API-Membangun Fundamental.....Media.26.01.04

advertisement
Membangun Fundamental Perbankan yang Kuat1
Oleh : Dr. Agus Sugiarto2
Industri perbankan nasional saat ini telah memiliki Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) yang merupakan suatu blueprint mengenai arah dan tatanan perbankan nasional
kedepan. API tersebut merupakan policy direction dan policy recommendations untuk
industri perbankan nasional dalam jangka panjang yaitu untuk jangka waktu sepuluh tahun
ke depan. Jelas sekali bahwa API tersebut merupakan suatu banking architecture yang tidak
hanya diperlukan bagi industri perbankan saja melainkan juga sektor keuangan keseluruhan
untuk melihat gambaran atau peta perbankan di masa depan. Keberadaan API tersebut
memiliki tujuan yang sangat fundamental yaitu terciptanya industri perbankan nasional yang
sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan adanya API tersebut memungkinkan kita untuk memiliki industri perbankan
yang kuat dalam jangka panjang sehingga internal maupun external shocks yang datang
secara tiba-tiba seperti misalnya krisis moneter tahun 1998 dapat dicegah ataupun diatasi
dengan baik. Bank-bank diharapkan akan memiliki fundamental yang kuat dalam jangka
panjang sehingga perbankan nasional kita tidak hanya mampu beroperasi di pasar domestik
saja, melainkan juga mampu melakukan penetrasi sampai di pasar internasional. Arah ke
depan perbankan nasional tersebut telah tertuang di dalam Visi API ke Depan (lihat Tabel 1)
sehingga setiap bank akan melihat kembali kemampuan dan sumber daya masing-masing
apakah mereka mempunyai tujuan jangka panjang untuk menjadi bank internasional, bank
nasional atau menjadi bank spesialis yang memliki fokus kegiatan tertentu. Dengan kejelasan
Visi tersebut, bank-bank mulai dari sekarang akan mempersiapkan diri sebaik mungkin
sehingga dalam panjang nanti mereka sudah memiliki tujuan yang jelas apakah ingin menjadi
bank internasional, bank nasional, bank dengan fokus tertentu, dan sebagainya.
1
2
Artikel ini telah dimuat di harian Media Indonesia tanggal 26 Januari 2004.
Peneliti Bank Senior, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia Jakarta. Penulis
adalah anggota Tim Arsitektur Perbankan Indonesia.
2
Tabel 1. Visi Perbankan ke Depan
Permodalan
Rp triliun
Bank
Internasional
Internasiona
50
Bank Nasional
10
Bank dengan fokus:
Daerah
Korporasi
Ritel
Lainnya
0.1
Bank dengan
kegiatan usaha
terbatas
BPR
Tabel 2. Enam Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia
Sistem perbankan yang sehat, kuat, dan
efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan
dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional
Sistem
Pengawasan yang
Independen dan
Efektif
Struktur
Perbankan
yang Sehat
Sistem
Pengaturan
yang Efektif
Pilar 1
Pilar 2
Infrastruktur
Pendukung yang
Mencukupi
Industri Perbankan
yang Kuat
Pilar 3
Pilar 4
Perlindungan
Konsumen
Pilar 5
Pilar 6
3
Untuk mencapai visi tersebut diperlukan kerja keras dan berbagai program dan
kegiatan pendukung. Oleh sebab itu tahap-tahap pencapaiannya harus dilakukan secara
bertahap dan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Program kegiatan untuk mencapai
Visi dimaksud dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh, terdiri dari 19 insiatif
kegiatan yang kemudian dikelompokkan menjadi enam pilar API (Tabel 2).
Struktur perbankan yang sehat
Struktur perbankan yang sehat merupakan sasaran utama bagi industri perbankan di
negara mana saja termasuk di Indonesia sehingga masalah struktur tersebut menjadi Pilar
Pertama dalam API. Dengan adanya struktur perbankan yang sehat, diharapkan kita dapat
memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat. Dalam rangka mendukung terwujudnya
struktur perbankan yang sehat tersebut maka salah satu caranya adalah dengan memperkuat
permodalan bank-bank. Bank-bank umum (konvensional dan syariah) yang memiliki
permodalan dibawah Rp100 miliar harus ditingkatkan sehingga permodalan bagi industri
perbankan harus minimum Rp100 miliar. Modal minimum Rp100 miliar tersebut merupakan
kebutuhan minimum bagi suatu bank untuk dapat menjalankan usahanya dengan baik.
Dengan modal dibawah Rp100 miliar sangat sulit bagi bank untuk mendukung pertumbuhan
kredit yang tinggi karena modalnya terbatas. Selain itu, dengan modal yang kecil dirasakan
cukup sulit bagi suatu bank untuk meningkatkan skala usaha maupun skill level yang dimiliki
serta mengcover risko-risiko yang dihadapi. Modal bank merupakan “engine” dari pada
kegiatan bank, kalau kapasitas mesinnya terbatas maka sulit bagi bank tersebut untuk
meningkatkan kapasitas kegiatan usahanya khususnya dalam penyaluran kredit. Diharapkan
pada tahun 2011 nanti semua bank umum yang beroperasi telah memiliki modal minimum
sebesar Rp100 miliar.
Disamping dengan memperkuat permodalan, struktur perbankan yang kuat juga
dibangun dengan meningkatkan peran serta bank perkreditan rakyat (BPR) dalam peta
perbankan nasional. Struktur perbankan kita perlu didukung oleh BPR yang kuat dan kokoh
sehingga BPR tersebut mampu melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau
terpencil khususnya yang tidak terjamah oleh pelayanan bank-bank umum. Untuk itu daya
saing BPR akan terus ditingkatkan antara lain dengan memberikan kemudahan pembukaan
kantor cabang BPR sehingga BPR akan mampu bersaing dengan bank-bank umum yang
memiliki cabang-cabang di wilayah pedesaan seperti BRI Unit Desa. Selain itu, untuk
4
memperkuat daya saing BPR, maka BPR perlu meningkatkan efisiensi dalam melakukan
kegiatan operasional usahanya. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh BPR dengan melakukan
kerjasama dengan BPR-BPR lain untuk menggunakan fasilitas back office secara bersamasama diantara BPR tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara efisien dengan menekan
overhead cost-nya.
Pengaturan perbankan yang efektif
Struktur perbankan yang sehat sulit untuk diwujudkan apabila tidak disertai dengan
sistem pengaturan yang efektif yang diakomodir sebagai Pilar Kedua di dalam API. Guna
membangun industri perbankan yang kuat harus disertai dengan pembenahan pada sistem
pengaturan perbankan yang telah ada. Untuk itu Bank Indonesia akan memperbaiki proses
penyusunan peraturan dan ketentuan perbankan dengan lebih banyak melibatkan para
stakeholders perbankan dalam proses penyusunannya sehingga peraturan yang dibuat akan
selalu memperhatikan kemampuan stakeholders. Selanjutnya, best practices ketentuan
perbankan yang bersifat internasional yang dikenal dengan 25 Basel Core Principles fo
Effective Banking Supervision akan terus diimplementasikan secara bertahap dalam jangka
panjang. Dengan penerapan 25 Basel Core Principles fo Effective Banking Supervision
maupun ketentuan best practices laiinya seperti the New Basel Accord (Basel II) diharapkan
praktek penyelenggaraan perbankan nasional kita telah memiliki standar yang sama dengan
bank-bank yang ada di luar negeri, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat internasional
terhadap industri perbankan nasional akan semakin meningkat.
Pengawasan bank yang independen dan efektif
Industri perbankan yang sehat juga perlu didukung dengan pengawasan bank yang
independen dan efektif seperti yang tertuang di dalam Pilar Ketiga API. Pengawasan yang
independen dan efektif sangat diperlukan baik untuk saat ini maupun jangka panjang sebagai
jawaban atas meningkatnya kegiatan usaha maupun kompleksitas risiko yang dihadapi oleh
perbankan. Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan jasa perbankan saja, melainkan
juga produk-produk keuangan lainnya seperti misalnya asuransi (bancassurance), assetbacked securities (efek beragun aset)
dan reksadana sehingga sehingga diperlukan
pengawasan yang lebih komleks. Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas
5
bank akan menyempurnakan sistem pengawasan bank dengan terus mengembangkan metode
pengawasan bank yang berbasis pada risiko (risk-based supervision) serta melakukan
konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia. Pembenahan ke dalam
yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia dalam bentuk reorganisasi struktur pengawasan
bank diperlukan untuk memenuhi tuntutan adanya dedicated team yang akan melaksanakan
fungsi pengawasan yang berbasis risiko. Selain untuk meningkakan efektivitas pengawasan,
konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia juga ditujukan untuk
memperkuat pelaksanaan enforcement atas ketentuan dan kebijakan perbankan yang telah
dibuat oleh Bank Indonesia.
Kualitas manajemen dan operasional perbankan
Terciptanya industri perbankan yang kuat merupakan cita-cita kita semua dan untuk
mewujudkannya diperlukan peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan.
Masalah tersebut terkait sekali dengan Pilar Keempat API yang menyangkut berbagai
program untuk menciptakan industri perbankan yang kuat. Peningkatan kualitas manajemen
bank diperlukan untuk meningkatkan good corporate governance dari manajemen bank itu
sendiri, sehingga praktek-praktek perbankan yang tidak sehat (improper behaviour) dapat
diminimalisir atau dihilangkan. Selanjutnya peningkatan kualitas manajemen bank juga
diperlukan untuk memperkecil terjadinya risiko-risiko bank khususnya operational risk yang
pada akhir-akhir ini terjadi pada kasus fraud di Bank BNI dan BRI. Risiko operasional sangat
mudah terjadi pada sistem, prosedur maupun sumber daya manusia apabila manajemen bank
tidak memiliki kualitas manajemen yang baik. Untuk itu, API merekomendasikan risk
manager yang ada pada bank-bank untuk disertifikasi sehingga semua risk manager memiliki
kompetensi yang memadai dalam mengelola risiko bank.
Disamping perlunya kualitas manajemen yang baik, fundamental perbankan kita juga
perlu didukung dengan adanya operasional perbankan yang efisien. Kinerja bank yang efisien
memungkinkan bank-bank untuk menekan biaya serendah mungkin sehingga bank tersebut
mampu meningkatkan profitabilitasnya. Untuk itu API telah merekomendasikan bank-bank
untuk memanfaatkan pemakaian fasilitas operasional perbankan secara bersama-sama
6
(shared facilities) seperti misalnya pemakaian ATMs dan back office, sehingga bank-bank
dapat mencapai economies of scales.
Infrastruktur pendukung
Kehadiran infrastruktur pendukung perbankan sangat dibutuhkan untuk menunjang
industri perbankan yang kuat. Pentingnya infrastruktur pendukung bagi perbankan telah
diakomodasi di dalam Pilar Kelima API. Dari sekian banyak infrastruktur pendukung yang
dibutuhkan oleh perbankan, yang merupakan prioritas adalah tersedianya credit bureau yang
sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk memperbaiki dan mempercepat proses pemberian
kredit dari bank kepada debiturnya. Konsep credit bureau disini adalah tersedianya data
historis kondisi keuangan calon debitur sehingga dengan adanya credit bureau tersebut bank
memiliki kapasitas untuk meningkatkan kualitas kredit sekaligus mengurangi potensi risiko
kredit yang akan muncul. Disamping itu, konsep credit bureau tersebut memungkinkan
terjadi clearing informasi diantara semua lembaga keuangan bank termasuk BPR maupun
bukan lembaga keuangan bukan serta perusahaan-perusahaan ritel sehingga seseorang yang
pernah memiliki kredit macet di perusahaan leasing akan sulit memperoleh kredit dari suatu
bank. Konsep credit bureau yang telah dimiliki oleh negara-negara maju bahkan telah
memasukkan tunggakan rekening listrik dan rekening telpon ke dalam sistem informasi credit
bureau, sehingga seseorang yang pernah menunggak pembayaran listrik akan mengalami
kesulitan membuka rekening di bank kecuali yang bersangkutan harus melunasi utangnya
terlebih dahulu.
Perlindungan konsumen
Perlindungan konsumen perbankan merupakan salah satu permasalahan yang sampai
saat ini belum mendapatkan tempat yang baik di dalam sistem perbankan nasional. Untuk
itulah masalah perlindungan dan pemberdayaan konsumen tersebut mendapatkan perhatian
khusus di dalam Pilar Keenam API. Dengan mengangkat masalah perlindungan konsumen
tersebut ke dalam API, hal ini menunjukkan besarnya komitmen Bank Indonesia dan
perbankan untuk menempatkan konsumen jasa perbankan memiliki posisi yang sejajar
dengan bank-bank. Seringkali kita melihat bahwa nasabah selalu lemah atau pada posisi yang
kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus perselisihan antara bank dengan nasabahnya,
7
sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perbankan bersamasama dengan masyarakat akan memiliki beberapa agenda yang bertujuan untuk memperkuat
perlindungan konsumen. Agenda tersebut adalah dengan menyusun mekanisme pengaduan
nasabah, membentuk lembaga mediasi perbankan (ombudsman), meningkatkan transparansi
informasi produk dan melakukan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat
luas. Dari beberapa program tersebut, pendirian ombudsman untk konsumen perbankan
merupakan suatu hal baru bagi kita karena saat ini dirasakan belum ada lembaga khusus yang
menangani perselisihan antara bank dengan konsumen bank seperti halnya di beberapa
negara lain.
Download