Bab II Kajian Pustaka 2.1 No 1. State of The Art Penulis George Yip Tahun 2010 Judul Hasil Perbandingan A Theoretical Hasil pene- Pada penelitian (D.Miss– Basis of litian adalah sebelumnya me- Trinity Intercultural komunikasi mandang bahwa Evangelical Communication interpersona komunikasi Divinity Competence: l antar- interpersonal School) Gudykunst’s budaya ber- antarbudaya dapat Senior Pastor Anxiety- jalan efektif berjalan efektif, of North Uncertainty karena me- jika perilaku antar York Grace Management miliki tu- keduanya Gospel Theory. juan yang memiliki tujuan sama yang sama. Church, Toronto, Penelitian ini Canada menggunakan Former dasar teori yang missionary to sama, namun Japan (OMF) melihat dari sisi suatu organisasi Sumber: antara pimpinan http://ojs.glo dan karyawan, balmissiology dimana karyawan .org/index.ph harus mampu p/english/arti mengikuti cle/view/6/16 kebijakan yang Tanggal ditetapkan. Diunduh : Januari 2010 13 14 2. Jakub 2010 Intercultural Hasil Penelitian sebelum- Samochowiec contact under Penelitian nya mengatakan and uncertainty: ini adalah bahwa untuk Arnd Florack The impact of individu berinteraksi dengan predictability mengalami anggota budaya Sumber: and anxiety on kecemasan asing tergantung http://www.sci the willingness untuk pada keadaan encedirect.com to interact with berkomuni- afektif insidental. /science/article a member from kasi dengan Penelitian ini, /pii/S01471767 an unknown orang asing, melihat bagaimana 10000489 cultural group. atau antar proses pengelolaan budaya. ketidakpastian dan Tanggal 3. Diunduh : kecemasaan sese- 21 Agustus orang dalam hubu- 2010 ngan antarbudaya. Endang 2013 Managemen Hasil Pene- Penelitian sebe- Setiowati, Ketidakpastian litian ini lumnya memahami Bhernadetta dan Pravita san Mahasiswa hasiswa asal pastian dan ke- Wahyuningtyas, Asal Anathasia Citra yang Kuliah di mampu ber- minimalisir melalui Jakarta (Studi adaptasi de- kemauan seseorang Sumber: tentang untuk mencari in- http:// mika Interaksi gaulan di formasi melalui in- marcomm. Mahasiswa Jakarta de- ternert sebagai binus.ac.id/ Universitas ngan ada- sumber informasi lecturers- Bina Nusan- nya faktor terluas. Penelitian journals tara Kecema- adalah ma- Daerah daerah dina- ngan per- dan informasi Universitas pendukung bagaimana Ketidak cemasan dapat di- ini melihat seseorang mengatur Tanggal Indonesia Asal dari internet ketidak-pastian dan Diunduh: Daerah dengan kecemasan melalui 30 Lingkungan proses kerja pada Pergaulannya). suatu perusahaan. 2013 Oktober 15 4. Lusiana 2012 Andriani Lubis Komunikasi Hasil Pene- Penelitian sebelum- Antarbudaya litian ini nya memahami Etnis Tionghoa adalah ko- komunikasi antar- Sumber: dan Pribumi di munikasi budaya melalui 3 http://jurnal.up Kota Medan. antarbudaya elemen pandangan nyk.ac.id/index dapat me- dunia yang diteliti .php/komunika rubah cara meliputi agama, si/article/view/ pandang nilai dan perilaku. 46/50 nilai-nilai Pada penelitian ini budaya melihat bagaimana Tanggal Tionghoa komunikasi antar- Diunduh : dan Pribumi budaya tanpa Agustus 2012 di Kota pengalaman dapat Medan menimbulkan perasaan dan pikiran yang tidak pasti dan menimbulkan kecemasan. 5. Syaputra 2013 Interaksi Hasil Penelitian sebelum- Reidi, Azhar Sosial Maha- penelitian nya menunjukkan Marwan dan siswa Penda- ini adalah hubungan antar- Agus tang di komunikasi budaya yang ter- Firmansyah Bengkulu antarbudaya jalin positif,tidak (Studi berjalan po- menimbulkan Sumber: Komunikasi sitif karena konflik. Penelitian http://repositor Antarbudaya ada faktor ini menunjukkan y.unib.ac.id/id/ Pada Maha- tujuan yang komunikasi antar- eprint/1319 siswa Papua sama. budaya yang di- dengan Maha- dominan oleh suatu Tanggal siswa Asli budaya, sehingga diunduh: Bengkulu). menimbulkan ke- 12 November tidakpastian dan 2013 kecemasan. 16 2.2 Landasan Konseptual 2.2.1 Komunikasi Organisasi Di dalam buku Komunikasi Organisasi, Pace dan Faules (2010) menerangkan bahwa studi komunikasi organisasi adalah studi mengenai cara pandang objek-objek, juga studi mengenai objek-objek itu sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan terhubung dengan seorang lainnya melalui komunikasi. Namun, untuk memahami komunikasi organisasi tidak semudah yang dilihat dalam kehidupan masyarakat. Mungkin pernah mendengar sesorang mengatakan, “kami memiliki tim”, tetapi terbentuknya suatu tim atau organisasi memiliki dasar-dasar dan pola pikir yang sama dan tujuan yang sama untuk keberhasilan tim tersebut. Penelitian yang dilakukan pada organisasi bisnis yang berfokus menjadi pusat perbelanjaan, yaitu Lotte Shopping Avenue mall memiliki anggota organisasi yang unik, dimana para pemimpin mall ini adalah berkebangsaan Korea sementara hampir seluruh karyawannya berkebangsaan Indonesia. Kemungkinan ada pola pikir yang berbeda, karena didasarkan pada kebudayaan dan pengalaman kehidupan yang berbeda, serta nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Korea dan bangsa Indonesia jelas berbeda. Lalu bagaimana komunikasi organisasi di Lotte Shopping Avenue mall ? Pusat pimpinan yang diambil alih oleh orang Korea, menerangkan bahwa sistem yang digunakan adalah berdasarkan pemilik perusahaan tersebut, yaitu Korea yang menganut organisasi formal. Chester Barnard dalam buku Komunikasi Organisasi, mendefinisikan organisasi formal sebagai suatu sistem kegiatan dua orang atau lebih yang dilakukan secara sadar dan terkoordinasikan, dengan menitikberatkan konsep sistem dan konsep orang. Untuk itu dalam memahami komunikasi organisasi yang terjadi di Lotte Shopping Avenue mall dibagi dalam dua konsep yaitu : 1. Perilaku Barnard (1938) menyatakan bahwa organisasi adalah sistem orang, bukan struktur yang direkayasa secara mekanis. Ketika dua orang atau lebih melakukan kegiatan dalam organisasi itu dilakukan secara sadar dan terkoordinasi karena adanya konsep sistem yang menjadi dasar, sementara kedua orang atau lebih itu adalah konsep orang. Dimana tujuan dibentuknya organisasi adalah sebagai wadah bagi sekelompok 17 orang yang bekerja sama bergantung pada kemampuan dari manusia tersebut, sehingga terjadi komunikasi untuk mencapai tujuan bersama. Barnard menyebutkan ada empat syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang menerima suatu pesan yang bersifat otoritatif : a. Orang tersebut memahami pesan yang dimaksud. b. Orang tersebut percaya bahwa pesan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan organisasi. c. Orang tersebut percaya, pada saat ia memutuskan untuk bekerja sama, bahwa pesan yang dimaksud sesuai dengan minatnya. d. Orang tersebut memiliki kemampuan fisik dan mental untuk melaksanakan pesan. Di dalam organisasi, setiap anggota mampu menyampaikan pesan yang bersifat otoritatif, tanpa melihat dari struktur organisasi atau jabatan seorang anggota yang lain, hal tersebut terjadi karena organisasi terbentuk berdasarkan tujuan yang menguntungkan bersama. Berbeda jika organisasi dalam bentuk perusahaan, dimana seorang dengan jabatan lebih tinggi mampu memberikan pesan yang bersifat otoritatif kepada seorang dengan jabatan rendah. Keadaan seperti ini, karena perusahaan dibentuk untuk mencapai kepentingan pemilik atau pendirinya, sementara yang memiliki jabatan lebih rendah bekerja untuk mendapatkan kewajibannya saja bukan untuk mencapai keberhasilan suatu perusahaan. 2. Sistem Scott (1961) mengemukakan bahwa organisasi sebagai sistem adalah individu dan kepribadian setiap orang dalam organisasi; struktur formal; pola interaksi; pola status; dan lingkungan fisik pekerjaan. Faktor-faktor yang bersifat abstrak ini akan berhubungan satu sama lain untuk mengatur pola pikir dan perilaku anggota organisasi. Sistem akan mengarahkan pikiran setiap anggota organisasi tetapi terikat pada suatu penafsiran yang mungkin bisa saja berbeda. Maka suatu perbedaan-perbedaan komunikasi. Seperti penafsiran tersebut, diperlukan yang diungkapkan Scott, bahwa proses 18 penghubung utama dari setiap faktor dalam sistem adalah komunikasi. Jika komunikasi disampaikan dan tersampaikan dengan benar, maka penafsiran bagi seluruh anggota organisasi akan mencapai pada tujuan yang sama. Ketika konsep orang dan konsep sistem dipertemukan dalam suatu organisasi, maka untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut akan lebih mudah. Pada Lotte Shopping Avenue mall, kedua konsep tersebut digunakan dengan menjadikan pola kerja orang Korea yang disiplin dan serius menjadi konsep sistem dibangunnya perusahaan tersebut. Namun, karena sebagian besar karyawannya adalah berbudaya Indonesia, perlu untuk perusahaan memperhatikan nilai-nilai budaya kerja yang diterapkan, jika tidak mungkin akan terjadi perasaan dan pikiran ketidakpastian dan kecemasan dalam diri karyawan berbudaya Indonesia. Jika antara nilai yang dimiliki dan nilai-nilai budaya organisasi berbeda, sulit bagi anggota perusahaan untuk menerima seketika nilainilai budaya organisasi untuk menjadi miliknya. Itu sebabnya diperlukan suatu proses komunikasi yang intens untuk menanamkan nilai-nilai budaya organisasi kepada anggota organisasi (Nawawi, 2013: 89). Dengan keadaan tersebut maka komunikasi menjadi alat utama untuk mencapai pola pikir, maksud, serta untuk menyeimbangkan nilai-nilai budaya dalam diri karyawan budaya Indonesia dengan sistem kerja orang Korea yang diterapkan pada Lotte Shopping Avenue mall. Tetapi karena perbedaan budaya, jelas bahasa yang digunakan sangat berbeda antara Korea dan Indonesia, lalu komunikasi apa yang akan digunakan di Lotte Shopping Avenue mall untuk membangun budaya organisasinya, hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan pada studi budaya organisasi sebab didalam komunikasi organisasi akan melahirkan nilai-nilai sosial yang diangkat menjadi budaya organisasi. 2.2.2 Budaya Organisasi Budaya organisasi sudah ada sejak pertengahan abad ke-20 namun untuk menjadi disiplin keilmuan, budaya organisasi merupakan ilmu yang baru dipelajari. Pengertian budaya dan pengertian organisasi mempunyai definisi yang berbeda. Pengertian budaya menurut Edgar H. Schein dalam 19 bukunya Organizational Culture and Leadership (Tika, 2010, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan) sebagai berikut : Culture is a pattern of basic assumption invented, discovered, or developed by given group as it learns to cope with is problem of external adaptation and internal integrations – that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to taught to new members as the correct way to perceive, think and fill in relation to those problems. Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarka/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalahmasalah tersebut. Sementara organisasi menurut Chester J. Bernard (Tika, 2010, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan) adalah, Organization is a cooperation of two or more persons, a system of consciously coordinated personal activities or forces. Organisasi adalah kerja sama dua orang atau lebih, suatu sistem dari aktivitas-aktivitas atau kekuatan-kekuatan perorangan yang dikoordinasikan secara sadar. Ketika keduanya dikaitkan menjadi suatu kalimat budaya organisasi, dengan definisi menurut Phiti Sithi Amnuai dalam tulisannya How to Build a Corporation Culture, maka budaya organisasi dijelaskan sebagai berikut: Organizational Culture is a set of basic assumptions and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problem of external adaptation and internal integration. Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal (Tika, 2010 : 4) Gelar pusat perbelanjaan yang merupakan milik dari Lotte Shopping Avenue mall dibentuk dan bertujuan sebagai organisasi dibidang perdagangan dengan adanya proses jual-beli atau yang dikenal sebagai perusahaan. Lotte Shopping Avenue mall tidak berdiri sebagai organisasi melainkan perusahaan dimana, ada gaya dan sistem manajemen yang mengatur didalamnya. Untuk memahaminya, perlu untuk mengetahui unsurunsur yang terkait didalam budaya organisasi dan budaya perusahaan. 2.2.2.1 Budaya Organisasi dan Budaya Perusahaan Menurut J.P Kotter and J.L Heskett dalam bukunya Corporate Culture and Performance bahwa, 20 Budaya perusahaan adalah nilai dan praktik yang dimiliki bersama di seluruh kelompok dalam satu perusahaan, sekurang-kurangnya dalam manajemen senior. Budaya dalam suatu organisasi terdiri dari nilai yang dianut bersama dan norma perilaku kelompok (Tika, 2010 : 6). Dari definisi budaya organisasi dan budaya perusahaan di atas, maka Tika menyimpulkan di dalam bukunya Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan dengan mengatakan bahwa terdapat kesamaan antara budaya organisasi dan budaya perusahaan dalam hal : 1. Asumsi dasar atau pedoman perlaku; 2. Keyakinan yang dianut bersama; 3. Pemimpin atau pahlawan pencipta budaya organisasi/perusahaan; 4. Pedoman perilaku dalam mengatasi masalah; 5. Sistem nilai atau nilai-nilai yang dianut; 6. Lingkungan internal dan eksternal; 7. Pewarisan dan penyesuaian. Dengan demikian maka antar budaya organisasi dan budaya perusahaan saling terkait karena keduanya ada kesamaan, meskipun dalam budaya perusahaan terdapat hal-hal khusus seperti gaya manajemen dan sistem manajemen, namun semuanya masih tetap dalam rangkaian budaya organisasi (Tika, 2010 : 7). Maka dalam menjelaskan budaya perusahaan Lotte Shopping Avenue mall tidak salah jika menggunakan dasar budaya organisasi, karena menurut Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Budaya Organisasi yang menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan genus dan budaya perusahaan salah satu spesiesnya. Untuk itu, dalam menjelaskan budaya perusahaan Lotte Shopping Avenue mall, perlu untuk memahami apa yang dimaksud dengan budaya organisasi terlebih dahulu. Praktik kerja yang digunakan oleh Lotte Shopping Avenue mall menganut lebih banyak cara kerja yang biasa dilakukan oleh orang Korea. Para pimpinan dari perusahaan ini menginginkan setiap karyawannya untuk mampu bekerja secara disiplin, tepat waktu, sopan, rapih, serta memberikan performance yang baik bagi perusahaan. Bekerja mulai 14-20 jam dalam sehari sudah menjadi kebiasaan bagi orang Korea, namun tidak demikian bagi orang Indonesia. Menurut orang Korea (Jemma sebagai staff Lotte Shopping Avenue mall berasal dari Korea), bahwa budaya kerja yang dipakai oleh orang Indonesia minim jika dibandingkan oleh orang Korea, contoh dalam 21 membuat report tidak sebagus orang Korea, dan terkadang orang Indonesia datang terlambat, tetapi selalu ada alasan seperti banjir dan macet. Perbedaan pola pikir dan perilaku dalam bekerja seperti ini, akan meningkatkan kecemasan dan ketidakpastian diantaranya, sehingga komunikasi kembali menjadi senjata utama dalam membangun budaya perusahaan. 2.2.2.2 Jenis-jenis Budaya Organisasi Dalam memahami bagaimana pola budaya organisasi yang ada di Lotte Shopping Avenue mall, perlu untuk mengenal jenis budaya organisasi yang terkait pada perusahaan tersebut. Maka berikut jenis-jenis budaya organisasi yang ditentukan berdasarkan proses informasi dan tujuannya yang dikemukakan oleh Robert E. Quinn dan Michael R. McGrath yaitu (Tika, 2010 : 7-8) : 1. Berdasarkan Proses Informasi a. Budaya Rasional Dalam budaya ini, proses informasi individual (klarifikasi sasaran pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kinerja yang ditunjukkan (efisiensi, produktivitas, dan keuntungan atau dampak). b. Budaya Ideologis Dalam budaya ini, pemrosesan informasi intuitif (dari pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan revitalisasi (dukungan dari luar, perolehan sumber daya dan pertumbuhan). c. Budaya Konsensus Dalam budaya ini, pemrosesan informasi kolektif (diskusi, partisipasi, dan konsensus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi tujuan kohesi (iklim, moral, dan kerja sama kelompok). d. Budaya Hierarkis Dalam budaya hierarkis, pemrosesan informasi formal (dokumentasi, komputasi, dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol dan koordinasi). Proses penyampaian informasi pada perusahaan Lotte Shopping Avenue mall berupa laporan keuangan, laporan penjualan, dan sebagainya 22 yang disampaikan dalam bentuk formal. Informasi diberikan kepada seorang anggota dengan jabatan lebih tinggi dan berkewajiban untuk mengontrol dan mengoordinasi laporan. Maka cara seperti demikian menyimpulkan bahwa berdasarkan proses informasi, Lotte Shopping Avenue mall berjenis budaya hirarki. 2. Berdasarkan Tujuan Talizuduhu Ndraha membagi budaya organisasi berdasarkan tujuannya, yaitu: a. budaya organisasi public b. budaya organisasi sosial c. budaya organisasi perusahaan Jelas bahwa Lotte Shopping Avenue mall secara tujuan berjenis budaya organisasi perusahaan, karena didalamnya terkandung unsur komersil, dan memandang pencapaian sebuah bisnis. 2.2.2.3 Tipe-tipe Budaya Organisasi Handy dalam (Uha 2010 : 11) mengelompokkan budaya organisasi berdasarkan formalisasi dan sentralisasi yaitu : 1. Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi Memiliki ciri-ciri birokrasi yang tinggi, dikelola secara ilmiah dan memiliki disiplin tinggi. Semua pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai macam prosedur, bahkan jika diperlukan dengan time and motion study yang cermat. 2. Formalisasi tinggi, sentralisasi rendah Jenis budaya tugas atau matriks. Dalam budaya ini orang-orang terkumpul dari berbagai latar belakang ilmu dan ketrampilan yang berbeda (interdispliner) namun mereka terfokus pada tugas yang sama. Cara kerja masing-masing elemen ini sangat independen namun terikat oleh berbagai prosedur yang ketat. 3. Formalisasi rendah, sentralisasi rendah Suasanaya afeksi, saling menghargai, dan keceriaan. Jenis budaya ini informal dan sangat desentralisasi. Para anggotanya mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama tetapi masih menikmati kebebasan individu yang tinggi. 23 4. Formalisasi rendah, sentralisasi tinggi Bercirikan hubungan lisan yang kuat dan intuitif. Kekuasaan tertinggi ada di tangan satu orang atau sebuah kelompok dari pusat Berdasarkan tipe budaya organisasi, Lotte Shopping Avenue mall yang tidak memiliki SOP (Standard Operating Procedure) secara tertulis lebih banyak menggunakan hubungan secara lisan. Budaya kerja orang Korea yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja atau yang biasa disebut sebagai work holic tidak terlalu membutuhkan aturan secara tertulis, karena bekerja menurut mereka adalah suatu bagian dari hidup. Maka, tipe budaya organisasi Lotte Shopping Avenue mall adalah formalisasi rendah sentralisasi tinggi, dimana setiap keputusan diambil alih oleh pusat yaitu para pimpinan dari Korea. 2.2.2.4 Fungsi Budaya Organisasi Budaya Organisasi yang terbentuk dalam suatu organisasi tidak terlahir tanpa ada suatu fungsi didalamnya, melainkan dari budaya organisasi ada suatu tujuan yang harus dicapai. Maka fungsi budaya organisasi menurut Susanto dalam bukunya Konsep Budaya Perusahaan menyatakan sebagai berikut (Tika, 2010 : 14) : a. Berperan dalam pelaksanaan tugas bidang Sumber Daya Manusia b. Merupakan acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan meliputi pemasaran, segmentasi pasar, penentuan positioning perusahaan yang akan dikuasai. Fungsi budaya organisasi bagi Lotte Shopping Avenue mall lebih kepada yang telah disebutkan diatas, karena merupakan suatu perusahaan dengan tujuan berbisnis. Sehingga budaya organisasi tercipta untuk mencapai tujuan, visi, misi dari perusahaan, yang kemudian dipraktikan dalam budaya kerja dengan berdasar pada budaya kerja orang Korea. 2.2.2.5 Karakteristik Budaya Organisasi Stepen P. Robbins menyatakan karakteristik budaya organisasi yang akan menjadi budaya organisai, disebutkan sebagai berikut (Tika, 2010: 10) : 1. Inisiatif Individual Yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. 24 Inisiatif oleh karyawan berbudaya Indonesia di Lotte Shopping Avenue mall diberikan penghargaan oleh pimpinan suatu organisasi, karena dianggap dapat memajukan dan mengembangkan perusahaan. Penghargaan berupa the best employee of the month ini diberikan bagi karyawan yang mampu menyelesaikan tugas tepat waktu dan hasil laporan yang terbaik. 2. Toleransi terhadap Tindakan Beresiko Dalam budaya organisasi perlu ditentukan sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif, dan mengambil risiko. Pada Lotte Shopping Avenue mall tidak ditentukan kapan karyawan dapat bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko. Karena ini perusahaan bersifat hirarkis yang sentralisasinya cukup tinggi, sehingga karyawan dapat melakukan pekerjaan diluar dari pekerjaan pokoknya apabila diberikan perintah oleh atasan. Maka toleransi terhadap tindakan berisiko bukanlah suatu inisiatif dari karyawan yang ada di Lotte Shopping Avenue mall, melainkan berdasarkan pesan bersifat otoritas dari supervisor. 3. Pengarahan Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/perusahaan dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi. 4. Integrasi Sejauh mana organisasi mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan. Integrasi terjadi pada Lotte Shopping Avenue mall tiap kali disampaikan dalam meeting, setiap tugas diberikan kepada supervisor atau manager yang kemudian akan menangani dan mengkoordinir bawahannya, sehingga setiap divisi mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. 25 5. Dukungan Manajemen Para manajer dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan. Praktek pada Lotte Shopping Avenue mall telah diterapkan seperti ini, yaitu mendapat dukungan manajemen yang menjadi semangat bagi para karyawan. Meski pola kerja yang terjadi bersifat formal, tetapi dukungan dari para manajer tetap akan diberikan walaupun dalam komunikasi yang terkesan tegas. 6. Kontrol Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi atau perusahaan. Nah, jelas bagi perusahaan Lotte Shopping Avenue mall bahwa aturan tetap ada, meskipun tidak tertulis tetapi cara kerja orang Korea menganggap bahwa karyawannya telah mencapai tahap dewasa dan memahami bagaimana bekerja secara professional sehingga aturan tertulis tidak dibuat, melainkan aturan secara lisan disampaikan. Apabila melakukan kesalahan yang fatal, tentu ada sanksi yang diberikan, seperti datang terlambat akan dikenakan potongan salary. 7. Identitas Setiap karyawan suatu organisasi dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu kesatuan dalam organisasi dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian professional tertentu. Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam organisasi sangat membantu manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. 8. Sistem Imbalan Sistem imbalan dimaksudkan sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja karyawan, bukan didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya. Sistem imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong karyawan suatu perusahaan untuk bertindak dan berperilaku inovatif dan mencari prestasi kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Bagi sebagian besar orang Korea yang bekerja di Lotte Shopping Avenue mall, menganggap bahwa bekerja merupakan suatu bagian 26 dari hidup mereka. Motivasi untuk terus bekerja mencapai posisi yang diinginkan itu selalu ada. Itu sebabnya, orang Korea bekerja hingga lebih dari 14 jam sehari, dan berlomba membuat laporan yang terbaik untuk diberikan kepada pimpinannya. Tidak lain motivasinya adalah mendapatkan kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya. 9. Toleransi terhadap konflik Sejauh mana para karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering terjadi dalam suatu perusahaan. Kembali lagi pada jenis budaya organisasi di Lotte Shopping Avenue mall yang hirarkis, sehingga setiap pusat informasi disampaikan secara formal dan dikontrol oleh pusat pimpinan, maka untuk melakukan toleransi terhadap konflik sedikit kurang berkenan. Karena pimpinan yang berasal dari Korea masih menganut sistem cara kerja orang Korea dengan mengambil keputusan secara sentral atau berdasarkan pimpinan. Padahal toleransi bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan perubahan strategi untuk mencapai tujuan suatu perusahaan. 10. Pola Komunikasi Sejauh mana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antarkaryawan itu sendiri, Pacanowsky dan O’Donnel – Trujilo, 1983 menyatakan bahwa : a. Kinerja komunikasi yang terampil dalam bentuk ritual yang meliputi personal ritual, social ritual, dan organizational ritual. Ritual adalah suatu tindakan yang akan diikuti oleh kelompok secara familiar dan rutin. b. Kinerja komunikasi yang disebut passion. Passion adalah karyawan suatu perusahaan akan selalu mengulang-ulang cerita dramatis atau segala sesuatu yang selalu dikerjakannya atau dilakukan oleh orang lain yang diidolakan atau kondisi dan kesuksesan dari organisasinya. 27 c. Kinerja komunikasi yang dilakukan secara sosial Kinerja ini dimaksudkan untuk menebalkan sopan santun dan ditaatinya aturan-aturan organisasi. Kinerja ini adalah bagian dari proses identitas kelompok; d. Kinerja komunikasi yang disebut organizational politics Kinerja komunikasi dimaksudkan sebagai perilaku yang diciptakan untuk menguatkan permohonan terhadap kekuasaan, wewenang, atau pengaruh seperti penampilan kepemimpinan, pengelompokkan, dan tawar-menawar (bargaining) kekuasaan. e. Kinerja komunikasi yang disebut enkulturasi Kinerja komunikasi ini merupakan proses belajar budaya dari para anggota organisasi, diantaranya melalui perjalanan karier, orientasi karyawan baru, dan lain-lain. Pentingnya komunikasi yang dianggap sebagai alat yang dapat menghubungungkan para anggota organisasi untuk menyamakan suatu pola pemikiran. Komunikasi dalam perusahaan Lotte Shopping Avenue mall bersifat formal dalam artian serius. Karyawan berbudaya Indonesia sulit berkomunikasi dengan para pimpinan karena bahasa yang dikuasai orang Korea tidak begitu mahir dalam berbahasa Indonesia begitu juga sebaliknya. Dalam proses kinerja, para karyawan dan pimpinan mall ini biasa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa tubuh seperti nonverbal. Kesulitan dalam berkomunikasi seperti sering kali menciptakan pola pemikiran yang berbeda, untuk itu karyawan berbudaya Indonesia yang bekerja juga mengalami perasan dan pikiran ketidakpastian dan kecemasan untuk memahami maksud dari pesan pimpinannya. 2.2.2.6 Dimensi Budaya Organisasi Hofstede mengelompokkan budaya organisasi ke dalam 6 dimensi, yaitu (Sobirin 2007 : 187) : 1. Process oriented vs. Result oriented Pada process oriented culture, perhatian organisasi lebih ditujukan pada proses aktivitas yang berjalan selama ini dan sejauh mana orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut patuh terhadap ketentuan-ketentuan atau kebijakan yang telah digariskan organisasi. 28 Pada result oriented perhatian organisasi lebih ditujukan pada hasil kegiatan ketimbang prosesnya sehingga seringkali organisasi tidak mempedulikan bagaimana proses dilakukan tetapi yang penting hasilnya cepat didapat. 2. Employee oriented vs. Job oriented Employee oriented culture meggambarkan lingkungan internal organisasi yang dipenuhi oleh para pekerja yang menginginkan agar pihak organisasi terlebih dahulu memperhatikan kepentingankepentingan mereka senelum berorientasi pada pekerjaan yang harus mereka lakukan. Job oriented culture beranggapan bahwa para karyawan harus mendahulukan pekerjaan sebelum menuntut dipenuhinya kepentingan-kepentingan mereka. 3. Parochial vs. Professional Parochial culture menjelaskan bahwa tingkat kebergantungan karyawan pada atasan dan pada organisasi cenderung sangat tinggi. Professional culture karyawan merasa bahwa kehidupan pribadi adalah urusan mereka sendiri sedangkan alasan sebuah organisasi merekrut mereka adalah semata-mata karena kompetensi dalam melakukan pekerjaan. 4. Open system vs. Close system Open system culture menjelaskan bahwa organisasi cenderung tidak menutup diri dari perubahan-perubahan baik yang terjadi pada lingkungan internal maupun eksternal organisasi. Pada closed system culture, organisasi seolah-olah diperlakukan sebagai sebuah mesin yang bekerja mengikuti pola yang sudah ada tanpa banyak melakukan perubahan. 5. Loose control culture vs. Tight control culture Loose Control adalah organisasi dengan tingkat pengendalian yang longgar, organisasi seolah-olah tidak memiliki alat kendali dan tata aturan formal yang memungkinkan organisasi tersebut bisa mengendalikan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Tight control culture menerapkan aturan-aturan yang ketat dan bahkan dalam batas-batas tertentu cenderung kaku. Semua aktivitas baik sebelum, 29 selama maupun sesudah dikerjakan harus berdasarkan pada ketentuan yang telah dibuat sebelumnya. 6. Normative vs. Pragmatic Pragmatic culture adalah organisasi yang berorientasi kepada konsumen. Normative culture menganggap bahwa norma aturan merupakan sebuah perangkat yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang yang terlibat di dalam kehidupan organisasi. Dengan demikian organisasi seolah-olah mempunyai tanggungjawab moral untuk menjaga aturan-aturan tersebut. Dimensi Budaya Organisasi yang dijelaskan Hofstede, setidaknya dapat menjadi perbandingan bagaimana cara kerja orang Korea dengan cara kerja orang Indonesia. Pemahaman lebih dalam perlu dilakukan, maka dalam penelitian ini akan mengamati dimensi perusahaan Indonesia berdasarkan pengalaman selama kerja praktek dalam waktu 3 bulan di Intermatrix juga didukung data sumber dari buku mengenai budaya kerja orang Indonesia, dan pengamatan pada perusahaan Korea berdasarkan hasil penelitian. Hasil dari perbandingan tersebut tidak dijadikan sebagai tolak ukur penelitian ini nantinya, melainkan hanya sebagai konsep yang membantu untuk mengamati objek penelitian. Dimensi budaya organisasi bersifat komparabel atau dapat diperbandingkan meski kedua organisasi tidak bisa dikelompokkan ke dalam satu industri yang sama. 2.2.3 Komunikasi Antarbudaya Komunikasi Antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, bernama Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Kemudian satu tahun setelah itu David K. Berlo menunjukkan perbedaan antarbudaya pada proses komunikasi melalui bukunya, The Process of Communication (an introduction to theory and practice). Para pakar terus mendiskusikan ini hingga pada tahun 1983, Gudykunst memperkenalkan suatu teori yang membahas bagaimana perbedaan budaya ketika berkomunikasi, yaitu melalui “Teori Komunikasi Antarbudaya”. Proses terjadinya Komunikasi Antarbudaya (intercultural communication) ketika sebuah pesan yang disampaikan dalam suatu budaya, ditafsirkan dalam budaya lain. Untuk memahami dinamika komunikasi antarbudaya, salah satunya harus memahami konsep-konsep budaya dan komunikasi. Konsep budaya memiliki banyak definisi yang berbeda. Komunikasi adalah pembuatan proses pemaknaan. Komunikasi antarbudaya adalah 30 pembuatan makna pesan-pesan dari sebuah budaya yang berbeda (Heath, 2005: 428). Interaksi yang terjadi antarmanusia yang berlainan budaya merupakan suatu relasi antaretnik yang melibatkan pertukaran budaya. Melalui ilmu komunikasi antarbudaya diharapkan mampu melihat perspektif relasi antarbudaya yang terjadi. 2.2.3.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya Untuk memahami komunikasi antarbudaya secara signifikan, penting untuk memahami dua konsep utama yang terdapat pada komunikasi antarbudaya (interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi. hubungan antara keduanya memiliki kolaborasi yang kuat. Menurut Martin dan Thomas (2007) Budaya mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah komunitas atau kelompok budaya. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20). Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya, sebagai berikut: 1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. 2. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. 31 Pandangan menurut Young Yun Kim mengenai komunikasi antarbudaya bahwa ilmu komunikasi antarbudaya berbeda dari kajian keilmuan lainnya, karena tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi (the communications) dengan adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam perkembangannya, komunikasi antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses simbolik yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda. Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 53). Untuk memahami komunikasi antarbudaya lebih mendalam maka perlu mengetahui beberapa asumsi mengenainya, yaitu: 1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. 2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi. 4. Komunikasi berpusat pada kebudayaan. 5. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. Didalam komunikasi antarbudaya, diperlukan keefektivitas dalam berinteraksi. Hal ini diperlukan karena dengan latarbelakang yang berbeda, berdasarkan pengalaman dan kehidupannya, serta ragam bahasa dan tradisi yang berbeda, maka sering terjadi ketidakpastian yang dialami oleh pihak yang berkomunikasi. Untuk itu perlu ada pemahaman mengenai bagaimana komunikasi antarbudaya dapat berjalan secara efektif. 2.2.3.2 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihakpihak yang terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi dari komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54). 32 Kesulitan dalam berkomunikasi antarbudaya di Lotte Shopping Avenue mall adalah bahasa yang digunakan berbeda. Pimpinan Lotte Shopping Avenue mall yang berasal dari Korea menggunakan bahasa Korea, sementara karyawan yang berbudaya Indonesia sebagian besar tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Korea. Kalaupun menggunakan bahasa Inggris, sebagian besara karyawan yang memiliki pendidikan rendah tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris seperti receptionis, security, dan office boy. Dalam kaitan ini, keefektivan komunikasi antarbudaya sulit diaplikasikan. Seperti yang disampaikan oleh Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang paling problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Menurutnya, perbedaan nilai merupakan hambatan yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang berasal dari kultur yang berbeda melakukan interaksi, maka perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi pencapaian kesepakatan yang rasional tentang isu-isu penting. Begitu juga mengenai kesalahpahaman antarkultural dikarenakan perbedaan polapola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut. (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007 : 316) Ketiga faktor tersebut menjadi penghambat ketika komunikasi antarbudaya berlangsung. Pada faktor bahasa tidak terlalu dperhatikan karena dianggap dapat dipelajari secara perlahan. Namun minimnya kefektivan komunikasi antarbudaya, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka. Etnosentrisme merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang lain sebagai inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan dan pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas (Rahardjo, 2005: 54-56). Ketiga faktor tersebut juga dirasakan oleh karyawan berbudaya Indonesia di Lotte Shopping Avenue mall, para karyawan menganggap orang Korea adalah pihak yang harus dihormati karena mereka merupakan pimpinan dari Lotte Shopping Avenue mall, selain itu juga dilihat dari cara berpakian orang Korea mereka patut untuk diberikan rasa hormat karena cara 33 berpakaian yang rapih dan sopan. Untuk meminimalisirkan faktor-faktor penghambat dalam komunikasi antarbudaya, maka ada tiga prinsip penting agar komunikasi antarbudaya berjalan efektif yang diungkapkan oleh Sarbaugh, yaitu (Tubbs dan Moss, 2005: 240) : 1. Suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua aspek (verbal dan non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan menjadi tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat perbedaan, namun semakin sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit komunikasi yang mungkin terjadi. 2. Kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respons. Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda kepada perilaku yang sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan meramalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara efektif. 3. Tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi. 2.2.3.3 Bahasa Verbal Dalam kehidupan komunikasi sehari-hari, banyak dari manusia bahwa komunikasi yang kita gunakan terdiri dari dua bahasa, yaitu bahasa verbal dan bahasa nonverbal. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Melalui bahasa verbal, manusia dapat menyatakan pikiran, perasaan dan maksud dari manusia itu sendiri. Di dalam komunikasi antarbudaya, bahasa verbal dapat tentu digunakan, namun membutuhkan kerja keras karena tidak semua budaya memiliki bahasa verbal yang sama dalam memahami suatu objek. Menurut Ray L. Birdwhistell, jenis bahasa verbal digunakan 35% dalam komunikasi tatap-muka. Keadaan ini banyak tidak disadari oleh manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa 34 tersebut, menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata mengandung bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana, 2005: 245-254). Manusia sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena sepanjang hidup manusia menggunakannya. Seseorang akan menyadari bahasa itu penting ketika menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa. Misalnya dalam komunikasi antarbudaya, sulit mencari bahasa yang cocok untuk digunakan. Maksud cocok adalah memiliki pemahaman yang sama antara pihak-pihak yang sedang berkomunikasi dalam komunikasi antarbudaya. Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi: Fungsi penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi, menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Fungsi transmisi, melalui bahasa suatu informasi dapat disampaikan kepada orang lain atau sebaliknya menerima informasi dari orang lain baik secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya (Mulyana, 2005 : 245 - 254). Dari ketiga fungsi bahasa yang diungkapkan maka, disimpulkan bahasa verbal digunakan untuk dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, kemauan dan keinginannya, manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksudnya tersebut. Bahasa sendiri memiliki tiga fungsi terkait agar komunikasi berhasil menurut Larry L. Barker, yaitu : bahasa untuk mengenal dunia sekitar; bahasa untuk dapat berhubungan dengan orang lain; dan bahasa untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan sehari-hari. Selain kesuksesan komunikasi, sebagian besar bahasa yang digunakan oleh manusia adalah bahasa nonverbal. 2.2.3.4 Bahasa Nonverbal Manusia tidak hanya dipersepsikan melalui bahasa verbalnya, atau sebagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing, dan sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Dengan perilaku nonverbalnya, suasana emosional seseorang dapat diketahui, apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan pertama jumpa pada seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang dapat mendorong untuk ingin mengenalnya lebih jauh. 35 Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesanpesan tersebut bermakna bagi orang lain (Mulyana, 2009: 343). Dapat dijelaskan secara sederhana, bahwa pesan nonverbal adalah semua isyarat atau pesan yang tidak berupa kata-kata, misalnya gerak tubuh. Sering kali perilaku nonverbal bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat dan di luar kesadaran dan kendali diri. Oleh karena itu, Edward T. Hall di dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, menyebut bahasa nonverbal sebagai “bahasa diam” (silent language) dan “dimensi tersembunyi” (hidden dimension), karena pesan-pesan nonverbal tertanam dalam konteks komunikasi dan memiliki arti yang luas. Kondisi demikian menciptakan sering terjadi kesalahpahaman seperti yang terjadi di Lotte Shopping Avenue mall. Ketika orang Korea berbicara dengan mata yang terkesan melotot, kemungkinan orang Indonesia menganggap ini suatu keadaan dimana orang Korea tersebut sedang marah. Padahal bisa saja memang gaya berbicara orang Korea tersebut sedemikian, dan itu hal yang biasa ia lakukan. Bahasa verbal dan bahasa nonverbal pada kenyataannya saling jalin menjalin dalam komunikasi tatap-muka sehari-hari. Keduanya hampir selalu berlangsung bersama-sama berkombinasi ketika terjadi suatu komunikasi. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut (Mulyana, 2009: 350) : 1. Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal 2. Affect display; memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal. 3. Emblem; Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal. 4. Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. 5. Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal. Pesan nonverbal sering kali digunakan di Lotte Shopping Avenue mall oleh pimpinannya yang berbudaya Korea, hal ini karena mereka belum mampu menggunakan bahasa Indonesia secara baik, dan minimnya bahasa 36 Inggris yang dipakai. Selain itu juga para karyawan berbudaya Indonesia sebagian besar belum mampu menggunakan bahasa Inggris dengan lancar, karena itu bahasa nonverbal lebih sering digunakan dalam komunikasi antara pimpinan Lotte Shopping Avenue mall dengan karyawannya yang berbudaya Indonesia. Tidak hanya pimpinannya saja yang berasal dari Korea, melainkan di Lotte Shopping Avenue mall juga menerapkan konsep ala Korea dengan desain ruangan, serta produk-produk yang ditampilkan lebih menonjolkan unsur Korea di dalamnya. Berikut pendapat ahli mengenai pesan nonverbal: Secara garis besar Larry A. Samovar dan Richard E. Porter membagi pesan-pesan nonverbal menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam (Mulyana, 2009: 352). Melalui pesan verbal dan pesan nonverbal dapat membantu proses komunikasi antarbudaya secara efektif. Bagaimana hubungan diantaranya, akan diuraikan berikut. 2.2.3.5 Bahasa Verbal dan Bahasa Nonverbal dalam Komunikasi Antarbudaya Tidak mungkin bahasa terpisah dari komunikasi, dalam penelitian ini bahasa verbal dan bahasa nonverbal dikaitkan dengan komunikasi antarbudaya. Pada proses komunikasi antarbudaya, bahasa verbal dan bahasa nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya. Dalam arti yang paling dasar, Rubin mengatakan bahasa adalah satu set karakter atau elemen dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu sama lain. Karakter atau elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suarasuara tersebut (Samovar, Porter dan Mc Daniel, 2007 : 168). Perilaku nonverbal membantu dalam proses komunikasi antarbudaya, karena tidak semua pesan dapat disampaikan secara verbal, hal tersebut karena keterbatasan pemaknaan dan penamaan pada suatu objek. Selain itu didalam komunikasi antarbudaya, sulit untuk mengungkapkan pesan dengan interpretasi yang sama. Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak 37 pengalaman berbeda dan konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc Daniel, 2007 : 169-170). Hubungan antara pesan verbal dan pesan nonverbal dengan kebudayaan jelas ada, karena hubungan tersebut dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian-pengertian yang harus dimiliki bersama. Maka, dapat dipahami bahwa banyak pesan verbal dan perilaku nonverbal dipelajari secara kurtural dan ditentukan oleh kebudayaan, yaitu: kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapan waktu yang tepat atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perasaan, keadaan internal. Jadi, walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc Daniel, 2007: 201). 2.2.4 Mengelola Ketidakpastian dan Kecemasan Percakapan yang sering terjadi didalam kehidupan bukan suatu hal yang lumrah, ketika bangun tidur kita pasti akan melakukan percakapan dengan orang yang kita temui. Namun ada kalanya kita akan bertemu dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan kita. Terdapat perbedaan pendapat, perbedaan penafsiran terhadap suatu objek, yang kemungkinan akan menimbulkan perasaan cemas dan tidak pasti. Maka melalui penelitian ini, akan membahas bagaimana mengelola ketidakpastian dan kecemasan yang terjadi dalam objek penelitian yaitu, Lotte Shopping Avenue mall. Pemilihan objek penelitian ini karena adanya perbedaan budaya antara pimpinan Lotte Shopping Avenue mall dengan karyawannya yang berbudaya Indonesia. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan, serta adakah perasaan ketidakpastian dan kecemasan didalam berkomunikasi. Jika ya, dalam penelitian ini akan meneliti lebih mendalam dengan didasarkan pada teori dan teknik penelitian. Teori yang dipakai berasal dari karya Charles Berger dengan “teori mengurangi ketidakpastian” disingkat URT (Uncertainty Reduction Theory). Kemudian teori tersebut dikembangkan oleh Gudykunst dengan menghasilkan teori lain, dengan nama “manajemen ketidakpastiankecemasan” disingkat AUM (Anxiety Uncertainty Management). Kedua teori tersebut akan digunakan dan diaplikasikan dalam penelitian. 38 2.2.4.1 Teori Mengurangi Ketidakpastian Teori mengurangi ketidakpastian ini membahas proses dasar bagaimana memperoleh pengetahuan mengenai orang lain. Misalnya saja ketika bertemu dengan orang asing yang baru pertama kita temui, akan banyak sekali pertanyaan didalam pikiran kita. Seperti, siapa dia? Mau apa ? Bagaimana sifatnya? dan seterusnya. Menurut Berger, orang mengalami periode yang sulit ketika menerima ketidakpastian sehingga ia cenderung memperkirakan perilaku orang lain, dan karenanya ia akan termotivasi untuk mencari informasi mengenai orang lain itu. Ketika berkomunikasi, seseorang akan membuat rencana untuk mencapai tujuannya. Seseorang akan merumuskan rencana bagi komunikasi yang akan dilakukannya dengan orang lain berdasarkan atas tujuan dan informasi data yang telah dimiliki. Semakin besar ketidakpastian maka semakin berhatihati, seseorang akan semakin mengandalkan pada data yang ia miliki. Jika ketidakpastian itu semakin besar maka seseorang akan semakin cermat dalam merencanakan apa yang akan dilakukkannya (Morissan, 2013 : 205). Morissan menjelaskan didalam bukunya yang berjudul Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, bahwa daya tarik dan keinginan berafiliasi yang ada pada diri individu memiliki hubungan posifif dengan upaya mengurangi ketidakpastian. Di dalam proses komunikasi ungkapan nonverbal dari seseorang yang memberikan daya tarik seorang lainnya, maka akan mengurangi ketidakpastian. Misalnya ketika komunikator menemukan kesamaan dengan lawan bicaranya, maka ketertarikan di antara mereka akan meningkat dan kebutuhan untuk mendapatkan lebih banyak informasi justru akan berkurang. Berger mengatakan ada tiga strategi orang untuk mendapatkan informasi mengenai diri orang lain, yaitu (Morissan, 2013 : 207) : 1. Strategi Pasif Seseorang menjalankan strategi pasif jika hanya melakukan pengamatan saja. Menurut Berger, strategi pasif dapat dibagi menjadi dua bentuk kegiatan pencarian informasi yaitu : a. Reactivity searching dilakukan dengan mengamati seseorang ketika ia sedang melakukan sesuatu atau mengamati bagaimana reaksinya pada situasi tertentu. b. Disinhibition searching yaitu mengamati seseorang dalam situasi informal di mana ia dalam keadaan santai, tidak terlalu menjaga 39 penampilannya (self-monitoring) dan berperilaku lebih apa adanya. 2. Strategi Aktif Pencariang informasi dengan bertanya kepada orang lain mengenai seseorang yang ingin diketahui dan memanipulasi lingkungan sedemikian rupa agar orang yang menjadi target lebih mudah diamati. 3. Strategi Interaktif Lebih kepada kegiatan pengungkapan diri yang merupakan strategi penting untuk mendapatkan informasi secara aktif, karena jika hanya mengungkapkan sesuatu mengenai diri Anda maka orang lain kemungkinan juga akan melakukan hal yang serupa. 2.2.4.2 Teori Mengelola Ketidakpastian-Kecemasan William Gudykunst melihat bagaimana ketidakpastian dan kecemasan itu dalam situasi budaya yang berbeda. Ia menemukan bahwa setiap orang yang menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu akan berupaya mengurangi ketidakpastian pada tahap awal hubungan mereka, namun mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budayanya. Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan cara melihat apakah seseorang itu berasal atau merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” atau “budaya konteks rendah”. Budaya konteks tinggi (high-context cultures) melihat pada situasi keseluruhan untuk menginterpretasikan peristiwa, sedangkan budaya konteks rendah (low-context cultures) melihat pada isi pesan verbal yang terungkap dengan jelas (explicit). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, seseorang yang berasal dari budaya konteks tinggi akan mengandalkan tanda-tanda dan informasi nonverbal mengenai latar belakang seseorang untuk mengurangi ketidakpastian. Namun seseorang dengan budaya konteks rendah, akan langsung mengajukan pertanyaan kepada orang yang bersangkutan mengenai pengalaman, sikap, dan kepercayaannya. Maka latar belakang budaya seseorang sangat mempengaruhi bagaimana cara berkomunikasi dalam proses mengurangi ketidakpastian dan kecemasannya. Proses mengurangi ketidakpastian antara orang-orang yang berasal dari kebudayaan berbeda dipengaruhi oleh sejumlah variable tambahan. Ketika seseorang mengidentifikasikan dirinya secara kuat dengan budayanya dan ia berpikir orang lain berasal dari kelompok budaya yang berbeda maka orang pertama tadi akan merasakan kecemasan dan juga ketidakpastian yang cukup besar, begitu pula sebaliknya. Pengalaman dan persahabatan dengan orang-orang yang 40 berasal dari budaya berbeda dapat meningkatkan kepercayaan seseorang ketika ia bertemu dengan orang asing yang tidak dikenalnya (Morissan, 2013 : 208). Dengan mengetahui bahasa orang asing itu akan menolong meningkatkan kepercayaan dan toleransi. Jika seseorang lebih percaya diri dan tidak terlalu cemas untuk bertemu orang lain yang berasal dari kelompok berbeda dengannya, maka ia kemungkinan akan lebih baik dalam mendapatkan informasi sehingga mengurangi ketidakpastian. Anxiety Uncertainty Management Theory (Teori Mengelolah Kecemasan-Ketidakpastian) berfokus pada perbedaan budaya didalam kelompok orang asing. Teori ini dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. (William Gudykunst, The Uncertainty Reduction and Anxiety-Uncertainty Reduction Theories of Berger, Gudykunst, and associates dalam Littlejohn dan Foss, 2005 : 144 155) menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Untuk itu diperlukan suatu keefektifan dalam komunikasi yang dapat meminimalisirkan keadaan ketidakpastian dan kecemasan melalui konsep-konsep dasar pada Anxiety Uncertainty Management Theory: 1. Konsep diri dan diri. Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan. 2. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing. Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan. 3. Reaksi terhadap orang asing. Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka. Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing. Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu 41 peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat. 4. Kategori sosial dari orang asing. Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaanperbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok. Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita danatau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka. 5. Proses situasional. Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka. 6. Koneksi dengan orang asing. Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka. Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain. 2.2.4.3 Komunikasi Konteks-Tinggi VS Komunikasi Konteks-Rendah Karena setiap orang terlahir pada lingkungan, keluarga dan budaya yang berbeda, maka gaya khas dalam berbicara setiap orang juga berbeda, selain itu juga topik-topik yang dibicarakan berbeda-beda. Edward T. Hall (1973) di dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, membedakan budaya konteks-tinggi dengan budaya konteks-rendah yang mempunyai beberapa perbedaan penting dalam penyandian pesannya. 42 Menurutnya, budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi konteks-rendah dimana pesan verbal disampaikan secara eksplisit, gaya bicara bersifat langsung, lugas, dan berterus terang. Para penganut budaya konteks-rendah ini mengatakan apa yang mereka maksudkan (they say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka katakan (they mean what they say). Berbicara secara blak-blakan dalam arti tanpa memperhatikan bagaimana dampaknya, atau tidak memperdulikan bagaimana pendapat lawan bicaranya. Sifat didalam komunikasi konteks-rendah, pesan diungkapkan dengan cepat dan mudah berubah, sehingga budaya konteks-rendah tidak dapat menyatukan pemikiran dari beberapa orang, atau membentuk kelompok. Mereka lebih suka bekerja secara individu karena pola pemikiran dan pesan yang disampaikan tidak pasti. Sementara itu, Hall juga menjelaskan bahwa budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi konteks-tinggi, dimana kebanyakan pesan yang disampaikan bersifat implicit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Ketika seseorang dari budaya konteks-tinggi mengatakan “Ya,” jawabannya bukan berarti menerima atau setuju, melainkan bisa saja berartikan “Saya mengerti”, “saya tahu” atau bahkan “saya tidak setuju.” Makna pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara pada budaya konteks-tinggi dapat dilihat pada intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata, atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan, benda-benda, dan sebagainya). Pernyataan verbalnya bisa berbeda atau bertentangan dengan pesan nonverbalnya. Berdasarkan hal tersebut, anggota-anggota budaya konteks-tinggi dinyatakan lebih terampil membaca perilaku nonverbal dan dalam membaca lingkungan. Sifat komunikasi konteks-tinggi adalah tahan lama, lamban berubah, dan mengikat kelompok yang menggunakannya. Secara garis besar, urutan sejumlah Negara berdasarkan tingkat budayanya (dari budaya konteks-rendah hingga budaya kontekstinggi), menurut Hall dan Kohls, adalah sebagai berikut: Swiss Jerman, Jerman, Skandinavia, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab, Cina, dan Jepang. Indonesia termasuk budaya konteks-tinggi, dan mungkin berada diantara budaya Arab dan budaya Cina (Mulyana, 2009: 328). Namun Deddy Mulyana kembali menjelaskan didalam buku Ilmu Komunikasi bahwa sebenarnya, meskipun umumnya orang Timur cenderung berkomunikasi konteks-tinggi, tidak berarti bahwa seluruh penduduk Indonesia berkomunikasi konteks-tinggi. Beberapa subkultur, seperti suku 43 Batak, sebagian kelas menengah perkotaan, kaum berpendidikan tinggi, pengacara dan politisi, menunjukkan komunikasi konteks-rendah yang lumayan. Namun secara umum, komunikasi orang Indonesia termasuk komunikasi konteks-tinggi. Bagi Negara Korea yang pernah dijajah oleh Negara Cina dan Jepang, maka budaya mereka termasuk budaya konteks-tinggi dan setara dengan Indonesia. Hanya saja, jika dibandingkan budaya Korea berada pada posisi bawah konteks-rendah dengan budaya Indonesia. Untuk itu, budaya komunikasi orang Korea di Lotte Shopping Avenue mall sering menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan. Maka sering kali terdapat kejadian dimana pimpinan orang Korea marah dengan karyawannya yang berbudaya Indonesia di depan umum. Namun, positifnya orang Korea marah karena ada unsur kesalahan dari karyawannya, bisa jadi kesalahan fatal atau kriminal seprti mencuri. Jika tidak melakukan kesalahan, ataupun kesalahannya masih bisa dimaklumi seperti bercanda pada waktu kerja, pimpinan orang Korea hanya akan menegur secara pelan. 2.2.5 Budaya Kerja Orang Korea VS Budaya Kerja Orang Indonesia Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. 2.2.5.1 Budaya Kerja Orang Korea Korea Selatan merdeka pada 15 Agustus 1948 dan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, sekitar 487,7 jiwa/km jumlah ini sepuluh kali lebih banyak dari rata-rata dunia. Pada 2012, tingkat kelahiran per tahun sebesar 8,42 kelahiran dari 1.000 orang, angka ini merupakan salah satu yang terendah di dunia. Luas Korea Selatan adalah 99,274 km2, lebih kecil dibandingkan Korea Utara, namun Korea Selatan jauh lebih maju dibandingkan Korea Utara dalam bidang poltik dan ekonomi bebas yang dianutnya menyebabkan keadaan ekonominya berkembang pesat. Jika Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia Kedua, Korea Selatan pun berhasil bangkit dari perang saudara yang nyaris menghancurkannya di masa lalu (Seng, 2013 : 4). Bermula dari Negara pertanian yang menghasilkan berbagai hasil pertanian dan peternakan, seperti padi, gandum, sayur-sayuran, buah-buahan, 44 ayam, susu, telur, dan ikan, Korea Selatan kemudian muncul sebagai Negara perindustrian yang terkemuka dalam pembuatan kapal, pembangunan jembatan, petrokimia, kendaraan bermotor, perangkat listrik dan elektronik, sepatu, kain tekstil, dan mainan anak-anak. Produk hasil Korea Selatan semakin mendapat perhatian dan menjadi bahan pembicaraan di mana pun. Merek dagang, seperti Hyundai, SsangYong, Samsung-Daewoo, dan LG begitu popular di mata para konsumen. Bahkan, penjualan Samsung mampu menyaingi Apple pada 2012. Samsung Electronics kembali mencatatkan kenaikan laba bersih di kuartal IV-2012. Hal itu didorong oleh kenaikan penjualan ponsel yang melebihi penjualan ponsel Apple. Seperti dikutip dari Bloomberg, laba bersih kuartal IV-2012 Samsung Electronics naik 76 persen. Nilai ini lebih dari yang diperkirakan. Kenaikan laba ini dibantu oleh penjualan ponsel pintar, tetapi murah dari Samsung ke pasar China. (Seng, 2013: 14-16) Strategi dagang itu mendapat respons karena ketidakmampuan konsumen China untuk membeli iPhone Apple yang lebih mahal. Korea Selatan juga terkenal dengan tim sepak bolanya yang memiliki semangat juang yang solid dan tinggi. Keberhasilan Korea Selatan dalam penyelenggaraan Asian Games dan Piala Dunia FIFA (Sepak Bola) pada tahun 2002 menjadikan Negara tersebut sebagai tujuan utama para wisatawan. Apa strategi Korea menjadi bangsa yang hebat? Jika dilihat dari sejarahnya, sumbangan bangsa Korea dalam membangun peradaban masih kalah dibandingkan China dan Jepang yang lebih dikenal sebelumnya. Namun, mengingat keberhasilan yang mereka capai, tentu ada keistimewaan tersendiri pada bangsa Korea, dan kita tentu bertanya-tanya tentang rahasia keberhasilan mereka (Seng, 2013: 7) Bangsa Korea terpengaruh oleh budaya-budaya yang datang dari luar. Hampir sebagian besar rakyat Korea Selatan memilih tidak beragama atau ateis. Bangsa Korea tidak pernah menjadi suatu Negara yang besar dan memiliki wilayah kekuasaan yang luas. Akan tetapi, semua itu bukanlah penghalang bagi bangsa Korea untuk menjadi bangsa yang maju dan berhasil. Salah satu faktor keberhasilan mereka adalah kesigapan mereka dalam menerima perubahan dan mengikuti perkembangan zaman. Bangsa Korea memiliki sifat mencintai dan menghargai produkproduk buatan negerinya sendiri. Disamping itu, ternyata produk-produk mereka juga diminati dan diakui oleh masyarakat dunia. Pada saat Negaranegara lain sedang mengalami situasi yang tidak menentu akibat krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, Korea Selatan berhasil keluar dari krisis tersebut. 45 Bangsa yang mau dan berhasil selalu bekerja tidak kurang dari 14 jam dalam seharinya. Hal ini telah dibuktikan oleh bangsa China dan Jepang. Bangsa yang membatasi jam kerja mereka akan selalu berada dalam kemunduran dan takkan mencapai keberhasilan apa pun. Inilah yang selalu dihindari oleh bangsa Korea. Selain itu, faktor geografis ikut mendukung lamanya jam kerja tersebut. Hal itu cukup sulit diterapkan di Negara-negara yang terletak di garis khatulistiwa. Iklum tropis cukup signifikan menguras energi para pekerja. Sikap giat bekerja tanpa membatasi waktu inilah yang merupakan rahasia keberhasilan bangsan-bangsa Asia yang terkenal dengan ketekunannya. Bangsa Korea tidak mau banyak beralasan akan keadaan yang terjadi. Hal yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memperbaiki keadaan tersebut dan kembali aktif. Bangsa Korea tidak mengikuti kehendak pasar, tetapi mereka mencari, membuka, dan menciptakan pasar baru bagi produkproduk yang dianggap terlalu banyak pesaingnya. Pasar selalu berkembang, tetapi produk-produk mereka selalu berhasil di pasaran. Prinsip ini selalu dipegang oleh para pengusaha dan pengusaha di Korea. Sebenarnya, rahasia keberhasilan Korea Selatan terletak pada etos dan budaya kerja rakyatnya. Bangsa Korea berpandangan positif dan melihat jauh ke depan. Mereka tekun dan bekerja keras hingga melewati jam kerja (pukul 09.00-16.00). mereka terus bekerja dan terus bekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. 2.2.5.2 Budaya Kerja Orang Indonesia Penjelasan mengenai budaya organisasi dan cara kerja orang Indonesia berikut diambil dari buku Teori Budaya Organisasi tulisan oleh Taliziduhu Ndraha (2005). Budaya Organisasi belum banyak ditulis orang, namun minat terhadap bidang ini terus meningkat. Misalnya Richard I Mann yang menulis The culture of Business in Indonesia (1994). Buku tersebut ditujukan kepada pihak investor dan konsultan asing, agar bisa bekerja di lingkungan yang berbudayanya berbeda dengan budaya negeri asalnya. Buku tersebut diakhiri dengan The Challenge of Language : A final word, not abut business per se, but about a condition which sometimes results in the misinterpretation of business culture and, indeed, of what is really going on. 46 Buku kedua tentang budaya Indonesia ditulis oleh Thomas Brandt, berjudul Kunci Budaya. Business in Indonesia, the Cultural Key to Success (1997). Dua bagian penting dari buku ini, adalah bagian A tentang The Fundamentals dan bagian D tentang The Socio-cultural Environment in Indonesia. Sebuah kutipan yang merupakan inti bagian A : Working with Indonesians is, in principle, a pleasant experience. But in situations with deadlines approaching fast, with matters having to move ahead, it can seem that there is no way forward. Odd things start happening and nothing seems to work anymore. These are the moments when you simply wish to give up and leave… It will take time for an expatriate to realize that the only way to succeed is by daily checks and permanent follow-ups. What is selfevident in a Western environment is not so here. Culture shock ! The effect of culture shock can even extend so far that managers experiencing great difficultly in coming to terms with Indonesian culture attempt to circumvent business with Indonesian partners as far as possible and prefer to deal only with their compatriots, thus ignoring any new potential business and bringing into question the very reason for being stationed in Indonesia. Paragraf tersebut diakhiri dengan nasihat : Western managers would be well-advised to refrain from permanently drawing comparisons with their home country. It is important to arrive in this country with a positive outlook, and tolerance and an open mind vis-à-vis Indonesian culture will be the best medicine for cushioning any initial shock. Bagian D menguraikan banyak hal seperti hierarki, agama, keramahtamahan, dan feng-shui; dua lainnya adalah tentang muka (face) dan waktu (time). Mengenai muka dikatakan : For Indonesians in general, and Javanese in particular, it is socially very important to maintain face. Criticism may be acceptable under four eyes, but in front of others, it is a matter of risking reputation… A western business man must avoid causing any of his employees, business partners, or himself, to lose face. 47 Selanjutnya: By no means is it simply a matter of giving face to your counterpartyour own face is at risk, too. More over, it is not only a matter of taking face – you will soon find out that “giving face” is just as much part of the game. Konsep Indonesia tentang waktu, menurut sumber itu, demikian : In Indonesia, the cycles of nature determine the flow of time. In contrast to the quantitative western approach to time, where very consecutive second and every consecutive minute is counted, Indonesians have a more qualitative view of time. Life is shaped by fortunate and less fortunate moments. Oleh karena itu, laporan ke kantor pusat berbunyi: Everything takes so long in Indonesia, dan In Indonesia, we were in an entirely different world. Time was not that important. Tulisan yang dibuat berdasarkan pengamatan tersebut membantu penelitian ini untuk membuka wawasan ketika bekerja didalam perusahaan Indonesia. Berdasarkan pengalaman peneliti ketika bekerja bersama orang Indonesia dan bekerja pada perusahaan Indonesia yang dilakukan selama tiga bulan, bahwa budaya kerja orang Indonesia yang senang dengan budaya gossip, yaitu kebiasaan yang suka untuk membicarakan keburukan atau keberuntungan orang lain. Selain itu, orang Indonesia menganggap bahwa waktu itu akan berputar secara terus-menerus sehingga memaknai bahwa masih ada hari esok untuk dilakukan. Itu sebabnya, orang Indonesia lebih suka dengan bekerja dalam mengulur waktu. Pada konteks wajah, orang Indonesia kebanyakan tidak dapat menutupi beban hidup yang dialaminya. Jika sedang sedih atau memiliki masalah, mereka akan memasang wajah cemberut. Ini sering kali terjadi jika orang Indonesia sedang merasa hubungannya yang kurang baik dengan rekan kerjanya, maka ia memilih untuk tidak berbicara atau bahkan membuang muka dan terus menghindari pertemuannya. Berbeda dengan orang Korea yang fer menurut Hendry karyawan Lotte Shopping Avenue mall. Ia mengatakan demikian berdasarkan pengalamannya yang bekerja dengan orang Korea dan ia melakukan kesalahan. Menurutnya, ketika orang Korea marah mereka hanya marah pada 48 saat itu, namun setelahnya mereka akan menganggap kita sebagai temannya dan seperti tidak terjadi apa-apa. Juga pada dasarnya orang Korea yang bekerja dengan sangat menghargai waktu, kedisiplinan dan konsisten adalah hal utama dalam berelasi dan bekerja. Tidak rugi waktu jika bekerja dengan orang Korea, karena mereka on-time ketika membuat janji. 49 2.3 Kerangka Pemikiran Pengalaman Ketidakpastian dan Kecemasan Belum mengenal atau bertemu dengan orang yang berbeda budaya dan tidak memiliki pengalaman sebelumnya Mulai Merumuskan Rencana untuk Berkomunikasi Berdasarkan Tujuan atau Data yang Dimiliki Semakin besar ketidakpastian, maka akan mengalami krisis kepercayaan (kecemasan) terhadap rencana sebelumnya dan mulai membuat rencana alternatif Semakin kecil ketidakpasian, maka akan meningkatkan kebutuhan untuk mendapatkan informasi Teori Mengurangi Ketidakpastian dengan cara yang berbeda-beda tergantung latar belakangnya Budaya Konteks Tinggi, Mengandalkan Informasi Nonverbal Budaya Konteks Rendah, Melihat Pada Isi Pesan Verbal Setiap orang memiliki level yang berbeda dalam mengangani ketidakpastian dan kecemasan tergantung latar belakang budaya Level Batas Atas Level Batas Bawah Jika level ketidakpastian melampaui batas atas seseorang, maka kepercayaan akan berkurang. Jika level kecemasan melampaui batas atas seseorang, maka akan menghindari komunikasi sama sekali Teori Mengelola Ketidakpastian dan Kecemasan 50 Hasil kerangka pemikiran yang dibuat adalah hasil dari pemikiran peneliti sebagai dasar untuk menulis peneltian. Pengalaman ketidakpastian dan kecemasan yang dimiliki seseorang dapat terjadi ketika seseorang dihadapkan pada situasi dimana ia bertemu dengan orang yang belum dikenalinya atau orang yang memiliki latar belakang berbeda, namun di satu sisi ia harus melakukan suatu interaksi untuk mencapai tujuan. Misalnya di lingkungan kerja karyawan berbudaya Indonesia yang harus berinteraksi dalam proses kerja dengan pimpinannya yang berkebudayaan Korea. Maka perasaan ketidakpastian dan kecemasan akan timbul tanpa disadari, ternyata keadaan ini menciptakan terhambatnya proses interaksi sosial dalam bidang komunikasi. Ketika menghadapi situasi seperti ini, seseorang akan menyusun rencana dengan mencari informasi mengenai orang tersebut berdasarkan tujuan atau data yang dapat mendukung proses komunikasi sehingga keadaan ketidakpastian dan kecemasan seseorang menurun. Menurut Gudykunst, orang-orang dapat melakukan hal tersebut dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budayanya. Dimana latar belakang budaya menurutnya terbagi menjadi dua, yaitu budaya konteks tinggi yang melihat pada situasional keseluruhan untuk menginterpretasikan peristiwa dengan mengandalkan tanda-tanda dan informasi nonverbal. Sedangkan budaya konteks rendah melihat pada isi pesan verbal yang terungkap dengan jelas yang pada praktiknya akan langsung mengajukan pertanyaan kepada orang bersangkutan mengenai pengalaman, sikap dan kepercayaan. Pada proses mengurangi ketidakpastian antara orang-orang yang berasal dari kebudayaan berbeda dipengaruhi oleh sejumlah variable tambahan. Gudykunst menyeutkan setiap orang memiliki tingkat atau level yang berbeda dalam menangani ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakannya. Individu yang berbeda akan memiliki ambang batas yang berbeda ketika merasakan ketidakpastian dan kecemasan. Jika level ketidakpastian seseorang melampaui batas atas yang dimiliki, maka kepercayaan dirinya akan berkurang, dan jika level kecemasannya terlalu tinggi makan seseorang bahkan menghindari komunikasi sama sekali. Sebaliknya jika seseorang berada pada batas ambang bawah, ketidakpastian 51 dan kecemasan lebih rendah dari batas bawah maka motivasi seseorang untuk berkomunikasi juga akan hilang, karena ia merasa sudah cukup mengetahui orang asing itu. Dari pengalaman ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakan hingga pada tahap akhir, Gudykunst mengelolanya dengan suatu teori yang dikenal yaitu Teori Mengelola Ketidakpastian dan Kecemasan. Kemudian teori ini diaplikasikan pada pengalaman ketidakpastian dan kecemasan karyawan berbudaya Indonesia untuk mengetahui proses pengelolaan mereka sehingga mampu bertahan bekerja pada Lotte Shopping Avenue mall. 52