LESBIAN, GAY, BISEKSUAL DAN TRANSGENDER MENURUT

advertisement
LESBIAN, GAY, BISEKSUAL DAN TRANSGENDER MENURUT PANDANGAN
KRISTEN
IRA D. MANGILILO1
Emile Durkheim di dalam Guerrero mengatakan bahwa tatanan sosial kita
sangat tergantung pada seberapa baiknya masyarakat bisa mengontrol perilaku
individu.2 Tindakan paling mendasar manusia yaitu berhubungan dengan
seksualitas yang dikontrol oleh norma-norma dan nilai-nilai. Di Indonesiapun,
negara mengajarkan kita tentang nilai heteronormatif yang mengasumsikan bahwa
heteroseksualitas merupakan satu-satunya norma yang normal dan pantas
berperan di negara ini.3 Di sinilah pernikahan itu sendiri dipahami sebagai
pelembagaan unsur heteroseksual yang mendefinisikan keluarga heteroseksual
sebagai norma kemasyarakatan.4 Pandangan ini mengindikasikan bahwa keluarga
yang dibangun berdasarkan hubungan heteroseksual adalah lebih berharga
dibandingkan dengan bentuk-bentuk keluarga yang lainnya. Konsekuensinya adalah
bahwa masyarakat lalu menilai bahwa bentuk-bentuk seksualitas dan keluarga yang
berbeda dengan yang telah ditetapkan merupakan sesuatu yang bersifat
menyimpang atau tidak alamiah karena tidak selaras dengan idealisme yang ada di
dalam masyarakat.5 Di sinilah posisi kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender
(LGBT) yang memiliki relasi seksual yang berbeda dengan norma ideal masyarakat
kemudian dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dan oleh karena itu ditidak
diijinkan keberadaannya.
Pembahasan tentang isu lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT)
sangat erat kaitannya dengan pembahasan tentang seksualitas baik itu yang
berhubungan dengan konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual
1
Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana. Makalah disampaikan pada acara
Studium Generale tanggal 14 November 2015 yang diselenggarakan oleh Fakults Teologi UKSW.
2
Anna Leon-Guerrero, Social Problems: Community, Policy and Social Action (Singapore: Sage
Publications, Inc, 2013), 108.
3
Leon-Guerrero, Social Problems,”108.
4
Amy Lind, “Legislating the Family: Heterosexist Bias in Social Welfare Policy Frameworks,” Journal
of Socilogy and Social Welfare, December, 2004, Vol. XXXI, No. 4, 23.
5
Leon-Guerrero, Social Problems,”109.
dan identitas gender, identitas seksual, erotisme, kesenangan, keintiman dan
reproduksi.6 Seksualitas seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual. Oleh
karena faktor-faktor itulah maka tidak selamanya seksualitas yang dialami,
diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku,
kebiasaan, peran dan hubungan dapat diungkapkan atau ditunjukkan di dunia
nyata.7
Ada dua jenis pandangan tentang seksualitas yang saling bertentangan satu
dengan yang lainnya yaitu pandangan esensialisme dan konstruksionisme.
Kelompok esensialisme melihat jenis kelamin, orientasi seksual dan identitas
seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan alami sehingga tidak mengalami
perubahan. Bagi kaum esensialisme, jenis kelamin yang dimiliki oleh manusia hanya
terdiri dari 2 saja yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanyalah
heteroseksual dan identitas gender haruslah sesuai dengan jenis kelamin
(perempuan-feminin; laki-laki-maskulin). Kelompok lain yang berada di luar
kategori ini dilihat sebagai abnormal karena melawan arus.8 Sementara itu,
pandangan konstruksionisme sosial melihat bahwa baik gender, seks/jenis kelamin,
orientasi sosial dan identitas gender merupakan hasil konstruksi sosial. Untuk itu
seksualitas bersifat cair dan selalu berkesinambungan. Seksualitas tidak hanya
meliputi hubungan di antara laki-laki dan perempuan melainkan juga interseks dan
transgender/transeksual. Di sinilah, orientasi seksual meliputi baik heteroseksual,
homoseksual dan biseksual.9 Kedua pandangan di atas dapat disimpulkan melalui
bagan berikut:.
6
Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan, “Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan
Transgender (LGBT) – Jalan Lain Memahami Minoritas,” 1, [Online Access], tersedia pada
www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2008/10/dari-suara-lgbt-jalan-lainmemahami-hak-minoritas-1-1.doc+&cd=28&hl=en&ct=clnk&gl=id, [diakses: 7 November 2015].
7
Komnas Perempuan, “Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT),” 1.
8
John D. DeLamater and Janet Shibley Hyde, “Essensialism vs. Social Constructionism in the Study of
Human Sexuality,” The Journal of Sex Researh, Vol 35, No. 1, 1998, 13. Lihat juga Ken Plummer,
“Essintialism and Constructionism,” dalam Blackwell Encyclopedia of Sociology, diedit oleh George
Ritzer ( Oxford, UK: Blackwell Publishing, 2007), 1436.
9
DeLamater and Hyde, “Essensialism vs. Social Constructionism,” 15. Lihat juga Plummer,
“Essintialism and Constructionism,” 1436.
Esensialisme
Konstruksionisme sosial
Seks
Laki-laki dan perempuan
Laki-laki,
perempuan,
interseks, transgender
Gender
Feminin, maskulin
Feminin,
adrogynous,
dibedakan
Orientasi seksual
Heteroseksual
Heteroseksual,
homoseksual, biseksual
maskulin,
tidak dapat
Orientasi Seksual dan LGBT
Orientasi seksual adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan daya
tarik yang dirasakan oleh satu individu terhadap yang lain. Selain mengacu pada
unsur emosional, romantis, atau ketertarikan seksual, istilah ini juga mencakup
pengertian identitas. Orientasi seksual individu dapat diarahkan pada orang dari
jenis kelamin yang sama, orang dari lawan jenis, atau terhadap orang-orang dari
kedua jenis kelamin.10 Di sini, orientasi seksual terdiri dari tiga komponen yaitu
praktek, identitas dan pilihan. Praktek merujuk kepada apa yang setiap individu
inginkan, pengalamannya, hubungannya dengan orang lain, dan dengan pasangan
seksualnya. Identitas meliputi perasaan seseorang, istilah yang digunakan untuk
dirinya, dan juga pilihannya mengenai dengan siapa ia ingin berbagi hidup dan
memiliki hubungan intim.11 Orientasi seksual ini terbagi ke dalam beberapa
golongan yaitu homoseksual yaitu tertarik pada sesama jenis; heteroseksual yaitu
tertarik pada jenis kelamin yang berbeda; dan biseksual yaitu tertarik dengan kedua
jenis kelamin. Istilah yang diberikan kepada kaum homoseksual adalah gay
(hubungan di antara laki-laki dengan laki-laki) dan lesbian (hubungan di antara
perempuan dengan perempuan). Reksodirdjo berpendapat bahwa secara linguistik
10
Renee Perrin-Wallqvist and Josephine Lindblom, “Coming Out as Gay: A Phenomenological Study
about Adoloscents Disclosing Their Homosexuality to their Parents,” Social Behavior and Personality,
2015, 43(3), 467.
11
Perrin-Wallqvist and Lindblom, “Coming Out as Gay,” 468.
istilah gay untuk hubungan sesama jenis antara laki-laki sebenarnya tidak cocok
digunakan mengingat bahwa kata gay sendiri merujuk kepada seseorang yang
ramah dan ceria. “Dalam masyarakat barat, dalam hal ini Prancis, jangan terlalu
kaget apabila ada yang mengatakan Moi, je suis gaï karena artinya adalah Saya
adalah orang yang ceria. Untuk mengatakan bahwa Saya adalah penyuka sesama
laki-laki, maka digunakan istilah Moi, je suis homo atau Moi, je suis pédé.”12
Sementara itu, lesbian adalah istilah yang diberikan kepada seorang
perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan di
mana di antara keduanya terjalin hubungan secara fisik, seksual, emosional dan juga
spiritual.13 Ada beberapa istilah yang diberikan kepada para lesbian yaitu butch,
lesbian yang berperan sebagai laki-laki; femme, lesbian yang mengambil peran
sebagai perempuan; lesbian yang berperan sebagai laki-laki atau perempuan
disebut andro; sementara lesbian yang bukan laki-laki maupun perempuan biasanya
disebut no label. Para lesbian dengna perannya masing-masing ini dapat
diidentifikasikan melalui cara mereka berpakaian dan bertingkah laku. Butch
cenderung menggunakan pakaian laki-laki dan bertingkah laku layaknya laki-laki.
Femme di lain pihak biasanya berpenampilan feminin, senang berdandan dan tidak
jauh berbeda dengan perempuan pada umumnya. Andro cenderung fleksibel di
mana mereka selalu menyesuaikan dengan peran yang dijalankan saat itu entah
sebagai lesbian butch atau femme. Berbeda dengan yang lainnya, lesbian no label
biasanya tidak memiliki ciri khas di dalam berpakaian.14
Reksodirdjo mengatakan bahwa femonema homoseksual terutama gay
bukanlah sesuatu yang asing di Indonesia mengingat bahwa kehadiran kelompok
gay sebenarnya diakui keberadaannya melalui ritual-ritual adat setempat. Hal ini
dapat dilihat misalnya melalui keberadaan kelompok Bissu di Makassar. Mereka
adalah laki-laki yang berdandan dan menari seperti perempuan untuk acara-acara
12
Wisnu Adihartono Reksodirdjo, “Homoseksualitas di Indonesia: Antara Kenyataan dan Hipokrasi,”
Prosiding International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS), Fakultas Ilmu Pengetahuan dan
Budaya- Universitas Indonesia, Juni 2011, 439.
13
Triana Adhiati, Gerakan Feminis Lesbian: Studi Kasus Politik Amerika 1990-an (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2007), 26.
14
Ann Brooks, Postfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif (Yogyakarta:
Jalasutra, 2009), 56.
ritual tertentu. Mereka dianggap memberikan energi-energi tersendiri para acara
ritual yang dijalankan dan bahkan dianggap sebaga titisan dewa yang dikirimkan ke
bumi. Peran dari para Bissu ini sendiri adalah mendoakan keberhasilan panen,
memberikan doa restu bagi masyakarat yang ingin naik haji, dan lain sebagainya.
Namun seiring dengan kehadiran agama-agama Abrahamik di Indonesia maka
keberadaan kaum Bissu terancam karena dianggap menyimpang dari ajaran agama.
Kebudayaan lainnya di Indonesia yang sangat permisif terhadap homoseksualitas
adalah Warok-Gemblak di Ponorogo, Jawa Timur dan kebudayaan Anak Jawi di
Sumatera Barat.15
Pandangan di atas menunjukkan bahwa di tengah-tengah kondisi negara
Indonesia yang sangat menekankan pada hubungan heteronormatif maka
keberadaan kaum homoseksual baik itu gay dan lesbian termasuk juga biseksual
dan transgender bukanlah sesuatu yang asing. Kelompok yang memiliki orientasi
seksual yang berbeda ini telah ada sejak dahulu kala di Indonesia dan bahkan diakui
di dalam ritual-ritual keagamaan dan kebudayaan di berbagai wilayah di nusantara.
Keberadaan mereka kemudian dipertanyakan dan dipertentangkan seiring dengan
keberadaan agama-agama Abrahamik seperti Kristen dan Islam di Indonesia yang
memiliki pandangan yang sangat ketat tentang kaum homoseksual ini. Pembahasan
di bawah ini akan menjelaskan secara khusus tentang pandangan Kristen terhadap
LGBT.
Pandangan Kristen terhadap LGBT
Perdebatan tentang homoseksualitas di dalam gereja yang pada awalnya
merupakan permasalahan yang tidak nampak kini menjadi salah satu isu sentral di
dalam kekristenan di beberapa dekade terakhir ini. Beberapa gereja di Kanada
15
Reksodirdjo, “Homoseksualitas di Indonesia,” 440-41.
seperti gereja Anglikan dan United Church of Canada telah berhasil tiba pada
kesepakatan untuk menerima keberadaan kaum homoseks di gereja-gereja mereka.
Kedua gereja ini bahkan telah menabiskan sejumlah kaum homoseksual sebagai
pemimpin umat dan menikahkan pasangan-pasangan homoseksual. Hal yang sama
juga telah terjadi di gereja-gereja liberal di Belanda di mana homoseksual tidak lagi
menjadi isu dan para pemimpin gereja telah menunjukkan penerimaan mereka
terhadap kaum ini. Di wilayah Amerika Serikat sendiri, permasalahan tentang
penerimaan terhadap kaum homoseksual termasuk pentabisan dan pernikahannya
telah menjadi salah satu isu yang memecahbelahkan gereja. Permasalahan yang
sama juga terjadi di negara-negara dunia ketiga yang bahkan hingga saat ini belum
mampu menerima kehadiran para homoseksual di komunitas-komunitas gereja
mereka. Gereja Roma Katolik sendiri beserta dengan organisasi-organisasi
keagamaan dengan tegas menolak homoseksualitas. Mereka berpendapat bahwa
mereka tidak menolak kaum homoseksual sebagai individu namun mereka menolak
gaya hidup homoseksual.16 Di dalam diri gereja Protestan sendiri, masih banyak
kelompok jemaat dan pemimpin umat yang menolak keras keberadaan kaum
homoseks dan bahkan mengasingkan kaum ini dari gereja ataupun dari kesempatan
untuk ditabiskan sebagai pendeta. Gereja-gereja karismatik adalah juga termasuk di
dalam kelompok yang menolak keras keberadaan kaum homoseks ini. Masalah
keberadaan kaum homoseks ini kemudian menjadi isu yang bertambah panas ketika
terutama di wilayah Amerika Serikat sendiri ketika Mahkama Agung di sana
memutuskan bahwa konstitusi Amerika Serikat menjamin hak untuk pasangan
sesama jenis menikah di sekuruh 50 negara bagian itu. Keputusan ini diambil pada
tanggal 26 Juni 2015.
Ada banyak alasan sebenarnya yang membuat gereja-gereja baik di konteks
Barat maupun dunia ketiga bereaksi keras terhadap keberadaan kaum homoseks ini
yang dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan kekristenan dan bagi Injil itu
sendiri. Ini merupakan bagian dari cara setan untuk melawan gereja.17 Beberapa
16
R. Ruard Ganzevoort, Mark van der Laan, and Erik Olsman, “Growing up Gay and Religious,” Mental
Health, Religion, and Culture (14(3), 2011, 211.
17
Ganzevoort, van der Laan, and Olsman, “Growing up Gay and Religious,” 212.
alasan yang digunakan oleh gereja untuk menolak kaum ini adalah sebagai
berikut:18
a. Perilaku homoseksual adalah dosa
Penekanan bahwa homoseks adalah dosa dapat dilihat di dalam Imamat
18:22 yang mengatakan bahwa: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara
orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” Larangan ini
kemudian diperkuat di dalam Imamat 20:13, “Bila seorang laki-laki tidur dengan
laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan
suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada
mereka sendiri.” Larangan ini kemudian diulangi pula di dalam Perjanjian Baru, di
mana Paulus sendiri yang menulis di dalam konteks pemerintahan kekaisaran Roma
menentang keberadaan kaum gay dan lesbian. Hal ini dapat dilihat di dalam Roma
1:25-27, “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja
dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji
selama-lamanya, amin. Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu
yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang
wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan
persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi
mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, lakilaki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan
yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
b. Homoseksualitas bertentangan dengan urutan penciptaan Tuhan untuk
keluarga dan relasi manusia.
Alasan
yang
kedua
berkenaan
dengan
anggapan
bahwa
perilaku
homoseksualitas bertentangan dengan maksud penciptaan Tuhan. Di dalam Kej.
1:27 tertulis bahwa, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
18
“Homosexuality, Marriage, and Sexual Idenity,” this statement was adopted as the official
statement by teh General Presbytery of the Assemblies of God in session August 4-5, 2014.
mereka.” Selain itu di dalam Kej. 2:18 dikatakan bahwa,”TUHAN Allah berfirman:
‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong
baginya, yang sepadan dengan dia.’”
Bagi sebagian umat Kristen, ketika Tuhan menciptakan manusia maka Ia
menetapkan aturan tentang seksualitas yang harus dikembangkan oleh manusia
sehingga dapat menuntun pada pembangunan keluarga. Lebih lanjut, Alkitab telah
menetapkan secara jelas bahwa manusia hanya dapat mengekspresikan hasrat
seksualnya melalui hubungan intim yang hanya dilakukan di dalam perjanjian
perkawinan – hubungan yang bersifat heteroseksual dan monogami. Hal ini tertera
di dalam Kej 2:23-24,” Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia, tulang dari tulangku
dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari lakilaki.’ Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Di sinilah bagi gereja, ketika manusia telah berpaling dan terlibat di dalam
perilaku homoseksual maka mereka telah berpaling pula dari perilaku seksual alami
yang telah ditetapkan Tuhan. Hal ini menurut gereja telah diperkuat lagi oleh Yesus
di dalam Mat. 19:4-5, “Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?’
Dan firman-Nya: ‘Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.’”
c. Homoseksualitas akan menerima penghakiman Tuhan
Cerita yang digunakan untuk mengukuhkan pendapat ini tentu saja adalah
cerita tentang Sodom dan Gomora yang seolah-olah mengindikasikan adanya
praktek homoseksual di sana. Ayat terkenal yang digunakan adalah Kej. 19:5,
“Mereka berseru kepada Lot: "Di manakah orang-orang yang datang kepadamu
malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka."
Sebagai konsekuensi dari tindakan penduduk Sodom maka Tuhan turun tangan
untuk menghukum kota ini beserta dengan penduduknya yang bejat dengan cara
membumihanguskan kota ini dan kota tetangganya yaitu Gomora dengan belerang
api (Kej 19:4-11, 24-25). Hal ini dikutip lagi oleh Petrus di 2 Petrus 2:6, “dan jikalau
Allah membinasakan kota Sodom dan Gomora dengan api, dan dengan demikian
memusnahkannya dan menjadikannya suatu peringatan untuk mereka yang hidup
fasik di masa-masa kemudian.” Dan juga oleh Yudas 1:7, “Sama seperti Sodom dan
Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan
percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung
siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang.” Di sinilah, ayat-ayat ini
kemudian menjadi alasan penolakan tegas terhadap perilaku homoseksualitas
karena adanya ganjaran penghukuman yang berat bagi para pelakunya.
Teologi Penerimaan: Sebuah Tantangan bagi Gereja di Masa yang Akan Datang
Pandangan gereja-gereja yang menolak keras terhadap keberadaan kaum
homoseksual di tengah-tengah mereka telah menimbulkan berbagai reaksi dari
mereka yang adalah kaum homoseksual dan beragama Kristen. Banyak di antara
mereka yang merasa ditolak oleh gereja yang sama sekali tidak memberikan tempat
bagi kaum homoseks untuk terlibat aktif di dalam komunitas keagamaan tersebut.
Tidak jarang pandangan-pandangan keagaamaan seperti ini juga menuntun pada
sikap penolakan orang tua terhadap anak-anak mereka yang “coming out” sebagai
kaum homoseks. Anak-anak tersebut kemudian tidak diakui sebagai bagian dari
anggota keluarga dan bahkan ada yang sampai mengalami depresi dan bunuh diri.
Selain itu tekanan dari ajaran gereja seperti ini juga mempengaruhi pandangan
komunitas yang juga ikut-ikutan mengucilkan kaum homoseks. Di sinilah
pertanyaan yang timbul adalah berkenaan dengan sikap gereja di dalam
menyingkapi fenomena LGBT ini.
James Nelson, seorang profesor etika mengatakan bahwa keberadaan kaum
homoseks yang semakin banyak terutama di kalangan orang Kristen sendiri
menuntut gereja untuk tidak melupakan tanggung jawabnya untuk menghadapi isu
ini dengan cara yang lebih terbuka, jujur dan sensitif.19 Bagi Nelson, sudah saatnya
bagi gereja untuk melihat kembali teologi dan praktek keimanannya. Ada lima point
19
James B. Nelson, “Homosexuality and the Church,” Christianity and Crisis April 4, 1977, [online
access], tersedia pada http://www.religion-online.org/showarticle.asp?title=430.
utama20 yang kemukakan oleh Nelson yaitu: 1) Kaum homoseks Kristen adalah
saudari dan saudara kita yang secara tulus mencari penerimaan gereja terhadap
mereka tanpa adanya prejudis berdasarkan orientasi seksual mereka – sesuatu yang
merupakan jalan hidup mereka; 2) gereja harus mengambil tindakan yang penuh
tanggung jawab untuk menghadapi sikap antihomoseks yang kuat di dunia ini
dengan cara membentuk, mendukung dan mengubah sikap negatif terhatap kaum
homoseks; 3) Perintah kekristenan untuk melakukan keadilan sosial hendaknya
tidak membuat kita lupa bahwa diskriminasi terhadap berjuta-juta kaum homoseks
terus terjadi hingga saat ini. Mereka diingkari haknya atas pekerjaan, perumahan,
akomodasi publik, pendidikan dan dalam menikmati kemerdekaan mendasar yang
seyogyanya dinikmati oleh para warga negara di wilayahnya; 4) Gereja dipanggil
untuk terus mengasah upaya-upaya berteologi dan beretikanya sebertanggung
jawab mungkin. Pandangan-pandangan penting dari para teolog feminis, para
homoseks Kristen dan mereka yang merupakan para pakar sekuler mengingatkan
kita melalui berbagai cara tentang bagaimana kondisi seksualitas kita sendiri
mempengaruhi dan mewarnai persepsi kita tentang sifat dan kehadiran Allah di
dunia. Jika prinsip-prinsip di dalam Kekristenan kita membuat kita melawan
berbagai upaya pengabsolutan penilaian-penilaian teologis yang telah terjadi di
sepanjang sejarah, maka demikian pula keterbukaan kita terhadap penyataan yang
berkelanjutan Allah hendaknya meyakinkan kita, bersama dengan para leluhur iman
kita bahwa “Tuhan memiliki terang kebenaran yang hendak dinyatakan; 5)
Mayoritas berorientasi hereteroseksual di dalam gereja-gereja memiliki banyak
keuntungan ketika bergulat di dalam masalah homoseksualitas yaitu peningkatan
kemampuan untuk mencintai manusia lain dengan lebih sungguh dan tanpa rasa
takut.
Lima point yang ditawarkan oleh Nelson ini menunjukkan dinamika yang
dihadapi oleh gereja-gereja Kristen baik yang ada di dunia maupun di Indonesia
bahwa cepat atau lambat kita harus berusaha untuk menerima kenyataan bahwa
kaum LGBT ada di tengah-tengah kita dan kita harus berupaya untuk menanggapi
20
Nelson, “Homosexuality and the Church.”
keberadaan mereka. Penjelasan Nelson menegaskan bahwa gereja secara perlahan
namun berkesinambungan harus berjuang untuk menciptakan teologi yang dapat
menjawab tantangan jaman ini. Kita bisa saja menolak keberadaan kaum LGBT
dengan alasan ayat-ayat kitab suci yang telah disebutkan tadi namun kita juga dapat
memilih sikap yang berbeda. Salah satu sikap etis yang ditawarkan oleh Nelson
adalah berhubungan dengan diperkenalkannya “teologi penerimaan.” Inilah
menurut Nelson yang menjadi salah satu pesan moral dan etis dari Injil yaitu bahwa
setiap orang harus menerima dirinya sendiri apanya dan penerimaan diri hanya
dapat terjadi ketika orang diterima oleh orang lain dan terutama oleh Allah.
Di sini hal penerimaan ini yang belum dirasakan oleh kaum homoseks baik
di rumah mereka sendiri di mana mereka diberitahu oleh keluarga mereka bahwa
mereka tidak diterima; kemudian di gereja mereka diberitahukan bahwa mereka
adalah orang-orang berdosa akibat orientasi seksual mereka; lalu di rumah sakit
mereka didiagnosa sebagai yang sakit dan menyimpang; serta oleh hukum sebagai
kaum kriminal. Di sinilah maka gereja harus berusaha untuk menjawab
panggilannya untuk melayani mereka yang tersisih dan terbuang ini. Untuk itu
teologi penerimaan dikumandangkan mengingat bahwa Allah sendiri adalah
“Pencinta Kosmik” yang tidak pernah henti-hentinya ataupun gagal untuk
menunjukkan tindakanNya sebagai wujud kasih dan hal itu telah ternyata di dalam
Yesus
Kristus.21
Di
sinilah
kemampuan
kita
untuk
memanjangkan
dan
meningkatkan kapasitas kita untuk mencintai tanpa syarat seperti Allah mencintai
kita sebenarnya ditantang dengan kehadiran kaum homoseks ini.
Pada akhirnya, pertanyaan Yesus tentang “Siapakah sesamamu?” seperti
yang pernah diungkapkanNya di dalam cerita “Orang Samaria yang Baik Hati” kini
kembali didengungkan di telinga kita. Siapakah sesama kita? Apakah sesama kita
adalah semua orang di muka bumi ini kecuali kaum LGBT? Ataukah sesama kita
adalah semua orang di muka bumi ini termasuk kaum LGBT? Inilah pertanyaan yang
hendaknya kita renungkan di konteks kekinian kita.
21
Nelson, “Homosexuality and the Church.”
BIBLIOGRAFI:
Adhiati, Triana. Gerakan Feminis Lesbian: Studi Kasus Politik Amerika 1990-an.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007.
Brooks, Ann. Postfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
D. DeLamater, John D., and Janet Shibley Hyde. “Essensialism vs. Social
Constructionism in the Study of Human Sexuality.” The Journal of Sex Researh,
Vol 35, No. 1, 1998.
Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan. “Dari Suara Lesbian, Gay,
Bisexual, dan Transgender (LGBT) – Jalan Lain Memahami Minoritas.” 1.
[Online Access], tersedia pada www.komnasperempuan.or.id/wpcontent/uploads/2008/10/dari-suara-lgbt-jalan-lain-memahami-hakminoritas-1-1.doc+&cd=28&hl=en&ct=clnk&gl=id, [diakses: 7 November
2015].
Ganzevoort, R. Ruard, Mark van der Laan, and Erik Olsman. “Growing up Gay and
Religious.” Mental Health, Religion, and Culture (14(3), 2011.
“Homosexuality, Marriage, and Sexual Idenity.” The General Presbytery of the
Assemblies of God in session August 4-5, 2014.
Leon-Guerrero, Anna. Social Problems: Community, Policy and Social Action.
Singapore: Sage Publications, Inc, 2013.
Lind, Lind. “Legislating the Family: Heterosexist Bias in Social Welfare Policy
Frameworks.” Journal of Socilogy and Social Welfare, December, 2004, Vol.
XXXI, No. 4.
Nelson, James B. “Homosexuality and the Church.” Christianity and Crisis April 4,
1977.
[online
access],
tersedia
pada
http://www.religiononline.org/showarticle.asp?title=430.
Perrin-Wallqvist, Renee, and Josephine Lindblom. “Coming Out as Gay: A
Phenomenological Study about Adoloscents Disclosing Their Homosexuality
to their Parents.” Social Behavior and Personality, 2015, 43(3).
Plummer, Ken. “Essintialism and Constructionism.” Dalam Blackwell Encyclopedia
of Sociology. Diedit oleh George Ritzer. Oxford, UK: Blackwell Publishing,
2007.
Reksodirdjo, Wisnu A. “Homoseksualitas di Indonesia: Antara Kenyataan dan
Hipokrasi.” Prosiding International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS),
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya- Universitas Indonesia, Juni 2011.
Download