METODE-METODE DALAM PENELITIAN ILMU SOSIAL 1. Metode Penelitian Sosial (Social Research Method) Mahasiswa selalu dihadapkan pada permasalahan teoritis dan metodologis dalam proses penulisan tugas akhir atau skripsi. Permasalah muncul karena kebingungan menentukan topik skripsi dan teori serta metode yang harus digunakan dalam penelitian mereka. Tidak sedikit dari mahasiswa yang kurang memahami bahwa dua permasalahan tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Pemilihan teori yang akan digunakan sebagai pisau dalam menganalisis sebuah realitas sosial akan selalu memiliki konsekuensi pada pemilihan metode penelitian yang akan digunakan dalam pengumpulan data atau informasi. Misalnya, jika seorang mahasiswa menggunakan teori Peter L. Berger tentang konstruksi realitas sosial maka metode penelitian yang tepat untuk digunakan adalah metode kualitatif atau lebih tepatnya menggunakan metode fenomenologi. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang metode penelitian, mahasiswa harus terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan penelitian sosial (social reseach). Menurut Neuman (Neuman, 2000), penelitian sosial merupakan kumpulan metode-metode yang digunakan oleh peneliti secara sistematis, terstruktur dan terorganisasi untuk menghasilkan pengetahuan tentang dunia sosial (social world) atau realitas sosial. Hal ini berarti, seorang peneliti harus mematuhi aturan dan tahapan yang disyaratkan oleh sebuah metode penelitian. Aturan inilah yang membedakan pengetahuan yang diperoleh seseorang dari common sense, yaitu pengetahuan yang secara bersama-sama dimiliki oleh peneliti dan masyarakat di sekitarnya. Setelah memahami apa yang dimaksud dengan metode penelitian sosial dan perbedaannya dengan pengetahuan common sense, mahasiswa lebih lanjut harus mampu memahami apa yang dimaksud dengan dunia atau realitas sosial. Permasalahan yang sering muncul adalah seorang peneliti mengalami kesulitan untuk membedakan mana yang dimaksud dengan realitas individu dan realitas sosial. Permasalahan ini lebih lanjut akan mengakibatkan kesulitan bagi mahasiswa untuk memilih atau menentukan topik penelitian yang akan dilakukan. Seorang peneliti akan bisa membedakan realitas individu dan realitas sosial melalui apa yang dijelaskan oleh Giddens (2010) dengan imajinasi sosiologis. Giddens menyatakan bahwa masalah individu (personal troubles) dan masalah sosial (public issues) dapat dibedakan dengan beberapa cara. Pertama, masalah individu bisa menjadi masalah sosial bila secara kuantitas jumlah individu yang mengalami masalah tersebut secara kuantitas bertambah. Misalnya, jumlah siswa SD yang mengalami stress meningkat dari 5% menjadi 95% siswa setelah K13 diberlakukan, maka masalah ini bukan lagi realitas psikologis atau individu tetapi sudah berubah menjadi masalah sosial. Siswa SD mengalami stress bukan karena masalah karakter individu atau problem psikologis lainnya, namun karena masalah lingkungan atau struktur di luar individu, dalam hal ini terkait dengan penetapan kurikulum baru. Kedua, masalah individu bisa menjadi public issues bila sebab dan dampak/akibat sebuah masalah terjadi karena faktor struktur atau konteks/lingkungan/masyarakat dimana masalah tersebut terjadi. Masalah teroris menjadi masalah sosial karena tidak lagi terkait dengan bagaimana seorang teroris memaknai jihad, tetapi sebab munculnya terorism karena sistem yang sangat kapitalistik, kemiskinan, kesenjangan dan sebab struktur lainnya. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh seorang peneliti dalam proses menemukan atau menentukan masalah sosial. Termasuk diantara cara tersebut adalah melalui pengalaman, pengamatan, media, diskusi dan yang paling utama dengan cara membaca berbagai literatur seperti buku dan jurnal penelitian (Bryman, 2004). 2. Perbedaan metode atau cara melihat realitas sosial Setelah peneliti mampu melakukan imaginasi sosiologis maka mereka diharapkan mampu menemukan atau menentukan masalah sosial yang akan diteliti. Tahap selanjutnya yang harus dilalui oleh seorang peneliti adalah menentukan bagaimana memandang atau mengkaji realitas sosial yang akan diteliti tersebut. Secara umum, ada dua cara pandang (perspektif/paradigma) yang bisa dipilih seorang peneliti dalam melihat sebuah masalah sosial, yaitu positivis (perspektif marko) dan post-positivis (perspektif mikro/interpretive). Perspektif alternatif lain di luar dua mainstream tersebut adalah perspektif yang mencoba menempatkan atau menggbungkan keduanya dalam satu atap (perspektif messo). 2. 1. Perspektif atau pemikiran positifis yang mendasari metode kuantitatif Perspektif positivis melihat realitas sosial adalah berada di luar individu (external reality. Realitas sosial ini bersifat mengatur dan mempolakan tindakan individu secara terulang (menjadi hukum) yang dapat ditemukan dan diprediksi. Misalnya, kondisi ekonomi seorang individu akan mengatur dan mempolakan bagaimana cara dia berperilaku atau bertindak seperti berpakaian, berpikir, berkomunikasi atau bahkan cara belajar di kampus. Perspektif ini menempatkan seorang individu sebagai human yang pasif yaitu sangat tergantung pada realitas atau struktur sosial (masyarakat, norma, aturan) yang ada di luar dirinya. Cara pandang atau berpikir seperti ini sebenarnya mereplika cara berpikir dalam ilmu-ilmu alam (natural science) yang juga menempatkan nature atau fenomena alam secara lebih dominan dibandingkan obyek (termasuk human) yang hidup di dalamnya. Seorang manusia akan tunduk atau takluk pada fenomena alam yang ada di luar dirinya seperti, bergantinya siang dan malam, pergantian musim, hukum gravitasi dan hukum-hukum alam lainnya. Manusia hanya bisa mengendalikan hukum alam dengan perkembangan teknologi dengan meminimalkan atau memaksimalkan pengaruhnya. Hubungan antara individu-individu dan struktur di luar dirinya dapat digambarkan dalam bagan berikut ini : Bagan 1. Perspektif Positivis Tingkat Pendapatan Orang tua Norma Agama Jenis Peer Group Tingkat Prestasi Mahasiswa 1 Aturan Kampus Tingkat Prestasi Mahasiswa 2 Tingkat Prestasi Mahasiswa 3 Fasilitas Kampus Tingkat Prestasi Mahasiswa 4 Kemampuan Dosen Kurikulum = variabel Y = variabel X (fokus penelitian) = mengontrol, mendominasi, mempolakan tindakan individu/mahasiswa Bagan di atas menunjukkan bagaimana perspektif positivis melihat sebuah realitas sosial. Perspektif ini lebih fokus pada struktur atau realitas sosial yang berada di luar individu yang mendominasi atau mempengaruhi bagaimana individu-individu akan berperilaku atau melakukan tindakan. Seorang peneliti yang memilih perspektif positivis akan disibukkan dengan mencari berbagai faktor atau realitas sosial yang mempengaruhi atau menyebabkan tindakan atau perilaku individu. Perilaku dan tindakan yang nampak inilah yang selanjutnya akan dikaji dalam penelitian yang menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan instrumen penelitian utama yaitu kuesioner. Dalam penelitian kuantitatif, faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan atau perilaku seorang individu ini disebut dengan variabel X atau variabel independent (bebas/pengaruh/tidak terikat). Sementara itu, tindakan atau perilaku individu yang dipengaruhi oleh faktor di luar individu disebut dengan variabel Y (terikat/terpengaruh). Lebih lanjut, faktor atau realitas sosial yang mempengaruhi prestasi seorang mahasiswa bisa dicari dan dikembangkan oleh peneliti melalui teori atau konsep yang telah ada. Misalnya, menurut beberapa teori dan hasil penelitian, prestasi seorang mahasiswa akan dipengaruhi oleh beragam faktor, mulai dari bagaimana kondisi ekonomi keluarganya, bagaimana dia berinteraksi dengan peer group nya, bagaimana dia menerapkan peraturan dan menggunakan fasilitas di kampus, bagaimana dia memberikan perspesi terhadap kurikulum yang diterapkan dan juga respon terhadap kemampuan mengajar dosennya. Cara berpikir yang didasarkan pada teori atau konsep yang telah ada sebelumnya inilah yang disebut dengan cara berpikir deduktif yang merupakan dasar dari metode atau penelitian kuantitatif. Tujuan dari berpikir deduktif adalah menguji teori yang sudah ada apakah terbukti atau tidak dalam sebuah konteks sosial tertentu. Bagan 2. Proses Berpikir Deduktif Teori (umum/general) khusus (realitas atau konteks sosial dimana teori akan diuji) Kritik terhadap penelitian positivis dengan metode kuantitatif yaitu mengabaikan nilai dalam proses penelitian, baik nilai yang melekat pada obyek penelitian (individu yang diteliti) dan nilai yang melekat pada peneliti (harus obyektif) agar tidak terjadi bias dalam penelitian. Oleh karena itu penelitian kuantitatif dikenal dengan perspektif yang bebas nilai (value free). 2. 2. Perspektif atau pemikiran post-positivis yang mendasari metode kualitatif Konsep post dalam post-positivis sering diartikan dalam dua hal yaitu sebagai masa atau waktu setelah dominasi perspektif positivis dan juga kritik terhadap perspektif tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemikiran positivis banyak mendapatkan kritik karena ‘rezim’ bebas nilainya. Pemikiran ini menganggap manusia sebagai makhluk pasif yang hanya bisa tunduk pada dominasi realitas sosial di luar dirinya. Perspektif post-positifis sebaliknya berpendapat lain. Seorang individu memiliki kapasitas untuk berpikir yang memungkinkan dirinya secara sadar melakukan sebuah perilaku atau tindakan untuk tujuan tertentu, terlepas dari pengaruh atau dominasi struktur di luar dirinya. Perilaku atau tindakan individu inilah yang pada akhirnya membentuk kumpulan atau agregat yang menjadi cikal bakal terbentuknya sebuah struktur atau realitas sosial. Oleh karena itu, perspektif postpositivis menekankan bahwa penelitian ilmu sosial seharusnya lebih fokus untuk mengkaji tindakan sosial yang memiliki makna atau tujuan tertentu dari seorang individu. Tokoh atau pemikir utama dari perspektif post-positivis dalam Sosiologi adalah Max Weber dalam konsepnya tentang Verstehende (understanding). Weber menjelaskan Verstehende sebagai sebuah pemahaman atau empati terhadap pengalaman hidup sehari-hari dari people dalam seting sejarah tertentu. Dengan demikian, jika seorang peneliti ingin memahami sebuah realitas sosial maka dia harus berangkat dari data atau informasi dari individu-individu terkait pengalaman hidup, pengetahuan, makna, motivasi yang mereka miliki terhadap realitas tertentu. Hubungan antara individu dan realitas sosial dalam perspektif post-positivis bisa digambarkan dalam bagan berikut ini : Bagan 3. Perspektif Post-Positivis Mahasiswa Berprestasi Mahasiswa Berprestasi Mahasiswa 1 Mahasiswa 2 Mahasiswa 3 = realitas sosial = individu-individu yang membangun (construct) makna tentang realitas sosial = interaksi antar mahasiswa = proses mendefinisikan realitas sosial Bagan di atas mengilustrasikan bagaimana perspektif post-positvis melihat sebuah realitas sosial. Perspektif ini menjelaskan bahwa realitas sosial terbentuk atau terbangun dari bagaimana individu-individu memberikan definisi terhadap realitas tersebut. Realitas sosial terdiri dari individu-individu yang membangun makna dan memberikan interpretasi terhadap makna tersebut melalui interaksi sosial mereka sehari-hari. Terkait bagan di atas, seorang peneliti ingin mengkaji tentang sebuah realitas sosial yaitu menurunnya prestasi mahasiswa. Berbeda dengan perspektif positivis yang akan mencari faktor-faktor yang menyebabkan realitas tersebut muncul, seorang peneliti yang menggunakan perspektif post-positivis akan fokus pada sumber darimana realitas tersebut terbentuk yaitu mahasiswa itu sendiri. Perspektif post-positivis akan mencoba menggali bagaimana seorang mahasiswa memikirkan, memaknai atau memberikan definisi terhadap sebuah prestasi. Data atau informasi semacam ini harus diperoleh sendiri oleh seorang peneliti dari informan langsung di lapangan atau melalui media sosial (empirical data). Cara berpikir yang didasarkan pada empirical data ini disebut dengan cara berpikir induktif yang merupakan dasar dari metode atau penelitian kualitatif. Bagan 4. Proses Berpikir Induktif Khusus (observasi/empirical data) umum (membuat, mengkritik, atau memperkuat teori) Kesulitan utama yang dihadapi oleh seorang peneliti yang menggunakan perspektif postpositivis adalah terkait dengan proses penggalian data dan informasi tentang apa yang dipikirkan, dipahami atau dialami oleh seorang individu. Informasi semacam ini tidak nampak dan tidak mudah digali dari seorang individu. Oleh karena itu, seorang peneliti harus masuk ke dalam kehidupan sehari-hari (natural setting) individu-individu tersebut untuk mengetahui apa yang mereka alami, pikirkan, pahami terkait dengan sebuah realitas sosial. Proses ini bisa dilakukan melalui wawancara mendalam (depth interview) dan observasi yang biasa digunakan sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif. Setelah data atau informasi bisa digali dari seorang individu, tahap selanjutnya yang harus dilakukan oleh seorang peneliti yang menggunakan metode kualitatif adalah memberikan interpretasi terhadap data dan informasi tersebut. Proses interpretasi data tersebut tergantung sepenuhnya pada peneliti tersebut dan tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Dengan demikian, dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti sekaligus menjadi instrumen penelitian itu sendiri yang tidak bisa digantikan perannya oleh instrumen lain seperti kuesioner misalnya. Lebih lanjut, berbeda dengan metode kuantitatif, metode kualitatif tidak mengabaikan nilai dalam proses penelitian, baik nilai yang melekat pada obyek penelitian (individu yang diteliti) dan nilai yang melekat pada peneliti. Oleh karena itu penelitian kualitatif bukan perspektif yang bebas nilai (value free).