Kepercayaan dalam Komunikasi Politik_Final

advertisement
KEPERCAYAAN
DALAM KOMUNIKASI POLITIK:
TINJAUAN PSIKOLOGI
KOMUNIKASI
Dr. ISKANDAR ZULKARNAIN, M.Si.
DITERBITKAN OLEH USUPRESS BEKERJASAMA DENGAN
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
2016
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU
Jl. Universitas No. 9 Medan 20155, Indonesia
Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737
usupress.usu.ac.id
© USU Press 2016
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak
menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa
atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
ISBN 979 458 897 0
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Zulkarnain, Iskandar
Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi
Komunikasi / Iskandar Zulkarnain -- Medan: USU Press 2016.
v, 321 p.; ilus.: 24 cm
Bibliografi
ISBN: 979-458-897-0
1. Komunikasi - Politik
II. Zulkarnain, Iskandar
Dicetak di Medan, Indonesia
I. Judul
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan berkah,
nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
penulisan buku ini. Shalawat berangkaikan salam mari kita hadiahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Buku ini terinspirasi dari satu point materi dalam mata kuliah
Psikologi Komunikasi yang saya asuh, yakni Trust (Kepercayaan) dalam
proses komunikasi. Secara filsafat, kepercayaan dalam proses komunikasi
memegang peran yang sangat penting, khususnya bila diterapkan dalam
proses komunikasi politik. Kepercayaan akan menentukan, berhasil atau
gagalnya sebuah proses komunikasi politik. Berangkat dari inspirasi itu,
buku ini diberi judul: Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan
Psikologi Komunikasi. Untuk melengkapi isi buku ini, saya tambahkan
resume makalah-makalah “trust” yang juga merupakan tugas dalam mata
kuliah Filsafat dan Etika komunikasi yang juga saya asuh pada
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan Pascasarjana UINSU
Medan. Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa,
khususnya Sdr. Badrul Helmi, Lc., M.Kom. yang banyak membantu saya
dalam mewujudkan terbitnya buku ini.
Akhirnya penulis berharap buku ini bisa membawa manfaat bagi
kita semua. Amin.
Medan, 13 Juli 2016
Penulis,
Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................... 1
BAB II KOMUNIKASI POLITIK ......................................................... 4
A. Pengertian Komunikasi ......................................................... 4
B. Pengertian Politik .................................................................. 7
C. Pengertian Komunikasi Politik ........................................... 10
D. Sejarah Ilmu Komunikasi Politik ........................................ 14
E. Unsur-unsur Komunikasi Politik ........................................ 19
F. Tujuan Komunikasi Politik ................................................. 26
G. Teori-teori dalam Komunikasi Politik ................................ 27
H. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik ........................... 33
I. Komunikasi Politik di Indonesia ......................................... 37
J. Pemilihan Umum ................................................................ 41
K. Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung ..................... 44
L. Dinamisasi Komunikasi Politik .......................................... 67
BAB III PSIKOLOGI KOMUNIKASI .................................................. 76
A. Pengertian Psikologi dan Sejarahnya .................................. 76
B. Perkembangan Manusia ...................................................... 83
C. Pengertian Komunikasi menurut Psikologi......................... 86
D. Pengertian Psikologi Komunikasi ....................................... 89
E. Karakteristik Komunikator ................................................. 91
F. Komunikasi Efektif ............................................................. 93
G. Karakteristik Manusia Komunikan ................................... 100
H. Sistem Komunikasi Intrapersonal ..................................... 128
BAB IV KEPERCAYAAN DALAM KOMUNIKASI POLITIK:
TINJAUAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI ........................... 139
A. Kepercayaan dalam Psikologi Komunikasi ...................... 139
B. Kepercayaan dalam Komunikasi Politik ........................... 151
C. Membangun Kepercayaan Publik ..................................... 159
iv
BAB V PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA MEDAN ........... 189
A. Sekilas Pilkada Serentak ................................................... 189
B. Proses Pemilihan Wali Kota Medan ................................. 197
C. Konflik dalam Pemilihan Wali Kota Medan .................... 231
D. Evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan:
Pendekatan Psikologi Komunikasi Mengenai Krisis
Kepercayaan Rakyat Terhadap Kepala Daerah ................ 238
BAB VI PENUTUP ............................................................................. 279
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 284
v
BAB I
PENDAHULUAN
Komunikasi politik sangat erat kaitannya dengan psikologi
komunikasi, di mana di antara kajian psikologi komunikasi adalah
persepsi yang merupakan inti komunikasi, termasuk komunikasi politik.
Dari persepsi, dibangunlah kepercayaan publik yang merupakan tujuan
utama komunikasi politik.
Pada tanggal 10 November 2010, mata pemerintah, masyarakat
Indonesia, bahkan dunia internasional tertuju ke Indonesia. Indonesia
menerima kehormatan sebagai salah satu negara yang menjadi tujuan
kunjungan politik Presiden AS Barack Obama. Seluruh perhatian tertuju
pada kunjungan Presidan AS itu. Media massa seakan dibombardir
dengan pidato kepresidenan Barack Obama yang terus diputar. Sebagai
pemimpin negara adikuasa, wajar jika kunjungan Presiden Barack Obama
memberi pengaruh secara luas.
Banyak hal yang terjadi selama 18 jam kunjungan Presiden
Obama. Pemberitaan di media elektronik hingga media cetak dihiasi
pernyataan-pernyataan Obama sebagai presiden. Banyak rencana-rencana
yang dirumuskan untuk hubungan kerjasama antara Indonesia dengan
Amerika Serikat. Secara jelas Presidan AS tersebut langsung menyatakan
bahwa ingin menjadi negara nomor satu untuk Indonesia dalam hal
kerjasama.
Fenomena tersebut tidak sekali saja terjadi di Indonesia.
Berdasarkan tinjauan psikologi komunikasi, terjadi perubahan opini di
masyarakat hanya dalam kurun waktu 18 jam saja saat kunjungan
Presiden Barack Obama. Pengaruh yang begitu besar, bahkan salah satu
media menyatakan bahwa kehadiran Presiden AS di Masjid Istiqlal akan
membawa pesan khusus mengenai kerukunan umat beragama di dunia.
Waktu yang begitu singkat tetapi berhasil membawa pengaruh yang
signifikan.
1
Jika disimak dengan seksama dengan kajian ilmu komunikasi,
secara psikologis terjadi perubahan pola pikir, sikap, hingga perilaku.
Kunjungan kepresidenan Barack Obama mengantarkan kepada
pembentukan pola pikir baru, sikap, perilaku mengenai pribadinya hingga
kedudukannya sebagai Presiden AS.
Terjadi proses komunikasi dalam kunjungan Presiden Barack
Obama. pidato kepresidenan, perilaku, dan ekspresi dari seorang
Pemimpin Negara AS adalah pesan. Pesan tersebut kemudian ditangkap
oleh pihak media massa yang menjadi saluran komunikasi massa. Setelah
pesan disebarluaskan dalam bentuk pemberitaan kemudian di tangkap
oleh masyarakat secara meluas, maka terbentuklah opini masyarakat,
sikap, perilaku, dan penentuan pilihan untuk mengambil keputusan.
Proses yang terjadi adalah proses komunikasi yang membawa
pengaruh terhadap psikologi massa. Pesan-pesan politik yang dibawa
melalui berbagai simbo-simbol tertentu diteruskan melalui media massa
dan kemudian sampai ke penerima pesan. Pesan yang diterima
memberikan pengaruh terhadap persepsi penerima pesan. Pesan yang
diterima dan sesuai dengan tujuan dari pengirim pesan akan berbuah pada
keefektifan suatu proses komunikasi. Poin penting adalah komunikasi
politik terjadi dalam proses yang singkat dengan pengaruh yang besar.
Komunikasi politik secara sadar maupun tidak sadar terus terjadi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai kebijakan politik
disampaikan untuk merubah pandangan terhadap suatu kepentingan.
Simbol-simbol tertentu dari sebuah partai politik bisa menjadi bagian dari
komunikasi politik. Begitu banyak hal yang terjadi dalam proses
komunikasi politik. Memandang besarnya pengaruh komunikasi politik,
komunikasi politik menjadi salah satu bidang ilmu yang berkembang.
Ilmu komukasi politik mengkaji unsur-unsur yang terlibat dalam proses
komunikasi.
Secara umum, isi buku ini membahas kepercayaan dalam
komunikasi politik menurut perspektif psikologi komunikasi.
Pembahasan dimulai dengan komunikasi politik yang meliputi pengertian
komunikasi, pengertian politik, pengertian komunikasi politik, sejarah
ilmu komunikasi politik, unsur-unsur komunikasi politik, tujuan
komunikasi politik, teori-teori dalam komunikasi politik, komunikasi
politik dalam sistem politik, komunikasi politik di Indonesia, pemilihan
umum, komunikasi politik dalam Pilkada langsung, dan dinamisasi
komunikasi politik.
2
Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan psikologi komunikasi
yang meliputi pengertian psikologi dan sejarahnya, perkembangan
manusia, pengertian komunikasi menurut psikologi, pengertian psikologi
komunikasi, karakteristik komunikator, komunikasi efektif, karakteristik
manusia komunikan, dan sistem komunikasi intrapersonal.
Pembahasan dilanjutkan dengan kepercayaan dalam komunikasi
politik: tinjauan psikologi komunikasi yang meliputi kepercayaan dalam
psikologi komunikasi, kepercayaan dalam komunikasi politik, dan
membangun kepercayaan publik.
Pembahasan berikutnya adalah pemilihan kepala daerah Kota
Medan (sebagai contoh komunikasi politik: tinjauan psikologi
komunikasi) yang meliputi pembahasan-pembahasan mengenai sekilas
Pilkada serentak, proses pemilihan Wali Kota Medan, konflik dalam
pemilihan Wali Kota Medan, dan evaluasi pemilihan Kepala Daerah Kota
Medan: pendekatan psikologi komunikasi mengenai krisis kepercayaan
rakyat terhadap Kepala Daerah. Pembahasan ditutup dengan Bab Penutup
yang berisi kesimpulan.
3
BAB II
KOMUNIKASI POLITIK
A. Pengertian Komunikasi
Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa Latin
communico yang berarti membagi. Yang dimaksud membagi adalah
membagi gagasan, ide, atau pikiran antara seseorang dan orang lain.
Communico berakar dari kata communis yang berarti sama, sama arti atau
sama makna. Dalam komunikasi, hakikatnya harus terkandung kesamaan
makna atau kesamaan pengertian. Jika tidak ada kesamaan pengertian di
antara mereka yang melakukan komunikasi, maka komunikasi tidak akan
berlangsung. Tegasnya tidak ada komunikasi(Shoelhi:2009:2).
Komunikasi manusia itu dapat dipahami sebagai interaksi
antarpribadi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik, misalnya
simbol verbal dan nonverbal. Seperti kata Mehrabian, 55% dari
komunikasi manusia dinyatakan dalam simbol nonverbal, 38% melalui
nada suara, dan 7% komunikasi yang efektif dinyatakan melalui katakata. Simbol-simbol itu dinyatakan melalui sistem yang langsung seperti
tatap muka atau media (tulisan, visual dan aural). Melalui pertukaran
simbol-simbol yang sama dalam menjelaskan informasi, gagasan dan
emosi di antara mereka itulah, akan lahir kesamaan makna atas pikiran,
perasaan dan perbuatan.
Manusia harus berkomunikasi, karena itu ia harus bicara, seperti
kata Knapp dan Vangelisti:
1. Orang bicara tentang relasi mereka dalam pekerjaan, bagaimana
mereka terlibat, bagaimana kebutuhan untuk menyatakan
tenaganya.
2. Orang bicara tentang komitmen yang berkaitan dengan relasi.
Komitmen merupakan kondisi awal dari sebuah relasi.
4
3.
Orang bicara tentang relasi sebagai keterlibatan, terlibat bersama
secara kuantitatif maupun kualitatif dalam percakapan, dialog,
dan membagi pengalaman.
4. Orang bicara tentang relasi dalam istilah manipulasi, misalnya
bagaimana saling mengawasi.
5. Orang bicara tentang relasi dalam istilah untuk
mempertimbangkan dan memperhatikan.
Dari sini akan muncul "sebab" dan "akibat" bagi lahirnya sebuah
komunitas bersama, karena kesamaan latar belakang sosial dan
kebudayaan.
Sekelompok orang yang mengikuti arisan atau sekelompok
mahasiswa, hanya bisa tumbuh dan berkembang sebagai sebuah
komunitas atau bahkan masyarakat, kalau setiap anggotanya saling
bertukar pengalaman, makin hari makin mendalam dan terjadi berulangulang. Sebagaimana dikatakan para ahli komunikasi, bahwa komunikasi
itu meliputi usaha untuk menciptakan pesan, mengalihkan pesan,
memberikan diri kita sebagai sebuah tempat yakni di hati dan otak orang
lain untuk menerima pesan. Hasil dari komunikasi bersama itu adalah
interpersonal understanding (pemahaman atas hubungan antarpribadi)
karena ada kesamaan orientasi perseptual, kesamaan sistem kepercayaan
dan keyakinan, serta kesamaan gaya berkomunikasi.
Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi,
setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah
peristiwa komunikasi. Jadi, kalau satu komponen kurang maka
komunikasi tidak akan terjadi. Ia menyatakan bahwa komunikasi
merupakan:
1. Transmisi informasi.
2. Transmisi pengertian.
3. Menggunakan simbol-simbol yang sama.
Bernardo Attias menyatakan bahwa definisi komunikasi itu harus
mempertimbangkan tiga model komunikasi (model retorikal dan
perspektif dramaturgi, model transmisi, dan model ritual). Jadi
komunikasi itu:
1. Membuat orang lain mengambil bagian, menanamkan,
mengalihkan berita atau gagasan.
2. Mengatur kebersamaan untuk kepentingan bersama.
3. Membuat orang yang terlibat berkomunikasi.
4. Membuat orang saling berhubungan.
5. Mengambil bagian dalam kebersamaan (Liliweri:2003:6-8).
5
Definisi komunikasi secara terminologi banyak diperdebatkan
dan diperselisihkan oleh para pakar komunikasi, karena para pakar
komunikasi berasal dari berbagai disiplin ilmu. Definisi komunikasi dari
pakar politik dan sosiologi seperti Harold Dwight Lasswell berbeda
dengan definisi komunikasi dari pakar elektronik seperti Claude Shannon
yang mendefinisikan komunikasi dengan pendekatan scientific. Ia
menyatakan “Communication is the transmission and reception of
information” (Taufik:2012:30), dan Harold Dwight Lasswell dalam
artikelnya “The Structure and Function of Communication in Society,”
menulis: “Convenient way to describe an act of communication is to
answer the following questions: “Who says what in which channel to
whom and with what effects?”(Lasswell:1948:117).
Everett M. Rogers, seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika
yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi,
khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa
“Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber
kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah
tingkah laku mereka”(Cangara:2014:22).
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari satu
pihak kepada pihak lain untuk mendapatkan saling pengertian
(Wursanto:2005:157).
Walstrom – dari pelbagai sumber – menampilkan beberapa
definisi komunikasi, yakni:
1. Komunikasi antarmanusia sering diartikan dengan pernyataan diri
yang paling efektif.
2. Komunikasi merupakan pertukaran pesan-pesan secara tertulis
dan lisan melalui percakapan, atau bahkan melalui penggambaran
yang imajiner.
3. Komunikasi merupakan pembagian informasi atau pemberian
hiburan melalui kata-kata secara lisan atau tertulis dengan metode
lainnya.
4. Komunikasi merupakan pengalihan informasi dari seseorang
kepada orang lain
5. Komunikasi adalah pertukaran makna antarindividu dengan
menggunakan sistem simbol yang sama.
6. Komunikasi adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan
seseorang melalui suatu saluran tertentu kepada orang lain
dengan efek tertentu.
6
7. Komunikasi adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan
atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis,
melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi,
atau hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna
(Liliweri:2003:8).
Dari definisi-definisi komunikasi di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikan dengan menggunakan media komunikasi yang mana
penyampaian pesan itu menimbulkan pengaruh.
B. Pengertian Politik
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics
atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik.
Di Indonesia terkenal pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani
Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia
atau the good life. Politik dalam arti ini begitu penting karena sejak
dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik
mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber daya alam,
atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga
merasa bahagia dan puas. Ini adalah politik.
Usaha untuk menggapai kebahagiaan itu dapat ditempuh melalui
berbagai cara, yang kadang-kadang bertentangan satu dengan lainnya.
Akan tetapi semua pengamat setuju bahwa tujuan itu hanya dapat dicapai
jika memiliki kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem
politik). Kekuasaan itu perlu dijabarkan dalam keputusan mengenai
kebijakan yang akan menentukan pembagian atau alokasi dari sumber
daya yang ada. Para sarjana politik cenderung untuk menekankan salah
satu saja dari konsep-konsep ini, akan tetapi selalu sadar akan pentingnya
konsep-konsep lainnya.
Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa politik
dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik
(publicpolicy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).
Jika dianggap bahwa ilmu politik mempelajari politik, maka
perlu kiranya dibahas dulu istilah ‘politik’ itu. Pemikiran mengenai
politik (politics) di dunia Barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani
Kuno abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap
7
politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity)
yang terbaik. Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia
karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan
rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas
yang tinggi. Pandangan normatif ini berlangsung sampai abad ke-19.
Dewasa ini definisi mengenai politik yang sangat normatif itu
telah terdesak oleh definisi-definisi lain yang lebih menekankan pada
upaya (means) untuk mencapai masyarakat yang baik, seperti kekuasaan,
pembuatan keputusan, kebijakan, alokasi nilai, dan sebagainya. Namun
demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu
masyarakat yang lebih baik daripada yang dihadapinya, atau yang disebut
Peter Merkl: “Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha
mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at its
best is a noble quest for a good order and justice)” betapa samar-samar
pun tetap hadir sebagai latar belakang serta tujuan kegiatan politik.
Dalam pada itu tentu perlu disadari bahwa persepsi mengenai baik dan
adil dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi masing-masing dan zaman
yang bersangkutan.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah
usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik
oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah
kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini
menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut
proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan
itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apa yang menjadi tujuan
dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut pilihan antara beberapa
alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan
itu.
Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies)
yang menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation) dari sumber daya
alam, perlu dimiliki kekuasaan (power) serta wewenang (authority).
Kekuasaan ini diperlukan baik untuk membina kerja sama maupun untuk
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara
yang dipakainya bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu bersifat
paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan ini hanya merupakan
perumusan keinginan (statement). Akan tetapi, kegiatan-kegiatan ini
dapat menimbulkan konflik karena nilai-nilai (baik yang materil maupun
yang mental) yang dikejar biasanya langka sifatnya. Di pihak lain, di
negara demokrasi, kegiatan ini juga memerlukan kerja sama karena
8
kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada
dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik (conflict
resolution) atau konsensus (consensus).
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaannya,
kegiatan politik, di samping segi-segi yang baik, juga mencakup segi-segi
yang negatif. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat
manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk.
Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan
sering saling bertentangan, mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga,
malu, dan marah. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita acapkali
berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji, atau seperti
dirumuskan oleh Peter Merkl sebagai berikut: “Politik, dalam bentuk
yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan
kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (Politics at its worst is a selfish
grab for power, glory and riches)!” Singkatnya, politik adalah perebutan
kuasa, takhta, dan harta (Budiardjo:2008:13-15).
Di bawah ini ada tiga sarjana yang menguraikan definisi politik
yang berkaitan dengan masalah konflik dan consensus:
1. Menurut Rod Hague dan kawan-kawan: “Politik adalah kegiatan
yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai
keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui
usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara
anggota-anggotanya (Politics is the activity by which groups
reach binding collective decisions through attempting to
reconcile differences among their members).”
2. Menurut Andrew Heywood: “Politik adalah kegiatan suatu
bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan
mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur
kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala
konflik dan kerja sama (Politics is the activity through which a
people make, preserve and amend the general rules under which
they live and as such is inextricaly linked to the phenomen of
conflict and cooperation)”(Budiardjo:2008:15-16).
3. Dalam pandangan Dye, politics didefinisikan sebagai "the
management of conflict" (Dye:1988:1).
Definisi ini didasarkan pada satu anggapan bahwa salah satu
tujuan pokok pemerintahan adalah untuk mengatur konflik. Jadi,
pemerintahan sendiri pada dasarnya diperlukan untuk
memberikan jaminan kehidupan yang tenteram bagi
9
masyarakatnya, terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik di
antara individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Seperti
dikatakan Dye, "the management of conflict is one of the basic
purposes of government." Untuk bisa mengatur konflik tentu
tidak bisa menghindari pentingnya kekuasaan dan otoritas formal
seperti dinyatakan dalam pengertian sebelumnya. Penguasa yang
tidak memiliki kekuasaan tidak akan pernah mampu mengatasi
masalah-masalah yang sewaktu-waktu muncul di masyarakat.
Konsekuensinya, ia dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi
dan dianggap tidak berfungsi. Bahkan pada tingkat tertentu,
terutama jika tetap bertahan berkuasa, penguasa seperti itu
memiliki potensi otoriter, dan berakibat pada situasi semakin
melemahnya kedaulatan rakyat. Dalam keadaan seperti ini,
komunikasi politik akan semakin kehilangan fungsi yang
sesungguhnya (Muhtadi: 2008b:29).
Di samping itu ada definisi-definisi lain yang lebih bersifat
pragmatis. Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang dijumpai
disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau
unsur dari politik. Unsur ini diperlukannya sebagai konsep pokok yang
akan dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lain. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep pokok itu adalah:
1. Negara (state).
2. Kekuasaan (power).
3. Pengambilan keputusan (decision making).
4. Kebijakan (policy, beleid).
5. Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) (Budiardjo:
2008:16-17).
C. Pengertian Komunikasi Politik
Dengan menggunakan konsep dasar komunikasi dan kebudayaan,
komunikasi politik juga pada dasarnya merupakan bagian dari, dan
dipengaruhi oleh, budaya politik suatu masyarakat. Pada saat yang sama,
komunikasi politik juga dapat melahirkan, memelihara dan mewariskan
budaya politik. Sehingga dengan memperhatikan struktur pesan serta
pola-pola komunikasi politik yang diperankannya, maka dapat dianalisis
budaya politik suatu masyarakat (Muhtadi: 2008b:27).
10
Menurut Rush dan Althoff, komunikasi politik adalah transmisi
informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik
kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem
publik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik; dan proses
sosialisasi, partisipasi, serta rekrutmen politik bergantung pada
komunikasi (Althoff dan Rush: 1997:255).
Secara sederhana unsur-unsur tersebut digambarkan seperti
berikut:
BUDAYA POLITIK
SISTEM POLITIK
KOMUNIKASI POLITIK
Gambar 1. Unsur-unsur Politik (Muhtadi: 2008b:28).
Sampai saat ini, sudah banyak definisi tentang komunikasi
politik. Berikut ini adalah beberapa diantaranya:
1. Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada
dalam setiap sistem politik. Komunikasi politik merupakan
proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat enam
fungsi lainnya itu dijalankan, yaitu sosialisasi dan rekrutmen
politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, membuat
peraturan, aplikasi peraturan, dan ajudikasi peraturan. Hal ini
berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren
di dalam setiap fungsi sistem politik.
2. Process by which a nation's leadership, media, and citizenry
exchange and confer meaning upon messages that relate to the
conduct of public policy (Komunikasi politik adalah proses di
mana pemimpin bangsa, media, dan warga negara mengubah dan
memberi makna pada pesan-pesan yang berhubungan dengan
pelaksanaan kebijakan umum).
3. Communicatory activity considered political by virtue of its
conse-quences, actual, and potential, that it has for the
funcioning of political system (Aktivitas komunikasi dikatakan
bersifat politik berdasarkan konsekuensi, kebenaran, dan
potensinya yang memiliki fungsi pada sistem politik).
11
4. Political communication refers to any exchange of symbols or
messages that to a significant extent have been shaped by or have
consequences for the political system (Komunikasi politik
memiliki makna setiap perubahan simbol-simbol dan pesan-pesan
yang signifikan terhadap suatu keadaan politik atau memiliki
konsekuensi terhadap sistem politik).
5. Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik,
yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi
masyarakat serta mengaturnya sedemikian rupa "penggabungan
kepentingan"
(interest
aggregation)
dan
"perumusan
kepentingan" (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi
kebijakan politik.
6. Komunikasi politik merupakan penyebaran aksi, makna, atau
pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik,
melibatkan unsur-unsur komunikasi, seperti komunikator, pesan,
dan lainnya.
7. Political communication is a field of communications that is
concerned with politics (Komunikasi politik merupakan area
komunikasi yang memiliki perhatian khusus terhadap aspek
politik).
8. Komunikasi politik adalah aktivitas komunikasi yang bermuatan
politik untuk tujuan kebajikan dengan berbagai konsekuensi yang
mengatur tingkah laku manusia dalam keadaan konflik.
9. Komunikasi politik adalah yang diarahkan pada pencapaian suatu
pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh
jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya
melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembagalembaga politik.
10. Komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesanpesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan
kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah.
Pendapat ilmuwan politik (dalam hal ini adalah ilmuwan politik
behavioralis) agak berbeda dengan pandangan ilmuwan komunikasi
dalam melihat komunikasi politik. Apabila ilmuwan komunikasi lebih
banyak membahas peranan media massa dalam komunikasi politik
(dengan sedikit perhatian pada komunikasi antarpribadi), para ilmuwan
politik mengartikan komunikasi politik sebagai proses komunikasi yang
melibatkan pesan politik dan aktor politik dalam setiap kegiatan
kemasyarakatan. Ilmuwan komunikasi menilai saluran komunikasi dalam
12
bentuk media massa merupakan saluran komunikasi politik yang sangat
urgen. Sebaliknya ilmuwan politik menilai saluran media massa dan
saluran tatap muka memainkan peranan yang sama pentingnya. Namun,
ilmuwan politik dan ilmuwan komunikasi sama-sama memandang bahwa
pesan dan media memiliki peranan yang penting dalam proses
komunikasi politik. Keduanya memberikan makna terhadap sebuah
aktivitas komunikasi politik. Pesan dan media senantiasa ada serta
berkembang seiring dengan kemajuan kajian dan aktivitas komunikasi
politik pada tataran praktis. Di antara prasyarat yang lain, pesan dan
media membuat komunikasi politik memiliki fungsi strategis.
Menurut Ardial (2010), fungsi komunikasi politik dapat dilihat di
dalam fungsi-fungsi sistem politik yang lainnya. Komunikasi politik
merupakan proses yang menentukan keberhasilan fungsi-fungsi lainnya,
sedangkan keberhasilan penyampaian pesan dalam setiap fungsi
menentukan keberhasilan pelaksanakaan fungsi bersangkutan.
Artikulasi kepentingan misalnya, sangat bergantung pada
komunikasi politik. Tanpa adanya komunikasi politik, arlikulasi
kepentingan adalah benda mati karena artikulasi itu sendiri tidak ada.
Menurut Almond, artikulasi kepentingan dijalankan oleh organisasi
politik dalam bentuk penyampaian kepentingan yang terdapat di dalam
masyarakat kepada penguasa politik. Proses komunikasinya terletak pada
penyampaian. Keberhasilan penyampaian pesan memainkan peranan
yang amat penting dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi
artikulasi kepentingan.
Contoh lain tentang pentingnya komunikasi politik dapat
diperhatikan dalam proses pembuatan peraturan (rule making) atau fungsi
kelima dari sistem politik. Komunikasi memainkan peran yang sangat
penting dalam proses pembuatan peraturan (undang-undang ataupun
bentuk ketentuan peraturan lainnya). Pihak yang membuat peraturan
dituntut untuk menjalin kerja sama, hubungan dan komunikasi yang baik
antara sesama mereka. Absennya hal-hal tersebut tentu saja akan sangat
menghambat keberhasilan fungsi pembuat peraturan.Selain itu, para
pengambil kebijakan sangat perlu membangun komunikasi dengan
masyarakat. Sebagai negara dengan sistem demokrasi, suara rakyat harus
sangat didengar oleh para penguasa atau pengambil kebijakan. Rakyat
memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya dengan berbagai
bentuk komunikasi. Dalam proses penyampaian aspirasi, komunikasi
politik sangatlah penting dan tidak bisa dipisahkan keberadaannya.
13
Dalam perkembangannya, komunikasi politik menjadi tidak
terpisahkan dalam proses kampanye politik. Sistem demokrasi di
Indonesia yang mengatur proses pemilihan secara langsung, baik
legislatif, presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur,bupati/wakil
bupati, dan walikota/wakil walikota, menjadikan komunikasi politik
semakin fungsional. Setelah reformasi, proses sosialisasi kandidat
pemimpin semakin variatif dan menarik. Kemasan kampanye politik kini
sudah berubah layaknya kemasan produk makanan atau pakaian.
Kampanye politik tidak lagi hanya pada persoalan visi misi, tetapi juga
memoles kandidat, menciptakan pesan dan mengatur ritme kemunculan
di media adalah bagian penting yang harus disentuh. Jika tidak dapat
melakukannya sendiri, para kandidat akan menyewa agen iklan
profesional untuk membantu mengemas proses kampanye politiknya.
Inilah abad citra di mana politik tidak cukup dengan substansi, tetapi juga
harus memperhatikan citra sebagai tuntutan dari kepentingan politikus
yang sedang "dijajakan" dan "ditawarkan" kepada publik sebagai calon
pemilihnya (Tabroni:2012:18-20).
D. Sejarah Ilmu Komunikasi Politik
Sebenarnya, karya tentang komunikasi politik sudah ada sejak
zaman Aristoteles pada tahun 350 SM. Saat itu, Aristoteles sudah
mengkaji bagaimana sebuah pesan politik disampaikan kepada khalayak.
Dalam perkembangannya, komunikasi politik pun menjadi sebuah
disiplin ilmu tersendiri. Penetapan komunikasi politik sebagai ilmu,
terhitung sejak dibentuknya divisi komunikasi politik oleh International
Communication Association (ICA) dan American Political Science
Association (APSA) pada awal tahun 70-an.
Studi komunikasi politik mulai marak sejak Perang Dunia I.
Sejarah komunikasi politik seperti dijelaskan Lynda Lee Kaid (2004)
tidak lepas dari dua tokoh ternama, yaitu Walter Lippmann (1922) dan
Harold Dwight Lasswell (1927).
Lippmann menyatakan peran media massa dalam membentuk
opini publik. Yang menjadi konsentrasi Lippmann adalah kebutuhan akan
kebebasan media massa yang secara normatif dan publik yang
terinformasikan. Sedangkan Lasswell konsen di bidang analisis
propaganda (propaganda analysis). Disertasinya sendiri tentang analisis
isi pesan propaganda yang dilakukan Jerman VS Perancis, Inggris, dan
14
Amerika Serikat pada Perang Dunia I. Analisisnya menggunakan model
lima pertanyaan yang sangat terkenal dalam ilmu komunikasi, yaitu “Who
says what in which channel to whom and with what effects?” Dua tokoh
ini hidup pada masa Perang Dunia I, di mana pada masa itu propaganda
(istilah "komunikasi massa" yang secara umum kita kenal) belum
dikenal. Pada saat itu yang digunakan adalah istilah public opinion and
propaganda.
Dalam praktiknya, proses opini publik dan propaganda selalu
menggunakan media sebagai saluran komunikasinya. Dengan
menggunakan media massa diharapkan dapat berdampak lebih luas
kepada publik seiring dengan tuntutan massa dan perkembangan
teknologi informasi. Sesuai dengan kajian komunikasi, di mana media
massa selalu memiliki efek yang cukup kuat kepada publik.
Paul F. Lazarsfeld (13 Februari 1901 - 30 Agustus 1976) dengan
Communication Effect and the Erie County Study lebih dikenal dengan
fokus kajiannya pada efek media massa. Ia juga dikenal sebagai ilmuwan
sosial yang menggunakan metodologi kuantitatif dalam melakukan studi
tentang perilaku pemilih yang dikenal dengan Erie County Study dalam
kasus pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1940. Dalam
penelitian itu, Lazarsfeld melihat bagaimana efek media massa
mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan presiden. Penelitiannya
tersebut menemukan bahwa media massa tidak banyak berpengaruh
terhadap perilaku pemilih waktu itu, kebanyakan pemilih (followers)
sudah menentukan pilihan melalui opinion leaders sebelum masa
kampanye dimulai. Hasil penelitian ini dikenal dengan two step flow
model.
Pada Abad 21, politik mulai dilihat sebagai persaingan untuk
memperoleh sumber daya yang terbatas. Bentley berpandangan bahwa
esensi politik adalah tindakan kelompok. Bentley membedakan kelompok
berdasarkan kepentingannya, dan melihat bagaimana interaksi
antarkelompok tersebut. Ini dikenal juga dengan model pluralis. Selain
Bentley, ada David Truman dan Robert Dahl. Hal ini terkait dengan studi
tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan kampanye.
Studi komunikasi politik juga berkembang menjadi kajian
tentang efek dan dampak. Di sini studi komunikasi politik terfokus pada
kajian tentang peran media massa dalam politik, seperti agenda setting
dan framing sehingga keberadaan media dalam kajian komunikasi politik
menjadi tidak bisa dipisahkan. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap
proses komunikasi politik mensyaratkan keberadaan media massa kendati
15
tidak setiap komunikasi politik dalam praktiknya menggunakan media
massa (Tabroni:2012:20-22).
Menurut Lely Arrianie, komunikasi politik kian hari kian menjadi
kajian yang menarik perhatian. Dalam perkembangannya, komunikasi
politik tidak hanya menarik bagi mereka yang fokus pada kajian ini,
tetapi juga bagi mereka yang fokus pada kajian komunikasi dan politik
secara akademis. Selain itu, komunikasi politik juga menjadi menarik
bagi para aktivis, politikus, serta profesional di bidang komunikasi dan
politik. Komunikasi politik sebagai disiplin ilmu pada dasarnya masih
relatif baru, terlebih di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat dalam Lely
menyatakan bahwa di Amerika sekalipun komunikasi politik masih
mencari bentuk. Namun dalam realitasnya, komunikasi dan politik
sekaligus pemanfaatan komunikasi untuk kepentingan politik sebetulnya
telah berlangsung sangat lama (Arrianie:2006:12).
Walaupun banyak pakar yang telah berkontribusi terhadap
penemuan dan pengembangan komunikasi politik, Arrianie menyebutkan
paling tidak ada empat orang yang dianggapnya sebagai funding fathers
komunikasi studi komunikasi politik di Amerika Serikat. Pada dasarnya,
mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Kurt Lewin, Paul F.
Lazarsfeld dan Carl I. Hovland memiliki latar belakang pendidikan
psikologi, sedangkan Harold Dwight Lasswell memiliki latar belakang
ilmu politik. Pada tahun 1927, Lasswell menulis buku Propaganda
Technique in the Word War. Dalam bukunya yang berjudul The Structure
and Functions of Communication in Society dengan formula who says
what in wich channel to whom with what effect, Lasswell menghadirkan
sebuah karya monumental yang terus dikembangkannya dan menjadi
rujukan para pakar dan mahasiswa termasuk di Indonesia. Pada tahun
1936, Lasswell pun menulis buku hasil penelitiannya yang lain tentang
politik yang sangat populer, yaitu Politics: Who Gets What, When, How.
Selain Lasswell, beberapa muridnya, seperti Ithiel de Sola Pool,
V.O.Key dan Gabriel Almond, juga memiliki minat yang sama dalam
pengembangan komunikasi politik. Key misalnya dengan detail
mempertemukan komunikasi dan politik dalam bukunya Public Opinion
and American Democracy. Pool menulis buku The People Look at
Educational Television: Candidates, Issue, and Strategies; a Computer
Simulation of the 1960 Election Campaign, dan Trend in Content
Analysis. Almond juga telah mengkaji berbagai konsep untuk memahami
fungsi komunikasi dan sistem politik.
16
Menurut Arrianie, di Eropa juga dikembangkan beberapa
penelitian komunikasi politik berkaitan dengan studi opini publik,
perkembangan arus sosiokultural, telaah hubungan antara media dengan
pemerintah, juga sistem informasi yang berlangsung pada institusi
birokratis. Fenomena ini ternyata memiliki relevansi dominan pada
penelitian komunikasi politik di Indonesia sampai sekarang.
Sebagian besar penelitian komunikasi yang menyentuh bidang
politik umumya lebih banyak tersajikan dalam bentuk penelitian tentang
pemberian suara (voting), serta pengaruh komunikasi terhadap responden
khalayak tentang kampanye. Penelitian tentang pemberian suara dalam
Pemilu dilakukan oleh Paul L. Lazarsfeld dalam The People's of Opinion
Formation in a Presidential Campaign. Bersama Elihu Katz, Lazarsfeld
juga meneliti tentang Personal Influence: the Part Played by People in
the Flow or Mass Communications. Kemudian Campbell, Converse,
Miller dan Stokes meneliti tentang The Voters Decides (Tabroni:2012:2223).
Menurut Ardial, Lazarsfeld dan kawan-kawan menyimpulkan
bahwa kontak tatap muka adalah faktor penyebab terpenting dalam
perubahan pilihan para pemilih. Hubungan yang erat dengan sesama
anggota masyarakat yang dikenal baik dan dipercaya merupakan jaminan
bahwa informasi yang disampaikan oleh tokoh tersebut layak diikuti.
Sifat-sifat hubungan tatap muka langsung memungkinkan komunikan
(followers) untuk mendapat lebih banyak informasi dari pemuka pendapat
(opinion leaders) (Ardial:2010:6).
Model dua tahap penyebaran arus komunikasi ini (two step flow
model) menganut pandangan bahwa media massa sebelumnya
memainkan peranan yang penting dalam penyebaran informasi. Tanpa
penyebaran media massa yang cukup luas, model dua tahap penyebaran
arus komunikasi tersebut tidak akan banyak berarti. Studi Lazarsfeld,
Berelson dan Gaudet, menurut Ardial, juga menemukan bahwa media
massa telah memainkan peranan penting sebagai penyalur informasi pada
waktu penelitian mereka berlangsung. Sejak awal surat kabar memainkan
peranan terpenting di antara berbagai bentuk media massa sebagai
penyalur informasi.
Kaitan antara media massa dan tingkah laku pemilih dalam
Pemilu telah banyak dikaji terutama oleh ilmuwan komunikasi. Dalam
bukunya yang berjudul The Effects of Mass Communication on Political
Behavior, Sidney Kraus dan Dennis Davis (1976) berpendapat bahwa
media massa memainkan peranan penting dalam kampanye Pemilu.
17
Bahkan, mereka berpendapat bahwa semenjak tahun 1950-an di Amerika
Serikat televisi berkembang pesat dan telah berhasil menggeser kontak
tatap muka sebagai saluran terpenting dalam penyampaian informasi
politik.
Dengan membandingkan studi Lazarsfeld dan kawan-kawan
yang diadakan pada tahun 1940 dengan tulisan Kraus dan Davis terlihat
bahwa model dua tahap penyebaran arus komunikasi menjadi kurang
relevan dengan meningkatnya peranan televisi sebagai media massa.
Televisi menjadi media massa yang paling banyak dikaji oleh para
ilmuwan sosial mengingat daya tariknya yang hebat sebagai sarana
hiburan yang relatif murah. Daya tarik kuat yang dimiliki oleh televisi
sebagai sarana hiburan membuat banyak pihak (termasuk pemerintah)
memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat
karena jangkauan audiensnya yang jauh lebih luas dibandingkan dengan
media massa lainnya.
Menyadari pentingnya dampak televisi, pada tahun 1976,
pemerintah Indonesia (Departemen Penerangan) bekerja sama dengan
LRKN-LIPI (pada waktu itu) dan East West Center mengadakan
penelitian tentang dampak televisi bagi masyarakat Indonesia. Arti
penting penyelenggaraan penelitian ini juga didorong oleh pemakaian
sistem satelit domestik Palapa untuk menyiarkan televisi ke seluruh
wilayah Indonesia. Penelitian tersebut telah menghasilkan sejumlah
laporan penelitian yang telah dimanfaatkan oleh Departemen Penerangan
dalam perumusan kebijakannya.
Studi tingkah laku pemilih berkaitan erat dengan studi dampak
komunikasi dan studi sikap mental (attitude). Studi dampak komunikasi
mempelajari dampak komunikasi terhadap orang yang terkena arus
komunikasi tersebut. Asumsinya, pesan yang disampaikan melalui komunikasi ditangkap oleh alam pikiran si penerima yang pada gilirannya
dapat mempengaruhi cara berpikir dan tingkah laku orang bersangkutan.
Dampak yang diperkirakan terjadi adalah bertambahnya informasi.
Informasi tersebut dapat mengakibatkan terciptanya alam pikiran dan
tingkah laku yang diinginkan oleh masyarakat maupun tingkah laku yang
bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat bersangkutan. Sedangkan
para sarjana psikologi sosial tidak hanya menekankan pada faktor aksi
diri yang menentukan perilaku komunikasi manusia dalam penelitiannya,
melainkan juga mempertimbangkan faktor interaksi antara individu
dengan lingkungan sosialnya. Artinya, selain oleh faktor internal,
perilaku komunikasi manusia juga ditentukan oleh faktor eksternal.
18
Penelitian dan kajian semacam ini bahkan terus dikaji oleh para tokoh
psikologi khususnya psikologi sosial dalam memahami komunikasi
politik.
Para sosiolog juga menurut Arrianie, memberikan sumbangan
yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan studi komunikasi
politik. Salah satunya adalah Herbert Blumer yang selalu menegaskan
dalam teorinya bahwa manusia sebetulnya bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna yang ada pada sesuatu tersebut. Pandangan inilah
yang memunculkan perspektif interaksionis simbolik bahwa makna dan
tindakan itu sesungguhnya saling mempengaruhi, dan penginterpretasian
yang terjadi di dalamnya melibatkan kelangsungan, gabungan, saling
menukar makna kelakuan, suatu transaksi di mana sebab akibat tidak
dapat dibedakan.
Manusia bertindak dengan mempertimbangkan segala hal yang
diamati dan mengarahkan perilakunya pada suatu perbuatan sebagaimana
ia menginterpretasikannya. Sebuah pendekatan yang jika diketengahkan
dalam konteks komunikasi politik akan sangat menentukan bagaimana
para pelakunya bermain dengan sangat cair di panggung politik termasuk
interpretasinya terhadap wilayah panggung politik yang menjadi tempat
pementasan skenario politik.
Komunikasi politik juga mempelajari mata rantai antara
komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara disiplin
komunikasi dan politik (hybrid interdisipliner). Jika disimak dari
berbagai literatur yang ada, ternyata komunikasi politik telah menjadi
kajian tersendiri (field inquiry) sejak tergabung dalam organisasi ilmiah
International Communication Association bersama dengan divisi lain,
seperti divisi sistem informasi, komunikasi antarpribadi, komunikasi
massa, komunikasi organisasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi
instruksional, dan komunikasi kesehatan (Tabroni:2012:23-25).
E. Unsur-unsur Komunikasi Politik
Karena komunikasi politik pada dasarnya merupakan salah satu
dari banyak bentuk komunikasi, baik dari sisi jumlah pelakunya yang
relatif sederhana seperti halnya komunikasi antarpribadi (interpersonal
communication) maupun dalam bentuk yang lebih kompleks seperti
halnya komunikasi yang dilakukan oleh sesuatu lembaga (institutional
communication) maka dalam prosesnya ia tidak terlepas dari dimensi-
19
dimensi komunikasi pada umumnya. Seperti dalam bentuk-bentuk
komunikasi lainnya, komunikasi politik berlangsung dalam suatu proses
penyampaian pesan-pesan tertentu yang berasal dari sumber, selaku pihak
yang memprakarsai komunikasi, kepada khalayak dengan menggunakan
media tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu pula. Dimensidimensi inilah pada dasarnya yang memungkinkan terjadinya suatu
kegiatan komunikasi politik dalam suatu masyarakat. Sehingga keluaran
(output) komunikasi politik pada akhirnya akan ditentukan oleh dimensidimensi tersebut secara keseluruhan.
Ada lima unsur penting yang terlibat dalam proses komunikasi
politik:
1. Komunikator
Komunikator dalam komunikasi politik yaitu pihak yang
memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi. Seperti
dalam peristiwa komunikasi pada umumnya, komunikator dalam
komunikasi politik dapat dibedakan dalam wujud individu,
lembaga, ataupun berupa kumpulan orang. Jika seorang tokoh,
pejabat ataupun rakyat biasa, misalnya, bertindak sebagai sumber
dalam suatu kegiatan komunikasi politik, maka dalam beberapa
hal ia dapat dilihat sebagai sumber individual (individual source).
Sedang pada momentum yang lain, meskipun individu-individu
itu yang berbicara tapi karena ia mewakili suatu lembaga atau
menjadi juru bicara dari suatu organisasi, maka pada saat itu ia
dapat dipandang sebagai sumber kolektif (collective sourve)
(Muhtadi: 2008b:31-32).
Dalam pandangan Nimmo, komunikator politik ini
memainkan peran-peran sosial yang utama, terutama dalam
proses pembentukan opini publik. Para pemimpin organisasi
ataupun juru bicara partai-partai politik adalah pihak-pihak yang
menciptakan opini publik, karena mereka berhasil membuat
sejumlah gagasan yang mula-mula ditolak, kemudian
dipertimbangkan,
dan
akhirnya
diterima
publik
(Nimmo:1993:29). Karena itu, lanjut Nimmo, sikapnya terhadap
khalayak serta martabat yang diberikannya kepada mereka
sebagai manusia dapat mempengaruhi komunikasi yang
dihasilkannya. Baik sebagai sumber individual maupun kolektif,
setiap komunikator politik merupakan pihak potensial yang ikut
menentukan arah sosialisasi, bentuk-bentuk partisipasi, serta
pola-pola rekrutmen massa politik untuk mencapai tujuan yang
20
telah ditentukan sebelumnya. Pada masa Orde Lama, misalnya,
Soekarno telah berhasil membentuk opini masyarakat dalam
berbagai sikap politik yang diambilnya baik menyangkut
kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri; demikian
pula Soeharto selama masa Orde Baru, melalui langkah-langkah
komunikasi politik yang diperankannya telah berhasil
membentuk sedemikian rupa opini masyarakat terutama tentang
pentingnya stabilitas politik untuk membangun ekonomi; dan
bagi warga nahdhiyyin, Gus Dur adalah komunikator utama yang
telah berhasil memainkan unsur-unsur ethos, pathos dan logos
yang dimilikinya.
Secara rinci, contoh kelompok-kelompok komunikator
politik yang termasuk pada kategori individual ataupun kolektif
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Sumber (Komunikator) Individual dan Kolektif dalam
Komunikasi Politik
Sumber Individual
Sumber Kolektif
Pejabat (birokrat)
Pemerintah (birokrasi)
Politisi
Partai politik
Pemimpin opini
Organisasi kemasyarakatan/LSM
Jurnalis
Media massa
Aktivis
Kelompok penekan
Lobbyis
Kelompok elit
Pemimpin
Badan/perusahaan komunikasi
Komunikator profesional
Mungkin saja masih ada kelompok komunikator politik
lain yang belum termasuk dalam tabel di atas. Tapi secara umum,
paling tidak di Indonesia, mereka itulah sumber-sumber yang
dominan dalam percaturan komunikasi politik sehari-hari.
Bahkan, dalam hal tertentu, mereka adalah komunikator kunci
(key communicators) dalam kegiatan komunikasi politik. Partaipartai politik dan organisasi massa, seperti halnya NU dan
Muhammadiyah untuk kasus di Indonesia, dengan para politisi
sebagai salah satu unsur elitnya dipandang sebagai artikulator
kepentingan yang bersifat institusional. Lebih-lebih pada
masyarakat yang tingkat ketaatannya kepada pemimpin masih
sangat tinggi, dan konsekuensinya, efektifitas pesan menjadi
21
sangat rendah. Komunikator kunci ini merupakan penentu yang
sangat dominan dalam proses pencapaian tujuan politik suatu
partai atau organisasi (Muhtadi: 2008b:32-33). Oleh karena itu,
meskipun tidak semua pesan yang disampaikan oleh suatu partai
ataupun ormas melalui para politisinya merupakan sesuatu yang
orisinal, tapi tetap dianggap sebagai suara atau sikap politik partai
atau ormas itu (Nasution:1990:47).
2. Pesan
Pesan adalah isi atau content dari kegiatan komunikasi
secara umum yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan.Pesan komunikasi politik dalam praktik sejarahnya
pernah dimaknai sebagai peluru untuk mempengaruhi atau
mempersuasi komunikan atau khalayak yang menjadi sasaran
dalam kegiatan komunikasi politik pada tahun 1940-an.
Masyarakat atau khalayak dipandang sebagai entitas pasif
menjadi sasaran gempuran pesan atau informasi. Itulah yang
dikenal dengan istilah the bullet theory. Komunikasi persuasi
memiliki kekuatan pengaruh yang powerful, tidak hanya karena
kekuatan komunikator yang menyampaikan, tetapi lebih karena
kedahsyatan isi yang disampaikan untuk mempengaruhi
khalayaknya.
Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa
positif dan bisa juga negatif, tergantung dari persepsi yang
muncul dari khalayak yang menerima dan memaknai pesan
komunikasi yang disampaikan. Kekuatan pesan juga dipengaruhi
oleh cara membungkus pesan tersebut (Subiakto dan
Ida:2014:46-47).
Cara membungkus pesan ini kemudian memunculkan apa
yang disebut dengan sound bite culture,yaitu satu baris kalimat
yang diambil dari pidato atau pernyataan yang panjang atau dari
seperangkat teks yang dapat digunakan sebagai indikasi dari
pesan yang lebih besar (Lilleker:2005:188).
3. Saluran
Saluran komunikasi politik yakni setiap pihak atau unsur
yang memungkinkan sampainya pesan-pesan politik kepada
khalayak. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat fungsi ganda
yang diperankan unsur-unsur tertentu dalam komunikasi.
22
Misalnya, dalam proses komunikasi politik, birokrasi dapat
memerankan fungsi ganda. Di satu sisi, ia berperan sebagai
komunikator yang menyampaikan pesan-pesan yang berasal dari
pemerintah; dan di sisi lain, ia juga dapat berperan sebagai
saluran komunikasi bagi lewatnya informasi yang berasal dari
khalayak masyarakat. Fungsi ganda yang sama juga biasa
diperankan oleh organisasi termasuk ormas-ormas Islam di
Indonesia seperti halnya Nahdhatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, partai politik, kelompok kepentingan, kelompok
penekan, dan media massa (Muhtadi: 2008b:34).
Untuk menganalisis gejala munculnya ormas-ormas
ataupun partai-partai politik di Indonesia, penting pula dicatat
bahwa struktur sosial tradisional juga merupakan saluran
komunikasi yang memiliki keampuhan tersendiri, karena pada
masyarakat tersebut arus komunikasi ditentukan oleh posisi sosial
pihak-pibak yang berkomunikasi. Menurut Nasution, dalam
masyarakat tradisional, susunan struktur sosial yang ada
menentukan siapa yang layak berkomunikasi dengan siapa,
tentang masalah apa, dan dengan cara apa. Tanpa menyebutkan
bahwa masyarakat Indonesia tergolong masyarakat tradisional,
tetapi faktanya mengindikasikan masih adanya ukuran-ukuran
tertentu untuk membuat klasifikasi para pemeran komunikasi,
termasuk dalam komunikasi politik. Kasus polarisasi massa
politik ke dalam partai-partai politik di Indonesia, misalnya,
terjadi umumnya karena ikatan-ikatan emosional tentang siapa
yang menjadi komunikatornya serta pesan-pesan politik apa vang
menjadi tujuan perjuangannya (Nasution:1990:57).
Selain saluran komunikasi antarpribadi seperti banyak
terjadi di masyarakat, unsur yang tidak kalah pentingnya dalam
proses penyampaian pesan-pesan politik adalah media massa.
Secara historis, penelitian efek media massa dalam perilaku
politik telah cukup memperlihatkan besarnya peran media massa
dalam kegiatan komunikasi politik khususnya di Amerika. Di
Indonesia, di samping belum banyak penelitian tentang hal
tersebut, penggunaan media massa dalam kegiatan kampanye
politik tampaknya masih relatif rendah. Volume penggunaan
media yang agak besar sudah dimulai sejak Pemilu 1992, dan
semakin terlihat besar pada Pemilu 1999. Efek politis komunikasi
massa ini, menurut Blumler dan Gurevitch, terjadi terutama
23
karena secara umum media massa memiliki efek potensial yang
sangat besar pada khalayaknya. Lebih-lebih karena pemberitaan
di media, senantiasa dirumuskan sarat dengan muatan-muatan
etika, moral, dan nilai-nilai. Para jurnalis sendiri bukanlah robot
yang dapat diprogram untuk senantiasa melaporkan fakta secara
apa adanya. Sehingga pada gilirannya, media bukan saja
berfungsi sebagai saluran informasi politik, tapi juga berperan
sebagai kekuatan sosial yang ikut menentukan perubahanperubahan
di
dalam
kehidupan
bermasyarakat
(Sudibyo:2001:259).
4. Khalayak
Khalayak komunikasi politik yaitu peran penerima yang
sebetulnya hanya bersifat sementara. Sebab, seperti konsep
umum yang berlaku dalam komunikasi, ketika penerima itu
memberikan feedback dalam sesuatu proses komunikasi politik,
atau pada saat ia meneruskan pesan-pesan itu kepada khalayak
lain dalam kesempatan komunikasi yang berbeda, maka pada saat
itu peran penerima telah berubah menjadi sumber atau
komunikator. Khalayak komunikasi politik dapat memberikan
respon atau umpan balik, baik dalam bentuk pikiran, sikap
maupun perilaku politik yang diperankannya. Dalam berbagai
riset tentang sosialisasi politik, menurut Kraus dan Davis,
diperoleh indikasi bahwa komunikator tahap kedua (yang
sebelumnya berperan sebagai khalayak) memainkan peran yang
signifikan pada komunikasi berikutnya. Dengan memfokuskan
obyek risetnya pada keluarga (family) dan kelompok sebaya
(peers), para peneliti menyimpulkan bahwa keluarga memiliki
peran yang cukup besar dalam proses sosialisasi politik. Orang
tua dapat menyampaikan pesan-pesan politik sesuatu partai
dengan pendekatan yang khas dalam satu lingkungan keluarga
(Muhtadi: 2008b:33).
Untuk melihat karakteristik khalayak komunikasi politik,
penting untuk mengungkap klasifikasi khalayak dari Nimmo,
yang membagi khalayak ke dalam tiga tipe opini publik yang tak
terorganisasi: publik atentif, publik berpikiran isu, dan publik
ideologis. Publik atentif adalah seluruh warga negara yang
dibedakan atas dasar tingkatannya yang tinggi dalam keterlibatan
politik, informasi, perhatian, dan berpikiran kewarganegaraan.
24
Publik atentif ini menempati posisi penting dalam proses opini
karena lapisan inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi
antarpribadi dalam arus pesan yang timbal balik antara pemimpin
politik dengan masyarakatnya. Publik berpikiran isu adalah
bagian dari publik atentif yang lebih tertarik kepada isu khusus
ketimbang kepada politik pada umumnya. Kelompok ini muncul
dari proses konvergensi selektif sehingga sampai pada satu titik
yang dipilih yang berhubungan dengan isu tertentu. Sedangkan
publik ideologis adalah kelompok orang yang memiliki sistem
kepercayaan yang relatif tertutup, dengan menggunakan ukuran
nilai-nilai suka dan tidak suka. Mereka menganut kepercayaan
dan atau nilai yang secara logis saling melekat dan tidak
berkontradiksi satu sama lain (Nimmo:1993:55-62).
5. Efek
Semua peristiwa komunikasi yang dilakukan secara
terencana mempunyai tujuan, yakni mempengaruhi audiens atau
penerima. Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang
dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan
sesudah menerima pesan.
Pengaruh adalah salah satu elemen dalam komunikasi
yang sangat penting untuk mengetahui berhasil tidaknya
komunikasi yang diinginkan. Pengaruh dapat dikatakan mengena
jika perubahan (P) yang terjadi pada penerima sama dengan
tujuan (T) yang diinginkan oleh komunikator (P = T), atau seperti
rumus yang dibuat oleh Jamias, yaitu pengaruh (P) sangat
ditentukan oleh sumber, pesan, media, dan penerima
(Cangara:2014:185).
Pengaruh dalam komunikasi politik adalah bahwa pesan
politik telah menimbulkan pengaruh pada khalayak atau
komunikan, seperti persetujuan kerjasama, perdamaian, gencatan
senjata, koalisi dan lain-lain.
Efek komunikasi politik ada tiga:
a. Efek kognitif, yaitu akibat yang timbul pada diri komunikan
yang sifatnya informatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini
dibahas tentang bagaimana media komunikasi politik dapat
membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang
bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitifnya di
25
bidang politik. Melalui media komunikasi politik, bisa
diperoleh informasi tentang hal-hal yang berhubungan
dengan politik.
b. Efek afektif yang kadarnya lebih tinggi daripada efek
kognitif. Tujuan dari komunikasi politik bukan sekadar
memberitahu khalayak tentang sesuatu yang berhubungan
dengan politik, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan
dapat turut serta merasakan perasaan iba, terharu, sedih,
gembira, marah, dan sebagainya.
c. Efek konatif (behavioral) merupakan akibat yang timbul
pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau
kegiatan. Efek inilah yang merupakan efek tertinggi dari tiga
efek yang ada. Khalayak dalam efek konatif melakukan
tindakan nyata yang merupakan respons terhadap pesanpesan politik yang disampaikan, seperti seruan berperang
yang disampaikan pemerintah. Masyarakat yang merupakan
khalayak dengan rela bahu membahu bertempur melawan
musuh yang menyerang.
F. Tujuan Komunikasi Politik
Ardial memandang bahwa tujuan komunikasi politik sangat
terkait dengan pesan politik yang disampaikan komunikator. Sesuai
dengan tujuan komunikasi, tujuan komunikasi politik itu adakalanya
sekadar menyampaikan informasi politik, membentuk citra politik,
membentuk opini publik, dan bisa juga menghendel pendapat atau
tuduhan lawan politik. Jadi, tujuan utama komunikasi politik adalah
membangun kepercayaan publik. Lebih jauh dari itu, komunikasi politik
juga bertujuan menarik simpati publik untuk meningkatkan partisipasi
politik sesuai dengan kepentingannya (Ardial:2010:44).
Sebagai contoh, di antara sekian banyak pemilihan gubernur dan
wakil gubernur di Indonesia, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Jawa Barat tahun 2008 termasuk yang sangat fenomenal, karena kandidat
gubernur dan wakil gubernur terpilih merupakan orang yang besar dan
ber-KTP DKI Jakarta. Sosok Ahmad Heryawan merupakan satu-satunya
kandidat paling tidak dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dibanding
kandidat lainnya yang sudah familier. Walaupun Agum Gumelar sama-
26
sama ber-KTP DKI Jakarta, masyarakat Jabar sudah tahu nama dan sosok
Agum Gumelar.
Banyak pihak menduga bahwa kemenangan pasangan HADE
(Ahmad Heryawan-Dede Yusuf) adalah faktor Dede Yusuf yang
merupakan selebritas, muda, dan good looking. Kendati Dede Yusuf
dianggap pendongkrak suara pasangan yang awalnya paling tidak
dijagokan, hal ini ada benarnya karena banyak orang mengaku memilih
karena tahu dan tertarik terhadap Dede Yusuf. Namun, beberapa riset
menunjukkan bahwa faktor paling berpengaruh atas kemenangan
kampanye HADE adalah adanya pesan-pesan politik yang sangat baik.
Kemasan pesan yang di-manage dengan baik, mencuri perhatian para
pemilih. Di antara sekian banyak pesan yang disampaikan, HADE
memiliki inti pesan yang kemudian lebih dikenal dengan 7 (tujuh) janji
HADE. Tujuh janji HADE terkait dengan persoalan-persoalan dan
kebutuhan mendasar masyarakat Jawa Barat saat itu, seperti masalah
buruh, pertanian, pendidikan, jaminan kerja dan lain sebagainya. Namun
di antara tujuh janji itu, yang dianggap paling mengena di masyarakat
Jawa Barat adalah masalah pendidikan gratis dan jaminan satu juta
lapangan kerja.
Dalam konteks komunikasi, apa yang telah dirumuskan oleh
HADE merupakan pesan yang sangat penting sehingga publik
mempercayainya. Dalam etikanya, setiap janji wajib ditunaikan, terlebih
bagi mereka yang memenangkan persaingan. Ketika berada diposisi
pemerintahan, mereka memiliki posisi dan kewenangan yang besar untuk
merealisasikannya. Dalam konteks politik, pesan-pesan itu bukan pesan
biasa karena dirumuskan dan disampaikan dalam situasi yang sarat
politik. Tujuh janji HADE merupakan pesan komunikasi politik yang
dibuat untuk mensukseskan sebuah kepentingan politik tertentu
(Tabroni:2012:25-26).
G. Teori-teori dalam Komunikasi Politik
1. Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Teori jarum suntik berpendapat bahwa khalayak sama
sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolak informasi setelah
ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperti
kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa
memiliki alternative untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa
27
yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan
teori peluru (the bullet theory) (Cangara:2009:119-120).
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi,
profesional, dan aktivis) selalu memandang bahwa pesan politik
apa pun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau
melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif
berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Ternyata
asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat
tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di samping daya
tarik isi, dan kredibilitas komunikator. Bahkan berbagai hasil
penelitian membuktikan bahwa media massa memiliki pengaruh
lebih dominan dalam tingkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi
kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan perilaku.
Ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam
menerima pesan.Dengan demikian, asumsi bahwa khalayak tak
berdaya dan media perkasa, tidak terbukti secara empiris.
Meskipun demikian, teori jarum hipodermik atau teori peluru
tidak runtuh sama sekali karena tetap diaplikasikan atau
digunakan untuk menciptakan efektivitas dalam komunikasi
politik. Hal ini tergantung kepada sistem politik, sistem
organisasi dan situasi, terutama yang dapat diterapkan dalam
sistem politik yang otoriter, dengan bentuk kegiatan seperti
indoktrinasi, perintah, instruksi, penugasan, dan pengarahan.
Itulah sebabnya teori ini tetap relevan dan mampu menciptakan
komunikasi yang efektif. Teori ini juga lebih memusatkan
perhatian kepada efek afektif dan behavioral. (Arifin:2003:4345).
2. Teori Kepala Batu (Obstinate Audience)
Teori ini dilandasi pemahaman psikologi bahwa dalam
diri individu ada kemampuan untuk menyeleksi siapa saja yang
berasal dari luar dan tidak direspons begitu saja. Teori kepala
batu menolak teori jarum suntik atau teori peluru dengan alasan
jika suatu informasi ditembakkan dari media, mengapa khalayak
tidak berusaha berlindung untuk menghindari tembakan
informasi itu. Masyarakat atau khalayak memiliki hak untuk
memilih informasi yang mereka perlukan dan informasi yang
mereka tidak perlukan. Kemampuan untuk menyeleksi informasi
28
terdapat pada khalayak menurut perbedaan individu, persepsi,
dan latar belakang sosial budaya (Cangara:2009:120).
Raymond Bauer mengeritik potret khalayak sebagai
robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan bila
pesan itu memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan
kebutuhan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linear tetapi
merupakan transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi
pengaruh itu disaring, diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh
filter konseptual atau faktor-faktor personal yang mempengaruhi
reaksi mereka.
Dengan teori khalayak kepala batu itu, fokus penelitian
bergeser dari komunikator kepada komunikan atau khalayak.
Para pakar, terutama pakar psikologi maupun sosiologi
mencurahkan perhatian kepada faktor individu. Mereka mengkaji
faktor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesanpesan komunikasi. Salah satu di antaranya adalah lahirnya uses
and gratifications model (model kegunaan dan kepuasaan).
(Arifin:2003:46).
3. Model Kegunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification
Model)
Secara umum, uses and gratifications model
berpandangan bahwa individu atau masyarakat menggunakan
media dan isi media massa untuk memenuhi keperluan-keperluan
tertentu yang dapat memberikan kepuasan bagi mereka. Individu
atau khalayak memiliki kebebasan yang lebih besar untuk
memilih dan menentukan media dan isi media yang dapat
memberikan kepuasan, dibandingkan dengan kekuasaan media
untuk mempengaruhi mereka. Ada sumber-sumber lain selain
media massa yang dapat memberikan kepuasan. Media massa
harus bersaing dengan sumber-sumber tersebut (Kholil:2007:3738) dan dalam waktu bersamaan, media massa harus mampu
bersaing dengan sesama media massa dalam memenuhi
keperluan dan kepuasan audiens.
Ada sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti gagasan
uses and gratifications model sebagaimana yang dikemukakan
oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch (1974)
yang mengembangkan model ini. Mereka menyatakan lima
asumsi dasar uses and gratifications model, yaitu:
29
a. The audience is active and its media use is goal oriented.
(Audiens adalah aktif dan penggunaan media berorientasi
pada tujuan).
b. The initiative in linking need gratifications to a specific
medium choice rests with the audience member. (Inisiatif
yang menghubungkan antara kebutuhan, kepuasan dan
pilihan media secara spesifik terletak di tangan audiens).
c. The media compete with other sources need satisfaction.
(Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya
memuaskan kebutuhan audiens).
d. People have enough self-awareness of their media use,
interests, and motives to be able to provide researchers with
an accurate picture of that use. (Orang-orang mempunyai
kesadaran diri yang memadai berkenaan dengan penggunaan
media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi
peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu).
e. Value judgments of media content can only be assessed by
the audience (Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens
tentang isi media ditentukan oleh audiens) (Katz, et.
al.:1974:20).
Model ini merupakan pergeseran fokus dari tujuan
komunikator ke tujuan komunikan. Model ini menentukan fungsi
komunikasi massa dalam melayani khalayak (Effendy:2007:289).
4. Teori Empati danTeori Homofili
Secara sederhana dapat disebutkan bahwa empati adalah
kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang
lain. Dalam hal ini David K. Berlo (1960) memperkenalkan teori
yang dikenal dengan nama influence theory of emphaty (teori
penurunan dari penempatan diri kedalam diri orang lain).
Artinya, komunikator mengandaikan diri, bagaimana kalau ia
berada pada posisi komunikan. Dalam hal ini individu memiliki
pribadi khayal sehingga individu-individu yang berinteraksi dapat
menemukan dan mengidentifikasi persamaan-persamaan dan
perbedaan masing-masing, yang kemudian menjadi dasar dalam
melakukan penyesuaian.
Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan
diri sendiri kedalam titik pandang dan empati orang lain memberi
peluang kepada seorang politikus utnuk berhasil dalam
30
pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri
sebagai orang lain itu memang sangat tidak mudah. Justru itu,
empati dapat ditingkatkan atau dikembangkan oleh seorang
politikus melalui komunikasi sosial dan komunikasi politik yang
sering dilakukan. Dengan demikian, empati dalam komunikasi
politik adalah sifat yang sangat dekat dengan citra seorang
politikus tentang diri dan tentang orang lain. Itulah sebabnya
empati dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui
komunikasi antarpribadi (Arifin:2003:54).
5. Teori Lingkar Kesunyian (Spiral of Silence Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle Neumann,
mantan jurnalis kemudian menjadi professor emeritus pada salah
satu institute publisistik di Jerman. Teorinya banyak berkaitan
dengan kekuatan media yang bisa membuat opini publik, tetapi di
balik itu ada opini yang bersifat laten berkembang di tingkat
bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini
publik mayoritas yang bersifat manifes. Opini publik yang
tersembunyi disebut opini yang berada dalam lingkar keheningan
(the spiral of silence) (Cangara:2009:122).
6. Teori Penyuburan (Cultivation Theory)
Cultivation theory (teori penyuburan) beranggapan
bahwa media massa modern tidak mempunyai pengaruh yang
besar untuk membentuk opini dan merubah tingkah laku
masyarakat. Tetapi media massa lebih berperan untuk
menyuburkan atau menguatkan pendapat dan tingkah laku
khalayak sasaran (McQuail:1987:283).
Individu atau masyarakat dipandang sudah mempunyai
pendapat dan tingkah laku terhadap sesuatu. Apabila media
massa secara berulang-ulang menyampaikan pesan-pesan yang
sesuai dengan pendapat dan tingkah laku seseorang, maka
pendapat dan tingkah laku seseorang akan semakin kuat dan
semakin subur akibat terpaan pesan-pesan media massa yang
terus menerus. Dengan demikian, menurut perspektif teori ini,
komunikasi akan efektif apabila pesan-pesan yang diinginkan
untuk dipahami dan diamalkan oleh individu atau masyarakat
disampaikan berulang-ulang dan terus menerus (Kholil:2007:3940).
31
7. Teori Media Kritis
Teori ini berkembang di Eropa dan khususnya di Jerman.
Teori media kritis menurut Hollander (1981) adalah merupakan
teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai
titik tolak dalam mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini
dapat diketahui bahwa media massa dalam berfungsi banyak
dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan, dan sejarah.
Permasalahan yang sentral dalam teori media kritis
adalah bukan saja bagaimana media berfungsi, tetapi justru
fungsi-fungsi apa yang seharusnya dilakukan oleh media dalam
masyarakat. Dengan kata lain bahwa kajian tentang peranan
media massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah begitu
penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru
tidak berlaku. Para penganut teori komunikasi kritis sama sekali
tidak lagi memberikan tekanan efek komunikasi massa terhadap
khalayak, melainkan memusatkan perhatian pada pengertian
kontrol terhadap sistem komunikasi.
Teori media kritis bertolak belakang dengan teori media
massa lain, seperti teori perseptual dan teori fungsional, yang
justru kedua teori itu memberi tekanan kepada akibat apa yang
dilakukan oleh media terhadap orang. Namun, teori fungsional
kemudian mengalami sedikit pergeseran, yaitu memusatkan
kajiannya pada pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak
dari media massa, dan mengapa hal itu dapat diperoleh
(Arifin:2003:61-63).
8. Teori Informasi dan Nonverbal
Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan
teori informasi yang banyak digunakan dalam kegiatan
komunikasi politik. Teori informasi (dan teori sistem sosial) telah
digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan
menjelaskan paradigma pragmatis, yang intinya adalah bertindak
sama dengan berkomunikasi, artinya semua tindakan politik
dapat dipandang sebagi komunikasi politik yang bersifat
nonverbal. Sering juga dikatakan bahwa tidak ada komunikasi
(verbal), tetapi ada komunikasi (nonverbal).
Dalam teori informasi menurut B. Abrey Fisher,
informasi diartikan sebagai pengelompokan peristiwa-peristiwa
dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian. Informasi
32
dapat disebut sebagai konsep yang absolut dan relatif karena
informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan jumlah,
benda dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas,
bertindak pun merupakan sebuah informasi dalam arti sebuah
kemungkinan alternatif yang dapat diprediksi berdasarkan pola
(peristiwa dari waktu ke waktu).
Informasi dalam komunikasi politik dapat berarti sikap
politik, pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan
temu kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi
politik adalah semua hal harus dianalisis sebagai tindakan politik
(bukan pesan) yang mengandung sebuah kemungkinan alternatif.
Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan
berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).
Sesungguhnya komunikasi nonverbal adalah merupakan
tindakan dalam peristiwa komunikasi politik yang dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Tindakan itu
harus diamati dari waktu ke waktu sehingga dapat ditemukan
polanya. Jika pesan nonverbal itu berlangsung berulang-ulang,
terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian menjadi pedoman
untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi
dilakukan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di
luar pola, maka terjadilah kejutan (Arifin:2003:57-59).
H. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik
Para ilmuwan sosial umumnya berupaya memahami suatu sistem,
termasuk sistem politik, dengan meminjam pendekatan sistem.
Pendekatan ini bertolak dari suatu konsepsi yang menyatakan bahwa
semua gejala sosial, termasuk gejala politik, adalah saling berhubungan
dan saling mempengaruhi. Artinya, pendekatan sistem berpegang pada
prinsip bahwa tidak mungkin untuk memahami suatu bagian dari
masyarakat secara terpisah dari bagian-bagian lain yang mempengaruhi
operasinya. Sistem adalah sebuah agregat dari bagian-bagian yang saling
berhubungan secara fungsional, berinteraksi berdasarkan proses-proses
yang diharapkan. Apabila pengertian sistem ini digabungkan dengan
pengertian politik maka diperoleh pengertian sistem politik, yaitu suatu
agregat komponen-komponen berpotensi politis yang berhubungan secara
fungsional (atau dapat memfungsikan kuasa), berinteraksi berdasarkan
33
proses-proses yang dapat diramalkan untuk memenuhi kebutuhan publik.
Jadi, konsep sistem politik itu pada dasarnya menunjuk kepada seluruh
lingkup aktivitas politik dalam suatu masyarakat. Termasuk salah satu
komponen yang berpotensi menghidupkannya adalah aktivitas
komunikasi politik.
Ada beberapa komponen dalam sistem politik, yaitu komunitas
politik, budaya politik, otoritas politik, rezim, dan etos politik. Anggota
komunitas politik adalah warga negara, pembayar pajak, tentara, pegawai
negeri, pemilih, dan lain sebagainya. Mereka terikat oleh budaya politik.
Artinya, mereka memiliki kesadaran bersama tentang lembaga-lembaga
negara serta fungsinya masing-masing; mereka memiliki ikatan
emosional pada banyak simbol dan mitos; dan mereka juga mempunyai
pandangan tertentu, baik positif maupun negatif, terhadap kinerja sistem.
Komponen penting berikutnya adalah sekumpulan pejabat yang
keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar warga sebagai
sesuatu yang mengikat. Mereka adalah otoritas politik, dan tiada sistem
politik tanpa mereka. Otoritas politiklah yang melalui rezim berwenang
membuat keputusan-keputusan yang mengikat. Rezim sendiri berisikan
aturan-aturan dasar (konstitusi), struktur-struktur formal, lembagalembaga/badan-badan, serta prosedur-prosedur. Terakhir adalah
komponen etos politik, yaitu pola-pola kebiasaan yang informal dan tidak
tertulis yang menghidupkan pengaturan-pengaturan formal dari suatu
rezim.
Sejalan dengan pengertian itu, maka komunikasi politik
memungkinkan berfungsinya sistem politik, karena komponen-komponen
sistem politik itu bekerja dan saling berhubungan melalui proses
komunikasi. Hal ini secara sederhana dapat dilihat pada diagram model
grafis sistem politik.
Model tersebut secara singkat dapat dijelaskan bahwa, semua
anggota komunitas politik (A) memiliki kebutuhan dan masalah (a) serta
informasi dan kepentingan (b) yang kemudian menjadi aspirasi berupa
tuntutan (c) atau dukungan/keberatan (d). Aspirasi tadi di saring oleh
ideologi dan nilai-nilai (B) yang berlaku dalam budaya politik.
Penyaringan ini dapat menghasilkan feedback bagi komunitas politik
untuk dilakukan proses ulang: direnungkan, dinegosiasi, dan
diformulasikan kembali sehingga dapat diterima oleh otoritas politik (C).
Otoritas politik kemudian mengolahnya dengan memanfaatkan Informasi
baru (f) serta feedback yang diperoleh dari implementasi sebelumnya dan
mengacu pada prioritas dan tujuan (e). Hasil pengolahannya disalurkan
34
melalui rezim (D) yang menghasilkan keputusan-keputusan dan aturanaturan (g) yang harus diimplementasikan (E) demi kepentingan
komunitas politik (A).
Apabila dicermati aliran prosesnya, terlihat jelas bahwa sebagian
besar aliran itu berupa komunikasi politik. Semua fungsi yang
ditampilkan oleh suatu sistem politik dilaksanakan melalui sarana
komunikasi. Lewat komunikasi, misalnya, para pemimpin kelompok
kepentingan, wakil-wakil dan pemimpin partai melaksanakan fungsifungsi artikulasi dan agregasi politik. Mereka mengkomunikasikan
tuntutan dan rekomendasi untuk dijadikan kebijakan pemerintah. Para
anggota legislatif juga melaksanakan tugas pembuatan undang-undang
serta berbagai peraturan lainnya dengan mendasarkan pada informasi
yang diterimanya, serta dengan saling mengkomunikasikan di antara
sesamanya. Demikian pula masyarakat, menyampaikan aspirasi dan
tuntutannya kepada eksekutif ataupun legislatif melalui komunikasi. Jika
dilihat dari sisi proses serta muatan komunikasi yang disampaikannya,
maka hampir semua fungsi yang berperan di dalamnya berupa
komunikasi politik (Muhtadi: 2008b:41-44).
Menurut Nasution, arus komunikasi politik memang melintasi
semua fungsi yang terdapat pada suatu sistem politik. Ia memerankan
fungsinya tersendiri, di samping fungsi-fungsi lainnya pada suatu sistem
politik. Komunikasi politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik
rakyat yang menjadi input sistem politik, dan pada saat yang sama, ia
juga menyalurkan kebijakan-kebijakan yang diambil atau output sistem
politik itu. Melalui komunikasi politik rakyat memberikan dukungan,
menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap sistem
politik. Melalui itu pula rakyat mengetahui apakah dukungan, aspirasi,
dan kontrol dapat tersalurkan atau tidak, sebagaimana dapat mereka
simpulkan dari berbagai kebijakan politik yang diambil oleh kekuasaan.
Itulah sebabnya, komunikasi politik tidak bisa dipisahkan dari gejala
politik pada umummya, baik dalam lingkup praktis maupun sebagai
bidang kajian para ahli ilmu politik ataupun ilmu komunikasi
(Nasution:1990:78).
Komunikasi politik juga berkaitan dengan sosialisasi politik. Jika
sosialisasi politik mencakup "how we come to learn about politics, how
we obtain our attitudes and value about political institutions, and how we
ultimately behave politically", maka tampak peranan penting komunikasi
politik dalam proses tersebut. Sebab melalui komunikasi akan
berlangsung proses belajar secara kontinyu yang melibatkan baik belajar
35
secara emosional maupun dalam bentuk indoktrinasi politik serta melalui
saluran partisipasi dan pengalaman setiap individu yang menjalaninya.
Cakupan sosialisasi politik seperti dijelaskan di atas juga berujung pada
proses pembentukan perilaku politik. Dalam kasus kampanye untuk
kepentingan Pemilu, misalnya, sosialisasi politik mentargetkan terjadinya
perubahan perilaku memilih dari khalayak yang menjadi sasaran
utamanya. Untuk mencapai sasaran seperti ini, pada tahap tertentu,
komunikasi politik berperan sebagai pembuka jalan untuk memasuki
wilayah perubahan individu, baik pada aspek kognisi, afeksi, maupun
aspek psikomotorik(Kraus dan Davis:1976:12).
Dengan demikian, budaya politik yang berkembang pada suatu
masyarakat pada hakikatnya merupakan produk dari proses sosialisasi
politik yang secara kontinyu berlangsung dalam jangka waktu vang
cukup lama. Melalui sosialisasi politik, masyarakat dapat belajar tentang
politik sehingga mampu menentukan sikap terhadap lembaga-lembaga
politik tertentu dan bahkan dimanifestasikannya dalam bentuk perilaku
politik. Perilaku inilah yang jika diturunkan melalui proses komunikasi
dari generasi ke generasi berikutnya, pada gilirannya akan membentuk
budaya politik. Sub-sub kelompok seperti keluarga, sekolah, dan
kelompok keagamaan, dapat memperkenalkan kepada anggota
kelompoknya masing-masing tentang sistem politik yang ada dan
mengikat kehidupannya. Di Indonesia, misalnya, munculnya perbedaan
cara pandang tentang politik, antara lain, merupakan akibat dari proses
sosialisasi yang berbeda-beda antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lainnya, meskipun dalam satu lingkungan masyarakat
politik yang sama(Muhtadi: 2008b:45).
Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, kini dapat
melahirkan cara pandang dan perilaku politik yang berbeda. Dalam
kategorisasi yang banyak digunakan, terdapat cara pandang politik yang
berbeda antara kaum modernis dan tradisionalis. Hal ini tidak lepas dari
proses sejarah yang sarat dengan muatan-muatan politis dalam
pembinaan masing-masing komunitas itu. Sebab sirkulasi informasi yang
homogen dan berlangsung terus menerus menyebabkan terbinanya serta
terpeliharanya suatu perangkat keyakinan bersama mengenai politik dan
sifat-sifat permainan politik yang berlaku(Nasution:1990:81).
Itulah sebabnya, bagi Jackson, sulit untuk memahami kenyataan
perubahan-perubahan perilaku politik yang terjadi pada masyarakat
muslim pedesaan yang didasarkan pada keyakinan agama tertentu yang
sama. Ia menyoroti perubahan-perubahan politik dari Pemilu ke Pemilu
36
yang diperankan dari Masyumi ke NU, lalu ke PNI dan PKI, kembali ke
NU, dan akhirnya ke Golkar pada 1971(Jackson dan Pye:1978:30).
I. Komunikasi Politik di Indonesia
Fenomena komunikasi politik suatu masyarakat merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari dinamika politik di mana komunikasi itu
bekerja. Karena itu, kegiatan komunikasi politik di Indonesia juga tidak
bisa dilepaskan dari proses politik nasional yang menjadi latar
kehidupannya. Kerangka konseptual pergumulan politik di Indonesia
menarik untuk dikaji. Dari pernyataan Muhtadi (2008), dicoba
mengadaptasi konsep "revolusi partisipasi", yang merupakan suatu
penjelasan bagi partisipasi politik Ormas yang mengawali ledakannya
pada awal 1990-an dan kemudian semakin tidak terbendung lagi pada
saat menjelang suksesi 1997.
Jika tulisan Patterson merujuk pada masyarakat Amerika tahun
1960-an yang bercirikan tradisi politik yang lemah dan telah melahirkan
revolusi partisipasi ormas melebihi fungsi partai politik sebagai saluran
resminya, maka dalam tulisan Cipto tampak adanya usaha melakukan
klarifikasi di sana sini untuk menemukan relevansinya dengan setting
sosial politik Indonesia. Dengan melihat beberapa ciri masyarakat yang
kurang lebih sama antara Indonesia selama masa Orde Baru dengan
Amerika 1960-an, ditambah beberapa kondisi berbeda sebagai varian
pentingnya, Cipto berhasil mengungkap suatu fenomena politik yang
dalam analisisnya terlihat bahwa dekade 1990-an bagi Indonesia
merupakan masa yang riuh untuk sebuah revolusi partisipasi. Tulisan
tersebut menyebut ormas keagamaan sebagai salah satu agregat yang juga
mengalami revolusi partisipasi. Sambil menyebut NU dan
Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia, Cipto juga
menyediakan beberapa peluang penelitian lebih lanjut mengenai revolusi
partisipasi yang dapat menarik minat peneliti.
Perkembangan teoritis dalam studi ilmu politik yang menyangkut
lahirnya konsep partisipasi politik lebih lanjut diperoleh dari tulisan
Maswadi Rauf, Ciri-ciri Teori Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi
Politik. Dalam tulisannya ini, Rauf menjelaskan perkembangan dan ciriciri teori partisipasi politik yang berorientasi Barat. Hal ini sulit dihindari,
karena menurutnya, sifat-sifat yang biased dan western-oriented
merupakan ciri pertama dari teori partisipasi politik Barat. Apa yang
37
dapat diadaptasi dari teori-teori tersebut dalam konteks penelitian ini
adalah bahwa partisipasi politik, menurut para penulis Barat, merupakan
kegiatan politik yang dilakukan oleh rakyat biasa dengan tujuan
mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Dengan demikian,
yang menjadi sasaran utama partisipasi politik adalah penguasa politik
sebagai pengambil/penentu keputusan. Sedangkan tipologi partisipasi
politik secara terpisah diuraikan oleh Ramlan Surbakti dalam salah satu
bahasannya mengenai perilaku dan partisipasi politik.
Selanjutnya, dengan melihat dinamika politik nasional seperti
disebutkan di atas, fenomena komunikasi politik ormas keagamaan, salah
satunya, dapat dideskripsikan secara sistemik dengan pendekatan
fungsionalis mestruktural (structural functionalism). Penentuan
pendekatan seperti ini didasarkan pada satu asumsi bahwa kegiatan
komunikasi politik di kalangan masyarakat beragama, terutama dalam
kaitannya dengan fungsi-fungsi struktur yang melingkupinya, merupakan
fenomena sosial yang berfungsi, antara lain:
1. Pencapaian tujuan (goal attainment) atau disebut juga penentuan
tujuan.
2. Integrasi (integration).
3. Penyesuaian atau adaptasi (adaptation).
4. Pemeliharaan pola yang tidak selalu tampil (latency, pattern
maintenance).
Dengan demikian, kekuatan-kekuatan politik Islam tidak
mungkin melepaskan diri darimainstream perpolitikan nasional. Paling
tidak, ia adalah sasaran kebijakan politik nasional, sehingga momenmomen tertentu akan memaksanya untuk berbicara politis.
Seperti halnya LSM dan Pers, ormas keagamaan adalah lembaga
otonom di masyarakat yang mau tidak mau akan difungsikan dan
memfungsikan diri sebagai juru bicara arus bawah. Perjalanan sejarah
LSM, Pers dan Ormas di Indonesia memang dekat dengan upaya
pemberdayaan masyarakat. Pada sepuluh tahun terakhir ini, ia bahkan
makin aktif dan relatif menyaingi partai politik. Sementara situasi sosial
politik selama dekade itu telah mendorong aktivitas komunikasi politik
untuk menyuarakan lebih nyaring upaya-upaya demokratisasi bukan
hanya sebagai slogan politik. Karena itu, partisipasi politik menjadi hal
yang inevitable dan legitimate. Wacana politik bagaimanapun bukan
hanya milik partai politik. Ketika saluran resmi partai politik sebagai
penyalur aspirasi massa mendapat kendala baik internal maupun eksternal
38
dalam menjalankan fungsinya, masyarakatpun bergerak menemukan
saluran yang lain.
Dalam konteks politik inilah dinamika komunikasi politik di
Indonesia, dengan kekuatan Islam sebagai salah satu agregatnya, akan
dideskripsikan. Sejak dekade 1970-an, komunikasi politik di Indonesia
mengalami pasang surut sejalan dengan langgam perlalanan politik
nasional. Masih banyak ketimpangan komunikasi politik yang diperankan
sejumlah elit politik, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pesta demokrasi sepanjang Orde Baru(Muhtadi: 2008b:55-57).
Ketimpangan-ketimpangan komunikasi politik di Indonesia,
salah satunya diakibatkan oleh ketimpangan peran-peran komunikator
sebagai dampak dari ketidakseimbangan kemampuan sumber daya
manusia. Peran komunikator politik di lembaga eksekutif terlampau
dominan dibanding komunikator politik di lembaga legislatif.
Ketimpangan ini berakibat pada tidak berfungsinya sistem kontrol
infrastruktur politik terhadap suprastruktur politik, dan macetnya saluran
opini publik, lantaran komunikator politik di struktur infra menjadi sangat
bergantung pada komunikator politik di struktur supra(Ali:1999:135).
Dekade 1970-an hingga 1980-an, komunikasi politik lebih
diwarnai oleh usaha-usaha pemerintah dalam memperkokoh
kekuasaannya. Untuk kepentingan stabilitas politik nasional, komunikasi
politik lebih bersifat satu arah dengan pesan-pesan politik dari atas ke
bawah. Dalam kerangka teori pers dari Siebert, komunikasi yang
berlangsung cenderung memerankan pola autoritarian, sehingga rakyat
hanya berperan sebagai konsumen informasi dan tidak berdaya untuk
melakukan kontrol pada kekuasaan. Komunikasi politik juga digunakan
untuk kepentingan pengelolaan kesan (impression management) agar
terbangun kepercayaan masyarakat untuk menjamin stabilitas nasional.
Penyederhanaan partai tahun 1973 dan sekitar sepuluh tahun berikutnya
disusul dengan lahirnya peraturan asas tunggal Pancasila yang mengikat
seluruh organisasi sosial politik, misalnya, telah berakibat pada semakin
rapuhnya sendi-sendi komunikasi politik baik dalam lingkup internal
maupun eksternal.
Komunikasi politik yang melibatkan lebih banyak partisipasi
rakyat memang masih terbatas pada momentum-momentum pesta
demokrasi, sejak sebelum hingga saat pelaksanaan Pemilu usai. Di luar
itu, komunikasi politik seolah-olah hanya menjadi warna kehidupan para
penyelenggara pemerintahan, khususnya lembaga eksekutif dan legislatif.
Meskipun demikian, Rudini (1993) menilai bahwa dalam bidang politik,
39
komunikasi politik telah melahirkan serangkaian sukses. Ia menyebut
beberapa contoh hasil dari proses itu, seperti penyederhanaan sistem
kepartaian, terselenggaranya Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR
secara reguler, P4, dan disepakatinya Pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan
demikian, lanjutnya, wujud sistem politik demokrasi Pancasila semakin
jelas sosoknya.
Untuk melihat simbol-simbol komunikasi politik pada era Orde
Baru, menarik juga untuk menelaah tulisan Anderson (1978), Cartoons
and Monuments: The Evolution of Political Communication under the
New Order. Ia menyebutkan sekurang-kurangnya empat simbol
komunikasi politik yang banyak digunakan pemerintahan Orde Baru:
1. Direct speech, yang dalam realitasnya merupakan bentuk
komunikasi politik paling banyak digunakan di masyarakat,
seperti gosip, rumor, diskusi, argumentasi, interogasi, dan intrik.
Meskipun demikian, bentuk-bentuk komunikasi ini hampir lepas
dari perhatian para pakar dan peneliti tentang komunikasi politik
di Indonesia.
2. Symbolic speech, yaitu simbol-simbol yang dimaknai secara
khusus sesuai dengan kepentingan sejarahnya. Pemilihan warna
bendera merah-putih, misalnya, merupakan simbol yang
mengandung pesan-pesan tertentu sesuai dengan makna
sejarahnya.
3. Cartoons, yaitu bentuk komunikasi politik yang paling terbuka
untuk diinterpretasikan. Kartun biasanya dibuat dengan latar
belakang peristiwa tersendiri. Ia merupakan respon terhadap
kenyataan-kenyataan yang sedang hangat terjadi.
4. Monuments, yaitu simbol komunikasi politik yang dibuat untuk
menginformasikan suatu peristiwa yang pernah dilalui bangsa
Indonesia. Monumen banyak dibangun selama pemerintahan
Orde Baru yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Demikianlah, komunikasi politik di Indonesia, seperti dikatakan
Irianta (2001), secara umum masih diwarnai oleh watak eufemisme yang
dalam beberapa hal dapat menghambat keterbukaan. Eufemisme memang
tidak selalu berarti menutup-nutupi atau menghaluskan, karena
eufemisme merupakan bagian dari etika berkomunikasi yang ada pada
setiap masyarakat. Praktik eufemistik dalam berkomunikasi ini masih
banyak dilakukan para politisi produk Pemilu era reformasi. Mereka bisa
berbicara lantang ketika mengontrol pemerintahan, namun masih malu-
40
malu untuk berbicara langsung mengenai keinginannya untuk berkuasa.
Ketika Gus Dur menerima pencalonan presiden, ia hanya mengatakan
bahwa kesediaannya untuk dipilih menjadi presiden hanya karena untuk
menghindari bentrok massa pendukung Mega dan Habibie. Demikian
pula Mega. Ia tidak menunjukkan keinginannya kecuali hanya
mengatakan bahwa kongres mengamanatkan untuk memperjuangkan
Ketua Umum PDI-P menjadi presiden. Inilah warna komunikasi politik di
Indonesia yang dalam banyak hal masih kuat terpengaruh kultur politik
Jawa yang berhasil ditanamkan kekuasaan Orde Baru(Muhtadi:
2008b:57-59).
J. Pemilihan Umum
1. Sistem Pemilihan Umum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemilu
diartikan sebagai proses dan cara perbuatan memilih yang
dilakukan serentak oleh seluruh rakyat suatu negara. Pemilu
merupakan sutau arena kompetisi. Menang atau kalahnya suatu
kandidat akan ditentukan oleh rakyat dengan menggunakan
mekanisme pemungutan suara. Menentukan pilihan dalam
Pemilu merupakan hak setiap warga negara. Sebagai instrumen
yang sangat penting dalam rangka untuk memilih dan ikut
menentukan para wakil sekaligus pemimpin rakyat yang akan
duduk dalam pemerintahan, Pemilu memberikan kesempatan
bagi warga negara untuk memilih pejabat-pejabat pemerintah
yang benar-benar dianggap mampu untuk mengaspirasikan
kehendak mereka.
Pemilu merupakan salah satu bentuk implementasi dari
demokrasi. Oleh karena itu, kualitas dari Pemilu juga dipengaruhi
oleh prakondisi demokrasi. Berdasarkan pendapat para ahli,
prakondisi itu antara lain:
a. Modernitas dan kesejahteraan.
b. Budaya politik.
c. Struktur sosial masyarakat.
Fungsi-fungsi Pemilu menurut Rose dan Mossawir antara
lain:
a. Menentukan pemerintahan secara langsung maupun tidak
langsung.
41
b. Sebagai wahana umpan balik antara pemilik suara dan
pemerintah.
c. Barometer dukungan rakyat terhadap penguasa.
d. Sarana rekrutmen politik.
e. Alat untuk mempertajam kepekaan pemerintah terhadap
tuntutan rakyat.
Menurut Ramlan Surbakti, tujuan dari Pemilu meliputi:
a. Mekanisme untuk menyeleksi pemimpin pemerintahan dan
alternatif kebijakan umum (public policy).
b. Sebagai mekanisme pemindahan konflik kepentingan dari
masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat.
c. Sarana memobilisasi dan atau menggalang dukungan rakyat
terhadap negara dan pemerintahan dengan ikut berpartisipasi
dalam proses politik.
Menurut Andrew Raynold, hal-hal yang patut
dipertimbangkan dalam sistem Pemilu adalah:
a. Perhatian pada representasi.
b. Membuat Pemilu mudah digunakan dan bermakna.
c. Memungkinkan perdamaian.
d. Memfasilitasi pemerintahan yang efektif dan stabil.
e. Pemerintahan yang terpilih akuntabel.
f. Pemilih mampu mengawasi wakil terpilih.
g. Mendorong partai politik bekerja lebih baik.
h. Mempromosikan oposisi legislatif.
i. Mampu membuat proses Pemilu berkesinambungan.
j. Memperhatikan standar internasional (Labolo dan
Ilham:2015:81-83).
2. Problem dan Tantangan Sistem Pemilihan Umum
a. Rendahnya Daya Kritis Masyarakat dalam Memilih
Rendahnya daya kritis pemilih diakibatkan masih
belum optimalnya pendidikan politik yang mereka terima
selama ini. Banyak aktor yang terlibat dalam memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat, di antaranya partai
politik, lembaga pendidikan, pers, dan masyarakat luas. Oleh
karena itu, dalam rangka menumbuhkan daya kritis
masyarakat maka diperlukan penguatan terhadap keempat
pihak tersebut sehingga benar-benar mampu dalam
42
menjalankan fungsinya dalam memberikan pendidikan
politik kepada masyarakat.
b. Mahalnya Biaya Pemilu
Permasalahan lain yang dihadapi oleh sistem Pemilu
di Indonesia adalah mahalnya biaya Pemilu. Mahalnya biaya
tersebut tidak hanya dirasakan oleh pemerintah, akan tetapi
juga para peserta Pemilu. Mahalnya biaya penyelenggaraan
Pemilu yang dirasakan oleh pemerintah diakibatkan oleh
banyaknya Pemilu yang harus diselenggarakan untuk seluruh
daerah di Indonesia. Sedangkan para peserta Pemilu
merasakan mahalnya biaya dalam Pemilu dilihat dari
tingginya biaya kampanye. Berubahnya sistem Pemilu dari
proporsional tertutup kepada sistem proporsional terbuka
mengakibatkan para peserta Pemilu legislatif saat ini tidak
hanya bersaing dengan peserta dari partai lain akan tetapi
juga dengan peserta dari partai yang sama. Hal ini tentu
membuat biaya kampanye Pemilu tidak hanya menjadi beban
partai akan tetapi juga menjadi beban setiap peserta. Oleh
karena itu, pemerintah perlu melakukan beberapa bentuk
pengaturan, seperti menyelenggarakan Pemilu serentak
(Pemilu nasional dan Pemilu daerah) dan menutupi
kelemahan dari UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR,
DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang
tidak mengatur tentang kewajiban bagi setiap caleg untuk
melaporkan dana kampanyenya dengan menerbitkan
peraturan KPU agar pengaturan tersebut dapat diakomodir.
c. Tingginya Perselisihan Hasil Pemilu
Timbulnya perselisihan tersebut disebabkan beberapa
alasan, seperti kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih,
kesalahan pemilih pada saat pemungutan suara, lambatnya
proses distribusi dan pengumpulan suara, lambatnya proses
penghitungan suara, lambatnya proses pengiriman hasil
penghitungan suara, dan besarnya kesempatan dalam jual beli
suara secara terselubung. Solusi yang ditawarkan yaitu
melaksanakan Pemilu dengan sistem e-voting. Banyak
manfaat dan keunggulan sistem ini, terutama dalam hal
efisiensi dan keakuratannya. Namun, diperlukan kajian yang
43
lebih jauh mengenai penggunaan sistem ini di Indonesia
karena sistem ini juga mengandung kelemahan dan yang
paling penting adalah kesiapan kita dalam menggunakan
sistem yang berbasis teknologi tinggi ini(Labolo dan
Ilham:2015:265-266).
K. Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung
1. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pada masa orde baru, dogma ketidakmungkinan
pemilihan presiden secara langsung di republik ini nyaris menjadi
konsep diri rakyat Indonesia. Pemikiran rakyat Indonesia sudah
terakulturasi dengan alasan-alasan yang diberikan sejak di
bangku sekolah dasar bahwa di Indonesia tidak mungkin
dilakukan pemilihan presiden secara langsung. Alasan-alasan
waktu itu seolah realistis, yakni berkaitan dengan wilayah
Indonesia yang teramat luas dan terdiri dari beribu pulau,
penduduk yang sangat banyak, biaya yang diperlukan sangat
besar, dan berbagai alasan lainnya yang dipaksakan atau tidak,
membuat masyarakat Indonesia maklum dan nrimo. Namun,
sunnatullah bahwa tidak ada yang mutlak di dunia ini. Terbukti,
pada 20 September 2004, Indonesia telah berhasil melaksanakan
pemilihan
langsung
presiden
dan
wakil
presiden
pertama(Hikmat:2011:163).
Penyelenggaraan Pemilu presiden dan wakil presiden
2004 secara langsung telah mengilhami dilaksanakannya
pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah secara
langsung pula. Hal ini didukung pula dengan semangat otonomi
daerah yang telah digulirkan pada tahun 1999. Pelaksanaan
Pilkada secara langsung ini juga merupakan sebagai bentuk
penerapan sistem Presidensialisme pada tingkat daerah. Oleh
karena itu, sejak tahun 2005, telah diselenggarakan Pilkada
secara langsung, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ini diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa "Kepala daerah
dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil". Pasangan calon yang akan
44
berkompetisi dalam Pilkada adalah pasangan calon yang diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Pilkada masuk dalam rezim Pemilu setelah disahkannya
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
sehingga sampai saat ini Pemilu kepala daerah dan wakil kepala
daerah lebih dikenal dengan istilah Pemilukada. Pada tahun 2008,
tepatnya setelah diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasangan Calon yang dapat turut serta
dalam Pemilukada tidak hanya pasangan calon yang diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik, tetapi juga dari
perseorangan.
a. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemilukada
1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2) PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah sebagaimana diubah terakhir
dengan PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga Atas PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3) UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
b. Penyelenggara Pemilukada
Pemilu gubernur dan wakil gubernur diselenggarakan
oleh KPU provinsi, sedangkan Pemilu bupati dan wakil
bupati atau walikota dan wakil walikota oleh KPU
kabupaten/kota.
c. Peserta Pemilukada
Peserta Pemilukada adalah pasangan calon dari:
1) Partai politik atau gabungan partai politik yang
memperoleh kursi paling rendah 15% (lima belas persen)
dari jumlah kursi DPRD di daerah bersangkutan atau
memperoleh suara sah paling rendah 15% (lima belas
45
persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu
anggota DPRD di daerah bersangkutan.
2) Perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang
telah memenuhi persyaratan secara berpasangan sebagai
satu kesatuan, dengan syarat dukungan sebagai berikut:
Tabel 2. Persyaratan Minimal bagi Calon Pasangan dari
Jalur Independen
Jumlah
Jumlah Penduduk
dukungan
Provinsi
Kabupaten/Kota
sekurangkurangnya
6,5%
sampai dengan 2
sampai dengan 250
juta jiwa
ribu jiwa
5%
lebih dari 2 juta - 6
lebih dari 250 ribu juta jiwa
500 ribu jiwa
4%
lebih dari 6 juta -12 lebih dari 500 ribu juta jiwa
1 juta jiwa
3%
lebih dari 12 juta
lebih dari 1 juta jiwa
jiwa
Jumlah dukungan di atas harus tersebar di lebih dari
50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
(Pemilu gubernur dan wakil gubernur). Sedangkan untuk
pemilu bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil
walikota, jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50%
jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan
(Labolo dan Ilham:2015:174-176).
2. Pesta Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat
Besaran anggaran Pemilu 2009 yang diperkirakan
mencapai Rp 47,9 triliun, layak mendapat apresiasi yang serius
karena
besar
relevansinya
dengan
cita-cita
luhur
diselenggarakannya Pemilu di Indonesia ini.
Dalam jangka pendek, pemilihan pemimpin di negara
dan daerah manapun dipastikan memiliki target terpilihnya
pemimpin yang mumpuni dan sesuai dengan kehendak rakyat.
Hal itu sangat sejalan dengan tujuan penyelenggaraan pemilihan
pemimpin politik di Indonesia, baik dalam bentuk pemilihan
46
anggota legislatif, DPD, maupun presiden-wakil presiden, serta
kepala daerah-wakil kepala daerah. Semuanya bermuara kepada
terpilihnya pemimpin yang berkualitas.
Pemimpin politik yang berkualitas, menurut Jurgen
Habermas, pemikir mazhab Frankfurt, sebaiknya memenuhi
kualifikasi quantity of participation dan quality of discourse.
Idealnya, pemimpin politik terpilih adalah pemimpin yang
memenuhi kualifikasi “jumlah kepala” sekaligus “isi kepala”,
yakni kepala daerah yang didukung oleh jumlah pemilih
mayoritas (konstituensi), sekaligus memiliki visi, konsepsi dan
skill mengurus negara atau daerah serta masyarakat (kompetensi).
“Jumlah kepala” penting karena memberikan legitimasi
guna menjustifikasi kebijakan yang dijalankannya. Sementara itu,
“isi kepala” adalah visi dasar yang menuntun dan menentukan
arah (direction) pembangunan. Pemimpin politik harus bertindak
sebagai manajer negara. Ia tidak cukup hanya karismatik, tetapi
harus memiliki kompetensi yang memadai. Menurut R. Wayne
Pace (2000), pemimpin yang baik harus dapat membantu
menegakkan, mempertahankan dan meningkatkan motivasi para
anggotanya. Pemimpin adalah orang yang membantu orang lain
untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Ia bertindak
dengan cara-cara yang dapat melancarkan produktivitas, moral
tinggi, respons yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas,
komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran dan
kesinambungan dalam organisasi.
Pemilihan pemimpin politik secara demokratis di
Indonesia ini pun jangan sampai membuktikan skeptisnya filsuf
legendaris zaman Yunani, Socrates. Menurutnya, demokrasi
justru membuka peluang bagi manusia bebal, dungu dan tolol
yang kebetulan didukung konstituen mayoritas, menjadi
pemimpin negara. Socrates paham benar bahwa rakyat tidak
selalu mendukung sosok yang dinilai paling mampu dan cerdas,
tetapi lebih sering sosok yang paling disukai. Tragisnya, sosoksosok
demikian
kerap
tidak
memiliki
kompetensi
memperjuangkan nasib rakyat.
Dalam jangka panjang, pemilihan pemimpin politik harus
menghasilkan output yang sesuai dengan harapan tertinggi
seluruh rakyat, yakni tercapainya kesejahteraan. Pemilu, Pilpres,
47
dan Pilkada langsung diharapkan menghasilkan feedback berupa
perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat.
Apalagi pelaksanaan pemilihan pimpinan politik di
Indonesia ini tidak hanya harus mengorbankan tenaga dan waktu,
tetapi juga hak kesejahteraan rakyat. Dana triliunan rupiah yang
dikeluarkan dari APBN dan APBD sejatinya adalah dana rakyat.
Jika dana tersebut digunakan untuk membiayai program
pengentasan kemiskinan, jutaan rakyat miskin di Indonesia akan
terselamatkan. Apalagi jika dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya, jumlah dana Pemilu 2009 tersebut melampaui
jumlah anggaran untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Jika menggunakan teori “tukang pancing”, dana Pemilu
triliunan rupiah dapat dianalogikan sebagai umpannya, tentu
dengan harapan akan mendapatkan “ikan” yang lebih besar.
Ketika dana triliunan rupiah itu dikeluarkan untuk membiayai
Pemilu, tentu diharapkan hasil Pemilu itu dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat, mengurangi jumlah rakyat miskin.Namun
realitasnya, hal itu masih menjadi tanda tanya besar. Berdasarkan
pengalaman, Pemilu tahun 2004 saja yang juga menghabiskan
dana tidak sedikit, diragukan relevansinya dengan menurunnya
angka kemiskinan di Indonesia kendati Presiden SBY
mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan menurun dari 23,4%
pada tahun 1999 menjadi 16% pada tahun 2005. Namun, Biro
Pusat Statistik (BPS) menyatakan, jumlah penduduk miskin di
Indonesia dari Februari 2005 sampai Maret 2006 bertambah 3,95
juta jiwa menjadi 39,05 juta jiwa (MI, 2 September 2006).
Bahkan, selama periode Februari 2005-Maret 2006, terjadi
pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin. Februari
2005, sekitar 56,51% penduduk miskin, tetap tergolong miskin
pada Maret 2006. BPS pun mencatat, pada Februari 2005, sekitar
30,29% penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada
Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82% penduduk hampir
tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006.
Jika “umpan” triliunan rupiah yang digunakan anggaran
Pemilu tidak menghasilkan “ikan” yang lebih besar, bahkan
malah
menjadi
santapan
“hiu-hiu”
(oknum
tidak
bertanggungjawab, seperti koruptor), apalah artinya Pemilu bagi
rakyat Indonesia. Apalagi dalam konteks Indonesia kekinian,
dalam kurun waktu lima tahun, rakyat harus melakukan
48
pemilihan pemimpinnya sebanyak lima kali, yakni pemilihan
kepala desa, bupati/walikota, gubernur, presiden, anggota
legislatif dan anggota DPD. Tentu, kelima pesta demokrasi
tersebut menelan biaya yang tidak sedikit. Pilkada Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Barat saja yang digelar tahun 2008
diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar Rp 400 miliar;
sama dengan gabungan APBD 10 kabupaten/kota di Jawa Barat.
Beranjak dari realitas tersebut, bukan hal yang tidak
mungkin seluruh elemen di republik ini dapat me-review kelima
pesta demokrasi tersebut sehingga lebih realistis. Kita harus
memikirkan kembali mana pesta demokrasi yang harus
diselenggarakan secara langsung melibatkan seluruh rakyat dan
yang cukup melibatkan wakil rakyat, bahkan yang mana pula
yang cukup hanya melalui kesertaan kebijakan pemerintah
(pusat). Apalagi dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945
disebutkan bahwa dalam membentuk suatu pemerintahan
Indonesia
hendaknya
berdasarkan
“permusyawaratan/
perwakilan”. Jadi, bukan sistem pemilihan langsung.
Kehidupan demokrasi dalam suatu negara tidak
selamanya harus diwujudkan dengan serba langsung melibatkan
seluruh rakyat. Sistem permusyawaratan dan perwakilan pun
adalah bagian dari demokrasi. Apalagi demokrasi langsung pun
realitasnya tidak memberikan jaminan tercapainya partisipasi
seluruh rakyat. Fakta di lapangan membuktikan, baik dalam
Pemilu legislatif dan DPD, pilpres, maupun Pilkada, angka
partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi tersebut rata-rata hanya
60-70 %. Bahkan, ke depan bukan hal yang tidak mungkin angka
tersebut
akan
merosot
karena
seringnya
pemilihan
mengakibatkan kejenuhan. Hal tersebut akan semakin diperparah
dengan realitas bahwa pesta demokrasi itu tidak memberikan
jaminan terjadinya perubahan struktur dan kultur bagi perbaikan
kesejahteraan rakyat(Hikmat:2011:169-171).
3. Calon Perseorangan
Selama ini semua calon peserta Pilkada adalah dari
partai. Tapi, dengan terbitnya putusan MK yang meloloskan
calon independen dapat mencalonkan diri dalam Pilkada
langsung dan dikuatkan dengan lahirnya UU No. 12/ 2008 maka
calon peroranganpun disahkan.
49
Dalam UU No. 12/ 2008 tersurat diperbolehkannya calon
perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Secara tersurat dalam pasal 56 ayat (2)
disebutkan, “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik atau
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang
memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan UU ini.” Hal ini
dijelaskan pula pada pasal 59 ayat (1),“Peserta pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. Pasangan calon yang
diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik dan b.
Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah
orang.”
Masih pada pasal 59 ayat (2a)-nya disebutkan,“Pasangan
calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon
gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan
dengan ketentuan: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai
dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurangkurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. Provinsi dengan
jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan
6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya
5% (lima persen); c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas
juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat
persen); dan d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurangkurangnya 3% (tiga persen).”
Pada ayat (2b)-nya disebutkan,“Pasangan calon
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil
bupati atau walikota/wakil wakil walikota apabila memenuhi
syarat dukungan dengan ketentuan: a. Kabupaten/Kota dengan
jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh
ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam
koma lima persen); b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan
500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurangkurangnya 5% (lima persen); c. Kabupaten/Kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan
50
1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya
4% (empat persen); dan d. Kabupaten/Kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung
sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).”
Lahirnya ketentuan memperbolehkan calon perseorangan
mendaftarkan diri menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah
dengan persyaratan pokok harus mendapatkan dukungan
langsung dari rakyat, melahirkan fenomena komunikasi politik
baru. Ketika peraturan perundangan hanya membolehkan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah dari parpol atau gabungan
parpol yang memiliki sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi
DPRD dan 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam
Pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, potensi
komunikasi politik sangat rendah. Kemungkinan terjadinya
komunikasi politik hanya di antara parpol yang tidak memiliki
kursi atau akumulasi hasil Pemilu DPRD di bawah 15%. Hal itu
secara kasat mata terjadi dalam Pilkada di semua daerah.
Calon yang paling banyak tetap dari partai tertentu atau
dari koalisi beberapa partai. Komunikasi politik dalam sebuah
koalisi antarparpol yang mengusung pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah sangat kental. Lobi-lobi politik di
antara pemimpin parpol ataupun di antara calonnya sendiri sangat
transparan. Bahkan, tawar-menawar politik, terutama berkaitan
dengan posisi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sering
terjadi juga di antara mereka. Biasanya, dalam beberapa kasus,
partai yang merasa lebih besar persentase jumlah kursinya di
DPRD akan berusaha mengajukan calon untuk menjadi kepala
daerah, sedangkan yang lebih kecil jumlah suaranya harus rela
diposisi wakil kepala daerah(Hikmat:2011:178-183).
4. Peran Media Massa dalam Pilkada
Ada tiga fungsi utama media massa yang melekat dalam
pekerjaan mereka, yaitu memberikan informasi, memberikan
pendidikan, dan menghibur masyarakat. Melalui informasi,
media dapat membantu khalayaknya untuk membentuk pendapat
tentang berbagai persoalan. Dengan menggunakan media massa,
masyarakat dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan
belajar tentang perkembangan penting dalam berbagai aspek
kehidupan. Begitu pula dalam hal hiburan, banyak masyarakat
51
memanfaatkan waktu luangnya untuk menggunakan media agar
memperoleh hiburan yang menyenangkan. Dalam hal ini hiburan
yang berbobot tinggi pada saat yang sama mempunyai sifat
informatif dan mendidik.
Idealnya, media harus menyediakan berbagai informasi
yang dibutuhkan masyarakat agar mereka dapat membentuk
pendapat dan membuat keputusan sendiri tentang berbagai aspek
kehidupan, termasuk persoalan politik.
Fungsi mendidik melalui informasi inilah merupakan
tugas utama media dalam sistem sosial di mana institusi itu
berada. Semakin mampu media massa ini memperkuat dan
mendukung khalayaknya sebagai warga negara yang berperan di
dalam proses demokrasi (promoting active citizen), maka
semakin baik media itu. Karena itu, kalangan jurnalis banyak
yang tidak ragu-ragu merasa, secara ideal profesi mereka yaitu
memberikan informasi agar warga negara mampu memainkan
peran demokratiknya secara signifikan.
Dalam pelaksanaan Pilkada beberapa tahun terakhir ini,
media massa di Indonesia juga diharapkan memiliki peran cukup
besar terhadap political empowerment terhadap warga negara di
berbagai daerah. Pers diharapkan bukan hanya menyukseskan
dengan menyebarkan electorate information tentang bagaimana
cara memberikan suara dalam Pilkada, tetapi juga dituntut
melalui pemberitaannya melakukan voters education (pendidikan
pada pemilih), mendidik masyarakat tentang relevansi Pilkada
pada kepentingan masyarakat, serta mendiskusikan apa dan
bagaimana pentingnya Pilkada langsung bagi masyarakat.
Dengan demikian, media massa juga mengajak publik untuk
bersama-sama melakukan watching to the political process dalam
Pilkada tersebut(Subiakto dan Ida:2014:196-197).
5. Panwaslu
Dalam sistem Pilkada langsung, Panwaslu dapat
dikategorikan sebagai aktor komunikasi politik sehingga
komunikasi politik merupakan bagian dari kinerjanya. Aktor
komunikasi politik adalah semua pihak yang terlibat atau
mengambil peran dalam proses penerimaan pesan dan
penyampaian pesan. Aktor komunikasi politik dapat perorangan
52
atau individu, kelompok, organisasi, lembaga, ataupun
pemerintah (Pawito:2009:6).
Komunikator politik ada dua bagian, yakni komunikator
yang menangani masalah nasional (governmental opinion maker)
dan komunikator yang menangani masalah khusus (single issue
opinion maker). Single issue opinion maker dapat diistilahkan
komunikator pelaksana, yaitu para pejabat yang berada di daerah,
baik di tingkat provinsi maupun di tingkat distrik
(Nimmo:1993:123).
Panwas Pilkada langsung dapat memiliki dua posisi, baik
komunikator utama maupun komunikator pelaksana. Panwas
Pilkada langsung dapat menjadi governmental opinion maker
karena mengelola manajerial pengawasan secara mandiri dan
independen serta membawahi panwas lainnya secara berjenjang.
Namun, pada sisilain, karena dibentuk oleh DPRD (2005-2008),
panwas Pilkada langsung pun dapat menjadi single issue opinion
maker. Panwas Pilkada langsung memegang amanah dari DPRD
untuk melaksanakan pengawasan Pilkada langsung.
Apa pun kedudukannya, dalam konteks komunikasi
politik, panwas Pilkada langsung memiliki posisi yang sangat
strategis. Komunikasi politik yang dilakukan oleh panwas
Pilkada langsung merupakan bukti eksistensi lembaga tersebut
dalam sistem politik yang berkembang di Indonesia
(Hikmat:2011:200-201).
McQuail mengatakan bahwa komunikasi politik
merupakan semua proses penyampaian, pertukaran, dan
pencarian informasi, termasuk fakta, pendapat-pendapat,
keyakinan-keyakinan dan seterusnya, yang dilakukan oleh para
partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih bersifat
melembaga (McQuail:1994:427).
Sebagai lembaga politik, panwas Pilkada langsung ikut
menentukan berkembangnya sistem politik Pilkada. Upaya
panwas dalam mengembangkan alih-alih melaksanakan sistem
politik Pilkada langsung merupakan komunikasi politik yang
dilakukan oleh lembaga politik. Meadow menegaskan bahwa
komunikasi politik merupakan segala bentuk pertukaran simbol
atau pesan yang dilakukan oleh suatu lembaga dapat
mempengaruhi sistem politik yang berkembang di suatu Negara
(Meadow:1980:4).
53
Sebagai aktor komunikasi politik, panwas Pilkada
langsung diberikan peran yang diatur dalam UU No. 32/2004
tentang Pemerintah Daerah, dan PP No. 6/2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta UU No. 22/2007
tentang Penyelenggara Pemilu. Ketiga peraturan perundangan
inilah yang menjadi landasan hukum yang tersurat tentang
panwas Pilkada langsung, termasuk di dalamnya tugas,
wewenang, dan kewajibannya.
Walaupun dalam takaran konstitusional, sejumlah pakar
hukum berkeyakinan bahwa eksistensi panwas Pilkada pun
secara tersurat tercantum dalam UUD 1945 pasal 22E ayat (5),
“Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi Pemilihan
Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Penyebutan
komisi pemilihan umum (KPU) dengan huruf kecil, tidak hanya
menunjukkan KPU sebagai lembaga yang mengelola Pemilu
seperti yang ada sekarang dan beranak pinak di daerah menjadi
KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, tetapi menunjukkan
penyelenggara Pemilu yang namanya boleh apa saja. Bahkan,
KPU yang dalam UUD 1945 ini telah melahirkan bayi kembar
siam: KPU dan Panwaslu (Hikmat:2011:201).
6. Konflik Pilkada Langsung
Kendati sudah puluhan kali Pilkada langsung
dilaksanakan di beberapa daerah (sejak 2005), konflik horizontal
dan vertikal, baik menjelang, saat pelaksanaan, maupun setelah
pelaksanaan, masih saja terjadi. Salah satu pemicu terjadinya
konflik dalam Pilkada langsung adalah masih adanya pasal-pasal
dalam ketentuan perundang-undangan Pilkada langsung yang
tidak sejalan dengan aspirasi rakyat.
Oleh karena itu, salah satu yang paling pokok yang
muncul sebagai desakan rakyat terhadap pemerintah guna
memperbaiki pelaksanaan Pilkada langsung ke depan adalah
merevisi peraturan perundangan yang mengatur mekanisme
pelaksanaan Pilkada langsung.
Dalam konteks real, secara struktural perundangan yang
mengatur Pilkada langsung berada pada Bab VI pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 hasil revisi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota
54
dipilih secara demokratis.” Penerjemahan dari UUD 1945
tersebut lebih perinci diatur dalam UU No. 32/2004, PP No.
6/2005 dan yang terakhir UU No. 22/2007 serta UU No. 12/2008
yang merupakan revisi dari UU No. 32/2004.
Menyimak hasil penelitian pelaksanaan Pilkada langsung
yang pernah dilakukan tahun 2005, titik tekan partisipasi rakyat
yang berkaitan dengan revisi perundangan Pilkada langsung lebih
fokus pada kebijakan-kebijakan teknis. Setidaknya, terdapat
beberapa catatan yang menurut aspirasi masyarakat perlu direvisi
dalam ketentuan mekanisme pelaksanaan Pilkada langsung, di
antaranya:
a. PP No. 6/2005 tidak menyuratkan pengesahan hasil
pemilihan harus mempertimbangkan persentase jumlah
pendaftar pemilih terhadap penduduk usia hak memilih (17
tahun atau menikah) atau jumlah pemilih terhadap pendaftar.
Yang ada hanya persentase jumlah suara yang memilih dari
seluruh jumlah pemilih. Seperti yang tersurat dalam pasal 95
bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang memperoleh suara lebih dari 50% (ayat 1) atau
pasangan yang memperoleh 30% suara dan memiliki suara
terbesar (ayat 2) dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai
pasangan calon terpilih.
b. PP No. 6/2005 lemah dalam mengakui eksistensi warga
nonpartai dalam Pilkada langsung sehingga mendorong
makin berkembangnya pemilih golput. Tatkala UU No.
32/2004 dan PP No. 6/2005 masih menjadi bahasan legislatif,
sejak awal aspirasi rakyat yang menghendaki munculnya
calon independen (jalur nonpartai politik) deras ke
permukaan. Kini, MK telah membuka lebar bagi calon
nonpartai untuk mencalonkan diri dalam Pilkada langsung
dengan ditindaklanjuti lahirnya UUNo. 12/2008.
c. Pemilih golput di beberapa daerah masih cukup besar.
Banyaknya calon yang harus dipilih tidak menjadi jaminan
kecilnya jumlah pemilih yang golput. Besarnya jumlah
pemilih yang golput ditambah jumlah pemilih yang tidak
memilih karena kelalaian dalam pendataan, mendorong
makin membengkaknya jumlah pemilih yang tidak
menunaikan hak pilihnya. Hal ini pula yang merupakan
ancaman legitimasi rakyat terhadap kepala daerah yang
terpilih dalam Pilkadalangsung.
55
Perbaikan ketentuan yang mengatur mekanisme
pelaksanaan Pilkada langsung sangat urgen untuk dilakukan agar
tujuan utama dilaksanakannya Pilkada tercapai, yakni
memberikan kesempatan lebih luas kepada masyarakat lokal
dalam menentukan pemimpin mereka di daerah. Secara esensial,
dibentangkannya benang merah di antara masyarakat lokal dan
pemimpin di daerah agar terjadi sinergitas di antara mereka
dalam membangun daerah sehingga secara dinamis terjadi
pemerataan pembangunan. Kesejahteraan hasil pembangunan
tidak hanya dirasakan oleh penguasa (pemimpin), tetapi juga oleh
seluruh masyarakat lokal. Oleh karena itu, tidak peduli harus
menelan biaya ratusan juta rupiah bagi Pilkada provinsi dan
puluhan miliar rupiah bagi Pilkada kabupaten/kota, yang
terpenting pemerataan kesejahteraan masyarakat lokal dapat
tercapai.
Fenomena di lapangan ternyata nyaris bertolak belakang
dengan tujuan esensial dilaksanakannya Pilkadalangsung. Di
beberapa daerah, Pilkada malah menjadi ajang konflik, baik
konflik vertikal maupun horizontal yang menelan korban harta
dan jiwa. Konflik vertikal terjadi, misalnya di antara rakyat
pemilih dan KPUD, DPRD, Pemda, Panwasda, bahkan di antara
DPRD dan Pemerintah Pusat melalui Depdagri. Konflik
horizontal terjadi di antara rakyat karena berbeda calon atau
karena calonnya kalah seperti yang terjadi di Kabupaten Tuban
atau konflik di antara institusi, seperti antara KPUD dan
Panwasda DKI Jakarta, serta antara DPRD dan KPUD Kabupaten
Boalemo.
Fenomena itu telah memalingkan tujuan mulia Pilkada
langsung dari ingin menciptakan pemerataan kesejahteraan hasil
pembangunan bagi masyarakat lokal, tetapi yang terjadi malah
menciptakan ajang konflik di antara masyarakat lokal. Realitas
tersebut terjadi di antaranya karena munculnya berbagai
permasalahan pada pelaksanaan Pilkada langsung sebagaimana
keterangan di bawah ini:
a. Masih lemahnya resposibilitas positif grassroots daerah
terhadap produk-produk hukum yang mengatur mekanisme
pelaksanaan Pilkada langsung sehingga banyak masyarakat
yang enggan menjalankan hak pilih.
56
b. Tingginya jumlah pemilih yang tidak terdaftar sehingga
mereka tidak menjalankan hak pilihnya. Hal tersebut
menunjukkan belum baiknya mekanisme Pilkada langsung
dalam fase pendaftaran, misalnya terjadi dalam Pilkada
Papua, PilkadaSurabaya, Pilkada Kepri, dan Pilkada Bekasi.
c. Masih ada calon yang melakukan kampanye terselubung,
mencuri start, menggunakan fasilitas negara, dan melibatkan
PNS, TNI, Polri. Hal ini pun menunjukkan masih lemahnya
mekanisme Pilkada langsung dalam fase kampanye.
d. Money politics. Setidaknya terdapat dua hal yang belum jelas
dalam mekanisme pelaksanaan Pilkada kaitannya dengan
money politics: (1) belum ada pembeda yang jelas di antara
money politics dan cost politics; (2) mekanisme sumbangan
dana kampanye yang diatur dalam PP No. 6/2005 masih
membuka celah terjadinya kecurangan. Secara nasional,
misalnya mencuat DKP dalam Pemilu 2004.
e. Ketidakadaan saksi dari setiap calon, dan terbatasnya waktu
pelaksanaan pemilihan (hanya hingga pukul 13.00) sehingga
jumlah pemilih yang melaksanakan hak pilih sangat minim.
f. Mekanisme yang digunakan dalam perhitungan suara di
antara KPUD, calon, partai, dan masyarakat lainnya sering
berbeda. Bahkan, beberapa KPUD masih mengandalkan cara
perhitungan manual, sedangkan pihak lain sangat
mempercayai cara perhitungan komputerisasi.
g. Banyak para pendukung calon tidak menerima hasil putusan
KPUD. Bahkan, ada juga lembaga seperti DPRD tidak
menyetujui putusan KPUD.
h. Pilkada langsung belum memberikan perubahan bagi
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
di
tingkat
lokal(Hikmat:2011:172-174).
7. Partisipasi Politik Rakyat
Dalam UU No. 32/2004 jo PP No. 6/2005 sebagai
landasan pelaksanaan Pilkada langsung tidak tersurat bahwa
pengesahan hasil pemilihan harus mempertimbangkan persentase
jumlah pendaftar pemilih terhadap penduduk usia hak memilih
(17 tahun atau sudah menikah) atau jumlah pemilih terhadap
pendaftar. Yang ada hanya persentase jumlah suara yang memilih
dari seluruh jumlah pemilih. Seperti yang tersurat dalam pasal 95
57
bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang memperoleh suara lebih 50% (ayat 1), atau pasangan yang
memperoleh 30% suara dan memiliki suara terbesar (ayat 2) dari
jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
Hal tersebut menumbuhkan penafsiran bahwa Pilkada di
Indonesia hanya mempertimbangkan aspek yuridis dan
mengabaikan aspek faktual. Padahal, secara filosofis, aspek
yuridis itu adalah penerjemahan dari aspek faktual. Gambarangambaran realitas yang terjadi dalam aspek faktual harus dapat
dipertegas dan dikuatkan oleh aspek yuridis. Namun,
kenyataannya, PP No. 6/2005 tidak dapat meraih seluruh aspek
faktual. Oleh karena itu, pada setiap pelaksanaan Pilkada
langsung, rendahnya jumlah pendaftar dan pemilih menjadi
problem berkepanjangan.
Tidak terangkumnya kelayakan pemilihan dengan
prasyarat perbandingan persentase pendaftar terhadap penduduk
yang berhak memilih atau persentase pemilih terhadap pendaftar
tidak memberikan target ideal bagi para petugas. Para petugas
pendaftaran tidak memiliki target berapa persen penduduk yang
sudah berhak memilih yang harus terdaftar sebagai calon pemilih.
Hal itu menyiratkan indikasi dapat terjadi kelalaian yang
dilakukan oleh petugas pendaftaran pemilih.
Hal yang sama juga dapat terjadi pada petugas pemilihan.
Karena tidak ada titik tekan bahwa pemilihan akan sah apabila
dihadiri sekian persen pendaftar, mereka pun bisa diindikasikan
dapat melalaikan tugas. Semangat jemput bola yang seharusnya
menjadi bagian kinerja dari para petugas pemilihan (KPPS) di
TPS, teramat jarang dilakukan. Mereka hanya beracuan pada
waktu pemilihan bahwa pemilihan dilakukan mulai pukul 7.0013.00 waktu setempat. Artinya, jika sudah sampai pukul 13.00,
kendati jumlah pemilih sangat minim, pemilihan langsung ditutup
dan dilakukan penghitungan suara (pasal 70 ayat 4).
Kendati begitu, berdasarkan catatan Menkopolhukam
(2007), partisipasi politik masyarakat untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah cukup tinggi apabila
dibandingkan dengan Pemilu legislatif dan Pemilu presiden/wakil
presiden. Berdasarkan data pelaksanaan Pilkada tahun 2007,
berikut ini tingkat partisipasi masyarakat:
58
a. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur, partisipasi terendah
adalah Provinsi Sumatera Barat dengan tingkat partisipasi
55,81%, sedangkan yang tertinggi adalah Provinsi Gorontalo
dengan tingkat partisipasi 83,86%.Pemilihan bupati dan
wakil bupati, partisipasi terendah adalah Kabupaten Supiori,
Papua dengan tingkat partisipasi 47,00%; sedangkan yang
tertinggi adalah Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua
dengan tingkat partisipasi 98,14%.
b. Pemilihan walikota dan wakil walikota, partisipasi terendah
adalah Kota Batam, Kepulauan Riau dengan tingkat
partisipasi 45,19%; sedangkan yang tertinggi adalah Kota
Dumai, Riau dengan tingkat partisipasi 98,05%.
Apabila dikaji lebih lanjut, dari 305 Pilkada yang sudah
dilaksanakan pada tahun 2007, partisipasi masyarakat terendah
adalah di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau sebesar 45,19%.
Hal itu terjadi karena :
a. Masyarakat Kota Batam sebagian besar adalah pendatang.
b. Figur calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kurang
dikenal oleh para pemilih sehingga sebagian warga
cenderung apatis.
c. Lemahnya sosialisasi Pilkada kepada seluruh lapisan
masyarakat.
d. Pelaksanaan Pilkada dilakukan pada hari Sabtu, sedangkan
para pekerja di Kota Batam pada hari Jumat banyak yang
lembur hingga tengah malam sehingga pada hari Sabtu
mereka gunakan untuk beristirahat.
e. Penetapan tanggal pencoblosan yang jatuh pada hari Sabtu
ikut mempengaruhi sebagian besar masyarakat untuk pergi
berlibur pada akhir minggu.
Sementara itu, partisipasi masyarakat tertinggi dalam 305
Pilkada pada tahun 2007 adalah di Kabupaten Pegunungan
Bintang, Papua sebesar 98,14%. Berdasarkan hasil penelitian,
besarnya tingkat partisipasi politik masyarakat tersebut didorong
oleh situasi sebagai berikut:
a. Jumlah penduduk Kabupaten Pegunungan Bintang relatif
sedikit, hanya 50 ribu orang, dan jumlah pemilih dibawah 40
ribu orang.
b. Kemampuan Pemda dan KPUD dalam mengumpulkan
masyarakatnya yang tersebar di lereng gunung melalui suatu
59
upacara adat, yakni pesta “bakar batu”(Hikmat:2011:191193).
8. Kampanye Politik
a. Kampanye dan Pesta Rakyat
Banyakpihak yang mempersepsikan bahwa tahap
kampanye adalah salah satu tahap yang rawan konflik.
Konflik yang memungkinkan terjadi, tidak hanya adu otak,
tetapi bisa saja adu otot. Tim kampanye tidak hanya dituntut
adu cantik visi, misi, dan program kerja pasangan calonnya,
tetapi juga harus menunjukkan kebesaran massa
pendukungnya.
Secara psikologis, makin besar jumlah massa
pendukung akan makin besar pula pengaruh para calon
terhadap rakyat pemilih. Oleh karena itu, kegiatan kampanye
jarang sekali terhenti hanya pada realitas pemaparan dan
dialog di antara pasangan calon atau juru kampanye dan
rakyat. Akan tetapi, pengerahan massa dan arak-arakan ke
jalanan merupakan salah satu upaya menunjukkan kebesaran
massa pendukung. Persepsi semacam itu, tentu tidak lahir
dari karya-karya rekaan, tetapi berdasarkan analisis historis
dan logis.
Secara historis, rakyat Indonesia sering dihadapkan
pada fakta sejarah bahwa kampanye politik sejak dulu hingga
kini sering melahirkan konflik. Perseteruan di antara para
pendukung pasangan calon yang sebelum masa kampanye
terjadi di bawah selimut, masa kampanye seolah difasilitasi
untuk terbuka. Sebelum masa kampanye, mereka masih
menerka-nerka “siapa lawan dan siapa kawan”, pada masa
kampanyelah mereka “buka-bukaan”.
Dalam takaran logis pun, pertemuan antara pihak
yang memiliki kepentingan yang berbeda cenderung
melahirkan konflik. Kendati pertemuan dua “lawan” yang
berkampanye sering berusaha dihindari oleh para
penyelenggara kampanye, buktinya sulit sekali. Seperti
kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar
2008 yang disekat dengan zona dan jadwal kampanye
sebagaimana yang telah ditetapkan KPU Provinsi Jawa Barat,
tetapi itu pun tidak dapat menjadi pagar yang tangguh.
60
Bahkan, dari awal sudah dikhawatirkan, penjadwalan
kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa
Barat Tahun 2008 yang berselang sehari memungkinkan
terjadinya pergesekan di antara massa pendukung.
Perpindahan massa pendukung dari satu zona ke zona lainnya
yang terjadi setiap hari merupakan titik rawan yang dapat
mendorong terjadinya konflik massal.
Fakta historis konflik pada masa kampanye tidak
hanya menanamkan traumatik yang dalam pada rakyat, tetapi
juga pada pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah berusaha
menskenario kampanye damai. Hal itu dituangkan dalam
pasal-pasal yang khusus mengatur kampanye.
Pada UU No. 32/2004, terdapat 11 pasal dan 41 ayat
yang khusus mengatur pelaksanaan kampanye Pilkada.
Dalam sejumlah pasal dan ayat tersebut, selain terdapat dua
pasal (pasal 78 dan 79) yang khusus menyebutkan hal-hal
yang dilarang dalam pelaksanaan kampanye, dalam pasal lain
pun tersebar ketentuan yang juga menyuratkan dan
menyiratkan larangan dalam kampanye. Hal itu tertuang,
misalnya pada pasal 76 ayat (4), “Penyampaian materi
kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan
bersifat edukatif”. Kemudian pada pasal 77, diatur bahwa
media cetak dan pemerintah daerah harus memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap pasangan calon, dan
seterusnya.
Kekhawatiran menghadapi masa kampanye, baik
dalam lubuk hati rakyat maupun pemerintah, secara tidak
disadari telah membangun sebuah skenario kampanye yang
menakutkan. Dalam menghadapi kampanye, seolah akan
terjadi “perang” sehingga setiap orang siap siaga. Tim
kampanye bersiap dengan berbagai strategi, bahkan mungkin
strategi pengerahan massa sekalipun yang jelas-jelas dilarang
oleh perundang-undangan. Mereka tidak mau kalah untuk
menunjukkan kebesaran massa dan keluasan pengaruh
pendukung pasangan calon. Rakyat pun sudah siap-siap
dengan berbagai kemungkinan terjadinya “perang”. Tak
jarang para pedagang menutup tokonya demi keselamatan
atau pegawai meliburkan diri karena takut tercegat yang
61
berkampanye, bahkan Polri pun bersiaga dengan ribuan
personilnya.
Padahal, seluruh elemen bangsa ini sejak lama telah
komit bahwa Pemilu, baik memilih wakil rakyat, presiden
dan wakil presiden, maupun kepala daerah dan wakil kepala
daerah, merupakan pesta demokrasi. Dalam konteks umum,
pesta selalu bersinergi dengan kebahagiaan, kegembiraan,
sukacita; bukan kengerian, ketakutan, kebrutalan. Pesta
adalah suasana yang harus melahirkan sebuah kebahagiaan,
bukan penyesalan.
Jika kampanye merupakan bagian dari pesta
demokrasi, tentu tidak perlu dikhawatirkan atau ditakutkan,
bahkan seharusnya merupakan fase-fase yang ditunggutunggu oleh seluruh elemen rakyat Indonesia. Inilah bukti
telah terjadi benturan antara das sein dan das sollen. Istilah
pesta yang dilabelkan pada kegiatan pemilihan, ternyata tidak
dapat terpenuhi. Dalam konteks ini, teorip (labelling theory)
yang sempat diagungkan kehebatannya telah gagal karena
tidak mendapat dukungan yang real.Padahal, pemerintah
telah memiliki itikad baik, rakyat pun telah sangat berharap
bahwa istilah pesta demokrasi dalam pemilihan pemimpin
tidak sekadar mimpi. Rakyat sudah bosan dengan tontonantontotan arogan yang sering dimainkan oleh massa ketika
berkampanye. Sekarang bukan zamannya lagi mempengaruhi
rakyat dengan menunjukkan kebesaran dengan kekuatan otot
dan kebrutalan massa.
Sebagai contoh, bagi masyarakat Jawa Barat yang
sebagian besar sudah menjadi pemilih yang kritis. Mereka
tidak akan tergerus dengan simbol-simbol menakutkan,
kearoganan, dan pamer massa di jalanan. Bahkan, jika itu
yang dimainkan oleh para pasangan calon dengan para
pendukungnya, rakyat Jawa Barat akan lebih memilih golput,
ketimbang takut.
Rakyat Jawa Barat sangat menginginkan figur
pemimpin yang simpatik. Mereka akan lebih memilih
pemimpin yang tidak hanya dapat mengumbar kata-kata,
tetapi yang betul-betul dapat berbuat yang terbaik bagi Jawa
Barat. Oleh karena itu, kampanye yang efektif guna meraih
simpati rakyat Jawa Barat adalah kampanye yang
62
menampilkan komunikator-komunikator yang memiliki ethos
(meminjam istilah Aristoteles), yakni memiliki pikiran,
akhlak, dan maksud yang baik (good sense, good moral
character, good will).
Psikologi komunikasi menegaskan bahwa yang dapat
mempengaruhi massa bukan hanya apa yang dikatakan,
melainkan juga siapa yang mengatakannya. Oleh karena itu,
untuk meraih suara yang besar selain sangat ditentukan oleh
figur pasangan calon, juga sangat dipengaruhi oleh juru
kampanye. Apalagi karakter masyarakat Jawa Barat yang
lebih patrilineal, pemilihan juru kampanye dari tokoh
masyarakat yang menjadi panutan merupakan langkah yang
harus dilakukan oleh tim kampanye. Tokoh yang betul-betul
dapat menggerakkan hati rakyat karena tindakannya penuh
simpati, bukan tokoh yang dapat menggerakkan massa terjun
ke lapangan karena pandai membagi rupiah.
Hovland dan Weiss menyebutkan dua hal yang harus
dimiliki oleh seorang komunikator sehingga dapat
menggerakkan hati massa, yakni expertise (keahlian) dan
trustworthiness (dapat dipercaya). Jika tim kampanye
mengambil tema mengentaskan kemiskinan, meningkatkan
pendidikan masyarakat, dan tema lainnya maka juru
kampanyenya pun harus orang yang sudah dipercaya
memiliki keahlian di bidang tersebut.
Selain juru kampanye, isi pesan yang disampaikan
pun menjadi bagian yang dapat juga menggerakkan hati
rakyat. Menurut Herbert C. Kelmen, pesan yang baik adalah
pesan yang dapat diinternalisasi, yakni gagasan, pikiran, atau
anjuran yang dapat memenuhi kebutuhan atau dapat
memecahkan masalah yang dihadapi rakyat. Pesan ini tidak
hanya harus dalam bentuk dan dikemas dengan kata-kata.
Semua tindakan, baik yang dilakukan oleh pasangan calon,
tim kampanye atau para pendukung juga merupakan pesan.
Tindakan brutal dan urak-urakan massa pendukung di jalanan
pun merupakan pesan, pesan yang dapat menumbuhkan
antipati, bukan yang dapat melahirkan simpati.Oleh karena
itu, sejatinya tahap kampanye ini dijadikan sebagai ajang
pemikat bagi para pemilih, dan hindarilah segala tindakan
yang dapat menumbuhkan rasa antipati rakyat. Jangan sia-
63
siakan segala pengorbanan tenaga dan harta rakyat hanya
untuk tindakan yang mencederai nurani rakyat
(Hikmat:2011:218-222).
b. Serangan Fajar dan Opini Publik
Empatbelas hari masa kampanye dan tiga hari masa
tenang dalam Pilkada merupakan waktu sempit yang sangat
menentukan. Sosialisasi yang dilakukan berbulan-bulan lalu,
bahkan bertahun-tahun bagi calon incumbent, akan sia-sia
jika tidak waspada menghitung hari pada masa tersebut.
Dulu, masa yang paling rawan dan paling potensial
untuk meraih simpati pemilih adalah satu-dua hari menjelang
pemilihan (masa tenang). Pada masa ini, metode serangan
fajar sangat efektif dilakukan oleh calon sehingga pada masa
inilah panwaslu caringcing pageuh kancing saringset pageuh
iket mengawasi segala tindak tanduk pasangan calon, tim
kampanye, dan parpol pengusung.
Dalam konteks kondisi pemilih yang makin cerdas,
terlebih bagi daerah pemilihan yang berada di perkotaan yang
notabene warganya memiliki pendidikan yang cukup,
serangan fajar dalam bentuk money politics kurang efektif.
Sebagian besar pemilih di perkotaan akan memiliki
pertimbangan logis. Mereka akan mempertimbangkan
relevansi antara jumlah uang yang diberikan pasangan calon
dan konsekuensi pemimpin daerah ke depan. Kendati ada
saja warga perkotaan yang mau menerima uang dari
pasangan calon, hal itu tidak dapat dijadikan jaminan bahwa
mereka akan menyerahkan hak pilihnya.
Apalagi dengan kondisi wilayah pemilihan yang
sempit dan terjangkau, serangan fajar dalam bentuk money
politics sangat memungkinkan tercium oleh panwaslu atau
tim kampanye pasangan calon lainnya. Tindakan bagi-bagi
uang, sembako, atau bagi-bagi materi lainnya akan menjadi
bumerang besar bagi pasangan calon yang melakukannya.
Apalagi pelanggaran money politics adalah salah satu tindak
pelanggaran berat dan memungkinkan mendapatkan sanksi
berupa pembatalan pasangan calon.
Selain malu, konsekuensi berat yang akan
ditanggung oleh pelanggar, akan mendapatkan sanksi sosial,
64
bahkan sanksi politik yang sulit diduga berapa besar
kerugiannya. Mungkin tidak dapat digantikan dengan
kerugian materi berapa pun karena sanksi ini berkaitanan
dengan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat, khususnya
kepada pasangan calon.
Jika seseorang atau kelompok pendukung atau tim
kampanye, bahkan pasangan calon sering melakukan
pelanggaran, hal itu merupakan presiden buruk bagi peraihan
suara mereka ke depan. Seringnya mereka melanggar dapat
menjadi fenomena berat yang diindikasikan dapat menjadi
identitas dirinya sebagai pelanggar peraturan. Masyarakat
pemilih akan menganalogikan tindakan pelanggaran yang
mereka lakukan sebagai tindakan indisipliner yang sangat
memungkinkan dilakukan jika pasangan calon tersebut
terpilih.
Realitas itu bukan hal yang tidak mungkin akan
mengkristal menjadi opini publik. Apalagi pada era ini, opini
publik sedang menjadi “rajanya” di republik ini. Seluruh
masyarakat Indonesia kini sedang berhadapan dengan tulang
punggung demokrasi (meminjam istilah Astrid S. Susanto)
yang sedang mempertontonkan kedahsyatannya.
Di negara demokrasi, sebagaimana diakui Unesco,
opini publik (public opinion) telah menunjukkan
kapasitasnya sebagai lembaga semu yang dapat sejajar
dengan kekuatan parpol atau golongan-golongan di
masyarakat. Bahkan, dalam konteks keindonesiaan, opini
publik telah menjelma menjadi kekuasaan yang paling besar
yang dapat mendorong kekuasaan negara manapun untuk
“menyerah” mengikuti jalurnya. Oleh karena itu, wajar jika
Jusuf Kalla (saat itu sebagai wakil presiden) pun sempat
“gentar” jika parpol harus jadi santapan opini publik. Ia
sempat menghimbau agar masyarakat (publik) berhenti
“menghujat” parpol.
Akhir-akhir ini, opini publik di Indonesia memang
dahsyat, nyaris sanggup memporak-porandakan semua
tatanan. Menurut Dan Nimmo (2001), jika menyangkut
kontroversi yang menyentuh semua orang yang merasakan
konsekuensi langsung dan tidak dari isu atau fakta yang ada,
opini publik akan menggeliat menjadi kekuatan yang maha
65
dahsyat. Hiruk-pikuk kehidupan Indonesia era ini memang
banyak dikendalikan opini publik. Jangankan public figure
seperti para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,
siapa pun dapat menjadi korban opini publik.
Di negara-negara lain pun sama, kalau sudah
menunjukkan “gigi”-nya, opini publik dapat membenamkan
siapa pun. Kandidat Presiden Amerika Serikat, George
Romney gagal menjadi presiden karena didera opini publik
bahwa otaknya telah dicuci saat perang Vietnam. Senator
Gary Hart yang mencalonkan diri menjadi Presiden Amerika
tahun 1988 gagal karena opini publik telah memvonisnya
dengan isu affair dengan model cantik, dan banyak lagi para
pemimpin dunia harus menelan pil pahit karena opini publik.
Penilaian kinerja bagi pemimpin (public figure)
memang tidak sekadar menyangkut hal-hal teknis operasional
pelaksanaan tugas, tetapi juga berkaitan erat dengan etika,
moral, dan penerimaan publik. Apalagi pada era pemilihan
pemimpin langsung seperti Pilkada, publik dapat
memberikan penilaian bahwa seseorang layak atau tidak
untuk menjadi pemimpin mereka.
Penilaian publik lebih responsif apabila berkaitan
dengan moral dan etika. Sebagaimana diungkapkan Bryce
dan Lowell, opini publik akan menjadi ancaman bagi seorang
pemimpin apabila menyangkut perilaku yang tidak etis dan
tidak bermoral. Makanya, dalam beberapa kasus Pilkada,
serangan fajar yang efektif bukan lagi menggunakan metode
money politics, melainkan black campaign sebagaimana yang
menimpa George Romney dan Senator Gary Hart serta
sejumlah kandidat kepala daerah di republik ini.
Oleh karena itu, jika tidak ingin menjadi korban
opini publik, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
harus menjadi komunikator yang cerdas. Ia harus berupaya
sekuat tenaga menghindari pelanggaran-pelanggaran
terhadap berbagai aturan sekecil apa pun. Ia harus tampil
sebagai sosok yang taat, baik terhadap kaidah-kaidah agama
maupun aturan-aturan yang berlaku dalam negara, bahkan
dalam aturan main Pilkada.
Permainan peran seperti itu dapat saja dilakukan oleh
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah jika mereka
66
paham mengaplikasikan teori dramaturgis dari Erving
Goffman. Mereka dapat mengemas perilaku pada front stage
(panggung depan) yang menjadi “tontonan” masyarakat
kendati mungkin bertolak belakang dengan back stage-nya
sehingga opini positiflah yang berkembang selama
pencalonannya.
Namun, tentu yang diinginkan masyarakat bukan
pemimpin munafik seperti itu, melainkan pemimpin yang
betul-betul dapat menjadi panutan dan suri teladan bagi
masyarakatnya, yakni pemimpin yang taat pada kaidahkaidah agama, aturan negara, dan komitmen-komitmen
bersama untuk memajukan daerahnya. Hal itu bukan hal yang
tidak mungkin karena calon pemimpin daerah sudah
menghadapi masa seleksi yang cukup ketat dan sulit sehingga
dipastikan putra-putri terbaik daerahnya yang akan tampil
(Hikmat:2011:222-225).
L. Dinamisasi Komunikasi Politik
Pelaksanaan Pilkada langsung di Indonesia adalah pengalaman
yang sangat berharga. Selama puluhan tahun Indonesia menjadi negara
merdeka, baru pada tahun 2005-lah rakyat memiliki kesempatan untuk
ikut andil dalam menentukan pemimpin pemerintahan di daerah.
Sejak proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Bangsa
Indonesia telah sepuluh kali mengadakan Pemilu. Pemilu pertama, 29
September 1955, diikuti oleh 118 peserta Pemilu. Pemilu kedua, 3 Juli
1971, diikuti oleh 10 (sepuluh) peserta Pemilu. Pemilu ketiga, 2 Mei
1977, diikuti oleh 3 (tiga) peserta Pemilu, yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Pemilu keempat, 4 Mei 1982, masih diikuti oleh tiga
peserta Pemilu. Pemilu kelima, 23 April 1987, masih sama diikuti oleh
tiga peserta Pemilu sebelumnya. Pemilu keenam, 9 Juni 1992, masih
diikuti oleh PPP, Golkar, dan PDI. Pemilu ketujuh, tahun 1997, masih
diikuti oleh tiga peserta Pemilu.
Karena lengsernya Soeharto dari jabatan presiden, Pemilu
kedelapan dilaksanakan lebih cepat, tepatnya tahun 1999 dengan diikuti
oleh 48 peserta Pemilu. Pemilu kesembilan dilaksanakan pada tahun 2004
dengan peserta Pemilu masih multipartai (24 partai peserta Pemilu), serta
67
Pemilu kesepuluh tahun 2009 dengan diikuti 44 partai politik (38 partai
nasional, sisanya partai lokal di Aceh).
Pada era reformasi terjadi perubahan drastis. Sebelumnya,
kesembilan Pemilu dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat yang duduk
di DPR RI dan DPRD. Di DPR RI, dalam lembaga MPR RI, mereka
bertugas memilih presiden. Namun, pada tahun 2004 telah terjadi
perubahan (amandemen) UUD 1945 dalam pemilihan presiden dan wakil
presiden yang tadinya dipilih oleh MPR, kini langsung dipilih oleh
rakyat. Tindaklanjut dari pemilihan presiden dan wakil presiden langsung
ini ditajamkan dengan lahirnya UU Otonomi Daerah No. 22/1999 yang
kemudian diubah menjadi UU No. 32/2004 dan diubah lagi menjadi UU
No. 12/2008. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa kepala
daerah pun dipilih langsung oleh rakyat.
Dari Pemilu pertama (1955) hingga sekarang, Indonesia telah
melakukan tiga macam demokrasi, yaitu demokrasi parlementer,
terpimpin, dan Pancasila. Ketiga demokrasi tersebut dalam satu frame
sering dinilai telah mengalami kegagalan. Pada demokrasi parlementer
dan demokrasi terpimpin, kegagalan itu sangat erat kaitannya dengan
tidak berfungsinya tiga prasyarat demokrasi politik, yaitu kompetisi
secara periodik dan sehat, adanya partisipasi politik dalam memilih
pemimpin negara dan penetapan kebijakan publik, serta adanya
kebebasan sipil dan politik.
Pada era itu, di Indonesia demokrasi masih menjadi konflik
tafsiran atau interpretasi antargolongan. Golongan pertama sebagian
besar mereka berpendidikan tinggi, terutama dari Barat. Golongan ini
bisa disebut sebagai kelompok universalis. Mereka berpendapat bahwa
demokrasi seperti yang didefinisikan di Barat. Golongan kedua sebagian
besar dari birokrasi pemerintah. Mereka berpendapat bahwa setiap bangsa
memiliki budaya demokrasi yang berbeda satu sama lain. Timbulnya
perbedaan interpretasi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh fakta
bahwa demokrasi modern bagi Bangsa Indonesia saat itu adalah sesuatu
yang asing, sesuatu yang diimpor dari luar untuk diperkenalkan kepada
masyarakat Indonesia yang berbasis nilai-nilai feodalisme dan patron
client.
Pada era demokrasi pancasila, sempat terjadi kestabilan
pelaksanaan Pemilu secara periodik dari mulai Pemilu tahun 1977 sampai
1997. Stabilnya pelaksanaan Pemilu secara periodik pada masa orde baru
menunjukkan situasi negara pada masa itu lebih stabil daripada masa
lainnya. Bahkan, pada masa orde lama, pasca kemerdekaan, Pemilu
68
hanya dilaksanakan sekali, pada tahun 1955. Artinya, terdapat masa
ketidakstabilan demokrasi lebih kurang 10 tahun atau memang masa itu
demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya bahwa kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat.
Namun, dalam akhir perjalanannya, masa demokrasi pancasila
tercoreng dengan lahirnya rezim yang berkuasa cenderung absolut. Pada
masa itu, terjadi ketimpangan kekuasaan antara MPR, DPR dan presiden.
Dalam konsep idealnya, MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan DPR
sebagai lembaga tinggi negara yang sejajar dengan presiden sebagai
lembaga eksekutif. Namun, pada kenyataannya, presidenlah yang paling
kuat memiliki kekuasaan. MPR dan DPR yang diharapkan memiliki
kekuasaan penuh, hanya menjadi “tukang stempel” saja. Kedua lembaga
tersebut terkesan hanya sebagai prasyarat legal formal demokrasi di
Indonesia.
Oleh karena itu, banyak pihak menilai bahwa pada masa orde
baru, Indonesia menganut demokrasi terpimpin dengan kekuasaan
terpusat pada presiden. Semua lembaga negara, baik lembaga tertinggi
maupun lembaga tinggi negara, diatur dan selalu menaati semua perintah
presiden sehingga muncul kecenderungan Indonesia mengarah pada
negara monarki; kekuasaan dipegang hanya oleh satu orang.
Realitas itulah tampaknya yang membuat rakyat Indonesia marah
dan terjadilah reformasi, termasuk yang diusung paling terdepan oleh
rakyat Indonesia adalah reformasi politik sehingga tahun 1999 dilakukan
Pemilu. Disebut istimewa karena Pemilu itu diselenggarakan bukan pada
waktunya. Seharusnya, secara periodik, Pemilu diselenggarakan kembali
pada tahun 2002, namun karena desakan seluruh rakyat Indonesia setelah
lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan.
Ternyata reformasi politik di Indonesia bergulir sangat cepat.
Desakan seluruh rakyat Indonesia untuk dapat berperan dalam
menentukan nasib negara, termasuk menentukan pemimpin pemerintahan
sangat deras sehingga terjadilah berbagai reformasi politik besar-besaran
dan sampailah pada Pemilu secara langsung. Tergoreslah sejarah bagi
Bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung pada tahun 2004. Lahirnya
era demokrasi langsung di Indonesia.
Reformasi politik pun terjadi pada pemerintahan daerah. UU No.
5/1974 tentang Pemerintah Daerah yang menekankan sentralistik
kekuasan pada pemerintah pusat diubah dengan UU No. 22/1999.
Undang-undang tersebut lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah
69
karena di dalamnya banyak mengatur tentang pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tidak berhenti hanya di
situ, geliat otonomi daerah pun terus bergulir cepat. UU No. 22/1999 pun
digantikan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Hal paling esensial dari pergantian UU Pemerintah Daerah yang
sangat cepat tersebut adalah penentuan kepala daerah. Pada UU No.
5/1974, pengangkatan kepala daerah menjadi wewenang penuh
pemerintah pusat, DPRD hanya menetapkan calon berdasarkan urutan
suara, sedangkan pada UU No. 22/1999 anggota DPRD mulai ikut
menentukan kepala daerah melalui pemilihan, dan UU No. 32/2004
menyuratkan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Rakyat
daerah dapat menentukan sendiri pemimpin pemerintahan di daerah.
Geliat demokrasi Indonesia yang terus mengalami perubahan
akan sejalan dengan geliatnya komunikasi politik yang berkembang di
Indonesia. Karena pada dasarnya, semua proses politik yang terjadi di
negara manapun tidak akan dapat melepaskan diri dari unsur komunikasi
politik. Gabriel Almond mengategorikan komunikasi politik sebagai satu
dari empat fungsi input sistem politik. Komunikasi politik telah
menyebabkan bekerja samanya semua fungsi dalam sistem politik. Alfian
mengibaratkan komunikasi politik sebagai sirkulasi darah dalam tubuh.
Bukan darahnya, melainkan apa yang terkandung di dalam darah itu yang
mendorong sistem politik itu hidup. Komunikasi politik, layaknya darah,
mengalirkan pesan-pesan politik berupa tuntutan, protes, dan dukungan
(aspirasi dan kepentingan) ke (jantung) pusat pemrosesan sistem politik.
Hasil pemrosesan itu melahirkan simpulan berupa output yang dilahirkan
lagi menggunakan saluran komunikasi politik menjadi feedback dalam
sistem politik.
Komunikasi politik menyambungkan semua sistem yang ada
pada sistem politik, termasuk sistem politik masa kini dan masa lampau.
Oleh karena itu, aspirasi dan berbagai kepentingan dari semua
stakeholder politik dapat tersampaikan dan melahirkan berbagai
kebijakan. Apabila komunikasi politik berjalan lancar, wajar, dan sehat
maka sistem politik akan mencapai tingkat responsif yang tinggi terhadap
perkembangan aspirasi dan kepentingan rakyat serta tuntutan perubahan
zaman.
Komunikasi politik membantu sistem politik mulai dari
penanaman nilai (sosialisasi atau pendidikan politik) sampai pada
pengartikulasian serta penghimpunan aspirasi dan kepentingan, kemudian
70
pada proses pengambilan kebijaksanaan, pelaksanaan, dan penilaian
terhadap kebijakan tersebut.
Komunikasi politik berperan penting dalam memelihara dan
mengembangkan budaya politik yang ada dan berlaku serta sudah
menjadi landasan yang mantap dalam sistem politik yang mapan dan
handal. Komunikasi politik mentransmisikan nilai-nilai budaya politik
yang bersumber dari pandangan hidup atau ideologi bersama
masyarakatnya kepada generasi baru dan memperkuat proses
pembudayaannya dalam diri generasi yang lebih tua (Hikmat:2011:229233).
Budaya politik lahir dari sistem politik yang dianut oleh tiap-tiap
negara. Budaya politik yang berbeda-beda melahirkan sifat komunikasi
politik yang berbeda-beda pula. Dalam sistem politik otoriter/totaliter
dengan ideologi tertutup, sifat komunikasi politiknya satu arah, yaitu dari
atas ke bawah, dari penguasa ke masyarakat dalam bentuk indokrinasi.
Komunikasi politik yang bersifat indokrinasi ini tercermin dalam proses
sosialisasi politik masyarakatnya. Menurut penafsiran penguasa yang
memonopolinya, kebenaran ideologi tidak dapat dibantah. Masyarakat
merasa tidak berdaya untuk mengutarakan pandangan, pemikiran,
pendapat, aspirasi dan kepentingan mereka yang murni. Penguasa
mendominasi dan mengontrol semua jaringan politik, baik dalam fungsifungsi input maupun output. Komunikasi politik berperan sebagai alat
kekuasaan yang efektif dan ampuh. Realitas itu tercermin pada Fasisme
Nazi Jerman di bawah pemerintahan Hitler dan Komunis Rusia di bawah
pemerintahan Stalin(Alfian:1993:6).
Sistem politik yang anarkis biasanya lahir karena belum
membudayanya ideologi bersama. Ideologi mereka masing-masing
dipersaingkan di antara golongan yang ada sehingga terjadi persaingan
dan pertentangan ideologi, rasa saling curiga, permusuhan serta
primodialisme yang makin menguat. Dalam sistem politik ini, lahirlah
budaya politik anarkisme dalam bentuk kebebasan dan keterbukaan yang
tidak terbatas dan tidak terkendali. Dalam budaya ini, komunikasi politik
tampak sangat terbuka dan bebas, tetapi sesungguhnya tidak sehat. Tiaptiap golongan atau kekuatan politik menganggap dirinyalah yang paling
kuat. Isi pesan komunikasi politik penuh dengan pengagungan diri sendiri
sambil saling mencela dan menjelekkan orang lain. Sifat komunikasi
politik dalam sistem dan budaya politik anarkisme memperkuat
pembenaran ideologi golongan, mengutamakan aspirasi dan kepentingan
71
masing-masing, serta merangsang primordialisme dan mengembangkan
suasana saling mencurigai.
Dalam sistem politik demokrasi, budaya politik yang
berkembang pun adalah budaya politik serba terbuka sehingga sangat
memungkinkan komunikasi politik mengembangkan dialog yang wajar
dan sehat, dua arah atau timbal balik, baik secara vertikal maupun
horizontal. Tidak ada yang berhak memonopoli penafsiran. Semua pihak
mengembangkan pemikiran yang relevan tentang ideologi. Semua merasa
sama-sama memiliki.
Hal itu berlaku pula dalam komunikasi politik. Suatu sistem
politik akan berjalan lancar jika komunikasi politik berjalan lancar.
Komunikasi politik akan efektif jika dapat menekan, bahkan
menghilangkan noise dalam bentuk unsur-unsur budaya yang berbeda
atau menyelaraskan dengan budaya yang hidup dalam negara penganut
sistem politik itu. Apalagi pada kehidupan bangsa Indonesia yang
memiliki karakter budaya berbeda-beda, penyelarasan pesan atau
bungkusan pesan dalam komunikasi politik menjadi salah satu langkah
efektif guna “melanggengkan” sistem politik.
Berdasarkan catatan historis, hal tersebut sudah direalisasikan
dalam kehidupan politik Indonesia, terutama pada masa orde baru
sehingga rezim Soeharto dapat mempertahankan sistem politik
ototiternya dengan bungkus pesan Pancasila dalam waktu yang cukup
panjang.
Langkah-langkah komunikasi politik di antaranya terjadi dalam
berbagai cacatan peristiwa berikut ini:
1. Pada zaman rezim orde baru yang berada dalam kondisi struktur
politik sentralistik, otoriter, dan pemegang mayoritas tunggal,
pihak rezim senantiasa membungkus kekuasaannya dengan
jargon “pembangunan”. Pihak rezim tahu benar bahwa rakyat
memiliki nilai-nilai budaya yang manut kepada pemimpin, rela
berkorban, dan bergotong royong untuk kepentingan
“pembangunan” bersama. Rakyat yang tidak mendukung rezim
dituduh sebagai kelompok anti pembangunan. Pihak rezim tahu
benar bahwa dalam masyarakat memiliki struktur paternalistis
yang kuat dengan para tokoh lokal, baik dari tokoh agama
maupun adat. Pihak rezim memanfaatkan para tokoh lokal ini
sebagai encoder atas pesan-pesan “pembangunan” untuk
masyarakatnya, dengan menggunakan pendekatan agama dan
atau adat.
72
2. Budaya paternalistis menjadi bungkus komunikasi politik bagi
penguasa rezim orde baru untuk menanamkan nama Soeharto
menjadi penguasa tunggal di republik ini. Pesan diluncurkan
bahwa Soeharto masih keturunan Sultan Yogyakarta sehingga
seluruh rakyat di Yogyakarta khususnya, di Jawa umumnya,
manut terhadapnya. Rezim orde baru pun menanamkan namanya
di seluruh hati rakyat Indonesia dengan mewajibkan memasang
fotonya di seluruh instansi pemerintah sampai tingkat rendah
sehingga rakyat Indonesia menganggap Soeharto adalah raja
yang harus disembah. Sebagian besar masyarakat Indonesia
masih terpengaruh oleh budaya masa kerajaan bahwa titah raja
adalah hukum. Soeharto pun menancapkan namanya sebagai
“pahlawan” memberantas PKI dan ia penerima Supersemar,
padahal sejarah itu banyak yang mempertanyakan. Penanaman
nama pada rakyat adalah komunikasi yang efektif untuk
melanggengkan sistem politik otoriter, termasuk paham-paham
politik yang lainnya. Dulu, orang-orang kulit putih di Amerika
Serikat mengganti nama-nama orang kulit hitam yang mereka
kuasai; Bangsa Yahudi mengganti nama tempat dan jalan di
seluruh Palestina; Timor-Timur tidak mau mempertahankan
nama itu, tetapi menggantinya dengan Timor Leste; Wali Songo
banyak mengganti nama setiap muallaf dengan nama kearabaraban; dan berbagai pelabelan lainnya, semuanya adalah pesan
komunikasi politik.
3. Kampanye politik yang efektif terhadap rakyat Indonesia ternyata
bukan kampanye melalui media massa, melainkan dengan
mendatangi para tokoh yang berpengaruh di masyarakat atau para
kepala keluarga (two step flow model). Para politikus rutin
mengunjungi para ulama di pesantren-pesantren besar, seperti
yang dilakukan Golkar sehingga menjadi partai terbesar.
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dimenangkan
oleh calon yang dekat dengan para kepala adat. Budaya
paternalistis selalu jadi sandaran komunikasi politik para
politikus.
4. Pada zaman rezim orde baru muncul pesan politik penjulukan
(labeling) terhadap pihak-pihak yang tidak mereka sukai atau
dianggap status quo, seperti PKI, ekstrem kiri, ekstrem kanan,
GPK, PRD, anti-Pancasila, dan subversi. Penjulukan tersebut
menjadi pesan yang sangat efektif sebagai doktrin politik
73
5.
6.
7.
8.
74
terhadap pihak-pihak yang menentang berlakunya sistem politik
otoriter. Pesan tersebut dibungkus dengan bumbu makar,
merongrong keamanan negara, dan tindakan-tindakan yang
dalam frame budaya masyarakat Indonesia adalah kejahatan yang
tidak dapat dimaafkan.
Pada saat rezim orde baru, penguasa ingin dipandang oleh rakyat
dan dunia bahwa mereka memiliki keberpihakan kepada sektor
pertanian dan pedesaan yang memang faktanya merupakan
kelompok mayoritas dari rakyat negeri ini. Dengan pendekatan
serupa pihak rezim menggenjot sumber daya rakyat pedesaan
untuk mendukung “pembangunan” pertanian sehingga rakyat
“rela” (berdiam karena tidak bisa protes) harus secara seragam
menanam komoditas yang diwajibkan oleh pihak pemerintah,
yaitu padi. Rakyat pun berdiam saja pada saat tanamannya
dicabuti pihak rezim karena bukan padi. Selain jargon
pembangunan, pihak rezim membungkus pesan kekuasaannya
dengan jargon “persatuan dan kesatuan”. Untuk ini, mereka
senantiasa mendengungkan moto “serasi,selaras dan seimbang”.
Dalam seni musik, selaras artinya satu laras (contohnya laras
pelog, atau laras salendro). Secara politik, maknanya rakyat harus
satu suara dengan pihak rezim. Mereka yang berbeda suara
dianggap antipersatuan dan kesatuan bangsa dan anti
pembangunan.
Pada masa reformasi, kelompok partai Islam mengecam
Megawati jadi presiden. Mereka mengusung pesan “budaya
Islam” yang melarang wanita menjadi pemimpin (imam).
Padahal, pesan yang sebenarnya, mereka ingin menurunkan
Megawati dari kursi kepresidenan.
Setiap pemimpin partai yang menghendaki dukungan rakyat
selalu membungkus pesan mereka dengan kebiasaan berpakaian
mereka. Banyak politikus ketika berkampanye ke pesantren
menggunakan peci (kopiah) dan ketika ke keraton menggunakan
blangkon. Bahkan, ketika ke Bali, Megawati diisukan ikut
menyembah patung Hindu.
Begitu pula pada era pemilihan pemimpin secara langsung, baik
dalam pemilihan presiden dan wakil presiden maupun kepala
daerah, komunikasipolitik para kandidat pun dituntut untuk dapat
langsung kepada rakyat pemilih.
Realitas-realitas tersebut akan terus berkembang sehingga kajian
komunikasi politik akan terus dinamis karena akan menjadi bagian dari
perkembangan sistem dan budaya politik yang berkembang di suatu
negara, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, kajian komunikasi politik
ke depan akan terus menjadi bagian dari tren ilmu komunikasi
(Hikmat:2011:234-237).
75
BAB III
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
A. Pengertian Psikologi dan Sejarahnya
Menurut asal katanya, psikologi berasal dari kata-kata Yunani:
psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah
psikologi berarti ilmu jiwa. Namun, arti "ilmu jiwa" masih kabur sekali.
Apa yang dimaksud dengan "jiwa", tidak ada seorang pun yang tahu
dengan sesungguhnya. Dampak dari kekaburan arti itu, sering
menimbulkan berbagai pendapat mengenai definisi psikologi yang
berbeda. Banyak sarjana memberi definisinya sendiri yang disesuaikan
dengan arah minat dan aliran masing-masing.
Sebelum psikologi berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan pada
tahun 1879, psikologi (atau tepatnya gejala-gejala kejiwaan) dipelajari
oleh filsafat dan Ilmu Faal. Filsafat sudah mempelajari gejala-gejala
kejiwaan sejak 500-600 tahun SM, yaitu melalui filsuf-filsuf Yunani
Kuno. Di antara para filsuf itu adalah Thales (624-548 SM) yang
dianggap sebagai Bapak Filsafat. Beliau mengartikan jiwa sebagai
sesuatu yang supernatural. Jadi, jiwa itu tidak ada, karena menurut beliau
yang ada di alam ini hanyalah gejala alam (natural phenomena) dan
semua gejala alam berasal dari air.
Lain halnya dengan Anaximander (611-546 SM) yang
berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari apeiron artinya tak
berbatas, tak berbentuk, tak bisa mati (the boundless, formless, immortal
matter), yaitu seperti konsep tentang Tuhan di zaman kita sekarang.
Berdasarkan hal itu beliau berpendapat bahwa jiwa itu ada. Filsuf lainnya
yakni Anaximenes (490-430 SM) percaya bahwa jiwa itu ada, karena
segala sesuatu berasal dari udara.
Tokoh-tokoh filsafat Yunani Kuno berikutnya sudah lebih
konkret dalam memaknai jiwa. Empedokles (490-430 SM) menyatakan
bahwa ada empat elemen dasar alam, yaitu bumi/tanah, udara, api, dan
76
air, sedangkan manusia bisa dianalogikan sama, yakni tulang/otot/usus
(dari bumi/tanah), fungsi hidup (dari udara), rasio (dari api), dan cairan
tubuh (dari air). Tokoh lainnya, Hipokrates (460-375 SM) yang juga
dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran beranggapan bahwa jiwa
manusia dapat digolongkan ke dalam empat tipe kepribadian berdasarkan
cairan tubuh yang dominan, yaitu:
1. Tipe sanguine (riang) yang didominasi oleh darah.
2. Tipe melankolis (murung) oleh sumsum hitam.
3. Kolerik (cepat bereaksi) oleh sumsum kuning.
4. Flegmatis (lamban) oleh lendir.
Dari sekian banyak tokoh yang kemudian berperan paling
penting terhadap perkembangan psikologi ratusan tahun ke depan adalah
tiga serangkai Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan
Aristoteles (384-322 SM), yang sering disebut dengan Trio-SPA. Plato
adalah murid Sokrates, dan Aristoteles murid Plato. Sokrates
memperkenalkan teknik maeutics, yaitu wawancara untuk memancing
keluar pikiran-pikiran dari seseorang. Ia percaya bahwa pikiran-pikiran
itu mencerminkan keberadaan jiwa di balik tubuh manusia.
Plato kemudian berteori bahwa jiwa manusia mulai masuk ke
tubuhnya sejak manusia ada dalam kandungan (mirip konsep agama
Islam, Kristen, dan Yahudi), dan mempunyai tiga fungsi, yaitu logisticon
(akal) yang berpusat di kepala, thumeticon (rasa) yang berpusat di dada,
dan abdomen (kehendak) yang berpusat di perut (mirip dengan konsep
jiwa menurut Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa).
Aristoteles menyumbangkan pikiran yang sangat penting dalam
tulisannya yang berjudul "The Anima". Ia mengatakan bahwa makhluk
hidup terbagi dalam tiga golongan, yaitu anima vegetativa (tumbuhtumbuhan), anima sensitiva (hewan), dan anima intelektiva (manusia).
Hewan berbeda dari tumbuh-tumbuhan karena hewan berindera
(sensitiva), sedangkan tumbuh-tumbuhan tidak. Namun manusia yang
juga berindera, berbeda dari hewan karena manusia punya kemampuan
mengingat (mneme), yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai
kecerdasan (intelek).
Pemikiran para filsuf Yunani Kuno berkembang terus sampai
pada zaman Renaisan, yaitu zaman revolusi ilmu pengetahuan di Eropa.
Pada era ini Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf Prancis,
mencetuskan definisi bahwa ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu tentang
kesadaran. Ia mengemukakan mottonya yang terkenal "cogito ergo sum"
(saya berpikir maka saya ada), karena menurut beliau segala sesuatu di
77
dunia ini tidak ada yang dapat dipastikannya, kecuali pikirannya sendiri.
Di era yang sama, walau pada generasi berikutnya, George Berkeley
(1685-1753) seorang filsuf Inggris, mengemukakan pendapat bahwa yang
terpenting adalah penginderaan, bukan kesadaran atau rasio. Menurutnya
segala sesuatu berawal dari penginderaan, rasio hanya mengikuti apa
yang diserap oleh penginderaan. Oleh karena itu, dalam pandangan
Berkeley psikologi adalah ilmu tentang penginderaan (persepsi).
Era Ilmu Faal dimulai pasca Renaisan. Para ahli Ilmu Faal
(fisiologi) ketika itu, khususnya para dokter mulai tertarik pada masalahmasalah kejiwaan. Pada saat itu, dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan di negara-negara Eropa, khususnya di bidang Fisika (ilmu
alam) dan Biologi, para ahli Ilmu Faal berpendapat bahwa jiwa erat sekali
hubungannya dengan susunan syaraf dan refleks-refleks.
Dimulai dengan Sir Charles Bell (1774-1842, Inggris) dan
Francois Magendie (1783-1855, Prancis) yang menemukan syaraf-syaraf
sensorik (penginderaan) dan syaraf-syaraf motorik (yang mempengaruhi
gerak dan kelenjar-kelenjar), para ahli kemudian menemukan berbagai
hal, antara lain pusat bicara di otak (Paul Brocca, 1824-1880, Jerman)
dan mekanisme refleks (Marshall Hall, 1790-1857, Inggris). Setelah
penemuan-penemuan itu timbullah definisi-definisi tentang psikologi
yang mengaitkan psikologi dengan tingkah laku dan selanjutnya
mengaitkan tingkah laku dengan refleks. Ivan Pavlov (1849-1936, Rusia),
misalnya mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang refleks dan
karena itu psikologi tidak berbeda dari Ilmu Faal (Sarwono:2010:1-5).
Perkembangan definisi-definisi itu masih berlanjut hingga
sekarang. Di antara para sarjana psikologi modern yang mengemukakan
definisi psikologi, dapat dikemukakan beberapa di antaranya:
1. Gardner Murphy (1929): Psikologi adalah ilmu yang mempelajari
respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap
lingkungannya.
2. Boring, Edwin G., Herbert S. Langfeld, dan Harry P. Weld
(1948): Psikologi adalah studi tentang hakikat manusia.
3. Clifford T. Morgan (1966): Psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia dan hewan (Sarwono:2010:6).
4. Aliran Freudianisme: Psikologi adalah ilmu yang mempelajari
baik
gejala-gejala
kesadaran
maupun
gejala-gejala
ketidaksadaran serta gejala-gejala di bawah sadar.
5. R. S. Woodworth dan D. G. Marquis: Psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari semua tingkah laku dan
78
6.
7.
8.
9.
perbuatan individu yang tidak dapat dilepaskan dari
lingkungannya (Psychology is the scientific studies of the
individual activities relation to environment). Penerapannya
secara ilmiah dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
mencatat dengan teliti mengenai segala tingkah laku manusia
selengkap mungkin dan dijauhkan dari segala prasangka,
sehingga diperoleh jawaban yang terpercaya mengenai pelbagai
pertanyaan teoritis dan praktis.
Verbeek: Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki penghayatan
dan perbuatan manusia ditinjau fungsinya bagi subjek.
Mac Dougall: Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku manusia (human behaviour). Oleh
sebab itu, psikologi digolongkan dalam aliran behaviourism.
Jalaluddin: Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala
kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi),
perasaan (emosi), dan kehendak (conasi). Gejala dimaksud
mempunyai ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa,
normal, dan beradab. Gejala pokoknya dapat diamati melalui
sikap dan perilaku manusia namun terkadang ada di antara
pernyataan dalam aktivitas itu merupakan gejala campuran
sehingga para ahli psikologi menambahnya hingga menjadi
empat gejala jiwa utama yang dipelajari dalam psikologi, yaitu
pikiran, perasaan, kehendak, dan gejala campuran. Tergolong
gejala campuran, yaitu inteligensi kelelahan maupun sugesti.
F. Patty: Ahli ini berpendapat bahwa dalam mempelajari
psikologi ditemui kendala, yaitu objek penyelidikannya bersifat
abstrak dan tidak dapat diselidiki keaktifan-keaktifannya yang
terlihat melalui manifestasi tingkah laku atau perbuatan. Jika
dituntut lebih jauh sampai saat ini para tokoh atau ahli psikologi
belum berhasil menemukan bentuk dan rupanya jiwa karena pada
kenyataannya jiwa tidak dapat dilihat secara langsung. Sebagai
pembanding dalam mencari gambaran konkretnya dimisalkan
dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bentuk
objeknya dapat dilihat secara langsung, kemudian dapat diperiksa
di laboratorium IPA, dan sebagainya. Objek yang tidak dapat
dilihat menggunakan mata secara langsung misalnya angin tetapi
keberadaannya dibuktikan oleh gerakan atau keaktifan angin itu
sendiri yang mampu menggerakkan daun-daun tanaman, kain
gorden sewaktu daun jendela dibuka, daun-daun kering atau
79
benda-benda ringan yang lain terlihat terbang sewaktu angin
sedang bertiup kencang di sekitar kita.
10. Menurut lainnya, Bimo Walgito mencatat bahwa psikologi
merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari
tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas, di mana tingkah
laku serta aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan
(Prawira:2012:25-27).
Jika kita mengkritisi definisi psikologi yang telah dikemukakan
oleh berbagai ahli termasuk di dalamnya ahli psikologi tersebut,
diperoleh gambaran bahwa tujuan pokok dalam psikologi adalah
memahami seluk-beluk kehidupan rohaniah manusia yang merupakan
kekuatan penggerak bagi segala kegiatan hidup lahiriah dalam
lingkungan alam sekitar. Demikian juga psikologi selalu menekankan
kepada tingkah laku (Prawira:2012:27).
Perdebatan tentang definisi psikologi ini berlanjut terus. Saat ini
sudah demikian banyak definisi psikologi sehingga sulit dikatakan bahwa
ada satu definisi yang berlaku umum. Sebagian pakar ingin definisi yang
lebih konkret daripada jiwa, atau mental, sehingga mereka
mendefinisikan psikologi sebagai "aktivitas mental" (John Dewey, Carr).
Namun ada yang beranggapan bahwa "aktivitas mental" pun masih terlalu
luas. Maka muncullah definisi psikologi sebagai "elemen
introspeksi/mawas diri" (Titchener, Daellenbach), "waktu reaksi"
(Scripture), "refleks" (Pavlov), atau "perilaku" (Watson). Definisi-definisi
berkembang dalam semangat untuk menuju psikologi yang objektif dan
terukur, sebagai suatu persyaratan yang penting untuk sebuah ilmu
pengetahuan (pasca renaisans).
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku
manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. Namun, perkembangan
ini tidak memuaskan beberapa pakar psikologi yang lain, karena definisidefinisi tersebut dianggap melanggar "janji" awal psikologi, yang secara
etimologis berarti "ilmu jiwa". Dalam definisi-definisi yang "terukur" ini,
orang justru melupakan inti dari psikologi, yaitu jiwa, mental, mind, soul,
atau spirit. Padahal tidak mungkin "jiwa" bisa dimengerti tanpa kita
pernah mempelajari "jiwa" itu sendiri. Gene Zimmer pernah menyatakan
bahwa psikologi harus mampu menjelaskan hal-hal seperti imajinasi,
perhatian, intelek, kewaspadaan, niat, akal, kemauan, tanggungjawab,
memori dan lain-lain yang sehari-hari melekat pada diri kita. Tanpa itu,
psikologi tidak akan banyak bermanfaat.
80
Perdebatan tentang definisi psikologi belum terselesaikan.
Apalagi kalau ditambahkan pandangan filsuf-filsuf Islam seperti Ibnu
Sina atau yang dalam bahasa Eropa sering disebut dengan Avicenna
(980-1037) dan Iman Ghazali atau yang dikenal juga dengan nama Abu
Hamid al-Ghazali (1058-1128), dua pemikir Islam Persia/Iran, namun
menganut pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonian yang kemudian
diadopsi oleh Pendeta Santo Aquinas (1224-1274) untuk mengukuhkan
ortodoksi gereja di Barat.
Walaupun demikian, dibutuhkan satu definisi yang paling sesuai
untuk digunakan. Tanpa adanya satu definisi yang dapat dijadikan
pegangan, maka akan sukarlah berbicara mengenai psikologi.
Dari definisi-definisi psikologi di atas, terlihat tiga unsur, yaitu:
1. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yaitu suatu kumpulan pengetahuan
yang tersusun secara sistematis dan mempunyai metode-metode
tertentu. Sebenarnya, psikologi di samping merupakan ilmu juga
merupakan "seni", karena dalam pengamalannya dalam berbagai
segi kehidupan manusia, diperlukan keterampilan dan kreativitas
tersendiri. Namun, dalam buku ini pembicaraan akan lebih
ditekankan pada psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan saja.
Aspek "seni" dalam psikologi dapat dipelajari dalam buku-buku
tentang konseling, psikoterapi, maupun teknik-teknik wawancara
atau observasi dalam penelitian psikologi.
Perilaku atau perbuatan mempunyai arti yang lebih
konkret daripada "jiwa". Karena lebih konkret itu, maka perilaku
lebih mudah dipelajari daripada jiwa dan melalui perilaku kita
tetap akan dapat mempelajari jiwa. Termasuk dalam perilaku di
sini adalah perbuatan-perbuatan yang terbuka (overt) maupun
yang tertutup (covert). Perilaku yang terbuka adalah perilaku
yang kasat mata dan dapat diamati secara langsung melalui
pancaindra, seperti berlari, melempar atau mengangkat alis.
Perilaku yang tertutup hanya dapat diketahui secara tidak
langsung melalui alat-alat atau metode-metode khusus, misalnya
berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut, dan sebagainya.
Istilah perilaku ini bisa mewakili istilah behavior seperti yang
dimaksud oleh J.B. Watson, maupun activity dan introspeksi
seperti dikemukakan dalam definisi-definisi lainnya.
81
2. Manusia
Makin lama objek materil psikologi makin mengarah
kepada manusia karena manusia yang paling berkepentingan
dengan ilmu ini. Manusia paling membutuhkan ilmu ini dalam
berbagai segi kehidupannya, di sekolah, di kantor, di rumah
tangga dan sebagainya. Hewan masih menjadi objek studi
psikologi, tetapi hanya sebagai perbandingan saja atau untuk
mencari fungsi-fungsi psikologis yang paling sederhana yang
sudah sukar dipelajari pada manusia karena struktur psikologis
manusia sudah terlalu berbelit.
3. Lingkungan
Lingkungan yaitu tempat di mana manusia itu hidup,
menyesuaikan dirinya (beradaptasi) dan mengembangkan dirinya.
Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya di dunia ini, manusia
tidak diciptakan berbulu tebal untuk melawan udara dingin, ia
tidak bertaring kuat untuk membunuh mangsanya, ia pun tidak
pandai berlari cepat untuk menghindar dari musuh-musuhnya.
Sebagai gantinya, manusia mempunyai alat yang sangat tangguh
yang menyebabkan ia dapat bertahan hidup di dunia ini. Alat itu
adalah akal budi. Menurut Ernst Cassirer (1944), dengan akal
budi itu, manusia menyusun simbol-simbol berupa mitos, bahasa,
kesenian, agama, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dengan simbolsimbol itulah manusia "menguasai" dunianya, baik alam fisiknya
(sungai, gunung, udara, dan lain-lain) maupun alam sosialnya
(orang-orang lain di sekitarnya). Dengan menggunakan ilmu
pengetahuan manusia bisa membangun gedung-gedung pencakar
langit atau roket ke bulan dan dengan menggunakan bahasa,
manusia dapat saling berhubungan dan saling mengerti satu sama
lain. Dengan bantuan teknologi, manusia menggunakan telepon
genggam dan internet untuk saling berkomunikasi ke seluruh
dunia dalam hitungan detik. Jadi, manusia adalah makhluk
simbolis (man is an animal symbolicum), demikian menurut
Ernst Cassirer, dan dengan simbol-simbolnya itu manusia mampu
terbang lebih cepat dan lebih tinggi daripada burung walau tidak
bersayap, mampu mengarungi samudera walaupun tidak bisa
berenang seperti ikan dan mampu menembus ruang dan waktu
walaupun ia bukan dewa (Sarwono:2010:6-10).
82
B. Perkembangan Manusia
Manusia dari waktu ke waktu terus mengalami perubahanperubahan menuju ke tingkat yang lebih sempurna dibandingkan dengan
makhluk hidup yang lain. Perubahan-perubahan tersebut meliputi
perubahan dalam segi fisiologi maupun segi psikologi. Tentang
perkembangan manusia secara mendetail dibicarakan khusus tentang hal
itu dalam ilmu yang disebut psikologi perkembangan. Para ahli
mengatakan bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh bermacammacam faktor seperti dituangkan dalam teori perkembangan yang
disusunnya. Teori-teori perkembangan manusia yang telah dikenal umum
dalam psikologi seperti dikemukakan oleh para ahli di antaranya, yaitu
teori nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi.
1. Teori Nativisme
Teori nativisme dikemukakan oleh Scopen Hauer. Ahli
ini mengemukakan dalam teori nativisme yang disusunnya bahwa
perkembangan manusia ditentukan oleh faktor-faktor keturunan
yang merupakan faktor-faktor yang dibawa oleh individu pada
waktu dilahirkan. Dengan demikian begitu dilahirkan pada diri
manusia telah membawa sifat-sifat tertentu yang akan
menentukan keadaan individu yang bersangkutan. Pada
kenyataannya individu yang dilahirkan akan hidup di dunia
dengan alam lingkungan sekitarnya. Tetapi menurut teori
nativisme adanya faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan
tidak berpengaruh terhadap perkembangan individu yang
bersangkutan. Dengan begitu teori tersebut memandang bahwa
sifat-sifat manusia yang dilahirkan ke dunia telah ditentukan oleh
sifat-sifat semasa masih dalam kandungan ibunya. Setelah
dilahirkan sifat-sifat itu tetap akan melekat erat-erat dalam diri
individu tersebut dan tidak dapat diubah oleh faktor atau keadaan
apa pun. Jika individu dilahirkan oleh seorang ibu yang sifatsifatnya baik, individu tersebut akan mempunyai sifat yang baik.
Kebalikannya dengan hal tersebut, yaitu jika individu dilahirkan
oleh seorang ibu yang sifat-sifatnya jelek (buruk), individu
tersebut juga akan mempunyai sifat-sifat yang buruk sama seperti
sifat ibu yang melahirkannya. Sifat baik atau buruk tersebut akan
terus melekat pada individu selama hidupnya di dunia dan tidak
pernah akan dapat diubah oleh upaya apa pun, termasuk
pendidikan.
83
Jadi menurut teori nativisme, pendidikan tidak
mempunyai peranan apa-apa untuk mengubah sifat-sifat individu.
Dengan demikian dalam dunia pendidikan adanya teori nativisme
menimbulkan paham pesimistis berkaitan dengan pengubahan
sifat-sifat individu dari sifat jahat (buruk) ke sifat yang baik
(terpuji). Menurut teori nativisme untuk mendapatkan generasi
atau masyarakat yang baik sifat-sifatnya harus dilakukan dengan
seleksi terhadap anggota masyarakat. Anggota masyarakat yang
sifat-sifatnya tidak baik tidak diberi kesempatan berkembang
sebab ia akan memberikan keturunan dengan sifat-sifat yang
jelek (buruk). Sebaliknya, untuk menciptakan masyarakat yang
sifat-sifatnya baik langkah yang dapat ditempuh, yaitu
menyeleksi anggota masyarakat yang sifatnya baik untuk diberi
kesempatan berkembang biak sehingga dihasilkan keturunan
dengan sifat-sifat yang baik. Namun pada perkembangan
berikutnya teori nativisme kurang dapat diterima oleh masyarakat
luas. Hal itu terbukti dengan muncul teori perkembangan lain
yang dikemukakan oleh ahli yang berbeda.
2. Teori Empirisme
Teori empirisme dikemukakan oleh John Locke. Teori
empirisme juga sering dikenal dengan sebutan teori tabularasa.
Berbeda dengan teori nativisme, teori empirisme menyatakan
bahwa perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh
empiri atau pengalaman-pengalaman yang dapat diperolehnya
selama perkembangan individu tersebut di dalam kehidupannya
di dunia. Dengan demikian menurut teori empirisme,
perkembangan individu dapat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan termasuk pendidikan yang diterima oleh individu
yang bersangkutan. Teori tabularasa mengumpamakan individu
yang dilahirkan dari ibunya sebagai kertas putih bersih yang
belum ada tulisannya. Sifat seorang individu dapat dibuat
menjadi sekehendak hati yang disukai tergantung hendak dibuat
atau dibentuk seperti yang dikehendaki. Seperti kertas putih yang
dapat ditulis apa saja sehingga menentukan wujud kertas tersebut
pada akhirnya. Sepaham dengan teori tabularasanya John Locke,
pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam
menciptakan generasi atau individu yang sifatnya baik. Dengan
demikian dalam dunia pendidikan teori tabularasa menimbulkan
84
paham yang optimistis. Sifat baik atau buruk seseorang dapat
dibentuk melalui pendidikan yang baik kepada individu yang
bersangkutan.
3. Teori Konvergensi
Jika dikritisi dengan saksama kedua teori perkembangan
yang telah dikemukakan di atas, kedua teori perkembangan
tersebut tampak saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Melihat adanya pertentangan pandangan tersebut, akhirnya para
ahli psikologi berpikir keras mencari jalan tengahnya. Cara bijak
dan ilmiah yang telah ditempuh oleh ahli untuk mengatasi hal itu
ialah dengan menggabungkan kedua teori perkembangan
tersebut. Teori gabungan (konvergensi) dimaksud dikemukakan
oleh William Stern. Menurut ahli itu, baik pembawaan maupun
pengalaman-pengalaman atau lingkungan mempunyai peranan
yang sama pentingnya dalam perkembangan individu.
Perkembangan individu menurut Stern akan ditentukan oleh
faktor keturunan atau faktor yang dibawanya sejak lahir atau
disebut faktor endogen dan faktor lingkungan atau faktor eksogen
termasuk pendidikan.
Stern mengemukakan pendapatnya itu disertai buktibukti hasil penyelidikannya terhadap anak-anak kembar yang
dilakukannya di Hamburg, Jerman. Stern mengetahui anak-anak
kembar mempunyai sifat-sifat keturunan yang sama. Anak-anak
tersebut kemudian dipisahkan dari pasangannya dan ditempatkan
pada pengaruh lingkungan yang berbeda satu dengan yang lain.
Pemisahan terhadap anak kembar segera dilakukan setelah
kelahiran mereka. Setelah dalam kurun waktu tertentu, Stern
memperoleh data dari pengamatannya bahwa kedua anak kembar
tersebut akhirnya mempunyai sifat yang berbeda satu dengan
yang lain. Hal itu berarti adanya pengaruh faktor lingkungan
tempat anak mengalami perkembangan. Dengan pernyataan lain,
faktor pembawaan atau keturunan tidak menentukan secara
mutlak sifat-sifat atau struktur kejiwaan individu.
Pada waktu-waktu berikutnya penyelidikan semacam itu
banyak dilakukan di tempat-tempat lain, di antaranya di Chicago
dan di Texas. Teori perkembangan yang dikemukakan oleh Stern
lebih meyakinkan banyak orang sehingga dijadikan satu hukum
perkembangan individu dalam psikologi perkembangan manusia
(Prawira:2012:219-222).
85
C. Pengertian Komunikasi menurut Psikologi
Telah banyak dibuat definisi komunikasi. Bila Kroeber dan
Kluck-hohn (1957) berhasil mengumpulkan 164 definisi kebudayaan,
maka Dance menghimpun tidak kurang dari 98 definisi komunikasi.
Defenisi-definisi tersebut dilatarbelakangi berbagai perspektif, yaitu
mekanistis, sosiologistis, dan psikologistis (Rakhmat:2011:3).
Hovland, Janis, dan Kelly, semuanya psikolog, mendefinisikan
komunikasi sebagai "the process by which an individual (the
communicator) transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior
of other individuals (the audience)" (Hovland, et, al:1953:12).
Dance (1967) mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi
behaviorisme sebagai usaha "menimbulkan respons melalui lambanglambang verbal", ketika lambang-lambang verbal tersebut bertindak
sebagai stimulus (Rakhmat:2011:3).
Raymond S. Ross mendefinisikan komunikasi sebagai,"a
transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing
of symbol in such a way as to help another elicit from his own
experiences a meaning or responses similar to that intended by the
source" (proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilihan
bersama lambang secara kognitif, sedemikian rupa sehingga membantu
orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau
respons yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber) (Ross:1974:b7).
Kamus psikologi, Dictionary of Behavioral Science,
menyebutkan enam pengertian komunikasi: Communication is: 1) The
transmission of energy change from one place to another as in the
nervous system or transmission of sound waves, 2) The transmission or
reception of signals or messages by organisms. 3) The transmitted
message. 4) (Communication theory) The process whereby system
influences another system through regulation of the transmitted signals.
5) (K. Lewin) The influence of one personal region on another whereby a
change in one results in a corresponding change in the other region. 6)
The message of a patient to his therapist in psychotherapy (Komunikasi
adalah: 1) Penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat
yang lain seperti dalam sistem saraf atau penyampaian gelombanggelombang suara. 2) Penyampaian atau penerimaan signal atau pesan
oleh organisme. 3) Pesan yang disampaikan. 4) (Teori Komunikasi)
Proses yang dilakukan satu sistem untuk mempengaruhi sistem yang lain
melalui pengaturan signal-signal yang disampaikan. 5) (K. Lewin)
86
Pengaruh satu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga
perubahan dalam satu wilayah menimbulkan perubahan yang berkaitan
pada wilayah lain. 6) Pesan pasien kepada pemberi terapi dalam
psikoterapi) (Wolman:1973:3443).
Daftar pengertian di atas menunjukkan rentangan makna
komunikasi sebagaimana digunakan dalam dunia psikologi. Bila
diperhatikan, dalam psikologi, komunikasi mempunyai makna yang luas,
meliputi segala penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara
tempat, sistem atau organisme. Kata komunikasi sendiri dipergunakan
sebagai proses, sebagai pesan, sebagai pengaruh, atau secara khusus
sebagai pesan pasien dalam psikoterapi (Rakhmat:2011:4).
Jadi, psikologi menyebut komunikasi pada penyampaian energi
dari alat-alat indera ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan
informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam
diri organisme dan di antara organisme. Ketika pembaca membaca buku
ini, retina matanya yang terdiri dari 12 juta sel saraf lebih, bereaksi pada
cahaya dan menyampaikan pesan pada cabang-cabang saraf yang
menyambungkan mata dengan saraf optik. Saraf optik menyambungkan
impuls-impuls saraf itu ke otak. Sepuluh sampai 14 juta sel sarat pada
otak manusia disebut neuron, dirangsang oleh impuls-impuls yang
datang. Terjadilah proses persepsi yang menakjubkan. Bagian luar
neuron, dendrit, adalah penerima informasi. Soma mengolah informasi
dan menggabungkannya. Axon adalah kabel miniatur yang
menyampaikan informasi dari alat indera ke otak, otak ke otot, atau dari
neuron yang satu kepada yang lain. Di ujung axon terdapat serangkaian
knop (terminal knobs) yang melanjutkan informasi itu. Psikolog
menyebut proses ini komunikasi. Prosesnya memang tidak berbeda
dengan sistem telekomunikasi dengan terminal-terminal relay dan
dilengkapi dengan komputer. Otak manusia sendiri adalah komputer yang
mampu menyimpan 280 quintilion (280 ditambah 18 angka nol) bit
informasi (Hunt:1982:85).
Akan tetapi, psikologi tidak hanya mengulas komunikasi di
antara neuron. Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang
terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan, psikologi
memberikan karakteristik manusia komunikan serta faktor-faktor internal
maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Pada
komunikator, psikologi melacak sifat-sifatnya dan menyelidiki penyebab
satu sumber komunikasi berhasil dalam mempengaruhi orang lain,
sementara sumber komunikasi yang lain tidak
87
Psikologi juga tertarik pada komunikasi di antara individu:
bagaimana pesan dari seorang individu menjadi stimulus yang
menimbulkan respons pada individu yang lain. Psikologi bahkan meneliti
lambang-lambang yang disampaikan. Psikologi meneliti proses
mengungkapkan pikiran menjadi lambang, bentuk-bentuk lambang, dan
pengaruh lambang terhadap perilaku manusia. Penelitian ini melahirkan
ilmu campuran antara psikologi, linguistik dan psikolinguistik.
Pada saat pesan sampai pada diri komunikator, psikologi melihat
ke dalam proses penerimaan pesan, menganalisis faktor-faktor personal
dan situasional yang mempengaruhinya, dan menjelaskan berbagai corak
komunikan ketika sendiri atau dalam kelompok.
Teknik penyembuhan jiwa dalam dunia psikoterapi adalah
dengan menggunakan metode baru, yaitu komunikasi terapeutik
(therapeutic communication). Dengan metode ini, seorang terapis
mengarahkan komunikasi begitu rupa sehingga pasien dihadapkan pada
situasi dan pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial
yang bermanfaat. Komunikasi terapeutik memandang gangguan jiwa
bersumber pada gangguan komunikasi, pada ketidakmampuan pasien
untuk mengungkapkan dirinya. Pendeknya, meluruskan jiwa orang
diperoleh dengan meluruskan caranya berkomunikasi.
Komunikasi di antara individu dibatasi pada komunikasi
manusiawi. Psikologi sebenarnya banyak mempelajari komunikasi di
antara binatang, binatang dengan manusia, atau manusia dengan mesin.
Akan tetapi, di sini tidak akan ditemui uraian bagaimana Washoe, seekor
simpanse, belajar bahasa isyarat, American Sign Language, atau Sarah,
simpanse lainnya, belajar membaca dan menulis dengan menggunakan
potongan-potongan plastik. Sesuai dengan perkembangan teknologi
komunikasi, akan dibicarakan komunikasi massa. Dari segi psikologi, ada
hal yang membedakan komunikasi massa dari komunikasi interpersonal.
Ada efek komunikasi massa terhadap perubahan kognitif, afektif, dan
behavioral khalayaknya. Komunikasi massa cukup perkasa untuk
membentuk khalayak sekehendaknya. komunikasi massa itu bias menjadi
"nabi" yang mendatangkan rahmat atau "iblis" yang menyebarkan laknat.
Akhirnya, komunikasi boleh ditujukan untuk memberikan
informasi, menghibur, atau mempengaruhi. Yang ketiga, lazim disebut
komunikasi persuasif, amat erat kaitannya dengan psikologi. Persuasif
sendiri dapat didefinisikan sebagai proses mempengaruhi dan
mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan psikologis.
88
Ketika komunikasi dikenal sebagai proses mempengaruhi orang
lain, disiplin-disiplin yang lain menambah perhatian yang sama besarnya
seperti psikologi. Para ilmuwan dengan berbagai latar belakang ilmunya,
dilukiskan George A. Miller sebagai participating in and contributing to
one of the great intellectual adventures of the twentieth century (ikut serta
dalam dan bersama-sama memberikan sumbangan pada salah satu
petualangan intelektual besar pada abad kedua puluh). Komunikasi,
begitu ujar George A. Miller selanjutnya, telah menjadi "one of the
principal preoccupation of our time" (salah satu kesibukan utama pada
zaman ini). Bila berbagai disiplin mempelajari komunikasi, tentu ada
yang membedakan pendekatan psikologis dengan pendekatan yang lain.
Dengan kata lain, ada ciri khas pendekatan psikologis, sehingga kata
"psikologi komunikasi" dapat dipertanggungjawabkan (Rakhmat:2011:56).
D. Pengertian Psikologi Komunikasi
Psikologi mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan
mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya
perilaku tersebut. Sosiologi melihat komunikasi pada interaksi sosial,
filsafat pada hubungan manusia dengan realitas alam semesta, dan
psikologi pada perilaku individu komunikan.
Menurut Fisher, ada 4 (empat) ciri pendekatan psikologi pada
komunikasi, yaitu:
1. Penerimaan stimulus Secara Indrawi
Psikologi melihat komunikasi bermula/berawal ketika
panca indra (mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit) diterpa oleh
rangsangan/ stimulus berupa data. Stimulus bisa berbentuk orang,
pesan, suara, gambar, warna, dan sebagainya; yaitu segala
sesuatu atau hal yang mempengaruhi seseorang.
2. Proses yang Mengantarai Stimulus dan Respons
Stimulus itu kemudian diolah dalam jiwa kita, yaitu
dalam “kotak hitam” yang belum pernah diketahui. Individu
hanya mengambil kesimpulan tentang proses yang terjadi pada
kotak hitam dari respon yang tampak. Misalnya bila seseorang itu
tersenyum, tepuk tangan, dan meloncat-loncat, pasti ia dalam
keadaan gembira.
89
3. Prediksi Respons
Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respons
yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respon yang akan
datang. harus diketahui sejarah respons sebelum meramalkan
respons individu di masa yang akan datang.
4. Peneguhan Respons
Peneguhan adalah respons lingkungan (atau orang lain
pada respons organisme yang asli). Ahli lain menyebutnya
feedback atau umpan balik (Riswandi:2013:9).
Belum ada kesepakatan tentang cakupan psikologi. Ada
yang beranggapan psikologi hanya tertarik pada perilaku yang
tampak saja, sedangkan yang lain tidak dapat mengabaikan
peristiwa-peristiwa mental. Sebagian psikolog hanya ingin
memberikan apa yang dilakukan orang; sebagian lagi menyatakan
bahwa psikologi baru dikatakan sains bila sudah mampu
mengendalikan perilaku orang lain (Rakhmat:2011:9).
Sebagian psikolog hanya ingin memeriksa apa yang
dilakukan orang, sebagian lagi ingin meramalkan apa yang akan
dilakukan orang (Riswandi:2013:10).
George A. Miller membantu membuat definisi psikologi
yang mencakup semuanya: Psychology is the science that
attempts to describe, predict, and control mental and behavioral
events (Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan,
meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral
dalam komunikasi) (Miller:1974:4).
Peristiwa mental adalah apa yang disebut Fisher internal
mediation of stimuli, sebagai akibat berlangsungnya komunikasi.
Peristiwa behavioral adalah sesuatu yang tampak ketika orang
berkomunikasi (Rakhmat:2011:9).
Komunikasi adalah peristiwa sosial. Psikologi komunikasi
dapat diposisikan sebagai bagian dari psikologi sosial. Karena itu,
psikologi sosial adalah juga pendekatan psikologi komunikasi.
Bila
individu-individu
berinteraksi
dan
saling
mempengaruhi, maka terjadilah:
1. Proses belajar yang meliputi aspek kognitif dan aspek afektif.
2. Proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang
(komunikasi).
90
3. Mekanisme penyesuaian diri seperti sosialisasi, identifikasi,
permainan peran, proyeksi, agresi, dan sebagainya
(Riswandi:2013:10).
E. Karakteristik Komunikator
1. Kredibilitas
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan
tentang sifat-sifat komunikator. Dari definisi ini terkandung dua
hal, yaitu: pertama; kredibilitas adalah persepsi komunikan. Jadi,
tidak inheren dalam diri komunikator; kedua; kredibilitas
berkenaan dengan sifat-sifat komunikator (disebut juga
komponen-komponen kredibilitas).
Karena kredibilitas itu adalah masalah persepsi, berarti
kredibilitas berubah btergantung pada pelaku persepsi,
(komunikan, topik yang dibahas, dan bergantung pula pada
situasi.
Contohnya:
a. Seorang dosen memiliki kredibilitas di tengah-tengah
mahasiswanya di ruang kelas, tetapi krediblitasnya turun
ketika ia dipanggil oleh rektor.
b. Seorang akuntan memiliki kredibilitas ketika ia membuat
laporan neraca keuangan perusahaan, akan tetapi
kredibilitasnya hilang ketika ia disuruh merancang bangunan
tahan gempa.
c. Seorang ahli motivator memiliki kredibilitas di hadapan
khalayaknya, tetapi kredibilitasnya turun ketika ia berada di
tengah-tengah anak dan istrinya.
d. Seorang manajer pemasaran memiliki kredibilitas ketika
memberikan briefing pada stafnya, akan tetapi kredibilitasnya
hancur ketika ia berhadapan dengan Direktur Utama di
kantornya.
Dari contoh-contoh tersebut di atas, jelaslah bahwa
kredibilitas tidak ada pada diri komunikator, tetapi terletak pada
persepsi si komunikan. Oleh karena itu, ia dapat berubah atau
diubah, terjadi atau dijadikan.
Faktor lain, selain persepsi dan topik yang dibahas, yang
mempengaruhi kredibilitas adalah faktor situasi. Pembicara pada
91
media massa memiliki kredibilitas yang tinggi dibandingkan
dengan pembicara pada pertemuan RT. Begitu pula ceramah di
hadapan civitas akademica suatu perguruan tinggi yang terkenal
karena lulusannya yang kompeten dan mempunyai integritas
akan meningkatkan kredibilitas penceramah. Sebaliknya
penceramah yang semula memiliki kredibilitas yang tinggi, akan
hancur kredibilitasnya setelah ia berbicara pada situasi yang
dipandang kotor, atau di tengah-tengah kelompok yang dianggap
berstatus rendah.
Komponen-komponen kredibilitas adalah:
a. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang
kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik
yang dibicarakan. Komunikator yang dinilai tinggi pada
keahlian dianggap sebagai orang yang cerdas, mampu, ahli,
tahu banyak, berpengalaman atau terlatih. Sebaliknya
komunikator yang dinilai rendah pada keahlian dianggap
tidak berpengalaman, tidak tahu, atau bodoh.
b. Kepercayaan adalah kesan komunikan tentang komunikator
yang berkaitan dengan wataknya. Komunikator bisa dinilai
jujur, tulus, bermoral, adil, sopan, dan etis. Atau komunikator
bisa dinilai tidak jujur, lancung, suka menipu, tidak adil, dan
tidak etis.
Empat komponen lagi sebagai komponen dari kredibilitas
sebagai berikut:
a. Dinamisme umumnya berkaitan dengan cara orang
berkomunikasi. Komunikator memiliki dinamisme bila ia
dipandang sebagai bergairah, bersemangat, aktif, tegas, dan
berani. Sebaliknya komunikator yang tidak dinamis dianggap
pasif, ragu-ragu, dan lemah. Dalam komunikasi, dinamisme
memperkokoh kesan keahlian dan kepercayaan.
b. Sosiabilitas adalah kesan komunikan tentang komunikator
sebagai orang yang periang dan senang bergaul.
c. Koorientasi
merupakan
kesan
komunikan
bahwa
komunikator sebagai orang yang mewakili kelompok orang
yang disenangi, yang mewakili nilai-nilai yang dianut.
d. Kharisma digunakan untuk menunjukkan suatu sifat luar
biasa yang dimiliki komunikator yang menarik dan
mengendalikan komunikan seperti magnet menarik benda-
92
benda di sekitarnya, seperti Presiden I RI Ir. Soekarno ketika
berpidato, baik di media massa maupun di hadapan massa.
2. Atraksi
Terdapat faktor-faktor situasional yang mempengaruhi
atraksi interpersonal seperti daya tarik fisik, ganjaran, kesamaan,
dan kemampuan. Manusia cenderung menyenangi orang-orang
yang tampan dan cantik, yang banyak kesamaan dengannya, dan
yang memiliki kemampuan yang lebih darinya. Atraksi fisik
menyebabkan komunikator menjadi menarik, dan karena menarik
ia memiliki daya persuasif.
Komunikator yang ingin mempengaruhi orang lain
sebaiknya memulai dengan menegaskan adanya kesamaan antara
dirinya dengan komunikan. Kenneth Burke, seorang ahli retorika,
menyebut upaya ini sebagai strategy of identification.
3. Kekuasaan
Kekuasaan
adalah
kemampuan
menimbulkan
ketundukan. Seperti halnya kredibilitas dan atraksi, ketundukan
terjadi antara komunikator dan komunikan. Kekuasaan
menyebabkan komunikator dapat memaksakan kehendaknya
kepada orang lain karena ia memiliki sumber daya yang sangat
penting.
Sumber-sumber kekuasaan itu antara lain:
a. Ilmu Pengetahuan.
b. Harta/kekayaan materi.
c. Kedudukan/otoritas/wewenang.
d. Kemampuan Supranatural.
e. Kharisma (Riswandi:2013:17-19).
F. Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif seperti dinyatakan Ashley Montagu, manusia
belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Anak kecil hanyalah
seonggok daging sampai ia belajar mengungkapkan perasaan dan
kebutuhannya melalui tangisan, tendangan, atau senyuman. Segera
setelah ia berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, perlahan-lahan
terbentuklah apa yang disebut dengan kepribadian. Bagaimana ia
93
menafsirkan pesan yang disampaikan orang lain dan bagaimana ia
menyampaikan perasaannya kepada orang lain, menentukan
kepribadiannya. Manusia bukan dibentuk oleh lingkungan, tetapi oleh
caranya menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya.
Wajah ramah seorang ibu akan menimbulkan kehangatan bila diartikan si
anak sebagai ungkapan kasih sayang. Wajah yang sama akan melahirkan
kebencian bila anak memahaminya sebagai usaha ibu tiri untuk menarik
simpati anak yang ayahnya telah ia rebut.
Kepribadian terbentuk sepanjang hidup. Selama itu pula
komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi. Melalui
komunikasi manuisa menemukan dirinya, mengembangkan konsep diri,
dan menetapkan hubungan dengan dunia sekitar. Hubungan dengan orang
lain akan menentukan kualitas hidup.
Komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia
Moss menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada
sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan.
1. Pengertian
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi
stimulus seperti yang dimaksud oleh komunikator. Menurut
cerita, seorang pimpinan pasukan VOC bermaksud menghormati
seorang pangeran Madura. Untuk itu, dipegangnya tangan sang
permaisuri dan diciumnya. Sang pangeran marah. Ia mencabut
kerisnya, menusuk Belanda itu dan terjadilah bertahun-tahun
perang VOC dengan penduduk Madura, sehingga ribuan korban
jatuh. Betapa sering terjadi pertengkaran hanya karena pesan
diartikan lain oleh orang yang diajak bicara. Kegagalan
menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi
primer (primary breakdown in communication).
2. Kesenangan
Tidak semua komunikasi diajukan untuk menyampaikan
informasi dan membentuk pengertian. Ketika seseorang
mengucapkan "Selamat pagi, apa kabar?", ia tidak bermaksud
mencari keterangan. Komunikasi itu hanya dilakukan untuk
mengupayakan agar orang lain merasa apa yang disebut analisis
transaksional sebagai "Saya Oke - Kamu Oke". Komunikasi ini
lazim disebut dengan komunikasi fatis (phatic communication),
dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi
inilah yang menjadikan hubungan yang hangat, akrab, dan
menyenangkan.
94
3. Pengaruh pada Sikap
Manusia paling sering melakukan komunikasi untuk
mempengaruhi orang lain. Khatib ingin membangkitkan sikap
beragama dan mendorong jamaah untuk beribadah lebih baik.
Politisi ingin menciptakan citra yang baik pada pemilihnya,
bukan untuk masuk surga, tetapi untuk masuk DPR dan
menghindari masuk kotak. Guru ingin mengajak muridnya lebih
mencintai ilmu pengetahuan. Pemasang iklan ingin merangsang
selera konsumen dan mendesaknya untuk membeli. Sering jejaka
ingin meyakinkan pacarnya bahwa ia cukup "bonafid" untuk
mencintai dan dicintai. Semua ini adalah komunikasi persuasif.
Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktorfaktor pada diri komunikator, dan pesan yang menimbulkan efek
pada komunikan. Persuasi didefinisikan sebagai "proses
mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan
menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut
bertindak seperti atas kehendaknya sendiri". Para psikolog
memang sering bergabung dengan komunikolog justru pada
bidang persuasi.
4. Hubungan yang Makin Baik
Komunikasi juga ditujukan untuk menumbuhkan
hubungan sosial yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang
tidak tahan hidup sendiri dan ingin berhubungan dengan orang
lain secara positif. Abraham Maslow menyebutnya "kebutuhan
akan cinta" atau "belongingness"'. William Schutz merinci
kebutuhan soal ini ke dalam tiga hal inclusion, control, affection.
Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan
mempertahankan hubungan yang memusatkan dengan orang lain
dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan
kekuasaan (kontrol), dan cinta serta kasih sayang (affection).
Secara singkat, manusia ingin bergabung dan berhubungan
dengan orang lain, ingin mengendalikan dan dikendalikan, dan
ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan sosial ini hanya dapat
dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif. Dewasa
ini para ilmuwan sosial, filsuf dan ahli agama yang sering
berbicara tentang alienasi – merasa terasing, kesepian, dan
kehilangan keakraban – pada manusia modern. "Instead of
affection, acceptance, love, and joy resulting from being with
95
others, many people feel alone, rejected, ignored, and unloved",
tulis william D. Brooks dan Philip Emmert.
Bila orang gagal menumbuhkan hubungan interpersonal,
maka menurut Vance Packard (1974), ia akan menjadi agresif,
senang berkhayal, dingin, sakit fisik dan mental, dan menderita
flight syndrome (ingin melarikan diri dari lingkungannya).
Packard mengutip penelitian Philip G. Zimbardo tentang
hubungan antara anonimitas dengan agresi. Zimbardo
menyimpan dua buah mobil bekas di dua tempat: wilayah Bronx
di New York, dan Palo Alto di California. Daerah yang pertama
terletak di kota besar, di mana terdapat tingkat anonimitas yang
tinggi. Yang kedua adalah kota kecil, di mana orang saling
mengenal dengan baik. Zimbardo ingin mengetahui apa yang
akan terjadi pada mobil-mobil itu. Di Palo Alto mobil itu tidak
disentuh orang selama satu minggu, kecuali pada waktu turun
hujan; seorang pejalan kaki menutupkan kap mobil agar air hujan
tidak membasahi mesin di dalam. Di wilayah Bronx dalam
beberapa jam saja, di siang hari bolong, beberapa orang dewasa
ramai-ramai mencopoti bagian-bagian mobil yang dapat
digunakan di hadapan orang lain. Tidak ada yang mencoba
mencegah perbuatan itu. Tahap berikutnya lebih menarik lagi.
Anak-anak kecil mulai menghancurkan jendela depan dan
belakang. Berikutnya, beberapa orang dewasa yang berpakaian
parlente merusak apa yang masih bisa dirusak. Dalam tempo
kurang dari tiga hari, mobil itu sudah menjadi onggokan besi tua
yang menyedihkan.
Zimbardo berteori, anonimitas menjadikan orang agresif,
senang mencuri dan merusak, di samping kehilangan
tanggungjawab sosial. Penyebab anonimitas terletak pada
kegagalan komunikasi interpersonal dalam menumbuhkan
hubungan sosial yang baik. Bila kegagalan untuk menimbulkan
pengertian disebut kegagalan komunikasi primer, gangguan
hubungan manusiawi yang timbul dari salah pengertian adalah
kegagalan komunikasi sekunder (secondary breakdown). Supaya
manusia tetap hidup secara sosial, untuk sosial survival, ia harus
terampil dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas
komunikasi
interpersonal
seperti
persepsi
interpersonal, dan hubungan interpersonal.
96
5. Tindakan
Persuasi ditujukan untuk melahirkan tindakan yang
dikehendaki. Komunikasi untuk menimbulkan pengertian
memang sukar, tetapi lebih sukar lagi mempengaruhi sikap. Jauh
lebih sukar lagi mendorong orang bertindak. Namun efektivitas
komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan
komunikan. Kampanye KB berhasil bila akseptor mulai
menyediakan diri untuk dipasang AKDR (Alat Kontrasepsi
Dalam Rahim). Propaganda suatu partai politik efektif bila sekian
juta pemilih mencoblos lambang parpol itu. Pemasang iklan
sukses bila orang membeli barang yang di tawarkan. Muballigh
pun boleh bergembira bila orang beramai-ramai bukan saja
menghadiri masjid, tetapi juga mendirikan shalat.
Menimbulkan tindakan nyata memang indikator
efektivitas yang paling penting. Karena untuk menimbulkan
tindakan, harus berhasil lebih dahulu menanamkan pengertian,
membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan
yang baik. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses
komunikasi. Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang
seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses
komunikasi, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku manusia (Rakhmat:2011:12-16).
Kelima indikator komunikasi efektif tersebut jika dianalisis
lebih jauh maka diperoleh temuan berikut ini:
1. Pengertian; artinya adalah pengetahuan atau pemahaman
seseorang tentang sesuatu hal atau informasi yang diperolehnya.
Jadi kata/konsep pengertian ini berhubungan dengan pikiran atau
kognitif. Kognitif berasal dari kata Latin cognoscere yang artinya
menyadari atau mengetahui. Bagian atau organ manusia yang
mengetahui/menyadari itu adalah pikiran. Jadi, pengertian
berhubungan dengan pikiran/kognitif.
2. Kesenangan;
konsep
ini
berhubungan
dengan
perasaan/emosi/afeksi. Kesenangan adalah salah satu bentuk
emosi manusia. Bentuk lain dari emosi misalnya marah, sedih,
kecewa, dendam, dan sebagainya. Organ tubuh manusia yang
berkenan dengan kesenangan adalah hati.
3. Hubungan sosial yang makin baik; yang dimaksud dalam hal ini
adalah adanya interaksi sosial manusia dengan manusia lainnya.
Dalam konteks ini interaksi sosial tersebut hendaklah bernilai
97
positif/ baik. Jika interaksi sosial seseorang dengan orang/pihak
lain baik, maka ini menunjukkan bahwa secara tersirat/implisit
komunikasinya (sebenarnya juga perilakunya) adalah baik.
Dalam konsep hubungan sosial ini terkandung unsur
pengetahuan/kognitif dan perasaan/afektif
4. Perubahan sikap; sikap adalah kecenderungan seseorang untuk
merespon atau bereaksi terhadap objek tertentu. Sikap ini baru
tampak/kelihatan jika direalisasikan/diwujudkan dalam bentuk
perbuatan/perilaku/tindakan. Sebelum seseorang mempunyai
kecenderungan untuk merespon, maka yang terlebuh dahulu
harus ada ialah objek (disebut objek sikap).
Objek sikap ini bisa apa saja seperti orang, hewan,
lukisan, kasus korupsi yang diberitakan oleh media, konflik
antarsuku, atau apa saja yang ada di sekitar manusia yang akan
merespon tersebut (stimulus). Jadi, unsur pertama yang harus ada
dalam sikap adalah pengetahuan (kognitif) tentang objek tersebut.
Proses selanjutnya setelah adanya pengetahuan/informasi
ialah perasaan/afeksi terhadap objek tersebut, misalnya
senang/tidak senang, sedih, marah, kecewa, dan sebagainya.
Setelah seseorang memperoleh informasi/pengetahuan tentang
suatu objek dan senang/suka terhadapnya, maka proses
selanjutnya adalah bahwa orang tersebut akan cenderung
merespon atau melakukan suatu tindakan sesuai dengan
keberadaan objek tersebut. Jadi, sikap seseorang baru tampak bila
orang tersebut melakukan suatu perilaku, dan karena dalam
konteks komunikasi setiap perilaku adalah pesan maka perilaku
dalam konteks sikap juga dapat berbentuk kode verbal dan atau
kode nonverbal yang sekaligus semua ini dapat dimaknai pula
sebagai pesan oleh orang lain. Dalam sikap ini terkandung unsur
pengetahuan/kognitif dan perasaan/afektif.
5. Tindakan; tindakan atau perilaku adalah petunjuk yang paling
mudah dilihat sebagai tanda telah berlangsungnya suatu proses
komunikasi efektif, meskipun paling sulit untuk menggerakkan
orang untuk melakukan suatu perilaku/perbuatan.Tindakan
adalah dimensi/komponen konatif/psikomotorik dari psikologi.
Berdasarkan pembahasan tentang pengertian, kesenangan,
hubungan sosial yang baik, perubahan sikap, dan tindakan
sebagaimana dikemukakan di atas dapatlah disimpulkan bahwa
98
kelima indikator komunikasi efektif tersebut jika diringkas isinya
adalah kognitif, afektif, dan konatif (behavioral/perilaku).
Dengan demikian terbukti bahwa komunikasi efektif dengan
lima indikator sebagaimana dikemukakan di atas dijelaskan dari
perspektif psikologi di mana psikologi itu sendiri dipahami sebagai
perilaku manusia (konatif) yang didasarkan pada proses mental
(kognitif dan afektif) (Riswandi:2013:12-13).
Menurut Kelman, pengaruh komunikasi terhadap orang lain
berupa tiga hal:
1. Internalisasi
Internalisasi terjadi bila orang menerima pengaruh karena
perilaku yang dianjurkan itu sesuai dengan sistem nilai yang
dimilikinya. Seseorang menerima gagasan, pikiran, atau anjuran
orang lain karena gagasan, pikiran, atau anjuran orang lain itu
berguna baginya untuk memecahkan masalah, penting dalam
menunjukkan arah, atau dituntut oleh sistem nilai kita.
Internalisasi terjadi ketika kita menerima anjuran orang
lain atas dasar rasional. Misalnya seseorang berhenti merokok
karena ia ingin memelihara kesehatannya karena merokok tidak
sesuai nilai-nilai yang dianut.
2. Identifikasi
Identifikasi terjadi bila individu mengambil perilaku
yang berasal dari orang atau kelompok lain karena perilaku itu
berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri secara
memuaskan (satisfying self-defining relationship) dengan orang
atau kelompok itu. Hubungan yang mendefinisikan diri artinya
memperjelas konsep diri.
Dalam identifikasi, individu mendefinisikan perannya
sesuai dengan peranan orang lain. Dengan perkataan lain, ia
berusaha seperti atau benar-benar menjadi orang lain. Dengan
mengatakan apa yang ia katakan, melakukan apa yang ia lakukan,
mempercayai apa yang ia percayai, individu mendefinisikan
dirinya sesuai dengan orang yang mempengaruhinya.
Identifikasi terjadi ketika anak berperilaku mencontoh
ayahnya, murid meniru tindak tanduk gurunya, atau penggemar
bertingkah dan berpakaian seperti bintang yang dikaguminya.
Dimensi ethos yang paling relevan dengan identifikasi ialah
atraksi (daya tarik komunikator).
99
3. Ketundukan (Compliance)
Ketundukan terjadi bila individu menerima pengaruh dari
orang atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi
yang menyenangkan dari orang atau kelompok lain tersebut. Ia
ingin memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman dari
pihak yang mempengaruhinya.
Dalam ketundukan, orang menerima perilaku yang
dianjurkan bukan karena mempercayainya, tetapi karena perilaku
tersebut membantunya untuk menghasilkan efek sosial yang
memuaskan.
Bawahan yang mengikuti perintah atasannya di kantor
karena takut dipecat, pegawai negeri yang masuk parpol tertentu
karena kuatir diberhentikan, petani yang menanam sawahnya
karena ancaman pamong desa, pembantu yang bergegas datang
jika dipanggil oleh majikannya karena takut diberhentikan, dan
seorang anak yang harus pulang sebelum pukul sepuluh malam
karena takut dimarahi ayahnya adalah contoh-contoh ketundukan
(Riswandi:2013:16-17).
G. Karakteristik Manusia Komunikan
Yang dimaksud dengan karakteristik manusia komunikan adalah
ciri-ciri atau sifat manusia sebagai makhluk yang mempunyai
kemampuan untuk berkomunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal.
Dengan mengacu pada pola pikir atau bagan atau mind mapping
ruang lingkup materi psikologi komunikasi, terlihat bahwa manusia
menempati posisi penting atau strategis dalam pembahasan tentang
psikologi komunikasi. Artinya manusia selain berfungsi sebagai subjek
kajian dalam psikologi komunikasi sekaligus ia juga sebagai objek kajian.
Oleh karena itu, perlu diketahui dan dipahami terdahulu secara
mendalam bagaimana pandangan (ilmu) psikologi tentang makhluk yang
dinamakan manusia itu. Jika politik memandang hakikat manusia sebagai
makhluk yang cenderung berkuasa, ilmu ekonomi memandang hakikat
manusia sebagai makhluk yang memproduksi dan mengonsumsi, maka
perlu dipahami bagaimana pandangan psikologi tentang hakikat manusia.
Ada 4 teori dalam psikologi yang mencoba menjelaskan tentang
manusia, yaitu konsepsi manusia menurut psikoanalisis, behavioralisme,
kognitif dan humanistik.
100
1. Konsepsi Manusia menurut Psikoanalisis
Orang yang pertama kali berusaha merumuskan psikologi
manusia dengan memperhatikan struktur jiwa manusia adalah
Sigmund Freud. Sigmund Freud lahir di Freiberg, Moravia,
Austria-Hungary, sekarang Republik Ceko, 6 Mei 1856. Wafat di
London, Inggris, Britania Raya, 23 September 1939 pada umur
83 tahun). Ia adalah seorang psikiater Austria dan pendiri aliran
psikoanalisis dalam psikologi. Menurut Freud, kehidupan jiwa
memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious),
prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Konsep
dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam
bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain
itu, ia juga memberikan pernyataan bahwa perilaku manusia
didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada awalnya
dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya.
Freud adalah seorang penulis yang sangat produktif,
menerbitkan lebih dari 320 buku, artikel dan esai. Dari sekian
banyak karyanya, Freud menjelaskan The Interpretation of
Dreams sebagai favorit pribadinya memiliki kontribusi paling
signifikan untuk memahami pemikiran manusia.
Buku Freud yang terkenal The Interpretation of Dreams,
yang terbit tahun 1899 merupakan buku yang berisi dasar-dasar
teori dan ide yang membentuk psikoanalisis. Pada tahun 1902,
Freud menyelenggarakan diskusi mingguan di rumahnya di
Wina. Pertemuan-pertemuan informal ini kemudian tumbuh
menjadi Vienna Psychoanalytic Society.
Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil
interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia yang
disebutnya Id, Ego, dan superego.
a. Id
Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan
dorongan-dorongan biologis manusia, atau disebut juga pusat
instink (hawa nafsu).
Ada dua instink dominan, yaitu:
1) Libido; yaitu instink reproduktif untuk tujuan-tujuan
konstruktif. Instink ini disebut juga instink
kehidupan/eros, misalnya dorongan seksual, segala hal
yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu,
pemujaan pada Tuhan, dan cinta diri/narcisme.
101
2) Thanatos; yaitu instink destruktif dan agresif. Instink ini
disebut juga instink kematian.
Semua motif manusia adalah gabungan antara eros
dan thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan,
ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis,
tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id
adalah tabiat hewani manusia.
Walaupun id mampu melahirkan keinginan, tetapi ia
tidak mampu memuaskan keinginannya. Id adalah bagian
jiwa paling liar dan berpotensi jahat. Ada yang menafsirkan
id sebagai nafsu manusia yang mementingkan kebutuhan
perut ke bawah. Di sisi lain, id tidak mempertimbangkan
akibat dari pemenuhan hasratnya. Intinya, id adalah bagian
jahat dari manusia yang beresiko merugikan orang lain dan
diri sendiri. Id sebenarnya adalah yang menguasai manusia
pada umur 0-2 tahun.
Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang
hadir sejak lahir atau sistem dasar kepribadian. Aspek
kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku
naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber
segala energi psikis, sehingga menjadi komponen utama
kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang
berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan dan
kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak langsung memuaskan
maka hasilnya adalah kecemasan atau ketegangan.
Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus
harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum.
Id ini sangat penting di awal hidup, karena itu memastikan
bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak
nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
Dorongan-dorongan dari id dapat dipusatkan melalui
proses primer yang dapat diperoleh dengan tiga cara:
1) Perbuatan
Seorang bayi yang sedang timbul dorongan
primitifnya akan menangis, misalnya menangis karena
ingin menyusu pada ibunya. Bayi akan berhenti
menangis ketika ia menemukan puting susu ibunya dan
mulai menyusu.
102
2) Fungsi kognitif
Yaitu
kemampuan
individu
untuk
membayangkan atau mengingat hal-hal yang memuaskan
yang pernah dialami dan diperoleh. Dalam kasus ini
individu akan berkhayal terhadap hal-hal yang nikmat
atau menyenangkan seperti pengalaman seksual.
3) Ekspresi dari Afek atau Emosi
Yaitu dengan memperhatikan emosi tertentu
akan terjadi pengurangan terhadap dorongan-dorongan
primitifnya.
Jika seseorang diperintah seluruhnya oleh prinsip
kesenangan, ia mungkin menemukan dirinya meraih halhal yang ia inginkan dari tangan orang lain untuk
memuaskan keinginannya sendiri. Menurut Freud, id
mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang
diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama,
yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek
yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan
kebutuhan (Riswandi:2013:21-23).
b. Ego
Ego berfungsi sebagai jembatan bagi tuntutantuntutan id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah mediator
antara hasrat-hasrat hewani dan runtutan rasional dan
realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu
menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud
yang rasional.
Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya,
ketika id mendesak supaya seseorang membalas ejekan
dengan ejekan lagi, ego segera memperingatkannya bahwa
lawannya adalah bos yang dapat memecatnya. Kalau ia
mengikuti desakan id, maka ia akan konyol. Setelah itu ia
baru
teringat
bahwa
tindakan
tersebut
akan
membahayakannya jika ia berani melawan bos dalam budaya
Indonesia.
Ego dibawa sejak lahir, tetapi berkembang seiring
dengan hubungan individu dengan lingkungan. Prinsip ego
adalah realitas atau kenyataan. Untuk bisa bertahan hidup,
103
individu tidak bisa semata-mata bertindak sekedar mengikuti
impuls-impuls atau dorongan-dorongan. Individu harus
belajar menghadapi realitas. Sebagai ilustrasi dari pernyataan
ini, seorang anak harus belajar bahwa ia tidak bisa
mengambil makanan karena terdorong secara impulsif ketika
ia melihat makanan. Jika ia mengambil makanan itu dari
orang yang lebih besar, maka ia akan kena pukul. Ia harus
memahami realita sebelum bertindak. Bagian dari jiwa atau
struktur kepribadian yang menunda impuls secara langsung
dan memahami realita seperti ini disebut Ego.
Menurut Freud, ego adalah struktur kepribadian yang
berurusan dengan runtutan realita, berisi penalaran dan
pemahaman yang tepat. Ego berusaha menahan tindakan
sampai ia memiliki kesempatan untuk memahami realitas
secara akurat, memahami apa yang sudah terjadi di dalam
situasi yang serupa di masa lalu, dan membuat rencana yang
realistik di masa depan. Tujuan ego adalah menemukan cara
yang realistis dalam rangka memuaskan Id.
Ego mempunyai beberapa fungsi di antaranya:
1) Menahan menyalurkan dorongan.
2) Mengatur desakan dorongan-dorongan yang sampai pada
kesadaran.
3) Mengarahkan suatu perbuatan agar mencapai tujuan yang
diterima.
4) Berfikir logis.
5) Mempergunakan pengalaman emosi-emosi kecewa
sebagai tanda adanya sesuatu yang salah, yang tidak
benar, agar kelak dapat dikategorikan dengan hal lain
untuk memusatkan apa yang akan dilakukan sebaikbaiknya (Riswandi:2013:23-24).
c. Superego
Superego adalah polisi kepribadian yang mewakili
dunia ideal. Superego adalah hati nurani (conscience) yang
merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural
masyarakatnya. Superego akan memaksa ego untuk menekan
hasrat-hasrat yang tidak berlainan ke alam bawah sadar.
Baik id maupun superego berada dalam bawah sadar
manusia, sedangkan ego berada di tengah, antara memenuhi
104
desakan id dan peraturan superego. Untuk mengatasi
ketegangan, ia dapat menyerah pada runtutan id, tetapi berarti
dihukum superego dengan perasan bersalah. Untuk
menghindari ketegangan, konflik, atau frustrasi, ego secara
sadar menggunakan mekanisme pertahanan ego, yaitu dengan
mendistorsi realitas.
Secara singkat, dalam psikoanalisis, perilaku
manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (id),
komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego),
atau unsur animal, rasional, dan moral (hewani, akal, dan
nilai).
Pembentukan dan perkembangan superego sangat
ditentukan oleh pengarahan atau bimbingan lingkungan sejak
usia dini. Bila seseorang diasuh dalam lingkungan yang serba
cuek dan mau menang sendiri, bisa dipastikan, superego atau
nuraninya tumpul, sedangkan superego ada dan muncul pada
diri manusia pada umur 3 tahun ke atas. Superego adalah
aspek kepribadian yang menampung semua standar
internalisasi moral dan cita-cita yang diperoleh dari kedua
orang tua dan masyarakat. Superego memberikan pedoman
untuk membuat penilaian.
Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang
dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini
sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau
hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego
bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan
perilaku manusia. Ia bekerja untuk menekan semua yang
tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk
membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena
prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam keadaan sadar,
prasadar dan tidak sadar.
Id, ego dan superego mutlak ada pada diri manusia.
Mereka memang muncul pada umur sekian dan sekian, tapi
bukan berarti tidak akan pernah muncul lagi. Ketiga bagian
jiwa ini akan terus saling berinteraksi menghiasi keseharian
manusia. Dalam kenyataan sehari-hari pada diri seseorang,
interaksi itu bisa berbentuk kerja sama (kooperasi),
persaingan (kompetisi) atau pertentangan (konflik) dan
bagian atau subsistem mana yang menang atau dominan
105
sangat tergantung pada diri masing-masing individu.
Adakalanya id yang menang dan ada kalanya superego yang
menang. Jika id destruktif yang menang maka individu
tersebut dikenal dengan sebutan, misalnya, penjahat, dan jika
superego yang menang maka dikenal individu tersebut
dengan sebutan, misalnya, pahlawan. Oleh karena itu
dibutuhkan peran ego sebagai mediator kompromi yang
berprinsip pada realitas untuk menjaga keseimbangan antara
dorongan-dorongan dari id dan larangan atau ganjaran dari
superego agar perilaku individu tersebut berjalan dengan
normal (smooth) dan dengan demikian keberadaan individu
tersebut diterima oleh lingkungan dengan baik
(Riswandi:2013:24-25).
2. Konsepsi Manusia menurut Behavioralisme
Berlainan dengan psikoanalisis yang menggambarkan
bahwa secara tidak disadari dorongan nafsu-nafsu daya rendah
banyak menentukan perilaku manusia, perilaku menunjukkan
bahwa upaya rekayasa dan kondisi lingkungan luar adalah hal
yang paling mempengaruhi dan menentukan kepribadian
manusia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, psikologi
perilaku menganggap manusia pada hakikatnya adalah netral,
baik-buruknya perilaku terpengaruh dari pengaruh situasi dan
perlakuan yang dialami. Asumsi-asumsi ini diperoleh melalui
eksperimen-eksperimen dengan hewan dengan tujuan untuk
mengetahui pola dasar perilaku manusia dan proses
perubahannya. Usaha ilmiah itu dianggap sebagai reaksi terhadap
psikoanalisis yang wawasan-wawasannya terlalu dianggap
hipotesis dan intuitif dengan teori-teorinya yang konon kurang
didukung oleh temuan-temuan riset empiris.
Psikologi perilaku memberikan kontribusi penting
dengan ditemukannya asas-asas perubahan perilaku yang banyak
diamalkan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi, pembentukan
kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial melalui law of
enforcement, yakni:
a. Classical conditioning (pembiasaan klasik), yaitu rangsangan
(stimulus) netral akan menimbulkan pola reaksi tertentu
apabila rangsangan itu sering diberikan bersamaan dengan
106
rangsangan lain yang secara alamiah menimbulkan pola
reaksi tersebut.
b. Law of effec (hukum akibat), yakni perilaku yang
menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan pelaku
cenderung diulangi; sebaliknya perilaku yang menimbulkan
akibat tidak memuaskan atau merugikan cenderung
dihentikan.
c. Operant conditioning (pembiasaan operan), yakni suatu pola
perilaku akan mantap apabila berhasil diperoleh hal-hal yang
diinginkan pelaku (penguat positif) atau mengakibatkan
hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Di
sisi lain suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila
perilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tidak
menyenangkan (hukuman), atau mengakibatkan hilangnya
hal-hal yang menyenangkan pelaku (penghapusan).
d. Modelling (peneladanan), yakni perubahan perilaku dalam
kehidupan sosial terjadi karena proses dan peneladanan
terhadap perilaku orang lain yang disenangi dan dikagumi.
Keempat asas perubahan perilaku itu berkaitan langsung
dengan proses belajar yang melibatkan unsur-unsur kognisi
(pemikiran), afeksi (perasaan), konasi (kemauan), dan aksi
(tindakan), atau dengan kata lain meliputi unsur cipta, rasa, karsa,
dan karya.
Behaviorisme atau aliran perilaku (juga disebut
perspektif belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang
berdasarkan atas proposisi bahwa semua yang dilakukan
organisme yang termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan dapat
dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat
bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa
melihat peristiwa fisiologis internal atau konstrak hipotetis
seperti pikiran. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori
harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan
antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan)
dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan
perasaan).
Aliran behaviorisme memperlakukan manusia sebagai
mesin, yaitu di dalam suatu sistem kompleks yang bertingkah
laku menurut cara-cara yang sesuai dengan hukum. Dalam
pandangan kaum behavioris, individu digambarkan sebagai suatu
107
organisme yang bersifat baik, teratur, dan ditentukan sebelumnya,
dengan banyak spontanitas, kegembiraan hidup, berkreativitas,
seperti alat pengatur panas.
Kepribadian sehat behavioristik:
a. Manusia adalah makhluk perespon; lingkungan mengontrol
perilaku.
b. Manusia tidak memiliki sikap diri sendiri.
c. Mementingkan faktor lingkungan.
d. Menekankan pada faktor bagian.
e. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan
mempergunakan metode obyektif.
f. Sifatnya mekanis mementingkan masa lalu.
Manusia diperlakukan sebagai mesin, layaknya alat
pengatur panas yang mengatur semuanya. Aliran ini menganggap
manusia memberikan respons positif yang berasal dari luar.
Dalam aliran ini manusia dianggap tidak memiliki sikap diri
sendiri. Ciri-cirinya yaitu tersusun baik, teratur dan ditentukan
sebelumnya, dengan banyak spontanitas, kegembiraan hidup dan
kreativitas.
Jadi, manusia dilihat oleh.para behavioris sebagai orangorang yang bersifat pasif atau statis yang merespon setiap
stimulus yang menerpanya dari luar.
Prinsip-prinsip dasar behaviorisme:
a. Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan
sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak.
b. Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk
fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
c. Penganjur utama adalah John Watson: overt, observable
behavior, adalah satu-satunya subjek yang sah dari ilmu
psikologi yang benar.
d. Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem
ini dikembangkan lagi oleh para behavioris dengan
memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya
pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem
Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga,
meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
e. Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang
terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu
psikologi.
108
Behavioristik dipengaruhi oleh stimulus respon.
Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan
stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Penguatan tersebut terbagi atas penguatan positif dan penguatan
negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan
terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan
negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau
menghilang.
Terapi perilaku (behavior therapy) dan pengubahan
perilaku (behavior modification) atau pendekatan behavioristik
dalam psikoterapi, adalah salah satu dari beberapa revolusi dalam
dunia pengetahuan psikologi, khususnya psikoterapi. Pendekatan
behavioristik yang dewasa ini banyak dipergunakan dalam
rangka melakukan kegiatan psikoterapi dalam arti luas atau
konseling dalam arti sempitnya, bersumber pada aliran
behaviorisme. Aliran ini pada mulanya tumbuh subur di Amerika
dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yakni John Broadus
Watson, suatu aliran yang menitikberatkan peranan lingkungan,
peranan dunia luar sebagai faktor penting di mana seseorang
dipengaruhi, seseorang belajar.
Pada abad ke l7, dunia pengetahuan filsafat ditandai oleh
dua kubu besar, yakni kubu empiricism (physical science) dan
kubu naturalism (biological science). Pada akhir abad yang lalu,
kedua pemikiran ini mempengaruhi lahimya aliran behaviorisme
dengan pendekatan-pendekatannya yang kemudian menjadi
terkenal dengan terapi perilaku (behavior therapy) dan perubahan
perilaku (behavior modification) (Riswandi:2013:25-27).
Konsep Manusia dalam Behavioristik
Para ahli psikologi behavioristik pada hakikatnya
memandang seorang anak manusia (yang baru lahir) sebagai
seseorang yang bersifat netral, dalam arti tidak baik dan tidak
jahat. Para ahli yang melakukan pendekatan behavioristik,
memandang manusia sebagai pemberi respons (responder),
sebagai hasil dari proses kondisioning yang telah terjadi.
Berikut adalah beberapa pandangan behavioristik tentang
konsep manusia, yakni :
a. Manusia dipandang sebagai individu yang pada hakikatnya
bukan individu yang baik atau yang jahat, tetapi sebagai
109
individu yang selalu berada dalam keadaan sedang
mengalami, yang memiliki kemampuan untuk menjadi
sesuatu pada semua jenis perilaku.
b. Manusia mampu mengonseptualisasikan dan mengontrol
perilakunya sendiri.
c. Manusia mampu memperoleh perilaku yang baru.
d. Manusia bisa mempengaruhi perilaku orang lain sama halnya
dengan perilakunya yang bisa dipengaruhi orang lain.
1) Ivey, et, al (1987) mengemukakan bahwa pernah para
pendukung pendekatan behavioristik merumuskan
manusia sebagai manusia yang mekanistik dan
deterministik, di mana manusia dianggap bisa dibentuk
sepenuhnya oleh lingkungan dan hanya sedikit memiliki
kesempatan untuk memilih. Namun pendekatan
behavioristik yang baru, menitikberatkan pada
meningkatnya kebebasan dan pilihan melalui pemahaman
terhadap dasar-dasar perilaku seseorang.
2) Corey (1991) mengemukakan bahwa pada terapi
perilaku, perilaku adalah hasil dari belajar. Manusia
adalah hasil dari lingkungan sekaligus adalah pencipta
lingkungan. Tidak ada dasar yang berlaku umum yang
bisa menjelaskan semua perilaku, karena setiap perilaku
ada kaitannya dengan sumber yang ada di lingkungan
yang menyebabkan terjadinya suatu perilaku tersebut.
3) Albert Bandura (1974) yang terkenal sebagai tokoh teori
sosial-belajar, menolak suatu konsep bahwa manusia
adalah pribadi yang mekanistik dengan model
perilakunya yang deterministik. Pengubahan (modifikasi)
perilaku bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
seseorang agar jumlah respon akan lebih banyak.
Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur
kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi,
dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata.
Dengan demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian
jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalism.
Berarti juga behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari
fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih
memfokuskan diri pada proses-proses mental.
110
Meskipun pandangan Behaviorisme sekilas tampak
radikal dan mengubah pemahaman tentang psikologi secara
drastis, Brennan (1991) memandang munculnya Behaviorisme
lebih sebagai perubahan evolusioner daripada revolusioner.
Dasar-dasar pemikiran Behaviorisme sudah ditemui berabadabad sebelumnya.
Pemikiran behaviorisme sebenarnya sudah dikenal sejak
masa filosof Yunani Kuno, Aristoteles yang berpendapat bahwa
pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa sama
seperti meja lilin (tabularasa) yang siap dilukis oleh pengalaman.
Kemudian John Locke meminjam konsep ini, yang
dikenal sebagai kaum empirisme. Menurut mereka, pada waktu
lahir, manusia tidak mempunyai warna mental. Warna ini didapat
dari pengalaman. Pengalaman adalah jalan satu-satunya ke arah
penguasaan pengetahuan. Secara psikologis, ini berarti bahwa
seluruh perilaku manusia, kepribadian dan temperamen
ditentukan oleh pengalaman indrawi. Pikiran dan perasaan bukan
penyebab perilaku manusia, tetapi disebabkan oleh perilaku masa
lalu.
Salah satu kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala
psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang
mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme, salah satu
paham filsafat etika memandang manusia sebagai makhluk yang
bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari
kesenangan dan menghindari penderitaan. Utilitarianisme
mencoba mengkaji seluruh perilaku manusia pada prinsip
ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan
utilitarianisme dan hedonisme, maka akan ditemukan
behaviorisme.
Kaum behaviorisme berpendapat bahwa organisme
dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis, perilaku adalah
hasil pengalaman, dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh
kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi
penderitaan.
Pelaziman klasik akan menjelaskan bahwa setiap kali
anak membaca, orang tuanya mengambil bukunya dengan paksa,
maka anak akan benci pada buku. Bila kedatangan seseorang
selalu bersamaan dengan datangnya malapetaka, maka
kehadirannya akan membuat orang berdebar-debar.
111
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan
pelaziman. Seorang ahli, Bandura, menambahkan konsep belajar
sosial. Ia mengemukakan permasalahan peranan ganjaran dan
hukuman dalam proses belajar. Ia mengatakan bahwa banyak
perilaku manusia yang tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme
pelaziman atau peneguhan. Misalnya, mengapa anak yang
berusia dua tahun dapat berbicara dalam bahasa ibunya.
Kaum behavioris tradisional menjelaskan bahwa katakata yang semula tidak ada maknanya dipasangkan dengan
lambang atau objek yang mempunyai makna. Menurut Bandura,
belajar terjadi karena peniruan. Kemampuan meniru respon orang
lain, misalnya meniru bunyi yang sering didengar, merupakan
penyebab utama belajar. Ganjaran dan hukuman bukan faktor
yang utama dalam belajar, tetapi merupakan faktor penting dalam
melakukan suatu tindakan. Misalnya bila anak selalu
diganjar/dihargai karena melakukan sesuatu hal atau dalam
mengungkapkan perasaannya, maka ia akan sering
melakukannya. Tetapi jika ia dihukum, maka ia akan menahan
diri untuk melakukan sesuatu, meskipun ia mampu untuk
melakukannya. Jadi, melakukan sesuatu perilaku ditentukan oleh
peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk berbuat
ditentukan oleh peniruan.
Sumbangan Bandura tidak menyebabkan behaviorisme
dapat menjelaskan semuanya. Behaviorisme tidak bisa menjawab
ketika melihat perilaku manusia yang tidak bisa dipengaruhi oleh
ganjaran, hukuman, atau peniruan. Contohnya, orang-orang yang
menjelajah Kutub Utara yang dingin; pemuda Jepang yang
menempuh Samudra Pasifik di atas rakit, atau anak-anak muda
Agama Syiah yang meledakkan dirinya dengan bom atau dinamit
di Irak, semuanya adalah perilaku yang bermuatan selfmotivated.
Memang behaviorisme tidak bisa menjelaskan tentang
motivasi. Motivasi memang terjadi dalam diri individu,
sedangkan kaum behaviorisme hanya melihat pada peristiwaperistiwa yang kasat mata dalam arti yang dapat diamati atau
bersifat eksternal. Perasaan dan pikiran tidak menarik perhatian
kaum behaviorisme. Beberapa ratus tahun kemudian barulah
psikologi kembali memasuki proses kejiwaan internal. Paradigma
baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif
(Riswandi:2013:27-29).
112
Tokoh-tokoh Behaviorisme
a. John Watson (1878-1958)
Setelah memperoleh gelar master dalam bidang
bahasa (Latin dan Yunani), matematika, dan filsafat di tahun
1900, ia menempuh pendidikan di University of Chicago.
Minat awalnya adalah pada filsafat, sebelum beralih ke
psikologi karena pengaruh Angell.
Akhirnya ia memutuskan menulis disertasi dalam
bidang psikologi eksperimen dan melakukan studi-studi
dengan tikus percobaan. Tahun 1903 ia menyelesaikan
disertasinya. Tahun 1908 ia pindah ke John Hopkins
University dan menjadi direktur laboratorium psikologi di
sana. Pada tahun 1912 ia menulis karya utamanya yang
dikenal sebagai 'behaviorist's manifesto', yaitu "Psychology
as the Behaviorists Views it".
b. Clark L. Hull (1841-1952)
Hull menamatkan Ph.D dalam bidang psikologi dari
University of Wisconsin dan mengajar di sana selama 10
tahun, kemudian mendapat gelar profesor dari Yale dan
menetap di universitas ini hingga masa pensiunnya.
Sepanjang karirnya, Hull mengembangkan ide di berbagai
bidang psikologi, terutama psikologi belajar, hipnotis, dan
teknik sugesti. Metode yang paling sering digunakan adalah
eksperimental lab.
c. B.F. Skinner (1904-1980)
Prinsip-prinsip utama pandangan Skinner adalah
descriptive behaviorism, yaitu pendekatan experimental yang
sistematis pada perilaku yang spesifik untuk mendapatkan
hubungan SR. Pendekatannya induktif. Dalam hal ini
pengaruh Watson jelas terlihat empty organism, dan menolak
adanya proses internal pada individu. Menolak menggunakan
metode statistikal, mendasarkan pengetahuannya pada subjek
tunggal atau subjek yang sedikit namun dengan manipulasi
eksperimental yang terkontrol dan sistematis.
113
d. Albert Bandura
Bandura lahir di Canada, memperoleh gelar Ph.D
dari University of Iowa dan kemudian mengajar di Stanford
University.
Sebagai
seorang
behavioris,
Bandura
menekankan teorinya pada proses belajar tentang respon
lingkungan.
Oleh karenanya teorinya disebut teori belajar sosial,
atau modelling. Prinsipnya adalah perilaku merupakan hasil
interaksi resiprokal antara pengaruh tingkah laku, koginitif
dan lingkungan. Singkatnya, Bandura menekankan pada
proses modelling sebagai sebuah proses belajar.
Konsep behavioralisme dipengaruhi oleh:
a. Paham empirisme (John Locke, 1632-1704); pemikirannya
adalah bahwa pada waktu lahir manusia tidak mempunyai
"warna mental", warnanya diperoleh dari pengalaman. Secara
psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian dan
temparamen ditentukan oleh pengalaman indrawi (sensory
experience).
b. Paham hedonisme, yang memandang manusia sebagai
makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya
sendiri, mencari kesenangan dan mengurangi penderitaan.
c. Paham utilitarianisme, yang memandang seluruh perilaku
manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman.
Teori kognitif sosial, antara lain yang dikembangkan oleh
Albert Bandura menjelaskan pemikiran dan tindakan manusia
sebagai proses dari apa yang dinamakan dengan 'tiga penyebab
timbal balik' (triadic reciprocal causation) yang berarti bahwa
pemikiran dan perilaku manusia ditentukan oleh tiga faktor
berbeda yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu
sama lain dengan berbagai variasi kekuatannya, baik pada waktu
bersamaan maupun pada waktu yang berbeda.
Ketiga penyebab timbal balik itu adalah:
a. Perilaku.
b. Karakteristik personal seperti kualitas kognitif dan biologis
(seperti kecerdasan, jenis kelamin, dan ras).
c. Faktor lingkungan atau peristiwa (Riswandi:2013:29-30).
Teori kognitif sosial memberikan penekanan pada
pentingnya karakteristik atau sifat manusia yang unik yang terdiri
dari empat karakteristik atau sifat sebagai berikut:
114
a. Simbolisasi
Komunikasi antarmanusia didasarkan atas suatu
sistem dari makna bersama yang dikenal sebagai bahasa yang
tersusun dari berbagai macam simbol. Berbagai simbol itu
terjadi pada lebih dari satu level konseptual.
b. Pengaturan Diri
Kemampuan mengatur diri sendiri mencakup
konsep-konsep seperti motivasi dan evaluasi. Manusia
memiliki kemampuan untuk memotivasi diri mereka untuk
mencapai tujuan tertentu. Mereka memiliki kemampuan
untuk mengevaluasi perilaku mereka sendiri sehingga dengan
demikian, perilakunya bersifat mengarahkan diri dan
mengatur diri.
Misalnya, pasangan suami istri yang baru memiliki
anak termotivasi untuk memberikan pendidikan yang lebih
baik buat anaknya. Jika mereka kemudian menyadari bahwa
dengan hanya mengandalkan penghasilan suami, mereka
tidak akan memiliki cukup uang untuk membiayai
pendidikan anak mereka, maka mereka melakukan evaluasi
terhadap keadaan dan memutuskan bahwa istri akan turut
bekerja. Ketika keduanya sudah bekerja, mereka menyadari
bahwa kebutuhan emosional anak tidak dapat terpenuhi
karena sering ditinggal bekerja, mereka kemudian
memutuskan bahwa istri bekerja di rumah saja dengan
membuka warung di rumah agar dapat memberikan perhatian
lebih banyak kepada anaknya.
c. Koreksi Diri
Kemampuan untuk bercermin atau melakukan
refleksi terhadap diri sendiri melibatkan proses verifikasi
pikiran, yaitu kemampuan orang untuk melakukan koreksi
terhadap diri sendiri guna memastikan bahwa pemikirannya
telah benar. Bandura mengemukakan empat cara yang
berbeda dalam melakukan koreksi diri sendiri, yaitu:
1) Penyesuaian; di sini seseorang menilai kesesuaian antara
pemikiran dan hasil tindakannya.
2) Pengamatan; di sini pengalaman tidak langsung
(vicarious) berdasarkan observasi terhadap pengalaman
115
orang lain dan hasil yang diperoleh berfungsi untuk
menegaskan atau menolak kebenaran pikiran seseorang.
3) Bujukan (persuasive); contoh hal ini dapat dilihat pada
tayangan iklan.
4) Logika; yaitu melalui verifikasi dengan menggunakan
aturan inferensi yang sudah diketahui sebelumnya.
Inferensi adalah alasan yang digunakan dalam menarik
kesimpulan atau membuat keputusan logis berdasarkan
bukti-bukti yang diketahui atau kesimpulan sebelumnya
dan bukan berdasarkan pengamatan langsung. Misalnya,
jika seseorang membeli dan menggunakan handphone
merek Nokia seharga Rp 1 Juta dan merasa puas dengan
kualitasnya, maka ia akan dengan sangat mudah merasa
yakin jika merek tersebut memiliki produk tipe lain
dengan harga yang lebih mahal (misalnya Rp 2 Juta),
maka produk tersebut akan memiliki kualitas yang lebih
baik. Logikanya akan berpikir, "Jika yang murahnya saja
sudah memuaskan apalagi yang mahalnya". Ia akan
berpikir bahwa selisih harga yang terjadi antara produk
yang lebih murah dengan produk yang lebih mahal
adalah sebanding dengan peningkatan kualitas yang
diharapkan.
d. Kemampuan Belajar
Yaitu kemampuan untuk belajar dari sumber lain
tanpa harus memiliki pengalaman secara langsung.
Kemampuan ini biasanya mengacu pada penggunaan media
massa,
baik
secara
positif
maupun
negatif
(Riswandi:2013:31).
3. Konsepsi Manusia menurut Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai
proses-proses mental atau pikiran. Proses ini meliputi cara
informasi diperoleh, dipresentasikan dan ditransformasikan
sebagai pengetahuan. Pengetahuan itu dimunculkan kembali
sebagai petunjuk dalam sikap dan perilaku manusia. Oleh karena
itu, psikologi kognitif juga disebut psikologi pemrosesan
informasi.
116
Di dalam dunia psikologi, mempelajari psikologi kognitif
sangat diperlukan, karena:
a. Kognisi adalah proses mental atau pikiran yang berperan
penting dan mendasar bagi studi-studi psikologi manusia.
b. Pandangan psikologi kognitif banyak mempengarui bidangbidang psikologi yang lain. Misalnya pendekatan kognitif
banyak digunakan di dalam psikologi konseling, psikologi
konsumen dan lain-lain.
c. Melalui prinsip-prinsip kognisi, seseorang dapat mengelola
informasi secara efisien dan mengorganisasikannya dengan
baik.
Beberapa faktor pendorong berkembangnya psikologi
informasi antara lain:
a. Penurunan popularitas psikologi behaviorisme karena
psikologi tidak dapat menerangkan tingkah laku manusia
secara kompleks.
b. Perkembangan konsep tentang kemampuan berbahasa yang
dimiliki manusia.
c. Munculnya teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget
(ahli psikologi dari Swiss). Piaget mengemukakan beberapa
hukum tentang kognitif, yaitu:
1) Setiap orang punya aspek kognitif yang terdiri dari
aspek-aspek struktural intelektual.
2) Perkembangan kognitif adalah hasil interaksi dari
kematangan organisme dan pengaruh lingkungan.
3) Proses kognitif itu meliputi aspek persepsi, ingatan,
pikiran, simbol-simbol, penalaran dan pemecahan
persoalan.
4) Dalam psikologi kognitif, bahasa menjadi salah satu
objek yang penting karena merupakan perwujudan sikap
kognitif.
5) Sisi-sisi kognitif dipengaruhi oleh lingkungan dan
biologis (Riswandi:2013:32).
Aspek Kognitif
a. Kematangan, yaitu semakin bertambahnya usia, maka
semakin bijaksana seseorang.
b. Pengalaman, yaitu hasil interaksi dengan orang lain.
117
c. Transmisi sosial, yaitu hubungan sosial dan komunikasi yang
sesuai dengan lingkungan.
d. Equilibrasi, yaitu perpaduan dari pengalaman dan proses
transmisi sosial.
Ada dua sistem yang mengatur kognitif:
a. Skema antarsistem yang terpadu dan tergabung.
b. Adaptasi yang terdiri dari asimilasi dan akomodasi.
1) Asimilasi terjadi pada objek yang meliputi biologis
(refleksi, keterbatasan kemampuan dan lain-lain) dan
kognitif (menggabungkan sesuatu yang sudah diperoleh).
2) Akomodasi terjadi pada subjek yang mengandung
perkembangan pendekatan pemrosesan informasi.
Pendekatan ini berasal dari ilmu komunikasi dan
komputer (Riswandi:2013:32-33).
Konsep-konsep Dasar Psikologi Kognitif Berkaitan dengan
Informasi
Ada dua konsep dasar psikologi kognitif, yaitu kognisi
dan pendekatan kognitif.
a. Kognisi
Dalam istilah kognisi, maka psikologi kognitif
dipandang sebagai cabang psikologi yang mempelajari
proses-proses mental atau aktivitas pikiran manusia, misalnya
proses-proses persepsi, ingatan, bahasa, penalaran dan
pemecahan masalah. Contoh-contoh yang berkaitan dengan
informasi:
1) Proses Persepsi
Ada seorang karyawan baru yang bekerja di
suatu perusahaan yang tingkat profesionalismenya
kurang. Di situ, baik karyawan yang rajin maupun yang
malas mendapat gaji yang sama. Setelah lama
beradaptasi di kantor itu, karyawan baru tersebut
memiliki persepsi bahwa ia tidak perlu bekerja dengan
sungguh-sungguh karena tidak akan berpengaruh pada
gajinya.
2) Ingatan
Kemampuan mengingat informasi dari membaca
tentunya akan lebih lama daripada hanya sekedar
118
mendengar. Karena dengan membaca, pikiran akan
bekerja lebih keras untuk memahami dan menyimpan
informasi tersebut. Sedangkan mendengar hanya
mengandalkan telinga, bahkan kadang-kadang tanpa
pemahaman.
3) Bahasa
Informasi akan lebih mudah dipahami dan
dimengerti apabila bahasa yang digunakan sesuai dengan
bahasa, maka informasi itu akan lebih maksimal
digunakan karena otak mampu mencerna inti informasi
tersebut.
4) Penalaran
Seseorang yang memiliki penalaran secara baik
akan dapat memperoleh informasi yang berkaitan dengan
masalah tersebut tidak hanya dari satu sisi saja, tapi dapat
diperoleh dari bagian lain, karena suatu masalah biasanya
hanya memiliki indikasi. Penalaran berhubungan dengan
cara berpikir kritis dan analitis.
5) Persoalan
Sikap dan perilaku manusia dapat mencerminkan
masalah yang sedang dihadapi. Sikap dan perilaku ini
apabila digabungkan dengan informasi yang sudah ada
maka dapat menciptakan suatu solusi.
b. Pendekatan Kognitif
Sebagai suatu pendekatan maka psikologi kognitif
dapat dipandang sebagai cara tertentu di dalam mendekati
berbagai fenomena psikologi manusia. Konsep ini
menekankan pada peran-peran persepsi, pengetahuan,
ingatan, dan proses-proses berpikir bagi perilaku manusia.
Contoh yang berkaitan dengan informasi:
1) Peran persepsi
Orang
yang
berpersepsi/berpikir
bahwa
kegagalan adalah sukses yang tertunda, ia akan selalu
berusaha untuk mencoba lagi, walaupun ia tidak tahu
kapan ia akan berhasil. Karena dipikirannya semakin ia
119
mencoba, semakin banyak informasi yang didapat, maka
tingkat kesalahan dapat diminimalisir atau dihindari. Hal
ini menjadikannya sebagai pribadi yang sabar dan ulet.
2) Pengetahuan
Orang yang banyak pengetahuan biasanya lebih
mengerti dan dapat mengelola informasi dengan cepat
dan memahami cara menjelaskan dan memahami
informasi tersebut secara cepat, tepat, murah dan efisien.
3) Proses Berpikir
Jenjang pendidikan, lingkungan sekitar serta cara
hidup mempengaruhi proses dan pola berpikir. Orang
yang berpendidikan tinggi, hidup di lingkungan
berpendidikan dan cara hidup yang modern, biasanya
akan mencari suatu informasi dengan cara yang berbasis
teknologi yang lebih cepat dan praktis. Ini karena mereka
telah dibentuk menjadi pribadi yang modern dengan cara
berpikir yang cepat (Riswandi:2013:33).
Psikologi kognitif dilandasi oleh rasionalisme Immanuel
Kant, Rene Descartes, dan Plato.
Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul
penginderaan melalui pengalaman langsung atau terpaan
pancaindera sanggup memberikan kebenaran. Kemampuan alat
indera dipertanyakan karena seringkali gagal menyajikan
informasi yang akurat.
Misalnya mata melihat bahwa kedua rel kereta api yang
sejajar bertemu di ujung sana, mata melihat sepotong kayu yang
tampak "bengkok" di dalam air, atau hidung ketika mencium bau
"pesing" maka perut menjadi mual. Pendek kata panca indra
manusia sebenarnya memiliki keterbatasan atau ambang batas
ketika menilai realita, sehingga pancaindra tidak dapat dijadikan
sebagai dasar atau pegangan untuk menilai atau mencari
kebenaran. Untuk menafsirkan apa yang telah dilihat oleh mata,
dicium oleh hidung, didengar oleh telinga, dikecap oleh lidah,
dan dirasakan oleh kulit, maka diperlukan "alat" lain untuk
memaknai atau memberi arti semuanya itu.
Descartes dan Kant menyimpulkan bahwa, jiwa/mind-lah
yang menjadi alat utama ilmu pengetahuan, bukan alat indera.
120
Jiwa menafsirkan pengalaman indrawi secara aktif, mencipta,
mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi, dan memberikan
makna.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam
konteksnya. Perilaku manusia bukan sekedar respon pada
stimulus, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya
secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang
mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat. Ruang hayat terdiri
dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang
disadarinya, dan kesadaran diri.
Secara singkat, perkembangan psikologi kognitif dapat
dilihat dari psikologi sosial, antara lain dikembangkan oleh
Heider dan Festinger. Festinger terkenal dengan teori disonansi
kognitifnya. Disonansi artinya ketidakcocokan antara dua
kognisi/pengetahuan. Dalam keadaan disonan orang berusaha
mengurangi disonansi dengan berbagai cara. Disonansi membuat
orang resah.
Kognisi/pengetahuan bahwa "Saya tahu bahwa merokok
dapat menimbulkan inspirasi bagi saya" disonan dengan "saya
tahu rokok merusak kesehatan". Dihadapkan dalam situasi
disonan seperti itu, maka saya akan:
a. Mengubah perilaku, berhenti merokok, atau memutuskan
"saya merokok sedikit saja".
b. Mengubah kognisi tentang lingkungan, misalnya dengan
mengatakan bahwa hanya perokok berat yang berbahaya.
c. Memperkuat salah satu kognisi yang disonan, misalnya
dengan "Ah, kawan-kawan saya juga banyak yang merokok".
d. Mengurangi disonansi dengan memutuskan bahwa salah satu
kognisi tidak penting, misalnya "Tidak jadi soal merokok
merusak kesehatan, toh saya ingin hidup cepat dan mati
muda"
Contoh lain:
"Saya tahu bahwa berbohong dilarang oleh agama dan
tidak baik bagi pendidikan karakter, tetapi saya tahu bahwa
berbohong demi kebaikan, misalnya untuk menyelamatkan
nyawa seseorang boleh dilakukan".
Dalam kondisi disonan/tidak nyaman seperti ini maka
pilihan saya adalah :
121
a. Saya berhenti berbohong.
b. Nabi saja mengatakan bahwa kita boleh berbohong demi
kebaikan yang lebih besar.
c. Ah, saya berbohong hanya kalau terpaksa dan hanya sekali
saja seumur hidup.
Contoh lainnya:
"Saya tahu bahwa kita dianjurkan tidur minimal tujuh
jam sehari karena baik untuk kesehatan, tetapi saya tahu pula
bahwa terkadang karena sesuatu hal kita terpaksa tidur kurang
dari tujuh jam".
Dalam kondisi disonan seperti ini maka saya akan
memilih opsi berikut:
2) Saya akan tidur minimal tujuh jam setiap hari.
3) Teman-teman saya banyak juga yang tidur kurang dari tujuh
jam tetapi keadaan mereka baik-baik saja/every thing is OK.
4) Saya tidur kurang dari tujuh jam hanya kalau ada keperluan
saja yang sifatnya mendesak dan penting (Riswandi:2013:3335).
Orang akan berupaya secara sadar atau tidak sadar untuk
membatasi atau mengurangi ketidaknyamanan tersebut melalui
tiga proses selektif yang saling berhubungan. Ketiga proses
selektif itu adalah sebagai berikut:
a. Penerimaan Informasi Selektif
Penerimaan informasi selektif ialah proses di mana
orang hanya akan menerima informasi yang sesuai dengan
sikap atau kepercayaan yang telah dimilikinya sebelumnya.
Orang cenderung atau lebih suka membaca artikel media
massa yang yang mendukung apa yang telah dipercayainya
atau diyakininya. Misalnya, orang yang gemar berbelanja
barang-barang mewah akan memperhatikan barang-barang
tersebut yang muncul di media massa, walaupun ia telah
pernah membelinya belum lama ini.
b. Ingatan Selektif
Asumsinya adalah bahwa orang tidak akan mudah
lupa atau sangat mengingat pesan-pesan yang sesuai dengan
sikap atau kepercayaan yang dimiliki sebelumnya. Misalnya,
penonton televisi akan lebih mengingat, bahkan sampai
kepada detil-detilnya, liputan mengenai pertemuan partai
122
politik yang didukungnya daripada partai politik yang tidak
didukungnya.
c. Persepsi Selektif
Di sini orang akan memberikan penafsiran terhadap
setiap pesan yang diterimanya sesuai dengan sikap dan
kepercayaan yang sudah dimiliki sebelumnya. Misalnya, jika
politisi yang didukungnya mengubah pendapatnya mengenai
suatu isu maka ia akan menilai politisi tersebut sebagi politisi
yang bersikap fleksibel, akan tetapi jika hal tersebut terjadi
pada politisi yang tidak disukainya, maka ia akan menilai
politisi tersebut tidak mempunyai pendirian atau plin plan.
Jadi teori disonansi dan proses selektif ini menunjukkan
bahwa pada dasarnya orang berupaya membatasi efek media
massa dengan cara menyaring isi media yang diterimanya,
sehingga isi media tidak mengakibatkan perubahan sikap yang
signifikan pada diri individu.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam
konteksnya. Perilaku manusia bukan sekedar respon pada
stimulus, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya
secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang
mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat. Ruang hayat terdiri
dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang
disadarinya, dan kesadaran diri.
Dalam teori komunikasi, teori disonansi menyatakan
bahwa orang akan mencari informasi yang mengurangi disonansi
(tidak nyaman), dan menghindari infornasi yang menambah
disonansi. Bila ia terpaksa juga dikenai informasi yang disonan
dengan keyakinannya maka ia akan menolak informasi itu,
meragukan sumbernya, mencari informasi yang konsonan
(sesuai/nyaman), atau mengubah sikap sama sekali.
Walaupun psikologi kognitif sering dikritik karena
konsep-konsepnya sukar diuji, psikologi kognitif telah
memasukkan kembali "jiwa" manusia yang menurut paham
behaviorisme tidak diakui keberadaannya. Manusia kini hidup
dan mulai berpikir. Tetapi manusia bukan sekedar makhluk yang
berpikir, ia juga berusaha menemukan identitas dirinya dan
mencapai apa yang menjadi harapannya.
123
Kritik terhadap teori psikologi kognitif datang dari
pemahaman bahwa manusia adalah pengolah informasi. Dalam
konsepsi ini, manusia bergeser dari orang yang suka mencari
pembenaran/justifikasi atau membela diri menjadi orang yang
secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang
sebagai produk strategi pengolah informasi yang rasional, yang
mengarahkan penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan
informasi (Riswandi:2013:35-36).
4. Konsepsi manusia menurut Psikologi Humanistik
Psikologi humanistic dianggap sebagai revolusi ketiga
dalam psikologi, sedangka revolusi pertama dan kedua adalah
psikoanalisis dan behavioralisme.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran
psikologi humanistik. Humanistik adalah aliran dalam psikologi
yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadap behaviorisme
dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit memberikan
perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks
manusia dalam pengembangan teori psikologis. Permasalahan ini
dirangkum dalam lima postulat psikologi humanistik dari James
Bugental (1964), sebagai berikut:
a. Manusia tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen.
b. Manusia memiliki konteks yang unik di dalam dirinya.
c. Kesadaran manusia menyertakan kesadaran akan diri dalam
konteks orang lain.
d. Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan tanggungjawab.
e. Manusia bersifat intensional, mereka mencari makna, nilai,
dan memiliki kreativitas.
Pendekatan humanistik ini mempunyai akar pada
pemikiran eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya seperti
Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre.
Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk
memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang
sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang
Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow,
manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau
hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis)
124
sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki
kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kebutuhan fisiologis.
b. Kebutuhan akan rasa aman.
c. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi.
d. Kebutuhan untuk dihargai.
e. Kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Psikologi humanistik mengambil banyak dari
psikoanalisis Neofreudian seperti Adler, dan Jong, serta banyak
mengambil pemikiran dari fenomenologi dan eksistensialisme.
Fenomenologi memandang manusia hidup dalam "dunia
kehidupan" yang diinterpretasikan secara subjektif. Setiap orang
mengalami dunia dengan caranya sendiri. Alam setiap orang
berbeda dari alam pengalaman orang lain.
Menurut Alfred Schultz, tokoh fenomenologi,
pengalaman subjektif ini dipengaruhi oleh faktor sosial dalam
proses intersubjektivitas. Intersubjektivitas diungkapkan pada
eksistensial: tema dialog, pertemuan, dan hubungan diri dengan
orang lain. Eksistensialisme menekankan kepada kewajiban
individu terhadap sesama manusia. Yang paling penting bukan
apa yang didapat tetapi apa yang dapat diberikan untuk
kehidupan. Hidup baru bermakna apabila dengan nilai-nilai dan
pilihan yang konstruktif secara sosial.
Jadi, intisari dari psikologi humanisme adalah keunikan
manusia, pentingnya makna, dan kemampuan manusia untuk
mengembangkan dirinya.
Pandangan lain dari psikologi humanisme itu adalah :
a. Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat
pribadi di mana ia (Sang Aku, Ku, atau Diriku/I. Me, atau
Myself) menjadi pusat. Perilaku manusia berpusat pada
konsep diri, yaitu persepsi manusia tentang identitas dirinya
yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah, yang muncul dari
suatu medan fenomenal.
b. Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan,
dan mengaktualisasikan diri.
c. Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang
dirinya dan dunianya. Dengan perkataan lain, ia bereaksi
pada "realitas" seperti yang dipersepsikan olehnya dan
dengan cara yang sesuai dengan konsep dirinya.
125
d. Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh
pertahanan diri, berupa penyempitan dan pengkakuan
persepsi dan perilaku penyesuaian serta penggunaan
mekanisme pertahanan Ego seperti rasionalisasi.
e. Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan
keutuhan diri. Dalam kondisi yang normal ia berperilaku
secara rasional dan konstruktif, serta memilih jalan menuju
pengembangan dan aktualisasi diri (Riswandi:2013:37-38).
Hasil pemikiran dari pemikiran psikologi humanistik
banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi,
salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers
dengan client centered therapy, yang memfokuskan pada
kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami
perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus,
saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu
individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers
menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas
permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya
membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut
Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor
bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau
pemberian bantuan kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling
dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya
bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan
pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan
humanistik berusaha mengembangkan individu secara
keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek
emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarir
menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.
Dari sisi metode keilmuannya (epistemologi), teori-teori
humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode
penelitian kualitatif yang menitikberatkan pada pengalaman
hidup manusia secara nyata/persepsi (verstehen). Kalangan
humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental
dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif
sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan
kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan
126
metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari
tentang psikologi (Riswandi:2013:38).
Berikut ini tabel ringkasan dari empat teori psikologi di
atas:
Tabel 3. Ringkasan Empat Teori Psikologi (Rakhmat:2011:19)
TokohKontribusi pada
Teori
Konsepsi
tokohnya
tentang Manusia
Psikologi Sosial
Perkembangan
Psikoana lisis Homo Volens
Freud, Jung,
(Manusia
Adler, Abraham, kepribadian
berkeinginan)
Homey, bion
Sosialisasi
Identifikasi agresi
Kebudayaan dan
Perilaku
Behavi
Homo Mechanicus Hull,Miler dan Konsep diri
(Manusia mesin) Dollard, Rotter, Eksperimen
orisme
Sklinner,
Sosialisasi
Bandura
Kontrol Sosial
Ganjaran dan
Hukuman
Kognitif
Humanisme
Lewin, Heider, Sikap Bahasa
Festinger,
dan berpikir
Piaget, Kohiberg Dinamika
Kelompok
Propaganda
Persepsi
Interpersonal
Homo Ludens
Rogers, Combs Konsep Diri
(Manusia bermain) dan Snygg,
Transaksi
Maslow, May
Interpersonal
Satir, Peris
Masyarakat dan
Invididu
Homo Sapiens
(Manusia ber
pikir)
127
H. Sistem Komunikasi Intrapersonal
Sistem komunikasi intrapersonal menguraikan bagaimana orang
menerima
informasi,
mengolahnya,
menyimpannya,
dan
menghasilkannya kembali. Pengolahan informasi disebut komunikasi
intrapersonal, meliputi sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Sensasi
adalah proses menangkap stimulus. Persepsi adalah proses memberi
makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru.
Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori
adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali.
Berpikir adalah mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi
kebutuhan atau memberikan respons (Rakhmat:2011:48).
1. Sensasi
Tahap paling awal dalam penerimaan informasi ialah
sensasi. Sensasi berasal dari kata "sense", artinya alat
penginderaan, yang menghubungkan organisme dengan
lingkungannya. Bila alat-alat ini mengubah informasi menjadi
impuls-impuls saraf dengan bahasa yang dipahami (komputer)
otak maka terjadilah proses sensasi (Coon:1977:79).
Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang
tidak memerlukan penguraian verbal, simbolik atau konseptual,
dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera
(Wolman:1973:3443).
Apapun definisi sensasi, fungsi alat indera dalam
menerima formasi dari lingkungan sangat penting. Melalui alat
indera, manusia dapat memahami kualitas fisik lingkungannya.
Lebih dari itu, melalui alat indera, manusia memperoleh
pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan
dunianya (Lefrancois:1974:39).
Filsuf John Locke beranggapan bahwa the nothing in the
mind except what was first in the senses (tidak ada apapun dalam
jiwa manusia kecuali harus lebih dulu lewat alat inderanya).
Berkeley beranggapan bahwa andaikan manusia tidak
mempunyai alat indera, dunia tidak akan ada. Ia tidak tahu ada
harum pakaian yang baru disemprot brut, bila tidak ada indera
pencium. Sentuhan lembut istrinya tidak akan disadari, kalau
indera perabanya sudah mati. Lalu ia tidak mendengarkan ada
yang membisikkan ucapan kasih di telinganna, tidak melihat
128
senyuman manis yang dialamatkan kepadanna. Dunianya tidak
teraba, terdengar, tercium, terlihat, artinya tidak ada sama sekali.
Setiap manusia memiliki lima alat indera atau
pancaindera. Psikologi menyebut sembilan (bahkan ada yang
menyebut sebelas) alat indera: penglihatan, pendengaran,
kinestesis, vestibular, perabaan, temperatur, rasa sakit, perasa,
dan penciuman. Kesembilan pancaindera di atas dapat
dikelompokkan pada tiga macam indera penerima, sesuai sumber
informasi. Sumber informasi bisa berasal dari dunia luar
(eksternal) atau dari dalam diri individu sendiri (internal).
Informasi dari luar diinderai oleh eksteroseptor (misalnya telinga
atau mata). Informasi dari dalam diindera oleh interoseptor
(misalnya sistem peredaran darah). Selain itu, gerakan tubuh
sendiri diindera oleh proprioseptor (misalnya organ vestibular).
Sesuatu yang menyentuh alat indera dari dalam atau dari
luar disebut stimulus. Pada saat seseorang sedang membaca
tulisan ini (stimulus eksternal), dan pikirannya sedang diganggu
oleh perjanjian utang yang habis waktu hari ini (stimulus
internal) maka ia menerima dua macam stimulus sekaligus. Alat
penerimanya segera mengubah stimulus ini menjadi energi saraf
untuk disampaikan ke otak melalui proses transduksi. Agar dapat
diterima pada alat indera, stimulus harus cukup kuat. Batas
minimal intensitas stimulus disebut ambang mutlak (absolute
threshold). Mata, misalnya, hanya dapat menangkap stimulus
yang mempunyai panjang gelombang cahaya antara 380 sampai
780 nanometer. Telinga manusia hanya dapat mendeteksi
frekuensi gelombang suara yang berkisar antara 20 sampai
20.000 hertz. Manusia akan sanggup menerima temperatur 10°C
sampai 45°C. Di bawah 10°C ia akan menggigil dengan perasaan
dingin yang mencekam. Di atas 48°C, ia akan meringis
kepanasan.
Ketajaman sensasi ditentukan oleh faktor-faktor personal.
Pada tahun 1930-an, beberapa orang peneliti menemukan bahwa
phenylthiocarbomide (ptc) yang terasa pahit bagi sebagian orang,
tidak pahit bagi yang lain. "We live in different taste worlds",
kata Blakesley, salah seorang di antara peneliti tersebut.
Sebetulnya, bukan hal yang aneh kalau banyak orang mengetahui
bahwa masakan Padang yang sangat pedas bagi orang Jawa,
ternyata biasa-biasa saja bagi orang Sumatera Barat. Perbedaan
129
sensasi, dengan begitu, dapat disebabkan oleh pengalaman atau
lingkungan budaya, di samping kapasitas alat indera yang
berbeda. Sebagaimana kacamata menunjukkan berbagai ukuran,
seperti itu pula alat indera yang lain (walaupun tidak ada kaca
lidah, kaca kulit, atau kaca kuping).
Perbedaan kapasitas alat indera menyebabkan perbedaan
dalam memilih pekerjaan atau jodoh, mendengarkan musik, atau
memutar radio. Yang jelas sekali, sensasi mempengaruhi persepsi
(Rakhmat:2011:48-50).
2. Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa,
atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan
makna pada stimulus inderawi (sensory stimuli). Hubungan
sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari
persepsi. Walaupun begitu menafsirkan makna informasi
inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi,
ekspektasi,
motivasi,
dan
memori
(Desiderato
dan
Jackson:1976:129).
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah
sebagai berikut:
a. Perhatian (attention)
Perhatian (attention) merupakan salah satu dari
sekian banyak gejala psikologis pada diri manusia. Dalam
perhatian terjadi aktivitas jiwa yang melibatkan otak dan
indera. Adapun beberapa definisi perhatian yang
diungkapkan oleh para ahli, sebagai berikut:
1) Menurut Jalaludin Rahmat, perhatian adalah proses
mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi
menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya
melemah.
Perhatian
terjadi
bila
seseorang
mengkonsentrasikan dirinya pada salah satu alat indera
dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat
indera yang lain (Rakhmat:2011:51).
2) Menurut Kenneth E. Andersen, perhatian adalah proses
mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi
menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya
melemah (Andersen:1972:46).
130
3) Menurut Sardjoe, perhatian adalah suatu reaksi dari
organisme dan kesadaran, yang menyebabkan
bertambahnya aktivitas dalam konsentrasi, dan
pembatasan
kesadaran
terhadap
satu
obyek
(Sardjoe:1994:217).
4) Menurut Ardhana, perhatian adalah suatu proses
pemusatan unsur-unsur pengalaman dan mengabaikan
yang lainnya. Kejelasan pengalaman secara relatif
tergantung pada intensitas proses perhatian (Ardhana dan
Sudarsono:1963:74).
5) Menurut Bimo Walgito, perhatian adalah pemusatan atau
konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan
kepada
sesuatu
atau
sekumpulan
objek
(Walgito:1981:56).
6) Menurut Kartini Kartono, perhatian adalah suatu reaksi
dari organisme dan kesadaran yang menyebabkan
bertambahnya aktivitas, daya konsentrasi, dan
pembatasan
kesadaran
terhadap
suatu
obyek
(Kartono:1996:111).
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa perhatian adalah salah satu faktor psikologis yang
mempunyai sifat-sifat menonjol, baik dari dalam maupun
dari luar individu yang dapat membantu interaksi belajar
mengajar yang memerankan aktivitas, konsentrasi, dan
kesadaran. Faktor yang berasal dari dalam adalah faktor
biologis, sosial, kebiasaan, konsentrasi, kesadaran, stimulus
serta kemauan, sedangkan faktor yang berasal dari luar
adalah gerakan dan lingkungan.
a. Faktor Eksternal Penarik Perhatian
Stimulus diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat
yang menonjol, antara lain gerakan, intensitas stimulus,
kebaruan, dan perulangan. Perulangan mengandung unsur
sugesti. Emil Dofivat (1968), tokoh aliran publisistik
Jerman, menyebut perulangan sebagai satu di antara tiga
prinsip penting dalam menaklukkan massa.
Dofivat menyebut tiga prinsip dalam menggerakkan
massa (die Grundgesetze der Masssenfuhgung):
131
1) Die
Geistige
Vereinfachung:
tema-tema
yang
disampaikan harus disajikan dengan bahasa yang
sederhana dan jelas.
2) Die hammernde Weiderhoulung: gagasan yang sama
diulang berkali-kali dengan cara penyajian yang mungkin
beraneka ragam. Dofivat mengutip Al dous Huxley
dalam brave New World bahwa kebenaran adalah
kebohongan dikalikan dengan 62.000.
3) Die gefuhlmassige stigerung: penggunaan emosi secara
intensif. Emosi itu antara lain kebencian, rasa belas
kasihan, perasaan bersalah, dan keinginan menonjol
(Dofivat:1968:114-164).
b. Faktor Internal Penarik Perhatian
Apa yang menjadi perhatian seseorang lolos dari
perhatian orang lain, atau sebaliknya. Ada kecenderungan
seseorang melihat apa yang ingin ia lihat, dan mendengar apa
yang ingin ia dengar. Perbedaan ini timbul dari faktor-faktor
yang ada dalam dirinya. Contoh-contoh faktor yang
memengaruhi perhatian adalah:
1) Faktor-faktor Biologis
Dalam keadaan lapar, seluruh pikiran didominasi
oleh makanan. Oleh karena itu, bagi orang lapar, yang
paling menarik perhatiannya adalah makanan. Orang
yang kenyang akan menaruh perhatian pada hal-hal yang
lain. Anak muda yang baru saja menonton film porno,
akan cepat melihat stimulus seksual di sekitarnya
(Rakhmat:2011:53).
2) Faktor-faktor Sosiopsikologis
Berikan sebuah foto yang menggambarkan
kerumunan orang banyak di sebuah jalan sempit.
Tanyakan apa yang mereka lihat. Setiap orang akan
melaporkan hal yang berbeda. Namun, seorangpun tidak
dapat melaporkan berapa orang yang terdapat dalam
gambar itu, kecuali sebelum melihat foto mereka
memperoleh pertanyaan itu.
132
3) Motif Sosiogenis, Sikap, Kebiasaan, dan Kemauan
Dalam perjalanan naik gunung, geolog akan
memperhatikan
bebatuan,
ahli
botani
akan
memperhatikan bebungaan, ahli zoologi akan
memperhatikan binatang, seniman akan memperhatikan
warna dan bentuk, orang yang bercinta akan
memperhatikan fenomena keindahan alam yang
dipadukan dengan keindahan cinta kasih mereka
(Lefrancois:1974:56).
Kenneth E. Andersen menyimpulkan dalil-dalil
tentang perhatian selektif yang harus diperhatikan oleh ahliahli komunikasi:
1) Perhatian itu merupakan proses yang harus aktif dan
dinamis, bukan pasif dan refleksif.
2) Cenderung memperhatikan hal-hal tertentu yang penting,
menonjol, atau melibatkan diri.
3) Seseorang menaruh perhatian pada hal-hal tertentu.
4) Kebiasaan sangat penting dalam menentukan apa yang
menarik perhatian, tetapi juga apa yang secara potensial
akan menarik perhatian.
5) Dalam situasi tertentu, seseorang secara sengaja
menstrukturkan perilakunya untuk menghindari terpaan
stimulus tertentu yang ingin diabaikannya.
6) Kadang-kadang konsentrasi yang sangat kuat mendistorsi
persepsi.
7) Perhatian tergantung kepada kesiapan mental.
8) Tenaga-tenaga motivasional sangat penting dalam
menentukan perhatian dan persepsi.
9) Intensitas perhatian tidak konstan.
10) Dalam hal stimulus yang menerima perhatian, perhatian
juga tidak konstan.
11) Usaha untuk mencurahkan perhatian sering tidak
menguntungkan karena usaha itu sering menuntut
perhatian. Pada akhirnya, perhatian terhadap stimulus
mungkin akan berhenti.
12) Seseorang mampu menaruh perhatian pada berbagai
stimulus secara serentak.
13) Perubahan atau variasi sangat penting dalam menarik dan
mempertahankan perhatian (Andersen:1972:51-52).
133
c. Faktor-faktor Fungsional
Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk
stimulus, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons
pada stimulus. Nilai sosial satu objek bergantung pada
kelompok sosial orang yang menilai. Krench dan Crutchfield
merumuskan dalil persepsi yang pertama, yaitu persepsi
bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa
objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya
objek-objek yang mempengaruhi tujuan individu yang
melakukan persepsi (Rakhmat:2011:54-55).
Kerangka rujukan (frame of reference) atau faktorfaktor fungsional yang mempengaruhi persepsi adalah:
1) Mula-mula konsep ini berasal dari penelitian psikofisik
yang berkaitan dengan objek. Para psikolog sosial
menerapkan konsep ini untuk menjelaskan persepsi
sosial. Dalam eksperimen psikofisik, Wever dan Zener
menunjukkan bahwa penilaian terhadap objek dalam hal
beratnya bergatung pada rangkaian objek yang dinilainya
(Rakhmat:2011:56-57).
2) Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan
mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada
pesan yang diterimanya (Rakhmat:2011:57).
3) Para psikolog menganggap konsep kerangka rujukan ini
amat berguna untuk menganalisis interpretasi perseptual
dari peristiwa yang dialami (McDavid dan
Harari:1968:140).
d. Faktor-faktor Struktural
Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari
sifat stimulus fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya
pada sistem saraf individu. Para psikolog Gestalt seperti
Kohler, Wartheimer, dan Koffka, merumuskan prinsipprinsip persepsi yang bersifat struktural. Prinsip-prinsip itu
kemudian dikenal dengan teori Gestalt (Rakhmat:2011:57).
Menurut teori Gestalt, bila seseorang mempersepsi
sesuatu, ia mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Ia
tidak melihat bagian-bagiannya, lalu menghimpunnya.
Menurut Kohler, jika ia ingin memahami suatu peristiwa, ia
tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah dan harus
134
memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Untuk
memahami sesorang, ia harus dilihat dalam konteksnya,
dalam lingkungannya, dan dalam masalah yang dihadapinya
(Menicke:1957:79).
Dari prinsip ini, Krech dan Crutchfield melahirkan
dalil persepsi yang kedua, yaitu medan perseptual dan
kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Stimulus
diorganisasikan dengan melihat konteksnya. Walaupun
stimulus yang diterima itu tidak lengkap, tetep harus diisi
dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian
stimulus yang dipersepsi.
Dalam hubungan dengan konteks, Krech dan
Crutchfield menyebutkan dalil persepsi yang ketiga, yaitu
sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan
pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan.
Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota
kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat
kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya,
dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras.
Karena manusia selalu memandang stimulus dalam
konteksnya, dalam strukturnya ia pun akan mencoba mencari
struktur pada rangkaian stimulus. Struktur ini diperoleh
dengan cara mengelompokkan berdasarkan kedekatan atau
persamaan. Prinsip kedekatan menyatakan bahwa stimulus
yang berdekatan satu sama lain akan dianggap satu
kelompok.
Dari prinsip ini, Krech dan Crutchfield menyebutkan
dalil persepsi yang keempat, yaitu objek atau peristiwa yang
berdekatan dalam dan waktu atau menyerupai satu sama lain,
cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama.
Dalil ini umumnya betul-betul bersifat struktural dalam
mengelompokkan objek-objek fisik, misalnya titik, garis,
atau balok.
Gestalt memiliki prinsip yang disebut principles of
similarity. Kebudayaan juga berperan dalam melihat
kesamaan. Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan
sering dipakai oleh komunikator untuk meningkatkan
kredibilitasnya.
Ia
menghubungkan
dirinya
atau
mengakrabkan dirinya dengan orang-orang yang mempunyai
135
prestise
tinggi,
maka
terjadilah
sebutan gilt
by
association (cemerlang kerena hubungan) atau guilt by
association (bersalah karena hubungan).
Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu
menyebabkan stimulus ditanggap sebagai bagian dari struktur
yang sama. Menurut Krech dan Crutchfield, kecenderungan
untuk mengelompokkan stimulus berdasarkan kesamaan dan
kedekatan adalah hal yang universal (Rakhmat:2011:57-61).
3. Memori
Dalam komunikasi intrapersonal, memori memegang
peranan penting dalam mempengaruhi persepsi (dengan
menyediakan kerangka rujukan) dan berpikir (yang akan
diuraikan). Mempelajari memori membawa seseorang kepada
psikologi kognitif, terutama sekali, pada model manusia sebagai
pengolah informasi. Robert T. Craig (1979) meminta ahli
komunikasi agar mendalami psikologi kognitif dalam upaya
menemukan cara-cara baru dalam menganalisis pesan dan
pengolahan pesan. Sumbangan paling besar dari psikologi
kognitif adalah menyingkap tabir memori (Rakhmat:2011:61).
Memori adalah sistem yang sangat terstruktur, yang
menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia
dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing
perilakunya (Schlesinger dan Groves:1976:352).
Setiap saat stimulus mengenai indera seseorang, setiap
saat pula stimulus itu direkam secara sadar atau tidak sadar. John
Griffith, ahli matematika, menyebutkan seratus triliun bit. John
von Neumann, ahli teori informasi, menghitungnya sampai 2.8 x
1020 (280 kuintiliun) bit. Asimov menerangkan bahwa otak
manusia selama hidupnya sanggup menyimpan sampai satu
kuidriliun bit informasi.
Wilden Penfield, ahli bedah syaraf, pernah melaporkan
rangsangan dengan jarum elektris pada bagian-bagian otak
tertentu dapat menghadirkan kembali rekaman ini, persis seperti
memainkan rekaman video.
Seorang wanita berumur 26 tahun mengalami bedah otak
karena epilepsi. Karena hanya digunakan anestesia lokal, pasien
masih dalam keadaan sadar. Dokter bedah merangsang daerahdaerah tertentu dan menimbulkan rekaman peristiwa. Elektroda
136
diletakkan pada lokasi 11 pada otaknya, dan pasien berkata, "Ya,
tuan, saya mendengar seorang ibu memanggil anaknya di suatu
tempat. Tampaknya terjadi bertahun-tahun yang lampau;
seseorang yang tinggal bertetangga dengan saya." Elektroda
digerakkan pada lokasi nomor 13, dan pasien berteriak, "Saya
mendengar suara. Jauh malam, di sekitar tempat pesta seperti ada
sirkus .... Saya melihat banyak gerobak yang digunakan untuk
menyimpan binatang." Elektroda diletakkan lagi pada lokasi
nomor 11, dan pasien berkata lagi, "Ya, saya dengar suara yang
saya kenal, seorang wanita seperti sedang memanggil, wanita
yang sama". Pada peristiwa ini, memori diungkap kembali, begitu
hidup,
seakan-akan
si
pasien
mengalaminya
lagi
(Rakhmat:2011:61-62).
Secara singkat, memori melewati tiga proses: perekaman,
penyimpanan, dan pemanggilan. Perekaman (encoding) adalah
pencatat informasi melalui reseptor indera dan sirkit saraf
internal. Penyimpanan (storage) adalah menentukan berapa lama
informasi itu berada, dalam bentuk apa, dan di mana.
Penyimpanan bisa aktif atau pasif. Seseorang menyimpan secara
aktif, bila ia menambahkan informasi tambahan. Ia mengisi
informasi yang tidak lengkap dengan kesimpulannya sendiri
(inilah yang menyebabk desas-desus menyebar lebih banyak dari
volume yang asal). Mungkin secara pasif terjadi tanpa
penambahan. Pemanggilan (retrieval) dalam bahasa sehari-hari
adalah mengingat lagi, menggunakan inform yang disimpan
(Mussen dan Rosenweig:1973:499).
4. Berpikir
Berpikir melibatkan semua proses yang disebut dengan
sensasi, persepsi, dan memori (Rakhmat:2011:66).
Menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig, berpikir
menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan
konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa
(Mussen dan Rosenweig:1973:410).
Menurut Hannah Arendt dalam karya terakhirnya
Thinking: Thought without Speech is Inconceivable, manusia
berpikir menggunakan bahasa atau lambang-lambang verbal.
Menurut Roger N. Shepard, psikolog dari Stanford University,
manusia bisa berpikir tanpa menggunakan bahasa atau lambang-
137
lambang verbal. Faraday, Galton, Einstein, dan beberapa
ilmuwan lain yang terkenal, melaporkan bahwa mereka
memecahkan masalah-masalah ilmiah dengan citra visual, dan
baru kemudian menerjemahkan pikiran mereka ke dalam katakata (Rakhmat:2011:67).
Berpikir melibatkan penggunaan lambang, visual atau
gratis. Berpikir dilakukan untuk memahami realitas dalam rangka
mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan
(problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity).
Memahami realitas berarti menarik kesimpulan, meneliti
berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan
internal. Sehingga dengan singkat, Anita Taylor dan kawankawan mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan
kesimpulan (thinking is a inferring process) (Taylor, et
al.:1977:55).
138
BAB IV
KEPERCAYAAN DALAM
KOMUNIKASI POLITIK:
TINJAUAN PSIKOLOGI
KOMUNIKASI
A. Kepercayaan dalam Psikologi Komunikasi
1. Pengertian Kepercayaan dalam Psikologi Komunikasi
Komunikasi dimulai dari sensasi, yaitu proses
penginderaan yang menghubungkan organisme dengan
lingkungannya. Dari sensasi timbullah persepsi yang memberikan
makna pada stimulus inderawi.
Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran
(interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan
penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Hal ini
jelas tampak pada definisi persepsi, yaitu cara organisme
memberi makna (Wenburg dan Wilmot:1973:113).
Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi
tidak akurat, tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan efektif.
Persepsilah yang menentukan seseorang untuk memilih suatu
pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat
kesamaan persepsi antarindividu maka semakin mudah dan
semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai
konsekwensinya semakin cenderung membentuk kelompok
budaya atau kelompok identitas (Mulyana:2001:167-168).
Demikian juga dengan kepercayaan dalam komunikasi
politik. Kepercayaan timbul pertama kali dari persepsi dengan
melihat fenomena politik. Dari hasil persepsi timbullah
139
interpretasi yang merupakan inti persepsi. Interpretasi tersebut
menghasilkan percaya atau tidak percaya.
Dari persepsi timbullah kognisi atau pengetahuan yang
disimpan dalam memori. Memori adalah sistem yang sangat
terstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam
fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk
membimbing perilakunya (Schlesinger dan Groves:1976:352).
Setelah interpretasi tersebut menghasilkan percaya atau
tidak percaya, maka memori menyimpan data percaya atau tidak
percaya tadi. Dari kognisi dalam memori tadi timbullah tindakan
(konasi) setelah melalui proses berpikir. Tindakan tersebut
berupa hasil dari sikap percaya atau tidak percaya.
Secara ilmiah, percaya adalah mengandalkan perilaku
orang untuk mencapai tujuan yang dihendaki, yang
pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh risiko
(Giffin:1967:224-234).
Definisi percaya di atas menyebutkan tiga unsur percaya:
a. Ada situasi yang menimbulkan risiko. Bila orang menaruh
kepercayaan kepada seseorang, ia akan menghadapi risiko itu
dapat berupa kerugian yang dialami. Bila tidak ada risiko,
percaya tidak diperlukan.
b. Orang yang menaruh kepercayaan kepada orang lain berarti
menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku
orang lain.
c. Orang yang yakin bahwa perilaku orang lain akan berakibat
baik baginya. Why Am I Afraid to Tell You Who I Am adalah
judul buku yang ditulis oleh John Powell untuk melukiskan
orang-orang yang berusaha menyembunyikan perasaan dan
pikirannya pada orang lain (Rakhmat:2011:130).
Dari segi psikologi, dikatakan bahwa tingkah laku
seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh
sebab itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai
dengan mengubah persepsinya. Dalam persepsi terdapat tiga
komponen utama berikut:
a. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indra terhadap
rangsangan dari luar. Intensitas dan jenisnya dapat banyak
atau sedikit.
b. Interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi
sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi
140
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengalaman masa
lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi kepribadian, dan
kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan
seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang
diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang
kompleks menjadi sederhana.
c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam
bentuk tingkah laku sebagai reaksi (Sobur:2013:467).
Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor
sosiopsikologis. Kepercayaan di sini tidak ada hubungannya
dengan hal-hal yang gaib, tetapi hanyalah keyakinan bahwa
sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas,
pengalaman, atau intuisi. Jadi, kepercayaan dapat bersifat
rasional atau irrasional. Contohnya, seseorang percaya bahwa
bumi itu bulat, bahwa rokok itu penyebab kanker, atau bahwa
kemiskinan itu karena kemalasan. Kepercayaan memberikan
perspektif pada manusia dalam mempersepsi kenyataan,
memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan
sikap terhadap objek sikap. Bila orang percaya bahwa cacar
disebabkan oleh makhluk halus, sikapnya terhadap vaksinasi
akan negatif, dan ia cenderung menolak pengobatan secara
medis. Bila orang percaya bahwa anak mendatangkan rezeki,
kampanye KB tidak akan menghasilkan apapun sebelum orang
itu memperoleh kepercayaan yang baru (Rakhmat:2011:41).
2. Faktor terbentuknya Kepercayaan
Menurut Solomon E. Asch, kepercayaan dibentuk oleh
pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan. Pengetahuan
berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki seseorang.
Banyak kepercayaan didasarkan pada pengetahuan yang tidak
lengkap. Orang percaya bahwa seluruh pemuda di Amerika
bergaul bebas, berdasarkan apa yang mereka lihat dalam film
atau mereka baca dalam surat kabar dan majalah. Banyak orang
Amerika yang menduga bahwa peristiwa besar di negara-negara
terbelakang hanyalah banjir, bencana alam, kelaparan, atau
kudeta. Seorang Indonesia yang belajar di Amerika Serikat
merasa heran ketika kawannya meragukan bahwa di Indonesia
orang makan di atas kursi (Rakhmat:2011:41-42).
141
Membangun kepercayaan pada orang lain bukanlah
merupakan hal yang mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan
kemampuan orang lain untuk percaya dan dalam mengambil
resiko. Faktor yang mempengaruhi kepercayaan individu dalam
mengembangkan harapannya mengenai bagaimana seseorang
dapat percaya kepada orang lain, bergantung pada faktor-faktor
di bawah ini:
a. Predisposisi kepribadian
Setiap individu memiliki predisposisi yang berbeda
untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat
predisposisi individu terhadap kepercayaan maka semakin
besar pula harapan untuk dapat mempercayai orang lain.
b. Reputasi dan Stereotype
Meskipun individu tidak memiliki pengalaman
langsung dengan orang lain, harapan individu dapat terbentuk
melalui apa yang dipelajari dari teman ataupun dari apa yang
telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk
harapan yang kuat yang membawa individu untuk melihat
elemen untuk percaya atau tidak percaya serta membawa
pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya.
c. Pengalaman Aktual
Pada kebanyakan orang, individu membangun fase
dari pengalaman untuk berbicara, bekerja, berkoordinasi dan
berkomunikasi. Beberapa dari fase tersebut sangat kuat di
dalam
kepercayaan, dan sebagian kuat di dalam
ketidakpercayaan. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen
kepercayaan (trust) maupun ketidakpercayaan (distrust)
memulai
untuk
mendominasi
pengalaman,
untuk
menstabilkan dan secara mudah mendefinisikan sebuah
hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung
untuk menggeneralisasikan sebuah hubungan dan
menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya
kepercayaan atau ketidakpercayaan.
d. Orientasi psikologis
Individu
membangun
hubungan sosial berdasarkan
142
dan
mempertahankan
orientasi psikologisnya.
Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan
sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten,
maka individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan
jiwa mereka. Membangun kepercayaan pada orang orang lain
merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada
perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk percaya dan
mengambil resiko (Muttaqien:2016:5-6).
3. Dinamika Kepercayaan
Hubungan interpersonal bukan hanya berisi sekumpulan
kebiasaan. Di dalamnya terdapat suatu struktur, perilaku yang
stabil, memberi dan menerima, tuntutan dan komitmen. Dasar
untuk membangun suatu hubungan interpersonal yang baik
diperlukan rasa saling percaya (trust) antara satu dengan lainnya.
Kepercayaan merupakan suatu fenomena yang dinamis
yang terjadi secara intrinsik pada suatu keadaan yang alamiah, di
mana kepercayaan merupakan hal yang menyangkut masalah
mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks
sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil suatu
keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan
dari orang-orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang
kurang ia percaya.
Kepercayaan tidak hanya tergantung pada pengalaman
tetapi juga melibatkan hubungan dengan proses mental di mana
terdapat adanya aspek kognitif dan afektif di dalamnya. Hal ini
menjelaskan bahwa kepercayaan tidak hanya tergantung pada
pengalaman sebagai informasi yang diperoleh dari waktu ke
waktu, tetapi juga melibatkan respon emosi dan perasaan yang
berhubungan dengan pengalaman tersebut .
Untuk dapat percaya, seseorang akan mengharapkan
adanya sense of responsibility, percaya bahwa mereka akan
berperilaku pada cara-cara yang dapat dipercaya. Untuk dapat
percaya, seseorang akan berharap bahwa orang yang ingin ia
percaya akan mengerti harapannya dan mengetahui cara untuk
mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial
dari percaya adalah keterbukaan. Percaya merupakan suatu
kemungkinan yang subjektif dari seorang individu, yang
mengharapkan individu lain untuk menunjukkan suatu tindakan
tertentu. Segala kemungkinan yang terjadi tergantung pada
143
bagaimana perilaku yang ditunjukkan orang yang kita percayai
tersebut kepada kita, bagaimana mereka dapat memenuhi
perilaku yang kita harapkan.
Membangun kepercayaan diawali dengan menghargai
dan menerima kepercayaan (trust) tersebut, melibatkan rutinitas
sehari-hari dan latihan yang terus-menerus. Tanpa adanya
perilaku nyata, pemahaman dan penerimaan kita akan trust pun
tidak berarti apa-apa. Membangun trust berarti memikirkan suatu
kepercayaan (trust) dalam cara yang positif, membangun langkah
demi langkah, komitmen demi komitmen. Jika trust dianggap
sebagai sebuah bentuk resiko dan penuh ancaman, maka tidak
ada hal positif yang bisa kita dapatkan. Memang trust selalu
berdampingan dengan ketidakpastian, tapi kita harus berusaha
membuat diri kita sendiri untuk berpikir bahwa ketidakpastian
tersebut sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan, bukan
sebagai halangan.
Trust merupakan sesuatu hal yang penting bagi sebuah
hubungan karena di dalamnya terdapat kesempatan untuk
melakukan aktivitas yang kooperatif, pengetahuan, otonomi,
self-respect, dan nilai moral lainnya. Trust memiliki lima aspek
penting di dalamnya, yang mendasari suatu hubungan
intrapersonal yaitu openness (keterbukaan) ketika pasangan dapat
saling membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan
reaksi isu-isu yang terjadi, sharing (berbagi) di mana pasangan
menawarkan bantuan emosional dan material serta sumber daya
kepada pasangannya dengan tujuan untuk membantu mereka
menuju penyelesaian tugas, acceptance (penerimaan) ketika
adanya komunikasi penuh penghargaan terhadap pasangan,
support (dukungan) ketika berkomunikasi dengan orang lain
yang diketahui kemampuannya dan percaya bahwa dia
mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan, dalam hal ini seseorang
percaya bahwa pasangannya memiliki kemampuan dan
kapabilitas yang dibutuhkan dalam menjalankan hubungan
intrapersonal, dan yang terakhir adalah cooperative intention,
yaitu adanya pengharapan bahwa seseorang dapat bekerja sama
dan bahwa orang lain juga dapat bekerjasama untuk mencapai
pemenuhan tujuan, dan dalam hal ini pasangan percaya bahwa
pasangannya dapat bekerja sama dalam mencapai pemenuhan
tujuannya. Jadi, ketika kita dan pasangan sudah memenuhi
144
kelima aspek tersebut, maka kita dan pasangan telah memiliki
mutual trust satu dengan lainnya.
Terbentuknya trust terjadi dikarenakan adanya keyakinan
bahwa pasangan akan memberikan keuntungan, dan terbentuk
melalui sikap menerima, mendukung, sharing, dan kerjasama
pada diri seseorang Artinya bahwa trust merupakan suatu situasi
kita menerima pengaruh dari orang lain, dan kita percaya bahwa
orang lain akan memberikan keuntungan bagi kita. Supaya suatu
hubungan dapat berjalan dengan baik dan efektif, individu harus
membangun perasaan saling percaya (mutual trust).
Trust terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang
yang memberikan kepercayaan dan orang yang dipercayakan
tersebut. Interpersonal trust dibangun melalui adanya resiko
dan penerimaan dan dapat hancur karena adanya resiko dan tidak
adanya sikap penerimaan. Tanpa resiko maka trust tidak akan
terbentuk, dan hubungan tidak dapat maju dan berjalan. Ketika
seseorang mengambil resiko dengan terbuka (disclosing) dalam
membicarakan pemikiran-pemikirannya, informasi, kesimpulan,
perasaan dan reaksi pada suatu situasi dan pasangan akan
memberikan respon yang positif berupa penerimaan, support,
kooperatif dan membalas kita dengan menjadi terbuka
(disclosing) dalam membicarakan pemikiran, ide, dan perasaan
mereka, disitulah trust dapat terbentuk dan berkembang
(Muttaqien:2016:6-9).
4. Perubahan Kepercayaan
Kepercayaan (trust) merupakan sesuatu yang rapuh.
Trust dapat berubah dari waktu ke waktu, karena orang yang
terlibat di dalam trust tersebut juga pasti akan.mengalami
perubahan. Trust bukan suatu jaminan untuk tidak dapat berubah
karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk
trust.
Di dalam interaksi nyata, kita tidak akan pernah
mendapatkan situasi interaksi yang benar-benar sama dalam
suatu waktu, dengan begitu suatu keadaan tertentu bisa saja
mempengaruhi trust seseorang pada orang yang ia percayai.
Trust berubah bukan hanya karena adanya suatu
pengalaman tertentu. Belum tentu suatu pengalaman yang
menyenangkan akan meningkatkan trust dan sebaliknya, tetapi
juga dengan adanya modifikasi dari berbagai sumber trust
145
tersebut, misalnya pengalaman langsung di masa lalu, reputasi
trustee (bagaimana pengalaman dan opini orang lain
mempengaruhi kepercayaan trustier kepada trustee), perubahan
sikap dan perilaku dari orang yang kita percayai, keadaan
emosional
trustier, dan dengan adanya modifikasi dari
lingkungan yang menuntut seseorang untuk berperilaku tertentu.
Trust juga bisa berubah karena adanya suatu faktor sebab akibat
(causal attribution), kepercayaan seseorang kepada orang lain
akan bergantung pada bagaimana orang lain tersebut berperilaku
dan sebaliknya. Ada kalanya seseorang berada di dalam periode
distrust yang ekstrim. Seseorang yang kehilangan kemampuan
trust sering kali karena adanya suatu keadaan traumatis.
Hal tersebut terjadi karena adanya pengkhianatan dan
pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut. Trust
memang meliputi resiko dan konsekuensi dari resiko seringkali
membuat kita kecewa dan merasa gagal. Walaupun trust
merupakan. sesuatu yang bersifat bebas, trust juga melibatkan
resiko. Ada beberapa katagori dari kekecewaan tersebut, yang
pertama adalah kekecewaan karena sesuatu tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Ada kemungkinan besar bahwa sesuatu
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ini bukan berarti kesalahan
seseorang. Di sini, trust merupakan dirinya sendiri dan trust di
dalam perilaku nyata dan proses yang terhubung, menjadi sesuatu
yang krusial. Dan hal yang paling esensial dari bagian ini adalah
ketika orang tersebut tetap melanjutkan untuk percaya dengan
orang lain dan dapat berpikir bahwa ini merupakan sebuah
kebijaksanaan dan penerimaan kita setiap hari.
Katagori kekecewaan yang kedua adalah karena adanya
kesalahan. Terkadang hal ini disebabkan oleh sesuatu yang tidak
berjalan sebagaimana mestinya dan karena kesalahan dari
seseorang.Setelah berada di dalam periode distrust, beberapa
orang ada yang tidak dapat melupakan dan juga tidak dapat
memaafkan, tetapi tidak sedikit pula mereka tetap berubah dan
belajar untuk trust kembali kepada pasangannya. Reestablishing
trust adalah membangun kembali struktur-struktur baru,
memulihkan dan kembali melakukan rutinitas sehari-hari dan
membangun kembali hubungannya tersebut (Muttaqien:2016:910).
146
5. Membangun Kepercayaan dalam Komunikasi
Kepercayaan mutlak diperlukan agar suatu relasi tumbuh
dan berkembang. Kepercayaan meliputi unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Kita berada dalam suatu situasi di mana pilihan untuk
mempercayai orang lain dapat menimbulkan akibat-akibat
yang menguntungkan maupun merugikan bagi aneka
kebutuhan dan tujuan atau kepentingan kita. Jadi,
kepercayaan mengandung resiko.
b. Akibat-akibat yang menguntungkan atau yang merugikan
tersebut tergantung pada perilaku orang.
c. Penderitaan karena akibat yang merugikan akan lebih besar
dibandingkan manfaat karena akibat yang menguntungkan.
d. Kita punya cukup keyakinan kepada orang lain akan
bertingkah laku sedemikian rupa sehingga yang timbul
adalah akibat-akibat yang menguntungkan.
Untuk membangun sebuah relasi, dua orang harus saling
mempercayai. Saling percaya dibangun lewat resiko dan
peneguh, serta dihancurkan lewat resiko dan penolakan.
Kepercayaan tidak akan muncul tanpa resiko, dan relasi tidak
akan mengalami kemajuan tanpa kepercayaan.
Tiga macam tingkah laku yang bisa menurunkan
kepercayaan dalam suatu relasi, yaitu :
a. Menunjukkan penolakan, menolok-olok, atau melecehkan
pembukaaan diri orang lain
b. Tidak membalas pembukaan diri orang lain
c. Tidak mau mengungkapkan pikiran, perasaan, dan reaksi kita
terhadap orang lain, kendati ia telah menunjukkan
penerimaan, dukungan dan kerja sama.
Tingkat kepercayaaan dalam suatu relasi akan berubahubah dan berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kerelaan
masing-masing individu untuk mempercayai dan dipercayai dan
dapat dipercayai. Mempercayai artinya rela menghadapi resiko
menerima akibat-akibat yang menguntungkan atau merugikan
dengan menjadikan dirinya rentan dihadapan orang lain.
Tepatnya, kepercayaan meliputi pembukaan diri dan rela
menunjukkan penerimaan dan dukungan terhadap orang lain.
Dapat dipercaya adalah rela menghadapi orang lain yang
mengambil resiko dengan cara yang menunjukkan jaminan
147
bahwa orang lain tersebut akan menerima akibat-akibat yang
menguntungkan. Jadi, meliputi penerimaan atas kepercayaan
yang ditunjukkan oleh orang lain kepada kita.
Dibawah ini ada 11 bentuk kebiasaan yang dapat
meningkatkan tingkat kepercayaan dalam hubungan interaksi
anda :
a. Transparan. Jangan mencoba menyembunyikan sesuatu dari
orang lain. Jauhkan dari segala macam agenda/rencana
tersembunyi. Anda mungkin berpikir bahwa anda dapat
mengelabui mereka. Namun, perlu anda ketahui, kebanyakan
orang memiliki intuisi yang baik, dan meskipun mereka tidak
mengetahui persis apa sebetulnya rencana tersembunyi anda,
mereka setidaknya memiliki perasaan yang kurang enak
berada di dekat anda. Biasanya orang-orang yang mempunyai
rencana tersembunyi akan terlihat dari bahasa tubuhnya.
b. Tulus. Katakanlah sesuatu dengan jujur. Jangan coba-coba
untuk mengelabui orang lain dengan kata-kata anda, seperti
memberi pujian palsu atau pura-pura memberi dukungan.
Sekali lagi, orang-orang mempunyai semacam detektor.
Ketika seseorang mengetahui bahwa anda betul-betul tulus,
kepercayaan mereka akan meningkat kepada anda. Orangorang menyukai kebenaran.
c. Fokus pada menambah nilai. Dalam setiap hubungan,
fokuskan pada tindakan-tindakan yang menyentuh hati
seseorang. Bekerja keraslah untuk itu, karena ketika anda
berhasil memberi nilai tambah pada kehidupan seseorang,
mereka tidak hanya merasakan bahwa anda berada di
pihaknya, mereka juga akan memiliki dorongan untuk
melakukan hal yang sama kepada anda. Contohnya, dalam
hubungan bisnis adalah anda melakukan suatu hal lebih cepat
dari yang dijanjikan. Dalam hubungan pribadi adalah anda
fokus pada memenuhi keinginan pasangan anda daripada
keinginan anda sendiri.
d. Hadirlah dengan seluruh jiwa raga anda. Di mana saja anda
berbicara dengan seseorang, buatlah ia menjadi fokus utama.
Hadir dengan seluruh jiwa raga anda berarti anda
memberikan waktu yang berkualitas dan waktu yang
berkualitas akan membangun kepercayaan.
148
e. Perlakukanlah selalu orang dengan hormat. Ingatlah,
martabat orang lain sebagai manusia, mereka berhak
diperlakukan dengan hormat. Ketika orang-orang mengetahui
bahwa anda selalu memperlakukan mereka dengan hormat,
maka orang-orang pun akan menaruh banyak kepercayaan
pada anda.
f. Ambillah tanggungjawab. Lupakan mencari-cari alasan, dan
ambillah saja tanggungjawab yang diberikan pada anda, tidak
perlu banyak berpikir. Pembenaran dan membuat alasan
mungkin membantu anda dalam jangka pendek, namun untuk
jangka panjang, justru akan menurunkan tingkat kepercayaan
orang terhadap anda. Berani bertanggungjawab merupakan
karakter yang sulit ditemukan di mana kebanyakan orang
lebih sering menghindari konsekuensi negatif akibat
perbuatan mereka. Beranilah untuk membuat perbedaan
maka anda akan merebut kepercayaan dari orang lain.
g. Fokus pada umpan balik. Jangan hanya pasif menunggu
orang memberi umpan balik pada anda, namun anda harus
aktif memintanya. Kebanyakan orang takut untuk
memberikan umpan balik kepada anda, apalagi jika
mengandung hal negatif. Mintalah dengan tulus kepada
seseorang dan berilah respon yang baik, maka orang tersebut
akan rela untuk memberikan umpan balik kepada anda.
Terimalah semua umpan balik, baik yang positif maupun
negatif, dan sebisa mungkin rubahlah kebiasaan anda yang
kurang baik berdasarkan umpan balik tersebut.
h. Terimalah kritikan dengan baik. Belajarlah untuk mengatasi
kritik dengan rasa syukur. Dibanding anda bertahan
(defensive), pertimbangkan apa yang orang lain katakan,
mungkin ada benarnya. Menutup diri anda dari segala kritik
mempunyai dampak menutup segala komunikasi. Mungkin
kritik hanyalah sekedar luapan emosi dari kekesalan yang
mereka miliki pada anda. Kerelaan anda untuk tidak
mengambil sikap bertahan justru akan meningkatkan rasa
kepercayaan dalam hubungan anda dengan orang tersebut.
i. Berbudi bahasa yang baik. Berbudi bahasa yang baik harus
dapat anda pegang teguh. Hanya ucapkan kata-kata yang baik
kepada orang-orang, meskipun orang tersebut tidak berkata
baik kepada anda. Cepatlah meminta maaf ketika anda
149
mengetahui bahwa anda salah. Mengapa anda harus
melakukan ini? Pertama, bayangkan apa yang anda rasakan
jika orang-orang mendapatkan pengalaman yang baik
bersama anda. Kedua, bayangkan tingkah laku orang-orang
yang akan ikut terbawa menjadi lebih baik karena mereka
berada dekat terus dengan anda. Orang-orang akan menaruh
kepercayaan besar kepada anda.
j. Memegang janji. Janji adalah sesuatu yang memiliki dampak
yang sangat kuat. Tepatilah semua janji yang telah anda buat.
Buatlah kata-kata anda jauh lebih kuat dibanding kontrak
tertulis apapun, dan jangan sekali-kali membuat janji kosong.
Alhasil orang-orang akan menghargai anda dan menaruh
kepercayaan yang tinggi kepada anda.
k. Konsisten. Yang tidak kalah penting, konsistenlah dengan
perilaku-perilaku di atas. Jangan hanya sesekali saja anda
melakukannya. Konsistensi adalah kunci untuk menjaga
kepercayaan orang lain kepada anda.
Ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal
sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif
dalam komunikasi disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri.
Untuk menumbuhkan percaya diri, menumbuhkan konsep diri
yang sehat menjadi perlu.
Pembukaan diri atau self disclousure ialah
mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang
sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu
yang relevan, atau berguna untuk memahami tanggapan kita di
masa kini tersebut.
Ada lima manfaat pembukaan diri kepada dan bagi orang
lain, yakni:
a. Menjadi dasar hubungan yang sehat antara dua orang.
b. Membuat orang lain menyukai kita.
c. Membawa kecendrungan sifat kompeten, terbuka, ekstrovert,
adaptif, fleksibel, dan inteligen.
d. Mendasari komunikasi intim dengan diri sendiri dan orang
lain.
e. Membentuk sikap jujur, tulus, dan autentik.
Kemampuan memahami sudut pandangan orang lain
memang sangat penting agar kita dapat berkomunikasi secara
efekif. Salah satu yang sering menjadi penghambat dalam
150
membangun hubungan antarpribadi yang intim adalah kesulitan
mengkomunikasikan perasaan. Adapun untuk mengungkapkan
perasaan, ada dua cara yang bisa digunakan, yakni secara verbal
dan nonverbal. Mengungkapkan perasaan secara verbal ialah
dengan mengungkapkan kata-kata, baik secara langsung
mendeskripsikan perasaan yang kita alami maupun tidak,
sedangkan pengungkapan perasaan secara nonverbal ialah
dengan menggunakan bahasa isyarat, misalnya sorot mata, raut
muka, dan sebagainya.
Dalam upaya mempermudah dan melestarikan hubungan
kita dengan orang lain, kita harus biasa menerima diri
dan menerima orang lain. Menerima diri ialah memiliki
penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan tidak bersikap
sinis terhadap diri sendiri. Sedangkan saling mengkomunikasikan
penerimaan terhadap orang lain adalah sesuatu yang vital untuk
membangun pribadi yang erat yang akan melahirkan rasa aman
secara psikologis.
Ada lima cara untuk membuat kesimpulan tentang pantas
tidaknya kita diterima oleh orang lain, yakni:
a. Penerimaan pantulan. Misalnya jika orang lain menyukai kita
maka kita pun akan menyukainya.
b. Penerimaan diri dasar, yakni keyakinan diri kita diterima
secara instrinsik dan tanpa syarat.
c. Penerimaan diri bersyarat, yakni didasarkan pada seberapa
baik kita memenuhi tuntutan pihak di luar diri kita.
d. Evaluasi diri, yakni penilaian seberapa positif atribut yang
kita miliki dibandingkan atribut yang dimiliki orang lain.
e. Perbandingan antara yang riil dan ideal.
Keterampilan
yang
diperlukan
untuk
mengkomunikasikan penerimaan terhadap orang lain meliputi
dua hal, yakni mendengarkan dengan penuh seksama dan
menunjukkan kehangatan dan rasa suka atau senang
(Muttaqien:2016:10-16).
B. Kepercayaan dalam Komunikasi Politik
Kepercayaan publik merupakan tujuan utama komunikasi politik.
Kepercayaan dalam komunikasi politik berangkat dari kepercayaan
151
rakyat terhadap para pemimpin, yaitu bahwa rakyat percaya kepada
pemimpin mereka. Mereka percaya bahwa para pemimpin mampu
mewujudkan keamanan, ketertiban, dan kemakmuran dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Negara
Kertagama karya Mpu Tantular:
Ing Ngarso Sung Tulodo
Ing Madyo Mangun Karso
Tut Wuri Handayani
Toto Tentrem Kertoraharjo
Subur Tanwo Tinandur
Gemah Ripah Lohjinawi
Inilah gaya kepemimpinan yang efektif yang menimbulkan
kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Pemimpin dengan gaya ini
menyerahkan seluruh waktunya untuk rakyatnya.
Pemimpin yang dipercaya rakyat adalah pemimpin yang mana
rakyatnya bebas dari rasa takut, resah, gelisah, bahkan lapar. Kalau
sekiranya ada sebagian masyarakat yang memang tidak mampu lagi
mandiri karena berbagai sebab, maka tindakan Umar bin Khattab yang
mengambil, memanggul sendiri, dan menyerahkan gandum kepada janda
dan anak-anaknya yang kelaparan, menjadi contoh terbaik bagi seorang
pemimpin yang merakyat. Ketika beliau ditanya di dalam majlis kenapa
itu dilakukan sendiri, sambil beristighfar, beliau menjawab: “Mereka itu
rakyatku dan aku harus bertanggungjawab.”
Rakyat percaya kepada pemimpin yang jujur, tidak melakukan
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang senantiasa semaksimal
mungkin untuk kepentingan dan kemakmuran rakyatnya. Karena
dipercaya untuk mengurus penyelenggaraan negara, maka mereka harus
menjaga dan memastikan bahwa semua sumber daya yang ada digunakan
sepenuhnya untuk kepentingan bangsa.
Selain memberdayakan rakyatnya, pemimpin juga harus bersikap
wajar dalam kedudukannya, terlebih lagi dalam penggunaan fasilitas
negara. Menjadi pemimpin seharusnya sibuk dengan urusan
kemasyarakatan, bukannya malah memikirkan masa jabatan berikutnya
atau memikirkan strategi melakukan KKN, menghambat lawan
politiknya, dan lain-lain.
Pemimpin Indonesia banyak yang belum menganggap rakyat
sebagai subjek, tapi sebaliknya, objek KKN mereka. Karenanya mereka
seenaknya bertindak tanpa mengindahkan konsekwensi yang terjadi dan
meremehkan wawasan dan kebijaksaan rakyat. Mereka menganggap
152
rakyat tetap akan sabar dan tidak cukup pandai untuk mengetahui dan
mengikuti maksud sebuah kebijakan.
Oleh karena itu, sangat memprihatinkan kalau para pemimpin
Indonesia justru ingin dilayani dan minta bagian terlebih dahulu, malah
melakukan korupsi terencana, terstruktur, tersistem, dan membentuk
lingkaran setan, tanpa mau peduli dengan penderitaan dan amanat rakyat.
Mereka inilah pemimpin yang tidak dipercayai rakyat, yang merupakan
kebalikan dari pemimpin yang dipercayai dan dicintai rakyat seperti yang
telah dijelaskan diatas. Seharusnya mereka tahu bahwa tugas utama
pemimpin adalah mensejahterakan rakyatnya. Kalau ingin kaya jangan
menjadi pemimpin, meminjam istilah K.H. Ahmad Dahlan: “Hiduphidupkan Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah”
(Subiakto dan Ida:2014:40).
Kenyataannya, terutama setelah reformasi, banyak sekali pejabat
tersandung kasus KKN, terutama korupsi, sehingga harus berurusan
dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Contohnya baru-baru ini
adalah mantan Gubernur Sumatera Utara H. Gatot Pujo Nugroho, ST,
M.Si. Mas Gatot, demikian sapaan akrabnya, dikenal sebagai militan PKS
(Partai Keadilan Sejahtera), yang mana partai ini dikenal sebagai
partainya para ustadz dan alim ulama. Mas Gatot tersangka korupsi dana
Bansos (Bantuan Sosial), juga tersangka kasus-kasus korupsi yang lain.
Banyak petinggi PKS yang terlibat skandal korupsi, sehingga
kepercayaan rakyat kepada PKS nenurun tajam, terbukti dalam
Pemilukada dan pemilihan legislatif, di mana para pemilih PKS menurun
tajam. Ini disebabkan karena PKS itu katanya partai orang-orang alim dan
anti korupsi, sebagaimana yang tertulis di mobil-mobil PKS: Bersih,
Peduli, Profesional, tapi tindakan mereka sebaliknya, sehingga rakyat
bingung, siapa lagi yang bisa dipercaya?.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi
tangkap tangan di Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/7/2015) lalu. Dalam
operasi itu, tim satgas menangkap tiga hakim, satu panitera dan seorang
pengacara.
Mereka adalah, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Medan, Tripeni Irianto Putro (TIP), hakim Amir Fauzi (AF), hakim
Darmawan Ginting (DG) dan seorang panitera Syamsir Yusfan (SF) dan
seorang pengacara M Yagari Bhastara Guntur (Geri Baskara) yang
disebut-sebut berasal dari lawfirm OC Kaligis. Kelimanya resmi
ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap Bansos dan Bantuan
Daerah Bawahan (BDB) tahun anggaran 2012 dan 2013.
153
Dalam operasi tangkap tersebut ditemukan sejumlah uang 10 ribu
dollar AS dan 5 ribu dollar Singapura. Setelah merampungkan
pemeriksaan terhadap kelima orang tersebut. Maka penyidik KPK
menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus
tersebut, di mana penyidik memutuskan, pengacara Geri sebagai pihak
penyuap dan keempat orang sebagai pihak penerima suap.
Kemudian, pengacara kondang OC Kaligis ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan suap terhadap hakim di
Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Jumat (14/7/2015) lalu.
Sebelumnya, KPK memang menjadwalkan pemeriksaan terhadap OC
Kaligis bersama Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho pada
Senin (13/7/2015) lalu. Keduanya akan dimintai keterangan untuk kasus
dugaan suap terhadap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.
Masih hari yang sama, KPK pun resmi menahan pengacara
senior, OC Kaligis terkait statusnya sebagai tersangka kasus dugaan suap
terhadap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Medan, Sumatera Utara, Jumat (14/7/2015). OC Kaligis sebelumnya
dijemput KPK saat sedang berada di Hotel Borobudur, Lapangan
Banteng, Jakarta Pusat.
Tak hanya itu, KPK terus mengusut kasus suap hakim di PTUN
Medan itu. Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho dan
istri keduanya, Evi Susanti, pun resmi ditetapkan sebagai tersangka suap
hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan oleh KPK, Rabu
(28/7/2015). Keduanya, resmi menyandang status tersangka usai
pimpinan lembaga antirasuah melakukan ekspos kasus tersebut.
"Hasil ekspose (pada rapat pimpinan dan tim lengkap) progres
kasus OTT Hakim PTUN maka KPK hari ini akan menerbitkan sprindik
dengan menetapkan Gubernur Sumut, GPN dan ES sebagai tersangka,"
kata Plt Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji saat dikonfirmasi,
Jakarta, Rabu (28/7/2015).
Indriyanto menjelaskan penetapan status tersangka terhadap
Gatot dan Evi berdasarkan hasil pengembangan kasus serta keterangan
dari para saksi. Dengan sejumlah alat bukti yang cukup, keduanya resmi
ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap PTUN Medan.
"Semua ini berdasarkan pengembangan dan pendalaman dari
pemeriksaan saksi-saksi yang ada juga perolehan alat bukti lainnya,"
pungkas Indriyanto.
Selanjutnya usai lebaran, KPK kembali menjadwalkan
pemeriksaan terhadap orang nomor satu di Sumatera Utara itu dan istri
154
mudanya, Senin (3/8/2015). Namun keduanya yang kompak mendatangi
tak mau memberikan keterangan pada awak media soal pemeriksaan
tersebut.
Setelah beberapa jam kemudian, Gubernur Sumatera Utara Gatot
Pujo Nugroho langsung ditahan KPK usai diperiksa selama sembilan jam.
Gatot keluar dari gedung KPK mengenakan rompi oranye yang artinya
ditahan pada pemeriksaan perdana sebagai tersangka. Senin malam
(3/8/2015) Gatot keluar sekitar pukul 21.05 wib. Gatot yang keluar
dengan pengawalan ketat langsung masuk mobil tahanan. Selang
beberapa saat kemudian, istri muda Gatot, Evi Susanti juga ditahan KPK.
Evi keluar mengenakan rompi oranye. Evi juga masuk ke dalam mobil
tahanan.
Keduanya diduga sebagai sumber suap dalam kasus dugaan suap
hakim dan panitera PTUN Medan yang diberikan anak buah OC Kaligis,
M Yagari Bhastara alias Gerry.
Atas perbuatannya, Gatot dan Evy disangka melanggar Pasal 6
Ayat 1 huruf a dan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b dan atau Pasal 13 UU
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 64 Ayat 1 dan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP
(http://www.sumateratime.com/2015/08/ini-kronologi-kasus-gubernurgatot.html).
Demikian banyaknya kasus KKN dan ketidakberdayaan
pemerintah untuk memberantasnya, karena ada lingkaran setan yang
melanggengkan praktek KKN ini, sehingga pemerintah terpaksa
mengeluarkan anggaran milyaran rupiah untuk membentuk dan
mengoperasionalkan KPK.
Menurut Presiden Joko Widodo, KPK berhasil meraih
kepercayaan publik (Harian Waspada (30 Desember 2015), h. A1). Oleh
karena itu, keberadaan KPK sangat diharapkan dan tetap tak tergoyahkan
walaupun badai terus menerjang, seperti konflik KPK dengan kepolisian,
isu bahwa KPK adalah musuh bersama (Harian Sinar Indonesia Baru (12
Desember 2015), h. 1), pimpinan KPK terlibat pidana suap dan lain-lain.
Menurut Soedjati Djiwandono, ada yang menyangkal bahwa di
negeri ini telah terjadi krisis kepercayaan ganda: kepercayaan pada
rupiah, pada bank nasional, pada perekonomia nasional umumnya, dan
pada sistem politik, sekurang-kurangnya dalam arti bagaimana sistem itu
berfungsi selama ini. Unjung-ujungnya adalah krisis kepercayaan pada
pemerintah.
155
Yang disebut terakhir itulah yang paling sulit diterima, terutama
oleh mereka yang berkuasa dan para pendukungnya. Para cendekiawan,
pangamat, dan “pakar” seringkali dijadikan kambing hitam sebagai
penyebab kecemasan dalam masyarakat. Ada yang secara bodoh
mengatakan, misalnya, bahwa hanya pemerintah yang mengambil
langkah-langkah nyata, sedangkan analisis para pakar hanya
menimbulkan kebingungan, karena mereka tidak mengambil tindakan
nyata, dan alternatif-alternatif jawaban yang ditawarkan hanya
menimbulkan persoalan-persoalan baru.
Pernyataan itu mencerminkan tidak dipahaminya fungsi
cendekiawan. Para cendekiawan atau “pakar” memang tidak mempunyai
kekuasaan dan sebab itu tidak dalam posisi merumuskan dan
melaksanakan kebijakan, yang justru menjadi tugas dan kewajiban
pemerintah.
Kebenaran memang seringkali pahit. Tetapi mengingkarinya,
seperti burung unta, pura-pura hal itu tidak terjadi, tidak
menghilangkannya.
Salah satu faktor penyebab merosotnya kepercayaan dalam
berbagai pengertian itu adalah sulitnya orang memperoleh akses pada
informasi yang yang memadai, khususnya dalam kasus sekarang ini
adalah informasi ekonomi. Dengan kata lain, kurangnya transparansi atau
keterbukaan, menjadi salah satu penyebab krisis kepercayaan.
Dan dengan alasan yang berbeda-beda, para pengusaha dan
industrialis, rakyat biasa sebagai konsumen, dan media massa, yang
sekaligus juga menjadi penyalur, dan dengan demikian juga sumber
informasi bagi masyarakat luas, sangat berkepentingan dengan akses pada
informasi yang lengkap, utuh, akurat, dan tepat waktu (timely).
Kurangnya keterbukaan atau transparansi seringkali berkaitan
dengan masalah kejujuran pada pihak sumber informasi. Dan sumber
informasi ekonomi utama adalah pemerintah.
Sekali atau dua kali seorang pejabat ketahuan, atau bahkan
sekedar dicurigai memberikan informasi yang tidak benar, atau
berbohong, sadar atau tidak karena memang kurang mengerti persoalan,
sudah merupakan awal atau semakin mendorong krisis kepercayaan.
Seorang pejabat tinggi secara blo’on pernah mengatakan, misalnya,
bahwa krisis yang kini melanda bangsa kita itu murni krisis moneter.
Muke gile. Nyang bener aje.
Dapat terjadi bahwa informasi yang disampaikan kepada publik
benar dan utuh. Tetapi dengan tujuan yang mungkin baik, atau karena
156
kepentingan yang pada dasarnya sah, misalnya untuk mencegah
kecemasan dan panik dalam masyarakat, cara mengemas informasi itu
sendiri sedemikian sehingga membawa akibat yang sebaliknya, atau
dengan kata lain counter-productive. Sebab itu, kemasan (packaging)
informasi memegang peranan penting.
Sebagai contoh, ketika mula-mula Menteri Keuangan
mengumumkan langkah-langkah awal untuk mengatasi krisis moneter
sekarang ini, orang harus menunggu beberapa menit sebelum beliau
mulai dengan masalah Rupiah. Ia mulai dengan menyebut-nyebut
masalah mata uang Swiss (Frank), Deutsche Mark, Baht Thailand,
Ringgit Malaysia, sebelum akhirnya menyebut Rupiah. Kesan yang
nampaknya hendak diberikan adalah bahwa Indonesia tidak sendirian
menghadapi masalah moneter. Memang betul, atau masalah moneter kita
tidak separah yang kita pikirkan.
Kemudian pada awalnya kita diberi tahu bahwa kita hanya
berusaha memperkuat kerjasama dengan Dana Moneter Internasional
(IMF), yang memang sudah berjalan lama, dan tidak minta bantuan.
Kepala Negara sendiri ketika berbicara di Pasuruan, Jawa Timur,
mengatakan bahwa kita hanya “berkonsultasi” dengan IMF. Tetapi pada
kesempatan yang sama dikatakan juga akhirnya bahwa setiap anggota
IMF berhak “minta bantuan”.
Penjelasan
tentang
sebab-sebab
kebakaran
(dan/atau
“pembakaran?”) hutan yang diberikan oleh Menteri Kehutanan
bertentangan, sekurang-kurangnya sebagian dengan penjelasan Menteri
Negara Lingkungan Hidup. Mana yang bener sih, Mas?
Kasus lain yang belum lama adalah diberhentikannya “dengan
hormat” tiga orang direktur BI. Tetapi kemudian mereka dipanggil Polisi
untuk “dimintai keterangan”.Tambah aneh lagi, pihak kejaksaan
mempersoalkan wewenangnya.
Kelihatan sekali betapa kurangnya koordinasi antarpejabat tinggi,
tidak jelasnya aturan permainan, atau dengan kata lain, semrawutnya
sistem pemerintahan kita. Bagaimana orang masih dapat mengatakan
sistem kita sudah baik, tidak perlu reformasi?
Kasus-kasus yang disebut tadi tidak berurutan secara kronologis,
hanya yang sesaat diingat saja. Masih banyak kasus lain yang dapat
ditambahkan. Intinya adalah bahwa krisis kepercayaan ini bermuara
kepada
politik
dan
ekonomi
(http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=405&coid=1&
caid=34&auid=2).
157
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengeluhkan harus
menjadi “pencuci piring” bekas pesta orang lain. Kalau Presiden mau
yang enak-enak saja, lantas siapa yang harus mengambil keputusan penuh
resiko bagi kebaikan rakyat Indonesia? Bukankah Presiden dipilih dari
putra terbaik bangsa untuk menjalankan tugas terberat sebagai pengawal
bangsa berdasarkan kepercayaan rakyat?. Sebelum keluhan ini bertambah
panjang dan menjadi pandemik baru ke seluruh tingkatan di bawahnya,
ada baiknya para pemimpin kita menyimak kembali pesan pidato
perpisahan Presiden Amerika Serikat ke-33, Harry S. Truman (12 April
1945 - 20 Januari 1953) pada Januari 1953, “The President-whoever he is
has to decide. He can’t pass the buck to anybody. No one can do the
deciding for him. That’s his job” (Subiakto dan Ida:2014:40-41).
Gambar 2. Harry S. Truman
Pesan ini sangat jelas dan tegas bahwa kita memilih dan
mempercayai putra terbaik bangsa hanya untuk satu tugas, yaitu
mengambil keputusan. Tentunya keputusan yang ditujukan sebesarbesarnya untuk kesejahteraan rakyat, sesuai pasal 33 UUD 1945,
sehingga sebagai pemimpin sekaligus komunikator politik nomor wahid
di Indonesia, Presiden, siapapun itu, harus mampu mengembangkan jiwa
dan kemampuan komunikasi politik yang baik dan menjadi role model
bagi kepemimpinan dan komunikator politik yang handal di tanah air
(Subiakto dan Ida:2014:41).
Tujuan komunikasi politik sangat erat hubungannya dengan
pesan politik yang disampaikan komunikator. Komunikator (pemimpin)
berkeinginan agar komunikan (rakyat) percaya kepadanya agar seluruh
program-program yang sudah dirancangnya berjalan dengan mulus tanpa
158
hambatan yang berarti. Dengan demikian, sang pemimpin harus bisa
membangun kepercayaan rakyat.
C. Membangun Kepercayaan Publik
Membangun kepercayaan publik bisa dilakukan melalui hal-hal
sebagai berikut:
1. Hubungan Media Massa dengan Sistem Politik
Hubungan antara media massa dengan sistem politik,
sangat bergantung kepada budaya politik, termasuk ideologi dari
komunitas politik. Baik media massa maupun sistem politik,
keduanya merupakan wujud yang tidak lepas dari kepentingan
dan kecenderungan atau keberpihakannya kepada suatu nilai baik
yang berakar pada budaya maupun agama. Para pelaku media dan
politisi bukanlah robot yang bisa diprogram untuk senantiasa
tunduk pada kepentingan-kepentingan tertentu dengan
mengabaikan kecenderungan dan keberpihakannya kepada
sesuatu yang dianggap benar menurut ukuran-ukuran subjektif
yang dimilikinya. Perbedaan-perbedaan ideologis dan historicocultural mendasari konsep dan praktik komunikasi politik,
termasuk praksis (teori dan aksi) media massa.
Selanjutnya, masyarakat liberal-pluralis cenderung
menganggap komunikasi politik sebagai sebuah proses transmisi
informasi dan pesan-pesan persuasif dari institusi-institusi politik
dalam masyarakat melalui media massa kepada warga untuk
menjaga akuntabilitas institusi-institusi tersebut. Lain halnya
dengan masyarakat berideologi Marxis, terutama kaum elitnya,
menganggap komunikasi politik sebagai proses diseminasi dan
reproduksi definisi-definisi hegemonik tentang relasi-relasi sosial
dalam rangka memelihara berbagai kepentingan dan posisi kelaskelas dominan. Dua pola interaksi antara media dengan
kekuasaan ini memperlihatkan adanya hubungan timbal balik
antara media massa dengan sistem politik. Sebagai lembaga yang
memiliki kebebasan untuk menyuarakan aspirasi, media massa,
dalam batas-batas tertentu, tidak bisa menghindari pengaruh
politik yang sedang berkuasa. Demikian pula sebaliknya,
kekuasaan politik juga tidak bisa secara bebas membatasi
kebebasan yang dianut media massa (Muhtadi: 2008b:46).
159
Graber menunjukkan salah satu fungsi media massa
dalam sistem politik yakni sebagai media sosialisasi politik
(political socialization). Media massa melakukan proses
pembelajaran tentang orientasi dan nilai-nilai dasar kepada
individu dalam memahami lingkungan kulturalnya. Bahkan
media juga bisa dipandang sebagai instrumen ideologi. Melalui
media, suatu kelompok menyebarkan pengaruh dan dominasinya
kepada kelompok lain (Graber:1984:10). Sebab media, bukanlah
ranah yang netral di mana berbagai kepentingan dan pemaknaan
dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama
dan seimbang. Media justeru bisa menjadi subjek yang
mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya
sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Lebih-lebih bagi
media partisan seperti banyak dipublikasikan oleh organisasiorganisasi massa ataupun partai-partai politik yang volume
penerbitannya biasanya meningkat (atau bahkan hanya terbit)
pada momentum pemilihan umum. Partai Amanat Nasional
(PAN), misalnya, menerbitkan tabloid Amanat, dan NU
menerbitkan Duta Masyarakat (Sudibyo:2001:55).
Media-media massa independen, berdasarkan ideologi
serta keberpihakannya kepada salah satu kekuatan politik
tertentu, dalam hal ini melakukan usaha-usaha penguasaan
khalayak melalui pemberitaannya dengan cara memberikan
penjulukan (labelling) bentang sesuatu objek. Fakta-fakta
objektif dimanfaatkan untuk ditafsirkan secara subjektif
berdasarkan kepentingan. Di sinilah ideologi atau kecenderungan
menentukan bagaimana sesuatu fakta dipahami dan ditafsirkan,
dibuang ataupun digunakan. Jadi, melalui cara-cara yang
dilakukan media, kelompok-kelompok hegemonik, baik penguasa
ataupun rakyat, dapat memanfaatkannya untuk menguasai
khalayak. Kontrol rakyat terhadap kekuasaan dapat dilakukan
lewat media; dan sebaliknya, pihak-pihak yang berkuasa pun
dapat memupuk kekuasaannya melalui proses legitimasi media.
Proses seperti ini dilakukan melalui usaha pemaknaan secara
terus menerus lewat pemberitaan yang menjadi kegiatan utama
media, sehingga pada gilirannya tanpa terasa akan terbentuk
kesadaran khalayak.
Penggunaan media sebagai ajang pertarungan politik juga
ditegaskan oleh Charlotte Ryan. Menurutnya, media adalah suatu
160
ajang perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Mereka saling mengajukan pemaknaan terhadap suatu persoalan
agar lebih diterima khalayak. Masing-masing pihak berusaha
menonjolkan basis penafsiran, klaim, ataupun argumentasi yang
berkenaan dengan persoalan yang diberitakan. Melalui retorika
dan pelabelan, masing-masing mengukuhkan posisi dan
argumentasi yang digunakannya sekaligus menegaskan bahwa
pandangan di luar itu sebagai sesuatu yang lemah dan bahkan
tidak benar. Dalam konteks demokrasi, keberpihakan media
seperti ini memang tidak dapat disalahkan. Kehadiran media
yang sarat dengan ideologi serta nilai-nilai tertentu yang dianut
dan diperjuangkan dalam pemberitaannya, juga merupakan hal
yang dapat diterima (Muhtadi: 2008b:47-48).
Secara historis, perdebatan mengenai ideologi, nilai, dan
keberpihakan media ini sesungguhnya merupakan tema klasik
dalam studi media. Munculnya perbedaan-perbedaan rumusan
tujuan serta bentuk media pada negara-negara yang berbeda,
misalnya, memperlihatkan adanya perlakuan dan kecenderungan
yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya hubungan antara
media dan kekuasaan. Karena itu, sejak awal kelahiran
komunikasi massa, di zaman renaisans, ada dua teori dasar
tentang pers, yaitu teori Otoritarian dan Libertarian. Teori
Otoritarian memandang bahwa kebenaran bukanlah datang dari
masyarakat, tetapi dari sekelompok kecil orang-orang bijak yang
mengarahkan dan memimpin mereka. Karena itu, kebenaran
harus diletakkan dekat dengan kekuasaan. Pers digunakan
kekuasaan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
tentang segala sesuatu yang dianggap penting untuk diketahui
masyarakat. Demikian pula hanya penguasa yang berhak
menerbitkan pers. Pihak swasta yang ingin menerbitkan pers
harus seizin kekuasaan, dapat dapat dicabut kembali sewaktuwaktu jika dianggap tidak mendukung kebijakan kekuasaan.
Sebaliknya, teori Libertarian menempatkan manusia
sebagai makhluk berakal yang mampu membedakan sendiri mana
yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak perlu dibimbing
oleh kekuasaan. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik
kekuasaan, tetapi menjadi salah satu hak asasi manusia, dan
karenanya menjadi milik setiap individu. Konsekuensinya, pers
juga menjadi lembaga yang dapat menyuarakan kebenaran
161
sendiri, tanpa harus terlebih dahulu memperoleh legitimasi
kekuasaan. Berkaitan dengan posisi pers di hadapan kekuasaan,
teori ini memandang pers sebagai mitra dalam mencari
kebenaran. Pers bukan lagi instrumen pemerintah, melainkan
sebuah alat untuk menyajikan bukti-bukti, fakta-fakta, dan
argumen-argumen yang akan menjadi kekuatan dalam
mengontrol kekuasaan sekaligus menentukan sikap terhadap
kebijakannya (Siebert, et, al:1986:2).
Terhadap corak hubungan media dengan kekuasaan yang
disebut Siebert sebagai libertarian ini, Graber menyebutnya
Nonauthoritarian yang umumnya berlaku di negara-negara
demokratis. Jika dalam tatanan masyarakat yang menganut sistem
Authoritarian pemerintah dipandang sebagai pihak yang selalu
mengetahui benar dan salah, maka dalam sistem
Nonauthoritarian, masyarakat pun memiliki hak yang sama dalam
menentukan benar dan salah. Bahkan, menurut Graber, "In
democracies, governments are Viewed as fallible servants of the
people. They are deemed to be potentially corrupt, stupid, or
abusive of citizen. Consequently, they must be constantly watched
and criticized if they misbehave." Dalam keadaan seperti ini,
media dipandang sebagai fasilitas penyampaian informasi yang
objektif tentang segala sesuatu yang dinilai baik ataupun buruk.
Para jurnalis berperan sebagai kekuatan kontrol yang mengawasi
jalannya pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif (Graber:1984:21-22).
Pada posisinya seperti inilah kemudian pers ditempatkan
sebagai kekuatan keempat (the fourtth estate) dalam tatanan
kehidupan sosial. Ia berfungsi sebagai pengendali yang sekaligus
melakukan kontrol sosial bagi kepentingan publik. Pers dalam hal
ini merupakan salah satu kekuatan sosial yang menjalankan
kontrol secara bebas dan bertanggungjawab, baik terhadap
masyarakat maupun terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik
lainnya. Efektifitas pengaruhnya dapat dilihat pada fakta-fakta
sejarah yang menyiratkan terjadinya perubahan perilaku politik
yang signifikan sebagai akibat dari terpaan media massa, baik
efek positif maupun negatif. Kisah kemenangan John F. Kennedy
di Amerika Serikat, popularitas politik Saddam Hussein di Irak
khususnya selama Perang Teluk berlangsung, tumbangnya
kekuasaan Marcos di Filipina, rontoknya pemerintahan Orde
162
Baru di Indonesia, semuanya tidak terlepas dari peran-peran
sosial politik yang dimainkan media massa. Bahkan iklim
demokrasi suatu masyarakat pun, salah satunya, dapat dilihat dari
keberadaan serta peran sosial politik media massa. Oleh karena
itu, di beberapa negara yang berhaluan demokrasi liberal, pers
sering disebut sebagai pengawas alias penjaga demokrasi
(Muhtadi:1999:18).
Selanjutnya secara rinci Graber menyebutkan sekurangkurangnya empat fungsi media massa bagi eksekutif:
a. Media massa menyediakan informasi terbaru tentang
berbagai peristiwa serta setting politik yang tengah
berkembang di masyarakat untuk dijadikan salah satu bahan
pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakannya.
b. Media massa memberikan ruang kesadaran sosial bagi
eksekutif untuk membaca lebih jauh opini publik yang
berkembang di masyarakat.
c. Media massa memfasilitasi eksekutif untuk dapat
menyampaikan pesan-pesannya kepada para elit politik dan
masyarakat umum, baik di dalam maupun di luar
pemerintahan.
d. Media massa memberikan kesempatan kepada para eksekutif
untuk memelihara kontinuitas kekuasaan yang tengah
diperankannya. Berkenaan dengan fungsi-fungsi ini, pihak
eksekutif juga meyakini kebenaran informasi media, karena
media juga selalu berusaha menyajikan sesuatu yang
bermakna bagi para pembacanya. Suratkabar, radio dan
televisi menyajikan komentar-komentar produktifnya secara
konsisten (Graber:1984:222-223).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah dan seluruh
instansi terkait, media massa dapat dioptimalkan penggunaannya
untuk menyampaikan pesan-pesan politik dan pembangunan
secara terbuka, benar dan akurat serta menjadikan media massa
sebagai pengontrol jalannya pemerintahan sehingga pemerintah
mendapatkan kepercayaan rakyat.
2. Media Sosial dan Komunikasi Politik
Pada masa mendatang komunikasi politik di Indonesia
akan semakin menarik. Media massa, khususnya televisi dan
163
surat kabar, juga internet, akan menjadi media utama dalam
meningkatkan citra diri politisi, khususnya melalui kampanye
politik menjelang pemilihan legislatif di pusat dan daerah,
pemilihan presiden dan wakil presiden, dan bahkan menjelang
pemilihan kepala daerah, seperti gubernur, bupati dan wali kota.
Jika biaya iklan Pemilu tahun 2004 mencapai sekitar 400 miliar,
dan biaya iklan Pemilu tahun 2009 bernilai 2,154 triliun, maka
pada masa mendatang biaya iklan Pemilu tampaknya akan lebih
besar lagi. Kelak akan semakin banyak politisi, apalagi sebagai
calon pejabat eksekutif, baik sebagai calon presiden, calon wakil
presiden, ataupun calon kepala daerah, yang akan memiliki blog
dan situs mereka masing-masing. Mereka juga akan menjadi
anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya Twitter dan
Facebook dan menarik pengikut sebanyak-banyaknya, untuk
meraih dukungan khalayak guna menduduki jabatan yang mereka
inginkan, terlepas dari apakah pengelolanya adalah diri mereka
sendiri atau "penjaga gawang" (gate keeper) yang khusus
ditugaskan untuk itu.
Diketahui bahwa para pejabat, politisi atau tokoh
nasional yang aktif menggunakan media sosial di Twitter per
April 2013 beserta jumlah pengikutnya berturut-turut adalah:
Joko Widodo dengan 482.288 orang pengikut, Dahlan Iskan
348.140, Anies Baswedan 209.923, Prabowo Subianto 150.124,
Hatta Rajasa 139.807, Yusril Ihza Mahendra 136.986, Mahfud
MD 122.188, Aburizal Bakrie 99.070, Jusuf Kalla 72.795, Puan
Maharani 25.094, GitaWirjawan 7.807, Wiranto 2.621,
Suryadarma Ali 968.
Meskipun mereka dapat menggalang dukungan dari
khalayak lewat media sosial, mereka sekaligus juga mendapatkan
serangan dari khalayak lain yang tidak menyukai mereka. Di
Indonesia sendiri belum banyak penelitian komunikasi politik
yang melibatkan penggunaan media sosial. Diperkirakan jejaring
sosial ini berpengaruh cukup besar, terutama jika para kandidat
politik ingin mendapatkan dukungan dari para pemilih muda,
apalagi pemilih pemula, terutama yang tinggal di perkotaan.
Khalayak muda ini lazimnya memang berpendidikan dan
memahami internet. Setidaknya, salah satu faktor yang membuat
Jokowi dan Ahok menang dalam pemilihan gubernur dan wakil
gubernur DKI Jakarta tahun 2012 adalah karena mereka
164
didukung oleh para pengguna media sosial, terutama Twitter,
Facebook, dan Yahoo.
Penggunaan jejaring sosial di internet tentu saja bukan
jaminan bahwa kandidat politik akan sukses. Sebagai gambaran,
Bob Dole adalah calon presiden pertama di dunia yang
menggunakan sebuah situs internet dalam kampanye politik. Ia
terutama ingin mendapat dukungan dari para pemilih muda, lewat
imbauannya, "Saya meminta dukungan kalian. Saya meminta
bantuan kalian. Dan jika kalian ingin terlibat, buka saja laman
saya: www.dolekemp96org." (Dole keliru meletakkan titik
setelah org, di antara 96 dan org).
Meskipun Bob Dole adalah kandidat presiden pertama di
Amerika yang membuka website kepada khalayak dalam
kampanye politik dan Pemilu Amerika tahun 1996, dan situsnya
dikunjungi lebih dari dua juta orang, Dole kalah melawan Bill
Clinton dalam Pemilu tersebut (Mulyana:2014:22-23).
Namun sebaliknya, sebagaimana dikemukakan Castells,
salah satu jawaban mengapa Barack Obama yang seorang politisi
yunior keturunan Afrika-Amerika (Kenya) unggul atas politisi
senior sekaliber Hillary Clinton dan bisa terpilih sebagai presiden
Amerika, padahal awalnya tanpa dukungan banyak orang dari
Partai Demokrat, adalah karena ia mampu menggunakan strategi
kampanye inovatif yang melibatkan internet (media sosial) saat ia
memasuki jantung politik Amerika dengan membawa sejumlah
besar warga negara yang terpinggirkan oleh politik Amerika. Ia
melakukan hal itu dengan ditopang oleh kepribadian yang
karismatik dan wacana politik yang baru (Castells:2009:365366).
Pada tahun 1994, masih sedikit kandidat politik di
Amerika yang memiliki situs internet. Namun sejalan dengan
perkembangan teknologi, semakin banyak kandidat politik yang
menggunakan alat baru ini. Jika delapan dekade lalu hingga
pertengahan abad ke-20, kampanye politik di Amerika ditandai
dengan penggunaan radio dan televisi, meskipun tidak terlalu
intensif, dan tahun 1980-an ditandai dengan penggunaan mesin
faks, kaset video, dan iklan televisi kabel, maka sejak tahun 1995
kampanye politik di Amerika mulai menggunakan teknologi
digital, termasuk e-mail (Johnson:1999:705-706).
165
Para kandidat politik Amerika pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 yang terutama menggunakan komunikasi
antarpripadi (dari pintu ke pintu) dan komunikasi kelompok
dalam kampanye politik mereka tentu tidak dapat membayangkan
bentuk-bentuk kampanye politik digital pada abad ke-21 ini.
Media kontemporer seperti internet, dan khususnya
media sosial, akan semakin penting dalam komunikasi politik,
mulai dari tingkat lokal hingga tingkat global. Sejalan dengan itu
konsep-konsep baru seperti e-democracy dan e-govemment, di
Indonesia akan terus berkembang, meskipun masih kekurangan
sumber daya manusia dan peralatan yang dibutuhkan.
Ketidaksiapan sumber daya manusia dalam e-government ini
sudah terbukti di lima kabupaten dan kota di Jawa Barat.
Gagasan-gagasan tentang jejaring dan interaktivitas telah
mendominasi wacana politik kontemporer, dan iklim politik
terkini ditandai antara lain oleh obsesi terhadap serangkaian
problem teknologi atau keasyikan teknologi, mulai dari
produktivitas riset, persaingan teknologi, dan perlindungan
kepemilikan intelektual, hingga ke pemahaman publik atas sains,
efek teknologi yang tak terduga, dan kebutuhan akan pelatihan
teknik yang berkelanjutan untuk mengantisipasi perubahan
teknologi yang pesat.
Lebih dari satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh
(1999) mendiagnosis suatu "era ketiga komunikasi politik" yang
ditandai dengan melimpahnya media, bertambahnya tekanan
terhadap elit politik untuk menerima aturan permainan media,
dan semakin kritisnya warga negara yang menantang otoritas
politik dan kepemimpinan media. Munculnya Web 2.0 dengan
sifat interaktif dan media sosial telah membawa peluang baru dan
tantangan baru bagi komunikasi politik, yang secara mendasar
mengubah hubungan antara penguasa dan warga negara dalam
demokrasi modern yang melampaui era ketiga yang diuraikan
Blumler dan Kavanagh.
Secara umum dapat dikatakan, sehebat atau seintensif
apapun penggunaan internet (termasuk laman, blog, media sosial)
oleh politisi, politisi takkan berhasil menang dalam bersaingan
politik, terutama untuk menjadi kepala pemerintahan tingkat
nasional, jika sang politisi tidak memiliki tim sukses yang solid
dan pengorganisasian kampanye yang mumpuni, terencana dan
166
terfokus. Terbukti, di Amerika misalnya, meskipun dalam
pemilihan presiden 2004 John Kerry mengungguli George Bush
dalam pengumpulan uang lewat internet, yakni Kerry 82 juta
dollar sedangkan Bush 14 juta dollar, Kerry dikalahkan oleh
Bush. Namun demikian, peran internet dalam komunikasi politik
lebih sulit lagi diperkirakan pada masa depan. Yang pasti, peran
internet tidak perlu dilebih-lebihkan dalam Pemilu, meskipun
tidak harus diremehkan juga. Ini semua bergantung pada
khalayak yang menjadi pengguna aktif teknologi ini, kemampuan
broadband teknologi ini, dan kecepatannya.
Di Indonesia belum banyak penelitian serius mengenai
peran internet dalam komunikasi politik. Di antara sedikit peneliti
mengenai penggunaan media sosial dalam komunikasi politik di
Indonesia, berdasarkan teori Konvergensi Simbolik dari Ernest
Bormann, Heryanto (2013) menelaah ruang publik baru dalam
komunikasi politik di situs jejaring sosial dan Weblog Interaktif
pada era pemerintahan SBY-Boediono dalam kasus Century.
Hasil penelitian Heryanto menunjukkan antara lain bahwa
terdapat tujuh visi retoris yang menjadi perbincangan di
Kompasiana dan Forum Indonesia Sejahtera (FIS), yaitu:
penegakan hukum atas kasus century tidak jelas; SBY-Boediono
ikut bertanggungjawab atas kasus Century; Pemerintahan SBYBoediono tidak lagi dapat dipercaya; Kasus Century adalah
kejahatan; Kasus Century adalah blunder politik; ada aliran dana
ke partai politik; dan kebijakan bailout tidak dapat diadili
(Mulyana:2014:24-26).
3. Efek Komunikasi Massa pada Perilaku Politik
"Jimmy Carter was a media president", tulis pakar
politik Thomas R. Dye dan L. Harmon Zeigler dalam sketsa
tentang kenaikan dan kejatuhan politik Jimmy Carter. Ungkapan
ini didasarkan pada kenyataan bahwa Carter terpilih sebagai
presiden dan jatuh kembali dari kekuasaannya merupakan produk
rekayasa media. Kasus Carter adalah salah satu contoh yang
menggambarkan besarnya efek media massa pada perilaku politik
masyarakat. Tahun 1974, ketika pertama kali berniat
mencalonkan diri untuk menjadi presiden AS, Carter adalah
sosok yang tidak begitu dikenal masyarakat Amerika. Tapi, dua
tahun kemudian, Carter menjadi begitu populer setelah televisi
167
mengantarkan kehadiran figur kandidat presiden ini pada
masyarakat pemilih. Media telah berhasil melakukan rekayasa
informasi melalui proses pengelolaan kesan (impression
management) dan mensosialisasikannya kepada publik untuk
dapat membangun opini baru yang dapat mengantarkan Carter
memasuki Capital Building (Graber:1984:1).
Kasus Carter memang belum tentu mewakili suasana
politik masyarakat Indonesia. Perkembangan media massa serta
ideologi yang mengendalikannya, sistem politik yang dianut
negara, ataupun pengalaman politik masyarakatnya belum tentu
menggambarkan kenyataan yang sama antara Amerika dan
Indonesia. Jika Carter menang karena jasa media, belum cukup
bukti yang teruji secara ilmiah bahwa dari lima presiden terpilih
di Indonesia (dari Soekarno hingga Megawati putri Soekarno)
menang karena jasa media. Tapi sebagai salah satu upaya untuk
mengabstraksikan kenyataan ke dalam konsep-konsep, kasus ini
tetap penting untuk dianalisis. Substansinya adalah bahwa media
massa memiliki kekuatan pengaruh yang besar dalam ikut
mengendalikan arah perubahan masyarakat, khususnya dalam
kerangka politik. Apa yang dilakukan media adalah sesuatu yang
menjadi perilaku politik masyarakat, baik perilaku mendukung
atau menentang (Muhtadi: 2008b:50-51).
Dalam perspektif sosiologis, menurut Newcomb,
perubahan sikap suatu masyarakat pada umumnya dipengaruhi
oleh adanya informasi baru yang dipandang relevan dengan
tuntutan kondisional, kapan dan di mana informasi baru itu
diterima. Berbarengan dengan munculnya respons terhadap
stimulus informasi, secara bertahap dan disadari ataupun tidak
disadari, perubahan itu mulai terjadi. Besar kecilnya perubahan,
salah satunya, bergantung pada kekuatan efek media yang
menjadi salurannya. Sebagai penyalur informasi, media massa
merupakan kekuatan yang mampu mempengaruhi sekaligus
merubah perilaku masyarakatnya, termasuk perilaku politik yang
biasanya menjadi target dari partai-partai politik atau kekuatankekuatan politik lainnya. Sebab media massa, sesuai dengan sifat
dan fungsi yang diperankannya, selalu berusaha menyajikan
informasi terbaru dan dipandang relevan bagi masyarakatnya
(Newcomb, et,al.:1985:119).
168
Itulah sebabnya, para peneliti percaya bahwa media
massa memiliki pengaruh penting dalam proses pembentukan
cara berpikir dan berperilaku politik masyarakat. Studi yang
dilakukan
Jalaluddin
Rakhmat
(1982),
misalnya,
mengindikasikan bahwa pengetahuan kebanyakan pemimpin
politik Muslim di Indonesia dipengaruhi oleh media massa yang
dikonsumsinya. Dengan mengambil fokus penelitian tentang
sikap politik para pemimpin Muslim terhadap Amerika Serikat,
hasil penelitiannva memberikan informasi bahwa pengetahuan
dan sikap mereka terhadap Amerika Serikat berkorelasi dengan
informasi yang diperolehnya lewat media massa nasional maupun
internasional, seperti suratkabar, majalah, radio dan film.
Penelitiannya sendiri berangkat dari satu pertanyaan, "Do mass
media affect the political behavior of their audience?" Secara
umum penelitian ini memperlihatkan adanya pengaruh media
massa terhadap perilaku politik masyarakat. Penelitian ini juga
secara implisit memperlihatkan kecenderungan para pemimpin
politik memanfaatkan media massa (Muhtadi: 2008b:51-52).
Dalam posisi sebanding dengan fungsi dan peran yang
dimiliki partai politik, media massa dalam konteks pemahaman
yang lebih luas sering dianggap sebagai the fourth estate, wilayah
keempat dari kekuatan politik formal setelah eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Media massa bisa berperan sebagai kekuatan yang
mendinamisasikan kehidupan lembaga-lembaga politik tersebut.
Bahkan urat nadi (kekuatan) pemerintah sendiri berada pada
media massa. Disebut sebagai kekuatan pemerintah, karena
media massa menyajikan secara cepat dan teratur informasiinformasi politis kepada khalayak yang sangat besar. Mereka
adalah para elit politik, para pengambil keputusan, dan
masyarakat pada umumnya yang pemikiran dan aktivitas
politisnya dibentuk oleh media massa. Oleh karena itu, meskipun
sejumlah ilmuwan sosial masih ada yang menyangsikan besarnya
efek politis media massa, tetapi pemerintahan di mana pun tetap
menyadari akan pentingnya efek politis media massa
(Graber:1984:27).
Media massa saat ini menjadi salah satu pilihan yang
digunakan untuk tujuan-tujuan komunikasi politik, terutama pada
masyarakat kosmopolitan. Di Indonesia gejala ini mulai terlihat
awal 1990-an, terutama ketika frekuensi penggunaan media
169
massa oleh partai-partai politik selama musim kampanye semakin
meningkat. Seseorang atau sekelompok orang dapat sangat
tergantung pada media dalam menentukan pilihan-pilihan sikap
dan tindakan politisnya. Banyak aspek dari kehidupan
masyarakat kosmopolitan bergantung pada jasa media. Media
massa dapat mengumpulkan sifat-sifat kritis para penggunanya.
Ada beberapa tipe penumpulan berpikir atau berfungsinya praktik
ideologis melalui media massa, khususnya televisi. Secara
singkat, fungsi-fungsi itu antara lain dijelaskan seperti berikut:
a. Sedimentasi, yaitu diskursus yang mengendap dan
menjadikan dirinya sebagai ideologi yang mengikat. Proses
ini hanya membolehkan cara-cara khusus untuk menjawab
suatu pertanyaan, atau sejenis pengaturan struktur logika
berdasarkan diskursus yang diterima secara kultural. Fokus
proses ini bukan terletak pada asal-usul ideologi, melainkan
pada bentuk ideologi dan efek-efeknya. Ideologi-ideologi
yang tersedimentasi tidak berada dalam atau muncul dari
televisi, melainkan berada sebagai latar belakang. Televisi
mendukung dan memfungsikan ideologi tersedimentasi itu
melalui format-format yang berperan sebagai struktur baku
bagi penyisipan berbagai plot atau cerita.
b. Reifikasi, yakni pengalamiahan kondisi yang ada, suatu
diskursus yang membakukan interpretasi dan persepsi atas
objek serta menyisihkan penafsiran spontan. Praktik reifikasi
ini tergantung pada suatu logika ekslusif terhadap aktivitas
dalam organisasi media seperti standarisasi, definisi fungsi,
dan konvensionalisasi tema-tema. Praktik ideologis dari
reifikasi ini tidak terjadi dalam praktik tekstual yang
terisolasi. Level diskursif harus dikaitkan dengan tindakantindakan nondiskursif. Teks televisi harus dianalisis dalam
konteks produksinya. Sedangkan wujud akhir siaran televisi
sendiri telah melalui proses negosiasi panjang yang
melibatkan artis, produsen, dan pelaksana. Kelompok kreatif
di sini terdesak oleh beberapa faktor, seperti strategi
pengambilan keputusan dari pelaksana, batas-batas efisiensi
teknis, dan konservatisme inheren dari formasi genre (gaya).
Tujuan produksi mempradefenisikan elemen-elemen
signifikan dari sesuatu teks.
170
c. Adaptasi, yaitu penyesuaian melalui perubahan gradual.
Televisi menciptakan budaya visual. Kebenaran penglihatan
menjadi satu-satunya ranah diskursus rasional, yakni proses
yang
terjadi
melalui
pemenggalan
pengalaman,
ketergantungan pada kedangkalan dan senfimentalitas,
penayangan-penayangan stereotip dari penglihatan dan suara,
serta konsep waktu yang linear. Di sini ideologi berfungsi
sebagai pembuatan subjektifitas. Dorongan perubahan bukan
berasal dari output televisi, melainkan logika semantik yang
dijalankan. Jadi, efek televisi terjadi secara gradual melalui
proses yang berlangsung secara individual.
d. Mollification, yaitu proses pengurangan intensitas, membuat
pasif, dan menenteramkan. Diskursus televisi mengurangi
intensitas pengalaman. Otonomi pemirsa tidak menimbulkan
interferensi terhadap siaran. Ideologi tidak membuat
kesadaran atau tindakan berlandaskan kesadaran itu.
Diskursus dibuat sederhana sehingga tidak menimbulkan
efek. Konsep ini serupa dengan pendapat Williams yang
menyatakan bahwa televisi terbentuk oleh semacam struktur
perasaan yang disebut mobile privatization. Pemirsa
menunggu di rumah, membiarkan dunia luar ditransmisikan
ke dalam kehidupan pribadinya.
e. Legitimasi, yakni persetujuan resmi atau formal. Masyarakat
pada dasarnya membutuhkan persetujuan atas kontradiksikontradiksi yang terkandung dalam suatu diskursus.
Konsensus dan "pemakluman" dalam hal ini tidak dianggap
tepat untuk menggambarkan mekanisme legitimasi karena
secara tidak langsung menyiratkan pencapaian melalui
pembuatan kesadaran palsu. Pemberitaan dalam televisi
memang tidak melahirkan kesadaran palsu, tetapi lebih
merupakan bentuk ketidakmampuan individu dalam
mengintegrasikan informasi. Operasi legitimasi berikutnya
disebabkan oleh reduksi televisi atas sesuatu diskursus.
Perasaan ketidakberdayaan kemudian dikompensasi dengan
kesadaran dengan cara mengeksploitasi kesenangan atau
kenikmatan konsumtif.
f. Depolitisasi, yakni penyisihan pertanyaan-pertanyaan praktis
dari diskursus publik. Televisi menciptakan ilusi pilihan
demokratis, sementara pada saat yang sama, ia juga
171
mengurangi kemampuan individu dalam membuat budayanya
masing-masing. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini
kemudian diberikan Jurgen Habermas. Menurutnya, halusnya
kontrol sosial oleh media massa mengaburkan pandangan
pribadi yang secara bertahap melemah sehingga tidak lagi
mampu mengenali proses-proses politis. Wilayah publik yang
terdepolitisasi didominasi oleh desakan privatisme dari
budaya massa. Personalisasi hal-hal yang bersifat publik pada
gilirannya berfungsi untuk mengatasi keretakan sosial yang
seringkali dapat mendorong konflik-konflik tertunda ke
wilayah psikologi sosial.
g. Fosilisasi, yaitu suatu proses yang mendorong munculnya
ketidakmampuan untuk berubah. Proses penyisihan
mempunyai efek tertutupnya alternatif pengembangan
diskursif. Hal ini dapat dilihat khususnya dalam dominasi
bahasa dan pembentukan lapisan masyarakat miskin secara
linguistik. Menurut Herbert Marcuse, pemisahan kata-kata
dari makna tradisional mereka, penyatuan bahasa biasa ke
dalam kosa kata yang didiktekan oleh institusi-institusi
birokratis dan secara teknologis ditempa paradigmaparadigma logis, dapat melahirkan ketidakmampuan untuk
membayangkan alternatif keadaan yang ada (Muhtadi:
2008b:52-55).
4. Persepsi dalam Pemasaran Politik
Pada dasarnya, pemasaran politik merupakan rangkaian
aktivitas terencana, strategis dan taktis, berdimensi jangka
panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik
kepada para pemilih. Tujuan dari pemasaran politik adalah
membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan,
orientasi dan perilaku pemilih. Perilaku pemilih yang diharapkan
adalah ekspresi mendukung dengan berbagai dimensinya,
khususnya menjatuhkan pilihan pada partai atau kandidat
tertentu. Karena itu, keberhasilan proses pemasaran dalam politik
akan dilihat salah satunya dari jumlah pemilih.
Dua ahli perilaku konsumen, Peter dan Olson memberi
sebuah batasan tentang makna (meaning), yakni interpretasi
seseorang terhadap stimulus yang berasal dari lingkungannya.
Suatu stimulus diinterpretasikan tidak hanya ditentukan oleh
172
stimulus itu sendiri. Makna yang dihasilkan oleh interpretasi itu
bergantung pada pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang
tertanam dalam benak orang yang melakukan interpretasi. Oleh
karena itu, makna yang terbentuk dalam proses interpretasi itu
merupakan persepsi. Dalam konteks opini publik, masyarakat
menerima fakta tidak sebagaimana adanya, tetapi apa yang
mereka anggap sebagai fakta.
James Spradley menyebutkan apa yang tertanam dalam
benak seseorang itu sebagai prinsip kognitif, yakni sesuatu yang
dipercayai dan diterima sebagai sesuatu yang benar oleh
sesesorang atau komunitas tertentu atau masyarakat dalam kultur
tertentu. Bila makna tersebut tertanam dalam masyarakat
kelompok budaya tertentu, maka disebut sebagai cultural
meaning atau makna kultural.
Cultural meaning adalah pengetahuan, makna, dan
keyakinan yang sama yang digunakan masyarakat dalam suatu
sistem sosial untuk merepresentasikan aspek-aspek penting dari
lingkungan mereka. Dalam pemasaran politik, kultur yang
dimaksud adalah kultur politik di wilayah atau daerah yang
menjadi ajang pemasaran. Makna yang tertanam dalam benak
seseorang dipicu oleh stimulus politik, baik sengaja direkayasa
oleh pelaku politik maupun tidak disengaja alias tanpa desain
politik. Makna yang terjadi karena adanya stimulus politik
tersebut disebut sebagai political meaning atau makna politis
(Tabroni:2012:126-127).
Makna politis yang akhirnya tertanam dalam benak
seseorang merupakan hasil dari interaksi dua faktor:
a. Kualitas dan kuantitas dari stimulus politik itu sendiri.
b. Rujukan kognitif berupa kesadaran atau alam pikiran
seseorang yang memaknainya. Rujukan kognitif ini adalah
bagian dari kognisi manusia dalam menginterpretasikan
stimulus lingkungan. Mengacu pada konsep kultural yang
dikembangkan oleh Spradley, perbedaan kultur suatu
komunitas dengan komunitas lainnya antara lain disebabkan
oleh adanya perbedaan rujukan kognitif (Tabroni:2012:127).
Pada sisi lain, persepsi menurut Spradley merupakan
gambaran mental dari tanggapan manusia terhadap
lingkungannya. Terbentuknya persepsi dimulai dari rangsangan
atau stimulus luar berupa objek atau peristiwa tertentu, menjadi
173
simbol-simbol yang disalurkan ke satu atau beberapa pancaindra,
lalu disampaikan oleh sel-sel sarap ke otak. Simbol-simbol
tersebut diolah di dalam otak dengan mengaitkannya pada satu
rujukan tertentu, hingga terbentuklah persepsi. Proses selanjutnya
adalah terbentuknya makna subjektif yang tertanam dalam benak
orang tersebut, dan menjadi dasar orientasi perilaku.
Dalam psikologi sosial, dijelaskan bahwa manusia harus
melihat dirinya sebagai subjek yang menentukan perilakunya
sendiri. Perilaku ditentukan oleh adanya interaksi antara faktor
individu dan faktor lingkungan. Kognisi adalah bagian dari jiwa
manusia yang mengolah informasi, pengetahuan, pengalaman,
hasrat dan perasaan, baik yang datang dari luar maupun dari
dalam diri sendiri sehingga terjadi simpulan-simpulan yang
selanjutnya menghasilkan perilaku. Konsep perilaku konsumen
dari dunia pemasaran, antropologi, dan psikologi juga memiliki
kesamaan dengan konsep sosiologi. Nursal mendeskripsikan
bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna
sesuatu tersebut bagi mereka. Perbuatan manusia, yakni apa yang
dipikirkan, dirasakan, dilakukan oleh manusia itu timbul dari
makna yang diberikan kepada hal fisik, sosial dan abstrak, serta
makna dari interaksi dengan sesama manusia.
Menurut Nursal, konsep Spradley memperluas cara
pandang mengenai kultur, khususnya dalam pemasaran.
Perbedaan wilayah kultur pada akhirnya ditentukan oleh
perbedaan kognitif. Kultur atau subkultur antarbangsa dan
antardaerah dapat dibedakan karena adanya perbedaan rujukan
kognitif. Model pengelompokan lainnya yang lazim dilakukan
dalam dunia pemasaran juga dapat menghasilkan persamaan atau
perbedaan kognitif untuk kelompok tertentu.
Dalam dunia pemasaran, pengelompokan ini disebut
segmentasi atau memilah-milah pasar dengan kesamaan tertentu.
Selain berdasarkan kultur atau subkultur besar, pasar juga dapat
ditinjau secara demografis, geografis, gaya hidup dan
kepentingan tertentu. Intinya, setiap kelompok cenderung
memiliki rujukan kognitif atau aspirasi dan perilaku politik yang
berbeda-beda (Tabroni:2012:127-128).
Berikut ini beberapa hal yang menurut Nursal harus
digarisbawahi mengenai pemasaran politik:
174
a. Pemasaran politik bertitik tolak dari konsep meaning
(makna), yakni political meaning yang dihasilkan oleh
stimulus politik berupa komunikasi politik, baik lisan
maupun nonlisan, baik langsung maupun melalui perantara.
b. Makna yang muncul dari stimulus tersebut berupa persepsi
yang tidak selalu mencerminkan makna yang sebenarnya.
c. Persepsi terbentuk dari hasil interaksi antara stimulus politik
dengan kesadaran kognitif atau alam pikiran seseorang.
d. Makna akibat adanya stimulus politik pada gilirannya akan
mempengaruhi sikap, aspirasi dan perilaku politik, termasuk
pilihan politik.
e. Sekelompok orang dengan latar belakang yang sama (suatu
segmen yang sama) memilki sejumlah kesamaan rujukan
kognitif sehingga cenderung memberi makna yang sama
terhadap stimulus tertentu.
Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya
perpindahan makna. Salah satunya adalah strategi pemasaran
yang bertujuan untuk mentransfer makna dari dan ke dalam suatu
produk sehingga membuat produk tersebut menarik bagi
konsumen. Yang dimaksud dengan produk di sini adalah produk
politik (Tabroni:2012:128).
Dalam pemasaran politik, makna politis tersebar pada
tiga lokasi:
a. Lingkungan Sosial dan Fisik Masyarakat
Hal ini dapat berupa gagasan atas keyakinan yang
bersifat abstrak, seperti kebutuhan, keinginan, harapan dan
kepentingan politis untuk peneguhan identitas, eksistensi dan
keyakinan kelompok. Selain itu, makna tersebut juga dapat
digali dari kebutuhan akan misalnya, kemakmuran, keadilan,
kecerdasan, demokratisasi, patriotisme, kejujuran, moral,
akhlak, dan transparansi pemerintahan. Dalam dunia politik,
kebutuhan, keinginan, harapan, dan kepentingan pasar
tersebut disebut aspirasi rakyat.
Selain gagasan abstrak, dalam kehidupan masyarakat
juga terdapat makna politis yang bersifat konkret, seperti
objek-objek fisik dan institusi-institusi sosial. Misalnya, kacu
merah putih merupakan sebuah objek fisik yang
menyimbolkan patriotism. Contoh lain, pesantren adalah
sebuah objek fisik yang menyimbolkan patriotisme, dan
175
institusi yang menjadi simbol atau pilar penegakan ajaran
agama. Dengan frekuensi tertentu, kunjungan dan instruksi
seorang tokoh politik ke pesantren dapat memberi makna
bahwa sang tokoh adalah santri.
b. Produk Politik
Sebuah partai atau seorang tokoh politik dapat
memasarkan sebuah gagasan “baru” kepada rakyat pemilih.
Gagasan itu terasa baru karena memang baru dalam
masyarakat tersebut atau baru digali dari kebutuhan laten
pasar. Gagasan negara federasi misalnya, dipasarkan oleh
sebuah partai karena diyakini sebagai solusi dari persoalan
kebangsaan yang sedang dihadapi. Menurut Nursal, makna
politis tidak melulu bersumber dari kehidupan masyarakat,
tetapi dapat juga bersumber dari produk politik itu sendiri.
Secara umum, makna politis yang terdapat dalam produk
politik meliputi institusi partai politik atau kandidat politik
dengan berbagai perlengkapannya, seperti ideologi, visi misi,
platform, program, para kandidat, konstituen, objek fisik
seperti kantor, atribut fisik seperti logo, bendera, dan
selebaran.
c. Pemilih
Seorang calon pemilih mengenakan atribut partai
tertentu, misalnya kaos bergambar logo partai, untuk
menunjukkan afiliasi dirinya dengan partai tersebut. Ini
merupakan contoh makna politis yang berlokasi pada
konsumen politik. Konsumen memilih dan mendapatkan
makna politis yang digunakan untuk menciptakan identitas
mereka sendiri. Pada dasarnya makna politis yang berkaitan
dengan pemilih ini merupakan serangkaian proses
mengkonsumsi produk politik, seperti mengenakan atau
memasang atribut partai, menghadiri pertemuan politik,
memberi sumbangan kepada partai atau kandidat politik,
menjadi sukarelawan, mempengaruhi pemilih lain,
melakukan advokasi partai, dan menjatuhkan pilihan pada
hari pemilihan (Tabroni:2012:128-129).
176
5. Komunikasi Politik dan Opini Publik
Beberapa konsep dasar komunikasi politik seperti
dijelaskan sebelumnya mengilustrasikan adanya kaitan
fungsional antara komunikasi politik dengan proses pembentukan
opini publik. Misalnya, ketika Susanto memberikan batasan
tentang komunikasi politik, ia menyebutkan adanya unsur-unsur
masalah yang dibahas dengan melibatkan orang banyak
(Susanto:1985:2).
Di sisi lain, opini publik sendiri, seperti didefinisikan,
merupakan suatu kompleksitas pilihan-pilihan yang dinyatakan
oleh banyak orang berkaitan dengan suatu isu yang dipandang
penting oleh umum. Menurutnya, definisi ini relatif lebih bersifat
akademik dan berbeda dari definisi-definisi yang pada umumnya
digunakan oleh para politisi. Ia juga menambahkan bahwa opini
publik itu selalu melibatkan orang banyak yang tertarik untuk
memikirkan sesuatu isu dalam waktu yang cukup panjang.
Meskipun demikian, istilah "publik" sendiri tidak selalu
ditentukan oleh banyaknya jumlah orang yang menganut opini
tersebut. Istilah "publik" justru diukur oleh apakah sesuatu opini
itu menyangkut isu publik atau tidak (Hennessy:1975:1).
Karena itu, publik bukan berarti umum. Ia adalah
kumpulan orang-orang yang memiliki minat dan kepentingan
yang sama terhadap sesuatu isu. Publik juga ditandai oleh adanya
sesuatu isu vang dihadapi dan dibincangkan oleh kelompok
kepentingan yang dimaksud, yang menghasilkan terbentuknya
opini mengenai isu tersebut. Selain itu, publik juga bersifat
kontroversial, sehingga dapat mengundang terjadinya proses
diskusi (Nasution:1990:94).
Opini publik dikatakan relevan dan menjadi salah satu
faktor politik jika dalam banyak hal ia berpengaruh terhadap
proses pengambilan dan pelaksanaan suatu keputusan oleh para
penyelenggara
negara
dan
para
politisi
lainnya
(Kousoulas:1979:110).
Opini publik dapat bermula dari gagasan individual yang
kemudian mendapat perhatian pemerintah dan dipandang penting
oleh publik.
Dalam suatu tatanan kekuasaan yang demokratis,
demokrasi menempatkan opini publik sebagai suara rakyat (voice
of the people). Sebab menyuarakan pendapat bagi warga negara
177
merupakan kebutuhan vital untuk mewujudkan hak-hak
politisnya, yang pada beberapa negara otoritarian hak ini hampir
tidak berkembang sama sekali. Hak politis ini hampir maksimal
pada zaman Yunani Kuno. Saat itu warga polis bebas berdebat
untuk mempengaruhi kebijakan polis. Namun prosesnya menjadi
lamban karena terlalu banyak orang berbeda pendapat. Itulah
sebabnya Plato menolak partisipasi langsung dalam kebijakan
pemerintah. Ia menghendaki negara dipimpin oleh orang-orang
bijak dan dibantu oleh tentara. Sedangkan warga negara lain yang
merupakan kelompok mayoritas harus tunduk kepada para
pemimpin (Muhtadi: 2008b:37-38).
Sekarang jarang sekali dijumpai bentuk partisipasi rakyat
langsung dalam pengambilan keputusan publik. Sebagian besar
paktik demokrasi menggunakan sistem perwakilan seperti halnya
yang terjadi di Indonesia saat ini. Menurut Rodee dan kawankawan, sistem ini terutama didasarkan pada anggapan umum
bahwa:
a. Publik berkepentingan terhadap kebijakan publik.
b. Publik mendapatkan informasi.
c. Publik secara sadar akan membuat keputusan rasional.
d. Pendapat-pendapat individual yang rasional itu cenderung
memiliki kesamaan dalam orde sosial.
e. Publik
yang
telah
mengambil
keputusan
akan
menyalurkannya melalui polling atau dengan cara-cara lain.
f. Kehendak publik, atau paling tidak kehendak mayoritas, akan
diwujudkan menjadi hukum positif.
g. Pengamatan berkelanjutan dan kritik yang ajeg akan
memastikan terpeliharanya opini publik yang tercerahkan,
dan sebagai konsekuensinya, kebijakan publik dilandasi oleh
prinsip-prinsip moral dan keadilan sosial (Rodee, et, al
(ed.):1981:276).
Prinsip-prinsip inilah yang menjadikan opini publik
memegang peranan penting dalam komunikasi politik, meskipun
pada praktiknya tidak secara langsung menentukan kebijakan
publik yang memang menjadi wewenang lembaga legislatif
ataupun eksekutif. Melalui proses komunikasi politik, sesuatu
opini dapat berubah menjadi opini publik sesuai dengan
kepentingan pihak-pihak yang memprakarsai berlangsungnya
komunikasi. Karena sifatnya seperti ini, opini publik dapat
178
direkayasa melalui seperti media massa, ataupun tumbuh secara
alamiah di tengah-tengah belantara dinamika sosial politik suatu
masyarakat. Dalam kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan
dalam arti yang luas, opini publik senantiasa menjadi
pertimbangan penting, khususnya oleh para pembuat dan
pelaksana kebijakan. Sedangkan dari sisi prosesnya, opini publik
dapat terbentuk melalui kegiatan komunikasi politik, baik yang
dilakukan oleh sumber-sumber individual maupun kolektif.
Opini publik juga dapat berubah sesuai dengan tujuan
para pemrakarsanya. Di negara-negara demokratis yang telah
lama mempraktikkan komunikasi politik secara bebas, para
politisi ataupun masyarakat umum sangat memperhatikan
pentingnya perubahan opini publik. Hasil-hasil polling pendapat,
dengan segala kelemahan dan keraguan atas akurasinya, tetap
menjadi salah satu acuan bagi para politisi dalam melakukan
perubahan dan pembentukan opini publik, terutama menjelang
pelaksanaan pemilihan umum. Karena itu, mengingat pentingnya
sikap politik warga negara ataupun opini publik, mereka selalu
mengembangkan konsep-konsep baru berkenaan dengan
pembentukan opini publik. Berbagai riset dilakukan untuk
memberikan muatan-muatan yang relevan terhadap jalannya
komunikasi politik.
Dalam komunikasi politik, warga negara atau publik
sebagai konstituen para politisi dapat berperan sebagai
komunikator ketika menyalurkan aspirasi atau tuntutan, dan pada
saat yang sama mereka juga berperan sebagai khalayak
komunikasi ketika menerima pesan-pesan dari para politisi
ataupun aparat birokrasi. Perilaku politik mereka dipengaruhi
oleh interaksi dengan lingkungannya masing-masing (Muhtadi:
2008b:38-39).
Rodee dan kawan-kawan menyebutkan beberapa arena
interaksi politis yang pokok, yaitu:
a. Komunitas, tempat pengetahuan publik berkembang dari
pengalamannya mengikuti pola budaya masyarakat sehingga
rasa kesetiaan pun terbentuk, dan sikap terhadap adat-istiadat
serta aturan-aturan lainnya terkondisikan.
b. Institusi sosial seperti rumah, sekolah, tempat ibadah, dan
pemerintah, juga mempengaruhi pembentukan nilai-nilai
personal dan sistem kepercayaan.
179
c. Area gejala politis seperti para politisi, lembaga kebijakan,
dan perilaku yang membentuk budaya politik (Rodee, et, al
(ed.):1981:278).
Dampak interaksi antara totalitas kepribadian dengan
totalitas pengalaman politis menyediakan bahan baku bagi
pembentukan sikap dan ekspresi pendapat-pendapat individual
(Muhtadi: 2008b:39).
Peran komunikasi politik dalam proses pembentukan
opini publik dapat dianalisis melalui faktor-faktor penting yang
mendorong terbentuknya opini publik. Ada lima faktor penting
yang menyebabkan terbentuknya opini publik:
a. Adanya Isu
Secara sederhana, opini publik dapat diilustrasikan
semacam konsensus yang terbentuk dalam suatu arus
perbincangan tentang suatu isu. Dalam rumusan yang
berbeda, opini publik seringkali disebutkan sebagai suatu
generalisasi yang menggambarkan adanya semacam sikap
kolektif atau kesadaran publik. Sedangkan yang dimaksud
dengan isu adalah suatu persoalan kekinian yang sedang
diperbincangkan dalam situasi ketidaksepakatan. Karena itu,
dalam suatu isu terdapat elemen-elemen yang mendorong
munculnya kontroversi pendapat.
b. Adanya Publik
Elemen yang kedua adalah adanya kelompok yang
jelas dan tertarik dengan isu tersebut. "This is the public of
public opinion," tulis Hennessy. Konsep publik yang
digunakan di sini diambil dari John Dewey dalam bukunya
The Public and Its Problems. Menurutnya, dalam satu sistem
sosial, terdapat banyak publik yang masing-masing terdiri
dari individu-individu yang secara bersama-sama dipengaruhi
oleh suatu aksi dan gagasan. Dengan demikian, menurut
Dewey, setiap isu dapat memunculkan publiknya masingmasing.
c. Adanya Kompleksitas Pilihan-pilihan dalam Publik
Kompleksitas pilihan-pilihan ini merujuk pada
totalitas opini berkaitan dengan isu yang menjadi perhatian
seluruh anggota suatu publik. Pada setiap isu, perhatian
180
publik akan dibagi menjadi dua atau lebih pandangan yang
berbeda. Banyaknya pandangan pada setiap isu akan sangat
bergantung pada sikap setiap anggota publik, pengalaman
sebelumnya dan kompleksitas isu itu sendiri. Artinya, muatan
isu yang relatif sederhana tidak akan melahirkan pandangan
yang sangat beragam. Sebaliknya, isu yang kompleks akan
melahirkan pandangan yang sangat beragam.
d. Pernyataan Opini
Pandangan yang dapat membentuk opini publik
adalah pandangan yang dinyatakan secara terbuka. Terdapat
banyak cara yang bisa digunakan untuk menyatakan opini.
Tetapi, bahasa, baik dinyatakan secara lisan ataupun tertulis,
merupakan bentuk yang paling umum digunakan untuk
menyatakan suatu opini. Pernyataan dimaksud juga
mensyaratkan keterbukaan sehingga mengundang sebanyakbanyaknya respon. Karena itu, pada tahap menyatakan opini
secara terbuka ini, media massa merupakan alat yang relatif
paling efektif dan efisien.
e. Banyaknya Individu yang Terlibat
Faktor terakhir yang ikut menentukan proses
pembentukan opini publik adalah banyaknya publik yang
tertarik dengan isu. Ada beberapa norma yang digunakan,
antara lain:
1) Besarnya publik tidak selalu ditentukan oleh jumlah
mayoritas yang terlibat dalam perbincangan tentang isu.
2) Publik yang terlibat tidak harus mereka yang memiliki
gagasan awal atau pun mereka yang melahirkan isu.
3) Signifikansi publik terutama ditentukan oleh efektifitas
komunikasi yang berlangsung dalam proses pembentukan
opini sampai pada pertimbangan dalam penetapan bahwa
sesuatu opini telah menjadi opini publik (Muhtadi:
2008b:39-41).
Senada dengan uraian di atas, Susanto juga menjelaskan
beberapa unsur yang terkandung dalam suatu opini publik, yaitu:
a. Memungkinkan terjadinya pro dan kontra, terutama sebelum
tercapainya suatu konsensus.
181
b. Melibatkan lebih dari seorang, atau dalam istilah Hennessy
disebut ukuran publik.
c. Dinyatakan, yakni opini dikomunikasikan secara terbuka.
d. Memungkinkan atau mengundang adanya tanggapan
(Susanto:1975:94).
Selain itu, pembentukan opini publik juga ikut
dipengaruhi oleh jarak geografis, pengetahuan, dan sikap
khalayak. Karena itu, seseorang atau sekelompok orang yang
bermaksud membangun opini publik, selayaknya mengetahui
kondisi khalayak yang sebenarnya, serta perlu mengupayakan
agar sikap khalayak yang bersangkutan dapat menguntungkan
(favourable) (Muhtadi: 2008b:41).
6. Citra dan Opini Publik
Semakin terbukanya dunia media massa untuk
membangun citra politik dan praktisi politik di mata publik,
kemudian membuat banyak partai politik yang menggandeng
konsultan Public Relation (PR). Kepentingannya adalah
bagaimana kemudian partai politik menjadi “barang dagangan”
yang harus dipasarkan sehingga menarik calon pemilihnya, yaitu
publik.
Saat ini, sudah menjadi hal biasa partai politik bekerja
sama dengan konsultan PR setiap menjelang kampanye Pemilu.
Bahkan, pada tahap yang paling sempit lagi, para calon kepala
daerah pun saat ini sudah menggunakan pola-pola PR dalam
melakukan kampanye di daerah. Yang lebih personal, tidak
sedikit pula para calon anggota legislatif yang secara pribadi
menyewa konsultan, baik kelembagaan maupun personnya, yang
diperbantukan secara professional dalam kampanyenya.
Apa yang dilakukan oleh partai politik dan praktisi
politik ini tidak lain untuk membangun citra positif partai dan
elitnya di mata publik. Bagaimanapun, di era pemilihan langsung,
selain popularitas, setiap pihak yang memiliki kepentingan
politik, sangat membutuhkan citra positif untuk mewujudkan
tujuan politiknya. Di tengah perkembangan dunia politik yang
semakin maju, pencitraan menjadi salah satu tugas pokok, baik
personal maupun sebuah lembaga politik.
Dalam dunia usaha atau institusi profesional, ada bagian
yang dapat melayani dan memperjelas sesuatu yang dihadapi
182
sebuah institusi atau perusahaan, mereka menyebutnya PR
(Public Relation) atau humas atau pemasaran (marketing).
Mereka menghubungkan antara institusi atas perusahaan dan
khalayak atau publik dengan cara menyebarkan news release atau
mengadakan jumpa pers, baik melalui media cetak maupun
elektronik. Dengan harapan, penjelasan-penjelasan tersebut akan
dapat mengubah citra publik terhadap institusi atau perusahaan.
Kini, hal yang sama juga dilakukan oleh partai politik.
Secara personal, para kandidat pimpinan dari mulai tingkat
bawah hingga yang paling tinggi, termasuk para calon wakil
rakyat, selalu berbenah diri, membentuk citra positif, dan dan
mengonter segala isu miring yang tersebar di masyarakat terkait
dengan diri dan lembaga politiknya. Kini fungsi pemasaran tidak
lagi monopoli perusahaan yang bergelut di bidang jasa atau pun
bisnis murni, tetapi juga sudah merambah pada aktivitas politik di
berbagai level.
Politik citra ini menjadi tren bukan hanya di Indonesia,
melainkan juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan negara-negara di Eropa. Popularitas menjadi hal yang sangat
penting selain setiap kandidat dan lembaga politik harus selalu
berhati-hati agar tidak terjebak pada citra buruk yang mungkin
dapat ditimbulkan oleh lawan politiknya. Pada dunia yang
dipenuhi perang citra, bangunan citra positif bisa saja jatuh
karena ada proses pencitraan yang buruk oleh lawan politik.
Karena itu, mengonter berbagai isu miring adalah bagian dari
pemasaran politik juga.
Tugas berat pertama seorang pemasar politik yang
bertugas membangun citra politik sebuah lembaga politik atau
produk politik adalah memperkenalkan lembaga politik atau
produk politik tersebut kepada publik. Untuk memperkenalkan
sesuatu yang baru agar diketahui dan dikenal oleh publik
memerlukan kerja keras dan cerdas, salah satunya membuat
berbagai alat sosialisasi seperti selebaran, brosur, iklan,
pemberitaan media cetak dan elektronik, juga online.
Pembentukan citra sangat penting bagi partai politik baru atau
kandidat yang belum dikenal oleh masyarakat.
Upaya untuk memperkenalkan diri kepada khalayak
merupakan strategi komunikasi yang mutlak dilakukan. Untuk
memperoleh pemilih bukan persoalan yang mudah, karena
183
dewasa ini orang menyamakan dirinya dengan orang lain atau
pihak lain tidak semata-mata mengikuti aspek kebutuhan nyata,
tetapi lebih pada rasa membutuhkan. Terlebih ketika pemilih itu
semakin hari semakin banyak dan semua berlomba
memperebutkan simpati masyarakat lewat opini publik yang
diciptakan dan didesain secara kreatif dan semakin atraktif.
Semakin longgarnya ikatan emosional dan ideologi
sebuah institusi politik, pilihan politik semakin mudah berpindah
mengikuti arus opini publik yang dibentuk di permukaan. Itulah
sebab orang berlomba untuk mengejar popularitas melalui polling
atau survey. Hasil polling atau hasil survei kemudian dijadikan
senjata untuk memancing ketertarikan publik, sebab ketika sudah
menjadi bagian dari konten media dapat membangun opini publik
tentang kehebatan partai politik tertentu atau seorang kandidat
tertentu. Karenanya, tugas seorang pemasar politik adalah
bagaimana ia dapat semakin mendekatkan partai politik atau
aktor politik kepada publik. Ia harus cerdas membangun opini
publik bahwa tidak ada alasan untuk tidak berpihak kepadanya
sehingga lama kelamaan semakin yakin dan menjadi pemilihnya.
Juga, bagaimana cara menciptakan aktivitas komunikasi agar
dapat berjalan secara teratur dan berkesinambungan. Semuanya
ini tentu dilakukan dengan menggunakan berbagai perangkat
media agar membangun opini publik yang positif tentang diri dan
lembaga yang ditawarkan (Tabroni:2012:91-93).
7. Mempercayakan kepada Etika dan Profesionalisme Pers
Kalau negeri ini tetap ingin mencontoh Amerika Serikat
dengan cara mewujudkan kebebasan pers yang dijamin konstitusi
(UUD), di mana pemerintah maupun DPR dilarang membuat
undang-undang atau peraturan yang dapat mengurangi kebebasan
pers telah benar-benar dijalankan, tidak berarti freedom of the
press itu tidak ada yang mengatur sama sekali atau
membatasinya. Kebebasan itu bukan bebas sebebas-bebasnya.
Aturan tetap ada, tetapi bergeser dari dominasi negara kepada
pertimbangan rasional etika moralitas serta interaksi antarinstitusi
sosial. Prinsipnya tatkala sesuatunya ada kebebasan, maka
tanggungjawab moral terhadap pilihan kebebasan itu menjadi
sesuatu hal yang sangat penting dan harus ditekankan. Dasarnya
perilaku pers senantiasa mempunyai implikasi sosial, karena itu
184
etika moralitas pers menjadi sangat penting. Hal demikian akan
semakin cepat terwujud jika profesionalisme kalangan pelaku
media sudah memenuhi.
Profesionalisme ini mencakup berbagai pemahaman
terhadap peran pers, jurnalistik, dan ajaran etika. Jika pers
dipandang sebagai cermin realitas, maka apa yang diberitakan
media harus betul-betul merefleksikan realitas objektif yang
benar-benar terjadi sesuai yang dilihat, didengar atau diketahui
oleh si wartawan. Bukan “kabar angin”, opini, fantasi, ataupun
perkiraan dari si wartawan sendiri. Check and recheck dan
investigasi haruslah menjadi budaya yang mendasari gerak kerja
jurnalis. Begitu pula suara hati nurani dan ukuran kebaikan orang
banyak, hendaknya dijadikan landasan pertimbangan moral
dalam peliputan realitas. Tentu saja tuntutan profesionalisme
wartawan ini sangat berkaitan dengan persyaratan professional
yang ketat, baik persyaratan intelektual, skills, maupun moralitas.
Standar objektivitas berita perlu dipertegas sesuai dengan
persyaratan validitas ilmiah dalam pemberitaan. Sesuatu berita
dikatakan berasal dari realitas jika wartawan memiliki bukti
bahwa informasi yang diungkap memang berdasar pada apa yang
dilihat, didengar, dan diketahui oleh wartawan. Isi pemberitaan
pers yang menyangkut pendeskripsian peristiwa hendaknya
benar-benar diupayakan berasal dari realitas sosiologis yang
diperoleh langsung dari pengamatan wartawan dengan bukti
empirisnya. Kalau peristiwa itu harus dideskripsikan berdasarkan
informasi dari narasumber pelaku interaksi sosial, maka mau
tidak mau wartawan yang bersangkutan harus menguji
kompetensi narasumber dan validitas informasinya. Suatu
narasumber dikatakan berkompeten jika ia memang pelaku
langsung interaksi sosial atau peristiwa yang diberitakan.
Narasumber yang kompeten yang dianggap mampu mengungkap
realitas sosiologis ialah narasumber yang memang mengalami
sendiri kejadian yang akan diberitakan, ikut merasakan, dan
mampu mengungkapkannya kembali. Jika narasumber yang
digunakan wartawan bukan pelaku langsung, tetapi karena
jabatan atau perannya yang dianggap tahu, maka informasi yang
berasal dari narasumber seperti ini merupakan realitas psikologis,
yaitu realitas yang ada pada pikiran orang atau sekelompok
185
orang, bukan apa yang sungguh-sungguh dilakukan atau
dirasakan oleh manusia yang menjadi pelaku langsung interaksi.
Objektivitas berita dalam jurnalisme yang profesional
selain mensyaratkan kompetensi narasumber, wartawan, atau
redaktur, juga harus menguji validitas informasi yang
disampaikan. Wartawan atau redaktur hendaknya melakukan
konfirmasi atau informasi yang diperoleh pada narasumber lain
yang juga kompeten, tujuannya untuk menguji kebenaran
informasi yang sudah diperoleh tersebut. Semakin banyak
narasumber yang dikonfirmasi, semakin valid objektivitas realitas
yang diungkap. Namun sebaliknya, semakin sedikit narasumber
yang digunaka, apalagi tidak berkompeten, tidak jelas asalusulnya, atau tidak dapat dikonfirmasi ulang, berarti semakin
lemah validitas objektivitas berita yang diungkap. Hal semacam
inilah yang harus dihindarkan oleh pers yang profesional.
Melalui ukuran yang demikianlah, profesionalisme
objektivitas pemberitaan suatu media dapat diukur. Pers yang
memberitakan secara profesional akan lebih mudah diterima
secara rasional oleh pembacanya, sementara pers yang tidak
profesional, tetapi bombastis, nantinya akan ditinggalkan oleh
para pembacanya yang rasional. Dengan demikian, nantinya pers
yang tidak didukung oleh standar profesionalisme jurnalistik
hanya akan menjadi “pers sampah” yang nantinya tidak akan
dipercaya oleh publik yang semakin rasional. Kalau pun mereka
masih ada pembacanya, cenderung berasal dari masyarakat yang
unintelectual, yang kurang kritis, yang dalam alam demokratisasi
jumlah mereka ini semakin lama akan semakin sedikit.
Selain profesionalisme wartawan, kontrol sosial dari
masyarakat tentu juga diperlukan dalam mengawasi isi media.
Kontrol masyarakat ini dilakukan dalam koridor demokrasi,
bukan anarkis. Bukannya menekan pers dengan membawa
kekuatan massa ke kantor media, atau mengancam para
wartawannya. Namun kontrol itu dapat dilakukan melalui tulisan,
surat pembaca, hak jawab, ataupun tuntutan di pengadilan. Kalau
perlu biarkan masyarakat dan juga pers membentuk lembaga
khusus yang independen yang terdiri dari orang-orang yang
berkredibilitas, bermoral, berwawasan luas, yang berasal dari
berbagai kalangan. Maksudnya, ikut memberikan masukan,
kritik, ataupun kontrol terhadap isi pers. Tetapi lembaga
186
demikian ini tidak memiliki sanksi hukum, sanksinya hanyalah
moral, mengingatkan media massa yang melanggar etika. Jadi,
semacam yayasan konsumen, tetapi khusus mengenai isi media
massa. Inilah yang dikenal sebagai lembaga media watch.
Kebebasan
tidak
berarti
bahwa
pers
boleh
menyebarluaskan fitnah, kabar bohong, dan kebencian.
Kebebasan pers tetap dibatasi oleh kebenaran dan kemerdekaan
orang lain. Apa yang diungkapkan pers tak lain adalah fakta. Jika
ada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan mengenai
fakta tersebut, maka penyelesaiannya -setelah tidak dapat
dikompromikan- misalnya dengan pemuatan hak jawab, pihak
yang dirugikan dapat menuntut ke pengadilan, dan diselesaikan
dengan peradilan perdata. Atau kalau pemberitaan itu termasuk
suatu libel atau fitnah, pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana bisa diberlakukan pada wartawan yang
bersangkutan di pengadilan nanti. Artinya, walaupun tidak ada
aturan khusus tentang pembatasan pers, namun tetap ada
peraturan pidana dan perdata yang membatasi perilaku profesi
wartawan. Jadi, nantinya walaupun ada kebebasan pers, akan
memunculkan hubungan interplay, mekanisme saling menjaga,
saling kontrol antara pers dan masyarakat, serta servomechanism
wartawan sendiri melalui etika dan pedoman standar profesional.
Dengan demikian, kebebasan pers ini nantinya tidak saja
menuntut peningkatan kualitas profesionalisme wartawan, tetapi
juga secara alami insan pers akan semakin dewasa untuk
menggunakan kebebasan itu sendiri.
Pemikiran yang sangat baik dan berkembang di awal
reformasi tersebut, mungkin menjadi absurd bila dibahas setelah
reformasi berjalan lebih dari 15 tahun, karena kondisi Indonesia
yang sudah berubah. Masyarakat telah merasakan kebebasan dan
demokrasi yang sebelumnya tidak mereka rasakan. Persoalannya
apakah benar setelah reformasi berjalan 15 tahun lebih, Indonesia
menjadi lebih baik bila kita mengikuti model Barat khususnya
Amerika Serikat? Apakah tidak sebaliknya, sebuah model yang
kita adopsi senantiasa hanya menguntungkan negara dari mana
model itu berasal, namun Indonesia sendiri justru mengalami
banyak masalah? Karena itu semua pemikiran yang muncul di era
awal Reformasi di atas harus kita kaji lagi secara kritis. Dikaji
dengan mengevaluasi apa yang sudah terjadi, dikaitkan dengan
187
konstelasi hubungan antarnegara, dengan melihat siapa yang
diuntungkan dengan sistem sekarang, apakah rakyat benar-benar
telah merasakan manfaat baik dan kesejahteraan, atau justru
sebaliknya?. Dengan demikian, kita menjadi lebih kritis melihat
sistem seperti apa yang paling tepat diterapkan di Indonesia, agar
menjadikan keadaan negeri ini menjadi lebih baik (Subiakto dan
Ida:2014:97-100).
188
BAB V
PEMILIHAN KEPALA
DAERAH KOTA MEDAN
Sebagai contoh kepercayaan dalam komunikasi politik menurut
tinjauan psikologi komunikasi, kita ambil pemilihan wali kota Medan.
A. Sekilas Pilkada Serentak
1. Pelaksanaan Pilkada Serentak
Pemerintah menggelar Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) secara serentak pada tahun 2015 di 263 provinsi, kota,
dan kabupaten.
Gambar 3. Pilkada Serentak 9 Desember 2015
Dengan pertimbangan guna memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya bagi warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara
189
serentak, Pemerintah menetapkan hari pelaksanaan Pilkada
serentak tanggal 9 Desember 2015 sebagai hari libur.
Penetapan itu tertuang dalam Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 25 Tahun 2015, yang ditandatangani oleh
Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 November 2015.
“Menetapkan hari Rabu tanggal 9 Desember 2015
sebagai hari libur nasional dalam rangka pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan
Wakil Walikota secara serentak,” bunyi diktum PERTAMA
Keppres tersebut.
Adapun diktum KEDUA Keppres tersebut menyatakan,
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,
yaitu 23 November 2015 (http://setkab.go.id/sukseskan-pilkadaserentak-pemerintah-tetapkan-9-desember-2015-sebagai-harilibur-nasional/).
Pemerintah dan DPR sepakat bahwa pelaksanaan Pilkada
serentak akan digelar pada Desember 2015. Kesepakatan itu
tercipta setelah pihak penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan
Umum (KPU) menyanggupinya. Hal disampaikan Ketua Fraksi
Golkar di MPR, Kamarul Zaman Rambe, dalam sebuah diskusi di
Gedung MPR, Senin (13/4/2016).
Menurutnya, UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada
mengamanatkan terhadap pejabat kepala daerah yang habis pada
2015 dan masa jabatan Januari hingga Juli 2016 ditarik pemilihan
pejabat baru pada Desember 2015. Meski DPR khususnya
Komisi II mengusulkan agar dilakukan proses Pilkada pada 2016,
namun kesepakatan dilakukan pada 9 Desember 2015.
Jumlah daerah yang akan menggelar perhelatan akbar
lokal sebanyak 269 Pilkada. Namun, pelaksanaan Pilkada
serentak dilakukan melalui tiga gelombang. Gelombang kedua
akan digelar pada Februari 2017 diperuntukan bagi mereka
pejabat kepala daerah yang habis masanya pada Juli hingga
Desember 2017. Sedangkan gelombang tiga bakal digelar pada
Juni 2018 bagi pejabat yang habis masa tugasnya pada 2018 dan
2019.
Soal anggaran, tak saja bersumber dari APBD, tetapi juga
mendapat bantuan dari APBN. Terlepas dari berbagai
kekurangan, kata Rambe, hal itu menjadi konsekuensi dari UU
Pilkada. Rambe cukup menguasai UU Pilkada. Apalagi
190
perdebatan pelaksanaan Pilkada Serentak. Rambe menjabat
Ketua Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan.
Lebih jauh, Rambe berpandangan bahwa persoalan
pelaksanaan Pilkada serentak sempat diperdebatkan. Apalagi
putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengamanatkan
pelaksanaan Pemilu serentak hanya Pilpres dan Pemilihan
Anggota Legislatif (Pileg).
“Itu pun belum terbayangkan dari sisi anggaran,
pengamanan, dan kualitas. Tapi Pilkada serentak merupakan
keputusan yang harus kita terima dengan tiga gelombang dan kita
laksanakan,” ujarnya.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Siti Zuhro, berpandangan bahwa dalam melaksanakan
Pilkada serentak mesti dipertimbangkan dampak terhadap rakyat.
Tak saja efisiensi anggaran, tapi juga kesiapan masyarakat dan
partai politik. Terlebih, masih adanya perseteruan internal partai
dengan dualisme kepengurusan yang tak kunjung rampung.
“Pilkada serentak yang akan digelar Desember perlu
diundur,” ujarnya.
Kendati pun tetap bakal digelar akhir tahun 2015, perlu
menilik kesiapan birokrasi dan administrasi, termasuk Pemda
setempat di masing-masing daerah. Selain itu, kesiapan
penyelanggara seperti KPU dan Bawaslu secara administratif,
substantif dan anggaran perlu persiapkan matang. Dengan kata
lain, kata Zuhro, kesiapan seluruh stakeholder dalam
melaksanakan Pilkada serentak perlu mempertimbangkan
beberapa hak krusial dan dampaknya terhadap masyarakat luas.
Ia menilai Pilkada serentak seolah dipaksakan. Ia
berpendapat bahwa pelaksanaan Pilkada serentak di 269 daerah
bukan perkara mudah. Ia menyarankan sebaiknya Pilkada
serentak dilakukan di satu provinsi dengan beberapa kabupaten
sebagai uji coba. Nah, jika ternyata berjalan lancar tanpa adanya
kerusuhan dan sengketa, maka dapat digelar di provinsi lain. Di
tahun berikutnya, dapat digelar serentak nasional.
“Kalau mau serentak di satu provinsi dulu untuk test
case. Jangan kita memayungi hukum dan kemudian jadi blunder.
Pilkada serentak tak saja untuk alasan efisiensi saja, tapi juga
kesejahteraan rakyat. Dan sepatutnya rencana diselenggarakan
pada Desember ini direview agar hasilnya berkualitas dan
191
korelasinya terhadap pemerintahan daerah dan rakyatnya positif
dan
signifikan,”
pungkasnya
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552b941df0c5f/pela
ksanaan-pilkada-serentak-digelar-9-desember-2015).
2. Anggaran Pilkada Serentak
Terkait anggaran pelaksanaan Pilkada serentak,
Mendagri Tjahjo Koemolo menjelaskan, anggarannya sudah
tercukupi semua. Anggaran diambil dari APBD sebesar Rp 7,1
triliun. Demikian besarnya dana demokrasi di Indonesia.
"Ini justru memang cukup mengejutkan, dari
perhitungan yang hanya Rp 4,8 triliun tapi ternyata karena kita
serentak justru meningkat menjadi Rp 7,1 triliun," ungkap Tjahjo
dikutip dari setkab.go.id, Selasa (3/11/2015).
Pada kesempatan ini, Mendagri mengingatkan kembali
apa yang telah disampaikan dalam rapat koordinasi
Menkopolhukam agar Bareskrim, Kapolri, Jaksa Agung dan juga
kementeriannya memberikan peringatan kepada daerah tingkat 2
yang mengingkari naskah perjanjian hibah daerah menyangkut
anggaran pengawasan dan anggaran Pilkada (http://pilkadaserentak-2015.liputan6.com/read/2355801/anggaran-pilkadaserentak-membengkak-jadi-rp-71-triliun).
3. Pengamanan Pilkada Serentak
Kepolisian Republik Indonesia menggelar apel Kasatwil
(Kepala Satuan Wilayah), di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Kapolri, Jendral Badrodin Haiti mengatakan, Apel
Kasatwil 2015 ini digelar guna mengamankan Pilkada serentak
tahun 2015.
"Konsentrasi kita pada apel Kasatwil kali ini adalah
pengamanan Pilkada serentak tahun 2015," ujar Badrodin Haiti
dalam pidatonya di auditorium PTIK, Selasa (11/8/2015).
Badrodin juga menegaskan, kepada seluruh Kasatwil
bahwa Pilkada 2015 ini menjadi penting karena pertaruhan Polri
dalam menjaga keamanan serta kelancaran Pilkada serentak di
269 daerah.
"Yang lalu Pilkada tidak serentak. Kemudian dirubah
jadi Pilkada serentak. Tahap pertama ada 269 daerah provinsi
192
kabupaten kota. Pilkada serentak punya kerawanan cukup tinggi.
Ini menjadi penting karena pertaruhan polri, bisa atau tidak Polri
mengamankan Pemilu ini," jelas Badrodin.
Diketahui bahwa seluruh Kasatwil dari berbagai daerah
di Indonesia sudah memenuhi ruangan auditorium PTIK sejak
sekitar pukul 08.00 wib untuk mendengarkan arahan dari Kapolri
terkait
pengamanan
Pilkada
serentak
2015
(http://news.okezone.com/read/2015/08/11/338/1194003/pengam
anan-pilkada-serentak-polri-gelar-apel-kasatwil).
4. Konflik Pilkada Serentak
Dalam pelaksanaannya, Pilkada serentak secara umum
berjalan dengan baik. Tapi walaupun demikian, tetap saja ada
masalah berupa kecurangan, gugatan ke KPU daln lain-lain.
Menurut pengamat politik Universitas Negeri Medan
(UNIMED) mengatakan bahwa selama Presiden Joko Widodo
masih mengakomodir semua kepentingan partai politik maka
kegaduhan politik nasional pada 2016 masih akan terjadi (Harian
Waspada (4 Januari 2016), h. A1).
a. Daerah Rawan Konflik Pilkada
Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) yang dirilis Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) memperlihatkan sejumlah
daerah di Sumatera Utara cukup rawan dalam pelaksanaan
Pilkada. Bahkan dari 23 daerah yang akan menggelar
Pilkada, hanya satu daerah yang masuk kategori aman, yaitu
Kota Pematang Siantar dengan IKP 1,48.
Selebihnya 18 daerah masuk kategori cukup rawan
dengan IKP berkisar 2,1 hingga 3 dan empat daerah lain
masuk kategori rawan dengan IKP 3,18 hingga 3,74.
Menurut anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Daniel Zuhron, kerawanan ditandai mulai dari politik uang,
profesionalitas penyelenggara, keamanan daerah, akses
terhadap pengawasan dan partisipasi masyarakat.
“Politik uang diperkirakan akan tetap marak dan
menjadi salah satu kerawanan dalam Pilkada. Di antara
indikator yang dicek pada aspek ini yaitu angka kemiskinan,
anggaran bansos dalam APBD dan juga anggaran iklan
pencitraan,” ujar Zuhron, di Jakarta, Selasa (1/9/2015).
193
Indikator
kerawanan
lain
adalah
potensi
terganggunya keamanan di Sumatera Utara pada
penyelenggaraan Pilkada. Menurut Zuhron, di beberapa
daerah ketika pelaksanaan pemilihan presiden maupun
pemilihan legislatif tidak terjadi kekerasan yang berkaitan
dengan Pemilu. Namun ketika pelaksanaan Pilkada, malah
terjadi kekerasan. Karena itu potensi dengan adanya IKP,
dapat menjadi perhatian bersama untuk menjaga hal-hal yang
tidak diinginkan.
IKP menurut Zuhron, disusun berdasarkan
pengawasan yang dilakukan Bawaslu selama ini. Selain itu
juga didukung data dari Badan Pusat Statistik (BPS), data
potensi desa, data KPU dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dari data-data tersebut,
Bawaslu kemudian merumuskan poin 0-1 (sangat aman), 1-2
(aman), 2.1-3 (cukup rawan), 3.1-4 (rawan) dan 4.1-5
(sangat rawan).
“Untuk Sumatera Utara terdapat empat daerah yang
IKP-nya masuk kategori rawan. Masing-masing Kabupaten
Nias Barat (3.74), Nias Utara (3,57), Nias Selatan (3,47) dan
Kota Gunung Sitoli (3.18),” ujar Zuhron.
Sementara 18 daerah yang masuk kategori cukup
rawan masing-masing Kabupaten Mandailing Natal (2,93),
Toba Samosir (2.85), Labuhan Batu Utara (2.83), Tapanuli
Selatan (2.77), Kota Binjai (2.75), Tanjung Balai (2.60), Kota
Sibolga (2.58), Humbang Hasundutan (2.56), Karo (2.54),
Labuhan Batu Selatan (2.54), Pakpak Barat (2.42),
Simalungun (2.39), Asahan (2.38), Labuhan Batu (2.36),
Serdang Bedagai (2.34), Kota Medan (2.30), Kabupaten Nias
(2.28)
dan
Kabupaten
Samosir
(2.26)
(http://www.metrosiantar.com/2015/09/01/205295/18daerah-rawan-konflik-pilkada-termasuk-simalungun-siantaraman/).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencium adanya
potensi konflik pada gelaran Pilkada serentak pada Desember
mendatang. Anggota KPU, Arif Budiman mengungkapkan,
potensi tersebut sudah terdeteksi sejak perdebatan waktu
penyelenggaraan Pilkada.
194
Menurutnya, potensi konflik di antaranya berangkat
dari persoalan anggaran Pilkada, penyelenggaran waktu
kampanye, partai yang memiliki dualisme kepengurusan,
sistem penghitungan, hingga penetapan pemenang Pemilu
tentu
berpotensi
memunculkan
konflik
(http://news.okezone.com/read/2015/08/23/337/1201044/pem
icu-konflik-pilkada-serentak-versi-kpu).
b. Penyebab Konflik Pilkada
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai ada enam
aktor yang berpotensi memicu konflik pada Pilkada serentak
yang diselenggarakan di 269 Kabupaten/Kota pada 9
Desember 2015.
"Keenam aktor itu, peserta Pemilu, penyelenggara
Pemilu, pemilih, pemerintah, TNI dan Polri serta media
massa," kata anggota KPU Pusat Arief Budiman dalam
diskusi Forum Senator untuk Rakyat (FSuR) Kantor Berita
Politik RMOL bertajuk "Memetakan Potensi Konflik dalam
Pilkada Serentak" di Kafe Dua Nyonya, Jakarta, Minggu
(23/8/2015).
Menurut Arief, peserta Pilkada rawan menjadi aktor
memicu konflik, apalagi bila Pilkada hanya diikuti dua
kandidat. Aktor selanjutnya, penyelenggara Pilkada. Hanya
saja sudah ada instrumen untuk mengkoreksinya melalui
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Aktor ketiga adalah para pemilih. Aktor keempat,
pemerintah berkaitan dengan dana Pilkada. Aktor kelima
adalah TNI dan Polri yang mengawasi dan mengamankan
Pilkada. "Ini berkaitan dengan netralitas aparat dalam
Pilkada," tukasnya.
Sementara itu, aktor keenam adalah media massa.
Media massa seringkali memanaskan situasi dengan
pemberitaan tak berimbang. "Tulisan itu bisa memberikan
kontribusi Pilkada sebagai pesta demokrasi yang meriah atau
pesta mencekam," terangnya.
Apalagi, Arief menambahkan, sejak awal pembuatan
regulasi Pilkada serentak terjadi banyak perdebatan dan tarik
menarik kepentingan. "Isi yang diperdebatkan adalah
pelaksanaan tahun 2016. Akhirnya setelah tarik menarik
195
ditetapkan Desember 2015. Begitu pula siapa (daerah) yang
ikut banyak timbulkan pertentangan," bebernya.
Menurut Arief, masa kampanye memiliki potensi
konflik aktual kalau ada perlakuan tidak fair, terutama
pertentangan incumbent dan nonincumbent.
Untuk
mengantisipasi
itu
semua,
Arief
menambahkan, pihak KPU sudah melaksanakan antisipasi,
termasuk pula tudingan penggelembungan dan pencurian
suara.
"Kita antisipasi data-data akurat, data Kemendagri
kualitas baik terkait data pemilih," paparnya. Demikian pula,
nantinya dasar penghitungan suara adalah scaning formulir
C-1.
Adapun untuk penetapan pemenang, UU pun
membatasi
kemungkinan
terjadi
konflik.
Untuk
meminimalisir konflik, sengketa hanya boleh diajukan bila
terjadi selisih di bawah 2 persen suara. "Kalau selisih suara
lebih dari 2 persen tak bisa disengketakan," terangnya.
Pembicara lain dalam diskusi itu, Deputy IV Bidang
Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf
Kepresidenan Eko Sulistyo, pengamat sosial kemasyarakatan
Adhie M Massardi, Kepala Demografi FE-UI Sonny Harry
B. Harmadi dan Budayawan Radhar Panca Dharma
(http://www.rmol.co/read/2015/08/23/214429/Inilah-6Aktor-Potensial-Pemicu-Konflik-Pilkada-Serentak-versiKPU-).
Hasil panatuan Harian Waspada, sudah 102 gugatan
Pilkada masuk ke MK (Harian Waspada (22 Desember
2015), h. A1).
Menurut para pengamat Pemilu, masyarakat sudah
jenuh dengan Pemilu yang menghasilkan para koruptor dan
hampir tidak adanya perubahan yang berarti bagi
pembangunan di Indonesia (Harian Sinar Indonesia Baru (21
Desember 2015), h. 1).
Menurut pantauan Harian Kompas, partisipasi
masyarakat dalam Pilkada serentak rendah, ditandai
menurunnya jumlah masyarakat yang mencoblos hingga
Jum’at, 11 Januari 2015 pukul 14:00 berdasarkan data KPU
hanya mencapai 64,23 % (Harian Kompas (12 Desember
2015), h. 1).
196
B. Proses Pemilihan Wali Kota Medan
1. Anggaran Pilkada Kota Medan
Dana untuk penyelenggaraan Pilkada Kota Medan 2015
sebanyak Rp 56,5 miliar. Dana tersebut sudah termasuk untuk
biaya pengamanan oleh Polresta Medan dan Polres Belawan
sebanyak Rp 7 miliar.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan,
Yeni Chairiah Rambe mengatakan, dana tersebut juga akan
digunakan untuk menggaji para panitia PPK dan PPS. Namun, ia
belum
tahu
berapa
bayaran
mereka
(http://tabloidpewarta.com/kota/item/224-anggaran-pilkadamedan-tembus-rp-565-miliar).
Gambar 4. Yeni Chairiah Rambe
Terkait para anggota PPK dan PPS yang baru dilantik,
Yeni menegaskan bahwa seluruhnya diseleksi secara murni,
tanpa ada 'pesanan' dari pihak manapun.
"Ini semua murni kita terima. Tidak ada rekomendasirekomendasi dari manapun. Kita seleksi mulai dari administrasi,
terus seleksi tertulis, lalu ada tanggapan dari masyarakat. Proses
perekrutan mulai 19 April 2015. Untuk PPS itu masing-masing 6
untuk 151 kelurahan. Ini semua rata-rata wajah baru. Walaupun
sebagian ada yang berlatar belakang KPPS," katanya.
Tugas pertama yang akan dilakukan para PPK dan PPS,
kata Yeni, adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat soal
penyelenggaraan Pilkada.
197
"Tugas pertama mereka ini akan melakukan sosialisasi.
Untuk tahapan belum karena tanggal 3 Juni kita baru akan
menerima DP4. Yang pasti nanti bukan Juni sudah akan ada
pencocokan
pemutakhiran
data
pemilih,"
katanya
(http://tabloidpewarta.com/kota/item/224-anggaran-pilkadamedan-tembus-rp-565-miliar).
2. Pendaftaran Bakal Calon
Pilkada Kota Medan juga termasuk Pilkada serentak pada
tanggal 9 Desember 2015. Terdapat 2 pasang calon wali kota
Medan periode 2016-2021, yaitu H. Dzulmi Eldin yang
berpasangan dengan Ahyar Nasution; dan Ramadhan Pohan yang
berpasangan dengan Eddie Kusuma.
Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota Medan dimulai
dengan pendaftaran dua bakal calon walikota dan wakil walikota
Medan. Kedua kandidat tersebut adalah, pasangan H Dzulmi
Eldin dan Ahyar Nasution yang diusung PDI-P dan Nasdem.
Pasangan lainnya adalah Ramadhan Pohan yang berpasangan
dengan Eddie Kusuma.
Menurut Komisioner KPU Medan Pandopatan Tamba,
kedua pasangan ini sudah memenuhi syarat minimal dukungan
minimal 10 kursi. Dari sisi kursi, Eldin-Ahyar punya dukungan
30 kursi. Ramadhan-Eddie 15 kursi, total sudah 45 kursi.
"Untuk Medan dipastikan hanya dua pasangan calon ini
karena jumlah kursi sudah habis. Sudah tidak mungkin ada lagi
yang mendaftar. Tapi begitupun, kami akan tetap buka
pendaftaran sampai besok," kata Tamba yang dihubungi via
telepon selulernya.
Tahap selanjutnya, kata Tamba, adalah pemeriksaan
kesehatan pada 29 hingga 31 Juli di RSUD Pirngadi Medan. KPU
Medan bekerjasama dengan IDI Kota Medan untuk tahapan ini.
Pada 29 Juli sampai 2 Agustus akan dilakukan pemeriksaan
administrasi pasangan calon. Mulai dari dukungan parpol sampai
dukungan calon.
"Tanggal 4 Agustus kami beritahukan hasilnya. Biar
mereka bisa memperbaiki dokumen yang belum lengkap,"
pungkas Tamba.
Seperti diketahui, 30 dukungan kursi untuk pasangan
Eldin-Ahyar berasal dari 9 kursi PDI-P, 7 kursi Golkar, 5 dari
198
PKS, 4 dari PAN, 2 dari PKPI, 2 dari Nasdem, dan 1 dari PBB.
Sedangkan 15 dukungan kursi untuk pasangan Ramadhan-Eddie
berasal dari 5 kursi Demokrat, 6 kursi Gerindra, dan 4 kursi
Hanura
(http://regional.kompas.com/read/2015/07/29/11035071/Ramadh
an.Pohan.dan.Dzulmi.Eldin.Maju.ke.Pilkada.Kota.Medan).
3. Biografi Bakal Calon
a. Drs. H. T. Dzulmi Eldin S, M.Si
Dzulmi Eldin atau yang lebih sering disapa Bang
Eldin lahir di Medan pada tanggal 4 Juli 1960 dari pasangan
T. Syahrum Amir (Alm) seorang keturunan Melayu yang
lahir di Medan dan sang ibu Raidah Lubis (Almh) yang
berdarah Mandailing yang juga lahir di Medan.
Eldin kecil adalah anak yang dikenal sejak kecil
memiliki akhlak yang baik dan taat dalam menjalankan
syariat Islam yang dianutnya, hingga saat ini pun kegiatan
ibadah beliau tidak luntur sedikitpun, semua itu dikarenakan
kedisiplinan yang ada dalam pribadi Eldin. Bahkan kita
sendiripun bisa menyaksikan secara langsung di kala Subuh
misalnya, beliau tidak pernah absen sekalipun atau terlambat
dalam menjalani ibadah sholat subuhnya di masjid yang
berada di dekat rumahnya. Selain kegiatan mengaji dan shalat
yang selalu ia kerjakan, Eldin juga sangat giat membantu
kedua orang tua. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar Josua
IV Medan, Bang Eldin sangat dikenal sebagai anak yang
sederhana. Setelah lulus dari sekolah dasar, Bang Eldin
menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Josua II
dan mengakhiri Sekolah Menengah Atas di SMA Methodist
Medan. Masa kecil Bang Eldin banyak dihabiskan di Medan
bersama dengan saudara-saudaranya, dan Bang Eldin juga
merupakan pribadi yang sangat tegas dalam berpendirian.
Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas Bang
Eldin melanjutkan program Sarjana di STIA LAN RI dengan
mengambil jurusan Administrasi Negara pada 1989. Setelah
itu pada tahun 2003, beliau menyelesaikan pendidikan
Magisternya di perguruan tinggi Universitas Satya Gama
jurusan Ilmu Pemerintahan. Eldin memulai karir di
pemerintahan menjadi pegawai negeri sipil sejak tahun 1980
199
di kota medan dengan jabatan pertama sebagai Pengatur
Muda, pada tahun 1993 Bang Eldin dipromosikan menjadi
Camat Patumbak di Kabupaten Deli Serdang dan sempat juga
menjadi Camat Lubuk Pakam sampai tahun 2000.
Setelah menjabat camat di kabupaten Deli Serdang,
suami dari Hj. Rita Maharani dan ayah dari T. Edriansyah
Rendi, SH dan Via Karina Nabila mendapat promosi jabatan
menjadi kepala kantor penghubung pemerintah Provinsi
Sumatera Utara. Bang Eldin di promosikan dan resmi dilantik
menjadi Kepala Dinas Pendapatan Kota Medan (Kadispenda)
oleh Walikota Medan sampai tahun 2007, beliau kembali
dilantik menjadi Asisten Administrasi Umum di Sekretariat
Daerah Kota Medan, genap satu tahun menjabat pada bulan
November 2008 beliau kembali dilantik menjadi Seketaris
Daerah (Sekda) Kota Medan.
Berlandaskan keinginan yang kuat dari dalam diri
untuk membangun Kota Medan menjadi kota yang lebih
maju di antara kota lainnya di Negara ini, pada tahun 2010
Eldin menjadi Wakil Walikota Medan dan sempat menjadi
Plt. Walikota selama beberapa bulan hingga akhirnya Surat
Keputusan dari Menteri Dalam Negeri No.131.12-3185 pada
tanggal 18 Juni 2014 Bang Eldin resmi dilantik menjadi
Walikota Medan Definitif (http://dzulmieldin.com/biografi/).
Gambar 5. Drs. H. T. Dzulmi Eldin S, M.Si
200
Karir:
1) Kepala Seksi Dinas pendapatan Deli Serdang (1992).
2) Camat Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang
(1993) dan Lubuk Pakam (1997).
3) Kepala Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Sumatera Utara.
4) Kepala Dinas Pendapatan Kota Medan.
5) Asisten Administrasi Umum Sekda Kota Medan (2007).
6) Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Medan.
7) Wakil Wali Kota Medan (2010-2013).
8) Plt. Wali Kota Medan (2013-2014).
9) Wali Kota Medan (2014-sekarang).
Pendidikan:
1) Sekolah Dasar Josua IV Medan.
2) Sekolah Menengah Pertama SMP Josua II.
3) Sekolah Menengah Atas di SMA Methodist Medan.
4) STIA LAN RI jurusan Administrasi Negara (1989).
5) S2 Universitas Satya Gama, Jakarta (2003)
(https://id.wikipedia.org/wiki/Dzulmi_Eldin).
b. Ir. H. Akhyar Nasution, MSi
Tampil apa adanya, kerjakan dan sukseskan setiap
amanah secara maksimal. Begitulah keseharian Akhyar
Nasution dalam bergaul sebagai karyawan di satu perusahaan
kontraktor dan staf laboratorium pabrik di Medan Deli.
Bagi kebanyakan orang Kota Medan, nama Akhyar
Nasution selalu menjadi pertanyaan. Siapakah Akhyar, apa
profesinya? Ketika mendekati penetapan calon tak pernah
muncul, baik sosialisasi ke masyarakat hingga mengorbitkan
diri untuk maju menjadi Calon Wakil Wali Kota Medan
periode 2016-2021.
“Begitulah nasib, saya juga awalnya tidak
menyangka
begitu
dipinang
Bang
Eldin
untuk
mendampinginya maju sebagai pasangan Calon Wali Kota
dan Wakil Wali Kota Medan,” kata Akhyar Nasution pada
saat menuju ke ladang sawit dan melinjo di kawasan STM
Hulu, Deliserdang.
201
Akhyar dilahirkan dari buah pasangan Alm. Anwar
Nasution-Siti Aisyah di Medan pada 21 Juli 1966,
selanjutnya dibesarkan di kawasan Pajak Pagi Tanjung
Mulia, perbatasan Medan Deli dengan Medan Timur
(http://medansatu.com/berita/10614/inilah-ahkyar-nasutionwakil-eldin-di-pilkada-medan/).
Gambar 6. Ir. H. Akhyar Nasution, MSi
Bapak dua anak ini mengenyam sekolah formal di
SD Negeri 060863/27 Kelurahan Brayan Bengkel, Medan
Timur dan melanjutkan pendidikan di SMPN 9/11 Kelurahan
Pulo Brayan Kota. Kemudian masuk SMA Negeri 3 Medan
hingga mendapatkan kesempatan melalui jalur Penerimaan
Berdasar Minat dan Kemampuan (PMDK) masuk ke USU
diterima di jurusan Fisika USU. “Tapi saya tak sampai satu
semester sudah keluar, saya bekerja menjadi staf
laboratorium di salah satu pabrik minyak goreng,” kata suami
dari Nurul Khairani Lubis dan ayah dari Ahmad Kautsar
Yaranda Nasution (16) dan Ahmad Alkindi Yaranda
Nasution (12).
Akhyar bercerita, alasan berhenti kuliah di jurusan
Fisika USU, karena pada awalnya dirinya berpikir akan
banyak mempelajari tentang nuklir. Namun, fakta berbicara
lain. Akhirnya keputusan berhenti kuliah menjadi satu
keputusan terberat.
“Saya awalnya pingin kuliah di jurusan Kimia
Nuklir, tapi di USU tidak ada. Makanya saya pilih Fisika,
nyatanya tidak mempelajari itu. Terpaksa saya keluar dan
202
memilih jadi staf laboratorium di pabrik minyak goreng,”
ucap anak tukang jahit ini belum lama ini.
Di tengah menjalani pekerjaan pada 1986 hingga
1988, mantan Ketua OSIS SMA Negeri 3 pada tahun 1985
menyebutkan, ada seseorang temannya mengajak diskusi
tentang kuliah. Niat untuk kuliah lagi memang ada, namun
belum tahu jurusan apa. “Saya hanya bilang, jurusan apa
yang cocok untuk anak tukang yang suka jalan-jalan ini,”
tanyanya kepada seorang temannya. “Kalau teknik sipil
bagaimana, kamu bisa kerja berkeliling-keliling untuk
mengawasi pekerjaan dan banyak tantangannya,” jawab
temannya Yusni Darma.
Pada 1988, akhinya putra sulung dari 11 bersaudara
ini kembali kuliah di USU. Namun, jurusan yang diambilnya
berbeda dari tahun 1986. “Ya saya masuk melalui jalur ujian
dan mengambil jurusan Teknik Sipil,” ucapnya.
Dalam perjalannya sebagai mahasiswa dan terlahir
sebagai anak yang memiliki darah Marhaenisme, Akhyar pun
mendapatkan jabatan sebagai Sekretaris Komisariat Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Teknik Sipil USU.
“Bapak saya merupakan pengurus PDI dan pengurus Gerakan
Pemuda Marhaenisme pada tahun 1960-an. Jadi saya
memang memiliki darah Marhaenisme, makanya saya terus
berkecimpung dan berorganisasi di PDIP,” kata pria
penghobi baca dan jalan-jalan ini.
Setelah menamatkan kuliah, pada tahun 1995 Akhyar
bekerja di salah satu perusahaan kontraktor PT Fajar
Hamparan Mas di Jalan Krakatau, Medan, ikut merancang
dan menggambar jalan serta membangun jembatan hingga
pengawasan ke sejumlah proyek pembangunan. “Sampai
sekarang saya juga masih tercatat sebagai karyawan, tapi
sudah tidak aktif. Jadi perusahaan inilah sebagai wadah
tempat saya mencurahkan keilmuan saya saat kuliah di
USU,” sebutnya.
Sebelum kuliah di USU, Akhyar sudah menekuni
ilmu pertukangan. Pelajaran praktek pertama yang
dilakoninya bersama kakeknya, Alm. Ngadimin. Kakeknya
merupakan serang tukang talang air di kawasan Tanjung
Mulia. “Setiap pulang sekolah, saya bantu kakek membantu
203
membuat talang air, dan segalanya yang dibuat dari kaleng.
Terkadang juga saya belajar menjahit sama ibu. Karena ibu
saya tukang jahit,” sebutnya.
Darah tukang inilah yang terus mengalir dan
mengantarkannya sebagai seorang insinyur. Perlahan di
tengah kesibukannya di partai, dan menjadi anggota DPRD
Medan periode 1999-2004 keaktifannya sebagai insinyur
mulai berkurang. “Saya sejak 1996 bergabung menjadi
politisi PDIP. Saat itulah ternyata PDIP membutuhkan
‘tukang’ pasca perpecahan PDI,” ucap pria yang sempat
menjadi Ketua PAC PDIP Medan Deli.
Setelah tak menjabat sebagai anggota DPRD Kota
Medan, Akhyar kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai
seorang insinyur sipil. Bekerja membangun sejumlah tower
di Kota Medan dan Sumut.
“Pada 2008 saya ditelpon Bang Japorman Saragih,
ketika itu ia menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan
Pemilu DPD PDIP Sumut. Saya diajak untuk bersama
memenangkan PDIP. Setelah itulah saya terus aktif kembali
menjadi pengurus PDIP di Sumut,” ucapnya saat dalam
perjalanan dari kediamannya menuju ladangnya di Kampung
Teratak, Desa Tanah Garah Hulu, STM Hulu, Deliserdang.
“Sejak saya menjadi Calon Wakil Wali Kota, baru
inilah saya datang ke ladang. Sudah tiga bulan saya gak ke
ladang. Biasanya saya bawa anak dan istri ke ladang, ya
sekalian reakreasi untuk menenangkan diri,” ucapnya sambil
tertawa.
Mengenai sampai menjadi Calon Wakil Wali Kota
Medan berpasangan dengan Dzulmi Eldin. “Ini semua benarbenar kebetulan, saya tidak sangka. Sulit untuk mencari
benang merahnya,” katanya.
Akhyar bercerita, saat menjadi anggota DPRD
Medan periode 1999-2004 merupakan satu kesempatan di
mana ia berhubungan dengan Dzulmi Eldin. Pada tahun
2002, Dzulmi Eldin sebagai Kepala Dinas Pendapatan Kota
Medan counterpat Komisi C DPRD dan Panitia Anggaran.
“Pada saat saya jadi Panitia Anggaran yang ditunjuk
Ketua DPRD Kota Medan Tom Adlin, saya dan Bang Eldin
sering berdiskusi tentang anggaran Kota Medan. Inilah kerja
204
sama kami setiap tahun hingga akhir periode saya pada tahun
2004,” sebutnya.
Ia menyebutkan, kerjasama dan diskusi antara panitia
anggaran legislatif dan esekutif inilah yang mungkin
mengingatkan Bang Eldin kepadanya. “Ya mungkin saja
Bang Eldin ingat ke saya karena saya dulunya mitra diskusi
dan kerjasama terkait penyusunan APBD,” katanya.
Akhyar menyatakan, hubungannya dengan Bang
Eldin saat ini bukan lagi mitra, tapi sudah menyatukan hati
demi membangun Kota Medan ke jalan yang benar. “Saya
sebagai tukang, pastinya ingin kerja terus. Saya juga punya
mimpi sama Bang Eldin untuk membangun satu monumental
yang bisa dikenang masyarakat Kota Medan serta bernilai
bagi
seluruh
wisatawan,”
sebutnya
(http://medansatu.com/berita/10614/inilah-ahkyar-nasutionwakil-eldin-di-pilkada-medan/).
c. Drs. H. Ramadhan Pohan, M.Sc
Profil
1) Nama Lengkap : Ramadhan Pohan
2) Profesi : 3) Tempat Lahir : Pematang Siantar
4) Tanggal Lahir : Selasa, 6 Desember 1966
5) Zodiac : Sagitarius
6) Hobby : Membaca dan menulis
7) Warga Negara : Indonesia
Biografi
Ramadhan Pohan merupakan Wakil Sekjen Partai
Demokrat yang saat ini menjabat sebagai anggota Komisi II
DPR-RI dari Fraksi Demokrat. Nama Ramadhan Pohan
sebelumnya tidak pernah terdengar di ranah politik. Pria
kelahiran Pematang Siantar, 6 Desember 1966 ini baru
memulai karirnya di bidang politik pada tahun 2005.
Sebelumnya ia merupakan jurnalis murni yang aktif
melaporkan banyak kejadian di luar sana dalam bentuk
tulisan
dan
tayangan
live
report
(http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ramadhan-pohan/).
205
Gambar 7. Drs. H. Ramadhan Pohan, M.Sc
Di kalangan wartawan Indonesia, nama Ramadhan
Pohan sudah banyak dikenal, mengingat kiprahnya di bidang
jurnalistik sudah tidak diragukan lagi. Suami dari Asti Riefa
Dwiyandani Siregar dan ayah dari Farisreyhan Zachary
Pohan dan Raina Mahalia Karis Pohan yang sempat
mendapatkan sertifikat penghargaan MURI "Anggota DPRRI
pertama
yang
memiliki
website
www.ramadhanpohan.com
yang
berisi
informasi
keparlemenan dan konstituen" ini memulai karir di bidang
jurnalistik saat dirinya duduk di bangku kuliah. Saat itu, ia
kerap kali mengirimkan kolom dan opini di berbagai media.
Banyak tulisan-tulisannya yang dimuat di berbagai media
yang pada akhirnya mengantarkan dirinya untuk terjun ke
bidang jurnalistik lebih lanjut pada tahun 1990. Saat itu, ia
tengah duduk di bangku kuliah tingkat dua akhir saat dirinya
bergabung dengan Jawa Pos Jakarta sebagai reporter. Karir
menjadi reporter di Jakarta ini dilakoninya selama tiga tahun
(http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ramadhan-pohan/).
Gambar 8. Drs. H. Ramadhan Pohan, M.Sc Bersama Istri
Diupah-upah
206
Berganti tahun, pada tahun 1993, pria yang akrab
disapa Ramadhan ini ditugaskan ke Bulgaria sebagai
koresponden dan beralih ke Turki sejak tahun 1996-1998.
Tak hanya singgah di dua negara itu saja, pekerjaannya
sebagai reporter mengharuskannya terbang dari satu negara
ke negara lain. Tercatat ada sekitar lebih dari dua puluh
negara di dunia berhasil ia jelajahi sebagai bahan pencarian
data mengenai kasus dan isu-isu yang sedang berkembang di
dunia.
Pada website pribadinya, banyak tercatat laporanlaporan perjalanan korespondensinya di berbagai belahan
dunia. Yang menarik, ia merupakan wartawan tetap yang
meliput di White House, DPR-AS (Kongres), dan Senat pada
tahun 1998 hingga 2004. Ia juga merupakan wartawan
Indonesia pertama yang menulis mengenai Barrack Obama
melalui konvensi Partai Demokrat di Boston 2004.
Selama di luar negeri, Ramadhan tak hanya bekerja
sebagai koresponden, ia memanfaatkan waktu luangnya
dengan mengambil studi S2 di American University,
Washington DC pada tahun 2002.
Selepas perjalanan hidupnya di negeri orang, pada
akhir tahun 2004, pemilik akun twitter @Ramadhanpohan1
ini bergabung dengan The Blora Institute yang merupakan
tempat jajakan para wartawan. Saat itu, ia langsung menjabat
sebagai direktur opini publik dan studi partai politik. Setahun
berikutnya, ia mulai merambah bidang politik. Ia ditunjuk
sebagai Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU DPP Partai
Demokrat. Kemudian pada tahun 2006 ia menjadi redaktur
pelaksana website kepresidenan www.presidensby.info. Di
tahun yang sama, ia juga menjabat sebagai Pimpinan Redaksi
koran Jurnal Nasional Jakarta. Tak hanya itu, pada tahun
2008, pria yang memiliki hobi membaca ini ditunjuk sebagai
penasihat Forum Harmoni Nusantara (FORSAS) hingga kini
sekaligus menjabat sebagai Direktur Program Hubungan dan
Kerjasama Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia Pusat.
Hingga pada tahun 2009, ia mencalonkan diri
sebagai anggota DPR-RI periode 2009-2014 dan akhirnya
terpilih dari Dapil 7 Jatim. Ramadhan mengaku bahwa
pengetahuannya mengenai bidang politik didapatkan saat ia
207
aktif meliput berbagai macam liputan kenegaraan dari
berbagai negara yang ia singgahi.
Pendidikan
1) Universitas GWU, Washington DC, 2002.
2) American University, Washington DC, 2002.
3) Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992.
4) SMA Negeri 4 Pematang Siantar.
Karir
1) Anggota DPR-RI Komisi II & BKSAP, 2009-2014.
2) Direktur Program Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri
Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Jakarta, 2008sekarang.
3) Penasihat Forum Harmoni Nusantara (Forsas) Jakarta,
2008-sekarang.
4) Bergabung dengan Partai Demokrat dengan berbagai
jabatan, 2005-sekarang.
5) The Blora Institute, 2004.
6) Reporter Jawa Pos, Amerika Serikat, 1998-2004.
7) Reporter Jawa Pos, Turki, 1996-1998.
8) Reporter Jawa Pos, Bulgaria, 1992.
9) Reporter Jawa Pos untuk Jakarta, 1989-1992.
10) Penulis lepas.
Penghargaan
1) Penyerahan Sertifikat MURI Website. "Anggota DPR-RI
pertama
yang
memiliki
website
www.ramadhanpohan.com yang berisi informasi
keparlemenan dan konstituen" Lokasi: Gd. Nusantara IV
lantai dasar MPR-DPR RI, 25 November 2009.
2) Sertifikat MURI majalah GARASI. "Anggota DPR-RI
pertama yang memiliki majalah transparansi dan
akuntanbilitas yang berisi informasi keparlemenan dan
konstituen." Lokasi: Gd. Nusantara IV lantai dasar MPR
DPR-RI, 25 Januari 2001.
208
Buku
1) Energi Positif, Opini 100 Tokoh mengenai Indonesia di
Era SBY, 2009.
2) Puisi dan cerita pendek, 1991-1998.
3) Para Pembohong, koleksi cerita pendek, 1996.
4) The
Path
Not
Taken,
Puisi,
1996
(http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ramadhanpohan/).
d. Dr. Eddie Kusuma, SH, MH
Sosok Dr. Eddie Kusuma, SH, MA, seorang aktivis
masyarakat Tionghoa yang berkiprah dalam banyak sekali
aktivitas sosial, budaya, pendidikan dan bahkan politik.
Kiprah, pergaulan yang luas dan pemahamannya terhadap
agama –meskipun ber-KTP Buddha tetapi pemahamannya
terhadap Islam, Kristen dan Hindu sama baiknya- membuat
ia gampang masuk di lingkungan manapun. Tidak heran, ia
dikenal sebagai sosok aktivis yang sangat menghargai
pluralitas
dan
keberagaman
(https://sembilanbersamamedia.wordpress.com
/2012/03
/21/505/).
Gambar 9. Dr. Eddie Kusuma, SH, MH
Suami dari Ng Suryani, ST dan ayah dari Indra T.
Kusuma (mahasiswa Universitas Indonesia), Sandra P.
Kusuma (SMA), Vera C. Kusuma (SMA) dan Clara P.
209
Kusuma (TK), dan panggilan akrabnya Bang Eddie ini
pernah tercatat sebagai fungsionaris berbagai organisasi
kepemudaan, kepramukaan, organisasi sosial kemasyarakatan
dan bahkan organisasi politik. Bang Eddie telah aktif
berorganisasi sejak masih duduk di bangku sekolah. Bang
Eddie pernah terlibat secara aktif di KNPI, Karang Taruna,
PGRI, Bakom PKB, Bakom Parsosmas, GPPI, Ismapi, Lions
Club dan hingga kini masih aktif di sejumlah organisasi
sosial dan pendidikan.
Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Padjajaran dan
alumni Lemhanas RI Angkatan XIV Tahun 2006 ini
memiliki wawasan kebangsaan yang cukup luas dan sangat
menghargai kesederajatan serta martabat kemanusiaan.
Keluasan pergaulannya membuatnya sangat disegani di
manapun ia berada. Bahkan, tahun 2003 dalam sebuah acara
budaya di rumah Bang Pitung di Marunda Jakarta Utara, ia
dinobatkan menjadi “Anak Betawi” dan diberi nama Bang
Eddie.
Bang Eddie sebelumnya juga didaulat dan
dinobatkan menjadi warga Batak dalam sebuah acara adat di
Medan. Pada acara “Margarajahon” yang berlangsung tahun
1997, setelah dipakaikan pakaian adat Batak dan diberi kain
ulos, Bang Eddie kemudian diberi marga “Panjaitan”
sehingga nama lengkapnya menjadi Eddie Kusuma Panjaitan.
Pemberian nama dan marga oleh dua etnis yang berbeda itu
membuktikan bahwa predikat Bang Eddie sebagai tokoh
“Lintas Batas” memang tidak bisa dibantah.
Bang Eddie benar-benar mendalami sosok “Lintas
Batas” yang mungkin setara dengan Abdurahman Wahid
maupun Franz Magnis Suseno. Tidak hanya dari lingkungan
agamawan, suku, negarawan maupun LSM, ia dengan luwes
masuk ke lingkungan tokoh-tokoh masyarakat di seluruh
Indonesia. Semua itu tidak lepas dari perjuangan hidup pria
kelahiran Medan, 24 April 1958.
Ditinggalkan sang ayah sejak masih berusia 6 tahun,
Eddie Kusuma adalah potret sukses yang diraih berkat kerja
keras dan doa yang tak pernah berhenti. Sejak berumur 8
tahun ia sudah terbiasa mengerjakan apa saja sesuai dengan
kemampuannya. Semua pekerjaan pernah dilakoninya, mulai
210
berjualan air untuk pedagang pasar ikan, membantu berjualan
ikan, bekerja di toko kelontong di pasar pagi, membantu
berjualan kue dan bakmi, menyemir sepatu, berjualan
minuman di jalanan hingga bekerja di pabrik sepatu dan
pabrik kue pernah dijalaninya.
Ia juga pernah bekerja sebagai guru les untuk anakanak SMP hingga saat usianya mencapai 20 tahun dipercaya
sebagai Wakil Kepala Sekolah SD di sebuah perguruan
swasta di Medan. Setelah itu, ia menjadi Kepala Sekolah SD,
Kepala SMP dan kemudian Kepala SMA. Ia juga mendapat
kepercayaan menjadi koordinator kepala sekolah di
Perguruan dan sekarang memiliki serta mengelola sekolah
sendiri, Yayasan Perguruan Supriyadi di Medan dan Yayasan
Pendidikan Chandra Kusuma Jakarta.
Bang Eddie juga memiliki jiwa kepemimpinan yang
tinggi. Ia mengasahnya dengan selalu mengembangkan
program ekstrakurikuler di bidang Kepemimpinan dan
Kepanduan (Pramuka). Ia sangat berkeyakinan bahwa
program ekstrakurikuler tersebut mampu menggugah
semangat kebangsaan. Berkat program ekstrakurikuler itu,
anak didiknya berhasil melakukan tour show kebudayaan
hingga sampai ke Penang, Johor, Kuala Lumpur dan
Singapura. Berkat dedikasinya tersebut, Bang Eddie pada
peringatan HUT Gerakan Pramuka yang ke-45 tahun 2006,
dianugerahi Lencana “Enam Pancawarsa” oleh Kwartir
Nasional Gerakan Pramuka untuk pengabdiannya selama 30
tahun mengabdi dan membina Pramuka.
Saat ini, selain menjadi pengelola sejumlah lembaga
pendidikan, minat Bang Eddie dalam dunia pendidikan masih
disalurkannya dengan menjadi dosen tidak tetap di beberapa
PTS di Jakarta dan Medan. Sedangkan kegemarannya
berorganisasi dan membina generasi muda, juga masih tetap
ia jalani melalui sejumlah organisasi sosial dan pengkajian
yang ia pimpin dan dirikan.
Kini, di luar kesibukannya sebagai pengusaha dan
pendidik, sebagai orang yang juga pernah terlibat di dunia
jurnalistik, Bang Eddie pun masih terus mengasah
kemampuan intelektualitasnya dengan tetap menulis. Selain
211
menulis artikel untuk sejumlah koran, iapun telah menulis
sejumlah buku.
Di antara buku-bukunya yang telah diterbitkannya
adalah; Etnis Tionghoa dalam Politik Indonesia sebelum dan
sesudah Reformasi, Suku Tionghoa dalam masyarakat
Majemuk Indonesia, Membangun Keutuhan Bangsa dengan
Memperkokoh Ketahanan Nasional, Sekilas Catatan
Pengalamanku Mengikuti KSA XIV Lemhannas RI,
Membangun Jakarta: Lima Pilar Strategis Menuju Masa
Depan, Imlek Nasional 2007 Indonesia Bersatu: 50 Tahun
Hubungan RI-RRC, Seabad Kebangkitan Nasional: Ayo
Bangkit Indonesia, Nyalakan Api Obor: Laporan Sosialisasi
Bakal Wagub DKI dan John Lie: Pahlawan Nasional.
Atas dedikasi dan prestasinya selama ini,
penghargaan Indonesian Improvement Award Kategori “The
Best Improvement Figure” dipersembahkan kepada DR.
Eddie
Kusuma,
SH,
MH
(https://sembilanbersamamedia.wordpress.com/2012/03/21/5
05/).
4. Polisi Disiagakan
Mapolresta Medan menyiagakan 1.180 personel untuk
mengamankan
pelaksanaan
tahapan-tahapan
Pilkada.
Berdasarkan rencana pengamanan (renpam) yang sudah
dilaksanakan, kepolisian melakukannya berdasarkan tahapantahapan. Demikian pula mengenai pengerahan personel,
kekuatannya berbeda-beda.
"Sebanyak 200 orang disiapkan di kantor Komisi
Pemilihan Umum dan khusus saat pencoblosan, disiagakan 1.180
personel," kata Kapolresta Medan, Kombes Pol. Mardiaz Kusin
Dwihananto, Rabu (29/7/2015) via telepon selulernya.
Menurut dia, renpam telah dilaksanakan mulai dari
penetapan pasangan calon, kampanye, pencoblosan hingga
pelantikan. Selain itu, Mardiaz mengatakan, pihaknya
berkoordinasi dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan
kejaksaan untuk membentuk satuan tugas Penegakan Hukum
Terpadu (Satgas Gakkumdu).
"Kami akan mencari kantor Gakkumdu. Baiknya tidak di
KPU, kejaksaan atau kepolisian, biar netral," katanya.
212
Mantan Wakil Direktur Reserse dan Kriminal Khusus
(Wadir Reskrimsus) Mapolda Sumatera Utara ini menambahkan,
mereka juga akan road show ke semua partai pendukung atau tim
sukses masing-masing calon.
"Kami meminta agar semuanya berperan serta menjaga
kondusifitas Kota Medan. Tentunya jika terjadi hal tak
diinginkan, koordinasi yang dilakukan juga lehih gampang,"
tambahnya.
Dia bersyukur, sampai pendaftaran dua bakal calon
walikota
Medan
kemarin,
situasi
masih
aman
(http://regional.kompas.com/read/2015/07/29/11035071/Ramadh
an.Pohan.dan.Dzulmi.Eldin.Maju.ke.Pilkada.Kota.Medan).
5. Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Medan
Sumatera Utara mengundi nomor urut pasangan calon Wali Kota
dan Wakil Wali Kota yang maju di Pilkada Kota Medan 9
Desember 2015 di KPU Jalan Kejaksaaan, Selasa (25/8/2015).
Dari pengundian nomor urut tersebut, pasangan calon
Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota Medan, Bang Eldin–
Akhyar (BENAR) mendapat nomor urut 1 dan Ramadhan-Eddie
(REDI) memperoleh nomor urut 2.
Rapat pleno terbuka tersebut dipimpin Ketua KPU Kota
Medan, Yenni Chairiah Rambe didampingi komisioner
Irwansyah, Agussyah Damanik, Pandapotan Tamba dan Edi S.
dan Sekretaris H. Maskuri, dihadiri Kapolresta Medan Kombes
Mardiaz Kusin Dwihananto, Kapolres Belawan, Dandim
0201/BS, unsur PN Medan, Kejari Medan, pimpinan Parpol
pendukung pasangan calon (paslon) dan tim sukses masingmasing paslon.
Pengundian dipimpin Ketua KPU Kota Medan dengan
cara pencabutan nomor oleh Dzulmi Eldin dan Ramadhan Pohan
dengan disaksikan para unsur Muspida Plus Kota Medan,
diantaranya Plh Wali Kota Medan Saiful Bahri, Panwaslu Kota
Medan Raden Admiral dan Uliansyah P. Nasution dan lainnya.
Ketua KPU Kota Medan Yenni Chairiah Rambe dalam
sambutannya mengemukakan bahwa tahapan-tahapan Pilkada
terkait pencalonan telah terlaksana, dan ternyata di Kota Medan
213
tidak ada pasangan calon independen, kecuali dukungan atau
usungan Parpol serta gabungan Parpol.
“Hanya dua pasangan calon Wali Kota dan calon Wakil
Wali Kota yang mendaftar di KPU Kota Medan,” sebut Yenni.
Yenni juga mengingatkan kepada masing-masing
pasangan calon Wali Kota Medan jangan sampai tercoret karena
tidak mentaati aturan. “Juga jangan memberikan uang kepada
masyarakat,” tegasnya.
Seusai rapat pleno terbuka, Ketua Panwas Pilkada Kota
Medan, Raden Admiral mengatakan, diharapkan, baik pasangan
nomor 1 maupun 2 untuk tetap mentaati aturan main, terutama
dalam kampanye yang akan dimulai pada tanggal 27 Agustus
2015. “Mari kita tetap menjaga norma-norma budaya dan adatistiadat serta jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan,” pesannya.
Dalam kesempatan yang sama, calon Wali Kota Medan
nomor urut 1 dalam sambutannya meminta kepada seluruh
masyarakat untuk menggunakan hak suaranya dalam pemilihan 9
Desember mendatang. Ia juga berharap, Pilkada ini aman dan
kondusif. “Ini hanya pemilihan, siapapun yang terpilih nantinya
tetaplah membaur dengan masyarakat demi Kota Medan yang
lebih baik ke depannya,” ucap Eldin.
Sementara itu calon Wali Kota Medan nomor urut 2
Ramadhan Pohan menyebutkan, akan membangun Kota Medan
ini menjadi lebih baik lagi (http://waspada.co.id/pilkada/pilkadamedan-eldin-nomor-1-pohan-nomor-2/).
6. Kampanye
Deklarasi Kampanye Damai Pilkada Kota Medan
Deklarasi kampanye damai Pilkada Kota Medan dimulai
hari Sabtu (12/9/2015). Ratusan pendukung pasangan Calon Wali
Kota dan Wakil Wali Kota Medan berkumpul di Jl. Pulau Pinang,
kawasan Lapangan Merdeka, Medan. Pantauan analisadaily.com,
deklarasi Pilkada Kota Medan kali ini dimeriahkan oleh pihak
KPU dengan acara karnaval kendaraan hias yang diikuti oleh
Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan beserta para
pendukung yang hadir.
214
Gambar 10. Deklarasi Kampanye BENAR
Karnaval ini dikawal oleh ratusan polisi dari jajaran
Polresta Medan yang juga turut dihadiri oleh Kapolresta Medan,
AKBP Mardiaz Kusin Dwihananto.
Gambar 11. Deklarasi Kampanye REDI
“Kita siap mengawal dan mengawasi jalannya kampanye
sampai selesai," ujar Mardiaz dalam sambutannya saat membuka
acara karnaval.
Sebelum pelepasan karnaval, para kandidat calon Wali
Kota dan Wakil Wali Kota Medan juga membacakan sumpah dan
aturan
saat
masa
kampanye
berlangsung
(http://news.analisadaily.com/read/masa-kampanye-pilkada-kotamedan-dimulai/170059/2015/09/12).
APK Didanai KPU
Beda dari Pilkada sebelumnya, kali ini semua Alat
Peraga Kampanye (APK) mulai dari cetak, pemasangan sampai
215
pencabutan disediakan dan dilaksanakan langsung oleh pihak
KPU.
Ketua KPU Medan, Yenny Chairiah Rambe SH, dalam
sambutannya berharap kepada semua Paslon Wali Kota dan
Wakil Wali Kota serta pendukung untuk mentaati aturan
kampanye yang ditetapkan KPU.
"Kita berharap Pilkada ini berjalan dengan aman, tentram
dan damai," ungkap Yenny dalam sambutannya saat melepas
konvoi karnaval.
Acara kemudian ditutup dengan penandatanganan janji
dan pelepasan burung merpati oleh calon Wali Kota dan Wakil
Wali Kota sebagai simbol bahwa kampanye damai Pilkada
Medan
telah
berlangsung
(http://news.analisadaily.com/read/masa-kampanye-pilkada-kotamedan-dimulai/170059/2015/09/12).
Dana Kampanye
KPU Kota Medan menerima Laporan Awal Dana
Kampanye (LADK) dua pasangan calon Wali Kota dan Wakil
Wali Kota Medan, Rabu (26/8/2015). LADK pasangan
Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma sebesar Rp 220 juta, sedangkan
pasangan Dzulmi Eldin-Akyhar Nasution sebesar Rp 151,5 juta.
Jadi, dana awal kampanye kedua calon mencapai 371 juta rupiah.
Komisioner KPU Medan, Pandapotan Tamba,
mengatakan bahwa dana awal kampanye tersebut hanya bisa
digunakan untuk kampanye yang bersifat dialog tatap muka,
rapat terbatas, atau kegiatan-kegiatan lain yang tidak melanggar
peraturan. Setelah masa kampanye berakhir, KPU akan meminta
laporan pengeluaran dana kampanye tersebut dan akan diaudit
oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Dijelaskan Pandapotan, berdasarkan Peraturan KPU
Nomor 7 tahun 2015, KPU akan memasang baliho di lima titik
untuk masing-masing pasangan calon.
"Sementara umbul-umbul akan dipasang sebanyak 20 di
tiap kecamatan dan spanduk sebanyak dua buah di tiap
kelurahan," katanya.
Adapun titik lokasi pemasangan baliho pasangan Dzulmi
Eldin-Akhyar Nasution yakni di Jalan Sumatera Kecamatan
Medan Belawan, Jalan Letda Sujono-Simpang Aksara
216
Kecamatan Medan Tembung, Jalan Pinang Baris Simpang
Kampung Lalang Kecamatan Medan Sunggal, Jalan Setia Budi
Simpang Pemda Kecamatan Medan Selayang, dan Jalan Marelan
Pasar V Kecamatan Medan Marelan.
Sedangkan lima titik lokasi pemasangan baliho pasangan
Ramadhan-Eddie yakni di Jalan Marelan Pasar V Kecamatan
Medan Marelan, Jalan Pekan Labuhan Kecamatan Medan
Labuhan, Jalan T. Amir Hamzah Simpang Griya Riatur
Kecamatan Medan Helvetia, Jalan Sisingamangaraja Simpang
UISU Kecamatan Medan Kota, dan Jalan Jamin Ginting sebelum
Perumnas Simalingkar Kecamatan Medan Tuntungan
(http://www.dnaberita.com/berita-4961-inilah-dana-kampanyedua-paslon-di-pilkada-medan.html).
Masa Kampanye
Masa kampanye dimulai pada tanggal 27 Agustus 2015
dan
berakhir
pada
tanggal
5
Desember
2015
(http://news.detik.com/berita/2909724/ini-tahapan-pentingpilkada-2015#).
Kampanye BENAR (Bang Eldin-Akhyar)
Di masa kampanye ini, belasan ribu massa memadati
kampanye akbar pasangan calon Wali Kota Medan nomor urut 1
Bang Eldin-Akhyar (BENAR) di lapangan Sepak Bola Pasar V
Marelan, Kelurahan Rengas Pulau, Medan Marelan, Minggu,
22/11/2015, menghadirkan artis Ibukota dalam meramaikan
kampanye akbar BENAR (Harian Analisa (23 November 2015),
h. 1).
217
Gambar 12. Kampanye BENAR di Lapangan Sepak Bola Pasar
V Marelan
Dihadapan belasan ribu massa, orasi kampanye
disampaikan Politisi nasional PDIP, Maruarar Sirait, mantan Pj.
Wali Kota Medan yang juga Ketua PW Nahdatul Ulama (NU)
Sumut, Afifuddin Lubis, mantan Wali Kota Medan Abdillah Ak,
MBA, mantan Gubernur Sumut Syamsul Arifin, serta pernyataan
sikap dari ketua-ketua partai pendukung, di antaranya Partai
PDIP, Partai Golkar, PKS, Nasdem, PAN, PBB, PKPI, PPP dan
Perindo.
Ketua Tim Pemenangan Kampanye, H.M. Syaf Lubis
dalam orasinya menyatakan, pemimpin di Kota Medan tidak
perlu didatangkan dari luar Kota Medan. Anak Medan saja sudah
bisa membangunnya, karena anak Medan yang tahu Kota Medan.
Pasangan Eldin-Akhyar adalah pasangan yang
berpengalaman di Kota Medan, Eldin merupakan sosok birokrat
yang berkarir di Kota Medan, dan Akhyar adalah mantan anggota
DPRD Kota Medan. “Jadi sudah pas, Anak Medan pilih
pemimpin yang anak Medan,” tegasnya.
218
Di suasana yang panas terik, massa kembali dibakar
semangatnya untuk memilih pasangan BENAR oleh Afifuddin
Lubis. Dalam orasinya, mantan Pj Wali Kota Medan itu
mengatakan, Kota Medan harus dipimpin oleh orang-orang yang
sudah teruji seperti Dzulmi Eldin dan Akhyar Nasution. Sebab,
Eldin adalah sosok pemimpin yang tahu benar apa keinginan
masyarakat. Karena Eldin sudah memulai jabatan dari tingkatan
paling bawah yang dimulai dari Camat hingga Wali Kota Medan.
“Sudah sepantasnya kepemimpinan dilanjutkan oleh beliau.
Ngapain kita cari yang lain, yang ingin membangun Medan,
sementara ia bukan tinggal di Medan,” ucapnya.
Tak hanya Afifuddin, dukungan yang sama juga
ditegaskan mantan Wali Kota Medan, Drs Abdillah Ak, MBA.
Menurutnya, kedua pasangan tersebut adalah pasangan yang
cocok dalam memimpin Kota Medan ke depan. “Ketika saya
menjabat (sebagai Wali Kota Medan yang lalu), saya masih
punya hutang dengan warga Medan bagian Utara. Saya titipkan
amanah ini kepada Adinda Eldin dan Akhyar untuk dapat
melakukan pembangunan di wilayah ini,” jelasnya.
Bahkan, sambung Abdillah, dirinya akan ikut serta
mengawasi jalannya roda pemerintahan agar seluruh masyarakat
dapat menjadi lebih sejahtera.
Sementara itu, mantan Gubsu Syamsul Arifin
mengatakan, pemimpin yang benar harus tahu Kota Medan,
pemilih yang benar adalah yang mencoblos pasangan BENAR
nomor 1. “Inilah supaya Medan semakin benar,” katanya, setelah
itu bernyanyi bersama Juwita Bahar.
Sekretaris Partai NasDem Sumut yang juga mewakili
Himpunan Pengusaha Etnis Tionghoa, Iskandar ST mengajak
seluruh pengusaha etnis Tionghoa, memberikan dukungannya
kepada Eldin-Akhyar. “Kita harus memilih pemimpin yang
benar, nomor satu. Sampaikan kepada sanak famili, keluarga, dan
etnis Tionghoa lainnya mari bergabung dengan kami dan mari
kita dukung nomor satu yang sudah berpengalaman, jangan pilih
yang tidak pengalaman, nanti kerjanya tidur,” sebutnya. Di
kesempatan itu, masing-masing partai pendukung juga
menyampaikan berbagai orasi politiknya kepada masyarakat agar
dapat memilih BENAR pada 9 Desember mendatang seperti yang
diungkapkan Ketua DPD PKS Kota Medan, H. Salman Alfarisi,
219
Lc, MA, mengatakan bahwa Pilkada Kota Medan tinggal 17 hari
lagi. Makanya, kepada seluruh pendukung diminta untuk
melakukan pengiriman sms minimal satu hari sekali untuk
menyampaikan program kerja Eldin-Akhyar dan mengajak
mencoblos pada 9 Desember nanti. “Saya hanya minta satu hari,
satu sms, kirimkan kepada orang-orang Medan,” ujarnya.
Sedangkan, politisi nasional dari PDIP Maruar Sirait
turut mengobarkan semangat masyarakat, relawan, ormas dan
partai pendukung Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution di kampanye
akbar tersebut.
Pada saat itu, Ketua Umum Taruna Merah Putih (TMP)
turut mengajak salah satu masyarakat, Riski Lubis, untuk naik ke
atas pentas menyampaikan harapannya kepada calon pemimpin
Kota Medan periode 2016-2021.
“Saya meminta dibuka lapangan kerja bagi
pengangguran,” pintanya.
Program balai latihan kerja, sebut Eldin, akan dibuka
untuk melatih anak-anak muda, sehingga dapat dengan mudah
mereka mencari pekerjaan. Tentunya anak-anak muda yang
masih pengangguran dilatih agar mereka mampu dan dapat
menunjukkan kredibilitas mereka agar dapat diterima bekerja.
Begitu juga pendidikan dan juga kesehatan, akan terus
dilanjutkan program yang kemarin sempat tertunda. “Kita akan
membangun Rumah Sakit Tipe C di Labuhan, dan ditargetkan
selesai selama dua tahun berikut fasilitasnya juga. Kemudian kita
akan bangun pula sekolah SMA Negeri di Medan Deli,” timpal
Akhyar menjawab.
“Apakah memang betul itu Bang? Bukan Janji,” tanya
Maruar kembali.
“Begini Bang, sebelum saya mengundurkan diri dari
jabatan Wali Kota, itu sudah saya programkan, tinggal
melanjutkan saja. Selama ini, pendidikan kita wajib belajar 9
tahun, dan sekarang akan kita tingkatkan menjadi 12 tahun,”
jawab Eldin kembali dan disambut riuh tepuk tangan.
Terakhir, Maruar Sirait kembali mencecar pertanyaan
kepada Eldin-Akhyar bagaimana menjaga kerukuran agama dan
etnis di kota majemuk ini dan bagaimana pula komitmennya ke
depan. “Kami sengaja menciptakan tagline Medan Rumah Kita.
Siapapun dan dari etnis mana saja selama ia orang Medan,
220
mendapat kesempatan untuk bersama-sama kami membesarkan
kota ini. Karena Medan ini adalah rumah kita dan kitalah yang
tahu kemana mau dibawa Medan ini,” jawab Eldin kembali.
“Saya lahir di Medan, Bang. Saya bekerja di Jakarta.
Kalau saya punya KTP dan memilih di Kota Medan, maka saya
akan memilih Bang Eldin-Akhyar. Saya sangat yakin keduanya
punya arah dan tujuan. Apakah saudara-saudara juga yakin apa
yang saya rasakan?,” tanya Ara panggilan akrab Maruar Sirait
dan dijawab ‘yakin’ oleh seluruh massa yang hadir.
Mendengar jawaban keyakinan dari massa pendukung,
Maruar pun meminta agar seluruhnya mengangkat dan
mengepalkan tangan ke atas sembari dituntun mengikrarkan
tekad dukungan untuk memenangkan pasangan No. 1 Bang
Eldin-Akhyar dengan cara yang benar, dengan tujuan yang benar,
dan dengan manfaat yang benar bagi rakyat Medan. “Kami akan
bekerja keras, berjuang, simpatik, banyak senyun, tidak marah,
sehingga rakyat Medan akan ikut dengan pasangan nomor satu,”
ungkapnya diikuti massa yang hadir.
“Kami yakin, di tangan pasangan BENAR, Medan akan
lebih baik dan lebih benar. Saya yakin, rakyat bersama Abang,
saya doakan Abang bisa menjadi pemimpin yang amanah. Saya
ucapkan selamat dan saya minta agar kader PDIP juga tekadkan
dengan total untuk memenangkan pasangan BENAR,” tegasnya.
Sementara itu, usai melaksanakan kampanye akbar, Eldin
mengungkapkan niatnya untuk memulai pembangunan dari
utaranya Medan secara terukur dan terarah, sehingga masyarakat
turut merasakan kehadiran pemerintah.
“Rumah sakit dan sekolah, juga akan kita laksanakan.
Begitu juga dengan objek pariwisata Danau Siombak, sehingga
kehadiran objek pariwisata tersebut dapat mengangkat harkat
martabat masyarakat,” tandasnya.
Usai berorasi, seluruh massa kembali dihibur oleh Juwita
Bahar dan Rahman KDI (http://waspada.co.id/medan/kampanyeakbar-benar-anak-medan-pilih-putra-medan-asli/).
Kampanye REDI (Ramadhan-Eddy)
Calon Wali Kota Medan nomor urut 2, Ramadhan Pohan
larut dalam semangat berolahraga bersama para Lansia yang
sangat enerjik mengikuti senam pagi olah pernafasan.
221
Gambar 13. Ramadhan Pohan Semangat Olahraga Bersama
Lansia
Sekira 200 Lansia mengikuti senam pernafasan yang
dipusatkan di Lapangan Volly Jalan Sukmawati/Jalan Bakti
samping Kantor Lurah Pasar Merah Timur, Rabu (28/10/2015).
Senam olah pernafasan Lansia ini diselenggarakan oleh
Persatuan Olahraga Pernafasan Indonesia (Porpi) yang tujuannya
untuk menyehatkan para Lansia sekaligus menaikkan angka
harapan hidup Lansia.
Zubairuddin, Wakil Ketua Porpi Medan, didampingi
Wakil Ketua 1 Wilda mengatakan, meskipun anggota Porpi ini
rata-rata Lansia, namun mereka masih terlihat sangat enerjik.
Kedatangan Ramadhan Pohan yang ikut senam pagi olah
pernafasan bersama para Lansia telah memotivasi para Lansia
untuk tetap bersemangat dalam menyongsong perubahan yang
ditawarkan Ramadhan-Eddie.
“Keinginan kami Pak Ramadhan tidak lah muluk-muluk,
kami hanya ingin sebagai Lansia, nasib kami diperhatikan.
Karena kami juga memiliki andil besar dan peran dalam
pembangunan Kota Medan,” sebut salah seorang Lansia.
Menurut Zubairuddin, sudah saatnya Pemko Medan
memberikan perhatian serius terhadap keberadaan Lansia. Seperti
halnya di negara maju, Lansia mendapat jaminan dari negara.
“Harapan kami Lansia juga harus mendapat perhatian yang layak
dan mendapat perlindungan serta jaminan dari negara. Jangan
sampai hidup Lansia terlunta-lunta,” sebutnya.
Sedangkan Wilda menyebutkan bahwa kegiatan senam
pagi olah pernafasan Lansia ini rutin diadakan setiap pagi hari di
kawasan lapangan Asia Mega Mas.
222
Namun kali ini, lanjutnya, terkait dengan menyambut 1
Muharram dan juga peringatan Sumpah Pemuda, senam olah
pernafasan diadakan dengan jumlah peserta yang lebih besar dan
dipusatkan di lapangan volly Pasar Merah Timur.
Sementara itu Ramadhan Pohan yang sangat kagum
dengan semangat para Lansia ini mengatakan aspirasi Lansia
akan menjadi perhatiannya. “Kita memang tidak boleh lupa
dengan peran dan jasa dari para Lansia ini. Ke depannya, jika
kelak saya terpilih, Insya Allah, akan ada perubahan. Dan saya
berupaya akan mengusulkan adanya jaminan perlindungan dan
kesejahteraan
buat
Lansia,”
sebutnya
(http://waspada.co.id/pilkada/ramadhan-pohan-janji-perhatikanlansia/).
7. Pencoblosan
Eldin Mencoblos
Calon Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin
memberikan hak suaranya dalam Pilkada di TPS 36 Komplek
Citra Wisata, Kelurahan Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor,
Rabu.
Dzulmi Eldin datang ke TPS sekitar ukul 08.30 bersama
istrinya Rita Maharani serta dua anaknya Tengku Edriansyah
Rendy dan Tengku Via Karina Nabila yang semuanya
mengenakan pakaian hitam putih.
Sebelum berangkat ke TPS, Eldin bersama istri terlebih
dulu sungkeman kepada ibu mertuanya Chairani Mozasa yang
terpaksa tidak dapat menyalurkan hak suaranya karena sakit yang
dideritanya.
Usai sungkeman, Dzulmi Eldin bersama istri dan kedua
anaknya dengan berjalan kaki berangkat ke TPS 36 yang
jaraknya sekitar 300 meter dari rumah dengan diiringi
kumandang azan.
Di TPS, Eldin bersama keluarga langsung mengambil
posisi daftar antrean sebelum dipanggil oleh petugas PPS untuk
memberikan hak suaranya.
223
Gambar 14. Eldin dan Istri Mencoblos
Usai memberikan hak suaranya, Eldin mengatakan
dirinya berharap semua masyarakat yang terdaftar sebagai
pemilih pada Pilkada Medan dapat memberikan hak suaranya,
karena suara yang diberikan sangat berarti terhadap kesuksesan
pesta demokrasi itu.
Ia juga mengatakan, layaknya sebuah pertandingan,
tentunya ada yang kalah dan menang, bagi yang menang tidak
langsung berbangga hati dan bagi yang kalah tidak putus asa dan
mencari-cari kesalahan lawannya.
"Tiap pertandingan ada menang, ada kalah. Mari kita
sikapi dengan positif apa pun hasilnya nanti untuk kepentingan
bersama. Yang menang, Inysa Allah, adalah yang terbaik untuk
masyarakat," katanya.
Sementara ketika ditanya peluangnya, Eldin yang maju
berpasangan dengan Akhyar Nasution menyampaikan rasa
optimismenya dapat tampil sebagai pemenang.
"Insya Allah, kita menang. Berdasarkan survei yang kita
lakukan kita menang sekitar 60 persen," tegasnya
(http://www.antarasumut.com/berita/154166/dzulmi-eldinmencoblos-di-tps-36).
Akhyar Mencoblos
Calon Wakil Wali Kota Medan Akhyar Nasution usai
menggunakan hak pilihnya di TPS 12 Lingkungan 14 Kelurahan
Tanjung Mulia Kecamatan Medan Deli mengatakan, sepinya TPS
ini tidak hanya terjadi pada Pilkada serentak tahun ini saja,
namun pada Pilkada tahun 2010 juga terjadi.
224
Gambar 15. Akhyar dan Istri Mencoblos
“Di Medan tingkat partisipasi warga juga hanya 46
persen. Sehingga menurutnya butuh kesadaran masyarakat untuk
menggunakan hak pilihnya,” ungkapnya, Rabu (9/12).
Akibat sepinya TPS, pihak panitia Pilkada seperti di
kawasan Kelurahan Tanjung Mulia Kecamatan Medan Deli
menggunakan pengeras suara di masjid untuk menghimbau
warga sekitar segera menggunakan hak pilihnya sebelum ditutup.
Tidak hanya sekali, himbauan ini dilakukan berulang kali.
“Tingkat kehadiran warga masih sedikit. Terpaksa kita
gunakan pengeras suara di masjid untuk memanggil warga agar
mengunakan hak pilihnya. Kita juga menghindari golput,” ucap
Ketua KPPS Dewi yang ditemui di sela-sela kesibukannya.
Seperti diketahui, calon Wakil Wali Kota Medan Akhyar
Nasution mencoblos bersama keluarganya. Ia dan istrinya berada
di dalam satu TPS sementara ibu dan anaknya berada di TPS 13
yang tidak jauh dari TPS tempat Akhyar mencoblos.
Kepada awak media Akhyar mengaku, TPS tempat ia
memilih saat ini merupakan kampung kelahirannya sehingga ia
yakin unggul di kawasan itu. “Saya yakin unggul di TPS ini,”
singkatnya (http://waspada.co.id/pilkada/akhyar-unggul-di-tpsnya/).
REDI Tidak Mencoblos
Pencoblosan di Pilkada Medan 2015 yang digelar Rabu 9
Desember 2015, dipastikan tidak mengikutsertakan pasangan
calon nomor urut 2, REDI (Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma).
Pasangan REDI tidak ikut mencoblos di hari pemungutan
suara disebabkan keduanya bukan merupakan penduduk Kota
Medan, melainkan warga Jakarta.
225
“Bang Ramadhan Pohan dan Eddie Kusuma masih
pegang KTP Jakarta. Jadi belum masuk dalam Daftar Pemilih
Tetap (DPT) Pilkada Medan 2015,” ucap seorang tim
pemenangan REDI yang minta namanya tidak dipublikasikan,
Selasa (8/12/2015).
Sementara itu, Komisioner KPU Medan, Pandapotan
Tamba yang dihubungi terpisah mengaku belum mendapat
informasi terkait pasangan REDI yang tidak akan mencoblos di
Pilkada Medan lantaran keduanya bukan warga penduduk kota
ini.
“Saya belum melihat data. Ada datanya itu. Nantilah.
Saya tidak tahu mereka coblos di mana nanti salah pula,” ujarnya
(http://binnekamedia.com/binnekanews/medan-news/pilkadamedan-ini-alasan-pasangan-redi-tak-ikut-mencoblos).
8. Kemenangan BENAR
Proses hitung cepat atau quick count Pilkada Medan
hampir mendekati akhir. Salah satu pasangan calon hampir
dipastikan menjadi pemenang.
Berdasarkan quick count Indo Barometer yang
bekerjasama dengan Liputan6.com, Rabu (9/12/2015), dari suara
masuk 94.00%, pasangan nomor urut 1 Dzulmi Eldin-Akhyar
Nasution memimpin sementara dengan perolehan suara 72.01%.
Sementara, pasangan nomor urut 2 Ramadhan Pohan-Eddie
Kusuma
meraih
27.99%
(http://pilkada-serentak2015.liputan6.com/read/2385822/quick-count-pilkada-medandzulmi-eldin-ungguli-ramadhan-pohan).
Menurut pantauan Harian Waspada, Calon Wali Kota
dan Wakil Wali Kota Medan Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution
menang telak (tak pelak lagi), dalam Pilkada Kota Medan priode
2016-2021. Hasil sementara ini di setiap kecamatan pasangan ini
menang.
Pantauan Wartawan di Posko Pemenangan pasangan
BENAR di Jl. Sudirman Medan,Rabu (9/12/2015), sejak pukul
16:00 sudah dipadati para pendukung Eldin-Akhyar walaupun
Eldin belum tiba di tempat.
Sekelompok pemuda bersorak ria sambil memainkan
drum band menyambut kehadiran Eldin bersama istrinya.
226
Sejumlah pemuda juga melakukan pemangkasan rambut dan
menyisakan nomor 1 menandakan kemenangan Eldin.
Aksi memeriahkan kemenangan Eldin-Akhyar ini
berlangsung lama, sampai Eldin tiba bersama istrinya. Begitu
Eldin tiba menjelang Maghrib, seketika itu juga para Tim Sukses
dan simpatisan berebut mengucapkan selamat. Syukuran tersebut
tampak sederhana namun sangat bermakna.
Dzulmi
Eldin
kepada
wartawan
mengatakan,
kemenangan pasangan Eldin-Akhyar merupakan kemenangan
seluruh masyarakat Kota Medan. Diharapkannya dengan
kemenangan tersebut dapat membawa Kota Medan menjadi lebih
baik ke depan.
“Kemenangan ini bukan milik saya sendiri, namun inilah
kemenangan kita bersama. Setelah dilantik nanti, saya akan
melanjutkan program-program yang sempat tertunda saat saya
mundur dari Wali Kota. Marilah sama-sama membangun kota
yang kita cintai ini bersama-sama,” ujarnya.
Ketika ditanya berapa persentase kemenangannya, Eldin
mengatakan 70 persen. Namun yang lebih pastinya ditunggu hasil
dari KPU Kota Medan.Terkait jumlah pemilih yang rendah, Eldin
mengatakan, akan melakukan evaluasi sehingga masa mendatang
bisa lebih baik. “Nanti akan kita evaluasi di mana penyebabnya
sehingga tingkat partisipasi pemilih rendah,” ujarnya (Harian
Waspada (10 Desember 2015), h. A1).
Banyak kalangan berkomentar bahwa kemenangan
BENAR disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat lebih
mengenal Eldin dan Akhyar daripada Ramadhan dan Eddie,
apalagi Eddie adalah etnis China dan beragama Bhudda,
sedangkan Eldin adalah Wali Kota Medan, beragama Islam, dan
orang Medan; dan Akhyar orang Medan juga dan beragama
Islam. Masyarakat tidak begitu kenal dengan sosok RamadhanEddie (REDI).
KPU Kota Medan Tetapkan Pasangan BENAR Menang,
Saksi REDI Pulang
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan menggelar
rapat pleno rekapitulasi hasil perhitungan suara di Hotel Tiara,
Jalan Imam Bonjol Medan, Sumut, Rabu (16/12/2015). Hasilnya,
pasangan Eldin-Akhyar menang telak atas Ramadhan Pohan-
227
Eddie Kusuma dari total pemilih yang tercatat di daftar pemilih
sebanyak 1.985. 096 pemilih.
Untuk pasangan nomor urut 1, Dzulmi Eldin-Akhyar
Nasution mendapatkan 346.406 dari 483.014 suara sah.
Sedangkan pasangan nomor urut 2, Ramadhan Pohan-Eddie
Kusuma mendapatkan 136.608 suara. Sementara, suara tidak sah
24.336.
Dalam rekapitulasi ini, saksi untuk pasangan calon
nomor urut 2 sempat hadir, namun tiba-tiba mereka keluar. "Ya
mereka sempat hadir, namun dalam proses, saksi nomor urut 2
keluar tanpa memberitahukan ke kita apa alasannya keluar," kata
Komisioner KPU Medan Pandapotan Tamba kepada wartawan di
lokasi.
Pandapotan menjelaskan, apabila saksi untuk pasangan
calon nomor urut 2 tak bersedia menandatangan hasil perolehan,
maka dianggap sah. Sementara nomor urut 1 hadir dan Panwas
menerima sesuai datanya.
"Tingkat partisipasi pemilih di Kota Medan 25,5 persen.
Artinya, pengguna golput lebih tinggi," ujarnya.
Dalam rekapitulasi ini, pihak kepolisian dari Polresta
Medan membuat pengamanan 3 lapisan. Pengamanan itu yakni di
luar gedung, pintu masuk dan di dalam saat berlangsungnya
acara.
"Total, ada 251 personel gabungan dari Polsekta Medan
Baru dan Polresta Medan," kata Kapolsekta Medan Baru,
Kompol Ronny Nicholas kepada wartawan.
Hingga acara usai, proses rekapitulasi berjalan aman dan
kondusif. Untuk penetapan hasil rekapitulasi, KPU Medan akan
menyampaikannya
pada
malam
nanti
(http://www.suaramedan.com/2015/12/kpu-kota-medan-tetapkanpasangan-benar.html).
9. Rendahnya Partisipasi Masyarakat
Pemerintah Kota (Pemko) Medan Sumatera Utara
mengatakan bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2015 sangat
rendah. Menurut prediksi hanya sekitar 24 persen, sisanya
memilih untuk tidak memberikan suara atau golongan putih
(golput).
228
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan
Divisi Teknis Penyelenggaraan, Pandapotan Tamba, mengaku
terpukul dengan rendahnya angka partisipasi Pilkada Medan
2015.
"Kami juga terpukul dengan rendahnya partisipasi, ada
apa ini," kata Pandapotan, Rabu (9/12/2015).
Diketahui jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada
Medan sebanyak 1.985.096 pemilih. Berdasarkan hasil
perhitungan sementara dari salah satu tim pasangan calon, yakni
jumlah suara dari 1.878 TPS, baru 307.651 suara yang terkumpul
hingga pukul 17.25 wib.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Medan,
Raden Deni Atmiral mengatakan bahwa pihaknya menerima
laporan dari sejumlah petugas pengawas di lapangan, di mana
angka partisipasi pemilih di sejumlah TPS hanya mencapai 30
persen.
Raden menyampaikan tiga faktor yang menurutnya juga
mempengaruhi rendahnya angka partisipasi pemilih.
"Pertama itu verifikasi faktual, melalui pencocokan dan
penelitian. Kedua, soal penyempurnaan DPT yang terus kita
minta perbaiki. Misalnya yang tidak lagi di tempat, meninggal,
ganda dan fiktif. Itu kan mempengaruhi persentase pemilihan,"
sebutnya.
Menurutnya, faktor ketiga adalah penyebaran formulir
pemberitahuan memilih atau C6 kepada pemilih oleh petugas
KPPS. Dilaporkan hingga Selasa (8/12) malam, masih banyak
warga yang belum menerima formulir tersebut.
"Kita terima laporan masih banyak C6 yang belum
disampaikan," ungkapnya.
Dilansir dari RiauPos.co, dari sejumlah TPS di
Kelurahan Bandar Selamat Kecamatan Medan Tembung, yakni
TPS 13 dan 14, jumlah pemilih memberikan hak suaranya
sebesar 187 dan 119 dari 750 jumlah DPT per TPS. Sedangkan
untuk TPS 9 Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas,
partisipasi pemilih mencapai 140 orang dengan DPT sebanyak
700 pemilih.
Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan mengaku prihatin
melihat kondisi rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada di
229
Kota Medan tersebut. Dirinya berharap kenyataan ini menjadi
evaluasi bagi partai politik dan KPU.
"Kita tidak tahu pasti alasannya menurun, apakah
kurangnya sosialisasi, pengerahan massa terbatas atau calon
kepala daerah yang tidak mau lagi pakai politik uang sementara
masyarakat mungkin juga masih berharap itu, kita tidak tahu.
Tetapi memang ini kan pertama kali dilaksanakan. Tentunya akan
banyak kelemahan," ujarnya.
Disebutkan Trimedya, jika partisipasi pemilih rendah,
tidak menutup peluang bahwa legitimasi para calon terpilih
nantinya juga rendah.
Sementara itu, Pj. Wali Kota Medan, Randiman Tarigan
mengatakan tingkat partisipasi masyarakat Kota Medan pada
Pilkada serentak kali ini menghawatirkan. Sebab, persentase
angka pemilih hanya 24,2 persen sedangkan golongan putih
(golput) alias yang tidak memilih mencapai 75,8 persen.
"Kita harus akui, partisipasi masyarakat dalam Pilkada
kali ini sangat rendah. Infromasi dari desk Pilkada bahwa
persentase masyarakat yang memilih hanya 24,2 persen," ujar
Randiman Tarigan.
Mantan Kepala Dinas Pendapatan Medan itu tidak yakin
apabila informasi tentang agenda Pilkada tidak sampai ke telinga
masyarakat. Apalagi, pemerintah telah memutuskan bahwa
pelaksanaan Pilkada menjadi libur besar.
"Memang masyarakatnya yang tidak mau datang ke TPS,
pemerintah sifatnya hanya menghimbau, tentu permasalahan ini
akan kita evaluasi bersama KPU Medan nantinya," tutupnya
(http://faktariau.com/mobile/detailberita/2373/pj-walikotamedan:-75,8-persen-masyarakat-memilih-golput.html).
Di sini, penulis memberikan masukan-masukan untuk
KPU Kota Medan mengenai sosialisasi Pilkada Kota Medan dan
hal-hal yang berhubungan dengannya, sebagai berikut:
a. Mensosialisasikan Pilkada Kota Medan dengan melibatkan
akademisi dari disiplin ilmu komunikasi, sosiologi dan
politik untuk melakukan sosialisasi dan penelitian secara
kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan berbagai teori,
model dan formula komunikasi, seperti teori kultivasi, uses
and gratifications model (model penggunaan dan kepuasan),
two step flow model (model komunikasi dua tahap),
230
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Lasswell’s formula (formula Lasswell), dan lain-lain, disertai
anggaran dana yang mencukupi.
Sosialisasi dan penelitian dilaksanakan sepanjang tahun, dan
tidak hanya ketika menjelang Pilkada saja.
Mensosialisasikan profil bakal calon Walikota dan Wakil
Wali Kota Medan. Kalau semua bakal calon tersebut dinilai
masyarakat kurang baik, seperti pernah terlibat KKN, mantan
preman, dan seterusnya, maka masyarakat dihimbau untuk
memilih bakal calon yang paling sedikit kesalahannya.
Meyakinkan masyarakat bahwa setiap daerah itu wajib ada
pemimpin yang membawa mereka ke arah yang lebih baik.
Tidak mungkin suatu daerah tidak ada pemimpinnya.
Sedangkan pemilihan pemimpin daerah dilaksanakan melalui
Pilkada langsung, umum, bebas dan rahasia.
Pendataan pemilih seakurat mungkin.
Meramalkan hal yang mungkin terjadi di luar perkiraan, tapi
masih bisa dipikirkan jauh-jauh hari karena adanya
pengalaman masa lalu, seperti penggunaan KTP Kota Medan
bagi pemilih yang tidak terdata. Penggunaan KTP Kota
Medan bagi pemilih yang tidak terdata ini harus
disosialisasikan pada masa sosialisasi Pilkada Kota Medan.
Sosialisasi Pilkada Kota Medan harus melibatkan media
komunikasi secara optimal, seperti media cetak dan
elektronik, media sosial, media komunikasi antarpribadi
(seperti tokoh masyarakat), dan seterusnya.
C. Konflik dalam Pemilihan Wali Kota Medan
1. Pengertian Konflik
Karl Marx merumuskan pandangannya mengenai
konflik, yaitu:
a. Konflik adalah keadaan di mana struktur kelas dalam
masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan
di antara orang-orang yang berada dalam kelas yang berbeda,
pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya
hidup seseorang dan bentuk kesadarannya, serta berbagai
pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan
struktur sosial.
231
b. Memberi tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial,
khususnya kepemilikan alat produksi.
c. Memuat ide yang kontroversial mengenai sistem dua kelas
yang digunakan dalam analisisnya, khususnya ramalannya
mengenai pertumbuhan yang semakin melebur antara kelas
borjuis dan kelas proletar.
d. Tidak akan terjadi perubahan struktur sosial yang utama
kecuali dengan revolusi (Hikmat:2011:89).
Stuart berpendapat bahwa bila suatu konflik tidak
terpecahkan maka akan menimbulkan ketegangan di dalam
masyarakat dan ketegangan antarindividu sehingga perilaku yang
sebelumnya profesional akan menjadi perilaku yang tidak
profesional (Stuart:1995:332).
2. Proses Konflik dalam Pemilihan Wali Kota Medan
Kuasa Hukum Tim Pemenangan calon Wali Kota dan
Wakil Wali Kota Medan, Ramadhan-Eddie (REDI) meminta
Mahkamah Konstitusi menilai Pilkada Medan 9 Desember lalu
cacat hukum dan harus dilakukan Pilkada susulan.
Hal itu dikatakan kuasa hukum Tim REDI, Andi
Muhammad Asrun saat sidang pemeriksaan pendahuluan di MK.
Menurut Andi, penyelenggaraan Pemilu baru kali ini
mengandung cacat formal, tidak memenuhi syarat peraturan
perundang-undangan.
“Bahwa Pemilu Wali Kota Medan ini tidak memenuhi
syarat partisipasi, partisipasi hanya sekitar 20%. Tidak memenuhi
syarat Pasal 122 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Tentunya kita bertanya, apa penjelasan dari pasal ini, konteksnya
apa? Tidak ditemukan penjelasan dan kami coba rujuk kepada
undang-undang sebelumnya, yaitu Pasal 120 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015,” jelas Andi yang dikutip dari
risalah sidang Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor
48/PHP.KOT-XIV/2016, Kamis (7/1/2016).
Dikatakan Andi, Pemilukada Wali Kota Medan tidak
dapat dilaksanakan di tingkat partisipasi dari jumlah kecamatan
atau 5 persen dari jumlah penduduk, pemilih terdaftar yang tidak
dapat menggunakan haknya. Maka, perlu dilakukan pemilihan
susulan.
232
Menurut Andi, ada persoalan penyelenggara yakni
KPUD Medan tidak netral dan tidak profesional. Lantaran baru
memberikan izin kepada warga yang menggunakan KTP setelah
pukul 12.00 wib ke atas dengan membawa KTP.
“Tetapi yang terjadi di lapangan, syarat KTP itu adalah eKTP, KTP elektronik. Padahal kita ketahui semua bahwa
penyelenggaraan pengadaan KTP elektronik itu belum
menyentuh seluruh penduduk Indonesia, baik kota maupun di
desa. Ini di kota,” kata Andi.
Dia juga menjelaskan, kalau pemilih menggunakan EKTP, maka diharap pakai card reader untuk mengklarifikasi
kebenaran E-KTP tersebut.
Namun, syarat-syarat teknologi ini tidak dipenuhi dalam
penyelenggaraan Pemilukada Medan. Dan, menurutnya, KPU
tidak memberikan sosialisasi kepada KPU di daerah.
“Kami berharap Mahkamah Konstitusi sebagai the
guardian of the constitution, ya, sebagai penjaga konstitusi dan
juga the guardian of constitutional rights itu bisa memberikan
perlindungan kepada warga negara. Jadi, sebagai konklusi, Yang
Mulia, kami bisa katakan bahwa penyelenggara Pemilukada di
Kota Medan Tahun 2015 ini bertentangan dengan azas-azas
pemilu, yaitu jujur, adil, dan sebagainya,” pintanya.
Mereka meminta Hakim MK untuk menyatakan batal
dan tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Medan Nomor
29/KPTS/KPU-MDN/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil
Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan Tahun 2015.
“Menyatakan batal dan tidak sah, serta tidak mempunyai
kekuatan
hukum
mengikat
Berita
Acara
Nomor
1731/BA/XII/2015 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Perolehan Suara di Tingkat Kotamadya Dalam Pemilihan Wali
Kota dan Wakil Wali Kota 2015.”
Dalam petitumnya mereka juga memerintahkan Komisi
Pemilihan Umum Kota Medan untuk menyelenggarakan
pemungutan suara ulang di seluruh wilayah Kota Medan atau
menyelenggarakan Pemilu. Pemilihan lanjutan bagi pemilih yang
tidak dapat menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember 2015
(http://waspada.co.id/pilkada/kuasa-hukum-redi-tuntutpemilihan-susulan-pilkada-medan/).
233
3. Disudutkan, KPU Serang Balik REDI
KPU Sumut tidak terima dituding sebagai biang kerok
tingginya angka golput pada Pilkada 9 Desember lalu. Lembaga
penyelenggara Pemilu ini justru menuding pasangan calon
(paslon) yang tidak negarawan.
“Harusnya paslon itu menunjukkan sikap negarawan
yang baik, bukan terus-menerus menyalahkan KPU karena
partisipasi pemilih rendah. Harus diketahui, rendahnya partisipasi
pemilih ini bukan salah KPU, tetapi kesalahan bersama,” ujar
Ketua KPU Sumut, Mulia Banurea, kepada KORAN SINDO
MEDAN , kemarin.
Mulia mengklaim, KPU Sumut hingga KPU
kabupaten/kota selama ini sudah maksimal melakukan sosialisasi.
Bahkan, sosialisasi dilakukan dengan cara door to door. Waktu
sosialisasi pun tergolong tidak sedikit. Ia mengatakan, KPU
sudah melakukan sosialisasi Pilkada sejak 1 Maret hingga
pelaksanaan Pilkada 9 Desember. Daftar pemilih juga sudah
dicocokkan dengan data e-KTP dari Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri).
Data dari e-KTP itu kemudian dijadikan sebagai daftar
pemilih sementara (DPS) dan dipajang di tempat-tempat publik,
seperti kantor lurah, desa, kepala lingkungan (kepling), kantor
camat, dan balai desa. Dengan begitu, warga dapat melihat
dengan jelas, dan jika namanya tidak masuk DPS bisa melapor
kepada kepling. Setelah itu, baru KPU mengeluarkan daftar
pemilih tetap (DPT).
Meski begitu, warga yang tak terdaftar dalam DPT masih
diberikan kesempatan memilih dengan hanya menunjukkan kartu
identitas. KPU juga, kata dia, sudah memfasilitasi paslon yang
bertarung untuk tatap muka dengan masyarakat. Lalu, diberikan
waktu kampanye, baik tatap muka, rapat umum, membagikan
selebaran, maupun menggunakan alat peraga kampanye.
Selain itu, lanjut Mulia, KPU sudah merekrut lima
segmen di masyarakat untuk melakukan sosialisasi. Kelima
segmen itu, yakni pemilih pemula, perempuan, tokoh agama,
penyandang disabilitas, serta kaum marjinal. Kelima segmen ini
turut serta melakukan sosialisasi secara door to door. “Kalau
hasilnya juga tidak signifikan, itu bukan salah KPU. Tetapi sudah
234
sangat jelas, kalau masyarakat yang apatis (kepada paslon),”
tandasnya.
Pengamat politik dari Universitas Sumatara Utara (USU),
Taufan
Damanik,
menilai
bahwa
KPU
memang
bertanggungjawab terhadap rendahnya partisipasi pemilih dalam
Pilkada serentak 2015. Namun, publik juga tak bisa serta-merta
sepenuhnya menyalahkan lembaga penyelenggara Pemilu itu.
Karena itu, harus ada kajian kenapa masyarakat enggan datang ke
TPS untuk memberikan hak suaranya.
“Kalau sosialisasi saya rasa sudah cukup yang dilakukan
KPU. Sebab, zaman sekarang (teknologi) sudah cukup canggih,
informasi dengan cepat bisa sampai. Tidak mungkin sampai 70%
lebih masyarakat tidak tahu soal pelaksanaan Pilkada serentak
ini,” kata Taufan. Menurut dia, sikap apatis yang membuat
masyarakat enggan datang ke TPS memberikan pilihan kepada
paslon.
Terlebih, saat hari pencoblosan, pusat-pusat perbelanjaan
serta tempat liburan di Kota Medan ramai dikunjungi masyarakat.
Secara tidak langsung hal itu menunjukkan bahwa masyarakat
lebih memilih berlibur daripada ke TPS untuk memberikan hak
suaranya. “Ini harus menjadi evaluasi bersama, baik dari
kalangan eksekutif, legislatif, maupun lembaga lainnya.
Bagaimana supaya ke depannya sikap apatis masyarakat untuk
memilih ini jangan sampai terjadi lagi. Sebab, ini sangat
merugikan masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya, banyak pihak menyalahkan KPU atas
rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Sumut, khususnya Kota
Medan yang hanya 26,67%. Mulai dari Pelaksana Tugas
Gubernur Sumut, Tengku Erry Nuradi, kedua paslon, para tim
sukses, partai pengusung, semuanya menyalahkan KPU yang
tidak maksimal melakukan sosialisasi.
Selain itu, tidak harmonisnya hubungan KPU Kota
Medan dengan media massa membuat sosialisasi Pilkada kurang
maksimal. Terpisah, Sekda Sumut, Hasban Ritonga, menilai
bahwa partisipasi pemilih dalam pilkada 9 Desember lalu
memang sangat minim.
Karena itu, ia meminta KPU mengevaluasi metode
sosialisasi yang dilakukan selama ini. “Memang partisipasi
pemilih kita masih kurang menggembirakan dibandingkan daerah
235
lain. Makanya ke depan kami harap ada evaluasi, terutama untuk
metode
sosialisasinya,”
tandasnya
(http://www.koransindo.com/news.php?r=5&n=6&date=2015-12-12).
4. PT TUN Tolak Gugatan REDI
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Medan dalam putusannya menolak gugatan yang diajukan
penggugat, yakni pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali
Kota Medan nomor urut 2, Ramadhan-Eddie (REDI) dalam
persidangan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN)
Medan.
“Majelis hakim tidak dapat menerima gugatan yang
diajukan penggugat dan mengabulkan keberatan tergugat bahwa
pihak PT TUN Medan tidak berwenang memeriksa pokok
perkara sengketa yang disidangkan,” ucap Ketua Majelis Hakim,
HA Sayuti, didampingi hakim anggota, Maskuri dan Disiplin F.
Manao, Selasa (12/1/2016).
Selain tidak dapat menerima gugatan yang diajukan
penggugat, Majelis Hakim Tinggi TUN Medan juga menghukum
REDI untuk membayar perkara sebesar Rp 201.000.
Usai mendengarkan putusan, Hasanuddin Batubara
selaku penasehat hukum pasangan REDI mengajukan kasasi atas
putusan hakim PT TUN Medan.
“Kita kasasi, sebab menurutnya gugatan yang diajukan
adalah pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh KPU
Medan. Di mana adanya rekomendasi yang diajukan Panwaslu
Medan agar penghitungan dilakukan pada 18 Desember akan
tetapi KPU Medan melakukan penghitungan pada 16 Desember
2015,” jelasnya.
Hasanuddin berkeyakinan di tingkat kasasi nanti, Hakim
Agung mengerti dengan gugatan itu. Terutama soal surat
rekomendasi Panwaslu Medan kepada KPU Medan.
“Karena
KPU
mempunyai
kewajiban
untuk
menindaklanjuti setiap rekomendasi dari Panwas. Itu jelas
tercantum dalam Pasal 13 UU tahun 2015. Apa itu rekomendasi
dari Panwas? Panwaslu Medan meminta agar rekapitulasi suara
ditunda, namun tidak dilaksanakan KPU Medan,” ketusnya.
Untuk diketahui, KPU Medan telah selesai melakukan
rekapitulasi suara Pilkada Kota Medan pada 16 Desember 2015.
236
Dari hasil rekapitulasi itu, dalam Pilkada Medan, ada sebanyak
1.985.096 DPT, kemudian DPTB1 2.236. Pengguna hak pilih
suara sebanyak 507.351 pemilih dengan jumlah surat suara yang
dipakai
507.351
(http://waspada.co.id/fokus-redaksi/pt-tunmedan-tolak-gugatan-redi-ajukan-kasasi/).
5. Penanggulangan Konflik
Alo Liliweri menyebut beberapa istilah dalam
penyelesaian konflik secara umum sebagai berikut:
a. Pencegahan konflik; bertujuan untuk mencegah timbulnya
kekerasan dalam konflik.
b. Penyelesaian konflik; bertujuan mengakhiri kekerasan
melalui persetujuan perdamaian.
c. Pengelolaan konflik; bertujuan membatasi atau menghindari
melalui atau mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk
berlaku positif.
d. Resolusi konflik; bertujuan menangani sebab-sebab konflik
atau berusaha membangun hubungan baru yang relatif dapat
bertahan di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
e. Transformasi konflik; mengatasi sumber-sumber konflik
sosial dan politik yang lebih luas dengan mengalihkan
kekuatan negatif dari sumber perbedaan ke kekuatan positif.
f. Manajemen konflik; tindakan yang direncanakan,
diorganisasikan, disegerakan, dan dievaluasi secara teratur
atas
semua
usaha
demi
mengakhiri
konflik
(Liliweri:2005:288).
Konflik dalam Pilkada Kota Medan adalah sangat
rendahnya partisipasi masayarakat. Menurut KPU, partisipasi
rendah itu bukan pelanggaran.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Husni Kamil
Manik menegaskan, Pilkada ulang dan susulan atau pemungutan
suara ulang hanya bisa dilakukan jika ada pelanggaran.
“Sedangkan rendahnya partisipasi masyarakat pemilih
bukanlah pelanggaran,” kata Husni di sela-sela peninjauan.
Dia menjawab itu terkait adanya pengusulan Pilkada
susulan dari pasangan calon (paslon) Wali Kota/Wakil Wali Kota
Medan Ramadhan-Eddie (paslon no. urut 2) dalam Pilkada Kota
Medan, Rabu (9/12/2015). Alasan paslon ini adalah adanya UU
No. 8/2012 serta partisipasi masyarakat pemilih yang tidak
237
mencapai 50 persen lebih (Harian Waspada (13 Desember 2015),
h. A1).
“Kan tidak ada pelanggaran dalam Pilkada Kota Medan,
dan kalaupun partisipasi masyarakat rendah, bukanlah
pelanggaran,” tegas Husni.
Tegasnya, pemungutan suara susulan hanya bisa
dilakukan jika ada pelanggaran. Ini pun dilakukan harus melalui
proses, benar ada atau tidaknya pelanggaran tersebut (Harian
Waspada (13 Desember 2015), h. A2).
D. Evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan: Pendekatan
Psikologi Komunikasi Mengenai Krisis Kepercayaan Rakyat
Terhadap Kepala Daerah
1. Mewujudkan Persepsi Positif Terhadap Pemerintah
a. Pelayanan Birokrasi yang Profesional
Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah
memerlukan perangkat negara yang disebut dengan
pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah
pada hakekatnya adalah pelayan masyarakat. Ia tidaklah
diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani
masyarakat dan menciptakan kondisi agar setiap anggota
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya
(Rasyid:1998:139).
Dalam
paradigma
“dikotomi
politik
dan
administrasi” seperti dikemukakan oleh Wilson, menegaskan
bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu
fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan
(public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi
keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan
dengan
pelaksanaan
kebijakan-kebijakan
tersebut
(Widodo:2001:245).
Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan
publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan
untuk melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan
kekuasaan administrasi negara. Namun karena administrasi
negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki
kewenangan secara umum disebut “discretionary power”,
238
yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik
dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu
pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin
bahwa kewenangan itu digunakan “secara baik dan tidak
secara buruk”.
Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi
publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan
sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi
dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik
atau
buruk
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj
udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/).
Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut
Dwiyanto, bahwan etika birokrasi digambarkan sebagai suatu
panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan
tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus
menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan
kepada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar
mengutamakan kepentingan masyarakat luas (Dwiyanto, et,
al:2002:188).
Sementara pemahaman pelayanan publik yang
disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat
birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga
maksud dari public service tersebut demi mensejahterakan
masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Widodo
mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan
(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan
(Widodo:2001:269).
b. Etika dan Konsep Etika Pelayanan Publik
Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua
fungsi, yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, dan
referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam
239
menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya
dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela.
Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai
sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik,
tidak
tercela
dan
terpuji
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj
udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/).
Leys berpendapat bahwa seorang administrator
dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan
standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan,
dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada
kebiasaan dan tradisi yang sudah ada. Selanjutnya, Anderson
menambahkan suatu poin baru bahwa standar-standar yang
digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat
mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat
yang dilayani. Berikutnya, Golembiewski mengingatkan dan
menambah elemen baru yakni standar etika tersebut mungkin
berubah dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator
harus mampu memahami perkembangan standar-standar
perilaku tersebut dan bertindak sesuai dengan standar
tersebut (Keban:1994:51).
Beberapa konsep mengenai etika pelayanan publik
sebagai berikut ini:
1) Etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani
publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang
mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau normanorma yang mengatur tingkah laku manusia yang
dianggap baik (Kumorotomo:1992:7).
2) Etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam
melayani publik dengan menggunakan kebiasaankebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum
atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang
dianggap baik (Putra dan Arif:2001:27).
3) Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan
norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas
pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus
menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus
240
diarahkan kepada pilihan-pilihan kebijakan yang benarbenar mengutamakan kepentingan masyarakat luas
(Dwiyanto, et, al:2002:188).
4) Darwin (1999) mengartikan etika birokrasi (administrasi
negara) sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan
atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi.
Selanjutnya dikatakannya bahwa etika (termasuk etika
birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu pertama, sebagai
pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara
(birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi
dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela; kedua, etika
birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat,
perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak
tercela dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika
birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi,
dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya antara lain adalah efesiensi,
membedakan milik pribadi dengan milik kantor,
impersonal, merytal system, responsible, accountable,
dan
responsiveness
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/me
wujudkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etikapelayanan-publik/).
5) Etika administrasi negara adalah wujud kontrol terhadap
administrasi negara dalam melaksanakan apa yang
menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya.
Manakala administrasi negara menginginkan sikap,
tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam
menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya
harus menyandarkan pada etika administrasi negara
(Widodo:2001:241).
Acuan Tugas
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai
yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun
bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, yakni:
241
1) Efisiensi
Nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap,
perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik
jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin
(1999), mereka akan menggunakan dana publik (public
resources)
secara
hati-hati
agar
memberikan
manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi publik.
Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota
organisasi dapat memberikan kontribusi kepada
organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip
“janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari
organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara
berikan kepada organisasi”.
2) Membedakan Milik Pribadi dengan Milik Kantor
Nilai ini dimaksudkan supaya birokrasi yang
baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana
milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk
kepentingan pribadi.
3)
Impersonal
Nilai impersonal maksudnya adalah dalam
melaksanakan hubungan antara bagian yang satu dengan
bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu
dengan lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh
organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya
hubungan
impersonal perlu
ditegakkan
untuk
menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio dalam
menjalankan tugas dan tanggungjawab berdasarkan
peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah
harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya
mendapat penghargaan.
4) Merytal System
Nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau
promosi pegawai, hendaknya menggunakan merytal
system, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi
pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan dan sajen
yang dipersembahkan (suap), namun berdasarkan
242
pengetahuan
(knowledge),
ketrampilan
(skill),
kemampuan (capable), dan pengalaman (experience),
sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang
bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan
tugas dan tanggungjawab, dan bukan “spoil system”.
5) Responsible
Nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban
birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya. Menurut Friedrich, responsibilitas
merupakan konsep yang berkenaan dengan standar
profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki
administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan
tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan sepak
terjang administrator, harus memiliki standar penilaian
sendiri yang bersifat administratif atau teknis, dan bukan
politis. Disamping itu, pertanggungjawaban administratif
menuntut administrator harus bertindak berdasarkan
moral. Dalam hal ini, birokrasi publik perlu bersikap adil,
tidak membedakan client, peka terhadap ketimpangan
yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh
kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga dengan
demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan
mampu memberikan layanan publik yang baik dan
profesional.
6) Accountable
Nilai accountable menurut Harty (1977)
merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur
apakah dana publik telah digunakan secara tepat dan
tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan Herman Finner
(1941) nilai accountable merupakan konsep yang
berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan
kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik.
Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang
bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable
bilamana mereka dinilai objektif oleh orang (masyarakat
atau melalui wakilnya), dapat mempertanggungjawabkan
segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya
243
kepada pihak yang mana kekuasaan dan kewenangan
yang dimiliki itu berasal. Sehingga birokrasi publik dapat
dikatakan akuntabel manakala mereka mewujudkan apa
yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang
profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
7) Responsiveness
Nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari
birokrasi publik dalam menanggapi apa yang menjadi
keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat
memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan
berusaha untuk memenuhinya. Mereka tidak suka
menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan,
atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan
substansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat
dikatakan baik apabila mereka dinilai memiliki responsif
(daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan, masalah,
keluhan
dan
aspirasi
masyarakat
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/me
wujudkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etikapelayanan-publik/).
Selanjutnya menurut Widodo, pelayanan publik yang
profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh
adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan
(aparatur pemerintah). Ciri-cirinya yaitu:
1) Efektif, yakni lebih mengutamakan pada pencapaian apa
yang menjadi tujuan dan sasaran.
2) Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan
oleh masyarakat pengguna layanan.
3) Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti
adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
a) Prosedur tata cara pelayanan.
b) Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun
persyaratan administratif.
c) Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan
bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan,
244
d) Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara
pembayarannya, dan jadwal waktu penyelesaian
pelayanan.
e) Keterbukaan mengandung arti prosedur/tata cara
persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab
pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian
waktu/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
proses pelayanan wajib diinformasikan secara
terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat, baik diminta maupun tidak.
f) Efisiensi mengandung arti:
(1) Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada halhal yang berkaitan langsung dengan pencapaian
sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan
keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan yang berkaitan.
(2) Dicegah adanya pengulangan pemenuhan
persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah
lain yang terkait.
(3) Ketepatan waktu mengandung arti pelaksanaan
pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan.
(4) Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan
cepat menanggapi apa yang menjadi masalah dan
kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang
dilayani.
(5) Adaptif adalah cepat menyesuaikan diri terhadap
apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan
aspirasi masyarakat yang dilayani yang
senantiasa
mengalami
tumbuh
kembang
(Widodo:2001:270-271).
c. Prinsip-prinsip Etika Pelayanan Publik
Etika administrasi negara dari American Society for
Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk
Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika
pelayanan sebagai berikut:
1) Pelayanan terhadap publik harus diutamakan.
245
2) Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di
dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggungjawab
kepadanya.
3) Hukum mengatur semua kegiatan pelayanan publik.
Apabila hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas,
maka kita harus mencari cara terbaik untuk memberi
pelayanan publik.
4) Manajemen yang efektif dan efesien merupakan dasar
bagi administrator publik. Penyalahgunaan, pemborosan,
dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat ditolerir.
5) Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus
didukung, diimplementasikan dan dipromosikan.
6) Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan
pribadi tidak dapat dibenarkan.
7) Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian,
dan empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
dan secara aktif harus dipromosikan.
8) Kesadaran moral memegang peranan penting dalam
memilih alternatif keputusan.
9) Administrator publik tidak semata-mata berusaha
menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar
atau
mencari
kebenaran
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/me
wujudkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etikapelayanan-publik/).
Selanjutnya asas-asas etika itu dituangkan dalam
sebuah kode etika yang memuat asas etika dan asas mutu
yang wajib diindahkan dan dijalankan oleh para anggota
perhimpunan yang menjadi administrator negara, yaitu
sebagai berikut:
1) Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan
watak pribadi, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan
dalam semua kegiatan umum, agar supaya
membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat
terhadap pranata-pranata negara.
2) Menghindari suatu kepentingan atau kegiatan yang
berada dalam pertentangan dengan penunaian dari
kewajiban-kewajiban resmi.
246
3) Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan
tenaga kerja menurut penilaian kecakapan serta tata cara
tindakan yang tidak membeda-bedakan guna menjamin
kesempatan yang sama pada penerimaan, pemilihan, dan
kenaikan pangkat terhadap orang-orang yang memenuhi
persyaratan dari segenap unsur masyarakat.
4) Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan,
dan salah pengurusan keuangan negara serta mendukung
rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena
usaha yang bertanggungjawab untuk memperbaiki
pembedaan, kecurangan, salah urus, atau salah
penggunaan yang demikian.
5) Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian,
sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan
kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap diri
sendiri.
6) Berjuang ke arah keunggulan berkeahlian perseorangan
dan menganjurkan pengembangan berkeahlian dan
termasuk mereka yang berusaha memasuki bidang
administrasi negara.
7) Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban
kerja dengan suatu sikap yang positif dan secara
membangun mendukung tata hubungan yang terbuka,
daya cipta, pengabdian, dan welas asih.
8) Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan
hak-hak istimewa yang dapat diperoleh dalam
pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi.
9) Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang
dimiliki menurut hukum untuk memajukan kepentingan
umum atau masyarakat.
10) Menerima
sebagai
suatu
kewajiban
pribadi
tanggungjawab untuk mengikuti perkembangan baru
terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan
menangani urusan masyarakat dengan kecakapan
berkeahlian, kelayakan, sikap tak memihak, efisiensi, dan
daya guna.
11) Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana
perlu berusaha untuk menyempurnakan konstitusikonstitusi negara serta hukum-hukum lainnya yang
247
mengatur hubungan-hubungan di antara badan-badan
pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan
semua warga negara (Gie:1998:31-41).
d. Pelayanan dan Konsep Pelayanan
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia pasti
memerlukan pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik
maupun pelayanan administratif. Kaitannya dengan
pelayanan publik, dalam hal ini birokrasi sebagai abdi
negara, abdi masyarakat adalah sebagai aparat pelaksana
pelayanan (public service) merupakan salah satu fungsi yang
diselenggarakan dalam rangka penyelenggaraan administrasi
negara.
Pelayanan didefinisikan sebagai cara melayani,
membantu, menyiapkan, dan mengurus, menyelesaikan
keperluan, kebutuhan seseorang atau sekolompok orang,
artinya objek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi,
dan
kelompok-kelompok
organisasi
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj
udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/).
Sedangkan Moenir (1992), mengatakan bahwa
pelayanan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan
melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang lain secara
langsung. Menurutnya secara garis besar, pelayanan yang
diperlukan oleh manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu
“pelayanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia” dan
“pelayanan administrative yang diberikan oleh orang lain
selaku anggota organisasi”. Lebih lanjut dikatakannya, pada
hakekatnya, pelayanan adalah serangkaian kegiatan, karena
itulah ia merupakan proses. Sebagai proses, “pelayanan”
berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, yang
meliputi seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat.
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas
dari tiga macam pelayanan yaitu:
1) Pelayanan dengan lisan.
2) Pelayanan melalui tulisan.
3) Pelayanan dengan perbuatan.
248
Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap
organisasi tidaklah dapat selamanya berdiri secara murni,
melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan tersebut
merupakan pelayanan publik pada kantor pemerintah.
Perihal bentuk pelayanan tersebut, lebih lanjut
Moenir mengatakan sebagai berikut :
1) Pelayanan denganLisan
Pelayanan yang dilakukan oleh petugas-petugas
dibidang hubungan kemasyarakatan, bidang layanan
informasi, bidang penerangan, dan bidang-bidang lainnya
yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan
kepada siapapun yang memerlukan. Agar pelayanan
dengan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan,
maka pelaku pelayanan harus:
a) Memahami benar masalah-masalah yang termasuk
dalam bidang tugasnya.
b) Mampu memberikan penjelasan apa yang diperlukan
dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga
memuaskan mereka yang ingin memperoleh
kejelasan mengenai sesuatu.
c) Bertingkah laku sopan dan ramah.
d) Meski dalam keadaan “sepi” tidak “ngobrol” dan
bercanda dengan teman, karena menimbulkan kesan
tidak disiplin dan melalaikan tugas. Tamu menjadi
segan untuk bertanya dengan memutus keasyikan
“ngobrol”.
e) Tidak melayani orang-orang yang ingin sekedar
“ngobrol” dengan cara sopan.
2) Pelayanan Melalui Tulisan
Pelayanan melalui tulisan merupakan bentuk
yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugas, tidak
hanya dari segi jumlah tetapi juga dari segi peranannya.
Agar pelayanan dalam bentuk tulisan dapat memenuhi
kepuasan pihak yang dilayani, perlu faktor kecepatan,
baik dalam pengolahan masalah maupun dalam proses
penyelesaiannya (pengetikan, penandatanganan, dan
pengiriman kepada yang bersangkutan). Pelayanan
tulisan terdiri dari dua golongan, yaitu: pertama,
249
pelayanan berupa petunjuk, informasi dan sejenisnya
yang ditujukan kepada orang yang berkepentingan, agar
memudahkan mereka dalam berurusan dengan
instansi/lembaga; dan kedua, pelayanan berupa reaksi
tulisan
atas
permohonan,
laporan,
keluhan,
pemberian/penyerahan,
pemberitahuan
dan
lain
sebagainya.
3) Pelayanan Berbentuk Perbuatan
Dalam kenyataan sehari-hari jenis pelayanan ini
memang tidak terhindar dari pelayanan lisan. Jadi,
merupakan gabungan antara pelayanan lisan dan
perbuatan. Hal ini banyak dilakukan dalam hubungannya
dengan pelayanan (kecuali pelayanan tulisan). Titik berat
dari pelayanan perbuatan ini adalah terletak pada
perbuatan itu sendiri yang ditunggu oleh yang
berkepentingan. Jadi, tujuan utama orang yang
berkepentingan adalah mendapatkan pelayanan dalam
bentuk perbuatan atau hasil perbuatan, bukan sekedar
penjelasan
dan
kesanggupan
secara
lisan
(Moenir:2000:190-195).
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan
manusia, ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk
pelayanan yang diperlukan lebih banyak merupakan
kombinasi dari ketiga bentuk pelayanan tersebut di atas.
Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan.
Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam
etika pelayanan publik adalah pelayanan yang menilik pada
pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan
diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus ditegakkan
karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait
dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil.
Dengan pelayanan seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu
melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar
sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini
melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka
birokrasi patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan
sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, misalnya
korupsi, kolusi, dan nepotisme (Kartasasmita:1997:28).
250
e. Merubah Citra
Kata “birokrasi” seringkali dipersepsikan masyarakat
sebagai gambaran buram mengenai prosedur kerja yang
berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme
kerja yang tidak efisien dan kurang efektif, sumber
penyalahgunaan wewenang dan semacamnya, kendati
memang secara empiris sulit dibantah adanya keadaan
birokrasi yang memanifestasikan hal seperti itu. Persepsi
demikian muncul karena birokrasi sebagai instrumen negara
dan pemerintahan hanya dipandang dan dipahami dari
dimensi realitas ketimbang dimensi netralitas.
Secara kelembagaan, pemberian pelayanan kepada
publik belum sepenuhnya mengembangkan prinsip
kompetensi, yakni kemampuan aparat birokrasi untuk
memenuhi dan mengetahui proses pelayanan yang
dibutuhkan pengguna jasa. Pembedaan atas dasar afiliasi
sosial kemasyarakatan juga sering dijumpai dalam
penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto, et,
al:2002:196-197).
Namun demikian, pemberian layanan tetap saja
ditemukan pembedaan dari aparat birokrasi ditingkat bawah,
di mana kecenderungan terjadi, terlihat semakin tinggi status
sosial ekonomi dan semakin dekat (kekerabatan) seorang
pengguna jasa, maka aparat birokrasi semakin ramah dalam
melayaninya.
Etika pelayanan dalam kinerja pelayanan publik
diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat
birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa.
Kepentingan pengguna jasa harus ditempatkan sebagai tujuan
utama. Melalui prinsip pelayanan tersebut diharapkan tidak
terjadi diskriminasi dalam pemberian pelayanan, dan
bersikap ramah dalam memberi pelayanan, sehingga
pengguna jasa merasa memperoleh pelayanan yang sebaikbaiknya. Jika kondisi pelayanan yang demikian diciptakan
maka etika pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan
misi aparat birokrasi dan tuntutan masyarakat pengguna jasa
(Dwiyanto, et, al:2002:201-202).
251
f.
252
Kepuasan Masyarakat
Masyarakat dalam hubungannya dengan pelayanan
aparatur pemerintah selalu menuntut pemberian pelayanan
yang cepat, cermat maupun ramah. Untuk mencapai pada
pelayanan tersebut, pemahaman perilaku birokrasi sebaiknya
diketahui terlebih dahulu sebagai suatu tindakan individu
bagi keberhasilan organisasi, karena individu lah yang dapat
membawa tatanan birokrasi, kemampuan, kepercayaan
pribadi, pengharapan, dan pengalaman untuk mencapai
tujuan organisasi. Dalam hal ini lebih menekankan pada
pencarian cara untuk meningkatkan hasil yang efektif,
sehingga pelayanan yang diberikan dapat memuaskan
masyarakat dan harus berawal dari aparat birokrasi yang
suka
bekerja
keras
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj
udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/).
Menurut
Tjokrowinoto,
relevansi
pemuasan
masyarakat atas pelayanan yang disediakan birokrasi perlu
diperhitungkan kompetensinya dengan mengacu kepada dua
hal, yaitu pertama, birokrasi harus memberikan pelayanan
publik dengan adil, menuntut kemampuan untuk memahami
keadaan masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari
kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu
kebijakan kemudian diimplementasikan; kedua, birokrasi
harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan
masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting,
dari pendekatan top down yang menguasai dinamika
interaksi antara birokrasi dengan masyarakat dapat
mengalami perubahan menjadi hubungan horizontal
(Tjokrowinoto:2001:11).
Ada hal yang sangat berbahaya tapi sudah
membudaya di kalangan masyarakat, yaitu mal-administrasi.
Praktek mal-administrasi acapkali timbul karena bertemunya
faktor niat atau kemauan dan kesempatan. Apabila ada niat
dan kesempatan tidak ada maka mal-administrasi tidak akan
terjadi. Begitu sebaliknya, jika kesempatan ada namun tidak
ada niat maka tindakan mal-administrasi tidak terjadi.
Ada dua faktor sebagai sumber penyebab timbulnya
mal-administrasi yaitu: pertama, faktor internal, yakni faktor
pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi,
misalnya niat, kemauan, dan dorongan yang tumbuh dalam
pribadi orang; kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang
berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan
mal-administrasi, misalnya lemahnya peraturan, lemahnya
pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan
kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj
udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/).
Menurut Widodo, mal-administrasi merupakan suatu
praktek yang menyimpang dari etika administrasi yang
menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi. Ada
delapan bentuk mal-administrasi, yaitu :
1) Ketidakjujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan
administrasi yang tidak jujur. Misalnya mengambil uang
dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima
uang suap dari langganan (client), menarik pungutan liar,
dan sebagainya. Dikatakan ketidakjujuran karena
tindakan
ini
berbahaya
dan
menimbulkan
ketidakpercayaan (distrust), dan merugikan kepentingan
organisasi atau masyarakat.
2) Perilaku yang buruk (unethical behaviour). Pegawai
(administrator publik) mungkin saja melakukan tindakan
dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi
tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis,
sehingga secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya,
kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan
koleganya dalam tender proyek; seorang pembesar minta
kepada kepala personalia supaya familinya diluluskan
dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis
karena mengabaikan objektivitas penilaian.
3) Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai
(administrator publik) dapat mengabaikan hukum atau
membuat tafsiran hukum yang menguntungkan
kepentingannya. Misalnya pegawai menggunakan mobil
dinas untuk keluarga, padahal ia tahu bahwa fasilitas
253
kantor secara hukum hanya diperuntukkan bagi pegawai
dan hanya untuk kepentingan dinas.
4) Favoritisme dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau
pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang
berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk
menguntungkan kepentingan tertentu. Misalnya gubernur
sebagai pembina politik di wilayahnya harus bersikap
netral, namun dalam Pemilu sebagai kader partai A
merasa terpanggil memenangkan partai tersebut.
5) Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai
diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos
menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa
disaingi.
6) Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus
maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu melakukan
tugas secara memadai maka para administrator di situ
dinilai gagal, misalnya pemborosan dana secara
berlebihan.
7) Menutup-nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai
menutupi kesalahannya sendiri atau bawahannya, atau
menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau
melarang pers meliput kesalahan instansinya.
8) Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal
membuat keputusan yang positif atau menggunakan
diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan
hukum kepadanya (Widodo:2001:259-262).
Untuk mencegah atau mengatasi tindakan maladministrasi pada tubuh birokrasi, publik harus berupaya
untuk tidak mempertemukan antara niat dan kesempatan
tadi. Maka skala prioritas untuk mencegah dan mengatasinya
adalah dengan cara pertama, perlu kontrol internal; kedua,
menjunjung tinggi dan menegakkan etika birokrasi pada
jajaran birokrasi publik; ketiga, kontrol eksternal dalam
wujud adanya pengawasan, baik pengawasan politik dan
fungsional
maupun
pengawasan
masyarakat
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj
udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/).
254
2. Penyebab Golput di Atas 50 Persen
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat
(JPPR) Masykuruddin Hafidz mengatakan, golput tinggi karena
masa kampanye yang cukup panjang tidak dimaksimalkan
kandidat. Penyebab lain, mesin partai tidak bekerja signifikan
untuk mensosialisasikan pasangan calon saat kampanye. KPU
belum bisa memastikan angka partisipasi pemilih di Pilkada
serentak
ini
(https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewujudk
an-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayanan-publik/).
Pengamat sosial dan politik dari Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar
mengatakan, tingginya golput di Medan disebabkan banyaknya
warga yang merasa peserta Pilkada Medan 2015 tidak sesuai
harapan sehingga mereka tidak punya kandidat yang ingin
didukung.
“Barangkali masyarakat tidak suka Eldin karena
kinerjanya tidak bagus, namun kandidat lainnya Ramadhan
Pohan dan Eddie Kusuma tidak dikenal secara baik oleh warga
Medan,” ujarnya, Sabtu (12/12/2015).
Dia menambahkan, bila Ramadhan Pohan dan Eddie
Kusuma lebih dikenal, bisa jadi suara masyarakat akan beralih ke
pasangan calon nomor dua.
Kemungkinan lainnya adalah sentimen SARA. Belajar
dari pengalaman sebelumnya, warga Medan telah menduga
bahwa Wali Kota Medan terpilih akan masuk penjara lantaran
korupsi, dan jika mereka memilih Ramadhan Pohan, maka secara
otomatis Eddie Kusuma yang nonmuslim akan menjabat sebagai
Wali Kota Medan.
“Pada lain hal, Eddie Kusuma tidak setenar tokoh
Tionghoa seperti Sofyan Tan. Eddie tidak punya prestasi yang
mengangkat Kota Medan khususnya dalam bidang pendidikan.
Apalagi, cara kampanye REDI hanya berupaya menurunkan
elektabilitas Eldin,” katanya.
Menurutnya, REDI memang berhasil turunkan
elektabilitas Eldin sebesar lima persen. Namun gaya kampanye
yang tidak santun menyababkan elektabilitas REDI juga tidak
naik, sehingga jumlah pemilihnya sangat rendah.
255
Kebijakan sosialisasi Pilkada yang diambil alih KPU
mempengaruhi rendahnya pengetahuan warga sehingga
menciptakan warga yang enggan datang ke TPS. Kampanye
politik tahun ini, katanya, tidak meriah bila dibandingkan Pemilu
2014.
“Secara teknis masih banyak yang tidak memperoleh C6,
kendati C6 dapat diganti dengan Kartu Tanda Penduduk. Cuma
informasi tersebut tidak cukup diketahui masyarakat,”
ungkapnya.
Indo Barometer mengungkap, tingkat partisipasi pada
pemilihan Walikota dan Wakil Wali Kota Medan hanya 26,67
persen
(http://binnekamedia.com/binnekanews/medannews/pilkada-medan-ini-penyebab-golput-mencapai-7333persen).
3. KPU Pusat Evaluasi Kinerja KPU Medan
Kota Medan ternyata pilot project peningkatan partisipasi
pemilih untuk tingkat nasional. Namun hasilnya, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Medan justru gagal total meningkatkan
partisipasi pemilih pada Pilkada yang digelar 9 Desember 2015.
Partisipasi pemilih di ibu kota Provinsi Sumatera Utara
ini bahkan merosot tajam apabila dibandingkan dengan Pemilu
Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Pada perhelatan
dua Pemilu itu, partisipasi pemilih di Kota Medan mencapai
38%, sementara pada Pilkada 2015, partisipasi pemilih hanya
26,8%. Kondisi ini banyak mendapat reaksi dari sejumlah pihak.
Bahkan, Ketua KPU Pusat Husni Kamil Manik tak bisa
menyembunyikan kekecewaan atas rendahnya partisipasi pemilih
di kota kuliner ini. Karena itu, KPU Pusat akan mengevaluasi
kinerja KPU Medan. “Di sini (Medan) ada kegagalan,” ujar
Husni Kamil di KPU Medan akhir pekan kemarin. Husni
menyebutkan, pada pilpres tahun lalu, Kota Medan termasuk
salah satu daerah rendah partisipasi pemilihnya, yakni hanya
sekitar 38%.
Berkaca dari situ, KPU Pusat sengaja menjadikan Medan
sebagai salah satu pilot project peningkatan partisipasi pemilih
secara nasional pada Pilkada serentak 9 Desember lalu. “Namun
(hasilnya) justru semakin menurun. Jadi, perlu ada evaluasi,”
katanya.
256
Meski kecewa dengan kinerja lembaga penyelenggara
Pemilu pimpinan Yenny Chairiah Rambe itu, tapi Husni tidak
terima jika KPU disebut sebagai pihak bersalah sepenuhnya atas
rendahnya partisipasi pemilih tersebut. Sebab jauh hari sebelum
pencoblosan, KPU sudah aktif melakukan sosialisasi. “Saya rasa
pembahasan kita di sini bukan salah menyalahkan. Masalahnya
apa coba kalau partisipasi pemilih rendah, bisa karena
masyarakat apatis atau hal lainnya,” kata Husni.
Husni Kamil datang ke Kota Medan memantau proses
rekapitulasi suara. Dalam kunjungannya, Husni sempat
memantau rekapitulasi suara di Kecamatan Medan Johor dan
Kecamatan Medan Belawan. Di Belawan, Husni sempat singgah
di rumah pintar Pemilu untuk melihat langsung program KPU
tersebut. Rumah pintar Pemilu itu didirikan untuk meningkatkan
partisipasi pemilih dalam Pilkada.
Menurut dia, tidak masuk akal jika sosialisasi yang
minim disebut-sebut sebagai penyebab partisipasi pemilih
rendah. Tamba pun mempersilahkan semua pihak yang merasa
dirugikan oleh KPU menempuh upaya hukum. Seperti
menggugat ke Mahkamah Konstitusi atau melapor ke penegakan
hukum terpadu pemilihan umum (gakumdu) maupun panwaslu.
“Harus diketahui, partisipasi pemilih rendah itu bukan
pelanggaran Pemilu. Jadi, tidak salah kalau kami katakan jangan
menyalahkan KPU di sini,” katanya.
Tamba menilai sangat tidak berdasar jika ada pihak
menyalahkan KPU atas rendahnya partisipasi pemilih ini.
Apalagi kalau pernyataan tersebut dilontarkan pasangan calon
yang bertarung. “Kita jangan mencari kambing hitam, mari samasama menghargai proses demokrasi yang telah dilakukan. Kalau
toh hasilnya tidak maksimal, apa yang mau kita lakukan,”
katanya.
Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU),
Faisal Mahrawa mengatakan, memang ada faktor apatisme
masyarakat kepada pasangan calon sehingga partisipasi
pemilihnya jauh dari harapan. Sikap apatis itu tak lepas dari
merebaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah serta
anggota legislatif di Sumut. Namun, kata Faisal, dengan kondisi
apatis masyarakat itu, KPU Medan seharusnya lebih kreatif
menarik minat warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
257
Dengan kreativitas itu, ia yakin bahwa masyarakat akan
lebih tertarik datang ke TPS memberikan hak suaranya. “Tapi
yang saya lihat KPU tidak ada kreatifnya sehingga masyarakat
pun
tetap
apatis,”
katanya
(http://www.koransindo.com/news.php?r=5&n=5&date=2015-12-14).
4. Biaya yang Dikeluarkan Calon Wali Kota Sangat Besar
Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap calon, baik itu
calon Presiden, calon Gubernur, calon Bupati/Wali Kota, dan
calon anggota MPR/DPR/DPD akan mengeluarkan biaya, mulai
dari ratusan juta rupiah sampai ratusan miliar rupiah. Tentunya
dana yang cukup besar ini harus mereka dapatkan kembali
sebelum habis masa jabatan. Belum lagi memikirkan masa depan,
kawin mne, dan lain-lain. Semua ini tidak akan tercapai dengan
cara yang halal. Satu-satunya jalan adalah korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Itulah sebabnya susah sekali memberantas KKN ini. Oleh
karena itu, cara yang nyata bagi kita sekarang untuk ke depannya
adalah hilangkan biaya yang dikeluarkan oleh calon yang akan
dipilih oleh rakyat, dan seluruh biaya kampanye ditanggung oleh
KPU, sehingga cara ini akan mengurangi motif para pejabat
untuk ber-KKN ria, terutama korupsi.
5. Krisis Kepercayaan Terhadap Pejabat
a. Ketidakpercayaan Masyarakat Terhadap Para Pejabat
Sangat Tinggi
Seiring dengan perubahan birokrasi yang telah
berjalan sejak 16 tahun yang lalu, kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah bukan semakin baik seperti yang
diharapkan, namun mengalami pasang surut. Pasalnya,
dengan pelaksanaan reformasi birokrasi, kondisi masyarakat
tidaklah serta merta menjadi lebih baik, sehingga hanya 31,4
persen masyarakat yang menyatakan puas dengan
pelaksanaan reformasi birokrasi tersebut. Data yang
diperoleh oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu
menyiratkan bahwa masyarakat masih pesimis dengan
keberhasilan pelaksanaan berbagai agenda reformasi yang
direncanakan. Ketidakpercayaan masyarakat akhir-akhir ini
258
justru rendah karena pemerintah dipandang masih gagal
dalam merealisasikan berbagai rencana yang ada.
Konsep kepercayaan secara umum dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu political trust (kepercayaan politik)
dan social trust (kepercayaan sosial).
Dari perspektif politik, kepercayaan terjadi ketika
warga menilai lembaga pemerintah dan para pemimpinnya
dapat memenuhi janji, efisien, adil, dan jujur. Jika institusi
pemerintah, pejabat publik, dan kebijakan yang dibuatnya
dinilai baik oleh warga maka warga akan memiliki
kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah. Mereka
percaya bahwa pemerintah tidak akan berbuat buruk,
melainkan akan selalu melakukan tindakan yang baik
meskipun tidak diawasi. Kepercayaan publik/masyarakat
terhadap pemerintah menggambarkan perasaan yang ada
dalam masyarakat itu sendiri, sehingga jika tingkat
kepercayaan tinggi maka hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat sedang dalam keadaan senang, nyaman, aman
dan akhirnya akan mendukung kebijakan pemerintah. Jika
institusi dan para pejabatnya mengambil pilihan kebijakan
tertentu yang dinilai oleh warga sebagai pilihan benar maka
masyarakat akan cenderung menaruh kepercayaannya.
Namun jika respon terhadap keluhan masyarakat tidak cepat
dan tidak sesuai harapan maka otomatis kepercayaan
masyarakat akan merosot. Tindakan pejabat meskipun tidak
mewakili institusinya juga sangat mempengaruhi tingkat
kepercayaan. Hal tersebut terlihat jika pejabat yang
bersangkutan melakukan tindakan yang tidak disukai oleh
masyarakat atau melakukan perbuatan yang membuat
masayarakat merasa tidak nyaman. Krisis kepercayaan
terhadap pejabat tersebut mengakibatkan pula merosotnya
kepercayaan terhadap institusi di mana pejabat tersebut
menduduki jabatannya.
Kepercayaan selanjutnya adalah kepercayaan sosial
yang menggambarkan kepercayaan warga terhadap warga
yang lainnya dalam suatu komunitas atau masyarakat.
Kepercayaan terhadap pemerintah sangat dipengaruhi oleh
kepercayaan sosial karena kepercayaan publik tidak terjadi
dalam ruang kosong melainkan dalam sebuah komunitas
259
yang di dalamnya terdapat dinamika yang akan
mempengaruhi kepercayaan publik kepada pemerintah dan
kebijakannya.
Adanya informasi tentang berbagai hal yang
dilakukan oleh pemerintah juga akan membentuk persepsi
dalam pikiran masyarakat. Adalah menjadi masalah jika
informasi yang tersampaikan tidak sesuai dengan realitas
yang ada. Selain itu, strategi komunikasi juga sangat
mempengaruhi adanya pembentukan persepsi yang berhasil
akhir pada tingkat kepercayaan. Warga akan cenderung
memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah
ketika mereka menilai pemerintah mampu mencukupi
kebutuhan
barang
dan
jasanya
(http://biroorganisasi.jogjaprov.go.id/index.php?option=com
_content&view=article&id=148:kepercayaan-publikterhadap-pemerintah).
b. Kasus-kasus Korupsi Para Pejabat di Sumut
Mulai dari Samsul Arifin jadi Gubernur dan Gatot
Pujo Nugroho jadi wakilnya, akhirnya Samsul masuk penjara
KPK dan Gatot jadi Plt Gubernur Sumut. Gatot kemudian
menjadi Gubernur Sumut dan H.T. Erry Nuradi jadi
wakilnya. Gatot masuk penjara KPK dan Erry jadi Plt
Gubernur Sumut dan akhirnya diangkat jadi Gubernur
Sumut.
Abdillah jadi Wali Kota Medan dan Ramli jadi
wakilnya. Abdillah akhirnya masuk penjara KPK dan Ramli
jadi Plt Wali Kota Medan. Ramli akhirnya masuk penjara
KPK dan Rahudman menjadi Wali Kota Medan dan Dzulmi
Eldin jadi wakilnya. Kemudian Rahudman masuk penjara
KPK dan Eldin jadi Plt Wali Kota Medan. Dzulmi Eldin
akhirnya jadi Wali Kota Medan dan Akhyar Nasution jadi
wakilnya.
Begitulah seterusnya dan akhirnya timbullah persepsi
masyarakat Kota Medan bahwa siapapun Kepala Daerah,
baik Sumut maupun Kota Medan sama saja. Semuanya
koruptor, walaupun ia beragama Islam, tiap tahun naik haji,
pemahaman agamanya mendalam dan dari partai manapun
juga.
260
c. Korupsi Gubernur Gatot Dinilai Biang Pilkada Kota
Medan Sepi
Maraknya kasus korupsi yang menjerat politikus di
Medan, Sumatera Utara (Sumut) diduga menjadi pemicu
rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada di kota itu
pada Rabu, 9 Desember 2015.
“Dari hasil pemantauan kami, memang sangat sepi
pemilih yang datang ke TPS (tempat pemungutan suara)”
kata Ketua KPU Medan, Yenni Chairiyah Rambe, kepada
wartawan.
Dia mencontohkan sebuah TPS dengan 700 Daftar
Pemilih Tetap (DPT). Warga yang menyalurkan hak pilihnya
kurang 200 orang. “Jika dipersenntasekan hanya sekitar 15
hingga 20 persen,” ujar Yenni.
Rendahnya partisipasi pemilih itu, menurut Yenni,
disebabkan oleh figur calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota
Medan.
“Selain itu, dari hasil wawancara kita, banyaknya
kasus korupsi yang menyeret Gubernur (Gatot Pujo Nugroho)
dan sejumlah anggota Dewan menjadi pendorong masyarakat
untuk golput”, katanya.
Yenni mengklaim upaya sosialisasi yang dilakukan
KPU Medan telah optimal. Dalam Pilkada serentak itu
jumlah warga yang terdaftar dalam DPT mencapai 1,9 juta
orang
(http://nasional.news.viva.co.id/news/read/709483korupsi-gubernur-gatot-dinilai-biang-pilkada-medan-sepinasional).
6. Penanggulangan Krisis Kepercayaan Terhadap Pejabat
Banyak tanda yang menunjukkan gejala terjadinya krisis
kepemimpinan. Di antara gelaja itu:
a. Masyarakat merasa tak memiliki pemimpin sesuai harapan.
b. Kecenderungan masyarakat loyal secara buta kepada yang
memimpin.
c. Hal-hal yang menyangkut masalah kehidupan, baik itu
ekonomi, tradisi, budaya, dan sistem politik dikendalikan
oleh kekuatan tertentu, terutama kepartaian.
d. Maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dan
sebagainya.
261
Isu di atas menjadi aktual dan penting justru di saat kita
berada dalam keadaan hampir putus asa. Krisis multidimensi
yang kita alami sejak lima tahun terakhir (2010-2015) semakin
potensial membawa negeri ini bangkrut. Upaya pemulihan
ekonomi dan penegakan hukum nyaris tidak terjadi. Dari sekian
akibat multikrisis itu, krisis kepemimpinan mungkin merupakan
krisis yang paling parah. Tidak hanya terjadi di tingkat nasional,
tetapi juga sampai ke tingkat lokal. Tidak hanya kepemimpinan
tingkat tinggi, melainkan juga sampai tingkat paling rendah.
Penerimaan atas kepemimpinan didasarkan atas
kepercayaan. Kepercayaan terbangun lewat persepsi, keseriusan
dan kemampuan mengatasi persoalan. Karena itu, bobot
kepemimpinan tidak diukur dari kekuasaan yang dimiliki, tetapi
terutama oleh apa dan bagaimana cara memperoleh hasil dan
keberpihakannya kepada kepentingan rakyat. Ketika pemimpin
tidak mengemban amanat rakyat, terjadilah krisis kepemimpinan,
di mana para pemimpin tidak bisa dipercaya lagi.
Ketika lembaga peradilan tidak berfungsi menegakkan
keadilan, rakyat main hakim sendiri, seperti membakar sampai
mati para maling dan perampok karena rakyat tidak percaya lagi
kepada polisi dan pengadilan. Rakyat bertindak anarkis karena
tidak ada kepastian hukum, karena tidak ada komitmen pemimpin
pada nasib orang kecil. Para koruptor hidup enak dan nyaman di
balik terali besi KPK, sedangkan perampok, maling, dan
pencopet dihukum berat, bahkan dihakimi massa sampai mati. Di
mana rasa keadilan? Jelas akibat korupsi ini sangat merugikan
rakyat bahkan negara bisa bangkrut dan hancur lebur. Bagaimana
seorang pemimpin harus tampil? Dalam kisah pewayangan,
pemimpin ditamsilkan sebagai pelayan. Itu disampaikan Resi
Bhisma sebelum ajalnya tiba yang memberi nasihat kepada
Pandawa. Kata Resi Bhisma, tugas utama seorang pemimpin
adalah mencurahkan perhatian kepada bawahan sekaligus
mengesampingkan kepentingan pribadi dan keluarganya. Dialah
seorang good leader, seorang pemimpin yang baik. Good leader
berbeda dengan great leader.
Mahatma Gandhi adalah good leader, sebaliknya Hitler
adalah great leader. Gandhi memimpin dengan penuh
pengorbanan, melayani rakyat dan mengesampingkan
kepentingan keluarga. Hitler memimpin rakyat dimotivasi ambisi
262
pribadi yang besar. Baik good leader maupun great leader adalah
sama-sama profesional. Tetapi, good leader memiliki dan
mengembangkan karakter baik.
Oleh karena itu, dalam kepemimpinan ada yang
menyebut faktor keberhasilan ditentukan terutama oleh karakter
dan baru kepandaian. Orang berwatak baik sulit dicari, sedangkan
kepandaian bisa ditingkatkan lewat latihan.
Lalu bagaiman mengatasi krisis kepemimpinan Indonesia
saat ini? Mengembalikan makna dan perilaku pemimpin sebagai
good leader bukan great leader, bukan sebagai petinggi atau
pangreh, tetapi sebagai pamong. Dibutuhkan teladan dan langkah
nyata yang berorientasi pada yang dipimpin. Pemimpin hadir
untuk suatu zaman. Zaman menentukan gaya. Meskipun
demikian, ada satu syarat yang nyaris jadi klasik, yakni asketisme
atau mesu budhi. Tak ada pemimpin yang jatuh dari langit, semua
membutuhkan proses jatuh bangun. Keterbukaan menerima kritik
merupakan bagian dari jiwa pemimpin. Kritik menurut Kwant,
analis masalah kritik, adalah bagian dari keterlibatan dan
kepemilikan. Menerima kritik sebagai bagian rasa memiliki,
menunjukkan bobot seorang pemimpin.
Mengatasi krisis kepemimpinan adalah proses
pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Dibutuhkan waktu panjang.
Satu langkah luhur kita ayunkan, hasilnya baru akan kelihatan
satu generasi kemudian. Sebaliknya satu langkah salah kita
lakukan, akibat buruknya langsung tampak.
Salah satu penyebab munculnya krisis kepemimpinan
adalah terkait krisis moral. Sehubungan krisis kepemimpinan itu
berakar dari krisis moral, maka perlu diselesaikan secara moral,
sebelum ada penyelesaian secara teknis manajerial. Penyelesaian
krisis kepemimpinan secara moral itu merujuk prinsip alakhlaqul karimah. Prinsip al-ahkhlaqul karimah itu meliputi ashshidqu (benar), al-wafa bil ‘ahd (tepat janji), at-ta’awun (tolong
menolong), al-‘adalah (keadilan) dan al-istiqamah (konsisten)
(http://bininfor.com/mengatasi-krisis-kepemimpinan-di-negeriini-dengan-kekuatan-moral/).
Pemerintah sebaiknya melakukan tindakan pencegahan
ke depannya agar orang-orang yang tidak berkompeten tidak bisa
mencalon menjadi anggota legislatif, DPD, presiden/wakil
presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan
263
walikota/wakil walikota. Pemerintah melalui DPR/MPR
menggodok dan menetapkan undang-undang Pemilu yang
menetapkan kriteria yang harus ada pada orang-orang yang
tersebut di atas, yaitu:
a. Bersih dari KKN.
b. Berakhlak mulia.
c. Tidak terlibat atau bukan keturunan tapol/napol G30S/PKI.
d. Beragama dengan salah satu agama yang telah diakui dan
dilindungi oleh pemerintah RI, yaitu Islam, Katolik,
Protestan, Hindu dan Buddha. Karena mayoritas warga
negara Indonesia beragama Islam maka calon presiden/wakil
presiden harus beragama Islam.
e. Tidak pernah terlibat peristiwa kriminal apapun.
f. Rumah tangganya tenteram.
g. Tidak poligami (bagi calon dari jenis kelamin laki-laki).
h. Latarbelakang pendidikan minimal S2 dari program studi
yang menunjang tugasnya, dibuktikan dengan dokumendokumen asli dan meyakinkan. Khusus untuk calon
presiden/wakil presiden dan
gubernur/wakil gubernur,
pendidikan mereka wajib S3 demi membawa Indonesia
kepada
keamanan,
kemajuan,
kemakmuran
dan
kesejahteraan. Diutamakan calon presiden itu adalah
pensiunan Jenderal Penuh (Bintang Empat) seperti Presiden
RI ke-6, Jend. TNI (Purn.) Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono.
7. Memulihkan Kepercayaan Publik
a. Reformasi Birokrasi
Era reformasi sejak 1998 hingga sekarang belum
mampu memutus warisan kolonial dalam kehidupan birokrasi
pemerintah. Birokrasi pun terbentuk menjadi sosok aparatur
yang gagal mentransformasikan dirinya sebagai agen
kekuasaan sekaligus agen pelayanan dan perubahan.
Kegagalan tersebut disebabkan oleh penerapan
birokrasi Weberian yang berlebihan sehingga melampaui titik
optimal. Beberapa penyakit birokrasi publik, antara lain
berkembangnya perilaku birokrasi paternalistik karena
penerapan hirarki secara berlebihan dalam birokrasi publik
dan pembengkakan anggaran karena tidak adanya standar
264
pembiayaan yang jelas dalam perencanaan anggaran dan
diperparah dengan lemahnya kapasitas kontrol politik dan
masyarakat
(http://www.kompasiana.com/mediapskkugm/bukumengembalikan-kepercayaan-publik-melalui-reformasibirokrasi_5512dabaa333113a68ba7d39).
Model birokrasi Weberian memiliki potensi untuk
meningkatkan efisiensi birokrasi pemerintah, tetapi pada sisi
lain juga memilikl efek yang dapat merugikan kinerja
birokrasi. Efek ganda penerapan model birokrasi Weberian
sering memunculkan pro dan kontra di kalangan banyak
pihak mengenai penerapan model tersebut dalam birokrasi
pemerintah. Efek ganda tersebut muncul karena penerapan
model birokrasi Weberian tidak memiliki hubungan yang
linear dengan efisiensi dan rasionalitas birokrasi pemerintah.
Dalam titik tertentu, penerapan prinsip birokrasi Weberian
dapat meningkatkan efisiensi birokrasi. Namun, ketika
birokratisasi menjadi berlebihan dan sudah melampaui titik
optimalnya maka peningkatan birokratisasi cenderung
memiliki hubungan negatif dengan efisiensi birokrasi
pemerintah.
Hubungan yang membentuk pola parabolik ini
menjadikan penerapan prinsip birokrasi Weberian dalam
birokrasi pemerintah harus dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan titik optimalitas dari hubungan antara
efisiensi dan masing-masing prinsip atau karakteristik
birokrasi Weberian. Diagnosis yang seksama perlu dilakukan
agar penerapan prinsip birokrasi Weberian dalam sebuah
birokrasi pemerintah benar-benar dapat meningkatkan
efisiensinya. Diagnosis perlu dilakukan agar birokratisasi
atau debirokratisasi dilakukan dengan dosis yang tepat
sehingga manfaatnya terhadap perbaikan kinerja birokrasi
bisa optimal.
Birokratisasi atau debirokratisasi sebenarnya adalah
pilihan yang seharusnya dilakukan oleh birokrasi pemerintah
tergantung pada efektivitasnya dalam memperbaiki kinerja
birokrasi. Birokrasi pemerintah memerlukan keduanya, yaitu
birokratisasi atau debirokratisasi, tergantung pada situasi
yang dihadapinya. Ketika penerapan salah satu prinsip
265
tertentu dari birokrasi Weberian dengan efisiensi birokrasi
masih memiliki hubungan yang positif dan peningkatan
birokratisasi masih memiliki efek yang positif maka
birokratisasi sebaiknya dilakukan. Namun,
ketika
peningkatan birokratisasi justru menimbulkan efek yang
negatif terhadap efisiensi maka debirokratisasi harus
dilakukan. Dengan demikian, pilihan untuk melakukan
birokratisasi atau debirokratisasi bersifat situasional,
tergantung pada situasi yang dihadapi oleh suatu birokrasi
pemerintah.
Birokratisasi dan debirokratisasi bahkan dapat
dilakukan secara bersama-sama pada aspek birokrasi
Weberian yang berbeda. Untuk menjadi lebih efisien, sebuah
birokrasi pemerintah membutuhkan debirokratisasi pada satu
aspek atau karakteristik birokrasi Weberian dan pada saat
yang sama membutuhkan birokratisasi pada aspek lainnya.
Para analis dan pembaharu birokrasi pemerintah perlu
memahami dengan baik sifat dan bentuk hubungan antara
penerapan prinsip birokrasi Weberian dan efisiensi atau
kinerja birokrasinya. Tanpa hal itu, mereka akan mengalami
kesulitan dalam merancang program-program perbaikan
kinerja birokrasi yang tepat dan efektif. Mereka harus
memahami bahwa titik optimalitas dari hubungan antara
penerapan prinsip birokrasi Weberian dan efisiensi berbeda
menurut karakteristik birokrasi dan lingkungannya
(Dwiyanto:2011:56-58).
b. Reformasi Parpol
Fenomena calon independen dalam Pemilukada yang
telah digelar 9 Desember 2015 menarik dicermati. Idealnya,
calon pemimpin lahir atau melalui partai politik (parpol)
sebagai pilar utama demokrasi. Ibaratnya, parpol adalah filter
yang menyaring calon-calon pemimpin hingga lahir figurfigur berkualitas dan berkompeten. Parpol diimajinasikan
layaknya sebuah pabrik yang memproduksi barang-barang
berkualitas unggulan, karena di dalamnya telah dilakukan uji
laboratorium yang ketat sehingga produk yang keluar benarbenar berkualitas, original, dan layak dipakai serta tidak
membahayakan.
266
Fenomena calon independen tentunya menimbulkan
tanda tanya besar: apa yang terjadi dengan parpol saat ini?
Kenapa ada yang memilih jalur independen daripada diusung
parpol? Benarkah kepercayaan publik terharap parpol telah
merosot? Dalam Indeks Demokrasi Indonesia 2013 dari
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan,
peran parpol dan DPRD yang termasuk dalam aspek lembaga
demokrasi merosot. Angka untuk peran parpol turun menjadi
53,51 dari 69,52 pada 2012. Sementara peran DPRD turun
dari 35,53 pada 2012 menjadi 35,33.
Dalam berbagai jajak pendapat publik yang
dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) sejak 2004, secara
konsisten juga ditemukan fakta bahwa masyarakat cenderung
berpandangan negatif terhadap institusi parpol dan para
politisi. Menurut LSI, pada awal 2015 tingkat kepercayaan
masyarakat kepada parpol dan DPR berada di kisaran 50
persen. Ini angka terendah dibandingkan dengan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap Presiden sebesar 83 persen,
KPK 81 persen, dan TNI 83 persen.
Penurunan ini jelas menggambarkan bahwa memang
parpol saat ini “bermasalah”, sehingga perlu direformasi
secara total. Reformasi ini terutama dalam proses rekrutmen
calon dan kaderisasi. Kegagalan pada dua hal ini tidak hanya
membuat parpol “kurang diminati” tetapi juga kerap
melahirkan para calon pemimpin dan kader bermasalah di
kemudian hari. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan
elit dan kader parpol menunjukkan secara terang kegagalan
tersebut.
Berdasarkan penelitian mengenai parpol di sejumlah
negara demokrasi, partai yang berhasil memperoleh
dukungan dan persepsi positif serta sukses dalam
pemerintahan adalah partai yang menjalankan triangle of best
practices. Tiga praktik terbaik itu adalah demokrasi internal,
transparansi, dan penjangkauan masyarakat (outreach).
Sebagai pilar utama demokrasi, reformasi parpol
dapat dimulai dengan melihat kembali hakikat serta fungsi
dan tanggungjawab parpol dalam relasinya dengan kekuasaan
di satu sisi dan pada sisi lain dengan masyarakat yang
267
merupakan “tanah kelahirannya”. Dalam hal ini, setidaknya
ada empat fungsi parpol yang perlu ditegaskan dan disadari
kembali oleh parpol:
1) Parpol Adalah Agen Sosial
Dalam hal ini, parpol tidak hanya sebatas
kendaraan untuk mencapai kekuasaan. Dengan begitu
besarnya akses yang dimiliki parpol, muncul juga
tanggungjawab sosial yang harus diemban. Orang yang
masuk ke dalam suatu parpol diharapkan tidak hanya
memfokuskan diri mereka pada cara mendapatkan
kekuasaan. Kekuasaan hanya alat dan instrumen, bukan
tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah penciptaan kondisi
yang lebih baik bagi bangsa dan negara.
2) Parpol Adalah Pelayan Publik
Menjadi pelayan publik berarti bahwa
keberadaan parpol dimaksudkan untuk melayani
kepentingan masyarakat secara luas, bangsa dan negara.
Hal-hal yang akan dilakukan oleh parpol harus
berorientasi pada perbaikan kondisi sosial masyarakat,
dan tidak hanya terbatas pada apa yang dirasakan benar
oleh parpol tersebut. Parpol harus selalu hadir untuk
berkontribusi pada penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi publik.
3) Parpol Adalah Agen Pembaharuan
Parpol tidak cukup hanya memiliki visi dan
tujuan jangka panjang yang jelas. Parpol juga harus
menjadi agen pembaharuan. Parpol harus memiliki
kemampuan untuk merealisasikan terobosan ide dan
gagasan mereka dalam masyarakat. Parpol dituntut untuk
selalu memikirkan inovasi yang tiada henti guna mencari
pemecahan permasalahan yang dihadapi. Parpol harus
mampu menjadi motor penggerak utama dalam
perubahan sosial. Maka parpol harus memiliki kesadaran
selangkah lebih maju dibandingkan kesadaran
masyarakat.
268
4) Parpol Adalah Harapan Sosial
Masyarakat berharap bahwa parpol mampu untuk
memainkan peran yang signifikan dalam menyelesaikan
persoalan yang mereka hadapi, dan bukannya menjadi
sumber masalah itu sendiri. Karena itu, cara melakukan
seleksi terhadap orang-orang yang akan menjadi
pengurus parpol harus diubah dan lebih berorientasi pada
masalah bangsa dan negara. Selain itu, proses
pengkaderan dan muatan-muatan politik yang diberikan
kepada mereka pun harus diubah. Parpol bukan tempat
untuk mencari uang dan materi. Parpol adalah entitas
yang memiliki peran besar dalam menyelesaikan
permasalahan bangsa dan negara.
Reformasi total parpol mutlak dilakukan, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Jangka pendek, misalnya,
seperti digagas PDIP yang menyelenggarakan “sekolah calon
kepala daerah” selama enam hari sejak akhir Juni lalu. Secara
jangka panjang, parpol perlu menanamkan nilai-nilai
demokrasi sejati pada dirinya sendiri dengan kesadaran akan
fungsinya sebagai agen sosial, pelayan publik, agen
pembaharuan dan harapan sosial. Jika reformasi ini berhasil,
seseorang mungkin tak akan lagi berpikir untuk menjadi
partisipan dalam Pemilukada lewat jalur independen.
Kepercayaan masyarakat terhadap parpol juga akan kembali
meningkat
(https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=reformasi+partai+
politik+di+indonesia&start=20).
c. Pemberantasan Korupsi
1) Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan
Korupsi
Telah di keluarkan berbagai kebijakan demi
mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya
memberantas korupsi. Diawali dengan penetapan anti
korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember
2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang
269
menginstruksikan secara khusus kepada Jaksa Agung dan
Kapolri:
a) Mengoptimalkan
upayaupaya
penyidikan/penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi
untuk
menghukum
pelaku
dan
menyelamatkan uang negara.
b) Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
Jaksa (Penuntut Umum) dan anggota polri dalam
rangka penegakan hukum.
c) Meningkatkan kerjasama antara kejaksaan dengan
kepolisian Negara RI, selain dengan BPKP, PPATK,
dan intitusi negara yang terkait dengan upaya
penegakan hukum dan pengembalian kerugian
keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan
Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi
(RANPK) 2004-2009. Langkah-langkah pencegahan
dalam RANPK diprioritaskan pada:
a) Mendesain ulang layanan publik.
b) Memperkuat transparansi, pengawasan, dan sanksi
pada kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan
ekonomi dan sumber daya manusia.
c) Meningkatkan
pemberdayaan
pangkat-pangkat
pendukung dalam pencegahan korupsi.
2) Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas
Korupsi
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat
dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah
melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan
aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi,
dan memberantas korupsi, merupakan komisi independen
yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para
pelaku tindak KKN.
270
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
a) Membangun kultur yang mendukung pemberantasan
korupsi.
b) Mendorong pemerintah melakukan reformasi public
sector dengan mewujudkan good governance.
c) Membangun kepercayaan masyarakat.
d) Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap
pelaku korupsi besar.
e) Memacu aparat hukum lain untuk memberantas
korupsi.
3) Peran Serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan
Korupsi Di Indonesia
Bentuk-bentuk peran serta mayarakat dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi menurut UU No.
31 tahun 1999 antara lain adalah:
a) Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi.
b) Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan tindak pidana korupsi kepada penegak
hukum.
c) Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang
laporan yang diberikan kepada penegak hukum
dalam waktu paling lama 30 hari.
d) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum.
e) Penghargaan pemerintah kepada mayarakat.
4) Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan
Korupsi
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam
memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain
sebagai berikut :
a) Upaya pencegahan (preventif).
b) Upaya penindakan (kuratif).
c) Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
d) Upaya
edukasi
LSM
(Lembaga
Swadaya
Masyarakat).
271
Upaya Pencegahan (Preventif)
a) Menanamkan semangat nasional yang positif dengan
mengutamakan pengabdian kepada bangsa dan
negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.
b) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip
keterampilan teknis.
c) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup
sederhana dan memiliki tanggungjawab yang tinggi.
d) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang
memadai dan ada jaminan masa tua.
e) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan
disiplin kerja yang tinggi.
f) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang
memiliki tanggungjawab etis tinggi dan dibarengi
sistem kontrol yang efisien.
g) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan
pejabat yang mencolok.
h) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi
organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan
jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
Upaya Penindakan (Kuratif):
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada
mereka yang terbukti melanggar dengan diberikan
peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan
dihukum pidana. Beberapa contoh penindakan yang
dilakukan oleh KPK :
a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis
MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD
(2004).
b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru,
Malaysia, EM. Ia diduga melakukan pungutan liar
dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan
Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian
tanah yang merugikan keuangan negara Rp 10 milyar
lebih (2004).
272
e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas
preshipment dan placement deposito dari BI kepada
PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada
tim audit BPK (2005).
g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta
(2005).
h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara
Probosutedjo.
i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur
sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa
Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar
Rp 15,9 miliar (2004).
j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
a) Memiliki tanggungjawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan
publik.
b) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c) Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan
mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat
pusat/nasional.
d) Membuka wawasan seluas-luasnya mengenai
pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
e) Mampu memposisikan diri sebagai subjek
pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan
keputusan
untuk
kepentingan
masyarakat luas.
Upaya
Edukasi
LSM
(Lembaga
Swadaya
Masyarakat):
a) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi
nonpemerintah yang mengawasi dan melaporkan
kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan
terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki
komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha
pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik
273
korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni
1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang
menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang
bebas korupsi.
b) Transparency International (TI) adalah organisasi
internasional yang bertujuan memerangi korupsi
politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi
nirlaba
dan
sekarang
menjadi
organisasi
nonpemerintah yang bergerak menuju organisasi
yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang
terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI
Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) Indonesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta
sebagai kota terkorup di Indonesia, disusul Surabaya,
Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI
pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar
dengan Azerbaijan, Kamerun, Ethiopia, Irak, Libya
dan Uzbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo,
Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola,
Nigeria, Haiti dan Myanmar. Sedangkan Islandia
adalah
negara
terbebas
dari
korupsi
(https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=pemberan
tasan+korupsi+di+indonesia&start=0).
d. Peran Media Massa
Media massa secara kontinyu dan terencana
menyiarkan target pemerintah dalam pembangunan dan
kesejahteraan rakyat. Media massa menyiarkan keberhasilan
pemerintah dalam pembangunan. Media massa juga
menyiarkan target-target pembangunan yang sedang berjalan,
sedang dalam proses, dan yang belum tercapai. Pemerintah
melalui media massa harus transparan dalam menyiarkan
target-target pembangunan, baik yang sudah terlaksana, yang
masih dalam proses, maupun yang belum terwujud.
Pemerintah melalui media massa melakukan sosialisasi
pembangunan dan melibatkan seluruh elemen masyarakat
untuk bersama-sama membangun negeri tercinta Indonesia
ini, sehingga seluruh rakyat Indonesia merasa memiliki
274
negeri tercinta ini dan melalui media massa pemerintah
membangun kepercayaan rakyat dengan melibatkan seluruh
rakyat Indonesia dalam pembangunan dan hal-hal yang
berhubungan dengan pembangunan seperti pemberantasan
korupsi, penegakan hukum, menciptakan lapangan kerja,
keamanan yang kondisif, menjaga inflasi, dan lain-lain.
8. Pulihkan Partisipasi Publik
Pemimpin-pemimpin baru hasil Pilkada serentak dituntut
bisa mengembalikan kepercayaan publik seiring rendahnya angka
partisipasi pemilih. Penguatan legitimasi rakyat ini penting untuk
menyukseskan jalannya pemerintahan.
Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU)
Muryanto Amin menilai rendahnya partisipasi masyarakat dalam
Pilkada menjadi pekerjaan rumah bagi kepala daerah terpilih.
Program yang dijanjikan kepada masyarakat sepatutnya
direalisasi untuk membangun asa, memberikan secercah harapan
kepada masyarakat. ”Wujudkan janji-janji selama kampanye
dengan serius, benar-benar direalisasikan,” katanya.
Seperti diketahui, angka partisipasi pemilih pada Pilkada
di 8 provinsi, 222 kabupaten, dan 34 kota, Rabu, 9/12/2015,
meleset dari target. Dari data sementara, rata-rata partisipasi
pemilih berkisar 50-65%. Capaian ini jauh dari target Komisi
Pemilihan Umum (KPU), yakni 77,5%. Bahkan di Kota Medan,
partisipasi pemilih hanya sekitar 26%.
Menurut Muryanto, hal lain yang juga patut diperhatikan
adalah persoalan program pemerintah dan infrastruktur. Ini perlu
ditekankan karena berdampak langsung bagi masyarakat. Dalam
pandanganya, masyarakat lazimnya hanya ingin merasakan apa
yang menjadi haknya.
”Perhatikan dengan serius sistem birokrasi, kalau
masyarakat tidak sejahtera, maka rawan muncul persoalan lain
seperti korupsi. Hal yang semakin buruk adalah tidak adanya
moral,” tandas dosen Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU Medan ini.
Dia mengakui tingginya angka golput itu berkorelasi
dengan kasus korupsi bantuan sosial yang mengguncang Sumut.
Pada kasus ini, publik mengetahui tertangkapnya Gubernur
Sumut nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan bawahannya serta
275
sejumlah anggota legislatif. ”Masyarakat awam umumnya
menjadi malas memilih kalau akhirnya nanti pemimpin itu
korupsi dan masuk penjara. Ini artinya masyarakat sudah pintar
menilai dan ini jadi pelajaran yang harus diprioritaskan,”
tandasnya.
Dorongan serupa juga disampaikan Ketua Komisi II DPR
Kamarul Zaman Rambe. Ia meminta kepala daerah baru nanti
bisa segera bekerja dengan baik dan mengabdi kepada
masyarakat. ”Partisipasi pemilih kemarin menurun, mereka perlu
mengembalikan kepercayaan publik,” kata Rambe.
Namun bukan hanya kinerja kepala daerah yang harus
diperbaiki. Ada variabel dalam pelaksanaan Pilkada yang juga
perlu dievaluasi seperti UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada dan
turunannya, yakni Peraturan KPU (PKPU) tentang Pilkada. CEO
Polmark Indonesia Eep Saefullah Fatah menilai ada faktor
kejenuhan masyarakat di balik rendahnya tingkat partisipasi
pemilih dalam Pilkada serentak.
Tingkat partisipasi yang rendah pada Pilkada serentak
2015 masih kategori wajar karena Indonesia baru pertama kali
menggelar cara ini. ”Ini yang membedakan Pilkada serentak 2015
dengan Pilkada serentak 2017 karena pada 2017 ada rentang
waktu istirahat yang cukup panjang dan persiapan tahapan yang
cukup matang dalam menggelar Pilkada,” paparnya.
Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan H.M. Nurdin
Abdullah menilai rendahnya partisipasi pemilih tak lepas dari
kekuatan figur calon. Rendahnya tingkat partisipasi itu bukan hal
yang mengherankan karena pemilih juga semakin cerdas. ”Kalau
sang figur dianggap masyarakat punya track record (rekam
jejak), integritas yang bagus, dan pekerja keras, saya yakin
masyarakat juga akan bersemangat untuk ikut memilih,” ujar
bupati yang menjabat dua periode itu.
Dia mencontohkan, pada Pilkada yang digelar di
Bantaeng, tingkat partisipasi masyarakat terus meningkat. Ia
menceritakan pada H-3 Pilkada periode pertama, masyarakat
dengan kesadaran sendiri menjaga ketat pemilihan agar tidak ada
money politic. Sementara pada periode kedua, masyarakat bahkan
sangat antusias mendatangi TPS pada pukul 06.10 wita meskipun
TPS baru dibuka pada pukul 08.00 wita.
276
Hal demikian, menurut alumnus Universitas Kyusu
Jepang tersebut, menunjukkan warganya tidak ingin melewatkan
kesempatan menyalurkan hak suaranya, memilih figur yang
dianggap dapat mewakili aspirasi mereka. Besarnya legitimasi
yang diberikan masyarakat akan mempermudah kepala daerah
terpilih untuk mewujudkan program-program yang diinginkan.
Sementara itu, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan
Pomanto menilai rendahnya partisipasi masyarakat erat kaitannya
dengan proses Pilkada yang masih diwarnai penggunaan metode
politik uang. ”Sehingga partisipasi masyarakat itu sangat
dipengaruhi oleh program para calon dan saya kira itu mampu
untuk direalisasi,” kata Danny, sapaan akrab Ramadhan.
Para calon juga seharusnya melakukan pendekatan
persuasif kepada masyarakat, khususnya yang sudah mempunyai
hak untuk memilih. ”Calon yang cerdas cermin dari masyarakat
yang cerdas,” tandas dia. Untuk mengantisipasi rendahnya
tingkat partisipasi masyarakat, ia menginstruksikan jajarannya
untuk membangun pendidikan politik melalui stakeholder terkait
(http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-12-12).
Golput Harus Didengarkan
Medan menjadi daerah yang persentase partisipasi
pemilihnya paling rendah di Indonesia. Dari 1,9 juta pemilih,
sekitar 1,4 juta tidak memberikan hak suaranya. Hal ini diakui
menjadi tantangan berat Wali Kota Medan terpilih Dzulmi Eldin
untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Eldin mengatakan, cara yang paling mungkin untuk
mengambil dan mengembalikan kepercayaan publik adalah
dengan merealisasikan janji kampanye. ”Saya yakin yang tak
memilih pun memantau kampanye kami selama ini. Janji
kampanye yang kami buat harus dijalankan. Janji itu harus
diwujudkan,” kata Eldin kepada KORAN SINDO kemarin.
Dia tak ingin berpolemik lebih jauh soal partisipasi
pemilih yang rendah di Pilwalkot Medan. Baginya, hasil Pilkada
juga konsekuensi dari peraturan baru yang membatasi pasangan
calon melakukan sosialisasi pilkada lebih masif. Ia memandang
bahwa masyarakat yang tidak memilih bukan berarti tak
menyampaikan aspirasi di Pilkada.
277
Aspirasi dari pemilih golput ini akan menjadi tantangan
besar bagi calon terpilih. ”Kami menilai, yang golput ini juga
merupakan bentuk aspirasi senyap dari warga. Tentu aspirasi ini
harus bisa kami dengar. Harapannya semua warga Medan akan
peduli,” sebutnya.
Karena itu, menurut dia, pembangunan Kota Medan akan
dibuat lebih partisipatif. Masyarakat akan diajak mulai dari
proses perencanaan hingga evaluasi dengan keterbukaan. ”Semua
diajak terlibat. Akan ada sistem baru yang kami bangun lewat egovernment,” bebernya.
Penting juga menurutnya melakukan konsolidasi internal
birokrasi secara cepat. Sebab ini adalah bagan utama dari
pelayanan publik. Penerapan merit system dalam perekrutan
pejabat akan dilakukan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan
pegawai itu. ”Pejabat profesional harus sejahtera. Itu akan kami
lakukan,” ucapnya.
Komisioner KPU Juri Ardiyantoro tidak sepakat apabila
rendahnya partisipasi pemilih di sejumlah daerah dikaitkan
dengan kampanye yang mayoritas dibiayai negara. Menurutnya,
rendahnya partisipasi pemilih harus dilihat dari berbagai aspek.
”Atau ada sebab lain, misalnya ada semacam apatisme, mungkin
orang tak punya pilihan alternatif, terutama karena dalam Pilkada
ini, di sebagian besar daerah, calonnya kan terbatas,” kata dia.
Juri pun menerangkan kampanye yang dibiayai negara
memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Rendahnya
partisipasi pemilih Pilkada khususnya di kota-kota besar akan
menjadi bahan evaluasi KPU. ”Ini juga menjadi bahan evaluasi
apa yang menjadi penyebab sehingga tingkat partisipasinya
rendah,” ujar Juri.
Evaluasi lain dari pelaksanaan Pilkada lalu adalah
persoalan pencalonan yang hingga waktu pemungutan suara
dilakukan belum terselesaikan. Ia berharap ke depan persoalan
pencalonan ini bisa diperkuat melalui regulasi yang lebih
sempurna.
Temuan lain yang menurut Juri akan menjadi bahan
evaluasi adalah terjadinya pemungutan suara ulang (PSU) di 62
wilayah. Hal itu menurutnya sudah di luar perkiraan dari KPU
yang telah menyiapkan Pilkada dengan sebaik-baiknya
(http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-12-12).
278
BAB VI
PENUTUP
Pada tanggal 8 Mei 1998 Presiden Soeharto lengser keprabon,
mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI ke-2. Dengan demikian
berakhirlah rezim Orde Baru yang katanya otoriter.
Dengan beralihnya rezim di Indonesia dari rezim Orde Baru ke
Era Reformasi, diharapkan terciptanya iklim demokrasi yang kondusif,
yang memayungi seluruh kepentingan bangsa dan negara untuk hidup
dalam suasana aman dan sejahtera lahir batin.
Tapi harapan tersebut hampir kandas oleh demokrasi yang
kebablasan, demokrasi yang dibawa oleh Bapak Reformasi Indonesia
Amin Rais yang mana dosis demokrasi dari Amerika Serikat tersebut
terlalu besar sehingga hampir membuat Indonesia tidur selama-lamanya.
Reformasi tersebut di antaranya berupa penghapusan rezim militer,
Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat, Pemilu legislatif langsung
kepada kandidat DPR/MPR/DPD, Pilkada langsung untuk Gubernur,
Bupati/Wali Kota,
pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme), dan lain-lain yang memakan biaya ratusan triliyuan rupiah
yang kalau digunakan untuk pembangunan ekonomi rakyat, maka tidak
akan ada lagi yang namane wong cilik, orang miskin dan sebutan-sebutan
lainnya. Padahal kita sudah merdeka sejak 1945, tapi masih banyak
rakyat Indonesia yang belum merdeka dari kemiskinan dan ketakutan di
atas bumi Indonesia yang sangat luas, baik daratan maupun lautan. Hal
ini seharusnya menjadi target utama pembangunan nasional RI.
Dikatakan hampir membuat Indonesia tidur selama-lamanya
karena merajalelanya korupsi yang menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara, lepasnya Timor Timur, Sipadan dan Ligitan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, naiknya para pemimpin rakyat
dan wakil rakyat yang berasal dari para penjahat, preman, pengusaha
korup, orang-orang bebal, dungu dan tolol yang kebetulan didukung oleh
partai dan kebetulan ia kaya raya, konstituen mayoritas dan semacamnya
279
sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Socrates, sehingga mereka tidak
pernah lagi berpikir untuk rakyat, tapi hanya untuk kepentingan hawa
nafsu mereka. Inilah buah dari reformasi Kakang Amin Rais, yang mana
ketika reformasi dulu, 8 Mei 1998, beliau diundang oleh Presiden Libya
Muammar Kaddafi, dan beliau diberi gelar oleh Kaddafi Panglima
Revolusi. Beliau sempatkan bertemu dengan kami di Islamic Call College
di Tripoli, berkali-kali beliau katakan dengan logat kental Jogjanya:
“Demokrasi, yo, monggo-mongo mawon.”
Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap calon, baik itu calon
Presiden, calon Gubernur, calon Bupati/Wali Kota, dan calon anggota
MPR/DPR/DPD akan mengeluarkan biaya, mulai dari ratusan juta rupiah
sampai ratusan miliar rupiah. Tentu saja dana yang cukup besar ini harus
mereka dapatkan kembali sebelum habis masa jabatan. Belum lagi
memikirkan masa depan, kawin mne, dan lain-lain. Semua ini tidak akan
tercapai dengan cara yang halal. Satu-satunya jalan adalah korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Itulah sebabnya susah sekali memberantas KKN ini. Oleh karena
itu, cara yang nyata bagi kita sekarang untuk ke depannya adalah
hilangkan biaya yang dikeluarkan oleh calon yang akan dipilih oleh
rakyat, pilihlah calon dengan latar belakang baik dan berpendidikan, dan
ciptakanlah sistem pemerintahan yang mencegah KKN dan disahkan oleh
MPR RI, tetapkan hukuman mati atau seumur hidup bagi koruptor,
membuat jera pada koruptor dengan penjara yang menyusahkan dan
memutuskan mereka dengan dunia luar, sehingga cara ini akan
mengurangi motif para pejabat untuk ber-KKN ria, terutama korupsi, dan
meminimalisirnya sesedikit mungkin, bahkan bebas KKN.
Dari sini, timbullah persepsi masyarakat melihat fenomena di
atas yang mengakibatkan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah
dengan salah satu indikatornya adalah rendahnya persentasi pemilih di
Pilkada Kota Medan (24,2%) yang merupakan bagian dari Pilkada
serentak di seluruh tanah tumpah darah Indonesia pada tanggal 9
Desember 2015 yang lalu.
Mulai dari Samsul Arifin jadi Gubernur dan Gatot Pujo Nugroho
jadi wakilnya, akhirnya Samsul masuk penjara KPK dan Gatot jadi Plt
Gubernur Sumut. Gatot kemudian menjadi Gubernur Sumut dan H.T.
Erry Nuradi jadi wakilnya. Gatot masuk penjara KPK dan Erry jadi Plt
Gubernur Sumut dan akhirnya ditetapkan menjadi Gubernur Sumut.
Abdillah jadi Wali Kota Medan dan Ramli jadi wakilnya.
Abdillah akhirnya masuk penjara KPK dan Ramli jadi Plt Wali Kota
280
Medan. Ramli akhirnya masuk penjara KPK dan Rahudman menjadi
Wali Kota Medan dan Dzulmi Eldin jadi wakilnya. Kemudian Rahudman
masuk penjara KPK dan Eldin jadi Plt Wali Kota Medan. Dzulmi Eldin
akhirnya jadi Wali Kota Medan dan Akhyar Nasution jadi wakilnya.
Begitulah seterusnya dan akhirnya timbullah persepsi masyarakat
Kota Medan bahwa siapapun Kepala Daerah, baik Sumut maupun Kota
Medan sama saja. Semuanya koruptor, walaupun ia beragama Islam, tiap
tahun naik haji, pemahaman agamanya mendalam dan dari partai
manapun juga.
Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat yang sudah capek
dan letih dengan ulah para pejabat pemerintah, perlu dilakukan reformasi
birokrasi, reformasi parpol, pemberantasan korupsi, dan peran pemerintah
melalui media massa untuk memulihkan kembali kepercayaan rakyat
yang sudah loyo.
Tapi perlu digarisbawahi bahwa banyak program Presiden RI ke2 yang tidak dilanjutkan karena katanya masih berbau Orde Baru.
Seharusnya program yang baik dari beliau dilanjutkan demi
pembangunan nasional dan kemajuan serta kesejahteraan bangsa
Indonesia ke depan. Di antaranya adalah arah pembangunan yang jelas,
yaitu PJPT (Pembangunan Jangka Panjang Tahap) I-VI, ditutup dengan
Era Tinggal Landas. PJPT I-VI (1967-1997) telah berakhir, dan disusul
Era Tinggal Landas (1997 dan seterusnya). Di era inilah (8 Mei 1998)
Pak Harto lengser keprabon dan Era Tinggal Landas menjadi Era
Tinggal Kandas. Dan sayangnya, program beliau yang baik tidak
dilanjutkan.
Di antara program Orde Baru yang baik tapi tidak ditangani
secara serius oleh pemerintah Era Reformasi adalah swasembada pangan.
Lebih dari 50% kebutuhan beras Indonesia diimpor dari laur negeri,
padahal negara Indonesia demikian subur dan luas, yang akan mencukupi
produksi beras untuk Indonesia, bahkan bisa mengekspor beras ke luar
negeri. Kalau negara pengekspor beras kena tsunami dan berbagai
musibah lain sehingga mereka tidak mampu mengekspor beras ke Bumi
Tercinta Indonesia, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia yang
berjumlah lebih kurang 250 juta jiwa akan terancam kelaparan. Ironis
sekali, karena negeri kita yang subur dan makmur serta demikian luas,
melebihi 1,9 juta km2 daratan, tidak digunakan semaksimal mungkin
untuk memproduksi beras untuk makan sendiri. Percuma dong Bung
Karno capek-capek menciptakan NKRI tahun 1949 (yang kita nikmati
selama ini) dan harus memerangi daerah-daerah yang memberontak, mau
281
melepaskan diri dari NKRI, memerangi mereka selama berpuluh-puluh
tahun. Percuma dong Pak Harto melaksanakan pembangunan nasional
selama berpuluh-puluh tahun sehingga beliau diberi gelar Bapak
Pembangunan.
Di antara program Orde Baru yang baik adalah program
transmigrasi, tapi tidak ditangani dengan serius di Era Reformasi ini. Ini
penting agar terjadi pemerataan penduduk di Indonesia. Dengan
demikian, pembangunan nasional akan lebih mudah bisa diwujudkan
secara merata.
Demikian juga program-program lain yang baik untuk rakyat
Indonesia. Seharusnya, seluruh program yang baik, walau dari rezim
Fir’aun sekalipun, kalau itu baik untuk rakyat Indonesia, dengan
meminjam istilah dari Proklamator RI, Pendiri NKRI, Pemimpin Besar
Revolusi, Presiden RI Seumur Hidup, PANGTI ABRI, Ir. Soekarno, atau
dikenal dengan Bung Karno, yaitu pembangunan rakyat semesta,
pembangunan nasional yang berkelanjutan, sewajibnya kita sebagai
bangsa yang besar, melanjutkan, bahkan mengembangkan programprogram tersebut.
Pemerintah RI, demi mengembalikan kepercayaan seluruh rakyat
Indonesia kepada pemerintah, demi tidak terulangnya kasus Pilkada Kota
Medan yang hanya, ironisnya, diikuti oleh 24,2% dari DPT (Daftar
Pemilih Tetap) yang seharusnya sangat memalukan pemerintah,
sewajibnya mengoptimalkan fungsi dari legislatif, eksekutif dan yudikatif
yang bebas dari asap KKN, sehingga stabilitas nasional akan terus
terjaga, pembangunan di bidang politik, pertahanan dan keamanan,
keamanan dan ketertiban masyarakat, ekonomi, sosial dan budaya bisa
terlaksana dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, seluruh rakyat
Indonesia, mulai dari Presiden sampai ke tukang becak merasakan
manisnya buah pembangunan nasional dan Indonesia disegani di
pergaulan internasional, sebagaimana Indonesia disegani di era Orde
Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto), sehingga kasus penjualan
saham satelit Indonesia, lepasnya Timor Timur dan Sipadan dan Ligitan
dari NKRI, berkuasanya saham asing seperti Freeport, dan politik,
keamanan, ekonomi, sosial dan budaya yang dicampurtangani oleh
kekuatan asing tidak akan terjadi lagi. Kalau demikian, sudah pasti
pemerintah akan mendapatkan kembali kepercayaan rakyat yang tadinya
sempat hilang.
282
Kita ke depannya harus mencari pemimpin yang adil dan
merakyat. Akhirnya, kita kembali berpedoman kepada kata-kata mutiara
dari Mpu Tantular dalam kitabnya Negara Kertagama:
Ing Ngarso Sung Tulodo
Ing Madyo Mangun Karso
Tut Wuri Handayani
Toto Tentrem Kertoraharjo
Subur Tanwo Tinandur
Gemah Ripah Lohjinawi
283
DAFTAR PUSTAKA
Abcarian, Albert dan George S. Masannat. Contemporary Political
Systems. New York: Charjheles Scribner's Sons, 1970.
Abdullah, Syukur. Pertumbuhan Sistem Politik: Suatu Tinjauan Historis
dan Analisa Berbagai Masalahnya dalam Rangka Pembangunan
Politik. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin Press, 1990.
Adam, Cindi. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta:
Yayasan Bung Karno-Media Pressindo, 2007.
Adam, G.S. Notes Toward A Definition of Journalism. St. Petersburg, FL:
Poynter Institute, 1993.
Adams, Valeric. The Media and the Falklands Campaign. Basingstoke:
Macmillan,1986.
Agee, Warren K. , et, al. Introduction To Mass Communication. New
York-London: Longman, 2001.
Ajami, Fouad. Human Rights and World Order Politics. New York:
Institute for World Order, 1978.
Alain, Gérard. L’opinion Publique et la Presse. Paris: Université de Paris,
1965.
Albig. L’opinion Publique et la Presse. Paris: Institut d’étude Politique,
1965.
Alfian. Hasil Pemilu 1955. Jakarta: Leknas, 1971.
Alfian. Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 1993.
Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia,
1978.
Alfian. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: Gramedia,
1987.
Ali, Novel. Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Allen, C. Eisenhower and the Mass Media. Chapel Hill, North Carolina:
University of North Carolina Press, 1993.
Allport, Gordon W. Personality: A Psychological Interpretation. New
York: McGraw-Hill Book Co., 1957.
Allport, Gordon W. The Individual and His Religion: A Psychological
Interpretation. New York: The McMillan Co., 1950.
284
Almon, Gabriel A. dan G. Bingham Powell Jr. Comparative Politics: A
Develomental Approach. Boston: Littlt Brown and Co., 1966.
Almon, Gabriel dan James Coleman. The Politics of the Developing
Areas. Princeton: Princeton University, 1960.
Almon, Gabriel A. dan James Coleman (ed). Comparative Politics
Today: A World View. New York: Harper Collins, ed.5, 1992.
Almond, Gabriel dan Sidney Verba. The Civic Culture: Political
Attitudes and Democracy in Five Nations. Princeton: Princeton
University Press, 1963.
Al Rasjid, Harun. Beberapa Pandangan mengenai Undang-Undang
Pemilihan Umum 1969. Jakarta: Pelita Ilmu, 1970.
Al Rasjid, Harun. Hubungan antara Presiden dan Madjelis
Permusjawaratan Rakjat. Jakarta: Pelita Ilmu, 1968.
Althoff, Phillip dan Michael Rush. Introduction to Political Sociology,
terj. Kartini Kartono, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
Rajawali Press, 1997.
Alwisol. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press, cetakan pertama,
2004.
Alyawi, Al, Fayid. Al-Tsaqafah al-Siyasiyyah fi al-Sa’udiyyah. Beirut:
Al-Dar al-Baidha’, cetakan pertama, 2012.
Amirudin dan A. Zaini Bisri. Pilkada Langsung: Problem dan Prospek.
Yogyakarya: Pustaka Pelajar, 2006.
Amur, M. Djen. Hukum Komunikasi Jurnalistik. Bandung: Alumni,
Cetakan Pertama, 1984.
Andersen, K.E. Introduction to Communication Theory and Practice.
California: Cummings Publishing Company,1972.
Andersen, M. (ed.). Media and Democracy. Oslo: University of Oslo
Press, 1996.
Anderson, Ben. Studi Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1992.
Andrain, Charles F. dan James T. Smith. Political Democracy, Trust, and
Social Justice: A. Comparative Overview. Boston: Northeastern
University Press, 2006.
André, Akroun. Sociologie Des Communications de Masse. Paris:
Editions Hachette, 1997.
Anugrah, Dadan. “Politik Pencitraan Wakil Rakyat: Studi Dramaturgis
tentang Komunikasi Politik Wakil Rakyat di DPRD Kabupaten
Bandung Jawa Barat”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2013.
Anwar, Rosihan. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya
Paramita, cet. 4, 1991.
285
A.P., Sumarno. Dimensi-dimensi Komunikasi Politik. Bandung: Citra
Aditya Bhakti, 1989.
A.P., Sumarno dan Didi Suhandi. Pengantar Studi Komunikasi Politik.
Bandung: Orba Shakti, 1993.
Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES, 1985.
Aranguren, J.L. Human Communication. New York: McGraw-Hill, 1967.
Ardhana, Wayan dan Sudarsono. Pokok-Pokok Ilmu Jiwa Umum.
Surabaya: Usaha Nasional, 1963.
Ardial. Komunikasi Politik. Jakarta: Indeks, 2010.
Ardianto, Elvinaro, et, al. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, edisi revisi, cet. 4, 2014.
Argyle, M. Bodily Communication. New York: Methuen & Company,
1988.
Argyle, M. The Psychology of 'Interpersonal Behavior. New York:
Penguin Book, 1994.
Arif, Saiful (ed.). Birokrasi dalam Polemik. Malang: Pusat Studi
Kewilayahan UNMU Press, 2001.
Arifin. Opini Publik. Bandung: Pustaka, 2008.
Arifin, Anwar. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila. Jakarta: Media
Sejahtera, 1992.
Arifin, Anwar. Komunikasi Politik: Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan,
Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2003.
Arifin, Anwar. Komunikasi Politik: Politisi dan Pencitraan di Panggung
Politik. Bandung: Widya Padjadjaran, 2010a.
Arifin, Anwar. Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia,
2011.
Arifin, Anwar. Opini Publik. Jakarta: Gramata, 2010b.
Arifin, Anwar. Pers dan Dinamika Politik: Analisis Media Komunikasi
Politik Indonesia. Jakarta: Yasrif Watampone, 2010c.
Arifin, Anwar. Sistem Komunikasi Indonesia. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, cet. 2, 2014.
Arifin, H.M. Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Ruhaniyah
Manusia. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Arinanto, Satyo. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia.
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2003.
Arrianie, Lely. “Kekerasan dalam Komunikasi Politik: Studi Dramaturgis
tentang Peristiwa Kekerasan dalam Penyampaian Pesan-pesan
286
Politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2006.
Arrianie, Lely. Komunikasi Politik: Politisi dan Pencitraan di Panggung
Politik. Bandung: Widya Padjadjaran, 2010.
Asch, C.K. Social Psychology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.,
1959.
Asch, Solomon E. Opinions and Social Pressure. Scientific American,
193 (5), 31-35, 1955.
Asch, Solomon E. Social Psychology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall,
Inc., 1959.
Assaat. Hoekoem Tata Negara Repoeblik Indonesia dalam Masa
Peralihan. Yogyakarta: Boelan Bintang, 1951.
Astraatmadja, Atmakusumah. Kebebasan Pers dan Arus Informasi di
Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan (LSP), cetakan
pertama, 1981.
Astraatmadja, Atmakusumah dan Lucas Luwarso. Menegakkan Etika
Pers. Jakarta: Dewan Pers, cetakan pertama, 2001.
Attias, Bernardo. Intercultural Communication: Communication Studies.
California: University of California Press, 2000.
Baehr, H. (ed.). Women and the Media. Oxford: Pergamon, 1980.
Bagdikian, B. The Media Monopoly. Boston: Beacon Press, ed. 5, 1997.
Baharuddin. Wawasan Psikologi Umum. Pamekasan: Biro Ilmiah dan
Penerbitan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang
Pamekasan,1986.
Baker, C.E. Advertising and a Democratic Press. Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 1994.
Baker, C.E. Media Concentration and Democracy. Cambridge:
Cambridge University Press, 2007.
Baker, C.E. Media, Markets, and Democracy. Cambridge: Cambridge
University Press, 2002.
Balfour, Michael. Propaganda in War 1939-1945. London: Routledge,
1979.
Bandura, A. “Social Cognitive Theory of Mass Communication”, dalam
J. Bryant dan Zillmann (ed.). Media Effects: Advances in Theory
and Research. Hillsdale, New Jersey: Elrbaum, 1994.
Bandura, A. Social Learning Theory. New Jersey: Prentice Hall, 1977.
Baran, Stanley J. Introduction to Mass Communication: Media Literacy
and Culture. New York: McGraw-Hill Company, 2004.
287
Baran, Stanley J. dan D. David, Mass Communication Theory:
Foundations, Ferment, and Future. Belmont, California:
Wadsworth Publishing Company, 1995.
Barents, J. De Wetenschap der Politiek: Een Terreinverkenning, J.
Barents.'s Gravenhage: A. A. M. Stols, terj. L.M. Sitorus, Ilmu
Politik: Suatu Perkenalan Lapangan. Jakarta: Pembangunan,
1965.
Bargon, F.C. Soviet Foreign Propaganda. Princeton: Princeton
University Press, 1964.
Barnhurst, K.G. dan J. Nerone. The Form of News: A History. New York:
The Guilford Press, 2001.
Baron, R.A dan D. Bryne. Social Psychology: Understanding Human
Interaction. Boston: Allyn & Bacon, 1994.
Baylis, John dan Steve Mith. Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations. New York: Oxford
University Press Inc., 1998.
Beaufre, Andre. An Introduction to Strategy with Particular Reference to
Problems of Defense, Politics, Economics, and Diplomacy in the
Nuclear Age. New York: Frederick A. Praeger, 1965.
Bell, Coral. Politics, Diplomacy, and Islam for A Case Study. Canberra:
Australian National University, 1986.
Berelson, Bernard dan Gary Steiner. Human Behavior. New York:
Harcourt, Brace World, 1964.
Berger, A. Essentials of Mass Communication Theory. Thousand Oaks:
SAGE Publications, Inc., 1995.
Berger, Charles R., and Steven H. Chaffee (ed.). Handbook of
Communication Science. California: Newbury Park, 1987.
Berlo, David K. The Process of Communication: An Introduction to
Theory and Practice. East Lansing: Michigan State University,
1960.
Biagi, Shirley. Media/Impact: An Introduction To Mass Media. Belmont,
California: Wadsworth Publishing Company, 1996.
Bitter, John R. Mass Communication: An Introduction. New
Jersey:Printice-Hall, 1980.
Bluhma, William T. Political Analysis. New Delhi: Prentice-Hall of India
Private Limited, 1981a.
Bluhma, William T. Theories of Political System: Classies of Political
Thought and Modern. New Delhi: Prentice-Hall of India Private
Limited, 1981b.
288
Bond, F. Fraser. An Introduction to Journalism, terj. Kustadi Suhandang,
Jurnalistik Publik dan Media. Bandung: Sinar Baru, 1986.
Borjesson, Kristina (ed.). Mesin Penindas Pers: Membongkar Kebebasan
Pers di Amerika. Bandung: Q-Press, 2006.
Boyd, Cavin dan Charles Pentland. Issues in Global Politics. New York:
The Free Press, 1981.
Bradley, Klein. Strategic Studies and World Order: The Global Politics
of Deterrence. Cambridge: Cambridge University Press, 1994.
Brants, Kees dan Katrin Voltmer (ed.). Political Communication in
Postmodern Democracy. Basingstoke, Hampshire, Inggris:
Palgrave Macmilan, 2011.
Briggs, A. dan P. Burke. A Social History of the Media. Cambridge:
Polity, 2002.
Briggs, A. dan P.Cobley (ed.). The Media. Harlow: Longman, 1998.
Brigham, J.C. Social Psychology. New York: Harper Collins Publishers,
1991.
Brooks, W.D. dan P. Emmert. Interpersonal Communication. Dubuque:
Wm. C. Brown Company Publishers, 1977.
Brown, Roger. Social Psychology. New York: Free Press, 1965.
Brownhill, Robert dan Patricia Smart. Political Communication: Issues
and Strategies for Research. California: Sage Publications, 1989.
Bryant. J dan D. Zillmann (ed.). Media Effect: Advances In Theory And
Research. Hillsdale, New York: Erlbaum, 1994.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, edisi revisi, cet. 2, 2008.
Budiardjo, Miriam. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia, 1994.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, edisi pertama, cet. 3, 2008.
Buss, A.H. Psychology Behavior in Perspective. Chicester: John Willey
and Sons Inc., 1987.
Cangara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi.
Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2009.
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajagrafindo
Persada, ed. 2, cet. 14, 2014.
Cangara, Hafied. Perencanaan dan Strategi Komunikasi. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, cetakan pertama, 2013.
Cassirer, Ernst. An Essay on Man: An Introduction to A Philosophy of
Human Culture. New York: Doubleday & Co. Inc., 1956.
289
Castells, Manuel. Communication Power. Oxford: Oxford University
Press, 2009.
Chadwick, P. Media Mates. Melbourne: Macmillan, 1989.
Chaffee, Steven H. Political Communication: Issue and Strategies for
Research. California: Sage Publication, 1975.
Charles, R. dan Chaffee Steven. Handbook of Communication Science.
California: Sage Publications, 1987.
Cohen, B.C. The Press and Foreign Policy. New Jersey: Princeton
University Press, 1963.
Cole, Robert. Propaganda in the Twentieth Century War and Politics.
New York: McGraw-Hill Book Company, 1996.
Coleman, J.C. Abnormal Psychology and Modern Life. Glenview: Scott,
Foresman, and Company, 1976.
Coleman, J.C. dan C.L. Hammen. Contemporay Psychology dan Effective
Behavior. Glenview: Scott, Foresman, and Co., 1974.
Comstock, George dan Erica Scharrer. The Psychology of Media and
Politics. London: Elsevier Academic Press, 2005.
Connolly, E. William. Political Science and Ideology. New York:
Atherton Press, 1967.
Conway, Margaret M. dan Frank B. Freigert. Political Analysis: An
Introduction. Boston: Allyn and Becon Inc., 1973.
Coon, D. Introduction to Psychology: Exploration and Application.
Boston West Publishing Company, 1977.
Cooper, J. dan R.H. Fazio. “A New Look at Dissonance Theory”, dalam
L. Berkowitz (ed.). Advances in Experimental Social Psychology.
San Diego, CA: Academic Press, 1984.
Corner, John and Dick Pels (ed.). Media and the Restyling of Politics.
London: Sage Publications, 2003.
Couldry, N. dan J. Curran (ed.). Contesting Media Power: Alternative
Media in a Networked World. Lanham, Maryland: Rowman and
Littlefield, 2003.
Craig, R.T. Information Systems Theory and Research: An Overview of
Individual Information Processing. New Jersey: Transaction
Books, 1979.
Croteau, D. The Business of Media. Thousand Oaks, California: Pine
Forge Press, 2001.
Croteau, D. dan W. Hoynes. Media/Society. Thousand Oaks, California:
Pine Forge Press, 1997.
290
Crouch, Horald. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell
University Press, 1988.
Curran, James. Media and Power. London-New York: Routledge, 2002.
Curran, James (ed.). Media Organisations in Society. London: Edward
Arnold, 2000.
Curran, James, et, al (ed.). Mass Communication and Society. London:
Arnold Publishers, 1977.
Curran, James dan David Morley (ed.). Media And Cultural Theory.
London-New York: Routledge, 2006.
Curran, James dan M. Gurevitch. Mass Media and Society. London:
Edward Arnold, ed. 3, 2000.
Curran, James dan M. Gurevitch (ed). Mass Media and Democracy.
London: Edward Arnold, 1991.
C., Wright. The Power Elite. New Jersey: Alfred S. Knopf, 1958.
Dahl, A. Robert. Modern Political Analysis. New Delhi: Prantice of
India, 1977.
Dahlan, Alwi. Perkembangan Komunikasi Politik sebagai Bidang Kajian,
Jurnal Ilmu Politik. Jakarta: AIPI, LIPI, dan Gramedia, 1990.
Dakir. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIPIKIP, 1973.
Danandjaja, James. Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Sejarah
Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press, 1988.
Dance, F.E.X. Human Communication Theory: Original Essay. New
York: Holt, Rinehard, Winston, 1967.
Danesi, Marcel. Dictionary of Media and Communication. New York:
M.E. Sharfe, Inc., 2009.
Danial, Akhmad. Iklan Politik: Modernisasi Kampanye Politik Pasca
Orde Baru. Yogyakarta: LkiS, 2009.
Daniel, Bougnoux. Sciences de l'information et de la Communication.
Paris: Larousse, 1993.
Danielle, Charron. Une Introduction à la Communication. Québec: Presse
Universitaire de Québec, 1991.
Danker, Anita C. The Essentials of Political Science. New Jersey:
Research & Education, 1996.
Davidoff, LL. Introduction to Psychology, terj. Mari Juniati, Psikologi:
Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, 1988.
DeBeer, A.S. dan J.C. Merrill (ed.). Global Journalism. Topical Issues
and Media Systems. New York: Pearson, 2004.
291
DeFleur, Melvin L. Theories of Mass Communication. New York: David
McKay, ed. 2, 1989.
DeFleur, Melvin L. Understanding Mass Communication. Boston:
Houghton Mifflin Company, 1985.
Denton, Robert E. Political Communication Ethics. USA: PRAEGER.
2000.
Desiderato, D.B. Howeison, dan J.H. Jackson. Investigating Behavior:
Principles of Psychology. New York: Harper & Row Publishers,
1976.
DeVito, Joseph A. Communicology: An Introduction to the Study of
Communication. New York: Harper & Row Publishers, 1982.
DeVito, Joseph A. Human Communication: The Basic Course. New
York: Longman, ed. 8, 2000.
Dewey, R. dan W.J. Humber. An Introduction to Social Psychology.
London: Collier-McMilan, 1967.
Dhakidae, Daniel, et,al. Partia-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan
Program. Jakarta: Penerbit Kompas, 2004.
Djamhuri, Ade.Komunikasi Politik. Cimahi: Unjani, 1990.
Dofivat, E. Handbuch der Publizistik. Berlin: Walter de Gryter, 1968.
Doob, Leonard W.. Propaganda: Its Psychology and Technique. Oxford,
England: Holt, 1935.
Downing, J. Internationalizing Media Theory. London: Sage, 1996a.
Downing, J. Radical Media. London: Sage, ed. 2, 1996b.
Downing, J. The Media Machine. London: Pluto, 1980.
Dwiyanto, Agus. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui
Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia, 2011.
Dwiyanto, Agus, et, al. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK)
UGM, 2002.
Dye, Thomas R. Politics in States and Communities. New Jersey:
Prentice Hall, 1988.
Eadie, William F. (ed.). 21st Century Communication: A Reference
Hanbook. California: SAGE Publication, inc., volume 1 & 2,
2009.
Eagly, A.H dan S. Chaiken. The Psychology of Attitudes. Fort Worth:
Harcourt Brace Jovanovich College Publishers, 1993.
Easton, David. A System Analysis of Political Life. New York: Alfred A.
Knopf Inc., 1965.
292
Easton, David. The Political System: An Inquiry into the State of Political
Science. New York: Alfred A. Knopf Inc., 1953.
Effendy, Onong Uchjana. Dinamika komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:
Citra Aditya Bakti, cet. 3, 2007.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000.
Eriyanto. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi dan Politik Media.
Yogyakarta: LKIS, cetakan pertama, 2002.
Escarpit, Robert. Théories de l’information et de la Communication.
Paris: Edition le Seuil, 1981.
Fagen, Richard R. Politics and Communication. Boston: Little Brown,
1966a.
Fagen, Richard R. The Human Radiation Experiment: Final Report of the
President's Advisory Committee. New York-London: Oxford
University Press, 1966b.
Fajar, Marhaeni. Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek. Jakarta: Graha Ilmu,
2009.
Feith, Herbert. Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
New York: Cornel University Press, 1962.
Feith, Herbert dan L. Castles (ed.). Pemikiran Politik Indonesia 19451965. Jakarta: LP3ES, 1988.
Firmanzah. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta:
Obor, 2007.
Fischer, Heinz Ditrich. International Communication: Media, Channel,
Functions. New York: Hastings House Publisher, 1974.
Fisher, B.A. Perspectives on Human Communication. New York:
Macmillan Publishing Co., Inc., 1978.
Fiske, John. Introduction to Communication Studies, terj. Hafsari
Dwiningtyas, Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali
Persada, ed. 3, cet. 2, 2012.
Fornas, Johan, et, al. Consuming Media: Communication, Shopping and
Everyday Life. New York: Berg, 2007.
Fortner, Robert S. Public Diplomacy and International Politics: The
Symbolic Constructs of Summits and International Radio News.
New York: Praeger Publishers, 1994.
293
Freelay, Austin J. Argumentation and Debate. Belmont California:
Wadsworth Publishing Co, 1969.
Freud, Sigmund. Al-Mujaz fi al-Tahlil al-Nafsi (terj. Sami Mahmud, et,
al). Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962.
Freud, Sigmund. An Outline of Psychoanalysis. New York: Norton, 1949.
Freud, Sigmund. New Introductory Lectures on Psychoanalysis. New
York: Norton, 1933.
Freud, Sigmund. Psychopathology of Everyday Life. London: Ernest
Benn, 1960.
Freud, Sigmund. The Ego and the Id. London: Hogarth Press, 1927.
Freud, Sigmund. The Ego and the Mechanism of Defens. New York:
International University Press, 1946.
Freud, Sigmund. The Origins of Psychoanalysis. New York: Basic
Books, 1954.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Galnoor, Yitzhak. "Political Communication and the Study of Politics",
dalam Dan Nimmo (ed.). Communication Yearbook 4. New
Brunswick-London: Transaction Books, 1980.
Gerbner, George. International Encyclopedia of Communications. New
York: Oxford University Press, 1967.
Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco, 1996.
Gie, The Liang. Kode Etik Bagi Petugas Pemerintahan: Bahan Pemikiran
untuk Membina Pegawai Negeri yang Bersih dan Berwibawa.
Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB),1998.
Giffin, K. “Interpersonal Trust in Small Group Communication”,
Quarterly Journal of Speech, 53: 224-234, 1967.
Goble, F. G. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow.
Yogyakarra: Kanisius, 1987.
Goebbels, Joseph. Knowledge and Propaganda. Munich: Centralverlag
der NSDAP, 1928.
Goebbels, Joseph. Nazi Propaganda (1933-1945). Berlin: German
Propaganda Archieves, 1934.
Golding, Peter dan Graham Murdock. The Political Economy of the
Media. London: Sage Publications, 2000.
Graber, A. Doris. Mass Media and American Politics. Washington DC:
CQ Press, 1984.
Grew, Anthony G. dan Paul G. Lewis. Global Politics, Globalization and
Nation-State. Cambridge: Polity Press, 1992.
294
Gunarsa, Singgih, D. Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara, 1989.
Gunarsa, Singgih, D. Psikologi Perkembangan. Jakarta: BPK Gunung
Mulia 1990.
Gurevitch, Michael dan J. Woollacott. Mass Communication and Society.
London: Edward Arnold, 1977.
Gurevitch, Michael, et, al (ed.). Culture, Society and the Media. London:
Methwen, 1982.
Habibie, Bacharuddin Jusuf. Detik-detik yang Menentukan: Jalan
Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri,
2006.
Haditono, Siti Rahayu dan Koners. Psikologi Perkembangan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Haizan, Al, Muhammad ibn Abd al-Aziz. Al-Buhuts al-I’lamiyyah:
Ismuha-Asalibuha-Majalatuha. Riyadh: Fahrasah Maktabah alMalik Fahd al-Wathaniyyah, cet. 2, 2004.
Hale, Julian. Radio Power: Propaganda and International Broadcasting.
London: Elek, 1975.
Halik, Abdul. “Komunikasi Politik di Ruang Publik Gerakan Mahasiswa:
Analisis Kritis Aksi Demonstrasi Mahasiswa di Makassar”.
Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2013.
Halim, Al, Muhyiddin Abd. Al-I’lam al-Islami wa Tathbiqatuhu al‘Amaliyyah. Cairo: Maktabah al-Khanji, cet. 2, 1984.
Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah
Studi Critical Discourse Analysis. Jakarta: Granit, 2004.
Hamelink, C.J. The Politics of World Communication: A Human Rights
Perspective. London: Sage, 1994a.
Hamelink, C.J. Trends in World Communication. Penang: Southbound,
1994b.
Hamzah, Abd al-Lathif. Al-I’lam Lahu Tarikhuh wa Madzahibuh. Beirut:
Dar al-Fikr, 1994.
Hanitzsch, Thomas &dan Martin Loeffelholz. Media, Militer, Politik
dalam Krisis Komunikasi: Perspektif Indonesia dan
Internasional. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Harahap, Abdul Asri. Manajemen dan Resolusi Konflik Pilkada. Jakarta:
Pustaka Cidesindo, 2005.
Harahap, Krisna. Konstitusi Republik Indonesia. Bandung: Grafitri Budi
Utami, 2004.
Hardiman, Budi F. Demokrasi Deliberalistik. Jakarta: Kanisius, 2009.
295
Harun, Rochajat dan A.P Sumarno. Komunikasi Politik Sebagai Suatu
Pengantar. Bandung: Mandar Maju, 2006.
Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006.
Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas. Jakarta:
Balai Pustaka, 2004.
Hatta, Mohammad. Memoirs. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002.
Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila. Jakarta: H. Masagung, 1989.
Heider, F. The Psychology of Interpesonal Relation. New York: John
Wiley, 1958.
Held, David. Model of Democracy. Jakarta: Akbar Tandjung Institut,
2007.
Helyin, Angelia. Kiat Sukses Komunikasi. Jakarta: Mitra Utama, 2002.
Hennessy, Bernard. Essential of Public Opinion. Massachusetts: Duxbury
Press, 1975.
Heryanto, Gun Gun. “Konvergensi Simbolik di Komunitas Virtual: Studi
pada Ruang Publik dalam Komunikasi Politik di Situs Jejaring
Sosial dan Weblog Interaktif Era Pemerintahan SBY-Boediono
dalam Kasus Century”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2013.
Heryanto, Gun Gun dan Shulhan Rumam. Komunikasi Politik: Sebuah
Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2013.
Hikmat, Mahi M. “Efek Berita Politik Media Cetak pada Perilaku Politik
Anggota DPRD Jawa Barat dalam Pemilihan Gubernur Jawa
Barat 2003”. Tesis, Program Pasacasarjana Universitas
Padjadjaran, 2005.
Hikmat, Mahi M. Komunikasi Politik: Teori dan Praktek dalam Pilkada
Langsung. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cet. 2, 2011.
Hilalah, Yusuf Muhyiddin Abu. Al-I’lam: Nasy’atuhu, Asalibuhu,
Wasa’iluhu, Ma Yu’atstsiru fihi. Yordania: Maktabah al-Risalah,
cetakan pertama, 1987.
Hilgard, E.R. Introduction to Psychology. New York: Harcourt Brace &
World Inc., 1962.
Hill, David. The Press in New Order Indonesia and Politic Media.
Yogyakarta: LKIS, cetakan pertama, 2002.
Hisyam, Ala’ Ahmad. Al-I’lam: Muqawwimatuhu, Dhawabithuhu,
Asalibuhu fi Dhau’i al-Qur’an al-Karim Dirasah Maudhu’iyyah.
Tesis, Program Pascasarjana Universitas Islam Gaza, 2009.
Hitler, Adolf. National Socialism and World Relation. Berlin: Muller &
Sohn, 1937.
296
Hitler, Adolf. Warning Enemy Propaganda. Berlin: Hermann Hilliger
Verleg, 1940.
Hohenberg, John. The Professional Journalist: A Guide to the Practices
of the New Media. New York: Holt, Rinehard and Winston, Inc.,
1973.
Holsti, K.J. International Politics: A Framework for Analysis. New York
Prentice Hall Inc, 1977.
Horney, Karen. New Ways in Psychoanalysis. New York: Norton, 1939.
Hovland, C.I., et, al. Communication and Persuasion: Psychological
Studies of Opinion Change. New Haven, Conn: Yale University
Press, 1953.
Hughes, Barry B. Continuity and Change in World Politics. New Jersey:
Prentice Hall,1997.
Hulls, S.H. Egeth dan J. Deese. Psychology of Learning. New York:
McGraw-Hill International, 1993.
Hunt, M. The Universe Within: A New Science Explores The Human
Mind. New York: Simon & Schuster, 1982.
Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta:
Grafiti, cet. 2, 2001.
Huntington, Samuel P. No Easy Choice: Political Partisipation in
Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press,
1997.
Huntington, Samuel P. Tertib Politik dalam Masyarakat Politik Sedang
Berubah. Jakarta: Radjawali, 1983.
Huntington, Samuel P. The Third Wave Democratization in Late
Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press,
1991.
Hutagalung, Inge. Teori-teori Komunikasi dalam Pengaruh Psikologi.
Jakarta: Indeks, 2015.
Ibrahim, Amin. Analisis Terhadap Konsep Pembangunan Indonesia.
Bandung: Universitas Padjadjaran Press, 2001a.
Ibrahim, Amin. Konsep Persatuan Bangsa: Dilihat dari Sudut Pandang
Ketatanegaraan: Universitas Indonesia, Press 1987.
Ibrahim, Amin. Otonomi Daerah dalam Sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Bandung: Universitas Padjadjaran Press,
2001b.
Ibrahim, Amin. “Pendekatan Pembangunan yang Bersifat Komprehensif
Integral Ditopang Model Ketahanan Nasional dalam Upaya
297
Meningkatkan Ketahanan Wilayah”. Disertasi, Universitas
Padjadjaran, 2002.
Ibrahim, Amin. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: STIA-LANRI, 2001c.
Ibrahim, Amin. Pokok-pokok Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Mandar
Maju, cetakan pertama, 2009.
Ibrahim, Amin, et, al. Pokok-Pokok Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional. Bandung: Ikalum STIA-LANRI, 1991.
Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Dhiwantara, 1964.
Jackson, Karl D. dan Lucian W. Pye. Political Power and
Communication in Indonesia. University of California Press,
1978.
Janis, Irving L. Victims of Groupthink: A Psychological Study of ForeignPolicy Decisions and Fiascoes. Boston: Houghton-Mofflin, 1972.
Jauhari. “Makna, Motif dan Perilaku Kekuasaan dalam Komunikasi
Politik: Studi Kasus Persaingan Politik Antar Etnik; Orang
Lampung dan Orang Jawa dalam Pemilihan Umum Kepala
daerah Bandar Lampung Tahun 2010”. Disertasi, Universitas
Padjadjaran, 2012.
Jenkins, David. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer
1975-1983. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Joewett, Garth S. dan Victoria O’Donnel. Propaganda and Persuasion.
London: Sage Publications, 2006.
John, B. Whitton. Propaganda and the Cold War. Connecticut: Public
Affairs Press, 1963.
Johnson, Cartee, et, al. Strategic Political Communication: Rethinking
Social Influence, Persuasion, and Propaganda. Lanham:
Rowman & Litflefield, 2004.
Johnson, Dermis W. "The Cyberspace Election of the Future", dalam
Bruce. I. Newman (ed.). Handbook of Political Marketing.
Thousand Oaks: Sage, 1999.
Jones, E. The Life and Work of Sigmund Freud. Harmondsworth:
penguin, 1964.
Jones, Richard Wyn. Critical Theory and World Politics. London: Lynner
Publishers, 2001.
Jones, Walter S. Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi
Politik Internasional, dan Tatanan Dunia. Jakarta: Gramedia,
1993.
Junaedi, Fajar. Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi dan Strategi di
Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera, 2013.
298
Kahin, George McTruman. Nationalism and Revolution in Indonesia.
London: Cornell University Press, 1980.
Kaid, Lynda Lee. Handbook of Political Communication Research.
Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2004.
Kaid, Lynda Lee dan Christina IIoltz-Bacha. Political Advertising in
Western Democracy: Parties and Candidates on Television.
California: Sage Publication, 1995.
Kantaprawira, Rusadi. Pendekatan Sistem dalam Ilmu-Ilmu Sosial:
Aplikasi dalam Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung:
Sinar Baru, 1990.
Kantaprawira, Rusadi. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar.
Bandung: Sinar Baru, 1988.
Kartasasmita, Ginandjar. Administrasi Pembangunan: Perkembangan
Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1997.
Kartono, Kartini. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju, 1996.
Katz, E. “Uses of Mass Communication by the Individual”, dalam W.P.
Davidson dan F. Yu (ed.), Mass Communication Research:
Major Issues and Future Direction. New York: Praeger, 1974.
Katz, E. dan Paul Lazarfeld. Personal Influence: The Part Played by
People to the Flow of Mass Communication. New York: Free
Press, 1955.
Katz, E. dan T.Szecsko (ed.). Mass Media and Social Change. Beverly
Hills, California: Sage,1981.
Katz, E., et. al. “Utilization of Mass Communication by Individual”,
dalam J.G. Blumler dan E. Katz (ed.), The Uses of Mass
Communication: Correct Perspective on Gratification Research.
London: SAGE Publications Ltd., 1974.
Kaufman, H. Social Psychology: The Study of Human Interaction. New
York: Holt, Kmehart, and Winston, Inc., 1973.
Kavanagh, Dennis. Kebudayaan Politik. Jakarta: Bina Aksara, 1982.
Keban, Yeremias T. Pengantar Aministrasi Publik. Yogyakarta: Program
MAP UGM, 1994.
Kegley, C.W. Jr. dan E.R. Wittkopt. World Politics: Tren and
Transformation. London: St. Martin Publisher, 2001.
Khar’an Al, Muhammad Abdullah. Milkiyyah Wasa’il al-I’lam wa
‘Alaqatuha bi al-Wazha’if al-I’lamiyyah fi Dhau’ al-Islam.
Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2007.
Kharasyi, Al, Sulaiman ibn Shalih. Al-‘Aulamah. Riyadh: Dar
Balnasiyyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1419 H.
299
Kholil, Syukur. Komunikasi Islami. Bandung: Cita Pustaka Media,
cetakan pertama, 2007.
Kholil, Syukur (ed.). Teori Komunikasi Massa. Bandung: Citapustaka
Media Perintis, cetakan pertama, 2011.
King, H.E. Psychological Effects of Excitation in The Limbic System,
Electrical Stimulation of the Brain. Austin: University of Texas
Press, 1961.
Klapper, J. The Effects of Mass Communication. Glencoe: Free Press,
1960.
Kornhauser, W. The Politics of Mass Society. London: Routledge &
Kegan Paul, 1960.
Kousoulas, D. George. On Government and Politics. Massachusetts:
Duxbury Press, 1979.
KPU Provinsi Jawa Barat. Laporan Akhir Penyelenggaraan Pemilihaan
Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008. Bandung:
KPU Provinsi Jawa Barat, 2008.
Kraus, Sidney dan Dennie Davis. The Effects of Mass Communication on
Political Behavior. Pennsylvania: The Pennsylvania State
University Press, 1976.
Krech, David, et, al. Individual in Society: A Textbook of Social
Psychology. California: McGraw-Hill Kogakusha Ltd., 1962.
Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Jakarta: Rajawali
Pers, 1992.
Labolo, Muhadam dan Teguh Ilham. Partai Politik dan Sistem Pemilihan
Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, cetakan pertama, 2015.
Lambert, William W. dan Wallace E. Lambert. Social Psychology.
Englewwood, News Jersey: Printice-Hall, Inc., 1973.
Lambert, William W. dan Wallace E. Lambert. Social Psychology, terj.
Salwa al-Mulla, ‘Ilm al-Nafs al-Ijtima’i. Kairo: Dar al-Syuruq,
cet. 2, 1993.
Lane, E. Robert. Political Ideology. Princeton: Princeton University
Press, 1962.
Lane, E. Robert dan Sears O. David. Public Opinion. New Delhi:
Prentice Hall of India Private, t.t.
Lasswell, Harold D. “Describing the Contents of Communication,” dalam
B.L. Smith, et. al. (ed.). Propaganda Communication and Public
Opinion. Princeton: Princeton University Press,1946.
300
Lasswell, Harold D. Politics: Who Gets What, When, How. New York:
World Publishing, 1958.
Lasswell, Harold D. Psychopathology and Politics. New York: Viking
Press, 1960.
Lasswell, Harold D. The Analysis of Political Behaviour on Empirical
Approach. New York: Meridian Book Inc., 1979.
Lasswell, Harold D. The Language of Power. Cambridge: Mass MIT
Press, 1970.
Lasswell, Harold D. “The Structure and Function of Communication in
Society,” dalam Lyman Bryson (ed.). The Stucture: The
Communication of Ideas. New York: Institute for Religious and
Social Studies, 1948.
Lasswell, Harold D. dan Abraham Kaplan. Power and Society. New
Haven: Yale University Press, 1950.
Lasswell, Harold D. dan Casey. Propaganda, Communication, and
Public Opinion. Princeton: Princeton University Press, 1946.
Lazar, Judith. La Science de la Communication. Paris: Edition Dahleb,
1992.
Lazar, Judith. Sociologie de la Communication de Masse. Paris: Armand
Colin, 1991.
Lefrancois, G.R. Of Humans: Introductory Psychology by Kongor.
Belmont. Calif: Book Cole Publishing Company, 1974.
Lemhanas. Kondisi Ketahanan Nasional. Jakarta: Lemhanas, 1989.
Lenin, Vladimir Ilyich. State and Revolution. New York: International
Publishers, 1932.
Lent, Adam. New-Political Thought: An Introduction. London: Lawrence
and Wishart, 1998.
Lerner, M.J. Social Psychology of Justice and Interpersonal Attraction.
New York: Academic Press, 1974.
Lev, Daniel S. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics,
1957-1959. Ithaca, NY: Modern Indonesia Project, Cornell
University Press, 1966.
Lichtenberg, J. (ed.). Mass Media and Democracy. New York:
Cambridge University Press, 1990.
Lichter, S. Robert, et, al. The Media Elite. Chevy Chase, Maryland: Adler
& Adler Publishers, Inc, 1986.
Liddle, R. William. Partisipasi Politik & Partai Politik Indonesia pada
awal Orde Baru. Jakarta: Grafiti, 1992.
301
Liebert, R. M. dan L. L. Liebert. Science and Behavior: An Introduction
to Methods of Psychological Research. Engliwood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall, ed. 4, 1995.
Li’iyadhi Nashr al-Din. Wasa’il al-Ittishal al-Jamahiriyyah wa alMujtama’: Ara’ wa Ru’a. AlJazair: Dar al-Qashabah li al-Nasyr,
1998.
Liliweri, Alo. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cetakan pertama, 2003.
Liliweri, Alo. Komunikasi: Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana,
edisi pertama, cetakan pertama, 2011.
Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara,
2005.
Lilleker, Darren G. Key Concept in Political Communication. New York:
Sage Publication, 2005.
Lilleker, Darren G. (ed.). The Marketing of Political Parties: Political
Marketing at the 2005 British General Election. New York: UBC
Press, 2006.
Lipset, Seymour Martin. Political Man: The Social Bases of Politics.
Bombay: Vakila, Feffer and Simons Private, Ltd., 1960.
Lister, Martin, et, al. New Media: A Critical Introduction. London:
SAGE Publications Ltd., 2009.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. Theories of Human
Communication, terj. Mohammad Yusuf Hamdan, Teori
Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, ed.9, 2008.
Louw, P. Eric. The Media and Political Process. London-Thousand
Oaks-New Delhi: Sage Publications, 2005.
Lowi, Theodore J. The Politics of Disorder. New York: Basic Books,
1971.
Maletzke, G. Psychologic der Massenkomunikation: Theorie und
Systematik. Humburg: Verlag Hans-Bredow Institut, 1963.
Maltz, M. The Magic Power of Self-Image Psychology. New York:
Pocket Books, 1970.
Manshur, Thal’at, et, al. Usus ‘Ilm al-Nafs al-‘Amm. Ain Syam, Mesir:
Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, 1989.
Mansyur. Pengantar Ilmu jiwa Fenomologi. Bandung: Jemmars, 1983.
Manzhur, Ibn. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, cet. 3,
1999.
302
Mardjono, H. Hartono. Politik Indonesia (1996-2003). Jakarta: Gema
Insani Press, 1997.
Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi
Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana, 2010.
Marx, M.H. Introduction to Psychology: Problem, Procedures, and
Principles. London: Comer-Macmillan, 1976.
Mashad, Dhuroradin., et, al. Konflik Antarelit Politik Lokal dalam
Pilkada. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Mashmudi, Al, Mushthafa. Al-Nizham al-I’lami al-Jadid. Kuwait: AlMajlis al-Wathani li al-Tsaqafah wa al-Funun wa al-Adab, 1985.
Maslow, A. “Self-Actualization and Beyond”, dalam J.F.T. Bugentol
(ed.). Chalenges of Humanistic Psychology. New York:
McGraw-Hill, 1976.
Mas'oed, Mochtar dan Collin McAndrews. Perbandingan Sistem Politik.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.
Maswadi, Rauf. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta:
Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional,
2000.
Maswadi, Rauf. “Political Participation and Political Communication”.
Disertasi, Universitas Indonesia, 1981.
Matson, F.W. Humanistic Theory: The Third Revolution in Psychology.
Glenview: Scott, Foresman, and Co., 1973.
McChesney, Robert W. Communication Revolution: Critical Juncture
and the Future of Media. New York: The New Press, 2007.
McChesney, Robert W. Rich Media, Poor Democracy: Communication
Politics in Dubious Times. New York: The New Press, 2000.
McChesney, Robert W. The Problem of the Media: US Communication
Politics in the 21st Century. New York: Monthly Review Press,
2004.
McDavid, J.W. dan H. Harari. Social Psychology: Individuals, Groups,
Societies. New York: Harper & Row Publishers, 1968.
McDavid, J.W. dan H. Harari. Psychology and Social Behavior. New
York: Harper and Row, 1974.
McDougall, W. Introduction to Social Psychology. London: Metheun
1908.
McLellan, David. Marxism after Marx. London: Macmillan Press, 1979.
McLuhan, Marshall. Understanding Media. New York: McGraw-Hill,
1964.
303
McLuhan, Marshall dan Quentin Flore. The Medium Is the Massage. New
York: Bantam, 1967.
McNair, Brian. An Introduction to Political Communication. London:
Routledge, 1995.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga,
ed. 2, 1994.
Mead, M. Coming of Age in Samoa: A Psychological Study of Primitive
Youth for Civilization. New York, 1928.
Meadow, Robert G. Politics as Communication. New Jersey: Alex
Publishing Co., 1980.
Menicke, C.A. Moderne Psychologic. Amsterdam: Drukkerij en Binderij
vande Wereldbibliotheek, 1957.
Menkopolhukam. Pilkada dalam Sistem Demokrasi Indonesia. Jakarta:
Program Pemantapan Keamanan dalam Negeri, 2006.
Merriam, Charles R. Political Power: Its Composition and Incidence.
New York: McGraw-Hill, 1934.
Merrian, Charles. Systematic Politics. Chicago: University of Chicago
Press, 1942.
Merryl, John C. Journalism Ethics: Philosophical Foundations for New
Media. New York: St. Martin’s Press, 1997.
Messenger, Gary. British Propaganda and the State in the First World
War. Manchester: Manchester University Press, 1992.
Milbrath, L dan M. Goel. Political Participation: How and Why do
People Get Involved in Politics. Chicago, Illinois: Rind McMally,
ed. 2, 1977.
Miliband, Ralph. Marxism and Politics. Oxford: Oxford University Press,
1978.
Miller, G.A. Psychology and Communication. Washington D.C: Voice of
Amerika, 1974.
Mitchell, Joyce M. dan William C. Mitchell. Political Analysis and
Public Policy: An Introduction to Political Science. Chicago:
Rand McNally, 1969.
Moenir, H.A.S. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara, 2000.
Moesa, Ali Maschan. Kiai dan Politik dalam Wacana Civil Society.
Surabaya: Lepkiss, 1999.
Morgan, Clifford T. (ed.). Introduction to Psychology. New York:
McGraw-Hill Book Company, 1986.
304
Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations, The Struggle for Power
and Peace. New York: Alfred A. Knorpf Incorporated, 1989.
Morissan. Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Morissan. Teori komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, edisi pertama, cet. 2, 2014.
Mosco, Vincent. Political Economy of Communication. London: Sage
Publications, 2000.
Muhammad, Muhammad Mahmud. ‘Ilm al-Nafs al-Mu’ashir fi Dhau’ alIslam. Jeddah: Dar al-Syuruq, cetakan pertama, 1984.
Muhammad, Muhammad Sayyid. Al-Mas’uliyyah al-I’lamiyyah fi alIslam. Beirut: Dar al-Fikr, cetakan pertama, 1983.
Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Muhtadi, Asep Saeful. Kampanye Politik. Bandung: Humaniora, 2008a.
Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam
Politik Pasca Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya, cetakan
pertama, 2008b.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya, cet. 2, 2001.
Mulyana, Deddy. Komunkasi Politik Politik Komunikasi: Membedah Visi
dan Gaya Komunikasi Partai Politik. Bandung: Remaja
Rosdakarya, cet. 2, 2014.
Munsterberd, G. Psychology and Social Parity. New York: Doubleday,
1914.
Murdoch, Graham dan Peter Golding. Political Economy of the Media.
London: Routledge, 2000.
Murphy, Walter F. "Constitutions, Constitutionalism, and Democracy",
dalam Douglas Greenberg, et, al (ed.). Constitutionalism and
Democracy: Transitions in the Contemporary World. Oxford:
Oxford University Press, 1993.
Mussen, T. dan M. Rosenweig. Psychology: An Introduction. Boston:
D.C. Heath, 1973.
Muttaqien. Trust dalam Komunikasi. Makalah: PPs UINSU (S3) Medan,
2016.
Myers, D.G. Exploring Social Psychology. New York: McGraw-Hill,
2007.
Najib, Imarah. Al-I’lam fi Dhau’ al-Islam. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
cetakan pertama, 1980.
Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
305
Nasrullah. "Komunikasi Politik di Media Massa: Konstruksi Pemilu 2004
di Televisi", dalam Rachmad K. Nurudin, et, al (ed.). Kebijakan
Elitis Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Nasution, A.H. Memenuhi Panggilan Tugas. Jakarta: Haji Masagung, cet.
2, 1989.
Nasution, Adnan Buyung. The Aspiration for Constitutional Government
in Indonesia. Den Haag: CIP-Gegevens Koninklijke Bibliotheek,
1992.
Nasution, Zulkarimen. Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta:
Yudhistira, 1990.
Ndraha, Taliziduhu. Metode Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta,
1997.
Nelson, D. dan B.L. Meadow. "Attitude Similarity, Interpersoi Atraction,
Actual Success, and The Evaluantive Perception That Success".
Makalah, disampaikan pada pertemuan America Psychological
Association, Washington, D.C., 1971.
Neumann, Sigmund. "Modern Political Parties", dalam Harry Eckstein
dan David E. Apter (ed.). Comparative Politics: A Reader.
LondomThe Free Press of Glencoe, 1963.
Newcomb, Theodore M. et.al. Social Psychology, terj. Joesoef
Noesyirwan, Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro, 1985.
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001.
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989.
Nimmo, Dan. Political Communication and Public Opinion in America.
California: Goodyear Publising Company Santa Monica, 1978.
Nimmo, Dan. Political Communication: Communicator, Content, and
Media, terj. Tjun Surjaman, Komunikasi Politik: Komunikator,
Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Nimmo, Dan dan Keith R. Sanders (ed.). Handbook of Political
Communication. London: Sage Publications, 1981.
Noer, Deliar. Pengantar ke Pemikiran Politik. Medan: Dwipa, 1965.
Notonegoro. Pancasila Secara Ilmiyah dan Populer. Jakarta: LP3ES,
1971.
Notosusanto, Nugroho (ed.). Tercapainya Konsensus Nasional 19661969. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985.
306
Nursal, Adnan. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
cet. 5, 2013.
Oetama, Jakob. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
Osgood, C.E. dan T.A. Sebeok. "Communication and Psychologistics",
dalam E.P. Holander dan R.C. Hunt (ed.). Current Perspectives
in Social Psychology. New York: Oxford University Press, 1967.
Oud, PJ. Hef Constitutioneel Recht van het Koninkrijk der Nederlanden.
Zwolle: Tjeenk Willink, 1947.
Packard, Vance. A Nation of Strangers. New York: David McKay Co.,
1974.
Packard, Vance. The People Shapers. London: Futura Publications, Ltd,
1978.
Painter, Anthony dan Ben Wardie. Viral Politics: Communicating in the
New Media Era. London: Politic's Publishing Ltd., 2002.
Panitia Pemilihan Indonesia. Indonesia Memilih: Pemilihan Oemoem di
Indonesia jang Pertama. Jakarta: Batanghari NV, 1958.
Panwas Pilgub Jabar. Laporan Akhir Pengawasan Pemilihan GubernurWakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008. Bandung: Panwas
Pilgub Jabar, 2008.
Parakitri T. Simbolon. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006.
Pawito. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan.
Bandung: Jalasutra, 2009.
Perloff, Richard M. The Dynamics of Persuasion: Communication and
Attitudes in The 21st. New York: Lawrence Erlbaum Associates,
ed. 3, 2008.
Permana, Setia. Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat.
Bandung: KPU Jabar, 2006.
Piano, Jack C. et. al. Kamus Analisis Politik. Jakarta: Rajawali, 1985.
Pohan, Alqanitah. “Gender dalam Komunikasi Politik Aktivis Partai
Islam: Studi tentang Aktivis PBB, PPP dan PKS di Padang
Sumatera Barat”. Disertasi, Universitas padjadjaran, 2006.
Pool, Ithiel de Sola. Handbook of Communication. USA: Rand McNally
Sociology Series, 1973.
Pool, Ithiel de Sola. The Mass Media and the Politics in the
Modernization Process. Princeton: Princeton University Press,
1963.
307
Pot, C.W. van der. Handboek van het Nederlandse staatsrecht. Zwolle:
Tjeenk Wilink, 1953.
Prawira, Purwa Atmaja. Psikologi Umum Dengan Perspektif Baru.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, cetakan pertama, 2012.
Prihatmoko, Joko J. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Pringgodigdo, A.K. Kedoedoekan Presiden Menoeroet Tiga Oendangoendang Dasar dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Pembangoenan, 1956.
Pringgodigdo, A.K. Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Jakarta: Dian
Rakjat, 1978.
Pringgodigdo, A.K. Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan,
1964.
Pulzer, Peter G.J. Political Representation and Elections in Britain.
London: George Allen and Unwin Ltd., 1967.
Purnomo, R.H. Falsafah dan Ideologi Pancasila. Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1984.
Putnam, Evans H. Jacobson. Double Edged Diplomacy: International
Bargaining and Domestic Politics. California: University of
California Press, 1993.
Putra, Fadillah dan Saiful Arif. Kapatilasime Birokrasi, Kritik
Reinvinting Government Osborne-Gaebler. Yogyakarta: LKIS,
2001.
Pye,L.W. (ed.). Communication and Political Development. Princeton:
Princeton University Press, 1963.
Qualter, T.H. Propaganda and Psychological Warfare. New York:
Random House, 1962.
Quinn, Virginia Nichols. Applying Psychology. New York: McGraw-Hill,
ed. 3, 1995.
Rachmadi, F. Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers
di Berbagai Negara. Jakarta: Gramedia, cetakan pertama, 1990.
Radhi, Samir Ibn Jamil. Al-I’lam al-Islami: Risalah wa Hadaf. Makkah:
Rabithah al-‘Alam al-Islami, 1987.
Rais, Amien. Politik Internasional Dewasa Ini. Surabaya: Usaha
Nasional, 1989.
Rajih, Ahmad ‘Azat. Ushul ‘Ilm al-Nafs. Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi li
al-Thiba’ah wa al-Nasyr, cet. 7, 1968.
308
Rakhmat, Jalaluddin. “A Model for the Study of Mass Media Effects on
Political Leaders: A Study in Indonesia”. Tesis, Program
Pascasarjana Iowa State University, 1984.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya, ed. 3, cet. 27, 2011.
Ramage, Douglas E. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the
Ideology of Tolerance. New York: Routledge, 1995.
Rasyid, Muhammad Ryas. Desentralisasi Dalam Menunjang
Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di
Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998.
Rasyid, Muhammad Ryas. Makna Pemerintahan. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 2000.
Rauf, Maswadi. Book Review: Teori-Teori Politik. Jakarta: Universitas
Indonesia, 2000.
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun (ed.). Indonesia dan Komunikasi
Politik. Jakarta: Gramedia, 1993.
Rawnsley, Gary D. Radio Diplomacy and Propaganda: The BBC and
VOA in International Politics 1956-1964. London: Macmillan,
1996.
Razzaq, Al, Intishar Ibrahim Abd dan Shafd Hussam al-Samuk. Al-I’lam
al-Jadid. Baghdad: Mathba’ah Jami’ah Baghdad, 2011.
Ridwan. “Komunikasi Politik Ulama dalam Konflik di Aceh: Studi Kasus
Ulama di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh”.
Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2003.
Righter, Rosemary. Whose News? Politic, The Press an The Third World.
New York: Times Books, 1979.
Riswandi, Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, cetakan
pertama, 2013.
Rivers, William L. The Adversaries: Politics and the Press. Boston:
Bacon Press, 1970.
Rivers, William L., et, al. Mass Media and Modern Society, terj. Haris
Munandar dan Dudy Priatna, Media Massa & Masyarakat
Modern. Jakarta: Kencana, edisi pertama, cetakan pertama, 2003.
Rodee, Carlton C., et, al (ed.). Introduction to Political Science.
Auckland: McGrow-Hill, 1981.
Ross, Raymond S. Persuasion: Communication and Interpersonal
Relation. Englewood Clifs: Prentice-Hall, Inc., 1974.
Rourke, John T. International Politics on the World Stage. Connecticut:
The Dushkin Publishing Group, 1991.
309
Rudy, T. May. Komunikasi dan Humas Internasional. Bandung: Refika
Aditama, 2005.
Russet, Bruce dan Harvey Starr. World Politics: The Menu for Choice.
New Jersey: W.H. Freeman & Coy, 1989.
Safar, Mahmud Muhammad. Al-I’lam: Mauqif. Jeddah: Al-Kitab al‘Arabi al-Sa’udi, cetakan pertama, 1982.
Sahakian, WS. Introduction to Psychology of Learning. Chicago: Rand
McNally College, 1976.
Salosa, Daniel S. Mekanisme, Persyaratan, dan Tata Cara Pilkada
Langsung. Yogyakarta: Media Presindo, 2005.
Salusu, J. Interdependensi Indonesia dalam Politik Internasional.
Makassar: AIPI, 1990.
Samir, Muhammad Husain. Buhuts al-I’lam: Al-Usus wa al-Mabadi’.
Cairo: ‘Alam al-Kutub, 1976.
Samir, Muhammad Husain. Médias et Démocratie: La Dérive. Paris:
Presse de Science Po, 1997.
Sanit, Arbi. Partai, Pemilu, dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1977.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers,
1985.
Sanit, Arbi. Reformasi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Sardjoe. Psikologi Umum. Pasuruan: Garuda Buana Indah, 1994.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokohtokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang, 2008.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, cet. 2, 2010.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2005.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka,
2012.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori
Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan
Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Satiadarma. Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Schlesinger, K. dan P.M. Groves. Psychology:A Dynamic Science. Iowa:
Wm. C. Brown Company, 1976.
310
Schmitt-Beck, Rudiger. "Political Communication Effects: The Impact of
Mass Media and Personal Communications on Voting", dalam
Frank Esser dan Barbara Pfetsch (ed.). Comparing Political
Communication: Theories, Cases, and Challenges. Cambridge,
UK: Cambridge University Press, 2004.
Schramm, Wilbur. Mass Communication. Urbana: University of Illinois
Press, 1960.
Schramm, Wilbur. Mass Media and National Development. California:
Stanford University Press, 1964a.
Schramm, Wilbur. The Process and Effects of Mass Communication.
Urbana: University of Illinois Press, 1971.
Schramm, Wilbur. The Role of Information in Developing Countries.
Standford, California: Standford University Press, 1964b.
Schramm, Wilbur dan F.T. Peterson Siebert. Four Theories of the Press.
Urbana, Illinois: University of Illinois, 1956.
Schramm, Wilbur dan William E. Porter. Men, Women, Messages, and
Media. New York: Harpers & Row Publishers, 1982.
Schutz, W.C. The Interpersonal Underworld. Palo Alto: Science and
Behavior Books, 1966.
Schwartz, Steven. Classic Studies in Psychology. California: Mayfield
Publishing Company, 1986.
Sears, David O. Freedman, et, al. Social Psychology. New Jersey:
Prentice Hall, Inc., ed. 5, 1985.
Secord, P.F. dan C.W. Backman. Social Psychology. New York:
McGraw-Hill Book Company, 1964.
Sekretariat DPR-MPR RI. Himpunan Perubahan UUD 1945 ke 1 (1999),
ke 2 (2002), ke 3 (2001), ke 4 (2002). Jakarta: Sekretariat DPRMPR RI, 2002.
Sekretariat DPR-MPR RI. Himpunan Undang-Undang Tahun 1999-2000.
Jakarta: Sekretariat DPR-MPR RI, 2000.
Sekretariat DPR-MPR RI. Ketetapan-Ketetapan MPR-RI 1999. Jakarta:
Sekretariat DPR-MPR RI, 1999.
Semati, Mehdi. International Communication Theory: Communication,
Media, and Politics. London-New York-Toronto: New Frontiers,
Row-man & Littlefield Publishers, 2004.
Sereno, Kenneth K. dan C. David Mortensen. Foundations of
Communication Theory. New York: Harper & Row, 1970.
Setioyo, Budi. Iklan dan Politik: Menjaring Suara dalam Pemilihan
Umum. Jakarta: AdGoal.Com, 2008.
311
Severin, Wener J. dan Jr. James W. Tankard. Communication Theories:
Origins, Methods, and Uses in the Mass Media. New YorkLondon: Longman, 1992.
Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi: Suatu
Pengantar dalam Persfektif Islam. Jakarta: Kencana, 2004.
Shaver, K.G. Principles of Social Psychology. Massachussetts: Winthrop
Publishers, Inc., 1977.
Sherief, M. dan C.W. Sherif. An Outline of Social Psychology. New
York: Harper & Row, 1956.
Shoelhi, Mohammad. Diplomasi: Praktik Komunikasi Internasional.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2011.
Shoelhi, Mohammad. Komunikasi Internasional: Perspektif Jurnalistik.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2009.
Shoelhi, Mohammad. Propaganda dalam Komunikasi Internasional.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2012.
Shuman, Fredrick. Internasional Politics: The Western State System and
The World Community. New York: McGraw-Hill Book Company
Inc., 1958.
Shupe, Anson dan Jeffrey K. Hadden. The Politics of Religion and Social
Change. New York: Paragon House, 1988.
Siebert, Fred S., et, al. Empat Teori Press, terj. Putu Laxman Sanjaya
Pendit, Four Press Theory. Jakarta: Intermasa, 1986.
Sjamsuddin, Nazaruddin. Dinamika Sistem Politik Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Sobur, Alex. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung:
Pustaka Setia, 2013.
Soedibyo, Agus. Ekonomi Politik Media Penyiaran di Indonesia. Jakarta:
LP3ES, 2000.
Soekandar, Adriana. “Memahami Spektrum Autistik secara Holistik”.
Disertasi, Universitas Indonesia, 2007.
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit, 2005.
Soekarno. Pancasila Dasar Falsafah Negara (1945). Jakarta: Panitia
Nasional Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945-1 Juni 1964, 2001.
Soewardi, Herman. Filsafat Ilmu: Induk Sains Empirikal. Bandung: Bakti
Mandiri, 2004.
SP, Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Stanyer, James. Modern Political Communication. Cambridge: Polity
Press, 2008.
312
Straubhaar, Joseph. Communication Media in the Information Society.
Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1996.
Street, John. Massa Media, Politics and Democracy. Palgrave,
Houndmills: Basingstoke Hampshire, 2001.
Stuart, Sundeen S.J. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St.
Louis: Masby, 1995.
Subiakto, Henry dan Rachmah Ida. Komunikasi Politik, Media, dan
Demokrasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 2, 2014.
Sudarsono, Juwono. Politik dan Pembangunan (Pilihan Masalah).
Jakarta: Rajawali, 1982.
Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta:
LKiS, 2001.
Sujanto, Agus. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara, edisi pertama,
cet. 13, 2006.
Sulaiman, Muhammad Karam, Al-Takhthith al-I’lami fi Dhau’i al-Islam.
Cairo: Dar al-Wafa’, cetakan pertama, 1988.
Summers, M. W. The Press Gang: Newspapers and Politics (1865-1878).
Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1994.
Suryadi, Karim. Balihocracy. Bandung: Pusat Studi Agama dan
Pembangunan, 2009.
Suryadi, Karim. “Kedudukan Platform dan Komunikasi Politik Kiai
dalam Membentuk Identifikasi Kepartaian”. Disertasi,
Universitas Padjadajaran, 2006.
Susanto, Astrid S. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek. Bandung:
Binacipta, 1977.
Susanto, Astrid S. Komunikasi Kontemporer. Bandung: Binacipta, 1982.
Susanto, Astrid S. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Bina Cipta,
1985.
Susanto, Astrid S. Pendapat Umum. Jakarta: Bina Cipta, 1975.
Susanto, Eko Harry. Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam
Dinamika Sosial Ekonomi Politik. Jakarta: Mitra Wacana Media,
2010.
Susanto, Eko Harry. Komunikasi Politik dan Otonomi Daerah: Tinjauan
Terhadap Dinamika Politik dan Pembangunan. Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2009.
Suseno, Frans Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 2003.
Susilo, Muhammad Edi. “Pemberitaan Pers Selama Masa Kampanye”.
Tesis, Program Pascasarjana Universitas Padjadajaran, 2000.
313
Syafeii, Inu Kencana. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2008.
Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Al-Baramij al-I’lamiyyah Baina
al-Waqi’ wa al-‘Amal. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1994.
Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Al-I’lam al-Islami al-Ahdaf wa
al-Wazha‘if. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, cetakan pertama,
1991a.
Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Al-Tashawwur al-Maudhu’i li
Dirasah al-I’lam al-Islami. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1988a.
Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Al-Ushul al-Tathbiqiyyah li alI’lam al-Islami. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1988b.
Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. An Introduction to Islamic
Communication. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1991b.
Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Wikalah al-Anba’ alIslamiyyah fi al-Mizan. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub li alThiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t.
Szecsko T. (ed.). Mass Media and Social Change. Beverly Hills,
Caifornia: sage, 1981.
Tabroni, Roni. Komunikasi Politik Bung Karno. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, cetakan pertama, 2015.
Tabroni, Roni. Komunikasi Politik pada Era Multimedia. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2012.
Tannenbaum, P.H. dan D. Zillman. Emotional Arousal in The
Facilitation of Aggression Through Communication: Advances in
Experimental Social Psychology. New York: Free Press, 1975.
Taufik, Tata. Etika Komunikasi Islam. Bandung: Pustaka Setia, cetakan
pertama, 2012.
Taylor, A., et al. Communicating. Engle Wood Cliffs: Prentia Hall, Inc,
1977.
Taylor, Philip M. Global Communications, International Affairs, and The
Media since 1945. London-New York: Routledge, 1997.
Taylor, Philip M. The Projection of Britain: British Overseas Publicity
and Propaganda 1919-1939. Cambridge: Cambridge University
Press, 1981.
Thibaut, J.W. dan H.H. Kelley. The Social Psychology of Groups. New
York: John Wiley & Sons, 1959.
Thoha, Mifta. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007.
314
Thomas, Jhon M. dan Warren G. Bennis. Management of change and
Conflict. Australia: Penguin Book, 1972.
Tihami, Al, Mukhtar dan Athif Adli al-Abd. Al-Ra’yu al-‘Am. Cairo:
Mathba’ah Jami’ah al-Qahirah, 2005.
Tilly, Charles. From Mobilization to Political Conflict. Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1974.
Timothy C. Brock dan Melanie C. Green (ed.). Persuasion:
Psychological Insights and Perspectives. Thousand Oaks: Sage
Publication, edisi pertama, 2005.
Tinarbuko, Sumbo. Iklan Politik dalam Realitas Media. Bandung:
Jalasutra, 2009.
Tjokrowinoto, Moelyarto. Birokrasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Tubbs, Stewart L. dan Silvia Moss. Human Communication: An
Interpersonal Perspective. New York: Random House, 1974.
Turow, Joseph. Media Today: An Introduction to Mass Communication.
New York: Routledge, 2009.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. Media
Developmen tIndicators:A Framework for Assessing Media
Development. Paris: The Intergovernmental Council of the
International Programme for the Development of Communication
(IPDC), 2008.
US Government. Globalization of the Mass Media. Washington DC: US
Department of Commerce, 1993.
Van den Haag, E. "Of Happiness and of Despair WeHaveNo Measure",
dalam A. Casty (ed.). Mass Media and Mass Man. New York:
Holt, Rinehart, and Winston, 1968.
Vander Zanden, J.W. Social Psychology. New York: Random House,
1977.
Van Poecke, L. Gerbner's Cultural Indicators: The System is The
Message, Mass Communication Review Yearbook. Beverly Hills:
Sage Puchilations, 1980.
Vatikiotis, Michael R.J. Indonesian Politics under Suharto. London:
Routledge, 1993.
Venus, Antar. Manajemen Kampanye: Panduan Teoretis dan Praktis
dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, cet. 3, 2009.
315
Vivian, John. The Media of Mass Communication, terj. Triwibowo B.S.,
Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, ed. 8, cetakan pertama, 2008.
Wahid, Umaimah. Komunikasi Politik: Perkembangan Teori dan
Praktek. Bekasi: WM Komunika, 2012.
Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi
Offset,1981.
Walgito, Bimo. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset, 2003.
Watson, J.B. Psychological Care of Infant and Child. New York: Norton,
1934.
Wayne, Mike. Marxis and Media Studies. London: Sage Publications
Ltd., 2003.
Weimer, W.B. Communication Speech and Psychological Models of
Man: Review and Commentary, Communication Yearbook. New
Jersey: Transaction Books, 1978.
Weiss, W. Effects of Mass Media of Communication The Handbook of
Social Psychology. Wesley: Reading Addison, 1969.
Wenburg, John R. dan William W. Wilmot. The Personal
Communication Process. New York: John Wiley and Sons, 1973.
White, Brian. "Diplomacy", dalam John Baylis dan Steve Smith (ed.).
The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations. New York: Oxford University Press,
2001.
Wibawa, Pramana Anung. “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota
Legislatif terhadap Konstituen: Studi Interpretif Pemilu 2009”.
Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2013.
Widjaja, Albert. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta:
LP3S, 1988.
Widodo, Joko. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas
dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi
Daerah. Surabaya: Insan Cendekia, 2001.
Wilson, Stan Le Roy. Mass Media Mass Culture: An Introduction. New
York: Random House, 1989.
Wimmer, R.D. dan Dominick. Mass Media Research: An Introduction.
California: Wadsworth Publishing Company, 1991.
Windahl, S. “Uses and Gratification at the Crossroads”, dalam G.C.
Wilhoit and Harold de Bock (ed.), Mass Communication Review
Yearbook. Beverly Hills: Sage Publications, Inc., vol. 2, 1981.
316
Wolman, E.O. Dictionary of Behavioral Science. New York: Van
Nostrand Reinhold Co., 1973.
Wursanto. Dasar-Dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Andi, ed. 2, 2005.
Yusuf, Muhammad Khair Ramadhan. Min Khasha’ish al-I’lam al-Islami.
Makkah: Rabithah al-‘Alam al-Islami, 1989.
Zahran, Hamid Abd al-Salam. ‘Ilm al-Nafs al-Ijtima’i. Kairo: ‘Alam alKutub, cet.5, 1984.
Zain, Al, Samih ‘Athif. ‘Ilm al-Nafs: Ma’rifah al-Nafs al-Insaniyyah fi
al-Kitab wa al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1991.
Zanden, James W. Vander. Social Psychology. New York: Random
House, 1984.
Zeman, Z.A.B. Nazi Propaganda. Oxford: Oxford University Press,
1973.
Zimbardo, P.C, et, al. "A Pirandellian Prison," dalam The New York
Times Magazines (8 April 1973).
Zulkifli. Psikologi Perkembangan. Bandung:Remaja Rosdakarya, 1999.
Harian Analisa (23 November 2015), h. 1.
Harian Kompas (12 Desember 2015), h. 1.
Harian Sinar Indonesia Baru (12 Desember 2015), h. 1.
Harian Sinar Indonesia Baru (21 Desember 2015), h. 1.
Harian Waspada (10 Desember 2015), h. A1.
Harian Waspada (13 Desember 2015), h. A1 dan A2.
Harian Waspada (22 Desember 2015), h. A1.
Harian Waspada (30 Desember 2015), h. A1.
Harian Waspada (4 Januari 2016), h. A1.
http://binnekamedia.com/binnekanews/medan-news/pilkada-medan-inialasan-pasangan-redi-tak-ikut-mencoblos, diunduh pada tanggal 8
Januari 2016, pukul 17:17 wib.
http://binnekamedia.com/binnekanews/medan-news/pilkada-medan-inipenyebab-golput-mencapai-7333-persen, diunduh pada tanggal 8
Januari 2016, pukul 17:40 wib.
http://bininfor.com/mengatasi-krisis-kepemimpinan-di-negeri-ini-dengankekuatan-moral/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul
21:22 wib.
http://biroorganisasi.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=148:kepercayaan-publik-terhadap-pemerintah,
diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:02 wib.
http://dzulmieldin.com/biografi/, diunduh pada tanggal 20 Desember
2015, pukul 16:51 wib.
317
http://faktariau.com/mobile/detailberita/2373/pj-walikota-medan:-75,8persen-masyarakat-memilih-golput.html, diunduh pada tanggal 8
Januari 2016, pukul 17:30 wib.
http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-12-12, diunduh
pada tanggal 13 Januari 2016, pukul 21:34 wib.
http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3406/1/Pilkada.Serentak.2015,
diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:27 wib.
http://medansatu.com/berita/10614/inilah-ahkyar-nasution-wakil-eldin-dipilkada-medan/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul
16:55 wib.
http://medan.tribunnews.com/2015/11/14/ramadhan-pohan-dan-istriterima-upa-upa-keluarga-harahap, diunduh pada tanggal 8 Januari
2016, pukul 21:18 wib.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/709483-korupsi-gubernurgatot-dinilai-biang-pilkada-medan-sepi-nasional, diunduh pada
tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:12 wib.
http://news.analisadaily.com/read/masa-kampanye-pilkada-kota-medandimulai/170059/2015/09/12, diunduh pada tanggal 8 Januari
2016, pukul 16:40 wib.
http://news.detik.com/berita/2909724/ini-tahapan-penting-pilkada-2015#,
diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:40 wib.
http://news.okezone.com/read/2015/08/11/338/1194003/pengamananpilkada-serentak-polri-gelar-apel-kasatwil, diunduh pada tanggal
24 Desember 2015, pukul 23:40 wib.
http://news.okezone.com/read/2015/08/23/337/1201044/pemicu-konflikpilkada-serentak-versi-kpu, diunduh pada tanggal 20 Desember
2015, pukul 14:55 wib.
http://pilkada-serentak-2015.liputan6.com/read/2355801/anggaranpilkada-serentak-membengkak-jadi-rp-71-triliun, diunduh pada
tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:40 wib.
http://pilkada-serentak-2015.liputan6.com/read/2385822/quick-countpilkada-medan-dzulmi-eldin-ungguli-ramadhan-pohan, diunduh
pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:27 wib.
http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ramadhan-pohan/, diunduh pada
tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:17 wib.
http://regional.kompas.com/read/2015/07/29/11035071/Ramadhan.Pohan
.dan.Dzulmi.Eldin.Maju.ke.Pilkada.Kota.Medan, diunduh pada
tanggal 20 Desember 2015, pukul 16:50 wib.
318
http://setkab.go.id/sukseskan-pilkada-serentak-pemerintah-tetapkan-9desember-2015-sebagai-hari-libur-nasional/,
diunduh
pada
tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:30 wib.
http://tabloidpewarta.com/kota/item/224-anggaran-pilkada-medantembus-rp-565-miliar, diunduh pada tanggal 28 Desember 2015,
pukul 14:25 wib.
http://waspada.co.id/fokus-redaksi/pt-tun-medan-tolak-gugatan-rediajukan-kasasi/, diunduh pada tanggal 13 Januari 2016, pukul
20:42 wib.
http://waspada.co.id/medan/kampanye-akbar-benar-anak-medan-pilihputra-medan-asli/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul
17:07 wib.
http://waspada.co.id/pilkada/akhyar-unggul-di-tps-nya/, diunduh pada
tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:14 wib.
http://waspada.co.id/pilkada/kuasa-hukum-redi-tuntut-pemilihan-susulanpilkada-medan/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul
17:32 wib.
http://waspada.co.id/pilkada/pilkada-medan-eldin-nomor-1-pohannomor-2/, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 16:50
wib.
http://waspada.co.id/pilkada/ramadhan-pohan-janji-perhatikan-lansia/,
diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:10 wib.
http://www.antarasumut.com/berita/154166/dzulmi-eldin-mencoblos-ditps-36, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:12 wib.
http://www.dnaberita.com/berita-4961-inilah-dana-kampanye-duapaslon-di-pilkada-medan.html, diunduh pada tanggal 10 Januari
2016, pukul 21:09 wib.
http://www.harianterbit.com/hanterpolitik/read/2015/07/30/36706/84/41/
Calon-Tak-Siap-Kalah-Pemicu-Utama-Konflik-Pilkada-Serentak2015, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:55 wib.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552b941df0c5f/pelaksanaanpilkada-serentak-digelar-9-desember-2015, diunduh pada tanggal
20 Desember 2015, pukul 14:34 wib.
http://www.kompasiana.com/mediapskkugm/buku-mengembalikankepercayaan-publik-melalui-reformasibirokrasi_5512dabaa333113a68ba7d39, diunduh pada tanggal 8
Januari 2016, pukul 21:30 wib.
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=9&date=2015-12-17,
diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:38 wib.
319
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=6&date=2015-12-12,
diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:38 wib.
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=5&date=2015-12-14,
diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 20:40 wib.
http://www.metrosiantar.com/2015/09/01/205295/18-daerah-rawankonflik-pilkada-termasuk-simalungun-siantar-aman/,
diunduh
pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:34 wib.
http://www.rmol.co/read/2015/08/23/214429/Inilah-6-Aktor-PotensialPemicu-Konflik-Pilkada-Serentak-versi-KPU-, diunduh pada
tanggal 28 Desember 2015, pukul 14:05 wib.
http://www.suaramedan.com/2015/12/kpu-kota-medan-tetapkanpasangan-benar.html, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul
17:28 wib.
http://www.sumateratime.com/2015/08/ini-kronologi-kasus-gubernurgatot.html, diunduh pada tanggal 23 Desember 2015, pukul 15:45
wib.
http://www.ucokmedan.com/2015/11/kampanye-akbar-medan-rumahkita-bang.html, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:01
wib.
http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=405&coid=1&caid=34
&auid=2, diunduh pada tanggal 6 januari 2016, pukul 16:37 wib.
https://id.wikipedia.org/wiki/Dzulmi_Eldin, diunduh pada tanggal 8
Januari 2016, pukul 16:50 wib.
https://id.wikipedia.org/wiki/Harry_S._Truman, diunduh pada tanggal 6
januari 2016, pukul 16:57 wib.
https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewujudkanbirokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayanan-publik/, diunduh
pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:39 wib.
https://sembilanbersamamedia.wordpress.com/2012/03/21/505/, diunduh
pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:17 wib.
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=dr.+eddie+kusuma+sh+mh,
diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:17 wib.
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Eldin+mencoblos+pada+pilkad
a+kota+ medan, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul
17:14 wib.
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Kampanye+Eldin+Akhyar,
diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:40 wib.
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Kampanye+Pilkada+Kota+Me
dan, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:40 wib.
320
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=pemberantasan+korupsi+di+in
donesia&start=0, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul
21:30 wib.
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Pencoblosan+pilkada+kota+me
dan, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:46 wib.
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=reformasi+partai+politik+di+in
donesia&start=20, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul
21:30 wib
321
Download