opinio juris - Kementerian Luar Negeri

advertisement
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA
Volume 16  Mei—September 2014
ARTIKEL
MFN Clause and Dispute Settlement : Getting the Fundamental Concept
Right and Avoiding Jurisdicional Minefield When Drafting Investment
Treaties
John Lumban-Tobing
Kedaulatan Negara di Ruang-maya Kritik UU ITE dalam Pemikiran Satjipto
Rahardjo
AP Edi Atmaja
Laut Tiongkok Selatan : Problematika dan Prospek Penyelesaian Masalah
Ahmad Almaududy Amri
RESENSI BUKU
Public International Law : Gideon Boas
Muhamad Ferdien
ISTILAH HUKUM
i
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Volume 16  Mei —September 2014
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA
2014
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Volume 16  Mei —September 2014
Diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Sejak Oktober 2009
Penanggung Jawab
Ferry Adamhar, SH, LL.M
Dr. iur. Damos Dumoli Agusman
Redaktur
Patrick S. Hasjim, S.H., M.Si; Kemal Haripurwanto, S.H., LL.M; Drs. Sukarsono;
Sudarsono, S.H., MM; Rofita, S.H.; Zainul Idris Yunus, S.E.; Fajar Yusuf, S.H.,
LL.M; Haryo Budi Nugroho, S.H., LL.M;
Editor
Ahmad Saleh Bawazier, S.H., M.H., M.A.; Nenda Inasa Fadhilah, S.H., LL.M.;
Santa Marelda Saragih, S.H., MH.; Vina Novianti, S.Hum.; Rike Wijayanti
Octaviany, S.H., LL.M.; M. Ferdien, S.H.; Galuh Indriana Rarasanti, S.H.;
Disain Grafis
Abdul Hayyi, Asep Hermawan
Sekretariat
Uki Subki, S.Sos, M.Si; Agustian; Sutono, S.Sos; Tasunah; Maisaroh, S.Sos. Anisa
Husna, S.Hum.
Alamat Redaksi:
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected]
Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website
http://pustakahpi.kemlu.go.id/
Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan
analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi
Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
DAFTAR ISI
Daftar Isi .............................................................................................................. v
Pengantar Redaksi ............................................Error! Bookmark not defined.
MFN Clause and Dispute Settlement : Getting the Fundamental
Concept Right and Avoiding Jurisdicional Minefield When
Drafting Investment Treaties ...........................................................................8
John Lumban-Tobing
Kedaulatan Negara di Ruang-maya Kritik UU ITE dalam
Pemikiran Satjipto Rahardjo ..........................................................................48
AP Edi Atmaja
Laut Tiongkok Selatan : Problematika dan Prospek Penyelesaian
Masalah...............................................................................................................92
Ahmad Almaududy Amri
RESENSI BUKU ..............................................................................................102
Public International Law : Contemporary Principles and
Perspectives - Gideon Boas
Muhamad Ferdien
ISTILAH HUKUM..........................................................................................108
TENTANG PENULIS.....................................................................................109
v
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
PENGANTAR REDAKSI
Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi diseminasi
informasi terkait isu-isu hukum dan perjanjian internasional,
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional telah
menerbitkan Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional yang
diberi nama “Jurnal Opinio Juris”.
Dalam Volume 16 tahun 2014 ini, redaksi memuat tiga tulisan
yaitu: “MFN Clause and Dispute Settlement : Getting the
Fundamental Concept Right and Avoiding Jurisdictional Minefield
When Drafting Investment Treaties” oleh John Lumban-Tobing,
“Kedaulatan Negara di Ruang-maya: Kritik UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) dalam Pemikiran Satjipto Rahardjo” oleh
AP Edi Atmaja dan “Laut Tiongkok Selatan : Problematika dan
Prospek Penyelesaian Masalah” oleh Ahmad Almaududy Amri.
Dalam penyajian tulisan tersebut di atas, tergambar ragamnya
cakupan bahasan hukum internasional melalui topik-topik bahasan
tersebut.
Tulisan-tulisan ini penting untuk diketahui oleh para
pembaca mengingat tema yang diangkat merupakan permasalahan
yang cukup aktual, seperti tema penyelesaian sengketa investasi
asing, Laut Tiongkok Selatan dan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Selain 3 tulisan di atas, terdapat pula sebuah resensi buku,
yang merupakan ciri khas Jurnal Opinio Juris. Buku berjudul
“Public International Law: Contemporary Principles and
Perspectives” karangan Gideon Boas ini, patut mendapat perhatian
karena menawarkan pemahaman komprehensif dan pendekatan
terkini dari hukum internasional. Selain menjelaskan mengenai
vi
JURNAL OPINIO JURIS
September 2014
Vol.
16

Mei
–
teori dan perkembangan hukum internasional, buku mengkaji
hukum internasional dalam praktik dengan berbagai telaah kasus
dan contoh terbaru.
Dalam kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak
mengucapkan terima kasih kepada para anggota redaksi terdahulu
yang telah mendapat penugasan baru di beberapa Perwakilan RI
atas dedikasinya dalam memajukan Opinio Juris. Redaksi juga
mengajak para pembaca untuk turut berkontribusi serta
memberikan saran dan masukannya demi peningkatan kualitas
Opinio
Juris
di
masa
mendatang
melalui
email
[email protected].
Untuk memudahkan para pembaca setia Opinio Juris,
Redaksi telah memuat Opinio Juris yang pernah terbit terdahulu
pada Perpustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu yang dapat di
akses melalui http://pustakahpi.kemlu.go.id/ . Pada kesempatan
ini, Redaksi Opinio Juris secara terus menerus mengajak para
pembaca untuk turut menyumbangkan tulisan, memberikan saran
dan masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa
mendatang.
Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap semoga jurnal ini
dapat bermanfaat serta menjadi sarana dalam menyebarluaskan
informasi dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan
perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan
hubungan luar negeri.
Terima kasih dan selamat membaca.
Redaksi Opinio Juris
vii
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
MFN CLAUSE AND DISPUTE SETTLEMENT: GETTING THE
FUNDAMENTAL CONCEPTS RIGHT AND AVOIDING
JURISDICTIONAL MINEFIELD WHEN DRAFTING INVESTMENT
TREATIES
John Lumban-Tobing
Abstrak
Salah satu isu kontroversial di bidang hukum investasi
internasional saat ini adalah hubungan antara klausul MFN dan
penyelesaian sengketa dalam perjanjian internasional di bidang
investasi. Yurisprudensi maupun pendapat para ahli masih
berbeda-beda, bahkan kadang bertentangan. Pertanyaan yang
mendasar adalah: dalam proses arbitrase internasional, apakah
klausul MFN dapat digunakan sebagai dasar untuk
memberlakukan ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa yang dianggap lebih menguntungkan bagi investor
dalam perjanjian investasi antara negara tergugat dengan
negara ketiga (selain negara asal investor penggugat), sehingga
jurisdiksi majelis arbitrase dapat diperluas? Berdasarkan analisa
atas putusan-putusan ICJ mengenai klausul MFN serta asasasas hukum internasional terkait jurisdiksi penyelesaian
sengketa, maka penulis menyimpulkan bahwa jawabannya
adalah “tidak”. Namun demikian, kesimpulan tersebut bersifat
umum. Setiap kasus sangat bergantung kepada bunyi spesifik

The author recently graduated with an LL.M. in International Law
from the University of Cambridge (Hughes Hall), focusing among others
in Settlement of International Dispute. Previously the author was an
associate lawyer at Ignatius Andy Law Offices in Jakarta, specialising in
commercial litigation and international arbitration.
8
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
dari klausul MFN di perjanjian internasional yang menjadi
dasar gugatan arbitrase. Khusus untuk Indonesia, masalah ini
perlu diperhatikan ketika menegosiasikan dan merancang naskah
perjanjian internasional di bidang investasi demi menghindari
ketidakpastian hukum ketika muncul sengketa.
Kata Kunci: MFN
I. Introduction
International investment arbitration is notorious for the profound
disagreement among tribunals across various unsettled issues. One of the
most important of which, from a jurisdictional standpoint, is the relation
between
the
Most-Favored-Nation
(“MFN”)
clause
and
dispute
settlement. More specifically, the use of MFN clause to create or extend an
investment tribunal’s jurisdiction by applying more favorable terms from
other investment treaties between the respondent state and third states. It
is this issue that will be discussed here.1
A review of several Indonesian investment treaties reveals that the
wording of the MFN clauses in those treaties have not been drafted in a
way which ensures that Indonesia would avoid such jurisdictional
minefield. Given that the government is contemplating a preparation of a
model BIT2 following the “termination” of existing BITs,3 it is now very
Hence the article will not deal with substantive MFN protections.
See Arif Havas Oegroseno, Revamping Bilateral Treaties, the Jakarta
Post on 7 July 2014. It is hoped that the resulting treaties may better
1
2
9
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
timely to pay close attention to the debate on this controversy and
develop a strategic wording of a standard MFN clause. This would still be
useful even in the absence of a model BIT whenever the government
negotiate an investment treaty, whether bilateral or multilateral.
accommodate Indonesia’s interest and reflect Indonesia’s position
nowadays as both a capital-importing and capital-exporting country.
3 See the announcement of the termination at the Netherlands
Embassy’s website at http://indonesia.nlembassy.org (16 July 2014). See
also, e.g. the Financial Times, Indonesia to terminate more than 60 bilateral
investment treaties, at http://www.ft.com (16 July 2014). This development
is met with applause by some notable NGOs, while others are raising the
specter of more protectionist foreign investment policies. See, e.g. the
Polaris Institute, Indonesia Takes a Brave Decision to Terminate its Bilateral
Investment Treaty with the Netherlands, at http://www.polarisinstitute.org
(16 July 2014). Several international law firms already issued client alerts,
with some suggesting that corporate clients may need to restructure their
foreign investment in Indonesia. See, e.g. Freshfields Bruckhaus
Derringer, Restructure now to protect investments in Indonesia, at
http://www.freshfields.com (16 July 2014); Clifford Chance, Alternative
Investment
Protection
Strategies
for
Indonesia,
at
https://onlineservices.cliffordchance.com (16 July 2014); Ashurst,
Indonesia Terminates Indonesia-Netherlands BIT, at www.ashurst.com (16
July 2014). I wish to point out my agreement with the objection against
using the term “termination” as it is not a legally correct characterization
of Indonesia’s plan, which seems to be to simply let the existing BITs to
expire and negotiate new, more favorable, ones. See Michael Ewing-Chow
& Junianto James Losari, Indonesia is Letting its Bilateral Treaties Lapse so as
to Renegotiate Better Ones, at http://www.ft.com (16 July 2014).
10
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
As such, the purpose of this article is to highlight the issue of MFN
clause and dispute settlement, try to argue what the author believes to be
the correct position, and offer some observations for the drafting of this
specific aspect in future investment treaties. To avoid any doubt from the
outset, it is the author’s conclusion that in principle an MFN clause does
not apply to dispute settlement unless it can be clearly ascertained that
the state parties to the investment treaty intend to do so. Hence, a
claimant investor cannot import more favorable dispute settlement
provisions from other investment treaties when instituting arbitration
proceedings against the host state.
To that end, the article will start with an overview of the relevant
investment tribunals’ jurisprudence and legal writings. The crux of the
analysis will consist of (i) a discussion of International Court of Justice’s
(“ICJ”) precedents on MFN clause; and (ii) the fundamental concepts that
should guide us to the correct understanding of MFN clause and
jurisdiction. There will be a review of the wording of MFN clauses in
several of Indonesia’s existing investment treaties and practical
observations for drafting MFN and dispute settlement clauses in future
investment treaties, before the article ends with the conclusion.4
While it is desirable to provide a very detailed and rigorous analysis
of each case or principles mentioned here, the author regrets that space
requirement may not permit such treatment. Therefore many of the
4
11
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
II. Overview of the Debate on MFN Clause and Dispute Settlement
a. The Beginning – Pro-MFN Decisions
The controversy started with the seminal case of Maffezini v. Spain
in 2000. The “basic treaty”5 in the case, the Argentina-Spain BIT, requires
investors to submit investment dispute first to the domestic court of the
host state. If no judgment is rendered in 18 months and the dispute still
exists, the investor may then commence international arbitration
proceedings against the host state.6 The Argentinian claimant had not
brought any suit before Spanish court before going to the International
Centre for Settlement of Investment Disputes (“ICSID”). In order to
establish the tribunal’s jurisdiction and bypass the 18-months rule, the
claimant invoked the MFN clause in the BIT to apply other Spanish BITs
that do not contain such requirement.
It should be noted that the MFN clause in Article IV of the
Argentina-Spain BIT reads as follows: “In all matters subject to this
Agreement, this treatment shall be no less favorable than that extended by
analysis in this article would be cursory and interested readers are invited
to refer further to the materials cited (if any).
5 “Basic treaty” in this context means the treaty which forms the basis
of the claim. For an explanation on the concept of “basic treaty” when
dealing with an MFN clause, see Anglo-Iranian Oil Company case (UK v.
Iran), 1952 ICJ Rep. 93 at 109 [Anglo-Iranian Oil Company].
6 Emilio Agustín Maffezini v. Spain, ICSID Case No. ARB/97/7, Decision
on Jurisdiction of 25 January 2000 [Maffezini].
12
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
each Party to the investments made in its territory by investors of a third
country.” [emphasis added]. The crux of the tribunal’s reasoning is that
“dispute resolution arrangements are inextricably related to the
protection of foreign investors,”7 and that “international arbitration and
other dispute settlement arrangements … are essential to the protection of
the rights envisaged under the pertinent treaties and are also closely
linked to the material aspects of the treatment accorded.”8 Therefore the
tribunal concluded that the MFN benefit in the Argentina-Spain BIT
extends to dispute settlement matters, allowing the claimant to bypass the
18-months waiting period.
The tribunal then carved out some limit on its ruling. An investor
cannot rely on an MFN clause to get around the following aspects of
dispute resolution arrangement: (i) a provision requiring the exhaustion
of local remedies; (ii) a fork-in-the-road provision; (iii) a particular choice
of arbitration “system” (such as ICSID); and (iv) “precise rules of
procedure” in a “highly institutionalized system of arbitration” (such as
NAFTA).9 The tribunal tried to justify these exceptions, as they are
“public policy considerations that the contracting parties might have
envisaged as fundamental conditions for their acceptance of the
Maffezini, ibid at par. 54.
Maffezini, ibid at par. 55.
9 Maffezini, ibid at par. 63.
7
8
13
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
agreement in question.”10 It is unclear how the tribunal could have
arrived at this conclusion, and this particular aspect of the decision has
been widely criticized,11 even by those who in principle advocate the
application of MFN clause to dispute settlement.12
Nevertheless, some other tribunals quickly followed this judgment
albeit with slight differences in facts or in statement of principle.13 For
instance, the tribunal in Siemens v. Argentina went further by expanding
the application of MFN clause to dispute settlement even though the
MFN clause in the basic BIT does not contain the broad “all matters”
Maffezini, ibid at par. 62.
See, among others, Zachary Douglas, The International Law of
Investment Claims (2009) at 358-359 [Douglas]; Dana Freyer & David
Herlihy, Most-Favored-Nation Treatment and Dispute Settlement in
Investment Arbitration: Just How “Favored” is “Most-Favored”?, 20 ICSID
Review 58 (2005) at 67 [Freyer & Herlihy]; Scott Vesel, Clearing a Path
Through a Tangled Jurisprudence: Most-Favored-Nation Clauses and Dispute
Settlement Provisions in Bilateral Investment Treaties, 32 Yale J. Int’l. L. 125
(2007) at 160-161 [Vesel].
12 Emmanuel Gaillard, International Arbitration Law: Establishing
Jurisdiction Through a Most-Favored-Nation Clause, 233 New York L.J. 3
(2005) at 3 [Gaillard].
13 Gas Natural SDG, SA v. Argentina, ICSID Case No. ARB/03/10,
Decision on Jurisdiction of 17 June 2005; Suez, Sociedad General de Aguas de
Barcelona SA, and Inter Aguas Servicios Integrales del Agua SA v. Argentina,
ICSID Case No. ARB/03/17, Decision on Jurisdiction of 16 May 2006;
National Grid Plc. v. Argentina, UNCITRAL Arbitration, Decision on
Jurisdiction of 20 June 2006 [National Grid].
10
11
14
JURNAL OPINIO JURIS
wording.14
Vol. 16  Mei –September 2014
As such, this line of judgments starts from a presumption that
an MFN clause also applies to dispute settlement.
b. The Backlash – Anti MFN Decisions
Just when it seemed that a consistent jurisprudence was about to
emerge following Siemens, two tribunals declined to apply MFN clause to
jurisdictional matters. In Salini v. Jordan, the dispute concerned final
payment to the claimant pursuant to a construction contract with the
Jordanian government. While the basic treaty, the Jordan-Italy BIT,
provides for ICSID arbitration for treaty violations, the treaty also
expressly states that any dispute arising from investment contract is to be
settled according to the dispute settlement clause in the contract.15 The
claimant attempted to rely on the MFN clause, arguing that there are
other Jordanian BITs that allow international arbitration to hear
contractual claims.
The tribunal rejected the claimant’s arguments. First they
distinguished the case from Maffezini, noting that the MFN clause in the
Jordan-Italy BIT does not contain the “all matters” language. Also, the
claimant has not established any intention of the state parties to apply
MFN clause in the BIT to matters concerning dispute settlement. On the
See Siemens AG v. Argentina, ICSID Case No. ARB/02/8, Decision on
Jurisdiction of 3 August 2004 at par. 82 [Siemens].
15 Salini Construttori S.p.A. and Italstrade S.p.A. v. Jordan, ICSID Case No.
ARB/02/13, Award of 31 January 2006 at par. 66 [Salini].
14
15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
contrary, the express intention is to exclude contractual claims – such as
the one in dispute – from the jurisdiction of the tribunal.16 Hence the
tribunal declined jurisdiction to hear the claim.
Another tribunal rendering decision at about the same time, in
Plama v. Bulgaria, produced a similar outcome. The basic treaty, the
Bulgaria-Cyprus BIT, limited arbitration to a determination of the
quantum of damages under the UNCITRAL arbitration rules only.17
Meanwhile, the claimant sought to litigate the entire merit of its claim
(including the unlawfulness of Bulgaria’s conduct) in ICSID arbitration;
hence the tribunal’s judgment. Yet the Plama tribunal went even bolder by
expressly advocating a new presumption: that “an MFN provision in a
basic treaty does not incorporate by reference dispute settlement
provisions in whole or in part set forth in another treaty, unless the MFN
provision in the basic treaty leaves no doubt that the Contracting Parties
intended to incorporate them.”18 [emphasis added]. Some other tribunals
subsequently followed suit.19
Salini, ibid at par. 118-119.
Plama Consortium Limited v. Bulgaria, ICSID Case No. ARB/03/24,
Decision on Jurisdiction of 8 February 2005 at par. 26 [Plama].
18 Plama, ibid at par. 223.
19 Vladimir Berschander and Moïse Berschander v. Russia, SCC Case No
080/2004, Award of 21 April 2006 [Berschander]; Telenor Mobile
Communications AS v. Hungary, ICSID Case No. ARB/04/15, Award of 13
September 2006 at par. 100 [Telenor]; Wintershall Aktiengesellschaft v.
16
17
16
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
c. The Latest Round of Cases and Taking Stock of the Debate
Based on the illustration above, it is clear that in general the
jurisprudence of investment arbitration tribunals is still sharply divided
over the issue. The latest round of cases dealing with MFN and dispute
settlement in 2011 and 2012 did nothing to end the discord. In Impregilo v.
Argentina20 and Hochtief v. Argentina,21 the tribunals ruled that the
claimant may import a more favorable term from Argentina’s other BITs
in order to avoid the pre-arbitration requirement to litigate its claim
before local court for 18 months. These decisions, decided by a majority,
attracted two very strong dissents that will be highlighted in the analysis
below.22 On the other hand, the tribunals in ICS Inspection v. Argentina23
and Daimler v. Argentina24 refused to extend the application of MFN clause
to dispute settlement. It seems that there is still a long way from
jurisprudence constante on this issue.
Argentina, ICSID Case No. ARB/04/14, Award of 8 December 2008
[Wintershall].
20 Impregilo SpA v. Argentina, ICSID Case No. ARB/07/17, Award of 21
June 2011 [Impregilo].
21 Hochtief AG v. Argentina, ICSID Case No. ARB/07/31, Decision on
Jurisdiction of 24 October 2011 [Hochtief].
22 See below, section V.
23 ICS Inspection and Control Services Limited v. Argentina, UNCITRAL
Case No. 2010-9, Award on Jurisdiction of 10 February 2012 [ICS
Inspection].
24 Daimler Financial Services AG v. Argentina, ICSID Case No.
ARB/05/1, Award on Jurisdiction of 22 August 2012.
17
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
The same can be said of legal commentators, some in principle
being pro-MFN25 while others are anti-MFN.26 Nevertheless, a consensus
emerges that much depends on the wording of the MFN clause in the
basic treaty.27 Ascertaining the effect of an MFN clause, just like any other
treaty provisions, is basically an exercise in treaty interpretation.28 First it
should be noted that there’s no such thing as the MFN clause; each MFN
clause in each investment treaty is unique, the exact wording being
different from one investment treaty to the other. This is true even among
various BITs signed by one state. It is one of the reasons that many
tribunals have come to different conclusions on the relation between MFN
clause and dispute settlement.
Some investment treaties expressly determine whether the MFN
clause there apply to dispute settlement or not.29 If this is the case, then
See, among others, Gaillard, supra note 12; Christoph Schreuer et al.,
The ICSID Convention: A Commentary, 2nd ed. (2009) at 245-248 [Schreuer]. ;
Vesel, supra note 11 at 185-186 seem to support this view although less
unequivocal, emphasising that the MFN clause cannot subsitutte actual
state consent to arbitration.
26 See, among others, Douglas, supra note 11 at 344-362; Stephen Fietta,
Most Favored Nation Treatment and Dispute Resolution Under Bilateral
Investment Treaties: A Turning Point?, 4 Int. A.L.R. 131 (2005) at 137.
27 Schreuer, supra note 25 at 248; Freyer & Herlihy, supra note 11 at 82;
28 ICS Inspection, supra note 23 at par. 275.
29 To be elaborated below. See section V(a).
25
18
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
tribunals simply have to follow the wording of the basic treaty.30 But of
course, controversy has arisen in many proceedings precisely because of
the absence of such clear language. It is submitted that the basic position
should be the one put forth by the Plama tribunal: that an MFN clause
does not apply to dispute settlement unless it can be clearly ascertained
that the state parties intend otherwise. Therefore claimants cannot benefit
from more favorable provisions in other treaties in order to establish or
expand the jurisdiction of a tribunal. In reaching that conclusion, the
analysis below will start with an elaboration of three ICJ cases related to
MFN clause that have influenced early ICSID tribunals in this regard
(section III). Afterwards, there will be an elaboration of the fundamental
concepts that should be applied when dealing with the issue of MFN and
dispute settlement (section IV).
III. ICJ Cases on MFN Clause
Some commentators have observed that the sharp division among
investment tribunals’ precedents on MFN and dispute settlement could
be traced back among others to contradictory interpretations of the three
ICJ judgments concerning MFN clause, namely the Anglo-Iranian Oil
30
Gaillard, supra note 12 at 3.
19
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Company, Rights of US Nationals in Morocco and the Ambatielos cases.31
Hence the court’s consideration in these cases merits close consideration.
It will be shown below that those three cases cannot be used to support
the view that MFN clause extend to dispute settlement as a procedural
matter.
a. Anglo-Iranian Oil Company
In 1951 the Iranian government nationalized the oil industry,
giving rise to a dispute with the Anglo-Iranian Oil Company, a United
Kingdom (“UK”) incorporated company that had been given an oil
concession in 1931. The dispute was later taken up by the UK government
which brought a claim against Iran before the ICJ.32 Iran had made an
optional declaration in 1932, under which Iran accepted the court’s
jurisdiction but only over disputes concerning the interpretation or
application of treaties or conventions entered into by Iran after the
ratification of the declaration.33 The court held that it has no jurisdiction to
adjudicate UK’s claim because the 1857 and 1903 Iran-UK treaties, under
which the UK brought the claim, had been concluded before Iran’s
optional declaration of 1932.
See Douglas, supra note 11 at 344-345; Vesel, supra note 11 at 147-154.
Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 102.
33 Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 107.
31
32
20
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
The UK tried to argue inter alia that it could nevertheless bring the
claim by virtue of the MFN clause in both treaties. This is because Iran
had concluded another treaty with Denmark in 1934 that would enable
Denmark to submit a dispute with Iran concerning the interpretation and
application of that treaty to the ICJ. Insofar as the UK could not submit its
dispute with Iran to the court, then the UK would not in a position of a
most favored nation vis-à-vis Denmark.34
However, the court rejected the UK’s MFN argument, holding that
an MFN benefit could not extend to jurisdictional matters. This is
especially telling when put within the context of the modern debate on
MFN clause and jurisdiction because the MFN clause in the UK-Iran
treaty was couched in broad terms, requiring MFN treatment “in every
respect” and “in all respect.”35 In an oft-quoted passage the Court stated:
Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 110.
See Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 108. Article IX of the
Treaty of 1857: “The High Contracting Parties engage that, in the
establishment and recognition of Consuls-General, Consuls, Vice-Consuls,
and Consular Agents, each shall be placed in the dominions of the other
on the footing of the most-favored nation; and that the treatment of their
respective subjects, and their trade, shall also, in every respect, be placed on
the footing of the treatment of the subjects and commerce of the mostfavored nation.” Article II of the Commercial Convention of 1903: “It is
formally stipulated that British subjects and importations in Persia, as
well as Persian subjects and Persian importations in the British Empire,
shall continue to enjoy in all respects, the regime of the most-favored
nation.” [emphasis added].
34
35
21
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
“The Court needs only observe that the most-favored-nation
clause in the Treaties of 1857 and 1903 between Iran and the
United Kingdom has no relation whatever to jurisdictional
matters between the two Governments. If Denmark is entitled under
Article 36, paragraph 2, of the Statute, to bring before the Court any
dispute as to the application of its Treaty with Iran, it is because that
Treaty is subsequent to the ratification of the Iranian Declaration.
This can not give rise to any question relating to most-favored-nation
treatment.”36
It is submitted that the above passage is sufficiently clear as a
general proposition on the relation between MFN clause and the
jurisdiction of a court or tribunal. The court effectively distinguished
between substantive benefit emanating from an MFN clause and
jurisdictional matters that fall outside the ambit of that clause.37
The court did state in another part of the judgment that it does not
consider it necessary to deliberate on the “meaning and the scope” of the
MFN clause.38 This particular passage has been used by the Siemens
tribunal to justify its departure from the Anglo-Iranian precedent and
applying the MFN clause to circumvent the precondition for the tribunal’s
jurisdiction.39 However, read in the context of the court’s entire judgment,
it is reasonable to view this as meaning that the court does not consider
Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 110 (emphasis added).
See also the elaboration in the concurring opinion of Lord McNair:
Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 110.
38 Anglo-Iranian Oil Company, supra note 5 at 109.
39 See Siemens, supra note 14 at par. 95-96.
36
37
22
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
the meaning and scope of the MFN clause as it applies to substantive MFN
protection. When it comes to the issue of the court’s jurisdiction, the court
was unequivocal in its rejection to applying the MFN clause to extend its
jurisdiction beyond the limit prescribed by Iran’s declaration. On the other
hand, the tribunal in Plama faithfully followed ICJ’s conclusion that the
MFN clause has no relation to jurisdictional matters.40
b. Case Concerning the Rights of US Nationals in
Morocco
At the heart of the case was the question of whether the United
States is entitled to exercise consular jurisdiction in Morocco in cases
where an American citizen is the defendant. In 1836 the United States
concluded a bilateral treaty with Morocco conferring consular jurisdiction
to the United States in all civil and criminal cases between American
citizens. The United States here asserted that, by virtue of the MFN clause
in the US-Moroccan treaty, all cases in which an American citizen is the
defendant also fall within its consular jurisdiction to the extent that
subsequent treaties between Morocco and Great Britain and Spain confer
such broader jurisdiction on those states.41 France, which was the protector
of Morocco at this time, disputed the United States’ assertion and
Plama, supra note 17 at par. 214.
Case Concerning the Rights of Nationals of the United States of America in
Morocco (France v. USA), 1952 I.C.J. Rep 176 at 187-188 [Rights of US
Nationals in Morocco].
40
41
23
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
instituted proceedings against the United States before the ICJ.
It should be noted, however, that the court’s jurisdiction in the
case, based on France’s and the United States’ declarations under the
optional clause, was never in dispute. Hence the MFN clause in the USMoroccan treaty was invoked not in relation to any aspect of the court’s
jurisdiction or procedure. It was instead invoked in relation to the United
States’ substantive right to exercise consular jurisdiction under the treaty.42
Therefore this case should not have been considered to guide investment
treaty tribunals either way on the question of MFN clause and the
tribunal’s jurisdiction.
The Plama tribunal indeed made such observation.43 On the other
hand, others have mistakenly relied on this case to extend their
jurisdiction or import different procedural rules from other treaties by way
of an MFN clause. For example, the tribunal in Siemens stated, “…it is
evident that the ICJ accepted that MFN clauses may extend to provisions
related to jurisdictional matters, but this was not really the issue between
See Douglas, supra note 11 at 349. In short, the court rejected the
United States’ assertion of “permanent incorporation by reference” so that
any right to exercise broader consular jurisdiction, which the United
States may have enjoyed under the MFN clause, will cease insofar as
Morocco treaties’ with third states that confer such broader rights have
expired. See Rights of US Nationals in Morocco, ibid at 191.
43 See, among others, Plama, supra note 17 at par. 213.
42
24
JURNAL OPINIO JURIS
the
parties.”44
Vol. 16  Mei –September 2014
The Siemens tribunal was mistaken in this regard.
c. Ambatielos Case
Mr. Ambatielos was a Greek ship owner who had concluded a
contract with the British Ministry of Shipping. When a dispute
subsequently arose, Ambatielos brought a claim before the English
Admiralty Court in accordance with the contract. The admiralty court
ruled against Ambatielos, and a subsequent appeal also failed. Afterward
the Hellenic government took up Ambatielos’ claim and instituted
proceedings against the United Kingdom before the ICJ. While the court
ruled that it is without jurisdiction to hear the merit Greece’s claim, the
court nevertheless found it has jurisdiction to rule that the United
Kingdom must submit to arbitration pursuant to a Declaration to the 1926
Treaty of Commerce and Navigation between the two states (“TCN
Treaty”).45
It is the arbitration tribunal’s decision that has been the focus of
attention with respect to MFN and jurisdiction. One of Greece’s main
submissions was that Ambatielos had been denied “free access to the
Courts of Justice” guaranteed under Article XV of the TCN Treaty.46 This
Supra note 12 at par. 99; see also National Grid v. Argentina, supra note
13 at par. 70, 87.
45 See the facts of the case in Ambatielos (Greece v. United Kingdom), 1952
ICJ Rep. 28 at 46 and 1953 ICJ Rep. 10 at 57 [Ambatielos (ICJ)].
46 The provision reads: “The subjects of each of the two Contracting Parties
44
25
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
is because (i) the British officials had failed to disclose material evidence in
favor of Ambatielos in the admiralty court proceedings; and (ii) the
English Court of Appeal had refused to grant Ambatielos the leave to
produce additional evidence.47 Relying on the MFN clause in Article X of
the TCN Treaty,48 the Hellenic government argues the proper scope of the
“free access to the Courts of Justice” by invoking provisions concerning
administration of justice from other UK bilateral treaties. Hence the issue,
as far as the MFN clause is concerned, is whether such clause in the TCN
Treaty extends to matters concerning the administration of justice by UK
courts.
It should be clarified first that the term “administration of justice”
here is akin to the concept of “denial of justice” (“DoJ”) under
international law. DoJ in principle is a concept whereby a state incurs
in the dominions and possessions of the other shall have free access to the Courts
of Justice for the prosecution and defense of their rights…” See Ambatielos (ICJ),
ibid at 20.
47 The Ambatielos Claim (Greece v. The United Kingdom), XII UNRIAA 91
at 98-99 [Ambatielos Arbitration].
48 The provision reads: “The Contracting Parties agree that, in all matters
relating to commerce and navigation, any privilege, favor or immunity whatever
which either Contracting Party has actually granted or may hereafter grant to the
subjects or citizens of any other State shall be extended immediately and
unconditionally to the subjects or citizens of the other Contracting Party; it being
their intention that the trade and navigation of each country shall be placed, in all
respects, by the other on the footing of the most favored nation.” [Emphasis
added]
26
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
international responsibility if it administers its laws to aliens in a
fundamentally unfair manner.49 As argued by Greece, the treatment
received by Ambatielos from UK courts would have amounted to DoJ.
While Article XV of the TCN provides for “free access to Courts of
Justice”, the provision does not expressly mention the concept of DoJ.
According to Greece, Ambatielos is entitled to no less favorable treatment
than those stipulated in UK’s other bilateral treaties that provides for
protection from DoJ.
The arbitration panel, noting that Article X of the TCN Treaty
stipulates that MFN is to apply in all matters relating to commerce and
navigation – and that such term does not have strictly defined meaning,
states:
“…It is true that the ‘administration of justice’, when viewed in
isolation, is a subject-matter other than ‘commerce and navigation’,
but this is not necessarily so when it is viewed in connection with the
protection of the rights of traders. Protection of the rights of traders
naturally finds a place among the matters dealt with by treaties of
commerce and navigation. Therefore it cannot be said that the
administration of justice, in so far as it is concerned with the
protection of these rights, must necessarily be excluded from
the field of application of the most-favored-nation clause,
when the latter includes ‘all matters relating to commerce and
navigation.”50
On the concept of DoJ in general, see Jan Paulsson, Denial of Justice in
International Law (2005), Chapter 4.
50 Ambatielos Arbitration, supra note 47 at 319–20.
49
27
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Thus in the passage above the arbitration panel found that MFN may
operate in matters concerning “administration of justice” – also subject to
the extent it is connected with the rights of traders and the wording of the
MFN clause itself.51
However, it remains that “administration of justice” or DoJ in this
context concerns the substance of an investor’s rights under an investment
treaty, namely whether the investor is entitled to a protection from a
fundamentally or manifestly unfair administration of justice. This is not a
case where the claimant, Greece, seeks to establish the arbitral panel’s
jurisdiction through the MFN clause where none actually exists. The
panel’s own jurisdiction is not in dispute.
Therefore, like the Rights of US Nationals in Morocco, this case does
not shed any light on the question of MFN clause and a tribunal’s
jurisdiction. Some early investment treaty tribunals have correctly pointed
this out.52 But again some other tribunals have surprisingly had an entirely
contrary reading. The Maffezini tribunal purportedly relied on the
Ambatielos decision and wrote that the arbitral panel had concluded, “The
protection of the rights of persons engaged in commerce and navigation
by means of dispute settlement provisions embraces the overall treatment
Although note that the arbitration panel ultimately does not find UK
treaties with other states to be more favorable than the TCN Treaty in this
regard. See Ambatielos Arbitration, supra note 47 at 322-323.
52 Plama, supra note 17 at par. 215; Salini, supra note 15 at par. 112.
51
28
JURNAL OPINIO JURIS
of traders covered by the
Vol. 16  Mei –September 2014
clause.”53
This is of course erroneous. The
dispute settlement provision in the TCN Treaty was never an issue in the
Ambatielos arbitration.
IV. Getting the Fundamental Concepts Right
Since the Maffezini tribunal became the first one to apply MFN
clause on matters concerning the tribunal’s jurisdiction up until the latest
ones in Impregilo and Hochtief, the emphasis has been on the nature of
dispute settlement mechanism (in particular, access to international
arbitration) as being essential to the protection of foreign investment. In
general, this view attaches great importance to the object and purpose of
the treaty as one of the means of interpretation. However, such emphasis
led those tribunals to the wrong direction. If we subscribe to this view,
then there is no logical bar to the importation of, for instance, an ICSID
clause into an investment treaty that does not provide for international
arbitration at all. Surely this is not a desirable outcome even for the
proponent of applying MFN clause to jurisdictional matters.54
As advocated most strongly by Professor Douglas, the proper
question instead is whether there is an intrinsic distinction between
substantive obligations of investment protection, on the one hand, and
investment treaty provisions on the jurisdiction of tribunals, on the other;
Maffezini, supra note 6 at par. 50.
Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion]
at par. 35.
53
54
29
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
such distinction making the application of the MFN clause to the latter
impermissible.55 It is submitted here that they are indeed intrinsically
different. Therefore dispute settlement matters fall outside the ambit of an
MFN clause.
In order to reach such conclusion, it is essential to get at least two
fundamental concepts right. They are (i) the rule of consent; (ii) the
distinction between jurisdiction and admissibility. While the first concept
should be straightforward, the second one often proves difficult to
ascertain or apply in practice. Once these two concepts are clarified, the
idea of the intrinsic distinction between MFN clause and dispute
resolution provision would be clearer. Such idea will be discussed here in
the context of the broader concept of “severability of dispute resolution
clause.”
a. The Rule of Consent
The first fundamental concept is the rule of consent, whereas the
jurisdiction of an international court or tribunal is based on the consent of
the parties.56 This rule is of general application, universally applied by
Douglas, supra note 11 at 345.
A classic formulation of this basic rule is Art. 36 of ICJ Statute, which
states, “The jurisdiction of the Court comprises all cases which the parties refer
to it and all matters provided for in … treaties and conventions in force”.
55
56
30
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
international courts and tribunals including investment arbitrations.57 Like
any form of arbitration, investment arbitration is always based on an
arbitration agreement or consent as the essential basis of the tribunal’s
jurisdiction.58
While in case of inter-state courts or tribunals the mutual consent
of the parties is straightforward, that is not always the case in investment
arbitration. Most investment arbitrations are based on an investment
treaty between states, such as BITs, that provide for reciprocal protection
for investors from the other state party or pursuant to an option of
submitting to international arbitration in the respondent state’s domestic
investment law.59 Here the mutual consent may be best explained as an
emanating from the interplay between the respondent state’s offer to
arbitrate and the claimant investor’s acceptance of such offer. The offer is
made by the state in an investment treaty or in national investment law,
which is then perfected by the investor’s acceptance when instituting
proceedings.60
In that vein, anyone familiar with the concept of offer and
acceptance in contract law would no doubt also recognize that a counter-
See Shabtai Rosenne, International Courts and Tribunals, Jurisdiction
and Admissibility of Inter-State Applications, Max Planck Encyclopedia of
Public International Law at par. 4.
58 Andrea Marco Steingruber, Consent in International Arbitration (2012)
at 254 [Steingruber].
59 Steingruber, ibid.
60 See, among others, Schreuer, supra note 25 at 190 et seq.
57
31
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
offer would, in turn, require the acceptance of the party making the
original offer in order to constitute a mutual agreement. This is the point
advanced by arbitrator Thomas in his Hochtief dissent. He argued that
Hochtief, by invoking the MFN clause to import jurisdictional terms from
other treaty, has effectively attempted to alter and eliminate the conditions
of Argentina’s consent. In his view, this interplay generates a “counteroffer on different terms” instead of a “perfected consent”.61 Hence,
jurisdiction cannot simply be established by referring to dispute resolution
clause in other treaty by virtue of an MFN clause – at least insofar as the
respondent state has not consented to such application of the MFN clause.
Another aspect of the rule of consent is the requirement for clarity
and unambiguity. First, consent to arbitration must be made in writing – a
universal rule both under international law and domestic arbitration
laws.62 The consent made in writing must furthermore be explicit and not
merely construed.63 This should caution tribunals from taking exactly the
Hochtief, supra note 21 [Thomas, separate and dissenting opinion] at
par. 27. See also
62 See e.g. Art. 25(1) of the ICSID Convention, stating “The jurisdiction of
the Centre shall extend to any legal dispute arising directly out of an
investment… which the parties to the dispute consent in writing to submit to the
Centre.” For a reflection of this rule in Indonesian Arbitration Law, see
Article 1(3) and 9(1) of Law No. 30 of 1999, State Gazette No. 138 (1999),
Supp. No. 3872 [Indonesian Arbitration Law].
63 Schreuer, supra note 25 at 191; see also Cable TV v. St. Kitts and Nevis,
ICSID Case No. ARB/95/2, Award of 13 January 1997 at paras. 4.02-4.17.
61
32
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
opposite course: finding jurisdiction based on interpretation of ambiguous
MFN clauses. In the words of the ICS tribunal, “the MFN clause must also
be in itself a manifestation of consent to the arbitration of investment
disputes according to the rules that the MFN provision might attract from
other comparator treaties.”64
b. Distinction between Jurisdiction and Admissibility
Some commentators try to reconcile the opposing camps of proand anti-MFN decisions by drawing a distinction between the MaffeziniSiemens line of cases, which concerns an attempt to bypass a procedural
obstacle to arbitration proceedings (an issue of admissibility related to the
timing of instituting arbitration proceedings) and the Salini-Plama line of
cases, which concerns a more dramatic attempt to create or extend the
tribunal’s jurisdiction beyond the consent of the state parties to the basic
investment treaty.65 It is submitted here that this is an erroneous
understanding of the distinction of jurisdiction and admissibility. This
may seem theoretical. But in practice there have been judgments by courts
and
tribunals
which
hinged
on
an
incorrect
analysis
on
the
characterization of a procedural objection as going to jurisdiction or
ICS Inspection, supra note 23 at par. 278.
See, among others, Freyer & Herlihy, supra note 11 at 82; Steingruber,
supra note 58 at par. 14.57.
64
65
33
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
admissibility, thus attracting heavy criticism.66
As we shall see, some investment tribunals also made the same
mistake and this led to applying the MFN clause to extend the tribunal’s
jurisdiction beyond state’s consent. Granted, the distinction is often quite
difficult to articulate. One oft-quoted formulation is by Judge Fitzmaurice,
who wrote as follows:
An objection to jurisdiction “is a plea that the tribunal itself is
incompetent to give any ruling at all whether as to the merits or
as to the admissibility of the claim”;
An objection to admissibility “is a plea that the tribunal
should rule the claim to be inadmissible on some ground other
than its ultimate merits.”67
In short, the notion “jurisdiction” concerns the court’s competence
to hear the case: the parties’
consent. Meanwhile, the notion
“admissibility” concerns the propriety of the court’s hearing the case. As
the ICJ put it, “… even if the Court has jurisdiction and the facts stated by
One of the most famous examples of such judgment is the South West
Africa Case (Second Phase), 1966 ICJ Rep. 6. In the investment arbitration
context, the distinction between jurisdiction and admissibility is decisive
in the fierce debate between the majority and the dissent in Abaclat and
Others v. Argentina, ICSID Case No. ARB/07/5, Decision on Jurisdiction
of 4 August 2011, a much celebrated decision where the majority decision
accept jurisdiction to hear a mass-claim brought by 180,000 claimants –
eventually down to 60,000.
67 Sir Gerald Fitzmaurice, The Law and Procedure of the International
Court of Justice (2006) at 438-439.
66
34
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
the applicant State are assumed to be correct, nonetheless there are reasons
why the Court should not proceed to an examination of the merits.”68
Some examples of objection on admissibility are those concerning the
claimant’s standing,69 mootness of claim,70 necessary third party71 and
exhaustion of local remedies.72 The last type of example is of particular
interest here.
In Hochtief, the tribunal considered that the requirement of 18month litigation period in local Argentinian court before instituting
international arbitration proceedings could be regarded as “a provision
going to the admissibility of the claim rather than to the jurisdiction of the
Tribunal.”73 In the eyes of the tribunal, utilizing the MFN clause to allow
the claimants the benefit of no waiting period in another treaty is merely
an issue of procedures. Hence the tribunal operates within the framework
of jurisdiction that it already had; this is not about creating or extending
jurisdiction or state’s consent.
Oil Platforms (Iran v. United States of America), 2003 I.C.J. Rep. 161 at
par. 29.
69 E.g. Barcelona Traction, Light and Power (Belgium v. Spain), 1970 I.C.J.
Rep. 3.
70 E.g. Northern Cameroon (Cameroon v. Nigeria), 1970 I.C.J. Rep 15.
71 E.g. Monetary Gold Removed from Rome (Albania v. Germany), 1954
I.C.J. Rep. 19.
72 E.g. Interhandel Case (Switzerland v. United States of America), 159 I.C.J.
Rep. 6.
73 Hochtief, supra note 21 at par. 96.
68
35
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
It is difficult to see how such a view can be justified. If an
investment treaty requires prior recourse to local courts before the investor
may institute international arbitration, such recourse becomes a precondition to states’ consent to arbitration.74 As noted by Professor Stern in
her Impregilo dissent, that condition qualifies state’s consent in the treaty
and it is therefore a matter of jurisdiction.75 Seen this way, the invocation
of MFN clause to import even a seemingly procedural rule (such as prior
recourse to local remedies) from other treaties is in fact a jurisdictional
issue.76 Indeed the logic of the Hochtief majority was severely criticized by
arbitrator Thomas’ dissents, which refer to the majority’s reasoning as
“putting the cart before the horse.”77
In this vein, whether the claimants attempt to extend the
jurisdiction of the tribunal or borrow a more generous procedural rule
from another treaty should not make any difference. All those attempts
See Daimler, supra note 24 at 78-79; ICS Inspection, supra note 23 at 86.
Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion]
at par. 82-88.
76 For instance, see one commentator’s comment, “Presumably, if the
exhaustion of local remedies is framed as a condition of consent in the BIT, then
the matter is properly dealt with as a jurisdictional issue of consent, the claim
itself being admissible.” [emphasis added], David A.R. Williams, Jurisdiction
and Admissibility, in The Oxford Handbook of International Investment Law
(2008) at 928.
77 Hochtief, supra note 21 [Thomas, separate and dissenting opinion] at
par. 81.
74
75
36
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
should ultimately be considered as matters of jurisdiction that cannot be
overcome by an MFN clause. It seems that those who advocate the
application of MFN clause when the claimant merely tries to bypass
procedural requirements have lost sight of this subtle but important
distinction between jurisdiction and admissibility.
c. The Intrinsic Distinction and Severability of Dispute
Resolution Clause
The rule of consent and a correct conception of jurisdictional
matters, elaborated above, lead to the third fundamental concept: that
dispute resolution clause is intrinsically distinct from MFN clause. This in
fact merely reflects a general principle more commonly expressed in
contract law: that a dispute resolution clause is severable from the rest of
the agreement.78 It follows that a dispute resolution clause, and in
particular the conditions for an investment tribunal’s jurisdiction, cannot
fall within the ambit of an MFN clause. There are several reasons
underlying this distinction.
First, there’s a substantive-procedural distinction in that an MFN
clause governs substantive aspect of a treaty while dispute resolution
Plama, supra note 17 at par. 212: “This matter can also be viewed as
forming part of the nowadays generally accepted principle of the separability
(autonomy) of the arbitration clause. Dispute resolution provisions constitute an
agreement on their own …”. For an example reflecting this principle under
domestic law, see inter alia Article 10 of Indonesian Arbitration Law, supra
note 61.
78
37
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
clause governs procedural aspect for the implementation of the treaty.79
This means that the ejusdem generis principle prevents the two to be
equated, thus also preventing the MFN clause to be applied to dispute
settlement mechanisms.80 In this vein, one can also easily relate this to
such distinction made under international law more generally.81 There
have been many instances where the ICJ has distinguished between
substantive and procedural rules,82 and in particular relevance here: when
the distinction led the court to decline jurisdiction when the nature of the
substantive rule arguably calls for an opposite result.83
See, for example, Telenor, supra note 19 at par. 92.
Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion]
at par. 28. Based on the ejusdem generis principle, an MFN clause “can only
attract matters belonging to the same category of subject as that to which
the clause itself relates.” See Ambatielos Arbitration, supra note 47 at 107.
Put differently, MFN clauses confer “only those rights which fall within
the limits of the subject-matter of the clause.” See International Law
Commission’s Draft Articles on Most-Favored-Nation Clauses, Yearbook
of the International Law Commission, 1978, Vol. II, Part Two, Article 9.1.
81 For a comprehensive discussion on this point, see Stefan Talmon, Jus
Cogens after Germany v. Italy: Substantive and Procedural Rules Distinguished,
25 Leiden J. Int’l. L. 979 (2012).
82 Most recently – and notably – in the decision where the court upheld
Germany’s immunity before Italian courts in cases concerning allegation
of jus cogens violations, Jurisdictional Immunities of the State (Germany v.
Italy: Greece Intervening), 2012 ICJ Rep. 99.
83 Armed Activities on the Territory of the Congo (New Application: 2002)
(Democratic Republic of Congo v. Rwanda) [Decision on Jurisdiction and
Admissibility], 2006 ICJ Rep. 6 at par. 34.
79
80
38
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Second, there is a distinction between the rights as such and
fundamental conditions for access to the rights, a point made by Professor
Stern in her Impregilo dissent.84 Coming back to the rule of consent, she
explained that unlike domestic legal order where jurisdictional treatment
is inherent in substantive treatment (there is always an automatic recourse
to courts to protect one’s right), in international legal order there is no
such automatic recourse to adjudication. There is a supplementary
condition in order for recourse to arbitration to be granted to investor.85 As
MFN clause only applies to rights that investors do enjoy under a given
treaty as opposed to rights for which certain conditions are still to be
satisfied,86 it again follows that the ejusdem generis principle prevents the
application of an MFN clause to jurisdictional matters governing the
conditions of state’s consent to arbitrate.
V. MFN Clauses in Indonesian Investment Treaties and Some
Drafting Observations
Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion]
at par. 47.
85 Impregilo, supra note 20 [Prof. Stern, separate and dissenting opinion]
at par. 45.
86 Endre Ustor, Report on Most Favored Nation Clause, Yearbook of the
International Law Commission, Vol. II (1969) at 170. This was cited with
approval in Telefonica v. Argentina, ICSID Case No. ARB/03/20, Decision
of the Tribunal on Objections to Jurisdiction, 25 May 2006 at par. 99.
84
39
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Notwithstanding the correct position advocated in this article, in
principle there is no bar for states to agree that MFN protection in an
investment treaty is to extend to jurisdictional matters or vice versa.87
Either way, it is obviously very important to ensure that there is legal
certainty about the effect (or lack thereof) of the MFN clause in a given
treaty. When a dispute arises, the parties’ strategy and behavior will very
much be shaped by their understanding of the rules governing dispute
settlement: how long they should attempt negotiation, what action can
they take afterwards and where, etc.
As already noted, eventually much of the outcome in each case
depends on the wording of the basic treaty. It goes without saying that a
precise drafting of the clause will remove much of the controversy and
surprise in the case. However, it seems that the MFN clauses in existing
investment treaties concluded by Indonesia have not been conceived with
this jurisdictional issue in mind – at least those that the author has
reviewed.88 In fact, many of the treaties contain only general or standard
Under international law, there is no general or principal restriction
on states as to what can be agreed or governed in a treaty (see S.S.
Wimbledon, (1923) PCIJ Ser. A No. 1 at 24) so long as the terms of the
treaty does not violate jus cogens or peremptory norms, see Article 53 of
the Vienna Convention on the Law of Treaties, 1155 UNTS 331 (1969)
[VCLT].
88 All treaties cited in this article are retrieved through the Indonesian
Ministry of Foreign Affairs’ database at http://treaty.kemlu.go.id.
87
40
JURNAL OPINIO JURIS
MFN
clause.89
Vol. 16  Mei –September 2014
Therefore it leaves Indonesia vulnerable when facing an
arbitration claim by foreign investors. Going forward, careful attention
must be given when drafting and negotiating the MFN clause in an
investment treaty. Below are some of the things that can be considered.
a.
Express Wording Either to Extend or Not to Extend MFN
Benefit to Dispute Settlement or Jurisdictional Matters
The clearest evidence of state parties’ intention is one that is
expressly stated in the treaty. States may expressly provide that dispute
settlement would be subjected to the MFN clause. Conversely, states
wishing to exclude dispute resolution from the scope of MFN clause could
also easily insert such wording in the BIT.90 For example of the former,
Article 3(3) of the UK Model BIT provides:
See, e.g., Article 3 of the Indonesia-Germany BIT; Article 4 of the
Indonesia-Libya BIT; Article III of the Indonesia-Mozambique BIT; Article
3 of the Indonesia-Russia BIT; Article 3 of the Indonesia-Serbia BIT.
90 See for example the Free Trade of the Americas (FTAA) draft of 21
November 2003, where in reaction to the Maffezini decision states in
footnote 13: “The Parties note the recent decision of the arbitral tribunal in
the Maffezini (Arg.) v. Kingdom of Spain, which found an unusually
broad most favored nation clause in an Argentina-Spain agreement to
encompass international dispute resolution procedures. … By contrast,
the Most-Favored-Nation Article of this Agreement is expressly limited in
its scope to matters “with respect to the establishment, acquisition,
expansion, management, conduct, operation, and sale or other disposition
of investments.” The Parties share the understanding and intent that this
clause does not encompass international dispute resolution
mechanisms…” [Emphasis added].
89
41
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
“For avoidance of doubt it is confirmed that the treatment provided
for in paragraphs (1) and (2) above shall apply to the provisions of
Articles 1 to 11 of this Agreement.”91
Some commentators seem to take the position that the state parties’
intention must be clearly envisaged in the treaty.92 However, this would be
too restrictive. There is no reason not to subscribe to the parties’ intention
if such intention can be clearly ascertained in some way, even if not
expressed in the treaty itself. Article 31 and 32 of the Vienna Convention
on the Law of Treaties (“VCLT”) do envisage such possibility by allowing
recourse among others to contemporaneous documents or travaux
preparatoire.93
As for Indonesia, none of its existing investment treaties reviewed
by the author94 contain this kind of wording. For obvious reason, it is
The 2005 version with amendments in 2006. Article 3 being the MFN
clause while dispute settlement between investors and host state is
governed in Article 8.
92 See Douglas, supra note 11 at 362.
93 Cf. Berschander, supra note 19 at 68, where the tribunal relied among
others on evidence from the time of the negotiations of the BelgiumRussia BIT, which demonstrated that Russia did not intend for the MFN
clause to extend to dispute resolution provisions. This led to the tribunal
rejecting claimant’s plea to apply MFN clause to extend the tribunal’s
jurisdiction beyond only determining the amount and mode of
compensation (as provided in the basic treaty).
94 All of these treaties are cited in the footnotes or referred to in the
text.
91
42
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
advisable to insert such clarification in future investment treaties – be it for
applying or not applying the MFN clause to dispute settlement.
b.
Making the MFN Clause as Detailed as Possible,
Enumerating its Scope of Application
Another possibility is to enumerate the scope of the MFN clause in
detail. If an MFN clause expressly provides for limitations, such
limitations must be given effect. Some MFN clauses in Indonesian
investment treaties follow this model.95 For example, Article 6(2) of the
ASEAN Comprehensive Investment Agreement states:
“Each Member State shall accord to investments of investors of
another Member State treatment no less favorable than that it
accords, in like circumstances, to investments in its territory of
investors of any other Member State or a non-Member State with
respect to the admission, establishment, acquisition, expansion,
management, conduct, operation and sale or other disposition of
investments..”
Another example on a bilateral level is Article 4(2) of the
Indonesia-UK BIT, which states:
“Neither Contracting Party shall in its territory subject nationals
or companies of the other Contracting Party, as regards their
management, use, enjoyment or disposal of their investments, to
See, e.g., Article 4 of Agreement on Investment under the
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
Among the Governments of the Member Countries of the Association of
Southeast Asian Nations and the Republic of Korea; Article 3(2) of the
Indonesia-Denmark BIT.
95
43
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
treatment less favorable than that which it accords to nationals or
companies of any third State.”
Regarding this kind of wording, one commentator noted that “the
settlement of disputes not being part of this enumeration, it is thus
excluded from the scope of the clause.”96 While that is true, it is only one
of the possible interpretations of the clause. In fact, the tribunal in Hochtief
considered recourse to dispute settlement to be one aspect of investment
“management”, leading to the pro-MFN decision.97 Therefore even a
detailed enumeration may not be enough without an unequivocal
clarification in the text of the treaty about the relation between MFN and
dispute settlement.
c.
The “all matters” language in the MFN Clause
There is at least one of Indonesian investment treaties that contain
this kind of wording. Article 3(2) of the Indonesia-North Korea BIT states:
“More particularly, each Contracting Party shall accord to such
investments treatment which in any case shall not be less favorable
than that accorded to investments of investors of any third state.”
As regards an MFN clause containing a broad “all matters”
language such as the one in Maffezini98 – or its variant like the above, it
Gaillard, supra note 12 at 3; see also Vesel, supra note 11 at 185.
Hochtief, supra note 21 at 17-18.
98 See above, section II(a).
96
97
44
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
may be argued that it is reasonable to extend the MFN benefit to dispute
settlement based on the ordinary meaning of the text. While it is true that
treaty interpretation requires tribunals to start from the ordinary meaning
of the text, interpreting a treaty based on Article 31 of the VCLT99 is a
holistic exercise whereby the text must also be interpreted in their context.
In Berschander v. Russia, the tribunal refused to apply MFN to
dispute settlement even though textually it is reasonable to do so; the
MFN clause in the basic treaty being applicable to “all matters covered by
the treaty” and “in particular to Articles 4, 5, and 6” [emphasis added].100
Hence, on its face there is no textual limitation to the application of MFN
to dispute settlement. However, the tribunal considered that the MFN
clause cannot be read literally, and applying it to some other articles –
such as Article 1 governing definitions – would be nonsensical.101
Be that as it may, most tribunals facing an MFN clause which
contains an “in all matters” wording – or its variant – tend to decide that
the clause would also apply to dispute settlement.102 As such, an MFN
VCLT, supra note 87. The provision states that a treaty “shall be
interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be
given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object
and purpose”.
100 Berschander, supra note 19 at 54.
101 Berschander, supra note 19 at 64-65.
102 This is the circumstance, among others, in Maffezini, supra note 6 and
Impregilo, supra note 20 at par. 12, 103-104. The exception other than the
Berschander tribunal is Wintershall, supra note 19.
99
45
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
clause containing wordings like “all matters” may still be interpreted
either way. Therefore it is advisable for Indonesia to reconsider agreeing
to such broad wording of MFN clause in future investment treaties.
d.
Expressly Limiting the Scope of an Arbitral Tribunal’s
Jurisdiction in the Dispute Settlement Clause
As noted above,103 the dispute resolution clause in Salini and Plama
are two examples that limit a tribunal’s jurisdiction by excluding
contractual claims or just deciding on the amount of compensation.
However, there are at least two caveats. First, again the very
unpredictable nature of investment tribunals’ jurisprudence means that
decisions concerning MFN, even with a detailed dispute settlement
clause, may still go either way. Second, the limitations put into dispute
settlement clause more often is based on consideration pertaining to state
policy concerning dispute settlement itself. For instance, it is well known
that communist countries in the olden days were highly averse to
international courts and tribunals, hence their BITSs contained highly
restrictive dispute resolution clause.104 In this sense, the issue of MFN is
merely an afterthought when drafting the dispute settlement clause – if
considered at all. Therefore it would be less complicated to clarify the
relation between MFN and dispute resolution in a separate provision.
103
104
46
See above, section II(b).
See Berschander, supra note 19 at 68.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
VI. Conclusion
In view of the highly divergent jurisprudence on the issue of MFN
and dispute settlement, one should return to the fundamental concepts of
consent, jurisdiction and severability of dispute settlement clause. This
would lead to a correct basic position that an MFN clause does not apply
to dispute settlement. In particular, an MFN clause cannot be used to
apply jurisdictional terms from other treaties deemed to be more
favorable for the claimant in investment arbitration. Nevertheless, it is
ultimately up to state parties in the treaty to govern the relation between
MFN and dispute settlement. A review of several investment treaties
concluded by Indonesia show that this controversial issue has not been
specifically addressed, opening the door for uncertainty should any
dispute with an investor ends up in the hands of an investment tribunal.
A more precise drafting of the clause would be necessary in future
negotiation of investment treaties.
47
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
KEDAULATAN NEGARA DI RUANG MAYA : KRITIK UU ITE
DALAM PEMIKIRAN SATIPTO RAHARDJO
AP Edi Atmaja105
Abstrak
State sovereignty is an important international law norm. Since
the invention of the internet, which is a product of information
technology developed in the globalization era, the scope of state
sovereignty expanded through cyberspace. States try to enforce
its sovereignty in this new sphere. In Indonesia, we can observe
this phenomenon through the enactment of Law Number 11 Year
2008 on Electronic Information and Electronic Transaction (UU
ITE).
This paper intends to discuss the reinterpretation of the state
sovereignty concept in the context of globalization and the
development of information technology, especially the internet.
Keywords: State sovereignty, cyberspace, globalization,UU ITE.
Dalam nomenklatur hukum internasional, kedaulatan negara
menjadi diktum primer yang demikian penting. Tiap-tiap negara di dunia
diakui eksistensinya berkat kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara
tersebut. Jika dikatakan bahwa suatu negara berdaulat, maka yang
dimaksud adalah bahwa negara itu mempunyai suatu kekuasaan
105
48
Alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
tertinggi terhadap wilayah tertentu. Kekuasaan tertinggi terhadap
wilayah
tertentu
sebangun
dengan
kewenangan
negara
untuk
menerapkan hukum di wilayah tertentu yang dikuasainya, yang disebut
sebagai yurisdiksi.
Sejak kelahiran negara modern (modern state) pada abad keenambelas dan ke-tujuhbelas di Eropa, kedaulatan negara terus-menerus
diperteguh Perjanjian Westphalia pada 1648 menandai otonomi negaranegara atas “negara induk” Imperium Romawi. Saat itulah negara-negara
modern yang berdaulat mulai terbentuk. Puncak dari narasi historis
kedaulatan negara tersebut adalah pada penyelenggaraan Konferensi
Internasional Ketujuh Negara-negara Amerika di Montevideo, Uruguay.
Dalam konferensi internasional yang digelar pada 26 Desember
1933 itu, negara-negara peserta merumuskan dokumen hukum yang
masyhur sebagai Konvensi Montevideo (Convention on Rights and Duties of
States, 1933). Konvensi tersebut mengatur sejumlah unsur yang mesti
dimiliki oleh negara berdaulat, yakni (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah
yang berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin
hubungan dengan negara-negara lain.
Wilayah atau ruang yang berbatas adalah unsur penting yang
mesti dimiliki oleh suatu negara. Tanpa mempunyai wilayah tertentu,
sebuah negara hanya nonsens belaka. Sebab, terhadap dan melalui
wilayahlah negara menegakkan kekuasaan tertingginya: menjalankan
yurisdiksi dan menerapkan hukum nasionalnya. Wilayah selama ini
49
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
dipahami dalam tiga dimensi, yaitu wilayah daratan, lautan, dan ruangudara. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa kedaulatan negara
dibatasi oleh tiga dimensi tersebut.
Perkembangan sains dan teknologi106 telah menyebabkan pelbagai
perubahan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu
perkembangan sains dan teknologi yang tengah melaju dengan sangat
pesat adalah perkembangan di bidang teknologi informasi. Itu, antara
lain, ditandai dengan kelahiran internet, yang secara keilmuan disebut
sebagai ruang-maya (cyberspace). Dimensi kedaulatan negara pun meluas:
tidak lagi terdiri dari wilayah daratan, lautan, dan ruang-udara,
melainkan juga ruang-maya.Ruang-maya yang tercitra dari internet telah
menciptakan suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum
internet (the law of the internet), hukum ruang-maya (cyberspace law), atau
hukum telematika.
Berkat internet, pertukaran informasi berlangsung dengan lebih
cepat
dan
semakin
pesat.
Internet
beserta
perangkat
teknologi
pendukungnya seolah-olah hendak dan telah menjadikan dunia nyaris
106
Term “teknologi” (technology) berakar dari bahasa Yunani, “technē”, yang tidak lepas
dari dua macam makna. Technē tidak hanya dapat diartikan sebagai kegiatan atau
keahlian dari para tukang (tektón, craftmanship), melainkan juga seni tentang pikiran dan
seni yang indah: technē adalah juga puisi yang puitis. Martin Heidegger, The Question
Concerning Technology, and Other Essays, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh
William Lovitt (New York dan London: Garland Publishing, 1977), h. 12-13.
50
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
tanpa tapal-batas (borderless). Namun, dewasa ini internet hanyalah
momok bagi sejumlah Negara yang membatasi akses internet warga
negaranya.
Beberapa negara di kawasan Asia, Afrika dan Timur
Tengah memberlakukan restriksi ketat di internet. Di Suriah, seorang
narablog ditangkap ketika hendak menghadiri konferensi di Yordania.
Pemerintah Iran juga kerap kali memblokir situs-situs-web berbahasa
Inggris seperti BBC dan Voice of America: mengalihkan perambanan ke
situs-situs-web yang memuat nilai-nilai revolusi Iran.107
Di
negara
dengan
kekuasaan
media
terpusat,
internet
menawarkan ruang diskusi yang unik di tengah sumpeknya pelbagai
pembatasan yang dilakukan oleh otoritas penguasa. Internet menyajikan
ruang berbagi informasi dan melalui internetlah kritik dan protes kepada
penguasa dapat tersalurkan. Di banyak negara otoriter, internet telah
menjadi sarana efektif bagi para pegiat demokrasi dan hak asasi manusia
untuk memobilisasi kegiatannya.
Di Indonesia, internet memiliki pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Meski dari segi persentase sebaran dan penetrasi
populasi internet masih rendah, Indonesia adalah salah satu negara
dengan jumlah pengguna internet terbesar di Asia Tenggara.108 Warnet
107
Ibid., h. 26.
Indonesia Media Defense Litigation Network dan Institute for Criminal Justice
Reform, 2000-2010: Kebebasan Internet Indonesia: Perjuangan Meretas Batas [Briefing
Paper Nomor 3 Tahun 2011] (Jakarta: 2011).
108
51
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
mulai tersedia dan menjamur pada 1998 di pelbagai kota besar di
Indonesia kendati akses internet pada kurun waktu 1998-2000 masih
merupakan sebuah kemewahan untuk sebagian besar masyarakat.
Internet sudah lama digunakan sebagai sarana terakhir tapi efektif
oleh para pegiat demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia di tengah
represi rezim Orde Baru. Tatkala pemberedelan demi pemberedelan surat
kabar dan sensor televisi dengan gencar dilakukan oleh rezim Orde Baru
dengan tujuan untuk membendung arus informasi dari dan untuk rakyat,
internet nyaris tak tersentuh lantaran belum berkembang secara
signifikan sehingga rezim Orde Baru tak perlu secara khusus
menerbitkan regulasi yang membatasi akses internet.
Kini setelah Orde Baru tumbang, seiring dengan bergulirnya
globalisasi, arus informasi menjadi tak terbendung lagi. Beragam media,
baik cetak maupun elektronik, bermunculan. Internet pun menjadi
wahana baru dalam agenda penyebaran informasi itu. Dengan jumlah
penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu
negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Menurut
Internet World Stats, per 30 Juni 2012 Indonesia menempati peringkat ke-
52
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
8 dunia dan peringkat ke-4 Asia dengan jumlah pengguna internet
sebanyak 55.000.000 dengan penetrasi populasi sebesar 22,1 persen.109
Waspada terhadap kian menggeliatnya teknologi internet beserta
jumlah penggunanya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Komunikasi dan Informatika menyiapkan sejumlah peraturan untuk
mengatur beragam jenis dan model informasi. Salah satunya adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE, selain menjadi
pertanda berubahnya orientasi, model, dan sistem informasi di Indonesia,
juga menandai kembalinya pembatasan negara atas informasi, termasuk
informasi yang diterima melalui internet.
Tak dapat dimungkiri, kemunculan internet telah menciptakan
sebuah “dunia baru”, sebuah ruang-maya dengan rezim hukum sendiri
yang melampaui batas-batas teritorial negara. Ambisi negara manapun di
dunia ini adalah menegakkan kedaulatan hingga batas teritorial sejauhjauhnya. Hukum, dalam konteks semacam itu, adalah peranti ampuh
untuk mengoperasionalkan ambisi negara berdaulat di ruang-maya.
Kedaulatan Negara: Sebuah Paradoks
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo, suatu negara
dianggap sebagai subyek hukum internasional (sehingga, dengan
109
Internet World Stats, op. cit.
53
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
demikian, berdaulat) ketika ia memiliki (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah
yang berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin
hubungan dengan negara-negara lain. Sejumlah sarjana, misalnya
Oppenheim, Lauterpacht, Chen, Guggenheim, Anzilloti, dan Hans
Kelsen, menambah satu lagi unsur negara berdaulat, yaitu pengakuan.110
Konvensi Montevideo sendiri menganggap pengakuan bukan sebagai
keharusan yang bersifat konstitutif. Suatu negara, demikian Konvensi
Montevideo, dapat dikatakan berdaulat dan menjadi subyek hukum
internasional ditentukan oleh usaha-usaha, keadaan-keadaan yang nyata,
dan kompetensinya menurut hukum nasional, serta tidak perlu
menunggu diakui oleh negara lain.
Dalam literatur hukum internasional, kedaulatan negara sering
disebut sebagai prasyarat kemunculan yurisdiksi negara. Yurisdiksi
negara adalah konsekuensi logis dari suatu negara yang berdaulat.
Yurisdiksi negara, menurut Antonio Cassese, didefinisikan sebagai
“kewenangan pemerintah pusat dari suatu negara untuk melaksanakan
fungsi-fungsi publik terhadap individu-individu yang berada dalam
wilayahnya”.111 Hans Kelsen dalam bukunya, Principles of International
Law, mengatakan bahwa yurisdiksi negara merupakan refleksi dari
prinsip dasar kedaulatan negara, prinsip persamaan kedudukan
110
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Bandung: Keni Media,
2011), h. 73.
111
Antonio Cassese, International Law, dikutip dalam Ibid., h. 163.
54
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
antarnegara, dan prinsip non-intervensi terhadap urusan domestik
negara lain.112
Dalam perjalanan historisnya, kedaulatan negara sebagai sebuah
gagasan kerap diwarnai kontroversi, perang, nuansa keagamaan, dan
politik. Susunan politik dan praktik-praktik formal kedaulatan negara
datang lebih dahulu ketimbang teori-teori akademik tentangnya,113
apalagi landasan yurisdisnya. Gagasan tentang kedaulatan negara terus
eksis hingga permulaan abad keduapuluh satu, di mana terdapat paling
tidak duaratus organisasi internasional yang bernama “negara” dan
“bangsa”, dan tetap seperti itu hingga sekarang.114
Kedaulatan negara mulai dikenal sejak abad keenambelas dan
ketujuhbelas dalam sejarah Eropa modern. Menjelang abad keenambelas
dan ketujuhbelas, dilatarbelakangi oleh konflik keagamaan yang kuat dan
hasrat kerajaan untuk mengekspansi wilayah kerajaan lain, perang pun
berkecamuk di mana-mana. Wibawa Kekaisaran Agung Roma waktu itu
mulai surut karena intervensi yang berlebihan oleh gereja atas kekaisaran,
sehingga kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekaisaran enggan patuh. Lalu
dimulailah apa yang dinamakan Perang Tiga Puluh (Thirty Years War,
1618-1648).
112
Hans Kelsen, Principles ofInternational Law, dikutip dalam ibid.
Robert Jackson, op. cit., h. xi.
114
Ibid., h. ix.
113
55
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Akibat kerugian perang yang besar dan kekuatan yang selalu
imbang, kerajaan-kerajaan terpaksa menerima pilihan bahwa perang
harus diselesaikan lewat meja perundingan. Perjanjian Westphalia pada
1648 berhasil meredam perang dan mengawali babak baru terbentuknya
negara modern yang berdaulat. Perjanjian Westphalia telah mengakhiri
kekuasaan Kekaisaran Agung Roma, juga menjadi simbol Eropa pascareformasi
yang
berdasar
pada
pengakuan
internasional
yang
menguntungkan di antara negara-negara Protestan dan Katolik. Sejak
1648 banyak entitas politik bekas Kekaisaran Agung Roma menjadi
merdeka dan menerapkan peraturannya sendiri. Kekaisaran Agung
Roma masih ada, tetapi lebih berupa bayang-bayang dari dirinya
sendiri.115
Perjanjian Westphalia terdiri dari dua subtraktat, yakni (1) traktat
Osnabrück yang mengakhiri perselisihan antara Ratu Protestan Swedia
melawan Kaisar Habsburg dari Kekaisaran Agung Roma dan (2) traktat
Münster yang mengakhiri pertikaian antara Raja Katolik Prancis yang
bertikai dengan Kekaisaran Agung Roma.116Perjanjian Westphalia juga
memuat dua macam prinsip yang di kemudian hari menjadi landasan
konsep kedaulatan negara modern.
115
Robert Jackson, op. cit., h. 52.
Hizkia Yosias Simon Polimpung, op. cit., h. 144.
116
56
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Pertama, yurisdiksi penuh, yaitu hak raja untuk bebas mengatur
wilayah kekuasaannya. Kedua, pengakuan bersama, yaitu pengakuan
kedaulatan negara dari negara berdaulat lain yang kemudian melahirkan
prinsip non-intervensi.117 Dengan demikian, terang bahwa gagasan
tentang kedaulatan negara sejatinya tak bisa dilepaskan dari narasi
historis, situasi politik, ekonomi, dan budaya suatu bangsa.
Globalisasi dan Penguasaan Teknologi
Globalisasi adalah tema sentral pasca-berakhirnya Perang Dingin.
Berakar dari kata “globe” (dunia, bola), globalisasi (globalization) secara
harfiah dapat dimaknai sebagai proses menduniakan segala hal,
membuat segala hal terhubung selayaknya bola. Dalam banyak literatur,
konsep tentang globalisasi kerap kali dibicarakan seturut konsep
kapitalisme atau liberalisme dalam bidang ekonomi.
F.X.
Adji
Samekto
menyatakan
bahwa
sejak
globalisasi
diwacanakan pada dekade 1990-an, digulirkan pula isu demokratisasi ke
seluruh
dunia
dengan
dukungan
teknologi
informasi
dan
komunikasi.118Ia menilai, ada semacam simbiosis mutualisme antara
tuntutan diberlakukannya sistem demokrasi dengan pasar bebas, yakni
bahwa pasar bebas bakal memberi keuntungan bagi kepentingan
117
Ibid., h. 146-147.
F.X. Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisasi,
(Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. 61.
118
dan Kerusakan Lingkungan
57
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
kapitalisme di wilayah tempat permintaan dan penawaran berlangsung
yang dijamin dengan adanya demokrasi.
Dalam globalisasi, negara-negara berupaya meraih internet, yang
merupakan simbol bahwa setiap negara menjadi terhubung kian erat
dengan negara lain, dan tak seorang pun yang benar-benar berwenang
atas negara-negara tersebut.119
Seturut dengan Thomas L. Friedman, Alison Brysk, mahaguru
dalam ilmu politik pada Universitas California, juga mengungkapkan
pandangannya tentang relasi antara negara dan informasi. Menurut
Brysk, negara bisa saja melakukan perubahan dari atas dan bawah karena
negaralah yang berwenang mengendalikan wilayah, kekuasaan, dan
sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
Namun, negara tidak bisa (dan tidak boleh) memonopoli informasi.120
Negara-negara yang melibatkan diri dalam globalisasi wajib
mempunyai sumber daya teknologi baru, terutama teknologi informasi,
komputer, dan peranti yang lain untuk berhubungan dengan dunia luar.
Namun, menurut Joseph E. Stiglitz, teknologi canggih adalah permainan
tingkat tinggi yang membutuhkan dukungan investasi yang sangat besar.
119
Ibid.
Shayne Weyker, “The Ironies of Information Technology” dalam Alison Brysk (ed.),
Globalization and Human Rights (California: University of California Press, 2002), h.
116.
120
58
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Hanya negara-negara industri maju dan perusahaan-perusahaan besar
yang dapat memiliki teknologi canggih.121
Joseph E. Stiglitz, mantan senior vice precident World Bank dan
pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi pada
2001, membuat
ilustrasi faktual berkenaan dengan relasi antara globalisasi dan
penguasaan teknologi:
[K]ota Bongalore di India memiliki teknologi dan orang-orang untuk
menjalankannya, namun tidak demikian halnya dengan Afrika. Pada
saat globalisasi dan teknologi baru mengurangi kesenjangan antara
India, China, dan negara-negara industri maju, kesenjangan antara
Afrika dan belahan dunia yang lain justru meningkat. Demikian pula
halnya dalam suatu negara, kesenjangan antara si kaya dan si miskin
semakin meningkat. Dan bersama dengan itu, kesenjangan antara
mereka yang mampu dan tidak mampu bersaing juga meningkat.122
Ruang-maya dan Hukum Internet
“Ruang-maya” merupakan terjemahan bebas penulis atas term
“cyberspace” yang kerap digunakan para sarjana untuk mengidentifikasi
sebuah ruang yang tercipta karena kemajuan teknologi informasi,
121
Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi menuju Dunia
yang Lebih Adil, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi (Bandung: Mizan, 2007), h. 117.
122
Ibid., h. 116-117.
59
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
khususnya internet. Dalam banyak literatur yang penulis temukan, istilah
“cyberspace” kerap kali diasosiasikan atau bahkan dipersamakan dengan
internet, teknologi informasi yang lahir sejak ditemukannya World Wide
Web.123 Ruang-maya dipahami sebagai internet itu sendiri. Menurut
Lawrence Lessig, pendapat ini kurang tepat. Ruang-maya memiliki
pengertian yang lebih luas ketimbang internet. Meskipun Lawrence
Lessig mengakui bahwa tidak ada garis tegas yang membedakan ruangmaya dengan internet, ia menulis:
[F]or most of us over the age of 40, there is no “cyberspace”, even if there is
an Internet. Most of us don’t live a life online that would qualify as a life in
“cyberspace”. But for our kids, cyberspace is increasingly their second life.
There are millions who spend hundreds of hours a month in the alternative
worlds of cyberspace [...] if you care to understand anything about the world
123
World Wide Web (WWW) adalah dasar dari internet yang kita kenal sekarang ini.
Sebelum WWW ditemukan oleh Tim Berners-Lee internet memang sudah ada, namun
komunikasi antarkomputer lebih banyak menggunakan file transfer protocol (FTP).
Untuk bisa mengakses halaman FTP, kita harus mengetahui alamat internet protocol (IP)
situs-web bersangkutan, yang terdiri dari barisan angka, misalnya 103.22.137.70. Internet
pra-WWW juga tidak bisa berpindah laman dengan mudah karena laman diorganisasikan
dalam bentuk database berupa folder-folder yang berisi puluhan file. Tautan (link,
hyperlink) belum ada waktu itu. Untuk berpindah halaman pengguna harus mengetahui
lokasi persis file yang diinginkan dalam server. Basfin Siregar, “20 Tahun World Wide
Web” dalam Gatra Edisi 27/XIX, 15 Mei 2013 (Rubrik Ragam).
60
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
the next generation will inhabit, you should spend some time understanding
“cyberspace”.124
Dengan menggunakan term “maya”,125 penulis tidak sepenuhnya
menolak argumentasi Edmon Makarim yang mengatakan bahwa
substansi dari cyberspace adalah keberadaan informasi konkret yang
dilakukan secara elektronis dalam bentuk visualisasi tatap-muka yang
interaktif dengan merepresentasikan informasi digital (0-1) yang bersifat
diskrit (bulat).126 Sehingga ruang-maya sebetulnya bukan benar-benar
maya, tetapi masih berupa kenyataan yang sedikit-banyak memiliki
koneksi dengan dunia-kehidupan (Lebenswelt).127
Pemilihan kata “ruang” menurut penulis cukup tepat karena
istilah itu memiliki makna ganda yang sangat mendukung tema risalah
ini. Pertama, “ruang” berarti rongga yang berbatas atau terlingkung oleh
bidang. Namun, kedua, “ruang” juga memiliki pengertian lain yang
124
Lawrence Lessig, Code: Version 2.0 (New York: Basic Books, 2006), h. 9.
Term “maya” menurut KBBI adalah “hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada;
hanya ada dalam angan-angan; khayalan”. Ebta Setiawan, KBBI Offline Versi 1.3 (2011).
Data dalam perangkat-lunak ini diambil dari KBBI Daring Edisi III terbitan Pusat Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
126
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003), h. 5.
127
Dunia-kehidupan adalah alam sehari-hari sebelum ditafsirkan melalui pendekatanpendekatan ilmiah akademis; obyek kajian fenomenologis ala Edmund Husserl (18591938). F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2005), h. 24.
125
61
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
kontradiktif dengan pengertian sebelumnya, yaitu rongga yang tidak
berbatas, tempat segala yang ada.128
Dalam pelbagai literatur, hukum yang digunakan untuk mengatur
kegiatan di ruang-maya dikenal dengan banyak sebutan. Ada yang
mengistilahkannya dengan cyberlaw, the law of the internet, the law of
information technology, the telecommunication law, dan lex informatica.129
Barda Nawawi Arief menyebutnya hukum mayantara dan tindak pidana
yang berkaitan dengan hukum itu disebut sebagai tindak pidana
mayantara.130 Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi
informasi (law of information technology) dan hukum dunia maya (virtual
world law).
Edmon Makarim mengkritik pemakaian istilah cyberlaw yang lebih
populer ketimbang istilah lain untuk menyebut hukum yang mengatur
kegiatan di ruang-maya. Menurut Edmon Makarim, istilah cyberlaw lebih
patut ditujukan untuk hukum fisika yang berlaku terhadap arus listrik
dalam kawat,131 bukan yang selama ini dipahami orang sebagai hukum
128
Ebta Setiawan, op. cit.
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi:
Regulasi dan Konvergensi (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 129.
130
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime
di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006).
131
Term cyber pertama kali dikemukakan André-Marie Ampère (1775-1836) untuk
menyebut satuan kuat arus listrik. Edmon Makarim, op. cit., h. 6.
129
62
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
yang muncul dalam ruang-maya (cyberspace). Sehingga istilah yang tepat
adalah cyberspace-law, bukan cyberlaw.132
Dalam diskursus tentang hukum internet, menurut Antonio
Segura-Serrano terdapat tiga kelompok yang memiliki pendapat
berseberangan.133Kelompok pertama adalah kelompok liberal. Menurut
kelompok yang terdiri dari para sarjana Amerika Serikat ini, internet tak
akan bisa dan tak seharusnya diatur oleh siapa pun, termasuk negara. Di
samping mengatur internet adalah suatu ketidakmungkinan, menjaga
agar internet tetap bebas dari peraturan juga sangat diperlukan.
Kelompok liberal berpandangan bahwa internet tidak memiliki yurisdiksi
(ajurisdictional).134
Dalam analisis lebih lanjut mengenai kelompok liberal, meskipun
pada pokoknya menganut satu pemikiran bahwa internet mesti dimiliki
secara bebas oleh warga internet (internet citizen, netizen) dan bebas dari
aturan-aturan negara yang tradisional, ditemukan perbedaan antara
kaum ekstremis-liberal yang menuntut kebebasan mutlak di ruang-maya
dan kaum yang menyarankan pemerintahan-sendiri atau pengaturan
sendiri (self-governance, self-regulation) untuk mengatur kegiatan di ruang-
132
Ibid., h. 7.
Antonio Segura-Serrano, “Internet Regulation and the Role of International Law”,
dalam A. von Bogdandy dan R. Wolfrum (ed.), Max Planck Yearbook of United Nations
Law Volume 10 (Netherlands: Koninklijke Brill, 2006), h. 194-200.
134
Ibid., h. 195.
133
63
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
maya. Bagi kaum yang mendukung pemerintahan-sendiri, hukum
internet tidak dibangun oleh sesuatu yang jauh dari internet itu sendiri,
baik oleh pemerintah maupun legislator tradisional, tetapi oleh
“penghuni” ruang-maya, para netizen itu. Para netizen inilah konstituen
yang sah dari ruang sosial baru mereka dengan membangun semacam
etiket di internet (internet etiquette, netiket) yang dikembangkan sepanjang
waktu, semacam lex mercatoria baru.135
Salah satu masalah yang cukup rumit bagi para pendukung
pengaturan-sendiri adalah sejauh mana peraturan yang dibuat sendiri itu
berjalan. Apakah pengaturan-sendiri itu berlaku untuk seluruh pengguna
atau komunitas internet ataukah untuk sebagian saja? Masalah lain
adalah penegakan hukum. Bagaimana menegakkan peraturan kalau tidak
ada sanksi fisik? Ada usulan bahwa sanksi dapat dilakukan dengan
pengusiran (expulsion) pengguna dari komunitas internet dengan
menggunakan mekanisme tertentu. Namun, usulan ini dianggap masih
kurang dapat memecahkan persoalan.136
Kelompok ke-dua adalah kelompok tradisionalis. Kelompok ini
menganggap bahwa internet seharusnya diatur oleh institusi hukum dan
politik suatu negara. Negara, yang berdasar pada pemilihan umum yang
135
Ibid., h. 196. Lex mercatoria (the law of merchant) adalah hukum yang dibentuk secara
otonom oleh para pedagang pada Abad Pertengahan.
136
Ibid., h. 197.
64
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
demokratis dan supremasi hukum, memiliki kewenangan yang sah untuk
menegakkan peraturan-peraturan yang dibutuhkan untuk mengelola
ruang-maya. Tujuannya adalah untuk mencegah kekacauan akibat
ketiadaan hukum di ruang-maya.137
Internet dianggap semata-mata sebagai produk teknologi informasi,
bukan ruang fisik yang berbeda dari dunia nyata dan tidak pula memiliki
yurisdiksi sendiri. Pandangan semacam inilah yang dianut oleh sebagian
besar negara-negara berdaulat di dunia ini. Bahkan negara seliberal
Amerika Serikat pun menganut pandangan ini. Di Indonesia, pandangan
ini mengejawantah melalui UU ITE yang menganut asas yurisdiksi
ekstrateritorial yang termaktub dalam Pasal 2.138
Ke-tiga, kelompok tengahan. Kelompok ini mencoba melakukan
pencampuran regulasi antara peraturan nasional dan peraturan-sendiri
untuk menciptakan regulasi ruang-maya (cyberspace regulation). Regulasi
hibrida ini diyakini bakal menjamin kepastian, kelenturan, dan
penegakan yang diperlukan terkait dengan regulasi internet sebagai
sebuah sistem hukum.
137
Ibid., h. 198.
Pasal 24 Ayat (1) menyatakan, “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”
138
65
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Arsitektur Internet dan Fungsi Regulasi Negara
Dalam bukunya, Code: Version 2.0 (2006), yang merupakan edisi
revisi atas buku sebelumnya, Code and Other Laws of Cyberspace (2000),
Lawrence Lessig menyebutkan soal regulabilitas (regulability) di ruangmaya. Regulabilitas adalah kemampuan pemerintah untuk mengatur
tingkah laku hingga ranah yang sepatutnya. Dalam konteks internet,
regulabilitas berarti kemampuan pemerintah untuk mengatur tingkah
laku warga negara di internet. Untuk dapat mengatur dengan baik,
menurut Lessig, harus diketahui (1) siapa yang diatur, (2) di mana
mereka, dan (3) apa yang mereka lakukan.139
Berkenaan dengan tiga hal tersebut, Lessig menerangkan
arsitektur kendali (architectures of control) yang berlaku secara alamiah di
internet. Arsitektur kendali mengandung makna bahwa jika negara tidak
mengetahui benar siapa yang diatur, di mana dia atau mereka, atau apa
yang dia atau mereka lakukan, negara tidak dapat mengatur internet
secara semena-mena. Internet secara alamiah memiliki arsitekturnya
sendiri, dan mengatur perilaku manusia di internet bukanlah sesuatu
yang mudah. Internet pada dasarnya tidak dirancang (architected) oleh
negara, melainkan oleh para pengguna internet itu sendiri, dengan tujuan
untuk perdagangan. Internet tidak tercipta karena konspirasi pemerintah,
139
66
Lawrence Lessig, Code: Version 2.0, op. cit., h. 23.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
tetapi semata-mata sebagai konsekuensi dari perubahan yang dibuat
secara pragmatis, yang bermotifkan ekonomi.140
Untuk menetapkan regulasi di ruang-maya, negara perlu memastikan
“siapa melakukan apa dan di mana”. Untuk mengetahui “siapa”, negara
harus mengetahui cara kerja “identifikasi” secara umum dan bagaimana
ia bekerja di dalam internet. Identifikasi berpusar pada tiga hal, yaitu (1)
“identitas”, (2) “otentikasi”, (3) dan “surat kepercayaan”.141
Identitas dapat ditunjukkan, misalnya, dengan memperlihatkan
kartu tanda penduduk (KTP). KTP memuat, antara lain, jenis kelamin,
usia, pekerjaan, dan status perkawinan. Namun, KTP perlu diotentikasi:
apakah benar bahwa si fulan sudah menikah? Bagaimana jika ia
menunjukkan cincin kawinnya? Tetapi, apakah benar cincin yang dipakai
di jarinya itu adalah sebuah cincin kawin? Untuk lebih memberi
kepastian pada otentikasi, dibutuhkan surat kepercayaan. Oh, ya, si fulan
memang sudah menikah; buktinya, ia dapat menunjukkan akta nikahnya.
Maka kita pun merasa teryakinkan akan kepastian status si fulan. Surat
140
Ibid., 38. Lessig mencontohkan satu peristiwa di Jerman pada Januari 1995. Pada masa
itu, Jerman menetapkan aturan tentang pornografi. Compuserve, penyelenggara jasa
internet besar pertama di Amerika Serikat, menyediakan konten porno dalam layanannya.
Pemerintah Jerman memerintahkan Compuserve agar menghapus layanan pornonya. Bila
tidak, pemerintah mengancam akan memidanakan pimpinannya. Tetapi Compuserve
gamang. Menghapus layanan porno berarti menghapus seluruh layanan porno di seluruh
dunia. Akhirnya, karena tidak mau merugi, Compuserve membuat sistem yang mampu
memfilter konten secara negara per negara. Ibid., h. 39. Dari sini dapat ditangkap
pengertian bahwa kendali utama internet sesungguhnya bukan negara.
141
Ibid.
67
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
kepercayaan, dengan demikian, menjadi peranti yang tak terelakkan
untuk “mengamankan” proses otentikasi.142
Identifikasi dan otentikasi di dunia nyata dan ruang-maya secara teoretis
tampak sama, tetapi secara praktis jauh berbeda. Internet dibangun dari
seperangkat protokol yang secara umum disebut dengan TCP/IP.143
Dalam TCP/IP terkandung protokol-protokol untuk pertukaran data di
antara dua mesin pada suatu jaringan.
Sistem
mengambil
sejumput
data
(misalnya
sebuah
file),
memotong-motongnya ke dalam paket, dan mengirim paket itu ke alamat
pengiriman (disebut “alamat IP”). Paket melewati jalan (disebut
“routers”) sebelum sampai ke mesin penerima dan menggabungkan file
yang terpotong-potong tadi melalui kode algoritma. Namun, dalam
jaringan itu tidak terkandung otentikasi apapun yang menunjukkan apa
isi paket itu, datang dari mana, dan dari siapa.144 Interpretasi mesinlah
yang kemudian akan menerima (disebut “mengenkripsi”) paket itu
dalam wujudnya yang anonim.
Minimalitas arsitektur internet yang semacam itu bukanlah
sebuah kekurangan. Justru karena arsitektur internet yang sesederhana
142
Ibid., h. 42.
Transmission Control Protocol/Internet Protocol. Dua buah protokol yang dipakai
secara bersama-sama. Protokol transmisi yang jamak digunakan pada internet dewasa ini.
144
Ibid., 44.
143
68
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
itu, maka fungsi yang berbeda-beda bergantung pada aplikasi yang
menerima data dapat dimungkinkan. Fungsionalitas internet ditampilkan
oleh aplikasi yang terkoneksi ke internet, bukan oleh internet itu sendiri.
Prinsip itu dinamakan oleh para arsitek internet seperti Jerome Saltzer,
David Clark, dan David Reed sebagai prinsip end-to-end. Prinsip end-toend adalah inti arsitektur internet, dan menjadi alasan mengapa internet
bertumbuh dan berinovasi dengan sangat pesat. Menurut prinsip end-toend, jika di dunia nyata anonimitas sengaja diciptakan, di ruang-maya
anonimitas terberi (given).145
Ketiadaan otentikasi relatif di ruang-maya membuat sangat sulit
mengatur perilaku di sana. Negara bisa saja berkata, “Jangan biarkan
anak-anak melihat tayangan porno,” tetapi operator situs-web tidak akan
pernah dapat mengetahui entitas yang mengakses situs-webnya itu
adalah anak kecil ataukah orang dewasa. Hanya saja, situs-web tertentu
yang mensyaratkan pendaftaran bagi penggunanya dapat mengenali
identitas pengguna internet yang bersangkutan, misalnya Facebook,
Twitter, dan jejaring sosial lain. Namun, identifikasi di ruang-maya masih
menyisakan persoalan: apakah identitas yang dikenali internet adalah
identitas yang benar-benar eksis dan sama di dunia nyata?
Edisi ke-2 buku Lessig sesungguhnya bertolak belakang secara
substansial dengan edisi pertama bukunya. Kalau dalam Code and Other
145
Ibid., 45.
69
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Laws of Cyberspace (2000) Lessig cenderung bersikukuh bahwa negara
tidak akan pernah dapat mengatur internet dan hal itu adalah sesuatu
yang baik, maka pada Code: Version 2.0 (2006) pendapat Lessig justru
sebaliknya. Meskipun merupakan sesuatu yang lumrah jika mengatakan
bahwa pemerintah tidak dapat mengatur internet, untuk hal-hal tertentu
seperti kepentingan pemberantasan spam, virus komputer, pencurian
identitas, pembajakan karya kekayaan intelektual, dan eksploitasi seksual
terhadap anak-anak regulasi negara amat sangat diperlukan.146
Namun,
menurut
Lessig,
masa
ketika
negara
memiliki
kemampuan untuk menegakkan regulasi secara partikular semacam itu
masih akan jauh bagi kita. Skeptisisme tersebut berasal dari asumsi
bahwa
(1)
negara
masih
belum
dapat
membebaskan
fungsi
kepemerintahannya dari penyakit bernama korupsi dan (2) sampai saat
ini belum ada pengakuan yang total dari semua kalangan mengenai
bagaimana bekerjanya regulasi di ruang-maya.147
Kritik terhadap UU ITE
Sekilas UU ITE
146
Ibid., 27.
Ibid., 28.
147
70
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Regulasi dalam sektor teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia
sebenarnya berawal dari sejumlah penelitian. Bila dicermati, penelitian
tersebut lebih merupakan penelitian dengan tema terbatas dalam rangka
pengembangan dan pemanfaatan telekomunikasi. Misalnya, penelitian
yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi
Departemen Komunikasi dan Informatika RI bekerjasama dengan pusatpusat studi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran tentang implikasi
teknologi dalam kegiatan telekomunikasi dan penyusunan cetak-biru
sektor telekomunikasi dalam kerangka kerja WTO.
Terkait regulasi di bidang teknologi informasi, penelitian
dilakukan sejak 1999 oleh Pusat Studi Cyberlaw Universitas Padjadjaran
bekerjasama dengan Jurusan Teknologi Elektro Institut Teknologi
Bandung dan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen
Perhubungan RI dalam rangka menyusun Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI).148
Pada tahun 2000, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Fakultas
Hukum
Universitas
Indonesia
bekerjasama
dengan
Departemen
Perindustrian dan Perdagangan RI juga melakukan penelitian untuk
menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE). Pada tahun 2003, kedua
naskah akademik tersebut diselaraskan menjadi satu rancangan undang-
148
Danrivanto Budhijanto, op. cit., h. 131.
71
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
undang dengan nama Rancangan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (RUU ITE).
Sejak Departemen Komunikasi dan Informatika RI terbentuk
tahun 2005, wacana untuk menindaklanjuti Rancangan UU ITE kembali
digelindingkan, dan akhirnya diselesaikan Pada Maret 2008.
UU ITE yang terdiri dari 13 bab dan 54 pasal merupakan rezim
hukum baru dalam khazanah peraturan perundang-undangan RI. Asasasas baru yang kurang lazim atau belum dikenal dalam regulasi nasional
menjiwai rumusan pasal UU ITE, semisal asas yurisdiksi ekstrateritorial
dan asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Cakupan materi UU ITE pun tergolong baru. Dalam undangundang ini dikenal informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat
bukti hukum yang sah, pengakuan atas tanda tangan elektronik,
penyelenggaraan sertifikasi dan sistem elektronik, nama domain, hak
kekayaan intelektual di ruang-maya, dan sebagainya.149
UU ITE juga mensyaratkan kemunculan lembaga-lembaga baru
yang menurut undang-undang ini akan diatur lebih lanjut melalui
peraturan pemerintah. Sejumlah peraturan pemerintah yang mesti dibuat
guna menyokong efektivitas keberlakuan UU ITE antara lain Peraturan
149
Danrivanto Budhijanto, op. cit., h. 133-134.
72
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Pemerintah tentang Lembaga Sertifikasi Keandalan (amanat Pasal 10 UU
ITE), Peraturan Pemerintah tentang Tanda Tangan Elektronik (amanat
Pasal 11 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik (amanat Pasal 13 UU ITE), Peraturan Pemerintah
tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik (amanat Pasal 16 UU ITE),
Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Elektronik (amanat Pasal 17 UU
ITE), Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Agen Elektronik
(amanat Pasal 22 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang Pengelola Nama
Domain (amanat Pasal 24 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang
Intersepsi (amanat Pasal 31 UU ITE), Peraturan Pemerintah tentang
Lembaga Data Strategis (amanat Pasal 40 UU ITE).
Asas Yurisdiksi Ekstrateritorial tanpa Asas Keadilan
Sesuatu
yang
menarik
dari
UU
ITE
adalah
dalam
hal
dirumuskannya Pasal 2 yang menyebutkan bahwa UU ITE berlaku untuk
setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia,
yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Redaksi yang kurang-lebih serupa juga terdapat dalam Pasal 37
yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja melakukan
perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
73
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik
yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.”150Dengan membaca kedua
pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yurisdiksi UU ITE tidak
hanya berlaku pada wilayah kedaulatan Indonesia, melainkan juga di
luar Indonesia. Dengan kata lain, Pasal 2 dan Pasal 37 UU ITE telah
melampaui (ekstra) asas yurisdiksi teritorial.
Sebagaimana dikemukakan Huala Adolf, asas-asas yurisdiski
dapat digolongkan menjadi empat macam.151Pertama, asas yurisdiski
teritorial. Menurut asas ini, negara mempunyai yurisdiksi atas semua
persoalan atau kejadian di dalam wilayahnya. Asas ini begitu penting
dalam
hukum
internasional
sehingga
dikatakan
bahwa
wilayah
merupakan dasar fundamental (fundamental bases) untuk ditegakkannya
yurisdiksi negara.
Selain wilayah negara dalam pengertian konvensional, yurisdiksi
teritorial juga berlaku dalam bentuk (1) hak lintas damai di laut teritorial,
(2) kapal berbendera asing di laut teritorial, (3) pelabuhan, (4) dan orang
asing. Pengecualian terhadap yurisdiksi teritorial berlaku pada (1) negara
dan kepala negara asing, (2) perwakilan diplomatik dan konsuler, (3)
150
Rumusan Pasal 37 UU ITE menurut penulis adalah rumusan yang mubazir atau boros
karena mengulang ketentuan yang sebenarnya telah tercakup pada pasal sebelumnya,
yaitu Pasal 2 UU ITE.
151
Huala Adolf, op. cit., h. 166.
74
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
kapal pemerintah negara asing, (4) angkatan bersenjata negara asing, dan
(5) organisasi internasional.152
Kedua, asas yurisdiksi personal. Menurut asas ini, suatu negara
dapat mengadili kejahatan yang dilakukan warganya di mana pun ia
berada. Sebaliknya, merupakan kewajiban negara untuk memberi
perlindungan kepada warganya di mana pun ia berada. Kedua macam
proposisi tersebut kemudian berkembang menjadi asas baru yang
menjadi bagian dari asas yurisdiksi personal, yaitu (1) yurisdiksi personal
aktif (yurisdiksi yang diberlakukan kepada warga negara di luar negeri)
dan (2) yurisdiksi personal pasif (yurisdiksi yang diberlakukan kepada
warga negara asing yang melakukan perbuatan hukum [termasuk
kejahatan atau tindak pidana] terhadap warga negaranya).153
Ketiga, asas yurisdiksi perlindungan. Berdasarkan asas ini, suatu
negara dapat menegakkan yurisdiksinya terhadap warga negara asing
yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam
kepentingan, keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara tersebut.
Kejahatan yang dimaksud bisa berupa rencana penggulingan pemerintah,
pemalsuan uang, spionase, atau penyerangan terhadap diplomat di luar
152
153
Ibid., h. 173.
Ibid., h. 189.
75
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
negeri. Pada pokoknya, fungsi asas ini adalah untuk melindungi fungsifungsi kepemerintahan (governmental functions) suatu negara.154
Keempat, asas yurisdiksi universal. Menurut asas ini, negaranegara memiliki yurisdiksi atas segala kejahatan yang dianggap
mengancam masyarakat internasional. Asas yurisdiksi universal bertolak
dari asumsi bahwa karena tidak ada organisasi peradilan internasional
yang dapat mengadili kejahatan yang dilakukan oleh individu, maka hal
itu menjadi urusan negara masing-masing.
Berdasarkan asas-asas yurisdiksi sebagaimana disampaikan Huala
Adolf itu, diketahui bahwa yurisdiksi yang bersifat melampaui wilayah
negara
(asas
nomenklatur
yurisdiksi
hukum
ekstrateritorial)
internasional.
memang
Dalam
dikenal
rangka
dalam
menegakkan
kedaulatannya hingga keluar batas-batas wilayahnya, negara bisa saja
mendasarkan diri pada argumen bahwa hal itu dilakukan demi (1)
melindungi warganya (asas yurisdiksi personal pasif), (2) alasan
keamanan negara (asas yurisdiksi perlindungan), dan (3) tiadanya
peradilan yang memperoleh legitimasi untuk mengadili individu (asas
yurisdiksi universal).
154
Ibid., h. 191.
76
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Namun, mesti dipahami bahwa penegakan asas yurisdiksi
ekstrateritorial masih menimbulkan banyak persoalan. Persoalan pertama
menyangkut subyektivitas argumentasi yang melatarbelakanginya. Pada
akhirnya akan timbul kesan bahwa penerapan asas asas yurisdiksi
ekstrateritorial
lebih
merupakan
upaya
suatu
negara
untuk
mengintervensi kedaulatan negara lain. Persoalan kedua berkenaan
dengan substansi argumen-argumen tersebut. Yurisdiksi negara dapat
meluas hingga keluar wilayahnya jika terpenuhi alasan-alasan krusial
terkait dengan fondasi kenegaraan, yakni perlindungan terhadap warga
dan keamanan negara.
Pasal 2 UU ITE memuat asas yurisdiksi ekstrateritorial dengan
sangat jelas. Tersurat bahwa konstruksi hukum UU ITE bukan hanya
berlaku bagi warga negara Indonesia, melainkan juga warga negara
asing, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
Argumen yuridis yang mendasari berlakunya pasal itu adalah apabila
perbuatan hukum yang dilakukan “memiliki akibat hukum di wilayah
hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia”. Dengan demikian jelas bahwa akibat
hukum di dalam dan/atau di luar wilayah Indonesia saja tidak cukup,
tetapi perbuatan hukum itu juga harus merugikan kepentingan
Indonesia.
Hal lain yang menarik dari UU ITE adalah belum dirasakannya
asas keadilan. Pasal 3 UU ITE hanya mengatakan bahwa “pemanfaatan
77
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan
asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan
memilih teknologi atau netral teknologi.”155 Asas keadilan biasanya
bersanding dengan asas kepastian hukum dan kemanfaatan, sebagaimana
diungkapkan Gustav Radbruch ketika menjelaskan tiga nilai dasar dari
hukum.156
Nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum adalah nilainilai yang mendasari berlakunya hukum. Tidak ditegaskannya asas
keadilan dalam UU ITE dapat dikatakan sebagai pengabaian keadilan
sebagai dasar atas berlakunya hukum. Mengesampingkan asas keadilan
dalam teks undang-undang sama saja dengan tidak berupaya untuk
menegakkan keadilan. Keadilan sangat penting mengingat UU ITE
banyak memuat rumusan pidana yang ditujukan kepada warga negara.
Alpa mencantumkan asas keadilan dalam UU ITE sama saja dengan
berpikiran bahwa keadilan di ruang-maya tak perlu diwujudkan melalui
undang-undang tersebut.
Relasi Negara dan Masyarakat
155
Cetak miring dari penulis.
Gustav Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft, dikutip dalam Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, op. cit., h. 19. Menurut Radbruch, nilai keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum memiliki ketegangan (Spannungsverhältnis) satu-sama-lain.
Ketiganya mengandung tuntutan berlainan yang kadang saling bertentangan.
156
78
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam UU ITE.
Sejumlah pasal mengatur tentang peran masyarakat. Pasal-pasal tersebut
antara lain Pasal 23 Ayat (1) dan (3),157 Pasal 24 Ayat (1),158 Pasal 38 Ayat
(2),159 dan Pasal 41.160 Dari rumusan pasal-pasal itu tampak bahwa urusan
menegakkan hukum internet oleh negara tidak akan berhasil tanpa
sokongan
masyarakat,
baik
masyarakat
secara
umum
maupun
masyarakat pengguna internet.
Mengacu
pada
pendapat
Antonio
Segura-Serrano
yang
mengklasifikasikan tiga kelompok yang memiliki pandangan berbeda
tentang hukum internet, masyarakat mempunyai peran yang tidak kecil
dalam menjaga kenyamanan atau bekerjanya suatu kondisivitas di ruangmaya. Masyarakat memiliki peran yang sentral karena tujuan hukum
157
Pasal 23 Ayat (1) dan (3) menyatakan, “(1) Setiap penyelenggara negara, Orang,
Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip
pendaftar pertama. (3) (3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau
masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh
Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.”
158
Pasal 24 Ayat (1) menyatakan, “(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah
dan/atau masyarakat.”
159
Pasal 38 Ayat (2) menyatakan, “(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara
perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau
menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
160
Pasal 41 menyatakan, “(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan
Teknologi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan
Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. (2) Peran masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui lembaga yang
dibentuk oleh masyarakat. (3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.”
79
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
internet sebenarnya adalah untuk mengatur masyarakat, manusiamanusia
yang
saling
berinteraksi
di
ruang-maya.
Masyarakat,
berdasarkan pendapat Antonio Segura-Serrano, bahkan dimungkinkan
untuk membentuk hukum internetnya sendiri.
Pada kenyataannya, suatu negara berdaulat selalu berupaya
memperluas dan menegakkan kedaulatannya hingga batas yang paling
jauh. UU ITE adalah bukti nyata hasrat negara (Indonesia) untuk
menegakkan kedaulatannya di ruang-maya. Padahal menurut Satjipto
Rahardjo, selain hukum negara, ada kekuatan lain yang diam-diam
bekerja di masyarakat.161 Berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial di
luar dirinya, hukum hanya akan menempati kedudukan yang bersifat
tergantung pada permainan kekuatan-kekuatan tersebut.162
Oleh karena itu, harus ada relasi yang harmonis antara
masyarakat dan negara dalam menyusun dan menegakkan hukum di
ruang-maya. Negara bisa saja menetapkan peraturan, menyusun sanksi,
dan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di ruangmaya, namun semua itu tidak akan pernah efektif jika tidak didukung
oleh peran serta dan dukungan masyarakat. Fungsi negara di ruang-maya
sejatinya hanya mengatur tanpa mengganggu “kehidupan” (dalam hal ini
161
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010), h. 204.
162
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, op. cit., h. 20.
80
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
kehidupan di ruang-maya) yang sudah berjalan. Negara seyogianya
datang manakala terjadi sengketa di antara masyarakat pengguna
internet, bukan malah menjadi biang terjadinya kekisruhan. Sebab,
menegakkan hukum di masyarakat bukan berarti harus dengan
mengintervensi masyarakat secara total, melainkan dengan membuat
skema
besar
yang
proses-proses
konkretnya
diserahkan
kepada
masyarakat.163
Juga harus dipastikan bahwa apakah persoalan yang muncul di
ruang-maya mesti diselesaikan oleh dan melalui hukum? Pengetahuan
tentang ini, menurut Satjipto Rahardjo, bergantung pada konsep hukum
yang kita miliki.164 Pembuatan hukum internet harus berorientasi kepada
masyarakat, yakni pengguna internet itu sendiri, bukan semata-mata
fokus pada peraturan yang diharapkan dapat mengatasi segala
permasalahan di ruang-maya.
Satjipto Rahardjo juga menjelaskan bahwa sebelum menyusun
hukum sebaiknya dimulai suatu penelitian mengenai sasaran-sasaran
dari hukum tersebut. Menyusun hukum internet berarti mengetahui
seluk-beluk dan segala hal-ihwal tentang internet. Satjipto Rahardjo
mengatakan,
163
164
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, op. cit., h. 89.
Ibid., h. 86.
81
JURNAL OPINIO JURIS
[H]ukum
memiliki
Vol. 16  Mei –September 2014
kelebihan,
tetapi
juga
kekurangan-
kekurangannya sendiri. Bahkan apabila tidak didahului oleh studi
yang cermat, alih-alih membawa kebaikan, hukum malah bisa
menimbulkan “malapetaka” [...] Dengan penelitian yang cermat tidak
dijamin
bahwa
suatu
undang-undang
akan
berhasil.
Studi
pendahuluan yang cermat itu hanya akan mengurangi risiko
timbulnya efek negatif.165
Penyusunan instrumen hukum yang tidak diawali dengan
penelitian pendahuluan, dengan demikian, terang tidak akan memberi
hasil yang tepat benar dengan tujuan yang ingin dicapai. Internet
memiliki sistem dan masyarakatnya sendiri. Pengguna jejaring sosial
Facebook, misalnya, mesti tunduk pada aturan yang telah ditetapkan
Facebook.
Apabila ada pengguna yang melanggar salah satu klausul yang
dibuat oleh Facebook, pengelola Facebook dapat menjatuhkan sanksi yang
dampaknya jauh lebih efektif ketimbang apa yang ditetapkan oleh negara
melalui hukumnya. Sebagai contoh, bagi pengguna tertentu yang
menyebarkan muatan pornografi, Facebook akan segera bertindak dengan
menghapus muatan tersebut dari lamannya. Facebook pun dapat
membatalkan akun pengguna internet yang bersangkutan sehingga
165
Ibid., h. 87.
82
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
pengguna tak bisa lagi beraktivitas di Facebook dengan menggunakan
akun pribadinya.
Permisalan semacam itu hanya untuk menjelaskan bahwa di
internet pemegang otoritas sesungguhnya bukan negara, melainkan server
atau pengelola situs-web yang bersangkutan. Dengan kata lain,
pemegang kontrol internet tertinggi adalah masyarakat pengguna
internet itu sendiri. Sehingga, dengan demikian, posisi masyarakat
sesungguhnya begitu sentral dalam rangka mewujudkan nilai-nilai baik
yang hendak dicapai dari suatu peraturan.
Pasal-pasal yang Kontroversial
Dalam UU ITE terdapat sejumlah pasal yang memuat ancaman
pidana terhadap pelanggarnya. Di bawah judul “Bab VII: Perbuatan yang
Dilarang”, termuat sejumlah tindak pidana di ruang maya menurut UU
ITE yang termaktub dalam Pasal 27 sampai Pasal 36 dengan ketentuan
pidana yang terdapat dalam Pasal 45 sampai 52. Delik-delik tersebut
dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan. Pertama, delik yang
menggunakan teknologi informasi sebagai sarana. Kedua, delik yang
menjadikan teknologi informasi sebagai sasaran.
Di antara pasal-pasal tersebut terdapat pasal yang bersifat
kontroversial karena sering dimohonkan pengujian materi (judicial review)
83
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
ke Mahkamah Konstitusi RI. Pasal-pasal itu adalah Pasal 27 Ayat (3)
juncto Pasal 45 Ayat (1)166 UU ITE yang mengatur tentang penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik di ruang-maya dan Pasal 28 Ayat (2)
juncto Pasal 45 Ayat (2)167 UU ITE yang mengatur tentang penyebaran
rasa kebencian atau permusuhan di ruang-maya. Delik tersebut
menimbulkan kontroversi karena disertai dengan sanksi pidana yang
besar dan berat. Untuk delik penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik sanksi pidana maksimalnya adalah pidana penjara enam dan/atau
denda paling banyak Rp 1.000.000.000, sementara untuk delik penyebaran
rasa kebencian atau permusuhan sanksi pidana maksimalnya adalah
penjara enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000.
Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE telah menyeret
banyak pelaku (atau korban?) ke pengadilan. Kasus populer berkenaan
dengan itu di antaranya adalah kasus Prita Mulyasari. Prita Mulyasari
dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik oleh
Rumah Sakit Omni International. Duduk perkaranya adalah surat
elektronik Prita Mulyasari yang berisi soal kualitas pelayanan Rumah
166
Pasal 45 Ayat (1) menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).”
167
Pasal 45 Ayat (2) menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
84
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Sakit Omni International. Ia menyebar surat itu ke sejumlah sejawat
dengan tujuan supaya pengalamannya dapat menjadi pelajaran bagi
pihak pengelola rumah sakit ataupun calon pasien. Namun, surat yang
kemudian tersebar luas di Internet itu malah membuat pengelola rumah
sakit merasa dirugikan dan mengadukan Prita Mulyasari ke kepolisian.168
Kasus-kasus lain juga bermunculan sejak berlakunya Pasal 27
Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Misalnya saja kasus Narliswandi
Piliang, Yudi Latif, EJA (inisial), Agus Hamonangan, Indra Sutriadi Pipii,
Nur Farah, Satria Lasmana Kusuma, Kho Seng Seng, Luna Maya, Fifi
Tanang, Alex Jhoni Polii, Rignolda Djamaluddin, Yani Sagaroa dan
Salamuddin,169 dan Musni Umar.170
Menarik untuk mengungkap pandangan para ahli mengenai
pengujian materi Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE.
Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa hal yang menjadi
sumber keberatan terhadap Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah, pertama,
168
Dalam putusan peninjauan kembali pada 17 September 2012, Mahkamah Agung RI
akhirnya memutuskan membatalkan putusan kasasi yang menghukum Prita Mulyasari
pidana enam tahun penjara dengan masa percobaan satu tahun serta membebaskan dia
dari semua dakwaan. Telaah singkat penulis terkait perkembangan kasus Prita Mulyasari
lih.
AP
Edi
Atmaja,
“Kabar
Gembira
dari
Prita”
dalam
http://sastrakelabu.wordpress.com/2012/09/22/kabar-gembira-dari-prita/ (diakses pada 9
September 2013).
169
Indonesia Media Defense Litigation Network dan Institute for Criminal Justice
Reform, op. cit., h. 17-19.
170
Telaah singkat penulis terkait kasus Musni Umar lih. AP Edi Atmaja, “Kriminalisasi
terhadap Pengguna Internet” dalam Lampung Post, 20 Juli 2012 (Rubrik Opini).
85
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
ketidakjelasan mengenai siapa yang menjadi sasaran pengaturan norma
pasal itu: mereka yang membuat dapat diaksesnya informasi ataukah
mereka yang membuat muatan penghinaan dan atau pencemaran nama
baik (dader). Kedua, pasal tentang penghinaan merupakan suatu pasal
yang mengandung unsur delik yang sangat subyektif, berbeda dengan
rumusan delik lain yang selalu dirumuskan secara lebih obyektif,
misalnya pencurian. Penghinaan selalu subyektif karena harus ada pihak
yang merasa menjadi korban dan merasa dihinakan.171
Menurut Atmakusumah Astraatmadja, UU ITE tidak mengikuti
perkembangan hukum internasional. Sedikitnya limapuluh negara sudah
mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran nama
baik, dari hukum pidana menjadi hukum perdata. Beberapa negara,
lanjut Atmakusumah Astraatmadja, bahkan menghapus sama sekali
ketentuan hukum penyebaran kebencian dan penghinaan karena
dianggap sulit dibuktikan atau sangat subjektif.172
Meskipun
menimbulkan
beragam
kontroversi,
Mahkamah
Konstitusi RI menolak permohonan pengujian materi Pasal 27 Ayat (3)
juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE yang diajukan pada 28 Desember 2008
(Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008). Kendati pada
171
172
86
29 Januari 2009
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009, h. 57.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008, h. 8.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
diajukan permohonan serupa (namun hanya menguji Pasal 27 Ayat [3]
UU ITE), Mahkamah Konstitusi RI menyatakan bahwa permohonan
pengujian materi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tidak dapat diterima (Putusan
Nomor 2/PUU-VII/2009). Mahkamah Konstitusi RI menegaskan bahwa
norma Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE adalah
konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak
asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.
Sementara itu, pada tanggal 26 April 2013 juga telah diajukan
pengujian materi terhadap Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Dalam Putusan
Nomor Nomor 52 PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan
menolak permohonan untuk seluruhnya. Pertimbangan Mahkamah
Konstitusi RI antara lain:
[A]pabila seseorang menyebarkan informasi dengan maksud untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA) adalah sesuatu yang bertentangan
dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan bertentangan pula dengan tuntutan yang
87
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.173
[H]ak
berkomunikasi
dan
memperoleh
informasi
untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta hak untuk
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, tidak boleh berisi
informasi yang kemudian disebarkan untuk tujuan menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan baik antarindividu maupun
masyarakat.174
Penulis ingin mengajukan beberapa hal yang patut menjadi pokok
perhatian bersama. Pertama, Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU
ITE dinilai oleh para pegiat hak asasi manusia yang memperjuangkan
kebebasan internet (HAM internet) sebagai pasal karet yang rentan
disalahgunakan penguasa. Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU
ITE dikatakan sebagai kelanjutan dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sebab pasal tersebut merujuk pada ketentuan Bab XVI
173
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor Nomor 52 PUU-XI/2013,
h. 15.
174
Ibid.
88
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Buku II KUHP tentang penghinaan yang termuat dalam Pasal 310175 dan
311176 KUHP.
Kedua, khusus mengenai delik yang termaktub dalam Pasal 27
Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, mekanisme kriminalisasi
seyogianya diubah karena delik yang dikualifikasikan sejatinya bukan
delik
biasa.177
Penyelesaian
sengketa
di
luar
pengadilan
mesti
diutamakan. Menurut Satjipto Rahardjo, penyelesaian perkara di luar
pengadilan (out of court settlement) bukanlah sesuatu yang aneh, tabu, dan
luar biasa bagi mereka yang melihat persoalan tersebut melalui optik
sosiologi hukum. Sebab bagi sosiologi hukum, fungsi lebih utama
175
Pasal 310 menyatakan, “(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu
diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan penjara paling lama sembilan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau
gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang
bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun
empat atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau
pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk bela diri.” Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007 [cet. ke-26]), h. 114.
176
Pasal 311 menyatakan, “(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang
dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan
apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 no. 1-3 dapat
dijatuhkan.” Ibid.
177
Ketidakbiasaan ini tampak dari kekhasan arsitektur kendali (architectures of control)
internet di mana penulis artikel atau pengunggah materi di sebuah laman, misalnya,
bukanlah pengendali dari laman tersebut. Isi laman bisa saja berubah di luar kekuasaan
penulis artikel atau pengunggah materi di internet, sehingga siapa yang mesti bertanggung
jawab atas tulisan atau materi yang terpampang di laman dapat diperdebatkan.
89
JURNAL OPINIO JURIS
ketimbang
sekadar
bentuk.178
Vol. 16  Mei –September 2014
Dengan
kata
lain,
keadilan
dan
kemanfaatan harus diprioritaskan daripada kepastian hukum.
Ketiga, karena sifat delik penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik yang subyektif, seyogianya penyidik membedakan delik tersebut
dalam dua penafsiran, yakni (1) penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik terhadap lembaga atau organisasi dan (2) penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik terhadap individu atau perorangan. Merupakan
delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik hanya jika perbuatan
itu ditujukan untuk individu atau perorangan.
Narasi Akhir
Globalisasi kontemporer yang timbul berkat perkembangan
teknologi informasi semenjak penemuan internet telah bermetamorfosis
menjadi suatu rezim hukum baru dengan elemen yang berbeda dari
rezim hukum konvensional. Semenjak rezim hukum baru seperti ruangmaya tercipta dengan bergandengan tangan bersama globalisasi
kontemporer, negara pun merasa perlu untuk hadir dalam rangka
menegakkan hukumnya. Gagasan kedaulatan negara yang secara
tradisional hanya terbatas pada aspek teritorialitas (darat, laut, dan
ruang-udara) kini berkembang menjadi ekstrateritorialitas (ruang-maya)
178
90
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, op. cit., h. 3-6.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
dengan jangkauan hukum yang tidak terbatas. Kedaulatan negara di
ruang-maya, dengan demikian, adalah sebentuk hasrat negara untuk
memperluas wilayah dan menegakkan hukumnya hingga batas yang
sejauh-jauhnya.
Untuk menegakkan kedaulatan di ruang-maya melalui suatu
konstruksi hukum, negara perlu memahami arsitektur internet. Negara
harus mengetahui siapa yang diatur, di mana dia atau mereka, dan apa
yang dia atau mereka lakukan. Pemahaman semacam itu merupakan
pemahaman yang berorientasi kepada masyarakat pengguna internet itu
sendiri. Menegakkan hukum di masyarakat, berdasarkan pemikiran
Satjipto
Rahardjo,
bukan
berarti
harus
dengan
mengintervensi
masyarakat secara total, melainkan dengan membuat skema besar yang
proses-proses konkretnya diserahkan kepada masyarakat.
Dalam rangka menegakkan UU ITE dengan mengkriminalisasi
pengguna internet, Pemerintah Indonesia seyogianya mengutamakan
penyelesaian perkara di luar pengadilan, terlebih jika delik yang
disangkakan adalah delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Juga harus dipahami bahwa dapat dikatakan sebagai delik penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik hanya jika perbuatan itu ditujukan
untuk individu atau perorangan.
91
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
LAUT TIONGKOK SELATAN: PROBLEMATIKA
DAN PROSPEK PENYELESAIAN MASALAH179
Ahmad Almaududy Amri180
Abstrak
The discussion on the issue of South China Sea has been there for
quite a long time, and many countries are still urging for the
resolution of the issue. In the writer’s opinion, the main factors
of the issue are economical factor, strategic factor, and political
factor. Those three factors are often referred by claimant states in
this area in defending their respective rights. This article is
trying to examine the problems surounding South China Sea
issues in general and try to explain the background of the
problem, the bases of reasoning used by the claimant states and
the concrete steps achieved. This paper presents the writer’s view
on the conflict resolution in the future.
Latar Belakang Masalah
Permasalahan LTS dilatar belakangi oleh tiga faktor penting yaitu
ekonomi, strategis, dan politik. Ketiga faktor tersebut merupakan motif
179
Artikel ini sebagian besar bersumber dari tulisan Ralf Emmers (Nanyang Technological
University, Singapura) yang berjudul Maritime Disputes in the South China Sea: Strategic and
Diplomatic Status Quo yang dimuat dalam buku berjudul Maritime Security in Southeast Asia yang
diedit oleh Kwa Chong Guan dan John K. Skogan.
180
Penulis adalah Diplomat Muda Indonesia, Sekdilu angkatan 35 yang saat ini menempuh
pendidikan Ph. D. di University of Wollongong, Australia. Fokus utama risetnya adalah mengenai
Maritime Security.
92
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
utama bagi claimant states (negara penuntut) untuk mempertahankan
haknya di wilayah LTS. Yang menjadi objek sengketa para pihak di LTS
terfokus pada dua pulau utama, yaitu Spratly dan Paracels. Negaranegara yang menjadi claimant states untuk pulau Spratly adalah Brunei,
Tiongkok, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam. Dua negara terakhir
juga menuntut kepemilikan akan Paracels yang berada di bawah kontrol
Tiongkok seiak tahun 1974.
Kenapa penting dari segi ekonomi? Karena daerah LTS diyakini
kaya akan minyak, gas bumi dan prikanan. Kenapa penting secara
strategis? Karena penguasaan LTS khususnya bagi Tiongkok akan
memperkokoh posisi mereka sebagai salah satu global power. Selain itu,
komando dan kontrol atas LTS akan memperkuat posisi negara dari segi
maritime regime mengingat wilayah tersebut merupakan "the heart of
Southeast Asia" dari segi aktifitas maritim. Alasan terakhir merupakan
aspek politik, kenapa politik? Karena permasalahan LTS menyangkut
masalah klaim teritori. Kekalahan dalam mempertahankan daerahnya
akan menimbulkan masalah domestik, sehingga dipandang perlu oleh
claimant states untuk mempertahankannya sesuai dengan penafsiran dan
pandangan masing-masing demi kedaulatan negara.
Jika kita melihat dari segi hukum internasional, khususnya dari
United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS tahun 1982 yang
konten utamanya mencakup mengenai batas maritim dan pemberian hak
93
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
atas kekayaan laut), maka ketiga aspek penting di atas menjadi sangat
realistis. Ketika sebuah negara memiliki batas wilayah darat tertentu yang
berbatasan dengan laut, maka kepemilikan tersebut akan berimplikasi
pada kepemilikan wilayah laut. Seperti kita ketahui bahwa sebuah negara
dapat menikmati zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang dihitung 200
nautical
mile
(nm)
dari
baseline.
Negara
diberikan
hak
untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi living and non-living resources atas
laut di daerah ZEE. Sedangkan hak atas continental shelf (landas kontinen)
yang dapat dihitung hingga 350 nm dari territorial baseline, memberikan
kebebasan untuk negara mengeksplorasi dan mengeksploitasi non-living
resources. Ketentuan hukum internasional ini jelas memberi dampak
ekonomis, strategis, serta politik bagi claimant states yang akan di-back up
secara hukum jika ingin mengeksplorasi dan mengeksploitasi ZEE dan
continental shelf di daerah LTS, tentu setelah memperoleh kepemilikan.
Dasar klaim LTS
Sebenarnya hanya terdapat 2 aspek yang dijadikan dasar utama
dalam klaim LTS. Aspek tersebut adalah historis dan hukum. Jika kita
ingin melihat pada aspek historis, maka claimant yang menggunakan
dasar ini hanya 3 pihak yaitu Tiongkok, Taiwan dan Vietnam. Bagi
Tiongkok, bermula pada masa Nationalist Government of Chiang Kai-Shek
pada tahun 1947 yang telah menetapkan "nine interrupted marks" yang
mencakup hampir seluruh wilayah LTS. Hal ini ditegaskan kembali oleh
Zhou En-Lai yang menegaskan klaim atas wilayah tersebut pada tahun
94
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
1951. Namun dalam klaimnya, Tiongkok tidak menjelaskan aspek hukum
dari delimitasi batas maritimnya. Setelah melakukan ratifikasi UNCLOS
tahun
1996,
Tiongkok
menerapkan
'archipelagic
principle'
saat
menggambar batas maritim di sekitar pulau Paracels. Bagi Taiwan,
mereka mengklaim telah menduduki daerah Itu Aba (mencakup sebagian
besar wilayah Spratly) sejak tahun 1956. Sedangkan bagi Vietnam, setelah
reunifikasi Vietnam, sejak tahun 1975, mereka mengklaim Spratly dan
Paracels
atas
dasar historical
claims
of
discovery
dan
occupation
(kependudukan). Namun perlu diketahui bahwa sebelum terjadi
reunifikasi tersebut, Vietnam mengakui kepemilikan Spratly dan Paracels
di bawah kekuasaan Tiongkok.
Bagaimana dengan pokok gugatan claimant states lainnya yang
merupakan anggota ASEAN? Mereka menggunakan aspek hukum
sebagai dasar gugatan. Mereka menggugat bagian tertentu dari pulau
Spratly dan menggunakan hukum internasional sebagai dasarnya.
Filipina mengklaim sebagian besar daerah Spratly, sebuah wilayah yang
disebut dengan Kalayaan pada tahun 1971 dan memperkuat klaimnya
dengan melahirkan Peraturan Presiden yang mengatur wilayah tersebut
pada tahun 1978. Malaysia memperpanjang wilayah landas kontinennya
yang berdampak pada pencakupan beberapa wilayah pulau Spratly.
Sedangkan Brunei pada tahun 1998, mengukuhkan wilayah ZEE yang
membentang hingga bagian selatan pulau Spratly dan mencakup Louisa
Reef. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia bukan pihak dalam
95
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
sengketa LTS, namun memiliki perhatian khusus pada isu ini mengingat
para pihak sebagian besar merupakan anggota ASEAN.
Kejadian-Kejadian Penting di Daerah LTS
Terdapat beberapa kejadian penting di daerah LTS yang patut
dicermati untuk memahami problematika LTS secara komprehensif,
yakni:
1. Untuk mengukuhkan posisinya sebagai negara yang berkuasa atas
LTS, Tiongkok mengelurkan peraturan yang mengatur tentang laut
teritorial dan wilayah tambahan "Law of the People's Republic of China
on the Territorial Waters and Contiguous Areas". Dengan demikian,
Tiongkok memiliki hak atas Spratly dan wilayah maritim sekitarnya
secara hukum nasional.
2. Pada bulan Februari 1995, Tiongkok menduduki wilayah Kalayaan
tepatnya pada Mischief Reef. Tidak terima dengan perlakuan
Tiongkok, Filipina menghacurkan marka-marka batas wilayah dan
menangkap sejumlah nelayan Tiongkok pada tahun 1995. Akibatnya,
pada tahun yang sama kedua belah pihak menandatangani
kesepakatan penyelesaian secara damai di wilayah tersebut.
3. Pada tahun 1999, Malaysia melakukan perampasan atas Navigator
Reef yang diklaim oleh Filipina, hal ini memperburuk hubungan
kedua negara serta mengundang kritik dari Brunei, Tiongkok, dan
Vietnam.
96
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
4. Pada tahun 2002, tentara Vietnam yang sedang beroperasi di salah
satu pulau kecil melakukan tembakan peringatan pada pesawat
militer Filipina yang sedang bertugas.
5. Pada tahun 2004, Vietnam sengaja mengirimkan sejumlah warga
negaranya ke daerah Troung Sa Lon yang merupakan bagian dari
Spratly. Tiongkok mengkritik tindakan Vietnam tersebut dan
menyebutkan bahwa mereka telah melanggar Declaration on the
Conduct of Parties yang ditandatangani tahun 2002.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan beberapa peristiwa penting
di daerah LTS yang memicu ketegangan di antara claimant states.
Langkah Konkret
Para pihak telah melakukan beberapa langkah konkret guna
menyelesaikan masalah LTS, antara lain:
1. Lokakarya "Managing Potential Conflicts the South China Sea"
Kegiatan pertama dalam rangka menyelesaiakan konflik LTS yang
bersifat multilateral tersebut dimotori oleh Indonesia, pertama kali
dilangsungkan pada tahun 1990 dan disponsori oleh Kanada.
Lokakarya ini bertujuan untuk menjalin "confidence building" di
wilayah LTS. Namun karena sifatnya yang 1,5 track (bukan
mengatasnamakan negara tapi bukan juga pihak privat), kurang
97
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
menyentuh akar permasalahan karena pembahasan dalam
lokakarya yang dilakukan setiap tahun ini menghindari masalahmasalah yang berbau jurisdiksi kedaulatan dan hanya fokus pada
low level cooperation. Namun pertemuan tersebut tidak dapat
dipandang sebelah mata karena salah satu pertemuannya yang
dilakukan pada tahun 1991 di Bandung merupakan cikal bakal
terbentuknya ASEAN Declaration on South China Sea.
2. ASEAN Declaration on South China Sea
Deklarasi yang dilakukan di Manila pada tahun 1992 tersebut
merupakan hasil dari lokakarya yang dilaksanakan di Bandung
sebagaimana disebutkan di atas. Deklarasi tersebut tidak
mencakup permasalahan jurisdiksi kedaulatan melainkan langkah
awal untuk memformulasi Code of Conduct (COC) yang bersifat
tidak mengikat, berdasar pada penyelesaian sengketa secara
damai dan tidak menggunakan kekerasan. Selain itu, deklarasi ini
tunduk pada norma dan prinsip Treaty of Amity and Cooperation
(TAC) tahun 1976. Tiongkok sebagai salah satu claimant states yang
terbesar
tidak
mendukung
deklarasi
ini,
Tiongkok
lebih
menginginkan penyelesaian melalui jalur bilateral. Namun pada
tahun 1995 Tiongkok sudah mulai membuka diri untuk
membicarakan LTS di tingkat multilateral khusus pada kasus
pulau Spratly dan sepakat menggunakan UNCLOS sebagai dasar
negosiasi.
98
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
3. Pada pertemuan "informal ASEAN Summit" yang dilangsungkan
tahun 1999, Filipina yang didukung oleh Vietnam mengajukan
draft CoC yang pada intinya bertujuan untuk mengalihkan
pendudukan atas objek sengketa, memuat ketentuan yang lebih
spesifik
dari
deklarasi
Manila
dan
mengusulkan
untuk
melangsungkan joint development di pulau Spratly. Proposal
tersebut
ditolak
oleh
Malaysia
dan
Tiongkok.
Malaysia
beranggapan hal tersebut terlalu legalistik dan menyinggung
perihal kedaulatan.
4. Malaysia pun mencoba peruntungannya dengan mengajukan
deklarasi bersama atas pulau Spratly pada pertemuan ASEAN
Ministerial Meeting (AMM) yang ke-35 di Brunei pada tahun 2002.
Langkah tersebut dimentahkan oleh sebagian besar anggota
ASEAN karena tidak jelas apakah kesepakatan akan diabadikan
dalam bentuk deklarasi atau CoC. Karena konsensus tidak
tercapai, para Menteri Luar Negeri sepakat untuk bernegosiasi
dengan Tiongkok guna mendeklarasikan bersama "Declaration on
the Conduct of Parties in the South China Sea".
5. Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea
Deklarasi ini ditandatangani oleh Tiongkok dan ASEAN di
Phnom Penh pada bulan November 2002. Deklarasi ini bertujuan
untuk mengurangi ketegangan dan konflik militer di LTS. Selain
itu, deklarasi tersebut juga berpedoman pada UN Charter,
UNCLOS, dan TAC.
99
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
6. Code of Conduct
Upaya puncak yang dilakukan oleh ASEAN dalam rangka
menyelesaikan masalah LTS bentuk COC belum dapat diterima
secara bulat oleh negara anggota ASEAN. KTT ASEAN ke-21 yang
berlangsung di Phnom Penh belum menyepakati CoC sebagai
perangkat yang diyakini dapat menyelesaikan polemik LTS.
Namun dengan dibahasnya CoC yang pada awalnya dirancang
oleh Filipina ini, menunjukkan iktikad baik para pihak terkait
untuk lebih serius menyelesaikan masalah dengan memasukkan
konten hukum di dalamnya terutama yang menyangkut dispute
settlement
melalui
framework
ASEAN
(TAC)
atau
melalui
mekanisme yang sejalan dengan hukum internasional temasuk
UNCLOS.
Prospek Penyelesaian Masalah
Berubahnya sikap Tiongkok yang semula berpendirian teguh agar
negosiasiasi terkait LTS harus dilakukan melalui forum bilateral
membuka peluang bagi
negara-negara terkait untuk melakukan
perundingan secara multilateral. Hal ini memberikan kemudahan untuk
negara-negara ASEAN bersatu padu dalam merumuskan sebuah
perangkat konkret yang dapat diterima bersama. Pembahasan CoC yang
semakin matang mulai sejak pembahasan di tingkat Menteri hingga
tingkat Presiden pada tahun 2012 di Kamboja merupakan salah satu
100
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
wujud dari keinginan tersebut. Namun penulis beranggapan ASEAN
terlebih dahulu harus solid secara internal sebelum mengajukan proposal
tersebut ke Tiongkok. Sebagaimana digaungkan oleh Menteri Luar
Negeri Kamboja dan diamini oleh Sekretaris Jenderal ASEAN bahwa CoC
tidak gagal ditingkat ASEAN karena dari segi konsep, ASEAN sudah
menyepakati “key element” dari CoC.
Indonesia sebagai inisiator lokakarya "Managing Potential Conflict
in the South China Sea" dan sebagai big brother di ASEAN diharapkan
dapat terus mendukung dan mengambil peranan penting dalam
penyelesaian sengketa LTS. Status bukan sebagai
claimant state
memudahkan Indonesia untuk bertindak sebagai mediator karena
posisinya yang netral. Lokakarya perlu terus dilanjutkan guna
mendukung 1,5 track dalam menyelesaikan masalah melalui pembahasan
joint development dan riset terpadu di daerah konflik.
Tiongkok diyakini tidak akan memperkeruh masalah dengan
memerangi
atau
memusuhi
Taiwan
dan
negara-negara
ASEAN
mengingat Tiongkok memiliki perselisihan dengan Jepang atas East China
Sea. Selain itu, Tiongkok tidak mau mengambil resiko dengan melibatkan
Amerika dalam penyelesaian sengketa mengingat beberapa claimant states
merupakan
"sahabat"
bersengketa
harus
Amerika.
memanfaatkan
Dengan
celah
demikian,
ini
untuk
pihak-pihak
melakukan
perundingan guna perbaikan kondisi di wilayah LTS.
101
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
RESENSI BUKU
Judul
: Public International Law: Contemporary Principles
and Perspectives
Penulis buku
: Gideon Boas
Penerbit
:
Bahasa
: Inggris
Jumlah halaman
: x + 478
Tahun penerbitan
: 2012
Pembuat resensi
: Muhammad Ferdien, S.H.
Buku
pemahaman
pendekatan
internasional.
ini
menawarkan
komprehensif
terkini
dari
Selain
suatu
dan
hukum
menjelaskan
mengenai teori dan perkembangan hukum
internasional, buku ini mengkaji pula
bagaimana
fungsi
dari
hukum
internasional dalam praktik.
Berbagai telaahan kasus dan contoh
terbaru dimasukkan dalam setiap topik,
dan sudut pandang kritis dalam prinsip-
102
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
prinsip hukum internasional disampaikan secara baik sehingga dapat
membangun suatu pengertian mengenai bagaimana dan mengapa sistem
hukum internasional dapat bekerja dan ke mana arah bergeraknya.
Selain itu, buku ini menjelaskan pula tentang dasar-dasar teoretis
dari
setiap
prinsip
hukum
internasional
secara
rinci
sebelum
menggambarkan bagaimana prinsip-prinsip tersebut diterapkan dan
berfungsi dalam praktik.
Hal-hal yang menonjol dalam buku ini antara lain adalah
memfokuskan
terhadap
prinsip-prinsip
fundamental
dari
hukum
internasional daripada pengkhususan pada subtopik tertentu, penjelasan
yang terpadu dan kontekstual dari dimensi politis dan ekstralegal sistem
hukum
internasional,
prinsip-prinsip
hukum
internasional
yang
ditempatkan dalam suatu konteks nyata yang kontemporer, berbagai
studi kasus tradisional dan kontemporer dijelaskan dalam konteks
prinsip-prinsip hukum, dan struktur yang seragam untuk memfasilitasi
pemahaman pembaca.
Buku ini memiliki sembilan bab yang terdiri dari:
1.
International Law: History and Purpose (Hukum Internasional: Sejarah
dan Tujuan);
2.
International Law-making: The Sources of International Law (Pembuatan
Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum Internasional);
3.
The Relationship between International and National Law (Hubungan
antara Hukum Internasional dan Nasional);
103
JURNAL OPINIO JURIS
4.
Vol. 16  Mei –September 2014
The Subjects of International Law: States (Subyek-subyek Hukum
Internasional: Negara-negara);
5.
Other Subjects of International Law: Non-state Actors and International
Law’s Evolution (Subjek Lain Hukum Internasional: Subyek Hukum
Internasional
yang
Bukan
Negara
dan
Evolusi
Hukum
Internasional);
6.
Jurisdiction Privileges and Immunities (Berbagai Kekebalan dan
Keistimewaan Yurisdiksi);
7.
State Responsibility (Tanggung Jawab Negara);
8.
International Law and the Use of Force (Hukum Internasional dan
Penggunaan Kekuatan); dan
9.
Pacific Resolution of Disputes (Berbagai Resolusi Damai bagi
Sengketa).
Bab
I
internasional
membahas
yang
mengenai
digunakan
pendekatan
dalam
buku
terhadap
hukum
konsep
hukum
ini,
internasional, letak hukum internasional dalam sejarah, teori-teori hukum
internasional, area-area khusus dalam hukum internasional, dan
pengertian hukum internasional.
Pembuatan hukum internasional yang mengarah pada sumbersumber hukum internasional dalam Bab II dijelaskan oleh penulis melalui
penjabaran
lebih
lanjut
dari
sumber
kewajiban
dalam
hukum
internasional dan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional
(International Court of Justice).
104
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Dalam Bab III penulis menerangkan hubungan antara hukum
nasional dan internasional. Hubungan tersebut dilihat dari berbagai
sudut pandang, yaitu konsepsi-konsepsi yang berbeda dari hubungan
antara hukum nasional dan internasional, hukum nasional dalam hukum
internasional,
hukum
internasional
dalam
hukum
nasional,
dan
pendekatan-pendekatan yang berbeda terhadap implementasi hukum
internasional dalam hukum nasional.
Bab IV menguraikan subyek-subyek hukum internasional yang
berupa negara. Sehubungan dengan hal ini, penulis menjelaskannya
melalui hakikat personalitas negara dalam hukum internasional,
kedaulatan, kriteria tradisional bagi eksistensi negara, pengakuan,
berbagai perkembangan kontemporer dan peranan kriteria lain dalam
perkembangan eksistensi negara, prinsip kedaulatan wilayah, ruang
lingkup kedaulatan wilayah, arah masa depan bagi kedaulatan wilayah,
dan masyarakat dan penentuan nasib sendiri (self-determination).
Subjek-subjek lain hukum internasional, yaitu non-state actors, dan
evolusi hukum internasional dalam Bab V dibahas oleh penulis dengan
menjabarkan organisasi internasional, organisasi nonpemerintah yang
menjadi tempat tumbuhnya masyarakat sipil dalam hukum internasional,
individu, perusahaan, dan non-state actors lainnya.
Dalam Bab VI penulis menerangkan kekebalan dan keistimewaan
yurisdiksi lebih lanjut dengan melihat pada jenis-jenis yurisdiksi,
yurisdiksi perdata dan pidana, dasar-dasar yurisdiksi, ekstradisi, dan
kekebalan dari yurisdiksi.
105
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Bab VII menguraikan tentang International Law Commission
Articles dan perubahan wacana tanggung jawab negara, tindakantindakan yang salah secara internasional, aturan dari pendugaan, situasisituasi yang mengecualikan kesalahan, akibat-akibat dari pelanggaran,
penjatuhan tanggung jawab negara, dan perlindungan diplomatik negara
bagi warga negara dan badan hukumnya.
Hukum internasional dan penggunaan kekuatan dalam Bab VIII
dijelaskan melalui perkembangan hukum penggunaan kekuatan dalam
hukum
internasional,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
dan
sistem
pascaperang dari keamanan kolektif, intervensi kemanusiaan, dan
ketentuan khusus bagi pertahanan diri secara individual dan kolektif
serta kewenangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam Bab IX, yang merupakan bab terakhir dalam buku, penulis
menguraikan tentang resolusi damai bagi penyelesaian sengketa, yaitu
kerangka kerja hukumnya, prosedur-prosedur penyelesaian nonjudisial
yang bersifat tidak mengikat, arbitrase internasional yang bersifat
mengikat, tribunal internasional yang bersifat mengikat, dan Mahkamah
Internasional.
Mengenai latar belakang penulis, pengalaman Gideon Boas sebagai
seorang ahli penyelesaian sengketa melalui pengadilan di berbagai
negara dan praktisi akademis ternama, memberi arti bahwa beliau layak
untuk menulis sebuah buku mengenai hukum internasional yang
meliputi perkembangannya dan sekaligus mendalaminya pada peristiwaperistiwa kunci untuk mengilustrasikan tema-tema penting. Buku ini
106
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
berhasil mengatasi kesulitan dalam menunjukkan suatu perspektif yang
luas di seluruh bidang hukum internasional, begitu pula dalam
menyampaikan gejolak yang melingkupinya.
Dengan wawasan yang diperoleh oleh penulis dari pengalamannya
bertahun-tahun sebagai seorang praktisi dan akademisi dalam bidang
hukum internasional, buku ini akan menawarkan kepada para praktisi
hukum, pembuat kebijakan, dan mahasiswa, baik Strata 1, Strata 2,
maupun Strata 3, suatu konsepsi cara pandang yang berharga ke dalam
ranah hukum internasional.
107
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
ISTILAH HUKUM
Galuh Indriana Rarasanti, S.H.
Archipelagic principle: pengertian bahwa pulau-pulau tersebut selalu
sebagai suatu kesatuan yang utuh, sementara unsur perairan atau lautan
antara pulau-pulau berfungsi sebagai unsur penghubung dan bukan
unsur pemisah.
Continental shelf: (a) dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di
bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang
kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi
kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal
darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi
kontinen tidak mencapai jarak tersebut (berdasarkan pengertian dalam
UNCLOS 1982); (b) wilayah laut yang dangkal di sepanjang pantai
dengan kedalaman kurang dari 200 meter, dengan kemiringan kira-kira
8,4% atau sekitar 007’ atau 2m/km. Landasan kontinen merupakan dasar
laut dangkal di sepanjang pantai dan menjadi bagian dari daratan
(berdasarkan pengertian ilmu geografi).
Territorial baseline: garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut
teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana yang
ditandai pada peta skala besar yang secara resmi diakui oleh Negara
pantai (berdasarkan pengertian dalam UNCLOS 1982).
108
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
TENTANG PENULIS
John Lumban-Tobing, S.H., LL.M.
John Anthony Manogari Tobing yang lahir tahun 1985 di Jakarta telah
mendapat gelar SH di Universitas Katolik Parahyangan tahun 2009.
Penulis kemudian pada tahun 2014 berhasil meraih gelar Master of Law
dari University of Cambridge dengan fokus subyek settlement of
international disputes, international trade law (WTO) dan EU competition law.
AP Edi Atmaja
Penulis menempuh pendidikan program sarjana (S1) di Fakultas Hukum
Undip dan meraih Magister Ilmu Hukum (S2) pada Universitas
Diponegoro. AP Edi Atmaja bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan RI
dan mengelola galeri tulisan Sastra Kelabu, serta menjadi kolumnis
LenteraTimur.com, Jakartabeat.net dan RanselKecil.com.
Ahmad Almaududy Amri
Ahmad Almaududy Amri telah menempuh pendidikan Ph. D. di
University of Wollongong, Australia dengan fokus utama risetnya
mengenai Maritime Security. Penulis memasuki Kementerian Luar Negeri
pada tahun 2010 dan mengikuti Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu)
Angkatan XXXV.
109
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 16  Mei –September 2014
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional,
perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam
negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional.
Ketentuan Penulisan:
1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi, catatan
kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Times
New Roman ukuran 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New
Roman ukuran 10;
2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris;
3. Setiap naskah harus disertai abstraksi maksimal 1 halaman A4. Untuk tulisan
dalam bahasa Indonesia, abstraksi dibuat dalam bahasa Inggris dan untuk
tulisan dalam bahasa Inggris, abstraksi dibuat dalam bahasa Indonesia.
Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata.
4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote);
5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang
dikirimkan ke penerbit lain;
6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak
mengubah maksud dan isi tulisan;
7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan rekomendasi
kepada penulis tentang tulisan yang dikirim;
8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat
penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan,
pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;
9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan
kompensasi finansial;
10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi.
11. Keputusan untuk menerbitkan atau menolak penerbitan suatu naskah
berada pada redaksi dengan tidak dapat diganggu gugat.
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional
Kementerian Luar Negeri
Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044
Email: [email protected]
http://pustakahpi.kemlu.go.id/
110
Download