SANG AMURWABUMI:

advertisement
Pringgitan Wetan, Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta
tel: 0274 7460235 – 562811 pes. 1231 fax: 0274 374919 - email: [email protected]
D
Diiaalloogg B
Buuddaayyaa &
&G
Geellaarr SSeennii ““Y
YooggyyaaSSeem
meessttaa”” SSeerrii--3311::
R
RE
EV
VIIT
TA
AL
LIISSA
ASSII D
DIIPPL
LO
OM
MA
ASSII B
BU
UD
DA
AY
YA
A,,
R
Reefflleekkssii 6600 T
Taahhuunn H
Huubbuunnggaann R
RII--R
Ruussiiaa
GLOBALISASI
membuka ruang keterlibatan publik dalam
diplomasi. Diplomasi bukan lagi melulu urusan Pemerintah. Hubungan
internasional tidak lagi semata-mata dipandang sebagai hubungan
antarnegara, tapi juga meliputi hubungan antarmasyarakat internasional
(Susetyo, 2008).
Diplomasi tradisional (first track diplomacy) ala Pemerintah kini
berkembang menjadi diplomasi publik atau bisa juga disebut diplomasi
informal (second track diplomacy), yang wujudnya bisa dengan
diplomasi budaya (cultural diplomacy) lewat misi kesenian. Isu
diplomasi publik ini mengemuka karena Pemerintah, jika berjalan
sendirian, tidak lagi mampu secara efektif menyampaikan pesan-pesan
diplomasi dalam situasi dan isu-isu yang semakin kompleks.
Diplomasi Publik
Diplomasi didefinisikan sebagai seni dan praktik bernegosiasi di antara
perwakilan-perwakilan dari kelompok-kelompok atau negara (Pudjomartono,
2008). Pamela H. Smith (2008) mendefinisikan diplomasi publik sebagai upaya
mencapai
kepentingan
nasional
suatu
negara
untuk
memahami,
menginformasikan, dan mempengaruhi masyarakat luar negeri dalam rangka
mempromosikan kepentingan nasional dan memperluas dialog dengan relasi di
luar negeri.
Jika proses diplomasi tradisional dikembangkan melalui mekanisme
hubungan Pemerintah ke Pemerintah (G to G), maka diplomasi publik lebih
ditekankan pada hubungan pemerintah ke masyarakat (G to P/G to B) atau bahkan
hubungan masyarakat ke masyarakat (P to P/B to B).
1
Tujuannya, agar masyarakat internasional mempunyai persepsi baik tentang
negara, sebagai landasan sosial bagi hubungan dan pencapaian kepentingan yang
lebih luas (Susetyo, 2008).
Diplomasi publik adalah upaya memperjuangkan kepentingan nasional
melalui penyebaran informasi atau mempengaruhi pendapat umum di luar negeri
dengan memanfaatkan sarana budaya dan komunikasi untuk menjelaskan dan
mengadvokasi kebijakan, memberikan informasi tentang suatu negara, termasuk
masyarakatnya, nilai-nilainya, dan lembaganya, guna membangun hubungan yang
saling memahami melalui pertukaran informasi dan wacana.
Diplomasi publik menjadi upaya alternatif agar diplomasi berjalan lebih
efektif dan memberikan dampak yang lebih luas dan besar pada masyarakat
internasional. Keterlibatan publik ini dapat membuka jalan bagi negosiasi yang
dilakukan wakil-wakil Pemerintah, sekaligus dapat memberikan masukan dan
cara pandang yang berbeda dalam memandang suatu masalah. Diplomasi publik
menjadi penting dalam menciptakan citra suatu bangsa dalam berperan aktif
menciptakan perdamaian dunia, dan merajut persaudaraan antarbangsa.
Diplomasi publik menekankan pada cara-cara berkomunikasi dengan
publik negara lain. Pelakunya, selain diplomat profesional, bisa juga individuindividu atau lembaga swasta. Tujuan diplomasi publik adalah untuk ”menjual”
pada masyarakat negara lain hal-hal yang menarik dari negara dan bangsa pelaku.
Sarananya antara lain, kegiatan kebudayaan, pertukaran mahasiswa, pemutaran
film, pertunjukan teater dan sebagainya. Diplomasi publik bisa dikatakan mirip
tugas hubungan masyarakat (Pudjomartono, 2008).
Seperti halnya fungsi hubungan masyarakat, diplomasi publik adalah proses
komunikasi yang bertujuan membangun citra positif terhadap gambaran mengenai
kehidupan dan dinamika politik suatu negara. Gambaran positif ini sangat penting
bagi dunia untuk meningkatkan kerjasama antarnegara, sehingga tercipta
kepercayaan bahwa suatu bangsa memiliki potensi untuk mengembangkan
kerjasama dalam semua aspek politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Misi ini
pada gilirannya akan membawa efek kesejahteraan bagi masyarakat (Widodo &
Trimananda, 2009).
Diplomasi Budaya
Diplomasi budaya bukanlah kosa kata baru. Kita sering mendengarnya
sebagai diplomasi dengan menggunakan media kebudayaan, atau lebih spesifik
kesenian, untuk mengelola hubungan antarbangsa. Diplomasi atau negosiasi tidak
harus diselesaikan di meja perundingan, tetapi bisa melalui sarana lain, misalnya
melalui bidang kebudayaan yang dikenal dengan diplomasi budaya.
2
Diplomasi dimaksudkan untuk meningkatkan image building, nation
branding dan soft power suatu negara di luar negeri sebagai bangsa yang
memiliki kebudayaan yang tinggi. Diplomasi budaya adalah usaha
memperjuangkan kepentingan nasional suatu negara melalui kebudayaan, secara
mikro, seperti olahraga, dan kesenian, atau secara makro misalnya propaganda
dan lain-lain, yang dalam pengertian konvensional dapat dianggap sebagai bukan
politik, ekonomi, ataupun militer.
Kebudayaan dapat begitu efektif sebagai media diplomasi, karena
kebudayaan memiliki unsur-unsur universal (cultural universals) dimana unsurunsurnya terdapat dalam semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Jika
mengutip analisis Koentjaraningrat yang mengadaptasi konsepsi B. Malinowski
(1944), dalam semua kebudayaan ada tujuh buah unsur universal, dimana
kesenian adalah salah satu unsurnya. Tapi jika mengutip pembahasan Sutan
Takdir Alisjahbana yang berlandaskan klasifikasi Edward Spranger (1921), ada
enam nilai universal, salah satunya adalah nilai seni yang bersifat ekspresif.
Pada dasarnya kebudayaan bersifat komunikatif, yang mudah dipahami,
bahkan oleh masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda.
Kebudayaan juga bersifat manusiawi: yaitu dapat lebih mendekatkan bangsa yang
satu dengan lainnya. Sifat-sifat positif dari kebudayaan inilah yang bisa membuka
jalan bagi tercapainya tujuan diplomasi kebudayaan.
Oleh sebab itu, misi kesenian sering digunakan sebagai media diplomasi
budaya. Contohnya John F. Kennedy pada tahun 1960-1963 secara intensif
menggunakan media kebudayaan untuk mendukung diplomasi politiknya, dengan
mengirimkan relawan yang memiliki keahlian di bidang pendidikan, olahraga dan
seni, terutama seni musik, ke banyak negara berkembang, termasuk Indonesia,
yang terkenal dengan nama ‘Peace Corps’.
Contoh lain, Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS)
tahun 1990-an, yang digelar untuk mempertontonkan berbagai bentuk dan produk
kreatif para seniman Indonesia, dinilai sukses dan mendapat respons positif dari
publik AS. Hal itu terbukti dari jumlah pengunjung pameran yang selalu penuh.
Animo masyarakat AS terhadap “proyek” diplomasi kebudayaan itu sedemikian
besar, sehingga waktu penyelenggaraannya harus diperpanjang.
Keberhasilan kegiatan itu juga tampak dari publikasi yang begitu luas oleh
media massa AS seperti CNN, NBC, ABC, San Francisco Examiner, The
Washington Post, Dallas Morning News, Philadelphia Inguirer, Boston Herald,
dan Atlanta Journal. Pers AS dianggap kritis, sehingga tanggapan mereka yang
positif terhadap pameran KIAS sangat menguntungkan Indonesia. Opini positif
publik AS jelas berpengaruh pada kebijakan politik luar negeri negara adidaya itu
terhadap kepentingan nasional Indonesia.
3
Kendati begitu, pameran KIAS tidak hanya diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan politis. Dalam kenyataan, kegiatan itu juga digunakan sebagai
media untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia secara umum dan sebagai
’iklan’ mempromosikan potensi pariwisata dan berbagai produk ekspor nonmigas
Indonesia (Warsito & Kartikasari, 2007).
Fakta-fakta itu menunjukkan bahwa diplomasi kebudayaan tidak hanya
berurusan dengan perkara politik, khususnya politik luar negeri, tetapi juga
berkaitan dengan bidang lain seperti pariwisata dan perdagangan ekspor. Oleh
karena itu, ukuran-ukuran untuk menilai keberhasilan diplomasi ini juga
mencakup lebih banyak variabel. Perkembangan jumlah wisatawan AS yang
datang ke Indonesia dan angka ekspor produk non-migas dari Indonesia ke AS
hanyalah dua contoh dari sejumlah kriteria yang diperlukan untuk menilai
efektivitas diplomasi kebudayaan.
Payung Keunggulan
Diplomasi kebudayaan amat populer di awal tahun 1990-an yang dirintis
dan dikembangkan oleh Menlu RI Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Melalui
diplomasi kebudayaan ingin ditanamkan, dikembangkan dan dimantapkan citra
Indonesia sebagai negara bangsa yang berkepribadian luhur dan berkebudayaan
tinggi. Studi tim Universitas Udayana mengungkapkan diplomasi kebudayaan
pada waktu itu berdampak sangat signifikan terhadap peningkatan pariwisata,
industri, perdagangan, investasi, pendidikan, dan pelaksanaan politik luar negeri.
Revitalisasi diplomasi kebudayaan dapat diakselerasi kembali sebagai
program nasional yang ditunjang oleh beberapa daerah dalam tumpuan konsep
Bhinneka Tunggal Ika Indonesia. Diplomasi kebudayaan mampu dilaksanakan
secara sinergis antara Departemen Budpar, Deplu, Departemen Perdagangan
dengan melibatkan kantor Kedutaan Besar serta didukung Propinsi-Propinsi
melalui kegiatan pameran kebudayaan, misi kesenian, workshop dan dialog
budaya pemutaran film dan publikasi.
Sasaran produktif adalah negara-negara pemasok wisatawan utama seperti
AS, Kanada, Jepang, Cina, Taiwan, Inggris, Jerman, Belanda, Italia, Prancis,
Australia, dan lain-lain. Sedangkan lokasi pameran kebudayaan perlu memilih
sentra-sentra budaya yang strategis, seperti museum, kampus, festival seni, dan
pameran-pameran yang bergengsi secara internasional.
Merevitalisasi citra luhur memerlukan etos kebangsaan, semangat
kebersamaan dan orientasi keunggulan. Investasi dan program jangka panjang ini
tidak akan efektif dilaksanakan secara instan, sekadar jalan apalagi pelit.
Diperlukan pemikiran perjuangan dan juga pengorbanan yang besar. Dalam
pameran kebudayaan yang berkualitas, pilihan substansi, pilihan SDM dan
manajerial harus berorientasi pada faktor keunggulan (Wayan, 2006).
4
Dengan payung keunggulan, berarti kita berada pada ranah kualitas dan
keharkatan yang menjauhi ranah vested interests, intrik dan politik uang.
Sebaliknya justru akan meningkatkan mutu dan produktivitas, partisipasi publik
lebih mudah dihidupkan, karena benih-benih kepercayaan akan mekar secara
organis, sistematis dan bermakna.
Investasi kultural adalah investasi jangka panjang, namun tetap efektif,
prospektif dan prosperitif, karena yang disegarkan, dimekarkan dan digetarkan
adalah totalitas dari pondasi kemanusiaan yang mencakup roh, kebanggaan dan
keharkatan sebuah bangsa.
Refleksi 60 Tahun Hubungan RI-Rusia
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Belanda terus
berusaha mengembalikan kekuasaannya dan berhasil menduduki kembali
sebagian besar wilayah Indonesia. Dalam sidang PBB Januari 1946, Uni Soviet
yang pertama menentang aksi Belanda tersebut. Pada Januari 1949, Konferensi 19
Negara Asia di New Delhi mengajukan tuntutan ke Dewan Keamanan PBB untuk
memaksa Belanda membebaskan wilayah yang diduduki dan memberikan kepada
Indonesia kedaulatan penuh sebelum 1 Januari 1950.
Akhirnya Belanda berunding dengan Indonesia di Den Haag pada Agustus
1949. Setelah selesainya perundingan, pada 24 Desember 1949 Duta Besar
Belanda di Moscow, Wisser, menyerahkan Nota kepada Wakil Menteri Luar
Negeri Uni Soviet Gromyko, yang menyatakan bahwa sesuai persetujuan Den
Haag pada 2 Nopember 1949 dan telah diratifikasi oleh Parlemen semua negara
yang berkepentingan, pada 27 Desember 1949 Republik Serikat Indonesia (RIS)
akan menerima kedaulatan penuh atas seluruh wilayah Hindia Belanda dengan
perkecualian New Guinea Belanda (Irian Barat) dalam upacara resmi.
Pada 25 Januari 1950 Gromyko menyerahkan Nota Jawaban kepada
Wisser, bahwa Pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk mengakui RIS sebagai
negara merdeka, berdaulat, dan siap menjalin hubungan diplomatik. Pernyataan
yang sama disampaikan lewat telegram kepada Pemerintah RIS. Pada 3 Pebruari
1950 Menlu Moh. Hatta mengkonfirmasi diterimanya telegram atas keputusan
Pemerintah Uni Soviet tersebut. Tanggal itulah yang kemudian dijadikan tonggak
awal hubungan diplomatik di antara kedua negara. Pada tahun 1953, Indonesia
menerima Dubes Rusia untuk Indonesia, sedangkan Indonesia baru membuka
kedutaannya di Rusia pada tahun 1954.
Dalam perjalanan sejarahnya hubungan RI-Rusia memang mengalamai
pasang-surut, terutama sejak peristiwa tragedi 30 September 1965. Tetapi
sekarang ini hubungan itu sudah semakin baik, buktinya dengan
ditandatanganinya MoU yang meliputi tujuh bidang kerjasama.
5
Dari tujuh bidang itu, yang relevan dengan DIY adalah rencana
pembebasan visa kunjungan singkat, kerjasama pariwisata, dan peningkatan
kerjasama di bidang investasi, perdagangan, pendidikan dan olahraga.
Dalam kondisi hubungan bilateral yang semakin baik itulah, Pemda DIY
mengirimkan Misi Kesenian ke Rusia pada 20 Mei 2010 yad. Bercermin pada
kesuksesan KIAS, kita perlu merevitalisasi diplomasi budaya. Dalam konteks
Rusia, hendaknya dikembangkan dengan beragam kegiatan kebudayaan, sebab
Rusia adalah pasar potensial untuk produk-produk unggulan DIY, selain
wisatawannya juga semakin banyak berkunjung ke Indonesia (dan Yogyakarta).
Jenis pertunjukan budaya yang diminati masyarakat di belahan Eropa
adalah wayang kulit purwa, apalagi setelah UNESCO menganugerahkan
penghargaan untuk wayang kulit purwa sebagai The Masterpiece of Oral and
Intangible Heritage of Humanity. Selain itu, juga keris dan batik yang ditetapkan
sebagai karya agung budaya lisan dan bukan benda warisan sah manusia
Indonesia (Intangible Cultural Heritage of Humanity). Dipandang tepat jika Misi
Kesenian ini juga mempergelarkan jenis-jenis seni tari yang ada hubungannya
dengan wayang dan batik, seperti Tari “Wayang Kabar” dan “Gebyar Batik”.
Dialog Budaya & Gelar Seni
Dalam kerangka pikir seperti itu, guna mengantar Misi Kesenian ke Rusia,
Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-31 ini akan mengangkat tema
“Revitalisasi Diplomasi Budaya, Refleksi 60 Tahun Hubungan RI-Rusia”,
yang akan dipaparkan oleh para narasumber: Prof. Dr. Wiendu Nuryanti,
M.Arch, Guru Besar FT-UGM Bidang Studi Arsitektur/Ketua Umum BPIPY,
Prof. Dr. Tulus Warsito, Guru Besar UMY/Dekan FISIPOL-UMY, dan Drs.
Usmar Salam, MIS, Staf Pengajar Hubungan Internasional FISIPOL-UGM.
Dialog dipandu Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum, Kepala Dinas
Kebudayaan DIY, didampingi host tetap Hari Dendi. Gelar Seni berupa Tari
“Krincing Mas”, “Gebyar Batik” dan “Wayang Kabar” Pimpinan Djokodwi,
bertempat di Bangsal Kepatihan, Slasa Wage, 6 April 2010, jam 19.00-22.00.
Yogyakarta, 30 Maret 2010
Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,
Hari Dendi
Pengasuh
6
Download