11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Franchise 2.1.1. Definisi Franchise Franchise berasal dari bahasa Perancis (affanchir) yang artinya kejujuran atau kebebasan hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, franchise adalah suatu ikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa. Menurut Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), franchise ialah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir. Pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan usaha dengan merek, nama, sistem, prosedur, dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu. Franchise sebagai suatu bentuk organisasi terus berkembang dan semakin menarik perhatian, karena hal-hal yang ditawarkan oleh usaha ini menyangkut pekerjaan, peluang profesi mandiri (self employment opportunities) (British Franchise Association, 2004). 12 Rachmadi (2008) berpendapat, franchise adalah suatu bentuk sinergi usaha yang ditawarkan oleh suatu perusahaan yang sudah memiliki kinerja unggul karena didukung oleh sumber daya berbasis pengetahuan dan orientasi kewirausahaan yang cukup tinggi dengan governance structure (tata kelola) yang baik, dan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain dengan melakukan hubungan kontraktual untuk menjalankan usaha dibawah format usaha dengan imbalan yang disepakati. 2.1.2. Sejarah Franchise Konsep jejaring toko sebagai sistem franchise yang sudah ada sejak 200 SM di China. Saat itu pengusaha lokal negeri itu bernama Lo Kass mengoperasikan beberapa unit toko, berabad-abad kemudian konsep franchise diadopsi oleh pengusaha terutama di Eropa yang melahirkan istilah franchise. Di Jerman sekitar tahun 1840-an, sudah banyak pengusaha bir memberikan hak untuk menjualkan bir produksinya kepada kedai-kedai minuman. Kemudian pada tahun 1851 di Amerika Serikat, The Singer Sewing Machine Company mulai memberikan hak untuk mendistribusikan mesin jahit produksinya kepada distributor (IFBM, 2007). Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restoran modern. Gagasan pendiri adalah membiarkan rekanan untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo, dan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. 13 Dalam perkembangannya, sistem ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun 1950-an yang kemudian franchise dikenal sebagai format usaha (bussiness format). Tetapi The Singer-lah yang menjadi cikal bakal munculnya franchise. Di Indonesia, istilah franchise mulai banyak dikenal pada tahun 1990-an. Awalnya ketika Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) International Labor Organization (ILO) di tahun 1991 menyarankan kepada Pemerintah Indonesia agar mengembangkan sistem franchise untuk meningkatkan lapangan kerja, setelah itu dibentuklah Franchise Resource Center (FRC). FRC merupakan wadah pemberdayaan usaha-usaha menjadi franchise, memasyarakatkan, mensosialisasikan sistem franchise, serta mendorong pertumbuhan franchise lokal. Lembaga ini berada di bawah Departemen Perdagangan (Setiawan, 2006). 2.2.3. Franchisor dan Franchisee Franchisor adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki. Sedangkan franchisee adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak kepada untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki franchisor (IFBM, 2007). Franchisor dan franchisee memiliki banyak ikatan antara lain : kesepakatan konseptual antara kedua belah pihak (kontrak), adanya hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas atau merek/nama dagang yang dimiliki 14 satu pihak yang digunakan pihak lainnya. Imbalan (fee) yang diberikan pihak pengguna pada pemilik hak kekayaan intelektual, penemuan, ciri khas usaha, atau merek/nama dagang, kemudian adanya pemeliharaan kepentingan terus-menerus yang dilakukan pihak pertama dalam bidang-bidang pengetahuan dan pelatihan, adanya format atau prosedur yang dimiliki dan dikendalikan satu pihak, serta adanya dana investasi yang dikeluarkan oleh pihak pengguna. 2.2. Kebab 2.2.1. Istilah Kebab Kata kabab (ﺎب کﺑ ) berasal dari bahasa Arab atau Persia yang berarti daging yang digoreng dan bukanlah daging yang dipanggang. Kata kabab dari bahasa Arab tersebut berasal dari Aramaic kabbaba yang berasal dari daerah Akkadian kababu, berarti “membakar atau menggosongkan.” Pada abad ke-14, kata kebab menurut kamus Lisan al’Arab memiliki persamaan kata dengan kata tabahajah yaitu kata dalam bahasa Persia untuk sajian sepotong daging yang digoreng. Kata dalam bahasa Persia tersebut lebih dikenal pada saat abad pertengahan, yang akhirnya kata kebab tersebut digunakan dalam bukubuku berbahasa Arab. Kata kebab lebih sering digunakan pada saat ini dibandingkan saat di Turki yang sebelumnya menemukan kata shiwa untuk daging yang dipanggang. Namun, kebab tetap memegang teguh kata aslinya dengan menyajikan makanan seperti tas kebab (kebab dalam mangkuk). Sama halnya dengan daging panggang khas Egypt yang disajikan dengan bawang bombay lebih dikenal dengan istilah “kebab halla”. 15 2.2.2. Produk Kebab Turki Baba Rafi Adalah usaha makanan yang menjual produk KTBR diantaranya kebab, kebab gila, syawarma, hotdog, beef burger, chicken burger, crispy burger, wiener jumbo, hotdog jumbo, burger gila, cane original, cane salad, cane coklat keju, dan kebab pisang coklat keju. Produk KTBR milik PT Baba Rafi Indonesia dikelola dengan suatu format dan teknik manajemen serta metode, prosedur, standar, dan teknik mengolah dengan menggunakan peralatan standar KTBR. Perangkat-perangkat pendukung lain yang digunakan, bertujuan untuk dapat memperoleh hasil dengan kualitas relatif baik dan dalam waktu relatif singkat. 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Junaidi (2006) dengan judul Analisis dan Evaluasi Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pembelian Franchise (Studi Kasus Alfamart Wilayah Jabotabek) diperoleh hasil evaluasi tingkat kepentingan pada tahap awal analisis multiatribut Fishbein menunjukkan bahwa semua atribut seperti sistem manajemen franchise, lama pengembalian modal, dan pelayanan toko dipertimbangkan oleh konsumen. Berdasarkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap franchise alfamart menunjukkan bahwa atribut yang paling baik yaitu reputasi merek sebesar 5,28 dan atribut paling rendah yaitu lamanya pengembalian modal sebesar 4,65. Berdasarkan hasil penelitian Putera (2006) dengan judul Evaluasi Kelayakan Usaha Pada Restoran Mie Kondang Jakarta Selatan diketahui bahwa aspek pasar, aspek teknis dan produksi, aspek hukum, dan aspek manajerial sudah baik untuk 16 menunjang kinerja restoran. Kemudian dari aspek finansial, keuntungan sebesar Rp 128.443.070 diperoleh setiap tahunnya. Sedangkan menurut hasil perhitungan switching value, restoran mie kondang tersebut mengalami penurunan nilai penjualan produk makanan melebihi 4,00 persen atau kenaikan biaya bahan baku yang melebihi 5,43 persen menyebabkan usaha yang dilakukan oleh restoran mie kondang dinyatakan tidak layak. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuningsih (2004) dengan judul Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Selada Hidroponik (studi kasus di Yayasan Progressio Indonesia, kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi jawa Barat) diketahui bahwa secara finansial diperoleh NPV sebesar Rp 21.262.410,68. IRR sebesar 89 persen, Net B/C sebesar 1,79, dan masa pengembalian investasi dua tahun enam bulan. Hasil analisis sensitivitas dilakukan dengan tiga skenario yaitu penurunan produksi 11,1 persen, kenaikan harga input 20 persen, dan penurunan harga selada 30 persen. Hasil analisis sensitivitas dengan skenario kesatu dan ketiga pengusahaan selada menunjukkan bahwa usaha tersebut tidak layak. Pada skenario kedua menunjukkan bahwa pengusahaan selada dinyatakan layak untuk dilakukan. Empat penelitian terdahulu diatas memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Persamaannya adalah, menganalisis kelayakan usaha dengan menggunakan metode yang sama. Perbedaannya adalah, jenis usaha yaitu franchise pada sektor food and beverage, produk yang dianalisis yaitu kebab yang belum pernah ada di penelitian sebelumnya, dan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini.