Pola adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim

advertisement
POLA ADAPTASI NELAYAN
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
(Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan
Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
RATNA PATRIANA
I34061214
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
POLA ADAPTASI NELAYAN
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
(Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan
Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
RATNA PATRIANA
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT
Indonesia is an archipelagic state which has a large number of peoples live in
coastal areas and have a significant dependence to the coastal resources. These
resources are vulnerable to several factors, including climate change, one of the
most influencing factors. Climate change further threatens ocean with higher
temperature, sea-level rise, and circulation shifts. The threats can be damage on
many economic sectors, especially fisheries sector. The fishers tend to have more
adaptive capacity and do some economic strategies to help themselves surviving
their lives.
The research objective (1) to analyze the perception of fishers about recent impact
of climate change on their coastal areas; (2) to identify the impacts of climate
change on fisheries activity; (3) to identify fishers’s adaptation and economic
strategies according to climate change.
The result shows that (1) almost all the fishers have a high perception about
recent impact of climate change on their coastal areas. They have considered the
ecological change based on their usual activity; (2) climate change affects the
hurricane and damage on water resource in settlement areas. On the fisheries
activity, climate change causes fishing season and location disorder. Storms and
extreme waves on the ocean are the other challenges that cause the risk of fishing
activity rise; (3) the fishers do the adaptation and economic strategies in terms of
climate adaptation, coastal resources adaptation, division of work in the family,
multiple livelihoods and escaping from fisheries.
Keywords: climate change, fishers, socio-economic impact, adaptation, economic
strategies, livelihood
RINGKASAN
RATNA PATRIANA. POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan,
Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) (Di Bawah Bimbingan
ARIF SATRIA).
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki jutaan
masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari
sumberdaya pesisir. Kesejahteraan jutaan masyarakat ini sangat dipengaruhi oleh
kelestarian ekosistem pesisir yang rentan akan ancaman dari berbagai faktor, salah
satunya adalah perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
dampak-dampak perubahan iklim pada ekosistem pesisir yang mempengaruhi
kegiatan ekonomi nelayan serta kehidupan sosialnya, untuk kemudian
menganalisis pola adaptasi serta strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan
tersebut untuk meminimalisir dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan
iklim.
Tahap awal penelitian adalah melakukan survai kepada nelayan untuk
menggambarkan persepsinya terhadap dampak ekologis perubahan iklim serta
keterkaitan karakteristik dan perilaku komunikasi nelayan dengan dengan persepsi
terhadap perubahan iklim tersebut. Dari survai yang dilakukan kepada 47
responden dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh nelayan Ciawitali memiliki
persepsi yang tinggi akan terjadinya perubahan iklim di wilayah Ciawitali dan
tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik nelayan serta perilaku
komunikasi nelayan terhadap pembentukan persepsi ini. Eratnya hubungan antara
nelayan dengan sumberdaya pesisir menyebabkan berbagai perubahan yang
terjadi dapat ditafsirkan secara mandiri oleh nelayan sebagai dampak perubahan
iklim tanpa terkait karakteristik serta perilaku komunikasi nelayan.
Berdasarkan perspektif nelayan Ciawitali, perubahan iklim telah
menyebabkan terjadinya dampak ekologis berupa perubahan musim ikan dan
kekacauan musim angin. Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat
Ciawitali, perubahan iklim berdampak pada terganggunya sumber-sumber air
serta ancaman angin puting beliung di wilayah pemukiman penduduk. Pada
kegiatan perukanan tangkap, perubahan iklim menyebabkan sulitnya menentukan
musim penangkapan ikan, sulitnya menentukan lokasi penangkapan ikan,
meningkatnya resiko melaut, serta perubahan sistem pengetahuan dan
kepercayaan nelayan, peran wanita, serta posisi sosial nelayan.
Terdapat empat pola adaptasi dan strategi ekonomi yang dilakukan oleh
nelayan untuk menyelamatkan perekonomian keluarga nelayan yang terkena
dampak perubahan iklim. Pertama, adaptasi iklim berupa strategi mengejar
musim, yaitu melakukan perpindahan wilayah tangkapan dengan memanfaatkan
informasi dari nelayan di berbagai tempat mengenai musim ikan di wilayah lain.
Kedua, adaptasi sumberdaya pesisir, yaitu pencarian hasil tangkapan tanpa harus
pergi ke laut lepas. Ketiga, adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah
tangga berupa optimalisasi tenaga kerja rumah tangga dan pola nafkah ganda.
Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga merupakan pelibatan peran dari anggota
keluarga dalam perekonomian rumah tangga nelayan, sehingga tidak hanya
bergantung dari kepala keluarga. Sedangkan pola nafkah ganda adalah upaya
mencari sumber pendapatan lain selain dari hasil melaut. Keempat, adaptasi
melalui keluar dari kegiatan perikanan (escaping from fisheries), yaitu
meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan dan menekuni pekerjaan lain.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
(STUDI KASUS NELAYAN DUSUN CIAWITALI, DESA PAMOTAN,
KECAMATAN KALIPUCANG, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)”
BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU
LEMBAGA
MANAPUN
UNTUK
TUJUAN
MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI
INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Februari 2011
Ratna Patriana
I34061214
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama
NRP
Departemen
Judul Skripsi
:
:
:
:
Ratna Patriana
I34061214
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim (Studi
Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan,
Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Arif Satria, SP, M.Si
NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Ketua
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS
NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian: 8 Maret 2011
RIWAYAT HIDUP
Ratna Patriana (penulis) lahir di Bogor pada 24 Oktober 1989. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak
Pramono dan Ibu Yuliati. Pendidikan yang ditempuh oleh penulis dimulai dari
Taman Kanak-Kanak (TK) Cantang Jaya, di Kedung Halang, Bogor pada tahun
1993-1995, kemudian melanjutkan Sekolah Dasar (SD) Negeri Cantang Jaya,
Bogor selama 1995-1999. Saat kelas 5 SD, orang tua penulis dipindahtugaskan ke
Purwakarta, sehingga penulis melanjutkan pendidikan sejak kelas 5 SD hingga
lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Purwakarta. Sekolah Dasar penulis
lanjutkan di SD Negeri Cigelam 2 Purwakarta di tahun 1999-2001, setelah lulus
penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Purwakarta
pada tahun 2001-2004, kemudian Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1
Purwakarta, dengan program akselerasi, sehingga masa SMA penulis hanya
dihabiskan dalam waktu dua tahun yaitu selama tahun 2004-2006. Setelah lulus
jenjang pendidikan SMA, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2006, dan pada tahun 2007 penulis mulai
menekuni bidang ilmu sosial dan menjalani masa studi sarjana di Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Selama masa kuliah penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan pecinta alam
LAWALATA-IPB. Bersama kawan-kawan seangkatannya, penulis sempat
melakukan ekspedisi di Pulau Nusa Penida, Propinsi Bali, pada tahun 2007
dengan judul ekspedisi “Ekspedisi Pulau Nusa Penida : studi konservasi Jalak Bali
(Leucopsar rothchildi) di habitat baru”. Kemudian atas dedikasinya di organisasi
tersebut, pada tahun 2008 penulis dianugerahi nomor anggota L-279.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta
penulisan skripsi yang berjudul Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini membahas mengenai pola adaptasi serta strategi ekonomi
yang dilakukan oleh nelayan untuk menyiasati berbagai dampak perubahan iklim
yang terjadi di wilayah pesisir. Penelitian dilakukan terhadap masyarakat nelayan
Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa
Barat pada bulan Juni hingga September tahun 2010. Penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, serta pihak-pihak
yang telah banyak membantu baik dalam proses penelitian maupun penulisan
skripsi ini.
Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan
nyata terhadap berbagai kebijakan pengelolaan wilayah pesisir serta memutus
rantai kemiskinan yang masih menjerat nelayan hingga saat ini.
Bogor, Februari 2011
Ratna Patriana
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah, puji dan syukur kepada Allah SWT atas karunia akal,
kemampuan, kesehatan, segala rahmat dan hidayah-Nya yang menyertai penulis
sehingga penulisan skripsi ini dapat dilakukan. Pada kesempatan ini penulis juga
menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang berperan baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini:
1. Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan,
pengetahuan serta dukungan moral yang sangat berharga sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Rizaldi Boer selaku direktur CCROM (Center for Climate Risk and
Opportunity Management).
3. Pak Kustiwa dan seluruh staf IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama
Terpadu Indonesia) di Rawa Apu atas dukungan moral dan materil yang
diberikan kepada penulis selama masa penelitian.
4. Pak Jum’an dan seluruh nelayan Ciawitali atas ketulusan, semangat,
persaudaraan, pengetahuan serta pengalaman yang sangat berharga.
5. Bapak Pramono dan Ibu Yuliati, orang tua terhebat di muka bumi ini.
6. Dr. Arya H. Dharmawan dan Dr. Sarwititi S. Agung, selaku dosen penguji
skripsi.
7. Kakakku Rio dan adikku Krisna.
8. Bulek Muji, Mbah Mujiono, Mbah Budi, Bulek Ninik dan semua sanak
keluarga di Bogor atas dukungan moral dan materil kepada penulis.
9. Mustaghfirin, S.Pi sebagai pemecah batu pertama penelitian ini.
10. Rinaldi Yusuf, S.Kpm atas pencerahan data kuantitatif; Niaw dan Elhaq,
saudara satu bimbingan yang baik sekali; serta keluarga besar KPM ’43.
11. Ina Marina S.Kpm, sahabatku.
12. Mbak Eny, kakak yang sangat sabar mengajari banyak hal.
13. Mbak Dian, Kak Annas, Kak Beta serta seluruh keluarga besar
LAWALATA-IPB.
14. L-267
DAFTAR ISI
Nomor
Teks
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................xvii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................... 3
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................. 3
BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL............................................................ 5
2.1 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 5
2.1.1 Perubahan Iklim................................................................................... 5
2.1.1.1 Dampak Ekologis Perubahan Iklim pada Ekosistem Laut dan
Pesisir ............................................................................................ 8
2.1.1.2 Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir.. 10
2.1.2 Masyarakat Nelayan........................................................................... 12
2.1.2.1 Klasifikasi Nelayan ...................................................................... 13
2.1.2.2 Karakteristik Nelayan................................................................... 14
2.1.3 Strategi Adaptasi................................................................................ 16
2.1.4 Strategi Ekonomi ............................................................................... 20
2.1.5 Persepsi ............................................................................................. 21
2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................ 22
2.3 Hipotesis Pengarah .................................................................................. 26
2.4 Hipotesis Uji............................................................................................ 26
2.5 Definisi Konseptual ................................................................................. 26
2.6 Definisi Operasional ................................................................................ 27
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 32
3.1 Metode Penelitian .................................................................................... 32
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................... 33
3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan............................................. 33
3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ............................................... 34
3.5 Teknik Analisis Data ............................................................................... 35
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................. 38
4.1 Kondisi Geografis.................................................................................... 38
4.1.1 Konteks Desa..................................................................................... 38
4.1.2 Konteks Dusun .................................................................................. 40
4.2 Tataguna Lahan Desa dan Dusun ............................................................. 42
4.3 Kondisi Demografi Desa dan Dusun ........................................................ 43
4.4 Sarana dan Prasarana ............................................................................... 45
4.5 Mata Pencaharian .................................................................................... 46
BAB V SOSIO-EKOLOGI NELAYAN............................................................. 48
5.1 Kondisi Umum Sosio-Ekologi Nelayan ................................................... 48
5.2 Karakteristik Nelayan .............................................................................. 50
5.3 Pola Produksi Nelayan............................................................................. 53
5.3.1 Armada dan Peralatan Tangkap.......................................................... 54
5.3.2 Pemetaan Wilayah Tangkapan ........................................................... 55
5.3.3 Musim Penangkapan Ikan .................................................................. 58
BAB VI KARAKTERISTIK DAN PERILAKU KOMUNIKASI
RESPONDEN PENELITIAN ............................................................................ 61
6.1 Karakteristik Responden Penelitian.......................................................... 61
6.1.1 Usia ................................................................................................... 61
6.1.2 Pendidikan ......................................................................................... 62
6.1.3 Lama Tinggal di Ciawitali.................................................................. 62
6.1.4 Pengalaman Nelayan.......................................................................... 63
6.1.5 Klasifikasi Nelayan............................................................................ 64
6.2 Perilaku Komunikasi Responden Penelitian ............................................. 65
6.2.1 Kepemilikan Media............................................................................ 65
6.2.2 Keterdedahan Terhadap Media Elektronik ......................................... 66
6.2.3 Keterdedahan Terhadap Media Cetak................................................. 67
6.2.4 Fungsi Komunikasi Interpersonal....................................................... 68
BAB VII PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN
HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SERTA PERILAKU
KOMUNIKASI NELAYAN.............................................................................. 69
7.1 Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim ........................................... 69
7.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan
Karakteristik Individu .............................................................................. 70
7.2.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
dengan Usia Responden ..................................................................... 70
7.2.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
dengan Pendidikan Responden........................................................... 71
7.2.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali ................................... 72
7.2.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Pengalaman Nelayan.......................................................................... 73
7.2.5 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Klasifikasi Nelayan............................................................................ 74
7.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Perilaku Komunikasi Nelayan.................................................................. 75
7.3.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Kepemilikan Media............................................................................ 76
7.3.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Keterdedahan terhadap Media Elektronik........................................... 77
7.3.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Keterdedahan Terhadap Media Cetak................................................. 78
7.3.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Fungsi Komunikasi Interpersonal....................................................... 79
7.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Nelayan Terhadap
Perubahan Iklim....................................................................................... 80
BAB VIII DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA KEGIATAN PRODUKSI
NELAYAN........................................................................................................ 82
8.1 Dampak Ekologis .................................................................................... 82
8.2 Dampak Sosial-Ekonomi ......................................................................... 84
BAB IX ADAPTASI DAN STRATEGI EKONOMI NELAYAN...................... 91
9.1 Adaptasi Iklim ......................................................................................... 91
9.2 Adaptasi Sumberdaya Pesisir ................................................................... 91
9.3 Adaptasi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumah Tangga ................ 93
9.3.1 Optimalisasi Tenaga Kerja Rumah Tangga ........................................ 94
9.3.2 Tani-Nelayan ..................................................................................... 95
9.3.3 Jasa Pengangkutan ............................................................................. 96
9.4 Adaptasi Melalui Keluar dari Kegiatan Perikanan (Escaping from
Fisheries) ................................................................................................ 97
9.4.1 Buruh................................................................................................. 98
9.4.2 Petani................................................................................................. 98
9.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Adaptasi dan Strategi
Ekonomi serta Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Nelayan................. 99
BAB X PENUTUP .......................................................................................... 105
10.1 Kesimpulan ........................................................................................... 105
10.2 Saran..................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 108
LAMPIRAN .................................................................................................... 111
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1. Negara-Negara Emiter Karbon............................................................. 7
Tabel 2. Dampak dan Strategi Adaptasi-Mitigasi Perubahan iklim................... 19
Tabel 3. Peruntukan Lahan Desa Pamotan ....................................................... 42
Tabel 4. Jumlah Sawah di Setiap Dusun serta Kerawanannya Terkena Rob ..... 43
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.................................... 44
Tabel 6. Jumlah Kepala Keluarga di Setiap Dusun........................................... 44
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian .................................... 47
Tabel 8. Tipe Topografi, Karakter dan Potensi Sumberdaya Dusun Ciawitali .. 48
Tabel 9. Pranata Mangsa.................................................................................. 51
Tabel 10. Jenis Alat Tangkap (Jaring dan Pancing)............................................ 55
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia ......................... 61
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan ............... 62
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lamanya Tinggal di
Ciawitali ............................................................................................ 63
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Bekerja
Sebagai Nelayan ................................................................................ 63
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Klasifikasi Nelayan.. 64
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Media.. 65
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterdedahan
Terhadap Media Elektronik................................................................ 66
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat
Keterdedahan Terhadap Media Cetak................................................. 67
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Fungsi Komunikasi
Interpersonal ...................................................................................... 68
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Persepsinya
Terhadap Perubahan Iklim ................................................................. 69
Tabel 21. Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
dengan Usia Responden ..................................................................... 71
Tabel 22. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Pendidikan Responden ....................................................................... 72
Tabel 23. Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali ................................... 73
Tabel 24. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Pengalaman Nelayan.......................................................................... 74
Tabel 25. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Klasifikasi Nelayan............................................................................ 75
Tabel 26. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Jumlah Media yang Dimiliki oleh Responden .................................... 76
Tabel 27. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Keterdedahan terhadap Media Elektronik........................................... 77
Tabel 28. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Keterdedahan terhadap Media Cetak .................................................. 78
Tabel 29. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Fungsi Komunikasi Interpersonal....................................................... 80
Tabel 30. Pilihan Strategi dan Adaptasi Nelayan, Faktor yang Mempengaruhi
serta Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan...................................... 100
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 25
Gambar 2. Komponen Analisis Data: Model Interaktif....................................... 35
Gambar 3. Peta Wilayah Tangkapan Nelayan Ciawitali ..................................... 57
Gambar 4. Kalender Musim Nelayan Ciawitali .................................................. 59
Gambar 5. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Wilayah Pesisir Ciawitali
Berdasarkan Perspektif Nelayan ....................................................... 90
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran
Halaman
Lampiran 1. Kebutuhan Data, Metode, Jenis, dan Sumber Data ....................... 111
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian .................................................................... 112
Lampiran 3. Daftar Responden......................................................................... 116
Lampiran 4. Buku Kode................................................................................... 117
Lampiran 5. Pedoman Wawancara Mendalam.................................................. 119
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian................................................................ 121
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara maritim dengan 70% wilayahnya
diliputi oleh lautan. Secara geografis, wilayah pesisir dan lautan Indonesia terletak
di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, serta diantara dua samudra yaitu
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Letak yang strategis serta variasi iklim
musiman
yang
terjadi
di
dalamnya
menyebabkan
Indonesia
memiliki
keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi (mega biodiversity) yang
merupakan aset berharga bagi bangsa ini. Selain itu Indonesia juga merupakan
negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat,
Kanada dan Federasi Rusia, yaitu sepanjang 95.181 km sebagaimana dinyatakan
oleh PBB pada tahun 2008. Di sepanjang garis pantai inilah, hidup jutaan
masyarakat pesisir Indonesia. Satria (2002) menggambarkan karakteristik sosial
masyarakat pesisir yang berbeda dari masyarakat lainnya, karena perbedaan
karakteristik sumberdaya yang dihadapi.
Terancamnya ekosistem pesisir akibat berbagai gangguan dan potensi
kerusakan lingkungan yang marak akhir-akhir ini perlu disoroti lebih dalam
karena wilayah pesisir merupakan sumber penghidupan bukan hanya masyarakat
pesisir namun juga keseluruhan bangsa Indonesia. Pencemaran air sungai,
deforestasi dan degradasi hutan, praktek penangkapan ikan yang merusak serta
perubahan iklim merupakan sejumlah faktor yang dapat mengancam kelestarian
wilayah pesisir. Salah satu ancaman yang cukup besar datang dari perubahan
iklim yang terjadi akibat pemanasan global. Pemanasan global merupakan
peningkatan suhu rata-rata bumi akibat meningkatnya konsentrasi berbagai gas di
atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Fenomena ini terjadi akibat
aktivitas manusia itu sendiri. Penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan, serta
kerusakan lingkungan melalui deforestasi dan degradasi lahan memberi kontribusi
yang cukup besar terhadap perubahan iklim ini (Carolyn dkk., 2009).
2
Kerusakan ekologi yang disebabkan oleh berbagai perubahan tentunya
akan mempengaruhi kondisi berbagai komponen ekosistem yang turut terganggu
akibat perubahan iklim. Menurut Chen (2008) salah satu kerusakan yang terjadi
akibat pemanasan global adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching).
Pemutihan terumbu karang ini tentunya mempengaruhi biota laut lainnya yang
hidup dalam ekosistem tersebut. Selama ini telah diketahui bahwa terumbu karang
merupakan habitat hidup bermacam-macam jenis ikan. Kerusakan terumbu karang
yang terjadi dapat mempengaruhi populasi ikan dan kemudian mempengaruhi
aktivitas melaut para nelayan (Satria, 2009). Selain itu perubahan iklim juga
menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai di lautan dan pesisir
(Diposaptono, 2009). Hal ini tentunya juga menyebabkan terganggunya aktivitas
melaut
para
nelayan,
bagian
dari
masyarakat
pesisir
yang
memiliki
ketergantungan yang sangat besar terhadap sumberdaya laut dan pesisir.
Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat
memperpuruk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan
pada penangkapan ikan laut. Dahuri (2003) menyebutkan bahwa kebutuhan
manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung alam bersifat terbatas
menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini
menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat Kusnadi, dkk. (2007)
menyebutkan kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai
kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya,
rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) serta kapasitas berorganisasi
masyarakatnya. Dengan demikian dibutuhkanlah suatu strategi adaptasi yang
dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai
perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global. Strategi
adaptasi
ini
tentunya
bukan
hanya
bermanfaat
untuk
menyelamatkan
perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu
pola pemanfaatan yang lestari.
3
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, adapun
perumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana persepsi nelayan terhadap perubahan iklim?
2) Sejauh mana gejala-gejala perubahan iklim mempengaruhi kegiatan
ekonomi nelayan perikanan tangkap?
3) Bagaimana pola adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi
perubahan ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim?
4) Bagaimana strategi ekonomi yang dilakukan nelayan dalam menyiasati
kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, diperoleh tujuan penulisan
sebagai berikut:
1) Menganalisis persepsi nelayan terhadap perubahan iklim.
2) Menganalisis sejauh mana gejala-gejala perubahan iklim mempengaruhi
kegiatan ekonomi nelayan perikanan tangkap.
3) Mengidentifikasi pola adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi
perubahan ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim.
4) Menganalisis strategi ekonomi yang dilakukan nelayan dalam menyiasati
kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak:
1) Bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian
lebih lanjut mengenai adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim.
2) Bagi masyarakat luas, hasil dari penelitian ini dapat menjadi satu model
pola adaptasi yang dapat bermanfaat bagi pengembangan adaptasi
perikanan tangkap di berbagai wilayah pesisir di dunia.
4
3) Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan informasi yang diharapkan
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang menentukan kebijakan
pembangunan, terutama pembangunan di sektor perikanan.
BAB II
PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Perubahan Iklim
Menurut pendapat seorang pakar iklim IPB, Prof. Dr. Ir. Murdiyarso, yang
dituliskan dalam Diposaptono (2009), perubahan iklim merupakan perubahan
unsur-unsur iklim dalam jangka waktu panjang (50 sampai 100 tahun) yang
dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca
(GRK). Sejalan dengan pendapat tersebut, Tauli-Corpuz dkk. (2009) berpendapat
bahwa perubahan iklim adalah perubahan segala sesuatu dari iklim, dimana iklim
didefinisikan sebagai “cuaca rata-rata” dan merupakan perwujudan dari sebuah
sistem yang sangat rumit yang terdiri dari lima komponen yang saling
berinteraksi: atmosfer (udara), hidrosfer (air), kriosfer (bagian bumi yang
membeku), permukaan tanah, dan biosfer (bagian bumi tempat adanya
kehidupan).
Hal paling nyata dari perubahan iklim adalah pemanasan global.
Pemanasan global adalah pertambahan rata-rata suhu permukaan bumi dan lautan
yang tercatat dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya (Tauli-Corpuz dkk.,
2009). Pemanasan global terjadi akibat emisi dari gas rumah kaca (Diposaptono,
2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz dkk., 2008). Gas rumah kaca yang menangkap
panas di dalam atmosfer adalah karbondioksida (CO2), metana (NH4),
klorofluorokarbon atau CFC (Satria, 2009), nitrat oksida, ozon, uap air
(Diposaptono, 2009), sulfur heksaklorida, HFCs (senyawa hidro fluoro) dan PFCs
atau Perfluorokarbon1. Diposaptono (2009) menggambarkan proses efek rumah
kaca sebagai kondisi dimana sinar matahari yang memancarkan gelombang
pendek leluasa menerobos masuk ke rumah kaca. Namun, ketika bumi
memancarkan gelombang panjang ke atmosfer, gelombang ini tertahan oleh
rumah kaca. Akibatnya, gelombang panjang yang bersifat panas tadi terjebak di
dalam rumah kaca, kemudian suhu di dalam rumah kaca meningkat karena efek
1
Protokol Kyoto, yang dituliskan dalam Tauli-Corpuz dkk., 2009.
6
pemanasan dari bumi tertahan di atap kaca tersebut. Tauli-Corpuz (2009)
menggambarkan efek rumah kaca terjadi ketika gas-gas ini menyerap sebagian
dari radiasi inframerah (panas) yang memantulkan kembali panas yang
terperangkap oleh GRK di dalam atmosfer kita dimana atmosfer bertindak seperti
dinding kaca dari rumah kaca, yang membiarkan sinar matahari masuk tetapi
menahan panasnya tetap di dalam.
Diposaptono (2009) berpendapat bahwa perubahan iklim terjadi secara
alami terkait dengan proses alam yang sangat panjang (evolusi) dalam rentang
waktu 4,5 milyar tahun silam. Namun fenomena yang terjadi saat ini adalah
perubahan yang terjadi lebih cepat dari yang seharusnya. Hal ini penting disoroti
mengingat penyebab-penyebab pemanasan global ini berasal dari faktor-faktor
antropogenis yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Meningkatnya emisi
GRK disebabkan oleh aktivitas ekonomi manusia yang mengkonsumsi energi
fosil seperti bahan bakar minyak, batu bara dan sejenisnya serta diperparah oleh
deforestasi (Diposaptono, 2009; Satria, 2009), degradasi lahan gambut serta
kebakaran hutan (Marr, 2009). Semenjak revolusi industri pertengahan abad 18,
intensitas dan inefisiennya pembakaran kayu, arang, minyak dan gas, diikuti oleh
konversi lahan besar-besaran telah mengakibatkan meningkatnya konsentrasi
GRK di atmosfer. Tumbuhan berperan dalam mengubah CO2 menjadi oksigen.
Dengan tidak adanya tumbuhan, ketersediaan oksigen terbatas, sehingga bakteri
memproduksi metana. Penggunaan pupuk buatan di akhir abad 19 juga
menyebabkan pelepasan nitrogen oksida, salah satu GRK, ke udara. Selain itu,
semenjak tahun 1920 aktivitas industri menggunakan sejumlah campuran karbon
buatan yang digunakan untuk mesin pendingin, fire suppression, dan sebagainya
yang menghasilkan GRK yang sangat kuat (UNEP, 2009).
Salah satu dampak yang cukup parah dirasakan pada sektor pertanian dan
ketahanan pangan. Negara berkembang yang sebagian besar penduduknya
menggantungkan hidup di sektor pertanian memperoleh dampak yang besar dari
perubahan iklim sebagaimana disebutkan dalam IPCC (2007) bahwa perubahan
iklim mempengaruhi produksi pertanian terutama di wilayah Asia Timur dan Asia
Tenggara. Sebuah penelitian dari International Rice Research Institute, produksi
pertanian menurun sebesar 10 persen untuk setiap kenaikan suhu sebesar 1°C
7
(Peng et al., 2004 dalam IPCC, 2007). Dengan juga dipengaruhi oleh
pertumbuhan populasi yang tinggi serta urbanisasi, diproyeksikan angka
kelaparan di beberapa negara berkembang semakin tinggi (IPCC, 2007).
Diperkirakan di Afrika, sekitar 60-90 juta hektar akan terkena kekeringan dan
dirugikan sekitar 26 milyar USD di tahun 2060 (Satria, 2009). Siapakah
sebenarnya yang bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global ini?
Berikut tabel yang menunjukan negara-negara penghasil emisi karbon di dunia.
Tabel 1. Negara-Negara Emiter Karbon
Negara
Pangsa terhadap
Emisi Karbon per Kapita
Total Dunia (%)
(t CO2)
1990
2004
1990
2004
Amerika Serikat
21.2
20.9
19.3
20.6
Cina
10.6
17.3
2.1
3.8
Rusia
8.7
5.3
13.4
10.6
India
3.0
4.6
0.8
1.2
Jepang
4.7
4.3
8.7
9.9
Jerman
4.3
2.8
12.3
9.8
Kanada
1.8
2.2
15.0
20.0
Inggris
2.6
2.0
10.0
9.8
Indonesia
0.9
1.3
1.2
1.7
Brazil
0.9
1.1
1.4
1.8
Thailand
0.4
0.9
1.7
4.2
Sumber: Human Development Report (2007) dalam Satria (2009)
Data tersebut menunjukan bahwa hingga tahun 2004, negara-negara maju
masih mendominasi emisi karbon di dunia, meski jumlah penduduknya hanya 15
persen dari penduduk di dunia (Satria, 2009). Sementara dari data yang telah
disebutkan sebelumnya, dampak yang sangat besar menimpa penduduk di negaranegara berkembang akibat perubahan iklim ini. Human Development Report
(2007 dalam Satria, 2009) melaporkan bahwa akibat dari pemanasan global,
kurun waktu 2000-2004, sekitar 262 juta orang telah terkena bencana iklim
(climate disaster) dan 98 persen diantaranya adalah penduduk dari dunia ketiga.
Di negara dunia ketiga sendiri, Cina dan India memberi kontribusi yang cukup
besar dalam emisi karbon, namun dapat dilihat bahwa emisi karbon per kapita
8
Cina dan India masih jauh dibawah emisi karbon per kapita negara-negara maju
seperti Amerika, Rusia, Jepang, Jerman, Kanada dan Inggris. Besarnya emisi
karbon yang dihasilkan oleh Cina dan India ini pun terjadi akibat jumlah
penduduk kedua negara tersebut yang tinggi.
2.1.1.1 Dampak Ekologis Perubahan Iklim pada Ekosistem Laut dan Pesisir
Ekosistem diartikan sebagai kelompok makhluk hidup dan tak hidup yang
saling berinteraksi. Perubahan iklim menyebabkan berbagai perubahan dalam
ekosistem laut antara lain disebabkan oleh perubahan temperatur, dan keasaman
akibat penyerapan CO2 oleh lautan (UNEP, 2009; Chen, 2008). Dampak-dampak
yang ditimbulkan antara lain adalah sebagai berikut:
1) Naiknya permukaan air laut akibat meningkatnya suhu atmosfer dan
mencairkan lapisan gletser dan es abadi di kutub utara (Diposaptono,
2009; UNEP, 2009; IPCC, 2007; Chen, 2008; Tauli-Corpuz, 2009; Satria,
2009). Kenaikan permukaan air laut ini kemudian menyebabkan berbagai
dampak sebagai berikut:
a)
Kerusakan ekosistem mangrove akibat naiknya permukaan air laut
(Satria, 2009; Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz,
2009) yang kemudian menyebabkan:
i) Meningkatnya erosi pantai karena hilangnya peredam ombak,
arus serta penahan sedimen (Dipsaptono, 2009; UNEP, 2009;
Tauli-Corpuz, 2009)
ii) Meningkatnya pencemaran dari sungai ke laut karena tidak
adanya penyaring polutan (Satria, 2009; Diposaptono, 2009)
iii) Terganggunya
habitat
berbagai
makhluk
hidup
yang
menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove. Hal ini
mengingat peran ekosistem mangrove yang merupakan
penyangga ekosistem disekitarnya dan berperan dalam
melestarikan keanekaragaman hayati, dimana berbagai jenis
kura-kura, buaya air tawar, Mollusca dan Crustacea, bangau
hitam, kepiting bakau, ikan belanak dan biawak hidup di
9
wilayah tersebut. Selain itu hutan mangrove juga berperan
sebagai kawasan pemijahan, daerah asuhan, dan mencari
makan bagi ikan, udang dan kerang-kerangan (Diposaptono,
2009)
b)
Banjir, badai dan gelombang ekstrim (Diposaptono, 2009)
c)
Intrusi air laut ke daratan (Diposaptono, 2009; Tauli-Corpuz,
2009) yang juga menyebabkan:
i) Meningkatnya salinitas air di sumber-sumber air tawar
penduduk (Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz,
2009)
ii) Meningkatnya salinitas air di lahan-lahan budidaya perikanan
(Diposaptono, 2009)
d)
Perubahan pola sedimentasi (Chen, 2008; Diposaptono, 2009)
2) Kenaikan suhu permukaan air laut (UNEP, 2009; Diposaptono, 2009;
Chen, 2008) yang kemudian menyebabkan:
a)
Kerusakan terumbu karang melalui fenomena pemutihan terumbu
karang atau coral bleaching (Chen, 2008; UNEP, 2009; Satria,
2009; Tauli-Corpuz, 2009)
b)
Perubahan upwelling, gerombolan ikan dan wilayah tangkapan
ikan (Chen, 2008; Diposaptono, 2009)
c)
Perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian
kondisi tempat hidup yang berubah akibat meningkatnya suhu
(Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009)
3) Menurunnya salinitas air laut (Chen, 2008; Satria, 2009) yang kemudian
menyebabkan perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian
kondisi tempat hidup yang berubah (Chen, 2008; UNEP, 2009; TauliCorpuz, 2009)
4) Perubahan curah hujan, pola hidrologi dan pola angin (Chen, 2008;
Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009). Hal ini kemudian
menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan
(Chen, 2008; Diposaptono 2009)
10
5)
Meningkatnya
keasaman
air
laut
(menurunnya
pH
lautan),
menyebabkan:
a)
Kerusakan terumbu karang melalui fenomena pemutihan terumbu
karang (Chen, 2008; UNEP, 2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz,
2009) yang kemudian menyebabkan terganggunya rantai makanan
di lautan (Satria, 2009; Diposaptono, 2009; Chen, 2008; TauliCorpuz, 2009)
b)
Perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian
kondisi tempat hidupnya yang berubah, baik akibat kerusakan
terumbu karang, perubahan suplai nutrisi, serta menurunnya pH
(Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009)
2.1.1.2 Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir
Berbagai kerusakan ekosistem pesisir terjadi akibat perubahan iklim
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya menyebabkan terganggunya aktivitas
masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupannya terhadap berbagai
sumberdaya pesisir, baik secara ekonomi maupun secara spasial. Dampak sosialekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim antara lain:
1) Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat, perubahan iklim
menyebabkan:
a) Terancamnya persediaan air bersih penduduk akibat intrusi air laut ke
daratan dan perubahan curah hujan (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009:
Tauli-Corpuz, 2009).
b) Meningkatnya penyebaran berbagai penyakit yang dibawa oleh vektor
dan air seperti kolera, hepatitis, malaria dan demam berdarah (IPCC,
2007; Diposaptono, 2009).
c) Terancamnya pemukiman yang berada di wilayah pesisir akibat banjir
(rob), gelombang ekstrim dan badai (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009).
Dampak yang lebih buruk akan dialami oleh masyarakat di pulaupulau kecil.
11
2) Pada perikanan, perubahan iklim berdampak kepada:
a) Kerugian yang terjadi pada perikanan budidaya sebagai akibat dari:
i) Hilang/berkurangnya ikan-ikan di tambak karena tersapu banjir
ataupun tergenangnya lahan budidaya, baik karena curah hujan
yang tinggi ataupun akibat gelombang pasang (Diposaptono, 2009)
ii) Terganggunya kesehatan berbagai komoditas perikanan budidaya
akibat meningkatnya salinitas air di lahan perikanan budidaya
(Diposaptono, 2009).
iii) Kerusakan infrastruktur budidaya perikanan akibat kenaikan
permukaan air laut, erosi, banjir (rob), dan gelombang ekstrim
(Diposaptono, 2009). Sebagai gambaran, saat ini Indonesia
memiliki sekitar 400 ribu ha lahan budidaya tambak dan berbagai
infrastruktur
perikanan
yang
menjadi
tumpuan
ekonomi
masyarakat pesisir.
b) Menurunnya produksi perikanan tangkap, sebagai akibat dari:
i) Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan karena perubahan
pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut,
stratifikasi kolom air yang menyebabkan perubahan proses
upwelling (Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009).
ii) Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan sebagai dampak dari
perubahan pola migrasi ikan serta kerusakan terumbu karang
(Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009).
iii) Berkurangnya stok ikan-ikan karang akibat kerusakan terumbu
karang yang kemudian akan juga akan mempengaruhi kondisi
ekonomi sekitar 30 juta nelayan di dunia yang bergantung pada
ketersediaan ikan-ikan karang (Satria, 2009).
iv) Berkurangnya ketersedian stok ikan akibat peningkatan suhu dan
perubahan sirkulasi laut seperti yang diungkapkan dalam IPCC
report (2007) dimana tangkapan ikan tuna di Asia Timur dan Asia
Tenggara yang memenuhi hampir seperempat total produksi tuna
di dunia telah mengalami penurunan akibat dua hal tersebut.
12
v) Menurunnya
produksi
perikanan
tangkap
non-ikan
akibat
kerusakan terumbu karang. Supriharyono (2007) menyebutkan
sejumlah organisme yang bernilai ekonomi yang kehidupannya
bergantung pada terumbu karang, yaitu penyu, udang barong,
octopus, conches, kerang, oyster, rumput laut, kima dan teripang.
vi) Resiko melaut yang semakin tinggi akibat ancaman meningkatnya
badai
dan
gelombang
ekstrim
akibat
perubahan
iklim
(Diposaptono, 2009)
2.1.2 Masyarakat Nelayan
Horton et. al. (1991 dalam Satria, 2002) mendefinisikan masyarakat
sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup
bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan
melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Soekanto
(1990) menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua hasrat dalam
dirinya, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan sesamanya atau manusia lain
di sekelilingnya serta keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam
sekelilingnya. Suatu masyarakat merupakan sistem adaptif, oleh karena
masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi pelbagai kepentingan dan untuk
dapat bertahan. Berkaitan dengan definisi masyarakat tersebut, Satria (2009)
mengartikan masyarakat pesisir sebagai sekumpulan masyarakat yang hidup
bersama dan mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan
yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya
pesisir.
Dalam Satria (2002) disebutkan bahwa sosiologi masyarakat pesisir
direkonstruksi dari basis sumberdaya. Berbeda dengan sosiologi pedesaan yang
berbasis pada society, sosiologi masyarakat pesisir lebih berbasis pada
sumberdaya, sehingga kajian-kajian sosiologi masyarakat pesisir bersumber pada
aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan. Nelayan
merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap sumberdaya perikanan. Kusnadi (2007) mendefinisikan desa
nelayan sebagai desa dimana sebagian besar penduduknya bermatapencaharian
13
menangkap ikan di laut. Dalam Satria (2002) disebutkan bahwa nelayan sebagai
orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut terbagi berdasarkan
status penguasaan kapital, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan
pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan, seperti
kapal/perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah
orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan
ikan di laut, atau anak buah kapal (ABK).
Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007)
mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan
dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Sementara
orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alatalat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.
Tetapi ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap
dimasukkan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan
penangkapan.
2.1.2.1 Klasifikasi Nelayan
Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007)
mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan
pekerjaan operasi penangkapan, yaitu:
1) Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan
untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air.
2) Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan
penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempuyai pekerjaan lain.
3) Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.
14
Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang
dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan
karakteristik hubungan produksi, yaitu:
1) Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi
pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Umumnya masih
menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor
dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.
2) Post-peasant fisher, yaitu nelayan dengan penggunaan teknologi
penangkapan ikan yang lebih maju seiring dengan perkembangan
motorisasi perikanan. Dengan daya tangkap yang lebih besar dan surplus
dari hasil tangkapan itu, nelayan jenis ini sudah mulai berorientasi pasar
dan tenaga kerjanya tidak bergantung pada anggota keluarga saja.
3) Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada
peningkatan keuntungan dengan skala usaha yang besar, jumlah tenaga
kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer, serta
teknologi yang digunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian
tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.
4) Industrial fisher, yaitu nelayan skala besar yang dicirikan dengan majuya
kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Berorientasi
pasar ekspor (ikan kaleng dan ikan beku), relatif padat modal, dan
melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan
organisasi kerja yang kompleks.
2.1.2.2 Karakteristik Masyarakat Nelayan
Satria (2002) menguraikan secara singkat karakteristik masyarakat pesisir
sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, dari berbagai
aspek:
1) Sistem Pengetahuan
Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara
turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan
lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan
15
hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus
dipertahankan.
2) Sistem Kepercayaan
Secara teologi, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut
memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan
agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun seiring
berjalannya waktu, berbagai tradisi dilangsungkan hanya sebagai salah
satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.
3) Peran Wanita
Umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga,
istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan
penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa
dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam mengatur pengeluaran
rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya peranan istri-istri
nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program
pemberdayaan.
4) Struktur Sosial
Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) pada
usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya,
umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan
ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang
penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron
meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan
ikan. Dengan konsekuensi, hasilnya harus dijual kepada patron dengan
harga yang lebih murah. Ciri yang kedua adalah stratifikasi sosial. Bentuk
stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring
moderninasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin
bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi
pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah
16
bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran
ekonomi, prestise atau kekuasaan.
5) Posisi Sosial Nelayan
Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah.
Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan
nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh
cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan
kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena
alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding
untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang
secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil
terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang
dimilikinya sangatlah terbatas.
2.1.3 Strategi Adaptasi
Soekanto (1983:7 dalam M. Mawardi J., 2003) mengartikan adaptasi
sebagai proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, memanfaatkan
sumber-sumber terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem, penyesuaian
dari kelompok-kelompok maupun pribadi terhadap lingkungan dan proses untuk
menyesuaikan dengan situasi yang berubah. Adaptasi sebagai suatu proses sosial
dapat diamati dari kegiatan-kegiatan yang sifatnya asosiatif dan disosiatif.
Kegiatan yang asosiatif dapat berbentuk kerjasama, akomodasi, dan asimilasi;
sedangkan yang disosiatif dapat berbentuk konflik, kontravensi, dan persaingan
(Pudjiwati Sayogyo, 1980:10 dalam M. Mawardi J., 2003)
Diposaptono (2009) mendefinisikan adaptasi perubahan iklim merupakan
upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif
maupun antisipatif. Sedangkan mitigasi perubahan iklim sebagai upaya yang
dilakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari sumbernya atau
dengan meningkatkan kemampuan alam dalam menyerap emisi tersebut. Wacana
perubahan iklim di Indonesia sendiri sebenarnya telah muncul sejak masa
pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi
17
Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan yang disusun oleh Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup tahun 1997, telah dipaparkan mengenai strategi
pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan berkaitan dengan pengelolaan
dampak perubahan iklim dan tsunami. Rencana pengelolaan ini mencakup:
1) Observasi yang sistematik dan penelitian masalah samudera, dinamika
atmosfir, sosial-ekonomi, dampak lingkungan terhadap perubahan iklim,
kenaikan permukaan laut, dan penyimpangannya.
2) Pengembangan pencegahan, penanggulangan, dan upaya perbaikan atas
dampak tsunami, perubahan iklim, dan kenaikan permukaan laut bagi
populasi manusia dan sumberdaya laut yang ada.
3) Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap dampak kenaikan permukaan
laut dan tsunami.
Perencanaan adaptasi pada suatu daerah tidak dapat berdiri sendiri
melainkan berjalan dengan inisiasi sektoral yang lebih luas seperti perencanaan
pengelolaan sumberdaya air, perlindungan wilayah pesisir serta perencanaan
manajemen bencana (IPCC, 2007). IPCC Third Assesment Report (TAR) yang
dikutip kembali dalam IPCC Fourth Assesment Report (2007) telah
mengemukaan pentingnya pemahaman mengenai:
1) Adaptasi
aktual
untuk
mengobservasi
perubahan
iklim
serta
variabilitasnya
2) Perencanaan
adaptasi
terhadap
perubahan
iklim
dalam
desain
infrastruktur, manajemen wilayah pesisir serta aktivitas lainnya
3) Mengukur kerentanan kondisi alam akibat perubahan iklim serta kapasitas
adaptasinya
4) Kebijakan
pembangunan,
di
bawah
United Nations
Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) serta internasional, nasional
dan inisiatif lokal lainnya, yang memfasilitasi program mengenai proses
dan aksinya (Adger et al., 2005; Tompkins et al., 2005; West and Gawith,
2005).
Dalam IPCC report (2007) dikatakan bahwa strategi adaptasi dan mitigasi
yang perlu dilakukan dibedakan berdasarkan dimensi spasial, sektoral, tipe aksi,
18
aktor yang terlibat di dalamnya, climatic zone, level pembangunan negara
tersebut ataupun kombinasi dari kategori-kategori yang telah disebutkan ataupun
kategori lainnya. Dengan demikian, strategi yang diterapkan pada suatu daerah
tentu disesuaikan dengan fenomena perubahan iklim yang terjadi pada suatu
wilayah, seberapa besar dampak dan pada sektor apa dampak tersebut
memerlukan strategi adaptasi dan mitigasi.
Berikut disajikan sejumlah strategi adaptasi yang dapat dilakukan
masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim di wilayah pesisir.
19
Tabel 2. Dampak dan Strategi Adaptasi-Mitigasi Perubahan iklim
No.
1.
Dampak
Ekologis
Kenaikan
permukaan air
laut , banjir
(rob), dan
gelombang
ekstrim
Dampak SosialEkonomi
ï‚· Terancamnya
wilayah pemukiman
ï‚· Membuat penahan
gelombang
ï‚· Terancamnya
infrastruktur
masyarakat
ï‚· Memindahkan lokasi
pemukiman ke tempat
yang lebih tinggi
ï‚· Kerugian pada
budidaya perikanan
ï‚· Memindahkan lahan
budidaya ke tempat
yang lebih tinggi
ï‚· Meningkatnya
penyebaran
penyakit kolera,
malaria dan demam
berdarah
2.
Intrusi air laut
Adaptasi
Terancamnya sumbersumber air tawar
penduduk serta
budidaya perikanan
ï‚· Menempatkan blokblok karang/struktur
keras di sekeliling
lahan air tawar
Mitigasi
Penanaman
mangrove
Penanaman
mangrove
ï‚· Menampung air hujan
ï‚· Menggunakan bibit
perikanan budidaya
yang tahan terhadap
perubahan salinitas
3.
Perubahan
wilayah tangkap
dan musim ikan
Menurunnya produksi
perikanan tangkap
ï‚· Mengadopsi teknologi
dan cara-cara baru
dalam perikanan
tangkap
ï‚· Mengadopsi metode
baru dalam
memprediksi musim
ikan
ï‚· Diversifikasi alat
tangkap
4.
5.
Badai
Menurunnya
keanekaragaman
hayati pesisir
ï‚· Terancamnya
berbagai
infrastruktur di
wilayah pesisir
ï‚· Adopsi teknologi
pembangunan
infrastruktur yang
tahan terhadap
badai&angin
ï‚· Resiko nelayan
dalam melaut yang
semakin tinggi
ï‚· Adopsi teknologi kapal
nelayan penangkap
ikan yang lebih tahan
terhadap badai dan
gelombang
Terancamnya sumber
mata pencaharian
penduduk
Mencari alternatif lain
dalam menambah
penghasilan penduduk
Sumber: disarikan dari Diposaptono (2009)
Perbaikan
terumbu
karang
20
2.1.4 Strategi Ekonomi
Carner (1984 dalam Widodo, 2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa
strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin pedesaan antara lain:
1) Melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang
rendah.
2) Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam
pemberian rasa aman dan perlindungan.
3) Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai
alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah
di desanya.
Dharmawan (2001 dalam Iqbal, 2004) mengklasifikasikan dua jenis
strategi nafkah dalam keluarga petani, yaitu:
1) Strategi nafkah normatif, yaitu strategi dalam kategori tindakan positif
dengan basis kegiatan sosial-ekonomi, misalnya kegiatan produksi,
migrasi, strategi substitusi dan sebagainya. Kategori ini juga disebut
‘peaceful ways’, karena sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
2) Strategi nafkah ilegal, yaitu strategi dalam kategori negatif, dnegan
tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Seperi merampok, mencuri,
melacur, korupsi dan sebagainya. Kategori ini disebut non-peaceful ways,
karena cara yang ditempuh umumnya dengan melakukan tekanan fisik dan
tekanan.
Menurut Scoones (1998 dalam Iqbal, 2004), terdapat empat sumber yang
dibutuhkan
dalam ekonomi rumah
tangga, agar strategi
nafkah bisa
dioperasionalkan, yaitu:
1) Ketersediaan modal alam dalam bentuk sumber-sumber alam
2) Modal ekonomi atau keuangan
3) Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan, keahlian dan
pengetahuan
4) Ketersediaan modal sosial (dan politik) dalam bentuk hubungan dan
jaringan kerja.
21
Menurut Widodo (2009) terdapat dua macam tipe strategi yang tidak
dapat terpisahkan dalam strategi nafkah rumah tangga miskin, yaitu strategi
ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi bekaitan dengan pola nafkah ganda,
optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial
adalah pemanfaatan asuransi sosial pada lembaga kesejahteraan lokal dan
penggunaan jejaring sosial.
Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat
dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan
strategi nafkah ganda. Tujuannya agar nelayan tidak bergantung pada hasil
penangkapan saja. Pengembangan dan penguatan strategi ganda ini perlu
dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah. Salah satu aspek yang
diperlukan untuk mendukung strategi ini adalah kebijakan permodalan. Kedua,
mendorong ke arah laut lepas. Kendalanya tidak hanya teknologi, tapi juga modal
dan budaya. Menangkap ikan di laut lepas sangatlah kompleks, mencakup
manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman
perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring dan lainnya. Sehingga selain
dibutuhkan teknologi, para nelayan ini juga membutuhkan pelatihan (magang)
untuk menggali pengalaman dan pengetahuan di usaha penangkapan skala
menengah dan besar. Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk
mengantisipasi
variasi
musim.
Dengan
diversifikasi
alat
tangkap
ini
memungkinkan nelayan bisa melaut sepanjang tahun.
2.1.5 Persepsi
Rakhmat (2005) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang
objek, pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubugan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah
memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Akibat adanya
stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan
terhadap stimulus tersebut. Thoha (1983 dalam Erwina 2005) mendefinisikan
persepsi sebagai proses kognitif yang dapat terjadi pada setiap orang dalam
memahami informasi mengenai lingkungannya, yang dapat diperoleh melalui
penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman. Persepsi
22
merupakan penafsiran unik terhadap suatu situasi, bukan merupakan suatu
pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut.
David Krech dan Richard S. Crutchfield (1977 dalam Rakhmat, 2005)
menyebutkan dua faktor yang menentukan persepsi, yaitu:
1) Faktor fungsional, yaitu faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman
masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Persepsi bersifat
selektif secara fungsional. Hal ini berarti bahwa objek-objek yang
mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek yang memenuhi tujuan
individu yang melakukan persepsi, seperti pengaruh kebutuhan, kesiapan
mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi.
2) Faktor struktural, yaitu faktor yang berasal dari sifat stimuli fisik dan
efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Sifat-sifat
perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh
sifat-sifat struktur secara keseluruhan.
Persepsi berhubungan dengan karakteristik individu dan perilaku
komunikasi. Jenis dan bentuk rangsangan (stimuli) yang diterima merupakan
faktor struktural dan secara fungsional, persepsi individu ditentukan oleh
karakteristiknya (Rahmat, 1989 dalam Danudireja, 1998). Karakteristik personal
seperti
umur,
tingkat
pendidikan,
pengalaman,
status
sosial
ekonomi,
keanggotaan pada suatu organisasi, serta perilaku mencari informasi, merupakan
peubah yang berhubungan dengan persepsi dan sikap terhadap inovasi (Harun,
1987 dalam Danudireja, 1998).
2.2
Kerangka Pemikiran
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, perubahan iklim di wilayah
pesisir menyebabkan terjadinya kenaikan permukaan air laut, perubahan pola
hidrologi, pola angin, perubahan suhu dan keasaman air laut. Berbagai perubahan
ini menyebabkan terjadinya perubahan ekologis, antara lain: intrusi air laut ke
daratan; gelombang ekstrim dan badai; genangan dan banjir; erosi pantai;
kerusakan terumbu karang; perubahan proses upwelling, gerombolan ikan;
perubahan pola migrasi ikan; perubahan morfologi pantai dan mangrove;
23
meningkatnya salinitas air, kerusakan lahan budidaya perikanan dan sumbersumber air tawar; meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan.
Perubahan pola hidrologi di lautan menyebabkan perubahan proses
upwelling. Perubahan upwelling menyebabkan perubahan lokasi gerombolan ikan
atau fish schooling. Sementara kenaikan suhu dan keasaman air laut juga
menyebabkan perubahan pola migrasi ikan. Perubahan lokasi gerombolan ikan
dan pola migrasi ikan ini tentunya menyebabkan perubahan musim dan wilayah
tangkapan ikan (fishing ground) para nelayan ikan tangkap.
Perubahan pola hidrologi, pola angin disertai dengan kenaikan permukaan
air laut menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai serta
gelombang ekstrim yang terjadi di lautan. Hal ini juga menjadi kendala serius
bagi para nelayan perikanan tangkap terutama para nelayan tradisional dengan
keterbatasan teknologi penangkapan ikan.
Perubahan tingkat keasaman air laut dapat menyebabkan kerusakan
terumbu karang. Terumbu karang juga merupakan biota laut yang peka terhadap
kenaikan suhu lautan. Perubahan iklim yang telah menyebabkan kenaikan suhu
air laut dan tingkat keasaman air laut ini menyebabkan terjadinya pemutihan
terumbu karang atau coral bleaching, satu bentuk kerusakan terumbu karang.
Sejumlah organisme yang bergantung kepada terumbu karang sebagai habitat
hidupnya seperti ikan karang, penyu, udang barong, octopus, conches, kerang,
oyster, rumput laut, kima dan teripang yang juga merupakan sumber makanan
yang bernilai ekonomis bagi masyarakat pesisir, dan mengalami penurunan akibat
kerusakan terumbu karang ini.
Secara teoritis, berbagai perubahan yang terjadi pada ekosistem laut dan
pesisir ini dapat mempengaruhi berbagai aktivitas nelayan dalam mencari ikan
dengan dampak yang sangat mungkin terjadi adalah penurunan produksi
perikanan tangkap. Pola adaptasi bagi para nelayan dibutuhkan untuk menyiasati
berbagai perubahan ekologis yang dapat mengganggu aktivitasnya mencari ikan.
Hal ini perlu dilakukan mengingat nelayan merupakan bagian masyarakat yang
paling rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim karena kehidupan
ekonominya sebagian besar ditunjang dari produksi perikanan tangkap.
24
Persepsi sebagai suatu proses kognitif dapat terjadi pada nelayan dalam
memahami informasi mengenai lingkungannya yang mengalami perubahan
tersebut. Persepsi nelayan mengenai perubahan iklim ini dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu karakteristik nelayan serta perilaku komunikasi nelayan tersebut.
Terbentuknya suatu persepsi mengenai perubahan lingkungan ini selanjutnya
dapat mempengaruhi aspek psikomotorik berupa adaptasi terhadap perubahan
yang dipersepsikannya tersebut.
Pola adaptasi nelayan dalam menghadapi perubahan iklim ini terbagi
menjadi dua. Pertama, adaptasi perikanan tangkap yang dapat berupa adaptasi
teknologi penangkapan ikan, teknologi memprediksi musim ikan dan sebagainya.
Kedua, strategi ekonomi nelayan dalam menghadapi kerugian ekonomi akibat
kerusakan ekologi. Strategi ekonomi ini dapat berupa berbagai alternatif yang
dilakukan nelayan untuk menunjang kehidupan ekonominya yang mengalami
kerugian akibat menurunnya produksi perikanan tangkap. Alur kerangka
pemikiran ini digambarkan pada gambar 1.
25
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Dampak Perubahan Iklim di
Wilayah Pesisir dan Laut:
Kenaikan permukaan air laut
Perubahan pola angin
Perubahan pola hidrologi
Kenaikan suhu air laut
Kenaikan pH air laut
Kerusakan Ekologi:
Intrusi air laut ke daratan
Gelombang ekstrim dan badai
Genangan dan banjir
Erosi pantai
Kerusakan terumbu karang
Perubahan proses upwelling, gerombolan ikan
Perubahan pola migrasi ikan
Perubahan morfologi pantai dan mangrove
Meningkatnya salinitas air, kerusakan lahan
budidaya perikanan dan sumber-sumber air tawar
ï‚· Meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di
lautan
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Menurunnya kualitas
dan kuantitas
sumberdaya hayati laut
Perubahan wilayah
gerombolan ikan, dan
pola migrasi ikan
Meningkatnya
frekuensi dan intensitas
badai serta gelombang
ekstrim di lautan
Perikanan Tangkap:
ï‚· Sulitnya menentukan musim ikan
ï‚· Sulitnya menentukan wilayah tangkapan
ï‚· Resiko melaut yang tinggi akibat badai dan gelombang ekstrim
ï‚· Sulitnya memperoleh komoditi perikanan tangkap, baik ikan
maupun sumberdaya laut lainnya
Karakteristik Individu:
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Usia
Pendidikan
Lama Tinggal
Pengalaman Nelayan
Klasifikasi Nelayan
Perilaku Komunikasi Nelayan:
Persepsi Nelayan
terhadap Perubahan
Iklim
Adaptasi dan Strategi Ekonomi
Nelayan
ï‚· Kepemilikan Media
ï‚· Keterdedahan terhadap Media
Elektronik
ï‚· Keterdedahan terhadap Media Cetak
ï‚· Fungsi Komunikasi Interpersonal
Kondisi Ekonomi Nelayan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Hubungan Pengaruh
26
2.3
Hipotesis Pengarah
1) Diduga terjadi penurunan produksi perikanan tangkap akibat perubahan
ekologis yang terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim.
2) Diduga terdapat strategi adaptasi yang diterapkan nelayan dalam
menghadapi perubahan kondisi ekosistem laut akibat perubahan iklim
yang meliputi:
a) Adopsi teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih/adaptif, baik
dalam alat tangkap, maupun kapal penangkapan ikan yang diterapkan
oleh nelayan.
b) Teknik dalam memprediksi musim ikan dan wilayah tangkapan ikan
untuk menyiasati permasalahan penentuan musim ikan dan wilayah
tangkap yang diterapkan oleh nelayan.
c) Strategi dalam memprediksi musim melaut serta frekuensi badai di
lautan yang diterapkan oleh nelayan.
3) Diduga terdapat strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan untuk
menyiasati kondisi perekonomian yang terganggu akibat penurunan
produksi perikanan.
4) Diduga persepsi masyarakat terhadap perubahan iklim mempengaruhi
keputusannya dalam melakukan adaptasi perubahan iklim.
2.4
Hipotesis Uji
1) Diduga karakterisitik individu berhubungan terhadap persepsi nelayan
mengenai perubahan iklim.
2) Diduga perilaku komunikasi berhubungan terhadap persepsi nelayan
mengenai perubahan iklim.
2.5
Definisi Konseptual
1) Perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim yang mempengaruhi
berbagai perubahan pada atmosfer (udara), hidrosfer (air), kriosfer (bagian
bumi yang membeku), permukaan tanah, dan biosfer (bagian bumi tempat
adanya kehidupan).
27
2) Dampak ekologis perubahan iklim pada ekosistem laut adalah berbagai
perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik
yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari perubahan iklim.
3) Dampak ekonomi perubahan iklim pada wilayah pesisir adalah perubahan
pendapatan masyarakat yang bermatapencaharian dan menggantungkan
hidup pada sumberdaya pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari perubahan iklim.
4) Dampak sosial perubahan iklim pada wilayah pesisir adalah perubahan
berbagai aspek kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai akibat langsung
maupun tidak langsung dari perubahan iklim.
5) Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki ketergantungan
ekonomi terhadap sumberdaya perikanan tangkap, secara aktif melakukan
pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman
air, serta membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait
dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir.
6) Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya untuk mengatasi dampak
perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.
7) Adaptasi perikanan tangkap adalah berbagai upaya yang dilakukan
nelayan untuk menyiasati dampak buruk yang ditimbulkan perubahan
iklim yang mempengaruhi aktivitasnya mencari ikan di laut.
8) Strategi ekonomi nelayan merupakan bentuk adaptasi lainnya yang
berkaitan dengan pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja
rumahtangga dan migrasi nelayan untuk meminimalisir kerugian ekonomi
akibat menurunnya produksi perikanan sebagai dampak perubahan iklim.
2.6
Definisi Operasional
1) Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah penafsiran masyarakat
nelayan terhadap perubahan-perubahan ekologis yang terjadi akibat
perubahan iklim. Pengukuran persepsi dilihat melalui pernyataanpernyataan yang mengandung komponen kognitif meliputi sepuluh
28
pernyataan tentang pengalaman dan pengetahuan responden mengenai
perubahan iklim. Penilaian menggunakan skala berjenjang, dengan
ketentuan, 1 = tidak setuju; 2 = ragu-ragu; dan 3 = setuju. Penilaian
persepsi responden terhadap perubahan iklim ini terbagi menjadi dua
kategori:
a) Rendah, apabila total skor berkisar antara 10 sampai 19.
b) Tinggi, apabila total skor berkisar antara 20 sampai 30.
2) Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada individu meliputi
usia, pendidikan, lama tinggal di Ciawitali, pengalaman nelayan serta
klasifikasi nelayan.
a) Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai dengan saat
dilakukannya penelitian, terbagi dalam kategori:
i)
Umur muda, jika umur responden yang sama atau di bawah
rata-rata.
ii)
Umur tua, jika umur responden di atas rata-rata.
b) Pendidikan adalah tingkat belajar yang pernah dilalui oleh responden.
Tingkat belajar ini meliputi pendidikan formal responden yang terbagi
dalam kategori:
i)
Rendah, jika tamat atau tidak tamat SD atau sederajat.
ii)
Sedang, jika tamat SMP atau sederajat.
iii)
Tinggi, jika tamat SMA atau sederajat.
c) Lama tinggal di Ciawiali adalah jumlah waktu yang telah dilalui oleh
responden menempati tempat tinggalnya di Ciawitali, dengan kategori
sebagai berikut:
i)
Rendah, jika responden tinggal di Ciawitali selama 15 tahun
atau kurang dari 15 tahun.
ii)
Tinggi, jika responden telah tinggal di Ciawitali selama lebih
dari 15 tahun.
Penggunaan skala ini berdasarkan diskusi yang dilakukan bersama
nelayan serta LSM IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama
29
Terpadu Indonesia) yang telah melakukan survai di Desa Pamotan
sebelumnya.
d) Pengalaman nelayan adalah lamanya responden bekerja sebagai
nelayan yang dikategorikan sebagai berikut:
i)
Rendah, jika responden bekerja sebagai nelayan selama 15
tahun atau kurang dari 15 tahun.
ii)
Tinggi, jika responden telah bekerja sebagai nelayan selama
lebih dari 15 tahun.
Penggunaan skala ini berdasarkan diskusi yang dilakukan bersama
nelayan serta LSM IPPHTI yang telah melakukan survai di Desa
Pamotan sebelumnya.
e) Klasifikasi nelayan adalah penggolongan nelayan berdasarkan
prioritasnya bekerja sebagai nelayan dibandingkan dengan pekerjaan
lain yang ditekuninya. Terbagi dengan kategori sebagai berikut:
i)
Nelayan penuh, jika responden tidak memiliki pekerjaan lain
selain mencari ikan atau tangkapan laut lainnya.
ii)
Nelayan sambilan utama, jika responden memiliki pekerjaan
lain selain mencari ikan atau tangkapan laut lainnya, namun
masih mengutamakan pekerjaannya sebagai nelayan.
iii)
Nelayan musiman, jika responden hanya mencari ikan atau
tangkapan laut lainnya di musim-musim tertentu dan nelayan
bukanlah pekerjaan utamanya.
3) Perilaku komunikasi adalah aktifitas responden dalam membuka diri dan
upaya mencari informasi yang bersifat inovatif melalui saluran
komunikasi yang tersedia. Aktifitas tersebut meliputi kepemilikan media,
keterdedahan terhadap media elektronik, keterdedahan terhadap media
cetak, dan fungsi komunikasi interpersonal.
a) Kepemilikan
komunikasi
alat
media
informasi
adalah
yang
banyaknya
dimiliki
oleh
peralatan
media
responden.
Media
komunikasi ini meliputi televisi, radio, media cetak (koran atau
majalah) dan buku atau bahan bacaan mengenai lingkungan. Penilaian
terbagi menjadi dua kategori:
30
i)
Rendah, jika responden hanya memiliki dua atau kurang dari
dua alat media.
ii)
Tinggi, jika responden memiliki lebih dari dua alat media.
b) Keterdedahan terhadap media elektronik adalah frekuensi responden
menyimak radio dan televisi per minggunya serta pengalaman
responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari mediamedia elektronik tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap
media elektronik ini merupakan penjumlahan dari skor frekuensi
responden mendengarkan radio per minggu, frekuensi responden
menyimak
televisi
per
minggu
serta
pengalaman
responden
memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media
elektronik tersebut. Baik penilaian frekuensi responden mendengarkan
radio per minggu dan frekuensi responden menyimak televisi per
minggu mengunakan skala berjenjang dengan ketentuan, 1 = tidak
pernah; 2 = 1 sampai 3 hari; 3 = 4 sampai 5 hari; 4 = setiap hari.
Sedangkan pengalaman responden memperoleh informasi tentang
perubahan iklim dari media-media elektronik menggunakan skala
penilaian, 1 = tidak pernah memperoleh informasi perubahan iklim
dari media tersebut; 2 = pernah memperoleh informasi perubahan
iklim dari media tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap
media elektronik ini terbagi menjadi dua kategori:
i) Rendah, apabila total skor berkisar antara 3 sampai 6.
ii) Tinggi, apabila total skor berkisar antara 7 sampai 10.
c) Keterdedahan terhadap media cetak adalah frekuensi responden
membaca media cetak (koran/majalah/buku) per minggunya serta
pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan
iklim dari media-media cetak tersebut. Penilaian keterdedahan
responden terhadap media cetak ini merupakan penjumlahan dari skor
frekuensi responden membaca media cetak per minggu, dan
pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan
iklim dari media-media cetak tersebut. Penilaian frekuensi responden
membaca media cetak per minggu mengunakan skala berjenjang
31
dengan ketentuan, 1 = tidak pernah; 2 = 1 sampai 3 hari; 3 = 4 sampai
5 hari; 4 = setiap hari. Sedangkan pengalaman responden memperoleh
informasi
tentang
perubahan
iklim
dari
media-media
cetak
menggunakan skala penilaian, 1 = tidak pernah memperoleh informasi
perubahan iklim dari media tersebut; 2 = pernah memperoleh
informasi perubahan iklim dari media tersebut. Penilaian keterdedahan
responden terhadap media cetak ini terbagi menjadi dua kategori:
i)
Rendah, apabila total skor berkisar antara 3 sampai 6.
ii)
Tinggi, apabila total skor berkisar antara 7 sampai 10.
d) Fungsi komunikasi interpersonal adalah aktifitas responden dalam
mencari informasi mengenai perubahan iklim melalui media
komunikasi interpersonal. Terbagi dalam kategori:
i)
Rendah, apabila responden tidak pernah membicarakan
perubahan iklim.
ii)
Tinggi, apabila responden pernah membicarakan tentang
perubahan iklim.
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode
kuantitatif yang digunakan adalah metode survai dengan instrumen kuesioner
untuk memperoleh pemahaman mengenai persepsi masyarakat nelayan mengenai
perubahan iklim. Peubah (variabel) yang diteliti terdiri dari peubah bebas yaitu
karateristik individu dan perilaku komunikasi nelayan; dan peubah tak bebas
adalah persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. Persepsi nelayan mengenai
perubahan iklim ini merupakan analisis awal untuk memahami gejala-gejala
perubahan iklim yang terjadi pada wilayah tersebut berdasarkan pemahaman
nelayan. Marsh (1982 dalam Fatchiya, 2010) teknik survai perlu diperluas dengan
wawancara
terstruktur dan mendalam (in-depth interview), pengamatan
(observation), serta pendekatan lainnya. Hasil survei yang didapat kemudian
menjadi dasar untuk menganalisis pola adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim
yang dipertajam melalui pendekatan kualitatif.
Metode kualitatif berperan untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam tentang kehidupan ekonomi nelayan yang terpengaruh oleh perubahan
ekologis akibat perubahan iklim serta strategi ekonomi yang diterapkan untuk
mempertahankan stabilitas ekonomi keluarga nelayan. Teknik yang digunakan
adalah wawancara mendalam, pengamatan langsung, studi literatur dan diskusi
kelompok terarah atau focussed group discussion (FGD). Studi literatur berguna
untuk memberikan informasi mengenai penghasilan penduduk selama beberapa
tahun ke belakang. Data sekunder ini kemudian dikombinasikan dengan data
lainnya untuk menganalisis keterkaitan antara kerusakan ekologi yang terjadi
dengan kondisi ekonomi nelayan. Metode observasi berperan serta (participant
observation) serta wawancara mendalam berguna untuk mengidentifikasi pola
adaptasi perikanan tangkap yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan
ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim. FGD dilakukan untuk
33
memperoleh gambaran secara umum pola-pola perikanan tangkap yang diterapkan
oleh nelayan serta kendala yang dialami nelayan secara umum.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
eksploratif, yaitu menjelaskan apa dan bagaimana peristiwa atau gejala sosial
yang sedang terjadi. Sementara strategi penelitian yang digunakan adalah studi
kasus. Studi kasus berarti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan
menerapkan berbagai metode.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada masyarakat nelayan di Dusun Ciawitali,
Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Waktu
penelitian dimulai sejak bulan Juni 2010 hingga September 2010. Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan waktu penelitian untuk
memperoleh data penelitian dengan validitas yang optimal. Penelitian yang
dimaksud mencakup waktu sejak peneliti intensif di daerah penelitian,
pengumpulan dan pengolahan data, hingga pembuatan draft skripsi.
Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive (sengaja).
Dengan pertimbangan Dusun Ciawitali merupakan kampung nelayan yang
sebagian besar adalah nelayan tradisional, sementara tantangan yang dihadapi
cukup besar mengingat kondisi lautan yang bertemu langsung dengan Samudra
Hindia. Nelayan Dusun Ciawitali dipandang berpotensi mengalami kendala dalam
memprediksi badai dan gelombang pasang yang terjadi akibat perubahan iklim.
3.3
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Populasi dari penelitian ini adalah nelayan di Dusun Ciawitali yang
melakukan kegiatan penangkapan di lautan dan bukanlah di sekitar muara Sungai
Citanduy ataupun Segara Anakan. Nelayan ini merupakan representasi dari
nelayan yang dianggap rentan terkena dampak perubahan iklim meliputi
perubahan pola angin. Populasi diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari
data Rukun Nelayan (RN) serta KUB (Kelompok Usaha Bersama) Putra Kendal
Ciawitali. Dari data tersebut diketahui jumlah populasi nelayan sebanyak 90
34
orang. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
simple random sampling. Banyaknya sampel ditentukan berdasarkan hasil
perhitungan rumus Slovin sebagai berikut:
n= N
1+Ne2
Keterangan :
n
: jumlah sampel
N
: jumlah populasi
e
: nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan (10%)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jumlah sampel yang diambil dalam
penelitian ini adalah sebanyak 47 responden agar hasil penelitian dapat lebih
representatif.
Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk
memperkaya informasi mengenai berbagai pola adaptasi perubahan iklim.
Penelitian akan dilakukan pada keluarga-keluarga nelayan yang memperoleh
dampak ekonomi dari perubahan ekologis akibat perubahan iklim dengan
menggunakan teknik bola salju yang memungkinkan perolehan data dari satu
informan ke informan lainnya. Fokus penelitian ini dititikberatkan pada nelayan
yang melakukan adaptasi perikanan tangkap dan adaptasi ekonomi dalam
menghadapi kerugian tersebut.
3.4
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui :
1) Wawancara mendalam (in depth interview) kepada para nelayan dengan
menggunakan pedoman pertanyaan. Data deskriptif berupa kutipan
langsung kata-kata atau tulisan dari informan juga memungkinkan untuk
digunakan.
2) Observasi. Pendekatan eksploratif pada penelitian kualitatif menggunakan
pilihan metode pengamatan naturalistik, yaitu metode pengumpulan data
melaui rekaman lengkap dan akurat atas peristiwa atau gejala sosial
35
tertentu, sebagaimana kejadiannya, dengan campur tangan yang sekecil
mungkin dari peneliti (Sitorus, 1998).
3) Studi literatur serta kajian dokumen-dokumen yang dapat menunjukan
berbagai perubahan ekologis yang mempengaruhi aktivitas nelayan dalam
melaut serta dokumen-dokumen yang dapat menunjukan kondisi
perekonomian nelayan.
4) Diskusi kelompok terarah atau Focussed Group Discussion (FGD) kepada
para nelayan untuk memetakan wilayah penangkapan nelayan dan
memetakan musim-musim penangkapan ikan secara lebih akurat.
5) Survai dengan instrumen penelitian berupa kuesioner. Kuesioner ini
memuat pertanyaan terbuka dan tertutup. Data yang digali dari penelitian
survai ini mencakup persepsi masyarakat nelayan mengenai perubahan
ekologis yang terjadi pada ekosistem laut dan pesisir.
3.5
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data kualitatif dalam penelitian ini mengacu pada konsep
Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (1984, 1994 dalam Miles dan
Huberman, 2009) menyebutkan tiga sub-proses analisis data yang saling terkait,
yaitu reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan. Proses ini
berlangsung sebagaimana ditunjukan oleh gambar 2.
Pengumpulan
data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan
penggambaran/verifikasi
Gambar 2. Komponen Analisis Data: Model Interaktif
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data merupakan penyusunan
36
informasi yang memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data ini dalam prakteknya dapat berbentuk teks naratif
ataupun matriks, grafik, jaringan dan bagan. Sedangkan penarikan kesimpulan
berbentuk pencatatan keteraturan pola-pola yang terjadi, penjelasan, konfigurasikonfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsi. Ketiga kegiatan
analisis dan pengumpulan data ini merupakan proses siklus dan interaktif. Analisis
data dilakukan secara berlanjut, berulang dan terus menerus.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kasalahan interpretasi serta
memperkuat validitas data kualitatif digunakan pula metode triangulasi. Teknik
ini mengacu pada suatu proses pemanfaatan persepsi yang beragam untuk
mengklarifikasi makna, memverifikasi kemungkinan pengulangan dari suatu
observasi ataupun interpretasi, namun harus dengan prinsip bahwa tidak ada
observasi atau interpretasi yang seratus persen dapat diulang (Stake, 2009).
Teknik triangulasi ini berguna untuk memperoleh kombinasi data yang akurat
melalui uji keabsahan dengan uji silang tiga sumber data, yaitu hasil wawancara,
observasi serta studi literatur.
Analisis data kuantitatif dilakukan melalui proses pemeriksaan data yang
terkumpul (editing). Kemudian pengkodean (coding) dengan tujuan untuk
menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan
persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi deskriptif. Data
kuantitatif yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program
komputer SPSS Statistic 17.0 dan Microsoft Exel 2007. Hubungan antara
karakteristik nelayan dengan persepsi terhadap perubahan iklim serta hubungan
antara perilaku komunikasi nelayan dengan persepsi terhadap perubahan iklim
akan diuji signifikansinya dengan menggunakan korelasi Rank Spearman. Adapun
rumus korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut:
6 ∑
=1−
( − 1)
Keterangan:
ρ atau rs
= koefisien korelasi spearman rank
di
= determinan
n
= jumlah data atau sampel
37
Pengujian signifikansi dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan signifikan atau tidak di antara variabel yang ada. Pengujian
menggunakan uji dua sisi (2-tailed). Langkah-langkah pengujian yang digunakan
adalah sebagai berikut (Priyatno, 2009):
1) Menentukan hipotesis.
a) Ho:
Tidak ada hubungan antara kedua variabel.
b) Ha:Ada hubungan antara kedua kedua variabel.
2) Kriteria pengujian
a) Jika signifikansi > 0,05, maka Ho diterima.
b) Jika signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Kondisi Geografis
4.1.1 Konteks Desa
Desa Pamotan merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah
administratif Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
Desa Pamotan merupakan desa yang menempati wilayah di ujung timur sekaligus
ujung selatan Provinsi Jawa Barat dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
sebelah Utara
: Desa Kalipucang dan Sungai Citanduy
sebelah Selatan : Laut Indonesia dan Desa Bagolo
sebelah Barat
: Desa Emplak dan Desa Kalipucang
sebelah Timur : Nusa Kambangan dan Sungai Citanduy.
Desa Pamotan berjarak 4 kilometer dari pusat pemerintahan kecamatan, 52
kilometer dari pusat pemerintah kota dan 63 kilometer dari ibukota Kabupaten
Ciamis Daerah Tingkat II. Perjalanan dari Desa Pamotan untuk mencapai pusat
pemerintahan Kabupaten Ciamis dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan
umum bus tiga perempat ataupun bus besar. Waktu tempuh yang digunakan
mencapai 3 jam perjalanan dengan melewati beberapa kabupaten lain yaitu
Kabupaten Banjar dan Banjarsari.
Desa Pamotan memiliki luas wilayah sebesar 1.171,6 Ha, yang terdiri dari
kawasan pemukiman, pertanian dan kebun, kawasan hutan dan rawa-rawa, serta
infrastruktur publik. Secara administratif Desa Pamotan terdiri dari 7 RW dan 36
RT. RT dan RW tersebut tersebar dalam tiga dusun yang terdapat dalam desa ini,
yaitu Dusun Pamotan, Dusun Ciawitali dan Dusun Majingklak. Pusat
pemerintahan Desa Pamotan berada di Dusun Pamotan yang lokasinya paling
dekat dengan Jalan Raya Kalipucang atau biasa dikenal dengan Jalan Raya
Pangandaran. Sedangkan Dusun Majingklak dan Dusun Ciawitali berada di lokasi
yang lebih jauh dari jalan raya. Dusun Majingklak berada di sebelah tenggara dan
berbatasan langsung dengan Laguna Segara Anakan. Sedangkan Dusun Ciawitali
berada di sebelah selatan dan berbatasan dengan Laut Indonesia. Jarak antar dusun
39
relatif cukup jauh namun telah memiliki jalan penghubung. Akses antar dusun
dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik mobil ataupun sepeda motor.
Kondisi topografi Desa Pamotan didominasi oleh dataran rendah dengan
ketinggian sekitar dua meter di atas permukaan laut. Walaupun berbatasan dengan
laut Indonesia di sebelah Selatan, desa ini bukan termasuk tipe topografi pantai.
Terdapat Laguna Segara Anakan yang menjadi pembatas antara daratan desa
dengan wilayah perairan, Kondisi laguna ini telah tercemar oleh lumpur serta
sampah yang terbawa dari aliran Sungai Citanduy. Selama bertahun-tahun telah
terjadi sedimentasi di wilayah ini sehingga menyebabkan timbulnya daratandaratan baru di sebelah Selatan Desa Pamotan. Lokasi desa yang berjarak cukup
dekat dengan lautan ini menyebabkan suhu udara relatif panas. Namun lokasi
pemukiman di Desa Pamotan berada di wilayah kebun-kebun dengan banyaknya
pepohonan sehingga kondisi udara di wilayah pemukiman Desa Pamotan
cenderung lebih sejuk.
Potensi sumberdaya alam yang terdapat di wilayah Desa Pamotan masih
didominasi oleh lahan pertanian. Lahan pertanian di Desa Pamotan sebagian besar
adalah lahan pertanian padi sawah. Berdasarkan data yang diperoleh oleh IPPHTI
(Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) salah satu lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang melakukan program pengembangan pertanian di
Desa Pamotan, pada tahun 2009 terdapat 221 hektar sawah yang ditanami oleh
masyarakat Desa Pamotan. Dari 221 hektar lahan sawah tersebut, hanya 112
hektar lahan sawah yang mampu panen, 32 hektar sawah mengalami megu atau
banjir air hujan/tawar, dan 77 hektar sawah sisanya terkena rob atau banjir yang
berasal dari lautan, sehingga sama sekali tidak produktif. Sawah produktif di Desa
Pamotan ini pun pada tahun-tahun terakhir hanya mampu dipanen maksimal 1 kali
dalam setahun akibat kondisi lahan dan iklim yang tidak mendukung.
Lokasi desa yang berbatasan dengan Laut Indonesia ini menyebabkan
masyarakat yang berada di Dusun Ciawitali dan Dusun Majingklak memanfaatkan
potensi lautan sebagai penghasil sumberdaya alam. Sebagian masyarakat memiliki
matapencaharian sebagai nelayan. Potensi perikanan tangkap di wilayah lautan ini
meliputi berbagai jenis ikan, udang dan kerang-kerangan. Komoditas unggulan
40
yang banyak dicari oleh nelayan salah satunya adalah udang karang (lobster) yang
memiliki harga jual sangat tinggi dibanding hasil tangkapan lainnya.
Potensi sumberdaya alam lainnya yang telah dimanfaatkan masyarakat
adalah perkebunan dan perikanan budidaya. Walaupun belum dalam jumlah yang
besar, beberapa masyarakat telah memanfaatkan lahan kosong di sekitaran desa
dengan menanaminya dengan tanaman kayu seperti Jati dan Sengon. Beberapa
masyarakat juga membuat kolam-kolam budidaya udang air tawar dan budidaya
ikan air tawar. Jenis-jenis ikan yang dipelihara oleh masyarakat diantaranya
adalah ikan mas dan gurame.
Wilayah mangrove di sebelah Selatan Desa Pamotan merupakan potensi
sumberdaya tersendiri. Hal ini mengingat peran ekosistem mangrove yang
merupakan penyangga ekosistem disekitarnya dan berperan dalam melestarikan
keanekaragaman hayati. Wilayah mangrove ini juga merupakan habitat berbagai
makhluk hidup yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove.
Beberapa diantaranya adalah kepiting bakau, ikan belanak serta kerang totok.
Kepiting sendiri merupakan salah satu komoditas yang banyak dicari oleh
nelayan, terutama ketika kondisi lautan sedang tidak bersahabat baik karena
sulitnya mendapatkan tangkapan maupun ketika cuaca di lautan tidak
memungkinkan untuk nelayan mencari ikan. Sayangnya kondisi mangrove di desa
ini cukup memprihatinkan. Masih terdapat masyarakat yang merusak kawasan
mangrove, bahkan terdapat pula masyarakat yang menebang pohon bakau, salah
satu tumbuhan yang mendominasi kawasan mangrove, untuk mempergunakan
kayunya sebagai kayu bakar. Potensi sumberdaya lainnya adalah lahan kosong
yang merupakan tanah timbul hasil sedimentasi lumpur yang terbawa oleh aliran
sungai citanduy. Tanah kosong ini jumlahnya berhektar-hektar dan belum banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat.
4.1.2 Konteks Dusun
Seperti dijelaskan sebelumnya, Dusun Ciawitali merupakan salah satu
dusun yang terdapat di Desa Pamotan. Dusun Ciawitali berada di sebelah selatan
dan merupakan dusun yang paling dekat dengan wilayah laut Indonesia. Dusun ini
berjarak sekitar 5-7 kilometer dari pusat pemerintahan desa atau sekitar 15-20
41
menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Satu-satunya angkutan
umum yang menjangkau wilayah dusun ini adalah ojek motor yang tarifnya
berkisar antara sepuluh hingga lima belas ribu rupiah.
Kondisi dusun ini didominasi oleh perkebunan dan sawah. Di sebelah
Selatan dusun terdapat rawa-rawa dan tanah timbul dari sedimentasi lumpur yang
terbawa aliran Sungai Citanduy. Beberapa diantaranya telah dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai lahan pertanian padi sawah. Namun dalam setahun maksimal
hanya mampu satu kali panen karena seringkali terserang rob dan banjir. Selain itu
kondisi pengairan sawah ini juga terkendala oleh tingginya salinitas air. Hal ini
terjadi akibat adanya kenaikan permukaan air laut serta kerusakan wilayah
mangrove yang menyebabkan terjadinya intrusi air laut ke wilayah daratan.
Pemukiman di Dusun Ciawitali berada di daratan yang lebih tinggi dan
berjarak sekitar 7 kilometer dari batas lautan. Untuk mencapai wilayah lautan,
para nelayan asal Dusun Ciawitali menyusuri aliran sungai Ciawitali dengan
menggunakan perahunya. Sungai kecil ini berada di kawasan rawa-rawa dan
mangrove yang kondisinya cukup memprihatinkan. Sungai ini pun tidak selalu
dapat dilalui oleh perahu terutama perahu dengan mesin tempel. Hal ini
disebabkan oleh dangkalnya sungai tersebut, terutama ketika air laut mulai surut.
Potensi sumberdaya alam yang terdapat di wilayah Dusun Ciawitali
sebagian besar didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan. Lahan pertanian
di Dusun Ciawitali sebagian besar adalah pertanian padi sawah. Berdasarkan data
yang diperoleh oleh IPPHTI pada tahun 2009 terdapat 221 hektar sawah di Desa
Pamotan dan 125,5 hektar diantaranya berada di Dusun Ciawitali. Dari 125,5
hektar sawah tersebut, hanya 105,5 hektar sawah yang produktif, 20 hektar
sisanya seringkali terkena rob sehingga selalu mengalami gagal panen. Pada
tahun-tahun terakhir, lahan sawah produktif ini hanya mampu dipanen sebanyak
satu kali dalam setahun. Hal ini disebabkan oleh kondisi lahan yang semakin
memburuk akibat iklim yang tidak menentu, seperti curah hujan yang terlalu
tinggi sehingga menyebabkan lahan kebanjiran.
Dusun Ciawitali merupakan dusun dengan lokasi yang sangat dekat
dengan wilayah perairan laut Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat
Ciawitali yang berprofesi sebagai nelayan. Potensi sumberdaya perikanan tangkap
42
yang diperoleh nelayan antara lain lobster, kepiting, rajungan, berbagai jenis ikan
seperti ikan kerapu, kakap, layur dan tongkol. Namun kerusakan alam yang terjadi
di wilayah laut telah menyebabkan sulitnya nelayan memperoleh hasil tangkapan
selama beberapa tahun terakhir. Belum lagi kondisi cuaca yang semakin ekstrim
yang juga menyebabkan sulitnya nelayan melaut.
4.2
Tataguna Lahan Desa dan Dusun
Desa Pamotan memiliki luas wilayah mencapai 1.171,6 Ha dengan
sebagian besar wilayahnya masih didominasi oleh lahan pertanian serta hutan dan
tanah kosong. Sebanyak 527,844 hektar lahan atau 45,05 persen dari keseluruhan
wilayah merupakan lahan pertanian masyarakat berupa sawah, ladang dan kebun.
Sedangkan 603,356 hektar atau 51,50 persen wilayah Desa Pamotan merupakan
hutan dan tanah kosong. Peruntukan lahan di Desa Pamotan ini dapat dilihat
dalam tabel 3.
Tabel 3. Peruntukan Lahan Desa Pamotan
No.
Peruntukan Lahan
Luas
(Hektar)
(Persen)
1.
Sawah dan Ladang
527,844
45,05
2.
Bangunan Umum
15,14
1,29
3.
Pemukiman
20,26
1,73
4.
Perkuburan
5
0,43
5.
Hutan dan Tanah Kosong
603,356
51,50
1.171,6
100
Total
Sumber : Data Monografi Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, 2010
Dengan jumlah penduduk sebanyak 4070 jiwa, wilayah pemukiman
masyarakat di Desa Pamotan hanya menempati 20,26 hektar atau sekitar 1,73
persen dari keseluruhan wilayah. Jarak antara satu rumah dan rumah yang lain
cukup berdekatan. Kumpulan (cluster) rumah-rumah penduduk terpusat di
masing-masing dusun. Jarak antara pemukiman satu dusun dengan dusun yang
lain saling berjauhan dengan diselingi oleh lahan pertanian dan hutan-hutan.
43
Dari 527,844 hektar lahan pertanian di Desa Pamotan, 221 hektar
diantaranya merupakan lahan pertanian padi sawah. Sebanyak 78,5 hektar sawah
berada di Dusun Pamotan, 125,5 hektar di Dusun Ciawitali dan 17 hektar sawah di
Dusun Majingklak. Ketidakmerataan jumlah sawah di tiap dusun ini dipengaruhi
oleh kualitas lahan di masing-masing dusun. Dusun Pamotan dan Dusun Ciawitali
memiliki lahan yang cenderung lebih subur dibandingkan dengan lahan di Dusun
Majingklak. Dusun Majingklak dengan posisi yang paling dekat dengan wilayah
laut menyebabkan lahan-lahan sawah di dusun ini sangat rawan terkena rob. Hal
ini terutama terjadi akibat pendangkalan muara sungai Citanduy disertai dengan
kenaikan muka air laut. Penyebaran sawah di masing masing dusun serta
kerawanannya terkena rob digambarkan pada tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Sawah di Setiap Dusun serta Kerawanannya Terkena Rob
No
Dusun
Jumlah Sawah
(hektar)
(Persen)
Terkena Rob
1
Pamotan
78,5
36
40
2
Ciawitali
125,5
57
20
3
Majingklak
17
8
17
221
100
77
Total
Sumber : Data Risk Assesment IPPHTI, 2009
4.3
Kondisi Demografi Desa dan Dusun
Jumlah penduduk Desa Pamotan adalah sebanyak 4070 jiwa pada tahun
2010. Jumlah penduduk laki-laki sebesar 2058 jiwa atau sekitar 51 persen.
Sedangkan penduduk perempuan sebesar 2012 jiwa atau sekitar 49 persen dari
jumlah total penduduk Desa Pamotan. Jumlah penduduk tersebut cukup seimbang
antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan
jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut:
44
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No
Jenis Kelamin
Jumlah
(Jiwa)
(Persen)
1
Laki-laki
2058
51
2
Perempuan
2012
49
4070
100
Total
Sumber : Data Monografi Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, 2010
Tahun 2009, terdapat 1232 kepala keluarga (KK) di Desa Pamotan yang
tersebar ke dalam tiga dusun. Di dusun Pamotan terdapat 443 KK, dusun Ciawitali
609 KK dan dusun Majingklak sebanyak 180 KK. Persentase jumlah kepala
keluarga di tiap dusun dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Kepala Keluarga di Setiap Dusun
No
Dusun
Jumlah KK
(KK)
(Persen)
1
Pamotan
443
36
2
Ciawitali
609
49
3
Majingklak
180
15
1232
100
Total
Sumber : Data Risk Assesment IPPHTI, 2009
Ketidakmerataan jumlah KK di tiap dusun ini dipengaruhi oleh kualitas
lahan di masing-masing dusun. Dusun Pamotan dan Dusun Ciawitali merupakan
dusun dengan lahan yang senderung lebih subur dibandingkan dengan Dusun
Majingklak sehingga potensi lahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
lebih banyak. Pada tabel 4 telah terlihat kondisi lahan pertanian padi sawah di
masing-masing dusun. Dusun Majingklak merupakan dusun dengan lahan
pertanian yang sangat rawan terkena rob akibat pendangkalan sungai citanduy
serta kenaikan air laut. Potensi lahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk ditanami di Dusun Majingklak jauh lebih sedikit dibanding dengan dua
dusun lainnya.
Selain potensi lahan, penyebaran masyarakat di tiap dusun juga
disebabkan oleh kualitas air bersih yang terdapat di masing-masing dusun. Dusun
45
Pamotan memiliki sumber-sumber air bersih (sumur) dengan kualitas air yang
jernih. Kualitas air di Dusun Ciawitali juga cukup baik walaupun di beberapa
tempat terkadang airnya sedikit berwarna putih namun masih dapat dikonsumsi
oleh masyarakat. Sedangkan di Dusun Majingklak kualitas air sangatlah buruk
sehingga masyarakat Majingklak kebanyakan membeli air mineral ataupun
mengangkut air dari Ciawitali untuk konsumsi sehari-hari.
Masyarakat Dusun Pamotan dan Dusun Ciawitali memiliki karakter yang
lebih ramah dan lebih terbuka terhadap lingkungan luar. Budaya masyarakat di
kedua dusun ini masih kental dengan budaya pertanian. Berbeda dengan
masyarakat Dusun Majingklak yang cenderung tertutup dan berkarakter keras,
yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh budaya nelayan pada umumnya.
Dilihat dari pemukimannya, kondisi ekonomi masyarakat Dusun Pamotan dan
Dusun Ciawitali masih lebih baik dibanding dengan masyarakat Dusun
Majingklak. Rata-rata rumah di Dusun Pamotan dan Ciawitali merupakan
bangunan permanen dengan dinding tembok ataupun bilik namun telah memiliki
pondasi yang cukup baik. Berbeda dengan rumah-rumah di Dusun Majingklak
yang masih banyak diantaranya merupakan bangunan sementara ataupun rumahrumah apung.
4.4
Sarana dan Prasarana
Sarana transportasi di Desa Pamotan terbilang cukup baik didukung oleh
kondisi jalan yang sudah mengalami perbaikan. Jalan utama merupakan jalan
aspal yang memanjang dari pangkal, yaitu jalan raya pangandaran hingga
berujung ke dermaga di Majingklak yang merupakan dermaga penyebrangan ke
pulau Nusa Kambangan. Menurut data monografi Desa Pamotan, panjang jalan di
desa ini telah mencapai 28,35 km, meliputi jalan aspal utama dan jalan-jalan kecil
di dusun-dusun yang biasanya merupakan jalan berbatu kapur ataupun jalan
dengan aspal namun kondisinya tidak sebaik jalan utama.
Sarana pendidikan di Desa Pamotan meliputi lima Sekolah Dasar (SD) dan
satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kondisi bangunan SMP relatif sudah
cukup baik. Begitu pula kondisi bangunan SD di desa ini secara umum juga cukup
layak walaupun di beberapa sekolah masih terdapat bangunan tua yang perlu
46
direnovasi. Sementara itu, untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) belum tersedia
di desa ini, namun tidak tidak jauh dari desa terdapat sebuah SMK dimana
biasanya anak-anak Desa Pamotan melanjutkan pendidikan. Sarana ibadah berupa
masjid dan mushola sudah terlihat tersebar merata di seluruh dusun. Secara
keseluruhan, Desa Pamotan memiliki delapan buah bangunan masjid dan
bangunan mushola. Tidak terdapat sarana peribadatan lainnya, karena seluruh
masyarakat Desa Pamotan merupakan pemeluk agama Islam. Sarana kesehatan
yang ada di desa ini meliputi lima buah posyandu, satu buah puskesmas pembantu
dan sebuah pos malaria. Keberadaan pos malaria di desa ini sangat penting karena
Desa Pamotan merupakan salah satu desa yang dengan ancaman malaria yang
cukup tinggi.
Sarana perikanan ada di Desa Pamotan meliputi dua unit tempat
pelelangan ikan (TPI) yang masing-masing berada di Ciawitali dan Majingklak.
TPI ini berfungsi sebagai tempat pengumpulan hasil tangkapan nelayan untuk
dijual kepada penampung. TPI biasanya berkorelasi dengan KUB (kelompok
usaha bersama) nelayan ataupun koperasi nelayan. Di Desa Pamotan ini belum
terdapat koperasi nelayan, namun sudah ada KUB di Ciawitali dan Majingklak
yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala RN (rukun nelayan).
4.5
Mata Pencaharian
Masyarakat Desa Pamotan secara umum merupakan masyarakat agraris
dengan budaya pertanian yang masih melekat pada masyarakatnya. Sebagian
besar masyarakat masih mencari nafkah dengan pola ekstraksi sumberdaya alam
yang ada di lingkungan mereka. Hal ini ditunjukan oleh banyaknya jumlah
masyarakat yang bekerja sebagai petani dan nelayan. Berikut disajikan jumlah
penduduk Desa Pamotan menurut mata pencaharian :
47
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No.
Mata Pencaharian
Jumlah
(jiwa)
(persen)
1.
Karyawan (pegawai negeri sipil,
ABRI/TNI, dan pegawai swasta)
90
5,3
2.
Wiraswasta/Pedagang
165
9,7
3.
Tani dan Buruh Tani
746
43,7
4.
Pertukangan
168
9,8
5.
Pensiunan
17
1,0
6.
Nelayan
493
28,9
7.
Pemulung
4
0,2
8.
Jasa
23
1,3
1706
100
Total
Sumber : Data Monografi Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, 2010
Pertanian di Desa Pamotan didominasi oleh pertanian padi sawah dengan
sistem irigasi. Terdapat saluran irigasi sepanjang dua ribu meter yang mengaliri
sawah-sawah di Desa Pamotan
Selain padi, hasil produksi pertanian yang berasal dari desa ini antara lain
adalah jagung, ketela pohon, kacang-kacangan, kelapa, kopi, coklat serta berbagai
buah-buahan seperti pisang dan salak. Namun secara keseluruhan hasil produksi
padi masih sangat mendominasi dan mempengaruhi budaya pertanian masyarakat
Desa Pamotan. Beberapa masyarakat juga berternak ayam kampung, itik,
kambing, domba, sapi serta kelinci. Selain menjadi komoditas peternakan yang
cukup menghasilkan, kotoran ternak ini juga kemudian diolah oleh petani untuk
menjadi pupuk kompos yang tidak hanya digunakan untuk lahan pertaniannya
sendiri namun melalui wadah kelompok tani, masyarakat Desa Pamotan telah
mampu memproduksi pupuk kompos untuk dijual keluar dari desanya.
BAB V
SOSIO-EKOLOGI NELAYAN
5.1 Kondisi Umum Sosio-Ekologi Nelayan
Berbeda dengan sosiologi pedesaan yang berbasis pada society,
sebagaimana dijelaskan oleh Satria (2002) sosiologi masyarakat pesisir
direkonstruksi dari basis sumberdaya. Masyarakat pesisir merupakan masyarakat
dengan ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir. Berbagai
sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir merupakan sumber kehidupan
masyarakat yang kemudian mempengaruhi terbentuknya karakter masyarakat
tersebut. Sebagian besar masyarakat Dusun Ciawitali menggantungkan hidup dari
pola-pola ekstraksi sumberdaya alam yang berada di wilayah pesisir Ciawitali.
Terdapat tiga tipe topografi yang masing-masing memiliki potensi sumberdaya
alam yang berbeda di Dusun Ciawitali. Berbagai sumberdaya tersebut dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Tipe Topografi, Karakter dan Potensi Sumberdaya Dusun Ciawitali
Tipe Topografi
Karakter
Potensi Sumberdaya
Pantai
ï‚· wilayah perairan yang ï‚· berbagai jenis ikan, udang,
sudah
mulai tercemar
kepiting,
oleh
lumpur
kerang-kerangan.
serta
cumi-cumi
serta
sampah yang terbawa
aliran sungai
ï‚· Mangrove
ï‚· berbagai kerang-kerangan, ikan
belanak, kepiting, udang
Bebukitan
tanah berkapur
kebun
palawija
dan
kebun
tanaman kayu (jati dan sengon)
Dataran Rendah
rawa-rawa
sawah dan kolam ikan air tawar
Di wilayah pantai, dapat ditemui kawasan mangrove dengan berbagai
potensi sumberdaya alam, salah satunya yang bernilai ekonomis cukup tinggi
yaitu kepiting bakau. Banyak masyarakat Ciawitali yang bekerja sebagai pencari
49
kepiting. Hal ini dilakukan baik oleh petani disela-sela waktu tanam padi, juga
oleh nelayan jika cuaca tidak memungkinkan untuk mencari ikan ke tengah
lautan. Di wilayah bebukitan terdapat lahan yang biasanya ditanami oleh
masyarakat dengan berbagai macam tanaman palawija seperti singkong dan
jagung. Selain itu, masyarakat juga menanam pisang, kelapa serta berbagai
tanaman kayu seperti sengon dan jati. Dataran rendah Ciawitali cenderung
didominasi oleh lahan basah berupa rawa-rawa. Sebagian besar masyarakat
memanfaatkannya sebagai lahan pertanian padi sawah.
Kondisi ekologi semacam ini memberi peluang nafkah bagi masyarakat
pesisir tersebut. Profesi nelayan di Ciawitali didominasi oleh tani-nelayan.
Luasnya lahan yang terdapat di Ciawitali memicu masyarakat memanfaatkan
lahan tersebut sebagai lahan pertanian. Sedangkan melimpahnya sumberdaya
yang ada di wilayah perairan juga menarik masyarakat untuk mencari ikan dan
tangkapan lainnya. Hal ini menyebabkan petani di Ciawitali biasanya juga turut
mencari ikan ketika tiba musim-musim melaut dan mendominasi populasi nelayan
di musim-musim banyaknya ikan tersebut. Sementara dari sekian banyak para
pencari ikan (nelayan) di Dusun Ciawitali, hanya sekitar sepuluh persen saja
diantaranya yang benar-benar nelayan penuh, sebagaimana diungkapkan oleh
salah seorang tokoh nelayan, JA (38 tahun):
“….kalau di musim-musim seperti ini (paceklik) setiap hari hanya satu
atau dua perahu saja yang turun mencari ikan, dari sekitar 20-an
perahu nelayan yang ada di Ciawitali. Nelayan lainnya hanya turun di
musim-musim ketika ikan sudah mulai banyak. Kalau saat ini mereka
biasanya lebih memilih untuk bekerja di kebun atau di sawah.”
Hal senada juga diungkapkan oleh WG (40 tahun) selaku ketua Rukun
Nelayan (RN) di Ciawitali:
“....jumlah nelayan yang terdata di KUB (kelompok usaha bersama)
Putra Kendal Ciawitali saat ini memang sebanyak seratus sepuluh
orang. Namun tidak bisa dipastikan mereka masih aktif melaut.
Perkiraan saya hanya sekitar sepuluh persennya saja yang masih aktif.
Kebanyakan sudah beralih profesi, karena hasil yang diperoleh dari laut
tidak lagi mencukupi untuk kehidupan sehari-hari.”
Nelayan penuh yang didefinisikan oleh Ditjen Perikanan Tangkap
Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) yaitu nelayan yang seluruh waktu
kerjanya
digunakan
untuk
melakukan
pekerjaan
operasi
penangkapan
50
ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan penuh di Ciawitali juga diartikan
sebagai nelayan yang tidak beralih profesi ketika musim paceklik tiba. Nelayan
seperti ini jika cuaca tidak memungkinkan untuk mencari ikan biasanya tetap
menunggu dan mencari celah untuk dapat pergi ke laut. Jika musim paceklik tiba,
mereka tetap mencari ikan ataupun mencari alternatif tangkapan lainnya. Para
nelayan penuh di Ciawitali biasanya juga melakukan ekspansi wilayah tangkapan
dan aktif mencari informasi dari satu nelayan ke nelayan lainnya tentang lokasilokasi penangkapan ikan yang berpotensi pada saat itu.
5.2 Karakteristik Nelayan
Karakteristik masyarakat nelayan Ciawitali sebagai representasi komunitas
desa-pantai dan desa terisolasi dapat dilihat dari berbagai aspek berdasarkan
uraian Satria (2002) tentang karakteristik masyarakat pesisir:
1) Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan serta teknik-teknik penangkapan ikan yang diterapkan
oleh nelayan Ciawitali merupakan pengetahuan yang diperoleh secara
turun-temurun dan hasil pengalaman empirik dari nelayan-nelayan
sebelumnya. Pengetahuan ini telah menjadi kekayaan intelektual berupa
pengetahuan lokal (indigenous knowledge) masyarakat setempat. Sistem
pengetahuan yang diterapkan oleh masyarakat nelayan Ciawitali dalam
musim penangkapan ikan berupa sistem penanggalan yang biasa disebut
Pranata Mangsa atau tata masa. Setiap mangsa memiliki artinya masingmasing. Adapun susunan Pranata Mangsa tersebut dapat dilihat pada
Tabel 9.
51
Tabel 9. Pranata Mangsa
Mangsa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Awal
22 Juni
2 Agustus
25 Agustus
18 September
13 Oktober
9 November
22 Desember
3 Februari
1 Maret
26 Maret
19 April
12 Mei
Akhir
1 Agustus
24 Agustus
17 September
12 Oktober
8 November
21 Desember
2 Februari
29 Februari
25 Maret
18 April
11 Mei
21 Juni
Musim penangkapan ikan biasanya dimulai pada mangsa empat hingga
mangsa enam. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan lokal masyarakat
Ciawitali yang beranggapan bahwa musim mijah ikan-ikan berlangsung
pada mangsa-mangsa tersebut. Sebagaimana pendapat seorang sesepuh
desa HD (61):
“....nelayan di sini biasa melaut pada mangsa kapat (empat)
sampai mangsa enam. Karena dari mangsa kapat sampai
mangsa enam itu musim mijahnya ikan, jadi banyak ikan-ikan
yang ke pinggir.”
Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat para nelayan yang hampir
seluruhnya menjawab:
“…musim menangkap ikan biasanya memang jatuh pada
mangsa empat sampai mangsa enam. Bulan-bulan yang
berakhiran dengan –ber. September, Oktober, sampai
Desember.”
Perhitungan Pranata Mangsa ini juga disertai dengan pengetahuan lokal
berupa perhitungan masa ngember atau pasang-surut air lautan. Para
nelayan Ciawitali menghitung periode ngember terbagi menjadi empat
periode dalam setiap satu mangsa dimana terdapat dua periode surut
(ngember) dan dua periode pasang yang saling bergantian. Perhitungan
pasang-surut air laut ini juga mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan.
Terlebih kondisi ekosistem di sekitar perairan Ciawitali yang telah
52
mengalami pendangkalan akibat sedimen yang terbawa aliran sungai
Citanduy.
2) Kepercayaan
Menurut
Satria
(2002) secara
teologi,
nelayan
masih memiliki
kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam
melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil
tangkapan semakin terjamin. Demikian pula pada nelayan Ciawitali. Pada
masa-masa ketika terjadi panen raya, atau hasil tangkapan yang melimpah
secara serempak dialami oleh nelayan melakukan ritual Berkah Bumi
sebagai ungkapan syukur kepada alam semesta.
3) Peran Wanita
Selain dalam urusan domestik rumah tangga, peran wanita juga merupakan
satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian nelayan.
Seringkali para suami (nelayan) melakukan perjalanan mencari ikan
(melaut) selama berhari-hari. Di masa-masa ini, biasanya para istri nelayan
akan berinisiatif mencari hasil tangkapan di wilayah mangrove, seperti
ikan belanak, kepiting serta kerang-kerangan. Hasil tangkapan ini biasanya
menjadi konsumsi rumah tangga selama menunggu para nelayan kembali
dari melaut. Sekembalinya nelayan dari melaut, para istri nelayan juga
biasanya menunggu langsung di lokasi pelelangan ikan. Hal ini tidak
hanya semata-mata tugas moral menyambut suami sepulang melaut,
namun juga berperan dalam tawar-menawar dengan tengkulak serta
memastikan keamanan hasil tangkapan dari pencuri-pencuri ikan di TPI
(Tempat Pelelangan Ikan).
4) Struktur Sosial
Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi perikanan nelayan
Ciawitali seperti layaknya struktur hubungan produksi di kebanyakan
lingkungan nelayan di wilayah lainnya di Indonesia. Struktur ini dicirikan
oleh kuatnya ikatan patron-klien. Menurut Satria (2002) kuatnya ikatan
tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan
yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Hubungan para nelayan
(kien) dengan tengkulak atau bos (patron) tidak hanya sebatas hubungan
53
produksi, dimana nelayan menjual ikan kepada tengkulak. Ketergantungan
nelayan kepada tengkulak timbul karena pada musim paceklik, para
tengkulak memberikan pinjaman kepada nelayan untuk memenuhi
kebutuhan ekonominya. Hal ini kemudian menimbulkan ikatan sosial yang
kuat dimana para nelayan memiliki loyalitas yang tinggi kepada tengkulak
tersebut bukan semata-mata karena kewajibannya membayar pinjaman.
5) Posisi Sosial Nelayan
Posisi sosial nelayan Ciawitali tidak berbeda jauh dengan posisi sosial
nelayan di banyak tempat di Indonesia, yaitu berada dalam status yang
cenderung lebih rendah. Keterasingan serta keterbatasan kapital yang
dimiliki oleh nelayan menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya status
sosial nelayan ini. Secara geografis, perkampungan nelayan Ciawitali
berada cukup jauh dari wilayah pemukiman masyarakat bukan nelayan.
Hal ini disertai dengan alokasi waktu keluarga nelayan yang tinggi
terhadap usaha perikanan menyebabkan rendahnya interaksi masyarakat
nelayan dengan masyarakat bukan nelayan.
5.3
Pola Produksi Nelayan
Pola perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali masih
dilakukan dengan pola-pola tradisional. Jika dilihat dari kapasitas teknologi (alat
tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi
berdasarkan empat tingkatan penggolongan nelayan oleh Satria (2002), nelayan
Ciawitali tergolong nelayan Post-peasant fisher, yaitu nelayan dengan
penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seiring dengan
perkembangan motorisasi perikanan. Orientasi penangkapan ikan tidak lagi hanya
untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence), melainkan orientasi pasar.
Dengan daya tangkap yang lebih besar dibanding peasant fisher dan surplus dari
hasil tangkapan itu, nelayan jenis ini sudah berorientasi pada pemenuhan
permintaan pasar, serta tenaga kerja di setiap perahu nelayan tidak bergantung
pada anggota keluarga saja.
Penjualan hasil tangkapan nelayan dilakukan di TPI (tempat pelelangan
ikan) KUB Putra Kendal Ciawitali. Setiap pagi atau di waktu-waktu nelayan
54
pulang dari melaut biasanya di TPI tersebut para bos (tengkulak) sudah menunggu
untuk membeli hasil tangkapan nelayan. Setiap nelayan memiliki bos-nya masingmasing. Kebanyakan nelayan biasanya setia pada satu bos dan hubungan yang
terjalin memang cukup erat. Menurut Satria (2002) kuatnya ikatan ini merupakan
konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan
ketidakpastian. Pada masa-masa paceklik biasanya bos memberikan pinjaman
kepada nelayan. Konsekuensinya ketika musim ikan telah tiba nelayan secara
tidak
langsung
wajib
menjual
tangkapannya
kepada
bos
yang
telah
memberikannya pinjaman tersebut.
5.3.1 Armada dan Peralatan Tangkap
Armada yang digunakan oleh nelayan Ciawitali untuk penangkapan ikan
hingga saat ini berupa perahu fiber sepanjang sembilan meter dan lebar sekitar
satu meter. Di kanan dan kiri badan perahu terdapat penyeimbang yang terbuat
dari kayu ataupun bambu. Sebagai sumber tenaga digunakan mesin tempel
berkekuatan 15 PK dengan bahan bakar bensin. Dalam satu kali pelayaran
mencari tangkapan, nelayan minimal menghabiskan sebanyak sepuluh liter bensin
per hari. Total jumlah perahu nelayan yang terdapat di Ciawitali adalah dua puluh
lima perahu. Masing-masing perahu dimiliki oleh seorang nelayan. Dalam sekali
melaut biasanya terdapat empat sampai lima nelayan di satu perahu, sehingga
biaya operasional untuk melaut ditanggung bersama dari hasil penangkapan ikan.
Peralatan tangkap yang digunakan oleh nelayan Ciawitali umumnya
berupa jaring dan pancing. Ukuran jaring dan pancing ini berbeda-beda
tergantung dari tangkapan yang dicarinya. Perbedaan berbagai jenis alat tangkap
ini dapat dilihat pada tabel 10.
55
Tabel 10. Jenis Alat Tangkap (Jaring dan Pancing)
Jenis Alat Tangkap
Pancing
Jaring
Jenis Tangkapan
ï‚·
kail no.7 dan senar no. 500
ï‚· kakap, kerapu
ï‚·
kail no.8-9 dan senar no. 200
ï‚· layur

mata jaring berukuran 2 inci
 layur

jaring sirang atau jaring dengan ukuran  bawal
mata jari 5-6 inci
(ikan
yang
berukuran lebih besar)
5.3.2 Pemetaan Wilayah Tangkapan
Komunitas nelayan yang menempati satu lokasi pada suatu daerah
umumnya memiliki wilayah penangkapan ikan (fishing ground) tertentu. Wilayah
penangkapan ini merupakan daerah jelajah atau area tetap bagi nelayan dalam
usahanya mencari ikan. Di Ciawitali sendiri terdapat wilayah penangkapan telah
dijelajahi nelayan selama bertahun-tahun. Hal ini terjadi sebagai suatu proses
adaptasi yang dilakukan nelayan dalam mengahadapi kondisi ekologi wilayah
perairan tersebut. Selain banyaknya tangkapan yang dapat dihasilkan, penentuan
wilayah tangkapan ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain diantaranya
yaitu gelombang dan arah angin yang sangat mempengaruhi keamanan nelayan
dalam aktivitas pencarian tangkapan.
Nelayan Ciawitali masih menggunakan cara-cara tradisional dalam
menentukan wilayah penangkapan, seperti melihat kumpulan ikan-ikan kecil di
permukaan air untuk memperkirakan banyaknya ikan-ikan besar yang ada di
bawahnya. Penggunaan teknik-teknik yang lebih modern, seperti memanfaatkan
informasi dari satelit oseanografi sama sekali belum dilakukan oleh nelayan. Hal
ini terkendala oleh tingkat pengetahuan nelayan yang rendah serta minimnya
keterdedahan nelayan terhadap media untuk mengakses informasi tersebut.
Area penangkapan ikan nelayan Ciawitali sendiri berkisar di antara pesisir
barat Pulau Nusa Kambangan. Ini merupakan lokasi aman bagi nelayan untuk
mencari ikan terutama ketika datangnya musim angin timur. Angin merupakan
salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan.
Bahaya yang besar dapat menimpa nelayan akibat datangnya angin dengan
intensitas yang tinggi. Jika musim angin timur tiba, nelayan dapat dengan aman
56
mencari ikan di wilayah pesisir Barat Nusa Kambangan karena pulau tersebut
meredam angin yang datang dari arah timur. Sedangkan pada musim angin barat,
seluruh wilayah tangkapan nelayan terkena hembusan angin dari arah barat yang
terbuka. Hal ini menjadi kendala yang cukup serius, sebagaimana diungkapkan
oleh salah satu nelayan, NR (37 tahun) :
“….kalau datang musim angin barat, nelayan yang ke laut sedikit sekali,
malah hampir tidak ada. Semua wilayah kena angin, jadi bahaya sekali
kalau memaksakan tetap pergi ke laut.”
Kendala yang terjadi akibat datangnya musim angin barat ini kemudian
memicu terjadinya ekspansi (perluasan) wilayah tangkapan ke bagian selatan
Pulau Nusa Kambangan. Nelayan yang bertekad kuat untuk tetap mencari ikan
serta nelayan dengan nyali yang cukup tinggi saja yang biasanya mampu melewati
gelombang laut yang besar dari tiupan angin barat ini untuk mencapai wilayah
perairan di sebelah selatan Pulau Nusa Kambangan. Salah satunya adalah JA (38
tahun) :
“….bisa saja kalau mau memaksakan tetap melaut di musim angin
barat. Perahu dibawa melipir di pinggiran pulau dan tentu harus sangat
berhati-hati untuk mencapai wilayah sebelah selatan ke arah timur Nusa
Kambangan. Tapi biasanya jarang sekali yang mau sampai begitu.
Selain berbahaya, ongkos (bensin yang dibutuhkan) juga harus besar.”
57
Gambar 3. Peta Wilayah Tangkapan Nelayan Ciawitali3
Gambar 3 di atas memperlihatkan lokasi penangkapan ikan nelayan
Ciawitali yang terlindung dari terpaan angin timur. Jalur yang digunakan oleh
nelayan untuk mencapai wilayah penangkapan ikan ini ditandai dengan garis
berwarna merah. Jalur ini diawali dengan sebuah sungai kecil yang berada di
tengah hamparan rawa-rawa dan kawasan mangrove yang masih merupakan
wilayah Dusun Ciawitali. Berdasarkan keterangan masyarakat, kondisi mangrove
ini tiap tahun semakin bertambah kerusakannya. Apabila menyusuri sungai
tersebut dapat terlihat banyak sekali bekas-bekas pohon bakau yang telah ditebang
sehingga kerusakan yang terjadi di wilayah mangrove ini semakin tampak jelas.
Sungai kecil yang biasa dilewati oleh nelayan ini adalah Sungai Ciawitali. Pada
waktu-waktu tertentu ketika air surut, sungai ini sama sekali tidak dapat dilewati
sehingga para nelayan harus mendorong perahunya beberapa meter. Selain
kedangkalan sungai, terdapat pula penumpukan sampah di sepanjang aliran sungai
menuju laut ini. Tidak jarang baling-baling mesin perahu nelayan tersangkut oleh
sampah dalam perjalanan.
2
Dasar peta wilayah ini merupakan foto satelit yang diperoleh dari situs Google Earth
58
Pelawangan merupakan sebuah celah yang terbentuk dari dua buah daratan
yang berdekatan. Pelawangan ini adalah ujung atau pintu terakhir dari jalur yang
dilalui oleh nelayan sebelum mencapai lautan lepas. Di celah ini terdapat beberapa
gugusan karang besar yang menjadi pembatas pintu keluar perahu nelayan. Pada
waktu-waktu tertentu ketika gelombang laut sedang besar, perahu nelayan tidak
dapat melewati celah ini. Hal ini menjadi satu kendala yang cukup serius sebab
nelayan akan tidak dapat melaut sama sekali ketika gelombang besar dan menutup
akses nelayan untuk mencapai wilayah penangkapan.
5.3.3 Musim Penangkapan Ikan
Pemanfaatan wilayah laut sebagai penghasil sumberdaya perikanan
tangkap tidak hanya membutuhkan kemampuan nelayan serta armada yang
digunakan
untuk
memperoleh
tangkapan.
Untuk
itu
dibutuhkan
pula
pertimbangan beberapa faktor yang menentukan waktu-waktu yang tepat untuk
pergi ke laut. Salah satu faktor yang paling menentukan untuk melaut atau
tidaknya nelayan adalah faktor cuaca dan iklim. Pada suatu komunitas nelayan
biasanya terdapat musim penangkapan ikan yang ditetapkan sendiri oleh para
nelayan tersebut dengan menyesuaikan kondisi cuaca ataupun iklim serta
keberadaan ikan-ikan di wilayah penangkapan mereka.
Faktor-faktor iklim tersebut yang selama ini mempengaruhi kegiatan
melaut para nelayan Ciawitali adalah musim hujan, musim kemarau, angin timur,
angin barat, dan tingginya gelombang. Musim hujan berpengaruh pada kegiatan
melaut para nelayan sebab hujan di wilayah laut cenderung berkorelasi dengan
kemungkinan terjadinya badai. Kebanyakan nelayan enggan untuk melaut ketika
mendekati puncak musim hujan untuk menghindari resiko terkena badai di lautan.
Sedangkan musim kemarau merupakan momentum nelayan untuk melakukan
kegiatan melaut mengingat kemungkinan terjadinya angin kencang dan
gelombang besar yang membahayakan kegiatan mencari ikan cenderung lebih
kecil. Seperti telah dijelaskan bada sub-bab sebelumnya, angin timur dan angin
barat memerikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan nelayan. Angin
barat merupakan hambatan bagi nelayan Ciawitali untuk melaut, sedangkan
musim angin timur merupakan momentum nelayan untuk pergi ke laut karena
59
wilayah tangkapan yang terhalang Nusa Kambangan di sebelah timurnya. Faktor
terakhir yang mempengaruhi adalah tingginya gelombang. Selain dapat berakibat
buruk pada kegiatan nelayan jika gelombang tinggi datang secara tiba-tiba,
gelombang tinggi ini juga merupakan penghambat bagi nelayan Ciawitali untuk
melintasi Pelawangan sebelum mencapai laut lepas.
Berikut disajikan kalender musim nelayan Ciawitali yang diperoleh
dengan melakukan FGD (focused group discussion) bersama para nelayan di
Ciawitali.
Gambar 4. Kalender Musim Nelayan Ciawitali
Gambar 4 memperlihatkan musim penangkapan ikan nelayan Ciawitali
yang berkisar antara bulan Juli hingga November. Intensitas pencarian ikan yang
tinggi yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali jatuh pada bulan Agustus hingga
Oktober. Hal ini juga diimbangi oleh hasil tangkapan yang melimpah pada bulanbulan tersebut. Musim penangkapan ikan sebenarnya sudah dimulai pada bulan
Juli, mengingat cuaca yang mendukung kegiatan pencarian ikan dimana bulan Juli
merupakan musim angin timur dan awal musim kemarau. Namun biasanya pada
bulan tersebut ikan yang didapat tidak sebanyak ikan yang didapat pada bulan
60
Agustus hingga Oktober. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di bulan
November dimana musim ikan masih berlangsung pada bulan ini. Namun nelayan
mengalami kendala untuk melaut akibat gelombang tinggi yang biasanya terjadi di
bulan November. Bulan November ini juga mendekati puncak angin barat
sehingga nelayan sulit untuk melaut, walaupun ikan yang terdapat di lautan masih
cukup banyak.
BAB VI
KARAKTERISTIK DAN PERILAKU KOMUNIKASI
RESPONDEN PENELITIAN
6.1
Karakteristik Responden Penelitian
Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang secara personal melekat pada
individu responden penelitian yang keseluruhannya merupakan nelayan di Dusun
Ciawitali. Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia,
pendidikan, lama tinggal di Ciawitali, pengalaman nelayan serta klasifikasi
nelayan. Pemilihan kelima variabel ini berdasarkan kebutuhan data yang nantinya
akan dianalisis kaitannya dengan persepsi nelayan terhadap perubahan iklim.
6.1.1 Usia
Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai dengan saat
dilakukannya penelitian. Jumlah dan persentase usia responden berdasarkan survai
dapat dilihat dalam Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia
Usia
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Usia muda (<41 tahun)
27
57,4
Usia tua (≥41 tahun)
20
42,6
Total
47
100,0
Usia responden bervariasi mulai dari usia termuda yaitu 27 tahun dan usia
tertua yaitu 59 tahun. Berdasarkan data keseluruhan, diketahui usia rata-rata
responden yaitu 41 tahun. Dengan demikian, penggolongan usia responden dibagi
menjadi responden muda dengan usia kurang dari 41 tahun dan usia tua lebih dari
atau sama dengan 41 tahun. Jumlah responden dengan usia muda adalah 27 orang
dan merupakan 57,4 persen responden, dan responden dengan usia tua sebanyak
20 orang atau 42,6 persen dari keseluruhan responden.
62
6.1.2 Pendidikan
Pendidikan adalah tingkat belajar formal yang pernah dilalui oleh
responden. Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat
dalam Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah (tamat atau tidak tamat SD)
35
74,5
Sedang (tamat SMP)
10
21,3
Tinggi (tamat SMA)
2
4,3
Total
47
100,0
Berdasarkan data hasil survai terhadap 47 orang nelayan, diketahui 35
orang nelayan atau 74,5 persen responden tergolong dalam kategori berpendidikan
rendah, yaitu hanya mencapai jenjang Sekolah Dasar. Sebanyak 10 orang nelayan
atau 21,3 persen responden berpendidikan sedang, yaitu tamat Sekolah Menengah
Pertama dan hanya 2 orang nelayan atau 4,3 persen responden saja yang tergolong
berpendidikan tinggi, atau tamat Sekolah Menengah Atas.
6.1.3 Lama Tinggal di Ciawitali
Lama tinggal di Ciawiali adalah jumlah waktu yang telah dilalui oleh
responden menempati tempat tinggalnya di Ciawitali. Seberapa jauh seseorang
mengetahui kondisi wilayah tempat tinggal serta perubahan-perubahan yang
terjadi di dalamnya dipengaruhi oleh lamanya waktu tinggal yang telah dilaluinya
di wilayah tersebut. Jumlah dan persentase responden berdasarkan lamanya waktu
tinggal di Ciawitali dapat dilihat dalam Tabel 13.
63
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lamanya Tinggal di
Ciawitali
Lama Tinggal
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah (≤ 15 tahun)
13
27,7
Tinggi (> 15 tahun)
34
72,3
Total
47
100,0
Berdasarkan survai yang dilakukan terhadap 47 orang nelayan Ciawitali,
diketahui 13 orang nelayan atau 27,7 persen responden tinggal di wilayah
Ciawitali kurang dari atau selama 15 tahun. Sebanyak 34 orang nelayan atau 72,3
responden lainnya telah tinggal di Ciawitali lebih dari 15 tahun. Hal ini sekaligus
merepresentasikan masyarakat Ciawitali yang sebagian besar merupakan
penduduk asli setempat.
6.1.4 Pengalaman Nelayan
Pengalaman nelayan adalah lamanya responden bekerja sebagai nelayan.
Semakin lama seseorang bekerja sebagai nelayan diduga mempengaruhi
pengetahuannya mengenai kondisi ekosistem laut serta perubahannya yang
mempengaruhi aktivitas pencarian hasil tangkapan. Jumlah dan persentase
responden berdasarkan pengalamannya sebagai nelayan dapat dilihat dalam Tabel
14.
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Bekerja
Sebagai Nelayan
Pengalaman Nelayan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah (≤ 15 tahun)
19
40,4
Tinggi (> 15 tahun)
28
59,6
Total
47
100,0
Sebagaimana responden yang sebagian besar telah menghabiskan waktu
yang cukup lama tinggal di wilayah Ciawitali, cukup banyak pula responden yang
telah menghabiskan waktu dalam hidupnya bekerja sebagai nelayan. Dari 47
64
orang responden, diperoleh data bahwa 19 orang diantaranya atau sebesar 40,4
persen responden bekerja sebagai nelayan kurang dari atau selama 15 tahun.
Sedangkan 28 orang atau 59,6 persen responden sisanya telah bekerja sebagai
nelayan selama lebih dari 15 tahun. Hal ini menunjukkan pengalaman nelayan
yang dirasa cukup tinggi untuk mengetahui kondisi ekosistem serta perubahan
yang terjadi di wilayah pesisir yang merupakan lokasinya mencari ikan dan hasil
tangkapan laut lainnya.
6.1.5 Klasifikasi Nelayan
Klasifikasi nelayan adalah penggolongan nelayan berdasarkan prioritasnya
bekerja sebagai nelayan dibandingkan dengan pekerjaan lain yang ditekuninya.
Klasifikasi nelayan ini terbagi menjadi tiga, yaitu nelayan penuh, nelayan
sambilan utama, dan nelayan musiman. Jumlah dan persentase responden
berdasarkan klasifikasi nelayan dapat dilihat dalam Tabel 15.
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Klasifikasi Nelayan
Klasifikasi Nelayan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Nelayan Penuh
15
31,3
Nelayan Sambilan Utama
13
27,7
Nelayan Musiman
19
40,4
Total
47
100,0
Sebanyak 15 orang nelayan atau 31,3 persen responden termasuk dalam
kategori nelayan penuh, yaitu orang yang berprofesi sebagai nelayan, tidak
memiliki pekerjaan lain selain nelayan dan mengalokasikan waktu kerja
sepenuhnya untuk kegiatan mencari hasil tangkapan di laut. Sebanyak 13 orang
nelayan atau 27,7 persen responden termasuk dalam kategori nelayan sambilan
utama, yaitu nelayan yang memiliki pekerjaan lain sebagai nelayan, namun masih
memprioritaskan kegiatan pencarian ikan dan tangkapan laut lainnya sebagai
pekerjaan utamanya. Sedangkan 19 orang nelayan atau 40,4 persen responden
merupakan nelayan musiman, yaitu seseorang yang melakukan kegiatan pencarian
ikan dan tangkapan laut lainnya hanya di musim-musim tertentu ketika kondisi
65
perairan cukup menjanjikan untuk memperoleh tangkapan yang menguntungkan.
Nelayan musiman ini biasanya adalah petani yang bekerja sampingan sebagai
nelayan ketika musim ikan tiba. Dari keseluruhan populasi nelayan, baik yang
terdata dalam data monografi desa maupun data KUB (Kelompok Usaha
Bersama) Putra Kendal Ciawitali, sebagian besar adalah nelayan musiman.
Bahkan banyak pula diantaranya yang saat ini sudah sama sekali tidak melakukan
pencarian ikan maupun tangkapan laut lainnya, namun masih terdata sebagai
nelayan di data monografi maupun data KUB tersebut.
6.2
Perilaku Komunikasi Responden Penelitian
Perilaku komunikasi adalah aktifitas responden dalam membuka diri dan
upaya mencari informasi yang bersifat inovatif serta informasi lingkungan dan
iklim melalui saluran komunikasi yang tersedia. Perilaku komunikasi tersebut
meliputi
kepemilikan
media,
keterdedahan
terhadap
media
elektronik,
keterdedahan terhadap media cetak, dan fungsi komunikasi interpersonal.
6.2.1 Kepemilikan Media
Kepemilikan media adalah banyaknya peralatan media komunikasi
informasi yang dimiliki oleh responden. Media komunikasi ini meliputi televisi,
radio, media cetak (koran atau majalah) dan buku atau bahan bacaan mengenai
lingkungan. Jumlah media yang dimiliki oleh responden (nelayan) merupakan
suatu langkah awal yang cukup berperan dalam masuknya informasi kepada
nelayan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan media atau
jumlah media yang dimiliki dapat dilihat dalam Tabel 16.
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Media
Kepemilikan Media
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah (1 sampai 2 media)
44
93,6
Tinggi (2 sampai 3 media)
3
6,4
Total
47
100,0
66
Sebanyak 44 orang nelayan atau 93,6 responden hanya memiliki 1 atau 2
media komunikasi saja. Sedangkan kepemilikan media yang tinggi, atau
responden yang memiliki 2 sampai 3 media hanyalah 3 orang atau 6,4 persen dari
keseluruhan responden.
6.2.2 Keterdedahan terhadap Media Elektronik
Keterdedahan terhadap media elektronik adalah frekuensi responden
menyimak radio dan televisi per minggunya serta pengalaman responden
memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media elektronik
tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media elektronik ini
merupakan penjumlahan dari skor frekuensi responden mendengarkan radio per
minggu, frekuensi responden menyimak televisi per minggu serta pengalaman
responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media
elektronik tersebut. Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterdedahan
terhadap media elektronik dapat dilihat dalam Tabel 17.
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterdedahan terhadap
Media Elektronik
Keterdedahan Terhadap Media
Elektronik
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
33
70,2
Tinggi
14
29,8
Total
47
100,0
Lebih dari separuh responden, yaitu sebanyak 33 orang atau 70,2 persen
merupakan responden dengan tingkat keterdedahan terhadap media elektronik
yang cukup rendah. Sedangkan 29,8 persen, atau 14 orang responden saja yang
memiliki keterdedahan terhadap media elektronik yang tinggi. Keterdedahan
terhadap media komunikasi elektronik dapat mempengaruhi sampainya berbagai
macam informasi ke dalam komunitas nelayan. Informasi dari berbagai macam
media ini dapat menjadi sarana nelayan dalam menambah pengetahuannya, baik
67
untuk mengantisipasi maupun untuk bereaksi terhadap perubahan yang terjadi di
wilayahnya.
6.2.3 Keterdedahan terhadap Media Cetak
Keterdedahan terhadap media cetak adalah frekuensi responden membaca
media cetak (koran/majalah/buku) per minggunya serta pengalaman responden
memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media cetak tersebut.
Penilaian keterdedahan responden terhadap media cetak ini merupakan
penjumlahan dari skor frekuensi responden membaca media cetak per minggu,
dan pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari
media-media cetak tersebut. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat
keterdedahan terhadap media cetak ini dapat dilihat dalam Tabel 18.
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Keterdedahan
terhadap Media Cetak
Keterdedahan Terhadap Media Cetak
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
46
97,9
Tinggi
1
2,1
Total
47
100,0
Hampir seluruh responden dalam penelitian ini diketahui memiliki
keterdedahan terhadap media cetak yang rendah. Hanya satu orang atau 2,1 persen
responden saja yang memiliki keterdedahan terhadap media cetak yang tinggi.
Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keterdedahan nelayan
yang rendah terhadap media cetak ini. Kegiatan pencarian ikan di laut merupakan
suatu kegiatan yang penuh dengan ketidakpastian. Nelayan tidak selalu dapat
mengalokasikan waktunya setiap minggu untuk membaca. Terlebih kualitas
pendidikan yang cenderung lebih rendah di kalangan nelayan tidak menumbuhkan
budaya gemar membaca. Serta lokasi pemukiman nelayan yang cenderung
terisolasi dan berada jauh dari perkotaan mengakibatkan akses masuknya media
cetak berupa koran atau harian berita terhambat.
68
6.2.4 Fungsi Komunikasi Interpersonal
Fungsi komunikasi interpersonal adalah aktifitas responden dalam mencari
informasi mengenai perubahan iklim melalui media komunikasi interpersonal.
Jumlah dan persentase responden berdasarkan fungsi komunikasi interpersonal
dapat dilihat dalam Tabel 19.
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Fungsi Komunikasi
Interpersonal
Fungsi Komunikasi Interpersonal
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
17
36,2
Tinggi
30
63,8
Total
47
100,0
Fungsi komunikasi yang rendah menunjukkan bahwa responden tidak
bersikap aktif dalam mencari informasi perubahan iklim melalui media
komunikasi interpersonal. Dalam hal ini, responden dapat berarti tidak pernah
ataupun tidak tertarik membicarakan perubahan iklim bersama orang lain.
Berdasarkan data survai yang dilakukan kepada 47 orang responden, diketahui
sebanyak 17 orang nelayan atau 36,2 persen responden memiliki fungsi
komunikasi interpersonal yang rendah. Sedangkan 30 orang sisanya, atau 63,8
persen responden tergolong memiliki fungsi komunikasi interpersonal yang tinggi.
Dalam hal ini responden dinyatakan aktif berbagi informasi bersama individu
ataupun kelompok lain tentang perubahan iklim.
BAB VII
PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK
SERTA PERILAKU KOMUNIKASI NELAYAN
7.1
Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah penafsiran nelayan
terhadap perubahan-perubahan ekologis yang terjadi akibat perubahan iklim.
Pengukuran persepsi dilihat melalui pernyataan-pernyataan yang mengandung
komponen kognitif meliputi sepuluh pernyataan tentang pengalaman dan
pengetahuan responden mengenai perubahan iklim. Persepsi terhadap perubahan
iklim yang tinggi menunjukkan bahwa responden telah mempersepsikan
terjadinya perubahan iklim dan perubahan ekologis wilayah pesisir Ciawitali serta
dampak dari perubahan tersebut yang mempengaruhi kegiatan pencarian ikan dan
tangkapan laut lainnya. Sedangkan persepsi terhadap perubahan iklim yang
rendah menunjukkan bahwa responden tersebut belum mempersepsikan terjadinya
perubahan iklim di wilayah pesisir Ciawitali. Tabel 20 menunjukkan jumlah dan
persentase responden berdasarkan persepsinya terhadap perubahan iklim.
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Persepsinya terhadap
Perubahan Iklim
Persepsi terhadap Perubahan Iklim
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
1
2,1
Tinggi
46
97,9
Total
47
100,0
Data tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan telah
mempersepsikan terjadinya perubahan iklim dan perubahan ekologis wilayah
pesisir Ciawitali serta dampak dari perubahan tersebut yang mempengaruhi
kegiatan pencarian ikan dan tangkapan laut lainnya. Hanya satu orang responden
atau 2,1 persennya saja yang belum mempersepsikan terjadinya perubahan iklim
di wilayah pesisir.
70
7.2
Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Karakteristik Individu
Terdapat
lima variabel dalam karakteristik individu yang diuji
hubungannya dengan persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. Variabel
tersebut adalah usia, pendidikan, lamanya tinggal di Ciawitali, pengalaman
nelayan serta klasifikasi nelayan. Variabel usia dapat berhubungan dengan
persepsi nelayan dimana perbedaan lama hidup individu diasumsikan dapat
menimbulnya pemahaman yang berbeda mengenai perubahan fisik lingkungan di
sekitar individu tersebut. Variabel pendidikan dapat berhubungan dengan persepsi
nelayan dimana perbedaan tingkat pendidikan diasumsikan dapat memberikan
pengaruh yang berbeda pada pengetahuan dan upaya individu menganalisis
perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya menjadi sebuah informasi.
Variabel lama tinggal di Ciawitali dapat berhubungan dengan persepsi nelayan
dimana perbedaan lamanya waktu yang telah dilalui nelayan tinggal di Ciawitali
diasumsikan dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda mengenai kondisi
ekologis dan lingkungan Ciawitali. Variabel pengalaman nelayan dapat
berpengaruh terhadap persepsi nelayan dimana perbedaan lamanya individu
bekerja sebagai nelayan diasumsikan dapat menimbulkan pemahaman yang
berbeda mengenai perubahan kondisi ekologis lautan. Sementara klasifikasi
nelayan dapat berpengaruh terhadap persepsi nelayan dimana perbedaan tipikal
nelayan dapat berarti perbedaan curahan waktu kerja sebagai nelayan diasumsikan
dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda mengenai perubahan kondisi
ekologis lautan. Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis hubungan
antara sejumlah variabel karakteristik responden dengan persepsi terhadap
perubahan iklim adalah metode analisis uji korelasi Rank Spearman yang
berfungsi untuk menunjukkan kuat atau tidaknya hubungan suatu variabel dengan
variabel lainnya.
7.2.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Usia Responden
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan usia
responden diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah usia yang berbeda
71
mempengaruhi persepsinya terhadap perubahan iklim. Persepsi terhadap
perubahan iklim ini meliputi pengukuran tingkat persepsi responden terhadap
terjadinya perubahan ekologis di wilayah pesisir serta pengukuran tingkat persepsi
responden terhadap dampak-dampak perubahan iklim yang dirasakan. Untuk usia
responden dibagi ke dalam dua kategori, yaitu usia muda atau responden dengan
usia di bawah rata-rata usia keseluruhan responden (41 tahun) dan usia tua, yaitu
responden dengan usia lebih tua atau sama dengan usia rata-rata responden. Hasil
uji korelasi dengan metode Rank Spearman menghasilkan data pada Tabel 21.
Tabel 21. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Usia Responden
Usia
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Usia
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
-.171
.
.250
47
47
-.171
1.000
.250
.
47
47
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,250 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara usia responden dengan persepsi terhadap perubahan iklim.
Hal ini menunjukkan persepsi yang tinggi terhadap perubahan iklim tidak
ditentukan oleh tua ataupun mudanya usia nelayan tersebut. Dalam kenyataan di
lapangan, baik nelayan berusia muda ataupun nelayan berusia tua sama-sama
telah menyadari terjadinya perubahan ekologis di lautan bahkan di dunia. Hal
tersebut semakin didukung oleh hasil tangkapan yang semakin sedikit.
7.2.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Pendidikan Responden
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
pedidikan responden diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah tingkat
pendidikan yang berbeda mempengaruhi persepsinya terhadap perubahan iklim.
72
Pendidikan responden terbagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah apabila
responden hanya mencapai Sekolah Dasar; sedang apabila responden telah tamat
Sekolah Menegah Pertama; dan tinggi apabila responden telah tamat Sekolah
Menengah Atas. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam
Tabel 22.
Tabel 22. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Pendidikan Responden
Pendidikan
Pendidikan
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
.086
.
.566
47
47
Koefisien Korelasi
.086
1.000
Sig. (2-tailed)
.566
.
47
47
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,566 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara pendidikan responden dengan persepsi terhadap perubahan
iklim. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menyadari terjadinya perubahan iklim
yang berdampak kepada kondisi ekologi pesisir nelayan tidak membutuhkan
jenjang pendidikan tertentu. Dengan kondisi pendidikan nelayan yang cenderung
rendah dimana 74,5 persen responden dalam penelitian hanya mencapai jenjang
pendidikan Sekolah Dasar, nelayan telah mampu menginterpretasikan perubahan
yang terjadi di lautan sebagai dampak perubahan iklim.
7.2.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
lamanya responden tinggal di Ciawitali diuji dengan tujuan untuk mengetahui
apakah persepsinya terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh lama-tidaknya
responden menempati tempat tinggalnya di Ciawitali. Lama tinggal ini terbagi
menjadi dua kategori yaitu tinggi apabila responden telah tinggal di Ciawitali
73
lebih dari lima belas tahun; dan rendah apabila responden baru menempati
wilayah Ciawitali selama kurang dari atau sama dengan lima belas tahun. Hasil
perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 23.
Tabel 23. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Lama Tinggal Responden di Ciawitali
Lama tinggal
Lama tinggal
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
.238
.
.107
47
47
Koefisien Korelasi
.238
1.000
Sig. (2-tailed)
.107
.
47
47
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,107 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara lamanya responden tinggal di Ciawitali dengan persepsi
terhadap perubahan iklim. Seberapa lama responden tinggal di wilayah Ciawitali
mungkin berpengaruh terhadap seberapa jauh responden tersebut memahami
kondisi lingkungannya. Namun dalam hal perubahan iklim yang berdampak pada
kodisi ekologi laut, responden telah mampu mempersepsikannya dengan tepat.
7.2.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Pengalaman Nelayan
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
lamanya responden bekerja sebagai nelayan diuji dengan tujuan untuk mengetahui
apakah persepsinya terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh lama-tidaknya
responden bekerja sebagai nelayan, dalam arti memiliki kontak langsung dengan
lingkungan yang mengalami perubahan. Kategori pengalaman nelayan ini terbagi
menjadi dua, yaitu tinggi apabila responden telah menjadi nelayan lebih dari lima
belas tahun; dan rendah apabila responden baru bekerja sebagai nelayan selama
kurang dari atau sama dengan lima belas tahun. Hasil perhitungan korelasi kedua
variabel ini ditunjukan dalam Tabel 24.
74
Tabel 24. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Pengalaman Nelayan
Pengalaman nelayan
Pengalaman
nelayan
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
.179
.
.229
47
47
Koefisien Korelasi
.179
1.000
Sig. (2-tailed)
.229
.
47
47
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,229 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara lamanya responden bekerja sebagai nelayan dengan
persepsi terhadap perubahan iklim. Kontak langsung yang dialami oleh nelayan
terhadap lingkungan laut dan pesisir telah menimbulkan suatu kesadaran akan
perubahan kondisi ekologis laut yang berbeda dari sebelumnya tanpa harus
bergantung pada lama-tidaknya nelayan tersebut menekuni kehidupan kencarian
ikan dan tangkapan laut lainnya.
7.2.5 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Klasifikasi Nelayan
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
klasifikasi nelayan diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah persepsi
terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh intensitas dan tipologi nelayan.
Klasifikasi nelayan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu nelayan penuh apabila
nelayan tersebut hanya memiliki satu pekerjaan saja sebagai nelayan sehingga
dapat diperkirakan nelayan jenis ini memiliki intensitas melaut yang lebih tinggi.
Kedua, nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang memiliki pekerjaan lain
namun hanya ditekuni apabila hasil laut sedang kurang baik. Nelayan jenis ini
masih memiliki intensitas melaut yang cukup tinggi, namun tidak setinggi nelayan
penuh. Ketiga, nelayan musiman yaitu orang yang pekerjaannya bukanlah nelayan
namun ikut pula melaut jika hasil lautan sedang melimpah. Hasil perhitungan
75
korelasi variabel persepsi terhadap perubahan iklim dengan klasifikasi nelayan ini
ditunjukan dalam Tabel 25.
Tabel 25. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Klasifikasi Nelayan
Klasifikasi nelayan
Klasifikasi
nelayan
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
.185
.
.212
47
47
Koefisien Korelasi
.185
1.000
Sig. (2-tailed)
.212
.
47
47
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,212 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara klasifikasi nelayan dengan persepsi terhadap perubahan
iklim. Besar-kecilnya intensitas nelayan mencari tangkapan di laut ternyata tidak
mempengaruhi kesadaran nelayan tersebut mengenai perubahan ekologi laut yang
disebabkan oleh perubahan iklim. Responden telah cukup mengetahui terjadinya
perubahan iklim dari dampak tidak langsung yang mereka rasakan, yaitu
menurunnya hasil tangkapan.
7.3
Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Perilaku Komunikasi Nelayan
Terdapat empat variabel dalam perilaku komunikasi nelayan yang diuji
hubungannya dengan persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. Variabel
tersebut adalah jumlah media komunikasi yang dimiliki oleh nelayan,
keterdedahan nelayan terhadap media komunikasi elektronik, keterdedahan
responden terhadap media cetak dan fungsi komunikasi interpersonal. Metode
analisis hubungan yang digunakan adalah metode uji korelasi Rank Spearman
yang berfungsi untuk menunjukkan kuat atau tidaknya hubungan suatu variabel
dengan variabel lainnya.
76
7.3.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Kepemilikan Media
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
jumlah media komunikasi yang dimiliki oleh responden diuji dengan tujuan untuk
mengetahui apakah kepemilikan media tersebut mempengaruhi persepsinya
terhadap perubahan iklim. Kepemilikan media ini terbagi ke dalam dua kategori
yaitu rendah apabila media komunikasi yang dimiliki oleh responden hanya
berjumlah satu atau dua media saja; dan tinggi apabila responden memiliki tiga
sampai empat media. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan
dalam Tabel 26.
Tabel 26. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Jumlah Media yang Dimiliki oleh Responden
Jumlah Media
Jumlah Media
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
.038
.
.797
47
47
Koefisien Korelasi
.038
1.000
Sig. (2-tailed)
.797
.
47
47
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,797 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara kepemilikan media dengan persepsi terhadap perubahan
iklim. Jumlah media yang dimiliki oleh responden (nelayan) merupakan suatu
langkah awal yang dirasa cukup berperan dalam masuknya informasi kepada
nelayan. Namun kontak langsung yang dialami oleh nelayan terhadap lingkungan
laut dan pesisir telah menimbulkan suatu kesadaran akan perubahan kondisi
ekologis laut yang berbeda dari sebelumnya tanpa harus bergantung pada media
komunikasi dan informasi.
77
7.3.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Keterdedahan terhadap Media Elektronik
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
keterdedahan responden terhadap media elektronik diuji dengan tujuan untuk
mengetahui apakah variabel tersebut mempengaruhi persepsinya terhadap
perubahan iklim. Keterdedahan terhadap media elektronik adalah frekuensi
responden menyimak radio dan televisi per minggunya serta pengalaman
responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media
elektronik tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media elektronik
ini merupakan penjumlahan dari skor frekuensi responden mendengarkan radio
per minggu, frekuensi responden menyimak televisi per minggu serta pengalaman
responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media
elektronik tersebut untuk kemudian menghasilkan pengkategorian tingkat
keterdedahan responden terhadap media elektronik yang terbagi menjadi dua,
yaitu tinggi dan rendah. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan
dalam Tabel 27.
Tabel 27. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Keterdedahan terhadap Media Elektronik
Keterdedahan terhadap
media elektronik
Keterdedahan
terhadap media
elektronik
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
.096
.
.521
47
47
Koefisien Korelasi
.096
1.000
Sig. (2-tailed)
.521
.
47
47
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,521 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara keterdedahan responden terhadap media elektronik dengan
persepsi terhadap perubahan iklim. Informasi perubahan iklim memang banyak
disiarkan dalam media informasi elektronik, namun nelayan yang mengalami
kontak langsung dengan lingkungan yang terkena dampak perubahan iklim telah
78
mampu mempersepsikan perubahan iklim yang terjadi secara nyata tanpa
perlunya pengaruh penginformasian perubahan iklim dari media elektronik.
7.3.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Keterdedahan Terhadap Media Cetak
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
keterdedahan responden terhadap media cetak diuji dengan tujuan untuk
mengetahui apakah variabel tersebut mempengaruhi persepsinya terhadap
perubahan iklim. Keterdedahan terhadap media cetak adalah frekuensi responden
membaca media cetak (koran/majalah/buku) per minggunya serta pengalaman
responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media cetak
tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media cetak ini merupakan
penjumlahan dari skor frekuensi responden membaca media cetak per minggu,
dan pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari
media-media cetak tersebut untuk kemudian menghasilkan pengkategorian tingkat
keterdedahan responden terhadap media cetak yang terbagi menjadi dua, yaitu
tinggi dan rendah. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam
Tabel 28.
Tabel 28. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Keterdedahan terhadap Media Cetak
Keterdedahan terhadap
media cetak
Keterdedahan
terhadap media
cetak
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
.022
.
.885
47
47
Koefisien Korelasi
.022
1.000
Sig. (2-tailed)
.885
.
47
47
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,885 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara keterdedahan responden terhadap media cetak dengan
persepsi terhadap perubahan iklim. Apabila dilihat dari angkanya, taraf
79
signifikansi ini berada cukup jauh dari korelasi kedua variabel. Dari keseluruhan
responden hanya satu orang atau 2,1 persen responden saja yang memiliki
keterdedahan terhadap media cetak yang tinggi. Namun sebaliknya, persepsi
nelayan terhadap perubahan iklim hampir seluruhnya tinggi. Hal ini menunjukkan
faktor keterdedahan terhadap media cetak secara signifikan tidak berpengaruh
terhadap
persepsi
nelayan
terhadap
perubahan
iklim.
Nelayan
dapat
mempersepsikan perubahan iklim dengan baik tanpa harus gemar membaca.
Terlebih kegiatan pencarian ikan di laut merupakan suatu kegiatan yang penuh
dengan ketidakpastian. Nelayan tidak selalu dapat mengalokasikan waktunya
setiap minggu untuk membaca. Kualitas pendidikan yang cenderung lebih rendah
di kalangan nelayan pun tidak menumbuhkan budaya gemar membaca. Serta
lokasi pemukiman nelayan yang cenderung terisolasi dan berada jauh dari
perkotaan mengakibatkan akses masuknya media cetak berupa koran atau harian
berita terhambat.
7.3.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Fungsi Komunikasi Interpersonal
Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
fungsi komunikasi interpersonal nelayan diuji dengan tujuan untuk mengetahui
apakah persepsi terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh fungsi komunikasi
interpersonal nelayan tersebut. Fungsi komunikasi interpersonal adalah aktifitas
responden dalam mencari informasi mengenai perubahan iklim melalui media
komunikasi interpersonal. Terbagi menjadi dua ketegori, yaitu rendah apabila
nelayan tidak pernah membicarakan perubahan iklim dengan orang lain; dan
tinggi apabila nelayan pernah membicarakan perubahan iklim dengan orang lain.
Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 29.
80
Tabel 29. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan
Fungsi Komunikasi Interpersonal
Fungsi komunikasi
interpersonal
Fungsi
komunikasi
interpersonal
Persepsi terhadap
perubahan iklim
1.000
.196
.
.187
47
47
Koefisien Korelasi
.196
1.000
Sig. (2-tailed)
.187
.
47
47
Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi terhadap
perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,187 atau
lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara fungsi komunikasi interpersonal responden dengan persepsi
terhadap perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh dampak perubahan iklim
memang terlah terjadi di wilayah pesisir Ciawitali, dan masing-masing nelayan
telah
merasakannya secara langsung.
Sehingga sering-tidaknya
nelayan
membicakan perubahan iklim tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
persepsi nelayan terhadap perubahan iklim.
7.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Nelayan terhadap
Perubahan Iklim
Rakhmat (2005) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang
objek, pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubugan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Berbagai
perubahan yang terjadi di wilayah Ciawitali sebagai dampak perubahan iklim
menjadi objek yang secara langsung berhubungan dengan nelayan yang memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap wilayah pesisir tersebut. Kontak langsung ini
kemudian memicu terbentuknya persepsi nelayan terhadap lingkungan tersebut,
termasuk sumber ataupun penyebab perubahan tersebut terjadi. Persepsi nelayan
terhadap perubahan iklim adalah penafsiran nelayan terhadap perubahanperubahan ekologis yang terjadi di wilayan pesisir sebagai dampak dari perubahan
iklim.
81
Data yang diperoleh dari survai terhadap 47 orang nelayan menunjukkan
bahwa hampir seluruh nelayan telah mempersepsikan perubahan iklim terjadi
wilayah Ciawitali. Hanya satu orang saja diantaranya (2,1 persen responden) yang
memiliki persepsi yang rendah terhadap perubahan iklim ini. Sedangkan dari uji
korelasi yang dilakukan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan
berbagai variabel karakteristik individu dan perilaku komunikasi, tidak ditemukan
satupun hubungan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Dampak perubahan iklim telah jelas sekali terjadi di pesisir Ciawitali,
sehingga hampir seluruh masyarakat telah membentuk persepsi yang sama
mengenai perubahan iklim, tidak peduli usia, pengalaman, karakteristik
individu lainnya dan tidak membutuhkan keterdedahan informasi yang
tinggi untuk menyadari dampak perubahan iklim telah terjadi di pesisir
Ciawitali.
2) Eratnya hubungan antara nelayan dengan sumberdaya pesisir, sehingga
berbagai perubahan yang terjadi telah ditafsirkan secara mandiri oleh
nelayan sebagai dampak perubahan iklim.
BAB VIII
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
PADA KEGIATAN PRODUKSI NELAYAN
8.1
Dampak Ekologis
Sebagaimana dipaparkan pada bab sebelumnya, nelayan Ciawitali
merupakan nelayan dengan pola penangkapan ikan tradisional yang menyesuaikan
diri terhadap alam dalam berbagai macam kegiatan pencarian ikan. Musim
penangkapan ikan nelayan Ciawitali berkisar antara bulan Juli hingga November,
yang merupakan penyesuaian kondisi wilayah tangkapan terhadap kondisi cuaca
sepanjang tahun. Perubahan cuaca di wilayah pesisir ini kemudian memicu
terjadinya berbagai perubahan dalam kegiatan penangkapan ikan yang disebabkan
oleh gejala-gejala perubahan iklim.
Perubahan iklim menyebabkan berbagai perubahan dalam ekosistem laut
antara lain disebabkan oleh perubahan temperatur dan keasaman akibat
penyerapan CO2 oleh lautan (UNEP, 2009; Chen, 2008). Secara global, perubahan
iklim di wilayah pesisir menyebabkan terjadinya kenaikan permukaan air laut,
perubahan pola hidrologi, pola angin, perubahan suhu dan keasaman air laut
(UNEP, 2009; Diposaptono, 2009; Chen, 2008). Berbagai perubahan ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan ekologis, antara lain intrusi air laut ke
daratan; gelombang ekstrim dan badai; genangan dan banjir; erosi pantai;
kerusakan terumbu karang; perubahan proses upwelling, gerombolan ikan;
perubahan pola migrasi ikan; perubahan morfologi pantai dan mangrove;
meningkatnya salinitas air, kerusakan lahan budidaya perikanan dan sumbersumber air tawar; serta meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan
(Chen, 2008; Diposaptono 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009). Di wilayah
Ciawitali gejala perubahan iklim telah menyebabkan berbagai perubahan ekologis
di wilayah laut yang dirasakan secara langsung oleh para nelayan dan
mempengaruhi aktivitas produksi perikanan tangkap. Berdasarkan perspektif
nelayan Ciawitali, perubahan tersebut meliputi perubahan musim ikan dan
kekacauan musim angin.
83
1) Perubahan musim ikan
Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan suhu permukaan laut
dan stratifikasi kolom air yang kemudian mempengaruhi proses upwelling di
lautan (Diposaptono, 2009; Chen, 2008). Suatu proses penting yang disebut
penaikan air (upwelling) terjadi dimana angin secara tetap menggerakan
permukaan air menjauhi lereng pantai yang terjal, dan membawa ke permukaan
air dingin yang kaya zat hara yang telah terkumpul di tempat dalam. Bagian lautan
yang paling produktif adalah di tempat terjadinya penaikan air ini (Odum, 1994).
Perubahan proses upwelling ini menyebabkan terjadinya perubahan pola migrasi
ikan dan gerombolan ikan (Diposaptono, 2009; Chen, 2008). Secara sederhana,
masyarakat nelayan Ciawitali telah memahami bahwasanya perubahan suhu
lautan telah menyebabkan bepindahnya ikan-ikan, sebagaimana diungkapkan oleh
salah seorang nelayan NR (37 tahun) :
“…ketika musim kemarau (panas), ikan-ikan yang diperoleh cenderung
lebih sedikit. Namun bila musim kemarau telah berakhir, ikan-ikan
kembali banyak. Terutama setelah berakhirnya kemarau yang
berkepanjangan, setidaknya tiga bulan, biasanya tangkapan kembali
melimpah.”
Perubahan salinitas laut juga merupakan faktor yang menyebabkan
perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian kondisi tempat hidup
yang berubah (Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009). Musim hujan yang
berkepanjangan di tahun 2010 merupakan salah satu contoh yang menyebabkan
menurunnya salinitas laut di wilayah perairan Ciawitali. Para nelayan
mengeluhkan menurunnya produksi tangkapan ikan di tahun 2010 dan tahuntahun ke belakang dimana intensitas curah hujan terjadi lebih besar dari
normalnya.
Perubahan musim ikan ini sangat berpengaruh terhadap penghasilan
nelayan mengingat beberapa spesies ikan memang hanya datang di musim-musim
tertentu. Salah satunya adalah ikan layur. Ikan layur merupakan salah satu ikan
musiman yang hanya bisa ditangkap pada satu periode tertentu, bukanlah ikan
yang dapat diperoleh sepanjang tahun. Biasanya ketika musim ikan layur datang,
ikan ini akan muncul dalam jumlah yang besar. Perubahan iklim telah memberi
dampak yang signifikan terhadap periode musim ikan jenis ini. Sebagai contoh di
84
tahun 2010, hanya beberapa nelayan saja yang berhasil memperoleh tangkapan
ikan layur. Itupun dalam jumlah yang kecil dan tidak berlangsung lama.
2) Kekacauan musim angin
Salah satu dampak dari perubahan iklim yang berdampak pada kegiatan
produksi nelayan adalah perubahan pola angin (Chen, 2008; UNEP, 2009; TauliCorpuz, 2009). Nelayan Ciawitali memahami dua musim angin yang berhembus
di wilayah perairan Ciawitali, yaitu musim angin timur dan musim angin barat.
Musim angin timur berhembus sejak bulan April hingga Agustus, sedangkan
musim angin barat berhembus di bulan September hingga Januari. Para nelayan
memanfaatkan musim angin timur sebagai momentum untuk mencari tangkapan.
Sedangkan berhembusnya angin barat merupakan suatu hambatan yang
menyebabkan nelayan tidak dapat melaut di sekitar wilayah tangkapan ikan
seperti biasanya. Gejala perubahan iklim telah menyebabkan kekacauan musim
angin di wilayah ini. Para nelayan telah mengakui terjadinya kekacauan angin,
sebagaimana diakui oleh salah seorang nelayan AR (50 th) :
“Sejak dahulu, di bulan Juli-Agustus, tangkapan yang kita peroleh
biasanya banyak, karena bulan-bulan ini musimnya angin timur. Jadi
lebih aman untuk ke laut. Tapi beberapa tahun terakhir di musim angin
timur terkadang terjadi angin barat juga. Contohnya saja bulan Juli
kemarin. Saya sempat terjebak selama berjam-jam di nusa kambangan,
karena angin barat yang tiba-tiba datang dan berlangsung hampir
seharian”
8.2
Dampak Sosial-Ekonomi
Horton et. al. (1991 dalam Satria, 2002) mendefinisikan masyarakat
sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup
bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan
melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Berkaitan
dengan definisi masyarakat tersebut, Satria (2009) mengartikan masyarakat pesisir
sebagai sekumpulan masyarakat yang hidup bersama dan mendiami wilayah
pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan
ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Nelayan sebagai bagian
dari masyarakat pesisir menjadi pihak yang terpengaruh secara signifikan apabila
terjadi perubahan-perubahan alam di ekosistem laut dan pesisir. Dampak yang
ditimbulkan dari berbagai perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi
85
ekonomi nelayan, namun juga aspek-aspek lain di kehidupan sosial nelayan.
Dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari kerusakan ekosistem akibat
perubahan iklim yang terjadi di Ciawitali antara lain adalah:
1) Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat, perubahan iklim
menyebabkan:
a) Menurunnya kualitas sumber-sumber air penduduk.
Tingginya intensitas hujan sepanjang tahun di wilayah Ciawitali telah
menyebabkan tercemarnya sumber air penduduk yang sebagian besar
berasal dari sumur, atau sumber air bawah tanah. Kondisi tanah di
perkampungan nelayan Ciawitali sendiri didominasi oleh tanah
berkapur (karst). Jika musim kemarau tiba, kuantitas air akan menurun
namun kualitas air cukup baik. Sedangkan jika musim hujan
berkepanjangan, jumlah air akan melimpah, namun kualitasnya
menurun. Air yang dihasilkan berwarna putih susu dengan kandungan
kapur yang tinggi.
b) Angin puting beliung di kawasan pemukiman penduduk.
IPCC report (2007) serta Diposaptono (2009) telah merangkum
dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan oleh perubahan iklim
terhadap pemukiman yang berada di wilayah pesisir. Dampak tersebut
antara lain disebabkan oleh banjir (rob), gelombang ekstrim dan badai.
Di wilayah Ciawitali sendiri, pemukiman nelayan tidak berbatasan
langsung dan berada cukup jauh dari garis pantai. Rob memang terjadi,
namun hanya sampai pada kawasan persawahan, dan tidak mencapai
pemukiman.
Sedangkan
dampak
yang
menimpa
pemukiman
masyarakat dipengaruhi oleh kondisi angin yang berhembus cukup
ekstrim, salah satunya adalah angin puting beliung yang terjadi di
Ciawitali pada tahun 2009.
2) Pada perikanan, perubahan iklim ini menyebabkan menurunnya hasil
tangkapan nelayan yang dipicu oleh:
a) Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan.
Menurut pendapat Diposaptono (2009) dan Chen (2008) perubahan
iklim menyebabkan perubahan suhu permukaan laut dan stratifikasi
86
kolom air dapat yang kemudian berdampak pada perubahan proses
upwelling dan mempengaruhi pola migrasi ikan. Sementara menurut
Odun (1994) bagian lautan yang paling produktif adalah di tempat
terjadinya penaikan air ini. Nelayan Ciawitali telah memiliki wilayah
penangkapan tertentu yang menjadi areanya mencari ikan selama
bertahun-tahun. Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan pola
migrasi ikan terjadi pula di wilayah perairan Ciawitali. Hal ini
kemudian menimbulkan kendala di kalangan nelayan tradisional yang
masih mengandalkan pengetahuan lokal serta pengalaman empirik
semata dalam pencarian ikan. Ketika perubahan iklim memberi
dampak yang signifikan pada kondisi ekosistem laut dan membuat
banyak perbedaan dibanding kondisi lautan sebelumnya, pengalaman
empirik nelayan dalam pencarian ikan menjadi tidak berlaku lagi. Para
nelayan menjadi sulit untuk menentukan wilayah penangkapan ikan.
b) Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan.
Sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya, para nelayan Ciawitali
memiliki pengetahuan lokal berupa Pranata Mangsa (Tata Masa),
yaitu sistem penanggalan tradisional yang membagi satu tahun ke
dalam dua belas mangsa. Musim penangkapan ikan nelayan Ciawitali
biasanya berlangsung di mangsa kapat (empat) hingga mangsa enam
yang jatuh di bulan September hingga Desember. Berdasarkan
pengetahuan lokal masyarakat, periode ini merupakan momentum
mijahnya ikan-ikan sehingga hasil laut lebih melimpah dibandingkan
dengan mangsa lainnya. Namun perubahan iklim yang menyebabkan
kekacauan cuaca serta perubahan pola migrasi ikan seringkali
membuat perhitungan ini tidak berlaku lagi dan nelayan kesulitan
menentukan waktu yang tepat untuk melaut. Sulitnya memprediksi
musim penangkapan ikan ini juga menyebabkan kerugian bagi para
nelayan. Hal tersebut terjadi ketika tiba periode dimana biasanya
nelayan
melaut
dan
mendapatkan
hasil
tangkapan
yang
menguntungkan, namun yang terjadi justru biaya produksi yang
dikeluarkan melebihi dari hasil yang diperoleh.
87
c) Meningkatnya resiko melaut.
Salah satu dampak perubahan iklim yang mengancam kondisi sosial
ekonomi nelayan diungkapkan oleh Diposaptono (2009) berupa resiko
melaut yang semakin tinggi akibat ancaman meningkatnya badai dan
gelombang ekstrim. Pada wilayah perairan Ciawitali gelombang
ekstrim serta badai merupakan ancaman yang kerap kali datang ketika
tiba musim angin Barat serta musim penghujan. Sementara perahu dan
sarana penangkapan ikan nelayan Ciawitali masih tradisional dan
belum dalam kapasitas menghadapi badai ataupun gelombang besar.
Apabila datang musim dimana resiko melaut berada dalam kondisi
yang tinggi, kebanyakan nelayan lebih memilih untuk tidak melaut.
Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan buruk yang dapat
terjadi apabila nelayan memaksakan untuk tetap melaut. Di musimmusim ini kebanyakan nelayan mencari pekerjaan sampingan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, lalu kembali melaut lagi ketika kondisi
mulai membaik. Namun salah satu dampak dari perubahan iklim
berupa perubahan pola angin, di wilayah Ciawitali menyebabkan
terjadinya kekacauan angin sehingga di beberapa kasus, angin Barat
berhembus di periode seharusnya berhembus angin Timur. Hal ini
merupakan kendala yang beresiko cukup besar bagi nelayan dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Berdasarkan uraian Satria (2002) karakteristik masyarakat nelayan sebagai
representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi dapat dilihat dari berbagai
aspek, yaitu sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, peran wanita, struktur sosial
dan posisi sosial nelayan. Kelima aspek ini merupakan karakter yang melekat
pada masyarakat nelayan dan terbentuk sejalan dengan keterikatannya terhadap
sumberdaya pesisir. Perubahan ekosistem pesisir sebagai dampak dari perubahan
iklim juga pada akhrinya mempengaruhi banyak aspek yang membentuk
karakteristik masyarakat nelayan. Pengaruh tersebut meliputi:
1) Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang terbentuk berdasarkan pengalaman empirik
nelayan-nelayan sebelumnya dan telah diterapkan secara turun-temurun.
88
Pada masyarakat nelayan Ciawitali terdapat pengetahuan lokal berupa
sistem penanggalan yang biasa digunakan oleh nelayan sebagai patokan
dalam menentukan musim pengcarian ikan. Sistem penanggalan tersebut
disebut Pranata Mangsa. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya
pergeseran Pranata Mangsa dimana musim-musim tertentu yang telah
tertanggal dalam Pranata Mangsa menjadi tidak berlaku atau bergeser.
Salah satunya adalah musim ikan-ikan bertelur yang berdasarkan Pranata
Mangsa berlangsung mulai dari mangsa empat hingga mangsa enam, hal
ini kemudian berkaitan dengan musim nelayan mencari ikan, karena pada
masa inilah musim ikan sedang berlangsung. Namun perubahan iklim
yang menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir telah menyebabkan
banyak perubahan pada kondisi ekologi laut, sehingga seringkali
perhitungan Pranata Mangsa dalam menentukan musim ikan tidak berlaku
lagi.
2) Sistem Kepercayaan
Ritual Berkah Bumi sebagai ungkapan rasa syukur nelayan kepada bumi
yang telah memberikan berkah bagi kehidupan masyarakat kini semakin
jarang dilakukan. Hal tersebut berawal dari kondisi laut yang semakin hari
dirasa oleh nelayan semakin sedikit memberi hasil tangkapan. Sejalan
dengan semakin sulitnya kehidupan ekonomi nelayan akibat hasil
tangkapan yang semakin sedikit, semakin jarang pula ritual ini dilakukan.
3) Peran Wanita
Selain dalam urusan domestik rumah tangga, peran wanita juga merupakan
satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian nelayan.
Selama musim ikan berakhir, para istri nelayan biasanya mencari kerang
di wilayah mangrove untuk diolah menjadi sate kerang kemudian dijual.
Semaki sedikitnya intensitas nelayan melaut, disertai dengan kondisi
perekonomian keluarga yang semakin tertekan akibat menurunnya
produksi tangkapan nelayan menyebabkan meningkatnya peran wanita
dalam perekonomian rumah tangga.
89
4) Struktur Sosial
Struktur sosial yang menonjol dalam kehidupan nelayan adalah ikatan
yang kuat antara nelayan dan bos atau tengkulak, dengan bentuk struktur
sosial berupa ikatan patron-klien. Ketika nelayan semakin jarang melaut
disertai dengan kebutuhan rumah tangga yang tidak bisa dipungkiri, peran
patron akan semakin dibutuhkan oleh nelayan.
5) Posisi Sosial Nelayan
Tekanan ekonomi yang terjadi akibat berbagai dampak yang menimpa
masyarakat nelayan akibat perubahan iklim menyebabkan semakin
menurunnya status sosial nelayan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun
keterbukaan masyarakat nelayan kepada masyarakat bukan nelayan
menjadi lebih meningkat. Kendala yang dialami nelayan dalam melakukan
kegiatan penangkapan ikan menyebabkan banyak keluarga nelayan yang
mulai mencari pekerjaan sampingan untuk menunjang kehidupan rumah
tangga nelayan. Hal ini tentunya membutuhkan jejaring sosial yang lebih
luas ketimbang hanya di lingkungan seputar nelayan.
Berbagai gejala perubahan iklim di wilayah pesisir meliputi kekacauan
siklus musim hujan dan kemarau; perubahan pola angin; kenaikan muka air laut;
perubahan pola hidrologi; serta kenaikan suhu lautan merupakan faktor-faktor
awal yang memicu terjadinya berbagai perubahan fisik dan lingkungan yang
berdampak pada kegiatan produksi nelayan Ciawitali. Dampak ini terjadi melalui
perubahan kodisi ekologi yang pada akhirnya berdampak pula pada kondisi sosial
dan ekonomi nelayan sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Pengaruh berantai ini
secara umum dilihat dalam Gambar 5.
90
Tinjauan Lapangan
Perubahan Iklim
Dampak Ekologis Tidak Langsung
Dampak Ekologis Langsung
Dampak Sosial - Ekonomi
Kekacauan Siklus Musim
Hujan dan Kemarau
Menurunnya
Kualitas/Kuantitas Sumber
Air Penduduk
Perubahan Pola Angin
Angin Puting Beliung di
Wilayah Pemukiman
Kenaikan Muka Air Laut
Kekacauan Musim Angin
Perubahan Pola Hidrologi
Gelombang Ekstrim dan
Banjir
Kenaikan Suhu Lautan
Perubahan Proses
Upwelling
Sulitnya Menentukan
Musim Penangkapan Ikan
Meningkatnya Resiko
Melaut
Perubahan Pola Migrasi
Ikan, Gerombolan Ikan
(Fish Schooling) dan
Musim Ikan
Sulitnya Menentukan
Lokasi Penangkapan Ikan
Perubahan Sistem
Pengetahuan dan
Kepercayaan, Peran Wanita
serta Posisi Sosial Nelayan
Gambar 5. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Wilayah Pesisir Ciawitali Berdasarkan Perspektif Nelayan
Keterangan :
: Hubungan Pengaruh
BAB IX
ADAPTASI DAN STRATEGI EKONOMI NELAYAN
Survai yang dilakukan kepada sejumlah nelayan Ciawitali telah
menunjukan tingginya persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. Hal ini juga
didukung oleh data yang diperoleh dari hasil penelitian secara kualitatif di dusun
tersebut. Para nelayan telah mempersepsikan terjadinya perubahan iklim di
wilayah pesisir Ciawitali yang menyebabkan timbulnya sejumlah perubahan
ekologis dan mengganggu kegiatan penangkapan ikan. Persepsi ini kemudian
memicu munculnya berbagai tindakan yang dilakukan oleh nelayan sebagai
bentuk pertahanan ekonomi maupun adaptasi dari situasi yang tidak
menguntungkan akibat perubahan iklim. Diposaptono (2009) mendefinisikan
adaptasi perubahan iklim sebagai upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim
baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.
9.1
Adaptasi Iklim
Masyarakat nelayan Ciawitali hingga sejauh ini masih merupakan nelayan
tradisional dengan akses teknologi serta informasi yang relatif terbatas sehingga
bentuk adaptasi yang lebih antisipatif belum ada dan belum diketahui oleh
masyarakat. Dampak perubahan iklim yang diterima oleh masyarakat nelayan
cenderung memancing pola-pola adaptasi yang sifatnya reaktif. Sulitnya
memperoleh hasil tangkapan di suatu wilayah penangkapan ikan, baik disebabkan
oleh kerusakan ekosistem maupun perubahan pola migrasi ikan menyebabkan
para nelayan Ciawitali melakukan strategi adaptasi yang di kalangan nelayan
biasa disebut dengan strategi mengejar musim. Strategi ini merupakan bentuk
adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali apabila di wilayah perairan sekitar
Ciawitali mengalami masa paceklik. Informasi keberadaan ikan di wilayah lain
dari satu nelayan ke nelayan lainnya inilah yang memicu para nelayan melakukan
kegiatan penangkapan ikan di wilayah dimana musim ikan tersebut terjadi.
Informasi ini sejalan dengan pengakuan salah satu tokoh nelayan, JA (38 tahun) :
“….kalau di Pacitan sedang musim ikan dan disini tidak, kita mengejar
musim sampai kesana, perahu diangkut. Sampai ke wilayah ujung kulon
92
juga pernah. Kadang musim ikan sulit ditebak. Di sini susah sekali
mendapatkan ikan, namun di lokasi lain bisa saja ikan-ikan sangat
melimpah.”
Pola adaptasi seperti ini sebenarnya akan lebih optimal jika disertai
adaptasi yang lebih sistematis berupa penerapan teknologi dalam memprediksi
lokasi ikan. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyediakan Peta
Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses dengan mudah melalui situs
resmi KKP. Peta ini dikeluarkan langsung oleh Balai Riset dan Observasi
Kelautan, Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan
Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan merupakan hasil dari analisis
data satelit oseanografi berupa kesuburan, suhu, tinggi dan arus permukaan laut,
serta data angin dan gelombang yang dikeluarkan oleh BMKG (Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Peta ini dikeluarkan dengan tujuan
membantu nelayan memprediksikan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang
potensial di masa-masa tertentu. Namun pada kenyataannya, hanya nelayan
modern saja yang memanfaatkan informasi ini. Sementara nelayan tradisional
masih memanfaatkan pengetahuan lokal mereka yang terkadang sudah tidak
relevan lagi untuk diterapkan dalam keadaan iklim yang berubah-ubah secara
ekstrim seperi saat ini.
Teknik mengejar musim yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali
merupakan sebuah terobosan yang mampu meningkatkan produktivitas perikanan
tangkap. Namun teknik ini dapat pula beresiko kerugian yang besar jika informasi
yang diterima nelayan tidak tepat. Biaya produksi tentunya akan meningkat
karena membutuhkan waktu perjalanan, bahan bakar ataupun biaya pengangkutan
yang tidak sedikit. Untuk itu dibutuhkan sumber informasi yang akurat dan mudah
diakses oleh masyarakat perjuangan nelayan mengejar musim ikan hingga ke
lokasi lain tidak sia-sia.
9.2
Adaptasi Sumberdaya Pesisir
Adaptasi sumberdaya pesisir adalah bentuk strategi ekonomi melalui
pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk menghasilkan berbagai komoditas bernilai
ekonomi tanpa mengharuskan nelayan pergi ke laut lepas. Salah satu sumberdaya
yang cukup potensial adalah mangrove. Pengembangan wilayah mangrove
93
merupakan usulan yang dipaparkan oleh Diposaptono (2009) dalam bukunya
“Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” untuk
mempertahankan perekonomian nelayan yang mengalami goncangan akibat
dampak perubahan iklim di wilayah pesisir. Dusun Ciawitali memiliki lahan
mangrove yang cukup luas. Walaupun bukan dalam kondisi yang sangat baik,
perairan di wilayah mangrove ini masih memberikan hasil perikanan yang
bermanfaat bagi para nelayan, terutama ketika masa-masa sulit memperoleh
tangkapan di laut.
Salah satu komoditas wilayah mangrove dengan nilai ekonomi yang cukup
tinggi adalah kepiting bakau. Banyak dari masyarakat Ciawitali yang terbiasa
mencari kepiting bakau menggunakan perahu (sampan) dengan dayung. Peralatan
yang digunakan untuk mencari kepiting adalah jaring kepiting dan umpan tertentu.
Pencarian kepiting di wilayah mangrove cenderung lebih aman, tidak terlalu
tergantung pada cuaca dan tidak membutuhkan biaya produksi yang besar.
Kegiatan pencarian kepiting bakau ini juga menjadi salah satu alternatif pola
adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali di kala kondisi cuaca tidak
memungkinkan untuk ke laut. Di musim-musim paceklik pun banyak nelayan
yang mencari kepiting bakau sebagai komoditas substitusi untuk menutupi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Selain kepiting bakau, komoditas lain yang dapat diperoleh dari wilayah
mangrove adalah ikan belanak serta kerang atau totok. Kerang totok ini adalah
sejenis kerang hidup di wilayah pasang surut serta sekitar mangrove. Para istri
nelayan seringkali mencari kerang ini untuk dikonsumsi ataupun diolah menjadi
sate kerang kemudian dijual. Kelimpahan kerang totok di wilayah mangrove
Ciawitali masih cukup tinggi. Pengolahan kerang ini untuk kemudian dijual dapat
menjadi alternatif tambahan pendapatan bagi keluarga nelayan ketika nelayan
mengalami kesulitan melaut.
9.3
Adaptasi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumah Tangga
Pola adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga
merupakan strategi ekonomi yang sangat penting dalam menyelamatkan
perekonomian nelayan yang terkena dampak perubahan iklim. Strategi ini
94
meliputi optimalisasi tenaga kerja rumah tangga nelayan serta pengembangan pola
nafkah ganda. Menurut Satria (2002) pengembangan strategi nafkah ganda ini
bertujuan agar nelayan tidak bergantung pada hasil penangkapan saja. Hal ini
perlu dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah dimana keterbatasan sarana
yang dimiliki menyebabkan nelayan tidak selalu dapat melaut sepanjang tahun.
Perubahan iklim memberikan dampak yang besar pada kegiatan melaut
nelayan serta produktivitas tangkapan. Berkurangnya stok ikan dan sulitnya
menentukan wilayah penangkapan ikan menyebabkan kerugian ekonomi bagi
nelayan ketika memaksakan untuk melaut namun hasil yang diperoleh tidak
sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Resiko melaut yang tinggi
akibat ancaman meningkatnya badai dan gelombang ekstrim menyebabkan
berkurangnya frekuensi nelayan mencari tangkapan yang kemudian juga berimbas
pada kondisi ekonomi nelayan. Dengan demikian dibutuhkan strategi ekonomi
yang memungkinkan keluarga nelayan memperoleh tambahan pendapatan baik
melalui opmitalisasi tenaga kerja rumah tangga serta strategi nafkah ganda
sehingga perekonomian rumah tangga nelayan tidak hanya bergantung dari hasil
penangkapan saja.
9.3.1 Optimalisasi Tenaga Kerja Rumah Tangga
Nelayan biasanya adalah seorang laki-laki sekaligus seorang kepala
keluarga yang menjadi tulang punggung perekonomian keluarga nelayan.
Nelayan-nelayan Ciawitali bekerja keras mencari ikan di lautan, sementara hasil
laut semakin sulit diperoleh. Pada masa-masa seperti inilah dibutuhkan peran dari
anggota keluarga lainnya untuk menyokong perekonomian rumah tangga nelayan,
sehingga tidak hanya bergantung kepala keluarga saja.
Anak-anak nelayan selama ini berperan dalam mendukung kegiatan
melaut nelayan, yaitu sebagai pembuat jaring. Pembuatan jaring ini dilakukan
disela-sela kegiatan melaut nelayan tersebut. Ketika sang ayah beristirahat untuk
kembali melaut keesokan harinya, saat itulah anak-anak nelayan sibuk membuat
jaring. Ketika musim ikan sedang tidak menentu dan frekuensi melaut nelayan
semakin berkurang, anak-anak nelayan seringkali mencari tangkapan di wilayah
95
mangrove, baik bersama nelayan (ayahnya) ataupun bersama anak-anak nelayan
lainnya.
Para istri nelayan juga berperan dalam menyelamatkan ekonomi keluarga
dengan melakukan usaha-usaha lainnya. Sebagaimana dipaparkan dalam sub-bab
sebelumnya, para istri nelayan melakukan usaha ekonomi melalui pengolahan
kerang totok menjadi sate kerang untuk kemudian dijual. Selain itu, ketika musim
paceklik berkepanjangan dimana nelayan mulai melakukan pekerjaan sambilan
sebagai buruh tani, para istri nelayan juga biasanya ikut melakukan pekerjaan
yang sama bersama suami demi menambah penghasilan yang didapatkan.
Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga yang paling menghasilkan
biasanya diperoleh jika salah satu anggota keluarga mulai melakukan migrasi,
mencari pekerjaan ke kota atau menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar
negeri. Beberapa istri nelayan mengaku sempat menjadi TKI di Arab Saudi demi
menambah penghasilan keluarga. Keluarga yang salah satu anggotanya pernah
menjadi TKI biasanya terlihat dari bentuk rumah yang lebih baik dibandingkan
dengan rumah-rumah nelayan pada umumnya.
9.3.2 Tani – Nelayan
Sebagaimana ulasan pada bab-bab sebelumnya, banyak dari masyarakat
Ciawitali yang berprofesi sebagai tani-nelayan. Yaitu para petani yang terkadang
juga melaut selayaknya nelayan ataupun para nelayan yang juga bertani. Lahan
pertanian yang cukup luas di wilayah Ciawitali memicu pola adaptasi nelayan ke
arah pertanian. Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya resiko melaut
sehingga memicu nelayan untuk mencari alternatif sumber nafkah di daratan.
Salah satu yang paling dominan adalah buruh tani. Berdasarkan data dari Risk
Assesment IPPHTI (2009), terdapat 125,2 hektar lahan pertanian padi sawah di
Dusun Ciawitali. Hal ini merupakan salah satu peluang nafkah yang biasanya
dimanfaatkan oleh nelayan dengan menjual jasa sebagai buruh tani. Salah seorang
nelayan yang melakukan adaptasi ekonomi sebagai buruh tani, ST (29 tahun)
memberi informasi sebagai berikut:
“Jika tiba musim paceklik di laut dan musim panen di sawah, saya dan
(nelayan) yang lainnya seringkali bekerja memanen padi di sawah.
Pendapatan yang diperoleh cukup lumayan, dari 60 kg padi yang
96
dipanen, kita mendapat 10 kg padi. Sawah yang dikerjakan ini biasanya
milik para petani di Dusun Pamotan.”
Selain sebagai buruh pada lahan padi sawah, sebagian nelayan juga
menggarap lahan miliknya sendiri. Lahan ini biasanya adalah kebun. Salah satu
yang cukup potensial adalah kebun jati dan sengon. Beberapa nelayan yang telah
memahami dengan baik kondisi kehidupan pencarian ikan di lautan yang penuh
dengan ketidakpastian telah mempersiapkan investasi sejak awal untuk
menghindari hutang kepada tengkulak ketika tiba musim paceklik yang
berkepanjangan. Investasi ini berupa tanaman kayu yaitu jati dan sengon. Ketika
tiba musim paceklik, ataupun dibutuhkan biaya yang secara mendadak, nelayan
yang telah memiliki investasi ini akan menjual beberapa pohon di kebunnya. Satu
buah pohon sengon berusia lima tahun dapat dijual dengan harga mencapai dua
juta rupiah.
9.3.3 Jasa Pengangkutan
Musim paceklik serta musim angin Barat adalah musim-musim dimana
nelayan Ciawitali harus bertindak aktif mencari alternatif pendapatan lain untuk
menunjang perekonomian rumah tangga. Memaksakan mencari ikan di musim
paceklik hanyalah menghabiskan biaya produksi (bahan bakar perahu), sementara
hasil yang diperoleh sangatlah tidak sebanding. Para nelayan Ciawitali adalah
nelayan dengan status ekonomi yang rendah. Perahu yang mereka miliki
merupakan harta sekaligus modal satu-satunya yang dapat diandalkan untuk
melakukan usaha-usaha ekonomi.
Ketika musim paceklik tiba, beberapa nelayan yang tidak memiliki
investasi serta kemampuan yang memadai sebagai modal pencarian nafkah
tambahan, hanya bisa mengandalkan jasa perahu yang mereka miliki. Para
nelayan ini menjual jasa pengangkutan, menyebrangkan berbagai komoditas
pertanian dari Pulau Nusa Kambangan ke daratan Pulau Jawa yang biasanya
berlabuh di Dusun Majingklak. Hal ini diungkapkan pula oleh salah seorang
nelayan, SM (40 tahun) pada bulan Juni 2010 :
“Sudah hampir tiga bulan perahu saya dan banyak nelayan lain yang
tidak turun ke laut mencari ikan. Cuacanya sangat buruk, ikan-ikan juga
semakin jarang. Kalau sudah seperti ini pekerjaan apa saja asal halal
97
pasti ditekuni. Apa saja, ngangkutin pisang dari nusa kambangan ke
majingklak juga jadi. Setidaknya anak-istri masih bisa makan…”
Pernyataan tersebut menunjukkan semakin terjepitnya posisi sosial
nelayan terutama bila frekuensi melaut menjadi sangat berkurang. Pekerjaan
dengan menjual jasa angkutan ini memang dapat menyelamatkan perekonomian
keluarga secara sementara. Namun pekerjaan ini bukanlah alternatif pekerjaan
yang diharapkan oleh nelayan. Selain hasilnya yang kurang mencukupi, alternatif
pekerjaan ini sangat bergantung pada ada atau tidaknya orang yang membutuhkan
jasa pengangkutan menggunakan perahu nelayan, sementara perahu yang khusus
menyebrangkan dari Nusa Kambangan ke Majingklak sudah tersedia. Penawaran
satu-satunya adalah menjual jasa pengangkutan dengan harga yang lebih murah
dibanding dengan perahu tersebut.
Jasa pengangkutan dengan perahu nelayan ini juga dibutuhkan oleh salah
satu perusahaan yang beroperasi di Dusun Ciawitali. Perusahan tersebut adalah
CV. WG Mandiri. Perusahaan ini dimiliki oleh salah seorang penduduk Ciawitali
yang juga merupakan kepala RN (Rukun Nelayan) Ciawitali. Perusahan ini
bergerak di bidang produksi dan pengolahan kayu. Perahu nelayan biasanya
dibutuhkan untuk mengangkut kayu dari kebun-kebun yang berada di tanjungtanjung dan tepian laut, menuju ke daratan Ciawitali.
9.4
Adaptasi Melalui Keluar dari Kegiatan Perikanan (Escaping from
Fisheries)
Kondisi ekosistem pesisir Ciawitali yang semakin memprihatinkan dari
hari ke hari, penghasilan dari laut yang semakin tidak mencukupi kebutuhan
ekonomi keluarga, serta keterbatasan sarana yang dimiliki menyebabkan sebagian
nelayan memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai nelayan dan mencari
pekerjaan baru. Terdapat dua pekerjaan yang biasanya menjadi sasaran alih
profesi ini. Pertama, pekerjaan sebagai buruh. Walaupun gaji yang diperoleh
cenderung rendah, pekerjaan ini diminati karena dirasa ada jaminan atau kepastian
penghasilan yang dapat diperoleh. Berbeda dengan kegiatan melaut yang penuh
dengan ketidakpastian. Kedua adalah petani. Nelayan cenderung memilih untuk
berganti profesi menjadi petani berdasarkan ketersediaan sumberdaya yang ada,
98
dimana Dusun Ciawitali merupakan wilayah dengan lahan pertanian yang cukup
luas.
9.4.1 Buruh
Sebuah perusahaan yang beroperasi di Dusun Ciawitali telah berhasil
menjaring penduduk-penduduk lokal Ciawitali untuk bekerja sebagai buruh di
perusahaan tersebut. Perusahaan ini adalah CV. WG Mandiri yang bergerak di
bidang produksi dan pengolahan kayu. Dusun Ciawitali memiliki wilayah yang
luas dan masih terdapat lahan kosong di banyak tempat. Penduduk biasa
menanami lahan tersebut dengan tanaman kayu, kebanyakan adalah kayu sengon.
Pada usia lima tahun, sengon ini biasanya telah siap panen. Masyarakat biasa
menjualnya kepada CV. WG Mandiri.
CV. WG Mandiri melakukan penebangan, pengangkutan sekaligus
pemotongan sengon untuk kemudian disalurkan kepada perusahan pengolahan
kayu tahap selanjutnya. Hingga saat ini CV. WG Mandiri telah memperkerjakan
sekitar lima puluh orang, dimana dua puluh orang diantaranya adalah nelayan
yang telah beralih profesi. Profesi ini lebih dipilih oleh nelayan, karena terdapat
kepastian penghasilan, dengan kata lain pekerjaan ini dirasa lebih menjamin
perkonomian keluarga dibandingkan dengan kegiatan melaut yang penuh dengan
ketidakpastian.
9.4.2 Petani
Daratan Dusun Ciawitali merupakan wilayah yang didominasi oleh
topografi rawa-rawa dan bebukitan. Potensi yang terdapat di wilayah rawa-rawa
ini adalah lahan pertanian padi sawah. Berdasarkan data yang diperoleh oleh
IPPHTI pada tahun 2009 terdapat 125,5 hektar lahan sawah di Dusun Ciawitali.
Dari 125,5 hektar sawah tersebut, hanya 105,5 hektar sawah yang produktif, 20
hektar sisanya seringkali terkena rob sehingga selalu mengalami gagal panen.
Walaupun produktivitasnya kurang baik, masih banyak masyarakat yang tetap
menanaminya. Bahkan nelayan yang tidak lagi mendapatkan penghasilan dari laut
juga beralih profesi menjadi petani di sawah. Lahan sawah ini biasanya adalah
lahan warisan keluarga yang diolah bersama anggota keluarga yang lain.
99
Sementara itu, wilayah bebukitan Ciawitali juga memiliki potensi yang
cukup penting. Lahan yang terdapat di bebukitan ini biasanya ditanami oleh
masyarakat dengan berbagai macam tanaman palawija seperti singkong dan
jagung. Selain itu, masyarakat juga menanam pisang, kelapa serta berbagai
tanaman kayu seperti sengon dan jati. Belakangan ini para nelayan yang tidak lagi
mendapatkan penghasilan dari laut juga turut mengolah lahan di bebukitan ini.
9.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Adaptasi dan Strategi
Ekonomi serta Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Nelayan
Terdapat empat jenis strategi ekonomi serta adaptasi perubahan iklim yang
dilakukan oleh masyarakat nelayan Ciawitali, yaitu adaptasi iklim; adaptasi
sumberdaya pesisir; adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga;
adaptasi melalui keluar dari kegiatan perikanan. Pilihan strategi ekonomi dan
adaptasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melekat pada pelaku adaptasi
dan strategi tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah
klasifikasi nelayan yaitu pembedaan berdasarkan banyaknya pekerjaan yang
ditekuninya. Nelayan yang hanya memiliki satu pekerjaan tergolong ke dalam
nelayan penuh, sedangkan nelayan yang memiliki pekerjaan lain tergolong ke
dalam nelayan sambilan. Faktor lain yang mempengaruhi pilihan strategi dan
adaptasi adalah luasnya jejaring sosial nelayan tersebut, kepemilikan sarana
produksi perikanan seperti perahu dan alat tangkap lainnya, status sosial nelayan,
banyaknya jumlah anggota keluarga nelayan serta kedekatan nelayan tersebut
dengan suatu budaya pekerjaan.
Hubungan antara pilihan strategi dan adaptasi yang dilakukan oleh nelayan
dengan faktor yang mempengaruhi serta signifikansi pilihan tersebut terhadap
kesejahteraan nelayan dapat dilihat dalam Tabel 30.
100
Tabel 30. Pilihan Strategi dan Adaptasi Nelayan, Faktor yang Mempengaruhi serta Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan
Strategi dan
No. Adaptasi
Karakteristik
Pelaku
Pengaruh Terhadap
Kesejahteraan
1.
Adaptasi Iklim
Melakukan perpindahan wilayah
tangkapan dengan memanfaatkan
informasi dari nelayan di berbagai tempat
mengenai musim ikan di wilayah lain.
Nelayan penuh dengan kapasitas dan kepemilikan
sarana produksi yang lebih memadai. Memiliki
jejaring sosial yang luas antar nelayan di berbagai
tempat.
Kurang signifikan, dapat
optimal jika didukung
dengan teknologi
informasi yang memadai
2.
Adaptasi Sumberdaya
Pesisir
Pencarian hasil tangkapan tanpa harus
pergi ke laut lepas.
Nelayan penuh yang memiliki sarana produksi cukup
memadai, namun cenderung kurang memiliki jejaring
sosial yang luas.
Cukup signifikan
3.
Adaptasi Alokasi
Sumberdaya Manusia
dalam Rumah Tangga:
a. Optimalisasi Tenaga
Kerja Rumah Tangga
b. Tani-Nelayan
Melibatkan peran dari anggota keluarga
dalam perekonomian rumah tangga.
Bekerja sebagai buruh tani untuk selagi
kegiatan melaut dihentikan. Serta mencari
sumber pendapatan lain dari kegiatan
berkebun.
Memanfaatkan perahu yang dimilikinya
untuk mengangkut berbagai komoditas
dari pulau nusa kambangan, atau daerahdaerah di tepi laut.
Keluarga nelayan dengan jumlah anggota keluarga
yang tinggi. Nelayan dengan jejaring sosial yang luas.
Dapat terjadi baik pada nelayan sambilan maupun
nelayan penuh. Biasanya merupakan nelayan yang
dekat dengan budaya pertanian, memliki kerabat
petani atau dahulu merupakan seorang petani.
Nelayan yang memiliki sarana produksi berupa
perahu. Biasanya dilakukan oleh nelayan dengan
status sosial yang rendah.
Cukup Signifikan
Meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan
dan beralih menjadi buruh tetap.
Meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan
dan beralih menjadi petani sepenuhnya.
Nelayan dengan status sosial yang rendah, dengan
kepemilikan sarana produksi yang rendah pula.
Nelayan yang sejak dahulu merupakan petani (taninelayan) serta nelayan yang dekat dengan budaya
pertanian ataupun memiliki lahan pertanian.
c. Jasa Pengangkutan
5.
Adaptasi Melalui Keluar
dari Kegiatan Perikanan:
a. Buruh
b. Petani
Cukup signifikan
Kurang signifikan
Cukup signifikan
Kurang signifikan
101
Adaptasi iklim dilakukan oleh nelayan Ciawitali dalam bentuk strategi
mengejar musim. Nelayan yang melakukan strategi ini biasanya adalah nelayan
penuh dengan kapasitas dan kepemilikan sarana produksi yang lebih memadai.
Selain itu nelayan tersebut juga biasanya memiliki jejaring sosial yang luas antar
nelayan di berbagai tempat. Strategi mengejar musim merupakan sebuah pola
adaptasi perikanan tangkap yang mampu mempertahankan angka produksi
perikanan. Namun dalam prakteknya, nelayan masih terkendala oleh sistem
informasi yang kurang memadai. Hal ini menyebabkan strategi mengejar musim
menjadi pilihan strategi yang beresiko tinggi, karena membutuhkan biaya yang
tidak sedikit sedangkan kepastian keberadaan ikan tidak didukung oleh data-data
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Adaptasi sumberdaya pesisir dilakukan oleh nelayan dalam bentuk
pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir. Nelayan Ciawitali
biasanya memanfaatkan wilayah mangrove sebagai penghasil berbagai komoditas
yang tidak mengharuskannya pergi ke laut lepas. Strategi kembali ke mangrove
ini merupakan pilihan strategi yang paling sederhana dan dapat dilakukan oleh
sebagian besar nelayan. Para nelayan terbiasa mencari tangkapan yang bernilai
ekonomi seperti kepiting bakau. Nelayan yang melakukan strategi ini biasanya
adalah nelayan penuh dengan kepemilikan sarana produksi cukup memadai,
namun cenderung kurang memiliki jejaring sosial yang luas. Pendapatan yang
dihasilkan cukup signifikan dalam menyelamatkan perekonomian keluarga
nelayan terutama jika terdapat alternatif lain dalam mengekstraksi sumberdaya
dari wilayah mangrove tersebut.
Adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga nelayan
dilakukan dengan tujuan memperoleh tambahan pendapatan sehingga tidak hanya
bergantung dari kegiatan perikanan yang dilakukan oleh kepala keluarga
(nelayan) semata. Strategi optimalisasi tenaga kerja memungkinkan anggota
keluarga nelayan tersebut mencari sumber pendapatan lain untuk menyokong
perekonomian keluarga yang terganggu akibat perubahan iklim. Pelaku dari
strategi ini adalah keluarga nelayan dengan jumlah anggota keluarga yang tinggi.
Strategi ini akan lebih optimal pada nelayan dengan jejaring sosial yang luas.
Pengaruh terhadap perekonomian rumah tangga nelayan cukup signifikan,
102
terutama pada rumah tangga nelayan dengan salah satu anggotanya bekerja
sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri.
Pola nafkah ganda sebagai sebagai buruh tani dilakukan oleh nelayan di
masa-masa kegiatan pencarian ikan dihentikan cukup bermanfaat untuk
perekonomian keluarga. Namun hal ini sangat bergantung pada musim padi yang
jatuh ketika itu. Jika musim panen padi tiba, peluang untuk memperoleh pekerjaan
ini cukup besar. Kegiatan tani-nelayan lain yang memiliki pengaruh yang
signifikan dalam menyelamatkan perekonomian keluarga nelayan adalah
bertanam tanaman kayu. Tanaman kayu ini berlaku sebagai investasi atau
tabungan. Jika musim paceklik tiba, para nelayan yang telah memiliki tanaman ini
sejak bertahun sebelumnya dapat menebang beberapa pohon yang dimilikinya
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nelayan yang melakukan strategi ini biasanya
merupakan nelayan yang dekat dengan budaya pertanian, memliki kerabat petani
atau dahulu merupakan seorang petani.
Strategi pola nafkah ganda berupa jasa pengangkutan dilakukan oleh
nelayan yang memiliki sarana produksi berupa perahu. Nelayan yang melakukan
pekerjaan ini juga biasanya adalah nelayan dengan status sosial yang rendah.
Adaptasi nafkah ganda jasa pengangkutan cenderung masih kurang signifikan
dalam menyelamatkan perekonomian keluarga karena peluang jenis pekerjaan ini
sangat terbatas akibat persaingan dengan perahu pengangkut yang telah ada
sebelumnya.
Sebagian
nelayan,
terutama
nelayan
dengan kepemilikan
sarana
penangkapan ikan yang terbatas lebih memilih untuk beralih profesi dan
meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Ini adalah bentuk dari pola adaptasi
melalui keluar dari kegiatan perikanan (escaping from fisheries). Nelayan yang
sejak dahulu telah bekerja sebagai petani dan bekerja sambilan sebagai nelayan
cenderung memilih untuk kembali ke lahan pertaniannya yang dirasa lebih
menguntungkan dibandingkan dengan kegiatan pencarian ikan. Namun dampak
perubahan iklim tidak hanya menimpa kegiatan nelayan, di pihak petani dampak
perubahan iklim juga terjadi dan menyebabkan banyak kerugian. Sehingga pilihan
untuk beralih profesi menjadi petani tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kesejahteraan. Sementara alih profesi menjadi buruh tetap yang
103
dilakukan oleh nelayan dengan status sosial yang lebih rendah cukup memberikan
perubahan ekonomi bagi keluarganya. Bagi nelayan yang saat ini beralih profesi
menjadi buruh, walaupun penghasilan yang diperoleh cenderung sedikit namun
kepastian penghasilan yang mereka terima mampu menyelamatkan perekonomian
keluarga setidaknya untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari.
Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat
dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan
strategi nafkah ganda. Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Ketiga,
mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim.
Strategi mata pencaharian mendorong ke arah laut lepas merupakan pilihan
strategi yang membutuhkan penerapan teknologi penangkapan ikan yang lebih
canggih sehingga kegiatan penangkapan ikan nelayan dapat menjangkau wilayah
yang lebih luas. Hingga saat ini wilayah penangkapan ikan nelayan masih terbatas
pada jangkauan 20 mil dari garis pantai. Para nelayan telah menyadari pentingnya
teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih berupa kapal penangkapan ikan
dengan kapasitas yang lebih besar sehingga mampu menjangkau daerah
penangkapan ikan di lepas pantai. Kendala yang dihadapi nelayan dalam
mengakses teknologi ini antara lain adalah permodalan, kelembagaan serta budaya
masyarakat. Untuk memperoleh kapal penangkapan ikan dengan kapasitas yang
lebih besar dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal ini tentunya bukan dalam
kapasitas nelayan untuk membeli teknologi tersebut. Apabila DKP (Dinas
Kelautan dan Perikanan) Ciamis mampu memberikan satu unit kapal untuk
digunakan nelayan Ciawitali secara bersama-sama, kendala yang dihadapi
kemudian adalah budaya nelayan yang belum terbiasa dalam pengoperasian kapal
dan manajemen produksi yang lebih besar. Dengan demikian teknologi yang
dibutuhkan juga harus disertai dengan peningkatan kapasitas nelayan itu sendiri.
Hal terakhir yang menjadi permasalahan adalah fungsi kelembagaan nelayan yang
belum optimal di Ciawitali. Ketika dibicarakan mengenai kemungkinan
pengadaan kapal dengan kapasitas yang lebih besar untuk digunakan secara
bergantian di Ciawitali, sebagian besar nelayan pesimis hal tersebut akan efektif.
Menurut pendapat salah satu nelayan, TG (37 tahun):
104
“Menggunakan sebuah kapal dengan bergiliran disini sangat tidak
mungkin. Kondisi laut dari waktu ke waktu selalu berubah. Beruntung
jika mendapat giliran di mangsa kapat (mangsa ke empat) ketika ikan
sedang banyak. Bagaimana kalau dapat di mangsa paceklik?”
Hal ini menunjukkan fungsi kelembagaan nelayan yang belum optimal di
Ciawitali. Nelayan masih belum mampu mempercayai kelembagaan tersebut
untuk mengakomodasi penggunaan sarana bersama.
Adaptasi teknologi yang cukup relevan untuk diakses nelayan Ciawitali
saat ini adalah penerapan teknologi informasi untuk memperkirakan keberadaan
ikan. Sebagaimana telah diulas pada sub bab sebelumnya, strategi adaptasi
mengejar musim yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali akan lebih optimal jika
didukung oleh pemanfaatan informasi Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI)
yang dapat diakses melalui situs resmi KKP (Kementrian Kelautan dan
Perikanan). Namun hingga saat ini para nelayan masih belum terdedah akan
media internet sehingga informasi prediksi keberadaan ikan yang dikeluarkan oleh
KKP tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh nelayan Ciawitali.
BAB X
PENUTUP
10.1
Kesimpulan
Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah penafsiran nelayan terhadap
perubahan-perubahan ekologis yang terjadi di wilayan pesisir sebagai dampak dari
perubahan iklim. Data yang diperoleh dari survai terhadap 47 orang nelayan
menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan telah mempersepsikan perubahan iklim
terjadi wilayah Ciawitali. Hanya satu orang saja diantaranya (2,1 persen responden)
yang memiliki persepsi yang rendah terhadap perubahan iklim ini. Sedangkan dari uji
korelasi Rank Spearman yang dilakukan antara persepsi nelayan terhadap perubahan
iklim dengan berbagai variabel karakteristik individu dan perilaku komunikasi, tidak
ditemukan satupun hubungan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
3) Dampak perubahan iklim telah jelas sekali terjadi di pesisir Ciawitali, sehingga
hampir seluruh masyarakat telah membentuk persepsi yang sama mengenai
perubahan iklim, tidak peduli usia, pengalaman, karakteristik individu lainnya
dan tidak membutuhkan keterdedahan informasi yang tinggi untuk menyadari
dampak perubahan iklim telah terjadi di pesisir Ciawitali.
4) Eratnya hubungan antara nelayan dengan sumberdaya pesisir, sehingga berbagai
perubahan yang terjadi telah ditafsirkan secara mandiri oleh nelayan sebagai
dampak perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim merugikan nelayan Ciawitali melalui dua aspek, yaitu
aspek ekologi dan sosial ekonomi:
1) Aspek ekologi.
Perubahan musim ikan dan kekacauan musim angin menyebabkan nelayan
mengalami kerugian karena semakin sulit menentukan waktu-waktu yang tepat
untuk melaut.
106
2) Aspek sosial ekonomi.
d) Dampak ini terjadi pada kesehatan dan pemukiman masyarakat dimana
kekacauan musim yang terjadi akibat perubahan iklim telah menyebabkan
terganggunya sumber-sumber air minum penduduk. Selain itu perubahan
pola angin juga menyebabkan kawasan pemukiman masyarakat sempat
diterjang badai dan angin puting beliung.
e) Pada perikanan, perubahan iklim ini menyebabkan menurunnya hasil
tangkapan nelayan yang dipicu oleh sulitnya menentukan wilayah tangkapan
ikan, sulitnya menentukan musim penangkapan ikan, berkurangnya
ketersediaan ikan dan hasil tangkapan lainnya, serta meningkatnya resiko
melaut.
Adaptasi dan strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan dalam mengatasi
dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim lebih didominasi oleh polapola adaptasi yang sifatnya reaktif. Adaptasi dan strategi tersebut meliputi:
1) Adaptasi iklim berupa mengejar musim ikan ke wilayah lain.
2) Adaptasi sumberdaya pesisir dengan mencari hasil tangkapan di wilayah
mangrove.
3) Adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga yang meliputi
optimalisasi tenaga kerja rumah tangga, pola nafkah ganda tani-nelayan,
serta jasa pengangkutan menggunakan perahu nelayan.
4) Adaptasi melalui keluar dari kegiatan perikanan (escaping from fisheries)
dengan cara beralih profesi.
10.2
Saran
1) Pengembangan sistem informasi bagi nelayan.
Pengembangan sistem informasi penting untuk dilakukan mengingat pola
adaptasi yang sifatnya lebih antisipatif masih belum dapat dilakukan oleh
masyarakat akibat keterbatasan informasi yang mereka peroleh. Hal ini juga
107
sangat mendukung pola adaptasi mengejar musim ikan ke wilayah lain agar
usaha yang dilakukan oleh nelayan dapat memberikan hasil yang optimal.
2) Kebijakan permodalan bagi nelayan.
Kebijakan permodalan diperlukan untuk mendukung pola adaptasi pola nafkah
ganda, agar nelayan tidak hanya menggantungkan pendapatan dari hasil
penangkapan saja. Di wilayah Ciawitali masih terdapat banyak lahan kosong di
daerah rawa-rawa yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Hingga saat
ini masih belum ada yang memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan budidaya
dalam skala yang cukup besar. Dengan kebijakan permodalan ekonomi, disertai
dengan sedikit pembekalan melalui upaya-upaya pengembangan modal sosial
masyarakat, lahan ini dapat menjadi lahan budidaya yang produktif serta mampu
menyelamatkan perekonomian masyarakat.
3) Penelitian lebih lanjut mengenai dampak ekologis perubahan iklim di wilayah
penangkapan ikan.
Penelitian lintas disiplin ilmu dibutuhkan untuk menghasilkan data yang lebih
akurat akan kondisi lautan yang sebenarnya akibat perubahan iklim. Fakta-fakta
yang terjadi di lapangan didukung dengan data-data ilmiah ini kedepannya
diharapkan dapat memberikan pertimbangan pada penetu kebijakan, terutama
kebijakan ekonomi serta pengelolaan wilayah pesisir.
4) Penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan sumber nafkah bagi nelayan.
Hal ini ditujukan untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat pesisir
melalui pemanfaatan berbagai sumberdaya pesisir yang ada. Penelitian lintas
disiplin ilmu dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya alam ini dapat berjalan
maksimal tanpa menimbulkan kerusakan-kerusakan baru akibat pola ekstraksi
yang tidak lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheries
for Global Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress (K.
Tsukamoto, T. Kawamura, T. Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser,
Eds.). Tokyo: TERRAPUB.
Cruz, R.V., H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y. Honda,
M. Jafari, C. Li and N. Huu Ninh, dkk. 2007. “Asia,” Climate Change
2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working
Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel
on Climate Change (M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der
Linden and C.E. Hanson, Eds.). Cambridge: Cambridge University Press.
Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: aset pembangunan
berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Danudiredja, Eryadi D. 1998. Hubungan Karakteristik dan Perilaku Komunikasi
Penerima Bantuan P3DT dengan Persepsi dan Partisipasi dalam Penerapan
Program P3DT di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis. Jurusan
Komunikasi Pembagunan Pertanian dan Pedesaan. Pascasarjana IPB.
Diposaptono, Subandono, Budiman, Firdaus Agung. 2009. Menyiasati Perubahan
Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. Sarana
Komunikasi Utama.
Erwina. 2005. Analisis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kualitas
Lingkungan di Daerah Pesisir: kasus di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara.
Tesis. Departemen Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Pascasarjana IPB.
Fatchiya, Anna. Pola Pengembangan Kapasitas Pembudidaya Ikan Kolam Air
Tawar di Propinsi Jawa Barat. Disertasi. Mayor Ilmu Penyuluhan
Pembangunan. Pascasarjana IPB.
Halim, Abdul, Andiko, B.T. Minar, Giorgio Budi I., Koesnadi W., K. Halid, M.T.
Surya, M.L. Hakim, R. Puji, R. Damanik, S. Maemunah. 2009. Membaca
Jejak Perubahan Iklim: bunga rampai pengalaman CSF untuk keadilan
iklim. Jakarta: Civil Society Forum (CSF) on Climate Justice.
Huberman, A. Michael, dan Matthew B. Miles. 2009. “Manajemen Data dan
Metode Analisis”, Handbook of Qualitative Research (Norman K. Denzin
dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iqbal, Moch. 2004. Strstegi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua
Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis.
Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1997. Ringkasan Agenda 21
Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. (tidak
diterbitkan).
Kusnadi. 2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LkiS.
J., M. Mawardi. 2003. Pola Adaptasi Masyarakat Petani Terhadap Perubahan
Peruntukan Lahan di Desa Karangrejo Sungkai Selatan Lampung Utara.
Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB.
109
Marr, Carolyn, dkk. 2009. Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan.
Bogor: Down to Earth International Campaign for Ecological Justice in
Indonesia.
Mimura, N., L. Nurse, R.F. McLean, J. Agard, L. Briguglio, P. Lefale, R. Payet
and G. Sem. 2007. “Small Island,” Climate Change 2007: Impacts,
Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the
Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change (M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and
C.E. Hanson, Eds.). Cambridge: Cambridge University Press.
Odum, Eugene P. 1994. “Dasar-dasar Ekologi: edisi ketiga”, Fundamentals of
Ecology: third edition (Tjahjono Samingan, Penerj.). Yogyakarta:
Gadjahmada University Press.
Priyatno, Duwi. 2009. Lima Jam Belajar olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Rakhmat, Jalaluddin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset.
_________________. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset.
Rio. 2009. Pemberdayaan Komunitas Nelayan Melalui Penerapan Prorgam SeaFarming: studi kasus komunitas nelayan sea-farming Pulau Panggang,
kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Jakarta. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo
__________. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: IPB Press
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1987. Metode Penelitian Survai.
Yogyakarta: LP3S.
Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: suatu perkenalan. Bogor:
Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial IPB.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Stake, Robert E. 2009. “Studi Kasus,” Handbook of Qualitative Research
(Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Supriharyono. 2007. Pengenalan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta:
Djambatan.
Susandi, A., Suwahyuono, K. Idris, S. Diposaptono, F. Ardiansyah, H.
Hermantoro, A. Purwadianto, Supardi. 2009: Strategi Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Prosiding. Workshop Ocean and
Climate Change. Laut Sebagai Pengendali Perubahan Iklim: peran laut
Indonesia dalam mereduksi percepatan proses pemanasan global. (tidak
diterbitkan).
Tauli-Corpuz, V., E. Baldo-Soriano, H. Magata, C. Golocan, M.V. Bugtong, R. de
Chaves, L. Enkiwe-Abayao, J. Cariño. 2008. Panduan Tentang Perubahan
Iklim dan Masyarakat Adat. Philippines: Tebtebba Foundation.
110
UNEP. 2009. Climate Change Science Compendium. Catherine P. McMullen,
Jason Jabbour, Eds. http://www.unep.org/pdf/ccScienceCompendium2009
/cc_ScienceCompendium2009_full_en.pdf.
Widodo, Slamet. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir.
Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB.
111
Lampiran 1. Kebutuhan Data, Metode, Jenis, dan Sumber Data
No
Kebutuhan Data
Metode
Jenis Data
Sumber Data
1
kondisi umum lokasi
studi literatur,
wawancara,
pengamatan
primer,
sekunder
pemerintah desa,
tokoh
masyarakat, dan
literatur
2
profil sejarah lokasi
studi literatur,
wawancara
primer,
sekunder
tokoh masyarakat
dan literatur
3
kondisi sosial-ekonomi
nelayan
studi literatur,
wawancara,
pengamatan
berperan serta
primer,
sekunder
pemerintah desa,
tokoh
masyarakat, dan
literatur
4
kondisi ekosistem,
lingkungan dan gejala
perubahan iklim yang terjadi
studi literatur,
wawancara,
pengamatan
primer,
sekunder
nelayan,
pemerintah desa,
literatur, sekolah
lapang iklim
5
pengaruh gejala perubahan
iklim yang terjadi terhadap
aktivitas nelayan
wawancara,
pengamatan
berperan serta
primer
nelayan
6
pengaruh gejala perubahan
iklim yang terjadi terhadap
kondisi ekonomi nelayan
studi literatur,
wawancara,
pengamatan
berperan serta
primer,
sekunder
nelayan,
pemerintah desa,
literatur
7
persepsi nelayan mengenai
perubahan iklim
survai
primer
nelayan
8
pola perikanan tangkap serta
faktor-faktor yang
mempengaruhinya
studi literatur,
wawancara,
pengamatan
berperan serta,
survai
primer,
sekunder
nelayan
9
adaptasi perikanan tangkap
studi literatur,
wawancara,
pengamatan
berperan serta
primer,
sekunder
nelayan,
pemerintah desa
10
Strategi ekonomi dan
matapencaharian nelayan
studi literatur,
wawancara,
pengamatan
berperan serta
primer,
sekunder
nelayan,
pemerintah desa,
tokoh
masyarakat, dan
literatur
112
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
“POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM”
(Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang,
Kabupaten Ciamis)
Oleh : Ratna Patriana
Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia – Institut Pertanian Bogor
No. Responden : ....... (diisi oleh peneliti)
Responden
Nama
: ………………………………………………………………
Alamat
:………………………………………………………………
No. Telp / Hp : ………………………………………………………………
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
I. Karakteristik Individu
Berapa usia Bapak sekarang? : …………… tahun
Pendidikan formal yang Bapak capai?
Tidak Sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tidak tamat SMP
Tamat SMP
Tidak tamat SMA
Tamat SMA
Perguruan Tinggi
Pelatihan atau kursus apakah yang pernah Bapak ikuti?
Tidak pernah
Sekolah Lapang / Penyuluhan. Mengenai
: …………………….
Selama
: …………………….
Pada tahun
:…………………….
Sudah berapa lama Bapak tinggal di desa ini?
1 - 5 tahun
10 – 15 tahun
5 – 10 tahun
lebih dari 15 tahun
Sudah berapa lama Bapak bekerja sebagai nelayan?
1 - 5 tahun
10 – 15 tahun
5 – 10 tahun
lebih dari 15 tahun
Apakah terdapat pekerjaan lain selain sebagai nelayan?
Ya
: (1) pekerjaan : …………..
(2) pekerjaan : …………..
(3) pekerjaan : …………..
Tidak
Apakah nelayan merupakan pekerjaan utama Bapak?
Ya
Tidak
Selain Bapak, apakah ada dalam anggota keluarga Bapak yang telah
bekerja?
113
Istri, pekerjaan : ………………………….
Anak, pekerjaan : ………………………….
Anggota lainnya (sebutkan) :
1) …………………………. Pekerjaan: ………………………….
2) …………………………. Pekerjaan: ………………………….
3) …………………………. Pekerjaan: ………………………….
9.
Berapa total pengeluaran rutin rumah tangga Bapak dalam satu bulan?
10.
Berapa rata-rata penghasilan rumah tangga Bapak dalam satu bulan?
1.
2.
3.
4.
5.
6.
II. Perilaku Komunikasi
Media komunikasi apa yang Bapak miliki?
Televisi
Radio
Media cetak (koran atau majalah)
Buku atau bahan bacaan mengenai lingkungan
Berapa hari dalam seminggu Bapak menonton televisi?
Setiap hari
1 – 3 hari
4 – 5 hari
Tidak pernah
Biasanya dalam sehari pada jam berapa Bapak mengikuti siaran televisi?
Pagi, jam : …………. Sampai jam : …………
Siang, jam : …………. Sampai jam : …………
Sore, jam : …………. Sampai jam : …………
Malam, jam : …………. Sampai jam : …………
Berapa hari dalam seminggu Bapak mengikuti siaran radio?
Setiap hari
1 – 3 hari
4 – 5 hari
Tidak pernah (lanjut ke pertanyaan no.6)
Biasanya dalam sehari pada jam berapa Bapak mengikuti siaran radio?
Pagi, jam : …………. Sampai jam : …………
Siang, jam : …………. Sampai jam : …………
Sore, jam : …………. Sampai jam : …………
Malam, jam : …………. Sampai jam : …………
Dari siaran-siaran yang Bapak ikuti, adakah yang menguraikan tentang
perubahan iklim atau pemanasan global?
Tidak ada
114
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pernah menyimak di radio, sebanyak …………. kali
Pernah menyimak di televisi, sebanyak …………. kali
Media cetak apa saja yang Bapak baca?
Surat kabar/koran (sebutkan) ………………….
Majalah, buku, brosur (sebutkan) ………………….
Lainnya (sebutkan) ………………….
Tidak ada (lanjut ke pertanyaan no.11)
Berapa hari dalam seminggu Bapak membaca koran/majalah/buku?
Setiap hari
1 – 3 hari
4 – 5 hari
Tidak pernah
Biasanya dalam sehari pada jam berapa Bapak membaca?
Pagi, jam : ………….Sampai jam : …………
Siang, jam : …………. Sampai jam : …………
Sore, jam : …………. Sampai jam : …………
Malam, jam : …………. Sampai jam : …………
Apakah Bapak pernah membaca tentang perubahan iklim ataupun pemanasan
global?
Pernah, membaca dari ………………….
Tidak pernah
Apakah Bapak pernah membicarakan perubahan iklim atau pemanasan global
dengan orang lain di desa ini?
Ya, dalam obrolan dengan tetangga
Ya, ketika bertemu dengan teman di warung, pasar atau dimana saja
bila ada kesempatan
Ya, ketika ada sekolah lapang ataupun penyuluhan
Ya, saya sengaja mencari tahu tentang perubahan iklim, pemanasan
global ataupun keanehan cuaca ini dengan tokoh masyarakat, atau
orang lain yang saya anggap ahli
Tidak pernah (lanjut ke bagian III. Persepsi)
Kalau Bapak ingin mencari tahu lebih lanjut mengenai perubahan iklim,
pemanasan global ataupun keanehan cuaca, kemana Bapak meminta pendapat
dan berapa kali selama setahun yang lalu?
Rekan sesama nelayan
: …………… kali
Sesepuh atau tokoh desa : …………… kali
Petugas sekolah lapang
: …………… kali
Pejabat desa
: …………… kali
Lainnya (sebutkan) …………………
: ………….kali
Diantara orang yang Bapak hubungi tersebut, adakah orang yang
pendapatnya cocok dengan pendapat Bapak?
115
Ada, yaitu …………………………………..
Tidak ada
14. Apabila Bapak cocok dengan pendapat orang tersebut, apa alasan Bapak?
Ada, karena pengaruh adat istiadat.
Sebutkan, nama adat
: ………………………………..
Ada, karena pengaruh jabatan di Pemerintahan Desa
Sebutkan, nama jabatannya
: ………………………………..
Ada, karena memiliki pengetahuan yang lebih.
Sebutkan, bidang pengetahuannya : ………………………………..
Ada, karena pengaruh lainnya
Sebutkan
: ………………………………..
Tidak ada alasan
III. Persepsi
Pada bagian ini, Bapak dimohon memberikan tanggapan terhadap
pernyataan dengan cara memberi tanda cek (√) pada kolom yang tersedia sesuai
dengan pilihan Bapak.
No
Pernyataan
1.
Suhu bumi telah meningkat
2.
Telah terjadi perubahan alam di kawasan
pantai dan lautan yang berbeda dari tahuntahun sebelumnya
3.
Permukaan air laut dari tahun ke tahun
semakin tinggi
4.
Ombak di lautan semakin besar dibanding
tahun-tahun sebelumnya
5.
Badai semakin sering terjadi dibanding
tahun-tahun sebelumnya
6.
Datangnya badai di lautan semakin sulit
ditebak
7.
Arah angin semakin sulit ditebak
8.
Musim ikan semakin sulit ditebak
9.
Saya merasa semakin sulit menentukan
wilayah penangkapan ikan
10.
Ikan-ikan semakin sedikit
Setuju
Raguragu
Tidak
Setuju
116
Lampiran 3. Daftar Responden
no. responden
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
nama responden
Jum'an
kaswanto
setiaji
asim
rohili
ayo
tusino
tugiman
sahidin
Tarmidi
suyatna
beja sarmin
nana rojak
sahidin
sukin
tata
komar sunardi
muhtar
iran
Tumin
sardi
seman
satun
mamin
yayat
imin satimin
yuliyanto
mislam
Moch Mahpudin
Rislan
apon riawan
andi hidayat
kasri
K Suyanto
dedi
karli
encon
ade rasam
S Sopian
daswan
herman
usia responden
38
56
29
30
27
41
30
37
30
50
40
30
37
47
43
28
27
56
49
50
48
59
46
53
50
45
34
39
39
35
50
29
51
55
36
36
34
50
34
31
28
117
no. responden nama responden
42
muhidin
43
saimun
44
Dasikun
45
Ibo Wahidin
46
Samun
47
Sahindi
rata-rata usia responden
usia responden
35
40
50
40
53
36
41
Lampiran 4. Buku Kode
1) Karakteristik Nelayan
Hal
Nomor
No.
Kuesioner Pertanyaan Variabel
1
1
1
1
1
1
1 dan 2
2
4
5
6 dan 7
2
3
4
5
Nama Variabel
Usia
< 41 tahun
≥ 41 tahun
Pendidikan formal
tamat atau tidak tamat
SD
tamat SMP
tamat SMA
Lama tinggal di Ciawitali
≤15 tahun
>15 tahun
Pengalaman nelayan
≤15 tahun
>15 tahun
klasifikasi nelayan
nelayan penuh
nelayan sambilan utama
nelayan musiman
Kategori
muda
tua
rendah
Kode
1
2
1
sedang
tinggi
2
3
rendah
tinggi
1
2
rendah
tinggi
1
2
nelayan
1
penuh
nelayan
2
sambilan
utama
nelayan
3
musiman
118
1) Perilaku Komunikasi
Hal
Kuesi
oner
2
Nomor
Pertan
yaan
1
1
2
3
4
2
2
1
2
3
4
2
4
1
2
3
4
3
6
1
3
3
3
7
8
10
11
1
2
No
Variabel
Nama
Variabel
Total Skor
Kategori
Kode
Rendah
1
≥2
Tinggi
2
3-6
Rendah
1
7 – 10
Tinggi
2
3–6
Rendah
1
7 – 10
Tinggi
2
1
Rendah
1
2
Tinggi
2
≤2
6
7
kepemilikan
media
Keterdedah
an terhadap
media
elektronik
tidak pernah
2
pernah
jumlah media cetak dibaca
1
ada
2
ada 1
3
ada 2
4
ada 3
frekuensi membaca
tidak pernah
1
1-3 hari
2
4-5 hari
3
setiap hari
4
memperoleh info CC di
media cetak
1
2
3
Nama sub variabel dan
Kode
kepemilikan media
1 media
2 media
3 media
4 media
frekuensi menonton
TV/minggu
tidak pernah
1-3 hari
4-5 hari
setiap hari
frekuensi mendengar
radio/minggu
tidak pernah
1-3 hari
4-5 hari
setiap hari
memperoleh info CC di
TV/radio
tidak pernah
pernah
Fungsi Komunikasi
Interpersonal
tidak pernah
pernah
8
9
Keterdedah
an terhadap
media cetak
Fungsi
Komunikasi
Interperson
al
119
2) Persepsi Terhadap Perubahan Iklim
Ragu- Tidak
No.
Setuju ragu
Setuju
Pernyataan
1
3
2
1
2
3
2
1
3
3
2
1
4
3
2
1
5
3
2
1
6
3
2
1
7
3
2
1
3
2
1
8
3
2
1
9
3
2
1
10
Total skor
kategori
kode
10 sampai 19
rendah
1
20 sampai 30
tinggi
2
Lampiran 5. Pedoman Wawancara Mendalam
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
KEPADA INFORMAN (NELAYAN)
Hari/Tanggal Wawancara
Lokasi Wawancara
Nama dan Umur Informan
Alamat
No Telp./HP
Pertanyaan
:
:
:
:
:
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sejak kapan Anda tinggal di desa ini?
Apakah nelayan merupakan pekerjaan utama Anda?
Apa pekerjaan lain anda selain sebagai nelayan?
Berapa persen pendapatan yang diperoleh dari hasil melaut?
Sudah berapa lama Anda bekerja sebagai nelayan?
Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kegiatan anda mencari ikan di
laut?
7. Apa saja kendala yang ada yang mempengaruhi kegiatan Anda dalam
mencari ikan di laut?
8. Pada bulan-bulan apa saja Anda mencari ikan di laut?
9. Mengapa anda mencari ikan di bulan-bulan tersebut?
10. Berapakah rata-rata hasil tangkapan yang anda peroleh tiap harinya?
11. Dalam sekali melaut, biasanya berapa lama waktu yang Anda gunakan?
Pertanyaaan mengenai prakiraan cuaca:
12. Apakah terdapat metode-metode dalam memperkirakan cuaca (kapan kirakira akan terjadi badai dsb) yang telah lama digunakan oleh nelayannelayan dahulu? (indigenous knowledge)
120
13. Apakah anda pernah menerima informasi prakiraan cuaca dari
pemerintah/instansi terkait cuaca dan iklim seperti BMG?
14. Apakah anda memanfaatkan prakiraan cuaca tersebut?
15. Yang mana yang lebih diandalkan? Perkiraan cuaca secara tradisional atau
yang dikeluarkan oleh pemerintah?
Pertanyaan mengenai dampak dan strategi perubahan iklim:
16. Menurut Anda, bagaimana kondisi lingkungan pesisir wilayah ini
dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu?
17. Apakah terdapat perubahan lingkungan yang mempengaruhi kegiatan
Anda dalam mencari ikan di laut?
18. Perubahan apa saja yang terjadi?
19. Bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi aktivitas Anda dalam
melaut?
20. Apakah terjadi penurunan produksi perikanan akibat perubahan tersebut?
21. Apakah Anda mengalami kerugian ekonomi akibat perubahan tersebut?
Jelaskan!
22. Bagaimana respon Anda terhadap perubahan tersebut?
23. Apakah Anda melakukan adaptasi perikanan tangkap dalam menghadapi
perubahan tersebut?
24. Bagaimana adaptasi yang Anda lakukan?
25. Faktor apa saja yang berperan mendukung adaptasi tersebut?
26. Apa saja kendala adaptasi tersebut?
27. Bagaimana strategi ekonomi yang Anda lakukan dalam menghadapi
kerugian ekonomi tersebut?
28. Apa langkah adaptasi lain kalau seandainya jumlah hari bisa melaut
berkurang sekian persen (10, 20 dst) dari rata-rata hari melaut saat
ini? (alternatif tambahan mata pencaharian lain yang mungkin berpotensi)
Pertanyaan berkaitan dengan kelompok nelayan dan kebutuhan program:
29. Apakah nelayan-nelayan disini memiliki kelompok nelayan?
30. Apa saja kegiatan kelompok tersebut?
31. Apakah Anda pernah mengikuti sekolah lapang bagi nelayan atau
sejenisnya?
32. Menurut Anda, apakah sekolah lapang dibutuhkan oleh para nelayan
disini?
33. Menurut Anda, program apa yang dibutuhkan untuk kemajuan nelayan
disini?
121
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
Download