BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME Perang Global Melawan Terorisme di satu sisi terus berhadapan dengan peningkatan aksi-aksi terorisme internasional terutama sebagai bentuk perlawanan terhadap negara-negara pendukungnya. Dalam kurun waktu setengah tahun awal hingga pertengahan 2005, sedikitnya telah terjadi dua peristiwa besar: ledakan bom yang terjadi di London, Inggris, pada tanggal 7 Juli 2005 dengan korban tewas 52 orang dan ratusan orang luka, dan ledakan di Mesir, Sharm el- Sheik dengan korban tewas 88 orang dan lebih dari 100 orang luka-luka. Terjadinya aksi-aksi terorisme di negara-negara yang relatif kuat dari segi pertahanan dan keamanan tersebut membuktikan bahwa pencegahan dan penanggulangan secara konvensional bukanlah jaminan untuk terciptanya rasa aman terhadap terorisme. Sikap tidak memihak Pemerintah Indonesia adalah awal yang baik dalam upaya mencegah berlangsungnya aksi terorisme internasional di dalam negeri. Namun, masih perlu diantisipasi terulangnya aksi terorisme yang ditujukan pada kepentingan negara sahabat di Indonesia, seperti kejadian terakhir bom di depan Kedutaan Besar Australia tahun 2004. Di samping aksi tersebut, patut juga diwaspadai adanya bentuk aksi teror yang terjadi di daerah-daerah konflik, seperti yang terjadi di Poso ataupun kemungkinan aksi teror sebagai bagian niat tertentu untuk memisahkan diri dari NKRI. Semuanya ini perlu diwaspadai dan ditindak secara tegas melalui upaya peningkatan daya cegah serta daya tangkal terhadap terorisme. I. Permasalahan yang Dihadapi Di dalam negeri telah terjadi serangkaian peristiwa ledakan bom di daerah berkonflik yang memakan korban jiwa yang besar. Kejadian terbesar pada tahun 2005 (hingga pertengahan tahun) adalah peristiwa dua ledakan yang berasal dari bom rakitan di Tentena, wilayah selatan Poso pada hari Sabtu 28 Mei 2005 dan memakan korban jiwa yang terdiri atas 22 orang tewas dan 53 lainnya luka-luka. Selain kejadian di wilayah berkonflik, ada pula aksi-aksi kekerasan yang menjurus ke arah terorisme dengan serangkaian peledakan bom di rumah-rumah ibadah, perkantoran pemerintah, rumah pejabat penegak hukum, atau tempat-tempat umum lainnya. Diduga aksi-aksi tersebut memiliki motif bernuansa politik, SARA atau upaya pengalihan perkara pengadilan, yang ditujukan untuk mengadu domba antara kelompok masyarakat. Bertolak dari peristiwa aksi-aksi terorisme yang terjadi belakangan ini, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka menciptakan keamanan dalam negeri. Pertama, terorisme yang tidak berhasil ditangani secara efektif akan makin meningkatkan intensitas dan frekuensi aksi-aksi tersebut. Kedua, penanganan terhadap masalah terorisme membutuhkan kualitas dan kapasitas intelijen yang tinggi untuk dapat mengungkap pelaku, motif di balik terorisme, dan akar permasalahan yang mendasarinya. Ketiga, semakin canggih pengetahuan pelaku dan teknologi yang digunakan, makin sulit mengungkap, apalagi mendeteksi secara dini terhadap setiap aksi terorisme. Keempat, keterbatasan kualitas dan kapasitas intelijen secara individu maupun instansi serta aparat terkait lainnya yang kompeten dihadapkan dengan makin canggihnya aksi-aksi terorisme, menempatkan aksi terorisme ke dalam skala ancaman yang makin serius. Kelima, dampak yang ditimbulkan dari aksi-aksi 06 - 2 terorisme merusak mental, semangat, dan daya juang masyarakat dan dalam jangka panjang akan melumpuhkan dinamika hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kelima hal tersebut dalam jangka panjang, apabila tidak dikelola secara tepat, dapat menjadi hambatan dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu merencanakan dan melakukan langkah-langkah kebijakan pembangunan yang dapat mengantisipasi dan mencegah aksi-aksi terorisme yang meliputi deteksi dini, pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi. II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai Beberapa langkah yang telah dilakukan dalam penanganan masalah terorisme di antaranya adalah (1) menyediakan payung hukum penanggulangan terorisme, (2) melakukan upaya investigasi atas peledakan bom baik motif, pelaku dan jaringan secara tuntas, (3) melakukan pengamanan masyarakat pada umumnya baik dalam bentuk kewaspadaan masyarakat, aktivitas keamanan swakarsa, maupun upaya prevensi, (4) melakukan pengamanan pada pusat-pusat kegiatan masyarakat, objek vital, proyek vital, dan transportasi massal yang dilakukan Polri dan TNI, (5) melakukan kerja sama internasional dalam rangka pengungkapan jaringan terorisme internasional, (6) melakukan upaya pembentukan opini publik dan public trust, (7) melakukan peningkatan kerja sama koordinasi dalam bidang intelijen dan penegakan hukum melalui peningkatan kapasitas desk antiterorisme dan revitalisasi Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda), dan (8) Pembentukan Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) di Polri. Secara umum penanganan dan pencegahan aksi terorisme dapat berjalan meskipun belum dapat memenuhi harapan. Berbagai aksi terorisme yang berskala lokal seperti bom Tentena, dalam waktu singkat telah dapat diidentifikasi dan ditangkap para pelakunya. Upaya pencegahan dan penindakan tersebut yang dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat telah menimbulkan rasa aman di masyarakat. Demikian juga terhadap penegakan hukum pelaku aksi terorisme yang berskala internasional seperti bom Bali, bom JW 06 - 3 Marriott, atau bom Kuningan, telah dilakukan proses hukum dan sebagian proses itu telah sampai pada putusan pengadilan. Pelaku utama bom Bali seperti Imam Samudra, Amrozi, dan Muchlas telah divonis mati, sementara yang lain, seperti Ali Imron, Mubarok, Suranto, dan Sawad, divonis seumur hidup. Upaya pengejaran terhadap pelaku utama aksi terorisme di Indonesia Dr. Azahari dan Nurdin Muh Top terus dilakukan. Penangkapan para tersangka bom Bali, bom JW Marriott, atau bom Kuningan telah menghasilkan investigasi yang mampu mempetakan jejak pelarian dan mempersempit ruang gerak para teroris. Namun, karena mobilitas yang sangat tinggi dan sulitnya mengenali penyamaran yang dilakukan, sampai saat ini aparat keamanan sering hanya menemukan bukti-bukti. Dalam rangka mengantisipasi aksi-aksi terorisme lebih lanjut, baik yang berskala lokal maupun internasional, berbagai upaya preventif terus dilakukan. Untuk menekan dampak aksi terorisme lokal yang menyebabkan munculnya pertentangan SARA, Pemerintah melalui Pemerintah Daerah dan aparat keamanan secara terus-menerus melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama. Pembinaan kerukunan beragama dan dialog antaragama di daerahdaerah rawan konflik secara signifikan telah mampu memperkecil dampak aksi terorisme. Sosialisasi Pemerintah tentang pencegahan dan penanggulangan terorisme untuk meyakinkan bahwa aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi bukan berasal dari aktivitas SARA, mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat sehingga dampak konflik SARA dapat ditekan. Di samping itu, untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap aksi-aksi terorisme telah dilakukan berbagai penyuluhan untuk menangkal aksi terorisme melalui media cetak dan elektronik, simulasi proses evakuasi korban teror bom di gedung-gedung pemerintah dan gedung perkantoran komersial, atau pemberian insentif dalam bentuk material ataupun perlindungan keamanan bagi para saksi dan pelapor tentang keberadaan jaringan dan pelaku terorisme. Peningkatan kewaspadaan terhadap aksi terorisme juga dilakukan pada objek-objek vital, seperti perkantoran pemerintah, perkantoran asing, pusat-pusat bisnis dan perbelanjaan, hotel dan tempat wisata, bandara, pelabuhan, serta kawasan industri. Penempatan personel dan alat deteksi teror pada 06 - 4 objek-objek vital tersebut, secara signifikan mampu menekan aksi terorisme. Dalam kerangka pencegahan, terus dilakukan upaya peningkatan kemampuan profesionalisme intelijen agar intelijen itu lebih peka, tajam, dan antisipatif dalam mendeteksi dan mengeliminasi berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang dapat ditimbulkan oleh aksi terorisme. Badan Intelijen Negara secara rutin melakukan operasi intelijen termasuk dalam hal pencegahan, penindakan, dan penanggulangan terorisme. Sementara itu, upaya koordinasi seluruh badan intelijen pusat dan daerah di seluruh wilayah NKRI dalam pelaksanaan operasi intelijen terus ditingkatkan. Selain itu, dalam rangka meningkatkan kualitas informasi intelijen maka dilaksanakan pengkajian atau analisis intelijen tentang perkembangan lingkungan strategis, pengolahan dan penyusunan produk intelijen sehingga dapat diminimalisasi tingkat kesalahan. Untuk itu, dukungan sarana dan prasarana operasional intelijen di pusat dan daerah terus diupayakan dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja intelijen. Selain dari upaya intelijen, dilakukan juga peningkatan kemampuan profesionalisme kontraintelijen dalam melindungi kepentingan nasional dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan termasuk dalam hal pencegahan dan penanggulangan terorisme. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya, khususnya di bidang kejahatan terorisme, Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) telah melakukan upaya peningkatan kemampuan SDM persandian melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan dalam lingkungan lembaga atau kerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri. Di samping itu, untuk meningkatkan kualitas SDM Sandi yang ada di UTP Instansi Pemerintah telah diselenggarakan Diklat Teknis Sandi dan Diklat Teknis Pendukung lainnya yang diharapkan mampu mendukung kegiatan instansinya dalam operasional Jaring Komunikasi Sandi. Sampai dengan awal tahun 2005, Lemsaneg RI telah menghasilkan sejumlah 7.484 orang ahli sandi yang terdiri atas Ahli Sandi Tingkat III sejumlah 442 orang; Ahli Sandi Tingkat II sejumlah 1.522 orang; Ahli Sandi Tingkat I sejumlah 3.156 orang; dan Pembantu Juru Sandi (PJS) sejumlah 2364 orang. 06 - 5 Guna mendukung penyelenggaraan operasional persandian anti terorisme, kegiatan gelar Jaring Komunikasi Sandi (JKS) meliputi JKS VVIP, JKS Intern Instansi Pemerintah, JKS Antarinstansi Pemerintah, dan JKS Khusus senantiasa ditingkatkan pelaksanaannya. Sampai saat ini telah tergelar sekitar 90 persen JKS VVIP untuk Pejabat dengan dukungan berupa pesawat telepon bersandi. JKS Intern Instansi Pemerintah merupakan gelar jaring komunikasi untuk pengamanan komunikasi internal sektor kegiatan pemerintah tertentu, antara lain, Gelar JKS Depdagri (Pemprop dan Pemkab), JKS Deplu (Perwakilan RI di luar negeri), JKS TNI meliputi TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU, dan BAIS TNI, JKS Polri sampai setingkat Polres, JKS Kejaksaan Agung (Kejati) dan JKS Badan Intelijen Negara (BIN), serta JKS BUMN strategis (Pertamina). Sampai saat ini baru sekitar15,7 persen instansi pemerintah yang telah melaksanakan fungsi persandian, yang ditargetkan sampai akhir tahun 2005 menjadi 50 persen. JKS antarinstansi pemerintah adalah gelar jaring komunikasi sandi guna pengamanan informasi lintas sektoral atau antarinstansi/antardepartemen, yang sedang dibangun infrastruktur dan disusun mekanisme serta prosedurnya. Hingga saat ini telah digelar Jaring Komunikasi Sandi antarinstansi pemerintah, yaitu antara jajaran Polkam, Deplu, Depdagri, TNI, dan Polri. Kemudian, JKS Khusus melaksanakan gelar jaring komunikasi sandi untuk pengamanan komunikasi keperluan/kegiatan khusus, antara lain, JKS Khusus Pengamanan Kegiatan Kunjungan Presiden RI ke luar negeri, JKS untuk penanganan daerah bergolak meliputi Provinsi NAD di Banda Aceh, Provinsi Maluku di Ambon, dan Provinsi Papua di Jayapura, JKS Perbatasan antara Deplu, KBRI Port Moresby, BAIS dan Kodam Trikora, serta Pengamanan Sistem Komunikasi Sandi dalam Penyelenggaraan Pilkada. Di samping itu, disiapkan kegiatan tertentu sebagai Komunikasi Sandi Bergerak (Mobile). Untuk memenuhi kebutuhan sistem sandi dalam mendukung operasional persandian instansi pemerintah telah dilakukan Pengkajian dan Rancang Bangun Sistem Sandi yang spesifik untuk kepentingan persandian nasional. Lemsaneg RI telah pula melaksanakan rancang bangun algoritma untuk pengadaan peralatan sandi dari luar negeri. Telah dilakukan modifikasi algoritma, yang membuat mesin sandi menjadi spesifik/unik, untuk mewujudkan Fully National Algorithm (FNA). 06 - 6 Dalam rangka pemantapan koordinasi pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme, keberadaan petugas urusan terorisme telah ditingkatkan perannya dalam hal penyiapan kebijakan dan koordinasi penanggulangan terorisme di tingkat pusat untuk disinergikan dengan pembangunan kapasitas lembaga dan institusi keamanan masing-masing. Di tingkat daerah, telah dilakukan upaya revitalisasi Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda) dengan maksud meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan di tingkat lokal sehingga upaya pencegahan akan dapat efektif dilaksanakan. Upaya tersebut didukung dengan peningkatan kemampuan komponen kekuatan pertahanan dan keamanan bangsa dalam menangani tindak terorisme, serta restrukturisasi operasional institusi keamanan dalam penanganan terorisme termasuk pengembangan standar operasional dan prosedur pelaksanaan latihan bersama. Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah keamanan dan ketertiban di lapangan telah mengambil langkah-langkah nyata untuk menanggulangi tindak terorisme di Indonesia. Upaya awal yang dilakukan segera pada pascaterorisme adalah penyelidikan perkara dengan pengumpulan barang bukti dan informasi dan dilanjutkan dengan penyidikan perkara melalui pencarian, penangkapan, pemeriksaan tersangka/saksi, dan penyerahan segera berkas perkara. Selain itu, telah dilakukan juga penyebaran sketsa tersangka pelaku terorisme yang disebarkan ke seluruh penjuru tanah air. Dalam rangka mencapai kemampuan penanggulangan terorisme yang lebih baik, Polri telah membentuk Detasemen Khusus Antiteror atau lebih dikenal dengan nama Densus 88 di Mabes Polri dan diikuti dengan pembentukan Densus 88 di 5 Kepolisian Daerah (Polda) dalam kurun waktu tahun 2004 hingga pertengahan 2005. Keseluruhan personel detasemen tersebut telah mendapat pendidikan khusus antiteror yang sementara dilaksanakan di Pusat Pendidikan (Pusdik) Polri dan mengenai personilnya berasal dari gabungan unsur Kepolisian Wilayah dan Brigade Mobil (Brimob). Selanjutnya, sebagai pusat pendidikan antiteror nasional telah dibangun secara khusus fasilitas sekolah antiteror yang dinamai Pusat Latihan Antiteror Internasional (Platina) yang berdiri di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang. Selain upaya-upaya langsung, Polri juga telah memulai penerapan prinsip-prinsip pemolisian masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi tindak terorisme dengan berusaha mendorong 06 - 7 keterlibatan masyarakat dalam memberikan informasi, menjaga lingkungan masing-masing, dan melakukan sosialisasi upaya antiterorisme. III. Tindak Lanjut yang Diperlukan Potensi kejadian aksi terorisme tidak dapat diprediksikan secara tepat di waktu-waktu mendatang, khususnya untuk aksi terorisme yang bernuansa internasional. Hal ini disebabkan oleh adanya keterkaitan antara jaringan terorisme dalam negeri dan jaringan terorisme luar negeri. Langkah antisipasi di dalam negeri kemungkinan besar hanya akan mampu mendeteksi – tetapi sering mengalami kesulitan untuk mencegah – terjadinya aksi terorisme. Sebaliknya, untuk aksi terorisme yang berskala lokal atau domestik, upaya penanggulangan dapat diarahkan pada pemenuhan rasa keadilan di segala aspek kehidupan, seperti perekonomian, hukum, atau pemerataan kesejahteraan. Secara keseluruhan, pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam bidang pertahanan dan keamanan akan dilakukan melalui beberapa upaya strategis, sebagai berikut. A. Membangun kemampuan Penangkalan dan Penanggulangan Terorisme 1. Menguatkan kapasitas kelembagaan nasional penanganan terorisme; Penanggulangan terorisme secara komprehensif merupakan masalah multidimensional yang memerlukan koordinasi dan peningkatan kemampuan lembaga nasional dalam menanganinya. Keberadaan urusan terorisme (desk terrorisme) akan terus diefektifkan untuk masalah penyiapan kebijakan dan koordinasi penanggulangan terorisme untuk disinergikan dengan pembangunan kapasitas lembaga dan institusi keamanan masing-masing. Lebih lanjut, keberadaan Bakorinda akan terus ditingkatkan fungsinya terutama dalam segi pencegahan potensi tindak terorisme di tingkat lokal. 06 - 8 2. Restrukturisasi sistem operasional penanggulangan terorisme pencegahan dan Penanganan terorisme secara operasional membutuhkan kerja sama antarinstansi yang kuat dan melibatkan partisipasi seluruh komponen kekuatan bangsa yang meliputi kemampuan deteksi dini, cegah dini, penanggulangan, pengungkapan, dan rehabilitasi. Restrukturisasi operasional institusi keamanan dalam penanganan terorisme, termasuk pengembangan Standard Operating Procedure dan pelaksanaan latihan bersama, akan dilakukan dengan meliputi kemampuan kemampuan deteksi dini, cegah dini, penanggulangan, pengungkapan, dan rehabilitasi. B. Memantapkan Operasional Penanggulangan Terorisme 1. Mengintensifkan komunikasi (dialog) dan pemberdayaan kelompok yang berpotensi dan atau diduga memiliki keterkaitan dengan kelompok teroris; Terorisme memiliki keterkaitan erat dengan motif politis dari pelaku terorisme. Penanganan terorisme sebagai kejahatan teroganisasi sering menghadapi lingkaran setan kegagalan apabila masih terdapat legitimasi teror dari organisasi terorisme. Komunikasi dan dialog serta pemberdayaan kelompok masyarakat akan diintensifkan dalam kerangka menjembatani aspirasi, mencegah berkembangnya potensi terorisme, serta secara tidak langsung melakukan delegitimasi motif teror. 2. Memfokuskan dan meningkatkan operasi intelijen Kegiatan ini bertujuan meningkatkan koordinasi jaringan intelijen guna menganalisis kemungkinan terjadinya teror dan mendeteksi secara dini gejala terjadinya teror yang ditunjang oleh profesionalitas dan dasar hukum yang memadai. Kegiatan intelijen diarahkan untuk mengungkap jaringan terorisme secara keseluruhan beserta penyediaan bahan baku alat teror dan dukungan finansialnya. 06 - 9 3. Mendayagunakan seluruh satuan antiteror yang dimiliki institusi negara termasuk TNI dan Polri; Penanggulangan terorisme ditujukan untuk mengungkap pelaku, motif, dan jaringan terorisme yang dilaksanakan sesuai dengan intensitas dan dampak yang ditimbulkan. Penanggulangan aksi terorisme yang intensitas dan dampaknya yang relatif rendah dilakukan oleh Polri. Namun, apabila intensitas, dampak, dan jaringannya secara konkret telah dinyatakan sebagai suatu jaringan teror terorganisasi, penanggulangannya mengandalkan kecepatan, ketepatan, dan keterpaduan upaya dari berbagai kemampuan dan kekuatan antiteror yang tersebar di berbagai institusi (TNI, Polri, departemen dan LPND terkait). 4. Melanjutkan upaya politik bebas aktif; Kerawanan terhadap aksi terorisme internasional sangat terkait dengan keberpihakan dan aliansi antarnegara. Keberadaan politik bebas aktif yang dilakukan oleh Indonesia sedikit banyak telah memberikan sumbangan yang besar dengan masih relatif rendahnya kejadian dan ancaman terorisme di dalam negeri. 5. Mengupayakan penyelesaian masalah teroris regional melalui kerja sama internasional; Pencegahan dan penanggulangan terorisme internasional membutuhkan kerja sama antarnegara yang erat dalam kerangka bilateral dan multilateral. Untuk tingkat regional, akan dilakukan pengembangan kerjasama dengan negara ASEAN. Namun, meskipun telah ada ASEAN-US Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism di Brunei pada tahun 2002 dan Resolusi PBB No. 1373, kiranya perlu dikembangkan semangat dan kerja sama sesama anggota ASEAN dalam upaya menangkal dan menanggulangi aksi terorisme regional dan internasional. Di tingkat internasional akan didorong penanganan terorisme secara multilateral di bawah PBB, termasuk penyelesaian akar motif terorisme internasional, dan pengadopsian perjanjian-perjanjian internasional mengenai peredaran senjata konvensional dan Weapon of Mass Destruction (WMD). 06 - 10 6. Memantapkan pengamanan terbuka terhadap simbol-simbol negara milik Indonesia dan negara sahabat; Simbol-simbol kenegaraan milik Indonesia dan negara sahabat memiliki kerawanan yang tinggi terhadap aksi terorisme. Pengamanan terbuka dimaksud untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya aksi terorisme dan memberikan rasa aman untuk tetap berlangsungnya kehidupan kenegaraan dan berbangsa Indonesia serta kegiatan diplomatik negara sahabat. 7. Meningkatkan pengamanan tertutup terhadap area-area publik terutama yang berkaitan dengan potensi korban manusia dan ekonomi serta kepentingan asing seperti area-area turisme; Pengamanan area publik terhadap terorisme karakter memiliki yang khusus, yaitu pengamanan yang bersifat terlalu terbuka dapat mengganggu aktivitas masyarakat di area tersebut yang pada akhirnya menjadi kontra produktif. Pengamanan tertutup diupayakan untuk mengoptimalkan kemampuan deteksi dini dan pencegahan langsung di lapangan dengan mengandalkan kemampuan intelijen polisi dan tentara, dan petugas kejaksaan, imigrasi, bea dan cukai, serta aparat lain yang berhubungan dengan lalu lintas darat, laut, dan udara, di dalam dan di luar negeri. 8. Melanjutkan penangkapan dan pemrosesan secara hukum tokoh-tokoh kunci operasional terorisme; Penindakan secara tegas pelaku teror diharapkan menjadi shock therapy yang sekaligus mempunyai efek pencegah berkembangnya potensi terorisme yang akan tetap dilakukan dengan memperhatikan hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip HAM. 9. Mengetatkan pengawasan lalu lintas uang dan pemblokiran aset kelompok teroris; Pemutusan dukungan finansial terhadap kelompok terorisme diharapkan dapat melemahkan berkembangya potensi terorisme. Peningkatan pengawasan keimigrasian, serta upaya interdiksi darat, laut, dan udara serta pengawasan produksi dan peredaran serta pelucutan senjata dan bahan peledak adalah bagian global disarment. 06 - 11