Kebutuhan Nutrisi Ikan Mas Fungsi utama makanan adalah sebagai

advertisement
5 TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Nutrisi Ikan Mas
Fungsi utama makanan adalah sebagai penyedia energi bagi aktivitas selsel tubuh. Karbohidrat, lemak dan protein merupakan zat gizi dalam makanan yang
berfungsi sebagai energi tubuh. Protein bersama dengan mineral dan air merupakan
bahan baku utama dalam pembentukan sel-sel dan jaringan tubuh, sedangkan protein
bersama-sama
dengan
mineral
dan
vitamin
berfungsi
dalam
pengaturan
keseimbangan asam basa, pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh, serta pengaturan
proses metabolisme dalam tubuh. Adapun lemak dalam bentuk fosfolipid dan
kolesterol juga sedikit berperan dalam pembentukan dinding sel (NRC, 1993).
Ikan, seperti juga hewan lainnya tidak mempunyai kebutuhan nutrisi yang
pasti, namun ikan membutuhkan nutrisi yang seimbang untuk keberlangsungan
hidupnya. Afrianto dan Liviawati (2005) mengemukakan bahwa kebutuhan nutrisi
untuk tiap species ikan berbeda-beda dan sering berubah-ubah dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti jenis ikan, ukuran, lingkungan dan musim. Protein merupakan
komponen utama jaringan dan juga senyawa nitrogen lainnya seperti asam nukleat,
enzim, hormon, dan vitamin, sehingga keberadaannya harus secara terus-menerus
disuplai dari makanan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh (Furuichi,
1988). Protein mempunyai peran penting untuk fungsi jaringan yang normal,
pertahanan dan petumbuhan (Watanabe and Cho,1988). Protein dalam fungsinya
tidak hanya sebagai penyusun utama tubuh ikan tetapi juga berperan penting sebagai
enzim dan hormon-hormon yang menunjang metabolisme.
Kebutuhan protein ikan menurut (Hepher, 1990) pada umumnya berkisar
35-50%, kebutuhan protein ikan karnivora 40-50% dan omnivora 25-35% (Craig and
Helfrich, 2002). Pemanfaatan protein sangat beragam diantara spesies ikan,
bergantung pada sumber energi non-protein pakan karena kemampuan ikan dalam
memanfaatkan lemak atau karbohidrat pakan juga berbeda untuk setiap speses ikan.
Protein pakan yang tidak mencukupi akan menghambat pertumbuhan, sedangkan
kadar protein yang berlebih mengakibatkan protein akan dikatabolisme menjadi
6 energi sehingga protein yang digunakan untuk membangun jaringan tubuh hanya
sedikit (NRC, 1983). Dalam Standar Nasional Indonesia dinyatakan bahwa
kebutuhan protein minimal untuk benih ikan mas adalah 30% (SNI 2000).
Takeuchi et al. 2002, mengemukakan bahwa ikan mas mampu mencerna
lemak dengan baik. Oleh karena itu, jumlah energi yang dapat tercerna (digestible
energy) lebih penting dari pada jumlah lemak dalam pakan. Lemak merupakan
sumber energi yang tinggi dalam pakan. Watanabe (1988) mengemukakan satu gram
energi memiliki energi dalam pakan (gross energy) sebesar 9,4 Kkal, sedangkan
dalam protein dan karbohidrat sebesar 5,6 dan 4,1 Kkal. Takeuchi (1988), kebutuhan
karbohidrat ikan mas tergolong tinggi dibandingkan dengan ikan yang lain karena
ikan tersebut tergolong omnivora. Jobling (1993) dalam Midlen & Redding (1998),
mengemukakakn bahwa ikan mas dapat mencerna sebagian besar karbohidrat dalam
pakan, sementara golongan karnivora seperti salmon dan yellowtail hanya mampu
mencerna sekitar 25% saja. Secara umum kebutuhan makro nutrisi ikan mas disajikan
pada Tabel 1. (Takeuchi 1988).
Tabel 1. Kebutuhan makro nutrisi ikan mas (Cyprinus carpio)
Makro Nutrisi
Kebutuhan
Protein
30 - 35 g.100 g-1
Lemak
5 - 15 g 100 g-1
Energi
13 - 15 MJ kg-1 (310-360 Kcal)
Karbohidrat
30 - 40 g. 100 g-1
Energi pakan diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein. Proporsi
energi yang dikonsumsi meningkat, dengan meningkatnya ukuran ikan, namun
efisiensi pencernaan dan absorpsi menurun yang akhirnya memperlambat
pertumbuhan akibat energi yang hilang melalui feses meningkat (De Silva dan
Anderson, 1995). Imbangan protein dan energi sangat penting dalam menunjang
pertumbuhan ikan. Pakan yang mempunyai kadar protein tinggi belum tentu dapat
mempercepat pertumbuhan apabila total energi pakan rendah. Karena energi pakan
7 terlebih dahulu dipakai untuk kegiatan metabolisme standar, seperti respirasi,
transport ion, dan pengeluaran cairan tubuh serta aktifitas lainnya. Energi untuk
seluruh aktifitas tersebut diharapkan sebagian besar berasal dari bahan nutrien nonprotein, dalam hal ini karbohidrat dan lemak. Apabila sumbangan energi dari bahan
non-protein ini rendah maka protein akan digunakan sebagai sumber energi untuk
berbagai aktifitas tersebut sehingga pertumbuhan akan berkurang. Dengan kata lain,
penambahan energi non-protein dapat meningkatkan fungsi protein dalam menunjang
pertumbuhan ikan (Furuichi, 1938). Rasio energi protein optimum telah ditemukan
pada berbagai spesies ikan, dan rasio tersebut berkisar antara 8 sampai 10 kkal DE
per gram protein pakan (Halver, 2002). Sedangkan pada catfish rasio ini berkisar
antara 7,4-l2 kkal/g. Peningkatan rasio DE/P pakan catfish diatas kisaran ini akan
meningkatkan deposit lemak dan jika energi terlalu rendah, pertumbuhan ikan akan
melambat (Robinson et a1, 2007).
Peran utama karbohidrat dalam nutrisi hewan adalah sebagai sumber energi
(Takeuchi, l988). Menurut Furuichi (1988) karbohidrat adalah sumber energi yang
paling murah dan mudah didapatkan untuk komposisi pakan ikan dan juga bertindak
sebagai protein sparing efect. Sumber karbohidrat yang berkualitas baik menjadi
sangat penting karena akan berfungsi sebagai energi nonprotein, sehingga akan
sedikit protein yang digunakan sebagai sumber energi tetapi lebih banyak digunakan
untuk pertumbuhan. Kemampuan menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi
berbeda diantara spesies ikan. Yamamoto et al., (200l), menyatakan bahwa ikan
umumnya lebih efisien dalam mencerna dan memanfaatkan protein dan lemak, tetapi
dalam memanfaatkan karbohidrat sangat bervariasi bergantung pada kompleksitas
karbohidrat. Menurut Mokoginta et al. (1999), hal tersebut disebabkan oleh aktivitas
enzim amylase yang berbeda untuk spesies ikan, dan biasanya ikan karnivor lebih
terbatas dalam memanfaatkan karbohidrat dibandingkan ikan omnivor dan herbivor.
Kebanyakan ikan perairan tropis, termasuk catfish dapat memanfaatkan lebih banyak
karbohidrat dibandingkan ikan perairan dingin dan ikan laut. Ikan omnivora
umumnya mampu memanfaatkan karbohidrat lebih tinggi (kadar optimum 30-40%)
sedangkan ikan karnivora memanfaatkan karbohidrat pada kadar optimum 10-20%
8 (Furuichi, 1999). Ikan yang diberi pakan tanpa karbohidrat memiliki laju
pertumbuhan yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pakan yang diberi
karbohidrat (Wilson, 1994). Namun pemberian karbohidrat yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan pertumbuhan ikan menurun dan tidak efektifnya pakan yang
diberikan (Zonneveld et al., 199l). Pertumbuhan fingerling catfish lebih tinggi ketika
pakannya mengandung karbohidrat dibandingkan hanya mengandung lemak sebagai
sumber energi nonprotein (NRC, 1993).
Lemak pada pakan mempunyai peranan penting bagi ikan, karena berfungsi
sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi
membran atau jaringan sel yang penting bagi organ tubuh tertentu, membantu dalam
penyerapan vitamin yang larut dalam lemak dan untuk mempertahankan daya apung
tubuh. Menurut Craig dan Helfrich (2002), lemak adalah salah satu makronutrien
dengan kandungan energi yang tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai protein
sparing effect dalam pakan budidaya. Satu unit lemak yang sama mengandung energi
dua kali lipat dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Jika lemak dapat
menyediakan energi untuk pemeliharaan metabolisme maka sebagian besar protein
yang dikonsumsi dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan bukan digunakan
sebagai sumber energi (NRC, 1993).
Ikan menggunakan lemak untuk energi, komponen struktur sel dan
pemeliharaan integritas biomembran (Takeuchi, l988). Furuichi (1998) juga
menyatakan bahwa lemak juga dapat dimanfaatkan untuk membangun struktur sel
dan mempertahankan integritas membran melalui penggunaan fosfolipid. Lemak
adalah sumber energi dan mengandung 2,25 kali energi karbohidrat, dan memegang
peranan penting dalam metabolisme hewan seperti mensuplai asam lemak esensial,
sebagai pelarut vitamin, dan prekursor untuk hormom-horrnon steroid (Robinson et
al., 200l). Pada ikan, lemak dapat berperan mempertahankan daya apung tubuh
(NRC, 1993).
9 Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging
buah kelapa segar/kering. Didaerah tropik, bungkil kelapa adalah salah satu bahan
makanan ternak sumber protein nabati yang sering digunakan sebagai bahan
penyusun pakan (Wahju, 1988). Parakkasi (1990) mengemukakan bahwa bahan
pakan bungkil mengandung bahan protein nabati dan sangat potensial untuk
meningkatkan karkas. Kandungan nilai nutrien bungkil kelapa disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan nilai nutrien bungkil kelapa (%)
Kandungan Zat
Kadar Air
Protein Kasar
BETN
Serat Kasar
Abu
Lemak
Kalsium
Posfor
a
b
10,9
16,6
8,4
3,5
27,3
-
10,1
20,9
46,2
10,5
6,5
5,8
BB
Jumlah (%)
c
7,6
20,04
49,56
9,08
5,24
8,52
BB
d
e
9,54
22,75
54,84
12,11
7,41
2,89
0,40
BK
2,51
23,13
54,84
11,64
7,41
10,87
0,40
0,63
>100%
Sumber : a. Hoffman, A (1981)
c. Mepba dan Achinewhu (2003)
b. Creswell dan Brooks (1971)
d. Moorthy,M dan Viswanathan (2009)
e. Hasil analisis proksimat bungkil kelapa dari Aceh
Hasil penelitian Ng dan Chen (2004) menunjukkan bahwa bungkil kelapa
sawit (BKS) yang difermentasi oleh Trichoderma koningii menghasilkan peningkatan
kandungan protein kasar, yaitu dari 17% menjadi 32%. Penggunaan BKS sebagai
pakan ikan lele telah dilakukan oleh Ng dan Chen (2002) membuktikan bahwa
pernberian bungkil sawit sebanyak 20% dalam pakan tidak berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ikan lele. Penelitian yang dilakukan oleh Lim et al., (2001)
pada ikan nila tilapia menunjukkan bahwa penggunaan BKS 30% dalam pakan
memberikan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ikan yang diberi pakan
kontrol yang menggunakan tepung ikan 43% dan tepung bungkil kedele 20,75%
10 sebagai sumber protein walaupun tingkat kecernaan proteinnya lebih rendah dari
pakan kontrol. Ng dan Chong (2002), dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa
penggunaan BKS 20% bobot kering dalam pakan ikan nila Tilapia (Oreochromis sp)
tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap laju pertumbuhan dan efisiensi pakan
bila dibandingkan dengan pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 2l,19% dan
tepung bungkil kedele 30,73% sebagai sumber protein. Selain itu juga dilaporkan
bahwa penambahan enzim pada BKS mampu meningkatkan nilai nutrisi BKS dan
dapat meningkatkan penggunaan BKS dalam pakan ikan nilia sebesar 4,0% dapat
memberikan pertumbuhan yang lebih baik dari penggunaan BKS tanpa enzim.
Cairan Rumen sebagai Sumber Enzim
Ternak ruminansia mempunyai organ pencernaan yang berbeda dengan
organ pencernaan monogastrik. Ternak ruminansia terdapat empat lambung yang
terdiri atas retikulum, rumen, omasum dan abomasum (Gambar 1). Proses pencernaan
bahan makanan yang terjadi dalam rumen adalah proses fermentasi oleh mikroba
rumen. Proses fermentasi ini yang menjadikan perbedaan antara ruminansia dan
monogastrik.
Gambar 1. Bagian-bagian perut hewan ruminansia.
Organ pencernaan ternak monogastrik yang berfungsi untuk mencerna
bahan makanan adalah lambung sejati dengan bantuan enzim. Ternak monogastrik
11 tidak dapat mencerna serat yang terlalu banyak karena tidak terdapat mikroba dalam
organ pencernaannya yang menghasilkan enzim pendegradasi selulosa. Pada dasarnya
hewan ruminansia juga tidak mampu memecah ikatan β1-4 glikosida, akan tetapi
karena adanya mikroba di dalam rumen, maka ruminansia dapat memecah ikatan β14 glikosidik (Arora, 1989). Wizna et al., (2008) menyatakan bahwa xanthophyll yang terdapat dalam
isi rumen, sebagian besar terdiri dari hijauan, diduga dibutuhkan oleh pigmen kuning
telur dan kulit unggas. Manfaat lain dari penggunaan isi rumen sebagai bahan pakan
adalah adanya vitamin Bl2 sebagai faktor protein hewan yang menyebabkan isi
rumen mempunyai nilai secara biologi yang sama dengan tepung ikan dan ekstrak
hati. Kandungan nutrisi dari isi rumen sapi adalah 9,29% air, 8,45% protein kasar,
1,23% lemak kasar, 33,53% serat kasar. 0,20% Ca, 0,45% P, l6,l9% abu, dan,
31,60% NFE. Menurut Hardiyanto, (2001) isi rumen berpotensi sebagai feed additive.
Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam pengolahan silase
jerami padi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa cairan rumen pada onggok sebagai bahan
baku penyusun ransum komplit dapat meningkatkan kandungan VFA (Volatile Fatty
Acid).
Rumen
diakui
sebagai
sumber
enzim
pendegradasi
polisakarida.
Polisakarida dihidrolisis di rumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari
kompleks mikroorganisme, terutama selulase dan xillanase (Trinci et al., 1994). Ada
dua grup jenis mikroorganisme yang diyakini pada cairan rumen (Iiquid phase) dan
yang menempel pada digesta rumen. Enzim yang aktif mendegradasi struktural
polisakarida hijauan kebanyakan aktif pada mikroorganisme yang menempel pada
partikel pakan.
Mikroba-mikroba rumen mensekresikan enzim-enzim pencernaan ke dalam
cairan rumen untuk mernbantu mendegradasi partikel makanan. Enzim-enzim
tersebut antara lain adalah enzim yang mendegradasi substrat selulosa yaitu selulosa,
hemiselulosa/xylosa adalah hemiselulase/xylanase, pati adalah amilase, pektin adalah
pektinase, lipid/lemak adalah lipase, protein adalah protease dan lain-lain (Kamra,
2005). Kamra (2005) mengemukakan bahwa jenis mikroba rumen yang
12 mensekresikan enzim selulase diantaranya Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus
albus, R. flavefaciens, Clostrodium lochheadii, C. longisporum dan Eubacterium
cellulosovens. Sedangkan jenis mikroba yang banyak menghasilkan enzim amilase
adalah Streptococcus bovis, Ruminococcus amylophylus, Prevotella rumonocola,
Streptococcus ruminantium dan Lachnosphora multipharius.
Aktivitas enzim dalam cairan rumen juga tergantung dari komposisi atau
perlakuan makanan (Moharrery dan Das, 2002). Agarwal et al., (2002) melaporkan
bahwa anak domba dengan berat badan 23,5 kg yang diberi makan minum susu
sampai 8 minggu dan diteruskan dengan 50% konsentrat dan 50% rumput sampai
umur 24 minggu mendapatkan bahwa enzim-enzim yang ada dalam cairan rumen
antara lain carboxymethyl cellulase dengan aktivitas enzim 3,60 mol glukosa per jam
per ml, alpha amylase 0,33 umol glukosa per menit per ml, xylanase 0,29 umol
xylosa per menit per ml, beta-glukosidase 0,20 umol p-nitrophenol per menit per ml,
alpha-glukosidase 0,008 U/mol p-nitrophenol per menit per ml, urease 0,05 U/mol
NHs-N per menit per ml dan protease 452,7 U/ g hidrolisis protein per jam per ml.
Moharrery dan Das (2001) mengukur aktivitas enzim protease, selulase, amylase,
lipase dan urease pada cairan rumen domba dan mendapatkan bahwa cairan rumen
yang berisi enzim-enzim dari sel-sel bakteri, aktivitas enzimnya lebih tinggi dari
cairan rumen tanpa protozoa dan tanpa sel-sel bakteri. Komposisi enzim cairan rumen
domba ditunjukan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi enzim cairan rumen domba
Enzim1)
Cairan rumen
Tanpa Protozoa
Cairan rumen
bebas sel
mikroba
162,2±33,70
Cairan rumen
dengan sel
mikroba
405,30±44,19
Selulase-Fpase μg
738,5±3,45
glukosa/ml/jam
Protease (unit/ml)
0,201±0,078
0,090±0,027
0,220±0,046
Amilase (ug glukosa/menit/ml 172,2±45,9
60,05±10,96
208,7±97,0
Lipase (unit/ml)
1,076±0,309
0,339±0,080
1,225±0,803
1)
Enzim dari cairan rumen anak domba yang diberi makan air susu dan konsentrat
sampai umur 9 minggu (Moharrery dan Das, 2002).
13 Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam pengolahan
silase jerami padi dan menghasilkan penurunan bahan kering 10,6%, kadar serat
15,98% serta meningkatkan kandungan protein 4,5% (Purnomohadi, 2006). Hasil
penelitian Hardiyanto (2001), menyatakan bahwa cairan rumen yang ditambahkan
pada onggok sebagai bahan pakan penyusun ransum komplit dapat meningkatkan
kandungan VFA (volatile fatty acid). Penambahan cairan rumen sebesar 62 dan 1,240
U/g pada wheat pollard menghasilkan penurunan kandungan polisakarida berturutturut sebesar 4,0% dan 3,9% dan kandungan polisakarida wheat pollard tanpa enzim
lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditarnbahkan enzim (Pantaya, 2003).
Selulosa menurut Hardjo et al. (1989) adalah polimer tak bercabang dari
glukosa yang dihubungkan melalui ikatan 1,4 β glikosida. Enzim yang mendegradasi
selulosa yaitu endoglukonase atau karboksil metal selulase (endo-1,4- β-glukonase).
Kompleks enzim selulase mempunyai tiga komponen utama yang bekerja bersamasama atau bertahap dalam menguraikan selulosa menjadi unit glukosa, yaitu :
1. Endo-selulase yang memotong bagian dalam struktur kristal dari selulosa dan
mengeluarkan unit selulosa dari rantai polisakarida.
2. Ekso-selulase yang memotong 2-4 unit selulosa dari rantai akhir hasil produksi
endo-selulase dan menghasilkan tetrasakarida atau disakarida seperti selubiosa.
3. Selubiosa atau β-glukosidase yang menghidrolisis produk dari ekso-selulase
menjadi monosakarida.
Tiga reaksi tersebut yang dikatalis oleh selulase memotong interaksi
nonkovalen dalam bentuk ikatan hidrogen yang ada dalam struktur kristal selulosa
oleh enzim endo-selulase, menghidrolisis serat selulosa menjadi sakarida yang lebih
sederhana oleh ekso-selulase, serta menghidrolisis disakarida dan tetrasakarida
menjadi glukosa oleh enzim β-glukosidase. Penelitian Malathi dan Devegowda
(2002), menambahkan multienzim ke dalam pakan broiler memperoleh hasil terjadi
peningkatan nilai total gula sunflower meal, soybean meal, deoiled rice bran yang
lebih besar dibandingkan dengan penggunaan enzim tunggal. Dinyatakan bahwa
kandungan multienzim ini juga menjadi kelebihan yang dimiliki oleh ekstrak enzim
cairan rumen domba.
14 Serat Kasar Dalam Bahan Pakan
Sundu dan Dingle (2003) mengemukakan bahwa penggunaan bungkil
kelapa sawit dalam ransum unggas dibatasi oleh tiga faktor; pertama secara fisik
bungkil kelapa bersifat “gritty (berbatu / mengandung grit) dan tidak palatable; kedua
secara nutrisional mengandung bahan atau zat seperti manan atau galaktomanan dan
xilan atau arabinoxilan yang dapat menurunkan penyerapan nutrient. Lebih lanjut
dikatakan bahwa dari total karbohidrat bungkil kelapa, 26 persen adalah manan, 61
persen galaktomanan, dan 13 persen selulosa.
Kadar serat kasar yang berbeda pada bahan penyusun pakan dapat
mempengaruhi nilai energi yang tersedia dalam pakan karena terdapat korelasi
negatif antara kadar serat kasar dalam pakan dengan energi yang tersedia dalam
pakan. Semakin tinggi serat kasar pakan maka semakin rendah jumlah energi yang
tersedia. Hal tersebut disebabkan serat kasar tidak mampu menyediakan energi yang
dapat dimanfaatkan oleh ikan. Anggorodi (1990) mengemukakan bahwa, serat kasar
yang berisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin relatif sulit dicerna dan merupakan
sumber energi yang rendah.
Tillman (1999) menyatakan bahwa serat kasar adalah penyusun utama
dinding sel tumbuhan dan merupakan fraksi karbohidrat yang telah dipisahkan
dengan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tidak larut dalam basa dan asam
encer setelah pendidihan selama 30 menit. Serat kasar terdiri dari sellulosa,
hemisellulosa dan lignin yang sulit dicerna (Anggorodi l994; Tillman l999). Serat
kasar dibutuhkan dalam pakan untuk membantu proses pencernaan makanan.
Menurut Piliang (2006), serat kasar mernbantu mempercepat ekskresi sisa-sisa
makanan rnelalui saluran pencernaan. Dalam keadaan tanpa serat, feses dan
kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus yang dapat
rnenyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik pada usus besar sehingga eksresi
feses menjadi lebih lamban. Sebaliknya, (Slae and Hinz 1969 dalam Fitriliyani, 2010)
bahwa pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat menyebabkan absorbs
zat makanan berkurang dan koefisien cerna semua zat makanan menurun.
15 Keterbatasan
ikan
dalam
memanfaatkan
serat
berkaitan
dengan
ketersediaan enzim sellulotik yang terbatas dalam saluran pencernaan ikan, bahkan
pada level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan (Bureau, 1999). Labih lanjut
dinyatakan bahwa, kemampuan ikan dalam mencerna serat kasar dibatasi oleh
kemampuan mikroflora dalam ususnya untuk mensekresikan sellulase.
Kecernaan Pakan
Nilai kecernaan suatu makanan atau disebut juga dengan koefisien
penecernaan (digestibility) disamping menggambarkan kemampuan ikan dalam
memanfaatkan makanan juga dapat menggambarkan kualitas pakan yang dikonsumsi
oleh ikan. Lovell (1989) mendefenisikan kecernaan sebagai bagian dari pakan yang
diserap oleh hewan. Pakan yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan dicerna
menjadi senyawa sederhana berukuran mikro, dimana protein dihidrolisis menjadi
asam-asam amino atau peptida sederhana, lemak menjadi gliserol dan asam lemak
menjadi gula sederhana (Halver 2002).
Proses kecernaan pakan baik fisik maupun kimia memegang peranan
penting. Hidrolisis nutrient makro dimungkinkan dengan adanya beberapa enzim
pencernaan seperti protease, karboksilase, dan lipase (Zonneveld et al. 1991).
Robinson, (2001) mengemukakan bahwa rendahnya serat kasar dalam pakan
menyebabkan tingginya daya cerna dan penyerapan zat-zat makanan didalam alat
pencernaan ikan. Selama pakan berada dalam usus ikan, nutrient dicerna oleh
berbagai enzim menjadi bentuk yang dapat diserap oleh dinding usus dan masuk
dalam sistim peredaran darah. Sebaliknya pakan yang mengandung serat kasar tinggi
akan menghasilkan feses yang lebih banyak sehingga serat kasar yang tidak tercerna
tersebut dapat membawa zat-zat makanan yang seharusnya dicerna.
Metode pengukuran kecernaan menurut Takeuchi (1988) ada dua cara yaitu
metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung yang diukur yaitu jumlah
pakan yang dikonsumsi dan jumlah feses yang dikeluarkan. Sedangkan metode tidak
langsung yaitu dengan menambahkan indikator dalam pakan dimana indikator
tersebut mempunyai sifat tidak dapat diserap dalam tubuh ikan, tidak beracun dan
16 dapat dianalisa dalam jumlah yang sedikit dan indikator yang mempunyai sifat
tersebut adalah Cromium oxide. Jumlah Cromium oxide yang digunakan dalam
penentuan kecernaan adalah 0,5-1,0%. Selanjutnya dikatakan bahwa keuntungan
menggunakan metode tidak langsung ini adalah feses yang telah dikumpulkan dapat
dianalisa kandungan nutriennya sehingga dapat diketahui koefisien daya cerna suatu
nutrien dalam pakan tersebut.
Amonia yang diekskresikan ikan merupakan indikator yang baik dalam
menentukan kadar optimum protein dalam pakan terutama jika dihubungkan dengan
pertumbuhan (Wermerskirchen et al. 1996). Menurut NRC (1993), nitrogen yang
diekskresikan berkorelasi dengan nitrogen yang dikonsumsi. Eksresi amonia
menunjukan jumlah relatif protein pakan yang dicerna untuk sintesis protein atau
sumber energi.
Download