Faktor – Faktor Yang Berhubungan dengan

advertisement
17
TINJAUAN PUSTAKA
Osteoporosis
Pengertian Osteoporosis
National Osteoporosis Foundation (2003) mendefinisikan osteoporosis sebagai
penyakit kronis progresif yang dicirikan dengan rendahnya massa tulang dan rusaknya
mikroarsitektur tulang sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan tulang,
kerapuhan tulang dan meningkatnya risiko fraktur tulang. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menyatakan bahwa osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa
massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang yang pada akhirnya menimbulkan kejadian fraktur tulang akibat
meningkatnya kerapuhan tulang (WHO 1994).
Definisi tersebut diperkuat oleh Bronner (1994) yang mengemukakan bahwa
osteoporosis merupakan kondisi berkurangnya massa mineral tulang per unit volume
tulang. Secara fungsional tulang yang mengalami osteoporosis dikarakterisasikan
dengan tingkat kerapuhan yang lebih besar sehingga lebih mudah untuk mengalami
fraktur. Penyakit ini menyerang nyaris tanpa gejala dan keberadaannya baru disadari
setelah terjadinya kondisi osteoporosis lanjut, yaitu adanya perubahan bentuk tulang
atau terjadinya patah tulang karena trauma ataupun patah tulang spontan. Oleh
karenanya osteoporosis dikenal pula sebagai silent disease karena tidak pernah disadari
penderitanya (Rachman 2003).
Proses Terjadinya Osteoporosis
Tulang adalah jaringan yang memberi bentuk pada tubuh dan dapat menyebabkan
pergerakan tubuh karena merupakan tempat melekatnya otot-otot. Tulang terdiri dari
matriks kolagen tulang, bahan organik dan mineral tulang. Mineral tulang berfungsi
merekatkan serat–serat kolagen matriks tulang yang satu dengan lainnya dan juga
sebagai cadangan isi kalsium dalam tubuh (Rachman 2003).
Tulang mengalami proses pembentukan dan perubahan (modelling dan
remodeling). Secara fisiologi modelling dan remodelling massa tulang dipengaruhi oleh
2 jenis sel yaitu sel osteoblas dan osteoklas. Osteoblas adalah sel yang membentuk
massa tulang, sementara osteoklas adalah sel yang bersifat merusak massa tulang.
18
Penambahan usia membuat osteoklas lebih aktif dan osteoblast kurang aktif, sehingga
tulang lebih banyak dirusak dan lebih sedikit dibentuk dan terjadi pengurangan massa
tulang secara menyeluruh (Ariani 1998).
Awalnya, pembentukan tulang oleh osteoblas dan proses perusakan tulang oleh
osteoklas berjalan seimbang. Saat memasuki usia 40 tahun, osteoklas menjadi lebih
dominan. Hal ini menyebabkan perusakan tulang lebih banyak terjadi dibanding
pembentukan tulang sehingga kepadatan tulang juga berkurang dan tulang menjadi
semakin rapuh dan keropos. Inilah yang kemudian dikenal dengan osteoporosis (Ariani
1998).
Penurunan kepadatan massa tulang ini lebih nyata terlihat pada wanita
dibanding pria karena keterkaitannya dengan hormon-hormon seks wanita utamanya
hormon estrogen. Penurunan produksi estrogen akibat menopause membuat penyerapan
kalsium ke dalam tulang juga menurun. Pada wanita estrogen memiliki peran besar
dalam membantu penyerapan kalsium ke dalam tulang. Hal inilah yang menyebabkan
resiko osteoporosis pada perempuan meningkat secara nyata di usia 50 tahun setelah
mereka mengalami menopause (Rachman 2004).
Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang
Pengukuran kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD)
digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis osteoporosis dan memprediksi risiko
fraktur di masa yang akan datang. Kepadatan mineral tulang memiliki hubungan
terbalik yang berkelanjutan dan bertahap dengan risiko fraktur tulang, semakin rendah
kepadatan mineral tulang maka semakin besar risiko fraktur (NOF 2003).
Kepadatan mineral tulang diekspresikan sebagai keterkaitan antara dua standar
Z-score dan T-Score. Z-score adalah skor perbandingan nilai kepadatan mineral tulang
yang diharapkan pada pasien sesuai umur dan jenis kelamin. Sedangkan T-Score adalah
skor nilai perbandingan kepadatan tulang pasien dengan nilai kepadatan tulang standar
populasi orang dewasa muda normal dengan jenis kelamin yang sama. Menurunnya Tscores secara paralel berkaitan dengan menurunnya massa tulang. Hal ini terjadi seiring
dengan bertambahnya umur (NOF 2003). Berikut ini adalah kategori osteoporosis
menurut T-score berdasarkan standar WHO (1994):
19
Tabel 1 Kategori osteoporosis menurut standar WHO (1994)
Kategori Osteoporosis
Normal
Massa tulang rendah (osteopenia)
Osteoporosis
T-Score
Lebih besar dari -1.0
-1 sampai -2.5
Lebih rendah dari -2.5
Teknik Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang
DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry) merupakan alat yang banyak
digunakan dalam penilaian kepadatan mineral tulang manusia secara in vivo.
Keunggulan metode ini adalah cepat, ramah pasien, memiliki tingkat presisi dan akurasi
yang tinggi dan paparan radiasi yang dihasilkannya sangat minimal (Prentice, Parson &
Cole 1994).
Penilaian risiko fraktur juga dapat diketahui dengan menggunakan penanda
biokimia. Penanda turnover tulang yang terjadi dalam serum atau urin kadang-kadang
digunakan untuk membantu penilaian risiko fraktur, memprediksi kehilangan massa
tulang (NOF 2003).
Data
hasil
pengukuran
dengan
menggunakan
teknik
absorptiometri
diekspresikan sebagai Kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD)
dengan satuan g/cm2. Data kepadatan mineral tulang mampu memberikan derajat
standardisasi untuk membedakan ukuran tulang antarindividu dengan memberikan
perbandingan dengan nilai referensi populasi. Kepadatan mineral tulang dapat dijadikan
prediktor yang sangat bermanfaat dalam memperkirakan risiko fraktur dan mampu
membedakan antara pasien yang menderita osteoporosis dan mereka yang normal
(Prentice, Parson & Cole 1994).
Menopause
Kata menopause berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘bulan’ dan
‘penghentian sementara’ (Wirakusumah 2003). Secara fisiologis menopause merupakan
suatu proses henti menstruasi/haid akibat hilang atau kekurangan hormon estrogen
yang diproduksi oleh ovarium.
Menopause memiliki gejala khusus yang mengganggu dan dapat berlangsung
cukup lama (Achadiat 2000). Gejala ini merupakan gejala normal yang timbul akibat
terjadinya perubahan fisik dan psikis pada wanita menopause. Namun gejala-gejala
yang timbul amatlah individual, tidak setiap wanita mengalami gejala yang sama. Ada
20
wanita yang mengalaminya dan ada juga tidak. Semua tergantung pada kondisi
kesehatan, emosi (daya tahan terhadap stress), asupan makanan dan aktivitas fisik
seseorang (Wirakusumah 2003).
Gejala fisik dari menopause diantaranya adalah adanya semburat panas, sulit
tidur, berkeringat malam, gangguan fungsi seksual dan kekeringan vagina. Akibat
paling serius dari menopause yang tidak nampak secara langsung adalah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit tulang seperti osteoporosis dan osteoarthritis (Achadiat
2000).
Faktor Risiko Osteoporosis
Selain disebabkan oleh menopause, masih terdapat banyak faktor lain yang
dapat mempercepat penurunan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause,
seperti pola makan yang kurang baik, aktivitas fisik yang rendah, kebiasaan
mengkonsumsi alkohol dan merokok. Meskipun pengaruhnya terhadap massa tulang
relatif lebih kecil dibandingkan dengan faktor risiko bawaan seperti jenis kelamin,
riwayat keluarga, penuaan, dan ras; akan tetapi konsumsi pangan dan gaya hidup yang
buruk dapat mempercepat terjadinya penurunan kepadatan tulang (Rachman 2003).
Faktor konsumsi pangan yang meliputi konsumsi mineral kalsium, fosfor, dan
vitamin D telah banyak dikaji, sehingga sampai saat ini rekomendasi utama untuk
membantu
dalam
mencegah
dan
memperlambat
osteoporosis
pada
wanita
pascamenopause adalah kombinasi tiga zat gizi mikro tersebut dengan perbandingan
tertentu. Akan tetapi tulang merupakan satu jaringan hidup yang kompleks dan
kemungkinan besar kontribusi berbagai zat gizi mikro maupun makro turut berperan
dalam pemeliharaan tulang dan mampu memperlambat kejadian osteoporosis pada
wanita pascamenopause (Tucker et al. 2002).
Faktor Pangan
Selmeyer et al. (2001) mengungkapkan bahwa zat gizi merupakan komponen
penting dari kesehatan tulang. Zat gizi merupakan faktor penting yang dapat
dimodifikasi dalam perkembangan, perawatan massa tulang dan pencegahan serta
pengobatan osteoporosis. Kurang lebih 80-90% kandungan mineral tulang terdiri dari
kalsium dan fosfor. Komponen pangan lain seperti protein, Mg, Zn, Cu, Fe, Fluoride,
vitamin A, D, C, dan K diperlukan untuk metabolisme tulang secara normal. Protein
21
tergabung pada matriks organik tulang untuk menyusun struktur kolagen termpat
terjadinya mineralisasi. Sementara vitamin dan mineral lain penting untuk proses
metabolisme dalam tulang (Illich 2000). Disamping itu komponen lain yang juga
berpengaruh adalah konsumsi kafein, alkohol, atau fitoesterogen (Illich 2000).
Anderson (1999) menyebutkan bahwa konsep diet sehat secara praktis adalah
menyediakan jumlah yang cukup dari seluruh zat gizi yang ada dari berbagai macam
jenis makanan. Pada beberapa penelitian, wanita laktoovovegetarian yang banyak
mengkonsumsi sayur dan buah yang memberikan zat gizi yang esensial untuk kesehatan
tulang; memiliki nilai ukuran spesifik tulang yang lebih baik dibandingkan dengan
mereka yang nonvegetarian. Hal ini diasumsikan karena sayur dan buah banyak
mengandung senyawa-senyawa fitokimia yang baik untuk kesehatan. Contohnya adalah
isoflavon sejenis fitoestrogen yang ada pada kedelai dan produk olahan kedelai lainnya,
dan konsumsi fitoestrogen ini memiliki efek positif pada jaringan tulang pada wanita
pascamenopause (Anderson 1999).
Pentingnya keterkaitan antara diet yang cukup dan massa tulang perlu menjadi
perhatian untuk memperbaiki cara pandang masyarakat bahwa hanya kalsium sajalah
yang berperan penting untuk perkembangan dan pemeliharaan tulang. Pola makan
penting untuk memaksimalkan kesehatan tulang, dan konsep pangan holistik untuk
mengoptimalkan kesehatan tulang mulai mengemuka (Anderson 1999).
Kalsium
Kalsium adalah mineral dengan kadar terbanyak dalam tubuh manusia
(hampir 2 % dari berat total tubuh). Sebagian besar kalsium bergabung dengan unsur
fosfat menjadi kalsium fosfat dan hampir 90% senyawa ini terdapat pada tulang. Tubuh
manusia dewasa mengandung sekitar 1000 – 1500 g kalsium (tergantung pada jenis
kelamin, umur, ras dan ukuran tubuh) dan 99%nya ditemukan pada tulang dalam bentuk
kristal hidroksiapatit. Alasan inilah yang membuat kalsium menjadi zat gizi yang paling
banyak dipelajari dan diteliti dalam kaitannya dengan kesehatan tulang (Illich 1999).
Studi epidemiologis yang telah banyak dilakukan menunjukkan bahwa konsumsi
kalsium memiliki keterkaitan yang cukup konsisten dengan kesehatan tulang (Illich
1999; Henneman 2000).
22
Fosfor
Sebagai salah satu elemen anorganik, fosfor merupakan mineral kedua yang
paling padat terdapat pada tubuh manusia, dan 85% fosfor berikatan pada tulang. Fosfor
terdapat pada daging, telur, ikan, kacang-kacangan, sereal, dan makanan hasil olahan
lainnya. Meskipun fosfor merupakan salah satu zat gizi yang esensial, tapi jumlah yang
berlebihan dapat memberikan efek yang berbahaya bagi tulang. Peningkatan konsumsi
fosfor akan meningkatkan konsentrasi serum fosfor mengakibatkan menurunnya
konsentrasi serum kalsium terionisasi yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya
sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid merupakan hormon yang mencegah untuk
terjadinya hipokalsemia dalam darah dengan cara meningkatkan resorpsi kalsium pada
tulang untuk mencegah hipokalsemia tersebut.
Vitamin D
Sistem endokrin vitamin D mempengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor
dengan cara mempengaruhi organ targetnya: usus, tulang dan ginjal. Metabolit aktif 1,
25 (OH)2 vitamin D3 (kalsitriol) memfasilitasi absorbsi kalsium secara aktif dari usus
dengan cara menstimulasi sintesis protein (Illich et al. 2000).
Vitamin D yang diperoleh dari diet dan paparan sinar matahari kemudian
dihidroksilasi menjadi 25 hidroksivitamin D di hati selanjutnya menjadi 1,25 (OH)2 D
di ginjal. Metabolit aktif 1,25 (OH)2 D inilah yang menstimulasi absorbsi kalsium dari
usus dan juga penting untuk memelihara tulang normal (Illich 2000).
Status vitamin D menurun seiring dengan pertambahan umur; paparan sinar
matahari yang rendah, dan menurunnya kemampuan ginjal dan hati untuk
menghidroksilasi vitamin D. Hal ini diperkirakan semakin memperbesar risiko untuk
terkena osteoporosis pada usia lanjut (Sizer & Whitney 2000).
Selain itu pertambahan umur juga menyebabkan meningkatnya serum hormon
paratiroid dan menurunnya level plasma 25 hidroksivitamin D dan 1,25 (OH)2 D,
perubahan inilah yang diperkirakan menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang
pada usia lanjut (Illich et al. 2000).
Protein
Kepadatan tulang tidak hanya ditentukan dari kecukupan kalsium dalam tulang,
kecukupan intik protein yang merupakan bahan baku protein kolagen (protein
23
pembentuk tulang) juga penting untuk dikaji meskipun hubungan antara intik protein
dan kalsium masih merupakan hal yang kontroversial karena protein diketahui memiliki
implikasi negatif pada keseimbangan kalsium tubuh (Sellmeyer et al. 2001; Feskanich
et al. 1996).
Pada spektrum lain kekurangan protein dicurigai memiliki faktor risiko untuk
pengeroposan
tulang
dan
osteoporosis.
Terdapat
bukti
meyakinkan
yang
mengindikasikan bahwa intik protein yang rendah berhubungan dengan kepadatan
mineral tulang yang rendah dan risiko patah tulang yang tinggi (Rapuri et al. 2003).
Sebaliknya konsumsi protein akan membantu meningkatkan kepadatan mineral tulang
dan menurunkan risiko fraktur tulang pada penderita wanita pascamenopause
(Promislow et al. 2002; Hannan et al. 2000; Dawson-Hughes et al. 2002). Selain itu
penelitian mengenai suplementasi protein setelah terjadinya fraktur tulang panggul pada
usia lanjut menunjukkan pentingnya intik protein yang cukup untuk kesehatan biologis
tulang (Rapuri et al. 2003).
Zat Besi
Harris et al. (2003) menemukan adanya hubungan yang kompleks antara
kalsium, zat besi dan tulang. Diperkirakan zat besi mungkin merupakan salah satu
faktor penting dalam mineralisasi tulang lebih dari yang diketahui selama ini. Hal ini
disebabkan karena zat besi sangat esensial untuk sintesis kolagen yang merupakan
tempat terjadinya mineralisasi tulang.
Zat besi juga terlibat dalam konversi 25-hidroksi vitamin D dan 1, 25 dihidroksi
vitamin D yang merupakan bentuk aktif dari vitamin D. Sebagaimana telah diketahui
bahwa vitamin D dibutuhkan untuk pengaturan kalsium dan fosfor secara tepat. Dengan
demikian maka secara tidak langsung maka zat besi turut memainkan peran penting
dalam proses mineralisasi tulang.
Medeiras et al. (1997) dalam Harris et al. (2003) mengemukakan bahwa
menurunnya kaitan lintang kolagen (collagen cross linking) berkaitan dengan
menurunnya intik zat besi memiliki kontribusi terhadap menurunnya kekuatan tulang.
Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa defisiensi zat besi dapat mengakibatkan
massa tulang menjadi rendah dan defisiensi zat besi juga dapat mengubah massa tulang
dan struktur tulang pada tikus betina yang sedang tumbuh (Kip et al. 1998; 2002)
24
Seng
Mineral seng merupakan mineral mikro esensial komponen penyusun
> 200
jenis enzim. Mineral ini penting untuk sintesis kolagen normal dan mineralisasi tulang
(Hyun et al. 2004). Pada hewan defisiensi seng berkaitan dengan pertumbuhan,
pembentukan dan mineralisasi tulang yang tidak normal (Hyun et al. 2004). Terdapat
korelasi positif yang signifikan antara kandungan seng tulang dengan kekuatan tulang
hal inilah yang menegaskan bahwa terdapat kemungkinan bahwa seng memiliki peran
dalam menyehatkan tulang (Hyun et al. 2004).
Intik seng yang rendah dilaporkan berkaitan dengan massa tulang yang rendah
pada wanita. dan lebih jauh diketahui terjadi pengurangan konsentrasi plasma seng dan
meningkatnya ekskresi seng urin pada wanita penderita osteoporosis (Hyun et al. 2004).
Sedangkan penelitian yang dilakukan pada pria penderita osteoporosis menunjukkan
bahwa intik seng pangan dan konsentrasi plasma seng memiliki asosiasi yang positif
dengan kepadatan mineral tulang (Hyun et al. 2004).
Vitamin A
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk penglihatan,
pertumbuhan, daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan remodelling tulang (Nieves 2005).
Studi eksperimen pada hewan menunjukkan pentingnya vitamin A pada proses
remodelling tulang. Defisiensi vitamin A akan menyebabkan pertumbuhan tulang
terganggu akan tetapi kelebihan vitamin A dapat mempercepat resorpsi tulang,
kerapuhan tulang dan terjadinya fraktur tulang (Wimalawansa 2004).
Terdapat dua jenis vitamin A pada suplemen dan makanan, yakni retinol dan
beta karoten serta jenis karoten lainnya. Studi populasi yang dilakukan di Amerika
serikat dan Swedia menunjukkan bahwa intik vitamin A yang berlebihan yang berasal
dari retinol nampaknya berhubungan dengan risiko fraktur tulang panggul. Secara
seluler asam retinoat (yang berasal dari proses metabolisme retinol) dapat menghambat
aktivitas osteoblas, menstimulasi pembentukan osteoklas dan mempercepat terjadinya
resorpsi tulang sehingga memperbesar risiko fraktur tulang panggul (Nieves 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Melhus et al. (1998) menyebutkan bahwa
konsumsi vitamin A yang berlebihan memiliki keterkaitan dengan tingginya kejadian
fraktur tulang panggul akibat osteoporosis di Swedia dan Norwegia. Hasil ini juga
diperkuat dengan laporan McDonald et al. (2004) yang menyebutkan bahwa konsumsi
25
vitamin A berkorelasi negatif dengan kepadatan mineral tulang pada wanita
pascamenopause. Meskipun demikian, masih belum terdapat bukti bahwa ada
keterkaitan antara intik beta karoten dan intik vitamin A yang berasal dari buah-buahan
dan sayuran (karotenoid) (Nieves 2005).
Vitamin C
Vitamin C merupakan salah satu zat gizi yang penting dalam pembentukan
kolagen, jika terjadi defisiensi maka akan berkaitan dengan perkembangan tulang yang
tidak normal. Hasil penelitian pada mereka yang turut serta dalam Third National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) di Amerika Serikat selama
tahun 1988–1994 menunjukkan bahwa intik vitamin C berkaitan secara independen
dengan kepadatan mineral tulang pada wanita premenopause (Simon & Hudes 2001).
Pada wanita pascamenopause, keterkaitan antara vitamin C dengan kepadatan
mineral tulang belum menunjukkan hasil yang konsisten. Hal ini disebabkan oleh
adanya hubungan yang kompleks antara vitamin C dengan berbagai faktor diantaranya
seperti intik kalsium total, penggunaan terapi estrogen, dan kebiasaan merokok (Tucker
2003).
Fitoestrogen
Fitoestrogen merupakan senyawa fitokimia yang berasal dari hormon tumbuhan
yang memiliki struktur kimia menyerupai hormon estrogen pada tubuh manusia
(Wirakusumah 2003). Peran fitoestrogen khususnya isoflavon dari berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa isoflavon memiliki bone-sparing effects secara invitro
maupun invivo (Setchell & Lydeking-Olsen 2003).
Fitoestrogen juga berfungsi meningkatkan aktivitas estrogen dalam tubuh. Pada
masa perimenopause atau masa menopause saat kadar estrogen sangat rendah, asupan
fitoestrogen mampu berfungsi sebagai estrogen yang melindungi tubuh dari sindrom
menopause dan osteoporosis (Wirakusumah 2003).
Para penderita osteoporosis di negara maju biasanya menggunakan terapi
hormon sebagai salah satu upaya untuk memperlambat laju pengeroposan tulang. terapi
hormon estrogen disebut sebagai salah satu upaya memperlambat laju pengeroposan
tulang yang paling efektif (Setchell & Lydeking-Olsen 2003). Akan tetapi saat ini
mengemuka masalah baru yang berkaitan dengan terapi hormon estrogen ini, yaitu
26
ketakutan akan meningkatnya risiko kanker payudara dan endometrium pada
penggunanya yang disebabkan oleh efek samping yang tidak diinginkan dari
penggunaan steroid kuat tersebut (Setchell & Lydeking-Olsen 2003).
Untuk menanggulangi masalah ini maka fitoestrogen yang banyak terdapat pada
tanaman nampaknya menjadi salah satu alternatif yang sangat potensial untuk
membantu memelihara tulang (Setchell & Lydeking-Olsen 2003). Banyak penelitian
yang memberikan bukti efek positif dari penggunaan fitoestrogen pada tulang.
Faktor Nonpangan
Keturunan dan Ras
Penelitian yang dilakukan pada ibu dan anak mengkonfirmasikan bahwa
keturunan memiliki peran penting dalam kepadatan tulang. Keturunan lebih banyak
mempengaruhi maksimum massa tulang yang mungkin dicapai selama masa
pertumbuhan dan laju kehilangan massa tulang setelah mengalami menopause (Sizer &
Whitney 2000).
Risiko osteoporosis juga terkait dengan garis ras. Orang Afrika memiliki massa
tulang yang lebih padat dibandingkan dengan orang Eropa. Etnis lain yang memiliki
kepadatan tulang yang lebih rendah selain orang yang berasal dari Eropa Utara adalah
ras asia yang berasal dari China dan Jepang, Meksiko Amerika, Hispanik yang berasal
dari Amerika Tengah dan Selatan (Sizer & Whitney 2000).
Tetapi ada pengecualian yang berkaitan dengan ras ini, ras kulit kuning yang
tinggal di China dan Singapura memang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena
osteoporosis, meskipun demikian laju fraktur tulang panggul diantara mereka sangat
rendah. Hal ini mungkin terkait dengan pola konsumsi mereka (Sizer & Whitney 2000).
Umur
Akibat proses penuaan terjadi penurunan kemampuan fungsional sel-sel tulang.
Hal ini mengakibatkan pembentukan tulang berkurang secara relatif dibandingkan
dengan resorpsi atau perusakan tulang. Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya
rongga bekas resorpsi yang tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblas setelah siklus
remodelling lengkap (Sizer & Whitney 2000).
27
Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru dapat
disebabkan oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor pertumbuhan lokal
yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel tulang baru. Berkurangnya penyerapan
kalsium pada usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya perubahan
pada sel epitel usus disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon terhadap vitamin
D (Sizer & Whitney 2000).
Riwayat Reproduksi
Wanita memiliki risiko untuk terkena osteoporosis lebih tinggi daripada pria
(Sizer & Whitney 2000). Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause
memegang peranan penting terhadap patogenesis kehilangan massa tulang pada wanita
pascamenopause (Mulyono 1999). Beberapa studi menunjukkan hubungan laju patah
tulang yang meningkat setelah sekresi estrogen berhenti pada wanita menopause.
Selama masa menopause pengaruh hilangnya estrogen tidak sama pada tiap-tiap bagian
tulang. Bagian tulang yang mengalami kehilangan massa tulang lebih dini adalah bagian
tulang trabekular (Sizer & Whitney 2000).
Menopause yang dialami wanita dapat mengakibatkan kehilangan massa tulang
mencapai 2,5 – 5 % setahun selama 4 –5 tahun setelah menopause. Secara keseluruhan
wanita akan kehilangan massa tulang 45 – 50 % selama hidupnya sedangkan laki-laki
hanya kehilangan 20-30 %. Berkurangnya massa tulang ini lebih cepat terjadi pada
tulang trabekuler dibandingkan dengan tulang kortikal. Hal ini terjadi karena luas
permukaan tulang trabekular lebih besar dari pada tulang kortikal sehingga metabolisme
di bagian tersebut lebih aktif (Sizer & Whitney 2000).
Selain menopause, terdapat beberapa faktor reproduksi lain yang membuat
wanita lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki, faktor ini
masih perlu untuk diinvestigasi untuk membuktikan reliabilitasnya. Faktor tersebut
adalah umur saat pertama kali mengalami menstruasi, umur saat pertamakali mengalami
kehamilan, jumlah kehamilan, lama pemberian ASI (Ozdemir et al. 2005).
Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi positif antara usia saat
menopause dan kepadatan mineral tulang dan korelasi negatif antara umur saat pertama
kali mengalami menstruasi dengan kepadatan mineral tulang. (Kritz-silverstein &
Barrett-Connor 1993; Forsmo et al. 2001). Umur saat pertama kali menstruasi diduga
28
memiliki efek menstimulasi perkembangan tulang dengan cara meningkatkan aktivitas
osteoblas seiring dengan mulai aktifnya hormon estrogen.
Penemuan tentang adanya keterkaitan antara paritas dan kepadatan tulang masih
dianggap kontroversial (Gur et al. 2003). Bukti yang ada menunjukkan bahwa
kehamilan pada umur yang lebih muda dapat menyebabkan kepadatan mineral tulang
lebih rendah dan meningkatkan risiko terjadinya kehilangan massa tulang (Sowers
2001).
Paritas diduga memiliki efek negatif terhadap kepadatan mineral tulang, akan
tetapi pada beberapa penelitian paritas tidak berkaitan dengan penurunan kepadatan
mineral tulang. Penelitian yang dilakukan oleh Hoffman et al. (1993) melaporkan
bahwa wanita yang memiliki anak ≥ 3 berisiko untuk mengalami fraktur 35 – 40% lebih
rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah punya anak (nulliparous). Gur et
al. (2002) menunjukkan hasil penelitian yang berlawanan dengan mengindikasikan
bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara jumlah kehamilan dengan kepadatan
mineral tulang lumbal tapi tidak dengan kepadatan mineral tulang femur.
Pemberian ASI dapat menyebabkan adanya stress pada metabolisme kalisum
dan berakibat pada metabolisme tulang. Durasi dan frekuensi menyusui merupakan
faktor signifikan yang mempengaruhi kepadatan mineral tulang dan metabolisme
tulang. Menyusui dalam jangka panjang diasosiasikan dengan meningkatnya kehilangan
massa tulang (Melton et al. 1993; DeSantiago et al. 1999; Glerean & Plantalech 2000;
Popivanov & Boianov 2002; Grimes & Wimalawansa 2003). Meskipun demikian hal
tersebut tidak permanen, dan beberapa penelitian melaporkan hasil yang bervariasi dari
adanya penurunan kepadatan massa tulang dan tidak ada penurunan massa tulang.
Ozdemir et al. (2005) menyimpulkan pada hasil penelitiannya bahwa jumlah
kehamilan, total waktu pemberian ASI, dan usia saat kehamilan pertama berpengaruh
pada nilai kepadatan mineral tulang, sementara umur saat pertama kali menstruasi tidak
memiliki korelasi yang signifikan dengan kepadatan mineral tulang.
Aktivitas Fisik dan Berat Badan
Terdapat bukti yang sangat meyakinkan dari hasil penelitian secara prospektif
dan retrospektif yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik berkaitan dengan risiko fraktur
tulang panggul, dan mereka yang memiliki gaya hidup sedentary berisiko terkena
fraktur tulang panggul sebesar 20-40% lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
29
aktif (Gregg, Pereira & Caspersen 2000). Sementara itu kajian sistematis dari
Randomized Trials menunjukkan bahwa olah raga secara teratur memiliki efek yang
positif pada tulang punggung dan tulang leher femoral (Wallace & Cumming 2000).
Osteoporosis lebih sering dikaitkan dengan mereka yang memiliki berat badan
rendah (kurus), khususnya kehilangan berat badan seberat 10% atau lebih setelah
menopause, dan mereka yang memiliki berat badan lebih berat berisiko lebih rendah
untuk terkena osteoporosis (Sizer & Whitney 2000).
Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk mempunyai
kepadatan tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang berat badannya lebih rendah.
Hal ini diduga disebabkan karena berat badan memiliki efek terhadap massa tulang
lebih besar, terutama pada tulang femur. Kelebihan berat badan membuat stress
terhadap tulang menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan
tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena cadangan lemak
pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan dengan individu yang kurus.
Cadangan lemak ini penting sebagai bahan baku bagi hormon androgen untuk diubah
menjadi hormon estrogen. Oleh karena itu individu terutama wanita yang gemuk jarang
mengalami osteoporosis (Lane 2001).
Kebiasaan Merokok
Penelitian membuktikan bahwa mereka yang perokok cenderung mengalami
fraktur tulang ringan dibandingkan dengan yang bukan perokok. Sebuah penelitian pada
saudara kembar melaporkan bahwa wanita yang merokok satu bungkus rokok/harinya
selama masa dewasanya akan mengalami kehilangan massa tulang ekstra sebanyak 5 –
10% dari tulang mereka ketika menopause tiba (Hopper & Seeman 1994 dalam Sizer &
Whitney 2000). Meskipun mekanisme aksinya masih belum dapat dijelaskan, tapi
rendahnya berat badan perokok dan menopause dini pada perokok wanita diperkirakan
menjadi faktor penyebabnya (Slemenda 1994 dalam Sizer & Whitney 2000).
Risiko terkena fraktur tulang panggul pada perokok meningkat seiring dengan
jumlah batang rokok yang mereka hisap, hal ini terjadi pada pria dan wanita, hasil
pengukuran kepadatan mineral tulang juga menunjukkan bahwa perokok memiliki
kepadatan mineral tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan perokok.
(Hollenbach et al. 1993). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat
meningkatkan laju pengeroposan tulang salah satunya dengan cara menurunkan
30
absorpsi kalsium pada usus. Menurunnya absorpsi kalsium berkaitan dengan
hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatnya resorpsi tulang (Krall & DawsonHughes 1999; Rapuri et al. 2000).
Konsumsi Kafein
Kafein termasuk faktor risiko yang dipertimbangkan sebagai salah satu
penyebab yang dapat mempercepat terjadinya osteoporosis, meskipun demikian
buktinya
masih
diperdebatkan
(Rapuri
et
al.
2001).
Beberapa
penelitian
mengindikasikan bahwa kafein dapat mempercepat ekskresi kalsium, sementara
penelitian yang lain tidak menemukan efek yang signifikan. Efek kafein pada
keseimbangan kalsium mungkin akan merugikan hanya jika konsumsi kalsiumnya
rendah (Whitney, Cataldo & Rolves 1998). Rapuri et al. (2001) dan Harris & DawsonHughes (1994) menyebutkan bahwa intik kafein lebih dari 300 mg/hari dapat
mempercepat kehilangan massa tulang di tulang belakang pada wanita pasca
menopause.
Selama ini intik kafein yang dilaporkan dapat mempercepat laju kehilangan
massa tulang, dan intik kafein biasanya dikaitkan dengan konsumsi kopi. Selain kopi teh
juga mengandung kafein, akan tetapi keterkaitan antara kebiasaan minum teh dengan
kepadatan mineral tulang masih belum banyak dikaji. Hegarty et al. (2000) meneliti
tentang kebiasaan minum teh dengan kepadatan mineral tulang pada usia lanjut wanita.
Hasil penelitian Hegarty et al. (2000) menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
kebiasaan minum teh memiliki ukuran kepadatan mineral tulang yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tidak minum teh. Hal ini diasumsikan karena teh
tidak hanya mengandung kafein tapi juga senyawa flavonoid yang diduga memiliki efek
positif pada tulang
Download