5 TINJAUAN PUSTAKA Air Susu Ibu (ASI) ASI merupakan makanan yang higienis, murah, mudah diberikan, dan sudah tersedia bagi bayi. ASI menjadi satu-satunya makanan yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya agar menjadi bayi yang sehat. Komposisinya yang dinamis dan sesuai dengan kebutuhan bayi menjadikan ASI sebagai asupan gizi yang optimal bagi bayi. ASI dan plasma memiliki konsentrasi ion yang sama sehingga bayi tidak memerlukan cairan atau makanan tambahan (Brown et al. 2005). ASI memiliki semua unsur-unsur yang memenuhi kebutuhan bayi akan gizi selama periode sekitar 6 bulan, kecuali jika ibu megalami keadaan gizi kurang yang berat atau gangguan kesehatan lain. Komposisi ASI akan berubah sejalan dengan kebutuhan bayi (Gibney et al. 2005). ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain ASI (kalori) Protein 7% Karbohidrat 38% Lemak 55% sumber: Brown et al. 2005 Zat Gizi Makro Formula Susu Sapi (kalori) 9-12% 41-43% 48-50% Formula Susu Kedelai (kalori) 11-13% 39-45% 45-49% Manfaat ASI Pemberian ASI merupakan praktek yang unik karena bukan hanya memberikan asupan gizi yang memadai bagi bayi, tetapi juga asuhan psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu (Gibney et al. 2005). Bayi yang diberi ASI mendapat kasih sayang dari ibu karena dekapannya. Kekuatan ikatan antara ibu dan bayi menyebabkan emosi ibu menjadi baik sehingga mampu meningkatkan produksi oksitosin yang merangsang kelenjar-kelenjar payudara untuk berkontraksi mengeluarkan ASI (Paath, Yuyum & Heryati 2004). Keberadaan antibodi dan sel-sel makrofag pada ASI memberikan perlindungan pada bayi terhadap jenis-jenis infeksi tertentu seperti infeksi saluran 6 pernafasan (Chantry, Howard & Auinger 2006), diare (Arifeen et al. 2001) dan infeksi gastrointestinal (Fawtrell et al. 2007). Selain itu, penelitian Singhal et al. (2002) yang diacu dalam American Academy of Pediatric (2005) membuktikan bahwa pemberian ASI dapat menurunkan sindrom kematian bayi di tahun pertama kehidupannya serta mencegah bayi terkena penyakit tertentu seperti diabetes dan obesitas. Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Pemberian ASI eksklusif juga memberikan keuntungan bagi ibu. Pemberian ASI sedini mungkin dapat mengurangi pendarahan akibat melahirkan. Ibu yang memberikan ASI juga memiliki resiko yang lebih kecil terkena kanker payudara (Tryggvadóttir et al. 2001), kanker ovarium, dan osteoporosis. Keuntungan lain bagi ibu adalah dengan menyusui bayinya maka penurunan berat badan lebih cepat sehingga dapat kembali ke berat badan sebelum hamil (Labbok 2001 dalam American Academy of Pediatric 2005). Keuntungan pemberian ASI eksklusif tidak hanya bagi bayi dan ibunya, tetapi juga bagi kondisi sosial ekonomi keluarga dan masyarakat. Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi pengeluaran biaya perawatan kesehatan bayi. Bagi ibu yang bekerja, ASI eksklusif memberikan keuntungan untuk perusahaan karena dapat meningkatkan produktivitas kerja dan mengurangi biaya medis karyawannya (Brown et al. 2005). Depkes RI (2004) menyatakan pemberian ASI eksklusif berkontribusi untuk pengembangan ekonomi, melindungi lingkungan, serta menghemat sumber dana, kelangkaan pangan, dan devisa negara. Praktek Pemberian ASI Banyak sikap dan kepercayaan yang tidak mendasar terhadap makna pemberian ASI yang membuat para ibu tidak melakukan ASI eksklusif selama 6 bulan. Alasan umum mengapa ibu tidak memberikan ASI eksklusif meliputi rasa takut yang tidak berdasar bahwa ASI yang dihasilkan tidak cukup atau memiliki mutu yang tidak baik, keterlambatan memulai pemberian ASI dan pembuangan kolostrum, teknik pemberian ASI yang salah, serta kepercayaan yang keliru bahwa bayi haus dan memerlukan cairan tambahan. Selain itu, kurangnya dukungan dari pelayanan kesehatan dan keberadaan pemasaran susu formula sebagai pengganti ASI menjadi kendala ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Gibney et al. 2005). 7 Praktek ASI Eksklusif ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). American Academy of Pediatric (2005) menyatakan bahwa ASI eksklusif merupakan referensi bagi seluruh alternatif model pemberian makanan yang dampaknya dapat diukur melalui pertumbuhan, perkembangan, status kesehatan, dan dampak jangka pendek maupun jangka panjang lainnya. Pertemuan bersama antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1990 di Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi dan Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan, sementara pemberian makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi (Depkes RI 2004). Alasan Pemberian ASI Eksklusif Hasil penelitian Suhendar (2002) menyatakan ibu memberikan ASI eksklusif karena anjuran keluarga, kemauan sendiri, anjuran tenaga kesehatan, dan anjuran teman. Hal ini diperjelas dalam penelitian Zei (2003) yang menyatakan alasan ibu memberikan ASI eksklusif mayoitas karena petunjuk dari bidan (42.8%). Alasan lain adalah pencernaan bayi masih belum sempurna, agar anak sehat, anak memang kuat minum ASI dan anjuran tetangga (masingmasing sebanyak 14.3%). Sementara penlitian lain menyatakan keuntungan kesehatan untuk bayi menjadi alasan yang dominan pada ibu untuk memberikan ASI (92.2%). Sisanya menyatakan keuntungan untuk ibu (4.2%) serta penguatan hubungan antara ibu dan bayi (3.1%) sebagai alasan pemberian ASI (Ertem, Votto & Leventhal 2001). Durasi Pemberian ASI Saja WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan (Gibney et al. 2005). Fawtrell et al. (2007) mendukung hal ini melalui hasil 8 penelitian yang menyatakan bahwa durasi pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan lebih optimal dibandingkan 3-4 bulan. The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005). Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Pemberian Kolostrum Kolostrum merupakan ASI pertama yang keluar selama laktogenesis II (13 hari setelah kelahiran) dan umumnya berwarna kuning dan kental. Bayi hanya mengonsumsi kolostrum sebanyak 2-10 ml setiap kali menyusu dalam 2-3 hari pertamanya. Kolostrum mengandung 58-70 kalori/100 ml dan kandungan protein, sodium, potasium serta klorida yang memiliki lebih tinggi dibandingkan ASI. Immunoglobulin A dan lactoferra merupakan jenis protein yang terdapat pada kolostrum. Kolostrum juga memiliki konsentrasi mononuclear sel tertinggi yang dapat melindungi sistem imun bayi dan membantu perkembangan imunitas. Selain itu, kolostrum mengandung faktor pertumbuhan yang membantu kematangan saluran pencernaan bayi (Brown et al. 2005). Odent dalam tulisanya Colostrum and Civilization mengambarkan budaya masa lalu dan masa kini masih menganggap kolostrum sebagai sesuatu yang kotor dan beracun. Budaya ini dapat dengan mudah melemahkan hubungan yang seharusnya terjalin antara ibu dan bayi (Kroeger & Linda 2004). Pemberian kolostrum dalam satu jam pertama kelahiran bayi dapat memulai ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia 2008). Sebuah penelitian di Turki menyatakan ibu yang berpendidikan rendah menganggap bahwa kolostrum tidak baik untuk bayi dan hanya 9.9% ibu yang memberikan kolostrum satu jam setelah kelahiran (Ergenekon-Ozelci et al. 2006). International Consultant Lactation Assosiation menyatakan salah satu manajemen strategi menyusui adalah dengan memberikan ASI sedini mungkin, setidaknya dalam 2 jam pertama (Kroeger & Linda 2004). Hasil survey Helen Keller Worldwide pada tahun 2002 di Jakarta menyimpulkan sebagain besar bayi yang diberi ASI memperoleh ASI pertamanya 6 jam setelah kelahiran (70% di daerah perdesaan dan 52-65% di daerah perkotaan). Ibu yang memulai pemberian ASI secara dini cenderung untuk melaksanakan ASI eksklusif dan memberikan ASI dengan periode yang lebih lama (Gibney et al. 2005). 9 Waktu Pemberian ASI Terdapat sepuluh langkah menuju keberhasilan pemberian ASI yang direkomendasikan oleh WHO, salah satunya adalah dengan mendorong pemberian ASI menurut permintaan bayi (WHO 1998). Menurut Brown et al. (2005), berat badan dan umur bayi serta densitas kalori pada ASI berkontribusi secara nyata pada peningkatan permintaan ASI oleh bayi. Bayi akan menunjukkan rasa lapar dengan memasukkan jari atau tangannya ke dalam mulut dan mulai mengisapnya serta menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan mulut yang terbuka. Seharusnya bayi langsung diberikan ASI ketika perilaku tersebut mulai timbul tanpa menunggu bayi menangis. Bayi yang menangis karena rasa lapar merupakan tanda bayi telah terlambat untuk mendapat ASI (Brown et al. 2005). Frekuensi Pemberian ASI Pengosongan perut bayi yang telah mengonsumsi ASI berlangsung sekitar 1.5 jam. Frekuensi normal pemberian ASI pada bayi yang baru lahir adalah 10-12 kali setiap hari. Seiring dengan pertambahan umur bayi, frekuensi pemberian ASI bergantung pada persediaan ASI (Brown et al. 2005). Bayi berusia 4 hari membutuhkan ASI setiap 2 jam selama 15-20 menit untuk satu payudara. Ketika bayi berusia 3-6 bulan frekuensi pemberian ASI berkurang hingga mencapai 7-8 kali sehari. Bayi yang diberi ASI lebih sering meminta makan dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula karena protein dan lemak pada ASI lebih mudah diserap oleh sistem pencernaan bayi (Perkins & Vannais 2004). Status Menyusui Saat Ini WHO merekomendasikan pemberian ASI berlangsung paling tidak sampai tahun kedua kehidupan bayi. Survey tahun 2002-2003 di Amerika menyatakan hanya 19% bayi yang masih diberikan ASI sampai usia 12 bulan, sedangkan survey tahun 2001 di Australia menyatakan hanya 23% bayi yang masih meperoleh ASI hingga usia 12 bulan. Ketidakberlangsungan pemberian ASI hingga usia 12 bulan berhubungan dengan faktor antara lain ibu yang merokok selama kehamilan, penggunaan dot untuk minum bayi, sikap ibu yang kurang terhadap pemberian makan bayi, pengalaman memiliki masalah menyusui pada bulan pertama, dan ibu yang kembali bekerja sebelum bayi berusia 12 bulan (Scott et al. 2006). Ibu akan menghadapi kesulitan pemberian 10 ASI, tanpa pertolongan dan dukungan yang tepat, umumnya akan mengakibatkan penghentian pemberian ASI. Kesulitan yang dialami ibu selama menyusui dapat bersifat fisik serta budaya (Gibney et al. 2005). Pengetahuan dan Sikap Gizi Pengetahuan didefinisikan secara sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan termasuk didalamnya pengetahuan gizi, dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal diperoleh dari sekolah dengan kurikulum dan jenjang yang telah ditetapkan, sedangkan pendidikan informal dapat diperoleh dari seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1988). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berhubungan nyata dengan cara pemberian ASI. Semakin baik tingkat pengetahuan gizi ibu maka pemberian ASI semakin sering (Zai 2003). Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang ASI maka ibu akan mengetahui cara dan posisi menyusui yang benar serta cara meningkatkan produksi ASI (Adwinanti 2004). Penelitian yang memberikan intervensi pendidikan tentang ASI melalui media interaktif menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan sebesar 11% menyebabkan peningkatan praktek pemberian ASI sebesar 43% (Hillenbrand & Larsen 2002). Brown et al. (2003) menyatakan kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI menjadi salah satu penghambat keberlangsungan pemberian ASI. Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dapat diperoleh dari berbagai sumber informasi. Foo et al. (2005) menyatakan menjelang akhir kehamilan, ibu membutuhkan berbagai informasi penting yang umumnya disediakan oleh pelayanan dan tenaga kesehatan. Selain itu, informasi yang berasal dari suami, keluarga, teman, jaringan sosial dan berbagai media berpengaruh terhadap pengetahuan ibu. Arifin (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa rendahnya pendidikan dan kurangnya informasi menjadi faktor yang berpengaruh tehadap kegagalan pemberian ASI eksklusif. Sikap adalah evaluasi dari seseorang terhadap suatu objek. Schiffman dan Kanuk (1997) menyatakan model sikap dalam tiga komponen. Pertama, komponen kognitif yang menerangkan bahwa sikap adalah gambaran pengetahuan dan persepsi terhadap suatu objek sikap. Kedua, komponen afektif yang menerangkan bahwa sikap adalah gambaran emosi seseorang terhadap suatu produk. Ketiga, komponen konatif yang menyatakan sikap sebagai 11 gambaran kecenderungan dari seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan objek sikap. Sikap belum merupakan suatu perbuatan karena hanya menggambarkan kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Sikap dapat tebentuk dari pengetahuan dan pengalaman. Kemantapan sikap seseorang disebabkan adanya sifat menyaring dalam menginterpretasikan informasi yang datang dari luar (Pranadji 1988). Hasil penelitian Foo et al. (2005) menunjukkan bahwa sikap ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Ibu yang menganggap bahwa ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi berencana untuk memberikan ASI selama 6 bulan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa sikap ibu terhadap pemberian makan bayi menjadi prediktor kuat dalam pemberian ASI (Scott et al. 2006). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap Gizi, serta Praktek ASI eksklusif Beberapa faktor ditemukan berhubungan secara nyata dengan keputusan ibu untuk melakukan praktek ASI eksklusif. Faktor karakteristik ibu seperti suku, umur, tingkat pendidikan, dan agama serta jenis kelamin bayi berpengaruh terhadap keputusan ibu untuk melakukan ASI eksklusif, namun sulit untuk dirubah dalam waktu singkat maupun pada tingkat individu. Faktor lain seperti pengetahuan akan manfaat ASI, informasi dari tenaga kesehatan, serta riwayat menyusui lebih berpotensi untuk dirubah (Foo et al. 2005). Usia Ibu Usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak, dan emosi seseorang. Usia yang lebih dewasa umumnya memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan usia yang lebih muda. Usia ibu akan mempengaruhi kesiapan emosi ibu. Usia ibu yang terlalu muda ketika hamil bisa menyebabkan kondisi fisiologis dan psikologisnya belum siap menjadi ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan dan pola pengasuhan (Hurlock 1995 dalam Adwinanti 2004). Usia ibu menjadi faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap prediksi keberlangsungan ASI sampai 6 bulan pada ibu-ibu di Singapura (Foo et al. 2005). Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa semakin muda usia ibu, semakin rendah tingkat durasi pemberian ASI. Usia ibu yang lebih muda berhubungan nyata dengan pemberian ASI hanya sampai bayi usia 2 bulan 12 (Ertem, Votto & Leventhal 2001). Penelitian yang dilakukan di Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor menyatakan dari 38 ibu remaja berusia ≤19 tahun, hanya 7.9% yang memberikan ASI eksklusif kepada bayi dan semuanya berusia 19 tahun (Gulo 2002). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Gary Ong et al. (2005) yang menyatakan bahwa ibu berusia <19 tahun cenderung berhenti memberikan ASI pada usia bayi ≤2 bulan. Tingkat Pendidikan Ibu Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berpikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Adwinanti (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan ibu tentang ASI. Hasil penelitian terhadap ibu-ibu di Singapura juga menyatakan terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendidikan ibu dengan durasi pemberian ASI (Foo et al. 2005). Sementara itu, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan cara pemberian ASI dengan dugaan tingkat pendidikan yang semakin tinggi tidak disertai dengan pengetahuan tentang cara menyusui yang baik dan benar serta kemampuan dalam penerapannya (Zai 2003). Status Kerja Ibu Ibu yang tidak bekerja memiliki durasi pemberian ASI lebih lama dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Sebanyak 31% dari ibu bekerja memberikan ASI sampai bayi usia 6 bulan dan hanya 20% ibu bekerja yang memberikan ASI sampai bayi usia 6 bulan (Ong et al. 2005). Kesulitan dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan pemberian ASI menjadi alasan utama ibu bekerja untuk berhenti memberikan ASI pada bayinya (Foo et al. 2005). Hal ini didukung oleh teori bahwa para ibu yang mulai bekerja sering mulai menghentikan pemberian ASI karena harus berpisah dengan bayinya. Ibu-Ibu tersebut sebenarnya dapat terus memberikan ASI secara eksklusif pada 6 bulan pertama dan melanjutkan ASI sampai sekurang-kurangnya 2 tahun dengan cara memerah ASI (Gibney et al. 2005). Depkes RI telah menetapkan kebijakan PP-ASI Pekerja Wanita agar ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif selama 6 bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun. Salah satu 13 strategi yang digunakan dalam kebijakan tersebut adalah mengembangkan dan memantapkan pelaksanaan ASI eksklusif bagi pekerja wanita melalui pembinaan dan dukungan penuh dari pihak pengusaha (Depkes RI 2004). Pengalaman Menyusui Sebelumnya Pengalaman menyusui berhubungan dengan lamanya durasi pemberian ASI (Foo et al. 2005). Ekawati (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin banyak jumlah balita yang dimiliki, kecenderungan perilaku pemberian ASI semakin baik. Hal ini dikarenakan adanya pengalaman menyusui sebelumnya. Sementara itu, penelitian lain menyimpulkan bahwa keberadan anak selain bayi yang sedang disusui menjadi salah satu alasan ibu tidak memberikan ASI dalam waktu yang lama (Peters et al. 2005). Semakin banyak jumlah anak akan semakin menyita perhatian ibu terhadap pengasuhan anak. Berat Lahir Bayi Berat lahir bayi merupakan indikator penting kesehatan bayi baik dalam dimensi indivdu maupun populasi (WHO 1995). Eastwood (2003) menyatakan bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram dikategorikan dalam bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Bayi yang BBLR sering terlalu lemah untuk dapat menghisap ASI secara efektif sehingga tidak dapat diberi makan langsung dari payudara ibu. Penelitian pada 218 ibu yang melahirkan bayi BBLR menghasilkan data bahwa hanya 27% ibu yang memberikan ASI pada bayinya, sementara ibu yang lain memberikan susu formula sejak bayi mereka lahir. Sebanyak 28 ibu memberikan ASI selama 4-6 bulan dan 42 ibu memberikan ASI lebih dari 6 bulan (Smith et al. 2003). Status Inisiasi Menyusu Dini Inisiasi menyusu dini adalah proses membiarkan bayi menyusu sendiri segera setelah kelahiran. Bayi memiliki kemampuan alami untuk menyusu sendiri selama diberikan kesempatan kontak kulit dengan ibunya (skin to skin contact) setidaknya selama satu jam segera setelah lahir (Roesli 2008). Bayi yang mengalami skin to skin contact beberapa menit setelah kelahiran akan mencari puting susu dengan kecepatan yang berbeda-beda. Waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh bayi sekitar 55 menit dan pada banyak kasus dapat mencapai 2 jam (Kroeger & Linda 2004). Inisiasi menyusu dini merupakan salah satu dari 10 Langkah Keberhasilan Menyusui yang dianjurkan WHO (1998). Terdapat lima tahapan 14 dalam inisiasi menyusu dini. Setelah diletakkan diantara payudara ibunya dalam 30 menit pertama, bayi menyesuaikan dengan lingkungan dan sesekali melihat pada ibunya. Tahap kedua, selama sekitar 10 menit kemudian bayi mengeluarkan suara dan melakukan gerakan menghisap dengan memasukkan tangan ke dalam mulut. Tahap ketiga, bayi mengeluarkan air liur. Tahap keempat, bayi menekan-nekan perut ibu untuk bergerak ke arah payudara (breast crawl). Terakhir, bayi menjilati kulit ibu, memegang puting susu dengan tangan, menemukan puting dan menghisapnya (Roesli 2008). Secara keseluruhan, inisiasi menyusu dini berkaitan dengan peningkatan keberhasilan ASI eksklusif. Penelitian mahasiswa kedokteran Trisakti pada tahun 2003 menunjukkan bahwa bayi yang diberi kesempatan menyusu dini memiliki peluang 8 kali lebih besar untuk berhasil ASI eksklusif (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia 2008). Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI Pertumbuhan bayi sangat tergantung dari asupan makanan. Bayi yang diberi makan selain ASI sebelum waktunya beresiko tinggi terkena infeksi (Boyle 2003). Riordan (2005) menambahkan, perbedaan yang nyata pada panjang badan bayi yang mendapat ASI eksklusif dan ASI non-esksklusif menandakan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif seringkali kelebihan makanan. Pemberian susu non-ASI seperti susu formula menjadi salah satu penyebab ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Gibney et al. 2005). Pemberian susu non-ASI yang terlalu dini sebenarnya tidak dapat menggantikan keuntungan yang diperoleh dari pemberian ASI saja. Kandungan gizi susu non-ASI tidak sesuai dengan kebutuhan bayi dan sulit diserap oleh pencernaan bayi. Selain itu, susu non-ASI tidak mengandung antibodi dan dapat menyebabkan alergi (Kroeger & Linda 2004). Gibney et al. (2005) menyatakan jenis-jenis makanan dengan variasi yang luas harus dikenalkan kepada bayi untuk memastikan asupan zat gizi mikro terpenuhi. Setelah bayi berusia 6 bulan, ASI tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan energi dan gizi yang optimal untuk perkembangan bayi. Oleh karenanya dibutuhkan MP-ASI yang diperkenalkan secara perlahan-lahan agar tidak menimbulkan reaksi buruk terhadap makanan tersebut. Menurut Grant (2004) bayi yang diberi ASI seharusnya lebih mudah untuk diberi makan, karena telah mencicipi rasa makanan dari makanan yang dikonsumsi ibu melalui ASI. 15 Pengenalan makanan merupakan periode yang rentan bagi bayi. Makanan tidak disarankan untuk diperkenalkan secara dini kepada bayi karena pencernaan bayi masih rentan sehingga dapat meningkatkan resiko alergi di masa yang akan datang. Normalnya, bayi mulai diperkenalkan makanan pada usia 4-6 bulan dengan tetap menjadikan ASI sebagai makanan utamanya (Boyle 2003). Antara umur 4-6 bulan, bubur yang dicampur sedikit susu adalah makanan terbaik yang diberikan pertama kali pada bayi karena mudah dicerna. Tahapan berikutnya, dapat diperkenalkan pure buah dan sayur dengan konsisitensi yang lebih kental dari ASI. Waktu yang tepat untuk bayi yang baru diperkenalkan makanan adalah 1-2 kali sehari disaat bayi merasa paling lapar, biasanya ketika pagi atau malam hari (Grant 2004). Usia 7-9 bulan bayi memasuki tahap makan dengan eksplorasi. Periode ini bayi sudah dapat mengunyah dan memegang makanan, namun makanan harus tetap dilumatkan atau dipotong kecil-kecil (Gibney et al. 2005). Gigi bayi pada usia ini mulai tumbuh dan bayi senang menggigit benda. Oleh karenanya, biskuit merupakan makanan yang tepat selain jus buah, labu, sereal gandum, dan kentang lumat (Sears & Sears 2003). Grant (2004) menambahkan, bahwa bayi usia 7-9 bulan membutuhkan makanan lebih banyak dan bervariasi selama 3 atau 4 kali makan setiap harinya karena bayi mulai aktif bergerak. Usia 10-12 bulan bayi sudah mampu makan sendiri dan dapat dikenalkan dengan makanan keluarga, meskipun tetap harus dipotong kecil-kecil. Makanan yang dapat diberikan antara lain lauk hewani seperti daging, telur dan keju serta lauk nabati seperti tahu dan kacang-kacangan (Sears & Sears 2003). ASI atau susu sudah bisa dijadikan selingan karena bayi dapat makan secara rutin selama 3 kali sehari dengan selingan diantara waktu makan. Usia 10-12 bulan sebaiknya bayi diberikan makanan yang sehat dan menyenangkan karena akan membentuk kebiasaan makannya hingga dewasa (Grant 2004). Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui salah satunya dengan metode antropometri yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu pengukuran pertumbuhan (ukuran tubuh) dan pengukuran komposisi tubuh. Terdapat beberapa cara untuk menilai ukuran tubuh bayi, antara lain lingkar kepala, panjang badan (PB) dan berat badan (BB). Interpetasi dari nilai-nilai tersebut disajikan dalam indeks untuk menilai status gizi 16 bayi. Indeks yang umum digunakan berkaitan dengan umur (U), yaitu indeks PB/U, PB/BB, BB/U, dan indeks gabungan ketiganya (Gibson 2005). WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk evaluasi data antropometri anak. Aplikasi z-score dalam populasi memberikan keuntungan karena memungkinkan status gizi seluruh populasi dideskripsikan. Bagi bayi dan anak-anak, indeks BB/U atau PB/U dapat digunakan untuk menghitung z-score dan menentukan status gizi. Nilai pasti dari z-score dapat dihitung menggunakan standar deviasi dari referensi populasi WHO 2005. Z-score yang dihitung menggunakan indeks PB/U mengukur pencapaian pertumbuhan linear dan status gizi masa lalu. Indeks PB/U digunakan untuk bayi berusia kurang dari 2 tahun yang belum bisa berdiri tegak. Panjang badan bayi diukur dari posisi recumbent. Status gizi normal diperoleh jika bayi memiliki zscore ≥-2 SD dan ≤2 SD referensi WHO 2005. Bayi dengan z-score PB/U yang tinggi (>2 SD referensi WHO 2005) dikenal dengan istilah tallness. Sebaliknya, bayi dengan z-score <-2 SD referensi WHO 2005 dikenal dengan istilah shortness dan stunting. WHO (1995) menyatakan prevalensi rendahnya z-score PB/U mayoritas berada pada 2-3 tahun pertama kehidupan, khususnya dalam 36 bulan pertama. Kondisi ini merefleksikan proses keberlanjutan dari kegagalan tumbuh (shortness) atau ketidakcukupan pencapaian tinggi badan relatif terhadap umur (stunting). Baker et al. (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pemberian makanan tambahan sebelum bayi berusia 4 bulan dan ibu yang obesitas menyebabkan pertambahan berat badan bayi yang lebih banyak dibandingkan bayi yang mendapat ASI saja sampai usia 5 bulan. Adwinanti (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara status gizi dengan praktek pemberian ASI. Tidak terdapat bayi dengan status gizi kurang pada bayi yang mendapat praktek pemberian ASI sedang dan baik. Penelitian Zai (2003) menyimpulkan status gizi underweight lebih banyak ditemukan pada anak baduta yang mendapat ASI non-eksklusif. Penelitian Wijaya (2002) menunjukkan bahwa praktek ASI eksklusif tidak berpengaruh terhadap status gizi bayi usia 6-8 bulan. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Suciarni (2004) dan Rahayu (2005) yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang nyata antara praktek pemberian ASI dengan status gizi bayi yang diduga disebabkan keberadaan faktor lain yang mempengaruhi status gizi, seperti status kesehatan bayi.