Implementasi Personalized Medicine di bidang

advertisement
OPINI
Implementasi
Personalized Medicine di bidang Onkologi
di Indonesia
Redho Meisudi
Kalbe Genomics Laboratory, Jakarta, Indonesia
PENDAHULUAN
Timbulnya kanker disebabkan oleh:1
1. Gen pencetus proliferasi aktif terus
menerus
2. Gen penekan pertumbuhan sel terhambat
3. Pengaktifan invasi dan metastasis
4. Kekekalan replikatif (immortal)
5. Pemicu angiogenesis
6. Penghambat kematian sel
Penemuan efek toksik Nitrogen Mustard
pada sistem hematopoetik lebih dari 50 tahun
yang lalu memicu penelitian mengarah ke
agen sitotoksik. Agen sitotoksik dimanfaatkan
di bidang onkologi untuk pengobatan yang
diistilahkan sebagai kemoterapi. Banyak jenis
kemoterapi ditargetkan bekerja pada proses
pembelahan sel, tetapi mekanisme kerjanya
yang tidak spesifik sehingga menimbulkan
toksisitas yang signifikan.
Penggolongan kemoterapi berdasarkan
mekanisme kerja adalah:1
1. Agen pengalkilasi seperti siklofosfamid
dan temozolomid
2. Logam berat seperti sisplatin dan
oksaliplatin
3. Anti metabolit seperti metotreksat dan
fluoro urasil
4. Antibiotik sitotoksik seperti antrasiklin dan
aktinomisin
5. Racun spindel seperti alkaloid vinca
(vinkristin & vinblastin) dan taksol
6. Penghambat topoisomerase seperti
kampotesin dan epotesid1
TERAPI TARGET
Saat ini telah dikembangkan terapi target
untuk menghambat pencetus proliferasi,
invasi dan metastasis serta angiogenesis.
Terapi target ini bekerja pada Epidermal
Growth Factor Receptor (EGFR) dan Vascular
Endothelial Growth Factor Receptor (VEGF).
Alamat korespondensi
Ada dua jenis terapi target yang telah dikembangkan yaitu:
1. Antibodi monoklonal seperti Cetuximab,
Panitumumab,
Nimotuzumab
dan
Trastuzumab
2. Penghambat tyrosine kinase seperti
Gefitinib, Erlotinib, Afatinib, Imatinib dan
Nilotinib1
Penggunaan terapi target tidak serta merta
dapat diberlakukan bagi semua individu.
Mekanisme kerjanya yang spesifik pada
signaling pathway tertentu membuat penggunaannya harus pada individu tertentu.
Setiap signaling pathway sangat dipengaruhi
oleh protein-protein yang menjadi bagian
dari setiap tahapan tersebut. Jika ada protein
yang tidak normal yang disebabkan oleh
adanya mutasi pada gen menyebabkan
signaling pathway tersebut tidak berjalan
semestinya. Tidak semua individu memiliki
protein penyusun signaling pathway yang
sama. Oleh karena itu, perlu diketahui
status mutasi gen setiap individu yang akan
diberikan terapi target.
Hal di atas menunjukkan salah satu
bagian dari implementasi personalized
medicine. Personalized medicine dapat diimplementasikan sebelum gejala muncul,
setelah gejala muncul dan perkembangan
penyakit. Hal ini dapat disederhanakan
menjadi tiga bagian yaitu:
1. Penilaian risiko (sebelum gejala muncul)
seperti pemeriksaan mutasi gen BRCA 1&2
serta MSI (MLH 1, MSH 2, MSH 6, PMS 2)
2. Prediksi efikasi target terapi (setelah gejala
muncul) seperti pemeriksaan mutasi gen EGFR,
RAS, Bcr Abl dan ekspresi gen EGFR, HER 2
3. Penilaian prognosis (perkembangan
penyakit) seperti pemeriksaan mutasi
gen BRAF, ekpresi MSI dan pemeriksaan
MammaPrint
APLIKASI KLINIS
Saat ini sudah ada lima kasus onkologi yang
sudah mengimplementasikan personalized
medicine di Indonesia yaitu:
A. Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)
Sesuai NCCN 4.2014, pasien NSCLC dapat
diterapi menggunakan Gefitinib, Erlotinib atau
Afatinib sebagai terapi lini pertama jika dan
hanya jika gen EGFR nya mengalami mutasi
pada ekson 19 dan 21. Studi IPASS dan
TORCH menunjukkan bahwa efikasi Gefitinib
dan Erlotinib sangat buruk jika diberikan
pada pasien dengan status gen EGFR normal.
Gefitinib dan Erlotinib yang merupakan
penghambat tyrosine kinase dengan ukuran
molekul sangat kecil bekerja menghambat
bagian intraseluler EGFR. Apabila gen EGFR
mengalami mutasi maka EGFR akan terus
teraktifasi dan situs intraselulernya juga terus
teraktifasi sehingga dapat dengan mudah
dihambat oleh Gefitinib, Erlotinib atau
Afatinib.
B. Metastatic Colorectal Cancer (mCRC)
Sesuai NCCN 1.2015, pasien mCRC dapat
diterapi kombinasi dengan Cetuximab,
Panitumumab atau Bevacizumab sebagai
terapi lini pertama. Cetuximab dan
Panitumumab hanya akan efektif jika dan
hanya jika gen RAS nya normal pada ekson
2, 3 dan 4 baik KRAS dan NRAS. Sedangkan
jika status gen RAS nya adalah mutasi pada
salah satu ekson maka dapat diberikan
Bevacizumab. Hal ini berdasarkan studi FIRE 3
dan CALBG yang menunjukkan bahwa efikasi
Cetuximab dan Panitumumab sangat buruk
jika diberikan pada pasien dengan status gen
RAS mutasi.
Selain itu, penilaian risiko CRC pada Hereditary
Non Polyposis Colorectar Cancer (HNPCC)
sangat penting sebagai strategi kesiap-
email: [email protected]
CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
867
OPINI
siagaan bagi yang memiliki riwayat keluarga.
Risiko ini dapat dinilai melalui pemeriksaan
mutasi gen MLH 1, MSH 2, MSH 6 dan PMS 2.
Selama proses perkembangan penyakit, perlu
juga dilakukan penilaian prognosis sebagai
pertimbangan dalam penentuan strategi
terapi yang efektif dan efisien. Prognosis CRC
dapat dinilai melalui pemeriksaan mutasi
gen RAF dan ekspresi MSI. NCCN 1.2015
menyatakan bahwa status gen RAF mutasi
menunjukkan mCRC memiliki prognosis
buruk. Pemeriksaan MSI yang hasilnya positif
menunjukkan CRC memiliki prognosis baik.
sebagai terapi lini pertama jika dan hanya
jika terdapat fusi antara gen Bcr dan gen
Abl pada kromosom Philadelphia sebagai
manifestasi translokasi lengan panjang
kromosom 9 dengan lengan panjang
kromosom 22. Imatinib dan Nilotinib yang
berperan sebagai penghambat tyrosine
kinase bekerja menghambat aktivitas protein
Abl. Fusi gen Bcr Abl meningkatkan aktivitas
protein Abl yang bekerja meningkatkan
produksi leukosit. Oleh karena itu, Imatinib dan
Nilotinib hanya diberikan kepada pasien yang
positif terdeteksi fusi gen Bcr Abl.
C. Breast Cancer (BC)
Sesuai NCCN 3.2014, pasien kanker payudara
dapat diterapi menggunakan Trastuzumab
sebagai neo adjuvan atau adjuvan jika dan
hanya jika nilai ekpresi HER 2 adalah positif
tiga. Selain itu, penilaian risiko Hereditary
Breast Ovarian Cancer (HBOC) sangat penting
bagi strategi kesiapsiagaan bagi yang
memiliki riwayat keluarga. Risiko ini dapat
dinilai melalui pemeriksaan mutasi gen BRCA
1&2. Bahkan untuk pasien kanker ovarium
di bawah 70 tahun, pemeriksaan BRCA
1&2 dianjurkan oleh panduan kedokteran.
Selama proses perkembangan penyakit, perlu
juga dilakukan penilaian pronosis sebagai
pertimbangan dalam penentuan strategi
terapi yang efektif dan efisien. Prognosis kanker
payudara dapat dinilai melalui pemeriksaan
MammaPrint. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menilai risiko seseorang untuk
mengalami kekambuhan atau metastasis.
Sebagai tindak lanjut penilaian efektifitas
terapi Imatinib dan Nilotinib, perlu dilakukan
pemantauan setiap tiga bulan terkait
penurunan gen Bcr Abl sebagai bentuk
respons terapi. Pemeriksaan secara kuantitatif
ini
menggunakan
skala
internasional
dengan respons obat dinyatakan efektif
jika penurunan gen Bcr Abl adalah 3log
atau dikenal dengan istilah MMR (respons
molekuler mayor). Jika tidak ada respon, perlu
dilakukan pergantian terapi dari Imatinib
menjadi Nilotinib. Hal ini diduga karena
adanya resistensi terhadap Imatinib sebagai
bentuk mutasi gen Bcr Abl. Tetapi, mutasi
T315I membuat resistensi juga pada Nilotinib.
Oleh karena itu, pergantian Imatinib menjadi
Nilotinib dapat dilakukan jika dan hanya jika
tidak terjadi mutasi pada T315I.
D. Chronic Myeloid Leukemia (CML)
Sesuai NCCN 1.2015, pasien CML dapat diterapi menggunakan Imatinib dan Nilotinib
E. Head & Neck Cancer (HNC)
Sesuai NCCN 2.2014, pasien HNC dapat
diterapi menggunakan Nimotuzumab dan
Cetuximab. Nimotuzumab hanya akan efektif
jika dan hanya jika terdapat over ekspresi
EGFR. Jika tidak ada overekspresi EGFR maka
dapat diganti dengan Cetuximab.
RESUME
Implementasi personalized medicine perlu
didukung oleh klinisi dan patolog handal
yang bekerjasama untuk memberikan
penanganan terbaik. Peran laboratorium
patologi molekuler sangat penting dalam
implementasi ini, selain didukung sumber
daya manusia yang handal serta sarana dan
pra sarana yang berkualitas.
Hal terpenting adalah kualitas laboratorium
yang memenuhi standar nasional dan
internasional. Saat ini Indonesia menerapkan
ISO 15189 untuk laboratorium klinik. Di
dunia, laboratorium patologi molekuler harus
diakreditasi oleh CAP (College of American
Pathology), UKNEQAS (United Kingdom
National External Quality Assessment Service),
EMQN (European Molecular Genetic Quality
Network), ESP (European Society of Pathology).
Selain kualitas laboratorium, kualitas sampel
menjadi salah satu parameter kritis utama.
Sampel untuk pemeriksaan molekuler
patologi dapat bersumber dari jaringan
seperti FFPE (Formalin Fixed Paraffin
Embedded) dan sel seperti cytology, serta
dari darah. Proses pengambilan, fiksasi,
penyiapan, pengepakan dan pengiriman
hingga ke laboratorium molekuler patologi
sangat mempengaruhi kualitas hasil.
Di Indonesia, implementasi Personalized
Medicine untuk bidang onkologi sudah diterapkan dan akan terus dikembangkan
demi mencapai pilihan terapi terbaik bagi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hanahan D, Weinber RA. Hallmarks of cancer: The Next Generation. Cell. 2011;144:647.
2.
Gleeson MJ, Clarke RC (editors). Scott-Brown’s otorhinolaryngology: Head and neck surgery. 7Ed: 3 volume set. CRC Press. 2008.p.34,37-9,41-3.
868
CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
Download