EVALUASI UNTUNG RUGI PENERAPAN METODE SRI (System of

advertisement
EVALUASI UNTUNG RUGI PENERAPAN METODE SRI
(System of Rice Intensification) DI D.I. CIHEA
KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT
Yanti Kurniadiningsih
Program Studi Magister Sumber Daya Air, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut
Teknologi Bandung, Jl. Ganeca No. 10 Bandung 40132
E-mail: [email protected]
Sri Legowo
Dosen Program Studi Magister Sumber Daya Air, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut
Teknologi Bandung, Jl. Ganeca No. 10 Bandung 40132
Abstrak
Peningkatan produksi padi terus dilakukan dengan berbagai jenis program, sejak revolusi hijau
sampai dengan saat ini untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya kebutuhan beras di dalam
negeri, sehingga peningkatan produksi menjadi tujuan yang utama dan kehilangan produksi
sekecil apapun menjadi hal yang menakutkan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
membandingkan kelebihan kekurangan dan untung rugi metode SRI dan metode Konvensional,
sehingga mampu meminimalisir biaya dalam budidaya tanaman padi dan juga dapat
memanfaatkan penggunaan air irigasi secara efektif dan efisien. Tingginya tingkat produksi padi
sawah dengan menggunakan metode SRI juga disebabkan oleh jumlah anakan padi lebih banyak.
Jumlah anakan pada metode SRI berkisar 30-60 anakan/rumpun sedangkan pola konvensional
berkisar 25-30 anakan/rumpun. Berdasarkan data tingkat produksi yang diperoleh dan tingkat
harga jual maka penerimaan yang diperoleh dari usahatani padi sawah dengan menggunakan
metode SRI adalah sebesar Rp. 12.277.800,- per hektar per musim tanam, sedangkan penerimaan
usahatani padi sawah dengan metode konvensional hanya sebesar Rp. 7.342.200,- per hektar per
musim tanam. Dari hasil usaha tani, di dapat R/C pada budidaya metode SRI sebesar 2,95
sedangkan pada metode konvensional di dapat angka R/C sebesar 2,13. Pada hasil R/C yang
didapat dari metode SRI menunjukan angka lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional dan dari hasil tersebut, metode SRI sebenarnya layak untuk dikembangkan. Secara
umum keuntungan dan kerugian Penerapan Metode SRI dibandingkan Metode Konvensional
antara lain adalah dari hasil produksi metode SRI lebih tinggi dibandingkan metode konvensional
meskipun pada awalnya terjadi penurunan produktivitas, dilihat dari segi penggunaan air dan
bibit pun jauh lebih hemat namun boros pada penggunaan kompos dan tenaga kerja. Namun
demikian harga jual beras organic yang dihasilkan dari metode SRI jauh lebih tinggi di
bandingkan metode Konvensional.
Kata kunci : Evaluasi untung rugi penerapan metode SRI (System of Rice Intensification)
Abstract
Increased rice production continues to be done with various types of programs, since the green
revolution up to this time to meet the needs of food, especially rice in the domestic needs, thus
increasing production into a major destination and any small production loss be a scary thing.
The purpose of this paper is to compare the advantages and disadvantages of profit and loss
method of SRI and conventional methods, so as to minimize the cost of rice cultivation and also
can take advantage of the use of irrigation water effectively and efficiently. The high level of
production of paddy rice using SRI methods are also caused by a number of rice tillers more. The
number of pups at SRI methods ranging from 30-60 tillers / clump while the conventional pattern
ranges from 25-30 tillers / clump. Based on data obtained production levels and price levels of the
revenue derived from the rice paddy fields using the SRI method was Rp. 12.2778 million, - per
acre per growing season, while receiving the rice paddies with the conventional method was only
Rp. 7.3422 million, - per acre per growing season. From the farm, in the can R / C on SRI method
1
of cultivation of 2.95 while the conventional method can rate R / C of 2.13. On the R / C obtained
from the SRI method showed a higher rate than the conventional method and the results are, in
fact eligible for the SRI method was developed. In general, the advantages and disadvantages
compared to application of SRI methods Conventional methods include the SRI method of
production is higher than the conventional method even though at first a decline in productivity, in
terms of water use and seed-saving, but also far more extravagant in the use of compost and
energy working. However, the selling price of organic rice produced from the SRI method is much
higher compared to conventional methods.
Key words: cost-benefit evaluation of the application of methods of SRI (System of Rice
Intensification)
1. Pendahuluan
Kebutuhan lahan dan air untuk pertanian di Indonesia cukup tersedia, tetapi dengan adanya
pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan air dan lahan yang terus meningkat, menjadikan
potensi akan lahan dan kebutuhan air untuk pertanian khususnya jadi terancam. Adanya
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan karakateristik lahan akan menyebabkan kemunduran
kemampuan lahan yang akan mengakibatkan lahan menjadi kritis bahkan bisa menjadikan lahan
rusak. Akibat dari lahan kritis yang terjadi akan menyebabkan produktifitas menjadi rendah.
Penurunan produksi pertanian tidak hanya ditentukan oleh hal-hal tersebut di atas namun perilaku
usaha tani mengenai pengelolaan lahan (tanah, air dan tanaman) sangat menentukan, disamping
terjadinya penurunan kualitas struktur dan tekstur tanah yang sekaligus mempengaruhi aktivitas
biologi tanah dan terancam terjadinya degradasi biodiversitas, dari yang kompleks menjadi lebih
sederhana akibat kandungan bahan organik yang dikandung tanah sangat kurang karena perlakuan
terhadap lahan kurang memperhatikan kaidah-kaidah ekologis.
Terjadinya perubahan unsur-unsur dalam ekosistem pertanian khususnya agro ekosistem padi
sawah banyak menimbulkan permasalahan dalam berusaha tani, namun demikian kondisi tersebut
seolah dianggap menjadi hal yang terbiasa dan tidak sadarkan diri padahal merugikan bahkan
produksi padi kian hari malah kian menurun. Dengan adanya teknologi peningkatan produksi padi
berbasis organik metode SRI (System of Rice Intensification), di harapkan P3A ataupun petani
penggarap mampu mengevaluasi kegiatan-kegiatan usaha tani yang telah dijalaninya, mulai dari
aspek produksi padi/produktivitas lahan, penggunaan pupuk organik setiap musim tanam baik
jumlah maupun jenisnya, pemakaian pestisida di lahan usaha tani, jenis dan tingkat serangan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), kondisi air sampai dengan biaya usaha tani.
Maksud dari kajian ini adalah mengevaluasi sejauh mana keuntungan dan kerugian penerapan
metode SRI (System of Rice Intensification) dibandingkan dengan metode konvensional, dilihat
dari segi: teknis, dari sistem irigasi, tata tanam maupun tekniknya; sosial, dari perilaku dan budaya
petani; dan ekonomi, dari benefit maupun cost ratio. Sedangkan tujuan dari kajian ini adalah untuk
membandingkan kelebihan kekurangan dan untung rugi metode SRI dan metode Konvensional,
sehingga mampu meminimalisir biaya dalam budidaya tanaman padi dan juga dapat
memanfaatkan penggunaan air irigasi secara efektif dan efisien.
2. Deskripsi Lokasi Kajian
Daerah Irigasi (DI) Cihea adalah irigasi teknis tertua di Indonesia yang dibangun oleh pemerintah
Belanda pada tahun 1879 sampai tahun 1904 dan mulai berfungsi pada tahun 1914. Secara
geografis dan administratif, DI Cihea merupakan daerah pedataran yang terletak di dua kecamatan
yaitu Kecamatan Bojongpicung dan Kecamatan Ciranjang, Kab. Cianjur, Jawa Barat dengan luas
areal sawah yang terairi mencapai 5.484 ha. Daerah irigasi tersebut terdiri atas areal sawah seluas
3.292 ha yang terairi dari bending Cisuru/Cisokan dengan sumber air dari Sungai Cisokan dan
areal sawah seluas 2.192 ha yang terairi dari Bendung Cirajang dengan sumber air dari Sungai
Cirajang, dengan kapasitas pengambilan air secara keseluruhan 7.000 ltr/dtk.
2
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dalam pasal 41
bahwa DI yang luasnya di atas 3000 ha menjadi kewenangan pemerintah pusat, maka daerah DI
yang luasnya 5.484 ha merupakan kewenangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah
secara terus-menerus melakukan perbaikan dan renovasi jaringan irigasi di DI Cihea, Kabupaten
Cianjur. Konstruksi partisipatif yang melibatkan P3A Mitra Caise bagai wujud kerjasama antara
masyarakat dengan pemerintah telah dilaksanakan dalam bentuk KerjaSama Pengelolaan Irigasi
(KSPI).
Pada DI Cihea terdapat Bendung Cisokan yang merupakan bendungan peninggalan jaman Belanda
(telah ada sejak tahun 1880) mengalami beberapa kali renofasi dan perbaikan-perbaikan sampai
tahun 1890, sejak itu menjadi bending permanen, kemudian mendapat biaya rehabilitasi oleh PIJB
pada tahun 1988 termasuk program tersierisasi ada tahun 1998/1999.
Lokasi daerah studi di Daerah Irigasi (DI) Cihea, Desa Cibarengkok Kecamatan Bojong Picung
Kabupaten Cianjur. Daerah Irigai (DI) Cihea terletak di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan
Ciranjang, Kecamatan Bojong picung dan Kecamatan Haur Wangi.
Gambar 1 Peta Lokasi Kajian Daerah Irigasi Cihea
3. Kajian Pustaka dan Landasan Teori
Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagascar antara tahun 1983 sampai
1984 oleh biarawan Yeswit asal Perancis bernama FR. Henri de laulani, S.J. Oleh penemuannya,
metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Perancis dinamakan Le Systme de Rizi kultur intensif
disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris dengan nama Sistem Of Rice Intensification disingkat
SRI.Kemudian pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian,
Cornell International Institut for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai
bekerjasama dengan Tefy Sains untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafama National Park
di Madagaskar Timur yang didukung oleh US Agency for International Development.
Model SRI juga telah diuji di berbagai Negara di Kawasan Asia, termasuk Asia Selatan seperti
India, Bangladesh dan Srilangka, disamping di Kawasan Asia Tenggara seperti Filipina dan
Vietnam serta di Cina Daratan dengan hasil yang positif. (Berkelaar, 2001; Wardana et al., 2005).
Pada tahun 1999, kerjasama Nanjing Agricultural University di China dan AARD (Agency for
Agriculture Research and Development) di Indonesia melakukan percobaan pertama di luar
Madagaskar. SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director Of
Ornell International Institut For Food, Agriculture And Development). Pada tahun 1997 Uphoff
mengadakan presentasi di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan diluar
Madagascar.
Sampai dengan tahun 2006, SRI telah berkembang di 36 negara yaitu : Indonesia, Kamboja, Laos,
Myanmar, Philipina, Thailand, Vietnam, Banglades, Cina, India, Nepal, Srilangka, Gandia,
3
Madagascar, Mozambique, Sierra Leone, Ghana, Beinin, Darbados, Brazil, Kuba, Guyana, Peru,
Amerika Serikat, Afganistan, Irak, Iran, Pakistan, Burkina Faso, Etiopia, Guinea, Mali, Zambia,
Kolombia dan Republik Dominika, Haipi.
Di Indonesia sendiri, uji coba pola/teknik SRI pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2
ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Uphoff, 2002;
Sato, 2007). SRI juga telah diterapkan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) (Wardana et al., 2005).
Selanjutnya, SRI juga telah berkembang di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan bahkan
rencana pengembangan di Irian (Papua). Sementara itu di Jawa Barat pola pendekatan SRI
pertama kali dikaji di Kelompok Studi Petani (KSP) Tirta Bumi di Desa Budi Asih Kecamatan
Cikoneng, Kabupaten Ciamis pada tahun 2001, dengan memadukan praktek pemahaman
Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) (Kuswara, 2003).
4. Pembahasan
4.1. Persiapan Lahan dan Persiapan Benih
1. Persiapan Lahan
Persiapan lahan harus dilakukan dengan baik agar tanaman dapat tumbuh yang baik dan
berproduksi tinggi. Pengolahan Lahan biasanya terdiri dari proses membersihkan saluran air dan
sawah dari jerami dan rumput liar, kemudian memperbaiki pematang.
2. Penyiapan benih
Dianjurkan menggunakan benih yang bermutu, yaitu yang telah bersertifikat dan berdaya tumbuh
di atas 80%. Kebutuhan benih untuk metode Konvensional biasanya satu hektar lahan kurang lebih
25 - 30 kg. Sedangkan untuk Metode SRI biasanya hanya membutuhkan benih sekitar 5 – 7 kg
untuk satu hektar lahan.Benih yang baik memiliki banyak cadangan bahan makanan serta akan
tumbuh lebih cepat dan seragam. Adapun syarat-syarat benih bagus sebagai berikut :
a. Benih benar-benar tua dan kering.
b. Butir harus bernas (tidak kopong).
c. Murni, tidak tercampur dengan jenis lain.
d. Benih bebas dari hama dan penyakit.
4.2. Pengolahan Tanah
1. Karakteristik Tanah
Umumnya tanah diartikan sebagai media tumbuh yang mendukung pertumbuhan tanaman,
sesudahnya bahan mineral dan organik akan ditransformasikan ke lingkungan sekitarnya dan
diserap oleh air, udara dan mikroorganisme (gambar). Terbentuknya tanah sangat lambat rata-rata
perlu 100 sampai 400 tahun untuk membentuk lapisan top soil setebal 1 cm.
Air
Temperatur/panas
Batu Karang
Tanah Subur
Tanaman
Mikro organisme
Gambar 2 Proses terbentuknya tanah dari batu karang
4
Komponen-komponen tanah umumnya:
a. Mineral anorganik dan pasir, lumpur dan partikel lempung
b. Serpihan-serpihan sisa tanaman dan bahan rombakan dari bahan organik yang berasal dari
proses penguraian tanah oleh biota (makhluk hidup)
c. Organisme hidup seperti: ulat tanah, serangga, bakteri, jamur, alga, nematoda, dll
d. Bahan gas meliputi O2, Co2, N2, Nox dan CH4
Tahapan proses perpindahan molekul/ion secara kontinyu diantara bahan padat, cair dan gas
dihantarkan melalui proses fisika, kimiawi dan bilogi dalam tanah. Komponen anorganik dari
tanah berperan dalam pengikatan kation melalui perubahan ionisasi, komponen organik non polar
(tidak mengandung energi) dan anion melalui reaksi penyerapan.
Bahan organik tanah merupakan sumber utama unsur C, N, P dan S. Rata-rata siklus dan
ketersediaan komponen-komponen ini dirubah oleh organisme tanah yang diambil sebagai sumber
makanan dan energi. Oleh karena itu, secara luas tanah merupakan sumber kehidupan yang
dinamis yang berkualitas sehat dan dalam menyokong pertanian yang berkelanjutan.
2. Proses Pembentukan Tanah
Dalam faktor pembentukan tanah dibedakan menjadi dua golongan yaitu, faktor pembentukan
tanah secara pasif dan aktif. Faktor pembentukan tanah secara pasif adalah bagian-bagian yang
menjadi sumber massa dan keadaan yang mempengaruhi massa yang meliputi bahan induk,
tofografi dan waktu atau umur. Sedangkan faktor pembentukan tanah secara aktif ialah faktor yang
menghasilkan energi yang bekerja pada massa tanah, yaitu iklim, (hidrofer dan atmosfer) dan
makhkluk hidup (biosfer). Adapun pembentukan tanah di pengaruhi oleh lima faktor yang
bekerjasama dalam berbagai proses, baik reaksi fisik (disintregrasi) maupun kimia (dekomposisi).
Semula dianggap sebagai faktor pembentukan tanah hanyalah bahan induk, iklim, dan makhluk
hidup. Setelah diketahui bahwa tanah berkembang terus, maka faktornya ditambah dengan waktu.
Tofografi (relief) yang mempengaruhi tata air dalam tanah dan erosi tanah juga merupakan faktor
pembentukan tanah.
3. Pengantar Sifat Fisik Tanah
Tanah merupakan sistem tiga fase yaitu padat, cair dan gas. Fase padat terdiri dari bahan organik
dan bahan anorganik atau mineral tanah, meliputi pasir debu dan liat. Komposisi dan interaksi fase
tanah serta kestabilan interaksi tersebut menyebabkan beberapa kondisi atau sifat fisik tanah.
Beberapa sifat fisik tanah antara lain: kepadatan tanah, konsistensi kematangan tanah, kedalaman
efektif, kadar air tanah, infiltrasi, ketahanan penetrasi, daya menahan air aerasi serta tekstur dan
struktur tanah yang merupakan sifat fisik utama tanah.
Tekstur tanah merupakan komposisi pasir, debu dan liat yang membentuk susunan atau geometri
tanah yang lebih besar (sekunder) disebut struktur. Kedua sifat fisik tanah ini yang mempengaruhi
sifat fisik lain termasuk kandungan dari bahan organik tanah. Peranan bahan organic untuk
memperbaiki sifat fisik tanah sangatlah besar. Sifat fisik tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan
organic tanah selain struktur tanah dan kapasitas menahan air aerasi, infiltrasi dan drainase tanah.
Sedangkan sifat fisik tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas tanah dan
kesuburan tanah. Tekstur tanah berubah dari waktu ke waktu tergantung masukan atau perubahan
pastikel tanah melalui pelapukan batuan tanah, erosi maupun sisa hasil dekomposisi bahan organic
(humus). Sedangkan struktur tanah dipengaruhi oleh pengelolaan oleh petani. Kedua sifat fisik
tanah tersebut akan berpengaruh terhadap kapasitas kemampuan tanah dalam menahan air serta
sifat-sifat lainnya.
4. Pengolahan Tanah
Proses pengolahan pada padi sawah ini biasanya diawali dengan mengalirkan air ke dalamnya.
Setelah beberapa hari tanah sawah dikeringkan. Setelah itu, proses selanjutnya adalah tanah
tersebut dibalik. Proses pembalikan tanah itu bisa dengan banyak cara, salah satunya dengan hand
traktor.Bila menggunakan handtraktor, proses membalik tanah ini bisanya seperti spiral, memutar
5
dengan menyempit. Oleh sebab itu biasanya, tanah padi sawah perlu dipacul kembali pada bagianbagian sudutnya atau pinggirnya.
Setelah Bajak sawah untuk membalik tanah dan memasukkan bahan organik yang ada di
permukaan. Pembajakan pertama dilakukan pada awal musim tanam dan dibiarkan 2-3 hari setelah
itu dilakukan pembajakan ke dua yang disusul oleh pembajakan ketiga 3-5 hari menjelang tanam.
Kemudian ratakan permukaan tanah sawah, dan hancurkan gumpalan tanah dengan cara
menggaru. Permukaan tanah yang rata dapat dibuktikan dengan melihat permukaan air di dalam
petak sawah yang merata. Lereng yang curam dibuat teras memanjang dengan petak-petak yang
dibatasi oleh pematang agar permukaan tanah merata.
Sebenarnya proses pengolahan tanah untuk metode Konvensional dan metode SRI sama. Yang
membedakan untuk metode sri, Setelah proses di atas selesai, sebaiknya ditambahkan pupuk
kandang. Kebutuhan pupuk kandang minimal 1-2 ton pe hektar. Lebih baik lagi diberikan jerami
padi yang telah dikompos. Atau bisa juga dimasukan sekam padi hasil atau gabah. Semakin
banyak semakin baik. Selanjutnya tanah kembali diratakan, agar proses percampuran lapisan tanah
dan bahan organik atau sekam ini dapat terurai dengan baik. Biarkanlah proses ini berlangsung
selama 15-20 hari. Setelah 15-20 hari setelah proses percampuran tersebut, lahan sawah yang telah
di balik dan dicampurkan diproses kembali.
4.3. Persemaian
Selama menunggu proses penguraian lahan sawah selesai, sebaiknya kita membuat tempat
persemaian. Rekomendasi tempat persemaian yang baik adalah 3-5 % dari luas lahan yang akan
kita tanam. Kalau lahan 1 hektar maka tempat persemaian yang akan di buat minimal kurang lebih
300 - 500 m2. Untuk Metode Konvensional biasanya di buat tempat persemaian sekitar 3 tempat
(di sudut sudut lahan masing masing sekitar kurang lebih 300 - 500 m2). Sedangkan untuk metode
SRI dibutuhkan hanya 1 tempat persemaian saja ( di sudut lahan sekitar 300 - 500 m2).
Bila benih yang kita hasilkan sudah sehat, maka akan bertambah subur bila tanah sawah yang kita
akan tanami bibit-bibit tersebut juga tanah sehat. Perbedaan umur bibit antara yang Metode
Konvensional dan Metode SRI adalah kalau yang Metode Konvensional bibit yang di tanam
berumur sekitar 25 – 30 hari. Sedangkan yang Metode SRI bibit yang di tanam adalah bibit umur
pendek yaitu sekitar umur 7 – 15 hari.
Sebelum persemaian dilakukan terlebih dahulu melakukan seleksi benih bernas dengan larutan air
garam yang pekat. Kepekatan larutan air garam indikatornya adalah dengan memasukkan telur
mentah, bila telur masih tenggelam ditambah lagi garam, dengan memasukkan telur mentah, bila
telur masih tenggelam ditambah lagi garam, sampai telur mengambang. Gabah yang dipilih
dimasukkan ke dalam larutan air garam, gabah yang yang tenggelam dipakai untuk benih,
sedangkan gabah yang terapung dibuang.
Benih Padi
Telur Mentah
Larutan Air Garam
Benih yang tenggelam untuk
disemai
Gambar 3 Cara Seleksi Benih
6
Sebelum melakukan persemaian, benih yang akan digunakan perlu dipersiapkan dengan baik
untuk mendapatkan benih beras dan berkualitas. Benih yang diperoleh lalu dicuci dengan air
bersih untuk menghilangkan sisa-sisa air garam. Benih yang sudah bersih di rendam selama 24 jam
dan kemudian diperam menggunakan kain basah selama dua hari hingga muncul tunas.
Penyemaian dilakukan di dalam baskom besar yang dilapisi dengan daun pisang. Media semai
adalah campuran tanah dan kompos yang sudah dihaluskan dengan komposisi satu berbanding
satu. Benih yang sudah dipersiapkan disebar secara merata kemudian disirami dengan sedikit air
agar persemaian tetap lembab.
Pemindahan bibit dari persemaian ke sawah dilakukan setelah bibit berumur 7-15 hari. Penanaman
dilakukan dengan cara bibit ditanam satu bibit per lubang dengan penanaman sangat dangkal
antara 0,5 sampai 1 cm dan posisi akar bibit sejajar dengan permukaan tanah.
Persemaian
25-30 hari
Persemaian
± 300-500m2
± 300-500m2
LAHAN SAWAH 1 Ha
± 300-500m2
Persemaian
Gambar 4 Persemaian Metode Konvensional
Persemaian
7-15 hari
± 300-500m2
LAHAN SAWAH 1 Ha
Gambar 5 Persemaian Metode SRI
4.4. Alat dan Tenaga Kerja (Rumah Tangga Pertanian)
Tenaga kerja pertanian adalah salah satu faktor produksi yang utama dalam suatu proses produksi.
Kegiatan proses produksi yang bersifat musiman, selalu dicirikan dengan fluktuasi tenaga kerja,
dimana pada saat kegiatan tertentu dapat terjadi peak labor (Makhijani, 1975 dalam Rusdi, 2000).
Moens (1975) dalam Yunus (1988) mengatakan bahwa manusia sebagai sumber tenaga pertanian
kapasitasnya terbagi dalam tiga kategori yaitu, kapasitas mental yaitu kemampuannya untuk
7
mengolah informasi menjadi keputusan; kapasitas prospektif yaitu kemampuannya mengumpulkan
informasi; kapasitas fisik : tenaga fisik dan ketahanan fisik untuk melaksanakan tugas-tugas fisik.
Menurut Alihamsyah et.al, (1994), secara umum pola penggunaan Alat dan mesin pertanian
(alsintan) terbagi atas petani pemilik dan petani penyewa. Umumnya, karena kemampuan petani
sangat terbatas dalam modal dan pengetahuan tentang pengelolaan alat dan mesin pertanian serta
prasarana penunjang lainnya maka sistem penyewaan menjadi suatu alternatif dilahan. Petani
hanya menyewa alat dan mesinpertanian sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Agar
pengembangan alat dan mesin pertanian dapat berkembang baik, beberapa aspek penting yang
perlu dipertimbangkan antara lain :
1. Jenis alat dan mesin pertanian dan keragamannya.
2. Kelembagaan dan prasarana penunjang
3. Kendala dan alternatif penunjangnya
Biasanya untuk metode konvensional pada luas lahan 1 hektare dibutuhkan sekitar 160 TKP
(tenaga kerja petani). Keluarga rumah tangga (RT) petani biasanya di asumsikan sebagai anggota
rumah tangga pertanian, yang terdiri dari suami, istri dan 2-3 orang anak.
Suami
= 1 TKP
Istri
= ½ TKP
2-3 Anak = 1 TKP
2 ½ TKP / RT Pertanian
Pada metode SRI biasanya memang dibutuhkan tenaga kerja petani lebih banyak, tetapi hanya
pada MT 1 dan MT 2 pertama saja, selanjutnya membutukan TKP yang sama dengan
konvensional bahkan bisa lebih sedikit.
4.5. Pola Tanam
Perbedaan antara Pola Tanam pada Metode Konvensional dan Pada Metode SRI itu terdapat pada
jarak tanam dan cara menanam bibit padi. Pada Metode Konvensional, biasanya jarak tanam yang
umumnya dipakai yaitu 20 cm x 20 cm, dan menanam beberapa bibit padi dalam satu lubang
dengan posisi taman yang dalam.
Sedangkan pada Metode SRI, biasanya jarak tanam sekitar 40 cm x 40 cm, dan menanam hanya
satu bibit padi dalam satu lubang dengan posisi tanam dangkal. Pola tanam padi model SRI adalah
cara bertanam padi kembali ke alam. Artinya, petani tidak lagi menggunakan pupuk kimia, tapi
memanfaatkan jerami, limbah geraji, sekam, pohon pisang, pupuk kandang yang diolah untuk
pupuk tanahnya.
Adapun pola tanam yaitu padi – padi – palawija, sebagai berikut:
Gambar 6 Skema Pola Tanam Padi-Padi-Palawija dengan Waktu Penyiapan Lahan 1 bulan
Pola tanam padi metode SRI, pada prakteknya memiliki banyak perbedaan dengan sistem tanam
Konvensional seperti terlihat pada tabel berikut ini:
8
Tabel 1 Perbedaan sistem tanam padi Organik SRI dengan sistem Konvensional
No.
1.
2.
3.
4.
Komponen
Kebutuhan benih
Pengujian benih
Umur di persemaian
Pengolahan tanah
Konvensional
30-40 kg/ha
Tidak dilakukan
20-30 HSS
2-3 kali (struktur lumpur)
5.
6.
7.
8.
Jumlah tanaman perlubang
Kebutuhan Air Irigasi
Posisi akar waktu tanam
Pengairan
rata-rata 5 pohon/lubang
0,61 liter/detik
Tidak teratur
Terus digenangi
9.
Pemupukan
10.
Penyiangan
Mengutamakan pupuk
kimia
Diarahkan kepada
pemberantasan gulma
50-60%
11.
Rendemen
Keterangan: HSS = hari setelah semai
40 cm
SRI
5-7 kg/ha
Dilakukan pengujuan
7-10 HSS
4 kali (struktur lumpur dan
rata)
1 pohon/lubang
0,42 liter/detik
Posisi akar horizontal (L)
Disesuaikan dengan
kebutuhan
Hanya dengan pupuk
organik
Diarahkan kepada
pengelolaan perakaran
60-70%
20 cm
20 cm
40 cm
Gambar 7
Jarak Tanam Metode SRI
Gambar 8
Jarak Tanam Metode Konvensional
4.6. Saprodi (Sarana dan Produksi)
Secara umum penerapan pola SRI lebih ditekankan pada pola penghematan dalam penggunaan air.
Namun demikian penerapan pola SRI juga bertahap telah mendorong pada substansi penggunaan
input produksi usaha tani, seperti penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang sebelumnya
dipergunakan oleh sebagaian besar petani padi. Pemahaman usaha tani pada SRI sebagai padi
organic dengan tidak mempergunakan pupuk anorganik, selain produksinya lebih bebas residu
kimia bagi kesehatan tubuh manusia, juga secara langsung mendukung penyehatan tanah dan
lingkungan.Hal tersebut menjadi dasar dilaksanakannya SRI.
Model SRI mampu menghemat saprodi berupa benih, pupuk dan insektisida. Namun demikian,
model SRI lebih boros dalam penggunaan kompos. Kalau biaya kompos diperhitungkan maka
usahatani padi model SRI akan menghasilkan sedikit keuntungan. Kurangnya ketersediaan pupuk
kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI, karena petani tidak mampu memproduksi
kompos untuk keseluruhan lahannya.Oleh karena itu, petani hanya mampu menerapkan SRI pada
30-50 persen lahannya.
Paket teknologi yang diterapkan dalam usahatani SRI secara nyata telah menyebabkan terjadinya
perubahan penggunaan input. Selain itu juga terjadi penghematan benih. Jika pada cara
konvensional kebutuhan benih mencapai 25-30 kg per hektar, dalam pola SRI hanya sekitar 5-7 kg
per hektar.
Model SRI tidak merekomendasikan penggunaan pupuk kimia. Tanpa penggunaan pupuk kimia,
secara signifikan mengurangi biaya tunai petani meskipun dikompensasi dengan pencurahan
tenaga lebih besar dalam pembuatan kompos.
Efisiensi penggunaan input yang signifikan adalah penggunaan air irigasi. Dengan kebutuhan
pengairan yang hanya macak-macak saja, kebutuhan jumlah air per hektar mengalami penurunan
sangat drastis.Hal ini membawa dampak pada kemampuan air irigasi dalam mengairi sawah,
9
terutama pada musim kemarau jika pola SRI diterapkan dalam skala luas.Namun kondisi saat ini
belum dapat dirasakan karena penerapan SRI masih terbatas dan terpencar-pencar sehingga belum
berdampak pada kemampuan luas pengairan air irigasi.
4.7. Pertumbuhan Padi
SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan
tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara
tradisional.Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha,
petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani
memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha.Sedangkan, di daerah lain
selama 5 tahun, ratusan petani memanen 8-9 ton/ha.
Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode varietas padi lain
yang pernah ditanam. Petani tidak harus menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI.
Metode ini juga bisa diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani.Hanya saja,
diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen.
Dalam SRI, tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan
diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi
dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan mereka.
Penerapan metode SRI pada dasarnya tidak telalu berbeda dengan teknik budidaya padi sawah
umumnya. Perbedaan mendasar terletak dari sisi penggunaan air pada petakan sawah dan jumlah
bibit yang ditanam. Meskipun menggunakan pupuk dan pestisida organik, tetapi hal ini bukan
merupakan karakteristik mutlak yang membedakan metode SRI dengan metode lainnya, karena
pada usahatani padi sawah konvensional, umumnya akan lebih baik juga menggunakan pupuk dan
pestisida organik.
Pengolahan tanah dilakukan sama seperti pada pengolahan tanah untuk padi sawah umumnya,
akan tetapi bedanya dengan konvensional adalah pada pembuatan parit kecil sekeliling dalam dari
petak sawah dan melintang di tengah sawah. Parit ini fungsinya untuk pengendalian air (drainase)
dalam petak sawah. Lebar parit 20 cm dengan kedalam minimal 30cm. Petak sawah diari 2 hari
sekali hanya hingga macak-macak dengan tujuan agar mikroba memperoleh udara (oksigen) yang
cukup untuk berfungsi secara maksimal.
Untuk pembuatan pupuk trichokompos bahan yang digunakan adalah jerami padi, kotoran hewan
sapi dan sekam padi kering, serta ditambahkan dengan MOL (Mikro Organisme Lokal) yaitu
trichoderma. Jerami yang sudah dicacah di lapisi dengan kotoran hewan yang telah dicampurkan
trichoderma dan sekam padi kering, pelapisan jerami dan kotoran hewan dibuat sebanyak 5
lapisan. Untuk 1 ha lahan sawah digunakan 1.500 kg trichokompos dengan komposisi bahan 4 liter
trichoderma, 1 ton kotoran hewan, 30 kubik jerami, 500 kg sekam padi kering serta 15 liter air.
Bahan yang sudah tercampur kemudian difermentasi selama dua minggu
Sedangkan bahan baku untuk pembuatan pestisida nabati adalah labu, bawang putih, tembakau dan
serai. Untuk satu ha lahan sawah pestisida yang digunakan sebanyak 20 tangki dengan ukuran 16
liter, pestisida yang digunakan untuk 1 tangki adalah 250 ml yang dicampur dengan air biasa.
Proses pembuatan pesisida nabati diawali dengan merebus semua bahan baku yang telah
dibersihkan dan dihancurkan atau diparut kemudian air rebusan tersebut diendapkan selama 1
minggu, air rebusan yang telah diendap tersebut dicampurkan dengan air biasa untuk disemprotkan
pada tanaman padi sawah.
Teknik budidaya lainnya seperti pemberian pupuk, permeliharaan tanaman seperti
penyisipan/penyulaman tanaman, pemberantasan hama dan penyakit dan penyiangan tanaman dari
gulma serta panen dan penanganan pasca panen tidak terlalu berbeda dengan teknik budidaya padi
konvensional.
10
Perbedaan pada pengairan tanaman terletak pada pemberian air yang sangat sedikit pada metode
SRI karena prinsip yang digunakan adalah pemberian air dilakukan secara intermitten atau
terputus-putus dengan tetap mempertahan kondisi lahan dalam keadaan macak-macak atau dengan
tinggi air maksimal sekitar 2 cm.
Tabel 2 Perbandingan rata-rata hasil pertumbuhan padi
Parameter
Metode Konvesional
Metode SRI
Jumlah Anak
26
41
Jumlah bulir/malai
120
139
Jumlah bulir/rumpun
3161 biji
5658 biji
Jumlah bulir hampa/malai
7 biji
2 biji
Panjang malai
21 cm
24 cm
Tinggi tanaman
95 cm
103 cm
Harga beras mulai dari
Rp. 4,000 (Non SRI)
Rp. 7,000 (SRI organik)
Sumber: Diambil dari survey rata-rata hasil produksi Poktan Warga Waluya Desa Cibarengkok
Kec. Bojong Picung
Persemaian
Tanam
Tunas
Tumbuh
Beranak
Berbunga
Berbuah
Tua
Panen
7 - 15
hari
5 hari
10 hari
45 hari
20 hari
20 hari
15 hari
= 115 hari
Gambar 9 Pertumbuhan Padi Metode SRI
Persemaian
23 - 30
hari
Tanam
10 hari
Tunas
Tumbuh
5 hari
Beranak
45 hari
Berbunga
20 hari
Berbuah
20 hari
Gambar 10 Pertumbuhan Padi Metode Konvensional
Gambar 11 Padi SRI
11
Tua
15 hari
Panen
= 115 hari
Gambar 12 Fase/Stadia Vegetatif
Gambar 13
Fase Pertumbuhan Tanaman Padi
4.8. Biaya / Usaha Tani
1. Analisis Biaya Produksi
Biaya produksi dalam penelitian ini meliputi biaya benih, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja
yang terdiri dari pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Besarnya biaya
yang dikeluarkan oleh petani usahatani padi sawah dengan metode SRI dan metode konvensional
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3 Uraian biaya usaha tani cara metode SRI dan konvensional dalam 1 ha
No.
1
2.
Uraian
SRI
Konvensional
Benih (± Rp 5.000,- / Kg)
25.000
250.000
Pupuk
a. Organik (jeramik+ 3 ton kompos)
1.200.000
b. An-organik Urea, SP36,KC1.(2:1:1)
750.000
3.
Pengendalian OPT dengan
a. Pestisida kimia
500.000
b. Biopestisida
150.000
4.
Pengolahan Tanah
1.000.000
1.000.000
5.
Pembuatan persemaian
35.000
105.000
6.
Pencabutan benih (babut)
100.000
7.
Penanaman
500.000
350.000
8.
Penyulaman
50.000
20.000
9.
Penyiangan
1.050.000
750.000
Jumlah
4.160.000
3.825.000
Sumber: Diambil dari survey rata-rata hasil produksi Poktan Warga Waluya Desa Cibarengkok
Kec. Bojong Picung
2. Analisis Penerimaan Usahatani Padi
Produksi yang dihasilkan dalam usahatani yaitu berupa gabah kering panen (GKP). Produksi padi
yang dihasilkan dengan menggunakan metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional. Dari data yang di dapat untuk DI Cihea yaitu di desa Cibarengkok Kec. Bojong
Picung, dilihat dari hasil rata-rata produksi musim tanam di dapat hasil produksi untuk metode SRI
sebesar 7,74 ton/ha atau sekitar 7.740 kg GKP/ha, sedangkan untuk metode konvensional sebesar
5,21 ton/ha atau sekitar 5.210 kg GKP/ha. Tingkat produksi padi sawah yang cukup tinggi pada
metode SRI disebabkan oleh jenis bibit yang digunakan yaitu varietas Micongga. Jenis varietas ini
telah diuji coba dan dibandingkan dengan varietas-varietas lain mampu memberikan produksi yang
cukup tinggi dan tahan terhadap serangan hama penyakit.
Tingginya tingkat produksi padi sawah dengan menggunakan metode SRI juga disebabkan oleh
jumlah anakan padi lebih banyak. Jumlah anakan pada metode SRI berkisar 30-60 anakan/rumpun
12
sedangkan pola konvensional berkisar 25-30 anakan/rumpun. Dengan anakan yang cukup banyak,
menyebabkan anakan produktif yang terbentuk juga cukup tinggi sehingga sangat memungkinkan
hasil gabah lebih tinggi.
Tingginya tingkat produksi yang dihasilkan akan berpengaruh terhadap besarnya penerimaan yang
diperoleh petani. Para petani di daerah penelitian menjual langsung gabah yang dihasilkan dalam
bentuk GKP kepada koperasi ataupun penampung dengan harga Rp. 2.300 per kg. Berdasarkan
data tingkat produksi yang diperoleh dan tingkat harga jual maka penerimaan yang diperoleh dari
usahatani padi sawah dengan menggunakan metode SRI adalah sebesar Rp. 12.277.800,- per
hektar per musim tanam, sedangkan penerimaan usahatani padi sawah dengan metode
konvensional hanya sebesar Rp. 7.342.200,- per hektar per musim tanam. Dengan demikian,
analisis usaha tani disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4 Analisis Usaha Tani
Uraian
1.
Harga
Rp./Satuan
-
Biaya Saprodi (benih,
pupuk, pestisida)
2. Biaya tenaga
kerja/mesin
Total biaya
Produksi (kg GKP)
Pendapatan kotor
Biaya Panen (10%)
Pendapatan bersih
R/C
Sumber: Hasil analisis tahun 2012
Metode SRI
Volume
Nilai (Rp)
1.375.000
Metode Konvensional
Volume
Nilai (Rp)
1.500.000
-
-
2.785.000
-
2.325.000
2.300
-
7740
-
4.160.000
17.802.000
13.642.000
1.364.200
12.277.800
2,95
5210
-
3.825.000
11.983.000
8.158.000
815.800
7.342.200
2,13
4.9. Hasil Produksi
Berdasarkan hasil analisis usahatani yang disajikan pada uraian terdahulu, diperoleh kenyataan
bahwa penerapan metode SRI pada usahatani padi memberikan manfaat ekonomi yang
menguntungkan. Paling tidak ada dua aspek manfaat ekonomi yang diperoleh yaitu (1)
peningkatan produksi usahatani per hektar per musim tanam, dan (2) penggunaan tenaga kerja.
Melalui teknologi yang digunakan pada budidaya padi organik metode SRI diperoleh hasil yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem konvensional. Peningkatan produksi/produktivitas
pada umumnya terjadi karena jumlah anakan padi lebih banyak. Melalui paket teknologi yang
digunakan pada dasarnya memungkinkan terbentuknya anakan yang lebih banyak daripada sistem
konvensional. Jumlah anakan pada metode SRI berkisar 30-60 anakan/rumpun sedangkan pola
konvensional berkisar 25-30 anakan/rumpun. Dengan anakan yang cukup banyak, menyebabkan
anakan produktif yang terbentuk juga cukup tinggi sehingga sangat memungkinkan hasil gabah
lebih tinggi.
Hampir semua jenis padi yang ditanam memberikan peningkatan produksi terutama bagi petani
yang telah melakukan pola SRI lebih dari dua kali tanam. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
data bahwa hasil padi yang diperoleh dengan metode SRI rata-rata berkisar 7-8 ton/ha pada MT 1
dan 10-11 ton/ha pada MT2, sementara bila diusahakan secara konvensional diperoleh hasil gabah
rata-rata antara 4-5 ton/ha.
Sebenarnya metode SRI di DI Cihea Kabupaten Cianjur sudah lama ada, mungkin sekitar tahun
2002 – 2006 sudah mulai dilaksanakan, akan tetapi pelaksanaanya hanya selintas saja, dikarenakan
masyarakat yang masih sulit menerima hal baru dan kurangnya kesadaran akan kesehatan dan
bahaya dari racun/pupuk kimia. Tetapi mulai tahun 2007, metode SRI mulai benar-benar
dijalankan dan mulai berkembang khususnya di daerah Desa Cibarengkok, Kec.Bojong Picung
metode SRI ini dijalankan dan diamati perkembangannya oleh Poktan Warga Waluya. Adapun
data-data hasil yang diperoleh antara lain sebagai berikut:
13
Tabel 5 Data Hasil Produksi Panen Padi Metode SRI Di Desa Cibarengkok
Kec. Bojong Picung
MT (MUSIM TANAM)
HASIL
I. (12-12-2009 s/d 20-07-2010)
4,3 ton/ha
II. (28-04-2010 s/d 15-08-2010)
5,2 ton/ha
III. (28-09-2010 s/d 03-01-2011)
6,8 ton/ha
IV. (01-02-2011 s/d 15-05-2011)
7,9 ton/ha
V. (10-06-2011 s/d 15-09-2011)
10,95 ton/ha
VI. (20-10-2011 s/d 05-02 2012)
11,3 ton/ha
Jumlah hasil rata-rata
7,74 ton/ha
Sumber: Kelompok Tani Warga Waluya Desa Cibarengkok Kec. Bojong Picung
12
10
8
6
4
2
0
I. (12-12- II. (28-04- III. (28-09- IV. (01-02- V. (10-06- VI. (20-102009 s/d 20- 2010 s/d 15- 2010 s/d 03- 2011 s/d 15- 2011 s/d 15- 2011 s/d 0507-2010)
08-2010)
01-2011)
05-2011)
09-2011)
02 2012)
Gambar 14 Grafik Hasil Produksi Panen Padi Metode SRI Di Desa Cibarengkok
Kec. Bojong Picung
Tabel 6 Data Hasil Produksi Panen Padi Metode Konvensional Di
Desa Cibarengkok Kec. Bojong Picung
MT (MUSIM TANAM)
HASIL
I. (12-12-2009 s/d 20-07-2010)
4,5 ton/ha
II. (28-04-2010 s/d 15-08-2010)
5,01 ton/ha
III. (28-09-2010 s/d 03-01-2011)
4,82 ton/ha
IV. (01-02-2011 s/d 15-05-2011)
5,91 ton/ha
V. (10-06-2011 s/d 15-09-2011)
5,8 ton/ha
VI. (20-10-2011 s/d 05-02 2012)
5,22 ton/ha
Jumlah hasil rata-rata
5,21 ton/ha
Sumber: Kelompok Tani Warga Waluya Desa Cibarengkok Kec. Bojong Picung
7
6
5
4
3
2
1
0
I. (12-12- II. (28-04- III. (28-09- IV. (01-02- V. (10-06- VI. (20-102009 s/d 20- 2010 s/d 15- 2010 s/d 03- 2011 s/d 15- 2011 s/d 15- 2011 s/d 0507-2010)
08-2010)
01-2011)
05-2011)
09-2011)
02 2012)
Gambar 15 Grafik Hasil Produksi Panen Padi Metode Konvensional Di Desa Cibarengkok
Kec. Bojong Picung
14
5. Kesimpulan
Budidaya padi model SRI di lokasi kajian mampu meningkatkan hasil dibanding budidaya model
konvensional. Peningkatan hasil padi berkisar antara 40%. Peningkatan hasil hanya dialami oleh
petani yang telah melakukan kegiatan SRI lebih dari dua musim, tetapi bagi petani pemula
umumnya mengalami penurunan hasil dibanding usahatani konvensional.
Dari hasil usaha tani, di dapat R/C pada budidaya metode SRI sebesar 2,95 sedangkan pada
metode konvensional di dapat angka R/C sebesar 2,13. Pada hasil R/C yang didapat dari metode
SRI menunjukan angka lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional dan dari hasil
tersebut, metode SRI sebenarnya layak untuk dikembangkan dikarenakan hasil yang didapat lebih
dari angka 1.
Faktor pendorong dalam percepatan adopsi teknologi SRI oleh petani antara lain: sistem
penyuluhan yang mudah dimengerti petani, frekuensi penyuluhan yang intensif setiap minggu,
lokakarya petani yang dilakukan setiap dua bulan secara bergilir oleh petani sendiri di tiap KSP,
dan orientasi pembelajaran petani yang menekankan perubahan pola fikir dan perilaku yang ramah
lingkungan.
Kendala yang akan dihadapi pada saat pengembangan pola SRI pada skalaluas, terkait dengan
ketersediaan bahan baku kompos untuk pembuatan pupuk organik, kebutuhan terhadap jumlah
tenaga kerja untuk tanam yang sangat terbatas serta penanganan hasil produksi gabah dan pasar
beras organik. Kendala teknis atas penerapan komponen SRI secara umum juga akan dialami pada
kegiatan penanaman padi bibit muda, tanam dangkal dan penanaman sebatang yang menjadi risiko
paling besar dalam pelaksanaan di lapangan, terutama pada saat turun hujan atau lahan tergenang
sehingga harus dilakukan penyulaman serta penambahan biaya tenaga kerja, pada saat terjadinya
serangan OPT.
Bila kegiatan budidaya padi SRI akan dikembangkan menjadi kegiatan usahatani alternatif dalam
skala luas, maka integrasi penyediaan pupuk kandang, kompos serta bahan pembuatan pupuk
organik lainnya menjadi peluang pengembangan di hulu. Kemudian dihilir, pasar beras organik
juga harus dikaji sebagai upaya penyaluran hasil produksi dengan insentif harga yang lebih baik
ditingkat petani.
Pengembangan usahatani padi model SRI secara massal juga harus mempertimbangkan dampak
positif dan negatif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lain secara keseluruhan, mengingat
kegiatan usahatani padi juga sangat terkait dengan berbagai kegiatan pendukung baik secara
langsung maupun tidak langsung. Sehingga diperlukan upaya yang bijak dari semua pihak yang
terkait di dalamnya agar tujuan pencapaian peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama
kegiatan usahatani dapat terwujud.
6. Daftar Pustaka
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum. (2011) : Panduan Pelatihan Metode SRI (System Rice
Intensification).
Hasan Basri, Jumin. (1994) : Dasar-dasar Agronomi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Joelibarison. (1998) : Budidaya Padi Organik (Terjemahan). Akademi Pressindo. Jakarta.
Kuswara. (2003) : Dasar Gagasan dan Praktek Tanam Padi Metode SRI (System Rice
Intensification)-Pertanian Ekologis. Yayasan FIELD Indonesia.
Masdar. (2006) : Respon Pertumbuhan Tanaman Padi terhadap Jarak Tanam dan Umur Bibit
pada Sistem Intensifikasi padi (SRI). Jurnal Akta Agrosia, Fakutas Pertanian-Universitas
Bengkulu. Bengkulu.
15
Ray. K. Linsey, Max. A. Kohler, Joseph. L.H. Dalus. (1992) : Hidrologi untuk Insinyur.
Airlangga.
Sunano. (2011) Joglo Tani, Panduan Budidaya Metode SRI (System Rice Intensification), Sleman.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Wardana, P, I. Juliardi, Sumedi, Iwan Setiajie. (2005) : Kajian Perkembangan System Of Rice
Intensification (SRI) di Indonesia. Kerjasama Yayasan Padi Indonesia dengan Badan
Litbang Pertanian. Jakarta.
16
Download