Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II

advertisement
Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II
Pembangunan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II
A.
Perkembangan Pembangunan Ekonomi Jepang
Pada saat Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu tahun 1945, keadaan
ekonomi sudah sangat terpuruk. Pada bulan Agustus 1945 produksi industri merosot sangat
tajam, jumlahnya hanya merupakan persentase yang kecil jika dibandingkan dengan tingkat
produksi di tahun sebelumnya. Produksi pangan yang sebelumnya dapat dipertahankan pada
tingkat yang relatif tinggi, tetapi pada tahun 1945 turun sekitar 30%. Akibatnya pada akhir
tahun 1945 terjadi krisis pangan yang berlangsung sampai awal tahun 1946. Kondisi tersebut
diperparah dengan lumpuhnya aparat pemerintah dalam mengumpulkan dan mendistribusikan
barang berdasarkan harga yang telah ditentukan. Kekalahan perang ini menghilangkan
kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan menciptakan keadaan yang hampir mengarah
pada anarki.
Pemboman sekutu telah menghancurkan sekitar 25% kekayaan nasional Jepang.
Pemboman tersebut antara lain menyebabkan terjadinya kekurangan perumahan yang sangat
luas di kota-kota besar Jepang. Lepasnya daerah-daerah jajahan menyebabkan hilangnya
sumber-sumber alam yang sebelumnya dapat diperoleh Jepang untuk kepentingan dalam
negerinya. Kondisi awal pasca PD II yang dialami Jepang dipersulit dengan pendudukan
yang dilakukan pihak sekutu di negeri tersebut. Pihak sekutu menerapkan kebijakan non
responsibility terhadap keadaan yang dialami Jepang pada awal pasca PD II.
Sekutu
memberlakukan
pelucutan senjata, liberalisasi,
unifikasi
wilayah dan
desentralisasi ekonomi di Jepang. Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat, menginginkan
kemakmuran dan kekuatan ekonomi di Jepang saat itu tidak terkonsentrasi, tetapi harus lebih
disebarluaskan (desentralisasi) dan dijadikan perusahaan publik dalam kerangka demokrasi.
Saat itu di Jepang ada 4 konglomerat-keluarga (zaibatsu) yang dikenal dengan “the big
four”, dan 14 yang lebih kecil. Mitsubishi yang merupakan “the big four” pada saat itu harus
tunduk pula pada aturan sekutu. Kemudian aset Mitsubishi dibagikan ke seluruh pekerja dan
penduduk lokal dalam bentuk saham, sehingga pada tahun 1946 Mitsubishi berubah menjadi
perusahaan independent. Pada kenyataannya perusahaan yang terdesentralisasi mengalami
banyak kesulitan dalam permodalan, produksi, dan pendistribusian hasil produksinya,
sehingga akhirnya mereka saling menggabungkan saham mereka dan membentuk group
(keiretsu), menjadi Mitsubishi keiretsu atau Mitsubishi group.
Jadi secara historis, zaibatsu (konglomerat keluarga) yang muncul di era Edo dan
berkembang di era Meiji, pada tahun 1946 harus berubah menjadi perusahaan publik yang
pada perkembangannya berubah menjadi keiretsu (perhimpunan antara para pemegang
saham). Perkembangan selanjutnya antara keiretsu ini saling bergabung dan menjadi
komposisi perusahaan seperti yang ada di Jepang saat ini. Jadi bisa dikatakan bangsa Jepang
memang telah memiliki skill tinggi sejak jaman Edo (1600-1867).
Pada perkembangan selanjutnya tahun 1946 pihak sekutu merubah kebijaksanaan yang
sebelumnya bersifat non responsibility menjadi sikap mendorong perekonomian Jepang.
Perubahan tersebut dapat terjadi karena Amerika Serikat yang pada dasarnya menentukan
kebijaksanaan pendudukan sekutu di Jepang memiliki pandangan yang positif terhadap
peranan Jepang di Asia pasca PD II. Dengan adanya perang dingin antara Amerika Serikat
dan Uni Soviet yang merupakan perang pengaruh ideologi. Menyebabkan hubungan Amerika
Serikat dengan Jepang semakin membaik, hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat memiliki
suatu keinginan bahwa Jepang dapat menjadi negara yang mampu menjadi kekuatan
pengimbang terhadap komunisme di Asia.
Setelah sekutu mengakhiri pendudukannya di Jepang, hubungan antara Amerika
Serikat dan Jepang masih terjalin dengan baik. Hubungan yang terjalin dengan baik tersebut
dibuktikan dengan adanya sistem Bretton Woods. Salah satu bagian dari sistem baru tersebut
adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang dibentuk berdasarkan anggapan
bahwa perdagangan bebas adalah sarana terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Bagi Jepang yang pembangunan ekonominya sangat tergantung pada perdagangan luar
negeri, sistem ekonomi baru tersebut sangat bermanfaat dan berharga. Sistem tersebut tidak
hanya memungkinkan Jepang meningkatkan volume perdagangan dan memperoleh manfaat
yang lebih besar, tetapi juga meningkatkan efisiensi dengan ditempatkanya perusahaanperusahaan Jepang ke dalam ajang persaingan Internasional dan memperluas pasar. Tetapi
perusahaan yang berorientasi dalam negeri pun harus mengalami persaingan dengan adanya
sistem tersebut, karena terjadinya liberalisasi impor dan pengurangan tarif impor. Namun
Jepang dapat bersaing dalam hal tersebut dimana ekspor semakin dapat ditingkatkan dan
impor dapat ditanggulangi dengan baik. Hal tersebut karena Jepang didukukng oleh SDM dan
hasil produksi yang sangat berkualitas dan dapat bersaing dengan negara lain.
B.
Faktor-Faktor Pendukung Pembangunan Ekonomi Jepang
Bangsa Jepang dari segi budaya menerapkan sistem kerja kolektif dan bukan
merupakan bangsa yang senang meniru. Mereka selalu berusaha belajar dari kemajuan dan
kesalahan bangsa lain tanpa harus mencontoh seutuhnya. Seorang ilmuan di Jepang benar-
benar memiliki andil yang sangat besar dalam proses pembangunan bangsa. Ketika para
ilmuan jepang belajar teknologi maupun perekonomian di Amerika maupun negara Eropa,
saat studi tersebut selesai, mereka akan dengan bangga kembali ke tanah airnya dan
menerapkan apa yang didapat dengan beberapa modifikasi keunikan sistem sosial dan sistem
budaya yang mereka miliki.
Bangsa Jepang memiliki rakyat yang cukup nasionalis. Ekonomi modern berkembang
secara simultan dengan identitas budaya nasionalnya. Banyak pengamat Barat menyebut
bahwa identitas kebudayaan dan institusi sosial adalah embrio kapitalisme Jepang. Ilmuwan
barat
menjuluki
kebangkitan
perekonomian
Jepang
sebagai
sebuah
pengecualian
menyimpang (anomaly) dan paradoksal.
Bagi ilmuwan Jepang teori ekonomi barat hanya dianggap sebagai “bahan baku.” dan
bukan alat yang langsung bisa dipakai. Para perencana ekonomi Jepang tidak pernah percaya
bahwa untuk menjadi negara maju, nilai-nilai tradisional harus dipinggirkan seperti yang
terjadi di Barat. Mereka sangat percaya bahwa nilai nilai tradisional justru harus
dipertahankan sebagai penyeimbang. Itulah kenapa bangsa jepang dapat tumbuh pesat secara
perekonomian namun masih dengan ciri negara Timur yang khas. Life-time employment,
seniority based system, dan traditional family system adalah contoh-contoh nilai dan institusi
tradisionil Jepang yang dipertahankan.
Dengan adanya industrialisasi pada dasarnya tidak sesuai dengan masyarakat
tradisional, karena industrialisasi memerlukan lembaga dan nilai-nilai baru. Tetapi
industrialisasi yang terjadi di Jepang tidak menghilangkan nilai-nilai tradisional yang telah
ada. Bahkan nilai-nilai tradisional yang telah ada tersebut tetap dipertahankan selama
berlangsungnya kemajuan industri.
Keluarga tradisional memberikan dasar untuk lembaga ekonomi baru yang diperlukan
oleh industrialisasi, sehingga perusahaan-perusahaan Jepang mencerminkan keluarga
tradisional. Sebagaimana halnya anak-anak di dalam sebuah keluarga, maka para karyawan
tetap bekerja di dalam satu perusahaan sampai mencapai usia pensiun. Bagi pimpinan
perusahaan sulit memecat mereka seperti seorang ayah yang sulit menolak mengakui anaknya
sendiri. Seperti halnya usia menentukan kedudukan seseorang dalam keluarga, usia itu pun
memainkan peranan penting dalam menentukan kedudukan seseorang pada hirarki
persusahaan. Hubungan ayah-anak ini diterjemahkan kedalam suatu bentuk hubungan
kekeluargaan yang fiktif disebut sebagai oyabun-kobun. Dalam pabrik, mandor adalah
oyabun dan bawahannya kobun. Tugas utama seorang oyabun adalah melatih dan mengawasi
kobun, tetapi oyabun juga memiliki tugas yang sama pentingnya yaitu untuk memberikan
perhatian terhadap keperluan emosional dan keperluan sosial kobun.
Dari tinjauan mikro, salah satu aspek yang mendorong keberhasilan Jepang dalam
membangun sumberdaya manusia pasca perang dunia II adalah membudayakan sistem “Kerja
Kelompok” (Team work). Yaitu suatu sistem dimana para insinyur Jepang dikirim ke Barat
untuk belajar harus kembali ke Jepang dengan membawa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemudian, ilmu dan teknologi yang mereka bawa harus diajarkan kepada semua anggota
kelompoknya.
Sedangakan dilihat dari aspek makro pembangunan, Jepang memprioritaskan
kebijakan pemerataan pembangunan. Diantara Negara-negara maju, Jepang adalah negara
yang paling tinggi tingkat pemerataan hasil-hasil pembangunannya. Bukan hanya dari aspek
pendapatan tetapi juga meliputi fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastrukturfisik, dan lain-lain. Rakyat jepang masa sekarang sudah menikmati fasilitas - fasilitas
tersebut. Bahkan untuk daerah pedesaan di pegunungan, mereka mendapatkan fasilitas jalan,
air minum dan listrik kurang lebih seperti di Tokyo, Kyoto, Osaka dan kota-kota besar
lainnya.
Untuk sumber daya pembangunan, jepang memang berbeda dengan negara - negara
maju lainnya. Bangsa Jepang sangat sedikit menggunakan sumberdaya yang berasal dari
hutang luar negeri terutama pada dekade awal pembangunan industri. Sementara Negaranegara eropa seperti Belgia, Perancis, bahkan Rusia justru menggantungkan pada foreign
capital (hutang luar negeri) yang difasilitasi oleh “British Capital” dan “French Capital” pada
era tahun 1800-an.
Download