POPULASI BAKTERI VIBRIO SP. BERPENDAR PADA BERBAGAI PEMANFAATAN LAHAN MANGROVE DI WILAYAH PERAIRAN BONTANG Abdul Hapit1, Asfie Maidie2 dan Gina Septiani2 1 2 Balai Karantina Ikan Sepinggan, Balikpapan. Laboratorium Pengelolaan Sumberdaya Perikanan FPIK Unmul, Samarinda ABSTRACT. Population of Luminescence Vibrio sp. Bacteria on All Kind of Mangrove Land Use in Bontang Water Zone. This research aimed at determining the population of luminescence Vibrio sp. bacteria in a crab (Scylla serata), mollusca (Turitella communis) and water of Bontang’s water zone. Results of this research showed that bacteria Vibrio sp. were only found in the sample of water taken from Bontang Kuala and Rawa Indah areas. Otherwise, we could not found it in Kedindingan Island and Bontang Lestari areas. The location of fishpond in Bontang Kuala and Rawa Indah were less appropriate because of the location were located between the traditional market, residence and tourism. If the fishpond is still remain be defended, then it is needed to improve cultivation technology, environmental management and better water quality. The awareness of the society about the significance of mangrove forest should be increased. The government should take care of the integrated principal between the stakeholder and ecology with the beneficial of the mangrove’s area, so it can create the good integration coastal zone management. Kata kunci: populasi, Vibrio sp., mangrove, Bontang Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan yang menyebabkan degradasi hutan mangrove. Hilangnya mangrove menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu sehingga keanekaragaman hayati organisme akuatik menurun (Soeriaatmadja, 1997). Lingkungan yang baik akan meningkatkan daya tahan ikan, sedangkan yang kurang baik akan menyebabkan ikan mudah stress dan menurunkan daya tahan terhadap serangan bakteri (Wedemeyer dan Yasutake, 1970). Menurut Wagiyo (1975), dampak langsung bakteri patogen dapat menimbulkan penyakit, pembusukan dan toksin yang dapat menyebabkan kematian biota penghuni perairan tersebut. Kota Bontang merupakan daerah kepulauan yang memiliki panjang pantai mencapai 24,4 km dengan luas wilayah 49.757 ha terdiri atas daratan seluas 14.780 ha dan perairan laut seluas 34.797 ha (Anonim, 2001). Pada tahun 2000 luas hutan mangrove sekitar 924 ha menghasilkan produksi budidaya tambak 60 ton dan perikanan tangkap 3.994 ton (Anonim, 2001), namun akibat alih fungsi lahan maka pada tahun 2005 hutan mangrove hanya memiliki luas sekitar 600 ha dengan hasil 7 ton dan 716 ton (Anonim, 2006). Tumbuhan mangrove menghasilkan senyawa anti bakteri seperti Rhizophora stylosa, Sonneratia griffithii, Kandelia candel, Excoecaria agallocha dan 1 2 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 Aegicerans floridum terhadap Staphylococcus aureus. Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Avicenia alba dan Nypa fruticans terhadap Vibrio parahaemolyticus dan V. harveyi (Effendi dan Suhardi, 1998). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi bakteri Vibrio sp. berpendar pada kepiting bakau (Scylla serata), siput (Turitella communis) dan air yang diambil dari berbagai pemanfaatan lahan mangrove di wilayah perairan Bontang serta mengetahui pengaruh kerapatan mangrove terhadap populasi bakteri Vibrio sp. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan Juni sampai dengan Agustus 2009. Penentuan stasiun pengamatan didasarkan dengan keterwakilan lokasi yang ditentukan oleh pemanfaatan lahan untuk berbagai kegiatan manusia (daerah pemukiman, pertambakan, industri dan jauh dari aktivitas masyarakat). Pengukuran kualitas air serta pengambilan sampel kepiting bakau (S. serata), siput (T. communis) dan air dilakukan pada tiap stasiun pengamatan, yaitu: Bontang Kuala, Rawa Indah, Bontang Lestari (dekat pembuangan air panas PT Badak NGL) dan Pulau Kedindingan. Setiap lokasi stasiun pengamatan dicatat posisinya setelah tertera pada Geographical Position System (GPS). Pemeriksaan dan identifikasi bakteri dilaksanakan di Laboratorium Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan serta Laboratorium Mikrobiologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman. Pengukuran kerapatan mangrove dan pengukuran kualitas air dilakukan langsung pada setiap stasiun pengamatan. Pemeriksaan dan identifikasi bakteri dilakukan terhadap kepiting bakau (S. serata), siput (T. communis) dan air yang diambil dari perairan mangrove di lokasi penelitian. Pengukuran kerapatan mangrove dilakukan terhadap tegakan mangrove pada masing-masing stasiun pengamatan. Pengukuran dan pengamatan kualitas air dilakukan terhadap parameter fisika dan kimia perairan untuk menggambarkan kondisi lokasi penelitian. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan dan identifikasi bakteri yaitu kepiting bakau (S. serata), siput (T. communis), air laut, media TCBSA, TSA, TSIA, NaCl, aquades dan alkohol. Untuk memeriksa kerapatan mangrove adalah vegetasi mangrove yang terdapat di lokasi penelitian. Peralatan untuk pemeriksan dan identifikasi bakteri adalah autoclave, incubator, laminar flow, cawan petri, erlenmeyer, oven, penggerus, pipet, timbangan analitik, gelas ukur, beaker glass, tabung reaksi, magnetic stirer, mikroskop, kaca objek, jarum ose, bunsen, kuvet, tabung durham, ruang gelap, coloni counter/hand counter. Untuk memeriksa kerapatan mangrove digunakan meteran, tali dan hand counter, sedangkan uji kualitas air menggunakan hand refraktometer, thermometer, DO meter dan pH meter. Penelitian dimulai dengan melakukan survei penentuan lokasi di perairan mangrove Bontang yang mewakili daerah pemukiman, pertambakan, industri dan jauh dari aktivitas masyarakat sekaligus menentukan stasiun pengamatan yang dijadikan titik pengambilan contoh sehingga ditentukan lokasi penelitian yaitu sebagai berikut: Bontang Kuala, Rawa Indah, Bontang Lestari dan Pulau Hapit dkk. (2009). Populasi Bakteri Vibrio sp. 3 Kedindingan. Pengamatan mangrove dilaksanakan langsung pada vegetasi dan tegakan mangrove sekaligus menentukan kerapatan mangrove dengan metode kuadran transek. Untuk pemeriksaan dan identifikasi bakteri disiapkan dengan pembuatan media tumbuh untuk menumbuhkan bakteri spesifik dan media uji untuk menguji jenis bakteri yang telah dimurnikan serta sterilisasi alat-alat yang diperlukan dalam pemeriksaan dan identifikasi bakteri dengan menggunakan oven bersuhu 170C selama 1 jam. Untuk uji kualitas air disiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk pengukuran parameter fisika dan kimia perairan kemudian dilakukan pemeriksaan secara langsung (in situ) di lokasi penelitian. Pengambilan contoh dilakukan pada kepiting bakau (S. serata) dan siput (T. communis) yang diambil sebanyak 5% dari individu. Air laut diambil secukupnya di lokasi penelitian. Jumlah contoh yang diambil berasal dari 4 stasiun pengamatan dengan pengambilan sebanyak 3 kali. Pengukuran fisika kimia perairan (suhu, salinitas, DO, pH) dilakukan secara langsung di lokasi penelitian. Kerapatan mangrove dihitung dengan menggunakan meteran, tali dan hand counter kemudian menghitung jumlah seluruh mangrove dibagi luas titik contoh. Untuk menentukan tingkat kerapatan mangrove digunakan metode kuadran transek dengan meletakkan frame kuadran berukuran 10x10 m di sepanjang garis transek kemudian ditentukan 5 plot (1x1 m) secara acak dalam kuadran tersebut. Pemeriksaan dan identifikasi bakteri dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Isolasi dan kultivasi, yaitu isolasi bakteri diambil dari saluran pencernaan, insang kepiting dan kerang. Jika diperoleh ukuran kecil (benih) maka seluruh tubuhnya digerus dan diambil sebanyak 1 g, kemudian masing-masing dibuat pengenceran bertingkat (101, 102, 103, 104) selanjutnya dikulturkan ke dalam media TCBSA setelah itu petridish ditutup dan diberi label kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 33C setelah itu dihitung koloni yg tumbuh. 2. Identifikasi, yaitu uji pewarnaan gram, uji motility, uji oksidase, uji katalase, uji indol, konsentrasi NaCl, uji sensitivitas untuk mengetahui jenis bakteri yang dominan yang terdapat pada sampel. Data yang dikumpulkan adalah hasil pemeriksaan bakteri berupa total plate count bakteri Vibrio sp. serta jenis bakteri berpendar yang tumbuh pada media, hasil pengamatan mangrove berupa kerapatan tinggi, sedang dan rendah, sedangkan data kualitas air meliputi parameter fisika dan kimia perairannya. Penghitungan kepadatan bakteri dilakukan dengan metode total plate count yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dihitung akan berkembang menjadi 1 koloni. Jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks jumlah bakteri yang dapat hidup dalam contoh. Tiap penghitungan kepadatan bakteri dilakukan pengenceran bertingkat kemudian masing-masing contoh ditanam pada cawan dan dihitung setelah diinkubasi selama 24 jam (Hadioetomo, 1985). Penghitungan koloni bakteri pada cawan yang telah diinkubasi dihitung berdasarkan jumlah yang layak dihitung (30300 koloni). Jumlah bakteri per gram dihitung pada tingkat pengenceran dan pada cawan petri dengan menggunakan koloni counter/hand counter. 4 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 Identifikasi bakteri Vibrio sp. berpendar dilakukan secara deskriptif yaitu dengan melihat ciri-ciri morfologi koloninya serta hasil uji gram dan uji biokimia. Penghitungan kerapatan mangrove dilakukan secara langsung di lokasi dengan menggunakan hand counter. Menurut Bengen (2001), metode analisis kerapatan jenis mangrove adalah sebagai berikut: Di = ni/A, yang mana Di = kerapatan jenis i. Ni = jumlah pohon dari suatu jenis i. A = luas areal pengambilan contoh (m2) Untuk menentukan kerapatan relatif dari jenis ke-i tersebut digunakan rumus sebagai berikut: Rdi = (ni/∑n) x 100, yang mana RDi = perbandingan antara jumlah pohon jenis ke-i (ni) terhadap jumlah pohon seluruh jenis (∑n). Untuk mengetahui pengaruh kerapatan mangrove terhadap populasi bakteri berpendar jenis Vibrio sp. dilakukan secara deskriptif yaitu dengan memberi gambaran tentang kondisi mangrove di lokasi penelitian dan aktivitas masyarakat yang ada di sekitarnya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kota Bontang Posisi geografis Kota Bontang antara 11723’ sampai 11738’ BT dan di antara 001’ sampai 012’ LU. Kota Bontang merupakan kota pemekaran yang secara administratif sebagai bagian dari Kabupaten Kutai dan menjadi Daerah Otonom berdasarkan Undang-undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi dan Kabupaten, bersama-sama dengan Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Bontang memiliki luas wilayah 497,57 km2 yang terbagi atas 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Bontang Selatan, Kecamatan Bontang Utara dan Kecamatan Bontang Barat. Kawasan pesisir Kota Bontang yang membentang sepanjang sekitar 24 km terdapat berbagai aktivitas sosial ekonomi, baik aktivitas oleh masyarakat pesisir maupun aktivitas strategis nasional, seperti PT Pupuk Kaltim dan PT Badak LNG. Kawasan pesisir Kota Bontang merupakan kawasan yang sebagian masyarakatnya sangat tergantung pada sumberdaya alam pesisir dan laut di sekitarnya. Pemeriksaan dan Identifikasi Bakteri Lokasi penelitian terdiri atas 4 stasiun pengamatan yaitu: Pulau Kedindingan (jauh dari aktivitas masyarakat) dengan koordinat N 0005’36,5”, E 11733’20,6”; Bontang Lestari/Baltim (dekat pembuangan air panas PT Badak NGL) dengan koordinat N 0005’35,7”, E 11733’41,4”; Bontang Kuala (lokasi pemukiman) dengan koordinat N 0008’17,2”, E 11730’35,7” serta Rawa Indah (lokasi tambak) dengan koordinat N 0007’13,1”, E 11730’13,1”. Pemeriksaan dan identifikasi bakteri dilaksanakan di Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan tanggal 2227 Juni 2009 dan 2126 Juli 2009 serta Laboratorium Mikrobilogi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unmul pada sampel kepiting bakau (S. serata), siput (T. communis) dan air di perairan mangrove pada setiap stasiun pengamatan. Pengamatan bakteri Hapit dkk. (2009). Populasi Bakteri Vibrio sp. 5 dilaksanakan setelah kegiatan isolasi dan kultivasi bakteri selama masa inkubasi 18, 24, 36 dan 48. Bila pada masa 1824 jam ditemukan populasi bakteri berpendar, maka dilanjutkan dengan proses identifikasi. Berdasarkan pengamatan ciri-ciri morfologi koloni bakteri, morfologi sel bakteri dan pengujian sifat biokimia dari sampel kemudian dibandingkan dengan buku pedoman identifikasi Bergey’s Manual of Determinatif Bacteriology, maka diperoleh data identifikasi Vibrio sp. seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Identifikasi Bakteri Vibrio sp. Lokasi Uji Uji Toleransi Uji Gram motility garam 3% katalase Gram Motil + + negatif (Menyebar) (Berbuih) Uji oksidase + (Ungu) Vibriostat (sensitivitas) + (Menjauhi kertas uji) Bulat Gram negatif Motil + + (Menyebar) (Berbuih) + (Ungu) + (Menjauhi kertas uji) Kuning & hijau Bulat Gram negatif Motil + + (Menyebar) (Berbuih) + (Ungu) + (Menjauhi kertas uji) Kuning & hijau Bulat Gram negatif Motil + + (Menyebar) (Berbuih) + (Ungu) + (Menjauhi kertas uji) Warna Bentuk Bontang Kuala Kuning & hijau Bulat Rawa Indah Kuning & hijau Kedindingan Bontang Lestari/ Baltim Populasi bakteri yang tumbuh pada media TCBSA ada beberapa koloni yang berwarna kekuningan dan ada pula yang kehijauan pada masa inkubasi 18 jam. Pada masa 24 jam sebagian koloni bakteri ada yang berubah menjadi hijau atau kuning dan mengalami pertumbuhan popolasi sampai masa inkubasi 36 jam, sedangkan pada masa inkubasi 48 jam cenderung tidak mengalami banyak perubahan. Perubahan bentuk dan warna koloni menjadi hitam terjadi pada masa lebih dari 48 jam. Hasil pemeriksaan bakteri diperoleh data bahwa tidak semua koloni bakteri yang tumbuh dalam media TCBSA merupakan bakteri berpendar, hanya pada lokasi Bontang Kuala dan Rawa Indah saja ditemukan populasi bakteri berpendar jenis Vibrio sp. Pengaruh kerapatan mengrove pada berbagai pemanfaatan lahan terhadap populasi bakteri tersebut dapat terjadi karena beberapa lahan mangrove yang ada saat ini dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman, pertambakan, pasar dan tempat wisata tradisional. Populasi Bakteri pada Berbagai Pemanfaatan Lahan Mangrove Ekosistem mangrove Kota Bontang dapat dijumpai di hampir sepanjang wilayah pesisir dan yang menyerupai pulau seperti di Pulau Kedindingan, Bontang Lestari/Baltim, Bontang Kuala dan Rawa Indah. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan antara lain bakau (Rhizophora sp.), Bius/tancang (Bruguiera sp.), Rambai laut (Sonneratia sp.), Api-api (Avicenia sp.), Nipah (Nypa sp.) dan lainnya. 6 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 1. Pulau Kedindingan Jumlah rerata koloni bakteri Vibrio sp. yang tumbuh pada sampel kepiting bakau sebanyak 116.300 cfu/ml (coloni form unit per milliliter), siput 65.000 cfu/ml dan air 320 cfu/ml namun tidak ditemukan bakteri berpendar. Pertumbuhan maksimal bakteri umumnya pada masa inkubasi 1836 jam, sedangkan saat pengamatan 48 jam jumlah, bentuk dan warna koloni telah mengalami perubahan. Beberapa Vibrio sp. merupakan penyebab penyakit pada populasi ikan laut, baik yang dibudidayakan maupun ikan liar. Pada ikan liar di perairan alami jarang terjadi wabah penyakit karena keseimbangan antara ikan, lingkungan dan bakteri lebih stabil dibanding pada usaha budidaya, tetapi terbentuknya ikan karier di perairan alami sangat memungkinkan (Griffiths, 1983). Mangrove yang dominan di Pulau Kedindingan yaitu jenis R. mucronata dan R. apiculata serta jenis Bruguiera. Kerapatan kategori pohon jenis R. mucronata mencapai 1.333 ind/ha, R. apiculata 233 ind/ha dan Bruguiera 100 ind/ha. Kerapatan anakan R . mucronata mencapai 2.533 ind/ha, R. apiculata 867 ind/ha, serta Bruguiera 67 ind/ha. Kerapatan semai R. mucronata mencapai 7.633 ind/ha, R. apiculata 1.133 ind/ha dan Bruguiera sp. mencapai 233 ind/ha. Kerapatan mangrove di Pulau Kedindingan tergolong tinggi, hal ini sesuai dengan perencanaan pemanfaatan lahan mangrove oleh pemerintah Kota Bontang yang disiapkan sebagai daerah penyangga sehingga kondisi saat ini dapat dipertahankan. 2. Bontang Lestari/Baltim Koloni bakteri Vibrio sp. yang tumbuh pada sampel kepiting bakau rata-rata tumbuh sebanyak 156.700 cfu/ml, siput 96.000 cfu/ml dan air 330 cfu/ml namun tidak ditemukan bakteri berpendar. Pertumbuhan maksimal bakteri umumnya pada masa inkubasi 1836 jam kemudian saat pengamatan 48 jam jumlah, bentuk dan warna koloni telah mengalami perubahan. Bakteri Vibrio merupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan estuaria dan umumnya menyebabkan penyakit pada hewan perairan laut dan payau seperti ikan, udang dan kerang. Bakteri Vibrio sp. menyerang larva udang secara sekunder yaitu pada saat dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri ini termasuk jenis opportunistic patogen. Mangrove di Bontang Lestari/Baltim ditemukan jenis dominan dari R. apiculata, Avicenia dan Soneratia. Jenis lain yang ditemukan juga adalah kelompok mangrove minor seperti pakis laut Acrostichum aureum. Kerapatan mangrove yang ditemukan yaitu R. apiculata 800 ind/ha, Avicenia 233 ind/ha dan Sonneratia 33 ind/ha. Kerapatan anakan R. apiculata mencapai 900 ind/ha, Avicenia 133 ind/ha dan Soneratia 33 ind/ha. Kerapatan kategori semai untuk jenis R. apiculata 633 id/ha, Avicenia 100 ind/ha dan Sonneratia sangat sedikit. Kerapatan mangrove di Bontang Lestari termasuk kategori sedang, hal ini masih dalam batas normal mengingat posisinya yang dekat dengan pembuangan air panas PT Badak NGL dan memang dalam perencanaan pemanfaatan lahan mangrove Kota Bontang wilayah tersebut diperuntukan sebagai daerah industri. Hapit dkk. (2009). Populasi Bakteri Vibrio sp. 7 3. Bontang Kuala Rata-rata koloni bakteri Vibrio sp. yang tumbuh pada sampel kepiting bakau sebanyak 75.000 cfu/ml, siput 94.000 cfu/ml dan air 770 cfu/ml, selain itu juga ditemukan bakteri berpendar pada sampel air tanpa pengenceran dan dengan pengenceran 101 sebanyak 30 cfu/ml selama masa inkubasi 1836 jam namun saat 48 jam koloni bakteri berpendar mulai memudar dan kemungkinan mati atau tergantikan oleh jenis lain. Munculnya bakteri berpendar jenis Vibrio sp. pada sampel air kemungkinan disebabkan karena letak pertambakan berada di sekitar pemukiman dan tempat wisata tradisional sehingga limbah rumah tangga, sampah serta polutan lain yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut mengalir juga ke areal tambak. Areal pertambakan Bontang Kuala dan Rawa Indah memiliki kandungan bahan organik tanah yang tinggi akibat proses pembusukan, hal ini dapat memacu perkembangbiakan bakteri menjadi lebih ganas. Populasi bakteri berpendar jenis Vibrio sp. sangat berbahaya bila jumlah koloni meningkat dan menyerang semua jenis ikan karena bakteri ini tidak mempunyai inang yang spesifik. Bakteri Vibrio sp. diidentifikasi dengan berbagai jenis mulai dari yang berpendar namun tidak bersifat patogen, yang berpendar dan patogen, yang tidak berpendar tetapi patogen dan lainnya. Karakteristik ini memungkinkan organisme tersebut mengalami suatu proses transformasi genetik sehingga menimbulkan variasi yang sangat tinggi, mengingat media air merupakan media yang sangat baik dalam penyebaran jenis bakteri ini. Jenis mangrove yang ditemukan di wilayah Bontang Kuala dan Rawa Indah di antaranya adalah R. mucronata, B. gimnorizha dan Xylocarpus. Jenis yang dominan adalah jenis R. mucronata, sedangkan Xylocarpus ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit. Selain itu juga ditemukan beberapa pohon dari jenis A. alba dan Sonneratia. Mangrove di Bontang Kuala sebagian sudah terkonversi menjadi lahan tambak dan pemukiman, namun dari lokasi yang tersisa, kondisinya masih terpelihara dengan kerapatan cukup baik. Hasil identifikasi potensi kerapatan jenis diketahui, kerapatan pohon R. mucronata mencapai 1.267 ind/ha, Bruguiera 133 ind/ha dan Xylocarpus 33 ind/ha dan kerapatan R. apiculata 233 ind/ha. Kerapatan anakan jenis R. mucronata mencapai 967 ind/ha, Bruguiera 233 ind/ha dan Xylocarpus 67 ind/ha dan jenis R. apiculata 233 ind/ha. Untuk semai kerapatan jenis R. mucronata 900 ind/ha, Bruguiera sp. 533 ind/ha, Xylocarpus 133 ind/ha dan R. apiculata 467 ind/ha. Luas tambak di Bontang Kuala yang dikelola seluas 104,92 ha (61 unit tambak) dan yang tidak dikelola ada 32,68 ha (19 unit tambak) dengan ratarata jumlah petakan tambak 1,72 ha/unit. Kerapatan mangrove di Bontang kuala tergolong sedang dan masih dalam kondisi baik, namun karena dalam perencanaan pemanfaataan lahan mangrove Kota Bontang, wilayah tersebut juga direncanakan sebagai daerah pemukiman, pengembangan wisata dan perikanan, maka pelaku usaha dan pengambil kebijakan harus mempertimbangkan jenis ikan apa yang dapat direkomendasikan untuk dibudidayakan pada tambak yang masih ada. Pengelolaan lingkungan dan kualitas air hendaknya lebih ditingkatkan untuk mengantisipasi dampak dari aktivitas sekitarnya. 8 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 4. Rawa Indah Rata-rata jumlah koloni bakteri Vibrio sp. yang tumbuh pada sampel kepiting bakau sebanyak 6.300 cfu/ml, siput 4.000 cfu/ml dan air 335 cfu/ml selain itu juga ditemukan bakteri berpendar pada sampel air pengenceran 101 sebanyak 20 cfu/ml selama masa inkubasi 1836 jam sedangkan saat pengamatan 48 jam bakteri berpendar mulai memudar dan mati. Munculnya bakteri berpendar jenis Vibrio sp. pada sampel air diduga karena letak pertambakan berada di sekitar pemukiman dan pasar. Dengan berbagai aktivitas tersebut akan menghasilkan limbah dan bahan organik lainnya. Nilai ekstrim suatu parameter lingkungan seperti tingginya bahan organik dan kualitas airnya yang rendah menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu dan akan mengakibatkan bakteri yang terdapat di dalamnya berkembang lebih cepat dan bersifat patogen. Bakteri Vibrio sp. merupakan bakteri opurtunistik yang akan menyerang pada saat kualitas suatu perairan menurun. Prajitno (1995) menyatakan, bahwa bakteri Vibrio sp. berpendar merupakan bakteri spesies V. harveyii, yang mana pertumbuhan terbaiknya adalah pada perairan yang mempunyai bahan organik tinggi dan pada perairan yang diperkaya oleh buangan limbah. Bakteri tersebut akan bersifat patogen pada larva ikan dan udang bila kepadatannya dalam air mencapai 104 cfu/ml (Prajitno, 1995). Larva ikan atau udang yang terinfeksi Vibrio sp. akan terlihat bercahaya pada kondisi gelap. Bakteri Vibrio sp. mempunyai plasmid karena mampu hidup dan berkembang dengan mangambil zat besi meskipun dengan konsentrasi yang rendah serta berkompetisi dengan transferin dan laktoferin. Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya Vibrio sp. tidak mempunyai kekhususan inang, sehingga tingkat virulensi dan gejala yang ditimbulkan oleh suatu jenis atau strain Vibrio yang menyerang lebih dari satu jenis ikan tidak berbeda. Mangrove di Rawa Indah didominasi oleh jenis R. mucronata, R. apiculata dan Avicenia. Seperti daerah lainnya jenis R. mucronata lebih dominan dari jenis lainnya, data disajikan pada gambar berikut. Hasil identifikasi kerapatan pohon R. mucronata mencapai 900 ind/ha, R. apiculata 200 ind/ha, Avicenia 67 ind/ha dan Bruguiera 33 ind/ha. Kepadatan anakan R. mucronata mencapai 400 ind/ha, R. apiculata mencapai 133 ind/ha, Avicenia mencapai 67 ind/ha dan Bruguiera 100 ind/ha. Kepadatan semai tertinggi yaitu dari jenis R. mucronata yang mencapai 1.133 ind/ha, R. apiculata 633 ind/ha, Avicenia 167 ind/ha dan Bruguiera 200 ind/ha. Di Rawa Indah, luas tambak yang dikelola 10,8 ha (20 unit tambak) dan yang tidak dikelola 17,82 ha. Kerapatan mangrove di Rawa Indah tergolong sedang dan masih dalam kondisi baik, sedangkan dalam perencanaan pemanfaatan lahan mangrove Kota Bontang, wilayah tersebut direncanakan sebagai daerah pemukiman, pasar dan perikanan. Menghadapi kondisi demkian, maka pemilik tambak dan instansi terkait harus mempertimbangkan jenis ikan budidaya yang sesuai dengan areal tersebut dan peningkatan teknologi serta sumberdaya manusianya. Pengelolaan lingkungan dan kualitas air juga harus lebih diperhatikan pada masa mendatang. Hapit dkk. (2009). Populasi Bakteri Vibrio sp. 9 Kualitas air Pengamatan kualitas air dilakukan secara in situ di perairan mangrove Pulau Kedindingan dan Bontang Lestari/Baltim serta Bontang Kuala dan Rawa Indah pada saluran dan dalam tambak. 1. Suhu Kisaran suhu di lokasi penelitian antara 3036C dengan suhu terendah di Pulau Kedindingan 30C dan tertinggi di Bontang Lestari/Baltim 36C. Kerapatan mangrove yang tinggi menyebabkan suhu perairan di Pulau Kedindingan lebih rendah dibanding lokasi lainnya, sedangkan Bontang Lestari/Baltim lebih tinggi karena letaknya yang dekat dengan saluran pembuangan air panas PT Badak NGL. Dampak dari suhu panas yang ditimbulkan dan mengalir ke arah vegetasi mangrove menyebabkan banyak mangrove yang mengalami kerusakan. Menurut Prajitno (1995), suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri berkisar antara 3035C, pada suhu 4C dan 45C bakteri tidak dapat tumbuh dan pada suhu 55C akan mati, V. harveyi menyerang ikan pada suhu 1015C. 2. Salinitas Salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 2934 ppt dengan salinitas terendah di Pulau Kedindingan 29 ppt dan tertinggi di tambak Bontang Kuala 34 ppt. Salinitas merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kelangsungan hidup mangrove karena karakteristiknya yang bersifat halofit. Salinitas dipengaruhi oleh kondisi perairan di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masuknya air tawar ke dalam perairan. Menurut Bengen (2001), nilai salinitas optimal bagi kehidupan mangrove adalah 535 ppt. Bakteri Vibrio sp. termasuk jenis bakteri yang dapat hidup pada salinitas tinggi dan dapat tumbuh maksimum pada salinitas 2030‰. V. harveyi menyerang ikan atau udang pada saat kualitas air buruk (fakultatif) yaitu salinitas 1015 ‰ (Prajitno, 1995). 3. Derajat Keasaman/ pH Lokasi pertambakan di Bontang Kuala dan Rawa Indah memilki pH terendah 6,8 sedangkan Bontang Lestari mempunyai pH tertinggi 8,3. Laju kenaikan pH dipengaruhi oleh peningkatan suhu, peningkatan yang berlangsung ekstrim dan mendadak dapat membahayakan biota yang ada di sekitarnya, pH bersifat netral atau basa menunjukkan, bahwa terjadi proses penguraian bahan organik yang sedikit dan oksigen terlarut yang tersedia dalam jumlah yang cukup. Menurut Harunsyah (2007), semakin tinggi pH maka akan semakin tinggi kelimpahan populasi bakteri Vibrio sp. Prajitno (1995) menyatakan, bahwa bakteri Vibrio spp. dapat tumbuh dengan baik pada kondisi alkali yaitu pada kisaran pH optimum antara 7,58,5. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 49 dan tumbuh maksimal pada pH 6,58,5 atau kondisi alkali dengan pH 9. 4. Oksigen Terlarut/Dissolved Oxygen (DO) Kandungan DO terendah terdapat pada stasiun pengamatan Bontang Kuala dan Rawa Indah yaitu 2 ppm pada pengukuran di saluran dan di dalam tambak, 10 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 sedangkan yang tertinggi di Bontang Lestari/Baltim dengan 7,1 ppm. Kerapatan mangrove di Bontang Kuala dan Rawa Indah termasuk kategori sedang dengan pemanfaataan lahan sebagai daerah pemukiman, areal pertambakan dan tempat wisata. Dengan berbagai aktivitas tersebut akan menghasilkan limbah dan zat lainnya sehingga kandungan DO yang dihasilkan kemungkinan akan rendah dan menyebabkan pada wilayah tersebut lebih rentan terhadap timbulnya serangan patogen pada organisme perairan. Berkurangnya oksigen terlarut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adanya proses respirasi oleh biota perairan, proses pembusukan dan dekomposisi bahan organik serta kenaikan suhu dan salinitas. Menurut Prajitno (1995), bakteri Vibrio spp. dapat menyerang ikan pada saat oksigen terlarut (DO) kurang dari 6 ppm. Bakteri Vibrio berpendar termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Vibrio sp. berpendar ditemukan pada air yang berasal dari mangrove di pertambakan Bontang Kuala (tanpa pengenceran 2 cfu/ml serta pengenceran 101 sebanyak 30 cfu/ml) dan mangrove di Rawa Indah (dengan pengenceran 101 sebanyak 20 cfu/ml). Vibrio sp. berpendar tidak ditemukan pada kepiting bakau (S. serrata) dan siput (T. communis) yang ada di sekitar mangrove. Saran Kondisi mangrove dan kualitas air saat ini hendaknya tetap dipertahankan serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove. Bila areal pertambakan tetap dipertahankan maka diperlukan masukan teknologi budidaya serta manajemen lingkungan dan kualitas air yang lebih baik. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kondisi lingkungan dan kualitas air yang mempengaruhi populasi bakteri yang terdapat di wilayah perairan mangrove sehingga akan tersusun suatu data base wilayah pesisir Kota Bontang. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kota Bontang Tahun 2000. Anonim. 2006. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang Tahun 2005. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Cetakan Ketiga. Pusat Kajian Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 60 h. Effendi, I. dan Suhardi. 1998. Studi Pendahuluan Tumbuhan Mangrove sebagai Antibakteri terhadap Bakteri Penyakit Udang Vibrio parahemolyticus dan V. harveyi. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove, Pekanbaru 15–18 September 1998. 35 h. Griffiths, R.H. 1983. Stocking Practices and Disease Control. Dalam: “A Guide to Integrated Fish Health Management in the Great Lakes Basin”. Spec. Pub. Ann Arbor. Michigan. Hapit dkk. (2009). Populasi Bakteri Vibrio sp. 11 Hadioetomo, R.S. 1985. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Gramedia, Jakarta. 161 h. Harunsyah, I. 2007. Hubungan Kelimpahan Bateri Vibrio sp. dengan Kerapatan Mangrove di Tambak Tradisional Sedati Kabupaten Sidoarjo. Laporan Penelitian Sumberdaya Hayati Perairan dan Budidaya, Univ. Brawijaya, Malang. Prajitno, A. 1995. Vibrio spp. dan MBV Primadona Penyakit Udang Windu di Tambak. Bahan Pelatihan Nasional Keterampilan dan Bina Usaha Mandiri Bidang Budidaya Air Payau dan Air Tawar. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang. 17 h. Soeriatmaja, R.E. 1997. Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Makalah Seminar Nasional. Wagiyo, C.E. 1975. Microbial and Environment. In: “Estuaries Microbial Ecology” (L.H. Stevenson and R.R Colwell, Eds.). University of South Carolina Press, Columbia. Wedemeyer, G.A. and W.T. Yasutake. 1977. Clinical Methods for the Assesment of the Effect on Environmental Stress on Fish Health. Technical Papers of the U.S. Fish and Wildlife Service. US Department of the Interior. Fish and Wildlife Service American 89: 117.