The Finland Phenomenon. Ya, sistem pendidikan Finlandia memang sering sekali menjadi topik bahasan karena dianggap memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Terlebih bila kita menyoroti tidak adanya tes sebelum lulus SMA, jam tatap muka dan jumlah PR yang sedikit. Sepertinya sangat seru bersekolah atau mengajar di Finlandia. Bisakah kita begitu saja meniru sistem pendidikan seperti di sana "Sometimes doing simple things is the hardest things." Sebenarnya sistem pendidikan di Finlandia menerapkan hal sederhana yang sudah seharusnya dilakukan dan tidak perlu riset yang rumit. Seperti misalnya kejujuran. Pendidikan adalah proses, termasuk proses perjuangan. Kita lihat sistem pesantren zaman dulu. Seorang murid lulus ketika sang guru mengatakan sudah tidak ada ilmu yang bisa dibagi lagi. Lalu murid tersebut pergi dari tempat tersebut mencari guru dengan ilmu lain. Jadi setiap orang, setiap murid, punya masa belajarnya masing-masing. Tidak lalu disamakan seperti saat ini. Contoh lain, dalam ranah sains dan rekayasa (engineering) : kita seharusnya memiliki dan mengimplemetasikan kemampuan melalui beberapa tahap (staging). Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah membuat desain prototip, mencobanya melalui pilot plan, mencoba melakukan dengan skala besar, lalu melakukan evaluasi. Sayang sekali, di sini proses runtun seperti itu jarang dilakukan. Proses berpikir runtun dipotong oleh tekanan ekonomi dan politik. Untuk memperbaiki sistem pendidikan, kita hanya perlu mengembalikan pada sistem yang seharusnya, indigenous system. Itu saja. Keberhasilan pendidikan Finlandia mampu membentuk masyarakat dengan tingkat korupsi rendah. Kejujuran adalah hal yang sangat dijunjung tinggi. Masyarakat Finlandia merasa kehilangan dirinya bila melanggar kejujuran. Semacam kehilangan identitas. Wajarlah bila mereka sangat takut untuk tidak jujur. Selain menjunjung tinggi kejujuran, kunci kesuksesan pendidikan Finlandia lainnya adalah menghargai hak milik pribadi setiap orang. Sejak kecil, masalah kepemilikan ditekankan pada anak-anak Finlandia. Boleh berbagi barang, tetapi harus minta izin dan sangat berhati-hati dengan barang pinjaman. Mereka dibiasakan tidak menyentuh barang orang lain sebelum izin. Bahkan bila menemukan barang di pinggir jalan sekalipun, mereka tidak akan mengambilnya. Demikian pula dengan janji. Walaupun mungkin terdengar "selewat" atau tidak serius, mengiyakan suatu ajakan untuk masyarakat Finlandia adalah janji yang harus ditepati. Ada fenomena bahwa di Indonesia, sains seperti produk, bukan proses. Padahal seharusnya belajar sains adalah proses mengenal fenomena (lingkungan). Peran mahasiswa untuk membantu guru sangat penting. Seperti halnya di Perancis, mahasiswa membantu guru di kelas. Guru terbantu, bila ada kesulitan bisa langsung bertanya pada mahasiswa "magang". Belajar. Beban? Finlandia adalah negara dengan jam belajar yang relatif sedikit. Pekerjaan rumah pun tidak banyak. Untuk tingkat 8, jumlah PRnya hanya 4-5 jam perminggu. Di Indonesia? ada perkiraannya lebih dari 10 jam per minggu. Di Finlandia, anak-anak juga boleh menggunakan kalkulator pada pelajaran matematika. "Untuk hitungannya, kenapa harus susah?". Yang penting adalah anak-anak paham logika dan konsepnya. Coba kita lihat, istilah yang digunakan untuk menggambarkan jumlah jam belajar dalam dokumen pendidikan di Indonesia adalah beban belajar. Jumlahnya pun besar. Ya, mungkin saja pihak yang membuat dokumen-dokumen tersebut tidak sengaja menggunakan istilah belajar menjadi beban, karena bagi dirinya belajar bukalah waktu yang menyenangkan. Guru. Urusan pendidikan sangat lekat dengan urusan guru. Memperbaiki pendidikan seharusnya dimulai dari memperbaiki sistem keguruan. Kalau kita mau berusaha keras, mengangkat jutaan guru lebih masuk akal daripada mengangkat jutaan anak. Perhatian untuk guru harus ditekankan, selain itu perhatian guru terhadap dirinya sendiri. Sistem kedokteran sudah mulai profesional dan lebih jelas. Namun untuk guru, belum ada sistem profesi yang jelas. Sistem yang memakmurkan. Sistem yang membuat guru menjadi profesional dan dihargai. Di Finlandia, guru menjadi profesi terhormat, sebuah kebanggaan dan bisa dekat dengan muridnya. Bukannya tidak demikian di Indonesia, tetapi profesi guru masih dipandang sebelah mata. Seharusnya pekerjaan guru itu bukanlah alat untuk mencari uang. Sayangnya di Indonesia guru terkadang masih menjadi alat untuk meluluskan murid. Seakan-akan kalau sudah lulus, murid bukan tanggung jawab guru lagi. Di sini beban belajar lebih banyak ditujukan pada siswa. Namun, semestinya justru pendidik yang harus terus dibina karena dia yang membentuk karakter dan "memanusiakan" manusia. Menjadi guru di Finlandia cukup menantang. Hanya 10% mahasiswa terbaik yang bisa menjadi guru. Jenjang S1 digunakan untuk mendalami subjek tertentu, lalu jenjang S2 untuk mendalami pendidikan keguruan. Sangat selektif, padat dan intensif, pendidikan 5 tahun sampai master dengan materi teori dan praktek. Bagaimana dengan pendidikan guru Indonesia? Apakah pendidikan guru yang ada sekarang sudah memadai? Apakah Ujian Kompetensi Guru memang bisa digunakan sebagai pemetaan dan menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas guru? Di sini sistem untuk guru seperti 'kagok'. Pintar tidak pintar diperlakukan sama. Pemerintah berpikir harus diangkat semua, tapi tentunya tidak bisa disamakan. Mungkin pendapat Wildan, salah seorang peserta diskusi, benar adanya. Sistem pendidikan guru bisa dibuat seperti pendidikan dokter, ada jenjang pendidikan profesi seperti koas. Pemerintah berkeinginan sistem di Indonesia seperti di Finlandia, yaitu pembelajaran tematik. Namun gurunya tidak disiapkan untuk menjadi fasilitator pembelajaran tematik. Kalau guru diprioritaskan, bukan tidak mungkin guru tidak perlu diawasi terlalu banyak, anak pun tidak perlu dites. Sementara itu, di Indonesia justru ada UN yang malah menjadi penghambat kreativitas di pendidikan. Salah kaprah? Nampaknya banyak salah kaprah dalam penerapan sistem pendidikan di Indonesia. Contohnya, penerapan standar untuk siswa. Standar semestinya dilakukan pada layanan pendidikan: kecakapan guru, kecukupan jumlah sekolah, dan fasilitas. Secara falsafah hal ini sangat keliru! Hasilnya, Indonesia menciptakan satu jenis lulusan, bukan menciptakan manusia. Contoh salah kaprah di sini adalah penerapan disiplin, yang malah sering terbentur aturan-aturan konyol, misalnya penggunaan sepatu. Beberapa sekolah kadang mewajibkan siswa menggunakan sepatu hitam dengan merek tertentu. Bukannya disiplin yang ditegakkan, malahan menciptakan homogenitas (yang tidak beralasan). Atau mungkin Anda tahu salah kaprah lainnya di sistem pendidikan kita? Anda bisa menyebutkannya? "Saya, sebagai ibu di Finlandia, tidak masalah jika anak saya jadi supir bus. Tetapi tidak begitu di Indonesia." Pendidikan di Indonesia terlalu mengutamakan KOMPETISI. Menurutnya kompetisi (di pendidikan) hanya boleh ada untuk diri sendiri. Tidak masuk akal ketika anak dengan kemampuan yang berbeda-beda lalu diberi urutan (ranking). Namun ia paham mengapa orang tua jadi memperhitungkan ranking anaknya. Di Finlandia, semua pekerjaan dihargai. Supir bus atau tukang sapu di jalan masih sangat dihargai dan bisa hidup makmur. Di sini, jarang sekali orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi tukang sapu atau supir bus. Ia bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan anaknya harus ranking supaya bisa dapat sekolah di tempat yang bagus dan mendapat kerja yang bagus. Ya, budaya dan tuntutan orang tua terhadap anak memang banyak berpengaruh terhadap sebuah sistem di luar sistem formal. Lalu kita harus bagaimana? Kalau kebanyakan orang berpendapat kita sebaiknya meniru Finlandia, tidak demikian. Kita justru harus mencari atau meniru apa yang tidak kerjakan di Finlandia. Misalnya untuk sistem penilaian. Penerapan UN adalah kondisi paling tidak ideal. Lihatlah Finlandia yang tidak memiliki sistem penilaian seperti UN. Anak-anak dan guru belajar dan mengajar tidak untuk ujian, tapi untuk kenikmatan. Enjoyment. Semua menikmati proses belajar. Di Indonesia? Tidak hanya "teaching-learning for a test", tapi kita menjalankan "teaching-learning for a bad test". Finland is Finland. Keberhasilan seperti itu diraih karena negaranya sudah maju, atau mereka maju karena pendidikannya seperti itu. Keduanya saling mempengaruhi. Keberhasilan tersebut juga tertolong oleh budaya di rumah. Kita harus sabar dalam berproses, tidak bisa langsung mengadopsi cara Finlandia. Kita harus melihat budaya masyarakat kita juga. Yang terpenting, harus ada "..willingness to do!" Halo para asatidz SD MUDA apa yang ada di benak anda sekarang? Mengadopsi yang lebih baik WHY NOT…? Sumber: http://cinnamome37.blogspot.com/2012/12/finland-phenomenon.html