teori sastra islam dalam pandangan taufiq al-hakim

advertisement
SASTRA ISLAM DALAM PERSPEKTIF TAUFIQ AL-HAKIM
Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S.
1. Pendahuluan
Sastra Islam sampai saat ini masih dalam perbincangan dalam tataran istilah
dan konsep teoretiknya karena ia mengandung makna yang kompleks. Dikatakan
demikian karena fenomena sastra Islam dalam dunia sastra pada umumnya masih
kurang mendapat perhatian dari para pemerhati, kritikus, dan ahli sastra. Mereka
masih terus mencari definisi sastra Islam yang merepresentasikan pandangan
teoretiknya masing-masing. Di antara berbagai pandangan para ahli sastra yang
berbeda-beda itu, pada tulisan ini dicoba dikemukakan konsep sastra Islam secara
garis besar menurut pandangan Taufiq Al-Hakim (selanjutnya disebut Al-Hakim),
seorang sastrawan Arab Mesir yang produktif menghasilkan novel dan drama Arab
modern. Pada tulisan ini juga dikemukakan pandangan ahli-ahli sastra Islam lain
yang berbeda dengan pandangan Al-Hakim sebagai bandingan atas pandangannya.
Pada fakta masyarakat sastra di dunia Islam pada umumnya terdapat dua
kecenderungan pandangan tentang sastra Islam, yaitu kecenderungan yang tekstual
dan kecenderungan yang kontekstual. Madzhab pertama mewakili para ahli sastra
yang berpandangan bahwa sastra Islam harus mengacu pada teks-teks kitab suci yang
berbicara tentang keimanan dan akhlak dengan segala dimensinya. Madzhab ini
memandang sastra Islam harus tekstual-formalistik yang membawa misi ibadah dan
dakwah Islam. Adapun madzhab kedua mewakili para ahli sastra yang berpendapat
bahwa sastra Islam harus kontekstual-substansialistik yang membawa misi
kemanusiaan (humanisme) dan kebudayaan secara universal sesuai dengan hakikat
Islam itu sendiri yang bersifat universal (Rahmatan lil-‘Âlamîn), yaitu penebar kasih
sayang kepada semua umat manusia. Oleh karena itu, wajarlah apabila dua
kecenderungan dalam sastra Islam tersebut mengkristal menjadi dua madzhab yang
berbeda pandangan cukup tajam yang berkembang di dunia Islam.
Pada satu sisi, sastra Islam telah dikenal oleh pembaca sastra di belahan
dunia, baik di negara-negara Arab maupun negara-negara non-Arab, terutama dunia
Barat dan dunia Islam pada umumnya. Pengenalan pembaca sastra terhadap sastra
Islam, terutama karya-karya sastra Arab yang bernafas Islam, dapat dilihat pada puisi
(kasidah) dan novel Arab terkenal, bahkan masuk dalam kategori masterpiece,
misalnya, antara lain, Kasidah Burdah dan kisah Alfu wa Laylah. Kedua karya sastra
Arab-Islam ini telah banyak mengilhami kelahiran karya sastra dunia sehingga
mendapat resepsi dan apresiasi yang luar biasa dari pembaca-pembaca sastra di
dunia.
Pada sisi yang lain para ahli sastra saat ini masih berusaha mendefinisikan
teori sastra Islam dari perspektif ontologi dan epistemologinya. Ada sejumlah
pertanyaan mendasar yang dilontarkan oleh para ahli sastra di Indonesia, antara lain
Mohammad Diponegoro dan Muhammad Ali (1986:54), yaitu : sejauh mana sastra
Islam dapat ditandai dan ditafsirkan sepanjang jalur kriteria sastra; sampai batas
mana suatu karya dapat diklasifikasikan ke dalam golongan sastra Islam; di mana
standar atau ciri-ciri sastra Islam; adakah sastra Islam itu ditentukan oleh temanya,
strukturnya atau gaya penulisannya, logat bahasa yang dipergunakannya, imajinasi
penulisnya, atau kepribadian penulisnya, atau juga lingkungan pergaulan penulisnya.
2. Permasalahan
Dari pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut dicoba diambil benang
merahnya yang dirumuskan menjadi permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana sastra Islam memotret fenomena-fenomena kejadian di dunia
yang merefleksikan kenyataan kehidupan keagamaan, dan apa fungsi sastra
Islam dalam memaknai fenomena keagamaan itu.
2. Bagaimana sastra Islam mengemas rasa cinta manusia kepada Tuhannya,
kepada alam semesta, dan kepada sesama manusia, serta bagaimana ia
menggambarkan perputaran alam semesta dengan prinsip cinta pada
keindahan.
3. Bagaimana sastra Islam mengkhususkan pandangannya hanya kepada Tuhan
yang merupakan sumber dari segala sumber sesuatu yang kemudian
tergambar dalam sifat-sifat Tuhan yang menjelma dalam makhluk-makhlukNya.
2
4. Bagaimana sastra Islam mengungkapan pengalaman keagamaan pengarang
yang penuh makna dengan menggunakan bahasa simbolik, dan bagaimana
sastra Islam diposisikan seperti agama yang berdiri di atas aturan-aturan
moral.
3. Landasan Teori
Dalam literatur-literatur yang terbaca terdapat beberapa istilah sastra yang
berkaitan dengan ke-Islaman. Artinya, sastra Islam menurunkan derivat-derivatnya,
seperti istilah sastra Islam itu sendiri yang dikemukakan oleh Baylu dan Miguel Asin
(1985) dan Taufiq Al-Hakim (1972), istilah sastra keagamaan yang dikemukakan
antara lain oleh Hoesin (1975:548) yang pembicaraannya difokuskan pada sejarah
Nabi Muhammad saw dan cosmogony. Istilah yang terakhir ini berbicara tentang
ilmu kejadian alam yang ditulis dalam bentuk puisi dan prosa yang indah. Derivat
lainnya adalah istilah sastra kitab yang disampaikan, antara lain, oleh Braginsky
(1998:275-276) yang bahasannya diarahkan pada karangan keagamaan yang khas
ilmiah yang disusun oleh pengarang terutama untuk murid-murid pesantren dan
anggota-anggota tarekat sufi. Pada keseluruhannya, sastra kitab terdiri atas karangan
kitab tentang ilmu fikih, kitab tentang ilmu kalam, kitab tentang tasawuf, kitab tafsir
Al-Quran, kitab tentang tajwid, dan kitab tentang nahwu atau tata bahasa Arab.
Derivat berikutnya adalah istilah sastra pesantren (Manshur, 2007) yang
berbicara tentang kitab-kitab keagamaan yang ditulis oleh kiai atau santri dan dikaji
serta diamalkan oleh masyarakat pesantren di lingkungan masyarakat pesantren.
Sastra pesantren lebih fokus pembahahsannya pada isi kitab yang diresepsi dan
diproduksi oleh masyarakat pesantren, misalnya kitab yang memuat substansi fikih,
ilmu kalam, tasawuf, tafsir, tajwid, atau nahwu. Jadi, sasta pesantren lebih tampak
pada faktor tempat dan subjek produksinya serta fungsi keagamaannya, yaitu untuk
menyebarkan akhlak dan pendidikan Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa sastra keagamaan, sastra kitab, dan sastra pesantren pada hakikatnya adalah
bagian dari sastra Islam.
Dalam tradisi keilmuan apa pun setiap istilah mesti ada konsepnya. Konsep
suatu ilmu bergantung pada nomenklatur ilmu itu. Demikian juga sastra Islam adalah
suatu istilah yang konsep ilmunya bergantung pada pandangan atau penafsiran
3
seseorang terhadap Islam itu sendiri. Pada pembahasan ini diuraikan beberapa sudut
pandang tentang sastra Islam.
Sastra Islam dilihat dari contentnya berkaitan dengan ajaran-ajaran Islam
yang ditulis dengan dua cara, yaitu melalui teks nonfiksi dan teks fiksi. Contoh sastra
Islam yang ditulis melalui teks nonfiksi dapat dilihat pada pandangan Norman
Calder, Jawid Majoddedi, dan Andrew Ripin (2003) yang mengonsepkan bahwa
kategori sastra Islam – dalam istilah sastra Barat disebut religious literature meliputi delapan unsur keilmuan Islam yang dapat menjadi sumber inspirasi lahirnya
karya sastra Islam yang fiksi, yaitu (i) Al-Quran, (ii) kehidupan Muhammad saw, (iii)
hadis, (iv) sejarah Islam, (v) tafsir Al-Quran, (vi) filsafat dan teologi, (vii) hukum
dan ritual, dan (viii) tasawuf.
Mengapa kedelapan unsur dalam tradisi keilmuan Islam ini dipandang
sebagai sumber inspirasi bagi lahirnya sastra Islam, karena menurut Calder,
Mojaddedi, dan Ripin, di dalam delapan unsur itu ada elemen-elemen kemanusiaan
yang menjadi ciri utama sastra. Pertama, Al-Quran sebagai wahyu Allah diturunkan
kepada manusia pilihan-Nya, yaitu Nabi Muhammad saw yang dalam konteks ini
Muhammad adalah manusia. Kedua, kehidupan Nabi Muhammad saw adalah
fenomena besar dalam sejarah Islam yang tujuan kenabiannya adalah untuk semua
umat manusia (Rahmatan lil-Âlamîn). Ketiga, Hadis adalah ucapan, tindakan, dan
ketentuan Nabi Muhammad saw yang berisi ajaran teknis tentang beribadah yang
baik dan benar yang harus dikerjakan oleh setiap manusia Muslim.
Keempat, sejarah Islam adalah rekaman kejadian umat Islam yang
berlangsung selama berabad-abad yang subjeknya adalah manusia-manusia Muslim
yang gemilang, yang dapat dijadikan contoh bagi manusia-manusia saat ini. Kelima,
tafsir Al-Quran adalah hasil pemikiran dan ijtihad para ulama Islam yang memaknai
ayat-ayat Al-Quran untuk kemaslahatan manusia-manusia Muslim dalam memahami
dan mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran. Keenam, filsafat dan teologi adalah dua
cabang ilmu yang penting dalam tradisi keilmuan Islam, yang banyak melahirkan
filosof dan teolog Muslim yang handal dan dihormati oleh masyarakat dunia.
Ketujuh, hukum dan ritual adalah juga dua cabang ilmu yang berbicara
tentang aturan-aturan dan norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap manusia
Muslim, dan tradisi-tradisi masyarakat Muslim yang sampai saat ini masih hidup dan
4
dirasakan manfaatnya oleh sebagian kelompok manusia Muslim di belahan dunia.
Kedelapan, tasawuf adalah cabang ilmu Islam yang sangat digemari oleh sejumlah
besar kelompok sosial Muslim di berbagai negara, yang intinya adalah mengasah dan
mendidik jiwa dan hati manusia Muslim dalam beribadah kepada Allah dan dalam
bermuamalah dengan sesama manusia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa sastra Islam
banyak membicarakan tentang kemanusiaan dalam perspektif agama Islam, yang
intinya lebih mementingkan pada pemuliaan dan penghormatan terhadap pemikiran
manusia dalam segala aspeknya sebagai makhluk utama ciptaan Allah.
4. Dua Madzhab Dominan dalam Sastra Islam
Para ahli sastra Islam (di Indonesia, Malaysia, dan Mesir) mencoba
mendefinisikan sastra Islam.menurut pandangan dan paradigmanya masing-masing
yang satu sama lain berbeda. Di antara mereka adalah Sayyid Qutb (Mesir), Shahnon
Ahmad (Malaysia), dan Abdurrahman Ra`fat Bâsyâ mewakili madzhab
yang
menyatakan bahwa ‘sastra Islam adalah sastra yang bersumber pada Allah dan
berhikmah untuk manusia” (Ahmad, 1987:11, Jirâr, 1988:14). Madzhab ini disebut
madzhab pertama. Konsep Sayyid Qutb dan Abdurrahman Ra`fat Bâsyâ yang
mewakili madzgab pertama ini kemudian disempurnakan oleh Muhammad Qutb
yang menyatakan bahwa sastra Islam adalah sastra yang didasarkan pada nilai-nilai
moral dan kepentingan ibadah (Ahmad, 1987:9). Karya sastra yang baik selalu
mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian,
sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1995:105). Madzhab
pertama ini mengisyaratkan bahwa pengarang harus Muslim atau Muslimah, nilainilai intrinsik dan tujuan penulisan karya sastranya juga harus bernafaskan moralitas
Islam, yang semuanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah.
Adapun madzhab kedua dipelopori, antara lain, oleh Kassim Ahmad
(Malaysia), Mohammad Diponegoro, Muhammad Ali (Indonesia), dan Thaha Husen
(Mesir) yang menyatakan bahwa sastra Islam bersifat universal meliputi pahampaham nasionalisme, sosialisme, rasionalisme, dan libralisme karena paham-paham
ini pada hakikatnya adalah bagian dari ajaran Islam. Di samping itu, Islam dan
kebudayaan tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling mengisi dan saling
5
membutuhkan (Ahmad, 1987:19; Al-Hakim, 1972). Menurut madzhab kedua ini,
sastra Islam tidak perlu dibatasi secara kaku dan ketat karena Islam mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia sesuai dengan hakikat Islam itu sendiri yang bersifat
universal. Jadi, sasta Islam harus dilihat pada isinya yang berbicara tentang
kehidupan manusia, masyarakat, dan kebudayaan Islam, bukan dinilai siapa yang
menulis karya sastra itu. Bisa saja pengarangnya non-Muslim, tetapi isi karya
sastranya berbicara tentang ajaran-ajaran Islam seperti kesalihan, kejujuran,
keikhlasan, keberanian, dan keteladanan. Berikut ini dikemukakan dalam lintasan
sejarah kebudayaan Islam, sejumlah sastrawan yang dipandang sebagai tokoh-tokoh
yang memelopori penulisan karya-karya sastra Islam.
Di antara para sastrawan dunia yang diketegorikan sebagai penulis sastra
Islam adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Abdullah bin Rawâhah (Jirâr,
1988:11), Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Mohammad Iqbal, Ahmad Qutb, Ali Ahmad
Baktsir sampai pada Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamka, dan raja penyair
Indonesia, Amir Hamzah. Akan tetapi, berdasarkan madzhab pertama, nama besar
seperti Thaha Husen (Mesir) tidak dimasukkan ke dalam golongan sastrawan yang
menulis sastra Islam padahal ia telah banyak menulis karya masterpiece seperti “’Alâ
Hamîsis-Sîrah” dan “Al-Wa’dul-Haqq”. Thaha Husen tidak dianggap sebagai
sastrawan Islam karena menurut madzhab pertama, isi novel-novelnya tidak secara
eksplisit-formal menggunakan simbol-simbol Islam. Demikian juga di Indonesia, ada
nama besar seperti Achdiat K. Mihardja yang menulis novel kontroversialnya,
“Atheis,” yang memperbandingkan antara nilai-nilai ajaran Islam dengan
atheisme/marxisme, tidak juga termasuk sebagai sastrawan Islam (Ali, 1986:54-55).
Kenyataan tersebut menjadi persoalan besar dalam merumuskan definisi
sastra Islam karena ternyata pandangan tekstualisme masih mendominasi pemaknaan
sastra Islam. Jadi, sastra Islam selalu diarahkan untuk misi ibadah dan dakwah Islam.
Fungsi sastra untuk menghibur pembaca – seperti dalam tradisi sastra Barat menjadi tidak relevan karena aspek menghibur dipandang tidak mencerminkan misi
dan dakwah Islam. Kesulitan para ahli sastra mendefinisikan sastra Islam yang
memadai dan menyeluruh itu karena kedua madzhab tersebut masing-masing
memiliki argumentasi yang kuat.
6
Madzhab pertama menegaskan bahwa sastra Islam harus berfungsi ibadah
kepada Allah dan dakwah Islam kepada masyarakat luas. Dalam konteks ini, content
sastra Islam harus bersemangat ajakan untuk mengagungkan Allah dan Rasul-Nya
serta menyebarkan hasil ijtihad ulama kepada masyarakat Muslim. Jadi, dimensi
ekspresif (menyangkut orang atau penulis) dipandang sangat penting karena dia
harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang ajaran-ajaran Islam dan simbolsimbolnya. Madzhab ini menegaskan bahwa sastra Islam harus ditulis oleh orang
Islam dan berisi tentang ajaran-ajaran Islam, baik berbentuk puisi maupun prosa.
Madzhab kedua menyatakan bahwa sastra Islam itu harus dibebaskan dari
simbol-simbol tekstual dan personal dalam wujud karya sastranya. Madzhab ini
menegaskan bahwa sastra Islam harus dilihat secara objektif hanya dari wujud
teksnya, bukan dari misi yang dibawa oleh pengarangnya karena pada hakikatnya
sastra adalah apa yang terbaca dalam teks, bukan siapa yang menulis teks. Penulis
atau pengarang hanyalah wadah dari isi sastra yang tidak terlalu penting.
Madzhab pertama lebih tepat disebut madzhab klasik-puritanistik kerena
menempatkan sastra sebagai sarana ibadah dan dakwah Islam yang berfungsi
mengajak manusia untuk menjalankan ajaran-ajaran agama. Jadi, madzhab pertama
ini menekankan pandangannya pada fungsi sastra Islam sebagai pengajak pada
kebaikan dan kesalihan serta pencegah pada perbuatan-perbuatan buruk dan tercela.
Madzhab kedua lebih tepat disebut madzhab modern-liberalistik karena
bahan sastra bisa apa saja, termasuk fakta sosial umat Islam yang hidup dan
berkembang di alam kemodernan. Jadi, sastra Islam itu tidak harus menyampaikan
hal-hal yang baik saja sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang termaktub dalam AlQuran dan Hadis, tetapi juga mengungkapkan kelemahan, kekurangan, ketercelaan,
dan keburukan masyarakat Muslim yang secara faktual memang ada dalam
kenyataan sosial.
Pada tulisan ini, secara partikular, dipaparkan pandangan seorang ahli sastra
yang bernama Taufiq Al-Hakim (Al-Hakim) yang membahas teori sastra Islam. AlHakim (1972:74-96) menulis buku berjudul Fannul-Adab yang salah satu babnya
berbicara tentang sastra dan agama (al-Adabu wad-Dîn). Intisari sastra Islam yang
ditulis dalam buku tersebut berikut ini dipaparkan sesuai dengan sudut pandang dan
paradigma yang dianut oleh Al-Hakim.
7
Dalam konteks perdebatan dua madzhab sastra Islam, Al-Hakim lebih
cenderung mensintesiskan madzhab pertama dan madzhab kedua, yaitu sastra Islam
tetap bersumber pada Allah, berdimensi ibadah, dan bermisi dakwah Islam. Akan
tetapi, di sisi yang lain sastra Islam juga harus modern dan liberal yang tidak perlu
terikat secara kaku dengan aspek-aspek formalistik-tekstual. Jadi, sastra Islam itu
harus berdimensi Ilahiah sekaligus kontekstual. Oleh karena itu, berikut ini
dikemukakan pandangan Al-Hakim tentang sumber-sumber sastra Islam beserta
ilustrasi-ilustrasi simbolisnya.
5. Sumber Sastra Islam
Menurut Taufik al-Hakim, terdapat hubungan antara sastra dan Islam karena
sastra dan Islam muncul dari tempat yang satu, yaitu berasal dari Tuhan Yang
Mahatinggi yang memenuhi hati manusia dengan ketenangan, kesucian, dan
keimanan. Sesungguhnya asal keindahan dalam sastra adalah perasaan yang tinggi,
yang melingkupi jiwa manusia. Oleh karena itu, sastra berlaku seperti agama yang
berdiri di atas aturan-aturan moral (Al-Hakim, 1972).
Pandangan al-Hakim tersebut tentu tidak berarti mewakili seluruh ahli sastra.
Sejak dahulu selalu terjadi pertentangan antara sastra yang berlandaskan moral dan
sastra yang bebas dari urusan moral. Keindahan dalam sastra berlandaskan pada
prinsip kemampuan menggambarkan hal-hal yang jelek dan hina tidak lebih rendah
dari penggambaran tentang kebaikan dan kemuliaan. Al-Hakim adalah orang yang
sangat memegang prinsip kebebasan dalam sastra dan memahami pentingnya sebuah
kebebasan.
Ia
tidak
menggambarkan
sastra
dalam
hal-hal
hina
seperti
menggambarkan yang mulia, dan ia juga tidak memunculkan hal-hal buruk seperti
menggambarkan kebaikan.
Demikian halnya agama Islam, saat diturunkan memberi gambaran kepada
manusia tentang keburukan orang-orang musyrik, dosa orang-orang kafir, dan
kejelekan orang-orang jahat pelaku kerusakan, sebagaimana memaparkan kepada
manusia kemuliaan orang-orang mukmin, kebaikan orang-orang saleh. Akan tetapi,
tujuannya
bukanlah
sekadar
penggambaran
tentang
kebebasan,
melainkan
sebenarnya menggambarkan perasaan jiwa manusia tentang moral. Moralitas itu
merupakan wujud keberagamaan manusia yang tercermin dalam sastra. Dalam hal
8
ini, agama Islam bertanggung jawab dan berfungsi mengawasi sastra. Jadi, karya
sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Pesan ini
kemudian dinamakan “moral”, yaitu karya sastra yang baik selalu mengajak pembaca
untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian, sastra dianggap
sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1995:105).
Selanjutnya, dalam konteks hubungan sastra dengan Islam bagaimana
tanggung jawab sastra dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam. Apakah karya
mungkin sastra itu dibuat sebebas dan semaunya yang tidak terikat dengan moral
kemanusiaan ? Intensi para ahli sastra tentang baik atau buruk, apakah tidak
dikedepankan atau dibelakangkan dalam penilaian sebuah karya sastra ?. Betulkah
intensi pengarang tidak memiliki nilai dalam karya sastra ?.
Semangat moralitas bagi para sastrawan harus tumbuh bersamaan dengan
kepandaiannya dan dalam hal tertentu mencerminkan perilakunya. Sesungguhnya,
sastra yang tidak bermoral dalam segala aspeknya akan menurunkan nilai karya
sastra itu sendiri. Hal ini didasarkan pada satu asumsi bahwa sastra yang bernilai
tinggi seharusnya membekas dalam jiwa, tetapi sebaliknya tidak membekas di hati
pembaca sebagai perasaan mulia dan penuh kasih sayang. Jika diciptakan sebuah
karya sastra yang menggambarkan bentuk pelanggaran aturan atau penghalalan
sesuatu yang diharamkan, maka itu berarti sastra telah memberi andil dalam
kemerosotan moral. Jika pandangan ini menjadi kecenderungan umum, maka sangat
mungkin pandangan dan perilaku masyarakat akan mengikuti arus sastra seperti ini
(Al-Hakim, 1972).
Pada sisi yang lain Al-Hakim menyoroti hakikat sastra yang hidup di tengahtengah masyarakat. Menurut pandangannya, sastra Islam tidak hanya berfungsi untuk
mengajarkan, memberi nasihat, atau memberi petunjuk ke arah jalan yang benar,
tetapi ia juga menciptakan sesuatu menjadi hidup dan berakar sehingga berkesan di
hati dan pikiran manusia. Masalahnya adalah apakah sastra sebagai petunjuk ke arah
yang benar itu membatasi bentuk sastra. Sebuah karya sastra, baik itu puisi maupun
prosa akan terasa sebagai sebuah karya yang tinggi yang berisi pemikiran cemerlang.
maka dalam hal ini, keberadaan pengarangnya menonjol di depan sastra. Dalam hal
ini, keberadaan pengarang menjadi menonjol dalam penciptaan karya sastra. Jika
9
dalam karya sastra tidak ada pembaruan pemikiran, kecuali hanya berisi selera
rendah, maka pengarang dan karyanya di hadapan sastra adalah juga rendah.
Menurut al-Hakim, karya sastra Islam yang baik adalah yang berisi perasaan
sempurna pengarang yaitu yang diungkapkan melalui gaya bahasa dan struktur
ceritanya yang baik. Sebaliknya, lemahnya isi dan gaya bahasa serta struktur cerita
akan mengecewakan hati pembacanya yang pada gilirannya sastra menafikan
keteraturan dan kerapian. Al-Hakim juga memandang bahwa masalah sastra juga
adalah masalah agama Islam. Pemuka agama yang berada di jalan yang lurus yang
mencipta karya sastra dengan gaya bahasa yang indah selayaknya memberi kesan di
hati pembacanya, jika tidak demikian, maka akan terjadi benturan antara tujuan dan
jalan hidupnya.
Jika sastrawan tidak mengetahui pentingnya sebuah garis kehidupan yang
lurus, maka wahyu dapat menuntunnya agar karya sastra yang diciptanya tidak
keluar dari garis wahyu itu. Para sastrawan yang tertuntun itu oleh wahyu itu (AlHakim menyebutnya sebagai “orang-orang suci”) akan melahirkan kecerdasan
intelektual yang luar biasa. Dalam konteks ini, Al-Hakim menegaskan bahwa sastra
dan Islam bersumber dari Tuhan karena Ia adalah sumber dari segala sumber.
Dengan demikian, sastra dalam perspektif Islam harus bersumber dari nilai-nilai
agama.
Untuk mengetahui konsep sastra Islam menurut perspektif Al-Hakim beserta
ilustrasi-ilustrasi simbolisnya, berikut ini dikemukakan simbol-simbol yang dapat
menjadi sumber tematis sastra Islam.
a. Simbol Pertama : “Air Kehidupan”
Pada bagian ini Al-Hakim mengilustrasikan simbol ‘air kehidupan’ dengan
cerita-cerita. Ada seorang Yahudi bernama Yasu’ yang keletihan berjalan meminta
air minum kepada perempuan, namanya Samirah, yang selama ini mereka tidak
pernah berinteraksi. Keengganan Samirah untuk memberikan air dijawab oleh Yasu’,
“Jika kamu mengerti pemberian Allah, siapa pun yang berkata kepadamu,
memintamu untuk berbagi, berikanlah untuk diminum! Sesungguhnya air telah
memberimu kehidupan”. Yasu’ yang menganggap dirinya lebih baik dari bapak
Samirah (juga Yusuf), Yakub, melanjutkan, “Semua yang minum air ini karena
10
kehausan, namun siapa yang meminum air pemberianku, kembali muncul di sana
mata air, muncul hingga kehidupan padang pasir”.
Yasu’ kemudian menjelaskan bahwa jumlahnya mungkin masih sedikit orang
yang hilang hausnya karena meminum air dari sumur ini, dan muncullah dari situ air
kehidupan, padahal, jutaan orang haus selalu ada di setiap masa. Sesungguhnya
setiap orang di kedua sisinya terdapat sumur yang dalam. Ia telah melihat ada orang
yang melemparkan timba emas ke sumurnya, lalu timba itu tidak menemukan apaapa di dasar sumur selain kekeringan; ada orang yang melemparkan timba
kecerdasan, lalu timba itu tidak menemukan apa-apa di dasar sumur selain butiran
kerikil. Al-Hakim mengutip cerita tersebut dari Kitab Injil (Al-Hakim, 1972).
Air kehidupan dan timba untuk mencapainya sebenarnya tidak ada di setiap
hati, tetapi berada di hati yang telah beroleh keberkahan dari langit. Kadang kita
tidak merasakan kehadirannya meski telah melingkupi kita karena nikmat ini tidak
dapat dilihat oleh semua mata.
Contoh lain yang dikemukakan Al-Hakim ialah seorang tukang kayu yang
bekerja sepanjang hari, memperoleh keuntungan harian, hidupnya senang, di
rumahnya penuh sukacita dan nyanyian, dan tidurnya pulas dan tenang sampai pagi.
Di sebelah rumahnya ada seorang lelaki kaya yang memperhatikan keadaannya, ia
letih dan berkata dalam hati bahwa bagaimana bisa si tukang kayu yang miskin dapat
menikmati hidup, sedangkan ia yang kaya, tidak berhenti bekerja dan tidak dapat
tidur, dan harta tidak dapat menghilangkan hausnya akan kekayaan. Kemudian ia
merencanakan sesuatu bagi si tukang kayu, ia lalu melemparkan sekantung penuh
emas ke rumah si tukang kayu, kemudian menanti dan mengintip apa yang akan
terjadi. Sesuatu yang mengherankan terjadi; nyanyian penuh sukacita dari rumah si
tukang kayu mendadak berhenti, jantung berdegup, pikirannya mulai sibuk dan
kalap, tidur nyenyak mulai tersingkir berganti dengan tidak tidur sepanjang malam,
dan sibuklah ia siang dan malam mengurusi harta yang ‘jatuh’ padanya; bagaimana
cara memanfaatkannya dan membuatnya berkembang.
Hari demi hari, malam demi malam berlalu, awan yang dahulu menetap di
rumah si orang kaya kini menetap di rumah si tukang kayu; awan kesulitan yang
tidak pernah beranjak; kini si tukang kayu selalu berlari menjauhi bayangan air.
11
Sumber air di sumur itu telah berkurang, dan datanglah rasa haus yang tidak pernah
hilang selamanya.
Pelajaran dari Yasu’ dan si tukang kayu merupakan berkah bagi setiap
individu dan lembaga. Sesuatu yang tidak pernah berhenti dikerjakan merupakan
tanda kehausan. Jika kita mengikuti alur kehausan ini, maka kita akan selalu bergelut
dengan kekuasaan. Bila kita meminum kekuasaan, maka kita akan tetap dan terus
haus. Demikian itulah air kehidupan. Sesungguhnya apa yang kita cari ada di dekat
kita, hanya kita belum mengetahuinya karena tidak dapat dilihat oleh semua mata.
Berkah kekayaan dan kekuasaan tidak akan pernah membuat kita tenang jika tidak
dijalankan sesuai dengan moral keagamaan.
b. Simbol Kedua : Hakikat yang Sempurna
Pada episode ini, Al-Hakim menampilkan cerita legenda seorang filosof Cina.
Pada sebuah desa di hutan belantara hidup seorang lelaki tua dengan anaknya dan
seekor kuda. Suatu hari, musibah datang, kudanya menghilang entah ke mana, pun
telah ditanyakan kepada tetangga tentang kehilangan itu, tetapi tidak ada yang
mengetahuinya. Selang beberapa hari kuda tersebut kembali kepada tuannya, tetapi
ia tidak sendirian, namun ia datang diiringi sekelompok kuda liar. Para tetangga
gembira karena hal itu berarti nasib baik, tetapi bagi lelaki tua hal itu belum tentu
sebagai nasib baik. Kemudian kuda-kuda liar itu digembalakan oleh anak lelaki tua,
suatu ketika ia menaiki seekor kuda liar itu dan jatuh terjerembab ke tanah hingga
kakinya patah. Para tetangga sedih dan berduka atas musibah dan nasib buruk ini,
tetapi bagi lelaki tua hal itu belum tentu suatu musibah.
Setahun berlalu, terjadi peperangan. Para pemuda yang ditentarakan untuk
dikirim ke medan perang mayoritas meninggal dunia kecuali anak si lelaki tua yang
cacat kakinya. Karena alasan inilah ia tidak pergi ke medan perang sehingga dirinya
selamat dari kematian.
Setiap kejadian, nasib baik atau buruk, dalam pergantian siang dan malam,
manusia dengan pandangannya yang terbatas dan ingatannya yang lemah, tidak dapat
melihat suatu kejadian kecuali apa yang terjadi saat ini, akibat yang tiba-tiba.
Pandangan manusia juga tidak dapat merangkum semua kejadian dalam satu
12
penilaian menyeluruh karena kejadian-kejadian tersebut akan terus berlangsung, dan
mata manusia tidak dapat melihat hal-hal yang ghaib.
Jika manusia mampu merangkum segala kejadian yang telah ia ketahui, baik
kemarin, sekarang, maupun yang akan datang; dan dapat merangkai segala kejadian
dalam satu penilaian, maka akan ditemukan sesuatu yang menakjubkan. Seseorang
yang kaya, membagikan harta kepada ahli warisnya, dan ahli waris ini memiliki
anak-anak yang fakir. Niscaya di antara para fakir ini ada seseorang yang membuat
pembaharuan. Begitulah siklus kehidupan. Suatu saat ia datang saat dibutuhkan dan
saat yang lain ia akan sirna. Dari sebuah kebahagiaan akan timbul rasa duka, dan dari
kedukaan akan timbul bahagia. Malapetaka tidak akan terus datang dan juga tidak
pernah tak terjadi. Pada hakikatnya, sebuah perkara tidak selamanya dianggap baik
ataupun buruk, karena semua hal akan terus berganti bagaikan roda yang berputar.
Tidak selamanya tetap di satu tempat. Yang kita sebut nasib adalah cara pandang kita
yang terbatas pada posisi kita berada dan waktu di mana kita berada. Sesungguhnya
kebahagiaan dan kesedihan kita atas sebuah nasib, hanya sedikit kesabaran kita
menunggu. Urusan kita hanya sebagai penonton sebuah kisah drama, kadang tertawa
dan kadang menangis sesuai peran yang dimainkan oleh tokoh drama itu, tanpa harus
menunggu berakhirnya cerita. Adanya sarana merasa dan mengetahui yang ada pada
diri kita telah membentuk suatu keadaan yang sesuai dengan kehidupan kita yang
singkat. Kita simpulkan dari setiap perkara yang terjadi berlangsung di awal dan di
akhir. Kehidupan ini bukanlah sebuah episode dari serial yang panjang (Al-Hakim,
1972).
Manusia yang diberikan hikmah, pada hakikatnya adalah bagaikan mata yang
diberi penglihatan untuk melihat hal yang kompleks, bukan hanya sebahagian, dan
terus-menerus memantau tanpa henti. Seorang sastrawan yang besar juga harus
memiliki mata seperti ini yang dapat melihat hakikat kesempurnaan pada kehidupan
manusia. Mata yang melihat musibah bukanlah sesuatu yang hina, kendatipun bagi
manusia hal tersebut sangat menyulitkan. Oleh karena itu, hikmah jarang terjadi di
bumi; karena hikmah sendiri dapat mengetahui sebuah malapetaka yang terusmenerus terjadi. Hikmah itulah yang dapat melihat hakikat yang sempurna.
13
c. Simbol Ketiga : Revolusi Akal
Dalam legenda Cina, seekor kera naik ke atas langit, berceloteh dan
menyombongkan diri, bertekad memperoleh kemahiran dan semua makna
‘kepandaian’. Ia merasa sebagai makhluk yang berada di tempat paling tinggi, mulai
menjerit, berteriak, memberontak, dan protes. Ia tidak membawa Budha dalam
memandang permasalahannya, lalu Budha pun memanggil kera,
“Jika engkau benar-benar pintar seperti katamu, maka lompatilah telapak
tangan kananku, jika engkau dapat melakukannya maka aku akan
meletakkanmu di singgasana seperti keinginanmu, jika engkau tidak mampu,
aku akan turunkan engkau ke bumi untuk menebus dosa-dosamu bertahuntahun, sebelum engkau datang lagi padaku dengan celotehanmu” (Al-Hakim,
1972).
.
Si kera merasa perkataan Budha itu hanya sebagai pembodohan karena ia
dapat melompat ratusan langkah, dan telapak tangan Budha tidaklah lebih dari dua
jengkal. Tetapi karena Budha berjanji akan menepati janjinya, kera pun
menerimanya – dengan penuh percaya diri dan tenang.
Budha merentangkan tangan kanannya, si kera mulai mengunyah daun ‘lotus’
dan memanjatnya, bernafas sejenak sampai dadanya terasa lapang. Kemudian ia
mengumpulkan segala kekuatan dan terus melompat, terasa ada hembusan angin
karena kecepatannya melompat bagaikan anak panah melesat dari busur dengan
segala kekuatan angin dari kedua sayapnya. Sampailah ia di suatu tempat yang
tampak lima tiang besar berdiri tegak di sana, hingga ia terpikir telah tiba di ujung
dunia. Sekarang ia akan kembali menagih janji dan meminta tahta kepada Budha.
Rencana dipersiapkan untuk bertemu Budha, agar tidak terjadi pertengkaran. Ia
meninggalkan jejak – dengan sombong dan percaya diri ia tinggalkan sesuatu pada
tiang tengah, sebagai tanda bahwa ia telah sampai di tempat itu.
Si kera kemudian melompat hingga berdiri kembali di atas tangan Budha, dan
meminta tahta yang telah dijanjikan. Dengan tenang Budha mengatakan bahwa ia
belum beranjak dari telapak tangannya. Lantas kera menjelaskan bahwa ia telah pergi
ke ujung dunia, melihat ada lima tiang yang menjulang ke langit, dan ia
meninggalkan jejak di sana. Budha kemudian mengajak kera untuk melihat telapak
tangan kanannya. Dengan teliti kera memperhatikannya, tampaklah ia di telapak
kanan Budha itu, tidak ada (terhapus) jejak yang ia sebutkan tadi.
14
Bagi Al-Hakim, kera itu tidak lain hanyalah sebagai simbol akal manusia. Ia
pintar dan giat, memiliki lompatan yang cepat, mampu dengan kecepatan geraknya
memamerkan diri – menyita perhatian kita tertuju padanya, dan memupus harapanharapan kita. Kadang-kadang ia berhasil juga mengelabui kita, bahwa ia satu-satunya
yang memiliki kekuatan besar. Kita pun telah melihat kecepatan mata seseorang
terhadap sesuatu, membuat kita kagum. Ada dari kita yang mengikutinya, bahkan
layaknya hanya dia yang patut dipercaya. Mereka yang mengikutinya tidak melihat
apa-apa selain yang diperlihatkan pada mereka saja, tidak mempercayai selain hanya
yang diletakkan di tangannya.
Ia berteriak, mengaku adalah segalanya, tidak ada satu tempat pun yang tidak
dijelajahi, mampu melompat ke semua tempat, bahkan sampai ke langit. Tetapi
takdir Tuhan menggariskan bahwa kemampuannya hanya sebatas melompat dari
pohon ke pohon, dan tidak untuk melompat ke awan. Secara akal (kera), ia telah
mengetahui rahasia terkecil (biji-bijian), mungkin dapat melompat melewati awan,
berusaha untuk sampai ke bulan, lalu melompat ke planet-planet lain, dan terus ke
seantero bumi. Akan tetapi, takdir Tuhan berkata lain bahwa ia sangat bodoh untuk
berpikir mengusai bumi, melompati tangan Tuhan pun ia tidak akan bisa sampai ke
ujungnya, atau keluar dari arealnya, atau mengetahui apa saja yang ada di sekitarnya,
atau yang ada di luarnya. Kadang-kadang akal menerima tantangan ini, dan meyakini
akan menang (Al-Hakim, 1972).
Adanya tangan (kekuasaan) ini cukuplah untuk menguasai pandangan yang
mengandung falsafah dan ilmu. Untuk dapat mengetahui batasan-batasannya, dapat
mengumpulkan tenaga dan melompat dengan kedua kaki, yang terdiri atas logika,
penelitian, eksperimen, dan produksi; dengan meminta bantuan dari semua pihak
yang berada di bawah kekuasaannya, berupa pandangan, angan-angan (cita-cita),
pemikiran,
dan
ketekunan;
kemudian
melompat
dengan
lompatan
yang
diperhitungkan dengan asumsi bahwa ia mampu untuk sampai pada batas dunia.
Akan tetapi, takdir Tuhan telah menggariskan bahwa :
“Janganlah engkau gigih dengan tenaga sia-sia, jangan pula mencoba yang
tidak mungkin. Engkau masih dalam genggamanku, ada titik bimbang dan
titik lemahnya. Cukuplah melompat sedapatmu karena aku menciptakanmu
untuk melompat seukuran itu. Aku letakkan dalam tabiatmu melompat.
Janganlah engkau keluar dari tabiat yang telah aku tetapkan untukmu, jangan
15
pula menghidar dari gerakan yang telah menjadi fitrahmu. Jika engkau hanya
berdiam, dan melawan tabiat yang aku inginkan agar engkau begerak dan
berevolusi, berhenti melompat, maka engkau telah melawan kehendakku. Jika
berlebihan dalam lompatanmu dan merasa mampu melampaui yang mustahil
engkau lampaui, niscaya engkau hanya mengantarkan diri kepada
kekecewaan, putus asa yang bekepanjangan, dan ejekan atas kesungguhanmu.
Lihatlah pada jejak yang hilang ini! Itu semua engkau bicarakan sejak awal,
yaitu berupa ilmu, pikiran, falsafah, eksperimen, dan cita-cita” (Al-Hakim,
1972).
d. Simbol Keempat : Mukjizat Agama
Mukjizat adalah tanda kenabian seseorang yang disyariatkan oleh Allah, yang
tidak dapat direkayasa oleh manusia. Seseorang boleh menganggap dirinya dapat
menyembuhkan penyakit atau dapat berhubungan dengan ruh orang-orang mati,
tetapi tidak akan menganggap dirinya sebagai nabi karena tidak dapat mendatangkan
mukjizat karena mukjizat merupakan syariat agama.
Pada zaman dahulu, ada orang-orang yang mengaku sebagai nabi, tetapi
ketika diminta bukti kenabiannya, mereka cukup menyiapkan sesuatu yang
sederhana yang dapat dikagumi khalayak dan mengherankan. Bila disakiti, mereka
akan mengarah pada hal-hal lucu yang membuat orang lain tertawa, untuk
mengalihkan pandangan agar terhindar dari tiang gantungan dan cambukan (AlHakim, 1972).
Pada masa khalifah Harun ar-Rasyid, ada seseorang yang mengaku sebagai
nabi. Ketika dijajal dengan berbagai pertanyaan, ia meminta kepada Khalifah agar
menjadikan mereka yang mengelilinginya sebagai pemotong jenggotnya, dan
mengubah gambar kebaikan untuk Khalifah. Harun ar-Rasyid pun tertawa kemudian
mengampuninya. Pada masa Khalifah al-Makmun, seseorang yang mengaku nabi
pun muncul. Ketika orang-orang meminta mukjizat kepadanya, ia memperlihatkan
sebilah tongkat, yang jika dimasukkan ke dalam air tongkat itu pun akan mencair.
Orang-orang menganggap bahwa hal itu adalah sebuah tipuan, dan kemudian
menawarkan tongkat mereka untuk dijadikannya mencair. Ia berdalih, bukankah
Fir’aun berkata kepada Musa bahwa tidak menerima apa yang dilakukan Musa
dengan tongkatnya, biarlah Fir’aun memberikan tongkatnya kepada Musa untuk
dijadikan ular. Khalifah Makmun pun tertawa dan meninggalkannya (Al-Hakim,
1972).
16
Ada lagi seorang lain bernama Ibrahim Kalil, yang dinilai memiliki mukjizat
tidak terbakar oleh api. Ketika orang-orang mau membuktikan – akan membakarnya
ke dalam api, ia meminta sesuatu yang lebih ringan dari itu. Khalifah Makmun
menawarkan seperti mukjizat Nabi Musa, yang tongkatnya bisa membelah laut,
tangannya dimasukkannya ke kantongnya dan kemudian keluar menjadi putih. Ia
merasa lebih berat dari permintaan pertama. Ditawarkan pula mukjizat Nabi Isa,
yaitu menghidupkan orang mati, ia berteriak menenangkan hadirin karena ia telah
mendapatkan yang lain. Lalu ia menunjuk hakim Yahya bin Aktsam untuk memukul
kakinya dan kemudian menghidupkannya kembali. Hakim Yahya berkata, “Akulah
yang pertama mempercayaimu, pukullah pundak orang yang tidak percaya!” Mereka
pun tertawa. Selain itu, seseorang yang mengaku sebagai nabi juga oleh Khalifah
Makmun dimintanya saat itu juga untuk mengadakan buah semangka, tetapi ia
meminta waktu tiga hari. Ia merasa tidak mampu, dan berdalih bahwa Allah
menciptakan langit dan bumi dalam tujuh hari dan mengeluarkannya dalam tiga
bulan. Ia meminta Khalifah bersabar hanya untuk tiga hari.
Masalah kenabian di masa lampau adalah masalah mukjizat. Saat ini, jika
ada orang yang mengaku sebagai nabi, mereka lontarkan dirinya ke bulan dan dan
melayang ke angkasa, seperti buah semangka, berjalan mengelilingi alam; ini adalah
tugas para ilmuwan bumi untuk menelitinya. Ilmuwan angkasa berpendapat,
perbuatan tersebut menunjukkan bahwa pemikiran lama tentang hal langit
merupakan pemikiran yang salah. Langit adalah tempat observasi bintang dan
mikroskop tidak merekam hal lain kecuali keraguan-raguan yang besar. Bulan itu
sebenarnya tidak lebih dari tabung besar yang berisi gas ringan. Seseorang dapat
menarik dan memikatnya pada bentuk tertentu sehingga menimbulkan semburan gas
dengan kecepatan tinggi yang membuat ukuran bulan menyusut dari aslinya, menjadi
seukuran semangka (Al-Hakim, 1972).
Ilmuwan kimia berpendapat, hal yang terjadi itu harus dilihat kembali pada
susunan bahan yang membentuk benda-benda langit, tidak diragukan bahwa bendabenda itu bisa berubah dari keras menjadi lunak, atau dari besar menjadi kecil. Tidak
ada sesuatu pun yang dapat melarang seseorang memiliki tabiat tertentu untuk
menjalani perubahan ini. Psikolog mengatakan bahwa masalahnya tidak berkaitan
17
dengan bulan atau yang sejenisnya, seseorang yang memiliki kemampuan dan
kekuatan magnetik dapat melangkah ke area yang lebih luas.
Demikianlah, para ilmuwan dan peneliti dalam setiap kegiatan meneliti,
menelaah, menyelidiki, serta menyimpulkan, terdapat banyak pertentangan teknis
yang tersebar dalam teori-teori ilmiah, tetapi tidak ada seorang ilmuwan pun yang
mengambil sifat kenabian, atau mencoba menerima adanya hubungan langsung
antara seseorang dengan Allah. Mukjizat pada zaman sekarang masih menjadi bukti
atas kenabian, berkembang setiap waktu dan menjadi trend. Dahulu bom atom juga
dipandang sebagai “mukjizat”, tetapi sekarang sudah menjadi kuno. Masa-masa yang
akan datang dijamin adanya mukjizat baru lagi, manusia dapat menerimanya dengan
terkagum-kagum sesaat, kemudian meninggalkannya dan menelaah kembali sesuatu
yang baru di masa mendatang.
Ilmuwan kita sekarang ini masih menerima mukjizat nabi, meskipun jika hal
itu ada niscaya akan dimaksukkan ke laboratorium mereka untuk diteliti, tanpa
menganggapnya sebuah bukti dan tanda bahwa itu adalah langsung dari Allah. Pada
zaman sekarang, sepantasnya orang menerima bahwa nabi mendapat mukjizat yang
telah ditetapkan untuk dirinya. Mengapa tidak muncul lagi nabi-nabi palsu padahal
rintangan-rintangan yang besar menghadang, karena yang diminta adalah mukjizat
yang tersulit, yaitu hukum syariat (Al-Hakim, 1972).
.Syariat yang datang dari langit cocok bagi seluruh manusia, baik di dunia
maupun di akhirat, di langit dan di bumi. Syariat ini turun karena adanya
pengulangan dari syariat-syariat sebelumnya. Ada sesuatu yang baru, Allah telah
menetapkannya sebagai pegangan hidup manusia. Setiap mukjizat yang ada di bumi
masih lebih kecil dibanding dengan mukjizat yang paling besar, yaitu agama Islam
yang telah dipancarkan Allah melalui cahaya hidayah-Nya. Manusia akan mengikuti
agama ini sampai hari kiamat.
e. Simbol Kelima : Iman dalam Kehidupan
Pada sebuah rumah sakit, seorang wanita merasa menang dalam
perjuangannya melawan kematian, ia sekarang dalam kondisi pemulihan. Dalam
menanti kesembuhannya, ia terus membaca, berpikir, dan merenung atas apa yang
telah dialami selama ini. Ia merasa telah kehilangan sebagian imannya,
18
membayangkan bahwa kesembuhannya diselimuti kabut kegelapan dan menjulurkan
tangan untuk menggapai cahaya. Wanita itu bagaikan kapal yang sedang diterjang
gelombang laut, terbentur jatuh, dan keluar dari badai malam setelah dia merasakan
kesakitan. Ia terombang-ambing dalam menggapai hidayah di bawah sorotan
matahari di ujung menara dan pancaran fajar.
Untuk menguatkan iman wanita itu, diperlukan ilmu dan pesan-pesan agama.
Sesungguhnya, menara yang akan menunjukkan keimanan dalam hidup wanita itu
adalah menara yang berdiri di antara dirinya, yaitu hatinya sendiri. Hati yang selalu
berdenyut dalam diri seiring waktu, bagaikan gerakan kapal yang terseret dalam
derasnya aliran badai. Inilah hati, mengapa harus dengan kesedihan mempertahankan
hidup? Mengapa persinggahan keimanan semakin terasa sulit, bagaikan penyakit
yang merusak wajah, mengkhawatirkan, dan menolak balasan ? (Al-Hakim, 1972).
Wanita itu menjalani setiap langkah hidupnya dengan penuh aturan.
Kekacauan malam dan siang, gerak langkah yang tidak tenang, dan detak jantungnya
yang tiada reda, tidak menjadikannya bisu, justru menjadi kekuatan dalam hidupnya.
Hati adalah pertahanan dalam hidup, dan akan memperjuangkan hidup dari kebatilan
karena hati percaya pada hakikat kehidupan.
Al-Hakim kemudian menyerukan bahwa janganlah memohon pertolongan
terhadap pemikir dan jangan pula kepada para ahli filsafat, apalagi meminta
pertolongan kepada burung-burung yang terbang, karena hal itu adalah cermin budi
pekerti terburuk. Kekuasan Allahlah yang meletakkan iman dalam kehidupan. Secara
umum dalam uraian di atas Al-Hakim berpandangan bahwa ada keterkaitan antara
sastra dan agama karena muncul dari tempat yang satu. Sesungguhnya asal
keindahan dalam seni adalah perasaan yang tinggi, yang melingkupi jiwa manusia
saat terhubung dengan karya-karya sastra. Oleh karena itu, seyogyanya sastra itu
dapat bersanding dengan agama yang berdiri di atas aturan-aturan moral.
Dalam agama, orang selalu membutuhkan suatu pegangan atau pedoman
yang dibawakan oleh rasul atau nabi. Dalam sastra, orang dapat menanamkan rasa
khidmat kepada Tuhan untuk memberi makna kepada eksistensi manusia,
meningkatkan kecerdasan dan kualitas intelektual, ataupun untuk pembinaan mental
dan pengembangan wawasan budaya.
19
Seperti juga agama, sastra juga membicarakan masalah-masalah manusia.
Dengan cara yang berbeda, sastra dan agama dianggap sebagai sarana untuk
menumbuhkan jiwa humanitat, yaitu jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya
(Darma, 1995:107). Dapat dikatakan bahwa sastra dan agama memiliki objek
garapan yang sama untuk tujuan yang sama, yakni mempelajari manusia untuk
memanusiakan manusia.
Sastra Islam dapat dipilih sebagai media dalam menyampaikan pengalaman
keagamaan. Al-Hakim dalam mengemukakan pandangannya sering menggunakan
anekdot-anekdot dan kisah perumpamaan atau alegori, yang sangat mempengaruhi
corak kegiatan intelektualnya. Kisah Yasu’ dan perempuan Samirah, tukang kayu
yang miskin dan tetangganya yang kaya, kehidupan seorang lelaki tua dan anaknya
yang kehilangan seekor kuda, seeokor kera yang naik ke atas langit, kisah nabi-nabi
palsu, dan seorang wanita dalam perjuangannya melawan kematian, semuanya
merupakan ilustrasi yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan keruhanian, yaitu
menyampaikan hikmah. Sebagai seorang sastrawan, Al-Hakim meyakini bahwa
karya sastra yang bermutu tinggi dapat membangunkan cinta yang tidur di dalam
hati, baik cinta yang bersifat duniawi dan inderawi maupun cinta yang bersifat
ketuhanan dan ruhaniah.
Dengan menyampaikan pengalaman-pengalaman keagamaan yang penuh
makna dan menggunakan bahasa simbolik, Al-Hakim berharap agar pembaca
memperoleh pencerahan dan hikmah. Al-Hakim mengekspresikan pengalaman
estetik transendental yang berhubungan erat dengan tauhid, penyaksian bahwa Tuhan
itu satu. Rujukan penghayatannya adalah kitab-kitab suci agama. Sastra Islam
merupakan ekspresi dari pengalaman yang mengungkapkan renungan dan falsafah
hidup, bertujuan meningkatkan taraf hubungan jiwa manusia dengan Tuhan. Oleh
karena itu, seyogyanya sastra itu berlaku layaknya agama, berdiri di atas aturanaturan moral, mengukuhkan iman sambil menjelaskan tentang hukum syariat,
menggambarkan tahap-tahap atau martabat-martabat, pengenalan diri, memberi
perintah tentang bahaya yang mengancam serta memberi nasihat mengenai cara-cara
untuk mengatasi bahaya tersebut.
Melalui uraian dan dialog-dialog tokoh dalam cerita yang ditampilkan, AlHakim menyatakan bahwa untuk mencapai kehidupan sejati, seseorang tidak dapat
20
hanya dengan melakukan usaha intelektual semata dan tidak pula dengan perasaan
rindu berlebihan, tetapi juga dengan kesadaran untuk menjaga akidah, kesadaran
penghambaan diri kepada Allah, dan kesadaran pada sikap tolong-menolong kepada
sesama manusia.
6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa sastra Islam pada
hakikatnya berbicara tentang fenomena-fenomena kejadian di dunia yang
merefleksikan kenyataan kehidupan keagamaan. Artinya, sastra Islam berfungsi
merefleksikan kenyataan di balik fenomena keagamaan. Salah satu fenomena
keagamaan adalah rasa cinta manusia kepada Tuhannya, kepada alam semesta, dan
kepada sesama manusia. Kenyataan ini menggerakkan perputaran alam semesta
dengan prinsip, yaitu cinta pada kebenaran Tuhan, cinta pada kemanusiaan, dan cinta
pada keindahan. Dengan begitu, sastra Islam melingkupi alam kejadian secara
menyeluruh dan mengkhususkan pandangannya kepada Tuhan yang merupakan
sumber dari segala sumber yang ada.
Sastra Islam adalah ungkapan pengalaman
keagamaan pengarang yang penuh
makna dengan menggunakan bahasa simbolik. Sastra Islam bertujuan untuk : (i)
mencerahkan pembaca dengan hikmah kehidupan, (ii) mengekspresikan pengalaman estetik
transendental pengarang yang berhubungan erat dengan tauhid, (iii) menegaskan bahwa
rujukan sastra Islam adalah Al-Quran dan Hadis, (iv) mengekspresikan dan mengungkapkan
pengalaman pengarang tentang falsafah hidup, yaitu meningkatkan hubungan jiwa manusia
dengan Tuhan.
Sastra Islam juga menegaskan bahwa sastra itu seperti agama yang berdiri di atas
aturan-aturan moral, mengukuhkan iman, memberi penjelasan tentang hukum syariat,
menggambarkan martabat-martabat kemanusiaan, mengenal diri sendiri, memberi peringatan
tentang bahaya yang mengancam manusia, dan memberi nasihat mengenai cara-cara untuk
mengatasi bahaya yang mengancam keselamatan dan kemuliaan manusia.
Sastra Islam juga dapat mengungkapkan kenyataan-kenyataan sosial yang benarbenar terjadi pada masyarakat, baik yang positif maupun yang negatif. Hal ini didasarkan
pada satu asumsi bahwa kehidan masyarakat Muslim yang hanya terjadi yang baik-baik saja,
tetapi juga banyak yang buruknya. Jadi, sastra Islam dapat mengungkapkan dua sisi dari
kehidupan masyarakat.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Shahnon, Kassim Ahmad. 1987. Polemik Sastera Islami. Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur.
Ali, Muhammad. 1986. Ihwal Dunia Sastra. P.T. Bina Ilmu, Surabaya.
Baylu, Shalih Adam. 1985. Min Qadhâyâ al-Adabil-Islâmy. Darul-Manarah, Jeddah.
Braginsky, V.S. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu
dalam Abad 7 – 19. Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies
(INIS), Jakarta.
Calder, Norman et al. 2005. Classical Islam, A Sourcebook of Religious Literature.
London and New York, Routledge.
Darma, Budi. 1995. Harmonium. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Al-Hakim, Taufiq. 1972. Fannul-Adab. Dârul-Kitâbil-Lubnâny, Bayrût.
Hoesin, Oemar Amin. 1975. Kultur Islam, Sejarah Perkembangan Kebudayaan
Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional. Bulan Bintang, Jakarta.
Jirâr, Ma’mûn Farîz. 1988. Khashâ`ishu al-Qisshatil-Islâmiyyah. Dârul-Manârah,
Jeddah.
Manshur, Fadlil Munawwar. ”Kasidah Burdah Al-Bûshîry dan Popularitasnya
dalam Berbagai Tradisi : Suntingan Teks, Terjemahan, dan Telaah Resepsi”.
Disertasi Doktor (2007) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya. 2000. Edisi Keempat, Cetakan Pertama.
Penerjemah H. Zaini Dahlan dan Azharudin Sahil. UII Press, Yogyakarta.
22
23
Download