SKRIPSI E1A009113 - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan
hidup bangsa dan negara. Berkaitan dengan kedudukan anak yang memiliki
kedudukan dan peran yang strategis, maka negara pun menjamin di dalam
konstitusi tentang hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1 Oleh karena
itu diperlukan upaya bersama dalam memperhatikan kepentingan anak,
sehingga tidak terjerumus untuk melakukan perbuatan jahat yang merugikan
pihak lain.
Sampai
sekarang
banyak
ditemukan
anak
yang
melakukan
pelanggaran hukum dalam kehidupan sehari-hari2. Tetapi masih terdapat
kekurangan dan kelemahan dalam perlindungan hak-hak anak (khususnya
sebagai pelaku) dalam proses penegakan hukumnya. Terdapat pihak-pihak
yang masih mengabaikan hak-hak anak yang seharusnya mereka dapatkan,
serta memperlakukan anak secara tidak manusiawi. Terdapat pihak yang juga
memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi semata, tanpa
menghiraukan bahwa atas perbuatannya dapat menghalangi hak-hak anak
tersebut. Dalam kondisi demikian, maka anak disebut sebagai “anak yang
berkonflik dengan hukum” (Children conflict with the law). Anak yang
1
2
Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen
Sumber Data diperoleh dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Purwokerto
2
berkonflik dengan hukum dapat diartikan sebagai anak yang disangka,
dituduh atau diakui telah melanggar undang-undang hukum pidana.
Anak bukanlah untuk di hukum, melainkan untuk dibina dan
dibimbing agar mampu menjadi manusia yang utuh, cerdas dan bertanggung
jawab sebagai generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Anak
terkadang mendapati situasi atau keadaan sulit yang mendorong anak
melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai hukum, agama, kesopanan
dan kesusilaan. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti, keadaan anak
itu sendiri, keluarganya, korban atau masyarakat. Anak yang melanggar
hukum tidaklah layak untuk di hukum terlebih kemudian dimasukkan ke
dalam penjara. Perlu pertimbangan yang kuat saat memasukan anak ke dalam
penjara, karena akan berdampak buruk kepada keadaan mental dan
kepribadian anak.
Perkembangan anak menjadi hal yang penting untuk diperhatikan,
oleh karena itu negara sebagai tempat berlindung warganya harus dapat
memberikan regulasi jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak. Keadilan
sangat sekali diperhatikan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Diantaranya
adalah dalam proses peradilan pelaku tindak pidana anak, perhatian tersebut
tidak hanya dari ahli hukum (pidana) tetapi juga pada masyarakat dan
pemerintah yang ikut serta dalam hal ini. Perhatian pemerintah Indonesia
yang cukup besar dalam hal perlindungan anak diwujudkan dengan
disahkannya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-undang ini merupakan perubahan dari UU No. 3 Tahun 1997 tentang
3
Pengadilan Anak, karena undang-undang yang lama dianggap sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat baik
dari aspek yuridis, sosiologis dan filosofis. Undang-undang ini juga belum
secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan
dengan hukum.
Namun merujuk pada Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 disebutkan
bahwa undang-undang ini berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak
tanggal diundangkan (Agustus 2012). Sehingga konsekuensi yuridisnya,
masih diberlakukan undang-undang yang lama sebagai dasar hukum
pengadilan anak, yaitu UU No. 3 Tahun 1997. Langkah ini menunjukan
bahwa pemerintah dan masyarakat menyadari perlunya perlakuan khusus
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Agar anak tidak mengalami
tekanan jiwa dan pengaruh buruk bagi masa depan serta perkembangan
kepribadiannya.3
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum janganlah
sampai memunculkan stigmatisasi atau labeling, karena akan berdampak
besar dalam kelangsungan hidup masa depan anak. Putusan hakim dalam
menjatuhkan sanksi tindakan atau pidana dalam persidangan anak harus
berdasarkan atas rekomendasi Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
3
Sunaryo,2002, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Manusia Bagi Anak Dalam Proses
Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Unsoed,Purwokerto, Hlm. 91
4
Bapas
adalah
unit
pelaksana
teknis
pemasyarakatan
yang
melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan.4
Tetapi dalam kenyataannya masih terdapat hakim yang memutus
dengan menyimpangi rekomendasi dari Bapas. Hal demikian sangat erat di
pengaruhi oleh keadaan batin atau ideologi dari hakim untuk memberikan
suatu putusan.
Dengan bertolak dari tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak
(Juvenile Justice). Maka kiranya dapat ditentukan apa dan bagaimana hakikat
serta wujud dari perlindungan hukum yang sepatutnya di berikan kepada
anak. Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak jelas tidak dapat
dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang
pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial5.
Menurut Bagir Manan , selama dalam proses persidangan, anak harus
didampingi oleh advokat6. Pemberian bantuan hukum juga telah diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) dan (3) Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang menegaskan bahwa bantuan hukum menjadi suatu
kewajiban yang diberikan dari negara untuk anak pelaku tindak pidana sejak
ditangkap atau ditahan dan selama dalam waktu pemeriksaan. Anak-anak
memiliki hak-hak yang harus dijaga dan dilindungi, seperti hak untuk
didampingi oleh penasihat hukum, orang tua, wali atau orang tua asuhnya
4
Pasal 1 angka 24 UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Muladi, Barda Nawawi, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung, PT.Alumni, Hlm.22
6
Maidin Gultom, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan,
Bandung , PT.Revika Aditama, Hlm. 67
5
5
pada saat pemeriksaan berlangsung. Hak dan kewajiban pada anak tetaplah
berbeda dengan hak dan kewajiban orang dewasa. Anak lebih harus
mendapatkan pemeliharaan dan perlindungan yang khusus.
Bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang terlibat dalam
perkara pidana, terutama hak pemberian bantuan hukum, dilakukan pada
semua tingkat pemeriksaan. Maka secara otomatis bagi para penyidik,
penuntut umum dan hakim wajib memberitahukan kepada tersangka atau
terdakwa, orang tua/wali/orang tua asuh mengenai hak untuk memperoleh
bantuan hukum tersebut.7
Anak yang melakukan tindak pidana berbeda dengan orang dewasa
yang melakukan tindak pidana. Anak sebagai pelaku juga dapat dikatakan
sebagai korban. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor pendorong
seperti kurangnya pendidikan, lingkungan yang buruk, perbedaan struktur
sosial dan ekonomi, tidak adanya sentuhan dari keluarga dan banyak faktor
lainnya.
Dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak anak yang salah
satunya hak untuk memperoleh bantuan hukum. Maka tidak akan lepas
dengan peran Advokat. Advokat berprofesi memberi jasa bantuan hukum dan
bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya. Meskipun regulasi sudah
ada, tetapi dalam kenyataannya masih minim perlindungan terhadap anak.
Faktor dari aparat penegak hukum yang masih belum memahami secara baik
7
Lilik Mulyadi, 2004, Kapita selekta hukum pidana, Kriminologi & Viktimologi, Jakarta:
Djambatan, Hlm. 72
6
tentang bagaimana proses perkara anak tersebut
yang masih menjadi
persoalan yang perlu dituntaskan.
Peran
Advokat
tidak
hanya
menyelesaikan
persoalan
atau
pertentangan antar individu atau badan hukum saja. Advokat juga berperan
sebagai media penghubung antara masyarakat dengan penguasa, atau juga
antara warga negara dengan negara. Advokat berperan memberi kepastian
bahwa anak yang sedang berhadapan dengan hukum itu dapat di proses sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Peran tersebut dalam praktiknya
masih bersifat formalitas saja, karena masih ada hak-hak anak yang belum
terpenuhi, artinya masih perlu adanya kajian dan evaluasi terhadap kinerja
dan peran advokat untuk mengoptimalkan perlindungan hukum terhadap hakhak anak yang sedang berhadapan dengan hukum.
Penulis tertarik mengangkat permasalahan ini menjadi sebuah
penelitian :
“Implementasi Perlindungan Hak-Hak Anak Sebagai Pelaku
Tindak Pidana Oleh Advokat Dalam Sistem Peradilan Anak (Studi
Tentang Peran Advokat di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri
Purwokerto)”.
Alasan dipilihnya wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto
sebagai tempat pengambilan populasi dalam penelitian ini karena di wilayah
ini cukup banyak kasus pelanggaran hukum oleh anak. Dari hal ini
diharapkan dapat diperoleh data yang akurat tentang masalah penerapan
perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana.
7
Dengan adanya penelitian ini, besar pula harapan penulis akan
terciptanya artikel ilmiah yang dapat memberi sumbangsih positif terhadap
jalannya penegakan hukum dalam sistem peradilan di Indonesia. Terciptanya
nuansa hukum yang sesuai dengan apa yang seharusnya bukan yang
senyatanya terjadi dalam masyarakat. Hukum yang mengedepankan unsur
keadilan, kemanfaatan, tanpa mengesampingkan aspek kepastian hukum.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat
dirumuskan pokok permasalahan, yaitu :
1. Bagaimanakah Implementasi perlindungan hak-hak anak sebagai
pelaku tindak pidana di wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto ?
2. Bagaimana peran advokat dalam memberikan bantuan hukum
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam
penulisan karya tulis ini adalah :
1. Mengetahui dan menganalisis implementasi perlindungan hak-hak
anak sebagai pelaku tindak pidana di wilayah hukum Pengadilan
Negeri Purwokerto.
2. Mengetahui dan menganalisis peranan advokat dalam memberikan
bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku
8
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk ilmu pengetahuan
khususnya ilmu Hukum Pidana dan ilmu Hukum Acara Pidana dalam hal
implementasi perlindungan hak-hak anak dan bantuan hukumnya
2. Kegunaan Praktis
Hasil dari penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan
masukan bagi pihak penyidik, penuntut umum, pengadilan, advokat, dan
masyarakat luas.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK
1. Pengertian Implementasi
Implementasi menurut kamus hukum adalah pelaksanaan sesuatu
yang sudah ditetapkan dan diatur untuk dilengkapi sesuai dengan
perjanjian dan keputusan8. Hukum menetapkan tingkah laku yang
dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum dan sanksi
yang harus diberikan oleh hukum jika terdapat pelanggaran. Fungsi hukum
inilah yang sebagai alat pengendali sosial.
Untuk menilai adanya satu sistem hukum yang baik Satjipto
Rahardjo yang mengacu pada Fuller tentang asas yang dinamakan
Principless of Legality, yaitu :
1. Bahwa sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bersifat
ad hoc, peraturan harus diumumkan dan tidak boleh berlaku surut;
2. Bahwa peraturan harus disusun dalam perumusan yang mudah
dimengerti dan tidak boleh bertentangan;
3. Bahwa peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa
yang dapat dilakukan;
4. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering berubah-ubah peraturan
sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi;
8
Poerwadarminta,W.J.S., 2005, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.Hlm.134
10
5. Bahwa harus ada kecocokan antara peraturan yang di undangkan
dengan pelaksanaan sehari-hari.9
Bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut Satjipto Rahardjo adalah
1.
Bahwa setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana
seseorang pemegang peranan (rule accupant) itu diharapkan untuk
bertindak;
2.
Seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai satu respons
terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang
di tunjukan kepadanya, sanksinya, aktivitas dan lembaga pelaksana
serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, dan politik;
3.
Tentang bagaimana lembaga tersebut bertindak sebagai respons
terhadap peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan yang di
tunjukan kepada Mereka,sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan
sosial, politik dan lain-lain yang datang dari para pemegang peranan
4.
Bagaimana para pemegang undang-undang itu akan bertindak. Ini
merupakan fungsi peraturan yang mengatur tingkah laku mereka,
sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis
dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka, serta umpan balik yang
datang dari pemegang peranan secara birokrasinya.10
9
Satjipto Rahardjo, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis, Bandung,
Alumni, Hlm.92
10
Ibid.,Hlm.94
11
2. Pengertian Anak
Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang
Maha Esa, yang di dalamnya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Anak merupakan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara. Agar setiap
anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal.
Perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hakhaknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) memiliki politik
hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak di tempatkan
pada posisi yang mulia sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa, dengan
memiliki peran strategis dalam menjamin kelangsungan negara. Melalui
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jaminan hak anak
dilindungi, bahkan di bentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
yang
memiliki
perlindungan anak.
tanggung
jawab
untuk
meningkatkan
efektivitas
12
Untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka akan
didapatkan beragam pengertian batasan usia anak dalam beberapa undangundang, antara lain pengertian anak menurut :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah
mencapai usia
19 (Sembilan belas) tahun dengan pihak wanita telah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika terjadi penyimpangan atas hal
tersebut maka dapat dimintakan dispensasi ke Pengadilan Negeri.
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Mendefinisikan anak berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin
3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah menikah.
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah menikah
5. Undang-undang Nomer 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Anak menurut Pasal 1 angka 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih didalam kandungan.
13
6. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Pasal 45 KUHP menyebutkan bahwa dalam menuntut orang yang belum
cukup umur (minderjaring) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16
(enam belas) tahun
7. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pasal 330 KUHPerdata orang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21(dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dulu telah
kawin.
3. Hak-Hak Anak
Anak adalah sebagai tongkat estafet dalam keberlangsungan suatu
bangsa. Perlindungan dan kesejahteraan anak akan menjadi topik aktual
yang terasa penting, karena erat kaitannya dengan bagaimana membekali
anak sebagai calon generasi penerus bangsa dan negara yang
berpotensional. Kondisi ini memunculkan perlunya melindungi anak yang
diatur dalam undang-undang perlindungan anak. Dengan undang-undang
perlindungan anak maka diharapkan tujuan perlindungan anak dapat
diwujudkan.
Tujuan
perlindungan
anak
adalah
untuk
menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan kekerasan dan diskriminasi,
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera.
14
Terdapat beberapa hak-hak anak yang sedang berkonflik dengan
hukum, yang bersumber dari pengaturan UU No. 3 Tahun 1997 Tentang
Peradilan Anak. Hak-hak anak yang dapat di inventarisir antara lain
sebagai berikut ;
1. Hak anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun untuk diserahkan
kembali kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya untuk dibina. Jika
tidak dapat dibina lagi oleh orang tuanya maka diserahkan kepada
Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing
kemasyarakatan. (vide Pasal 5 ayat (2) dan (3) ).
2. Hak untuk tetap diajukan ke siadang anak, meskipun melakukan tindak
pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota ABRI (vide
Pasal 7).
3. Hak untuk diperiksa dalam sidang tertutup, kecuali dalam hal tertentu dan
dipandang perlu dapat dilakukan dalam sidang terbuka (vide Pasal 8 ayat
(1) dan (2)).
4. Hak untuk disingkat namanya, nama orang tua, wali, atau orang tua
pengasuhnya, jika dilakukan pemberitaan proses perkara sejak penyidikan
sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan (vide Pasal 8 ayat
(5)).
5. Hak untuk diperiksa oleh penyidik dalam suasana kekeluargaan, misalnya
penyidik tidak memakai pakaian dinas dan pendekatan yang simpatik (vide
Pasal 42 ayat (1)).
6. Hak untuk dirahasiakan selama proses penyidikan (vide Pasal 42 ayat (3)).
15
7. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa
(vide Pasal 45 ayat (3)).
8. Hak untuk tetap dipenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak
selama ditahan (vide Pasal 45 ayat (4)).
9. Hak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat
Hukum sejak ditangkap atau ditahan dan selama dalam waktu dan pada
setiap pemeriksaan (vide Pasal 51 ayat (1)).
10. Hak berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi
tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang, apabila diangkap atau
ditahan (vide pasal 51 ayat (3)).11
Pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, pada pokoknya
diatur dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi
Hak-hak Anak.Pengertian hak anak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
butir 12 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua,keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.
Hak-hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 18 UU Perlindungan Anak, sebagai berikut :
1) Setiap anak berhak untuk hidup, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas dan status
kewarganergaran;
11
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
16
3) Setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan dalam bimbingan orang tuanya;
4) Setiap anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri, atau oleh orang lain bila orang tuanya tidak
dapat menjamin tumbuh kembang anak;
5) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;
6) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai
dengan minat dan bakatnya;
7) Bagi anak cacar berhak pendidikan luar biasa, dan bagi anak yang
memiliki keunggulan berhak mendapat pendidikan khusus;
8) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya sesuai demi pengembangan dirinya sesuai dengan nila-nilai
kesusilaan dan kepatutan;
9) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya;
10) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;
11) Setiap anak selama pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi,
penalantaran, kekejaman dan penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan
salah lainnya;
12) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir;
13) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa
bersenjata pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan, pelibatan dalam peperangan;
14) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukum yang tidak
manusiawi;
15) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum;
16) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir;
17) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk, mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatan dipisahkan dari orang
dewasa; memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri
serta memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan
tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum;
17
18) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan;
19) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.12
Perlindungan terhadap anak sebagai mana disebutkan dalam Pasal
20 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan
Perlindungan
Anak
adalah
negara,
pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua. Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang
dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Banyaknya peraturan-peraturan yang
mengatur tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk memberikan
jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak 1989 (Resolusi PBB Nomor
44/25 tanggal 5 Desember 1989), hak-hak anak secara umum dapat
dikelompokan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak. Hak-hak anak
dalam Konvensi hak-hak Anak, sebagaimana dikemukakan oleh Dolly
Singh, sebagai berikut13 :
12
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak Di
Indonesia.Yogyakara: Genta Publishing, Hlm. 22
13
18
a. Hak terhadap kelangsungan hidup (The Right to Survival)
Hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak-hak untuk
melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh
standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
Hak-hak anak dalam Konvensi hak Anak 1989 antara lain tentang :
1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan
semenjak dilahirkan;
2) Hak anak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini
dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya;
3) Kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk
salah perlakuan (abuse);
4) Hak anak-anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh
pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus;
5) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai , dan
tanggung jawab utama orang tua, kewajiban negara untuk
memenuhinya.
6) Hak anak atas pendidikan dan kewajiban negara untuk menjamin
agar pendidikan dasar disediakan secara cuma-cuma dan berlaku
wajib;
7) Hak anak atas perlindungan dari penyalah gunaan obat bius dan
narkotika;
8) Hak anak atas perlindungan ekspolitasi dan penganiayan sesksual,
termasuk prostutisi dan keterlibatan dalam pornografi;
19
9) Kewajiban negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah
penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak.
b. Hak untuk tumbuh kembang (The Right to Develop)
Hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi segala bentuk
pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar
hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan
sosial anak. Beberapa hak-hak untuk tumbuh kembang, seperti :
1) Hak untuk memperoleh informasi;
2) Hak memperoleh pendidikan;
3) Hak bermain dan rekreasi;
4) Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya;
5) Hak untuk kebebasan berpikir, dan beragama;
6) Hak untuk pengembangan kepribadian;
7) Hak untuk memperoleh identitas;
8) Hak memperoleh kesehatan dan fisik;
9) Hak untuk didengar pendapatnya ;
10) Hak untuk/ atas keluarga;
c. Hak terhadap perlindungan (The Right to Protection)
Hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari
diskriminasi, tindakan kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak
mempunyai keluarga bagi anak pengungsi. Hak tersebut antara lain :
20
1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu :
Non diskriminasi terhadap hak-hak anak, hak mendapatkan nama
dan kewarganegaraan, hak anak penyandang cacat.
2) Larangan eksplotasi anak, misalnya hak berkumpul dengan
keluarga dan larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman dan
penahanan yang kejam.
3) Kondisi kritis dan keadaan anak yaitu :
Mengembalikan anak dalam kesatuan keluarga; perlindungan anak
pengunsian; kondisi konflik bersenjata dan perawatan rehabilitasi.
d. Hak untuk berpartisipasi (The Right to Participation)
Hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam
segala hal yang mempengaruhi anak, hak tersebut antara lain :
1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas
pendapatanya;
2) Hak anak mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk
berekspresi;
3) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk
bergabung;
4) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan
terlindung dari informasi yang tidak sehat;
5) Hak anak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak-hak
Anak.
21
4. Perlindungan Hak Anak
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa :
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasaan dan diskriminasi.
Perlindungan anak juga dapat diartikan sebagai segala upaya yang
ditujukan utuk mencegah, rehabilitasi, memberdayakan anak yang
mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran, agar
dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar,
baik fisik, mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah suatu
usaha untuk melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya14.
Kebijakan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya
perlindungan anak, pertama didasarkan atas pertimbangan bahwa anakanak merupakan golongan yang rawan dan dependent, di samping itu,
karena ada golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam
pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.
Pasal 13 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak menentukan bahwa:
1).Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi, b. eksploitasi baik ekonomi
maupun seksual, c. penelantaran, d. kekejaman, kekerasan dan
penganiayaan, e. ketidakadilan dan f. perlakuan salah lainnya.
14
Arief Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak.Jakarta: Akademi Pressindo, Hlm 52
22
2) Dalam hal orang tua , wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka pelaku
dikenakan pemberatan hukuman.
Prinsip-prinsip Perlindungan anak yang harus di wujudkan dalam
memberikan pemahaman dan perhatian terhadap anak adalah ;
a. Anak tidak dapat berjuang sendiri
Anak adalah modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan
keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat
melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi
kehidupannya.
Negara
dan
masyarakat
berkepentingan
untuk
mengusahakan perlindungan hak-ahak anak
b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child)
Kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount
importence (memperoleh prioritas tinggi) dalam setiap keputusan yang
menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak
akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip ini di gunakan karena
dalam banyak hal anak “pelaku”, disebabkan ketidaktahuan anak, karena
usia perkembangannya yang sangat labil. Sehingga di butuhkan
pengawasan yang lebih
c. Ancangan daur kehidupan (life-circle approach)
Perlindungan
hak-hak
anak
mengacu
pada
pemahaman
bahwa
perlindungan anak harus dimulai sejak dini dan terus-menerus. Diperlukan
keluarga, lembaga pendidikan sosial keagamaan yang berkualitas.
23
Anak memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan
bermain yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri. Pada saat
anak berusaia 15-18 tahun, ia akan memasuki masa transisi dari remaja ke
dewasa. Periode ini penuh dengan resiko, karena secara kultural seseorang
akan dianggap dewasa secara fisik dan telah berkembang secara optimal
fungsi dalam reproduksinya
d. Lintas Sektoral
Nasib anak tergantung dari berbagai faktor, baik yang makro maupun yang
mikro, yang langsung atau tidak langsung. Antara lainnya komunitas yang
penuh dengan ketidakadilan, sistem pendidikan yang terlalu menekan, atau
dari lingkungan keluarganya itu sendiri15.
B. Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
1. Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a.
Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b.
Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,
baik menurut undang-undang atau menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Ketentuan tersebut sebenarnya telah bertentangan dengan asas
legalitas, karena memasukan peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
15
Maidin Gultom, Op.Cit.,Hlm 70-72
24
dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam kategori pidana. Hal
tersebut berakibat, adanya upaya pengkriminalisasian kenakalan anak yang
padahal belum tentu sesuai dengan konsep hukum pidana.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat anak harus
berhadapan dengan hukum, yaitu :
a. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan
b. Juvenile Deliquencey adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum.
Sebenarnya terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan
oleh anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak
memiliki kondisi kejiwaan yang masih labil. Proses perkembangan dan
kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukan
tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum.
Maka hal ini belum dapat dikatakan suat kejahatan,m melainkan kenakalan
yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang belum seimbang dan
pelaku anak belum sadar dan mengerti sepenuhnya atas tindakan yang
telah dilakukannya.
Faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan
anak adalah faktor lingkungan ekonomi/sosial dan psikologis. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan bahwa
seseorang dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya karena adanya
25
kesadaran diri dari anak tersebut dan mengerti bahwa perbuatan tersebut
merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum.
Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak merupakan
perwujudan dari fase remaja menuju dewasa yang tanpa maksud
merugikan orang lain, seperti yang diisyaratkan dalam suat perbuatan
kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) di mana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya dan
mampu untuk bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut. Kurang
relevan ketika kenakalan anak dianggap sebagai suatu kejahatan murni.16
2. Upaya Menanggulangi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
Dalam kaitannya dengan kenakalan anak (Juvenile Delinquency)
terdapat upaya-upaya yang dilakukan dalam penanggulangan kenakalan
anak (baik dalam arti anak nakal yang yang tidak masuk dalam kategori
tindak pidana dan anak yang berkonflik dengan hukum).
Menurut Kartini Kartono, upaya penanggulangan kenakalan anak
harus dilakukan secara terpadu, dengan tindakan preventif, tindakan
penghukuman dan tindakan kuratif.17
a. Tindakan preventif
Tindakan preventif atau tindakan yang dapat mencegah terjadinya
kenakalan anak, berupa :
1) Meningkatkan kesejahteraan keluarga;
16
17
M.Nasir Djamil, 2012, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 32-34
Kartini Kartono, 2010 Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa,
Hlm. 94-97
26
2) Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung
miskin;
3) Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk
memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan
hidup;
4) Menyediakan tempat rekreasi yang sehat bagi remaja;
5) Membentuk badan kesejahteraan anak;
6) Mengadakan panti asuhan;
7) Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan
korektif, pengkoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan
susila kepada anak-anak dan para remaja yang membutuhkan;
8) Membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap kegiatan anak
delinkuen, disertai program yang korektif.
9) Mengadakan pengadilan anak;
10) Mendirikan sekolah bagi anak miskin;
11) Mengadakan rumah tahunan khusus bagi anak dan sekolah;
12) Menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok;
13) Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreatifitas pada
remaja delnikuen dan yang non delinkuen.
b. Tindakan penghukuman
Tindakan hukuman bagi remaja delinkuen antara lain berupa:
menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap
27
adil, dan bisa menggugah berfungsinya hati nurani sendiri hidup susila
dan mandiri.
c. Tindakan kuratif
Tindakan kuratif adalah tindakan bagi usaha penyembuhan
kenakalan anak. Bentuk-bentuk tindakan kuratif, antara lain berupa :
1) Menghilangkan semua sebab-sebab timbulnya kejahatan;
2) Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan orang
tua asuh dan memberikan fasilitas yang diperlukan bagi
perkembangan jasmani dan rokhani yang sehat bagi anak-anak
remaja;
3) Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik atau ke
tengah lingkungan sosial yang baik;
4) Memberikan latihan bagi remaja secara teratur, tertib dan
berdisiplin;
5) Memanfaatkan
waktu
senggang
di
kamp
latihan,
untuk
membiasakan diri bekerja, belajar dan melakukan rekreasi sehat
dengan disiplin tinggi;
6) Menggiatkan organisasi pemuda dengan program-program latihan
vokasional untuk mempersiapkan anak remaja delinkuen bagi pasar
kerja dan hidup di tengah masyarakat;
7) Mendirikan klinik psikologi untuk meringankan dan memecahkan
konflik emosional dan gangguan kejiwaan lainnya.
28
C. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan
“strafbaar feit” untuk menyebutkan sebagai tindak pidana di dalam kitab
Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar
feit tersebut.
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti
“sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”,
sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah
perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari
suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak
dapat. Oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu
sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan ataupun tindakan.
Pembentuk undang-undang kita tidak memberikan sesuatu
penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan
perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah berbagai pendapat di dalam
doktrin tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit”
tersebut.
Dikatakan selanjutnya oleh Pompe, bahwa menurut hukum positif
kita, suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu
29
tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan
sebagai tindakan yang dapat dihukum.18
Profesor Simons telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu
“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak disengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat di hukum.”19
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Setiap Tindak pidana yang terdapat di dalam kitab undang-undang
Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsurunsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni
unsur-unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk
kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur-unsur Objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan di mana tindakantindakan dari pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur Subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
18
Lamintang,1990,Dasar-dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia,
Bandung,Sinar baru, Hlm.174
19
Ibid., Hlm.175
30
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dll.;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
terdapat di dalam pasal kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP;
5. Perasaan takut atau Vress seperti terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur Obyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku;
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat20.
20
Lamintang, Op.Cit.,Hlm.183-184
31
D. Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang
berbentuk badan peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga
peradilan, kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga permasyarakatan
bantuan hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap
warga negara. Pandangan filosofis peradilan berhubungan erat dengan
konsepsi keadilan. Keadilan pada dasarnya merupakan nilai tertinggi
diantara segala nilai yang ada di dalam hubungan antara manusia dan
masyarakat.
Keadilan
merupakan
integrasi
dari
berbagai
niali
kebijaksanaan yang telah, sedang, dan selalu diusahakan untuk dicapai
pada setiap waktu dan segala bidang serta masalah yang dihadapi.
Konsepsi ini berkembang selaras dengan berkembangnya rasa keadilan
dunia dan peradaban bangsa.
Konsepsi keadilan di tempatkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2),
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) undang-undang No.48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang
ini menentukan bahwa :
“Peradilan negara menerapkan dan menegaskan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila.”
Pasal ini menyatakan sudah menjadi kewajiban negara melalui
peradilan untuk menegakan hukum dan memberi keadilan berdasarkan
Pancasila. Peradilan sebagai penegak hukum, Pasal 2 ayat (1) menentukan
32
bahwa peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang
maha esa.
Hakikat peradilan merupakan kekuasaan kehakiman, dengan hakim
yang sebagai pejabat pelaksana dalam rangka memberi keadilan, selain
bertanggung jawab karena sumpah jabatan, hakim juga bertanggung jawab
terhadap hukum, diri sendiri, rakyat serta terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, menentukan bahwa :
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.”
Ketentuan
ini
menekankan
bahwa
pengadilan
sebagai
badan/lembaga peradilan dalam mengadili memandang bahwa harkat dan
martabat seseorang tersebut adalah sama antara satu dan lainnya.
Penempatan Kata “anak” dalam peradilan anak menunjukan
batasan atas perkara yang ditangani oleh badan peradilan yaitu tentang
perkara anak. Proses memberi keadilan berupa rangkaian tindakan yang
dilakukan oleh Badan-Badan peradilan disesuaikan bentuk serta kebutuhan
anak. Peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan
perkara yang menyangkut kepentingan anak. Ruang lingkup peradilan
anak yang meliputi : a. Segala aktivitas pemeriksaan; b. Pemutusan
perkara; c. Hal-hal yang menyangkut kepentingan anak. Menurut sistem
hukum aktivitas pemeriksaan terhadap perkara pidana melibatkan :
kepolisian, selaku penyidik yang melakukan serangkaian tindakan
penyidikan, penangkapan, penahanan serta pemeriksaan pendahuluan;
33
kejaksaan selaku penuntut umum, sebagai penyidik atas tindak pidana
yang kemudian melimpahkan ke pengadilan; pemeriksaan di depan
pengadilan kemudian mengambil Keputusan.21
Dalam perkara pidana, perkara-perkara yang di periksa adalah
perkara pidana anak yang menyangkut kenakalan yang dilakukan oleh
anak. Falsafah yang mendasari peradilan anak adalah untuk kepentingan
dan kesejahteraan masa depan anak, sehingga terdapat hubungan erat
antara peradilan anak dengan Undang-undang kesejahteraan anak.
2. Tujuan Sistem Peradilan Anak
Gordon Bazemore menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan
pidana (SPP) anak berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem
peradilan pidana anak yang dianut. Terdapat tiga paradigam peradilan anak
yang terkenal yaitu paradigma Pembinaan Individual (Individual treatment
paradigm); Paradigma Retributif (retributive paradigm); Paradigma
Restoratif (restorative paradigm). Dari masing-masing paradigma
peradilan pidana anak ini, maka akan berlainan masing-masing tujuan
yang ditonjolkan.22
Tujuan sistem peradilan pidana anak juga dapat dilihat dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan sistem peradilan pidana anak,
yaitu : SMRJJ/ The Beijing Rule, Konvensi Hak-hak Anak. Di Indonesia
21
22
Maidin, Op.Cit., Hlm. 190
Setya Wahyudi, Op.Cit., Hlm. 38
34
tujuan sistem peradilan pidana anak dapat diketahui pada UU Peradilan
Anak dan UU Perlindungan Anak.23
a. Tujuan SPP anak pada paradigma pembinaan individual
Sistem peradilan pidana anak dengan paradigma individual yang
dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi
pelaku bukan pada perbuatan atau kerugian yang diakibatkan.
Tanggung jawab ini terletak pada tanggung jawab sistem dalam
memenuhi kebutuhan pelaku. Penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan
pidana anak dengan paradigma pembinaan individual, adalah tidak
relevan, insidental dan secara umum tak layak. Pencapaian tujuan
sanksi ditonjolkan pada indikator hal-hal berhubungan dengan apakah
pelaku perlu diidentifikasi, apakah pelaku telah dimintakan untuk
dibina dalam program pembinaan khusus dan sejauhmana program
dapat diselesaikan. Putusan ditekankan pada perintah pemberian
program
untuk
terapi
dan
pelayanan.
Fokus
utama
untuk
pengidentifikasi pelaku dan pengembangan pendekatan positifis untuk
mengkoreksi masalah. Kondisi delinkuensi ditetapkan dalam rangka
pembinaan pelaku. Pelaku dianggap tak berkompeten dan tak mampu
berbuat rasional tanpa campur tangan terapitik. Pada umumnya pelaku
perlu dibina, karena akan memperoleh keuntungan dari campur tangan
terapitik.24
23
24
Loc.Cit.,
Loc.Cit.,
35
b. Tujuan SPP anak dengan paradigma retributif
Tujuan penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan
apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat,
pasti, setimpal serta adil. Bentuk pemidanaan berupa penyekapan,
pengawasan elektronik, sanksi punitive, denda dan fee. Untuk
menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan dengan pengawasan
sebagai strategi terbaik, seperti penahanan, penyekapan, pengawasan
elektronik. Keberhasilan perlindungan masyarakat dengan dilihat pada
keadaan apakah pelaku telah ditahan, apakah residivis berkurang
dengan pencegahan atau penahanan.25
c. Tujuan SPP anak dengan paradigma restoratif
Ada asumsi bahwa di dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi,
maka diikut sertakan korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses
peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai
dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban,
besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah
kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan
keseluruhan proses yang terjadi. Bentuk-bentuk sanksi yaitu restitusi,
mediasi pelaku korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat,
pelayanan langsung pada korban atau denda restoratif.26
Pada penjatuhan sanksi mengikutsertakan pelaku, korban,
masyarakat dan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif
25
26
Ibid., Hlm. 39
Ibid., Hlm. 39
36
untuk merestore kerugian korban, dan menghadapi korban atau wakil
korban. Korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu
dalam penentuan sanksi bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai
mediator, membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban
pelaku. Penegak hukum memfasilitasi berlangsungnya mediasi.
Fokus utama peradilan restoratif untuk kepentingan dan
membangun secara positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber
utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan
positif, bersifat preventif dan proaktif. Untuk kepentingan reahbilitasi
pelaku diperlukan perubahan sikap lembaga kemasyarakatan dan
perilaku orang dewasa. Rehabilitasi pelaku dilakukan dengan pelaku
yang bersifat learning by doing, konseling dan terapi untuk memotivasi
keterlibatan aktif para pihak.27
d. Tujuan SPP anak menurut SMRJJ (The Beijing Rules)
Di jelaskan dalam Commentary Rule 5.1 SMRJJ, bahwa ada
tujuan atau sasaran yang penting dalam tujuan peradilan anak yaitu :
a. Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being
of the juvenile);
b. Menekankan pada prinsip proposionalitas (the principle of the
propotionality).28
Tujuan pertama adalah pemajuan kesejahteraan anak ini,
merupakan fokus utama yang harus diutamakan pada sistem peradilan
27
28
Ibid., Hlm. 39
Ibid., Hlm. 41
37
pidana anak, dan dengan demikian merupakan penghindaran sanksisanksi yang sekedar menghukum semata.
Tujuan kedua adalah prinsip kesapadanan, yaitu bahwa reaksi
terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tidak hanya
didasarkan pada pertimbangan beratnya pelanggaran hukum tetapi juga
pada pertimbangan keadaan-keadaan pribadinya.
e. Tujuan SPP anak menurut Konvensi Hak-hak Anak
Tujuan sistem peradilan pidana anak yang menekankan pada
perlindungan dan kesejahteraan anak ini, terdapat dalam Konvensi Hakhak Anak, pada uraian tentang standar-standar pelakuan terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum (standards regarding children in
conflict with the law), sebagaimana ditentukan dalam Artikel 37 dan
Artikel 40.29
f. Tujuan SPP anak berdasar UU Pengadilan Anak
Tujuan sistem peradilan anak di Indonesia dilihat dalam
ketentuan UU Pengadilan Anak (UU No. 3 tahun 1997). Di dalam
konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut ditandaskan bahwa
pembuatan UU Pengadilan Anak dimaksudkan sebagai ketentuan dalam
penyelenggaraan pengadilan bagi anak, dimana terhadap anak perlu
perlakuan khusus. Diperlukan perlakuan khusus karena anak sebagai
generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri
khusus, maka memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
29
Ibid., Hlm. 41
38
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara
utuh, selaras dan seimbang.30
g. Tujuan SPP anak berdasarkan UU Perlindungan Anak
UU Perlindungan Anak memandang Anak nakal sebagai “Anak
yang berhadapan dengan hukum”. Terhadap Anak Nakal menurut
undang-undang perlindungan anak harus mendapatkan perlindungan
khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 59, Pasal 64 UU Perlindungan
Anak. Anak yang sedang berhadapan dengan hukum sama dengan
Anak Nakal yang sedang diperiksa dalam proses peradilan.
Salah satu perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum adalah “penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan
terbaik bagi anak”.31 Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan
terbaik bagi anak di dalam UU Perlindungan Anak, inilah yang menurut
penulis merupakan tujuan sistem peradilan anak di dalam UU
Perlindungan Anak. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan
terbaik bagi anak, yaitu sanksi yang dapat mendukung bagi pembinaan
dan perlindungan terhadap anak.32
30
Ibid., Hlm. 43
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 64 Ayat (2) huruf d
32
Setya Wahyudi,Op.Cit., Hlm. 45
31
39
E. Bantuan Hukum
1. Pengertian Bantuan Hukum
Bantuan hukum (legal aid) mempunyai beragam definisi antara
lainnya yang di atur dalam UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum. Bantuan hukum adalah jasa hukum yang di berikan oleh pemberi
bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerimaan bantuan hukum
yang di selenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan
hukum yang dihadapi penerima bantuan hukum.
Menurut Roberto Conception, advokat dari Filipina : “ Bantuan
hukum adalah pengungkapan yang biasanya digunakan untuk merujuk
kepada segala bentuk dari jasa hukum yang ditawarkan atau diberikan
kepada masyarakat. Ini dapat terdiri dari pemberian informasi atau
pendapat yang di berikan mengenai hak, kewajiban, dan tanggung jawab
dalam situasi tertentu, sengketa, litigasi, atau proses hukum, yang dapat
berupa peradilan, semi peradilan administrasi, atau yang lainnya.33
Adnan Buyung Nasution, dalam sebuah makalahnya tahun 1980,
mengatakan bahwa “bantuan hukum pada hakikatnya adalah sebuah
program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi
struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak
adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas
yang nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karena itu bantuan hukum
bukanlah masalah sederhana. Ia merupakan rangkaian tindakan guna
33
Frans Hendra Winarta, 2009, Hak konstitusional Fakir Miskin untuk memperoleh bantuan
hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm.22
40
pembebasan masyarakat dari belenggu struktur politik, ekonomi, dan
sosial (poleksos) yang sarat dengan penindasan.34
Sementara Todung Mulya Lubis menegaskan bahwa bantuan
hukum tidak bisa menghindarkan diri dari tujuan menata kembali
masyarakat dari kepincangan struktural yang tajam dengan menciptakan
pusat-pusat kekuatan dan sekaligus berarti mengadakan redistribusi
kekuasaan untuk melaksanakan partisipasi dari bawah.35
2. Profesi Advokat
Kata advokat apabila didasarkan pada Kamus Latin-Indonesia,
dapat ditelusuri dari bahasa latin yaitu advocatus, yang berarti membantu
seseorang dalam perkara.
Sedangkan menurut English Language Dictionary, advokat
didefinisikan sebagai berikut :
“An advocate is a lawyer who speaks in favour of someone or
defends them in a Court of law.36”
Artinya, advokat adalah seorang pengacara yang berbicara atas nama
seseorang atau membela mereka di pengadilan. Ruang lingkup advokat
dapat meliputi pekerjaan yang berhubungan dengan pengadilan dan
pekerjaan di luar pengadilan.
Pengertian advokat menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat, dalam Pasal 1 angka (1) dikatakan :
34
Loc.Cit.,
Ibid., Hlm.23
36
V.Harlen, Sinaga, 2002, Dasar-Dasar Profesi Advokat, Jakarta, Erlangga, Hlm.2
35
41
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.”
Pengertian advokat memperoleh penekanan bahwa advokat adalah
orang yang melakukan pekerjaannya baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Berdasarkan hal tersebut menurut pendapat Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dari sudut ilmu hukum. Cakupan
advokat tersebut adalah sebagai politik hukum, yaitu mencari kegiatan
untuk memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah pembentuk
undang-undang (pemerintah dan dewan perwakilan rakyat) yang
mewujudkan aspirasi masyarakat.37
3. Advokasi Bantuan Hukum Terhadap Anak
Dalam kaitannya dengan Advokasi Bantuan Hukum terhadap anak.
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51 Ayat (1) dan (3)
menentukan bahwa;
Pasal 51 Ayat 1
”Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak
mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Pasal 51 Ayat 3
“Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak
berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi
tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.”
37
Loc.Cit.,
42
Bantuan hukum menjadi suatu kewajiban yang diberikan dari negara untuk
anak pelaku tindak pidana sesuai dengan aturan yang terdapat dalam
undang-undang Pengadilan Anak.
Terdapat
argumentasi
yang
dapat
di
kembangkan
untuk
memberikan gambaran bantuan hukum sebagai hak yang wajib diberikan,
antara lainnya38
Pertama, Secara konseptual Pengadilan Anak diarahkan sebagai
peradilan yang bukan biasa (not ordinary) seperti peradilan orang dewasa,
tetapi peradailan yang memiliki kekhususan tertentu.
Kedua, Sebagai peradilan yang bersifat khusus, maka pengadilan
anak dilakukan dengan petugas dan penegak hukum yang khusus, baik
penyidik, jaksa, hakim, pengacara/advokat. Jangan membayangkan
bantuan hukum anak nakal sebagai bantuan hukum biasa, karena ada
prinsip kekhususan aparatur dan petugas. Perbuatan pidana anak nakal
(diasumsikan) bukan perbuatan yang otentik, dan karenanya anak nakal
bukan pelaku otentik. Arah politik hukum amandemen UU No. 3 Tahun
1997 pasti mampu membedakan antara perbuatan anak nakal sebagai
perbuatan otentik dengan perbuatan yang hanya akibat saja dari keadaan
dan peristiwa lain,
Ketiga, Anak berkonflik dengan hukum adalah anak yang
membutuhkan perlindungan khusus (Pasal 59 UU No.23 Tahun 2002),
38
Naskah akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm.54-55
43
sehingga perlindungan hukum dan hak-haknya dari/dengan pelaku
kriminal dewasa
Keempat, Secara faktual, dari berbagai laporan banyak ditemukan
kekerasan terhadap anak berkonflik dengan hukum, baik pada masa
penyidikan, penuntutan, persidangan maupun pada masa menjalani
hukuman. Dengan demikian kekerasan menjadi bagian yang sulit di
pisahkan dari anak yang berkonflik dengan hukum. Sebagai upaya
maksimal melindungi anak dari kekerasan, maka sebagai media
pencegahan kekerasan terhadap anak berkonflik dengan hukum, beralasan
apabila pemberian banuan hukum kepada anak menjadi suat kewajiban,
bukan hanya sekedar dapat di berikan kepada anak
Kelima, Landasan yuridis untuk memperkukuh argumentasi ini
dapat berangkat dari Pasal 58 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang
menjamin anak berhak memperoleh perlindungan dari segala bentuk
kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, bahkan
perlindungan anak dari kekerasan sudah merupakan hak konstitusional
yang secar khusus dan eksplisit diatur dalamPasal 28B ayat (2) uud 1945
(Amandemen).
Berdasarkan argumentasi tersebut, dalam UU Sistem Peradilan
Anak, advokasi bantuan hukum merupakan hak anak, hal ini di tegaskan
dalam Pasal 3 huruf c :
“Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak memperoleh
bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif”.
44
Hal tersebut semakin ditegaskan dalam pasal 23 ayat (1) yang
merumuskan :
“Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan
hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau
pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”
Ketentuan tersebut merupakan politik hukum legislator untuk bisa
memberikan jaminan perlindungan terbaik bagi pelaksanaan hak-hak anak
khususnya anak yang berkonflik dengan hukum. Keberadaan advokat atau
pemberi bantuan hukum sangatlah diperlukan agar ada yang mendampingi
anak yang sedang berkonflik dengan hukum, sehingga baik anak ataupun
keluarganya dapat mengetahui hak-haknya serta dapat menjaga agar
peradilan pidana anak berjalan dengan adil dan transparan. Faktor
rendahnya pengetahuan masyarakat akan hukum membuat keberadaan
advokat sangatlah diperlukan. Melihat UU No.16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum dilakukan secara cumacuma/prodeo, dalam mengimplementasikan UU Sistem Peradilan Pidana
Anak tersebut terdapat kewajiban pemberian bantuan hukum dan advokasi.
Advokat atau pemberi bantuan hukum diwajibkan memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan
tetap terpelihara. Advokat bersama aparat penegak hukum lainnya tidak
diperkenankan unuk memakai toga atau atribut kedinasan untuk menjaga
kondusifitas peradilan anak.39
39
M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hlm.173
45
BAB III
METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
sosiologis
atau
penelitian
hukum
non
doktrinal
yaitu
dengan
mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri
yang menekankan pada pencarian-pencarian, keajegan-keajegan empirik
dengan konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga mengadakan
observasi terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi.40
2.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan berlaku yang dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif yang
menyangkut permasalahan relevan dengan tujuan dari penelitian ini.
Bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang penerapan perlindungan
hukum terhadap hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana.41
40
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia, Hlm. 11
41
Ibid., 13
46
3.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Purwokerto. Lokasi penelitian ini dipilih oleh penulis karena lokasi kejadian
yang penulis teliti berada di Purwokerto dan juga untuk memudahkan penulis
melakukan proses penelitian.
4.
Sumber Data
1. Sumber data primer
Data primer adalah data yang bersumber pada ucapan informan dalam
menjawab pertanyaan yang bersumber pada individu. Materi penelitian
adalah dari pihak yang berwenang meliputi, Kepala Balai Pemasyarakatan
Purwokerto, Kepala bidang Pusat Pelayanan Terpadu dan Perlindungan
Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA), Hakim
Pengadilan Negeri Purwokerto, Jaksa Kejaksaan Negeri Purwokerto dan
Advokat di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto.
2. Sumber Data Sekunder
Data Sekunder adalah data dalam bentuk tulisan-tulisan yang bersumber
pada dokumen-dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, bukubuku kepustakaan, karya ilmiah, artikel-artikel serta dokumen-dokumen
yang terkait dengan materi penelitian.42 kegunaan dari data sekunder
adalah sebagai berikut:
42
Ibid.,Hlm. 159
47
a. Untuk mencari data awal atau informasi
b. Untuk mengetahui landasan teori hukum
c. Untuk mendapatkan batasan definisi atau istilah
5.
Metode Pengambilan Sampel
Metode pemilihan informan pada pemilihan ini pada awalnya adalah
Purposive Sampling yang menunjuk pada Hakim pengadilan, Advokat,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan perwakilan dari pusat pelayanan terpadu.
Purposive sampling (sampling bertujuan) dirumuskan sebagai teknik
pemilihan sumber di lapangan sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian
dan dianggap cukup jika semua data yang diperlukan sudah terhimpun.
Pemilihan informan selanjutnya menggunakan snowball sampling. Pemilihan
informan dengan metode ini baru berhenti manakala sudah tidak ditemukan
informasi baru. Penggunaan Snowball Samping diperlukan agar penggalian
data secara mendalam dan maksimal dapat diperoleh, mengingat bahwa
permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan perlindungan pelaku
tindak pidana anak. 43
6.
Metode Pengumpulan Data
1. Wawancara (interview)
Wawancara merupakan
salah satu metode pengumpulan data
dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi
43
Ibid., Hlm. 224
48
antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (Informan).44
Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara tidak langsung menggunakan daftar pertanyaan yang
dikirim kepada responden dan responden menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh peneliti secara tertulis, dan kemudian
mengirimkannya kembali daftar pertanyaan yang telah dijawab kepada
peneliti. Secara langsung wawancara diajukan secara face to face artinya
peneliti berhadapan langsung dengan responden untuk menanyakan secara
lisan hal-hal yang diinginkan, dan jawaban responden dijawab oleh
pewawancara. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
wawancara secara langsung. 45
2. Observasi (Pengamatan)
Observasi
merupakan
cara
pengumpulan
data
dengan
menggunakan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap
gejala yang tampak pada objek penelitian. Dalam penelitian ini posisi
peneliti hanya sebagai pengamat tanpa terlibat kegiatan apapun. Moleong
mengatakan bahwa pada pengamatan tanpa peran serta pengamat hanya
melakukan satu fungsi yaitu mengadakan pengamatan.
44
45
Rianto Adi, 2005, Metodelogi penelitian social dan hokum, Jakarta,Granit, Hlm.72
Loc.cit
49
7.
Metode Validitas Data
Cara yang digunakan untuk menguji validitas, keabsahan atau
kebenaran data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan triangulasi. Metode Triangulasi yang digunakan ialah jenis:
Menurut Moleong, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan
keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Metode
Triangulasi yang digunakan ialah jenis46 :
a. Triangulasi sumber, yaitu untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek kembali data dengan sumber yang berlainan;
b. Triangulasi Metode, yaitu untuk menguji kredibilitas data yang
dilakukan dengan cara mengecek kembali data dengan menggunakan
tehnik pengumpulan data yang berbeda;
c. Triangulasi waktu, yaitu untuk menguji kredibilitas data yang
dilakukan dengan cara mengecek kembali data dengan menggunakan
waktu pengumpulan data yang berbeda.47
8.
Metode Analisis Data
Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengumpulan data yang diperoleh, kemudian dianalisa secara deskriptif
kualitatif,48 yaitu menerangkan atau menguraikan data yang ada untuk
46
Lexy J.Moleong, 1991, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosada Karya,
Hlm. 178
47
Sugiono, 2008,Memahami penilitian Kualitatif., Bandung: Alfabeta. Hlm. 125.
48
Ibid.,Hlm. 179
50
mengetahui kesusaian data tersebut dengan peraturan-peraturan yang ada
dalam praktik yang dijalankan.
Analisis data dilakukan melalui reduksi data, yang dilakukan dengan
cara abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti,
proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada
didalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan,
stuan-satuan itu kemudian di katagorisasikan pada langkah berikutnya.
Katagori-katagori itu dibuat sambil melakukan koding. Tahap akhir dari
analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data.49
9.
Metode Penyajian Data
Data yang akan diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks naratif
yang disusun secara sistematis sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam
penelitian ini, data yang diperoleh dari masyarakat melalui wawancara
maupun data-data pendukung akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan
disusun secara sistematis sesuai dengan sistematika, yang didahului dengan
pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisis data dan hasil
pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.
49
Ibid.Hlm. 190
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bersumber pada data sekunder dan data primer. Hasil
penelitian data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen resmi, peraturan
perundang-undangan, buku literatur, karya ilmiah, artikel serta dokumendokumen lain yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti. Hasil penelitian
yang bersumber pada data primer berupa hasil wawancara dengan informan yang
menjawab pertanyaan. Dalam hal ini yang menjadi informan untuk mendapatkan
data adalah Kepala Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Kepala Pusat Pelayanan
Terpadu dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPTPKBGA), Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Jaksa Kejaksaan Negeri
Purwokerto dan Advokat di wilayah Purwokerto.
A. Hasil Penelitian Data Sekunder
1. Instrumen Perundang-undangan Nasional Terkait Dengan
Perlindungan Hak Anak
Indonesia
memiliki
banyak
peraturan
yang
secara
tegas
memberikan upaya perlindungan terhadap anak. Perlindungan hak anak
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, tertuang dalam Pasal 28B ayat
(2) UUD 1945. Peraturan perlindungan hak anak di Indonesia yang lainnya
yaitu undang-undang nomor 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan anak.
52
Indonesia aktif dalam pembahasan konvensi hak anak tahun 1989 yang
kemudian diratifikasi melalui Keppres 36 Tahun 1990.
Kemudian dibentuk UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Undang-undang ini masih memiliki kelemahan, yaitu ketentuan
hukum materiil yang dicampur adukan dengan ketentuan hukum formal
dalam satu undang-undang; misalnya masalah batas usia minimum, jenis
pemidanaan anak, masalah penyidikan, pemeriksaan dalam persidangan
anak dan penahanan. Hal ini mengundang perhatian publik terhadap
kepentingan untuk anak, sehingga disahkannya UU No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012.
Undang-undang ini diharapkan dapat lebih melindungi kepentingan yang
terbaik bagi anak. Merujuk pada Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012
disebutkan, bahwa undang-undang ini berlaku setelah 2 (dua) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkan. Sehingga masih diberlakukan
undang-undang yang lama sebagai dasar hukum pengadilan anak.
Pada tahun 2002 disahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang secara tidak langsung mengakomodir prinsipprinsip hak anak. Salah satu implementasinya adalah dengan pembentukan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). UU Perlindungan ini
dilengkapi dengan memasukkan prinsip-prinsip hak anak pada UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No. 21
53
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Keppres RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, keppres RI
No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Keppres RI No. 88 Tahun 2002
tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking)
Perempuan dan Anak.
Peraturan Perundang-undangan nasional yang berlaku pada saat ini
terkait perlindungan anak dan bantuan hukum antara lain :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang
merumuskan
bahwa
terdapat
beberapa
ketentuan mengenai anak dan kedudukannya di dalam hukum, antara
lain :
Pasal 28B ayat (2)
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.
Pasal 28G ayat (1)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda uang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.
54
Pasal 28H ayat (2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan
Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu
Berdasarkan ketentuan tersebut, undang-undang memberi
jaminan dan kepastian hukum yang jelas terhadap warga negaranya
untuk mendapat kehidupan yang layak. Setiap orang berhak untuk
tumbuh dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari berbagai
bentuk kekerasan dan diskriminasi. Pada dasarnya setiap orang berhak
atas perlindungan hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum
(equality before the law).
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
Dalam kaitannya dengan Advokasi Bantuan Hukum terhadap
anak. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51 Ayat
(1), (2), dan (3) menentukan bahwa;
Pasal 51 Ayat 1
Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak
mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 51 Ayat 2
Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib
memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau
orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
55
Pasal 51 Ayat 3
Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak
berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi
tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.
Bantuan hukum menjadi suatu kewajiban yang diberikan dari
negara untuk anak pelaku tindak pidana sesuai dengan aturan yang
terdapat dalam undang-undang Pengadilan Anak sebagai bentuk
perlindungan terhadap hak-hak anak.
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
dilaksanakan melalui perlakuan secara manusiawi sesuai dengan hakhak anak. Antara lain dengan memberikan petugas pendamping khusus
sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi
yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan
pencatatan
terus
menerus
terhadap
perkembangan
anak
yang
berhadapan dengan hukum.
Berdasarkan pasal 13 maka dirumuskan,
1).Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau
pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan
berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan :
Diskriminasi;eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;
penelantaran; kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.
2) Dalam hal orang tua , wali atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
56
d. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Pengaturan terkait bantuan hukum dalam undang-undang ini
diatur dalam Pasal 56 dan 57, antara lain ;
Pasal 56 Ayat (1)
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum.
Pasal 56 Ayat (2)
Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang
tidak mampu.
Bantuan hukum adalah pemberi jasa hukum secara cuma-cuma
yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan suatu bentuk
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.
Pasal 57 Ayat (1)
Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum
kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh
bantuan hukum.
Pasal 57 Ayat (2)
Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan
secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan
terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Pasal 57 Ayat (3)
Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Undang-undang ini merumuskan juga peran, tugas, fungsi, hak
dan kewajiban advokat, antara lain diatur dalam pasal :
57
1. Pasal 1
angka 1
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
angka 2
Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa
memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
angka 7
Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima
advokat berdasarkan kesepakatan dengan klien.
angka 9
Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat
secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu
2. Pasal 5
Advokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan mandiri
yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan
3. Pasal 14 :
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam
sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik
profesi dan perundang-undangan.
4. Pasal 15 :
Advokat bebas menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap
berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundangundangan.
5. Pasal 16 :
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana
dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk
kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan
6. Pasal 17 :
Dalam menjalankan profesinya, advokat
informasi, data, dan dokumen lainnya,
pemerintah maupun pihak lain yang
kepentingan tersebut yang diperlukan
berhak memperoleh
baik dari instansi
berkaitan dengan
untuk pembelaan
58
kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundangundangan
7. Pasal 18
Angka 1
Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang
membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis
kelamin, agama, politik, keturunan, ras atau latar belakang sosial
dan budaya
Angka 2
Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam
membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau
masyarakat.
8. Pasal 19
Ayat 1
Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
Ayat 2
Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien,
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap
penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap
penyadapan atas komunikasi elektronik advokat.
9. Pasal 22
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada pencari keadilan yang tidak mampu
f. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Menurut Undang-undang ini pemberian bantuan hukum
dilakukan dengan cara cuma-cuma/prodeo. Oleh karena itu, dalam
penerapan UU Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat kewajiban
pemberian bantuan hukum dan advokasi.
Advokat atau pemberi bantuan hukum diwajibkan dengan
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dengan mengusahakan
59
agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Advokat bersama aparat
penegak
hukum
lainnya
tidak
diperkenankan
untuk
memakai
perlengkapan atau atribut kedinasan untuk menjaga kondusifitas
peradilan anak.
B. Hasil Penelitian Data Primer
Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Balai Pemasyarakatan
(BAPAS), Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Perlindungan
Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA), Hakim, Jaksa,
dan Advokat. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan, maka
diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
1. Balai Pemasyarakatan
1.1. Peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam perlindungan
hak-hak anak
Balai pemasyarakatan memiliki tugas memberikan bimbingan
kemasyarakatan dan pengentasan anak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Balai pemasyarakatan mempunyai
fungsi antara lain :
1. Melaksanakan penelitian kemasyarakatan (litmas),
2. Melaksanakan registrasi klien pemasyarakatan,
3. Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak,
4. Mengikuti sidang peradilan anak di Pengadilan Negeri
60
5. Memberikan bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, anak
didik dan Klien Pemasyarakatan50
Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
pembimbing
kemasyarakatan balai pemasyarakatan (BAPAS) Bapak Murwanto,
S.Sos
menyatakan
bahwa,
tujuan
balai
pemasyarakatan
diselenggarakan adalah dalam rangka membentuk warga binaan
pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya. Tujuan tersebut
akan terlaksana dengan menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan
tidak mengulangi tindak pidana yang dilakukan terdakwa/pelaku anak
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dengan
berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.51
Menurut Sutarni,SST, perlu adanya penanganan yang serius
terhadap kasus-kasus anak yang makin marak terjadi dengan modus
dan bentuk perbuatan kejahatan yang baru. Berdasarkan sumber data
yang diperoleh dari Balai pemasyarakatan (BAPAS) Purwokerto.
Jumlah anak yang berkonflik dengan hukum di bawah penanganan
balai
pemasyarakatan
dari
tahun
2010-2012
cukup
banyak.
Berdasarkan data anak yang dibuatkan penelitian masyarakat
(LITMAS) pada tahun 2010 berjumlah 233 anak, pada tahun 2011
50
Profil Balai Pemasyarakatan Kelas II Purwokerto
Hasil Wawancara dengan Murwanto,S.Sos., Pembimbing kemasyarakatan Balai
Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 15 Juni 2013
51
61
berjumlah 223 anak, pada tahun 2012 berjumlah 195 dengan total
keseluruhan adalah 651 anak52.
1.2. Dasar pertimbangan Balai Pemasyarakatan dalam menyusun
penelitian masyarakat
Pendekatan sosiologis terhadap anak di bawah umur yang
telah melakukan tindak pidana adalah pendekatan hukum yang paling
tepat dalam pemeriksaan terhadap anak. Anak yang berkonflik dengan
hukum memiliki kesempatan yang luas untuk memperoleh pendidikan
demi menunjang masa depannya. Perlu penanganan yang terpadu
dalam hal anak sehingga tidak hanya memperhatikan dari sisi
yuridisnya
saja
dipertimbangkan.
pertimbangan
namun
sosiologisnya
pun
sangat
perlu
Menurut Murwanto,S.Sos terdapat dasar-dasar
pembimbing
kemasyarakatan
dalam
menyusun
penelitian masyarakat, antara lain :
1. Anak baru satu kali melakukan tindak pidana
2. Anak itu masih sekolah dan masih memiliki motivasi atau
keinginan untuk bersekolah
3. Orang tua dan masyarakat yang terlibat dengan anak, masih mau
menampung dan menerima keberadaan anak
4. Perbuatan tersebut bersifat meresahkan warga atau tidak
52
Hasil Wawancara dengan Sutarni,SST., Staf bimbingan konseling anak Balai Pemasyarakatan
kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 16 Juni 2013
62
5. Jenis tindak pidana yang dilakukan anak nakal (ringan, sedang,
berat)
6. Karakteristik kondisi fisik yang melekat pada anak (Tato, tindik,
rambut, dll)
7. Selama dilakukan wawancara terlihat ekspresi rasa penyesalan atau
tidak53
Berdasarkan
pertimbangan
tersebut,
diharapkan
dapat
menghasilkan laporan kemasyarakatan yang lebih mengutamakan sisi
kepentingan yang terbaik bagi anak.
1.3. Laporan
Penelitian
Masyarakat
oleh
pembimbing
kemasyarakatan
Pembimbing kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan
pada balai pemasyarakatan yang diangkat oleh Menteri Hukum dan
HAM RI atas usul kepala balai pemasyarakatan melalui kantor
wilayah departemen hukum dan HAM.
Tugas dan kewajiban pembimbing kemasyarakatan adalah :
1. Melakukan penelitian kemasyarakatan;
2. Menyusun laporan atas hasil penelitian kemasyarakatan yang telah
dilakukannya;
53
Hasil Wawancara dengan Murwanto,S.Sos., Pembimbing kemasyarakatan Balai
Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 16 Juni 2013
63
3. Mengikuti sidang tim pengamat pemasyarakatan guna memberikan
data, saran dan pertimbangan atas hasil penelitian dan pengamatan
yang dilakukannya;
4. Mengikuti sidang pengadilan yang memeriksa perkara anak nakal
yang sedang diperiksa di Pengadilan berdasarkan hasil penelitian
masyarakat;
5. Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja
bagi klien pemasyarakatan;
6. Memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang
meminta data atau hasil penelitian kemasyarakatan klien tertentu;
7. Mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang
melaksanakan tugas pembimbingan;
8. Melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi
pidana pengawasan, anak didik pemasyarakatan yang diserahkan
kepada orang tua, wali atau orang tua asuh yang diberi tugas
pembimbingan54.
Pendekatan sosiologis berupa penelitian masyarakat (litmas)
merupakan pendekatan secara non-penal yang dilakukan oleh petugas
pembimbing kemasyarakatan dari balai pemasyarakatan berdasarkan
penugasan dari hakim pidana anak. Pendekatan ini bertujuan untuk
meneliti dan mengetahui keadaan internal dan eksternal anak yang
telah melakukan tindak pidana.
54
Profil Balai Pemasyarakatan Kelas II Purwokerto
64
Slamet Budi Santoso selaku petugas pemasyarakatan pada
balai pemasyarakatan Klas II Purwokerto menyatakan bahwa, laporan
penelitian masyarakat (litmas) memiliki peran yang strategis dalam
memberikan rekomendasi kepada hakim dalam mempertimbangkan
dan memutus perkara anak. Dalam membuat laporan tersebut tidak
lepas dari pendekatan secara sosiologis, karena bertujuan untuk
meneliti dan mengetahui keadaan internal atau eksternal anak.
Keadaan tersebut seperti keadaan fisik, psikologis, sosial budaya,
pendidikan dan ekonomi anak. Peran orang tua, wali atau orang tua
asuh yang turut serta dalam pemeliharaan anak dan hubungan anak
dengan keluarga masyarakat dan sekolah, merupakan hal-hal yang
perlu juga untuk di teliti dan dikaji agar mendapatkan data yang
objektif bagi anak.55
1.4. Hambatan
dalam
proses
pembuatan
laporan
penelitian
masyarakat
Di dalam praktiknya sering kali ditemukan kendala dan
hambatan yang dihadapi dalam proses pembuatan penelitian
masyarakat, Murwanto,S.Sos menyampaikan hambatan-hambatan
tersebut antara lain ;
1. Keluarga klien dan masyarakat, belum semua mengetahui tentang
fungsi dan peran balai pemasyarakatan;
55
Hasil Wawancara dengan Slamet Budi Santoso., Pembimbing kemasyarakatan Balai
Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 16 Juni 2013
65
2. Pembimbing kemasyarakatan (PK) pada saat menuju ke rumah
klien anak, terkadang mendapatkan kesulitan pada area atau
keadaan yang kurang mendukung. Seperti daerah yang dikunjungi
berupa pegunungan dengan jalan yang rusak atau keadaan cuaca
yang tidak menentu, menghambat PK untuk melaksanakan
tugasnya;
3. Kasus-kasus anak dewasa
ini meningkat, baik jumlah maupun
jenis kenakalan yang dilakukan oleh anak;
4. Kurangnya buku literatur dan referensi tentang anak untuk
pengayaan informasi dan pengetahuan yang baru;
5. Kurangnya perlindungan hak bagi pihak pelaku, seperti contoh
kasus
persetubuhan
yang
dilakukan
oleh
anak.
Setelah
pengumpulan data, bukti dari korban pelaku, orang tua dan
masyarakat, diperoleh data bahwa kejadian tersebut terjadi atas
dasar hubungan saling suka. Tetapi tuntutan hanya tertuju pada
pelakunya saja;
6. Kadang di temukan kasus anak yang tidak mengakui kesalahannya,
terutama pada kasus asusila. Pihak pembimbing kemasyarakatan
tidak boleh memaksa anak untuk mengakui perbuatan apa saja
yang telah dilakukannya. Dalam hal ini Balai pemasyarakatan
dapat bekerja sama dengan pihak penyidik atau bantuan psikolog;
7. Dalam UU anak yang terbaru menentukan bahwa penelitian
masyarakat harus sudah selesai dalam waktu 3 hari. Hal ini akan
66
berdampak terhadap hasil litmas yang kurang maksimal karena
Bapas Purwokerto membawahi 6 wilayah kabupaten/kota antara
lain Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan
Purworejo. Dengan hanya 1 instansi balai pemasyarakatan yang
membawahi 6 kabupaten/kota yang menjadikan salah satu faktor
penelitian masyarakat terhadap klien tidak berjalan dengan
maksimal.56
2. Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban
Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA)
2.1. Peran Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan
Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA)
dalam memberikan perlindungan bagi anak sebagai pelaku
tindak pidana
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala bidang (PPTPKBGA) Dra. Tri Wuryani, M.Si., menjelaskan bahwa peran (PPTPKBGA) adalah lembaga yang bertugas melakukan penanganan dan
perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender dan anak.
Lembaga ini tidak hanya melakukan advokasi terhadap wanita dan
anak sebagai korban atau saksi, tetapi juga terhadap anak sebagai
pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum. (PPT-PKBGA) di
56
Hasil Wawancara dengan Murwanto,S.Sos., Pembimbing kemasyarakatan Balai
Pemasyarakatan kelas 1B Kota Purwokerto pada tanggal 16 Juni 2013
67
wilayah kota Purwokerto merupakan lembaga yang turut serta
menangani dan mendamping pelaku anak. Hal ini di latar belakangi
karena anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan korban. Anak
yang melakukan tindak pidana adalah korban dari lemahnya peran
keluarga, lingkungan yang buruk, keadaan ekonomi, dan kurangnya
pendidikan.
Pusat pelayanan terpadu adalah salah satu lembaga
koordinator yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten Banyumas
yang berperan melindungi kepentingan perempuan dan anak sebagai
korban atau pelaku. Pusat pelayanan terpadu selalu melibatkan tokohtokoh masyarakat pada saat memberikan perlindungan hak anak.
Keterlibatan masyarakat ini selalu disertakan dengan harapan adanya
kepedulian dari masyarakat untuk ikut serta memperhatikan
kepentingan anak. Dalam banyak kasus ketika tokoh masyarakat tidak
di ikut sertakan, akan berakibat pada saat anak dikembalikan pada
orang tua. Anak akan terasingkan dan terusir dari lingkungan hidup
aslinya karena dianggap sebagai virus yang akan mencemari dan
menulari anak-anak yang lain.57
Hasil Wawancara dengan Dra. Tri Wuryani, M.Si., Kepala bidang Pusat Pelayanan Terpadu
Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) Kota
Purwokerto pada tanggal 26 Juni 2013
57
68
2.2. Hambatan dalam penanganan kasus kekerasan yang melibatkan
anak
Menurut Dra. Tri Wuryani, M.Si, pemahaman penegak
hukum dari aparat kepolisian, kejaksaan dan hakim hingga saat ini
masih belum seragam. Pemahaman yang di maksud adalah terkait
diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penanganan
diversi seharusnya dapat dilakukan di setiap tahapan peradilan.
Kepolisian sebagai tingkat penyidikan adalah gawang pertama dalam
menangani anak. Sering kali dalam praktiknya pihak kepolisian
melewatkan upaya diversi ini. Tetapi PPT selalu mencoba melakukan
advokasi bukan hanya kepada pelaku saja tetapi juga ke lembaga
kepolisian. Lepas dari pemantauan PPT dan Balai pemasyarakatan,
banyak kasus yang tiba-tiba langsung di vonis tanpa melalui proses
diversi. Jumlah kasus yang ada di kepolisian dan jumlah kasus yang
PPT dampingi sering kali memiliki perbedaan yang signifikan. Data
ini membuktikan bahwa upaya diversi untuk anak dalam kepolisian
masih belum tegas dilakukan.
Pada saat PPT melakukan kontrol
biasanya selalu dilakukan diversi. Tetapi jika tidak dilakukan kontrol,
langsung keluar surat perintah penyidikan dari kepolisian yang
berkasnya tinggal di limpahkan ke kejaksaan dengan tanpa melalui
upaya diversi. Faktanya, polisi memiliki Unit PPA (perlindungan
perempuan dan anak), hanya saja unit kerja ini belum berjalan dengan
baik. Seharusnya kepala unit PPA adalah perwira polisi wanita yang
memiliki perspektif kepekaan terhadap keadaan batin anak.
69
Dra. Tri Wuryani, M.Si tidak pernah menemukan upaya
diversi diterapkan pada tingkat kejaksaan, karena pada prinsipnya jika
sudah berada di tangan kejaksaan maka perkara harus dilanjutkan ke
pengadilan.
Pada tingkatan pengadilan, hakim cenderung membaca
laporan penelitian masyarakat (litmas) bukan mempertimbangkan
hasilnya, seharusnya laporan tersebut dapat dijadikan pertimbangan,
namun hanya menjadi formalitas saja.
Ketika PPT mencoba melihat secara komprehensif, anak
memang tidaklah untuk dihukum tetapi lebih baik diupayakan dengan
rehabilitasi dan pengawasan terpadu. Lembaga pemasyarakatan
(lapas) bukanlah tempat yang baik untuk anak. Lapas yang di
khususkan untuk anak, tidak menutup kemungkinan anak tersebut
akan di satukan dengan anak binaan lain dengan berbagai macam sifat
dan latar belakang dan tentunya dapat mempengaruhi keadaan
psikologis anak tersebut. Anak yang keluar dari penjara dibandingkan
dengan anak yang di tangani oleh PPT melalui jalur diversi akan
terlihat perbedaan. Anak yang keluar dari lapas tidak menjamin untuk
tidak melakukan perbuatannya lagi. Tetapi berbeda dengan anak yang
di kembalikan pada keluarga dengan proses diversi. Mereka lebih
terpantau dan terjaga keadaan mental psikologisnya.58
Hasil Wawancara dengan Dra. Tri Wuryani, M.Si., Kepala bidang Pusat Pelayanan Terpadu
Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (PPT-PKBGA) Kota
Purwokerto pada tanggal 26 Juni 2013
58
70
3. Hakim di Wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto
2.1 Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana
Berdasarkan hasil wawancara dengan Budi Setyawan,
S.H.,M.H Selaku hakim di Pengadilan Purwokerto, menghasilkan
hasil wawancara sebagai berikut :
Dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anak, acuan
yang pertama akan dilihat adalah pada saat perkara diajukan maka
hakim harus sudah membaca hasil penelitian dari pembimbing
kemasyarakatan. Acuan kedua dengan berdasarkan fakta yang
terungkap
dalam
persidangan,
yang
di
dalamnya
akan
di
pertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sehingga
terbukti untuk memenuhi suatu kejahatan. Melihat anak yang sedang
berhadapan dengan hukum harus secara spesifik, karena banyak faktor
yang mempengaruhinya.
Anak termasuk individu yang belum dewasa dan belum bisa
bertanggung jawab sepenuhnya serta kurangnya pengawasan orang
tua, pergaulan/lingkungan tumbuh anak yang mempengaruhi sehingga
terbentuk watak anak. Tetapi ketika berhadapan dengan hukum maka
otomatis akan berhadapan atau dibenturkan dengan perbuatan faktual
yang dilakukan. Hakim
selalu mempertimbangkan dari segi
lingkungannya, jika anaknya melakukan kejahatan karena desakan
ekonomi maka hakim akan mempertimbangkan anak tersebut untuk
71
dikembalikan ke orang tua. Ataupun jika orang tuanya tidak mampu
secara ekonomi maka anak ini diserahkan ke lembaga sosial untuk
diberikan keterampilan dan pendidikan.
Anak yang berada di lembaga pemasyarakatan (lapas), tetap
disekolahkan dan mendapatkan pendidikan yang layak serta tetap
memantau perkembangan sikap dan perilaku anak tersebut. Tidak
harus menunggu sampai usia 18 tahun anak itu harus baru bisa
dibebaskan. Umur di bawah itu pun ketika anak tersebut terdapat
perubahan sikap dan perilaku ke arah positif maka dapat dikembalikan
ke orang tuanya meskipun belum mencapai batasan usia maksimal 18
tahun. Hal tersebut dikarenakan penanganan terhadap anak tidak
semata-mata berdasarkan dari sisi yuridisnya saja.
Hakim dalam rangka pemberian perlindungan hak terhadap
anak, lebih melihat sisi kemanfaatannya. Penjatuhan pidana terdiri
dari 2 jenis, yaitu tindakan dan hukuman. Hakim akan melihat
manakah yang lebih bermanfaat untuk anak dan lingkungannya.
Ketika masyarakat sebagai korban melaporkan suatu kejadian, terjadi
permasalahan bahwa korban tidak terima atau tidak puas dengan
perlakuan tersangka anak tersebut, meskipun nilainya kecil. Sering
kali terjadi ketidakseimbangan sosial di mana adanya perbuatan
pidana yang menimbulkan gejolak. Maka harus diselesaikan melalui
lembaga penegak hukum. Ketika melihat dari sisi korban yang tidak
terima berarti masih belum terjadi keseimbangan. Tetapi ketika terjadi
72
musyawarah mufakat dan korban tidak keberatan lagi dan pelaku
anaknya juga sudah menunjukan rasa penyesalan. Maka anak tidak
perlu untuk di hukum. Oleh sebab itu hakim harus membaca laporan
penelitian yang di buat oleh balai pemasyarakatan tentang kondisi
anak, korban, keluarga, masyarakat dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya.
Hakim perlu mempertimbangkan dari segi kemanfaatan
dalam menjatuhkan sanksi pidana. Pada saat anak masih dalam proses
belajar atau sekolah, sering kali hakim memberikan prioritas
pendidikan kepada anak tersebut. Penjatuhan hukuman yang diberikan
tidak mengganggu proses belajarnya karena pendidikan merupakan
bekal yang utama untuk masa depan dan kelangsungan hidupnya.
Hakim tidak ragu dalam mengambil Keputusan namun
terkadang ada hak yang perlu di pertimbangkan. Dalam hal hakim
menjatuhkan sanksi yang kurang tepat, akan memberi dampak negatif
terhadap anak. Pelaku anak berusia muda dan masih wajib menempuh
pendidikan yang harus di ikuti. Pelanggarannya pun sebatas akan
menjadi pengalaman di kemudian hari untuk lebih waspada dan tidak
untuk di ulangi kembali. Sehingga hakim harus cermat dalam
memutus setiap perkara yang berhubungan pada anak khususnya.59
Menurut hakim Abdul Latif,S.H.,M.H dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan pidana harus mempertimbangkan
Hasil Wawancara dengan Budi Setyawan, S.H.M.H., Selaku hakim di Pengadilan Purwokerto
Pada tanggal 17 Juni 2013
59
73
rekomendasi dari balai pemasyarakatan, orang tua, dan pengakuan
anak itu sendiri. Dengan bukti-bukti yang ada dan harus memenuhi
Pasal 184 KUHAP minimal 2 alat bukti yang menguatkan. Dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan kepada anak adalah
melihat dari umur anak. Harus bertitik tolak untuk kebaikan anak
tersebut.
Untuk jangka panjang hakim lebih mempertimbangkan anak
di jadikan anak negara, dengan mempertimbangkan orang tua yang
sudah
tidak
mampu
merawat,
mendidik,
membimbing
dan
mengasuhnya. Hal ini dapat digunakan jika pihak orang tua anak
menolak atau tidak mampu lagi menerima anak tersebut
Pertimbangan hakim untuk membebaskan terdakwa anak
adalah harus tidak terbukti melakukan perbuatan dan pertimbangan
hakim dalam menghukum terdakwa anak adalah harus benar-benar
terbukti melakukan pelanggaran
Kesimpulannya sanksi pidana yang tidak tepat akan
menghambat proses tumbuh kembang anak. Penjatuhan pidana
menjadi label dalam masyarakat bahwa anak tersebut pernah
melakukan perbuatan kejahatan.60
Hasil Wawancara dengan Abdul Latif, S.H.M.H., Selaku hakim di Pengadilan Purwokerto
Pada tanggal 11 Juni 2013
60
74
2.2. Bentuk perlindungan hak dan bantuan hukum pada anak
Menurut Budi Setyawan, S.H.,M.H, bentuk perlindungan
hak dan bantuan hukum pada anak yaitu hakim akan meminta kepada
orang tua dan petugas kemasyarakatan untuk selalu hadir memberikan
penguatan secara psikologis terhadap anak. Hakim melihat pangkal
permasalahannya dari motif bukan hanya dari akibat hukumnya.
Sering kali
karena faktor ekonomi, tidak mampunya menyerap
informasi sehingga anak melakukan tindakan yang bias. Pemberitaan
pada anak harus di sembunyikan identitasnya, harus di dampingi
orang tuanya, pembimbing kemasyarakatan, persidangan harus
tertutup.
Dengan mendasarkan pada Pasal 56 KUHAP, bahwa
terdakwa mempunyai hak untuk di dampingi penasihat hukum. Hakim
hampir selalu menyampaikan untuk memberikan hak-hak bantuan
hukum dengan membuat penetapan supaya anak tersebut pada saat
persidangan harus di dampingi penasihat hukum. Hakim menunjuk
penasihat hukum untuk mendampingi anak
yang tidak memiliki
penasihat hukum untuk melindungi hak-haknya. Penunjukan secara
sukarela kepada advokat selama ini tidak pernah ada masalah untuk
mendampingi karena anak merupakan masalah yang khusus.61
Hasil Wawancara dengan Budi Setyawan, S.H.M.H., Selaku Hakim di Pengadilan Purwokerto
Pada tanggal 17 Juni 2013
61
75
4. Kejaksaan Negeri Purwokerto
4.1. Peran jaksa dalam perlindungan hak anak
Berdasarkan hasil wawancara dengan Rinawati,S.H.,M.H
selaku jaksa di Kejaksaan Negeri Purwokerto menyatakan bahwa, di
Kejaksaan Negeri Purwokerto terdapat penunjukan untuk beberapa
jaksa dengan surat perintah kepala Kejaksaan sebagai jaksa khusus
anak. Jaksa tersebut berperan untuk menangani perkara yang erat
kaitannya dengan anak (terdakwa anak). Khusus di sini bukan berarti
hanya menangani perkara anak saja, tetapi jaksa juga masih
menangani perkara di luar anak. Kesimpulannya bahwa jaksa masih
menjabat jabatan rangkap dan belum fokus menangani khusus anak.
Selama proses penuntutan, jaksa melakukan pendekatan
langsung terhadap anak, sehingga anak yang berkonflik dengan
hukum merasa nyaman dan dapat mengikuti jalannya persidangan
dengan baik. Dalam mengajukan tuntutan pidana, jaksa lebih
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Ketentuan
Pasal
7
keputusan
bersama
antara
ketua
Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, Menteri Hukum dan
HAM RI, Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak tentang Penanganan Anak yang berhadapan
dengan hukum. Memuat di dalamnya peran jaksa kaitannya dengan
penanganan anak, antara lain :
76
1. Melakukan penuntutan dengan memperhatikan kepentingan terbaik
bagi anak yang berhadapan dengan hukum;
2. Menyiapkan Jaksa dan tenaga administrasi yang mempunyai minat,
kemampuan, memperhatikan dan dedikasi dibidang anak pada
setiap kantor kejaksaan;
3. Menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi anak pada setiap
kantor kejaksaan;
4. Mengadakan diskusi dan pelatihan yang dibutuhkan secara rutin
5. Menyusun panduan/pedoman, surat edaran/standar operasional
prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan
pendekatan keadilan retoratif;
6. Membentuk kelompok kerja penanganan perkara anak yang
berhadapan dengan hukum;
7. Melakukan sosialisasi internal.62
Selanjutnya kembali Rinawati,S.H.,M.H, menyebutkan halhal yang perlu diperhatikan agar hak-hak anak sebagai pelaku tindak
pidana dapat di terapkan dengan baik, antara lainnya ;
1. Proses penanganan yang didahulukan dari perkara yang lain
2. Percepatan proses penanganan perkara dengan menghindari
pengulangan berkas perkara dan proses persidangan yang di tundatunda
Hasil Wawancara dengan Rinawati,S.H.,M.H., Selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Purwokerto,
Pada tanggal 15 Juli 2013
62
77
3. Memperhatikan masa penahanan
4. Aktif berkomunikasi dan memberi konseling terhadap terdakwa
anak
5. Memberikan tuntutan pidana dengan mempertimbangkan masa
depan anak
4.2. Hambatan jaksa dalam menangani kasus anak
Menurut
Rinawati,S.H.,M.H,
terdapat
kendala
yang
dihadapi jaksa dalam praktiknya, antara lain ;
1. Terkadang ada perkara anak yang rumit pembuktiannya, sehingga
proses persidangan memakan waktu lama. Padahal penahanan
terdakwa anak berbeda dengan terdakwa dewasa;
2. Ada beberapa kasus terdakwa anak yang tidak menempuh
pendidikan, sehingga terdapat kesulitan dalam proses pemeriksaan
persidangan;
3. Tidak semua tim terpadu di setiap kabupaten melakukan
pendampingan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana,
sehingga tidak ada pendampingan selam proses persidangan. Hal
ini sebenarnya sangat membantu dalam proses pemeriksaan
persidangan dan membantu menumbuhkan motivasi dan semangat
terdakwa anak untuk melanjutkan pendidikannya.
Rinawati,S.H.,M.H menyampaikan bahwa penanganan
perkara terdakwa anak harus dilakukan secara maraton (2 x dalam
78
1 Minggu) bagi perkara yang membutuhkan waktu untuk
pembuktian. Oleh karena itu, proses persidangan perkara terdakwa
anak harus selalu didahulukan di atas perkara yang lain. Perlu di
dibentuk tim terpadu yang melakukan pendampingan terhadap
terdakwa anak, sehingga mempermudah proses penanganan
perkara anak.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, terdapat sebagian
Advokat yang mengeluhkan tentang sulitnya meminta permohonan
penangguhan penahanan terhadap anak kepada Kejaksaan.
Permohonan penangguhan penahanan adalah hak semua terdakwa,
akan tetapi pihak jaksa mempunyai pertimbangan sendiri untuk
menerima atau menolaknya. Pertimbangan tersebut yaitu ;
1. Jenis tindak pidana yang dilakukan, jika perkara besar dan
menarik perhatian masyarakat maka sulit untuk di kabulkan
permohonan penangguhan penahanannya;
2. Status terdakwa (pelajar atau putus sekolah);
3. Keluarga yang melakukan penjaminan untuk penangguhan
penahanan;
4. Tempat tinggal terdakwa anak, di dalam atau di luar daerah
hukum Pengadilan Negeri tersebut;
5. Keadaan korban dan masyarakat sekitar
79
5. Advokat di Wilayah Kota Purwokerto
5.1. Peran Advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap
anak sebagai pelaku tindak pidana
Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang
berhadapan dengan hukum. Dengan latar belakang kondisi psikologis
anak yang belum mapan, maka diperlukan pendampingan terhadap
anak. Undang-undang Peradilan Anak di dalamnya juga mewajibkan
adanya pendamping seperti advokat, orang tua atau dari balai
pemasyarakatan.
Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
Saleh
Darmawan,S.H , memaparkan bahwa advokat memiliki peran yang
sangat strategis di samping yang telah di amanatkan secara langsung
di dalam undang-undang Peradilan Anak dan KUHAP. Advokat yang
menangani perkara anak harus mengetahui secara terperinci terhadap
aturan-aturan yang melingkupi proses perkara anak. Advokat tidak
hanya berpegangan dengan undang-undang saja tetapi juga dengan
aturan lain yang telah disepakati secara internasional seperti konvensi
internasional tentang anak/beijing rule. Peran advokat antara lain
mengajukan permohonan pendampingan, dan di kabulkan atau
tidaknya itu merupakan kewenangan dari kepolisian, kejaksaan dan
hakim yang menangani perkara. Pemberian bantuan hukum berupa
advokat dapat dilakukan melalui penunjukan oleh hakim. Advokat
80
berperan memastikan bahwa anak tersebut telah diproses sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.63
5.2. Kendala dalam proses pemberian bantuan hukum kepada anak
Menurut Saleh Darmawan,S.H , kendala yang dihadapi
dalam memberikan bantuan hukum kepada anak adalah sebagai
berikut ;
a. Institusi Polri membentuk unit PPA (perlindungan perempuan dan
anak) yang berperan untuk menangani perkara anak. Tetapi institusi
Polri masih belum mampu menciptakan perwira polisi wanita yang
benar-benar memiliki kerangka berfikir perlindungan terhadap anak.
Polri belum siap secara penuh menyediakan penyidik anak walaupun
sudah ada pengaturan tentang syarat-syarat menjadi penyidik anak.
Persepsi/mind set dari penegak hukum yang masih belum padu dalam
menyamakan persepsi tentang perlindungan anak. Di institusi Polri
tidak semua anggota unit PPA menguasai maksud dari diversi dan
restorasi sehingga setiap perkara yang masuk harus di hukum.
Walaupun terdapat mediasi namun hanya dijadikan formalitas saja.
b. Banyak anak di bawah umur yang tidak sekolah diberikan sanksi
tahanan. Hal ini disebabkan karena timbul kekhawatiran dari pihak
kepolisian bahwa anak tersebut tidak adanya yang menjamin jika tidak
Hasil Wawancara dengan Saleh Darmawan, S.H., Selaku Advokat wilayah Purwokerto,
Pada tanggal 20 Juni 2013
63
81
sekolah. Tetapi ketika anak masih sekolah, dipastikan adanya
pengawasan dari pihak keluarga, lingkungan/perangkat desa dan
sekolah. Polisi masih mendasarkan atas alasan subjektif penahanan,
jadi ketika memenuhi syarat dalam melakukan penahanan sehingga
untuk anak-anak di bawah umur yang tidak sekolah tetap ditahan. Hal
ini tanpa mempertimbangkan unsur objektif atau segi kepentingan
terbaik untuk anak yang sedang proses tumbuh dan kembang.
c. Hukum kita masih mengalami dilema pada saat perkara yang
melibatkan anak sebagai pelaku, tetapi dilakukan bersama-sama
dengan orang dewasa.
Apakah diversi yang dilakukan oleh anak
bersamaan dengan orang dewasa dapat dilakukan?. Ternyata dalam
praktiknya masih sulit. Ada semacam kearifan lokal dalam
masyarakat, polisi juga khawatir jika satu pihak di diversi maka semua
juga harus di diversi atau semua dilepas maka semua harus dilepas
karena menyangkut keadilan. Untuk melakukan diversi bagi orang
dewasa tidak ada aturannya, tetapi untuk anak ada peraturan yang
melingkupi. Artinya masih terdapat keraguan dari pihak kepolisian
untuk melakukan diversi terhadap perkara anak. Polisi juga merasa
dilema ketika keluarga korban berpendirian agar perkara ini diproses
lebih lanjut. Polisi ragu untuk menjelaskan kepada keluarga korban
bahwa tersangka pun memiliki hak yang di lindungi oleh undangundang dalam hal masalah diversi. Polisi cenderung mengikuti
tuntutan dari keluarga korban, karena khawatir jika prosesnya tidak di
82
lanjut atau dilakukannya diversi justru polisi tersebut yang terkena pra
peradilan. Anak yang berkonflik dengan hukum memiliki hak untuk
menempuh upaya diversi. Namun dalam praktiknya instansi
kepolisian mengalami dilema atau ragu dalam penerapannya.
Kewajiban untuk dilakukannya diversi ini seolah-olah hanya
kewajiban yang semu, artinya ketika tidak dilakukan tidak ada sanksi
yang tegas dalam menindak aparat penegak hukum. Namun dengan
adanya UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang terbaru. Terdapat peraturan pemberian sanksi kepada aparat
hukum yang tidak mengupayakan proses restorasi dan diversi tersebut.
Undang-undang tersebut berlaku 2 tahun setelah di
undangkan
(Agustus 2012)
d. Advokat merasa lebih mudah untuk mengajukan permohonan
penangguhan penahanan terhadap anak. Tetapi di tingkat kejaksaan
prosedur permohonan penangguhan anak di bawah umur untuk tidak
ditahan lebih sulit dikabulkan.
e. Di
tingkat
peradilan,
hakim
selalu
meminta
kepada
balai
pemasyarakatan (BAPAS) untuk dibuatkan penelitian masyarakat
sebagai bahan pertimbangan dalam putusan. Tetapi advokat belum
pernah melihat putusan pengadilan yang sesuai dengan rekomendasi
dari BAPAS. Sampai sejauh mana efektivitas rekomendasi BAPAS
dalam putusan hakim, hal ini pun masih menjadi pertanyaan.
Berdasarkan pernyataan dari advokat Saleh Darmawan,S.H terkait
83
perkara anak yang pernah ditanganinya, bahwa tidak semua
rekomendasi dari BAPAS dijadikan pertimbangan utama hakim.
Hakim cenderung melihat dari kebenaran materiil dari fakta yang
terungkap di persidangan.
f. Perlindungan terhadap anak tidak menjadi maksimal ketika polisi
tidak memberi tahu kepada pusat pelayanan terpadu (PPT) tentang
perkara yang sedang diperiksa, sehingga PPT tidak dapat melakukan
pendampingan. PPT harus mengetahui jika ada perkara yang masuk ke
dalam pengadilan.
g. Sarana dan prasarana yang kurang memadai seperti tidak adanya
lembaga pemasyarakatan (LAPAS) khusus anak di kota Purwokerto,
ruang tunggu tersangka di pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian yang
masih dicampur baik dewasa atau anak.
h. Masyarakat cenderung tidak mengetahui bahwa pelaku anak juga
memiliki hak-hak yang harus dipenuhi. Masyarakat berpandangan
bahwa untuk mendapatkan suatu bantuan hukum itu harus
membutuhkan biaya yang besar. Balai pemasyarakatan dan pusat
pelayanan terpadu (PPT) tidak memungut biaya perkara dalam
pendampingan terkait perlindungan hak-hak anak. Faktor masyarakat
yang
tidak
mengetahui
keberadaan
bantuan
hukum
tersebut
mengakibatkan rata-rata pelaku anak tidak di damping advokat secara
utuh pada setiap tahapan prosesnya. Kendala dari permasalahan
tersebut di atas adalah ketika advokat tidak mengetahui dan
84
memahami proses perkara tersebut dari awal sehingga tidak cukup
waktu untuk mencari informasi dan bukti yang meringankan untuk
kepentingan pembelaannya.64
5.3. Faktor yang menghambat dan mendorong dalam pemberian
bantuan hukum
Berdasarkan hasil wawancara dengan advokat Saleh
Darmawan, S.H, ada beberapa faktor pendorong dan penghambat
pemberian bantuan hukum pada anak yang berkonflik dengan
hukum, antara lainnya :
a. Faktor Penghambat
Advokat dengan penuh kerelaan dapat memberi bantuan
terhadap klien yang tidak memiliki kemampuan dalam segi
ekonomi. Hal ini juga diatur di dalam kode etik advokat untuk
dapat memberikan pendampingan secara prodeo/cuma-cuma. Akan
tetapi advokat tidak dapat mendukung secara maksimal mencari
data atau bukti yang meringankan pelaku anak tersebut. Karena
untuk mencari hal tersebut membutuhkan biaya yang tidak kecil.
Sedangkan penghasilan utama advokat hanya berasal dari klien
yang membutuhkan jasanya. Hendaknya pemerintah melalui
64
Hasil Wawancara dengan Saleh Darmawan, S.H., Selaku Advokat wilayah Purwokerto,
Pada tanggal 20 Juni 2013
85
kementerian hukum dan HAM dapat memberikan dana alokasi
khusus untuk pemberian bantuan hukum bagi pengacara.
b. Faktor Pendorong
Salah satu faktor yang mendukung pemberian bantuan
hukum terhadap anak yang sedang berkonflik dengan hukum
adalah undang-undang. Dengan regulasi yang ada walaupun masih
mengandung kelemahan dalam isi. Dalam kenyataannya masih
minim sekali perlindungan terhadap anak. Aparat penegak hukum
masih banyak yang belum memahami isi undang-undang tentang
bagaimana proses perkara dalam anak itu di selenggarakan. Unsurunsur penegakan hukum harus menyatu untuk mendukung
kepentingan anak. Hal ini memang harus di utamakan di atas
kepentingan yang lain, jika ini sudah bisa maksimal maka
perlindungan hak-hak anak akan berjalan dengan baik.
86
C. Pembahasan
Dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini, penulis
mendasarkan pada hasil penelitian yang kemudian dihubungkan dengan
landasan teori.
1. Implementasi Perlindungan Hak-Hak Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana di Wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto
Anak merupakan cikal bakal penerus masa depan bangsa yang
sekaligus sebagai gambaran bangsa pada masa depan. Anak berperan
strategis sebagai penentu kunci sukses suatu negara. Kualitas anak yang
rendah dengan kadar moral dan perilaku yang buruk berdampak negatif
pada perkembangan suatu negara di masa yang akan datang. Realita yang
terjadi, anak berada pada posisi yang sangat rawan terhadap perlakuan dari
pihak-pihak yang merampas hak dasar hidupnya. Permasalahan mengenai
anak telah menjadi hal yang memilukan dan mengkhawatirkan.
Seharusnya anak dipelihara, dibina , dilindungi, dan dijaga dengan baik
justru banyak yang dijadikan sebagai objek dari perbuatan-perbuatan
tercela. Tidak heran ketika banyak ditemukan anak sebagai pelaku tindak
pidana semakin meningkat jumlahnya. Hal ini terjadi karena kurangnya
perhatian
pemerintah
dalam
memperhatikan
hak-hak
anak
yang
selayaknya mereka penuhi. Regulasi berupa perundang-undangan yang
masih terdapat celah kekurangan, sehingga berdampak negatif bagi
penerapannya di lapangan. Oleh karena itu perlu adanya suatu tindakan
perlindungan bagi anak berupa perlindungan yang dijamin oleh hukum.
87
Dengan berdasarkan hasil wawancara yang mewakili keadaan
sebenarnya pada lapangan. Maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana tidak berjalan
secara efektif di kota Purwokerto. Faktor tersebut antara lain :65
a. Faktor hukum
Pemidanaan tidak pernah terlepas dari tanggung jawab hukum,
untuk menentukan hal ini harus berdasarkan pada kemampuan subjek dan
moral. Negara tidak dapat menggunakan hukumnya secara sewenangwenang, karena hukum pidana subjektif dibatasi oleh hukum pidana
objektif. Dengan tidak adanya kejelasan unsur subjek ini, penentuan
tanggung jawab hukum dalam hukum pidana anak menjadi masih rancu.
Pentingnya posisi anak bagi bangsa ini menjadikan pemerintah
harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Untuk menentukan batas usia anak
dalam hal definisi anak, maka akan didapatkan berbagai macam batasan
usia anak. Hal ini terjadi mengingat beragamnya definisi batasan usia
anak dalam beberapa undang-undang. Berbagai macam definisi tersebut,
menunjukan adanya tidak satu padunya perundang-undang yang ada.
Sehingga banyak kendala yang terjadi di dalam praktiknya akibat
perbedaan tersebut.
Mengacu pada konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on
the Right of the Child), definisi anak disebutkan adalah setiap manusia di
65
Bunadi Hidayat, 2010, Pemidanaan anak di bawah umur, Jakarta: PT.Alumni, hlm.165
88
bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang pada anak,
kedewasaan dicapai lebih awal. Undang-undang No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Oleh karena itu, seharusnya setelah lahirnya undang-undang
Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai Lex
Specialis, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus di
sesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan
pemenuhan hak anak66.
Memang sudah seharusnya peraturan perundang-undang yang ada
memiliki satu definisi sehingga tidak akan menimbulkan tumpang tindih
peraturan
perundang-undangan
yang
pada
tataran
praktis
akan
merepotkan penyelenggara pemerintah.
Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak memberikan angin segar terhadap peradilan anak di
Indonesia. Undang-undang ini merupakan penggantian terhadap undangundang Pengadilan Anak yang bertujuan agar terwujud peradilan yang
benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum. Namun undang-undang ini masih
belum diberlakukan karena undang-undang ini berlaku setelah 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal diundangkan (Agustus 2012).
66
Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm . 41
89
b. Faktor Penegakan Hukum
Pertimbangan hakim dalam setiap putusan pengadilan sangatlah
penting bagi pencari keadilan, terutama bagi pihak yang akan dijatuhi
pidana. Dalam lingkup kasus pidana anak, hakim harus lebih berhati-hati
dan serius dalam memberikan pertimbangan yuridis maupun nonyuridisnya. Anak tidaklah untuk dihukum, melainkan untuk dibina dan
dibimbing agar mampu menjadi manusia yang utuh, cerdas dan
bertanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa yang akan datang.
Anak sebagai pribadi yang berkebutuhan khusus dalam masa tumbuh dan
kembangnya. Maka jika penegak hukum kurang cermat dalam
pertimbangannya, akan berdampak pada masa depan anak nantinya.
Dalam menangani perkara anak yang berhadapan dengan
hukum, putusan yang dikeluarkan oleh hakim wajib mempertimbangkan
laporan
penelitian
kemasyarakatan
(litmas)
dari
pembimbing
kemasyarakatan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat 2 undangundang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang mewajibkan
hakim untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari
pembimbing kemasyarakatan.
Berdasarkan hasil penelitian di Kota Purwokerto, pada
kenyataannya
hakim
dalam
menyimpangi
rekomendasi
memberikan
berupa
putusan
penelitian
sering
masyarakat
kali
karena
terkadang hakim memiliki keyakinan untuk menilai petunjuk yang ada
90
dalam persidangan, misalnya keterangan saksi dan terdakwa serta
kesesuaian alat bukti.
Salah satu faktor yang mempengaruhinya karena balai
pemasyarakatan (BAPAS) hanya mencakup kepentingan pelaku saja,
belum
melihat
pemasyarakatan
dari
sisi
korbannya
secara
keseluruhan.
Balai
hanya memiliki wewenang melakukan wawancara
dengan pelaku bukan dengan korban.
Secara garis besar terdapat teori tentang tujuan pemidanaan,67 yaitu :
1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive vergeldings theori)
Berdasarkan teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan suat kejahatan atau tindak pidana. Pidana
hanya merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suat
pembalasan kepada orang yang sudah melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenaran pidana terletak pada ada atau terjadinya kejahatan itu
sendiri.
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian doeltheori)
Menurut teori ini proses pemidanaan bukanlah untuk
memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan tidak
mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan
67
Barda Nawawi Arief dan Muladi, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, PT.Alumni,
hlm.10
91
pembalasan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana,
tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.
3. Teori Gabungan
Pidana mempunyai berbagai pengertian antara lain perbaikan
sesuatu yang rusak dalam masyarakat atau prevensi general dan
prevensi special atau pencegahan kejahatan dengan mempengaruhi
tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi.
Pengakuan dan jaminan terhadap pemberlakuan asas keadilan
restoratif atau pemulihan pada keadaan semula pada anak yang sedang
berkonflik dengan hukum yang perlu di utamakan. Kerugian korban
bukan di wujudkan dengan bentuk pembalasan (retributive). Teori
absolut atau teori pembalasan (retributive vergeldings theori) dan
teori relatif atau teori tujuan (utilitarian doeltheori) masih kurang
tepat untuk diterapkan. Anak masih dalam usia perkembangan baik
fisik maupun mental psikologisnya, sehingga belum sepenuhnya bisa
dikenakan hukuman yang bersifat pembalasan seperti layaknya orang
dewasa. Keadilan restoratif ini menjadi indah karena bertujuan untuk
memulihkan menuju keadaan semula dan kerugian korban ke kondisi
semula. Anak yang berkonflik dengan hukum dan pihak korban diajak
bersama untuk bisa mempertanggungjawabkan terhadap apa yang
diperbuatnya dan apa yang dialaminya. Hal ini sangat berbeda dengan
sistem
pengadilan
anak
pembalasan/retributive justice.
dengan
mengedepankan
model
92
Pertimbangan yang bersifat sosiologis tersebut menjadi sangat
relevan bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. Menurut Muladi,
tujuan dari pemidanaan adalah :
1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan
Salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana adalah mencegah pelaku tindak pidana dan orang lain yang
juga mempunyai maksud yang sama dan mencegah kejahatan lebih
lanjut. Pencegahan ini mempunyai aspek ganda, yaitu yang bersifat
individual dan yang bersifat umum. Dikatakan pencegahan individual
atau khusus jika seseorang penjahat dapat dicegah melakukan suatu
kejahatan di kemudian hari apabila ia sudah mengalami dan meyakini
bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya. Maka hal ini
lebih dianggap mempunyai daya untuk memperbaiki dan mendidik.
Dikatakan ada pencegahan umum, apabila penjatuhan pidana yang
dilakukan oleh pengadilan dimaksudkan agar orang lain tercegah
untuk melakukan kejahatan.
2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat
Perlindungan
masyarakat
sebagai
tujuan
pemidanaan
mempunyai dimensi yang sangat luas, karena secara fundamental
merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit digambarkan
sebagai kebijakan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan
agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana
93
3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat
Bahwa pemidanaan bertujuan untuk menegakan adat istiadat
masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan atau balas
dendam yang tidak resmi. Pengertian lain berkaitan dengan
pernyataan Durkheim adalah bahwa tujuan pemidanaan untuk
memelihara atau mempertahankan kepaduan masyarakat yang utuh.68
4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan dan pengimbangan
Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana
dewasa ini. Menghindari atau mencegah orang main hakim sendiri
tetap merupakan fungsi yang sangat penting dalam penerapan hukum
pidana. Hanya saja penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus
dibatasi dalam batas yang paling sempit dan pidananya harus
mencerminkan pada proses penyesuaian kembali pada kehidupan
sehari-hari. Pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa69
c. Faktor Fasilitas
Fasilitas yang dimaksud adalah Sarana yang digunakan dalam
proses tahapan pemeriksaan, fasilitas penahanan, rehabilitasi, bimbingan
dan pengawasan. Faktor fasilitas tersebut antara lain :
1. Sumber daya hakim, jaksa dan polisi yang khusus menangani perkara
anak, memiliki peran yang sangat strategis dalam menunjang proses
penanganan perkara anak yang ideal. Namun pada kenyataannya, di
Kota Purwokerto masih terdapat hakim, jaksa, dan penyidik yang
68
69
Ibid., hlm.80
Ibid., hlm.86
94
melakukan tugas rangkap, di satu sisi menangani perkara anak tetapi
juga bisa menangani perkara dewasa.
2. Hanya terdapat satu lembaga balai pemasyarakatan di kota
Purwokerto. Lembaga tersebut membawahi 6 wilayah kabupaten/kota.
Dengan keterbatasan instansi balai pemasyarakatan ini menjadikan
faktor penelitian masyarakat terhadap klien tidak berjalan dengan
maksimal.
3. Kota Purwokerto belum memiliki panti rehabilitasi yang berdiri
khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum. Kegiatan
rehabilitasi selama ini masih bekerja sama dengan instansi rumah
sakit yang tersedia.
d. Faktor Lingkungan
Lingkungan masyarakat merupakan salah satu peran pendukung
instrumen hukum pidana anak, proses penanganan, dan hasil putusan
hakim agar dapat berjalan dengan semestinya. Perlu adanya persamaan
persepi yang utuh dari berbagai pihak, baik pemerintah, penegak hukum,
masyarakat maupun pihak anak yang sedang berkonflik dengan hukum
untuk mendukung instrumen hukum. Tanpa adanya keterpaduan persepsi
hukum, kewibawaan aparat penegak hukum akan diremehkan begitu saja
oleh yang merasa dirugikan terutama bagi anak yang berkonflik dengan
hukum. Sebaiknya masyarakat tidak hanya memperhatikan kepentingan
dari pihak korban saja, tetapi masyarakat juga harus mempertimbangkan
hak-hak pelaku anak yang berkonflik langsung dengan hukum.
95
2. Peran Advokat dalam Memberikan Bantuan Hukum terhadap Anak
sebagai Pelaku Tindak Pidana
Anak dalam proses peradilan merupakan sosok yang lemah,
mengingat bahwa yang bersangkutan menghadapi sosok yang lebih kuat
yaitu negara melalui aparat penegak hukumnya. Tidak semua orang
mengetahui atau menguasai aturan hukum yang rumit. Alasan kejiwaan
atau keadaan psikologis meskipun masih dalam tingkatan dakwaan bagi
pribadi seperti anak pun dapat menjadikan suatu tekanan mental dan
kejiwaan anak. Kedudukan yang tidak seimbang seperti ini melahirkan ide
bantuan hukum yang dalam rangka melindungi hak-hak anak tersebut.
Anak yang sedang berkonflik dengan hukum harus memperoleh bantuan
hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Anak sebagai pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum tanpa diskriminasi. Kaitannya dengan Advokasi Bantuan Hukum
anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 51 Ayat (1),
(2) dan (3) menentukan bahwa;
Pasal 51 Ayat 1
Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak
mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 51 Ayat 2
Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib
memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau
orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).
96
Pasal 51 Ayat 3
Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak
berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi
tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.
Dalam Undang-undang Pengadilan Anak, merumuskan bahwa
setiap anak sejak ditangkap atau ditahan, berhak untuk mendapat bantuan
hukum dari seorang atau lebih advokat. Bantuan hukum ini diberikan
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara
yang ditentukan. Oleh karena itu, pejabat yang melakukan penangkapan
atau
penahanan
(penyidik,
penuntut
umum
dan
hakim)
wajib
memberitahukan kepada anak yang sedang berkonflik dengan hukum,
orang tua, walinya, atau orang tua asuhnya mengenai hak untuk
memperoleh bantuan hukum. Advokat dapat mendampingi anak pada saat
diperiksa di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada pengadilan anak.
Advokat wajib memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak serta
kepentingan
umum.
Peran
advokat
mengusahakan
agar
suasana
kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan dengan lancar.
Advokat
juga
harus
memperhatikan
pendapat
dari
pembimbing
kemasyarakatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, bahwa sering kali
pendampingan ini tidak dilakukan di beberapa tahapan pemeriksaan seperti
dalam tahap penyidikan dan di kejaksaan. Pendampingan berupa bantuan
hukum oleh advokat hanya diberikan pada tahapan pengadilan saja. Hal
seperti ini sangat merugikan anak untuk mendapatkan perlindungan hak
yang maksimal.
97
Peran advokat dapat dilihat dari sudut pandang pentingnya hak
asasi manusia yang harus terpenuhi. Putusan pengadilan yang ditetapkan
akan
berdampak
terhadap
keadaan
psikologis
anak.
Dalam
mempertimbangkan putusan, hakim dapat saja salah dan tidak cermat.
Advokat sebagai pembela merupakan orang yang berpengalaman dan
memahami tentang hukum, sehingga atas pembelaannya dapat di jadikan
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Advokat merupakan
bagian dari penegak hukum, kehadirannya diperlukan untuk mendampingi
anak sebagai pelaku tindak pidana dari proses pemeriksaan awal sampai
akhir.
Advokat dapat dipilih sendiri oleh anak yang sedang berkonflik
dengan hukum atau keluarga yang bersangkutan. Dapat juga ditunjuk oleh
hakim pada pengadilan apabila anak yang berkonflik dengan hukum atau
keluarganya tersebut tidak mampu untuk membayar jasa advokat.
Pendampingan menjadi sesuatu yang penting dalam upaya perlindungan
hak-hak anak, karena merupakan amanah yang disampaikan oleh undangundang.
Pada BAB VI Pasal 22 Ayat (1) undang-undang No.18 Tahun 2003
tentang Advokat, di dalamnya mengatur pemberian bantuan hukum secara
cuma-cuma yang wajib diberikan oleh seorang advokat, yaitu :
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Advokat akan dengan penuh kerelaan memberikan bantuan hukum
terhadap klien yang tidak memiliki kemampuan dalam segi ekonomi. Dari
98
hasil penelitian yang dilakukan, advokat tidak dapat mendukung secara
maksimal dalam memberi bantuan hukum dari proses pemeriksaan tingkat
penyidik sampai pemeriksaan tingkat pengadilan. Hal ini di sebabkan
karena dalam pencarian data dan alat bukti yang menunjang untuk
meringankan kliennya, membutuhkan biaya yang tidak kecil. Penghasilan
advokat hanya berasal dari kliennya, berbeda dengan polisi, jaksa, dan
hakim yang sudah jelas mendapatkan penghasilan rutin dari suatu instansi.
Faktor tersebut yang menurunkan kualitas perlindungan hak pada anak
yang berkonflik dengan hukum.
Bantuan hukum pada dasarnya adalah segala upaya pemberian
bantuan dan pelayanan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan,
agar memperoleh dan menikmati semua haknya di mata hukum dalam
proses peradilan pidana. Advokat berperan sebagai pengontrol agar
keputusan yang dijatuhkan oleh hakim kepada kliennya bersifat adil dan
tidak memihak. Dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang No.16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum merumuskan ;
Bantuan hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh
pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima
bantuan hukum.
Berdasarkan hal tersebut dapat ditegaskan bahwa bantuan hukum
berupa jasa hukum, dapat diperoleh secara cuma-cuma atau tanpa dipungut
biaya dengan ditujukan kepada orang atau sekelompok orang miskin yang
tidak mampu. Advokat memiliki hak dalam proses pemberian bantuan
hukum sesuai dengan Pasal 9 huruf d undang-undang tentang Bantuan
99
Hukum. Hak tersebut adalah hak untuk menerima anggaran dari negara
untuk melaksanakan bantuan hukum. Berdasarkan Pasal 16 dan 17
undang-undang tentang Bantuan Hukum, anggaran pendanaan bantuan
hukum yang diperlukan atau digunakan untuk penyelenggaraan bantuan
hukum di bebankan pada anggaran pendapatan belanja negara, hibah atau
sumbangan, dan sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
Pemerintah pun wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan
hukum dalam anggaran negara.
Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini diberikan untuk
klien yang kurang mampu secara ekonomi. Pejabat yang bersangkutan
pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk
advokat untuk mendampinginya dengan memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma. Tetapi dalam praktiknya, advokat tidak pernah
menerima sejumlah anggaran untuk menunjang proses bantuan hukum
tersebut. Padahal telah jelas ketentuan yang telah disebutkan dalam
undang-undang tersebut.
100
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Penerapan perlindungan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana
masih belum terlaksana dengan maksimal. Masih terdapat kelemahan
dalam penegakan hukumnya yang berpengaruh terhadap kualitas
penanganan perkara pidana anak.
2.
Advokat dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak
sebagai pelaku tindak pidana memiliki peran yang strategis dalam
memberikan bantuan hukum terhadap anak yang sedang berkonflik
dengan hukum. Akan tetapi pada kenyataannya pemberian bantuan
hukum atau pendampingan oleh advokat tidak diberikan pada
kepolisian sebagai gerbang awal pemeriksaan. Advokat terkadang
ditunjuk oleh hakim untuk mendampingi anak pada saat perkara sudah
memasuki tahap di pengadilan. Dengan alasan ini, advokat menjadi
tidak dapat bekerja dengan maksimal karena tidak cukup waktu untuk
mencari informasi dan bukti yang meringankan untuk kepentingan
pembelaannya.
101
B. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Pemerintah perlu segera memberikan fasilitas panti rehabilitasi khusus
anak dan balai pemasyarakatan di setiap kabupaten atau kota. Pemerintah
juga perlu menambah penyidik, jaksa, hakim yang khusus menangani
anak, sehingga tidak ada lagi aparat penegak hukum yang memiliki
rangkap jabatan.
2. Jajaran penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu
mempertimbangkan hal-hal faktual atau keadaan psikologis yang terjadi
pada anak dengan meningkatkan pengetahuan dan pengalamannya tentang
masalah perkembangan kejiwaan anak.
3. Perlu ada kesatuan pola yang pasti di antara advokat, kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan dalam hal koordinasi terkait proses pemeriksaan pada
anak. Tanpa ada kesatuan pola ini maka akan berdampak dalam
keterlambatan proses pelaksanaan perkara pada anak yang sedang
berkonflik dengan hukum.
102
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur :
Djamil,M.Nasir. 2012. Anak Bukan Untuk di Hukum. Jakarta: Sinar Grafika;
Gosita, Arief. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Pressindo;
Gultom, Maidin. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan.
Bandung : PT.Revika Aditama;
Hanitijo Soemitro, Ronny. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentasi.
Jakarta: PT.Ghalia Indonesia;
Harahap,Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid
I. Jakarta: PT. Sarana Bhakti Semesta;
Hidayat, Bunadi. 2010. Pemidanaan anak di bawah umur. Jakarta: PT.Alumni;
Kartono, Kartini. 2010. Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Raja
Grafindo Perkasa;
Lamintang, P.A.F dan Samosir Djisman. 1977. Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti;
Mertokusumo, Sudikno. 2007. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty;
Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif,. Bandung: PT. Remaja
Rosada Karya;
Muladi, Barda Nawawi. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung,
PT.Alumni;
Mulyadi, Lilik, 2004, Kapita selekta hukum pidana, Kriminologi & Viktimologi, Jakarta:
Djambatan;
Nasution, Adnan Buyung. 2007.Bantuan Hukum di Indonesia.Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia;
Poerwadarminta,W.J.S., 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka;
Rahardjo, Satjipto, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis,
Bandung: Alumni;
103
Rianto Adi. 2005. Metodelogi penelitian social dan hukum. Jakarta: Granit;
Sinaga, V.Harlen. 2002. Dasar-Dasar Profesi Advokat. Jakarta: Erlangga;
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar, Bandung, Alumni;
Sugiono. 2008. Memahami penilitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta;
Supeno, Hadi. 2010. Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan
Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama;
Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem
Peradilan Anak Di Indonesia.Yogyakara: Genta Publishing;
Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika;
Winarta, Frans Hendra. 2009. Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk
Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta: Gramedia pustaka Utama;
Wirjono Prodjodikoro. 1981. Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung:
PT. Eresco Jakarta.
Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum;
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Download