LAPORAN AKHIR STUDI SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN Disusun oleh: Yohandarwati Lenny N. Rosalin I D G Sugihamretha Sanjoyo Utin Kiswanti Guntur Pawoko Susiati Puspasari Fithriyah DIREKTORAT KEPENDUDUKAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN BAPPENAS 2004 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... i DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1 1.1 LATAR BELAKANG .......................................................................................... 1 1.2 Tujuan ...................................................................................................................... 1 1.3 METODOLOGI ................................................................................................... 2 1.4 SISTEMATIKA LAPORAN .............................................................................. 3 BAB II KONSEP DAN DATA KEMISKINAN ................................................................... 4 2.1. Konsep dan Pengukuran Kemiskinan ................................................................ 5 2.2 Sumber Data Kemiskinan..................................................................................... 7 2.3. Perbandingan Data Kemiskinan ........................................................................11 2.4. Jumlah dan Persebaran Penduduk Miskin........................................................13 BAB III KAJI ULANG (REVIEW) KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG BANTUAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN ............................................16 3.1. Kebijakan Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin ..........................................16 3.2. Kebijakan Sektoral terhadap Penduduk Miskin ..............................................17 3.2.a. Departemen Kesehatan .....................................................................17 3.2.b. Departemen Pendidikan Nasional .................................................20 3.2.c. Departemen Sosial ..............................................................................23 3.2.d. Instansi Lain .........................................................................................25 3.3. Isu Kebijakan tentang Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin......................27 BAB IV ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN ..........................................................................................................................29 DAFTAR BACAAN ......................................................................................................................33 i DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Tabel 2.1. Aspek Pengumpulan Data Kemiskinan menurut Sumber Data ...........................12 Tabel 2.2. Data Kemiskinan BPS: jumlah sampel, batas cakupan kalori, jumlah komoditas makanan dan non-makanan, GKM, GKNM, GK, menurut tahun penyelenggaraan SUSENAS ..........................................................................14 Tabel 2.3. Jenis Komoditas Yang Dijadikan sebagai Penentu Garis Kemiskinan ...............15 Tabel 3.1. Pengeluaran Pemerintah dalam Program Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin (juta Rp)...........................................................................................................17 Tabel 3.2. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan Departemen Kesehatan, 2004 ..........................................................................................................19 Tabel 3.3. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, 2004 .......................................................................20 Tabel 3.4. Kelompok Penyandang Masalah Sosial (PMKS) ...................................................23 Tabel 3.5. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan DEPARTEMEN SOSIAL, 2004 .............................................................................................................24 ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat), bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2002, yang bertujuan untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Tim SJSN telah menyusun suatu naskah akademik dan telah diserahkan kepada DPR dalam rangka pengajuan RUU SJSN. Cakupan naskah akademis tersebut meliputi jaminan sosial dengan pendekatan skema asuransi, yang mewajibkan pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua dan pensiun, dan kematian. Sedangkan bagi tenaga kerja informal dan masyarakat miskin belum dicantumkan. Sejak tahun 2002, Bappenas telah melakukan kajian awal mengenai sistem perlindungan dan jaminan sosial, yang pada intinya berupaya untuk membentuk suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat yang bekerja, dunia usaha, dan pemerintah diharapkan dapat bersama-sama menanggung pendanaan sistem tersebut. Salah satu rekomendasi kajian menyatakan perlunya suatu SPJS yang dikaitkan dengan sistem administrasi penduduk (unique number system). Dengan demikian, identifikasi penduduk yang layak memperoleh perlindungan dan jaminan sosial akan lebih tepat dan praktis. Disadari bahwa pembentukan suatu Sistim Perlindungan Sosial (SPS) memerlukan waktu yang panjang dan lama. Oleh karena itu, perumusan SPS dilakukan secara bertahap. Tahap awal adalah membentuk Desain SPS berikut perangkat pendukungnya, baik dari aspek hukum, maupun kelembagaan bagi penduduk miskin. 1.2 Tujuan Secara umum tujuan studi ini adalah untuk memberikan masukan dalam rangka menyusun kebijakan tentang Sistem Perlindungan Sosial (SPS) Bagi Penduduk Miskin dari berbagai aspek. Secara khusus tujuan studi ini adalah untuk melakukan kajian terhadap beberapa aspek sebagai berikut: a. Mengkaji ulang (review) konsep dan data kemiskinan yang dapat digunakan bagi perumusan kebijakan perlindungan (bantuan) sosial bagi penduduk miskin 1 b. Mengkaji ulang (review) kebijakan pemerintah yang telah dilakukan selama ini berkaitan dengan bantuan social bagi penduduk miskin c. Merumuskan pokok-pokok arah kebijakan perlindungan sosial bagi penduduk miskin di masa mendatang termasuk tentang perkiraan jumlah biaya yang diperlukan bagi program tersebut 1.3 METODOLOGI a. Metode Penulisan Sistem Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin ini dilakukan setelah dilakukan beberapa metode kajian antara lain berupa studi literatur dan diskusi kelompok terbatas (focus group discussion, FGD). Studi literatur dilakukan terutama pada tiga topik utama yaitu yang berkaitan dengan (1) ukuran dan kondisi penduduk miskin di Indonesia; (2) perkembangan kebijakan pemerintah tentang penduduk miskin, dan; (3) sistem perlindungan sosial (bantuan dan jaminan) bagi penduduk miskin. Selanjutnya hasil studi literature tersebut dikombinasikan dengan hasil focus group discussion (FGD) yang dilakukan secara bertahap. Agar lebih fokus pada tujuan studi ini, FGD yang dilakukan akan mengangkat beberapa topik sebagai berikut: a. Konsep, Data dan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia b. Kebijakan Pemerintah tentang Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin c. Arah Pengembangan Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin Agar hasil studi ini juga sesuai dengan kondisi di daerah maka konsep yang telah disusun melalui studi kepustakaan (literature study) dan FGD di tingkat pusat akan di diskusikan melalui FGD di tingkat daerah (kabupaten/kota). Dengan demikian diharapkan apa yang dihasilkan dalam studi ini juga mempertimbangkan aspek pengelolaan kebijakan di tingkat kabupaten/kota. Hal ini penting apalagi jika dikaitkan dengan desentralisasi dan otonomi daerah yang selama ini telah berlangsung. b. Tahapan Kegiatan Penulisan ini terkait dengan keseluruhan kegiatan studi yang dilakukan oleh BAPPENAS. Untuk itu studi dan penulisan ini mencakup beberapa kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan Desain Studi b. Studi Kepustakaan (Literature Study) c. Pelaksanaan FGD di Tingkat Pusat d. Penulisan Draf Sistem Perlindungan Sosial (SPS) Bagi Penduduk Miskin e. Pelaksanaan FGD di Tingkat Daerah Kabupaten/Kota f. Penyempurnaan Draf Sistem Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin g. Presentasi Draf Sistem Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin h. Finalisasi Draf Sistem Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin Keseluruhan kegiatan tersebut diperkirakan dapat diselesaikan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan dengan rincian jadwal sebagaimana terlampir. 2 1.4 SISTEMATIKA LAPORAN Laporan yang dihasilkan dari studi ini mencakup beberapa topik berikut: Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Metodologi 1.4 Output Laporan Bab 2 KONSEP DAN DATA KEMISKINAN 2.1 Konsep dan Pengukuran Kemiskinan 2.2 Sumber Data Kemiskinan 2.3 Jumlah dan Persebaran Penduduk Miskin Bab 3 KAJI ULANG (REVIEW) KEBIJAKAN PEMERINTAH BANTUAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN 3.1 Kebijakan Bantuan Sosial bagi Penduduk Miskin: 3.2 Kebijakan Sektoral terhadap Penduduk Miskin 3.2 Isu Kebijakan Bantuan Sosial bagi Penduduk Miskin TENTANG Bab 4 ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN 4.1 Kebijakan, Strategi, Sasaran, dan Program 4.2 Indikator Sasaran dan Pemantauan 4.3 Skema Pembiayaan 4.4 Desain Kelembagaan. Bab 5 PENUTUP 3 BAB II KONSEP DAN DATA KEMISKINAN Data kemiskinan di Indonesia sudah mulai dikumpulkan sejak tahun 1984 (BPS) dan program pemerintah tentang pengentasan kemiskinan juga sudah dilakukan sejak lama tetapi masih ada masalah yang berkaitan dengan implementasi dan penetapan sasaran terhadap penduduk miskin. Masih ada kritik bahwa program pemerintah berkaitan dengan penduduk miskin masih terjadi duplikasi dan tumpang tindih baik dalam hal jenis program maupun sasarannya. Dalam hal jenis program ada beberapa instansi yang melakukan beberapa kegiatan yang hampir serupa. Sedang dalam hal penetapan sasaran masih belum diketahui secara rinci siapa sebenarnya yang masuk kategori penduduk miskin yang patut untuk diberi bantuan sosial kemiskinan. Bantuan sosial kemiskinan yang dilakukan melalui program JPS baik JPS-BK, JPSPendidikan, JPS-Raskin seringkali menghadapi kendala serius ketika harus menetapkan siapa sebenarnya penduduk miskin yang patut untuk diberi bantuan. Di tingkat teknis penetapan sasaran yang menerima bantuan sosial masih menghadapi banyak kendala. Data yang ada selama ini yang digunakan untuk perencanaan tidak cukup untuk memberikan pedoman sampai ke tingkat operasional pelaksanaan program. Tulisan ini akan mencoba menguraikan tentang ketersediaan data kemiskinan dan kaitannya dengan penggunaan data tersebut dalam perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan. Apakah data yang ada sudah mencukupi atau belum ketika harus digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan dan pelaksanaan program? Kalau belum mencukupi, alternatif apa yang harus dilakukan agar program bantuan sosial (sebagai bagian penting dari sistem perlindungan sosial) dapat benar-benar dilakukan secara tepat sasaran? Apakah ada alternatif metode lain yang dapat digunakan agar bantuan sosial tersebut dapat benar-benar tepat sasaran? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka tulisan ini akan mencoba menguraikan keberadaan data kemiskinan dan kaitannya dengan kebutuhan dalam pelaksanaan program. Baru kemudian diuraikan tentang alternatif metode apa yang patut dipertimbangkan dalam pemberian bantuan sosial. Berkaitan dengan data kemiskinan akan diuraikan secara sekilas tentang cakupan dan ukuran kemiskinan yang digunakan. Namun sebelum itu akan diuraikan terlebih dahulu tentang konsep dan determinan kemiskinan. 4 2.1. Konsep dan Pengukuran Kemiskinan a. Pengertian Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relatif sesuai dengan persepsi dirinya. Kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi tersebut mencakup berbagai aspek baik kebutuhan ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual. Pengertian miskin dalam arti luas tersebut tidak cukup operasional dalam analisis program kebijakan. Kalau kemiskinan diartikan dalam pengertian luas seperti itu maka akan mengalami kesulitan teknis ketika harus menentukan siapa sebenarnya yang masuk kategori penduduk miskin. Oleh karena itu dalam banyak analisis, kemiskinan lebih diartikan secara sempit yaitu miskin secara ekonomis. Dalam kaitan ini miskin diartikan sebagai ketidakmampuan ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar disini lebih pada kebutuhan fisik (baik makanan maupun non makanan) Dengan demikian yang disebut sebagai penduduk miskin adalah penduduk yg secara ekonomis tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya atau kebutuhan dasarnya (baik makanan maupun non makanan) Kemiskinan diartikan sebagai ketidak-mampuan rumah tangga atau seseorang dalam memenuhi secara cukup kebutuhan dasarnya. Kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperoleh untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan dapat dilihat dari sudut pandang moneter dan non moneter. Kemiskinan juga dapat dilihat dari berbagai aspek/dimensi. Disamping dilihat dari aspek pendapatan, kemiskinan juga dapat dilihat dari aspek kesehatan, pendidikan dan status sosial. Dalam kaitan ini kemiskinan dikaitkan dengan “outcome” yang tidak cukup dalam hubungannnya dengan (i) kesehatan, gizi dan literasi; (ii) kurangnya hubungan sosial; (iii) kerawanan, dan; (iv) kepercayaan diri yang rendah dan ketidakberdayaan. Terkait dengan konsep kemiskinan ada pula konsep ketimpangan (yaitu ketidakseimbangan atau ketidakmerataan distribusi) dan kerentanan/vulnerability (yaitu resiko menjadi miskin atau lebih miskin). Dalam membahas kemiskinan kedua konsep tersebut saling terkait. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengukur kemiskinan untuk mengetahui siapa yang termasuk kategori penduduk miskin. b. Mengukur Kemiskinan Untuk mengukur kemiskinan dalam arti luas jelas sulit dilakukan. Sulit untuk menentukan siapakah yang masuk kategori miskin secara politik, sosial apalagi spiritual. Oleh karena itu pembahasan dalam ukuran kemiskinan disini diartikan secara sempit yaitu dalam arti ekonomis. Kemiskinan dalam arti ekonomis yaitu ketidakmampuan ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. 5 Pendekatan yang umum dipakai dalam mengukur kemiskinan (dalam arti sempit) adalah pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Kebutuhan dasar diukur dari pengeluaran (sebagai proksi dari pendapatan) rumah tangga atas sejumlah (bundel) komoditas baik berupa komiditas makanan maupun non makanan. Dari sejumlah komoditas terpilih tersebut kemudian ditentukan ukuran kebutuhan minimumnya. Kemudian jumlah minimum komoditas tersebut dikalikan dengan harga komoditas yang bersangkutan. Dengan begitu diperoleh sejumlah angka yang menunjukkan harga dari bundel komoditas minimum yang diperlukan. Angka itulah yang kemudian dijadikan sebagai batas atau garis (poverty line) yang membagi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin Garis kemiskinan (poverty line) bisa dibedakan antara garis kemiskinan makanan (food poverty line) maupun garis kemiskinan non makanan (non food poverty line). Yang karena perbedaan harga dan jenis komoditas yang dipakai maka besaran garis kemiskinan bisa pula berbeda antar daerah dan antar desa-kota. Garis kemiskinan itu sendiri adalah suatu index. Secara statistik ada beberapa cara dalam menghitung garis kemiskinan seperti Headcount Index, Poverty Gap Index, Poverty Severity Index dan sebagainya. c. Kategori Penduduk Miskin Melalui garis kemiskinan sebagaimana dikemukakan diatas kemudian penduduk dikelompokkan menjadi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada pada dan dibawah garis kemiskinan. Sedang penduduk tidak miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan. Tetapi pengkategorian penduduk hanya menjadi miskin dan tidak miskin seperti itu dianggap masih kurang memenuhi kebutuhan analisis. Dalam hal perlindungan sosial (jaminan dan bantuan sosial) disamping penduduk miskin perlu juga diperhatikan penduduk rentan (vulnerable people). Oleh karena itu dilakukan penajaman lagi dalam melakukan pengelompokan penduduk miskin. Disamping penduduk miskin dikategorikan juga apa yang disebut sebagai penduduk rentan, yaitu penduduk yang meskipun saat ini tidak miskin tetapi di masa mendatang rentan untuk menjadi miskin. Sedang penduduk miskin sendiri dipilah lagi kedalam miskin permanen (chronic poor) dan miskin sementara (transient poor). Dengan demikian ada kategori penduduk rentan (vulnerable people) dan penduduk miskin (chronic & transient poor). Penduduk rentan perlu menjadi target dari subsidi jaminan sosial sedang penduduk miskin disamping perlu menjadi target dari subsidi jaminan sosial juga menjadi sasaran penerima bantuan sosial. d. Determinan Kemiskinan Disamping mengenai ukuran, hal penting lain yang perlu diperhatikan dalam analisis kemiskinan adalah faktor-faktor yang menyebabkan penduduk menjadi miskin (determinan miskin). Dengan mengetahui penyebab kemiskinan maka akan lebih mudah dalam menentukan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Berkaitan dengan determinan kemiskinan ada istilah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur atau sistem (politik, ekonomi, keamanan dll) yang tidak memungkinkan bagi penduduk untuk 6 menjadi sejahtera. Sedang kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh budaya penduduk yang malas, tidak mau kerja keras, jadi etos bekerjanya sangat rendah, tidak disiplin dan sebagainya. Determinan kemiskinan dapat dilihat baik dari tingkat regional, tingkat komunitas maupun tingkat individu & rumah tangga. BKKBN misalnya menyebut beberapa faktor penyebab kemiskinan sebagai berikut: 1. Faktor internal: a. kesakitan b. kebodohan c. ketidaktahuan d. ketidaktrampilan e. ketertinggalan teknologi f. ketidakpunyaan modal 2. Faktor eksternal: a. stuktur sosial ekonomi yang menghambat peluang untuk berusaha dan meningkatkan pendapatan b. nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang mendukung upaya peningkatan kualitas keluarga c. kurangnya akses untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembangunan 2.2 Sumber Data Kemiskinan Selama ini ada dua sumber data kemiskinan yang seringkali dipakai dalam menganalisis kemiskinan secara nasional yaitu data kemiskinan yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan data yang bersumber dari Meneg Kependudukan/BKKBN. Uraian pada bagian ini akan membahas tentang bagaimana pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh kedua instansi tersebut dan data mana yang lebih relevan digunakan dalam melakukan kajian dan penyelenggaraan perlindungan sosial bagi penduduk miskin. a. Data Kemiskinan Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data modul konsumsi Susenas. Sejak tahun 1981, setiap tiga tahun sekali, dengan data modul konsumsi Susenas, BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin yang hanya disajikan untuk tingkat nasional, dengan dipisahkan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Pada tahun 1990, informasi mengenai penduduk miskin sudah dapat disajikan sampai tingkat propinsi meskipun beberapa propinsi masih digabung. Sejak tahun 1993 informasi mengenai jumlah dan persentase penduduk miskin sudah dapat disajikan untuk seluruh propinsi. Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan basic needs. Dengan pendekatan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. 7 Berdasarkan pendekatan basic needs, indikator yang digunakan adalah Head Count Index (HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada dibawah Garis Kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah ditetapkan. Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit diatas garis kemiskinan. GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Batas kecukupan makanan (pangan) dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum enerji 2100 kalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Sejak tahun 1993 penghitungan kecukupan kalori ini didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang telah disesuaikan dengan pola konsumsi penduduk. Adapun komoditas-komoditas yang dipilih untuk menentukan batas kecukupan pangan adalah seperti tampak pada Tabel 2.1 Batas kecukupan non makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain-lain. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan (Tabel 2.1). Penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin propinsi di bedakan menurut perkotaan dan perdesaan berdasarkan GK (GKM+GKNM) yang juga dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan. Jumlah dan persentase penduduk miskin secara nasional (Indonesia) merupakan kumulatif dari jumlah dan persentase penduduk miskin propinsi-propinsi di Indonesia yang juga dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan. Disamping itu, informasi penduduk miskin ini juga disajikan dalam bentuk distribusinya dan dikaitkan dengan berbagai karakteristik rumah tangga (penduduk) antara lain jenis kelamin, jenis kelamin kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, lapangan pekerjaan kepala rumah tangga, dan status pekerjaan kepala rumah tangga. Data yang dihitung oleh BPS adalah data yang diambil melalui survei atas sampel sejumlah rumah tangga. Jumlah sampel tersebut makin meningkat dari tahun ke tahun. Kalau pada tahun 1990 jumlah sampel hanya 49.000 rumah tangga maka sejak tahun 1993 jumlah sampel telah meninggkat menjadi 65.000 rumah tangga. Kekecualian terjadi pada tahun 1998 karena survei dilakukan untuk mengukur dampak krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997. Meskipun jumlah sampel mengalami peningkatan tetapi tetap saja proporsinya masih kecil dibandingkan dengan jumlah rumah tangga secara keseluruhan. Jumlah sampel yang pada tahun 1990 hanya diambil 49.000 rumah tangga, jelas sangat kecil dibandingkan dengan jumlah rumah tangga secara keseluruhan yang mencapai 39,54 juta rumah tangga pada tahun yang sama. Artinya bahwa data kemiskinan yang dihasilkan oleh BPS adalah data yang dihasilkan dari generalisasi atas penghitungan statistik. Dan karena itu maka data tersebut tidak bisa digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui secara rinci siapa saja dan dimana saja penduduk miskin yang patut memperoleh bantuan sosial. Data BPS memang dapat menyajikan jumlah penduduk miskin dari tingkat nasional, propinsi sampai kabupaten tetapi tidak mungkin menyajikan secara rinci siapa saja penduduk 8 miskin tersebut dan alamatnya dimana. Pada tataran teknis operasional ketersediaan data secara rinci tentang siapa dan dimana penduduk miskin berada sangat diperlukan untuk memastikan bahwa bantuan sosial yang akan diberikan memang benar-benar diterima oleh orang yang membutuhkannya. Untuk mengetahui lebih rinci keberadaan penduduk miskin maka perlu dilakukan bukan sekedar survei tetapi sensus yang dapat mencacah keberadaan seluruh penduduk (miskin). Sayangnya untuk melakukan sensus seperti itu diperlukan biaya yang sangat besar. Untuk menjawab kebutuhan akan data kemiskinan secara lebih rinci beberapa propinsi sebenarnya telah mencoba melakukan sensus kemiskinan. BPS telah melakukan sensus kemiskinan di tiga propinsi yaitu di Propinsi DKI Jakarta pada tahun 2000, Jawa Timur (tahun 2001) dan Kalimantan Selatan (1999). Namun jika dilihat lebih jauh indikator yang yang digunakan untuk menentukan sebuah rumah tangga termasuk kategori miskin atau tidak, bervariasi di masing-masing sensus ekonomi tersebut. Sensus kemiskinan di DKI Jakarta misalnya, menentukan suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga miskin apabila memiliki minimal 3 ciri/variable dari 7 variabel kiemiskinan rumah tangga yaitu: 1. Luas lantai hunian kurang dari 8 m2 per anggauta rumah tangga 2. Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya 3. Fasilitas air bersih: tidak ada 4. Fasilitas jamban/WC: tidak ada jamban dan/atau WC umum 5. Kepemilikan aset (kursi tamu): tidak tersedia 6. Konsumsi lauk pauk dalam seminggu: tidak bervariasi 7. Kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel dalam setahun untuk setiap anggota rumah tangga: tidak ada Sensus kemiskinan di Jawa Timur menggunakan 11 variabel dimana setiap variabelnya dibagi menjadi 3 kategori yaitu skor 1 yang menggambarkan riil ekonomi yang cenderung tidak miskin, skor 2 cenderung miskin dan skor 3 sangat miskin. Sementara di Kalimantan Selatan menggunakan 5 variabel yaitu kelompok pendapatan per kapita, pola makanan, pakaian, perumahan (luas lantai, jenis lantai, jenis atap dan kakus) dan fasilitas TV. Bervariasinya indikator/variabel tersebut tentunya perlu dikaji ulang untuk dapat digunakan sebagai acuan ketika daerah-daerah lain juga akan melakukan sensus kemiskinan. Perlu ditetapkan secara standar tentang indikator-indikator yang dipakai. Idealnya masing-masing daerah memang dapat menyelenggarakan sensus kemiskinan sehingga dapat diperoleh data tentang penduduk miskin secara lebih rinci yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan bantuan sosial. b. Data Kemiskinan Meneg Kependudukan/BKKBN Disamping data kemiskinan dari BPS (Badan Pusat Statistik) ada pula data kemiskinan yang dikumpulkan dan dikembangkan oleh Meneg Kependudukan/BKKBN. Meneg Kependudukan/BKKBN mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya. Berbeda dengan BPS yang dalam pengukurannya menggunakan pendekatan rumah tangga (household), BKKBN menggunakan pendekatan keluarga (family). Konsep yang dikemukakan oleh BKKBN adalah konsep keluarga sejahtera. Keluarga sejahtera adalah keluarga 9 yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (Undang-undang No 10 tahun 1992). Untuk mengukur keberadaan keluarga menurut tingkat kesejahteraannya telah dikembangkan 23 indikator operasional yang menggambarkan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, kebutuhan sosial-psikologis dan kebutuhan pengembangan. Tahap Keluarga menurut tingkat kesejahteraannya adalah sebagai berikut. 1. Keluarga Pra Sejahtera, yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic-needs) secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, dan kesehatan. 2. Keluarga Sejahtera 1, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis, seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi. 3. Keluarga Sejahtera 2, yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial- psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembanganya, seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. 4. Keluarga Sejahtera 3, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial-psikologis, dan pengembangan keluarganya, tetapi belum dapat memberi sumbangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. 5. Keluarga Sejahtera 3 Plus, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial-psikologis dan pengembanganya serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan Menurut konsep BKKBN sebuah keluarga disebut miskin atau kurang sejahtera apabila masuk kategori Pra Sejahtera dan Sejahtera 1. Adapun indikator – indikator yang dipakai untuk mengukurnya adalah sebagai berikut: 1. Pra Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan dan keluarga berencana. Secara operasional mereka tampak dalam ketidakmampuan untuk memenuhi salah satu indikator sebagai berikut: a. Menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya; b. Makan minimal 2 kali per hari; c. Pakaian lebih dari satu pasang; d. Sebagian besar lantai rumahnya tidak dari tanah; dan e. Jika sakit dibawa ke sarana kesehatan; 2. Keluarga Sejahtera I, adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis seperti kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Secara operasional mereka tampak tidak mampu memenuhi salah satu dari indikator sebagai berikut: a. Menjalankan ibadah secara teratur; b. Minimal seminggu sekali makan daging/telur/ikan; c. Minimal memiliki baju baru sekali dalam setahun; d. Luas lantai rumah rata2 8 M persegi per anggota keluarga; e. Tidak ada anggota keluarga yang berusia 10-60 tahun yang buta huruf latin; 10 f. Semua anak berusia 5 s.d 15 tahun bersekolah; g. Salah satu anggota keluarga memiliki penghasilan tetap; dan h. Dalam 3 bulan terakhir tidak sakit dan masih dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Dengan konsep seperti itu BKKBN melakukan pendataan keluarga setiap tahun sejak tahun 1994. Pendataan dilakukan di setiap desa melalui “sensus”, bukan survei dengan sampel. Data tersebut dikumpulkan utamanya oleh para relawan di tingkat desa dengan melibatkan para petugas PLKB dan aparat desa. Menurut BKKBN, pendataan dilakukan bersama masyarakat agar masyarakat yang bersangkutan dapat mengenali masalahnya menurut persepsi masyarakat sekitarnya. Sehingga mereka dapat mempergunakan hasil-hasilnya sebagai peta kerja untuk menggalang dukungan masyarakat dan untuk mengatasi masalahnya sendiri secara mandiri. Dengan konsep dan cara pendataan yang bersifat subyektif sesuai persepsi masyarakat setempat maka BKKBN mengakui bahwa angka-angka yang dihasilkan dari pendataan keluarga sejahtera tidak dapat dan tidak boleh dibandingkan dengan angka penduduk dibawah garis kemiskinan, karena Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga sejahtera 1 itu diukur dengan indikator yang terjemahan operasionalnya didasarkan atas dasar persepsi masyarakat setempat. 2.3. Perbandingan Data Kemiskinan Dengan adanya dua jenis data kemiskinan sebagaimana diuraikan diatas kemudian timbul pertanyaan tentang data manakah yang sebaiknya dipakai dalam pengelolaan kebijakan tentang penduduk miskin, apakah data dari BPS atau data dari BKKBN. Data yang dikeluarkan oleh kedua instansi tersebut memiliki banyak perbedaan baik dari segi konsep, indikator pengukurannya, jenis datanya, cakupannya, manajemen datanya, unit observasi, waktu pengambilan dan penghitungannya. Konsep dan pendekatan. Dari segi konsep dan pendekatannya data kemiskinan yang dikumpulkan oleh BPS berbeda dengan data kemiskinan yang dibuat oleh BKKBN. Data kemiskinan yang dikumpulkan oleh BPS, sebagaimana dijelaskan diatas, menggunakan pendekatan basic needs dimana seseorang disebut miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang kebutuhan dasar tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu kebutuhan pangan dan non pangan (pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dsb). Secara konsep BKKBN juga menggunakan pendekatan basic needs hanya dalam merumuskan basic needs tersebut memasukkan aspek spiritual. Indikator dan Komoditas Yang Diukur. Perbedaan yang paling mendasar antara data dari BPS dan BKKBN adalah didalam menentukan indikator untuk menentukan kebutuhan dasar dan komoditas yang diukur. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa pada data BPS kebutuhan dasar, baik pangan maupun non pangan, diukur melalui sebuah bundel (kelompok) komoditas yang jenis-jenis komoditas tersebut ditentukan secara spesifik sesuai hasil survei... Sedang pada data BKKBN tidak ditentukan jenis dan jumlah komoditasnya melainkan ditentukan secara subyektif dengan kalimat “makan minimal 2 kali per hari” tanpa merinci jenis makanan apa yang dimakan. Kalaupun menentukan jenisnya dirumuskan dalam kalimat “minimal seminggu sekali makan daging/telur/ikan”. Indikator untuk mengukur aspek spiritual juga tidak jelas karena hanya dirumuskan dengan “menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya” atau “menjalankan 11 ibadah secara teratur”. Tidak dirinci ibadah yang mana, padahal pengertian ibadah sendiri memiliki makna yang luas. Dari sini terlihat bahwa dalam hal indikator dan komoditas yang diukur, data dari BPS lebih jelas dan obyektif dari pada data BKKBN. Cara Penghitungan. Pada data BPS penghitungan dilakukan secara obyektif dengan menentukan nilai moneter atas sejumlah komoditas yang telah ditentukan. Dengan demikian data yang diperoleh adalah data continues atas nilai moneter dari komoditas yang diukur. Sedang pada data BKKBN penghitungannya bersifat kategorik atas sejumlah indikator yang bersifat “subyektif” dan tidak dilakukan kuantifikasi secara moneter atas sejumlah indikator yang ditentukan. Metode. Data BPS dikumpulkan melalui survei (SUSENAS, survei sosial ekonomi nasional) dengan mengambil sejumlah sampel rumah tangga. Sejak 1993 jumlah sampel yang diambil hanya sebanyak 65.000 rumah tangga (dari sekitar 40an juta rumah tangga di Indonesia) untuk seluruh propinsi di Indonesia. Sedangkan data BKKBN dikumpulkan melalui “sensus” di ‘seluruh’ desa/kelurahan di Indonesia. Masing-masing desa melakukan pendataan keluarga sejahtera. Dilihat dari sisi ini data BKKBN lebih banyak dan lebih rinci karena dapat tersedia di masing-masing desa/kelurahan. Jika petugas di tingkat desa aktif maka tidak mengalami kesulitan untuk mengetahui keluarga yang masuk kategori miskin. Sedangkan data dari BPS karena hanya diambil dari sejumlah sampel maka tidak dapat merinci sampai ke tingkat kecamatan apalagi desa. Cakupan Wilayah. Karena mengambil dari sejumlah sampel yang relatif masih kecil maka data penduduk miskin dari BPS tidak bisa tersedia per kecamatan apalagi desa. Kalaupun tersedia per kabupaten tetapi tidak dirinci nama dan alamat masing-masing penduduk miskin karena jumlah tersebut diperoleh dari generalisasi penghitungan statistik. Sedang data BKKBN dapat tersedia secara rinci tentang nama dan alamat keluarga miskin sampai ke tingkat desa. Pengorganisasi Data. Pengumpulan data BPS dilakukan secara periodik sesuai pelaksanaan SUSENAS yaitu 3 tahun sekali. Dikumpulkan oleh tenaga-tenaga surveyor yang terlatih. Sedangkan data BKKBN dikumpulkan setiap tahun oleh tenaga-tenaga sukarelawan (utamanya PLKB dan aparat desa) di tingkat desa. Pengkategorian keluarga miskin dilakukan sesuai dengan persepsi petugas pengumpul data. Unit Observasi. Unit observasi dari data BPS adalah rumah tangga (household, yaitu diukur dari kesamaan tempat tinggal satu dapur), sedang unit observasi data BKKBN adalah keluarga (family, yaitu diukur dari garis keturunan) (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Aspek Pengumpulan Data Kemiskinan menurut Sumber Data ASPEK DATA BPS DATA BKKBN Metode Survei --> SUSENAS Sensus Cakupan Wilayah Hanya bisa dibreakdown sd Kabupaten/Kota Tersedia sampai desa Manajemen data Tertata (managed) secara baik di tingkat pusat Kurang tertata (unmanaged) Waktu Dilakukan secara periodik 3 tahun sekali Dilakukan secara periodik setiap 1 tahun sekali Unit observasi Rumah tangga Keluarga Pendekatan Basic needs --> ekonomis Mencakup non ekonomis 12 Penghitungan Secara kuantitatif --> melalui harga komoditas Secara kualitatif Komoditas yg diukur Komoditas makanan dan non makanan dalam suatu bundel Tidak disebutkan secara spesifik Indikator Lebih obyektif Baik untuk perencanaan & analisis Lebih subyektif Baik untuk pelaksanaan di lapangan Kegunaan Dari perbandingan atas beberapa aspek diatas dapat disimpulkan bahwa dari sisi konsep pengukuran, pendekatan, penetapan indikator, penghitungan dan pengorganisasian data tampak data penduduk miskin yang dikumpulkan oleh BPS lebih baik dibanding dengan data penduduk (keluarga) miskin yang dikumpulkan oleh BKKBN. Kelebihan utama dari data BKKBN adalah karena data tersebut dapat tersedia secara rinci sampai ke tingkat desa sehingga memudahkan bagi para pelaksana program untuk menggunakannya. Sedang data dari BPS karena hanya diambil dari sejumlah sampel maka tidak tersedia secara rinci sampai ke tingkat desa. Dengan perbandingan seperti itu maka bisa dikatakan bahwa untuk keperluan perencanaan (apalagi perencanaan di tingkat nasional) data penduduk miskin yang dihasilkan BPS mungkin lebih baik untuk digunakan. Tetapi untuk keperluan implementasi program bantuan sosial yang memerlukan data rinci siapa dan dimana penduduk miskin, data BKKBN memiliki keunggulan untuk dipakai. 2.4. Jumlah dan Persebaran Penduduk Miskin Data penduduk miskin yang tersedia dengan baik dari waktu ke waktu termasuk proyeksinya ke depan adalah data penduduk miskin yang disediakan oleh BPS. Data tersebut tersedia sejak tahun 1976 hingga estimasi sampai tahun 2003. Estimasi dari tahun ke tahun tersebut dimungkinkan karena data BPS mengacu pada nilai moneter atas sejumlah komoditas yang menentukan batas miskin (poverty line). Dengan demikian estimasi jumlah penduduk miskin diluar tahun survei (SUSENAS dilakukan 3 tahun sekali) dimungkinkan dengan meng-inflate garis kemiskinan tahun sebelumnya sesuai tingkat inflasi yang berlaku pada tahun tersebut. Misalnya, estimasi garis kemiskinan tahun 2000 diperkirakan dengan meng-inflate garis kemiskinan tahun 1999 dengan tingkat inflasi periode Februari 1999-Februari 2000. Estimasi garis kemiskinan tahun 2001 diperkirakan dengan menginflate garis kemiskinan tahun 1999 dengan tingkat inflasi periode Februari 1999-Februari 20011. Data BPS menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 37,3 juta jiwa atau sekitar 17,4 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibanding dengan jumlah pada awal-awal terjadinya krisis (1998/1999). Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 49,5 juta atau sekitar 24,2 persen dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun itu. Penurunan yang cukup drastis mencapai 12,2 juta jiwa selama lima tahun belakangan ini (dari 49,5 juta pada tahun 1999 menjadi 37,3 juta pada tahun 2003) tentunya merupakan suatu hal yang sangat positip. Bisa jadi penurunan jumlah penduduk miskin tersebut merupakan hasil dari program bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah kepada penduduk miskin melalui program JPS (Jaring Pengaman Sosial) atau program-program lainnya. Makin pulihnya 1 BPS, Statistik Indonesia 2003, Jakarta, BPS, pp. 580-581. 13 perekonomian Indonesia yang pertumbuhannya mulai positip juga merupakan faktor lain yang mempengaruhi penurunan jumlah penduduk miskin. Dari 37,3 juta penduduk miskin pada tahun 2003 separuh lebih (57,6 persen) tinggal di Pulau Jawa dan Bali, sisanya baru tinggal di pulau-pulau lain. Banyaknya penduduk miskin yang tinggal di Pulau Jawa dan Bali tersebut sesuai dengan proporsi jumlah penduduk secara keseluruhan yang sebagian besar (60,8 persen) memang tinggal di pulau tersebut. Demikian pula jika dilihat antara daerah perdesaan dan perkotaan, jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia sebagian besar (67,2 persen) tinggal di perdesaan. Sisanya (32,8 persen) tinggal di perkotaan. Hal itu sesuai dengan proporsi jumlah penduduk secara keseluruhan yang sebagian besar tinggal di perdesaan dibanding dengan di perkotaan. Dengan demikian maka terdapat sekitar 37,3 juta jiwa yang perlu diperhitungkan dalam menentukan berbagai program bantuan sosial. Jumlah penduduk miskin sebesar itu merupakan suatu tantangan besar bagi pelaksanaan program perlindungan sosial (baik bantuan sosial maupun jaminan sosial). Tabel 2.2. Data Kemiskinan BPS: jumlah sampel, batas cakupan kalori, jumlah komoditas makanan dan non-makanan, GKM, GKNM, GK, menurut tahun penyelenggaraan SUSENAS Data Jumlah Sampel (RT) Cakupan Wilayah 1990 Susenas 49,000 Seluruh Propinsi 2,100 tdk dirinci 1993 Susenas 65,000 Seluruh Propinsi 2,100 52 1996 Susenas 65,000 Seluruh Propinsi 2,100 52 41 (D), 43 (K) Batas kecukupan kalori Jumlah Komoditas Makanan Jumlah Komoditas Non 12 (D), 14 (K) 46 Makanan GKM - Desa 12,617 15,576 23,197 - Kota 17,520 23,303 29,681 GKNM - Desa 678 2,668 4,216 - Kota 3,094 4,602 8,565 GK - Desa 13,295 18,244 27,413 - Kota 20,614 27,905 38,246 Susenas tipe 1998 = Survei Dampak Krisis Pada Pengangguran dan Kemiskinan 1998 1998 Susenas* 10,000 Seluruh Propinsi 2,100 52 25 (D), 27 (K) 56,745 71,058 16,035 25,901 72,780 96,959 14 Tabel 2.3. Jenis Komoditas Yang Dijadikan sebagai Penentu Garis Kemiskinan MAKANAN Beras Beras ketan Jagung pipilan Tepung terigu Ketela pohon Ketela rambat Gaplek Tepung gaplek Tongkol/tuna Tempe Mangga Salak Pisang ambon Pepaya Minyak kelapa Kelapa Gula pasir Gula merah Kembung Teri Bandeng Daging sapi Daging babi Daging ayam ras Daging ayam kampung Rokok Tetelan Telur ayam ras Telur itik Susu kental manis Susu bubuk Bayam Buncis Kacang panjang Tomat sayur Daun ketela pohon Nangka Bawang merah Cabe merah Cabe rawit Kacang tanah Tahu Kue kering/basah NON MAKANAN Perumahan Listrik Air Minyak tanah Kayu bakar Obat nyamuk, korek api Perlengkapan mandi Barang kecantikan Pendidikan Pos Pengangkutan Foto Pakaian jadi Alas kaki Sabun cuci Handuk Perawatan kulit Kesehatan Perkakas RT Alat dapur Tas Pajak Perayaan hari raya Teh Kopi bubuk Garam Kemiri Terasi Kerupuk Mie instan Roti manis 15 BAB III KAJI ULANG (REVIEW) KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG BANTUAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN Tulisan pada bagian ini lebih merupakan review sekilas tentang kebijakan untuk penduduk miskin berdasarkan beberapa hasil studi yang ada. Analisis mendalam tentang kebijakan masingmasing instansi tidak dilakukan mengingat beberapa keterbatasan. Ada sejumlah pertanyaan pokok yang mendasari tulisan bagian ini, diantaranya adalah: Kebijakan perlindungan sosial apa saja yang telah diberikan kepada penduduk miskin? Bagaimana kebijakan itu dilaksanakan? Berapa dana yang sudah dikeluarkan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut? Sejauh mana efektifitas bantuan sosial tersebut? Adakah tumpang tindih program dalam pelaksanaannya? Adakah tumpang tindih sasaran dalam pelaksanaannya? Adakah alternatif lain yang lebih efektif dan efisien? Karena beberapa keterbatasan yang ada tidak semua pertanyaan dapat dijawab dalam tulisan ini. Uraian berikut hanya memberikan gambaran awal dalam menjawab beberapa pertanyaan pokok diatas. 3.1. Kebijakan Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Indonesia masih menghadapi masalah kemiskinan yang cukup serius antara lain dilihat dari masih besarnya jumlah penduduk miskin. Besarnya jumlah penduduk miskin tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan berbagai kebijakan yang terkait dengan penduduk miskin. Kebijakan tentang penduduk miskin selama ini dilaksanakan secara sektoral sesuai administrasi pemerintahan yang berlaku. Program kebijakan tentang penduduk miskin tersebut tidak saja dilakukan oleh satu dua instansi (sektor) tetapi melibatkan banyak instansi (sektor). Beberapa sektor yang selama ini terkait dengan kebijakan terhadap penduduk miskin utamanya adalah sektor kesehatan, sektor pendidikan dan sektor pangan (BULOG). Disamping ketiga sektor tersebut ada beberapa sektor lain yang juga melakukan kebijakan bagi penduduk miskin yaitu sektor ketenagakerjaan, sektor kependudukan, sektor koperasi dan UKM serta sektor pertanian. Masing-masing instansi merinci kegiatan apa saja yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya pengurangan penduduk miskin. Dana yang digunakan untuk program bagi penduduk miskin juga demikian besar, mencapai belasan trilyun rupiah setiap tahunnya. Untuk tahun anggaran 2002-2004 anggaran yang dikeluarkan program pengentasan kemiskinan berkisar antara 12,8 trilyun sampai 18,8 trilyun rupiah per tahun, yang dana tersebut tersebar ke berbagai sektor. Jika dibanding dengan total anggaran tahun 2004 maka pengeluaran untuk penduduk miskin mencapai 5 % dari total anggaran yang ada. 16 Tabel 3.1. Pengeluaran Pemerintah dalam Program Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin (juta Rp) Lembaga Badan Urusan Logistik (BULOG) Departemen Kesehatan Departemen Pendidikan Nasional Departemen Kimpraswil Departemen Sosial BAPPENAS Departemen Dalam Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan BKKBN Departemen Koperasi & UKM Departemen Pertanian Departemen Nakertrans Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kementrian Pemberdayaan Perempuan Badan Pusat Statistik Badan Pertanahan Nasional Total 2002 4.696.850,0 1.219.739,0 2.331.833,0 3.115.477,0 1.109.370,0 425.000,0 1.144.874,0 98.225,0 2003 4.830.778,0 1.878.825,0 2.269.572,0 1.502.453,0 844.761,1 355.129,5 329.214,0 208.560,0 2004 5.487.800,0 2.503.843,0 3.401.274,0 2.081.383,0 1.469.250,0 n.a 2.023.510,0 280.544,0 1.370.833,0 290.040,0 61.096,0 593.284,0 43.909,0 156.299,0 153.960,5 109.132,0 100.000,0 5.921,7 500.000,0 13.421,0 157.619,0 805.350,0 Tad 4.000,0 1.876,0 2.866,0 7.088,0 29.702,0 16.541.320,0 294,0 31.625,0 12.778.400,8 1.164,1 30.760,0 18.758.784, 1 Sumber: Bappenas, Sustainable Social ProtectionTechnical Assistance, Inception Report, Jakarta, Maret 2004, p.42 Dari Tabel 3.1 tersebut tampak bahwa sektor yang paling banyak menyerap dana pengentasan kemiskinan adalah sektor pangan (utamanya yang dikelola oleh Bulog), pendidikan dan kesehatan. Ketiga sektor tersebut meyerap dana hingga 50-70 persen dari total anggaran yang diberikan untuk penduduk miskin. Untuk melihat lebih lanjut tentang apa saja yang dilakukan oleh masing-masing instansi berkaitan dengan program kebijakan bagi penduduk miskin maka berikut ini akan diuraikan secara sekilas tentang program kegiatan beberapa instansi yaitu Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Sosial. 3.2. Kebijakan Sektoral terhadap Penduduk Miskin 3.2.a. Departemen Kesehatan Kebijakan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin sudah sejak lama diterapkan di Indonesia. Bentuk kebijakan pemeliharaan kesehatan khusus bagi penduduk miskin dilakukan melalui berbagai program kegiatan. Gani et al (2004) mengidentifikasi beberapa kebijakan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin antara lain sebagai berikut: 17 a. Program Kartu Sehat. Yaitu pelayanan kesehatan secara gratis yang ditujukan bagi penduduk miskin dengan cara membawa surat miskin dari RT/RW dan desa serta pembagian kartu sehat. b. Inpres Obat dan Inpres Samijaga, yaitu bantuan biaya yang diberikan kepada fasilitas kesehatan yang khusus digunakan pembelian obat-obatan dan bahan medis guna pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin. c. Kebijakan Tarif Rumah Sakit Umum dan Puskesmas. Yaitu kebijakan yang mengontrol besarnya tarif pelayanan kesehatan milik pemerintah (Rumah Sakit Umum dan Puskesmas) dengan mempertimbangkan aspek keterjangkauan dan subsidi silang bagi pendduk miskin. Tarif sebesar Rp 500 – Rp 1.000 untuk rawat jalan Puskesmas dan Rp 2.000 – Rp 5.000 untuk rawat inap kelas III di Rumah Sakit Umum (RSU) juga membantu penduduk yang kemampuannya terbatas, termasuk penduduk miskin. d. Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), yaitu pemberian suplemen gizi bagi anak sekolah yang berada di daerah miskin. Kebijakan yang lebih sistematis dan berskala nasional dalam pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin adalah melalui program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) sejak 1998. Program JPS-BK meliputi : 1. Pelayanan pengobatan di Puskesmas; 2. Suplementasi bahan makanan yang didistribusikan melalui Puskesmas; 3. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan persalinan oleh bidan di desa; 4. Pelayanan rujukan di RSU; dan 5. Subsidi premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Pada tahun 2003, pemerintah juga menyediakan biaya untuk rujukan ke rumah sakit (RS) bagi penduduk miskin. Dana ini berasal dari pemotongan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan disebut Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPD-PSE) dan kemudian diubah namanya menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM). Dana PPD-PSE langsung diberikan kepada RSU. Baik JPS-BK dan PPDPSE adalah contoh supply side approach dalam memberikan subsidi bagi penduduk miskin. Penyaluran dana JPS-BK dilakukan melalui kiriman langsung ke Puskesmas dan Bidan di desa dengan alokasi sebesar Rp 10.000 per keluarga miskin per tahun. Puskesmas dapat menggunakan dana ini untuk kebutuhan operasional Puskesmas seperti pengadaan obat, menyediakan obat khusus, dan keperluan operasional lainnya tetapi bukan untuk membayar jasa pelaksana. Dana JPS-BK untuk RS tahun 1998/1999 disalurkan melalui DIP OPRS yang terdiri dari DIP Murni dan DIP Suplemen. Pada tahun anggaran 1999/2000, dana JPS-BK disalurkan melalui DIP Pengembangan Rumah Sakit Vertikal atau DIP Peningkatan Pelayanan Rujukan dan Rumah Sakit. Pada tahun 2002, dana disalurkan langsung ke rekening direktur rumah sakit. Alokasi dana seluruh rumah sakit di Indonesia pada akhir 2001 (PPD-PSE Bidang Kesehatan) sebesar Rp 550 milyar. Untuk periode Juli 2002 sampai Desember 2002 jumlahnya adalah Rp 326 milyar. Dana untuk RS juga tidak boleh digunakan untuk jasa medik, tetapi dapat digunakan untuk pengadaan obat, alat tulis kantor (ATK) dan bahan habis pakai lainnya. Pelayanan gizi berupa pemberian makanan tambahan (PMT) disalurkan dengan beberapa cara yaitu pemberian uang kepada keluarga miskin (gakin), meski tidak dianjurkan dalam pedoman JPS-BK, penyaluran bahan makanan oleh BDD atau kader kesehatan, pemberian makanan olahan (dimasak setempat) atau blended food. Cakupan dari pelayanan gizi dibandingkan dengan target jumlah gakin masih belum memadai. Cakupan untuk anak umur 6- 18 11 bulan baru mencapai 72 persen, untuk anak usia 12-23 bulan mencapai 75 persen, untuk usia 24-59 bulan baru mencapai 29,4 persen, dan untuk ibu hamil dan ibu pada masa nifas baru mencapai 70,1 persen. Selain cakupan yang belum memenuhi harapan, kualitas dan jumlah makanan yang diberikan masih jauh dari kebutuhan minimum untuk hidup sehat. Jumlah dana JPS-BK yang telah dikeluarkan tahun 1998/1999 adalah Rp 737,04 milyar dan 1999/2000 sebesar Rp 466,5 milyar (Sekretariat JPS-BK, 2002). Jika jumlah penduduk miskin adalah 48 juta orang, maka besar biaya per kapita per tahun untuk penduduk miskin adalah Rp 15.355. Jumlah tersebut merupakan jumlah sangat tidak memadai. Pada tahun 2003 ini pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 11,5 triliun. Namun demikian, sebesar Rp 8,65 triliun digunakan untuk membayar defisit anggaran serta pembangunan sarana dan prasarana. Hanya Rp 4,35 triliun digunakan kompensasi untuk 8 sektor: pangan, kesehatan, sosial, air bersih, pendidikan, transportasi, UKM, dan usaha nelayan. Dari jumlah itu, Rp 950 milyar dialokasikan untuk kesehatan. Sebagian dana digunakan untuk program rutin seperti imunisasi dan revitalisasi Posyandu. Jumlah dana kesehatan yang tersedia untuk penduduk pada tahun 2003 hanya sekitar Rp 20.000 per kapita per tahun. Jumlah tersebut juga sangat tidak memadai untuk membiayai kesehatan penduduk miskin. Disamping kebijakan sebagaimana dikemukakan Gani et al (2004) tersebut ada juga program kebijakan lain yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Tim Technical Assistance Sustainable Social Protection mengidentifikasi sejumlah program kebijakan kesehatan dalam rangka perlindungan sosial bagi penduduk miskin yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan sebagai berikut: Tabel 3.2. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan Departemen Kesehatan, 2004 N o Program A DEPKES 1 Health environment, health behaviour & community empowerment Improvement on contagious disease 2 combating health services (vaccine,immunization) 3 Compensation program in fuel subsidy cut (PKPS-BBM) of 2004 4 Improvement in health service 5 Health service to refugee and victims of natural disaster 6 Community nutrition improvement Food medicine and dangerous 7 goods.Procurement of essential generic medicines (buffer stock) Dana (juta Rp) Institusi Targets & Beneficiaries 195,801 Ditjen PPM-PL Poor residents rehabilitation on health environment & clean water 945,575 Ditjen PPM-PL Poor residents 35,000 Ditjen PPM-PL Sekjen, Ditjen 1,000,00 Binkesmas, 0 Ditjen Yanmed Sekjen, Ditjen 150,000 Binkesmas, Ditjen Yanmed 172,967 Ditjen Binkesmas Ditjen 4,500 Pelayanan Farmasi Expansion-based immunization injection.All babies of poor households provision hepatitis B Vaccine Uninject Poor household Refugee & victims of natural disaster PMT for babies (6-11 month), PMT for toddlers, Bumil KEK Poor household 19 Sumber: Bappenas, Sustainable Social Protection Technical Assistance, Inception Report March 2004, Bappenas 2004, Apendix 5, pp, 5-1 – 5-8 Tabel 3.2 di atas memperlihatkan bahwa hampir semua Direktorat Jenderal yang ada di Departemen Kesehatan memiliki program kebijakan yang ditujukan bagi penduduk miskin. Ditjen PPM-PL misalnya melakukan program imunisasi dan perbaikan kesehatan lingkungan kepada penduduk miskin dan lingkungan tempat tinggalnya. Ditjen Binkesmas dan Ditjen Yanmedis melakukan program peningkatan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan bagi pengungsi dan korban bencana alam. Program kebijakan tersebut meskipun ditujukan bagi penduduk miskin tetapi dikemas dan dikelola oleh pemerintah yang lebih bersifat supply side. Kebijakan yang lebih bersifat supply side seperti itu tentu perlu diuji lebih lanjut tentang tingkat efektifitasnya dalam mengurangi permasalahan penduduk miskin. Jika dana yang tersedia digunakan untuk program kebijakan yang bersifat demand side (targeting approach) dimana program tersebut diwujudkan berdasarkan kebutuhan riil penduduk miskin bisa jadi apa yang dilakukan selama ini akan berbeda baik dalam konteks jenis kebijakan maupun skalanya. 3.2.b. Departemen Pendidikan Nasional Sebagaimana tampak pada Tabel 3.1 diatas bahwa Departemen Pendidikan Nasional merupakan instansi yang menyerap dana cukup besar dalam kaitan dengan perlindungan sosial bagi penduduk miskin. Untuk tahun anggaran 2004 saja dana yang dikelola Departemen Pendidikan Nasional bagi penduduk miskin mencapai Rp 3,4 trilyun, kedua terbesar setelah BULOG. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Tim Sustainable Social Protection Bappenas, dana sebesar itu antara lain digunakan untuk mengelola berbagai program kebijakan sebagai berikut: Tabel 3.3. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, 2004 N o Program B DEPDIKNAS Pemberian beasiswa bagi 1 siswa SD, SMP dan SMA (Program PKPS/BBM) 2 Pemberian Dana Bantuan Operasional 3 Program pemberantasan buta huruf 4 Wajib Belajar 9 tahun 5 Kelompok Belajar Usaha (KBU) Funding (million Rp) Intitution Ditjen 1,301,805 Dikdasmen 376,288 Ditjen Dikdasmen Ditjen Dikdasmen Ditjen 48,065 PLS&Olahraga Ditjen 230,926 PLS&Olahraga Targets & Beneficiaries Siswa SD (5,75 juta), SMP (1,75 jt), SMA (600 rb) Sekolah SD (104.587), SMP (18.281),SMA (9.399) Poor residents group Poor residents group 0 20 PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Beasiswa untuk BKM PKPS 7 BBM Bantuan dana bagi guru 8 (BKG) -PKPS BBM 6 15,000 Ditjen PLS&Olahraga 96,700 Ditjen Bagais 402,891 Ditjen Bagais 600 PKBM Siswa Guru Dari Tabel 3.3 tersebut tampak bahwa dana perlindungan sosial bagi penduduk miskin yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional sebagian besar dikelola oleh Ditjen Dikdasmen yang utamanya ditujukan untuk pemberian beasiswa bagi siswa SD, SMP dan SMA dari keluarga miskin. Seperti halnya instansi lain, Departemen Pendidikan Nasional juga mengelola Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang khusus di bidang pendidikan. Program JPS bidang pendidikan meliputi 2 target sub-program, yaitu : pertama, program pemberian beasiswa untuk siswa di tingkat SD, SLTP dan SMU; kedua, program DBO (Dana Bantuan Operasional) untuk membiayai kebutuhan operasional sekolah untuk tingkat SD, SLTP dan SMU. Program Beasiswa Selama krisis ekonomi berlangsung, program JPS - beasiswa dapat menjadi suatu mekanisme untuk membantu agar siswa tidak putus sekolah. Dengan bantuan beasiswa ini diharapkan mereka mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Terutama untuk siswa perempuan, program ini diharapkan dapat membantu siswa menyelesaikan pendidikannya paling tidak sampai tingkat SLTP. Penerima beasiswa dalam program ini diharuskan memenuhi 3 kriteria yaitu: 1. Siswa yang tergolong rawan putus sekolah, atau baru saja keluar dari sekolah setahun yang lalu karena alasan ekonomi; 2. Siswa SD yang duduk di kelas 4, 5 atau 6; Siswa SLTP/SMU untuk semua tingkatan kelas; dan 3. Pada saat ini siswa tersebut tidak menerima beasiswa dari program lain. Beasiswa untuk tahun ajaran 1999/2000, diberikan langsung kepada siswa yang terpilih sebagai penerima beasiswa dalam 2 tahap dengan jangka waktu 6 bulan. Batas akhir pengambilan ditentukan pada 31 Oktober 1999 untuk tahap pertama dan tahap kedua pada 31 Maret 2000. Jumlah beasiswa per tahun adalah Rp. 120.000,- per siswa untuk siswa SD/MI/SDSL, Rp 240.000 per siswa untuk siswa SLTP/MTs/SLTPLB dan Rp 300.000 per siswa untuk siswa SMU. Siswa yang terpilih sebagai penerima beasiswa dapat mengambil dana beasiswa dari Kantor Pos yang sudah ditentukan di daerah masing-masing. Beasiswa yang diberikan kepada siswa, tidak boleh dikenakan potongan apapun termasuk potongan biaya materai. Jika siswa penerima beasiswa mengalami kesulitan dalam pengambilan dana beasiswa, maka dana beasiswa tersebut dapat diambil secara kolektif oleh Komite Sekolah. Tetapi pengambilan beasiswa tersebut diprioritaskan untuk pengambilan secara individu. Dana Bantuan Operasional DBO adalah dana bantuan yang diberikan kepada sekolah terpilih untuk meningkatkan kemampuan sekolah dalam mengelola dan mempertahankan kualitas pelayanan terutama berkaitan dengan peningkatan harga kebutuhan selama krisis ekonomi. Program ini juga bertujuan untuk mendukung program wajib belajar sembilan tahun. Sekolah yang terpilih harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu : a. Sekolah tersebut bukan sekolah yang mahal. Sekolah yang mahal dalam hal ini adalah bahwa sekolah tersebut tidak mempunyai siswa dari keluarga kurang mampu/miskin. 21 Klasifikasi sekolah mahal dan tidak mahal ditentukan oleh Komite Kabupaten/Kota atau Komite Kecamatan sesuai standar daerah masing-masing. b. Sekolah negeri maupun swasta dengan status minimal terdaftar (memiliki SK dari instansi yang berwenang). c. Sekolah yang dapat menjadi peserta program DBO adalah : 1. Untuk sekolah di Jawa: adalah sekolah yang mempunyai jumlah siswa minimum 90 siswa untuk SD dan 60 siswa untuk MI dan SDLB. Untuk Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP, MTs dan SLTP-LB) dan lanjutan Atas (SMU, MA, SM-LB), jumlah siswa minimum adalah 50 siswa. 2. Untuk sekolah di luar Jawa: adalah sekolah yang mempunyai jumlah siswa minimum 60 siswa untuk SD dan 50 siswa untuk MI dan SDLB. Untuk Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP, MTs dan SLTP-LB) dan lanjutan Atas (SMU, MA, SM-LB), jumlah siswa minimum adalah 50 siswa. 3. Ada pengecualian yaitu untuk daerah-daerah terpencil dimana jumlah siswa di sekolah tersebut terbatas. Dalam hal ini dimungkinkan bagi dua sekolah untuk bergabung untuk memperoleh DBO, untuk memenuhi kekurangan jumlah minimal siswa dari salah satu sekolah tersebut. DBO untuk tahun pelajaran 1999/2000 diberikan untuk tiap sekolah terpilih dalam 2 kali pembayaran. Jumlah DBO untuk SD sebesar Rp 2 juta per tahun, SMP sebesar Rp 4 juta per tahun dan SMU sebesar Rp 10 juta per tahun. DBO dapat diambil oleh Kepala Sekolah dengan persetujuan dari BP3 dan POMG di Kantor Pos yang telah ditetapkan. Penggunaan dana ini pertama, untuk pengadaan bahan penunjang seperti buku-buku referensi untuk perpustakaan; kedua, untuk peralatan seperti kapur tulis, buku tulis, peralatan laboratorium, dan sebagainya; ketiga, untuk biaya perbaikan dan perawatan ringan dan keempat untuk memberi subsidi siswa untuk biaya masuk sekolah. Secara umum Program JPS-Pendidikan melalui pemberian beasiswa dan DBO sebagaimana dikemukakan diatas telah berjalan dengan baik. Namun dalam pelaksanaannya dijumpai sejumlah kekurangan yang menjadikan Program JPS-Pendidikan tersebut tidak tepat sasaran sebagaimana dikonsepkan semula. Studi verifikasi terhadap Laporan JPS-Pendidikan menemukan beberapa kekurangan sebagai berikut: Ada sejumlah siswa yang meski sudah didaftar sebagai penerima beasiswa tetapi sampai batas waktu tertentu tidak juga menerima beasiswa. Alasan mereka tidak menerima beasiswa bervariasi ada yang menyatakan uangnya dikelola sekolah tetapi ada juga yang menyatakan tidak tahu bahwa dirinya menerima beasiswa. Beasiswa yang diberikan kepada siswa tidak selalu diberikan dalam bentuk uang tunai, ada beberapa kepala sekolah yang melakukan kebijakan sendiri dengan memberikan beasiswa dalam bentuk seragam, buku dan lain sebagainya. Sebagai contoh di kabupaten Kerinci diketahui bahwa dua orang siswa SD, tidak menerima dana beasiswa karena oleh guru dana tersebut diberikan dalam bentuk pakaian seragam sekolah lengkap dengan topi, dasi, lambang sekolah seharga Rp 60.000,- dengan alasan siswa sering tidak masuk sekolah karena pakaiannya belum kering (hanya punya satu stel pakaian). Hal-hal semacam ini hendaknya menjadi bahan masukan bagi pengelola program, apakah program beasiswa yang dilakukan dengan berbagai variasi tersebut telah tepat sasaran atau belum. Hal yang lain adalah adanya keluhan dari orang tua siswa mengenai jumlah dana beasiswa yang diberikan. Sebaiknya pada saat pembagian dana beasiswa tahap pertama dilakukan secara terbuka, sehingga orang tua siswa mengetahui jumlah beasiswa tersebut. Cara terbaik adalah dengan mengundang para orang tua, kepala sekolah, camat, tokoh 22 masyarakat ke kantor Pos untuk menerima dana beasiswa. Sehingga orang tua siswa tahu jumlah yang seharusnya diterima, karena seringkali terjadi dana beasiswa dipotong untuk transport guru yang mengambil ke kantor Pos. Pemilihan siswa penerima beasiswa juga harus dilakukan secara transparan, sehingga orang tua siswa mengetahui dasar dan kriteria pemilihan penerima beasiswa tersebut. Ada satu kasus di dimana salah satu penerima beasiswa JPS adalah anak seorang dokter. Jumlah beasiswa yang diterima tidak utuh. Sebuah studi menyatakan dari 219 siswa responden yang distudi sekitar 20,1 persen menyatakan tidak menerima uang secara utuh. Alasan mengapa tidak menerima uang beasiswa secara utuh bervariasi. Dari responden yang menerima uang beasiswa dalam jumlah yang tidak benar, dan tahu berapa jumlah beasiswa yang benar ada yang menyatakan karena uang beasiswa tersebut digunakan untuk membantu membayar uang sekolah teman, untuk membayar uang sekolah, untuk membayar meterai, untuk biaya pengurusan oleh guru dan bensin, dibuatkan seragam sekolah dan untuk membayar infak mesjid dan uang bangunan. Kesalahan serupa juga terjadi pada pemberian DBO kepada sekolah-sekolah. Sebuah studi menyatakan bahwa di lapangan dalam penyaluran DBO masih saja ditemui: i. ada sekolah yang dilaporkan menerima DBO tetapi ketika diverifikasi menyatakan tidak tahu bahwa sekolah tersebut menerima DBO; ii. dari yang menerima DBO ada yang menyatakan bahwa jumlah yang diterima tidak utuh; iii. pemilihan sekolah penerima DBO yang kurang tepat karena tidak melibatkan sekolah-sekolah dalam penentuannya; iv. penggunaan dana DBO oleh sekolah yang tidak transparan, karena hanya diketahui oleh kepala sekolah dan tidak diketahui oleh guru/staf sekolah lainnya. Sampai ada yang menyatakan bahwa "DBO merupakan pendapatan sampingan kepala sekolah". Adanya berbagai kritik terhadap pelaksanaan JPS-Pendidikan sebagaimana dikemukakan diatas mengharuskan pemerintah untuk secara terus menerus memberikan informasi kepada pihak terkait, mengevaluasi dan memperbaiki pengelolaan dana bantuan sosial yang ditujukan kepada penduduk miskin sehingga yang menerima bantuan tersebut benar-benar penduduk miskin yang memerlukannya. Bantuan sosial bagi penduduk miskin sebagaimana disebutkan diatas hendaknya tidak bersifat sementara karena adanya krisis tetapi perlu dilanjutkan secara terus menerus. Dari sisi ini perlu ada upaya yang sungguh-sungguh agar pendidikan tingkat SD dan SLTP (sesuai dengan program wajib belajar 9 tahun) harus benar-benar dapat dijangkau oleh penduduk miskin. 3.2.c. Departemen Sosial Departemen Sosial merupakan departemen yang memiliki tugas khusus dalam memberikan bantuan sosial kepada mereka yang mengalami masalah-masalah sosial. Umumnya mereka yang mengalami masalah sosial adalah penduduk miskin. Departemen Sosial menyebut mereka yang mengalami masalah sosial sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Adapun kelompok yang masuk kategori PMKS pada Tabel3.4 berikut. Tabel 3.4. Kelompok Penyandang Masalah Sosial (PMKS) No Kelompok PMKS 1 Balita Terlantar 2 Anak Terlantar Satuan Jiwa Jiwa Total 1,140,166 2,235,594 23 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Anak Jalanan Anak Nakal Fakir Miskin Rumah Tidak Layak Huni Keluarga Bersamalah Sosial Psikologis Masyarakat Tinggal di Daerah Rawan Bencana Wanita Rawan Sosial Ekonomi Wanita Korban Tindak Kekerasan Lansia Terlantar Lansia Rawan Terlantar Gelandangan & Pengemis (Gepeng) Tuna Susila Bekas Narapidana Penyandang Cacad Penderita Penyakit Kronis Kusta Korban Napza Komunitas Adat Terpencil Korban Bencana (Pengungsi) Korban HIV/AIDS Pekerja Migran Terlantar TOTAL Jiwa Jiwa Rumah Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Jiwa Rumah 87,456 193,115 5,165,056 n.a n.a 1,034,364 3,401,279 5,285,632 67,135 n.a n.a 1,544,644 123,000 21,302 1,212,575 806,000 2,876 n.a 17,155,138 5,165,056 Terhadap mereka Departemen Sosial telah melakukan berbagai program kegiatan yang pada dasarnya ditujukan untuk membantu para PMKS agar terlepas atau setidaknya terkurangi masalah yang dihadapi. Program kegiatan yang diberikan ada yang berupa bantuan berupa barang (in-kind), bantuan usaha (melalui KUBE), penampungan (melalui panti), bimbingan, penyuluhan dan sebagainya. Penanganan terhadap PMKS dilakukan secara rutin dan permanen. Jika mengacu pada data diatas terlihat bahwa masalah yang dihadapi tampak demikian besar. Setidaknya ada sekitar 17 juta jiwa yang menyandang PMKS dari berbagai kategori. Berkaitan dengan penanganan PMKS tersebut maka program yang dilakukan oleh Departemen Sosial adalah sebagai berikut: Tabel 3.5. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan DEPARTEMEN SOSIAL, 2004 N Dana Target & Program Instansi o (Juta Rp) Beneficiries D DEPSOS Bantuan sosial bagi korban 1 bencana alam 2 Bantuan sosial bagi buruh migran Ditjen Perlindungan & 134,452 Penyelamatan Sosial 14.364 rumah tangga Ditjen Perlindungan & 41,698 Penyelamatan Sosial rumah tangga 24 3 Bantuan bagi korban kerusuhan sosial (social disaster project) 4 Pelayanan bagi anak terlantar 5 6 7 8 9 10 11 12 Pelayanan bagi anak jalanan Pelayanan bagi orang cacat Pelayanan bagi tunawisma Pelayanan bagi anak nakal Toddlers Bantuan bagi korban narkoba Bantuan bagi lansia Disabled buildup Subsidi BBM bagi kesejahteraan 13 sosial 350,000 idem rumah tangga 85,000 Ditjen Rehabilitasi Sosial 70.774 anak 50,000 39,000 39,000 19,000 18,000 1,600 21,500 33,000 idem idem idem idem idem idem idem idem 55.930 anak 38.841orang 5.630 orang 11.175 anak 50 toddlers 4.990 orang 16.950 lansia 5.900 anak 14,000 idem 150.000 anak Dilihat dari sasarannya tampak bahwa program yang dikelola oleh Departemen Sosial memang ditujukan kepada para PMKS yang umumnya termasuk kategori penduduk miskin. Program yang langsung ke sasaran seperti itu perlu terus dilakukan. Hanya tetap perlu dikritisi apakah bantuan sosial yang diberikan kepada para PMKS tersebut sudah benar-benar tepat sasaran atau belum. 3.2.d. Instansi Lain Bantuan sosial bagi penduduk miskin yang menyerap dana paling besar berkaitan dengan Program JPS adalah program RASKIN (Beras untuk penduduk miskin) yang dikelola oleh BULOG. Pada tahun anggaran 2004 dana yang diserap untuk program tersebut mencapai Rp 5,4 trilyun. Besarnya dana yang terserap untuk program RASKIN atau JPS OPK Beras bisa dipahami karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya. Akibat dari krisis ekonomi, menjadikan beban berat bagi sebuah rumah tangga untuk dapat menyediakan kebutuhan dasar berupa beras bagi mereka. OPK-Beras –suatu program penyediaan beras bantuan—adalah suatu mekanisme penanggulangan kurang pangan atau mencegah kelaparan di masyarakat selama krisis ekonomi di Indonesia, khususnya keluarga kurang mampu/miskin. Program ini telah dilaksanakan sejak 1998/1999 secara merata di Indonesia. Untuk perkiraan jumlah keluarga yang memenuhi syarat sebagai keluarga kurang mampu/miskin digunakan daftar data BKKBN sebagai dasar. Dari daftar ini pejabat lokal bersama dengan kepala desa/pamong setempat melakukan identifikasi keluarga kurang mampu/miskin dan dibuat penyesuaian kebutuhan untuk menemukan kondisi aktual keluarga miskin di wilayah yang bersangkutan, misalnya, bila sebuah keluarga tidak memiliki KTP tetapi dalam kenyataanya sesuai dengan kriteria di atas, maka dianggap memenuhi persyaratan. Pencocokan daftar ini digunakan untuk memilih penerima bantuan, dan daftar ini dapat diubah dan direvisi setiap tiga bulan. Penerima program OPK-Beras ini adalah keluarga yang berada di bawah kategori, menurut BKKBN, sebagai Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Di samping daftar keluarga seperti yang dibuat oleh BKKBN, keluarga miskin lainnya dapat menerima OPK-Beras ini sepanjang mereka memenuhi persyaratan berikut: 25 1. 2. 3. 4. 5. Makan kurang dari dua kali sehari Tidak mampu membawa salah seorang anggota keluarga yang sakit ke tempat pelayanan kesehatan Tidak mampu mengkonsumsi protein dalam konsumsi harian paling tidak sekali dalam seminggu Ada anak usia sekolah yang putus sekolah sebagai akibat kesulitan ekonomi Buruh/pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai dampak krisis ekonomi Bantuan beras dalam program OPK-Beras ini langgsung dibagikan kepada keluarga kurang mampu/miskin dan tidak dibagikan melalui mekanisme pasar. Beras dibagikan dari SubDolog di setiap kabupaten/kotamadya ke wilayaah sasaran, dan dari wilayah sasaran ini aparat/petugas resmi setempat bertanggungjawab atas dibagikannya beras tersebut ke keluarga penerima yang terpilih. Setiap bulan setiap keluarga penerima mendapat 20 kg beras yang harus mereka bayar dengan harga Rp.1.000 per-kg-nya. Namun dalam Pelaksanaan Program OPK Beras banyak ditemui banyak “penyimpangan”. Sebuah studi yang melakukan verifikasi terhadap pelaksanaan Program OPK Beras menemukan antara lain menemukan sejumlah penyimpangan sebagai berikut: a. Ada sejumlah responden yang masuk kriteria sebagai penerima bantuan OPK-Beras tetapi dalam praktek tidak menerima bantuan Program OPK Beras. Dari 252 responden yang terpilih, rupanya tidak semua mendapat bantuan beras OPK. Pada bulan Desember 1999 terdapat 19,8 persen responden yang tidak mendapat bantuan beras. Pada bulan Januari 2000, jumlah mereka yang tidak mendapatkan beras bantuan OPK cukup besar, yaitu menjadi 23,8 persen. Ketika ditanyakan alasan mengapa mereka tidak menerima bantuan beras OPK, diperoleh jawaban yang sangat bervariasi. Alasan yang cukup banyak dikemukakan adalah karena mereka ‘tidak tahu’ bahwa ada bantuan beras OPK. Ada pula yang menyatakan ‘tidak kebagian’. Ada dua kemungkinan mengapa hal ini dapat terjadi, pertama karena mungkin beras bantuan yang diberikan sangat terbatas sehingga tidak semua penduduk yang kurang mampu memperoleh beras bantuan, atau kemungkinan kedua adalah karena ‘salah’ dalam proses mendistribusikan beras bantuan tersebut kepada penduduk kurang mampu sehingga ada sebagian responden yang tidak kebagian beras bantuan. b. Dari mereka yang menerima program OPK-Beras sebagian besar menerima kurang dari ketentuan yang ada (20 kg/keluarga). Pada bulan Desember 1999 sekitar 93,1 persen responden yang menerima jatah beras bantuan kurang dari 20 kg, dan masing-masing hanya 3,5 persen saja responden yang menerima jatah beras yang sama dengan 20 kg dan lebih dari 20 kg. Menurut ketentuan yang berlaku ditetapkan bahwa setiap keluarga harus menerima jatah beras bantuan tidak lebih dari 20 kg, dan juga tidak boleh kurang dari 20 kg. Tapi kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan ketentuan yang ada. Ada banyak alasan mengapa hal ini dapat terjadi. Pertama banyak keluarga yang tidak sanggup membeli beras sebanyak 20 kg, karena itu berarti mereka harus mengeluarkan uang paling tidak lebih dari Rp.20.000,- untuk 20 kg beras. Sejumlah uang itu terlalu besar bagi masyarakat kurang mampu. Untuk itu maka rata-rata mereka hanya membeli beras bantuan tidak lebih dari 10 kg, atau ada juga yang hanya 5 kg saja. Namun ada 16,4 persen responden pada bulan Desember 1999 yang ‘tidak tahu’ mengapa mereka menerima jatah beras bantuan kurang dari 20 kg. c. Sosialisasi tentang program tersebut sangat kurang. Sebuah studi menyatakan hanya 42,3 persen dari responden yang mengetahui jatah beras bantuan yang seharusnya diperoleh. Sisanya tidak mengetahui berapa jumlah beras yang seharusnya diperoleh. 26 d. Harga jual beras lebih tinggi dari harga yang ditetapkan. Sesuai ketentuan setiap keluarga diberika keringanan harga beras sebesar Rp 1.000/kg, namun sekitar 50% responden menyatakan membeli dengan harga Rp 1.200 kg per kg. Kenaikan harga tersebut antara lain disebabkan karena anggaran yang disediakan untuk membagikan beras ke masyarakat hanya sampai di Kecamatan saja. Tidak ada anggaran yang disediakan untuk membagikan beras sampai tingkat desa, Untuk itu maka biaya tersebut dibebankan kepada masyarakat yang membeli beras bantuan. Selain itu, juga karena terjadi penyusutan jumlah beras rata-rata sekitar 5% sampai 10% per karung. Ada beberapa sebab sehingga terjadi penyusutan jumlah beras, antara lain; karena cara penyimpanan yang tidak benar, ketika di simpan di gudang Dolog; beras rusak karena kehujanan ketika dalam perjalanan menuju ke titik distribusi atau ketika di simpan di gudang Dolog. Karung sebagai pembungkus (packing) beras tidak berkualitas baik sehingga banyak beras yang tercecer keluar sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah takaran beras per karung dan bila ditotal secara keseluruhan susutnya jumlah beras akan menjadi besar. Hal ini mengakibatkan jumlah beras riil yang diterima kepala desa tidak lagi sebesar seperti yang tertera dalam dokumen pengiriman beras OPK. Pihak Sub Dolog tidak pernah memperhitungkan biaya penyusutan beras OPK tersebut, harus menjadi tanggung jawab siapa? Akan tetapi kenyataan di lapangan membuktikan penyusutan beras OPK bersubsidi tersebut menjadi tanggung jawab kepala desa setempat, kepala desa setempatlah yang harus membayar penyusutan beras OPK bersubsidi. Beberapa penyimpangan sebagaimana dikemukakan diatas patut menjadi perhatian bagi pengelola program untuk dapat memperbaikinya di kemudian hari. Disamping instansi-instansi diatas (Depkes, Depdiknas, Depsos dan BULOG) ada banyak instansi lain yang juga turut mengelola kebijakan bagi penduduk miskin seperti Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (program subsidi bunga KPR bagi penduduk miskin), Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pertanian, Departemen Koperasi dan UKM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN dan sebagainya. Satu hal yang perlu dicermati dari banyaknya instansi yang terlibat dalam program bantuan social bagi penduduk miskin tersebut adalah bagaimana mengkoordinasikan berbagai program yang ada agar tidak terjadi tumpang tindih baik dalam sasaran maupun jenis programnya. 3.3. Isu Kebijakan tentang Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin Salah satu kritik yang muncul berkaitan dengan kebijakan penduduk miskin yang sektoral adalah penekanan kebijakannya yang lebih pada program (lebih spesifik proyek) dibanding pada target yang dituju. Apa yang terjadi selama ini adalah masing-masing instansi/sektor mencoba merinci sebanyak mungkin program-program yang dapat dilakukan oleh instansinya berkaitan dengan penduduk miskin. Karena dengan banyak kegiatan maka banyak pula dana yang dikelola. Bahwa apakah program tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin sebagai target kebijakan merupakan hal yang kedua. Tetapi mindset awal yang mendasari adalah bagaimana banyak program dapat dikelola oleh instansi tersebut. Kerangka kerja seperti ini secara implisit mencerminkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan beberapa program bagi penduduk miskin yang dilakukan secara sektoral selama ini. Kritik lain dari program yang dilakukan secara sektoral tersebut adalah tidak jelasnya dan tidak sinkronnya tentang siapa sebenarnya yang dimaksud sebagai penduduk miskin. Masingmasing sektor meskipun di lapangan menggunakan data yang sama tetapi dalam prakteknya 27 melakukan improvisasi sesuai dengan kepentingan sektornya. Pada kasus yang lain bisa terjadi duplikasi sasaran atas program yang hampir sama. Melihat besarnya dana yang telah digunakan untuk penduduk miskin sebagaimana diuraikan diatas memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana efektifitas kebijakan penduduk miskin selama ini dalam kaitan dengan upaya mengurangi penduduk miskin. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat sejauh mana efektifitas berbagai program bagi penduduk miskin. Setidaknya ada beberapa isu atau masalah yang berkaitan program kebijakan bagi peduduk miskin. Masalah yang diangkat tersebut secara umum mencakup isu pokok normatif, sebagai berikut: 1. Efektifitas. Sejauh mana program kebijakan tentang penduduk miskin yang dilakukan selama ini benar-benar efektif membantu penduduk miskin dalam mengatasi masalah kemiskinan yang dihadapi. Apakah berbagai program kebijakan tentang penduduk miskin tersebut benar-benar tepat sasaran atau tidak dan jika program tersebut tepat sasaran apakah program tersebut dapat benar-benar mengangkat penduduk miskin dari kemiskinan atau tidak. 2. Efisiensi. Apakah program kebijakan yang dilakukan selama ini sudah efisien atau belum dalam arti bahwa dana yang dikeluarkan benar-benar diterima oleh penduduk miskin dan tidak terlalu banyak digunakan untuk kegiatan pendukung. Apakah dana yang ada sebagian besar diterima oleh penduduk miskin atau digunakan oleh yang mengelola kebijakan tentang penduduk miskin. 3. Kesinambungan pembiayaan. Mengingat besarnya dana yang dikeluarkan untuk program kegiatan bagi penduduk miskin maka muncul pertanyaan apakah pemerintah cukup punya resources untuk secara berkesinambungan menyediakan dana yang diperlukan bagi penduduk miskin. Keterbatasan dana yang ada di satu sisi dan besarnya masalah penduduk miskin yang dihadapi di sisi lain menyebabkan masalah kesinambungan pembiayaan menjadi salah satu masalah yang perlu dicermati. Sehubungan dengan ketiga isu pokok tersebut maka muncul beberapa pemikiran tentang adakah alternatif tentang pengelolaan kebijakan bagi penduduk miskin. Apakah kebijakan yang selama ini dilakukan secara sektoral memang merupakan satu-satunya alternatif kebijakan yang sesuai atau perlu ada perubahan pengelolaan kebijakan bagi penduduk miskin yang lebih menekankan pada target bukan program. Pemikiran alternatif tentang kebijakan bantuan sosial bagi penduduk miskin tersebut menyangkut dua aspek. Pertama, alternatif pembiayaan. Dari aspek ini perlu dipikirkan tentang dua hal yaitu (i) bagaimana mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif agar dana bantuan sosial tidak menjadi beban berkelanjutan bagi anggaran pemerintah; (ii) bagaimana mengefektifkan dan efisienkan pengelolaan dana yang ada termasuk di dalam menentukan prioritas program. Kedua, alternatif pengelolaan bantuan sosial yaitu bagaimana kebijakan bantuan sosial tersebut lebih menekankan pada target sasaran dari pada membengkaknya jenis program. Dari sisi pendanaan antara lain perlu didorong upaya penggalian dana masyarakat melalui berbagai skema yang selama ini berkembang seperti pengumpulan zakat, infak, shadaqoh, wakaf tunai, pengumpulan dana peduli sosial dan sebagainya. 28 BAB IV ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN Ada sejumlah pertanyaan yang patut diangkat ke permukaan berkaitan dengan penyusunan arah kebijakan perlindungan sosial (bantuan sosial) bagi penduduk miskin. Beberapa pertanyaan tersebut antara lain: Apakah kebijakan bantuan sosial yang akan dilakukan ke depan tetap menggunakan mekanisme ad hoc sebagaimana diatas atau dilembagakan secara permanen setiap tahunnya? Apakah lembaga yang menangani bantuan sosial disebar menurut instansi sektoral atau disatukan dalam lembaga baru yang khusus menangani bantuan sosial? Apakah dana bantuan sosial sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau disharing dengan pemerintah daerah? Atau pemerintah sama sekali tidak menangani bantuan sosial buat orang miskin melainkan sepenuhnya diserahkan kepada keluarga dan masyarakat? Dalam bentuk apa saja bantuan sosial itu diberikan kepada penduduk miskin? Bagaimana peran pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan bantuan sosial kepada penduduk miskin? Pengembangan jaminan sosial di Indonesia diwarnai oleh beberapa karakteristik utama sebagai berikut: ketergantungan yang kuat pada extended family dan komunitas dalam memberikan jaring pengaman sosial secara informal baik dalam hal bantuan ketika hilangnya pendapatan, kesakitan maupun ketidakberuntungan lainnya terbatasnya bantuan pada pengusaha melalui peraturan ketenagakerjaan yang diperkuat melalui perjanjian kolektif, dengan memberikan secara langsung benefit seperti upah ketika sakit, hamil dan pemutusan hubungan kerja sangat terbatasnya asuransi sosial pada sektor swasta yang hanya terbatas pada sistem provident fund (jaminan hari tua) yang memberikan lump sum ketika pensiun paket lengkap bagi PNS dan ABRI Bantuan sosial biasanya didefinisikan sebagai suatu bantuan dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk non tunai yang diberikan kepada orang-orang termiskin dalam masyarakat oleh pihak berwenang. Di negara-negara yang sudah maju, bantuan sosial sering kali merupakan tingkat penunjanang terbawah yang diberikan kepada mereka yang membutuhkan yang sumber penghasilan asuransi sosial atauhak atas jaminan sosial lainnya kurang memadai. Di Indonesia, Bantuan Sosial dalam pengertian modern baru dikenal akhir-akhir ini, yakni dengan diperkenalkannya jaring Pengaman Sosial sebagai reaksi terhadap krisis ekonomi 1997. sejauh mana reaksi yang bersifat ad hoc, terhadap krisis tersebut dapat dikembangkan menjadi suatu program yang lebih sitematis untuk Bantuan Sosial merupakan fokus naskah ini. 29 Konsep modern Bantuan Sosial kepada kelompok-kelompok termiskin dalam masyarakat sebagai tanggung jawab pemerintah pusat atau pihak berwenang lainnya relatif masih baru di Indonesia. Secara tradisional, bantuan kepada orang miskin dan berkekurangan pertama-tama dipandang sebagai kewajiban dari sanak saudara, kerabat atau anggota keluarga besar yang bersangkutan atau bahkan masyarakat lokal pedesaan. Di luar itu, pemberian sedekah atau bantuan kepada orang miskin dipandang oleh banyak kelompok agama di Indonesia sebagai kewajiban individu yang mempunyai harta kekayaan untuk memberikan bantuan atau sebagai bidang tanggung jawab kelompok-kelompok masyarakat dan agama, serta beberapa organisasi non pemerintah. Sebelum krisis tahun 1997, hanya sedikit pemerintah pusat Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai bantuan Sosial. Pengeluaran pemerintah dibidang sosial dikonsentrasikan pada apa yang dapat dianggap sebagai pengeluaran pembangunan, terutama untuk pembangunan pendidikan, kesehatan dan masyarakat, walaupun bidang-bidang yang dibiayai tersbut memberikan keuntungan bagi kelompok-kelompok penghasilan rendah. Meskipun demikian, bantuan untuk meringankan beban kemiskinan secara langsung seperti itu tidak dipandang sebagai tanggung jawab inti pemerintah pusat. Secara tradisional, tidak terlibatnya pemerintah pusat dalam pengeluaran untuk memberikan Bantuan Sosial secara langsung sesuai denga pola yang umum dijumpai di negara-negara sedang berkembang yang berpendapat rendah. Hal tersebut juga mencerminkan pertimbanganpertimbangan utama di bidang sosial ekonomi yang bersifat khas Indonesia. Indonesia memasuki periode pemerintahan Orde Baru (1967-1998) dengan tingkat kemiskinan yang amat tinggi dan menyeruak dimana-mana. Pada tahun 1970, 60% penduduk Indonesia berada dibawah garis kemiskinan nasional, yang selanjutnya berada jauh dibawah garis kemiskinan internasional saat ini sebesar US$1 per hari. Karena sebagain besar penduduk Indonesia saat itu tenggelam dalam kemiskinan, maka orang-ornang termiskin diantara yang miskin kurang diperhatikan. Strategi utama Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan selama periode ini terdiri dari pembangunan ekonomi. Pembangunan ini berjalan dengan sangat baik hingga periode sebelum terjadinya krisis pada tahun 1996, proporsi penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan nasional telah menurun hingga mencapai sedikit di atas 11%. Tetapi, penduduk yang bergerak naik di atas garis kemiskinan kebanyakan hanya bergeser sedikit di atas garis tersebut sehingga mereka masih rentan terhadap kemerosotan ekonomi. Kerentanan ini terutama tercermin pada mereka yang pindah ke daerah-daerah perkotaan untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang sebelumnya sedang berkembang. Tetapi, sebelum terjadinya krisis moneter tahun 1997, orang-orang ini secara umum bukan merupakan bagian dari kelompokyang termiskin menurut standar Indonesia. Sebelum terjadi krisis tahun 1997 juga jelas bahwa mereka yang tertinggal dibawah garis kemiskinan kian banyak dan mereka merupakan orang-orang yang paling rentan-misalnya orang yang cacat atau orang usia lanjut tanpa dukungan keuangan-ditambah orang-orang yang tinggal di daerah terpencil di Indonesia. Kecil peluang yang di miliki kelompok –kelompok ini untuk keluar dari kemiskinan melalui proses pembangunan ekonomi Indonesia secara umum sebagai suatu keseluruhan dibandingkan kelompok-kelompok utama yang terdapat dalam populasi. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam bentuk Jaring Pengamanan Sosial yang muncul setelah krisis ekonomi tahun 1997 sebagian besar merupakan tanggapan yang 30 bersifat ad hoc terhadap munculnya kembali kemiskinan secara tiba-tiba diantara banyak orang yang dulunya mengalami kenaikan dalam standar hidup mereka.langkah-langkah tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa dan dampaknya tidak merata. Masalah-masalah administrasi mekanisme penyaluran administratif jaring pengaman sosial, masalah tata kelola, dan besarnya kebocoran dari bantuan yang diberikan kepada kelompok-kelompok sasaran tampak jelas seiring dengan pencapaian-pencapaian yang di peroleh program ini. Krisis tahun 1997 merupakan suatu titik balik bagi keterlibatan pemerintah pusat beserta lapisan-lapisan pendukung dari pemerintah provinsi dan pemerintah lokal secara substansial dalam upaya penanggulangan kemiskinan secara langsung. Mereka juga memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa penduduk Indonesia telah dan sedang mengalami transisi dari keluarga besar yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan masyarakat-masyarakat yang bergantung pada pertanian semi subsistensi untuk memenuhi kebutuhan mereka kepada yang lebih bersifat perkotaan dengan ketergantungan yang besar pada perekonomian tunai. Pergeseran pola ini akan memerlukan sistem-sistem perlindungan sosial yang lebih formal, termasuk beberapa bentuk Bantuan Sosial. Masalah yang berjangka waktu lebih panjang untuk kebijakan bantuan sosial adalah untuk menetapkan pendekatan-pendekatan mana yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia yang dapat menjangkau kelompokkelompk sasaran yang dituju, dan yang dapat menyebabkan berkurangnya kemiskinan secara berkesinambungan. Ada sejumlah pilihan strategi yang dapat saja digunakan pemerintah Indonesia dalam kaitannya dalam bantuan sosial untuk membantu golongan masyarakat yang termiskin. Pilihanpilihan tersebut adalah: Tidak melakukan apa-apa, dan tidak menggunakan uang pemerintah untuk Bantuan Sosial. Artinya, bergantung sepenuhnya pada bantuan keuangan yang diberikan oleh keluarga besar yang merupakan bantuan tradisional Indonesia, bantuan desa, derma dan bantuan organisasi non pemerintah. Hal ini berarti mengurangi Jaring Pengaman Sosial yang diberikan sekarang secara bertahap seiring dengan berkurangnya krisis; Tidak mempunyai skema formal, tetapi bergantung pada langkah-langkah ad hoc apabila timbul krisis tertentu, msalnya,krisis ekonomi, masalah pengungsi, atau banjir; Menjadikan Bantuan Sosial sebagai tanggung jawab provinsi atau kabupaten, tetapi tanpa dana dari pemerintah pusat; Membentuk Instansi Bantuan Sosial Pemerintah Indonesia yang di danai dari anggaran negara dengan kantor lokal diseluruh Indonesia; Menambahkan Bantuan Sosial kepada tugas-tugas JAMSOSTEK, skema Asuransi Sosial/Dana Provident yang ada saat ini; Bergantung pada skema kredit mikro dan skema-skema terkait lainnya; Menjalin “kontrak” dengan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk memberikan sebagian dana bantuan; dan Menjalin “kontrak” dengan organisasi non pemerintah untuk memberikan bantuan sosial. Saat ini tidaklah dimungkinkan untuk membentuk suatu skema bantuan sosial tunai diseluruh Indonesia. Namun, adalah mungkin untuk mempertimbangkan pendekatan ini dibeberapa provinsi atau kabupaten yang sudah berkembang. Untuk jangka yang lebih panjang, pemberian bantuan dan manfaat secara tunai kemungkinan akan menjadi komponen bantuan sosial yang semakin meningkat. Untuk jangka pendek, yang terbaik adalah berkonsentrasi pada hal-hal yang mempunyai peluang yang wajar untuk diwujudkan. Secara lebih umum, inisiatifinisiatif lokal mungkin dapat meberikan cara-cara lain yang efektif dari segi biaya asalkan program-programnya dijalankan berdasarkan tata kelola yang baik (good govermence). 31 Secara keseluruhan disarankan bahwa bantuan sosial inti untuk periode selanjutnya dapat mencakup hal-hal berikut ini: Subsidi beras, atau yang setara dengan itu untuk orang miskin; Bantuan pangan lainnya untuk anak kecil dan ibu-ibu menyusui di keluarga-keluarga miskin; Kartu kesehatan untuk orang-orang miskin yang memungkinkan pemegangnya untuk mendapatkan perawatan cuma-cuma di fasilitas-fasilitas kesehatan umum dan mendapatkan obat secara cuma-cuma atau dengan subsidi; Beasiswa pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin; dan Bantuan uang tunai melalui pembayaran secara periodik kepada rumah tangga miskin dimana ada kapasitas ditingkat lokal untuk menjalankan sistem seperti ini. Cara lain dapat dikembangkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat sebagai pemberi dana utama dan pihak berwenang ditingkat provinsi dan kabupaten sebagai instansi pengelola administrasi sekaligus rekan yang bersama pemerintah pusat juga ikut menjadi penyandang dana dari program-program yang ada. Beberapa cara pendanaan yang dapat dilakukan, termasuk penggunaan kembali sebagian subsidi hasil minyak; penggunaan kembali pendanaan untuk subsidi listrik dan subsidi kredit; beberapa pajak tambahan, khususnya pajak atas produk-produk tembakau; dan iuran bersama dari pemerintah daerah. 32 DAFTAR BACAAN Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2003, BPS, Jakarta, Juni 2004 Badan Pusat Statistik, Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999: Metode BPS, Buku I, BPS, Jakarta ----------------------------, Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial-Ekonominya 1996-1999: Sebuah Kajian Sederhana, BPS, Jakarta ----------------------------, Penyempurnaan Metodologi Penghitungan Penduduk Miskin dan ProfilKemiskinan 1999, BPS, Jakarta ----------------------------, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 1: Propinsi, BPS, Jakarta ----------------------------,Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 2: Kabupaten, BPS, Jakarta Badan Pusat Statistik dan World Bank Institute, Dasar-Dasar Analisis Kemiskinan, BPS, Jakarta, Januari 2002 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Peta Kemiskinan di Indonesia, BAPPENAS, Mei 2003 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kebijakan dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Sosial Bagi Masyarakat Miskin, BAPPENAS, Jakarta, 2004 --------------, Sustainable Social Protection Technical Assistance. Inception Report, Bappenas, ADB and UK Department for Internastional Development, Jakarta, 2004 Surhayadi, Asep & Sudarno Sumarto, The Chronic Poor, The Transient Poor and the Vulnarable in Indonesia Before and After the Crisis, SMERU, Jakarta, Mei 2001 Jalan, Joyotsna & Martin Ravallion, Is Transient Poverty Dfferent?, World Bank, Washington, DC, 1999 Poppele, Jessica, Sudarno Sumarto & Lant Pritchett, Social Impact of the Indonesian Crisis: New Data and Policy Implications, SMERU Report, Jakarta, 1999 Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Pembangunan Keluarga Sejahtera di Indonesia Berdasarkan UU No 10 Tahun 1992 dan GBHN 1993, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 1994 --------------------------------------------------------------, Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam rangka Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 1996 33