Bangsawan dalam Politik Lokal Studi Kasus: Kontestasi

advertisement
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pilkada menjadi ruang yang
menyajikan
kontestasi
para
elit
masyarakat, namun dibalik kontestasi
tersebut fenomena cukup menarik ketika
masyarakat dihadapkan pada dilematik
dimana para elit yang berkontestasi
notabene satu komunitas bangsawan.
Tingkah laku atau pola kehidupan masyarakat yang senantiasa mengacu
pada falsafah hidup senantiasa dilestarikan demi menciptakan dinamika
bermasyarakat. Adapun ketika seseorang melanggar atau tidak mematuhi
pangaddareng 1 tersebut dianggap berdosa dan akan mendapatkan ganjarannya di
kemudian hari. Wacana inilah yang dimanfaatkan oleh kaum bangsawan untuk
tampil dalam panggung politik lokal saat ini, sebagai sebuah perwujudan serta
menunjukkan power mereka agar tetap eksis dalam panggung politik modern.
Sentralisasi kekuasaan di masa Orde Baru berimplikasi pada politik lokal dimana
para orang kuat lokal cenderung disetir oleh pusat. Alhasil untuk tetap survive
orang kuat lokal ini termasuk bangsawan mengikuti arus kekuasaan yang
terbentuk meski membentuk habitus yang baru.
1
Dalam menjalani kehidupan di dunia bagi umat islam tentunya senantiasa mengacu
pada Al-Quran, Haditz dan Ulil Amri, begitu pula dengan pola kehidupan masyarakat bugis
termasuk masyarakat di Kabupaten Pinrang senantiasa memegang prinsip atau norma kehidupan
yang disebut sebagai ‘pangaddareng’ dimana meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku
terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta
pandangan hidup (Mattulada: 1985:54-55). Hal inilah yang melekat pada kalangan orang bugis
sehingga seseorang yang melanggar ade’ ( aturan) dianggap orang tersebut berdosa. Termasuk
bagaimana pola tingkah laku antara masyarakat biasa ketika berhadapan dengan bangsawan.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 2
Namun pasca tumbangnya rezim otoritarianisme di Indonesia yang
diikuti dengan hadirnya liberalisasi politik, para bangsawan kembali eksis di
panggung politik. Resistensi para bangsawan ini seolah-olah menunjukkan power
mereka membuktikan bahwa mereka masih memiliki basis massa di masyarakat di
wilayah yang mereka kuasai. Hal inilah yang hendak dipertunjukkan oleh para
Andi di Kabupaten Pinrang untuk berkompetisi dalam pilkada (Pemilihan Kepala
Daerah). Namun ketika perebutan kekuasaan tersebut didalamnya justru
menjadikan keluarga para bangsawan (baca: Andi) ini terpecah belah karena
saling berkompetisi untuk mendapatkan kekuasaan tunggal atau menjadi
pemimpin di Kabupaten Pinrang, menjadi sebuah kontestasi yang problematik
dimana masing-masing menampilkan sumber daya yang hampir seimbang.
Untuk itu dalam tulisan ini mencoba mengeksplorasi bagaimana para
Andi berkompetisi dalam memobilisasi massa untuk memenangkan pilkada 2013.
Dalam kontestasi tersebut dihadapkan pada rival politik dari non bangsawan dan
bangsawan itu sendiri yang notabene terangkul dalam satu ikatan kekeluargaan.
Hadirnya kepentingan pribadi serta hasrat untuk berkuasa (will to power)
berimplikasi pada terciptanya keretakan internal kelompok bangsawan ini serta
memicu konflik latent dalam proses kotestasi di arena pilkada.
Demokrasi serta hadirnya liberalisasi politik dimanfaatkan semua
golongan atau kelompok masyarakat tampil dalam panggung politik untuk
menunjukkan kekuatan mereka. Pada masa Orde Baru ini tidak banyak golongan
bangsawan di Indonesia yang mampu menunjukkan power mereka agar tetap
survive dalam mengatur wilayah kekuasaannya. Kajian tentang bangkitnya para
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 3
bangsawan dalam mendapatkan kekuasaan di tingkat lokal telah menjadi kajian
yang makin menarik dan menantang, hal ini disebabkan karena di setiap daerah di
Indonesia memiliki komunitas bangsawan yang tetap eksis dan memiliki strategi
agar tetap survive dan mendapat kehormatan serta kekuasaan di kalangan
masyarakat. Bangsawan di berbagai daerah memiliki historis yang menjadi simbol
dan cerita yang terdoktrinisasi dari generasi ke generasi. Namun tidak banyak
bangsawan yang mampu bertahan dengan kekuasaan tradisional dan identitas
kedaerahan. Selain itu di era Orde Baru para pemangku adat daerah seakan tengah
“tertidur” di balik sistem otoriter sang penguasa.
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, para bangsawan kembali hadir
menggali dan menunjukkan identitas mereka. Seperti yang dikemukakan oleh
Gerry Van Klinken (2007, dalam Davidson dkk) yang menunjukkan kembalinya
para sultan terjadi di Kalimantan Barat dan Maluku Utara. Bangsawan ini
berusaha untuk menghidupkan kembali tata kehidupan yang bernuansa keraton di
setiap daerah. Klinken menyatakan bahwa gerakan bangsawan ini membentuk
kelompok dalam menunjukkan eksistensi mereka dalam perpolitikan. Kelompok
ini hendak mempertahankan feodalisme dalam bingkai republikan di era otonomi
daerah.
Senada dengan Ari Dwipayana (2004) yang mengeksplorasi feomena
kembalinya kuasa kaum bangsawan di dua kota yakni Surakarta (Solo) dan
Denpasar (Bali). Dengan menghadirkan genealogi kekuasaaan dari kaum
bangsawan tersebut, serta strategi survive kaum bangsawan ini ditengah masa
krisis yang pernah dialaminya, dan pasca tumbangnya rezim Soeharto bangsawan
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 4
ini kembali eksis dan terjun kembali dalam arena kebudayaan, ekonomi, politik
dan birokrasi.
Berdasarkan penelusuran sejarah di masa lalu, berbagai daerah di
Indonesia terdiri dari kerajaan dan menganut sistem aristokrasi sebagai sistem
yang tepat di masa lalu. Namun perubahan rezim dari masa ke masa memberikan
pengaruh terhadap habitus para bangsawan. Terutama pada masa Orde Lama dan
Orde Baru, kaum bangsawan ini dituntut untuk mengikuti pola dan sistem
pemerintahan yang otoriter. Otoritarian penguasa Orde Baru tercermin dari
berkuasanya para kroni-kroni Soeharto yang tersebar di ranah pemerintahan dan
politik hingga ke tingkat lokal. Sebagai perpanjangan tangan pemerintahan pusat
di daerah, jabatan bupati tentunya ditunjuk oleh pemeritah pusat dalam rangka
mempertahankan kekuasaan Soeharto melalui jaringan di tingkat lokal.
Tidak
banyak
kerajaan
yang
mampu
bertahan
dengan
sistem
pemerintahan yang diterapkan pada masa Orde Baru, namun kerajaan yang tetap
survive dimasa itu adalah kerajaan yang ada di Yogyakarta. Dimana Sultan
Hamengkubuwono IX menjabat sebagai wakil presiden RI kedua periode 19731978. Selain itu kaum ningrat di Yogyakarta senantiasa mendukung segala
kebijakan pemerintah di masa itu. Bangsawan Yogyakarta inilah yang menjadi
kelompok bangsawan yang mampu survive di tengah sistem sentralisasi
pemerintah masa Orde Baru.
Fenomena serupa terjadi di Sulawesi Selatan, Kabupaten Sengkang
dimana terdapat pola kerja sama yang terjalin antara bangsawan dan penguasa
masa Orde Baru. Tepatnya di Wajo para bangsawan yang mampu eksis dan
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 5
survive di masa Orde Baru dikarenakan mereka mendekatkan diri dengan
kekuasaan. Dengan cara masuk di partai golkar dan menjadi anggota militer,
bangsawan di wajo dengan mudah menduduki jabatan di ranah politik dan
pemerintahan ( Andi Faisal Bakti, 2007 dalam Nordholt dan Klinken).
Oleh karena itu pada masa Orde Baru bangsawan di Pinrang cenderung
dikerdilkan karena mereka tidak mengikuti alur kekuasaan di masa itu. Dimana
aktor atau para elit yang bergabung dengan partai golkar dan menjadi anggota
militer dengan mudah mendapatkan kekuasaan. Pengkerdilan yang terjadi
mmerupakan cerminan adanya batasan yang diciptakan oleh penguasa Orde Baru
atau adanya sistem otoriter yang diterapkan di masa itu. Adanya batasan tersebut
menyingkirkan aktor-aktor lama di daerah untuk berperan dalam ranah politik.
Aktor yang berhasil mengikuti habitus para penguasa di masa itulah yang tetap
survive dalam pusaran politik baik tingkat lokal maupun nasional. Mereka berasal
dari kalangan orang biasa (non bangsawan) dan bangsawan itu sendiri yang
berperan dalam rentetan sejarah perpolitikan di Indonesia.
Pasca reformasi telah membuka ruang bagi semua kalangan masyarakat
untuk berkontestasi di ranah politik termasuk pemilukada, hal ini dimanfaatkan
oleh bangsawan untuk mendapatkan kekuasaan agar tetap survive. Euforia
demokrasi dirasakan hingga masyarakat daerah yang tercermin hadirnya para elit
lama yang muncul dan siap berkontestasi di pemilukada. Eksistensi kaum
bangsawan dalam wilayah politik pemerintahan tercermin banyaknya Andi yang
menjabat pada posisi strategis dalam struktur pemerintahan dan mendapatkan
kedudukan di partai politik. Selain itu pasca runtuhnya masa Orde Baru elit lama
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 6
(baca: bangsawan) kembali memimpin Pinrang 2. Suasana politik pada fase awal
reformasi yang rumit, memunculkan wacana dimana hanya ‘putra’ daerah yang
memiliki kesempatan untuk memimpin Pinrang. Wacana inilah yang membuka
ruang bagi para Andi yang botabene bangsawan dan ‘putra’ daerah untuk tampil
di panggung politik khususnya pilkada (pemilihan kepala daerah). Dengan adanya
gelar simbolik yang dimiliki, memudahkan Drs H A. Nawir MP tampil di pilkada
pada tahun 1999 serta dapat bertahan hingga 2 periode (1999-2009).
Di tahun berikutnya yakni tahun 2009, pilkada kembali dimenangkan
oleh kalangan bangsawan yakni pasangan Andi Aslam Patonangi dan wakilnya
Andi Kaharuddin. Selanjutnya pesta demokrasi di Pinrang dalam menentukan
kepala daerah dilakasanakan pada tanggal 18 september 2013, memunculkan
aktor lama dan aktor baru. Diantaranya adalah pasangan incumbent yakni bupati
Pinrang yang saat ini tengah menjabat, Andi Aslam Patonangi yang berpasangan
dengan Darwis Bastama yang saat ini tengah menjabat sebagai ketua DPRD
Kabupaten Pinrang. Bukan hanya A. Aslam (sebagai incumbent) yang tampil
hendak mempertahankan kekuasaannya, A. Kaharuddin (notabene pasangan A.
Aslam periode 2009-2014) pun ikut berkontestasi dengan mengganddeng Ardan
A.P 3. Selain kedua incumbent (baca: A. Aslam dan A. Kaharuddin), bangsawan
lain yang siap berkontestasi adalah A.Irwan Hamid yang pernah menjabat sebagai
2
Mengingat pasca Orde Baru yang menjadi bupati Pinrang adalah kalangan bangsawan
yakni Drs. H.A. Masnawi A.S. periode 1998 s/d 1999, Drs. H.A. Nawir, MP tahun 1999-2009
(dua periode);dan H.A. Aslam Patonangi,SH,M.Si 2009-Hingga Sekarang. Hal ini membuktikan
bangkitnya kaum bangsawan pasca rutuhnya Orde Baru, dan demokrasi telah membuka ruang
bagi setiap orang untuk turut berpartisipasi baik sebagi pemilih dan yang dipilih dalam pemilu.
3
Ardan A.P merupakan keponakan dari mantan bupati sebelumnya yakni Drs. H. A. Nawir
MP, dimana Ardan AP merupakan anak dari saudara perempuan A. Nawir. Hal inilah merupakan
salah satu strategi A. Kaharuddin menarik Ardan AP sebagai wakilnya dalam menarik simpatisan
dalam internal keluarga.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 7
ketua DPRD (selama 2 periode). Fenomena kompetisi dari ketiga bangsawan ini
dalam panggung politik modern berimplikasi terhadap atmosfer keluarga besar,
hal ini dikarenakan ketiga aktor ini merupakan satu keluarga 4. Meski 1 (satu)
keluarga, namun perspektif politik yang berbeda menciptakan kompetisi yang
sangat alot terutama dalam internal keluarga mereka dalam memobilisasi massa.
Momentum suksesi politik modern ini melibatkan masyarakat dalam
proses pemilihan pemimpin di daerah, untuk itu ketiga pasangan kandidat ini
memiliki strategis masing-masing dalam memobilisasi massa baik dalam internal
keluarga mereka hingga masyarakat umum. Selain pasangan munculnya namanama baru (http://www. koran.tempo.co/konten/2013) pun telah beredar di berbagai
media lokal dan kalangan masyarakat 5. Sebagai pasangan incumbent tentunya
Andi Aslam Patonangi masyarakat telah mengetahui serta merasakan karakter
kepemimpinan
Andi
Aslam
Patonangi 6.
Kemunculan
para
Andi
yang
berkontestasi di pemilukada dampak dari pemanfaatan liberalisasi politik, serta
strategi mereka agar tetap survive di kalangan masyarakat.
Senada dengan hal itu fenomena karaeng yang memanfaatkan liberalisasi
politik ditandai dengan terbukanya ruang partisipasi politik para karaeng dalam
berkontestasi di panggung politik lokal dan menerapkan sistem patron-klien
4
Antara A.Irwan Hamid dengan A.Aslam merupakan saudara sepupu ditambah A.Aslam
menikahi adik kandung dari A.Irwan Hamid yakni A.Dewiyani Hamid. Sedangkan A.Aslam
merupakan keponakan dari A.kaharuddin.
5
Nama-nama yang muncul sebagai bakal calon bupati Pinrang yang beredar di berbagai
media antara lain: Andi Irwan Hamid – A. Mappanyukki, A. Aslam Patonangi – Darwis Bastama,
H. Abdullah Rasyid – H. Faizal Tahir Syarkawi, Suryadi Paroki – Sahabuddin Thoha, Kaharuddin
Mahmud – Ardan Razak, dan Sulthani – Rifai Mana.
6
Perjalanan karier Andi Aslam Patonangi berawal ketika menjadi sekretaris Camat di
Watang Sawitto pada tahun 1996, kemudian menjadi Kasubid Pekerjaan Umum Bappeda tahun
2002, Camat Duampanua tahun 2005, Camat Watang Sawitto tahun 2006, dan saat ini tengah
mejabat sebagai Bupati Pinrang.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 8
dalam mendapatkan kekuasaan tersebut dirasa sangat kental. Sehingga setiap
jabatan strategis di Kabupaten Jeneponto ini dipegang oleh karaeng (Muhtar
Haboddin, 2009). Sistem patron-klien yang diterapkan oleh para karaeng ini
tentunya didukung oleh modal yang dimiliki oleh para karaeng ini. Dimana kajian
mengenai berkuasanya para bangsawan secara umum menunjukkan adanya modal
yang menjadi pondasi utama mereka (baca: bangsawan) untuk berkuasa serta tetap
survive di masyarakat. Berbicara mengenai strategi yang berupa sumber daya
yakni modal (capital) seringkali menjadi acuan para peneliti dalam menunjukkan
kebangkitan para bangsawan sebagai pemimpin tradisional dan berkuasa di
tingkat lokal.
Kajian kebangkitan bangsawan telah lumrah dalam lingkup akademis,
untuk itu dala penelitian ini cenderung menyajikan kajian terkait kontestasi antar
bangsawan itu sendiri. Pasca reformasi serta kehadiran liberalisasi politik
kemudian membuka kesempatan bagi semua kalangan untuk berpartisipasi dalam
politik modern mulai dari skala lokal hingga nasional, termasuk kontestasi para
Andi dalam politik lokal yakni Pilkada. Pertarungan di arena Pilkada menjadi
ajang yang menampilkan sumber daya (Demonstrate the Capital) para aktor lokal
seperti bangsawan kepada masyarakat. Sumber daya tersebut merupakan modal
yang dimiliki kemudian dikontruksi dalam memobilisasi massa sebagai alat untuk
berkontestasi. Hal inilah yang hendak dikaji penulis, yang memfokuskan upaya
para kandidat yang bergelar ‘Andi’ berkontestasi di pemilukada pada tanggal 18
september 2013.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 9
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana proses
kontestasi para Andi di arena Pilkada Kabupaten Pinrang pada tanggal 18
September 2013?. Dalam menjabarkan rumusan masalah tersebut diperlukan
adanya pertanyaan penelitian sebagai batasan penulisan ini. Adapun menjadi
pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1.1 Bagaimana habitus para Andi dalam mengkontruksi sumber daya
yang dimiliki untuk memobilisasi massa pada proses pilkada di
Kabupaten Pinrang tanggal 18 september 2013?
1.2 Bagaimana modal-modal yang dimiliki para Andi dimanfaatkan
dalam berkontestasi di pilkada Kabupaten Pinrang pada tanggal 18
September 2013?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah ingin menjelaskan strategi para Andi dalam
berkontestasi di arena pemilukada di Kabupaten Pinrang yang dilaksanakan pada
18 September 2013. Selanjutnya mencoba menerangkan bagaimana habitus para
Andi dalam ranah politik dan pemerintahan dari setiap rentetan perubahan struktur
yang terjadi di Indonesia.
Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi kontruksi
Andi yang memanfaatkan modal dalam proses rekruitment politik modern ini.
Penelitian ini juga sebagai upaya merangkum dan mengkaji seluk beluk dominasi
kebangsawanan di Kabupaten Pinrang. Selain itu manfaat akademis dari
penelitian ini dilakukan sebagai refleksi teoritik Pierre Bourdie dalam konteks
pengalaman masyarakat Pinrang dalam panggung politik modern secara spesifik
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 10
arena pilkada, dengan melihat upaya para Andi dalam mengkontruksi sumber
daya atau memanfaatkan modal yang mereka miliki dalam berkontestasi.
1.4
Kerangka Teori
Penelitian ini membahas mengenai strategi bertahannya kaum bangsawan
sebagai elit lokal di Pinrang dalam kontestasi di pemilihan umum kepala daerah
yang dilaksanakan pada tanggal 18 september 2013. Strategi bangsawan ini dalam
pemilukada tentunya membutuhkan sumber daya berupa modal yang terdiri dari:
modal sosial, ekonomi, simbolik dan kultural. Dengan melihat sumber daya yang
dimiliki oleh kaum bangsawan dan elit baru yang muncul dalam mendapatkan
dukungan massa untuk mewujudkan kepentingannya berupa kekuasaan.
Untuk itu penelitian ini menggunakan kerangka teori yang dipelopori
oleh Pierre Bourdieu yakni habitus, modal dan field digunakan untuk
mengkerangkai telaah ini. konsep Habitus sendiri digunakan untuk melihat
bagaimana kebiasaan para Andi sehingga dapat terjun dalam ranah politik
khususnya mencalonkan diri dalam pilkada Kabupaten Pinrang . Sedangkan field
atau arena bertujuan untuk mengungkapkan ranah atau tempat para Andi pada fase
awal sebelum tampil dalam panggung politik (Baca: Pilkada). Selanjutnya capital
atau modal yang dimaksudkan berupa sumber daya yang digunakan oleh Andi
dalam berkompetisi. Selain dari ketiga konsep Pierre Bourdieu terdapat konsep
patron-klien dalam membaca fenomena politik dalam lingkaran kekuasaan yang
dikendalikan oleh Andi tersebut yakni dimana dalam lingkaran birokrasi serta di
bidang ekonomi di tingkat lokal ( khususnya Kabupaten Pinrang). Kerangka teori
tersebut digunakan sebagai benang merah dalam menemukan jawaban atas
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 11
permasalahan yang diajukan dalam rumusan masalah dan berdasarkan pada fokus
kajian penelitian.
1.4.1.
Habitus dan Field para Andi
Konsep habitus dan field diperlopori oleh Pierre Bourdieu (1930-2002)
pemikir Prancis yang terkemuka di penghujung abad ke-20. Menurutnya “Habitus
adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable,
transposable, disposition) yang berfungsi sebagai basis generative bagi prakttikpraktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif” ( ed. Richard Harker:
2009:13).
Habitus berasal dari bahasa latin yang mengacu pada kondisi,
penampakan atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh
(Richard Jenkis, 2004:107). Sebagai sesuatu yang tampak dari individu habitus
cenderung mempraktikkan apa yang menjadi pemahamannya selama ini tentunya
hal itu tidak terlepas dari sejarah dan pengetahuan individu.
Sejarah mengukir habitus para agen yang dibentuk oleh pengalaman dan
pengajaran secara eksplisit sebagai sesuatu hal yang dapat diterima apa adanya.
Karena hal ini merupakan proses produksi, penyesuaian dan hubungan dialektis
antara habitus individu dalam suatu konsep sejarah secara kolektivitas yang
berlanjut secara terus menerus mengikuti pola zaman sebagai ruang dan waktu.
Untuk itu secara formal Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai:
“Sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan
(transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan befungsi
sebagai penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed
to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang
melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasirepresentasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 12
hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan
tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan
untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara
objektif, tapi bukan produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsipprinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk
tindakan pengorganisasian seorang pelaku”
Berdasarkan definisi Bourdieu diatas yang menjadi disposisi-disposisi
direpresentasikan oleh habitus bersifat:
1.
‘Bertahan lama’ dalam artian bertahan di sepanjang rentang waktu
tertentu dari kehidupan seorang agen;
2.
‘Bisa dialipindahkan dalam arti sanggup melahirkan praktik-praktik
di berbagai arena aktivitas yang beragam;
3.
Merupakan
‘struktur
yang
distrukturkan’
dalam
arti
mengikutsertakan kondisi-kondisi sosial objektif pembentukannya;
inilah yang menyebabkan terjadinya kemiripian habitus pada diri
agen-agen yang berasal dari kelas sosial yang sama dan menjadi
justifikasi bagi pembicaraan tentang habitus sebuah kelas ( di
dalam distinction contohnya, Bourdieu menunjukkan secara
statistik bagaimana habitus kelas pekerja melahirkan preferensipreferensi yang hampir semuanya analog di sejumlah besar praktik
kultural mereka di kota atau wilayah mana pun mereka tinggal);
4.
Merupakan ‘struktur-struktur yang menstrukturkan’ artinya mampu
melahirkan praktik-praktik yang sesuai dengan situasi-situasi
khusus dan tertentu. ( Yudi Santosa, 2010: xv-xvii).
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 13
Setiap habitus sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan agen
dalam mempertahankan posisi dan akumulasi modal, karena berperan dalam
strategis reproduksi dengan mempresentasikan tipe kondisi sosial dan ekonomi
yang dimiliki. Untuk itu habitus memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: Pertama
sebagai landasan atau basis individu dalam menggunakan nalar atau logikanya
dalam menganalisis sesuatu sebagai tolak ukur dalam memberikan persepsi
terhadap sesuatu tersebut berdasarkan data sejarah dan pengetahuan yang
dimilikinya. Kedua sebagai bentuk apresiasi dan wujud interaksi antara individu
dengan lingkungannya misalnya bagaimana individu tersebut berbicara,
bertingkah laku, dan melihat sesuatu. Ketiga landasan atau pijakan individu dalam
beraksi atau melakukan tindakan berdasarkan apa yang dipahami, diketahui oleh
kepala (pikiran) yang dipengaruhi lingkungan dan berdasarkan pengalaman yang
dialaminya.
Sebagai bagian yang tidak terlepas dari bagian tubuh, pikiran dan
kehidupan individu ini sebagai kausalitas atas pemahaman yang telah meresap
dalam diri seseorang yang terwujud dari kebiasaan atau ciri khas seseorang dalam
bertindak. Meski telah menjadi ciri khas seseorang, habitus bukan berarti menjadi
suatu struktur yang tetap dan tidak berubah tetapi lebih disesuaikan atas kondisi
dan kepentingan individu. Habitus yang dilakukan oleh para bangsawan ini
tercermin dengan adanya upaya meningkatkan pengetahuan mereka di jalur
pendidikan formal setinggi-tingginya sebagai persiapan untuk menjadi seorang
pemimpin.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 14
Habitus akan produksi kultural para bangsawan pada masa lampau
karena ditunjang dengan modal lainnya, seperti modal simbolik sebagai wacana
kepemilikan kelas atas penguasaan pada arena kultural. Dimana berlakunya sistem
perbedaan terhadap kelas atas serta menengah yang dapat mengenyam pendidikan
setinggi mungkin. Hal ini kemudian membentuk habitus bahwa hanya kelas atas
dan menengah termasuk golongan bangsawan ini yang memiliki hak untuk eksis
dalam ranah pendidikan. Selain ditunjang modal simbolik, adanya penguasaan
tanah serta kepemilikan harta benda yang merupakan kepemilikan modal ekonomi
menjadi nilai tambah bagi para bangsawan ini.
Menjadi tuan tanah dengan sendirinya mendatangkan kehormatan serta
para bawahan yang menjadi klien sang patron (Baca: bangsawan). Hadirnya para
klien ini sebagai manifestasi bahwa bangsawangan memiliki basis massa yang
tetap. Habitus dari bangsawan di setiap daerah yang menjadi tuan tanah
memproduksi wacana kekuatan serta kuasa akan kemampuan para bangsawan
yang memiliki klien atau pengikut yang setia.
Selanjutnya konsep habitus itu sendiri tidak dapat bekerja tanpa adanya
arena, untuk itu habitus dan arena itu tidak dapat dipisahkan, karena merupakan
konsep dasar yang saling berkaitan antara hubungan dua arah yakni strkturstruktur obyetif (struktur-struktur bidang sosial) dab stuktur-struktur yang telah
terintegrasi pada pelaku (struktur-struktur habitus). Konsep arena perjuangan
merupaka penentu dalam lingkungan masyarakat termasuk hal yang menyangkut
arena kuasa, dimana dalam mewujudkan kepentingan politik para aktor tentunya
membutuhkan wilayah atau arena bermain dalam mencapai keinginannya yakni
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 15
berkuasa dan mendominasi. Konsep field yang diperkenalkan oleh Bourdieu
adalah sebuah tempat atau arena sosial dimana orang berlomba-lomba menyusun
berbagai strategi dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang
diinginkannya berupa wujud kekuasaan yang terlegitimasi.
Konsep arena merupakan konsep yang dinamis di mana perubahahan
posisi agen berimplikasi pada perubahan struktur arena. Dalam arena apapun
agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedi atau menciptakan
posisi-posisi baru akan terlibat dalam kompetisi yang memperebutkan kontrol
kepentingan atau sumber daya dalam arena bersangkutan.
Kampanye merupakan salah satu strategi arena yang digunakaan para
aktor/elit untuk mendapatkan dukungan rakyat sebagi proses menuju kursi
kepemimpinan dalam panggung politik. Lebih lanjut, Bourdieu dalam tulisannya
yang kemudian diterjemahkan oleh Pipit Maizer (2009) menjelaskan tiga langkah
dalam proses menganalisis suatu medan sebagai berikut:
“Pertama mencerminkan keunggulan medan kekuasaan ialah melacak
hubungan setiap medan spesifik ke medan politis. Kedua memetakan
struktur objektif relasi-relasi antar posisi-posisi yang ada di dalam medan
itu. Ketiga menentukan hakikat habitus para agen yang menduduki aneka
tipe posisi di dalam medan itu”.
Panggung politik senantiasa menjadi arena yang sangat sengit yang
dipenuhi pertunjukan seni mempengaruhi orang lain untuk mewujudkan
kepentingan para aktor/elit yang bermain dalam panggung politik tersebut.
Panggung politik ini notabene adalah pesta pemilukada (pemilihan umum kepala
daerah) yang terjadi di Kabupaten Pinrang membuka arena pertarungan antar
aktor/elit dalam mendapatkan kekuasaan.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 16
Selain kedua konsep tentang habitus dan field digunakan dalam
penulisan, konsep lain dari pemikiran Pierre Bourdieu yakni mengenai capital
(modal) berupa sumber daya yang dimiliki oleh para aktor/elit kemudian
dimanfaatkan dalam berkontestasi dalam sebuah arena (field).
1.4.2.
Sumber Daya yang Memproduksi Kekuasaan
Untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan para elit dituntut
memiliki strategi dalam menghimpun massa. Kekuasaan bekerja ketika dalam
lingkungan sosial hadirnya dominasi antara yang menguasai dan dikuasai
berdasarkan kondisi tertentu, dalam praktik dominasi adanya kapital sebagai suatu
strategi sangat menentukan tingkat keberhasilan suatu aktor /agen dalam suatu
struktur. Strategi tersebut dapat berupa sumber daya yang mutlak dimiliki dalam
mendapatkan kekuasaan, sumber daya tersebut antara lain: modal (capital) seperti
yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu mengenai bagaimana modal tersebut
digunakan oleh para elit di arena atau field yakni pemilihan umum kepala daerah.
Pemikiran Bourdieu hadir untuk mengkritik pemikiran para Marxist yang
menyatakan bahwa masyarakat dapat dianalisis secara sederhana melalui kelaskelas dan ideologinya (Choirul Mahfud, 2009:278). Dengan menguraikan
beberapa konsepsi dalam menjelaskan realitas sosial yakni habitus, field dan
capital, mencoba menjelaskan adanya pengaruh sejarah yang ada dalam diri
individu dalam pembentukan jati diri seseorang yang membutuhkan ruang untuk
memenuhi kepentingannya dibutuhkan modal sebagai dasar memperjuangkan
kepentingan tersebut. Praktik memperjuangkan kepentingan ini tidak terlepas
adanya kekuasaan yang tidak kasat mata merasuki pribadi seseorang.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 17
Dalam pertarungan/kompetisi setiap aktor/elit, modal (capital) berperan
penting dalam mempertahankan eksistensi aktor/elit dan bahkan memberikan
kesempatan dalam merebut kemenangan atau mendapatkan apa yang diinginkan.
Menurut Bourdieo (dalam George Ritzer’ 2011:908) terdapat empat tipe modal
(capital) terebut yakni:
Pertama, Kapital Ekonomi dimana seseorang harus memiliki harta
benda, uang, kepemilikan dan sebagainya. Kapital ekonomi ini sangat mudah
dikonversi menjadi kapital-kapital lainnya tergantung sang agen memanfaatkan
modal ini dalam arena tertentu karena kapital ini merupakan sumber penghasilan
atau finansial. Kehadiran kapital ini merupakan basis Marx mengelompokkan
masyarakat berdasarkan kelas. Dimana menurut Marx posisi sosial masyarakat
mengacu pada posisi produksi ekonomi. Bourdieu kemudian menambah kapital
lainnya dalam mengkategorisasi masyarakat.
Dalam konteks penelitian ini kapital ekonomi dilihat dari kepemilikan
harta benda para Andi ini, termasuk kepemilikan harta benda, penguasaan akan
tanah atau sawah serta perkebunan lainnya. Dengan menguasai kapital ekonomi
para Andi kemudian merekruit rakyat yang berada pada garis ekonomi bawah
untuk bekerja dengan mereka, hal ini kemudian menjadi praktik patron-klien.
Konsep patron klien ini kemudian menaikkan prestise sang bangsawan yang
memiliki kapital ekonomi.
Kedua, kapital budaya/kultural terdiri dari bagaimana seseorang
memanfaatkan informasi mengenai bentuk-bentuk kebudayaan, pengetahuan,
memiliki strata pendidikan dan keterampilan. Wujud dari kapital budaya ini
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 18
adalah berupa ijazah atas pendidikan yang ditempuh, kemudian ditambah dengan
pengetahuan yang diperoleh, kemampuan menulis, serta gaya berbicara serta cara
bergaul dengan lingkungan sosial dan pembawaannya dapat diperhitungkan dalam
menentukan kedudukannya di lingkungan sosial. Adapun menurut Bourdieu 7
terdapat tiga bentuk kapital budaya antara lain:
1.
Terintegrasi ke dalam diri, berarti pengetahuan yang diperoleh
selama proses studi dan yang disampaikan melalui lingkungan
sosialnya kemudian membentuk disposisi yang tahan lama (hasil
kerja pribadi dan akuisisi tanpa harus disadari);
2.
Obyektif, berarti seluruh kekayaan budaya (buku dan karya seni)
bisa dimiliki secara material (mengandaikan kapital ekonomi)
dalam pembedaan dengan pemilikan simbolis (yang mengandaikan
kapital budaya);
3.
Terinstitusionalisir, yakni ketika gelar pendidikan yang disahkan
oleh suatu institusi, menjadi anggota asosiasi ilmuwan prestisius
dan anggota tim peneliti suatu lembaga.
Ketiga, kapital simbolik ini berasal dari kehormatan yang didapatkan
dari garis keturunan misalnya para darah biru atau bangsawan, modal simbolik ini
mendapatkan tempat dan perhatian khusus di masyarakat sekitar karena memiliki
perbedaan dari masyarakat lainnya. Namun meski kapital ini dapat diwariskan
tetap butuh adanya legitimasi dari masyarakat untuk menghasilkan kekuasaan
simbolik. Kapital yang dapat diwariskan ini merupakan kuasa genetis yang secara
7
Makalah ini dipresentasikan oleh Haryatmoko pada seminar Pelatihan dan Loka Karya
“Pierre Bourdieu” di Gedung Pasca Sarjana UGM pada tanggal 29 Januari 2014.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 19
otomatis diperoleh, namun adapula kapital simbolik yang diperoleh berdasarkan
hasil konversi dari kapital lainnya.
Keempat, kapital sosial dapat dilihat bagaimana para aktor/elit ini
membangun relasi-relasi dengan masyarakat tanpa ada sekat yang tentunya dapat
dinilai orang sekitarnya serta mendapatkan penghargaan tertentu karena dapat
membangun relasi sosial dengan baik. Menurut Bourdieu 8 empat tipe kapital
sosial:
1.
Kemampuan
kerja
sama:
budaya
kerja
sama
melahirkan
kepercayaan;
2.
Mengandaikan pengakuan timbal balik (tidak hanya instrumental)
potensi;
3.
Fenomena struktural (interiorisasi nilai, pertukaran, solidaritas,
kepercayaan berkat adanya sanksi/imbalan, pengawasan diri);
4.
Tidak hanya kepercayaan tetapi juga bentuk dan struktur.
Lebih lanjut menurut Boudieu (dalam Nurhadi, 2010) modal adalah
akumulasi kerja yang memerlukan waktu untuk diakumulasikan. Untuk itu tidak
cukup hanya memiliki satu modal saja dalam mendapatkan kepentingan,
dibutuhkan adanya modal lain untuk saling melengkapi serta waktu dalam
mereproduksi modal-modal tersebut menjadi alat kuasa. Masing-masing modal
memiliki peran dalam struktur sosial.
Modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan
‘dukungan-dukungan’ bermanfaat: modal harga diri dan kehormatan
yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam
8
Ibid
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 20
posisi-posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar,
misalnya dalam karier politik.
Individu yang berlainan memperoleh hasil yang sangat tidak setara dari
modal yang kurang lebih ekuivalen (ekonomi atau budaya) menurut
sejauh mana mereka mampu memobilisasi sekuat tenaga modal dari
suatu kelompok (keluarga, mantan siswa sekolah elite, klub pilihan,
kebangsawanan dan lain sebagainya). ( Bourdieu dalam Nurhadi,
2010:23).
Masing-masing kapital bisa saling terkonversi satu sama lain, misalnya
pada kapital ekonomi yag sangat mudah untuk dikonversikan menjadi kapital
lainnya.
Hal dalam
wujud suatu tindakan
seseorang
yang senantiasa
memanfaatkan kapital ekonomi yang dimiliki berupa harta kekayayaan untuk
membantu sesama manusia atau dengan kata lain senantiasa memberi sumbangan
kepada orang lain, sehingga orang kaya inipun disukai oleh lingkungannya.
Tindakan ini pun memberinya kedudukan di lingkungan sosialnya, selain itu dari
sikap yang ditunjukkannya pun kemudian diberi gelar oleh masyarakat yakni
orang yang dermawan. Gelar dermawan ini merupakan kapital simbolik yang
telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Selain itu dengan memanfaatkan
kapital ekonomi juga seseorang mampu mengenyam pendidikan hingga perguruan
tinggi yang dapat menghasilkan gelar pendidikan dari institusi yang telah
mendapatkan legitimasi.
Habitus dari agen yang mampu mengkonversi kapital ekonomi menjadi
kapital lainnya seperti kapital sosial, budaya dan simbolik merupakan strategi
dalam mendapatkan kedudukan di masyarakat. Namun habitus dan modal ini tidak
akan tampak ketika tidak adanya arena yang menjadi wadah bermainnya kedua
konsep tersebut.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 21
Dari ketiga konsep yang dipelopori oleh Bourdieu ini yakni habitus,
arena dan kapital menjadi benang merah dalam penelitian ini untuk menganalisa
para agen yakni para Andi dalam berkontestasi di politik modern saat ini.
1.5
Kerangka Pikir
Andi
Habitus
Modal
(Capital)
“Alat untuk berkontestasi
dan berkuasa”
• Simbolik
• Sosial
• Ekonomi
• Kultural
• Masa Kerajaan dan Kolonial
• Pasca Kemerdekaan dan Orde Baru
• Reformasi
Field
Arena mendapatkan
Kekuasaan:
• Birokrasi
• Partai Politik
• Pilkada
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 22
1.6
Definisi Konseptual
Dalam mempermudah menentukan fokus studi perlu adanya konsep yang
subtansial secara abstrak berdasarkan fenomena, kondisi, kelompok ataupun
individu berkaitan dengan kasus yang hendak dikaji. Hal ini bertujuan untuk
memberikan batasan serta mempertegas definisi konsep yang digunakan sebagai
berikut:
1.
Habitus
Habitus ini berkaitan dengan kebiasaan bangsawan dalam menjaga
kekuasaannya baik secara tradisional hingga bertransformasi ke politik
modern. Dengan melihat kebiasaan ini tentunya dapat memberi gambaran
mengenai perilaku bangsawan dalam mengikuti alur perpolitikan pada
masa kini.
2.
Field
Field adalah arena atau lahan yang membuka ruang bagi bangsawan ini
dalam mempertahankan kekuasaan ataupun mendapatkan kekuasaan
tersebut. Serta sebagai upaya mereka untuk tetap eksis dalam sistem
politik dan pemerintahan tradisional yang identik dengan feodalisme
maupun modern saat ini yang demokratis.
3.
Capital (modal)
Capital (modal) yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki serta
dimanfaatkan oleh bangsawan ini dalam berkontestasi di pilkada dan
digunakan dalam memobilisasi massa atau mendapatkan suara (vote)
masyarakat.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 23
1.7
Definisi Operasional
Definisi operasional diharapkan untuk mempermudah serta memberi
petunjuk dalam melakukan penelitian serta menganalisa serta mengukur suatu
indikator penelitian tersebut. penelitian ini yang hendak meneliti mengenai peran
komunitas Andi (bangsawan) dalam memenangkan pilkada 2013 di Pinrang
diukur melalui:
1.
Habitus

Kebiasaan
dalam
mendapatkan
atau
mempertahankan
kekuasaan pada masa tradisional hingga politik modern.

Pola, tingkah laku serta kepribadian Andi dalam berinteraksi
dengan masyarakat umum.
2.
Field
a.
Pilkada

Kepentingan dalam berkontestasi di pilkada.

Peluang serta model bertahannya kaum bangsawan.
b.
Birokrasi

Struktur-struktur sosial dan jaring-jaring sosial yang dibentuk
dalam tubuh birokrasi dimana jabatan penting/strategis
dikuasai oleh Andi, sebagai lahan dalam meningkatkan serta
menunjukkan kapasitas kepemimpinan kaum bangsawan.
c.
Partai Politik

Partai tempat bergabungnya para Andi seperti Partai
Demokrat, Golkar dan PDI P;
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 24

Partai-partai yang berkoalisi dengan para kandidat pada saat
kampanye pilkada.
3.
Capital (Modal)
a.
Modal Sosial

Interaksi dengan masyarakat biasa;

Interaksi dengan tokoh masyarakat;

Relasi-relasi antar pejabat pemerintahan (birokrat);

Hubungan
bangsawan
dengan
suatu
organisasi
atau
komunitas

Hubungan bangsawan dengan pengusaha.
b.
Modal Simbolik

Gelar yang didapatkan berdasarkan garis keturunan yang
secara otomatis mendapatkan legitimasi dari masyarakat lain;

Gelar yang didapatkan berdasarkan karakter mereka yang
mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
c.
Modal Kultural

Tingkat pendidikan yang dimiliki;
d.
Modal Ekonomi

Kekayaan atau harta benda yang dimiliki bangsawan;

Sumbangan atau hadiah yang senantiasa diberikan dalam
pembangunan fisik dan non fisik.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 25
1.8
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk memungkinkan
peneliti dalam memahami sikap dan perilaku politik para Andi secara mendalam.
Metode kualitatif juga mengharuskan peneliti untuk meleburkan diri dalam setting
sosial yang diteliti, mengamati orang-orang dalam lingkungan alami mereka, dan
ikut serta dalam aktivitas mereka ( David Marsh dan Gery Stoker, 2010). Untuk
itu, metode kualitatif ini dianggap dapat tepat dengan tujuan penelitian yang
hendak menjelaskan gerakan para Andi di ranah politik dan pemerintahan
merupakan strategi mereka agar tetap survive. Tentunya metode ini membantu
peneliti untuk memperoleh data yang berdasarkan fakta di lapangan secara
langsung dan tanpa jarak.
Lantaran penelitian ini bersifat kelompok atau cluster tertentu yakni para
Andi, maka desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study)
dimana dalam menjelaskan kasus yang terjadi melalui beberapa langkah yakni:
mencatat, mengamati, mendengarkan, merasakan, mengumpulkan dan menangkap
semua fenomena data dan informasi terkait kasus yang diselidiki (Agus Salim,
2006).
Berdasarkan tujuan dalam mengkaji kasus terkait, peneliti menggunakan
kajian studi kasus intrinsik (intrinsic case study), hal ini ditempuh oleh peneliti
karena hendak mendalami kasus tertentu ( Norman K Denzin dan Yvonna S
Lincoln, 2009). Kasus komunitas Andi di ranah pemerintahan dan politik lokal
merupakan kajian yang unik dan secara khusus membahas kasus suatu kelompok
tertentu. Selain itu desain studi kasus intrinsik ini menuntut peneliti dalam
memahami apa yang penting dari kasus dalam dunia sendiri, dan bukan pada
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 26
dunia para peneliti dan teoritisi, namun dengan mengembangkan berbagai isu,
konteks dan interpretasinya (Norman K Denzin dan Yvonna S Lincoln). Hakikat
dari kajian ini hendak mengungkapkan bagaimana para Andi agar tetap survive
sehingga perlu membentuk komunitas melalui penempatan para Andi di
jabatan/posisi penting di ranah pemerintahan dan politik lokal.
1.8.1.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pinrang tepatnya pada jantung
aktivitas politik dan pemerintah yakni kota Pinrang. Sebagai pusat kota, Pinrang
merupakan tempat berinteraksinya masyarakat dalam memenuhi berbagai
kepentingan serta cerminan kecil fenomena masyarakat plural dalam suatu daerah.
Dalam memenuhi kepentingan mereka membentuk suatu komunitas. Selain itu
banyaknya peluang dalam mendapatkan pekerjaan di kota tentunya menjadi daya
tarik bagi bangsawan dan masyarakat lainnya untuk bertahan di tengah pluralnya
masyarakat perkotaan dengan berbagai kepentingan individu dan komunitas.
Salah satu kepentingan yang hendak dicapai adalah kekuasaan, melalui kontestasi
dalam politik modern yakni pilkada yang dilaksanakan pada bulan September
21013 para bangsawan tentunya akan berupaya dalam memenangkan kontestasi
tersebut sehingga mampu mempertahankan eksistensinya.
Secara spesifik penelitian ini akan dilakukan pada Andi yang menjadi
kandidat dan kelompok masyarakat tertentu yakni terhadap Tim Sukses masingmasing kandidat dan tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu untuk mengetahui
habitus Andi yang mencalonkan tentunya dapat diperoleh dari tempat dimana
beliau pernah bekerja. Untuk itu penelitian pun dilakukan dalam ranah struktur
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 27
birokrasi serta partai politik dimana para bangsawan berkecimpung pertama kali
demi mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan. Birokrasi yang dimaksud
adalah tempat dimana para bangsawan yang menjadi calon bupati Pinrang bekerja
selama ini. Penentuan lokasi penelitian ini dengan alasan: Pertama, bangsawan
yang mencalonkan diri untuk berkontestasi dalam pilkada berdomisili di kota
kabupaten Pinrang. Kedua, birokrasi tertentu dimana bangsawan ini pernah
menduduki suatu jabatan, sehingga melalui ranah pemerintahan ini diharapkan
mampu menjelaskan bagaimana modal sosial itu bekerja.
1.8.2.
Teknik Pengumpulan Data
Selanjutnya dalam pengumpulan data melalui 3 proses yakni:
1.
Studi literatur
Studi literatur dilakukan melalui membaca buku-buku yang
berkaitan dengan studi berkuasanya para bangsawan serta jurnal
yang mengkaji hal serupa. Melalui studi literatur ini diharapkan
dapat memperkaya serta memperdalam pengetahuan, teori-teori
serta pemahaman penulis dalam membaca kasus yang dikaji dalam
studi ini.
2.
Studi media
Studi media dilakukan dengan cara senantiasa memantau
perkembangan berita yang disajikan oleh media nasional dan lokal
mengenai proses perpolitikan yang terjadi di tingkat lokal
khususnya di kabupaten pinrang.
3.
Wawancara
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 28
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui interaksi
tanya jawab antara peneliti dengan responden atau pihak yang
diwawancarai, untuk itu diperlukan kemampuan dalam hal
melontarkan pertanyaan kepada responden serta pendengaran yang
baik (dalam hal ini sangat dianjurkan untuk menggunakan alat
rekam selama proses wawancara). Teknik wawancara langsung
secara mendalam dari responden atau pihak yang diwawancarai
diharapkan dapat memperkaya dan memperkuat bukti-bukti
empirik yang terjadi di lapangan.
Adapun aktor-aktor yang menjadi informan atau responden dalam
penelitian ini adalah:

Kandidat yang bergelar Andi terdiri dari 3 orang yakni:
Andi Aslam Patonangi, Andi Irwan Hamid dan Andi
Kaharuddin Machmud;

Tim Sukses masing-masing kandidat terdapat 3 orang
dari masing-masing ketua tim pemenangan pusat para
kandidat;

Tokoh masyarakat yang terdiri dari 2 orang anggota
DPRD Kabupaten Pinrang, 3 orang tokoh masyarakat
yang menjadi representatif daerah kemenangan para
Andi.
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 29
1.8.3.
Metode Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan telah diperoleh melalui proses
penggalian data ini, maka peneliti akan melakukan analisa data
yang telah dikumpulkan. Analisa data yang digunakan dengan
metode analisa isi dan analisa wacana. Analisa isi dilakukan
dengan
memaparkan
data
yang
diperoleh
dan
berusaha
mendeskripsikan fenomena-fenomena politik yang terjadi di tingkat
lokal berdasarkan data di lapangan. Sedangkan analisa wacana
dilakukan berdasarkan data yang diperoleh melalu literatur serta
media. Hal ini diperuntukkan untuk mengetahui lebih dalam dan
mengungkapkan studi kasus ini. Penggabungan kedua metode ini
diyakini dapat memperkaya serta mempermudah menganalisa
kasus lebih dalam.
1.9
Sistematika BAB
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab seperti
berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bagian ini berisi tentang latar belakang penelitian yang mencakup
mengenai alur mengapa penelitian ini dilakukan, yang dikarenakan hendak
melihat bagaimana para Andi sebagai bangsawan berproses untuk berkontestasi
dalam rekruitment politik modern yakni Pilkada di Kabupaten Pinrang. Selain itu
dalam bab ini juga menguraikan pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian baik secara teoritik dan akademis, serta menguraikan konsep yang
digunakan dalam menganalisa kasus. Selanjutnya terdapat metodologi penelitian
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 30
untuk membantu peneliti dalam memperoleh serta mengolah data sesuai kasus
yang dikaji.
Bab II: Kepemimpinan Andi di Kabupaten Pinrang
Bagian ini mengungkapkan bagaimana dinamika kekuasaan Andi di
Kabupaten Pinrang. Mulai dari konteks keadaan sejarah, demografi, struktur
masyarakat Pinrang, pranata sosial yang identik dengan suku bugis yang memiliki
struktur masyarakat berdasarkan kasta, dan karakter masyarakat sebagai gambaran
umum masyarakat Pinrang dan kebudayannya.
Bab III: Keturunan Bangsawan dalam Arena Kuasa
Bagian ini mencoba menggambarkan proses Andi terjun dalan ranah
politik lokal, Mulai dari awal karier mereka seperti menjabat di lingkup birokrasi
kemudian bergabung di partai politik. Dalam ranah birokrasi tentunya melihat
jabatan-jabatan mereka seperti: jabatan strategis yang diperoleh oleh para Andi ini
merupakan upaya jejaring politik kekerabatan dalam mendapatkan serta
mempertahankan kekuasaan di pemilukada yang dilaksanakan pada bulan
September 2013. Serta peran Andi dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik.
Bab IV: Peta Pertarungan Andi di Arena Pilkada
Bagian ini akan menjelaskan proses pertarungan para Andi yang
notabene sebagai suatau kelompok identitas kultur suatu wilayah justru saling
berkontestasi dan mengalami keretakan pada kelompok tersebut. Keretakan
tersebut tentunya memicu konflik yang meski tidak muncul di permukaan tetapi
terlihat jelas dari kontestasi di arena politik khususnya pilkada di Pinrang. Sebagai
kelompok yang terpecah belah tentunya memiliki strategis serta kerja keras dalam
Bangsawan dalam Politik Lokal
Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang | 31
mendapatkan dukungan baik internal keluarga mereka sendiri hingga masyarakat
umum. Dalam mendapatkan dukungan tesebut menggunakan modal yang
kemudian dimanfaatkan oleh para Andi, modal inilah yang memiliki peranan
penting dalam kontestasi di panggung politik lokal. Disini ditunjukkan modal apa
yang berpengaruh dalam mendoktrin masyarakat yang membentuk pola pikir
dalam menentukan pilihan. Selain itu dijelaskan bagaimana konsep falsafah hidup
orang bugis yang mengacu pada pangaddareng dan lontara menjadi pegangan
para Andi dalam menunjukkan dominasinya di masyarakat.
Bab V: Penutup
Pada bagian penutup ini akan menyajikan kesimpulan dari hasil penelitian. Serta
bagaimana refleksi teoritik dari Pierre Bourdieu dalam menganalisa kasus
kontestasi para Andi di Masyarakat Kabupaten Pinrang.
Download