1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa memiliki
kebutuhan untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Kebutuhan itu dapat
terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk
menghubungkan individu satu dan lainnya. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi
akan mengakibatkan individu tersebut merasa terisolasi.
Manusia bukanlah makhluk yang berbudaya jika ia tidak berkomunikasi.
Budaya menjadi latar belakang kehidupan seseorang. Budaya menjadi cara bagi
manusia untuk menentukan cara pandang atau persepsinya tentang hidup yang
kemudian akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Komunikasi
antarbudaya tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari karena tidak
peduli di manapun berada, seseorang akan selalu berpotensi untuk berkomunikasi
dengan orang-orang tertentu yang berbeda kelompok, ras, suku atau budayanya.
Salah satu bentuk komunikasi yang paling dekat derajat keakrabannya
adalah komunikasi diadik atau komunikasi yang terjadi antara dua individu dalam
suatu ikatan perkawinan. Kebutuhan manusia untuk berkeluarga dan meneruskan
keturunannya menjadi kebutuhan dasar untuk kawin. Dalam perkawinan itu, dua
pribadi yang unik dan berbeda kemudian bersatu, Kedua individu yang berbeda
budaya bersama-sama menyatukan persepsi dan pandangan mereka dalam suatu
ikatan yang sah.
2
Setiap budaya memiliki sistem nilai, norma dan kepercayaan yang
berbeda. Cara orang berkomunikasi satu sama lain sangat bergantung pada
budayanya, bahasa yang digunakan, serta norma dan aturan yang berlaku dalam
budayanya masing-masing. Budayalah yang bertanggung jawab atas cara
seseorang berperilaku terhadap orang lain dan makna yang dimilikinya.
Kesulitan-kesulitan komunikasi pun akan semakin besar jika dua pribadi
tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan budaya tersebut
akan melahirkan persepsi dan ekspektasi yang masing-masing berbeda terhadap
satu sama lain. Perbedaan budaya tersebut dapat berwujud dalam bentuk
perbedaan selera, kebiasaan, hingga perbedaan cara berkomunikasi atau
mengekspresikan diri sehingga menyebabkan komunikasi tidak lancar dan timbul
kesalahpahaman.
Kesalahpahaman sering terjadi ketika seseorang berkomunikasi dengan
orang lain yang berbeda budayanya. Masalah utamanya adalah setiap individu
cenderung menganggap bahwa budayanya adalah suatu keharusan yang mutlak
tanpa harus diperdebatkan lagi (Mulyana dan Rakhmat, 2000: vii). Oleh sebab itu,
setiap orang menggunakan budayanya sebagai parameter untuk mengukur
budaya-budaya lain, tak terkecuali dalam perkawinan antarsuku atau antarbudaya.
Perbedaan budaya dapat menimbulkan prasangka terhadap kelompok budaya lain
sehingga enggan mendekatkan diri.
Perkawinan antarbudaya memungkinkan terjadinya kesalahpahaman
dalam berkomunikasi karena perkawinan tidak hanya melibatkan dua orang yang
kawin saja tetapi juga melibatkan seluruh anggota keluarga besarnya, baik itu
3
anak, maupun orang tua, kakek, nenek, saudara dan para kerabat masing-masing.
Kedua belah pihak memerlukan proses adaptasi dan membuat kesepakatan
bersama untuk menentukan penggunaan budaya dalam keluarganya. Pasangan
tersebut dapat memilih untuk menggunakan budaya salah satu pihak yang
dominan, atau menggunakan kedua budaya secara beriringan, atau bisa juga
meleburkan dua budaya tersebut menjadi budaya baru yang disebut sebagai
asimilasi budaya.
Perkawinan antarbudaya kemudian semakin banyak terjadi antara suku
yang satu dan suku lainnya di Indonesia, tak terkecuali di Kota Makassar.
Kecenderungan orang melakukan perkawinan antar budaya semakin menguat
pada abad 21 ini. Hal ini disebabkan oleh frekuensi orang melakukan perjalanan,
pindah rumah, bersekolah, berwisata atau bekerja di luar kota atau negeri menjadi
semakin besar. Lebih dari itu, merebaknya media sosial semakin memudahkan
orang untuk berkomunikasi satu sama lain tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu.
Indonesia merupakan negara yang paling menarik untuk diteliti dari segi
budaya karena sesuai dengan simbolnya yaitu “Bhineka Tunggal Ika” (berbedabeda tapi tetap satu), Indonesia terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh
wilayahnya. Terdapat lebih dari 300 kelompok suku atau suku bangsa di
Indonesia atau lebih tepatnya 1.340 suku menurut sensus Badan Pusat Statistik
tahun 2010.
Suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia dengan presentasi 41%
dari total populasi. Orang Jawa kebanyakan berada di Pulau Jawa namun jutaan
jiwa dari mereka telah bertransmigrasi dan tersebar ke berbagai pulau di Indonesia
4
tak terkecuali Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar sebagai ibukota.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan pada tahun 2000,
sebanyak 212.273 jiwa Suku Jawa menjadi penduduk Sulawesi Selatan dan
sebanyak 702.951 jiwa Suku Toraja menjadi penduduk di Sulawesi Selatan. Suku
Jawa menjadi suku keenam terbanyak di Sulawesi Selatan setelah Bugis,
Makassar, Toraja, Mandar, dan Luwu yang mana kelima suku itu ialah suku asli
penduduk Sulawesi Selatan sedangkan Suku Jawa ialah suku pendatang.
Kota Makassar sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia
menempati urutan kedua terbesar di luar Pulau Jawa setelah Kota Medan. Dengan
memiliki jumlah penduduk lebih dari 1,6 juta jiwa, kota ini berada di urutan
kelima berpenduduk terbesar di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung dan
Medan. Kota Makassar tergolong tipe multi suku atau multi kultur dengan
beragam suku yang menetap di dalamnya, yakni Bugis, Toraja, Mandar, Buton,
Jawa, Tionghoa, dan suku lain yang jumlahnya tidak signifikan. Dengan semakin
berkembangnya suatu kota bersama dengan segala potensi alam dan ekonomi
yang dimilikinya, maka semakin memungkinkan orang dari berbagai daerah, atau
suku
datang
untuk
bertransaksi
dan
berkomunikasi
untuk
memenuhi
kebutuhannya.
Peneliti sendiri telah melakukan observasi dan mengamati lingkungan di
sekitar peneliti, khususnya di gereja-gereja Kota Makassar sebagai tempat
perkawinan berlangsung. Hasil observasi tersebut mengungkapkan bahwa selama
10 tahun terakhir semakin banyak orang-orang dari Suku Toraja kawin dengan
Suku Jawa. Kebanyakan dari mereka kembali dan menetap di Pulau Jawa namun
5
ada juga yang tetap tinggal di Kota Makassar. Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea
menjadi tempat terbanyak Suku Toraja dan Suku Jawa melangsungkan
perkawinan.
Komunikasi antarbudaya pada keluarga antarsuku sangat menarik untuk
diteliti lebih lanjut. Hal itu terlihat dalam penelitian Rulliyanti Puspowardhani
(2008) mengenai komunikasi antarbudaya yang terjadi pada keluarga kawin
campur Suku Jawa dan Suku Cina di Surakarta. Surakarta memiliki sejarah
hubungan yang panjang dan penuh konflik antara Suku Jawa dan Suku Cina.
Dimulai dengan konflik yang terjadi pada tahun 1742, kemudian tahun 1825,
1911, 1947, 1965, 1990 dan puncaknya pada tahun 1998, banyak dari warga Suku
Cina yang dianiaya, diperkosa, dijarah, dan dibunuh. Dalam penelitiannya,
Rulliyanti berusaha mengetahui komunikasi antarbudaya yang terjadi didalamnya,
latar belakang individu pasangan beda suku tersebut, dan nilai sosial dan nilai
budaya yang dianut dalam keluarga tersebut.
Penelitian tersebut mengungkapkan beberapa poin penting dan menarik,
yaitu: pertama, prasangka dan stereotip telah mengakar, terutama stereotip pada
Suku Jawa oleh Suku Cina. Stereotip tersebut lebih banyak dihubungkan tentang
nilai perkawinan dan etos kerja. Suku Cina beranggapan bahwa keberlangsungan
keturunan yang dihasilkan perkawinan tersebut tidak lagi memiliki ciri dan sifat
Suku Cina secara murni. Suku Jawa juga dianggap kurang memiliki semangat
kerja keras. Kedua, keterbukaan dan toleransi sangat penting untuk mengatasi
konflik dan perbedaan yang ada sehingga tidak terjadi pemaksaan keinginan untuk
menganut kepercayaan, nilai, dan norma pasangannya. Dalam menyelesaikan
6
konflik, pengambilan keputusan bersifat rasional dan tidak berdasarkan emosional
pribadi yang berlatar budaya. Ketiga, nilai sosial dan nilai budaya akan terlihat
ketika keluarga beda suku tersebut mampu menyelesaikan konflik dalam rumah
tangganya. Baik Suku Jawa maupun Suku Cina sangat menghormati keluarganya.
Mereka sama-sama menghormati orangtua dan berinteraksi secara dekat dengan
keluarga besarnya. Mereka mengakui bahwa meskipun telah memiliki keluarga
sendiri bukan berarti mereka akan putus hubungan kekerabatan dengan anggota
keluarganya yang lain.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Arika Hestiana (2015) mengenai
komunikasi antarbudaya pada proses asimilasi Perkawinan Antara Suku Jawa dan
Suku Minangkabau di Surakarta. Suku Jawa dan Suku Minangkabau memiliki
pandangan yang berbeda dalam hal sistem kekerabatan. Suku Jawa menganut
sistem bilateral atau parental, yaitu sistem kekerabatan yang garis keturunannya
berasal dari kedua orangtua. Sedangkan Suku Minangkabau menganut sistem
matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang garis keturunannya berasal dari ibu.
Berkebalikan dengan Suku Jawa, Suku Minangkabau menilai tinggi seorang lakilaki sehingga pihak pria yang dilamar oleh pihak wanita dan wanita yang menjadi
kepala keluarga.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa ada toleransi atau sikap saling
menghargai dari masing-masing pasangan. Walaupun lahir dan dibesarkan di
Minangkabau tetapi perkawinan dilangsungkan dengan adat Jawa karena
pasangan berasal dari Jawa dan menghormati budaya di tempat tinggalnya
sekarang. Selanjutnya suami yang istrinya berasal dari Minangkabau harus
7
mengikuti dimana istrinya tinggal baik itu tinggal berdua bersama istri maupun
bersama keluarga besar istrinya. Budaya Minangkabau mendominasi budaya
Jawa. Suku Minangkabau menoleransi Suku Jawa dalam penggunaan adat Jawa
dalam perkawinan namun yang melamar tetap pihak wanita.
Meskipun Suku Toraja dan Suku Jawa memiliki kesamaan yakni samasama menganut sistem matrilineal namun pada dasarnya kedua budaya ini sangat
berbeda. Budaya Toraja sangat dipengaruhi oleh kepercayaaan Aluk Todolo dan
Kristen sedangkan budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh Kejawen, Hindu dan
Islam. Yang menarik dari hubungan antara Suku Toraja dan Suku Jawa adalah
adanya perbedaan karakter umum yang dimiliki keduanya. Orang Jawa pada
umumnya memiliki sikap rendah hati, sabar, pasrah pada hidup, memiliki sopan
santun, tertutup, dan lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dalam
berkomunikasi dan bersuara lembut (high context culture). Sedangkan orang
Toraja sebagian besar memiliki kepribadian kuat, agak keras kepala, berego
tinggi, berterus terang dan lebih banyak menggunakan bahasa verbal dalam
berkomunikasi terutama dengan bersuara lantang (low context culture).
Perbedaan karakter yang sangat bertolak belakang tersebut menjadi
fenomena tersendiri yang menarik perhatian peneliti. Karakter orang Jawa yang
selalu menjaga keharmonisan dan menghindari konflik terbuka sangat berbeda
dengan orang Toraja yang terbuka dengan konflik. Hal ini membuat peneliti
bertanya-tanya mengenai bagaimana dua pribadi yang sangat bertolak belakang
ini bisa saling menyesuaikan diri dan apa saja kesulitan-kesulitan yang mereka
alami untuk memahami pasangannya.
8
Stereotip atau prasangka-prasangka negatif bisa saja timbul baik itu pada
Suku Jawa oleh Suku Toraja maupun sebaliknya yang dapat menyebabkan konflik
dan perpecahan dalam rumah tangga mereka. Perbedaan latar belakang budaya di
antara keduanya membutuhkan penyesuaian agar kedua suku ini dapat
menyamakan cara pandangnya. Adapun karakteristik-karakteristik khas yang
masing-masing dimiliki oleh Suku Toraja dan Suku Jawa akan sangat
berpengaruh terhadap berhasil tidaknya asimilasi antara dua suku tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti dengan
judul sebagai berikut:
“Asimilasi Perkawinan Antara Suku Toraja dengan Suku Jawa
di Kota Makassar (Studi Komunikasi Antarbudaya)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka peneliti
merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana asimilasi perkawinan antara Suku Toraja denganSukuJawa dalam
perspektif komunikasi antarbudaya di Kota Makassar ?
2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam asimilasi
perkawinan antara Suku Toraja denganSukuJawa di Kota Makassar?
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk
mengetahui
asimilasi
perkawinan
antara
Suku
Toraja
denganSuku Jawa dalam perspektif komunikasi antarbudaya diKota
Makassar.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dan
pendukung
dalam
asimilasi
perkawinan
antara
Suku
Toraja
denganSuku Jawa di Kota Makassar.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi yang berarti bagi perkembangan teori dan disiplin ilmu
komunikasi, khususnya komunikasi antarbudaya dan juga sebagai
salah satu prasyarat memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu
Komunikasi, Universitas Hasanuddin, Makassar.
b. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pasangan suku
Toraja-Jawa
dalam
meningkatkan
kualitas
komunikasi
dalam
perkawinannya.
c. Secara metodologis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
bagi pengembangan kajian-kajian penelitian kualitatif, khususnya
dalam penelitian komunikasi antarbudaya.
10
D. Kerangka Konseptual
1. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi akan selalu terjadi dalam kehidupan manusia entah itu
dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Sebagai makhluk sosial, manusia
akan senantiasa berkomunikasi dengan manusia lainnya untuk memenuhi
kebutuhannya hidupnya. Untuk itu manusia akan melakukan pertukaran pesan,
informasi, emosi, ide-ide atau gagasan-gagasan mereka dengan manusia
lainnya. Rogers dan Kincaid (Cangara, 2010: 19) menyatakan bahwa:
“Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih
membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama
lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang
mendalam.”
Informasi atau pesan-pesan itu muncul lewat perilaku manusia. Ketika
seseorang melambaikan tangan, tertawa, cemberut, berwajah sedih, atau
memberikan suatu isyarat tertentu maka orang itu juga telah berperilaku.
Setiap perilaku, baik itu perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dapat
diartikan
sebagai
suatu
pesan.
Pesan-pesan
itu
digunakan
untuk
mengkomunikasikan sesuatu atau menyampaikan maksud kepada seseorang.
Komunikasi sangat erat kaitannya dengan budaya. Budaya berkenaan
dengan cara hidup manusia. Mulai dari bahasa, kebiasaan makan, cara
berkomunikasi, sistem kepercayaan, tindakan-tindakan sosial, kegiatan
ekonomi, politik dan teknologi, semua itu didasarkan pada pola-pola budaya.
Budaya akan mempengaruhi perilaku seseorang dan cara pandang hidupnya.
Geertz mendefinisikan kebudayaan berdasarkan pandangan Tylor
(Liliweri, 2014: 6) bahwa; (1) istilah kebudayaan secara luas berarti
11
keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat, atau setiap kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat, (2) kebudayaan adalah pola berbagai makna yang
dikemas dalam simbol-simbol yang secara historis ditularkan, dan (3)
kebudayaan juga berarti suatu sistem yang diwariskan melalui ekspresi
simbolik sebagai cara orang mengkomunikasikan, melestarikan, dan
mengembangkan pengetahuan mereka tentang dan sikap terhadap kehidupan.
Komunikasi berperan penting dalam mentransfer nilai-nilai budaya
melalui interaksi sosial yang terjadi antar satu sama lain dalam masyarakatnya.
Oleh karena sejak awal manusia belum bisa menulis maka komunikasi secara
langsung dan peninggalan artefak menjadi jalan untuk mewariskan budayanya.
Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan
bagaimana berkomunikasi langsung, tetapi budaya juga menentukan
bagaimana seseorang menafsirkan atau memaknai suatu pesan. Liliweri (2013:
10) berpendapat bahwa:
“Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran makna yang
berbentuk simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar
belakang budayanya.”
Komunikasi antarbudaya terjadi ketika orang-orang yang berbeda
bahasa, ras, bangsa, suku, dan suku berkomunikasi satu sama lain.
Komunikasi antarbudaya menjadi salah satu kajian ilmu komunikasi karena
pengaruh budaya terhadap perilaku seseorang dan proses komunikasi. Adapun
proses pembentukan kajian komunikasi antarbudaya harus didukung oleh
asumsi-asumsi teortitik yang bertujuan untuk menerangkan hubungan antara
12
berbagai aktivitas komunikasi manusia yang diamati. Liliweri (2013: 15)
mengungkapkan beberapa asumsi itu antara lain sebagai berikut:
a. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada
perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
b. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.
c. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.
d. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian.
e. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.
f. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.
Enam asumsi tersebut merupakan bagian dari teori-teori komunikasi
yang dapat diterapkan dalam lingkungan antarbudaya. Menurut Samovar dan
Porter (Mulyana dan Rakhmat, 2000: 20), dalam suatu proses komunikasi
yang terjadi suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik
dalam budaya lain. Meskipun budaya mempengaruhi perilaku komunikasi
individu namun setiap individu dalam suatu budaya memiliki sifat-sifat yang
berbeda.
Penyandian dan penyandian balik pesan antarbudaya dapat terlihat
pada gambar berikut:
13
Gambar 1.1 Model Komunikasi Antarbudaya Samovar dan Porter
Sumber: Mulyana dan Rakhmat(2000: 21)
Dalam gambar tersebut perubahan antara budaya A dan budaya B lebih
kecil daripada perubahan antara budaya A dan budaya C. Itu terlihat dari
perbedaan bentuk dan jaraknya. Ini disebabkan karena kemiripan budaya A
dan B lebih besar dibanding budaya A dan C maupun budaya B dan C.
Model tersebut menunjukkan bahwa bisa terdapat banyak ragam
perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Besarnya perbedaan dua
kelompok budaya bergantung pada keunikan sosial masing-masing individu
pada kelompok-kelompok budaya yang dibandingkan.
2. Perkawinan Antarbudaya
Perkawinan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik, dengan
membawa sistem keyakinan masing-masing berdasarkan latar belakang
budaya serta pengalamannnya (Rulliyanti, 2008: 25). Perbedaan-perbedaan
yang ada perlu disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem
14
kepercayaan dan pandangan baru bagi suatu keluarga. Perkawinan dianggap
sebagai puncak dari hubungan dengan kedekatan yang paling baik.
Komunikasi yang terjadi kemudian menjadi lebih kompleks pada
perkawinan antarbudaya atau antarsuku. Menurut Cohen (Rulliyanti, 2008:
27) perkawinan antarbudaya dimaksudkan sebagai perkawinan yang
berlangsung antara dua individu dalam kelompok suku yang berbeda atau
disebut juga amalgamasi. Amalgamasi ini merupakan peristiwa bertemunya
suami istri yang sukunya berbeda yang keduanya bermaksud membentuk
keluarga atas dasar kasih sayang dan disahkan secara resmi dengan upacara
tertentu.
Pada perkawinan ini, perbedaan-perbedaan yang perlu disesuaikan
menjadi lebih besar dan banyak dibanding perkawinan biasa. Hal ini
dikarenakan latar belakang budaya masing-masing yang berbeda sehingga
menyebabkan cara pandang hidup (perspektif) satu sama lain ikut berbeda.
Venus (2013 : 4) berpendapat bahwa perkawinan antarbudaya ini
sangat menantang karena pasangan yang bersatu dalam ikatan perkawinan ini
hidup bersama tidak cukup hanya bermodalkan cinta saja, tetapi juga harus
memahami dan menghormati perbedaan nilai, sistem keyakinan serta tradisi
keluarga. Singkatnya, kedua pasangan tersebut harus pandai saling berbagi
tentang latar belakang dan ekspektasi-ekspektasi mereka masing-masing.
Lebih lanjut Venus (2013: 5) mengungkapkan bahwa melalui
komunikasi pasangan dapat berbagi cara pandang dan makna untuk
membangun pengertian bersama di antara suami istri. Apabila pasangan tidak
15
berbagi perspektif, mereka dapat saja mempersepsi suatu peristiwa atau situasi
secara berbeda sehingga akhirnya menghambat proses saling mengerti. Jika
hal ini terjadi maka stress dan kekecewaan akan muncul dan kemudian
menurunkan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Konflik maupun persoalan yang muncul pun tidak dapat dihindarkan
akibat perbedaan latar belakang budaya. Kedua budaya ini harus melakukan
penyesuaian. Penyesuaian tersebut dapat menghasilkan beragam solusi,
apakah salah satu budaya yang dianggap sesuai akan dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari, atau memunculkan budaya baru sebagai perpaduan dari
budaya masing-masing pasangan, atau bahkan menerapkan masing-masing
budaya sesuai konteks atau situasinya.
3. Asimilasi Pada Perkawinan Antarsuku
Dalam mempelajari kebudayaan terdapat beberapa proses yang dilalui
manusia yaitu internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Koentjaraningrat
(1990: 228) berpendapat bahwa internalisasi adalah proses panjang sejak
individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal dimana ia belajar
menanamkan segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya
ke dalam kepribadiannya. Sedangkan sosialisasi adalah proses belajar
kebudayaan dalam hubungan sistem sosial dimana individu mulai dari masa
anak-anak hingga masa tuanya mempelajari pola-pola perilaku budaya dalam
berinteraksi dengan orang lain. Proses memperoleh pola-pola itu disebut
proses enkulturasi atau pelaziman budaya. Dalam proses itu, menurut
16
Koentjaraningrat (1990: 233) seorang individu akan mempelajari dan
menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, berbagai aturan
dan sistem norma yang ada dalam kebudayaannya.
Budaya terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring
dengan perkembangan zaman dan globalisasi. Peterson, Jensen, dan Rivers
(Mulyana dan Rakhmat, 2000: 137) mengklaim bahwa:
“Komunikasi adalah pembawa proses sosial. Komunikasi adalah alat
yang manusia miliki untuk mengatur, menstabilkan, dan memodifikasi
kehidupan sosialnya. Proses sosial bergantung pada penghimpunan,
pertukaran, dan penyampaian pengetahuan. Pada gilirannya
pengetahuan bergantung pada komunikasi.”
Dengan demikian, proses enkulturasi tidak dapat terjadi tanpa peran
komunikasi. Seorang imigran akan perlu mempelajari budaya baru untuk
menjadi anggota masyarakat pribumi. Tata cara komunikasi yang ia peroleh
ketika masa kanak-kanak di tempat asalnya mungkin tidak dapat berfungsi
lagi pada lingkungan barunya. Meskipun begitu budaya baru yang ia pelajari
dalam proses enkulturasi, akan membangkitkan kemampuan manusia yang
besar untuk beradaptasi dengan keadaan (Mulyana dan Rakhmat, 2000: 138).
Proses enkulturasi kedua yang terjadi pada imigran adalah akulturasi.
Akulturasi adalah pembauran dua kebudayaan yang tanpa menghilangkan sifat
dan ciri khas kebudayaan asli. Menurut Mulyana dan Rakhmat (2000: 139),
akulturasi adalah suatu proses dimana imigran akan menyesuaikan diri dan
memperoleh budaya pribumi yang akhirnya akan mengarah pada asimilasi.
Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin
terjadi.
17
Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan
hilangnya sifat dan ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk
kebudayaan baru. Asimilasi ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk
mengurangi perbedaan antara individu atau kelompok sosial.
Perkawinan beda suku atau beda budaya menurut Hariyono (Arika,
2015: 15) adalah sebagai puncak dari bentuk asimilasi. Asimilasi dalam
perkawinan merupakan bersatunya jiwa, kepribadian, perilaku, dan sifat dari
dua orang yang mempunyai budaya yang berbeda. sehingga perbedaan budaya
tersebut nantinya dapat diterima dan seiring berjalannya waktu akan
menemukan solusi untuk menyesuaikan dan menjalaninya secara bersamasama.
Perkawinan antarbudaya merupakan puncak dari pembauran dua
budaya. Sebab dalam perkawinan tersebut seseorang akan belajar mengenal,
memahami, menghormati, dan menerima budaya pasangannya untuk dapat
hidup bersama. Untuk memahami penelitian ini lebih lanjut berikut ini adalah
gambar bagan kerangka pikirnya:
18
Komunikasi Antarbudaya
Suku Toraja
Suku Jawa
Hambatan:
Pendukung:
a. Stereotip Negatif
b. Perbedaan
Bahasa
a. Keterbukaan
b. Empati
c. Toleransi
Asimilasi:
a. Kebiasaan Sehari-hari
(Makanan)
b. Identitas Suku
(Bahasa dan Dialek)
c. Penyesuaian Budaya
d. Nilai dan Norma
e. Konflik dan
Harmonisasi
Gambar 1.3 Bagan Kerangka Konsep
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer Tahun 2016
Ketika dua budaya berbeda bertemu dan menjadi satu diperlukan
pembauran agar tidak ada budaya yang dominan baik budaya Suku Toraja
maupun Suku Jawa. Komunikasi menjadi alat untuk menyatukan perbedaanperbedaan yang dimiliki kedua budaya itu sehingga pembauran budaya dapat
tercapai. Hubungan antara Suku Toraja dengan Suku Jawa ini akan dijelaskan
melalui teori-teori berikut:
19
1. Teori Konvergensi Budaya
Teori konvergensi budaya sering pula disebut sebagai model
konvergensi atau model interaktif. Menurut Everett M. Rogers dan Lawrence
Kincaid (1981), teori ini beranggapan bahwa komunikasi sebagai suatu proses
yang cenderung bergerak ke arah satu titik temu (convergence) atau dengan
kata lain komunikasi merupakan suatu proses tukar menukar informasi untuk
mencapai kebersamaan pengertian antara satu sama lain dalam suatu situasi.
Konvergensi budaya berfokus pada hubungan timbal balik antara
partisipan komunikasi karena mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Terdapat empat kemungkinan hasil komunikasi konvergensi, yaitu:
a. Dua pihak saling memahami makna informasi dan menyatakan setuju.
b. Dua pihak saling memahami makna informasi dan menyatakan tidak
setuju.
c. Dua pihak tidak memahami informasi namun menyatakan setuju.
d. Dua pihak tidak memahami makna informasi dan menyatakan tidak setuju.
Ada tiga model yang terdapat dalam teori konvergensi budaya, yaitu: (1)
model tumpang tindih (overlapping of interest), (2) model spiral (helikas), dan
(3) model zigzag.
2.Teori Adaptasi Antarbudaya
Teori adaptasi antarbudaya adalah proses penyesuaian perilaku untuk
memudahkan pemahaman atau mengurangi kemungkinan kesalahpahaman
oleh seseorang dari budaya yang berbeda. Orang-orang dengan latar belakang
20
budaya yang berbeda membutuhkan lebih banyak usaha untuk beradaptasi
daripada orang-orang dengan budaya yang sama. Teori ini diperkenalkan oleh
Ellingsworth (1988) dengan mengemukakan bahwa setiap individu memiliki
kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Maka dari itu setiap manusia
memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus dan
tidak harus dilakukan.
Teori ini berasumsi bahwa individu berinteraksi dan berkomunikasi
untuk mencapai beberapa tujuan. Beberapa faktor yang memengaruhinya
adalah motivasi dan kekuatan seseorang dalam berinteraksi. Semakin banyak
seseorang beradaptasi maka semakin banyak perilaku dan persepsi tentang
dirinya sendiri, orang lain serta budaya yang diwakili yang ia ubah. Selama
proses adaptasi tersebut, seseorang akan memodifikasi persepsinya tentang
budaya dan stereotip yang ada. Pendekatan adaptasi antarbudaya banyak
banyak digunakan dalam studi komunikasi antarbudaya pada negara-negara
berkembang.
3. Teori Penetrasi Sosial
Teori penetrasi sosial muncul untuk mengidentifikasi tingkat
pengungkapan dan keintiman dalam sebuah hubungan interpersonal. Teori ini
pertama kali dikemukakan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor (1973).
Menurut Altman dan Taylor (Littlejohn, 2014: 292), teori ini diibaratkan
mengenal orang lain seperti menembus bola. Bola tersebut memiliki keluasan
dan kedalaman. Kita dapat mempelajari berbagai hal yang berbeda tentang
21
orang lain (keluasan) dan mempelajari suatu informasi secara mendalam
tentang satu atau dua hal (kedalaman). Ketika hubungan antara dua orang
tersebut semakin berkembang, mereka akan berbagi lebih banyak hal tentang
diri mereka satu sama lain. Mereka akan menambahkan keluasan dan
kedalaman pengetahuan pada rekan komunikasinya.
Lebih lanjut Altman dan Taylor (Littlejohn, 2014: 292), berpendapat
bahwa dalam teori pertukaran sosial manusia berinteraksi layaknya sebuah
transaksi ekonomi. Mereka akan mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan
memperkecil biaya. Selama manfaat yang didapatkan lebih besar dari biaya,
pasangan tersebut akan semakin dekat dengan lebih banyak berbagi dan lebih
banyak pengungkapan mengenai informasi pribadi. Ada empat tahap
pengembangan dalam hubungan yaitu: (1) orientasi, (2) pertukaran afektif
eksploratif, (3) pertukaran afektif, dan (4) pertukaran yang seimbang.
E. Metode Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Kota Makassartepatnya di Kecamatan
Mamajang, Mariso dan Tamalate dan berlangsung selama 4 bulan yaitu pada
Maret hingga Juli 2016. Kecamatan tersebut dipilih karena menurut data yang
diberikan oleh Kelompok Paguyuban Masyarakat Jawa di Kota Makassar
menunjukkan bahwa di kawasan itulah Suku Toraja denganSuku Jawa paling
banyak kawin.
22
2. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
dengan menggambarkan dan menjelaskan mengenai komunikasi antarbudaya
yang terjadi antara pasangan Suku Toraja denganSuku Jawa di Kota Makassar.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama.
Sumber data ini bisa berupa responden atau subjek riset dari hasil wawancara
dan observasi. Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan yang
menemui para informan secara langsung dan dilakukan dengan dua cara,
yaitu:

Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Penulis melakukan wawancara dengan kelima pasangan informan
tersebut yang telah dipilih berdasarkan teknik pemilihan informan.
Wawancara yang dilakukan bersifat secara langsung agar mendapatkan
informasi yang akan mendukung data hasil observasi.

Observasi/Pengamatan
Penulis
melibatkan diri
secara
langsung di
lapangan untuk
mengumpulkan data, terkait fenomena yang sedang diteliti. Penulis melakukan
observasi pada bulan Maret sampai Juli 2016.
23
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil dari sumber kedua atau
sumber sekunder, yang sifatnya melengkapi data primer seperti buku-buku,
data dari perpustakaan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan objek
penelitian.
4. Teknik Penentuan Informan
Penentuan informan ditentukan dengan cara purposive sampling dimana
peneliti telah menentukan karakteristik informan sebelum turun ke lapangan.
Teknik penentuan informan yang ditetapkan yaitu secara sengaja atas dasar
kriteria atau pertimbangan tertentu. Informan dalam penelitian ini adalah lima
pasangan suami istri yang berbeda budaya dan berdomisili di Kota Makassar
dengan spesifikasi sebagai berikut:
1. Pasangan suami istri, suami dari Suku Toraja dan istri dari Suku Jawa yang
sudah kawin lebih dari 2 tahun dan berdomisili di Kota Makassar.
2. Pasangan suami istri, suami dari Suku Jawa dan istri dari Suku Toraja yang
sudah kawin lebih dari 2 tahun dan berdomisili di Kota Makassar.
3. Pasangan suami istri adalah orang yang berdarah asli Suku Toraja dan Suku
Jawa di Kota Makassar yang terlibat dalam perkawinan beda budaya.
24
5. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan analisis data model
interaktif Milles dan Huberman yaitu terdapat tiga proses yang berlangsung secara
interaktif, yaitu:
a. Reduksi data (Data Reduction)
Reduksi data, berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari tema dan polanya. Data
yang direduksi nantinya akan memberi gambaran yang lebih jelas, dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan.
b. Penyajian data (Data Display)
Penyajian data, seperti merakit data dan menyajikan dengan baik agar
lebih mudah dipahami. Penyajian bisa berupa grafik, matrik, gambar, skema,
jaringan kerja, tabel, teks yang bersifat naratif, dan seterusnya. Dengan
menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan
merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami dari data
tersebut.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi (Conclusions: Drawing/Verifying)
Proses penarikan kesimpulan awal masih bersifat sementara, belum kuat,
terbuka, skeptik, dan bisa saja berubah jika tidak ditemukan bukti-bukti yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Kesimpulan akhir
dilakukan setelah pengumpulan data berakhir. (Sugiyono, 2015: 91-99).
25
Gambar 1.4 Analisis Data Model Interaktif dari Milles dan Huberman (1992)
26
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. LETAK GEOGRAFIS
Kota Makassar sebagai salah satu daerah kabupaten/kota di Provinsi
Sulawesi Selatan secara yuridis formil didasarkan pada Undang-Undang Nomor
29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.
Selanjutnya Kota Makassar menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Selatan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 dan kemudian berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1965 Daerah Tingkat II Kotapraja Makassar
diubah menjadi Daerah Tingkat II Kotamadya Makassar.
Kota Makassar yang pada tanggal 31 Agustus 1971 berubah nama menjadi
Ujung Pandang, wilayahnya dimekarkan dari 21 km2 menjadi 175,77 km2 dengan
mengadopsi sebagian wilayah kabupaten tetangga yaitu Gowa, Maros dan
Pangkajene. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971
tentang perubahan batas-batas daerah Kotamadya Makassar dan Kabupaten Gowa,
Maros, serta Pangkajene dalam lingkup daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada perkembangan selanjutnya nama Kota Ujung Pandang dikembalikan
menjadi Kota Makassar lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun
1999 tentang perubahan nama Kotamadya Ujung Pandang menjadi Kota
Makassar, hal ini atas keinginan masyarakat yang didukung DPRD Tk. II Ujung
Pandang saat itu, serta masukan dari kalangan budayawan, seniman, sejarahwan,
pemerhati hukum, dan pelaku bisnis. Hingga saat ini Kota Makassar memasuki
27
usia 409 tahun sebagaimana Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2000 yang
menetapkan hari jadi Kota Makassar yaitu tanggal 9 November 1607.
Kota
Makassar
memiliki
posisi
yang
strategis
karena
berada
dipersimpangan jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam propinsi di
Sulawesi,
dari
wilayah
kawasan
barat
ke
wilayah
kawasan
timur
Indonesia.Dengan kata lain, wilayah Kota Makassar berada pada koordinat
11925’ bujur timur dan 58’ lintang selatan dengan ketinggian yang bervariasi
antara 1-25 meter dari permukaan laut.
Gambar 3.1 Peta Kota Makassar
Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 05ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni sungai Tallo yang bermuara di
selatan kota. Luas wilayahKota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih
28
175,77 km2 daratan dan termasuk 11 pulau di Selat Makassar ditambah luas
wilayah perairan kurang lebih 100 km2. Jumlah kecamatan di Kota Makassar
sebanyak 14 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Di antara kecamatan
tersebut, ada 7 kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan
Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya.
Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten yakni
sebelah utara dengan Kabupaten Pangkajene, sebelah timur dengan Kabupaten
Maros, sebelah selatan dengan Kabupaten Gowa dan sebelah barat dengan Selat
Makassar. Berikut ini adalah luas masing-masing kecamatan di Kota Makassar:
Tabel 3.1 Luas Masing-masing Kecamatan di Kota Makassar
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Kecamatan
Mariso
Mamajang
Tamalate
Makassar
Ujung Pandang
Wajo
Bontoala
Ujung Tanah
Tallo
Panakkukang
Biringkanaya
Rappocini
Manggala
Tamalanrea
Jumlah
Luas (km2)
1,82
2,25
20,21
2,52
2,63
1,99
2,10
5,94
5,83
17,05
48,22
9,23
24,14
31,84
175,77
Persentase
1,04
1,28
12,07
1,43
1,50
1,13
1,19
3,38
3,32
9,70
27,43
5,25
13,73
18,11
100,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa kecamatan dengan luas wilayah terbesar
adalah Kecamatan Biringkanaya dengan luas 48,22 km2atau 27,43% dari total luas
Kota Makassar. Sementara itu, kecamatan dengan luas wilayah terendah adalah
29
Kecamatan Mariso dengan luas 1,82 km2atau 1,04% dari total luas Kota
Makassar. Berikut ini adalah jumlah kelurahan di Kota Makassar menurut masingmasing kecamatan:
Tabel 3.2 Jumlah Kelurahan Menurut Kecamatan di Kota Makassar
No. Kode Wil.
Kecamatan
1.
010
Mariso
2.
020
Mamajang
3.
030
Tamalate
4.
031
Rappocini
5.
040
Makassar
6.
050
Ujung Pandang
7.
060
Wajo
8.
070
Bontoala
9.
080
Ujung Tanah
10.
090
Tallo
11.
100
Panakukkang
12.
101
Manggala
13.
110
Biringkanaya
14.
111
Tamalanrea
Jumlah
Kelurahan
9
13
10
10
14
10
8
12
12
15
11
6
7
6
143
RW
47
56
69
37
45
57
77
50
90
108
105
66
106
67
980
RT
246
238
369
139
169
257
464
199
473
532
505
366
566
330
4.867
Tabel di atas menunjukkan bahwa kecamatan dengan jumlah kelurahan
terbanyak adalah Kecamatan Tallo dengan jumlah kelurahan sebanyak 15, RW
sebanyak 108, dan RT sebanyak 532. Sementara itu, kecamatan dengan jumlah
kelurahan paling sedikit adalah Kecamatan Manggala dengan jumlah kelurahan
sebanyak 6, RW sebanyak 66, dan RT sebanyak 366. Lalu disusul dengan
Kecamatan Tamalanrea dengan jumlah kelurahan sebanyak 6, RW sebanyak 67,
dan RT sebanyak 330.
30
B. LETAK DEMOGRAFIS
Penduduk Kota Makassar tahun 2011 tercatat sebanyak 1.352.136 jiwa
yang terdiri dari 667.681 pria dan 684.455 wanita. Berikut ini jumlah penduduk
menurut kecamatan di Kota Makassar.
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Kota Makassar
Menurut Kecamatan Tahun 2011
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Kode
Wil.
010
020
030
031
040
050
060
070
080
090
100
101
110
111
Kecamatan
Mariso
Mamajang
Tamalate
Rappocini
Makassar
Ujung Pandang
Wajo
Bontoala
Ujung Tanah
Tallo
Panakukkang
Manggala
Biringkanaya
Tamalanrea
Jumlah
Penduduk
Pria
Wanita
28.101
28.307
29.085
30.474
85.279
87.227
74.077
78.454
40.616
41.862
12.805
14.355
14.415
15.223
26.684
28.030
23.603
23.530
67.888
67.686
70.663
72.066
59.008
59.183
83.996
85.344
51.462
52.713
667.681
684.455
Jumlah
56.408
59.560
172.506
152.531
82.478
27.160
29.639
54.714
47.133
135.574
142.729
118.191
169.340
104.175
1.352.136
Penyebaran penduduk Kota Makassar menurut kecamatan menunjukkan
bahwa penduduk masih terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Tamalate yaitu
sebanyak 172.506 jiwa atau sekitar 12,76% dari total penduduk disusul
Kecamatan Biringkanaya sebanyak 169.340 jiwa (12,52%). Kecamatan Rappocini
sebanyak 152.531 jiwa (11,28%) dan yang terendah adalah kecamatan Ujung
Pandang sebanyak 27.160 jiwa (2,01%).
31
Ditinjau dari kepadatan penduduk, Kecamatan Makassar adalah yang
terpadat yaitu 32.730 jiwa/km2, disusul Kecamatan Mariso 30.993 jiwa/km2,
Kecamatan Mamajang 26.471 jiwa/km2. Sedangkan Kecamatan Tamalanrea
merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah yaitu sekitar 3.272
jiwa/km2, kemudian diurutan kedua ada Kecamatan Biringkanaya dengan
kepadatan penduduk sekitar 3.512 jiwa/km2, Kecamatan Manggala 4.896
jiwa/km2,
kemudian
diikuti
Kecamatan
Ujung
Tanah
dan
Kecamatan
Panakukkang diurutan keempat dan kelima dengan kepadatan penduduk sekitar
7.935 jiwa/km2 dan 8.371 jiwa/km2.
Tabel 3.4 Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut
Kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Kecamatan
Mariso
Mamajang
Tamalate
Rappocini
Makassar
Ujung Pandang
Wajo
Bontoala
Ujung Tanah
Tallo
Panakukkang
Manggala
Biringkanaya
Tamalanrea
Jumlah
Persentase
Kepadatan
Penduduk (%) Penduduk
4,17
30.993
4,40
26.471
12,76
8.536
11,28
16.526
6,10
32.730
2.01
10.327
2,19
14.894
4,05
26.054
3,49
7.935
10,03
23.254
10,56
8.371
8,74
4.896
12,52
3.512
7,70
3.272
100,00
7.693
32
C. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
masyarakat yang berperan dalam meningkatkan kualitas hidup. Untuk melihat
perkembangan pendidikan secara makro di Kota Makassar, dapat dilihat dari
ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, jumlah murid yang bersekolah dan
angka partisipasi sekolah.
Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan terus diupayakan sebagai
akibat dari meningkatnya jumlah penduduk usia sekolah dan dengan
diberlakukannya program wajib belajar 9 tahun. Upaya ini dilakukan agar
pelayanan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan
menuju standar yang diharapkan. Dalam penyelenggaraan pendidikan baik yang
dilakukan oleh pemerintah dan swasta di Kota Makassar, maka pada tahun 2013
jumlah sekolah dasar sebanyak 493 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.790
orang dan jumlah murid sebanyak 150.255. Untuk jenjang SMP sebanyak 192
unit sekolah dengan jumlah guru sebanyak 3.984 orang dan jumlah murid
sebanyak 62.758 orang. Sedangkan untuk jenjang SMA terdapat 117 unit sekolah
dengan jumlah guru sebanyak 5.595 orang dan jumlah murid sebanyak
54.625orang.Kota Makassar yang merupakan pusat pendidikan di kawasan timur
Indonesia memiliki 3 buah perguruan tinggi negeri yaitu Universitas Hasanuddin
(UNHAS), Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Universitas Islam Negeri
(UIN) Alauddin Makassar.
Pada tahun 2013, angka melek huruf Kota Makassar telah mencapai
97,83% dan rata-rata lama sekolah mencapai 10,90 tahun. Kemajuan yang dicapai
33
dibidang pendidikan adalah pendidikan yang ditamatkan penduduk berumur 10
tahun ke atas yaitu tidak punya ijazah sebanyak 5,61%, tamat SD sebanyak
17,01%, tamat SMP sebanyak 16,42%, tamat SMA sebanyak 36,89%, SMK
sebanyak 5,48%, D1/D2 sebanyak 0,03%, D3 sebanyak 2,69%, dan D4/S1/S2/S3
sebanyak 15,87%.
D. Kondisi Sosial Budaya
Mayoritas masyarakat Kota Makassar adalah suku Bugis, Makassar,
Mandar dan Toraja. Kota Makassar sangat terbuka bagi suku-suku pendatang.
Sejak berabad-abad lampau mereka telah berbaur dengan berbagai suku
diantaranya adalah Suku Jawa, Ambon, Arab, Tionghoa dan Melayu. Mereka
telah membangun suatu komunitas dan itu dibuktikan dengan keberadaan
Kampung Sambung Jawa, Pecinan (China Town), Kampung Melayu dan Ambon.
Bahasa Makassar juga disebut sebagai bahasa Mangkassara adalah bahasa
yang digunakan penduduk Kota Makassar, khususnya suku Makassar. Bahasa ini
mempunyai abjad sendiri yang disebut aksara lontara namun saat ini banyak juga
yang telah ditulis dalam huruf latin. Selain bahasa Makassar, bahasa Bugis,
Mandar dan Toraja juga digunakan oleh penduduk Kota Makassar. Namun Bahasa
Indonesia
tetap menjadi bahasa pengantar sehari-hari dalam melaksanakan
aktifitasnya. Masing-masing suku memiliki bahasa yang berbeda-beda. Namun
dengan beragamnya suku tersebut juga melahirkan kesenian dan budaya yang
dapat memperkaya khazanah budaya masyarakat Kota Makassar. Saat ini Kota
Makassar memiliki 47 buah situs bersejarah dan 1011 buah sanggar seni.
34
E. Agama dan Kepercayaan
Sebagai kota metropolitan dengan beragam beragam suku dan budaya
yang dimilikinya maka Kota Makassar senantiasa memfasilitasi masyarakatnya
agar kerukunan umat beragama dapat terwujud. Keharmonisan, sikap saling
pengertian, saling menghomarti, dan saling percaya senantiasa diupayakan di
antara umat beragama di Kota Makassar.
Di Kota Makassar terdapat beberapa agama yaitu Islam, Kristen Protestan,
Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu. Agama Islam merupakan agama mayoritas
masyarakat Kota Makassar. Data dari Departemen Agama Kota Makassar tahun
2013 menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Makassar yang memeluk agama
Islam adalah 1.330.325 orang dengan jumlah jemaah haji pada tahun 2007
sebanyak 1.106 orang. Penganut yang beragama Kristen Protestan sebanyak
113.354 orang, Katolik sebanyak 88.519 orang, Hindu sebanyak 6.878 orang,
Budha sebanyak 25.776 orang dan Konghucu 3.800 sebanyak orang. Agama
Kristen Protestan dan Katolik mayoritas dipeluk oleh Suku Toraja sedangkan
agama Budha dan Konghucu mayoritas dipeluk oleh Suku Tionghoa.
F. Ekonomi dan Keuangan
Dalam analisis ekonomi wilayah, indikator yang lazim digunakan adalah
pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, pendapatan per kapita, tenaga kerja,
perkembangan investasi dan distribusi pendapatan. Produk Domestik Regional
35
Bruto (PDRB) di Kota Makassar pada tahun 2012 sebesar Rp. 50 trilyun lebih dan
mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi Rp. 58 trilyun lebih.
Pertumbuhan ekonomi yang baik ditandai dengan semakin tertekannya
laju inflasi, dimana pada tahun 2011 laju inflasi mencapai rata-rata sebesar 6,47%
dan pada tahun 2012 turun menjadi3,86% dan semakin turun pada tahun 2013
menjadi 0,84%. Ini menunjukkan bahwa ada perbaikan atau peningkatan beberapa
indikator makro ekonomi.
Tabel 3.5 Inflasi Kota Makassar Tahun 2011-2013
Inflasi
Bahan Makanan
Makanan Jadi
Perumahan
Sandang
Kesehatan
Pendidikan
Transportasi
Umum
2011
0,33
4,23
3,95
8,82
8,26
2,84
0,51
6,47
2012
6,97
5,07
3,25
7,67
2,93
3,36
1,15
3,86
2013
1,57
0,22
0,02
1,15
0,85
0,03
0,06
0,84
Nilai PDRB memberikan gambaran produksi seluruh barang dan jasa yang
dihasilkan oelh suatu wilayah dalam satu tahun. Kota Makassar menduduki
peringkat pertama besarnya PDRB yang dihasilkan oleh kabupaten/kota di
Sulawesi Selatan yaitu sekitar Rp. 58 trilyun lebih. Sektor perdagangan , hotel,
dan restoran memberikan kontribusi terbesar dalam struktur PDRB Kota
Makassar, yaitu mencapai 29,38%. Kemudian diikuti sektor industri pengolahan
sebesar 17,11%. Pertumbuhan ekonomi Kota Makassar pada tahun 2009 mencapai
9,20% kemudian tahun 2010 melambat jadi 9,83%, tahun 2011 sebesar 9,65% dan
tahun 2012 menjadi 9,88% dan 8,91% di tahun 2013.
36
Gambar 3.2 Distribusi Persentase PDRB Menurut Sektor
di Kota Makassar Tahun 2013
Bangunan
8%
Angkutan &
Komunikasi
15%
Keuangan
12%
Perdagangan
29%
Industri
Pengolahan
17%
Listrik & Air
2%
Jasa-Jasa
16%
Pertanian
1%
37
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asimilasi Perkawinan Antara Suku Toraja dengan Suku Jawa di Kota
Makassar
Di dalam perkawinan antar budaya, hal yang paling penting adalah adanya
toleransi dari masing-masing pasangan. Mayoritas pasangan yang memutuskan
untuk kawin dengan suku lain memiliki pola pikir yang terbuka terhadap budaya
pasangannya termasuk nilai dan normanya. Sehingga tidak ada pemaksaan
kehendak bagi pasangannya untuk mempercayai dan mempraktekkan nilai dan
norma yang dia anut. Mereka yang bersuku Jawa bersedia dikawinkan di Sulawesi
Selatan dengan menggunakan budaya Toraja dan ikut tinggal di Sulawesi Selatan.
Sedangkan yang bersuku Toraja bersedia mengadakan resepsi tambahan dengan
menggunakan budaya Jawa di Pulau Jawa dan Kota Makassar.
Perkawinan antar suku menyebabkan meleburnya budaya Toraja dan
budaya Jawa sehingga menghasilkan budaya baru yang lebih bersifat nasional.
Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan perilaku sebelum dan sesudah kawin
baik dalam kebiasaan sehari-hari, identitas suku, penyesuaian budaya,
kepercayaan akan nilai dan norma, serta konflik dan harmonisasi yang terjadi.
Mayoritas pasanganmemiliki tingkat keakraban yang tinggi dan telah
mencapai pengertian bersama terhadap masing-masing budaya meskipun terdapat
stereotip pada masing-masing budaya. Perbedaaan budaya yang mereka miliki
38
tidak menghambat kebahagiaan dan keharmonisan dalam keluarga karena
landasan utama mereka dalam berkeluarga adalah agama.Salah satu yang paling
menonjol dalam asimilasi ini adalah adanya perubahan kepercayaan akan nilai dan
norma. Mereka yang bersuku Toraja kini ikut memandang pemotongan hewan
dalam upacara Rambu Solo sebagai pemborosan dan tidak sejalan dengan
agamanya. Sedangkan mereka yang bersuku Jawa tidak lagi mempercayai pemalipemali atau larangan-larangan serta ritual-ritual yang diajarkan budayanya karena
tidak sesuai dengan agamanya.
2. Faktor-faktor Penghambat dan Pendukung Dalam Asimilasi Perkawinan
Antara Suku Toraja dengan Suku Jawa di Kota Makassar
Perbedaan latar belakang budaya yang dimiliki masing-masing pasangan
menyebabkan perkawinan mereka lebih banyak mengalami konflik dan
kesalahpahaman dibandingkan mereka yang memiliki latar belakang budaya yang
sama. Kesalahpahaman tersebut disebabkan karena hambatan-hambatan seperti
stereotip negatif dan perbedaan bahasa. Stereotip negatif pada orang Toraja adalah
boros dan memiliki ego serta iri hati yang tinggi. Sedangkan pada orang Jawa
adalah memiliki sifat tertutup dan tidak berterus terang.
Adapun faktor-faktor yang mendukung tercapainya keharmonisan dalam
perkawinan adalah adanya sikap toleransi, empati, dan keterbukaan yang tinggi
satu sama lain. Jika semua sikap-sikap tersebut ada maka hubungan interpersonal
dalam keluarga akan semakin akrab dan dekat, tidak ada jarak emosional di
dalamnya.
39
Meskipun begitu tidak ada aturan dalam perkawinan antarbudaya yang
dapat dijadikan patokan untuk mencapai keluarga harmonis dan bahagia. Tiap
keluarga perkawinan antarsuku memiliki cara dan aturan masing-masing dalam
keluarganya.Hal itu disebabkan tidak hanya karena latar belakang budayanya tapi
juga dari karakter pribadi, lingkungan tempat dia lahir dan dibesarkan, stratifikasi
sosial dalam masyarakat,generasi lahir, dan latar belakang pendidikan. Namun
dari berbagai perbedaan tersebut ada pola sikap yang sama yang dapat dijadikan
acuan untuk mencapai keluarga harmonis dan bahagia.
B. Saran
1. Diharapkan bagi pasangan yang kawin dengan budaya berbeda untuk mau
mempelajari budaya pasangannya lebih dalam agar resiko terjadinya
kesalahpahaman dan konflik dapat diperkecil.
2. Sebaiknya kedua pasangan beda budaya tidak mendasarkan penilaiannya
hanya pada stereotip karena manusia itu unik dan memiliki berbeda
sehingga penyesuaian budaya dapat berjalan lebih baik.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan komunikasi dalam perkawinan antarbudaya.
4. Bagi masyarakat yang berniat untuk kawin dengan orang lain yang
berbeda budaya diharapkan untuk lebih mempersiapkan diri secara matang
dengan memikirkan setiap permasalahan yang mungkin terjadi dengan
perbedaan latar belakang budaya yang ada.
40
5. Diharapkan pula bagi masyarakat untuk tidak mempermasalahkan
perbedaan budaya yang ada dalam suatu perkawinan karena dengan saling
menghargai dan menghormati budaya orang lain akan menciptakan
komunikasi yang baik dan kehidupan yang lebih tentram dan harmonis.
Download