1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Berkaitan dengan kedudukan anak yang memiliki kedudukan dan peran yang strategis, maka negara pun menjamin di dalam konstitusi tentang hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1 Oleh karena itu diperlukan upaya bersama dalam memperhatikan kepentingan anak, sehingga tidak terjerumus untuk melakukan perbuatan jahat yang merugikan pihak lain. Sampai sekarang banyak ditemukan anak yang melakukan pelanggaran hukum dalam kehidupan sehari-hari2. Tetapi masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam perlindungan hak-hak anak (khususnya sebagai pelaku) dalam proses penegakan hukumnya. Terdapat pihak-pihak yang masih mengabaikan hak-hak anak yang seharusnya mereka dapatkan, serta memperlakukan anak secara tidak manusiawi. Terdapat pihak yang juga memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi semata, tanpa menghiraukan bahwa atas perbuatannya dapat menghalangi hak-hak anak tersebut. Dalam kondisi demikian, maka anak disebut sebagai “anak yang berkonflik dengan hukum” (Children conflict with the law). Anak yang 1 2 Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Sumber Data diperoleh dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Purwokerto 2 berkonflik dengan hukum dapat diartikan sebagai anak yang disangka, dituduh atau diakui telah melanggar undang-undang hukum pidana. Anak bukanlah untuk di hukum, melainkan untuk dibina dan dibimbing agar mampu menjadi manusia yang utuh, cerdas dan bertanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Anak terkadang mendapati situasi atau keadaan sulit yang mendorong anak melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai hukum, agama, kesopanan dan kesusilaan. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti, keadaan anak itu sendiri, keluarganya, korban atau masyarakat. Anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk di hukum terlebih kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Perlu pertimbangan yang kuat saat memasukan anak ke dalam penjara, karena akan berdampak buruk kepada keadaan mental dan kepribadian anak. Perkembangan anak menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, oleh karena itu negara sebagai tempat berlindung warganya harus dapat memberikan regulasi jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak. Keadilan sangat sekali diperhatikan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Diantaranya adalah dalam proses peradilan pelaku tindak pidana anak, perhatian tersebut tidak hanya dari ahli hukum (pidana) tetapi juga pada masyarakat dan pemerintah yang ikut serta dalam hal ini. Perhatian pemerintah Indonesia yang cukup besar dalam hal perlindungan anak diwujudkan dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang ini merupakan perubahan dari UU No. 3 Tahun 1997 tentang 3 Pengadilan Anak, karena undang-undang yang lama dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat baik dari aspek yuridis, sosiologis dan filosofis. Undang-undang ini juga belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Namun merujuk pada Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 disebutkan bahwa undang-undang ini berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan (Agustus 2012). Sehingga konsekuensi yuridisnya, masih diberlakukan undang-undang yang lama sebagai dasar hukum pengadilan anak, yaitu UU No. 3 Tahun 1997. Langkah ini menunjukan bahwa pemerintah dan masyarakat menyadari perlunya perlakuan khusus terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Agar anak tidak mengalami tekanan jiwa dan pengaruh buruk bagi masa depan serta perkembangan kepribadiannya.3 Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum janganlah sampai memunculkan stigmatisasi atau labeling, karena akan berdampak besar dalam kelangsungan hidup masa depan anak. Putusan hakim dalam menjatuhkan sanksi tindakan atau pidana dalam persidangan anak harus berdasarkan atas rekomendasi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) 3 Sunaryo,2002, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Manusia Bagi Anak Dalam Proses Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Unsoed,Purwokerto, Hlm. 91 4 Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan.4 Tetapi dalam kenyataannya masih terdapat hakim yang memutus dengan menyimpangi rekomendasi dari Bapas. Hal demikian sangat erat di pengaruhi oleh keadaan batin atau ideologi dari hakim untuk memberikan suatu putusan. Dengan bertolak dari tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak (Juvenile Justice). Maka kiranya dapat ditentukan apa dan bagaimana hakikat serta wujud dari perlindungan hukum yang sepatutnya di berikan kepada anak. Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak jelas tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial5. Menurut Bagir Manan , selama dalam proses persidangan, anak harus didampingi oleh advokat6. Pemberian bantuan hukum juga telah diatur dalam Pasal 51 ayat (1) dan (3) Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang menegaskan bahwa bantuan hukum menjadi suatu kewajiban yang diberikan dari negara untuk anak pelaku tindak pidana sejak ditangkap atau ditahan dan selama dalam waktu pemeriksaan. Anak-anak memiliki hak-hak yang harus dijaga dan dilindungi, seperti hak untuk didampingi oleh penasihat hukum, orang tua, wali atau orang tua asuhnya 4 Pasal 1 angka 24 UU Sistem Peradilan Pidana Anak Muladi, Barda Nawawi, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung, PT.Alumni, Hlm.22 6 Maidin Gultom, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Bandung , PT.Revika Aditama, Hlm. 67 5 5 pada saat pemeriksaan berlangsung. Hak dan kewajiban pada anak tetaplah berbeda dengan hak dan kewajiban orang dewasa. Anak lebih harus mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan yang khusus. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang terlibat dalam perkara pidana, terutama hak pemberian bantuan hukum, dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan. Maka secara otomatis bagi para penyidik, penuntut umum dan hakim wajib memberitahukan kepada tersangka atau terdakwa, orang tua/wali/orang tua asuh mengenai hak untuk memperoleh bantuan hukum tersebut.7 Anak yang melakukan tindak pidana berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak sebagai pelaku juga dapat dikatakan sebagai korban. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor pendorong seperti kurangnya pendidikan, lingkungan yang buruk, perbedaan struktur sosial dan ekonomi, tidak adanya sentuhan dari keluarga dan banyak faktor lainnya. Dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak anak yang salah satunya hak untuk memperoleh bantuan hukum. Maka tidak akan lepas dengan peran Advokat. Advokat berprofesi memberi jasa bantuan hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya. Meskipun regulasi sudah ada, tetapi dalam kenyataannya masih minim perlindungan terhadap anak. Faktor dari aparat penegak hukum yang masih belum memahami secara baik 7 Lilik Mulyadi, 2004, Kapita selekta hukum pidana, Kriminologi & Viktimologi, Jakarta: Djambatan, Hlm. 72 6 tentang bagaimana proses perkara anak tersebut yang masih menjadi persoalan yang perlu dituntaskan. Peran Advokat tidak hanya menyelesaikan persoalan atau pertentangan antar individu atau badan hukum saja. Advokat juga berperan sebagai media penghubung antara masyarakat dengan penguasa, atau juga antara warga negara dengan negara. Advokat berperan memberi kepastian bahwa anak yang sedang berhadapan dengan hukum itu dapat di proses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Peran tersebut dalam praktiknya masih bersifat formalitas saja, karena masih ada hak-hak anak yang belum terpenuhi, artinya masih perlu adanya kajian dan evaluasi terhadap kinerja dan peran advokat untuk mengoptimalkan perlindungan hukum terhadap hakhak anak yang sedang berhadapan dengan hukum. Penulis tertarik mengangkat permasalahan ini menjadi sebuah penelitian : “Implementasi Perlindungan Hak-Hak Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Oleh Advokat Dalam Sistem Peradilan Anak (Studi Tentang Peran Advokat di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Purwokerto)”. Alasan dipilihnya wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto sebagai tempat pengambilan populasi dalam penelitian ini karena di wilayah ini cukup banyak kasus pelanggaran hukum oleh anak. Dari hal ini diharapkan dapat diperoleh data yang akurat tentang masalah penerapan perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana. 7 Dengan adanya penelitian ini, besar pula harapan penulis akan terciptanya artikel ilmiah yang dapat memberi sumbangsih positif terhadap jalannya penegakan hukum dalam sistem peradilan di Indonesia. Terciptanya nuansa hukum yang sesuai dengan apa yang seharusnya bukan yang senyatanya terjadi dalam masyarakat. Hukum yang mengedepankan unsur keadilan, kemanfaatan, tanpa mengesampingkan aspek kepastian hukum. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan, yaitu : 1. Bagaimanakah Implementasi perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana di wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto ? 2. Bagaimana peran advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana ? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ini adalah : 1. Mengetahui dan menganalisis implementasi perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto. 2. Mengetahui dan menganalisis peranan advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku 8 D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk ilmu pengetahuan khususnya ilmu Hukum Pidana dan ilmu Hukum Acara Pidana dalam hal implementasi perlindungan hak-hak anak dan bantuan hukumnya 2. Kegunaan Praktis Hasil dari penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak penyidik, penuntut umum, pengadilan, advokat, dan masyarakat luas. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK 1. Pengertian Implementasi Implementasi menurut kamus hukum adalah pelaksanaan sesuatu yang sudah ditetapkan dan diatur untuk dilengkapi sesuai dengan perjanjian dan keputusan8. Hukum menetapkan tingkah laku yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum dan sanksi yang harus diberikan oleh hukum jika terdapat pelanggaran. Fungsi hukum inilah yang sebagai alat pengendali sosial. Untuk menilai adanya satu sistem hukum yang baik Satjipto Rahardjo yang mengacu pada Fuller tentang asas yang dinamakan Principless of Legality, yaitu : 1. Bahwa sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bersifat ad hoc, peraturan harus diumumkan dan tidak boleh berlaku surut; 2. Bahwa peraturan harus disusun dalam perumusan yang mudah dimengerti dan tidak boleh bertentangan; 3. Bahwa peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; 4. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering berubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi; 8 Poerwadarminta,W.J.S., 2005, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.Hlm.134 10 5. Bahwa harus ada kecocokan antara peraturan yang di undangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.9 Bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut Satjipto Rahardjo adalah 1. Bahwa setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seseorang pemegang peranan (rule accupant) itu diharapkan untuk bertindak; 2. Seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai satu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang di tunjukan kepadanya, sanksinya, aktivitas dan lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, dan politik; 3. Tentang bagaimana lembaga tersebut bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan yang di tunjukan kepada Mereka,sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lain yang datang dari para pemegang peranan 4. Bagaimana para pemegang undang-undang itu akan bertindak. Ini merupakan fungsi peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka, serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan secara birokrasinya.10 9 Satjipto Rahardjo, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis, Bandung, Alumni, Hlm.92 10 Ibid.,Hlm.94 11 2. Pengertian Anak Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalamnya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hakhaknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) memiliki politik hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak di tempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa, dengan memiliki peran strategis dalam menjamin kelangsungan negara. Melalui UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jaminan hak anak dilindungi, bahkan di bentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki perlindungan anak. tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas 12 Untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka akan didapatkan beragam pengertian batasan usia anak dalam beberapa undangundang, antara lain pengertian anak menurut : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun dengan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika terjadi penyimpangan atas hal tersebut maka dapat dimintakan dispensasi ke Pengadilan Negeri. 2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Mendefinisikan anak berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin 3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. 4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah 5. Undang-undang Nomer 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak menurut Pasal 1 angka 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih didalam kandungan. 13 6. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 45 KUHP menyebutkan bahwa dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjaring) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun 7. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 330 KUHPerdata orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21(dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dulu telah kawin. 3. Hak-Hak Anak Anak adalah sebagai tongkat estafet dalam keberlangsungan suatu bangsa. Perlindungan dan kesejahteraan anak akan menjadi topik aktual yang terasa penting, karena erat kaitannya dengan bagaimana membekali anak sebagai calon generasi penerus bangsa dan negara yang berpotensional. Kondisi ini memunculkan perlunya melindungi anak yang diatur dalam undang-undang perlindungan anak. Dengan undang-undang perlindungan anak maka diharapkan tujuan perlindungan anak dapat diwujudkan. Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 14 Terdapat beberapa hak-hak anak yang sedang berkonflik dengan hukum, yang bersumber dari pengaturan UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Hak-hak anak yang dapat di inventarisir antara lain sebagai berikut ; 1. Hak anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun untuk diserahkan kembali kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya untuk dibina. Jika tidak dapat dibina lagi oleh orang tuanya maka diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan. (vide Pasal 5 ayat (2) dan (3) ). 2. Hak untuk tetap diajukan ke siadang anak, meskipun melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota ABRI (vide Pasal 7). 3. Hak untuk diperiksa dalam sidang tertutup, kecuali dalam hal tertentu dan dipandang perlu dapat dilakukan dalam sidang terbuka (vide Pasal 8 ayat (1) dan (2)). 4. Hak untuk disingkat namanya, nama orang tua, wali, atau orang tua pengasuhnya, jika dilakukan pemberitaan proses perkara sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan (vide Pasal 8 ayat (5)). 5. Hak untuk diperiksa oleh penyidik dalam suasana kekeluargaan, misalnya penyidik tidak memakai pakaian dinas dan pendekatan yang simpatik (vide Pasal 42 ayat (1)). 6. Hak untuk dirahasiakan selama proses penyidikan (vide Pasal 42 ayat (3)). 15 7. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa (vide Pasal 45 ayat (3)). 8. Hak untuk tetap dipenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak selama ditahan (vide Pasal 45 ayat (4)). 9. Hak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum sejak ditangkap atau ditahan dan selama dalam waktu dan pada setiap pemeriksaan (vide Pasal 51 ayat (1)). 10. Hak berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang, apabila diangkap atau ditahan (vide pasal 51 ayat (3)).11 Pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, pada pokoknya diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak.Pengertian hak anak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 12 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua,keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak-hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU Perlindungan Anak, sebagai berikut : 1) Setiap anak berhak untuk hidup, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; 2) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganergaran; 11 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 16 3) Setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir sesuai dengan tingkat kecerdasan dan dalam bimbingan orang tuanya; 4) Setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, atau oleh orang lain bila orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak; 5) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial; 6) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan minat dan bakatnya; 7) Bagi anak cacar berhak pendidikan luar biasa, dan bagi anak yang memiliki keunggulan berhak mendapat pendidikan khusus; 8) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya sesuai demi pengembangan dirinya sesuai dengan nila-nilai kesusilaan dan kepatutan; 9) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya; 10) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; 11) Setiap anak selama pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi, penalantaran, kekejaman dan penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya; 12) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir; 13) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan; 14) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukum yang tidak manusiawi; 15) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; 16) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir; 17) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatan dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri serta memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum; 17 18) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan; 19) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.12 Perlindungan terhadap anak sebagai mana disebutkan dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk memberikan jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak 1989 (Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989), hak-hak anak secara umum dapat dikelompokan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak. Hak-hak anak dalam Konvensi hak-hak Anak, sebagaimana dikemukakan oleh Dolly Singh, sebagai berikut13 : 12 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak Di Indonesia.Yogyakara: Genta Publishing, Hlm. 22 13 18 a. Hak terhadap kelangsungan hidup (The Right to Survival) Hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Hak-hak anak dalam Konvensi hak Anak 1989 antara lain tentang : 1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan; 2) Hak anak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya; 3) Kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (abuse); 4) Hak anak-anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus; 5) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai , dan tanggung jawab utama orang tua, kewajiban negara untuk memenuhinya. 6) Hak anak atas pendidikan dan kewajiban negara untuk menjamin agar pendidikan dasar disediakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib; 7) Hak anak atas perlindungan dari penyalah gunaan obat bius dan narkotika; 8) Hak anak atas perlindungan ekspolitasi dan penganiayan sesksual, termasuk prostutisi dan keterlibatan dalam pornografi; 19 9) Kewajiban negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak. b. Hak untuk tumbuh kembang (The Right to Develop) Hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Beberapa hak-hak untuk tumbuh kembang, seperti : 1) Hak untuk memperoleh informasi; 2) Hak memperoleh pendidikan; 3) Hak bermain dan rekreasi; 4) Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya; 5) Hak untuk kebebasan berpikir, dan beragama; 6) Hak untuk pengembangan kepribadian; 7) Hak untuk memperoleh identitas; 8) Hak memperoleh kesehatan dan fisik; 9) Hak untuk didengar pendapatnya ; 10) Hak untuk/ atas keluarga; c. Hak terhadap perlindungan (The Right to Protection) Hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindakan kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak pengungsi. Hak tersebut antara lain : 20 1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu : Non diskriminasi terhadap hak-hak anak, hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, hak anak penyandang cacat. 2) Larangan eksplotasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarga dan larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman dan penahanan yang kejam. 3) Kondisi kritis dan keadaan anak yaitu : Mengembalikan anak dalam kesatuan keluarga; perlindungan anak pengunsian; kondisi konflik bersenjata dan perawatan rehabilitasi. d. Hak untuk berpartisipasi (The Right to Participation) Hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak, hak tersebut antara lain : 1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatanya; 2) Hak anak mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresi; 3) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung; 4) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat; 5) Hak anak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak-hak Anak. 21 4. Perlindungan Hak Anak Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa : Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi. Perlindungan anak juga dapat diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan utuk mencegah, rehabilitasi, memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah suatu usaha untuk melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya14. Kebijakan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan anak, pertama didasarkan atas pertimbangan bahwa anakanak merupakan golongan yang rawan dan dependent, di samping itu, karena ada golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial. Pasal 13 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menentukan bahwa: 1).Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi, b. eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, c. penelantaran, d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, e. ketidakadilan dan f. perlakuan salah lainnya. 14 Arief Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak.Jakarta: Akademi Pressindo, Hlm 52 22 2) Dalam hal orang tua , wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Prinsip-prinsip Perlindungan anak yang harus di wujudkan dalam memberikan pemahaman dan perhatian terhadap anak adalah ; a. Anak tidak dapat berjuang sendiri Anak adalah modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-ahak anak b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) Kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importence (memperoleh prioritas tinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip ini di gunakan karena dalam banyak hal anak “pelaku”, disebabkan ketidaktahuan anak, karena usia perkembangannya yang sangat labil. Sehingga di butuhkan pengawasan yang lebih c. Ancangan daur kehidupan (life-circle approach) Perlindungan hak-hak anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan anak harus dimulai sejak dini dan terus-menerus. Diperlukan keluarga, lembaga pendidikan sosial keagamaan yang berkualitas. 23 Anak memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri. Pada saat anak berusaia 15-18 tahun, ia akan memasuki masa transisi dari remaja ke dewasa. Periode ini penuh dengan resiko, karena secara kultural seseorang akan dianggap dewasa secara fisik dan telah berkembang secara optimal fungsi dalam reproduksinya d. Lintas Sektoral Nasib anak tergantung dari berbagai faktor, baik yang makro maupun yang mikro, yang langsung atau tidak langsung. Antara lainnya komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, sistem pendidikan yang terlalu menekan, atau dari lingkungan keluarganya itu sendiri15. B. Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum 1. Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Berdasarkan Pasal 1 butir 2 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut undang-undang atau menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketentuan tersebut sebenarnya telah bertentangan dengan asas legalitas, karena memasukan peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku 15 Maidin Gultom, Op.Cit.,Hlm 70-72 24 dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam kategori pidana. Hal tersebut berakibat, adanya upaya pengkriminalisasian kenakalan anak yang padahal belum tentu sesuai dengan konsep hukum pidana. Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat anak harus berhadapan dengan hukum, yaitu : a. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan b. Juvenile Deliquencey adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. Sebenarnya terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang masih labil. Proses perkembangan dan kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Maka hal ini belum dapat dikatakan suat kejahatan,m melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang belum seimbang dan pelaku anak belum sadar dan mengerti sepenuhnya atas tindakan yang telah dilakukannya. Faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan anak adalah faktor lingkungan ekonomi/sosial dan psikologis. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya karena adanya 25 kesadaran diri dari anak tersebut dan mengerti bahwa perbuatan tersebut merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum. Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak merupakan perwujudan dari fase remaja menuju dewasa yang tanpa maksud merugikan orang lain, seperti yang diisyaratkan dalam suat perbuatan kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di mana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya dan mampu untuk bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut. Kurang relevan ketika kenakalan anak dianggap sebagai suatu kejahatan murni.16 2. Upaya Menanggulangi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam kaitannya dengan kenakalan anak (Juvenile Delinquency) terdapat upaya-upaya yang dilakukan dalam penanggulangan kenakalan anak (baik dalam arti anak nakal yang yang tidak masuk dalam kategori tindak pidana dan anak yang berkonflik dengan hukum). Menurut Kartini Kartono, upaya penanggulangan kenakalan anak harus dilakukan secara terpadu, dengan tindakan preventif, tindakan penghukuman dan tindakan kuratif.17 a. Tindakan preventif Tindakan preventif atau tindakan yang dapat mencegah terjadinya kenakalan anak, berupa : 1) Meningkatkan kesejahteraan keluarga; 16 17 M.Nasir Djamil, 2012, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 32-34 Kartini Kartono, 2010 Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, Hlm. 94-97 26 2) Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin; 3) Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan hidup; 4) Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja; 5) Membentuk badan kesejahteraan anak; 6) Mengadakan panti asuhan; 7) Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif, pengkoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susila kepada anak-anak dan para remaja yang membutuhkan; 8) Membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap kegiatan anak delinkuen, disertai program yang korektif. 9) Mengadakan pengadilan anak; 10) Mendirikan sekolah bagi anak miskin; 11) Mengadakan rumah tahunan khusus bagi anak dan sekolah; 12) Menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok; 13) Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreatifitas pada remaja delnikuen dan yang non delinkuen. b. Tindakan penghukuman Tindakan hukuman bagi remaja delinkuen antara lain berupa: menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap 27 adil, dan bisa menggugah berfungsinya hati nurani sendiri hidup susila dan mandiri. c. Tindakan kuratif Tindakan kuratif adalah tindakan bagi usaha penyembuhan kenakalan anak. Bentuk-bentuk tindakan kuratif, antara lain berupa : 1) Menghilangkan semua sebab-sebab timbulnya kejahatan; 2) Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang tua asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rokhani yang sehat bagi anak-anak remaja; 3) Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik atau ke tengah lingkungan sosial yang baik; 4) Memberikan latihan bagi remaja secara teratur, tertib dan berdisiplin; 5) Memanfaatkan waktu senggang di kamp latihan, untuk membiasakan diri bekerja, belajar dan melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi; 6) Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan vokasional untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen bagi pasar kerja dan hidup di tengah masyarakat; 7) Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan konflik emosional dan gangguan kejiwaan lainnya. 28 C. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan sebagai tindak pidana di dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak dapat. Oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Pembentuk undang-undang kita tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah berbagai pendapat di dalam doktrin tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut. Dikatakan selanjutnya oleh Pompe, bahwa menurut hukum positif kita, suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu 29 tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.18 Profesor Simons telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak disengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat di hukum.”19 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Setiap Tindak pidana yang terdapat di dalam kitab undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsurunsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur Objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan di mana tindakantindakan dari pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur Subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 18 Lamintang,1990,Dasar-dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia, Bandung,Sinar baru, Hlm.174 19 Ibid., Hlm.175 30 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP; 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dll.; 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam pasal kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; 5. Perasaan takut atau Vress seperti terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur Obyektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; 2. Kualitas dari si pelaku; 3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat20. 20 Lamintang, Op.Cit.,Hlm.183-184 31 D. Sistem Peradilan Pidana Anak 1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga permasyarakatan bantuan hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga negara. Pandangan filosofis peradilan berhubungan erat dengan konsepsi keadilan. Keadilan pada dasarnya merupakan nilai tertinggi diantara segala nilai yang ada di dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Keadilan merupakan integrasi dari berbagai niali kebijaksanaan yang telah, sedang, dan selalu diusahakan untuk dicapai pada setiap waktu dan segala bidang serta masalah yang dihadapi. Konsepsi ini berkembang selaras dengan berkembangnya rasa keadilan dunia dan peradaban bangsa. Konsepsi keadilan di tempatkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) undang-undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang ini menentukan bahwa : “Peradilan negara menerapkan dan menegaskan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.” Pasal ini menyatakan sudah menjadi kewajiban negara melalui peradilan untuk menegakan hukum dan memberi keadilan berdasarkan Pancasila. Peradilan sebagai penegak hukum, Pasal 2 ayat (1) menentukan 32 bahwa peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Hakikat peradilan merupakan kekuasaan kehakiman, dengan hakim yang sebagai pejabat pelaksana dalam rangka memberi keadilan, selain bertanggung jawab karena sumpah jabatan, hakim juga bertanggung jawab terhadap hukum, diri sendiri, rakyat serta terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menentukan bahwa : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.” Ketentuan ini menekankan bahwa pengadilan sebagai badan/lembaga peradilan dalam mengadili memandang bahwa harkat dan martabat seseorang tersebut adalah sama antara satu dan lainnya. Penempatan Kata “anak” dalam peradilan anak menunjukan batasan atas perkara yang ditangani oleh badan peradilan yaitu tentang perkara anak. Proses memberi keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan-Badan peradilan disesuaikan bentuk serta kebutuhan anak. Peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Ruang lingkup peradilan anak yang meliputi : a. Segala aktivitas pemeriksaan; b. Pemutusan perkara; c. Hal-hal yang menyangkut kepentingan anak. Menurut sistem hukum aktivitas pemeriksaan terhadap perkara pidana melibatkan : kepolisian, selaku penyidik yang melakukan serangkaian tindakan penyidikan, penangkapan, penahanan serta pemeriksaan pendahuluan; 33 kejaksaan selaku penuntut umum, sebagai penyidik atas tindak pidana yang kemudian melimpahkan ke pengadilan; pemeriksaan di depan pengadilan kemudian mengambil Keputusan.21 Dalam perkara pidana, perkara-perkara yang di periksa adalah perkara pidana anak yang menyangkut kenakalan yang dilakukan oleh anak. Falsafah yang mendasari peradilan anak adalah untuk kepentingan dan kesejahteraan masa depan anak, sehingga terdapat hubungan erat antara peradilan anak dengan Undang-undang kesejahteraan anak. 2. Tujuan Sistem Peradilan Anak Gordon Bazemore menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana (SPP) anak berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem peradilan pidana anak yang dianut. Terdapat tiga paradigam peradilan anak yang terkenal yaitu paradigma Pembinaan Individual (Individual treatment paradigm); Paradigma Retributif (retributive paradigm); Paradigma Restoratif (restorative paradigm). Dari masing-masing paradigma peradilan pidana anak ini, maka akan berlainan masing-masing tujuan yang ditonjolkan.22 Tujuan sistem peradilan pidana anak juga dapat dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sistem peradilan pidana anak, yaitu : SMRJJ/ The Beijing Rule, Konvensi Hak-hak Anak. Di Indonesia 21 22 Maidin, Op.Cit., Hlm. 190 Setya Wahyudi, Op.Cit., Hlm. 38 34 tujuan sistem peradilan pidana anak dapat diketahui pada UU Peradilan Anak dan UU Perlindungan Anak.23 a. Tujuan SPP anak pada paradigma pembinaan individual Sistem peradilan pidana anak dengan paradigma individual yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku bukan pada perbuatan atau kerugian yang diakibatkan. Tanggung jawab ini terletak pada tanggung jawab sistem dalam memenuhi kebutuhan pelaku. Penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual, adalah tidak relevan, insidental dan secara umum tak layak. Pencapaian tujuan sanksi ditonjolkan pada indikator hal-hal berhubungan dengan apakah pelaku perlu diidentifikasi, apakah pelaku telah dimintakan untuk dibina dalam program pembinaan khusus dan sejauhmana program dapat diselesaikan. Putusan ditekankan pada perintah pemberian program untuk terapi dan pelayanan. Fokus utama untuk pengidentifikasi pelaku dan pengembangan pendekatan positifis untuk mengkoreksi masalah. Kondisi delinkuensi ditetapkan dalam rangka pembinaan pelaku. Pelaku dianggap tak berkompeten dan tak mampu berbuat rasional tanpa campur tangan terapitik. Pada umumnya pelaku perlu dibina, karena akan memperoleh keuntungan dari campur tangan terapitik.24 23 24 Loc.Cit., Loc.Cit., 35 b. Tujuan SPP anak dengan paradigma retributif Tujuan penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat, pasti, setimpal serta adil. Bentuk pemidanaan berupa penyekapan, pengawasan elektronik, sanksi punitive, denda dan fee. Untuk menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan dengan pengawasan sebagai strategi terbaik, seperti penahanan, penyekapan, pengawasan elektronik. Keberhasilan perlindungan masyarakat dengan dilihat pada keadaan apakah pelaku telah ditahan, apakah residivis berkurang dengan pencegahan atau penahanan.25 c. Tujuan SPP anak dengan paradigma restoratif Ada asumsi bahwa di dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikut sertakan korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Bentuk-bentuk sanksi yaitu restitusi, mediasi pelaku korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban atau denda restoratif.26 Pada penjatuhan sanksi mengikutsertakan pelaku, korban, masyarakat dan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif 25 26 Ibid., Hlm. 39 Ibid., Hlm. 39 36 untuk merestore kerugian korban, dan menghadapi korban atau wakil korban. Korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu dalam penentuan sanksi bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator, membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum memfasilitasi berlangsungnya mediasi. Fokus utama peradilan restoratif untuk kepentingan dan membangun secara positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan positif, bersifat preventif dan proaktif. Untuk kepentingan reahbilitasi pelaku diperlukan perubahan sikap lembaga kemasyarakatan dan perilaku orang dewasa. Rehabilitasi pelaku dilakukan dengan pelaku yang bersifat learning by doing, konseling dan terapi untuk memotivasi keterlibatan aktif para pihak.27 d. Tujuan SPP anak menurut SMRJJ (The Beijing Rules) Di jelaskan dalam Commentary Rule 5.1 SMRJJ, bahwa ada tujuan atau sasaran yang penting dalam tujuan peradilan anak yaitu : a. Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile); b. Menekankan pada prinsip proposionalitas (the principle of the propotionality).28 Tujuan pertama adalah pemajuan kesejahteraan anak ini, merupakan fokus utama yang harus diutamakan pada sistem peradilan 27 28 Ibid., Hlm. 39 Ibid., Hlm. 41 37 pidana anak, dan dengan demikian merupakan penghindaran sanksisanksi yang sekedar menghukum semata. Tujuan kedua adalah prinsip kesapadanan, yaitu bahwa reaksi terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tidak hanya didasarkan pada pertimbangan beratnya pelanggaran hukum tetapi juga pada pertimbangan keadaan-keadaan pribadinya. e. Tujuan SPP anak menurut Konvensi Hak-hak Anak Tujuan sistem peradilan pidana anak yang menekankan pada perlindungan dan kesejahteraan anak ini, terdapat dalam Konvensi Hakhak Anak, pada uraian tentang standar-standar pelakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (standards regarding children in conflict with the law), sebagaimana ditentukan dalam Artikel 37 dan Artikel 40.29 f. Tujuan SPP anak berdasar UU Pengadilan Anak Tujuan sistem peradilan anak di Indonesia dilihat dalam ketentuan UU Pengadilan Anak (UU No. 3 tahun 1997). Di dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut ditandaskan bahwa pembuatan UU Pengadilan Anak dimaksudkan sebagai ketentuan dalam penyelenggaraan pengadilan bagi anak, dimana terhadap anak perlu perlakuan khusus. Diperlukan perlakuan khusus karena anak sebagai generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri khusus, maka memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka 29 Ibid., Hlm. 41 38 menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, selaras dan seimbang.30 g. Tujuan SPP anak berdasarkan UU Perlindungan Anak UU Perlindungan Anak memandang Anak nakal sebagai “Anak yang berhadapan dengan hukum”. Terhadap Anak Nakal menurut undang-undang perlindungan anak harus mendapatkan perlindungan khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 59, Pasal 64 UU Perlindungan Anak. Anak yang sedang berhadapan dengan hukum sama dengan Anak Nakal yang sedang diperiksa dalam proses peradilan. Salah satu perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum adalah “penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak”.31 Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak di dalam UU Perlindungan Anak, inilah yang menurut penulis merupakan tujuan sistem peradilan anak di dalam UU Perlindungan Anak. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, yaitu sanksi yang dapat mendukung bagi pembinaan dan perlindungan terhadap anak.32 30 Ibid., Hlm. 43 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 64 Ayat (2) huruf d 32 Setya Wahyudi,Op.Cit., Hlm. 45 31 39 E. Bantuan Hukum 1. Pengertian Bantuan Hukum Bantuan hukum (legal aid) mempunyai beragam definisi antara lainnya yang di atur dalam UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Bantuan hukum adalah jasa hukum yang di berikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerimaan bantuan hukum yang di selenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi penerima bantuan hukum. Menurut Roberto Conception, advokat dari Filipina : “ Bantuan hukum adalah pengungkapan yang biasanya digunakan untuk merujuk kepada segala bentuk dari jasa hukum yang ditawarkan atau diberikan kepada masyarakat. Ini dapat terdiri dari pemberian informasi atau pendapat yang di berikan mengenai hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam situasi tertentu, sengketa, litigasi, atau proses hukum, yang dapat berupa peradilan, semi peradilan administrasi, atau yang lainnya.33 Adnan Buyung Nasution, dalam sebuah makalahnya tahun 1980, mengatakan bahwa “bantuan hukum pada hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karena itu bantuan hukum bukanlah masalah sederhana. Ia merupakan rangkaian tindakan guna 33 Frans Hendra Winarta, 2009, Hak konstitusional Fakir Miskin untuk memperoleh bantuan hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm.22 40 pembebasan masyarakat dari belenggu struktur politik, ekonomi, dan sosial (poleksos) yang sarat dengan penindasan.34 Sementara Todung Mulya Lubis menegaskan bahwa bantuan hukum tidak bisa menghindarkan diri dari tujuan menata kembali masyarakat dari kepincangan struktural yang tajam dengan menciptakan pusat-pusat kekuatan dan sekaligus berarti mengadakan redistribusi kekuasaan untuk melaksanakan partisipasi dari bawah.35 2. Profesi Advokat Kata advokat apabila didasarkan pada Kamus Latin-Indonesia, dapat ditelusuri dari bahasa latin yaitu advocatus, yang berarti membantu seseorang dalam perkara. Sedangkan menurut English Language Dictionary, advokat didefinisikan sebagai berikut : “An advocate is a lawyer who speaks in favour of someone or defends them in a Court of law.36” Artinya, advokat adalah seorang pengacara yang berbicara atas nama seseorang atau membela mereka di pengadilan. Ruang lingkup advokat dapat meliputi pekerjaan yang berhubungan dengan pengadilan dan pekerjaan di luar pengadilan. Pengertian advokat menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam Pasal 1 angka (1) dikatakan : 34 Loc.Cit., Ibid., Hlm.23 36 V.Harlen, Sinaga, 2002, Dasar-Dasar Profesi Advokat, Jakarta, Erlangga, Hlm.2 35 41 “Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.” Pengertian advokat memperoleh penekanan bahwa advokat adalah orang yang melakukan pekerjaannya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Berdasarkan hal tersebut menurut pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dari sudut ilmu hukum. Cakupan advokat tersebut adalah sebagai politik hukum, yaitu mencari kegiatan untuk memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah pembentuk undang-undang (pemerintah dan dewan perwakilan rakyat) yang mewujudkan aspirasi masyarakat.37 3. Advokasi Bantuan Hukum Terhadap Anak Dalam kaitannya dengan Advokasi Bantuan Hukum terhadap anak. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51 Ayat (1) dan (3) menentukan bahwa; Pasal 51 Ayat 1 ”Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Pasal 51 Ayat 3 “Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.” 37 Loc.Cit., 42 Bantuan hukum menjadi suatu kewajiban yang diberikan dari negara untuk anak pelaku tindak pidana sesuai dengan aturan yang terdapat dalam undang-undang Pengadilan Anak. Terdapat argumentasi yang dapat di kembangkan untuk memberikan gambaran bantuan hukum sebagai hak yang wajib diberikan, antara lainnya38 Pertama, Secara konseptual Pengadilan Anak diarahkan sebagai peradilan yang bukan biasa (not ordinary) seperti peradilan orang dewasa, tetapi peradailan yang memiliki kekhususan tertentu. Kedua, Sebagai peradilan yang bersifat khusus, maka pengadilan anak dilakukan dengan petugas dan penegak hukum yang khusus, baik penyidik, jaksa, hakim, pengacara/advokat. Jangan membayangkan bantuan hukum anak nakal sebagai bantuan hukum biasa, karena ada prinsip kekhususan aparatur dan petugas. Perbuatan pidana anak nakal (diasumsikan) bukan perbuatan yang otentik, dan karenanya anak nakal bukan pelaku otentik. Arah politik hukum amandemen UU No. 3 Tahun 1997 pasti mampu membedakan antara perbuatan anak nakal sebagai perbuatan otentik dengan perbuatan yang hanya akibat saja dari keadaan dan peristiwa lain, Ketiga, Anak berkonflik dengan hukum adalah anak yang membutuhkan perlindungan khusus (Pasal 59 UU No.23 Tahun 2002), 38 Naskah akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm.54-55 43 sehingga perlindungan hukum dan hak-haknya dari/dengan pelaku kriminal dewasa Keempat, Secara faktual, dari berbagai laporan banyak ditemukan kekerasan terhadap anak berkonflik dengan hukum, baik pada masa penyidikan, penuntutan, persidangan maupun pada masa menjalani hukuman. Dengan demikian kekerasan menjadi bagian yang sulit di pisahkan dari anak yang berkonflik dengan hukum. Sebagai upaya maksimal melindungi anak dari kekerasan, maka sebagai media pencegahan kekerasan terhadap anak berkonflik dengan hukum, beralasan apabila pemberian banuan hukum kepada anak menjadi suat kewajiban, bukan hanya sekedar dapat di berikan kepada anak Kelima, Landasan yuridis untuk memperkukuh argumentasi ini dapat berangkat dari Pasal 58 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang menjamin anak berhak memperoleh perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, bahkan perlindungan anak dari kekerasan sudah merupakan hak konstitusional yang secar khusus dan eksplisit diatur dalamPasal 28B ayat (2) uud 1945 (Amandemen). Berdasarkan argumentasi tersebut, dalam UU Sistem Peradilan Anak, advokasi bantuan hukum merupakan hak anak, hal ini di tegaskan dalam Pasal 3 huruf c : “Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif”. 44 Hal tersebut semakin ditegaskan dalam pasal 23 ayat (1) yang merumuskan : “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” Ketentuan tersebut merupakan politik hukum legislator untuk bisa memberikan jaminan perlindungan terbaik bagi pelaksanaan hak-hak anak khususnya anak yang berkonflik dengan hukum. Keberadaan advokat atau pemberi bantuan hukum sangatlah diperlukan agar ada yang mendampingi anak yang sedang berkonflik dengan hukum, sehingga baik anak ataupun keluarganya dapat mengetahui hak-haknya serta dapat menjaga agar peradilan pidana anak berjalan dengan adil dan transparan. Faktor rendahnya pengetahuan masyarakat akan hukum membuat keberadaan advokat sangatlah diperlukan. Melihat UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum dilakukan secara cumacuma/prodeo, dalam mengimplementasikan UU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut terdapat kewajiban pemberian bantuan hukum dan advokasi. Advokat atau pemberi bantuan hukum diwajibkan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Advokat bersama aparat penegak hukum lainnya tidak diperkenankan unuk memakai toga atau atribut kedinasan untuk menjaga kondusifitas peradilan anak.39 39 M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hlm.173 45 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis atau penelitian hukum non doktrinal yaitu dengan mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri yang menekankan pada pencarian-pencarian, keajegan-keajegan empirik dengan konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga mengadakan observasi terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi.40 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan berlaku yang dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan relevan dengan tujuan dari penelitian ini. Bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang penerapan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana.41 40 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, Hlm. 11 41 Ibid., 13 46 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto. Lokasi penelitian ini dipilih oleh penulis karena lokasi kejadian yang penulis teliti berada di Purwokerto dan juga untuk memudahkan penulis melakukan proses penelitian. 4. Sumber Data 1. Sumber data primer Data primer adalah data yang bersumber pada ucapan informan dalam menjawab pertanyaan yang bersumber pada individu. Materi penelitian adalah dari pihak yang berwenang meliputi, Kepala Balai Pemasyarakatan Purwokerto, Kepala bidang Pusat Pelayanan Terpadu dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA), Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Jaksa Kejaksaan Negeri Purwokerto dan Advokat di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto. 2. Sumber Data Sekunder Data Sekunder adalah data dalam bentuk tulisan-tulisan yang bersumber pada dokumen-dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, bukubuku kepustakaan, karya ilmiah, artikel-artikel serta dokumen-dokumen yang terkait dengan materi penelitian.42 kegunaan dari data sekunder adalah sebagai berikut: 42 Ibid.,Hlm. 159 47 a. Untuk mencari data awal atau informasi b. Untuk mengetahui landasan teori hukum c. Untuk mendapatkan batasan definisi atau istilah 5. Metode Pengambilan Sampel Metode pemilihan informan pada pemilihan ini pada awalnya adalah Purposive Sampling yang menunjuk pada Hakim pengadilan, Advokat, Pembimbing Kemasyarakatan, dan perwakilan dari pusat pelayanan terpadu. Purposive sampling (sampling bertujuan) dirumuskan sebagai teknik pemilihan sumber di lapangan sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian dan dianggap cukup jika semua data yang diperlukan sudah terhimpun. Pemilihan informan selanjutnya menggunakan snowball sampling. Pemilihan informan dengan metode ini baru berhenti manakala sudah tidak ditemukan informasi baru. Penggunaan Snowball Samping diperlukan agar penggalian data secara mendalam dan maksimal dapat diperoleh, mengingat bahwa permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan perlindungan pelaku tindak pidana anak. 43 6. Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara (interview) Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi 43 Ibid., Hlm. 224 48 antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (Informan).44 Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung menggunakan daftar pertanyaan yang dikirim kepada responden dan responden menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh peneliti secara tertulis, dan kemudian mengirimkannya kembali daftar pertanyaan yang telah dijawab kepada peneliti. Secara langsung wawancara diajukan secara face to face artinya peneliti berhadapan langsung dengan responden untuk menanyakan secara lisan hal-hal yang diinginkan, dan jawaban responden dijawab oleh pewawancara. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara secara langsung. 45 2. Observasi (Pengamatan) Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Dalam penelitian ini posisi peneliti hanya sebagai pengamat tanpa terlibat kegiatan apapun. Moleong mengatakan bahwa pada pengamatan tanpa peran serta pengamat hanya melakukan satu fungsi yaitu mengadakan pengamatan. 44 45 Rianto Adi, 2005, Metodelogi penelitian social dan hokum, Jakarta,Granit, Hlm.72 Loc.cit 49 7. Metode Validitas Data Cara yang digunakan untuk menguji validitas, keabsahan atau kebenaran data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan triangulasi. Metode Triangulasi yang digunakan ialah jenis: Menurut Moleong, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Metode Triangulasi yang digunakan ialah jenis46 : a. Triangulasi sumber, yaitu untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek kembali data dengan sumber yang berlainan; b. Triangulasi Metode, yaitu untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek kembali data dengan menggunakan tehnik pengumpulan data yang berbeda; c. Triangulasi waktu, yaitu untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek kembali data dengan menggunakan waktu pengumpulan data yang berbeda.47 8. Metode Analisis Data Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data yang diperoleh, kemudian dianalisa secara deskriptif kualitatif,48 yaitu menerangkan atau menguraikan data yang ada untuk 46 Lexy J.Moleong, 1991, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosada Karya, Hlm. 178 47 Sugiono, 2008,Memahami penilitian Kualitatif., Bandung: Alfabeta. Hlm. 125. 48 Ibid.,Hlm. 179 50 mengetahui kesusaian data tersebut dengan peraturan-peraturan yang ada dalam praktik yang dijalankan. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, yang dilakukan dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan, stuan-satuan itu kemudian di katagorisasikan pada langkah berikutnya. Katagori-katagori itu dibuat sambil melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data.49 9. Metode Penyajian Data Data yang akan diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari masyarakat melalui wawancara maupun data-data pendukung akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan disusun secara sistematis sesuai dengan sistematika, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisis data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan. 49 Ibid.Hlm. 190 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bersumber pada data sekunder dan data primer. Hasil penelitian data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, buku literatur, karya ilmiah, artikel serta dokumendokumen lain yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti. Hasil penelitian yang bersumber pada data primer berupa hasil wawancara dengan informan yang menjawab pertanyaan. Dalam hal ini yang menjadi informan untuk mendapatkan data adalah Kepala Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Kepala Pusat Pelayanan Terpadu dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPTPKBGA), Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Jaksa Kejaksaan Negeri Purwokerto dan Advokat di wilayah Purwokerto. A. Hasil Penelitian Data Sekunder 1. Instrumen Perundang-undangan Nasional Terkait Dengan Perlindungan Hak Anak Indonesia memiliki banyak peraturan yang secara tegas memberikan upaya perlindungan terhadap anak. Perlindungan hak anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, tertuang dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Peraturan perlindungan hak anak di Indonesia yang lainnya yaitu undang-undang nomor 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan anak. 52 Indonesia aktif dalam pembahasan konvensi hak anak tahun 1989 yang kemudian diratifikasi melalui Keppres 36 Tahun 1990. Kemudian dibentuk UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang ini masih memiliki kelemahan, yaitu ketentuan hukum materiil yang dicampur adukan dengan ketentuan hukum formal dalam satu undang-undang; misalnya masalah batas usia minimum, jenis pemidanaan anak, masalah penyidikan, pemeriksaan dalam persidangan anak dan penahanan. Hal ini mengundang perhatian publik terhadap kepentingan untuk anak, sehingga disahkannya UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012. Undang-undang ini diharapkan dapat lebih melindungi kepentingan yang terbaik bagi anak. Merujuk pada Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 disebutkan, bahwa undang-undang ini berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Sehingga masih diberlakukan undang-undang yang lama sebagai dasar hukum pengadilan anak. Pada tahun 2002 disahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara tidak langsung mengakomodir prinsipprinsip hak anak. Salah satu implementasinya adalah dengan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). UU Perlindungan ini dilengkapi dengan memasukkan prinsip-prinsip hak anak pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No. 21 53 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, keppres RI No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Keppres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. Peraturan Perundang-undangan nasional yang berlaku pada saat ini terkait perlindungan anak dan bantuan hukum antara lain : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang merumuskan bahwa terdapat beberapa ketentuan mengenai anak dan kedudukannya di dalam hukum, antara lain : Pasal 28B ayat (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28G ayat (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda uang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 54 Pasal 28H ayat (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu Berdasarkan ketentuan tersebut, undang-undang memberi jaminan dan kepastian hukum yang jelas terhadap warga negaranya untuk mendapat kehidupan yang layak. Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. Pada dasarnya setiap orang berhak atas perlindungan hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Dalam kaitannya dengan Advokasi Bantuan Hukum terhadap anak. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51 Ayat (1), (2), dan (3) menentukan bahwa; Pasal 51 Ayat 1 Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 51 Ayat 2 Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) 55 Pasal 51 Ayat 3 Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. Bantuan hukum menjadi suatu kewajiban yang diberikan dari negara untuk anak pelaku tindak pidana sesuai dengan aturan yang terdapat dalam undang-undang Pengadilan Anak sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak anak. c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui perlakuan secara manusiawi sesuai dengan hakhak anak. Antara lain dengan memberikan petugas pendamping khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan pasal 13 maka dirumuskan, 1).Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan : Diskriminasi;eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. 2) Dalam hal orang tua , wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. 56 d. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pengaturan terkait bantuan hukum dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 56 dan 57, antara lain ; Pasal 56 Ayat (1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Pasal 56 Ayat (2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Bantuan hukum adalah pemberi jasa hukum secara cuma-cuma yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan suatu bentuk kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 57 Ayat (1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Pasal 57 Ayat (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 57 Ayat (3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Undang-undang ini merumuskan juga peran, tugas, fungsi, hak dan kewajiban advokat, antara lain diatur dalam pasal : 57 1. Pasal 1 angka 1 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. angka 2 Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. angka 7 Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima advokat berdasarkan kesepakatan dengan klien. angka 9 Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu 2. Pasal 5 Advokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan 3. Pasal 14 : Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan perundang-undangan. 4. Pasal 15 : Advokat bebas menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundangundangan. 5. Pasal 16 : Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan 6. Pasal 17 : Dalam menjalankan profesinya, advokat informasi, data, dan dokumen lainnya, pemerintah maupun pihak lain yang kepentingan tersebut yang diperlukan berhak memperoleh baik dari instansi berkaitan dengan untuk pembelaan 58 kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundangundangan 7. Pasal 18 Angka 1 Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras atau latar belakang sosial dan budaya Angka 2 Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat. 8. Pasal 19 Ayat 1 Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Ayat 2 Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat. 9. Pasal 22 Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu f. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Menurut Undang-undang ini pemberian bantuan hukum dilakukan dengan cara cuma-cuma/prodeo. Oleh karena itu, dalam penerapan UU Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat kewajiban pemberian bantuan hukum dan advokasi. Advokat atau pemberi bantuan hukum diwajibkan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dengan mengusahakan 59 agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Advokat bersama aparat penegak hukum lainnya tidak diperkenankan untuk memakai perlengkapan atau atribut kedinasan untuk menjaga kondusifitas peradilan anak. B. Hasil Penelitian Data Primer Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA), Hakim, Jaksa, dan Advokat. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan, maka diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: 1. Balai Pemasyarakatan 1.1. Peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam perlindungan hak-hak anak Balai pemasyarakatan memiliki tugas memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Balai pemasyarakatan mempunyai fungsi antara lain : 1. Melaksanakan penelitian kemasyarakatan (litmas), 2. Melaksanakan registrasi klien pemasyarakatan, 3. Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak, 4. Mengikuti sidang peradilan anak di Pengadilan Negeri 60 5. Memberikan bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak didik dan Klien Pemasyarakatan50 Berdasarkan hasil wawancara dengan pembimbing kemasyarakatan balai pemasyarakatan (BAPAS) Bapak Murwanto, S.Sos menyatakan bahwa, tujuan balai pemasyarakatan diselenggarakan adalah dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya. Tujuan tersebut akan terlaksana dengan menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang dilakukan terdakwa/pelaku anak sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dengan berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.51 Menurut Sutarni,SST, perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus-kasus anak yang makin marak terjadi dengan modus dan bentuk perbuatan kejahatan yang baru. Berdasarkan sumber data yang diperoleh dari Balai pemasyarakatan (BAPAS) Purwokerto. Jumlah anak yang berkonflik dengan hukum di bawah penanganan balai pemasyarakatan dari tahun 2010-2012 cukup banyak. Berdasarkan data anak yang dibuatkan penelitian masyarakat (LITMAS) pada tahun 2010 berjumlah 233 anak, pada tahun 2011 50 Profil Balai Pemasyarakatan Kelas II Purwokerto Hasil Wawancara dengan Murwanto,S.Sos., Pembimbing kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 15 Juni 2013 51 61 berjumlah 223 anak, pada tahun 2012 berjumlah 195 dengan total keseluruhan adalah 651 anak52. 1.2. Dasar pertimbangan Balai Pemasyarakatan dalam menyusun penelitian masyarakat Pendekatan sosiologis terhadap anak di bawah umur yang telah melakukan tindak pidana adalah pendekatan hukum yang paling tepat dalam pemeriksaan terhadap anak. Anak yang berkonflik dengan hukum memiliki kesempatan yang luas untuk memperoleh pendidikan demi menunjang masa depannya. Perlu penanganan yang terpadu dalam hal anak sehingga tidak hanya memperhatikan dari sisi yuridisnya saja dipertimbangkan. pertimbangan namun sosiologisnya pun sangat perlu Menurut Murwanto,S.Sos terdapat dasar-dasar pembimbing kemasyarakatan dalam menyusun penelitian masyarakat, antara lain : 1. Anak baru satu kali melakukan tindak pidana 2. Anak itu masih sekolah dan masih memiliki motivasi atau keinginan untuk bersekolah 3. Orang tua dan masyarakat yang terlibat dengan anak, masih mau menampung dan menerima keberadaan anak 4. Perbuatan tersebut bersifat meresahkan warga atau tidak 52 Hasil Wawancara dengan Sutarni,SST., Staf bimbingan konseling anak Balai Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 16 Juni 2013 62 5. Jenis tindak pidana yang dilakukan anak nakal (ringan, sedang, berat) 6. Karakteristik kondisi fisik yang melekat pada anak (Tato, tindik, rambut, dll) 7. Selama dilakukan wawancara terlihat ekspresi rasa penyesalan atau tidak53 Berdasarkan pertimbangan tersebut, diharapkan dapat menghasilkan laporan kemasyarakatan yang lebih mengutamakan sisi kepentingan yang terbaik bagi anak. 1.3. Laporan Penelitian Masyarakat oleh pembimbing kemasyarakatan Pembimbing kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada balai pemasyarakatan yang diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM RI atas usul kepala balai pemasyarakatan melalui kantor wilayah departemen hukum dan HAM. Tugas dan kewajiban pembimbing kemasyarakatan adalah : 1. Melakukan penelitian kemasyarakatan; 2. Menyusun laporan atas hasil penelitian kemasyarakatan yang telah dilakukannya; 53 Hasil Wawancara dengan Murwanto,S.Sos., Pembimbing kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 16 Juni 2013 63 3. Mengikuti sidang tim pengamat pemasyarakatan guna memberikan data, saran dan pertimbangan atas hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukannya; 4. Mengikuti sidang pengadilan yang memeriksa perkara anak nakal yang sedang diperiksa di Pengadilan berdasarkan hasil penelitian masyarakat; 5. Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi klien pemasyarakatan; 6. Memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang meminta data atau hasil penelitian kemasyarakatan klien tertentu; 7. Mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang melaksanakan tugas pembimbingan; 8. Melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi pidana pengawasan, anak didik pemasyarakatan yang diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh yang diberi tugas pembimbingan54. Pendekatan sosiologis berupa penelitian masyarakat (litmas) merupakan pendekatan secara non-penal yang dilakukan oleh petugas pembimbing kemasyarakatan dari balai pemasyarakatan berdasarkan penugasan dari hakim pidana anak. Pendekatan ini bertujuan untuk meneliti dan mengetahui keadaan internal dan eksternal anak yang telah melakukan tindak pidana. 54 Profil Balai Pemasyarakatan Kelas II Purwokerto 64 Slamet Budi Santoso selaku petugas pemasyarakatan pada balai pemasyarakatan Klas II Purwokerto menyatakan bahwa, laporan penelitian masyarakat (litmas) memiliki peran yang strategis dalam memberikan rekomendasi kepada hakim dalam mempertimbangkan dan memutus perkara anak. Dalam membuat laporan tersebut tidak lepas dari pendekatan secara sosiologis, karena bertujuan untuk meneliti dan mengetahui keadaan internal atau eksternal anak. Keadaan tersebut seperti keadaan fisik, psikologis, sosial budaya, pendidikan dan ekonomi anak. Peran orang tua, wali atau orang tua asuh yang turut serta dalam pemeliharaan anak dan hubungan anak dengan keluarga masyarakat dan sekolah, merupakan hal-hal yang perlu juga untuk di teliti dan dikaji agar mendapatkan data yang objektif bagi anak.55 1.4. Hambatan dalam proses pembuatan laporan penelitian masyarakat Di dalam praktiknya sering kali ditemukan kendala dan hambatan yang dihadapi dalam proses pembuatan penelitian masyarakat, Murwanto,S.Sos menyampaikan hambatan-hambatan tersebut antara lain ; 1. Keluarga klien dan masyarakat, belum semua mengetahui tentang fungsi dan peran balai pemasyarakatan; 55 Hasil Wawancara dengan Slamet Budi Santoso., Pembimbing kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 16 Juni 2013 65 2. Pembimbing kemasyarakatan (PK) pada saat menuju ke rumah klien anak, terkadang mendapatkan kesulitan pada area atau keadaan yang kurang mendukung. Seperti daerah yang dikunjungi berupa pegunungan dengan jalan yang rusak atau keadaan cuaca yang tidak menentu, menghambat PK untuk melaksanakan tugasnya; 3. Kasus-kasus anak dewasa ini meningkat, baik jumlah maupun jenis kenakalan yang dilakukan oleh anak; 4. Kurangnya buku literatur dan referensi tentang anak untuk pengayaan informasi dan pengetahuan yang baru; 5. Kurangnya perlindungan hak bagi pihak pelaku, seperti contoh kasus persetubuhan yang dilakukan oleh anak. Setelah pengumpulan data, bukti dari korban pelaku, orang tua dan masyarakat, diperoleh data bahwa kejadian tersebut terjadi atas dasar hubungan saling suka. Tetapi tuntutan hanya tertuju pada pelakunya saja; 6. Kadang di temukan kasus anak yang tidak mengakui kesalahannya, terutama pada kasus asusila. Pihak pembimbing kemasyarakatan tidak boleh memaksa anak untuk mengakui perbuatan apa saja yang telah dilakukannya. Dalam hal ini Balai pemasyarakatan dapat bekerja sama dengan pihak penyidik atau bantuan psikolog; 7. Dalam UU anak yang terbaru menentukan bahwa penelitian masyarakat harus sudah selesai dalam waktu 3 hari. Hal ini akan 66 berdampak terhadap hasil litmas yang kurang maksimal karena Bapas Purwokerto membawahi 6 wilayah kabupaten/kota antara lain Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan Purworejo. Dengan hanya 1 instansi balai pemasyarakatan yang membawahi 6 kabupaten/kota yang menjadikan salah satu faktor penelitian masyarakat terhadap klien tidak berjalan dengan maksimal.56 2. Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) 2.1. Peran Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) dalam memberikan perlindungan bagi anak sebagai pelaku tindak pidana Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala bidang (PPTPKBGA) Dra. Tri Wuryani, M.Si., menjelaskan bahwa peran (PPTPKBGA) adalah lembaga yang bertugas melakukan penanganan dan perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender dan anak. Lembaga ini tidak hanya melakukan advokasi terhadap wanita dan anak sebagai korban atau saksi, tetapi juga terhadap anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum. (PPT-PKBGA) di 56 Hasil Wawancara dengan Murwanto,S.Sos., Pembimbing kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 16 Juni 2013 67 wilayah kota Purwokerto merupakan lembaga yang turut serta menangani dan mendamping pelaku anak. Hal ini di latar belakangi karena anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan korban. Anak yang melakukan tindak pidana adalah korban dari lemahnya peran keluarga, lingkungan yang buruk, keadaan ekonomi, dan kurangnya pendidikan. Pusat pelayanan terpadu adalah salah satu lembaga koordinator yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten Banyumas yang berperan melindungi kepentingan perempuan dan anak sebagai korban atau pelaku. Pusat pelayanan terpadu selalu melibatkan tokohtokoh masyarakat pada saat memberikan perlindungan hak anak. Keterlibatan masyarakat ini selalu disertakan dengan harapan adanya kepedulian dari masyarakat untuk ikut serta memperhatikan kepentingan anak. Dalam banyak kasus ketika tokoh masyarakat tidak di ikut sertakan, akan berakibat pada saat anak dikembalikan pada orang tua. Anak akan terasingkan dan terusir dari lingkungan hidup aslinya karena dianggap sebagai virus yang akan mencemari dan menulari anak-anak yang lain.57 Hasil Wawancara dengan Dra. Tri Wuryani, M.Si., Kepala bidang Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) Kota Purwokerto pada tanggal 26 Juni 2013 57 68 2.2. Hambatan dalam penanganan kasus kekerasan yang melibatkan anak Menurut Dra. Tri Wuryani, M.Si, pemahaman penegak hukum dari aparat kepolisian, kejaksaan dan hakim hingga saat ini masih belum seragam. Pemahaman yang di maksud adalah terkait diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penanganan diversi seharusnya dapat dilakukan di setiap tahapan peradilan. Kepolisian sebagai tingkat penyidikan adalah gawang pertama dalam menangani anak. Sering kali dalam praktiknya pihak kepolisian melewatkan upaya diversi ini. Tetapi PPT selalu mencoba melakukan advokasi bukan hanya kepada pelaku saja tetapi juga ke lembaga kepolisian. Lepas dari pemantauan PPT dan Balai pemasyarakatan, banyak kasus yang tiba-tiba langsung di vonis tanpa melalui proses diversi. Jumlah kasus yang ada di kepolisian dan jumlah kasus yang PPT dampingi sering kali memiliki perbedaan yang signifikan. Data ini membuktikan bahwa upaya diversi untuk anak dalam kepolisian masih belum tegas dilakukan. Pada saat PPT melakukan kontrol biasanya selalu dilakukan diversi. Tetapi jika tidak dilakukan kontrol, langsung keluar surat perintah penyidikan dari kepolisian yang berkasnya tinggal di limpahkan ke kejaksaan dengan tanpa melalui upaya diversi. Faktanya, polisi memiliki Unit PPA (perlindungan perempuan dan anak), hanya saja unit kerja ini belum berjalan dengan baik. Seharusnya kepala unit PPA adalah perwira polisi wanita yang memiliki perspektif kepekaan terhadap keadaan batin anak. 69 Dra. Tri Wuryani, M.Si tidak pernah menemukan upaya diversi diterapkan pada tingkat kejaksaan, karena pada prinsipnya jika sudah berada di tangan kejaksaan maka perkara harus dilanjutkan ke pengadilan. Pada tingkatan pengadilan, hakim cenderung membaca laporan penelitian masyarakat (litmas) bukan mempertimbangkan hasilnya, seharusnya laporan tersebut dapat dijadikan pertimbangan, namun hanya menjadi formalitas saja. Ketika PPT mencoba melihat secara komprehensif, anak memang tidaklah untuk dihukum tetapi lebih baik diupayakan dengan rehabilitasi dan pengawasan terpadu. Lembaga pemasyarakatan (lapas) bukanlah tempat yang baik untuk anak. Lapas yang di khususkan untuk anak, tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan di satukan dengan anak binaan lain dengan berbagai macam sifat dan latar belakang dan tentunya dapat mempengaruhi keadaan psikologis anak tersebut. Anak yang keluar dari penjara dibandingkan dengan anak yang di tangani oleh PPT melalui jalur diversi akan terlihat perbedaan. Anak yang keluar dari lapas tidak menjamin untuk tidak melakukan perbuatannya lagi. Tetapi berbeda dengan anak yang di kembalikan pada keluarga dengan proses diversi. Mereka lebih terpantau dan terjaga keadaan mental psikologisnya.58 Hasil Wawancara dengan Dra. Tri Wuryani, M.Si., Kepala bidang Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) Kota Purwokerto pada tanggal 26 Juni 2013 58 70 3. Hakim di Wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto 2.1 Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana Berdasarkan hasil wawancara dengan Budi Setyawan, S.H.,M.H Selaku hakim di Pengadilan Purwokerto, menghasilkan hasil wawancara sebagai berikut : Dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anak, acuan yang pertama akan dilihat adalah pada saat perkara diajukan maka hakim harus sudah membaca hasil penelitian dari pembimbing kemasyarakatan. Acuan kedua dengan berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, yang di dalamnya akan di pertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sehingga terbukti untuk memenuhi suatu kejahatan. Melihat anak yang sedang berhadapan dengan hukum harus secara spesifik, karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Anak termasuk individu yang belum dewasa dan belum bisa bertanggung jawab sepenuhnya serta kurangnya pengawasan orang tua, pergaulan/lingkungan tumbuh anak yang mempengaruhi sehingga terbentuk watak anak. Tetapi ketika berhadapan dengan hukum maka otomatis akan berhadapan atau dibenturkan dengan perbuatan faktual yang dilakukan. Hakim selalu mempertimbangkan dari segi lingkungannya, jika anaknya melakukan kejahatan karena desakan ekonomi maka hakim akan mempertimbangkan anak tersebut untuk 71 dikembalikan ke orang tua. Ataupun jika orang tuanya tidak mampu secara ekonomi maka anak ini diserahkan ke lembaga sosial untuk diberikan keterampilan dan pendidikan. Anak yang berada di lembaga pemasyarakatan (lapas), tetap disekolahkan dan mendapatkan pendidikan yang layak serta tetap memantau perkembangan sikap dan perilaku anak tersebut. Tidak harus menunggu sampai usia 18 tahun anak itu harus baru bisa dibebaskan. Umur di bawah itu pun ketika anak tersebut terdapat perubahan sikap dan perilaku ke arah positif maka dapat dikembalikan ke orang tuanya meskipun belum mencapai batasan usia maksimal 18 tahun. Hal tersebut dikarenakan penanganan terhadap anak tidak semata-mata berdasarkan dari sisi yuridisnya saja. Hakim dalam rangka pemberian perlindungan hak terhadap anak, lebih melihat sisi kemanfaatannya. Penjatuhan pidana terdiri dari 2 jenis, yaitu tindakan dan hukuman. Hakim akan melihat manakah yang lebih bermanfaat untuk anak dan lingkungannya. Ketika masyarakat sebagai korban melaporkan suatu kejadian, terjadi permasalahan bahwa korban tidak terima atau tidak puas dengan perlakuan tersangka anak tersebut, meskipun nilainya kecil. Sering kali terjadi ketidakseimbangan sosial di mana adanya perbuatan pidana yang menimbulkan gejolak. Maka harus diselesaikan melalui lembaga penegak hukum. Ketika melihat dari sisi korban yang tidak terima berarti masih belum terjadi keseimbangan. Tetapi ketika terjadi 72 musyawarah mufakat dan korban tidak keberatan lagi dan pelaku anaknya juga sudah menunjukan rasa penyesalan. Maka anak tidak perlu untuk di hukum. Oleh sebab itu hakim harus membaca laporan penelitian yang di buat oleh balai pemasyarakatan tentang kondisi anak, korban, keluarga, masyarakat dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Hakim perlu mempertimbangkan dari segi kemanfaatan dalam menjatuhkan sanksi pidana. Pada saat anak masih dalam proses belajar atau sekolah, sering kali hakim memberikan prioritas pendidikan kepada anak tersebut. Penjatuhan hukuman yang diberikan tidak mengganggu proses belajarnya karena pendidikan merupakan bekal yang utama untuk masa depan dan kelangsungan hidupnya. Hakim tidak ragu dalam mengambil Keputusan namun terkadang ada hak yang perlu di pertimbangkan. Dalam hal hakim menjatuhkan sanksi yang kurang tepat, akan memberi dampak negatif terhadap anak. Pelaku anak berusia muda dan masih wajib menempuh pendidikan yang harus di ikuti. Pelanggarannya pun sebatas akan menjadi pengalaman di kemudian hari untuk lebih waspada dan tidak untuk di ulangi kembali. Sehingga hakim harus cermat dalam memutus setiap perkara yang berhubungan pada anak khususnya.59 Menurut hakim Abdul Latif,S.H.,M.H dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana harus mempertimbangkan Hasil Wawancara dengan Budi Setyawan, S.H.M.H., Selaku hakim di Pengadilan Purwokerto Pada tanggal 17 Juni 2013 59 73 rekomendasi dari balai pemasyarakatan, orang tua, dan pengakuan anak itu sendiri. Dengan bukti-bukti yang ada dan harus memenuhi Pasal 184 KUHAP minimal 2 alat bukti yang menguatkan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan kepada anak adalah melihat dari umur anak. Harus bertitik tolak untuk kebaikan anak tersebut. Untuk jangka panjang hakim lebih mempertimbangkan anak di jadikan anak negara, dengan mempertimbangkan orang tua yang sudah tidak mampu merawat, mendidik, membimbing dan mengasuhnya. Hal ini dapat digunakan jika pihak orang tua anak menolak atau tidak mampu lagi menerima anak tersebut Pertimbangan hakim untuk membebaskan terdakwa anak adalah harus tidak terbukti melakukan perbuatan dan pertimbangan hakim dalam menghukum terdakwa anak adalah harus benar-benar terbukti melakukan pelanggaran Kesimpulannya sanksi pidana yang tidak tepat akan menghambat proses tumbuh kembang anak. Penjatuhan pidana menjadi label dalam masyarakat bahwa anak tersebut pernah melakukan perbuatan kejahatan.60 Hasil Wawancara dengan Abdul Latif, S.H.M.H., Selaku hakim di Pengadilan Purwokerto Pada tanggal 11 Juni 2013 60 74 2.2. Bentuk perlindungan hak dan bantuan hukum pada anak Menurut Budi Setyawan, S.H.,M.H, bentuk perlindungan hak dan bantuan hukum pada anak yaitu hakim akan meminta kepada orang tua dan petugas kemasyarakatan untuk selalu hadir memberikan penguatan secara psikologis terhadap anak. Hakim melihat pangkal permasalahannya dari motif bukan hanya dari akibat hukumnya. Sering kali karena faktor ekonomi, tidak mampunya menyerap informasi sehingga anak melakukan tindakan yang bias. Pemberitaan pada anak harus di sembunyikan identitasnya, harus di dampingi orang tuanya, pembimbing kemasyarakatan, persidangan harus tertutup. Dengan mendasarkan pada Pasal 56 KUHAP, bahwa terdakwa mempunyai hak untuk di dampingi penasihat hukum. Hakim hampir selalu menyampaikan untuk memberikan hak-hak bantuan hukum dengan membuat penetapan supaya anak tersebut pada saat persidangan harus di dampingi penasihat hukum. Hakim menunjuk penasihat hukum untuk mendampingi anak yang tidak memiliki penasihat hukum untuk melindungi hak-haknya. Penunjukan secara sukarela kepada advokat selama ini tidak pernah ada masalah untuk mendampingi karena anak merupakan masalah yang khusus.61 Hasil Wawancara dengan Budi Setyawan, S.H.M.H., Selaku Hakim di Pengadilan Purwokerto Pada tanggal 17 Juni 2013 61 75 4. Kejaksaan Negeri Purwokerto 4.1. Peran jaksa dalam perlindungan hak anak Berdasarkan hasil wawancara dengan Rinawati,S.H.,M.H selaku jaksa di Kejaksaan Negeri Purwokerto menyatakan bahwa, di Kejaksaan Negeri Purwokerto terdapat penunjukan untuk beberapa jaksa dengan surat perintah kepala Kejaksaan sebagai jaksa khusus anak. Jaksa tersebut berperan untuk menangani perkara yang erat kaitannya dengan anak (terdakwa anak). Khusus di sini bukan berarti hanya menangani perkara anak saja, tetapi jaksa juga masih menangani perkara di luar anak. Kesimpulannya bahwa jaksa masih menjabat jabatan rangkap dan belum fokus menangani khusus anak. Selama proses penuntutan, jaksa melakukan pendekatan langsung terhadap anak, sehingga anak yang berkonflik dengan hukum merasa nyaman dan dapat mengikuti jalannya persidangan dengan baik. Dalam mengajukan tuntutan pidana, jaksa lebih memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuan Pasal 7 keputusan bersama antara ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum. Memuat di dalamnya peran jaksa kaitannya dengan penanganan anak, antara lain : 76 1. Melakukan penuntutan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum; 2. Menyiapkan Jaksa dan tenaga administrasi yang mempunyai minat, kemampuan, memperhatikan dan dedikasi dibidang anak pada setiap kantor kejaksaan; 3. Menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak pada setiap kantor kejaksaan; 4. Mengadakan diskusi dan pelatihan yang dibutuhkan secara rutin 5. Menyusun panduan/pedoman, surat edaran/standar operasional prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan retoratif; 6. Membentuk kelompok kerja penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum; 7. Melakukan sosialisasi internal.62 Selanjutnya kembali Rinawati,S.H.,M.H, menyebutkan halhal yang perlu diperhatikan agar hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana dapat di terapkan dengan baik, antara lainnya ; 1. Proses penanganan yang didahulukan dari perkara yang lain 2. Percepatan proses penanganan perkara dengan menghindari pengulangan berkas perkara dan proses persidangan yang di tundatunda Hasil Wawancara dengan Rinawati,S.H.,M.H., Selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Purwokerto, Pada tanggal 15 Juli 2013 62 77 3. Memperhatikan masa penahanan 4. Aktif berkomunikasi dan memberi konseling terhadap terdakwa anak 5. Memberikan tuntutan pidana dengan mempertimbangkan masa depan anak 4.2. Hambatan jaksa dalam menangani kasus anak Menurut Rinawati,S.H.,M.H, terdapat kendala yang dihadapi jaksa dalam praktiknya, antara lain ; 1. Terkadang ada perkara anak yang rumit pembuktiannya, sehingga proses persidangan memakan waktu lama. Padahal penahanan terdakwa anak berbeda dengan terdakwa dewasa; 2. Ada beberapa kasus terdakwa anak yang tidak menempuh pendidikan, sehingga terdapat kesulitan dalam proses pemeriksaan persidangan; 3. Tidak semua tim terpadu di setiap kabupaten melakukan pendampingan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, sehingga tidak ada pendampingan selam proses persidangan. Hal ini sebenarnya sangat membantu dalam proses pemeriksaan persidangan dan membantu menumbuhkan motivasi dan semangat terdakwa anak untuk melanjutkan pendidikannya. Rinawati,S.H.,M.H menyampaikan bahwa penanganan perkara terdakwa anak harus dilakukan secara maraton (2 x dalam 78 1 Minggu) bagi perkara yang membutuhkan waktu untuk pembuktian. Oleh karena itu, proses persidangan perkara terdakwa anak harus selalu didahulukan di atas perkara yang lain. Perlu di dibentuk tim terpadu yang melakukan pendampingan terhadap terdakwa anak, sehingga mempermudah proses penanganan perkara anak. Dari hasil penelitian yang dilakukan, terdapat sebagian Advokat yang mengeluhkan tentang sulitnya meminta permohonan penangguhan penahanan terhadap anak kepada Kejaksaan. Permohonan penangguhan penahanan adalah hak semua terdakwa, akan tetapi pihak jaksa mempunyai pertimbangan sendiri untuk menerima atau menolaknya. Pertimbangan tersebut yaitu ; 1. Jenis tindak pidana yang dilakukan, jika perkara besar dan menarik perhatian masyarakat maka sulit untuk di kabulkan permohonan penangguhan penahanannya; 2. Status terdakwa (pelajar atau putus sekolah); 3. Keluarga yang melakukan penjaminan untuk penangguhan penahanan; 4. Tempat tinggal terdakwa anak, di dalam atau di luar daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut; 5. Keadaan korban dan masyarakat sekitar 79 5. Advokat di Wilayah Kota Purwokerto 5.1. Peran Advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan latar belakang kondisi psikologis anak yang belum mapan, maka diperlukan pendampingan terhadap anak. Undang-undang Peradilan Anak di dalamnya juga mewajibkan adanya pendamping seperti advokat, orang tua atau dari balai pemasyarakatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Saleh Darmawan,S.H , memaparkan bahwa advokat memiliki peran yang sangat strategis di samping yang telah di amanatkan secara langsung di dalam undang-undang Peradilan Anak dan KUHAP. Advokat yang menangani perkara anak harus mengetahui secara terperinci terhadap aturan-aturan yang melingkupi proses perkara anak. Advokat tidak hanya berpegangan dengan undang-undang saja tetapi juga dengan aturan lain yang telah disepakati secara internasional seperti konvensi internasional tentang anak/beijing rule. Peran advokat antara lain mengajukan permohonan pendampingan, dan di kabulkan atau tidaknya itu merupakan kewenangan dari kepolisian, kejaksaan dan hakim yang menangani perkara. Pemberian bantuan hukum berupa advokat dapat dilakukan melalui penunjukan oleh hakim. Advokat 80 berperan memastikan bahwa anak tersebut telah diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.63 5.2. Kendala dalam proses pemberian bantuan hukum kepada anak Menurut Saleh Darmawan,S.H , kendala yang dihadapi dalam memberikan bantuan hukum kepada anak adalah sebagai berikut ; a. Institusi Polri membentuk unit PPA (perlindungan perempuan dan anak) yang berperan untuk menangani perkara anak. Tetapi institusi Polri masih belum mampu menciptakan perwira polisi wanita yang benar-benar memiliki kerangka berfikir perlindungan terhadap anak. Polri belum siap secara penuh menyediakan penyidik anak walaupun sudah ada pengaturan tentang syarat-syarat menjadi penyidik anak. Persepsi/mind set dari penegak hukum yang masih belum padu dalam menyamakan persepsi tentang perlindungan anak. Di institusi Polri tidak semua anggota unit PPA menguasai maksud dari diversi dan restorasi sehingga setiap perkara yang masuk harus di hukum. Walaupun terdapat mediasi namun hanya dijadikan formalitas saja. b. Banyak anak di bawah umur yang tidak sekolah diberikan sanksi tahanan. Hal ini disebabkan karena timbul kekhawatiran dari pihak kepolisian bahwa anak tersebut tidak adanya yang menjamin jika tidak Hasil Wawancara dengan Saleh Darmawan, S.H., Selaku Advokat wilayah Purwokerto, Pada tanggal 20 Juni 2013 63 81 sekolah. Tetapi ketika anak masih sekolah, dipastikan adanya pengawasan dari pihak keluarga, lingkungan/perangkat desa dan sekolah. Polisi masih mendasarkan atas alasan subjektif penahanan, jadi ketika memenuhi syarat dalam melakukan penahanan sehingga untuk anak-anak di bawah umur yang tidak sekolah tetap ditahan. Hal ini tanpa mempertimbangkan unsur objektif atau segi kepentingan terbaik untuk anak yang sedang proses tumbuh dan kembang. c. Hukum kita masih mengalami dilema pada saat perkara yang melibatkan anak sebagai pelaku, tetapi dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa. Apakah diversi yang dilakukan oleh anak bersamaan dengan orang dewasa dapat dilakukan?. Ternyata dalam praktiknya masih sulit. Ada semacam kearifan lokal dalam masyarakat, polisi juga khawatir jika satu pihak di diversi maka semua juga harus di diversi atau semua dilepas maka semua harus dilepas karena menyangkut keadilan. Untuk melakukan diversi bagi orang dewasa tidak ada aturannya, tetapi untuk anak ada peraturan yang melingkupi. Artinya masih terdapat keraguan dari pihak kepolisian untuk melakukan diversi terhadap perkara anak. Polisi juga merasa dilema ketika keluarga korban berpendirian agar perkara ini diproses lebih lanjut. Polisi ragu untuk menjelaskan kepada keluarga korban bahwa tersangka pun memiliki hak yang di lindungi oleh undangundang dalam hal masalah diversi. Polisi cenderung mengikuti tuntutan dari keluarga korban, karena khawatir jika prosesnya tidak di 82 lanjut atau dilakukannya diversi justru polisi tersebut yang terkena pra peradilan. Anak yang berkonflik dengan hukum memiliki hak untuk menempuh upaya diversi. Namun dalam praktiknya instansi kepolisian mengalami dilema atau ragu dalam penerapannya. Kewajiban untuk dilakukannya diversi ini seolah-olah hanya kewajiban yang semu, artinya ketika tidak dilakukan tidak ada sanksi yang tegas dalam menindak aparat penegak hukum. Namun dengan adanya UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang terbaru. Terdapat peraturan pemberian sanksi kepada aparat hukum yang tidak mengupayakan proses restorasi dan diversi tersebut. Undang-undang tersebut berlaku 2 tahun setelah di undangkan (Agustus 2012) d. Advokat merasa lebih mudah untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan terhadap anak. Tetapi di tingkat kejaksaan prosedur permohonan penangguhan anak di bawah umur untuk tidak ditahan lebih sulit dikabulkan. e. Di tingkat peradilan, hakim selalu meminta kepada balai pemasyarakatan (BAPAS) untuk dibuatkan penelitian masyarakat sebagai bahan pertimbangan dalam putusan. Tetapi advokat belum pernah melihat putusan pengadilan yang sesuai dengan rekomendasi dari BAPAS. Sampai sejauh mana efektivitas rekomendasi BAPAS dalam putusan hakim, hal ini pun masih menjadi pertanyaan. Berdasarkan pernyataan dari advokat Saleh Darmawan,S.H terkait 83 perkara anak yang pernah ditanganinya, bahwa tidak semua rekomendasi dari BAPAS dijadikan pertimbangan utama hakim. Hakim cenderung melihat dari kebenaran materiil dari fakta yang terungkap di persidangan. f. Perlindungan terhadap anak tidak menjadi maksimal ketika polisi tidak memberi tahu kepada pusat pelayanan terpadu (PPT) tentang perkara yang sedang diperiksa, sehingga PPT tidak dapat melakukan pendampingan. PPT harus mengetahui jika ada perkara yang masuk ke dalam pengadilan. g. Sarana dan prasarana yang kurang memadai seperti tidak adanya lembaga pemasyarakatan (LAPAS) khusus anak di kota Purwokerto, ruang tunggu tersangka di pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian yang masih dicampur baik dewasa atau anak. h. Masyarakat cenderung tidak mengetahui bahwa pelaku anak juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi. Masyarakat berpandangan bahwa untuk mendapatkan suatu bantuan hukum itu harus membutuhkan biaya yang besar. Balai pemasyarakatan dan pusat pelayanan terpadu (PPT) tidak memungut biaya perkara dalam pendampingan terkait perlindungan hak-hak anak. Faktor masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan bantuan hukum tersebut mengakibatkan rata-rata pelaku anak tidak di damping advokat secara utuh pada setiap tahapan prosesnya. Kendala dari permasalahan tersebut di atas adalah ketika advokat tidak mengetahui dan 84 memahami proses perkara tersebut dari awal sehingga tidak cukup waktu untuk mencari informasi dan bukti yang meringankan untuk kepentingan pembelaannya.64 5.3. Faktor yang menghambat dan mendorong dalam pemberian bantuan hukum Berdasarkan hasil wawancara dengan advokat Saleh Darmawan, S.H, ada beberapa faktor pendorong dan penghambat pemberian bantuan hukum pada anak yang berkonflik dengan hukum, antara lainnya : a. Faktor Penghambat Advokat dengan penuh kerelaan dapat memberi bantuan terhadap klien yang tidak memiliki kemampuan dalam segi ekonomi. Hal ini juga diatur di dalam kode etik advokat untuk dapat memberikan pendampingan secara prodeo/cuma-cuma. Akan tetapi advokat tidak dapat mendukung secara maksimal mencari data atau bukti yang meringankan pelaku anak tersebut. Karena untuk mencari hal tersebut membutuhkan biaya yang tidak kecil. Sedangkan penghasilan utama advokat hanya berasal dari klien yang membutuhkan jasanya. Hendaknya pemerintah melalui 64 Hasil Wawancara dengan Saleh Darmawan, S.H., Selaku Advokat wilayah Purwokerto, Pada tanggal 20 Juni 2013 85 kementerian hukum dan HAM dapat memberikan dana alokasi khusus untuk pemberian bantuan hukum bagi pengacara. b. Faktor Pendorong Salah satu faktor yang mendukung pemberian bantuan hukum terhadap anak yang sedang berkonflik dengan hukum adalah undang-undang. Dengan regulasi yang ada walaupun masih mengandung kelemahan dalam isi. Dalam kenyataannya masih minim sekali perlindungan terhadap anak. Aparat penegak hukum masih banyak yang belum memahami isi undang-undang tentang bagaimana proses perkara dalam anak itu di selenggarakan. Unsurunsur penegakan hukum harus menyatu untuk mendukung kepentingan anak. Hal ini memang harus di utamakan di atas kepentingan yang lain, jika ini sudah bisa maksimal maka perlindungan hak-hak anak akan berjalan dengan baik. 86 C. Pembahasan Dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini, penulis mendasarkan pada hasil penelitian yang kemudian dihubungkan dengan landasan teori. 1. Implementasi Perlindungan Hak-Hak Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana di Wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto Anak merupakan cikal bakal penerus masa depan bangsa yang sekaligus sebagai gambaran bangsa pada masa depan. Anak berperan strategis sebagai penentu kunci sukses suatu negara. Kualitas anak yang rendah dengan kadar moral dan perilaku yang buruk berdampak negatif pada perkembangan suatu negara di masa yang akan datang. Realita yang terjadi, anak berada pada posisi yang sangat rawan terhadap perlakuan dari pihak-pihak yang merampas hak dasar hidupnya. Permasalahan mengenai anak telah menjadi hal yang memilukan dan mengkhawatirkan. Seharusnya anak dipelihara, dibina , dilindungi, dan dijaga dengan baik justru banyak yang dijadikan sebagai objek dari perbuatan-perbuatan tercela. Tidak heran ketika banyak ditemukan anak sebagai pelaku tindak pidana semakin meningkat jumlahnya. Hal ini terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah dalam memperhatikan hak-hak anak yang selayaknya mereka penuhi. Regulasi berupa perundang-undangan yang masih terdapat celah kekurangan, sehingga berdampak negatif bagi penerapannya di lapangan. Oleh karena itu perlu adanya suatu tindakan perlindungan bagi anak berupa perlindungan yang dijamin oleh hukum. 87 Dengan berdasarkan hasil wawancara yang mewakili keadaan sebenarnya pada lapangan. Maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana tidak berjalan secara efektif di kota Purwokerto. Faktor tersebut antara lain :65 a. Faktor hukum Pemidanaan tidak pernah terlepas dari tanggung jawab hukum, untuk menentukan hal ini harus berdasarkan pada kemampuan subjek dan moral. Negara tidak dapat menggunakan hukumnya secara sewenangwenang, karena hukum pidana subjektif dibatasi oleh hukum pidana objektif. Dengan tidak adanya kejelasan unsur subjek ini, penentuan tanggung jawab hukum dalam hukum pidana anak menjadi masih rancu. Pentingnya posisi anak bagi bangsa ini menjadikan pemerintah harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menentukan batas usia anak dalam hal definisi anak, maka akan didapatkan berbagai macam batasan usia anak. Hal ini terjadi mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang. Berbagai macam definisi tersebut, menunjukan adanya tidak satu padunya perundang-undang yang ada. Sehingga banyak kendala yang terjadi di dalam praktiknya akibat perbedaan tersebut. Mengacu pada konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child), definisi anak disebutkan adalah setiap manusia di 65 Bunadi Hidayat, 2010, Pemidanaan anak di bawah umur, Jakarta: PT.Alumni, hlm.165 88 bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu, seharusnya setelah lahirnya undang-undang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai Lex Specialis, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus di sesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak66. Memang sudah seharusnya peraturan perundang-undang yang ada memiliki satu definisi sehingga tidak akan menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang pada tataran praktis akan merepotkan penyelenggara pemerintah. Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan angin segar terhadap peradilan anak di Indonesia. Undang-undang ini merupakan penggantian terhadap undangundang Pengadilan Anak yang bertujuan agar terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Namun undang-undang ini masih belum diberlakukan karena undang-undang ini berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan (Agustus 2012). 66 Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm . 41 89 b. Faktor Penegakan Hukum Pertimbangan hakim dalam setiap putusan pengadilan sangatlah penting bagi pencari keadilan, terutama bagi pihak yang akan dijatuhi pidana. Dalam lingkup kasus pidana anak, hakim harus lebih berhati-hati dan serius dalam memberikan pertimbangan yuridis maupun nonyuridisnya. Anak tidaklah untuk dihukum, melainkan untuk dibina dan dibimbing agar mampu menjadi manusia yang utuh, cerdas dan bertanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa yang akan datang. Anak sebagai pribadi yang berkebutuhan khusus dalam masa tumbuh dan kembangnya. Maka jika penegak hukum kurang cermat dalam pertimbangannya, akan berdampak pada masa depan anak nantinya. Dalam menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum, putusan yang dikeluarkan oleh hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan (litmas) dari pembimbing kemasyarakatan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat 2 undangundang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian di Kota Purwokerto, pada kenyataannya hakim dalam menyimpangi rekomendasi memberikan berupa putusan penelitian sering masyarakat kali karena terkadang hakim memiliki keyakinan untuk menilai petunjuk yang ada 90 dalam persidangan, misalnya keterangan saksi dan terdakwa serta kesesuaian alat bukti. Salah satu faktor yang mempengaruhinya karena balai pemasyarakatan (BAPAS) hanya mencakup kepentingan pelaku saja, belum melihat pemasyarakatan dari sisi korbannya secara keseluruhan. Balai hanya memiliki wewenang melakukan wawancara dengan pelaku bukan dengan korban. Secara garis besar terdapat teori tentang tujuan pemidanaan,67 yaitu : 1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive vergeldings theori) Berdasarkan teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suat kejahatan atau tindak pidana. Pidana hanya merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suat pembalasan kepada orang yang sudah melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran pidana terletak pada ada atau terjadinya kejahatan itu sendiri. 2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian doeltheori) Menurut teori ini proses pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan 67 Barda Nawawi Arief dan Muladi, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, PT.Alumni, hlm.10 91 pembalasan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. 3. Teori Gabungan Pidana mempunyai berbagai pengertian antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat atau prevensi general dan prevensi special atau pencegahan kejahatan dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pengakuan dan jaminan terhadap pemberlakuan asas keadilan restoratif atau pemulihan pada keadaan semula pada anak yang sedang berkonflik dengan hukum yang perlu di utamakan. Kerugian korban bukan di wujudkan dengan bentuk pembalasan (retributive). Teori absolut atau teori pembalasan (retributive vergeldings theori) dan teori relatif atau teori tujuan (utilitarian doeltheori) masih kurang tepat untuk diterapkan. Anak masih dalam usia perkembangan baik fisik maupun mental psikologisnya, sehingga belum sepenuhnya bisa dikenakan hukuman yang bersifat pembalasan seperti layaknya orang dewasa. Keadilan restoratif ini menjadi indah karena bertujuan untuk memulihkan menuju keadaan semula dan kerugian korban ke kondisi semula. Anak yang berkonflik dengan hukum dan pihak korban diajak bersama untuk bisa mempertanggungjawabkan terhadap apa yang diperbuatnya dan apa yang dialaminya. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pengadilan anak pembalasan/retributive justice. dengan mengedepankan model 92 Pertimbangan yang bersifat sosiologis tersebut menjadi sangat relevan bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. Menurut Muladi, tujuan dari pemidanaan adalah : 1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan Salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana adalah mencegah pelaku tindak pidana dan orang lain yang juga mempunyai maksud yang sama dan mencegah kejahatan lebih lanjut. Pencegahan ini mempunyai aspek ganda, yaitu yang bersifat individual dan yang bersifat umum. Dikatakan pencegahan individual atau khusus jika seseorang penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan di kemudian hari apabila ia sudah mengalami dan meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya. Maka hal ini lebih dianggap mempunyai daya untuk memperbaiki dan mendidik. Dikatakan ada pencegahan umum, apabila penjatuhan pidana yang dilakukan oleh pengadilan dimaksudkan agar orang lain tercegah untuk melakukan kejahatan. 2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas, karena secara fundamental merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit digambarkan sebagai kebijakan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana 93 3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat Bahwa pemidanaan bertujuan untuk menegakan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan atau balas dendam yang tidak resmi. Pengertian lain berkaitan dengan pernyataan Durkheim adalah bahwa tujuan pemidanaan untuk memelihara atau mempertahankan kepaduan masyarakat yang utuh.68 4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan dan pengimbangan Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana dewasa ini. Menghindari atau mencegah orang main hakim sendiri tetap merupakan fungsi yang sangat penting dalam penerapan hukum pidana. Hanya saja penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas yang paling sempit dan pidananya harus mencerminkan pada proses penyesuaian kembali pada kehidupan sehari-hari. Pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa69 c. Faktor Fasilitas Fasilitas yang dimaksud adalah Sarana yang digunakan dalam proses tahapan pemeriksaan, fasilitas penahanan, rehabilitasi, bimbingan dan pengawasan. Faktor fasilitas tersebut antara lain : 1. Sumber daya hakim, jaksa dan polisi yang khusus menangani perkara anak, memiliki peran yang sangat strategis dalam menunjang proses penanganan perkara anak yang ideal. Namun pada kenyataannya, di Kota Purwokerto masih terdapat hakim, jaksa, dan penyidik yang 68 69 Ibid., hlm.80 Ibid., hlm.86 94 melakukan tugas rangkap, di satu sisi menangani perkara anak tetapi juga bisa menangani perkara dewasa. 2. Hanya terdapat satu lembaga balai pemasyarakatan di kota Purwokerto. Lembaga tersebut membawahi 6 wilayah kabupaten/kota. Dengan keterbatasan instansi balai pemasyarakatan ini menjadikan faktor penelitian masyarakat terhadap klien tidak berjalan dengan maksimal. 3. Kota Purwokerto belum memiliki panti rehabilitasi yang berdiri khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum. Kegiatan rehabilitasi selama ini masih bekerja sama dengan instansi rumah sakit yang tersedia. d. Faktor Lingkungan Lingkungan masyarakat merupakan salah satu peran pendukung instrumen hukum pidana anak, proses penanganan, dan hasil putusan hakim agar dapat berjalan dengan semestinya. Perlu adanya persamaan persepi yang utuh dari berbagai pihak, baik pemerintah, penegak hukum, masyarakat maupun pihak anak yang sedang berkonflik dengan hukum untuk mendukung instrumen hukum. Tanpa adanya keterpaduan persepsi hukum, kewibawaan aparat penegak hukum akan diremehkan begitu saja oleh yang merasa dirugikan terutama bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Sebaiknya masyarakat tidak hanya memperhatikan kepentingan dari pihak korban saja, tetapi masyarakat juga harus mempertimbangkan hak-hak pelaku anak yang berkonflik langsung dengan hukum. 95 2. Peran Advokat dalam Memberikan Bantuan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Anak dalam proses peradilan merupakan sosok yang lemah, mengingat bahwa yang bersangkutan menghadapi sosok yang lebih kuat yaitu negara melalui aparat penegak hukumnya. Tidak semua orang mengetahui atau menguasai aturan hukum yang rumit. Alasan kejiwaan atau keadaan psikologis meskipun masih dalam tingkatan dakwaan bagi pribadi seperti anak pun dapat menjadikan suatu tekanan mental dan kejiwaan anak. Kedudukan yang tidak seimbang seperti ini melahirkan ide bantuan hukum yang dalam rangka melindungi hak-hak anak tersebut. Anak yang sedang berkonflik dengan hukum harus memperoleh bantuan hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Anak sebagai pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum tanpa diskriminasi. Kaitannya dengan Advokasi Bantuan Hukum anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51 Ayat (1), (2) dan (3) menentukan bahwa; Pasal 51 Ayat 1 Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 51 Ayat 2 Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1). 96 Pasal 51 Ayat 3 Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. Dalam Undang-undang Pengadilan Anak, merumuskan bahwa setiap anak sejak ditangkap atau ditahan, berhak untuk mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih advokat. Bantuan hukum ini diberikan selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan. Oleh karena itu, pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan (penyidik, penuntut umum dan hakim) wajib memberitahukan kepada anak yang sedang berkonflik dengan hukum, orang tua, walinya, atau orang tua asuhnya mengenai hak untuk memperoleh bantuan hukum. Advokat dapat mendampingi anak pada saat diperiksa di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada pengadilan anak. Advokat wajib memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak serta kepentingan umum. Peran advokat mengusahakan agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan dengan lancar. Advokat juga harus memperhatikan pendapat dari pembimbing kemasyarakatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, bahwa sering kali pendampingan ini tidak dilakukan di beberapa tahapan pemeriksaan seperti dalam tahap penyidikan dan di kejaksaan. Pendampingan berupa bantuan hukum oleh advokat hanya diberikan pada tahapan pengadilan saja. Hal seperti ini sangat merugikan anak untuk mendapatkan perlindungan hak yang maksimal. 97 Peran advokat dapat dilihat dari sudut pandang pentingnya hak asasi manusia yang harus terpenuhi. Putusan pengadilan yang ditetapkan akan berdampak terhadap keadaan psikologis anak. Dalam mempertimbangkan putusan, hakim dapat saja salah dan tidak cermat. Advokat sebagai pembela merupakan orang yang berpengalaman dan memahami tentang hukum, sehingga atas pembelaannya dapat di jadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Advokat merupakan bagian dari penegak hukum, kehadirannya diperlukan untuk mendampingi anak sebagai pelaku tindak pidana dari proses pemeriksaan awal sampai akhir. Advokat dapat dipilih sendiri oleh anak yang sedang berkonflik dengan hukum atau keluarga yang bersangkutan. Dapat juga ditunjuk oleh hakim pada pengadilan apabila anak yang berkonflik dengan hukum atau keluarganya tersebut tidak mampu untuk membayar jasa advokat. Pendampingan menjadi sesuatu yang penting dalam upaya perlindungan hak-hak anak, karena merupakan amanah yang disampaikan oleh undangundang. Pada BAB VI Pasal 22 Ayat (1) undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, di dalamnya mengatur pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma yang wajib diberikan oleh seorang advokat, yaitu : Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Advokat akan dengan penuh kerelaan memberikan bantuan hukum terhadap klien yang tidak memiliki kemampuan dalam segi ekonomi. Dari 98 hasil penelitian yang dilakukan, advokat tidak dapat mendukung secara maksimal dalam memberi bantuan hukum dari proses pemeriksaan tingkat penyidik sampai pemeriksaan tingkat pengadilan. Hal ini di sebabkan karena dalam pencarian data dan alat bukti yang menunjang untuk meringankan kliennya, membutuhkan biaya yang tidak kecil. Penghasilan advokat hanya berasal dari kliennya, berbeda dengan polisi, jaksa, dan hakim yang sudah jelas mendapatkan penghasilan rutin dari suatu instansi. Faktor tersebut yang menurunkan kualitas perlindungan hak pada anak yang berkonflik dengan hukum. Bantuan hukum pada dasarnya adalah segala upaya pemberian bantuan dan pelayanan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan, agar memperoleh dan menikmati semua haknya di mata hukum dalam proses peradilan pidana. Advokat berperan sebagai pengontrol agar keputusan yang dijatuhkan oleh hakim kepada kliennya bersifat adil dan tidak memihak. Dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum merumuskan ; Bantuan hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Berdasarkan hal tersebut dapat ditegaskan bahwa bantuan hukum berupa jasa hukum, dapat diperoleh secara cuma-cuma atau tanpa dipungut biaya dengan ditujukan kepada orang atau sekelompok orang miskin yang tidak mampu. Advokat memiliki hak dalam proses pemberian bantuan hukum sesuai dengan Pasal 9 huruf d undang-undang tentang Bantuan 99 Hukum. Hak tersebut adalah hak untuk menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum. Berdasarkan Pasal 16 dan 17 undang-undang tentang Bantuan Hukum, anggaran pendanaan bantuan hukum yang diperlukan atau digunakan untuk penyelenggaraan bantuan hukum di bebankan pada anggaran pendapatan belanja negara, hibah atau sumbangan, dan sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Pemerintah pun wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam anggaran negara. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini diberikan untuk klien yang kurang mampu secara ekonomi. Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk advokat untuk mendampinginya dengan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Tetapi dalam praktiknya, advokat tidak pernah menerima sejumlah anggaran untuk menunjang proses bantuan hukum tersebut. Padahal telah jelas ketentuan yang telah disebutkan dalam undang-undang tersebut. 100 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Penerapan perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana masih belum terlaksana dengan maksimal. Masih terdapat kelemahan dalam penegakan hukumnya yang berpengaruh terhadap kualitas penanganan perkara pidana anak. 2. Advokat dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana memiliki peran yang strategis dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak yang sedang berkonflik dengan hukum. Akan tetapi pada kenyataannya pemberian bantuan hukum atau pendampingan oleh advokat tidak diberikan pada kepolisian sebagai gerbang awal pemeriksaan. Advokat terkadang ditunjuk oleh hakim untuk mendampingi anak pada saat perkara sudah memasuki tahap di pengadilan. Dengan alasan ini, advokat menjadi tidak dapat bekerja dengan maksimal karena tidak cukup waktu untuk mencari informasi dan bukti yang meringankan untuk kepentingan pembelaannya. 101 B. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Pemerintah perlu segera memberikan fasilitas panti rehabilitasi khusus anak dan balai pemasyarakatan di setiap kabupaten atau kota. Pemerintah juga perlu menambah penyidik, jaksa, hakim yang khusus menangani anak, sehingga tidak ada lagi aparat penegak hukum yang memiliki rangkap jabatan. 2. Jajaran penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu mempertimbangkan hal-hal faktual atau keadaan psikologis yang terjadi pada anak dengan meningkatkan pengetahuan dan pengalamannya tentang masalah perkembangan kejiwaan anak. 3. Perlu ada kesatuan pola yang pasti di antara advokat, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam hal koordinasi terkait proses pemeriksaan pada anak. Tanpa ada kesatuan pola ini maka akan berdampak dalam keterlambatan proses pelaksanaan perkara pada anak yang sedang berkonflik dengan hukum. 102 DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur : Djamil,M.Nasir. 2012. Anak Bukan Untuk di Hukum. Jakarta: Sinar Grafika; Gosita, Arief. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Pressindo; Gultom, Maidin. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung : PT.Revika Aditama; Hanitijo Soemitro, Ronny. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentasi. Jakarta: PT.Ghalia Indonesia; Harahap,Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I. Jakarta: PT. Sarana Bhakti Semesta; Hidayat, Bunadi. 2010. Pemidanaan anak di bawah umur. Jakarta: PT.Alumni; Kartono, Kartini. 2010. Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa; Lamintang, P.A.F dan Samosir Djisman. 1977. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti; Mertokusumo, Sudikno. 2007. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty; Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif,. Bandung: PT. Remaja Rosada Karya; Muladi, Barda Nawawi. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung, PT.Alumni; Mulyadi, Lilik, 2004, Kapita selekta hukum pidana, Kriminologi & Viktimologi, Jakarta: Djambatan; Nasution, Adnan Buyung. 2007.Bantuan Hukum di Indonesia.Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia; Poerwadarminta,W.J.S., 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka; Rahardjo, Satjipto, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis, Bandung: Alumni; 103 Rianto Adi. 2005. Metodelogi penelitian social dan hukum. Jakarta: Granit; Sinaga, V.Harlen. 2002. Dasar-Dasar Profesi Advokat. Jakarta: Erlangga; Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar, Bandung, Alumni; Sugiono. 2008. Memahami penilitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta; Supeno, Hadi. 2010. Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak Di Indonesia.Yogyakara: Genta Publishing; Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika; Winarta, Frans Hendra. 2009. Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta: Gramedia pustaka Utama; Wirjono Prodjodikoro. 1981. Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung: PT. Eresco Jakarta. Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.