kekuasaan 105 48 Alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 tertinggi terhadap wilayah tertentu. Kekuasaan tertinggi terhadap wilayah tertentu sebangun dengan kewenangan negara untuk menerapkan hukum di wilayah tertentu yang dikuasainya, yang disebut sebagai yurisdiksi. Sejak kelahiran negara modern (modern state) pada abad keenambelas dan ke-tujuhbelas di Eropa, kedaulatan negara terus-menerus diperteguh Perjanjian Westphalia pada 1648 menandai otonomi negaranegara atas “negara induk” Imperium Romawi. Saat itulah negara-negara modern yang berdaulat mulai terbentuk. Puncak dari narasi historis kedaulatan negara tersebut adalah pada penyelenggaraan Konferensi Internasional Ketujuh Negara-negara Amerika di Montevideo, Uruguay. Dalam konferensi internasional yang digelar pada 26 Desember 1933 itu, negara-negara peserta merumuskan dokumen hukum yang masyhur sebagai Konvensi Montevideo (Convention on Rights and Duties of States, 1933). Konvensi tersebut mengatur sejumlah unsur yang mesti dimiliki oleh negara berdaulat, yakni (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah yang berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Wilayah atau ruang yang berbatas adalah unsur penting yang mesti dimiliki oleh suatu negara. Tanpa mempunyai wilayah tertentu, sebuah negara hanya nonsens belaka. Sebab, terhadap dan melalui wilayahlah negara menegakkan kekuasaan tertingginya: menjalankan yurisdiksi dan menerapkan hukum nasionalnya. Wilayah selama ini 49 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 dipahami dalam tiga dimensi, yaitu wilayah daratan, lautan, dan ruangudara. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa kedaulatan negara dibatasi oleh tiga dimensi tersebut. Perkembangan sains dan teknologi106 telah menyebabkan pelbagai perubahan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu perkembangan sains dan teknologi yang tengah melaju dengan sangat pesat adalah perkembangan di bidang teknologi informasi. Itu, antara lain, ditandai dengan kelahiran internet, yang secara keilmuan disebut sebagai ruang-maya (cyberspace). Dimensi kedaulatan negara pun meluas: tidak lagi terdiri dari wilayah daratan, lautan, dan ruang-udara, melainkan juga ruang-maya.Ruang-maya yang tercitra dari internet telah menciptakan suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum internet (the law of the internet), hukum ruang-maya (cyberspace law), atau hukum telematika. Berkat internet, pertukaran informasi berlangsung dengan lebih cepat dan semakin pesat. Internet beserta perangkat teknologi pendukungnya seolah-olah hendak dan telah menjadikan dunia nyaris 106 Term “teknologi” (technology) berakar dari bahasa Yunani, “technē”, yang tidak lepas dari dua macam makna. Technē tidak hanya dapat diartikan sebagai kegiatan atau keahlian dari para tukang (tektón, craftmanship), melainkan juga seni tentang pikiran dan seni yang indah: technē adalah juga puisi yang puitis. Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, and Other Essays, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William Lovitt (New York dan London: Garland Publishing, 1977), h. 12-13. 50 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 tanpa tapal-batas (borderless). Namun, dewasa ini internet hanyalah momok bagi sejumlah Negara yang membatasi akses internet warga negaranya. Beberapa negara di kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah memberlakukan restriksi ketat di internet. Di Suriah, seorang narablog ditangkap ketika hendak menghadiri konferensi di Yordania. Pemerintah Iran juga kerap kali memblokir situs-situs-web berbahasa Inggris seperti BBC dan Voice of America: mengalihkan perambanan ke situs-situs-web yang memuat nilai-nilai revolusi Iran.107 Di negara dengan kekuasaan media terpusat, internet menawarkan ruang diskusi yang unik di tengah sumpeknya pelbagai pembatasan yang dilakukan oleh otoritas penguasa. Internet menyajikan ruang berbagi informasi dan melalui internetlah kritik dan protes kepada penguasa dapat tersalurkan. Di banyak negara otoriter, internet telah menjadi sarana efektif bagi para pegiat demokrasi dan hak asasi manusia untuk memobilisasi kegiatannya. Di Indonesia, internet memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Meski dari segi persentase sebaran dan penetrasi populasi internet masih rendah, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di Asia Tenggara.108 Warnet 107 Ibid., h. 26. Indonesia Media Defense Litigation Network dan Institute for Criminal Justice Reform, 2000-2010: Kebebasan Internet Indonesia: Perjuangan Meretas Batas [Briefing Paper Nomor 3 Tahun 2011] (Jakarta: 2011). 108 51 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 mulai tersedia dan menjamur pada 1998 di pelbagai kota besar di Indonesia kendati akses internet pada kurun waktu 1998-2000 masih merupakan sebuah kemewahan untuk sebagian besar masyarakat. Internet sudah lama digunakan sebagai sarana terakhir tapi efektif oleh para pegiat demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia di tengah represi rezim Orde Baru. Tatkala pemberedelan demi pemberedelan surat kabar dan sensor televisi dengan gencar dilakukan oleh rezim Orde Baru dengan tujuan untuk membendung arus informasi dari dan untuk rakyat, internet nyaris tak tersentuh lantaran belum berkembang secara signifikan sehingga rezim Orde Baru tak perlu secara khusus menerbitkan regulasi yang membatasi akses internet. Kini setelah Orde Baru tumbang, seiring dengan bergulirnya globalisasi, arus informasi menjadi tak terbendung lagi. Beragam media, baik cetak maupun elektronik, bermunculan. Internet pun menjadi wahana baru dalam agenda penyebaran informasi itu. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Menurut Internet World Stats, per 30 Juni 2012 Indonesia menempati peringkat ke- 52 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 8 dunia dan peringkat ke-4 Asia dengan jumlah pengguna internet sebanyak 55.000.000 dengan penetrasi populasi sebesar 22,1 persen.109 Waspada terhadap kian menggeliatnya teknologi internet beserta jumlah penggunanya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menyiapkan sejumlah peraturan untuk mengatur beragam jenis dan model informasi. Salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE, selain menjadi pertanda berubahnya orientasi, model, dan sistem informasi di Indonesia, juga menandai kembalinya pembatasan negara atas informasi, termasuk informasi yang diterima melalui internet. Tak dapat dimungkiri, kemunculan internet telah menciptakan sebuah “dunia baru”, sebuah ruang-maya dengan rezim hukum sendiri yang melampaui batas-batas teritorial negara. Ambisi negara manapun di dunia ini adalah menegakkan kedaulatan hingga batas teritorial sejauhjauhnya. Hukum, dalam konteks semacam itu, adalah peranti ampuh untuk mengoperasionalkan ambisi negara berdaulat di ruang-maya. Kedaulatan Negara: Sebuah Paradoks Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo, suatu negara dianggap sebagai subyek hukum internasional (sehingga, dengan 109 Internet World Stats, op. cit. 53 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 demikian, berdaulat) ketika ia memiliki (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah yang berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Sejumlah sarjana, misalnya Oppenheim, Lauterpacht, Chen, Guggenheim, Anzilloti, dan Hans Kelsen, menambah satu lagi unsur negara berdaulat, yaitu pengakuan.110 Konvensi Montevideo sendiri menganggap pengakuan bukan sebagai keharusan yang bersifat konstitutif. Suatu negara, demikian Konvensi Montevideo, dapat dikatakan berdaulat dan menjadi subyek hukum internasional ditentukan oleh usaha-usaha, keadaan-keadaan yang nyata, dan kompetensinya menurut hukum nasional, serta tidak perlu menunggu diakui oleh negara lain. Dalam literatur hukum internasional, kedaulatan negara sering disebut sebagai prasyarat kemunculan yurisdiksi negara. Yurisdiksi negara adalah konsekuensi logis dari suatu negara yang berdaulat. Yurisdiksi negara, menurut Antonio Cassese, didefinisikan sebagai “kewenangan pemerintah pusat dari suatu negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi publik terhadap individu-individu yang berada dalam wilayahnya”.111 Hans Kelsen dalam bukunya, Principles of International Law, mengatakan bahwa yurisdiksi negara merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, prinsip persamaan kedudukan 110 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Bandung: Keni Media, 2011), h. 73. 111 Antonio Cassese, International Law, dikutip dalam Ibid., h. 163. 54 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 antarnegara, dan prinsip non-intervensi terhadap urusan domestik negara lain.112 Dalam perjalanan historisnya, kedaulatan negara sebagai sebuah gagasan kerap diwarnai kontroversi, perang, nuansa keagamaan, dan politik. Susunan politik dan praktik-praktik formal kedaulatan negara datang lebih dahulu ketimbang teori-teori akademik tentangnya,113 apalagi landasan yurisdisnya. Gagasan tentang kedaulatan negara terus eksis hingga permulaan abad keduapuluh satu, di mana terdapat paling tidak duaratus organisasi internasional yang bernama “negara” dan “bangsa”, dan tetap seperti itu hingga sekarang.114 Kedaulatan negara mulai dikenal sejak abad keenambelas dan ketujuhbelas dalam sejarah Eropa modern. Menjelang abad keenambelas dan ketujuhbelas, dilatarbelakangi oleh konflik keagamaan yang kuat dan hasrat kerajaan untuk mengekspansi wilayah kerajaan lain, perang pun berkecamuk di mana-mana. Wibawa Kekaisaran Agung Roma waktu itu mulai surut karena intervensi yang berlebihan oleh gereja atas kekaisaran, sehingga kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekaisaran enggan patuh. Lalu dimulailah apa yang dinamakan Perang Tiga Puluh (Thirty Years War, 1618-1648). 112 Hans Kelsen, Principles ofInternational Law, dikutip dalam ibid. Robert Jackson, op. cit., h. xi. 114 Ibid., h. ix. 113 55 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Akibat kerugian perang yang besar dan kekuatan yang selalu imbang, kerajaan-kerajaan terpaksa menerima pilihan bahwa perang harus diselesaikan lewat meja perundingan. Perjanjian Westphalia pada 1648 berhasil meredam perang dan mengawali babak baru terbentuknya negara modern yang berdaulat. Perjanjian Westphalia telah mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Agung Roma, juga menjadi simbol Eropa pascareformasi yang berdasar pada pengakuan internasional yang menguntungkan di antara negara-negara Protestan dan Katolik. Sejak 1648 banyak entitas politik bekas Kekaisaran Agung Roma menjadi merdeka dan menerapkan peraturannya sendiri. Kekaisaran Agung Roma masih ada, tetapi lebih berupa bayang-bayang dari dirinya sendiri.115 Perjanjian Westphalia terdiri dari dua subtraktat, yakni (1) traktat Osnabrück yang mengakhiri perselisihan antara Ratu Protestan Swedia melawan Kaisar Habsburg dari Kekaisaran Agung Roma dan (2) traktat Münster yang mengakhiri pertikaian antara Raja Katolik Prancis yang bertikai dengan Kekaisaran Agung Roma.116Perjanjian Westphalia juga memuat dua macam prinsip yang di kemudian hari menjadi landasan konsep kedaulatan negara modern. 115 Robert Jackson, op. cit., h. 52. Hizkia Yosias Simon Polimpung, op. cit., h. 144. 116 56 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Pertama, yurisdiksi penuh, yaitu hak raja untuk bebas mengatur wilayah kekuasaannya. Kedua, pengakuan bersama, yaitu pengakuan kedaulatan negara dari negara berdaulat lain yang kemudian melahirkan prinsip non-intervensi.117 Dengan demikian, terang bahwa gagasan tentang kedaulatan negara sejatinya tak bisa dilepaskan dari narasi historis, situasi politik, ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Globalisasi dan Penguasaan Teknologi Globalisasi adalah tema sentral pasca-berakhirnya Perang Dingin. Berakar dari kata “globe” (dunia, bola), globalisasi (globalization) secara harfiah dapat dimaknai sebagai proses menduniakan segala hal, membuat segala hal terhubung selayaknya bola. Dalam banyak literatur, konsep tentang globalisasi kerap kali dibicarakan seturut konsep kapitalisme atau liberalisme dalam bidang ekonomi. F.X. Adji Samekto menyatakan bahwa sejak globalisasi diwacanakan pada dekade 1990-an, digulirkan pula isu demokratisasi ke seluruh dunia dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi.118Ia menilai, ada semacam simbiosis mutualisme antara tuntutan diberlakukannya sistem demokrasi dengan pasar bebas, yakni bahwa pasar bebas bakal memberi keuntungan bagi kepentingan 117 Ibid., h. 146-147. F.X. Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisasi, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. 61. 118 dan Kerusakan Lingkungan 57 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 kapitalisme di wilayah tempat permintaan dan penawaran berlangsung yang dijamin dengan adanya demokrasi. Dalam globalisasi, negara-negara berupaya meraih internet, yang merupakan simbol bahwa setiap negara menjadi terhubung kian erat dengan negara lain, dan tak seorang pun yang benar-benar berwenang atas negara-negara tersebut.119 Seturut dengan Thomas L. Friedman, Alison Brysk, mahaguru dalam ilmu politik pada Universitas California, juga mengungkapkan pandangannya tentang relasi antara negara dan informasi. Menurut Brysk, negara bisa saja melakukan perubahan dari atas dan bawah karena negaralah yang berwenang mengendalikan wilayah, kekuasaan, dan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Namun, negara tidak bisa (dan tidak boleh) memonopoli informasi.120 Negara-negara yang melibatkan diri dalam globalisasi wajib mempunyai sumber daya teknologi baru, terutama teknologi informasi, komputer, dan peranti yang lain untuk berhubungan dengan dunia luar. Namun, menurut Joseph E. Stiglitz, teknologi canggih adalah permainan tingkat tinggi yang membutuhkan dukungan investasi yang sangat besar. 119 Ibid. Shayne Weyker, “The Ironies of Information Technology” dalam Alison Brysk (ed.), Globalization and Human Rights (California: University of California Press, 2002), h. 116. 120 58 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Hanya negara-negara industri maju dan perusahaan-perusahaan besar yang dapat memiliki teknologi canggih.121 Joseph E. Stiglitz, mantan senior vice precident World Bank dan pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi pada 2001, membuat ilustrasi faktual berkenaan dengan relasi antara globalisasi dan penguasaan teknologi: [K]ota Bongalore di India memiliki teknologi dan orang-orang untuk menjalankannya, namun tidak demikian halnya dengan Afrika. Pada saat globalisasi dan teknologi baru mengurangi kesenjangan antara India, China, dan negara-negara industri maju, kesenjangan antara Afrika dan belahan dunia yang lain justru meningkat. Demikian pula halnya dalam suatu negara, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin meningkat. Dan bersama dengan itu, kesenjangan antara mereka yang mampu dan tidak mampu bersaing juga meningkat.122 Ruang-maya dan Hukum Internet “Ruang-maya” merupakan terjemahan bebas penulis atas term “cyberspace” yang kerap digunakan para sarjana untuk mengidentifikasi sebuah ruang yang tercipta karena kemajuan teknologi informasi, 121 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi menuju Dunia yang Lebih Adil, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi (Bandung: Mizan, 2007), h. 117. 122 Ibid., h. 116-117. 59 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 khususnya internet. Dalam banyak literatur yang penulis temukan, istilah “cyberspace” kerap kali diasosiasikan atau bahkan dipersamakan dengan internet, teknologi informasi yang lahir sejak ditemukannya World Wide Web.123 Ruang-maya dipahami sebagai internet itu sendiri. Menurut Lawrence Lessig, pendapat ini kurang tepat. Ruang-maya memiliki pengertian yang lebih luas ketimbang internet. Meskipun Lawrence Lessig mengakui bahwa tidak ada garis tegas yang membedakan ruangmaya dengan internet, ia menulis: [F]or most of us over the age of 40, there is no “cyberspace”, even if there is an Internet. Most of us don’t live a life online that would qualify as a life in “cyberspace”. But for our kids, cyberspace is increasingly their second life. There are millions who spend hundreds of hours a month in the alternative worlds of cyberspace [...] if you care to understand anything about the world 123 World Wide Web (WWW) adalah dasar dari internet yang kita kenal sekarang ini. Sebelum WWW ditemukan oleh Tim Berners-Lee internet memang sudah ada, namun komunikasi antarkomputer lebih banyak menggunakan file transfer protocol (FTP). Untuk bisa mengakses halaman FTP, kita harus mengetahui alamat internet protocol (IP) situs-web bersangkutan, yang terdiri dari barisan angka, misalnya 103.22.137.70. Internet pra-WWW juga tidak bisa berpindah laman dengan mudah karena laman diorganisasikan dalam bentuk database berupa folder-folder yang berisi puluhan file. Tautan (link, hyperlink) belum ada waktu itu. Untuk berpindah halaman pengguna harus mengetahui lokasi persis file yang diinginkan dalam server. Basfin Siregar, “20 Tahun World Wide Web” dalam Gatra Edisi 27/XIX, 15 Mei 2013 (Rubrik Ragam). 60 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 the next generation will inhabit, you should spend some time understanding “cyberspace”.124 Dengan menggunakan term “maya”,125 penulis tidak sepenuhnya menolak argumentasi Edmon Makarim yang mengatakan bahwa substansi dari cyberspace adalah keberadaan informasi konkret yang dilakukan secara elektronis dalam bentuk visualisasi tatap-muka yang interaktif dengan merepresentasikan informasi digital (0-1) yang bersifat diskrit (bulat).126 Sehingga ruang-maya sebetulnya bukan benar-benar maya, tetapi masih berupa kenyataan yang sedikit-banyak memiliki koneksi dengan dunia-kehidupan (Lebenswelt).127 Pemilihan kata “ruang” menurut penulis cukup tepat karena istilah itu memiliki makna ganda yang sangat mendukung tema risalah ini. Pertama, “ruang” berarti rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang. Namun, kedua, “ruang” juga memiliki pengertian lain yang 124 Lawrence Lessig, Code: Version 2.0 (New York: Basic Books, 2006), h. 9. Term “maya” menurut KBBI adalah “hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan-angan; khayalan”. Ebta Setiawan, KBBI Offline Versi 1.3 (2011). Data dalam perangkat-lunak ini diambil dari KBBI Daring Edisi III terbitan Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 126 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 5. 127 Dunia-kehidupan adalah alam sehari-hari sebelum ditafsirkan melalui pendekatanpendekatan ilmiah akademis; obyek kajian fenomenologis ala Edmund Husserl (18591938). F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005), h. 24. 125 61 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 kontradiktif dengan pengertian sebelumnya, yaitu rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada.128 Dalam pelbagai literatur, hukum yang digunakan untuk mengatur kegiatan di ruang-maya dikenal dengan banyak sebutan. Ada yang mengistilahkannya dengan cyberlaw, the law of the internet, the law of information technology, the telecommunication law, dan lex informatica.129 Barda Nawawi Arief menyebutnya hukum mayantara dan tindak pidana yang berkaitan dengan hukum itu disebut sebagai tindak pidana mayantara.130 Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology) dan hukum dunia maya (virtual world law). Edmon Makarim mengkritik pemakaian istilah cyberlaw yang lebih populer ketimbang istilah lain untuk menyebut hukum yang mengatur kegiatan di ruang-maya. Menurut Edmon Makarim, istilah cyberlaw lebih patut ditujukan untuk hukum fisika yang berlaku terhadap arus listrik dalam kawat,131 bukan yang selama ini dipahami orang sebagai hukum 128 Ebta Setiawan, op. cit. Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi: Regulasi dan Konvergensi (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 129. 130 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006). 131 Term cyber pertama kali dikemukakan André-Marie Ampère (1775-1836) untuk menyebut satuan kuat arus listrik. Edmon Makarim, op. cit., h. 6. 129 62 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 yang muncul dalam ruang-maya (cyberspace). Sehingga istilah yang tepat adalah cyberspace-law, bukan cyberlaw.132 Dalam diskursus tentang hukum internet, menurut Antonio Segura-Serrano terdapat tiga kelompok yang memiliki pendapat berseberangan.133Kelompok pertama adalah kelompok liberal. Menurut kelompok yang terdiri dari para sarjana Amerika Serikat ini, internet tak akan bisa dan tak seharusnya diatur oleh siapa pun, termasuk negara. Di samping mengatur internet adalah suatu ketidakmungkinan, menjaga agar internet tetap bebas dari peraturan juga sangat diperlukan. Kelompok liberal berpandangan bahwa internet tidak memiliki yurisdiksi (ajurisdictional).134 Dalam analisis lebih lanjut mengenai kelompok liberal, meskipun pada pokoknya menganut satu pemikiran bahwa internet mesti dimiliki secara bebas oleh warga internet (internet citizen, netizen) dan bebas dari aturan-aturan negara yang tradisional, ditemukan perbedaan antara kaum ekstremis-liberal yang menuntut kebebasan mutlak di ruang-maya dan kaum yang menyarankan pemerintahan-sendiri atau pengaturan sendiri (self-governance, self-regulation) untuk mengatur kegiatan di ruang- 132 Ibid., h. 7. Antonio Segura-Serrano, “Internet Regulation and the Role of International Law”, dalam A. von Bogdandy dan R. Wolfrum (ed.), Max Planck Yearbook of United Nations Law Volume 10 (Netherlands: Koninklijke Brill, 2006), h. 194-200. 134 Ibid., h. 195. 133 63 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 maya. Bagi kaum yang mendukung pemerintahan-sendiri, hukum internet tidak dibangun oleh sesuatu yang jauh dari internet itu sendiri, baik oleh pemerintah maupun legislator tradisional, tetapi oleh “penghuni” ruang-maya, para netizen itu. Para netizen inilah konstituen yang sah dari ruang sosial baru mereka dengan membangun semacam etiket di internet (internet etiquette, netiket) yang dikembangkan sepanjang waktu, semacam lex mercatoria baru.135 Salah satu masalah yang cukup rumit bagi para pendukung pengaturan-sendiri adalah sejauh mana peraturan yang dibuat sendiri itu berjalan. Apakah pengaturan-sendiri itu berlaku untuk seluruh pengguna atau komunitas internet ataukah untuk sebagian saja? Masalah lain adalah penegakan hukum. Bagaimana menegakkan peraturan kalau tidak ada sanksi fisik? Ada usulan bahwa sanksi dapat dilakukan dengan pengusiran (expulsion) pengguna dari komunitas internet dengan menggunakan mekanisme tertentu. Namun, usulan ini dianggap masih kurang dapat memecahkan persoalan.136 Kelompok ke-dua adalah kelompok tradisionalis. Kelompok ini menganggap bahwa internet seharusnya diatur oleh institusi hukum dan politik suatu negara. Negara, yang berdasar pada pemilihan umum yang 135 Ibid., h. 196. Lex mercatoria (the law of merchant) adalah hukum yang dibentuk secara otonom oleh para pedagang pada Abad Pertengahan. 136 Ibid., h. 197. 64 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 demokratis dan supremasi hukum, memiliki kewenangan yang sah untuk menegakkan peraturan-peraturan yang dibutuhkan untuk mengelola ruang-maya. Tujuannya adalah untuk mencegah kekacauan akibat ketiadaan hukum di ruang-maya.137 Internet dianggap semata-mata sebagai produk teknologi informasi, bukan ruang fisik yang berbeda dari dunia nyata dan tidak pula memiliki yurisdiksi sendiri. Pandangan semacam inilah yang dianut oleh sebagian besar negara-negara berdaulat di dunia ini. Bahkan negara seliberal Amerika Serikat pun menganut pandangan ini. Di Indonesia, pandangan ini mengejawantah melalui UU ITE yang menganut asas yurisdiksi ekstrateritorial yang termaktub dalam Pasal 2.138 Ke-tiga, kelompok tengahan. Kelompok ini mencoba melakukan pencampuran regulasi antara peraturan nasional dan peraturan-sendiri untuk menciptakan regulasi ruang-maya (cyberspace regulation). Regulasi hibrida ini diyakini bakal menjamin kepastian, kelenturan, dan penegakan yang diperlukan terkait dengan regulasi internet sebagai sebuah sistem hukum. 137 Ibid., h. 198. Pasal 24 Ayat (1) menyatakan, “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.” 138 65 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Arsitektur Internet dan Fungsi Regulasi Negara Dalam bukunya, Code: Version 2.0 (2006), yang merupakan edisi revisi atas buku sebelumnya, Code and Other Laws of Cyberspace (2000), Lawrence Lessig menyebutkan soal regulabilitas (regulability) di ruangmaya. Regulabilitas adalah kemampuan pemerintah untuk mengatur tingkah laku hingga ranah yang sepatutnya. Dalam konteks internet, regulabilitas berarti kemampuan pemerintah untuk mengatur tingkah laku warga negara di internet. Untuk dapat mengatur dengan baik, menurut Lessig, harus diketahui (1) siapa yang diatur, (2) di mana mereka, dan (3) apa yang mereka lakukan.139 Berkenaan dengan tiga hal tersebut, Lessig menerangkan arsitektur kendali (architectures of control) yang berlaku secara alamiah di internet. Arsitektur kendali mengandung makna bahwa jika negara tidak mengetahui benar siapa yang diatur, di mana dia atau mereka, atau apa yang dia atau mereka lakukan, negara tidak dapat mengatur internet secara semena-mena. Internet secara alamiah memiliki arsitekturnya sendiri, dan mengatur perilaku manusia di internet bukanlah sesuatu yang mudah. Internet pada dasarnya tidak dirancang (architected) oleh negara, melainkan oleh para pengguna internet itu sendiri, dengan tujuan untuk perdagangan. Internet tidak tercipta karena konspirasi pemerintah, 139 66 Lawrence Lessig, Code: Version 2.0, op. cit., h. 23. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 tetapi semata-mata sebagai konsekuensi dari perubahan yang dibuat secara pragmatis, yang bermotifkan ekonomi.140 Untuk menetapkan regulasi di ruang-maya, negara perlu memastikan “siapa melakukan apa dan di mana”. Untuk mengetahui “siapa”, negara harus mengetahui cara kerja “identifikasi” secara umum dan bagaimana ia bekerja di dalam internet. Identifikasi berpusar pada tiga hal, yaitu (1) “identitas”, (2) “otentikasi”, (3) dan “surat kepercayaan”.141 Identitas dapat ditunjukkan, misalnya, dengan memperlihatkan kartu tanda penduduk (KTP). KTP memuat, antara lain, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan status perkawinan. Namun, KTP perlu diotentikasi: apakah benar bahwa si fulan sudah menikah? Bagaimana jika ia menunjukkan cincin kawinnya? Tetapi, apakah benar cincin yang dipakai di jarinya itu adalah sebuah cincin kawin? Untuk lebih memberi kepastian pada otentikasi, dibutuhkan surat kepercayaan. Oh, ya, si fulan memang sudah menikah; buktinya, ia dapat menunjukkan akta nikahnya. Maka kita pun merasa teryakinkan akan kepastian status si fulan. Surat 140 Ibid., 38. Lessig mencontohkan satu peristiwa di Jerman pada Januari 1995. Pada masa itu, Jerman menetapkan aturan tentang pornografi. Compuserve, penyelenggara jasa internet besar pertama di Amerika Serikat, menyediakan konten porno dalam layanannya. Pemerintah Jerman memerintahkan Compuserve agar menghapus layanan pornonya. Bila tidak, pemerintah mengancam akan memidanakan pimpinannya. Tetapi Compuserve gamang. Menghapus layanan porno berarti menghapus seluruh layanan porno di seluruh dunia. Akhirnya, karena tidak mau merugi, Compuserve membuat sistem yang mampu memfilter konten secara negara per negara. Ibid., h. 39. Dari sini dapat ditangkap pengertian bahwa kendali utama internet sesungguhnya bukan negara. 141 Ibid. 67 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 kepercayaan, dengan demikian, menjadi peranti yang tak terelakkan untuk “mengamankan” proses otentikasi.142 Identifikasi dan otentikasi di dunia nyata dan ruang-maya secara teoretis tampak sama, tetapi secara praktis jauh berbeda. Internet dibangun dari seperangkat protokol yang secara umum disebut dengan TCP/IP.143 Dalam TCP/IP terkandung protokol-protokol untuk pertukaran data di antara dua mesin pada suatu jaringan. Sistem mengambil sejumput data (misalnya sebuah file), memotong-motongnya ke dalam paket, dan mengirim paket itu ke alamat pengiriman (disebut “alamat IP”). Paket melewati jalan (disebut “routers”) sebelum sampai ke mesin penerima dan menggabungkan file yang terpotong-potong tadi melalui kode algoritma. Namun, dalam jaringan itu tidak terkandung otentikasi apapun yang menunjukkan apa isi paket itu, datang dari mana, dan dari siapa.144 Interpretasi mesinlah yang kemudian akan menerima (disebut “mengenkripsi”) paket itu dalam wujudnya yang anonim. Minimalitas arsitektur internet yang semacam itu bukanlah sebuah kekurangan. Justru karena arsitektur internet yang sesederhana 142 Ibid., h. 42. Transmission Control Protocol/Internet Protocol. Dua buah protokol yang dipakai secara bersama-sama. Protokol transmisi yang jamak digunakan pada internet dewasa ini. 144 Ibid., 44. 143 68 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 itu, maka fungsi yang berbeda-beda bergantung pada aplikasi yang menerima data dapat dimungkinkan. Fungsionalitas internet ditampilkan oleh aplikasi yang terkoneksi ke internet, bukan oleh internet itu sendiri. Prinsip itu dinamakan oleh para arsitek internet seperti Jerome Saltzer, David Clark, dan David Reed sebagai prinsip end-to-end. Prinsip end-toend adalah inti arsitektur internet, dan menjadi alasan mengapa internet bertumbuh dan berinovasi dengan sangat pesat. Menurut prinsip end-toend, jika di dunia nyata anonimitas sengaja diciptakan, di ruang-maya anonimitas terberi (given).145 Ketiadaan otentikasi relatif di ruang-maya membuat sangat sulit mengatur perilaku di sana. Negara bisa saja berkata, “Jangan biarkan anak-anak melihat tayangan porno,” tetapi operator situs-web tidak akan pernah dapat mengetahui entitas yang mengakses situs-webnya itu adalah anak kecil ataukah orang dewasa. Hanya saja, situs-web tertentu yang mensyaratkan pendaftaran bagi penggunanya dapat mengenali identitas pengguna internet yang bersangkutan, misalnya Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lain. Namun, identifikasi di ruang-maya masih menyisakan persoalan: apakah identitas yang dikenali internet adalah identitas yang benar-benar eksis dan sama di dunia nyata? Edisi ke-2 buku Lessig sesungguhnya bertolak belakang secara substansial dengan edisi pertama bukunya. Kalau dalam Code and Other 145 Ibid., 45. 69 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Laws of Cyberspace (2000) Lessig cenderung bersikukuh bahwa negara tidak akan pernah dapat mengatur internet dan hal itu adalah sesuatu yang baik, maka pada Code: Version 2.0 (2006) pendapat Lessig justru sebaliknya. Meskipun merupakan sesuatu yang lumrah jika mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat mengatur internet, untuk hal-hal tertentu seperti kepentingan pemberantasan spam, virus komputer, pencurian identitas, pembajakan karya kekayaan intelektual, dan eksploitasi seksual terhadap anak-anak regulasi negara amat sangat diperlukan.146 Namun, menurut Lessig, masa ketika negara memiliki kemampuan untuk menegakkan regulasi secara partikular semacam itu masih akan jauh bagi kita. Skeptisisme tersebut berasal dari asumsi bahwa (1) negara masih belum dapat membebaskan fungsi kepemerintahannya dari penyakit bernama korupsi dan (2) sampai saat ini belum ada pengakuan yang total dari semua kalangan mengenai bagaimana bekerjanya regulasi di ruang-maya.147 Kritik terhadap UU ITE Sekilas UU ITE 146 Ibid., 27. Ibid., 28. 147 70 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Regulasi dalam sektor teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia sebenarnya berawal dari sejumlah penelitian. Bila dicermati, penelitian tersebut lebih merupakan penelitian dengan tema terbatas dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan telekomunikasi. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika RI bekerjasama dengan pusatpusat studi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tentang implikasi teknologi dalam kegiatan telekomunikasi dan penyusunan cetak-biru sektor telekomunikasi dalam kerangka kerja WTO. Terkait regulasi di bidang teknologi informasi, penelitian dilakukan sejak 1999 oleh Pusat Studi Cyberlaw Universitas Padjadjaran bekerjasama dengan Jurusan Teknologi Elektro Institut Teknologi Bandung dan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI dalam rangka menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI).148 Pada tahun 2000, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI juga melakukan penelitian untuk menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE). Pada tahun 2003, kedua naskah akademik tersebut diselaraskan menjadi satu rancangan undang- 148 Danrivanto Budhijanto, op. cit., h. 131. 71 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 undang dengan nama Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). Sejak Departemen Komunikasi dan Informatika RI terbentuk tahun 2005, wacana untuk menindaklanjuti Rancangan UU ITE kembali digelindingkan, dan akhirnya diselesaikan Pada Maret 2008. UU ITE yang terdiri dari 13 bab dan 54 pasal merupakan rezim hukum baru dalam khazanah peraturan perundang-undangan RI. Asasasas baru yang kurang lazim atau belum dikenal dalam regulasi nasional menjiwai rumusan pasal UU ITE, semisal asas yurisdiksi ekstrateritorial dan asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Cakupan materi UU ITE pun tergolong baru. Dalam undangundang ini dikenal informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah, pengakuan atas tanda tangan elektronik, penyelenggaraan sertifikasi dan sistem elektronik, nama domain, hak kekayaan intelektual di ruang-maya, dan sebagainya.149 UU ITE juga mensyaratkan kemunculan lembaga-lembaga baru yang menurut undang-undang ini akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. Sejumlah peraturan pemerintah yang mesti dibuat guna menyokong efektivitas keberlakuan UU ITE antara lain Peraturan 149 Danrivanto Budhijanto, op. cit., h. 133-134. 72 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Pemerintah tentang Lembaga Sertifikasi Keandalan (amanat Pasal 10 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Tanda Tangan Elektronik (amanat Pasal 11 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (amanat Pasal 13 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik (amanat Pasal 16 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Elektronik (amanat Pasal 17 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Agen Elektronik (amanat Pasal 22 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Pengelola Nama Domain (amanat Pasal 24 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Intersepsi (amanat Pasal 31 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Data Strategis (amanat Pasal 40 UU ITE). Asas Yurisdiksi Ekstrateritorial tanpa Asas Keadilan Sesuatu yang menarik dari UU ITE adalah dalam hal dirumuskannya Pasal 2 yang menyebutkan bahwa UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Redaksi yang kurang-lebih serupa juga terdapat dalam Pasal 37 yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai 73 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.”150Dengan membaca kedua pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yurisdiksi UU ITE tidak hanya berlaku pada wilayah kedaulatan Indonesia, melainkan juga di luar Indonesia. Dengan kata lain, Pasal 2 dan Pasal 37 UU ITE telah melampaui (ekstra) asas yurisdiksi teritorial. Sebagaimana dikemukakan Huala Adolf, asas-asas yurisdiski dapat digolongkan menjadi empat macam.151Pertama, asas yurisdiski teritorial. Menurut asas ini, negara mempunyai yurisdiksi atas semua persoalan atau kejadian di dalam wilayahnya. Asas ini begitu penting dalam hukum internasional sehingga dikatakan bahwa wilayah merupakan dasar fundamental (fundamental bases) untuk ditegakkannya yurisdiksi negara. Selain wilayah negara dalam pengertian konvensional, yurisdiksi teritorial juga berlaku dalam bentuk (1) hak lintas damai di laut teritorial, (2) kapal berbendera asing di laut teritorial, (3) pelabuhan, (4) dan orang asing. Pengecualian terhadap yurisdiksi teritorial berlaku pada (1) negara dan kepala negara asing, (2) perwakilan diplomatik dan konsuler, (3) 150 Rumusan Pasal 37 UU ITE menurut penulis adalah rumusan yang mubazir atau boros karena mengulang ketentuan yang sebenarnya telah tercakup pada pasal sebelumnya, yaitu Pasal 2 UU ITE. 151 Huala Adolf, op. cit., h. 166. 74 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 kapal pemerintah negara asing, (4) angkatan bersenjata negara asing, dan (5) organisasi internasional.152 Kedua, asas yurisdiksi personal. Menurut asas ini, suatu negara dapat mengadili kejahatan yang dilakukan warganya di mana pun ia berada. Sebaliknya, merupakan kewajiban negara untuk memberi perlindungan kepada warganya di mana pun ia berada. Kedua macam proposisi tersebut kemudian berkembang menjadi asas baru yang menjadi bagian dari asas yurisdiksi personal, yaitu (1) yurisdiksi personal aktif (yurisdiksi yang diberlakukan kepada warga negara di luar negeri) dan (2) yurisdiksi personal pasif (yurisdiksi yang diberlakukan kepada warga negara asing yang melakukan perbuatan hukum [termasuk kejahatan atau tindak pidana] terhadap warga negaranya).153 Ketiga, asas yurisdiksi perlindungan. Berdasarkan asas ini, suatu negara dapat menegakkan yurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan, keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara tersebut. Kejahatan yang dimaksud bisa berupa rencana penggulingan pemerintah, pemalsuan uang, spionase, atau penyerangan terhadap diplomat di luar 152 153 Ibid., h. 173. Ibid., h. 189. 75 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 negeri. Pada pokoknya, fungsi asas ini adalah untuk melindungi fungsifungsi kepemerintahan (governmental functions) suatu negara.154 Keempat, asas yurisdiksi universal. Menurut asas ini, negaranegara memiliki yurisdiksi atas segala kejahatan yang dianggap mengancam masyarakat internasional. Asas yurisdiksi universal bertolak dari asumsi bahwa karena tidak ada organisasi peradilan internasional yang dapat mengadili kejahatan yang dilakukan oleh individu, maka hal itu menjadi urusan negara masing-masing. Berdasarkan asas-asas yurisdiksi sebagaimana disampaikan Huala Adolf itu, diketahui bahwa yurisdiksi yang bersifat melampaui wilayah negara (asas nomenklatur yurisdiksi hukum ekstrateritorial) internasional. memang Dalam dikenal rangka dalam menegakkan kedaulatannya hingga keluar batas-batas wilayahnya, negara bisa saja mendasarkan diri pada argumen bahwa hal itu dilakukan demi (1) melindungi warganya (asas yurisdiksi personal pasif), (2) alasan keamanan negara (asas yurisdiksi perlindungan), dan (3) tiadanya peradilan yang memperoleh legitimasi untuk mengadili individu (asas yurisdiksi universal). 154 Ibid., h. 191. 76 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Namun, mesti dipahami bahwa penegakan asas yurisdiksi ekstrateritorial masih menimbulkan banyak persoalan. Persoalan pertama menyangkut subyektivitas argumentasi yang melatarbelakanginya. Pada akhirnya akan timbul kesan bahwa penerapan asas asas yurisdiksi ekstrateritorial lebih merupakan upaya suatu negara untuk mengintervensi kedaulatan negara lain. Persoalan kedua berkenaan dengan substansi argumen-argumen tersebut. Yurisdiksi negara dapat meluas hingga keluar wilayahnya jika terpenuhi alasan-alasan krusial terkait dengan fondasi kenegaraan, yakni perlindungan terhadap warga dan keamanan negara. Pasal 2 UU ITE memuat asas yurisdiksi ekstrateritorial dengan sangat jelas. Tersurat bahwa konstruksi hukum UU ITE bukan hanya berlaku bagi warga negara Indonesia, melainkan juga warga negara asing, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Argumen yuridis yang mendasari berlakunya pasal itu adalah apabila perbuatan hukum yang dilakukan “memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia”. Dengan demikian jelas bahwa akibat hukum di dalam dan/atau di luar wilayah Indonesia saja tidak cukup, tetapi perbuatan hukum itu juga harus merugikan kepentingan Indonesia. Hal lain yang menarik dari UU ITE adalah belum dirasakannya asas keadilan. Pasal 3 UU ITE hanya mengatakan bahwa “pemanfaatan 77 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”155 Asas keadilan biasanya bersanding dengan asas kepastian hukum dan kemanfaatan, sebagaimana diungkapkan Gustav Radbruch ketika menjelaskan tiga nilai dasar dari hukum.156 Nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum adalah nilainilai yang mendasari berlakunya hukum. Tidak ditegaskannya asas keadilan dalam UU ITE dapat dikatakan sebagai pengabaian keadilan sebagai dasar atas berlakunya hukum. Mengesampingkan asas keadilan dalam teks undang-undang sama saja dengan tidak berupaya untuk menegakkan keadilan. Keadilan sangat penting mengingat UU ITE banyak memuat rumusan pidana yang ditujukan kepada warga negara. Alpa mencantumkan asas keadilan dalam UU ITE sama saja dengan berpikiran bahwa keadilan di ruang-maya tak perlu diwujudkan melalui undang-undang tersebut. Relasi Negara dan Masyarakat 155 Cetak miring dari penulis. Gustav Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft, dikutip dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op. cit., h. 19. Menurut Radbruch, nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum memiliki ketegangan (Spannungsverhältnis) satu-sama-lain. Ketiganya mengandung tuntutan berlainan yang kadang saling bertentangan. 156 78 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam UU ITE. Sejumlah pasal mengatur tentang peran masyarakat. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 23 Ayat (1) dan (3),157 Pasal 24 Ayat (1),158 Pasal 38 Ayat (2),159 dan Pasal 41.160 Dari rumusan pasal-pasal itu tampak bahwa urusan menegakkan hukum internet oleh negara tidak akan berhasil tanpa sokongan masyarakat, baik masyarakat secara umum maupun masyarakat pengguna internet. Mengacu pada pendapat Antonio Segura-Serrano yang mengklasifikasikan tiga kelompok yang memiliki pandangan berbeda tentang hukum internet, masyarakat mempunyai peran yang tidak kecil dalam menjaga kenyamanan atau bekerjanya suatu kondisivitas di ruangmaya. Masyarakat memiliki peran yang sentral karena tujuan hukum 157 Pasal 23 Ayat (1) dan (3) menyatakan, “(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. (3) (3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.” 158 Pasal 24 Ayat (1) menyatakan, “(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masyarakat.” 159 Pasal 38 Ayat (2) menyatakan, “(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” 160 Pasal 41 menyatakan, “(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. (3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.” 79 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 internet sebenarnya adalah untuk mengatur masyarakat, manusiamanusia yang saling berinteraksi di ruang-maya. Masyarakat, berdasarkan pendapat Antonio Segura-Serrano, bahkan dimungkinkan untuk membentuk hukum internetnya sendiri. Pada kenyataannya, suatu negara berdaulat selalu berupaya memperluas dan menegakkan kedaulatannya hingga batas yang paling jauh. UU ITE adalah bukti nyata hasrat negara (Indonesia) untuk menegakkan kedaulatannya di ruang-maya. Padahal menurut Satjipto Rahardjo, selain hukum negara, ada kekuatan lain yang diam-diam bekerja di masyarakat.161 Berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial di luar dirinya, hukum hanya akan menempati kedudukan yang bersifat tergantung pada permainan kekuatan-kekuatan tersebut.162 Oleh karena itu, harus ada relasi yang harmonis antara masyarakat dan negara dalam menyusun dan menegakkan hukum di ruang-maya. Negara bisa saja menetapkan peraturan, menyusun sanksi, dan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di ruangmaya, namun semua itu tidak akan pernah efektif jika tidak didukung oleh peran serta dan dukungan masyarakat. Fungsi negara di ruang-maya sejatinya hanya mengatur tanpa mengganggu “kehidupan” (dalam hal ini 161 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 204. 162 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, op. cit., h. 20. 80 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 kehidupan di ruang-maya) yang sudah berjalan. Negara seyogianya datang manakala terjadi sengketa di antara masyarakat pengguna internet, bukan malah menjadi biang terjadinya kekisruhan. Sebab, menegakkan hukum di masyarakat bukan berarti harus dengan mengintervensi masyarakat secara total, melainkan dengan membuat skema besar yang proses-proses konkretnya diserahkan kepada masyarakat.163 Juga harus dipastikan bahwa apakah persoalan yang muncul di ruang-maya mesti diselesaikan oleh dan melalui hukum? Pengetahuan tentang ini, menurut Satjipto Rahardjo, bergantung pada konsep hukum yang kita miliki.164 Pembuatan hukum internet harus berorientasi kepada masyarakat, yakni pengguna internet itu sendiri, bukan semata-mata fokus pada peraturan yang diharapkan dapat mengatasi segala permasalahan di ruang-maya. Satjipto Rahardjo juga menjelaskan bahwa sebelum menyusun hukum sebaiknya dimulai suatu penelitian mengenai sasaran-sasaran dari hukum tersebut. Menyusun hukum internet berarti mengetahui seluk-beluk dan segala hal-ihwal tentang internet. Satjipto Rahardjo mengatakan, 163 164 Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, op. cit., h. 89. Ibid., h. 86. 81 JURNAL OPINIO JURIS [H]ukum memiliki Vol. 16 Mei –September 2014 kelebihan, tetapi juga kekurangan- kekurangannya sendiri. Bahkan apabila tidak didahului oleh studi yang cermat, alih-alih membawa kebaikan, hukum malah bisa menimbulkan “malapetaka” [...] Dengan penelitian yang cermat tidak dijamin bahwa suatu undang-undang akan berhasil. Studi pendahuluan yang cermat itu hanya akan mengurangi risiko timbulnya efek negatif.165 Penyusunan instrumen hukum yang tidak diawali dengan penelitian pendahuluan, dengan demikian, terang tidak akan memberi hasil yang tepat benar dengan tujuan yang ingin dicapai. Internet memiliki sistem dan masyarakatnya sendiri. Pengguna jejaring sosial Facebook, misalnya, mesti tunduk pada aturan yang telah ditetapkan Facebook. Apabila ada pengguna yang melanggar salah satu klausul yang dibuat oleh Facebook, pengelola Facebook dapat menjatuhkan sanksi yang dampaknya jauh lebih efektif ketimbang apa yang ditetapkan oleh negara melalui hukumnya. Sebagai contoh, bagi pengguna tertentu yang menyebarkan muatan pornografi, Facebook akan segera bertindak dengan menghapus muatan tersebut dari lamannya. Facebook pun dapat membatalkan akun pengguna internet yang bersangkutan sehingga 165 Ibid., h. 87. 82 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 pengguna tak bisa lagi beraktivitas di Facebook dengan menggunakan akun pribadinya. Permisalan semacam itu hanya untuk menjelaskan bahwa di internet pemegang otoritas sesungguhnya bukan negara, melainkan server atau pengelola situs-web yang bersangkutan. Dengan kata lain, pemegang kontrol internet tertinggi adalah masyarakat pengguna internet itu sendiri. Sehingga, dengan demikian, posisi masyarakat sesungguhnya begitu sentral dalam rangka mewujudkan nilai-nilai baik yang hendak dicapai dari suatu peraturan. Pasal-pasal yang Kontroversial Dalam UU ITE terdapat sejumlah pasal yang memuat ancaman pidana terhadap pelanggarnya. Di bawah judul “Bab VII: Perbuatan yang Dilarang”, termuat sejumlah tindak pidana di ruang maya menurut UU ITE yang termaktub dalam Pasal 27 sampai Pasal 36 dengan ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 45 sampai 52. Delik-delik tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan. Pertama, delik yang menggunakan teknologi informasi sebagai sarana. Kedua, delik yang menjadikan teknologi informasi sebagai sasaran. Di antara pasal-pasal tersebut terdapat pasal yang bersifat kontroversial karena sering dimohonkan pengujian materi (judicial review) 83 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 ke Mahkamah Konstitusi RI. Pasal-pasal itu adalah Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1)166 UU ITE yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di ruang-maya dan Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45 Ayat (2)167 UU ITE yang mengatur tentang penyebaran rasa kebencian atau permusuhan di ruang-maya. Delik tersebut menimbulkan kontroversi karena disertai dengan sanksi pidana yang besar dan berat. Untuk delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sanksi pidana maksimalnya adalah pidana penjara enam dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000, sementara untuk delik penyebaran rasa kebencian atau permusuhan sanksi pidana maksimalnya adalah penjara enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000. Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE telah menyeret banyak pelaku (atau korban?) ke pengadilan. Kasus populer berkenaan dengan itu di antaranya adalah kasus Prita Mulyasari. Prita Mulyasari dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik oleh Rumah Sakit Omni International. Duduk perkaranya adalah surat elektronik Prita Mulyasari yang berisi soal kualitas pelayanan Rumah 166 Pasal 45 Ayat (1) menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” 167 Pasal 45 Ayat (2) menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” 84 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Sakit Omni International. Ia menyebar surat itu ke sejumlah sejawat dengan tujuan supaya pengalamannya dapat menjadi pelajaran bagi pihak pengelola rumah sakit ataupun calon pasien. Namun, surat yang kemudian tersebar luas di Internet itu malah membuat pengelola rumah sakit merasa dirugikan dan mengadukan Prita Mulyasari ke kepolisian.168 Kasus-kasus lain juga bermunculan sejak berlakunya Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Misalnya saja kasus Narliswandi Piliang, Yudi Latif, EJA (inisial), Agus Hamonangan, Indra Sutriadi Pipii, Nur Farah, Satria Lasmana Kusuma, Kho Seng Seng, Luna Maya, Fifi Tanang, Alex Jhoni Polii, Rignolda Djamaluddin, Yani Sagaroa dan Salamuddin,169 dan Musni Umar.170 Menarik untuk mengungkap pandangan para ahli mengenai pengujian materi Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa hal yang menjadi sumber keberatan terhadap Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah, pertama, 168 Dalam putusan peninjauan kembali pada 17 September 2012, Mahkamah Agung RI akhirnya memutuskan membatalkan putusan kasasi yang menghukum Prita Mulyasari pidana enam tahun penjara dengan masa percobaan satu tahun serta membebaskan dia dari semua dakwaan. Telaah singkat penulis terkait perkembangan kasus Prita Mulyasari lih. AP Edi Atmaja, “Kabar Gembira dari Prita” dalam http://sastrakelabu.wordpress.com/2012/09/22/kabar-gembira-dari-prita/ (diakses pada 9 September 2013). 169 Indonesia Media Defense Litigation Network dan Institute for Criminal Justice Reform, op. cit., h. 17-19. 170 Telaah singkat penulis terkait kasus Musni Umar lih. AP Edi Atmaja, “Kriminalisasi terhadap Pengguna Internet” dalam Lampung Post, 20 Juli 2012 (Rubrik Opini). 85 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 ketidakjelasan mengenai siapa yang menjadi sasaran pengaturan norma pasal itu: mereka yang membuat dapat diaksesnya informasi ataukah mereka yang membuat muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik (dader). Kedua, pasal tentang penghinaan merupakan suatu pasal yang mengandung unsur delik yang sangat subyektif, berbeda dengan rumusan delik lain yang selalu dirumuskan secara lebih obyektif, misalnya pencurian. Penghinaan selalu subyektif karena harus ada pihak yang merasa menjadi korban dan merasa dihinakan.171 Menurut Atmakusumah Astraatmadja, UU ITE tidak mengikuti perkembangan hukum internasional. Sedikitnya limapuluh negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran nama baik, dari hukum pidana menjadi hukum perdata. Beberapa negara, lanjut Atmakusumah Astraatmadja, bahkan menghapus sama sekali ketentuan hukum penyebaran kebencian dan penghinaan karena dianggap sulit dibuktikan atau sangat subjektif.172 Meskipun menimbulkan beragam kontroversi, Mahkamah Konstitusi RI menolak permohonan pengujian materi Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE yang diajukan pada 28 Desember 2008 (Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008). Kendati pada 171 172 86 29 Januari 2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009, h. 57. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008, h. 8. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 diajukan permohonan serupa (namun hanya menguji Pasal 27 Ayat [3] UU ITE), Mahkamah Konstitusi RI menyatakan bahwa permohonan pengujian materi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tidak dapat diterima (Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009). Mahkamah Konstitusi RI menegaskan bahwa norma Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Sementara itu, pada tanggal 26 April 2013 juga telah diajukan pengujian materi terhadap Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Dalam Putusan Nomor Nomor 52 PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan menolak permohonan untuk seluruhnya. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi RI antara lain: [A]pabila seseorang menyebarkan informasi dengan maksud untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah sesuatu yang bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan bertentangan pula dengan tuntutan yang 87 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.173 [H]ak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta hak untuk menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, tidak boleh berisi informasi yang kemudian disebarkan untuk tujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan baik antarindividu maupun masyarakat.174 Penulis ingin mengajukan beberapa hal yang patut menjadi pokok perhatian bersama. Pertama, Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE dinilai oleh para pegiat hak asasi manusia yang memperjuangkan kebebasan internet (HAM internet) sebagai pasal karet yang rentan disalahgunakan penguasa. Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE dikatakan sebagai kelanjutan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebab pasal tersebut merujuk pada ketentuan Bab XVI 173 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor Nomor 52 PUU-XI/2013, h. 15. 174 Ibid. 88 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Buku II KUHP tentang penghinaan yang termuat dalam Pasal 310175 dan 311176 KUHP. Kedua, khusus mengenai delik yang termaktub dalam Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, mekanisme kriminalisasi seyogianya diubah karena delik yang dikualifikasikan sejatinya bukan delik biasa.177 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan mesti diutamakan. Menurut Satjipto Rahardjo, penyelesaian perkara di luar pengadilan (out of court settlement) bukanlah sesuatu yang aneh, tabu, dan luar biasa bagi mereka yang melihat persoalan tersebut melalui optik sosiologi hukum. Sebab bagi sosiologi hukum, fungsi lebih utama 175 Pasal 310 menyatakan, “(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan penjara paling lama sembilan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri.” Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Bumi Aksara, 2007 [cet. ke-26]), h. 114. 176 Pasal 311 menyatakan, “(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 no. 1-3 dapat dijatuhkan.” Ibid. 177 Ketidakbiasaan ini tampak dari kekhasan arsitektur kendali (architectures of control) internet di mana penulis artikel atau pengunggah materi di sebuah laman, misalnya, bukanlah pengendali dari laman tersebut. Isi laman bisa saja berubah di luar kekuasaan penulis artikel atau pengunggah materi di internet, sehingga siapa yang mesti bertanggung jawab atas tulisan atau materi yang terpampang di laman dapat diperdebatkan. 89 JURNAL OPINIO JURIS ketimbang sekadar bentuk.178 Vol. 16 Mei –September 2014 Dengan kata lain, keadilan dan kemanfaatan harus diprioritaskan daripada kepastian hukum. Ketiga, karena sifat delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang subyektif, seyogianya penyidik membedakan delik tersebut dalam dua penafsiran, yakni (1) penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap lembaga atau organisasi dan (2) penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap individu atau perorangan. Merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik hanya jika perbuatan itu ditujukan untuk individu atau perorangan. Narasi Akhir Globalisasi kontemporer yang timbul berkat perkembangan teknologi informasi semenjak penemuan internet telah bermetamorfosis menjadi suatu rezim hukum baru dengan elemen yang berbeda dari rezim hukum konvensional. Semenjak rezim hukum baru seperti ruangmaya tercipta dengan bergandengan tangan bersama globalisasi kontemporer, negara pun merasa perlu untuk hadir dalam rangka menegakkan hukumnya. Gagasan kedaulatan negara yang secara tradisional hanya terbatas pada aspek teritorialitas (darat, laut, dan ruang-udara) kini berkembang menjadi ekstrateritorialitas (ruang-maya) 178 90 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, op. cit., h. 3-6. JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 dengan jangkauan hukum yang tidak terbatas. Kedaulatan negara di ruang-maya, dengan demikian, adalah sebentuk hasrat negara untuk memperluas wilayah dan menegakkan hukumnya hingga batas yang sejauh-jauhnya. Untuk menegakkan kedaulatan di ruang-maya melalui suatu konstruksi hukum, negara perlu memahami arsitektur internet. Negara harus mengetahui siapa yang diatur, di mana dia atau mereka, dan apa yang dia atau mereka lakukan. Pemahaman semacam itu merupakan pemahaman yang berorientasi kepada masyarakat pengguna internet itu sendiri. Menegakkan hukum di masyarakat, berdasarkan pemikiran Satjipto Rahardjo, bukan berarti harus dengan mengintervensi masyarakat secara total, melainkan dengan membuat skema besar yang proses-proses konkretnya diserahkan kepada masyarakat. Dalam rangka menegakkan UU ITE dengan mengkriminalisasi pengguna internet, Pemerintah Indonesia seyogianya mengutamakan penyelesaian perkara di luar pengadilan, terlebih jika delik yang disangkakan adalah delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Juga harus dipahami bahwa dapat dikatakan sebagai delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik hanya jika perbuatan itu ditujukan untuk individu atau perorangan. 91 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 LAUT TIONGKOK SELATAN: PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENYELESAIAN MASALAH179 Ahmad Almaududy Amri180 Abstrak The discussion on the issue of South China Sea has been there for quite a long time, and many countries are still urging for the resolution of the issue. In the writer’s opinion, the main factors of the issue are economical factor, strategic factor, and political factor. Those three factors are often referred by claimant states in this area in defending their respective rights. This article is trying to examine the problems surounding South China Sea issues in general and try to explain the background of the problem, the bases of reasoning used by the claimant states and the concrete steps achieved. This paper presents the writer’s view on the conflict resolution in the future. Latar Belakang Masalah Permasalahan LTS dilatar belakangi oleh tiga faktor penting yaitu ekonomi, strategis, dan politik. Ketiga faktor tersebut merupakan motif 179 Artikel ini sebagian besar bersumber dari tulisan Ralf Emmers (Nanyang Technological University, Singapura) yang berjudul Maritime Disputes in the South China Sea: Strategic and Diplomatic Status Quo yang dimuat dalam buku berjudul Maritime Security in Southeast Asia yang diedit oleh Kwa Chong Guan dan John K. Skogan. 180 Penulis adalah Diplomat Muda Indonesia, Sekdilu angkatan 35 yang saat ini menempuh pendidikan Ph. D. di University of Wollongong, Australia. Fokus utama risetnya adalah mengenai Maritime Security. 92 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 utama bagi claimant states (negara penuntut) untuk mempertahankan haknya di wilayah LTS. Yang menjadi objek sengketa para pihak di LTS terfokus pada dua pulau utama, yaitu Spratly dan Paracels. Negaranegara yang menjadi claimant states untuk pulau Spratly adalah Brunei, Tiongkok, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam. Dua negara terakhir juga menuntut kepemilikan akan Paracels yang berada di bawah kontrol Tiongkok seiak tahun 1974. Kenapa penting dari segi ekonomi? Karena daerah LTS diyakini kaya akan minyak, gas bumi dan prikanan. Kenapa penting secara strategis? Karena penguasaan LTS khususnya bagi Tiongkok akan memperkokoh posisi mereka sebagai salah satu global power. Selain itu, komando dan kontrol atas LTS akan memperkuat posisi negara dari segi maritime regime mengingat wilayah tersebut merupakan "the heart of Southeast Asia" dari segi aktifitas maritim. Alasan terakhir merupakan aspek politik, kenapa politik? Karena permasalahan LTS menyangkut masalah klaim teritori. Kekalahan dalam mempertahankan daerahnya akan menimbulkan masalah domestik, sehingga dipandang perlu oleh claimant states untuk mempertahankannya sesuai dengan penafsiran dan pandangan masing-masing demi kedaulatan negara. Jika kita melihat dari segi hukum internasional, khususnya dari United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS tahun 1982 yang konten utamanya mencakup mengenai batas maritim dan pemberian hak 93 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 atas kekayaan laut), maka ketiga aspek penting di atas menjadi sangat realistis. Ketika sebuah negara memiliki batas wilayah darat tertentu yang berbatasan dengan laut, maka kepemilikan tersebut akan berimplikasi pada kepemilikan wilayah laut. Seperti kita ketahui bahwa sebuah negara dapat menikmati zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang dihitung 200 nautical mile (nm) dari baseline. Negara diberikan hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi living and non-living resources atas laut di daerah ZEE. Sedangkan hak atas continental shelf (landas kontinen) yang dapat dihitung hingga 350 nm dari territorial baseline, memberikan kebebasan untuk negara mengeksplorasi dan mengeksploitasi non-living resources. Ketentuan hukum internasional ini jelas memberi dampak ekonomis, strategis, serta politik bagi claimant states yang akan di-back up secara hukum jika ingin mengeksplorasi dan mengeksploitasi ZEE dan continental shelf di daerah LTS, tentu setelah memperoleh kepemilikan. Dasar klaim LTS Sebenarnya hanya terdapat 2 aspek yang dijadikan dasar utama dalam klaim LTS. Aspek tersebut adalah historis dan hukum. Jika kita ingin melihat pada aspek historis, maka claimant yang menggunakan dasar ini hanya 3 pihak yaitu Tiongkok, Taiwan dan Vietnam. Bagi Tiongkok, bermula pada masa Nationalist Government of Chiang Kai-Shek pada tahun 1947 yang telah menetapkan "nine interrupted marks" yang mencakup hampir seluruh wilayah LTS. Hal ini ditegaskan kembali oleh Zhou En-Lai yang menegaskan klaim atas wilayah tersebut pada tahun 94 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 1951. Namun dalam klaimnya, Tiongkok tidak menjelaskan aspek hukum dari delimitasi batas maritimnya. Setelah melakukan ratifikasi UNCLOS tahun 1996, Tiongkok menerapkan 'archipelagic principle' saat menggambar batas maritim di sekitar pulau Paracels. Bagi Taiwan, mereka mengklaim telah menduduki daerah Itu Aba (mencakup sebagian besar wilayah Spratly) sejak tahun 1956. Sedangkan bagi Vietnam, setelah reunifikasi Vietnam, sejak tahun 1975, mereka mengklaim Spratly dan Paracels atas dasar historical claims of discovery dan occupation (kependudukan). Namun perlu diketahui bahwa sebelum terjadi reunifikasi tersebut, Vietnam mengakui kepemilikan Spratly dan Paracels di bawah kekuasaan Tiongkok. Bagaimana dengan pokok gugatan claimant states lainnya yang merupakan anggota ASEAN? Mereka menggunakan aspek hukum sebagai dasar gugatan. Mereka menggugat bagian tertentu dari pulau Spratly dan menggunakan hukum internasional sebagai dasarnya. Filipina mengklaim sebagian besar daerah Spratly, sebuah wilayah yang disebut dengan Kalayaan pada tahun 1971 dan memperkuat klaimnya dengan melahirkan Peraturan Presiden yang mengatur wilayah tersebut pada tahun 1978. Malaysia memperpanjang wilayah landas kontinennya yang berdampak pada pencakupan beberapa wilayah pulau Spratly. Sedangkan Brunei pada tahun 1998, mengukuhkan wilayah ZEE yang membentang hingga bagian selatan pulau Spratly dan mencakup Louisa Reef. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia bukan pihak dalam 95 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 sengketa LTS, namun memiliki perhatian khusus pada isu ini mengingat para pihak sebagian besar merupakan anggota ASEAN. Kejadian-Kejadian Penting di Daerah LTS Terdapat beberapa kejadian penting di daerah LTS yang patut dicermati untuk memahami problematika LTS secara komprehensif, yakni: 1. Untuk mengukuhkan posisinya sebagai negara yang berkuasa atas LTS, Tiongkok mengelurkan peraturan yang mengatur tentang laut teritorial dan wilayah tambahan "Law of the People's Republic of China on the Territorial Waters and Contiguous Areas". Dengan demikian, Tiongkok memiliki hak atas Spratly dan wilayah maritim sekitarnya secara hukum nasional. 2. Pada bulan Februari 1995, Tiongkok menduduki wilayah Kalayaan tepatnya pada Mischief Reef. Tidak terima dengan perlakuan Tiongkok, Filipina menghacurkan marka-marka batas wilayah dan menangkap sejumlah nelayan Tiongkok pada tahun 1995. Akibatnya, pada tahun yang sama kedua belah pihak menandatangani kesepakatan penyelesaian secara damai di wilayah tersebut. 3. Pada tahun 1999, Malaysia melakukan perampasan atas Navigator Reef yang diklaim oleh Filipina, hal ini memperburuk hubungan kedua negara serta mengundang kritik dari Brunei, Tiongkok, dan Vietnam. 96 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 4. Pada tahun 2002, tentara Vietnam yang sedang beroperasi di salah satu pulau kecil melakukan tembakan peringatan pada pesawat militer Filipina yang sedang bertugas. 5. Pada tahun 2004, Vietnam sengaja mengirimkan sejumlah warga negaranya ke daerah Troung Sa Lon yang merupakan bagian dari Spratly. Tiongkok mengkritik tindakan Vietnam tersebut dan menyebutkan bahwa mereka telah melanggar Declaration on the Conduct of Parties yang ditandatangani tahun 2002. Kejadian-kejadian tersebut merupakan beberapa peristiwa penting di daerah LTS yang memicu ketegangan di antara claimant states. Langkah Konkret Para pihak telah melakukan beberapa langkah konkret guna menyelesaikan masalah LTS, antara lain: 1. Lokakarya "Managing Potential Conflicts the South China Sea" Kegiatan pertama dalam rangka menyelesaiakan konflik LTS yang bersifat multilateral tersebut dimotori oleh Indonesia, pertama kali dilangsungkan pada tahun 1990 dan disponsori oleh Kanada. Lokakarya ini bertujuan untuk menjalin "confidence building" di wilayah LTS. Namun karena sifatnya yang 1,5 track (bukan mengatasnamakan negara tapi bukan juga pihak privat), kurang 97 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 menyentuh akar permasalahan karena pembahasan dalam lokakarya yang dilakukan setiap tahun ini menghindari masalahmasalah yang berbau jurisdiksi kedaulatan dan hanya fokus pada low level cooperation. Namun pertemuan tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata karena salah satu pertemuannya yang dilakukan pada tahun 1991 di Bandung merupakan cikal bakal terbentuknya ASEAN Declaration on South China Sea. 2. ASEAN Declaration on South China Sea Deklarasi yang dilakukan di Manila pada tahun 1992 tersebut merupakan hasil dari lokakarya yang dilaksanakan di Bandung sebagaimana disebutkan di atas. Deklarasi tersebut tidak mencakup permasalahan jurisdiksi kedaulatan melainkan langkah awal untuk memformulasi Code of Conduct (COC) yang bersifat tidak mengikat, berdasar pada penyelesaian sengketa secara damai dan tidak menggunakan kekerasan. Selain itu, deklarasi ini tunduk pada norma dan prinsip Treaty of Amity and Cooperation (TAC) tahun 1976. Tiongkok sebagai salah satu claimant states yang terbesar tidak mendukung deklarasi ini, Tiongkok lebih menginginkan penyelesaian melalui jalur bilateral. Namun pada tahun 1995 Tiongkok sudah mulai membuka diri untuk membicarakan LTS di tingkat multilateral khusus pada kasus pulau Spratly dan sepakat menggunakan UNCLOS sebagai dasar negosiasi. 98 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 3. Pada pertemuan "informal ASEAN Summit" yang dilangsungkan tahun 1999, Filipina yang didukung oleh Vietnam mengajukan draft CoC yang pada intinya bertujuan untuk mengalihkan pendudukan atas objek sengketa, memuat ketentuan yang lebih spesifik dari deklarasi Manila dan mengusulkan untuk melangsungkan joint development di pulau Spratly. Proposal tersebut ditolak oleh Malaysia dan Tiongkok. Malaysia beranggapan hal tersebut terlalu legalistik dan menyinggung perihal kedaulatan. 4. Malaysia pun mencoba peruntungannya dengan mengajukan deklarasi bersama atas pulau Spratly pada pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) yang ke-35 di Brunei pada tahun 2002. Langkah tersebut dimentahkan oleh sebagian besar anggota ASEAN karena tidak jelas apakah kesepakatan akan diabadikan dalam bentuk deklarasi atau CoC. Karena konsensus tidak tercapai, para Menteri Luar Negeri sepakat untuk bernegosiasi dengan Tiongkok guna mendeklarasikan bersama "Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea". 5. Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea Deklarasi ini ditandatangani oleh Tiongkok dan ASEAN di Phnom Penh pada bulan November 2002. Deklarasi ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan konflik militer di LTS. Selain itu, deklarasi tersebut juga berpedoman pada UN Charter, UNCLOS, dan TAC. 99 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 6. Code of Conduct Upaya puncak yang dilakukan oleh ASEAN dalam rangka menyelesaikan masalah LTS bentuk COC belum dapat diterima secara bulat oleh negara anggota ASEAN. KTT ASEAN ke-21 yang berlangsung di Phnom Penh belum menyepakati CoC sebagai perangkat yang diyakini dapat menyelesaikan polemik LTS. Namun dengan dibahasnya CoC yang pada awalnya dirancang oleh Filipina ini, menunjukkan iktikad baik para pihak terkait untuk lebih serius menyelesaikan masalah dengan memasukkan konten hukum di dalamnya terutama yang menyangkut dispute settlement melalui framework ASEAN (TAC) atau melalui mekanisme yang sejalan dengan hukum internasional temasuk UNCLOS. Prospek Penyelesaian Masalah Berubahnya sikap Tiongkok yang semula berpendirian teguh agar negosiasiasi terkait LTS harus dilakukan melalui forum bilateral membuka peluang bagi negara-negara terkait untuk melakukan perundingan secara multilateral. Hal ini memberikan kemudahan untuk negara-negara ASEAN bersatu padu dalam merumuskan sebuah perangkat konkret yang dapat diterima bersama. Pembahasan CoC yang semakin matang mulai sejak pembahasan di tingkat Menteri hingga tingkat Presiden pada tahun 2012 di Kamboja merupakan salah satu 100 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 wujud dari keinginan tersebut. Namun penulis beranggapan ASEAN terlebih dahulu harus solid secara internal sebelum mengajukan proposal tersebut ke Tiongkok. Sebagaimana digaungkan oleh Menteri Luar Negeri Kamboja dan diamini oleh Sekretaris Jenderal ASEAN bahwa CoC tidak gagal ditingkat ASEAN karena dari segi konsep, ASEAN sudah menyepakati “key element” dari CoC. Indonesia sebagai inisiator lokakarya "Managing Potential Conflict in the South China Sea" dan sebagai big brother di ASEAN diharapkan dapat terus mendukung dan mengambil peranan penting dalam penyelesaian sengketa LTS. Status bukan sebagai claimant state memudahkan Indonesia untuk bertindak sebagai mediator karena posisinya yang netral. Lokakarya perlu terus dilanjutkan guna mendukung 1,5 track dalam menyelesaikan masalah melalui pembahasan joint development dan riset terpadu di daerah konflik. Tiongkok diyakini tidak akan memperkeruh masalah dengan memerangi atau memusuhi Taiwan dan negara-negara ASEAN mengingat Tiongkok memiliki perselisihan dengan Jepang atas East China Sea. Selain itu, Tiongkok tidak mau mengambil resiko dengan melibatkan Amerika dalam penyelesaian sengketa mengingat beberapa claimant states merupakan "sahabat" bersengketa harus Amerika. memanfaatkan Dengan celah demikian, ini untuk pihak-pihak melakukan perundingan guna perbaikan kondisi di wilayah LTS. 101 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi : Muhammad Ferdien, S.H. Buku pemahaman pendekatan internasional. ini menawarkan komprehensif terkini dari Selain suatu dan hukum menjelaskan mengenai teori dan perkembangan hukum internasional, buku ini mengkaji pula bagaimana fungsi dari hukum internasional dalam praktik. Berbagai telaahan kasus dan contoh terbaru dimasukkan dalam setiap topik, dan sudut pandang kritis dalam prinsip- 102 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 prinsip hukum internasional disampaikan secara baik sehingga dapat membangun suatu pengertian mengenai bagaimana dan mengapa sistem hukum internasional dapat bekerja dan ke mana arah bergeraknya. Selain itu, buku ini menjelaskan pula tentang dasar-dasar teoretis dari setiap prinsip hukum internasional secara rinci sebelum menggambarkan bagaimana prinsip-prinsip tersebut diterapkan dan berfungsi dalam praktik. Hal-hal yang menonjol dalam buku ini antara lain adalah memfokuskan terhadap prinsip-prinsip fundamental dari hukum internasional daripada pengkhususan pada subtopik tertentu, penjelasan yang terpadu dan kontekstual dari dimensi politis dan ekstralegal sistem hukum internasional, prinsip-prinsip hukum internasional yang ditempatkan dalam suatu konteks nyata yang kontemporer, berbagai studi kasus tradisional dan kontemporer dijelaskan dalam konteks prinsip-prinsip hukum, dan struktur yang seragam untuk memfasilitasi pemahaman pembaca. Buku ini memiliki sembilan bab yang terdiri dari: 1. International Law: History and Purpose (Hukum Internasional: Sejarah dan Tujuan); 2. International Law-making: The Sources of International Law (Pembuatan Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum Internasional); 3. The Relationship between International and National Law (Hubungan antara Hukum Internasional dan Nasional); 103 JURNAL OPINIO JURIS 4. Vol. 16 Mei –September 2014 The Subjects of International Law: States (Subyek-subyek Hukum Internasional: Negara-negara); 5. Other Subjects of International Law: Non-state Actors and International Law’s Evolution (Subjek Lain Hukum Internasional: Subyek Hukum Internasional yang Bukan Negara dan Evolusi Hukum Internasional); 6. Jurisdiction Privileges and Immunities (Berbagai Kekebalan dan Keistimewaan Yurisdiksi); 7. State Responsibility (Tanggung Jawab Negara); 8. International Law and the Use of Force (Hukum Internasional dan Penggunaan Kekuatan); dan 9. Pacific Resolution of Disputes (Berbagai Resolusi Damai bagi Sengketa). Bab I internasional membahas yang mengenai digunakan pendekatan dalam buku terhadap hukum konsep hukum ini, internasional, letak hukum internasional dalam sejarah, teori-teori hukum internasional, area-area khusus dalam hukum internasional, dan pengertian hukum internasional. Pembuatan hukum internasional yang mengarah pada sumbersumber hukum internasional dalam Bab II dijelaskan oleh penulis melalui penjabaran lebih lanjut dari sumber kewajiban dalam hukum internasional dan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice). 104 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Dalam Bab III penulis menerangkan hubungan antara hukum nasional dan internasional. Hubungan tersebut dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu konsepsi-konsepsi yang berbeda dari hubungan antara hukum nasional dan internasional, hukum nasional dalam hukum internasional, hukum internasional dalam hukum nasional, dan pendekatan-pendekatan yang berbeda terhadap implementasi hukum internasional dalam hukum nasional. Bab IV menguraikan subyek-subyek hukum internasional yang berupa negara. Sehubungan dengan hal ini, penulis menjelaskannya melalui hakikat personalitas negara dalam hukum internasional, kedaulatan, kriteria tradisional bagi eksistensi negara, pengakuan, berbagai perkembangan kontemporer dan peranan kriteria lain dalam perkembangan eksistensi negara, prinsip kedaulatan wilayah, ruang lingkup kedaulatan wilayah, arah masa depan bagi kedaulatan wilayah, dan masyarakat dan penentuan nasib sendiri (self-determination). Subjek-subjek lain hukum internasional, yaitu non-state actors, dan evolusi hukum internasional dalam Bab V dibahas oleh penulis dengan menjabarkan organisasi internasional, organisasi nonpemerintah yang menjadi tempat tumbuhnya masyarakat sipil dalam hukum internasional, individu, perusahaan, dan non-state actors lainnya. Dalam Bab VI penulis menerangkan kekebalan dan keistimewaan yurisdiksi lebih lanjut dengan melihat pada jenis-jenis yurisdiksi, yurisdiksi perdata dan pidana, dasar-dasar yurisdiksi, ekstradisi, dan kekebalan dari yurisdiksi. 105 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Bab VII menguraikan tentang International Law Commission Articles dan perubahan wacana tanggung jawab negara, tindakantindakan yang salah secara internasional, aturan dari pendugaan, situasisituasi yang mengecualikan kesalahan, akibat-akibat dari pelanggaran, penjatuhan tanggung jawab negara, dan perlindungan diplomatik negara bagi warga negara dan badan hukumnya. Hukum internasional dan penggunaan kekuatan dalam Bab VIII dijelaskan melalui perkembangan hukum penggunaan kekuatan dalam hukum internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sistem pascaperang dari keamanan kolektif, intervensi kemanusiaan, dan ketentuan khusus bagi pertahanan diri secara individual dan kolektif serta kewenangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Bab IX, yang merupakan bab terakhir dalam buku, penulis menguraikan tentang resolusi damai bagi penyelesaian sengketa, yaitu kerangka kerja hukumnya, prosedur-prosedur penyelesaian nonjudisial yang bersifat tidak mengikat, arbitrase internasional yang bersifat mengikat, tribunal internasional yang bersifat mengikat, dan Mahkamah Internasional. Mengenai latar belakang penulis, pengalaman Gideon Boas sebagai seorang ahli penyelesaian sengketa melalui pengadilan di berbagai negara dan praktisi akademis ternama, memberi arti bahwa beliau layak untuk menulis sebuah buku mengenai hukum internasional yang meliputi perkembangannya dan sekaligus mendalaminya pada peristiwaperistiwa kunci untuk mengilustrasikan tema-tema penting. Buku ini 106 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 berhasil mengatasi kesulitan dalam menunjukkan suatu perspektif yang luas di seluruh bidang hukum internasional, begitu pula dalam menyampaikan gejolak yang melingkupinya. Dengan wawasan yang diperoleh oleh penulis dari pengalamannya bertahun-tahun sebagai seorang praktisi dan akademisi dalam bidang hukum internasional, buku ini akan menawarkan kepada para praktisi hukum, pembuat kebijakan, dan mahasiswa, baik Strata 1, Strata 2, maupun Strata 3, suatu konsepsi cara pandang yang berharga ke dalam ranah hukum internasional. 107 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 ISTILAH HUKUM Galuh Indriana Rarasanti, S.H. Archipelagic principle: pengertian bahwa pulau-pulau tersebut selalu sebagai suatu kesatuan yang utuh, sementara unsur perairan atau lautan antara pulau-pulau berfungsi sebagai unsur penghubung dan bukan unsur pemisah. Continental shelf: (a) dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut (berdasarkan pengertian dalam UNCLOS 1982); (b) wilayah laut yang dangkal di sepanjang pantai dengan kedalaman kurang dari 200 meter, dengan kemiringan kira-kira 8,4% atau sekitar 007’ atau 2m/km. Landasan kontinen merupakan dasar laut dangkal di sepanjang pantai dan menjadi bagian dari daratan (berdasarkan pengertian ilmu geografi). Territorial baseline: garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana yang ditandai pada peta skala besar yang secara resmi diakui oleh Negara pantai (berdasarkan pengertian dalam UNCLOS 1982). 108 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 TENTANG PENULIS John Lumban-Tobing, S.H., LL.M. John Anthony Manogari Tobing yang lahir tahun 1985 di Jakarta telah mendapat gelar SH di Universitas Katolik Parahyangan tahun 2009. Penulis kemudian pada tahun 2014 berhasil meraih gelar Master of Law dari University of Cambridge dengan fokus subyek settlement of international disputes, international trade law (WTO) dan EU competition law. AP Edi Atmaja Penulis menempuh pendidikan program sarjana (S1) di Fakultas Hukum Undip dan meraih Magister Ilmu Hukum (S2) pada Universitas Diponegoro. AP Edi Atmaja bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan RI dan mengelola galeri tulisan Sastra Kelabu, serta menjadi kolumnis LenteraTimur.com, Jakartabeat.net dan RanselKecil.com. Ahmad Almaududy Amri Ahmad Almaududy Amri telah menempuh pendidikan Ph. D. di University of Wollongong, Australia dengan fokus utama risetnya mengenai Maritime Security. Penulis memasuki Kementerian Luar Negeri pada tahun 2010 dan mengikuti Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) Angkatan XXXV. 109 JURNAL OPINIO JURIS Vol. 16 Mei –September 2014 Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional. Ketentuan Penulisan: 1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi, catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Times New Roman ukuran 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10; 2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris; 3. Setiap naskah harus disertai abstraksi maksimal 1 halaman A4. Untuk tulisan dalam bahasa Indonesia, abstraksi dibuat dalam bahasa Inggris dan untuk tulisan dalam bahasa Inggris, abstraksi dibuat dalam bahasa Indonesia. Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata. 4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote); 5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain; 6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak mengubah maksud dan isi tulisan; 7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim; 8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi; 9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi finansial; 10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi. 11. Keputusan untuk menerbitkan atau menolak penerbitan suatu naskah berada pada redaksi dengan tidak dapat diganggu gugat. Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional Kementerian Luar Negeri Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044 Email: [email protected] http://pustakahpi.kemlu.go.id/ 110