BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Emotional Eating 2.1.1 Definisi Emotional Eating Menurut Arnow (1995) emotional eating adalah keinginan untuk makan ketika timbul perasaan emosional seperti frustrasi, cemas dan depresi. Teori pendukung lain seperti menurut Brunch (1973, dalam Van streint, 2013) menjelaskan bahwa perilaku makan yang tidak benar dan sehat disebabkan oleh overeating (makan berlebihan) yang dilihat dari 3 aspek salah satunya yaitu emotional eating. Emotional eating yaitu dorongan makan ketika ada respon emosi negatif seperti depresi dan putus asa. Bennet (2013) juga mengemukakan bahwa emotional eating merupakan peningkatan asupan makanan dalam menanggapi emosi negatif dan dapat dianggap sebagai strategi maladaptif yang digunakan untuk mengatasi perasaan yang sulit. Lebih khusus nya makan emosional sebagai bentuk emosi yang berfokus mengatasi, yang mencoba untuk meminimalkan, mengatur dan mencegah tekanan emosional. Teori pendukung lain menurut (Gavin, 2014) juga berpendapat bahwa makan emosional adalah ketika orang menggunakan makanan sebagai cara untuk mengatasi perasaan bukan untuk memuaskan rasa lapar. 2.1.2 Siklus Emotional Eating Dalam buku “CLEAN GUT” yang ditulis oleh Junger (2014) menjelaskan bahwa dalam emotional eating memiliki 4 siklus fase utama, yaitu : 1. The Trigger Dimana individu mengalami suatu peristiwa atau situasi yang menyebabkan munculnya respon emotional stress atau rasa sakit 5 6 seperti rasa kecewa, namun tidak dilampiaskan secara langsung, hanya dipendam. Tipe yang dapat menyebabkan emosional respon ini setap individu berbeda, tergantung pada rasa ketakutan individu masing – masing. 2. The Cover Up Ketika merasa tidak nyaman dengan rasa emosional tersebut, mulailah pengalihan rasa kecewa dengan menghindari, seperti mencari kesenangan sesaat untuk menekan perasaan tersebut, misalnya dalam kasus ini pengalihan tersebut dengan makanan. 3. The False Bliss Dimana dari efek tahap the cover up, akan merasa sebuah kenyamanan saat menutupi perasaan rasa kecewa dengan mengkonsumsi makanan misalnya dengan rasa manis dengan sensasi bahwa segala sesuatu akan baik – baik saja. Kenyamanan makanan dikaitkan dengan keinginan untuk menutupi, melupakan perasasaan rasa kecewa untuk sementara waktu. 4. The Hang-over Efek dari rasa nyaman pada tahap the false bliss yang tidak akan bertahan lama, yang pada akhirnya masuk ketahap ini, dimana individu akan merasakan 2 tipe respon yang berbeda, yakni secara fisik dan emosional. Secara fisik, individu akan merasakan efek seperti mual karena mengkonsumsi makanan yang berlebihan. Dan secara emosional individu akan merasa bersalah karena makan secara berlebihan disaat sedang membatasi makan seperti diet. Dari kesimpulan tahap – tahap yang sudah dijelaskan, jadi siklus ini dapat selalu berputar atau secara terus menerus mengulang dari tahap the trigger ke tahap the hang-over, ataupun dapat terhenti di tahap the hang-over. Karena dari dua tipe respon pada tahap the hang-over yang akhirnya dapat mengalihkan rasa emosional tersebut dengan merasa terpenuhi rasa kepuasannya. 7 Gambar 2.1 Siklus Emotional Eating 2.1.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi Emotional Eating Gavin, (2014) menjelaskan ada nya faktor - faktor yang mempengaruhi dalam terjadinya emotional eating, seperti : a. Stress stres dapat membuat perasaan lapar, bukan hanya dalam pikiran. Ketika stres kronis, seperti perasaan kacau, itu mengarah ke tingkat tinggi hormon stres, kortisol. Kortisol memicu keinginan untuk asin, manis, dan tinggi lemak makanan-makanan yang memberikan ledakan energi dan kesenangan. b. Stuffing Emotion Makan dapat menjadi cara untuk sementara meredakan emosi yang tidak nyaman, termasuk marah, takut, sedih, cemas, kesepian, kebencian, dan rasa malu.Sementara tidak ada rasanya lapar, namun dalam pikiran fokus untuk mengkonsumsi makanan. c. Kebosanan atau perasaan hampa 8 rasa ingin makan dilakukan untuk menghilangkan kebosanan, atau sebagai cara untuk mengisi kekosongan dalam kegiatan dan makanan adalah cara untuk memenuhi keinginan untuk mulut dan waktu. d. Kebiasaan masa kanak-kanak Pikirkan kembali kenangan masa kecil saat makan.seperti ketika mendapatkan nilai bagus selalu diberikan makanan seperti coklat ataupun permen. Kebiasaan ini berbasis emosional masa kanak-kanak makan sering terbawa hingga dewasa. e. Pengaruh sosial Menghabiskan waktu bersama-sama dengan orang lain untuk makan adalah cara yang baik untuk menghilangkan stres, tetapi juga dapat menyebabkan makan berlebihan. Sangat mudah untuk terpengaruh hanya karena makanan yang tersedia atau karena orang lain makan. 2.1.4 Dimensi Emotional Eating Menurut Arnow (1995) bahwa emotional eating dibagi kedalam 3 subskala, yaitu: 1. Anger/Frustation Merupakan emosi yang terjadi dalam situasi di mana seseorang merasa gagal atau tidak mencapai hasil yang diinginkan. Secara umum, setiap kali kita mencapai salah satu tujuan yang diinginkan, merasa senang dan setiap kali mengalami hambatan dari pencapaian tujuan, akan merasa frustrasi dan marah. 2. Anxiety Reaksi emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan ketakutan kecemasan dapat terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan, perasaan tidak aman atau adanya permasalahan dengan orang lain. 3. Depression Gangguan emosional yang ditandai dengan perasaan tertekan, perasaan bersalah, kesedihan, kehilangan minat, dan menarik diri dari orang lain yang dapat berpengaruh pada hubungan interpersonal. 9 2.2 Emerging Adults 2.2.1 Definisi Emerging Adults Emerging Adults atau masa dewasa awal merupakan suatu tahapan transisi antara remaja akhir ke dewasa. Pada fase perkembangan ini individu mengalami eksplorasi dengan melakukan eksperimen terhadap pekerjaan dan seseorang yang akan menjadi role model mereka dalam kehidupan menurut Arnett tahun (dalam Santrock, 2013). Tahapan ini terjadi dalam rentang usia antara 18-25 tahun. Arnett mendefinisikan bahwa pada tahapan ini individu mengalami proses pencarian jati diri berbagai arah kehidupan seperti pekerjaan dan pandangaan terhadap dunia. Arnett merumuskan emerging adulthood sebagai konsep tahap perkembangan yang jelas, yang memiliki karakteristik perubahan dan eksplorasi dari arah hidup. 2.2.2 Karakteristik Emerging Adults Menurut Arnett (2012) merumuskan lima karakteristik dari emerging adulthood, yaitu : 1. Eksplorasi identitas, khususnya pada cinta dan pekerjaan. Tahap emerging adulthood adalah masa dimana perubahan identitas terjadi pada banyak individu. 2. Ketidakstabilan, dimana pada tahapan ini sering terjadi ketidakstabilan dalam masalah percintaan, pekerjaan dan edukasi 3. Fokus diri, mereka dalam tahapan sudah mempunyai fokus diri terhadap kepatuhan sosial, membatasi komitmen dengan orang lain untuk mandiri dalam menjalankan kehidupan mereka. 4. Perasaan diantara (feeling in-between). Mereka dalam tahapan ini merasabukan lagi remaja namun juga belum seorang dewasa sepenuhnya. 5. Usia dengan penuh kemungkinan. Tahapan ini dijelaskan oleh Arnett (2012) sebagai tahapan bagi seseorang yang ingin mentransformasi hidupnya. Ada dua cara emerging adulthood dalam merubah hidupnya : 10 a. Optimis terhadap masa depan mereka, merupakan suatu kesempatan untuk membuat suatu perubahan mereka kepada arah kehidupan mereka yang lebih positif. b. Kemunculan kedewasaan dikarenakan fase kesulitan pada proses perkembangan seseorang dan fase dewasa memberikan kesempatan untuk memetakan kehidupan mereka ke arah yang lebih positif. Fase emerging adulthood memiliki aspek terpenting mengenai peningkatan kemampuan diri atau improvement abillity skill untuk mengarahkan kepada kehidupan yang lebih positif setelah mengalami fase adolecence (Burt, 2012). Tahapan ini individu memiliki konsep pemikiran kritis untuk tidak selalu ditentukan oleh lingkungan dalam menentukan pilihan kehidupannya (Cote & Bynner, 2008). 2.3 Kerangka Berpikir Penelitian Salah satu penyebab jantung koroner disebabkan oleh karena adanya perubahan gaya hidup, kecenderungan mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak tinggi seperti junk food serta kebiasaan perilaku makan yang tidak baik. (Yen, 2009). Salah satu faktor perilaku makan adalah emotional eating. Mengkonsumsi makanan karena timbulnya perasaan negatife akan memberikan dampak buruk untuk kesehatan dan perilaku makan. Oleh karena itu upaya pencegahan yang paling sederhana dalam masalah jantung koroner melalui adanya aktivitas serta pengaturan pola makan yang baik dan seimbang. Pola makan terbentuk secara berbeda – beda dipengaruhi oleh lingkungan ataupun dengan berbedanya jenis kelamin seperti laki – laki dan perempuan. Menurut (Arnow, 1995) emotional eating adalah keinginan untuk makan ketika timbul perasaan emosional seperti frustrasi, cemas dan depresi. Ketiga perasaan emosional tersebut juga termasuk dalam dimensi emotional eating. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa perempuan cenderung memiliki comfortable food (makan yang menyamankan) berdasarkan mood dengan mengkonsumsi makan makanan secara berlebihan dengan rasa manis seperti coklat, kue dan biskuit saat mengalami gejala depresi di bandingkan 11 dengan laki – laki (Géraldine, et al 2014). Artinya, dapat dikembangkan dugaan sementara yang akan menarik untuk diteliti lebih lanjut, yakni bahwa akan ada perbedaan tingkat emotional eating antara laki-laki dan perempuan di Jakarta. Menurut Arnett tahun (dalam Santrock, 2013) masa ini adalah masa yang penting untuk menjadi fondasi bagaimana keadaan fisik seseorang dimasa depan. Mahasiswa, jika dilihat dari usianya termasuk dalam tahapan remaja dewasa awal (18-25 tahun). Oleh karena itu, penelitian ini memilih mahasiswa sebagai subjek penelitian, khususnya di Jakarta karena memiliki angka resiko penyakit jantung koroner yang tinggi, yakni 75,4% (Riskesdas, 2013). Atas dasar dinamika tersebut, maka penelitian ini ingin melihat apakah ada perbedaan emotional eatingantara laki – laki dan perempuanemerging adult di Jakarta. Gambar 2.2 Kerangka Berpikir 12