BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu hal yang bisa menjadi kekuatan, baik itu kekuatan ekonomi maupun kekuatan politik, bagi suatu negara adalah kepemilikan sumber daya alamnya terutama energi. Sebagai salah satu isu global, energi merupakan salah satu indikator yang sangat penting bagi kemajuan suatu negara1, dan merupakan hal yang penting dalam ranah ekonomi dan politik internasional. Hal ini disebabkan karena konsumsi energi dunia yang selalu meningkat tiap tahunnya. Ini merupakan indikasi kuat akan makin pentingnya isu ini untuk didiskusikan dalam ekonomi politik internasional, kebutuhan energi ini terlihat dari konsumsi energi listrik yang pemakaiannya mengalami peningkatan yang signifikan. Kebutuhan energi yang manusia gunakan saat ini sebagian besar masih berasal dari bahan bakar konvensional yang terbuat dari energi fosil yang sangat rentan terhadap berbagai krisis seperti krisis lingkungan, kesehatan, kesejahteraan, krisis stabilitas politik dan ekonomi internasional2. Energi akan selalu menjadi agenda prioritas tersendiri dalam politik luar negeri Jepang. Karena seperti yang kita ketahui Jepang memiliki sumber daya alam, terutama energi yang sangat terbatas. Jepang sendiri dari sumber daya alam domestiknya hanya mampu memproduksi sendiri kurang dari 18% dari total kebutuhan energinya. Dan lagi saat ini Jepang merupakan negara konsumen energi terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Rusia, dan China. Namun perbedaan paling mendasar adalah, ketiga negara yang disebutkan sebelumnya juga penghasil energi, sementara Jepang tidak. Hampir semua cadangan energi Jepang berupa minyak, batu bara, dan gas alam, bergantung pada 1 World Bank mengunakan konsumsi energi sebagai salah satu indikator kemajuan pembangunan sekaligus indikator ketimpangan ntara negara maju dan negara berkembang. 2 Riza Noer Arfani, Transisi Sistem Energi Global, Global Jurnal Politik Internasional. Krisis Energi?. Diterbitkan oleh Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok 2006, hal 18 1 pasokan luar negeri3. Hal ini tidak terelakkan, mengingat untuk mendukung industrialisasi dan kemajuan ekonomi, Jepang memerlukan pasokan energi dalam jumlah besar, sementara sumber energi dalam negeri sangat terbatas. Karena itu, kebijakan untuk memastikan stabilitas pasokan energi dari luar negeri menjadi penting bagi para pengambil kebijakan Jepang. . Jepang perlu merasa khawatir terhadap keamanan energinya, hal ini dapat kita lihat melalui tiga indikator: Pertama, tidak adanya sumber daya alam dalam negeri berupa energi.4 Kedua, China dan India sebagai kompetitor baru maka Jepang harus bersaing dalam mendapatkan pasokan energi. Ketiga, Jepang dihadapkan pada kemungkinan adanya gangguan terhadap pasokan energi dari Timur Tengah (sebagai pemasok minyak terbesar Jepang selama ini) yang disebabkan oleh tidak stabilitasnya politik di kawasan. Bencana gempa dan tsunami di wilayah Fukushima pada tahun 2011 lalu mengakibatkan berbagai permasalahan baru termasuk bocornya reaktor nuklir di wilayah Fukushima. Pasca tragedi Fukushima tersebut banyak masyarakat yang meminta agar pemerintah Jepang menutup seluruh PLTN karena khawatir kejadian serupa akan terulang lagi, mengingat kondisi alam Jepang yang rawan gempa dan tsunami sehingga besar kemungkinan untuk terjadi lagi. Dengan adanya desakan dari berbagai kalangan dan karena alasan keamanan, maka pemerintah Jepang terpaksa menutup seluruh reaktor nuklir yang beroperasi. Bencana yang telah terjadi tersebut membuat Jepang menjadi negara yang bebas nuklir dan membuat Jepang terpaksa harus bergantung pada impor energi berbasis fosil dan energi terbarukan sepenuhnya. Untuk energi yang berbahan dasar fosil saja misalnya, Jepang mengimpor beberapa jenis energi seperti Liquified Petroleum Gas (LNG), minyak mentah, dan batu bara. Hingga saat ini Jepang masih menduduki peringkat pertama sebagai negara pengimpor LNG terbesar di dunia, terbesar kedua dalam negara pengimpor batu bara, dan 3 Kojiama, “East Asia’s Thirst for Energy”. Japan Echo, 32 (5). 2005, hal. 32-35 Jepang menjadi negara anggota International Energy Agency yang paling kritis dalam kaitan ketersediaan energi domestik, hal ini disebabkan karena lokasinya yang terisolasi serta minimnya sumber daya alam yang dimiliki. IEA. 2003. Energy Policies of IEA Countries : Japan 2003 review. OECD. Paris. Hlm 7 4 2 pengimpor minyak terbesar ketiga5. Dalam LNG, Jepang mengalami peningkatan impor sebanyak kurang lebih 200 milyar kaki kubik dari tahun 2011. Sebagian besar kebutuhan LNG Jepang diimpor dari Australia, Qatar, Malaysia, Indonesia, dan beberapa negara lainnya6. Menurut data Energy Information Administration pada akhir 2012 total cadangan minyak mentah mencapai 590 juta barrel, dimana 55% dari cadangan tersebut dikuasai oleh pemerintah, sementara sisanya merupakan milik sektor perdagangan untuk industri di Jepang. Meski konsumsi di Jepang cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2000, namun apabila dibandingkan pada tahun 2011 dimana masih ada energi nuklir maka kebutuhan minyak di Jepang cenderung meningkat sekitar 244.000 barrel per hari. 7 Sebagian besar kebutuhan minyak Jepang tersebut dicukupi oleh impor dari negara-negara di Timur Tengah yaitu Saudi Arabia (33%), UAE (22%), Kuwait (8%), Iran (5%), Rusia (4%), dan sisanya adalah negara-negara lain yang nilai impornya sedikit. Sedangkan dalam kebutuhan batu bara Jepang hingga saat ini masih menduduki peringkat kedua sebagai negara pengimpor terbesar. Hal ini membuktikan bahwa konsumsi batu bara Jepang cenderung masih tinggi yaitu sebesar 22% dari total kebutuhan energinya. Pada tahun 2011 lalu impor batu bara Jepang sebesar 175.2 juta metrik ton dan meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 184 juta metrik ton8. Dari ratusan negara yang ada di dunia ini hanya negara-negara di kawasan Timur Tengah, Rusia serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang memiliki kelebihan minyak alias eksportir. Sementara kawasan Asia, Eropa, dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyaknya, sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Sedangkan sumber energi lain juga berada di luar jangkauan wilayah Jepang. Prioritas pemerintah Jepang pasca bencana tersebut adalah mengamankan pasokan energinya, dengan kata lain memperbesar impor energi dan semakin 5 Japan Analysis Brief, Energy Information Administration (online), 29 October 2013, http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=JA, diakses 1 November 2013 6 Japan’s LNG Imports by Source 2012, FACTS Global Energy 7 Ibid, Japan Analysis Brief 8 Coal Statistic, World Coal Institute (online), http://www.worldcoal.org/resources/coalstatistics/, diakses pada tanggal 1 November 2013 3 meningkatkan diplomasi dan kerjasama-kerjasama strategis negara-negara pengekspor untuk mengamankan cadangan energinya. Insiden Fukushima ini merupakan titik balik dari kebijakan energi domestik Jepang yang berimbas pada politik luar negerinya. Jepang merupakan negara yang miskin akan sumber daya alam dan energi, sehingga ketika fondasi pemenuhan sumber energi dalam negeri hilang, maka perekonomian dalam negeri pun terancam hancur. Untuk memenuhi kebutuhan akan hal tersebut, Jepang menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara asing yang sekiranya memiliki kapabilitas kuat dalam memasok sumber energi seperti negara-negara di Timur Tengah dan Rusia. Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah Jepang dalam memastikan ketersediaan suplai energi dari negara-negara tersebut adalah dengan strategi membangun saling ketergantungan dalam perekonomian. Interdependensi ekonomi antara Jepang dan negara tersebut dilakukan dengan investasi dan teknologi. Namun upaya Jepang untuk memastikan keamanan suplai energinya dan pada saat yang bersamaan mengesampingkan permasalahan yang ada dengan negara pengekspor energi Jepang, merupakan tugas besar bagi pemerintah Jepang untuk merumuskan kebijakan luar negerinya. 1.2 Rumusan Permasalahan Dengan melihat tulisan diatas penulis akan mencoba untuk mengulas mengenai permasalahan yang sangat mendasar dan penting bagi kelangsungan hidup suatu negara, terutama Jepang, yaitu pemenuhan energi. Maka dari itu permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: Apa upaya diplomasi Jepang pada negara-negara Timur Tengah dan Rusia untuk menjamin keamanan energinya? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui upaya diplomasi yang dilakukan Jepang terhadap Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Rusia. 2. Untuk mengetahui bentuk kerjasama yang dilakukan Jepang untuk mengamankan pasokan energinya . 3. Untuk mengetahui strategi yang lebih dominan digunakan oleh Jepang terhadap Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Rusia. 4 1.4 Landasan Teori Untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah diatas, penulis menggunakan teori “Keamanan Energi”, dan “Diplomasi Energi” Keamanan Energi Konsep keamanan energi dapat dijelaskan sebagai suatu konsep dimana suatu negara, sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, mampu untuk mempertahankan diri dan membangun negaranya dengan mengutamakan keamanan dan ketersediaan cadangan energi yang mencukupi kebutuhan domestik dengan harga yang masuk akal serta terjangkau baik energi fosil maupun jenis energi yang lainnya9. Masalah ini menjadi semakin penting ketika manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa keadaan ekonomi dan politik internasional turut serta berpengaruh pada suplai energi yang sangat krusial bagi kegiatan pembangunan suatu negara. Hal yang turut memengaruhi keamanan cadangan energi suatu negara antara lain adalah fluktuasi harga, ancaman terorisme, perang, geopolitik, kestabilan negara penghasil energi10. Dengan kata lain, keamanan energi – atau dengan kata lain kestabilan – semuanya berpusat pada satu hal yaitu keamanan. Berbagai halangan dalam pemenuhan energi dan keterbatasan persediaan energi akan membahayakan perekonomian, stabilitas politik suatu negara, maupun kesejahteraan masyarakat negara tersebut. Bukan hanya rumah tangga biasa yang bergantung kepada energi-energi tersebut, namun juga sektor bisnis, sektor publik, dan juga kantor-kantor pemerintahan sangat membutuhkan pasokan energi untuk dapat menjalankan fungsinya secara normal dan lancar. Bahkan ketersediaan energi merupakan syarat bagi berjalannya pertumbuhan ekonomi yang baik. Permasalahan ketersediaan energi pada negara yang miskin akan sumber daya energi seperti Jepang merupakan hal yang sangat signifikan dalam 9 Kamila Proninska , “Energy and Security: Regional and Global Dimensions”, in : SIPRI Yearbook 2007 – Armament, Disarmament and Internatinal Security, Oxford University Press, 2007, p. 216 and Daniel Yergin, Ensuring Energy Security, in jurnal foreign affairs. Volume 85 No 2 March/April 2006. 10 Ibid 5 memberikan pengaruh terhadap stabilitas domestik dalam berbagai bidang. Apabila pasokan energi menurun maka dapat dipastikan bahwa harga energi akan naik yang kemudian akan berakibat pada turunnya daya beli11. Hal ini tentu saja akan berdampak pada stabilitas ekonomi sektor produksi serta konsumsi masyarakat yang bergantung pada energi impor. Oleh karena itu dengan adanya sumber energi baru maka hal-hal seperti adanya kelangkaan energi dapat dihindarkan. Karena tidak dapat dipungkiri bagi negara-negara yang sangat bergantung pada impor energi dari negara lain suplai menjadi hal yang sangat penting, karena permintaan energi sebagai komoditi utama cenderung stabil dan bersifat inelastis12. Joseph S Nye dalam bukunya yang berjudul Energy and Security menjelaskan bahwa keamanan energi adalah salah satu dari bagian national security13. Oleh karena itu dalam tulisan ini konsep keamanan energi akan dibahas dengan pendekatan dari Malson Willrich yang melihat bahwa dalam menganalisis keamanan energi, negara dapat dibagi menjadi dua yaitu negara pengimpor dan negara pengekspor. Melihat posisi Jepang yang sangat minim akan sumber daya energi dan besarnya impor energi maka yang akan digunakan adalah keamanan energi dari sudut pandang pengimpor. Terdapat tiga definisi mengenai keamanan energi, yaitu14: 1. Keamanan energi yang dipandang secara sempit sebagai jaminan cukupnya persediaan energi sehingga memungkinkan negara untuk dapat menjalankan fungsinya dimasa perang . 2. Keamanan energi yang dipandang secara luas sebagai jaminan adanya persediaan yang cukup untuk mempertahankan berjalannya perekonomian nasional pada level yang normal. 11 Florian Baumann, Energy Security as Multidimensional Concept, dalam jurnal CAP Policy Analysis, no.1 March 2008 12 Ibid 13 Joseph S Nye, Energy and Security, dalam buku Energi and Security, diedit oleh David A Deese and Joseph S Nye, (Massachusssetts : Ballinger Publishing Company, 1981), hal 6 14 Mason Willrich, Energy and World Politics, (New York : Macmillan Publishing Company, Inc, 1975), p 67 6 3. Keamanan energi yang dipandang sebagai jaminan persediaan energi sehingga memungkinkan berfungsinya perekonomian nasional yang masih dapat diterima dengan harga yang sepadan. Namun Willrich mengungkapkan bahwa definisi pertama dinilai terlalu sempit, sedangkan definisi kedua terlalu luas. Sehingga definisi ketiga dinilai yang paling tepat untuk menegahi perbedaan tersebut. Keamanan energi dapat dicapai oleh negara imporir dengan dua strategi, yaitu apabila mereka memperkuat jaminan suplai energi asingnya atau dengan meningkatkan self sufficiency15. Namun kebijakan peningkatan self sufficiency hanya dapat dilakukan oleh negara yang memiliki sumber daya domestik yang besar. Sedangkan bagi negara-negara yang hanya memiliki sedikit atau tidak punya sama sekali sumber energi domestik seperti halnya Jepang kebijakan self sufficiency menjadi kurang strategis sebab SDA Jepang tidak memungkinkan untuk dapat memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Maka sebagai jalan keluarnya adalah dengan cara memperkuat suplai energi dari negara-negara lain penghasil energi seperti Timur Tengah dan Rusia. Dari kedua strategi tersebut Willrich juga mengembangkan cara yang lebih spesifik yang dapat dijalankan oleh suatu negara pengimpor energi asing untuk dapat meningkatkan keamanan energinya dan membedakannya menjadi tiga kategori, yaitu16 : 1. Rationing ditimbulkan dan stockpilling apabila terjadi guna mengurangi interupsi suplai kerusakan energi. yang Rationing merupakan upaya menghemat konsumsi energi yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah suplai energi. Sedangkan stockpilling merupakan upaya untuk menimbun cadangan energi dalam negeri yang dapat digunakan pada saat darurat untuk mengurangi resiko kekurangan energi. 2. Membatasi interupsi suplai energi dari luar negeri dengan cara diversifikasi sumber pasokan energi dari luar negeri maupun dengan 15 16 Ibid Ibid. Hal 69 7 meningkatkan interdependensi melalui investasi di negara penyuplai energi tersebut. Melalui diversifikasi sumber energi maka negara pengimpor akan mengurangi resiko kerentanan interupsi energi, sehingga dengan adanya diversifikasi sumber enrgi asing ini maka apabila suatu negara melakukan interupsi energi, negara pengimpor masih dapat mengandalkan pasokan energi dari negara-negara penghasil energi lainnya sehingga hal ini akan mengurangi resiko kekurangan pasokan energi. Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko interupsi suplai energi adalah melalui interdependensi. Dengan menciptakan saling ketergantungan antara negara pengekspor dengan negara pengimpor maka hubungan baik akan dapat dijalani. Namun, meskipun demikian untuk menimbulkan interdependensi tidaklah mudah, apalagi ketika negara satu negara memiliki kuasa dalam menyuplai energi pada negara lain yang sangat bergantung padanya. Peningkatan interdependensi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui investasi jangka panjang (long term investment) dan yang kedua dengan cara pemberian bantuan pembangunan oleh negara pengimpor kepada negara pengekspor. 3. Strategi ketiga yang dapat diterapkan untuk dapat mencapai keamanan energi adalah melalui peningkatan produksi energi dalam negeri (self sufficiency). Ketika suatu negara tidak memiliki sumber daya energi yang berasal dari alamnya, maka kemungkinan lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengupayakan produksi energi jenis baru sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor energi. Diplomasi Energi Dalam studi diplomasi kita mengenal berbagai macam konsep mengenai diplomasi diantara lain adalah track one diplomacy dan multitrack diplomacy. Penelitian saya ini akan menekankan pembahasan mengenai konsep diplomasi yang lebih fokus kepada aktivitas negara dan menjadikan negara sebagai aktor 8 utama, yang dikenal sebagai track one diplomacy, artinya diplomasi tersebut dilakukan oleh perwakilan resmi sebuah negara yang kemudian berinteraksi dengan pihak-pihak resmi dari negara lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa track one diplomacy ini merupakan diplomasi yang dilakukan secara bilateral dan menggunakan instrumen khusus, sehingga proses negosiasi, dalam kasus ini adalah mengenai energi, di dalamnya tetap terjaga. Pemerintah Jepang sebagai otoritas resmi merupakan aktor utama yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan energi dalam negeri akan mengupayakan berbagai macam pendekatan dan kerjasama dengan negara-negara penghasil energi melalui apa yang disebut sebagai diplomasi energi. Diplomasi energi sendiri merupakan kebijakan luar negeri untuk mengamankan akses terhadap sumber-sumber energi internasional, yang selalu menjadi bagian utama dari diplomasi internasional. Seperti yang kita ketahui permintaan energi terus memperlihatkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, dan berbagai negara semakin agresif dalam mengamankan sumber-sumber energi bagi mereka. Energi sebagai alat diplomasi, terutama minyak bumi, telah dijalankan sejak lama. Bukan saja oleh kelompok negara dengan perusahaanperusahaan minyak raksasa, tetapi juga oleh kelompok negara penghasil minyak 17. Energi memainkan peran yang sangat penting karena energi merupakan penggerak sektor perekonomian suatu negara. Suatu negara yang menguasai energi akan menjadi kuat dan memiliki kekuasaan yang lebih dalam politik internasional. Jepang memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap isu keamanan pasokan energi mengingat adanya peningkatan konsumsi energi di Jepang pasca rentetan bencana pada 2011, dengan ketersediaan energi yang terbatas (scarcity of energy supplies) dan kecenderungan harga yang semakin naik. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa hampir seluruh kebutuhan energi dalam negeri harus diimpor dari negara lain. Oleh karena itu sangat krusial bagi pemerintah Jepang untuk segera menemukan cara yang paling tepat untuk menjamin ketersediaan 17 Ronald Eberhard, Ketahanan Pangan dan Energi, dimuat dalam Jurnal Diplomasi September 2011 9 energi dengan cara mengembangkan kerjasama-kerjasama dan diplomasi dengan negara-negara pemasok energi. Kebijakan diplomasi energi sangat erat kaitannya dengan keamanan energi. Suatu negara yang minim akan sumber energi akan mengupayakan diplomasi untuk dapat mengamankan kebutuhannya. Konsep yang dikemukakan oleh Willrich yang telah dijelaskan dalam konsep keamanan energi seperti rationing, diversifikasi, dan interdependensi merupakan salah satu upaya diplomasi energi yang dapat dilakukan oleh negara minim sumber energi 18. Pertama, dengan rationing atau upaya menghemat penggunaan energi. Ketersediaan energi akan selalu diikuti oleh tiga faktor lainnya yaitu pertumbuhan ekonomi, keamanan energi, dan masalah lingkungan. Oleh karena itu Jepang sebagai salah satu negara yang minim akan sumber energi berupaya untuk mempromosikan kerjasama internasional untuk membatasi penggunaan energi yang dapat membahayakan lingkungan (contoh : emisi gas rumah kaca). Melalui kerjasama multilateral seperti dalam IEA daan kerjasama bilateral (Jepang-Rusia, Jepang-Australia, Jepang-China, dll), Jepang mempromosikan kerjasama dalam penghematan energi, efisiensi dalam penggunaan energi, dan pembangunan sumber energi alternatif19. Kedua adalah diversifikasi sumber energi. Hal yang paling ditakutkan oleh negara dengan minim sumber energi adalah ketika adanya intervensi suplai pasokan energi. Oleh karena itu negara harus mengurangi timbulnya resiko kekurangan pasokan dengan cara mencarai sumber energi di tempat atau negara lain. Oleh karena itu peran pemerintah dalam membangun hubungan baik dengan suatu negara pengekspor energi akan sangat diperlukan untuk bisa menjamin aliran suplai energi. Yang ketiga adalah peningkatan interdependensi. Menciptakan saling ketergantungan antara negara pengimpor dengan negara pengekspor merupakan salah satu cara terbaik untuk menjamin ketersedian suplai energi. Negara pengimpor dapat memunculkan ketergantungan dalam bidang perdagangan barang yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh negara pengekspor, selain itu investasi ataupun bantuan pembangunan yang dilakukan 18 Willrich, ibid Strategy and Approaches of Japan’s Energy Diplomacy, Ministry of Foreign Affair of Japan (online), http://www.mofa.go.jp/policy/energy/diplomacy.html diakses 30 Oktober 2013 19 10 oleh negara pengimpor ke negara pengekspor merupakan salah satu langkah diplomasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah. 1.6 Hipotesis Dari berbagai strategi yang dilakukan oleh Jepang, terlihat bahwa strategi menciptakan ketergantungan atau interdependensi antara Jepang dengan negaranegara pengekspor energi (Rusia, Arab Saudi, UEA, dan Qatar) sangat kuat. Hal ini disebabkan karena baik Jepang maupun negara-negara eksportir energi samasama memiliki kepentingan masing-masing. Bukan hanya di dalam sektor energi, melainkan di dalam sektor lainnya. Track one diplomacy sangat terlihat dalam proses diplomasi ini, pemerintah Jepang sebagai aktor utama akan bertindak sebagi inisiator kerjasama dengan cara menfasilitasi perusahaan-perusahaan Jepang agar dapat bekerjasama di sektor vital bagi negara eksportir. Negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Rusia yang kaya akan sumber energi baik itu gas alam, minyak, maupun batu bara akan menjadi prioritas utama bagi Jepang untuk mengamankan kebutuhan energinya. Oleh karenanya Jepang akan mencari celah kerjasama dalam proyek-proyek energi baru dan upaya transfer teknologi khususnya di negara-negara Timur Tengah. Dan sebagai strategi agar pasokan energi dari negara-negara terus berjalan, Jepang akan mendorong tumbuhnya investasi dari perusahaan-perusahaan raksasa Jepang dalam proyek-proyek potensial milik pemerintah negara eksportir energi dengan cara membawa serta rombongan pengusaha Jepang dalam setiap kunjungan pemerintah Jepang ke Rusia. Dengan cara itu para pengusaha bisa mengetahui prospek ekonomi yang ada di Rusia. 1.7 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam proses skripsi ini adalah metode deskripsi analitik, dengan mengumpulkan data dan fakta, kemudian berdasarkan kerangka teori disusun secara sistematis sehingga dapat memperlihatkan korelasi antara fakta yang satu dengan yang lainnya. Metode ini ditunjang library research yang menggunakan sumber data dari literatur, artikel-artikel, jurnal, situs internet, surat kabar, dan majalah-majalah. Data yang akan digunakan akan berasal dari laporan tahunan dari situs resmi pemerintah Jepang seperti Annual Report on Energi 11 METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry), MOFA (Ministry of Foreign Affairs), IEE Japan (Institute of Energi Economy) dan EIA (Energi Information Adminisration). Penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana upaya diplomasi yang dilakukan oleh Jepang dalam mengamankan cadangan energinya yang akan difokuskan mengenai hubungan antara pemerintah Jepang dengan negara-negara pengimpor energi seperti negara di kawasan Timur Tengah dan Rusia yang dipengaruhi oleh situasi internasional yang sedang berlangsung yang dapat memengaruhi suplai energi dari negara-negara tersebut ke Jepang. 1.8 Sistematika Penulisan Sebagai upaya untuk meberikan pemahan mengenai isi dari penelitian ini, maka dari itu penelitian ini dibagi menjadi 5 bab yang terdiri dari bab dan sub-bab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Bab-bab tersebut antara lain : BAB I Pendahuluan Berisi pendahuluan yang di dalamnya terdapat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka konseptual, hipotesa penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II Kebutuhan Energi Jepang Dalam bab ini akan dibahas mengenai kebutuhan energi Jepang sebelum triple disaster terjadi, darimana saja sumber daya energi yang Jepang impor, seberapa besar peran sumber daya nuklir dalam mencukupi kebutuhan energi Jepang, serta total energi yang dikonsumsi Jepang selama beberapa tahun sebelum bencana tersebut. Selain itu akan dibahas pula mengenai kebutuhan energi Jepang pasca bencana, seberapa besar penurunan energi nuklir setelah ditutupnya reaktor nuklir, serta kebijakan energi yang diambil oleh pemerintah pasca bencana BAB III Diplomasi Jepang di Timur Tengah Pada bab ini akan dibahas secara singkat mengenai hubungan antara Jepang dengan negara-negara di Timur Tengah (Arab Saudi, UEA, dan Qatar) sebagai penyuplai minyak dan LNG utama di Jepang. Selanjutnya penulis akan membahas kepentingan Jepang di kawasan Timur Tengah sebagai kawasan utama penyuplai kebutuhan energinya pasca bencana Fukushima untuk mengamankan pasokan energinya. 12 BAB IV Diplomasi Jepang di Rusia Bab ini akan berisikan mengenai sedikit sejarah mengenai hubungan Jepang dengan Rusia, konflik dan hambatan yang terjadi dalam hubungan antara kedua negara. Selain itu akan dibahas mengenai alasan serta kepentingan Jepang untuk menjalin kerjasama dengan Rusia dalam bidang energi. BAB V Penutup Pada bab terakhir ini akan disimpulkan semua penjelasan yang ada dalam bab-bab sebelumnya guna menjawab pertanyaan penelitian 13