KEPERCAYAAN DALAM KOMUNIKASI POLITIK: TINJAUAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI Dr. ISKANDAR ZULKARNAIN, M.Si. DITERBITKAN OLEH USUPRESS BEKERJASAMA DENGAN MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 2016 USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU Jl. Universitas No. 9 Medan 20155, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 usupress.usu.ac.id © USU Press 2016 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 979 458 897 0 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Zulkarnain, Iskandar Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi Komunikasi / Iskandar Zulkarnain -- Medan: USU Press 2016. v, 321 p.; ilus.: 24 cm Bibliografi ISBN: 979-458-897-0 1. Komunikasi - Politik II. Zulkarnain, Iskandar Dicetak di Medan, Indonesia I. Judul KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan berkah, nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan buku ini. Shalawat berangkaikan salam mari kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Buku ini terinspirasi dari satu point materi dalam mata kuliah Psikologi Komunikasi yang saya asuh, yakni Trust (Kepercayaan) dalam proses komunikasi. Secara filsafat, kepercayaan dalam proses komunikasi memegang peran yang sangat penting, khususnya bila diterapkan dalam proses komunikasi politik. Kepercayaan akan menentukan, berhasil atau gagalnya sebuah proses komunikasi politik. Berangkat dari inspirasi itu, buku ini diberi judul: Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi Komunikasi. Untuk melengkapi isi buku ini, saya tambahkan resume makalah-makalah “trust” yang juga merupakan tugas dalam mata kuliah Filsafat dan Etika komunikasi yang juga saya asuh pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan Pascasarjana UINSU Medan. Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa, khususnya Sdr. Badrul Helmi, Lc., M.Kom. yang banyak membantu saya dalam mewujudkan terbitnya buku ini. Akhirnya penulis berharap buku ini bisa membawa manfaat bagi kita semua. Amin. Medan, 13 Juli 2016 Penulis, Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .............................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1 BAB II KOMUNIKASI POLITIK ......................................................... 4 A. Pengertian Komunikasi ......................................................... 4 B. Pengertian Politik .................................................................. 7 C. Pengertian Komunikasi Politik ........................................... 10 D. Sejarah Ilmu Komunikasi Politik ........................................ 14 E. Unsur-unsur Komunikasi Politik ........................................ 19 F. Tujuan Komunikasi Politik ................................................. 26 G. Teori-teori dalam Komunikasi Politik ................................ 27 H. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik ........................... 33 I. Komunikasi Politik di Indonesia ......................................... 37 J. Pemilihan Umum ................................................................ 41 K. Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung ..................... 44 L. Dinamisasi Komunikasi Politik .......................................... 67 BAB III PSIKOLOGI KOMUNIKASI .................................................. 76 A. Pengertian Psikologi dan Sejarahnya .................................. 76 B. Perkembangan Manusia ...................................................... 83 C. Pengertian Komunikasi menurut Psikologi......................... 86 D. Pengertian Psikologi Komunikasi ....................................... 89 E. Karakteristik Komunikator ................................................. 91 F. Komunikasi Efektif ............................................................. 93 G. Karakteristik Manusia Komunikan ................................... 100 H. Sistem Komunikasi Intrapersonal ..................................... 128 BAB IV KEPERCAYAAN DALAM KOMUNIKASI POLITIK: TINJAUAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI ........................... 139 A. Kepercayaan dalam Psikologi Komunikasi ...................... 139 B. Kepercayaan dalam Komunikasi Politik ........................... 151 C. Membangun Kepercayaan Publik ..................................... 159 iv BAB V PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA MEDAN ........... 189 A. Sekilas Pilkada Serentak ................................................... 189 B. Proses Pemilihan Wali Kota Medan ................................. 197 C. Konflik dalam Pemilihan Wali Kota Medan .................... 231 D. Evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan: Pendekatan Psikologi Komunikasi Mengenai Krisis Kepercayaan Rakyat Terhadap Kepala Daerah ................ 238 BAB VI PENUTUP ............................................................................. 279 DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 284 v BAB I PENDAHULUAN Komunikasi politik sangat erat kaitannya dengan psikologi komunikasi, di mana di antara kajian psikologi komunikasi adalah persepsi yang merupakan inti komunikasi, termasuk komunikasi politik. Dari persepsi, dibangunlah kepercayaan publik yang merupakan tujuan utama komunikasi politik. Pada tanggal 10 November 2010, mata pemerintah, masyarakat Indonesia, bahkan dunia internasional tertuju ke Indonesia. Indonesia menerima kehormatan sebagai salah satu negara yang menjadi tujuan kunjungan politik Presiden AS Barack Obama. Seluruh perhatian tertuju pada kunjungan Presidan AS itu. Media massa seakan dibombardir dengan pidato kepresidenan Barack Obama yang terus diputar. Sebagai pemimpin negara adikuasa, wajar jika kunjungan Presiden Barack Obama memberi pengaruh secara luas. Banyak hal yang terjadi selama 18 jam kunjungan Presiden Obama. Pemberitaan di media elektronik hingga media cetak dihiasi pernyataan-pernyataan Obama sebagai presiden. Banyak rencana-rencana yang dirumuskan untuk hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Secara jelas Presidan AS tersebut langsung menyatakan bahwa ingin menjadi negara nomor satu untuk Indonesia dalam hal kerjasama. Fenomena tersebut tidak sekali saja terjadi di Indonesia. Berdasarkan tinjauan psikologi komunikasi, terjadi perubahan opini di masyarakat hanya dalam kurun waktu 18 jam saja saat kunjungan Presiden Barack Obama. Pengaruh yang begitu besar, bahkan salah satu media menyatakan bahwa kehadiran Presiden AS di Masjid Istiqlal akan membawa pesan khusus mengenai kerukunan umat beragama di dunia. Waktu yang begitu singkat tetapi berhasil membawa pengaruh yang signifikan. 1 Jika disimak dengan seksama dengan kajian ilmu komunikasi, secara psikologis terjadi perubahan pola pikir, sikap, hingga perilaku. Kunjungan kepresidenan Barack Obama mengantarkan kepada pembentukan pola pikir baru, sikap, perilaku mengenai pribadinya hingga kedudukannya sebagai Presiden AS. Terjadi proses komunikasi dalam kunjungan Presiden Barack Obama. pidato kepresidenan, perilaku, dan ekspresi dari seorang Pemimpin Negara AS adalah pesan. Pesan tersebut kemudian ditangkap oleh pihak media massa yang menjadi saluran komunikasi massa. Setelah pesan disebarluaskan dalam bentuk pemberitaan kemudian di tangkap oleh masyarakat secara meluas, maka terbentuklah opini masyarakat, sikap, perilaku, dan penentuan pilihan untuk mengambil keputusan. Proses yang terjadi adalah proses komunikasi yang membawa pengaruh terhadap psikologi massa. Pesan-pesan politik yang dibawa melalui berbagai simbo-simbol tertentu diteruskan melalui media massa dan kemudian sampai ke penerima pesan. Pesan yang diterima memberikan pengaruh terhadap persepsi penerima pesan. Pesan yang diterima dan sesuai dengan tujuan dari pengirim pesan akan berbuah pada keefektifan suatu proses komunikasi. Poin penting adalah komunikasi politik terjadi dalam proses yang singkat dengan pengaruh yang besar. Komunikasi politik secara sadar maupun tidak sadar terus terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai kebijakan politik disampaikan untuk merubah pandangan terhadap suatu kepentingan. Simbol-simbol tertentu dari sebuah partai politik bisa menjadi bagian dari komunikasi politik. Begitu banyak hal yang terjadi dalam proses komunikasi politik. Memandang besarnya pengaruh komunikasi politik, komunikasi politik menjadi salah satu bidang ilmu yang berkembang. Ilmu komukasi politik mengkaji unsur-unsur yang terlibat dalam proses komunikasi. Secara umum, isi buku ini membahas kepercayaan dalam komunikasi politik menurut perspektif psikologi komunikasi. Pembahasan dimulai dengan komunikasi politik yang meliputi pengertian komunikasi, pengertian politik, pengertian komunikasi politik, sejarah ilmu komunikasi politik, unsur-unsur komunikasi politik, tujuan komunikasi politik, teori-teori dalam komunikasi politik, komunikasi politik dalam sistem politik, komunikasi politik di Indonesia, pemilihan umum, komunikasi politik dalam Pilkada langsung, dan dinamisasi komunikasi politik. 2 Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan psikologi komunikasi yang meliputi pengertian psikologi dan sejarahnya, perkembangan manusia, pengertian komunikasi menurut psikologi, pengertian psikologi komunikasi, karakteristik komunikator, komunikasi efektif, karakteristik manusia komunikan, dan sistem komunikasi intrapersonal. Pembahasan dilanjutkan dengan kepercayaan dalam komunikasi politik: tinjauan psikologi komunikasi yang meliputi kepercayaan dalam psikologi komunikasi, kepercayaan dalam komunikasi politik, dan membangun kepercayaan publik. Pembahasan berikutnya adalah pemilihan kepala daerah Kota Medan (sebagai contoh komunikasi politik: tinjauan psikologi komunikasi) yang meliputi pembahasan-pembahasan mengenai sekilas Pilkada serentak, proses pemilihan Wali Kota Medan, konflik dalam pemilihan Wali Kota Medan, dan evaluasi pemilihan Kepala Daerah Kota Medan: pendekatan psikologi komunikasi mengenai krisis kepercayaan rakyat terhadap Kepala Daerah. Pembahasan ditutup dengan Bab Penutup yang berisi kesimpulan. 3 BAB II KOMUNIKASI POLITIK A. Pengertian Komunikasi Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa Latin communico yang berarti membagi. Yang dimaksud membagi adalah membagi gagasan, ide, atau pikiran antara seseorang dan orang lain. Communico berakar dari kata communis yang berarti sama, sama arti atau sama makna. Dalam komunikasi, hakikatnya harus terkandung kesamaan makna atau kesamaan pengertian. Jika tidak ada kesamaan pengertian di antara mereka yang melakukan komunikasi, maka komunikasi tidak akan berlangsung. Tegasnya tidak ada komunikasi(Shoelhi:2009:2). Komunikasi manusia itu dapat dipahami sebagai interaksi antarpribadi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik, misalnya simbol verbal dan nonverbal. Seperti kata Mehrabian, 55% dari komunikasi manusia dinyatakan dalam simbol nonverbal, 38% melalui nada suara, dan 7% komunikasi yang efektif dinyatakan melalui katakata. Simbol-simbol itu dinyatakan melalui sistem yang langsung seperti tatap muka atau media (tulisan, visual dan aural). Melalui pertukaran simbol-simbol yang sama dalam menjelaskan informasi, gagasan dan emosi di antara mereka itulah, akan lahir kesamaan makna atas pikiran, perasaan dan perbuatan. Manusia harus berkomunikasi, karena itu ia harus bicara, seperti kata Knapp dan Vangelisti: 1. Orang bicara tentang relasi mereka dalam pekerjaan, bagaimana mereka terlibat, bagaimana kebutuhan untuk menyatakan tenaganya. 2. Orang bicara tentang komitmen yang berkaitan dengan relasi. Komitmen merupakan kondisi awal dari sebuah relasi. 4 3. Orang bicara tentang relasi sebagai keterlibatan, terlibat bersama secara kuantitatif maupun kualitatif dalam percakapan, dialog, dan membagi pengalaman. 4. Orang bicara tentang relasi dalam istilah manipulasi, misalnya bagaimana saling mengawasi. 5. Orang bicara tentang relasi dalam istilah untuk mempertimbangkan dan memperhatikan. Dari sini akan muncul "sebab" dan "akibat" bagi lahirnya sebuah komunitas bersama, karena kesamaan latar belakang sosial dan kebudayaan. Sekelompok orang yang mengikuti arisan atau sekelompok mahasiswa, hanya bisa tumbuh dan berkembang sebagai sebuah komunitas atau bahkan masyarakat, kalau setiap anggotanya saling bertukar pengalaman, makin hari makin mendalam dan terjadi berulangulang. Sebagaimana dikatakan para ahli komunikasi, bahwa komunikasi itu meliputi usaha untuk menciptakan pesan, mengalihkan pesan, memberikan diri kita sebagai sebuah tempat yakni di hati dan otak orang lain untuk menerima pesan. Hasil dari komunikasi bersama itu adalah interpersonal understanding (pemahaman atas hubungan antarpribadi) karena ada kesamaan orientasi perseptual, kesamaan sistem kepercayaan dan keyakinan, serta kesamaan gaya berkomunikasi. Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi, setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah peristiwa komunikasi. Jadi, kalau satu komponen kurang maka komunikasi tidak akan terjadi. Ia menyatakan bahwa komunikasi merupakan: 1. Transmisi informasi. 2. Transmisi pengertian. 3. Menggunakan simbol-simbol yang sama. Bernardo Attias menyatakan bahwa definisi komunikasi itu harus mempertimbangkan tiga model komunikasi (model retorikal dan perspektif dramaturgi, model transmisi, dan model ritual). Jadi komunikasi itu: 1. Membuat orang lain mengambil bagian, menanamkan, mengalihkan berita atau gagasan. 2. Mengatur kebersamaan untuk kepentingan bersama. 3. Membuat orang yang terlibat berkomunikasi. 4. Membuat orang saling berhubungan. 5. Mengambil bagian dalam kebersamaan (Liliweri:2003:6-8). 5 Definisi komunikasi secara terminologi banyak diperdebatkan dan diperselisihkan oleh para pakar komunikasi, karena para pakar komunikasi berasal dari berbagai disiplin ilmu. Definisi komunikasi dari pakar politik dan sosiologi seperti Harold Dwight Lasswell berbeda dengan definisi komunikasi dari pakar elektronik seperti Claude Shannon yang mendefinisikan komunikasi dengan pendekatan scientific. Ia menyatakan “Communication is the transmission and reception of information” (Taufik:2012:30), dan Harold Dwight Lasswell dalam artikelnya “The Structure and Function of Communication in Society,” menulis: “Convenient way to describe an act of communication is to answer the following questions: “Who says what in which channel to whom and with what effects?”(Lasswell:1948:117). Everett M. Rogers, seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa “Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”(Cangara:2014:22). Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari satu pihak kepada pihak lain untuk mendapatkan saling pengertian (Wursanto:2005:157). Walstrom – dari pelbagai sumber – menampilkan beberapa definisi komunikasi, yakni: 1. Komunikasi antarmanusia sering diartikan dengan pernyataan diri yang paling efektif. 2. Komunikasi merupakan pertukaran pesan-pesan secara tertulis dan lisan melalui percakapan, atau bahkan melalui penggambaran yang imajiner. 3. Komunikasi merupakan pembagian informasi atau pemberian hiburan melalui kata-kata secara lisan atau tertulis dengan metode lainnya. 4. Komunikasi merupakan pengalihan informasi dari seseorang kepada orang lain 5. Komunikasi adalah pertukaran makna antarindividu dengan menggunakan sistem simbol yang sama. 6. Komunikasi adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui suatu saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu. 6 7. Komunikasi adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis, melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna (Liliweri:2003:8). Dari definisi-definisi komunikasi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media komunikasi yang mana penyampaian pesan itu menimbulkan pengaruh. B. Pengertian Politik Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia terkenal pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Politik dalam arti ini begitu penting karena sejak dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber daya alam, atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas. Ini adalah politik. Usaha untuk menggapai kebahagiaan itu dapat ditempuh melalui berbagai cara, yang kadang-kadang bertentangan satu dengan lainnya. Akan tetapi semua pengamat setuju bahwa tujuan itu hanya dapat dicapai jika memiliki kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem politik). Kekuasaan itu perlu dijabarkan dalam keputusan mengenai kebijakan yang akan menentukan pembagian atau alokasi dari sumber daya yang ada. Para sarjana politik cenderung untuk menekankan salah satu saja dari konsep-konsep ini, akan tetapi selalu sadar akan pentingnya konsep-konsep lainnya. Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa politik dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (publicpolicy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution). Jika dianggap bahwa ilmu politik mempelajari politik, maka perlu kiranya dibahas dulu istilah ‘politik’ itu. Pemikiran mengenai politik (politics) di dunia Barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap 7 politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Pandangan normatif ini berlangsung sampai abad ke-19. Dewasa ini definisi mengenai politik yang sangat normatif itu telah terdesak oleh definisi-definisi lain yang lebih menekankan pada upaya (means) untuk mencapai masyarakat yang baik, seperti kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan, alokasi nilai, dan sebagainya. Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik daripada yang dihadapinya, atau yang disebut Peter Merkl: “Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at its best is a noble quest for a good order and justice)” betapa samar-samar pun tetap hadir sebagai latar belakang serta tujuan kegiatan politik. Dalam pada itu tentu perlu disadari bahwa persepsi mengenai baik dan adil dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi masing-masing dan zaman yang bersangkutan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apa yang menjadi tujuan dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan itu. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation) dari sumber daya alam, perlu dimiliki kekuasaan (power) serta wewenang (authority). Kekuasaan ini diperlukan baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement). Akan tetapi, kegiatan-kegiatan ini dapat menimbulkan konflik karena nilai-nilai (baik yang materil maupun yang mental) yang dikejar biasanya langka sifatnya. Di pihak lain, di negara demokrasi, kegiatan ini juga memerlukan kerja sama karena 8 kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik (conflict resolution) atau konsensus (consensus). Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaannya, kegiatan politik, di samping segi-segi yang baik, juga mencakup segi-segi yang negatif. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk. Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan sering saling bertentangan, mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga, malu, dan marah. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita acapkali berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji, atau seperti dirumuskan oleh Peter Merkl sebagai berikut: “Politik, dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (Politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches)!” Singkatnya, politik adalah perebutan kuasa, takhta, dan harta (Budiardjo:2008:13-15). Di bawah ini ada tiga sarjana yang menguraikan definisi politik yang berkaitan dengan masalah konflik dan consensus: 1. Menurut Rod Hague dan kawan-kawan: “Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya (Politics is the activity by which groups reach binding collective decisions through attempting to reconcile differences among their members).” 2. Menurut Andrew Heywood: “Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama (Politics is the activity through which a people make, preserve and amend the general rules under which they live and as such is inextricaly linked to the phenomen of conflict and cooperation)”(Budiardjo:2008:15-16). 3. Dalam pandangan Dye, politics didefinisikan sebagai "the management of conflict" (Dye:1988:1). Definisi ini didasarkan pada satu anggapan bahwa salah satu tujuan pokok pemerintahan adalah untuk mengatur konflik. Jadi, pemerintahan sendiri pada dasarnya diperlukan untuk memberikan jaminan kehidupan yang tenteram bagi 9 masyarakatnya, terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik di antara individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Seperti dikatakan Dye, "the management of conflict is one of the basic purposes of government." Untuk bisa mengatur konflik tentu tidak bisa menghindari pentingnya kekuasaan dan otoritas formal seperti dinyatakan dalam pengertian sebelumnya. Penguasa yang tidak memiliki kekuasaan tidak akan pernah mampu mengatasi masalah-masalah yang sewaktu-waktu muncul di masyarakat. Konsekuensinya, ia dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi dan dianggap tidak berfungsi. Bahkan pada tingkat tertentu, terutama jika tetap bertahan berkuasa, penguasa seperti itu memiliki potensi otoriter, dan berakibat pada situasi semakin melemahnya kedaulatan rakyat. Dalam keadaan seperti ini, komunikasi politik akan semakin kehilangan fungsi yang sesungguhnya (Muhtadi: 2008b:29). Di samping itu ada definisi-definisi lain yang lebih bersifat pragmatis. Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang dijumpai disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur dari politik. Unsur ini diperlukannya sebagai konsep pokok yang akan dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lain. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep pokok itu adalah: 1. Negara (state). 2. Kekuasaan (power). 3. Pengambilan keputusan (decision making). 4. Kebijakan (policy, beleid). 5. Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) (Budiardjo: 2008:16-17). C. Pengertian Komunikasi Politik Dengan menggunakan konsep dasar komunikasi dan kebudayaan, komunikasi politik juga pada dasarnya merupakan bagian dari, dan dipengaruhi oleh, budaya politik suatu masyarakat. Pada saat yang sama, komunikasi politik juga dapat melahirkan, memelihara dan mewariskan budaya politik. Sehingga dengan memperhatikan struktur pesan serta pola-pola komunikasi politik yang diperankannya, maka dapat dianalisis budaya politik suatu masyarakat (Muhtadi: 2008b:27). 10 Menurut Rush dan Althoff, komunikasi politik adalah transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem publik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik; dan proses sosialisasi, partisipasi, serta rekrutmen politik bergantung pada komunikasi (Althoff dan Rush: 1997:255). Secara sederhana unsur-unsur tersebut digambarkan seperti berikut: BUDAYA POLITIK SISTEM POLITIK KOMUNIKASI POLITIK Gambar 1. Unsur-unsur Politik (Muhtadi: 2008b:28). Sampai saat ini, sudah banyak definisi tentang komunikasi politik. Berikut ini adalah beberapa diantaranya: 1. Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat enam fungsi lainnya itu dijalankan, yaitu sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, membuat peraturan, aplikasi peraturan, dan ajudikasi peraturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik. 2. Process by which a nation's leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy (Komunikasi politik adalah proses di mana pemimpin bangsa, media, dan warga negara mengubah dan memberi makna pada pesan-pesan yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan umum). 3. Communicatory activity considered political by virtue of its conse-quences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political system (Aktivitas komunikasi dikatakan bersifat politik berdasarkan konsekuensi, kebenaran, dan potensinya yang memiliki fungsi pada sistem politik). 11 4. Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Komunikasi politik memiliki makna setiap perubahan simbol-simbol dan pesan-pesan yang signifikan terhadap suatu keadaan politik atau memiliki konsekuensi terhadap sistem politik). 5. Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat serta mengaturnya sedemikian rupa "penggabungan kepentingan" (interest aggregation) dan "perumusan kepentingan" (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi kebijakan politik. 6. Komunikasi politik merupakan penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi, seperti komunikator, pesan, dan lainnya. 7. Political communication is a field of communications that is concerned with politics (Komunikasi politik merupakan area komunikasi yang memiliki perhatian khusus terhadap aspek politik). 8. Komunikasi politik adalah aktivitas komunikasi yang bermuatan politik untuk tujuan kebajikan dengan berbagai konsekuensi yang mengatur tingkah laku manusia dalam keadaan konflik. 9. Komunikasi politik adalah yang diarahkan pada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembagalembaga politik. 10. Komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesanpesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Pendapat ilmuwan politik (dalam hal ini adalah ilmuwan politik behavioralis) agak berbeda dengan pandangan ilmuwan komunikasi dalam melihat komunikasi politik. Apabila ilmuwan komunikasi lebih banyak membahas peranan media massa dalam komunikasi politik (dengan sedikit perhatian pada komunikasi antarpribadi), para ilmuwan politik mengartikan komunikasi politik sebagai proses komunikasi yang melibatkan pesan politik dan aktor politik dalam setiap kegiatan kemasyarakatan. Ilmuwan komunikasi menilai saluran komunikasi dalam 12 bentuk media massa merupakan saluran komunikasi politik yang sangat urgen. Sebaliknya ilmuwan politik menilai saluran media massa dan saluran tatap muka memainkan peranan yang sama pentingnya. Namun, ilmuwan politik dan ilmuwan komunikasi sama-sama memandang bahwa pesan dan media memiliki peranan yang penting dalam proses komunikasi politik. Keduanya memberikan makna terhadap sebuah aktivitas komunikasi politik. Pesan dan media senantiasa ada serta berkembang seiring dengan kemajuan kajian dan aktivitas komunikasi politik pada tataran praktis. Di antara prasyarat yang lain, pesan dan media membuat komunikasi politik memiliki fungsi strategis. Menurut Ardial (2010), fungsi komunikasi politik dapat dilihat di dalam fungsi-fungsi sistem politik yang lainnya. Komunikasi politik merupakan proses yang menentukan keberhasilan fungsi-fungsi lainnya, sedangkan keberhasilan penyampaian pesan dalam setiap fungsi menentukan keberhasilan pelaksanakaan fungsi bersangkutan. Artikulasi kepentingan misalnya, sangat bergantung pada komunikasi politik. Tanpa adanya komunikasi politik, arlikulasi kepentingan adalah benda mati karena artikulasi itu sendiri tidak ada. Menurut Almond, artikulasi kepentingan dijalankan oleh organisasi politik dalam bentuk penyampaian kepentingan yang terdapat di dalam masyarakat kepada penguasa politik. Proses komunikasinya terletak pada penyampaian. Keberhasilan penyampaian pesan memainkan peranan yang amat penting dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi artikulasi kepentingan. Contoh lain tentang pentingnya komunikasi politik dapat diperhatikan dalam proses pembuatan peraturan (rule making) atau fungsi kelima dari sistem politik. Komunikasi memainkan peran yang sangat penting dalam proses pembuatan peraturan (undang-undang ataupun bentuk ketentuan peraturan lainnya). Pihak yang membuat peraturan dituntut untuk menjalin kerja sama, hubungan dan komunikasi yang baik antara sesama mereka. Absennya hal-hal tersebut tentu saja akan sangat menghambat keberhasilan fungsi pembuat peraturan.Selain itu, para pengambil kebijakan sangat perlu membangun komunikasi dengan masyarakat. Sebagai negara dengan sistem demokrasi, suara rakyat harus sangat didengar oleh para penguasa atau pengambil kebijakan. Rakyat memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya dengan berbagai bentuk komunikasi. Dalam proses penyampaian aspirasi, komunikasi politik sangatlah penting dan tidak bisa dipisahkan keberadaannya. 13 Dalam perkembangannya, komunikasi politik menjadi tidak terpisahkan dalam proses kampanye politik. Sistem demokrasi di Indonesia yang mengatur proses pemilihan secara langsung, baik legislatif, presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur,bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota, menjadikan komunikasi politik semakin fungsional. Setelah reformasi, proses sosialisasi kandidat pemimpin semakin variatif dan menarik. Kemasan kampanye politik kini sudah berubah layaknya kemasan produk makanan atau pakaian. Kampanye politik tidak lagi hanya pada persoalan visi misi, tetapi juga memoles kandidat, menciptakan pesan dan mengatur ritme kemunculan di media adalah bagian penting yang harus disentuh. Jika tidak dapat melakukannya sendiri, para kandidat akan menyewa agen iklan profesional untuk membantu mengemas proses kampanye politiknya. Inilah abad citra di mana politik tidak cukup dengan substansi, tetapi juga harus memperhatikan citra sebagai tuntutan dari kepentingan politikus yang sedang "dijajakan" dan "ditawarkan" kepada publik sebagai calon pemilihnya (Tabroni:2012:18-20). D. Sejarah Ilmu Komunikasi Politik Sebenarnya, karya tentang komunikasi politik sudah ada sejak zaman Aristoteles pada tahun 350 SM. Saat itu, Aristoteles sudah mengkaji bagaimana sebuah pesan politik disampaikan kepada khalayak. Dalam perkembangannya, komunikasi politik pun menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Penetapan komunikasi politik sebagai ilmu, terhitung sejak dibentuknya divisi komunikasi politik oleh International Communication Association (ICA) dan American Political Science Association (APSA) pada awal tahun 70-an. Studi komunikasi politik mulai marak sejak Perang Dunia I. Sejarah komunikasi politik seperti dijelaskan Lynda Lee Kaid (2004) tidak lepas dari dua tokoh ternama, yaitu Walter Lippmann (1922) dan Harold Dwight Lasswell (1927). Lippmann menyatakan peran media massa dalam membentuk opini publik. Yang menjadi konsentrasi Lippmann adalah kebutuhan akan kebebasan media massa yang secara normatif dan publik yang terinformasikan. Sedangkan Lasswell konsen di bidang analisis propaganda (propaganda analysis). Disertasinya sendiri tentang analisis isi pesan propaganda yang dilakukan Jerman VS Perancis, Inggris, dan 14 Amerika Serikat pada Perang Dunia I. Analisisnya menggunakan model lima pertanyaan yang sangat terkenal dalam ilmu komunikasi, yaitu “Who says what in which channel to whom and with what effects?” Dua tokoh ini hidup pada masa Perang Dunia I, di mana pada masa itu propaganda (istilah "komunikasi massa" yang secara umum kita kenal) belum dikenal. Pada saat itu yang digunakan adalah istilah public opinion and propaganda. Dalam praktiknya, proses opini publik dan propaganda selalu menggunakan media sebagai saluran komunikasinya. Dengan menggunakan media massa diharapkan dapat berdampak lebih luas kepada publik seiring dengan tuntutan massa dan perkembangan teknologi informasi. Sesuai dengan kajian komunikasi, di mana media massa selalu memiliki efek yang cukup kuat kepada publik. Paul F. Lazarsfeld (13 Februari 1901 - 30 Agustus 1976) dengan Communication Effect and the Erie County Study lebih dikenal dengan fokus kajiannya pada efek media massa. Ia juga dikenal sebagai ilmuwan sosial yang menggunakan metodologi kuantitatif dalam melakukan studi tentang perilaku pemilih yang dikenal dengan Erie County Study dalam kasus pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1940. Dalam penelitian itu, Lazarsfeld melihat bagaimana efek media massa mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan presiden. Penelitiannya tersebut menemukan bahwa media massa tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku pemilih waktu itu, kebanyakan pemilih (followers) sudah menentukan pilihan melalui opinion leaders sebelum masa kampanye dimulai. Hasil penelitian ini dikenal dengan two step flow model. Pada Abad 21, politik mulai dilihat sebagai persaingan untuk memperoleh sumber daya yang terbatas. Bentley berpandangan bahwa esensi politik adalah tindakan kelompok. Bentley membedakan kelompok berdasarkan kepentingannya, dan melihat bagaimana interaksi antarkelompok tersebut. Ini dikenal juga dengan model pluralis. Selain Bentley, ada David Truman dan Robert Dahl. Hal ini terkait dengan studi tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan kampanye. Studi komunikasi politik juga berkembang menjadi kajian tentang efek dan dampak. Di sini studi komunikasi politik terfokus pada kajian tentang peran media massa dalam politik, seperti agenda setting dan framing sehingga keberadaan media dalam kajian komunikasi politik menjadi tidak bisa dipisahkan. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap proses komunikasi politik mensyaratkan keberadaan media massa kendati 15 tidak setiap komunikasi politik dalam praktiknya menggunakan media massa (Tabroni:2012:20-22). Menurut Lely Arrianie, komunikasi politik kian hari kian menjadi kajian yang menarik perhatian. Dalam perkembangannya, komunikasi politik tidak hanya menarik bagi mereka yang fokus pada kajian ini, tetapi juga bagi mereka yang fokus pada kajian komunikasi dan politik secara akademis. Selain itu, komunikasi politik juga menjadi menarik bagi para aktivis, politikus, serta profesional di bidang komunikasi dan politik. Komunikasi politik sebagai disiplin ilmu pada dasarnya masih relatif baru, terlebih di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat dalam Lely menyatakan bahwa di Amerika sekalipun komunikasi politik masih mencari bentuk. Namun dalam realitasnya, komunikasi dan politik sekaligus pemanfaatan komunikasi untuk kepentingan politik sebetulnya telah berlangsung sangat lama (Arrianie:2006:12). Walaupun banyak pakar yang telah berkontribusi terhadap penemuan dan pengembangan komunikasi politik, Arrianie menyebutkan paling tidak ada empat orang yang dianggapnya sebagai funding fathers komunikasi studi komunikasi politik di Amerika Serikat. Pada dasarnya, mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Kurt Lewin, Paul F. Lazarsfeld dan Carl I. Hovland memiliki latar belakang pendidikan psikologi, sedangkan Harold Dwight Lasswell memiliki latar belakang ilmu politik. Pada tahun 1927, Lasswell menulis buku Propaganda Technique in the Word War. Dalam bukunya yang berjudul The Structure and Functions of Communication in Society dengan formula who says what in wich channel to whom with what effect, Lasswell menghadirkan sebuah karya monumental yang terus dikembangkannya dan menjadi rujukan para pakar dan mahasiswa termasuk di Indonesia. Pada tahun 1936, Lasswell pun menulis buku hasil penelitiannya yang lain tentang politik yang sangat populer, yaitu Politics: Who Gets What, When, How. Selain Lasswell, beberapa muridnya, seperti Ithiel de Sola Pool, V.O.Key dan Gabriel Almond, juga memiliki minat yang sama dalam pengembangan komunikasi politik. Key misalnya dengan detail mempertemukan komunikasi dan politik dalam bukunya Public Opinion and American Democracy. Pool menulis buku The People Look at Educational Television: Candidates, Issue, and Strategies; a Computer Simulation of the 1960 Election Campaign, dan Trend in Content Analysis. Almond juga telah mengkaji berbagai konsep untuk memahami fungsi komunikasi dan sistem politik. 16 Menurut Arrianie, di Eropa juga dikembangkan beberapa penelitian komunikasi politik berkaitan dengan studi opini publik, perkembangan arus sosiokultural, telaah hubungan antara media dengan pemerintah, juga sistem informasi yang berlangsung pada institusi birokratis. Fenomena ini ternyata memiliki relevansi dominan pada penelitian komunikasi politik di Indonesia sampai sekarang. Sebagian besar penelitian komunikasi yang menyentuh bidang politik umumya lebih banyak tersajikan dalam bentuk penelitian tentang pemberian suara (voting), serta pengaruh komunikasi terhadap responden khalayak tentang kampanye. Penelitian tentang pemberian suara dalam Pemilu dilakukan oleh Paul L. Lazarsfeld dalam The People's of Opinion Formation in a Presidential Campaign. Bersama Elihu Katz, Lazarsfeld juga meneliti tentang Personal Influence: the Part Played by People in the Flow or Mass Communications. Kemudian Campbell, Converse, Miller dan Stokes meneliti tentang The Voters Decides (Tabroni:2012:2223). Menurut Ardial, Lazarsfeld dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa kontak tatap muka adalah faktor penyebab terpenting dalam perubahan pilihan para pemilih. Hubungan yang erat dengan sesama anggota masyarakat yang dikenal baik dan dipercaya merupakan jaminan bahwa informasi yang disampaikan oleh tokoh tersebut layak diikuti. Sifat-sifat hubungan tatap muka langsung memungkinkan komunikan (followers) untuk mendapat lebih banyak informasi dari pemuka pendapat (opinion leaders) (Ardial:2010:6). Model dua tahap penyebaran arus komunikasi ini (two step flow model) menganut pandangan bahwa media massa sebelumnya memainkan peranan yang penting dalam penyebaran informasi. Tanpa penyebaran media massa yang cukup luas, model dua tahap penyebaran arus komunikasi tersebut tidak akan banyak berarti. Studi Lazarsfeld, Berelson dan Gaudet, menurut Ardial, juga menemukan bahwa media massa telah memainkan peranan penting sebagai penyalur informasi pada waktu penelitian mereka berlangsung. Sejak awal surat kabar memainkan peranan terpenting di antara berbagai bentuk media massa sebagai penyalur informasi. Kaitan antara media massa dan tingkah laku pemilih dalam Pemilu telah banyak dikaji terutama oleh ilmuwan komunikasi. Dalam bukunya yang berjudul The Effects of Mass Communication on Political Behavior, Sidney Kraus dan Dennis Davis (1976) berpendapat bahwa media massa memainkan peranan penting dalam kampanye Pemilu. 17 Bahkan, mereka berpendapat bahwa semenjak tahun 1950-an di Amerika Serikat televisi berkembang pesat dan telah berhasil menggeser kontak tatap muka sebagai saluran terpenting dalam penyampaian informasi politik. Dengan membandingkan studi Lazarsfeld dan kawan-kawan yang diadakan pada tahun 1940 dengan tulisan Kraus dan Davis terlihat bahwa model dua tahap penyebaran arus komunikasi menjadi kurang relevan dengan meningkatnya peranan televisi sebagai media massa. Televisi menjadi media massa yang paling banyak dikaji oleh para ilmuwan sosial mengingat daya tariknya yang hebat sebagai sarana hiburan yang relatif murah. Daya tarik kuat yang dimiliki oleh televisi sebagai sarana hiburan membuat banyak pihak (termasuk pemerintah) memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat karena jangkauan audiensnya yang jauh lebih luas dibandingkan dengan media massa lainnya. Menyadari pentingnya dampak televisi, pada tahun 1976, pemerintah Indonesia (Departemen Penerangan) bekerja sama dengan LRKN-LIPI (pada waktu itu) dan East West Center mengadakan penelitian tentang dampak televisi bagi masyarakat Indonesia. Arti penting penyelenggaraan penelitian ini juga didorong oleh pemakaian sistem satelit domestik Palapa untuk menyiarkan televisi ke seluruh wilayah Indonesia. Penelitian tersebut telah menghasilkan sejumlah laporan penelitian yang telah dimanfaatkan oleh Departemen Penerangan dalam perumusan kebijakannya. Studi tingkah laku pemilih berkaitan erat dengan studi dampak komunikasi dan studi sikap mental (attitude). Studi dampak komunikasi mempelajari dampak komunikasi terhadap orang yang terkena arus komunikasi tersebut. Asumsinya, pesan yang disampaikan melalui komunikasi ditangkap oleh alam pikiran si penerima yang pada gilirannya dapat mempengaruhi cara berpikir dan tingkah laku orang bersangkutan. Dampak yang diperkirakan terjadi adalah bertambahnya informasi. Informasi tersebut dapat mengakibatkan terciptanya alam pikiran dan tingkah laku yang diinginkan oleh masyarakat maupun tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat bersangkutan. Sedangkan para sarjana psikologi sosial tidak hanya menekankan pada faktor aksi diri yang menentukan perilaku komunikasi manusia dalam penelitiannya, melainkan juga mempertimbangkan faktor interaksi antara individu dengan lingkungan sosialnya. Artinya, selain oleh faktor internal, perilaku komunikasi manusia juga ditentukan oleh faktor eksternal. 18 Penelitian dan kajian semacam ini bahkan terus dikaji oleh para tokoh psikologi khususnya psikologi sosial dalam memahami komunikasi politik. Para sosiolog juga menurut Arrianie, memberikan sumbangan yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan studi komunikasi politik. Salah satunya adalah Herbert Blumer yang selalu menegaskan dalam teorinya bahwa manusia sebetulnya bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu tersebut. Pandangan inilah yang memunculkan perspektif interaksionis simbolik bahwa makna dan tindakan itu sesungguhnya saling mempengaruhi, dan penginterpretasian yang terjadi di dalamnya melibatkan kelangsungan, gabungan, saling menukar makna kelakuan, suatu transaksi di mana sebab akibat tidak dapat dibedakan. Manusia bertindak dengan mempertimbangkan segala hal yang diamati dan mengarahkan perilakunya pada suatu perbuatan sebagaimana ia menginterpretasikannya. Sebuah pendekatan yang jika diketengahkan dalam konteks komunikasi politik akan sangat menentukan bagaimana para pelakunya bermain dengan sangat cair di panggung politik termasuk interpretasinya terhadap wilayah panggung politik yang menjadi tempat pementasan skenario politik. Komunikasi politik juga mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik (hybrid interdisipliner). Jika disimak dari berbagai literatur yang ada, ternyata komunikasi politik telah menjadi kajian tersendiri (field inquiry) sejak tergabung dalam organisasi ilmiah International Communication Association bersama dengan divisi lain, seperti divisi sistem informasi, komunikasi antarpribadi, komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi instruksional, dan komunikasi kesehatan (Tabroni:2012:23-25). E. Unsur-unsur Komunikasi Politik Karena komunikasi politik pada dasarnya merupakan salah satu dari banyak bentuk komunikasi, baik dari sisi jumlah pelakunya yang relatif sederhana seperti halnya komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) maupun dalam bentuk yang lebih kompleks seperti halnya komunikasi yang dilakukan oleh sesuatu lembaga (institutional communication) maka dalam prosesnya ia tidak terlepas dari dimensi- 19 dimensi komunikasi pada umumnya. Seperti dalam bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi politik berlangsung dalam suatu proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang berasal dari sumber, selaku pihak yang memprakarsai komunikasi, kepada khalayak dengan menggunakan media tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu pula. Dimensidimensi inilah pada dasarnya yang memungkinkan terjadinya suatu kegiatan komunikasi politik dalam suatu masyarakat. Sehingga keluaran (output) komunikasi politik pada akhirnya akan ditentukan oleh dimensidimensi tersebut secara keseluruhan. Ada lima unsur penting yang terlibat dalam proses komunikasi politik: 1. Komunikator Komunikator dalam komunikasi politik yaitu pihak yang memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi. Seperti dalam peristiwa komunikasi pada umumnya, komunikator dalam komunikasi politik dapat dibedakan dalam wujud individu, lembaga, ataupun berupa kumpulan orang. Jika seorang tokoh, pejabat ataupun rakyat biasa, misalnya, bertindak sebagai sumber dalam suatu kegiatan komunikasi politik, maka dalam beberapa hal ia dapat dilihat sebagai sumber individual (individual source). Sedang pada momentum yang lain, meskipun individu-individu itu yang berbicara tapi karena ia mewakili suatu lembaga atau menjadi juru bicara dari suatu organisasi, maka pada saat itu ia dapat dipandang sebagai sumber kolektif (collective sourve) (Muhtadi: 2008b:31-32). Dalam pandangan Nimmo, komunikator politik ini memainkan peran-peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan opini publik. Para pemimpin organisasi ataupun juru bicara partai-partai politik adalah pihak-pihak yang menciptakan opini publik, karena mereka berhasil membuat sejumlah gagasan yang mula-mula ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima publik (Nimmo:1993:29). Karena itu, lanjut Nimmo, sikapnya terhadap khalayak serta martabat yang diberikannya kepada mereka sebagai manusia dapat mempengaruhi komunikasi yang dihasilkannya. Baik sebagai sumber individual maupun kolektif, setiap komunikator politik merupakan pihak potensial yang ikut menentukan arah sosialisasi, bentuk-bentuk partisipasi, serta pola-pola rekrutmen massa politik untuk mencapai tujuan yang 20 telah ditentukan sebelumnya. Pada masa Orde Lama, misalnya, Soekarno telah berhasil membentuk opini masyarakat dalam berbagai sikap politik yang diambilnya baik menyangkut kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri; demikian pula Soeharto selama masa Orde Baru, melalui langkah-langkah komunikasi politik yang diperankannya telah berhasil membentuk sedemikian rupa opini masyarakat terutama tentang pentingnya stabilitas politik untuk membangun ekonomi; dan bagi warga nahdhiyyin, Gus Dur adalah komunikator utama yang telah berhasil memainkan unsur-unsur ethos, pathos dan logos yang dimilikinya. Secara rinci, contoh kelompok-kelompok komunikator politik yang termasuk pada kategori individual ataupun kolektif dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Sumber (Komunikator) Individual dan Kolektif dalam Komunikasi Politik Sumber Individual Sumber Kolektif Pejabat (birokrat) Pemerintah (birokrasi) Politisi Partai politik Pemimpin opini Organisasi kemasyarakatan/LSM Jurnalis Media massa Aktivis Kelompok penekan Lobbyis Kelompok elit Pemimpin Badan/perusahaan komunikasi Komunikator profesional Mungkin saja masih ada kelompok komunikator politik lain yang belum termasuk dalam tabel di atas. Tapi secara umum, paling tidak di Indonesia, mereka itulah sumber-sumber yang dominan dalam percaturan komunikasi politik sehari-hari. Bahkan, dalam hal tertentu, mereka adalah komunikator kunci (key communicators) dalam kegiatan komunikasi politik. Partaipartai politik dan organisasi massa, seperti halnya NU dan Muhammadiyah untuk kasus di Indonesia, dengan para politisi sebagai salah satu unsur elitnya dipandang sebagai artikulator kepentingan yang bersifat institusional. Lebih-lebih pada masyarakat yang tingkat ketaatannya kepada pemimpin masih sangat tinggi, dan konsekuensinya, efektifitas pesan menjadi 21 sangat rendah. Komunikator kunci ini merupakan penentu yang sangat dominan dalam proses pencapaian tujuan politik suatu partai atau organisasi (Muhtadi: 2008b:32-33). Oleh karena itu, meskipun tidak semua pesan yang disampaikan oleh suatu partai ataupun ormas melalui para politisinya merupakan sesuatu yang orisinal, tapi tetap dianggap sebagai suara atau sikap politik partai atau ormas itu (Nasution:1990:47). 2. Pesan Pesan adalah isi atau content dari kegiatan komunikasi secara umum yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.Pesan komunikasi politik dalam praktik sejarahnya pernah dimaknai sebagai peluru untuk mempengaruhi atau mempersuasi komunikan atau khalayak yang menjadi sasaran dalam kegiatan komunikasi politik pada tahun 1940-an. Masyarakat atau khalayak dipandang sebagai entitas pasif menjadi sasaran gempuran pesan atau informasi. Itulah yang dikenal dengan istilah the bullet theory. Komunikasi persuasi memiliki kekuatan pengaruh yang powerful, tidak hanya karena kekuatan komunikator yang menyampaikan, tetapi lebih karena kedahsyatan isi yang disampaikan untuk mempengaruhi khalayaknya. Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa positif dan bisa juga negatif, tergantung dari persepsi yang muncul dari khalayak yang menerima dan memaknai pesan komunikasi yang disampaikan. Kekuatan pesan juga dipengaruhi oleh cara membungkus pesan tersebut (Subiakto dan Ida:2014:46-47). Cara membungkus pesan ini kemudian memunculkan apa yang disebut dengan sound bite culture,yaitu satu baris kalimat yang diambil dari pidato atau pernyataan yang panjang atau dari seperangkat teks yang dapat digunakan sebagai indikasi dari pesan yang lebih besar (Lilleker:2005:188). 3. Saluran Saluran komunikasi politik yakni setiap pihak atau unsur yang memungkinkan sampainya pesan-pesan politik kepada khalayak. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat fungsi ganda yang diperankan unsur-unsur tertentu dalam komunikasi. 22 Misalnya, dalam proses komunikasi politik, birokrasi dapat memerankan fungsi ganda. Di satu sisi, ia berperan sebagai komunikator yang menyampaikan pesan-pesan yang berasal dari pemerintah; dan di sisi lain, ia juga dapat berperan sebagai saluran komunikasi bagi lewatnya informasi yang berasal dari khalayak masyarakat. Fungsi ganda yang sama juga biasa diperankan oleh organisasi termasuk ormas-ormas Islam di Indonesia seperti halnya Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan media massa (Muhtadi: 2008b:34). Untuk menganalisis gejala munculnya ormas-ormas ataupun partai-partai politik di Indonesia, penting pula dicatat bahwa struktur sosial tradisional juga merupakan saluran komunikasi yang memiliki keampuhan tersendiri, karena pada masyarakat tersebut arus komunikasi ditentukan oleh posisi sosial pihak-pibak yang berkomunikasi. Menurut Nasution, dalam masyarakat tradisional, susunan struktur sosial yang ada menentukan siapa yang layak berkomunikasi dengan siapa, tentang masalah apa, dan dengan cara apa. Tanpa menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia tergolong masyarakat tradisional, tetapi faktanya mengindikasikan masih adanya ukuran-ukuran tertentu untuk membuat klasifikasi para pemeran komunikasi, termasuk dalam komunikasi politik. Kasus polarisasi massa politik ke dalam partai-partai politik di Indonesia, misalnya, terjadi umumnya karena ikatan-ikatan emosional tentang siapa yang menjadi komunikatornya serta pesan-pesan politik apa vang menjadi tujuan perjuangannya (Nasution:1990:57). Selain saluran komunikasi antarpribadi seperti banyak terjadi di masyarakat, unsur yang tidak kalah pentingnya dalam proses penyampaian pesan-pesan politik adalah media massa. Secara historis, penelitian efek media massa dalam perilaku politik telah cukup memperlihatkan besarnya peran media massa dalam kegiatan komunikasi politik khususnya di Amerika. Di Indonesia, di samping belum banyak penelitian tentang hal tersebut, penggunaan media massa dalam kegiatan kampanye politik tampaknya masih relatif rendah. Volume penggunaan media yang agak besar sudah dimulai sejak Pemilu 1992, dan semakin terlihat besar pada Pemilu 1999. Efek politis komunikasi massa ini, menurut Blumler dan Gurevitch, terjadi terutama 23 karena secara umum media massa memiliki efek potensial yang sangat besar pada khalayaknya. Lebih-lebih karena pemberitaan di media, senantiasa dirumuskan sarat dengan muatan-muatan etika, moral, dan nilai-nilai. Para jurnalis sendiri bukanlah robot yang dapat diprogram untuk senantiasa melaporkan fakta secara apa adanya. Sehingga pada gilirannya, media bukan saja berfungsi sebagai saluran informasi politik, tapi juga berperan sebagai kekuatan sosial yang ikut menentukan perubahanperubahan di dalam kehidupan bermasyarakat (Sudibyo:2001:259). 4. Khalayak Khalayak komunikasi politik yaitu peran penerima yang sebetulnya hanya bersifat sementara. Sebab, seperti konsep umum yang berlaku dalam komunikasi, ketika penerima itu memberikan feedback dalam sesuatu proses komunikasi politik, atau pada saat ia meneruskan pesan-pesan itu kepada khalayak lain dalam kesempatan komunikasi yang berbeda, maka pada saat itu peran penerima telah berubah menjadi sumber atau komunikator. Khalayak komunikasi politik dapat memberikan respon atau umpan balik, baik dalam bentuk pikiran, sikap maupun perilaku politik yang diperankannya. Dalam berbagai riset tentang sosialisasi politik, menurut Kraus dan Davis, diperoleh indikasi bahwa komunikator tahap kedua (yang sebelumnya berperan sebagai khalayak) memainkan peran yang signifikan pada komunikasi berikutnya. Dengan memfokuskan obyek risetnya pada keluarga (family) dan kelompok sebaya (peers), para peneliti menyimpulkan bahwa keluarga memiliki peran yang cukup besar dalam proses sosialisasi politik. Orang tua dapat menyampaikan pesan-pesan politik sesuatu partai dengan pendekatan yang khas dalam satu lingkungan keluarga (Muhtadi: 2008b:33). Untuk melihat karakteristik khalayak komunikasi politik, penting untuk mengungkap klasifikasi khalayak dari Nimmo, yang membagi khalayak ke dalam tiga tipe opini publik yang tak terorganisasi: publik atentif, publik berpikiran isu, dan publik ideologis. Publik atentif adalah seluruh warga negara yang dibedakan atas dasar tingkatannya yang tinggi dalam keterlibatan politik, informasi, perhatian, dan berpikiran kewarganegaraan. 24 Publik atentif ini menempati posisi penting dalam proses opini karena lapisan inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antarpribadi dalam arus pesan yang timbal balik antara pemimpin politik dengan masyarakatnya. Publik berpikiran isu adalah bagian dari publik atentif yang lebih tertarik kepada isu khusus ketimbang kepada politik pada umumnya. Kelompok ini muncul dari proses konvergensi selektif sehingga sampai pada satu titik yang dipilih yang berhubungan dengan isu tertentu. Sedangkan publik ideologis adalah kelompok orang yang memiliki sistem kepercayaan yang relatif tertutup, dengan menggunakan ukuran nilai-nilai suka dan tidak suka. Mereka menganut kepercayaan dan atau nilai yang secara logis saling melekat dan tidak berkontradiksi satu sama lain (Nimmo:1993:55-62). 5. Efek Semua peristiwa komunikasi yang dilakukan secara terencana mempunyai tujuan, yakni mempengaruhi audiens atau penerima. Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh adalah salah satu elemen dalam komunikasi yang sangat penting untuk mengetahui berhasil tidaknya komunikasi yang diinginkan. Pengaruh dapat dikatakan mengena jika perubahan (P) yang terjadi pada penerima sama dengan tujuan (T) yang diinginkan oleh komunikator (P = T), atau seperti rumus yang dibuat oleh Jamias, yaitu pengaruh (P) sangat ditentukan oleh sumber, pesan, media, dan penerima (Cangara:2014:185). Pengaruh dalam komunikasi politik adalah bahwa pesan politik telah menimbulkan pengaruh pada khalayak atau komunikan, seperti persetujuan kerjasama, perdamaian, gencatan senjata, koalisi dan lain-lain. Efek komunikasi politik ada tiga: a. Efek kognitif, yaitu akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini dibahas tentang bagaimana media komunikasi politik dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitifnya di 25 bidang politik. Melalui media komunikasi politik, bisa diperoleh informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan politik. b. Efek afektif yang kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan dari komunikasi politik bukan sekadar memberitahu khalayak tentang sesuatu yang berhubungan dengan politik, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut serta merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya. c. Efek konatif (behavioral) merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Efek inilah yang merupakan efek tertinggi dari tiga efek yang ada. Khalayak dalam efek konatif melakukan tindakan nyata yang merupakan respons terhadap pesanpesan politik yang disampaikan, seperti seruan berperang yang disampaikan pemerintah. Masyarakat yang merupakan khalayak dengan rela bahu membahu bertempur melawan musuh yang menyerang. F. Tujuan Komunikasi Politik Ardial memandang bahwa tujuan komunikasi politik sangat terkait dengan pesan politik yang disampaikan komunikator. Sesuai dengan tujuan komunikasi, tujuan komunikasi politik itu adakalanya sekadar menyampaikan informasi politik, membentuk citra politik, membentuk opini publik, dan bisa juga menghendel pendapat atau tuduhan lawan politik. Jadi, tujuan utama komunikasi politik adalah membangun kepercayaan publik. Lebih jauh dari itu, komunikasi politik juga bertujuan menarik simpati publik untuk meningkatkan partisipasi politik sesuai dengan kepentingannya (Ardial:2010:44). Sebagai contoh, di antara sekian banyak pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Indonesia, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat tahun 2008 termasuk yang sangat fenomenal, karena kandidat gubernur dan wakil gubernur terpilih merupakan orang yang besar dan ber-KTP DKI Jakarta. Sosok Ahmad Heryawan merupakan satu-satunya kandidat paling tidak dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dibanding kandidat lainnya yang sudah familier. Walaupun Agum Gumelar sama- 26 sama ber-KTP DKI Jakarta, masyarakat Jabar sudah tahu nama dan sosok Agum Gumelar. Banyak pihak menduga bahwa kemenangan pasangan HADE (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf) adalah faktor Dede Yusuf yang merupakan selebritas, muda, dan good looking. Kendati Dede Yusuf dianggap pendongkrak suara pasangan yang awalnya paling tidak dijagokan, hal ini ada benarnya karena banyak orang mengaku memilih karena tahu dan tertarik terhadap Dede Yusuf. Namun, beberapa riset menunjukkan bahwa faktor paling berpengaruh atas kemenangan kampanye HADE adalah adanya pesan-pesan politik yang sangat baik. Kemasan pesan yang di-manage dengan baik, mencuri perhatian para pemilih. Di antara sekian banyak pesan yang disampaikan, HADE memiliki inti pesan yang kemudian lebih dikenal dengan 7 (tujuh) janji HADE. Tujuh janji HADE terkait dengan persoalan-persoalan dan kebutuhan mendasar masyarakat Jawa Barat saat itu, seperti masalah buruh, pertanian, pendidikan, jaminan kerja dan lain sebagainya. Namun di antara tujuh janji itu, yang dianggap paling mengena di masyarakat Jawa Barat adalah masalah pendidikan gratis dan jaminan satu juta lapangan kerja. Dalam konteks komunikasi, apa yang telah dirumuskan oleh HADE merupakan pesan yang sangat penting sehingga publik mempercayainya. Dalam etikanya, setiap janji wajib ditunaikan, terlebih bagi mereka yang memenangkan persaingan. Ketika berada diposisi pemerintahan, mereka memiliki posisi dan kewenangan yang besar untuk merealisasikannya. Dalam konteks politik, pesan-pesan itu bukan pesan biasa karena dirumuskan dan disampaikan dalam situasi yang sarat politik. Tujuh janji HADE merupakan pesan komunikasi politik yang dibuat untuk mensukseskan sebuah kepentingan politik tertentu (Tabroni:2012:25-26). G. Teori-teori dalam Komunikasi Politik 1. Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory) Teori jarum suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa memiliki alternative untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa 27 yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru (the bullet theory) (Cangara:2009:119-120). Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi, profesional, dan aktivis) selalu memandang bahwa pesan politik apa pun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di samping daya tarik isi, dan kredibilitas komunikator. Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa memiliki pengaruh lebih dominan dalam tingkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan perilaku. Ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam menerima pesan.Dengan demikian, asumsi bahwa khalayak tak berdaya dan media perkasa, tidak terbukti secara empiris. Meskipun demikian, teori jarum hipodermik atau teori peluru tidak runtuh sama sekali karena tetap diaplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efektivitas dalam komunikasi politik. Hal ini tergantung kepada sistem politik, sistem organisasi dan situasi, terutama yang dapat diterapkan dalam sistem politik yang otoriter, dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah, instruksi, penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya teori ini tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Teori ini juga lebih memusatkan perhatian kepada efek afektif dan behavioral. (Arifin:2003:4345). 2. Teori Kepala Batu (Obstinate Audience) Teori ini dilandasi pemahaman psikologi bahwa dalam diri individu ada kemampuan untuk menyeleksi siapa saja yang berasal dari luar dan tidak direspons begitu saja. Teori kepala batu menolak teori jarum suntik atau teori peluru dengan alasan jika suatu informasi ditembakkan dari media, mengapa khalayak tidak berusaha berlindung untuk menghindari tembakan informasi itu. Masyarakat atau khalayak memiliki hak untuk memilih informasi yang mereka perlukan dan informasi yang mereka tidak perlukan. Kemampuan untuk menyeleksi informasi 28 terdapat pada khalayak menurut perbedaan individu, persepsi, dan latar belakang sosial budaya (Cangara:2009:120). Raymond Bauer mengeritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan bila pesan itu memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebutuhan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linear tetapi merupakan transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring, diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh filter konseptual atau faktor-faktor personal yang mempengaruhi reaksi mereka. Dengan teori khalayak kepala batu itu, fokus penelitian bergeser dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi maupun sosiologi mencurahkan perhatian kepada faktor individu. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesanpesan komunikasi. Salah satu di antaranya adalah lahirnya uses and gratifications model (model kegunaan dan kepuasaan). (Arifin:2003:46). 3. Model Kegunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Model) Secara umum, uses and gratifications model berpandangan bahwa individu atau masyarakat menggunakan media dan isi media massa untuk memenuhi keperluan-keperluan tertentu yang dapat memberikan kepuasan bagi mereka. Individu atau khalayak memiliki kebebasan yang lebih besar untuk memilih dan menentukan media dan isi media yang dapat memberikan kepuasan, dibandingkan dengan kekuasaan media untuk mempengaruhi mereka. Ada sumber-sumber lain selain media massa yang dapat memberikan kepuasan. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber tersebut (Kholil:2007:3738) dan dalam waktu bersamaan, media massa harus mampu bersaing dengan sesama media massa dalam memenuhi keperluan dan kepuasan audiens. Ada sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti gagasan uses and gratifications model sebagaimana yang dikemukakan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch (1974) yang mengembangkan model ini. Mereka menyatakan lima asumsi dasar uses and gratifications model, yaitu: 29 a. The audience is active and its media use is goal oriented. (Audiens adalah aktif dan penggunaan media berorientasi pada tujuan). b. The initiative in linking need gratifications to a specific medium choice rests with the audience member. (Inisiatif yang menghubungkan antara kebutuhan, kepuasan dan pilihan media secara spesifik terletak di tangan audiens). c. The media compete with other sources need satisfaction. (Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens). d. People have enough self-awareness of their media use, interests, and motives to be able to provide researchers with an accurate picture of that use. (Orang-orang mempunyai kesadaran diri yang memadai berkenaan dengan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu). e. Value judgments of media content can only be assessed by the audience (Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang isi media ditentukan oleh audiens) (Katz, et. al.:1974:20). Model ini merupakan pergeseran fokus dari tujuan komunikator ke tujuan komunikan. Model ini menentukan fungsi komunikasi massa dalam melayani khalayak (Effendy:2007:289). 4. Teori Empati danTeori Homofili Secara sederhana dapat disebutkan bahwa empati adalah kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Dalam hal ini David K. Berlo (1960) memperkenalkan teori yang dikenal dengan nama influence theory of emphaty (teori penurunan dari penempatan diri kedalam diri orang lain). Artinya, komunikator mengandaikan diri, bagaimana kalau ia berada pada posisi komunikan. Dalam hal ini individu memiliki pribadi khayal sehingga individu-individu yang berinteraksi dapat menemukan dan mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan masing-masing, yang kemudian menjadi dasar dalam melakukan penyesuaian. Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri kedalam titik pandang dan empati orang lain memberi peluang kepada seorang politikus utnuk berhasil dalam 30 pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang lain itu memang sangat tidak mudah. Justru itu, empati dapat ditingkatkan atau dikembangkan oleh seorang politikus melalui komunikasi sosial dan komunikasi politik yang sering dilakukan. Dengan demikian, empati dalam komunikasi politik adalah sifat yang sangat dekat dengan citra seorang politikus tentang diri dan tentang orang lain. Itulah sebabnya empati dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui komunikasi antarpribadi (Arifin:2003:54). 5. Teori Lingkar Kesunyian (Spiral of Silence Theory) Teori ini diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle Neumann, mantan jurnalis kemudian menjadi professor emeritus pada salah satu institute publisistik di Jerman. Teorinya banyak berkaitan dengan kekuatan media yang bisa membuat opini publik, tetapi di balik itu ada opini yang bersifat laten berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang bersifat manifes. Opini publik yang tersembunyi disebut opini yang berada dalam lingkar keheningan (the spiral of silence) (Cangara:2009:122). 6. Teori Penyuburan (Cultivation Theory) Cultivation theory (teori penyuburan) beranggapan bahwa media massa modern tidak mempunyai pengaruh yang besar untuk membentuk opini dan merubah tingkah laku masyarakat. Tetapi media massa lebih berperan untuk menyuburkan atau menguatkan pendapat dan tingkah laku khalayak sasaran (McQuail:1987:283). Individu atau masyarakat dipandang sudah mempunyai pendapat dan tingkah laku terhadap sesuatu. Apabila media massa secara berulang-ulang menyampaikan pesan-pesan yang sesuai dengan pendapat dan tingkah laku seseorang, maka pendapat dan tingkah laku seseorang akan semakin kuat dan semakin subur akibat terpaan pesan-pesan media massa yang terus menerus. Dengan demikian, menurut perspektif teori ini, komunikasi akan efektif apabila pesan-pesan yang diinginkan untuk dipahami dan diamalkan oleh individu atau masyarakat disampaikan berulang-ulang dan terus menerus (Kholil:2007:3940). 31 7. Teori Media Kritis Teori ini berkembang di Eropa dan khususnya di Jerman. Teori media kritis menurut Hollander (1981) adalah merupakan teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa media massa dalam berfungsi banyak dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan, dan sejarah. Permasalahan yang sentral dalam teori media kritis adalah bukan saja bagaimana media berfungsi, tetapi justru fungsi-fungsi apa yang seharusnya dilakukan oleh media dalam masyarakat. Dengan kata lain bahwa kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru tidak berlaku. Para penganut teori komunikasi kritis sama sekali tidak lagi memberikan tekanan efek komunikasi massa terhadap khalayak, melainkan memusatkan perhatian pada pengertian kontrol terhadap sistem komunikasi. Teori media kritis bertolak belakang dengan teori media massa lain, seperti teori perseptual dan teori fungsional, yang justru kedua teori itu memberi tekanan kepada akibat apa yang dilakukan oleh media terhadap orang. Namun, teori fungsional kemudian mengalami sedikit pergeseran, yaitu memusatkan kajiannya pada pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak dari media massa, dan mengapa hal itu dapat diperoleh (Arifin:2003:61-63). 8. Teori Informasi dan Nonverbal Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teori informasi yang banyak digunakan dalam kegiatan komunikasi politik. Teori informasi (dan teori sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan menjelaskan paradigma pragmatis, yang intinya adalah bertindak sama dengan berkomunikasi, artinya semua tindakan politik dapat dipandang sebagi komunikasi politik yang bersifat nonverbal. Sering juga dikatakan bahwa tidak ada komunikasi (verbal), tetapi ada komunikasi (nonverbal). Dalam teori informasi menurut B. Abrey Fisher, informasi diartikan sebagai pengelompokan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian. Informasi 32 dapat disebut sebagai konsep yang absolut dan relatif karena informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan jumlah, benda dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak pun merupakan sebuah informasi dalam arti sebuah kemungkinan alternatif yang dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu). Informasi dalam komunikasi politik dapat berarti sikap politik, pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan temu kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalah semua hal harus dianalisis sebagai tindakan politik (bukan pesan) yang mengandung sebuah kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan berkomunikasi (melakukan komunikasi politik). Sesungguhnya komunikasi nonverbal adalah merupakan tindakan dalam peristiwa komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Tindakan itu harus diamati dari waktu ke waktu sehingga dapat ditemukan polanya. Jika pesan nonverbal itu berlangsung berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi dilakukan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola, maka terjadilah kejutan (Arifin:2003:57-59). H. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik Para ilmuwan sosial umumnya berupaya memahami suatu sistem, termasuk sistem politik, dengan meminjam pendekatan sistem. Pendekatan ini bertolak dari suatu konsepsi yang menyatakan bahwa semua gejala sosial, termasuk gejala politik, adalah saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Artinya, pendekatan sistem berpegang pada prinsip bahwa tidak mungkin untuk memahami suatu bagian dari masyarakat secara terpisah dari bagian-bagian lain yang mempengaruhi operasinya. Sistem adalah sebuah agregat dari bagian-bagian yang saling berhubungan secara fungsional, berinteraksi berdasarkan proses-proses yang diharapkan. Apabila pengertian sistem ini digabungkan dengan pengertian politik maka diperoleh pengertian sistem politik, yaitu suatu agregat komponen-komponen berpotensi politis yang berhubungan secara fungsional (atau dapat memfungsikan kuasa), berinteraksi berdasarkan 33 proses-proses yang dapat diramalkan untuk memenuhi kebutuhan publik. Jadi, konsep sistem politik itu pada dasarnya menunjuk kepada seluruh lingkup aktivitas politik dalam suatu masyarakat. Termasuk salah satu komponen yang berpotensi menghidupkannya adalah aktivitas komunikasi politik. Ada beberapa komponen dalam sistem politik, yaitu komunitas politik, budaya politik, otoritas politik, rezim, dan etos politik. Anggota komunitas politik adalah warga negara, pembayar pajak, tentara, pegawai negeri, pemilih, dan lain sebagainya. Mereka terikat oleh budaya politik. Artinya, mereka memiliki kesadaran bersama tentang lembaga-lembaga negara serta fungsinya masing-masing; mereka memiliki ikatan emosional pada banyak simbol dan mitos; dan mereka juga mempunyai pandangan tertentu, baik positif maupun negatif, terhadap kinerja sistem. Komponen penting berikutnya adalah sekumpulan pejabat yang keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar warga sebagai sesuatu yang mengikat. Mereka adalah otoritas politik, dan tiada sistem politik tanpa mereka. Otoritas politiklah yang melalui rezim berwenang membuat keputusan-keputusan yang mengikat. Rezim sendiri berisikan aturan-aturan dasar (konstitusi), struktur-struktur formal, lembagalembaga/badan-badan, serta prosedur-prosedur. Terakhir adalah komponen etos politik, yaitu pola-pola kebiasaan yang informal dan tidak tertulis yang menghidupkan pengaturan-pengaturan formal dari suatu rezim. Sejalan dengan pengertian itu, maka komunikasi politik memungkinkan berfungsinya sistem politik, karena komponen-komponen sistem politik itu bekerja dan saling berhubungan melalui proses komunikasi. Hal ini secara sederhana dapat dilihat pada diagram model grafis sistem politik. Model tersebut secara singkat dapat dijelaskan bahwa, semua anggota komunitas politik (A) memiliki kebutuhan dan masalah (a) serta informasi dan kepentingan (b) yang kemudian menjadi aspirasi berupa tuntutan (c) atau dukungan/keberatan (d). Aspirasi tadi di saring oleh ideologi dan nilai-nilai (B) yang berlaku dalam budaya politik. Penyaringan ini dapat menghasilkan feedback bagi komunitas politik untuk dilakukan proses ulang: direnungkan, dinegosiasi, dan diformulasikan kembali sehingga dapat diterima oleh otoritas politik (C). Otoritas politik kemudian mengolahnya dengan memanfaatkan Informasi baru (f) serta feedback yang diperoleh dari implementasi sebelumnya dan mengacu pada prioritas dan tujuan (e). Hasil pengolahannya disalurkan 34 melalui rezim (D) yang menghasilkan keputusan-keputusan dan aturanaturan (g) yang harus diimplementasikan (E) demi kepentingan komunitas politik (A). Apabila dicermati aliran prosesnya, terlihat jelas bahwa sebagian besar aliran itu berupa komunikasi politik. Semua fungsi yang ditampilkan oleh suatu sistem politik dilaksanakan melalui sarana komunikasi. Lewat komunikasi, misalnya, para pemimpin kelompok kepentingan, wakil-wakil dan pemimpin partai melaksanakan fungsifungsi artikulasi dan agregasi politik. Mereka mengkomunikasikan tuntutan dan rekomendasi untuk dijadikan kebijakan pemerintah. Para anggota legislatif juga melaksanakan tugas pembuatan undang-undang serta berbagai peraturan lainnya dengan mendasarkan pada informasi yang diterimanya, serta dengan saling mengkomunikasikan di antara sesamanya. Demikian pula masyarakat, menyampaikan aspirasi dan tuntutannya kepada eksekutif ataupun legislatif melalui komunikasi. Jika dilihat dari sisi proses serta muatan komunikasi yang disampaikannya, maka hampir semua fungsi yang berperan di dalamnya berupa komunikasi politik (Muhtadi: 2008b:41-44). Menurut Nasution, arus komunikasi politik memang melintasi semua fungsi yang terdapat pada suatu sistem politik. Ia memerankan fungsinya tersendiri, di samping fungsi-fungsi lainnya pada suatu sistem politik. Komunikasi politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik, dan pada saat yang sama, ia juga menyalurkan kebijakan-kebijakan yang diambil atau output sistem politik itu. Melalui komunikasi politik rakyat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Melalui itu pula rakyat mengetahui apakah dukungan, aspirasi, dan kontrol dapat tersalurkan atau tidak, sebagaimana dapat mereka simpulkan dari berbagai kebijakan politik yang diambil oleh kekuasaan. Itulah sebabnya, komunikasi politik tidak bisa dipisahkan dari gejala politik pada umummya, baik dalam lingkup praktis maupun sebagai bidang kajian para ahli ilmu politik ataupun ilmu komunikasi (Nasution:1990:78). Komunikasi politik juga berkaitan dengan sosialisasi politik. Jika sosialisasi politik mencakup "how we come to learn about politics, how we obtain our attitudes and value about political institutions, and how we ultimately behave politically", maka tampak peranan penting komunikasi politik dalam proses tersebut. Sebab melalui komunikasi akan berlangsung proses belajar secara kontinyu yang melibatkan baik belajar 35 secara emosional maupun dalam bentuk indoktrinasi politik serta melalui saluran partisipasi dan pengalaman setiap individu yang menjalaninya. Cakupan sosialisasi politik seperti dijelaskan di atas juga berujung pada proses pembentukan perilaku politik. Dalam kasus kampanye untuk kepentingan Pemilu, misalnya, sosialisasi politik mentargetkan terjadinya perubahan perilaku memilih dari khalayak yang menjadi sasaran utamanya. Untuk mencapai sasaran seperti ini, pada tahap tertentu, komunikasi politik berperan sebagai pembuka jalan untuk memasuki wilayah perubahan individu, baik pada aspek kognisi, afeksi, maupun aspek psikomotorik(Kraus dan Davis:1976:12). Dengan demikian, budaya politik yang berkembang pada suatu masyarakat pada hakikatnya merupakan produk dari proses sosialisasi politik yang secara kontinyu berlangsung dalam jangka waktu vang cukup lama. Melalui sosialisasi politik, masyarakat dapat belajar tentang politik sehingga mampu menentukan sikap terhadap lembaga-lembaga politik tertentu dan bahkan dimanifestasikannya dalam bentuk perilaku politik. Perilaku inilah yang jika diturunkan melalui proses komunikasi dari generasi ke generasi berikutnya, pada gilirannya akan membentuk budaya politik. Sub-sub kelompok seperti keluarga, sekolah, dan kelompok keagamaan, dapat memperkenalkan kepada anggota kelompoknya masing-masing tentang sistem politik yang ada dan mengikat kehidupannya. Di Indonesia, misalnya, munculnya perbedaan cara pandang tentang politik, antara lain, merupakan akibat dari proses sosialisasi yang berbeda-beda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, meskipun dalam satu lingkungan masyarakat politik yang sama(Muhtadi: 2008b:45). Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, kini dapat melahirkan cara pandang dan perilaku politik yang berbeda. Dalam kategorisasi yang banyak digunakan, terdapat cara pandang politik yang berbeda antara kaum modernis dan tradisionalis. Hal ini tidak lepas dari proses sejarah yang sarat dengan muatan-muatan politis dalam pembinaan masing-masing komunitas itu. Sebab sirkulasi informasi yang homogen dan berlangsung terus menerus menyebabkan terbinanya serta terpeliharanya suatu perangkat keyakinan bersama mengenai politik dan sifat-sifat permainan politik yang berlaku(Nasution:1990:81). Itulah sebabnya, bagi Jackson, sulit untuk memahami kenyataan perubahan-perubahan perilaku politik yang terjadi pada masyarakat muslim pedesaan yang didasarkan pada keyakinan agama tertentu yang sama. Ia menyoroti perubahan-perubahan politik dari Pemilu ke Pemilu 36 yang diperankan dari Masyumi ke NU, lalu ke PNI dan PKI, kembali ke NU, dan akhirnya ke Golkar pada 1971(Jackson dan Pye:1978:30). I. Komunikasi Politik di Indonesia Fenomena komunikasi politik suatu masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika politik di mana komunikasi itu bekerja. Karena itu, kegiatan komunikasi politik di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari proses politik nasional yang menjadi latar kehidupannya. Kerangka konseptual pergumulan politik di Indonesia menarik untuk dikaji. Dari pernyataan Muhtadi (2008), dicoba mengadaptasi konsep "revolusi partisipasi", yang merupakan suatu penjelasan bagi partisipasi politik Ormas yang mengawali ledakannya pada awal 1990-an dan kemudian semakin tidak terbendung lagi pada saat menjelang suksesi 1997. Jika tulisan Patterson merujuk pada masyarakat Amerika tahun 1960-an yang bercirikan tradisi politik yang lemah dan telah melahirkan revolusi partisipasi ormas melebihi fungsi partai politik sebagai saluran resminya, maka dalam tulisan Cipto tampak adanya usaha melakukan klarifikasi di sana sini untuk menemukan relevansinya dengan setting sosial politik Indonesia. Dengan melihat beberapa ciri masyarakat yang kurang lebih sama antara Indonesia selama masa Orde Baru dengan Amerika 1960-an, ditambah beberapa kondisi berbeda sebagai varian pentingnya, Cipto berhasil mengungkap suatu fenomena politik yang dalam analisisnya terlihat bahwa dekade 1990-an bagi Indonesia merupakan masa yang riuh untuk sebuah revolusi partisipasi. Tulisan tersebut menyebut ormas keagamaan sebagai salah satu agregat yang juga mengalami revolusi partisipasi. Sambil menyebut NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia, Cipto juga menyediakan beberapa peluang penelitian lebih lanjut mengenai revolusi partisipasi yang dapat menarik minat peneliti. Perkembangan teoritis dalam studi ilmu politik yang menyangkut lahirnya konsep partisipasi politik lebih lanjut diperoleh dari tulisan Maswadi Rauf, Ciri-ciri Teori Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi Politik. Dalam tulisannya ini, Rauf menjelaskan perkembangan dan ciriciri teori partisipasi politik yang berorientasi Barat. Hal ini sulit dihindari, karena menurutnya, sifat-sifat yang biased dan western-oriented merupakan ciri pertama dari teori partisipasi politik Barat. Apa yang 37 dapat diadaptasi dari teori-teori tersebut dalam konteks penelitian ini adalah bahwa partisipasi politik, menurut para penulis Barat, merupakan kegiatan politik yang dilakukan oleh rakyat biasa dengan tujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Dengan demikian, yang menjadi sasaran utama partisipasi politik adalah penguasa politik sebagai pengambil/penentu keputusan. Sedangkan tipologi partisipasi politik secara terpisah diuraikan oleh Ramlan Surbakti dalam salah satu bahasannya mengenai perilaku dan partisipasi politik. Selanjutnya, dengan melihat dinamika politik nasional seperti disebutkan di atas, fenomena komunikasi politik ormas keagamaan, salah satunya, dapat dideskripsikan secara sistemik dengan pendekatan fungsionalis mestruktural (structural functionalism). Penentuan pendekatan seperti ini didasarkan pada satu asumsi bahwa kegiatan komunikasi politik di kalangan masyarakat beragama, terutama dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi struktur yang melingkupinya, merupakan fenomena sosial yang berfungsi, antara lain: 1. Pencapaian tujuan (goal attainment) atau disebut juga penentuan tujuan. 2. Integrasi (integration). 3. Penyesuaian atau adaptasi (adaptation). 4. Pemeliharaan pola yang tidak selalu tampil (latency, pattern maintenance). Dengan demikian, kekuatan-kekuatan politik Islam tidak mungkin melepaskan diri darimainstream perpolitikan nasional. Paling tidak, ia adalah sasaran kebijakan politik nasional, sehingga momenmomen tertentu akan memaksanya untuk berbicara politis. Seperti halnya LSM dan Pers, ormas keagamaan adalah lembaga otonom di masyarakat yang mau tidak mau akan difungsikan dan memfungsikan diri sebagai juru bicara arus bawah. Perjalanan sejarah LSM, Pers dan Ormas di Indonesia memang dekat dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Pada sepuluh tahun terakhir ini, ia bahkan makin aktif dan relatif menyaingi partai politik. Sementara situasi sosial politik selama dekade itu telah mendorong aktivitas komunikasi politik untuk menyuarakan lebih nyaring upaya-upaya demokratisasi bukan hanya sebagai slogan politik. Karena itu, partisipasi politik menjadi hal yang inevitable dan legitimate. Wacana politik bagaimanapun bukan hanya milik partai politik. Ketika saluran resmi partai politik sebagai penyalur aspirasi massa mendapat kendala baik internal maupun eksternal 38 dalam menjalankan fungsinya, masyarakatpun bergerak menemukan saluran yang lain. Dalam konteks politik inilah dinamika komunikasi politik di Indonesia, dengan kekuatan Islam sebagai salah satu agregatnya, akan dideskripsikan. Sejak dekade 1970-an, komunikasi politik di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan langgam perlalanan politik nasional. Masih banyak ketimpangan komunikasi politik yang diperankan sejumlah elit politik, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pesta demokrasi sepanjang Orde Baru(Muhtadi: 2008b:55-57). Ketimpangan-ketimpangan komunikasi politik di Indonesia, salah satunya diakibatkan oleh ketimpangan peran-peran komunikator sebagai dampak dari ketidakseimbangan kemampuan sumber daya manusia. Peran komunikator politik di lembaga eksekutif terlampau dominan dibanding komunikator politik di lembaga legislatif. Ketimpangan ini berakibat pada tidak berfungsinya sistem kontrol infrastruktur politik terhadap suprastruktur politik, dan macetnya saluran opini publik, lantaran komunikator politik di struktur infra menjadi sangat bergantung pada komunikator politik di struktur supra(Ali:1999:135). Dekade 1970-an hingga 1980-an, komunikasi politik lebih diwarnai oleh usaha-usaha pemerintah dalam memperkokoh kekuasaannya. Untuk kepentingan stabilitas politik nasional, komunikasi politik lebih bersifat satu arah dengan pesan-pesan politik dari atas ke bawah. Dalam kerangka teori pers dari Siebert, komunikasi yang berlangsung cenderung memerankan pola autoritarian, sehingga rakyat hanya berperan sebagai konsumen informasi dan tidak berdaya untuk melakukan kontrol pada kekuasaan. Komunikasi politik juga digunakan untuk kepentingan pengelolaan kesan (impression management) agar terbangun kepercayaan masyarakat untuk menjamin stabilitas nasional. Penyederhanaan partai tahun 1973 dan sekitar sepuluh tahun berikutnya disusul dengan lahirnya peraturan asas tunggal Pancasila yang mengikat seluruh organisasi sosial politik, misalnya, telah berakibat pada semakin rapuhnya sendi-sendi komunikasi politik baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Komunikasi politik yang melibatkan lebih banyak partisipasi rakyat memang masih terbatas pada momentum-momentum pesta demokrasi, sejak sebelum hingga saat pelaksanaan Pemilu usai. Di luar itu, komunikasi politik seolah-olah hanya menjadi warna kehidupan para penyelenggara pemerintahan, khususnya lembaga eksekutif dan legislatif. Meskipun demikian, Rudini (1993) menilai bahwa dalam bidang politik, 39 komunikasi politik telah melahirkan serangkaian sukses. Ia menyebut beberapa contoh hasil dari proses itu, seperti penyederhanaan sistem kepartaian, terselenggaranya Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR secara reguler, P4, dan disepakatinya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, lanjutnya, wujud sistem politik demokrasi Pancasila semakin jelas sosoknya. Untuk melihat simbol-simbol komunikasi politik pada era Orde Baru, menarik juga untuk menelaah tulisan Anderson (1978), Cartoons and Monuments: The Evolution of Political Communication under the New Order. Ia menyebutkan sekurang-kurangnya empat simbol komunikasi politik yang banyak digunakan pemerintahan Orde Baru: 1. Direct speech, yang dalam realitasnya merupakan bentuk komunikasi politik paling banyak digunakan di masyarakat, seperti gosip, rumor, diskusi, argumentasi, interogasi, dan intrik. Meskipun demikian, bentuk-bentuk komunikasi ini hampir lepas dari perhatian para pakar dan peneliti tentang komunikasi politik di Indonesia. 2. Symbolic speech, yaitu simbol-simbol yang dimaknai secara khusus sesuai dengan kepentingan sejarahnya. Pemilihan warna bendera merah-putih, misalnya, merupakan simbol yang mengandung pesan-pesan tertentu sesuai dengan makna sejarahnya. 3. Cartoons, yaitu bentuk komunikasi politik yang paling terbuka untuk diinterpretasikan. Kartun biasanya dibuat dengan latar belakang peristiwa tersendiri. Ia merupakan respon terhadap kenyataan-kenyataan yang sedang hangat terjadi. 4. Monuments, yaitu simbol komunikasi politik yang dibuat untuk menginformasikan suatu peristiwa yang pernah dilalui bangsa Indonesia. Monumen banyak dibangun selama pemerintahan Orde Baru yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Demikianlah, komunikasi politik di Indonesia, seperti dikatakan Irianta (2001), secara umum masih diwarnai oleh watak eufemisme yang dalam beberapa hal dapat menghambat keterbukaan. Eufemisme memang tidak selalu berarti menutup-nutupi atau menghaluskan, karena eufemisme merupakan bagian dari etika berkomunikasi yang ada pada setiap masyarakat. Praktik eufemistik dalam berkomunikasi ini masih banyak dilakukan para politisi produk Pemilu era reformasi. Mereka bisa berbicara lantang ketika mengontrol pemerintahan, namun masih malu- 40 malu untuk berbicara langsung mengenai keinginannya untuk berkuasa. Ketika Gus Dur menerima pencalonan presiden, ia hanya mengatakan bahwa kesediaannya untuk dipilih menjadi presiden hanya karena untuk menghindari bentrok massa pendukung Mega dan Habibie. Demikian pula Mega. Ia tidak menunjukkan keinginannya kecuali hanya mengatakan bahwa kongres mengamanatkan untuk memperjuangkan Ketua Umum PDI-P menjadi presiden. Inilah warna komunikasi politik di Indonesia yang dalam banyak hal masih kuat terpengaruh kultur politik Jawa yang berhasil ditanamkan kekuasaan Orde Baru(Muhtadi: 2008b:57-59). J. Pemilihan Umum 1. Sistem Pemilihan Umum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemilu diartikan sebagai proses dan cara perbuatan memilih yang dilakukan serentak oleh seluruh rakyat suatu negara. Pemilu merupakan sutau arena kompetisi. Menang atau kalahnya suatu kandidat akan ditentukan oleh rakyat dengan menggunakan mekanisme pemungutan suara. Menentukan pilihan dalam Pemilu merupakan hak setiap warga negara. Sebagai instrumen yang sangat penting dalam rangka untuk memilih dan ikut menentukan para wakil sekaligus pemimpin rakyat yang akan duduk dalam pemerintahan, Pemilu memberikan kesempatan bagi warga negara untuk memilih pejabat-pejabat pemerintah yang benar-benar dianggap mampu untuk mengaspirasikan kehendak mereka. Pemilu merupakan salah satu bentuk implementasi dari demokrasi. Oleh karena itu, kualitas dari Pemilu juga dipengaruhi oleh prakondisi demokrasi. Berdasarkan pendapat para ahli, prakondisi itu antara lain: a. Modernitas dan kesejahteraan. b. Budaya politik. c. Struktur sosial masyarakat. Fungsi-fungsi Pemilu menurut Rose dan Mossawir antara lain: a. Menentukan pemerintahan secara langsung maupun tidak langsung. 41 b. Sebagai wahana umpan balik antara pemilik suara dan pemerintah. c. Barometer dukungan rakyat terhadap penguasa. d. Sarana rekrutmen politik. e. Alat untuk mempertajam kepekaan pemerintah terhadap tuntutan rakyat. Menurut Ramlan Surbakti, tujuan dari Pemilu meliputi: a. Mekanisme untuk menyeleksi pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy). b. Sebagai mekanisme pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat. c. Sarana memobilisasi dan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan ikut berpartisipasi dalam proses politik. Menurut Andrew Raynold, hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam sistem Pemilu adalah: a. Perhatian pada representasi. b. Membuat Pemilu mudah digunakan dan bermakna. c. Memungkinkan perdamaian. d. Memfasilitasi pemerintahan yang efektif dan stabil. e. Pemerintahan yang terpilih akuntabel. f. Pemilih mampu mengawasi wakil terpilih. g. Mendorong partai politik bekerja lebih baik. h. Mempromosikan oposisi legislatif. i. Mampu membuat proses Pemilu berkesinambungan. j. Memperhatikan standar internasional (Labolo dan Ilham:2015:81-83). 2. Problem dan Tantangan Sistem Pemilihan Umum a. Rendahnya Daya Kritis Masyarakat dalam Memilih Rendahnya daya kritis pemilih diakibatkan masih belum optimalnya pendidikan politik yang mereka terima selama ini. Banyak aktor yang terlibat dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, di antaranya partai politik, lembaga pendidikan, pers, dan masyarakat luas. Oleh karena itu, dalam rangka menumbuhkan daya kritis masyarakat maka diperlukan penguatan terhadap keempat pihak tersebut sehingga benar-benar mampu dalam 42 menjalankan fungsinya dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. b. Mahalnya Biaya Pemilu Permasalahan lain yang dihadapi oleh sistem Pemilu di Indonesia adalah mahalnya biaya Pemilu. Mahalnya biaya tersebut tidak hanya dirasakan oleh pemerintah, akan tetapi juga para peserta Pemilu. Mahalnya biaya penyelenggaraan Pemilu yang dirasakan oleh pemerintah diakibatkan oleh banyaknya Pemilu yang harus diselenggarakan untuk seluruh daerah di Indonesia. Sedangkan para peserta Pemilu merasakan mahalnya biaya dalam Pemilu dilihat dari tingginya biaya kampanye. Berubahnya sistem Pemilu dari proporsional tertutup kepada sistem proporsional terbuka mengakibatkan para peserta Pemilu legislatif saat ini tidak hanya bersaing dengan peserta dari partai lain akan tetapi juga dengan peserta dari partai yang sama. Hal ini tentu membuat biaya kampanye Pemilu tidak hanya menjadi beban partai akan tetapi juga menjadi beban setiap peserta. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan beberapa bentuk pengaturan, seperti menyelenggarakan Pemilu serentak (Pemilu nasional dan Pemilu daerah) dan menutupi kelemahan dari UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang tidak mengatur tentang kewajiban bagi setiap caleg untuk melaporkan dana kampanyenya dengan menerbitkan peraturan KPU agar pengaturan tersebut dapat diakomodir. c. Tingginya Perselisihan Hasil Pemilu Timbulnya perselisihan tersebut disebabkan beberapa alasan, seperti kesalahan dalam proses pendaftaran pemilih, kesalahan pemilih pada saat pemungutan suara, lambatnya proses distribusi dan pengumpulan suara, lambatnya proses penghitungan suara, lambatnya proses pengiriman hasil penghitungan suara, dan besarnya kesempatan dalam jual beli suara secara terselubung. Solusi yang ditawarkan yaitu melaksanakan Pemilu dengan sistem e-voting. Banyak manfaat dan keunggulan sistem ini, terutama dalam hal efisiensi dan keakuratannya. Namun, diperlukan kajian yang 43 lebih jauh mengenai penggunaan sistem ini di Indonesia karena sistem ini juga mengandung kelemahan dan yang paling penting adalah kesiapan kita dalam menggunakan sistem yang berbasis teknologi tinggi ini(Labolo dan Ilham:2015:265-266). K. Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung 1. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pada masa orde baru, dogma ketidakmungkinan pemilihan presiden secara langsung di republik ini nyaris menjadi konsep diri rakyat Indonesia. Pemikiran rakyat Indonesia sudah terakulturasi dengan alasan-alasan yang diberikan sejak di bangku sekolah dasar bahwa di Indonesia tidak mungkin dilakukan pemilihan presiden secara langsung. Alasan-alasan waktu itu seolah realistis, yakni berkaitan dengan wilayah Indonesia yang teramat luas dan terdiri dari beribu pulau, penduduk yang sangat banyak, biaya yang diperlukan sangat besar, dan berbagai alasan lainnya yang dipaksakan atau tidak, membuat masyarakat Indonesia maklum dan nrimo. Namun, sunnatullah bahwa tidak ada yang mutlak di dunia ini. Terbukti, pada 20 September 2004, Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden pertama(Hikmat:2011:163). Penyelenggaraan Pemilu presiden dan wakil presiden 2004 secara langsung telah mengilhami dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah secara langsung pula. Hal ini didukung pula dengan semangat otonomi daerah yang telah digulirkan pada tahun 1999. Pelaksanaan Pilkada secara langsung ini juga merupakan sebagai bentuk penerapan sistem Presidensialisme pada tingkat daerah. Oleh karena itu, sejak tahun 2005, telah diselenggarakan Pilkada secara langsung, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Penyelenggaraan ini diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa "Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil". Pasangan calon yang akan 44 berkompetisi dalam Pilkada adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pilkada masuk dalam rezim Pemilu setelah disahkannya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sehingga sampai saat ini Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah lebih dikenal dengan istilah Pemilukada. Pada tahun 2008, tepatnya setelah diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasangan Calon yang dapat turut serta dalam Pemilukada tidak hanya pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tetapi juga dari perseorangan. a. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemilukada 1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2) PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 3) UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. b. Penyelenggara Pemilukada Pemilu gubernur dan wakil gubernur diselenggarakan oleh KPU provinsi, sedangkan Pemilu bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota oleh KPU kabupaten/kota. c. Peserta Pemilukada Peserta Pemilukada adalah pasangan calon dari: 1) Partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh kursi paling rendah 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD di daerah bersangkutan atau memperoleh suara sah paling rendah 15% (lima belas 45 persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD di daerah bersangkutan. 2) Perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang telah memenuhi persyaratan secara berpasangan sebagai satu kesatuan, dengan syarat dukungan sebagai berikut: Tabel 2. Persyaratan Minimal bagi Calon Pasangan dari Jalur Independen Jumlah Jumlah Penduduk dukungan Provinsi Kabupaten/Kota sekurangkurangnya 6,5% sampai dengan 2 sampai dengan 250 juta jiwa ribu jiwa 5% lebih dari 2 juta - 6 lebih dari 250 ribu juta jiwa 500 ribu jiwa 4% lebih dari 6 juta -12 lebih dari 500 ribu juta jiwa 1 juta jiwa 3% lebih dari 12 juta lebih dari 1 juta jiwa jiwa Jumlah dukungan di atas harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan (Pemilu gubernur dan wakil gubernur). Sedangkan untuk pemilu bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota, jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan (Labolo dan Ilham:2015:174-176). 2. Pesta Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat Besaran anggaran Pemilu 2009 yang diperkirakan mencapai Rp 47,9 triliun, layak mendapat apresiasi yang serius karena besar relevansinya dengan cita-cita luhur diselenggarakannya Pemilu di Indonesia ini. Dalam jangka pendek, pemilihan pemimpin di negara dan daerah manapun dipastikan memiliki target terpilihnya pemimpin yang mumpuni dan sesuai dengan kehendak rakyat. Hal itu sangat sejalan dengan tujuan penyelenggaraan pemilihan pemimpin politik di Indonesia, baik dalam bentuk pemilihan 46 anggota legislatif, DPD, maupun presiden-wakil presiden, serta kepala daerah-wakil kepala daerah. Semuanya bermuara kepada terpilihnya pemimpin yang berkualitas. Pemimpin politik yang berkualitas, menurut Jurgen Habermas, pemikir mazhab Frankfurt, sebaiknya memenuhi kualifikasi quantity of participation dan quality of discourse. Idealnya, pemimpin politik terpilih adalah pemimpin yang memenuhi kualifikasi “jumlah kepala” sekaligus “isi kepala”, yakni kepala daerah yang didukung oleh jumlah pemilih mayoritas (konstituensi), sekaligus memiliki visi, konsepsi dan skill mengurus negara atau daerah serta masyarakat (kompetensi). “Jumlah kepala” penting karena memberikan legitimasi guna menjustifikasi kebijakan yang dijalankannya. Sementara itu, “isi kepala” adalah visi dasar yang menuntun dan menentukan arah (direction) pembangunan. Pemimpin politik harus bertindak sebagai manajer negara. Ia tidak cukup hanya karismatik, tetapi harus memiliki kompetensi yang memadai. Menurut R. Wayne Pace (2000), pemimpin yang baik harus dapat membantu menegakkan, mempertahankan dan meningkatkan motivasi para anggotanya. Pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Ia bertindak dengan cara-cara yang dapat melancarkan produktivitas, moral tinggi, respons yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran dan kesinambungan dalam organisasi. Pemilihan pemimpin politik secara demokratis di Indonesia ini pun jangan sampai membuktikan skeptisnya filsuf legendaris zaman Yunani, Socrates. Menurutnya, demokrasi justru membuka peluang bagi manusia bebal, dungu dan tolol yang kebetulan didukung konstituen mayoritas, menjadi pemimpin negara. Socrates paham benar bahwa rakyat tidak selalu mendukung sosok yang dinilai paling mampu dan cerdas, tetapi lebih sering sosok yang paling disukai. Tragisnya, sosoksosok demikian kerap tidak memiliki kompetensi memperjuangkan nasib rakyat. Dalam jangka panjang, pemilihan pemimpin politik harus menghasilkan output yang sesuai dengan harapan tertinggi seluruh rakyat, yakni tercapainya kesejahteraan. Pemilu, Pilpres, 47 dan Pilkada langsung diharapkan menghasilkan feedback berupa perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat. Apalagi pelaksanaan pemilihan pimpinan politik di Indonesia ini tidak hanya harus mengorbankan tenaga dan waktu, tetapi juga hak kesejahteraan rakyat. Dana triliunan rupiah yang dikeluarkan dari APBN dan APBD sejatinya adalah dana rakyat. Jika dana tersebut digunakan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan, jutaan rakyat miskin di Indonesia akan terselamatkan. Apalagi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah dana Pemilu 2009 tersebut melampaui jumlah anggaran untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Jika menggunakan teori “tukang pancing”, dana Pemilu triliunan rupiah dapat dianalogikan sebagai umpannya, tentu dengan harapan akan mendapatkan “ikan” yang lebih besar. Ketika dana triliunan rupiah itu dikeluarkan untuk membiayai Pemilu, tentu diharapkan hasil Pemilu itu dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi jumlah rakyat miskin.Namun realitasnya, hal itu masih menjadi tanda tanya besar. Berdasarkan pengalaman, Pemilu tahun 2004 saja yang juga menghabiskan dana tidak sedikit, diragukan relevansinya dengan menurunnya angka kemiskinan di Indonesia kendati Presiden SBY mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan menurun dari 23,4% pada tahun 1999 menjadi 16% pada tahun 2005. Namun, Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan, jumlah penduduk miskin di Indonesia dari Februari 2005 sampai Maret 2006 bertambah 3,95 juta jiwa menjadi 39,05 juta jiwa (MI, 2 September 2006). Bahkan, selama periode Februari 2005-Maret 2006, terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin. Februari 2005, sekitar 56,51% penduduk miskin, tetap tergolong miskin pada Maret 2006. BPS pun mencatat, pada Februari 2005, sekitar 30,29% penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82% penduduk hampir tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006. Jika “umpan” triliunan rupiah yang digunakan anggaran Pemilu tidak menghasilkan “ikan” yang lebih besar, bahkan malah menjadi santapan “hiu-hiu” (oknum tidak bertanggungjawab, seperti koruptor), apalah artinya Pemilu bagi rakyat Indonesia. Apalagi dalam konteks Indonesia kekinian, dalam kurun waktu lima tahun, rakyat harus melakukan 48 pemilihan pemimpinnya sebanyak lima kali, yakni pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur, presiden, anggota legislatif dan anggota DPD. Tentu, kelima pesta demokrasi tersebut menelan biaya yang tidak sedikit. Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat saja yang digelar tahun 2008 diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar Rp 400 miliar; sama dengan gabungan APBD 10 kabupaten/kota di Jawa Barat. Beranjak dari realitas tersebut, bukan hal yang tidak mungkin seluruh elemen di republik ini dapat me-review kelima pesta demokrasi tersebut sehingga lebih realistis. Kita harus memikirkan kembali mana pesta demokrasi yang harus diselenggarakan secara langsung melibatkan seluruh rakyat dan yang cukup melibatkan wakil rakyat, bahkan yang mana pula yang cukup hanya melalui kesertaan kebijakan pemerintah (pusat). Apalagi dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945 disebutkan bahwa dalam membentuk suatu pemerintahan Indonesia hendaknya berdasarkan “permusyawaratan/ perwakilan”. Jadi, bukan sistem pemilihan langsung. Kehidupan demokrasi dalam suatu negara tidak selamanya harus diwujudkan dengan serba langsung melibatkan seluruh rakyat. Sistem permusyawaratan dan perwakilan pun adalah bagian dari demokrasi. Apalagi demokrasi langsung pun realitasnya tidak memberikan jaminan tercapainya partisipasi seluruh rakyat. Fakta di lapangan membuktikan, baik dalam Pemilu legislatif dan DPD, pilpres, maupun Pilkada, angka partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi tersebut rata-rata hanya 60-70 %. Bahkan, ke depan bukan hal yang tidak mungkin angka tersebut akan merosot karena seringnya pemilihan mengakibatkan kejenuhan. Hal tersebut akan semakin diperparah dengan realitas bahwa pesta demokrasi itu tidak memberikan jaminan terjadinya perubahan struktur dan kultur bagi perbaikan kesejahteraan rakyat(Hikmat:2011:169-171). 3. Calon Perseorangan Selama ini semua calon peserta Pilkada adalah dari partai. Tapi, dengan terbitnya putusan MK yang meloloskan calon independen dapat mencalonkan diri dalam Pilkada langsung dan dikuatkan dengan lahirnya UU No. 12/ 2008 maka calon peroranganpun disahkan. 49 Dalam UU No. 12/ 2008 tersurat diperbolehkannya calon perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Secara tersurat dalam pasal 56 ayat (2) disebutkan, “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan UU ini.” Hal ini dijelaskan pula pada pasal 59 ayat (1),“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik dan b. Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.” Masih pada pasal 59 ayat (2a)-nya disebutkan,“Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurangkurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurangkurangnya 3% (tiga persen).” Pada ayat (2b)-nya disebutkan,“Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurangkurangnya 5% (lima persen); c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 50 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).” Lahirnya ketentuan memperbolehkan calon perseorangan mendaftarkan diri menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan persyaratan pokok harus mendapatkan dukungan langsung dari rakyat, melahirkan fenomena komunikasi politik baru. Ketika peraturan perundangan hanya membolehkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dari parpol atau gabungan parpol yang memiliki sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD dan 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, potensi komunikasi politik sangat rendah. Kemungkinan terjadinya komunikasi politik hanya di antara parpol yang tidak memiliki kursi atau akumulasi hasil Pemilu DPRD di bawah 15%. Hal itu secara kasat mata terjadi dalam Pilkada di semua daerah. Calon yang paling banyak tetap dari partai tertentu atau dari koalisi beberapa partai. Komunikasi politik dalam sebuah koalisi antarparpol yang mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sangat kental. Lobi-lobi politik di antara pemimpin parpol ataupun di antara calonnya sendiri sangat transparan. Bahkan, tawar-menawar politik, terutama berkaitan dengan posisi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sering terjadi juga di antara mereka. Biasanya, dalam beberapa kasus, partai yang merasa lebih besar persentase jumlah kursinya di DPRD akan berusaha mengajukan calon untuk menjadi kepala daerah, sedangkan yang lebih kecil jumlah suaranya harus rela diposisi wakil kepala daerah(Hikmat:2011:178-183). 4. Peran Media Massa dalam Pilkada Ada tiga fungsi utama media massa yang melekat dalam pekerjaan mereka, yaitu memberikan informasi, memberikan pendidikan, dan menghibur masyarakat. Melalui informasi, media dapat membantu khalayaknya untuk membentuk pendapat tentang berbagai persoalan. Dengan menggunakan media massa, masyarakat dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan belajar tentang perkembangan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Begitu pula dalam hal hiburan, banyak masyarakat 51 memanfaatkan waktu luangnya untuk menggunakan media agar memperoleh hiburan yang menyenangkan. Dalam hal ini hiburan yang berbobot tinggi pada saat yang sama mempunyai sifat informatif dan mendidik. Idealnya, media harus menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat agar mereka dapat membentuk pendapat dan membuat keputusan sendiri tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk persoalan politik. Fungsi mendidik melalui informasi inilah merupakan tugas utama media dalam sistem sosial di mana institusi itu berada. Semakin mampu media massa ini memperkuat dan mendukung khalayaknya sebagai warga negara yang berperan di dalam proses demokrasi (promoting active citizen), maka semakin baik media itu. Karena itu, kalangan jurnalis banyak yang tidak ragu-ragu merasa, secara ideal profesi mereka yaitu memberikan informasi agar warga negara mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan. Dalam pelaksanaan Pilkada beberapa tahun terakhir ini, media massa di Indonesia juga diharapkan memiliki peran cukup besar terhadap political empowerment terhadap warga negara di berbagai daerah. Pers diharapkan bukan hanya menyukseskan dengan menyebarkan electorate information tentang bagaimana cara memberikan suara dalam Pilkada, tetapi juga dituntut melalui pemberitaannya melakukan voters education (pendidikan pada pemilih), mendidik masyarakat tentang relevansi Pilkada pada kepentingan masyarakat, serta mendiskusikan apa dan bagaimana pentingnya Pilkada langsung bagi masyarakat. Dengan demikian, media massa juga mengajak publik untuk bersama-sama melakukan watching to the political process dalam Pilkada tersebut(Subiakto dan Ida:2014:196-197). 5. Panwaslu Dalam sistem Pilkada langsung, Panwaslu dapat dikategorikan sebagai aktor komunikasi politik sehingga komunikasi politik merupakan bagian dari kinerjanya. Aktor komunikasi politik adalah semua pihak yang terlibat atau mengambil peran dalam proses penerimaan pesan dan penyampaian pesan. Aktor komunikasi politik dapat perorangan 52 atau individu, kelompok, organisasi, lembaga, ataupun pemerintah (Pawito:2009:6). Komunikator politik ada dua bagian, yakni komunikator yang menangani masalah nasional (governmental opinion maker) dan komunikator yang menangani masalah khusus (single issue opinion maker). Single issue opinion maker dapat diistilahkan komunikator pelaksana, yaitu para pejabat yang berada di daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat distrik (Nimmo:1993:123). Panwas Pilkada langsung dapat memiliki dua posisi, baik komunikator utama maupun komunikator pelaksana. Panwas Pilkada langsung dapat menjadi governmental opinion maker karena mengelola manajerial pengawasan secara mandiri dan independen serta membawahi panwas lainnya secara berjenjang. Namun, pada sisilain, karena dibentuk oleh DPRD (2005-2008), panwas Pilkada langsung pun dapat menjadi single issue opinion maker. Panwas Pilkada langsung memegang amanah dari DPRD untuk melaksanakan pengawasan Pilkada langsung. Apa pun kedudukannya, dalam konteks komunikasi politik, panwas Pilkada langsung memiliki posisi yang sangat strategis. Komunikasi politik yang dilakukan oleh panwas Pilkada langsung merupakan bukti eksistensi lembaga tersebut dalam sistem politik yang berkembang di Indonesia (Hikmat:2011:200-201). McQuail mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan semua proses penyampaian, pertukaran, dan pencarian informasi, termasuk fakta, pendapat-pendapat, keyakinan-keyakinan dan seterusnya, yang dilakukan oleh para partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih bersifat melembaga (McQuail:1994:427). Sebagai lembaga politik, panwas Pilkada langsung ikut menentukan berkembangnya sistem politik Pilkada. Upaya panwas dalam mengembangkan alih-alih melaksanakan sistem politik Pilkada langsung merupakan komunikasi politik yang dilakukan oleh lembaga politik. Meadow menegaskan bahwa komunikasi politik merupakan segala bentuk pertukaran simbol atau pesan yang dilakukan oleh suatu lembaga dapat mempengaruhi sistem politik yang berkembang di suatu Negara (Meadow:1980:4). 53 Sebagai aktor komunikasi politik, panwas Pilkada langsung diberikan peran yang diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dan PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Ketiga peraturan perundangan inilah yang menjadi landasan hukum yang tersurat tentang panwas Pilkada langsung, termasuk di dalamnya tugas, wewenang, dan kewajibannya. Walaupun dalam takaran konstitusional, sejumlah pakar hukum berkeyakinan bahwa eksistensi panwas Pilkada pun secara tersurat tercantum dalam UUD 1945 pasal 22E ayat (5), “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Penyebutan komisi pemilihan umum (KPU) dengan huruf kecil, tidak hanya menunjukkan KPU sebagai lembaga yang mengelola Pemilu seperti yang ada sekarang dan beranak pinak di daerah menjadi KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, tetapi menunjukkan penyelenggara Pemilu yang namanya boleh apa saja. Bahkan, KPU yang dalam UUD 1945 ini telah melahirkan bayi kembar siam: KPU dan Panwaslu (Hikmat:2011:201). 6. Konflik Pilkada Langsung Kendati sudah puluhan kali Pilkada langsung dilaksanakan di beberapa daerah (sejak 2005), konflik horizontal dan vertikal, baik menjelang, saat pelaksanaan, maupun setelah pelaksanaan, masih saja terjadi. Salah satu pemicu terjadinya konflik dalam Pilkada langsung adalah masih adanya pasal-pasal dalam ketentuan perundang-undangan Pilkada langsung yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, salah satu yang paling pokok yang muncul sebagai desakan rakyat terhadap pemerintah guna memperbaiki pelaksanaan Pilkada langsung ke depan adalah merevisi peraturan perundangan yang mengatur mekanisme pelaksanaan Pilkada langsung. Dalam konteks real, secara struktural perundangan yang mengatur Pilkada langsung berada pada Bab VI pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil revisi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota 54 dipilih secara demokratis.” Penerjemahan dari UUD 1945 tersebut lebih perinci diatur dalam UU No. 32/2004, PP No. 6/2005 dan yang terakhir UU No. 22/2007 serta UU No. 12/2008 yang merupakan revisi dari UU No. 32/2004. Menyimak hasil penelitian pelaksanaan Pilkada langsung yang pernah dilakukan tahun 2005, titik tekan partisipasi rakyat yang berkaitan dengan revisi perundangan Pilkada langsung lebih fokus pada kebijakan-kebijakan teknis. Setidaknya, terdapat beberapa catatan yang menurut aspirasi masyarakat perlu direvisi dalam ketentuan mekanisme pelaksanaan Pilkada langsung, di antaranya: a. PP No. 6/2005 tidak menyuratkan pengesahan hasil pemilihan harus mempertimbangkan persentase jumlah pendaftar pemilih terhadap penduduk usia hak memilih (17 tahun atau menikah) atau jumlah pemilih terhadap pendaftar. Yang ada hanya persentase jumlah suara yang memilih dari seluruh jumlah pemilih. Seperti yang tersurat dalam pasal 95 bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (ayat 1) atau pasangan yang memperoleh 30% suara dan memiliki suara terbesar (ayat 2) dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. b. PP No. 6/2005 lemah dalam mengakui eksistensi warga nonpartai dalam Pilkada langsung sehingga mendorong makin berkembangnya pemilih golput. Tatkala UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005 masih menjadi bahasan legislatif, sejak awal aspirasi rakyat yang menghendaki munculnya calon independen (jalur nonpartai politik) deras ke permukaan. Kini, MK telah membuka lebar bagi calon nonpartai untuk mencalonkan diri dalam Pilkada langsung dengan ditindaklanjuti lahirnya UUNo. 12/2008. c. Pemilih golput di beberapa daerah masih cukup besar. Banyaknya calon yang harus dipilih tidak menjadi jaminan kecilnya jumlah pemilih yang golput. Besarnya jumlah pemilih yang golput ditambah jumlah pemilih yang tidak memilih karena kelalaian dalam pendataan, mendorong makin membengkaknya jumlah pemilih yang tidak menunaikan hak pilihnya. Hal ini pula yang merupakan ancaman legitimasi rakyat terhadap kepala daerah yang terpilih dalam Pilkadalangsung. 55 Perbaikan ketentuan yang mengatur mekanisme pelaksanaan Pilkada langsung sangat urgen untuk dilakukan agar tujuan utama dilaksanakannya Pilkada tercapai, yakni memberikan kesempatan lebih luas kepada masyarakat lokal dalam menentukan pemimpin mereka di daerah. Secara esensial, dibentangkannya benang merah di antara masyarakat lokal dan pemimpin di daerah agar terjadi sinergitas di antara mereka dalam membangun daerah sehingga secara dinamis terjadi pemerataan pembangunan. Kesejahteraan hasil pembangunan tidak hanya dirasakan oleh penguasa (pemimpin), tetapi juga oleh seluruh masyarakat lokal. Oleh karena itu, tidak peduli harus menelan biaya ratusan juta rupiah bagi Pilkada provinsi dan puluhan miliar rupiah bagi Pilkada kabupaten/kota, yang terpenting pemerataan kesejahteraan masyarakat lokal dapat tercapai. Fenomena di lapangan ternyata nyaris bertolak belakang dengan tujuan esensial dilaksanakannya Pilkadalangsung. Di beberapa daerah, Pilkada malah menjadi ajang konflik, baik konflik vertikal maupun horizontal yang menelan korban harta dan jiwa. Konflik vertikal terjadi, misalnya di antara rakyat pemilih dan KPUD, DPRD, Pemda, Panwasda, bahkan di antara DPRD dan Pemerintah Pusat melalui Depdagri. Konflik horizontal terjadi di antara rakyat karena berbeda calon atau karena calonnya kalah seperti yang terjadi di Kabupaten Tuban atau konflik di antara institusi, seperti antara KPUD dan Panwasda DKI Jakarta, serta antara DPRD dan KPUD Kabupaten Boalemo. Fenomena itu telah memalingkan tujuan mulia Pilkada langsung dari ingin menciptakan pemerataan kesejahteraan hasil pembangunan bagi masyarakat lokal, tetapi yang terjadi malah menciptakan ajang konflik di antara masyarakat lokal. Realitas tersebut terjadi di antaranya karena munculnya berbagai permasalahan pada pelaksanaan Pilkada langsung sebagaimana keterangan di bawah ini: a. Masih lemahnya resposibilitas positif grassroots daerah terhadap produk-produk hukum yang mengatur mekanisme pelaksanaan Pilkada langsung sehingga banyak masyarakat yang enggan menjalankan hak pilih. 56 b. Tingginya jumlah pemilih yang tidak terdaftar sehingga mereka tidak menjalankan hak pilihnya. Hal tersebut menunjukkan belum baiknya mekanisme Pilkada langsung dalam fase pendaftaran, misalnya terjadi dalam Pilkada Papua, PilkadaSurabaya, Pilkada Kepri, dan Pilkada Bekasi. c. Masih ada calon yang melakukan kampanye terselubung, mencuri start, menggunakan fasilitas negara, dan melibatkan PNS, TNI, Polri. Hal ini pun menunjukkan masih lemahnya mekanisme Pilkada langsung dalam fase kampanye. d. Money politics. Setidaknya terdapat dua hal yang belum jelas dalam mekanisme pelaksanaan Pilkada kaitannya dengan money politics: (1) belum ada pembeda yang jelas di antara money politics dan cost politics; (2) mekanisme sumbangan dana kampanye yang diatur dalam PP No. 6/2005 masih membuka celah terjadinya kecurangan. Secara nasional, misalnya mencuat DKP dalam Pemilu 2004. e. Ketidakadaan saksi dari setiap calon, dan terbatasnya waktu pelaksanaan pemilihan (hanya hingga pukul 13.00) sehingga jumlah pemilih yang melaksanakan hak pilih sangat minim. f. Mekanisme yang digunakan dalam perhitungan suara di antara KPUD, calon, partai, dan masyarakat lainnya sering berbeda. Bahkan, beberapa KPUD masih mengandalkan cara perhitungan manual, sedangkan pihak lain sangat mempercayai cara perhitungan komputerisasi. g. Banyak para pendukung calon tidak menerima hasil putusan KPUD. Bahkan, ada juga lembaga seperti DPRD tidak menyetujui putusan KPUD. h. Pilkada langsung belum memberikan perubahan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal(Hikmat:2011:172-174). 7. Partisipasi Politik Rakyat Dalam UU No. 32/2004 jo PP No. 6/2005 sebagai landasan pelaksanaan Pilkada langsung tidak tersurat bahwa pengesahan hasil pemilihan harus mempertimbangkan persentase jumlah pendaftar pemilih terhadap penduduk usia hak memilih (17 tahun atau sudah menikah) atau jumlah pemilih terhadap pendaftar. Yang ada hanya persentase jumlah suara yang memilih dari seluruh jumlah pemilih. Seperti yang tersurat dalam pasal 95 57 bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih 50% (ayat 1), atau pasangan yang memperoleh 30% suara dan memiliki suara terbesar (ayat 2) dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Hal tersebut menumbuhkan penafsiran bahwa Pilkada di Indonesia hanya mempertimbangkan aspek yuridis dan mengabaikan aspek faktual. Padahal, secara filosofis, aspek yuridis itu adalah penerjemahan dari aspek faktual. Gambarangambaran realitas yang terjadi dalam aspek faktual harus dapat dipertegas dan dikuatkan oleh aspek yuridis. Namun, kenyataannya, PP No. 6/2005 tidak dapat meraih seluruh aspek faktual. Oleh karena itu, pada setiap pelaksanaan Pilkada langsung, rendahnya jumlah pendaftar dan pemilih menjadi problem berkepanjangan. Tidak terangkumnya kelayakan pemilihan dengan prasyarat perbandingan persentase pendaftar terhadap penduduk yang berhak memilih atau persentase pemilih terhadap pendaftar tidak memberikan target ideal bagi para petugas. Para petugas pendaftaran tidak memiliki target berapa persen penduduk yang sudah berhak memilih yang harus terdaftar sebagai calon pemilih. Hal itu menyiratkan indikasi dapat terjadi kelalaian yang dilakukan oleh petugas pendaftaran pemilih. Hal yang sama juga dapat terjadi pada petugas pemilihan. Karena tidak ada titik tekan bahwa pemilihan akan sah apabila dihadiri sekian persen pendaftar, mereka pun bisa diindikasikan dapat melalaikan tugas. Semangat jemput bola yang seharusnya menjadi bagian kinerja dari para petugas pemilihan (KPPS) di TPS, teramat jarang dilakukan. Mereka hanya beracuan pada waktu pemilihan bahwa pemilihan dilakukan mulai pukul 7.0013.00 waktu setempat. Artinya, jika sudah sampai pukul 13.00, kendati jumlah pemilih sangat minim, pemilihan langsung ditutup dan dilakukan penghitungan suara (pasal 70 ayat 4). Kendati begitu, berdasarkan catatan Menkopolhukam (2007), partisipasi politik masyarakat untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah cukup tinggi apabila dibandingkan dengan Pemilu legislatif dan Pemilu presiden/wakil presiden. Berdasarkan data pelaksanaan Pilkada tahun 2007, berikut ini tingkat partisipasi masyarakat: 58 a. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur, partisipasi terendah adalah Provinsi Sumatera Barat dengan tingkat partisipasi 55,81%, sedangkan yang tertinggi adalah Provinsi Gorontalo dengan tingkat partisipasi 83,86%.Pemilihan bupati dan wakil bupati, partisipasi terendah adalah Kabupaten Supiori, Papua dengan tingkat partisipasi 47,00%; sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua dengan tingkat partisipasi 98,14%. b. Pemilihan walikota dan wakil walikota, partisipasi terendah adalah Kota Batam, Kepulauan Riau dengan tingkat partisipasi 45,19%; sedangkan yang tertinggi adalah Kota Dumai, Riau dengan tingkat partisipasi 98,05%. Apabila dikaji lebih lanjut, dari 305 Pilkada yang sudah dilaksanakan pada tahun 2007, partisipasi masyarakat terendah adalah di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau sebesar 45,19%. Hal itu terjadi karena : a. Masyarakat Kota Batam sebagian besar adalah pendatang. b. Figur calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kurang dikenal oleh para pemilih sehingga sebagian warga cenderung apatis. c. Lemahnya sosialisasi Pilkada kepada seluruh lapisan masyarakat. d. Pelaksanaan Pilkada dilakukan pada hari Sabtu, sedangkan para pekerja di Kota Batam pada hari Jumat banyak yang lembur hingga tengah malam sehingga pada hari Sabtu mereka gunakan untuk beristirahat. e. Penetapan tanggal pencoblosan yang jatuh pada hari Sabtu ikut mempengaruhi sebagian besar masyarakat untuk pergi berlibur pada akhir minggu. Sementara itu, partisipasi masyarakat tertinggi dalam 305 Pilkada pada tahun 2007 adalah di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua sebesar 98,14%. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya tingkat partisipasi politik masyarakat tersebut didorong oleh situasi sebagai berikut: a. Jumlah penduduk Kabupaten Pegunungan Bintang relatif sedikit, hanya 50 ribu orang, dan jumlah pemilih dibawah 40 ribu orang. b. Kemampuan Pemda dan KPUD dalam mengumpulkan masyarakatnya yang tersebar di lereng gunung melalui suatu 59 upacara adat, yakni pesta “bakar batu”(Hikmat:2011:191193). 8. Kampanye Politik a. Kampanye dan Pesta Rakyat Banyakpihak yang mempersepsikan bahwa tahap kampanye adalah salah satu tahap yang rawan konflik. Konflik yang memungkinkan terjadi, tidak hanya adu otak, tetapi bisa saja adu otot. Tim kampanye tidak hanya dituntut adu cantik visi, misi, dan program kerja pasangan calonnya, tetapi juga harus menunjukkan kebesaran massa pendukungnya. Secara psikologis, makin besar jumlah massa pendukung akan makin besar pula pengaruh para calon terhadap rakyat pemilih. Oleh karena itu, kegiatan kampanye jarang sekali terhenti hanya pada realitas pemaparan dan dialog di antara pasangan calon atau juru kampanye dan rakyat. Akan tetapi, pengerahan massa dan arak-arakan ke jalanan merupakan salah satu upaya menunjukkan kebesaran massa pendukung. Persepsi semacam itu, tentu tidak lahir dari karya-karya rekaan, tetapi berdasarkan analisis historis dan logis. Secara historis, rakyat Indonesia sering dihadapkan pada fakta sejarah bahwa kampanye politik sejak dulu hingga kini sering melahirkan konflik. Perseteruan di antara para pendukung pasangan calon yang sebelum masa kampanye terjadi di bawah selimut, masa kampanye seolah difasilitasi untuk terbuka. Sebelum masa kampanye, mereka masih menerka-nerka “siapa lawan dan siapa kawan”, pada masa kampanyelah mereka “buka-bukaan”. Dalam takaran logis pun, pertemuan antara pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda cenderung melahirkan konflik. Kendati pertemuan dua “lawan” yang berkampanye sering berusaha dihindari oleh para penyelenggara kampanye, buktinya sulit sekali. Seperti kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar 2008 yang disekat dengan zona dan jadwal kampanye sebagaimana yang telah ditetapkan KPU Provinsi Jawa Barat, tetapi itu pun tidak dapat menjadi pagar yang tangguh. 60 Bahkan, dari awal sudah dikhawatirkan, penjadwalan kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 yang berselang sehari memungkinkan terjadinya pergesekan di antara massa pendukung. Perpindahan massa pendukung dari satu zona ke zona lainnya yang terjadi setiap hari merupakan titik rawan yang dapat mendorong terjadinya konflik massal. Fakta historis konflik pada masa kampanye tidak hanya menanamkan traumatik yang dalam pada rakyat, tetapi juga pada pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah berusaha menskenario kampanye damai. Hal itu dituangkan dalam pasal-pasal yang khusus mengatur kampanye. Pada UU No. 32/2004, terdapat 11 pasal dan 41 ayat yang khusus mengatur pelaksanaan kampanye Pilkada. Dalam sejumlah pasal dan ayat tersebut, selain terdapat dua pasal (pasal 78 dan 79) yang khusus menyebutkan hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan kampanye, dalam pasal lain pun tersebar ketentuan yang juga menyuratkan dan menyiratkan larangan dalam kampanye. Hal itu tertuang, misalnya pada pasal 76 ayat (4), “Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif”. Kemudian pada pasal 77, diatur bahwa media cetak dan pemerintah daerah harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap pasangan calon, dan seterusnya. Kekhawatiran menghadapi masa kampanye, baik dalam lubuk hati rakyat maupun pemerintah, secara tidak disadari telah membangun sebuah skenario kampanye yang menakutkan. Dalam menghadapi kampanye, seolah akan terjadi “perang” sehingga setiap orang siap siaga. Tim kampanye bersiap dengan berbagai strategi, bahkan mungkin strategi pengerahan massa sekalipun yang jelas-jelas dilarang oleh perundang-undangan. Mereka tidak mau kalah untuk menunjukkan kebesaran massa dan keluasan pengaruh pendukung pasangan calon. Rakyat pun sudah siap-siap dengan berbagai kemungkinan terjadinya “perang”. Tak jarang para pedagang menutup tokonya demi keselamatan atau pegawai meliburkan diri karena takut tercegat yang 61 berkampanye, bahkan Polri pun bersiaga dengan ribuan personilnya. Padahal, seluruh elemen bangsa ini sejak lama telah komit bahwa Pemilu, baik memilih wakil rakyat, presiden dan wakil presiden, maupun kepala daerah dan wakil kepala daerah, merupakan pesta demokrasi. Dalam konteks umum, pesta selalu bersinergi dengan kebahagiaan, kegembiraan, sukacita; bukan kengerian, ketakutan, kebrutalan. Pesta adalah suasana yang harus melahirkan sebuah kebahagiaan, bukan penyesalan. Jika kampanye merupakan bagian dari pesta demokrasi, tentu tidak perlu dikhawatirkan atau ditakutkan, bahkan seharusnya merupakan fase-fase yang ditunggutunggu oleh seluruh elemen rakyat Indonesia. Inilah bukti telah terjadi benturan antara das sein dan das sollen. Istilah pesta yang dilabelkan pada kegiatan pemilihan, ternyata tidak dapat terpenuhi. Dalam konteks ini, teorip (labelling theory) yang sempat diagungkan kehebatannya telah gagal karena tidak mendapat dukungan yang real.Padahal, pemerintah telah memiliki itikad baik, rakyat pun telah sangat berharap bahwa istilah pesta demokrasi dalam pemilihan pemimpin tidak sekadar mimpi. Rakyat sudah bosan dengan tontonantontotan arogan yang sering dimainkan oleh massa ketika berkampanye. Sekarang bukan zamannya lagi mempengaruhi rakyat dengan menunjukkan kebesaran dengan kekuatan otot dan kebrutalan massa. Sebagai contoh, bagi masyarakat Jawa Barat yang sebagian besar sudah menjadi pemilih yang kritis. Mereka tidak akan tergerus dengan simbol-simbol menakutkan, kearoganan, dan pamer massa di jalanan. Bahkan, jika itu yang dimainkan oleh para pasangan calon dengan para pendukungnya, rakyat Jawa Barat akan lebih memilih golput, ketimbang takut. Rakyat Jawa Barat sangat menginginkan figur pemimpin yang simpatik. Mereka akan lebih memilih pemimpin yang tidak hanya dapat mengumbar kata-kata, tetapi yang betul-betul dapat berbuat yang terbaik bagi Jawa Barat. Oleh karena itu, kampanye yang efektif guna meraih simpati rakyat Jawa Barat adalah kampanye yang 62 menampilkan komunikator-komunikator yang memiliki ethos (meminjam istilah Aristoteles), yakni memiliki pikiran, akhlak, dan maksud yang baik (good sense, good moral character, good will). Psikologi komunikasi menegaskan bahwa yang dapat mempengaruhi massa bukan hanya apa yang dikatakan, melainkan juga siapa yang mengatakannya. Oleh karena itu, untuk meraih suara yang besar selain sangat ditentukan oleh figur pasangan calon, juga sangat dipengaruhi oleh juru kampanye. Apalagi karakter masyarakat Jawa Barat yang lebih patrilineal, pemilihan juru kampanye dari tokoh masyarakat yang menjadi panutan merupakan langkah yang harus dilakukan oleh tim kampanye. Tokoh yang betul-betul dapat menggerakkan hati rakyat karena tindakannya penuh simpati, bukan tokoh yang dapat menggerakkan massa terjun ke lapangan karena pandai membagi rupiah. Hovland dan Weiss menyebutkan dua hal yang harus dimiliki oleh seorang komunikator sehingga dapat menggerakkan hati massa, yakni expertise (keahlian) dan trustworthiness (dapat dipercaya). Jika tim kampanye mengambil tema mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendidikan masyarakat, dan tema lainnya maka juru kampanyenya pun harus orang yang sudah dipercaya memiliki keahlian di bidang tersebut. Selain juru kampanye, isi pesan yang disampaikan pun menjadi bagian yang dapat juga menggerakkan hati rakyat. Menurut Herbert C. Kelmen, pesan yang baik adalah pesan yang dapat diinternalisasi, yakni gagasan, pikiran, atau anjuran yang dapat memenuhi kebutuhan atau dapat memecahkan masalah yang dihadapi rakyat. Pesan ini tidak hanya harus dalam bentuk dan dikemas dengan kata-kata. Semua tindakan, baik yang dilakukan oleh pasangan calon, tim kampanye atau para pendukung juga merupakan pesan. Tindakan brutal dan urak-urakan massa pendukung di jalanan pun merupakan pesan, pesan yang dapat menumbuhkan antipati, bukan yang dapat melahirkan simpati.Oleh karena itu, sejatinya tahap kampanye ini dijadikan sebagai ajang pemikat bagi para pemilih, dan hindarilah segala tindakan yang dapat menumbuhkan rasa antipati rakyat. Jangan sia- 63 siakan segala pengorbanan tenaga dan harta rakyat hanya untuk tindakan yang mencederai nurani rakyat (Hikmat:2011:218-222). b. Serangan Fajar dan Opini Publik Empatbelas hari masa kampanye dan tiga hari masa tenang dalam Pilkada merupakan waktu sempit yang sangat menentukan. Sosialisasi yang dilakukan berbulan-bulan lalu, bahkan bertahun-tahun bagi calon incumbent, akan sia-sia jika tidak waspada menghitung hari pada masa tersebut. Dulu, masa yang paling rawan dan paling potensial untuk meraih simpati pemilih adalah satu-dua hari menjelang pemilihan (masa tenang). Pada masa ini, metode serangan fajar sangat efektif dilakukan oleh calon sehingga pada masa inilah panwaslu caringcing pageuh kancing saringset pageuh iket mengawasi segala tindak tanduk pasangan calon, tim kampanye, dan parpol pengusung. Dalam konteks kondisi pemilih yang makin cerdas, terlebih bagi daerah pemilihan yang berada di perkotaan yang notabene warganya memiliki pendidikan yang cukup, serangan fajar dalam bentuk money politics kurang efektif. Sebagian besar pemilih di perkotaan akan memiliki pertimbangan logis. Mereka akan mempertimbangkan relevansi antara jumlah uang yang diberikan pasangan calon dan konsekuensi pemimpin daerah ke depan. Kendati ada saja warga perkotaan yang mau menerima uang dari pasangan calon, hal itu tidak dapat dijadikan jaminan bahwa mereka akan menyerahkan hak pilihnya. Apalagi dengan kondisi wilayah pemilihan yang sempit dan terjangkau, serangan fajar dalam bentuk money politics sangat memungkinkan tercium oleh panwaslu atau tim kampanye pasangan calon lainnya. Tindakan bagi-bagi uang, sembako, atau bagi-bagi materi lainnya akan menjadi bumerang besar bagi pasangan calon yang melakukannya. Apalagi pelanggaran money politics adalah salah satu tindak pelanggaran berat dan memungkinkan mendapatkan sanksi berupa pembatalan pasangan calon. Selain malu, konsekuensi berat yang akan ditanggung oleh pelanggar, akan mendapatkan sanksi sosial, 64 bahkan sanksi politik yang sulit diduga berapa besar kerugiannya. Mungkin tidak dapat digantikan dengan kerugian materi berapa pun karena sanksi ini berkaitanan dengan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat, khususnya kepada pasangan calon. Jika seseorang atau kelompok pendukung atau tim kampanye, bahkan pasangan calon sering melakukan pelanggaran, hal itu merupakan presiden buruk bagi peraihan suara mereka ke depan. Seringnya mereka melanggar dapat menjadi fenomena berat yang diindikasikan dapat menjadi identitas dirinya sebagai pelanggar peraturan. Masyarakat pemilih akan menganalogikan tindakan pelanggaran yang mereka lakukan sebagai tindakan indisipliner yang sangat memungkinkan dilakukan jika pasangan calon tersebut terpilih. Realitas itu bukan hal yang tidak mungkin akan mengkristal menjadi opini publik. Apalagi pada era ini, opini publik sedang menjadi “rajanya” di republik ini. Seluruh masyarakat Indonesia kini sedang berhadapan dengan tulang punggung demokrasi (meminjam istilah Astrid S. Susanto) yang sedang mempertontonkan kedahsyatannya. Di negara demokrasi, sebagaimana diakui Unesco, opini publik (public opinion) telah menunjukkan kapasitasnya sebagai lembaga semu yang dapat sejajar dengan kekuatan parpol atau golongan-golongan di masyarakat. Bahkan, dalam konteks keindonesiaan, opini publik telah menjelma menjadi kekuasaan yang paling besar yang dapat mendorong kekuasaan negara manapun untuk “menyerah” mengikuti jalurnya. Oleh karena itu, wajar jika Jusuf Kalla (saat itu sebagai wakil presiden) pun sempat “gentar” jika parpol harus jadi santapan opini publik. Ia sempat menghimbau agar masyarakat (publik) berhenti “menghujat” parpol. Akhir-akhir ini, opini publik di Indonesia memang dahsyat, nyaris sanggup memporak-porandakan semua tatanan. Menurut Dan Nimmo (2001), jika menyangkut kontroversi yang menyentuh semua orang yang merasakan konsekuensi langsung dan tidak dari isu atau fakta yang ada, opini publik akan menggeliat menjadi kekuatan yang maha 65 dahsyat. Hiruk-pikuk kehidupan Indonesia era ini memang banyak dikendalikan opini publik. Jangankan public figure seperti para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, siapa pun dapat menjadi korban opini publik. Di negara-negara lain pun sama, kalau sudah menunjukkan “gigi”-nya, opini publik dapat membenamkan siapa pun. Kandidat Presiden Amerika Serikat, George Romney gagal menjadi presiden karena didera opini publik bahwa otaknya telah dicuci saat perang Vietnam. Senator Gary Hart yang mencalonkan diri menjadi Presiden Amerika tahun 1988 gagal karena opini publik telah memvonisnya dengan isu affair dengan model cantik, dan banyak lagi para pemimpin dunia harus menelan pil pahit karena opini publik. Penilaian kinerja bagi pemimpin (public figure) memang tidak sekadar menyangkut hal-hal teknis operasional pelaksanaan tugas, tetapi juga berkaitan erat dengan etika, moral, dan penerimaan publik. Apalagi pada era pemilihan pemimpin langsung seperti Pilkada, publik dapat memberikan penilaian bahwa seseorang layak atau tidak untuk menjadi pemimpin mereka. Penilaian publik lebih responsif apabila berkaitan dengan moral dan etika. Sebagaimana diungkapkan Bryce dan Lowell, opini publik akan menjadi ancaman bagi seorang pemimpin apabila menyangkut perilaku yang tidak etis dan tidak bermoral. Makanya, dalam beberapa kasus Pilkada, serangan fajar yang efektif bukan lagi menggunakan metode money politics, melainkan black campaign sebagaimana yang menimpa George Romney dan Senator Gary Hart serta sejumlah kandidat kepala daerah di republik ini. Oleh karena itu, jika tidak ingin menjadi korban opini publik, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus menjadi komunikator yang cerdas. Ia harus berupaya sekuat tenaga menghindari pelanggaran-pelanggaran terhadap berbagai aturan sekecil apa pun. Ia harus tampil sebagai sosok yang taat, baik terhadap kaidah-kaidah agama maupun aturan-aturan yang berlaku dalam negara, bahkan dalam aturan main Pilkada. Permainan peran seperti itu dapat saja dilakukan oleh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah jika mereka 66 paham mengaplikasikan teori dramaturgis dari Erving Goffman. Mereka dapat mengemas perilaku pada front stage (panggung depan) yang menjadi “tontonan” masyarakat kendati mungkin bertolak belakang dengan back stage-nya sehingga opini positiflah yang berkembang selama pencalonannya. Namun, tentu yang diinginkan masyarakat bukan pemimpin munafik seperti itu, melainkan pemimpin yang betul-betul dapat menjadi panutan dan suri teladan bagi masyarakatnya, yakni pemimpin yang taat pada kaidahkaidah agama, aturan negara, dan komitmen-komitmen bersama untuk memajukan daerahnya. Hal itu bukan hal yang tidak mungkin karena calon pemimpin daerah sudah menghadapi masa seleksi yang cukup ketat dan sulit sehingga dipastikan putra-putri terbaik daerahnya yang akan tampil (Hikmat:2011:222-225). L. Dinamisasi Komunikasi Politik Pelaksanaan Pilkada langsung di Indonesia adalah pengalaman yang sangat berharga. Selama puluhan tahun Indonesia menjadi negara merdeka, baru pada tahun 2005-lah rakyat memiliki kesempatan untuk ikut andil dalam menentukan pemimpin pemerintahan di daerah. Sejak proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia telah sepuluh kali mengadakan Pemilu. Pemilu pertama, 29 September 1955, diikuti oleh 118 peserta Pemilu. Pemilu kedua, 3 Juli 1971, diikuti oleh 10 (sepuluh) peserta Pemilu. Pemilu ketiga, 2 Mei 1977, diikuti oleh 3 (tiga) peserta Pemilu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemilu keempat, 4 Mei 1982, masih diikuti oleh tiga peserta Pemilu. Pemilu kelima, 23 April 1987, masih sama diikuti oleh tiga peserta Pemilu sebelumnya. Pemilu keenam, 9 Juni 1992, masih diikuti oleh PPP, Golkar, dan PDI. Pemilu ketujuh, tahun 1997, masih diikuti oleh tiga peserta Pemilu. Karena lengsernya Soeharto dari jabatan presiden, Pemilu kedelapan dilaksanakan lebih cepat, tepatnya tahun 1999 dengan diikuti oleh 48 peserta Pemilu. Pemilu kesembilan dilaksanakan pada tahun 2004 dengan peserta Pemilu masih multipartai (24 partai peserta Pemilu), serta 67 Pemilu kesepuluh tahun 2009 dengan diikuti 44 partai politik (38 partai nasional, sisanya partai lokal di Aceh). Pada era reformasi terjadi perubahan drastis. Sebelumnya, kesembilan Pemilu dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat yang duduk di DPR RI dan DPRD. Di DPR RI, dalam lembaga MPR RI, mereka bertugas memilih presiden. Namun, pada tahun 2004 telah terjadi perubahan (amandemen) UUD 1945 dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang tadinya dipilih oleh MPR, kini langsung dipilih oleh rakyat. Tindaklanjut dari pemilihan presiden dan wakil presiden langsung ini ditajamkan dengan lahirnya UU Otonomi Daerah No. 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32/2004 dan diubah lagi menjadi UU No. 12/2008. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa kepala daerah pun dipilih langsung oleh rakyat. Dari Pemilu pertama (1955) hingga sekarang, Indonesia telah melakukan tiga macam demokrasi, yaitu demokrasi parlementer, terpimpin, dan Pancasila. Ketiga demokrasi tersebut dalam satu frame sering dinilai telah mengalami kegagalan. Pada demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin, kegagalan itu sangat erat kaitannya dengan tidak berfungsinya tiga prasyarat demokrasi politik, yaitu kompetisi secara periodik dan sehat, adanya partisipasi politik dalam memilih pemimpin negara dan penetapan kebijakan publik, serta adanya kebebasan sipil dan politik. Pada era itu, di Indonesia demokrasi masih menjadi konflik tafsiran atau interpretasi antargolongan. Golongan pertama sebagian besar mereka berpendidikan tinggi, terutama dari Barat. Golongan ini bisa disebut sebagai kelompok universalis. Mereka berpendapat bahwa demokrasi seperti yang didefinisikan di Barat. Golongan kedua sebagian besar dari birokrasi pemerintah. Mereka berpendapat bahwa setiap bangsa memiliki budaya demokrasi yang berbeda satu sama lain. Timbulnya perbedaan interpretasi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh fakta bahwa demokrasi modern bagi Bangsa Indonesia saat itu adalah sesuatu yang asing, sesuatu yang diimpor dari luar untuk diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia yang berbasis nilai-nilai feodalisme dan patron client. Pada era demokrasi pancasila, sempat terjadi kestabilan pelaksanaan Pemilu secara periodik dari mulai Pemilu tahun 1977 sampai 1997. Stabilnya pelaksanaan Pemilu secara periodik pada masa orde baru menunjukkan situasi negara pada masa itu lebih stabil daripada masa lainnya. Bahkan, pada masa orde lama, pasca kemerdekaan, Pemilu 68 hanya dilaksanakan sekali, pada tahun 1955. Artinya, terdapat masa ketidakstabilan demokrasi lebih kurang 10 tahun atau memang masa itu demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Namun, dalam akhir perjalanannya, masa demokrasi pancasila tercoreng dengan lahirnya rezim yang berkuasa cenderung absolut. Pada masa itu, terjadi ketimpangan kekuasaan antara MPR, DPR dan presiden. Dalam konsep idealnya, MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan DPR sebagai lembaga tinggi negara yang sejajar dengan presiden sebagai lembaga eksekutif. Namun, pada kenyataannya, presidenlah yang paling kuat memiliki kekuasaan. MPR dan DPR yang diharapkan memiliki kekuasaan penuh, hanya menjadi “tukang stempel” saja. Kedua lembaga tersebut terkesan hanya sebagai prasyarat legal formal demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, banyak pihak menilai bahwa pada masa orde baru, Indonesia menganut demokrasi terpimpin dengan kekuasaan terpusat pada presiden. Semua lembaga negara, baik lembaga tertinggi maupun lembaga tinggi negara, diatur dan selalu menaati semua perintah presiden sehingga muncul kecenderungan Indonesia mengarah pada negara monarki; kekuasaan dipegang hanya oleh satu orang. Realitas itulah tampaknya yang membuat rakyat Indonesia marah dan terjadilah reformasi, termasuk yang diusung paling terdepan oleh rakyat Indonesia adalah reformasi politik sehingga tahun 1999 dilakukan Pemilu. Disebut istimewa karena Pemilu itu diselenggarakan bukan pada waktunya. Seharusnya, secara periodik, Pemilu diselenggarakan kembali pada tahun 2002, namun karena desakan seluruh rakyat Indonesia setelah lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan. Ternyata reformasi politik di Indonesia bergulir sangat cepat. Desakan seluruh rakyat Indonesia untuk dapat berperan dalam menentukan nasib negara, termasuk menentukan pemimpin pemerintahan sangat deras sehingga terjadilah berbagai reformasi politik besar-besaran dan sampailah pada Pemilu secara langsung. Tergoreslah sejarah bagi Bangsa Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada tahun 2004. Lahirnya era demokrasi langsung di Indonesia. Reformasi politik pun terjadi pada pemerintahan daerah. UU No. 5/1974 tentang Pemerintah Daerah yang menekankan sentralistik kekuasan pada pemerintah pusat diubah dengan UU No. 22/1999. Undang-undang tersebut lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah 69 karena di dalamnya banyak mengatur tentang pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tidak berhenti hanya di situ, geliat otonomi daerah pun terus bergulir cepat. UU No. 22/1999 pun digantikan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Hal paling esensial dari pergantian UU Pemerintah Daerah yang sangat cepat tersebut adalah penentuan kepala daerah. Pada UU No. 5/1974, pengangkatan kepala daerah menjadi wewenang penuh pemerintah pusat, DPRD hanya menetapkan calon berdasarkan urutan suara, sedangkan pada UU No. 22/1999 anggota DPRD mulai ikut menentukan kepala daerah melalui pemilihan, dan UU No. 32/2004 menyuratkan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Rakyat daerah dapat menentukan sendiri pemimpin pemerintahan di daerah. Geliat demokrasi Indonesia yang terus mengalami perubahan akan sejalan dengan geliatnya komunikasi politik yang berkembang di Indonesia. Karena pada dasarnya, semua proses politik yang terjadi di negara manapun tidak akan dapat melepaskan diri dari unsur komunikasi politik. Gabriel Almond mengategorikan komunikasi politik sebagai satu dari empat fungsi input sistem politik. Komunikasi politik telah menyebabkan bekerja samanya semua fungsi dalam sistem politik. Alfian mengibaratkan komunikasi politik sebagai sirkulasi darah dalam tubuh. Bukan darahnya, melainkan apa yang terkandung di dalam darah itu yang mendorong sistem politik itu hidup. Komunikasi politik, layaknya darah, mengalirkan pesan-pesan politik berupa tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke (jantung) pusat pemrosesan sistem politik. Hasil pemrosesan itu melahirkan simpulan berupa output yang dilahirkan lagi menggunakan saluran komunikasi politik menjadi feedback dalam sistem politik. Komunikasi politik menyambungkan semua sistem yang ada pada sistem politik, termasuk sistem politik masa kini dan masa lampau. Oleh karena itu, aspirasi dan berbagai kepentingan dari semua stakeholder politik dapat tersampaikan dan melahirkan berbagai kebijakan. Apabila komunikasi politik berjalan lancar, wajar, dan sehat maka sistem politik akan mencapai tingkat responsif yang tinggi terhadap perkembangan aspirasi dan kepentingan rakyat serta tuntutan perubahan zaman. Komunikasi politik membantu sistem politik mulai dari penanaman nilai (sosialisasi atau pendidikan politik) sampai pada pengartikulasian serta penghimpunan aspirasi dan kepentingan, kemudian 70 pada proses pengambilan kebijaksanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap kebijakan tersebut. Komunikasi politik berperan penting dalam memelihara dan mengembangkan budaya politik yang ada dan berlaku serta sudah menjadi landasan yang mantap dalam sistem politik yang mapan dan handal. Komunikasi politik mentransmisikan nilai-nilai budaya politik yang bersumber dari pandangan hidup atau ideologi bersama masyarakatnya kepada generasi baru dan memperkuat proses pembudayaannya dalam diri generasi yang lebih tua (Hikmat:2011:229233). Budaya politik lahir dari sistem politik yang dianut oleh tiap-tiap negara. Budaya politik yang berbeda-beda melahirkan sifat komunikasi politik yang berbeda-beda pula. Dalam sistem politik otoriter/totaliter dengan ideologi tertutup, sifat komunikasi politiknya satu arah, yaitu dari atas ke bawah, dari penguasa ke masyarakat dalam bentuk indokrinasi. Komunikasi politik yang bersifat indokrinasi ini tercermin dalam proses sosialisasi politik masyarakatnya. Menurut penafsiran penguasa yang memonopolinya, kebenaran ideologi tidak dapat dibantah. Masyarakat merasa tidak berdaya untuk mengutarakan pandangan, pemikiran, pendapat, aspirasi dan kepentingan mereka yang murni. Penguasa mendominasi dan mengontrol semua jaringan politik, baik dalam fungsifungsi input maupun output. Komunikasi politik berperan sebagai alat kekuasaan yang efektif dan ampuh. Realitas itu tercermin pada Fasisme Nazi Jerman di bawah pemerintahan Hitler dan Komunis Rusia di bawah pemerintahan Stalin(Alfian:1993:6). Sistem politik yang anarkis biasanya lahir karena belum membudayanya ideologi bersama. Ideologi mereka masing-masing dipersaingkan di antara golongan yang ada sehingga terjadi persaingan dan pertentangan ideologi, rasa saling curiga, permusuhan serta primodialisme yang makin menguat. Dalam sistem politik ini, lahirlah budaya politik anarkisme dalam bentuk kebebasan dan keterbukaan yang tidak terbatas dan tidak terkendali. Dalam budaya ini, komunikasi politik tampak sangat terbuka dan bebas, tetapi sesungguhnya tidak sehat. Tiaptiap golongan atau kekuatan politik menganggap dirinyalah yang paling kuat. Isi pesan komunikasi politik penuh dengan pengagungan diri sendiri sambil saling mencela dan menjelekkan orang lain. Sifat komunikasi politik dalam sistem dan budaya politik anarkisme memperkuat pembenaran ideologi golongan, mengutamakan aspirasi dan kepentingan 71 masing-masing, serta merangsang primordialisme dan mengembangkan suasana saling mencurigai. Dalam sistem politik demokrasi, budaya politik yang berkembang pun adalah budaya politik serba terbuka sehingga sangat memungkinkan komunikasi politik mengembangkan dialog yang wajar dan sehat, dua arah atau timbal balik, baik secara vertikal maupun horizontal. Tidak ada yang berhak memonopoli penafsiran. Semua pihak mengembangkan pemikiran yang relevan tentang ideologi. Semua merasa sama-sama memiliki. Hal itu berlaku pula dalam komunikasi politik. Suatu sistem politik akan berjalan lancar jika komunikasi politik berjalan lancar. Komunikasi politik akan efektif jika dapat menekan, bahkan menghilangkan noise dalam bentuk unsur-unsur budaya yang berbeda atau menyelaraskan dengan budaya yang hidup dalam negara penganut sistem politik itu. Apalagi pada kehidupan bangsa Indonesia yang memiliki karakter budaya berbeda-beda, penyelarasan pesan atau bungkusan pesan dalam komunikasi politik menjadi salah satu langkah efektif guna “melanggengkan” sistem politik. Berdasarkan catatan historis, hal tersebut sudah direalisasikan dalam kehidupan politik Indonesia, terutama pada masa orde baru sehingga rezim Soeharto dapat mempertahankan sistem politik ototiternya dengan bungkus pesan Pancasila dalam waktu yang cukup panjang. Langkah-langkah komunikasi politik di antaranya terjadi dalam berbagai cacatan peristiwa berikut ini: 1. Pada zaman rezim orde baru yang berada dalam kondisi struktur politik sentralistik, otoriter, dan pemegang mayoritas tunggal, pihak rezim senantiasa membungkus kekuasaannya dengan jargon “pembangunan”. Pihak rezim tahu benar bahwa rakyat memiliki nilai-nilai budaya yang manut kepada pemimpin, rela berkorban, dan bergotong royong untuk kepentingan “pembangunan” bersama. Rakyat yang tidak mendukung rezim dituduh sebagai kelompok anti pembangunan. Pihak rezim tahu benar bahwa dalam masyarakat memiliki struktur paternalistis yang kuat dengan para tokoh lokal, baik dari tokoh agama maupun adat. Pihak rezim memanfaatkan para tokoh lokal ini sebagai encoder atas pesan-pesan “pembangunan” untuk masyarakatnya, dengan menggunakan pendekatan agama dan atau adat. 72 2. Budaya paternalistis menjadi bungkus komunikasi politik bagi penguasa rezim orde baru untuk menanamkan nama Soeharto menjadi penguasa tunggal di republik ini. Pesan diluncurkan bahwa Soeharto masih keturunan Sultan Yogyakarta sehingga seluruh rakyat di Yogyakarta khususnya, di Jawa umumnya, manut terhadapnya. Rezim orde baru pun menanamkan namanya di seluruh hati rakyat Indonesia dengan mewajibkan memasang fotonya di seluruh instansi pemerintah sampai tingkat rendah sehingga rakyat Indonesia menganggap Soeharto adalah raja yang harus disembah. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih terpengaruh oleh budaya masa kerajaan bahwa titah raja adalah hukum. Soeharto pun menancapkan namanya sebagai “pahlawan” memberantas PKI dan ia penerima Supersemar, padahal sejarah itu banyak yang mempertanyakan. Penanaman nama pada rakyat adalah komunikasi yang efektif untuk melanggengkan sistem politik otoriter, termasuk paham-paham politik yang lainnya. Dulu, orang-orang kulit putih di Amerika Serikat mengganti nama-nama orang kulit hitam yang mereka kuasai; Bangsa Yahudi mengganti nama tempat dan jalan di seluruh Palestina; Timor-Timur tidak mau mempertahankan nama itu, tetapi menggantinya dengan Timor Leste; Wali Songo banyak mengganti nama setiap muallaf dengan nama kearabaraban; dan berbagai pelabelan lainnya, semuanya adalah pesan komunikasi politik. 3. Kampanye politik yang efektif terhadap rakyat Indonesia ternyata bukan kampanye melalui media massa, melainkan dengan mendatangi para tokoh yang berpengaruh di masyarakat atau para kepala keluarga (two step flow model). Para politikus rutin mengunjungi para ulama di pesantren-pesantren besar, seperti yang dilakukan Golkar sehingga menjadi partai terbesar. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dimenangkan oleh calon yang dekat dengan para kepala adat. Budaya paternalistis selalu jadi sandaran komunikasi politik para politikus. 4. Pada zaman rezim orde baru muncul pesan politik penjulukan (labeling) terhadap pihak-pihak yang tidak mereka sukai atau dianggap status quo, seperti PKI, ekstrem kiri, ekstrem kanan, GPK, PRD, anti-Pancasila, dan subversi. Penjulukan tersebut menjadi pesan yang sangat efektif sebagai doktrin politik 73 5. 6. 7. 8. 74 terhadap pihak-pihak yang menentang berlakunya sistem politik otoriter. Pesan tersebut dibungkus dengan bumbu makar, merongrong keamanan negara, dan tindakan-tindakan yang dalam frame budaya masyarakat Indonesia adalah kejahatan yang tidak dapat dimaafkan. Pada saat rezim orde baru, penguasa ingin dipandang oleh rakyat dan dunia bahwa mereka memiliki keberpihakan kepada sektor pertanian dan pedesaan yang memang faktanya merupakan kelompok mayoritas dari rakyat negeri ini. Dengan pendekatan serupa pihak rezim menggenjot sumber daya rakyat pedesaan untuk mendukung “pembangunan” pertanian sehingga rakyat “rela” (berdiam karena tidak bisa protes) harus secara seragam menanam komoditas yang diwajibkan oleh pihak pemerintah, yaitu padi. Rakyat pun berdiam saja pada saat tanamannya dicabuti pihak rezim karena bukan padi. Selain jargon pembangunan, pihak rezim membungkus pesan kekuasaannya dengan jargon “persatuan dan kesatuan”. Untuk ini, mereka senantiasa mendengungkan moto “serasi,selaras dan seimbang”. Dalam seni musik, selaras artinya satu laras (contohnya laras pelog, atau laras salendro). Secara politik, maknanya rakyat harus satu suara dengan pihak rezim. Mereka yang berbeda suara dianggap antipersatuan dan kesatuan bangsa dan anti pembangunan. Pada masa reformasi, kelompok partai Islam mengecam Megawati jadi presiden. Mereka mengusung pesan “budaya Islam” yang melarang wanita menjadi pemimpin (imam). Padahal, pesan yang sebenarnya, mereka ingin menurunkan Megawati dari kursi kepresidenan. Setiap pemimpin partai yang menghendaki dukungan rakyat selalu membungkus pesan mereka dengan kebiasaan berpakaian mereka. Banyak politikus ketika berkampanye ke pesantren menggunakan peci (kopiah) dan ketika ke keraton menggunakan blangkon. Bahkan, ketika ke Bali, Megawati diisukan ikut menyembah patung Hindu. Begitu pula pada era pemilihan pemimpin secara langsung, baik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden maupun kepala daerah, komunikasipolitik para kandidat pun dituntut untuk dapat langsung kepada rakyat pemilih. Realitas-realitas tersebut akan terus berkembang sehingga kajian komunikasi politik akan terus dinamis karena akan menjadi bagian dari perkembangan sistem dan budaya politik yang berkembang di suatu negara, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, kajian komunikasi politik ke depan akan terus menjadi bagian dari tren ilmu komunikasi (Hikmat:2011:234-237). 75 BAB III PSIKOLOGI KOMUNIKASI A. Pengertian Psikologi dan Sejarahnya Menurut asal katanya, psikologi berasal dari kata-kata Yunani: psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Namun, arti "ilmu jiwa" masih kabur sekali. Apa yang dimaksud dengan "jiwa", tidak ada seorang pun yang tahu dengan sesungguhnya. Dampak dari kekaburan arti itu, sering menimbulkan berbagai pendapat mengenai definisi psikologi yang berbeda. Banyak sarjana memberi definisinya sendiri yang disesuaikan dengan arah minat dan aliran masing-masing. Sebelum psikologi berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan pada tahun 1879, psikologi (atau tepatnya gejala-gejala kejiwaan) dipelajari oleh filsafat dan Ilmu Faal. Filsafat sudah mempelajari gejala-gejala kejiwaan sejak 500-600 tahun SM, yaitu melalui filsuf-filsuf Yunani Kuno. Di antara para filsuf itu adalah Thales (624-548 SM) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat. Beliau mengartikan jiwa sebagai sesuatu yang supernatural. Jadi, jiwa itu tidak ada, karena menurut beliau yang ada di alam ini hanyalah gejala alam (natural phenomena) dan semua gejala alam berasal dari air. Lain halnya dengan Anaximander (611-546 SM) yang berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari apeiron artinya tak berbatas, tak berbentuk, tak bisa mati (the boundless, formless, immortal matter), yaitu seperti konsep tentang Tuhan di zaman kita sekarang. Berdasarkan hal itu beliau berpendapat bahwa jiwa itu ada. Filsuf lainnya yakni Anaximenes (490-430 SM) percaya bahwa jiwa itu ada, karena segala sesuatu berasal dari udara. Tokoh-tokoh filsafat Yunani Kuno berikutnya sudah lebih konkret dalam memaknai jiwa. Empedokles (490-430 SM) menyatakan bahwa ada empat elemen dasar alam, yaitu bumi/tanah, udara, api, dan 76 air, sedangkan manusia bisa dianalogikan sama, yakni tulang/otot/usus (dari bumi/tanah), fungsi hidup (dari udara), rasio (dari api), dan cairan tubuh (dari air). Tokoh lainnya, Hipokrates (460-375 SM) yang juga dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran beranggapan bahwa jiwa manusia dapat digolongkan ke dalam empat tipe kepribadian berdasarkan cairan tubuh yang dominan, yaitu: 1. Tipe sanguine (riang) yang didominasi oleh darah. 2. Tipe melankolis (murung) oleh sumsum hitam. 3. Kolerik (cepat bereaksi) oleh sumsum kuning. 4. Flegmatis (lamban) oleh lendir. Dari sekian banyak tokoh yang kemudian berperan paling penting terhadap perkembangan psikologi ratusan tahun ke depan adalah tiga serangkai Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM), yang sering disebut dengan Trio-SPA. Plato adalah murid Sokrates, dan Aristoteles murid Plato. Sokrates memperkenalkan teknik maeutics, yaitu wawancara untuk memancing keluar pikiran-pikiran dari seseorang. Ia percaya bahwa pikiran-pikiran itu mencerminkan keberadaan jiwa di balik tubuh manusia. Plato kemudian berteori bahwa jiwa manusia mulai masuk ke tubuhnya sejak manusia ada dalam kandungan (mirip konsep agama Islam, Kristen, dan Yahudi), dan mempunyai tiga fungsi, yaitu logisticon (akal) yang berpusat di kepala, thumeticon (rasa) yang berpusat di dada, dan abdomen (kehendak) yang berpusat di perut (mirip dengan konsep jiwa menurut Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa). Aristoteles menyumbangkan pikiran yang sangat penting dalam tulisannya yang berjudul "The Anima". Ia mengatakan bahwa makhluk hidup terbagi dalam tiga golongan, yaitu anima vegetativa (tumbuhtumbuhan), anima sensitiva (hewan), dan anima intelektiva (manusia). Hewan berbeda dari tumbuh-tumbuhan karena hewan berindera (sensitiva), sedangkan tumbuh-tumbuhan tidak. Namun manusia yang juga berindera, berbeda dari hewan karena manusia punya kemampuan mengingat (mneme), yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai kecerdasan (intelek). Pemikiran para filsuf Yunani Kuno berkembang terus sampai pada zaman Renaisan, yaitu zaman revolusi ilmu pengetahuan di Eropa. Pada era ini Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf Prancis, mencetuskan definisi bahwa ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu tentang kesadaran. Ia mengemukakan mottonya yang terkenal "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya ada), karena menurut beliau segala sesuatu di 77 dunia ini tidak ada yang dapat dipastikannya, kecuali pikirannya sendiri. Di era yang sama, walau pada generasi berikutnya, George Berkeley (1685-1753) seorang filsuf Inggris, mengemukakan pendapat bahwa yang terpenting adalah penginderaan, bukan kesadaran atau rasio. Menurutnya segala sesuatu berawal dari penginderaan, rasio hanya mengikuti apa yang diserap oleh penginderaan. Oleh karena itu, dalam pandangan Berkeley psikologi adalah ilmu tentang penginderaan (persepsi). Era Ilmu Faal dimulai pasca Renaisan. Para ahli Ilmu Faal (fisiologi) ketika itu, khususnya para dokter mulai tertarik pada masalahmasalah kejiwaan. Pada saat itu, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di negara-negara Eropa, khususnya di bidang Fisika (ilmu alam) dan Biologi, para ahli Ilmu Faal berpendapat bahwa jiwa erat sekali hubungannya dengan susunan syaraf dan refleks-refleks. Dimulai dengan Sir Charles Bell (1774-1842, Inggris) dan Francois Magendie (1783-1855, Prancis) yang menemukan syaraf-syaraf sensorik (penginderaan) dan syaraf-syaraf motorik (yang mempengaruhi gerak dan kelenjar-kelenjar), para ahli kemudian menemukan berbagai hal, antara lain pusat bicara di otak (Paul Brocca, 1824-1880, Jerman) dan mekanisme refleks (Marshall Hall, 1790-1857, Inggris). Setelah penemuan-penemuan itu timbullah definisi-definisi tentang psikologi yang mengaitkan psikologi dengan tingkah laku dan selanjutnya mengaitkan tingkah laku dengan refleks. Ivan Pavlov (1849-1936, Rusia), misalnya mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang refleks dan karena itu psikologi tidak berbeda dari Ilmu Faal (Sarwono:2010:1-5). Perkembangan definisi-definisi itu masih berlanjut hingga sekarang. Di antara para sarjana psikologi modern yang mengemukakan definisi psikologi, dapat dikemukakan beberapa di antaranya: 1. Gardner Murphy (1929): Psikologi adalah ilmu yang mempelajari respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya. 2. Boring, Edwin G., Herbert S. Langfeld, dan Harry P. Weld (1948): Psikologi adalah studi tentang hakikat manusia. 3. Clifford T. Morgan (1966): Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan (Sarwono:2010:6). 4. Aliran Freudianisme: Psikologi adalah ilmu yang mempelajari baik gejala-gejala kesadaran maupun gejala-gejala ketidaksadaran serta gejala-gejala di bawah sadar. 5. R. S. Woodworth dan D. G. Marquis: Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari semua tingkah laku dan 78 6. 7. 8. 9. perbuatan individu yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya (Psychology is the scientific studies of the individual activities relation to environment). Penerapannya secara ilmiah dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mencatat dengan teliti mengenai segala tingkah laku manusia selengkap mungkin dan dijauhkan dari segala prasangka, sehingga diperoleh jawaban yang terpercaya mengenai pelbagai pertanyaan teoritis dan praktis. Verbeek: Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki penghayatan dan perbuatan manusia ditinjau fungsinya bagi subjek. Mac Dougall: Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia (human behaviour). Oleh sebab itu, psikologi digolongkan dalam aliran behaviourism. Jalaluddin: Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emosi), dan kehendak (conasi). Gejala dimaksud mempunyai ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal, dan beradab. Gejala pokoknya dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia namun terkadang ada di antara pernyataan dalam aktivitas itu merupakan gejala campuran sehingga para ahli psikologi menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari dalam psikologi, yaitu pikiran, perasaan, kehendak, dan gejala campuran. Tergolong gejala campuran, yaitu inteligensi kelelahan maupun sugesti. F. Patty: Ahli ini berpendapat bahwa dalam mempelajari psikologi ditemui kendala, yaitu objek penyelidikannya bersifat abstrak dan tidak dapat diselidiki keaktifan-keaktifannya yang terlihat melalui manifestasi tingkah laku atau perbuatan. Jika dituntut lebih jauh sampai saat ini para tokoh atau ahli psikologi belum berhasil menemukan bentuk dan rupanya jiwa karena pada kenyataannya jiwa tidak dapat dilihat secara langsung. Sebagai pembanding dalam mencari gambaran konkretnya dimisalkan dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bentuk objeknya dapat dilihat secara langsung, kemudian dapat diperiksa di laboratorium IPA, dan sebagainya. Objek yang tidak dapat dilihat menggunakan mata secara langsung misalnya angin tetapi keberadaannya dibuktikan oleh gerakan atau keaktifan angin itu sendiri yang mampu menggerakkan daun-daun tanaman, kain gorden sewaktu daun jendela dibuka, daun-daun kering atau 79 benda-benda ringan yang lain terlihat terbang sewaktu angin sedang bertiup kencang di sekitar kita. 10. Menurut lainnya, Bimo Walgito mencatat bahwa psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas, di mana tingkah laku serta aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan (Prawira:2012:25-27). Jika kita mengkritisi definisi psikologi yang telah dikemukakan oleh berbagai ahli termasuk di dalamnya ahli psikologi tersebut, diperoleh gambaran bahwa tujuan pokok dalam psikologi adalah memahami seluk-beluk kehidupan rohaniah manusia yang merupakan kekuatan penggerak bagi segala kegiatan hidup lahiriah dalam lingkungan alam sekitar. Demikian juga psikologi selalu menekankan kepada tingkah laku (Prawira:2012:27). Perdebatan tentang definisi psikologi ini berlanjut terus. Saat ini sudah demikian banyak definisi psikologi sehingga sulit dikatakan bahwa ada satu definisi yang berlaku umum. Sebagian pakar ingin definisi yang lebih konkret daripada jiwa, atau mental, sehingga mereka mendefinisikan psikologi sebagai "aktivitas mental" (John Dewey, Carr). Namun ada yang beranggapan bahwa "aktivitas mental" pun masih terlalu luas. Maka muncullah definisi psikologi sebagai "elemen introspeksi/mawas diri" (Titchener, Daellenbach), "waktu reaksi" (Scripture), "refleks" (Pavlov), atau "perilaku" (Watson). Definisi-definisi berkembang dalam semangat untuk menuju psikologi yang objektif dan terukur, sebagai suatu persyaratan yang penting untuk sebuah ilmu pengetahuan (pasca renaisans). Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. Namun, perkembangan ini tidak memuaskan beberapa pakar psikologi yang lain, karena definisidefinisi tersebut dianggap melanggar "janji" awal psikologi, yang secara etimologis berarti "ilmu jiwa". Dalam definisi-definisi yang "terukur" ini, orang justru melupakan inti dari psikologi, yaitu jiwa, mental, mind, soul, atau spirit. Padahal tidak mungkin "jiwa" bisa dimengerti tanpa kita pernah mempelajari "jiwa" itu sendiri. Gene Zimmer pernah menyatakan bahwa psikologi harus mampu menjelaskan hal-hal seperti imajinasi, perhatian, intelek, kewaspadaan, niat, akal, kemauan, tanggungjawab, memori dan lain-lain yang sehari-hari melekat pada diri kita. Tanpa itu, psikologi tidak akan banyak bermanfaat. 80 Perdebatan tentang definisi psikologi belum terselesaikan. Apalagi kalau ditambahkan pandangan filsuf-filsuf Islam seperti Ibnu Sina atau yang dalam bahasa Eropa sering disebut dengan Avicenna (980-1037) dan Iman Ghazali atau yang dikenal juga dengan nama Abu Hamid al-Ghazali (1058-1128), dua pemikir Islam Persia/Iran, namun menganut pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonian yang kemudian diadopsi oleh Pendeta Santo Aquinas (1224-1274) untuk mengukuhkan ortodoksi gereja di Barat. Walaupun demikian, dibutuhkan satu definisi yang paling sesuai untuk digunakan. Tanpa adanya satu definisi yang dapat dijadikan pegangan, maka akan sukarlah berbicara mengenai psikologi. Dari definisi-definisi psikologi di atas, terlihat tiga unsur, yaitu: 1. Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan yaitu suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan mempunyai metode-metode tertentu. Sebenarnya, psikologi di samping merupakan ilmu juga merupakan "seni", karena dalam pengamalannya dalam berbagai segi kehidupan manusia, diperlukan keterampilan dan kreativitas tersendiri. Namun, dalam buku ini pembicaraan akan lebih ditekankan pada psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan saja. Aspek "seni" dalam psikologi dapat dipelajari dalam buku-buku tentang konseling, psikoterapi, maupun teknik-teknik wawancara atau observasi dalam penelitian psikologi. Perilaku atau perbuatan mempunyai arti yang lebih konkret daripada "jiwa". Karena lebih konkret itu, maka perilaku lebih mudah dipelajari daripada jiwa dan melalui perilaku kita tetap akan dapat mempelajari jiwa. Termasuk dalam perilaku di sini adalah perbuatan-perbuatan yang terbuka (overt) maupun yang tertutup (covert). Perilaku yang terbuka adalah perilaku yang kasat mata dan dapat diamati secara langsung melalui pancaindra, seperti berlari, melempar atau mengangkat alis. Perilaku yang tertutup hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui alat-alat atau metode-metode khusus, misalnya berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut, dan sebagainya. Istilah perilaku ini bisa mewakili istilah behavior seperti yang dimaksud oleh J.B. Watson, maupun activity dan introspeksi seperti dikemukakan dalam definisi-definisi lainnya. 81 2. Manusia Makin lama objek materil psikologi makin mengarah kepada manusia karena manusia yang paling berkepentingan dengan ilmu ini. Manusia paling membutuhkan ilmu ini dalam berbagai segi kehidupannya, di sekolah, di kantor, di rumah tangga dan sebagainya. Hewan masih menjadi objek studi psikologi, tetapi hanya sebagai perbandingan saja atau untuk mencari fungsi-fungsi psikologis yang paling sederhana yang sudah sukar dipelajari pada manusia karena struktur psikologis manusia sudah terlalu berbelit. 3. Lingkungan Lingkungan yaitu tempat di mana manusia itu hidup, menyesuaikan dirinya (beradaptasi) dan mengembangkan dirinya. Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya di dunia ini, manusia tidak diciptakan berbulu tebal untuk melawan udara dingin, ia tidak bertaring kuat untuk membunuh mangsanya, ia pun tidak pandai berlari cepat untuk menghindar dari musuh-musuhnya. Sebagai gantinya, manusia mempunyai alat yang sangat tangguh yang menyebabkan ia dapat bertahan hidup di dunia ini. Alat itu adalah akal budi. Menurut Ernst Cassirer (1944), dengan akal budi itu, manusia menyusun simbol-simbol berupa mitos, bahasa, kesenian, agama, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dengan simbolsimbol itulah manusia "menguasai" dunianya, baik alam fisiknya (sungai, gunung, udara, dan lain-lain) maupun alam sosialnya (orang-orang lain di sekitarnya). Dengan menggunakan ilmu pengetahuan manusia bisa membangun gedung-gedung pencakar langit atau roket ke bulan dan dengan menggunakan bahasa, manusia dapat saling berhubungan dan saling mengerti satu sama lain. Dengan bantuan teknologi, manusia menggunakan telepon genggam dan internet untuk saling berkomunikasi ke seluruh dunia dalam hitungan detik. Jadi, manusia adalah makhluk simbolis (man is an animal symbolicum), demikian menurut Ernst Cassirer, dan dengan simbol-simbolnya itu manusia mampu terbang lebih cepat dan lebih tinggi daripada burung walau tidak bersayap, mampu mengarungi samudera walaupun tidak bisa berenang seperti ikan dan mampu menembus ruang dan waktu walaupun ia bukan dewa (Sarwono:2010:6-10). 82 B. Perkembangan Manusia Manusia dari waktu ke waktu terus mengalami perubahanperubahan menuju ke tingkat yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain. Perubahan-perubahan tersebut meliputi perubahan dalam segi fisiologi maupun segi psikologi. Tentang perkembangan manusia secara mendetail dibicarakan khusus tentang hal itu dalam ilmu yang disebut psikologi perkembangan. Para ahli mengatakan bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh bermacammacam faktor seperti dituangkan dalam teori perkembangan yang disusunnya. Teori-teori perkembangan manusia yang telah dikenal umum dalam psikologi seperti dikemukakan oleh para ahli di antaranya, yaitu teori nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi. 1. Teori Nativisme Teori nativisme dikemukakan oleh Scopen Hauer. Ahli ini mengemukakan dalam teori nativisme yang disusunnya bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh faktor-faktor keturunan yang merupakan faktor-faktor yang dibawa oleh individu pada waktu dilahirkan. Dengan demikian begitu dilahirkan pada diri manusia telah membawa sifat-sifat tertentu yang akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan. Pada kenyataannya individu yang dilahirkan akan hidup di dunia dengan alam lingkungan sekitarnya. Tetapi menurut teori nativisme adanya faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan tidak berpengaruh terhadap perkembangan individu yang bersangkutan. Dengan begitu teori tersebut memandang bahwa sifat-sifat manusia yang dilahirkan ke dunia telah ditentukan oleh sifat-sifat semasa masih dalam kandungan ibunya. Setelah dilahirkan sifat-sifat itu tetap akan melekat erat-erat dalam diri individu tersebut dan tidak dapat diubah oleh faktor atau keadaan apa pun. Jika individu dilahirkan oleh seorang ibu yang sifatsifatnya baik, individu tersebut akan mempunyai sifat yang baik. Kebalikannya dengan hal tersebut, yaitu jika individu dilahirkan oleh seorang ibu yang sifat-sifatnya jelek (buruk), individu tersebut juga akan mempunyai sifat-sifat yang buruk sama seperti sifat ibu yang melahirkannya. Sifat baik atau buruk tersebut akan terus melekat pada individu selama hidupnya di dunia dan tidak pernah akan dapat diubah oleh upaya apa pun, termasuk pendidikan. 83 Jadi menurut teori nativisme, pendidikan tidak mempunyai peranan apa-apa untuk mengubah sifat-sifat individu. Dengan demikian dalam dunia pendidikan adanya teori nativisme menimbulkan paham pesimistis berkaitan dengan pengubahan sifat-sifat individu dari sifat jahat (buruk) ke sifat yang baik (terpuji). Menurut teori nativisme untuk mendapatkan generasi atau masyarakat yang baik sifat-sifatnya harus dilakukan dengan seleksi terhadap anggota masyarakat. Anggota masyarakat yang sifat-sifatnya tidak baik tidak diberi kesempatan berkembang sebab ia akan memberikan keturunan dengan sifat-sifat yang jelek (buruk). Sebaliknya, untuk menciptakan masyarakat yang sifat-sifatnya baik langkah yang dapat ditempuh, yaitu menyeleksi anggota masyarakat yang sifatnya baik untuk diberi kesempatan berkembang biak sehingga dihasilkan keturunan dengan sifat-sifat yang baik. Namun pada perkembangan berikutnya teori nativisme kurang dapat diterima oleh masyarakat luas. Hal itu terbukti dengan muncul teori perkembangan lain yang dikemukakan oleh ahli yang berbeda. 2. Teori Empirisme Teori empirisme dikemukakan oleh John Locke. Teori empirisme juga sering dikenal dengan sebutan teori tabularasa. Berbeda dengan teori nativisme, teori empirisme menyatakan bahwa perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh empiri atau pengalaman-pengalaman yang dapat diperolehnya selama perkembangan individu tersebut di dalam kehidupannya di dunia. Dengan demikian menurut teori empirisme, perkembangan individu dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan termasuk pendidikan yang diterima oleh individu yang bersangkutan. Teori tabularasa mengumpamakan individu yang dilahirkan dari ibunya sebagai kertas putih bersih yang belum ada tulisannya. Sifat seorang individu dapat dibuat menjadi sekehendak hati yang disukai tergantung hendak dibuat atau dibentuk seperti yang dikehendaki. Seperti kertas putih yang dapat ditulis apa saja sehingga menentukan wujud kertas tersebut pada akhirnya. Sepaham dengan teori tabularasanya John Locke, pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam menciptakan generasi atau individu yang sifatnya baik. Dengan demikian dalam dunia pendidikan teori tabularasa menimbulkan 84 paham yang optimistis. Sifat baik atau buruk seseorang dapat dibentuk melalui pendidikan yang baik kepada individu yang bersangkutan. 3. Teori Konvergensi Jika dikritisi dengan saksama kedua teori perkembangan yang telah dikemukakan di atas, kedua teori perkembangan tersebut tampak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Melihat adanya pertentangan pandangan tersebut, akhirnya para ahli psikologi berpikir keras mencari jalan tengahnya. Cara bijak dan ilmiah yang telah ditempuh oleh ahli untuk mengatasi hal itu ialah dengan menggabungkan kedua teori perkembangan tersebut. Teori gabungan (konvergensi) dimaksud dikemukakan oleh William Stern. Menurut ahli itu, baik pembawaan maupun pengalaman-pengalaman atau lingkungan mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam perkembangan individu. Perkembangan individu menurut Stern akan ditentukan oleh faktor keturunan atau faktor yang dibawanya sejak lahir atau disebut faktor endogen dan faktor lingkungan atau faktor eksogen termasuk pendidikan. Stern mengemukakan pendapatnya itu disertai buktibukti hasil penyelidikannya terhadap anak-anak kembar yang dilakukannya di Hamburg, Jerman. Stern mengetahui anak-anak kembar mempunyai sifat-sifat keturunan yang sama. Anak-anak tersebut kemudian dipisahkan dari pasangannya dan ditempatkan pada pengaruh lingkungan yang berbeda satu dengan yang lain. Pemisahan terhadap anak kembar segera dilakukan setelah kelahiran mereka. Setelah dalam kurun waktu tertentu, Stern memperoleh data dari pengamatannya bahwa kedua anak kembar tersebut akhirnya mempunyai sifat yang berbeda satu dengan yang lain. Hal itu berarti adanya pengaruh faktor lingkungan tempat anak mengalami perkembangan. Dengan pernyataan lain, faktor pembawaan atau keturunan tidak menentukan secara mutlak sifat-sifat atau struktur kejiwaan individu. Pada waktu-waktu berikutnya penyelidikan semacam itu banyak dilakukan di tempat-tempat lain, di antaranya di Chicago dan di Texas. Teori perkembangan yang dikemukakan oleh Stern lebih meyakinkan banyak orang sehingga dijadikan satu hukum perkembangan individu dalam psikologi perkembangan manusia (Prawira:2012:219-222). 85 C. Pengertian Komunikasi menurut Psikologi Telah banyak dibuat definisi komunikasi. Bila Kroeber dan Kluck-hohn (1957) berhasil mengumpulkan 164 definisi kebudayaan, maka Dance menghimpun tidak kurang dari 98 definisi komunikasi. Defenisi-definisi tersebut dilatarbelakangi berbagai perspektif, yaitu mekanistis, sosiologistis, dan psikologistis (Rakhmat:2011:3). Hovland, Janis, dan Kelly, semuanya psikolog, mendefinisikan komunikasi sebagai "the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individuals (the audience)" (Hovland, et, al:1953:12). Dance (1967) mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai usaha "menimbulkan respons melalui lambanglambang verbal", ketika lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimulus (Rakhmat:2011:3). Raymond S. Ross mendefinisikan komunikasi sebagai,"a transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in such a way as to help another elicit from his own experiences a meaning or responses similar to that intended by the source" (proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, sedemikian rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respons yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber) (Ross:1974:b7). Kamus psikologi, Dictionary of Behavioral Science, menyebutkan enam pengertian komunikasi: Communication is: 1) The transmission of energy change from one place to another as in the nervous system or transmission of sound waves, 2) The transmission or reception of signals or messages by organisms. 3) The transmitted message. 4) (Communication theory) The process whereby system influences another system through regulation of the transmitted signals. 5) (K. Lewin) The influence of one personal region on another whereby a change in one results in a corresponding change in the other region. 6) The message of a patient to his therapist in psychotherapy (Komunikasi adalah: 1) Penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat yang lain seperti dalam sistem saraf atau penyampaian gelombanggelombang suara. 2) Penyampaian atau penerimaan signal atau pesan oleh organisme. 3) Pesan yang disampaikan. 4) (Teori Komunikasi) Proses yang dilakukan satu sistem untuk mempengaruhi sistem yang lain melalui pengaturan signal-signal yang disampaikan. 5) (K. Lewin) 86 Pengaruh satu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga perubahan dalam satu wilayah menimbulkan perubahan yang berkaitan pada wilayah lain. 6) Pesan pasien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi) (Wolman:1973:3443). Daftar pengertian di atas menunjukkan rentangan makna komunikasi sebagaimana digunakan dalam dunia psikologi. Bila diperhatikan, dalam psikologi, komunikasi mempunyai makna yang luas, meliputi segala penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem atau organisme. Kata komunikasi sendiri dipergunakan sebagai proses, sebagai pesan, sebagai pengaruh, atau secara khusus sebagai pesan pasien dalam psikoterapi (Rakhmat:2011:4). Jadi, psikologi menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari alat-alat indera ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri organisme dan di antara organisme. Ketika pembaca membaca buku ini, retina matanya yang terdiri dari 12 juta sel saraf lebih, bereaksi pada cahaya dan menyampaikan pesan pada cabang-cabang saraf yang menyambungkan mata dengan saraf optik. Saraf optik menyambungkan impuls-impuls saraf itu ke otak. Sepuluh sampai 14 juta sel sarat pada otak manusia disebut neuron, dirangsang oleh impuls-impuls yang datang. Terjadilah proses persepsi yang menakjubkan. Bagian luar neuron, dendrit, adalah penerima informasi. Soma mengolah informasi dan menggabungkannya. Axon adalah kabel miniatur yang menyampaikan informasi dari alat indera ke otak, otak ke otot, atau dari neuron yang satu kepada yang lain. Di ujung axon terdapat serangkaian knop (terminal knobs) yang melanjutkan informasi itu. Psikolog menyebut proses ini komunikasi. Prosesnya memang tidak berbeda dengan sistem telekomunikasi dengan terminal-terminal relay dan dilengkapi dengan komputer. Otak manusia sendiri adalah komputer yang mampu menyimpan 280 quintilion (280 ditambah 18 angka nol) bit informasi (Hunt:1982:85). Akan tetapi, psikologi tidak hanya mengulas komunikasi di antara neuron. Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan, psikologi memberikan karakteristik manusia komunikan serta faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Pada komunikator, psikologi melacak sifat-sifatnya dan menyelidiki penyebab satu sumber komunikasi berhasil dalam mempengaruhi orang lain, sementara sumber komunikasi yang lain tidak 87 Psikologi juga tertarik pada komunikasi di antara individu: bagaimana pesan dari seorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan respons pada individu yang lain. Psikologi bahkan meneliti lambang-lambang yang disampaikan. Psikologi meneliti proses mengungkapkan pikiran menjadi lambang, bentuk-bentuk lambang, dan pengaruh lambang terhadap perilaku manusia. Penelitian ini melahirkan ilmu campuran antara psikologi, linguistik dan psikolinguistik. Pada saat pesan sampai pada diri komunikator, psikologi melihat ke dalam proses penerimaan pesan, menganalisis faktor-faktor personal dan situasional yang mempengaruhinya, dan menjelaskan berbagai corak komunikan ketika sendiri atau dalam kelompok. Teknik penyembuhan jiwa dalam dunia psikoterapi adalah dengan menggunakan metode baru, yaitu komunikasi terapeutik (therapeutic communication). Dengan metode ini, seorang terapis mengarahkan komunikasi begitu rupa sehingga pasien dihadapkan pada situasi dan pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial yang bermanfaat. Komunikasi terapeutik memandang gangguan jiwa bersumber pada gangguan komunikasi, pada ketidakmampuan pasien untuk mengungkapkan dirinya. Pendeknya, meluruskan jiwa orang diperoleh dengan meluruskan caranya berkomunikasi. Komunikasi di antara individu dibatasi pada komunikasi manusiawi. Psikologi sebenarnya banyak mempelajari komunikasi di antara binatang, binatang dengan manusia, atau manusia dengan mesin. Akan tetapi, di sini tidak akan ditemui uraian bagaimana Washoe, seekor simpanse, belajar bahasa isyarat, American Sign Language, atau Sarah, simpanse lainnya, belajar membaca dan menulis dengan menggunakan potongan-potongan plastik. Sesuai dengan perkembangan teknologi komunikasi, akan dibicarakan komunikasi massa. Dari segi psikologi, ada hal yang membedakan komunikasi massa dari komunikasi interpersonal. Ada efek komunikasi massa terhadap perubahan kognitif, afektif, dan behavioral khalayaknya. Komunikasi massa cukup perkasa untuk membentuk khalayak sekehendaknya. komunikasi massa itu bias menjadi "nabi" yang mendatangkan rahmat atau "iblis" yang menyebarkan laknat. Akhirnya, komunikasi boleh ditujukan untuk memberikan informasi, menghibur, atau mempengaruhi. Yang ketiga, lazim disebut komunikasi persuasif, amat erat kaitannya dengan psikologi. Persuasif sendiri dapat didefinisikan sebagai proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan psikologis. 88 Ketika komunikasi dikenal sebagai proses mempengaruhi orang lain, disiplin-disiplin yang lain menambah perhatian yang sama besarnya seperti psikologi. Para ilmuwan dengan berbagai latar belakang ilmunya, dilukiskan George A. Miller sebagai participating in and contributing to one of the great intellectual adventures of the twentieth century (ikut serta dalam dan bersama-sama memberikan sumbangan pada salah satu petualangan intelektual besar pada abad kedua puluh). Komunikasi, begitu ujar George A. Miller selanjutnya, telah menjadi "one of the principal preoccupation of our time" (salah satu kesibukan utama pada zaman ini). Bila berbagai disiplin mempelajari komunikasi, tentu ada yang membedakan pendekatan psikologis dengan pendekatan yang lain. Dengan kata lain, ada ciri khas pendekatan psikologis, sehingga kata "psikologi komunikasi" dapat dipertanggungjawabkan (Rakhmat:2011:56). D. Pengertian Psikologi Komunikasi Psikologi mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Sosiologi melihat komunikasi pada interaksi sosial, filsafat pada hubungan manusia dengan realitas alam semesta, dan psikologi pada perilaku individu komunikan. Menurut Fisher, ada 4 (empat) ciri pendekatan psikologi pada komunikasi, yaitu: 1. Penerimaan stimulus Secara Indrawi Psikologi melihat komunikasi bermula/berawal ketika panca indra (mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit) diterpa oleh rangsangan/ stimulus berupa data. Stimulus bisa berbentuk orang, pesan, suara, gambar, warna, dan sebagainya; yaitu segala sesuatu atau hal yang mempengaruhi seseorang. 2. Proses yang Mengantarai Stimulus dan Respons Stimulus itu kemudian diolah dalam jiwa kita, yaitu dalam “kotak hitam” yang belum pernah diketahui. Individu hanya mengambil kesimpulan tentang proses yang terjadi pada kotak hitam dari respon yang tampak. Misalnya bila seseorang itu tersenyum, tepuk tangan, dan meloncat-loncat, pasti ia dalam keadaan gembira. 89 3. Prediksi Respons Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respons yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respon yang akan datang. harus diketahui sejarah respons sebelum meramalkan respons individu di masa yang akan datang. 4. Peneguhan Respons Peneguhan adalah respons lingkungan (atau orang lain pada respons organisme yang asli). Ahli lain menyebutnya feedback atau umpan balik (Riswandi:2013:9). Belum ada kesepakatan tentang cakupan psikologi. Ada yang beranggapan psikologi hanya tertarik pada perilaku yang tampak saja, sedangkan yang lain tidak dapat mengabaikan peristiwa-peristiwa mental. Sebagian psikolog hanya ingin memberikan apa yang dilakukan orang; sebagian lagi menyatakan bahwa psikologi baru dikatakan sains bila sudah mampu mengendalikan perilaku orang lain (Rakhmat:2011:9). Sebagian psikolog hanya ingin memeriksa apa yang dilakukan orang, sebagian lagi ingin meramalkan apa yang akan dilakukan orang (Riswandi:2013:10). George A. Miller membantu membuat definisi psikologi yang mencakup semuanya: Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral events (Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi) (Miller:1974:4). Peristiwa mental adalah apa yang disebut Fisher internal mediation of stimuli, sebagai akibat berlangsungnya komunikasi. Peristiwa behavioral adalah sesuatu yang tampak ketika orang berkomunikasi (Rakhmat:2011:9). Komunikasi adalah peristiwa sosial. Psikologi komunikasi dapat diposisikan sebagai bagian dari psikologi sosial. Karena itu, psikologi sosial adalah juga pendekatan psikologi komunikasi. Bila individu-individu berinteraksi dan saling mempengaruhi, maka terjadilah: 1. Proses belajar yang meliputi aspek kognitif dan aspek afektif. 2. Proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang (komunikasi). 90 3. Mekanisme penyesuaian diri seperti sosialisasi, identifikasi, permainan peran, proyeksi, agresi, dan sebagainya (Riswandi:2013:10). E. Karakteristik Komunikator 1. Kredibilitas Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator. Dari definisi ini terkandung dua hal, yaitu: pertama; kredibilitas adalah persepsi komunikan. Jadi, tidak inheren dalam diri komunikator; kedua; kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator (disebut juga komponen-komponen kredibilitas). Karena kredibilitas itu adalah masalah persepsi, berarti kredibilitas berubah btergantung pada pelaku persepsi, (komunikan, topik yang dibahas, dan bergantung pula pada situasi. Contohnya: a. Seorang dosen memiliki kredibilitas di tengah-tengah mahasiswanya di ruang kelas, tetapi krediblitasnya turun ketika ia dipanggil oleh rektor. b. Seorang akuntan memiliki kredibilitas ketika ia membuat laporan neraca keuangan perusahaan, akan tetapi kredibilitasnya hilang ketika ia disuruh merancang bangunan tahan gempa. c. Seorang ahli motivator memiliki kredibilitas di hadapan khalayaknya, tetapi kredibilitasnya turun ketika ia berada di tengah-tengah anak dan istrinya. d. Seorang manajer pemasaran memiliki kredibilitas ketika memberikan briefing pada stafnya, akan tetapi kredibilitasnya hancur ketika ia berhadapan dengan Direktur Utama di kantornya. Dari contoh-contoh tersebut di atas, jelaslah bahwa kredibilitas tidak ada pada diri komunikator, tetapi terletak pada persepsi si komunikan. Oleh karena itu, ia dapat berubah atau diubah, terjadi atau dijadikan. Faktor lain, selain persepsi dan topik yang dibahas, yang mempengaruhi kredibilitas adalah faktor situasi. Pembicara pada 91 media massa memiliki kredibilitas yang tinggi dibandingkan dengan pembicara pada pertemuan RT. Begitu pula ceramah di hadapan civitas akademica suatu perguruan tinggi yang terkenal karena lulusannya yang kompeten dan mempunyai integritas akan meningkatkan kredibilitas penceramah. Sebaliknya penceramah yang semula memiliki kredibilitas yang tinggi, akan hancur kredibilitasnya setelah ia berbicara pada situasi yang dipandang kotor, atau di tengah-tengah kelompok yang dianggap berstatus rendah. Komponen-komponen kredibilitas adalah: a. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Komunikator yang dinilai tinggi pada keahlian dianggap sebagai orang yang cerdas, mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman atau terlatih. Sebaliknya komunikator yang dinilai rendah pada keahlian dianggap tidak berpengalaman, tidak tahu, atau bodoh. b. Kepercayaan adalah kesan komunikan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Komunikator bisa dinilai jujur, tulus, bermoral, adil, sopan, dan etis. Atau komunikator bisa dinilai tidak jujur, lancung, suka menipu, tidak adil, dan tidak etis. Empat komponen lagi sebagai komponen dari kredibilitas sebagai berikut: a. Dinamisme umumnya berkaitan dengan cara orang berkomunikasi. Komunikator memiliki dinamisme bila ia dipandang sebagai bergairah, bersemangat, aktif, tegas, dan berani. Sebaliknya komunikator yang tidak dinamis dianggap pasif, ragu-ragu, dan lemah. Dalam komunikasi, dinamisme memperkokoh kesan keahlian dan kepercayaan. b. Sosiabilitas adalah kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang periang dan senang bergaul. c. Koorientasi merupakan kesan komunikan bahwa komunikator sebagai orang yang mewakili kelompok orang yang disenangi, yang mewakili nilai-nilai yang dianut. d. Kharisma digunakan untuk menunjukkan suatu sifat luar biasa yang dimiliki komunikator yang menarik dan mengendalikan komunikan seperti magnet menarik benda- 92 benda di sekitarnya, seperti Presiden I RI Ir. Soekarno ketika berpidato, baik di media massa maupun di hadapan massa. 2. Atraksi Terdapat faktor-faktor situasional yang mempengaruhi atraksi interpersonal seperti daya tarik fisik, ganjaran, kesamaan, dan kemampuan. Manusia cenderung menyenangi orang-orang yang tampan dan cantik, yang banyak kesamaan dengannya, dan yang memiliki kemampuan yang lebih darinya. Atraksi fisik menyebabkan komunikator menjadi menarik, dan karena menarik ia memiliki daya persuasif. Komunikator yang ingin mempengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan adanya kesamaan antara dirinya dengan komunikan. Kenneth Burke, seorang ahli retorika, menyebut upaya ini sebagai strategy of identification. 3. Kekuasaan Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Seperti halnya kredibilitas dan atraksi, ketundukan terjadi antara komunikator dan komunikan. Kekuasaan menyebabkan komunikator dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting. Sumber-sumber kekuasaan itu antara lain: a. Ilmu Pengetahuan. b. Harta/kekayaan materi. c. Kedudukan/otoritas/wewenang. d. Kemampuan Supranatural. e. Kharisma (Riswandi:2013:17-19). F. Komunikasi Efektif Komunikasi efektif seperti dinyatakan Ashley Montagu, manusia belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Anak kecil hanyalah seonggok daging sampai ia belajar mengungkapkan perasaan dan kebutuhannya melalui tangisan, tendangan, atau senyuman. Segera setelah ia berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, perlahan-lahan terbentuklah apa yang disebut dengan kepribadian. Bagaimana ia 93 menafsirkan pesan yang disampaikan orang lain dan bagaimana ia menyampaikan perasaannya kepada orang lain, menentukan kepribadiannya. Manusia bukan dibentuk oleh lingkungan, tetapi oleh caranya menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya. Wajah ramah seorang ibu akan menimbulkan kehangatan bila diartikan si anak sebagai ungkapan kasih sayang. Wajah yang sama akan melahirkan kebencian bila anak memahaminya sebagai usaha ibu tiri untuk menarik simpati anak yang ayahnya telah ia rebut. Kepribadian terbentuk sepanjang hidup. Selama itu pula komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi. Melalui komunikasi manuisa menemukan dirinya, mengembangkan konsep diri, dan menetapkan hubungan dengan dunia sekitar. Hubungan dengan orang lain akan menentukan kualitas hidup. Komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. 1. Pengertian Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimulus seperti yang dimaksud oleh komunikator. Menurut cerita, seorang pimpinan pasukan VOC bermaksud menghormati seorang pangeran Madura. Untuk itu, dipegangnya tangan sang permaisuri dan diciumnya. Sang pangeran marah. Ia mencabut kerisnya, menusuk Belanda itu dan terjadilah bertahun-tahun perang VOC dengan penduduk Madura, sehingga ribuan korban jatuh. Betapa sering terjadi pertengkaran hanya karena pesan diartikan lain oleh orang yang diajak bicara. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication). 2. Kesenangan Tidak semua komunikasi diajukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian. Ketika seseorang mengucapkan "Selamat pagi, apa kabar?", ia tidak bermaksud mencari keterangan. Komunikasi itu hanya dilakukan untuk mengupayakan agar orang lain merasa apa yang disebut analisis transaksional sebagai "Saya Oke - Kamu Oke". Komunikasi ini lazim disebut dengan komunikasi fatis (phatic communication), dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan yang hangat, akrab, dan menyenangkan. 94 3. Pengaruh pada Sikap Manusia paling sering melakukan komunikasi untuk mempengaruhi orang lain. Khatib ingin membangkitkan sikap beragama dan mendorong jamaah untuk beribadah lebih baik. Politisi ingin menciptakan citra yang baik pada pemilihnya, bukan untuk masuk surga, tetapi untuk masuk DPR dan menghindari masuk kotak. Guru ingin mengajak muridnya lebih mencintai ilmu pengetahuan. Pemasang iklan ingin merangsang selera konsumen dan mendesaknya untuk membeli. Sering jejaka ingin meyakinkan pacarnya bahwa ia cukup "bonafid" untuk mencintai dan dicintai. Semua ini adalah komunikasi persuasif. Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktorfaktor pada diri komunikator, dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikan. Persuasi didefinisikan sebagai "proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri". Para psikolog memang sering bergabung dengan komunikolog justru pada bidang persuasi. 4. Hubungan yang Makin Baik Komunikasi juga ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri dan ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow menyebutnya "kebutuhan akan cinta" atau "belongingness"'. William Schutz merinci kebutuhan soal ini ke dalam tiga hal inclusion, control, affection. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memusatkan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (kontrol), dan cinta serta kasih sayang (affection). Secara singkat, manusia ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, ingin mengendalikan dan dikendalikan, dan ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan sosial ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif. Dewasa ini para ilmuwan sosial, filsuf dan ahli agama yang sering berbicara tentang alienasi – merasa terasing, kesepian, dan kehilangan keakraban – pada manusia modern. "Instead of affection, acceptance, love, and joy resulting from being with 95 others, many people feel alone, rejected, ignored, and unloved", tulis william D. Brooks dan Philip Emmert. Bila orang gagal menumbuhkan hubungan interpersonal, maka menurut Vance Packard (1974), ia akan menjadi agresif, senang berkhayal, dingin, sakit fisik dan mental, dan menderita flight syndrome (ingin melarikan diri dari lingkungannya). Packard mengutip penelitian Philip G. Zimbardo tentang hubungan antara anonimitas dengan agresi. Zimbardo menyimpan dua buah mobil bekas di dua tempat: wilayah Bronx di New York, dan Palo Alto di California. Daerah yang pertama terletak di kota besar, di mana terdapat tingkat anonimitas yang tinggi. Yang kedua adalah kota kecil, di mana orang saling mengenal dengan baik. Zimbardo ingin mengetahui apa yang akan terjadi pada mobil-mobil itu. Di Palo Alto mobil itu tidak disentuh orang selama satu minggu, kecuali pada waktu turun hujan; seorang pejalan kaki menutupkan kap mobil agar air hujan tidak membasahi mesin di dalam. Di wilayah Bronx dalam beberapa jam saja, di siang hari bolong, beberapa orang dewasa ramai-ramai mencopoti bagian-bagian mobil yang dapat digunakan di hadapan orang lain. Tidak ada yang mencoba mencegah perbuatan itu. Tahap berikutnya lebih menarik lagi. Anak-anak kecil mulai menghancurkan jendela depan dan belakang. Berikutnya, beberapa orang dewasa yang berpakaian parlente merusak apa yang masih bisa dirusak. Dalam tempo kurang dari tiga hari, mobil itu sudah menjadi onggokan besi tua yang menyedihkan. Zimbardo berteori, anonimitas menjadikan orang agresif, senang mencuri dan merusak, di samping kehilangan tanggungjawab sosial. Penyebab anonimitas terletak pada kegagalan komunikasi interpersonal dalam menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Bila kegagalan untuk menimbulkan pengertian disebut kegagalan komunikasi primer, gangguan hubungan manusiawi yang timbul dari salah pengertian adalah kegagalan komunikasi sekunder (secondary breakdown). Supaya manusia tetap hidup secara sosial, untuk sosial survival, ia harus terampil dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi interpersonal seperti persepsi interpersonal, dan hubungan interpersonal. 96 5. Tindakan Persuasi ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dikehendaki. Komunikasi untuk menimbulkan pengertian memang sukar, tetapi lebih sukar lagi mempengaruhi sikap. Jauh lebih sukar lagi mendorong orang bertindak. Namun efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikan. Kampanye KB berhasil bila akseptor mulai menyediakan diri untuk dipasang AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim). Propaganda suatu partai politik efektif bila sekian juta pemilih mencoblos lambang parpol itu. Pemasang iklan sukses bila orang membeli barang yang di tawarkan. Muballigh pun boleh bergembira bila orang beramai-ramai bukan saja menghadiri masjid, tetapi juga mendirikan shalat. Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tindakan, harus berhasil lebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia (Rakhmat:2011:12-16). Kelima indikator komunikasi efektif tersebut jika dianalisis lebih jauh maka diperoleh temuan berikut ini: 1. Pengertian; artinya adalah pengetahuan atau pemahaman seseorang tentang sesuatu hal atau informasi yang diperolehnya. Jadi kata/konsep pengertian ini berhubungan dengan pikiran atau kognitif. Kognitif berasal dari kata Latin cognoscere yang artinya menyadari atau mengetahui. Bagian atau organ manusia yang mengetahui/menyadari itu adalah pikiran. Jadi, pengertian berhubungan dengan pikiran/kognitif. 2. Kesenangan; konsep ini berhubungan dengan perasaan/emosi/afeksi. Kesenangan adalah salah satu bentuk emosi manusia. Bentuk lain dari emosi misalnya marah, sedih, kecewa, dendam, dan sebagainya. Organ tubuh manusia yang berkenan dengan kesenangan adalah hati. 3. Hubungan sosial yang makin baik; yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya interaksi sosial manusia dengan manusia lainnya. Dalam konteks ini interaksi sosial tersebut hendaklah bernilai 97 positif/ baik. Jika interaksi sosial seseorang dengan orang/pihak lain baik, maka ini menunjukkan bahwa secara tersirat/implisit komunikasinya (sebenarnya juga perilakunya) adalah baik. Dalam konsep hubungan sosial ini terkandung unsur pengetahuan/kognitif dan perasaan/afektif 4. Perubahan sikap; sikap adalah kecenderungan seseorang untuk merespon atau bereaksi terhadap objek tertentu. Sikap ini baru tampak/kelihatan jika direalisasikan/diwujudkan dalam bentuk perbuatan/perilaku/tindakan. Sebelum seseorang mempunyai kecenderungan untuk merespon, maka yang terlebuh dahulu harus ada ialah objek (disebut objek sikap). Objek sikap ini bisa apa saja seperti orang, hewan, lukisan, kasus korupsi yang diberitakan oleh media, konflik antarsuku, atau apa saja yang ada di sekitar manusia yang akan merespon tersebut (stimulus). Jadi, unsur pertama yang harus ada dalam sikap adalah pengetahuan (kognitif) tentang objek tersebut. Proses selanjutnya setelah adanya pengetahuan/informasi ialah perasaan/afeksi terhadap objek tersebut, misalnya senang/tidak senang, sedih, marah, kecewa, dan sebagainya. Setelah seseorang memperoleh informasi/pengetahuan tentang suatu objek dan senang/suka terhadapnya, maka proses selanjutnya adalah bahwa orang tersebut akan cenderung merespon atau melakukan suatu tindakan sesuai dengan keberadaan objek tersebut. Jadi, sikap seseorang baru tampak bila orang tersebut melakukan suatu perilaku, dan karena dalam konteks komunikasi setiap perilaku adalah pesan maka perilaku dalam konteks sikap juga dapat berbentuk kode verbal dan atau kode nonverbal yang sekaligus semua ini dapat dimaknai pula sebagai pesan oleh orang lain. Dalam sikap ini terkandung unsur pengetahuan/kognitif dan perasaan/afektif. 5. Tindakan; tindakan atau perilaku adalah petunjuk yang paling mudah dilihat sebagai tanda telah berlangsungnya suatu proses komunikasi efektif, meskipun paling sulit untuk menggerakkan orang untuk melakukan suatu perilaku/perbuatan.Tindakan adalah dimensi/komponen konatif/psikomotorik dari psikologi. Berdasarkan pembahasan tentang pengertian, kesenangan, hubungan sosial yang baik, perubahan sikap, dan tindakan sebagaimana dikemukakan di atas dapatlah disimpulkan bahwa 98 kelima indikator komunikasi efektif tersebut jika diringkas isinya adalah kognitif, afektif, dan konatif (behavioral/perilaku). Dengan demikian terbukti bahwa komunikasi efektif dengan lima indikator sebagaimana dikemukakan di atas dijelaskan dari perspektif psikologi di mana psikologi itu sendiri dipahami sebagai perilaku manusia (konatif) yang didasarkan pada proses mental (kognitif dan afektif) (Riswandi:2013:12-13). Menurut Kelman, pengaruh komunikasi terhadap orang lain berupa tiga hal: 1. Internalisasi Internalisasi terjadi bila orang menerima pengaruh karena perilaku yang dianjurkan itu sesuai dengan sistem nilai yang dimilikinya. Seseorang menerima gagasan, pikiran, atau anjuran orang lain karena gagasan, pikiran, atau anjuran orang lain itu berguna baginya untuk memecahkan masalah, penting dalam menunjukkan arah, atau dituntut oleh sistem nilai kita. Internalisasi terjadi ketika kita menerima anjuran orang lain atas dasar rasional. Misalnya seseorang berhenti merokok karena ia ingin memelihara kesehatannya karena merokok tidak sesuai nilai-nilai yang dianut. 2. Identifikasi Identifikasi terjadi bila individu mengambil perilaku yang berasal dari orang atau kelompok lain karena perilaku itu berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri secara memuaskan (satisfying self-defining relationship) dengan orang atau kelompok itu. Hubungan yang mendefinisikan diri artinya memperjelas konsep diri. Dalam identifikasi, individu mendefinisikan perannya sesuai dengan peranan orang lain. Dengan perkataan lain, ia berusaha seperti atau benar-benar menjadi orang lain. Dengan mengatakan apa yang ia katakan, melakukan apa yang ia lakukan, mempercayai apa yang ia percayai, individu mendefinisikan dirinya sesuai dengan orang yang mempengaruhinya. Identifikasi terjadi ketika anak berperilaku mencontoh ayahnya, murid meniru tindak tanduk gurunya, atau penggemar bertingkah dan berpakaian seperti bintang yang dikaguminya. Dimensi ethos yang paling relevan dengan identifikasi ialah atraksi (daya tarik komunikator). 99 3. Ketundukan (Compliance) Ketundukan terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi yang menyenangkan dari orang atau kelompok lain tersebut. Ia ingin memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman dari pihak yang mempengaruhinya. Dalam ketundukan, orang menerima perilaku yang dianjurkan bukan karena mempercayainya, tetapi karena perilaku tersebut membantunya untuk menghasilkan efek sosial yang memuaskan. Bawahan yang mengikuti perintah atasannya di kantor karena takut dipecat, pegawai negeri yang masuk parpol tertentu karena kuatir diberhentikan, petani yang menanam sawahnya karena ancaman pamong desa, pembantu yang bergegas datang jika dipanggil oleh majikannya karena takut diberhentikan, dan seorang anak yang harus pulang sebelum pukul sepuluh malam karena takut dimarahi ayahnya adalah contoh-contoh ketundukan (Riswandi:2013:16-17). G. Karakteristik Manusia Komunikan Yang dimaksud dengan karakteristik manusia komunikan adalah ciri-ciri atau sifat manusia sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Dengan mengacu pada pola pikir atau bagan atau mind mapping ruang lingkup materi psikologi komunikasi, terlihat bahwa manusia menempati posisi penting atau strategis dalam pembahasan tentang psikologi komunikasi. Artinya manusia selain berfungsi sebagai subjek kajian dalam psikologi komunikasi sekaligus ia juga sebagai objek kajian. Oleh karena itu, perlu diketahui dan dipahami terdahulu secara mendalam bagaimana pandangan (ilmu) psikologi tentang makhluk yang dinamakan manusia itu. Jika politik memandang hakikat manusia sebagai makhluk yang cenderung berkuasa, ilmu ekonomi memandang hakikat manusia sebagai makhluk yang memproduksi dan mengonsumsi, maka perlu dipahami bagaimana pandangan psikologi tentang hakikat manusia. Ada 4 teori dalam psikologi yang mencoba menjelaskan tentang manusia, yaitu konsepsi manusia menurut psikoanalisis, behavioralisme, kognitif dan humanistik. 100 1. Konsepsi Manusia menurut Psikoanalisis Orang yang pertama kali berusaha merumuskan psikologi manusia dengan memperhatikan struktur jiwa manusia adalah Sigmund Freud. Sigmund Freud lahir di Freiberg, Moravia, Austria-Hungary, sekarang Republik Ceko, 6 Mei 1856. Wafat di London, Inggris, Britania Raya, 23 September 1939 pada umur 83 tahun). Ia adalah seorang psikiater Austria dan pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Konsep dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu, ia juga memberikan pernyataan bahwa perilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya. Freud adalah seorang penulis yang sangat produktif, menerbitkan lebih dari 320 buku, artikel dan esai. Dari sekian banyak karyanya, Freud menjelaskan The Interpretation of Dreams sebagai favorit pribadinya memiliki kontribusi paling signifikan untuk memahami pemikiran manusia. Buku Freud yang terkenal The Interpretation of Dreams, yang terbit tahun 1899 merupakan buku yang berisi dasar-dasar teori dan ide yang membentuk psikoanalisis. Pada tahun 1902, Freud menyelenggarakan diskusi mingguan di rumahnya di Wina. Pertemuan-pertemuan informal ini kemudian tumbuh menjadi Vienna Psychoanalytic Society. Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia yang disebutnya Id, Ego, dan superego. a. Id Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia, atau disebut juga pusat instink (hawa nafsu). Ada dua instink dominan, yaitu: 1) Libido; yaitu instink reproduktif untuk tujuan-tujuan konstruktif. Instink ini disebut juga instink kehidupan/eros, misalnya dorongan seksual, segala hal yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan pada Tuhan, dan cinta diri/narcisme. 101 2) Thanatos; yaitu instink destruktif dan agresif. Instink ini disebut juga instink kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. Walaupun id mampu melahirkan keinginan, tetapi ia tidak mampu memuaskan keinginannya. Id adalah bagian jiwa paling liar dan berpotensi jahat. Ada yang menafsirkan id sebagai nafsu manusia yang mementingkan kebutuhan perut ke bawah. Di sisi lain, id tidak mempertimbangkan akibat dari pemenuhan hasratnya. Intinya, id adalah bagian jahat dari manusia yang beresiko merugikan orang lain dan diri sendiri. Id sebenarnya adalah yang menguasai manusia pada umur 0-2 tahun. Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir atau sistem dasar kepribadian. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga menjadi komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak langsung memuaskan maka hasilnya adalah kecemasan atau ketegangan. Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. Id ini sangat penting di awal hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi. Dorongan-dorongan dari id dapat dipusatkan melalui proses primer yang dapat diperoleh dengan tiga cara: 1) Perbuatan Seorang bayi yang sedang timbul dorongan primitifnya akan menangis, misalnya menangis karena ingin menyusu pada ibunya. Bayi akan berhenti menangis ketika ia menemukan puting susu ibunya dan mulai menyusu. 102 2) Fungsi kognitif Yaitu kemampuan individu untuk membayangkan atau mengingat hal-hal yang memuaskan yang pernah dialami dan diperoleh. Dalam kasus ini individu akan berkhayal terhadap hal-hal yang nikmat atau menyenangkan seperti pengalaman seksual. 3) Ekspresi dari Afek atau Emosi Yaitu dengan memperhatikan emosi tertentu akan terjadi pengurangan terhadap dorongan-dorongan primitifnya. Jika seseorang diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, ia mungkin menemukan dirinya meraih halhal yang ia inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginannya sendiri. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan (Riswandi:2013:21-23). b. Ego Ego berfungsi sebagai jembatan bagi tuntutantuntutan id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dan runtutan rasional dan realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id mendesak supaya seseorang membalas ejekan dengan ejekan lagi, ego segera memperingatkannya bahwa lawannya adalah bos yang dapat memecatnya. Kalau ia mengikuti desakan id, maka ia akan konyol. Setelah itu ia baru teringat bahwa tindakan tersebut akan membahayakannya jika ia berani melawan bos dalam budaya Indonesia. Ego dibawa sejak lahir, tetapi berkembang seiring dengan hubungan individu dengan lingkungan. Prinsip ego adalah realitas atau kenyataan. Untuk bisa bertahan hidup, 103 individu tidak bisa semata-mata bertindak sekedar mengikuti impuls-impuls atau dorongan-dorongan. Individu harus belajar menghadapi realitas. Sebagai ilustrasi dari pernyataan ini, seorang anak harus belajar bahwa ia tidak bisa mengambil makanan karena terdorong secara impulsif ketika ia melihat makanan. Jika ia mengambil makanan itu dari orang yang lebih besar, maka ia akan kena pukul. Ia harus memahami realita sebelum bertindak. Bagian dari jiwa atau struktur kepribadian yang menunda impuls secara langsung dan memahami realita seperti ini disebut Ego. Menurut Freud, ego adalah struktur kepribadian yang berurusan dengan runtutan realita, berisi penalaran dan pemahaman yang tepat. Ego berusaha menahan tindakan sampai ia memiliki kesempatan untuk memahami realitas secara akurat, memahami apa yang sudah terjadi di dalam situasi yang serupa di masa lalu, dan membuat rencana yang realistik di masa depan. Tujuan ego adalah menemukan cara yang realistis dalam rangka memuaskan Id. Ego mempunyai beberapa fungsi di antaranya: 1) Menahan menyalurkan dorongan. 2) Mengatur desakan dorongan-dorongan yang sampai pada kesadaran. 3) Mengarahkan suatu perbuatan agar mencapai tujuan yang diterima. 4) Berfikir logis. 5) Mempergunakan pengalaman emosi-emosi kecewa sebagai tanda adanya sesuatu yang salah, yang tidak benar, agar kelak dapat dikategorikan dengan hal lain untuk memusatkan apa yang akan dilakukan sebaikbaiknya (Riswandi:2013:23-24). c. Superego Superego adalah polisi kepribadian yang mewakili dunia ideal. Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Superego akan memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tidak berlainan ke alam bawah sadar. Baik id maupun superego berada dalam bawah sadar manusia, sedangkan ego berada di tengah, antara memenuhi 104 desakan id dan peraturan superego. Untuk mengatasi ketegangan, ia dapat menyerah pada runtutan id, tetapi berarti dihukum superego dengan perasan bersalah. Untuk menghindari ketegangan, konflik, atau frustrasi, ego secara sadar menggunakan mekanisme pertahanan ego, yaitu dengan mendistorsi realitas. Secara singkat, dalam psikoanalisis, perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego), atau unsur animal, rasional, dan moral (hewani, akal, dan nilai). Pembentukan dan perkembangan superego sangat ditentukan oleh pengarahan atau bimbingan lingkungan sejak usia dini. Bila seseorang diasuh dalam lingkungan yang serba cuek dan mau menang sendiri, bisa dipastikan, superego atau nuraninya tumpul, sedangkan superego ada dan muncul pada diri manusia pada umur 3 tahun ke atas. Superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang diperoleh dari kedua orang tua dan masyarakat. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian. Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku manusia. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam keadaan sadar, prasadar dan tidak sadar. Id, ego dan superego mutlak ada pada diri manusia. Mereka memang muncul pada umur sekian dan sekian, tapi bukan berarti tidak akan pernah muncul lagi. Ketiga bagian jiwa ini akan terus saling berinteraksi menghiasi keseharian manusia. Dalam kenyataan sehari-hari pada diri seseorang, interaksi itu bisa berbentuk kerja sama (kooperasi), persaingan (kompetisi) atau pertentangan (konflik) dan bagian atau subsistem mana yang menang atau dominan 105 sangat tergantung pada diri masing-masing individu. Adakalanya id yang menang dan ada kalanya superego yang menang. Jika id destruktif yang menang maka individu tersebut dikenal dengan sebutan, misalnya, penjahat, dan jika superego yang menang maka dikenal individu tersebut dengan sebutan, misalnya, pahlawan. Oleh karena itu dibutuhkan peran ego sebagai mediator kompromi yang berprinsip pada realitas untuk menjaga keseimbangan antara dorongan-dorongan dari id dan larangan atau ganjaran dari superego agar perilaku individu tersebut berjalan dengan normal (smooth) dan dengan demikian keberadaan individu tersebut diterima oleh lingkungan dengan baik (Riswandi:2013:24-25). 2. Konsepsi Manusia menurut Behavioralisme Berlainan dengan psikoanalisis yang menggambarkan bahwa secara tidak disadari dorongan nafsu-nafsu daya rendah banyak menentukan perilaku manusia, perilaku menunjukkan bahwa upaya rekayasa dan kondisi lingkungan luar adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan kepribadian manusia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, psikologi perilaku menganggap manusia pada hakikatnya adalah netral, baik-buruknya perilaku terpengaruh dari pengaruh situasi dan perlakuan yang dialami. Asumsi-asumsi ini diperoleh melalui eksperimen-eksperimen dengan hewan dengan tujuan untuk mengetahui pola dasar perilaku manusia dan proses perubahannya. Usaha ilmiah itu dianggap sebagai reaksi terhadap psikoanalisis yang wawasan-wawasannya terlalu dianggap hipotesis dan intuitif dengan teori-teorinya yang konon kurang didukung oleh temuan-temuan riset empiris. Psikologi perilaku memberikan kontribusi penting dengan ditemukannya asas-asas perubahan perilaku yang banyak diamalkan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi, pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial melalui law of enforcement, yakni: a. Classical conditioning (pembiasaan klasik), yaitu rangsangan (stimulus) netral akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsangan itu sering diberikan bersamaan dengan 106 rangsangan lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut. b. Law of effec (hukum akibat), yakni perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan pelaku cenderung diulangi; sebaliknya perilaku yang menimbulkan akibat tidak memuaskan atau merugikan cenderung dihentikan. c. Operant conditioning (pembiasaan operan), yakni suatu pola perilaku akan mantap apabila berhasil diperoleh hal-hal yang diinginkan pelaku (penguat positif) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Di sisi lain suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tidak menyenangkan (hukuman), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan pelaku (penghapusan). d. Modelling (peneladanan), yakni perubahan perilaku dalam kehidupan sosial terjadi karena proses dan peneladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi dan dikagumi. Keempat asas perubahan perilaku itu berkaitan langsung dengan proses belajar yang melibatkan unsur-unsur kognisi (pemikiran), afeksi (perasaan), konasi (kemauan), dan aksi (tindakan), atau dengan kata lain meliputi unsur cipta, rasa, karsa, dan karya. Behaviorisme atau aliran perilaku (juga disebut perspektif belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasarkan atas proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme yang termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau konstrak hipotetis seperti pikiran. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan). Aliran behaviorisme memperlakukan manusia sebagai mesin, yaitu di dalam suatu sistem kompleks yang bertingkah laku menurut cara-cara yang sesuai dengan hukum. Dalam pandangan kaum behavioris, individu digambarkan sebagai suatu 107 organisme yang bersifat baik, teratur, dan ditentukan sebelumnya, dengan banyak spontanitas, kegembiraan hidup, berkreativitas, seperti alat pengatur panas. Kepribadian sehat behavioristik: a. Manusia adalah makhluk perespon; lingkungan mengontrol perilaku. b. Manusia tidak memiliki sikap diri sendiri. c. Mementingkan faktor lingkungan. d. Menekankan pada faktor bagian. e. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif. f. Sifatnya mekanis mementingkan masa lalu. Manusia diperlakukan sebagai mesin, layaknya alat pengatur panas yang mengatur semuanya. Aliran ini menganggap manusia memberikan respons positif yang berasal dari luar. Dalam aliran ini manusia dianggap tidak memiliki sikap diri sendiri. Ciri-cirinya yaitu tersusun baik, teratur dan ditentukan sebelumnya, dengan banyak spontanitas, kegembiraan hidup dan kreativitas. Jadi, manusia dilihat oleh.para behavioris sebagai orangorang yang bersifat pasif atau statis yang merespon setiap stimulus yang menerpanya dari luar. Prinsip-prinsip dasar behaviorisme: a. Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak. b. Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari. c. Penganjur utama adalah John Watson: overt, observable behavior, adalah satu-satunya subjek yang sah dari ilmu psikologi yang benar. d. Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behavioris dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi. e. Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi. 108 Behavioristik dipengaruhi oleh stimulus respon. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Penguatan tersebut terbagi atas penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang. Terapi perilaku (behavior therapy) dan pengubahan perilaku (behavior modification) atau pendekatan behavioristik dalam psikoterapi, adalah salah satu dari beberapa revolusi dalam dunia pengetahuan psikologi, khususnya psikoterapi. Pendekatan behavioristik yang dewasa ini banyak dipergunakan dalam rangka melakukan kegiatan psikoterapi dalam arti luas atau konseling dalam arti sempitnya, bersumber pada aliran behaviorisme. Aliran ini pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yakni John Broadus Watson, suatu aliran yang menitikberatkan peranan lingkungan, peranan dunia luar sebagai faktor penting di mana seseorang dipengaruhi, seseorang belajar. Pada abad ke l7, dunia pengetahuan filsafat ditandai oleh dua kubu besar, yakni kubu empiricism (physical science) dan kubu naturalism (biological science). Pada akhir abad yang lalu, kedua pemikiran ini mempengaruhi lahimya aliran behaviorisme dengan pendekatan-pendekatannya yang kemudian menjadi terkenal dengan terapi perilaku (behavior therapy) dan perubahan perilaku (behavior modification) (Riswandi:2013:25-27). Konsep Manusia dalam Behavioristik Para ahli psikologi behavioristik pada hakikatnya memandang seorang anak manusia (yang baru lahir) sebagai seseorang yang bersifat netral, dalam arti tidak baik dan tidak jahat. Para ahli yang melakukan pendekatan behavioristik, memandang manusia sebagai pemberi respons (responder), sebagai hasil dari proses kondisioning yang telah terjadi. Berikut adalah beberapa pandangan behavioristik tentang konsep manusia, yakni : a. Manusia dipandang sebagai individu yang pada hakikatnya bukan individu yang baik atau yang jahat, tetapi sebagai 109 individu yang selalu berada dalam keadaan sedang mengalami, yang memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu pada semua jenis perilaku. b. Manusia mampu mengonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri. c. Manusia mampu memperoleh perilaku yang baru. d. Manusia bisa mempengaruhi perilaku orang lain sama halnya dengan perilakunya yang bisa dipengaruhi orang lain. 1) Ivey, et, al (1987) mengemukakan bahwa pernah para pendukung pendekatan behavioristik merumuskan manusia sebagai manusia yang mekanistik dan deterministik, di mana manusia dianggap bisa dibentuk sepenuhnya oleh lingkungan dan hanya sedikit memiliki kesempatan untuk memilih. Namun pendekatan behavioristik yang baru, menitikberatkan pada meningkatnya kebebasan dan pilihan melalui pemahaman terhadap dasar-dasar perilaku seseorang. 2) Corey (1991) mengemukakan bahwa pada terapi perilaku, perilaku adalah hasil dari belajar. Manusia adalah hasil dari lingkungan sekaligus adalah pencipta lingkungan. Tidak ada dasar yang berlaku umum yang bisa menjelaskan semua perilaku, karena setiap perilaku ada kaitannya dengan sumber yang ada di lingkungan yang menyebabkan terjadinya suatu perilaku tersebut. 3) Albert Bandura (1974) yang terkenal sebagai tokoh teori sosial-belajar, menolak suatu konsep bahwa manusia adalah pribadi yang mekanistik dengan model perilakunya yang deterministik. Pengubahan (modifikasi) perilaku bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang agar jumlah respon akan lebih banyak. Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalism. Berarti juga behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental. 110 Meskipun pandangan Behaviorisme sekilas tampak radikal dan mengubah pemahaman tentang psikologi secara drastis, Brennan (1991) memandang munculnya Behaviorisme lebih sebagai perubahan evolusioner daripada revolusioner. Dasar-dasar pemikiran Behaviorisme sudah ditemui berabadabad sebelumnya. Pemikiran behaviorisme sebenarnya sudah dikenal sejak masa filosof Yunani Kuno, Aristoteles yang berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa sama seperti meja lilin (tabularasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Kemudian John Locke meminjam konsep ini, yang dikenal sebagai kaum empirisme. Menurut mereka, pada waktu lahir, manusia tidak mempunyai warna mental. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah jalan satu-satunya ke arah penguasaan pengetahuan. Secara psikologis, ini berarti bahwa seluruh perilaku manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indrawi. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku manusia, tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu. Salah satu kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme, salah satu paham filsafat etika memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan dan menghindari penderitaan. Utilitarianisme mencoba mengkaji seluruh perilaku manusia pada prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme dan hedonisme, maka akan ditemukan behaviorisme. Kaum behaviorisme berpendapat bahwa organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis, perilaku adalah hasil pengalaman, dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Pelaziman klasik akan menjelaskan bahwa setiap kali anak membaca, orang tuanya mengambil bukunya dengan paksa, maka anak akan benci pada buku. Bila kedatangan seseorang selalu bersamaan dengan datangnya malapetaka, maka kehadirannya akan membuat orang berdebar-debar. 111 Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Seorang ahli, Bandura, menambahkan konsep belajar sosial. Ia mengemukakan permasalahan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Ia mengatakan bahwa banyak perilaku manusia yang tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme pelaziman atau peneguhan. Misalnya, mengapa anak yang berusia dua tahun dapat berbicara dalam bahasa ibunya. Kaum behavioris tradisional menjelaskan bahwa katakata yang semula tidak ada maknanya dipasangkan dengan lambang atau objek yang mempunyai makna. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan. Kemampuan meniru respon orang lain, misalnya meniru bunyi yang sering didengar, merupakan penyebab utama belajar. Ganjaran dan hukuman bukan faktor yang utama dalam belajar, tetapi merupakan faktor penting dalam melakukan suatu tindakan. Misalnya bila anak selalu diganjar/dihargai karena melakukan sesuatu hal atau dalam mengungkapkan perasaannya, maka ia akan sering melakukannya. Tetapi jika ia dihukum, maka ia akan menahan diri untuk melakukan sesuatu, meskipun ia mampu untuk melakukannya. Jadi, melakukan sesuatu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk berbuat ditentukan oleh peniruan. Sumbangan Bandura tidak menyebabkan behaviorisme dapat menjelaskan semuanya. Behaviorisme tidak bisa menjawab ketika melihat perilaku manusia yang tidak bisa dipengaruhi oleh ganjaran, hukuman, atau peniruan. Contohnya, orang-orang yang menjelajah Kutub Utara yang dingin; pemuda Jepang yang menempuh Samudra Pasifik di atas rakit, atau anak-anak muda Agama Syiah yang meledakkan dirinya dengan bom atau dinamit di Irak, semuanya adalah perilaku yang bermuatan selfmotivated. Memang behaviorisme tidak bisa menjelaskan tentang motivasi. Motivasi memang terjadi dalam diri individu, sedangkan kaum behaviorisme hanya melihat pada peristiwaperistiwa yang kasat mata dalam arti yang dapat diamati atau bersifat eksternal. Perasaan dan pikiran tidak menarik perhatian kaum behaviorisme. Beberapa ratus tahun kemudian barulah psikologi kembali memasuki proses kejiwaan internal. Paradigma baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif (Riswandi:2013:27-29). 112 Tokoh-tokoh Behaviorisme a. John Watson (1878-1958) Setelah memperoleh gelar master dalam bidang bahasa (Latin dan Yunani), matematika, dan filsafat di tahun 1900, ia menempuh pendidikan di University of Chicago. Minat awalnya adalah pada filsafat, sebelum beralih ke psikologi karena pengaruh Angell. Akhirnya ia memutuskan menulis disertasi dalam bidang psikologi eksperimen dan melakukan studi-studi dengan tikus percobaan. Tahun 1903 ia menyelesaikan disertasinya. Tahun 1908 ia pindah ke John Hopkins University dan menjadi direktur laboratorium psikologi di sana. Pada tahun 1912 ia menulis karya utamanya yang dikenal sebagai 'behaviorist's manifesto', yaitu "Psychology as the Behaviorists Views it". b. Clark L. Hull (1841-1952) Hull menamatkan Ph.D dalam bidang psikologi dari University of Wisconsin dan mengajar di sana selama 10 tahun, kemudian mendapat gelar profesor dari Yale dan menetap di universitas ini hingga masa pensiunnya. Sepanjang karirnya, Hull mengembangkan ide di berbagai bidang psikologi, terutama psikologi belajar, hipnotis, dan teknik sugesti. Metode yang paling sering digunakan adalah eksperimental lab. c. B.F. Skinner (1904-1980) Prinsip-prinsip utama pandangan Skinner adalah descriptive behaviorism, yaitu pendekatan experimental yang sistematis pada perilaku yang spesifik untuk mendapatkan hubungan SR. Pendekatannya induktif. Dalam hal ini pengaruh Watson jelas terlihat empty organism, dan menolak adanya proses internal pada individu. Menolak menggunakan metode statistikal, mendasarkan pengetahuannya pada subjek tunggal atau subjek yang sedikit namun dengan manipulasi eksperimental yang terkontrol dan sistematis. 113 d. Albert Bandura Bandura lahir di Canada, memperoleh gelar Ph.D dari University of Iowa dan kemudian mengajar di Stanford University. Sebagai seorang behavioris, Bandura menekankan teorinya pada proses belajar tentang respon lingkungan. Oleh karenanya teorinya disebut teori belajar sosial, atau modelling. Prinsipnya adalah perilaku merupakan hasil interaksi resiprokal antara pengaruh tingkah laku, koginitif dan lingkungan. Singkatnya, Bandura menekankan pada proses modelling sebagai sebuah proses belajar. Konsep behavioralisme dipengaruhi oleh: a. Paham empirisme (John Locke, 1632-1704); pemikirannya adalah bahwa pada waktu lahir manusia tidak mempunyai "warna mental", warnanya diperoleh dari pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian dan temparamen ditentukan oleh pengalaman indrawi (sensory experience). b. Paham hedonisme, yang memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri, mencari kesenangan dan mengurangi penderitaan. c. Paham utilitarianisme, yang memandang seluruh perilaku manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman. Teori kognitif sosial, antara lain yang dikembangkan oleh Albert Bandura menjelaskan pemikiran dan tindakan manusia sebagai proses dari apa yang dinamakan dengan 'tiga penyebab timbal balik' (triadic reciprocal causation) yang berarti bahwa pemikiran dan perilaku manusia ditentukan oleh tiga faktor berbeda yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain dengan berbagai variasi kekuatannya, baik pada waktu bersamaan maupun pada waktu yang berbeda. Ketiga penyebab timbal balik itu adalah: a. Perilaku. b. Karakteristik personal seperti kualitas kognitif dan biologis (seperti kecerdasan, jenis kelamin, dan ras). c. Faktor lingkungan atau peristiwa (Riswandi:2013:29-30). Teori kognitif sosial memberikan penekanan pada pentingnya karakteristik atau sifat manusia yang unik yang terdiri dari empat karakteristik atau sifat sebagai berikut: 114 a. Simbolisasi Komunikasi antarmanusia didasarkan atas suatu sistem dari makna bersama yang dikenal sebagai bahasa yang tersusun dari berbagai macam simbol. Berbagai simbol itu terjadi pada lebih dari satu level konseptual. b. Pengaturan Diri Kemampuan mengatur diri sendiri mencakup konsep-konsep seperti motivasi dan evaluasi. Manusia memiliki kemampuan untuk memotivasi diri mereka untuk mencapai tujuan tertentu. Mereka memiliki kemampuan untuk mengevaluasi perilaku mereka sendiri sehingga dengan demikian, perilakunya bersifat mengarahkan diri dan mengatur diri. Misalnya, pasangan suami istri yang baru memiliki anak termotivasi untuk memberikan pendidikan yang lebih baik buat anaknya. Jika mereka kemudian menyadari bahwa dengan hanya mengandalkan penghasilan suami, mereka tidak akan memiliki cukup uang untuk membiayai pendidikan anak mereka, maka mereka melakukan evaluasi terhadap keadaan dan memutuskan bahwa istri akan turut bekerja. Ketika keduanya sudah bekerja, mereka menyadari bahwa kebutuhan emosional anak tidak dapat terpenuhi karena sering ditinggal bekerja, mereka kemudian memutuskan bahwa istri bekerja di rumah saja dengan membuka warung di rumah agar dapat memberikan perhatian lebih banyak kepada anaknya. c. Koreksi Diri Kemampuan untuk bercermin atau melakukan refleksi terhadap diri sendiri melibatkan proses verifikasi pikiran, yaitu kemampuan orang untuk melakukan koreksi terhadap diri sendiri guna memastikan bahwa pemikirannya telah benar. Bandura mengemukakan empat cara yang berbeda dalam melakukan koreksi diri sendiri, yaitu: 1) Penyesuaian; di sini seseorang menilai kesesuaian antara pemikiran dan hasil tindakannya. 2) Pengamatan; di sini pengalaman tidak langsung (vicarious) berdasarkan observasi terhadap pengalaman 115 orang lain dan hasil yang diperoleh berfungsi untuk menegaskan atau menolak kebenaran pikiran seseorang. 3) Bujukan (persuasive); contoh hal ini dapat dilihat pada tayangan iklan. 4) Logika; yaitu melalui verifikasi dengan menggunakan aturan inferensi yang sudah diketahui sebelumnya. Inferensi adalah alasan yang digunakan dalam menarik kesimpulan atau membuat keputusan logis berdasarkan bukti-bukti yang diketahui atau kesimpulan sebelumnya dan bukan berdasarkan pengamatan langsung. Misalnya, jika seseorang membeli dan menggunakan handphone merek Nokia seharga Rp 1 Juta dan merasa puas dengan kualitasnya, maka ia akan dengan sangat mudah merasa yakin jika merek tersebut memiliki produk tipe lain dengan harga yang lebih mahal (misalnya Rp 2 Juta), maka produk tersebut akan memiliki kualitas yang lebih baik. Logikanya akan berpikir, "Jika yang murahnya saja sudah memuaskan apalagi yang mahalnya". Ia akan berpikir bahwa selisih harga yang terjadi antara produk yang lebih murah dengan produk yang lebih mahal adalah sebanding dengan peningkatan kualitas yang diharapkan. d. Kemampuan Belajar Yaitu kemampuan untuk belajar dari sumber lain tanpa harus memiliki pengalaman secara langsung. Kemampuan ini biasanya mengacu pada penggunaan media massa, baik secara positif maupun negatif (Riswandi:2013:31). 3. Konsepsi Manusia menurut Psikologi Kognitif Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses mental atau pikiran. Proses ini meliputi cara informasi diperoleh, dipresentasikan dan ditransformasikan sebagai pengetahuan. Pengetahuan itu dimunculkan kembali sebagai petunjuk dalam sikap dan perilaku manusia. Oleh karena itu, psikologi kognitif juga disebut psikologi pemrosesan informasi. 116 Di dalam dunia psikologi, mempelajari psikologi kognitif sangat diperlukan, karena: a. Kognisi adalah proses mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi studi-studi psikologi manusia. b. Pandangan psikologi kognitif banyak mempengarui bidangbidang psikologi yang lain. Misalnya pendekatan kognitif banyak digunakan di dalam psikologi konseling, psikologi konsumen dan lain-lain. c. Melalui prinsip-prinsip kognisi, seseorang dapat mengelola informasi secara efisien dan mengorganisasikannya dengan baik. Beberapa faktor pendorong berkembangnya psikologi informasi antara lain: a. Penurunan popularitas psikologi behaviorisme karena psikologi tidak dapat menerangkan tingkah laku manusia secara kompleks. b. Perkembangan konsep tentang kemampuan berbahasa yang dimiliki manusia. c. Munculnya teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget (ahli psikologi dari Swiss). Piaget mengemukakan beberapa hukum tentang kognitif, yaitu: 1) Setiap orang punya aspek kognitif yang terdiri dari aspek-aspek struktural intelektual. 2) Perkembangan kognitif adalah hasil interaksi dari kematangan organisme dan pengaruh lingkungan. 3) Proses kognitif itu meliputi aspek persepsi, ingatan, pikiran, simbol-simbol, penalaran dan pemecahan persoalan. 4) Dalam psikologi kognitif, bahasa menjadi salah satu objek yang penting karena merupakan perwujudan sikap kognitif. 5) Sisi-sisi kognitif dipengaruhi oleh lingkungan dan biologis (Riswandi:2013:32). Aspek Kognitif a. Kematangan, yaitu semakin bertambahnya usia, maka semakin bijaksana seseorang. b. Pengalaman, yaitu hasil interaksi dengan orang lain. 117 c. Transmisi sosial, yaitu hubungan sosial dan komunikasi yang sesuai dengan lingkungan. d. Equilibrasi, yaitu perpaduan dari pengalaman dan proses transmisi sosial. Ada dua sistem yang mengatur kognitif: a. Skema antarsistem yang terpadu dan tergabung. b. Adaptasi yang terdiri dari asimilasi dan akomodasi. 1) Asimilasi terjadi pada objek yang meliputi biologis (refleksi, keterbatasan kemampuan dan lain-lain) dan kognitif (menggabungkan sesuatu yang sudah diperoleh). 2) Akomodasi terjadi pada subjek yang mengandung perkembangan pendekatan pemrosesan informasi. Pendekatan ini berasal dari ilmu komunikasi dan komputer (Riswandi:2013:32-33). Konsep-konsep Dasar Psikologi Kognitif Berkaitan dengan Informasi Ada dua konsep dasar psikologi kognitif, yaitu kognisi dan pendekatan kognitif. a. Kognisi Dalam istilah kognisi, maka psikologi kognitif dipandang sebagai cabang psikologi yang mempelajari proses-proses mental atau aktivitas pikiran manusia, misalnya proses-proses persepsi, ingatan, bahasa, penalaran dan pemecahan masalah. Contoh-contoh yang berkaitan dengan informasi: 1) Proses Persepsi Ada seorang karyawan baru yang bekerja di suatu perusahaan yang tingkat profesionalismenya kurang. Di situ, baik karyawan yang rajin maupun yang malas mendapat gaji yang sama. Setelah lama beradaptasi di kantor itu, karyawan baru tersebut memiliki persepsi bahwa ia tidak perlu bekerja dengan sungguh-sungguh karena tidak akan berpengaruh pada gajinya. 2) Ingatan Kemampuan mengingat informasi dari membaca tentunya akan lebih lama daripada hanya sekedar 118 mendengar. Karena dengan membaca, pikiran akan bekerja lebih keras untuk memahami dan menyimpan informasi tersebut. Sedangkan mendengar hanya mengandalkan telinga, bahkan kadang-kadang tanpa pemahaman. 3) Bahasa Informasi akan lebih mudah dipahami dan dimengerti apabila bahasa yang digunakan sesuai dengan bahasa, maka informasi itu akan lebih maksimal digunakan karena otak mampu mencerna inti informasi tersebut. 4) Penalaran Seseorang yang memiliki penalaran secara baik akan dapat memperoleh informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut tidak hanya dari satu sisi saja, tapi dapat diperoleh dari bagian lain, karena suatu masalah biasanya hanya memiliki indikasi. Penalaran berhubungan dengan cara berpikir kritis dan analitis. 5) Persoalan Sikap dan perilaku manusia dapat mencerminkan masalah yang sedang dihadapi. Sikap dan perilaku ini apabila digabungkan dengan informasi yang sudah ada maka dapat menciptakan suatu solusi. b. Pendekatan Kognitif Sebagai suatu pendekatan maka psikologi kognitif dapat dipandang sebagai cara tertentu di dalam mendekati berbagai fenomena psikologi manusia. Konsep ini menekankan pada peran-peran persepsi, pengetahuan, ingatan, dan proses-proses berpikir bagi perilaku manusia. Contoh yang berkaitan dengan informasi: 1) Peran persepsi Orang yang berpersepsi/berpikir bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda, ia akan selalu berusaha untuk mencoba lagi, walaupun ia tidak tahu kapan ia akan berhasil. Karena dipikirannya semakin ia 119 mencoba, semakin banyak informasi yang didapat, maka tingkat kesalahan dapat diminimalisir atau dihindari. Hal ini menjadikannya sebagai pribadi yang sabar dan ulet. 2) Pengetahuan Orang yang banyak pengetahuan biasanya lebih mengerti dan dapat mengelola informasi dengan cepat dan memahami cara menjelaskan dan memahami informasi tersebut secara cepat, tepat, murah dan efisien. 3) Proses Berpikir Jenjang pendidikan, lingkungan sekitar serta cara hidup mempengaruhi proses dan pola berpikir. Orang yang berpendidikan tinggi, hidup di lingkungan berpendidikan dan cara hidup yang modern, biasanya akan mencari suatu informasi dengan cara yang berbasis teknologi yang lebih cepat dan praktis. Ini karena mereka telah dibentuk menjadi pribadi yang modern dengan cara berpikir yang cepat (Riswandi:2013:33). Psikologi kognitif dilandasi oleh rasionalisme Immanuel Kant, Rene Descartes, dan Plato. Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul penginderaan melalui pengalaman langsung atau terpaan pancaindera sanggup memberikan kebenaran. Kemampuan alat indera dipertanyakan karena seringkali gagal menyajikan informasi yang akurat. Misalnya mata melihat bahwa kedua rel kereta api yang sejajar bertemu di ujung sana, mata melihat sepotong kayu yang tampak "bengkok" di dalam air, atau hidung ketika mencium bau "pesing" maka perut menjadi mual. Pendek kata panca indra manusia sebenarnya memiliki keterbatasan atau ambang batas ketika menilai realita, sehingga pancaindra tidak dapat dijadikan sebagai dasar atau pegangan untuk menilai atau mencari kebenaran. Untuk menafsirkan apa yang telah dilihat oleh mata, dicium oleh hidung, didengar oleh telinga, dikecap oleh lidah, dan dirasakan oleh kulit, maka diperlukan "alat" lain untuk memaknai atau memberi arti semuanya itu. Descartes dan Kant menyimpulkan bahwa, jiwa/mind-lah yang menjadi alat utama ilmu pengetahuan, bukan alat indera. 120 Jiwa menafsirkan pengalaman indrawi secara aktif, mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi, dan memberikan makna. Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Perilaku manusia bukan sekedar respon pada stimulus, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat. Ruang hayat terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran diri. Secara singkat, perkembangan psikologi kognitif dapat dilihat dari psikologi sosial, antara lain dikembangkan oleh Heider dan Festinger. Festinger terkenal dengan teori disonansi kognitifnya. Disonansi artinya ketidakcocokan antara dua kognisi/pengetahuan. Dalam keadaan disonan orang berusaha mengurangi disonansi dengan berbagai cara. Disonansi membuat orang resah. Kognisi/pengetahuan bahwa "Saya tahu bahwa merokok dapat menimbulkan inspirasi bagi saya" disonan dengan "saya tahu rokok merusak kesehatan". Dihadapkan dalam situasi disonan seperti itu, maka saya akan: a. Mengubah perilaku, berhenti merokok, atau memutuskan "saya merokok sedikit saja". b. Mengubah kognisi tentang lingkungan, misalnya dengan mengatakan bahwa hanya perokok berat yang berbahaya. c. Memperkuat salah satu kognisi yang disonan, misalnya dengan "Ah, kawan-kawan saya juga banyak yang merokok". d. Mengurangi disonansi dengan memutuskan bahwa salah satu kognisi tidak penting, misalnya "Tidak jadi soal merokok merusak kesehatan, toh saya ingin hidup cepat dan mati muda" Contoh lain: "Saya tahu bahwa berbohong dilarang oleh agama dan tidak baik bagi pendidikan karakter, tetapi saya tahu bahwa berbohong demi kebaikan, misalnya untuk menyelamatkan nyawa seseorang boleh dilakukan". Dalam kondisi disonan/tidak nyaman seperti ini maka pilihan saya adalah : 121 a. Saya berhenti berbohong. b. Nabi saja mengatakan bahwa kita boleh berbohong demi kebaikan yang lebih besar. c. Ah, saya berbohong hanya kalau terpaksa dan hanya sekali saja seumur hidup. Contoh lainnya: "Saya tahu bahwa kita dianjurkan tidur minimal tujuh jam sehari karena baik untuk kesehatan, tetapi saya tahu pula bahwa terkadang karena sesuatu hal kita terpaksa tidur kurang dari tujuh jam". Dalam kondisi disonan seperti ini maka saya akan memilih opsi berikut: 2) Saya akan tidur minimal tujuh jam setiap hari. 3) Teman-teman saya banyak juga yang tidur kurang dari tujuh jam tetapi keadaan mereka baik-baik saja/every thing is OK. 4) Saya tidur kurang dari tujuh jam hanya kalau ada keperluan saja yang sifatnya mendesak dan penting (Riswandi:2013:3335). Orang akan berupaya secara sadar atau tidak sadar untuk membatasi atau mengurangi ketidaknyamanan tersebut melalui tiga proses selektif yang saling berhubungan. Ketiga proses selektif itu adalah sebagai berikut: a. Penerimaan Informasi Selektif Penerimaan informasi selektif ialah proses di mana orang hanya akan menerima informasi yang sesuai dengan sikap atau kepercayaan yang telah dimilikinya sebelumnya. Orang cenderung atau lebih suka membaca artikel media massa yang yang mendukung apa yang telah dipercayainya atau diyakininya. Misalnya, orang yang gemar berbelanja barang-barang mewah akan memperhatikan barang-barang tersebut yang muncul di media massa, walaupun ia telah pernah membelinya belum lama ini. b. Ingatan Selektif Asumsinya adalah bahwa orang tidak akan mudah lupa atau sangat mengingat pesan-pesan yang sesuai dengan sikap atau kepercayaan yang dimiliki sebelumnya. Misalnya, penonton televisi akan lebih mengingat, bahkan sampai kepada detil-detilnya, liputan mengenai pertemuan partai 122 politik yang didukungnya daripada partai politik yang tidak didukungnya. c. Persepsi Selektif Di sini orang akan memberikan penafsiran terhadap setiap pesan yang diterimanya sesuai dengan sikap dan kepercayaan yang sudah dimiliki sebelumnya. Misalnya, jika politisi yang didukungnya mengubah pendapatnya mengenai suatu isu maka ia akan menilai politisi tersebut sebagi politisi yang bersikap fleksibel, akan tetapi jika hal tersebut terjadi pada politisi yang tidak disukainya, maka ia akan menilai politisi tersebut tidak mempunyai pendirian atau plin plan. Jadi teori disonansi dan proses selektif ini menunjukkan bahwa pada dasarnya orang berupaya membatasi efek media massa dengan cara menyaring isi media yang diterimanya, sehingga isi media tidak mengakibatkan perubahan sikap yang signifikan pada diri individu. Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Perilaku manusia bukan sekedar respon pada stimulus, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat. Ruang hayat terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran diri. Dalam teori komunikasi, teori disonansi menyatakan bahwa orang akan mencari informasi yang mengurangi disonansi (tidak nyaman), dan menghindari infornasi yang menambah disonansi. Bila ia terpaksa juga dikenai informasi yang disonan dengan keyakinannya maka ia akan menolak informasi itu, meragukan sumbernya, mencari informasi yang konsonan (sesuai/nyaman), atau mengubah sikap sama sekali. Walaupun psikologi kognitif sering dikritik karena konsep-konsepnya sukar diuji, psikologi kognitif telah memasukkan kembali "jiwa" manusia yang menurut paham behaviorisme tidak diakui keberadaannya. Manusia kini hidup dan mulai berpikir. Tetapi manusia bukan sekedar makhluk yang berpikir, ia juga berusaha menemukan identitas dirinya dan mencapai apa yang menjadi harapannya. 123 Kritik terhadap teori psikologi kognitif datang dari pemahaman bahwa manusia adalah pengolah informasi. Dalam konsepsi ini, manusia bergeser dari orang yang suka mencari pembenaran/justifikasi atau membela diri menjadi orang yang secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang sebagai produk strategi pengolah informasi yang rasional, yang mengarahkan penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi (Riswandi:2013:35-36). 4. Konsepsi manusia menurut Psikologi Humanistik Psikologi humanistic dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi, sedangka revolusi pertama dan kedua adalah psikoanalisis dan behavioralisme. Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadap behaviorisme dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Permasalahan ini dirangkum dalam lima postulat psikologi humanistik dari James Bugental (1964), sebagai berikut: a. Manusia tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen. b. Manusia memiliki konteks yang unik di dalam dirinya. c. Kesadaran manusia menyertakan kesadaran akan diri dalam konteks orang lain. d. Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan tanggungjawab. e. Manusia bersifat intensional, mereka mencari makna, nilai, dan memiliki kreativitas. Pendekatan humanistik ini mempunyai akar pada pemikiran eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya seperti Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) 124 sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut : a. Kebutuhan fisiologis. b. Kebutuhan akan rasa aman. c. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi. d. Kebutuhan untuk dihargai. e. Kebutuhan untuk aktualisasi diri. Psikologi humanistik mengambil banyak dari psikoanalisis Neofreudian seperti Adler, dan Jong, serta banyak mengambil pemikiran dari fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam "dunia kehidupan" yang diinterpretasikan secara subjektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. Alam setiap orang berbeda dari alam pengalaman orang lain. Menurut Alfred Schultz, tokoh fenomenologi, pengalaman subjektif ini dipengaruhi oleh faktor sosial dalam proses intersubjektivitas. Intersubjektivitas diungkapkan pada eksistensial: tema dialog, pertemuan, dan hubungan diri dengan orang lain. Eksistensialisme menekankan kepada kewajiban individu terhadap sesama manusia. Yang paling penting bukan apa yang didapat tetapi apa yang dapat diberikan untuk kehidupan. Hidup baru bermakna apabila dengan nilai-nilai dan pilihan yang konstruktif secara sosial. Jadi, intisari dari psikologi humanisme adalah keunikan manusia, pentingnya makna, dan kemampuan manusia untuk mengembangkan dirinya. Pandangan lain dari psikologi humanisme itu adalah : a. Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi di mana ia (Sang Aku, Ku, atau Diriku/I. Me, atau Myself) menjadi pusat. Perilaku manusia berpusat pada konsep diri, yaitu persepsi manusia tentang identitas dirinya yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah, yang muncul dari suatu medan fenomenal. b. Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri. c. Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya. Dengan perkataan lain, ia bereaksi pada "realitas" seperti yang dipersepsikan olehnya dan dengan cara yang sesuai dengan konsep dirinya. 125 d. Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri, berupa penyempitan dan pengkakuan persepsi dan perilaku penyesuaian serta penggunaan mekanisme pertahanan Ego seperti rasionalisasi. e. Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri. Dalam kondisi yang normal ia berperilaku secara rasional dan konstruktif, serta memilih jalan menuju pengembangan dan aktualisasi diri (Riswandi:2013:37-38). Hasil pemikiran dari pemikiran psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien. Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarir menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini. Dari sisi metode keilmuannya (epistemologi), teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitikberatkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata/persepsi (verstehen). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan 126 metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi (Riswandi:2013:38). Berikut ini tabel ringkasan dari empat teori psikologi di atas: Tabel 3. Ringkasan Empat Teori Psikologi (Rakhmat:2011:19) TokohKontribusi pada Teori Konsepsi tokohnya tentang Manusia Psikologi Sosial Perkembangan Psikoana lisis Homo Volens Freud, Jung, (Manusia Adler, Abraham, kepribadian berkeinginan) Homey, bion Sosialisasi Identifikasi agresi Kebudayaan dan Perilaku Behavi Homo Mechanicus Hull,Miler dan Konsep diri (Manusia mesin) Dollard, Rotter, Eksperimen orisme Sklinner, Sosialisasi Bandura Kontrol Sosial Ganjaran dan Hukuman Kognitif Humanisme Lewin, Heider, Sikap Bahasa Festinger, dan berpikir Piaget, Kohiberg Dinamika Kelompok Propaganda Persepsi Interpersonal Homo Ludens Rogers, Combs Konsep Diri (Manusia bermain) dan Snygg, Transaksi Maslow, May Interpersonal Satir, Peris Masyarakat dan Invididu Homo Sapiens (Manusia ber pikir) 127 H. Sistem Komunikasi Intrapersonal Sistem komunikasi intrapersonal menguraikan bagaimana orang menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkannya kembali. Pengolahan informasi disebut komunikasi intrapersonal, meliputi sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimulus. Persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali. Berpikir adalah mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons (Rakhmat:2011:48). 1. Sensasi Tahap paling awal dalam penerimaan informasi ialah sensasi. Sensasi berasal dari kata "sense", artinya alat penginderaan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Bila alat-alat ini mengubah informasi menjadi impuls-impuls saraf dengan bahasa yang dipahami (komputer) otak maka terjadilah proses sensasi (Coon:1977:79). Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolik atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera (Wolman:1973:3443). Apapun definisi sensasi, fungsi alat indera dalam menerima formasi dari lingkungan sangat penting. Melalui alat indera, manusia dapat memahami kualitas fisik lingkungannya. Lebih dari itu, melalui alat indera, manusia memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunianya (Lefrancois:1974:39). Filsuf John Locke beranggapan bahwa the nothing in the mind except what was first in the senses (tidak ada apapun dalam jiwa manusia kecuali harus lebih dulu lewat alat inderanya). Berkeley beranggapan bahwa andaikan manusia tidak mempunyai alat indera, dunia tidak akan ada. Ia tidak tahu ada harum pakaian yang baru disemprot brut, bila tidak ada indera pencium. Sentuhan lembut istrinya tidak akan disadari, kalau indera perabanya sudah mati. Lalu ia tidak mendengarkan ada yang membisikkan ucapan kasih di telinganna, tidak melihat 128 senyuman manis yang dialamatkan kepadanna. Dunianya tidak teraba, terdengar, tercium, terlihat, artinya tidak ada sama sekali. Setiap manusia memiliki lima alat indera atau pancaindera. Psikologi menyebut sembilan (bahkan ada yang menyebut sebelas) alat indera: penglihatan, pendengaran, kinestesis, vestibular, perabaan, temperatur, rasa sakit, perasa, dan penciuman. Kesembilan pancaindera di atas dapat dikelompokkan pada tiga macam indera penerima, sesuai sumber informasi. Sumber informasi bisa berasal dari dunia luar (eksternal) atau dari dalam diri individu sendiri (internal). Informasi dari luar diinderai oleh eksteroseptor (misalnya telinga atau mata). Informasi dari dalam diindera oleh interoseptor (misalnya sistem peredaran darah). Selain itu, gerakan tubuh sendiri diindera oleh proprioseptor (misalnya organ vestibular). Sesuatu yang menyentuh alat indera dari dalam atau dari luar disebut stimulus. Pada saat seseorang sedang membaca tulisan ini (stimulus eksternal), dan pikirannya sedang diganggu oleh perjanjian utang yang habis waktu hari ini (stimulus internal) maka ia menerima dua macam stimulus sekaligus. Alat penerimanya segera mengubah stimulus ini menjadi energi saraf untuk disampaikan ke otak melalui proses transduksi. Agar dapat diterima pada alat indera, stimulus harus cukup kuat. Batas minimal intensitas stimulus disebut ambang mutlak (absolute threshold). Mata, misalnya, hanya dapat menangkap stimulus yang mempunyai panjang gelombang cahaya antara 380 sampai 780 nanometer. Telinga manusia hanya dapat mendeteksi frekuensi gelombang suara yang berkisar antara 20 sampai 20.000 hertz. Manusia akan sanggup menerima temperatur 10°C sampai 45°C. Di bawah 10°C ia akan menggigil dengan perasaan dingin yang mencekam. Di atas 48°C, ia akan meringis kepanasan. Ketajaman sensasi ditentukan oleh faktor-faktor personal. Pada tahun 1930-an, beberapa orang peneliti menemukan bahwa phenylthiocarbomide (ptc) yang terasa pahit bagi sebagian orang, tidak pahit bagi yang lain. "We live in different taste worlds", kata Blakesley, salah seorang di antara peneliti tersebut. Sebetulnya, bukan hal yang aneh kalau banyak orang mengetahui bahwa masakan Padang yang sangat pedas bagi orang Jawa, ternyata biasa-biasa saja bagi orang Sumatera Barat. Perbedaan 129 sensasi, dengan begitu, dapat disebabkan oleh pengalaman atau lingkungan budaya, di samping kapasitas alat indera yang berbeda. Sebagaimana kacamata menunjukkan berbagai ukuran, seperti itu pula alat indera yang lain (walaupun tidak ada kaca lidah, kaca kulit, atau kaca kuping). Perbedaan kapasitas alat indera menyebabkan perbedaan dalam memilih pekerjaan atau jodoh, mendengarkan musik, atau memutar radio. Yang jelas sekali, sensasi mempengaruhi persepsi (Rakhmat:2011:48-50). 2. Persepsi Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimulus inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Desiderato dan Jackson:1976:129). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut: a. Perhatian (attention) Perhatian (attention) merupakan salah satu dari sekian banyak gejala psikologis pada diri manusia. Dalam perhatian terjadi aktivitas jiwa yang melibatkan otak dan indera. Adapun beberapa definisi perhatian yang diungkapkan oleh para ahli, sebagai berikut: 1) Menurut Jalaludin Rahmat, perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya melemah. Perhatian terjadi bila seseorang mengkonsentrasikan dirinya pada salah satu alat indera dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain (Rakhmat:2011:51). 2) Menurut Kenneth E. Andersen, perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya melemah (Andersen:1972:46). 130 3) Menurut Sardjoe, perhatian adalah suatu reaksi dari organisme dan kesadaran, yang menyebabkan bertambahnya aktivitas dalam konsentrasi, dan pembatasan kesadaran terhadap satu obyek (Sardjoe:1994:217). 4) Menurut Ardhana, perhatian adalah suatu proses pemusatan unsur-unsur pengalaman dan mengabaikan yang lainnya. Kejelasan pengalaman secara relatif tergantung pada intensitas proses perhatian (Ardhana dan Sudarsono:1963:74). 5) Menurut Bimo Walgito, perhatian adalah pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek (Walgito:1981:56). 6) Menurut Kartini Kartono, perhatian adalah suatu reaksi dari organisme dan kesadaran yang menyebabkan bertambahnya aktivitas, daya konsentrasi, dan pembatasan kesadaran terhadap suatu obyek (Kartono:1996:111). Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perhatian adalah salah satu faktor psikologis yang mempunyai sifat-sifat menonjol, baik dari dalam maupun dari luar individu yang dapat membantu interaksi belajar mengajar yang memerankan aktivitas, konsentrasi, dan kesadaran. Faktor yang berasal dari dalam adalah faktor biologis, sosial, kebiasaan, konsentrasi, kesadaran, stimulus serta kemauan, sedangkan faktor yang berasal dari luar adalah gerakan dan lingkungan. a. Faktor Eksternal Penarik Perhatian Stimulus diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain gerakan, intensitas stimulus, kebaruan, dan perulangan. Perulangan mengandung unsur sugesti. Emil Dofivat (1968), tokoh aliran publisistik Jerman, menyebut perulangan sebagai satu di antara tiga prinsip penting dalam menaklukkan massa. Dofivat menyebut tiga prinsip dalam menggerakkan massa (die Grundgesetze der Masssenfuhgung): 131 1) Die Geistige Vereinfachung: tema-tema yang disampaikan harus disajikan dengan bahasa yang sederhana dan jelas. 2) Die hammernde Weiderhoulung: gagasan yang sama diulang berkali-kali dengan cara penyajian yang mungkin beraneka ragam. Dofivat mengutip Al dous Huxley dalam brave New World bahwa kebenaran adalah kebohongan dikalikan dengan 62.000. 3) Die gefuhlmassige stigerung: penggunaan emosi secara intensif. Emosi itu antara lain kebencian, rasa belas kasihan, perasaan bersalah, dan keinginan menonjol (Dofivat:1968:114-164). b. Faktor Internal Penarik Perhatian Apa yang menjadi perhatian seseorang lolos dari perhatian orang lain, atau sebaliknya. Ada kecenderungan seseorang melihat apa yang ingin ia lihat, dan mendengar apa yang ingin ia dengar. Perbedaan ini timbul dari faktor-faktor yang ada dalam dirinya. Contoh-contoh faktor yang memengaruhi perhatian adalah: 1) Faktor-faktor Biologis Dalam keadaan lapar, seluruh pikiran didominasi oleh makanan. Oleh karena itu, bagi orang lapar, yang paling menarik perhatiannya adalah makanan. Orang yang kenyang akan menaruh perhatian pada hal-hal yang lain. Anak muda yang baru saja menonton film porno, akan cepat melihat stimulus seksual di sekitarnya (Rakhmat:2011:53). 2) Faktor-faktor Sosiopsikologis Berikan sebuah foto yang menggambarkan kerumunan orang banyak di sebuah jalan sempit. Tanyakan apa yang mereka lihat. Setiap orang akan melaporkan hal yang berbeda. Namun, seorangpun tidak dapat melaporkan berapa orang yang terdapat dalam gambar itu, kecuali sebelum melihat foto mereka memperoleh pertanyaan itu. 132 3) Motif Sosiogenis, Sikap, Kebiasaan, dan Kemauan Dalam perjalanan naik gunung, geolog akan memperhatikan bebatuan, ahli botani akan memperhatikan bebungaan, ahli zoologi akan memperhatikan binatang, seniman akan memperhatikan warna dan bentuk, orang yang bercinta akan memperhatikan fenomena keindahan alam yang dipadukan dengan keindahan cinta kasih mereka (Lefrancois:1974:56). Kenneth E. Andersen menyimpulkan dalil-dalil tentang perhatian selektif yang harus diperhatikan oleh ahliahli komunikasi: 1) Perhatian itu merupakan proses yang harus aktif dan dinamis, bukan pasif dan refleksif. 2) Cenderung memperhatikan hal-hal tertentu yang penting, menonjol, atau melibatkan diri. 3) Seseorang menaruh perhatian pada hal-hal tertentu. 4) Kebiasaan sangat penting dalam menentukan apa yang menarik perhatian, tetapi juga apa yang secara potensial akan menarik perhatian. 5) Dalam situasi tertentu, seseorang secara sengaja menstrukturkan perilakunya untuk menghindari terpaan stimulus tertentu yang ingin diabaikannya. 6) Kadang-kadang konsentrasi yang sangat kuat mendistorsi persepsi. 7) Perhatian tergantung kepada kesiapan mental. 8) Tenaga-tenaga motivasional sangat penting dalam menentukan perhatian dan persepsi. 9) Intensitas perhatian tidak konstan. 10) Dalam hal stimulus yang menerima perhatian, perhatian juga tidak konstan. 11) Usaha untuk mencurahkan perhatian sering tidak menguntungkan karena usaha itu sering menuntut perhatian. Pada akhirnya, perhatian terhadap stimulus mungkin akan berhenti. 12) Seseorang mampu menaruh perhatian pada berbagai stimulus secara serentak. 13) Perubahan atau variasi sangat penting dalam menarik dan mempertahankan perhatian (Andersen:1972:51-52). 133 c. Faktor-faktor Fungsional Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimulus, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons pada stimulus. Nilai sosial satu objek bergantung pada kelompok sosial orang yang menilai. Krench dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yang pertama, yaitu persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek-objek yang mempengaruhi tujuan individu yang melakukan persepsi (Rakhmat:2011:54-55). Kerangka rujukan (frame of reference) atau faktorfaktor fungsional yang mempengaruhi persepsi adalah: 1) Mula-mula konsep ini berasal dari penelitian psikofisik yang berkaitan dengan objek. Para psikolog sosial menerapkan konsep ini untuk menjelaskan persepsi sosial. Dalam eksperimen psikofisik, Wever dan Zener menunjukkan bahwa penilaian terhadap objek dalam hal beratnya bergatung pada rangkaian objek yang dinilainya (Rakhmat:2011:56-57). 2) Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya (Rakhmat:2011:57). 3) Para psikolog menganggap konsep kerangka rujukan ini amat berguna untuk menganalisis interpretasi perseptual dari peristiwa yang dialami (McDavid dan Harari:1968:140). d. Faktor-faktor Struktural Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimulus fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Para psikolog Gestalt seperti Kohler, Wartheimer, dan Koffka, merumuskan prinsipprinsip persepsi yang bersifat struktural. Prinsip-prinsip itu kemudian dikenal dengan teori Gestalt (Rakhmat:2011:57). Menurut teori Gestalt, bila seseorang mempersepsi sesuatu, ia mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Ia tidak melihat bagian-bagiannya, lalu menghimpunnya. Menurut Kohler, jika ia ingin memahami suatu peristiwa, ia tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah dan harus 134 memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Untuk memahami sesorang, ia harus dilihat dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dan dalam masalah yang dihadapinya (Menicke:1957:79). Dari prinsip ini, Krech dan Crutchfield melahirkan dalil persepsi yang kedua, yaitu medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Stimulus diorganisasikan dengan melihat konteksnya. Walaupun stimulus yang diterima itu tidak lengkap, tetep harus diisi dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang dipersepsi. Dalam hubungan dengan konteks, Krech dan Crutchfield menyebutkan dalil persepsi yang ketiga, yaitu sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Karena manusia selalu memandang stimulus dalam konteksnya, dalam strukturnya ia pun akan mencoba mencari struktur pada rangkaian stimulus. Struktur ini diperoleh dengan cara mengelompokkan berdasarkan kedekatan atau persamaan. Prinsip kedekatan menyatakan bahwa stimulus yang berdekatan satu sama lain akan dianggap satu kelompok. Dari prinsip ini, Krech dan Crutchfield menyebutkan dalil persepsi yang keempat, yaitu objek atau peristiwa yang berdekatan dalam dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya betul-betul bersifat struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik, misalnya titik, garis, atau balok. Gestalt memiliki prinsip yang disebut principles of similarity. Kebudayaan juga berperan dalam melihat kesamaan. Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan sering dipakai oleh komunikator untuk meningkatkan kredibilitasnya. Ia menghubungkan dirinya atau mengakrabkan dirinya dengan orang-orang yang mempunyai 135 prestise tinggi, maka terjadilah sebutan gilt by association (cemerlang kerena hubungan) atau guilt by association (bersalah karena hubungan). Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu menyebabkan stimulus ditanggap sebagai bagian dari struktur yang sama. Menurut Krech dan Crutchfield, kecenderungan untuk mengelompokkan stimulus berdasarkan kesamaan dan kedekatan adalah hal yang universal (Rakhmat:2011:57-61). 3. Memori Dalam komunikasi intrapersonal, memori memegang peranan penting dalam mempengaruhi persepsi (dengan menyediakan kerangka rujukan) dan berpikir (yang akan diuraikan). Mempelajari memori membawa seseorang kepada psikologi kognitif, terutama sekali, pada model manusia sebagai pengolah informasi. Robert T. Craig (1979) meminta ahli komunikasi agar mendalami psikologi kognitif dalam upaya menemukan cara-cara baru dalam menganalisis pesan dan pengolahan pesan. Sumbangan paling besar dari psikologi kognitif adalah menyingkap tabir memori (Rakhmat:2011:61). Memori adalah sistem yang sangat terstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya (Schlesinger dan Groves:1976:352). Setiap saat stimulus mengenai indera seseorang, setiap saat pula stimulus itu direkam secara sadar atau tidak sadar. John Griffith, ahli matematika, menyebutkan seratus triliun bit. John von Neumann, ahli teori informasi, menghitungnya sampai 2.8 x 1020 (280 kuintiliun) bit. Asimov menerangkan bahwa otak manusia selama hidupnya sanggup menyimpan sampai satu kuidriliun bit informasi. Wilden Penfield, ahli bedah syaraf, pernah melaporkan rangsangan dengan jarum elektris pada bagian-bagian otak tertentu dapat menghadirkan kembali rekaman ini, persis seperti memainkan rekaman video. Seorang wanita berumur 26 tahun mengalami bedah otak karena epilepsi. Karena hanya digunakan anestesia lokal, pasien masih dalam keadaan sadar. Dokter bedah merangsang daerahdaerah tertentu dan menimbulkan rekaman peristiwa. Elektroda 136 diletakkan pada lokasi 11 pada otaknya, dan pasien berkata, "Ya, tuan, saya mendengar seorang ibu memanggil anaknya di suatu tempat. Tampaknya terjadi bertahun-tahun yang lampau; seseorang yang tinggal bertetangga dengan saya." Elektroda digerakkan pada lokasi nomor 13, dan pasien berteriak, "Saya mendengar suara. Jauh malam, di sekitar tempat pesta seperti ada sirkus .... Saya melihat banyak gerobak yang digunakan untuk menyimpan binatang." Elektroda diletakkan lagi pada lokasi nomor 11, dan pasien berkata lagi, "Ya, saya dengar suara yang saya kenal, seorang wanita seperti sedang memanggil, wanita yang sama". Pada peristiwa ini, memori diungkap kembali, begitu hidup, seakan-akan si pasien mengalaminya lagi (Rakhmat:2011:61-62). Secara singkat, memori melewati tiga proses: perekaman, penyimpanan, dan pemanggilan. Perekaman (encoding) adalah pencatat informasi melalui reseptor indera dan sirkit saraf internal. Penyimpanan (storage) adalah menentukan berapa lama informasi itu berada, dalam bentuk apa, dan di mana. Penyimpanan bisa aktif atau pasif. Seseorang menyimpan secara aktif, bila ia menambahkan informasi tambahan. Ia mengisi informasi yang tidak lengkap dengan kesimpulannya sendiri (inilah yang menyebabk desas-desus menyebar lebih banyak dari volume yang asal). Mungkin secara pasif terjadi tanpa penambahan. Pemanggilan (retrieval) dalam bahasa sehari-hari adalah mengingat lagi, menggunakan inform yang disimpan (Mussen dan Rosenweig:1973:499). 4. Berpikir Berpikir melibatkan semua proses yang disebut dengan sensasi, persepsi, dan memori (Rakhmat:2011:66). Menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig, berpikir menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa (Mussen dan Rosenweig:1973:410). Menurut Hannah Arendt dalam karya terakhirnya Thinking: Thought without Speech is Inconceivable, manusia berpikir menggunakan bahasa atau lambang-lambang verbal. Menurut Roger N. Shepard, psikolog dari Stanford University, manusia bisa berpikir tanpa menggunakan bahasa atau lambang- 137 lambang verbal. Faraday, Galton, Einstein, dan beberapa ilmuwan lain yang terkenal, melaporkan bahwa mereka memecahkan masalah-masalah ilmiah dengan citra visual, dan baru kemudian menerjemahkan pikiran mereka ke dalam katakata (Rakhmat:2011:67). Berpikir melibatkan penggunaan lambang, visual atau gratis. Berpikir dilakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity). Memahami realitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Sehingga dengan singkat, Anita Taylor dan kawankawan mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan (thinking is a inferring process) (Taylor, et al.:1977:55). 138 BAB IV KEPERCAYAAN DALAM KOMUNIKASI POLITIK: TINJAUAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI A. Kepercayaan dalam Psikologi Komunikasi 1. Pengertian Kepercayaan dalam Psikologi Komunikasi Komunikasi dimulai dari sensasi, yaitu proses penginderaan yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Dari sensasi timbullah persepsi yang memberikan makna pada stimulus inderawi. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Hal ini jelas tampak pada definisi persepsi, yaitu cara organisme memberi makna (Wenburg dan Wilmot:1973:113). Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi tidak akurat, tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan seseorang untuk memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu maka semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekwensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas (Mulyana:2001:167-168). Demikian juga dengan kepercayaan dalam komunikasi politik. Kepercayaan timbul pertama kali dari persepsi dengan melihat fenomena politik. Dari hasil persepsi timbullah 139 interpretasi yang merupakan inti persepsi. Interpretasi tersebut menghasilkan percaya atau tidak percaya. Dari persepsi timbullah kognisi atau pengetahuan yang disimpan dalam memori. Memori adalah sistem yang sangat terstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya (Schlesinger dan Groves:1976:352). Setelah interpretasi tersebut menghasilkan percaya atau tidak percaya, maka memori menyimpan data percaya atau tidak percaya tadi. Dari kognisi dalam memori tadi timbullah tindakan (konasi) setelah melalui proses berpikir. Tindakan tersebut berupa hasil dari sikap percaya atau tidak percaya. Secara ilmiah, percaya adalah mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dihendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh risiko (Giffin:1967:224-234). Definisi percaya di atas menyebutkan tiga unsur percaya: a. Ada situasi yang menimbulkan risiko. Bila orang menaruh kepercayaan kepada seseorang, ia akan menghadapi risiko itu dapat berupa kerugian yang dialami. Bila tidak ada risiko, percaya tidak diperlukan. b. Orang yang menaruh kepercayaan kepada orang lain berarti menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain. c. Orang yang yakin bahwa perilaku orang lain akan berakibat baik baginya. Why Am I Afraid to Tell You Who I Am adalah judul buku yang ditulis oleh John Powell untuk melukiskan orang-orang yang berusaha menyembunyikan perasaan dan pikirannya pada orang lain (Rakhmat:2011:130). Dari segi psikologi, dikatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh sebab itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dengan mengubah persepsinya. Dalam persepsi terdapat tiga komponen utama berikut: a. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar. Intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. b. Interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi 140 dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi kepribadian, dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi (Sobur:2013:467). Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan di sini tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib, tetapi hanyalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, atau intuisi. Jadi, kepercayaan dapat bersifat rasional atau irrasional. Contohnya, seseorang percaya bahwa bumi itu bulat, bahwa rokok itu penyebab kanker, atau bahwa kemiskinan itu karena kemalasan. Kepercayaan memberikan perspektif pada manusia dalam mempersepsi kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan sikap terhadap objek sikap. Bila orang percaya bahwa cacar disebabkan oleh makhluk halus, sikapnya terhadap vaksinasi akan negatif, dan ia cenderung menolak pengobatan secara medis. Bila orang percaya bahwa anak mendatangkan rezeki, kampanye KB tidak akan menghasilkan apapun sebelum orang itu memperoleh kepercayaan yang baru (Rakhmat:2011:41). 2. Faktor terbentuknya Kepercayaan Menurut Solomon E. Asch, kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan. Pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki seseorang. Banyak kepercayaan didasarkan pada pengetahuan yang tidak lengkap. Orang percaya bahwa seluruh pemuda di Amerika bergaul bebas, berdasarkan apa yang mereka lihat dalam film atau mereka baca dalam surat kabar dan majalah. Banyak orang Amerika yang menduga bahwa peristiwa besar di negara-negara terbelakang hanyalah banjir, bencana alam, kelaparan, atau kudeta. Seorang Indonesia yang belajar di Amerika Serikat merasa heran ketika kawannya meragukan bahwa di Indonesia orang makan di atas kursi (Rakhmat:2011:41-42). 141 Membangun kepercayaan pada orang lain bukanlah merupakan hal yang mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk percaya dan dalam mengambil resiko. Faktor yang mempengaruhi kepercayaan individu dalam mengembangkan harapannya mengenai bagaimana seseorang dapat percaya kepada orang lain, bergantung pada faktor-faktor di bawah ini: a. Predisposisi kepribadian Setiap individu memiliki predisposisi yang berbeda untuk percaya kepada orang lain. Semakin tinggi tingkat predisposisi individu terhadap kepercayaan maka semakin besar pula harapan untuk dapat mempercayai orang lain. b. Reputasi dan Stereotype Meskipun individu tidak memiliki pengalaman langsung dengan orang lain, harapan individu dapat terbentuk melalui apa yang dipelajari dari teman ataupun dari apa yang telah didengar. Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa individu untuk melihat elemen untuk percaya atau tidak percaya serta membawa pada pendekatan pada hubungan untuk saling percaya. c. Pengalaman Aktual Pada kebanyakan orang, individu membangun fase dari pengalaman untuk berbicara, bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari fase tersebut sangat kuat di dalam kepercayaan, dan sebagian kuat di dalam ketidakpercayaan. Sepanjang berjalannya waktu, baik elemen kepercayaan (trust) maupun ketidakpercayaan (distrust) memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk menstabilkan dan secara mudah mendefinisikan sebuah hubungan. Ketika polanya sudah stabil, individu cenderung untuk menggeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi atau rendahnya kepercayaan atau ketidakpercayaan. d. Orientasi psikologis Individu membangun hubungan sosial berdasarkan 142 dan mempertahankan orientasi psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya. Dalam artian, agar orientasinya tetap konsisten, maka individu akan mencari hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Membangun kepercayaan pada orang orang lain merupakan hal yang tidak mudah. Itu tergantung pada perilaku kita dan kemampuan orang lain untuk percaya dan mengambil resiko (Muttaqien:2016:5-6). 3. Dinamika Kepercayaan Hubungan interpersonal bukan hanya berisi sekumpulan kebiasaan. Di dalamnya terdapat suatu struktur, perilaku yang stabil, memberi dan menerima, tuntutan dan komitmen. Dasar untuk membangun suatu hubungan interpersonal yang baik diperlukan rasa saling percaya (trust) antara satu dengan lainnya. Kepercayaan merupakan suatu fenomena yang dinamis yang terjadi secara intrinsik pada suatu keadaan yang alamiah, di mana kepercayaan merupakan hal yang menyangkut masalah mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya, misalnya ketika seseorang untuk mengambil suatu keputusan, ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih dapat ia percaya dari pada yang kurang ia percaya. Kepercayaan tidak hanya tergantung pada pengalaman tetapi juga melibatkan hubungan dengan proses mental di mana terdapat adanya aspek kognitif dan afektif di dalamnya. Hal ini menjelaskan bahwa kepercayaan tidak hanya tergantung pada pengalaman sebagai informasi yang diperoleh dari waktu ke waktu, tetapi juga melibatkan respon emosi dan perasaan yang berhubungan dengan pengalaman tersebut . Untuk dapat percaya, seseorang akan mengharapkan adanya sense of responsibility, percaya bahwa mereka akan berperilaku pada cara-cara yang dapat dipercaya. Untuk dapat percaya, seseorang akan berharap bahwa orang yang ingin ia percaya akan mengerti harapannya dan mengetahui cara untuk mengatasi keterbatasannya, karena itu hal yang paling esensial dari percaya adalah keterbukaan. Percaya merupakan suatu kemungkinan yang subjektif dari seorang individu, yang mengharapkan individu lain untuk menunjukkan suatu tindakan tertentu. Segala kemungkinan yang terjadi tergantung pada 143 bagaimana perilaku yang ditunjukkan orang yang kita percayai tersebut kepada kita, bagaimana mereka dapat memenuhi perilaku yang kita harapkan. Membangun kepercayaan diawali dengan menghargai dan menerima kepercayaan (trust) tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari dan latihan yang terus-menerus. Tanpa adanya perilaku nyata, pemahaman dan penerimaan kita akan trust pun tidak berarti apa-apa. Membangun trust berarti memikirkan suatu kepercayaan (trust) dalam cara yang positif, membangun langkah demi langkah, komitmen demi komitmen. Jika trust dianggap sebagai sebuah bentuk resiko dan penuh ancaman, maka tidak ada hal positif yang bisa kita dapatkan. Memang trust selalu berdampingan dengan ketidakpastian, tapi kita harus berusaha membuat diri kita sendiri untuk berpikir bahwa ketidakpastian tersebut sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan, bukan sebagai halangan. Trust merupakan sesuatu hal yang penting bagi sebuah hubungan karena di dalamnya terdapat kesempatan untuk melakukan aktivitas yang kooperatif, pengetahuan, otonomi, self-respect, dan nilai moral lainnya. Trust memiliki lima aspek penting di dalamnya, yang mendasari suatu hubungan intrapersonal yaitu openness (keterbukaan) ketika pasangan dapat saling membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan reaksi isu-isu yang terjadi, sharing (berbagi) di mana pasangan menawarkan bantuan emosional dan material serta sumber daya kepada pasangannya dengan tujuan untuk membantu mereka menuju penyelesaian tugas, acceptance (penerimaan) ketika adanya komunikasi penuh penghargaan terhadap pasangan, support (dukungan) ketika berkomunikasi dengan orang lain yang diketahui kemampuannya dan percaya bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan, dalam hal ini seseorang percaya bahwa pasangannya memiliki kemampuan dan kapabilitas yang dibutuhkan dalam menjalankan hubungan intrapersonal, dan yang terakhir adalah cooperative intention, yaitu adanya pengharapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan bahwa orang lain juga dapat bekerjasama untuk mencapai pemenuhan tujuan, dan dalam hal ini pasangan percaya bahwa pasangannya dapat bekerja sama dalam mencapai pemenuhan tujuannya. Jadi, ketika kita dan pasangan sudah memenuhi 144 kelima aspek tersebut, maka kita dan pasangan telah memiliki mutual trust satu dengan lainnya. Terbentuknya trust terjadi dikarenakan adanya keyakinan bahwa pasangan akan memberikan keuntungan, dan terbentuk melalui sikap menerima, mendukung, sharing, dan kerjasama pada diri seseorang Artinya bahwa trust merupakan suatu situasi kita menerima pengaruh dari orang lain, dan kita percaya bahwa orang lain akan memberikan keuntungan bagi kita. Supaya suatu hubungan dapat berjalan dengan baik dan efektif, individu harus membangun perasaan saling percaya (mutual trust). Trust terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang yang memberikan kepercayaan dan orang yang dipercayakan tersebut. Interpersonal trust dibangun melalui adanya resiko dan penerimaan dan dapat hancur karena adanya resiko dan tidak adanya sikap penerimaan. Tanpa resiko maka trust tidak akan terbentuk, dan hubungan tidak dapat maju dan berjalan. Ketika seseorang mengambil resiko dengan terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran-pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi pada suatu situasi dan pasangan akan memberikan respon yang positif berupa penerimaan, support, kooperatif dan membalas kita dengan menjadi terbuka (disclosing) dalam membicarakan pemikiran, ide, dan perasaan mereka, disitulah trust dapat terbentuk dan berkembang (Muttaqien:2016:6-9). 4. Perubahan Kepercayaan Kepercayaan (trust) merupakan sesuatu yang rapuh. Trust dapat berubah dari waktu ke waktu, karena orang yang terlibat di dalam trust tersebut juga pasti akan.mengalami perubahan. Trust bukan suatu jaminan untuk tidak dapat berubah karena keadaan bisa menghilangkan kemampuan seseorang untuk trust. Di dalam interaksi nyata, kita tidak akan pernah mendapatkan situasi interaksi yang benar-benar sama dalam suatu waktu, dengan begitu suatu keadaan tertentu bisa saja mempengaruhi trust seseorang pada orang yang ia percayai. Trust berubah bukan hanya karena adanya suatu pengalaman tertentu. Belum tentu suatu pengalaman yang menyenangkan akan meningkatkan trust dan sebaliknya, tetapi juga dengan adanya modifikasi dari berbagai sumber trust 145 tersebut, misalnya pengalaman langsung di masa lalu, reputasi trustee (bagaimana pengalaman dan opini orang lain mempengaruhi kepercayaan trustier kepada trustee), perubahan sikap dan perilaku dari orang yang kita percayai, keadaan emosional trustier, dan dengan adanya modifikasi dari lingkungan yang menuntut seseorang untuk berperilaku tertentu. Trust juga bisa berubah karena adanya suatu faktor sebab akibat (causal attribution), kepercayaan seseorang kepada orang lain akan bergantung pada bagaimana orang lain tersebut berperilaku dan sebaliknya. Ada kalanya seseorang berada di dalam periode distrust yang ekstrim. Seseorang yang kehilangan kemampuan trust sering kali karena adanya suatu keadaan traumatis. Hal tersebut terjadi karena adanya pengkhianatan dan pelanggaran terhadap trust dan komitmen tersebut. Trust memang meliputi resiko dan konsekuensi dari resiko seringkali membuat kita kecewa dan merasa gagal. Walaupun trust merupakan. sesuatu yang bersifat bebas, trust juga melibatkan resiko. Ada beberapa katagori dari kekecewaan tersebut, yang pertama adalah kekecewaan karena sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada kemungkinan besar bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ini bukan berarti kesalahan seseorang. Di sini, trust merupakan dirinya sendiri dan trust di dalam perilaku nyata dan proses yang terhubung, menjadi sesuatu yang krusial. Dan hal yang paling esensial dari bagian ini adalah ketika orang tersebut tetap melanjutkan untuk percaya dengan orang lain dan dapat berpikir bahwa ini merupakan sebuah kebijaksanaan dan penerimaan kita setiap hari. Katagori kekecewaan yang kedua adalah karena adanya kesalahan. Terkadang hal ini disebabkan oleh sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dan karena kesalahan dari seseorang.Setelah berada di dalam periode distrust, beberapa orang ada yang tidak dapat melupakan dan juga tidak dapat memaafkan, tetapi tidak sedikit pula mereka tetap berubah dan belajar untuk trust kembali kepada pasangannya. Reestablishing trust adalah membangun kembali struktur-struktur baru, memulihkan dan kembali melakukan rutinitas sehari-hari dan membangun kembali hubungannya tersebut (Muttaqien:2016:910). 146 5. Membangun Kepercayaan dalam Komunikasi Kepercayaan mutlak diperlukan agar suatu relasi tumbuh dan berkembang. Kepercayaan meliputi unsur-unsur sebagai berikut: a. Kita berada dalam suatu situasi di mana pilihan untuk mempercayai orang lain dapat menimbulkan akibat-akibat yang menguntungkan maupun merugikan bagi aneka kebutuhan dan tujuan atau kepentingan kita. Jadi, kepercayaan mengandung resiko. b. Akibat-akibat yang menguntungkan atau yang merugikan tersebut tergantung pada perilaku orang. c. Penderitaan karena akibat yang merugikan akan lebih besar dibandingkan manfaat karena akibat yang menguntungkan. d. Kita punya cukup keyakinan kepada orang lain akan bertingkah laku sedemikian rupa sehingga yang timbul adalah akibat-akibat yang menguntungkan. Untuk membangun sebuah relasi, dua orang harus saling mempercayai. Saling percaya dibangun lewat resiko dan peneguh, serta dihancurkan lewat resiko dan penolakan. Kepercayaan tidak akan muncul tanpa resiko, dan relasi tidak akan mengalami kemajuan tanpa kepercayaan. Tiga macam tingkah laku yang bisa menurunkan kepercayaan dalam suatu relasi, yaitu : a. Menunjukkan penolakan, menolok-olok, atau melecehkan pembukaaan diri orang lain b. Tidak membalas pembukaan diri orang lain c. Tidak mau mengungkapkan pikiran, perasaan, dan reaksi kita terhadap orang lain, kendati ia telah menunjukkan penerimaan, dukungan dan kerja sama. Tingkat kepercayaaan dalam suatu relasi akan berubahubah dan berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kerelaan masing-masing individu untuk mempercayai dan dipercayai dan dapat dipercayai. Mempercayai artinya rela menghadapi resiko menerima akibat-akibat yang menguntungkan atau merugikan dengan menjadikan dirinya rentan dihadapan orang lain. Tepatnya, kepercayaan meliputi pembukaan diri dan rela menunjukkan penerimaan dan dukungan terhadap orang lain. Dapat dipercaya adalah rela menghadapi orang lain yang mengambil resiko dengan cara yang menunjukkan jaminan 147 bahwa orang lain tersebut akan menerima akibat-akibat yang menguntungkan. Jadi, meliputi penerimaan atas kepercayaan yang ditunjukkan oleh orang lain kepada kita. Dibawah ini ada 11 bentuk kebiasaan yang dapat meningkatkan tingkat kepercayaan dalam hubungan interaksi anda : a. Transparan. Jangan mencoba menyembunyikan sesuatu dari orang lain. Jauhkan dari segala macam agenda/rencana tersembunyi. Anda mungkin berpikir bahwa anda dapat mengelabui mereka. Namun, perlu anda ketahui, kebanyakan orang memiliki intuisi yang baik, dan meskipun mereka tidak mengetahui persis apa sebetulnya rencana tersembunyi anda, mereka setidaknya memiliki perasaan yang kurang enak berada di dekat anda. Biasanya orang-orang yang mempunyai rencana tersembunyi akan terlihat dari bahasa tubuhnya. b. Tulus. Katakanlah sesuatu dengan jujur. Jangan coba-coba untuk mengelabui orang lain dengan kata-kata anda, seperti memberi pujian palsu atau pura-pura memberi dukungan. Sekali lagi, orang-orang mempunyai semacam detektor. Ketika seseorang mengetahui bahwa anda betul-betul tulus, kepercayaan mereka akan meningkat kepada anda. Orangorang menyukai kebenaran. c. Fokus pada menambah nilai. Dalam setiap hubungan, fokuskan pada tindakan-tindakan yang menyentuh hati seseorang. Bekerja keraslah untuk itu, karena ketika anda berhasil memberi nilai tambah pada kehidupan seseorang, mereka tidak hanya merasakan bahwa anda berada di pihaknya, mereka juga akan memiliki dorongan untuk melakukan hal yang sama kepada anda. Contohnya, dalam hubungan bisnis adalah anda melakukan suatu hal lebih cepat dari yang dijanjikan. Dalam hubungan pribadi adalah anda fokus pada memenuhi keinginan pasangan anda daripada keinginan anda sendiri. d. Hadirlah dengan seluruh jiwa raga anda. Di mana saja anda berbicara dengan seseorang, buatlah ia menjadi fokus utama. Hadir dengan seluruh jiwa raga anda berarti anda memberikan waktu yang berkualitas dan waktu yang berkualitas akan membangun kepercayaan. 148 e. Perlakukanlah selalu orang dengan hormat. Ingatlah, martabat orang lain sebagai manusia, mereka berhak diperlakukan dengan hormat. Ketika orang-orang mengetahui bahwa anda selalu memperlakukan mereka dengan hormat, maka orang-orang pun akan menaruh banyak kepercayaan pada anda. f. Ambillah tanggungjawab. Lupakan mencari-cari alasan, dan ambillah saja tanggungjawab yang diberikan pada anda, tidak perlu banyak berpikir. Pembenaran dan membuat alasan mungkin membantu anda dalam jangka pendek, namun untuk jangka panjang, justru akan menurunkan tingkat kepercayaan orang terhadap anda. Berani bertanggungjawab merupakan karakter yang sulit ditemukan di mana kebanyakan orang lebih sering menghindari konsekuensi negatif akibat perbuatan mereka. Beranilah untuk membuat perbedaan maka anda akan merebut kepercayaan dari orang lain. g. Fokus pada umpan balik. Jangan hanya pasif menunggu orang memberi umpan balik pada anda, namun anda harus aktif memintanya. Kebanyakan orang takut untuk memberikan umpan balik kepada anda, apalagi jika mengandung hal negatif. Mintalah dengan tulus kepada seseorang dan berilah respon yang baik, maka orang tersebut akan rela untuk memberikan umpan balik kepada anda. Terimalah semua umpan balik, baik yang positif maupun negatif, dan sebisa mungkin rubahlah kebiasaan anda yang kurang baik berdasarkan umpan balik tersebut. h. Terimalah kritikan dengan baik. Belajarlah untuk mengatasi kritik dengan rasa syukur. Dibanding anda bertahan (defensive), pertimbangkan apa yang orang lain katakan, mungkin ada benarnya. Menutup diri anda dari segala kritik mempunyai dampak menutup segala komunikasi. Mungkin kritik hanyalah sekedar luapan emosi dari kekesalan yang mereka miliki pada anda. Kerelaan anda untuk tidak mengambil sikap bertahan justru akan meningkatkan rasa kepercayaan dalam hubungan anda dengan orang tersebut. i. Berbudi bahasa yang baik. Berbudi bahasa yang baik harus dapat anda pegang teguh. Hanya ucapkan kata-kata yang baik kepada orang-orang, meskipun orang tersebut tidak berkata baik kepada anda. Cepatlah meminta maaf ketika anda 149 mengetahui bahwa anda salah. Mengapa anda harus melakukan ini? Pertama, bayangkan apa yang anda rasakan jika orang-orang mendapatkan pengalaman yang baik bersama anda. Kedua, bayangkan tingkah laku orang-orang yang akan ikut terbawa menjadi lebih baik karena mereka berada dekat terus dengan anda. Orang-orang akan menaruh kepercayaan besar kepada anda. j. Memegang janji. Janji adalah sesuatu yang memiliki dampak yang sangat kuat. Tepatilah semua janji yang telah anda buat. Buatlah kata-kata anda jauh lebih kuat dibanding kontrak tertulis apapun, dan jangan sekali-kali membuat janji kosong. Alhasil orang-orang akan menghargai anda dan menaruh kepercayaan yang tinggi kepada anda. k. Konsisten. Yang tidak kalah penting, konsistenlah dengan perilaku-perilaku di atas. Jangan hanya sesekali saja anda melakukannya. Konsistensi adalah kunci untuk menjaga kepercayaan orang lain kepada anda. Ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif dalam komunikasi disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri. Untuk menumbuhkan percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi perlu. Pembukaan diri atau self disclousure ialah mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan, atau berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini tersebut. Ada lima manfaat pembukaan diri kepada dan bagi orang lain, yakni: a. Menjadi dasar hubungan yang sehat antara dua orang. b. Membuat orang lain menyukai kita. c. Membawa kecendrungan sifat kompeten, terbuka, ekstrovert, adaptif, fleksibel, dan inteligen. d. Mendasari komunikasi intim dengan diri sendiri dan orang lain. e. Membentuk sikap jujur, tulus, dan autentik. Kemampuan memahami sudut pandangan orang lain memang sangat penting agar kita dapat berkomunikasi secara efekif. Salah satu yang sering menjadi penghambat dalam 150 membangun hubungan antarpribadi yang intim adalah kesulitan mengkomunikasikan perasaan. Adapun untuk mengungkapkan perasaan, ada dua cara yang bisa digunakan, yakni secara verbal dan nonverbal. Mengungkapkan perasaan secara verbal ialah dengan mengungkapkan kata-kata, baik secara langsung mendeskripsikan perasaan yang kita alami maupun tidak, sedangkan pengungkapan perasaan secara nonverbal ialah dengan menggunakan bahasa isyarat, misalnya sorot mata, raut muka, dan sebagainya. Dalam upaya mempermudah dan melestarikan hubungan kita dengan orang lain, kita harus biasa menerima diri dan menerima orang lain. Menerima diri ialah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Sedangkan saling mengkomunikasikan penerimaan terhadap orang lain adalah sesuatu yang vital untuk membangun pribadi yang erat yang akan melahirkan rasa aman secara psikologis. Ada lima cara untuk membuat kesimpulan tentang pantas tidaknya kita diterima oleh orang lain, yakni: a. Penerimaan pantulan. Misalnya jika orang lain menyukai kita maka kita pun akan menyukainya. b. Penerimaan diri dasar, yakni keyakinan diri kita diterima secara instrinsik dan tanpa syarat. c. Penerimaan diri bersyarat, yakni didasarkan pada seberapa baik kita memenuhi tuntutan pihak di luar diri kita. d. Evaluasi diri, yakni penilaian seberapa positif atribut yang kita miliki dibandingkan atribut yang dimiliki orang lain. e. Perbandingan antara yang riil dan ideal. Keterampilan yang diperlukan untuk mengkomunikasikan penerimaan terhadap orang lain meliputi dua hal, yakni mendengarkan dengan penuh seksama dan menunjukkan kehangatan dan rasa suka atau senang (Muttaqien:2016:10-16). B. Kepercayaan dalam Komunikasi Politik Kepercayaan publik merupakan tujuan utama komunikasi politik. Kepercayaan dalam komunikasi politik berangkat dari kepercayaan 151 rakyat terhadap para pemimpin, yaitu bahwa rakyat percaya kepada pemimpin mereka. Mereka percaya bahwa para pemimpin mampu mewujudkan keamanan, ketertiban, dan kemakmuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Negara Kertagama karya Mpu Tantular: Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani Toto Tentrem Kertoraharjo Subur Tanwo Tinandur Gemah Ripah Lohjinawi Inilah gaya kepemimpinan yang efektif yang menimbulkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Pemimpin dengan gaya ini menyerahkan seluruh waktunya untuk rakyatnya. Pemimpin yang dipercaya rakyat adalah pemimpin yang mana rakyatnya bebas dari rasa takut, resah, gelisah, bahkan lapar. Kalau sekiranya ada sebagian masyarakat yang memang tidak mampu lagi mandiri karena berbagai sebab, maka tindakan Umar bin Khattab yang mengambil, memanggul sendiri, dan menyerahkan gandum kepada janda dan anak-anaknya yang kelaparan, menjadi contoh terbaik bagi seorang pemimpin yang merakyat. Ketika beliau ditanya di dalam majlis kenapa itu dilakukan sendiri, sambil beristighfar, beliau menjawab: “Mereka itu rakyatku dan aku harus bertanggungjawab.” Rakyat percaya kepada pemimpin yang jujur, tidak melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang senantiasa semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemakmuran rakyatnya. Karena dipercaya untuk mengurus penyelenggaraan negara, maka mereka harus menjaga dan memastikan bahwa semua sumber daya yang ada digunakan sepenuhnya untuk kepentingan bangsa. Selain memberdayakan rakyatnya, pemimpin juga harus bersikap wajar dalam kedudukannya, terlebih lagi dalam penggunaan fasilitas negara. Menjadi pemimpin seharusnya sibuk dengan urusan kemasyarakatan, bukannya malah memikirkan masa jabatan berikutnya atau memikirkan strategi melakukan KKN, menghambat lawan politiknya, dan lain-lain. Pemimpin Indonesia banyak yang belum menganggap rakyat sebagai subjek, tapi sebaliknya, objek KKN mereka. Karenanya mereka seenaknya bertindak tanpa mengindahkan konsekwensi yang terjadi dan meremehkan wawasan dan kebijaksaan rakyat. Mereka menganggap 152 rakyat tetap akan sabar dan tidak cukup pandai untuk mengetahui dan mengikuti maksud sebuah kebijakan. Oleh karena itu, sangat memprihatinkan kalau para pemimpin Indonesia justru ingin dilayani dan minta bagian terlebih dahulu, malah melakukan korupsi terencana, terstruktur, tersistem, dan membentuk lingkaran setan, tanpa mau peduli dengan penderitaan dan amanat rakyat. Mereka inilah pemimpin yang tidak dipercayai rakyat, yang merupakan kebalikan dari pemimpin yang dipercayai dan dicintai rakyat seperti yang telah dijelaskan diatas. Seharusnya mereka tahu bahwa tugas utama pemimpin adalah mensejahterakan rakyatnya. Kalau ingin kaya jangan menjadi pemimpin, meminjam istilah K.H. Ahmad Dahlan: “Hiduphidupkan Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah” (Subiakto dan Ida:2014:40). Kenyataannya, terutama setelah reformasi, banyak sekali pejabat tersandung kasus KKN, terutama korupsi, sehingga harus berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Contohnya baru-baru ini adalah mantan Gubernur Sumatera Utara H. Gatot Pujo Nugroho, ST, M.Si. Mas Gatot, demikian sapaan akrabnya, dikenal sebagai militan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), yang mana partai ini dikenal sebagai partainya para ustadz dan alim ulama. Mas Gatot tersangka korupsi dana Bansos (Bantuan Sosial), juga tersangka kasus-kasus korupsi yang lain. Banyak petinggi PKS yang terlibat skandal korupsi, sehingga kepercayaan rakyat kepada PKS nenurun tajam, terbukti dalam Pemilukada dan pemilihan legislatif, di mana para pemilih PKS menurun tajam. Ini disebabkan karena PKS itu katanya partai orang-orang alim dan anti korupsi, sebagaimana yang tertulis di mobil-mobil PKS: Bersih, Peduli, Profesional, tapi tindakan mereka sebaliknya, sehingga rakyat bingung, siapa lagi yang bisa dipercaya?. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan di Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/7/2015) lalu. Dalam operasi itu, tim satgas menangkap tiga hakim, satu panitera dan seorang pengacara. Mereka adalah, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Tripeni Irianto Putro (TIP), hakim Amir Fauzi (AF), hakim Darmawan Ginting (DG) dan seorang panitera Syamsir Yusfan (SF) dan seorang pengacara M Yagari Bhastara Guntur (Geri Baskara) yang disebut-sebut berasal dari lawfirm OC Kaligis. Kelimanya resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap Bansos dan Bantuan Daerah Bawahan (BDB) tahun anggaran 2012 dan 2013. 153 Dalam operasi tangkap tersebut ditemukan sejumlah uang 10 ribu dollar AS dan 5 ribu dollar Singapura. Setelah merampungkan pemeriksaan terhadap kelima orang tersebut. Maka penyidik KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut, di mana penyidik memutuskan, pengacara Geri sebagai pihak penyuap dan keempat orang sebagai pihak penerima suap. Kemudian, pengacara kondang OC Kaligis ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan suap terhadap hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Jumat (14/7/2015) lalu. Sebelumnya, KPK memang menjadwalkan pemeriksaan terhadap OC Kaligis bersama Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho pada Senin (13/7/2015) lalu. Keduanya akan dimintai keterangan untuk kasus dugaan suap terhadap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Masih hari yang sama, KPK pun resmi menahan pengacara senior, OC Kaligis terkait statusnya sebagai tersangka kasus dugaan suap terhadap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara, Jumat (14/7/2015). OC Kaligis sebelumnya dijemput KPK saat sedang berada di Hotel Borobudur, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Tak hanya itu, KPK terus mengusut kasus suap hakim di PTUN Medan itu. Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho dan istri keduanya, Evi Susanti, pun resmi ditetapkan sebagai tersangka suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan oleh KPK, Rabu (28/7/2015). Keduanya, resmi menyandang status tersangka usai pimpinan lembaga antirasuah melakukan ekspos kasus tersebut. "Hasil ekspose (pada rapat pimpinan dan tim lengkap) progres kasus OTT Hakim PTUN maka KPK hari ini akan menerbitkan sprindik dengan menetapkan Gubernur Sumut, GPN dan ES sebagai tersangka," kata Plt Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji saat dikonfirmasi, Jakarta, Rabu (28/7/2015). Indriyanto menjelaskan penetapan status tersangka terhadap Gatot dan Evi berdasarkan hasil pengembangan kasus serta keterangan dari para saksi. Dengan sejumlah alat bukti yang cukup, keduanya resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap PTUN Medan. "Semua ini berdasarkan pengembangan dan pendalaman dari pemeriksaan saksi-saksi yang ada juga perolehan alat bukti lainnya," pungkas Indriyanto. Selanjutnya usai lebaran, KPK kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap orang nomor satu di Sumatera Utara itu dan istri 154 mudanya, Senin (3/8/2015). Namun keduanya yang kompak mendatangi tak mau memberikan keterangan pada awak media soal pemeriksaan tersebut. Setelah beberapa jam kemudian, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho langsung ditahan KPK usai diperiksa selama sembilan jam. Gatot keluar dari gedung KPK mengenakan rompi oranye yang artinya ditahan pada pemeriksaan perdana sebagai tersangka. Senin malam (3/8/2015) Gatot keluar sekitar pukul 21.05 wib. Gatot yang keluar dengan pengawalan ketat langsung masuk mobil tahanan. Selang beberapa saat kemudian, istri muda Gatot, Evi Susanti juga ditahan KPK. Evi keluar mengenakan rompi oranye. Evi juga masuk ke dalam mobil tahanan. Keduanya diduga sebagai sumber suap dalam kasus dugaan suap hakim dan panitera PTUN Medan yang diberikan anak buah OC Kaligis, M Yagari Bhastara alias Gerry. Atas perbuatannya, Gatot dan Evy disangka melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a dan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b dan atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 Ayat 1 dan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP (http://www.sumateratime.com/2015/08/ini-kronologi-kasus-gubernurgatot.html). Demikian banyaknya kasus KKN dan ketidakberdayaan pemerintah untuk memberantasnya, karena ada lingkaran setan yang melanggengkan praktek KKN ini, sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan anggaran milyaran rupiah untuk membentuk dan mengoperasionalkan KPK. Menurut Presiden Joko Widodo, KPK berhasil meraih kepercayaan publik (Harian Waspada (30 Desember 2015), h. A1). Oleh karena itu, keberadaan KPK sangat diharapkan dan tetap tak tergoyahkan walaupun badai terus menerjang, seperti konflik KPK dengan kepolisian, isu bahwa KPK adalah musuh bersama (Harian Sinar Indonesia Baru (12 Desember 2015), h. 1), pimpinan KPK terlibat pidana suap dan lain-lain. Menurut Soedjati Djiwandono, ada yang menyangkal bahwa di negeri ini telah terjadi krisis kepercayaan ganda: kepercayaan pada rupiah, pada bank nasional, pada perekonomia nasional umumnya, dan pada sistem politik, sekurang-kurangnya dalam arti bagaimana sistem itu berfungsi selama ini. Unjung-ujungnya adalah krisis kepercayaan pada pemerintah. 155 Yang disebut terakhir itulah yang paling sulit diterima, terutama oleh mereka yang berkuasa dan para pendukungnya. Para cendekiawan, pangamat, dan “pakar” seringkali dijadikan kambing hitam sebagai penyebab kecemasan dalam masyarakat. Ada yang secara bodoh mengatakan, misalnya, bahwa hanya pemerintah yang mengambil langkah-langkah nyata, sedangkan analisis para pakar hanya menimbulkan kebingungan, karena mereka tidak mengambil tindakan nyata, dan alternatif-alternatif jawaban yang ditawarkan hanya menimbulkan persoalan-persoalan baru. Pernyataan itu mencerminkan tidak dipahaminya fungsi cendekiawan. Para cendekiawan atau “pakar” memang tidak mempunyai kekuasaan dan sebab itu tidak dalam posisi merumuskan dan melaksanakan kebijakan, yang justru menjadi tugas dan kewajiban pemerintah. Kebenaran memang seringkali pahit. Tetapi mengingkarinya, seperti burung unta, pura-pura hal itu tidak terjadi, tidak menghilangkannya. Salah satu faktor penyebab merosotnya kepercayaan dalam berbagai pengertian itu adalah sulitnya orang memperoleh akses pada informasi yang yang memadai, khususnya dalam kasus sekarang ini adalah informasi ekonomi. Dengan kata lain, kurangnya transparansi atau keterbukaan, menjadi salah satu penyebab krisis kepercayaan. Dan dengan alasan yang berbeda-beda, para pengusaha dan industrialis, rakyat biasa sebagai konsumen, dan media massa, yang sekaligus juga menjadi penyalur, dan dengan demikian juga sumber informasi bagi masyarakat luas, sangat berkepentingan dengan akses pada informasi yang lengkap, utuh, akurat, dan tepat waktu (timely). Kurangnya keterbukaan atau transparansi seringkali berkaitan dengan masalah kejujuran pada pihak sumber informasi. Dan sumber informasi ekonomi utama adalah pemerintah. Sekali atau dua kali seorang pejabat ketahuan, atau bahkan sekedar dicurigai memberikan informasi yang tidak benar, atau berbohong, sadar atau tidak karena memang kurang mengerti persoalan, sudah merupakan awal atau semakin mendorong krisis kepercayaan. Seorang pejabat tinggi secara blo’on pernah mengatakan, misalnya, bahwa krisis yang kini melanda bangsa kita itu murni krisis moneter. Muke gile. Nyang bener aje. Dapat terjadi bahwa informasi yang disampaikan kepada publik benar dan utuh. Tetapi dengan tujuan yang mungkin baik, atau karena 156 kepentingan yang pada dasarnya sah, misalnya untuk mencegah kecemasan dan panik dalam masyarakat, cara mengemas informasi itu sendiri sedemikian sehingga membawa akibat yang sebaliknya, atau dengan kata lain counter-productive. Sebab itu, kemasan (packaging) informasi memegang peranan penting. Sebagai contoh, ketika mula-mula Menteri Keuangan mengumumkan langkah-langkah awal untuk mengatasi krisis moneter sekarang ini, orang harus menunggu beberapa menit sebelum beliau mulai dengan masalah Rupiah. Ia mulai dengan menyebut-nyebut masalah mata uang Swiss (Frank), Deutsche Mark, Baht Thailand, Ringgit Malaysia, sebelum akhirnya menyebut Rupiah. Kesan yang nampaknya hendak diberikan adalah bahwa Indonesia tidak sendirian menghadapi masalah moneter. Memang betul, atau masalah moneter kita tidak separah yang kita pikirkan. Kemudian pada awalnya kita diberi tahu bahwa kita hanya berusaha memperkuat kerjasama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), yang memang sudah berjalan lama, dan tidak minta bantuan. Kepala Negara sendiri ketika berbicara di Pasuruan, Jawa Timur, mengatakan bahwa kita hanya “berkonsultasi” dengan IMF. Tetapi pada kesempatan yang sama dikatakan juga akhirnya bahwa setiap anggota IMF berhak “minta bantuan”. Penjelasan tentang sebab-sebab kebakaran (dan/atau “pembakaran?”) hutan yang diberikan oleh Menteri Kehutanan bertentangan, sekurang-kurangnya sebagian dengan penjelasan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Mana yang bener sih, Mas? Kasus lain yang belum lama adalah diberhentikannya “dengan hormat” tiga orang direktur BI. Tetapi kemudian mereka dipanggil Polisi untuk “dimintai keterangan”.Tambah aneh lagi, pihak kejaksaan mempersoalkan wewenangnya. Kelihatan sekali betapa kurangnya koordinasi antarpejabat tinggi, tidak jelasnya aturan permainan, atau dengan kata lain, semrawutnya sistem pemerintahan kita. Bagaimana orang masih dapat mengatakan sistem kita sudah baik, tidak perlu reformasi? Kasus-kasus yang disebut tadi tidak berurutan secara kronologis, hanya yang sesaat diingat saja. Masih banyak kasus lain yang dapat ditambahkan. Intinya adalah bahwa krisis kepercayaan ini bermuara kepada politik dan ekonomi (http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=405&coid=1& caid=34&auid=2). 157 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengeluhkan harus menjadi “pencuci piring” bekas pesta orang lain. Kalau Presiden mau yang enak-enak saja, lantas siapa yang harus mengambil keputusan penuh resiko bagi kebaikan rakyat Indonesia? Bukankah Presiden dipilih dari putra terbaik bangsa untuk menjalankan tugas terberat sebagai pengawal bangsa berdasarkan kepercayaan rakyat?. Sebelum keluhan ini bertambah panjang dan menjadi pandemik baru ke seluruh tingkatan di bawahnya, ada baiknya para pemimpin kita menyimak kembali pesan pidato perpisahan Presiden Amerika Serikat ke-33, Harry S. Truman (12 April 1945 - 20 Januari 1953) pada Januari 1953, “The President-whoever he is has to decide. He can’t pass the buck to anybody. No one can do the deciding for him. That’s his job” (Subiakto dan Ida:2014:40-41). Gambar 2. Harry S. Truman Pesan ini sangat jelas dan tegas bahwa kita memilih dan mempercayai putra terbaik bangsa hanya untuk satu tugas, yaitu mengambil keputusan. Tentunya keputusan yang ditujukan sebesarbesarnya untuk kesejahteraan rakyat, sesuai pasal 33 UUD 1945, sehingga sebagai pemimpin sekaligus komunikator politik nomor wahid di Indonesia, Presiden, siapapun itu, harus mampu mengembangkan jiwa dan kemampuan komunikasi politik yang baik dan menjadi role model bagi kepemimpinan dan komunikator politik yang handal di tanah air (Subiakto dan Ida:2014:41). Tujuan komunikasi politik sangat erat hubungannya dengan pesan politik yang disampaikan komunikator. Komunikator (pemimpin) berkeinginan agar komunikan (rakyat) percaya kepadanya agar seluruh program-program yang sudah dirancangnya berjalan dengan mulus tanpa 158 hambatan yang berarti. Dengan demikian, sang pemimpin harus bisa membangun kepercayaan rakyat. C. Membangun Kepercayaan Publik Membangun kepercayaan publik bisa dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut: 1. Hubungan Media Massa dengan Sistem Politik Hubungan antara media massa dengan sistem politik, sangat bergantung kepada budaya politik, termasuk ideologi dari komunitas politik. Baik media massa maupun sistem politik, keduanya merupakan wujud yang tidak lepas dari kepentingan dan kecenderungan atau keberpihakannya kepada suatu nilai baik yang berakar pada budaya maupun agama. Para pelaku media dan politisi bukanlah robot yang bisa diprogram untuk senantiasa tunduk pada kepentingan-kepentingan tertentu dengan mengabaikan kecenderungan dan keberpihakannya kepada sesuatu yang dianggap benar menurut ukuran-ukuran subjektif yang dimilikinya. Perbedaan-perbedaan ideologis dan historicocultural mendasari konsep dan praktik komunikasi politik, termasuk praksis (teori dan aksi) media massa. Selanjutnya, masyarakat liberal-pluralis cenderung menganggap komunikasi politik sebagai sebuah proses transmisi informasi dan pesan-pesan persuasif dari institusi-institusi politik dalam masyarakat melalui media massa kepada warga untuk menjaga akuntabilitas institusi-institusi tersebut. Lain halnya dengan masyarakat berideologi Marxis, terutama kaum elitnya, menganggap komunikasi politik sebagai proses diseminasi dan reproduksi definisi-definisi hegemonik tentang relasi-relasi sosial dalam rangka memelihara berbagai kepentingan dan posisi kelaskelas dominan. Dua pola interaksi antara media dengan kekuasaan ini memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara media massa dengan sistem politik. Sebagai lembaga yang memiliki kebebasan untuk menyuarakan aspirasi, media massa, dalam batas-batas tertentu, tidak bisa menghindari pengaruh politik yang sedang berkuasa. Demikian pula sebaliknya, kekuasaan politik juga tidak bisa secara bebas membatasi kebebasan yang dianut media massa (Muhtadi: 2008b:46). 159 Graber menunjukkan salah satu fungsi media massa dalam sistem politik yakni sebagai media sosialisasi politik (political socialization). Media massa melakukan proses pembelajaran tentang orientasi dan nilai-nilai dasar kepada individu dalam memahami lingkungan kulturalnya. Bahkan media juga bisa dipandang sebagai instrumen ideologi. Melalui media, suatu kelompok menyebarkan pengaruh dan dominasinya kepada kelompok lain (Graber:1984:10). Sebab media, bukanlah ranah yang netral di mana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justeru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Lebih-lebih bagi media partisan seperti banyak dipublikasikan oleh organisasiorganisasi massa ataupun partai-partai politik yang volume penerbitannya biasanya meningkat (atau bahkan hanya terbit) pada momentum pemilihan umum. Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, menerbitkan tabloid Amanat, dan NU menerbitkan Duta Masyarakat (Sudibyo:2001:55). Media-media massa independen, berdasarkan ideologi serta keberpihakannya kepada salah satu kekuatan politik tertentu, dalam hal ini melakukan usaha-usaha penguasaan khalayak melalui pemberitaannya dengan cara memberikan penjulukan (labelling) bentang sesuatu objek. Fakta-fakta objektif dimanfaatkan untuk ditafsirkan secara subjektif berdasarkan kepentingan. Di sinilah ideologi atau kecenderungan menentukan bagaimana sesuatu fakta dipahami dan ditafsirkan, dibuang ataupun digunakan. Jadi, melalui cara-cara yang dilakukan media, kelompok-kelompok hegemonik, baik penguasa ataupun rakyat, dapat memanfaatkannya untuk menguasai khalayak. Kontrol rakyat terhadap kekuasaan dapat dilakukan lewat media; dan sebaliknya, pihak-pihak yang berkuasa pun dapat memupuk kekuasaannya melalui proses legitimasi media. Proses seperti ini dilakukan melalui usaha pemaknaan secara terus menerus lewat pemberitaan yang menjadi kegiatan utama media, sehingga pada gilirannya tanpa terasa akan terbentuk kesadaran khalayak. Penggunaan media sebagai ajang pertarungan politik juga ditegaskan oleh Charlotte Ryan. Menurutnya, media adalah suatu 160 ajang perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka saling mengajukan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar lebih diterima khalayak. Masing-masing pihak berusaha menonjolkan basis penafsiran, klaim, ataupun argumentasi yang berkenaan dengan persoalan yang diberitakan. Melalui retorika dan pelabelan, masing-masing mengukuhkan posisi dan argumentasi yang digunakannya sekaligus menegaskan bahwa pandangan di luar itu sebagai sesuatu yang lemah dan bahkan tidak benar. Dalam konteks demokrasi, keberpihakan media seperti ini memang tidak dapat disalahkan. Kehadiran media yang sarat dengan ideologi serta nilai-nilai tertentu yang dianut dan diperjuangkan dalam pemberitaannya, juga merupakan hal yang dapat diterima (Muhtadi: 2008b:47-48). Secara historis, perdebatan mengenai ideologi, nilai, dan keberpihakan media ini sesungguhnya merupakan tema klasik dalam studi media. Munculnya perbedaan-perbedaan rumusan tujuan serta bentuk media pada negara-negara yang berbeda, misalnya, memperlihatkan adanya perlakuan dan kecenderungan yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya hubungan antara media dan kekuasaan. Karena itu, sejak awal kelahiran komunikasi massa, di zaman renaisans, ada dua teori dasar tentang pers, yaitu teori Otoritarian dan Libertarian. Teori Otoritarian memandang bahwa kebenaran bukanlah datang dari masyarakat, tetapi dari sekelompok kecil orang-orang bijak yang mengarahkan dan memimpin mereka. Karena itu, kebenaran harus diletakkan dekat dengan kekuasaan. Pers digunakan kekuasaan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang dianggap penting untuk diketahui masyarakat. Demikian pula hanya penguasa yang berhak menerbitkan pers. Pihak swasta yang ingin menerbitkan pers harus seizin kekuasaan, dapat dapat dicabut kembali sewaktuwaktu jika dianggap tidak mendukung kebijakan kekuasaan. Sebaliknya, teori Libertarian menempatkan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu membedakan sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak perlu dibimbing oleh kekuasaan. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik kekuasaan, tetapi menjadi salah satu hak asasi manusia, dan karenanya menjadi milik setiap individu. Konsekuensinya, pers juga menjadi lembaga yang dapat menyuarakan kebenaran 161 sendiri, tanpa harus terlebih dahulu memperoleh legitimasi kekuasaan. Berkaitan dengan posisi pers di hadapan kekuasaan, teori ini memandang pers sebagai mitra dalam mencari kebenaran. Pers bukan lagi instrumen pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti-bukti, fakta-fakta, dan argumen-argumen yang akan menjadi kekuatan dalam mengontrol kekuasaan sekaligus menentukan sikap terhadap kebijakannya (Siebert, et, al:1986:2). Terhadap corak hubungan media dengan kekuasaan yang disebut Siebert sebagai libertarian ini, Graber menyebutnya Nonauthoritarian yang umumnya berlaku di negara-negara demokratis. Jika dalam tatanan masyarakat yang menganut sistem Authoritarian pemerintah dipandang sebagai pihak yang selalu mengetahui benar dan salah, maka dalam sistem Nonauthoritarian, masyarakat pun memiliki hak yang sama dalam menentukan benar dan salah. Bahkan, menurut Graber, "In democracies, governments are Viewed as fallible servants of the people. They are deemed to be potentially corrupt, stupid, or abusive of citizen. Consequently, they must be constantly watched and criticized if they misbehave." Dalam keadaan seperti ini, media dipandang sebagai fasilitas penyampaian informasi yang objektif tentang segala sesuatu yang dinilai baik ataupun buruk. Para jurnalis berperan sebagai kekuatan kontrol yang mengawasi jalannya pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif (Graber:1984:21-22). Pada posisinya seperti inilah kemudian pers ditempatkan sebagai kekuatan keempat (the fourtth estate) dalam tatanan kehidupan sosial. Ia berfungsi sebagai pengendali yang sekaligus melakukan kontrol sosial bagi kepentingan publik. Pers dalam hal ini merupakan salah satu kekuatan sosial yang menjalankan kontrol secara bebas dan bertanggungjawab, baik terhadap masyarakat maupun terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya. Efektifitas pengaruhnya dapat dilihat pada fakta-fakta sejarah yang menyiratkan terjadinya perubahan perilaku politik yang signifikan sebagai akibat dari terpaan media massa, baik efek positif maupun negatif. Kisah kemenangan John F. Kennedy di Amerika Serikat, popularitas politik Saddam Hussein di Irak khususnya selama Perang Teluk berlangsung, tumbangnya kekuasaan Marcos di Filipina, rontoknya pemerintahan Orde 162 Baru di Indonesia, semuanya tidak terlepas dari peran-peran sosial politik yang dimainkan media massa. Bahkan iklim demokrasi suatu masyarakat pun, salah satunya, dapat dilihat dari keberadaan serta peran sosial politik media massa. Oleh karena itu, di beberapa negara yang berhaluan demokrasi liberal, pers sering disebut sebagai pengawas alias penjaga demokrasi (Muhtadi:1999:18). Selanjutnya secara rinci Graber menyebutkan sekurangkurangnya empat fungsi media massa bagi eksekutif: a. Media massa menyediakan informasi terbaru tentang berbagai peristiwa serta setting politik yang tengah berkembang di masyarakat untuk dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakannya. b. Media massa memberikan ruang kesadaran sosial bagi eksekutif untuk membaca lebih jauh opini publik yang berkembang di masyarakat. c. Media massa memfasilitasi eksekutif untuk dapat menyampaikan pesan-pesannya kepada para elit politik dan masyarakat umum, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. d. Media massa memberikan kesempatan kepada para eksekutif untuk memelihara kontinuitas kekuasaan yang tengah diperankannya. Berkenaan dengan fungsi-fungsi ini, pihak eksekutif juga meyakini kebenaran informasi media, karena media juga selalu berusaha menyajikan sesuatu yang bermakna bagi para pembacanya. Suratkabar, radio dan televisi menyajikan komentar-komentar produktifnya secara konsisten (Graber:1984:222-223). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah dan seluruh instansi terkait, media massa dapat dioptimalkan penggunaannya untuk menyampaikan pesan-pesan politik dan pembangunan secara terbuka, benar dan akurat serta menjadikan media massa sebagai pengontrol jalannya pemerintahan sehingga pemerintah mendapatkan kepercayaan rakyat. 2. Media Sosial dan Komunikasi Politik Pada masa mendatang komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik. Media massa, khususnya televisi dan 163 surat kabar, juga internet, akan menjadi media utama dalam meningkatkan citra diri politisi, khususnya melalui kampanye politik menjelang pemilihan legislatif di pusat dan daerah, pemilihan presiden dan wakil presiden, dan bahkan menjelang pemilihan kepala daerah, seperti gubernur, bupati dan wali kota. Jika biaya iklan Pemilu tahun 2004 mencapai sekitar 400 miliar, dan biaya iklan Pemilu tahun 2009 bernilai 2,154 triliun, maka pada masa mendatang biaya iklan Pemilu tampaknya akan lebih besar lagi. Kelak akan semakin banyak politisi, apalagi sebagai calon pejabat eksekutif, baik sebagai calon presiden, calon wakil presiden, ataupun calon kepala daerah, yang akan memiliki blog dan situs mereka masing-masing. Mereka juga akan menjadi anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya Twitter dan Facebook dan menarik pengikut sebanyak-banyaknya, untuk meraih dukungan khalayak guna menduduki jabatan yang mereka inginkan, terlepas dari apakah pengelolanya adalah diri mereka sendiri atau "penjaga gawang" (gate keeper) yang khusus ditugaskan untuk itu. Diketahui bahwa para pejabat, politisi atau tokoh nasional yang aktif menggunakan media sosial di Twitter per April 2013 beserta jumlah pengikutnya berturut-turut adalah: Joko Widodo dengan 482.288 orang pengikut, Dahlan Iskan 348.140, Anies Baswedan 209.923, Prabowo Subianto 150.124, Hatta Rajasa 139.807, Yusril Ihza Mahendra 136.986, Mahfud MD 122.188, Aburizal Bakrie 99.070, Jusuf Kalla 72.795, Puan Maharani 25.094, GitaWirjawan 7.807, Wiranto 2.621, Suryadarma Ali 968. Meskipun mereka dapat menggalang dukungan dari khalayak lewat media sosial, mereka sekaligus juga mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tidak menyukai mereka. Di Indonesia sendiri belum banyak penelitian komunikasi politik yang melibatkan penggunaan media sosial. Diperkirakan jejaring sosial ini berpengaruh cukup besar, terutama jika para kandidat politik ingin mendapatkan dukungan dari para pemilih muda, apalagi pemilih pemula, terutama yang tinggal di perkotaan. Khalayak muda ini lazimnya memang berpendidikan dan memahami internet. Setidaknya, salah satu faktor yang membuat Jokowi dan Ahok menang dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2012 adalah karena mereka 164 didukung oleh para pengguna media sosial, terutama Twitter, Facebook, dan Yahoo. Penggunaan jejaring sosial di internet tentu saja bukan jaminan bahwa kandidat politik akan sukses. Sebagai gambaran, Bob Dole adalah calon presiden pertama di dunia yang menggunakan sebuah situs internet dalam kampanye politik. Ia terutama ingin mendapat dukungan dari para pemilih muda, lewat imbauannya, "Saya meminta dukungan kalian. Saya meminta bantuan kalian. Dan jika kalian ingin terlibat, buka saja laman saya: www.dolekemp96org." (Dole keliru meletakkan titik setelah org, di antara 96 dan org). Meskipun Bob Dole adalah kandidat presiden pertama di Amerika yang membuka website kepada khalayak dalam kampanye politik dan Pemilu Amerika tahun 1996, dan situsnya dikunjungi lebih dari dua juta orang, Dole kalah melawan Bill Clinton dalam Pemilu tersebut (Mulyana:2014:22-23). Namun sebaliknya, sebagaimana dikemukakan Castells, salah satu jawaban mengapa Barack Obama yang seorang politisi yunior keturunan Afrika-Amerika (Kenya) unggul atas politisi senior sekaliber Hillary Clinton dan bisa terpilih sebagai presiden Amerika, padahal awalnya tanpa dukungan banyak orang dari Partai Demokrat, adalah karena ia mampu menggunakan strategi kampanye inovatif yang melibatkan internet (media sosial) saat ia memasuki jantung politik Amerika dengan membawa sejumlah besar warga negara yang terpinggirkan oleh politik Amerika. Ia melakukan hal itu dengan ditopang oleh kepribadian yang karismatik dan wacana politik yang baru (Castells:2009:365366). Pada tahun 1994, masih sedikit kandidat politik di Amerika yang memiliki situs internet. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi, semakin banyak kandidat politik yang menggunakan alat baru ini. Jika delapan dekade lalu hingga pertengahan abad ke-20, kampanye politik di Amerika ditandai dengan penggunaan radio dan televisi, meskipun tidak terlalu intensif, dan tahun 1980-an ditandai dengan penggunaan mesin faks, kaset video, dan iklan televisi kabel, maka sejak tahun 1995 kampanye politik di Amerika mulai menggunakan teknologi digital, termasuk e-mail (Johnson:1999:705-706). 165 Para kandidat politik Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang terutama menggunakan komunikasi antarpripadi (dari pintu ke pintu) dan komunikasi kelompok dalam kampanye politik mereka tentu tidak dapat membayangkan bentuk-bentuk kampanye politik digital pada abad ke-21 ini. Media kontemporer seperti internet, dan khususnya media sosial, akan semakin penting dalam komunikasi politik, mulai dari tingkat lokal hingga tingkat global. Sejalan dengan itu konsep-konsep baru seperti e-democracy dan e-govemment, di Indonesia akan terus berkembang, meskipun masih kekurangan sumber daya manusia dan peralatan yang dibutuhkan. Ketidaksiapan sumber daya manusia dalam e-government ini sudah terbukti di lima kabupaten dan kota di Jawa Barat. Gagasan-gagasan tentang jejaring dan interaktivitas telah mendominasi wacana politik kontemporer, dan iklim politik terkini ditandai antara lain oleh obsesi terhadap serangkaian problem teknologi atau keasyikan teknologi, mulai dari produktivitas riset, persaingan teknologi, dan perlindungan kepemilikan intelektual, hingga ke pemahaman publik atas sains, efek teknologi yang tak terduga, dan kebutuhan akan pelatihan teknik yang berkelanjutan untuk mengantisipasi perubahan teknologi yang pesat. Lebih dari satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh (1999) mendiagnosis suatu "era ketiga komunikasi politik" yang ditandai dengan melimpahnya media, bertambahnya tekanan terhadap elit politik untuk menerima aturan permainan media, dan semakin kritisnya warga negara yang menantang otoritas politik dan kepemimpinan media. Munculnya Web 2.0 dengan sifat interaktif dan media sosial telah membawa peluang baru dan tantangan baru bagi komunikasi politik, yang secara mendasar mengubah hubungan antara penguasa dan warga negara dalam demokrasi modern yang melampaui era ketiga yang diuraikan Blumler dan Kavanagh. Secara umum dapat dikatakan, sehebat atau seintensif apapun penggunaan internet (termasuk laman, blog, media sosial) oleh politisi, politisi takkan berhasil menang dalam bersaingan politik, terutama untuk menjadi kepala pemerintahan tingkat nasional, jika sang politisi tidak memiliki tim sukses yang solid dan pengorganisasian kampanye yang mumpuni, terencana dan 166 terfokus. Terbukti, di Amerika misalnya, meskipun dalam pemilihan presiden 2004 John Kerry mengungguli George Bush dalam pengumpulan uang lewat internet, yakni Kerry 82 juta dollar sedangkan Bush 14 juta dollar, Kerry dikalahkan oleh Bush. Namun demikian, peran internet dalam komunikasi politik lebih sulit lagi diperkirakan pada masa depan. Yang pasti, peran internet tidak perlu dilebih-lebihkan dalam Pemilu, meskipun tidak harus diremehkan juga. Ini semua bergantung pada khalayak yang menjadi pengguna aktif teknologi ini, kemampuan broadband teknologi ini, dan kecepatannya. Di Indonesia belum banyak penelitian serius mengenai peran internet dalam komunikasi politik. Di antara sedikit peneliti mengenai penggunaan media sosial dalam komunikasi politik di Indonesia, berdasarkan teori Konvergensi Simbolik dari Ernest Bormann, Heryanto (2013) menelaah ruang publik baru dalam komunikasi politik di situs jejaring sosial dan Weblog Interaktif pada era pemerintahan SBY-Boediono dalam kasus Century. Hasil penelitian Heryanto menunjukkan antara lain bahwa terdapat tujuh visi retoris yang menjadi perbincangan di Kompasiana dan Forum Indonesia Sejahtera (FIS), yaitu: penegakan hukum atas kasus century tidak jelas; SBY-Boediono ikut bertanggungjawab atas kasus Century; Pemerintahan SBYBoediono tidak lagi dapat dipercaya; Kasus Century adalah kejahatan; Kasus Century adalah blunder politik; ada aliran dana ke partai politik; dan kebijakan bailout tidak dapat diadili (Mulyana:2014:24-26). 3. Efek Komunikasi Massa pada Perilaku Politik "Jimmy Carter was a media president", tulis pakar politik Thomas R. Dye dan L. Harmon Zeigler dalam sketsa tentang kenaikan dan kejatuhan politik Jimmy Carter. Ungkapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Carter terpilih sebagai presiden dan jatuh kembali dari kekuasaannya merupakan produk rekayasa media. Kasus Carter adalah salah satu contoh yang menggambarkan besarnya efek media massa pada perilaku politik masyarakat. Tahun 1974, ketika pertama kali berniat mencalonkan diri untuk menjadi presiden AS, Carter adalah sosok yang tidak begitu dikenal masyarakat Amerika. Tapi, dua tahun kemudian, Carter menjadi begitu populer setelah televisi 167 mengantarkan kehadiran figur kandidat presiden ini pada masyarakat pemilih. Media telah berhasil melakukan rekayasa informasi melalui proses pengelolaan kesan (impression management) dan mensosialisasikannya kepada publik untuk dapat membangun opini baru yang dapat mengantarkan Carter memasuki Capital Building (Graber:1984:1). Kasus Carter memang belum tentu mewakili suasana politik masyarakat Indonesia. Perkembangan media massa serta ideologi yang mengendalikannya, sistem politik yang dianut negara, ataupun pengalaman politik masyarakatnya belum tentu menggambarkan kenyataan yang sama antara Amerika dan Indonesia. Jika Carter menang karena jasa media, belum cukup bukti yang teruji secara ilmiah bahwa dari lima presiden terpilih di Indonesia (dari Soekarno hingga Megawati putri Soekarno) menang karena jasa media. Tapi sebagai salah satu upaya untuk mengabstraksikan kenyataan ke dalam konsep-konsep, kasus ini tetap penting untuk dianalisis. Substansinya adalah bahwa media massa memiliki kekuatan pengaruh yang besar dalam ikut mengendalikan arah perubahan masyarakat, khususnya dalam kerangka politik. Apa yang dilakukan media adalah sesuatu yang menjadi perilaku politik masyarakat, baik perilaku mendukung atau menentang (Muhtadi: 2008b:50-51). Dalam perspektif sosiologis, menurut Newcomb, perubahan sikap suatu masyarakat pada umumnya dipengaruhi oleh adanya informasi baru yang dipandang relevan dengan tuntutan kondisional, kapan dan di mana informasi baru itu diterima. Berbarengan dengan munculnya respons terhadap stimulus informasi, secara bertahap dan disadari ataupun tidak disadari, perubahan itu mulai terjadi. Besar kecilnya perubahan, salah satunya, bergantung pada kekuatan efek media yang menjadi salurannya. Sebagai penyalur informasi, media massa merupakan kekuatan yang mampu mempengaruhi sekaligus merubah perilaku masyarakatnya, termasuk perilaku politik yang biasanya menjadi target dari partai-partai politik atau kekuatankekuatan politik lainnya. Sebab media massa, sesuai dengan sifat dan fungsi yang diperankannya, selalu berusaha menyajikan informasi terbaru dan dipandang relevan bagi masyarakatnya (Newcomb, et,al.:1985:119). 168 Itulah sebabnya, para peneliti percaya bahwa media massa memiliki pengaruh penting dalam proses pembentukan cara berpikir dan berperilaku politik masyarakat. Studi yang dilakukan Jalaluddin Rakhmat (1982), misalnya, mengindikasikan bahwa pengetahuan kebanyakan pemimpin politik Muslim di Indonesia dipengaruhi oleh media massa yang dikonsumsinya. Dengan mengambil fokus penelitian tentang sikap politik para pemimpin Muslim terhadap Amerika Serikat, hasil penelitiannva memberikan informasi bahwa pengetahuan dan sikap mereka terhadap Amerika Serikat berkorelasi dengan informasi yang diperolehnya lewat media massa nasional maupun internasional, seperti suratkabar, majalah, radio dan film. Penelitiannya sendiri berangkat dari satu pertanyaan, "Do mass media affect the political behavior of their audience?" Secara umum penelitian ini memperlihatkan adanya pengaruh media massa terhadap perilaku politik masyarakat. Penelitian ini juga secara implisit memperlihatkan kecenderungan para pemimpin politik memanfaatkan media massa (Muhtadi: 2008b:51-52). Dalam posisi sebanding dengan fungsi dan peran yang dimiliki partai politik, media massa dalam konteks pemahaman yang lebih luas sering dianggap sebagai the fourth estate, wilayah keempat dari kekuatan politik formal setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Media massa bisa berperan sebagai kekuatan yang mendinamisasikan kehidupan lembaga-lembaga politik tersebut. Bahkan urat nadi (kekuatan) pemerintah sendiri berada pada media massa. Disebut sebagai kekuatan pemerintah, karena media massa menyajikan secara cepat dan teratur informasiinformasi politis kepada khalayak yang sangat besar. Mereka adalah para elit politik, para pengambil keputusan, dan masyarakat pada umumnya yang pemikiran dan aktivitas politisnya dibentuk oleh media massa. Oleh karena itu, meskipun sejumlah ilmuwan sosial masih ada yang menyangsikan besarnya efek politis media massa, tetapi pemerintahan di mana pun tetap menyadari akan pentingnya efek politis media massa (Graber:1984:27). Media massa saat ini menjadi salah satu pilihan yang digunakan untuk tujuan-tujuan komunikasi politik, terutama pada masyarakat kosmopolitan. Di Indonesia gejala ini mulai terlihat awal 1990-an, terutama ketika frekuensi penggunaan media 169 massa oleh partai-partai politik selama musim kampanye semakin meningkat. Seseorang atau sekelompok orang dapat sangat tergantung pada media dalam menentukan pilihan-pilihan sikap dan tindakan politisnya. Banyak aspek dari kehidupan masyarakat kosmopolitan bergantung pada jasa media. Media massa dapat mengumpulkan sifat-sifat kritis para penggunanya. Ada beberapa tipe penumpulan berpikir atau berfungsinya praktik ideologis melalui media massa, khususnya televisi. Secara singkat, fungsi-fungsi itu antara lain dijelaskan seperti berikut: a. Sedimentasi, yaitu diskursus yang mengendap dan menjadikan dirinya sebagai ideologi yang mengikat. Proses ini hanya membolehkan cara-cara khusus untuk menjawab suatu pertanyaan, atau sejenis pengaturan struktur logika berdasarkan diskursus yang diterima secara kultural. Fokus proses ini bukan terletak pada asal-usul ideologi, melainkan pada bentuk ideologi dan efek-efeknya. Ideologi-ideologi yang tersedimentasi tidak berada dalam atau muncul dari televisi, melainkan berada sebagai latar belakang. Televisi mendukung dan memfungsikan ideologi tersedimentasi itu melalui format-format yang berperan sebagai struktur baku bagi penyisipan berbagai plot atau cerita. b. Reifikasi, yakni pengalamiahan kondisi yang ada, suatu diskursus yang membakukan interpretasi dan persepsi atas objek serta menyisihkan penafsiran spontan. Praktik reifikasi ini tergantung pada suatu logika ekslusif terhadap aktivitas dalam organisasi media seperti standarisasi, definisi fungsi, dan konvensionalisasi tema-tema. Praktik ideologis dari reifikasi ini tidak terjadi dalam praktik tekstual yang terisolasi. Level diskursif harus dikaitkan dengan tindakantindakan nondiskursif. Teks televisi harus dianalisis dalam konteks produksinya. Sedangkan wujud akhir siaran televisi sendiri telah melalui proses negosiasi panjang yang melibatkan artis, produsen, dan pelaksana. Kelompok kreatif di sini terdesak oleh beberapa faktor, seperti strategi pengambilan keputusan dari pelaksana, batas-batas efisiensi teknis, dan konservatisme inheren dari formasi genre (gaya). Tujuan produksi mempradefenisikan elemen-elemen signifikan dari sesuatu teks. 170 c. Adaptasi, yaitu penyesuaian melalui perubahan gradual. Televisi menciptakan budaya visual. Kebenaran penglihatan menjadi satu-satunya ranah diskursus rasional, yakni proses yang terjadi melalui pemenggalan pengalaman, ketergantungan pada kedangkalan dan senfimentalitas, penayangan-penayangan stereotip dari penglihatan dan suara, serta konsep waktu yang linear. Di sini ideologi berfungsi sebagai pembuatan subjektifitas. Dorongan perubahan bukan berasal dari output televisi, melainkan logika semantik yang dijalankan. Jadi, efek televisi terjadi secara gradual melalui proses yang berlangsung secara individual. d. Mollification, yaitu proses pengurangan intensitas, membuat pasif, dan menenteramkan. Diskursus televisi mengurangi intensitas pengalaman. Otonomi pemirsa tidak menimbulkan interferensi terhadap siaran. Ideologi tidak membuat kesadaran atau tindakan berlandaskan kesadaran itu. Diskursus dibuat sederhana sehingga tidak menimbulkan efek. Konsep ini serupa dengan pendapat Williams yang menyatakan bahwa televisi terbentuk oleh semacam struktur perasaan yang disebut mobile privatization. Pemirsa menunggu di rumah, membiarkan dunia luar ditransmisikan ke dalam kehidupan pribadinya. e. Legitimasi, yakni persetujuan resmi atau formal. Masyarakat pada dasarnya membutuhkan persetujuan atas kontradiksikontradiksi yang terkandung dalam suatu diskursus. Konsensus dan "pemakluman" dalam hal ini tidak dianggap tepat untuk menggambarkan mekanisme legitimasi karena secara tidak langsung menyiratkan pencapaian melalui pembuatan kesadaran palsu. Pemberitaan dalam televisi memang tidak melahirkan kesadaran palsu, tetapi lebih merupakan bentuk ketidakmampuan individu dalam mengintegrasikan informasi. Operasi legitimasi berikutnya disebabkan oleh reduksi televisi atas sesuatu diskursus. Perasaan ketidakberdayaan kemudian dikompensasi dengan kesadaran dengan cara mengeksploitasi kesenangan atau kenikmatan konsumtif. f. Depolitisasi, yakni penyisihan pertanyaan-pertanyaan praktis dari diskursus publik. Televisi menciptakan ilusi pilihan demokratis, sementara pada saat yang sama, ia juga 171 mengurangi kemampuan individu dalam membuat budayanya masing-masing. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini kemudian diberikan Jurgen Habermas. Menurutnya, halusnya kontrol sosial oleh media massa mengaburkan pandangan pribadi yang secara bertahap melemah sehingga tidak lagi mampu mengenali proses-proses politis. Wilayah publik yang terdepolitisasi didominasi oleh desakan privatisme dari budaya massa. Personalisasi hal-hal yang bersifat publik pada gilirannya berfungsi untuk mengatasi keretakan sosial yang seringkali dapat mendorong konflik-konflik tertunda ke wilayah psikologi sosial. g. Fosilisasi, yaitu suatu proses yang mendorong munculnya ketidakmampuan untuk berubah. Proses penyisihan mempunyai efek tertutupnya alternatif pengembangan diskursif. Hal ini dapat dilihat khususnya dalam dominasi bahasa dan pembentukan lapisan masyarakat miskin secara linguistik. Menurut Herbert Marcuse, pemisahan kata-kata dari makna tradisional mereka, penyatuan bahasa biasa ke dalam kosa kata yang didiktekan oleh institusi-institusi birokratis dan secara teknologis ditempa paradigmaparadigma logis, dapat melahirkan ketidakmampuan untuk membayangkan alternatif keadaan yang ada (Muhtadi: 2008b:52-55). 4. Persepsi dalam Pemasaran Politik Pada dasarnya, pemasaran politik merupakan rangkaian aktivitas terencana, strategis dan taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih. Tujuan dari pemasaran politik adalah membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi dan perilaku pemilih. Perilaku pemilih yang diharapkan adalah ekspresi mendukung dengan berbagai dimensinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada partai atau kandidat tertentu. Karena itu, keberhasilan proses pemasaran dalam politik akan dilihat salah satunya dari jumlah pemilih. Dua ahli perilaku konsumen, Peter dan Olson memberi sebuah batasan tentang makna (meaning), yakni interpretasi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari lingkungannya. Suatu stimulus diinterpretasikan tidak hanya ditentukan oleh 172 stimulus itu sendiri. Makna yang dihasilkan oleh interpretasi itu bergantung pada pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang tertanam dalam benak orang yang melakukan interpretasi. Oleh karena itu, makna yang terbentuk dalam proses interpretasi itu merupakan persepsi. Dalam konteks opini publik, masyarakat menerima fakta tidak sebagaimana adanya, tetapi apa yang mereka anggap sebagai fakta. James Spradley menyebutkan apa yang tertanam dalam benak seseorang itu sebagai prinsip kognitif, yakni sesuatu yang dipercayai dan diterima sebagai sesuatu yang benar oleh sesesorang atau komunitas tertentu atau masyarakat dalam kultur tertentu. Bila makna tersebut tertanam dalam masyarakat kelompok budaya tertentu, maka disebut sebagai cultural meaning atau makna kultural. Cultural meaning adalah pengetahuan, makna, dan keyakinan yang sama yang digunakan masyarakat dalam suatu sistem sosial untuk merepresentasikan aspek-aspek penting dari lingkungan mereka. Dalam pemasaran politik, kultur yang dimaksud adalah kultur politik di wilayah atau daerah yang menjadi ajang pemasaran. Makna yang tertanam dalam benak seseorang dipicu oleh stimulus politik, baik sengaja direkayasa oleh pelaku politik maupun tidak disengaja alias tanpa desain politik. Makna yang terjadi karena adanya stimulus politik tersebut disebut sebagai political meaning atau makna politis (Tabroni:2012:126-127). Makna politis yang akhirnya tertanam dalam benak seseorang merupakan hasil dari interaksi dua faktor: a. Kualitas dan kuantitas dari stimulus politik itu sendiri. b. Rujukan kognitif berupa kesadaran atau alam pikiran seseorang yang memaknainya. Rujukan kognitif ini adalah bagian dari kognisi manusia dalam menginterpretasikan stimulus lingkungan. Mengacu pada konsep kultural yang dikembangkan oleh Spradley, perbedaan kultur suatu komunitas dengan komunitas lainnya antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan rujukan kognitif (Tabroni:2012:127). Pada sisi lain, persepsi menurut Spradley merupakan gambaran mental dari tanggapan manusia terhadap lingkungannya. Terbentuknya persepsi dimulai dari rangsangan atau stimulus luar berupa objek atau peristiwa tertentu, menjadi 173 simbol-simbol yang disalurkan ke satu atau beberapa pancaindra, lalu disampaikan oleh sel-sel sarap ke otak. Simbol-simbol tersebut diolah di dalam otak dengan mengaitkannya pada satu rujukan tertentu, hingga terbentuklah persepsi. Proses selanjutnya adalah terbentuknya makna subjektif yang tertanam dalam benak orang tersebut, dan menjadi dasar orientasi perilaku. Dalam psikologi sosial, dijelaskan bahwa manusia harus melihat dirinya sebagai subjek yang menentukan perilakunya sendiri. Perilaku ditentukan oleh adanya interaksi antara faktor individu dan faktor lingkungan. Kognisi adalah bagian dari jiwa manusia yang mengolah informasi, pengetahuan, pengalaman, hasrat dan perasaan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri sendiri sehingga terjadi simpulan-simpulan yang selanjutnya menghasilkan perilaku. Konsep perilaku konsumen dari dunia pemasaran, antropologi, dan psikologi juga memiliki kesamaan dengan konsep sosiologi. Nursal mendeskripsikan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna sesuatu tersebut bagi mereka. Perbuatan manusia, yakni apa yang dipikirkan, dirasakan, dilakukan oleh manusia itu timbul dari makna yang diberikan kepada hal fisik, sosial dan abstrak, serta makna dari interaksi dengan sesama manusia. Menurut Nursal, konsep Spradley memperluas cara pandang mengenai kultur, khususnya dalam pemasaran. Perbedaan wilayah kultur pada akhirnya ditentukan oleh perbedaan kognitif. Kultur atau subkultur antarbangsa dan antardaerah dapat dibedakan karena adanya perbedaan rujukan kognitif. Model pengelompokan lainnya yang lazim dilakukan dalam dunia pemasaran juga dapat menghasilkan persamaan atau perbedaan kognitif untuk kelompok tertentu. Dalam dunia pemasaran, pengelompokan ini disebut segmentasi atau memilah-milah pasar dengan kesamaan tertentu. Selain berdasarkan kultur atau subkultur besar, pasar juga dapat ditinjau secara demografis, geografis, gaya hidup dan kepentingan tertentu. Intinya, setiap kelompok cenderung memiliki rujukan kognitif atau aspirasi dan perilaku politik yang berbeda-beda (Tabroni:2012:127-128). Berikut ini beberapa hal yang menurut Nursal harus digarisbawahi mengenai pemasaran politik: 174 a. Pemasaran politik bertitik tolak dari konsep meaning (makna), yakni political meaning yang dihasilkan oleh stimulus politik berupa komunikasi politik, baik lisan maupun nonlisan, baik langsung maupun melalui perantara. b. Makna yang muncul dari stimulus tersebut berupa persepsi yang tidak selalu mencerminkan makna yang sebenarnya. c. Persepsi terbentuk dari hasil interaksi antara stimulus politik dengan kesadaran kognitif atau alam pikiran seseorang. d. Makna akibat adanya stimulus politik pada gilirannya akan mempengaruhi sikap, aspirasi dan perilaku politik, termasuk pilihan politik. e. Sekelompok orang dengan latar belakang yang sama (suatu segmen yang sama) memilki sejumlah kesamaan rujukan kognitif sehingga cenderung memberi makna yang sama terhadap stimulus tertentu. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya perpindahan makna. Salah satunya adalah strategi pemasaran yang bertujuan untuk mentransfer makna dari dan ke dalam suatu produk sehingga membuat produk tersebut menarik bagi konsumen. Yang dimaksud dengan produk di sini adalah produk politik (Tabroni:2012:128). Dalam pemasaran politik, makna politis tersebar pada tiga lokasi: a. Lingkungan Sosial dan Fisik Masyarakat Hal ini dapat berupa gagasan atas keyakinan yang bersifat abstrak, seperti kebutuhan, keinginan, harapan dan kepentingan politis untuk peneguhan identitas, eksistensi dan keyakinan kelompok. Selain itu, makna tersebut juga dapat digali dari kebutuhan akan misalnya, kemakmuran, keadilan, kecerdasan, demokratisasi, patriotisme, kejujuran, moral, akhlak, dan transparansi pemerintahan. Dalam dunia politik, kebutuhan, keinginan, harapan, dan kepentingan pasar tersebut disebut aspirasi rakyat. Selain gagasan abstrak, dalam kehidupan masyarakat juga terdapat makna politis yang bersifat konkret, seperti objek-objek fisik dan institusi-institusi sosial. Misalnya, kacu merah putih merupakan sebuah objek fisik yang menyimbolkan patriotism. Contoh lain, pesantren adalah sebuah objek fisik yang menyimbolkan patriotisme, dan 175 institusi yang menjadi simbol atau pilar penegakan ajaran agama. Dengan frekuensi tertentu, kunjungan dan instruksi seorang tokoh politik ke pesantren dapat memberi makna bahwa sang tokoh adalah santri. b. Produk Politik Sebuah partai atau seorang tokoh politik dapat memasarkan sebuah gagasan “baru” kepada rakyat pemilih. Gagasan itu terasa baru karena memang baru dalam masyarakat tersebut atau baru digali dari kebutuhan laten pasar. Gagasan negara federasi misalnya, dipasarkan oleh sebuah partai karena diyakini sebagai solusi dari persoalan kebangsaan yang sedang dihadapi. Menurut Nursal, makna politis tidak melulu bersumber dari kehidupan masyarakat, tetapi dapat juga bersumber dari produk politik itu sendiri. Secara umum, makna politis yang terdapat dalam produk politik meliputi institusi partai politik atau kandidat politik dengan berbagai perlengkapannya, seperti ideologi, visi misi, platform, program, para kandidat, konstituen, objek fisik seperti kantor, atribut fisik seperti logo, bendera, dan selebaran. c. Pemilih Seorang calon pemilih mengenakan atribut partai tertentu, misalnya kaos bergambar logo partai, untuk menunjukkan afiliasi dirinya dengan partai tersebut. Ini merupakan contoh makna politis yang berlokasi pada konsumen politik. Konsumen memilih dan mendapatkan makna politis yang digunakan untuk menciptakan identitas mereka sendiri. Pada dasarnya makna politis yang berkaitan dengan pemilih ini merupakan serangkaian proses mengkonsumsi produk politik, seperti mengenakan atau memasang atribut partai, menghadiri pertemuan politik, memberi sumbangan kepada partai atau kandidat politik, menjadi sukarelawan, mempengaruhi pemilih lain, melakukan advokasi partai, dan menjatuhkan pilihan pada hari pemilihan (Tabroni:2012:128-129). 176 5. Komunikasi Politik dan Opini Publik Beberapa konsep dasar komunikasi politik seperti dijelaskan sebelumnya mengilustrasikan adanya kaitan fungsional antara komunikasi politik dengan proses pembentukan opini publik. Misalnya, ketika Susanto memberikan batasan tentang komunikasi politik, ia menyebutkan adanya unsur-unsur masalah yang dibahas dengan melibatkan orang banyak (Susanto:1985:2). Di sisi lain, opini publik sendiri, seperti didefinisikan, merupakan suatu kompleksitas pilihan-pilihan yang dinyatakan oleh banyak orang berkaitan dengan suatu isu yang dipandang penting oleh umum. Menurutnya, definisi ini relatif lebih bersifat akademik dan berbeda dari definisi-definisi yang pada umumnya digunakan oleh para politisi. Ia juga menambahkan bahwa opini publik itu selalu melibatkan orang banyak yang tertarik untuk memikirkan sesuatu isu dalam waktu yang cukup panjang. Meskipun demikian, istilah "publik" sendiri tidak selalu ditentukan oleh banyaknya jumlah orang yang menganut opini tersebut. Istilah "publik" justru diukur oleh apakah sesuatu opini itu menyangkut isu publik atau tidak (Hennessy:1975:1). Karena itu, publik bukan berarti umum. Ia adalah kumpulan orang-orang yang memiliki minat dan kepentingan yang sama terhadap sesuatu isu. Publik juga ditandai oleh adanya sesuatu isu vang dihadapi dan dibincangkan oleh kelompok kepentingan yang dimaksud, yang menghasilkan terbentuknya opini mengenai isu tersebut. Selain itu, publik juga bersifat kontroversial, sehingga dapat mengundang terjadinya proses diskusi (Nasution:1990:94). Opini publik dikatakan relevan dan menjadi salah satu faktor politik jika dalam banyak hal ia berpengaruh terhadap proses pengambilan dan pelaksanaan suatu keputusan oleh para penyelenggara negara dan para politisi lainnya (Kousoulas:1979:110). Opini publik dapat bermula dari gagasan individual yang kemudian mendapat perhatian pemerintah dan dipandang penting oleh publik. Dalam suatu tatanan kekuasaan yang demokratis, demokrasi menempatkan opini publik sebagai suara rakyat (voice of the people). Sebab menyuarakan pendapat bagi warga negara 177 merupakan kebutuhan vital untuk mewujudkan hak-hak politisnya, yang pada beberapa negara otoritarian hak ini hampir tidak berkembang sama sekali. Hak politis ini hampir maksimal pada zaman Yunani Kuno. Saat itu warga polis bebas berdebat untuk mempengaruhi kebijakan polis. Namun prosesnya menjadi lamban karena terlalu banyak orang berbeda pendapat. Itulah sebabnya Plato menolak partisipasi langsung dalam kebijakan pemerintah. Ia menghendaki negara dipimpin oleh orang-orang bijak dan dibantu oleh tentara. Sedangkan warga negara lain yang merupakan kelompok mayoritas harus tunduk kepada para pemimpin (Muhtadi: 2008b:37-38). Sekarang jarang sekali dijumpai bentuk partisipasi rakyat langsung dalam pengambilan keputusan publik. Sebagian besar paktik demokrasi menggunakan sistem perwakilan seperti halnya yang terjadi di Indonesia saat ini. Menurut Rodee dan kawankawan, sistem ini terutama didasarkan pada anggapan umum bahwa: a. Publik berkepentingan terhadap kebijakan publik. b. Publik mendapatkan informasi. c. Publik secara sadar akan membuat keputusan rasional. d. Pendapat-pendapat individual yang rasional itu cenderung memiliki kesamaan dalam orde sosial. e. Publik yang telah mengambil keputusan akan menyalurkannya melalui polling atau dengan cara-cara lain. f. Kehendak publik, atau paling tidak kehendak mayoritas, akan diwujudkan menjadi hukum positif. g. Pengamatan berkelanjutan dan kritik yang ajeg akan memastikan terpeliharanya opini publik yang tercerahkan, dan sebagai konsekuensinya, kebijakan publik dilandasi oleh prinsip-prinsip moral dan keadilan sosial (Rodee, et, al (ed.):1981:276). Prinsip-prinsip inilah yang menjadikan opini publik memegang peranan penting dalam komunikasi politik, meskipun pada praktiknya tidak secara langsung menentukan kebijakan publik yang memang menjadi wewenang lembaga legislatif ataupun eksekutif. Melalui proses komunikasi politik, sesuatu opini dapat berubah menjadi opini publik sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang memprakarsai berlangsungnya komunikasi. Karena sifatnya seperti ini, opini publik dapat 178 direkayasa melalui seperti media massa, ataupun tumbuh secara alamiah di tengah-tengah belantara dinamika sosial politik suatu masyarakat. Dalam kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan dalam arti yang luas, opini publik senantiasa menjadi pertimbangan penting, khususnya oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan. Sedangkan dari sisi prosesnya, opini publik dapat terbentuk melalui kegiatan komunikasi politik, baik yang dilakukan oleh sumber-sumber individual maupun kolektif. Opini publik juga dapat berubah sesuai dengan tujuan para pemrakarsanya. Di negara-negara demokratis yang telah lama mempraktikkan komunikasi politik secara bebas, para politisi ataupun masyarakat umum sangat memperhatikan pentingnya perubahan opini publik. Hasil-hasil polling pendapat, dengan segala kelemahan dan keraguan atas akurasinya, tetap menjadi salah satu acuan bagi para politisi dalam melakukan perubahan dan pembentukan opini publik, terutama menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Karena itu, mengingat pentingnya sikap politik warga negara ataupun opini publik, mereka selalu mengembangkan konsep-konsep baru berkenaan dengan pembentukan opini publik. Berbagai riset dilakukan untuk memberikan muatan-muatan yang relevan terhadap jalannya komunikasi politik. Dalam komunikasi politik, warga negara atau publik sebagai konstituen para politisi dapat berperan sebagai komunikator ketika menyalurkan aspirasi atau tuntutan, dan pada saat yang sama mereka juga berperan sebagai khalayak komunikasi ketika menerima pesan-pesan dari para politisi ataupun aparat birokrasi. Perilaku politik mereka dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya masing-masing (Muhtadi: 2008b:38-39). Rodee dan kawan-kawan menyebutkan beberapa arena interaksi politis yang pokok, yaitu: a. Komunitas, tempat pengetahuan publik berkembang dari pengalamannya mengikuti pola budaya masyarakat sehingga rasa kesetiaan pun terbentuk, dan sikap terhadap adat-istiadat serta aturan-aturan lainnya terkondisikan. b. Institusi sosial seperti rumah, sekolah, tempat ibadah, dan pemerintah, juga mempengaruhi pembentukan nilai-nilai personal dan sistem kepercayaan. 179 c. Area gejala politis seperti para politisi, lembaga kebijakan, dan perilaku yang membentuk budaya politik (Rodee, et, al (ed.):1981:278). Dampak interaksi antara totalitas kepribadian dengan totalitas pengalaman politis menyediakan bahan baku bagi pembentukan sikap dan ekspresi pendapat-pendapat individual (Muhtadi: 2008b:39). Peran komunikasi politik dalam proses pembentukan opini publik dapat dianalisis melalui faktor-faktor penting yang mendorong terbentuknya opini publik. Ada lima faktor penting yang menyebabkan terbentuknya opini publik: a. Adanya Isu Secara sederhana, opini publik dapat diilustrasikan semacam konsensus yang terbentuk dalam suatu arus perbincangan tentang suatu isu. Dalam rumusan yang berbeda, opini publik seringkali disebutkan sebagai suatu generalisasi yang menggambarkan adanya semacam sikap kolektif atau kesadaran publik. Sedangkan yang dimaksud dengan isu adalah suatu persoalan kekinian yang sedang diperbincangkan dalam situasi ketidaksepakatan. Karena itu, dalam suatu isu terdapat elemen-elemen yang mendorong munculnya kontroversi pendapat. b. Adanya Publik Elemen yang kedua adalah adanya kelompok yang jelas dan tertarik dengan isu tersebut. "This is the public of public opinion," tulis Hennessy. Konsep publik yang digunakan di sini diambil dari John Dewey dalam bukunya The Public and Its Problems. Menurutnya, dalam satu sistem sosial, terdapat banyak publik yang masing-masing terdiri dari individu-individu yang secara bersama-sama dipengaruhi oleh suatu aksi dan gagasan. Dengan demikian, menurut Dewey, setiap isu dapat memunculkan publiknya masingmasing. c. Adanya Kompleksitas Pilihan-pilihan dalam Publik Kompleksitas pilihan-pilihan ini merujuk pada totalitas opini berkaitan dengan isu yang menjadi perhatian seluruh anggota suatu publik. Pada setiap isu, perhatian 180 publik akan dibagi menjadi dua atau lebih pandangan yang berbeda. Banyaknya pandangan pada setiap isu akan sangat bergantung pada sikap setiap anggota publik, pengalaman sebelumnya dan kompleksitas isu itu sendiri. Artinya, muatan isu yang relatif sederhana tidak akan melahirkan pandangan yang sangat beragam. Sebaliknya, isu yang kompleks akan melahirkan pandangan yang sangat beragam. d. Pernyataan Opini Pandangan yang dapat membentuk opini publik adalah pandangan yang dinyatakan secara terbuka. Terdapat banyak cara yang bisa digunakan untuk menyatakan opini. Tetapi, bahasa, baik dinyatakan secara lisan ataupun tertulis, merupakan bentuk yang paling umum digunakan untuk menyatakan suatu opini. Pernyataan dimaksud juga mensyaratkan keterbukaan sehingga mengundang sebanyakbanyaknya respon. Karena itu, pada tahap menyatakan opini secara terbuka ini, media massa merupakan alat yang relatif paling efektif dan efisien. e. Banyaknya Individu yang Terlibat Faktor terakhir yang ikut menentukan proses pembentukan opini publik adalah banyaknya publik yang tertarik dengan isu. Ada beberapa norma yang digunakan, antara lain: 1) Besarnya publik tidak selalu ditentukan oleh jumlah mayoritas yang terlibat dalam perbincangan tentang isu. 2) Publik yang terlibat tidak harus mereka yang memiliki gagasan awal atau pun mereka yang melahirkan isu. 3) Signifikansi publik terutama ditentukan oleh efektifitas komunikasi yang berlangsung dalam proses pembentukan opini sampai pada pertimbangan dalam penetapan bahwa sesuatu opini telah menjadi opini publik (Muhtadi: 2008b:39-41). Senada dengan uraian di atas, Susanto juga menjelaskan beberapa unsur yang terkandung dalam suatu opini publik, yaitu: a. Memungkinkan terjadinya pro dan kontra, terutama sebelum tercapainya suatu konsensus. 181 b. Melibatkan lebih dari seorang, atau dalam istilah Hennessy disebut ukuran publik. c. Dinyatakan, yakni opini dikomunikasikan secara terbuka. d. Memungkinkan atau mengundang adanya tanggapan (Susanto:1975:94). Selain itu, pembentukan opini publik juga ikut dipengaruhi oleh jarak geografis, pengetahuan, dan sikap khalayak. Karena itu, seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud membangun opini publik, selayaknya mengetahui kondisi khalayak yang sebenarnya, serta perlu mengupayakan agar sikap khalayak yang bersangkutan dapat menguntungkan (favourable) (Muhtadi: 2008b:41). 6. Citra dan Opini Publik Semakin terbukanya dunia media massa untuk membangun citra politik dan praktisi politik di mata publik, kemudian membuat banyak partai politik yang menggandeng konsultan Public Relation (PR). Kepentingannya adalah bagaimana kemudian partai politik menjadi “barang dagangan” yang harus dipasarkan sehingga menarik calon pemilihnya, yaitu publik. Saat ini, sudah menjadi hal biasa partai politik bekerja sama dengan konsultan PR setiap menjelang kampanye Pemilu. Bahkan, pada tahap yang paling sempit lagi, para calon kepala daerah pun saat ini sudah menggunakan pola-pola PR dalam melakukan kampanye di daerah. Yang lebih personal, tidak sedikit pula para calon anggota legislatif yang secara pribadi menyewa konsultan, baik kelembagaan maupun personnya, yang diperbantukan secara professional dalam kampanyenya. Apa yang dilakukan oleh partai politik dan praktisi politik ini tidak lain untuk membangun citra positif partai dan elitnya di mata publik. Bagaimanapun, di era pemilihan langsung, selain popularitas, setiap pihak yang memiliki kepentingan politik, sangat membutuhkan citra positif untuk mewujudkan tujuan politiknya. Di tengah perkembangan dunia politik yang semakin maju, pencitraan menjadi salah satu tugas pokok, baik personal maupun sebuah lembaga politik. Dalam dunia usaha atau institusi profesional, ada bagian yang dapat melayani dan memperjelas sesuatu yang dihadapi 182 sebuah institusi atau perusahaan, mereka menyebutnya PR (Public Relation) atau humas atau pemasaran (marketing). Mereka menghubungkan antara institusi atas perusahaan dan khalayak atau publik dengan cara menyebarkan news release atau mengadakan jumpa pers, baik melalui media cetak maupun elektronik. Dengan harapan, penjelasan-penjelasan tersebut akan dapat mengubah citra publik terhadap institusi atau perusahaan. Kini, hal yang sama juga dilakukan oleh partai politik. Secara personal, para kandidat pimpinan dari mulai tingkat bawah hingga yang paling tinggi, termasuk para calon wakil rakyat, selalu berbenah diri, membentuk citra positif, dan dan mengonter segala isu miring yang tersebar di masyarakat terkait dengan diri dan lembaga politiknya. Kini fungsi pemasaran tidak lagi monopoli perusahaan yang bergelut di bidang jasa atau pun bisnis murni, tetapi juga sudah merambah pada aktivitas politik di berbagai level. Politik citra ini menjadi tren bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Popularitas menjadi hal yang sangat penting selain setiap kandidat dan lembaga politik harus selalu berhati-hati agar tidak terjebak pada citra buruk yang mungkin dapat ditimbulkan oleh lawan politiknya. Pada dunia yang dipenuhi perang citra, bangunan citra positif bisa saja jatuh karena ada proses pencitraan yang buruk oleh lawan politik. Karena itu, mengonter berbagai isu miring adalah bagian dari pemasaran politik juga. Tugas berat pertama seorang pemasar politik yang bertugas membangun citra politik sebuah lembaga politik atau produk politik adalah memperkenalkan lembaga politik atau produk politik tersebut kepada publik. Untuk memperkenalkan sesuatu yang baru agar diketahui dan dikenal oleh publik memerlukan kerja keras dan cerdas, salah satunya membuat berbagai alat sosialisasi seperti selebaran, brosur, iklan, pemberitaan media cetak dan elektronik, juga online. Pembentukan citra sangat penting bagi partai politik baru atau kandidat yang belum dikenal oleh masyarakat. Upaya untuk memperkenalkan diri kepada khalayak merupakan strategi komunikasi yang mutlak dilakukan. Untuk memperoleh pemilih bukan persoalan yang mudah, karena 183 dewasa ini orang menyamakan dirinya dengan orang lain atau pihak lain tidak semata-mata mengikuti aspek kebutuhan nyata, tetapi lebih pada rasa membutuhkan. Terlebih ketika pemilih itu semakin hari semakin banyak dan semua berlomba memperebutkan simpati masyarakat lewat opini publik yang diciptakan dan didesain secara kreatif dan semakin atraktif. Semakin longgarnya ikatan emosional dan ideologi sebuah institusi politik, pilihan politik semakin mudah berpindah mengikuti arus opini publik yang dibentuk di permukaan. Itulah sebab orang berlomba untuk mengejar popularitas melalui polling atau survey. Hasil polling atau hasil survei kemudian dijadikan senjata untuk memancing ketertarikan publik, sebab ketika sudah menjadi bagian dari konten media dapat membangun opini publik tentang kehebatan partai politik tertentu atau seorang kandidat tertentu. Karenanya, tugas seorang pemasar politik adalah bagaimana ia dapat semakin mendekatkan partai politik atau aktor politik kepada publik. Ia harus cerdas membangun opini publik bahwa tidak ada alasan untuk tidak berpihak kepadanya sehingga lama kelamaan semakin yakin dan menjadi pemilihnya. Juga, bagaimana cara menciptakan aktivitas komunikasi agar dapat berjalan secara teratur dan berkesinambungan. Semuanya ini tentu dilakukan dengan menggunakan berbagai perangkat media agar membangun opini publik yang positif tentang diri dan lembaga yang ditawarkan (Tabroni:2012:91-93). 7. Mempercayakan kepada Etika dan Profesionalisme Pers Kalau negeri ini tetap ingin mencontoh Amerika Serikat dengan cara mewujudkan kebebasan pers yang dijamin konstitusi (UUD), di mana pemerintah maupun DPR dilarang membuat undang-undang atau peraturan yang dapat mengurangi kebebasan pers telah benar-benar dijalankan, tidak berarti freedom of the press itu tidak ada yang mengatur sama sekali atau membatasinya. Kebebasan itu bukan bebas sebebas-bebasnya. Aturan tetap ada, tetapi bergeser dari dominasi negara kepada pertimbangan rasional etika moralitas serta interaksi antarinstitusi sosial. Prinsipnya tatkala sesuatunya ada kebebasan, maka tanggungjawab moral terhadap pilihan kebebasan itu menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan harus ditekankan. Dasarnya perilaku pers senantiasa mempunyai implikasi sosial, karena itu 184 etika moralitas pers menjadi sangat penting. Hal demikian akan semakin cepat terwujud jika profesionalisme kalangan pelaku media sudah memenuhi. Profesionalisme ini mencakup berbagai pemahaman terhadap peran pers, jurnalistik, dan ajaran etika. Jika pers dipandang sebagai cermin realitas, maka apa yang diberitakan media harus betul-betul merefleksikan realitas objektif yang benar-benar terjadi sesuai yang dilihat, didengar atau diketahui oleh si wartawan. Bukan “kabar angin”, opini, fantasi, ataupun perkiraan dari si wartawan sendiri. Check and recheck dan investigasi haruslah menjadi budaya yang mendasari gerak kerja jurnalis. Begitu pula suara hati nurani dan ukuran kebaikan orang banyak, hendaknya dijadikan landasan pertimbangan moral dalam peliputan realitas. Tentu saja tuntutan profesionalisme wartawan ini sangat berkaitan dengan persyaratan professional yang ketat, baik persyaratan intelektual, skills, maupun moralitas. Standar objektivitas berita perlu dipertegas sesuai dengan persyaratan validitas ilmiah dalam pemberitaan. Sesuatu berita dikatakan berasal dari realitas jika wartawan memiliki bukti bahwa informasi yang diungkap memang berdasar pada apa yang dilihat, didengar, dan diketahui oleh wartawan. Isi pemberitaan pers yang menyangkut pendeskripsian peristiwa hendaknya benar-benar diupayakan berasal dari realitas sosiologis yang diperoleh langsung dari pengamatan wartawan dengan bukti empirisnya. Kalau peristiwa itu harus dideskripsikan berdasarkan informasi dari narasumber pelaku interaksi sosial, maka mau tidak mau wartawan yang bersangkutan harus menguji kompetensi narasumber dan validitas informasinya. Suatu narasumber dikatakan berkompeten jika ia memang pelaku langsung interaksi sosial atau peristiwa yang diberitakan. Narasumber yang kompeten yang dianggap mampu mengungkap realitas sosiologis ialah narasumber yang memang mengalami sendiri kejadian yang akan diberitakan, ikut merasakan, dan mampu mengungkapkannya kembali. Jika narasumber yang digunakan wartawan bukan pelaku langsung, tetapi karena jabatan atau perannya yang dianggap tahu, maka informasi yang berasal dari narasumber seperti ini merupakan realitas psikologis, yaitu realitas yang ada pada pikiran orang atau sekelompok 185 orang, bukan apa yang sungguh-sungguh dilakukan atau dirasakan oleh manusia yang menjadi pelaku langsung interaksi. Objektivitas berita dalam jurnalisme yang profesional selain mensyaratkan kompetensi narasumber, wartawan, atau redaktur, juga harus menguji validitas informasi yang disampaikan. Wartawan atau redaktur hendaknya melakukan konfirmasi atau informasi yang diperoleh pada narasumber lain yang juga kompeten, tujuannya untuk menguji kebenaran informasi yang sudah diperoleh tersebut. Semakin banyak narasumber yang dikonfirmasi, semakin valid objektivitas realitas yang diungkap. Namun sebaliknya, semakin sedikit narasumber yang digunaka, apalagi tidak berkompeten, tidak jelas asalusulnya, atau tidak dapat dikonfirmasi ulang, berarti semakin lemah validitas objektivitas berita yang diungkap. Hal semacam inilah yang harus dihindarkan oleh pers yang profesional. Melalui ukuran yang demikianlah, profesionalisme objektivitas pemberitaan suatu media dapat diukur. Pers yang memberitakan secara profesional akan lebih mudah diterima secara rasional oleh pembacanya, sementara pers yang tidak profesional, tetapi bombastis, nantinya akan ditinggalkan oleh para pembacanya yang rasional. Dengan demikian, nantinya pers yang tidak didukung oleh standar profesionalisme jurnalistik hanya akan menjadi “pers sampah” yang nantinya tidak akan dipercaya oleh publik yang semakin rasional. Kalau pun mereka masih ada pembacanya, cenderung berasal dari masyarakat yang unintelectual, yang kurang kritis, yang dalam alam demokratisasi jumlah mereka ini semakin lama akan semakin sedikit. Selain profesionalisme wartawan, kontrol sosial dari masyarakat tentu juga diperlukan dalam mengawasi isi media. Kontrol masyarakat ini dilakukan dalam koridor demokrasi, bukan anarkis. Bukannya menekan pers dengan membawa kekuatan massa ke kantor media, atau mengancam para wartawannya. Namun kontrol itu dapat dilakukan melalui tulisan, surat pembaca, hak jawab, ataupun tuntutan di pengadilan. Kalau perlu biarkan masyarakat dan juga pers membentuk lembaga khusus yang independen yang terdiri dari orang-orang yang berkredibilitas, bermoral, berwawasan luas, yang berasal dari berbagai kalangan. Maksudnya, ikut memberikan masukan, kritik, ataupun kontrol terhadap isi pers. Tetapi lembaga 186 demikian ini tidak memiliki sanksi hukum, sanksinya hanyalah moral, mengingatkan media massa yang melanggar etika. Jadi, semacam yayasan konsumen, tetapi khusus mengenai isi media massa. Inilah yang dikenal sebagai lembaga media watch. Kebebasan tidak berarti bahwa pers boleh menyebarluaskan fitnah, kabar bohong, dan kebencian. Kebebasan pers tetap dibatasi oleh kebenaran dan kemerdekaan orang lain. Apa yang diungkapkan pers tak lain adalah fakta. Jika ada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan mengenai fakta tersebut, maka penyelesaiannya -setelah tidak dapat dikompromikan- misalnya dengan pemuatan hak jawab, pihak yang dirugikan dapat menuntut ke pengadilan, dan diselesaikan dengan peradilan perdata. Atau kalau pemberitaan itu termasuk suatu libel atau fitnah, pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa diberlakukan pada wartawan yang bersangkutan di pengadilan nanti. Artinya, walaupun tidak ada aturan khusus tentang pembatasan pers, namun tetap ada peraturan pidana dan perdata yang membatasi perilaku profesi wartawan. Jadi, nantinya walaupun ada kebebasan pers, akan memunculkan hubungan interplay, mekanisme saling menjaga, saling kontrol antara pers dan masyarakat, serta servomechanism wartawan sendiri melalui etika dan pedoman standar profesional. Dengan demikian, kebebasan pers ini nantinya tidak saja menuntut peningkatan kualitas profesionalisme wartawan, tetapi juga secara alami insan pers akan semakin dewasa untuk menggunakan kebebasan itu sendiri. Pemikiran yang sangat baik dan berkembang di awal reformasi tersebut, mungkin menjadi absurd bila dibahas setelah reformasi berjalan lebih dari 15 tahun, karena kondisi Indonesia yang sudah berubah. Masyarakat telah merasakan kebebasan dan demokrasi yang sebelumnya tidak mereka rasakan. Persoalannya apakah benar setelah reformasi berjalan 15 tahun lebih, Indonesia menjadi lebih baik bila kita mengikuti model Barat khususnya Amerika Serikat? Apakah tidak sebaliknya, sebuah model yang kita adopsi senantiasa hanya menguntungkan negara dari mana model itu berasal, namun Indonesia sendiri justru mengalami banyak masalah? Karena itu semua pemikiran yang muncul di era awal Reformasi di atas harus kita kaji lagi secara kritis. Dikaji dengan mengevaluasi apa yang sudah terjadi, dikaitkan dengan 187 konstelasi hubungan antarnegara, dengan melihat siapa yang diuntungkan dengan sistem sekarang, apakah rakyat benar-benar telah merasakan manfaat baik dan kesejahteraan, atau justru sebaliknya?. Dengan demikian, kita menjadi lebih kritis melihat sistem seperti apa yang paling tepat diterapkan di Indonesia, agar menjadikan keadaan negeri ini menjadi lebih baik (Subiakto dan Ida:2014:97-100). 188 BAB V PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA MEDAN Sebagai contoh kepercayaan dalam komunikasi politik menurut tinjauan psikologi komunikasi, kita ambil pemilihan wali kota Medan. A. Sekilas Pilkada Serentak 1. Pelaksanaan Pilkada Serentak Pemerintah menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada tahun 2015 di 263 provinsi, kota, dan kabupaten. Gambar 3. Pilkada Serentak 9 Desember 2015 Dengan pertimbangan guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara 189 serentak, Pemerintah menetapkan hari pelaksanaan Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 sebagai hari libur. Penetapan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2015, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 November 2015. “Menetapkan hari Rabu tanggal 9 Desember 2015 sebagai hari libur nasional dalam rangka pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak,” bunyi diktum PERTAMA Keppres tersebut. Adapun diktum KEDUA Keppres tersebut menyatakan, Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu 23 November 2015 (http://setkab.go.id/sukseskan-pilkadaserentak-pemerintah-tetapkan-9-desember-2015-sebagai-harilibur-nasional/). Pemerintah dan DPR sepakat bahwa pelaksanaan Pilkada serentak akan digelar pada Desember 2015. Kesepakatan itu tercipta setelah pihak penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyanggupinya. Hal disampaikan Ketua Fraksi Golkar di MPR, Kamarul Zaman Rambe, dalam sebuah diskusi di Gedung MPR, Senin (13/4/2016). Menurutnya, UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada mengamanatkan terhadap pejabat kepala daerah yang habis pada 2015 dan masa jabatan Januari hingga Juli 2016 ditarik pemilihan pejabat baru pada Desember 2015. Meski DPR khususnya Komisi II mengusulkan agar dilakukan proses Pilkada pada 2016, namun kesepakatan dilakukan pada 9 Desember 2015. Jumlah daerah yang akan menggelar perhelatan akbar lokal sebanyak 269 Pilkada. Namun, pelaksanaan Pilkada serentak dilakukan melalui tiga gelombang. Gelombang kedua akan digelar pada Februari 2017 diperuntukan bagi mereka pejabat kepala daerah yang habis masanya pada Juli hingga Desember 2017. Sedangkan gelombang tiga bakal digelar pada Juni 2018 bagi pejabat yang habis masa tugasnya pada 2018 dan 2019. Soal anggaran, tak saja bersumber dari APBD, tetapi juga mendapat bantuan dari APBN. Terlepas dari berbagai kekurangan, kata Rambe, hal itu menjadi konsekuensi dari UU Pilkada. Rambe cukup menguasai UU Pilkada. Apalagi 190 perdebatan pelaksanaan Pilkada Serentak. Rambe menjabat Ketua Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan. Lebih jauh, Rambe berpandangan bahwa persoalan pelaksanaan Pilkada serentak sempat diperdebatkan. Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengamanatkan pelaksanaan Pemilu serentak hanya Pilpres dan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg). “Itu pun belum terbayangkan dari sisi anggaran, pengamanan, dan kualitas. Tapi Pilkada serentak merupakan keputusan yang harus kita terima dengan tiga gelombang dan kita laksanakan,” ujarnya. Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, berpandangan bahwa dalam melaksanakan Pilkada serentak mesti dipertimbangkan dampak terhadap rakyat. Tak saja efisiensi anggaran, tapi juga kesiapan masyarakat dan partai politik. Terlebih, masih adanya perseteruan internal partai dengan dualisme kepengurusan yang tak kunjung rampung. “Pilkada serentak yang akan digelar Desember perlu diundur,” ujarnya. Kendati pun tetap bakal digelar akhir tahun 2015, perlu menilik kesiapan birokrasi dan administrasi, termasuk Pemda setempat di masing-masing daerah. Selain itu, kesiapan penyelanggara seperti KPU dan Bawaslu secara administratif, substantif dan anggaran perlu persiapkan matang. Dengan kata lain, kata Zuhro, kesiapan seluruh stakeholder dalam melaksanakan Pilkada serentak perlu mempertimbangkan beberapa hak krusial dan dampaknya terhadap masyarakat luas. Ia menilai Pilkada serentak seolah dipaksakan. Ia berpendapat bahwa pelaksanaan Pilkada serentak di 269 daerah bukan perkara mudah. Ia menyarankan sebaiknya Pilkada serentak dilakukan di satu provinsi dengan beberapa kabupaten sebagai uji coba. Nah, jika ternyata berjalan lancar tanpa adanya kerusuhan dan sengketa, maka dapat digelar di provinsi lain. Di tahun berikutnya, dapat digelar serentak nasional. “Kalau mau serentak di satu provinsi dulu untuk test case. Jangan kita memayungi hukum dan kemudian jadi blunder. Pilkada serentak tak saja untuk alasan efisiensi saja, tapi juga kesejahteraan rakyat. Dan sepatutnya rencana diselenggarakan pada Desember ini direview agar hasilnya berkualitas dan 191 korelasinya terhadap pemerintahan daerah dan rakyatnya positif dan signifikan,” pungkasnya (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552b941df0c5f/pela ksanaan-pilkada-serentak-digelar-9-desember-2015). 2. Anggaran Pilkada Serentak Terkait anggaran pelaksanaan Pilkada serentak, Mendagri Tjahjo Koemolo menjelaskan, anggarannya sudah tercukupi semua. Anggaran diambil dari APBD sebesar Rp 7,1 triliun. Demikian besarnya dana demokrasi di Indonesia. "Ini justru memang cukup mengejutkan, dari perhitungan yang hanya Rp 4,8 triliun tapi ternyata karena kita serentak justru meningkat menjadi Rp 7,1 triliun," ungkap Tjahjo dikutip dari setkab.go.id, Selasa (3/11/2015). Pada kesempatan ini, Mendagri mengingatkan kembali apa yang telah disampaikan dalam rapat koordinasi Menkopolhukam agar Bareskrim, Kapolri, Jaksa Agung dan juga kementeriannya memberikan peringatan kepada daerah tingkat 2 yang mengingkari naskah perjanjian hibah daerah menyangkut anggaran pengawasan dan anggaran Pilkada (http://pilkadaserentak-2015.liputan6.com/read/2355801/anggaran-pilkadaserentak-membengkak-jadi-rp-71-triliun). 3. Pengamanan Pilkada Serentak Kepolisian Republik Indonesia menggelar apel Kasatwil (Kepala Satuan Wilayah), di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kapolri, Jendral Badrodin Haiti mengatakan, Apel Kasatwil 2015 ini digelar guna mengamankan Pilkada serentak tahun 2015. "Konsentrasi kita pada apel Kasatwil kali ini adalah pengamanan Pilkada serentak tahun 2015," ujar Badrodin Haiti dalam pidatonya di auditorium PTIK, Selasa (11/8/2015). Badrodin juga menegaskan, kepada seluruh Kasatwil bahwa Pilkada 2015 ini menjadi penting karena pertaruhan Polri dalam menjaga keamanan serta kelancaran Pilkada serentak di 269 daerah. "Yang lalu Pilkada tidak serentak. Kemudian dirubah jadi Pilkada serentak. Tahap pertama ada 269 daerah provinsi 192 kabupaten kota. Pilkada serentak punya kerawanan cukup tinggi. Ini menjadi penting karena pertaruhan polri, bisa atau tidak Polri mengamankan Pemilu ini," jelas Badrodin. Diketahui bahwa seluruh Kasatwil dari berbagai daerah di Indonesia sudah memenuhi ruangan auditorium PTIK sejak sekitar pukul 08.00 wib untuk mendengarkan arahan dari Kapolri terkait pengamanan Pilkada serentak 2015 (http://news.okezone.com/read/2015/08/11/338/1194003/pengam anan-pilkada-serentak-polri-gelar-apel-kasatwil). 4. Konflik Pilkada Serentak Dalam pelaksanaannya, Pilkada serentak secara umum berjalan dengan baik. Tapi walaupun demikian, tetap saja ada masalah berupa kecurangan, gugatan ke KPU daln lain-lain. Menurut pengamat politik Universitas Negeri Medan (UNIMED) mengatakan bahwa selama Presiden Joko Widodo masih mengakomodir semua kepentingan partai politik maka kegaduhan politik nasional pada 2016 masih akan terjadi (Harian Waspada (4 Januari 2016), h. A1). a. Daerah Rawan Konflik Pilkada Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) yang dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memperlihatkan sejumlah daerah di Sumatera Utara cukup rawan dalam pelaksanaan Pilkada. Bahkan dari 23 daerah yang akan menggelar Pilkada, hanya satu daerah yang masuk kategori aman, yaitu Kota Pematang Siantar dengan IKP 1,48. Selebihnya 18 daerah masuk kategori cukup rawan dengan IKP berkisar 2,1 hingga 3 dan empat daerah lain masuk kategori rawan dengan IKP 3,18 hingga 3,74. Menurut anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Daniel Zuhron, kerawanan ditandai mulai dari politik uang, profesionalitas penyelenggara, keamanan daerah, akses terhadap pengawasan dan partisipasi masyarakat. “Politik uang diperkirakan akan tetap marak dan menjadi salah satu kerawanan dalam Pilkada. Di antara indikator yang dicek pada aspek ini yaitu angka kemiskinan, anggaran bansos dalam APBD dan juga anggaran iklan pencitraan,” ujar Zuhron, di Jakarta, Selasa (1/9/2015). 193 Indikator kerawanan lain adalah potensi terganggunya keamanan di Sumatera Utara pada penyelenggaraan Pilkada. Menurut Zuhron, di beberapa daerah ketika pelaksanaan pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif tidak terjadi kekerasan yang berkaitan dengan Pemilu. Namun ketika pelaksanaan Pilkada, malah terjadi kekerasan. Karena itu potensi dengan adanya IKP, dapat menjadi perhatian bersama untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. IKP menurut Zuhron, disusun berdasarkan pengawasan yang dilakukan Bawaslu selama ini. Selain itu juga didukung data dari Badan Pusat Statistik (BPS), data potensi desa, data KPU dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dari data-data tersebut, Bawaslu kemudian merumuskan poin 0-1 (sangat aman), 1-2 (aman), 2.1-3 (cukup rawan), 3.1-4 (rawan) dan 4.1-5 (sangat rawan). “Untuk Sumatera Utara terdapat empat daerah yang IKP-nya masuk kategori rawan. Masing-masing Kabupaten Nias Barat (3.74), Nias Utara (3,57), Nias Selatan (3,47) dan Kota Gunung Sitoli (3.18),” ujar Zuhron. Sementara 18 daerah yang masuk kategori cukup rawan masing-masing Kabupaten Mandailing Natal (2,93), Toba Samosir (2.85), Labuhan Batu Utara (2.83), Tapanuli Selatan (2.77), Kota Binjai (2.75), Tanjung Balai (2.60), Kota Sibolga (2.58), Humbang Hasundutan (2.56), Karo (2.54), Labuhan Batu Selatan (2.54), Pakpak Barat (2.42), Simalungun (2.39), Asahan (2.38), Labuhan Batu (2.36), Serdang Bedagai (2.34), Kota Medan (2.30), Kabupaten Nias (2.28) dan Kabupaten Samosir (2.26) (http://www.metrosiantar.com/2015/09/01/205295/18daerah-rawan-konflik-pilkada-termasuk-simalungun-siantaraman/). Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencium adanya potensi konflik pada gelaran Pilkada serentak pada Desember mendatang. Anggota KPU, Arif Budiman mengungkapkan, potensi tersebut sudah terdeteksi sejak perdebatan waktu penyelenggaraan Pilkada. 194 Menurutnya, potensi konflik di antaranya berangkat dari persoalan anggaran Pilkada, penyelenggaran waktu kampanye, partai yang memiliki dualisme kepengurusan, sistem penghitungan, hingga penetapan pemenang Pemilu tentu berpotensi memunculkan konflik (http://news.okezone.com/read/2015/08/23/337/1201044/pem icu-konflik-pilkada-serentak-versi-kpu). b. Penyebab Konflik Pilkada Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai ada enam aktor yang berpotensi memicu konflik pada Pilkada serentak yang diselenggarakan di 269 Kabupaten/Kota pada 9 Desember 2015. "Keenam aktor itu, peserta Pemilu, penyelenggara Pemilu, pemilih, pemerintah, TNI dan Polri serta media massa," kata anggota KPU Pusat Arief Budiman dalam diskusi Forum Senator untuk Rakyat (FSuR) Kantor Berita Politik RMOL bertajuk "Memetakan Potensi Konflik dalam Pilkada Serentak" di Kafe Dua Nyonya, Jakarta, Minggu (23/8/2015). Menurut Arief, peserta Pilkada rawan menjadi aktor memicu konflik, apalagi bila Pilkada hanya diikuti dua kandidat. Aktor selanjutnya, penyelenggara Pilkada. Hanya saja sudah ada instrumen untuk mengkoreksinya melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Aktor ketiga adalah para pemilih. Aktor keempat, pemerintah berkaitan dengan dana Pilkada. Aktor kelima adalah TNI dan Polri yang mengawasi dan mengamankan Pilkada. "Ini berkaitan dengan netralitas aparat dalam Pilkada," tukasnya. Sementara itu, aktor keenam adalah media massa. Media massa seringkali memanaskan situasi dengan pemberitaan tak berimbang. "Tulisan itu bisa memberikan kontribusi Pilkada sebagai pesta demokrasi yang meriah atau pesta mencekam," terangnya. Apalagi, Arief menambahkan, sejak awal pembuatan regulasi Pilkada serentak terjadi banyak perdebatan dan tarik menarik kepentingan. "Isi yang diperdebatkan adalah pelaksanaan tahun 2016. Akhirnya setelah tarik menarik 195 ditetapkan Desember 2015. Begitu pula siapa (daerah) yang ikut banyak timbulkan pertentangan," bebernya. Menurut Arief, masa kampanye memiliki potensi konflik aktual kalau ada perlakuan tidak fair, terutama pertentangan incumbent dan nonincumbent. Untuk mengantisipasi itu semua, Arief menambahkan, pihak KPU sudah melaksanakan antisipasi, termasuk pula tudingan penggelembungan dan pencurian suara. "Kita antisipasi data-data akurat, data Kemendagri kualitas baik terkait data pemilih," paparnya. Demikian pula, nantinya dasar penghitungan suara adalah scaning formulir C-1. Adapun untuk penetapan pemenang, UU pun membatasi kemungkinan terjadi konflik. Untuk meminimalisir konflik, sengketa hanya boleh diajukan bila terjadi selisih di bawah 2 persen suara. "Kalau selisih suara lebih dari 2 persen tak bisa disengketakan," terangnya. Pembicara lain dalam diskusi itu, Deputy IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Kepresidenan Eko Sulistyo, pengamat sosial kemasyarakatan Adhie M Massardi, Kepala Demografi FE-UI Sonny Harry B. Harmadi dan Budayawan Radhar Panca Dharma (http://www.rmol.co/read/2015/08/23/214429/Inilah-6Aktor-Potensial-Pemicu-Konflik-Pilkada-Serentak-versiKPU-). Hasil panatuan Harian Waspada, sudah 102 gugatan Pilkada masuk ke MK (Harian Waspada (22 Desember 2015), h. A1). Menurut para pengamat Pemilu, masyarakat sudah jenuh dengan Pemilu yang menghasilkan para koruptor dan hampir tidak adanya perubahan yang berarti bagi pembangunan di Indonesia (Harian Sinar Indonesia Baru (21 Desember 2015), h. 1). Menurut pantauan Harian Kompas, partisipasi masyarakat dalam Pilkada serentak rendah, ditandai menurunnya jumlah masyarakat yang mencoblos hingga Jum’at, 11 Januari 2015 pukul 14:00 berdasarkan data KPU hanya mencapai 64,23 % (Harian Kompas (12 Desember 2015), h. 1). 196 B. Proses Pemilihan Wali Kota Medan 1. Anggaran Pilkada Kota Medan Dana untuk penyelenggaraan Pilkada Kota Medan 2015 sebanyak Rp 56,5 miliar. Dana tersebut sudah termasuk untuk biaya pengamanan oleh Polresta Medan dan Polres Belawan sebanyak Rp 7 miliar. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan, Yeni Chairiah Rambe mengatakan, dana tersebut juga akan digunakan untuk menggaji para panitia PPK dan PPS. Namun, ia belum tahu berapa bayaran mereka (http://tabloidpewarta.com/kota/item/224-anggaran-pilkadamedan-tembus-rp-565-miliar). Gambar 4. Yeni Chairiah Rambe Terkait para anggota PPK dan PPS yang baru dilantik, Yeni menegaskan bahwa seluruhnya diseleksi secara murni, tanpa ada 'pesanan' dari pihak manapun. "Ini semua murni kita terima. Tidak ada rekomendasirekomendasi dari manapun. Kita seleksi mulai dari administrasi, terus seleksi tertulis, lalu ada tanggapan dari masyarakat. Proses perekrutan mulai 19 April 2015. Untuk PPS itu masing-masing 6 untuk 151 kelurahan. Ini semua rata-rata wajah baru. Walaupun sebagian ada yang berlatar belakang KPPS," katanya. Tugas pertama yang akan dilakukan para PPK dan PPS, kata Yeni, adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat soal penyelenggaraan Pilkada. 197 "Tugas pertama mereka ini akan melakukan sosialisasi. Untuk tahapan belum karena tanggal 3 Juni kita baru akan menerima DP4. Yang pasti nanti bukan Juni sudah akan ada pencocokan pemutakhiran data pemilih," katanya (http://tabloidpewarta.com/kota/item/224-anggaran-pilkadamedan-tembus-rp-565-miliar). 2. Pendaftaran Bakal Calon Pilkada Kota Medan juga termasuk Pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2015. Terdapat 2 pasang calon wali kota Medan periode 2016-2021, yaitu H. Dzulmi Eldin yang berpasangan dengan Ahyar Nasution; dan Ramadhan Pohan yang berpasangan dengan Eddie Kusuma. Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota Medan dimulai dengan pendaftaran dua bakal calon walikota dan wakil walikota Medan. Kedua kandidat tersebut adalah, pasangan H Dzulmi Eldin dan Ahyar Nasution yang diusung PDI-P dan Nasdem. Pasangan lainnya adalah Ramadhan Pohan yang berpasangan dengan Eddie Kusuma. Menurut Komisioner KPU Medan Pandopatan Tamba, kedua pasangan ini sudah memenuhi syarat minimal dukungan minimal 10 kursi. Dari sisi kursi, Eldin-Ahyar punya dukungan 30 kursi. Ramadhan-Eddie 15 kursi, total sudah 45 kursi. "Untuk Medan dipastikan hanya dua pasangan calon ini karena jumlah kursi sudah habis. Sudah tidak mungkin ada lagi yang mendaftar. Tapi begitupun, kami akan tetap buka pendaftaran sampai besok," kata Tamba yang dihubungi via telepon selulernya. Tahap selanjutnya, kata Tamba, adalah pemeriksaan kesehatan pada 29 hingga 31 Juli di RSUD Pirngadi Medan. KPU Medan bekerjasama dengan IDI Kota Medan untuk tahapan ini. Pada 29 Juli sampai 2 Agustus akan dilakukan pemeriksaan administrasi pasangan calon. Mulai dari dukungan parpol sampai dukungan calon. "Tanggal 4 Agustus kami beritahukan hasilnya. Biar mereka bisa memperbaiki dokumen yang belum lengkap," pungkas Tamba. Seperti diketahui, 30 dukungan kursi untuk pasangan Eldin-Ahyar berasal dari 9 kursi PDI-P, 7 kursi Golkar, 5 dari 198 PKS, 4 dari PAN, 2 dari PKPI, 2 dari Nasdem, dan 1 dari PBB. Sedangkan 15 dukungan kursi untuk pasangan Ramadhan-Eddie berasal dari 5 kursi Demokrat, 6 kursi Gerindra, dan 4 kursi Hanura (http://regional.kompas.com/read/2015/07/29/11035071/Ramadh an.Pohan.dan.Dzulmi.Eldin.Maju.ke.Pilkada.Kota.Medan). 3. Biografi Bakal Calon a. Drs. H. T. Dzulmi Eldin S, M.Si Dzulmi Eldin atau yang lebih sering disapa Bang Eldin lahir di Medan pada tanggal 4 Juli 1960 dari pasangan T. Syahrum Amir (Alm) seorang keturunan Melayu yang lahir di Medan dan sang ibu Raidah Lubis (Almh) yang berdarah Mandailing yang juga lahir di Medan. Eldin kecil adalah anak yang dikenal sejak kecil memiliki akhlak yang baik dan taat dalam menjalankan syariat Islam yang dianutnya, hingga saat ini pun kegiatan ibadah beliau tidak luntur sedikitpun, semua itu dikarenakan kedisiplinan yang ada dalam pribadi Eldin. Bahkan kita sendiripun bisa menyaksikan secara langsung di kala Subuh misalnya, beliau tidak pernah absen sekalipun atau terlambat dalam menjalani ibadah sholat subuhnya di masjid yang berada di dekat rumahnya. Selain kegiatan mengaji dan shalat yang selalu ia kerjakan, Eldin juga sangat giat membantu kedua orang tua. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar Josua IV Medan, Bang Eldin sangat dikenal sebagai anak yang sederhana. Setelah lulus dari sekolah dasar, Bang Eldin menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Josua II dan mengakhiri Sekolah Menengah Atas di SMA Methodist Medan. Masa kecil Bang Eldin banyak dihabiskan di Medan bersama dengan saudara-saudaranya, dan Bang Eldin juga merupakan pribadi yang sangat tegas dalam berpendirian. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas Bang Eldin melanjutkan program Sarjana di STIA LAN RI dengan mengambil jurusan Administrasi Negara pada 1989. Setelah itu pada tahun 2003, beliau menyelesaikan pendidikan Magisternya di perguruan tinggi Universitas Satya Gama jurusan Ilmu Pemerintahan. Eldin memulai karir di pemerintahan menjadi pegawai negeri sipil sejak tahun 1980 199 di kota medan dengan jabatan pertama sebagai Pengatur Muda, pada tahun 1993 Bang Eldin dipromosikan menjadi Camat Patumbak di Kabupaten Deli Serdang dan sempat juga menjadi Camat Lubuk Pakam sampai tahun 2000. Setelah menjabat camat di kabupaten Deli Serdang, suami dari Hj. Rita Maharani dan ayah dari T. Edriansyah Rendi, SH dan Via Karina Nabila mendapat promosi jabatan menjadi kepala kantor penghubung pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Bang Eldin di promosikan dan resmi dilantik menjadi Kepala Dinas Pendapatan Kota Medan (Kadispenda) oleh Walikota Medan sampai tahun 2007, beliau kembali dilantik menjadi Asisten Administrasi Umum di Sekretariat Daerah Kota Medan, genap satu tahun menjabat pada bulan November 2008 beliau kembali dilantik menjadi Seketaris Daerah (Sekda) Kota Medan. Berlandaskan keinginan yang kuat dari dalam diri untuk membangun Kota Medan menjadi kota yang lebih maju di antara kota lainnya di Negara ini, pada tahun 2010 Eldin menjadi Wakil Walikota Medan dan sempat menjadi Plt. Walikota selama beberapa bulan hingga akhirnya Surat Keputusan dari Menteri Dalam Negeri No.131.12-3185 pada tanggal 18 Juni 2014 Bang Eldin resmi dilantik menjadi Walikota Medan Definitif (http://dzulmieldin.com/biografi/). Gambar 5. Drs. H. T. Dzulmi Eldin S, M.Si 200 Karir: 1) Kepala Seksi Dinas pendapatan Deli Serdang (1992). 2) Camat Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang (1993) dan Lubuk Pakam (1997). 3) Kepala Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara. 4) Kepala Dinas Pendapatan Kota Medan. 5) Asisten Administrasi Umum Sekda Kota Medan (2007). 6) Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Medan. 7) Wakil Wali Kota Medan (2010-2013). 8) Plt. Wali Kota Medan (2013-2014). 9) Wali Kota Medan (2014-sekarang). Pendidikan: 1) Sekolah Dasar Josua IV Medan. 2) Sekolah Menengah Pertama SMP Josua II. 3) Sekolah Menengah Atas di SMA Methodist Medan. 4) STIA LAN RI jurusan Administrasi Negara (1989). 5) S2 Universitas Satya Gama, Jakarta (2003) (https://id.wikipedia.org/wiki/Dzulmi_Eldin). b. Ir. H. Akhyar Nasution, MSi Tampil apa adanya, kerjakan dan sukseskan setiap amanah secara maksimal. Begitulah keseharian Akhyar Nasution dalam bergaul sebagai karyawan di satu perusahaan kontraktor dan staf laboratorium pabrik di Medan Deli. Bagi kebanyakan orang Kota Medan, nama Akhyar Nasution selalu menjadi pertanyaan. Siapakah Akhyar, apa profesinya? Ketika mendekati penetapan calon tak pernah muncul, baik sosialisasi ke masyarakat hingga mengorbitkan diri untuk maju menjadi Calon Wakil Wali Kota Medan periode 2016-2021. “Begitulah nasib, saya juga awalnya tidak menyangka begitu dipinang Bang Eldin untuk mendampinginya maju sebagai pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan,” kata Akhyar Nasution pada saat menuju ke ladang sawit dan melinjo di kawasan STM Hulu, Deliserdang. 201 Akhyar dilahirkan dari buah pasangan Alm. Anwar Nasution-Siti Aisyah di Medan pada 21 Juli 1966, selanjutnya dibesarkan di kawasan Pajak Pagi Tanjung Mulia, perbatasan Medan Deli dengan Medan Timur (http://medansatu.com/berita/10614/inilah-ahkyar-nasutionwakil-eldin-di-pilkada-medan/). Gambar 6. Ir. H. Akhyar Nasution, MSi Bapak dua anak ini mengenyam sekolah formal di SD Negeri 060863/27 Kelurahan Brayan Bengkel, Medan Timur dan melanjutkan pendidikan di SMPN 9/11 Kelurahan Pulo Brayan Kota. Kemudian masuk SMA Negeri 3 Medan hingga mendapatkan kesempatan melalui jalur Penerimaan Berdasar Minat dan Kemampuan (PMDK) masuk ke USU diterima di jurusan Fisika USU. “Tapi saya tak sampai satu semester sudah keluar, saya bekerja menjadi staf laboratorium di salah satu pabrik minyak goreng,” kata suami dari Nurul Khairani Lubis dan ayah dari Ahmad Kautsar Yaranda Nasution (16) dan Ahmad Alkindi Yaranda Nasution (12). Akhyar bercerita, alasan berhenti kuliah di jurusan Fisika USU, karena pada awalnya dirinya berpikir akan banyak mempelajari tentang nuklir. Namun, fakta berbicara lain. Akhirnya keputusan berhenti kuliah menjadi satu keputusan terberat. “Saya awalnya pingin kuliah di jurusan Kimia Nuklir, tapi di USU tidak ada. Makanya saya pilih Fisika, nyatanya tidak mempelajari itu. Terpaksa saya keluar dan 202 memilih jadi staf laboratorium di pabrik minyak goreng,” ucap anak tukang jahit ini belum lama ini. Di tengah menjalani pekerjaan pada 1986 hingga 1988, mantan Ketua OSIS SMA Negeri 3 pada tahun 1985 menyebutkan, ada seseorang temannya mengajak diskusi tentang kuliah. Niat untuk kuliah lagi memang ada, namun belum tahu jurusan apa. “Saya hanya bilang, jurusan apa yang cocok untuk anak tukang yang suka jalan-jalan ini,” tanyanya kepada seorang temannya. “Kalau teknik sipil bagaimana, kamu bisa kerja berkeliling-keliling untuk mengawasi pekerjaan dan banyak tantangannya,” jawab temannya Yusni Darma. Pada 1988, akhinya putra sulung dari 11 bersaudara ini kembali kuliah di USU. Namun, jurusan yang diambilnya berbeda dari tahun 1986. “Ya saya masuk melalui jalur ujian dan mengambil jurusan Teknik Sipil,” ucapnya. Dalam perjalannya sebagai mahasiswa dan terlahir sebagai anak yang memiliki darah Marhaenisme, Akhyar pun mendapatkan jabatan sebagai Sekretaris Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Teknik Sipil USU. “Bapak saya merupakan pengurus PDI dan pengurus Gerakan Pemuda Marhaenisme pada tahun 1960-an. Jadi saya memang memiliki darah Marhaenisme, makanya saya terus berkecimpung dan berorganisasi di PDIP,” kata pria penghobi baca dan jalan-jalan ini. Setelah menamatkan kuliah, pada tahun 1995 Akhyar bekerja di salah satu perusahaan kontraktor PT Fajar Hamparan Mas di Jalan Krakatau, Medan, ikut merancang dan menggambar jalan serta membangun jembatan hingga pengawasan ke sejumlah proyek pembangunan. “Sampai sekarang saya juga masih tercatat sebagai karyawan, tapi sudah tidak aktif. Jadi perusahaan inilah sebagai wadah tempat saya mencurahkan keilmuan saya saat kuliah di USU,” sebutnya. Sebelum kuliah di USU, Akhyar sudah menekuni ilmu pertukangan. Pelajaran praktek pertama yang dilakoninya bersama kakeknya, Alm. Ngadimin. Kakeknya merupakan serang tukang talang air di kawasan Tanjung Mulia. “Setiap pulang sekolah, saya bantu kakek membantu 203 membuat talang air, dan segalanya yang dibuat dari kaleng. Terkadang juga saya belajar menjahit sama ibu. Karena ibu saya tukang jahit,” sebutnya. Darah tukang inilah yang terus mengalir dan mengantarkannya sebagai seorang insinyur. Perlahan di tengah kesibukannya di partai, dan menjadi anggota DPRD Medan periode 1999-2004 keaktifannya sebagai insinyur mulai berkurang. “Saya sejak 1996 bergabung menjadi politisi PDIP. Saat itulah ternyata PDIP membutuhkan ‘tukang’ pasca perpecahan PDI,” ucap pria yang sempat menjadi Ketua PAC PDIP Medan Deli. Setelah tak menjabat sebagai anggota DPRD Kota Medan, Akhyar kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang insinyur sipil. Bekerja membangun sejumlah tower di Kota Medan dan Sumut. “Pada 2008 saya ditelpon Bang Japorman Saragih, ketika itu ia menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPD PDIP Sumut. Saya diajak untuk bersama memenangkan PDIP. Setelah itulah saya terus aktif kembali menjadi pengurus PDIP di Sumut,” ucapnya saat dalam perjalanan dari kediamannya menuju ladangnya di Kampung Teratak, Desa Tanah Garah Hulu, STM Hulu, Deliserdang. “Sejak saya menjadi Calon Wakil Wali Kota, baru inilah saya datang ke ladang. Sudah tiga bulan saya gak ke ladang. Biasanya saya bawa anak dan istri ke ladang, ya sekalian reakreasi untuk menenangkan diri,” ucapnya sambil tertawa. Mengenai sampai menjadi Calon Wakil Wali Kota Medan berpasangan dengan Dzulmi Eldin. “Ini semua benarbenar kebetulan, saya tidak sangka. Sulit untuk mencari benang merahnya,” katanya. Akhyar bercerita, saat menjadi anggota DPRD Medan periode 1999-2004 merupakan satu kesempatan di mana ia berhubungan dengan Dzulmi Eldin. Pada tahun 2002, Dzulmi Eldin sebagai Kepala Dinas Pendapatan Kota Medan counterpat Komisi C DPRD dan Panitia Anggaran. “Pada saat saya jadi Panitia Anggaran yang ditunjuk Ketua DPRD Kota Medan Tom Adlin, saya dan Bang Eldin sering berdiskusi tentang anggaran Kota Medan. Inilah kerja 204 sama kami setiap tahun hingga akhir periode saya pada tahun 2004,” sebutnya. Ia menyebutkan, kerjasama dan diskusi antara panitia anggaran legislatif dan esekutif inilah yang mungkin mengingatkan Bang Eldin kepadanya. “Ya mungkin saja Bang Eldin ingat ke saya karena saya dulunya mitra diskusi dan kerjasama terkait penyusunan APBD,” katanya. Akhyar menyatakan, hubungannya dengan Bang Eldin saat ini bukan lagi mitra, tapi sudah menyatukan hati demi membangun Kota Medan ke jalan yang benar. “Saya sebagai tukang, pastinya ingin kerja terus. Saya juga punya mimpi sama Bang Eldin untuk membangun satu monumental yang bisa dikenang masyarakat Kota Medan serta bernilai bagi seluruh wisatawan,” sebutnya (http://medansatu.com/berita/10614/inilah-ahkyar-nasutionwakil-eldin-di-pilkada-medan/). c. Drs. H. Ramadhan Pohan, M.Sc Profil 1) Nama Lengkap : Ramadhan Pohan 2) Profesi : 3) Tempat Lahir : Pematang Siantar 4) Tanggal Lahir : Selasa, 6 Desember 1966 5) Zodiac : Sagitarius 6) Hobby : Membaca dan menulis 7) Warga Negara : Indonesia Biografi Ramadhan Pohan merupakan Wakil Sekjen Partai Demokrat yang saat ini menjabat sebagai anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi Demokrat. Nama Ramadhan Pohan sebelumnya tidak pernah terdengar di ranah politik. Pria kelahiran Pematang Siantar, 6 Desember 1966 ini baru memulai karirnya di bidang politik pada tahun 2005. Sebelumnya ia merupakan jurnalis murni yang aktif melaporkan banyak kejadian di luar sana dalam bentuk tulisan dan tayangan live report (http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ramadhan-pohan/). 205 Gambar 7. Drs. H. Ramadhan Pohan, M.Sc Di kalangan wartawan Indonesia, nama Ramadhan Pohan sudah banyak dikenal, mengingat kiprahnya di bidang jurnalistik sudah tidak diragukan lagi. Suami dari Asti Riefa Dwiyandani Siregar dan ayah dari Farisreyhan Zachary Pohan dan Raina Mahalia Karis Pohan yang sempat mendapatkan sertifikat penghargaan MURI "Anggota DPRRI pertama yang memiliki website www.ramadhanpohan.com yang berisi informasi keparlemenan dan konstituen" ini memulai karir di bidang jurnalistik saat dirinya duduk di bangku kuliah. Saat itu, ia kerap kali mengirimkan kolom dan opini di berbagai media. Banyak tulisan-tulisannya yang dimuat di berbagai media yang pada akhirnya mengantarkan dirinya untuk terjun ke bidang jurnalistik lebih lanjut pada tahun 1990. Saat itu, ia tengah duduk di bangku kuliah tingkat dua akhir saat dirinya bergabung dengan Jawa Pos Jakarta sebagai reporter. Karir menjadi reporter di Jakarta ini dilakoninya selama tiga tahun (http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ramadhan-pohan/). Gambar 8. Drs. H. Ramadhan Pohan, M.Sc Bersama Istri Diupah-upah 206 Berganti tahun, pada tahun 1993, pria yang akrab disapa Ramadhan ini ditugaskan ke Bulgaria sebagai koresponden dan beralih ke Turki sejak tahun 1996-1998. Tak hanya singgah di dua negara itu saja, pekerjaannya sebagai reporter mengharuskannya terbang dari satu negara ke negara lain. Tercatat ada sekitar lebih dari dua puluh negara di dunia berhasil ia jelajahi sebagai bahan pencarian data mengenai kasus dan isu-isu yang sedang berkembang di dunia. Pada website pribadinya, banyak tercatat laporanlaporan perjalanan korespondensinya di berbagai belahan dunia. Yang menarik, ia merupakan wartawan tetap yang meliput di White House, DPR-AS (Kongres), dan Senat pada tahun 1998 hingga 2004. Ia juga merupakan wartawan Indonesia pertama yang menulis mengenai Barrack Obama melalui konvensi Partai Demokrat di Boston 2004. Selama di luar negeri, Ramadhan tak hanya bekerja sebagai koresponden, ia memanfaatkan waktu luangnya dengan mengambil studi S2 di American University, Washington DC pada tahun 2002. Selepas perjalanan hidupnya di negeri orang, pada akhir tahun 2004, pemilik akun twitter @Ramadhanpohan1 ini bergabung dengan The Blora Institute yang merupakan tempat jajakan para wartawan. Saat itu, ia langsung menjabat sebagai direktur opini publik dan studi partai politik. Setahun berikutnya, ia mulai merambah bidang politik. Ia ditunjuk sebagai Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU DPP Partai Demokrat. Kemudian pada tahun 2006 ia menjadi redaktur pelaksana website kepresidenan www.presidensby.info. Di tahun yang sama, ia juga menjabat sebagai Pimpinan Redaksi koran Jurnal Nasional Jakarta. Tak hanya itu, pada tahun 2008, pria yang memiliki hobi membaca ini ditunjuk sebagai penasihat Forum Harmoni Nusantara (FORSAS) hingga kini sekaligus menjabat sebagai Direktur Program Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia Pusat. Hingga pada tahun 2009, ia mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI periode 2009-2014 dan akhirnya terpilih dari Dapil 7 Jatim. Ramadhan mengaku bahwa pengetahuannya mengenai bidang politik didapatkan saat ia 207 aktif meliput berbagai macam liputan kenegaraan dari berbagai negara yang ia singgahi. Pendidikan 1) Universitas GWU, Washington DC, 2002. 2) American University, Washington DC, 2002. 3) Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992. 4) SMA Negeri 4 Pematang Siantar. Karir 1) Anggota DPR-RI Komisi II & BKSAP, 2009-2014. 2) Direktur Program Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Jakarta, 2008sekarang. 3) Penasihat Forum Harmoni Nusantara (Forsas) Jakarta, 2008-sekarang. 4) Bergabung dengan Partai Demokrat dengan berbagai jabatan, 2005-sekarang. 5) The Blora Institute, 2004. 6) Reporter Jawa Pos, Amerika Serikat, 1998-2004. 7) Reporter Jawa Pos, Turki, 1996-1998. 8) Reporter Jawa Pos, Bulgaria, 1992. 9) Reporter Jawa Pos untuk Jakarta, 1989-1992. 10) Penulis lepas. Penghargaan 1) Penyerahan Sertifikat MURI Website. "Anggota DPR-RI pertama yang memiliki website www.ramadhanpohan.com yang berisi informasi keparlemenan dan konstituen" Lokasi: Gd. Nusantara IV lantai dasar MPR-DPR RI, 25 November 2009. 2) Sertifikat MURI majalah GARASI. "Anggota DPR-RI pertama yang memiliki majalah transparansi dan akuntanbilitas yang berisi informasi keparlemenan dan konstituen." Lokasi: Gd. Nusantara IV lantai dasar MPR DPR-RI, 25 Januari 2001. 208 Buku 1) Energi Positif, Opini 100 Tokoh mengenai Indonesia di Era SBY, 2009. 2) Puisi dan cerita pendek, 1991-1998. 3) Para Pembohong, koleksi cerita pendek, 1996. 4) The Path Not Taken, Puisi, 1996 (http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ramadhanpohan/). d. Dr. Eddie Kusuma, SH, MH Sosok Dr. Eddie Kusuma, SH, MA, seorang aktivis masyarakat Tionghoa yang berkiprah dalam banyak sekali aktivitas sosial, budaya, pendidikan dan bahkan politik. Kiprah, pergaulan yang luas dan pemahamannya terhadap agama –meskipun ber-KTP Buddha tetapi pemahamannya terhadap Islam, Kristen dan Hindu sama baiknya- membuat ia gampang masuk di lingkungan manapun. Tidak heran, ia dikenal sebagai sosok aktivis yang sangat menghargai pluralitas dan keberagaman (https://sembilanbersamamedia.wordpress.com /2012/03 /21/505/). Gambar 9. Dr. Eddie Kusuma, SH, MH Suami dari Ng Suryani, ST dan ayah dari Indra T. Kusuma (mahasiswa Universitas Indonesia), Sandra P. Kusuma (SMA), Vera C. Kusuma (SMA) dan Clara P. 209 Kusuma (TK), dan panggilan akrabnya Bang Eddie ini pernah tercatat sebagai fungsionaris berbagai organisasi kepemudaan, kepramukaan, organisasi sosial kemasyarakatan dan bahkan organisasi politik. Bang Eddie telah aktif berorganisasi sejak masih duduk di bangku sekolah. Bang Eddie pernah terlibat secara aktif di KNPI, Karang Taruna, PGRI, Bakom PKB, Bakom Parsosmas, GPPI, Ismapi, Lions Club dan hingga kini masih aktif di sejumlah organisasi sosial dan pendidikan. Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Padjajaran dan alumni Lemhanas RI Angkatan XIV Tahun 2006 ini memiliki wawasan kebangsaan yang cukup luas dan sangat menghargai kesederajatan serta martabat kemanusiaan. Keluasan pergaulannya membuatnya sangat disegani di manapun ia berada. Bahkan, tahun 2003 dalam sebuah acara budaya di rumah Bang Pitung di Marunda Jakarta Utara, ia dinobatkan menjadi “Anak Betawi” dan diberi nama Bang Eddie. Bang Eddie sebelumnya juga didaulat dan dinobatkan menjadi warga Batak dalam sebuah acara adat di Medan. Pada acara “Margarajahon” yang berlangsung tahun 1997, setelah dipakaikan pakaian adat Batak dan diberi kain ulos, Bang Eddie kemudian diberi marga “Panjaitan” sehingga nama lengkapnya menjadi Eddie Kusuma Panjaitan. Pemberian nama dan marga oleh dua etnis yang berbeda itu membuktikan bahwa predikat Bang Eddie sebagai tokoh “Lintas Batas” memang tidak bisa dibantah. Bang Eddie benar-benar mendalami sosok “Lintas Batas” yang mungkin setara dengan Abdurahman Wahid maupun Franz Magnis Suseno. Tidak hanya dari lingkungan agamawan, suku, negarawan maupun LSM, ia dengan luwes masuk ke lingkungan tokoh-tokoh masyarakat di seluruh Indonesia. Semua itu tidak lepas dari perjuangan hidup pria kelahiran Medan, 24 April 1958. Ditinggalkan sang ayah sejak masih berusia 6 tahun, Eddie Kusuma adalah potret sukses yang diraih berkat kerja keras dan doa yang tak pernah berhenti. Sejak berumur 8 tahun ia sudah terbiasa mengerjakan apa saja sesuai dengan kemampuannya. Semua pekerjaan pernah dilakoninya, mulai 210 berjualan air untuk pedagang pasar ikan, membantu berjualan ikan, bekerja di toko kelontong di pasar pagi, membantu berjualan kue dan bakmi, menyemir sepatu, berjualan minuman di jalanan hingga bekerja di pabrik sepatu dan pabrik kue pernah dijalaninya. Ia juga pernah bekerja sebagai guru les untuk anakanak SMP hingga saat usianya mencapai 20 tahun dipercaya sebagai Wakil Kepala Sekolah SD di sebuah perguruan swasta di Medan. Setelah itu, ia menjadi Kepala Sekolah SD, Kepala SMP dan kemudian Kepala SMA. Ia juga mendapat kepercayaan menjadi koordinator kepala sekolah di Perguruan dan sekarang memiliki serta mengelola sekolah sendiri, Yayasan Perguruan Supriyadi di Medan dan Yayasan Pendidikan Chandra Kusuma Jakarta. Bang Eddie juga memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Ia mengasahnya dengan selalu mengembangkan program ekstrakurikuler di bidang Kepemimpinan dan Kepanduan (Pramuka). Ia sangat berkeyakinan bahwa program ekstrakurikuler tersebut mampu menggugah semangat kebangsaan. Berkat program ekstrakurikuler itu, anak didiknya berhasil melakukan tour show kebudayaan hingga sampai ke Penang, Johor, Kuala Lumpur dan Singapura. Berkat dedikasinya tersebut, Bang Eddie pada peringatan HUT Gerakan Pramuka yang ke-45 tahun 2006, dianugerahi Lencana “Enam Pancawarsa” oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka untuk pengabdiannya selama 30 tahun mengabdi dan membina Pramuka. Saat ini, selain menjadi pengelola sejumlah lembaga pendidikan, minat Bang Eddie dalam dunia pendidikan masih disalurkannya dengan menjadi dosen tidak tetap di beberapa PTS di Jakarta dan Medan. Sedangkan kegemarannya berorganisasi dan membina generasi muda, juga masih tetap ia jalani melalui sejumlah organisasi sosial dan pengkajian yang ia pimpin dan dirikan. Kini, di luar kesibukannya sebagai pengusaha dan pendidik, sebagai orang yang juga pernah terlibat di dunia jurnalistik, Bang Eddie pun masih terus mengasah kemampuan intelektualitasnya dengan tetap menulis. Selain 211 menulis artikel untuk sejumlah koran, iapun telah menulis sejumlah buku. Di antara buku-bukunya yang telah diterbitkannya adalah; Etnis Tionghoa dalam Politik Indonesia sebelum dan sesudah Reformasi, Suku Tionghoa dalam masyarakat Majemuk Indonesia, Membangun Keutuhan Bangsa dengan Memperkokoh Ketahanan Nasional, Sekilas Catatan Pengalamanku Mengikuti KSA XIV Lemhannas RI, Membangun Jakarta: Lima Pilar Strategis Menuju Masa Depan, Imlek Nasional 2007 Indonesia Bersatu: 50 Tahun Hubungan RI-RRC, Seabad Kebangkitan Nasional: Ayo Bangkit Indonesia, Nyalakan Api Obor: Laporan Sosialisasi Bakal Wagub DKI dan John Lie: Pahlawan Nasional. Atas dedikasi dan prestasinya selama ini, penghargaan Indonesian Improvement Award Kategori “The Best Improvement Figure” dipersembahkan kepada DR. Eddie Kusuma, SH, MH (https://sembilanbersamamedia.wordpress.com/2012/03/21/5 05/). 4. Polisi Disiagakan Mapolresta Medan menyiagakan 1.180 personel untuk mengamankan pelaksanaan tahapan-tahapan Pilkada. Berdasarkan rencana pengamanan (renpam) yang sudah dilaksanakan, kepolisian melakukannya berdasarkan tahapantahapan. Demikian pula mengenai pengerahan personel, kekuatannya berbeda-beda. "Sebanyak 200 orang disiapkan di kantor Komisi Pemilihan Umum dan khusus saat pencoblosan, disiagakan 1.180 personel," kata Kapolresta Medan, Kombes Pol. Mardiaz Kusin Dwihananto, Rabu (29/7/2015) via telepon selulernya. Menurut dia, renpam telah dilaksanakan mulai dari penetapan pasangan calon, kampanye, pencoblosan hingga pelantikan. Selain itu, Mardiaz mengatakan, pihaknya berkoordinasi dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan kejaksaan untuk membentuk satuan tugas Penegakan Hukum Terpadu (Satgas Gakkumdu). "Kami akan mencari kantor Gakkumdu. Baiknya tidak di KPU, kejaksaan atau kepolisian, biar netral," katanya. 212 Mantan Wakil Direktur Reserse dan Kriminal Khusus (Wadir Reskrimsus) Mapolda Sumatera Utara ini menambahkan, mereka juga akan road show ke semua partai pendukung atau tim sukses masing-masing calon. "Kami meminta agar semuanya berperan serta menjaga kondusifitas Kota Medan. Tentunya jika terjadi hal tak diinginkan, koordinasi yang dilakukan juga lehih gampang," tambahnya. Dia bersyukur, sampai pendaftaran dua bakal calon walikota Medan kemarin, situasi masih aman (http://regional.kompas.com/read/2015/07/29/11035071/Ramadh an.Pohan.dan.Dzulmi.Eldin.Maju.ke.Pilkada.Kota.Medan). 5. Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Medan Sumatera Utara mengundi nomor urut pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang maju di Pilkada Kota Medan 9 Desember 2015 di KPU Jalan Kejaksaaan, Selasa (25/8/2015). Dari pengundian nomor urut tersebut, pasangan calon Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota Medan, Bang Eldin– Akhyar (BENAR) mendapat nomor urut 1 dan Ramadhan-Eddie (REDI) memperoleh nomor urut 2. Rapat pleno terbuka tersebut dipimpin Ketua KPU Kota Medan, Yenni Chairiah Rambe didampingi komisioner Irwansyah, Agussyah Damanik, Pandapotan Tamba dan Edi S. dan Sekretaris H. Maskuri, dihadiri Kapolresta Medan Kombes Mardiaz Kusin Dwihananto, Kapolres Belawan, Dandim 0201/BS, unsur PN Medan, Kejari Medan, pimpinan Parpol pendukung pasangan calon (paslon) dan tim sukses masingmasing paslon. Pengundian dipimpin Ketua KPU Kota Medan dengan cara pencabutan nomor oleh Dzulmi Eldin dan Ramadhan Pohan dengan disaksikan para unsur Muspida Plus Kota Medan, diantaranya Plh Wali Kota Medan Saiful Bahri, Panwaslu Kota Medan Raden Admiral dan Uliansyah P. Nasution dan lainnya. Ketua KPU Kota Medan Yenni Chairiah Rambe dalam sambutannya mengemukakan bahwa tahapan-tahapan Pilkada terkait pencalonan telah terlaksana, dan ternyata di Kota Medan 213 tidak ada pasangan calon independen, kecuali dukungan atau usungan Parpol serta gabungan Parpol. “Hanya dua pasangan calon Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota yang mendaftar di KPU Kota Medan,” sebut Yenni. Yenni juga mengingatkan kepada masing-masing pasangan calon Wali Kota Medan jangan sampai tercoret karena tidak mentaati aturan. “Juga jangan memberikan uang kepada masyarakat,” tegasnya. Seusai rapat pleno terbuka, Ketua Panwas Pilkada Kota Medan, Raden Admiral mengatakan, diharapkan, baik pasangan nomor 1 maupun 2 untuk tetap mentaati aturan main, terutama dalam kampanye yang akan dimulai pada tanggal 27 Agustus 2015. “Mari kita tetap menjaga norma-norma budaya dan adatistiadat serta jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” pesannya. Dalam kesempatan yang sama, calon Wali Kota Medan nomor urut 1 dalam sambutannya meminta kepada seluruh masyarakat untuk menggunakan hak suaranya dalam pemilihan 9 Desember mendatang. Ia juga berharap, Pilkada ini aman dan kondusif. “Ini hanya pemilihan, siapapun yang terpilih nantinya tetaplah membaur dengan masyarakat demi Kota Medan yang lebih baik ke depannya,” ucap Eldin. Sementara itu calon Wali Kota Medan nomor urut 2 Ramadhan Pohan menyebutkan, akan membangun Kota Medan ini menjadi lebih baik lagi (http://waspada.co.id/pilkada/pilkadamedan-eldin-nomor-1-pohan-nomor-2/). 6. Kampanye Deklarasi Kampanye Damai Pilkada Kota Medan Deklarasi kampanye damai Pilkada Kota Medan dimulai hari Sabtu (12/9/2015). Ratusan pendukung pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan berkumpul di Jl. Pulau Pinang, kawasan Lapangan Merdeka, Medan. Pantauan analisadaily.com, deklarasi Pilkada Kota Medan kali ini dimeriahkan oleh pihak KPU dengan acara karnaval kendaraan hias yang diikuti oleh Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan beserta para pendukung yang hadir. 214 Gambar 10. Deklarasi Kampanye BENAR Karnaval ini dikawal oleh ratusan polisi dari jajaran Polresta Medan yang juga turut dihadiri oleh Kapolresta Medan, AKBP Mardiaz Kusin Dwihananto. Gambar 11. Deklarasi Kampanye REDI “Kita siap mengawal dan mengawasi jalannya kampanye sampai selesai," ujar Mardiaz dalam sambutannya saat membuka acara karnaval. Sebelum pelepasan karnaval, para kandidat calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan juga membacakan sumpah dan aturan saat masa kampanye berlangsung (http://news.analisadaily.com/read/masa-kampanye-pilkada-kotamedan-dimulai/170059/2015/09/12). APK Didanai KPU Beda dari Pilkada sebelumnya, kali ini semua Alat Peraga Kampanye (APK) mulai dari cetak, pemasangan sampai 215 pencabutan disediakan dan dilaksanakan langsung oleh pihak KPU. Ketua KPU Medan, Yenny Chairiah Rambe SH, dalam sambutannya berharap kepada semua Paslon Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta pendukung untuk mentaati aturan kampanye yang ditetapkan KPU. "Kita berharap Pilkada ini berjalan dengan aman, tentram dan damai," ungkap Yenny dalam sambutannya saat melepas konvoi karnaval. Acara kemudian ditutup dengan penandatanganan janji dan pelepasan burung merpati oleh calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota sebagai simbol bahwa kampanye damai Pilkada Medan telah berlangsung (http://news.analisadaily.com/read/masa-kampanye-pilkada-kotamedan-dimulai/170059/2015/09/12). Dana Kampanye KPU Kota Medan menerima Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dua pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan, Rabu (26/8/2015). LADK pasangan Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma sebesar Rp 220 juta, sedangkan pasangan Dzulmi Eldin-Akyhar Nasution sebesar Rp 151,5 juta. Jadi, dana awal kampanye kedua calon mencapai 371 juta rupiah. Komisioner KPU Medan, Pandapotan Tamba, mengatakan bahwa dana awal kampanye tersebut hanya bisa digunakan untuk kampanye yang bersifat dialog tatap muka, rapat terbatas, atau kegiatan-kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan. Setelah masa kampanye berakhir, KPU akan meminta laporan pengeluaran dana kampanye tersebut dan akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Dijelaskan Pandapotan, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2015, KPU akan memasang baliho di lima titik untuk masing-masing pasangan calon. "Sementara umbul-umbul akan dipasang sebanyak 20 di tiap kecamatan dan spanduk sebanyak dua buah di tiap kelurahan," katanya. Adapun titik lokasi pemasangan baliho pasangan Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution yakni di Jalan Sumatera Kecamatan Medan Belawan, Jalan Letda Sujono-Simpang Aksara 216 Kecamatan Medan Tembung, Jalan Pinang Baris Simpang Kampung Lalang Kecamatan Medan Sunggal, Jalan Setia Budi Simpang Pemda Kecamatan Medan Selayang, dan Jalan Marelan Pasar V Kecamatan Medan Marelan. Sedangkan lima titik lokasi pemasangan baliho pasangan Ramadhan-Eddie yakni di Jalan Marelan Pasar V Kecamatan Medan Marelan, Jalan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan, Jalan T. Amir Hamzah Simpang Griya Riatur Kecamatan Medan Helvetia, Jalan Sisingamangaraja Simpang UISU Kecamatan Medan Kota, dan Jalan Jamin Ginting sebelum Perumnas Simalingkar Kecamatan Medan Tuntungan (http://www.dnaberita.com/berita-4961-inilah-dana-kampanyedua-paslon-di-pilkada-medan.html). Masa Kampanye Masa kampanye dimulai pada tanggal 27 Agustus 2015 dan berakhir pada tanggal 5 Desember 2015 (http://news.detik.com/berita/2909724/ini-tahapan-pentingpilkada-2015#). Kampanye BENAR (Bang Eldin-Akhyar) Di masa kampanye ini, belasan ribu massa memadati kampanye akbar pasangan calon Wali Kota Medan nomor urut 1 Bang Eldin-Akhyar (BENAR) di lapangan Sepak Bola Pasar V Marelan, Kelurahan Rengas Pulau, Medan Marelan, Minggu, 22/11/2015, menghadirkan artis Ibukota dalam meramaikan kampanye akbar BENAR (Harian Analisa (23 November 2015), h. 1). 217 Gambar 12. Kampanye BENAR di Lapangan Sepak Bola Pasar V Marelan Dihadapan belasan ribu massa, orasi kampanye disampaikan Politisi nasional PDIP, Maruarar Sirait, mantan Pj. Wali Kota Medan yang juga Ketua PW Nahdatul Ulama (NU) Sumut, Afifuddin Lubis, mantan Wali Kota Medan Abdillah Ak, MBA, mantan Gubernur Sumut Syamsul Arifin, serta pernyataan sikap dari ketua-ketua partai pendukung, di antaranya Partai PDIP, Partai Golkar, PKS, Nasdem, PAN, PBB, PKPI, PPP dan Perindo. Ketua Tim Pemenangan Kampanye, H.M. Syaf Lubis dalam orasinya menyatakan, pemimpin di Kota Medan tidak perlu didatangkan dari luar Kota Medan. Anak Medan saja sudah bisa membangunnya, karena anak Medan yang tahu Kota Medan. Pasangan Eldin-Akhyar adalah pasangan yang berpengalaman di Kota Medan, Eldin merupakan sosok birokrat yang berkarir di Kota Medan, dan Akhyar adalah mantan anggota DPRD Kota Medan. “Jadi sudah pas, Anak Medan pilih pemimpin yang anak Medan,” tegasnya. 218 Di suasana yang panas terik, massa kembali dibakar semangatnya untuk memilih pasangan BENAR oleh Afifuddin Lubis. Dalam orasinya, mantan Pj Wali Kota Medan itu mengatakan, Kota Medan harus dipimpin oleh orang-orang yang sudah teruji seperti Dzulmi Eldin dan Akhyar Nasution. Sebab, Eldin adalah sosok pemimpin yang tahu benar apa keinginan masyarakat. Karena Eldin sudah memulai jabatan dari tingkatan paling bawah yang dimulai dari Camat hingga Wali Kota Medan. “Sudah sepantasnya kepemimpinan dilanjutkan oleh beliau. Ngapain kita cari yang lain, yang ingin membangun Medan, sementara ia bukan tinggal di Medan,” ucapnya. Tak hanya Afifuddin, dukungan yang sama juga ditegaskan mantan Wali Kota Medan, Drs Abdillah Ak, MBA. Menurutnya, kedua pasangan tersebut adalah pasangan yang cocok dalam memimpin Kota Medan ke depan. “Ketika saya menjabat (sebagai Wali Kota Medan yang lalu), saya masih punya hutang dengan warga Medan bagian Utara. Saya titipkan amanah ini kepada Adinda Eldin dan Akhyar untuk dapat melakukan pembangunan di wilayah ini,” jelasnya. Bahkan, sambung Abdillah, dirinya akan ikut serta mengawasi jalannya roda pemerintahan agar seluruh masyarakat dapat menjadi lebih sejahtera. Sementara itu, mantan Gubsu Syamsul Arifin mengatakan, pemimpin yang benar harus tahu Kota Medan, pemilih yang benar adalah yang mencoblos pasangan BENAR nomor 1. “Inilah supaya Medan semakin benar,” katanya, setelah itu bernyanyi bersama Juwita Bahar. Sekretaris Partai NasDem Sumut yang juga mewakili Himpunan Pengusaha Etnis Tionghoa, Iskandar ST mengajak seluruh pengusaha etnis Tionghoa, memberikan dukungannya kepada Eldin-Akhyar. “Kita harus memilih pemimpin yang benar, nomor satu. Sampaikan kepada sanak famili, keluarga, dan etnis Tionghoa lainnya mari bergabung dengan kami dan mari kita dukung nomor satu yang sudah berpengalaman, jangan pilih yang tidak pengalaman, nanti kerjanya tidur,” sebutnya. Di kesempatan itu, masing-masing partai pendukung juga menyampaikan berbagai orasi politiknya kepada masyarakat agar dapat memilih BENAR pada 9 Desember mendatang seperti yang diungkapkan Ketua DPD PKS Kota Medan, H. Salman Alfarisi, 219 Lc, MA, mengatakan bahwa Pilkada Kota Medan tinggal 17 hari lagi. Makanya, kepada seluruh pendukung diminta untuk melakukan pengiriman sms minimal satu hari sekali untuk menyampaikan program kerja Eldin-Akhyar dan mengajak mencoblos pada 9 Desember nanti. “Saya hanya minta satu hari, satu sms, kirimkan kepada orang-orang Medan,” ujarnya. Sedangkan, politisi nasional dari PDIP Maruar Sirait turut mengobarkan semangat masyarakat, relawan, ormas dan partai pendukung Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution di kampanye akbar tersebut. Pada saat itu, Ketua Umum Taruna Merah Putih (TMP) turut mengajak salah satu masyarakat, Riski Lubis, untuk naik ke atas pentas menyampaikan harapannya kepada calon pemimpin Kota Medan periode 2016-2021. “Saya meminta dibuka lapangan kerja bagi pengangguran,” pintanya. Program balai latihan kerja, sebut Eldin, akan dibuka untuk melatih anak-anak muda, sehingga dapat dengan mudah mereka mencari pekerjaan. Tentunya anak-anak muda yang masih pengangguran dilatih agar mereka mampu dan dapat menunjukkan kredibilitas mereka agar dapat diterima bekerja. Begitu juga pendidikan dan juga kesehatan, akan terus dilanjutkan program yang kemarin sempat tertunda. “Kita akan membangun Rumah Sakit Tipe C di Labuhan, dan ditargetkan selesai selama dua tahun berikut fasilitasnya juga. Kemudian kita akan bangun pula sekolah SMA Negeri di Medan Deli,” timpal Akhyar menjawab. “Apakah memang betul itu Bang? Bukan Janji,” tanya Maruar kembali. “Begini Bang, sebelum saya mengundurkan diri dari jabatan Wali Kota, itu sudah saya programkan, tinggal melanjutkan saja. Selama ini, pendidikan kita wajib belajar 9 tahun, dan sekarang akan kita tingkatkan menjadi 12 tahun,” jawab Eldin kembali dan disambut riuh tepuk tangan. Terakhir, Maruar Sirait kembali mencecar pertanyaan kepada Eldin-Akhyar bagaimana menjaga kerukuran agama dan etnis di kota majemuk ini dan bagaimana pula komitmennya ke depan. “Kami sengaja menciptakan tagline Medan Rumah Kita. Siapapun dan dari etnis mana saja selama ia orang Medan, 220 mendapat kesempatan untuk bersama-sama kami membesarkan kota ini. Karena Medan ini adalah rumah kita dan kitalah yang tahu kemana mau dibawa Medan ini,” jawab Eldin kembali. “Saya lahir di Medan, Bang. Saya bekerja di Jakarta. Kalau saya punya KTP dan memilih di Kota Medan, maka saya akan memilih Bang Eldin-Akhyar. Saya sangat yakin keduanya punya arah dan tujuan. Apakah saudara-saudara juga yakin apa yang saya rasakan?,” tanya Ara panggilan akrab Maruar Sirait dan dijawab ‘yakin’ oleh seluruh massa yang hadir. Mendengar jawaban keyakinan dari massa pendukung, Maruar pun meminta agar seluruhnya mengangkat dan mengepalkan tangan ke atas sembari dituntun mengikrarkan tekad dukungan untuk memenangkan pasangan No. 1 Bang Eldin-Akhyar dengan cara yang benar, dengan tujuan yang benar, dan dengan manfaat yang benar bagi rakyat Medan. “Kami akan bekerja keras, berjuang, simpatik, banyak senyun, tidak marah, sehingga rakyat Medan akan ikut dengan pasangan nomor satu,” ungkapnya diikuti massa yang hadir. “Kami yakin, di tangan pasangan BENAR, Medan akan lebih baik dan lebih benar. Saya yakin, rakyat bersama Abang, saya doakan Abang bisa menjadi pemimpin yang amanah. Saya ucapkan selamat dan saya minta agar kader PDIP juga tekadkan dengan total untuk memenangkan pasangan BENAR,” tegasnya. Sementara itu, usai melaksanakan kampanye akbar, Eldin mengungkapkan niatnya untuk memulai pembangunan dari utaranya Medan secara terukur dan terarah, sehingga masyarakat turut merasakan kehadiran pemerintah. “Rumah sakit dan sekolah, juga akan kita laksanakan. Begitu juga dengan objek pariwisata Danau Siombak, sehingga kehadiran objek pariwisata tersebut dapat mengangkat harkat martabat masyarakat,” tandasnya. Usai berorasi, seluruh massa kembali dihibur oleh Juwita Bahar dan Rahman KDI (http://waspada.co.id/medan/kampanyeakbar-benar-anak-medan-pilih-putra-medan-asli/). Kampanye REDI (Ramadhan-Eddy) Calon Wali Kota Medan nomor urut 2, Ramadhan Pohan larut dalam semangat berolahraga bersama para Lansia yang sangat enerjik mengikuti senam pagi olah pernafasan. 221 Gambar 13. Ramadhan Pohan Semangat Olahraga Bersama Lansia Sekira 200 Lansia mengikuti senam pernafasan yang dipusatkan di Lapangan Volly Jalan Sukmawati/Jalan Bakti samping Kantor Lurah Pasar Merah Timur, Rabu (28/10/2015). Senam olah pernafasan Lansia ini diselenggarakan oleh Persatuan Olahraga Pernafasan Indonesia (Porpi) yang tujuannya untuk menyehatkan para Lansia sekaligus menaikkan angka harapan hidup Lansia. Zubairuddin, Wakil Ketua Porpi Medan, didampingi Wakil Ketua 1 Wilda mengatakan, meskipun anggota Porpi ini rata-rata Lansia, namun mereka masih terlihat sangat enerjik. Kedatangan Ramadhan Pohan yang ikut senam pagi olah pernafasan bersama para Lansia telah memotivasi para Lansia untuk tetap bersemangat dalam menyongsong perubahan yang ditawarkan Ramadhan-Eddie. “Keinginan kami Pak Ramadhan tidak lah muluk-muluk, kami hanya ingin sebagai Lansia, nasib kami diperhatikan. Karena kami juga memiliki andil besar dan peran dalam pembangunan Kota Medan,” sebut salah seorang Lansia. Menurut Zubairuddin, sudah saatnya Pemko Medan memberikan perhatian serius terhadap keberadaan Lansia. Seperti halnya di negara maju, Lansia mendapat jaminan dari negara. “Harapan kami Lansia juga harus mendapat perhatian yang layak dan mendapat perlindungan serta jaminan dari negara. Jangan sampai hidup Lansia terlunta-lunta,” sebutnya. Sedangkan Wilda menyebutkan bahwa kegiatan senam pagi olah pernafasan Lansia ini rutin diadakan setiap pagi hari di kawasan lapangan Asia Mega Mas. 222 Namun kali ini, lanjutnya, terkait dengan menyambut 1 Muharram dan juga peringatan Sumpah Pemuda, senam olah pernafasan diadakan dengan jumlah peserta yang lebih besar dan dipusatkan di lapangan volly Pasar Merah Timur. Sementara itu Ramadhan Pohan yang sangat kagum dengan semangat para Lansia ini mengatakan aspirasi Lansia akan menjadi perhatiannya. “Kita memang tidak boleh lupa dengan peran dan jasa dari para Lansia ini. Ke depannya, jika kelak saya terpilih, Insya Allah, akan ada perubahan. Dan saya berupaya akan mengusulkan adanya jaminan perlindungan dan kesejahteraan buat Lansia,” sebutnya (http://waspada.co.id/pilkada/ramadhan-pohan-janji-perhatikanlansia/). 7. Pencoblosan Eldin Mencoblos Calon Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin memberikan hak suaranya dalam Pilkada di TPS 36 Komplek Citra Wisata, Kelurahan Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor, Rabu. Dzulmi Eldin datang ke TPS sekitar ukul 08.30 bersama istrinya Rita Maharani serta dua anaknya Tengku Edriansyah Rendy dan Tengku Via Karina Nabila yang semuanya mengenakan pakaian hitam putih. Sebelum berangkat ke TPS, Eldin bersama istri terlebih dulu sungkeman kepada ibu mertuanya Chairani Mozasa yang terpaksa tidak dapat menyalurkan hak suaranya karena sakit yang dideritanya. Usai sungkeman, Dzulmi Eldin bersama istri dan kedua anaknya dengan berjalan kaki berangkat ke TPS 36 yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumah dengan diiringi kumandang azan. Di TPS, Eldin bersama keluarga langsung mengambil posisi daftar antrean sebelum dipanggil oleh petugas PPS untuk memberikan hak suaranya. 223 Gambar 14. Eldin dan Istri Mencoblos Usai memberikan hak suaranya, Eldin mengatakan dirinya berharap semua masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih pada Pilkada Medan dapat memberikan hak suaranya, karena suara yang diberikan sangat berarti terhadap kesuksesan pesta demokrasi itu. Ia juga mengatakan, layaknya sebuah pertandingan, tentunya ada yang kalah dan menang, bagi yang menang tidak langsung berbangga hati dan bagi yang kalah tidak putus asa dan mencari-cari kesalahan lawannya. "Tiap pertandingan ada menang, ada kalah. Mari kita sikapi dengan positif apa pun hasilnya nanti untuk kepentingan bersama. Yang menang, Inysa Allah, adalah yang terbaik untuk masyarakat," katanya. Sementara ketika ditanya peluangnya, Eldin yang maju berpasangan dengan Akhyar Nasution menyampaikan rasa optimismenya dapat tampil sebagai pemenang. "Insya Allah, kita menang. Berdasarkan survei yang kita lakukan kita menang sekitar 60 persen," tegasnya (http://www.antarasumut.com/berita/154166/dzulmi-eldinmencoblos-di-tps-36). Akhyar Mencoblos Calon Wakil Wali Kota Medan Akhyar Nasution usai menggunakan hak pilihnya di TPS 12 Lingkungan 14 Kelurahan Tanjung Mulia Kecamatan Medan Deli mengatakan, sepinya TPS ini tidak hanya terjadi pada Pilkada serentak tahun ini saja, namun pada Pilkada tahun 2010 juga terjadi. 224 Gambar 15. Akhyar dan Istri Mencoblos “Di Medan tingkat partisipasi warga juga hanya 46 persen. Sehingga menurutnya butuh kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya,” ungkapnya, Rabu (9/12). Akibat sepinya TPS, pihak panitia Pilkada seperti di kawasan Kelurahan Tanjung Mulia Kecamatan Medan Deli menggunakan pengeras suara di masjid untuk menghimbau warga sekitar segera menggunakan hak pilihnya sebelum ditutup. Tidak hanya sekali, himbauan ini dilakukan berulang kali. “Tingkat kehadiran warga masih sedikit. Terpaksa kita gunakan pengeras suara di masjid untuk memanggil warga agar mengunakan hak pilihnya. Kita juga menghindari golput,” ucap Ketua KPPS Dewi yang ditemui di sela-sela kesibukannya. Seperti diketahui, calon Wakil Wali Kota Medan Akhyar Nasution mencoblos bersama keluarganya. Ia dan istrinya berada di dalam satu TPS sementara ibu dan anaknya berada di TPS 13 yang tidak jauh dari TPS tempat Akhyar mencoblos. Kepada awak media Akhyar mengaku, TPS tempat ia memilih saat ini merupakan kampung kelahirannya sehingga ia yakin unggul di kawasan itu. “Saya yakin unggul di TPS ini,” singkatnya (http://waspada.co.id/pilkada/akhyar-unggul-di-tpsnya/). REDI Tidak Mencoblos Pencoblosan di Pilkada Medan 2015 yang digelar Rabu 9 Desember 2015, dipastikan tidak mengikutsertakan pasangan calon nomor urut 2, REDI (Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma). Pasangan REDI tidak ikut mencoblos di hari pemungutan suara disebabkan keduanya bukan merupakan penduduk Kota Medan, melainkan warga Jakarta. 225 “Bang Ramadhan Pohan dan Eddie Kusuma masih pegang KTP Jakarta. Jadi belum masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Medan 2015,” ucap seorang tim pemenangan REDI yang minta namanya tidak dipublikasikan, Selasa (8/12/2015). Sementara itu, Komisioner KPU Medan, Pandapotan Tamba yang dihubungi terpisah mengaku belum mendapat informasi terkait pasangan REDI yang tidak akan mencoblos di Pilkada Medan lantaran keduanya bukan warga penduduk kota ini. “Saya belum melihat data. Ada datanya itu. Nantilah. Saya tidak tahu mereka coblos di mana nanti salah pula,” ujarnya (http://binnekamedia.com/binnekanews/medan-news/pilkadamedan-ini-alasan-pasangan-redi-tak-ikut-mencoblos). 8. Kemenangan BENAR Proses hitung cepat atau quick count Pilkada Medan hampir mendekati akhir. Salah satu pasangan calon hampir dipastikan menjadi pemenang. Berdasarkan quick count Indo Barometer yang bekerjasama dengan Liputan6.com, Rabu (9/12/2015), dari suara masuk 94.00%, pasangan nomor urut 1 Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution memimpin sementara dengan perolehan suara 72.01%. Sementara, pasangan nomor urut 2 Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma meraih 27.99% (http://pilkada-serentak2015.liputan6.com/read/2385822/quick-count-pilkada-medandzulmi-eldin-ungguli-ramadhan-pohan). Menurut pantauan Harian Waspada, Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution menang telak (tak pelak lagi), dalam Pilkada Kota Medan priode 2016-2021. Hasil sementara ini di setiap kecamatan pasangan ini menang. Pantauan Wartawan di Posko Pemenangan pasangan BENAR di Jl. Sudirman Medan,Rabu (9/12/2015), sejak pukul 16:00 sudah dipadati para pendukung Eldin-Akhyar walaupun Eldin belum tiba di tempat. Sekelompok pemuda bersorak ria sambil memainkan drum band menyambut kehadiran Eldin bersama istrinya. 226 Sejumlah pemuda juga melakukan pemangkasan rambut dan menyisakan nomor 1 menandakan kemenangan Eldin. Aksi memeriahkan kemenangan Eldin-Akhyar ini berlangsung lama, sampai Eldin tiba bersama istrinya. Begitu Eldin tiba menjelang Maghrib, seketika itu juga para Tim Sukses dan simpatisan berebut mengucapkan selamat. Syukuran tersebut tampak sederhana namun sangat bermakna. Dzulmi Eldin kepada wartawan mengatakan, kemenangan pasangan Eldin-Akhyar merupakan kemenangan seluruh masyarakat Kota Medan. Diharapkannya dengan kemenangan tersebut dapat membawa Kota Medan menjadi lebih baik ke depan. “Kemenangan ini bukan milik saya sendiri, namun inilah kemenangan kita bersama. Setelah dilantik nanti, saya akan melanjutkan program-program yang sempat tertunda saat saya mundur dari Wali Kota. Marilah sama-sama membangun kota yang kita cintai ini bersama-sama,” ujarnya. Ketika ditanya berapa persentase kemenangannya, Eldin mengatakan 70 persen. Namun yang lebih pastinya ditunggu hasil dari KPU Kota Medan.Terkait jumlah pemilih yang rendah, Eldin mengatakan, akan melakukan evaluasi sehingga masa mendatang bisa lebih baik. “Nanti akan kita evaluasi di mana penyebabnya sehingga tingkat partisipasi pemilih rendah,” ujarnya (Harian Waspada (10 Desember 2015), h. A1). Banyak kalangan berkomentar bahwa kemenangan BENAR disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat lebih mengenal Eldin dan Akhyar daripada Ramadhan dan Eddie, apalagi Eddie adalah etnis China dan beragama Bhudda, sedangkan Eldin adalah Wali Kota Medan, beragama Islam, dan orang Medan; dan Akhyar orang Medan juga dan beragama Islam. Masyarakat tidak begitu kenal dengan sosok RamadhanEddie (REDI). KPU Kota Medan Tetapkan Pasangan BENAR Menang, Saksi REDI Pulang Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan menggelar rapat pleno rekapitulasi hasil perhitungan suara di Hotel Tiara, Jalan Imam Bonjol Medan, Sumut, Rabu (16/12/2015). Hasilnya, pasangan Eldin-Akhyar menang telak atas Ramadhan Pohan- 227 Eddie Kusuma dari total pemilih yang tercatat di daftar pemilih sebanyak 1.985. 096 pemilih. Untuk pasangan nomor urut 1, Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution mendapatkan 346.406 dari 483.014 suara sah. Sedangkan pasangan nomor urut 2, Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma mendapatkan 136.608 suara. Sementara, suara tidak sah 24.336. Dalam rekapitulasi ini, saksi untuk pasangan calon nomor urut 2 sempat hadir, namun tiba-tiba mereka keluar. "Ya mereka sempat hadir, namun dalam proses, saksi nomor urut 2 keluar tanpa memberitahukan ke kita apa alasannya keluar," kata Komisioner KPU Medan Pandapotan Tamba kepada wartawan di lokasi. Pandapotan menjelaskan, apabila saksi untuk pasangan calon nomor urut 2 tak bersedia menandatangan hasil perolehan, maka dianggap sah. Sementara nomor urut 1 hadir dan Panwas menerima sesuai datanya. "Tingkat partisipasi pemilih di Kota Medan 25,5 persen. Artinya, pengguna golput lebih tinggi," ujarnya. Dalam rekapitulasi ini, pihak kepolisian dari Polresta Medan membuat pengamanan 3 lapisan. Pengamanan itu yakni di luar gedung, pintu masuk dan di dalam saat berlangsungnya acara. "Total, ada 251 personel gabungan dari Polsekta Medan Baru dan Polresta Medan," kata Kapolsekta Medan Baru, Kompol Ronny Nicholas kepada wartawan. Hingga acara usai, proses rekapitulasi berjalan aman dan kondusif. Untuk penetapan hasil rekapitulasi, KPU Medan akan menyampaikannya pada malam nanti (http://www.suaramedan.com/2015/12/kpu-kota-medan-tetapkanpasangan-benar.html). 9. Rendahnya Partisipasi Masyarakat Pemerintah Kota (Pemko) Medan Sumatera Utara mengatakan bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2015 sangat rendah. Menurut prediksi hanya sekitar 24 persen, sisanya memilih untuk tidak memberikan suara atau golongan putih (golput). 228 Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan Divisi Teknis Penyelenggaraan, Pandapotan Tamba, mengaku terpukul dengan rendahnya angka partisipasi Pilkada Medan 2015. "Kami juga terpukul dengan rendahnya partisipasi, ada apa ini," kata Pandapotan, Rabu (9/12/2015). Diketahui jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Medan sebanyak 1.985.096 pemilih. Berdasarkan hasil perhitungan sementara dari salah satu tim pasangan calon, yakni jumlah suara dari 1.878 TPS, baru 307.651 suara yang terkumpul hingga pukul 17.25 wib. Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Medan, Raden Deni Atmiral mengatakan bahwa pihaknya menerima laporan dari sejumlah petugas pengawas di lapangan, di mana angka partisipasi pemilih di sejumlah TPS hanya mencapai 30 persen. Raden menyampaikan tiga faktor yang menurutnya juga mempengaruhi rendahnya angka partisipasi pemilih. "Pertama itu verifikasi faktual, melalui pencocokan dan penelitian. Kedua, soal penyempurnaan DPT yang terus kita minta perbaiki. Misalnya yang tidak lagi di tempat, meninggal, ganda dan fiktif. Itu kan mempengaruhi persentase pemilihan," sebutnya. Menurutnya, faktor ketiga adalah penyebaran formulir pemberitahuan memilih atau C6 kepada pemilih oleh petugas KPPS. Dilaporkan hingga Selasa (8/12) malam, masih banyak warga yang belum menerima formulir tersebut. "Kita terima laporan masih banyak C6 yang belum disampaikan," ungkapnya. Dilansir dari RiauPos.co, dari sejumlah TPS di Kelurahan Bandar Selamat Kecamatan Medan Tembung, yakni TPS 13 dan 14, jumlah pemilih memberikan hak suaranya sebesar 187 dan 119 dari 750 jumlah DPT per TPS. Sedangkan untuk TPS 9 Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas, partisipasi pemilih mencapai 140 orang dengan DPT sebanyak 700 pemilih. Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan mengaku prihatin melihat kondisi rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada di 229 Kota Medan tersebut. Dirinya berharap kenyataan ini menjadi evaluasi bagi partai politik dan KPU. "Kita tidak tahu pasti alasannya menurun, apakah kurangnya sosialisasi, pengerahan massa terbatas atau calon kepala daerah yang tidak mau lagi pakai politik uang sementara masyarakat mungkin juga masih berharap itu, kita tidak tahu. Tetapi memang ini kan pertama kali dilaksanakan. Tentunya akan banyak kelemahan," ujarnya. Disebutkan Trimedya, jika partisipasi pemilih rendah, tidak menutup peluang bahwa legitimasi para calon terpilih nantinya juga rendah. Sementara itu, Pj. Wali Kota Medan, Randiman Tarigan mengatakan tingkat partisipasi masyarakat Kota Medan pada Pilkada serentak kali ini menghawatirkan. Sebab, persentase angka pemilih hanya 24,2 persen sedangkan golongan putih (golput) alias yang tidak memilih mencapai 75,8 persen. "Kita harus akui, partisipasi masyarakat dalam Pilkada kali ini sangat rendah. Infromasi dari desk Pilkada bahwa persentase masyarakat yang memilih hanya 24,2 persen," ujar Randiman Tarigan. Mantan Kepala Dinas Pendapatan Medan itu tidak yakin apabila informasi tentang agenda Pilkada tidak sampai ke telinga masyarakat. Apalagi, pemerintah telah memutuskan bahwa pelaksanaan Pilkada menjadi libur besar. "Memang masyarakatnya yang tidak mau datang ke TPS, pemerintah sifatnya hanya menghimbau, tentu permasalahan ini akan kita evaluasi bersama KPU Medan nantinya," tutupnya (http://faktariau.com/mobile/detailberita/2373/pj-walikotamedan:-75,8-persen-masyarakat-memilih-golput.html). Di sini, penulis memberikan masukan-masukan untuk KPU Kota Medan mengenai sosialisasi Pilkada Kota Medan dan hal-hal yang berhubungan dengannya, sebagai berikut: a. Mensosialisasikan Pilkada Kota Medan dengan melibatkan akademisi dari disiplin ilmu komunikasi, sosiologi dan politik untuk melakukan sosialisasi dan penelitian secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan berbagai teori, model dan formula komunikasi, seperti teori kultivasi, uses and gratifications model (model penggunaan dan kepuasan), two step flow model (model komunikasi dua tahap), 230 b. c. d. e. f. g. Lasswell’s formula (formula Lasswell), dan lain-lain, disertai anggaran dana yang mencukupi. Sosialisasi dan penelitian dilaksanakan sepanjang tahun, dan tidak hanya ketika menjelang Pilkada saja. Mensosialisasikan profil bakal calon Walikota dan Wakil Wali Kota Medan. Kalau semua bakal calon tersebut dinilai masyarakat kurang baik, seperti pernah terlibat KKN, mantan preman, dan seterusnya, maka masyarakat dihimbau untuk memilih bakal calon yang paling sedikit kesalahannya. Meyakinkan masyarakat bahwa setiap daerah itu wajib ada pemimpin yang membawa mereka ke arah yang lebih baik. Tidak mungkin suatu daerah tidak ada pemimpinnya. Sedangkan pemilihan pemimpin daerah dilaksanakan melalui Pilkada langsung, umum, bebas dan rahasia. Pendataan pemilih seakurat mungkin. Meramalkan hal yang mungkin terjadi di luar perkiraan, tapi masih bisa dipikirkan jauh-jauh hari karena adanya pengalaman masa lalu, seperti penggunaan KTP Kota Medan bagi pemilih yang tidak terdata. Penggunaan KTP Kota Medan bagi pemilih yang tidak terdata ini harus disosialisasikan pada masa sosialisasi Pilkada Kota Medan. Sosialisasi Pilkada Kota Medan harus melibatkan media komunikasi secara optimal, seperti media cetak dan elektronik, media sosial, media komunikasi antarpribadi (seperti tokoh masyarakat), dan seterusnya. C. Konflik dalam Pemilihan Wali Kota Medan 1. Pengertian Konflik Karl Marx merumuskan pandangannya mengenai konflik, yaitu: a. Konflik adalah keadaan di mana struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang yang berada dalam kelas yang berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang dan bentuk kesadarannya, serta berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. 231 b. Memberi tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya kepemilikan alat produksi. c. Memuat ide yang kontroversial mengenai sistem dua kelas yang digunakan dalam analisisnya, khususnya ramalannya mengenai pertumbuhan yang semakin melebur antara kelas borjuis dan kelas proletar. d. Tidak akan terjadi perubahan struktur sosial yang utama kecuali dengan revolusi (Hikmat:2011:89). Stuart berpendapat bahwa bila suatu konflik tidak terpecahkan maka akan menimbulkan ketegangan di dalam masyarakat dan ketegangan antarindividu sehingga perilaku yang sebelumnya profesional akan menjadi perilaku yang tidak profesional (Stuart:1995:332). 2. Proses Konflik dalam Pemilihan Wali Kota Medan Kuasa Hukum Tim Pemenangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan, Ramadhan-Eddie (REDI) meminta Mahkamah Konstitusi menilai Pilkada Medan 9 Desember lalu cacat hukum dan harus dilakukan Pilkada susulan. Hal itu dikatakan kuasa hukum Tim REDI, Andi Muhammad Asrun saat sidang pemeriksaan pendahuluan di MK. Menurut Andi, penyelenggaraan Pemilu baru kali ini mengandung cacat formal, tidak memenuhi syarat peraturan perundang-undangan. “Bahwa Pemilu Wali Kota Medan ini tidak memenuhi syarat partisipasi, partisipasi hanya sekitar 20%. Tidak memenuhi syarat Pasal 122 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Tentunya kita bertanya, apa penjelasan dari pasal ini, konteksnya apa? Tidak ditemukan penjelasan dan kami coba rujuk kepada undang-undang sebelumnya, yaitu Pasal 120 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015,” jelas Andi yang dikutip dari risalah sidang Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor 48/PHP.KOT-XIV/2016, Kamis (7/1/2016). Dikatakan Andi, Pemilukada Wali Kota Medan tidak dapat dilaksanakan di tingkat partisipasi dari jumlah kecamatan atau 5 persen dari jumlah penduduk, pemilih terdaftar yang tidak dapat menggunakan haknya. Maka, perlu dilakukan pemilihan susulan. 232 Menurut Andi, ada persoalan penyelenggara yakni KPUD Medan tidak netral dan tidak profesional. Lantaran baru memberikan izin kepada warga yang menggunakan KTP setelah pukul 12.00 wib ke atas dengan membawa KTP. “Tetapi yang terjadi di lapangan, syarat KTP itu adalah eKTP, KTP elektronik. Padahal kita ketahui semua bahwa penyelenggaraan pengadaan KTP elektronik itu belum menyentuh seluruh penduduk Indonesia, baik kota maupun di desa. Ini di kota,” kata Andi. Dia juga menjelaskan, kalau pemilih menggunakan EKTP, maka diharap pakai card reader untuk mengklarifikasi kebenaran E-KTP tersebut. Namun, syarat-syarat teknologi ini tidak dipenuhi dalam penyelenggaraan Pemilukada Medan. Dan, menurutnya, KPU tidak memberikan sosialisasi kepada KPU di daerah. “Kami berharap Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution, ya, sebagai penjaga konstitusi dan juga the guardian of constitutional rights itu bisa memberikan perlindungan kepada warga negara. Jadi, sebagai konklusi, Yang Mulia, kami bisa katakan bahwa penyelenggara Pemilukada di Kota Medan Tahun 2015 ini bertentangan dengan azas-azas pemilu, yaitu jujur, adil, dan sebagainya,” pintanya. Mereka meminta Hakim MK untuk menyatakan batal dan tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Medan Nomor 29/KPTS/KPU-MDN/2015 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan Tahun 2015. “Menyatakan batal dan tidak sah, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Berita Acara Nomor 1731/BA/XII/2015 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Kotamadya Dalam Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota 2015.” Dalam petitumnya mereka juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kota Medan untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang di seluruh wilayah Kota Medan atau menyelenggarakan Pemilu. Pemilihan lanjutan bagi pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember 2015 (http://waspada.co.id/pilkada/kuasa-hukum-redi-tuntutpemilihan-susulan-pilkada-medan/). 233 3. Disudutkan, KPU Serang Balik REDI KPU Sumut tidak terima dituding sebagai biang kerok tingginya angka golput pada Pilkada 9 Desember lalu. Lembaga penyelenggara Pemilu ini justru menuding pasangan calon (paslon) yang tidak negarawan. “Harusnya paslon itu menunjukkan sikap negarawan yang baik, bukan terus-menerus menyalahkan KPU karena partisipasi pemilih rendah. Harus diketahui, rendahnya partisipasi pemilih ini bukan salah KPU, tetapi kesalahan bersama,” ujar Ketua KPU Sumut, Mulia Banurea, kepada KORAN SINDO MEDAN , kemarin. Mulia mengklaim, KPU Sumut hingga KPU kabupaten/kota selama ini sudah maksimal melakukan sosialisasi. Bahkan, sosialisasi dilakukan dengan cara door to door. Waktu sosialisasi pun tergolong tidak sedikit. Ia mengatakan, KPU sudah melakukan sosialisasi Pilkada sejak 1 Maret hingga pelaksanaan Pilkada 9 Desember. Daftar pemilih juga sudah dicocokkan dengan data e-KTP dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Data dari e-KTP itu kemudian dijadikan sebagai daftar pemilih sementara (DPS) dan dipajang di tempat-tempat publik, seperti kantor lurah, desa, kepala lingkungan (kepling), kantor camat, dan balai desa. Dengan begitu, warga dapat melihat dengan jelas, dan jika namanya tidak masuk DPS bisa melapor kepada kepling. Setelah itu, baru KPU mengeluarkan daftar pemilih tetap (DPT). Meski begitu, warga yang tak terdaftar dalam DPT masih diberikan kesempatan memilih dengan hanya menunjukkan kartu identitas. KPU juga, kata dia, sudah memfasilitasi paslon yang bertarung untuk tatap muka dengan masyarakat. Lalu, diberikan waktu kampanye, baik tatap muka, rapat umum, membagikan selebaran, maupun menggunakan alat peraga kampanye. Selain itu, lanjut Mulia, KPU sudah merekrut lima segmen di masyarakat untuk melakukan sosialisasi. Kelima segmen itu, yakni pemilih pemula, perempuan, tokoh agama, penyandang disabilitas, serta kaum marjinal. Kelima segmen ini turut serta melakukan sosialisasi secara door to door. “Kalau hasilnya juga tidak signifikan, itu bukan salah KPU. Tetapi sudah 234 sangat jelas, kalau masyarakat yang apatis (kepada paslon),” tandasnya. Pengamat politik dari Universitas Sumatara Utara (USU), Taufan Damanik, menilai bahwa KPU memang bertanggungjawab terhadap rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak 2015. Namun, publik juga tak bisa serta-merta sepenuhnya menyalahkan lembaga penyelenggara Pemilu itu. Karena itu, harus ada kajian kenapa masyarakat enggan datang ke TPS untuk memberikan hak suaranya. “Kalau sosialisasi saya rasa sudah cukup yang dilakukan KPU. Sebab, zaman sekarang (teknologi) sudah cukup canggih, informasi dengan cepat bisa sampai. Tidak mungkin sampai 70% lebih masyarakat tidak tahu soal pelaksanaan Pilkada serentak ini,” kata Taufan. Menurut dia, sikap apatis yang membuat masyarakat enggan datang ke TPS memberikan pilihan kepada paslon. Terlebih, saat hari pencoblosan, pusat-pusat perbelanjaan serta tempat liburan di Kota Medan ramai dikunjungi masyarakat. Secara tidak langsung hal itu menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih berlibur daripada ke TPS untuk memberikan hak suaranya. “Ini harus menjadi evaluasi bersama, baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun lembaga lainnya. Bagaimana supaya ke depannya sikap apatis masyarakat untuk memilih ini jangan sampai terjadi lagi. Sebab, ini sangat merugikan masyarakat,” ujarnya. Sebelumnya, banyak pihak menyalahkan KPU atas rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Sumut, khususnya Kota Medan yang hanya 26,67%. Mulai dari Pelaksana Tugas Gubernur Sumut, Tengku Erry Nuradi, kedua paslon, para tim sukses, partai pengusung, semuanya menyalahkan KPU yang tidak maksimal melakukan sosialisasi. Selain itu, tidak harmonisnya hubungan KPU Kota Medan dengan media massa membuat sosialisasi Pilkada kurang maksimal. Terpisah, Sekda Sumut, Hasban Ritonga, menilai bahwa partisipasi pemilih dalam pilkada 9 Desember lalu memang sangat minim. Karena itu, ia meminta KPU mengevaluasi metode sosialisasi yang dilakukan selama ini. “Memang partisipasi pemilih kita masih kurang menggembirakan dibandingkan daerah 235 lain. Makanya ke depan kami harap ada evaluasi, terutama untuk metode sosialisasinya,” tandasnya (http://www.koransindo.com/news.php?r=5&n=6&date=2015-12-12). 4. PT TUN Tolak Gugatan REDI Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan dalam putusannya menolak gugatan yang diajukan penggugat, yakni pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan nomor urut 2, Ramadhan-Eddie (REDI) dalam persidangan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan. “Majelis hakim tidak dapat menerima gugatan yang diajukan penggugat dan mengabulkan keberatan tergugat bahwa pihak PT TUN Medan tidak berwenang memeriksa pokok perkara sengketa yang disidangkan,” ucap Ketua Majelis Hakim, HA Sayuti, didampingi hakim anggota, Maskuri dan Disiplin F. Manao, Selasa (12/1/2016). Selain tidak dapat menerima gugatan yang diajukan penggugat, Majelis Hakim Tinggi TUN Medan juga menghukum REDI untuk membayar perkara sebesar Rp 201.000. Usai mendengarkan putusan, Hasanuddin Batubara selaku penasehat hukum pasangan REDI mengajukan kasasi atas putusan hakim PT TUN Medan. “Kita kasasi, sebab menurutnya gugatan yang diajukan adalah pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh KPU Medan. Di mana adanya rekomendasi yang diajukan Panwaslu Medan agar penghitungan dilakukan pada 18 Desember akan tetapi KPU Medan melakukan penghitungan pada 16 Desember 2015,” jelasnya. Hasanuddin berkeyakinan di tingkat kasasi nanti, Hakim Agung mengerti dengan gugatan itu. Terutama soal surat rekomendasi Panwaslu Medan kepada KPU Medan. “Karena KPU mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti setiap rekomendasi dari Panwas. Itu jelas tercantum dalam Pasal 13 UU tahun 2015. Apa itu rekomendasi dari Panwas? Panwaslu Medan meminta agar rekapitulasi suara ditunda, namun tidak dilaksanakan KPU Medan,” ketusnya. Untuk diketahui, KPU Medan telah selesai melakukan rekapitulasi suara Pilkada Kota Medan pada 16 Desember 2015. 236 Dari hasil rekapitulasi itu, dalam Pilkada Medan, ada sebanyak 1.985.096 DPT, kemudian DPTB1 2.236. Pengguna hak pilih suara sebanyak 507.351 pemilih dengan jumlah surat suara yang dipakai 507.351 (http://waspada.co.id/fokus-redaksi/pt-tunmedan-tolak-gugatan-redi-ajukan-kasasi/). 5. Penanggulangan Konflik Alo Liliweri menyebut beberapa istilah dalam penyelesaian konflik secara umum sebagai berikut: a. Pencegahan konflik; bertujuan untuk mencegah timbulnya kekerasan dalam konflik. b. Penyelesaian konflik; bertujuan mengakhiri kekerasan melalui persetujuan perdamaian. c. Pengelolaan konflik; bertujuan membatasi atau menghindari melalui atau mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk berlaku positif. d. Resolusi konflik; bertujuan menangani sebab-sebab konflik atau berusaha membangun hubungan baru yang relatif dapat bertahan di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan. e. Transformasi konflik; mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan ke kekuatan positif. f. Manajemen konflik; tindakan yang direncanakan, diorganisasikan, disegerakan, dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik (Liliweri:2005:288). Konflik dalam Pilkada Kota Medan adalah sangat rendahnya partisipasi masayarakat. Menurut KPU, partisipasi rendah itu bukan pelanggaran. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Husni Kamil Manik menegaskan, Pilkada ulang dan susulan atau pemungutan suara ulang hanya bisa dilakukan jika ada pelanggaran. “Sedangkan rendahnya partisipasi masyarakat pemilih bukanlah pelanggaran,” kata Husni di sela-sela peninjauan. Dia menjawab itu terkait adanya pengusulan Pilkada susulan dari pasangan calon (paslon) Wali Kota/Wakil Wali Kota Medan Ramadhan-Eddie (paslon no. urut 2) dalam Pilkada Kota Medan, Rabu (9/12/2015). Alasan paslon ini adalah adanya UU No. 8/2012 serta partisipasi masyarakat pemilih yang tidak 237 mencapai 50 persen lebih (Harian Waspada (13 Desember 2015), h. A1). “Kan tidak ada pelanggaran dalam Pilkada Kota Medan, dan kalaupun partisipasi masyarakat rendah, bukanlah pelanggaran,” tegas Husni. Tegasnya, pemungutan suara susulan hanya bisa dilakukan jika ada pelanggaran. Ini pun dilakukan harus melalui proses, benar ada atau tidaknya pelanggaran tersebut (Harian Waspada (13 Desember 2015), h. A2). D. Evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan: Pendekatan Psikologi Komunikasi Mengenai Krisis Kepercayaan Rakyat Terhadap Kepala Daerah 1. Mewujudkan Persepsi Positif Terhadap Pemerintah a. Pelayanan Birokrasi yang Profesional Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayan masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat dan menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya (Rasyid:1998:139). Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi” seperti dikemukakan oleh Wilson, menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (Widodo:2001:245). Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan untuk melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki kewenangan secara umum disebut “discretionary power”, 238 yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan “secara baik dan tidak secara buruk”. Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/). Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto, bahwan etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan kepada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas (Dwiyanto, et, al:2002:188). Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari public service tersebut demi mensejahterakan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Widodo mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan (Widodo:2001:269). b. Etika dan Konsep Etika Pelayanan Publik Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, dan referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam 239 menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/). Leys berpendapat bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada. Selanjutnya, Anderson menambahkan suatu poin baru bahwa standar-standar yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani. Berikutnya, Golembiewski mengingatkan dan menambah elemen baru yakni standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan standar-standar perilaku tersebut dan bertindak sesuai dengan standar tersebut (Keban:1994:51). Beberapa konsep mengenai etika pelayanan publik sebagai berikut ini: 1) Etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau normanorma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik (Kumorotomo:1992:7). 2) Etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaankebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik (Putra dan Arif:2001:27). 3) Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus 240 diarahkan kepada pilihan-pilihan kebijakan yang benarbenar mengutamakan kepentingan masyarakat luas (Dwiyanto, et, al:2002:188). 4) Darwin (1999) mengartikan etika birokrasi (administrasi negara) sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi. Selanjutnya dikatakannya bahwa etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah efesiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/me wujudkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etikapelayanan-publik/). 5) Etika administrasi negara adalah wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara (Widodo:2001:241). Acuan Tugas Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, yakni: 241 1) Efisiensi Nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin (1999), mereka akan menggunakan dana publik (public resources) secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara berikan kepada organisasi”. 2) Membedakan Milik Pribadi dengan Milik Kantor Nilai ini dimaksudkan supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi. 3) Impersonal Nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat penghargaan. 4) Merytal System Nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai, hendaknya menggunakan merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan dan sajen yang dipersembahkan (suap), namun berdasarkan 242 pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab, dan bukan “spoil system”. 5) Responsible Nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich, responsibilitas merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan sepak terjang administrator, harus memiliki standar penilaian sendiri yang bersifat administratif atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu, pertanggungjawaban administratif menuntut administrator harus bertindak berdasarkan moral. Dalam hal ini, birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client, peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional. 6) Accountable Nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan Herman Finner (1941) nilai accountable merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh orang (masyarakat atau melalui wakilnya), dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya 243 kepada pihak yang mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik). 7) Responsiveness Nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha untuk memenuhinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan, masalah, keluhan dan aspirasi masyarakat (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/me wujudkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etikapelayanan-publik/). Selanjutnya menurut Widodo, pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Ciri-cirinya yaitu: 1) Efektif, yakni lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran. 2) Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat pengguna layanan. 3) Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: a) Prosedur tata cara pelayanan. b) Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun persyaratan administratif. c) Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan, 244 d) Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, dan jadwal waktu penyelesaian pelayanan. e) Keterbukaan mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak. f) Efisiensi mengandung arti: (1) Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada halhal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan. (2) Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait. (3) Ketepatan waktu mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. (4) Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah dan kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani. (5) Adaptif adalah cepat menyesuaikan diri terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang (Widodo:2001:270-271). c. Prinsip-prinsip Etika Pelayanan Publik Etika administrasi negara dari American Society for Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut: 1) Pelayanan terhadap publik harus diutamakan. 245 2) Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggungjawab kepadanya. 3) Hukum mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk memberi pelayanan publik. 4) Manajemen yang efektif dan efesien merupakan dasar bagi administrator publik. Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat ditolerir. 5) Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan dan dipromosikan. 6) Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan. 7) Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan. 8) Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif keputusan. 9) Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/me wujudkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etikapelayanan-publik/). Selanjutnya asas-asas etika itu dituangkan dalam sebuah kode etika yang memuat asas etika dan asas mutu yang wajib diindahkan dan dijalankan oleh para anggota perhimpunan yang menjadi administrator negara, yaitu sebagai berikut: 1) Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak pribadi, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap pranata-pranata negara. 2) Menghindari suatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam pertentangan dengan penunaian dari kewajiban-kewajiban resmi. 246 3) Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian kecakapan serta tata cara tindakan yang tidak membeda-bedakan guna menjamin kesempatan yang sama pada penerimaan, pemilihan, dan kenaikan pangkat terhadap orang-orang yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat. 4) Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah pengurusan keuangan negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang bertanggungjawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus, atau salah penggunaan yang demikian. 5) Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri. 6) Berjuang ke arah keunggulan berkeahlian perseorangan dan menganjurkan pengembangan berkeahlian dan termasuk mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi negara. 7) Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan suatu sikap yang positif dan secara membangun mendukung tata hubungan yang terbuka, daya cipta, pengabdian, dan welas asih. 8) Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang dapat diperoleh dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi. 9) Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut hukum untuk memajukan kepentingan umum atau masyarakat. 10) Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggungjawab untuk mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan masyarakat dengan kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak memihak, efisiensi, dan daya guna. 11) Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu berusaha untuk menyempurnakan konstitusikonstitusi negara serta hukum-hukum lainnya yang 247 mengatur hubungan-hubungan di antara badan-badan pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga negara (Gie:1998:31-41). d. Pelayanan dan Konsep Pelayanan Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia pasti memerlukan pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik maupun pelayanan administratif. Kaitannya dengan pelayanan publik, dalam hal ini birokrasi sebagai abdi negara, abdi masyarakat adalah sebagai aparat pelaksana pelayanan (public service) merupakan salah satu fungsi yang diselenggarakan dalam rangka penyelenggaraan administrasi negara. Pelayanan didefinisikan sebagai cara melayani, membantu, menyiapkan, dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekolompok orang, artinya objek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi, dan kelompok-kelompok organisasi (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/). Sedangkan Moenir (1992), mengatakan bahwa pelayanan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang lain secara langsung. Menurutnya secara garis besar, pelayanan yang diperlukan oleh manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu “pelayanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia” dan “pelayanan administrative yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi”. Lebih lanjut dikatakannya, pada hakekatnya, pelayanan adalah serangkaian kegiatan, karena itulah ia merupakan proses. Sebagai proses, “pelayanan” berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat. Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu: 1) Pelayanan dengan lisan. 2) Pelayanan melalui tulisan. 3) Pelayanan dengan perbuatan. 248 Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan tersebut merupakan pelayanan publik pada kantor pemerintah. Perihal bentuk pelayanan tersebut, lebih lanjut Moenir mengatakan sebagai berikut : 1) Pelayanan denganLisan Pelayanan yang dilakukan oleh petugas-petugas dibidang hubungan kemasyarakatan, bidang layanan informasi, bidang penerangan, dan bidang-bidang lainnya yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Agar pelayanan dengan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka pelaku pelayanan harus: a) Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya. b) Mampu memberikan penjelasan apa yang diperlukan dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga memuaskan mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu. c) Bertingkah laku sopan dan ramah. d) Meski dalam keadaan “sepi” tidak “ngobrol” dan bercanda dengan teman, karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas. Tamu menjadi segan untuk bertanya dengan memutus keasyikan “ngobrol”. e) Tidak melayani orang-orang yang ingin sekedar “ngobrol” dengan cara sopan. 2) Pelayanan Melalui Tulisan Pelayanan melalui tulisan merupakan bentuk yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugas, tidak hanya dari segi jumlah tetapi juga dari segi peranannya. Agar pelayanan dalam bentuk tulisan dapat memenuhi kepuasan pihak yang dilayani, perlu faktor kecepatan, baik dalam pengolahan masalah maupun dalam proses penyelesaiannya (pengetikan, penandatanganan, dan pengiriman kepada yang bersangkutan). Pelayanan tulisan terdiri dari dua golongan, yaitu: pertama, 249 pelayanan berupa petunjuk, informasi dan sejenisnya yang ditujukan kepada orang yang berkepentingan, agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi/lembaga; dan kedua, pelayanan berupa reaksi tulisan atas permohonan, laporan, keluhan, pemberian/penyerahan, pemberitahuan dan lain sebagainya. 3) Pelayanan Berbentuk Perbuatan Dalam kenyataan sehari-hari jenis pelayanan ini memang tidak terhindar dari pelayanan lisan. Jadi, merupakan gabungan antara pelayanan lisan dan perbuatan. Hal ini banyak dilakukan dalam hubungannya dengan pelayanan (kecuali pelayanan tulisan). Titik berat dari pelayanan perbuatan ini adalah terletak pada perbuatan itu sendiri yang ditunggu oleh yang berkepentingan. Jadi, tujuan utama orang yang berkepentingan adalah mendapatkan pelayanan dalam bentuk perbuatan atau hasil perbuatan, bukan sekedar penjelasan dan kesanggupan secara lisan (Moenir:2000:190-195). Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak merupakan kombinasi dari ketiga bentuk pelayanan tersebut di atas. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang menilik pada pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (Kartasasmita:1997:28). 250 e. Merubah Citra Kata “birokrasi” seringkali dipersepsikan masyarakat sebagai gambaran buram mengenai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien dan kurang efektif, sumber penyalahgunaan wewenang dan semacamnya, kendati memang secara empiris sulit dibantah adanya keadaan birokrasi yang memanifestasikan hal seperti itu. Persepsi demikian muncul karena birokrasi sebagai instrumen negara dan pemerintahan hanya dipandang dan dipahami dari dimensi realitas ketimbang dimensi netralitas. Secara kelembagaan, pemberian pelayanan kepada publik belum sepenuhnya mengembangkan prinsip kompetensi, yakni kemampuan aparat birokrasi untuk memenuhi dan mengetahui proses pelayanan yang dibutuhkan pengguna jasa. Pembedaan atas dasar afiliasi sosial kemasyarakatan juga sering dijumpai dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto, et, al:2002:196-197). Namun demikian, pemberian layanan tetap saja ditemukan pembedaan dari aparat birokrasi ditingkat bawah, di mana kecenderungan terjadi, terlihat semakin tinggi status sosial ekonomi dan semakin dekat (kekerabatan) seorang pengguna jasa, maka aparat birokrasi semakin ramah dalam melayaninya. Etika pelayanan dalam kinerja pelayanan publik diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna jasa harus ditempatkan sebagai tujuan utama. Melalui prinsip pelayanan tersebut diharapkan tidak terjadi diskriminasi dalam pemberian pelayanan, dan bersikap ramah dalam memberi pelayanan, sehingga pengguna jasa merasa memperoleh pelayanan yang sebaikbaiknya. Jika kondisi pelayanan yang demikian diciptakan maka etika pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan misi aparat birokrasi dan tuntutan masyarakat pengguna jasa (Dwiyanto, et, al:2002:201-202). 251 f. 252 Kepuasan Masyarakat Masyarakat dalam hubungannya dengan pelayanan aparatur pemerintah selalu menuntut pemberian pelayanan yang cepat, cermat maupun ramah. Untuk mencapai pada pelayanan tersebut, pemahaman perilaku birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu sebagai suatu tindakan individu bagi keberhasilan organisasi, karena individu lah yang dapat membawa tatanan birokrasi, kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, dan pengalaman untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini lebih menekankan pada pencarian cara untuk meningkatkan hasil yang efektif, sehingga pelayanan yang diberikan dapat memuaskan masyarakat dan harus berawal dari aparat birokrasi yang suka bekerja keras (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/). Menurut Tjokrowinoto, relevansi pemuasan masyarakat atas pelayanan yang disediakan birokrasi perlu diperhitungkan kompetensinya dengan mengacu kepada dua hal, yaitu pertama, birokrasi harus memberikan pelayanan publik dengan adil, menuntut kemampuan untuk memahami keadaan masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu kebijakan kemudian diimplementasikan; kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting, dari pendekatan top down yang menguasai dinamika interaksi antara birokrasi dengan masyarakat dapat mengalami perubahan menjadi hubungan horizontal (Tjokrowinoto:2001:11). Ada hal yang sangat berbahaya tapi sudah membudaya di kalangan masyarakat, yaitu mal-administrasi. Praktek mal-administrasi acapkali timbul karena bertemunya faktor niat atau kemauan dan kesempatan. Apabila ada niat dan kesempatan tidak ada maka mal-administrasi tidak akan terjadi. Begitu sebaliknya, jika kesempatan ada namun tidak ada niat maka tindakan mal-administrasi tidak terjadi. Ada dua faktor sebagai sumber penyebab timbulnya mal-administrasi yaitu: pertama, faktor internal, yakni faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya niat, kemauan, dan dorongan yang tumbuh dalam pribadi orang; kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya lemahnya peraturan, lemahnya pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/). Menurut Widodo, mal-administrasi merupakan suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi yang menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi. Ada delapan bentuk mal-administrasi, yaitu : 1) Ketidakjujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur. Misalnya mengambil uang dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari langganan (client), menarik pungutan liar, dan sebagainya. Dikatakan ketidakjujuran karena tindakan ini berbahaya dan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust), dan merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat. 2) Perilaku yang buruk (unethical behaviour). Pegawai (administrator publik) mungkin saja melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya, kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya dalam tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya familinya diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis karena mengabaikan objektivitas penilaian. 3) Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai (administrator publik) dapat mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan kepentingannya. Misalnya pegawai menggunakan mobil dinas untuk keluarga, padahal ia tahu bahwa fasilitas 253 kantor secara hukum hanya diperuntukkan bagi pegawai dan hanya untuk kepentingan dinas. 4) Favoritisme dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu. Misalnya gubernur sebagai pembina politik di wilayahnya harus bersikap netral, namun dalam Pemilu sebagai kader partai A merasa terpanggil memenangkan partai tersebut. 5) Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi. 6) Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugas secara memadai maka para administrator di situ dinilai gagal, misalnya pemborosan dana secara berlebihan. 7) Menutup-nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai menutupi kesalahannya sendiri atau bawahannya, atau menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau melarang pers meliput kesalahan instansinya. 8) Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya (Widodo:2001:259-262). Untuk mencegah atau mengatasi tindakan maladministrasi pada tubuh birokrasi, publik harus berupaya untuk tidak mempertemukan antara niat dan kesempatan tadi. Maka skala prioritas untuk mencegah dan mengatasinya adalah dengan cara pertama, perlu kontrol internal; kedua, menjunjung tinggi dan menegakkan etika birokrasi pada jajaran birokrasi publik; ketiga, kontrol eksternal dalam wujud adanya pengawasan, baik pengawasan politik dan fungsional maupun pengawasan masyarakat (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewuj udkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayananpublik/). 254 2. Penyebab Golput di Atas 50 Persen Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykuruddin Hafidz mengatakan, golput tinggi karena masa kampanye yang cukup panjang tidak dimaksimalkan kandidat. Penyebab lain, mesin partai tidak bekerja signifikan untuk mensosialisasikan pasangan calon saat kampanye. KPU belum bisa memastikan angka partisipasi pemilih di Pilkada serentak ini (https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewujudk an-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayanan-publik/). Pengamat sosial dan politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, tingginya golput di Medan disebabkan banyaknya warga yang merasa peserta Pilkada Medan 2015 tidak sesuai harapan sehingga mereka tidak punya kandidat yang ingin didukung. “Barangkali masyarakat tidak suka Eldin karena kinerjanya tidak bagus, namun kandidat lainnya Ramadhan Pohan dan Eddie Kusuma tidak dikenal secara baik oleh warga Medan,” ujarnya, Sabtu (12/12/2015). Dia menambahkan, bila Ramadhan Pohan dan Eddie Kusuma lebih dikenal, bisa jadi suara masyarakat akan beralih ke pasangan calon nomor dua. Kemungkinan lainnya adalah sentimen SARA. Belajar dari pengalaman sebelumnya, warga Medan telah menduga bahwa Wali Kota Medan terpilih akan masuk penjara lantaran korupsi, dan jika mereka memilih Ramadhan Pohan, maka secara otomatis Eddie Kusuma yang nonmuslim akan menjabat sebagai Wali Kota Medan. “Pada lain hal, Eddie Kusuma tidak setenar tokoh Tionghoa seperti Sofyan Tan. Eddie tidak punya prestasi yang mengangkat Kota Medan khususnya dalam bidang pendidikan. Apalagi, cara kampanye REDI hanya berupaya menurunkan elektabilitas Eldin,” katanya. Menurutnya, REDI memang berhasil turunkan elektabilitas Eldin sebesar lima persen. Namun gaya kampanye yang tidak santun menyababkan elektabilitas REDI juga tidak naik, sehingga jumlah pemilihnya sangat rendah. 255 Kebijakan sosialisasi Pilkada yang diambil alih KPU mempengaruhi rendahnya pengetahuan warga sehingga menciptakan warga yang enggan datang ke TPS. Kampanye politik tahun ini, katanya, tidak meriah bila dibandingkan Pemilu 2014. “Secara teknis masih banyak yang tidak memperoleh C6, kendati C6 dapat diganti dengan Kartu Tanda Penduduk. Cuma informasi tersebut tidak cukup diketahui masyarakat,” ungkapnya. Indo Barometer mengungkap, tingkat partisipasi pada pemilihan Walikota dan Wakil Wali Kota Medan hanya 26,67 persen (http://binnekamedia.com/binnekanews/medannews/pilkada-medan-ini-penyebab-golput-mencapai-7333persen). 3. KPU Pusat Evaluasi Kinerja KPU Medan Kota Medan ternyata pilot project peningkatan partisipasi pemilih untuk tingkat nasional. Namun hasilnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan justru gagal total meningkatkan partisipasi pemilih pada Pilkada yang digelar 9 Desember 2015. Partisipasi pemilih di ibu kota Provinsi Sumatera Utara ini bahkan merosot tajam apabila dibandingkan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Pada perhelatan dua Pemilu itu, partisipasi pemilih di Kota Medan mencapai 38%, sementara pada Pilkada 2015, partisipasi pemilih hanya 26,8%. Kondisi ini banyak mendapat reaksi dari sejumlah pihak. Bahkan, Ketua KPU Pusat Husni Kamil Manik tak bisa menyembunyikan kekecewaan atas rendahnya partisipasi pemilih di kota kuliner ini. Karena itu, KPU Pusat akan mengevaluasi kinerja KPU Medan. “Di sini (Medan) ada kegagalan,” ujar Husni Kamil di KPU Medan akhir pekan kemarin. Husni menyebutkan, pada pilpres tahun lalu, Kota Medan termasuk salah satu daerah rendah partisipasi pemilihnya, yakni hanya sekitar 38%. Berkaca dari situ, KPU Pusat sengaja menjadikan Medan sebagai salah satu pilot project peningkatan partisipasi pemilih secara nasional pada Pilkada serentak 9 Desember lalu. “Namun (hasilnya) justru semakin menurun. Jadi, perlu ada evaluasi,” katanya. 256 Meski kecewa dengan kinerja lembaga penyelenggara Pemilu pimpinan Yenny Chairiah Rambe itu, tapi Husni tidak terima jika KPU disebut sebagai pihak bersalah sepenuhnya atas rendahnya partisipasi pemilih tersebut. Sebab jauh hari sebelum pencoblosan, KPU sudah aktif melakukan sosialisasi. “Saya rasa pembahasan kita di sini bukan salah menyalahkan. Masalahnya apa coba kalau partisipasi pemilih rendah, bisa karena masyarakat apatis atau hal lainnya,” kata Husni. Husni Kamil datang ke Kota Medan memantau proses rekapitulasi suara. Dalam kunjungannya, Husni sempat memantau rekapitulasi suara di Kecamatan Medan Johor dan Kecamatan Medan Belawan. Di Belawan, Husni sempat singgah di rumah pintar Pemilu untuk melihat langsung program KPU tersebut. Rumah pintar Pemilu itu didirikan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pilkada. Menurut dia, tidak masuk akal jika sosialisasi yang minim disebut-sebut sebagai penyebab partisipasi pemilih rendah. Tamba pun mempersilahkan semua pihak yang merasa dirugikan oleh KPU menempuh upaya hukum. Seperti menggugat ke Mahkamah Konstitusi atau melapor ke penegakan hukum terpadu pemilihan umum (gakumdu) maupun panwaslu. “Harus diketahui, partisipasi pemilih rendah itu bukan pelanggaran Pemilu. Jadi, tidak salah kalau kami katakan jangan menyalahkan KPU di sini,” katanya. Tamba menilai sangat tidak berdasar jika ada pihak menyalahkan KPU atas rendahnya partisipasi pemilih ini. Apalagi kalau pernyataan tersebut dilontarkan pasangan calon yang bertarung. “Kita jangan mencari kambing hitam, mari samasama menghargai proses demokrasi yang telah dilakukan. Kalau toh hasilnya tidak maksimal, apa yang mau kita lakukan,” katanya. Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Faisal Mahrawa mengatakan, memang ada faktor apatisme masyarakat kepada pasangan calon sehingga partisipasi pemilihnya jauh dari harapan. Sikap apatis itu tak lepas dari merebaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah serta anggota legislatif di Sumut. Namun, kata Faisal, dengan kondisi apatis masyarakat itu, KPU Medan seharusnya lebih kreatif menarik minat warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS). 257 Dengan kreativitas itu, ia yakin bahwa masyarakat akan lebih tertarik datang ke TPS memberikan hak suaranya. “Tapi yang saya lihat KPU tidak ada kreatifnya sehingga masyarakat pun tetap apatis,” katanya (http://www.koransindo.com/news.php?r=5&n=5&date=2015-12-14). 4. Biaya yang Dikeluarkan Calon Wali Kota Sangat Besar Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap calon, baik itu calon Presiden, calon Gubernur, calon Bupati/Wali Kota, dan calon anggota MPR/DPR/DPD akan mengeluarkan biaya, mulai dari ratusan juta rupiah sampai ratusan miliar rupiah. Tentunya dana yang cukup besar ini harus mereka dapatkan kembali sebelum habis masa jabatan. Belum lagi memikirkan masa depan, kawin mne, dan lain-lain. Semua ini tidak akan tercapai dengan cara yang halal. Satu-satunya jalan adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Itulah sebabnya susah sekali memberantas KKN ini. Oleh karena itu, cara yang nyata bagi kita sekarang untuk ke depannya adalah hilangkan biaya yang dikeluarkan oleh calon yang akan dipilih oleh rakyat, dan seluruh biaya kampanye ditanggung oleh KPU, sehingga cara ini akan mengurangi motif para pejabat untuk ber-KKN ria, terutama korupsi. 5. Krisis Kepercayaan Terhadap Pejabat a. Ketidakpercayaan Masyarakat Terhadap Para Pejabat Sangat Tinggi Seiring dengan perubahan birokrasi yang telah berjalan sejak 16 tahun yang lalu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bukan semakin baik seperti yang diharapkan, namun mengalami pasang surut. Pasalnya, dengan pelaksanaan reformasi birokrasi, kondisi masyarakat tidaklah serta merta menjadi lebih baik, sehingga hanya 31,4 persen masyarakat yang menyatakan puas dengan pelaksanaan reformasi birokrasi tersebut. Data yang diperoleh oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu menyiratkan bahwa masyarakat masih pesimis dengan keberhasilan pelaksanaan berbagai agenda reformasi yang direncanakan. Ketidakpercayaan masyarakat akhir-akhir ini 258 justru rendah karena pemerintah dipandang masih gagal dalam merealisasikan berbagai rencana yang ada. Konsep kepercayaan secara umum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu political trust (kepercayaan politik) dan social trust (kepercayaan sosial). Dari perspektif politik, kepercayaan terjadi ketika warga menilai lembaga pemerintah dan para pemimpinnya dapat memenuhi janji, efisien, adil, dan jujur. Jika institusi pemerintah, pejabat publik, dan kebijakan yang dibuatnya dinilai baik oleh warga maka warga akan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah. Mereka percaya bahwa pemerintah tidak akan berbuat buruk, melainkan akan selalu melakukan tindakan yang baik meskipun tidak diawasi. Kepercayaan publik/masyarakat terhadap pemerintah menggambarkan perasaan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, sehingga jika tingkat kepercayaan tinggi maka hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sedang dalam keadaan senang, nyaman, aman dan akhirnya akan mendukung kebijakan pemerintah. Jika institusi dan para pejabatnya mengambil pilihan kebijakan tertentu yang dinilai oleh warga sebagai pilihan benar maka masyarakat akan cenderung menaruh kepercayaannya. Namun jika respon terhadap keluhan masyarakat tidak cepat dan tidak sesuai harapan maka otomatis kepercayaan masyarakat akan merosot. Tindakan pejabat meskipun tidak mewakili institusinya juga sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan. Hal tersebut terlihat jika pejabat yang bersangkutan melakukan tindakan yang tidak disukai oleh masyarakat atau melakukan perbuatan yang membuat masayarakat merasa tidak nyaman. Krisis kepercayaan terhadap pejabat tersebut mengakibatkan pula merosotnya kepercayaan terhadap institusi di mana pejabat tersebut menduduki jabatannya. Kepercayaan selanjutnya adalah kepercayaan sosial yang menggambarkan kepercayaan warga terhadap warga yang lainnya dalam suatu komunitas atau masyarakat. Kepercayaan terhadap pemerintah sangat dipengaruhi oleh kepercayaan sosial karena kepercayaan publik tidak terjadi dalam ruang kosong melainkan dalam sebuah komunitas 259 yang di dalamnya terdapat dinamika yang akan mempengaruhi kepercayaan publik kepada pemerintah dan kebijakannya. Adanya informasi tentang berbagai hal yang dilakukan oleh pemerintah juga akan membentuk persepsi dalam pikiran masyarakat. Adalah menjadi masalah jika informasi yang tersampaikan tidak sesuai dengan realitas yang ada. Selain itu, strategi komunikasi juga sangat mempengaruhi adanya pembentukan persepsi yang berhasil akhir pada tingkat kepercayaan. Warga akan cenderung memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah ketika mereka menilai pemerintah mampu mencukupi kebutuhan barang dan jasanya (http://biroorganisasi.jogjaprov.go.id/index.php?option=com _content&view=article&id=148:kepercayaan-publikterhadap-pemerintah). b. Kasus-kasus Korupsi Para Pejabat di Sumut Mulai dari Samsul Arifin jadi Gubernur dan Gatot Pujo Nugroho jadi wakilnya, akhirnya Samsul masuk penjara KPK dan Gatot jadi Plt Gubernur Sumut. Gatot kemudian menjadi Gubernur Sumut dan H.T. Erry Nuradi jadi wakilnya. Gatot masuk penjara KPK dan Erry jadi Plt Gubernur Sumut dan akhirnya diangkat jadi Gubernur Sumut. Abdillah jadi Wali Kota Medan dan Ramli jadi wakilnya. Abdillah akhirnya masuk penjara KPK dan Ramli jadi Plt Wali Kota Medan. Ramli akhirnya masuk penjara KPK dan Rahudman menjadi Wali Kota Medan dan Dzulmi Eldin jadi wakilnya. Kemudian Rahudman masuk penjara KPK dan Eldin jadi Plt Wali Kota Medan. Dzulmi Eldin akhirnya jadi Wali Kota Medan dan Akhyar Nasution jadi wakilnya. Begitulah seterusnya dan akhirnya timbullah persepsi masyarakat Kota Medan bahwa siapapun Kepala Daerah, baik Sumut maupun Kota Medan sama saja. Semuanya koruptor, walaupun ia beragama Islam, tiap tahun naik haji, pemahaman agamanya mendalam dan dari partai manapun juga. 260 c. Korupsi Gubernur Gatot Dinilai Biang Pilkada Kota Medan Sepi Maraknya kasus korupsi yang menjerat politikus di Medan, Sumatera Utara (Sumut) diduga menjadi pemicu rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada di kota itu pada Rabu, 9 Desember 2015. “Dari hasil pemantauan kami, memang sangat sepi pemilih yang datang ke TPS (tempat pemungutan suara)” kata Ketua KPU Medan, Yenni Chairiyah Rambe, kepada wartawan. Dia mencontohkan sebuah TPS dengan 700 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Warga yang menyalurkan hak pilihnya kurang 200 orang. “Jika dipersenntasekan hanya sekitar 15 hingga 20 persen,” ujar Yenni. Rendahnya partisipasi pemilih itu, menurut Yenni, disebabkan oleh figur calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan. “Selain itu, dari hasil wawancara kita, banyaknya kasus korupsi yang menyeret Gubernur (Gatot Pujo Nugroho) dan sejumlah anggota Dewan menjadi pendorong masyarakat untuk golput”, katanya. Yenni mengklaim upaya sosialisasi yang dilakukan KPU Medan telah optimal. Dalam Pilkada serentak itu jumlah warga yang terdaftar dalam DPT mencapai 1,9 juta orang (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/709483korupsi-gubernur-gatot-dinilai-biang-pilkada-medan-sepinasional). 6. Penanggulangan Krisis Kepercayaan Terhadap Pejabat Banyak tanda yang menunjukkan gejala terjadinya krisis kepemimpinan. Di antara gelaja itu: a. Masyarakat merasa tak memiliki pemimpin sesuai harapan. b. Kecenderungan masyarakat loyal secara buta kepada yang memimpin. c. Hal-hal yang menyangkut masalah kehidupan, baik itu ekonomi, tradisi, budaya, dan sistem politik dikendalikan oleh kekuatan tertentu, terutama kepartaian. d. Maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dan sebagainya. 261 Isu di atas menjadi aktual dan penting justru di saat kita berada dalam keadaan hampir putus asa. Krisis multidimensi yang kita alami sejak lima tahun terakhir (2010-2015) semakin potensial membawa negeri ini bangkrut. Upaya pemulihan ekonomi dan penegakan hukum nyaris tidak terjadi. Dari sekian akibat multikrisis itu, krisis kepemimpinan mungkin merupakan krisis yang paling parah. Tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga sampai ke tingkat lokal. Tidak hanya kepemimpinan tingkat tinggi, melainkan juga sampai tingkat paling rendah. Penerimaan atas kepemimpinan didasarkan atas kepercayaan. Kepercayaan terbangun lewat persepsi, keseriusan dan kemampuan mengatasi persoalan. Karena itu, bobot kepemimpinan tidak diukur dari kekuasaan yang dimiliki, tetapi terutama oleh apa dan bagaimana cara memperoleh hasil dan keberpihakannya kepada kepentingan rakyat. Ketika pemimpin tidak mengemban amanat rakyat, terjadilah krisis kepemimpinan, di mana para pemimpin tidak bisa dipercaya lagi. Ketika lembaga peradilan tidak berfungsi menegakkan keadilan, rakyat main hakim sendiri, seperti membakar sampai mati para maling dan perampok karena rakyat tidak percaya lagi kepada polisi dan pengadilan. Rakyat bertindak anarkis karena tidak ada kepastian hukum, karena tidak ada komitmen pemimpin pada nasib orang kecil. Para koruptor hidup enak dan nyaman di balik terali besi KPK, sedangkan perampok, maling, dan pencopet dihukum berat, bahkan dihakimi massa sampai mati. Di mana rasa keadilan? Jelas akibat korupsi ini sangat merugikan rakyat bahkan negara bisa bangkrut dan hancur lebur. Bagaimana seorang pemimpin harus tampil? Dalam kisah pewayangan, pemimpin ditamsilkan sebagai pelayan. Itu disampaikan Resi Bhisma sebelum ajalnya tiba yang memberi nasihat kepada Pandawa. Kata Resi Bhisma, tugas utama seorang pemimpin adalah mencurahkan perhatian kepada bawahan sekaligus mengesampingkan kepentingan pribadi dan keluarganya. Dialah seorang good leader, seorang pemimpin yang baik. Good leader berbeda dengan great leader. Mahatma Gandhi adalah good leader, sebaliknya Hitler adalah great leader. Gandhi memimpin dengan penuh pengorbanan, melayani rakyat dan mengesampingkan kepentingan keluarga. Hitler memimpin rakyat dimotivasi ambisi 262 pribadi yang besar. Baik good leader maupun great leader adalah sama-sama profesional. Tetapi, good leader memiliki dan mengembangkan karakter baik. Oleh karena itu, dalam kepemimpinan ada yang menyebut faktor keberhasilan ditentukan terutama oleh karakter dan baru kepandaian. Orang berwatak baik sulit dicari, sedangkan kepandaian bisa ditingkatkan lewat latihan. Lalu bagaiman mengatasi krisis kepemimpinan Indonesia saat ini? Mengembalikan makna dan perilaku pemimpin sebagai good leader bukan great leader, bukan sebagai petinggi atau pangreh, tetapi sebagai pamong. Dibutuhkan teladan dan langkah nyata yang berorientasi pada yang dipimpin. Pemimpin hadir untuk suatu zaman. Zaman menentukan gaya. Meskipun demikian, ada satu syarat yang nyaris jadi klasik, yakni asketisme atau mesu budhi. Tak ada pemimpin yang jatuh dari langit, semua membutuhkan proses jatuh bangun. Keterbukaan menerima kritik merupakan bagian dari jiwa pemimpin. Kritik menurut Kwant, analis masalah kritik, adalah bagian dari keterlibatan dan kepemilikan. Menerima kritik sebagai bagian rasa memiliki, menunjukkan bobot seorang pemimpin. Mengatasi krisis kepemimpinan adalah proses pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Dibutuhkan waktu panjang. Satu langkah luhur kita ayunkan, hasilnya baru akan kelihatan satu generasi kemudian. Sebaliknya satu langkah salah kita lakukan, akibat buruknya langsung tampak. Salah satu penyebab munculnya krisis kepemimpinan adalah terkait krisis moral. Sehubungan krisis kepemimpinan itu berakar dari krisis moral, maka perlu diselesaikan secara moral, sebelum ada penyelesaian secara teknis manajerial. Penyelesaian krisis kepemimpinan secara moral itu merujuk prinsip alakhlaqul karimah. Prinsip al-ahkhlaqul karimah itu meliputi ashshidqu (benar), al-wafa bil ‘ahd (tepat janji), at-ta’awun (tolong menolong), al-‘adalah (keadilan) dan al-istiqamah (konsisten) (http://bininfor.com/mengatasi-krisis-kepemimpinan-di-negeriini-dengan-kekuatan-moral/). Pemerintah sebaiknya melakukan tindakan pencegahan ke depannya agar orang-orang yang tidak berkompeten tidak bisa mencalon menjadi anggota legislatif, DPD, presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan 263 walikota/wakil walikota. Pemerintah melalui DPR/MPR menggodok dan menetapkan undang-undang Pemilu yang menetapkan kriteria yang harus ada pada orang-orang yang tersebut di atas, yaitu: a. Bersih dari KKN. b. Berakhlak mulia. c. Tidak terlibat atau bukan keturunan tapol/napol G30S/PKI. d. Beragama dengan salah satu agama yang telah diakui dan dilindungi oleh pemerintah RI, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Karena mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam maka calon presiden/wakil presiden harus beragama Islam. e. Tidak pernah terlibat peristiwa kriminal apapun. f. Rumah tangganya tenteram. g. Tidak poligami (bagi calon dari jenis kelamin laki-laki). h. Latarbelakang pendidikan minimal S2 dari program studi yang menunjang tugasnya, dibuktikan dengan dokumendokumen asli dan meyakinkan. Khusus untuk calon presiden/wakil presiden dan gubernur/wakil gubernur, pendidikan mereka wajib S3 demi membawa Indonesia kepada keamanan, kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan. Diutamakan calon presiden itu adalah pensiunan Jenderal Penuh (Bintang Empat) seperti Presiden RI ke-6, Jend. TNI (Purn.) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. 7. Memulihkan Kepercayaan Publik a. Reformasi Birokrasi Era reformasi sejak 1998 hingga sekarang belum mampu memutus warisan kolonial dalam kehidupan birokrasi pemerintah. Birokrasi pun terbentuk menjadi sosok aparatur yang gagal mentransformasikan dirinya sebagai agen kekuasaan sekaligus agen pelayanan dan perubahan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh penerapan birokrasi Weberian yang berlebihan sehingga melampaui titik optimal. Beberapa penyakit birokrasi publik, antara lain berkembangnya perilaku birokrasi paternalistik karena penerapan hirarki secara berlebihan dalam birokrasi publik dan pembengkakan anggaran karena tidak adanya standar 264 pembiayaan yang jelas dalam perencanaan anggaran dan diperparah dengan lemahnya kapasitas kontrol politik dan masyarakat (http://www.kompasiana.com/mediapskkugm/bukumengembalikan-kepercayaan-publik-melalui-reformasibirokrasi_5512dabaa333113a68ba7d39). Model birokrasi Weberian memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi birokrasi pemerintah, tetapi pada sisi lain juga memilikl efek yang dapat merugikan kinerja birokrasi. Efek ganda penerapan model birokrasi Weberian sering memunculkan pro dan kontra di kalangan banyak pihak mengenai penerapan model tersebut dalam birokrasi pemerintah. Efek ganda tersebut muncul karena penerapan model birokrasi Weberian tidak memiliki hubungan yang linear dengan efisiensi dan rasionalitas birokrasi pemerintah. Dalam titik tertentu, penerapan prinsip birokrasi Weberian dapat meningkatkan efisiensi birokrasi. Namun, ketika birokratisasi menjadi berlebihan dan sudah melampaui titik optimalnya maka peningkatan birokratisasi cenderung memiliki hubungan negatif dengan efisiensi birokrasi pemerintah. Hubungan yang membentuk pola parabolik ini menjadikan penerapan prinsip birokrasi Weberian dalam birokrasi pemerintah harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan titik optimalitas dari hubungan antara efisiensi dan masing-masing prinsip atau karakteristik birokrasi Weberian. Diagnosis yang seksama perlu dilakukan agar penerapan prinsip birokrasi Weberian dalam sebuah birokrasi pemerintah benar-benar dapat meningkatkan efisiensinya. Diagnosis perlu dilakukan agar birokratisasi atau debirokratisasi dilakukan dengan dosis yang tepat sehingga manfaatnya terhadap perbaikan kinerja birokrasi bisa optimal. Birokratisasi atau debirokratisasi sebenarnya adalah pilihan yang seharusnya dilakukan oleh birokrasi pemerintah tergantung pada efektivitasnya dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Birokrasi pemerintah memerlukan keduanya, yaitu birokratisasi atau debirokratisasi, tergantung pada situasi yang dihadapinya. Ketika penerapan salah satu prinsip 265 tertentu dari birokrasi Weberian dengan efisiensi birokrasi masih memiliki hubungan yang positif dan peningkatan birokratisasi masih memiliki efek yang positif maka birokratisasi sebaiknya dilakukan. Namun, ketika peningkatan birokratisasi justru menimbulkan efek yang negatif terhadap efisiensi maka debirokratisasi harus dilakukan. Dengan demikian, pilihan untuk melakukan birokratisasi atau debirokratisasi bersifat situasional, tergantung pada situasi yang dihadapi oleh suatu birokrasi pemerintah. Birokratisasi dan debirokratisasi bahkan dapat dilakukan secara bersama-sama pada aspek birokrasi Weberian yang berbeda. Untuk menjadi lebih efisien, sebuah birokrasi pemerintah membutuhkan debirokratisasi pada satu aspek atau karakteristik birokrasi Weberian dan pada saat yang sama membutuhkan birokratisasi pada aspek lainnya. Para analis dan pembaharu birokrasi pemerintah perlu memahami dengan baik sifat dan bentuk hubungan antara penerapan prinsip birokrasi Weberian dan efisiensi atau kinerja birokrasinya. Tanpa hal itu, mereka akan mengalami kesulitan dalam merancang program-program perbaikan kinerja birokrasi yang tepat dan efektif. Mereka harus memahami bahwa titik optimalitas dari hubungan antara penerapan prinsip birokrasi Weberian dan efisiensi berbeda menurut karakteristik birokrasi dan lingkungannya (Dwiyanto:2011:56-58). b. Reformasi Parpol Fenomena calon independen dalam Pemilukada yang telah digelar 9 Desember 2015 menarik dicermati. Idealnya, calon pemimpin lahir atau melalui partai politik (parpol) sebagai pilar utama demokrasi. Ibaratnya, parpol adalah filter yang menyaring calon-calon pemimpin hingga lahir figurfigur berkualitas dan berkompeten. Parpol diimajinasikan layaknya sebuah pabrik yang memproduksi barang-barang berkualitas unggulan, karena di dalamnya telah dilakukan uji laboratorium yang ketat sehingga produk yang keluar benarbenar berkualitas, original, dan layak dipakai serta tidak membahayakan. 266 Fenomena calon independen tentunya menimbulkan tanda tanya besar: apa yang terjadi dengan parpol saat ini? Kenapa ada yang memilih jalur independen daripada diusung parpol? Benarkah kepercayaan publik terharap parpol telah merosot? Dalam Indeks Demokrasi Indonesia 2013 dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, peran parpol dan DPRD yang termasuk dalam aspek lembaga demokrasi merosot. Angka untuk peran parpol turun menjadi 53,51 dari 69,52 pada 2012. Sementara peran DPRD turun dari 35,53 pada 2012 menjadi 35,33. Dalam berbagai jajak pendapat publik yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sejak 2004, secara konsisten juga ditemukan fakta bahwa masyarakat cenderung berpandangan negatif terhadap institusi parpol dan para politisi. Menurut LSI, pada awal 2015 tingkat kepercayaan masyarakat kepada parpol dan DPR berada di kisaran 50 persen. Ini angka terendah dibandingkan dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden sebesar 83 persen, KPK 81 persen, dan TNI 83 persen. Penurunan ini jelas menggambarkan bahwa memang parpol saat ini “bermasalah”, sehingga perlu direformasi secara total. Reformasi ini terutama dalam proses rekrutmen calon dan kaderisasi. Kegagalan pada dua hal ini tidak hanya membuat parpol “kurang diminati” tetapi juga kerap melahirkan para calon pemimpin dan kader bermasalah di kemudian hari. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan elit dan kader parpol menunjukkan secara terang kegagalan tersebut. Berdasarkan penelitian mengenai parpol di sejumlah negara demokrasi, partai yang berhasil memperoleh dukungan dan persepsi positif serta sukses dalam pemerintahan adalah partai yang menjalankan triangle of best practices. Tiga praktik terbaik itu adalah demokrasi internal, transparansi, dan penjangkauan masyarakat (outreach). Sebagai pilar utama demokrasi, reformasi parpol dapat dimulai dengan melihat kembali hakikat serta fungsi dan tanggungjawab parpol dalam relasinya dengan kekuasaan di satu sisi dan pada sisi lain dengan masyarakat yang 267 merupakan “tanah kelahirannya”. Dalam hal ini, setidaknya ada empat fungsi parpol yang perlu ditegaskan dan disadari kembali oleh parpol: 1) Parpol Adalah Agen Sosial Dalam hal ini, parpol tidak hanya sebatas kendaraan untuk mencapai kekuasaan. Dengan begitu besarnya akses yang dimiliki parpol, muncul juga tanggungjawab sosial yang harus diemban. Orang yang masuk ke dalam suatu parpol diharapkan tidak hanya memfokuskan diri mereka pada cara mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan hanya alat dan instrumen, bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah penciptaan kondisi yang lebih baik bagi bangsa dan negara. 2) Parpol Adalah Pelayan Publik Menjadi pelayan publik berarti bahwa keberadaan parpol dimaksudkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara luas, bangsa dan negara. Hal-hal yang akan dilakukan oleh parpol harus berorientasi pada perbaikan kondisi sosial masyarakat, dan tidak hanya terbatas pada apa yang dirasakan benar oleh parpol tersebut. Parpol harus selalu hadir untuk berkontribusi pada penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi publik. 3) Parpol Adalah Agen Pembaharuan Parpol tidak cukup hanya memiliki visi dan tujuan jangka panjang yang jelas. Parpol juga harus menjadi agen pembaharuan. Parpol harus memiliki kemampuan untuk merealisasikan terobosan ide dan gagasan mereka dalam masyarakat. Parpol dituntut untuk selalu memikirkan inovasi yang tiada henti guna mencari pemecahan permasalahan yang dihadapi. Parpol harus mampu menjadi motor penggerak utama dalam perubahan sosial. Maka parpol harus memiliki kesadaran selangkah lebih maju dibandingkan kesadaran masyarakat. 268 4) Parpol Adalah Harapan Sosial Masyarakat berharap bahwa parpol mampu untuk memainkan peran yang signifikan dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi, dan bukannya menjadi sumber masalah itu sendiri. Karena itu, cara melakukan seleksi terhadap orang-orang yang akan menjadi pengurus parpol harus diubah dan lebih berorientasi pada masalah bangsa dan negara. Selain itu, proses pengkaderan dan muatan-muatan politik yang diberikan kepada mereka pun harus diubah. Parpol bukan tempat untuk mencari uang dan materi. Parpol adalah entitas yang memiliki peran besar dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara. Reformasi total parpol mutlak dilakukan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka pendek, misalnya, seperti digagas PDIP yang menyelenggarakan “sekolah calon kepala daerah” selama enam hari sejak akhir Juni lalu. Secara jangka panjang, parpol perlu menanamkan nilai-nilai demokrasi sejati pada dirinya sendiri dengan kesadaran akan fungsinya sebagai agen sosial, pelayan publik, agen pembaharuan dan harapan sosial. Jika reformasi ini berhasil, seseorang mungkin tak akan lagi berpikir untuk menjadi partisipan dalam Pemilukada lewat jalur independen. Kepercayaan masyarakat terhadap parpol juga akan kembali meningkat (https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=reformasi+partai+ politik+di+indonesia&start=20). c. Pemberantasan Korupsi 1) Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi Telah di keluarkan berbagai kebijakan demi mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Diawali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang 269 menginstruksikan secara khusus kepada Jaksa Agung dan Kapolri: a) Mengoptimalkan upayaupaya penyidikan/penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. b) Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa (Penuntut Umum) dan anggota polri dalam rangka penegakan hukum. c) Meningkatkan kerjasama antara kejaksaan dengan kepolisian Negara RI, selain dengan BPKP, PPATK, dan intitusi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RANPK) 2004-2009. Langkah-langkah pencegahan dalam RANPK diprioritaskan pada: a) Mendesain ulang layanan publik. b) Memperkuat transparansi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia. c) Meningkatkan pemberdayaan pangkat-pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. 2) Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN. 270 Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut : a) Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi. b) Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good governance. c) Membangun kepercayaan masyarakat. d) Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar. e) Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi. 3) Peran Serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Bentuk-bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah: a) Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi. b) Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi kepada penegak hukum. c) Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari. d) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum. e) Penghargaan pemerintah kepada mayarakat. 4) Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut : a) Upaya pencegahan (preventif). b) Upaya penindakan (kuratif). c) Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa. d) Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). 271 Upaya Pencegahan (Preventif) a) Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian kepada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama. b) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis. c) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tanggungjawab yang tinggi. d) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua. e) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi. f) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggungjawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien. g) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok. h) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya. Upaya Penindakan (Kuratif): Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK : a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004). b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melakukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian. c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004). d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp 10 milyar lebih (2004). 272 e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004). f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005). g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005). h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo. i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004). j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005). Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa: a) Memiliki tanggungjawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik. b) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh. c) Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional. d) Membuka wawasan seluas-luasnya mengenai pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya. e) Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat): a) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi nonpemerintah yang mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik 273 korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang bebas korupsi. b) Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba dan sekarang menjadi organisasi nonpemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disusul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Ethiopia, Irak, Libya dan Uzbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti dan Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi (https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=pemberan tasan+korupsi+di+indonesia&start=0). d. Peran Media Massa Media massa secara kontinyu dan terencana menyiarkan target pemerintah dalam pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Media massa menyiarkan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Media massa juga menyiarkan target-target pembangunan yang sedang berjalan, sedang dalam proses, dan yang belum tercapai. Pemerintah melalui media massa harus transparan dalam menyiarkan target-target pembangunan, baik yang sudah terlaksana, yang masih dalam proses, maupun yang belum terwujud. Pemerintah melalui media massa melakukan sosialisasi pembangunan dan melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama membangun negeri tercinta Indonesia ini, sehingga seluruh rakyat Indonesia merasa memiliki 274 negeri tercinta ini dan melalui media massa pemerintah membangun kepercayaan rakyat dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia dalam pembangunan dan hal-hal yang berhubungan dengan pembangunan seperti pemberantasan korupsi, penegakan hukum, menciptakan lapangan kerja, keamanan yang kondisif, menjaga inflasi, dan lain-lain. 8. Pulihkan Partisipasi Publik Pemimpin-pemimpin baru hasil Pilkada serentak dituntut bisa mengembalikan kepercayaan publik seiring rendahnya angka partisipasi pemilih. Penguatan legitimasi rakyat ini penting untuk menyukseskan jalannya pemerintahan. Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Muryanto Amin menilai rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada menjadi pekerjaan rumah bagi kepala daerah terpilih. Program yang dijanjikan kepada masyarakat sepatutnya direalisasi untuk membangun asa, memberikan secercah harapan kepada masyarakat. ”Wujudkan janji-janji selama kampanye dengan serius, benar-benar direalisasikan,” katanya. Seperti diketahui, angka partisipasi pemilih pada Pilkada di 8 provinsi, 222 kabupaten, dan 34 kota, Rabu, 9/12/2015, meleset dari target. Dari data sementara, rata-rata partisipasi pemilih berkisar 50-65%. Capaian ini jauh dari target Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni 77,5%. Bahkan di Kota Medan, partisipasi pemilih hanya sekitar 26%. Menurut Muryanto, hal lain yang juga patut diperhatikan adalah persoalan program pemerintah dan infrastruktur. Ini perlu ditekankan karena berdampak langsung bagi masyarakat. Dalam pandanganya, masyarakat lazimnya hanya ingin merasakan apa yang menjadi haknya. ”Perhatikan dengan serius sistem birokrasi, kalau masyarakat tidak sejahtera, maka rawan muncul persoalan lain seperti korupsi. Hal yang semakin buruk adalah tidak adanya moral,” tandas dosen Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU Medan ini. Dia mengakui tingginya angka golput itu berkorelasi dengan kasus korupsi bantuan sosial yang mengguncang Sumut. Pada kasus ini, publik mengetahui tertangkapnya Gubernur Sumut nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan bawahannya serta 275 sejumlah anggota legislatif. ”Masyarakat awam umumnya menjadi malas memilih kalau akhirnya nanti pemimpin itu korupsi dan masuk penjara. Ini artinya masyarakat sudah pintar menilai dan ini jadi pelajaran yang harus diprioritaskan,” tandasnya. Dorongan serupa juga disampaikan Ketua Komisi II DPR Kamarul Zaman Rambe. Ia meminta kepala daerah baru nanti bisa segera bekerja dengan baik dan mengabdi kepada masyarakat. ”Partisipasi pemilih kemarin menurun, mereka perlu mengembalikan kepercayaan publik,” kata Rambe. Namun bukan hanya kinerja kepala daerah yang harus diperbaiki. Ada variabel dalam pelaksanaan Pilkada yang juga perlu dievaluasi seperti UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada dan turunannya, yakni Peraturan KPU (PKPU) tentang Pilkada. CEO Polmark Indonesia Eep Saefullah Fatah menilai ada faktor kejenuhan masyarakat di balik rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak. Tingkat partisipasi yang rendah pada Pilkada serentak 2015 masih kategori wajar karena Indonesia baru pertama kali menggelar cara ini. ”Ini yang membedakan Pilkada serentak 2015 dengan Pilkada serentak 2017 karena pada 2017 ada rentang waktu istirahat yang cukup panjang dan persiapan tahapan yang cukup matang dalam menggelar Pilkada,” paparnya. Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan H.M. Nurdin Abdullah menilai rendahnya partisipasi pemilih tak lepas dari kekuatan figur calon. Rendahnya tingkat partisipasi itu bukan hal yang mengherankan karena pemilih juga semakin cerdas. ”Kalau sang figur dianggap masyarakat punya track record (rekam jejak), integritas yang bagus, dan pekerja keras, saya yakin masyarakat juga akan bersemangat untuk ikut memilih,” ujar bupati yang menjabat dua periode itu. Dia mencontohkan, pada Pilkada yang digelar di Bantaeng, tingkat partisipasi masyarakat terus meningkat. Ia menceritakan pada H-3 Pilkada periode pertama, masyarakat dengan kesadaran sendiri menjaga ketat pemilihan agar tidak ada money politic. Sementara pada periode kedua, masyarakat bahkan sangat antusias mendatangi TPS pada pukul 06.10 wita meskipun TPS baru dibuka pada pukul 08.00 wita. 276 Hal demikian, menurut alumnus Universitas Kyusu Jepang tersebut, menunjukkan warganya tidak ingin melewatkan kesempatan menyalurkan hak suaranya, memilih figur yang dianggap dapat mewakili aspirasi mereka. Besarnya legitimasi yang diberikan masyarakat akan mempermudah kepala daerah terpilih untuk mewujudkan program-program yang diinginkan. Sementara itu, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto menilai rendahnya partisipasi masyarakat erat kaitannya dengan proses Pilkada yang masih diwarnai penggunaan metode politik uang. ”Sehingga partisipasi masyarakat itu sangat dipengaruhi oleh program para calon dan saya kira itu mampu untuk direalisasi,” kata Danny, sapaan akrab Ramadhan. Para calon juga seharusnya melakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat, khususnya yang sudah mempunyai hak untuk memilih. ”Calon yang cerdas cermin dari masyarakat yang cerdas,” tandas dia. Untuk mengantisipasi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, ia menginstruksikan jajarannya untuk membangun pendidikan politik melalui stakeholder terkait (http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-12-12). Golput Harus Didengarkan Medan menjadi daerah yang persentase partisipasi pemilihnya paling rendah di Indonesia. Dari 1,9 juta pemilih, sekitar 1,4 juta tidak memberikan hak suaranya. Hal ini diakui menjadi tantangan berat Wali Kota Medan terpilih Dzulmi Eldin untuk mengembalikan kepercayaan publik. Eldin mengatakan, cara yang paling mungkin untuk mengambil dan mengembalikan kepercayaan publik adalah dengan merealisasikan janji kampanye. ”Saya yakin yang tak memilih pun memantau kampanye kami selama ini. Janji kampanye yang kami buat harus dijalankan. Janji itu harus diwujudkan,” kata Eldin kepada KORAN SINDO kemarin. Dia tak ingin berpolemik lebih jauh soal partisipasi pemilih yang rendah di Pilwalkot Medan. Baginya, hasil Pilkada juga konsekuensi dari peraturan baru yang membatasi pasangan calon melakukan sosialisasi pilkada lebih masif. Ia memandang bahwa masyarakat yang tidak memilih bukan berarti tak menyampaikan aspirasi di Pilkada. 277 Aspirasi dari pemilih golput ini akan menjadi tantangan besar bagi calon terpilih. ”Kami menilai, yang golput ini juga merupakan bentuk aspirasi senyap dari warga. Tentu aspirasi ini harus bisa kami dengar. Harapannya semua warga Medan akan peduli,” sebutnya. Karena itu, menurut dia, pembangunan Kota Medan akan dibuat lebih partisipatif. Masyarakat akan diajak mulai dari proses perencanaan hingga evaluasi dengan keterbukaan. ”Semua diajak terlibat. Akan ada sistem baru yang kami bangun lewat egovernment,” bebernya. Penting juga menurutnya melakukan konsolidasi internal birokrasi secara cepat. Sebab ini adalah bagan utama dari pelayanan publik. Penerapan merit system dalam perekrutan pejabat akan dilakukan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan pegawai itu. ”Pejabat profesional harus sejahtera. Itu akan kami lakukan,” ucapnya. Komisioner KPU Juri Ardiyantoro tidak sepakat apabila rendahnya partisipasi pemilih di sejumlah daerah dikaitkan dengan kampanye yang mayoritas dibiayai negara. Menurutnya, rendahnya partisipasi pemilih harus dilihat dari berbagai aspek. ”Atau ada sebab lain, misalnya ada semacam apatisme, mungkin orang tak punya pilihan alternatif, terutama karena dalam Pilkada ini, di sebagian besar daerah, calonnya kan terbatas,” kata dia. Juri pun menerangkan kampanye yang dibiayai negara memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Rendahnya partisipasi pemilih Pilkada khususnya di kota-kota besar akan menjadi bahan evaluasi KPU. ”Ini juga menjadi bahan evaluasi apa yang menjadi penyebab sehingga tingkat partisipasinya rendah,” ujar Juri. Evaluasi lain dari pelaksanaan Pilkada lalu adalah persoalan pencalonan yang hingga waktu pemungutan suara dilakukan belum terselesaikan. Ia berharap ke depan persoalan pencalonan ini bisa diperkuat melalui regulasi yang lebih sempurna. Temuan lain yang menurut Juri akan menjadi bahan evaluasi adalah terjadinya pemungutan suara ulang (PSU) di 62 wilayah. Hal itu menurutnya sudah di luar perkiraan dari KPU yang telah menyiapkan Pilkada dengan sebaik-baiknya (http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-12-12). 278 BAB VI PENUTUP Pada tanggal 8 Mei 1998 Presiden Soeharto lengser keprabon, mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI ke-2. Dengan demikian berakhirlah rezim Orde Baru yang katanya otoriter. Dengan beralihnya rezim di Indonesia dari rezim Orde Baru ke Era Reformasi, diharapkan terciptanya iklim demokrasi yang kondusif, yang memayungi seluruh kepentingan bangsa dan negara untuk hidup dalam suasana aman dan sejahtera lahir batin. Tapi harapan tersebut hampir kandas oleh demokrasi yang kebablasan, demokrasi yang dibawa oleh Bapak Reformasi Indonesia Amin Rais yang mana dosis demokrasi dari Amerika Serikat tersebut terlalu besar sehingga hampir membuat Indonesia tidur selama-lamanya. Reformasi tersebut di antaranya berupa penghapusan rezim militer, Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat, Pemilu legislatif langsung kepada kandidat DPR/MPR/DPD, Pilkada langsung untuk Gubernur, Bupati/Wali Kota, pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), dan lain-lain yang memakan biaya ratusan triliyuan rupiah yang kalau digunakan untuk pembangunan ekonomi rakyat, maka tidak akan ada lagi yang namane wong cilik, orang miskin dan sebutan-sebutan lainnya. Padahal kita sudah merdeka sejak 1945, tapi masih banyak rakyat Indonesia yang belum merdeka dari kemiskinan dan ketakutan di atas bumi Indonesia yang sangat luas, baik daratan maupun lautan. Hal ini seharusnya menjadi target utama pembangunan nasional RI. Dikatakan hampir membuat Indonesia tidur selama-lamanya karena merajalelanya korupsi yang menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, lepasnya Timor Timur, Sipadan dan Ligitan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, naiknya para pemimpin rakyat dan wakil rakyat yang berasal dari para penjahat, preman, pengusaha korup, orang-orang bebal, dungu dan tolol yang kebetulan didukung oleh partai dan kebetulan ia kaya raya, konstituen mayoritas dan semacamnya 279 sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Socrates, sehingga mereka tidak pernah lagi berpikir untuk rakyat, tapi hanya untuk kepentingan hawa nafsu mereka. Inilah buah dari reformasi Kakang Amin Rais, yang mana ketika reformasi dulu, 8 Mei 1998, beliau diundang oleh Presiden Libya Muammar Kaddafi, dan beliau diberi gelar oleh Kaddafi Panglima Revolusi. Beliau sempatkan bertemu dengan kami di Islamic Call College di Tripoli, berkali-kali beliau katakan dengan logat kental Jogjanya: “Demokrasi, yo, monggo-mongo mawon.” Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap calon, baik itu calon Presiden, calon Gubernur, calon Bupati/Wali Kota, dan calon anggota MPR/DPR/DPD akan mengeluarkan biaya, mulai dari ratusan juta rupiah sampai ratusan miliar rupiah. Tentu saja dana yang cukup besar ini harus mereka dapatkan kembali sebelum habis masa jabatan. Belum lagi memikirkan masa depan, kawin mne, dan lain-lain. Semua ini tidak akan tercapai dengan cara yang halal. Satu-satunya jalan adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Itulah sebabnya susah sekali memberantas KKN ini. Oleh karena itu, cara yang nyata bagi kita sekarang untuk ke depannya adalah hilangkan biaya yang dikeluarkan oleh calon yang akan dipilih oleh rakyat, pilihlah calon dengan latar belakang baik dan berpendidikan, dan ciptakanlah sistem pemerintahan yang mencegah KKN dan disahkan oleh MPR RI, tetapkan hukuman mati atau seumur hidup bagi koruptor, membuat jera pada koruptor dengan penjara yang menyusahkan dan memutuskan mereka dengan dunia luar, sehingga cara ini akan mengurangi motif para pejabat untuk ber-KKN ria, terutama korupsi, dan meminimalisirnya sesedikit mungkin, bahkan bebas KKN. Dari sini, timbullah persepsi masyarakat melihat fenomena di atas yang mengakibatkan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dengan salah satu indikatornya adalah rendahnya persentasi pemilih di Pilkada Kota Medan (24,2%) yang merupakan bagian dari Pilkada serentak di seluruh tanah tumpah darah Indonesia pada tanggal 9 Desember 2015 yang lalu. Mulai dari Samsul Arifin jadi Gubernur dan Gatot Pujo Nugroho jadi wakilnya, akhirnya Samsul masuk penjara KPK dan Gatot jadi Plt Gubernur Sumut. Gatot kemudian menjadi Gubernur Sumut dan H.T. Erry Nuradi jadi wakilnya. Gatot masuk penjara KPK dan Erry jadi Plt Gubernur Sumut dan akhirnya ditetapkan menjadi Gubernur Sumut. Abdillah jadi Wali Kota Medan dan Ramli jadi wakilnya. Abdillah akhirnya masuk penjara KPK dan Ramli jadi Plt Wali Kota 280 Medan. Ramli akhirnya masuk penjara KPK dan Rahudman menjadi Wali Kota Medan dan Dzulmi Eldin jadi wakilnya. Kemudian Rahudman masuk penjara KPK dan Eldin jadi Plt Wali Kota Medan. Dzulmi Eldin akhirnya jadi Wali Kota Medan dan Akhyar Nasution jadi wakilnya. Begitulah seterusnya dan akhirnya timbullah persepsi masyarakat Kota Medan bahwa siapapun Kepala Daerah, baik Sumut maupun Kota Medan sama saja. Semuanya koruptor, walaupun ia beragama Islam, tiap tahun naik haji, pemahaman agamanya mendalam dan dari partai manapun juga. Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat yang sudah capek dan letih dengan ulah para pejabat pemerintah, perlu dilakukan reformasi birokrasi, reformasi parpol, pemberantasan korupsi, dan peran pemerintah melalui media massa untuk memulihkan kembali kepercayaan rakyat yang sudah loyo. Tapi perlu digarisbawahi bahwa banyak program Presiden RI ke2 yang tidak dilanjutkan karena katanya masih berbau Orde Baru. Seharusnya program yang baik dari beliau dilanjutkan demi pembangunan nasional dan kemajuan serta kesejahteraan bangsa Indonesia ke depan. Di antaranya adalah arah pembangunan yang jelas, yaitu PJPT (Pembangunan Jangka Panjang Tahap) I-VI, ditutup dengan Era Tinggal Landas. PJPT I-VI (1967-1997) telah berakhir, dan disusul Era Tinggal Landas (1997 dan seterusnya). Di era inilah (8 Mei 1998) Pak Harto lengser keprabon dan Era Tinggal Landas menjadi Era Tinggal Kandas. Dan sayangnya, program beliau yang baik tidak dilanjutkan. Di antara program Orde Baru yang baik tapi tidak ditangani secara serius oleh pemerintah Era Reformasi adalah swasembada pangan. Lebih dari 50% kebutuhan beras Indonesia diimpor dari laur negeri, padahal negara Indonesia demikian subur dan luas, yang akan mencukupi produksi beras untuk Indonesia, bahkan bisa mengekspor beras ke luar negeri. Kalau negara pengekspor beras kena tsunami dan berbagai musibah lain sehingga mereka tidak mampu mengekspor beras ke Bumi Tercinta Indonesia, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia yang berjumlah lebih kurang 250 juta jiwa akan terancam kelaparan. Ironis sekali, karena negeri kita yang subur dan makmur serta demikian luas, melebihi 1,9 juta km2 daratan, tidak digunakan semaksimal mungkin untuk memproduksi beras untuk makan sendiri. Percuma dong Bung Karno capek-capek menciptakan NKRI tahun 1949 (yang kita nikmati selama ini) dan harus memerangi daerah-daerah yang memberontak, mau 281 melepaskan diri dari NKRI, memerangi mereka selama berpuluh-puluh tahun. Percuma dong Pak Harto melaksanakan pembangunan nasional selama berpuluh-puluh tahun sehingga beliau diberi gelar Bapak Pembangunan. Di antara program Orde Baru yang baik adalah program transmigrasi, tapi tidak ditangani dengan serius di Era Reformasi ini. Ini penting agar terjadi pemerataan penduduk di Indonesia. Dengan demikian, pembangunan nasional akan lebih mudah bisa diwujudkan secara merata. Demikian juga program-program lain yang baik untuk rakyat Indonesia. Seharusnya, seluruh program yang baik, walau dari rezim Fir’aun sekalipun, kalau itu baik untuk rakyat Indonesia, dengan meminjam istilah dari Proklamator RI, Pendiri NKRI, Pemimpin Besar Revolusi, Presiden RI Seumur Hidup, PANGTI ABRI, Ir. Soekarno, atau dikenal dengan Bung Karno, yaitu pembangunan rakyat semesta, pembangunan nasional yang berkelanjutan, sewajibnya kita sebagai bangsa yang besar, melanjutkan, bahkan mengembangkan programprogram tersebut. Pemerintah RI, demi mengembalikan kepercayaan seluruh rakyat Indonesia kepada pemerintah, demi tidak terulangnya kasus Pilkada Kota Medan yang hanya, ironisnya, diikuti oleh 24,2% dari DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang seharusnya sangat memalukan pemerintah, sewajibnya mengoptimalkan fungsi dari legislatif, eksekutif dan yudikatif yang bebas dari asap KKN, sehingga stabilitas nasional akan terus terjaga, pembangunan di bidang politik, pertahanan dan keamanan, keamanan dan ketertiban masyarakat, ekonomi, sosial dan budaya bisa terlaksana dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, seluruh rakyat Indonesia, mulai dari Presiden sampai ke tukang becak merasakan manisnya buah pembangunan nasional dan Indonesia disegani di pergaulan internasional, sebagaimana Indonesia disegani di era Orde Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto), sehingga kasus penjualan saham satelit Indonesia, lepasnya Timor Timur dan Sipadan dan Ligitan dari NKRI, berkuasanya saham asing seperti Freeport, dan politik, keamanan, ekonomi, sosial dan budaya yang dicampurtangani oleh kekuatan asing tidak akan terjadi lagi. Kalau demikian, sudah pasti pemerintah akan mendapatkan kembali kepercayaan rakyat yang tadinya sempat hilang. 282 Kita ke depannya harus mencari pemimpin yang adil dan merakyat. Akhirnya, kita kembali berpedoman kepada kata-kata mutiara dari Mpu Tantular dalam kitabnya Negara Kertagama: Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani Toto Tentrem Kertoraharjo Subur Tanwo Tinandur Gemah Ripah Lohjinawi 283 DAFTAR PUSTAKA Abcarian, Albert dan George S. Masannat. Contemporary Political Systems. New York: Charjheles Scribner's Sons, 1970. Abdullah, Syukur. Pertumbuhan Sistem Politik: Suatu Tinjauan Historis dan Analisa Berbagai Masalahnya dalam Rangka Pembangunan Politik. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin Press, 1990. Adam, Cindi. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung Karno-Media Pressindo, 2007. Adam, G.S. Notes Toward A Definition of Journalism. St. Petersburg, FL: Poynter Institute, 1993. Adams, Valeric. The Media and the Falklands Campaign. Basingstoke: Macmillan,1986. Agee, Warren K. , et, al. Introduction To Mass Communication. New York-London: Longman, 2001. Ajami, Fouad. Human Rights and World Order Politics. New York: Institute for World Order, 1978. Alain, Gérard. L’opinion Publique et la Presse. Paris: Université de Paris, 1965. Albig. L’opinion Publique et la Presse. Paris: Institut d’étude Politique, 1965. Alfian. Hasil Pemilu 1955. Jakarta: Leknas, 1971. Alfian. Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1993. Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1978. Alfian. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1987. Ali, Novel. Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Allen, C. Eisenhower and the Mass Media. Chapel Hill, North Carolina: University of North Carolina Press, 1993. Allport, Gordon W. Personality: A Psychological Interpretation. New York: McGraw-Hill Book Co., 1957. Allport, Gordon W. The Individual and His Religion: A Psychological Interpretation. New York: The McMillan Co., 1950. 284 Almon, Gabriel A. dan G. Bingham Powell Jr. Comparative Politics: A Develomental Approach. Boston: Littlt Brown and Co., 1966. Almon, Gabriel dan James Coleman. The Politics of the Developing Areas. Princeton: Princeton University, 1960. Almon, Gabriel A. dan James Coleman (ed). Comparative Politics Today: A World View. New York: Harper Collins, ed.5, 1992. Almond, Gabriel dan Sidney Verba. The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Princeton: Princeton University Press, 1963. Al Rasjid, Harun. Beberapa Pandangan mengenai Undang-Undang Pemilihan Umum 1969. Jakarta: Pelita Ilmu, 1970. Al Rasjid, Harun. Hubungan antara Presiden dan Madjelis Permusjawaratan Rakjat. Jakarta: Pelita Ilmu, 1968. Althoff, Phillip dan Michael Rush. Introduction to Political Sociology, terj. Kartini Kartono, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Press, 1997. Alwisol. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press, cetakan pertama, 2004. Alyawi, Al, Fayid. Al-Tsaqafah al-Siyasiyyah fi al-Sa’udiyyah. Beirut: Al-Dar al-Baidha’, cetakan pertama, 2012. Amirudin dan A. Zaini Bisri. Pilkada Langsung: Problem dan Prospek. Yogyakarya: Pustaka Pelajar, 2006. Amur, M. Djen. Hukum Komunikasi Jurnalistik. Bandung: Alumni, Cetakan Pertama, 1984. Andersen, K.E. Introduction to Communication Theory and Practice. California: Cummings Publishing Company,1972. Andersen, M. (ed.). Media and Democracy. Oslo: University of Oslo Press, 1996. Anderson, Ben. Studi Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1992. Andrain, Charles F. dan James T. Smith. Political Democracy, Trust, and Social Justice: A. Comparative Overview. Boston: Northeastern University Press, 2006. André, Akroun. Sociologie Des Communications de Masse. Paris: Editions Hachette, 1997. Anugrah, Dadan. “Politik Pencitraan Wakil Rakyat: Studi Dramaturgis tentang Komunikasi Politik Wakil Rakyat di DPRD Kabupaten Bandung Jawa Barat”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2013. Anwar, Rosihan. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita, cet. 4, 1991. 285 A.P., Sumarno. Dimensi-dimensi Komunikasi Politik. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1989. A.P., Sumarno dan Didi Suhandi. Pengantar Studi Komunikasi Politik. Bandung: Orba Shakti, 1993. Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES, 1985. Aranguren, J.L. Human Communication. New York: McGraw-Hill, 1967. Ardhana, Wayan dan Sudarsono. Pokok-Pokok Ilmu Jiwa Umum. Surabaya: Usaha Nasional, 1963. Ardial. Komunikasi Politik. Jakarta: Indeks, 2010. Ardianto, Elvinaro, et, al. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, edisi revisi, cet. 4, 2014. Argyle, M. Bodily Communication. New York: Methuen & Company, 1988. Argyle, M. The Psychology of 'Interpersonal Behavior. New York: Penguin Book, 1994. Arif, Saiful (ed.). Birokrasi dalam Polemik. Malang: Pusat Studi Kewilayahan UNMU Press, 2001. Arifin. Opini Publik. Bandung: Pustaka, 2008. Arifin, Anwar. Komunikasi Politik dan Pers Pancasila. Jakarta: Media Sejahtera, 1992. Arifin, Anwar. Komunikasi Politik: Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003. Arifin, Anwar. Komunikasi Politik: Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik. Bandung: Widya Padjadjaran, 2010a. Arifin, Anwar. Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia, 2011. Arifin, Anwar. Opini Publik. Jakarta: Gramata, 2010b. Arifin, Anwar. Pers dan Dinamika Politik: Analisis Media Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: Yasrif Watampone, 2010c. Arifin, Anwar. Sistem Komunikasi Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cet. 2, 2014. Arifin, H.M. Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Ruhaniyah Manusia. Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Arinanto, Satyo. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2003. Arrianie, Lely. “Kekerasan dalam Komunikasi Politik: Studi Dramaturgis tentang Peristiwa Kekerasan dalam Penyampaian Pesan-pesan 286 Politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2006. Arrianie, Lely. Komunikasi Politik: Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik. Bandung: Widya Padjadjaran, 2010. Asch, C.K. Social Psychology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc., 1959. Asch, Solomon E. Opinions and Social Pressure. Scientific American, 193 (5), 31-35, 1955. Asch, Solomon E. Social Psychology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc., 1959. Assaat. Hoekoem Tata Negara Repoeblik Indonesia dalam Masa Peralihan. Yogyakarta: Boelan Bintang, 1951. Astraatmadja, Atmakusumah. Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan (LSP), cetakan pertama, 1981. Astraatmadja, Atmakusumah dan Lucas Luwarso. Menegakkan Etika Pers. Jakarta: Dewan Pers, cetakan pertama, 2001. Attias, Bernardo. Intercultural Communication: Communication Studies. California: University of California Press, 2000. Baehr, H. (ed.). Women and the Media. Oxford: Pergamon, 1980. Bagdikian, B. The Media Monopoly. Boston: Beacon Press, ed. 5, 1997. Baharuddin. Wawasan Psikologi Umum. Pamekasan: Biro Ilmiah dan Penerbitan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Pamekasan,1986. Baker, C.E. Advertising and a Democratic Press. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1994. Baker, C.E. Media Concentration and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Baker, C.E. Media, Markets, and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Balfour, Michael. Propaganda in War 1939-1945. London: Routledge, 1979. Bandura, A. “Social Cognitive Theory of Mass Communication”, dalam J. Bryant dan Zillmann (ed.). Media Effects: Advances in Theory and Research. Hillsdale, New Jersey: Elrbaum, 1994. Bandura, A. Social Learning Theory. New Jersey: Prentice Hall, 1977. Baran, Stanley J. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture. New York: McGraw-Hill Company, 2004. 287 Baran, Stanley J. dan D. David, Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1995. Barents, J. De Wetenschap der Politiek: Een Terreinverkenning, J. Barents.'s Gravenhage: A. A. M. Stols, terj. L.M. Sitorus, Ilmu Politik: Suatu Perkenalan Lapangan. Jakarta: Pembangunan, 1965. Bargon, F.C. Soviet Foreign Propaganda. Princeton: Princeton University Press, 1964. Barnhurst, K.G. dan J. Nerone. The Form of News: A History. New York: The Guilford Press, 2001. Baron, R.A dan D. Bryne. Social Psychology: Understanding Human Interaction. Boston: Allyn & Bacon, 1994. Baylis, John dan Steve Mith. Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press Inc., 1998. Beaufre, Andre. An Introduction to Strategy with Particular Reference to Problems of Defense, Politics, Economics, and Diplomacy in the Nuclear Age. New York: Frederick A. Praeger, 1965. Bell, Coral. Politics, Diplomacy, and Islam for A Case Study. Canberra: Australian National University, 1986. Berelson, Bernard dan Gary Steiner. Human Behavior. New York: Harcourt, Brace World, 1964. Berger, A. Essentials of Mass Communication Theory. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc., 1995. Berger, Charles R., and Steven H. Chaffee (ed.). Handbook of Communication Science. California: Newbury Park, 1987. Berlo, David K. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. East Lansing: Michigan State University, 1960. Biagi, Shirley. Media/Impact: An Introduction To Mass Media. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1996. Bitter, John R. Mass Communication: An Introduction. New Jersey:Printice-Hall, 1980. Bluhma, William T. Political Analysis. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited, 1981a. Bluhma, William T. Theories of Political System: Classies of Political Thought and Modern. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited, 1981b. 288 Bond, F. Fraser. An Introduction to Journalism, terj. Kustadi Suhandang, Jurnalistik Publik dan Media. Bandung: Sinar Baru, 1986. Borjesson, Kristina (ed.). Mesin Penindas Pers: Membongkar Kebebasan Pers di Amerika. Bandung: Q-Press, 2006. Boyd, Cavin dan Charles Pentland. Issues in Global Politics. New York: The Free Press, 1981. Bradley, Klein. Strategic Studies and World Order: The Global Politics of Deterrence. Cambridge: Cambridge University Press, 1994. Brants, Kees dan Katrin Voltmer (ed.). Political Communication in Postmodern Democracy. Basingstoke, Hampshire, Inggris: Palgrave Macmilan, 2011. Briggs, A. dan P. Burke. A Social History of the Media. Cambridge: Polity, 2002. Briggs, A. dan P.Cobley (ed.). The Media. Harlow: Longman, 1998. Brigham, J.C. Social Psychology. New York: Harper Collins Publishers, 1991. Brooks, W.D. dan P. Emmert. Interpersonal Communication. Dubuque: Wm. C. Brown Company Publishers, 1977. Brown, Roger. Social Psychology. New York: Free Press, 1965. Brownhill, Robert dan Patricia Smart. Political Communication: Issues and Strategies for Research. California: Sage Publications, 1989. Bryant. J dan D. Zillmann (ed.). Media Effect: Advances In Theory And Research. Hillsdale, New York: Erlbaum, 1994. Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, edisi revisi, cet. 2, 2008. Budiardjo, Miriam. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia, 1994. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, edisi pertama, cet. 3, 2008. Buss, A.H. Psychology Behavior in Perspective. Chicester: John Willey and Sons Inc., 1987. Cangara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2009. Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada, ed. 2, cet. 14, 2014. Cangara, Hafied. Perencanaan dan Strategi Komunikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada, cetakan pertama, 2013. Cassirer, Ernst. An Essay on Man: An Introduction to A Philosophy of Human Culture. New York: Doubleday & Co. Inc., 1956. 289 Castells, Manuel. Communication Power. Oxford: Oxford University Press, 2009. Chadwick, P. Media Mates. Melbourne: Macmillan, 1989. Chaffee, Steven H. Political Communication: Issue and Strategies for Research. California: Sage Publication, 1975. Charles, R. dan Chaffee Steven. Handbook of Communication Science. California: Sage Publications, 1987. Cohen, B.C. The Press and Foreign Policy. New Jersey: Princeton University Press, 1963. Cole, Robert. Propaganda in the Twentieth Century War and Politics. New York: McGraw-Hill Book Company, 1996. Coleman, J.C. Abnormal Psychology and Modern Life. Glenview: Scott, Foresman, and Company, 1976. Coleman, J.C. dan C.L. Hammen. Contemporay Psychology dan Effective Behavior. Glenview: Scott, Foresman, and Co., 1974. Comstock, George dan Erica Scharrer. The Psychology of Media and Politics. London: Elsevier Academic Press, 2005. Connolly, E. William. Political Science and Ideology. New York: Atherton Press, 1967. Conway, Margaret M. dan Frank B. Freigert. Political Analysis: An Introduction. Boston: Allyn and Becon Inc., 1973. Coon, D. Introduction to Psychology: Exploration and Application. Boston West Publishing Company, 1977. Cooper, J. dan R.H. Fazio. “A New Look at Dissonance Theory”, dalam L. Berkowitz (ed.). Advances in Experimental Social Psychology. San Diego, CA: Academic Press, 1984. Corner, John and Dick Pels (ed.). Media and the Restyling of Politics. London: Sage Publications, 2003. Couldry, N. dan J. Curran (ed.). Contesting Media Power: Alternative Media in a Networked World. Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield, 2003. Craig, R.T. Information Systems Theory and Research: An Overview of Individual Information Processing. New Jersey: Transaction Books, 1979. Croteau, D. The Business of Media. Thousand Oaks, California: Pine Forge Press, 2001. Croteau, D. dan W. Hoynes. Media/Society. Thousand Oaks, California: Pine Forge Press, 1997. 290 Crouch, Horald. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1988. Curran, James. Media and Power. London-New York: Routledge, 2002. Curran, James (ed.). Media Organisations in Society. London: Edward Arnold, 2000. Curran, James, et, al (ed.). Mass Communication and Society. London: Arnold Publishers, 1977. Curran, James dan David Morley (ed.). Media And Cultural Theory. London-New York: Routledge, 2006. Curran, James dan M. Gurevitch. Mass Media and Society. London: Edward Arnold, ed. 3, 2000. Curran, James dan M. Gurevitch (ed). Mass Media and Democracy. London: Edward Arnold, 1991. C., Wright. The Power Elite. New Jersey: Alfred S. Knopf, 1958. Dahl, A. Robert. Modern Political Analysis. New Delhi: Prantice of India, 1977. Dahlan, Alwi. Perkembangan Komunikasi Politik sebagai Bidang Kajian, Jurnal Ilmu Politik. Jakarta: AIPI, LIPI, dan Gramedia, 1990. Dakir. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIPIKIP, 1973. Danandjaja, James. Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press, 1988. Dance, F.E.X. Human Communication Theory: Original Essay. New York: Holt, Rinehard, Winston, 1967. Danesi, Marcel. Dictionary of Media and Communication. New York: M.E. Sharfe, Inc., 2009. Danial, Akhmad. Iklan Politik: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta: LkiS, 2009. Daniel, Bougnoux. Sciences de l'information et de la Communication. Paris: Larousse, 1993. Danielle, Charron. Une Introduction à la Communication. Québec: Presse Universitaire de Québec, 1991. Danker, Anita C. The Essentials of Political Science. New Jersey: Research & Education, 1996. Davidoff, LL. Introduction to Psychology, terj. Mari Juniati, Psikologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, 1988. DeBeer, A.S. dan J.C. Merrill (ed.). Global Journalism. Topical Issues and Media Systems. New York: Pearson, 2004. 291 DeFleur, Melvin L. Theories of Mass Communication. New York: David McKay, ed. 2, 1989. DeFleur, Melvin L. Understanding Mass Communication. Boston: Houghton Mifflin Company, 1985. Denton, Robert E. Political Communication Ethics. USA: PRAEGER. 2000. Desiderato, D.B. Howeison, dan J.H. Jackson. Investigating Behavior: Principles of Psychology. New York: Harper & Row Publishers, 1976. DeVito, Joseph A. Communicology: An Introduction to the Study of Communication. New York: Harper & Row Publishers, 1982. DeVito, Joseph A. Human Communication: The Basic Course. New York: Longman, ed. 8, 2000. Dewey, R. dan W.J. Humber. An Introduction to Social Psychology. London: Collier-McMilan, 1967. Dhakidae, Daniel, et,al. Partia-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program. Jakarta: Penerbit Kompas, 2004. Djamhuri, Ade.Komunikasi Politik. Cimahi: Unjani, 1990. Dofivat, E. Handbuch der Publizistik. Berlin: Walter de Gryter, 1968. Doob, Leonard W.. Propaganda: Its Psychology and Technique. Oxford, England: Holt, 1935. Downing, J. Internationalizing Media Theory. London: Sage, 1996a. Downing, J. Radical Media. London: Sage, ed. 2, 1996b. Downing, J. The Media Machine. London: Pluto, 1980. Dwiyanto, Agus. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia, 2011. Dwiyanto, Agus, et, al. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, 2002. Dye, Thomas R. Politics in States and Communities. New Jersey: Prentice Hall, 1988. Eadie, William F. (ed.). 21st Century Communication: A Reference Hanbook. California: SAGE Publication, inc., volume 1 & 2, 2009. Eagly, A.H dan S. Chaiken. The Psychology of Attitudes. Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers, 1993. Easton, David. A System Analysis of Political Life. New York: Alfred A. Knopf Inc., 1965. 292 Easton, David. The Political System: An Inquiry into the State of Political Science. New York: Alfred A. Knopf Inc., 1953. Effendy, Onong Uchjana. Dinamika komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti, cet. 3, 2007. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Eriyanto. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS, cetakan pertama, 2002. Escarpit, Robert. Théories de l’information et de la Communication. Paris: Edition le Seuil, 1981. Fagen, Richard R. Politics and Communication. Boston: Little Brown, 1966a. Fagen, Richard R. The Human Radiation Experiment: Final Report of the President's Advisory Committee. New York-London: Oxford University Press, 1966b. Fajar, Marhaeni. Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek. Jakarta: Graha Ilmu, 2009. Feith, Herbert. Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001. Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. New York: Cornel University Press, 1962. Feith, Herbert dan L. Castles (ed.). Pemikiran Politik Indonesia 19451965. Jakarta: LP3ES, 1988. Firmanzah. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Obor, 2007. Fischer, Heinz Ditrich. International Communication: Media, Channel, Functions. New York: Hastings House Publisher, 1974. Fisher, B.A. Perspectives on Human Communication. New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1978. Fiske, John. Introduction to Communication Studies, terj. Hafsari Dwiningtyas, Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Persada, ed. 3, cet. 2, 2012. Fornas, Johan, et, al. Consuming Media: Communication, Shopping and Everyday Life. New York: Berg, 2007. Fortner, Robert S. Public Diplomacy and International Politics: The Symbolic Constructs of Summits and International Radio News. New York: Praeger Publishers, 1994. 293 Freelay, Austin J. Argumentation and Debate. Belmont California: Wadsworth Publishing Co, 1969. Freud, Sigmund. Al-Mujaz fi al-Tahlil al-Nafsi (terj. Sami Mahmud, et, al). Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962. Freud, Sigmund. An Outline of Psychoanalysis. New York: Norton, 1949. Freud, Sigmund. New Introductory Lectures on Psychoanalysis. New York: Norton, 1933. Freud, Sigmund. Psychopathology of Everyday Life. London: Ernest Benn, 1960. Freud, Sigmund. The Ego and the Id. London: Hogarth Press, 1927. Freud, Sigmund. The Ego and the Mechanism of Defens. New York: International University Press, 1946. Freud, Sigmund. The Origins of Psychoanalysis. New York: Basic Books, 1954. Gaffar, Afan. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Galnoor, Yitzhak. "Political Communication and the Study of Politics", dalam Dan Nimmo (ed.). Communication Yearbook 4. New Brunswick-London: Transaction Books, 1980. Gerbner, George. International Encyclopedia of Communications. New York: Oxford University Press, 1967. Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco, 1996. Gie, The Liang. Kode Etik Bagi Petugas Pemerintahan: Bahan Pemikiran untuk Membina Pegawai Negeri yang Bersih dan Berwibawa. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB),1998. Giffin, K. “Interpersonal Trust in Small Group Communication”, Quarterly Journal of Speech, 53: 224-234, 1967. Goble, F. G. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarra: Kanisius, 1987. Goebbels, Joseph. Knowledge and Propaganda. Munich: Centralverlag der NSDAP, 1928. Goebbels, Joseph. Nazi Propaganda (1933-1945). Berlin: German Propaganda Archieves, 1934. Golding, Peter dan Graham Murdock. The Political Economy of the Media. London: Sage Publications, 2000. Graber, A. Doris. Mass Media and American Politics. Washington DC: CQ Press, 1984. Grew, Anthony G. dan Paul G. Lewis. Global Politics, Globalization and Nation-State. Cambridge: Polity Press, 1992. 294 Gunarsa, Singgih, D. Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara, 1989. Gunarsa, Singgih, D. Psikologi Perkembangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1990. Gurevitch, Michael dan J. Woollacott. Mass Communication and Society. London: Edward Arnold, 1977. Gurevitch, Michael, et, al (ed.). Culture, Society and the Media. London: Methwen, 1982. Habibie, Bacharuddin Jusuf. Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri, 2006. Haditono, Siti Rahayu dan Koners. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996. Haizan, Al, Muhammad ibn Abd al-Aziz. Al-Buhuts al-I’lamiyyah: Ismuha-Asalibuha-Majalatuha. Riyadh: Fahrasah Maktabah alMalik Fahd al-Wathaniyyah, cet. 2, 2004. Hale, Julian. Radio Power: Propaganda and International Broadcasting. London: Elek, 1975. Halik, Abdul. “Komunikasi Politik di Ruang Publik Gerakan Mahasiswa: Analisis Kritis Aksi Demonstrasi Mahasiswa di Makassar”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2013. Halim, Al, Muhyiddin Abd. Al-I’lam al-Islami wa Tathbiqatuhu al‘Amaliyyah. Cairo: Maktabah al-Khanji, cet. 2, 1984. Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis. Jakarta: Granit, 2004. Hamelink, C.J. The Politics of World Communication: A Human Rights Perspective. London: Sage, 1994a. Hamelink, C.J. Trends in World Communication. Penang: Southbound, 1994b. Hamzah, Abd al-Lathif. Al-I’lam Lahu Tarikhuh wa Madzahibuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Hanitzsch, Thomas &dan Martin Loeffelholz. Media, Militer, Politik dalam Krisis Komunikasi: Perspektif Indonesia dan Internasional. Yogyakarta: Galang Press, 2002. Harahap, Abdul Asri. Manajemen dan Resolusi Konflik Pilkada. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2005. Harahap, Krisna. Konstitusi Republik Indonesia. Bandung: Grafitri Budi Utami, 2004. Hardiman, Budi F. Demokrasi Deliberalistik. Jakarta: Kanisius, 2009. 295 Harun, Rochajat dan A.P Sumarno. Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar. Bandung: Mandar Maju, 2006. Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006. Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas. Jakarta: Balai Pustaka, 2004. Hatta, Mohammad. Memoirs. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002. Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila. Jakarta: H. Masagung, 1989. Heider, F. The Psychology of Interpesonal Relation. New York: John Wiley, 1958. Held, David. Model of Democracy. Jakarta: Akbar Tandjung Institut, 2007. Helyin, Angelia. Kiat Sukses Komunikasi. Jakarta: Mitra Utama, 2002. Hennessy, Bernard. Essential of Public Opinion. Massachusetts: Duxbury Press, 1975. Heryanto, Gun Gun. “Konvergensi Simbolik di Komunitas Virtual: Studi pada Ruang Publik dalam Komunikasi Politik di Situs Jejaring Sosial dan Weblog Interaktif Era Pemerintahan SBY-Boediono dalam Kasus Century”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2013. Heryanto, Gun Gun dan Shulhan Rumam. Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2013. Hikmat, Mahi M. “Efek Berita Politik Media Cetak pada Perilaku Politik Anggota DPRD Jawa Barat dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2003”. Tesis, Program Pasacasarjana Universitas Padjadjaran, 2005. Hikmat, Mahi M. Komunikasi Politik: Teori dan Praktek dalam Pilkada Langsung. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cet. 2, 2011. Hilalah, Yusuf Muhyiddin Abu. Al-I’lam: Nasy’atuhu, Asalibuhu, Wasa’iluhu, Ma Yu’atstsiru fihi. Yordania: Maktabah al-Risalah, cetakan pertama, 1987. Hilgard, E.R. Introduction to Psychology. New York: Harcourt Brace & World Inc., 1962. Hill, David. The Press in New Order Indonesia and Politic Media. Yogyakarta: LKIS, cetakan pertama, 2002. Hisyam, Ala’ Ahmad. Al-I’lam: Muqawwimatuhu, Dhawabithuhu, Asalibuhu fi Dhau’i al-Qur’an al-Karim Dirasah Maudhu’iyyah. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Islam Gaza, 2009. Hitler, Adolf. National Socialism and World Relation. Berlin: Muller & Sohn, 1937. 296 Hitler, Adolf. Warning Enemy Propaganda. Berlin: Hermann Hilliger Verleg, 1940. Hohenberg, John. The Professional Journalist: A Guide to the Practices of the New Media. New York: Holt, Rinehard and Winston, Inc., 1973. Holsti, K.J. International Politics: A Framework for Analysis. New York Prentice Hall Inc, 1977. Horney, Karen. New Ways in Psychoanalysis. New York: Norton, 1939. Hovland, C.I., et, al. Communication and Persuasion: Psychological Studies of Opinion Change. New Haven, Conn: Yale University Press, 1953. Hughes, Barry B. Continuity and Change in World Politics. New Jersey: Prentice Hall,1997. Hulls, S.H. Egeth dan J. Deese. Psychology of Learning. New York: McGraw-Hill International, 1993. Hunt, M. The Universe Within: A New Science Explores The Human Mind. New York: Simon & Schuster, 1982. Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Grafiti, cet. 2, 2001. Huntington, Samuel P. No Easy Choice: Political Partisipation in Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press, 1997. Huntington, Samuel P. Tertib Politik dalam Masyarakat Politik Sedang Berubah. Jakarta: Radjawali, 1983. Huntington, Samuel P. The Third Wave Democratization in Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991. Hutagalung, Inge. Teori-teori Komunikasi dalam Pengaruh Psikologi. Jakarta: Indeks, 2015. Ibrahim, Amin. Analisis Terhadap Konsep Pembangunan Indonesia. Bandung: Universitas Padjadjaran Press, 2001a. Ibrahim, Amin. Konsep Persatuan Bangsa: Dilihat dari Sudut Pandang Ketatanegaraan: Universitas Indonesia, Press 1987. Ibrahim, Amin. Otonomi Daerah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bandung: Universitas Padjadjaran Press, 2001b. Ibrahim, Amin. “Pendekatan Pembangunan yang Bersifat Komprehensif Integral Ditopang Model Ketahanan Nasional dalam Upaya 297 Meningkatkan Ketahanan Wilayah”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2002. Ibrahim, Amin. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: STIA-LANRI, 2001c. Ibrahim, Amin. Pokok-pokok Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Mandar Maju, cetakan pertama, 2009. Ibrahim, Amin, et, al. Pokok-Pokok Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Bandung: Ikalum STIA-LANRI, 1991. Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Dhiwantara, 1964. Jackson, Karl D. dan Lucian W. Pye. Political Power and Communication in Indonesia. University of California Press, 1978. Janis, Irving L. Victims of Groupthink: A Psychological Study of ForeignPolicy Decisions and Fiascoes. Boston: Houghton-Mofflin, 1972. Jauhari. “Makna, Motif dan Perilaku Kekuasaan dalam Komunikasi Politik: Studi Kasus Persaingan Politik Antar Etnik; Orang Lampung dan Orang Jawa dalam Pemilihan Umum Kepala daerah Bandar Lampung Tahun 2010”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2012. Jenkins, David. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer 1975-1983. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Joewett, Garth S. dan Victoria O’Donnel. Propaganda and Persuasion. London: Sage Publications, 2006. John, B. Whitton. Propaganda and the Cold War. Connecticut: Public Affairs Press, 1963. Johnson, Cartee, et, al. Strategic Political Communication: Rethinking Social Influence, Persuasion, and Propaganda. Lanham: Rowman & Litflefield, 2004. Johnson, Dermis W. "The Cyberspace Election of the Future", dalam Bruce. I. Newman (ed.). Handbook of Political Marketing. Thousand Oaks: Sage, 1999. Jones, E. The Life and Work of Sigmund Freud. Harmondsworth: penguin, 1964. Jones, Richard Wyn. Critical Theory and World Politics. London: Lynner Publishers, 2001. Jones, Walter S. Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi Politik Internasional, dan Tatanan Dunia. Jakarta: Gramedia, 1993. Junaedi, Fajar. Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi dan Strategi di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera, 2013. 298 Kahin, George McTruman. Nationalism and Revolution in Indonesia. London: Cornell University Press, 1980. Kaid, Lynda Lee. Handbook of Political Communication Research. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2004. Kaid, Lynda Lee dan Christina IIoltz-Bacha. Political Advertising in Western Democracy: Parties and Candidates on Television. California: Sage Publication, 1995. Kantaprawira, Rusadi. Pendekatan Sistem dalam Ilmu-Ilmu Sosial: Aplikasi dalam Meninjau Kehidupan Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru, 1990. Kantaprawira, Rusadi. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru, 1988. Kartasasmita, Ginandjar. Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1997. Kartono, Kartini. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju, 1996. Katz, E. “Uses of Mass Communication by the Individual”, dalam W.P. Davidson dan F. Yu (ed.), Mass Communication Research: Major Issues and Future Direction. New York: Praeger, 1974. Katz, E. dan Paul Lazarfeld. Personal Influence: The Part Played by People to the Flow of Mass Communication. New York: Free Press, 1955. Katz, E. dan T.Szecsko (ed.). Mass Media and Social Change. Beverly Hills, California: Sage,1981. Katz, E., et. al. “Utilization of Mass Communication by Individual”, dalam J.G. Blumler dan E. Katz (ed.), The Uses of Mass Communication: Correct Perspective on Gratification Research. London: SAGE Publications Ltd., 1974. Kaufman, H. Social Psychology: The Study of Human Interaction. New York: Holt, Kmehart, and Winston, Inc., 1973. Kavanagh, Dennis. Kebudayaan Politik. Jakarta: Bina Aksara, 1982. Keban, Yeremias T. Pengantar Aministrasi Publik. Yogyakarta: Program MAP UGM, 1994. Kegley, C.W. Jr. dan E.R. Wittkopt. World Politics: Tren and Transformation. London: St. Martin Publisher, 2001. Khar’an Al, Muhammad Abdullah. Milkiyyah Wasa’il al-I’lam wa ‘Alaqatuha bi al-Wazha’if al-I’lamiyyah fi Dhau’ al-Islam. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2007. Kharasyi, Al, Sulaiman ibn Shalih. Al-‘Aulamah. Riyadh: Dar Balnasiyyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1419 H. 299 Kholil, Syukur. Komunikasi Islami. Bandung: Cita Pustaka Media, cetakan pertama, 2007. Kholil, Syukur (ed.). Teori Komunikasi Massa. Bandung: Citapustaka Media Perintis, cetakan pertama, 2011. King, H.E. Psychological Effects of Excitation in The Limbic System, Electrical Stimulation of the Brain. Austin: University of Texas Press, 1961. Klapper, J. The Effects of Mass Communication. Glencoe: Free Press, 1960. Kornhauser, W. The Politics of Mass Society. London: Routledge & Kegan Paul, 1960. Kousoulas, D. George. On Government and Politics. Massachusetts: Duxbury Press, 1979. KPU Provinsi Jawa Barat. Laporan Akhir Penyelenggaraan Pemilihaan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008. Bandung: KPU Provinsi Jawa Barat, 2008. Kraus, Sidney dan Dennie Davis. The Effects of Mass Communication on Political Behavior. Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 1976. Krech, David, et, al. Individual in Society: A Textbook of Social Psychology. California: McGraw-Hill Kogakusha Ltd., 1962. Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1992. Labolo, Muhadam dan Teguh Ilham. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis. Jakarta: RajaGrafindo Persada, cetakan pertama, 2015. Lambert, William W. dan Wallace E. Lambert. Social Psychology. Englewwood, News Jersey: Printice-Hall, Inc., 1973. Lambert, William W. dan Wallace E. Lambert. Social Psychology, terj. Salwa al-Mulla, ‘Ilm al-Nafs al-Ijtima’i. Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 2, 1993. Lane, E. Robert. Political Ideology. Princeton: Princeton University Press, 1962. Lane, E. Robert dan Sears O. David. Public Opinion. New Delhi: Prentice Hall of India Private, t.t. Lasswell, Harold D. “Describing the Contents of Communication,” dalam B.L. Smith, et. al. (ed.). Propaganda Communication and Public Opinion. Princeton: Princeton University Press,1946. 300 Lasswell, Harold D. Politics: Who Gets What, When, How. New York: World Publishing, 1958. Lasswell, Harold D. Psychopathology and Politics. New York: Viking Press, 1960. Lasswell, Harold D. The Analysis of Political Behaviour on Empirical Approach. New York: Meridian Book Inc., 1979. Lasswell, Harold D. The Language of Power. Cambridge: Mass MIT Press, 1970. Lasswell, Harold D. “The Structure and Function of Communication in Society,” dalam Lyman Bryson (ed.). The Stucture: The Communication of Ideas. New York: Institute for Religious and Social Studies, 1948. Lasswell, Harold D. dan Abraham Kaplan. Power and Society. New Haven: Yale University Press, 1950. Lasswell, Harold D. dan Casey. Propaganda, Communication, and Public Opinion. Princeton: Princeton University Press, 1946. Lazar, Judith. La Science de la Communication. Paris: Edition Dahleb, 1992. Lazar, Judith. Sociologie de la Communication de Masse. Paris: Armand Colin, 1991. Lefrancois, G.R. Of Humans: Introductory Psychology by Kongor. Belmont. Calif: Book Cole Publishing Company, 1974. Lemhanas. Kondisi Ketahanan Nasional. Jakarta: Lemhanas, 1989. Lenin, Vladimir Ilyich. State and Revolution. New York: International Publishers, 1932. Lent, Adam. New-Political Thought: An Introduction. London: Lawrence and Wishart, 1998. Lerner, M.J. Social Psychology of Justice and Interpersonal Attraction. New York: Academic Press, 1974. Lev, Daniel S. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959. Ithaca, NY: Modern Indonesia Project, Cornell University Press, 1966. Lichtenberg, J. (ed.). Mass Media and Democracy. New York: Cambridge University Press, 1990. Lichter, S. Robert, et, al. The Media Elite. Chevy Chase, Maryland: Adler & Adler Publishers, Inc, 1986. Liddle, R. William. Partisipasi Politik & Partai Politik Indonesia pada awal Orde Baru. Jakarta: Grafiti, 1992. 301 Liebert, R. M. dan L. L. Liebert. Science and Behavior: An Introduction to Methods of Psychological Research. Engliwood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, ed. 4, 1995. Li’iyadhi Nashr al-Din. Wasa’il al-Ittishal al-Jamahiriyyah wa alMujtama’: Ara’ wa Ru’a. AlJazair: Dar al-Qashabah li al-Nasyr, 1998. Liliweri, Alo. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan pertama, 2003. Liliweri, Alo. Komunikasi: Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana, edisi pertama, cetakan pertama, 2011. Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2005. Lilleker, Darren G. Key Concept in Political Communication. New York: Sage Publication, 2005. Lilleker, Darren G. (ed.). The Marketing of Political Parties: Political Marketing at the 2005 British General Election. New York: UBC Press, 2006. Lipset, Seymour Martin. Political Man: The Social Bases of Politics. Bombay: Vakila, Feffer and Simons Private, Ltd., 1960. Lister, Martin, et, al. New Media: A Critical Introduction. London: SAGE Publications Ltd., 2009. Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. Theories of Human Communication, terj. Mohammad Yusuf Hamdan, Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, ed.9, 2008. Louw, P. Eric. The Media and Political Process. London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publications, 2005. Lowi, Theodore J. The Politics of Disorder. New York: Basic Books, 1971. Maletzke, G. Psychologic der Massenkomunikation: Theorie und Systematik. Humburg: Verlag Hans-Bredow Institut, 1963. Maltz, M. The Magic Power of Self-Image Psychology. New York: Pocket Books, 1970. Manshur, Thal’at, et, al. Usus ‘Ilm al-Nafs al-‘Amm. Ain Syam, Mesir: Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, 1989. Mansyur. Pengantar Ilmu jiwa Fenomologi. Bandung: Jemmars, 1983. Manzhur, Ibn. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, cet. 3, 1999. 302 Mardjono, H. Hartono. Politik Indonesia (1996-2003). Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana, 2010. Marx, M.H. Introduction to Psychology: Problem, Procedures, and Principles. London: Comer-Macmillan, 1976. Mashad, Dhuroradin., et, al. Konflik Antarelit Politik Lokal dalam Pilkada. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Mashmudi, Al, Mushthafa. Al-Nizham al-I’lami al-Jadid. Kuwait: AlMajlis al-Wathani li al-Tsaqafah wa al-Funun wa al-Adab, 1985. Maslow, A. “Self-Actualization and Beyond”, dalam J.F.T. Bugentol (ed.). Chalenges of Humanistic Psychology. New York: McGraw-Hill, 1976. Mas'oed, Mochtar dan Collin McAndrews. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977. Maswadi, Rauf. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Maswadi, Rauf. “Political Participation and Political Communication”. Disertasi, Universitas Indonesia, 1981. Matson, F.W. Humanistic Theory: The Third Revolution in Psychology. Glenview: Scott, Foresman, and Co., 1973. McChesney, Robert W. Communication Revolution: Critical Juncture and the Future of Media. New York: The New Press, 2007. McChesney, Robert W. Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times. New York: The New Press, 2000. McChesney, Robert W. The Problem of the Media: US Communication Politics in the 21st Century. New York: Monthly Review Press, 2004. McDavid, J.W. dan H. Harari. Social Psychology: Individuals, Groups, Societies. New York: Harper & Row Publishers, 1968. McDavid, J.W. dan H. Harari. Psychology and Social Behavior. New York: Harper and Row, 1974. McDougall, W. Introduction to Social Psychology. London: Metheun 1908. McLellan, David. Marxism after Marx. London: Macmillan Press, 1979. McLuhan, Marshall. Understanding Media. New York: McGraw-Hill, 1964. 303 McLuhan, Marshall dan Quentin Flore. The Medium Is the Massage. New York: Bantam, 1967. McNair, Brian. An Introduction to Political Communication. London: Routledge, 1995. McQuail, Dennis. Teori Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, ed. 2, 1994. Mead, M. Coming of Age in Samoa: A Psychological Study of Primitive Youth for Civilization. New York, 1928. Meadow, Robert G. Politics as Communication. New Jersey: Alex Publishing Co., 1980. Menicke, C.A. Moderne Psychologic. Amsterdam: Drukkerij en Binderij vande Wereldbibliotheek, 1957. Menkopolhukam. Pilkada dalam Sistem Demokrasi Indonesia. Jakarta: Program Pemantapan Keamanan dalam Negeri, 2006. Merriam, Charles R. Political Power: Its Composition and Incidence. New York: McGraw-Hill, 1934. Merrian, Charles. Systematic Politics. Chicago: University of Chicago Press, 1942. Merryl, John C. Journalism Ethics: Philosophical Foundations for New Media. New York: St. Martin’s Press, 1997. Messenger, Gary. British Propaganda and the State in the First World War. Manchester: Manchester University Press, 1992. Milbrath, L dan M. Goel. Political Participation: How and Why do People Get Involved in Politics. Chicago, Illinois: Rind McMally, ed. 2, 1977. Miliband, Ralph. Marxism and Politics. Oxford: Oxford University Press, 1978. Miller, G.A. Psychology and Communication. Washington D.C: Voice of Amerika, 1974. Mitchell, Joyce M. dan William C. Mitchell. Political Analysis and Public Policy: An Introduction to Political Science. Chicago: Rand McNally, 1969. Moenir, H.A.S. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Moesa, Ali Maschan. Kiai dan Politik dalam Wacana Civil Society. Surabaya: Lepkiss, 1999. Morgan, Clifford T. (ed.). Introduction to Psychology. New York: McGraw-Hill Book Company, 1986. 304 Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations, The Struggle for Power and Peace. New York: Alfred A. Knorpf Incorporated, 1989. Morissan. Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Morissan. Teori komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, edisi pertama, cet. 2, 2014. Mosco, Vincent. Political Economy of Communication. London: Sage Publications, 2000. Muhammad, Muhammad Mahmud. ‘Ilm al-Nafs al-Mu’ashir fi Dhau’ alIslam. Jeddah: Dar al-Syuruq, cetakan pertama, 1984. Muhammad, Muhammad Sayyid. Al-Mas’uliyyah al-I’lamiyyah fi alIslam. Beirut: Dar al-Fikr, cetakan pertama, 1983. Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Muhtadi, Asep Saeful. Kampanye Politik. Bandung: Humaniora, 2008a. Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya, cetakan pertama, 2008b. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. 2, 2001. Mulyana, Deddy. Komunkasi Politik Politik Komunikasi: Membedah Visi dan Gaya Komunikasi Partai Politik. Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. 2, 2014. Munsterberd, G. Psychology and Social Parity. New York: Doubleday, 1914. Murdoch, Graham dan Peter Golding. Political Economy of the Media. London: Routledge, 2000. Murphy, Walter F. "Constitutions, Constitutionalism, and Democracy", dalam Douglas Greenberg, et, al (ed.). Constitutionalism and Democracy: Transitions in the Contemporary World. Oxford: Oxford University Press, 1993. Mussen, T. dan M. Rosenweig. Psychology: An Introduction. Boston: D.C. Heath, 1973. Muttaqien. Trust dalam Komunikasi. Makalah: PPs UINSU (S3) Medan, 2016. Myers, D.G. Exploring Social Psychology. New York: McGraw-Hill, 2007. Najib, Imarah. Al-I’lam fi Dhau’ al-Islam. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cetakan pertama, 1980. Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2009. 305 Nasrullah. "Komunikasi Politik di Media Massa: Konstruksi Pemilu 2004 di Televisi", dalam Rachmad K. Nurudin, et, al (ed.). Kebijakan Elitis Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Nasution, A.H. Memenuhi Panggilan Tugas. Jakarta: Haji Masagung, cet. 2, 1989. Nasution, Adnan Buyung. The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia. Den Haag: CIP-Gegevens Koninklijke Bibliotheek, 1992. Nasution, Zulkarimen. Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta: Yudhistira, 1990. Ndraha, Taliziduhu. Metode Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Nelson, D. dan B.L. Meadow. "Attitude Similarity, Interpersoi Atraction, Actual Success, and The Evaluantive Perception That Success". Makalah, disampaikan pada pertemuan America Psychological Association, Washington, D.C., 1971. Neumann, Sigmund. "Modern Political Parties", dalam Harry Eckstein dan David E. Apter (ed.). Comparative Politics: A Reader. LondomThe Free Press of Glencoe, 1963. Newcomb, Theodore M. et.al. Social Psychology, terj. Joesoef Noesyirwan, Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro, 1985. Nimmo, Dan. Komunikasi Politik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993. Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989. Nimmo, Dan. Political Communication and Public Opinion in America. California: Goodyear Publising Company Santa Monica, 1978. Nimmo, Dan. Political Communication: Communicator, Content, and Media, terj. Tjun Surjaman, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Nimmo, Dan dan Keith R. Sanders (ed.). Handbook of Political Communication. London: Sage Publications, 1981. Noer, Deliar. Pengantar ke Pemikiran Politik. Medan: Dwipa, 1965. Notonegoro. Pancasila Secara Ilmiyah dan Populer. Jakarta: LP3ES, 1971. Notosusanto, Nugroho (ed.). Tercapainya Konsensus Nasional 19661969. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985. 306 Nursal, Adnan. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. 5, 2013. Oetama, Jakob. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987. Osgood, C.E. dan T.A. Sebeok. "Communication and Psychologistics", dalam E.P. Holander dan R.C. Hunt (ed.). Current Perspectives in Social Psychology. New York: Oxford University Press, 1967. Oud, PJ. Hef Constitutioneel Recht van het Koninkrijk der Nederlanden. Zwolle: Tjeenk Willink, 1947. Packard, Vance. A Nation of Strangers. New York: David McKay Co., 1974. Packard, Vance. The People Shapers. London: Futura Publications, Ltd, 1978. Painter, Anthony dan Ben Wardie. Viral Politics: Communicating in the New Media Era. London: Politic's Publishing Ltd., 2002. Panitia Pemilihan Indonesia. Indonesia Memilih: Pemilihan Oemoem di Indonesia jang Pertama. Jakarta: Batanghari NV, 1958. Panwas Pilgub Jabar. Laporan Akhir Pengawasan Pemilihan GubernurWakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008. Bandung: Panwas Pilgub Jabar, 2008. Parakitri T. Simbolon. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006. Pawito. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Bandung: Jalasutra, 2009. Perloff, Richard M. The Dynamics of Persuasion: Communication and Attitudes in The 21st. New York: Lawrence Erlbaum Associates, ed. 3, 2008. Permana, Setia. Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Bandung: KPU Jabar, 2006. Piano, Jack C. et. al. Kamus Analisis Politik. Jakarta: Rajawali, 1985. Pohan, Alqanitah. “Gender dalam Komunikasi Politik Aktivis Partai Islam: Studi tentang Aktivis PBB, PPP dan PKS di Padang Sumatera Barat”. Disertasi, Universitas padjadjaran, 2006. Pool, Ithiel de Sola. Handbook of Communication. USA: Rand McNally Sociology Series, 1973. Pool, Ithiel de Sola. The Mass Media and the Politics in the Modernization Process. Princeton: Princeton University Press, 1963. 307 Pot, C.W. van der. Handboek van het Nederlandse staatsrecht. Zwolle: Tjeenk Wilink, 1953. Prawira, Purwa Atmaja. Psikologi Umum Dengan Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, cetakan pertama, 2012. Prihatmoko, Joko J. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Pringgodigdo, A.K. Kedoedoekan Presiden Menoeroet Tiga Oendangoendang Dasar dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Pembangoenan, 1956. Pringgodigdo, A.K. Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Jakarta: Dian Rakjat, 1978. Pringgodigdo, A.K. Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan, 1964. Pulzer, Peter G.J. Political Representation and Elections in Britain. London: George Allen and Unwin Ltd., 1967. Purnomo, R.H. Falsafah dan Ideologi Pancasila. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1984. Putnam, Evans H. Jacobson. Double Edged Diplomacy: International Bargaining and Domestic Politics. California: University of California Press, 1993. Putra, Fadillah dan Saiful Arif. Kapatilasime Birokrasi, Kritik Reinvinting Government Osborne-Gaebler. Yogyakarta: LKIS, 2001. Pye,L.W. (ed.). Communication and Political Development. Princeton: Princeton University Press, 1963. Qualter, T.H. Propaganda and Psychological Warfare. New York: Random House, 1962. Quinn, Virginia Nichols. Applying Psychology. New York: McGraw-Hill, ed. 3, 1995. Rachmadi, F. Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara. Jakarta: Gramedia, cetakan pertama, 1990. Radhi, Samir Ibn Jamil. Al-I’lam al-Islami: Risalah wa Hadaf. Makkah: Rabithah al-‘Alam al-Islami, 1987. Rais, Amien. Politik Internasional Dewasa Ini. Surabaya: Usaha Nasional, 1989. Rajih, Ahmad ‘Azat. Ushul ‘Ilm al-Nafs. Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, cet. 7, 1968. 308 Rakhmat, Jalaluddin. “A Model for the Study of Mass Media Effects on Political Leaders: A Study in Indonesia”. Tesis, Program Pascasarjana Iowa State University, 1984. Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, ed. 3, cet. 27, 2011. Ramage, Douglas E. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. New York: Routledge, 1995. Rasyid, Muhammad Ryas. Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998. Rasyid, Muhammad Ryas. Makna Pemerintahan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2000. Rauf, Maswadi. Book Review: Teori-Teori Politik. Jakarta: Universitas Indonesia, 2000. Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun (ed.). Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia, 1993. Rawnsley, Gary D. Radio Diplomacy and Propaganda: The BBC and VOA in International Politics 1956-1964. London: Macmillan, 1996. Razzaq, Al, Intishar Ibrahim Abd dan Shafd Hussam al-Samuk. Al-I’lam al-Jadid. Baghdad: Mathba’ah Jami’ah Baghdad, 2011. Ridwan. “Komunikasi Politik Ulama dalam Konflik di Aceh: Studi Kasus Ulama di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2003. Righter, Rosemary. Whose News? Politic, The Press an The Third World. New York: Times Books, 1979. Riswandi, Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, cetakan pertama, 2013. Rivers, William L. The Adversaries: Politics and the Press. Boston: Bacon Press, 1970. Rivers, William L., et, al. Mass Media and Modern Society, terj. Haris Munandar dan Dudy Priatna, Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana, edisi pertama, cetakan pertama, 2003. Rodee, Carlton C., et, al (ed.). Introduction to Political Science. Auckland: McGrow-Hill, 1981. Ross, Raymond S. Persuasion: Communication and Interpersonal Relation. Englewood Clifs: Prentice-Hall, Inc., 1974. Rourke, John T. International Politics on the World Stage. Connecticut: The Dushkin Publishing Group, 1991. 309 Rudy, T. May. Komunikasi dan Humas Internasional. Bandung: Refika Aditama, 2005. Russet, Bruce dan Harvey Starr. World Politics: The Menu for Choice. New Jersey: W.H. Freeman & Coy, 1989. Safar, Mahmud Muhammad. Al-I’lam: Mauqif. Jeddah: Al-Kitab al‘Arabi al-Sa’udi, cetakan pertama, 1982. Sahakian, WS. Introduction to Psychology of Learning. Chicago: Rand McNally College, 1976. Salosa, Daniel S. Mekanisme, Persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Langsung. Yogyakarta: Media Presindo, 2005. Salusu, J. Interdependensi Indonesia dalam Politik Internasional. Makassar: AIPI, 1990. Samir, Muhammad Husain. Buhuts al-I’lam: Al-Usus wa al-Mabadi’. Cairo: ‘Alam al-Kutub, 1976. Samir, Muhammad Husain. Médias et Démocratie: La Dérive. Paris: Presse de Science Po, 1997. Sanit, Arbi. Partai, Pemilu, dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1977. Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1985. Sanit, Arbi. Reformasi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Sardjoe. Psikologi Umum. Pasuruan: Garuda Buana Indah, 1994. Sarwono, Sarlito Wirawan. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokohtokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang, 2008. Sarwono, Sarlito Wirawan. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajagrafindo Persada, cet. 2, 2010. Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005. Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka, 2012. Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Satiadarma. Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Schlesinger, K. dan P.M. Groves. Psychology:A Dynamic Science. Iowa: Wm. C. Brown Company, 1976. 310 Schmitt-Beck, Rudiger. "Political Communication Effects: The Impact of Mass Media and Personal Communications on Voting", dalam Frank Esser dan Barbara Pfetsch (ed.). Comparing Political Communication: Theories, Cases, and Challenges. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2004. Schramm, Wilbur. Mass Communication. Urbana: University of Illinois Press, 1960. Schramm, Wilbur. Mass Media and National Development. California: Stanford University Press, 1964a. Schramm, Wilbur. The Process and Effects of Mass Communication. Urbana: University of Illinois Press, 1971. Schramm, Wilbur. The Role of Information in Developing Countries. Standford, California: Standford University Press, 1964b. Schramm, Wilbur dan F.T. Peterson Siebert. Four Theories of the Press. Urbana, Illinois: University of Illinois, 1956. Schramm, Wilbur dan William E. Porter. Men, Women, Messages, and Media. New York: Harpers & Row Publishers, 1982. Schutz, W.C. The Interpersonal Underworld. Palo Alto: Science and Behavior Books, 1966. Schwartz, Steven. Classic Studies in Psychology. California: Mayfield Publishing Company, 1986. Sears, David O. Freedman, et, al. Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc., ed. 5, 1985. Secord, P.F. dan C.W. Backman. Social Psychology. New York: McGraw-Hill Book Company, 1964. Sekretariat DPR-MPR RI. Himpunan Perubahan UUD 1945 ke 1 (1999), ke 2 (2002), ke 3 (2001), ke 4 (2002). Jakarta: Sekretariat DPRMPR RI, 2002. Sekretariat DPR-MPR RI. Himpunan Undang-Undang Tahun 1999-2000. Jakarta: Sekretariat DPR-MPR RI, 2000. Sekretariat DPR-MPR RI. Ketetapan-Ketetapan MPR-RI 1999. Jakarta: Sekretariat DPR-MPR RI, 1999. Semati, Mehdi. International Communication Theory: Communication, Media, and Politics. London-New York-Toronto: New Frontiers, Row-man & Littlefield Publishers, 2004. Sereno, Kenneth K. dan C. David Mortensen. Foundations of Communication Theory. New York: Harper & Row, 1970. Setioyo, Budi. Iklan dan Politik: Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum. Jakarta: AdGoal.Com, 2008. 311 Severin, Wener J. dan Jr. James W. Tankard. Communication Theories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media. New YorkLondon: Longman, 1992. Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi: Suatu Pengantar dalam Persfektif Islam. Jakarta: Kencana, 2004. Shaver, K.G. Principles of Social Psychology. Massachussetts: Winthrop Publishers, Inc., 1977. Sherief, M. dan C.W. Sherif. An Outline of Social Psychology. New York: Harper & Row, 1956. Shoelhi, Mohammad. Diplomasi: Praktik Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2011. Shoelhi, Mohammad. Komunikasi Internasional: Perspektif Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2009. Shoelhi, Mohammad. Propaganda dalam Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2012. Shuman, Fredrick. Internasional Politics: The Western State System and The World Community. New York: McGraw-Hill Book Company Inc., 1958. Shupe, Anson dan Jeffrey K. Hadden. The Politics of Religion and Social Change. New York: Paragon House, 1988. Siebert, Fred S., et, al. Empat Teori Press, terj. Putu Laxman Sanjaya Pendit, Four Press Theory. Jakarta: Intermasa, 1986. Sjamsuddin, Nazaruddin. Dinamika Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Sobur, Alex. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia, 2013. Soedibyo, Agus. Ekonomi Politik Media Penyiaran di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2000. Soekandar, Adriana. “Memahami Spektrum Autistik secara Holistik”. Disertasi, Universitas Indonesia, 2007. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit, 2005. Soekarno. Pancasila Dasar Falsafah Negara (1945). Jakarta: Panitia Nasional Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945-1 Juni 1964, 2001. Soewardi, Herman. Filsafat Ilmu: Induk Sains Empirikal. Bandung: Bakti Mandiri, 2004. SP, Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Stanyer, James. Modern Political Communication. Cambridge: Polity Press, 2008. 312 Straubhaar, Joseph. Communication Media in the Information Society. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1996. Street, John. Massa Media, Politics and Democracy. Palgrave, Houndmills: Basingstoke Hampshire, 2001. Stuart, Sundeen S.J. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St. Louis: Masby, 1995. Subiakto, Henry dan Rachmah Ida. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 2, 2014. Sudarsono, Juwono. Politik dan Pembangunan (Pilihan Masalah). Jakarta: Rajawali, 1982. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2001. Sujanto, Agus. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara, edisi pertama, cet. 13, 2006. Sulaiman, Muhammad Karam, Al-Takhthith al-I’lami fi Dhau’i al-Islam. Cairo: Dar al-Wafa’, cetakan pertama, 1988. Summers, M. W. The Press Gang: Newspapers and Politics (1865-1878). Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1994. Suryadi, Karim. Balihocracy. Bandung: Pusat Studi Agama dan Pembangunan, 2009. Suryadi, Karim. “Kedudukan Platform dan Komunikasi Politik Kiai dalam Membentuk Identifikasi Kepartaian”. Disertasi, Universitas Padjadajaran, 2006. Susanto, Astrid S. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Binacipta, 1977. Susanto, Astrid S. Komunikasi Kontemporer. Bandung: Binacipta, 1982. Susanto, Astrid S. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Bina Cipta, 1985. Susanto, Astrid S. Pendapat Umum. Jakarta: Bina Cipta, 1975. Susanto, Eko Harry. Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika Sosial Ekonomi Politik. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2010. Susanto, Eko Harry. Komunikasi Politik dan Otonomi Daerah: Tinjauan Terhadap Dinamika Politik dan Pembangunan. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2009. Suseno, Frans Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 2003. Susilo, Muhammad Edi. “Pemberitaan Pers Selama Masa Kampanye”. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Padjadajaran, 2000. 313 Syafeii, Inu Kencana. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2008. Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Al-Baramij al-I’lamiyyah Baina al-Waqi’ wa al-‘Amal. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1994. Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Al-I’lam al-Islami al-Ahdaf wa al-Wazha‘if. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, cetakan pertama, 1991a. Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Al-Tashawwur al-Maudhu’i li Dirasah al-I’lam al-Islami. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1988a. Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Al-Ushul al-Tathbiqiyyah li alI’lam al-Islami. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1988b. Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. An Introduction to Islamic Communication. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1991b. Syinqithi, Al, Sayyid Muhammad Sadati. Wikalah al-Anba’ alIslamiyyah fi al-Mizan. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub li alThiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t. Szecsko T. (ed.). Mass Media and Social Change. Beverly Hills, Caifornia: sage, 1981. Tabroni, Roni. Komunikasi Politik Bung Karno. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2015. Tabroni, Roni. Komunikasi Politik pada Era Multimedia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cetakan pertama, 2012. Tannenbaum, P.H. dan D. Zillman. Emotional Arousal in The Facilitation of Aggression Through Communication: Advances in Experimental Social Psychology. New York: Free Press, 1975. Taufik, Tata. Etika Komunikasi Islam. Bandung: Pustaka Setia, cetakan pertama, 2012. Taylor, A., et al. Communicating. Engle Wood Cliffs: Prentia Hall, Inc, 1977. Taylor, Philip M. Global Communications, International Affairs, and The Media since 1945. London-New York: Routledge, 1997. Taylor, Philip M. The Projection of Britain: British Overseas Publicity and Propaganda 1919-1939. Cambridge: Cambridge University Press, 1981. Thibaut, J.W. dan H.H. Kelley. The Social Psychology of Groups. New York: John Wiley & Sons, 1959. Thoha, Mifta. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. 314 Thomas, Jhon M. dan Warren G. Bennis. Management of change and Conflict. Australia: Penguin Book, 1972. Tihami, Al, Mukhtar dan Athif Adli al-Abd. Al-Ra’yu al-‘Am. Cairo: Mathba’ah Jami’ah al-Qahirah, 2005. Tilly, Charles. From Mobilization to Political Conflict. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1974. Timothy C. Brock dan Melanie C. Green (ed.). Persuasion: Psychological Insights and Perspectives. Thousand Oaks: Sage Publication, edisi pertama, 2005. Tinarbuko, Sumbo. Iklan Politik dalam Realitas Media. Bandung: Jalasutra, 2009. Tjokrowinoto, Moelyarto. Birokrasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Tubbs, Stewart L. dan Silvia Moss. Human Communication: An Interpersonal Perspective. New York: Random House, 1974. Turow, Joseph. Media Today: An Introduction to Mass Communication. New York: Routledge, 2009. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. Media Developmen tIndicators:A Framework for Assessing Media Development. Paris: The Intergovernmental Council of the International Programme for the Development of Communication (IPDC), 2008. US Government. Globalization of the Mass Media. Washington DC: US Department of Commerce, 1993. Van den Haag, E. "Of Happiness and of Despair WeHaveNo Measure", dalam A. Casty (ed.). Mass Media and Mass Man. New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1968. Vander Zanden, J.W. Social Psychology. New York: Random House, 1977. Van Poecke, L. Gerbner's Cultural Indicators: The System is The Message, Mass Communication Review Yearbook. Beverly Hills: Sage Puchilations, 1980. Vatikiotis, Michael R.J. Indonesian Politics under Suharto. London: Routledge, 1993. Venus, Antar. Manajemen Kampanye: Panduan Teoretis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cet. 3, 2009. 315 Vivian, John. The Media of Mass Communication, terj. Triwibowo B.S., Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, ed. 8, cetakan pertama, 2008. Wahid, Umaimah. Komunikasi Politik: Perkembangan Teori dan Praktek. Bekasi: WM Komunika, 2012. Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset,1981. Walgito, Bimo. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset, 2003. Watson, J.B. Psychological Care of Infant and Child. New York: Norton, 1934. Wayne, Mike. Marxis and Media Studies. London: Sage Publications Ltd., 2003. Weimer, W.B. Communication Speech and Psychological Models of Man: Review and Commentary, Communication Yearbook. New Jersey: Transaction Books, 1978. Weiss, W. Effects of Mass Media of Communication The Handbook of Social Psychology. Wesley: Reading Addison, 1969. Wenburg, John R. dan William W. Wilmot. The Personal Communication Process. New York: John Wiley and Sons, 1973. White, Brian. "Diplomacy", dalam John Baylis dan Steve Smith (ed.). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press, 2001. Wibawa, Pramana Anung. “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen: Studi Interpretif Pemilu 2009”. Disertasi, Universitas Padjadjaran, 2013. Widjaja, Albert. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3S, 1988. Widodo, Joko. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia, 2001. Wilson, Stan Le Roy. Mass Media Mass Culture: An Introduction. New York: Random House, 1989. Wimmer, R.D. dan Dominick. Mass Media Research: An Introduction. California: Wadsworth Publishing Company, 1991. Windahl, S. “Uses and Gratification at the Crossroads”, dalam G.C. Wilhoit and Harold de Bock (ed.), Mass Communication Review Yearbook. Beverly Hills: Sage Publications, Inc., vol. 2, 1981. 316 Wolman, E.O. Dictionary of Behavioral Science. New York: Van Nostrand Reinhold Co., 1973. Wursanto. Dasar-Dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Andi, ed. 2, 2005. Yusuf, Muhammad Khair Ramadhan. Min Khasha’ish al-I’lam al-Islami. Makkah: Rabithah al-‘Alam al-Islami, 1989. Zahran, Hamid Abd al-Salam. ‘Ilm al-Nafs al-Ijtima’i. Kairo: ‘Alam alKutub, cet.5, 1984. Zain, Al, Samih ‘Athif. ‘Ilm al-Nafs: Ma’rifah al-Nafs al-Insaniyyah fi al-Kitab wa al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1991. Zanden, James W. Vander. Social Psychology. New York: Random House, 1984. Zeman, Z.A.B. Nazi Propaganda. Oxford: Oxford University Press, 1973. Zimbardo, P.C, et, al. "A Pirandellian Prison," dalam The New York Times Magazines (8 April 1973). Zulkifli. Psikologi Perkembangan. Bandung:Remaja Rosdakarya, 1999. Harian Analisa (23 November 2015), h. 1. Harian Kompas (12 Desember 2015), h. 1. Harian Sinar Indonesia Baru (12 Desember 2015), h. 1. Harian Sinar Indonesia Baru (21 Desember 2015), h. 1. Harian Waspada (10 Desember 2015), h. A1. Harian Waspada (13 Desember 2015), h. A1 dan A2. Harian Waspada (22 Desember 2015), h. A1. Harian Waspada (30 Desember 2015), h. A1. Harian Waspada (4 Januari 2016), h. A1. http://binnekamedia.com/binnekanews/medan-news/pilkada-medan-inialasan-pasangan-redi-tak-ikut-mencoblos, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:17 wib. http://binnekamedia.com/binnekanews/medan-news/pilkada-medan-inipenyebab-golput-mencapai-7333-persen, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:40 wib. http://bininfor.com/mengatasi-krisis-kepemimpinan-di-negeri-ini-dengankekuatan-moral/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:22 wib. http://biroorganisasi.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&vie w=article&id=148:kepercayaan-publik-terhadap-pemerintah, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:02 wib. http://dzulmieldin.com/biografi/, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 16:51 wib. 317 http://faktariau.com/mobile/detailberita/2373/pj-walikota-medan:-75,8persen-masyarakat-memilih-golput.html, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:30 wib. http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=1&date=2015-12-12, diunduh pada tanggal 13 Januari 2016, pukul 21:34 wib. http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3406/1/Pilkada.Serentak.2015, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:27 wib. http://medansatu.com/berita/10614/inilah-ahkyar-nasution-wakil-eldin-dipilkada-medan/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:55 wib. http://medan.tribunnews.com/2015/11/14/ramadhan-pohan-dan-istriterima-upa-upa-keluarga-harahap, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:18 wib. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/709483-korupsi-gubernurgatot-dinilai-biang-pilkada-medan-sepi-nasional, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:12 wib. http://news.analisadaily.com/read/masa-kampanye-pilkada-kota-medandimulai/170059/2015/09/12, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:40 wib. http://news.detik.com/berita/2909724/ini-tahapan-penting-pilkada-2015#, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:40 wib. http://news.okezone.com/read/2015/08/11/338/1194003/pengamananpilkada-serentak-polri-gelar-apel-kasatwil, diunduh pada tanggal 24 Desember 2015, pukul 23:40 wib. http://news.okezone.com/read/2015/08/23/337/1201044/pemicu-konflikpilkada-serentak-versi-kpu, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:55 wib. http://pilkada-serentak-2015.liputan6.com/read/2355801/anggaranpilkada-serentak-membengkak-jadi-rp-71-triliun, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:40 wib. http://pilkada-serentak-2015.liputan6.com/read/2385822/quick-countpilkada-medan-dzulmi-eldin-ungguli-ramadhan-pohan, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:27 wib. http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ramadhan-pohan/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:17 wib. http://regional.kompas.com/read/2015/07/29/11035071/Ramadhan.Pohan .dan.Dzulmi.Eldin.Maju.ke.Pilkada.Kota.Medan, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 16:50 wib. 318 http://setkab.go.id/sukseskan-pilkada-serentak-pemerintah-tetapkan-9desember-2015-sebagai-hari-libur-nasional/, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:30 wib. http://tabloidpewarta.com/kota/item/224-anggaran-pilkada-medantembus-rp-565-miliar, diunduh pada tanggal 28 Desember 2015, pukul 14:25 wib. http://waspada.co.id/fokus-redaksi/pt-tun-medan-tolak-gugatan-rediajukan-kasasi/, diunduh pada tanggal 13 Januari 2016, pukul 20:42 wib. http://waspada.co.id/medan/kampanye-akbar-benar-anak-medan-pilihputra-medan-asli/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:07 wib. http://waspada.co.id/pilkada/akhyar-unggul-di-tps-nya/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:14 wib. http://waspada.co.id/pilkada/kuasa-hukum-redi-tuntut-pemilihan-susulanpilkada-medan/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:32 wib. http://waspada.co.id/pilkada/pilkada-medan-eldin-nomor-1-pohannomor-2/, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 16:50 wib. http://waspada.co.id/pilkada/ramadhan-pohan-janji-perhatikan-lansia/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:10 wib. http://www.antarasumut.com/berita/154166/dzulmi-eldin-mencoblos-ditps-36, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:12 wib. http://www.dnaberita.com/berita-4961-inilah-dana-kampanye-duapaslon-di-pilkada-medan.html, diunduh pada tanggal 10 Januari 2016, pukul 21:09 wib. http://www.harianterbit.com/hanterpolitik/read/2015/07/30/36706/84/41/ Calon-Tak-Siap-Kalah-Pemicu-Utama-Konflik-Pilkada-Serentak2015, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:55 wib. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552b941df0c5f/pelaksanaanpilkada-serentak-digelar-9-desember-2015, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:34 wib. http://www.kompasiana.com/mediapskkugm/buku-mengembalikankepercayaan-publik-melalui-reformasibirokrasi_5512dabaa333113a68ba7d39, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:30 wib. http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=9&date=2015-12-17, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:38 wib. 319 http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=6&date=2015-12-12, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:38 wib. http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=5&date=2015-12-14, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 20:40 wib. http://www.metrosiantar.com/2015/09/01/205295/18-daerah-rawankonflik-pilkada-termasuk-simalungun-siantar-aman/, diunduh pada tanggal 20 Desember 2015, pukul 14:34 wib. http://www.rmol.co/read/2015/08/23/214429/Inilah-6-Aktor-PotensialPemicu-Konflik-Pilkada-Serentak-versi-KPU-, diunduh pada tanggal 28 Desember 2015, pukul 14:05 wib. http://www.suaramedan.com/2015/12/kpu-kota-medan-tetapkanpasangan-benar.html, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:28 wib. http://www.sumateratime.com/2015/08/ini-kronologi-kasus-gubernurgatot.html, diunduh pada tanggal 23 Desember 2015, pukul 15:45 wib. http://www.ucokmedan.com/2015/11/kampanye-akbar-medan-rumahkita-bang.html, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:01 wib. http://www.unisosdem.org/kumtul_detail.php?aid=405&coid=1&caid=34 &auid=2, diunduh pada tanggal 6 januari 2016, pukul 16:37 wib. https://id.wikipedia.org/wiki/Dzulmi_Eldin, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:50 wib. https://id.wikipedia.org/wiki/Harry_S._Truman, diunduh pada tanggal 6 januari 2016, pukul 16:57 wib. https://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewujudkanbirokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayanan-publik/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:39 wib. https://sembilanbersamamedia.wordpress.com/2012/03/21/505/, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:17 wib. https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=dr.+eddie+kusuma+sh+mh, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:17 wib. https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Eldin+mencoblos+pada+pilkad a+kota+ medan, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 17:14 wib. https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Kampanye+Eldin+Akhyar, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:40 wib. https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Kampanye+Pilkada+Kota+Me dan, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:40 wib. 320 https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=pemberantasan+korupsi+di+in donesia&start=0, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:30 wib. https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=Pencoblosan+pilkada+kota+me dan, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 16:46 wib. https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=reformasi+partai+politik+di+in donesia&start=20, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016, pukul 21:30 wib 321