bank1.

advertisement
Tugas
: Bank dan Lembaga Keuangan
Materi
: Kesehatan Bank
Kelas
: 2EA01
Mariyah (10206587)
Nita Asyifa (10206682)
Sarah Safirda (10206883)
Tri Purwanti (10206984)
PENDAHULUAN
Setiap kali ada bank yang ditutup, masyarakat senantiasa panic dan gelisah akan
nasib uangnya. Kejadian itu selalu saja terjadi baik ketika dizaman program penjaminan
dan ketika tidak ada program penjaminan dicabut diganti dengan lembaga penjaminan
simpanan (LPS) tentu kondisinya lebih berat , karma simpanan masyarakat yang dijamin
hanya sebesar 100juta pada tahun 2007.
Selama ini risiko bank yang sama rata sama rasa. Tidak peduli itu bank sehat atau
bank tidak sehat, juga, apakah bank itu kecil atau bank itu besar. Semua risilo bank sama
karena memang dalam lindungan program penjaminan. Artinya, jika ada sebuah bank
yang bangkrut maka uang nasabah akan diganti seratus persen program penjaminan ini
dimaksudkan untuk memilihkan kepercayaanmasyarakat terhadap perbankan.
Untuk itu masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih bank. Selain harus melihat
bank pilihannya itu sehat tapi juga pastikan bank pilihannya itu dijamin oleh lembaga
penjamin simpanan (LPS). Jadi tetaplah hati-hati dalam memilih bank, karena memilih
bankdijaman sekarang itu tergantung pilihan anda sendiri karena resikonya berada
ditangan anda sendiri.
Setelah kebijakan perbankan April 1999 Indonesia memiliki sekitar 170 bank
komersial. Dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis hal ini berati bahwa sampai
kebijaksanaan terakhir tersebut telah lebih dari 60 bank dicabut ijin usahanya atau ditutup
menurut istilah yang, meskipun kurang tepat secara hukum, lebih menggambarkan
kenyataan yang terjadi di masyarakat.
Dari penutupan bank-bank ini yang nampaknya kontroversial dan banyak dibahas
dimasyarakat, baik di dalam maupun luar negeri adalah mengenai penutupan 16 bank
pada permulaan Nopember 1997. Krisis yang perkepanjangan, sangat dalam serta luas
dampaknya sering sekali dikaitkan dengan penutupan bank yang minimal dianggap
kurang tepat dilaksanakan ini.
Penutupan bank sejak dilaksanakannya kebijaksanaan liberalisasi perijinan
pembukaan bank melalui Pakto 1988 merupakan suatu yang mendekati tabu. Sejak waktu
itu penutupan bank baru terjadi pada kasus Bank Summa tahun 1992. Kemudian setelah
Indonesia mengalami krisis dilaksanakan kebijakan menutup 16 pada permulaan
Nopember 1997 yang menjadi kontroversial. Akan tetapi, anehnya setelah itu dilakukan
beberapa kali pencabutan ijin usaha, termasuk pembekuan oprasi bank-bank yang
meliputi lebih dari 50 buah yang tidak menimbulkan kejutan ataupun kontroversi lagi.
Seolah-olah masyarakat telah menerima atau terbiasa dengan kebijakan pencabutan ijin
usaha bank.
Memang dari pelaksanaan program stabilisasi dan pemulihan ekonomi nasional
dengan dukungan IMF dengan 'stand-by arrangement' sejak Nopember 1997, yang
nampaknya paling kontroversial adalah mengenai penutupan 16 bank yang tidak solvent
sebagai bagian dari restrukturisasi perbankan1. Berkaitan dengan peran IMF dalam
penanggulangan masalah krisis Asia, mungkin kritik terhadap kebijakan ini lebih
mengemuka dibanding dengan kritik klasik mengenai pengetatan likuiditas dengan suku
bunga sangat tinggi dalam kebijakan stabilisasi dalam suatu prekonomian yang
memperoleh bantuan IMF. Pengetatan likuiditas ini selalu mewarnai kebijakan yang
berkaitan dengan obat pahit IMF dalam membantu perekonomian yang menghadapi
masalah moneter karena ketidak seimbangan fiskal atau neraca pembayaran.
Tulisan ini secara singkat membahas latar belakang permasalahan penutupan bank
Nopember 1997serta proses pengambilan kebijaksanaan dan implikasi serta kebijakan
yang mengikutinya. Tulisan singkat ini diharapkan dapat menambah kejelasan masalah
dan dalam beberapa hal meluuruskan pengertian mengenai berbagai hal yang beredar di
masyarakat yang kurang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Ini mudah-mudahaan
dapat melengkapi pencatatan sejarah mengenai apa yang terjadi waktu itu, suatu periode
pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kadang-kadang membingungkan dan mungkin
kontroversial. Yang jelas krisis itu sendiri telah menimbulkan dampak yang sangat besar
di masyarakat. Karena itu upaya untuk memperjelas permasalahan menjadi penting agar
kita dapat belajar dari apa yang terjjadi; tidak mengulangi kebijakan yang ternyata tidak
tepat dan lebih menyempurnakan kebijakan yang telah menunjukkan hasil baiknya.
Kritik yang banyak dilancarkan terhadap tindakan mencabut ijin usaha atau
menutup 16 bank menyangkut hal - hal sebagai berikut:
a. Mereka yang mengatakan bahwa penutupan ini gagal karena Indonesia belum
memiliki program asuransi deposito sehingga terjadi penarikan dana perbankan
besar-besaran secara bersamaan setelah itu
b. Mereka yang melancarkan kritik dengan alasan bahwa bank yang lemah masih
lebih banyak lagi dari itu, jadi masalahnya adalah bahwa bank yang ditutup
seharusnya lebih banyak lagi.
c. Mereka yang melancarkan kritik dengan alasan yang bersifat individual,
memprotes tindakan penutupan bank mereka dengan alasan adanya bank-bank
lebih buruk kondisi kesehatannya yang justru tidak dicabut ijin usahanya.
d. Mereka yang mengatakan bahwa penutupan ini dilatar belakangi oleh motivasi
yang bersifat politis untuk menjatuhkan bank-bank milik pengusaha tertentu atau
sebagai upaya untuk mencermarkan keluarga Presiden Suharto.
PEMBAHASAN
Bank yang sehat adalah bank yang dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan
baik, yang dapat menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan
fungsi intermediasi , dapat membantu kelancaran lalulintas pembayaran serta dapat
dipergunakan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan , terutama kebijakan
moneter. Dengan menjalankan fungsi tersebut bank dapat memberikan layanan yang baik
kepada masyarakat dan bermanfaat bagi perekonomian Indonesia.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik , bank harus mempunyai modal
yang cukup, menjaga kualitas asetnya dengan baik dan dioprasikan berdasarkan prinsip
kehati-hatian,
menghasilkan
keuntungan
yang
cukup
untuk
mempertahankan
kelangsungan usahanya, sehingga dapat memenuhi kewajibannya.
Pasal 29 UU no. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU no.10 tahun
1998 tentang perbankkan, bank wajib memelihara tingkat kesehatannya sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen ,likuiditas, rehabilitas ,
serta aspek lain yang berkaitan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha
sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Mengingat peranan industri perbankkan yang sangat strategis dalam perekonomian,
yang berkepentingan terhadap tingkat kesehatan bank tidak hanya pemilik dan pengelola
bank yang bersangkutan , tetapi juga masyarakat secara keseluruhan terutama para
pengguna jasa perbankkan.
Predikat tingkat kesehatan bank:
1. 81 - 100
predikat sehat
2. 66 - <81
predikat cukup sehat
3. 51 - <66
predikat kurang sehat
4. 0 - <51
predikat tidak sehat
CETAK BIRU PERBANKAN NASIONAL
AGENDA
Bagian 1
1.
2.
3.
4.
Kriteria Kesehatan Bank
Tahapan penyusunan Cetak Biru Perbankan Nasional
Pemetaan Perbankan Nasional
Alternatif Penyehatan Perbankan Nasional
Bagian 2
1. Membuat klasifikasi dari bank-bank nasional berdasarkan posisi keuangan dan
karakteristik bisnis
2. “Stress Testing” posisi keuangan berdasarkan skenario tingkat suku bunga dan
nilai tukar yang berlaku
3. Konsolidasi Bank-Bank Nasional berdasarkan posisi keuangan dan karakteristik
bisnis
Catatan: Bagian 1 disampaikan pada Sidang Kabinet tanggal 12 April 2001
KRITERIA KESEHATAN BANK
Pada akhir tahun 2001 Bank harus memenuhi persyaratan Kesehatan Bank dari Bank
Indonesia :


CAR minimal 8 %
NPL maksimal 5 %
TAHAPAN PENYUSUNAN CETAK BIRU PERBANKAN
1. Langkah
1
:
Analisa CAMEL berdasarkan peraturan Bank Indonesia untuk mengklasifikasikan
Bank sehat dan Bank tidak sehat
2. Langkah
2
:
Klasifikasi
Bank
Proses penyaringan Bank sehat menjadi Bank kuat dan Bank lemah
Parameternya adalah sebagai berikut :
1. Kualitas SDM
 Manajemen profesional
 Uji kepatutan (Fit and Proper Test) pemegang saham
2. Kemampuan finansial
 Tingkat permodalan
 Skala ekonomi


Efisiensi dari akumulasi dana / pendanaan
Kemampuan menyalurkan kredit kepada sektor riil
3. Tingkat keunggulan kompetitif secara regional
4. “Good
Governance”
Manajemen kredit yang “prudent”
3. Langkah
3
:
Evaluasi terhadap Nilai Waralaba (“Franchise Value” untuk Bank yang tidak
sehat.
Melakukan evaluasi terhadap Nilai Waralaba (“Franchise Value” dari Bank yang
tidak sehat untuk menentukan apakah Bank tersebut diikutsertakan dalam proses
konsolidasi atau harus ditutup.
4. Langkah
4
:
Pemetaan
Perbankan
Nasional
Proses pemetaan Bank yang kuat dan Bank yang lemah untuk menentukan posisi
relatif
dari
setiap
Bank
di
dalam
Perbankan
Nasional
Proses pemetaannya berdasarkan :
o Segmen pasar
o Jenis produk
o Jumlah cabang
o Budaya perusahaan
5. Langkah
5
:
Proses
Pengelompokan
Proses untuk menentukan Kelompok Bank dengan cara:
1Penggabungan Bank-Bank (“Merger Banks”)


Tidak diperlukan injeksi modal
Diperlukan injeksi modal
2 Bank berdiri sendiri (“Stand Alone Banks”


Tidak diperlukan injeksi modal
Diperlukan injeksi modal
Bukan karena tidak adanya asuransi deposito
Memang sebenarnya sangat ironis bahwa penutupan bank tidak solvent, yang
dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah dan
perbankan yang merosot sejak terjadinya krisis ini akhirnya justru menimbulkan dampak
sebaliknya, yaitu menghilangkan kepercayaan tersebut. Bahwa kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan justru hilang setelah tindakan penutupan bank-bank pada permulaan
Nopember 1997 memang sudah menjadi kenyataan yang tidak bisa dibantah. Akan tetapi,
apakah tepat untuk mengatakan bahwa penutupan bank ini gagal mencapai sasaran yang
diinginkan karena Indonesia pada waktu itu belum memiliki suatu skim asuransi
deposito? Argumen ini banyak dikemukakan di masyarakat, baik dalam tulisan maupun
pembahasan, termasuk oleh pakar sekaliber Professor Sachs dari Universitas Harvard
dalam tulisannya mengenai krisis di Indonesia.
Saya tidak sependapat dengan argumen tersebut. Mengapa demikian? Karena
sepanjang yang bisa saya amati program asuransi deposito pada umumnya hanya
memberikan pertanggungan atau garansi secara terbatas, seperti kepada pemilik deposito
sampai jumlah tertentu saja. Di Amerika Serikat misalnya, Federal Deposit Insurance
Corporation (FDIC) hanya memberi pertanggungan pada deposan maksimal sebesar USD
200 ribu. Artinya kalau terjadi penutupan bank, maka deposan akan menerima kembali
uang mereka dari lembaga ini hanya sampai maksimal sebesar 200 ribu dollar. Untuk
deposan yang menitipkan deposito lebih besar dari jumlah ini, pengembaliannya
disesuaikan dengan penyelesaian hak dan kewajiban bank yang ditutup tersebut.
Bagaimana dengan langkah yang ditempuh Indonesia berkaitan dengan penutupan
bank bulan Nopember 1997? Dalam hubungan ini Pemerintah dalam Sidang Kabinet
pada tanggal 3 September 1997 memutuskan bahwa terhadap bank-bank tidak sehat yang
tidak dapat diselamatkan lagi melalui proses merger atau yang lain, akan dilakukan
pencabutan ijin usaha mereka dengan sejauh mungkin memperhatikan kepentingan
deposan, terutama deposan kecil. Dengan memperhatikan apa yang pernah dilakukan
pada waktu penutupan Bank Summa tahun 1992, maka Pemerintah memutuskan untuk
menjamin pengembalian dana deposan dan penabung sampai dengan jumlah 20 juta
rupiah. Pembiayaan untuk pengembalian dana deposan kecil ini diambil dari dana
talangan Bank Indonesia2.
Dalam pelaksanaannya BI mempersiapkan team yang menanganinya secara
sangat bagus, sehingga pembayaran kepada pemilik dana yang dijamin seluruhnya ini
berjalan sangat baik, tanpa ada peristiwa yang bisa digambarkan sebagai kekacauan. Ini
berbeda dengan suasana pada waktu dilakukan penutupan bank-bank pada waktu depresi
tahun tiga puluhan menurut gambaran yang diberikan para ahli mengenai peristiwa tragis
waktu itu. Mungkin tidak banyak diketahui bahwa operasi ini menyangkut lebih dari 400
kantor bank-bank yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Operasi ini harus melayani
pengembalian dana kepada pemilik dana yang seluruhnya berjumlah lebih dari 800 ribu
rekening. Ini merupakan suatu operasi nasional yang sangat rapi dilaksanakan BI dengan
bantuan masyarakat perbankan dan aparat keamanan.
Dari pelaksanaan langkah-langkah tersebut bisa dikatakan bahwa dalam
penutupan bank permulaan Nopember 1997 tersebut pemilik deposan kecil memperoleh
kembali dana mereka. Bukankah deposan kecil ini yang dijamin oleh kebanyakan
asuransi deposito? Bukankah ini yang dilaksanakan oleh BI pada periode satu minggu
dimulai tanggal 13 Nopember 1997? Bukankah ini berarti bahwa janji Pemerintah kepada
deposan, seperti diumumkan pada 3 September 1997, melalui kerja keras pegawai BI
dengan bantuan Perbanas dan banyak pihak itu dilaksanakan dengan baik sehingga tidak
ada protes dari deposan kecil ini secara berarti?
Jadi seandainya telah ada asuransi deposito waktu itu yang dijamin juga mereka
ini. Apakah seandainya skim jaminan deposito telah ada waktu itu akan menghalangi
bank run yang terjadi? Saya tidak yakin. Kenyataannya adalah bahwa pembagian dana
milik deposan kecil ini berjalan sangat tertib, tidak ada panik dari mereka ini yang dapat
diketakan sebagai penyebab timbulnya bank run menurut gambaran krisis perbankan dari
tiadanya skim asuransi deposito. Dari pengalaman tersebut saya sulit menerima argumen
yang mengatakan bahwa kegagalan penutupan bank waktu itu adalah karena belum
adanya program asuransi deposito. Kenyataan bahwa Indonesia belum memiliki skim
suransi deposito perbankan waktu itu dan adanya bank run setelah terjadinya penutupan
16 bank, keduanya saya terima akan tetapi menurut pendapat saya keduanya tidak
membuktikan adanya hubungan sebab-akibat. Argumen yang menunjukkan bank run
disebabkan oleh tidak adanya asuransi deposito menurut saya terlalu berpijak pada buku
teks.
Kalau begitu mengapa terjadi bank run pada banyak bank setelah dilakukan
penutupan 16 bank? Dari pengamatan terhadap apa yang terjadi waktu itu saya melihat
bahwa ketidak percayaan masyarakat terhadap perbankan yang akhirnya melumpuhkan
perbankan bukan dari deposan kecil yang jumlahnya besar ini melainkan dari pemilik
dana jumlah besar yang meskipun tidak banyak akan tetapi nilai dana mereka sangat
besar. Tindakan para pemilik dana besar inilah yang sebenarnya menguras dana
perbankan. Mereka ini dalam program asuransi deposito di manapun juga tidak dijamin3.
Karena itu saya tidak yakin bahwa seandainya Indonesia telah menerapkan program
asuransi deposito waktu itu, penutupan bank bulan Nopember 1997 tentu tidak
menimbulkan kepanikan yang menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Tetapi mungkin orang akan bertanya, kalau begitu apakah saya yakin bahwa
penutupan 16 bank itu jelas akan menyebabkan dampak seperti yang terjadi, hilangnya
kepercayaan terhadap perbankan? Kalau ya, mengepa rencana penutupan tetap saya
dukung dan kemudian jalankan? Saya memang percaya bahwa bank yang tidak solvent
itu harus ditutup. Tetapi memang tidak bisa mengetahui sebelumnya bahwa tindkan ini
akan menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Perlu disadari bahwa hilangnya kepercayaan masyarakat yang diikuti dengan rasa
panik dan tindakan menarik dana dari bank-bank yang dianggap lemah dan beresiko
tinggi untuk diselamatkan ke bank-bank yang dianggap lebih aman (flights to safety) itu
berasal dari berbagai pihak. Hilangnya kepercayaan datang dari deposan atau penabung,
dan dari sesama bank sendiri, semula antar bank di dalam negeri kemudian antara bankbank nasional dengan bank-bank relasi mereka di luar ngeri. Dunia usaha juga tidak
mempercayai bank sehingga perdagangan pada waktu krisis banyak yang hanya terjadi
kalau pembayarannya dilakukan secara tunai, tidak menggunakan jasa perbankan.
Hilangnya kepercayaan antara satu bank dengan yang lain telah menyebabkan
jalannya pasar uang antar bank menjadi terganggu, karena ketidak percayaan antar bank
setelah adanya keketatan likuiditas. Dalam pasar uang antar bank terjadi pengelompokan,
dimana sebagian bank dianggap relatif aman, seperti bank-bank Pemerintah dan bank
asing serta campuran serta beberapa bank swasta besar. Bank-bank kelas menengah
dianggap kurang aman, apalagi bank-bank kecil, mereka dianggap tidak dapat memberi
jaminan keamanan nasabah ataupun antar bank4.
Keadaan di atas juga menjelaskan mengapa bank-bank Pemerintah tidak banyak
menerima bantuan likuiditas BI atau BLBI selama krisis, kecuali Bapindo dan Bank
Exim. Bank-bank Pemerintah dianggap aman oleh pemilik dana, maka dari itu mereka
tidak kehilangan dana nasabah, bahkan sebaliknya banyak dana nasabah dipindahkan dari
bank-bank swasta ke bank-bank Pemerintah. Karena tidak menderita erosi deposito dan
tabungan, mereka tidak menghadapi masalah kekurangan likuiditas. Karena itu tidak
memerlukan BLBI, berbeda dengan banyak bank-bank swasta waktu itu. Tetapi hal ini
tidak disebabkan oleh kondisi bank-bank BUMN ini yang lebih sehat dari bank-bank
swasta. Persepsi memang lebih menentukan dari substansi. Ini yang 'menyelamatkan'
bank-bank Pemerintah dari memiliki saldo negatif dengan BI. Karena itu tidak
memerlukan BLBI.
Mungkin perkembangan akan berbeda sekiranya dari permulaan diberikan suatu
garansi yang menyeluruh (blanket guarantee), seperti yang diterapkan pada akhir Januari
1998. Mengapa program ini tidak dilaksanakan sebelum atau bersamaan dengan
penutupan bank bulan Nopember 1997 dilakukan? Apakah ini suatu kesalahan? Setelah
semua berlalu mungkin kita bisa mengatakan demikian.
Mengenai hal ini kiranya perlu diungkapkan di sini untuk keperluaan pencatatan
peristiwa yang sebenarnya terjadi waktu itu. Dalam pembahasan dengan team IMF untuk
memperoleh bantuan 'stand-by arrangement', pada waktu mempersiapkan segala
sesuatunya untuk mencabut ijin usaha bank yang insolvent, pihak IMF tidak pernah
menyinggung sama sekali mengenai pemberian 'blanket guarantee' tersebut. Seingat saya
pihak IMF justru secara spesifik menyebutkan perlunya memberi jaminan pada deposan
kecil saja. Mengenai hal ini dari semula memang telah dipikirkan berdasarkan
pengalaman penutupan Bank Summa. Dengan demikian pihak IMF juga belum memikir
mengenai 'blanket guarantee' pada waktu pertama dilakukan perundingan bulan Oktober
1997 untuk mempersiapkan 'letter of intent' pertama. Blanket guarantee baru muncul
setelah dampak penutupan 16 bank ternyata sebaliknya dari yang diharapkan. Kecuali
kalau IMF menyembunyikannya dari team ekonomi Indonesia. Saya yakin tidak
demikian. Ini semua diunglkapkan bukan untuk mengalihkan kesalahan, tetapi untuk
membuat catatan mengenai apa yang terjadi waktu itu
Saya juga ingin menunjukan di sini bahwa pada waktu pembahasan mengenai
'blanket guarantee' dilakukan sebagai kelanjutan dari program yang disepakati dalam
'letter of intent' kedua, pertengahan Januari 1998, saya dan saya kira juga rekan-rekan
team ekonomi telah mengajukan keberatan, apalagi dengan penjaminan atas pinjaman
perbankan. Sebagaimana kemudian kita melihat, program pemberian garansi secara
menyeluruh ini akhirnya diterapkan pada akhir Januari 1998 untuk waktu dua tahun.
Akan tetapi perlu pula diketahui bahwa skim ini diterapkan oleh semua negara-negara
yang meminta bantuan IMF di Asia (Thailand, Indonesia dan Korea serta Philipina).
Bahkan Malaysia yang tidak meminta bantuan juga menerapkannya.
Bagaimana seandainya jaminan menyeluruh ini diterapkan sebelumnya? Ini
mungkin memang akan menolong. Akan tetapi kalau ini diberlakukan dimuka, bank-bank
akan lebih lagi bertindak dengan kurang memperhatikan resiko. Saya kira kalau ini
dilakukan maka jelas akan menimbulkan apa yang dikenal sebagai 'moral hazard',
perbankan akan lebih kurang berhati-hati di dalam operasi mereka.. Tanpa ada jaminan
saja perbankan dan dunai usaha kebanyakan berperilaku seolah-olah ada jaminan ini.
Seperti kebanyakan masalah moneter, sifatnya dilematis. Setelah semua terjadi mungkin
kita akan cenderung mengatakan sebenarnya harus demikian. Padahal kalau dari semula
telah diterapkan hal ini jelas menimbulkan masalah moral hazard. Semua alternatif
memang ada implikasinya, dan kita tidak dapat dengan yakin mengatakan sekiranya
semula dilakukan A atau B maka hasilnya pasti lebih baik, atau sebaliknya.
Sebenarnya setelah semua ini terjadi sekarang kita bisa mengatakan bahwa yang
dilakukan akhir Januari dengan memberikan jaminan menyeluruh itu adalah suatu
tindakan yang didorong keadaan yang luar biasa, yaitu hilangnya kepercayaan kepada
perbankan dalam suatu krisis yang dahsyat, baik dari nasabah maupun sesama bank.
Kebijakan ini merupakan tindakan penyelamatan terhadap sistim perbankan yang
terancam hancur sama sekali dengan penarikan dana dalam perbankan secara bersamasama, dengan terhentinya pasar uang antar bank dan dengan dihentikannya semua
fasilitas dari bank-bank di luar negeri kepada perbankan nasional, seperti pinjaman untuk
pembiayaan perdagangan (trade financing) maupun apa yang dikenal sebagai money line.
Dalam keadaan normal fasilitas antar bank tersebut di atas merupakan suatu
kebiasaan yang selalu dilakukan dalam dunia perbankan. Akan tetapi memang suatu yang
mengejutkan bahwa pada waktu kepercayaan hilang, fasilitas ini juga langsung hilang.
Tidak hanya itu, bank-bank koresponden selsain menghentikan fasilitas ini juga meminta
semua yang masih terhutang dilunasi. Ini semua merupakan tambahan beban pada
perbankan yang sudah sangat berat karena kurs rupiah yang terus terpuruk sedangkan
pengembalian pinjaman tersendat-sendat karena sektor riil yang tertekan pula. Dalam
keadaan normal, tidak masuk akal ada otorita yang bersedia menerapkan suatu blanket
guarantee. Ini perlu diingat dalam membahas fasilitas BLBI kepada perbankan yang
menjadi menumpuk sangat besar, terjadinya adalah karena keadaan yang tidak normal,
krisis hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Perlu pula dicatat di sini bahwa dalam proses ini kebanyakan pelaku ekonomi
lebih mendasarkan keputusannya pada persepsi yang tidak selalu sama dengan substansi
atau kenyataan sebenarnya. Dalam beberapa hal substansinya lebih buruk dari persepsi
yang dipegang pelaku ekonomi atau sebaliknya. Misalnya dalam proses penyelamatan
dana, pemilik dana memindahkan dananya dari bank yang dianggap kurang memberikan
jaminan ke yang dianggap lebih bisa memberikan jaminan, dari instrumen yang dianggap
kurang dapat memberikan keamanan kepada yang dianggap lebih aman. Apakah
perkiraan atau anggapan ini benar, belum tentu. Misanya kenyataan bahwa akhirnya
semua bank dijamin setelah adanya 'blanket guarantee', kan sebenarnya perkiraan bahwa
bank yang satu lebih aman dari yang lain tidak benar. Demikian pula bahwa menyimpan
dana pada bank-bank Pemerintah dianggap lebih aman dari swasta, basisnya bukan dari
kondisi kesehatannya yang lebih baik seperti jelas nampak setelah pengumuman BI April
1999 yang menunjukkan bahwa kondisi bank-bank pemerintah.
Dirilis, Sistem Baru Penilaian Kesehatan Bank Syariah
JAKARTA- Perkembangan perbankan Syariah saat ini dan ke depan
diperkirakan akan memiliki produk dan jasa perbankan yang semakin beragam dan
kompleks, sehingga eksposur risiko yang dihadapi juga akan meningkat.
''Perkembangan metodologi penilaian kondisi bank yang bersifat dinamis,
mendorong pengaturan kembali sistem penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan
prinsip syariah, agar dapat memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai kondisi saat
ini dan mendatang,'' kata Deputi Gubernur, Siti Chalimah Fadjrijah di Jakarta, pekan lalu.
Dia menjelaskan, meningkatnya eksposur risiko tersebut akan mengubah profil
risiko bank syariah yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank
tersebut. Untuk itulah Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah yang berlaku mulai 24 Januari 2007.
Dalam penilaian tingkat kesehatan tersebut, bank syariah telah memasukkan
risiko yang melekat pada aktivitas bank. Ini merupakan bagian dari proses penilaian
manajemen risiko.
Bank Umum Syariah wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara
triwulanan, yang meliputi faktor-faktor Permodalan (capital), Kualitas aset (asset
quality),Rentabilitas (earning), Likuiditas (liquidity), Sensitivitas terhadap risiko pasar
(sensitivity to market risk), dan Manajemen (management).
financial (permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas
terhadap risiko pasar) dihitung secara kuantitatif dan kualitatif dengan
mempertimbangkan unsur judgement.
Menuju Sistim Perbankan Untuk Mendukung Pembangunan Nasional
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah kerangka menyeluruh, meliputi arah,
bentuk dan tatanan industri perbankan Indonesia dalam jangka lima sampai sepuluh tahun
ke depan, yang berlandaskan pada visi “mencapai suatu sistim perbankan yang sehat,
kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistim keuangan dalam rangka membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.” Saya diminta Panitya Seminar untuk
membahas topik Peta Perbankan yang Mampu Mendorong Pertumbuhan Perekonomian
Indonesia. Di dalam proses penyusunan makalah ini saya merumuskan pesan tersebut
sebagai pembahasan tentang permasalahan yang berkaitan dengan bagaimana perbankan
nasional dapat memberikan dukungan kepada perekonomian nasional dalam konteks
pembangunan nasional yang berlanjut atau sustainable. Hal ini menyangkut perbankan
dalam kaitan yang lebih luas (sistim perbankan) dan hubungan fungsionalnya dengan
perekonomian dan pembangunan nasional, termasuk kondisi yang ada dengan peluang
serta tantangan di dalam dan diluar perbankan. Karena itu saya sedikit merubah topik
pembahasan saya menjadi lebih fokus sekaligus lebih luas atau umum, menjadi Menuju
Sistim Perbankan Untuk Mendukung Pembangunan Nasional. Mengapa demikian
mudah-mudahan nantinya menjadi jelas dalam tulisan atau penyajian saya ini.
Saya menggunakan kerangka ini untuk menggaris bawahi bahwa penyusunan dan
pembangunan industri, dan lebih luas lagi sistim perbankan yang mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi agar berkelanjutan harus mendasarkan pada pengalaman di masa
lalu, termasuk atau terutama dari krisis dan penanggulangannya dan pada visi masa
depan. Karena itu pembahasan saya mengacu pada paradigma baru dalam pembangunan
dengan segala persyaratan, peluang dan tantangan yang berkaitan dengan kondisi intern
(dalam negeri) maupun ekstern (internasional). Sistim perbankan dalam kerangka ini
perlu dilihat dalam kaitannya secara fungsional, baik antar unsur-unsurnya di dalam
sistim perbankan maupun antara perbankan dengan sistim yang terkait secara
menyeluruh, termasuk kelembagaan infrastruktur yang menunjangnya.
Pembahasan saya akan dimulai dengan menunjukkan kerangka dari pembangunan
nasional dalam paradigma baru, diteruskan dengan uraian tentang sistim perbankan untuk
mendukung kebijakan makro sebagai sistim yang ingin ditata kembali Bank Indonesia
melalui program yang dikenal sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia atau API.
Kemudian akan dibahas unsur-unsur dalam sistim perbankan yang dapat mendukung
pembangunan nasional tersebut. API dengan program pelaksanaannya dilihat dengan
referensi kerangka umum tadi, di mana berbagai kekuatan dan kelemahan atau hal-hal
yang perlu diperhatikan akan dikemukakan. Setelah itu akan dikemukakan berbagai
implikasi dan catatan sebagai kesimpulan.
Sebelumnya perlu saya kemukakan di sini bahwa saya tidak mengikuti secara cermat
perkembangan kebijakan dan langkah-langkah yang diambil terhadap perbankan di
Indonesia beberapa waktu terakhir. Karena itu sangat mungkin ada hal-hal yang
terlewatkan atau tidak saya sadari telah menjadi bagian dari program yang berjalan.
Pembangunan Dengan Paradigma Baru
Konsep dasar pembangunan nasional kerapkalai diasumsikan sudah dimengerti dan
diterima semua orang. Padahal kerapkali asumsi ini tidak tepat, karena orang sebenarnya
tidak memperhatikan bahwa apa yang dimengerti dan diterima masing-masing
sebenarnya berbeda satu dengan yang lain. Sering orang berdebat mengenai hal yang
sebenarnya tidak perlu sekiranya semua bersedia kembali kepada pokok
permasalahannya. Karena itu tidak ada jeleknya kita kembali ke pada konsep dasar.
Membangun pada hakekatnya berarti melakukan kegiatan saat ini untuk meraih sasaran
yang baru dapat dicapai dikemudian hari. Karena itu suatu bangsa yang melaksanakan
pembangunan biasanya mempunyai sasaran untuk masa depan yang sebelumnya
disepakati bersama, secara demokratis melalui wakil-wakil rakyat atau ditentukan oleh
mereka yang berkuasa (pemerintah). Dalam sasaran ini dimasukkan hal-hal yang
diinginkan dan diharapkan bersama dan bagaimana mencapainya, memperhatikan modal
yang tersedia – modal dalam arti fisik, sumber daya manusia dan alam serta kelembagaan
yang ada--, peluang yang ada maupun berbagai masalah dan kendala yang menjadi
tantangan bangsa, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar.
Di dalam jargon ekonomi tindakan tersebut merupakan penanaman modal atau investasi.
Penanaman modal ini memerlukan sarana dan prasarana, termasuk sarana pembiayaan,
tabungan dan pinjaman yang menyangkut pemerintah dan sektor swasta. Dalam
hubungan ini lembaga keuangan bank dan non-bank sebagai perantara biasanya
memainkan peran yang besar.
Dalam pada itu banyak yang berpendapat bahwa setelah peristiwa 11 September 2001
dunia telah berubah dan tidak ada hal yang sama dengan sebelum terjadinya peristiwa
tersebut. Di dalam kehidupan ekonomi, keuangan dan pembangunan, khususnya di Asia
hal yang serupa juga berkembang setelah terjadinya krisis 1997/98. Bahkan kita dapat
mengatakan bahwa segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia berubah setelah
terjadinya krisis sangat dahsyat yang bersifat multi demensi itu.
Dalam kaitan ini, pembangunan ekonomi nasional juga tidak sama lagi dengan apa yang
sebelumnya dikenal sebagai Repelita dengan GBHN sebagai pedomannya. Minimal
namanya telah berubah. Kondisi di dalam maupun di luar Indonesia telah berubah dan
karena itu strategi dan kebijakan juga berubah dalam proses penyusunan kebijakan dan
pelaksanaannya.
Dalam arti normatif pembangunan ekonomi nasional tidak dapat lagi berlangsung secara
berkelanjutan atau sustainable tanpa mengindahkan aspek-aspek yang menjadi
conventional wisdom baru setelah terjadinya krisis Asia. Pembangunan ekonomi setelah
krisis harus mengindahkan berbagai hal yang kemudian menjadi suatu paradigma baru
dalam pembangunan.
Dalam hal ini Prof. Joseph Stiglitz merupakan salah seorang yang memformulasikan
konsep paradigma baru pembangunan ini. Menurut peraih Hadiah Nobel Ekonomi ini
pembangunan itu merupakan suatu transformasi masyarakat yang menyangkut perubahan
dari hubungan-hubungan tradisional, cara berpikir yang tradisional, cara-cara tradisional
yang digunakan dalam menangani masalah-masalah kesehatan dan pendidikan, cara
melaksanakan kegiatan produksi tradisional kepada cara-cara yang ‘modern’.
Transformasi yang berhasil harus memperhatikan bukan hanya apa yang kita lakukan dan
strategi serta kebijakan yang dijalankan, melainkan juga proses pelaksanaannya .
Salah satu hal yang sangat penting dalam hal ini adalah tersedianya infrastruktur
kelembagaan yang mampu mendukung proses pembangunan. Krisis Indonesia juga
sangat jelas menunjukkan betapa pentingnya unsur kelembagaan untuk berhasilnya
pembangunan, minimal dalam arti dampak negatif karena ketiadaannya. Kita mengamati
bahwa pembangunan di masa Orde Baru telah memberikan banyak hasil. Akan tetapi
pembangunan ini tidak berlanjut, bahkan kemudian menjadi contoh kegagalan pada
waktu Indonesia menghadapi krisis berdampak penularan atau contagion. Menghadapi
krisis yang dahsyat perekonomian Indonesia menjadi contoh terburuk, a basket case,
karena dengan sengaja atau tidak telah mengabaikan aspek kelembagaan dalam bidangbidang yang diperlukan untuk berlanjutnya proses pembangunan, yaitu kelembagaan
ekonomi-keuangan, sosial, hukum dan politik.
Keberhasilan pembangunan masa lalu tidak berlanjut karena pelaksanaan pembangunan
kurang jeli atau tidak berdisiplin mengikuti proses pembangunan dan implementasi
kebijakan pembangunan. Pembangunan mengabaikan atau kurang memperhatikan
implikaksi yang timbul, terutama dampak negatifnya. Ini nampak dalam proses
deregulasi dan debirokratisasi atau liberalisasi di berbagai bidang yang kemudian ternyata
tidak memberikan hasil seperti yang dijanjikan atau kemudian menimbulkan dampak
negatif yang semula tidak diperhitungkan. Tidak semua orang bersedia menerima
kenyataan atau pernyataan di atas.
Tanpa menjelaskan secara rinci saya ingin menyebutkan apa yang saya amati selama ini
sebagai berbagai contoh untuk mendukung pernyataan di atas. Pengamatan secara lebih
teliti deregulasi perbankan sejak 1983 sampai awal 1990-an akan melihat bahwa perumus
langkah-langkah kebijakan tersebut telah memikirkan implikasi atau pengamanannya.
Akan tetapi apa yang terjadi pada waktu krisis telah menimbulkan pertanyaan bahwa
mungkin hasil dari langkah-langkah tersebut akan berkelanjutan sekiranya sejak semula
lebih jeli diperhitungkan urutan pelaksanaannya (sequencing).
Berbagai komentar dan studi setelah terjadinya krisis menunjukkan hal-hal yang
berkaitan dengan sequencing atau kurangnya perhatian terhadap tersedianya kelembagaan
yang mendukung yang kemudian menyebabkan Indonesia sangat menderita dalam krisis
keuangan tahun 1997/98. Ini menyangkut, misalnya bahwa penguatan kelembagaan
pengawasan bank harus lebih dahulu dilakukan sebelum dilakukan liberalisasi perijinan
perbankan, suatu skim penjaminan deposito harus diterapkan sebelum dilakukan
penutupan bank, besarnya pinjaman jangka pendek harus dikaitkan dengan cadangan
devisa, dan sebagainya. Penyusunan kebijakan deregulasi dan implementasinya secara ini
akan melihat lebih mudah perlunya dipenuhi persyaratan kesiapan kelembagaan atau
bagaimana pengaturan urutan pelaksanaannya .
Pelaksanaan privatisasi yang juga kurang memperhatikan proses pelaksanaannya juga
pada akhirnya menumbuhkan kondisi yang kemudian menjadi bagian dari masalah Orde
Baru, yaitu menjamurnya kelompok kroni sebagai bagian dari KKN. Kebijakan
privatisasi bersama deregulasi yang lekat dengan pendekatan pembangunan yang market
friendly sangat sentral dalam apa yang dikenal sebagai Washington concensus dengan
segala kekuatan dan kelemahannya. Semua ini mencuat setelah krisis melanda
perekonomian nasional dan seluruh aspek kehidupan masyarakat merasakan dampak
negatifnya. Pernilaian demikian menjadi populer terutama setelah berjalannya dan
kebanyakan merasakan pahitnya dampak krisis. Memang sebagian pengamat rajin
menunjukkan bahwa mereka telah berbicara sebelumnya, tetapi saya kira analisis ini
kebanyakan lebih jelas setelah terjadinya krisis, atau dengan perkataan lain mendasarkan
diri pada hindsights.
Sebagai akibat dari tindakan yang keliru atau atau absennya tindakan benar, baik karena
kekurang mampuan aparat (sins of omission) atau karena kesengajaan dalam rangka
praktek-praktek KKN (sins of comission), hasil pembangunan di masa lalu tidak
berlanjut, hilang atau rusak. Setelah krisis orang lebih yakin bahwa kerusakan tersebut
terjadi karena lemahnya prasarana kelembagaan ekonomi yang mengandalkan monopoli
dan oligopoli kapitalisme ersatz dan kelembagaan keuangan, terutama perbankan,
kelembagaan hukum dan peradilan, kelembagaan sosial dan politik yang mengabaikan
proses demokrasi, serta diabaikannya good governance dan tuntutan transparansi dalam
kegiatan sektor publik maupun swasta.
Dari gambaran sangat singkat tadi dapat disimpulkan bahwa pembangunan nasional
merupakan suatu kegiatan untuk mencapai sasaran di masa depan yang menyangkut
transformasi dari sikap dan cara-cara yang memperhatikan keseluruhan aspek kehidupan
dalam keterkaitan serta implikasinya antara yang satu dengan yang lain (holistik), dengan
menggunakan strategi dan pendekatan serta memperhatikan potensi dan peluang yang
terbuka maupun permasalahan dan kendala yang menghadang.
Transformasi yang berhasil dalam arti terlaksananya pembangunan yang berlanjut atau
sustainable tidak hanya tergantung dari penentuan strategi dan kebijakan yang dijalankan
tetapi juga proses pelaksanaannya yang harus didukung oleh kelembagaan yang
mendukung.
Termasuk dalam hal ini adalah tuntutan adanya konsistensi kebijakan mikro-makro,
sektor moneter-keuangan dengan riil dalam perekonomian, bidang ekonomi dan bidang
sosial-politik, serta dukungan dari kelembagaan sosial dan politis yang demokratis,
kelembagaan hukum dan peradilan yang berwibawa dan sektor publik maupun swasta
yang mengindahkan good governance serta tranparansi di dalam kegiatan mereka .
Belajar dari pengalaman pembangunan yang lalu dan krisis serta penaggulangannya
selama ini, baik keberhasilan maupun kegagalan yang kita alami, pemulihan dan
pembangunan harus lebih merata memperhatikan semua aspek kehidupan bermasyarakat
dan bernegara dengan mendasarkan pada asas keadilan dan demokrasi. Dengan lain
perkataan suatu pembangunan yang bersifat menyeluruh, holistik, meminjam istilah yang
dipergunakan Presiden Bank Dunia Wolfensohn.
Pembangunan harus memperhatikan pengembangnan infrastruktur kelembagaan dalam
bidang ekonomi-keuangan, hukum dan sistim peradilan serta sosial dan politik. Sejak
awal 1980-an pembangunan di banyak perekonomian mendasarkan pada pendekatan
yang berpedoman pada tercapainya harga yang benar melalui bekerjanya pasar – yang
diupayakan dengan langkah-langkah liberalisasi dan privatisasi -- sebagaimana
dikembangkan dalam konsensus Washington. Akan tetapi krisis Asia telah
mengetengahkan pentingnya kebijakan yang selain berupaya meningkatkan efisiensi
untuk mencapai harga yang benar harus pula mengusahakan terbangunnya kelembagaan
yang benar.
Perbankan Untuk Mendukung Kebijakan Makro
Krisis keuangan Asia 1997/98 merupakan lonceng yang menggugah otorita moneter dan
kita semua tentang tuntutan tersedianya perbankan yang sehat dan kuat guna
beroperasinya secara berlanjut kebijakan makro dalam perekonomian nasional. Sebelum
itu pendekatan ekonomi makro dalam analisisnya membuat asumsi bahwa sektor
perbankan yang sehat itu sudah dengan sendirinya tersedia dalam perekonomian (taken
for granted). Analisis ekonomi makro tidak pernah secara eksplisit menyebutkan bahwa
perbankan yang sehat merupakan bagian dari fundamantal perekonomian nasional.
Konsistensi mikro-makro merupakan phenomena yang mencuat menjadi sangat penting
baru setelah krisis keuangan Asia berlangsung.
Akan tetapi harus dicatat bahwa sebenarnya sebelum krisis Asia berkecamuk para ahli
dan staff dalam lingkungan International Monetary Fund (IMF) telah melakukan
pembahasan dan membuat berbagai tulisan mengenai hal-hal yang di atas saya sebut
sebagai unsur-unsur dari paradigma baru pembangunan, meskipun semua ini baru
disimak dan mungkin dihayati kebanyakan orang setelah terjadinya krisis keuangan Asia
1997/98.
Setahun sebelum krisis Asia Dewan Eksekutip IMF telah menunjukkan berbagai prinsip
dan persyaratan yang diperlukan untuk tersedianya perbankan yang sehat yang
mendukung pelaksanaan kebijakan ekonomi makro. Ini kelihatan dari formulasi tentang
empat prinsip yang harus dipegang setiap perekonomian guna tumbuhnya perbankan
yang sehat. Prinsip-prinsip itu meliputi;
· Bahwa kesehatan suatu bank pada hakikatnya merupakan tanggung jawab pemilik dan
pengelola bank, sedangkan kesehatan sistim perbankan merupakan perhatian kebijakan
publik
· Kesehatan perbankan terkait erat dengan efektivitas kebijakan ekonomi makro
· Suatu kerangka perbankan ya
Kesehatan Perbankan Lebih Penting dari Premi Penjaminan
Jakarta, Kompas - Kondisi perbankan yang sehat jauh lebih penting dibandingkan dengan
besar premi penjaminan perbankan. Sekalipun bank- bank dikenai premi penjaminan
sebesar 100 persen, jika kondisi perbankan tidak sehat, pemerintah tetap akan
menomboki.
Hal itu dikemukakan Deputi Senior Gubernur bank Indonesia (BI) Anwar Nasution
kepada pers, Kamis (5/2), di Jakarta.
Nasution mengibaratkan premi penjaminan perbankan sebagai asuransi kesehatan. Untuk
nasabah yang sehat, polis asuransi yang dikenakan perusahaan asuransi akan murah.
Adapun bagi nasabah berpenyakit kanker, polis asuransi yang dikenakan akan mahal.
"Maka itu, bagaimana kesehatan perbankan kita, itu yang menentukan besar premi. Kalau
bank-bank itu pada sakit, premi 100 persen juga tetap mengharuskan pemerintah
nombok. Makanya, saya katakan bergantung pada kesehatan perbankan itu," kata
Nasution.
Kesehatan perbankan, lanjutnya, bukan hanya tanggung jawab BI. "Kalau komisaris dan
taukenya tidur-tidur saja, apa yang mau dibikin? Kalau orang-orang yang bermasalah itu
enggak pernah dihukum, apa yang mau dibikin? Jadi, tidak hanya bergantung pada BI,
karena BI enggak punya penjara, BI enggak punya pengadilan, dan BI bukan taukenya,"
katanya.
Besarnya premi penjaminan perbankan yang akan diterapkan Unit Pelaksana Penjaminan
Pemerintah (UP3), lembaga yang untuk sementara akan menggantikan fungsi Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam program penjaminan perbankan, adalah
0,25 persen dari rata-rata outstanding dana pihak ketiga (DPK).
Keberadaan UP3 hanya bersifat sementara, hanya sampai terbentuknya Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Setelah LPS terbentuk, besar premi penjaminan perbankan
bukan lagi 0,25 persen. Menurut Rancangan Undang-Undang LPS, besar penjaminan
perbankan adalah 0,1 persen dari rata-rata outstanding DPK.
Nasution mengatakan, besar premi penjaminan perbankan 0,25 persen yang akan
diterapkan UP3 itu, menurut pengalaman BPPN, sudah bagus. (fey)
Manfaat dan Risiko Penerbitan Obligasi Subordinasi oleh Perbankan
Turunnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia menyebabkan akses untuk memperoleh
dana jangka panjang menjadi semakin murah. Hal ini mendorong maraknya penerbitan
obligasi, termasuk obligasi subordinasi. Dalam setahun terakhir, sekitar Rp 3,5 triliun
obligasi subordinasi diterbitkan perbankan. Obligasi subordinasi memberi benefit bagi
bank maupun sistem finansial. Namun, surat utang ini juga bukan tanpa risiko karena
menimbulkan risiko refinancing pada saat jatuh tempo.
Ukuran pasar obligasi domestik masih relatif kecil sehingga risiko refinancing bukan
tidak mungkin justru memicu risiko sistemik. Selain itu, penerbitan di tengah situasi
perbankan yang sangat kelebihan dana (over likuid) juga mengundang risiko
penyalahgunaan dana obligasi subordinasi tersebut.
Obligasi subordinasi adalah surat utang dengan risiko yang paling tinggi dibanding
obligasi lainnya. Hal ini disebabkan oleh senioritasnya yang lebih rendah dibanding
obligasi lain, sehingga dalam kasus kebangkrutan perusahaan, posisi klaim legal dari
pemegang obligasi subordinasi atas likuidasi aset perusahaan adalah yang terakhir.
Besarnya profil risiko dari obligasi subordinasi menjadikan instrumen tersebut hanya
sedikit di atas pemodal (equity holder). Perusahaan pemeringkat biasanya menempatkan
peringkat (rating) obligasi subordinasi senior di bawah obligasi senior dengan gradasi
sesuai dengan jenis obligasi subordinasi.
Faktor "timing"
Faktor ketepatan waktu (market timing) merupakan salah satu argumen utama yang
mendorong bank melakukan penerbitan obligasi, termasuk obligasi subordinasi.
Turunnya suku bunga SBI membuka akses perbankan terhadap pendanaan jangka
panjang. Hal ini disebabkan turunnya ongkos untuk mendapatkan sumber dana jangka
panjang, seperti tampak dari pergeseran ke bawah dari kurva imbal hasil (yield curve).
Sebagaimana tampak pada grafik, penurunan suku bunga jangka panjang sudah mulai
terjadi pada akhir 2002 dan mengalami akselerasi di awal tahun 2003.
Jika pada awal tahun yield obligasi pemerintah berjangka waktu lima tahun sebesar 15,28
persen, di bulan Februari dan Mei 2003, yield tersebut sudah menurun menjadi 12,18
persen dan 12,12 persen. Hal serupa juga berlangsung di pasar obligasi valas, di mana
turunnya suku bunga global, membaiknya premi risiko negara (country risk premium)
serta meningkatnya appetite terhadap surat utang perusahaan Indonesia terus
menyebabkan yield obligasi valas perusahaan Indonesia terus menurun.
Seperti tampak pada tabel, selisih atau rentang (spread) obligasi valas yang diterbitkan
bank-bank Indonesia telah mengalami penurunan sehingga yield yang dikehendaki
investor juga menurun cukup berarti.
Urgensi untuk memperoleh dana kuasi ekuitas melalui penerbitan obligasi subordinasi
menjadi semakin besar karena pada saat yang sama, peluang memperoleh injeksi modal
sangat terbatas. Ini disebabkan oleh minimnya komitmen pemegang saham, serta
mahalnya biaya memperoleh dana ekuitas dari pasar saham karena rendahnya valuasi
saham perbankan. Hal ini berimplikasi pada besarnya dilusi yang timbul manakala bank
hendak melakukan tambahan modal melalui penerbitan saham baru (right issue).
Sebagai ilustrasi, dengan valuasi perbankan seperti saat ini, ongkos right issue guna
memperkuat permodalan bank dalam hitungan persentase diperkirakan sekitar 20-25
persen.
Mengurangi "mismatch maturity & currency"
Penerbitan obligasi, termasuk obligasi subordinasi adalah konsekuensi logis dari upaya
perbankan untuk mengurangi ketimpangan maturitas antara aset dan kewajibannya
(maturity mismatch). Dengan memperpanjang tenor kewajiban, maka risiko maturity
mismatch menjadi berkurang sehingga dapat mengurangi risiko sistemik perbankan. Pada
gilirannya hal tersebut dapat meningkatkan peringkat dan kinerja perbankan. Begitu pula
argumen currency mismatch menjadi penting karena saat ini perbankan tengah
menghadapi jatuh tempo utang valas sesuai dengan jadwal cicilan utang exchange offer
loan yang dimiliki perbankan.
Saat ini, jumlah utang luar negeri perbankan ada sekitar 5,4 miliar dollar AS, sudah
menurun drastis dibanding posisi di akhir tahun 2000 sebesar 9,7 miliar dollar AS.
Melihat jadwal cicilannya hingga seluruhnya lunas di tahun 2005/2006, maka tahun 2003
merupakan puncak dari pembayaran cicilan utang exchange offer perbankan.
Di tengah sulitnya akses untuk membuka line of credit (fasilitas kredit) dari bank-bank
internasional, penerbitan obligasi subordinasi jelas merupakan salah satu solusi
pengganti.
Mengingat obligasi subordinasi termasuk dalam perhitungan "Tier II Capital", maka
penerbitan obligasi subordinasi merupakan alternatif memperkuat rasio kecukupan modal
(CAR) bank. Urgensi untuk memperkuat permodalan terasa semakin kuat mengingat
struktur neraca perbankan nasional yang masih didominasi obligasi pemerintah. Hingga
bulan April 2003, obligasi pemerintah masih menyumbang 34,7 persen dari total aktiva
perbankan nasional.
Oleh karena itu, upaya mendorong fungsi intermediasi -dalam bentuk ekspansi kredit seyogianya mesti dibarengi dengan kebutuhan akan tambahan modal. Hal ini disebabkan
oleh peningkatan risk weighted assets akibat pengalihan obligasi pemerintah yang
notabene bebas risiko menjadi kredit.
Namun demikian, urgensi untuk memperkuat permodalan demi ekspansi kredit mesti
dicermati secara teliti guna menghindari penyalahgunaan dana untuk kepentingan
spekulatif.
Disiplin pasar
Menciptakan disiplin pasar (market discipline) adalah salah satu pilar yang disepakati
"Basel Accord" sehubungan dengan cara-cara pengelolaan bank yang baik menurut
standar internasional. Argumen market discipline pada intinya menekankan pada
pentingnya keterbukaan (disclosure) untuk mendorong terciptanya praktik pengelolaan
bank yang prudent (aman) dan sound (baik).
Berbagai studi telah mengemukakan bahwa penerbitan obligasi subordinasi dapat
dipandang sebagai salah satu cara efektif untuk meningkatkan market discipline.
Mengapa? Pertama, penerbitan obligasi subordinasi akan memperbanyak pihak-pihak
yang secara langsung terlibat dalam melakukan monitoring terhadap kinerja perbankan.
Pemegang obligasi subordinasi secara tidak langsung dapat mendisiplinkan bank dengan
menghendaki yield yang lebih tinggi atas instrumen utang tersebut manakala terjadi
penurunan risiko kredit bank bersangkutan.
Alasan kedua, sebagai konsekuensi dari hal yang pertama, penerbitan obligasi
subordinasi membuat ongkos dana perbankan menjadi lebih sensitif terhadap perubahan
risiko. Semakin banyak porsi obligasi subordinasi atau surat utang di dalam komposisi
kewajiban perbankan, akan semakin besar pula sensitivitas ongkos dana terhadap
perubahan risiko. Oleh karena itu, obligasi subordinasi dan atau surat utang lain dapat
memicu insentif bagi manajemen bank yang menjaga risiko serta dapat menjadi
"hukuman" (punisment) terhadap perilaku manajemen yang kurang menjaga aspek risiko
dalam setiap penyaluran kredit atau penempatan aset.
Dalam beberapa kasus, pergerakan yield obligasi subordinasi dapat menjadi semacam
early warning indicator tingkat kesehatan perbankan.
Sehubungan dengan itu, obligasi subordinasi dipandang sebagai salah satu alternatif
koreksi terhadap sistem perbankan yang memberi perlindungan terlalu besar terhadap sisi
kewajiban dari bank. Perlindungan yang terlalu besar di sisi kewajiban-baik dalam bentuk
asuransi deposito maupun dalam kasus ekstrem deposito penjaminan-cenderung
menciptakan asimetri karena minimnya sensitivitas cost of fund terhadap perubahan
risiko.
Adanya jaminan atas deposito perbankan membuat suku bunga dana menjadi lebih rigid
terhadap perubahan kualitas aset perbankan. Hal ini pada gilirannya merupakan moral
hazard karena dapat memicu pengelolaan bank secara sembrono. Urgensi untuk
merancang sistem asuransi deposito yang lebih market friendly adalah salah satu agenda
yang kini tengah dilakukan di negara-negara maju untuk lebih memperkuat ketahanan
sistem finansialnya. Usulan untuk membuat penerbitan obligasi subordinasi menjadi
suatu kewajiban (mandatory) adalah salah satu usulan yang melengkapi perbaikan sistem
asuransi deposito perbankan.
Beberapa risiko
Penerbitan obligasi subordinasi juga mengandung risiko, di antaranya: pertama, risiko
refinancing manakala obligasi subordinasi tersebut jatuh tempo. Refinancing risk
dipengaruhi oleh dua hal, yakni kondisi pasar (market risk) dan fleksibilitas keuangan
perusahaan termasuk komitmen pemegang saham. Risiko pasar merupakan komponen
yang amat vital bagi refinancing risk mengingat besarnya volatilitas pasar keuangan-baik
pasar saham maupun pasar obligasi-di Indonesia. Memburuknya kinerja pasar saham
jelas berpengaruh besar pada refinancing risk, karena mengurangi peluang bank untuk
melakukan aktivitas equity fund raising sebagai pengganti obligasi subordinasi yang jatuh
tempo. Begitu pula halnya dengan pasar obligasi. Dengan ukuran pasar obligasi domestik
masih relatif kecil dan basis investor yang sempit, bukan tidak mungkin risiko
refinancing justru berdampak negatif bagi kestabilan perbankan secara keseluruhan.
Risiko kedua berkaitan dengan menurunnya kinerja profitabilitas bank sejalan dengan
meningkatnya beban suku bunga. Secara teoretis, obligasi subordinasi memindahkan
ongkos yang semestinya ditanggung oleh pemegang saham kepada perusahaan dalam
bentuk kenaikan beban bunga. Dengan demikian, penerbitan obligasi subordinasi akan
membuat profitabilitas bank secara relatif mengalami penurunan jika dibandingkan bila
bank yang bersangkutan melakukan injeksi modal. Oleh karena itu masalah penggunaan
dana menjadi sangat krusial di sini.
Risiko ketiga menyangkut kemungkinan penyalahgunaan dana untuk kegiatan berisiko
tinggi. Sinyalemen ini muncul karena kecenderungan maraknya penerbitan obligasi
subordinasi justru muncul di tengah kondisi perbankan yang sedang sangat over likuid.
Beberapa bank yang bahkan menerbitkan obligasi subordinasi di tengah kondisi
kecukupan modal yang memadai serta posisi likuiditas yang solid. Hal ini mengundang
pertanyaan lebih lanjut mengenai penggunaan dana tersebut.
Bukankan kelebihan dana di tengah situasi over likuid dapat memicu kegiatan spekulatif
yang muaranya membahayakan kesehatan perbankan di kemudian hari.
Bertahan Di Tengah Nestapa Tak Berujung
Pemerintah baru saja menandatangani Letter of Intent (LoI) terakhir yang ditujukan
kepada IMF pada 18 Maret lalu. Di dalamnya tercantum target pertumbuhan ekonomi
untuk 2003 sebesar empat persen. Angka ini lebih rendah satu persen dari target semula
sebesar 5 persen sebagai akibat peristiwa pemboman di Bali 12 Oktober 2002.
Belum sampai seminggu LoI ditandatangani, pasukan Amerika Serikat dan sekutunya
mulai menyerbu Irak. Tanpa mempertimbangkan serbuan ke Irak sekalipun banyak
kalangan memandang angka pertumbuhan 4 persen sangat sulit dicapai. Padahal semua
kalangan sepakat bahwa Perang Teluk kedua ini niscaya akan berdampak cukup serius
bagi perekonomian Indonesia.
Seandainya perang berlangsung cepat, dampak langsungnya mungkin tak seberapa.
Namun persoalannya bukan terletak pada besarnya dampak, melainkan pada persoalan
bahwa Indonesia akan semakin lama terperosok di dalam perangkap pertumbuhan
rendah. Keadaan ini semakin diperparah dengan berkecamuknya virus SARS yang
mematikan di kawasan Asia Timur.
Ancaman yang menerpa kita seolah tanpa henti. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam
bentuk kestabilan makroekonomi serta merta bisa dilumatkan oleh peristiwa demi
peristiwa yang sepenuhnya di luar jangkauan kita untuk menepisnya.
Kita tak tahu peristiwa apa lagi yang akan menghadang. Yang pasti kita hidup di dalam
lingkungan yang selalu berubah dan bergejolak. Menghitung besarnya dampak setiap
kejadian memang perlu untuk mengantisipasi langkah-langkah pragmatis yang harus
dipersiapkan. Namun yang lebih penting ialah menyadari sepenuhnya kelemahan
mendasar mengapa kita sedemikian sangat rentannya menghadapi perubahan-perubahan
lingkungan eksternal.
Kita harus menyadari betapa teramat sedikit yang sudah kita lakukan untuk memperkuat
fondasi sehingga tak mudah terhempas dari terpaan angin yang tampaknya akan semakin
kuat. Terpaaan angin itu bisa muncul setiap saat dan dari segala arah yang tak bisa
diperkirakan.
Daya tahan perekonomian kita yang rapuh terhadap gejolak eksternal sepatutnya semakin
menyadarkan kita semua bahwa sejumlah pekerjaan rumah belum terselesaikan secara
tuntas. Bahkan beberapa di antaranya belum kita sentuh sama sekali.
Krisis ekonomi yang sampai sekarang menyisakan beban yang sangat berat di pundak
rakyat belum kita bayar dengan perbaikan yang mendasar dan perubahan perilaku yang
berarti. Ternyata krisis yang sedemikian sangat parah sekalipun belum cukup kuat
menghentakkan alam bawah sadar kita untuk melakukan transformasi.
Fakta yang mudah dijumpai dengan kasat mata ialah krisis tidak melahir
kan perubahan struktural yang mendasar. Di sektor riil misalnya, aset-aset konglomerat
yang sempat dialihkan ke BPPN banyak yang akhirnya jatuh ke tangan pemilik lama.
Mereka dengan suka cita membeli aset-asetnya kembali dengan harga super murah.
Di sektor perbankan bisa dikatakan tak terjadi perubahan mendasar sama sekali.
Indikator-indikator kesehatan perbankan memang menunjukkan sedikit perbaikan, namun
masih semu belaka. Hal ini terlihat dari nilai equity seluruh industri perbankan yang tak
sampai Rp 100 triliun. Padahal keseluruhan kredit bermasalah mencapai dua sampai tiga
kali lebih besar dari nilai equity perbankan. Perhitungan ini termasuk non-performing
loan yang ada di BPPN yang praktis hampir seluruhnya tak kunjung direstrukturisasi dan
pada akhirnya kembali ke industri perbankan baik secara langsung maupun tak langsung.
Jika keadaan ekonomi masih suram maka cukup besar kemungkinannya bahwa
gelombang baru kredit macet akan muncul kembali sehingga menimbulkan krisis
perbankan kedua. Kemungkinan demikian bukan mengada-ada atau bersifat menakutnakuti. Cukup banyak fakta yang mengindikasikan bahwa perbankan kita masih jauh dari
sehat. Indikasi pertama, struktur perbankan tak mengalami perubahan berarti. Yang
terjadi baru sebatas penggabungan bank-bank bobrok ke dalam suatu entitas baru. Bankbank baru dengan entitas dan logo baru itu perilakunya tak jauh berubah. Tak ada satu
inovasi pun yang mereka hasilkan, sehingga yang terjadi cuma sebatas perubahan
kosmetik, yang ironisnya dibiayai oleh rakyat dalam bentuk bunga obligasi rekap.
Mayoritas bank-bank rekap ini bukannya menjadi pelopor perbaikan atau trend setter,
malahan justru yang menghambat penyehatan bank secara keseluruhan.
Jika praktek-praktek demikian terus berlangsung, maka berarti tercipta sistem insentif
yang salah sehingga menimbulkan iklim persaingan yang tak sehat di dunia perbankan.
Bank-bank bobrok dapat hidup dengan gemerlap promosi yang dibiayai rakyat,
sedangkan bank-bank sehat harus mempertahankan hidupnya di tengah himpitan bankbank “sakit” tersebut dan bayang-bayang negative spread.
Bank-bank yang menerima kucuran dana rakyat ini bukannya menjadi pelopor dalam
penyaluran kredit ke usaha-usaha yang sehat dan dinamis berdasarkan kajian yang
seksama. Melainkan menciptakan produk-produk yang justru semakin menjauhkan fungsi
intermediasi perbankan, misalnya dengan maraknya reksadana yang semata-mata
berisikan obligasi rekap.
Kita berharap otoritas moneter dan otoritas pengawas bank mencermati kecenderungan
yang tak sehat ini dengan memodifikasi formula sistem insentif agar perbankan lebih
terpacu untuk menyalurkan kredit.
Proses transformasi memang membutuhkan waktu. Yang kita tuntut di sini ialah langkah
awal yang nyata dan terukur sebagai bagian dari langkah-langkah komprehensif untuk
memperkuat landasan perekonomian.
Seraya menunggu penguatan tahap demi tahap tersebut, kita pun harus dengan sigap
menyelesaikan masalah-masalah mendesak. Masalah pertama ialah mengamankan usahausaha yang masih ada untuk bisa tetap bertahan menghadapi segala macam deraan yang
selalu menghadang. Pencanangan tahun 2003 sebagai tahun investasi jangan sampai
mengalihkan perhatian pemerintah lebih banyak untuk menarik investasi baru sementara
usaha-usaha yang ada semakin banyak yang terkapar.
Di sini isu perburuhan patut memperoleh perhatian khusus. Menghadapi daya beli
masyarakat yang terus turun, sejumlah industri hanya punya satu pilihan untuk tetap
bertahan, yaitu dengan memangkas produksi. Ini membawa konsekuensi pada
pengurangan tenaga kerja. Kalau industri-industri tersebut tak diberikan fleksibilitas
untuk mengurangi pekerjanya maka tak ada pilihan lain kecuali merumahkan seluruh
karyawannya. Pilihan ini bisa menyelamatkan jutaan buruh dari ancaman gelombang
pengangguran massal.
Yang perlu dicarikan jalan keluarnya ialah dengan menciptakan katup-katup pengaman
agar periode transisional ini bisa betul-betul menciptakan ruang gerak bagi dunia usaha
untuk mengembil nafas dalam merestrukturisasi usahanya. Sehingga, akhirnya pemulihan
sektor real akan lebih cepat dan menjadi pendorong munculnya kegiatan-kegiatan baru
yang bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Proses penyesuaian struktural harus dilakukan walaupun pahit. Untuk mengurangi
getirnya dampak dari penyesuaian struktural, maka pemerintah dituntut untuk
mengenyahkan segala rintangan yang berasal dari lingkungan eksternal perusahaan. Yang
paling penting ialah melindungi hak-hak dasar dari pengusaha agar tak
diporakporandakan oleh persaingan tak sehat karena derasnya barang-barang impor
ilegal. Dengan begitu pasar dalam negeri bisa menjadi katup pengaman yang ampuh
untuk meredam gelombang kebangkrutan usaha dan pemutusan hubungan kerja.
Kesimpulan
Penerbitan obligasi subordinasi dapat membawa manfaat bagi perbankan, karena
meningkatkan permodalan, memperbaiki maturity mismatch dan dorongan bagi
terciptanya market discipline. Namun, penerbitan obligasi subordinasi juga mengandung
risiko khususnya risiko refinancing mengingat kondisi pasar saham yang sangat volatile
serta pasar obligasi yang baru berkembang.
Dari sisi cost-benefit, tampaknya penerbitan obligasi subordinasi merupakan
alternatif terbaik bagi perbankan yang menghendaki penambahan modal di tengah
minimnya akses perbankan untuk melakukan equity fund raising.
Yang perlu dicermati lebih jauh mungkin menyangkut penataan agar penerbitan
obligasi subordinasi tidak dilakukan bersamaan sehingga justru memicu risiko
refinancing di kemudian hari.
Di samping itu, masalah penggunaan dana juga menjadi agenda yang krusial,
karena penerbitan obligasi subordinasi di tengah situasi perbankan yang over likuid justru
dapat memicu kegiatan spekulatif yang membahayakan kesehatan di kemudian
hari.Dalam memilih bank kita harus memperhatikan kelima unsur,

Pertama, pilihan bank-bank yang mempunyai rasio keuangan yang sehat kita
harus menghindari bank-bank yang mempunyai kredit bermasalah yang tinggi
jauh diatas ketentuan yang terus meningkat dan rasio permodalan yang terus
menurun.

Kedua, pilihlah bank-bank yang dikelola oleh para professional dan dukungan
pemilik yang mempunyai komitmen dan reputasi baik. Indikatornya , apakah
bank-bank tersebut dikelola oleh banker-bankir yang punya repurtasi baik dan
tidak dikelola oleh keluarga yang tertutup manajemennya. Juga, hindari bank
yang dimiliki oleh pengusaha yang tidak jelas reputasinya.

Ketiga, pilihlah bank yang mempunyai pelayanan baik. misalnya, apakah
pelayanan yang berkaitan sesuai dengan kebutuhan anda, baik dari sisi
kenyamanan, kepercayaan dan akurasinya dalam pelayanan tidak hanya itu,
apakah produk dan jasanya sesuai kebutuhan anda.

Keempat, apakah bank pilihan anda memberikan bunga yang wajar. Waspadai
bank-bank yang memberikan bunga yang tinggi diatas bunga penjaminan atau
bunga pasar.

Kelima, pastikan bank pilihan anda menjadi anggota LPS, sebab jika bank anda
sudah menjadi anggota LPS berarti uan anda dijamin oleh LPS jika pastikan
dengan baik apakah bank anda memberikan suku bunga sesuai dengan LPs-rate.
Banyak unsure mempengaruhi kinerja sebuah bank dan banyak hal yang membuat
bank dikatakan sehat dan mempunyai masa depan. Semua harus dipertimbangkan dengan
masak dan penuh kebijaksanaan. Info lain yang menguntungkan aman dan nyaman
memilih bank tidaklah salah dengan menggunakan pendekatan bibit, bobot dan bebet
yang artinya pilihlah bank yang dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai tradisi bisnis
yang baik. Juga pilihlah bank yang mempunyai kualitas keuangan yang sehat, baik saat
ini maupun dimasa yang akan dating, terakhir pilihlah bank yang dikelolah oleh pengurus
yang professional dengan track record yang baik dan mempunyai reputasi.
DAFTAR PUSTAKA
Rivai, Veithzal dkk. Bank and Financial Institution Management. PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta: 2007
Retnadi, Djoko . Memilih Bank yang Sehat. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta: 2006
www.google.com
www.kompas.com
Download