Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224

advertisement
STUDI HUBUNGAN ANTARA IDENTITAS DIRI DAN
KECENDERUNGAN HOMOSEKSUAL REMAJA DI
YOGYAKARTA
Titik Muti'ah
Fakultas Psikologi
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
ABSTRACT
This research is aimed exploring the relationship between self-identity and
homosexual tendency amongst adolescences. The study was carried out by
exposing the developmental problem, self-identity building and sexuality among
young people through some point of views in family background, friendships &
social community and other factors supported. The subject of this research
introduced by seven young aged from 16 to 23 years, studying in the high schools
and universities in DIY. Research data were collected using several psychology
tests (TAT, Grafis, Wartegg, SSCT and self-description), interview and
observation. Research method used a qualitative approach, focuses on multimeasurement, multi-source and multi-complex to satisfy the validity and reability.
Results obtained from the observation show that homosexual tendency among
adolescences are still in the step of finding out his/her self-identity due to many
unsolved crisis or explorations experienced. From the overall observations seems
that their sexual identity or homosexuality among them are more dominant
compare than the self-identity that potentially leads the obstacle in their future
development. It is suggested for the researchers would like to continue this study
to widen and elaborate more details points about young people.
Key words: Adolescence, Self-Identity, Homosexual Identity
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
1
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Masa remaja merupakan masa peralihan dari tahap kanak-kanak ke tahap
dewasa, mengalami perubahan baik sosial-emosi, fisik/tubuh, minat, perilaku, dan
juga hormon-hormon yang terlibat (Hurlock, 1998). Usia remaja sangat rentan
dalam eksplorasi dan eksperimen, fantasi seksual, dan kenyataan seksual, untuk
menjadikan seksualitas sebagai bagian dari identitas dirinya (Santrock, 2003).
Disamping itu, misteri seksualitas bagi remaja merupakan keingintahuan yang
tidak pernah terpuaskan.
Perkembangan dan pengakuan seseorang atas orientasi seksual dan cara
pengakuan menyatu dalam rasa kedirian/identitas remaja menjadi tugas sentral
perkembangannya (Henderson, 1984; Troiden, 1988; Gonsiorek, 1988).
Kebanyakan remaja secara bertahap behasil membentuk identitas termasuk
orientasi seksual yang matang, namun sebagian melalui masa-masa yang rawan
dan penuh kebingungan sepanjang perjalanan seksualnya.
Ketika remaja berorientasi homoseksual menjadikan tugas perkembangannya
berbenturan dengan stigma sosial dan agama yang melekat pada identitas nonheterosexual. Remaja yang mengidentifikasi diri sebagai homoseksual berada
pada resiko finggi yang berdampak pada tubuh, psikologi dan sosialnya
(Hammersmith, 1987). Hal ini pernah diangkat dalam penelitian tentang pengaruh
training pengembangan diri pada homoseksualitas remaja putri di Desa
Cibeureum, Kabupaten Sumedang (Sriyati & Hernawati, 2007). Studi yang
dilakukan sekitar tahun 2005-2007 pada lebih kurang 100 remaja yang tergabung
dalam suatu Ikatan Persatuan Sepak bola Putri Sumedang, menyatakan bahwa
remaja putri homoseksual mengalami kecenderungan memiliki harga diri yang
rendah dan sangat rawan.
Remaja Indonesia semakin rentan dengan masalah seksualitas, dikarenakan
pada tahun-tahun pertama masa kanak-kanak sudah disuguhkan acara-acara di TV
dan VCD/DVD yang menampakkan tentang daya tarik seks sebagai kualitas
seseorang yang perlu dikembangkan dan dicapai. Remaja sangat beresiko bukan
hanya dari ancaman HIV AIDS, dimana lebih 8000 remaja terdiagnosis pengidap
AIDS (Depkes 2008), tetapi juga terkena berbagai penyakit kelamin sebagai
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
2
akibat dari tuntutan pasar global yang bermuatan seksual.
Berdasarkan hasil survey Komnas PerlindunganAnak bekerja sama dengan
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh
pengakuan remaja bahwa: 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman,
petting, dan oral seks, 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan, 21,2%
remaja SMA mengaku pemah melakukan aborsi. Dan 2 juta wanita Indonesia
yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan, 97% pelajar
SMP dan SMA mengaku suka menonton film porno.
Perkembangan dan pengakuan seseorang atas orientasi seksual dan cara
pengakuannya menyatu dalam rasa pribadi remaja dan menjadi tugas sentral
perkembangannya (Henderson, 1984; Troiden, 1988; Gonsiorek, 1988). Jika
berorientasi biseksual atau homoseksual, akan berbenturan dengan stigma sosial
dan agama (yang lekat dengan identitas heterosexual). Remaja yang biseksual
atau homoseksual berada pada resiko tinggi yang berdampak pada tubuh,
psikologis dan sosialnya (Hammersmith, 1987). Dampak itu diantaranya kesulitan
emosional, menghadapi masalah di sekolah, cemoohan/bullying dari teman
sebaya, serangan fisik, pelecehan seksual, bermasalah dengan hukum, penggunaan
psikotropika, kelainan pola makan, bunuh diri dan usaha-usaha untuk bunuh diri
(Bell & Weinberg, 1978; Jay & Young, 1979; Martin, 1982; Coleman, 1982;
Simari & Baskin, 1988; Remafedi, Farrow & Deisher, 1991; Story, French,
Resnick & Blum, 1995).
Walaupun homoseksual telah dikaji secara meluas pada orang-orang dewasa,
tetapi masih sedikit penelitian homoseksual pada remaja. Masa remaja penuh
dengan eksperimen dalam orientasi seksualnya sebelum memantapkan diri dan
cenderung berorientasi pada salah satu jenis kelamin (sama jenis atau berbeda
jenis). Ini menarik untuk dikaji, bagaimana perkembangan dan pembentukan
identitas diri serta seksualitas remaja (dari lingkungan keluarga, pertemanan dan
komunitas sosial)? Faktor-faktor apa yang menjadikan remaja cenderung
berorientasi homoseksual?
Penelitian ini dilaksanakan untuk dapat mengungkap secara mendalam
perkembangan identitas diri, memahami identitas seksual, dan kecenderungan
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
3
homoseksual dikalangan remaja. Memperkirakan pengaruh homoseksual pada
masa depan remaja (secara pribadi maupun general). Manfaat teoritisnya
diharapkan dapat memberikan masukan, pendampingan dan penanganan pada
pihak-pihak (orangtua, keluarga, sekolah, institusi, komuniti, dsb) yang
menghadapi remaja pada kecenderungan homoseksual. Manfaat Praktis,
diharapkan dapat memberikan masukan bagi para psikolog, orang tua maupun
guru
mengenai proses
pencarian
identitas
diri,
identitas
seksual dan
kecenderungan homoseksual pada remaja. Hal ini diharapkan dapat membantu
remaja untuk berkembang secara lebih sehat.
B. Perkembangan identitas Diri Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh (to grow)
menjadi dewasa (to grow maturity) (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Menurut
Papalia, Olds dan Feldman (2008), masa remaja adalah masa transisi dimulai pada
usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia awal dua puluhan tahun. Remaja
menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) adalah masa antara 12 sampai 23
tahun dengan penuh topan dan tekanan (strom and stress).
Pada masa remaja, perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam
pertumbuhannya dan berdampak terhadap perubahan-perubahan psikologis
(Sarwono, 1994). Ini terjadi dalam proses pubertas, dimana seseorang mencapai
kematangan dan perasaan seksual yang lebih kuat dan kemampuan untuk
berproduksi. Perkembangan seksual yang disertai dengan perubahan fisik dan
psikologis sangat membutuhkan penyesuaian bagi remaja dan mendukung
perubahan pada identitas dirinya.
Remaja banyak mengalami perubahan dramatik secara kognitif, emosional
dan sosial (Erikson, 1963), berpikir lebih kompleks, emosionalnya lebih sensitif
dan lebih mengutamakan hubungan dengan teman sebaya. Dengan teman sebaya
remaja berharap lebih bebas, bisa mandiri. Remaja lebih membutuhkan dukungan
dari teman sebaya dibandingkan dengan orang tua (Steinberg, 2003; Furman
dalam O'koon, 2000). Walau penelitian sebelumnya membuktkan bahwa teman
bergaul menjadi faktor penting kebervariasian remaja nantinya, termasuk dalam
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
4
sikap dan perilaku seksualnya (Shah & Zelnick, 1981).
Dalam ceramahnya, Dr Sarlito W Sarwono di BKKBN Pusat menyatakan
bahwa remaja mass kini (post modern atau era informasi) memiliki masa transisi
terus-menerus dan ada dua sumber masalah remaja masa kini. Pertama, masalah
yang berasal dari dalam dirinya sendiri yaitu libido seksualitas dan naluri agresi
yang tumbuh terus sesuai dengan pertumbuhan jiwa dan fisik remaja. Kedua,
masalah lingkungannya, yaitu banjir informasi melalui teknologi yang makin
canggih, perkembangan teknologi yang super cepat, timbulnya norma ganda
sebagai akibat perubahan tersebut dan sulitnya mencari panutan atau pedoman
hidup yang pasti. Perubahan norma menjadi masalah paling berat, di antaranya
budaya
dugem,
hubungan
seks
pranikah,
dan
pornografi
yang
dulu
haram/terlarang sekarang merupakan hal yang biasa atau umum.
Pemikiran dan analisa Erik Erikson tentang identitas remaja versus
kebimbangan hingga kini diyakini sebagai konsep kunci dalam perkembangan
remaja. Identitas diri remaja adalah sesuatu yang kompleks, mencakup banyak
kualitas dan dimensi yang spesifik, lebih ditentukan oleh pengalaman subjektif
dari pada pengalaman objektif (Dusek, 1991). Remaja tidak membentuk identitas
dirinya dengan meniru pada orang lain, tetapi dengan memodifikasi dan
mensistimasi identifikasi lebih awal ke struktur identitas diri yang lebih kompleks
(Kroger, 1993; Papalia, Olds & Feldman, 2008).
Pendekatan psikososial Erikson (Muus, 1996) yang dikenal sebagai "ego
psychology", menekankan pada konsep ―diri/self‖ yang diatur oleh kekuatan
bawah sadar/unconcious serta pengaruh dari kekuatan sosial dan budaya di sekitar
individu. Kekuatan bawah sadar bekerja untuk menjaga kesatuan berbagai aspek
kepribadian serta memelihara individu dalam keterlibatannya dengan dunia sosial,
termasuk tugasnya mendapatkan makna dalam hidup.
Pengertian Identitas diri menurut Erikson (1989), intisari kepribadian yang
menetap dalam diri seseorang walaupun situasi lingkungan bembah dan diri
menjadi tua. Identitas diri sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya
dapat berubah dan selalu mengalami proses pertumbuhan. Identitas diri sebagai
gaya hidup yang berkembang dalam tahap sebelumnya dan menetukan cara-cara
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
5
mewujudkan peran sosialnya. Identitas diri sebagai suatu pencapaian pada tahap
remaja dan terus diperbaharui dan disempurnakan pada tahap selanjutnya.
Identitas diri sebagai pengalaman subjektif akan kesamaan serta kesinambungan
psikis dalam ruang dan waktu. Identitas diri sebagai kesinambungan dengan diri
sendiri dalam pergaulan dengan orang lain.
Menurut Erikson, identitas versus kebimbangan identitas merupakan tahap
perkembangan yang kelima yang terj adi saat individu berada pada masa remaja.
Identitas diri remaja dimulai dari informasi mengenai pemahaman dirinya,
kemudian rasa percaya diri dan konsep diri (Santrock, 2003; Papalia, Olds &
Feldman, 2008). Di saat remaja mengekplorasi dan mencari identitas budayanya,
remaja seringkali bereksperimen dengan peran-peran yang berbeda. Krisis
diartikan juga eksplorasi atau komitmen sebagai bagian dari perkembangan
identitas dimana remaja memilah alternatif yang berarti dan tersedia,
menunjukkan adanya suatu investasi pribadi. Pencapaian identitas (identity
achievement) dialami oleh remaja yang telah melewati krisis dan telah membuat
komitmen.
Keberhasilan menghadapi identitas-identitas yang saling bertentangan bagi
remaja dalam usaha untuk mendapatkan pemikiran yang baru dan penerimaan
mengenai dirinya. Tetapi jika remaja tidak berhasil menyelesaikan krisis
identitasnya akan mengalami kebimbangan identitas. Kebimbangan dapat
menyebabkan, pertama pada penarikan diri individu dari teman sebaya dan
keluarga. Kedua, mereka meleburkan diri dengan kelompok/kominiti (gay,
lesbian, homoseksual) dan kehilangan identitas dirinya (Santrock, 2003).
Erikson (1989) sangat memperhatikan peran budaya dan agama dalam
perkembangan identitas remaja. Pembentukan identitas merupakan suatu yang
rumit bagi anak muda yang minoritas (etnik, pendidikan, sosial-ekonomi, agama,
kedudukan sosial, dsb). Lebih lagi bagi remaja mempunyai mempunyai jaringan
yang lebih luas dan lebih mobile, dan memiliki kesadaran akan sikap dan
perbedaan kultur yang lebih besar. Konteks dimana remaja hidup dan tinggal
sangat mempengaruhi perkembangan identitasnya, diantaranya etnis tertentu
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
6
(Jawa, Madura, Batak, Timor, dll), berasal dari keluarga sosial ekonomi tertentu
(rendah/tinggi), tingkat pendidikan, dsb. Bagi sebagian remaja etnisitas, dimana
Indonesia sangat beragam, bisa menjadi usi sentral pembentukan identitas diri.
C. Kecenderungan Homoseksual Remaja
Identitas remaja terbentuk ketika berhasil memecahkan tiga masalah utama:
1) pilihan pekerjaan, 2) adopsi nilai yang diyakini dan dijalani, dan 3)
perkembangan seksual yang memuaskan (Papalia, Olds & Feldman, 2008).
Selama masa remaja kehidupannya senantiasa dihiasi oleh seksualitas, dengan
melakukan eksplorasi dan eksperimen, berfantasi seksual dandihadapkan pada
dunia seksual. Seksualitas penting sebagai bagian dari identitas seseorang. Remaja
memiliki keingintahuan yang tidak pemah terpuaskan mengenai misteri
seksualitas (Santrock, 2003). Pencapaian identitas seksual bisa terdiri dari
bagaimana remaj a melihat dirinya sebagai mahluk seksual, mengenali orientasi
seksualnya sendiri, menerima gejolak seksual, membentuk keterikatan seksual dan
hubungan romantis.
Menurut pendekatan psikodinamik Freud (1953), ada tiga konstruksi psikis
(Id, Ego dan Superego). Freud juga mengembangkan dan menjelaskan ide bawah
sadar, dan berbagai mekanisme pertahanan untuk melindungi ego seseorang.
Freud menunjukkan bahwa pelaku penyimpangan seksual mempunyai superego
(moral) yang lemah dan sangat kuat dorongan id (dorongan seksual, libido), lebih
mengembangkan mekanisme penolakan, memindahkan (displacement), projeksi
dan hubungan ibu-anak laki-lakinya.
Penelitian membuktikan ketika remaja mencari identitas seksualnya mereka
memiliki aturan seksual berupa pola yang khas berupa gambaran peran seseorang
mengenai bagaimana individu berperilaku secara seksual (Bancroft dalam
bukunya Santrock, 2003). Sehingga perempuan dan laki-laki disosialisasikan agar
mengikuti aturan seksual yang berbeda. Perbedaan aturan seksual antara
perempuan dan laki-laki dapat menimbulkan masalah dan kebingungan bagi
remaja ketika tengah mencari indentitas seksualnya.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
7
Remaja yang rawan cenderung menunjukkan perilaku seksual yang tidak
bertanggung jawab (Gordon & Gilgun, 1987 dalam bukunya Santrock, 2003).
Remaja yang merasa dirinya tidak berarti, tidak memiliki kesempatan yang
memadai untuk belajar dan bekerja, terdorong untuk membuktikan dirinya sendiri
dengan seks sebagai perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab.
Orientasi seksual telah ada dalam diri anak sejak usia dini, tetapi pada remaja
akan menjadi isu panting. Orientasi seksual menjadi berbeda jika adanya
konsistensi secara romantis, secara seksual, dan penuh kasih sayang kepada orang
lain dari jenis kelamin yang berbeda (heterosexual) atau kepada jenis kelamin
yang sama (homosexual).
Beberapa pene1iti mengemukakan bahwa orientasi seksual (homoseksual)
dapat dipengaruhi oleh proses yang kompleks yang melibatkan faktor hormonal
maupun neurologi (Ellis & Ames, 1987 dalam Santrock, 2003). Secara ilmian
Blitchington (1991) menunjukkan bahwa jumlah testosterone yang berlebihan
dapat menyebabkan otak seorang perempuan menjadi maskulin. Otak perempuan
dengan dosis testosteron dalam rahimnya akan mempunyai sifat-sifat agresif,
demikian juga sebaliknya, laki-laki dengan jumlah testosterone yang tidak tepat
juga akan menunjukkan sifat-sifat feminin.
Kombinasi dari beberapa hal yang memunglinkan remaja cenderung
bertingkal laku homoseksual, merujuk dari ungkapan La Haye (1980) adalah: 1)
Temperamen, menunjukkan temperamen yang murung dalam tingkat yang tinggi,
sensitive, dan mendapatkan penolakan dari orangtua dan saudara kandung
sehingga membuat mereka tumbuh dewasa dengan memendam kemarahan yang
luar biasa. 2) Hubungan dengan orang tua yang tidak memadai (tidak harmonis),
3) Biasa dibiarkan di masa kanak-kanak, sejak kecil mereka cenderung dibiarkan,
kurang disiplin dan konsisten. 4) Identitas seksualnya tidak aman (insecure), awal
dari penolakan orangtua tumbuh menjadi penolakan identitas seksnya(lali-laki/
perempuan) dan meniru-niru lawan jenisnya. 5) Trauma seksual dimasa kanakkanak, eksplorasi, penganiayaan seksual dan bullying. 6) Minat awal pada seks, 7)
Masturbasi dan fantasi seksual anak muda, 8) Asosiasi dan tekanan teman saat
kanak-kanak.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
8
Troiden (1989) mengemukakan model formasi identitas homosexual, yang
meliputi empat tahapan, yaitu; sensasi, kebimbangan identitas, asumsi identitas
dan komitmen/ ketegasan identitas.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode eksplorasi
dan melihat adanya hubungan atau pengaruh antara identitas diri dan identitas
seksual remaja. Pendekatan kualitatif bersifat induktif dalam arti bahwa teori di
susun dari data yang diperoleh atau didasarkan pada data. Peneliti kualitatif
menyusun dan mengembangkan teori selama proses pengumpulan data dengan
membuat perbandingan (Neuman, 2003).
Penelitian ini memfokuskan pada remaja sebagai manusia yang sedang
berkembang dalam mengalami perubahan dan pencarian identitas diri di satu sisi.
Di sisi lain kematangan reproduksi remaja membawa pengaruh dan dorongan
seksualnya. Sehingga dimungkinkan akan terjadi kebingungan mans yang lebih
utama dalam tugas perkembangannya diantara identitas diri dan orientasi seksual,
lebih lagi bagi remaja yang cenderung mempunyai orientasi homoseksual.
Dalam studi eksploratif atau penelitian yang bertujuan mencari hubungan
antara dua fenomena menempatkan remaja sebagai sumber data primer atau
sumber informasi. Sumber informasi yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah remaja yang cenderung mempunyai orientasi homoseksual. Sedangkan
data sekunder dalam penelitian ini adalah individu di lingkungan sekitar subyek
penelitian, baik teman, keluarga, maupun guru. Subyek penelitian ini ada 3 remaja
yang mempunyai oreientasi homoseksual dan 4 remaja yang sedang mengalami
krisis identitas diri dan belum jelas orientasi homoseksual.
Metode Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi,
serta serangkaian tes psikologi, diantaranya; menggunakan TAT, grafis, wartegg,
SSCT (Sach Sentence Completion Test) dan deskripsi diri, dapat digambarkan
psikologi dan kepribadian.
Neuman (2003) menyatakan bahwa para peneliti yang menggunakan
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
9
pendekatan kualitatif tidak selalu menggunakan istilah validitas dan reliabilitas
karna istilah tersebut sangat dekat dengan pengukuran kuantitatif. Untuk itu
peneliti berusaha mendapatkan informasi yang dibutuhkan dengan menggunakan
tiga pendekatan, yaitu; multipengukuran (tes psikologi, wawancara), multisumber
(dari responden, pacar, kawan, orangtua, anggota komunitas mereka), dan
multikonteks (observasi sikap, pemikiran, pengalaman, perasaan, dll).
E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Responden No. 1 (E) Wanita usia 18 tahun
Kognisi: kurang percaya diri dan merasa mengalami hambatan untuk mandiri dan
mencapai keinginannya, sehingga membutuhkan dorongan, bimbingan dan
dukungan dari orang
lain.
Mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan
masalahanya (harian), merasa agak puas dengan dirinya, idealis dan suka
memberontak.
Emosi: Tipenya tertutup, cenderung sensitif mudah emosi dan cemas. pribadinya
kurang fleksibel, regulasi emosi yang rendah, cenderung ceroboh, pemalas dan
kekanak-kanakan
(childish).
Ada
kecenderungan
memaksakan
kehendak/keinginan pada orang lain. Dalam kondisi tertekan akan melakukan
tindakan menyakiti diri sendiri, walau kadang menyesalinya.
Sosial: Dapat beradaptasi, berkomunikasi dan berbagi (tawa dan tangis) dengan
teman atau lingkungan di sekitamya, E dianggap pembuat kekacauan dan
keonaran di sekolah (mungkin karena orientasi seksualnya). cukup bertanggung
jawab saat mendapat tugas, cenderung berhati-hati saat berkomunikasi dengan
orang (dewasa) yang baru dikenalnya. Merasa tidak aman dan ada konflik dalam
dirinya karena ada kecenderungan homoseksual.
E mengalami ketidakmatangan seksual yang membuat dirinya tertekan,
seperti laki-laki yang terperangkap dalam diri perempuan. Menurut E perkawinan
adalah pengekangan, mudah jatuh kasihan atau jatuh hati pada wanita (mencari
sosok wanita yang keibuan bukan hedonis seperti ibunya). Pandangan terhadap
keluarga kurang baik dan tidak bahagia yang memperlakukan E seperti
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
10
perempuan berusia 26 th (dewasa). Pandangan E terhadap ibunya cenderung
kurang baik, pemarah, pendendam dan menyeramkan. Subjek berpikir bahwa
semua ibu menyayangi anaknya. Pandangan subjek terhadap ayahnya termasuk
cukup baik.
E merasa ditolak oleh orang terdekatnya (ortu dan keluarga) terutama ibunya.
Ayah adalah sosok yang penyabar. Jika beda pendapat dengan ayahnya, ada
keinginan meninggalkan keluarganya karena tidak berperan dalam keluarganya. E
melampiaskan diri pada pergaulan bebas di luar, salah satunya adalah pacaran
bebas. memikirkan kenikmatan dan kesenangan untuk memenuhi dorongan
seksnya, dan merasa kecewa apabila cintanya ditolak.
E adalah anak kedua (anak perempuan yang diharapkan) dari seorang Bapak
(pensiunan asuransi yang kaya/sukses kemudian beralih ke wiraswasta yang
sering jatuh/bangun) dan Ibu (IRT). Mereka termasuk keluarga yang
mampu/berada dilihat dari bangunan fisik rumahnya. Bapak dan Ibunya tinggal
terpisah di kota yang berlainan karena pekerjaan. Kakak laki-lakinya sebelum
menikah sudah hidup bersama (di rumah mereka) dan bersama ibunya beberapa
kali melakukan kekerasan fisik dan psikis pada E. Tipe ayahnya seorang pendiam
dan pengertian tetapi tidak pernah hadir secara fisik dan psikis di dekat E dan Ibu
yang keras, mengontrol, cenderung otoriter dan memusuhi E. Bapak dan Ibunya
masing-masing cenderung punya WIL dan PIL, sehingga merupakan tipe
pasangan (keluarga) yang kurang harmonis.
E merasa berbeda (seperti laki-laki) sejak TK. Saat duduk di bangku SMP
ortunya mengetahui tentang orientasi seksualnya dan menawarkan apakah akan
berubah/operasi organ kelamin seperti laki-laki. Beberapa kali mengalami
kecelakaan dan mencederai kepalanya (gagar otak) sehingga beberapa waktu
setelahnya kepalanya sering sakit.
2. Responden No. 2 (S) Laki-laki usia 23 tahun
Kognisi: Tipe orang yang tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki,
merasa lemah dan butuh dorongan dari orang lain untuk mencapai cita-cita dan
keinginannya. Cenderung menghindari permasalahan yang dihadapi karena
ketidak mampuannya, meski berusaha mengatasi hambatan yang dihadapinya.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
11
Emosi: Pernah mengalami peristiwa traumatis, sehingga mengalami kecemasan
dan merasa tidak berdaya. Memiliki ketakutan pada suatu hal dan tampak
tertekan. Emosi S tidak stabil dan takut mengambil sikap untuk menentukan
tindakan.
Sosial: Cenderung bersikap kekanak-kanakan, sehingga masih butuh perhatian
dan bimbingan dari orang lain. Takut bertindak dan mudah terpengaruh orang
lain. Membutuhkan kasih sayang dari orang di sekitarnya, membutuhkan cinta dan
menjalin hubungan dengan seseorang untuk pnemenuhi kebutuhan seksualnya.
Identitas homoseksual sangat jelas, walau perilakunya melanggar aturan moral
dan standar sosial. Ingin sekali merasakan kebebasan dan mencari ketenangan
karena ketidak puasan pada lingkungan dan dirinya
Mahasiswa semester akhir di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta,
sikapnya yang lemah gemulai dan parasnya cantik. Keperluan sekolahnya banyak
dibantu oleh kakaknya laki-laki, tetapi setelah tahu S seorang Gay, dia tidak
diperdulikannya lagi. Bapak, Ibu dan saudaranya yang lain tidak tahu tentang
statusnya. Keluarganya mempunyai latar belakang religious yang kuat. Ayahnya
sangat dominan dan konservatif, hal itu yang membuat S benci pada ayahnya,
sedangkan ibunya nampak kurang berperan. Keluarganya nampak kurang
harmonis. Melakukan seks pertama kali saat SMP dipaksa oleh teman sekamarnya
di asrama. Selanjutnya dia sering melakukan hubungan seks dengan senang hati
bahkan seperti ketagihan. Sering berganti-ganti pasangan dan sangat beresiko bagi
kesehatannya. S menjalani kehidupan homoseksualnya dengan mengabaikan
semua hal termasuk dirinya, kesehatannya, agama dan kepercayaannya.
3. Responden No. 3 (J) Laki-laki usia 23 tahun
Kognisi: Mampu berpikir logis dalam menghadapi sesuatu, namun mengalami
kesulitan jika harus menyelesaikan masalah. J kurang bersemangat mencapai
keinginannya.
Emosi: cenderung mudah merasa sedih dan kondisi emosinya mudah berubah.
Sosial: Berkepribadian tertutup, mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan
orang lain. Merasa kurang berharga dan tidak memiliki peran, cenderung
bergantung,
mudah terpengaruh oleh pada orang lain dan cenderung
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
12
membutuhkan perhatian. Menganggap dirinya tidak berperan dan sangat
bergantung pada ibunya. Ada indikasi homoseksual, memiliki kebutuhan akan
cinta dan tetap setia pada seseorang yang ditunggu. Subjek memiliki imajinasi
hubungan percintaan yang sangat besar sehingga ia merasa tidak berdaya dan
kesepian. Membutuhkan dukungan, bantuan dan perlindungan. Cenderung untuk
meminta hal yang sama dari pasangannya, ia berharap cintanya terbalas dan
menikah. kebutuhan berhubungan intim dan seksual dengan seseorang tetapi
terjadi penolakan. Kebutuhan untuk mencari perhatian, penghargaan dan pujian
dari orang lain dengan cara mendramatisir penampilan. Subjek merasa tidak puns
dengan fisiknya, ia merasa rendah diri.
Seorang mahasiwa tahun terakhir sebuah universitas swasta di Yogyakarta,
sangat energik, lahir di Jakarta kemudian pindah ke kota dekat Yogyakarta. Dari
keluarga yang cukup berada dan tact beragama, ayahnya seorang kontraktor yang
super sibuk, sehingga urusan keluarga diserahkan sepenuhnya pada ibunya (guru
dan workoholic) yang dominan. Dia anak ke-2 dari 4 bersaudara yang setiap anak
mempunyai baby-sitter masing-masing. Sejak TK J sering di bully temantemannya dan dikatai banci, dan ini berlanjut hingga SMA (tinggal di asrama).
Dia melakukan hubungan seks dengan teman sekamarnya (sesama jenis) saat di
SMA, selanjutnya dia aktif melakukannya. Phobia semua bentuk olahraga
berkelompok yang memakai bola, hingga saat ini dia menganggap bahwa dialah si
bola yang ditendang kesana kemari. Orangtuanya belum lama tabu kalau dia
seorang Gay, walaupun mereka tidak bisa menerima keberadaan anaknya yang
seperti itu tetapi mereka ada rasa penyesalan mengapa tidak lebih memperhatikan
anak-anaknya/keluarga dan sibuk sendiri. Akibatnya kehidupan J sekarang sangat
dikontrol oleh orang tuanya dari masalah uang, tempat tinggal yang terus
dimonitor keberadaannya dan selalu harus pulang kerumah walaupun dia harus
bepergian sejauh 30 km dari kampusnya.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Identitas remaja terbentuk jika dapat mencapai pilihan pekerjaan,
mengangkat nilai yang diyakini dan dijalani, serta perkembangan seksual yang
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
13
memuaskan. Identitas seksual penting sebagai bagian dari identitas diri remaja.
Pencapaian identitas seksual lebih pads usaha mengenali diri sebagai mahluk
seksual, orientasi seksual diri, menerima gejolak seksual, membangun keterikatan
seksual dan hubungan romantis. Remaja memiliki aturan seksual berupa pola
yang khas dalam perilaku seksualnya, jika itu terabaikan, menurut psikoanalisa
dimungkinkan remaja itu mempunyai superego (moral) yang lemah sedangkan
dorongan id (seksual, libido) sangat kuat sehingga lebih mengembangkan
mekanisme penolakan, memindahkan (displacement), projeksi dan hubungan ibuanak laki-lakinya. Mereka cenderung menunjukkan perilaku seksual yang tidak
bertanggung jawab karena merasa dirinya tidak berarti, tidak memiliki
kesempatan yang memadai untuk belajar dan bekerja, terdorong untuk
membuktikan dirinya sendiri dengan seks. Sehingga orientasi seksual menjadi
berbeda, konsisten secara romantis, secara seksual, dan penuh kasih sayang
kepada orang lain yang jenis kelaminnya sama (homosexual). Dalam penelitian ini
dari tiga subjek yang berorientasi homoseksual tidak secara jelas menujukkan
adanya pengaruh yang melibatkan faktor hormonal maupun neurologi.
Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa remaja yang
cenderung dan bahkan berorientasi homoseksual masih berusaha mengenali
identitas dirinya karena masih banyaknya krisis atau eksplorasi yang perlu mereka
tangani. Empat responden nampak lebih menonjol identitas seksual dan
homoseksualnya dari pada identitas diri, serta memungkinkan akan mendapatkan
kendala di tahap perkembangan berikutnya. Untuk itu mereka masih perlu
bimbingan, dukungan dan pemahaman tentang identitas dirinya. Kedepan perlu
kerjasama yang memadai antara remaja, orangtua, kehtarga, guru dan komunitas
mereka. Peneliti dapat memberikan beberapa saran berdasarkan basil penelitian
ini dengan berpijak pada kerangka pemikiran yang ada dan sumbangan
kemanfaatan ilmu psikologi bagi kepentingan masyarakat luas. Bagi pihak yang
menjadi pendamping dan berhubungan dengan remaja / responden hendaknya
memperluas wawasan mengenai perkembangan dan kepribadian remaja sehingga
dapat memotivasi remaja mencapai identitas diri lebih utama dari pads identitas
seksualnya. Bagi remaja yang menjadi responden sebaiknya berkonsentrasi
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
14
mencapai pilihan pekerjaan, mengangkat nilai yang diyakini dan dijalani (agama,
moral, susila dan sosial) serta perkembangan seksual yang memuaskan. Selain itu
hendaknya remaja sebaiknya mengikuti kegiatan yang positif agar pengalaman
positif yang diperoleh juga semakin banyak. Pemahaman tentang perilaku seksual
yang sehat akan lebih memudahkan langkah kehidupan selanjutnya. Bagi para
akademisi yang ingin meneliti tentang topik ini baik dengan metode kualitatif
maupun kuantitatif diharapkan dapat memperluas jangkauan sudut pandang
kedalaman maupun penanganannya. Hal tersebut dikarenakan penelitian dengan
metode kualitatif ini tentunya masih memiliki banyak kekurangan yang
disebabkan oleh waktu yang sempit untuk menggali lebih dalam tentang perilaku
homoseksual remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Aat Sriyati dan Taty Hernawati (2007) Laporan Penelitian: Pengamuh raining
pengembangan diri terhadap harga diri remaja putri Homoseksual di Desa
Cireurw n, Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang.
Bell A. and Weinberg M. (1978). Homosexualities: A Study of Diversity Among
Men and Women. New York, Simon & Schuster.
Blitchington, W.P. (1984). Sex Roles and the Christian Family, Wheaton, III.:
Tyndale House Publishers.
Coleman E. (1982). Developmental stages of the coming out process. Journal
Homosexuality; 7: 31– 43.
Dusek, J.B. (1991). Adolescent Development and Behavior (2'd Ed.). Englewood
Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
Erikson, E. (1963) Childhood and society. New York: Norton.
Erikson, Erick, H. 1989.Identitas dan Siklus Hidup Manusia; Bunga Rampai 1.
Penerjemah : Agus Cremers. Jakarta : PT. Gramedia.
French S.A., Story M., Resnick M.D., Blum R.W. (1996). Sexual orientation and
prevalence of body dissatisfaction and eating disordered behaviors: A
population-based study of adolescents. Int J of Eating Disorder; 19; 119 -126.
Freud, Anna (1953). The Ego and Mechanisms of Defense. New York:
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
15
International Universities Press.
Gonsiorek J.C. (1988). Mental health issues of gay and lesbian adolescents.
JAdolesc Health Care; 9: 114 -22.
Gordon, S. and Gilgun, J. (1987). Adolescent sexuality. In: Van Hasselt, V. and
Hersen, M., Editors, 1987. Handbook of adolescent psychology, Pergamon
Press, Elmsford, NY.
Hammersmith S.K. (1987). A sociological approach to counseling homosexual
clients and their families. Journal Homosexuality.
Henderson A.F. (1984). Homosexuality in the college years: Developmental
differences between man and women. JAm Coll Health; 32: 216 -9.
Hurlock, E. B. (1990). Developmental psychology: a lifespan approach. Boston:
McGraw-Hill.
Hurlock, E.B (1998). Perkembangan Anak. Alih bahasa oleh Soedjarmo &
Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.
Jay K. and, Young A,(Eds) (1979). The Gay Report: Lesbians and Gay Men
Speak Out About Their Sexual Experiences and Lifestyles. New York, Simon
& Schuster.
Kroger, J. (1993). Ego Identity: An Overview. In J. Kroger (Ed.) Discussion on
Ego Identity. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
La Haye. T. (1980). What Everyone Should Know Aboutn Homosexuality.
Wheaton Ill.: Tyndale House.
Marcia, J.E. (1980) Identity in Adolescence. In JoseptAdelson (Eds.). Handbook
of Adolescence Psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Marcia, J. E. (1993). The relation roots of Identity. In In J. Kroger (Ed.)
Discussion on Ego Identity. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
MartinA.D. (1982). Learning to hide: The socialization of the gay adolescent.
Adolescent Psychiatry; 10: 52— 65.
Muus, R. 1996. Theories of Adolescence. New York : McGraw Hill.
Neuman, W.L. (2003). Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Approach, 4th edition. Boston: Allyn and Bacon.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
16
O'Koon, J (2000). Attachment to Parent and Peers in Late Adolesence and Their
Relationship with Self-Image. http://www findarticles.com
Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2008). Human development (8th
ed.). Boston: McGraw-Hill
Remafedi G, Farrow J. and Deisher R. (1991). Risk factors for attempted suicide
in gay and bisexual youth. Pediatrics; 87: 869 -75.
Rice, F.P. (1990). The adolescent development, relationship & culture (6th ed.).
Boston: Ally & Bacon
Santrock, J.W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja, alih bahasa, Shinto
B. Adelar & Sherly Saragih, Jakarta: Erlangga.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Sosial; Individu dan Teori-Teori
Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarwono, Sarlito Wirawan (1994). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Shah, F., & Zelnick, M. (1981). Parental and peer influence on sexual behavior,
contraceptive use, and pregnancy experience of young women. Journal of
Marriage and the Family, 43, 339-348.
Simari C.G. and Baskin D. (1988). Incestuous experiences within homosexual
populations: A preliminary study. Arch Sex Behavior; 11: 329-43.
Steinberg, L. (2003). Gale Eincyclopedia Childhood and Adolescence.
http://vvww.findarticles.com
Story M., French S.A., Resnick M.D. and Blum R.W. (1995). Ethnic/racial and
socioeconomic differences in dieting behaviors and body image perceptions
in adolescents. Int Journal Eating Disorder; 18: 173-9.
Troiden R.R. (1988). Homosexual identity development. Journal Adolescent
Health Care; 9: 105-13.
Troiden, R. (1989). The formation of homosexual identities. Journal of
Homosexuality, 17(1/2), 43-73.
Jurnal SPIRITS, Vol.1, No.2, Mei 2011. 97-224
ISSN : 2087-7641
17
Download