Urgensi Manajemen Impor

advertisement
Urgensi Manajemen Impor
Bayu Krisnamurthi
Dalam konteks perdagangan internasional,
masalah yang dihadapi Indonesia saat ini tidak
hanya bagaimana upaya mendorong ekspor
untuk menghasilkan devisa, tetapi semakin
besarnya persoalan impor berbagai produk
kebutuhan masyarakat Indonesia. Hal itu
merupakan dampak dari globalisasi yang
menuntut adanya keterbukaan ekonomi suatu
negara
terhadap
kegiatan
perdagangan
antarnegara. Akan tetapi, persoalan yang
muncul di sini adalah kemampuan Indonesia
mengelola perdagangan agar bisa mendapatkan
manfaat yang optimal masih menjadi kekuatan
kita.
kompas/johnny tg Padahal manajemen impor produk pertanian,
terutama produk pangan memiliki urgensi yang
tinggi. Mengingat kegiatan ini akan berakibat
luas
pada
berbagai
aspek
kehidupan
masyarakat. Beras, gula, dan paha ayam hanya merupakan beberapa contoh yang mengemuka
akhir-akhir ini, yang memicu munculnya polemik.
Pada kasus beras, impor masih terus menjadi perdebatan. Mereka yang setuju akan mengatakan
bagaimana bisa harga beras yang lebih murah, termasuk dari impor karena akan
menguntungkan konsumen, termasuk petani sendiri yang saat ini ditengarai merupakan netconsumers. Sebaliknya yang tidak setuju tindakan impor akhirnya akan menekan harga,
sehingga petani tidak mendapat keuntungan yang memadai dan tidak memperoleh insentif yang
cukup untuk mempertahankan usaha taninya. Selain itu, akan semakin memberatkan kehidupan
petani dan dalam jangka panjang akan mengancam kemandirian ketahanan pangan Indonesia.
Pada kasus gula, produk gula impor yang lebih murah dengan kualitas yang umumnya lebih
tinggi, dipandang sangat dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga, maupun sebagai bahan baku
penting berbagai kegiatan industri. Hal inilah yang menjadi dasar bagi keterbukaan terhadap
impor. Di lain pihak, industri gula domestik tengah menghadapi masalah serius berkepanjangan
dalam hal efisiensi dan kualitas produk industri gula dan secara langsung berhubungan pula
dengan kepentingan ribuan petani tebu.
Hal ini kemudian menjadi dasar bagi para penentang keputusan untuk mengimpor gula. Kasus
impor gula ini pun menyangkut masalah inefektivitas tarif, masalah gula "spanyol" (sedikit pakai
nyolong-Red), sampai ke masalah keamanan pangan terkait dengan adanya dugaan gula
industri yang tidak layak untuk dikonsumsi langsung oleh manusia, tetapi diedarkan langsung
sebagai gula konsumsi.
Pada kasus paha ayam, masalahnya lain lagi. Mereka yang tidak setuju impor mendasarkan
pertimbangannya pada isu kehalalan produk dan perlindungan terhadap peternak dalam negeri,
mengingat produk paha ayam tersebut "luar biasa" murah. Sebaliknya, yang memperbolehkan
impor lebih mengkhawatirkan retaliasi oleh negara pengekspor paha ayam tersebut. Kalkulasi
mereka jauh lebih besar nilai dan dampaknya bagi perekonomian, dibandingkan dengan impor
paha yang hanya ''kecil'' saja nilainya. Bahkan, jika dibandingkan dengan nilai ekonomi seluruh
industri peternakan ayam.
***
KETIGA kasus di atas menggambarkan banyaknya kepentingan yang harus diperhatikan dalam
mengelola impor. Namun, hal tersebut adalah lumrah. Manajemen aktivitas ekonomi memang
merupakan ilmu dan seni untuk dapat mengambil keputusan di antara kepentingan berbagai
pihak. Hal yang dibutuhkan adalah penetapan prinsip atau visi dasar terlebih dahulu dalam
melakukan impor.
Prinsip dan visi tersebutlah yang akan memandu langkah-langkah manajemen impor. Sebagai
negara yang berdaulat, prinsip dasar impor yang dilakukan Indonesia seyogianya adalah untuk
dapat menjunjung tinggi kedaulatan bangsa dan negara dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di
antara pergaulan ekonomi masyarakat dunia.
Artinya, Indonesia tetap memiliki kedaulatan dalam mengimpor produk yang dibutuhkannya,
sehingga jika diputuskan untuk tidak mengimpor pun, maka hal tersebut dapat dilakukan tanpa
berakibat buruk bagi rakyat secara keseluruhan. Kedaulatan tersebut tentu juga berarti bahwa
Indonesia tidak menjadi negara yang dapat dipermainkan atau ditekan oleh negara lain, karena
ketergantungan rakyatnya kepada produk impor. Hal ini sangat penting justru karena dunia sudah
tidak lagi berbatas (borderless world) dan Indonesia memang ingin menjadi negara yang aktif
dalam perdagangan internasional.
Dengan prinsip dasar dan visi tersebut, Indonesia dapat mengembangkan manajemen impor
yang lebih jelas dan tegas. Pada kasus beras, berbagai argumentasi sudah dikemukakan oleh
para pakar bahwa Indonesia tidak boleh, dan tidak bisa menggantungkan kebutuhannya pada
pasar internasional. Sebab, pasar internasional yang "tipis", dikuasai hanya oleh beberapa
negara pengekspor saja dan bersifat residual (pasokan hanya diperoleh dari sisa produk
cadangan produk negara pengekspor) telah dikemukakan sebagai alasan utama.
Oleh sebab itu, Indonesia yang hingga saat ini realitasnya adalah menjadi "konsumen" dalam
pasar dunia, juga harus dapat memperlakukan produk yang diimpor dari pasar internasional
sebagai residual. Artinya, impor hanya akan dilakukan untuk memenuhi sebagian ceruk pasar
(niche market) dalam negeri yang memang tidak dipenuhi oleh produk domestik. Ceruk pasar ini
terjadi karena masalah selera khusus di antara konsumen (misalnya, untuk memenuhi selera
para tamu hotel dan orang asing, atau selera beberapa konsumen di beberapa wilayah tertentu),
dan bukan karena terjadinya kekurangan (shortage) produksi.
Walaupun diperlukan usaha untuk menetapkan jumlah yang tepat, jumlah residual pasar beras
Indonesia diperkirakan hanya akan sebesar sekitar lima persen dari total konsumsi nasional, atau
sekitar 1,5 juta ton per tahun. Jika terdapat dorongan untuk mengimpor lebih dari jumlah tersebut,
maka perlu dilakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk
dalam negeri. Selain itu, juga harus mengusahakan penurunan tingkat konsumsi per kapita yang
sekarang memang sudah sangat tinggi.
Mengingat hal itu membutuhkan waktu, maka beberapa instrumen pengelolaan impor (import
management) perlu dipergunakan. Tarif tetap merupakan instrumen utama. Tarif tersebut
mungkin perlu pula dikaitkan dengan "kuota" jumlah residual tersebut. Di mana di atas "kuota"
tersebut ditetapkan tarif yang lebih tinggi. Tarif dan kuota tersebut kemudian juga dapat dikaitkan
dengan persyaratan karantina dan mutu beras yang diimpor, yang dikaitkan pula dengan
ketersediaan fasilitas pengujian di pelabuhan tertentu. Intinya adalah perlu digunakan semua
instrumen manajemen impor yang mungkin untuk dapat menjamin bahwa impor beras memang
dilakukan hanya untuk mengisi ceruk pasar residual, baik dalam jumlah maupun mutu.
Yang perlu pula digarisbawahi adalah bahwa format manajemen tersebut sejalan dengan
ketentuan perdagangan internasional yang telah disepakati. Pada kasus gula, manajemen
impornya tampaknya juga memiliki format yang serupa, yaitu melalui tarif, kuota, dan batasan
atas kualitas produk, walaupun alasannya sedikit berbeda. Gula yang diimpor tampaknya
terpaksa bukan jumlah dan jenis yang bersifat residual, tetapi karena memang sebagian dari
jenis dan mutu gula yang dibutuhkan belum dapat dihasilkan di dalam negeri.
Untuk itu, pembatasan atas jenis gula yang diimpor perlu lebih jelas. Dalam arti, manajemen tarif
atau kuota dilakukan berdasarkan jenis dan mutu tersebut. Dalam hal ini, penekanan pada
peningkatan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk gula dalam negeri menjadi jauh lebih
penting dibandingkan beras.
Pada kasus paha ayam, manajemen impor perlu dilakukan dengan format yang berbeda. Hal
yang perlu dikedepankan adalah masalah kualitas produk dikaitkan dengan faktor agama
(kehalalan), yang juga dilindungi dalam berbagai kesepakatan perdagangan internasional.
Disamping itu, isu fair trade juga perlu diperjuangkan. Adalah tidak fair, jika produk peternakan
ayam yang dikelola oleh para peternak kecil harus bersaing dengan produk sisa (secondary
option product). Yang tentunya harganya sangat luar biasa murah, karena bagi produsennya
adalah masalah karena harus mengeluarkan biaya untuk membuangnya.
Jika praktik dumping saja bisa digugat, maka kita dan mitra dagang kita harus bisa membuktikan
bahwa untuk paha ayam bukan merupakan kasus perdagangan, tapi merupakan produk sisa
yang juga tidak dibenarkan dalam kerangka fair trade. Beberapa pemikiran di atas tentulah baru
merupakan ide-ide yang harus dibahas lebih lanjut oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Apa pun yang akan diputuskan, tampaknya urgensi adanya manajemen impor yang jelas dan
tegas sudah sangat mendesak. Disamping bahwa apa pun yang akan dilakukan dalam
manajemen impor, hal tersebut harus terkait erat dan menjadi bagian integral dengan usaha yang
akan dilakukan pada sisi produksi dalam negeri.
Namun, tampaknya persyaratan utama keberhasilan manajemen impor tersebut adalah
bebasnya keputusan dan instrumen impor dari praktik korupsi dan kolusi yang jahat dan merusak
itu. Untuk urusan yang satu ini, bukan hanya Presiden yang malu, karena Indonesia selalu impor
pangan, tapi kita semua wajib malu. Sebab, ketidakmampuan menerapkan manajemen impor,
tetap merupakan akibat dari ketidakberdayaan kita mengatasi kelakuan buruk sebagian kecil dari
bangsa ini. Semua itu telah menimbulkan biaya kerugian yang besar bagi masa depan bangsa
ini.
(Penulis, Direktur Pusat Studi Pembangunan IPB)
Urgensi Manajemen Impor
Bayu Krisnamurthi
Dalam konteks perdagangan internasional,
masalah yang dihadapi Indonesia saat ini tidak
hanya bagaimana upaya mendorong ekspor
untuk menghasilkan devisa, tetapi semakin
besarnya persoalan impor berbagai produk
kebutuhan masyarakat Indonesia. Hal itu
merupakan dampak dari globalisasi yang
menuntut adanya keterbukaan ekonomi suatu
negara
terhadap
kegiatan
perdagangan
antarnegara. Akan tetapi, persoalan yang
muncul di sini adalah kemampuan Indonesia
mengelola perdagangan agar bisa mendapatkan
manfaat yang optimal masih menjadi kekuatan
kita.
kompas/johnny tg
Padahal manajemen impor produk pertanian,
terutama produk pangan memiliki urgensi yang
tinggi. Mengingat kegiatan ini akan berakibat
luas
pada
berbagai
aspek
kehidupan
masyarakat. Beras, gula, dan paha ayam hanya merupakan beberapa contoh yang mengemuka
akhir-akhir ini, yang memicu munculnya polemik.
Pada kasus beras, impor masih terus menjadi perdebatan. Mereka yang setuju akan mengatakan
bagaimana bisa harga beras yang lebih murah, termasuk dari impor karena akan
menguntungkan konsumen, termasuk petani sendiri yang saat ini ditengarai merupakan netconsumers. Sebaliknya yang tidak setuju tindakan impor akhirnya akan menekan harga,
sehingga petani tidak mendapat keuntungan yang memadai dan tidak memperoleh insentif yang
cukup untuk mempertahankan usaha taninya. Selain itu, akan semakin memberatkan kehidupan
petani dan dalam jangka panjang akan mengancam kemandirian ketahanan pangan Indonesia.
Pada kasus gula, produk gula impor yang lebih murah dengan kualitas yang umumnya lebih
tinggi, dipandang sangat dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga, maupun sebagai bahan baku
penting berbagai kegiatan industri. Hal inilah yang menjadi dasar bagi keterbukaan terhadap
impor. Di lain pihak, industri gula domestik tengah menghadapi masalah serius berkepanjangan
dalam hal efisiensi dan kualitas produk industri gula dan secara langsung berhubungan pula
dengan kepentingan ribuan petani tebu.
Hal ini kemudian menjadi dasar bagi para penentang keputusan untuk mengimpor gula. Kasus
impor gula ini pun menyangkut masalah inefektivitas tarif, masalah gula "spanyol" (sedikit pakai
nyolong-Red), sampai ke masalah keamanan pangan terkait dengan adanya dugaan gula
industri yang tidak layak untuk dikonsumsi langsung oleh manusia, tetapi diedarkan langsung
sebagai gula konsumsi.
Pada kasus paha ayam, masalahnya lain lagi. Mereka yang tidak setuju impor mendasarkan
pertimbangannya pada isu kehalalan produk dan perlindungan terhadap peternak dalam negeri,
mengingat produk paha ayam tersebut "luar biasa" murah. Sebaliknya, yang memperbolehkan
impor lebih mengkhawatirkan retaliasi oleh negara pengekspor paha ayam tersebut. Kalkulasi
mereka jauh lebih besar nilai dan dampaknya bagi perekonomian, dibandingkan dengan impor
paha yang hanya ''kecil'' saja nilainya. Bahkan, jika dibandingkan dengan nilai ekonomi seluruh
industri peternakan ayam.
***
KETIGA kasus di atas menggambarkan banyaknya kepentingan yang harus diperhatikan dalam
mengelola impor. Namun, hal tersebut adalah lumrah. Manajemen aktivitas ekonomi memang
merupakan ilmu dan seni untuk dapat mengambil keputusan di antara kepentingan berbagai
pihak. Hal yang dibutuhkan adalah penetapan prinsip atau visi dasar terlebih dahulu dalam
melakukan impor.
Prinsip dan visi tersebutlah yang akan memandu langkah-langkah manajemen impor. Sebagai
negara yang berdaulat, prinsip dasar impor yang dilakukan Indonesia seyogianya adalah untuk
dapat menjunjung tinggi kedaulatan bangsa dan negara dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di
antara pergaulan ekonomi masyarakat dunia.
Artinya, Indonesia tetap memiliki kedaulatan dalam mengimpor produk yang dibutuhkannya,
sehingga jika diputuskan untuk tidak mengimpor pun, maka hal tersebut dapat dilakukan tanpa
berakibat buruk bagi rakyat secara keseluruhan. Kedaulatan tersebut tentu juga berarti bahwa
Indonesia tidak menjadi negara yang dapat dipermainkan atau ditekan oleh negara lain, karena
ketergantungan rakyatnya kepada produk impor. Hal ini sangat penting justru karena dunia sudah
tidak lagi berbatas (borderless world) dan Indonesia memang ingin menjadi negara yang aktif
dalam perdagangan internasional.
Dengan prinsip dasar dan visi tersebut, Indonesia dapat mengembangkan manajemen impor
yang lebih jelas dan tegas. Pada kasus beras, berbagai argumentasi sudah dikemukakan oleh
para pakar bahwa Indonesia tidak boleh, dan tidak bisa menggantungkan kebutuhannya pada
pasar internasional. Sebab, pasar internasional yang "tipis", dikuasai hanya oleh beberapa
negara pengekspor saja dan bersifat residual (pasokan hanya diperoleh dari sisa produk
cadangan produk negara pengekspor) telah dikemukakan sebagai alasan utama.
Oleh sebab itu, Indonesia yang hingga saat ini realitasnya adalah menjadi "konsumen" dalam
pasar dunia, juga harus dapat memperlakukan produk yang diimpor dari pasar internasional
sebagai residual. Artinya, impor hanya akan dilakukan untuk memenuhi sebagian ceruk pasar
(niche market) dalam negeri yang memang tidak dipenuhi oleh produk domestik. Ceruk pasar ini
terjadi karena masalah selera khusus di antara konsumen (misalnya, untuk memenuhi selera
para tamu hotel dan orang asing, atau selera beberapa konsumen di beberapa wilayah tertentu),
dan bukan karena terjadinya kekurangan (shortage) produksi.
Walaupun diperlukan usaha untuk menetapkan jumlah yang tepat, jumlah residual pasar beras
Indonesia diperkirakan hanya akan sebesar sekitar lima persen dari total konsumsi nasional, atau
sekitar 1,5 juta ton per tahun. Jika terdapat dorongan untuk mengimpor lebih dari jumlah tersebut,
maka perlu dilakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk
dalam negeri. Selain itu, juga harus mengusahakan penurunan tingkat konsumsi per kapita yang
sekarang memang sudah sangat tinggi.
Mengingat hal itu membutuhkan waktu, maka beberapa instrumen pengelolaan impor (import
management) perlu dipergunakan. Tarif tetap merupakan instrumen utama. Tarif tersebut
mungkin perlu pula dikaitkan dengan "kuota" jumlah residual tersebut. Di mana di atas "kuota"
tersebut ditetapkan tarif yang lebih tinggi. Tarif dan kuota tersebut kemudian juga dapat dikaitkan
dengan persyaratan karantina dan mutu beras yang diimpor, yang dikaitkan pula dengan
ketersediaan fasilitas pengujian di pelabuhan tertentu. Intinya adalah perlu digunakan semua
instrumen manajemen impor yang mungkin untuk dapat menjamin bahwa impor beras memang
dilakukan hanya untuk mengisi ceruk pasar residual, baik dalam jumlah maupun mutu.
Yang perlu pula digarisbawahi adalah bahwa format manajemen tersebut sejalan dengan
ketentuan perdagangan internasional yang telah disepakati. Pada kasus gula, manajemen
impornya tampaknya juga memiliki format yang serupa, yaitu melalui tarif, kuota, dan batasan
atas kualitas produk, walaupun alasannya sedikit berbeda. Gula yang diimpor tampaknya
terpaksa bukan jumlah dan jenis yang bersifat residual, tetapi karena memang sebagian dari
jenis dan mutu gula yang dibutuhkan belum dapat dihasilkan di dalam negeri.
Untuk itu, pembatasan atas jenis gula yang diimpor perlu lebih jelas. Dalam arti, manajemen tarif
atau kuota dilakukan berdasarkan jenis dan mutu tersebut. Dalam hal ini, penekanan pada
peningkatan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk gula dalam negeri menjadi jauh lebih
penting dibandingkan beras.
Pada kasus paha ayam, manajemen impor perlu dilakukan dengan format yang berbeda. Hal
yang perlu dikedepankan adalah masalah kualitas produk dikaitkan dengan faktor agama
(kehalalan), yang juga dilindungi dalam berbagai kesepakatan perdagangan internasional.
Disamping itu, isu fair trade juga perlu diperjuangkan. Adalah tidak fair, jika produk peternakan
ayam yang dikelola oleh para peternak kecil harus bersaing dengan produk sisa (secondary
option product). Yang tentunya harganya sangat luar biasa murah, karena bagi produsennya
adalah masalah karena harus mengeluarkan biaya untuk membuangnya.
Jika praktik dumping saja bisa digugat, maka kita dan mitra dagang kita harus bisa membuktikan
bahwa untuk paha ayam bukan merupakan kasus perdagangan, tapi merupakan produk sisa
yang juga tidak dibenarkan dalam kerangka fair trade. Beberapa pemikiran di atas tentulah baru
merupakan ide-ide yang harus dibahas lebih lanjut oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Apa pun yang akan diputuskan, tampaknya urgensi adanya manajemen impor yang jelas dan
tegas sudah sangat mendesak. Disamping bahwa apa pun yang akan dilakukan dalam
manajemen impor, hal tersebut harus terkait erat dan menjadi bagian integral dengan usaha yang
akan dilakukan pada sisi produksi dalam negeri.
Namun, tampaknya persyaratan utama keberhasilan manajemen impor tersebut adalah
bebasnya keputusan dan instrumen impor dari praktik korupsi dan kolusi yang jahat dan merusak
itu. Untuk urusan yang satu ini, bukan hanya Presiden yang malu, karena Indonesia selalu impor
pangan, tapi kita semua wajib malu. Sebab, ketidakmampuan menerapkan manajemen impor,
tetap merupakan akibat dari ketidakberdayaan kita mengatasi kelakuan buruk sebagian kecil dari
bangsa ini. Semua itu telah menimbulkan biaya kerugian yang besar bagi masa depan bangsa
ini.
(Penulis, Direktur Pusat Studi Pembangunan IPB)
Download