terms of reference (tor)

advertisement
LAPORAN AKHIR
STUDI SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL
BAGI PENDUDUK MISKIN
Disusun oleh:
Yohandarwati
Lenny N. Rosalin
I D G Sugihamretha
Sanjoyo
Utin Kiswanti
Guntur Pawoko
Susiati Puspasari
Fithriyah
DIREKTORAT KEPENDUDUKAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, DAN
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
BAPPENAS
2004
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... i
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................................... 1
1.3 METODOLOGI ................................................................................................... 2
1.4 SISTEMATIKA LAPORAN .............................................................................. 3
BAB II KONSEP DAN DATA KEMISKINAN ................................................................... 4
2.1. Konsep dan Pengukuran Kemiskinan ................................................................ 5
2.2 Sumber Data Kemiskinan..................................................................................... 7
2.3. Perbandingan Data Kemiskinan ........................................................................11
2.4. Jumlah dan Persebaran Penduduk Miskin........................................................13
BAB III KAJI ULANG (REVIEW) KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG
BANTUAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN ............................................16
3.1. Kebijakan Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin ..........................................16
3.2. Kebijakan Sektoral terhadap Penduduk Miskin ..............................................17
3.2.a. Departemen Kesehatan .....................................................................17
3.2.b. Departemen Pendidikan Nasional .................................................20
3.2.c. Departemen Sosial ..............................................................................23
3.2.d. Instansi Lain .........................................................................................25
3.3. Isu Kebijakan tentang Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin......................27
BAB IV ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI PENDUDUK
MISKIN ..........................................................................................................................29
DAFTAR BACAAN ......................................................................................................................33
i
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel 2.1. Aspek Pengumpulan Data Kemiskinan menurut Sumber Data ...........................12
Tabel 2.2. Data Kemiskinan BPS: jumlah sampel, batas cakupan kalori, jumlah
komoditas makanan dan non-makanan, GKM, GKNM, GK, menurut
tahun penyelenggaraan SUSENAS ..........................................................................14
Tabel 2.3. Jenis Komoditas Yang Dijadikan sebagai Penentu Garis Kemiskinan ...............15
Tabel 3.1. Pengeluaran Pemerintah dalam Program Bantuan Sosial Bagi Penduduk
Miskin (juta Rp)...........................................................................................................17
Tabel 3.2. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan Departemen
Kesehatan, 2004 ..........................................................................................................19
Tabel 3.3. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan DEPARTEMEN
PENDIDIKAN NASIONAL, 2004 .......................................................................20
Tabel 3.4. Kelompok Penyandang Masalah Sosial (PMKS) ...................................................23
Tabel 3.5. Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan DEPARTEMEN
SOSIAL, 2004 .............................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana
manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat), bahwa: “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR
No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara
pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, juga menugaskan kepada Presiden untuk
membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih
menyeluruh dan terpadu.
Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden No. 20 Tahun 2002, yang bertujuan untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Tim
SJSN telah menyusun suatu naskah akademik dan telah diserahkan kepada DPR dalam rangka
pengajuan RUU SJSN. Cakupan naskah akademis tersebut meliputi jaminan sosial dengan
pendekatan skema asuransi, yang mewajibkan pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial
pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan
hari tua dan pensiun, dan kematian. Sedangkan bagi tenaga kerja informal dan masyarakat miskin
belum dicantumkan.
Sejak tahun 2002, Bappenas telah melakukan kajian awal mengenai sistem perlindungan
dan jaminan sosial, yang pada intinya berupaya untuk membentuk suatu Sistem Perlindungan
dan Jaminan Sosial (SPJS) yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat yang
bekerja, dunia usaha, dan pemerintah diharapkan dapat bersama-sama menanggung pendanaan
sistem tersebut. Salah satu rekomendasi kajian menyatakan perlunya suatu SPJS yang dikaitkan
dengan sistem administrasi penduduk (unique number system). Dengan demikian, identifikasi
penduduk yang layak memperoleh perlindungan dan jaminan sosial akan lebih tepat dan praktis.
Disadari bahwa pembentukan suatu Sistim Perlindungan Sosial (SPS) memerlukan waktu
yang panjang dan lama. Oleh karena itu, perumusan SPS dilakukan secara bertahap. Tahap awal
adalah membentuk Desain SPS berikut perangkat pendukungnya, baik dari aspek hukum,
maupun kelembagaan bagi penduduk miskin.
1.2 Tujuan
Secara umum tujuan studi ini adalah untuk memberikan masukan dalam rangka
menyusun kebijakan tentang Sistem Perlindungan Sosial (SPS) Bagi Penduduk Miskin dari
berbagai aspek.
Secara khusus tujuan studi ini adalah untuk melakukan kajian terhadap beberapa aspek
sebagai berikut:
a. Mengkaji ulang (review) konsep dan data kemiskinan yang dapat digunakan bagi
perumusan kebijakan perlindungan (bantuan) sosial bagi penduduk miskin
1
b. Mengkaji ulang (review) kebijakan pemerintah yang telah dilakukan selama ini berkaitan
dengan bantuan social bagi penduduk miskin
c. Merumuskan pokok-pokok arah kebijakan perlindungan sosial bagi penduduk miskin di
masa mendatang termasuk tentang perkiraan jumlah biaya yang diperlukan bagi program
tersebut
1.3 METODOLOGI
a.
Metode
Penulisan Sistem Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin ini dilakukan setelah
dilakukan beberapa metode kajian antara lain berupa studi literatur dan diskusi kelompok
terbatas (focus group discussion, FGD). Studi literatur dilakukan terutama pada tiga topik utama
yaitu yang berkaitan dengan (1) ukuran dan kondisi penduduk miskin di Indonesia; (2)
perkembangan kebijakan pemerintah tentang penduduk miskin, dan; (3) sistem perlindungan
sosial (bantuan dan jaminan) bagi penduduk miskin.
Selanjutnya hasil studi literature tersebut dikombinasikan dengan hasil focus group discussion
(FGD) yang dilakukan secara bertahap. Agar lebih fokus pada tujuan studi ini, FGD yang
dilakukan akan mengangkat beberapa topik sebagai berikut:
a. Konsep, Data dan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia
b. Kebijakan Pemerintah tentang Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin
c. Arah Pengembangan Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin
Agar hasil studi ini juga sesuai dengan kondisi di daerah maka konsep yang telah disusun
melalui studi kepustakaan (literature study) dan FGD di tingkat pusat akan di diskusikan melalui
FGD di tingkat daerah (kabupaten/kota). Dengan demikian diharapkan apa yang dihasilkan
dalam studi ini juga mempertimbangkan aspek pengelolaan kebijakan di tingkat kabupaten/kota.
Hal ini penting apalagi jika dikaitkan dengan desentralisasi dan otonomi daerah yang selama ini
telah berlangsung.
b.
Tahapan Kegiatan
Penulisan ini terkait dengan keseluruhan kegiatan studi yang dilakukan oleh
BAPPENAS. Untuk itu studi dan penulisan ini mencakup beberapa kegiatan sebagai berikut:
a. Penyusunan Desain Studi
b. Studi Kepustakaan (Literature Study)
c. Pelaksanaan FGD di Tingkat Pusat
d. Penulisan Draf Sistem Perlindungan Sosial (SPS) Bagi Penduduk Miskin
e. Pelaksanaan FGD di Tingkat Daerah Kabupaten/Kota
f. Penyempurnaan Draf Sistem Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin
g. Presentasi Draf Sistem Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin
h. Finalisasi Draf Sistem Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Miskin
Keseluruhan kegiatan tersebut diperkirakan dapat diselesaikan dalam kurun waktu 6
(enam) bulan dengan rincian jadwal sebagaimana terlampir.
2
1.4 SISTEMATIKA LAPORAN
Laporan yang dihasilkan dari studi ini mencakup beberapa topik berikut:
Bab 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Metodologi
1.4 Output Laporan
Bab 2 KONSEP DAN DATA KEMISKINAN
2.1 Konsep dan Pengukuran Kemiskinan
2.2 Sumber Data Kemiskinan
2.3 Jumlah dan Persebaran Penduduk Miskin
Bab 3 KAJI ULANG (REVIEW) KEBIJAKAN PEMERINTAH
BANTUAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN
3.1 Kebijakan Bantuan Sosial bagi Penduduk Miskin:
3.2 Kebijakan Sektoral terhadap Penduduk Miskin
3.2 Isu Kebijakan Bantuan Sosial bagi Penduduk Miskin
TENTANG
Bab 4 ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL
BAGI PENDUDUK MISKIN
4.1 Kebijakan, Strategi, Sasaran, dan Program
4.2 Indikator Sasaran dan Pemantauan
4.3 Skema Pembiayaan
4.4 Desain Kelembagaan.
Bab 5 PENUTUP
3
BAB II
KONSEP DAN DATA KEMISKINAN
Data kemiskinan di Indonesia sudah mulai dikumpulkan sejak tahun 1984 (BPS) dan
program pemerintah tentang pengentasan kemiskinan juga sudah dilakukan sejak lama tetapi
masih ada masalah yang berkaitan dengan implementasi dan penetapan sasaran terhadap
penduduk miskin. Masih ada kritik bahwa program pemerintah berkaitan dengan penduduk
miskin masih terjadi duplikasi dan tumpang tindih baik dalam hal jenis program maupun
sasarannya. Dalam hal jenis program ada beberapa instansi yang melakukan beberapa kegiatan
yang hampir serupa. Sedang dalam hal penetapan sasaran masih belum diketahui secara rinci
siapa sebenarnya yang masuk kategori penduduk miskin yang patut untuk diberi bantuan sosial
kemiskinan.
Bantuan sosial kemiskinan yang dilakukan melalui program JPS baik JPS-BK, JPSPendidikan, JPS-Raskin seringkali menghadapi kendala serius ketika harus menetapkan siapa
sebenarnya penduduk miskin yang patut untuk diberi bantuan. Di tingkat teknis penetapan
sasaran yang menerima bantuan sosial masih menghadapi banyak kendala. Data yang ada selama
ini yang digunakan untuk perencanaan tidak cukup untuk memberikan pedoman sampai ke
tingkat operasional pelaksanaan program.
Tulisan ini akan mencoba menguraikan tentang ketersediaan data kemiskinan dan
kaitannya dengan penggunaan data tersebut dalam perencanaan dan pelaksanaan program
kegiatan. Apakah data yang ada sudah mencukupi atau belum ketika harus digunakan sebagai
pedoman dalam perencanaan dan pelaksanaan program? Kalau belum mencukupi, alternatif apa
yang harus dilakukan agar program bantuan sosial (sebagai bagian penting dari sistem
perlindungan sosial) dapat benar-benar dilakukan secara tepat sasaran? Apakah ada alternatif
metode lain yang dapat digunakan agar bantuan sosial tersebut dapat benar-benar tepat sasaran?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka tulisan ini akan mencoba menguraikan
keberadaan data kemiskinan dan kaitannya dengan kebutuhan dalam pelaksanaan program. Baru
kemudian diuraikan tentang alternatif metode apa yang patut dipertimbangkan dalam pemberian
bantuan sosial. Berkaitan dengan data kemiskinan akan diuraikan secara sekilas tentang cakupan
dan ukuran kemiskinan yang digunakan. Namun sebelum itu akan diuraikan terlebih dahulu
tentang konsep dan determinan kemiskinan.
4
2.1. Konsep dan Pengukuran Kemiskinan
a. Pengertian
Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relatif sesuai dengan persepsi dirinya.
Kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi tersebut mencakup berbagai aspek baik kebutuhan
ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual.
Pengertian miskin dalam arti luas tersebut tidak cukup operasional dalam analisis
program kebijakan. Kalau kemiskinan diartikan dalam pengertian luas seperti itu maka akan
mengalami kesulitan teknis ketika harus menentukan siapa sebenarnya yang masuk kategori
penduduk miskin. Oleh karena itu dalam banyak analisis, kemiskinan lebih diartikan secara
sempit yaitu miskin secara ekonomis. Dalam kaitan ini miskin diartikan sebagai ketidakmampuan
ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar disini lebih pada
kebutuhan fisik (baik makanan maupun non makanan)
Dengan demikian yang disebut sebagai penduduk miskin adalah penduduk yg secara
ekonomis tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya atau kebutuhan dasarnya (baik
makanan maupun non makanan)
Kemiskinan diartikan sebagai ketidak-mampuan rumah tangga atau seseorang dalam
memenuhi secara cukup kebutuhan dasarnya. Kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan
(deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak
memperoleh untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kemiskinan dapat dilihat dari sudut pandang moneter dan non moneter. Kemiskinan
juga dapat dilihat dari berbagai aspek/dimensi. Disamping dilihat dari aspek pendapatan,
kemiskinan juga dapat dilihat dari aspek kesehatan, pendidikan dan status sosial. Dalam kaitan
ini kemiskinan dikaitkan dengan “outcome” yang tidak cukup dalam hubungannnya dengan (i)
kesehatan, gizi dan literasi; (ii) kurangnya hubungan sosial; (iii) kerawanan, dan; (iv) kepercayaan
diri yang rendah dan ketidakberdayaan.
Terkait dengan konsep kemiskinan ada pula konsep ketimpangan (yaitu
ketidakseimbangan atau ketidakmerataan distribusi) dan kerentanan/vulnerability (yaitu resiko
menjadi miskin atau lebih miskin). Dalam membahas kemiskinan kedua konsep tersebut saling
terkait.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengukur kemiskinan untuk mengetahui siapa
yang termasuk kategori penduduk miskin.
b. Mengukur Kemiskinan
Untuk mengukur kemiskinan dalam arti luas jelas sulit dilakukan. Sulit untuk
menentukan siapakah yang masuk kategori miskin secara politik, sosial apalagi spiritual. Oleh
karena itu pembahasan dalam ukuran kemiskinan disini diartikan secara sempit yaitu dalam arti
ekonomis. Kemiskinan dalam arti ekonomis yaitu ketidakmampuan ekonomis seseorang dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya.
5
Pendekatan yang umum dipakai dalam mengukur kemiskinan (dalam arti sempit) adalah
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Kebutuhan dasar diukur dari pengeluaran (sebagai
proksi dari pendapatan) rumah tangga atas sejumlah (bundel) komoditas baik berupa komiditas
makanan maupun non makanan.
Dari sejumlah komoditas terpilih tersebut kemudian ditentukan ukuran kebutuhan
minimumnya. Kemudian jumlah minimum komoditas tersebut dikalikan dengan harga
komoditas yang bersangkutan. Dengan begitu diperoleh sejumlah angka yang menunjukkan
harga dari bundel komoditas minimum yang diperlukan. Angka itulah yang kemudian dijadikan
sebagai batas atau garis (poverty line) yang membagi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin
Garis kemiskinan (poverty line) bisa dibedakan antara garis kemiskinan makanan (food
poverty line) maupun garis kemiskinan non makanan (non food poverty line). Yang karena perbedaan
harga dan jenis komoditas yang dipakai maka besaran garis kemiskinan bisa pula berbeda antar
daerah dan antar desa-kota.
Garis kemiskinan itu sendiri adalah suatu index. Secara statistik ada beberapa cara dalam
menghitung garis kemiskinan seperti Headcount Index, Poverty Gap Index, Poverty Severity
Index dan sebagainya.
c. Kategori Penduduk Miskin
Melalui garis kemiskinan sebagaimana dikemukakan diatas kemudian penduduk
dikelompokkan menjadi penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah
penduduk yang pengeluarannya berada pada dan dibawah garis kemiskinan. Sedang penduduk
tidak miskin adalah penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan.
Tetapi pengkategorian penduduk hanya menjadi miskin dan tidak miskin seperti itu
dianggap masih kurang memenuhi kebutuhan analisis. Dalam hal perlindungan sosial (jaminan
dan bantuan sosial) disamping penduduk miskin perlu juga diperhatikan penduduk rentan
(vulnerable people). Oleh karena itu dilakukan penajaman lagi dalam melakukan pengelompokan
penduduk miskin. Disamping penduduk miskin dikategorikan juga apa yang disebut sebagai
penduduk rentan, yaitu penduduk yang meskipun saat ini tidak miskin tetapi di masa mendatang
rentan untuk menjadi miskin. Sedang penduduk miskin sendiri dipilah lagi kedalam miskin
permanen (chronic poor) dan miskin sementara (transient poor).
Dengan demikian ada kategori penduduk rentan (vulnerable people) dan penduduk miskin
(chronic & transient poor). Penduduk rentan perlu menjadi target dari subsidi jaminan sosial sedang
penduduk miskin disamping perlu menjadi target dari subsidi jaminan sosial juga menjadi
sasaran penerima bantuan sosial.
d. Determinan Kemiskinan
Disamping mengenai ukuran, hal penting lain yang perlu diperhatikan dalam analisis
kemiskinan adalah faktor-faktor yang menyebabkan penduduk menjadi miskin (determinan
miskin). Dengan mengetahui penyebab kemiskinan maka akan lebih mudah dalam menentukan
tindakan apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
Berkaitan dengan determinan kemiskinan ada istilah kemiskinan struktural dan
kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur
atau sistem (politik, ekonomi, keamanan dll) yang tidak memungkinkan bagi penduduk untuk
6
menjadi sejahtera. Sedang kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh budaya
penduduk yang malas, tidak mau kerja keras, jadi etos bekerjanya sangat rendah, tidak disiplin
dan sebagainya.
Determinan kemiskinan dapat dilihat baik dari tingkat regional, tingkat komunitas
maupun tingkat individu & rumah tangga.
BKKBN misalnya menyebut beberapa faktor penyebab kemiskinan sebagai berikut:
1. Faktor internal:
a. kesakitan
b. kebodohan
c. ketidaktahuan
d. ketidaktrampilan
e. ketertinggalan teknologi
f. ketidakpunyaan modal
2. Faktor eksternal:
a. stuktur sosial ekonomi yang menghambat peluang untuk berusaha dan
meningkatkan pendapatan
b. nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang mendukung upaya peningkatan
kualitas keluarga
c. kurangnya akses untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembangunan
2.2 Sumber Data Kemiskinan
Selama ini ada dua sumber data kemiskinan yang seringkali dipakai dalam menganalisis
kemiskinan secara nasional yaitu data kemiskinan yang bersumber dari Badan Pusat Statistik
(BPS) dan data yang bersumber dari Meneg Kependudukan/BKKBN. Uraian pada bagian ini
akan membahas tentang bagaimana pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh kedua instansi
tersebut dan data mana yang lebih relevan digunakan dalam melakukan kajian dan
penyelenggaraan perlindungan sosial bagi penduduk miskin.
a.
Data Kemiskinan Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan persentase
penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan persentase
penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data modul konsumsi
Susenas.
Sejak tahun 1981, setiap tiga tahun sekali, dengan data modul konsumsi Susenas, BPS
secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin yang hanya disajikan
untuk tingkat nasional, dengan dipisahkan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Pada tahun
1990, informasi mengenai penduduk miskin sudah dapat disajikan sampai tingkat propinsi
meskipun beberapa propinsi masih digabung. Sejak tahun 1993 informasi mengenai jumlah dan
persentase penduduk miskin sudah dapat disajikan untuk seluruh propinsi.
Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga
saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan basic needs. Dengan pendekatan
ini, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar.
7
Berdasarkan pendekatan basic needs, indikator yang digunakan adalah Head Count Index
(HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada dibawah Garis Kemiskinan
(GK).
GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non makanan per kapita
pada kelompok referensi (reference population) yang telah ditetapkan. Kelompok referensi ini
didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada
sedikit diatas garis kemiskinan. GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Batas kecukupan makanan (pangan) dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan
untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum enerji 2100 kalori per kapita per hari.
Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Sejak tahun 1993
penghitungan kecukupan kalori ini didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang telah
disesuaikan dengan pola konsumsi penduduk. Adapun komoditas-komoditas yang dipilih untuk
menentukan batas kecukupan pangan adalah seperti tampak pada Tabel 2.1
Batas kecukupan non makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk
non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan,
pendidikan, transportasi dan lain-lain. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami
perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola
konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan
dan 12 komoditi di perdesaan (Tabel 2.1).
Penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin propinsi di bedakan menurut
perkotaan dan perdesaan berdasarkan GK (GKM+GKNM) yang juga dibedakan menurut
perkotaan dan perdesaan. Jumlah dan persentase penduduk miskin secara nasional (Indonesia)
merupakan kumulatif dari jumlah dan persentase penduduk miskin propinsi-propinsi di
Indonesia yang juga dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan. Disamping itu, informasi
penduduk miskin ini juga disajikan dalam bentuk distribusinya dan dikaitkan dengan berbagai
karakteristik rumah tangga (penduduk) antara lain jenis kelamin, jenis kelamin kepala rumah
tangga, pendidikan kepala rumah tangga, lapangan pekerjaan kepala rumah tangga, dan status
pekerjaan kepala rumah tangga.
Data yang dihitung oleh BPS adalah data yang diambil melalui survei atas sampel
sejumlah rumah tangga. Jumlah sampel tersebut makin meningkat dari tahun ke tahun. Kalau
pada tahun 1990 jumlah sampel hanya 49.000 rumah tangga maka sejak tahun 1993 jumlah
sampel telah meninggkat menjadi 65.000 rumah tangga. Kekecualian terjadi pada tahun 1998
karena survei dilakukan untuk mengukur dampak krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997.
Meskipun jumlah sampel mengalami peningkatan tetapi tetap saja proporsinya masih kecil
dibandingkan dengan jumlah rumah tangga secara keseluruhan. Jumlah sampel yang pada tahun
1990 hanya diambil 49.000 rumah tangga, jelas sangat kecil dibandingkan dengan jumlah rumah
tangga secara keseluruhan yang mencapai 39,54 juta rumah tangga pada tahun yang sama.
Artinya bahwa data kemiskinan yang dihasilkan oleh BPS adalah data yang dihasilkan dari
generalisasi atas penghitungan statistik. Dan karena itu maka data tersebut tidak bisa digunakan
sebagai pedoman untuk mengetahui secara rinci siapa saja dan dimana saja penduduk miskin
yang patut memperoleh bantuan sosial.
Data BPS memang dapat menyajikan jumlah penduduk miskin dari tingkat nasional,
propinsi sampai kabupaten tetapi tidak mungkin menyajikan secara rinci siapa saja penduduk
8
miskin tersebut dan alamatnya dimana. Pada tataran teknis operasional ketersediaan data secara
rinci tentang siapa dan dimana penduduk miskin berada sangat diperlukan untuk memastikan
bahwa bantuan sosial yang akan diberikan memang benar-benar diterima oleh orang yang
membutuhkannya.
Untuk mengetahui lebih rinci keberadaan penduduk miskin maka perlu dilakukan bukan
sekedar survei tetapi sensus yang dapat mencacah keberadaan seluruh penduduk (miskin).
Sayangnya untuk melakukan sensus seperti itu diperlukan biaya yang sangat besar. Untuk
menjawab kebutuhan akan data kemiskinan secara lebih rinci beberapa propinsi sebenarnya telah
mencoba melakukan sensus kemiskinan. BPS telah melakukan sensus kemiskinan di tiga
propinsi yaitu di Propinsi DKI Jakarta pada tahun 2000, Jawa Timur (tahun 2001) dan
Kalimantan Selatan (1999).
Namun jika dilihat lebih jauh indikator yang yang digunakan untuk menentukan sebuah
rumah tangga termasuk kategori miskin atau tidak, bervariasi di masing-masing sensus ekonomi
tersebut. Sensus kemiskinan di DKI Jakarta misalnya, menentukan suatu rumah tangga
dikategorikan sebagai rumah tangga miskin apabila memiliki minimal 3 ciri/variable dari 7
variabel kiemiskinan rumah tangga yaitu:
1. Luas lantai hunian kurang dari 8 m2 per anggauta rumah tangga
2. Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya
3. Fasilitas air bersih: tidak ada
4. Fasilitas jamban/WC: tidak ada jamban dan/atau WC umum
5. Kepemilikan aset (kursi tamu): tidak tersedia
6. Konsumsi lauk pauk dalam seminggu: tidak bervariasi
7. Kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel dalam setahun untuk setiap anggota rumah
tangga: tidak ada
Sensus kemiskinan di Jawa Timur menggunakan 11 variabel dimana setiap variabelnya
dibagi menjadi 3 kategori yaitu skor 1 yang menggambarkan riil ekonomi yang cenderung tidak
miskin, skor 2 cenderung miskin dan skor 3 sangat miskin. Sementara di Kalimantan Selatan
menggunakan 5 variabel yaitu kelompok pendapatan per kapita, pola makanan, pakaian,
perumahan (luas lantai, jenis lantai, jenis atap dan kakus) dan fasilitas TV.
Bervariasinya indikator/variabel tersebut tentunya perlu dikaji ulang untuk dapat
digunakan sebagai acuan ketika daerah-daerah lain juga akan melakukan sensus kemiskinan.
Perlu ditetapkan secara standar tentang indikator-indikator yang dipakai.
Idealnya masing-masing daerah memang dapat menyelenggarakan sensus kemiskinan sehingga
dapat diperoleh data tentang penduduk miskin secara lebih rinci yang dapat digunakan sebagai
pedoman dalam memberikan bantuan sosial.
b.
Data Kemiskinan Meneg Kependudukan/BKKBN
Disamping data kemiskinan dari BPS (Badan Pusat Statistik) ada pula data kemiskinan
yang dikumpulkan dan dikembangkan oleh Meneg Kependudukan/BKKBN. Meneg
Kependudukan/BKKBN mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang
tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak
mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya.
Berbeda dengan BPS yang dalam pengukurannya menggunakan pendekatan rumah
tangga (household), BKKBN menggunakan pendekatan keluarga (family). Konsep yang
dikemukakan oleh BKKBN adalah konsep keluarga sejahtera. Keluarga sejahtera adalah keluarga
9
yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan
yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan (Undang-undang No 10 tahun 1992).
Untuk mengukur keberadaan keluarga menurut tingkat kesejahteraannya telah
dikembangkan 23 indikator operasional yang menggambarkan tingkat pemenuhan kebutuhan
dasar keluarga, kebutuhan sosial-psikologis dan kebutuhan pengembangan. Tahap Keluarga
menurut tingkat kesejahteraannya adalah sebagai berikut.
1. Keluarga Pra Sejahtera, yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya (basic-needs) secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, dan kesehatan.
2. Keluarga Sejahtera 1, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis,
seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan
lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
3. Keluarga Sejahtera 2, yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial- psikologisnya, tetapi
belum dapat memenuhi kebutuhan pengembanganya, seperti kebutuhan untuk
menabung dan memperoleh informasi.
4. Keluarga Sejahtera 3, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh
kebutuhan dasar, sosial-psikologis, dan pengembangan keluarganya, tetapi belum dapat
memberi sumbangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan materi, dan
berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
5. Keluarga Sejahtera 3 Plus, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh
kebutuhan dasar, sosial-psikologis dan pengembanganya serta telah dapat memberikan
sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan
Menurut konsep BKKBN sebuah keluarga disebut miskin atau kurang sejahtera apabila
masuk kategori Pra Sejahtera dan Sejahtera 1. Adapun indikator – indikator yang dipakai untuk
mengukurnya adalah sebagai berikut:
1.
Pra Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan dan
keluarga berencana. Secara operasional mereka tampak dalam ketidakmampuan untuk
memenuhi salah satu indikator sebagai berikut:
a. Menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya;
b. Makan minimal 2 kali per hari;
c. Pakaian lebih dari satu pasang;
d. Sebagian besar lantai rumahnya tidak dari tanah; dan
e. Jika sakit dibawa ke sarana kesehatan;
2.
Keluarga Sejahtera I, adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis
seperti kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan
tempat tinggal dan transportasi. Secara operasional mereka tampak tidak mampu
memenuhi salah satu dari indikator sebagai berikut:
a. Menjalankan ibadah secara teratur;
b. Minimal seminggu sekali makan daging/telur/ikan;
c. Minimal memiliki baju baru sekali dalam setahun;
d. Luas lantai rumah rata2 8 M persegi per anggota keluarga;
e. Tidak ada anggota keluarga yang berusia 10-60 tahun yang buta huruf latin;
10
f. Semua anak berusia 5 s.d 15 tahun bersekolah;
g. Salah satu anggota keluarga memiliki penghasilan tetap; dan
h. Dalam 3 bulan terakhir tidak sakit dan masih dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik.
Dengan konsep seperti itu BKKBN melakukan pendataan keluarga setiap tahun sejak
tahun 1994. Pendataan dilakukan di setiap desa melalui “sensus”, bukan survei dengan sampel.
Data tersebut dikumpulkan utamanya oleh para relawan di tingkat desa dengan
melibatkan para petugas PLKB dan aparat desa. Menurut BKKBN, pendataan dilakukan
bersama masyarakat agar masyarakat yang bersangkutan dapat mengenali masalahnya menurut
persepsi masyarakat sekitarnya. Sehingga mereka dapat mempergunakan hasil-hasilnya sebagai
peta kerja untuk menggalang dukungan masyarakat dan untuk mengatasi masalahnya sendiri
secara mandiri.
Dengan konsep dan cara pendataan yang bersifat subyektif sesuai persepsi masyarakat
setempat maka BKKBN mengakui bahwa angka-angka yang dihasilkan dari pendataan keluarga
sejahtera tidak dapat dan tidak boleh dibandingkan dengan angka penduduk dibawah garis
kemiskinan, karena Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga sejahtera 1 itu diukur dengan indikator
yang terjemahan operasionalnya didasarkan atas dasar persepsi masyarakat setempat.
2.3.
Perbandingan Data Kemiskinan
Dengan adanya dua jenis data kemiskinan sebagaimana diuraikan diatas kemudian timbul
pertanyaan tentang data manakah yang sebaiknya dipakai dalam pengelolaan kebijakan tentang
penduduk miskin, apakah data dari BPS atau data dari BKKBN.
Data yang dikeluarkan oleh kedua instansi tersebut memiliki banyak perbedaan baik dari
segi konsep, indikator pengukurannya, jenis datanya, cakupannya, manajemen datanya, unit
observasi, waktu pengambilan dan penghitungannya.
Konsep dan pendekatan. Dari segi konsep dan pendekatannya data kemiskinan yang
dikumpulkan oleh BPS berbeda dengan data kemiskinan yang dibuat oleh BKKBN. Data
kemiskinan yang dikumpulkan oleh BPS, sebagaimana dijelaskan diatas, menggunakan
pendekatan basic needs dimana seseorang disebut miskin apabila tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya yang kebutuhan dasar tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu kebutuhan
pangan dan non pangan (pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dsb). Secara konsep
BKKBN juga menggunakan pendekatan basic needs hanya dalam merumuskan basic needs tersebut
memasukkan aspek spiritual.
Indikator dan Komoditas Yang Diukur. Perbedaan yang paling mendasar antara data dari BPS
dan BKKBN adalah didalam menentukan indikator untuk menentukan kebutuhan dasar dan
komoditas yang diukur. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa pada data BPS kebutuhan
dasar, baik pangan maupun non pangan, diukur melalui sebuah bundel (kelompok) komoditas
yang jenis-jenis komoditas tersebut ditentukan secara spesifik sesuai hasil survei... Sedang pada
data BKKBN tidak ditentukan jenis dan jumlah komoditasnya melainkan ditentukan secara
subyektif dengan kalimat “makan minimal 2 kali per hari” tanpa merinci jenis makanan apa yang
dimakan. Kalaupun menentukan jenisnya dirumuskan dalam kalimat “minimal seminggu sekali
makan daging/telur/ikan”. Indikator untuk mengukur aspek spiritual juga tidak jelas karena
hanya dirumuskan dengan “menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya” atau “menjalankan
11
ibadah secara teratur”. Tidak dirinci ibadah yang mana, padahal pengertian ibadah sendiri
memiliki makna yang luas. Dari sini terlihat bahwa dalam hal indikator dan komoditas yang
diukur, data dari BPS lebih jelas dan obyektif dari pada data BKKBN.
Cara Penghitungan. Pada data BPS penghitungan dilakukan secara obyektif dengan menentukan
nilai moneter atas sejumlah komoditas yang telah ditentukan. Dengan demikian data yang
diperoleh adalah data continues atas nilai moneter dari komoditas yang diukur. Sedang pada data
BKKBN penghitungannya bersifat kategorik atas sejumlah indikator yang bersifat “subyektif”
dan tidak dilakukan kuantifikasi secara moneter atas sejumlah indikator yang ditentukan.
Metode. Data BPS dikumpulkan melalui survei (SUSENAS, survei sosial ekonomi nasional)
dengan mengambil sejumlah sampel rumah tangga. Sejak 1993 jumlah sampel yang diambil
hanya sebanyak 65.000 rumah tangga (dari sekitar 40an juta rumah tangga di Indonesia) untuk
seluruh propinsi di Indonesia. Sedangkan data BKKBN dikumpulkan melalui “sensus” di
‘seluruh’ desa/kelurahan di Indonesia. Masing-masing desa melakukan pendataan keluarga
sejahtera. Dilihat dari sisi ini data BKKBN lebih banyak dan lebih rinci karena dapat tersedia di
masing-masing desa/kelurahan. Jika petugas di tingkat desa aktif maka tidak mengalami
kesulitan untuk mengetahui keluarga yang masuk kategori miskin. Sedangkan data dari BPS
karena hanya diambil dari sejumlah sampel maka tidak dapat merinci sampai ke tingkat
kecamatan apalagi desa.
Cakupan Wilayah. Karena mengambil dari sejumlah sampel yang relatif masih kecil maka data
penduduk miskin dari BPS tidak bisa tersedia per kecamatan apalagi desa. Kalaupun tersedia per
kabupaten tetapi tidak dirinci nama dan alamat masing-masing penduduk miskin karena jumlah
tersebut diperoleh dari generalisasi penghitungan statistik. Sedang data BKKBN dapat tersedia
secara rinci tentang nama dan alamat keluarga miskin sampai ke tingkat desa.
Pengorganisasi Data. Pengumpulan data BPS dilakukan secara periodik sesuai pelaksanaan
SUSENAS yaitu 3 tahun sekali. Dikumpulkan oleh tenaga-tenaga surveyor yang terlatih.
Sedangkan data BKKBN dikumpulkan setiap tahun oleh tenaga-tenaga sukarelawan (utamanya
PLKB dan aparat desa) di tingkat desa. Pengkategorian keluarga miskin dilakukan sesuai dengan
persepsi petugas pengumpul data.
Unit Observasi. Unit observasi dari data BPS adalah rumah tangga (household, yaitu diukur dari
kesamaan tempat tinggal satu dapur), sedang unit observasi data BKKBN adalah keluarga (family,
yaitu diukur dari garis keturunan) (Tabel 2.1).
Tabel 2.1.
Aspek Pengumpulan Data Kemiskinan menurut Sumber Data
ASPEK
DATA BPS
DATA BKKBN
Metode
Survei --> SUSENAS
Sensus
Cakupan Wilayah
Hanya bisa dibreakdown sd
Kabupaten/Kota
Tersedia sampai desa
Manajemen data
Tertata (managed) secara baik
di tingkat pusat
Kurang tertata (unmanaged)
Waktu
Dilakukan secara periodik 3
tahun sekali
Dilakukan secara periodik setiap
1 tahun sekali
Unit observasi
Rumah tangga
Keluarga
Pendekatan
Basic needs --> ekonomis
Mencakup non ekonomis
12
Penghitungan
Secara kuantitatif --> melalui
harga komoditas
Secara kualitatif
Komoditas yg
diukur
Komoditas makanan dan non
makanan dalam suatu bundel
Tidak disebutkan secara spesifik
Indikator
Lebih obyektif
Baik untuk perencanaan &
analisis
Lebih subyektif
Baik untuk pelaksanaan di
lapangan
Kegunaan
Dari perbandingan atas beberapa aspek diatas dapat disimpulkan bahwa dari sisi konsep
pengukuran, pendekatan, penetapan indikator, penghitungan dan pengorganisasian data tampak
data penduduk miskin yang dikumpulkan oleh BPS lebih baik dibanding dengan data penduduk
(keluarga) miskin yang dikumpulkan oleh BKKBN. Kelebihan utama dari data BKKBN adalah
karena data tersebut dapat tersedia secara rinci sampai ke tingkat desa sehingga memudahkan
bagi para pelaksana program untuk menggunakannya. Sedang data dari BPS karena hanya
diambil dari sejumlah sampel maka tidak tersedia secara rinci sampai ke tingkat desa.
Dengan perbandingan seperti itu maka bisa dikatakan bahwa untuk keperluan
perencanaan (apalagi perencanaan di tingkat nasional) data penduduk miskin yang dihasilkan
BPS mungkin lebih baik untuk digunakan. Tetapi untuk keperluan implementasi program
bantuan sosial yang memerlukan data rinci siapa dan dimana penduduk miskin, data BKKBN
memiliki keunggulan untuk dipakai.
2.4.
Jumlah dan Persebaran Penduduk Miskin
Data penduduk miskin yang tersedia dengan baik dari waktu ke waktu termasuk
proyeksinya ke depan adalah data penduduk miskin yang disediakan oleh BPS. Data tersebut
tersedia sejak tahun 1976 hingga estimasi sampai tahun 2003. Estimasi dari tahun ke tahun
tersebut dimungkinkan karena data BPS mengacu pada nilai moneter atas sejumlah komoditas
yang menentukan batas miskin (poverty line). Dengan demikian estimasi jumlah penduduk miskin
diluar tahun survei (SUSENAS dilakukan 3 tahun sekali) dimungkinkan dengan meng-inflate
garis kemiskinan tahun sebelumnya sesuai tingkat inflasi yang berlaku pada tahun tersebut.
Misalnya, estimasi garis kemiskinan tahun 2000 diperkirakan dengan meng-inflate garis
kemiskinan tahun 1999 dengan tingkat inflasi periode Februari 1999-Februari 2000. Estimasi
garis kemiskinan tahun 2001 diperkirakan dengan menginflate garis kemiskinan tahun 1999
dengan tingkat inflasi periode Februari 1999-Februari 20011.
Data BPS menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2003
sebanyak 37,3 juta jiwa atau sekitar 17,4 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Jumlah
tersebut jauh lebih kecil dibanding dengan jumlah pada awal-awal terjadinya krisis (1998/1999).
Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 49,5 juta atau sekitar 24,2
persen dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun itu.
Penurunan yang cukup drastis mencapai 12,2 juta jiwa selama lima tahun belakangan ini
(dari 49,5 juta pada tahun 1999 menjadi 37,3 juta pada tahun 2003) tentunya merupakan suatu
hal yang sangat positip. Bisa jadi penurunan jumlah penduduk miskin tersebut merupakan hasil
dari program bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah kepada penduduk miskin melalui
program JPS (Jaring Pengaman Sosial) atau program-program lainnya. Makin pulihnya
1
BPS, Statistik Indonesia 2003, Jakarta, BPS, pp. 580-581.
13
perekonomian Indonesia yang pertumbuhannya mulai positip juga merupakan faktor lain yang
mempengaruhi penurunan jumlah penduduk miskin.
Dari 37,3 juta penduduk miskin pada tahun 2003 separuh lebih (57,6 persen) tinggal di
Pulau Jawa dan Bali, sisanya baru tinggal di pulau-pulau lain. Banyaknya penduduk miskin yang
tinggal di Pulau Jawa dan Bali tersebut sesuai dengan proporsi jumlah penduduk secara
keseluruhan yang sebagian besar (60,8 persen) memang tinggal di pulau tersebut. Demikian pula
jika dilihat antara daerah perdesaan dan perkotaan, jumlah penduduk miskin yang ada di
Indonesia sebagian besar (67,2 persen) tinggal di perdesaan. Sisanya (32,8 persen) tinggal di
perkotaan. Hal itu sesuai dengan proporsi jumlah penduduk secara keseluruhan yang sebagian
besar tinggal di perdesaan dibanding dengan di perkotaan. Dengan demikian maka terdapat
sekitar 37,3 juta jiwa yang perlu diperhitungkan dalam menentukan berbagai program bantuan
sosial. Jumlah penduduk miskin sebesar itu merupakan suatu tantangan besar bagi pelaksanaan
program perlindungan sosial (baik bantuan sosial maupun jaminan sosial).
Tabel 2.2.
Data Kemiskinan BPS: jumlah sampel, batas cakupan kalori, jumlah komoditas makanan dan
non-makanan, GKM, GKNM, GK, menurut tahun penyelenggaraan SUSENAS
Data
Jumlah Sampel (RT)
Cakupan Wilayah
1990
Susenas
49,000
Seluruh
Propinsi
2,100
tdk dirinci
1993
Susenas
65,000
Seluruh
Propinsi
2,100
52
1996
Susenas
65,000
Seluruh
Propinsi
2,100
52
41 (D), 43
(K)
Batas kecukupan kalori
Jumlah Komoditas Makanan
Jumlah Komoditas Non
12 (D), 14 (K)
46
Makanan
GKM
- Desa
12,617
15,576
23,197
- Kota
17,520
23,303
29,681
GKNM
- Desa
678
2,668
4,216
- Kota
3,094
4,602
8,565
GK
- Desa
13,295
18,244
27,413
- Kota
20,614
27,905
38,246
Susenas tipe 1998 = Survei Dampak Krisis Pada Pengangguran dan Kemiskinan 1998
1998
Susenas*
10,000
Seluruh
Propinsi
2,100
52
25 (D), 27
(K)
56,745
71,058
16,035
25,901
72,780
96,959
14
Tabel 2.3.
Jenis Komoditas Yang Dijadikan sebagai Penentu Garis Kemiskinan
MAKANAN
Beras
Beras ketan
Jagung pipilan
Tepung terigu
Ketela pohon
Ketela rambat
Gaplek
Tepung gaplek
Tongkol/tuna
Tempe
Mangga
Salak
Pisang ambon
Pepaya
Minyak kelapa
Kelapa
Gula pasir
Gula merah
Kembung
Teri
Bandeng
Daging sapi
Daging babi
Daging ayam ras
Daging ayam kampung
Rokok
Tetelan
Telur ayam ras
Telur itik
Susu kental manis
Susu bubuk
Bayam
Buncis
Kacang panjang
Tomat sayur
Daun ketela
pohon
Nangka
Bawang merah
Cabe merah
Cabe rawit
Kacang tanah
Tahu
Kue kering/basah
NON MAKANAN
Perumahan
Listrik
Air
Minyak tanah
Kayu bakar
Obat nyamuk, korek api
Perlengkapan mandi
Barang kecantikan
Pendidikan
Pos
Pengangkutan
Foto
Pakaian jadi
Alas kaki
Sabun cuci
Handuk
Perawatan kulit
Kesehatan
Perkakas RT
Alat dapur
Tas
Pajak
Perayaan hari raya
Teh
Kopi bubuk
Garam
Kemiri
Terasi
Kerupuk
Mie instan
Roti manis
15
BAB III
KAJI ULANG (REVIEW) KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG
BANTUAN SOSIAL BAGI PENDUDUK MISKIN
Tulisan pada bagian ini lebih merupakan review sekilas tentang kebijakan untuk penduduk
miskin berdasarkan beberapa hasil studi yang ada. Analisis mendalam tentang kebijakan masingmasing instansi tidak dilakukan mengingat beberapa keterbatasan.
Ada sejumlah pertanyaan pokok yang mendasari tulisan bagian ini, diantaranya adalah:
 Kebijakan perlindungan sosial apa saja yang telah diberikan kepada penduduk miskin?
 Bagaimana kebijakan itu dilaksanakan?
 Berapa dana yang sudah dikeluarkan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut?
 Sejauh mana efektifitas bantuan sosial tersebut?
 Adakah tumpang tindih program dalam pelaksanaannya?
 Adakah tumpang tindih sasaran dalam pelaksanaannya?
 Adakah alternatif lain yang lebih efektif dan efisien?
Karena beberapa keterbatasan yang ada tidak semua pertanyaan dapat dijawab dalam
tulisan ini. Uraian berikut hanya memberikan gambaran awal dalam menjawab beberapa
pertanyaan pokok diatas.
3.1.
Kebijakan Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Indonesia masih menghadapi masalah
kemiskinan yang cukup serius antara lain dilihat dari masih besarnya jumlah penduduk miskin.
Besarnya jumlah penduduk miskin tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan berbagai
kebijakan yang terkait dengan penduduk miskin.
Kebijakan tentang penduduk miskin selama ini dilaksanakan secara sektoral sesuai
administrasi pemerintahan yang berlaku. Program kebijakan tentang penduduk miskin tersebut
tidak saja dilakukan oleh satu dua instansi (sektor) tetapi melibatkan banyak instansi (sektor).
Beberapa sektor yang selama ini terkait dengan kebijakan terhadap penduduk miskin
utamanya adalah sektor kesehatan, sektor pendidikan dan sektor pangan (BULOG). Disamping
ketiga sektor tersebut ada beberapa sektor lain yang juga melakukan kebijakan bagi penduduk
miskin yaitu sektor ketenagakerjaan, sektor kependudukan, sektor koperasi dan UKM serta
sektor pertanian. Masing-masing instansi merinci kegiatan apa saja yang dapat dilakukan
berkaitan dengan upaya pengurangan penduduk miskin.
Dana yang digunakan untuk program bagi penduduk miskin juga demikian besar,
mencapai belasan trilyun rupiah setiap tahunnya. Untuk tahun anggaran 2002-2004 anggaran
yang dikeluarkan program pengentasan kemiskinan berkisar antara 12,8 trilyun sampai 18,8
trilyun rupiah per tahun, yang dana tersebut tersebar ke berbagai sektor. Jika dibanding dengan
total anggaran tahun 2004 maka pengeluaran untuk penduduk miskin mencapai 5 % dari total
anggaran yang ada.
16
Tabel 3.1.
Pengeluaran Pemerintah dalam Program Bantuan Sosial Bagi Penduduk
Miskin (juta Rp)
Lembaga
Badan Urusan Logistik (BULOG)
Departemen Kesehatan
Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Kimpraswil
Departemen Sosial
BAPPENAS
Departemen Dalam Negeri
Departemen Kelautan dan
Perikanan
BKKBN
Departemen Koperasi & UKM
Departemen Pertanian
Departemen Nakertrans
Departemen Perindustrian dan
Perdagangan
Kementrian Pemberdayaan
Perempuan
Badan Pusat Statistik
Badan Pertanahan Nasional
Total
2002
4.696.850,0
1.219.739,0
2.331.833,0
3.115.477,0
1.109.370,0
425.000,0
1.144.874,0
98.225,0
2003
4.830.778,0
1.878.825,0
2.269.572,0
1.502.453,0
844.761,1
355.129,5
329.214,0
208.560,0
2004
5.487.800,0
2.503.843,0
3.401.274,0
2.081.383,0
1.469.250,0
n.a
2.023.510,0
280.544,0
1.370.833,0
290.040,0
61.096,0
593.284,0
43.909,0
156.299,0
153.960,5
109.132,0
100.000,0
5.921,7
500.000,0
13.421,0
157.619,0
805.350,0
Tad
4.000,0
1.876,0
2.866,0
7.088,0
29.702,0
16.541.320,0
294,0
31.625,0
12.778.400,8
1.164,1
30.760,0
18.758.784,
1
Sumber:
Bappenas, Sustainable Social ProtectionTechnical Assistance, Inception Report, Jakarta, Maret
2004, p.42
Dari Tabel 3.1 tersebut tampak bahwa sektor yang paling banyak menyerap dana
pengentasan kemiskinan adalah sektor pangan (utamanya yang dikelola oleh Bulog), pendidikan
dan kesehatan. Ketiga sektor tersebut meyerap dana hingga 50-70 persen dari total anggaran
yang diberikan untuk penduduk miskin.
Untuk melihat lebih lanjut tentang apa saja yang dilakukan oleh masing-masing instansi
berkaitan dengan program kebijakan bagi penduduk miskin maka berikut ini akan diuraikan
secara sekilas tentang program kegiatan beberapa instansi yaitu Departemen Kesehatan,
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Sosial.
3.2.
Kebijakan Sektoral terhadap Penduduk Miskin
3.2.a. Departemen Kesehatan
Kebijakan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin sudah sejak lama diterapkan di
Indonesia. Bentuk kebijakan pemeliharaan kesehatan khusus bagi penduduk miskin dilakukan
melalui berbagai program kegiatan. Gani et al (2004) mengidentifikasi beberapa kebijakan
pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin antara lain sebagai berikut:
17
a. Program Kartu Sehat. Yaitu pelayanan kesehatan secara gratis yang ditujukan bagi
penduduk miskin dengan cara membawa surat miskin dari RT/RW dan desa serta
pembagian kartu sehat.
b. Inpres Obat dan Inpres Samijaga, yaitu bantuan biaya yang diberikan kepada fasilitas
kesehatan yang khusus digunakan pembelian obat-obatan dan bahan medis guna
pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin.
c. Kebijakan Tarif Rumah Sakit Umum dan Puskesmas. Yaitu kebijakan yang mengontrol
besarnya tarif pelayanan kesehatan milik pemerintah (Rumah Sakit Umum dan
Puskesmas) dengan mempertimbangkan aspek keterjangkauan dan subsidi silang bagi
pendduk miskin. Tarif sebesar Rp 500 – Rp 1.000 untuk rawat jalan Puskesmas dan Rp
2.000 – Rp 5.000 untuk rawat inap kelas III di Rumah Sakit Umum (RSU) juga
membantu penduduk yang kemampuannya terbatas, termasuk penduduk miskin.
d. Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), yaitu pemberian
suplemen gizi bagi anak sekolah yang berada di daerah miskin.
Kebijakan yang lebih sistematis dan berskala nasional dalam pelayanan kesehatan bagi
penduduk miskin adalah melalui program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK)
sejak 1998. Program JPS-BK meliputi :
1. Pelayanan pengobatan di Puskesmas;
2. Suplementasi bahan makanan yang didistribusikan melalui Puskesmas;
3. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan persalinan oleh bidan di desa;
4. Pelayanan rujukan di RSU; dan
5. Subsidi premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
Pada tahun 2003, pemerintah juga menyediakan biaya untuk rujukan ke rumah sakit (RS)
bagi penduduk miskin. Dana ini berasal dari pemotongan subsidi bahan bakar minyak (BBM)
dan disebut Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPD-PSE) dan
kemudian diubah namanya menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar
Minyak (PKPS-BBM). Dana PPD-PSE langsung diberikan kepada RSU. Baik JPS-BK dan PPDPSE adalah contoh supply side approach dalam memberikan subsidi bagi penduduk miskin.
Penyaluran dana JPS-BK dilakukan melalui kiriman langsung ke Puskesmas dan Bidan di
desa dengan alokasi sebesar Rp 10.000 per keluarga miskin per tahun. Puskesmas dapat
menggunakan dana ini untuk kebutuhan operasional Puskesmas seperti pengadaan obat,
menyediakan obat khusus, dan keperluan operasional lainnya tetapi bukan untuk membayar jasa
pelaksana.
Dana JPS-BK untuk RS tahun 1998/1999 disalurkan melalui DIP OPRS yang terdiri dari
DIP Murni dan DIP Suplemen. Pada tahun anggaran 1999/2000, dana JPS-BK disalurkan
melalui DIP Pengembangan Rumah Sakit Vertikal atau DIP Peningkatan Pelayanan Rujukan
dan Rumah Sakit. Pada tahun 2002, dana disalurkan langsung ke rekening direktur rumah sakit.
Alokasi dana seluruh rumah sakit di Indonesia pada akhir 2001 (PPD-PSE Bidang Kesehatan)
sebesar Rp 550 milyar. Untuk periode Juli 2002 sampai Desember 2002 jumlahnya adalah Rp
326 milyar. Dana untuk RS juga tidak boleh digunakan untuk jasa medik, tetapi dapat digunakan
untuk pengadaan obat, alat tulis kantor (ATK) dan bahan habis pakai lainnya.
Pelayanan gizi berupa pemberian makanan tambahan (PMT) disalurkan dengan
beberapa cara yaitu pemberian uang kepada keluarga miskin (gakin), meski tidak dianjurkan
dalam pedoman JPS-BK, penyaluran bahan makanan oleh BDD atau kader kesehatan,
pemberian makanan olahan (dimasak setempat) atau blended food. Cakupan dari pelayanan gizi
dibandingkan dengan target jumlah gakin masih belum memadai. Cakupan untuk anak umur 6-
18
11 bulan baru mencapai 72 persen, untuk anak usia 12-23 bulan mencapai 75 persen, untuk usia
24-59 bulan baru mencapai 29,4 persen, dan untuk ibu hamil dan ibu pada masa nifas baru
mencapai 70,1 persen. Selain cakupan yang belum memenuhi harapan, kualitas dan jumlah
makanan yang diberikan masih jauh dari kebutuhan minimum untuk hidup sehat.
Jumlah dana JPS-BK yang telah dikeluarkan tahun 1998/1999 adalah Rp 737,04 milyar
dan 1999/2000 sebesar Rp 466,5 milyar (Sekretariat JPS-BK, 2002). Jika jumlah penduduk
miskin adalah 48 juta orang, maka besar biaya per kapita per tahun untuk penduduk miskin
adalah Rp 15.355. Jumlah tersebut merupakan jumlah sangat tidak memadai. Pada tahun 2003
ini pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 11,5 triliun. Namun
demikian, sebesar Rp 8,65 triliun digunakan untuk membayar defisit anggaran serta
pembangunan sarana dan prasarana. Hanya Rp 4,35 triliun digunakan kompensasi untuk 8
sektor: pangan, kesehatan, sosial, air bersih, pendidikan, transportasi, UKM, dan usaha nelayan.
Dari jumlah itu, Rp 950 milyar dialokasikan untuk kesehatan. Sebagian dana digunakan untuk
program rutin seperti imunisasi dan revitalisasi Posyandu. Jumlah dana kesehatan yang tersedia
untuk penduduk pada tahun 2003 hanya sekitar Rp 20.000 per kapita per tahun. Jumlah tersebut
juga sangat tidak memadai untuk membiayai kesehatan penduduk miskin.
Disamping kebijakan sebagaimana dikemukakan Gani et al (2004) tersebut ada juga
program kebijakan lain yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan. Tim Technical Assistance
Sustainable Social Protection mengidentifikasi sejumlah program kebijakan kesehatan dalam rangka
perlindungan sosial bagi penduduk miskin yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan sebagai
berikut:
Tabel 3.2.
Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan Departemen Kesehatan, 2004
N
o
Program
A
DEPKES
1
Health environment, health behaviour
& community empowerment
Improvement on contagious disease
2 combating health services
(vaccine,immunization)
3
Compensation program in fuel subsidy
cut (PKPS-BBM) of 2004
4 Improvement in health service
5
Health service to refugee and victims of
natural disaster
6 Community nutrition improvement
Food medicine and dangerous
7 goods.Procurement of essential generic
medicines (buffer stock)
Dana
(juta
Rp)
Institusi
Targets &
Beneficiaries
195,801 Ditjen PPM-PL
Poor residents rehabilitation
on health environment &
clean water
945,575 Ditjen PPM-PL
Poor residents
35,000 Ditjen PPM-PL
Sekjen, Ditjen
1,000,00
Binkesmas,
0
Ditjen Yanmed
Sekjen, Ditjen
150,000 Binkesmas,
Ditjen Yanmed
172,967
Ditjen
Binkesmas
Ditjen
4,500 Pelayanan
Farmasi
Expansion-based
immunization injection.All
babies of poor households
provision hepatitis B
Vaccine Uninject
Poor household
Refugee & victims of natural
disaster
PMT for babies (6-11
month), PMT for toddlers,
Bumil KEK
Poor household
19
Sumber:
Bappenas, Sustainable Social Protection Technical Assistance, Inception Report March 2004, Bappenas
2004, Apendix 5, pp, 5-1 – 5-8
Tabel 3.2 di atas memperlihatkan bahwa hampir semua Direktorat Jenderal yang ada di
Departemen Kesehatan memiliki program kebijakan yang ditujukan bagi penduduk miskin.
Ditjen PPM-PL misalnya melakukan program imunisasi dan perbaikan kesehatan lingkungan
kepada penduduk miskin dan lingkungan tempat tinggalnya. Ditjen Binkesmas dan Ditjen
Yanmedis melakukan program peningkatan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan
bagi pengungsi dan korban bencana alam.
Program kebijakan tersebut meskipun ditujukan bagi penduduk miskin tetapi dikemas
dan dikelola oleh pemerintah yang lebih bersifat supply side. Kebijakan yang lebih bersifat supply
side seperti itu tentu perlu diuji lebih lanjut tentang tingkat efektifitasnya dalam mengurangi
permasalahan penduduk miskin. Jika dana yang tersedia digunakan untuk program kebijakan
yang bersifat demand side (targeting approach) dimana program tersebut diwujudkan berdasarkan
kebutuhan riil penduduk miskin bisa jadi apa yang dilakukan selama ini akan berbeda baik
dalam konteks jenis kebijakan maupun skalanya.
3.2.b. Departemen Pendidikan Nasional
Sebagaimana tampak pada Tabel 3.1 diatas bahwa Departemen Pendidikan Nasional
merupakan instansi yang menyerap dana cukup besar dalam kaitan dengan perlindungan sosial
bagi penduduk miskin. Untuk tahun anggaran 2004 saja dana yang dikelola Departemen
Pendidikan Nasional bagi penduduk miskin mencapai Rp 3,4 trilyun, kedua terbesar setelah
BULOG.
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Tim Sustainable Social Protection Bappenas,
dana sebesar itu antara lain digunakan untuk mengelola berbagai program kebijakan sebagai
berikut:
Tabel 3.3.
Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan DEPARTEMEN
PENDIDIKAN NASIONAL, 2004
N
o
Program
B
DEPDIKNAS
Pemberian beasiswa bagi
1 siswa SD, SMP dan SMA
(Program PKPS/BBM)
2
Pemberian Dana Bantuan
Operasional
3
Program pemberantasan buta
huruf
4 Wajib Belajar 9 tahun
5
Kelompok Belajar Usaha
(KBU)
Funding
(million
Rp)
Intitution
Ditjen
1,301,805
Dikdasmen
376,288
Ditjen
Dikdasmen
Ditjen
Dikdasmen
Ditjen
48,065
PLS&Olahraga
Ditjen
230,926
PLS&Olahraga
Targets &
Beneficiaries
Siswa SD (5,75
juta), SMP (1,75
jt), SMA (600
rb)
Sekolah SD
(104.587), SMP
(18.281),SMA
(9.399)
Poor residents
group
Poor residents
group
0
20
PKBM (Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat)
Beasiswa untuk BKM PKPS
7
BBM
Bantuan dana bagi guru
8
(BKG) -PKPS BBM
6
15,000
Ditjen
PLS&Olahraga
96,700 Ditjen Bagais
402,891 Ditjen Bagais
600 PKBM
Siswa
Guru
Dari Tabel 3.3 tersebut tampak bahwa dana perlindungan sosial bagi penduduk miskin
yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional sebagian besar dikelola oleh Ditjen
Dikdasmen yang utamanya ditujukan untuk pemberian beasiswa bagi siswa SD, SMP dan SMA
dari keluarga miskin.
Seperti halnya instansi lain, Departemen Pendidikan Nasional juga mengelola Program
Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang khusus di bidang pendidikan. Program JPS bidang
pendidikan meliputi 2 target sub-program, yaitu : pertama, program pemberian beasiswa untuk
siswa di tingkat SD, SLTP dan SMU; kedua, program DBO (Dana Bantuan Operasional) untuk
membiayai kebutuhan operasional sekolah untuk tingkat SD, SLTP dan SMU.
Program Beasiswa
Selama krisis ekonomi berlangsung, program JPS - beasiswa dapat menjadi suatu
mekanisme untuk membantu agar siswa tidak putus sekolah. Dengan bantuan beasiswa ini
diharapkan mereka mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Terutama untuk siswa perempuan, program ini diharapkan dapat
membantu siswa menyelesaikan pendidikannya paling tidak sampai tingkat SLTP. Penerima
beasiswa dalam program ini diharuskan memenuhi 3 kriteria yaitu:
1. Siswa yang tergolong rawan putus sekolah, atau baru saja keluar dari sekolah
setahun yang lalu karena alasan ekonomi;
2. Siswa SD yang duduk di kelas 4, 5 atau 6; Siswa SLTP/SMU untuk semua
tingkatan kelas; dan
3. Pada saat ini siswa tersebut tidak menerima beasiswa dari program lain.
Beasiswa untuk tahun ajaran 1999/2000, diberikan langsung kepada siswa yang terpilih
sebagai penerima beasiswa dalam 2 tahap dengan jangka waktu 6 bulan. Batas akhir pengambilan
ditentukan pada 31 Oktober 1999 untuk tahap pertama dan tahap kedua pada 31 Maret 2000.
Jumlah beasiswa per tahun adalah Rp. 120.000,- per siswa untuk siswa SD/MI/SDSL, Rp
240.000 per siswa untuk siswa SLTP/MTs/SLTPLB dan Rp 300.000 per siswa untuk siswa
SMU. Siswa yang terpilih sebagai penerima beasiswa dapat mengambil dana beasiswa dari
Kantor Pos yang sudah ditentukan di daerah masing-masing. Beasiswa yang diberikan kepada
siswa, tidak boleh dikenakan potongan apapun termasuk potongan biaya materai. Jika siswa
penerima beasiswa mengalami kesulitan dalam pengambilan dana beasiswa, maka dana beasiswa
tersebut dapat diambil secara kolektif oleh Komite Sekolah. Tetapi pengambilan beasiswa
tersebut diprioritaskan untuk pengambilan secara individu.
Dana Bantuan Operasional
DBO adalah dana bantuan yang diberikan kepada sekolah terpilih untuk meningkatkan
kemampuan sekolah dalam mengelola dan mempertahankan kualitas pelayanan terutama
berkaitan dengan peningkatan harga kebutuhan selama krisis ekonomi. Program ini juga
bertujuan untuk mendukung program wajib belajar sembilan tahun.
Sekolah yang terpilih harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu :
a. Sekolah tersebut bukan sekolah yang mahal. Sekolah yang mahal dalam hal ini adalah
bahwa sekolah tersebut tidak mempunyai siswa dari keluarga kurang mampu/miskin.
21
Klasifikasi sekolah mahal dan tidak mahal ditentukan oleh Komite Kabupaten/Kota atau
Komite Kecamatan sesuai standar daerah masing-masing.
b. Sekolah negeri maupun swasta dengan status minimal terdaftar (memiliki SK dari
instansi yang berwenang).
c. Sekolah yang dapat menjadi peserta program DBO adalah :
1. Untuk sekolah di Jawa: adalah sekolah yang mempunyai jumlah siswa
minimum 90 siswa untuk SD dan 60 siswa untuk MI dan SDLB. Untuk
Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP, MTs dan SLTP-LB) dan lanjutan Atas
(SMU, MA, SM-LB), jumlah siswa minimum adalah 50 siswa.
2. Untuk sekolah di luar Jawa: adalah sekolah yang mempunyai jumlah siswa
minimum 60 siswa untuk SD dan 50 siswa untuk MI dan SDLB. Untuk
Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP, MTs dan SLTP-LB) dan lanjutan Atas
(SMU, MA, SM-LB), jumlah siswa minimum adalah 50 siswa.
3. Ada pengecualian yaitu untuk daerah-daerah terpencil dimana jumlah siswa di
sekolah tersebut terbatas. Dalam hal ini dimungkinkan bagi dua sekolah untuk
bergabung untuk memperoleh DBO, untuk memenuhi kekurangan jumlah
minimal siswa dari salah satu sekolah tersebut.
DBO untuk tahun pelajaran 1999/2000 diberikan untuk tiap sekolah terpilih dalam 2
kali pembayaran. Jumlah DBO untuk SD sebesar Rp 2 juta per tahun, SMP sebesar Rp 4 juta
per tahun dan SMU sebesar Rp 10 juta per tahun. DBO dapat diambil oleh Kepala Sekolah
dengan persetujuan dari BP3 dan POMG di Kantor Pos yang telah ditetapkan. Penggunaan dana
ini pertama, untuk pengadaan bahan penunjang seperti buku-buku referensi untuk perpustakaan;
kedua, untuk peralatan seperti kapur tulis, buku tulis, peralatan laboratorium, dan sebagainya;
ketiga, untuk biaya perbaikan dan perawatan ringan dan keempat untuk memberi subsidi siswa
untuk biaya masuk sekolah.
Secara umum Program JPS-Pendidikan melalui pemberian beasiswa dan DBO
sebagaimana dikemukakan diatas telah berjalan dengan baik. Namun dalam pelaksanaannya
dijumpai sejumlah kekurangan yang menjadikan Program JPS-Pendidikan tersebut tidak tepat
sasaran sebagaimana dikonsepkan semula. Studi verifikasi terhadap Laporan JPS-Pendidikan
menemukan beberapa kekurangan sebagai berikut:
 Ada sejumlah siswa yang meski sudah didaftar sebagai penerima beasiswa tetapi sampai
batas waktu tertentu tidak juga menerima beasiswa. Alasan mereka tidak menerima
beasiswa bervariasi ada yang menyatakan uangnya dikelola sekolah tetapi ada juga yang
menyatakan tidak tahu bahwa dirinya menerima beasiswa.
 Beasiswa yang diberikan kepada siswa tidak selalu diberikan dalam bentuk uang tunai,
ada beberapa kepala sekolah yang melakukan kebijakan sendiri dengan memberikan
beasiswa dalam bentuk seragam, buku dan lain sebagainya. Sebagai contoh di kabupaten
Kerinci diketahui bahwa dua orang siswa SD, tidak menerima dana beasiswa karena oleh
guru dana tersebut diberikan dalam bentuk pakaian seragam sekolah lengkap dengan
topi, dasi, lambang sekolah seharga Rp 60.000,- dengan alasan siswa sering tidak masuk
sekolah karena pakaiannya belum kering (hanya punya satu stel pakaian). Hal-hal
semacam ini hendaknya menjadi bahan masukan bagi pengelola program, apakah
program beasiswa yang dilakukan dengan berbagai variasi tersebut telah tepat sasaran
atau belum.
 Hal yang lain adalah adanya keluhan dari orang tua siswa mengenai jumlah dana beasiswa
yang diberikan. Sebaiknya pada saat pembagian dana beasiswa tahap pertama dilakukan
secara terbuka, sehingga orang tua siswa mengetahui jumlah beasiswa tersebut. Cara
terbaik adalah dengan mengundang para orang tua, kepala sekolah, camat, tokoh
22
masyarakat ke kantor Pos untuk menerima dana beasiswa. Sehingga orang tua siswa tahu
jumlah yang seharusnya diterima, karena seringkali terjadi dana beasiswa dipotong untuk
transport guru yang mengambil ke kantor Pos.
 Pemilihan siswa penerima beasiswa juga harus dilakukan secara transparan, sehingga
orang tua siswa mengetahui dasar dan kriteria pemilihan penerima beasiswa tersebut.
Ada satu kasus di dimana salah satu penerima beasiswa JPS adalah anak seorang dokter.
 Jumlah beasiswa yang diterima tidak utuh. Sebuah studi menyatakan dari 219 siswa
responden yang distudi sekitar 20,1 persen menyatakan tidak menerima uang secara
utuh. Alasan mengapa tidak menerima uang beasiswa secara utuh bervariasi. Dari
responden yang menerima uang beasiswa dalam jumlah yang tidak benar, dan tahu
berapa jumlah beasiswa yang benar ada yang menyatakan karena uang beasiswa tersebut
digunakan untuk membantu membayar uang sekolah teman, untuk membayar uang
sekolah, untuk membayar meterai, untuk biaya pengurusan oleh guru dan bensin,
dibuatkan seragam sekolah dan untuk membayar infak mesjid dan uang bangunan.
 Kesalahan serupa juga terjadi pada pemberian DBO kepada sekolah-sekolah. Sebuah
studi menyatakan bahwa di lapangan dalam penyaluran DBO masih saja ditemui:
i. ada sekolah yang dilaporkan menerima DBO tetapi ketika diverifikasi menyatakan
tidak tahu bahwa sekolah tersebut menerima DBO;
ii. dari yang menerima DBO ada yang menyatakan bahwa jumlah yang diterima tidak
utuh;
iii. pemilihan sekolah penerima DBO yang kurang tepat karena tidak melibatkan
sekolah-sekolah dalam penentuannya;
iv. penggunaan dana DBO oleh sekolah yang tidak transparan, karena hanya diketahui
oleh kepala sekolah dan tidak diketahui oleh guru/staf sekolah lainnya. Sampai ada
yang menyatakan bahwa "DBO merupakan pendapatan sampingan kepala sekolah".
Adanya berbagai kritik terhadap pelaksanaan JPS-Pendidikan sebagaimana dikemukakan
diatas mengharuskan pemerintah untuk secara terus menerus memberikan informasi kepada
pihak terkait, mengevaluasi dan memperbaiki pengelolaan dana bantuan sosial yang ditujukan
kepada penduduk miskin sehingga yang menerima bantuan tersebut benar-benar penduduk
miskin yang memerlukannya.
Bantuan sosial bagi penduduk miskin sebagaimana disebutkan diatas hendaknya tidak
bersifat sementara karena adanya krisis tetapi perlu dilanjutkan secara terus menerus. Dari sisi ini
perlu ada upaya yang sungguh-sungguh agar pendidikan tingkat SD dan SLTP (sesuai dengan
program wajib belajar 9 tahun) harus benar-benar dapat dijangkau oleh penduduk miskin.
3.2.c. Departemen Sosial
Departemen Sosial merupakan departemen yang memiliki tugas khusus dalam
memberikan bantuan sosial kepada mereka yang mengalami masalah-masalah sosial. Umumnya
mereka yang mengalami masalah sosial adalah penduduk miskin. Departemen Sosial menyebut
mereka yang mengalami masalah sosial sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Adapun kelompok yang masuk kategori PMKS pada Tabel3.4 berikut.
Tabel 3.4.
Kelompok Penyandang Masalah Sosial (PMKS)
No Kelompok PMKS
1
Balita Terlantar
2
Anak Terlantar
Satuan
Jiwa
Jiwa
Total
1,140,166
2,235,594
23
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Anak Jalanan
Anak Nakal
Fakir Miskin
Rumah Tidak Layak Huni
Keluarga Bersamalah Sosial Psikologis
Masyarakat Tinggal di Daerah Rawan Bencana
Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Wanita Korban Tindak Kekerasan
Lansia Terlantar
Lansia Rawan Terlantar
Gelandangan & Pengemis (Gepeng)
Tuna Susila
Bekas Narapidana
Penyandang Cacad
Penderita Penyakit Kronis Kusta
Korban Napza
Komunitas Adat Terpencil
Korban Bencana (Pengungsi)
Korban HIV/AIDS
Pekerja Migran Terlantar
TOTAL
Jiwa
Jiwa
Rumah
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Jiwa
Rumah
87,456
193,115
5,165,056
n.a
n.a
1,034,364
3,401,279
5,285,632
67,135
n.a
n.a
1,544,644
123,000
21,302
1,212,575
806,000
2,876
n.a
17,155,138
5,165,056
Terhadap mereka Departemen Sosial telah melakukan berbagai program kegiatan yang
pada dasarnya ditujukan untuk membantu para PMKS agar terlepas atau setidaknya terkurangi
masalah yang dihadapi. Program kegiatan yang diberikan ada yang berupa bantuan berupa
barang (in-kind), bantuan usaha (melalui KUBE), penampungan (melalui panti), bimbingan,
penyuluhan dan sebagainya.
Penanganan terhadap PMKS dilakukan secara rutin dan permanen. Jika mengacu pada
data diatas terlihat bahwa masalah yang dihadapi tampak demikian besar. Setidaknya ada sekitar
17 juta jiwa yang menyandang PMKS dari berbagai kategori.
Berkaitan dengan penanganan PMKS tersebut maka program yang dilakukan oleh
Departemen Sosial adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5.
Program Kebijakan Pelindungan Sosial yang Dilakukan DEPARTEMEN SOSIAL,
2004
N
Dana
Target &
Program
Instansi
o
(Juta Rp)
Beneficiries
D
DEPSOS
Bantuan sosial bagi korban
1
bencana alam
2 Bantuan sosial bagi buruh migran
Ditjen
Perlindungan &
134,452
Penyelamatan
Sosial
14.364 rumah
tangga
Ditjen
Perlindungan &
41,698
Penyelamatan
Sosial
rumah tangga
24
3
Bantuan bagi korban kerusuhan
sosial (social disaster project)
4 Pelayanan bagi anak terlantar
5
6
7
8
9
10
11
12
Pelayanan bagi anak jalanan
Pelayanan bagi orang cacat
Pelayanan bagi tunawisma
Pelayanan bagi anak nakal
Toddlers
Bantuan bagi korban narkoba
Bantuan bagi lansia
Disabled buildup
Subsidi BBM bagi kesejahteraan
13
sosial
350,000 idem
rumah tangga
85,000
Ditjen Rehabilitasi
Sosial
70.774 anak
50,000
39,000
39,000
19,000
18,000
1,600
21,500
33,000
idem
idem
idem
idem
idem
idem
idem
idem
55.930 anak
38.841orang
5.630 orang
11.175 anak
50 toddlers
4.990 orang
16.950 lansia
5.900 anak
14,000 idem
150.000 anak
Dilihat dari sasarannya tampak bahwa program yang dikelola oleh Departemen Sosial
memang ditujukan kepada para PMKS yang umumnya termasuk kategori penduduk miskin.
Program yang langsung ke sasaran seperti itu perlu terus dilakukan. Hanya tetap perlu dikritisi
apakah bantuan sosial yang diberikan kepada para PMKS tersebut sudah benar-benar tepat
sasaran atau belum.
3.2.d. Instansi Lain
Bantuan sosial bagi penduduk miskin yang menyerap dana paling besar berkaitan dengan
Program JPS adalah program RASKIN (Beras untuk penduduk miskin) yang dikelola oleh
BULOG. Pada tahun anggaran 2004 dana yang diserap untuk program tersebut mencapai Rp 5,4
trilyun.
Besarnya dana yang terserap untuk program RASKIN atau JPS OPK Beras bisa
dipahami karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat mempertahankan
hidupnya. Akibat dari krisis ekonomi, menjadikan beban berat bagi sebuah rumah tangga untuk
dapat menyediakan kebutuhan dasar berupa beras bagi mereka. OPK-Beras –suatu program
penyediaan beras bantuan—adalah suatu mekanisme penanggulangan kurang pangan atau
mencegah kelaparan di masyarakat selama krisis ekonomi di Indonesia, khususnya keluarga
kurang mampu/miskin. Program ini telah dilaksanakan sejak 1998/1999 secara merata di
Indonesia.
Untuk perkiraan jumlah keluarga yang memenuhi syarat sebagai keluarga kurang
mampu/miskin digunakan daftar data BKKBN sebagai dasar. Dari daftar ini pejabat lokal
bersama dengan kepala desa/pamong setempat melakukan identifikasi keluarga kurang
mampu/miskin dan dibuat penyesuaian kebutuhan untuk menemukan kondisi aktual keluarga
miskin di wilayah yang bersangkutan, misalnya, bila sebuah keluarga tidak memiliki KTP tetapi
dalam kenyataanya sesuai dengan kriteria di atas, maka dianggap memenuhi persyaratan.
Pencocokan daftar ini digunakan untuk memilih penerima bantuan, dan daftar ini dapat diubah
dan direvisi setiap tiga bulan.
Penerima program OPK-Beras ini adalah keluarga yang berada di bawah kategori,
menurut BKKBN, sebagai Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Di samping daftar
keluarga seperti yang dibuat oleh BKKBN, keluarga miskin lainnya dapat menerima OPK-Beras
ini sepanjang mereka memenuhi persyaratan berikut:
25
1.
2.
3.
4.
5.
Makan kurang dari dua kali sehari
Tidak mampu membawa salah seorang anggota keluarga yang sakit ke tempat pelayanan
kesehatan
Tidak mampu mengkonsumsi protein dalam konsumsi harian paling tidak sekali dalam
seminggu
Ada anak usia sekolah yang putus sekolah sebagai akibat kesulitan ekonomi
Buruh/pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai dampak krisis
ekonomi
Bantuan beras dalam program OPK-Beras ini langgsung dibagikan kepada keluarga
kurang mampu/miskin dan tidak dibagikan melalui mekanisme pasar. Beras dibagikan dari SubDolog di setiap kabupaten/kotamadya ke wilayaah sasaran, dan dari wilayah sasaran ini
aparat/petugas resmi setempat bertanggungjawab atas dibagikannya beras tersebut ke keluarga
penerima yang terpilih. Setiap bulan setiap keluarga penerima mendapat 20 kg beras yang harus
mereka bayar dengan harga Rp.1.000 per-kg-nya.
Namun dalam Pelaksanaan Program OPK Beras banyak ditemui banyak
“penyimpangan”. Sebuah studi yang melakukan verifikasi terhadap pelaksanaan Program OPK
Beras menemukan antara lain menemukan sejumlah penyimpangan sebagai berikut:
a. Ada sejumlah responden yang masuk kriteria sebagai penerima bantuan OPK-Beras
tetapi dalam praktek tidak menerima bantuan Program OPK Beras. Dari 252 responden
yang terpilih, rupanya tidak semua mendapat bantuan beras OPK. Pada bulan Desember
1999 terdapat 19,8 persen responden yang tidak mendapat bantuan beras. Pada bulan
Januari 2000, jumlah mereka yang tidak mendapatkan beras bantuan OPK cukup besar,
yaitu menjadi 23,8 persen. Ketika ditanyakan alasan mengapa mereka tidak menerima
bantuan beras OPK, diperoleh jawaban yang sangat bervariasi. Alasan yang cukup
banyak dikemukakan adalah karena mereka ‘tidak tahu’ bahwa ada bantuan beras OPK.
Ada pula yang menyatakan ‘tidak kebagian’. Ada dua kemungkinan mengapa hal ini
dapat terjadi, pertama karena mungkin beras bantuan yang diberikan sangat terbatas
sehingga tidak semua penduduk yang kurang mampu memperoleh beras bantuan, atau
kemungkinan kedua adalah karena ‘salah’ dalam proses mendistribusikan beras bantuan
tersebut kepada penduduk kurang mampu sehingga ada sebagian responden yang tidak
kebagian beras bantuan.
b. Dari mereka yang menerima program OPK-Beras sebagian besar menerima kurang dari
ketentuan yang ada (20 kg/keluarga). Pada bulan Desember 1999 sekitar 93,1 persen
responden yang menerima jatah beras bantuan kurang dari 20 kg, dan masing-masing
hanya 3,5 persen saja responden yang menerima jatah beras yang sama dengan 20 kg dan
lebih dari 20 kg. Menurut ketentuan yang berlaku ditetapkan bahwa setiap keluarga harus
menerima jatah beras bantuan tidak lebih dari 20 kg, dan juga tidak boleh kurang dari 20
kg. Tapi kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan ketentuan yang ada. Ada banyak
alasan mengapa hal ini dapat terjadi. Pertama banyak keluarga yang tidak sanggup
membeli beras sebanyak 20 kg, karena itu berarti mereka harus mengeluarkan uang
paling tidak lebih dari Rp.20.000,- untuk 20 kg beras. Sejumlah uang itu terlalu besar bagi
masyarakat kurang mampu. Untuk itu maka rata-rata mereka hanya membeli beras
bantuan tidak lebih dari 10 kg, atau ada juga yang hanya 5 kg saja. Namun ada 16,4
persen responden pada bulan Desember 1999 yang ‘tidak tahu’ mengapa mereka
menerima jatah beras bantuan kurang dari 20 kg.
c. Sosialisasi tentang program tersebut sangat kurang. Sebuah studi menyatakan hanya 42,3
persen dari responden yang mengetahui jatah beras bantuan yang seharusnya diperoleh.
Sisanya tidak mengetahui berapa jumlah beras yang seharusnya diperoleh.
26
d. Harga jual beras lebih tinggi dari harga yang ditetapkan. Sesuai ketentuan setiap keluarga
diberika keringanan harga beras sebesar Rp 1.000/kg, namun sekitar 50% responden
menyatakan membeli dengan harga Rp 1.200 kg per kg. Kenaikan harga tersebut antara
lain disebabkan karena anggaran yang disediakan untuk membagikan beras ke
masyarakat hanya sampai di Kecamatan saja. Tidak ada anggaran yang disediakan untuk
membagikan beras sampai tingkat desa, Untuk itu maka biaya tersebut dibebankan
kepada masyarakat yang membeli beras bantuan. Selain itu, juga karena terjadi
penyusutan jumlah beras rata-rata sekitar 5% sampai 10% per karung. Ada beberapa
sebab sehingga terjadi penyusutan jumlah beras, antara lain; karena cara penyimpanan
yang tidak benar, ketika di simpan di gudang Dolog; beras rusak karena kehujanan ketika
dalam perjalanan menuju ke titik distribusi atau ketika di simpan di gudang Dolog.
Karung sebagai pembungkus (packing) beras tidak berkualitas baik sehingga banyak beras
yang tercecer keluar sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah takaran beras per
karung dan bila ditotal secara keseluruhan susutnya jumlah beras akan menjadi besar.
Hal ini mengakibatkan jumlah beras riil yang diterima kepala desa tidak lagi sebesar
seperti yang tertera dalam dokumen pengiriman beras OPK. Pihak Sub Dolog tidak
pernah memperhitungkan biaya penyusutan beras OPK tersebut, harus menjadi
tanggung jawab siapa? Akan tetapi kenyataan di lapangan membuktikan penyusutan
beras OPK bersubsidi tersebut menjadi tanggung jawab kepala desa setempat, kepala
desa setempatlah yang harus membayar penyusutan beras OPK bersubsidi.
Beberapa penyimpangan sebagaimana dikemukakan diatas patut menjadi perhatian bagi
pengelola program untuk dapat memperbaikinya di kemudian hari.
Disamping instansi-instansi diatas (Depkes, Depdiknas, Depsos dan BULOG) ada
banyak instansi lain yang juga turut mengelola kebijakan bagi penduduk miskin seperti
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (program subsidi bunga KPR bagi penduduk
miskin), Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pertanian, Departemen Koperasi
dan UKM, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementrian Pemberdayaan
Perempuan, BKKBN dan sebagainya. Satu hal yang perlu dicermati dari banyaknya instansi yang
terlibat dalam program bantuan social bagi penduduk miskin tersebut adalah bagaimana
mengkoordinasikan berbagai program yang ada agar tidak terjadi tumpang tindih baik dalam
sasaran maupun jenis programnya.
3.3.
Isu Kebijakan tentang Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin
Salah satu kritik yang muncul berkaitan dengan kebijakan penduduk miskin yang sektoral
adalah penekanan kebijakannya yang lebih pada program (lebih spesifik proyek) dibanding pada
target yang dituju. Apa yang terjadi selama ini adalah masing-masing instansi/sektor mencoba
merinci sebanyak mungkin program-program yang dapat dilakukan oleh instansinya berkaitan
dengan penduduk miskin. Karena dengan banyak kegiatan maka banyak pula dana yang dikelola.
Bahwa apakah program tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin sebagai
target kebijakan merupakan hal yang kedua. Tetapi mindset awal yang mendasari adalah
bagaimana banyak program dapat dikelola oleh instansi tersebut. Kerangka kerja seperti ini
secara implisit mencerminkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan beberapa program bagi
penduduk miskin yang dilakukan secara sektoral selama ini.
Kritik lain dari program yang dilakukan secara sektoral tersebut adalah tidak jelasnya dan
tidak sinkronnya tentang siapa sebenarnya yang dimaksud sebagai penduduk miskin. Masingmasing sektor meskipun di lapangan menggunakan data yang sama tetapi dalam prakteknya
27
melakukan improvisasi sesuai dengan kepentingan sektornya. Pada kasus yang lain bisa terjadi
duplikasi sasaran atas program yang hampir sama.
Melihat besarnya dana yang telah digunakan untuk penduduk miskin sebagaimana
diuraikan diatas memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana efektifitas kebijakan penduduk
miskin selama ini dalam kaitan dengan upaya mengurangi penduduk miskin. Beberapa studi telah
dilakukan untuk melihat sejauh mana efektifitas berbagai program bagi penduduk miskin.
Setidaknya ada beberapa isu atau masalah yang berkaitan program kebijakan bagi
peduduk miskin. Masalah yang diangkat tersebut secara umum mencakup isu pokok normatif,
sebagai berikut:
1. Efektifitas. Sejauh mana program kebijakan tentang penduduk miskin yang dilakukan
selama ini benar-benar efektif membantu penduduk miskin dalam mengatasi masalah
kemiskinan yang dihadapi. Apakah berbagai program kebijakan tentang penduduk
miskin tersebut benar-benar tepat sasaran atau tidak dan jika program tersebut tepat
sasaran apakah program tersebut dapat benar-benar mengangkat penduduk miskin dari
kemiskinan atau tidak.
2. Efisiensi. Apakah program kebijakan yang dilakukan selama ini sudah efisien atau belum
dalam arti bahwa dana yang dikeluarkan benar-benar diterima oleh penduduk miskin dan
tidak terlalu banyak digunakan untuk kegiatan pendukung. Apakah dana yang ada
sebagian besar diterima oleh penduduk miskin atau digunakan oleh yang mengelola
kebijakan tentang penduduk miskin.
3. Kesinambungan pembiayaan. Mengingat besarnya dana yang dikeluarkan untuk program
kegiatan bagi penduduk miskin maka muncul pertanyaan apakah pemerintah cukup
punya resources untuk secara berkesinambungan menyediakan dana yang diperlukan
bagi penduduk miskin. Keterbatasan dana yang ada di satu sisi dan besarnya masalah
penduduk miskin yang dihadapi di sisi lain menyebabkan masalah kesinambungan
pembiayaan menjadi salah satu masalah yang perlu dicermati.
Sehubungan dengan ketiga isu pokok tersebut maka muncul beberapa pemikiran tentang
adakah alternatif tentang pengelolaan kebijakan bagi penduduk miskin. Apakah kebijakan yang
selama ini dilakukan secara sektoral memang merupakan satu-satunya alternatif kebijakan yang
sesuai atau perlu ada perubahan pengelolaan kebijakan bagi penduduk miskin yang lebih
menekankan pada target bukan program.
Pemikiran alternatif tentang kebijakan bantuan sosial bagi penduduk miskin tersebut
menyangkut dua aspek. Pertama, alternatif pembiayaan. Dari aspek ini perlu dipikirkan tentang
dua hal yaitu (i) bagaimana mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif agar dana bantuan
sosial tidak menjadi beban berkelanjutan bagi anggaran pemerintah; (ii) bagaimana
mengefektifkan dan efisienkan pengelolaan dana yang ada termasuk di dalam menentukan
prioritas program. Kedua, alternatif pengelolaan bantuan sosial yaitu bagaimana kebijakan
bantuan sosial tersebut lebih menekankan pada target sasaran dari pada membengkaknya jenis
program.
Dari sisi pendanaan antara lain perlu didorong upaya penggalian dana masyarakat melalui
berbagai skema yang selama ini berkembang seperti pengumpulan zakat, infak, shadaqoh, wakaf
tunai, pengumpulan dana peduli sosial dan sebagainya.
28
BAB IV
ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL
BAGI PENDUDUK MISKIN
Ada sejumlah pertanyaan yang patut diangkat ke permukaan berkaitan dengan penyusunan arah
kebijakan perlindungan sosial (bantuan sosial) bagi penduduk miskin. Beberapa pertanyaan
tersebut antara lain:






Apakah kebijakan bantuan sosial yang akan dilakukan ke depan tetap menggunakan
mekanisme ad hoc sebagaimana diatas atau dilembagakan secara permanen setiap
tahunnya?
Apakah lembaga yang menangani bantuan sosial disebar menurut instansi sektoral atau
disatukan dalam lembaga baru yang khusus menangani bantuan sosial?
Apakah dana bantuan sosial sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau
disharing dengan pemerintah daerah?
Atau pemerintah sama sekali tidak menangani bantuan sosial buat orang miskin
melainkan sepenuhnya diserahkan kepada keluarga dan masyarakat?
Dalam bentuk apa saja bantuan sosial itu diberikan kepada penduduk miskin?
Bagaimana peran pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan bantuan sosial
kepada penduduk miskin?
Pengembangan jaminan sosial di Indonesia diwarnai oleh beberapa karakteristik utama
sebagai berikut:
 ketergantungan yang kuat pada extended family dan komunitas dalam memberikan jaring
pengaman sosial secara informal baik dalam hal bantuan ketika hilangnya pendapatan,
kesakitan maupun ketidakberuntungan lainnya
 terbatasnya bantuan pada pengusaha melalui peraturan ketenagakerjaan yang diperkuat
melalui perjanjian kolektif, dengan memberikan secara langsung benefit seperti upah
ketika sakit, hamil dan pemutusan hubungan kerja
 sangat terbatasnya asuransi sosial pada sektor swasta yang hanya terbatas pada sistem
provident fund (jaminan hari tua) yang memberikan lump sum ketika pensiun
 paket lengkap bagi PNS dan ABRI
Bantuan sosial biasanya didefinisikan sebagai suatu bantuan dalam bentuk tunai maupun
dalam bentuk non tunai yang diberikan kepada orang-orang termiskin dalam masyarakat oleh
pihak berwenang. Di negara-negara yang sudah maju, bantuan sosial sering kali merupakan
tingkat penunjanang terbawah yang diberikan kepada mereka yang membutuhkan yang sumber
penghasilan asuransi sosial atauhak atas jaminan sosial lainnya kurang memadai. Di Indonesia,
Bantuan Sosial dalam pengertian modern baru dikenal akhir-akhir ini, yakni dengan
diperkenalkannya jaring Pengaman Sosial sebagai reaksi terhadap krisis ekonomi 1997. sejauh
mana reaksi yang bersifat ad hoc, terhadap krisis tersebut dapat dikembangkan menjadi suatu
program yang lebih sitematis untuk Bantuan Sosial merupakan fokus naskah ini.
29
Konsep modern Bantuan Sosial kepada kelompok-kelompok termiskin dalam masyarakat
sebagai tanggung jawab pemerintah pusat atau pihak berwenang lainnya relatif masih baru di
Indonesia. Secara tradisional, bantuan kepada orang miskin dan berkekurangan pertama-tama
dipandang sebagai kewajiban dari sanak saudara, kerabat atau anggota keluarga besar yang
bersangkutan atau bahkan masyarakat lokal pedesaan. Di luar itu, pemberian sedekah atau
bantuan kepada orang miskin dipandang oleh banyak kelompok agama di Indonesia sebagai
kewajiban individu yang mempunyai harta kekayaan untuk memberikan bantuan atau sebagai
bidang tanggung jawab kelompok-kelompok masyarakat dan agama, serta beberapa organisasi
non pemerintah.
Sebelum krisis tahun 1997, hanya sedikit pemerintah pusat Indonesia yang dapat
dikategorikan sebagai bantuan Sosial. Pengeluaran pemerintah dibidang sosial dikonsentrasikan
pada apa yang dapat dianggap sebagai pengeluaran pembangunan, terutama untuk pembangunan
pendidikan, kesehatan dan masyarakat, walaupun bidang-bidang yang dibiayai tersbut
memberikan keuntungan bagi kelompok-kelompok penghasilan rendah. Meskipun demikian,
bantuan untuk meringankan beban kemiskinan secara langsung seperti itu tidak dipandang
sebagai tanggung jawab inti pemerintah pusat.
Secara tradisional, tidak terlibatnya pemerintah pusat dalam pengeluaran untuk memberikan
Bantuan Sosial secara langsung sesuai denga pola yang umum dijumpai di negara-negara sedang
berkembang yang berpendapat rendah. Hal tersebut juga mencerminkan pertimbanganpertimbangan utama di bidang sosial ekonomi yang bersifat khas Indonesia.
Indonesia memasuki periode pemerintahan Orde Baru (1967-1998) dengan tingkat
kemiskinan yang amat tinggi dan menyeruak dimana-mana. Pada tahun 1970, 60% penduduk
Indonesia berada dibawah garis kemiskinan nasional, yang selanjutnya berada jauh dibawah garis
kemiskinan internasional saat ini sebesar US$1 per hari. Karena sebagain besar penduduk
Indonesia saat itu tenggelam dalam kemiskinan, maka orang-ornang termiskin diantara yang
miskin kurang diperhatikan.
Strategi utama Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan selama periode ini terdiri dari
pembangunan ekonomi. Pembangunan ini berjalan dengan sangat baik hingga periode sebelum
terjadinya krisis pada tahun 1996, proporsi penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan
nasional telah menurun hingga mencapai sedikit di atas 11%. Tetapi, penduduk yang bergerak
naik di atas garis kemiskinan kebanyakan hanya bergeser sedikit di atas garis tersebut sehingga
mereka masih rentan terhadap kemerosotan ekonomi. Kerentanan ini terutama tercermin pada
mereka yang pindah ke daerah-daerah perkotaan untuk memanfaatkan peluang-peluang
ekonomi yang sebelumnya sedang berkembang. Tetapi, sebelum terjadinya krisis moneter tahun
1997, orang-orang ini secara umum bukan merupakan bagian dari kelompokyang termiskin
menurut standar Indonesia.
Sebelum terjadi krisis tahun 1997 juga jelas bahwa mereka yang tertinggal dibawah garis
kemiskinan kian banyak dan mereka merupakan orang-orang yang paling rentan-misalnya orang
yang cacat atau orang usia lanjut tanpa dukungan keuangan-ditambah orang-orang yang tinggal
di daerah terpencil di Indonesia. Kecil peluang yang di miliki kelompok –kelompok ini untuk
keluar dari kemiskinan melalui proses pembangunan ekonomi Indonesia secara umum sebagai
suatu keseluruhan dibandingkan kelompok-kelompok utama yang terdapat dalam populasi.
Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam bentuk Jaring Pengamanan Sosial
yang muncul setelah krisis ekonomi tahun 1997 sebagian besar merupakan tanggapan yang
30
bersifat ad hoc terhadap munculnya kembali kemiskinan secara tiba-tiba diantara banyak orang
yang dulunya mengalami kenaikan dalam standar hidup mereka.langkah-langkah tersebut
dilaksanakan secara tergesa-gesa dan dampaknya tidak merata. Masalah-masalah administrasi
mekanisme penyaluran administratif jaring pengaman sosial, masalah tata kelola, dan besarnya
kebocoran dari bantuan yang diberikan kepada kelompok-kelompok sasaran tampak jelas seiring
dengan pencapaian-pencapaian yang di peroleh program ini. Krisis tahun 1997 merupakan suatu
titik balik bagi keterlibatan pemerintah pusat beserta lapisan-lapisan pendukung dari pemerintah
provinsi dan pemerintah lokal secara substansial dalam upaya penanggulangan kemiskinan secara
langsung. Mereka juga memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa penduduk Indonesia telah
dan sedang mengalami transisi dari keluarga besar yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan
masyarakat-masyarakat yang bergantung pada pertanian semi subsistensi untuk memenuhi
kebutuhan mereka kepada yang lebih bersifat perkotaan dengan ketergantungan yang besar pada
perekonomian tunai. Pergeseran pola ini akan memerlukan sistem-sistem perlindungan sosial
yang lebih formal, termasuk beberapa bentuk Bantuan Sosial. Masalah yang berjangka waktu
lebih panjang untuk kebijakan bantuan sosial adalah untuk menetapkan pendekatan-pendekatan
mana yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia yang dapat menjangkau kelompokkelompk sasaran yang dituju, dan yang dapat menyebabkan berkurangnya kemiskinan secara
berkesinambungan.
Ada sejumlah pilihan strategi yang dapat saja digunakan pemerintah Indonesia dalam
kaitannya dalam bantuan sosial untuk membantu golongan masyarakat yang termiskin. Pilihanpilihan tersebut adalah:
 Tidak melakukan apa-apa, dan tidak menggunakan uang pemerintah untuk Bantuan
Sosial. Artinya, bergantung sepenuhnya pada bantuan keuangan yang diberikan oleh
keluarga besar yang merupakan bantuan tradisional Indonesia, bantuan desa, derma dan
bantuan organisasi non pemerintah. Hal ini berarti mengurangi Jaring Pengaman Sosial
yang diberikan sekarang secara bertahap seiring dengan berkurangnya krisis;
 Tidak mempunyai skema formal, tetapi bergantung pada langkah-langkah ad hoc apabila
timbul krisis tertentu, msalnya,krisis ekonomi, masalah pengungsi, atau banjir;
 Menjadikan Bantuan Sosial sebagai tanggung jawab provinsi atau kabupaten, tetapi tanpa
dana dari pemerintah pusat;
 Membentuk Instansi Bantuan Sosial Pemerintah Indonesia yang di danai dari anggaran
negara dengan kantor lokal diseluruh Indonesia;
 Menambahkan Bantuan Sosial kepada tugas-tugas JAMSOSTEK, skema Asuransi
Sosial/Dana Provident yang ada saat ini;
 Bergantung pada skema kredit mikro dan skema-skema terkait lainnya;
 Menjalin “kontrak” dengan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk memberikan
sebagian dana bantuan; dan
 Menjalin “kontrak” dengan organisasi non pemerintah untuk memberikan bantuan
sosial.
Saat ini tidaklah dimungkinkan untuk membentuk suatu skema bantuan sosial tunai
diseluruh Indonesia. Namun, adalah mungkin untuk mempertimbangkan pendekatan ini
dibeberapa provinsi atau kabupaten yang sudah berkembang. Untuk jangka yang lebih panjang,
pemberian bantuan dan manfaat secara tunai kemungkinan akan menjadi komponen bantuan
sosial yang semakin meningkat. Untuk jangka pendek, yang terbaik adalah berkonsentrasi pada
hal-hal yang mempunyai peluang yang wajar untuk diwujudkan. Secara lebih umum, inisiatifinisiatif lokal mungkin dapat meberikan cara-cara lain yang efektif dari segi biaya asalkan
program-programnya dijalankan berdasarkan tata kelola yang baik (good govermence).
31
Secara keseluruhan disarankan bahwa bantuan sosial inti untuk periode selanjutnya dapat
mencakup hal-hal berikut ini:
 Subsidi beras, atau yang setara dengan itu untuk orang miskin;
 Bantuan pangan lainnya untuk anak kecil dan ibu-ibu menyusui di keluarga-keluarga
miskin;
 Kartu kesehatan untuk orang-orang miskin yang memungkinkan pemegangnya untuk
mendapatkan perawatan cuma-cuma di fasilitas-fasilitas kesehatan umum dan
mendapatkan obat secara cuma-cuma atau dengan subsidi;
 Beasiswa pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin; dan
 Bantuan uang tunai melalui pembayaran secara periodik kepada rumah tangga miskin
dimana ada kapasitas ditingkat lokal untuk menjalankan sistem seperti ini.
Cara lain dapat dikembangkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat sebagai
pemberi dana utama dan pihak berwenang ditingkat provinsi dan kabupaten sebagai instansi
pengelola administrasi sekaligus rekan yang bersama pemerintah pusat juga ikut menjadi
penyandang dana dari program-program yang ada.
Beberapa cara pendanaan yang dapat dilakukan, termasuk penggunaan kembali sebagian
subsidi hasil minyak; penggunaan kembali pendanaan untuk subsidi listrik dan subsidi kredit;
beberapa pajak tambahan, khususnya pajak atas produk-produk tembakau; dan iuran bersama
dari pemerintah daerah.
32
DAFTAR BACAAN
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2003, BPS, Jakarta, Juni 2004
Badan Pusat Statistik, Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999: Metode BPS, Buku I,
BPS, Jakarta
----------------------------, Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial-Ekonominya
1996-1999: Sebuah Kajian Sederhana, BPS, Jakarta
----------------------------, Penyempurnaan Metodologi Penghitungan Penduduk Miskin dan ProfilKemiskinan
1999, BPS, Jakarta
----------------------------, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 1: Propinsi, BPS, Jakarta
----------------------------,Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 2: Kabupaten, BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik dan World Bank Institute, Dasar-Dasar Analisis Kemiskinan, BPS, Jakarta,
Januari 2002
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Peta Kemiskinan di Indonesia, BAPPENAS, Mei 2003
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kebijakan dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Sosial Bagi
Masyarakat Miskin, BAPPENAS, Jakarta, 2004
--------------, Sustainable Social Protection Technical Assistance. Inception Report, Bappenas,
ADB and UK Department for Internastional Development, Jakarta, 2004
Surhayadi, Asep & Sudarno Sumarto, The Chronic Poor, The Transient Poor and the Vulnarable in
Indonesia Before and After the Crisis, SMERU, Jakarta, Mei 2001
Jalan, Joyotsna & Martin Ravallion, Is Transient Poverty Dfferent?, World Bank, Washington, DC,
1999
Poppele, Jessica, Sudarno Sumarto & Lant Pritchett, Social Impact of the Indonesian Crisis: New Data
and Policy Implications, SMERU Report, Jakarta, 1999
Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Pembangunan Keluarga Sejahtera di Indonesia
Berdasarkan UU No 10 Tahun 1992 dan GBHN 1993, Kantor Menteri Negara
Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 1994
--------------------------------------------------------------, Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam
rangka Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menteri Negara
Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 1996
33
Download