POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MEMBENTUK KEMANDIRIAN ANAK (Kasus di Kota Yogyakarta) YUNI RETNOWATI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbit kan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2007 Yuni Retnowati NRP. P054040051 ABSTRAK YUNI RETNOWATI. Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta). Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS dan HADIYANTO Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengkaji pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak; (2) Menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan pola komunikasi; (3) Menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan kemandirian anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data menggunakan metode survey dengan cara menyebarkan kuesioner kepada 25 orang tua tunggal yang ditentukan berdasarkan dokumen Pengadilan Agama Yogyakarta, dan wawancara mendalam dengan 10 orang tua tunggal. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pola komunikasi interaksi dan transaksi berperan dominan dalam membentuk kemandirian anak melalui penanaman kesadaran untuk mandiri kepada anak dan melatih anak mandiri; (2) Faktor lingkungan tidak ada hubungannya dengan pola komunikasi tetapi karakteristik orang tua tunggal ada hubungannya dengan pola komunikasi; (3) Faktor lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal ada hubungannya dengan kemandirian anak. Kata-kata kunci : pola komunikasi, orang tua tunggal, kemandirian ABSTRACT YUNI RETNOWATI. The Communication Pattern of Single Parents in Transforming Children’s Independency (Case in Yogyakarta City). Advised by AIDA VITAYALA S. HUBEIS and HADIYANTO The aims of this research are: (1) examining communication pattern of single parents in transforming children’s independency; (2) analyzing the correlation between surroundings and the characteristic of single parents to communication pattern; (3) analyzing the correlation between surroundings and the characteristic of single parents to children’s independency. This research employed qualitative approach and survey method by collecting data through questionnaire with 25 single parents who are determined by having legal documents issuing by Yogyakarta Religious Court, in-depth interviewed with 10 single parents. Then, data is analyzed descriptively. The results of this research showed that: (1) the interaction and transaction communication pattern played a dominant role in transforming children’s independency by internalizing consciousness to be independent and giving children some training; (2) there is no correlation between surroundings factor and communication pattern but there is correlation between the characteristic of single parents and communication pattern; (3) there is correlation between surroundings factor and the characteristic of single parents to children’s independency. Key words : communication pattern, single parent, independency POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MEMBENTUK KEMANDIRIAN ANAK (Kasus di Kota Yogyakarta) YUNI RETNOWATI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Judul Tesis : Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta) Nama Mahasiswa : Yuni Retnowati NRP : P054040051 Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Hj. Aida Vitayala S. Hubeis Ir. Hadiyanto, MS Ketua Anggota Diketahui Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 26 Pebruari 2007 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati Jawa Tengah pada tanggal 18 Juni 1967 dari pasangan H. Sutijono dan Hj. Siti Tjahjani. Penulis yang merupakan anak ke dua dari dua bersaudara, pernah menikah dan dikaruniai satu orang anak bernama Dara Giswa Adinipuspa yang lahir pada tanggal 6 Juli 1994, namun sejak Juli 2002 berstatus sebagai orang tua tunggal. Pendidikan dasar hingga SMP ditempuh di Kabupaten Jepara, SMA ditempuh di Kota Yogyakarta, lulus tahun 1986. Ta hun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Penelusuran Minat dan Ketrampilan (PMDK) tetapi setelah setahun menempuh TPB (Tingkat Persiapan Bersama) ditinggalkan, kemudian mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan diterima pada Program Studi Ilmu Komunikasi (S-1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1993. Tahun 2004, penulis diterima pada Program Studi Komunikasi Pembanguna n Pertanian dan Pedesaan untuk Strata-2 (S-2) sekolah Pasca Sarjana IPB dengan biaya kuliah dari Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS Dikti) Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Advertising (Periklanan) Akademi Komunikasi Indonesia Yogyakarta sejak tahun 1994 sebagai dosen tidak tetap, kemudian menjadi dosen tetap sejak tahun 1997. Dari tahun 1994 – 2000 menjadi dosen luar biasa pada Jurusan Advertising Program D-3 Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Dari tahun 2000 – 2002 menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah Penulisan Naskah Iklan pada Jurusan Advertising, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dari tahun 1999 – 2004 dipercaya menjadi Ketua Program Studi Advertising Akademi Komunikasi Indonesia. Sejak tahun 2005 berstatus sebagai Dosen Negeri Kopertis Wilayah V Yogyakarta yang Dipekerjakan pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Penulis juga pernah bekerja sebagai Copy Writer (penulis naskah iklan) di Artek Advertising Jakarta pada tahun 1992, dan menjadi pengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing di Yogyakarta Indonesian Language Center - Wisma Bahasa Yogyakarta dari tahun 1993-2004. PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) dari Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta).” Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi keluarga orang tua tunggal agar bisa mengembangkan pola komunikasi yang tepat untuk membentuk kemandirian anak sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Hj. Aida Vitayala S. Hubeis (Ketua Komisi Pembimbing) dan Bapak Ir. Hadiyanto, MS (Anggota Komisi Pembimbing) yang dengan penuh kesabaran telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan masukan dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis. Penghargaan tulus dan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tuaku, Bapak H. Sutijono dan Ibu Hj. Siti Tjahjani, Keluarga Pak Lik Abi Kusno, serta anakku tercinta Dara Giswa Adinipuspa atas doa, dukungan dan pengorbanannya selama ini. Tak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua responden penelitian ini, yaitu ibu tunggal yang telah bersedia memberikan banyak informasi untuk kelengkapan data penelitian. Mbak Lia sekretaris KMP atas semua bantuannya selama ini. Teman-teman KMP 2004, terutama Mince, Tata, Ica, Dini, Pak Narso, Pak Bagyo, Mama Farah, dan Milki atas canda tawa, bantuan, diskusi dan kebersamaan selama perkuliahan. Teman-teman TPB IPB Angkatan 23, Iga, Ester, Dwi-Komti, Zainal, Kade, Nining dan Ufi, terima kasih atas persahabatan, dukungan dan perhatian kalian. Rosa dan keluarga atas bantuan, dan perhatian yang begitu besar terhadap kondisi kesehatan penulis. Teman-teman di Pondok Alyesha, Eva, Susan, Dian, Pipit, Nita, dan Lily, atas persaudaraan selama ini. Teman-teman di kampus AKINDO terutama Alm. Vivi dan keluarga, Rofiq, Rama, Pipit dan Pak Muntaha atas motivasi, bantuan dan dukungan moril hingga akhir masa studi di IPB. Ian, Agam, Andi, Ichan, Pak Akrab, Heni, Pak Ponti dan Abi Jufri, atas kebaikan kalian di saat-saat sulit, hanya Allah SWT yang bisa membalasnya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dari tesis ini yang memerlukan banyak perbaikan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi khususnya komunikasi keluarga. Bogor, April 2007 Yuni Retnowati © Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………..... DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xii xiii xiv PENDAHULUAN Latar Belakang…………………………………………………………..... Rumusan Masalah………………………………………………………… Tujuan Penelitian………………………………………………………..... Kegunaan Penelitian………………………………………………………. 1 5 5 6 TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi dan Perubahan Perilaku………………………………........... Keluarga……………………………………………………………........... Keluarga Orang Tua Tunggal……………………………………………... Komunikasi dalam Keluarga Orang Tua Tunggal…………………........... Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal.......................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Komunikasi.................................. Kemandirian Anak....................................................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak............................... Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak........................... 7 8 13 19 22 32 36 39 41 KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................. 43 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... Desain Penelitian......................................................................................... Unit Penelitian............................................................................................. Pengumpulan Data...................................................................................... Instrumentasi............................................................................................... Analisis Data............................................................................................... Validitas dan Reliabilitas............................................................................ Definisi Operasio nal................................................................................... 45 45 45 46 47 47 48 50 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis.......................................................................................... Penduduk.................................................................................................... Tingkat Pendidikan.................................................................................... Mata Pencaharia n....................................................................................... Perceraian di Kota Yogyakarta.................................................................. Alasan Perceraian....................................................................................... Karakteristik Laki- laki dan Perempuan yang Bercerai............................... Jumlah Anak dari Keluarga Bercerai......................................................... Karakteristik Anak dari Keluarga Bercerai................................................ 53 53 54 55 55 56 57 58 58 Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Orang Tua Tunggal.............................................. Karakteristik Responden Anak……………………………………………. Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal…………………………………...... Hubungan Lingkungan dan Pola Komunikasi.............................................. Hubungan Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Pola Komunikasi…........ Kemandirian Anak………………………………………………………… Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak……………….... Hubungan Lingkungan dan Kemandirian Anak…………………………... Hubungan Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kemandirian Anak…..... 60 61 62 65 68 74 75 77 82 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan...................................................................................................... Saran............................................................................................................. 88 89 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ LAMPIRAN....................................................................................................... 90 95 xi DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Penduduk Berdasarkan Status Perkawinan dan Jenis Kelamin di Kota Yogyakarta, Tahun 2004........................................................................... Angka Perceraian di Kota Yogyakarta Tahun 2001 – 2005 ..................... Jumlah Anak dari Keluarga Bercerai di Pengadilan Agama Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005................................................................................... Karakteristik Anak dari Keluarga Bercerai di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2001 – 2005................................................................ Pola Komunikasi pada Berbagai Situasi Komunikasi, Yogyakarta, 2006........................................................................................................... Kecenderungan Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal............................. Faktor Lingkungan dan Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006...................................................................................... Faktor Lingkungan dan Kecenderungan Pola Komunikasi....................... Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Pola Komunikasi, Yogyakarta, 2006........................................................................................................... Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kecenderungan Pola Komunikasi................................................................................................ Distribusi Aspek Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006.......................... Pola Komunikasi dan Kemandirian Anak................................................. Pola Komunikasi dan Kecenderungan Kemandirian Anak....................... Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006........................................................................................................... Faktor Lingkungan dan Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006............... Faktor Lingkungan dan Kecenderungan Kemandirian Anak.................... Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006........................................................................................................... Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kecenderungan Kemandirian Anak.......................................................................................................... xii 54 56 58 59 62 63 65 68 69 73 74 75 76 77 78 81 82 86 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. Komunikasi Sebagai Aksi, Reaksi dan Transaksi...................................... Model Komunikasi Shannon dan Weaver.................................................. Model Kedua Schramm.............................................................................. Model Ketiga Schramm............................................................................. Model Komunikasi Konvergen.................................................................. Bagan Alur Kerangka Pemikiran............................................................... xiii 23 26 27 28 31 44 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Alasan Cerai di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005.................................................................................. Responden Orang Tua Tunggal yang Diwawancarai............................... Karakteristik Laki- laki yang Bercerai di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005............................................................... Karakteristik Perempuan yang Bercerai di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005............................................................... Karakteristik Anak dan Hak Asuh Anak.................................................. Karakteristik Responden Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006............ Karakteristik Responden Anak dari Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006...................................................................................... xiv 95 96 97 98 99 100 101 PENDAHULUAN Latar Belakang Modernisasi membawa perubahan yang luas di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang ekonomi terlihat peran perempuan menjadi penting dalam menjalankan fungsi sentral keluarga, sekaligus merupakan sumber daya ekonomi. Peran mereka tidak terbatas hanya dalam pekerjaan domestik di rumah tangga namun juga dalam sektor usaha ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2001) memperlihatkan bahwa 44,20 persen kepemilikan usaha mikro berada di tangan perempuan sedangkan di sektor usaha skala besar mencapai 10,28 persen. Meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah menyebabkan kualitas dan kuantitas waktu bersama dengan anggota keluarga menurun sehingga mempengaruhi fungsi keluarga dalam menyiapkan generasi mendatang. Lembaga- lembaga di luar keluarga pelan-pelan mulai mengambil alih fungsi keluarga. Fungsi perlindungan, religi, pendidikan dan rekreasi ya ng semula dipenuhi oleh keluarga sekarang digantikan oleh polisi, tempat ibadah, sekolah dan fasilitas hiburan komersial. Fungsi utama keluarga yang tetap bertahan adalah fungsi pemenuhan kebutuhan emosional. Keluarga adalah satu-satunya lembaga yang bisa memberikan kasih sayang. Modernisasi juga berdampak pada terjadinya perubahan nilai sosial budaya. Suami bukan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Istri yang bekerja tidak tergantung pada suami secara ekonomi sehingga tidak lagi terjebak dalam perkawinan yang tidak berbahagia karena alasan ekonomi. Perubahan sistem nilai dalam masyarakat mengurangi tekanan pada perlunya mempertahankan kelangsungan sebuah perkawinan. Dulu perceraian dianggap tabu sehingga tidak sedikit perkawinan tetap dipertahankan meskipun sudah tidak harmonis lagi. Saat ini masyarakat tidak lagi melihat perceraian sebagai sesuatu yang memalukan dan harus dihindari. Masyarakat dapat memahami perceraian sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan kemelut keluarga yang terjadi antara pasangan suami istri. Sejalan dengan berubahnya gaya hidup dan datangnya modernisasi angka perceraian di seluruh dunia mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat angka 2 perceraian meningkat dengan tajam sejak tahun 1960-an. Pada awal tahun 1970an satu dari setiap tiga perkawinan di Amerika berakhir dengan perceraian, di Jerman Barat perbandingannya satu dari tujuh perkawinan, di Jepang satu dari sepuluh. Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan yaitu satu dari lima perkawinan. (Gunadi, 2006) Perceraian menyebabkan struktur keluarga berubah menjadi tidak lengkap dengan hilangnya salah satu figur orang tua. Bersamaan dengan fenomena ini istilah single parent atau orang tua tunggal menjadi populer di kalangan masyarakat. Istilah single parent lebih sering digunakan untuk menyebut ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal karena kebanyakan anak yang orang tuanya bercerai berada dalam pengasuhan ibu. Ketetapan dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa di dalam suatu perceraian hak asuh anak yang belum akil bhaliq berada di tangan ibu. Dari segi budaya, masyarakat menganggap mengasuh anak adalah tugas dan kewajiban ibu sedangkan mencari nafkah adalah tugas dan kewajiban ayah. Pertimbangan lain yang mendasarinya adalah karena secara emosional anak-anak lebih dekat dengan ibu. Kecuali bila ibu secara moral dianggap tidak layak mengasuh anak maka hak asuh anak bisa dipindahkan ke pihak lain demi perkembangan jiwa anak. Keluarga tidak utuh memiliki pengaruh negatif bagi perkembangan anak. Dalam masa perkembangan seorang anak membutuhkan suasana keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Di dalam keluarga yang tidak utuh kebutuhan ini tidak didapatkan secara memuaskan. Anak yang diasuh oleh ibu tunggal kehilangan figur ayah dalam keluarga. Hilangnya figur ayah akibat perceraian mengakibatkan anak kehilangan tokoh identifikasi. Tokoh tempat anak belajar bertingkah laku menjadi berkurang. Figur ayah memberikan perlindungan, rasa aman dan kebanggaan pada diri anak. Ketegasan seorang ayah memberikan pengaruh kuat dalam menanamkan disiplin dan kepercayaan diri anak. Menurut Gottman dan DeClaire (1998) keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak penting karena mempengaruhi perkembanga n sosial anak. Anak-anak yang mendapatkan kehangatan dari ayah sewaktu kanak-kanak cenderung mempunyai hubungan sosial yang lebih baik. 3 Konsep perkembangan sosial mengacu pada perilaku anak dalam hubungannya dengan lingkungan sosial untuk mandiri dan dapat berinteraksi atau menjadi manusia sosial. Kemandirian adalah salah satu komponen dari kecerdasan emosional. Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa kemandirian menentukan keberhasilan dalam kehidupan seseorang. Sikap mandiri yang berakar kuat dalam diri seorang anak akan membuat anak tangguh, tidak mudah diombang-ambingkan keadaan dan mampu memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Hal ini akan memberikan pengaruh yang berarti dalam kehidupan seorang anak di masa mendatang. Anak yang memiliki sikap mandiri kelak akan mampu bertahan dalam kehidupan yang penuh persaingan. Pembentukan kemandirian dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan, namun faktor yang paling berpengaruh adalah keluarga khususnya peranan orang tua. Orang tua dapat mendorong anak untuk mandiri dengan mengajar dan membimbing mereka melakukan rutinitas kecil sehari- hari. Dengan demikian mereka merasa diberi kepercayaan sehingga menumbuhkan rasa percaya diri dan mengurangi ketergantungannya. Ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal dianggap memiliki keterbatasan dalam proses pembentukan kemandirian anak. Tidak adanya figur ayah dalam keluarga membuat anak kurang disiplin dan kurang memiliki kepercayaan diri. Ibu tunggal sering tidak konsisten dalam menjalankan disiplinnya (Frankl, 1972). Di satu sisi diyakini bahwa kedisiplinan dan kepercayaan diri merupakan dasar terbentuknya sikap mandiri anak. Tidak semua anak dari ibu tunggal tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri. Ada juga kelompok anak yang mandiri. Kita bisa melihat beberapa contoh dari kalangan selebriti Indonesia. Tiga diva Indonesia, Titi DJ, Krisdayanti dan Ruth Sahanaya pada masa kecilnya adalah anak-anak yang dibesarkan oleh ibu tunggal. Mereka tumbuh menjadi sosok yang mandiri dan meraih keberhasilan dalam kehidupannya. Regy Lawalata adalah contoh ibu tunggal yang berhasil. Kedua anaknya, Oscar dan Mario dibesarkan dalam keluarga yang tidak utuh setelah kedua orang tuanya bercerai namun mereka tumbuh menjadi anak yang mandiri. 4 Perlakuan ibu terhadap anak dan faktor lingkungan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kemandirian anak. Mianda (2002) berpendapat bahwa ibu tunggal cenderung memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anak sehingga anak menjadi kurang percaya diri dan akhirnya menjadi kurang mandiri. Perlakuan ibu terhadap anak bisa dilihat dari interaksi dan komunikasi yang terjalin antara ibu dan anak yang berupa komunikasi antar pribadi. Bentuk komunikasi ini dinilai paling ampuh untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang. Umumnya komunikasi antar pribadi berlangsung secara tatapmuka sehingga memungkinkan terjadinya personal contact. Kasih sayang dan kehangatan ibu menjadi dasar terbentuknya hubungan yang menyenangkan dalam komunikasi. Suasana menyenangkan dan hangat menjadi dasar perkembangan emosi yang stabil dan membentuk kepribadian yang percaya diri. Komunikasi adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan orang tua yang menginginkan anaknya mandiri. Melalui komunikasi, orang tua dapat membentuk kemandirian anak. Bagaimana cara ibu tunggal berkomunikasi dengan anak menentukan apakah anak tumbuh mandiri atau sebaliknya. Sikap dan perilaku mandiri dapat berkembang baik melalui latihan dan dorongan orang tua yang disampaikan melalui komunikasi. Penelitian tentang kemandirian dilakukan oleh Djunanah (1999), Lukman (2000) dan Dhamayanti (2006). Djunanah meneliti tentang pengaruh sikap penerimaan orang tua dan kemandirian siswa SMU UII Yogyakarta. Hasil penelitian Djunanah menemukan adanya hubunga n antara sikap penerimaan orang tua dengan kemandirian siswa SMU. Lukman meneliti tentang kemandirian anak asuh di Panti Asuhan Yatim Islam ditinjau dari konsep diri dan kompetensi interpersonal. Penelitian Lukman menyimpulkan adanya hubungan antara konsep diri dan kompetensi interpersonal dengan kemandirian anak asuh panti asuhan yatim. Dhamayanti meneliti kemandirian anak usia 2,5 – 4 tahun ditinjau dari tipe keluarga dan tipe prasekolah. Hasil penelitian menemukan bahwa prasekolah full day lebih baik untuk merangsang anak dalam meningkatkan kemandirian, sedangkan tipe keluarga tidak banyak berperan dalam perkembangan kemandirian anak. 5 Mengingat kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan individu, kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya . Berdasarkan pertimbangan bahwa jumlah orang tua tunggal di Indonesia makin meningkat dan mengingat komunikasi bisa diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang seperti halnya dalam membentuk kemandirian anak maka penelitian ini perlu dilakukan. Rumusan Masalah Beberapa praduga menyatakan bahwa anak yang dibesarkan oleh ibu tunggal dalam keluarga yang bercerai dianggap tidak mandiri. Kenyataan yang ditemukan dalam kehidupan sehari- hari, tidak semua anak dari ibu tunggal menunjukkan sikap dan perilaku tidak mandiri. Interaksi dan komunikasi antara ibu tunggal dan anak menentukan seorang anak akan tumbuh menjadi anak mandiri atau tidak. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang diteliti adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak? 2. Bagaimana hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan pola komunikasi antara orang tua tunggal dan anak? 3. Bagaimana hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan kemandirian anak? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak. Dengan mengacu pada permasalahan yang ada, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengkaji pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak. 2. Menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan pola komunikasi antara orang tua tunggal dan anak. 6 3. Menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan kemandirian anak. Kegunaan Penelitian Komunikasi antar-pribadi yang terjadi antara ibu dan anak bisa diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Kemandirian anak adalah tujuan pendidikan anak dalam keluarga. Kemandirian bisa dibentuk melalui komunikasi antara ibu dan anak. Orang tua bisa memilih pola komunikasi yang sesuai sebagai pedoman dalam berkomunikasi dengan anak dan membentuk kemandirian anak. Sejalan dengan hal tersebut maka hasil penelitian ini diharapkan : 1. Memberi masukan kepada masyarakat luas khususnya orang tua tunggal dalam mengembangkan pola komunikasi yang sesuai untuk membentuk kemandirian anak. 2. Memperkaya khasanah penelitian komunikasi keluarga. TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi dan Perubahan Perilaku Komunikasi Kita mengalami perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi (Mulyana, 2002). Hal ini sejalan dengan definisi komunikasi yang dinyatakan oleh Hovland, Janis dan Kelly (1953) dalam Rakhmat (2001) yaitu proses di mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimuli (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku individu lain (audience). Tujuan komunikasi menurut Effendy (2001) adalah mengubah sikap, opini, perilaku dan masyarakat. Sedangkan cara kerja untuk menimbulkan perubahan dalam diri seseorang bisa dilakukan: (1) menyampaikan informasi, (2) mengajar atau memberikan instruksi, (3) membujuk/mendesak, dan (4) dialog (Kincaid dan Schramm, 1987). Perubahan Perilaku Perubahan sikap dan perilaku memang tidak mudah dan perlu waktu lama karena prosesnya kompleks dan menyangkut komponen kognitif, komponen afektif dan komponen kecenderungan perilaku (Tarmud ji, 2002). Komunikasi antar pribadi dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang karena bersifat dialogis. Masing- masing pihak menyadari dirinya sebagai pribadi yang dapat menerima dan juga dapat menyampaikan pesan sehingga terjadi suatu dialog antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lainnya (Effendy, 1996). Behaviorisme melihat bahwa perilaku manusia dipelajari dengan membentuk asosiasi, artinya perilaku manusia terjadi melalui kebiasaan, refleksi, atau hubungan antara respon dan peneguhan yang memungkinkan dalam lingkungan. Dengan demikian, pada dasarnya perilaku manusia lebih ditentukan oleh lingkungan (Rakhmat, 2001). Dukungan terhadap behaviorisme ditunjukkan dengan lahirnya Teori Brofenbrenner (1979) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak berdiri 8 sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya yang dibagi ke dalam beberapa lingkaran, yaitu : 1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitip an anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang sehari- hari ditemui oleh anak. 2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor- faktor di dalam sistem mikro (hubungan orang tua- guru, orang tua-teman, antar teman, guru-teman) ya ng dinamakannya sistem meso. 3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, dokter, koran, televisi, dan sebagainya. 4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dan sebagainya.. Salah satu Teori Belajar yang dapat menjelaskan proses belajar seorang individu melalui lingkungannya adalah Teori Belajar Sosial yang dikemukakan oleh Bandura (1995). Senada dengan pandangan behaviorisme, Bandura menyatakan bahwa manusia menciptakan atau membentuk suatu perilaku melalui interaksi dengan lingkungan. Menurut Bandura dan teori Brofenbrenner, salah satu lingkungan yang paling berpengaruh terhadap proses belajar sosial seseorang adalah keluarga melalui komunikasi interpersonal. Oleh karena itu, keluarga sebagai lingkungan pertama bagi seorang anak, akan memegang peranan penting dalam proses belajar sosial serta membentuk perilaku dan kepribadiannya. Keluarga Hakikat Keluarga Secara tradisional keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama. Galvin dan Brommel (1991) dalam Tubbs dan 9 Moss (2001) menyatakan bahwa keluarga adalah jaringan orang-orang yang berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama, yang terikat oleh perkawinan, darah atau komitmen, legal atau tidak, yang menganggap diri mereka sebagai keluarga dan yang berbagi pengharapan-pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan. Orang tua dan anak adalah jaringan yang terikat oleh hubungan darah. Orang tua mempunyai harapan- harapan tertentu pada anak-anaknya. Mussen et al. (1989) mengemukakan bahwa orang tua mempunyai tujuan khusus dan umum untuk anak-anak mereka yang meliputi nilai moral, pengetahuan dan standar perilaku yang harus dimiliki anak bila sudah dewasa. Orang tua mencoba berbagai cara untuk mendorong anak mencapai tujuan tersebut. Orang tua menggunakan diri sebagai panutan, memberi hukuman, menjelaskan harapan dan kepercayaan kepada anak-anak untuk dapat memiliki lingkungan yang baik, mencarikan teman sebaya dan sekolah untuk mencapai tujuan mereka. Sebagai sebuah lembaga, keluarga mempunyai karakteristik dan fungsi tertentu. Di antara fungsi keluarga adalah: (1) merawat anak-anak, (2) menghasilkan pertumbuhan kepribadian agar anak berhasil dalam lingkungan sosial, dan (3) memenuhi kebutuhan emosional setiap anggota keluarga (Day et al., 1995) . Vembrianto (1993) menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah memelihara, merawat dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial. Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal dan multi fungsi. Fungsi sosialisasi, pendidikan keagamaan, perlindungan, rekreasi dan kontrol sosial dilakukan oleh keluarga namun karena proses industrialisasi, urbanisasi dan sekularisasi maka keluarga dalam masyarakat modern kehilangan sebagian dari fungsi- fungsi tersebut. Fungsi utama keluarga yang tetap melekat yaitu melindungi, memelihara, sosialisasi dan memberikan suasana kemesraan bagi anggotanya. Para ahli memandang keluarga sebagai suatu sistem yang menekankan hubungan antar anggotanya. Virginia Satir dalam Tubbs dan Moss (2001) membedakan sistem keluarga tertutup dengan sistem keluarga terbuka. Dalam 10 suatu sistem tertutup, komunikasi tidak langsung, tidak jelas, tidak spesifik, tidak sebangun, mengganggu pertumbuhan, aturan-aturan tertutup dan usang, orangorang menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan-aturan. Dalam sistem yang terbuka, komunikasi langsung, spesifik, sebangun dan mendorong pertumbuhan, aturan-aturan terbuka dan baru, berubah bila kebutuhan muncul. Para peneliti telah mengembangkan model interaksi dalam keluarga yang disebut circumplex model of family interaction untuk menjelaskan fungsi efektif dan disfungsi dalam sistem keluarga. Model tersebut memiliki tiga elemen dasar, yaitu kemampuan beradaptasi, kohesi dan komunikasi. Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan yang dimiliki sebuah keluarga untuk mengubah dan merespon perubahan struktur tugas atau peran. Kohesi berkaitan dengan ikatan emosional dan perasaan akan kebersamaan. Komunikasi merupakan penentu apakah suatu keluarga termasuk kohesif atau adaptable, dan komunikasi menjaga keberlangsunga n keluarga sebagai suatu sistem (Beebe, 1999). Berbagai perubahan dan tekanan yang terjadi dalam keluarga seperti perkembangan yang terjadi pada anak-anak, kemunduran ekonomi dan perceraian menuntut kemampuan keluarga untuk menyesuaikan diri. Keluarga yang sulit menyesuaik an diri mereka dengan setiap perubahan yang terjadi dianggap kaku. Bochner dan Eisenberg (1987) dalam Moss dan Tubbs (2001) memandang kemampuan beradaptasi lebih penting daripada kohesi bagi berjalannya sebuah keluarga. Peran Keluarga dalam Perkembangan Anak Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang ada di dalam diri anak sendiri dan faktor lingkungan (Welis, 1994 dalam Kandoli, 2000). Lingkungan dibedakan menjadi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fis ik yaitu lingkungan yang berupa alam dan benda ciptaan manusia. Lingkungan sosial adalah lingkungan yang berwujud manusia yang merupakan masyarakat di mana mereka berinteraksi (Purnomo, 1990 dalam Kandoli, 2000). Lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan 11 yang pertama karena di dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan dan juga karena sebagian besar kehidupan anak adalah di dalam keluarga sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga (Hasbullah, 1999). Sedangkan menurut Amal (1990) dalam masyarakat modern dan industrial sumber pengetahuan yang utama bagi anak tidak lagi hanya keluarga tetapi juga sekolah (pendidikan formal), teman sebaya (peer group), guru, buku dan media massa. Keluarga merupakan wadah bagi seorang anak untuk mengenal segala macam norma kehidupan. Peran keluarga adalah sebagai peletak dasar bagi pola pengembangan kepribadia n yang dimiliki seseorang. Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya di kemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spiritual. Elkin dalam Dimmick (1987) berpendapat bahwa keluarga mempunyai peran dominan dalam perkembangan ciri kepribadian dasar dan sikap-sikap serta nilai- nilai sosial lainnya. Dengan demikian, keluarga mempunyai pengaruh yang paling banyak terhadap perkembangan dan kehidupan sosial anak. Sebagai lingkungan pertama tempat anak belajar bersosialisasi, keluarga memiliki peran besar dalam mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Hurlock (1991) keluarga memberi sumbangan besar dalam perkembangan anak, yaitu dalam hal: (1) memberi rasa aman karena menjadi anggota yang stabil, (2) memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) memberi contoh dan pengembangan pola perilaku yang disetujui, (5) memberi bantuan pemecahan masalah, (6) memberi bimbingan dan bantuan dalam mempelajari berbagai ketrampilan, (7) memberi stimulus untuk memperoleh keberhasilan di sekolah dan kehidupan sosial, (8) memberi bantuan dalam menetapkan aspirasi yang sesuai dengan minat dan kemampuan, dan (9) sebagai sumber persahabatan hingga mereka mendapat teman di luar rumah atau ketika tidak ada teman. Menurut Ahmadi (1999) faktor-faktor keluarga yang mempengaruhi perkembangan anak adalah: (1) keutuhan keluarga, berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri sejak tahun 1938 ditemukan ada hubungan antara keluarga tidak utuh dengan gejala kenakalan pada 12 anak, (2) kondisi sosial ekonomi keluarga, berdasarkan penelitian eksperimental yang dilakukan Prestel dan Hetzer di Jerman (Ahmadi, 1999) disimpulkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang sangat tinggi dan sangat rendah mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga kaya mampu menyediakan kebutuhan materiil bagi anak-anaknya tetapi tidak berarti anak-anak berkembang dengan wajar. Keluarga miskin juga terlalu sibuk mencari nafkah sehingga perhatian terhadap anak berkurang, (3) besar kecilnya keluarga, anak dari keluarga besar lebih toleran karena sudah biasa bergaul dengan orang lain, (4) status anak, berdasarkan penelitian tentang perkembangan sosial anak tunggal dan anak yang bersaudara didapatkan hasil bahwa anak tunggal mengalami hambatan dalam perkembangan sosial karena tidak biasa bergaul dengan anak-anak sebaya, dan (5) pola asuh orang tua, makin otoriter orang tua makin berkurang ketidaktaatan tetapi makin banyak timbul ciri pasif, kurang inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan berkurang dan penakut, sedangkan anak dari orang tua demokratis menunjukkan ciri berinisiatif, tidak takut, lebih giat, lebih bertujuan tetapi memberi kemungkinan berkembang sifat-sifat tidak taat dan tidak mau menyesuaikan diri. Zelditch dalam Gordon (1978) menyebutkan dua peran orang tua yaitu: (1) instrumental, yang dilakukan oleh bapak/suami dalam kepemimpinan di bidang ekonomi dan pembuatan keputusan sekaligus figur otoritas, dan (2) ekspresif/emosional yang biasanya dijalankan ibu/istri dalam pengungkapan kasih sayang, dukungan dan kedamaian. Kedua peran tersebut dijalankan oleh keluarga yang juga merupakan institusi dasar dalam rangka membentuk individu bertanggung jawab, mandiri, kreatif dan hormat melalui proses sosialisasi terus menerus kepada anak-anaknya. Orang tua bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan emosi anak. Agar seorang anak dapat berkembang wajar secara psikososial, anak perlu mendapat perhatian, pengertian, rasa aman, penghargaan dan penerimaan dari kedua orang tuanya. Menurut Suwondo (1981) dalam Kandoli (2000) yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik secara rohani, jasmani maupun sosial adalah orang tuanya. Sedangkan Gunarsa (1990) menyatakan bahwa secara khusus ibu berperan penting dalam upaya 13 pemenuhan kebutuhan emosi anak melalui perhatian dan sikap dalam berinteraksi serta berkomunikasi dengan anak karena ibu merupakan sosok yang dekat dengan anak dan berperan sebagai pelindung dan pengasuh utama. Keluarga Orang Tua Tunggal Galvin dan Brommel dalam Arliss (1999) menunjukkan bahwa bentuk keluarga telah berubah, yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya jumlah single parent family. Balson (1999) mengungkapkan bahwa peristiwa khas yang menimpa keluarga ini berkaitan dengan emosi dan penyesuaian diri. Ditambahkan oleh Ahmadi (1999), tidak hadirnya salah satu orang tua, karena kematian atau perceraian, berpengaruh terhadap perkembangan anak. Berdasarkan penelitian para psikolog, anak-anak dari keluarga yang tidak utuh memperoleh nilai psikologis yang rendah terutama dalam hal fleksibilitas, penyesuaian diri, pengertian akan orang dan situasi di luarnya, dan pengendalian diri. Kebanyakan orang tua tunggal adalah perempuan sehingga riset difokuskan pada tidak adanya ayah dalam keluarga. Meskipun orang tua tunggal cenderung mempunyai banyak masalah seperti konflik antara tanggung jawab pekerjaan dan rumah tangga, peran yang terlalu berat, tekanan karena harus membuat keputusan sendiri, menemukan waktu yang cukup untuk anak dan kehidupan pribadi mereka, kebutuhan fasilitas perawatan anak yang cukup dan isolasi sosial, kita tidak bisa menganggap bahwa keluarga orang tua tunggal adalah unit yang disfungsional. Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan orang tua tunggal berfungsi secara efektif ( Nock, 1987). Hubungan Orang Tua Tunggal dan Anak Perceraian menghilangkan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dari dua orang tua. Hak asuh yang diberikan kepada ibu berarti kurangnya interaksi anak dengan ayahnya. Menurut Landis dalam Ihromi (1999) dampak lain dari perceraian bila anak berada dalam pengasuhan dan perawatan ibu adalah meningkatnya perasaan dekat anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. 14 Untuk mengisi kekosongan model peran karena anak hanya tinggal dengan satu orang tua, orang tua tunggal mencarikan tokoh pengganti yang bisa diambil dari dalam atau luar keluarga. Lewat interaksi dengan tokoh pengganti itu, anak bisa mempelajari hal-hal yang tidak didapatkan dari orang tuanya (Chairani dan Nurachmi, 2002). Para peneliti menemukan kecenderungan bahwa orang tua tunggal lebih terbuka pada anak, dengan keseimbangan yang lebih besar, lebih sering berinteraksi dan kohesi meningkat (Weiss dalam Nock, 1987). DeWitt dalam Chairani dan Nurachmi (2002) menyatakan bahwa dalam keadaan sulit sekalipun, orang tua tunggal tetap berusaha membantu anakanaknya menghadapi emosinya dengan menyediakan waktu bagi anak untuk mengungkapkan perasaannya. Orang tua tunggal mengakui perasaan terluka anaknya dan membiarkan anak menumpahkan amarahnya karena anak sedang memerlukan dukungan lebih banyak dari sebelumnya. Jika anak masih terlalu kecil, ibu akan memeluk untuk memberikan perasaan aman. Jika anak cukup besar, orang tua bisa mengajak bicara sesuai daya tangkapnya tentang kondisi keluarga. Orang tua bisa mengemukakan apa yang dirasakan dan apa saja harapannya dan bagaimana anak bisa membantunya. Jika cara itu dilakukan bisa menumbuhkan harga diri anak. Selain itu, anak bisa diajak bersama-sama menunjukkan kepada masyarakat bahwa sekalipun keluarga tidak lengkap tetapi bisa lebih baik dari keluarga yang utuh sehingga anak bisa belajar mensyukuri apa yang diperoleh. Pada saat keadaan emosi anak masih labil orang tua berusaha sedapat mungkin menciptakan suasana rumah yang stabil. Berbeda dengan hal tersebut, beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang tua tunggal tidak mengawasi anak-anaknya seperti yang terjadi pada keluarga utuh. Surva i yang dilakukan terhadap para murid SMU yang berasal dari keluarga orang tua tunggal melaporkan bahwa sedikit orang tua tunggal yang mengetahui di mana anak berada sepulang sekolah dan bagaimana anak bersekolah dibanding keluarga dengan dua orang tua. Perbedaan ini tampak pada beberapa tingkat status sosial ekonomi ( Astone dan Mc. Lanahan dalam Cherlin, 2002). 15 Menurut sejumlah psikolog, orang tua tunggal sering kali terjebak dengan menjadikan anak sebagai mitra yang sama kedudukannya. Akhirnya, anak lakilaki terjebak menjadi lelakinya keluarga, anak perempuan menjadi ibu bagi adikadiknya. Fenomena ini biasanya terjadi secara alami, bukan karena pilihan sadar dari orang tua. DeWitt dalam Chairani dan Nurachmi (2002) berpendapat bahwa anak harus menyadari tanggung jawabnya pada keluarga adalah sebagai seorang anak atau kakak. Anak membantu orang tua dalam kehidupan sehari- hari tetapi mereka tidak menggantikan peran ayah atau ibu mereka yang hilang. Orang tua tunggal memperluas jaringan pergaulan pertemanan yang bisa memberikan dukungan tambahan untuk bantu membantu. Orang tua tunggal yang didukung lingkungan seperti itu biasanya secara mental dan fisik merasa lebih baik. Orang tua tunggal tidak perlu berambisi menjadi orang tua sempurna. Orang tua bisa menunjukkan kepada anak bahwa pada saat-saat tertentu boleh saja kita minta pertolongan seseorang (Chairani, 2002). Rasa bersala h ibu atas perceraian mengakibatkan ibu berbuat banyak hal untuk anak bahkan membiarkan kehidupannya dikontrol oleh anak-anaknya. Penyesuaian yang dilakukan ibu sebagai orang tua tunggal akan menimbulkan masalah jika ia merasa bertanggung jawab secara berlebihan terhadap anakanaknya. Para ibu sering berupaya untuk berperan sebagai ibu sekaligus sebagai ayah dengan mengambil banyak tanggung jawab sehingga anak memikul sedikit tanggung jawab (Balson, 1999). Menurut Clemes dan Bean (2001) seorang anak yang bertindak tanpa tanggung jawab akan lebih banyak mengalami hukuman dan kritik sehingga rasa harga dirinya merosot dan ia juga akan mengembangkan sikap negatif terhadap kehidupan. Permasalahan yang dihadapi Orang Tua Tunggal Banyak masalah yang dihadapi ole h ibu sebagai orang tua tunggal. Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, masalah yang paling menonjol adalah pendapatan rendah dan konflik yang berlanjut dengan mantan pasangan. Rendahnya atau menurunnya pendapatan karena tidak ada bantuan dari ayah atau dukungan keuangan lain membuat anak dari orang tua tunggal menghadapi resiko putus sekolah Bahkan jika pendapatan orang tua turun hingga di bawah garis 16 kemiskinan maka anak lak- laki menunjukkan masalah penyimpangan perilaku (Mc. Lanahan dan Sandetur dalam Cherlin, 2002). Masalah lain yang muncul adalah menurunnya kemampuan sebagai orang tua yang ditunjukkan dengan menurunnya emosi secara tajam, berkurangnya hubungan yang menyenangkan antara anak dan orang tua, menurunnya perhatian pada kebutuhan dan keinginan anak serta kurangnya komunikasi dan interaksi dengan anak. Ibu sebagai pemegang hak asuh anak mengalami stress sehingga menjadi sering marah, jengkel dan depresi. Kondisi ini menimbulkan beberapa kesulitan terutama dalam memberikan dukungan emosional kepada anak yang juga mengalami kesedihan akibat perceraian orang tua. Selain itu, orang tua tunggal menjalankan pola pengasuhan yang kurang konsisten terutama dalam penerapan disiplin kepada anak. Tahap ini oleh para psikolog disebut authoritative parenting (Wallerstein dan Kelly dalam Cherlin, 2002). Pengaruh Keluarga Orang Tua Tunggal terhadap Perkembangan Anak Seorang ibu yang mempunyai posisi sebagai single parent harus memegang dua peran sekaligus yaitu sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik anak juga menggantikan figur bapak yang harus mencari nafkah. Teori pengasuhan ibu tunggal pada keluarga bercerai dan teori kesehatan mental dari Frankl (1972) mengemukakan bahwa seorang ibu tunggal sering mengalami ketimpangan dan kemiskinan dalam otoritas pengasuhan. Tidak adanya sosok seorang ayah menyebabkan ibu tunggal sering tidak konsisten dalam menjalankan disiplinnya. Hilangnya ayah sebagai sumber penghasilan keluarga menyebabkan ibu tunggal harus bekerja di luar rumah. Peran ganda yang dimainkan itu pada akhirnya tidak sesuai dengan waktu mengasuh anak, kondisi serta kemampuan yang dimilikinya. Tanpa disadari semua faktor tersebut menyebabkan ketimpangan dalam pola pengasuhan sehingga berpengaruh terhadap kesehatan mental seorang anak. Kurangnya kehangatan dan perhatian yang diberikan oleh seorang ibu tunggal kepada anak menyebabkan anak tidak memiliki rasa aman di dalam dirinya. Kesibukan ibu bekerja membuat anak tidak mempunyai seorang ibu yang bisa diajak bercakap-cakap ataupun bertukar pendapat. Anak seringkali merasa 17 takut menghadapi masa depan dan mudah putus asa. Anak juga merasa tidak memiliki kebebasan dalam membuat pilihan penting serta mengalami kesulitankesulitan lain seperti pandangan negatif dari masyarakat sehubungan dengan perceraian kedua orang tua mereka (Mianda, 2002). Sering terjadi perbedaan pendapat mengenai dampak ibu bekerja terhadap pengasuhan anak. Sebagian besar masyarakat sering beranggapan bahwa status ibu bekerja selalu negatif akibatnya terhadap pengasuhan anak. Sedangkan yang lain mengemukakan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja justru menjadi sangat mandiri. Maccoby menyimpulkan dari beberapa penelitian bahwa bekerjanya ibu bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya perkembangan negatif pada anak (Amal, 1990). Mianda (2002) mengemukakan bahwa keadaan yang timbul dari fenomena single parent tersebut dapat berpengaruh secara timbal balik terhadap hubungan ibu dengan anaknya maupun hubungan anak dengan ibu. Ibu yang memikul dua peran mempunyai kasih sayang yang berlebihan kepada anaknya yang disertai kekhawatiran yang juga berlebihan sehingga mendorongnya memberikan perlindungan yang berlebihan (over protection). Ibu selalu ingin berbuat lebih banyak untuk anaknya. Apalagi kondisi yang menimpa anak itu akhirnya menimbulkan rasa kasihan ibu. Muncul ketakutan-ketakutan lainnya, seperti takut kalau anaknya menjadi minder terhadap teman-teman sebayanya dan yang lebih ekstrim adalah takut kalau anaknya dikucilkan oleh masyarakat atau lingkungan di mana mereka tinggal. Dengan adanya perlindungan yang berlebihan dari ibu mengakibatkan anak memiliki ketergantungan yang tinggi. Orang tua yang overprotective dan terlalu dominan menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kurang mandiri pada anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Stendler dalam Ahmadi (1999) tentang sikap over protection dari orang tua yang menyebabkan anak sangat tergantung pada orang tua. Berkaitan dengan fenomena orang tua tunggal, Mianda (2002) menemukan kelompok anak dari orang tua tunggal yang berhasil menjadi anak percaya diri, tahan banting, tidak cengeng dan mandiri adalah yang dibesarkan oleh orang tua yang tidak over protection. Satoto (1990) melihat interaksi ibu dan anak sebagai pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik dan stimuli keluarga mencakup 18 berbagai upaya keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Karyadi (1988) mengungkapkan bahwa peran ibu selaku pengasuh dan pendidik anak di dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun negatif karena dalam berinteraksi dengan anak sehari- hari ibu dapat memainkan berbagai peran yang secara langsung akan berpengaruh pada anak. Menurut Wahab (1980) seorang ibu merupakan pemeran utama dalam proses pembentukan pribadi dan proses sosialisasi anak. Sedangkan Scanzoni dan Scanzoni dalam Suleeman (1990) menganggap komunikasi ibu dan anak sebagai indikator untuk mengukur komunikasi orang tua dan anak karena ibu diasumsikan lebih banyak berada di rumah bersama anak-anak dari pada ayah. Ditambahkan oleh Rutter (1984) bahwa untuk perkembangan anak yang normal dibutuhkan pengasuhan ibu yang berkualitas. Satoto (1990) menegaskan bahwa faktor eksternal yang paling kuat pengaruhnya terhadap tumbuh kembang anak adalah interaksi ibu dan anak. Sebagian besar sosiolog dan psikolog percaya bahwa dua orang tua penting dalam keluarga dan berperan dalam perkembangan anak tetapi penelitian menunjukkan bahwa satu orang tua cukup untuk mengasuh anak. Keluarga dengan dua orang tua tidak menjamin anak-anak dapat menyesuaikan diri dengan baik kepada lingkungannya, cukup bergaul, kreatif dan produktif seperti halnya keluarga dengan satu orang tua tidak secara otomatis berarti sebaliknya. Beberapa anak dari orang tua tunggal menerima perhatian yang lebih baik dari pada anakanak lain dari keluarga utuh (Saxton, 1987). Masyarakat menggambarkan keluarga ideal adalah keluarga yang lengkap. Anak-anak yang diasuh orang tua tunggal kehilangan pengalaman hidup dalam suatu keluarga yang utuh. Anak dari keluarga tidak lengkap ini tidak selalu bermasalah ataupun merasa bermasalah. Hanya saja mereka merasa dirinya kurang dibandingkan teman-temannya dari keluarga lengkap (Chairani dan Nurachmi, 2002). Anak dari orang tua tunggal dapat tumbuh sehat jasmani dan rohani, moril dan materiil atas dukungan keluarga inti dan keluarga besar, juga lingkungan yang menerima tetapi semua memerlukan proses. Menurut Duncan, keluarga dengan 19 orang tua tunggal selalu terfokus pada kelemahan dan masalah yang dihadapi. Menurutnya, sebuah keluarga dengan orang tua tunggal sebenarnya bisa menjadi sebuah keluarga yang efektif seperti keluarga dengan orang tua utuh asalkan mereka tidak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya (Kompas, 2005). Komunikasi dalam Keluarga Orang Tua Tunggal Komunikasi memainkan peran utama dalam penentuan kualitas kehidupan keluarga. Komunikasi dalam keluarga merupakan aspek penting karena setiap anggota keluarga terikat satu sama lain melalui proses komunikasi. Keluarga mengembangkan serangkaian pesan, perilaku dan harapan tertentu melalui proses komunikasi (Suleeman, 1990). Keluarga sebagai kelompok sosial yang terkecil dalam masyarakat mempunyai ciri dan bentuk komunikasi yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Komunikasi dalam keluarga biasanya berbentuk komunikasi antar persona (face to face communication) intinya merupakan komunikasi langsung di mana masing- masing peserta komunikasi dapat memilih fungsi baik sebagai komunikator maupun komunikan (Effendi,1993). Dalam komunikasi interpersonal setiap anggota keluarga dapat dengan bebas mengungkapkan perasaan-perasaan yang ada dalam diri mereka masing- masing (Suleeman, 1990). Pace dalam Cangara (2004) membedakan komunikasi antar-pribadi menjadi dua macam yaitu komunikasi diadik dan komunikasi kelompok kecil. Komunikasi diadik adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap- muka yang dibedakan menjadi tiga bentuk , yaitu percakapan, dialog dan wawancara. Percakapan berlangsung dalam situasi yang bersahabat dan informal. Dialog berlangsung dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam dan lebih personal. Sedangkan Croskey memasukkan peralatan komunikasi seperti telpon dan teleks sebagai saluran komunikasi antar pribadi sehingga timbul istilah komunikasi antar-pribadi yang bermedia dan yang berlangsung tatap-muka. Menurut DeVito (1997) keluarga dikategorikan dalam pola kesamaan di mana masing- masing pihak berkedudukan sama, saling percaya dan masing- 20 masing pihak terbuka terhadap ide- ide, pendapat serta kepercayaan pada yang lain. Kondisi semacam ini dapat menciptakan komunikasi dalam keluarga seimbang dalam arti masing- masing pihak saling menempatkan diri sesuai dengan peranannya. Lawton (1982) dalam Kandoli (2000) mengemukakan bahwa hubungan yang terjadi antara orang tua dan anak bukan merupakan proses yang searah melainkan timbal balik karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku orang tua. Fisher (1986) berpendapat bahwa proses komunikasi, termasuk juga yang terjadi di dalam keluarga, dapat dipandang melalui empat perspektif dasar yaitu mekanistis, psikologis, interaksional dan pragmatis. Perspektif pragmatis adalah pendekatan yang paling sering diadopsi oleh para ahli yang mempelajari proses komunikasi keluarga. Perspektif ini mempunyai pandangan holistik tentang kegiatan komunikasi keluarga. Komponen individu dari suatu sistem saling berhubungan dan mempengaruhi keseluruhan. Untuk mengetahui masalah dalam sistem komunikasi keluarga maka tidak hanya memfokuskan pada satu atau dua unsur melainkan pada seluruh bagian sistem yang menyebabkan disfungsi pola komunikasi. Menurut Jenkins (1995) sejumlah unsur dasar untuk menjelaskan berfungsinya komunikasi dalam kehidupan keluarga meliputi: (1) pengertian bersama, (2) pesan-pesan komunikasi, (3) pola komunikasi dan (4) proses komunikasi. Kebanyakan ahli di bidang keluarga melihat komunikasi sebaga i proses membentuk dan menyusun keluarga dan hubungan interpersonal di antara orang tua, anak, saudara dan anggota keluarga luas dibentuk dan dipertahankan (Jenkins, 1995). Pendapat Bateson et al. (1956) dalam Morton et al. (1976) juga telah menegaskan bahwa komunikasi adalah usaha untuk menetapkan sebuah hubungan. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam keluarga dimaksudkan untuk berhubungan atau berinteraksi di antara anggota keluarga. Selain untuk berhubungan, komunikasi dalam keluarga juga berperan dalam kegiatan pengasuhan dan proses sosialisasi. Menurut Joewono (2002) faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku anak dalam keluarga salah 21 satunya adalah pengasuhan yang dilakukan orang tua. Abhari (1998) menyatakan bahwa pengasuhan pada hakekatnya adalah upaya memelihara dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki anak sehingga tumbuh dan berkembang secara optimal. Pertumbuhan dan perkembangan ini meliputi fisik, mental dan emosional. Kegiatan pengasuhan meliputi cara mendidik, membimbing, mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat pada umumnya. Menurut Etty (2003) mendidik anak sesungguhnya mengantarkan mereka menjadi pribadi yang mandiri. Praktek pengasuhan merupakan masa penting dalam membentuk individu matang dan dewasa yang di dalamnya mencakup proses sosialisasi. Keluarga amat berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai kebaikan dan norma yang berlaku atau yang diharapkan masyarakat kepada anak mereka. Melalui sosialisasi seorang anak memperoleh nilai- nilai dan pengetahuan mengenai peran serta tingkah laku sosial sehingga nantinya dapat mendukung kehidupannya dalam keluarga maupun masyarakat. Sosialisasi merupakan suatu proses di mana seseorang mempengaruhi orang lain karena adanya interaksi (Mc.Cleland, 1984). Salah satu cara untuk melakukan sosialisasi terhadap anak di dalam keluarga adalah dengan berkomunikasi. Melalui komunikasi antara orang tua dan anak, anak akan mengetahui nilai-nilai mana yang dianggap baik dan nilai-nilai mana yang dianggap tidak baik serta hal-hal mana yang harus dihindari (Suleeman, 1990). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa maksud dan tujuan komunikasi dalam keluarga denga n anak-anak yang belum dewasa adalah untuk berinteraksi atau berhubungan dalam kegiatan pengasuhan dan proses sosialisasi. Hasbullah (1999) menyatakan bahwa orang tua perlu memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam menjalankan tugasnya sebagai pengasuh dan pendidik bagi anakanaknya agar tercipta pola asuh dan pola didik yang dapat menjadikan anak sebagai SDM yang potensial secara maksimal termasuk di dalamnya membentuk kemandirian anak. Komunikasi orang tua dengan anak merupakan upaya mengantarkan anak menuju kesiapan memasuki dunia luar. Orang tua perlu mengarahkan 22 pembentukan perilaku anak sejak dini, termasuk membentuk kemandirian anak. Dalam meraih tujuan ini maka iklim komunikasi dalam keluarga merupakan kondisi prasyarat yang harus terpenuhi. Suasana di dalam keluarga yang menyenangkan, hangat dengan suasana mendukung, terbuka, berpikir positif, empati dan terjalinnya kerjasama akan membuat komunikasi dalam keluarga berlangsung secara terbuka, rileks dan santun (Hasbullah, 1999). Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal DeVito (1997) mengartikan pola komunikasi orang tua dan anak sebagai komunikasi antar pribadi antara orang tua dan anaknya, di mana masing- masing dapat memilih fungsi baik sebagai komunikator maupun komunikan yang mempunyai hubungan mantap dan jelas, artinya hampir tidak terhindarkan selalu ada hubungan tertentu antara kedua orang tersebut. Hubungan interpersonal terjadi melalui kejadian yang tidak disengaja maupun pilihan hubungan yang disengaja. Hubungan antara orang tua dan anak adalah suatu hubungan yang terjalin karena adanya hubungan darah sehingga bisa dikategorikan sebagai hubungan yang disengaja. Beebe (1999) mengungkapkan bahwa kepercayaan, keakraban dan kekuasaan (power) merupakan unsur penting dalam hubungan interpersonal. Kepercayaan adalah tingkat di mana kita merasa aman berbagi informasi dengan orang lain. Keakraban adalah tingkat di mana kita bisa menjadi diri sendiri di depan orang lain dan masih bisa diterima oleh mereka. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sesuai arahan kita, yaitu mengarahkan orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Millar (1973) dalam Millar dan Rogers (1976) menyebut kekuasaan sebagai kontrol dan sedikitnya dibedakan menjadi dua kontinum yaitu: rigidfleksible dan stable – unstable. Rigidity (kekakuan) merujuk pada kurangnya pergantian pola transaksi sedangkan stability merujuk pada kemampuan untuk meramalkan suatu pola. Makin sering seseorang menetapkan tindakan dalam suatu sistem, pola kontrol makin kaku. Makin konsisten dalam waktu dan arah, pola kontrol makin stabil. Sedangkan Ericson (1972) dalam Millar (1976) 23 menggunakan istilah dominance-submission (kekuasaan–kepatuhan) dalam membedakan tipe transaksi. Sementara Wood (2004) berdasarkan teori interaksi menyatakan bahwa komunikasi menentukan dan mencerminkan kekuatan hubungan yang dibedakan menjadi symmetrical (mencerminkan kekuatan yang sama) dan complementary (menunjukkan perbedaan tingkat kekuatan). Berdasarkan struktur kekuasaan yang dinyatakan beberapa ahli di atas maka kita bisa melihat arah komunikasi, apakah searah atau timbal balik. Di samping itu juga bisa melihat adanya kesamaan atau perbedaan dalam kerangka referensi dan bidang pengalaman yang menyebabkan perbedaan kekuatan hubungan. Menurut Sudjana (2000) ada tiga pola komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan interaksi dinamis dalam upaya memunculkan penyadaran, yaitu : 1. Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah Komunikator berperan aktif sebagai pemberi aksi dan komunikan sebagai penerima aksi. Bentuk ini adalah ceramah yang pada dasarnya adalah komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi. 2. Komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah Komunikator dan komunikan dapat berperan sama yakni pemberi aksi dan penerima aksi. Keduanya dapat saling memberi dan saling menerima. 3. Komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai transaksi Komunikasi tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara komunikator dan komunikan tetapi juga dapat melibatkan interaksi dinamis antara unsur-unsur komunikan la innya. 1 Komunikator Komunikan Komunikan 2 3 Komunikator Komunikan Komunikan Komunikator Komunikan Komunikan Gambar 1 Komunikasi sebagai aksi, interaksi dan transaksi Sumber :(Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sudjana, 2000) 24 Komunikasi antar-pribadi mirip dengan komunikasi dua arah atau ke semua arah. Jika dalam pengertian komunikasi dua arah atau komunikasi ke semua arah perhatian lebih ditekankan pada arah komunikasi maka dalam komunikasi antar-pribadi lebih memperhatikan pribadi-pribadi yang berkomunikasi. Masing- masing pihak menyadari dirinya sebagai pribadi yang dapat menerima dan juga dapat menyampaikan pesan sehingga terjadi suatu dialog antar pribadi. DeVito (1997) menjabarkan empat pola komunikasi umum untuk menggambarkan hubungan interpersonal dalam keluarga, yaitu : 1. The equality pattern Setiap orang berbagi secara sama dalam komunikasi transaksional sehingga peran yang dimainkan oleh setiap orang adalah sama. Masingmasing pihak terbuka pada ide, opini dan kepercayaan dari pihak lain berdasarkan pada self disclosure (penyingkapan diri ) yang seimbang. Pola ini lebih banyak terdapat dalam teori dari pada prakteknya tetapi sangat bagus untuk menguji komunikasi dalam hubungan primer. 2. The balanced split pattern Kesetaraan hubungan dipertahankan tetapi setiap orang mempunyai otoritas melebihi wilayah yang berbeda. Setiap orang dilihat sebagai ahli dalam bidang-bidang yang berbeda. Dalam keluarga tradisional, seorang ayah dianggap mempunyai keahlian di bidang bisnis dan politik sedangkan ibu mempunyai keahlian dalam perawatan anak dan memasak. 3. The unbalanced split pattern Salah satu pihak mempunyai keahlian lebih banyak sehingga mendominasi pihak yang lain. Kadang-kadang pihak dominan ini lebih pintar atau lebih berpengetahuan tetapi dalam beberapa kasus pihak ini mungkin secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih tinggi. Pihak yang dominan ini mengontrol pihak lain, menuntut orang lain melakukan apa yang diinginkannya dan jarang menanyakan pendapat pihak lain. Sebaliknya pihak yang dikontrol akan bertanya dan mencari pendapat dari orang lain yang dianggap mempunyai leadership dalam pembuatan keputusan. 25 4. The monopoly pattern Seseorang dilihat sebagai pihak yang otoriter. Orang ini memberikan banyak ceramah dari pada berkomunikasi. Jarang sekali orang ini meminta pertimbangan dari pihak lain karena dia akan menetapkan keputusan akhir. Dia akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh. Pihak yang dikontrol akan meminta ijin dari pihak lain untuk memberikan pendapat dan membuat keputusan. Pola komunikasi ini terjadi dalam hubungan anak dengan orangtua yang sangat berkuasa atau otoriter. Keempat pola komunikasi yang ditawarkan DeVito tersebut tak jauh beda dengan yang dinyatakan Sudjana. The equality pattern identik dengan komunikasi transaksi. The balanced split pattern dan the unbalanced split pattern bisa disejajarkan dengan komunikasi interaksi dengan pola kontrol yang berbeda yaitu complementary. The monopoly pattern menunjukkan komunikasi searah atau linier. Komunikasi Linier Model komunikasi linier dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver. Berdasarkan paradigma lama, komunikasi bersifat satu arah atau linier dengan tekanan pada sumber sebagai pelaku dominan yang mempengaruhi khalayak dengan persuasi (Mulyana, 2001). Salah satu ciri komunikasi linier adalah adanya penyandian yang dilakukan pengirim pesan dan interpretasi oleh penerima serta antisipasi kemungkinan adanya gangguan dalam proses komunikasi yang berlangsung. Konsep ini memaknai komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu. Terjadi transfer informasi yaitu pemahaman sempurna tentang apa yang dikatakan oleh partisipan lain. Model komunikasi Shannon dan Weaver ditunjukkan pada Gambar 2. 26 Information Source Transmiter Message Signal Message Sign Received Signal Destination Message Noise Source Gambar 2 Model Komunikasi Shannon dan Weaver Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi suatu sinyal yang sesuai dengan saluran yang digunakan. Saluran (channel) adalah medium yang mengirimkan sinyal (tanda) dari transmitter ke penerima (receiver). Dalam percakapan, sumber informasi ini adalah otak, transmitter – nya adalah mekanisme suara yang menghasilkan sinyal (kata-kata terucapkan), yang ditransmisikan lewat udara (sebagai saluran). Penerima (receiver), yakni mekanisme pendengaran, melakukan operasi yang sebaliknya yang dilakukan transmitter dengan merekonstruksi pesan dari sinyal. Sasaran (destination) adalah otak orang yang menjadi tujuan pesan itu (Severin dan Tankard dalam Mulyana, 2002) Barlund dalam Fisher (1986) melukiskan bentuk komunikasi satu arah sebagai situasi di mana para penerima diharapkan me ndengarkan dan tak menyahut. Komunikasi merupakan transfer informasi yang berarti pemahaman sempurna tentang apa yang dikatakan oleh partisipan lain. Kebersamaan adalah usaha untuk meminimalkan distorsi dan kehilangan informasi. Kritik terhadap model komunikasi linier ini dikemukakan oleh Kincaid (1979) dalam Andulhak dan Anwas (2004) yang menyebut ada tujuh bias yang mungkin terjadi, yaitu: (1) komunikasi linier cenderung bercirikan satu arah secara vertikal, (2) cenderung sangat tergantung pada sumber pesan, (3) fokus obyek komunikasi cenderung sederhana, (4) fokus hanya pada kemasan pesan dan 27 kurang mempedulikan waktu yang tepat, (5) terbatas pada fungsi persuasi, belum menyentuh pada terjalinnya saling pengertian dan konsensus, (6) cenderung terkonsentrasi pada efek psikologis individu, dan (7) cenderung mekanistis. Komunikasi linier sering digunakan oleh orang tua, guru dan pemimpin yang otoriter. Menurut Lewin, Muller dan Baldwin dalam Ahmadi (1999) anak dari orang tua otoriter menunjukkan ciri-ciri pasif (sikap menunggu), takut, cemas, mudah putus asa, kurang inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu dan daya tahan berkurang. Dengan kata lain anak yang tidak mandiri adalah produk dari orang tua otoriter. Komunikasi Interaksi Komunikasi yang bercirikan hubungan relasional dan interaktif berasal dari model cybernetics oleh Norbert Wiener yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Wilbur Schramm. Salah satu ciri komunikasi relasional adalah pentingnya peranan pengalaman (experience) dan faktor hubungan (relationship ) antara pengirim dan penerima dalam proses komunikasi. Bidang pengalaman akan menentukan apakah pesan yang dikirim akan diterima oleh si penerima sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Schramm meyakini bila ada perbedaan yang jauh dalam bidang pengalaman, akan mempengaruhi derajat penerimaan pesan yang dikirimkan. Hal lain yang dikemukakan Schramm adalah pentingnya umpan balik sehingga derajat relationship sebagai ciri komunikasi ini akan tampak (Andulhak dan Anwas, 2004). Field of experience Field of experience signal Source Encoder Decoder Destination Gambar 3 Model Kedua Schramm Model kedua Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kesamaan dalam bidang pengalaman sumber dan sasaranlah yang sebenarnya dikomunikasikan, 28 karena bagian sinyal itulah yang dianut sama oleh sumber dan sasaran (Mulyana, 2002). Sumber dapat menyandi dan sasaran dapat menyandi balik pesan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya masing- masing. Bila kedua lingkaran memiliki wilayah bersama yang besar, maka komunikasi mudah dilakukan. Semakin besar wilayah tersebut, semakin miriplah bidang pengalaman (field of experience) yang dimiliki kedua pihak yang berkomunikoderasi. Bila kedua lingkaran itu tidak bertemu – artinya bila tidak ada pengalaman bersama – maka komunikasi tidak berlangsung. Bila wilayah yang berimpit itu kecil – artinya bila pengalaman sumber dan pengalaman sasaran sangat jauh berbeda – maka sangat sulit untuk menyampaikan makna dari seseorang kepada orang lainnya (Mulyana, 2002). Message Encoder Decoder interpreter interpreter Decoder Encoder Message Gambar 4 Model Ketiga Schramm Model ketiga Schramm menganggap komunikasi sebagai interaksi dengan kedua pihak yang menyandi, menafsirkan, menyandi-balik, mentransmisikan, dan menerima sinyal. Kita melihat umpan balik dan lingkaran yang berkelanjutan untuk berbagi informasi (Severin dan Tankard dalam Mulyana, 2002). Menurut Schramm dalam Mulyana (2002) komunikasi senantiasa membutuhkan setidaknya tiga unsur utama : sumber (source), pesan (message) dan sasaran (destination). Cangara (2004) menyatakan bahwa dalam model komunikasi interaksi, komunikator memberi respon timbal balik kepada komunikator lainnya. Proses komunikasi melingkar dengan adanya mekanisme umpan balik yang saling 29 mempengaruhi antara sumber dan penerima. Dalam interaksi, individu selalu melihat dirinya melalui persepsi orang lain. Pengertian bersama dicapai melalui toleransi. Konsep diri tumbuh berdasarkan pandangan orang lain. Model komunikasi interaksi Schramm dalam Mulyana (2002) menyatakan bahwa terjadi interaksi sosial guna mengembangkan potensi diri dan kesamaan makna dicapai melalui pengambilan peran (role taking). Diri berkembang melalui interaksi dengan orang lain dimulai dengan lingkungan terdekat seperti keluarga dan terus berlanjut ke lingkungan luas. Interaksi adalah variabel penting yang menentukan perilaku manusia. Stewart dalam Fisher (1986) memakai istilah interaksi untuk menyatakan komunikasi dua arah. Interaksi menonjolkan keagungan dan nilai individu. Perspektif interaksional tentang komunikasi manusia sering dinyatakan sebagai komunikasi dialogis. Proses fundamental dalam dialog adalah konsep role taking yang dalam istilah lain diartikan juga sebagai empati. Pengertian bersama diperoleh dengan proses empati melalui pengambilan peran yang aktif, mencari makna menurut pandangan orang lain dan berbagi makna dengan orang lain. Sumber makna kebersamaan adalah saling pengertian dan empati timbal balik. Kebersamaan tidak harus diartikan bahwa peran atau status para komunikator itu setara. Kedua komunikator dapat secara bersama memiliki definisi yang sama tentang situasi mereka sebagai suatu hubungan peranan yang sangat komplementer di mana orang yang berada dalam peranan yang lebih rendah menerima definisi itu dan berbagi dengan orang lain yang lebih dominan (Fisher, 1986). Bila komunikasi mempunyai pengaruh timbal balik maka akan menghasilkan suatu interaksi. Hubungan orang tua dan anak saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak lepas dari adanya interaksi. Hubungan kedua belah pihak dilandasi oleh nilai- nilai yang dimiliki oleh masing- masing individu. Komunikasi Transaksi Model komunikasi transaksi memberi tekanan pada proses dan fungsi untuk berbagi dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Komunikasi sebagai proses di mana semua peserta ikut aktif secara dinamis dalam memenuhi fungsi 30 sosial sebagai anggota masyarakat (Cangara, 2004). Sedangkan Sereno dan Bodaken (1975) melihat komunikasi sebagai kesatuan yang terdiri dari sistem internal dan eksternal. Sistem internal adalah seluruh elemen atau stimuli yang ada di dalam diri individu yang dibawa dalam situasi komunikasi, misalnya : memori, harapan, sikap, ketakutan, nilai- nilai, kebencian dan pengalaman. Sistem internal dibedakan menjadi dua hal, yaitu : sikap dan kepribadian. Sistem eksternal berupa petunjuk verbal dan non verbal. Komponen komunikasi transaksi adalah persepsi, sistem, arti dan proses. Persepsi merupakan pemrosesan terhadap stimuli internal dan eksternal. Sistem melihat komunikasi sebagai keseluruhan yang terdiri dari sistem internal dan eksternal. Arti diciptakan berdasarkan persepsi. Arti yang dimiliki komunikator adalah hasil dari campuran stimuli internal dan eksternal. Komunikasi sebagai proses dinamis yang menimbulkan perubahan pada pada para peserta komunikasi. Seluruh komponen tersebut saling berhubungan dan dijalankan bersama dalam setiap situasi komunikasi (Sereno dan Bodaken, 1975). Model konvergensi dari Rogers dan Kincaid (1981) memandang komunikasi sebagai proses transaksi di antara partisipan. Setiap partisipan memberikan kontribusi pada transaksi tersebut yang artinya ada proses dialogis yang terjadi sehingga menghasilkan mutual understanding (pengertian bersama). Makna konvergen adalah the tendency for two or more individuals to move toward one point, or for one individual to move toward another, and to unite in a common interest or focus. Dengan demikian salah satu ciri model komunikasi konvergen adalah komunikasi yang berlangsung secara multi arah di antara penerima menuju ke suatu fokus atau minat yang dipahami bersama. Dalam pandangan ini komunikasi berlangsung secara dinamis dan berkembang ke arah pemahama n kolektif dan berkesinambungan (Andulhak dan Anwas, 2004). Peirce dalam Andulhak dan Anwas (2004) menyatakan ada dua prinsip dasar dalam pengembangan komunikasi konvergen. Pertama, informasi dalam kadar tertentu bisa tidak tepat (imprecise) dan bercirikan ketidaktentuan (uncertain). Kedua, komunikasi merupakan proses yang dinamis dan berlaku sepanjang waktu. 31 Komunikasi konvergen dilakukan secara berkesinambungan melalui suatu jejaring (network) dan didasarkan pada kaidah kolektivitas untuk memperoleh kesamaan pengertian dalam realitas sosial. Model komunikasi konvergen menyangkut tiga hal pokok, yaitu: (1) realitas psikologis, (2) realitas fisik, dan (3) realitas sosial. (Rogers dalam Andulhak dan Anwas, 2004) Realitas Psikologis A Realitas Fisik Realitas Psikologis B Interpretasi __ Pemahaman __ Informasi ___ Pemahaman ___ Interpretasi Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kolektif Pengertian _ Keyakinan Keyakinan__ Pengertian Saling Kesepakatan Saling Pengertian Realitas Sosial (A & B) Gambar 5 Model Komunikasi Konvergen Ciri informasi dan saling pengertian merupakan komponen yang sangat dominan dalam komunikasi konvergen. Pemrosesan informasi dilakukan melalui tahapan pemahaman, interpretasi, pengertian dan kegiatan di antara peserta untuk kemudian dicapai saling kesepahaman. Model ini merupakan suatu proses yang dinamis ketika mempertimbangkan dua hal. Pertama, pentingnya proses informasi. Kedua, perlunya saling pengertian di antara pihak yang melakukan komunikasi. Komunikasi dipandang sebagai suatu proses yang melibatkan partisipan untuk berbagi informasi agar diperoleh saling pengertian (mutual understanding). Bila dua pihak telah melakukan suatu interaksi komunikasi dengan berbagi informasi yang diperlukan, kemudian terjadi saling pengertian 32 maka derajat saling pengertian di antara keduanya digambarkan oleh irisan di antara dua kelompok lingkaran. Semakin besar daerah irisan, semakin besar lingkup saling pengertian telah dicapai. Sebaliknya, semakin kecil daerah irisan, semakin sedikit lingkup saling pengertian telah dicapai (Andulhak dan Anwas, 2004). Komunikasi keluarga yang memanfaatkan model konvergen ini memecahkan permasalahan secara bersama-sama di antara orang tua dan anak sehingga melahirkan mutual understanding di antara orang tua dan anak, dan permasalahan diharapkan dapat terpecahkan. Komunikasi orang tua dan anak penting tidak hanya dari segi isi tapi juga metode. Apa yang diketahui orang tua mungkin kurang penting dibandingkan bagaimana mereka menyampaikannya. (Chafee et al. dalam Sheinkopf, 1973). Setiap keluarga mengembangkan pola komunikasi orang tua dan anak secara konsisten. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Komunikasi Seorang komunikator dalam berkomunikasi membawa pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai dan sikap tertentu yang diperoleh dan dipelajari dari interaksinya dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Pengalaman, kepercayaan, nilai- nilai dan sikap yang dimiliki seseorang menentukan bagaimana cara seseorang berkomunikasi. Perspektif perbedaan individu memandang bahwa sikap dan organisasi personal psikologis (dalam arti faktor- faktor yang ada dalam diri individu) akan menentukan bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut (Effendy,1996). Perspektif ini bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana faktor individu (karakteristik) orang tua menentukan pola komunikasi yang digunakannya. Di samping faktor individu, faktor lingkungan juga tidak bisa diabaikan. Karena anak berinteraksi dengan lingkungan sosial, yaitu sekolah, teman sebaya dan media massa maka dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua dipengaruhi pula oleh lingkungan sosial tersebut. Hal ini diperkuat oleh pendapat Festinger (1957) dalam Ramdhani (2006) bahwa perilaku manusia tergantung dari pengetahuan, opini, apa yang dipercaya orang mengenai lingkungan dan mengenai 33 diri sendiri. Jadi perilaku orang tua tunggal dalam menggunakan suatu jenis pola komunikasi ditentukan baik oleh faktor individu maupun faktor lingkungan. Faktor Individu Kelas sosial ekonomi ternyata mempengaruhi pola komunikasi antara orang tua dengan anak. Temuan ini berasal dari penelitian sosiologis tentang struktur keluarga dan pola sosialisasi di Taiwan. Kelas pekerja rendah menuntut kepatuhan anak dengan cara otoriter. Sedangkan, kelas pekerja menengah lebih menghargai kebebasan anak, bersedia memahami anak dan berpendapat bahwa anak seharusnya belajar mengendalikan perilakunya (Olsen, 1974). Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa pola sosialisasi yang terjadi di dalam keluarga Taiwan dipengaruhi oleh kelas sosial ekonomi. Berdasarkan asumsi bahwa komunikasi merupakan metode yang digunakan dalam proses sosialisasi maka dari penelitian tersebut terlihat adanya praktik penggunaan pola komunikasi tertentu, yaitu pola komunikasi linier digunakan oleh kelas sosial ekonomi bawah sementara kelas ekonomi menengah menerapkan pola komunikasi dua arah atau dialogis, baik interaksi maupun transaksi. Suleeman dalam Ihromi (1990) menegaskan pula bahwa tingkat komunikasi orang tua dan anak lebih rendah pada golongan bawah dari pada golongan menengah. Miller dalam Gunarsa (1990) menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah mempunyai nilai dan norma khusus yang berbeda dengan nilai dan norma pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah dan atas, misalnya keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah umumnya kurang memberi perhatian terhadap perilaku anak. Tidak ada penghargaan dan pujianpujian untuk perbuatan baik serta kurangnya latihan dan penanaman nilai moral. Menurut Widjaja (1989) dalam Rahmah (2004) pendidikan ibu berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku dalam menghadapi anak-anaknya. Ibu yang berpendidikan tinggi akan bersikap lebih baik. Dengan demikian, ibu yang berpendidikan tinggi tidak menerapkan hukuman fisik kepada anak-anaknya yang merupakan kecenderungan dari orang tua otoriter. Ini berarti ibu berpendidikan tinggi tidak menggunakan pola komunikasi linier cenderung pada penggunaan pola komunikasi dua arah. tetapi lebih 34 Kepadatan dalam keluarga berpengaruh besar terhadap hubungan antar pribadi dan keluarga. Adanya perbedaan secara perorangan baik mengenai umur, pendidikan, tugas, kegiatan dan tanggung jawab akan mempersulit proses penyesuaian. Interaksi yang semakin majemuk akan menimbulkan kesulitan untuk membina komunikasi yang baik dan akan mudah terbentuk salah komunikasi atau miscommunication, karena itu kepadatan mengganggu pola dan corak hubungan dalam keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap bersaing dan tersisih yang pada dasarnya bisa menjadi sumber pencetus ke arah munculnya kondisi tegang yang bisa berakibat lebih buruk lagi pada perilakunya. (Gunarsa, 1990) Hasil penelitian Kohn (1963) dalam Chilman (1988) menunjukkan bahwa seseorang yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja secara rutin, berulang dan diawasi secara ketat cenderung menilai konformitas sebagai hasil dari otoritas eksternal. Orientasi nilai tersebut berpengaruh pada pola pengasuhan anak. Mereka beranggapan bahwa anak-anak seharusnya patuh pada orang tua dan orang tua memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada anak. Sedangkan pada kelompok orang yang bekerja rata-rata delapan jam sehari bersikap lebih terbuka dan lebih menghargai kebebasan anak. Lamanya waktu bekerja menyebabkan sempitnya waktu bersama antara orang tua dan anak sehingga hubungan mereka semakin berjarak dan semu. Halhal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum seperti berbicara dengan orang-orang lainnya. Setiap anggota keluarga sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing- masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga adalah komunikasi yang bersifat informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Akibatnya, masing- masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain (Mutadin, 2002). Keikutsertaan seseorang dalam kelompok mempengaruhi sikap dan perilakunya. Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok baik yang nyata atau yang dibayangkan (Kiesler dan Kie sler dalam Rakhmat, 2001). Konformitas ini secara tidak disadari terjadi pada kalangan orang tua yang terlibat dengan berbagai 35 kegiatan sosial. Meskipun demikian, konformitas merupakan hasil interaksi antara faktor- faktor situasional dan faktor- faktor personal. Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas antara lain adalah konteks situasi, karakteristik sumber pengaruh dan ukuran kelompok. Dengan demikian, pengaruh kelompok pada perilaku komunikasi orang tua berbeda-beda bergantung pada kedua faktor tersebut. Faktor Lingkungan Penelitian yang dilakukan Olsen (1974) di Taiwan menunjukkan bagaimana pengaruh keluarga luas terhadap sikap dan perilaku ibu yang berhubungan dengan proses sosialisasi di dalam keluarga. Dari penelitian ini terlihat kecenderungan pola komunikasi yang digunakan oleh ibu dalam nuclear family (keluarga inti) dan extended family. Ibu dalam keluarga inti lebih menekankan pada autonomy dan self reliance, lebih sering menggunakan metode disiplin dengan pendekatan agar anak merasa bersalah atau malu. Sementara itu, ibu yang tinggal dengan tiga generasi menggunakan lebih banyak hukuman, terutama hukuman fisik serta menekankan ketaatan anak pada orang tua. Demikian juga yang terjadi pada ibu yang diawasi secara ketat oleh ibu mertuanya. Dari sini terlihat bahwa kehadiran atau keterlibatan keluarga luas dalam pengasuhan anak mempengaruhi pola komunikasi ibu menjadi cenderung linier, yaitu menekankan hubungan orang tua dan anak berpola dominan-submisif. Teman sebaya memainkan peranan penting dalam perkembangan psikologis dan sosial anak. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama di mana anak belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Kelompok teman sebaya ini berperan juga dalam pembentukan perilaku anak. Interaksi dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk belajar mengendalikan perilaku sosial, mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usia. Tarmudji (2002) melihat bahwa peer group (kelompok teman sebaya) berasal dari berbagai lingkungan keluarga sehingga berbeda dalam karakteristik psikologis maupun sosial. Salah satu pengaruh yang mungkin dapat muncul dari 36 interaksi anak dengan teman sebaya adalah terjadinya perilaku agresif. Hal ini terjadi apabila anak tidak terpenuhi kebutuhannya akan rasa aman, rasa sayang dan harga diri. Oleh karena itu, ibu harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut agar tidak terjadi penyimpangan perilaku pada anak. Mulyana (1999) menyatakan bahwa anak-anak mempunyai dorongan kuat untuk berkomunikasi dan secara naluriah mampu memahami interaksi antar pribadi karena menyadari bahwa komunikasi adalah sarana untuk membangun hubungan. Oleh karena itu, ibu bisa mengajari anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya termasuk juga dengan teman sebaya melalui komunikasi yang tepat. Bentuk komunikasi yang bisa mencapai tingkat empati optimal perlu dikembangkan sehingga tidak ada kesulitan bagi kedua pihak untuk mengkomunikasikan topik apapun Rakhmat (2001) menyebutkan dua pengaruh media massa yaitu efek prososial behavioral dan perilaku agresif. Salah satu perilaku prososial ialah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Buku, majalah dan surat kabar mengajarkan kepada pembacanya berbagai keterampilan. Keterampilan berkomunikasi bukan bawaan dari lahir melainkan dipelajari. Agar terampil berkomunikasi dengan anak-anak, ibu harus meningkatkan pengetahuan mereka dengan lebih banyak mengakses media massa (Mulyana, 1999). Dengan demikian ibu memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga terjalin hubungan yang hangat dan menyenangkan dengan anak. Kemandirian Anak Kartini dan Dali (1997) dalam Mutadin (2002) mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri. Secara singkat kemandirian mengandung pengertian suatu keadaan di mana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya, dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. 37 Berdasarkan pendapat beberapa ahli menurut Masrun et al. dalam Rahmah (2004) kemandirian mencakup pengertian dari berbagai istilah seperti autonomy, independency dan self reliance. Autonomy adalah tendensi untuk mencapai sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap lingkungan dan merencanakan serta mewujudkan harapan- harapannya. Independency merupakan perilaku yang aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain dalam menyelesaikan masalahnya. Self reliance mempunyai ciri-ciri adanya kebutuhan yang menonjol untuk memperoleh pengakuan orang lain, merasa mampu mengontrol tindakannya sendiri dan penuh inisiatif. Menurut Witkin dalam Anastasia (1986) orang yang mandiri memiliki field dependency rendah (tidak tergantung) yaitu individu yang mampu secara mandiri membentuk tanggapan-tanggapan, mengorganisir pengalamannya berdasarkan hasil pemikiran yang analitis sehingga dalam kehidupan masyarakat tidak mudah terpengaruh. Hetherington dalam Spencer dan Kass (1976) dalam Rahmah (2004) menyatakan bahwa kemandirian ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kemampuan untuk mengatasi masalah, penuh ketekunan, memperoleh kepuasan dari usahanya serta berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Ciri-ciri sikap mandiri menurut beberapa ahli dalam Djunanah (1999) yaitu: (1) memenuhi diri atau identitas diri, (2) memiliki kemampuan inisiatif, (3) membuat pertimbangan sendiri dalam bertindak, (4) mencukupi kebutuhan sendiri, (5) bertanggungjawab atas tindakannya, (6) mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu, (7) dapat mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih. Sementara itu, Komar (1998) menyimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan seseorang untuk berada dalam suatu situasi yang memiliki ciri-ciri percaya diri, mampu menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain, mampu berpendapat sendiri, mempunyai tujuan hidup yang jelas dan tidak terpengaruh oleh pendapat orang lain. 38 Robert Havighurst (1972) dalam Mutadin (2002) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu : Emosi , aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua. Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua. Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap responden bersuku Jawa, Batak dan Bugis, Masrun (1989) dalam (Rahmah, 2004) menyimpulkan bahwa aspek-aspek kemandirian dalam konteks Indonesia adalah: (1) bebas, tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri bukan karena orang lain dan tidak tergantung pada orang lain, (2) progresif dan ulet, adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh ketekunan, merencanakan serta mewujudkan harapan- harapannya, (3) inisiatif, kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara rasional dan kreatif, (4) pengendalian diri, mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan mampu mengendalikan tindakannya, dan (5) kemampuan diri (self esteem, self confidence). Kemandirian, seperti halnya kondisi psikolo gis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentu saja tugastugas tersebut disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Dengan latihan terus menerus akan tumbuh sikap mandiri dalam diri anak yang pada gilirannya dengan sikap mandiri tersebut seorang anak akan mampu menghadapi permasalahan (Mutadin, 2002). Menurut Erikson dalam Lie dan Prasasti (2004), pada usia 6-12 tahun, anak belajar menjalankan kehidupan sehari- hari secara mandiri dan bertanggungjawab. Jika orangtua bisa membimbing dengan baik, anak menjadi 39 rajin dan bersemangat untuk melakukan kegiatan yang produktif bagi kemajuannya sendiri. Kemandirian anak dilihat dari aspek inisiatif ditunjukkan dengan adanya kemampuan anak dalam mengatasi masalah yang dihadapi berkaitan dengan tugas-tugas atau PR (Pekerjaan Rumah) dari sekolah dan hubungan dengan teman. Selain itu, kemandirian anak dapat dilihat dari kemampuannya mengerjakan sendiri beberapa hal seperti merawat tubuh (mandi, menggosok gigi), merapikan dan membersihkan kamar, merapikan dan melipat pakaian, menata buku dan perlengkapan sekolah, menyiapkan sarapannya sendiri, merapikan mainan sesudah bermain, dan melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga yang ringan seperti mencuci piring dan gelasnya sendiri sesudah makan. Kemampuan memutuskan dan memilih ditunjukkan oleh kemampuan anak memilih pakaian yang sesuai untuknya, mengelola uang saku dan merawat binatang peliharaan sebagai ungkapan perasaan kasih sayang, perhatian dan kepedulian (Lie dan Prasasti, 2004). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak Perkembangan kemandirian dapat bersumber dari dalam diri anak maupun dari luar. Perkembangan kemandirian yang bersumber dari dalam diri anak meliputi jenis kelamin, usia dan hereditas, sedangkan yang bersumber dari luar adalah pembentukan oleh lingkungan, termasuk pola asuh orang tua dan proses belajar mengajar di sekolah (Suyoto, 1982). Menurut beberapa ahli dalam Rahmah (2004), faktor- faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah: intelegensia, pola asuh orang tua, jenis kelamin, usia, status pekerjaan ibu, latar belakang budaya dan daerah asal, urutan kelahiran, dan tingkat pendidikan ibu. Makin tinggi intelegensia seseorang makin tinggi juga kemandiriannya. Pola asuh demokratis paling mungkin menghasilkan anak yang mandiri. Perbedaan perlakuan pada anak laki- laki dan anak perempuan juga mempengaruhi kemandiriannya. Anak laki- laki dituntut oleh lingkungan sosial untuk lebih mandiri. Perilaku ma ndiri juga meningkat sesuai dengan usia, semakin bertambah 40 usia seseorang maka perilaku mandirinya akan makin berkembang dan perilaku tergantung akan berkurang. Anak yang ibunya bekerja mencari nafkah ternyata lebih mandiri dibandingkan anak-anak yang mempunyai ibu yang tidak bekerja (Rahmah, 2004). Perkembangan kemandirian juga dipengaruhi latar belakang budaya dan daerah asal. Tingkat kemandirian pada suatu kebudayaan berbeda dengan kebudayaan yang lain. Perbedaan adat istiadat yang dianut oleh masing- masing suku bisa menyebabkan perbedaan perkembangan kualitas kemandirian. Budaya desa dan kota mempengaruhi perkembangan kepribadian. Anak yang berasal dari desa kurang mandiri karena terikat lingkungan keluarga. Urutan kelahiran dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya sikap dan perilaku anak. Anak sulung dituntut lebih mandiri dibandingkan anak-anak yang lahir kemudian. Pendidikan ibu mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam menghadapi anakanaknya. Ibu yang berpendidikan bersikap lebih baik. Makin tinggi pendidikan ibu akan mendorong kemandirian anak (Rahmah, 2004). Hurlock (1991) menyebutkan lima faktor yang mempengaruhi kemandirian, yaitu: (1) keluarga: misalnya perlakuan ibu terhadap anak, (2) sekolah: perlakuan guru dan teman sebaya, (3) media komunikasi massa: misalnya majalah, koran, televisi dan sebagainya, (4) agama: misalnya sikap terhadap agama yang kuat, (5) pekerjaan atau tugas yang menuntut sikap pribadi tertentu. Selanjutnya Hurlock menyebutkan bahwa melalui teman sebaya, anak belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima dan menolak pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga. Anak mempelajari pola perilaku yang diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan oleh teman sebaya. Penelitian Suyoto (1982) tentang pola asuh anak-anak remaja pada berbagai kelas sosial di Yogyakarta menemukan bahwa kemandirian remaja berkorelasi secara signifikan dengan variabel- variabel pendidikan, usia dan tingkat interaksi orang tua. Penelitian lain yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa ketika single mother tinggal dengan orang dewasa lain, terutama ibunya, keduanya bisa menyediakan pengasuhan anak seperti pada keluarga dengan dua 41 orang tua ( Kellam, Ensminger dan Turner dalam Cherlin, 2002). Sementara beberapa penelitian lain menunjukkan jika ada orang dewasa lain, seperti nenek yang ada di rumah, anak nampaknya akan berperilaku lebih baik dan juga lebih baik di sekolah. Hal ini disebabkab karena tugas mengawasi perilaku anak mungkin lebih sulit dilakukan oleh satu orang tua (Cherlin, 2002). Berbeda dengan temuan penelitian tersebut, penelitian Dhamayanti (2006) terhadap kemandirian anak usia 2,5 – 4 tahun di Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor banyaknya keluarga tidak memberikan kontribusi terhadap kemandirian anak. Tipe keluarga yaitu nuclear family dan extended family tidak banyak berperan dalam perkembangan kemandirian anak. Sementara itu, Olsen (1974) berpendapat bahwa figur otoritas dari extended family yang berperan dalam membentuk kemandirian anak dengan cara mempengaruhi pola pengasuhan yang dilakukan oleh ibu. Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak Dalam menanamkan kemandirian kepada anak, Mutadin (2002) menyarankan orang tua untuk mempertimbangkan: (1) komunikasi: berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi di sini harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus ma u saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. (2) kesempatan : orangtua sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan sendiri apa yang bisa dilakukannya. (3) tanggungjawab: bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci untuk menuju kemandirian. (4) konsistensi: konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai- nilai sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan bagi anak untuk dapat mengembangkan kemandirian. Kemandian merupakan suatu sikap indivBBB Menurut Kelman dalam Brigham (1991), pengaruh komunikasi kita pada orang lain berupa tiga hal, yaitu internalisasi, identifikasi dan ketundukan. Internalisasi terjadi bila individu menerima pengaruh dan bersedia memenuhi permintaan karena hal tersebut sesuai dengan apa yang dipercayainya dan sistem 42 nilai yang dianutnya. Identifikasi terjadi bila individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau kelompok karena sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bentuk hubungan yang diinginkannya. Ketundukan terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang lain atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Baumrind dan Bach dalam Wijaya (1986) ditemukan bahwa orang tua yang demokratis akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri pada anak, seperti membuat keputusan sendiri yang akan berakibat pada munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggungjawab bagi anak-anak mereka. Orang tua demokratis menunjukkan penggunaan pola komunikasi dialogis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Stewart dan Koch (1983) yang menjelaskan bahwa orang tua demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Mereka selalu mendengarkan keluhan dan pendapat anak-anak, memberikan alasan tindakannya kepada anak, mendorong anak bertindak secara obyektif. Mereka tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. Anak diakui keberadaannya oleh orang tua serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan. KERANGKA PEMIKIRAN Kemandirian menentukan keberhasilan dalam kehidupan seseorang. Kemandirian meliputi aspek emosi, ekonomi, intelektual dan sosial. Kemandirian anak ditandai dengan kemampuan berinisiatif dan dapat mengambil keputusan sendiri untuk mengatasi masalah yang dihadapi serta berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Kemandirian tidak terbentuk begitu saja tetapi melalui proses yang panjang. Secara umum, proses pembentukan dan pengembangan pribadi mandiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu bersangkutan, yaitu keluarga, sekolah, teman sebaya maupun media massa. Orang tua berperan sangat besar dalam pembentukan kemandirian anak. Pola komunikasi tertentu bisa digunakan oleh orang tua untuk membentuk kemandirian anak. Pola komunikasi orang tua dan anak diartikan sebagai komunikasi antar pribadi antara anak dan orang tua. Komunikasi antar pribadi dinilai cukup efektif untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang karena adanya personal contact dan bersifat dialogis. Faktor individu orang tua dan faktor lingkungan menentukan bagaimana orang tua tunggal memilih suatu jenis pola komunikasi. Pe nelitian ini dimulai dengan melihat karakteristik orang tua tunggal dan faktor lingkungan. Karakteristik orang tua tunggal meliputi usia, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lamanya waktu bekerja, lamanya melakukan kegiatan sosial dan lamanya penggunaan media massa. Faktor lingkungan adalah keluarga luas yaitu paman, bibi, kakek, nenek, dan saudara sepupu; sekolah yang dibedakan menjadi sekolah negeri dan swasta; teman sebaya yang berinteraksi dengan anak baik di sekolah maupun di lingkungan pergaulan yang lain seperti di sekitar rumah dan di tempat anak melakukan kegiatan di luar sekolah; dan media massa yang menjadi tempat anak mendapatkan informasi maupun hiburan. Informasi tentang karakteristik orang tua tunggal berguna untuk melihat latar belakang responden secara demografis dan juga memberikan gambaran tentang aktivitas komunikasi responden yang ditunjukkan dengan partisipasi dalam kegiatan sosial serta terpaan media (media exposure). 44 Selanjutnya akan dilihat bagaimana hubungan antara karakteristik orang tua tunggal dan faktor lingkungan dengan pola komunikasi yang digunakan. Untuk mengetahui pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal, maka kategori pola komunikasi dilihat berdasarkan teknik komunikasi, hubungan komunikator dan komunikan, arah komunikasi, pembentukan makna pesan dan faktor pembentuk sikap atau perilaku. Berdasarkan kategori tersebut maka pola komunikasi dapat terjadi linier, interaksi dan transaksi. Kajian selanjutnya adalah mengenai pola komunikasi yang dapat membentuk kemandirian anak. Kemudian akan dilihat hubungan antara karakteristik orang tua tunggal dan faktor lingkungan dengan kemandirian anak. Alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat di bawah ini : KARAKTERISTIK ORANG TUA TUNGGAL - Usia Jumlah anak Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Lamanya waktu bekerja Lamanya melakukan kegiatan sosial Lamanya penggunaan media massa LINGKUNGAN - Keluarga Luas Sekolah Teman sebaya Media massa POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TUNGGAL DAN ANAK - Linier Interaksi Transaksi KEMANDIRIAN - Berinisiatif Memutuskan sendiri Mengerjakan sendiri Gambar 6. Bagan Alur Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Yogyakarta pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2006. Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa: 1. Kota Yogyakarta adalah kota pelajar dengan standar kompetensi akademis cukup tinggi bagi siswa sekolah dasar dan menengah sehingga kemandirian anak menjadi syarat penting agar anak berhasil dalam pendidikannya. 2. Angka perceraian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dan tercatat 2313 kasus perceraian pada tahun 2005 (Kedaulatan Rakyat, 2006). Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah survey dengan pendekatan kualitatif, yaitu survey yang digunakan dalam penelitian deskriptif. Survai bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang orang yang jumlahnya besar dengan cara mewawancarai sejumlah kecil dari populasi (Nasution, 2003). Berdasarkan sampel yang didapat diambil beberapa kasus yang ditindaklanjuti dengan wawancara mendalam yang dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan fenomena komunikasi. Peneliti mencoba untuk mencermati secara mendalam fenomena- fenomena komunikasi yang terjadi di dalam keluarga orang tua tunggal dengan memfokuskan pada faktor- faktor yang menyebabkan orang tua tunggal menggunakan sebuah pola komunikasi tertentu untuk membentuk kemandirian anak-anaknya. Di samping itu peneliti juga mencoba mencermati pengaruh lingkungan dan karakteristik individu orang tua tunggal terhadap kemandirian anak. Unit Penelitian Penelitian ini tidak menggambarkan satu unit populasi tetapi membahas unit orang tua tunggal beretnis Jawa yang tinggal di wilayah kota Yogyakarta. Pengambilan sampel dalam penelitian ini lebih difokuskan untuk mengumpulkan 46 data sebanyak mungkin. Pengambilan sampel berkaitan dengan bagaimana memilih informan yang dapat memberikan informasi yang mantap dan terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada dalam fokus penelitian ini. Cara seperti ini disebut purposive sample, yaitu berdasarkan apa yang diketahui tentang elemen yang ada dalam fokus penelitian. Unit penelitian ini adalah perempuan yang berstatus sebagai orang tua tunggal berdasarkan data perceraian di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta dari tahun 2001 sampai 2005. Untuk penelitian ini, sampel dipilih dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. Perempuan yang berstatus sebagai orang tua tunggal karena alasan perceraian dengan hak asuh anak berusia antara 7 – 12 tahun. b. Perempuan yang berstatus sebagai orang tua tunggal yang bekerja. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara : 1. Studi Dokumen, dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yaitu data-data perceraian selama lima tahun terakhir di Pengadilan Agama Yogyakarta dan data kependudukan dari Biro Pusat Statistik Kota Yogyakarta. 2. Kuesioner, diberikan kepada sampel sebanyak 25 orang tua tunggal dan anakanaknya berdasarkan data perceraian lima tahun terakhir di Pengadilan Agama Yogyakarta. Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu untuk orang tua dan anak yang dimaksudkan untuk mengetahui pola komunikasi dan kemandirian anak. Kategori pola komunikasi dan kemandirian anak ditentukan dengan skoring jawaban kuesioner. Berdasarkan perbedaan karakteristik orang tua tunggal, pola komunikasi dan kemandirian anak kemudian terpilih 10 orang tua tunggal dan anaknya untuk mewakili kasus penggunaan pola komunikasi dalam membentuk kemandirian anak. Selanjutnya dilakukan observasi dan wawancara mendalam kepada mereka. 3. Observasi, dilakukan dengan cara mengadakan kunjungan ke rumah orang tua tunggal kemudian melakukan percakapan ringan dengan orang tua tunggal dan anak untuk mengetahui bagaimana interaksi dan komunikasi yang terjadi di antara mereka dan keluarga luas. 47 4. Wawancara mendalam, dilakukan dengan responden orang tua tunggal, anak, dan guru menggunakan tape recorder kemudian dic atat dalam catatan penelitian. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan pola komunikasi, tingkat kemandirian anak serta faktor karakteristik orang tua dan lingkungan yang mempengaruhinya. Instrumentasi Pada metode penelitian atau analisis survey, instrumen penelitian yang digunakan dua jenis, yaitu kuesioner dan wawancara. Untuk pengumpulan data digunakan instrumen utama berupa kuesioner, yaitu daftar pertanyaan yang relevan dengan peubah-peubah dan indikator yang diteliti. Instrumen yang digunakan berupa daftar pertanyaan tertutup dan terbuka, yaitu : 1. Data umum responden yang meliputi: usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, lamanya waktu bekerja. 2. Data perilaku komunikasi yang meliputi: lamanya penggunaan media massa, lamanya melakukan kegiatan sosial. 3. Data pola komunikasi yang meliputi : linier, interaksi, transaksi. 4. Data kemandirian anak yang meliputi: inisiatif, kemampuan memutuskan, kesediaan mengerjakan sendiri. Analisis Data Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yang dimaksudkan untuk menjabarkan beberapa hasil penelitian dari wawancara yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif disebut juga analisis non statistik yang dilakukan dengan cara membaca tabel, grafik atau angka-angka yang tersedia kemudian melakukan uraian dan penafsiran (Marsuki, 1983). Menurut Moleong (2004) proses analisis data terdiri atas tiga tahap, yaitu diawali dengan reduksi data, kemudian penyajian data dan terakhir penarikan kesimpulan. Semua langkah tersebut dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut : 48 1. Reduksi data, dilakukan dengan proses pemilihan data, penyederhanaan data, pengabstrakan, dan pemindahan data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data ini berlangsung terus menerus selama penelitian sampai laporan akhir lengkap tersusun. 2. Penyajian data, dilakukan dengan menginterpretasikan secara deskriptif kutipan-kutipan hasil wawancara dengan orang tua tunggal, anak dan guru untuk memudahkan melihat pola komunikasi dan faktor individu serta lingkungan yang terkait dengan proses pembentukan kemandirian anak. Data yang diperoleh dari kuesioner disajikan dalam bentuk tabel distribusi, kecenderungan pola komunikasi, kecenderungan kemandirian anak, hubungan karakteristik orang tua tunggal dan pola komunikasi, hubungan faktor lingkungan dan pola komunikasi, hubungan karakteristik orang tua tunggal dan kemandirian anak, hubungan faktor lingkungan dan kemandirian anak. 3. Penarikan kesimpulan dengan cara melakukan verifikasi terhadap penyajian data penelitian guna memperoleh kebenaran data atau informasi yang valid kemudian diinterpretasikan secara deskriptif dan ditarik suatu kesimpulan. Validitas dan Reliabilitas Kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas) dalam penelitian kualitatif memiliki dasar kepercayaan yang berbeda. Menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2004), ada empat keabsahan data yang diperlukan untuk teknik pemeriksaan dalam menjamin keabsahan data hasil penelitian kualitatif, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Keabsahan data dalam penelitian ini dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Kredibilitas Kredibilitas ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari hasil penelitian, yang dilakukan pada: a). Ketekunan pengamatan, hal ini dilakukan peneliti dengan observasi terhadap interaksi antara orang tua tunggal dan anak dan yang diikuti dengan wawancara 49 mendalam untuk mendapatkan kejelasan informasi tentang pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal, tingkat kemandirian anak, peran sekolah, teman sebaya, keluarga luas dan media massa terhadap pola komunikasi serta kemandirian anak. b).Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi dilakukan dengan cara yaitu triangulasi sumber, metode, dan teori. Patton dalam Moleong (2004) mengartikan triangulasi dengan sumber adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Ada lima teknik yang bisa digunakan yaitu: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2) membandingkan apa ya ng dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain; dan (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Teknik triangulasi yang digunakan di sini adalah membandingkan data yang diperoleh melalui kuesioner dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang tua dengan apa yang dikatakan anak untuk mendapatkan gambaran pola komunikasi dan kemandirian anak. 2. Tranferabilitas Tranferabilitas dalam penelitian ini dengan cara menyajikan hasil penelitian ini secara deskripsi dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai penulisan ilmiah. Dalam penelitian ini tranferabilitas setiap data yang diperoleh langsung ditabulasi dan dianalisis sehingga penulisan penelitian ini rinci dari awal hinga akhir. 3. Dependabilitas Dependabilitas dalam penelitian ini salah satu penilaiannya melakukan pemeriksaan (audit) dependabilitas itu sendiri. Pengecekan atau penilaian 50 ketepatan peneliti dalam mengkonseptualisasikan apa yang diteliti merupakan cerminan dari kemantapan dan ketepatan menurut standar reliabilitas penelitian. Keseluruhan proses penelitian, baik dalam kegiatan pengumpulan data, interpretasi temuan maupun dalam melaporkan hasil oleh peneliti merupakan konsistensi yang akan semakin memenuhi standar dependabilitas. Dalam penelitian ini pemeriksaan dilakukan oleh auditor independen, yaitu pembimbing penelitian dengan memberikan masukan terhadap seluruh hasil penelitian pada peneliti. 4. Konfirmabilitas Konfirmabilitas pada penelitian ini lebih terfokus pada pemeriksaan kualitas dan kepastian hasil penelitian, apakah benar berasal dari pengumpulan data di lapangan. Pemeriksaan konfirmabilitas ini dilakukan dengan pemeriksaan dependabilitas yang dilakukan peneliti dengan menghubungi informan jika dirasakan ada hal-hal yang kurang lengkap. Definisi Operasional Definisi operasional adalah penjelasan pengertian tentang beberapa peubah yang diukur yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Penelitian ini terdiri dari empat kelompok peubah yang akan diteliti, yaitu: 1) karakteristik orang tua tunggal, 2) lingkungan, 3) pola komunikasi orang tua tunggal dan anak, dan 4) kemandirian anak. 1. Karakteristik Orang Tua Tunggal adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang tua tunggal, meliputi : a. Usia adalah jumlah tahun hidup orang tua tunggal pada saat dilakukan wawancara penelitian. b. Jumlah Anak adalah keseluruhan anak yang menjadi tanggungan orang tua tunggal. c. Pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi yang pernah diselesaikan oleh orang tua tunggal. d. Pekerjaan adalah bentuk kegiatan utama mencari nafkah yang dilakukan oleh orang tua tunggal sebagai sumber perolehan pendapatan. 51 e. Pendapatan adalah rata-rata perolehan per bulan yang diterima oleh orang tua tunggal, baik berupa gaji atau sumber pendapatan lain di luar gaji. f. Jumlah Anak adalah keseluruhan anak yang menjadi tanggungan orang tua tunggal. g. Lamanya waktu bekerja adalah rata-rata jumlah jam orang tua tunggal bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga dan bekerja mencari nafkah . h. Lamanya melakukan kegiatan sosial adalah jumlah jam orang tua tunggal mengikuti kegiatan kemasyarakatan di luar pekerjaan pokoknya. i. Lamanya penggunaan media massa adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan orang tua tunggal dalam mencari dan menerima informasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah atau tabloid, TV, radio dan internet. 2. Lingkungan adalah tempat anak berinteraksi dengan lingkungan sosial yang terdiri dari : a. Keluarga luas adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan ayah dan ibu dari anak, yaitu kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu. Penelitian ini melihat interaksi anak dengan keluarga luas yang dikategorikan menjadi (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. b. Sekolah adalah tempat anak menempuh pendidikan formal yang dibedakan menjadi sekolah negeri dan sekolah swasta. c. Teman sebaya (peer group) adalah teman yang berusia kurang lebih sama dengan anak yaitu teman sekolah, teman sepermainan yang tinggal di sekitar rumah dan teman yang dikenal di tempat anak melakukan kegiatan ekstra baik di dalam maupun di luar sekolah. Penelitian ini melihat interaksi anak dengan teman sebaya yang dikategorikan menjadi (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. d. Media massa adalah sarana untuk memperoleh informasi dan hiburan yang bisa diakses oleh semua orang secara cepat yang berupa media massa cetak dan elektronik yaitu surat kabar, majalah, tabloid, radio dan televisi. Penelitian ini melihat intensitas penggunaan media massa oleh anak yang dikategorikan menjadi (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. 52 3. Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dan Anak adalah hubungan komunikasi interpersonal antara orang tua tunggal dan anaknya yang dilihat berdasarkan teknik komunikasi, hubungan komunikator dan komunikan, arah komunikasi, pembentukan makna pesan, faktor pembentuk sikap dan perilaku. Semua item pada variabel ini dituangkan dalam kuesioner dan dilakukan skoring untuk dikategorikan menjadi pola komunikasi (a) linier, (b) interaksi, dan (c) transaksi. Pola komunikasi ditetapkan dengan rata-rata skor sebagai berikut : 0 - < 1 = pola komunikasi linier, 1,5 - < 2,5 = pola komunikasi interaksi, = 2,5 = pola komunikasi transaksi. 4. Kemandirian anak adalah kemampuan anak yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. Berinisiatif : yang dilihat adalah apakah anak mempunyai inisiatif untuk mengerjakan sesuatu untuk kepentingannya sendiri. b. Memutuskan sendiri dan mampu memilih : yang dilihat adalah apakah anak bisa memutuskan sendiri hal- hal yang menyangkut kepentingan sendiri kemudian menentukan pilihan dengan tepat sesuai dengan keadaan dirinya. c. Mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain : yang dilihat adalah apakah anak mau mengerjakan sesuatu yang bisa dilakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Ketiga aspek kemandirian tersebut dituangkan dalam kuesioner dan dilakukan skoring untuk dikategorikan menjadi (1) kurang mandiri, (2) cukup mandiri, dan (3) sangat mandiri. Kemandirian anak ditetapkan dengan rata-rata skor sebagai berikut : 0 - < 1 = kurang mandiri, 1,5 - < 2,5 = cukup mandiri, = 2,5 = sangat mandiri. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Secara administratif Kota Yogyakarta berada di bawah pemerintahan Propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang merupakan propinsi terkecil setelah Propinsi DKI Jakarta. Luas Propinsi DIY 3.185.80 km² atau 0,17 persen dari luas Indonesia. Luas Kota Yogyakarta 32,50 km² atau 1,02 persen dari luas Propinsi DIY. Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan atau desa. Kota Yogyakarta terletak di daerah dataran lereng aliran gunung Merapi dan memiliki kemiringan lahan yang relatif datar (antara 0-2 %). Kota Yogyakarta merupakan salah-satu wilayah yang letaknya sangat strategis dengan ketinggian rata-rata 114 m dari permukaan laut. Sebagian wilayah dengan luas 1.657 ha terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1.593 ha berada pada ketinggian antara 100-199 m di atas permukaan air laut. Curah hujan berkisar antara 1,88 mm – 39,85 mm per hari yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Suhu udara rata-rata 26,93 °C dengan kelembaban udara 49,2 – 95,1. Terdapat tiga sungai yang mengalir dari arah utara ke selatan yaitu sungai Gajahwong yang mengalir di bagian timur kota, sungai Code di bagian tengah dan sungai Winongo di bagian barat kota. Batas wilayah Kota Yogyakarta adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sleman, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo. Penduduk Kebanyakan pendud uk kota Yogyakarta bekerja di bidang jasa dan perdagangan . Hal ini dikarenakan Kota Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata ke dua di Indonesia sesudah Bali. Banyak wisatawan mengunjungi Yogyakarta baik wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2004 penduduk Kota Yogyakarta 398.004 orang dengan kepadatan penduduk 12.246/km². Komposisi penduduk 54 didominasi usia dewasa (20-24 tahun) sebesar 16,26 persen dan lansia berusia 60 tahun ke atas sebesar 18.13 persen, yang terdiri dari 7,98 persen laki- laki dan 10,15 persen perempuan. Dari data ini nampak bahwa penduduk Kota Yogyakarta mempunyai usia harapan hidup yang tinggi. Perempuan mempunyai usia harapan hidup lebih tinggi dari pada laki- laki. Tabel 1 menunjukkan jumlah penduduk berdasarkan status perkawinan dan jenis kelamin. Jumlah laki- laki yang belum kawin lebih banyak dari pada perempuan meskipun selisihnya hanya 6,85 persen. Prosentase laki- laki yang menikah tidak terlalu jauh bedanya dengan perempuan. Perbedaan sangat besar terlihat pada jumlah perempuan yang cerai hidup, yaitu lebih dari tiga kali jumlah laki- laki yang cerai hidup. Artinya, banyak perempuan yang menggugat cerai suaminya. Berbagai faktor, seperti suami kurang bertanggung jawab dan status istri yang bekerja nafkah, nampaknya mendorong keberanian perempuan untuk menggugat cerai suaminya. Jumlah perempuan yang cerai mati lima kali lebih banyak dari pada laki- laki. Hal ini nampaknya berkaitan dengan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dari pada laki- laki. Tabel 1. Penduduk Berdasarkan Status Perkawinan dan Jenis Kelamin di Kota Yogyakarta, Tahun 2004 Status Perkawinan Laki-laki n Belum Kawin 87.280 Kawin 73.352 Cerai hidup 873 Cerai mati 2.919 Jumlah 164.424 Sumber : Susenas 2004 % 53,08 44,61 0,53 1,78 100 Perempuan n 85.359 80.950 2.659 15.652 184.620 % 46,23 43,85 1,44 8,48 100 Jumlah n 172.639 154.302 3.532 18.571 349.044 % 49,46 44,21 1,01 5,32 100 Tingkat Pendidikan Penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA mempunyai prosentase terbesar yaitu 37,53 persen, terdiri dari 19,08 persen laki- laki dan 18,45 persen perempuan, sedangkan penduduk dengan tingkat pendidikan D3 hanya 3,87 persen, terdiri dari 1,86 persen laki- laki dan 2,01 persen perempuan, dan S1 sebanyak 7,27 persen yaitu 4,17 persen laki- laki dan 3,10 persen perempuan. Secara umum pada tingkat pendidikan sesudah SLTP, prosentase laki- laki lebih 55 besar dibandingkan perempuan. Sedangkan pada tingkat pendidikan dasar, dari SD hingga SMP, prosentase perempuan lebih besar dari pada laki- laki. Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan tertinggi penduduk Kota Yogyakarta adalah SLTA meskipun di kota ini banyak terdapat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sementara itu, akses laki- laki terhadap pendidikan lebih besar dibandingkan perempuan. Sebagian besar orang tua dari kalangan bawah lebih mengutamakan anak laki- laki untuk me nempuh pendidikan tinggi karena kelak akan menjadi kepala rumah tangga yang harus bertanggung jawab dan menafkahi keluarga. Sedangkan anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi karena kelak sesudah menikah tidak berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Mata Pencaharian Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pariwisata, kota budaya, kota pelajar dan pusat pemerintahan Propinsi DIY. Sumber mata pencaharian utama penduduk yang terbanyak yaitu sebesar 52,01 persen adalah pada sektor jasa, menyus ul kemudian 27,94 persen sektor perdagangan. Perempuan lebih banyak bekerja di sektor jasa yaitu sebesar 50,58 persen, sedangkan laki- laki 53,13 persen. Laki- laki yang bekerja di sektor perdagangan sebanyak 22,92 persen, sedangkan perempuan 34,35 persen. Perempuan lebih berperan di sektor perdagangan. Di pasar-pasar besar dan sentra penjualan cinderamata untuk wisatawan memang lebih banyak dijumpai pedagang perempuan dibandingkan pedagang laki- laki.. Perceraian di Kota Yogyakarta Perceraian adalah salah-satu penyebab terjadinya keluarga tidak utuh dengan adanya hanya satu orang tua dalam keluarga yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan orang tua tunggal. Jumlah orang tua tunggal meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perceraian dari tahun ke tahun. Data perceraian di Kota Yogyakarta menunjukkan cerai gugat dari tahun ke tahun selalu lebih banyak dari pada cerai talak dan jumlah terbesar 56 terjadi pada tahun 2002. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan angka perceraian lima tahun terakhir di kota Yogyakarta. Tabel 2. Angka Perceraian di Kota Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005 Tahun Cerai Talak Cerai Gugat Jumlah 269 302 255 184 290 381 372 352 309 413 112 2001 70 2002 97 2003 125 2004 123 2005 Sumber : Pengadilan Agama Yogyakarta, 2005 Alasan Perceraian Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Kota Yogyakarta terdapat lima penyebab perceraian, yaitu moral, meninggalkan kewajiban, terus- menerus berselisih, murtad dan zina. Moral meliputi krisis akhlak, poligami tidak sehat dan cemburu. Krisis akhlak adalah perilaku seperti berjudi, mabuk atau sering keluar malam sehingga suami melupakan kewajiban sebagai kepala keluarga yang seharusnya menjadi tokoh panutan dalam keluarganya. Meninggalkan kewajiban disebabkan oleh kawin paksa, tidak memenuhi kewajiban secara ekonomi, tidak bertanggungjawab, melakukan penganiayaan, dihukum dan menderita cacat biologis. Kebanyakan alasan perceraian dalam kategori ini adalah suami tidak bertanggungjawab, disusul kemudian oleh meninggalkan kewajiban secara ekonomi. Terus menerus berselisih disebabkan oleh pihak ke tiga dan tidak harmonis. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai pihak ke tiga adalah orang tua atau keluarga yang ikut campur tangan dalam kehidupan perkawinan pasangan suami istri dan juga hadirnya pria atau wanita lain yang mendorong terjadinya perselingkuhan. Dua alasan terbesar penyebab perceraian adalah suami tidak bertanggung jawab (45%) dan rumah tangga tidak harmonis (17%). Kebanyakan suami tidak bertanggungjawab secara ekonomi atau tidak menafkahi is tri karena tidak mempunyai pekerjaan tetap (Lihat Lampiran 1). 57 Karakteristik Laki-laki dan Perempuan yang Bercerai Karakteristik laki- laki dan perempuan yang bercerai di Pengadilan Agama Yogyakarta dikelompokkan berdasarkan umur, pendidikan terakhir dan jenis pekerjaan. Umur berkisar antara kurang dari 25 tahun sampai lebih dari 68 tahun, pendidikan dimulai dari yang but a huruf (tidak bersekolah) sampai jenjang pendidikan S2, dan jenis pekerjaan ada beberapa macam termasuk seniman, sopir dan Satpam (Lihat lampiran 3 dan 4) Usia laki- laki dan perempuan yang bercerai rata-rata antara 25 sampai 46 tahun. Laki- laki yang bercerai pada usia 25-35 tahun sebesar 42,3 persen, sedangkan yang berusia 36-46 tahun sebesar 37.8 persen. Sebagian besar perempuan (48,1 %) bercerai pada usia antara 25 sampai 35 tahun, sedangkan 33,2 persen bercerai pada usia 36-46 tahun. Angka perceraian menurun pada usia 47-57 tahun, pada laki- laki 11,1 persen dan pada perempuan 5,7 persen. Angka perceraian pada usia kurang dari 25 tahun adalah 6,38 persen laki- laki dan 12,2 persen perempuan Sebagian besar laki- laki dan perempuan yang bercerai berpendid ikan SMU yaitu 52,3 persen laki- laki dan 49,6 persen perempuan. Angka perceraian menurun pada tingkat pendidikan S1, yaitu 1,3 persen laki- laki dan 2,4 persen perempuan. Pada tingkat pendidikan yang lebih rendah yaitu SD terdapat 11,6 persen laki- laki dan 9,7 persen perempuan yang bercerai. Dari data ini terlihat bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi keputusan bercerai. Pada tingkat pendidikan menengah, yaitu SMU terjadi banyak perceraian, kemudian disusul di bawahnya adalah pendidikan dasar setingkat SD sedangkan angka perceraian paling kecil terjadi di tingkat pendidikan S1. Sebagian besar laki- laki dan perempuan yang bercerai bekerja sebagai karyawan swasta dan wiraswasta. Laki- laki dan perempuan yang bekerja sebagai karyawan swasta masing- masing sebanyak 36,9 persen. Laki- laki wiraswasta 22,6 persen sedangkan perempuan 22,2 persen. Laki- laki dan perempuan bercerai yang berasal dari kalangan PNS tidak banyak jumlahnya, yaitu 3,34 persen laki- laki dan 4,22 persen perempuan. Buruh yang bercerai juga tidak banyak jumlahnya yaitu laki- laki 8,4 persen dan perempuan 4,3 persen. 58 Jumlah yang lebih besar adalah laki- laki yang diceraikan istrinya karena tidak bekerja yaitu 18 persen. Perempuan yang melakukan cerai gugat kebanyakan adalah perempuan yang bekerja sedangkan perempuan yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) biasanya diceraikan oleh suaminya (cerai talak). Rata-rata jumlah perempuan ibu rumah tangga yang bercerai antara tahun 2001 sampai 2005 sebesar 28,2 persen, sedangkan rata-rata jumlah perempuan bekerja yang bercerai sebanyak 66,1 persen. Data ini menggambarkan bahwa tanpa adanya kemampuan finansial, seperti yang terjadi pada ibu rumah tangga, seorang perempuan akan selalu tergantung pada suami secara ekonomi sehingga tidak mempunyai keberanian mengambil keputusan untuk menggugat cerai suaminya. Jumlah Anak dari Keluarga Bercerai Pasangan suami istri yang bercerai rata-rata memiliki sejumlah anak dari hasil perkawinannya. Kebanyakan keluarga yang bercerai mempunyai satu anak. Sedikit di antara mereka yang memiliki lebih dari tiga anak. Keputusan bercerai memerlukan banyak pertimbangan ketika ada lebih banyak anak dalam keluarga. Tabel 3. Jumlah Anak dari Keluarga yang Bercerai di Pengadilan Agama, Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005 Jumlah Anak (Orang) 2001 2002 a. 1 42 33 b. 2 22 17 c. > 3 2 Sumber : Pengadilan Agama Yogyakarta, 2005 Tahun 2003 2004 2005 49 37 - 57 36 - 73 22 1 Karakteristik Anak dari Keluarga Bercerai Karakteristik anak dari keluarga bercerai dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Jumlah yang terbesar, yaitu rata-rata 40,3 persen, berada pada usia 5 sampai 10 tahun yang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan kecuali pada tahun 2002 dan 2004 terjadi penurunan sekitar satu persen. sedangkan rata-rata 39,1 persen berusia kurang dari 5 tahun. 59 Sementara itu secara umum jika dilihat dari jenis kelamin, jumlah anak laki- laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Hanya pada tahun 2001 dan 2002, jumlah anak perempuan lebih banyak dari pada anak laki- laki. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jumlah yang besar antara anak laki- laki dan anak perempuan. Tabel 4. Karakteristik Anak dari Keluarga Bercerai di Pengadilan Agama, Yogyakarta, Tahun 2001 - 2005 Karakteristik Anak 2001 n % 2002 n % A. Usia (tahun) a. < 5 39 40,6 33 47,1 b. 5 - 10 35 36,5 25 35,7 c. 11 - 15 20 20,8 10 14,4 d. > 15 2 2,1 2 2,8 Jumlah 96 100 70 100 B. Jenis Kelamin a. Laki-laki 46 47,9 34 48,6 b. Perempuan 50 52,1 36 51,4 Jumlah 96 100 70 100 Sumber : Pengadilan Agama Yogyakarta, 2005 Tahun 2003 n % n 2004 % n 2005 % 44 55 25 8 132 33,3 42 41,7 53 18,9 30 6,1 7 100 132 31,8 55 40,2 61 22,7 10 5,3 3 100 129 42,6 47,3 7,8 2,3 100 75 57 132 56,8 77 43,2 55 100 132 58,3 70 41,7 59 100 129 54,3 45,7 100 Rata-rata jumlah anak yang berada dalam pengasuhan ibu adalah 89,7 persen sedangkan yang diasuh ayah 6,51 persen. Kebanyakan anak yang diasuh ibu berusia di bawah 5 tahun (32,2 %) dan antara 5 sampai 10 tahun (41,3 %) dan yang berusia antara 11 sampai 15 tahun 14,4 persen. Di sini jelas terlihat lebih banyak anak berada dalam pengasuhan ibu terutama yang berusia sampai 11 tahun (Lihat lampiran 5). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Orang Tua Tunggal Responden dalam penelitian ini adalah ibu sebagai orang tua tunggal dan anaknya yang masing- masing berjumlah 25 orang yang bertempat tinggal di Kota Yogyakarta. Karakteristik orang tua tunggal dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lamanya bekerja, lamanya penggunaan media, dan lamanya mengikuti kegiatan sosial. Lampiran 6 memperlihatkan bahwa jumlah responden paling banyak (48%) berusia antara 36-46 tahun, berpendidikan SMU (40 %), bekerja sebagai karyawan swasta (44 %) dengan penghasilan kurang dari Rp. 1 juta (52 %). Lama waktu bekerja di luar rumah berkisar antara 8–10 jam (72 %). Jumlah responden yang menggunakan media lebih dari 7 jam dan antara 13 jam dalam seminggu adalah sama yaitu 28 persen. Rata-rata mereka lebih suka membaca dari pada menonton televisi, yaitu 31,2 persen suka membaca surat kabar sementara 20 persen suka menonton berita di televisi. Lebih dari setengah jumlah responden menghabiskan 2-4 jam seminggu untuk melakukan kegiatan sosial. Responden yang tidak mengikuti kegiatan sosial hampir setengah dari jumlah responden yaitu 40 persen. Sedangkan jumlah responden yang menghabiskan 5-7 jam seminggu untuk berkegiatan sosial hanya sebanyak 8 persen. Kegiatan sosial yang paling banyak dilakukan oleh orang tua tunggal adalah kegiatan di lingkungan sekitarnya yaitu PKK yang dilakukan secara rutin sebulan sekali. Kegiatan lain yang juga banyak diminati oleh orang tua tunggal adalah kegiatan rohani berupa pengajian-pengajian. Sebanyak 16,2 persen bergabung dengan supporting group yang dikoordinir oleh LSM perempuan dengan tujuan memberikan bantuan dalam menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan perceraian, konflik dengan mantan pasangan dan pengasuhan anak. Jenis bacaan yang paling digemari oleh orang tua tunggal adalah surat kabar yang dimaksudkan untuk mendapatkan berita dan menambah wawasan. Tabloid adalah jenis bacaan ke dua yang paling digemari. Selebihnya jenis bacaan tergantung pada minat seperti filsafat, kesehatan, hobi dan sebagainya. 61 Jenis tontonan yang paling digemari adalah berita disusul kemudian dengan infotainment, film dan sinetron. Jenis tontonan ini menunjukkan tujuan penggunaan media massa adalah untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Karakteristik Responden Anak Karakteristik responden anak ditunjukkan pada Lampiran 7 yang meliputi jenis kelamin, usia, jumlah saudara, status sekolah dan lamanya penggunaan media . Responden anak diambil satu dari setiap keluarga karena di dalam keluarga dengan dua anak atau lebih hanya ditemukan satu orang anak yang sesuai dengan kriteria usia yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu 7-12 tahun. Beberapa anak berstatus sebagai anak sulung dengan adik berusia kurang dari 7 tahun, sedangkan yang lain berstatus sebagai anak bungsu dengan kakak yang berusia lebih dari 12 tahun, bahkan ada yang sudah kuliah atau berkeluarga. Kebanyakan responden anak berjenis kelamin perempuan dan berusia antara 10 – 12 tahun. Sebagian besar responden (40 %) merupakan anak tunggal. Jika dilihat dari sekolahnya, maka sebagian besar responden anak bersekolah di SD, hanya ada tiga orang anak yang bersekolah di SMP dengan usia 12 tahun. Jenis sekolah dibedakan menjadi sekolah negeri dan sekolah swasta. Jumlah responden yang bersekolah di sekolah negeri tidak berbeda jauh dengan yang bersekolah di sekolah swasta. Selain bersekolah, anak-anak mengisi waktu luang dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan minat, ketersediaan waktu serta biaya. Kegiatan Pramuka merupakan kegiatan wajib dari sekolah yang harus diikuti anak-anak kelas 4-6 SD. Di luar kegiatan tersebut, kebanyakan anak mengikuti kegiatan kesenian dan olah raga. Lebih banyak anak perempuan mengikuti kegiatan kesenian sedangkan kegiatan olah raga lebih banyak diikuti anak lakilaki. Jenis bacaan yang disukai baik oleh anak laki- laki maupun anak perempuan adalah komik yang sering difilmkan sebagai film kartun di televisi, seperti Dora Emon, Tsubasa, Scoby Doo dan Detektif Conan. Selain membaca komik, anak perempuan juga suka membaca majalah anak. 62 Tontonan yang paling digemari baik oleh anak perempuan maupun anak laki- laki adalah film kartun. Reality show seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar), Indonesian Idol dan Pildacil (Pemilihan Dai Kecil) lebih digemari anak perempuan. Lebih banyak anak perempuan menyukai sinetron dibandingkan anak laki- laki. Sinetron yang ditonton anak bertema komedi dan kehidupan remaja. Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal Pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua tunggal dapat dikategorikan menjadi linier, interaksi dan transaksi. Beberapa situasi yang dihadapi dalam kehidupan sehari- hari mendorong penggunaan pola komunikasi yang berbeda. Dengan demikian satu orang tua tunggal dapat menggunakan lebih dari satu pola komunikasi. Tabel 5. Pola Komunikasi pada berbagai Situasi Komunikasi, Yogyakarta, 2006 Situasi Komunikasi Pola Komunikasi Interaksi Transaksi n % n % Linier n % Jumlah n % Menghadapi anak yang mempunyai masalah dengan teman. 2 8 17 68 6 24 25 100 Menghadapi anak yang prestasi belajarnya menurun. 2 8 15 60 8 32 25 100 Mengatur uang saku anak. 3 12 9 36 13 52 25 100 Tidak bisa memenuhi permintaan anak. 2 8 16 64 7 28 25 100 Mengajar anak memanfaatkan waktu 4 16 9 36 12 48 25 100 Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum penggunaan pola komunikasi interaksi lebih dominan dibandingkan penggunaan pola komunikasi linier maupun pola komunikasi transaksi kecuali pada situasi pengaturan uang saku anak dan pemanfaatan waktu luang anak penggunaan pola komunikasi transaksi lebih dominan. Sementara itu, pola komunikasi interaksi paling banyak digunakan 63 ketika menghadapi anak yang bermasalah dengan teman, prestasi belajar anak menurun dan jika orang tua tidak bisa memenuhi permintaan anak. Komunikasi yang bersifat dua arah atau dialogis lebih tepat digunakan pada situasi tersebut karena lewat komunikasi dua arah, orang tua bisa memberikan pengertian kepada anak tentang situasi yang dihadapi. Meskipun ditemukan variasi penggunaan beberapa pola komunikasi sesuai dengan situasi yang dihadapi, secara umum bisa ditentukan kecenderungan penggunaan pola komunikasi yang dominan berdasarkan jawaban kuesioner dan hasil wawancara. Tabel 6 memperlihatkan sebaran pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua tunggal yang menjadi responden penelitian ini. Tabel 6. Kecenderungan Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal Pola Komunikasi Linier Interaksi Transaksi Jumlah Jumlah (25) 3 13 9 25 Persentase (%) 12 52 36 100 Secara umum pola komunikasi interaksi paling dominan digunakan oleh orang tua tunggal. Menurut Fisher (1986), pola komunikasi interaksi menekankan pentingnya interaksi dalam pembentukan sikap atau perilaku. Konsep diri anak terbentuk melalui interaksinya dengan lingkungan terdekatnya, terutama keluarga. Dialog adalah suatu bentuk interaksi yang terjadi di antara peserta komunikasi. Pola komunikasi interaksi ditandai dengan terjadinya dialog antara peserta komunikasi yang berarti bersifat dua arah. Melalui dialog pula bisa dibentuk sikap dan perilaku anak seperti yang terungkap dari wawancara dengan O3 yang menyatakan bahwa anaknya bersedia melanjutkan mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) setelah berdialog dengan ibu seperti pernyataannya di bawah ini. “Dia ikut TPA dulu saya suruh. Biar pinter baca Al Quran. Banyak temannya yang sudah berhenti dari TPA. Dia pengin nggak usah TPA lagi, terus saya bilang kalau saya nggak bisa baca Quran, kalau bodoh semua gimana? Apalagi dia cowok kan besok harus bisa membimbing, terus dia bilang : O, ya, ya. Dia mau. Bangkit lagi. Kalau dibiarkan maunya cuma sampai kelas empat.” 64 Pada pola komunikasi interaksi, anak dapat menyampaikan keinginan dan pendapatnya secara terbuka sedangkan ibu memberikan reaksi positif kemudian secara perlahan mengarahkan anak kepada satu pengertian yang diinginkan ibu untuk dilakukan oleh anak. Dengan demikian terjadi dialog tidak setara yang artinya ada salah-satu pihak yang lebih dominan yang dalam hal ini adalah orang tua. Menurut DeVito (1997), pola komunikasi seperti ini disebut the unbalanced split pattern karena ada salah satu pihak yang mendominasi pihak lain dan menuntutnya agar melakukan apa yang diinginkannya. Pola komunikasi transaksi menempati urutan kedua sebagai pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal dalam penelitian ini. Salah satu ciri pola komunikasi transaksi menurut Cangara (2004) adalah semua peserta komunikasi aktif. Orang tua dan anak mempunyai posisi sejajar dalam menghadapi berbagai situasi. Anak diberi kesempatan untuk berperanserta dalam memutuskan sesuatu dalam porsi yang seimbang dengan orang tua. Misalnya dalam pengaturan uang saku anak diputuskan bersama oleh orang tua dan anak dengan jumlah yang dianggap sesuai untuk anak. Persepsi anak dan orang tua tentang jumlah uang saku yang sesuai tentu saja berbeda tetapi mereka harus mencapai kesepakatan bersama mengenai hal itu. Situasi ini sesuai dengan model konvergensi dari Rogers dan Kincaid (1981) yang memandang komunikasi sebagai transaksi di antara partisipan yang akan menghasilkan pengertian bersama. Pola komunikasi linier ternyata masih digunakan orang tua sampai saat ini meskipun tingkat penggunaannya oleh orang tua tunggal sedikit. Dari wawancara dengan responden diketahui bahwa komunikasi linier dinilai sangat tepat untuk mendisiplinkan anak dalam melakukan kegiatan sehari- hari. Teknik instruktif digunakan untuk menyuruh anak melakukan kegiatan sehari- hari sedangkan untuk menyuruh anak belajar secara teratur digunakan teknik persuasi dengan menjelaskan bahwa anak yang pintar kelak akan mempunyai lebih banyak pilihan dalam menentukan bidang pekerjaan yang akan ditekuni. Paksaan dan ancaman hukuman ternyata juga digunakan oleh orang tua tunggal yang menggunakan pola komunikasi linier seperti pengakuan O5 berikut ini : 65 “ Saya akan berusaha dengan berbagai cara supaya anak saya menuruti keinginan saya. Kalau dia harus tidur siang, bagaimanapun caranya harus tidur, kalau perlu dicubit. Kalau waktunya mandi, saya paksa dia mandi, biasanya saya hitung satu sampai tiga sambil saya bawa sulak atau sapu. Kalau sampai hitungan tiga dia belum juga mandi, sapu saya pukulkan ke dinding dan dia akan lari masuk kamar mandi.” Hubungan Lingkungan dan Pola Komunikasi Penelitian ini melihat bagaimana faktor lingkungan menentukan kecenderungan penggunaan suatu jenis pola komunikasi oleh orang tua tunggal. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena- fenomena yang muncul di lapangan. Tabel 7. Faktor Lingkungan dan Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006 Faktor Lingkungan Linier n % Keluarga Luas Interaksi rendah Interaksi sedang Interaksi tinggi Jumlah Sekolah Negeri Swasta Jumlah Teman Sebaya Interaksi rendah Interaksi sedang Interaksi tinggi Jumlah Media massa Intensitas rendah Intensitas sedang Intensitas tinggi Jumlah Pola Komunikasi Interaksi Transaksi n % n % Jumlah n % 1 1 1 3 4 4 4 12 3 6 4 13 12 24 16 52 4 5 9 16 20 36 4 11 10 25 16 44 40 100 3 3 12 12 8 5 13 32 20 52 5 4 9 20 16 36 13 12 25 52 48 100 1 1 1 3 4 4 4 12 6 7 13 24 28 52 4 5 9 16 20 36 1 11 13 25 4 44 52 100 3 3 12 12 1 2 10 13 4 8 40 52 9 9 36 36 1 2 22 25 4 8 88 100 Tabel 7 menunjukkan bahwa orang tua tunggal berinteraksi dengan keluarga luas dalam tingkat yang berbeda tetapi sebagian besar (44 %) berinteraksi sedang. Pola komunikasi linier digunakan pada semua tingkat interaksi secara merata, pola komunikasi interaksi digunakan lebih banyak pada interaksi sedang, sementara pada interaksi tinggi lebih banyak digunakan pola komunikasi 66 transaksi. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Olsen (1974) di Taiwan yang menyatakan bahwa keterlibatan keluarga luas dalam pengasuhan anak mempengaruhi orang tua menggunakan pola komunikasi linier. Hasil wawancara dengan beberapa responden mengungkapkan bahwa pola komunikasi interaksi dan transaksi digunakan untuk menjaga konsistensi pola pengasuhan anak. Orang tua berdialog dengan anak mengenai perbedaan pola asuh yang terjadi di dalam keluarga mereka dan keluarga luas. Dalam hal ini, anak wajib mengikuti arahan dari orang tua sendiri dan mengabaikan arahan dari keluarga luas jika hal tersebut bertentangan dengan ketentuan dari orang tua. Pola komunikasi linier digunakan dengan tujuan supaya anak patuh dan mau mengikuti petunjuk dari orang tua setelah mengalami pola asuh dan pola komunikasi dari keluarga luas yang berbeda dengan yang digunakan oleh orang tua sendiri. Pola komunikasi interaksi lebih banyak digunakan oleh orang tua tunggal yang anaknya bersekolah di negeri. Dengan pola komunikasi ini anak tidak perlu disuruh belajar karena kepada anak ditanamkan kesadaran bahwa belajar adalah tugas seorang pelajar sehingga anak lebih bertanggungjawab dalam mengerjakan tugas-tugas dan PR (Pekerjaan Rumah) dari sekolah. Tingkat penggunaan pola komunikasi transaksi tidak berbeda jauh di kalangan orang tua tunggal yang anaknya bersekolah di negeri dan swasta. Pola komunikasi transaksi cenderung digunakan untuk menanamkan kesadaran kepada anak tentang pentingnya belajar. Temuan me narik penelitian ini adalah pola komunikasi linier hanya digunakan oleh orang tua tunggal yang anaknya bersekolah di swasta. Berdasarkan pengamatan di lapangan, hal ini terjadi karena sekolah swasta menerapkan standar prestasi akademis yang tinggi dan penerapan disiplin yang ketat bagi para siswanya. Orang tua merasa khawatir jika anaknya tidak bisa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan oleh pihak sekolah sehingga menggunakan pola komunikasi linier untuk menyuruh anaknya giat belajar dan mematuhi peraturan sekolah. Frekuensi penggunaan pola komunikasi interaksi dan transaksi oleh orang tua tunggal nampak dominan pada interaksi sedang dan tinggi antara anak dengan teman sebaya. Semakin sering anak berinteraksi dengan teman sebaya maka orang tua harus memberi pengertian kepada anak agar tidak mengikuti sikap dan 67 perilaku teman yang kurang baik. Lewat dialog ditekankan bahwa setiap orang mempunyai target dan tujuan hidup yang berbeda sehingga cara bersikap dan berperilaku juga harus berbeda. Berdasarkan pemahaman anak tentang berbagai ragam karakter teman yang mungkin dijumpai mereka di dalam lingkungan pergaulannya, orang tua mengharapkan mereka bisa memilih teman yang baik. Hal ini didasari oleh pemahaman orang tua bahwa teman sebaya sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Menurut Tarmudji (2002), pengaruh buruk yang mungkin muncul sebagai hasil interaksi anak dengan teman sebaya adalah perilaku agresif. Tentu saja orang tua tidak menginginkan pengaruh buruk tersebut terjadi pada anaknya. Pada interaksi rendah dengan teman sebaya nampak hanya digunakan pola komunikasi linier. Dari wawancara terungkap bahwa anak ternyata mempunyai teman sebaya yang berperilaku kurang baik sehingga orang tua menyuruh anak membatasi pergaulannya dengan teman tersebut. Intensitas penggunaan media massa yang tinggi oleh anak ternyata menunjukkan penggunaan ketiga pola komunikasi tetapi pola komunikasi interaksi dan transaksi nampak lebih dominan. Menurut Rakhmat (2001), salah satu pengaruh media massa adalah perilaku agresif. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam menghadapi anak yang menggunakan media massa dalam intensitas tinggi orang tua mengantisipasinya dengan komunikasi dua arah, yaitu interaksi dan transaksi, yang dimaksudkan untuk me mberikan pengertian kepada anak tentang isi pesan media massa yang bertemakan kekerasan dan meminta anak supaya tidak menirunya. Sementara itu, pola komunikasi linier digunakan untuk melarang anak menonton film kartun tertentu ya ng dinilai tidak mendidik. Bahkan beberapa orang tua menetapkan jenis tontonan dan jenis bacaan yang boleh ditonton dan dibaca oleh anak. Sesudah mendapatkan gambaran distribusi frekuensi penggunaan pola komunikasi berdasarkan faktor lingkungan, selanjutnya dilihat kecenderungan penggunaan pola komunikasi secara umum berdasarkan faktor lingkungan anak dengan menunjukkan rata-rata skor pola komunikasi. 68 Tabel 8. Faktor Lingkungan dan Kecenderungan Pola Komunikasi Faktor Lingkungan Nilai Rata-rata Skor Pola Komunikasi Kategori Pola Komunikasi Keluarga Luas Interaksi rendah 1,7 Interaksi Interaksi sedang 2,2 Interaksi Interaksi tinggi 2,3 Interaksi Sekolah Negeri 2,2 Interaksi Swasta 2,1 Interaksi Teman Sebaya Interaksi rendah 1.3 Linier Interaksi sedang 2,2 Interaksi Interaksi tinggi 2,2 Interaksi Media massa Intensitas rendah 2,4 Interaksi Intensitas sedang 1,9 Interaksi Intensitas tinggi 2,2 Interaksi Catatan : Skor 0 - < 1 = Linier, 1,5 - < 2,5 = Interaksi, = 2,5 = Transaksi Berdasarkan skor pola komunikasi pada semua faktor lingkungan maka secara umum pada semua faktor lingkungan yang dihadapi anak terlihat penggunaan pola komunikasi interaksi. Hanya pada satu orang anak yang berinteraksi rendah dengan teman sebaya ditemukan penggunaan pola komunikasi linier oleh orang tua tunggal. Dengan demikian faktor lingkungan anak menyebabkan digunakannya pola komunikasi interaksi oleh orang tua tunggal. Hal ini sejalan dengan pendapat Mulyana (1999) tentang bentuk komunikasi yang bisa digunakan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yaitu bentuk komunikasi yang bisa mencapai tingkat empati optimal. Menurut Fisher (1986), pengertian bersama yang diperoleh melalui empati adalah ciri pola komunikasi interaksi. Hubungan Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Pola Komunikasi Sikap dan faktor personal yang ada dalam diri seseorang atau karakteristik individu menentukan pola komunikasi yang digunakan. Penelitian ini mendeskripsikan pengaruh karakteristik orang tua tunggal terhadap pola komunikasi antara orang tua tunggal dan anak. Tabel 9 menunjukkan distribusi pola komunikasi yang digunakan berdasarkan karakteristik orang tua tunggal. 69 Tabel 9. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Pola Komunikasi, Yogyakarta, 2006 Karakteristik Orang Tua Tunggal A. Usia (tahun) a. 30 - 35 b. 36 - 46 c. 47 - 57 Jumlah B.Jumlah Anak (Orang) a. 1 b. 2 c. 3 d. > 3 Jumlah C. Pendidikan a. SD b. SMP c. SMU d. D1 e. D3 g. S1 h. S2 Jumlah D. Pekerjaan a. Karyawan Swasta b. Wiraswasta c. PNS d. Buruh Jumlah E. Pendapatan (Rp) a. < 1 juta b. 1 - 2 juta c. > 2 juta Jumlah F. Lama Waktu Bekerja (Jam/hari) a. < 8 b. 8 - 10 c. > 10 Jumlah G. Lama Penggunaan Media (Jam/minggu) a. 1 - 3 b. 3 - 5 c. 5 - 7 d. > 7 Jumlah Linier n % Pola Komunikasi Interaksi Transaksi n % n % Jumlah n % 1 2 3 4 8 12 6 5 2 13 24 20 8 52 3 4 2 9 12 16 8 36 10 11 4 25 40 48 16 100 2 1 3 8 4 12 5 6 2 13 20 24 8 52 4 3 1 1 9 16 12 4 4 36 11 10 3 1 25 44 40 12 4 100 1 2 3 4 8 12 1 1 4 1 1 5 13 4 4 16 4 4 20 52 1 4 1 2 1 9 4 16 4 8 4 36 3 1 10 1 2 7 1 25 12 4 40 4 8 28 4 100 1 1 1 3 4 4 4 12 6 2 3 2 13 24 8 12 8 52 4 4 1 9 16 16 4 36 11 7 4 3 25 44 28 16 12 100 1 2 3 4 8 12 7 5 1 13 28 20 4 52 5 3 1 9 20 12 4 36 13 10 2 25 52 40 8 100 1 1 1 3 4 4 4 12 3 9 1 13 12 36 4 52 3 6 9 12 24 36 7 16 2 25 1 1 1 3 4 4 4 12 5 2 3 3 13 20 8 12 12 52 2 2 2 3 9 8 8 8 12 36 7 28 5 20 6 24 7 28 25 100 Berlanjut 28 64 8 100 70 Lanjutan Karakteristik Orang Tua Tunggal Linier n % H. Lama Kegiatan Sosial (Jam/minggu) a. Tidak ada b. 2 - 4 c. 5 - 7 Jumlah 2 1 3 8 4 12 Pola Komunikasi Interaksi Transaksi n % n % 6 6 1 13 24 24 4 52 2 6 1 9 8 24 4 36 Jumlah n % 10 13 2 25 40 52 8 100 Orang tua tunggal berusia 47-57 tahun terlihat hanya menggunakan komunikasi dua arah yaitu interaksi dan transaksi sedangkan pada dua kelompok usia di bawahnya masih terlihat digunakannya pola komunikasi linier. Dari temuan ini nampak bahwa seiring dengan bertambahnya usia membuat orang tua berkomunikasi secara lebih baik dengan anak-anaknya. Hal ini didasari oleh pengalaman mereka dalam hal cara mengasuh anak, baik yang dialami sendiri maupun dari melihat atau membaca informasi dari media massa tentang pola asuh anak. Hal tersebut terungkap dari wawancara dengan O1 dan O2 yang menyatakan bahwa mereka dididik secara otoriter oleh orang tua sehingga tidak ingin melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka sekarang, karena itu mereka cenderung menggunakan pola komunikasi transaksi di dalam berkomunikasi dengan anak. Hal menarik yang ditemukan di sini adalah orang tua tunggal dengan tiga anak atau lebih menggunakan pola komunikasi interaksi dan transaksi. Hal ini berbeda dengan pendapat Gunarsa (1991) yang menyatakan bahwa kepadatan di dalam keluarga menimbulkan kesulitan berkomunikasi sehingga pola hubungan menjadi otoriter yang berarti menunjukkan digunakannya pola komunikasi linier. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan responden penelitian ini ternyata mereka memiliki anak-anak yang sudah dewasa bahkan ada yang sudah berkeluarga sehingga perhatian lebih banyak diarahkan kepada anak bungsu, yaitu yang menjadi subjek penelitian ini sehingga bisa berkomunikasi lebih baik. Ketiga jenis pola komunikasi digunakan oleh orang tua tunggal yang berpendidikan SD dan SMU, tetapi mulai dari D1 hingga S2 hanya menggunakan komunikasi dua arah yaitu D1 sampai S1 menggunakan komunikasi interaksi 71 sedangkan S2 menggunakan komunikasi transaksi. Hal ini menguatkan anggapan Widjaja (1989) dalam Rahmah (2004) yang mengungkapkan bahwa ibu yang berpendidikan akan bersikap lebih baik kepada anak termasuk juga dalam berkomunikasi dengan anak yaitu cenderung menggunakan pola komunikasi dua arah. Pekerjaan dan pendapatan merupakan indikator untuk melihat kelas sosial ekonomi seseorang. Hasil penelitian Olsen (1974) menunjukkan bahwa kelas sosial ekonomi bawah cenderung menggunakan komunikasi linier sementara kelas menengah menggunakan komunikasi dua arah. Data yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa pola komunikasi linier digunakan oleh semua jenis pekerjaan kecuali PNS dan hanya pada orang tua tunggal berpenghasilan lebih dari dua juta rupiah tidak ditemukan penggunaan pola komunikasi linier. Frekuensi penggunaan pola komunikasi interaksi dan transaksi lebih sering ditemukan pada kelas menengah meskipun pada kelas bawah juga ditemukan penggunaan pola komunikasi ini. Dengan demikian komunikasi dua arah cenderung digunakan oleh kelas sosial ekonomi menengah tetapi penggunaan pola komunikasi linier bukan kecenderungan dari kelas bawah. Lebih dari setengah jumlah responden bekerja antara delapan sampai sepuluh jam sehari dan pada kelompok ini terlihat dominan penggunaan pola komunikasi interaksi. Dengan jam kerja yang tidak terlalu lama memungkinkan mereka mempunyai lebih banyak waktu untuk memperhatikan anak-anak mereka, termasuk juga mendengarkan cerita dan keluh kesahnya. Pola komunikasi linier dan interaksi digunakan oleh orang tua tunggal yang bekerja lebih dari sepuluh jam sehari. Fakta ini berbeda dengan hasil penelitian Kohn (1963) dalam Chilman (1988) yang menyatakan bahwa lamanya waktu bekerja menyebabkan orang tua cenderung menuntut kepatuhan anak dan memaksakan kehendak dengan pola komunikasi linier. Berdasarkan pengamatan ternyata orang tua tunggal menggunakan pola komunikasi linier jika jam kerja lama dan tidak mendapat bantuan dari keluarga luas dalam pengasuhan anak. Hal ini bisa dimaklumi karena mereka sudah sangat lelah ketika sampai di rumah sehingga dalam berkomunikasi dengan anak lebih sering menggunakan teknik instruktif, infromatif dan persuasif yang merupakan ciri komunikasi linier. 72 Lama penggunaan media massa oleh orang tua tunggal sangat bervariasi. Hampir sepertiga dari mereka menggunakan media massa lebih dari tujuh jam seminggu. Jumlah yang sama juga menggunakan media massa antara satu sampai tiga jam seminggu. Frekuensi penggunaan pola komunikasi interaksi terlihat dominan pada kelompok yang terakhir ini. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Mulyana (1999) yang menyatakan bahwa keterampilan berkomunikasi bisa diperoleh sebagai hasil dari akses terhadap media massa. Artinya, semakin lama seseorang mengakses media massa maka akan semakin terampil dalam berkomunikasi yang ditunjukkan dengan kecenderungan menggunakan komunikasi dua arah, yaitu interaksi dan transaksi. Ternyata yang ditemukan di sini, orang tua tunggal yang menggunakan media massa antara satu atau tiga jam seminggu, yang bisa dikategorikan rendah, justru menunjukkan penggunaan pola komunikasi interaksi yang dominan. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari mereka menyukai jenis tontonan berita dan jenis bacaan surat kabar, yang tentu saja tidak berperan dalam peningkatan ketrampilan berkomunikasi melainkan hanya sebagai sarana menambah wawasan dan pengetahuan. Kegiatan sosial menjadi sarana bagi orang tua tunggal untuk berinteraksi dengan komunitas di lingkungan sekitar maupun lingkungan profesi. Meskipun demikian lebih dari sepertiga di antara mereka tidak mengikuti kegiatan sosial. Padahal dengan mengikuti kegiatan sosial mereka bisa mendapatkan banyak teman yang siap menampung keluh kesahnya dan memberi banyak nasehat tentang pengasuhan anak. Alasan mereka tidak mengikuti kegiatan sosial adalah karena jam kerja yang panjang dan mempunyai kesibukan mengurus anak, terutama anak balita. Dari data di atas terlihat dominan penggunaan pola komunikasi interaksi, baik pada mereka yang mengikuti kegiatan sosial maupun yang tidak. Pola komunikasi linier lebih banyak digunakan oleh mereka yang tidak mengikuti kegiatan sosial sebaliknya tidak terlihat digunakan oleh mereka yang mengikuti kegiatan sosial lebih lama, yaitu 5-7 jam seminggu. Kelihatannya partisipasi orang tua tunggal dalam kegiatan sosial mendorong mereka menggunakan pola komunikasi interaksi, tetapi lamanya mengikuti kegiatan sosial tidak menentukan digunakannya pola komunikasi tertentu. 73 Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana karakteristik orang tua tunggal menentukan digunakannya suatu pola komunikasi maka ditunjukkan kecenderungan pola komunikasi seperti pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kecenderungan Pola Komunikasi Karakteristik Individu Rata-rata Skor Pola Komunikasi Kategori Pola Komunikasi A. Usia (tahun) a. 30 - 35 2,2 Interaksi b. 36 - 46 2,1 Interaksi c. 47 - 57 2,5 Transaksi B.Jumlah anak (orang) a. 1 2,2 Interaksi b. 2 2,0 Interaksi c. 3 2,3 Interaksi d. > 3 3,0 Transaksi C. Pendidikan a. SD 2,1 Interaksi b. SMP 1,8 Interaksi c. SMU 2,2 Interaksi d. D1 1,7 Interaksi e. D3 2,4 Interaksi f. S1 2,2 Interaksi g. S2 2,9 Transaksi D. Pekerjaan a. Karyawan Swasta 2,2 Interaksi b. Wiraswasta 2,3 Interaksi c. PNS 2,2 Interaksi d. Buruh 1,7 Interaksi E. Pe ndapatan (Rp) a. < 1 juta 2,2 Interaksi b. 1 - 2 juta 2,1 Interaksi c. > 2 juta 2,4 Interaksi F. Lama Waktu Bekerja ( Jam/hari) a. < 8 2,2 Interaksi b. 8 - 10 2,2 Interaksi c. > 10 1,6 Interaksi G. Lama Penggunaan Media (Jam/minggu) a. 1- 3 2,0 Interaksi b. 3 - 5 2,2 Interaksi c. 5 - 7 2,2 Interaksi d. > 7 2,3 Interaksi H.Lama Kegiatan Sosial (Jam/minggu) a. Tidak ada 2,1 Interaksi b. 2 - 4 2,2 Interaksi c. 5 - 7 2,4 Interaksi Catatan : Skor 0 - < 1 = Linier, 1,5 - < 2,5 = Interaksi, = 2,5 = Transaksi 74 Dari Tabel 10 terlihat bahwa karakteristik orang tua tunggal yang menentukan penggunaan pola komunikasi adalah usia, jumlah anak dan pendidikan. Pola komunikasi transaksi digunakan oleh orang tua tunggal berusia 47-57 tahun, mempunyai anak lebih dari tiga orang dan berpendidikan S2. Pola komunikasi interaksi terlihat dominan berdasarkan karakteristik orang tua tunggal. Kemandirian Anak Terbentuknya kemandirian anak adalah tujuan dari pendidikan yang dilakukan oleh orang tua. Gambaran kemandirian anak dilihat berdasarkan aspek inisiatif, kemampuan memutuskan (keputusan) dan kesediaan mengerjakan sendiri (tindakan) sedangkan kategori tingkat kemandirian anak dibedakan menjadi kurang mandiri, cukup mandiri dan sangat mandiri. Tabel 11 menyajikan distribusi aspek kemandirian anak berdasarkan kategori tingkat kemandirian anak. Tabel 11. Distribusi Aspek Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006 Kemandirian Anak Kurang mandiri Cukup mandiri Sangat mandiri Jumlah Aspek Kemandirian Inisiatif Keputusan n % n % 6 19 25 24 76 100 8 17 25 32 68 100 Tindakan n 1 13 11 25 % 4 52 44 100 Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar anak sangat mandiri dalam berinisiatif dan membuat keputusan, sedangkan pada aspek tindakan terlihat anak cukup mandiri. Secara keseluruhan terlihat sebagian besar anak sangat mandiri. Hanya ditemukan satu anak yang kurang mandiri dalam aspek tindakan, namun dengan mempertimbangkan dua aspek lainnya maka secara umum anak tetap dikategorikan cukup mandiri. Fakta bahwa semua anak mandiri sesuai dengan pendapat Erikson dalam Lie dan Prasasti (2004) bahwa pada usia 6 – 12 tahun, atau pada usia sekolah, anak memang seharusnya sudah mandiri. 75 Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak Hubungan pola komunikasi dan kemandirian anak diperlihatkan pada Tabel 12. Terlihat penggunaan pola komunikasi interaksi dan transaksi lebih dominan dibandingkan pola komunikasi linier. Demikian pula halnya dengan jumlah anak sangat mandiri terlihat lebih banyak dibandingkan jumlah anak cukup mandiri. Tabel 12. Pola Komunikasi dan Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006 Kemandirian Anak Cukup mandiri Sangat mandiri Jumlah Pola Komunikasi Jumlah Linier Interaksi Transaksi n % n % n % 2 8 6 24 1 4 1 4 7 28 8 32 3 12 13 52 9 36 n 9 16 25 % 36 64 100 Tampak lebih banyak anak sangat mandiri pada penggunaan pola komunikasi interaksi dan transaksi, sedangkan pada penggunaan pola komunikasi linier ternyata lebih banyak anak yang cukup mandiri. Menurut Mutadin (2002), komunikasi yang bisa membentuk kemandirian anak adalah komunikasi dua arah karena kedua belah pihak, dalam hal ini orang tua tunggal dan anak, bisa saling mendengarkan pendapat satu sama lain. Demikian juga hasil penelitian Baumrind dan Bach dalam Wijaya (1986) menyatakan bahwa komunikasi dialogis mendorong tindakan-tindakan mandiri pada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan hal yang berbeda yaitu selain pola komunikasi interaksi dan transaksi (dua arah) ternyata pola komunikasi linier (satu arah) juga bisa membentuk kemandirian anak. Kecenderungan kemandirian anak berdasarkan pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal diperlihatkan pada Tabel 13. Ternyata hasilnya sesuai denga n yang ditunjukkan pada Tabel 12, yaitu pola komunikasi interaksi dan transaksi menghasilkan anak yang sangat mandiri sedangkan pola komunikasi linier membuat anak cukup mandiri. 76 Tabel 13. Pola Komunikasi dan Kecenderungan Kemandirian Anak Pola Komunikasi Rata-rata Skor Kemandirian Anak Tingkat Kemandirian Anak Linier 2,3 Cukup mandiri Interaksi 2,5 Sangat mandiri Transaksi 2,5 Sangat mandiri Catatan : Skor 0 - < 1 = Linier, 1,5 - < 2,5 = Interaksi, = 2,5 = Transaksi Tabel 12 dan Tabel 13 menunjukkan bahwa pola komunikasi yang digunakan orang tua tunggal memberikan pengaruh yang berbeda kepada anak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kelman dalam Brigham (1991) bahwa pengaruh komunikasi pada orang lain adalah berupa internalisasi, identifikasi dan ketundukan. Pola komunikasi interaksi dan transaksi memberikan pengaruh berupa internalisasi yaitu anak bersedia memenuhi keinginan dan harapan orang tua karena hal tersebut dianggap sesuai untuknya. Dalam upaya membentuk kemandirian anak maka orang tua tunggal menyampaikan harapan agar anak belajar mandiri sejak kecil karena kemandirian menentukan keberhasilan seseorang. Hal ini juga terungkap dari hasil wawancara dengan O2 yang menyatakan sebagai berikut : “ Saya jelaskan kepada anak bahwa nanti sesudah dia dewasa dan jadi orang tua harus bisa mandiri, karena itu harus dari sekarang belajar mandiri. Walaupun ada pembantu dia tidak suka main perintah atau minta dilayani” Pola komunikasi linier mempengaruhi ketundukan yaitu anak patuh kepada orang tua karena mengharapkan reaksi positif dari orang tua. Anak mengikuti kehendak atau instruksi dari orang tua karena tidak ingin dimarahi atau dihukum, seperti nampak pada kejadian yang diceritakan O3 berikut ini : “Kalau anak saya nggak mau membereskan mainan sesudah bermain, sudah diingatkan berkali-kali masih begitu, ya saya beri hukuman. Sementara dia nggak boleh main dulu. Mungkin dua atau tiga hari lagi baru boleh.” Ketiga jenis pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua tunggal ternyata bisa membentuk kemandirian anak meskipun dalam tingkat yang berbeda seperti yang disajikan pada Tabel 13. Selanjutnya Tabel 14 memperlihatkan cara 77 membentuk kemandirian anak melalui tiga pola komunikasi tersebut yang diperoleh berdasarkan pengamatan dan wawancara. Tabel 14. Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006 Pola Komunikasi Cara Membentuk Kemandirian Anak - Menyuruh anak patuh pada orang tua. - Menyuruh anak mengerjakan sendiri apa yang bisa dilakukannya - Mengungkapkan kesulitan kepada anak. Linier Interaksi - Menumbuhkan rasa mampu pada diri anak. - - Membiarkan anak membuat keputusan sendiri untuk hal-hal yang menyangkut kepentingannya. - Melatih anak bertanggungjawab. - - Melibatkan anak dalam mengerjakan tugas-tugas di rumah. - Menanamkan kesadaran untuk mandiri. - Mengajarkan kedisiplinan. - Mencontohkan dengan tindakan. - Membiarkan anak belajar dari pengalaman. - Membiarkan anak menentukan sikap dan perilakunya. Transaksi Hubungan Lingkungan dan Kemandirian Anak Faktor yang mempengaruhi kemandirian anak berasal dari dalam diri anak dan dari luar, yaitu lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kemandirian anak menurut Hurlock (1991) antara lain adalah keluarga, sekolah, teman sebaya, dan media massa. Interaksi anak dengan anggota keluarga luas dan teman sebaya mempengaruhi perkembangan sosial dan emosional anak, termasuk dalam hal kemandirian. Sekolah mengajarkan dan menerapkan kedisiplinan agar anak bisa mandiri. Media massa berperan dalam proses sosialisasi dan penanaman nilai- nilai tertentu termasuk nilai-nilai tentang kemandirian. Tabel 15 menunjukkan faktor lingkungan dan kemandirian anak. Dari Tabel 15 terlihat bahwa anak sanga t mandiri paling banyak ditemukan berinteraksi rendah dengan keluarga luas, yaitu 3 dari 4 anak. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Dhamayanti (2006) yang menyatakan bahwa faktor keluarga tidak mempengaruhi kemandirian anak. Sementara Olsen (1974) berpendapat bahwa figur otoritas dari keluarga luas berperan membentuk 78 kemandirian anak dengan cara mempengaruhi pola pengasuhan yang dilakukan ibu. Menurut Suyoto (1982), salah satu faktor pembentuk kemandirian anak adalah pola asuh orang tua yaitu pola asuh demokratis akan menghasilkan anak yang mandiri. Tabel 15. Faktor Lingkungan dan Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006 Faktor Lingkungan Keluarga Luas Interaksi rendah Interaksi sedang Interaksi tinggi Jumlah Sekolah Negeri Swasta Jumlah Teman Sebaya Interaksi rendah Interaksi sedang Interaksi tinggi Jumlah Media Massa Interaksi rendah Interaksi sedang Interaksi tinggi Jumlah Kemandirian Anak Cukup Mandiri Sangat Mandiri n % n % Jumlah n % 1 5 3 9 4 20 12 36 3 6 7 16 12 24 28 64 4 11 10 25 16 44 40 100 4 5 9 16 20 36 9 7 16 36 28 64 13 12 25 52 48 100 1 2 6 9 4 8 24 36 9 7 16 36 28 64 1 11 13 25 4 44 52 100 1 2 6 9 4 8 24 36 16 16 64 64 1 2 22 25 4 8 88 100 Interaksi rendah dengan keluarga luas memungkinkan ibu selaku orang tua tunggal menerapkan pola asuhnya sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Artinya, ibu berperan utama dalam proses pembentukan pribadi dan proses sosialisasi di dalam keluarga. Ibu juga bertanggung jawab penuh dalam menanamkan kesadaran untuk mandiri kepada anak dan melatih kemandirian anak. Disamping itu berdasarkan pengamatan nampak bahwa rendahnya interaksi dengan keluarga luas mendorong anak untuk mandiri karena mereka tidak bisa mengharapkan bantuan dari keluarga luas. Apalagi anak juga menyadari kesibukan ibu yang harus membagi perhatian antara pekerjaan dan rumahtangga. Pada interaksi tinggi dengan keluarga luas nampak bahwa keterlibatan keluarga luas dalam pengasuhan anak menghambat proses kemandirian anak sehingga anak menjadi kurang mandiri. Pada kasus ini ibu tunggal tidak bisa 79 menjaga konsistensi pola pengasuhan anak karena ada banyak pihak yang terlibat. Hal ini sesuai dengan pendapat Wallerstein dan Kelly dalam Cherlin (2002) dan Frankl (1972) yang menyatakan bahwa orang tua tunggal menjalankan pola pengasuhan yang kurang konsisten. Anak mengalami kebingungan dan cenderung mengikuti apa yang memberikan kesenangan atau kemudahan, misalnya menerima bantuan dan dilayani oleh anggota keluarga luas serta mengabaikan nasehat ibu untuk berusaha mandiri. Disamping itu anak juga cenderung mengikuti petunjuk dan arahan dari anggota keluarga luas karena dianggap lebih berpengalaman dari pada ibu. Suyoto (1982) menyatakan bahwa proses belajar mengajar di sekolah mempengaruhi kemandirian anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih banyak anak sangat mandiri ditemukan bersekolah di negeri. Sedangkan wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sekolah swasta maupun sekolah negeri tidak secara langsung mengajarkan kemandirian. Lewat pemberian tugas dan penerapan disiplin di sekolah secara tidak langsung diharapkan anak dapat menjadi mandiri. Beberapa cara penerapan kedisiplinan adalah pemberian sanksi terhadap pelanggaran aturan dan tata-tertib sekolah. Setiap sekolah memiliki cara berbeda dalam pemberian sanksi tetapi tujuannya sama yaitu agar anak bertindak ke arah yang lebih baik dan tidak mengulangi kesalahannya. Penerapan disiplin berlaku lebih ketat di sekolah swasta tetapi justru anakanak yang bersekolah di sekolah negeri rata-rata lebih mandiri dibandingkan dengan anak-anak yang bersekolah di swasta. Pada umumnya penerapan disiplin seharusnya berperan dalam membentuk kemandirian anak, tetapi tidak demikian yang terjadi. Beban pelajaran di sekolah negeri tidak sebanyak di sekolah swasta sehingga anak-anak mempunyai lebih banyak waktu untuk bermain atau bersantai. Kompetisi anak dalam meraih prestasi akademis di sekolah juga tidak seberat yang terjadi di sekolah swasta. Hal ini membuat orang tua tidak perlu terlalu banyak terlibat dalam kegiatan belajar anak di rumah. Anak tidak tergantung pada orang tua untuk menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. 80 Para orang tua yang anaknya bersekolah di swasta banyak membantu anak dalam hal-hal yang berkaitan dengan sekolah seperti menemani belajar dan mengerjakan PR karena tidak ingin anak ketinggalan pelajaran. Mereka juga menyiapkan peralatan sekolah dan seragam anak karena tidak ingin anak mendapat hukuman. Selain itu, diakui pula bahwa mahalnya biaya pendidikan di sekolah swasta mendorong mereka untuk memberikan banyak bantuan kepada anak karena tidak ingin anak gagal di sekolah. Tampaknya para orang tua tunggal kurang mempercayai kemampuan anak dalam mengatasi masalah belajar dan tatatertib sekolah sehingga anak menjadi kurang bertanggungjawab terhadap tugas dan kewajibannya sebagai pelajar, dan hal inilah yang membuat tingkat kemandirian mereka kurang dibandingkan anak-anak yang bersekolah di negeri. Interaksi anak dengan teman sebaya menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat kemandiriannya. Pada interaksi rendah hanya ditemukan anak yang cukup mandiri, pada interaksi sedang dan tinggi ditemukan lebih banyak anak yang sangat mandiri. Hal ini menguatkan pendapat Hurlock (1991) yang menyebutkan bahwa anak belajar mandiri melalui teman sebaya. Dengan demikian, tingkat interaksi dengan teman sebaya menentukan tingkat kemandirian anak. Interaksi anak dengan teman sebaya mempengaruhi proses pembentukan kemandirian karena pada dasarnya seorang anak ingin menjadi sama dengan temannya melalui proses imitasi dan identifikasi. Salah satu pengaruh media massa menurut Rakhmat (2001) yaitu efek prososial behavioral, di mana seseorang bisa memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain melalui media massa. Data pada Tabel 15 menunjukkan bahwa anak yang sangat mand iri hanya ditemukan pada intensitas penggunaan media massa yang tinggi. Nampaknya intensitas penggunaan media massa menentukan kemandirian anak melalui efek prososial behavioral. Media massa memang tidak secara langsung mempengaruhi perubahan perilaku tetapi diyakini adanya efek kognitif dari media massa. Dari efek kognitif inilah yang akhirnya mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku. Jenis bacaan dan tontonan anak dengan tema yang beragam bisa jadi menumbuhkan kesadaran pada diri anak untuk mand iri. 81 Beberapa jenis tontonan dan bacaan mengajarkan nilai- nilai tertentu kepada anak seperti persahabatan dan kesetiakawanan. Media massa tidak secara langsung mengajarkan kemandirian kepada anak tetapi bisa menanamkan kesadaran untuk mandiri kepada anak lewat tema cerita dalam film maupun bacaan namun orang tua perlu membantu menjelaskannya kepada anak karena pesan yang disampaikan oleh sebuah cerita kadang-kadang sulit dipahami oleh anak. Selanjutnya untuk mengetahui faktor lingkungan yang menentukan kemandirian anak, data pada Tabel 15 dibandingkan dengan data faktor lingkungan dan kecenderungan kemandirian anak. Tabel 16 menunjukkan faktor lingkungan dan kecenderungan kemandirian anak. Tabel 16. Faktor Lingkungan dan Kecenderungan Kemandirian Anak Faktor Lingkungan Keluarga Luas Interaksi rendah Interaksi sedang Interaksi tinggi Rata-rata Skor Kemandirian Anak Tingkat Kemandirian Anak 2,7 2,4 2,4 Sangat mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri Berlanjut Sekolah Negeri 2,5 Swasta 2,4 Teman Sebaya Interaksi rendah 2,2 Interaksi sedang 2,6 Interaksi tinggi 2,4 Media Massa Intensitas rendah 2,1 Intensitas sedang 2,0 Intensitas tinggi 2,5 Catatan : Skor = 2,5 = sangat mandiri, 1,5 - < 2,5 = cukup mandiri Sangat mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri Sangat mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri Sangat mandiri Tabel 16 memperkuat hasil yang diperoleh pada Tabel 15 karena ternyata menunjukkan hal yang sama. Hasil yang didapat dari kecenderungan kemandirian anak menunjukkan bahwa anak yang sangat mandiri ditemukan pada interaksi rendah dengan keluarga luas, bersekolah di negeri, berinteraksi sedang dengan teman sebaya dan menggunakan media massa dalam intensitas tinggi. 82 Hubungan Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kemandirian Anak Karakteristik orang tua tunggal diduga berperan dalam membentuk kemandirian anak. Data usia, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lama waktu bekerja, lama penggunaan media dan lama mengikuti kegiatan sosial mengungkapkan karakteristik orang tua tunggal dalam kaitannya dengan tingkat kemand irian anak seperti ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel 17. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kemandirian Anak, Yogyakarta 2006 Karakteristik Orang Tua Tunggal A. Usia (tahun) a. 30 - 35 b. 36 - 46 c. 47 - 57 Jumlah B. Jumlah Anak (orang) a. 1 b. 2 c. 3 d. > 3 Jumlah C. Pendidikan a. SD b. SMP c. SMU d. D1 e. D3 f. S1 g. S2 Jumlah D. Pekerjaan a. Karyawan Swasta b. Wiraswasta c. PNS d. Buruh Jumlah E. Pendapatan (Rp) a. < 1 juta b. 1 – 2 juta c. > 2 juta Jumlah Kemandirian Anak Cukup Mandiri Sangat Mandiri n % n % Jumlah n % 5 4 9 20 16 36 5 8 3 16 20 32 12 64 10 12 3 25 40 48 12 100 5 4 9 20 16 36 6 6 3 1 16 24 24 12 4 64 11 10 3 1 25 44 40 12 4 100 1 5 2 1 9 4 20 8 4 36 3 5 1 2 5 16 12 20 4 8 20 64 3 1 10 1 2 7 1 25 12 4 40 4 8 28 4 100 4 2 2 1 9 16 8 8 4 36 7 5 2 2 16 28 20 8 8 64 11 10 4 3 25 44 40 16 12 100 4 4 1 9 16 16 4 36 9 6 1 16 36 24 4 64 13 10 2 25 52 40 8 100 Berlanjut 83 Lanjutan Karakteristik Orang Tua Tunggal Kemandirian Anak Jumlah Cukup Mandiri Sangat Mandiri n % n % n % F. Lama Waktu Bekerja (Jam/hari) a. < 8 b. 8 - 10 c. > 10 Jumlah G. Lama Penggunaan Media (Jam/minggu) a. 1 - 3 b. 3 - 5 c. 5 - 7 d. > 7 Jumlah H. Lama Kegiatan Sosial (Jam/ minggu) a. Tidak ada b. 2 - 4 c. 5 - 7 Jumlah 3 6 9 12 24 36 4 10 2 16 16 40 8 64 7 16 2 25 28 64 8 100 2 1 4 2 9 8 4 16 8 36 5 4 2 5 16 20 16 8 20 64 7 5 6 7 25 28 20 24 28 100 6 2 1 9 24 8 4 36 4 11 16 44 10 13 40 55 16 64 25 100 Data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa tingkat kemandirian anak cenderung ada hubungannya dengan usia orang tua tunggal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suyoto (1982) yang mengemukakan bahwa kemandirian anak berhubungan dengan usia orang tua. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tua usia orang tua ternyata anaknya semakin mandiri. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak sangat mandiri pada masing- masing kelompok usia. Pada orang tua berusia 47-57 tahun ternyata semua anak sangat mandiri. Usia berkaitan dengan pengalaman orang tua dalam mendidik anak sehingga mereka tahu bagaimana cara yang tepat dalam membentuk kemandirian anak. Menurut Ahmadi (1999), jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi perkembangan anak, yaitu anak pada keluarga besar lebih toleran yang berarti mampu mengendalikan diri. Menurut Masrun dalam Rahmah (2004), pengendalian diri merupakan salah satu aspek kemandirian dalam konteks Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa semua anak sangat mandiri pada kelompok orang tua tunggal dengan tiga anak atau lebih. Dengan semakin banyaknya anak di rumah maka tentu sulit bagi orang tua untuk memperhatikan dan memberikan bantuan kepada setiap anak sehingga dengan sendirinya anak- 84 anak menjadi mandiri. Hal menarik yang ditemukan di sini ternyata sebagian besar anak tunggal juga sangat mandiri. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak benar bahwa orang tua tunggal memanjakan anaknya seperti anggapan kebanyakan orang selama ini. Seperti juga dinyatakan oleh O3 bahwa ia tidak memanjakan anak, bahkan selalu menanamkan kesadaran kepada anak tentang pentingnya mandiri sejak kecil. Berdasarkan pendapat beberapa ahli dalam Rahmah (2004), pendidikan ibu mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam menghadapi anak. Makin tinggi pendidikan ibu akan mendorong kemandirian anak. Pendapat tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini, yaitu ibu tunggal berpendidikan SD justru anaknya sangat mandiri sedangkan yang berpendidikan S2 anaknya cukup mandiri. Anakanak dari ibu tunggal berpendidikan Diploma juga sangat mandiri sementara pada tingkat pendidikan SMU jumlah anak yang sangat mandiri dan cukup mandiri ternyata sama dan pada tingkat pendidikan S1 terdapat lebih banyak anak yang sangat mandiri. Mulai dari pendidikan Diploma hingga S2 tingkat kemandirian anak terlihat menurun seperti terlihat pada Tabel 18. Dilihat berdasarkan pekerjaan orang tua, ternyata sebagian besar anak sangat mandiri, terutama anak dari karyawan swasta dan buruh. Hal ini menguatkan pendapat Amal (1990) dan beberapa ahli dalam Rahmah (2004) yang menyatakan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja mencari nafkah justru sangat mandiri dan lebih mandiri dibandingkan dari anak-anak dari ibu yang tidak bekerja. Berdasarkan pengamatan ternyata anak lebih mandiri ketika orang tua sibuk bekerja di luar rumah karena anak tidak bisa mengharapkan bantuan dari orang tua. Hasil penelitian Prestel dan Hetzer dalam Ahmadi (1999), menyimpulkan bahwa kondisi sosial yang sangat tinggi dan sangat rendah mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa anak dari orang tua tunggal berpenghasilan rendah (kurang dari 1 juta) dan tinggi (lebih dari 2 juta) cenderung sangat mandiri (Lihat Tabel 18). Pendapatan orang tua tunggal terlihat berperan dalam menentukan kemandirian anak Jika orang tua menghabiskan banyak waktu untuk bekerja maka frekuensi berkomunikasi orang tua dengan anak berkurang. Sedangkan anak pada usia yang 85 masih muda membutuhkan banyak perhatian orang tua dan membutuhkan kualitas komunikasi yang memuaskan. Keadaan ini bisa mempengaruhi perkembangan anak ke arah negatif tetapi hasil penelitian ini menunjukkan lama waktu bekerja orang tua ternyata mendorong terbentuknya kemandirian anak. Dari Tabel 17 terlihat semua anak dari orang tua tunggal yang bekerja lebih dari 10 jam sehari ternyata sangat mandiri. Hal ini makin menguatkan pernyataan Amal (1990) yang menyatakan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja justru sangat mandiri Semakin lama orang tua tidak bersama anak, karena bekerja, membuat anak semakin terdorong untuk mandiri karena harus berusaha mengatasi masalahnya sendiri dan mengerjakan pekerjaan sendiri. Kemandirian anak didorong oleh keadaan yang memang memaksa mereka untuk berinisiatif, berani membuat keputusan dan bisa mengerjakan sendiri suatu pekerjaan tanpa bantuan orang tua. Sedangkan pada anak yang orangtuanya bekerja kurang dari delapan jam sehari mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan bantuan dari orang tua. Hal ini makin menguatkan pernyataan Amal (1990) bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja justru sangat mandiri Lamanya penggunaan media massa oleh orang tua tunggal tidak berperan dalam menumbuhkan kemandirian anak. Jumlah anak sangat mandiri ternyata sama pada intensitas penggunaan media massa rendah dan tinggi oleh orang tua tunggal. Kebanyakan responden mengaku menggunakan media massa untuk mendapatkan informasi tentang kejadian yang terjadi di sekitarnya (berita) dan juga hiburan. Oleh karena itu lamanya orang tua menggunakan media tidak memberikan tambahan pengetahuan tentang cara mendidik anak dan mengajarkan kemandirian kepada anak. Lamanya orang tua mengikuti kegiatan sosial menunjukkan lamanya interaksi dan aktivitas komunikasi antara orang tua tunggal dan orang tua lain. Kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang cara mendidik dan mengasuh anak. Ternyata jumlah anak yang sangat mandiri ditemukan lebih banyak di kalangan orang tua tunggal yang mengikuti kegiatan sosial antara 2-4 jam seminggu. Sedangkan di kalangan orang tua tunggal yang menggunakan 5-7 jam seminggu untuk berkegiatan sosial ditemukan jumlah yang sama antara anak yang sangat mandiri dan cukup mandiri. Artinya, 86 tidak ditemukan lebih banyak anak yang sangat mandiri pada kelompok ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak yang sangat mandiri ditemukan di kalangan orang tua tunggal yang melakukan kegiatan sosial namun kemandirian anak tidak ada hubungannya dengan lamanya orang tua tunggal melakukan kegiatan sosial. Tabel 18 menyajikan gambaran kemandirian anak berdasarkan karakteristik orang tua tunggal Tabel 18. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kecenderungan Kemandirian Anak Karakteristik Orang Tua Tunggal A. Usia (tahun) a. 30 - 35 b. 36 - 46 c. 47 - 57 B. Jumlah Anak (orang) a. 1 b. 2 c. 3 d. > 3 C. Pendidikan a. SD b. SMP c. SMU d. D1 e. D3 f. S1 g. S2 D. Pekerjaan a. Karyawan Swasta b. Wiraswasta c. PNS d. Buruh E. Pendapatan (Rp) a. < 1 juta b. 1 - 2 juta c. > 2 juta F. Lama Waktu Bekerja (Jam/hari) a. < 8 b. 8 - 10 c. > 10 G.Lama Penggunaan Media (Jam/minggu) a. 1 - 3 b. 3 - 5 c. 5 - 7 d. > 7 Rata-rata Skor Kemandirian Tingkat Kemandirian Anak 2,4 2,6 2,5 Cukup mandiri Sangat mandiri Sangat mandiri 2,5 2,4 2,7 2,5 Sangat mandiri Cukup mandiri Sangat mandiri Sangat mandiri 2,7 2,4 2,4 2,8 2,6 2,4 2,2 Sangat mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri Sangat mandiri Sangat mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri 2,5 2,4 2,4 2,6 Sangat mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri Sangat mandiri 2,5 2,4 2,6 Sangat mandiri Cukup mandiri Sangat mandiri 2,2 2,5 2,8 Cukup mandiri Sangat mandiri Sangat mandiri 2,5 2,5 2,3 2,5 Sangat mandiri Sangat mandiri Cukup mandiri Sangat mandiri Berlanjut 87 Lanjutan Karakteristik Rata-rata Tingkat Orang Tua Tunggal Skor Kemandirian Kemandirian Anak H. Lama Kegiatan Sosial ( Jam/minggu) a. Tidak ada 2,3 Cukup mandiri b. 2 - 4 2,6 Sangat mandiri c. 5 - 7 2,5 Sangat mandiri Catatan : Skor = 2,5 = sangat mandiri, 1,5 - < 2,5 = cukup mandiri Faktor karakteristik orang tua tunggal yang ada hubungannya dengan kemandirian anak adalah usia, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan lamanya waktu bekerja. Usia orang tua 36-46 tahun dan 47-57 tahun menunjukkan kebanyakan anak yang sangat mandiri, sedangkan jumlah anak satu orang dan tiga orang atau lebih cenderung membuat anak sangat mandiri. Faktor pendidikan, pekerjaan dan pendapatan menunjukkan kelas sosial ekonomi, dan ternyata pada kelas sosial ekonomi rendah ditemukan anak yang sangat mandiri. Kesadaran anak untuk meringankan beban orang tua mendorong terbentuknya kemandirian anak. Faktor lamanya waktu bekerja juga mendorong tumbuhnya kemandirian anak yaitu semakin lama orang tua bekerja justru anak semakin mandiri. Partisipasi orang tua tunggal dalam kegiatan sosial ada hubungannya dengan kemandirian anak tetapi lamanya waktu mengikuti kegiatan sosial tidak menentukan tingkat kemandirian anak. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Secara umum pola komunikasi interaksi dan transaksi lebih berperan dominan dalam membentuk kemandirian anak melalui penanaman kesadaran untuk mandiri kepada anak dan melatih anak mandiri. Pola komunikasi linier juga bisa membentuk kemandirian anak melalui efek komunikasi berupa ketundukan sedangkan pola komunikasi interaksi dan transaksi melalui efek internalisasi. 2. Faktor lingkungan pada umumnya menyebabkan orang tua tunggal menggunakan pola komunikasi interaksi. Sedangkan karakteristik orang tua tunggal yang ada hubungannya dengan pola komunikasi adalah usia, jumlah anak dan tingkat pendidikan. Makin tua usia, makin banyak jumlah anak dan makin tinggi pendidikan orang tua tunggal makin cenderung menggunakan pola komunikasi transaksi. 3. Faktor lingkungan yang ada hubungannya dengan kemandirian anak adalah keluarga luas, sekolah, teman sebaya dan media massa. Interaksi rendah dengan keluarga luas, sekolah negeri, interaksi sedang dengan teman sebaya dan intensitas penggunaan media massa yang tinggi mendorong tumbuhnya kemandirian anak. Sedangkan karakteristik orang tua tunggal yang berperan dalam membentuk kemandirian anak adalah usia, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lama waktu bekerja. Makin tua usia orang tua tunggal ternyata menyebabkan anak sangat mandiri. Jumlah anak sedikit atau banyak berhubungan dengan kemandirian anak. Orang tua tungga l dengan satu orang anak maupun tiga orang anak atau lebih ternyata anak-anak mereka sangat mandiri. Pendidikan orang tua tunggal yang rendah, jenis pekerjaan di sektor informal dengan gaji rendah, atau yang dikategorikan berstatus sosial ekonomi rendah ternyata menyebabkan anak menjadi sangat mandiri. Makin lama orang tua bekerja menyebabkan anak makin mandiri. 89 Saran Berdasarkan temuan penelitian dan simpulan di atas maka disarankan hal- hal berikut ini : 1. Orang tua tunggal perlu memperhatikan faktor usia dan kondisi emosional anak dalam memilih pola komunikasi yang tepat dalam membentuk kemandirian anak. Diharapkan dengan cara seperti ini pada diri anak akan timbul kesadaran dan pengertian tentang pentingnya bersikap dan berperilaku mandiri. 2. Orang tua tunggal hendaknya menggunakan pola komunikasi yang tepat untuk mengurangi pengaruh buruk keluarga luas dengan memperhatikan karakteristik dan kondisi emosional anak. 3. Pihak sekolah hendaknya membantu orang tua dalam membentuk kemandirian anak dengan cara yang tepat untuk anak, misalnya dengan melatih anak bertanggungjawab dan menerapkan kedisiplinan kepada anak selama mengikuti proses belajar mengajar dan kegiatan di lingkungan sekolah. 4. Media massa diharapkan lebih banyak menyajikan pesan-pesan ya ng bermuatan pendidikan dan nilai- nilai moral yang baik sehingga secara tidak langsung ikut berperan dalam membentuk perilaku anak, termasuk dalam membentuk kemandirian anak. DAFTAR PUSTAKA BUKU Ahmadi, A. 1999. Psikologi Sosial. Rineka Cipta. Jakarta. Amal, S.H. 1990. “ Sosialisasi dalam Keluarga” dalam Ihromi, T.O. “Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda.” FE. UI. Jakarta. Anastasia, A. 1999. Psychological Testing 7th edition. Prentice Hall. Canada. Arliss, 1999. Gender Communication. Mc.Graw. Hill Inc. Indiana University. USA. Balson, M. 1999. Becoming Better Parents Edisi ke-4. Terjemahan Sr. Alberta. Grasindo. Jakarta Bandura, A. 1995. Social Learning Theory. Prentice-Hall. New Jersey. Beebe S.A., Beebe S.J., and Redmond, M.V., 1999. Interpersonal Communication Relating To Others. Allyn and Bacon. USA. Brigham, J.C. 1991. Social Psychology, 2nd. Harper Collins. New York. Brofenbrenner, U.1979. The Ecology of Human Development. Harvard University Press. Cambridge. Cangara, H. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Chairani, N dan Nurachmi, W. 2003. Biarkan Anak Bicara. Republika. Jakarta. Cherlin, A.J. 2002. Public and Private Families : An Introduction. Mc. Graw-Hill. New York Chilman, S.C. 1988. Troubled Relationships : Families in Trouble Series. Sage Publications, California. Clemes, H dan Bean, R. 2001. Melatih Anak Bertanggung Jawab. Terjemahan Anton Adiwiyoto. Mitra Utama. Jakarta. DeVito, J. A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Terjemahan Agus Maulana. Profesional Books. Jakarta. Effendy, O.U. 1996. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti. Bandung. Effendy, O.U. 2000. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya. Bandung. Etty, M. 2003. Menyiapkan Masa Depan Anak. Grasindo. Jakarta. 91 Fisher, B.A. 1986. Teori-teori Komunikasi. Terjemahan Soejono Trimo. Remadja Karya. Bandung. Frankl, V.E. 1972. Man’s Search For Meaning : An Introduction to Logotherapy. Beacon Press. Boston. Gordon, M. 1978. The American Family. Past, Present and Future. Random House. New York. Gottman, J dan DeClaire, J. 1998. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Terjemahan T. Hermaya. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gunarsa, S.D. 1990. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. BPK Gunung Mulia. Jakarta. Hasbullah. 1999. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hurlock, E.B. 1991. Perkembangan Anak. Terjemahan M. Tjandrasa dan M. Zarkasih. Erlangga. Jakarta. Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi. Obor Indonesia. Jakarta. Jenkins, W.K. 1995. “Communication In Families” In Day, R.D., Gilbert, K.R. dan Settles, B.H. “Research and Theory in Family Science. Cole. California. USA. Karyadi, L.D. 1987. Ilmu Kehidupan Keluarga. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kincaid, D.L. dan Schramm W. 1987. Asas-asas Komunikasi Antar Manusia. LP3ES. Jakarta. Lie, A dan Prasasti, S. 2004. 101 Cara Membina Kemandirian dan Tanggung Jawab Anak. Elex Media Komputindo. Jakarta. Marsuki. 1983. Metode Riset. FE – UII. Yogyakarta. Mc Cleland, D. 1984. Motives, Personality and Society. Praeger. New York Millar, F.E. dan Roger, L.E. 1976. “ A Relational approach to Interpersonal Communication.” In Miller, G.R. “ Explorations In Interpersonal Communication.” Sage Publications. Beverly Hills. London Moleong, L.J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung Morton, T.L., Alexander, J.F., dan Altman, I. 1976. “Communication and Relationship Definition.” In Miller, G.R. “ Explorations In Interpersonal Communication.” Sage Publications. Beverly Hills. London. 92 Moss, S. dan Tubbs, S.L. 2001. Human Communication : Prinsip-Prinsip Dasar. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mulyana, D. 1999. Dimensi- Dimensi Komunikasi. Alumni. Bandung Mulyana, D. 2001. Pengantar Ilmu Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung Mussen, P.H., Conger, J.J., Kagan, J. dan Huston, A.C. 1989. Perkembangan dan Kepribadian Anak. Terjemahan F.X. Widianto G. Dan Gayatri A. Arcan. Jakarta. Nasution, S. 2003. Metode Research. Bumi Aksara. Jakarta. Nock, S.L. 1987. Sociology of The Family. Prentice Hall. New Jersey. Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Rogers, E.M. dan Kincaid, D.L. 1981. Communication Network toward a New Paradigm for Research. Free Press. New York. Rutter, M. 1984. Maternal Deprivation. Second Edition. Penguin Book. New York. Saxton, L. 1987. The Individual, Marriage dan The Family, Edisi 7. Wadsworth Belmont. California. Sereno, KK dan Bodaken, EM. 1975. Trans-Per Understanding Human Communication. Houghton Mifflin. Boston. USA Stewart dan Koch. 1983. Children Development Thought Adolescence. John Wiley & Sons. Canada. Sudjana. 2000. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Sinar Baru Agensindo. Bandung Suleeman, E. 1990. “Komunikasi dalam Keluarga.” dalam Ihromi, T.O. “Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda.” FE. UI. Jakarta. Vembrianto, S.T. 1993. Sosiologi Pendidikan. Gramedia. Jakarta. Wood, J.T. 2004. Communication Theories In Action. Thomson Wadsworth. Belmont. California. USA. JURNAL/BULETIN Andulhak, I dan Anwas, OM. 2004. Model Konvergensi dalam Komunikasi Pembelajaran. J. Teknodik 14 : 57 - 60 93 Dhamayanti, L.S. 2006. Kemandirian Anak Usia 2,5 – 4 Tahun Ditinjau dari Tipe Keluarga dan Tipe Pra Sekolah. J. Sosiosains. 19 : 42-52 Dimmick, J. 1976. Family Communication and TV Journalism Quarterly 3 : 720 Program Choice. J. Komar, M. 1998. Hubungan Antara Prestasi Belajar, Motivasi dan Kemandirian Santri : Sebuah Survey di Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta Selatan. J. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Darma Persada. 1 : 30-45 Lukman, Muhammad. 2000. Kemandirian Anak Asuh di Panti Asuhan Yatim Islam Ditinjau dari Konsep Diri dan Kompetensi Interpersonal. J. Psikologika.10 : 57-74 Mianda N, Eriya. 2002. Peran Ibu Sebagai Single Parent. J. Interaksi. 01 : 45-50 Olsen, N.J. 1974. Family Structure and Socialization Patterns in Taiwan. J. American Journal of Sociology. 6 : 1395 - 1417 Sheinkof, K.G. 1973. Family Communication Patterns and Anticipatory Socialization. J. Journalism Quarterly 4 : 26-27 Tarmudji, T. 2002. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Agresivitas Remaja. J. Pendidikan dan Kebudayaan 037 : 504-520 LAPORAN BPS. 2001. Statistik Sosial Ekonomi 2001. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Djunanah.1999. Pengaruh Sikap Penerimaan Orang Tua dan Kemandirian Siswa SMU UII Yogyakarta. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Wahab, S.A. 1980. Pengasuhan Anak pada Masyarakat Kota di Kota Malang . Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Universitas Brawijaya. Malang. Suyoto. 1982. Pola Asuhan Anak-anak Remaja Pada Berbagai Kelas Sosial di DaerahYogyakarta. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). FIP – IKIP Yogyakarta INTERNET Mutadin, Zainun. 2002. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis Pada Remaja. http:// www. e-psikologi.com/remaja/250602.htm Diakses 20-112005 94 Gunadi, Paul. 2005. Yang Tak Tergantikan. http://www.telaga.org/artikel.php? Diakses 10-2-2006 SKRIPSI/TESIS/DISERTASI Abhari, N. 1998. Beberapa Aspek Pengasuhan Anak Pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja di Kecamatan Panyingkiran Kabupaten Majalengka Jabar. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Joewono. 2002. Parenting pada Ibu yang Bekerja Sebagai Profesional dengan Anak Usia 8-10 tahun. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. Kandoli, LN. 2000. Pola Pengasuhan Anak dan Penanaman Konsep Gender dalam Hubungannya dengan Tumbuh Kembang Anak pada Keluarga Etnik Jawa dan Minahasa. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahmah. 2004. Pengaruh Disiplin dan Lamanya Menetap di Pondok Pesantren Terhadap Kognisi Sosial dan Kemandirian Remaja. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ramdhani, M. 2006. Proses Belajar dan Tingkat Kecakapan Hidup Remaja Pengrajin Sandal Desa Cikaret Kecamatan Bogor Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Wijaya, H. 1986. Hubungan Antara Asuhan Anak dan Ketergantungan Kemandirian. Disertasi. Universitas Padjajaran. Bandung. SURAT KABAR/MAJALAH Kompas. 2005. “Menjadi Orang Tua Tunggal.” HU. Kompas. 9 Januari 2005. (internet). http://www.kompas.co.id. Diakses 9-10-2005. Kedaulatan Rakyat. 2006. “Peningkatan Angka Perceraian di DIY.” HU. Kedaulatan Rakyat, 30 Januari 2006. (internet). http://www.kedaulatan-rakyat.com/article.php?sid=42538. Diakses12-2-2006 LAMPIRAN 95 Lampiran 1 : Alasan Cerai di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta Tahun 2001-2005 MORAL MENINGGALKAN POLIGAMI TAHUN KRISIS TIDAK AKHLAK SEHAT 2001 13 2002 10 2003 17 2004 15 2005 - - CEMBURU KAWIN EKONOMI PAKSA TERUS MENERUS BERSELISIH KEWAJIBAN TIDAK PENGA- TANGGUNG NIAYAAN DIHUKUM GANGGUAN TIDAK BIOLOGIS PIHAK KE-3 HARMONIS MURTAD ZINA JUMLAH 2 45 117 4 - 304 2 18 116 5 1 290 5 35 91 5 - 266 - 26 144 4 1 309 - 165 3 4 340 JAWAB 1 3 6 107 4 - 1 1 135 - - - - 5 107 - 1 - 3 5 108 2 - - - - 168 - - - CACAT - Sumber : Pengadilan Agama Kota Yogyakarta, 2005 2 - 1 - 96 Lampiran 2 : Responden Orang Tua Tunggal yang Diwawancarai Responden Usia (tahun) Sanak (orang) Pendidikan Pekerjaan Pola Komunikasi O1 48 2 S1 Transaksi O2 O3 40 36 3 1 SMU S1 Karyawan swasta Wiraswasta PNS Tingkat Kemandirian Anak Cukup mandiri Transaksi Interaksi Sangat mandiri Cukup mandiri O4 35 2 S1 Interaksi Cukup mandiri O5 O6 34 39 2 1 SMU SMU Linier Linier Cukup mandiri Cukup mandiri O7 O8 O9 O10 41 42 40 39 2 2 2 2 SD S1 S1 S1 Karyawan swasta Wiraswasta Pemandu wisata Buruh Wiraswasta Wiraswasta PNS Linier Transaksi Interaksi Interaksi Sangat mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri Cukup mandiri 97 Lampiran 3 : Karakteristik Laki-laki yang Bercerai di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta Tahun 2001-2005 Karakteristik Laki-laki Bercerai A.Usia (tahun) a. < 25 b. 25-35 c. 36-46 d. 47-57 e. 58-68 f. >68 Tahun 2001 23 150 154 44 4 6 2002 2003 2004 2005 13 163 128 61 5 2 36 165 124 22 5 - 24 118 120 38 8 1 19 179 166 38 10 1 352 309 413 2 40 60 182 2 3 14 48 1 352 3 34 55 151 2 20 41 3 309 2 50 53 210 3 3 34 52 6 413 124 90 16 3 5 27 2 3 1 1 13 2 7 3 55 352 104 58 13 2 3 26 1 2 14 4 5 2 75 309 146 95 10 4 7 28 2 7 3 16 2 93 413 Jumlah 381 372 B. Pendidikan a. Tidak sekolah 2 1 b. SD 50 41 c. SMP 40 47 d. SMU/SMK 226 189 e. D1 1 2 f. D2 1 1 g. D3 19 36 h. S1 41 55 j. S2 1 Jumlah 381 372 C. Pekerjaan a. Karyawan swasta 159 144 b. Wiraswasta 78 95 c. PNS 11 10 d. ABRI 1 3 e. Pensiunan 11 5 e. Buruh 36 36 f. Seniman 1 g. Guru 3 2 h. Dosen 2 3 i. Dokter 1 j. Sopir 14 15 k. Satpam 2 l. Mahasiswa 4 10 m. Petani 3 l. Tidak Bekerja 62 42 Jumlah 381 372 Sumber : Pengadilan Agama Yogyakarta, 2005 98 Lampiran 4 : Karakteristik Perempuan yang Bercerai di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta, Tahun 2001-2005 Karakteristik Perempuan Bercerai A.Usia (tahun) a. < 25 b. 25-35 c. 36-46 d. 47-57 e. 58-68 f. >68 Jumlah B. Pendidikan a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMU/SMK e. D1 f. D2 g. D3 h. S1 i . S2 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 40 194 125 18 2 2 39 175 129 27 2 - 55 170 112 13 2 - 46 144 95 24 - 43 197 148 22 3 - 381 372 309 413 3 31 73 183 3 3 17 38 1 3 27 62 145 2 3 18 46 3 6 32 66 216 3 4 34 50 2 352 309 413 130 91 10 15 1 2 5 1 8 89 352 98 77 22 15 6 2 1 1 2 2 83 309 3 58 82 188 2 2 20 26 - 1 31 80 178 1 4 25 51 1 Jumlah 381 372 C. Pekerjaan a. Karyawan swasta 143 131 b. Wiraswasta 72 98 c. PNS 13 14 d. Buruh 20 15 e. Pembantu 2 1 f. Guru 3 6 g. Dosen 3 4 h.. Dokter i. Petani 1 1 j. Seniman 1 1 k. Pelajar/Mahasiswa 14 5 l. Ibu Rumah Tangga 109 96 Jumlah 381 372 Sumber : Pengadilan Agama Yogyakarta, 2005 352 158 111 17 13 1 2 1 1 3 106 413 99 Lampiran 5 : Karakteristik Anak dan Hak Asuh Anak Karakteristik Anak yang Diasuh Ibu Tahun Karakteristik Anak A. Usia (tahun) a. < 5 b. 5-10 c. 11-15 e. > 15 Jumlah B. Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 2001 2002 2003 38 33 14 2 33 27 5 1 88 38 50 Jumlah 88 Sumber : Pengadilan Agama Yogyakarta, 2005 2004 2005 42 48 20 2 39 50 27 4 53 49 9 1 66 112 120 112 33 33 70 42 72 48 70 42 66 112 120 112 2004 2005 Karakteristik Anak yang Diasuh Bapak Tahun Karakteristik Anak 2001 2002 2003 A. Usia (tahun) a. < 5 b. 5-10 c. 11-15 e. > 15 1 3 2 - 2 1 - 4 4 4 1 3 5 1 1 Jumlah 6 3 13 10 6 B. Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 4 2 3 5 5 3 3 10 6 Jumlah 6 Sumber : Pengadilan Agama Yogyakarta, 2005 3 3 10 13 3 3 - Karakteristik Anak yang Boleh Memilih Hak Asuh Tahun Karakteristik Anak 2001 2002 2003 2004 2005 A. Usia (tahun) a. 5 - 10 b. 11-15 c. > 15 4 - 1 - 2 5 2 1 4 6 Jumlah 4 1 7 2 11 B. Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 4 1 - 2 5 1 1 5 6 Jumlah 4 1 7 2 11 Sumber : Pengadilan Agama Yogyakarta, 2005 100 Lampiran 6 : Karakteristik Responden Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006 Karakteristik Orang Tua Tunggal A. Usia (tahun) a. 30 - 35 b. 36 - 46 c. 47 - 57 B. Jumlah Anak (orang) a. 1 b. 2 c. 3 d. > 3 C. Pendidikan a. SD b. SMP c. SMU d. D1 e. D3 f. S1 g. S2 D. Pekerjaan a. Karyawan swasta b. Wiraswasta c. PNS d. Buruh E. Pendapatan (Rupiah) a. < 1 juta b. 1 - 2 juta c. > 2 juta F. Lama Waktu Bekerja Sehari a. < 8 jam b. 8 - 10 jam c. > 10 jam G. Lamanya Penggunaan Media Seminggu a. 1 - 3 jam b. 3 - 5 jam c. 5 - 7 jam d. > 7 jam H. Lamanya Melakukan Kegiatan Sosial Seminggu a. Tidak ada b. 2 - 4 jam c. 5 - 7 jam Jumlah (Orang) Persentase (%) 10 11 4 40 44 16 12 10 2 1 48 40 8 4 3 1 10 1 2 7 1 12 4 40 4 8 28 4 10 8 4 3 44 32 16 12 13 10 2 52 40 8 6 17 2 24 68 8 7 5 6 7 28 20 24 28 10 13 2 40 52 8 101 Lampiran 7 : Karakteristik Responden Anak dari Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006 Karakteristik Anak A. Jenis Kelamin a. Laki- laki b. Perempuan B. Usia (tahun) a. 7 - 9 b. 10 - 12 C. Jumlah saudara a. Tidak ada b. 1 c. 2 d. > 2 D. Status Sekolah a. Negeri b. Swasta E. Lama Penggunaan Media Seminggu (Jam) a. 1-3 jam b. 3-5 jam c. 5-7 jam d. > 7 jam Jumlah (25) Persentase (%) 9 16 36 64 9 16 36 64 10 9 4 2 40 36 16 8 13 12 52 48 1 2 3 19 4 8 12 76