ANALISIS DESKRIPTIF KONDISI VEGETASI DAN SIFAT-SIFAT TANAH PADA SISTEM LAHAN MAPUT (MPT) DAN PENDREH (PDH) DI HUTAN WEHEA KABUPATEN KUTAI TIMUR Muli Edwin Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, Sangatta ABSTRACT. Descriptive Analysis of Vegetation Condition and Soil Properties in Maput (MPT) and Pendreh (PDH) Land Systems at Forest Wehea, East Kutai Regency. The purposes of the research were to determine the structure and composition of vegetation, soil physical, morphology and chemical properties on Maput and Pendreh Land Systems in Forest Wehea, East Kutai Regency. To reveal the condition of vegetation, the species abundance and species similarity index were analyzed. Most of Wehea Forest area consisted of two land systems, they were Pendreh and Maput, both of the land systems had a high species abundance. Species of vegetation found on Maput Land System had many differences with the Pendreh Land System. The differences were caused by differences of some land characteristics and land systems. The main land characteristics that had high effect were differences of slope and elevation. In Maput Land system was found soil of order Ultisol, in Pendreh Land System order Inceptisol. The both order soil had several physical and chemical properties which differed in reference of soil depth, texture, base saturation, soil pH, cation exchange capacity, organic matter content and aluminum content. From the different characteristics of soil properties, together with other environmental factors such as topography or slope and altitude influenced the differences in some species of vegetation presence on both land systems. The information of attributes on the land system showed that most Wehea Forest area had steep slope until very steep. Pendreh Land System and soil Ultisol distributed more dominant in the Wehea Forest area. On Ultisol soil there were still found a high species abundance of vegetation in the Wehea Forest area. Kata kunci: sifat tanah, vegetasi, sistem lahan, Maput, Pendreh, Wehea Kawasan hutan eks-HPH PT Gruti III dengan luas sekitar 38.000 ha sejak tahun 1993 sudah tidak ada aktivitas produksi lagi bahkan areal tersebut cenderung rawan terhadap kegiatan perambahan hutan maupun gangguan lainnya. Padahal, berdasarkan hasil penelitian dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman serta TNC (The Nature Conservancy) diperoleh kesimpulan bahwa kawasan tersebut menyimpan kekayaan biodiversity hutan tropis, baik flora maupun fauna yang sangat tinggi nilainya. Berdasarkan Surat Rekomendasi Gubernur Kalimantan Timur No. 521/2315/Proda.2.1/EK tanggal 15 April 2004, kawasan eks-HPH PT Gruti III telah diusulkan kepada Departemen Kehutanan agar dapat dikelola sebagai kawasan KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus). Salah satu tujuan pengelolaan kawasan eks-HPH PT Gruti III sebagai Hutan Lindung adalah agar ada upaya 181 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 182 penyelamatan, perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan di kawasan tersebut (Anonim, 2005a). Berdasarkan peta sistem lahan Kalimantan Timur setelah dilakukan tumpangtindih (overlay) dengan peta kawasan Hutan Wehea diketahui sebagian besar kawasan hutan tersebut memiliki dua sistem lahan yaitu Pendreh dan Maput. Sistem Lahan Maput merupakan perbukitan batuan bukan endapan yang tidak beraturan dengan kelerengan 0 sampai di atas 40%, batuan mineral dominan yaitu batu pasir, lanau, lumpur dan marl, curah hujan 16004400 mm/tahun serta great group tanah Hapludults dan Dystropepts. Kemudian Sistem Lahan Pendreh merupakan pegunungan batuan sedimen yang tidak beraturan dengan kelerengan 26 sampai di atas 60%, batuan mineral dominan yaitu batu pasir, konglomerat dan lanau, curah hujan 18004400 mm/tahun serta great group tanah Hapludults dan Dystropepts. Sistem lahan itu sendiri menurut Christian dan Stewart (1968) dalam Suharta (2007) merupakan suatu konsep yang didasarkan pada prinsip ekologi dengan menganggap adanya hubungan yang erat antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah dan organism atau vegetasi. Sistem lahan yang sama akan mempuyai kombinasi faktor-faktor ekologi atau lingkungan yang sama di mana pun sistem lahan tersebut dijumpai. Dari beberapa informasi penting yang terdapat pada sistem lahan terdapat pula beberapa kekurangan, antara lain tidak tersedia informasi mengenai sifat fisik dan kimia tanah, sehingga perlu pembuktian lapangan, begitu juga informasi tentang vegetasi alami pada setiap sistem lahan harus perlu penelitian lapangan untuk mengetahui kondisi vegetasi yang terdapat pada setiap sistem lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi serta morfologi, sifat-sifat fisik dan kimia tanah pada Sistem Lahan Maput dan Pendreh di kawasan Hutan Wehea. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan Wehea, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Waktu yang dibutuhkan kurang lebih 6 bulan, yaitu dari bulan Juli 2009 sampai Desember 2009. Penelitian dilakukan dengan cara pengumpulan data melalui survei lapangan untuk mendapatkan data vegetasi pada tingkat pertumbuhan pohon, tiang, pancang dan semai serta data mengenai morfologi dan beberapa sifat-sifat fisik tanah. Untuk sifat-sifat kimia tanah, dari sampel yang dikumpulkan dianalisis di laboratorium. Data sekunder yang digunakan adalah berupa data iklim, jenis tanah, peta sistem lahan dan data-data dari instansi terkait mengenai kawasan Hutan Wehea. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskripsi kuantitatif dan kualitatif. Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari: pembagian sistem lahan Hutan Wehea, pembuatan plot pengamatan, pengambilan data lapangan dan analisis data. Pada masing-masing plot pengamatan di tiap sistem lahan dibuat plot dengan luas 1,6 ha dan jumlah PU (Petak Ukur) sebanyak 40. Pada plot vegetasi juga dilakukan pembuatan profil tanah serta pengambilan sampel tanah untuk analisis laboratorium. 183 Edwin (2009). Analisis Deskriptif Kondisi Vegetasi Untuk data vegetasi dilakukan analisis terhadap Nilai Penting Jenis pada tingkat pertumbuhan pohon, tiang dan pancang menggunakan rumus Curtis (1959) dalam Bratawinata (1998), kemudian untuk vegetasi semai dilakukan analisis SDR n (Sum of Dominance Ratio) menggunakan rumus Numata dkk. (1958) dalam Bratawinata (1998). Selanjutnya untuk menghitung indeks kesamaan komunitas digunakan rumus Sorensen dalam (Bratawinata, 1998). Untuk mendeskripsikan sifat-sifat tanah dilakukan analisis sifat fisik, morfologi dan kimia tanah. Untuk kriteria penilaian kesuburan kimiawi tanah mengacu pada Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah dari Balai Penelitian Tanah, Departemen b Pertanian (Anonim, 2005 ). Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah yang dapat diamati di lapangan mengacu pada Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah dari Puslittanak (Anonim, 2004). Selain deskripsi profil tanah, sifat fisik dan kimia tanah, pada penelitian ini dilakukan juga klasifikasi tanah yang mengacu pada sistem klasifikasi tanah USDA (United States Department of Agriculture). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hutan Wehea merupakan areal eks-HPH PT Gruti III yang mempunyai luas ±38.000 ha, terletak di desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Kegiatan perusahaan dihentikan pada tahun 1993 dengan alasan utama manajemen pengelolaan yang tidak baik. Di beberapa bagian kawasan memang masih terdapat potensi pohon komersil, namun berada pada kelerengan yang curam dan sangat curam, sehingga secara teknis kegiatan pemanenan sulit dilaksanakan (Anonim, 2005a). Plot penelitian di Hutan Wehea berada di bagian timur kawasan Hutan Wehea yang berdekatan dengan HPH PT Gunung Gajah Abadi. Pada lokasi penelitian, baik pada Sistem Lahan Pendreh maupun Sistem Lahan Maput merupakan kawasan yang dulunya eks areal blok RKT (Rencana Kerja Tahunan) PT Gruti III. Lokasi plot pengamatan di Sistem Lahan Pendreh merupakan eks blok RKT tahun 1991/1992, sedangkan pada Sistem Lahan Maput merupakan eks blok RKT tahun 1990/1991. Kedua lokasi penelitian tersebut merupakan kawasan atau areal eks blok RKT yang pernah mengalami gangguan atau ekploitasi dan sudah ditinggalkan sekitar 19 tahun. Kondisi vegetasi yang ditinggalkan tersebut saat ini masih relatif baik. Berdasarkan hasil overlaying (tumpang susun) antara Peta Sistem Lahan Kalimantan Timur dengan peta kawasan Hutan Wehea menggunakan program GIS (Geographical Information System) dengan software Arcgis 9,2 diketahui bahwa kawasan Hutan Wehea tersusun oleh tiga sistem lahan yaitu Pendreh, Maput dan Teweh (Gambar 1). Dari luas keseluruhan kawasan Hutan Wehea, yaitu sekitar 38.000 ha terdapat sekitar 42,87% merupakan Sistem Lahan Maput, 56,87% merupakan Sistem Lahan Pendreh dan sisanya 0,26% Sistem Lahan Teweh. Dari tiga sistem lahan tersebut, terdapat satu sistem lahan yang luasnya sangat kecil, yaitu Teweh dengan luas ±110 ha atau sekitar 0,26% dari luas keseluruhan hutan Wehea, sehingga tidak ditetapkan sebagai objek penelitian ini. JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 184 Gambar 1. Peta Sistem Lahan Hutan Wehea Komposisi dan Kelimpahan Jenis Pada Sistem Lahan Maput ditemukan sebanyak 181 jenis vegetasi mulai dari tingkat pohon, tiang, pancang dan tiang. Pada Sistem Lahan Pendreh ditemukan sebanyak 151 jenis vegetasi seperti disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 1. Jumlah Famili, Genus dan Jenis Semua Tingkat Pertumbuhan Vegetasi di Kedua Sistem Lahan Sistem lahan Maput Pendreh Maput dan Pendreh Famili 48 36 53 Genus 94 75 105 Jenis 181 151 238 Kemudian dari kedua plot pengamatan pada kedua sistem lahan gabungan, jumlah jenis keseluruhan yaitu 238 jenis vegetasi yang sebagain besar merupakan jenis primer dan banyak dikuasi oleh jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae, Myrtaceae, Annonaceae dan sebagainya. 185 Edwin (2009). Analisis Deskriptif Kondisi Vegetasi Dari beberapa jenis vegetasi yang memiliki dominasi tinggi pada Sistem Lahan Maput dan Pendreh terdapat beberapa jenis yang juga sama pernah ditemukan oleh peneliti sebelumnya. Jenis-jenis tersebut antara lain Shorea spp., Palaquium quercifolium, Syzygium sp., Eusideroxylon zwageri, Cinnamomum coriaceum, Dacryodes rostrata, Baccaurea sp., Mezzetia sp. dan lain-lain. Jenis-jenis tersebut merupakan jenis primer yang berada di Hutan Wehea. Dari hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya menunjukkan, bahwa jenis vegetasi pada daerah penelitian masih banyak didominasi oleh jenis-jenis primer meskipun pada daerah penelitian pernah mengalami gangguan, yaitu ekploitasi jenis komersil yang dilakukan oleh PT Gruti III sekitar tahun 1990/1992. Hal tersebut juga membuktikan bahwa gangguan terhadap vegetasi di Hutan Wehea terutama pada plot pengamatan di dua sistem lahan tidak pernah mengalami gangguan yang berat. Soerianegara dan Indrawan (2002) berpendapat bahwa koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas atau indeks kesamaan jenis merupakan tingkat kesamaan komposisi jenis dari dua contoh atau tempat yang dibandingkan. Selanjutnya menurut Indriyanto (2006), indeks kesamaan atau index of similarity (IS) kadang-kadang diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antar unit sampling. Pada kedua sistem lahan memperlihatkan kesamaan jenis yang kecil yaitu dibawah 45% seperti ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 2. Indeks Kesamaan Jenis Vegetasi pada Semua Tingkat Pertumbuhan di Sistem Lahan MPT dan PDH Tingkat pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon ∑ jenis di MPT 84 101 74 90 ∑ jenis di PDH 53 69 63 97 ∑ jenis yang sama 23 38 28 35 IS (%) 33,58 44,71 40,88 37,43 Selain pada plot penelitian yang memperlihakan banyak perbedaan jenis, pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Arbain (2008) menunjukkan juga terdapat banyak perbedaan jenis vegetasi di dua lokasi, yaitu hulu dan hilir Sub DAS Sekung dengan indeks kesamaan sebesar 14,53%. Penelitian Rudianur (2008) juga menunjukkan banyak perbedaan jenis vegetasi pada dua lokasi, yaitu ketinggian 400 dan 600 m dpl di Hutan Wehea dengan indeks kesamaan jenis sebesar 14,72%. Kedua penelitian tersebut dilakukan berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda di Hutan Wehea. Pada plot pengamatan di kedua sistem lahan dalam penelitian ini juga memiliki perbedaan ketinggian tempat dan kelerengan. Pada plot pengamatan di Sistem Lahan Maput memiliki ketinggian tempat sekitar 250 m dpl dengan kelerengan sekitar 15%, pada Sistem Lahan Pendreh memiliki ketinggian tempat sekitar 450 m dpl dengan kelerengan sekitar 30%. Perbedaan topografi di kedua sistem lahan mempuyai pengaruh terhadap perbedaan jenis-jenis vegetasi yang hadir di kedua sistem lahan. JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 186 Morfologi dan Sifat Fisik Tanah Dari hasil pengamatan lapangan diperoleh kondisi sifat fisik dan morfologi tanah pada kedua plot pengamatan di kedua sistem lahan seperti pada table berikut ini. Tabel 3. Sifat Fisik dan Morfologi Tanah di Daerah Penelitian Lokasi Hor Maput Pendreh Kedlman (cm) Warna Batas Strukt Tekst hor Perakaran Konsis O 0-3 7,5 YR 5/8 c. w AB CL Kasar, banyak Friable A1 3-8 7,5 YR 5/8 c. w SAB CL Sedikit, sedang Firm A2 Bw1 Bw2 C 8 - 18 18 - 50 50 - 95 7,5 YR 6/8 d. s 7,5 YR 6/8 g. w 7,5 YR 6/8 g. w - SAB SAB SAB - SL Sedikit, sedang SiL Sedikit, halus CL Sedikit, halus - Firm Firm Firm - O 0-1 7,5 YR 4/4 c. w AB SL Kasar, banyak Firm A1 1 - 10 7,5 YR 4/4 d. w SAB SL Kasar, banyak Firm A2 10 - 34 7,5 YR 4/4 d. w SAB L Sedikit, sedang Firm Drai tanah Agak cepat Agak cepat Baik Baik Baik Agak cepat Agak cepat Agak cepat Baik Baik Frag batuan Cukup - Bt 34 - 62 7,5 YR 4/6 d. w SAB CL Sedikit, halus Firm Sedikit Btw 62 - 120 7,5 YR 4/6 d. w SAB CL Firm Cukup C 120 - 150 Hor = horison. Strukt = struktur. Tekst = tekstur. Konsis = konsistensi. Drai = drainase. Frag = fragmen Kimia Tanah Deskripsi terhadap sifat kimia tanah dan ordo tanah pada kedua sistem lahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Beberapa Sifat Kimia dan Jenis Tanah pada Sistem Lahan MPT dan PDH di Hutan Wehea Lokasi Ordo tanah/ Kedlman profil tanah bahan induk tanah (cm) 0-5 5 - 10 Sistem Inceptisol 10 - 20 Lahan Sedimen 20 - 30 Maput Marl 30 - 40 40 - 60 60 - 100 0-5 5 - 10 Sistem Ultisol 10 - 20 Lahan Sedimen 20 - 30 Pendreh Silstone 30 - 40 40 - 60 60 - 100 pH tanah H2O 4,52 4,61 4,95 5,70 5,74 5,79 5,80 4,79 5,09 5,34 5,32 5,50 5,58 5,66 Fraksi Kejenuhan Kejenuhan Kapasitas Tukar Kation liat basa Al Tanah Liat (%) meq/100 gr 33,60 30,51 9,22 22,69 67,53 37,30 26,20 10,19 18,60 49,87 41,90 23,58 10,75 17,21 41,07 13,30 27,81 10,75 14,42 108,42 22,70 33,77 8,33 11,16 49,16 32,30 36,57 7,84 10,02 31,02 23,60 42,01 7,58 6,98 29,58 12,10 5,41 30,79 9,77 80,74 13,90 5,30 43,55 8,84 63,60 26,60 5,81 42,43 7,91 29,74 22,70 6,46 43,70 7,91 34,85 33,00 8,48 41,67 7,80 23,64 36,30 8,64 43,81 7,65 21,07 34,10 8,82 62,37 5,58 16,36 187 Edwin (2009). Analisis Deskriptif Kondisi Vegetasi Profil tanah pada Sistem Lahan Maput memiliki ordo tanah Ultisol, sedangkan pada Sistem Lahan Pendreh ordo tanah Inceptisol. Ordo Ultisol memiliki peningkatan kandungan fraksi liat seiiring bertambahnya kedalaman tanah yang mengindikasikan terdapatnya horizon Argilik. Pada tanah Inceptisol tidak menunjukkan adanya indikasi kuat penambahan kandungan liat pada horizon di bawahnya dan tidak menunjukkan adanya horizon Argilik atau Spodik. Dari beberapa sifat kimia yang terdapat pada plot penelitian menunjukkan kesuburan tanah yang rendah terutama pada tanah Ultisol di Sistem Lahan Pendreh. Tetapi pada kesuburan tanah yang rendah terdapat tegakan hutan alami dengan kerapatan tegakan yang tinggi serta jumlah jenis yang cukup tinggi. Menurut Ruhiyat (1999), keberadaan tegakan hutan yang besar atau lebat tidak langsung berarti bahwa potensi kesuburan tanahnya tinggi, seperti di Kalimantan Timur kandungan unsur hara umumnya rendah, hal ini berkaitan dengan laju proses humifikasi dan mineralisasi serasah yang sangat tinggi di hutan hujan Kaltim. Karakteristik Lahan dan Sifat-sifat Tanah serta Hubunganya dengan Kondisi Vegetasi di Kedua Sistem Lahan Setelah mengetahui beberapa karakteristik lahan pada sistem lahan Hutan Wehea dan beberapa sifat-sifat tanah di plot pengamatan pada Sistem Lahan Pendreh dan Maput serta penelaahan dari beberapa hasil penelitian tentang vegetasi di Hutan Wehea, maka dapat ditarik beberapa karakteristik atau kualitas lahan yang terdapat pada sistem lahan serta beberapa sifat tanah yang memiliki pengaruh kuat terhadap perbedaan jenis vegetasi yang hadir pada kedua sistem lahan tersebut. Karakteristik lahan dan sifat-sifat tanah yang dianggap memiliki pengaruh penting terhadap perbedaan vegetasi di kedua sistem lahan diuraikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Beberapa Perbedaan Karakteristik Lahan dan Sifat Tanah Esensial yang Memiliki Pengaruh terhadap Perbedaan Jenis Vegetasi di Kedua Sistem Lahan Karakteristik lahan/sifat-sifat tanah Topografi a. Kelerengan (%) b. Relief (m) c. Ketinggian dpl (m) Ordo tanah Tekstur tanah Kajenuhan Al Kejenuhan basa KTK Sistem lahan Pendreh Maput 26 – >40 >300 100 – 2000 Ultisol Lempung berpasir Sangat tinggi Sangat rendah Rendah 0 – >40 51 – 300 0 – 1500 Inceptisol Lempung berliat Sedang Rendah Sedang Faktor topografi seperti ketinggian tempat dan kelerengan berpengaruh dalam menentukan perbedaan jenis-jenis vegetasi yang hadir di kedua sistem lahan pada plot pengamatan. Pada plot pengamatan di kedua sistem lahan memiliki perbedaan ketinggian dan perbedaan kelerengan serta perbedaan jenis-jenis vegetasi yang hadir JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 188 Hal demikian juga dibuktikan dari hasil penelitian Arbain (2008) dan Rudianur (2008), bahwa terdapat banyak perbedaan jenis vegetasi, bahkan di atas 70% merupakan jenis vegetasi yang berbeda pada dua lokasi yang memiliki ketinggian tempat yang berbeda. Pada plot pengamatan di Sistem Lahan Maput memiliki ordo tanah Ultisol yang merupakan jenis tanah yang sudah mengalami perkembangan tingkat akhir. Menurut Prasetyo dan Suriadikarta (2006) tanah Ultisol memiliki kesuburan tanah yang rendah, kesuburan tanah Ultisol ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas, bila lapisan ini tererosi, maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Pada tanah Ultisol terdapat horizon Argilik yang biasanya sangat sulit untuk ditembus oleh akar tumbuhan karena memiliki kandungan liat dan Al yang tinggi. Selain itu Ultisol juga memiliki kemasaman tanah tinggi dan miskin kandungan hara makro seperti P, K, Ca dan Mg. Dari beberapa faktor pembatas yang dimiliki oleh tanah Ultisol diduga berpengaruh terhadap jenis vegetasi yang hadir pada Sistem Lahan Pendreh. Jenis vegetasi yang dapat bertahan pada tanah Ultisol menjadi terbatas berbeda dengan jenis vegetasi yang hadir pada tanah Inceptisol pada plot pengamatan di Sistem Lahan Maput memiliki jumlah jenis vegetasi yang lebih banyak dibanding jumlah jenis vegetasi pada Sistem Lahan Pendreh. Hal tersebut terjadi karena ordo tanah Inceptisol pada plot pengamatan di Sistem Lahan Maput merupakan jenis tanah yang tergolong tanah permulaan atau tanah muda yang biasanya memiliki kesuburan tanah yang lebih tinggi dibanding tanah dari ordo Ultisol. Menurut Hardjowigeno (2003), tanah Inceptisol adalah tanah yang belum matang dengan perkembangan profil lebih lemah dibanding dengan tanah matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya, karena tanah Inceptisol belum berkembang lebih lanjut, kebanyakan tanah ini memiliki kesuburan tanah yang cukup. Selain jenis tanah yang berbeda, tekstur tanah terutama pada tanah permukaan pada kedua sistem lahan juga berbeda. Sistem Lahan Maput memiliki tekstur tanah lempung berliat, tanah tersebut memiliki kandungan liat yang tinggi terutama pada tanah permukaan (top soil). Menurut Hardjowigeno (1987), tanah bertekstur liat mempuyai luas permukaan yang besar, sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara juga besar, sedangkan tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Ketersedian air dan unsur hara sangat dibutuhkan oleh tumbuhan, pada Sistem Lahan Maput dengan tanah yang bertekstur liat memiliki jumlah jenis vegetasi yang lebih besar dibanding jenis vegetasi pada Sistem Lahan Pendreh dengan tanah yang bertekstur pasir. Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah pada Sistem Lahan Maput di plot pengamatan tergolong sedang, pada Sistem Lahan pendreh tergolong sangat rendah. Menurut Hardjowigeno (1987), semakin rendah KTK tanah, kemampuan menyerap dan menyediakan unsur hara juga rendah. Selain KTK tanah yang rendah kandungan Al yang tinggi pada Tanah Ultisol juga menjadi faktor pembatas terhadap kehadiran vegetasi, karena kandungan Al yang tinggi dapat bersifat racun bagi tumbuhan (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). 189 Edwin (2009). Analisis Deskriptif Kondisi Vegetasi Kehadiran jumlah jenis vegetasi maupun keanekaragaman jenis pada suatu kawasan selain dipengaruhi oleh kondisi fisik kawasan seperti topografi juga dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah. Untuk kasawan Hutan Wehea yang memiliki ordo tanah berbeda, yaitu Ultisol dan Inceptisol serta Sistem Lahan yang berbeda juga memiliki kondisi vegetasi yang berbeda pula. Prasetyo dan Suriadikarta (2006) menyatakan, bahwa tanah Ultisol merupakan tanah yang sebarannya luas di Indonesia dan sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha). Di Kalimantan Timur sebaran tanah Ultisol sekitar 10,04 juta ha atau sekitar 80% dari luas daratan Kaltim. Ordo tanah di Hutan Wehea diduga didominasi oleh tanah Ultisol, begitu juga dengan jenis-jenis vegetasi yang hadir, kemungkinan besar didominasi oleh jenis-jenis yang ditemukan pada Sistem Lahan Pendreh, karena Sistem Lahan Pendreh yang terdapat di kawasan Hutan Wehea cukup mendominasi, yaitu sekitar 56,87% dari 38.000 ha luas kawasan Hutan Wehea. Selain itu ordo tanah Inceptisol bukan ordo tanah yang dominan di Hutan Wehea, sehingga pada Sistem Lahan Maput sesuai dengan karateristik lahan yang dimiliki yaitu adanya asosiasi tanah Ultisol dan Inceptisol. Dominasi tanah Ultisol di Hutan Wehea dikuatkan juga dari informasi yang terdapat dalam Harmonized World Soil Database (HWSD) yang dikembangkan oleh Nachtergaele dkk. (2009). HWSD merupakan suatu program kerja sama: Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), ISRIC-World Soil Information, Institute of Soil Science-Chinese Academy of Sciences (ISSCAS) dan Joint Research Centre of the European Commission (JRC). Dari program tersebut dapat diketahui jenis tanah di seluruh negara di dunia. Dengan melakukan overlay peta kawasan Hutan Wehea dengan peta digital dari HWSD-Viewer, maka dapat diketahui ordo tanah dominan di kawasan Hutan Wehea, yaitu dari ordo Acrisol (FAO) atau Ultisol (USDA) dan tanah Ultisol tersebut berasosiasi dengan tanah Cambisol (FAO) atau Inceptisol (USDA). Dengan diketahui bahwa tanah Ultisol mendominasi di kawasan Hutan Wehea, maka dapat diduga baik pada Sistem Lahan Pendreh maupun Sistem Lahan Maput didominasi oleh tanah Ultisol yang berasosiasi dengan tanah Inceptisol. Begitu juga terhadap kondisi vegetasi, dapat diduga bahwa vegetasi yang dominan di Hutan Wehea adalah jenis-jenis vegetasi dari plot pengamatan yang terdapat pada Sistem Lahan Pendreh KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Struktur dan komposisi jenis vegetasi di daerah penelitian, yaitu pada Sistem Lahan Maput terdapat sekitar 49.303 batang/ha dan Sistem Lahan Pendreh sekitar 35.989 batang/ha, kemudian gabungan dari semua tingkat pertumbuhan di kedua sistem lahan ditemukan sebanyak 238 jenis yang bersumber dari 105 genus dan 53 famili, jenis-jenis vegetasi yang dominan terutama dari famili Dipterocarpaceae, Annonaceae, Myrtaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae, Moraceae dan Anacardiaceae. JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (2), OKTOBER 2009 190 Pada plot pengamatan ditemukan ordo Inceptisol pada Sistem Lahan Maput yang mempuyai horizon penciri Kambik pada lapisan tanah subsoil yang relatif mudah ditembus oleh akar tumbuhan karena kandungan liat tidak sepadat horizon Argilik, kemudian ordo Ultisol pada Sistem Lahan Pendreh dengan horizon penciri, yaitu horizon Argilik pada lapisan subsoil yang sangat sulit untuk ditembus oleh akar, karena kandungan liat dan Aluminium tinggi. Perbedaan jenis tanah pada kedua sistem lahan di Hutan Wehea memiliki beberapa perbedaan sifat fisik dan kimia tanah seperti tekstur tanah, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kejenuhan basa dan alumunium. Perbedaan sifat-sifat tanah tersebut bersama dengan faktor lingkungan, yaitu topografi (lereng, relief dan ketinggian tempat) secara kompleksitas ikut berperan dalam menentukan perbedaan vegetasi yang hadir di kedua sistem lahan pada plot pengamatan. Sebagian besar kawasan Hutan Wehea memiliki topografi atau kelerengan yang curam sampai sangat curam dengan kondisi vegetasi yang jumlah jenis dan kerapatannya tinggi. Terdapat sekitar 56% dari luas kawasan merupakan Sistem Lahan Pendreh dengan kelerengan 26 sampai >40% yang memiliki ordo tanah Ultisol sebagai tanah yang diduga sebarannya dominan di dalam kawasan Hutan Wehea. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dan pengkajian lebih jauh mengenai kondisi floristik dan sifat-sifat tanah pada daerah atau lokasi yang belum terjangkau, sehingga bisa diketahui kondisi floristik dan tanah secara menyeluruh di Hutan Wehea. Untuk saat ini informasi mengenai vegetasi alami dan sifat fisik-kimia tanah di setiap sistem lahan masih sulit ditemukan, ke depan perlu dilakukan penggalian informasi atau penelitian vegetasi alami yang masih tersisa di Kalimantan Timur, sehingga bisa diketahui vegetasi alami di setiap sistem lahan yang mungkin bisa berguna bagi pengelolaan lahan atau penggunaan lahan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Juknis Pengamatan Tanah. Balai Pengamatan Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Anonim. 2005a. Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Eks HPH Gruti III sebagai Kawasan Hutan Lindung Wehea “Long Skung Metgueen” di Kabupaten Kutai Timur. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Desember 2005. Anonim. 2005b. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian, Bogor. Arbain. 2008. Keanekaragaman Floristik Sub Daerah Aliran Sungai Sekung di Hutan Lindung Wehea Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, Sengata. Bratawinata, A. 1998. Ekologi Hutan Tropis dan Metode Analisis Hutan. Laboratorium Ekologi dan Dendrologi, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta 191 Edwin (2009). Analisis Deskriptif Kondisi Vegetasi Nachtergaele, F.; H.V. Velthuizen dan L. Verelst. 2009. Harmonized World Soil Database. FAO/IIASA/ISRIC/ISS-CAS/JRC. Laxenburg, Austria. Prasetyo, B.H. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Jurnal Litbang, Bogor. Rudianur. 2008. Analisis Vegetasi pada Ketinggian Tempat yang Berbeda di Hutan Lindung Wehea Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Skripsi Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, Sangatta. Ruhiyat, D. 1999. Potensi Tanah di Kalimantan Timur. Karakteristik dan Strategi Pendayagunaannya. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Soerianegara, J dan A. Indrawan. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Suharta, N. 2007. Sistem Lahan Barongtongkok di Kalimantan: Potensi, Kendala dan Pengembangannya untuk Pertanian Lahan Kering. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.