8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksual 2.1.1 Pengertian

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Homoseksual
2.1.1 Pengertian
Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti “sama”.
Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat atau kata benda yang
menggambarkan laki-laki atau wanita yang memiliki daya tarik seksual khusus untuk
orang-orang yang berjenis kelamin sama dengan periode waktu yang signifikan
(Masters,W.H,dkk. 1992). Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap jenis
kelamin yang sama (Feldmen, 1990, hal.359). Ketertarikan seksual ini yang
dimaksud adalah orientasi seksual, yaitu kecenderungan seseorang untuk
melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan (Nietzel dkk.,1998,
hal.489). Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan
orang lain dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang
memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang
dengan jenis kelamin yang sama (Kendall ,1998)
Hyde juga mendefinisikan homoseksual sebagai orang yang orientasi
seksualnya mengarah kepada individu yang bergender sama dengan dirinya. Istilah
homoseksual dapat digunakan baik untuk pria , yang lebih dikenal dengan istilah
gay, ataupun wanita lebih dikenal dengan istilah lesbian (Hyde, 1990).
8
9
2.1.2 Penyebab homoseksual
A. Pendekatan Biologis
Penyebab homoseksual dalam pendekatan biologis dapat dikarenakan oleh
faktor genetik, hormon, dan fisiologi sebagai berikut :
-
Genetik
Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2010) merupakan pelopor penelitian
yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan
melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan
kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual.
Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2010) menemukan bahwa homoseksual pria
cenderung memiliki saudara homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan
menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui garis keturuan ibu,
menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (1998, dalam
Carroll, 2010) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay daripada
saudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara
perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan
bukti bahwa gen gay ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan gen lesbian.
-
Hormon
Ellis, dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama kehamilan dapat memicu
pembentukan janin homoseksual. Banyak penelitian yang membandingkan tingkat
androgen dalam darah pada homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan
umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1987). Dari lima
studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan wanita heteroseksual,
tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkat testosteron, estrogen, atau
hormon lain, sementara dua lainnya menemukan tingkat testosteron yang lebih
10
tinggi pada lesbian dan satu menemukan tingkat estrogen yang lebih rendah
(Dancey, Christine.P ,1994).
-
Fisiologi
Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak
pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab & Hofman, 1990).
Kedua studi ini memfokuskan pada hipotalamus, yang diketahui berperan penting
pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada
hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria
heteroseksual. Gallo (2000, dalam Caroll, 2010) juga menemukan perbedaan
struktural pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui
studi tentang panjang jari, Brown dan Williams (dalam Caroll, 2010) menemukan
bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum – jari
telunjuk lebih pendek daripada jari manis -mendukung ide bahwa lesbian mungkin
memiliki tingkat testosteron yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada
awal kehidupannya.
B. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual
berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal
homoseksual. Pendekatan psikologis melihat perkembangan perilaku homoseksual
lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang
tertentu (Carroll, 2010).
11
-
Freud dan Psikoanalitis
Freud (1951 dalam Carroll, 2010) berpendapat bahwa bayi melihat segala
sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik
pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual. Freud tidak melihat homoseksual
sebagai suatu penyakit.
Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang
normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak
terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh,
dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui
kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi
identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya – pria.
Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan dengan
menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya. Freud juga
melihat homoseksual sebagai autoerotis yaitu pemunculan perasaan seksual tanpa
adanya stimulus eksternal dan narcisistik yaitu mencintai tubuh yang dimilikinya,
seseorang seperti bercinta pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak
oleh psikoanalis lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949,
dalam Caroll, 2010) yang mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara
lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis – penyakit mental.
Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian menjadi standar bagi
profesi psikiater hingga tahun 1970-an.
Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2010) mengemukakan bahwa semua anak lakilaki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita. Akan tetapi, beberapa
anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu intim serta
menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat atau absen.
12
Dan Triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang menghambat
perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu, Beiber mengatakan bahwa ibu
yang menggoda menimbulkan ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak.
Wolff (1971, dalam Carroll, 2010) meneliti keluarga dari lebih dari 100 lesbian dan
melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak atau dingin secara
emosional dan ayah yang berjarak. Untuk lesbian, para teoritikus percaya bahwa
kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan anak perempuan mencari kasih
sayang dari wanita lainnya (Carroll, 2010).
-
Ketidaknyamanan Peran Gender
Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminin daripada pria
heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995; Pillard,
1991). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross gender
dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi tidak
memiliki hubungan sebab akibat. Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki
yang feminim atau sissy boy memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana
wanita, bermain boneka, menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi
perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per empat dari
mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya satu dari
anak laki-laki maskulin yang tumbuh menjadi biseksual. Menurut Zucker (1990,
dalam Green 1987) sissy boy tersebut juga cenderung dianianya, ditolak, dan
diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki lainnya, dan
memiliki lebih banyak kasus psikopatologi .
13
-
Interaksi Kelompok Teman Sebaya
Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang
pada masa remaja, Storm (1981, dalam Caroll, 2010) berpendapat bahwa orangorang yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka
mengalami kontak yang signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya
dimulai pada usia sekitar 15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun
masih bermain dan berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin
yang sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada
anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung
melaporkan kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu,
dorongan seksual pria biasa muncul lebih cepat daripada wanita.
-
Pendekatan Behavioural
Teori behavioural tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku
homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual
yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian
hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh,
seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan
berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,
orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan
kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan
wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka
mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang
menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2010)
14
2.1.3 Tahap Perkembangan
Menurut Erickson ,1963 (dalam Feist G,J. 2008 ) pada masa dewasa muda
sekitar usia 19 sampai 30 tahun lebih banyak didominasi oleh pencapaian keintiman
diawal tahapan. Keintiman adalah kemampuan untuk mencampurkan identitas
seseorang dengan identitas orang lain tanpa takut kehilangan identitasnya sendiri.
Lantaran keintiman hanya bisa diraih setelah individu membentuk ego yg stabil,
godaan seksual yang sering ditemukan pada remaja muda bukanlah keintiman yang
benar. Manusia yang tidak begitu pasti dengan identitas mereka bisa menunjukkan
sikap pemalu dari keintiman psikososial atau mencari keintiman dengan penuh
keputusasaan melalui hubungan seksual yang tidak bermakna. Kebanyakan
aktivitas seksual selama masa remaja adalah ekspresi dari pencarian seseorang
akan identitas dan pada dasarnya melayani diri sendiri. Genitalitas yang benar dapat
berkembang hanya pada masa dewasa muda ketika dia dibedakan oleh
kepercayaan mutualistik dan berbagi kepuasan seksual yang stabil dengan
seseorang yang dicintai. Menurut Carl Gustav Jung, ( dalam Alwisol 2008 ) tahap
pemuda ditandai dengan meningkatnya kegiatan, kematangan seksual dan
tumbuhnya kesadaran bahwa masa kanak-kanak telah hilang. Pada tahap ini
individu juga harus mampu membuat keputusan, mengatasi hambatan dan
memperoleh kepuasan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
15
2.2 Coming out
2.2.1 Pengertian
Proses perkembangan jati diri dikenal sebagai membuka diri atau dengan kata
lain pengungkapan diri. Pengungkapan diri dikenal dengan istilah self disclosure.
Menurut Papu (2002), self disclosure adalah pemberian informasi tentang diri sendiri
kepada orang lain. Informasi ini dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman
hidup, perasaan, emosi, pendapat dan cita-cita. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Johnson (dalam Gainau, 2009), menunjukkan bahwa individu yang
mampu dalam membuka diri akan dapat mengungkapkan diri dengan tepat. Mereka
terbukti mampu menyesuaikan diri, lebih percaya diri, lebih kompeten, dapat
diandalkan, lebih mampu bersikap positif, percaya terhadap orang lain, lebih objektif
dan terbuka. Sebaliknya individu yang kurang mampu dalam keterbukaan diri
terbukti tidak mampu menyesuaikan diri , kurang percaya diri, timbul perasaan takut,
cemas, merasa rendah diri, tertutup.
Coming out merupakan suatu penegasan bahwa identitas seksual sebagai
homoseksual seorang individu terhadap diri sendiri dan orang lain yang
mengandung resiko berbahaya. Hal ini artinya adalah individu mau tidak mau harus
siap menerima label dari orang lain yang menghina dirinya karena identitas seksual
sebagai homoseksualnya dan dalam lingkup yang lebih luas, hidup dalam
masyarakat yang memusuhi (Paul & Weinrich dalam Paul dkk, 1982).
16
2.2.2 Proses Coming out
Vaughan (2007), seorang doktor di bidang psikologi konseling Universitas
Akron, membuat sebuah review tentang model perkembangan coming out
homoseksual yang paling terkenal dan paling berpengaruh yang pernah dibuat oleh
Cass (1996), Coleman (1982), Lee (1977), McCarn&Fassinger (1996), Sophie
(1986), dan Troiden (1989).
Terdapat fokus terhadap proses pengalaman coming out pada
tahapan-tahapan berikut ini (Vaughan, 2007):
1. Awareness
Proses ini dimulai dengan kewaspadaan awal terhadap perasaan
berbeda dari teman sebaya yang memiliki gender yang sama. Seringkali,
ketertarikan seksual memegang peranan penting dalam perasaan yang
berbeda ini. Mereka mulai untuk mengenali bahwa mereka tidak cocok
dengan teman sebaya mereka. Mereka juga kurang cocok terhadap
norma gender yang tradisional. Proses ini merupakan proses yang
sangat membingungkan karena mereka memulai untuk mengalami level
internal dan tekanan sosial yang tinggi untuk menyesuaikan dengan
norma sosial. Resolusi untuk masalah ini muncul jika individu
mempersiapkan kemungkinan menjadi gay atau lesbian.
2. Exploration
Pada proses ini, homoseksual mengalami periode ketertarikan dan
keterikatan dengan homoseksual lain. Seiring dengan toleransi dan
keterbukaan yang semakin tinggi untuk menyelidiki seksualitas mereka,
individu mulai untuk mencari lingkungan mereka dapat belajar dari kaum
homoseksual lainnya tentang bagaimana artinya menjadi homoseksual.
17
Hal ini mencakup keikutsertaan dalam organisasi, acara, atau area sosial
yang diasosiasikan dengan komunitas homoseksual. Resolusi dari
proses ini terjadi jika individu menyimpulkan bahwa mereka adalah
anggota
dari
komunitas
homoseksual,
mengadopsi
identitas
homoseksual, dan menetapkan hubungan pada komunitas homoseksual.
3. Acceptance
Tahap ini merupakan tahap individu menolak identitas heteroseksual dan
menginternalisasikan
identitas
sebagai
homoseksual.
Selain
itu,
penerimaan ini dihubungkan dengan kontak sosial yang lebih luas
dengan homoseksual lainnya, menjalin pertemanan, dan mengejar
kesempatan untuk terlibat dalam hubungan seksual atau romantis
dengan individu yang memiliki gender yang sama. Resolusi dari periode
ini muncul saat individu mencapai titik mereka dapat menerima dan
mengapresiasi sepenuhnya identitas homoseksual mereka.
4. Commitment
Pada proses ini, individu semakin hanyut dalam komunitas homoseksual.
Akibatnya, individu seringkali menjadi aktivis sosial dan politik untuk
memperjuangkan hak yang sederajat bagi mereka dan yang lainnya
serta berusaha untuk mengubah stereotype yang negatif tentang
homoseksual
dalam
masyarakat.
Secara
internal,
komitmen
ini
diekspresikan melalui penerimaan penuh dan tidak terkondisi dari
identitas homoseksual mereka. Resolusi dari periode ini adalah
kenyamanan dan penerimaan diri yang diartikan sebagai perasaan
bangga terhadap identitasnya.
5. Integration
18
Periode ini fokus pada pemerolehan kesesuaian maksimal antara pribadi
dengan lingkungannya dimana individu secara aktif menggabungkan
identitas pribadi dan sosial mereka dengan dan peran penting lainnya
disertai dengan rasa hormat terhadap keluarga, pekerjaan, dan
komunitas. Pada tahap ini, individu mengenali persamaan dengan
heteroseksual dan bagaimana mereka berbeda dengan homoseksual
yang lain, sehingga membuat mereka membuat keputusan yang akurat
tentang siapa yang dapat mereka percaya untuk memberikan dukungan
dan
penguatan
bagi
identitas
mereka.
Individu
siap
untuk
memberitahukan kepada siapapun bahwa ia homoseksual dan ia
bercampur secara sosial dengan homoseksual dan heteroseksual yang
ia merasa terbuka terhadap homoseksualitasnya.
2.2.3 Dampak-dampak Coming Out
Menurut Coleman (dalam Paul dkk ,1982) ada beberapa dampak coming out
pada homoseksual, yang pertama adalah dampak positif bagi homoseksual yang
dapat mencapai tahap coming out, yaitu mereka memiliki rasa percaya diri yang
baik, dapat bersosialisasi dengan masyarakat tanpa memandang bahwa dirinya
memiliki orientasi seksual yang berbeda,
sehat secara psikologis, dalam arti
mempunyai self-esteem yang lebih positif, serta berkurangnya gejala kecemasan
dan berkurangnya depresi. Yang kedua adalah dampak negatif bagi homoseksual
yang dapat mencapai tahap coming out yaitu dapat menghancurkan keluarga yang
akan berdampak bagi kaum homoseksual itu sendiri, seperti dibuang oleh keluarga,
tidak diakui oleh keluarga, dihina oleh masyarakat umum , dikucilkan baik oleh
19
teman maupun lingkungan sosial , dikeluarkan dari pekerjaan, atau tidak diterima
bekerja dalam suatu perusahaan.
Terdapat pula dampak positif bagi homoseksual yang tidak mencapai tahap
coming out yaitu kaum homoseksual tersebut dapat menjalankan aktivitas seharihari tanpa ada rasa takut atau malu, tidak merasa dikucilkan oleh teman, keluarga,
maupun masyarakat umum. Dan dampak negatif bagi homoseksual yang tidak
mencapai tahap coming out yaitu tidak memiliki rasa percaya diri, tidak dapat
bersosialisasi, dan selalu beranggapan bahwa dirinya adalah seorang yang memiliki
kelainan sehingga tidak
dapat menerima takdirnya,
depresi, stress
yang
berkepanjangan, bunuh diri.
2.2.4 Faktor-faktor yang mendasari terjadinya coming out
Ada beberapa faktor yang mendasari terjadinya coming out, yaitu (Paul
dkk,1982 ) :
1. Ingin berkembang menjadi individu yang berjiwa sehat dengan konsep diri
positif
2. Ingin mengubah mitos dan stereotype yang ada di masyarakat mengenai
homoseksual
3. Ingin memiliki rasa percaya diri yang baik
4. Ingin dapat bersosialisasi dalam masyarakat tanpa memandang bahwa
dirinya memiliki orientasi seksual yang berbeda
5. Ingin mengurangi gejala-gejala kecemasan
20
2.3 Kerangka berpikir
Hubungan
emosional
pria dan
wanita
Heteroseksual
Homoseksual
Penolakan
masyarakat
Gay
Coming out
Respon
Kepuasan
hidup
Bagan 2.1 kerangka berpikir
Lesbian
Download